Abstrak Manusia merupakan kelompok yang memiliki dimensi kerentanan, kerentanan di sini didefinis... more Abstrak Manusia merupakan kelompok yang memiliki dimensi kerentanan, kerentanan di sini didefinisikan sebagai sesuatu yang tidak memiliki kepastian, manusia selalu dihadapkan dengan ketidakpastiaan dan ketidakmungkinan, hal ini yang membuat manusia berhemeneutika untuk selalu menantang masa depan, sebab masa depan hanya bisa dijawab dengan memberikan keleluasaan pada sang waktu untuk mengelaborasi jawaban. Untuk menjawab keidakpastian tersebut maka manusia membutuhkan apa yang dinamakan kepastian, kepastian dalam tubuh manusia dapat terkonstruksi dari pelabelan identitas dengan simbol status yang melekat pada dirinya. Status yang disandang tubuh manusia memiliki dimensi kepastian akan rekognisi dan implikasi peran dari status tersebut, oleh sebab itu untuk melawan ketidakpastian dan misteri masa depan setiap umat manusia berusaha menyiapkan sejak dini modal untuk mengarungi misteri masa depan dan berpegang pada kepastian sebagai zona nyaman nan membawah keamanan, salah satu langkah yang diambil oleh manusia untuk memperoleh kepastian dan menjawab misteri masa depan adalah dengan modal kapasitas dan kapabilitas yang dimiliki, salah satu modal yang dapat disiapkan adalah melalui dunia pendidikan, meminjam istillah Buchori bahwa pendidikan memiliki sifat antisipatoris, dimensi antisipatoris yang dimaksud adalah dimensi yang menyiapkan manusia saat ini khususnya dengan bidang pedndidikan untuk mengarungi masa mendatang yang masih misteri. Berbicara dunia pendidikan tidak akan lepas dari pengetahuan, sebab lembaga pendidikan menjadikan penegetahuan sebagai modal utama yang akan disampaikan pada peserta didik, pengetahuan merupakan ekses untuk melegitimasi kebenaran, di era modernisme seperti saat ini pedidikan seolah menjadi jawaban yang memberikan kepastian status, status yang diberikan oleh lembaga pendidikan adalah pembelajar oleh sebab itu dalam argumentasi penulis status ini menjadi penguat kepastian berbasis identitas pada peserta didik. Hal ini dapat di baca dari meningkatnya jumlah mahasiswa di Indnesia yang menempuh jenjang pendidikan pasca sarjana dari data yang diberikan dikti pada tahun 2015, penulis berpretensi bahwa dalam pendidikan tinggi khususnya program pasca sarjana menawarkan kepasian status bagi mahsiswa yang lulus pendidikan sarjana tetapi belum memiliki pekerjaan, hal ini akan berhubungan dengan analisis ekonomi, bahwa mahasiswa yang memiliki risolses ekonomi lebih, ketimbang mereka malu menyadang status sarjana menganggur maka mereka masuk pendidikan pasca sarjana untuk memperoleh status dan kepastian label diri. Hal ini di baca sebagai pasar produksi oleh lembaga pendidikan tinggi, sebab penndidikan pasca sarjana juga bukan terhitung sebagai pendidikan yang murah, disinilah basis pengetahuan dijadikan alat perdagangan utama yang menopang kepastian label diri individu, dengan meminjmm istilah Lyotard makka hal ini menjadi praktik merkantilisme pengetahuan, oleh sebab itu tulisan ini berfokus pada bagaimana merkatilisme pengetahuan ini menjadi komodifikas baru di era post-modernisme sebagai basis penjual identitas status pada mahasiswa tigkat pasca sarjana. Dengan berbasis pada dua pemikir Lyotard dan Lacan penulis mecoba mengelaborasi fenomena tersebut dengan basis teori identitas Lacan dan merkalisme pengetahuan Lyotard Kata kunci : Identitas, merkantilisme pengetahuan, pendidikan
Sebuah inspirasi dalam onggokan tubuh biologis berdimensi pemimpin dengan asketis humanisme nya, ... more Sebuah inspirasi dalam onggokan tubuh biologis berdimensi pemimpin dengan asketis humanisme nya, sosok perjuangan yang berjuang atas modal kemanusian berbasis cinta, keselarasan berpikir, bertindak, dan berpijak demi perjuang menjadikan namanya harum dalam ingatan pertiwi. Analisis ekonomi politik, sosialisme, di padu dengan nasionalisme menjadikan pijakan berpikir disertai cinta terhadap bangsanya, kemampuan menglorifikasi massa dan membakar psikologi massa dengan permainan bahasa dan kharismnaya bak pemantik semangat bagi kemaslahatan umat. Tak ragu sosok ini begitu digandrungi oleh banyak pemuda, bangsawan, bahkan ulama di Indonesia, sebagai intelektual yang memiliki jiwa aktivis sosial dan pandai bermain dengan cinta, tak heran tokoh ini bak primary father saat meminjam istilah Lacan, hipnotisme dengan bukti objektif membuat penulis larut dalam jiwa dan pikiran untuk menjadikan sosok ini sebagai panutan, guru, dan tuntunan. Berdialog secara chemistry dengan beliau membuat penulis yakin bahwa beliau belum tiada, tetapi hanya raganya yang telah berdiam di liang lahat, pemikiran beliau akan terus hidup dan di kenang sebagai seorang pejuang yang berlandaskan cinta demi revolusi Indonesia lepas dari cengkraman bangsa lain dan berdiri di atas kaki sendiri. Figur ini memiliki nama yang begitu besar bukan hanya Indonesia bahkan dunia, menambah value added saat menjadi tokoh ini sebagai idola, idola baik bagi Indonesia maupun dunia. Saat kita memberikan kewenangan pada tokoh untuk berdialog dengan kita secara ghaib secara tidak langsung kita telah mengalamai kastrasi dalam bahasa Lacan, kastrasi menuju spektrum yang positif bagi perkembangan kita sebagai makluk bertutur, mengidolakan bukan berarti menabikan sebab saat kita mengidolakan kita hanya mengambil pelajaran dan konstruksi berpikIrnya bukan terpaku pada fIgur dan menjadihkan tubuhnya di puja, oleh sebab itu saat penulis mengidolakan Soekarno penulis berusaha untuk memahami cara berpikir Bung Karno dengan semangat cintanya demi kemanuisaan dan bangsanya. Sebelum melangkah lebih jauh dalam tulisan ini ijinkan penulis untuk memperkenalkan diri, pahatan huruf pemberian orang tua menjadi simbol nama penulis tersimbol dengan nama Agung Kresna Bayu lahir di Malang pada tanggal 6-Juni-1997, salah satu alasan di balik pertanyaan mengapa penulis mengidolakan Bung Karno adalah kesamaan tanggal dan bulan lahir dengan beliau. Sama-sama diidentifikasi dalam kelompok zodiak gemini membuat penulis terhipnotis untuk selalu menjadi pecinta dan buram akan lawan jenis, tetapi saat penulis sudah memulai belajar esensi dan seni dari cinta maka penulis memahami bahwa cinta bukan
