Papers by Saut Situmorang
tengara.id, 2024
Bookmarks Related papers MentionsView impact
Bookmarks Related papers MentionsView impact
Histori Bersama, 2021
Bookmarks Related papers MentionsView impact
Kumparan, 2021
Bookmarks Related papers MentionsView impact
Bookmarks Related papers MentionsView impact
"Di mana keunggulan puisi esai dibandingkan dengan jenis puisi atau genre yang sudah ada? Seorang... more "Di mana keunggulan puisi esai dibandingkan dengan jenis puisi atau genre yang sudah ada? Seorang entrepreneur sejati, tentu saya tak sekadar bergenit-genit membuat sesuatu sekadar baru, asal beda. Hanya sekadar beda, ia tak akan survive.
Keunggulan pertama, puisi esai yang panjang, yang merupakan historical fiction, potensial diangkat ke layar lebar. Semua sastrawan yang kaya-raya di dunia, itu karena novelnya menjadi film laris. Ini hanya terjadi pada novel, bukan puisi.
Puisi esai adalah novel pendek yang dipuisikan. Semua plot cerita, karakter, dan drama yang ada pada novel juga ada pada puisi esai. Dibanding semua jenis puisi yang ada, puisi esai paling potensial dibuat menjadi film layar lebar. Dibanding semua jenis penulis puisi yang ada, penulis puisi esai paling potensial menjadi kaya-raya karena puisinya."
Membaca ketiga paragraf pembuka esei Denny JA berjudul "Puisi Esai: Apa, Mengapa, dan Keunggulannya" (Koran Tempo, 11-12 Fabruari 2018) di atas saya segera paham bahwa saya sebenarnya sedang membaca, dan mengomentari, sebuah tulisan yang ditulis oleh seseorang yang sama sekali buta, sama sekali awam, atas apa itu Sastra. Apalagi memang si penulisnya yang bernama Denny JA itu belum apa-apa sudah bela diri dengan menyatakan bahwa dirinya seorang "entrepreneur" yaitu seseorang yang menurut kamus bahasa Inggris Oxford English Dictionary "A person who sets up a business or businesses, taking on financial risks in the hope of profit" dan "A promoter in the entertainment industry".
Bagaimana mungkin bisa mengharapkan sebuah esei yang penuh dengan kesadaran sejarah dan teori Sastra dari seseorang yang cuma tertarik dengan dunia bisnis demi mengeruk keuntungan finansial! Bagaimana mungkin bisa mengharapkan seseorang yang cuma promotor industri hiburan untuk paham apa itu Seni, apa itu Sastra!
Ketiga paragraf pembuka ini adalah isi utama dari esei yang berpretensi tentang Seni Sastra ini. Dan kita lihat betapa konsep "bisnis" alias duit sangat dominan mewarnai ketiga paragraf tersebut. Perhatikan saja repetisi yang dilakukan penulisnya atas kata "kaya-raya"!
Tingkat keawaman yang begitu parah tentang Sastra dipamerkan Denny JA dengan menyatakan bahwa "puisi esai" merupakan "historical fiction", bahwa "puisi esai" adalah "novel pendek yang dipuisikan". Hanya seorang yang sama sekali buta Sastra akan membuat pernyataan-pernyataan yang sangat menggelikan di atas.
Bagi mereka yang mengerti Sastra maka secara umum Sastra biasanya dibagi atas 3 genre yaitu Puisi, Prosa, dan Drama. Fiksi (novel dan cerpen) dan Esei biasanya dimasukkan dalam kategori Prosa, walau tentu saja selalu ada tumpah-tindih atau gabungan dari genre di antara ketiga genre utama Sastra tersebut.
Bookmarks Related papers MentionsView impact
Bookmarks Related papers MentionsView impact
Bookmarks Related papers MentionsView impact
Bookmarks Related papers MentionsView impact
Bookmarks Related papers MentionsView impact
Membicarakan “tubuh perempuan” dalam tulisan-tulisan Irigaray dan Cixous dalam konteks discourse ... more Membicarakan “tubuh perempuan” dalam tulisan-tulisan Irigaray dan Cixous dalam konteks discourse pemikiran “Feminisme Perancis” mungkin akan memberikan tekstasi atau textual ecstasy akademis, tapi bagaimana di luar tembok akadēmeia Dunia Ketiga? Kalau kita setuju dengan apa yang dikatakan Feminis Eksistensialis Perancis Simone de Beauvoir bahwa “Seseorang itu tidak terlahir, tapi menjadi, seorang perempuan... (dan) peradaban secara keseluruhan yang memproduksi makhluk ini... yang dideskripsikan sebagai feminin”, bukankah itu berarti bahwa “perempuan” merupakan konstruk sosial, sebuah konsep yang tidak universal, kontekstual? Dalam kata lain, “tubuh perempuan Indonesia”kah yang dimaksud oleh Irigaray dan Cixous dalam tulisan-tulisan mereka? Sementara itu, dalam konteks discourse pemikiran Feminisme secara umum sendiri, obsesi para “Feminis Perancis” terhadap “tubuh” sebagai sumber segalanya juga dikritik oleh para Feminis Barat lain sebagai langkah mundur ke mitos lama bahwa biologi menentukan segalanya, karena melupakan fakta bahwa gender adalah konstruk sosial ketimbang konstruk biologis.
