[go: up one dir, main page]

Lompat ke isi

Sultan Hasanudin Menentang VOC/Bab 3

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas

Dalam bab yang terdahulu kami telah menguraikan tentang kerajaan Gowa sebelum Sultan Hasanudin naik dan menduduki takhta kerajaan Gowa. Jauh sebelum Sultan Hasanudin menduduki takhta kerajaan Gowa sebagai Raja Gowa yang ke XVI telah beberapa kali terjadi kontak antara orang-orang Belanda (V.O.C.) dan kerajaan Gowa.

Di depan tadi, sudah kami katakan, bahwa bentrokan bersenjata atau perang terbuka antara kerajaan Gowa dan orang-orang Belanda (V.O.C.) tidak dapat dielakkan. Antara kedua bangsa pelaut yang ulung dan gagah-berani itu pasti akan terjadi peperangan yang dahsyat. Betapa tidak! Orang-orang Belanda (V.O.C.) hendak memaksakan hak monopoli perdagangannya di kepulauan Maluku khususnya dan di Indonesia bagian timur pada umumnya. Siapa yang melanggar atau tidak mematuhi peraturan-peraturan serta ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh V.O.C. dianggap penyelundup atau penjahat yang harus dihukum dan diberantas.

Jadi orang-orang Belanda mau berkuasa dan merajalela di Indonesia bagian timur. Sebaliknya kerajaan Gowa berpendapat bahwa dunia dan lautan ini diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa untuk seluruh umat manusia. Tuhan tidak menciptakan bumi dan lautan hanya untuk orang-orang Belanda (V.O.C.) semata-mata. Kerajaan Gowa tidak mau mengakui hak monopoli perdagangan V.O.C. Kerajaan Gowa menentang perbuatan sewenang-wenang Belanda (V.O.C.) di kepulauan Maluku yang kaya rempah-rempah. Orang-orang Belanda (V.O.C.) dengan sewenang-wenang dan dengan seenaknya sendiri membuat peraturan-peraturan yang sangat merugikan dan mengekang kebebasan bangsa atau orang lain, termasuk kerajaan Gowa dan orang-orang suku Makasar. Sudah sejak dahulu kala, jadi jauh sebelum orang-orang Belanda (V.O.C.) datang ke tanah air kita, orang-orang suku Makasar sudah terkenal sebagai pedagang dan pelaut yang ulung. Seluruh Nusantara, bahkan pun tempat-tempat dan negeri-negeri jauh di luar Nusantara disinggahi oleh orang-orang dan pelaut-pelaut Bugis-Makasar dengan perahu-perahu pinisinya yang terkenal lincah dan laju.

Jadi kepentingan kerajaan Gowa dan kepentingan orang-orang Belanda (V.O.C.) saling bertentangan dan bertabrakan. Maka tidaklah terlalu mengherankan jikalau pada suatu ketika kerajaan Gowa dan orang-orang Belanda (V.O.C.) terlibat di dalam suatu peperangan yang amat dahsyat. Dan di dalam sejarah memang terbukti bahwa antara kerajaan Gowa di bawah pimpinan Sultan Hasanudin dan orang-orang Belanda (V.O.C.) terjadi suatu peperangan yang amat dahsyat. Ketegangan-ketegangan yang mendahului perang terbuka itu sesungguhnya sudah berlangsung sejak lama. Ketegangan-ketegangan yang sering dibarengi dengan bentrokan-bentrokan bersenjata bahkan pertempuran-pertempuran yang seru antara orang-orang suku Makasar dan orang-orang Belanda itu telah kerap kali terjadi JAUH SEBELUM Sultan Hasanudin menaiki dan menduduki takhta kerajaan Gowa. Agar memperoleh gambaran yang jelas tentang latar belakang sejarah terjadinya perang terbuka antara kerajaan Gowa dan orang-orang Belanda (V.O.C.) itu, perlu kiranya kami uraikan tentang hubungan antara kerajaan Gowa dan orang-orang Belanda (V.O.C.).

Pada tahun 1596 armada atau kapal-kapal Belanda yang pertama di bawah pimpinan Cornelis de Houtman tiba di pelabuhan Banten. Mula-mula orang-orang Belanda itu diterima dengan baik sekali oleh orang-orang Banten. Akan tetapi karena sikap orang-orang Belanda itu congkak dan kasar, akhirnya timbul permusuhan, bahkan perkelahian antara orang-orang Belanda dan orang-orang Banten. Orang-orang Belanda diusir dari Banten setelah terjadi insiden-insiden yang cukup menegangkan. Kemudian orang-orang Belanda itu menyusur pantai utara pulau Jawa. Akan tetapi karena tingkah-laku orang-orang Belanda yang sombong dan kasar serta tidak menyenangkan bagi orang-orang Indonesia, maka mereka di mana-mana tidak mendapat sambutan yang baik. Akhirnya dengan melalui pulau Bali orang-orang Belanda kembali lagi ke negerinya. Pelayaran bangsa Belanda yang pertama ini tidak banyak memperoleh keuntungan. Bahkan sebagian besar dari perahu-perahu layar mereka tidak kembali dan banyak anak buah armada yang pertama ini yang meninggal dunia di dalam perjalanan yang sangat lama itu. Namun orang-orang Belanda di negeri Belanda menyambut kedatangan pelaut-pelaut armada dagang mereka yang pertama itu dengan sangat gembira. Bahkan mereka disambut sebagai pahlawan di negeri Belanda. Betapa tidak!!! Jalan ke Asia dan Indonesia yang kaya-raya telah diketemukan. Itulah yang pokok dan penting sekali serta memang yang sangat diharapkan. Jalan ke Indonesia telah diketahui. Kekayaan yang tak ternilai harganya akan membanjir ke negeri Belanda. Keuntungan yang tiada taranya akan membanjir ke negeri Belanda. ltulah yang mereka cita-citakan dan idam-idamkan. ltulah tujuan mereka yang paling utama. Sejak itulah kapal Belanda banyak yang berlayar ke Indonesia untuk berdagang. Mereka berlomba-lommba mencari keuntungan kemudian di antara mereka sendiri terjadi persaingan, bahkan sering terjadi permusuhan dan perkelahian.

Untuk mencegah persaingan dan permusuhan di antara pedagang-pedagang Belanda itu maka pada tahun 1602 atas prakarsa seorang tokoh dan pemimpin negara Belanda yang bemama Johan Van Oldenbarneveldt didirikanlah sebuah serikat dagang yang diberi nama ”De Vereenigde Oost-lndische Compagnie” atau lebih dikenal dengan singkatannya V.O.C., yakni Perserikatan Dagang Belanda di Hindia Timur. Di lndonesia V.O.C. terkenal pula dengan nama Kumpeni Belanda, karena disamping Kumpeni Belanda ada pula Kumpeni Inggeris (East Indian Company) yang sering disingkat menjadi E.I.C.). Oleh pemerintah Belanda V.O.C. diberi beberapa hak-hak istimewa, antara lain:
(1)Monopoli perdagangan di daerah antara Tanjung Harapan di Benua Afrika dan Selat Magelhaens di Benua Amerika.
(2)Mereka boleh mengadakan perjanjian dengan Raja-Raja atau Kepala-Kepala Pemerintah Negeri.
(3)V.O.C. boleh mempunyai Angkatan Perang sendiri.
(4)V.O.C. boleh mengangkat pegawai-pegawai yang diperlukan.
(5)V.O.C. boleh membuat mata uang sendiri.
(6)V.O.C. boleh mengumumkan perang dan boleh mengadakan perjanjian perdamaian.

Mula-mula Kumpeni Belanda (V.O.C.) belum mempunyai tempat kedudukan yang tetap di Indonesia. Akan tetapi lambat-laun dirasakan sekali perlunya mempunyai tempat kedudukan yang tetap di kepulauan yang kaya-raya ini. Maka mulailah V.O.C. mendirikan kantor dagang, gudang dan loji, bahkan benteng pertahanan di tempat-tempat yang strategis seperti di Ambon, di Gresik dan di Banten. Untuk mengkoordinasikan dan memimpin segala usaha serta keperluan V.O.C. di Indonesia maka diangkatlah seorang Gubernur Jenderal. Pada tahun 1610 diangkatlah Pieter Both sebagai Gubernur Jenderal yang pertama. Tugasnya yang pertama-tama ialah memilih tempat kedudukan Gubemur Jenderal untuk dijadikan pusat kedudukan dan pusat kekuasaan V.O.C. di tanah-air kita dan sekitarnya. Beberapa tempat mendapat perhatian untuk dijadikan pusat kedudukan V.O.C. antara lain: Johor, Banten dan Jayakarta di tepi sungai Ciliwung. Tempat-tempat tersebut memang sangat baik sekali letaknya di jalan perdagangan laut yang sangat ramai pada waktu itu. Karena Johor berada di bawah pengaruh orang-orang Portugis yang menjadi saingan serta musuh besar orang-orang Belanda dan karena Banten yang pada waktu itu dikuasai oleh Mangkubumi Ranamanggala yang tidak mengizinkan V.O.C. mendirikan loji di sana, maka pilihan jatuh kepada Jayakarta yang terletak di muara sungai Ciliwung.

Pada waktu itu ada dua pintu yang penting dalam perdagangan internasional menuju ke dan keluar dari Indonesia, yakni Selat Malaka dan Selat Sunda. Mula-mula V.O.C. memang berniat untuk menguasai Selat Malaka. Karena hal ini sukar dilaksanakan sebab Malaka diduduki oleh orang-orang Portugis, maka V.O.C. masih dapat mempergunakan Selat Sunda. Jayakarta tidak begitu jauh letaknya dari Selat Sunda. Pada waktu itu kedudukan pusat V.O.C. masih berada di Ambon, akan tetapi tempat ini terlalu jauh letaknya dari kedua pintu gerbang masuk dan keluar

Indonesia.
Pada tahun 1613 Jan Pieterszoon Coen menjabat sebagai Direktur Jenderal Perniagaan. Jan Pieterszoon Coen lebih suka memilih Jayakarta yang terletak di muara Ciliwung untuk dijadikan pusat kedudukan V.O.C. Pangeran Wijayakrama, wakil Sultan Banten untuk daerah Jayakarta memberi izin kepada Belanda (V.O.C.) membeli tanah untuk mendirikan kantor dagang dan loji di tepi sebelah timur Ciliwung, dengan maksud agar supaya daerahnya dapat menjadi ramai.