Pengatar Konflik menjadi waacana yang lekat dengan nusantara(Trijono dkk, 2004), diskursus mengen... more Pengatar Konflik menjadi waacana yang lekat dengan nusantara(Trijono dkk, 2004), diskursus mengenai konflik menjadi dikotomi air mata dan mata air, sebab telah banyak kajian yang mmenjadikan konflik sebagai sumber penelitan tetapi derai air mata juga terus mengalir karenanya. Konflik merupakan bagian dari kehidupan serta sebuah keniscayaan. Sebagai negara yang plural menjadikan Indonesia rawan terjadinya konflik atas isu politik identitas, hadirnya demmokrasi dan globalisasi sedikit banyak menambah determinan kerentanan konflik. Payung demokrasi yang membuka kebebasan dan kesetaraan seolah membuat perbedaan yang ada sedikit dihilangkan (Mouffe, 2000). Beberapa kasus konflik di Indonesia secara garis besar bertipologi dalam dua kasus yakni penentuan nasib sendiri dan perang komuninal akibat perbedaan etnis dan agama. Akan tetapi dalam penulisan kali ini penulis mencoba untuk melihat konflik keluar dari tipologi tersebut, yang mana penulis mengkaji konflik yang bertipologi kekuasaan di Indonesia. Peran dominan rezim militer menjadi bagian yang tidak terpisahkann dari kemunculan bangsa Indonesia, yang mana isu pertahanan dan kemanaan menjadi rumus standar tugas pokok dan fungsinya. La5belisasi prestise tinggi yang dilekatkan oleh masyarakat pada lembaga ini sedikit banyak memengaruhi individu berharap menjadi bagian bahkan memegang pucuk pimpinannya. Alhasil saling meniadakan lawan dalam kubuh internal militer demi tercapainya misi individu tidak bisa dihindarkan, salah satu yang sering dibicarakan dan mencuat dalam dimensi politik adalah perseteruan antara ABRI merah putih dan hijau. Selayang Pandang ABRI Hjau dan Merah Putih Kemunculan sebutan ABRI merah putih dan hijau seiring dengan berdirinya Icmi di Malang pada 7 desember 1990 (Redaksi Depoktren, 2014). Berdirinys ICMI merupakan ungkapan rasa syukur atas lahirnya cendekiawan dan sarjana muslim, yang mana pada waktu itu peran sentral BJ Habibie tidak dapat dikesampingkan sebab beliau dan jajaran cendekiawan muslim lainnya berhasil meluluhkan hati presden Soeharto yang selama dekade sebelumnya memiliki hubungan yang kurang baik dengan kaum muslim. Saat hubungan antara presiden Soeharto dan umat islam tengah mesra, Letjen Hasnan Habib pernah mengungkapkan istilah ABRI
Review: Alone Together, Why we expect more from technology and less from each other (Agung Kresna... more Review: Alone Together, Why we expect more from technology and less from each other (Agung Kresna Bayu) Transformasi menjadi representasi adanya aspek dinamis dalam kehidupan masyarakat. Tidak terkecuali dalam bidang teknologi. Teknologi seolah menjadi penanda dari suatu peradaban, yang mana semakin maju teknologi berimplikasi pada tinggihnya derajat sebuah masyarakat. Dalam konteks hari ini, kita menyaksikan bagaimana kemassifan perkembangan teknologi, apalagi dengan dalih era disruptif. Semua saling berlomba untuk mendapatkan eksistensi pada era disruptif ini, oleh karenaya tidak heran jika diksi teknologisasi atau digitalisasi semacam menjadi kata yang harus ada dan didewakan. Saat membicarakan sejarah Teknologi, dalam novel Alone Together digambarkan terjadinya pengalaman-pengalaman masa lalu yang menarik untuk membaca perkembangan masyarakat kontemporer. Dalam novel tersebut dinyatakan bahwa perkembangan semisal artificial intelegent menjadi sebuah perkembangan baru yang dahulu dianggap sebagai sesuatu yang biasa dan mustahil untuk terjadi. Khalayak pada waktu itu menilai bahwa artifial intelegent hanyalah sebuah alat, tetapi Sherry Turkle menganggap hal tersebut dapat merubah jalan hidup manusia. Oleh karenaya saat kebanyakan antroplog atau psikolog masa itu berfokus pada alat tersebut, Sherry Turkle berusaha mengambil fokus yang berbeda yakni pada pemakai. Pada awal 1980, Turkle bertemu dengan gadis berusia 13 tahun bernama Debora, yang mana dia bercerita bahwa dia bisa melihat bahwa ada pikirannya di komputer. Hal ini menjadikan Turkle berpikir ulang terkait asumsi awalnya yang menyatakan sebaliknya. Perkembangan teknologi selanjutnya ditandai dengan munculnya teknologi mobile yang menjadikan manusia semakin tergantung pada alat tersebut. Turkle juga berbicara terkait living on the screnn ,aspek kunci dalam bahasan tersebut adalah perubahan relasi manusia dalam kehidupan yang sekarang justru lebih nyaman saat menatap layar. Hadirnya perkembangan mutakhir dalam dunia digital, sebagaimana adanya media sosial semakin membuat manusia nyaman dengan pertemanan virtual. Fantasi akan hasrat mereka sekarang dapat terpenuhi dengan hadirnya mobile phone dan aplikasi media sosialnya, celoteh manis dan pahitnya kehidupan tidak lagi menjadi komsumsi pribadi atau berdiskusi dengan keluarga. Akan tetapi menjadi komsumsi umum yang mereka pertunjukkan pada media sosial. Oleh karenanya tidak heran saat banyak manusia modern berusaha mengisi kosongnya relung hati serta keinginan yang tidak tercapai dalam dunia nyata dengan menggesernya pada dunia virtual. Pada awalnya teknologi diciptakan sebagai makluk dari manusia namun perkembangan saat ini justru teknologi menjadi khalik dari manusia.