Bookmarks Related papers MentionsView impact
Adalah studi terkenal dari Indonesianis asal Universitas Cornell, Amerika Serikat, Ben(edict) And... more Adalah studi terkenal dari Indonesianis asal Universitas Cornell, Amerika Serikat, Ben(edict) Anderson tentang nasionalisme yang membuat kita sadar bahwa konsep “nasionalisme” bukanlah lahir begitu saja dari langit biru di atas kepala, tapi merupakan sebuah realitas yang diciptakan oleh imajinasi di dalam kepala – sesuatu yang dibayangkan, sebuah konstruk kultural. Atau dalam definisi Hugh Seton-Watson yang dikutip Anderson dalam bukunya Imagined Communities dimaksud: “. . . [Sebuah] bangsa eksis ketika sejumlah penting anggota sebuah komunitas menganggap diri mereka membentuk sebuah bangsa, atau berlaku seakan-akan mereka membentuk sebuah bangsa” [italic saya]. Mengikuti anjuran Anderson, kita bisa menerjemahkan “menganggap diri mereka” sebagai “membayangkan diri mereka” pada kutipan di atas.
Apa yang tentu saja masih bisa dipertanyakan lagi tentang definisi “bangsa” sebagai “sebuah komunitas politik yang dibayangkan” itu adalah soal “siapakah” yang melakukan kegiatan “membayangkan” tersebut? Anderson menyatakan bahwa bangsa itu dibayangkan sebagai sebuah “komunitas” karena, “tidak persoalan kemungkinan adanya ketidaksetaraan dan eksploitasi yang aktual di dalamnya, bangsa selalu dipercayai merupakan sebuah persaudaraan yang mendalam dan horisontal”. Dari pernyataan tersebut bukankah tersirat atau terbayangkan adanya sebuah kelompok tertentu yang menganggap dirinya mempunyai hak karena, mungkin, merasa bertanggungjawab, berkewajiban untuk mewakili, menjadi penyambung lidah kelompok-kelompok lain dalam komunitas tersebut? Kelompok yang mendominasi ini – bisa disebabkan oleh faktor-faktor seperti garis keturunan, kelas sosial, dan tingkat pendidikan – percaya, disadari atau tidak, bahwa merekalah yang pantas untuk merepresentasikan kelompok-kelompok lain dalam komunitas dimaksud. Tentu saja rasa percaya mereka ini masih juga bisa dipertanyakan lagi kenetralannya: tidak mungkinkah ada kepentingan politik tertentu yang menjadi alasan dari timbulnya rasa percaya mereka itu? Tidak mungkinkah pula kepentingan politik tersebut berbeda dari kepentingan politik kelompok-kelompok lain dalam komunitas yang mereka representasikan sebagai “bangsa” tersebut?
Bookmarks Related papers MentionsView impact
Bukankah sangat memalukan bahwa kritikus Belanda A Teeuw sampai pernah menulis sebuah esei berjud... more Bukankah sangat memalukan bahwa kritikus Belanda A Teeuw sampai pernah menulis sebuah esei berjudul “Tentang Paham dan Salah Paham dalam Membaca Puisi” di mana dia melaporkan tentang “rasa heran”nya atas hasil “analisis” dua sajak modern Indonesia oleh sekelompok dosen sastra kita yang tak satupun berhasil memuaskannya! Walaupun Teeuw mengatakan tidak bermaksud mengkritik “mutu” analisis para dosen sastra kita atas sajak “Salju” Subagio Sastrowardoyo dan “Cocktail Party” Toeti Heraty tersebut, dan malah memutuskan untuk “membela”nya dengan alasan adalah sah bila terjadi interpretasi-jamak atas sebuah karya sastra, bukankah kita pantas untuk jadi was-was: Kalau para dosen sastra sendiri, yang konon sehari-harinya bergelut dengan sastra sebagai sebuah ilmu pengetahuan akademis, mutu analisis sastranya tidak bisa memuaskan kritikus asing seperti A Teeuw, bagaimana lagi kualitas para mahasiswanya yang kelak di kemudian hari mungkin jadi penulis tentang sastra, sastrawan atau malah dosen sastra? Beginikah sosok dunia sastra modern kita?
