Skip to main content

Agung Hujatnika

This research aims to read the creative process carried out by bio-art artists who use fungi as a medium of character, namely Phillip Ross and Syaiful ‘Tepu’ Garibaldi and explore the potential values in their nature. New media art became... more
This research aims to read the creative process carried out by bio-art artists who use fungi as a medium of character, namely Phillip Ross and Syaiful ‘Tepu’ Garibaldi and explore the potential values in their nature. New media art became an essential umbrella for non-conventional art genres related to other disciplines, such as ecology- based art, kinetic art, video art, bio-art, etc. An interdisciplinary approach that is   no longer related to a single system but a synergy between fields of science to solve increasingly complex social and environmental problems. As a new genre, bio-art synergy art and science involving organic creation components. The use of animals, viruses, fungi, and plants is the differentiator that marks the formation of bio-art works. Research methods will be conducted with methodological approaches to art history, anthropology, and semiotics. The unusual process of fungi formation used as a medium of art and ecological issues became a powerful narrative tha...
Label ‘Bandung’ pada pameran seni telah digunakan semenjak periode 1950-an dan pada gilirannya menggeser pemahaman terhadap istilah tersebut. ‘Bandung’ tidak hanya dimaknai sebagai batasan geografis (kota) melainkan sebagai diskursus... more
Label ‘Bandung’ pada pameran seni telah digunakan semenjak periode 1950-an dan pada gilirannya menggeser pemahaman terhadap istilah tersebut. ‘Bandung’ tidak hanya dimaknai sebagai batasan geografis (kota) melainkan sebagai diskursus estetik. Melalui kajian kuratorial dengan fokus pendekatan kuratorial terhadap tawaran wacana estetik pameran, penggunaan label Bandung pada periode 2000-an berkaitan dengan sejarah seni rupa Bandung yang dianggap sebagai ‘anomali’ di tengah praktik seni rupa Indonesia. Pameran-pameran tersebut berupaya untuk membingkai ulang identitas ‘Bandung’ dengan tawaran wacana estetik yang dapat dibaca melalui teorisasi seni posmodern, atau kajian estetik yang melampaui modernisme. Elaborasi wacana estetik pada pameran dilakukan melalui pendekatan kuratorial yang berbeda-beda, antara lain: elaborasi teoretis atau historis. Bandung pada periode 2000-an tidak diidentifikasi melalui diskursus estetik tunggal, melainkan beragam. Keberagaman/pluralitas tersebut dapat ...
Since 2000, ruangrupa (Jakarta-based art collective) has had an alternative art information distribution (alternative of the formal art education). "ey offer values which arise from collective processes such as mutual sharing.... more
Since 2000, ruangrupa (Jakarta-based art collective) has had an alternative art information distribution (alternative of the formal art education). "ey offer values which arise from collective processes such as mutual sharing. "e establishment of Institut Ruangrupa in 2015-2018 focused on the topic of art education through discursive and collaborative arts practices. "e collaboration carried out with Dewan Kesenian Jakarta at the Jakarta Biennale 2015 produced a program called ‘Maju Kena Mundur Kena Academy’. "is paper will analyze the method of the Institut Ruangrupa’s alternative art education which utilize a joint network with Arts Collaboratory (an art organization consisted of more than 20 organizations from Africa, Asia, Latin America and the Middle East). "e purpose of this research is to provide a detailed description of the background and methods of ruangrupa’s alternative art education. "is research built upon the theory of collaborative learning initiated by John Dewey, a learning concept that place community as the center. Ruangrupa through dynamic education styles exercise collaborative artistic projects with already established national and international connections and resources. In conclusion, the art education practice of Institut Ruangrupa by placing collectivism as the main idea, utilizing communication network relationships and collaborative work that is oriented towards problem solving, is able to become one of the alternative methods in an effort to reformulate the practice of art education, especially in Indonesia.
Raden Saleh is a 19th century Indonesian painter who had the opportunity to master the European paintings in his time. He was the only nonEuropean painter at that time; perhaps, who ever received such honor and admittance in 19th century... more
Raden Saleh is a 19th century Indonesian painter who had the opportunity to master the European paintings in his time. He was the only nonEuropean painter at that time; perhaps, who ever received such honor and admittance in 19th century European art world. He was born in Terbaya, Semarang on 1807 from a noble family. He then studied painting under the Belgian painter Antoine Auguste Joseph Payen who was assigned by Dutch colonial ruler to capture Indonesian scenery. After studied for some times in Indonesia, he then began to travel to Netherlands, Germany, France, and several other European countries and chiseled his name as a famous Romantic painter. This research began from a predicament on how far Romanticism-that developed in Europe – has its influence on Raden Saleh‟s paintings. The purpose of this research is collecting Raden Saleh‟s painting records, produced between 1829 until 1880. Furthermore this research will focus on an analysis of Raden Saleh‟s works and their relevan...