Konstruksi pemuda sebagai " generasi antara " menjadikan pemuda berada pada persimpangan jalan, b... more Konstruksi pemuda sebagai " generasi antara " menjadikan pemuda berada pada persimpangan jalan, baik dalam ranah kebijakan maupun identitas. Saat berbicara terkait identitas maka akan selalu lekat dengan proses kontruksi, begitu pun pemudah. Sebagai salah bagian dari masyarak pemuda selalu mendapat posisi dikotomis antara sebagai subjek dan objek. Kondisi masyarakat global hari ini, semakin membuat posisi pemuda mengalami marginalisasi, terkhusus dalam fase transisi dari dunia pendidikan menuju pekerjaan. Saat ini dua dunia tersebut cenderung menggunakan produksi neo liberaslisme sebagai upaya pembentukan komodifikasi. Saat mendalami studi kepemudaan, kita akan disajikan beragam teori sebagai " pisau " analisis. Bagian kecil dari beragamnya teori tersebut adalah teori transisi pemuda dan budaya pemuda. Selama ini kedua teori tersebut dipandang sebagai dua hal yang berlawanan, yang mana teori transisi lebih menekankan pada aspek objektif sui genuris unsur pembentuk pemuda dan berfokus pada transisi pemuda dari lembaga pendidikan ke dunia pekerjaan. Di sisi lain, teori budaya pemuda melihat pemuda secara subjektif dalam memproduksi budaya hari ini seperti komsumsi dan gaya hidup. Melihat kedua hal tersebut maka kita akan jatuh pada bahasan dikotomis dan hanya menghasilkan kontra produktif, sama dengan saat kita melihat perdebatan teori stuktural fungsionalis dan konflik. Padahal kita tidak pernah sadar bahwa sejatihnya kedua hal dikotomis tersebut merupakan satu bagian yang saling melengkapi hanya berbedah pada cara memandang. Oleh karenanya melihat pemuda dari kedua nya dan menjembatani perbedaan merupakan jalan keluar yang bijaksana. Salah satu strategi yang di tawarkan adalah pendekatan generasi, pendekatan tersebut berusaha melihat perubahan sebagai suatu obejktivasi tetapi juga menghargai pandangan subjektivasi dari pemuda. Agenda di atas merupakan salah satu agenda teoritis untuk mempribumisasi kajian pemuda dalam konteks Indonesia kontemporer, sebab selama ini kajian kepemudaan di Indonesia dapat dikatakan meminjam teori dari barat. Saat memandang hal tersebut secara holisik sejatihnya bukan hanya kajian pemuda yang mengalami bias barat melainkan dalam bidang keilmuan lain juga menghadapi hal yang sama. Fenemona tersebut dapat dilihat dari cara pandang studi kawansan dan pascakolonial, studi kawasan memberikan pandangan bahwa terjadi ketidakseimbangan kuasa antara daerah metropole dan periphery. Hal ini memberikan jawaban bahwa selama ini terjadi produksi pengetahuan di daerah metropole sedangkan daerah periphery hanya menjadi pegumpul dan penguji coba. Untuk melengkapi padangan tersebut digunakan perspektif pascakolonial sebagai alat analisis, yang mana ketidakseimbangan relasi kuasa merupakan warisan kolonial akibat dikotomi barat dan timur. Oleh karenanya diperlukan kontekstualisasi teori-teori tersebut dalam langskap Indonesia sebagai teori melihat perkembangan pemuda kotemporer.
Diskursus pembangunan tidak pernah usai untuk dibicarakan. Dalam konteks sebuah negara bangsa (na... more Diskursus pembangunan tidak pernah usai untuk dibicarakan. Dalam konteks sebuah negara bangsa (nation-state), Pembangunan sering diposisikan sebagai instrumen vital bagi penentu kemajuan (progress) dan perkembangan peradaban masyarakat menuju ke arah yang lebih baik. Bahkan tidak jarang pembangunan diyakini sebagai instrumen utama, khususnya bagi negara berkembang untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Keyakinan itu lahir bukan tanpa alasan. Raison d'etre-nya tidak ada lain kecuali " kiblat kemajuan negara maju " dalam mewujudkan kesejahteraan, melalui konsep yang sering dikenal sebagai " pembangunan " (development) tersebut. Kondisi struktur paradigmatik semacam itulah mendorong negara berlomba-lomba mengerahkan segenap daya upayanya dalam pembangunan, demi memenangkan " pertarungan " dan merebut " kue pembangunan " bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi maupun kesejahteraan warganya. Dalam konteks itu, nampak jelas aspek material ekonomistik menjadi determinan utama dalam rejim pembangunanisme (Sach,1992). Meskipun sesungguhnya pembangunan memiliki dimensi dalam dua hal, yaitu fisik dan mental, namun acap kali pembangunan terlalu sering disimplifikasi secara fisik yang cenderung berdimensi material. Hasil refleksi penulis melahirkan sebuah asumsi bahwa pembangunan untuk kesejahteraan itu tidak terlepas dari konstruksi ideologi dominan yang menjadi arus utama di level global saat ini. Ideologi dominan itulah yang sering dikenal dengan sebutan neoliberalisme. Implementasi paham ini dalam konteks dunia global pada akhirnya membentuk pola dan corak pembangunan di negeri ini yang cenderung bias fisik, materialistik, dan ekonomistik. Melihat pembangunan di Indonesia saat ini, logika tersebut terasa sangat kental. Gencarnya pembangunan di segala sektor baik milik negara maupun swasta dilakukan dengan dalih kesejahteraan bagi masyarakat. Tetapi selama 40 tahun lebih pembangunan telah
Abstraksi Suku dayak merupakan suku yang bertempat tinggal di sebagian besar pulau Kalimantan, de... more Abstraksi Suku dayak merupakan suku yang bertempat tinggal di sebagian besar pulau Kalimantan, dengan jumlah anggota yang besar maka tidak heran jika suku dayak merupakan mayoritas suku yang mendiami pulau Kalimantan, hal tersebut dapat terpatri dari keberadaan sub-sub suku dayak yang mendiami kota atau kabubaten yang berada di Kalimantan. Terbentuknya sub-sub suku dayak yang menempati lahan kapubaten atau kota di Kalimantan berimplikasi dengan tercipnya kelompok kecil dayak yang memiliki nama sendiri, perbedaan sub nama suku dayak sendiri terbagi berdasarkan daerah tempat tinggalnya seperti suku dayak bahau, tajau, ngaju, ot danum, maanyan, tabonan, lawangan, tamua, dan lain-lain. Akan tetapi meskipun suku dayak terdiri dari sub-sub suku yang menempati kota dan kabupaten berbeda mereka masih terikat dengan struktur makro mereka yaitu suku dayak. Suku dayak sendiri memiliki sistem kekerabatan yang bersifat bilateral atau menarik garis keturuanan dari pihak ayah dan ibu (Depdikbud, 1984), hal inilah yang akan menjadi bahasan utama dalam tulisan kali ini dengan menggunakan perspektif sosiologi khususnya sosiologi keluarga, salah satu konsentrasi studi dari sosiologi keluarga adalah kekerabatan, oleh sebab itu dengan menggunakan perspektif sosiologi keluagra penulis berkeinginan untuk mengupas dan menelaah fenomena ini. Kekayaan dan kemewahan teori yang dimiliki oleh sosiologi memberikan cara