Bookmarks Related papers MentionsView impact
Persoalannya adalah apa mungkin seseorang mencapai kesadaran akan kematiannya hanya melalui penga... more Persoalannya adalah apa mungkin seseorang mencapai kesadaran akan kematiannya hanya melalui pengalaman patah cinta?
Bookmarks Related papers MentionsView impact
Relasi intertekstual antara sastra dan media massa cetak koran sebenarnya merupakan sebuah isu kr... more Relasi intertekstual antara sastra dan media massa cetak koran sebenarnya merupakan sebuah isu kritik sastra yang menarik. Adakah terdapat hubungan dialektis saling pengaruh-mempengaruhi antara dua produk budaya ini yang menghasilkan sebuah sintesa yang menguntungkan keduanya, ataukah relasi intertekstual itu hanya merupakan sebuah hubungan monolateral belaka di mana salah satu produk budaya mendominasi secara hegemonik arah lalulintas pengaruh-mempengaruhi tadi? Kalau memang hal terakhir ini yang terjadi, apa pengaruhnya bagi produk budaya yang didominasi itu?
Isu di atas merupakan sebuah isu yang relevan untuk dibicarakan dalam konteks sastra kontemporer Indonesia yang dipublikasikan di media massa cetak koran. Puisi dan cerpen adalah dua genre sastra yang selalu dikaitkan identitasnya dengan apa yang disebut sebagai “sastra koran”, yaitu produk sastra yang muncul di media massa cetak koran, di Indonesia. Relevansi pembicaraan isu ini terutama disebabkan oleh pendapat populer di kalangan para sastrawan Indonesia sendiri yang menganggap bahwa media massa cetak terutama koran adalah media publikasi paling hot untuk produk sastra mereka sebelum akhirnya dipublikasi ulang dalam bentuk buku. Koran bukan lagi sebuah media publikasi alternatif karya sastra seperti di masa-masa jayanya “majalah kecil” sastra di zaman tempo doeloe tapi merupakan sebuah keharusan kalau tidak mau ketinggalan zaman dan dilupakan. Inilah realitas kontemporer sastra Indonesia.
Bookmarks Related papers MentionsView impact
Bookmarks Related papers MentionsView impact
Uploads
Papers by Saut Situmorang
Keunggulan pertama, puisi esai yang panjang, yang merupakan historical fiction, potensial diangkat ke layar lebar. Semua sastrawan yang kaya-raya di dunia, itu karena novelnya menjadi film laris. Ini hanya terjadi pada novel, bukan puisi.
Puisi esai adalah novel pendek yang dipuisikan. Semua plot cerita, karakter, dan drama yang ada pada novel juga ada pada puisi esai. Dibanding semua jenis puisi yang ada, puisi esai paling potensial dibuat menjadi film layar lebar. Dibanding semua jenis penulis puisi yang ada, penulis puisi esai paling potensial menjadi kaya-raya karena puisinya."
Membaca ketiga paragraf pembuka esei Denny JA berjudul "Puisi Esai: Apa, Mengapa, dan Keunggulannya" (Koran Tempo, 11-12 Fabruari 2018) di atas saya segera paham bahwa saya sebenarnya sedang membaca, dan mengomentari, sebuah tulisan yang ditulis oleh seseorang yang sama sekali buta, sama sekali awam, atas apa itu Sastra. Apalagi memang si penulisnya yang bernama Denny JA itu belum apa-apa sudah bela diri dengan menyatakan bahwa dirinya seorang "entrepreneur" yaitu seseorang yang menurut kamus bahasa Inggris Oxford English Dictionary "A person who sets up a business or businesses, taking on financial risks in the hope of profit" dan "A promoter in the entertainment industry".
Bagaimana mungkin bisa mengharapkan sebuah esei yang penuh dengan kesadaran sejarah dan teori Sastra dari seseorang yang cuma tertarik dengan dunia bisnis demi mengeruk keuntungan finansial! Bagaimana mungkin bisa mengharapkan seseorang yang cuma promotor industri hiburan untuk paham apa itu Seni, apa itu Sastra!