Pada tahun 1618 Jan Pieterszoon Coen diangkat menjadi Gubernur Jenderal. Segera beliau melaksanakan cita-citanya untuk menjadikan Jayakarta pusat kedudukan V.O.C. Lalu Jan Pieterszoon Coen memperkuat kedudukan pusat Kumpeni Belanda (V.0.C.) dengan mendirikan benteng. Hal ini sesungguhnya menyalahi perjanjian yang telah dibuatnya. Belanda (V.O.C.) hanya diizinkan untuk mendirikan kantor dagang dan loji, bukan benteng. Maka terjadilah pertikaian, bahkan akhirnya terjadi peperangan antara V.O.C. yang dipimpin oleh Jan Pieterszoon Coen dan Jayakarta. Orang-orang lnggeris berusaha membantu Jayakarta. Maka terjadilah pertempuran yang seru di muara Ciliwung antara pasukan-pasukan Jayakarta yang dibantu oleh orang-orang Inggeris di satu pihak dan orang-orang Belanda (V.O.C.) di lain pihak. Karena merasa dirinya belum kuat maka dengan susah-payah Jan Pieterszoon Coen terpaksa harus lari ke Maluku untuk mencari bala bantuan. Akhirnya setelah memperoleh balabantuan, maka pada tahun 1619 Jan Pieterszoon Coen berhasil mengalahkan musuh-musuhnya dan menghancurkan Jayakarta. Kemudian Belanda (V.O.C.) mendirikan loji yang lebih besar dan benteng yang lebih kuat di muara Ciliwung. Jayakarta diduduki dan dikuasai oleh V.O.C. (Belanda) serta dijadikan tempat kedudukan pusat. Kemudian Jayakarta diganti namanya menjadi Batavia, yang berasal dari kata Batavieren, yakni nama bangsa yang menjadi nenek-moyang orang-orang Belanda. Demikianlah mula-mulanya V.O.C. (Belanda) mempunyai daerah kekuasaan di tanah-air kita.

Di bawah Jan Pieterszoon Coen bandar Jayakarta yang sudah sejak tahun 1621 dirobah namanya menjadi Batavia, bertambah maju dan ramai. Jan Pieterszoon Coen berusaha keras agar perdagangan Banten mundur. Untuk meramaikan Batavia Jan Pieterszoon Coen mendatangkan orang-orang dari luar, terutama orang-orang Cina. Mereka disuruh bertani agar Batavia dapat memperoleh bahan makanan. Selain berdagang dan bertani orang-orang Cina itu juga banyak yang bertukang. Orang-orang Cina memang terkenal rajin dan tekun dalam pekerjaannya. Dengan demikian Batavia makin ramai dan bersemarak.
Belanda (V.O.C.) menganggap Banten musuh yang sangat berbahaya, bahkan lebih berbahaya dari pada kerajaan Mataram. Selain lebih dekat pusat kekuasaan dan kekuatannya, Banten juga tentunya selalu berusaha untuk merebut kembali wilayah kekuasaannya yang diduduki dengan kekerasan oleh Belanda (V.O.C.). Oleh karena itu maka Belanda (V.O.C.) yang memang terkenal licik berusaha mendekati kerajaan tetangga yang lain, yakni kerajaan Mataram. Untuk keperluan itu sudah sejak tahun 1614 Belanda (V.O.C.) mengirimkan utusannya yang bernama Caspar van Surck ke ibukota Mataram menghadap Raja Mataram.
Pada waktu itu Sultan Agung baru saja dinobatkan menjadi Raja Mataram. Pada waktu itu Belanda (V.O.C.) diizinkan untuk mendirikan loji di Jepara. Para penguasa di Banten dan di Jayakarta sangat kecewa terhadap pengiriman utusan V.O.C. ke Mataram ini. Sejak itulah orang-orang Belanda (V.O.C.) tetap mengirimkan utusannya ke ibukota Mataram terutama untuk menjaga jangan sampai kerajaan Mataram bersekutu atau bersatu dengan kerajaan Banten menyerang Belanda (V.O.C.) yang berkedudukan di Batavia (Jakarta).
Sekarang marilah kita kembali menguraikan hubungan antara kerajaan Gowa dan orang-orang Belanda (V.O.C.). Jadi orang-orang Belanda tiba di Indonesia untuk pertama kalinya pada tahun 1596. Dalam perjalannya yang pertama di bawah pimpinan Cornelis de Houtman dan Pieter de Keyzer orang-orang Belanda tidak menginjak atau singgah di daerah Gowa. Demikian pula armada Belanda yang kedua di bawah pimpinan Jacob van Neck dan Wybrecht van Warwyck. Mereka hanya mengunjungi dan menyinggahi pulau Jawa (Banten, Tuban, Sedayu dan Gresik), pulau Bali dan kepulauan Maluku. Pulau Sulawesi atau kerajaan Gowa tidak mereka singgahi.
Kemudian barulah orang-orang Belanda menyadari pentingnya kerajaan Gowa dan ibunegerinya Sombaopu sebagai tempat untuk memperoleh bahan-bahan segar bagi perjalanan mereka yang jauh. Sombaopu juga terkenal sebagai bandar atau pelabuhan yang menjadi pusat perdagangan hasil rempah-rempah. Orang-orang Belanda juga mulai banyak mendengar tentang orang-orang suku Makasar. Mereka juga mendengar bahwa orang-orang Makasar terkenal sebagai bangsa pelaut yang ulung, yang dengan perahu-perahunya yang lincah berdagang rempah-rempah, pala dan cengkeh sampai ke Jakarta, Banten dan Malaka. Orang-orang Belanda juga mendengar bahwa rempah-rempah di Sombaopu sering lebih murah harganya dari pada di kepulauan Maluku sendiri. Segera pula orang-orang Belanda mengetahui bahwa Sombaopu (Ibukota kerajaan Gowa) adalah sebuah tempat yang sangat baik letaknya untuk berlayar ke kepulauan Maluku dan demikian pula kembalinya. Di Sombaopu banyak beras yang sangat baik mutunya. Demikian puta ternak dan harganyapun murah. Oleh karena itu maka orang-orang Portugis baik yang dari Malaka maupun yang dari Maluku datang ke Sombaopu mengambil
bahan-bahan makanan untuk kapal-kapal mereka dan untuk tempat-tempat kedudukan mereka di kepulauan Maluku. Sebagai pelabuhan perdagangan transito terutama dalam perdagangan rempah-rempah dan kayu cendana Sombaopu sangat memenuhi harapan. Di Sombaopu orang-orang Belanda juga bebas, terutama dari gangguan orang-orang Portugis yang menjadi musuh besar orang-orang Belanda. Raja Gowa memperlakukan semua orang asing sama. Mereka diterima dengan baik dan diperbolehkan bertempat tinggal di daerah kekuasaan baginda untuk berdagang. Tentu saja asal mereka tidak mengganggu keamanan dan mau mematuhi peraturan-peraturan kerajaan Gowa. Raja Gowa tidak

mengizinkan mereka bertarung atau berperang di wilayah kekuasaan baginda.

Tidak heran jikalau Sombaopu segera menarik perhatian orang-orang Belanda. Maka orang-orang Belanda mengirim surat kepada Raja Gowa. Sultan Alaudin membalas surat itu dan memperkenankan orang-orang Belanda (V.O.C.) mengunjungi Gowa. Orang-orang Belandapun mengadakan hubungan dengan kerajaan Gowa dan Claes Luersen adalah Kepala kantor perdagangan orang Belanda (V.O.C.) yang pertama di Sombaopu. Maka mulailah kapal-kapal Belanda (V.O.C.) singgah dan berlabuh di Sombaopu untuk mengambil bahan-bahan makanan yang segar.

Pada tahun 1607 Matelief mengirimkan Abraham Mathysz ke Gowa. Abraham Mathysz ditugaskan tidak hanya untuk mempererat hubungan perdagangan saja, akan tetapi juga untuk menghadap Raja Gowa dan menjajagi apakah baginda tidak mempunyai keinginan untuk bersama-sama orang-orang Belanda (V.O.C.) menaklukkan Banda. Orang-orang Belanda (V.O.C.) bersedia membantu kerajaan Gowa dengan syarat bahwa V.O.C. memperoleh monopoli perdagangan di daerah itu. Akan tetapi Matelief tidak mendapat kabar apapun tentang usulnya itu. Rupanya usul Matelief untuk menaklukkan Banda bersama-sama V.O.C. dengan syarat seperti yang tersebut di atas tidak begitu mendapat tanggapan dari Raja Gowa.

Kemudian V.O.C. (Belanda) mengirimkan Paulus van Soldt dan Jacques l'Hermite untuk mengunjungi dan mengadakan pemeriksaan terhadap kantor perdagangan Belanda (V.O.C.) di Sombaopu. Ternyata bahwa kepala kantor dagang V.O.C. di Sombaopu banyak melakukan kecurangan. Dalam pembukuan cantum bahwa beberapa orang penting Gowa berhutang kepada V.O.C. Setelah diadakan penelitian, maka ternyata bahwa hal itu tidak benar sama sekali. Bahkan kepala kantor dagang V.O.C. itu mengadakan hubungan dengan orang-orang Sepanyol yang juga mempunyai kantor dagang di Sombaopu. Seperti kita sudah sama maklum, orang-orang Portugis dan orang-orang Sepanyol adalah musuh-musuh orang-orang Belanda (V.O.C.). Kemudian kantor dagang V.O.C. di Sombaopu ditutup. Selain dari pada itu kedua orang utusan V.O.C. itu ditugaskan pula untuk mengadakan pembicaraan dengan kerajaan Gowa. Pada pembicaraan yang pertama pihak kerajaan Gowa mengajukan protes atas tindakan Laksamana Matelief yang menyerang perahu-perahu Gowa di dekat Ambon. Pada pertemuan yang kedua Jacques l'Hermite memohon kepada Raja Gowa agar jangan lagi menjual beras kepada orang-orang Portugis di Malaka. Atas permohonan utusan Belanda (V.O.C.) ini Sultan Alaudin menjawab bahwa kerajaan Gowa terbuka bagi semua bangsa untuk berdagang. Baginda tidak membedakan antara bangsa Belanda dan orang-orang Portugis. Namun atas desakan orang-orang Belanda baginda berjanji tidak akan mengirim beras ke MaLaka dalam tahun itu. Baginda sangat menyesalkan bahwasannya Belanda (V.O.C.) menutup kantor dagangnya di Sombaopu. Kedua orang utusan V.O.C. itu berjanji akan segera mengirimkan seorang untuk membuka kembali kantor dagang Belanda di Sombaopu.

Kemudian dikirimlah Francois Wittert ke Sombaopu dalam perjalanannya ke kepulauan Maluku. Francois Wittert ditugaskan mengadakan hubungan dengan Raja Gowa dan membuka kembali kantor dagang Belanda (V.O.C.) di sana. Samuel Denis ditugaskan untuk mengepalai kantor dagang V.O.C. di Sombaopu.