pandang tersendiri untuk dapat menganalisis sistem kekerabatan yang terkontruksi dalam suku dayak. Sistem kekerabatan sendiri merupakan jaringan sanak keluarga yang dilihat dari garis keturunan dan menjadikan satu tubuh individu dalam keluarga tersebut sebagai patokan, penarikan garis keturunan tersebut dapat dilihat dari adanya keterikatan biologis yang ditandai dengan adanya hubungan darah (Goode, 1991), khalayak umum biasanya melihat garis keturunan dari pihak ayah atau disebut patrilinial, ibu atau matrilinal, dan keduanya atau yang umumnya di sebut dengan bilateral, dalam tulisan kali ini penulis berfokus untuk menelisik sistem kekerabatan yang terkontruksi dalam suku dayak menggunakan sudut pandang sosiologi pada umunya dan sosiologi keluarga pada khususnya Kata kunci : kekerabatan, suku dayak, sosiologi LATAR BELAKANG Penelitian terkait suku dayak merupakan hal yang menarik karena dari argumentasi penulis hal pertama yang tervisualisasi dan terpikir pertama kali saat mendengar nama suku dayak adalah stigmatisasi negatif tentang suku dayak tersebut, publik dan khalayak umum menggambarkan bahwa suku dayak selalu terkait dengan suku pedalaman yang anarkis,
Berbicara mengenai kekuasaan ibarat pembahasan yang tidak akan berujung dan berakhir dalam satu t... more Berbicara mengenai kekuasaan ibarat pembahasan yang tidak akan berujung dan berakhir dalam satu titik, kekuasaan dimaknai sebagai kemampuan individu atau kelompok untuk memengaruhi individu atau kelompok lain (Zainudin, 1992), refleksi penulis mengungkapkan bahwa kekuasaan adalah capital yang dimiliki oleh setiap tubuh-tubuh sosial. Dimana setiap tubuh pasti memiliki modal dasar bernama kekuasaan, yang membedahkan kekuasaan tubuh-tubuh tersebut adalah momentum dan kontekstual pemunculan kekuasaan, kekuasaan tidak harus terklasifikasi dalam legal rasional, kharismatik, dan tradisional menurut Weber, atau kekuasaan ada dalam setiap relasi dalam pandangan Foulcault. Khazanah sosiologi membantu penulis dalam mengimajinasikan kekuasaan sebagai hal yang alami bersemayang dalam tubuh-tubuh sosial atas capital dasar yang diberikan oleh supra natural being, pembedahan berkuasa atau tidak tergantung pada kontektual dan momentum pemuculannya. Kekuasaan lekat dengan masyarakat, karena kekuasaan dapat bekerja saat ada orang lain atau pihak lain yang merekognisi suatu kuasa dan terkonstruk dari pengaruh kuasa tersebut, mengimajinasikan kekuasaan selalu terkait dengan masyarakat, sebab masyarakat merupakan ladang alami sebagai arena perebutan kekuasaan (Bertens,2001). Masyarakat selalu dijadikan objek untuk melegitimasi kekuasaan tertentu seperti kekuasaan atas dasar birokratik atau kharismatik, masyarakat tercipta sebagai entitas yang memiliki kuasa untuk menentukan penguasa, namun menjadi pihak yang mendapatakan kuasa dari penguasa. Oleh sebab itu saat berbicara mengenai kekuasaan dan masyarakat maka hal tersebut bersifat sebagai mana dapat tergambar dalam teori struktural fungsionalis, antara masyarakat dan kekuasaan merupakan hal yang saling melengkapi dengan hubungan yang bersifat timbal balik. Berbicara mengenai kekuasaan dan masyarakat, penulis tertarik untuk mengangkat isu mengenai rezim kepastian, dalam hal itu fokus kajian dari rezim kepastian berada pada bagian kesehatan. Kesehatan dimaknai orang melalui dua cara health for all atau all for health, pemaknaan kesehatan yang sedemikian rupa merupakan konstruk dari warisan budaya dan sosial psikologis yang memahat identitas individu setempat, kesehatan bersifat sebagai ground tema yang masih memiliki ketidakkentaraan dan ketidakbatasan bahasan, oleh sebab itu penulis memfokuskan kajian dalam bidang interaksi atau relasi antara orang sakit dan orang yang mengerti kesehatan (dokter, perawat, tabib). Dimana dalam hal tersebut refleksi
Tulisan terkait wacana mulikuluraalisme dan keberagaman sebuah refleksi melihat semsesta perbedaa... more Tulisan terkait wacana mulikuluraalisme dan keberagaman sebuah refleksi melihat semsesta perbedaan atas studi figuratif Ust Syafwan dan lembaga rausyan fiqr
Pernikahan beda agama masih mendapatkan label patologis di masyarakat. Berbagai upaya baik advoka... more Pernikahan beda agama masih mendapatkan label patologis di masyarakat. Berbagai upaya baik advokasi hukum maupun pengarusutamaan kajian akademik telah dilakukan, namun persoalan pernikahan beda agama masih terus berpolemik dan menyorot perhatihan publik. Berdasarkan lacakan genealogi pernikahan, bahwa pernikahan bukan hanya sarana pengumuman sepasang kekasih telah resmi menjadi suami-istri melainkan arena konstelasi diskursus kuasa yang beroperasi melalui aspek ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Menyorot secara spesifik pernikahan beda agama, diskursus poitik agama memproduksi pernikahan yang sah dan normal adalah pernikahan satu agama. Diskursus tersebut terproduksi melalui institusi-institusi pembentuk seperti keluarga, pendidikan, agama, dan peer group. Untuk mengurai relasi kuasa diskursus dibalik pernikahan beda agama, kajian ini berupaya tidak terjebak pada pro dan kontra soal pernikahan beda agama melainkan membongkar-praktik, taktik, strategi-agama dalam menormalisasi pernikahan. Menyoal pernikahan beda agama, upaya dan strategi melangsungkan pernikahan oleh subjek pasangan beda agama mempertegas diskursus politik agama yang beroperasi baik melalui tubuh laki-laki maupun perempuan. Negosiasi untuk menikah dalam satu agama mengartikan dominasi kuasa agama tertentu dan resistensi terhadap hukum positif yang menjadi bagian dari dominasi kuasa agama untuk menormalisasi pernikahan. Subjek pasangan beda agama membangun counter conduct terhadap diskursus dominan normalisasi pernikahan tersebut dengan diskursus cinta, pluralisme, dan keberagamaan. Menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan analisis wacana, serta proses pengumpulan data berupa observasi, wawancara, dan desk study, berkerangka teoritik-Foucault, Laclau, Mouffe-menjadi upaya pembacaan, pengolahan, dan penulisan kajian soal pernikahan beda agama. Hasil kajian mendapati bahwa, hukum positif tidak memadai untuk menuntaskan persoalan pernikahan beda agama, karena pernikahan tidak sebatas soal legalitas. Pijakan kasus pernikahan beda agama menjadi awalan untuk menyorot geliat politik identitas di Indonesia, mencuatnya isu multikulturalisme sebagai afirmasi perbedaaan dan bagian demokrasi liberal, justru berujung pada fragmentasi masyarakat dan penebalan identitas. Oleh karenanya kajian ini tidak berupaya melayani permaianan bahasa itu, melainkan menawarkan tilikan alternatif atas pluralisme dan demokrasi agonistik.