Ketiga paragraf pembuka ini adalah isi utama dari esei yang berpretensi tentang Seni Sastra ini. Dan kita lihat betapa konsep "bisnis" alias duit sangat dominan mewarnai ketiga paragraf tersebut. Perhatikan saja repetisi yang dilakukan penulisnya atas kata "kaya-raya"!
Tingkat keawaman yang begitu parah tentang Sastra dipamerkan Denny JA dengan menyatakan bahwa "puisi esai" merupakan "historical fiction", bahwa "puisi esai" adalah "novel pendek yang dipuisikan". Hanya seorang yang sama sekali buta Sastra akan membuat pernyataan-pernyataan yang sangat menggelikan di atas.
Bagi mereka yang mengerti Sastra maka secara umum Sastra biasanya dibagi atas 3 genre yaitu Puisi, Prosa, dan Drama. Fiksi (novel dan cerpen) dan Esei biasanya dimasukkan dalam kategori Prosa, walau tentu saja selalu ada tumpah-tindih atau gabungan dari genre di antara ketiga genre utama Sastra tersebut.
Apa yang tentu saja masih bisa dipertanyakan lagi tentang definisi “bangsa” sebagai “sebuah komunitas politik yang dibayangkan” itu adalah soal “siapakah” yang melakukan kegiatan “membayangkan” tersebut? Anderson menyatakan bahwa bangsa itu dibayangkan sebagai sebuah “komunitas” karena, “tidak persoalan kemungkinan adanya ketidaksetaraan dan eksploitasi yang aktual di dalamnya, bangsa selalu dipercayai merupakan sebuah persaudaraan yang mendalam dan horisontal”. Dari pernyataan tersebut bukankah tersirat atau terbayangkan adanya sebuah kelompok tertentu yang menganggap dirinya mempunyai hak karena, mungkin, merasa bertanggungjawab, berkewajiban untuk mewakili, menjadi penyambung lidah kelompok-kelompok lain dalam komunitas tersebut? Kelompok yang mendominasi ini – bisa disebabkan oleh faktor-faktor seperti garis keturunan, kelas sosial, dan tingkat pendidikan – percaya, disadari atau tidak, bahwa merekalah yang pantas untuk merepresentasikan kelompok-kelompok lain dalam komunitas dimaksud. Tentu saja rasa percaya mereka ini masih juga bisa dipertanyakan lagi kenetralannya: tidak mungkinkah ada kepentingan politik tertentu yang menjadi alasan dari timbulnya rasa percaya mereka itu? Tidak mungkinkah pula kepentingan politik tersebut berbeda dari kepentingan politik kelompok-kelompok lain dalam komunitas yang mereka representasikan sebagai “bangsa” tersebut?
Isu di atas merupakan sebuah isu yang relevan untuk dibicarakan dalam konteks sastra kontemporer Indonesia yang dipublikasikan di media massa cetak koran. Puisi dan cerpen adalah dua genre sastra yang selalu dikaitkan identitasnya dengan apa yang disebut sebagai “sastra koran”, yaitu produk sastra yang muncul di media massa cetak koran, di Indonesia. Relevansi pembicaraan isu ini terutama disebabkan oleh pendapat populer di kalangan para sastrawan Indonesia sendiri yang menganggap bahwa media massa cetak terutama koran adalah media publikasi paling hot untuk produk sastra mereka sebelum akhirnya dipublikasi ulang dalam bentuk buku. Koran bukan lagi sebuah media publikasi alternatif karya sastra seperti di masa-masa jayanya “majalah kecil” sastra di zaman tempo doeloe tapi merupakan sebuah keharusan kalau tidak mau ketinggalan zaman dan dilupakan. Inilah realitas kontemporer sastra Indonesia.
Keunggulan pertama, puisi esai yang panjang, yang merupakan historical fiction, potensial diangkat ke layar lebar. Semua sastrawan yang kaya-raya di dunia, itu karena novelnya menjadi film laris. Ini hanya terjadi pada novel, bukan puisi.
Puisi esai adalah novel pendek yang dipuisikan. Semua plot cerita, karakter, dan drama yang ada pada novel juga ada pada puisi esai. Dibanding semua jenis puisi yang ada, puisi esai paling potensial dibuat menjadi film layar lebar. Dibanding semua jenis penulis puisi yang ada, penulis puisi esai paling potensial menjadi kaya-raya karena puisinya."