Seiring dengan adanya perkembangan dan pembaruan berbagai macam teknologi, seni telah meluas ke berbagai dimensi tanpa kecuali sampai ke dalam tindakan mendengarkan, melalui kebisingan bahkan keheningan. Dalam hal ini, memungkinkan... more
Seiring dengan adanya perkembangan dan pembaruan berbagai macam teknologi, seni telah meluas ke berbagai dimensi tanpa kecuali sampai ke dalam tindakan mendengarkan, melalui kebisingan bahkan keheningan. Dalam hal ini, memungkinkan terjadi bentuk-bentuk baru dari pertemuan estetika dengan kehidupan sehari-hari. Begitu pula efek eksternal, yaitu penggunaan teknologi terhadap keadaan psikologis manusia. Gagasan tentang otoritas mengantar penulis untuk menjadikannya sebagai tema. Penulis mencoba untuk menarik tema ini kepada persoalan yang cukup sentral. Makna kata otoritas, bagi penulis dapat menjadi kata benda yang filosofis. Menurut kamus bahasa Indonesia otoritas berarti suatu hak untuk melakukan tindakan atau hak membuat peraturan untuk memerintah; wewenang. Setiap manusia memiliki otoritas untuk menangkap informasi dari segala sumber, baik lewat ingatan memori, penglihatan, pendengaran, dan hati. Tematik otoritas ini kemudian penulis singgung dengan proses menelaah ke arah yang l...
Ruang gagas seniman adalah ruang seni yang digagas dan dikelola oleh seniman. Di Bandung, ruang gagas seniman sudah bermunculan sejak tahun 1950an hingga sekarang. Sayangnya banyak diantara ruang tersebut yang sudah tutup karena berbagai... more
Ruang gagas seniman adalah ruang seni yang digagas dan dikelola oleh seniman. Di Bandung, ruang gagas seniman sudah bermunculan sejak tahun 1950an hingga sekarang. Sayangnya banyak diantara ruang tersebut yang sudah tutup karena berbagai kendala, salah satunya adalah pada sistem manajemen. Penelitian ini berusaha mencari dan merumuskan kelebihan serta kekurangan sistem manajemen yang dilakukan oleh ruang gagas seniman pasca boom seni rupa 2000an di Bandung. Penelitian dilakukan dengan melakukan kajian terhadap arsip ruang-ruang tersebut serta melakukan wawancara dengan para pengelolanya. Dalam menganalisa data-data temuan, digunakan pendekatan dari teori medan seni dan manajemen seni. Ruang-ruang gagas seniman pasca boom seni rupa 2000an memiliki perbedaan gagasan pendirian dengan ruang-ruang pada periode sebelumnya sehingga sistem manajemen yang diterapkan pun berbeda. Program ruang-ruang ini tidak membatasi diri dari kecenderungan tertentu sehingga tidak memiliki kesulitan pengelo...
Abstrak Dalam karya tugas akhir ini, penulis merekonstruksi lansekap kota Bandung berdasarkan data sejarah, geografis, dongeng, dan imajinasi hingga membentuk sebuah lansekap yang benar-benar baru dan berbau fantasi. Kemudian disajikan... more
Abstrak Dalam karya tugas akhir ini, penulis merekonstruksi lansekap kota Bandung berdasarkan data sejarah, geografis, dongeng, dan imajinasi hingga membentuk sebuah lansekap yang benar-benar baru dan berbau fantasi. Kemudian disajikan melalui simulasi dalam sebuah virtual reality yang dapat dialami oleh audiens, seolah berada dalam dunia tersebut. Kata K unci : simulasi, virtual reality, fantasi, maya, digital. Abstract In this final project, the artist tries to reconstruct landscape of Bandung based on existing history, geography, tales of Bandung and artist’s imagination to create an entirely new landscape.  Then presented through a simulation in virtual reality to be experienced by audience, as they were lived in that world.
