[go: up one dir, main page]

Daftar Kategori: Wakil Rektor III


Mengenal Muasal Waba’ dan Thā’ūn
Admin WR3 Kamis, 14 Mei 2020 . in Wakil Rektor III . 30831 views

Secara etimologis, menurut Ibn al Mandhur dalam kamus Lisan al Arab kata waba’ (wabah) memiliki arti yang sinonim dengan Thā’ūn , berarti semua penyakit yang mewabah. Sementara dalam kamus Mu’jam Lughah al Fuqaha’ disebutkan bahwa Waba’ adalah penyakit mewabah dan menjangkiti banyak orang, seperti cacar dan kolera. Al Imam al Nawawi berpendapat bahwa secara etimologis ada dua dialek untuk menyebut wabah dalam Bahasa Arab waba’ (tanpa alif) dan wabā’ (menggunakan alif), pemakaian dan penulisan waba’ (tanpa alif) lebih popular. Sementara kata Thā’ūn secara deskriptif seperti cacar dan bernanah. Bagi Imam al Khalil dan ulama lainya kedua kata waba’ dan thā’ūn tersebut memliki arti yang sama, yaitu semua penyakit yang mewabah.

Menurut Dr. Amir Muhammad Nizar Jal’uth, di antara sekian pendapat tentang arti kedua kata tersebut yang benar adalah sebagaimana yang telah dinyatakan oleh para peneliti Bahasa yaitu penyakit yang menjangkiti banyak orang di suatu wilayah dan tidak menyebar ke seluruh wilayah, penyakit ini berbeda dengan yang biasa menjangkiti banyak orang serta penyakit tersebut adalah satu jenis dan berbeda dangan berbagai jenis penyakit yang biasa diderita oleh banyak orang di sepanjang waktu. Karena karakter yang dimiliki masing-masing dari kedua jenis waba’ dan thā’ūn yang sedikit berbeda, maka para peneliti tersebut memberikan penekanan arti, bahwa semua  thā’ūn itu waba’ dan tidak setiap waba’ itu thā’ūn. Waba’ yang pernah terjadi pada kekhalifahan Shahabat Umar bin al Khathab sebagaimana yang telah teriwayatkan di dalam Shahih Muslim adalah  thā’ūn.

WHO mendeskipsikan wabah sebagai pandemi jika seluruh belahan dunia telah terpapar yang mungkin disebabkan oleh penularan dari suatu komunitas tertentu sebagaimana covid 19 ini.

Secara historis, sebab munculnya waba’ dan thā’ūn dapat ditelisik dari data normatif yang diriwayatkan  oleh Ibnu Majah dan Al Hakim bahwa Shahabat Abdullah bin Umar meriwayatkan ada seorang yang bertanya kepada Nabi tentang orang yang mukmin yang paling utama, dijawab oleh Nabi siapapun orang yang paling baik akhlaknya, ditanyakan lagi siapa orang mukmin yang paling cerdas, dijawab oleh Nabi siapapun orang yang paling banyak mengingat kematian dan yang paling baik mempersiapkan kematiannya sendiri. Nabi kemudian bersabda kepada umatnya yang mengikuti hijrah ke Madinah; ada lima hal yang akan diturunkan kepada umat manusia , seraya Nabi berdoa agar mereka tidak menemuinya, yang pertama tidak tampak sama sekali suatu kekejian (kejahatan,kebatilan, kemaksiatan) dalam suatu komunitas tertentu sehingga mereka mendeklarasikannya, artinya seperti kemaksiatan tertentu yang dianggap tabu dilakukan dihadapan umum, karenanya dilakukan dengan sembunyi telah berubah menjadi hal yang dianggap wajar, sehingga seolah mereka mendeklarasikan sebagai sesuatu yang wajar secara terang-terangan. Nabi nyatakan akan muncul kepada mereka  thā’ūn  dan beragam penyakit yang belum pernah ada sebelumnya, pernyataan Nabi yang kedua tidaklah mereka memanipulasi dalam transaksi mereka dengan mengurangi timbangan, ukuran dan dalam bentuk yang lain yang mengakibatkan kerugian sepihak, kecuali mereka akan ditimpa krisis ekonomi, sulitnya penghidupan dan kezaliman penguasa atas mereka, yang ketiga pernyataan Nabi tidaklah mereka menahan zakat dengan tidak mengeluarkannya bagi yang telah memenuhi syarat, kecuali akan terjadi kemarau panjang, jika tidak karena makhluk Allah yang lain seperti binatang-binatang, Allah tidak akan menurunkan hujan kepada mereka. Yang keempat, tidaklah mereka melanggar perjanjian dengan Allah dan Rasul-Nya (dengan mengabaikan perintah dan melanggar larangan-Nya), kecuali Allah menjadikan siapapun yang mereka musuhi justru menjadi penguasa bagi mereka dan tentu mereka akan mengambil sebagian dari asset-aset mereka. Yang kelima dari pernyataan Nabi tersebut adalah selama pemimpin-pemimpin mereka tidak menjadikan ajaran Allah sebagai referensi  atau menjadikan sebagian saja dari ajaran Allah sebagai referensi, maka Allah akan menjadikan permusuhan di antara mereka. Dalam riwayat yang lain Sayyidah A’isyah pernah bertanya kepada Nabi tentang  thā’ūn, Nabi menjawabkannya sebagai siksa (adzab) kepada siapapun yang dikehendaki olah Allah, tetapi Allah menjadikannya sebagai rahmah bagi orang mukmin, karena tidak ada siapapun dari orang mukmin yang di wilayahnya ada thā’ūn, kemudian mensikapi dengan tetap di wilayahnya (tidak beraktifitas di luar) dan sabar serta tetap memohon ridha-Nya dan menyakini tidak ada sesuatu apapun yang terjadi kecuali sudah ditentutan oleh Allah, maka dia akan diberikan pahala layaknya orang yang meninggal saat perang membela agama Allah (syahid). Oleh karena itu, momen Ramadhan seperti ini kita gunakan untuk muhasabah dan beraktifitas sesuai protokol kesehatan serta kita komitmenkan hidup ini sesuai koridor yang dikehendaki oleh Allah. (wa Allah a’lam bi al shawab)

http://isroqunnajah.lecturer.uin-malang.ac.id/mengenal-muasal-waba-dan-thaun/

Lebih Lanjut »
Mengenal Muasal Waba’ dan Thā’ūn
Dr. H. Isroqunnajah, M.Ag Selasa, 28 April 2020 . in Wakil Rektor III . 4637 views

Secara etimologis, menurut Ibn al Mandhur dalam kamus Lisan al Arab kata waba’ (wabah) memiliki arti yang sinonim dengan Thā’ūn , berarti semua penyakit yang mewabah

Lebih Lanjut »

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Jalan Gajayana No. 50 Malang 65144
Telp: +62-341 551-354 | Email : info@uin-malang.ac.id

facebook twitter instagram youtube
keyboard_arrow_up