Pada tahun 1614 Hans de Hase mengunjungi Sombaopu. Karena kurang puas terhadap perdagangan dengan kerajaan Gowa, maka Hans de Hase mengusulkan dan menganjurkan agar kantor dagang Belanda (V.O.C.) di Sombaopu ditutup saja. Orang-orang suku Makasar menjadi saingan yang besar dan berbahaya dalam perdagangan rempah-rempah di Maluku. Bahkan Hans de Hase menganjurkan agar semua perahu orang-orang Makasar di Maluku diserang dan dihancurkan.
Pada tanggal 2 April 1615 tibalah kapal Belanda yang bernama Enkhuysen di pelabuhan Sombaopu. Kapal ini berada
di bawah pimpinan Dirck de Vries. Kepala kantor dagang Belanda

(V.O.C.) Abraham Sterck yang sementara itu menggantikan Samuel Denis naik ke kapal dan berkeluh-kesah. Ia mengadu kepada kapten kapal itu dan kepada Dewan Kapal tentang tingkah-laku serta gangguan orang-orang Sepanyol dan orang-orang Portugis terhadap dirinya. Kerajaan Gowa tidak mau mengambil tindakan apa-apa terhadap musuh-musuh Belanda (V.O.C.) itu. Maka akhirnya diputuskan untuk segera menutup kantor dagang V.O.C. di Sombaopu.

Kemudian Abraham Sterck dan kapten kapal Dirck de Vries mempergunakan akal yang licik lagi curang. Mereka mengundang sejumlah orang bangsawan dan pembesar kerajaan Gowa untuk naik ke atas kapal Enkhuysen. Setelah para bangsawan dan pembesar kerajaan Gowa naik ke atas kapal, maka orang-orang Belanda menuntut agar orang-orang Makasar itu menyerahkan kerisnya dan mereka akan dijadikan tawanan. Tentu saja orang-orang Makasar itu tidak mau. Maka terjadilah perkelahian yang seru. Di kedua belah pihak jatuh korban. Karena sifatnya sangat mendadak dan jumlah orang-orang Belanda lebih banyak, maka akhirnya orang-orang Makasar dapat dikalahkan. Dua orang Makasar, seorang di antaranya masih keluarga Raja Gowa, ditawan dan dibawa sebagai sandera. Kecurangan orang-orang Belanda ini tentu saja menimbulkan kemarahan dan kebencian orang-orang Makasar terhadap orang-orang Belanda dan V.O.C. Peristiwa di kapal Enkhuysen ini tidak mudah dilupakan oleh orang-orang Makasar.
Kemudian orang-orang Belanda (V.O.C.) melarang dengan keras orang-orang Makasar untuk melakukan perdagangan di kepulauan Maluku. Terhadap larangan orang-orang Belanda (V.O.C.) ini Raja Gowa dengan tegas menjawab: "Tuhan menciptakan bumi dan lautan. Bumi untuk dibagi di antara manusia dan lautan untuk dimiliki bersama. Tak pernah ada terdengar orang dilarang berdagang dan berlayar. Yang melarang hal itu merenggut nafkah orang."
Kemudian J.P. Coen melepaskan kedua orang sanderanya dengan harapan agar hubungan dengan kerajaan Gowa dapat diadakan lagi. Akan tetapi harapan J.P. Coen itu sia-sia belaka. Orang-orang Makasar sudah terlanjur mendendam atas kecurangan orang-orang Belanda. Orang-orang Makasar tidak mudah melupakan
pembunuhan dan kecurangan yang dilakukan oleh orang-orang Belanda di atas kapal Enkhuysen.
Pada bulan Desember tahun 1616 sebuah kapal Belanda "de Eendracht" tersesat di Selat Makasar. Enam belas orang yang dikirim ke daratan untuk meminta bantuan dibunuh semuanya oleh orang-orang Makasar yang marah. Untuk J.P. Coen dan V.O.C. peristiwa ini seolah-olah suatu pernyataan perang. Namun perang terbuka yang dahsyat antara kerajaan Gowa di bawah pimpinan Sultan Hasanudin dan V.O.C. baru akan terjadi kurang lebih setengah abad kemudian. Selama setengah abad itu, terjadi permusuhan dan ketegangan yang penuh dendam antara orang-orang Makasar (kerajaan Gowa) dan orang-orang Belanda (V.O.C.). Pokok sebabnya ialah: Kepentingan V.O.C. (orang-orang Belanda) sangat bertentangan dengan kepentingan kerajaan Gowa (orang-orang Makasar).
Orang-orang Belanda (V.O.C.) hendak memaksakan hak monopolinya dalam perdagangan rempah-rempah di kepulauan Maluku. Mereka melarang dengan keras bangsa-bangsa lain termasuk orang-orang Makasar untuk berdagang dan berlayar di kepulauan Maluku. Kerajaan Gowa seperti pernyataan Sultan Alaudin yang telah kami tuliskan di depan tadi, menghendaki adanya perdagangan yang bebas. Kerajaan Gowa tidak membedakan antara bangsa Belanda dan bangsa-bangsa lainnya seperti bangsa Portugis, bangsa Sepanyol, bangsa lnggeris, bangsa Deen, bangsa Perancis yang datang untuk berdagang di wilayah kekuasaan Gowa. Orang-orang Makasar menyerahkan barang dagangannya kepada siapa saja yang mengajukan penawaran yang tertinggi.
V.O.C. memaksakan hak monopolinya di kepulauan Maluku dengan tangan besi. Di pulau Banda J.P. Coen melakukan tindakan kejam yang melanggar peri kemanusiaan. Hampir seluruh penduduk pulau Banda dibinasakan dengan bengis oleh J.P. Coen. Yang tinggal diangkut sebagai budak ke Batavia. Perbuatan yang tidak kalah kejamnya dilakukan pula oleh de Vlaming van Outshoorn dengan gerakannya yang terkenal di dalam sejarah dengan nama "Hongitochten" atau Pelayaran Hongi. Belanda (V.O.C.) betul-betul menciptakan neraka di kepulauan Maluku yang kaya akan rempah-rempah. Semuanya itu dan banyak lagi tindakan-tindakan keji V.O.C. yang lainnya membangkitkan
perlawanan rakyat Maluku. Tidak heran jikalau rakyat Maluku yang ditindas dengan kejam dan diperlakukan seperti binatang meminta bantuan kerajaan Gowa, karena satu-satunya kerajaan besar yang dengan keras menentang monopoli perdagangan V.O.C. di Indonesia bagian timur, ialah kerajaan Gowa. Dan memang kerajaan Gowa membantu perlawanan rakyat Maluku menentang perbuatan sewenang-wenang Belanda (V.O.C.) di kepulauan Maluku.
Karena bermusuhan dengan orang-orang Belanda (V.O.C.) maka orang-orang Makasar menjual barang-barang dagangannya kepada orang-orang Portugis, orang-orang Sepanyol, orang-orang Inggeris, orang-orang Deen atau kepada orang-orang Perancis. Bahkan sering dengan harga yang murah. Seperti yang sudah kami katakan di depan tadi, harga rempah-rempah di Sombaopu sering lebih murah dari pada harga rempah-rempah di Maluku. Hal inilah yang sangat tidak diingini oleh V.O.C. Namun pada waktu itu V.O.C. tidak dapat berbuat apa-apa. Yang lebih menyakitkan hati lagi bagi V.O.C. ialah karena musuh-musuh dan saingannya seperti orang-orang Portugis, orang-orang Sepanyol dan kemudian juga orang-orang Inggeris dapat dengan bebas dan leluasa berdagang di daerah kekuasaan kerajaan Gowa.
Usaha-usaha V.O.C. untuk mengadakan perjanjian persahabatan dengan kerajaan Gowa tidak pernah berhasil. Sebab utamanya ialah karena V.O.C. selalu menuntut dan mengemukakan hak monopoli perdagangan, sedang kerajaan Gowa selalu menjalankan kebijaksanaan perdagangan yang terbuka sifatnya. Kebijaksanaan ini sangat bertentangan dengan hak monopoli yang sangat diinginkan dan selalu dikemukakan oleh V.O.C.
Kemudian J.P. Coen mengirimkan tiga buah kapal di bawah pimpinan Arent Maertsen untuk menghukum orang-orang Makasar yang melanggar peraturan-peraturan yang dibuat oleh V.O.C. Ekspedisi ini gagal sama sekali, bahkan pemimpin ekspedisi ini mati. Lalu dikirim lagi empat buah kapal di bawah pimpinan Laurens Reael. Ekspedisi inipun gagal. Karena segala usaha kekuasaannya gagal, maka Belanda (V.O.C.) mencoba menempuh jalan lain. Pada tahun 1621 J.P. Coen mengirimkan Jan Joosten ke Sombaopu dengan sepucuk surat untuk menjajagi apakah dapat diadakan perjanjian yang menguntungkan pihak Belanda (V.O.C.). Raja Gowa menerima utusan V.O.C. itu dengan ramah-
tamah dan baik. Baginda menjelaskan bahwa kerajaan Gowa bersedia bersahabat dengan bangsa apa saja, pun dengan orang-orang Belanda. Baginda juga menjelaskan bahwa memang kerajaan Gowa terbuka bagi siapapun juga, pun bagi V.O.C. Karena J.P. Coen menuntut agar supaya Raja Gowa mengirimkan seorang utusan baginda ke Batavia (Jakarta), maka perjanjian yang diinginkan oleh J.P. Coen tidak tercapai. Raja Gowa menolak untuk mengirimkan seorang utusan ke Batavia.
Orang-orang Banda yang luput dari kekejaman J.P. Coen dan terpaksa meninggalkan kampung halamannya diterima dengan baik dan dibantu oleh orang-orang Makasar. Orang-orang Banda ini sangat benci dan tidak mungkin melupakan tindakan J.P. Coen yang sangat kejam terhadap orang-orang Banda. Pada tanggal 11 Maret 1621 ratap tangis meliputi pulau Banda. Darah putera-puteranya membasahi bumi yang mereka cintai. Seluruh penduduk dimusnahkan, pulau Banda "ontvolkt" oleh tangan besi J.P. Coen (ontvolkt = dihabisi penduduknya).
Kerajaan Gowa diminta dan datang membantu rakyat Maluku yang menentang kesewenang-wenangan V.O.C. Hal ini sangat memusingkan Gubernur Maluku (Gubernur Amboina) yang bernama Herman van Speult. Karena tidak mampu menghadapi orang-orang Makasar dengan kekerasan senjata, maka Herman van Speult mendesak atasannya untuk mengadakan perdamaian dengan orang-orang Makasar. Atas permintaannya sendiri Van Speult dibebaskan dari tugasnya sebagai Gubernur Amboina. Dalam perjalanannya ke Batavia (Jakarta) van Speult singgah di pulau Buton dan menganjurkan kepada Raja Buton agar mengirimkan utusan baginda untuk turut serta dalam perjanjian yang akan dibuatnya dengan Raja Gowa. Kemudian van Speult singgah di Sombaopu. Van Speult berada di Sombaopu dari tanggal 3 sampai 10 Agustus 1625. Misi van Speult inipun gagal antara lain karena van Speult mengajukan syarat melarang orang-orang Makasar berdagang rempah-rempah, kecuali di kota Ambon di tempat mana V.O.C (Belanda) mempunyai benteng yang kuat.
Selanjutnya Sultan Alaudin menyatakan bahwa baginda mau mengadakan pembicaraan langsung dengan kerajaan Buton tanpa perantaraan orang-orang Belanda (V.O.C.). Orang-orang Belanda selalu tidak berhasil mengadakan hubungan persahabatan
dengan kerajaan Gowa. Orang-orang Makasar giat sekali mengadakan perdagangan bebas di kepulauan Maluku. Orang-orang Makasar tidak mau mentaati bahkan menentang perdagangan monopoli yang hendak dipaksakan oleh pihak V.O.C. di kepulauan Maluku. Oleh karena itu maka Belanda (V.O.C.) merencanakan untuk menjalankan blokade terhadap kerajaan Gowa.
Kimelaha Ceram oleh orang-orang Makasar di minta agar supaya jangan menjual rempah-rempahnya kepada orang-orang Belanda, kecuali jikalau mereka mau membayar lebih banyak. Limboto yang menjadi jajahan kerajaan Ternate direbut dan diduduki oleh orang-orang Makasar. Pada waktu itu Ternate adalah sekutu Belanda (V.O.C.). Peristiwa inipun tentunya merupakan tantangan orang-orang Makasar terhadap Belanda (V.O.C.).
Pada bulan Desember 1629 sebuah kapal Belanda (V.O.C.) kandas di perairan pulau Salayar. Penduduk pulau itu menyerahkan anak buah kapal itu sebanyak 30 (tiga puluh) orang kepada Raja Gowa. Ketiga puluh orang itu ditawan oleh Raja Gowa. Atas desakan dan permintaan yang sangat dari orang-orang Portugis yang ingin menukar tawanan orang-orang Belanda itu dengan orang-orang Portugis yang ditawan di Batavia (Jakarta) oleh orang-orang Belanda (V.O.C.), maka Sultan Alaudin menyerahkan mereka kepada orang-orang Portugis. Akhirnya tawanan orang-orang Belanda itu dengan perantaraan kepala kantor dagang Denmark yang bernama Roeland Crappe sejumlah 26 (dua puluh enam) orang yang masih hidup ditukar dengan 9 (sembilan) orang Portugis ditambah dengan 3600 (tiga ribu enam ratus) rial. Roeland Crappe sendiri yang membawa tawanan itu ke Batavia (Jakarta). Peristiwa ini terjadi dalam tahun 1631.
Ada pula tersiar kabar yang dapat ditangkap oleh orang-orang Belanda (V.O.C.) bahwa orang-orang Makasar mengajak orang-orang Portugis dan orang-orang Banda yang melarikan diri ke Gowa, karena negerinya dihancurkan oleh J.P. Coen, untuk menyerang pulau Banda yang dikuasai oleh orang-orang Belanda (V.O.C.). Mereka berniat pula merusakkan tanaman rempah-rempah yang dikuasai oleh orang-orang Belanda (V.O.C.).
Mengenai kegawatan keadaan dan mengingat kegiatan orang-orang Makasar yang makin meningkat di Maluku, para pembesar Belanda (V.O.C.) mempunyai pendapat yang berbeda-beda.
Gubernur Jenderal Jacques Specx (pengganti Gubernur Jenderal J.P. Coen yang menjabat Gubernur Jenderal dari tahun 1629-1632) berpendapat bahwa jalan satu-satunya untuk menenteramkan dan mengamankan kepentingan Belanda (V.O.C.) di Maluku, ialah menaklukkan kerajaan Gowa. Gubemur Amboina yang bernama Philips Lucassen sebaliknya dalam suratnya kepada pembesar-pembesar V.O.C. (bewindhebbers) tanggal 29 Pebruari 1632 mengutarakan bahwa hanya perdamaian dengan kerajaan Gowa dapat memecahkan persoalan ini. Dengan berdamai dan bersahabat dengan kerajaan Gowa daerah-daerah yang diduduki oleh V.O.C. di kepulauan Maluku dapat memperoleh bahan makanan yang berlimpah-limpah. Karena kemampuan dan kekuatan V.O.C. belum cukup untuk menyerang kerajaan Gowa yang pada waktu itu memegang hegemoni dan supremasi di kawasan Indonesia bagian timur, maka pendapat Gubernur Jenderal Jacques Specx tidak dapat dijalankan. Maka dikirimlah Anthonio Caen ke kerajaan Gowa. Pada tanggal 5 Maret 1632 Anthonio Caen tiba di Sombaopu dan menghadap Raja Gowa. Perutusan V.O.C. inipun dapat dikatakan gagal untuk mencapai persetujuan dengan kerajaan Gowa.
Permusuhan antara kerajaan Gowa dan kerajaan Ternate sering terjadi, sedang kerajaan Ternate bersahabat dengan orang-orang Belanda (V.O.C.). Buton terancam oleh kerajaan Gowa dan terpaksa minta bantuan kepada V.O.C. Perjalanan Hongi yang dilakukan oleh orang-orang Belanda (V.O.C.) di Seram-Laut untuk menghukum rakyat yang tidak patuh kepada peraturan-peraturan yang dibuat oleh V.O.C. sering dikacau-balaukan oleh orang-orang Makasar.
Demikianlah setelah segala usaha Belanda (V.O.C.) untuk membujuk kerajaan Gowa agar mau mengikuti keinginan orang-orang Belanda (V.O.C.) dan mau mentaati monopoli perdagangannya di Indonesia bagian timur gagal, maka Belanda (V.O.C.) berusaha memblokade pantai kerajaan Gowa.
Pada tanggal 10 Januari 1634 sebuah armada Belanda yang terdiri dari enam buah kapal dan dipimpin oleh Gijsbert van Lodensteyn dengan anak buah yang cukup banyak serta persediaan bahan makanan untuk 6 bulan lamanya lewat Martapura menuju ke Sombaopu. Dari Martapura sebuah kapal akan bergabung lagi pada armada ini dan kemudian armada ini ditambah
lagi dengan empat buah kapal yang berangkat dari Batavia (Jakarta) langsung ke Sombaopu. Pada malam 12 menjelang 13 Pebruari 1634 sampailah armada V.O.C. yang dipimpin oleh Gijsbert van Lodensteyn ini di pelabuhan Sombaopu. Kedatangan kapal-kapal perang Belanda ini sudah diketahui lebih dahulu oleh orang-orang Gowa, sehingga maksud armada Belanda (V.O.C.) untuk menyergap dan menyerang secara mendadak perahu-perahu orang Makasar dan kapal-kapal Portugis yang sedang berlabuh di Sombaopu gagal sama sekali. Sampai tanggal 16 Agustus 1634 armada Belanda (V.O.C.) berusaha memblokade pelabuhan kerajaan Gowa. Akan tetapi perahu-perahu Makasar yang lebih kecil dan lebih lincah dapat menghindari dan lolos dari blokade Belanda itu. Kemudian armada Belanda (V.O.C.) ini kembali ke Batavia tanpa memperoleh hasil seperti yang diharapkannya. Banyak anak-buah armada Gijsbert van Lodensteyn yang mati, bahkan van Lodesteyn sendiri tiba di Batavia (Jakarta) dalam keadaan sakit dan kemudian meninggal dunia.
Pada tanggal 17 September 1634 dikirim lagi sebuah armada di bawah pimpinan Harmen Gerritz. Kemudian pada bulan April 1635 Gerrit Thomas Pool yang turut serta dalam armada Gijsbert van Lodensteyn dikirim untuk menjadi pembantu pimpinan armada Belanda. Pool tidak bertemu dengan Harmen Gerritz karena yang belakangan ini meninggal di perairan Gowa pada tanggal 21 Pebruari 1635. Maka Pool terpaksa menjadi pimpinan armada Belanda (V.O.C.) yang hendak memblokade kerajaan Gowa. Usaha Belanda (V.O.C.) inipun gagal. Orang-orang Makasar tetap juga dapat dengan leluasa berdagang rempah-rempah. Lagi pula sering tersiar berita tentang rencana penyerangan orang-orang Makasar yang dibantu oleh orang-orang Portugis, orang-orang Spanyol, orang-orang lnggeris atau orang-orang Deen. Hal ini membikin gelisah orang-orang Belanda (V.O.C.).