Membaca ketiga paragraf pembuka esei Denny JA berjudul "Puisi Esai: Apa, Mengapa, dan Keunggulannya" (Koran Tempo, 11-12 Fabruari 2018) di atas saya segera paham bahwa saya sebenarnya sedang membaca, dan mengomentari, sebuah tulisan yang ditulis oleh seseorang yang sama sekali buta, sama sekali awam, atas apa itu Sastra. Apalagi memang si penulisnya yang bernama Denny JA itu belum apa-apa sudah bela diri dengan menyatakan bahwa dirinya seorang "entrepreneur" yaitu seseorang yang menurut kamus bahasa Inggris Oxford English Dictionary "A person who sets up a business or businesses, taking on financial risks in the hope of profit" dan "A promoter in the entertainment industry".
Bagaimana mungkin bisa mengharapkan sebuah esei yang penuh dengan kesadaran sejarah dan teori Sastra dari seseorang yang cuma tertarik dengan dunia bisnis demi mengeruk keuntungan finansial! Bagaimana mungkin bisa mengharapkan seseorang yang cuma promotor industri hiburan untuk paham apa itu Seni, apa itu Sastra!
Ketiga paragraf pembuka ini adalah isi utama dari esei yang berpretensi tentang Seni Sastra ini. Dan kita lihat betapa konsep "bisnis" alias duit sangat dominan mewarnai ketiga paragraf tersebut. Perhatikan saja repetisi yang dilakukan penulisnya atas kata "kaya-raya"!
Tingkat keawaman yang begitu parah tentang Sastra dipamerkan Denny JA dengan menyatakan bahwa "puisi esai" merupakan "historical fiction", bahwa "puisi esai" adalah "novel pendek yang dipuisikan". Hanya seorang yang sama sekali buta Sastra akan membuat pernyataan-pernyataan yang sangat menggelikan di atas.
Bagi mereka yang mengerti Sastra maka secara umum Sastra biasanya dibagi atas 3 genre yaitu Puisi, Prosa, dan Drama. Fiksi (novel dan cerpen) dan Esei biasanya dimasukkan dalam kategori Prosa, walau tentu saja selalu ada tumpah-tindih atau gabungan dari genre di antara ketiga genre utama Sastra tersebut.
Apa yang tentu saja masih bisa dipertanyakan lagi tentang definisi “bangsa” sebagai “sebuah komunitas politik yang dibayangkan” itu adalah soal “siapakah” yang melakukan kegiatan “membayangkan” tersebut? Anderson menyatakan bahwa bangsa itu dibayangkan sebagai sebuah “komunitas” karena, “tidak persoalan kemungkinan adanya ketidaksetaraan dan eksploitasi yang aktual di dalamnya, bangsa selalu dipercayai merupakan sebuah persaudaraan yang mendalam dan horisontal”. Dari pernyataan tersebut bukankah tersirat atau terbayangkan adanya sebuah kelompok tertentu yang menganggap dirinya mempunyai hak karena, mungkin, merasa bertanggungjawab, berkewajiban untuk mewakili, menjadi penyambung lidah kelompok-kelompok lain dalam komunitas tersebut? Kelompok yang mendominasi ini – bisa disebabkan oleh faktor-faktor seperti garis keturunan, kelas sosial, dan tingkat pendidikan – percaya, disadari atau tidak, bahwa merekalah yang pantas untuk merepresentasikan kelompok-kelompok lain dalam komunitas dimaksud. Tentu saja rasa percaya mereka ini masih juga bisa dipertanyakan lagi kenetralannya: tidak mungkinkah ada kepentingan politik tertentu yang menjadi alasan dari timbulnya rasa percaya mereka itu? Tidak mungkinkah pula kepentingan politik tersebut berbeda dari kepentingan politik kelompok-kelompok lain dalam komunitas yang mereka representasikan sebagai “bangsa” tersebut?
Isu di atas merupakan sebuah isu yang relevan untuk dibicarakan dalam konteks sastra kontemporer Indonesia yang dipublikasikan di media massa cetak koran. Puisi dan cerpen adalah dua genre sastra yang selalu dikaitkan identitasnya dengan apa yang disebut sebagai “sastra koran”, yaitu produk sastra yang muncul di media massa cetak koran, di Indonesia. Relevansi pembicaraan isu ini terutama disebabkan oleh pendapat populer di kalangan para sastrawan Indonesia sendiri yang menganggap bahwa media massa cetak terutama koran adalah media publikasi paling hot untuk produk sastra mereka sebelum akhirnya dipublikasi ulang dalam bentuk buku. Koran bukan lagi sebuah media publikasi alternatif karya sastra seperti di masa-masa jayanya “majalah kecil” sastra di zaman tempo doeloe tapi merupakan sebuah keharusan kalau tidak mau ketinggalan zaman dan dilupakan. Inilah realitas kontemporer sastra Indonesia.