Abstrak Manusia merupakan kelompok yang memiliki dimensi kerentanan, kerentanan di sini didefinis... more Abstrak Manusia merupakan kelompok yang memiliki dimensi kerentanan, kerentanan di sini didefinisikan sebagai sesuatu yang tidak memiliki kepastian, manusia selalu dihadapkan dengan ketidakpastiaan dan ketidakmungkinan, hal ini yang membuat manusia berhemeneutika untuk selalu menantang masa depan, sebab masa depan hanya bisa dijawab dengan memberikan keleluasaan pada sang waktu untuk mengelaborasi jawaban. Untuk menjawab keidakpastian tersebut maka manusia membutuhkan apa yang dinamakan kepastian, kepastian dalam tubuh manusia dapat terkonstruksi dari pelabelan identitas dengan simbol status yang melekat pada dirinya. Status yang disandang tubuh manusia memiliki dimensi kepastian akan rekognisi dan implikasi peran dari status tersebut, oleh sebab itu untuk melawan ketidakpastian dan misteri masa depan setiap umat manusia berusaha menyiapkan sejak dini modal untuk mengarungi misteri masa depan dan berpegang pada kepastian sebagai zona nyaman nan membawah keamanan, salah satu langkah yang diambil oleh manusia untuk memperoleh kepastian dan menjawab misteri masa depan adalah dengan modal kapasitas dan kapabilitas yang dimiliki, salah satu modal yang dapat disiapkan adalah melalui dunia pendidikan, meminjam istillah Buchori bahwa pendidikan memiliki sifat antisipatoris, dimensi antisipatoris yang dimaksud adalah dimensi yang menyiapkan manusia saat ini khususnya dengan bidang pedndidikan untuk mengarungi masa mendatang yang masih misteri. Berbicara dunia pendidikan tidak akan lepas dari pengetahuan, sebab lembaga pendidikan menjadikan penegetahuan sebagai modal utama yang akan disampaikan pada peserta didik, pengetahuan merupakan ekses untuk melegitimasi kebenaran, di era modernisme seperti saat ini pedidikan seolah menjadi jawaban yang memberikan kepastian status, status yang diberikan oleh lembaga pendidikan adalah pembelajar oleh sebab itu dalam argumentasi penulis status ini menjadi penguat kepastian berbasis identitas pada peserta didik. Hal ini dapat di baca dari meningkatnya jumlah mahasiswa di Indnesia yang menempuh jenjang pendidikan pasca sarjana dari data yang diberikan dikti pada tahun 2015, penulis berpretensi bahwa dalam pendidikan tinggi khususnya program pasca sarjana menawarkan kepasian status bagi mahsiswa yang lulus pendidikan sarjana tetapi belum memiliki pekerjaan, hal ini akan berhubungan dengan analisis ekonomi, bahwa mahasiswa yang memiliki risolses ekonomi lebih, ketimbang mereka malu menyadang status sarjana menganggur maka mereka masuk pendidikan pasca sarjana untuk memperoleh status dan kepastian label diri. Hal ini di baca sebagai pasar produksi oleh lembaga pendidikan tinggi, sebab penndidikan pasca sarjana juga bukan terhitung sebagai pendidikan yang murah, disinilah basis pengetahuan dijadikan alat perdagangan utama yang menopang kepastian label diri individu, dengan meminjmm istilah Lyotard makka hal ini menjadi praktik merkantilisme pengetahuan, oleh sebab itu tulisan ini berfokus pada bagaimana merkatilisme pengetahuan ini menjadi komodifikas baru di era post-modernisme sebagai basis penjual identitas status pada mahasiswa tigkat pasca sarjana. Dengan berbasis pada dua pemikir Lyotard dan Lacan penulis mecoba mengelaborasi fenomena tersebut dengan basis teori identitas Lacan dan merkalisme pengetahuan Lyotard Kata kunci : Identitas, merkantilisme pengetahuan, pendidikan
Sebuah inspirasi dalam onggokan tubuh biologis berdimensi pemimpin dengan asketis humanisme nya, ... more Sebuah inspirasi dalam onggokan tubuh biologis berdimensi pemimpin dengan asketis humanisme nya, sosok perjuangan yang berjuang atas modal kemanusian berbasis cinta, keselarasan berpikir, bertindak, dan berpijak demi perjuang menjadikan namanya harum dalam ingatan pertiwi. Analisis ekonomi politik, sosialisme, di padu dengan nasionalisme menjadikan pijakan berpikir disertai cinta terhadap bangsanya, kemampuan menglorifikasi massa dan membakar psikologi massa dengan permainan bahasa dan kharismnaya bak pemantik semangat bagi kemaslahatan umat. Tak ragu sosok ini begitu digandrungi oleh banyak pemuda, bangsawan, bahkan ulama di Indonesia, sebagai intelektual yang memiliki jiwa aktivis sosial dan pandai bermain dengan cinta, tak heran tokoh ini bak primary father saat meminjam istilah Lacan, hipnotisme dengan bukti objektif membuat penulis larut dalam jiwa dan pikiran untuk menjadikan sosok ini sebagai panutan, guru, dan tuntunan. Berdialog secara chemistry dengan beliau membuat penulis yakin bahwa beliau belum tiada, tetapi hanya raganya yang telah berdiam di liang lahat, pemikiran beliau akan terus hidup dan di kenang sebagai seorang pejuang yang berlandaskan cinta demi revolusi Indonesia lepas dari cengkraman bangsa lain dan berdiri di atas kaki sendiri. Figur ini memiliki nama yang begitu besar bukan hanya Indonesia bahkan dunia, menambah value added saat menjadi tokoh ini sebagai idola, idola baik bagi Indonesia maupun dunia. Saat kita memberikan kewenangan pada tokoh untuk berdialog dengan kita secara ghaib secara tidak langsung kita telah mengalamai kastrasi dalam bahasa Lacan, kastrasi menuju spektrum yang positif bagi perkembangan kita sebagai makluk bertutur, mengidolakan bukan berarti menabikan sebab saat kita mengidolakan kita hanya mengambil pelajaran dan konstruksi berpikIrnya bukan terpaku pada fIgur dan menjadihkan tubuhnya di puja, oleh sebab itu saat penulis mengidolakan Soekarno penulis berusaha untuk memahami cara berpikir Bung Karno dengan semangat cintanya demi kemanuisaan dan bangsanya. Sebelum melangkah lebih jauh dalam tulisan ini ijinkan penulis untuk memperkenalkan diri, pahatan huruf pemberian orang tua menjadi simbol nama penulis tersimbol dengan nama Agung Kresna Bayu lahir di Malang pada tanggal 6-Juni-1997, salah satu alasan di balik pertanyaan mengapa penulis mengidolakan Bung Karno adalah kesamaan tanggal dan bulan lahir dengan beliau. Sama-sama diidentifikasi dalam kelompok zodiak gemini membuat penulis terhipnotis untuk selalu menjadi pecinta dan buram akan lawan jenis, tetapi saat penulis sudah memulai belajar esensi dan seni dari cinta maka penulis memahami bahwa cinta bukan