Pada tanggal 1 Januari 1636 Gubernur Jenderal Hendrik Brouwer (1632-1636) diganti oleh Gubernur Jenderal Antonio van Diemen (1636-1645). Pada tanggal 12 Juni 1637 Gubernur Jenderal Antonio van Diemen sendiri pergi ke Gowa setelah mengadakan perjanjian perdamaian dengan Buton. Dengan perantaraan nakoda kapal Aceh diadakanlah hubungan dan perundingan. Gubernur Jenderal Antonio van Diemen mengusulkan agar mereka (Gowa dan V.O.C.) kembali hidup berdamai dan bersahabat dengan syarat agar kerajaan Gowa jangan berdagang di tempat-tempat yang menjadi musuh Kompeni. Sri Baginda Raja Gowa setuju dengan syarat itu, maka Gubernur Jenderal van Diemen akan mengutus Anthonio Caen yang mahir berbahasa Indonesia (Melayu) menghadap Sri Baginda Raja Gowa. Maka terjadilah perundingan antara V.O.C. dan kerajaan Gowa. Pada tanggal 26 Juni 1637 ditanda-tanganilah dan dibubuhilah cap resmi kedua belah pihak pada perjanjian yang sudah disetujui itu. Kemudian Gubernur Jenderal Antonio van Diemen mengirimkan hadiah-hadiah kepada Raja Gowa. Pun orang-orang lnggeris dan orang-orang Deen yang selama ini tidak pernah berurusan dengan orang-orang Belanda datang menyambut dan menghormat Gubernur Jenderal Belanda itu. Rupanya demikianlah yang dilazimkan oleh protokol pada masa itu. Pada waktu itu diadakan pula pesta perdamaian dan minuman pun diedarkan untuk keselamatan kedua bangsa dan pemimpinnya (Raja Gowa dan Gubernur Jenderal) yang menyetujui perjanjian perdamaian itu. Sebagai tanda peneguhan perjanjian itu Gubernur Jenderal Antonio van Diemen memerintahkan semua kapal V.O.C. yang berlabuh di Sombaopu melepaskan beberapa tembakan meriam. Sebelum berangkat meninggalkan Gowa Gubernur Jenderal Antonio van Diemen memerintahkan lagi melepaskan 9 (sembilan) tembakan meriam sebagai penghormatan. Tembakan meriam Belanda itu oleh orang-orang Makasar dibalas dengan salvo kurang lebih 600 (enam ratus) senapan sampai tiga kali. Pada tanggal 8 Juli 1637 tibalah Gubernur Jenderal Antonio van Diemen di Batavia (Jakarta).