Kecenderungan abstrak pada keenam pelukis kunci ini dimulai melalui pembaruan gaya yang dikembangkan oleh pelukis kunci akademi di Bandung di awal dekade 1950. Srihadi Soedarsono cenderung mengolah ruang, garis dan bidang datar, Popo... more
Kecenderungan abstrak pada keenam pelukis kunci ini dimulai melalui pembaruan gaya yang dikembangkan oleh pelukis kunci akademi di Bandung di awal dekade 1950. Srihadi Soedarsono cenderung mengolah ruang, garis dan bidang datar, Popo Iskandar cenderung mengolah irama tekstur, sedangkan Mochtar Apin cenderung pada sapuan-sapuan yang ekspresif. Ketiganya mempunyai ciri analitis yang kuat. Ketiga pelukis kunci akademi di Yogyakarta mulanya condong kepada ‘realisme’ dan perlahan menuju abstrak. Fadjar Sidik menunjukkan perubahan yang mengolah bidang-bidang geometris, sedangkan Abas Alibasyah dan Widayat cenderung pada abstraksi yang dekoratif. Identifikasi gaya keenam pelukis kunci penelitian membuktikan hipotesis penelitian bahwa sistem pendidikan tinggi seni rupa membentuk lulusannya terbuka pada berbagai wacana baru sebagai pertimbangan dalam melakukan pembaruan dibandingkan pelukis autodidak. // //
Perkembangan praktik seni rupa tidak lepas dari perkembangan teknologi, salah satunya adalah munculnya video performans yang merupakan perpaduan antara seni video dengan seni performans. Penelitian ini difokuskan pada representasi visual... more
Perkembangan praktik seni rupa tidak lepas dari perkembangan teknologi, salah satunya adalah munculnya video performans yang merupakan perpaduan antara seni video dengan seni performans. Penelitian ini difokuskan pada representasi visual karya video performans milik Reza Afisina, Prilla Tania dan Vincensius Christiawan. Untuk pendekatan keilmuan, penulis menggunakan kajian tubuh, tatapan, fokus kamera, dan teori dari postmodernisme. Video performans pertama di Indonesia muncul pada tahun 1996 dengan mengusung tema sosial politik, selanjutnya pada tahun 2000-an, muncul tema-tema yang beragam, antara lain yang berkaitan dengan identitas, agama, feminisme, peperangan, dan iklan media massa. Terdapat dua konsep medan tatapan dalam karya video performans, yaitu menatap secara langsung dan menatap secara tidak langsung kepada kamera. Melalui karya-karya yang dijadikan sampel, Reza Afisina cenderung membangun interaksi emosional kepada pemirsa, Prilla Tania cenderung membangun simbolisasi kritik suatu keadaan atau fenomena tertentu, sedangkan Vincensius Christiawan memperlihatkan bagaimana bentuk dari peleburan tubuh dengan alat-alat analog dan digital. Berkaitan dengan kerangka politik kebudayaan postmodernisme, ketiganya memiliki kecenderungan politik kebudayaan yang berbeda. Penelitian ini menyimpulkan bahwa pada dekade 2000-an terdapat penekanan terhadap pemahaman tubuh sebagai eksterioritas. Hal ini membuktikan bagaimana perkembangan vieo performans di Indonesia pada dekade 2000-an dipengaruhi oleh kebudayaan media yang berkembang dalam kehidupan masyarakat mutakhir. // //
Ketertarikan bangsa asing akan keindahan alam Indonesia yang eksotis memberikan pengaruh yang sangat besar dalam perkembangan seni rupa Indonesia. Semua ini bermulai dari pengaruh lukisan romantik yang masuk ke Indonesia yang kemudian... more
Ketertarikan bangsa asing akan keindahan alam Indonesia yang eksotis memberikan pengaruh yang sangat besar dalam perkembangan seni rupa Indonesia. Semua ini bermulai dari pengaruh lukisan romantik yang masuk ke Indonesia yang kemudian berkembang menjadi lukisan-lukisan lanskap Indonesia. Lukisan-lukisan ini sangatlah dramatis, dengan bentukan-bentukannya yang indah seperti mimpi, naturalis, dan auratik. Namun pertanyaan dalam perihal ini adalah apakah lukisan-lukisan lanskap ini sebenarnya mencerminkan alam Indonesia yang sesungguhnya, ataukah hanya ilusi semata? Ataukah lukisan-lukisan ini hanya bentuk rekaan dari sang pelukisnya? Dalam Tugas Akhir ini, Penulis mencoba untuk mengeksplorasi kembali aspek rasionalitas dari lukisan-lukisan lanskap Indonesia, dan memberikan suatu bentuk tafsir yang baru dengan cara mengadakan intervensi-intervensi sebagai respon terhadap lukisan-lukisan tersebut dengan cara merepresentasi ulang lukisan-lukisan lanskap Indonesia lama dalam bentuk tiga dimensional (diorama) yang kemudian dikolaborasikan dengan medium fotografi dan tenik skenografi untuk dapat menciptakan kritik-kritik akan aspek-aspek artifisial dari lukisan lanskap Indonesia lama.
Catalog for a group exhibition curated by Agung Jennong at Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, 2007.
Research Interests:
This essay is an attempt to look back at points of encounter between Indonesian socio-political art practices and post-modern theory as a means of tracking the emergence of a particular art discourse and practice occurring in the 1990s.... more
This essay is an attempt to look back at points of encounter between Indonesian socio-political art practices and post-modern theory as a means of tracking the emergence of a particular art discourse and practice occurring in the 1990s. Originally published for the exhibition catalogue of Negotiating History, Home and Nation, Iola Lenzi (ed.), Singapore Art Museum, 2012.
Historians of Indonesia are drawn to the Sukarno period, to Guided Democracy, and to uchronian speculation about futures foreclosed with the destruction of the Communist Party and Lekra in 1965. Idealists active in the early years of the... more
Historians of Indonesia are drawn to the Sukarno period, to Guided Democracy, and to uchronian speculation about futures foreclosed with the destruction of the Communist Party and Lekra in 1965. Idealists active in the early years of the New Order are less attractive to scholars. Their lives do not serve the ideological arc to which most of us subscribe: that Sukarno represented Revolution, Soeharto counter-revolution, and everyone associated with the New Order is somehow tainted. This panel challenges this narrative and presents revisionist intellectual histories of the early New Order. The 1970s were a time of ideological ferment, when the state was still consolidating power, and the question of culture was actively challenged.