Pengatar Konflik menjadi waacana yang lekat dengan nusantara(Trijono dkk, 2004), diskursus mengen... more Pengatar Konflik menjadi waacana yang lekat dengan nusantara(Trijono dkk, 2004), diskursus mengenai konflik menjadi dikotomi air mata dan mata air, sebab telah banyak kajian yang mmenjadikan konflik sebagai sumber penelitan tetapi derai air mata juga terus mengalir karenanya. Konflik merupakan bagian dari kehidupan serta sebuah keniscayaan. Sebagai negara yang plural menjadikan Indonesia rawan terjadinya konflik atas isu politik identitas, hadirnya demmokrasi dan globalisasi sedikit banyak menambah determinan kerentanan konflik. Payung demokrasi yang membuka kebebasan dan kesetaraan seolah membuat perbedaan yang ada sedikit dihilangkan (Mouffe, 2000). Beberapa kasus konflik di Indonesia secara garis besar bertipologi dalam dua kasus yakni penentuan nasib sendiri dan perang komuninal akibat perbedaan etnis dan agama. Akan tetapi dalam penulisan kali ini penulis mencoba untuk melihat konflik keluar dari tipologi tersebut, yang mana penulis mengkaji konflik yang bertipologi kekuasaan di Indonesia. Peran dominan rezim militer menjadi bagian yang tidak terpisahkann dari kemunculan bangsa Indonesia, yang mana isu pertahanan dan kemanaan menjadi rumus standar tugas pokok dan fungsinya. La5belisasi prestise tinggi yang dilekatkan oleh masyarakat pada lembaga ini sedikit banyak memengaruhi individu berharap menjadi bagian bahkan memegang pucuk pimpinannya. Alhasil saling meniadakan lawan dalam kubuh internal militer demi tercapainya misi individu tidak bisa dihindarkan, salah satu yang sering dibicarakan dan mencuat dalam dimensi politik adalah perseteruan antara ABRI merah putih dan hijau. Selayang Pandang ABRI Hjau dan Merah Putih Kemunculan sebutan ABRI merah putih dan hijau seiring dengan berdirinya Icmi di Malang pada 7 desember 1990 (Redaksi Depoktren, 2014). Berdirinys ICMI merupakan ungkapan rasa syukur atas lahirnya cendekiawan dan sarjana muslim, yang mana pada waktu itu peran sentral BJ Habibie tidak dapat dikesampingkan sebab beliau dan jajaran cendekiawan muslim lainnya berhasil meluluhkan hati presden Soeharto yang selama dekade sebelumnya memiliki hubungan yang kurang baik dengan kaum muslim. Saat hubungan antara presiden Soeharto dan umat islam tengah mesra, Letjen Hasnan Habib pernah mengungkapkan istilah ABRI
Review: Alone Together, Why we expect more from technology and less from each other (Agung Kresna... more Review: Alone Together, Why we expect more from technology and less from each other (Agung Kresna Bayu) Transformasi menjadi representasi adanya aspek dinamis dalam kehidupan masyarakat. Tidak terkecuali dalam bidang teknologi. Teknologi seolah menjadi penanda dari suatu peradaban, yang mana semakin maju teknologi berimplikasi pada tinggihnya derajat sebuah masyarakat. Dalam konteks hari ini, kita menyaksikan bagaimana kemassifan perkembangan teknologi, apalagi dengan dalih era disruptif. Semua saling berlomba untuk mendapatkan eksistensi pada era disruptif ini, oleh karenaya tidak heran jika diksi teknologisasi atau digitalisasi semacam menjadi kata yang harus ada dan didewakan. Saat membicarakan sejarah Teknologi, dalam novel Alone Together digambarkan terjadinya pengalaman-pengalaman masa lalu yang menarik untuk membaca perkembangan masyarakat kontemporer. Dalam novel tersebut dinyatakan bahwa perkembangan semisal artificial intelegent menjadi sebuah perkembangan baru yang dahulu dianggap sebagai sesuatu yang biasa dan mustahil untuk terjadi. Khalayak pada waktu itu menilai bahwa artifial intelegent hanyalah sebuah alat, tetapi Sherry Turkle menganggap hal tersebut dapat merubah jalan hidup manusia. Oleh karenaya saat kebanyakan antroplog atau psikolog masa itu berfokus pada alat tersebut, Sherry Turkle berusaha mengambil fokus yang berbeda yakni pada pemakai. Pada awal 1980, Turkle bertemu dengan gadis berusia 13 tahun bernama Debora, yang mana dia bercerita bahwa dia bisa melihat bahwa ada pikirannya di komputer. Hal ini menjadikan Turkle berpikir ulang terkait asumsi awalnya yang menyatakan sebaliknya. Perkembangan teknologi selanjutnya ditandai dengan munculnya teknologi mobile yang menjadikan manusia semakin tergantung pada alat tersebut. Turkle juga berbicara terkait living on the screnn ,aspek kunci dalam bahasan tersebut adalah perubahan relasi manusia dalam kehidupan yang sekarang justru lebih nyaman saat menatap layar. Hadirnya perkembangan mutakhir dalam dunia digital, sebagaimana adanya media sosial semakin membuat manusia nyaman dengan pertemanan virtual. Fantasi akan hasrat mereka sekarang dapat terpenuhi dengan hadirnya mobile phone dan aplikasi media sosialnya, celoteh manis dan pahitnya kehidupan tidak lagi menjadi komsumsi pribadi atau berdiskusi dengan keluarga. Akan tetapi menjadi komsumsi umum yang mereka pertunjukkan pada media sosial. Oleh karenanya tidak heran saat banyak manusia modern berusaha mengisi kosongnya relung hati serta keinginan yang tidak tercapai dalam dunia nyata dengan menggesernya pada dunia virtual. Pada awalnya teknologi diciptakan sebagai makluk dari manusia namun perkembangan saat ini justru teknologi menjadi khalik dari manusia.
Konstruksi pemuda sebagai " generasi antara " menjadikan pemuda berada pada persimpangan jalan, b... more Konstruksi pemuda sebagai " generasi antara " menjadikan pemuda berada pada persimpangan jalan, baik dalam ranah kebijakan maupun identitas. Saat berbicara terkait identitas maka akan selalu lekat dengan proses kontruksi, begitu pun pemudah. Sebagai salah bagian dari masyarak pemuda selalu mendapat posisi dikotomis antara sebagai subjek dan objek. Kondisi masyarakat global hari ini, semakin membuat posisi pemuda mengalami marginalisasi, terkhusus dalam fase transisi dari dunia pendidikan menuju pekerjaan. Saat ini dua dunia tersebut cenderung menggunakan produksi neo liberaslisme sebagai upaya pembentukan komodifikasi. Saat mendalami studi kepemudaan, kita akan disajikan beragam teori sebagai " pisau " analisis. Bagian kecil dari beragamnya teori tersebut adalah teori transisi pemuda dan budaya pemuda. Selama ini kedua teori tersebut dipandang sebagai dua hal yang berlawanan, yang mana teori transisi lebih menekankan pada aspek objektif sui genuris unsur pembentuk pemuda dan berfokus pada transisi pemuda dari lembaga pendidikan ke dunia pekerjaan. Di sisi lain, teori budaya pemuda melihat pemuda secara subjektif dalam memproduksi budaya hari ini seperti komsumsi dan gaya hidup. Melihat kedua hal tersebut maka kita akan jatuh pada bahasan dikotomis dan hanya menghasilkan kontra produktif, sama dengan saat kita melihat perdebatan teori stuktural fungsionalis dan konflik. Padahal kita tidak pernah sadar bahwa sejatihnya kedua hal dikotomis tersebut merupakan satu bagian yang saling melengkapi hanya berbedah pada cara memandang. Oleh karenanya melihat pemuda dari kedua nya dan menjembatani perbedaan merupakan jalan keluar yang bijaksana. Salah satu strategi yang di tawarkan adalah pendekatan generasi, pendekatan tersebut berusaha melihat perubahan sebagai suatu obejktivasi tetapi juga menghargai pandangan subjektivasi dari pemuda. Agenda di atas merupakan salah satu agenda teoritis untuk mempribumisasi kajian pemuda dalam konteks Indonesia kontemporer, sebab selama ini kajian kepemudaan di Indonesia dapat dikatakan meminjam teori dari barat. Saat memandang hal tersebut secara holisik sejatihnya bukan hanya kajian pemuda yang mengalami bias barat melainkan dalam bidang keilmuan lain juga menghadapi hal yang sama. Fenemona tersebut dapat dilihat dari cara pandang studi kawansan dan pascakolonial, studi kawasan memberikan pandangan bahwa terjadi ketidakseimbangan kuasa antara daerah metropole dan periphery. Hal ini memberikan jawaban bahwa selama ini terjadi produksi pengetahuan di daerah metropole sedangkan daerah periphery hanya menjadi pegumpul dan penguji coba. Untuk melengkapi padangan tersebut digunakan perspektif pascakolonial sebagai alat analisis, yang mana ketidakseimbangan relasi kuasa merupakan warisan kolonial akibat dikotomi barat dan timur. Oleh karenanya diperlukan kontekstualisasi teori-teori tersebut dalam langskap Indonesia sebagai teori melihat perkembangan pemuda kotemporer.