Di dalam "Buku Harian Raja-Raja Gowa dan Tallo" (Dagboek der Vorsten van Gowa en Tallo) tentang perundingan perdamaian itu dicatat dengan singkat sebagai berikut: "Orang-orang Belanda membuang sauh dan berlabuh di pelabuhan Sombaopu. Orang-orang Aceh pergi ke kapal-kapal Belanda itu. Kami menaikkan bendera dan mengadakan persetujuan dengan mereka. Orang-orang Belanda menyetujui keinginan Sri Baginda Raja Gowa untuk tidak menempatkan orangnya (pedagang atau kepala kantor perdagangan) di Sombaopu.
Dengan demikian tercapailah perdamaian antara kerajaan Gowa dan V.O.C. Namun orang-orang Belanda tidak pernah puas dan selalu mencurigai bahkan menuduh orang-orang Makasar tidak jujur dan curang. Orang-orang Belanda (V.O.C.) kecewa karena tidak diperkenankan menempatkan wakilnya dan membuka kantor perdagangannya di Sombaopu, sedang orang-orang Portugis, lnggeris dan Deen boleh. Bangsa-bangsa itu mempunyai kantor perdagangan serta menempatkan perwakilan mereka di ibukota dan bandar Gowa yang pada waktu itu menjadi pusat kegiatan ekonomi dan politik di Indonesia bagian timur. Sombaopu pada waktu itu sudah menjadi kota dan pelabuhan internasional. Sikap kerajaan Gowa inilah yang membuat orang-orang Belanda (V.O.C.) sangat kecewa terhadap orang-orang Makasar. V.O.C. selalu minta diperlakukan secara istimewa. V.O.C. selalu mendesak agar hak monopolinya diakui. Tetapi sebaliknya V.O.C. diperlakukan dengan demikian oleh kerajaan Gowa. Namun Belanda (V.O.C.) belum berani mengadakan atau terlibat dalam perang terbuka dengan kerajaan Gowa, karena hal ini dapat memberi kerugian yang besar sekali kepada V.O.C.
Belanda (V.O.C.) sering menuduh orang-orang Makasar tidak jujur dan curang dalam melaksanakan perjanjian, sungguhpun kerajaan Gowa berusaha dengan sebaik-baiknya mentaati perjanjian yang sudah disetujuinya. Bahkan pada waktu wakil Belanda (V.O.C.) yang bernama Hendrik Kerckringh dihina dengan kasar dan hendak diserang oleh orang-orang Spanyol, Sultan Alaudinlah yang melindungi pedagang Belanda itu. Kalau tidak Belanda itu pasti akan celaka dan bukan tidak mungkin dibunuh.
Pada tanggal 15 Juni 1639 Sultan Alaudin wafat. Baginda diganti oleh putera baginda yang bergelar Sultan Muhamad Said sebagai Raja Gowa yang ke XV. Sultan Muhamad Said atau Malikussaid didampingi oleh Mangkubumi kerajaan Gowa yang terkenal dan bergelar Karaeng Pattingaloang.
Belandalah yang sesungguhnya mula-mula melanggar perjanjian perdamaian yang telah dibuatnya dengan kerajaan Gowa. Pada tahun 1639 kapten kapal Belanda yang bernama Willem Verbeecq merampas sebuah perahu yang penuh bermuatan kayu cendana di perairan pulau Timor. Perahu itu milik kerajaan Gowa. Kerajaan Gowa memprotes peristiwa ini dan menuntut ganti kerugian sebesar 6240 (enam ribu dua ratus empat puluh) ringgit. Dengan perantaraan Hendrik Krerckringh V.O.C. menyampaikan 2000 (dua ribu) ringgit. Raja Gowa tentu saja menolak
dan menuntut pembayaran jumlah yang penuh. Akhirnya, karena terpaksa, maka pada tahun 1641 barulah V.O.C. memenuhi tuntutan Raja Gowa itu dan membayar seluruh jumlah yang diminta oleh Raja Gowa. Jadi Belandalah yang mula-mula dan memang sering melanggar perjanjian yang telah dibuatnya.
Kemudian terjadi lagi peristiwa-peristiwa yang menegangkan dan merenggangkan hubungan antara V.O.C. dan kerajaan Gowa. Di perairan pulau Buru terjadi pertempuran yang seru antara armada Gowa dan kapal-kapal Belanda (V.O.C.). Para pemimpin perlawanan rakyat Maluku yang menentang kesewenang-wenangan Belanda (V.O.C.) meminta bantuan kepada kerajaan Gowa. Memang kerajaan Gowa merupakan satu-satunya kerajaan di Indonesia bagian timur yang berani dan sanggup melawan Belanda (V.O.C.). Setelah beberapa kali mengirimkan utusan, akhirnya pada tahun 1641 Kimelaha dari Luhu sendiri datang ke Sombaopu untuk meminta bantuan. Hal ini menggelisahkan Sultan Hamzah dari Ternate dan Belanda yang bersekutu dengan Ternate. Raja Gowa menolak menyerahkan Kimelaha dari Luhu kepada orang-orang Belanda (V.O.C.).
Permohonan Belanda (V.O.C.) untuk mendirikan kantor dagang dan menempatkan wakil tetapnya di Sombaopu, seperti halnya bangsa-bangsa lain (Sepanyol, Portugis, Inggeris dan Deen) masih tetap ditolak oleh Raja Gowa. Sikap Raja Gowa ini sangat mengecewakan orang-orang Belanda (V.O.C.). Jikalau kita perhatikan dengan sungguh-sungguh segala kejadian yang telah kami uraikan di depan tadi, maka sikap kerajaan Gowa yang seperti itu terhadap orang-orang Belanda (V.O.C.), sesungguhnya disebabkan oleh tingkah-laku dan perbuatan orang-orang Belanda (V.O.C.) sendiri.
Sampai beberapa lamanya orang-orang Belanda belum juga memperoleh idzin untuk membuka kantor perdagangannya dan menempatkan wakil tetapnya di Sombaopu. Terutama di kepulauan Maluku yang menjadi sumber dan gudang rempah-rempah yang banyak sekali memberi keuntungan kepada V.O.C. orang-orang Makasar merupakan gangguan dan batu penghalang yang besar. Orang-orang Makasar tidak mau menggubris larangan-larangan dan peraturan-peraturan yang dibuat oleh V.O.C. Orang-orang Makasar tidak mau mengakui hak monopoli perdagangan rempah-rempah yang hendak dipaksakan oleh V.O.C.
Jadi kerajaan Gowa merupakan gangguan dan batu penghalang yang besar bagi V.O.C. untuk dengan leluasa memaksakan perdagangan monopolinya di Indonesia bagian timur.

Pada tahun 1646 Cornelis van der Lijn sudah menggantikan Antonio van Diemen sebagai Gubernur Jenderal. Baru saja beliau menjabat Gubernur Jenderal beliau sudah harus menghadapi kesukaran dengan kerajaan Gowa akibat perbuatan orang-orang Belanda sendiri. Pada tahun 1646 anak buah kapal Belanda (V.O.C.) ”De Bruynvis” merampas sebuah perahu di dekat Manila. Ternyata bahwa perahu itu milik Raja Gowa. Oleh karena itu maka Raja Gowa mengutus seorang bangsa Portugis yang bernama Francisco Viera de Figuredo ke Batavia (Jakarta) untuk menuntut ganti kerugian sebesar f. 25.662 (dua puluh lima ribu enam ratus enam puluh dua gulden). Lebih sulit lagi keadaan Gubernur Jenderal Cornelis van der Lijn akibat tindakan Gubernur Belanda di Maluku yang bemama Wouter Seroyen yang memberi bantuan kepada Sultan Hamzah dari Ternate menyerang dan menghancurkan benteng Gorontalo. Pada waktu itu Gorontalo dan sekitarnya termasuk wilayah kekuasaan kerajaan Gowa. Sultan Muhamad Said dengan terang-terangan menyatakan kepada utusan Belanda yang berada di Sombaopu bahwa biang keladi dari pada penyerangan dan penghancuran benteng Gorontalo itu tidak lain dari pada orang-orang Belanda (V.O.C.). Tanpa bantuan orang-orang Belanda (V.O.C.) orang-orang Ternate tidak akan berani menyerang benteng Gorontalo. Bentrokan bersenjata atau perang terbuka dengan kerajaan Gowa pasti membawa bencana dan kerugian yang besar bagi V.O.C. Untuk melepaskan diri dan keluar dari kesulitan ini, maka Gubernur Jenderal Comelis Van der Lijn menaikkan jumlah ganti kerugian yang dituntut oleh Raja Gowa atas perampasan kapal baginda dari f. 25.662 (dua puluh lima ribu enam ratus enam puluh dua gulden) menjadi f. 39.489 (tiga puluh sembilan ribu empat ratus delapan puluh sembilan gulden). Jadi orang-orang Belanda (V.O.C.) membayar kira-kira f. 13.000 (tiga belas ribu gulden) lebih banyak dari pada yang dituntut oleh Raja Gowa. Dengan tindakannya itu Van der Lijn berhasil meredakan kemarahan Raja dan para pembesar kerajaan Gowa. Bahkan Van der Lijn berhasil memperbaiki hubungan yang makin memburuk antara kerajaan Gowa dan V.O.C.

121

Di dalam suratnya kepada pimpinan V.O.C. di negeri Belanda Gubernur Jenderal Van der Lijn memberikan penjelasan tentang kebijaksanaan keuangan yang ditempuhnya itu. Dijelaskannya bahwa beliau membayar f. 13.000 (tiga belas ribu gulden) lebih banyak dari pada yang dituntut oleh Raja Gowa, karena Kumpeni (V.O.C.) berhasil memperoleh keuntungan yang besar dari penjualan barang-barang di Tayuan. Selanjutnya Van der Lijn menyatakan bahwa jumlah uang tersebut tidak seberapa jika dibandingkan dengan biaya dan kerugian yang pasti akan diderita oleh V.O.C. jika terjadi peperangan terbuka antara V.O.C. dan kerajaan Gowa. Kebijaksanaan Van der Lijn ini diakui dan dibenarkan pula oleh orang-orang di negeri Belanda. Kalau tidak, Belanda (V.O.C.) pasti akan menemui dan menghadapi kesulitan yang lebih besar. Dengan berperang melawan kerajaan Gowa, V.O.C. pasti akan mengalami kerugian yang lebih besar lagi.

Gubernur Jenderal Cornelis Van der Lijn menjalankan segala usaha agar supaya hubungan yang mulai membaik antara Belanda (V.O.C.) dan kerajaan Gowa jangan sampai terganggu lagi. Tiap hal yang dapat mengganggu hubungan baik yang mulai terjalin antara V.O.C. dan kerajaan Gowa sedapat mungkin harus dicegah. Oleh karena itu maka Gubernur Jenderal Van der Lijn menjawab laporan wakil V.O.C. di pulau Solor yang benama Ter Horst agar ia jangan terlalu keras terhadap pedagang-pedagang asing yang datang ke sana, kalau hal itu dapat menimbulkan bentrokan dengan orang-orang Makasar atau kerajaan Gowa.