Diskursus pembangunan tidak pernah usai untuk dibicarakan. Dalam konteks sebuah negara bangsa (na... more Diskursus pembangunan tidak pernah usai untuk dibicarakan. Dalam konteks sebuah negara bangsa (nation-state), Pembangunan sering diposisikan sebagai instrumen vital bagi penentu kemajuan (progress) dan perkembangan peradaban masyarakat menuju ke arah yang lebih baik. Bahkan tidak jarang pembangunan diyakini sebagai instrumen utama, khususnya bagi negara berkembang untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Keyakinan itu lahir bukan tanpa alasan. Raison d'etre-nya tidak ada lain kecuali " kiblat kemajuan negara maju " dalam mewujudkan kesejahteraan, melalui konsep yang sering dikenal sebagai " pembangunan " (development) tersebut. Kondisi struktur paradigmatik semacam itulah mendorong negara berlomba-lomba mengerahkan segenap daya upayanya dalam pembangunan, demi memenangkan " pertarungan " dan merebut " kue pembangunan " bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi maupun kesejahteraan warganya. Dalam konteks itu, nampak jelas aspek material ekonomistik menjadi determinan utama dalam rejim pembangunanisme (Sach,1992). Meskipun sesungguhnya pembangunan memiliki dimensi dalam dua hal, yaitu fisik dan mental, namun acap kali pembangunan terlalu sering disimplifikasi secara fisik yang cenderung berdimensi material. Hasil refleksi penulis melahirkan sebuah asumsi bahwa pembangunan untuk kesejahteraan itu tidak terlepas dari konstruksi ideologi dominan yang menjadi arus utama di level global saat ini. Ideologi dominan itulah yang sering dikenal dengan sebutan neoliberalisme. Implementasi paham ini dalam konteks dunia global pada akhirnya membentuk pola dan corak pembangunan di negeri ini yang cenderung bias fisik, materialistik, dan ekonomistik. Melihat pembangunan di Indonesia saat ini, logika tersebut terasa sangat kental. Gencarnya pembangunan di segala sektor baik milik negara maupun swasta dilakukan dengan dalih kesejahteraan bagi masyarakat. Tetapi selama 40 tahun lebih pembangunan telah
Abstraksi Suku dayak merupakan suku yang bertempat tinggal di sebagian besar pulau Kalimantan, de... more Abstraksi Suku dayak merupakan suku yang bertempat tinggal di sebagian besar pulau Kalimantan, dengan jumlah anggota yang besar maka tidak heran jika suku dayak merupakan mayoritas suku yang mendiami pulau Kalimantan, hal tersebut dapat terpatri dari keberadaan sub-sub suku dayak yang mendiami kota atau kabubaten yang berada di Kalimantan. Terbentuknya sub-sub suku dayak yang menempati lahan kapubaten atau kota di Kalimantan berimplikasi dengan tercipnya kelompok kecil dayak yang memiliki nama sendiri, perbedaan sub nama suku dayak sendiri terbagi berdasarkan daerah tempat tinggalnya seperti suku dayak bahau, tajau, ngaju, ot danum, maanyan, tabonan, lawangan, tamua, dan lain-lain. Akan tetapi meskipun suku dayak terdiri dari sub-sub suku yang menempati kota dan kabupaten berbeda mereka masih terikat dengan struktur makro mereka yaitu suku dayak. Suku dayak sendiri memiliki sistem kekerabatan yang bersifat bilateral atau menarik garis keturuanan dari pihak ayah dan ibu (Depdikbud, 1984), hal inilah yang akan menjadi bahasan utama dalam tulisan kali ini dengan menggunakan perspektif sosiologi khususnya sosiologi keluarga, salah satu konsentrasi studi dari sosiologi keluarga adalah kekerabatan, oleh sebab itu dengan menggunakan perspektif sosiologi keluagra penulis berkeinginan untuk mengupas dan menelaah fenomena ini. Kekayaan dan kemewahan teori yang dimiliki oleh sosiologi memberikan cara pandang tersendiri untuk dapat menganalisis sistem kekerabatan yang terkontruksi dalam suku dayak. Sistem kekerabatan sendiri merupakan jaringan sanak keluarga yang dilihat dari garis keturunan dan menjadikan satu tubuh individu dalam keluarga tersebut sebagai patokan, penarikan garis keturunan tersebut dapat dilihat dari adanya keterikatan biologis yang ditandai dengan adanya hubungan darah (Goode, 1991), khalayak umum biasanya melihat garis keturunan dari pihak ayah atau disebut patrilinial, ibu atau matrilinal, dan keduanya atau yang umumnya di sebut dengan bilateral, dalam tulisan kali ini penulis berfokus untuk menelisik sistem kekerabatan yang terkontruksi dalam suku dayak menggunakan sudut pandang sosiologi pada umunya dan sosiologi keluarga pada khususnya Kata kunci : kekerabatan, suku dayak, sosiologi LATAR BELAKANG Penelitian terkait suku dayak merupakan hal yang menarik karena dari argumentasi penulis hal pertama yang tervisualisasi dan terpikir pertama kali saat mendengar nama suku dayak adalah stigmatisasi negatif tentang suku dayak tersebut, publik dan khalayak umum menggambarkan bahwa suku dayak selalu terkait dengan suku pedalaman yang anarkis,
Berbicara mengenai kekuasaan ibarat pembahasan yang tidak akan berujung dan berakhir dalam satu t... more Berbicara mengenai kekuasaan ibarat pembahasan yang tidak akan berujung dan berakhir dalam satu titik, kekuasaan dimaknai sebagai kemampuan individu atau kelompok untuk memengaruhi individu atau kelompok lain (Zainudin, 1992), refleksi penulis mengungkapkan bahwa kekuasaan adalah capital yang dimiliki oleh setiap tubuh-tubuh sosial. Dimana setiap tubuh pasti memiliki modal dasar bernama kekuasaan, yang membedahkan kekuasaan tubuh-tubuh tersebut adalah momentum dan kontekstual pemunculan kekuasaan, kekuasaan tidak harus terklasifikasi dalam legal rasional, kharismatik, dan tradisional menurut Weber, atau kekuasaan ada dalam setiap relasi dalam pandangan Foulcault. Khazanah sosiologi membantu penulis dalam mengimajinasikan kekuasaan sebagai hal yang alami bersemayang dalam tubuh-tubuh sosial atas capital dasar yang diberikan oleh supra natural being, pembedahan berkuasa atau tidak tergantung pada kontektual dan momentum pemuculannya. Kekuasaan lekat dengan masyarakat, karena kekuasaan dapat bekerja saat ada orang lain atau pihak lain yang merekognisi suatu kuasa dan terkonstruk dari pengaruh kuasa tersebut, mengimajinasikan kekuasaan selalu terkait dengan masyarakat, sebab masyarakat merupakan ladang alami sebagai arena perebutan kekuasaan (Bertens,2001). Masyarakat selalu dijadikan objek untuk melegitimasi kekuasaan tertentu seperti kekuasaan atas dasar birokratik atau kharismatik, masyarakat tercipta sebagai entitas yang memiliki kuasa untuk menentukan penguasa, namun menjadi pihak yang mendapatakan kuasa dari penguasa. Oleh sebab itu saat berbicara mengenai kekuasaan dan masyarakat maka hal tersebut bersifat sebagai mana dapat tergambar dalam teori struktural fungsionalis, antara masyarakat dan kekuasaan merupakan hal yang saling melengkapi dengan hubungan yang bersifat timbal balik. Berbicara mengenai kekuasaan dan masyarakat, penulis tertarik untuk mengangkat isu mengenai rezim kepastian, dalam hal itu fokus kajian dari rezim kepastian berada pada bagian kesehatan. Kesehatan dimaknai orang melalui dua cara health for all atau all for health, pemaknaan kesehatan yang sedemikian rupa merupakan konstruk dari warisan budaya dan sosial psikologis yang memahat identitas individu setempat, kesehatan bersifat sebagai ground tema yang masih memiliki ketidakkentaraan dan ketidakbatasan bahasan, oleh sebab itu penulis memfokuskan kajian dalam bidang interaksi atau relasi antara orang sakit dan orang yang mengerti kesehatan (dokter, perawat, tabib). Dimana dalam hal tersebut refleksi
Tulisan terkait wacana mulikuluraalisme dan keberagaman sebuah refleksi melihat semsesta perbedaa... more Tulisan terkait wacana mulikuluraalisme dan keberagaman sebuah refleksi melihat semsesta perbedaan atas studi figuratif Ust Syafwan dan lembaga rausyan fiqr
Pernikahan beda agama masih mendapatkan label patologis di masyarakat. Berbagai upaya baik advoka... more Pernikahan beda agama masih mendapatkan label patologis di masyarakat. Berbagai upaya baik advokasi hukum maupun pengarusutamaan kajian akademik telah dilakukan, namun persoalan pernikahan beda agama masih terus berpolemik dan menyorot perhatihan publik. Berdasarkan lacakan genealogi pernikahan, bahwa pernikahan bukan hanya sarana pengumuman sepasang kekasih telah resmi menjadi suami-istri melainkan arena konstelasi diskursus kuasa yang beroperasi melalui aspek ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Menyorot secara spesifik pernikahan beda agama, diskursus poitik agama memproduksi pernikahan yang sah dan normal adalah pernikahan satu agama. Diskursus tersebut terproduksi melalui institusi-institusi pembentuk seperti keluarga, pendidikan, agama, dan peer group. Untuk mengurai relasi kuasa diskursus dibalik pernikahan beda agama, kajian ini berupaya tidak terjebak pada pro dan kontra soal pernikahan beda agama melainkan membongkar-praktik, taktik, strategi-agama dalam menormalisasi pernikahan. Menyoal pernikahan beda agama, upaya dan strategi melangsungkan pernikahan oleh subjek pasangan beda agama mempertegas diskursus politik agama yang beroperasi baik melalui tubuh laki-laki maupun perempuan. Negosiasi untuk menikah dalam satu agama mengartikan dominasi kuasa agama tertentu dan resistensi terhadap hukum positif yang menjadi bagian dari dominasi kuasa agama untuk menormalisasi pernikahan. Subjek pasangan beda agama membangun counter conduct terhadap diskursus dominan normalisasi pernikahan tersebut dengan diskursus cinta, pluralisme, dan keberagamaan. Menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan analisis wacana, serta proses pengumpulan data berupa observasi, wawancara, dan desk study, berkerangka teoritik-Foucault, Laclau, Mouffe-menjadi upaya pembacaan, pengolahan, dan penulisan kajian soal pernikahan beda agama. Hasil kajian mendapati bahwa, hukum positif tidak memadai untuk menuntaskan persoalan pernikahan beda agama, karena pernikahan tidak sebatas soal legalitas. Pijakan kasus pernikahan beda agama menjadi awalan untuk menyorot geliat politik identitas di Indonesia, mencuatnya isu multikulturalisme sebagai afirmasi perbedaaan dan bagian demokrasi liberal, justru berujung pada fragmentasi masyarakat dan penebalan identitas. Oleh karenanya kajian ini tidak berupaya melayani permaianan bahasa itu, melainkan menawarkan tilikan alternatif atas pluralisme dan demokrasi agonistik.
Pengantar Sebelum saya menguraikan inti persoalan yang akan saya bicarakan, terlebih dahulu saya ... more Pengantar Sebelum saya menguraikan inti persoalan yang akan saya bicarakan, terlebih dahulu saya akan menguraikan judul topik yang dirumuskan oleh Panitia untuk saya, yaitu "Desiderata: Pendidikan Pluralisme untuk Pendewasaan Berbangsa." Topik ini sangat tepat untuk konteks kehidupan berbangsa kita dewasa ini karena terkait dengan upaya mendasar yang harus dilakukan oleh bangsa Indonesia secara menyeluruh agar bangsa ini tidak berlarut-larut dalam keterpurukan. Kata 'desiderata' adalah bentuk jamak (plural) dari kata 'desideratum', yang artinya: "something considered necessary or highly desirable" (sesuatu yang dianggap perlu atau sangat dibutuhkan). Kata ini berasal dari kata 'desiderare' yang artinya "to desire". Dengan dipergunakannya kata "desiderata" pada judul topik ini, saya kira Panitia menyarankan, agar dalam uraian saya nanti saya membatasi diri pada "hal-hal yang sungguh-sungguh diperlukan" untuk melaksanakan "Pendidikan Pluralisme Untuk Pendewasaan [Kehidupan] Berbangsa". Dengan demikian, dalam topik ini ini terdapat dua masalah pokok, yaitu "pendidikan pluralisme" dan "pendewasaan berbangsa". Yang menjadi persoalan adalah apa sesungguhnya yang dipandang sebagai desiderata untuk pendidikan pluralisme di Indonesia? Jawaban terhadap persoalan itu, menurut saya, ditentukan sekurang-kurangnya oleh dua hal, yaitu: (1) tujuan "pendidikan pluralisme" untuk sekolah Indonesia; dan (2) sifat pluralisme dalam masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, dalam tulisan ini, saya akan memulai
Uploads
Drafts
Thesis Chapters
Papers