Setelah segala usahanya untuk memperoleh izin menempatkan wakil tetapnya dan membuka kantor dagangnya di Sombaopu gagal, maka Belanda mulai mencoba mempergunakan siasat yang lain. Belanda mulai berusaha menjelek-jelekkan bangsa-bangsa yang menjadi saingan dan musuh besar orang-orang Belanda. Di dalam surat yang dibawa oleh utusan Belanda (V.O.C.) yang bernama Evert Janssen Buys pada tanggal 28 Pebruari 1650 ke Sombaopu berisi antara lain:

Bahwa dalam peperangan antara Belanda dan Sepanyol, kerajaan Sepanyol harus mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Belanda dan bahwa Sepanyol harus memenuhi segala tuntutan Belanda. Sebagai bukti Evert Janssen Buys disuruh pula menyerahkan satu eksemplar salinan pasal-pasal perjanjian Belanda-Sepanyol. Selanjutnya di dalam surat itu dinyatakan pula betapa orang-orang lnggeris menyuruh penggal leher Rajanya sendiri di muka umum oleh seorang algojo, suatu perbuatan keji dan tak mengenal malu. Dari situ Sri Baginda Raja Gowa dapat melihat dan mengetahui betapa bangsa-bangsa yang sombong itu selalu memfitnah dan membuat agar orang-orang Belanda dibenci. Bangsa-bangsa itulah sesungguhnya yang tidak dapat dipercaya dan segala kata-kata mereka bohong dan bual besar belaka.

Sampai tahun 1651 hubungan antara V.O.C. dan kerajaan Gowa baik-baik saja, tidak ada terjadi peristiwa yang mengganggu dan dapat merusak atau merenggangkan hubungan kedua saingan besar itu. Tidak lama kemudian terjadilah perubahan keadaan yang mendadak. Hal ini disebabkan oleh tindakan-tindakan keras yang dijalankan oleh de Vlamingh van Outshoorn terhadap rakyat Maluku vang menentang kesewenang-wenangan Belanda (V.O.C.). Rakyat Maluku ini mendapat bantuan dari orang-orang Makasar. De Vlamingh berulang-ulang kali mengunjungi Buton. Pada bulan Pebruari 1652 de Vlamingh mengunjungi lagi Buton bersama-sama Sultan Mandarsyah dari Ternate. Semuanya ini menyebabkan hubungan antara V.O.C. dan kerajaan Gowa mulai tegang dan memburuk lagi.

Pada bulan Juli 1652, seorang pemimpin perlawanan rakyat Maluku yang disegani oleh orang-orang Belanda (V.O.C.) datang sendiri ke Sombaopu untuk meminta bantuan kepada Raja Gowa. Pemimpin perlawanan rakyat Maluku ini bernama Majira dan Raja Gowa menjanjikan bantuan kepada Majira. Kemudian Majira kembali lagi ke Maluku dengan tiga puluh buah perahu dengan pasukan-pasukan Gowa yang bersenjata. Armada Gowa ini masih singgah di beberapa tempat untuk mengambil balabantuan. Bahkan Valentijn menyatakan bahwa armada Gowa ini mencapai sampai seratus buah perahu banyaknya.

Sementara itu orang-orang Belanda (V.O.C.) di bawah pimpinan de Vlamingh van Outshoorn terlibat dalam peperangan yang seru dengan rakyat Maluku yang dibantu oleh orang-orang Makasar di Teluk Asahudi (pulau Seram Kecil). Pada tanggal 22 September 1653 de Vlamingh berangkat dari Ambon menuju ke


123

Sombaopu dan mengajak Raja Gowa untuk berdamai. De Vlamingh meminta agar Raja Gowa mengirim utusan baginda ke Batavia yang akan berangkat bersama de Vlamingh. Permintaan Belanda ini ditolak oleh Raja Gowa.

Karena mendengar kabar bahwa kerajaan Gowa sedang mempersiapkan sebuah armada yang dahsyat, maka de Vlamingh mempercepat keberangkatannya ke Batavia (Jakarta). Pada tanggal 18 Oktober 1653 de Vlamingh sudah tiba di Batavia. Berita persiapan armada kerajaan Gowa sangat menggelisahkan para pembesar V.O.C. di Batavia, sehingga pada tanggal 8 Nopember 1653 Belanda (V.O.C.) mengirimkan sebuah armada yang kuat di bawah pimpinan de Vlamingh. Setibanya di Semarang de Vlamingh mendengar dari mata-matanya bahwa armada Gowa dengan 5000 (lima ribu) pasukan bersenjata lengkap sudah menuju ke Buton untuk memaksa Raja Buton memihak ke Gowa. Kabar ini sangat menggelisahkan orang-orang Belanda (V.O.C.) karena Buton merupakan sekutu V.O.C. yang setia. Segera de Vlamingh mengirimkan tiga buah kapal untuk mencegah jangan sampai Buton jatuh atau berpihak kepada kerajaan Gowa. Kalau hal ini sampai terjadi maka Belanda {V.O.C.) akan mengalami kesukaran.

Pada tanggal 6 Nopember 1653 Sultan Muhamad Said wafat. Baginda digantikan oleh putera baginda yang terkenal dengan nama atau gelar Sultan Hasanudin. Para pembesar Belanda (V.O.C.) di Batavia mengandung harapan yang besar mudah-mudahan pergantian Raja Gowa ini membawa perubahan dalam politik kebijaksanaan kerajaan Gowa. Belanda (V.O.C.) tentu saja mengharapkan perubahan kebijaksanaan yang menguntungkan Belanda (V.O.C.) terutama di daerah Maluku. Kemudian ternyata bahwa keadaan tidaklah seperti yang diharapkan oleh para pembesar Belanda (V.O.C.) itu.

Seperti diketahui Sultan Hasanudin adalah seorang ksatria gemblengan kerajaan Gowa. Baginda pernah menjabat sebagai Karaeng Tumakkajannangngang. Jadi Sultan Hasanudin adalah bekas pemimpin pasukan istimewa kerajaan Gowa. Sungguhpun masih sangat muda (beliau baru berusia 22 tahun pada beliau menaiki takhta kerajaan Gowa), namun Sultan Hasanudin ternyata bukanlah seorang anak bawang yang mudah disuruh menari mengikuti irama seruling kehendak Belanda

124

(V.O.C.). Sultan Hasanudin tahu betul tentang sejarah tanah-air dan bangsanya. Sungguhpun masih sangat muda usianya, namun Sultan Hasanudin mengerti betul bahwa bahaya besar yang mengancam keselamatan kerajaan Gowa ialah V.O.C. Baginda tahu betul bahwa orang-orang Belanda (V.O.C.) selalu berusaha memaksakan monopoli perdagangan rempah-rempahnya di Indonesia bagian timur. Sultan Hasanudin tetap menjalankan dan melanjutkan kebijaksanaan yang diambil serta ditempuh oleh almarhum nenek dan ayahnya (Sultan Alaudin dan Sultan Muhamad Said). Kerajaan Gowa tetap tidak mau mengakui hak monopoli perdagangan V.O.C. yang hendak dipaksakannya di Indonesia bagian timur. Sultan Hasanudin pun seperti almarhum kakek baginda (Sultan Alaudin) berpendirian bahwa Tuhan menciptakan bumi dan lautan. Bumi untuk dibagi di antara manusia dan lautan untuk dimiliki bersama, jadi bukan untuk orang-orang Belanda saja.

Setelah Sultan Hasanudin naik dan menduduki takhta kerajaan Gowa dan keadaan tidak seperti yang diharapkan oleh para pembesar V.O.C. di Batavia (Jakarta), maka hubungan antara kerajaan Gowa dan V.O.C. makin tegang dan memburuk. Para pembesar Belanda (V.O.C.) di Batavia sangat mengharapkan agar pergantian Raja Gowa dari Sultan Muhamad Said kepada Sultan Hasanudin membawa perobahan kebijaksanaan yang menguntungkan pihak Belanda. Tetapi Belanda sangat kecewa, karena kerajaan Gowa tetap menjalankan kebijaksanaan menentang monopoli perdagangan V.O.C.

Bentrokan bersenjata antara V.O.C. dan kerajaan Gowa tidak dapat dielakkan. Perang terbuka antara orang-orang Makasar dan orang-orang Belanda pasti akan terjadi. Sebab utamanya ialah: WATAK DAN KEPENTINGAN KEDUA BANGSA ITU. Orang-orang Makasar, demikian pula orang-orang Belanda terkenal sebagai bangsa pelaut dan pedagang yang ulung serta gagah-berani. Kedua bangsa itu sudah biasa dan tidak gentar menghadapi lautan yang bergelora dan penuh bahaya. Lautan yang ganas tak mengenal ampun membuat kedua bangsa itu menjadi bangsa yang berwatak keras dan tak mengenal takut. Kedua bangsa itu selalu berusaha memperluas dan memperbesar pengaruhnya dengan candang (candang = keberanian yang luar biasa, sangat pemberani). Kalau perlu, mereka tidak segan-segan mempergunakan kekerasan. Jikalau mereka bertemu pada tempat dan bidang yang sama, maka mereka pasti menjadi musuh dan saingan yang besar. Sekali mereka menjadi saingan, maka kekerasan dan bentrokan bersenjata antara kedua bangsa itu tidak dapat dielakkan lagi. Ibarat dua ekor ayam jantan atau jago dalam satu kandang mereka akan berkelahi dengan semboyan: ”Hidup atau mati! Dia atau aku!”

Orang-orang Belanda (V.O.C.) hendak memaksakan hak monopoli perdagangannya, terutama rempah-rempah di kepulauan Maluku. Siapa yang berani melanggar peraturan-peraturan yang telah dibuat oleh V.O.C. dianggap penyelundup, bahkan penjahat yang harus dihukum berat dan dibasmi. Tegasnya, orang-orang Belanda (V.O.C.) mau main paksa dan bertindak sebagai yang dipertuan di Maluku khususnya dan di Indonesia bagian timur pada umumnya.

Sebaliknya orang-orang Makasar juga mempunyai kepentingan yang sama di kepulauan Maluku. Rempah-rempah, pala, dan cengkeh merupakan bahan utama yang diperdagangkan dan membawa keuntungan yang tak ternilai harganya bagi orang-orang Makasar. Rempah-rempah, pala dan cengkeh dibeli di kepulauan Maluku. Jauh sebelum orang-orang Belanda dan orang-orang Eropa lainnya datang ke tanah-air kita, bahkan sudah sejak jaman dahulu kala, orang-orang Makasar terkenal sebagai pedagang dan pelaut yang ulung. Dengan perahu pinisinya yang besar dan lincah mereka juga berdagang dan membawa rempah-rempah, pala, cengkeh, kayu cendana dan lain-lainnya ke Jakarta, Banten dan Malaka. Perdagangan transito rempah-rempah, pala, cengkeh dan kayu cendana berpusat di Sombaopu, ibukota dan bandar kerajaan Gowa yang sangat strategis letaknya. Bahkan sering harga rempah-rempah di Sombaopu jauh lebih murah dari pada harga rempah-rempah di kepulauan Maluku. Jadi perdagangan rempah-rempah telah menjadi pokok kehidupan dan mata pencaharian yang utama bagi orang-orang Makasar. Memonopoli dan melarang perdagangan rempah-rempah di kepulauan Maluku berarti mematikan salah satu sumber keuntungan dan mata pencaharian yang utama bagi orang-orang Makasar.

Selain dari pada itu orang-orang Makasar dan kerajaan Gowa berpendirian bahwa dunia dan lautan ini diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa untuk seluruh umat manusia dan bukan

126 semata-mata untuk orang-orang Belanda (V.O.C.) saja. Jadi kerajaan Gowa tidak mau mengakui orang-orang Belanda (V.O.C.) sebagai yang dipertuan di kepulauan Maluku. Orang-orang Makasar menentang orang-orang Belanda yang dengan sewenang-wenang dan seenaknya sendiri saja membuat peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan yang sangat merugikan orang lain atau bangsa lain. Jadi kepentingan kerajaan Gowa dan kepentingan V.O.C. saling bertentangan dan bertabrakan. Maka tidaklah mengherankan jikalau pada suatu waktu keduanya pasti akan saling berhadapan dalam suatu medan peperangan yang dahsyat.

Jadi ketegangan yang sering disertai pertempuran yang seru antara kerajaan Gowa dan orang-orang Belanda (V.O.C.) sesungguhnya sudah berlangsung jauh sebelum Sultan Hasanudin naik dan menduduki takhta kerajaan Gowa. Pada tahun 1634 sebuah armada Belanda di bawah pimpinan Gijsbert van Lodenstein memblokade Sombaopu. Sultan Alaudin (nenek Sultan Hasanudin) mengerahkan beribu-ribu orang untuk memperkuat ibukota dari benteng kerajaan beginda. Jadi sudah sejak kecil Sultan Hasanudin tentunya sudah mendengar dan mengerti betul bahwa Belanda (V.O.C.) adalah saingan dan musuh kerajaan Gowa yang sangat berbahaya. Jadi sudah sejak masa mudanya dan sebagai seorang bekas Karaeng Tumakkajannangngang yang mengerti soal peperangan dan keamanan negara tentunya Sultan Hasanudin sudah mengerti bahwa bahaya yang mengancam kerajaan Gowa dari luar, ialah dari pihak orang-orang Belanda (V.O.C.). Memang Belanda (V.O.C.) selalu berusaha dan mencari jalan untuk meronrong dan menghancurkan kerajaan Gowa yang dianggapnya sebagai batu penghalang yang besar bagi monopoli perdagangannya di bagian timur Indonesia. Untuk dapat bebas dan leluasa menjalankan monopoli perdagangannya, maka orang-orang Belanda terlebih dahulu harus menyingkirkan kerajaan Gowa. Selama kerajaan Gowa masih tegak dan memegang supremasi di bagian timur tanah-air kita, selama itu pula orang-orang Belanda (V.O.C.) tidak dapat dengan leluasa memaksakan monopoli perdagangannya. Selama kerajaan Gowa masih berkuasa, selama itu pula orang-orang Belanda (V.O.C.) tidak dapat bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat Maluku. Tidaklah mengherankan jikalau orang-orang Belanda menganggap orang-orang Makasar sebagai musuh mereka yang sangat berbahaya dan sebaliknya pula orang-orang Makasar menganggap orang-orang Belanda (V.O.C.) sebagai musuh mereka yang besar. Oleh karena itu maka di mana saja perahu-perahu Gowa bertemu dengan kapal-kapal Belanda (V.O.C.) di situ sering terjadi pertempuran-pertempuran yang seru. Kapal-kapal Belanda (V.O.C.) yang lebih besar dan persenjataan meriamnya yang lebih berat dapat diimbangi oleh perahu-perahu Makasar yang ramping dan lincah. Perahu-perahu orang-orang Makasar dapat dengan lincah bergerak di perairan yang agak dangkal dan di celah-celah kepulauan karang dan tanah gosong serta dapat mudik di muara-muara sungai, sedang kapal-kapal Belanda mudah kandas di daerah-daerah semacam itu jikalau mereka kurang hati-hati.

Pada masa pemerintahan Sultan Hasanudin hubungan antara kerajaan Gowa dan orang-orang Belanda (V.O.C.) makin hari makin tegang dan meruncing. Masa pemerintahan Sultan Hasanudin, yakni dalam tahun 1645 dan tahun 1655 diawali dengan pertempuran-pertempuran yang seru antara orang-orang Makasar dan orang-orang Belanda di beberapa tempat. Di daratan Sulawesi Selatan dan di daerah inti kerajaan Gowa sendiri, Belanda (V.O.C.) belum berani mendaratkan pasukan-pasukannya, sehingga mereka terpaksa harus membatasi diri dengan hanya memblokade dan menempatkan kapal-kapalnya di depan Sombaopu dan di perairan di sekitarnya. Pertempuran yang seru terjadi di Buton, di kepulauan Maluku, terutama di sekitar pulau Ambon, di pulau Buru dan di Seram Kecil.

Pertahanan orang-orang Makasar yang berpusat di Assahudi selalu mendapat balabantuan baik dari Gowa maupun dari pasukan-pasukan rakyat Maluku yang menentang Belanda di bawah pimpinan Majira. Orang-orang Belanda (V.O.C.) di bawah pimpinan de Vlamingh van Outshoorn berusaha membujuk mereka agar menghentikan perlawanan mereka. Akan tetapi bujukan de Vlamingh itu sia-sia belaka. Pejoang-pejoang di Maluku itu tetap bertahan dan terus melawan Belanda (V.O.C.) yang bertindak sewenang-wenang. Bahkan pada tanggal 27 Maret 1654


128 pejoang-pejoang rakyat Maluku di bawah pimpinan Majira menyerang Benteng Belanda di Luhu (Seram Kecil). Di sini terjadi pertempuran yang seru. Pada bulan Juli 1654, atas permintaan de Vlamingh, Sultan Mandarsyah dari Ternate mengirimkan balabantuan kepada Belanda (V.O.C.) di Ambon. Sultan Mandarsyah membawa serta pula adik baginda yang bernama Kalamatta. Kemudian Belanda mengatur siasat perangnya. Komandan Roos oleh de Vlamingh diperintahkan memblokade Sombaopu dan perairan di sekitarnya sedang Simon Cos disuruh mengurung Teluk Assahudi yang dipertahankan dengan gigih oleh rakyat Maluku dibantu oleh orang-orang Makasar. Di beberapa tempat lagi terjadi pertempuran, sehingga Laksamana de Vlamingh sangat sibuk menghadapi orang-orang Makasar, dan rakyat Maluku yang menentang V.O.C. Pada tanggal 20 September 1654 Belanda di bawah pimpinan de Vlamingh berhasil merebut Laala yang dipertahankan dengan gagah-berani oleh orang-orang Makasar. Demikianlah di beberapa tempat selalu terjadi pertempuran yang seru antara orang-orang Makasar dan orang-orang Belanda.

Dalam keadaan yang gawat dan genting itulah pada tanggal 15 September 1654 Karaeng Pattingaloang wafat. Kemudian beliau mendapat nama atau gelar anumerta Tumenanga ri Bontobiraeng. Kepergian beliau ini merupakan kehilangan yang besar bagi kerajaan Gowa. Justru pada saat-saat yang gawat itulah sesungguhnya tenaga dan terutama buah pikiran beliau sangat dibutuhkan oleh rakyat dan kerajaan Gowa. Beliau seorang pembesar yang terkenal cendekia, bijaksana dan luas pandangannya. Bimbingan dan nasehat-nasehat beliau masih sangat dibutuhkan oleh rakyat dan kerajaan Gowa. Pada waktu itu kerajaan Gowa sedang dironrong oleh V.O.C. dan oleh pihak-pihak yang tidak senang melihat kejayaan kerajaan Gowa. Kepergian Karaeng Pattingaloang merupakan pukulan yang hebat bagi kerajaan Gowa yang sangat membutuhkan beliau.

Namun apa hendak dikata! JANJI SAMPAI, SUKATAN PENUH. Demikian pula Karaeng Pattingaloang. Sudah waktunya bagi beliau untuk dipanggil oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.


129

MALANG TAK BOLEH DITOLAK, MUJUR TAK BOLEH DIRAIH! Demikian pula kewafatan Karaeng Pattingaloang tidak dapat dicegah atau dielakkan oleh siapapun juga. Karaeng Pattingaloang Tumenanga ri Bontobiraeng diganti oleh putera beliau yang bernama Karaeng Karunrung sebagai Pabbicara Butta atau Mangkubumi kerajaan Gowa. Beliau terkenal sebagai seorang bangsawan Gowa yang gagah-berani, sangat keras dan tidak mau mengenal kompromi dengan Belanda. Tidak heran jikalau oleh Belanda (V.O.C.) beliau sangat dibenci, bahkan sering dikatakan seorang pembesar yang licik dan jahat.
Pada tanggal 1 Nopember 1654 de Vlamingh tiba di Batavia untuk mengambil balabantuan. Pada tanggal 21 Nopember 1654 ia berangkat lagi ke Maluku dengan balabantuan yang diperolehnya itu. Sungguhpun diblokade dengan ketat, namun banyak perahu-perahu Makasar dapat lolos dan membawa balabantuan ke Assahudi yang menjadi pusat pertahanan orang-orang Makasar di Maluku. Setelah mengumpulkan kapal-kapalnya di Ambon, maka dalam bulan Pebruari 1655 de Vlamingh mengurung rapat Assahudi yang menjadi pusat pertahanan orang-orang yang melawan kekuasaan Belanda (V.O.C.). Assahudi dipertahankan oleh orang-orang Makasar dan rakyat Maluku yang menentang V.O.C.
Di Ternate sendiri terjadi pergolakan dan banyak orang tidak senang terhadap Sultan Mandarsyah karena baginda terlalu pro orang-orang Belanda (V.O.C.). Mereka ingin mengganti Sultan yang terlalu pro V.O.C. itu dengan orang lain. Dalam bulan April 1655 Kalamatta, saudara Sultan Mandarsyah berpihak pada orang-orang Makasar. Dengan pengikut-pengikutnya Kalamatta bertahan di Kaeli (pulau Buru). Maka de Vlamingh datang untuk mengurung dan menyerang Kaeli. Namun Kalamatta dapat juga lolos dari kepungan orang-orang Belanda lalu beliau menuju dan tinggal menetap di Sombaopu, ibukota dan bandar kerajaan Gowa.

Dalam bulan Juli 1653 de Vlamingh memusatkan segenap kekuatannya dan menyerang Assahudi. Setelah mengalami pertempuran yang seru, akhirnya benteng Assahudi jatuh ke tangan orang-orang Belanda. Betapa kuatnya pertahanan Assahudi dapat kita lihat dari berapa banyaknya alat-alat perang yang jatuh ke tangan Belanda. Tidak kurang dari 24 (dua puluh empat) buah meriam dan 44 (empat puluh empat) panji-panji yang jatuh ke tangan orang-orang Belanda. Namun pertempuran-pertempuran yang seru antara orang-orang Makasar dan orang-orang Belanda masih juga berjalan terus.

Dalam bulan April 1655 armada Gowa di bawah pimpinan Sultan Hasanudin sendiri menyerang orang-orang Belanda yang menduduki Buton. Dalam menghadapi armada Gowa yang datang menyerang itu, orang-orang Belanda menghasut Sultan Buton. Baginda diminta mempertahankan negerinya sendiri dan Belanda (V.O.C.) akan membantu sedapat mungkin. Pada waktu armada Gowa mengadakan serangan, sebagian armada Belanda sudah meninggalkan Buton. Pasukan-pasukan Belanda (V.O.C.) yang tinggal mencoba mengadakan perlawanan. Akan tetapi karena serangan armada Gowa sangat hebat, maka pimpinan pasukan Belanda (V.O.C.) tidak dapat lagi bertahan. Seluruh pasukan Belanda (V.O.C.) tewas. Setelah menghancurkan perlawanan Belanda (V.O.C.) di Buton, maka Sultan Hasanudin bersama armada Gowa meninggalkan perairan Buton dan kembali ke Gowa. Pada waktu Laksamana de Vlamingh tiba di Buton dalam bulan September 1655 didapatinya hanya puing-puing pertahanan Belanda di sana. Maka de Vlamingh meneruskan perjalanannya ke Sombaopu. Di sana ia menyerang orang-orang Portugis. Menurut Valentijn, pada waktu itu de Vlamingh dengan perantaraan seorang tawanan mengirimkan sebuah hadiah kepada Karaeng Karunrung. Hadiah itu berupa sebuah peta daerah Assahudi yang telah direbut oleh orang-orang Belanda dan sebilah keris berhulu emas milik pemimpin orang-orang Makasar yang gugur dalam mempertahankan Assahudi. Hadiah de Vlamingh yang dianggap sebagai sindiran itu disuruh kembalikan oleh Karaeng Karunrung yang terkenal sangat benci kepada orang-orang Belanda. Kemudian de Vlamingh kembali lagi ke Ambon. Tidak lama kemudian sebuah kapal Belanda (V.O.C.) yang turut memblokade perairan Gowa yang dipimpin oleh Caspar Buytendijk diserang oleh orang-orang Makasar. Kapal itu berhasil dikait oleh orang-orang Makasar. Kapal itu kemudian diledakkan

131

dan Caspar Buytendijk bersama 24 (dua puluh empat) orang anak buahnya tewas. Dalam ”Buku Harian Raja-Raja Gowa dan Tallo” (”Het dagboek der Vorsten van Gowa en Tallo”) tentang peristiwa ini dapat kita baca sebagai berikut: ”Pada tanggal 23 Oktober 1655 Karaeng Popo bertemu dengan orang-orang Belanda di perairan di dekat Bonto-Cowe. Ditenggelamkannya kapal orang-orang Belanda itu”.

Setelah melihat dan mengalami kenyataan bahwa permusuhan dan peperangan mereka melawan kerajaan Gowa di Indonesia bagian timur menelan biaya yang sangat besar dan perdagangan mereka mengalami kerugian yang tidak sedikit, maka Belanda (V.O.C.) terpaksa harus merubah siasat dan kebijaksanaannya. Jikalau gertakan dan kekerasan mereka tidak berhasil, maka mereka merobah siasat. Gertakan dan kekerasan diganti dengan siasat diplomasi, berunding dengan sikap yang manis. Diplomasi ini sering diiringi pemberian hadiah-hadiah untuk para pembesar, janji-janji yang muluk dan rayuan yang menggoncangkan iman.

Jadi peperangan melawan kerajaan Gowa yang menelan biaya yang sangat besar jumlahnya serta kerugian yang dideritanya dalam perdagangannya akibat peperangan itu adalah dua faktor penyebab mengapa Belanda (V.O.C.) berusaha keras mengadakan hubungan perdamaian dengan kerajaan Gowa. Kemudian Belanda (V.O.C.) berusaha lagi mendekati dan menghubungi kerajaan Gowa. Pada tanggal 23 Oktober 1655 para pembesar V.O.C. di Batavia memutuskan untuk berusaha mengadakan perjanjian perdamaian dengan kerajaan Gowa. Mereka (Belanda) menunjuk Willem van der Beeck yang dibantu oleh seorang bangsa Armenia yang bernama Khoja Suleiman sebagai utusan V.O.C. ke Sombaopu. Van der Beeck adalah seorang anggota Dewan Hindia (Raad van Indie). Beliau menjabat sebagai Mayoor kota Batavia. Sampai tahun 1654 beliau menjabat Gubernur Ambon. Jadi beliau mengerti betul keadaan dan faham soal hubungan V.O.C. dan kerajaan Gowa. Kedua orang ini diutus oleh Gubernur Jenderal Joan Maetsuycker (1653-1678).


132

Pada tanggal 28 Desember 1955 Willem van der Beeck berhasil membuat perjanjian dengan kerajaan Gowa. Perjanjian ini dibuat dan bersifat perjanjian antara dua pihak yang setingkat dan setaraf kedudukannya. Perjanjian itu diteguhkan pada tanggal 2 Pebruari 1656. lsi-isi pokok dari pada perjanjian itu, adalah;

  1. Orang-orang Makasar yang masih berada di daerah Ambon boleh kembali ke negerinya.
  2. Raja Gowa boleh menagih semua hutang-piutangnya yang ada di Ambon.
  3. Orang-orang tawanan di kedua belah pihak akan diserahkan kepada masing-masing pihak (tukar-menukar tawanan).
  4. Musuh-musuh V.O.C. tidak perlu menjadi musuh-musuh kerajaan Gowa (Keterangan penulis: Misalnya orang-orang Portugis. Seperti diketahui orang-orang Portugis adalah musuh orang-orang Belanda atau V.O.C., tetapi mereka tidak perlu atau dengan sendirinya harus menjadi musuh kerajaan Gowa).
  5. Orang-orang Belanda (V.O.C.) tidak akan mencampuri perselisihan orang-orang Makasar.
  6. Belanda (V.O.C.) boleh menangkap semua orang-orang Makasar yang kedapatan berlayar di kepulauan Maluku.
  7. Raja Gowa akan memperoleh ganti kerugian sepenuhnya untuk saham baginda dalam kapal Portugis yang bernama ”St. Joan Bapthista” yang dirampas oleh V.O.C.

Sungguhpun pasal-pasal yang tersebut di atas tidak sepenuhnya diterima atau menguntungkan kerajaan Gowa, namun oleh orang-orang Belanda Willem van der Beeck dikecam dengan keras. Mereka menganggap pasal-pasal itu terlalu manis dan sangat menguntungkan pihak kerajaan Gowa. Van der Beeck oleh pimpinan V.O.C. dianggap bertindak melampaui batas wewenangnya. Pimpinan V.O.C. sangat kecewa terhadap Van der Beeck, padahal mengingat kedudukan dan pengalaman beliau seperti yang sudah kami uraikan di depan tadi, beliau seorang yang mengerti betul tentang keadaan serta soal hubungan antara V.O.C. dan kerajaan Gowa. Cornelis Speelman sering mencela

133

perjanjian itu sebagai perjanjian perdamaian yang sangat buruk. Bahkan Valentijn menyatakan bahwa van der Beeck bahkan

dipecat dari jabatannya sebagai anggota "Buitengewoon Raad dan Majoor van Batavia. Dari kenyataan-kenyataan di atas itu jelas dapat kita ketahui maksud dan tujuan yang sebenarnya Belanda (V.O.C.) mengadakan perjanjian, yakni: "Mencari dan

mengusahakan keuntungan yang sebesar-besamya."

Perjanjian Perdamaian yang baru dibuat antara kerajaan Gowa dan V.O.C. yang diwakili oleh Van der Beeck itu ternyata tidak dapat menjamin hubungan yang baik antara Belanda (V.O.C.) dan orang-orang Makasar (kerajaan Gowa). Sebabnya ialah karena pihak-pihak yang membuat perjanjian itu mempunyai pengertian dan kepentingan yang tidak sama, bahkan bertentangan satu sama lain.

Orang-orang Makasar di bawah pimpinan Sultan Hasanudin tahu betul dan sadar bahwa apabila orang-orang Belanda (V.O.C.) berkuasa, maka kesejahteraan dan kemakmuran rakyat di daerah yang dikuasai Belanda (V.O.C.) itu akan dirusak dan dimusnahkan. Contoh yang jelas ialah nasib rakyat kepulauan Maluku yang terkenal sebagai sumber rempah-rempah sejak dahulu kala. Jauh sebelum orang-orang Eropa dan orang-orang Belanda datang ke Indonesia, kepulauan Maluku sudah terkenal dengan hasil rempah-rempahnya. Terutama cengkih dan pala merupakan daya penarik yang kuat bagi pedagang-pedagang dari luar negeri untuk datang sendiri ke Maluku.

Bagaimana keadaan kemakmuran rakyat penghasil cengkih dan pala di kepulauan Maluku sulit untuk memberikan gambaran yang mendekati kebenaran, karena kurangnya sumber-sumber tentang hal itu. Namun sampai sekarangpun di kalangan rakyat masih terkenal kata-kata: "Goyang cengkeh, ringgit gugur." Kata-kata ini jelas menggambarkan adanya suatu masa kemakmuran bagi rakyat Maluku. Sebelum orang-orang Eropa pada berdatangan dan sebelum orang-orang Belanda (V.O.C.) menjalankan tindakan ekstirpasi, kepulauan Maluku sudah terlibat dalam perdagangan yang ramai. Kemakmuran dapat dicapai oleh kerajaan-kerajaan di Maluku Utara, rakyat di Hitu dan di Banda. Banyak kepala suku menjadi kaya, buktinya banyak di antara mereka disebut orang-kaya di kemudian hari.

Kemudian datang orang-orang Belanda (V.O.C.) yang hendak memaksakan monopoli perdagangannya di Maluku. Agar dapat mengawasi dan mengatur jumlah hasil rempah-rempah di pasar dunia, direncanakan oleh Belanda (V.O.C.) konsentrasi atau pemusatan produksi cengkeh di Ambon dan Uliase, sedang pala di Banda. Untuk itu pohon-pohon cengkeh di Hoamoal dan pulau-pulau di sekitarnya harus dimusnahkan. Selanjutnya rakyat pulau Ambon dan Uliase yang dikuasai oleh Kumpeni Belanda (V.O.C.) dikerahkan untuk menjalankan kerja rodi menanam pohon-pohon cengkeh di daerah mereka. Juga tenaga rakyat laki-laki dikerahkan dalam pelayaran-pelayaran hongi untuk mengayuh atau mendayung perahu kora-kora. Hal ini merupakan suatu tragedi lagi di dalam sejarah rakyat Maluku. Sedang sebagian dari rakyat berjuang mati-matian untuk mempertahankan hidupnya, sebagian lagi dikerahkan untuk menghancurkan hidup itu. Dalam buku beliau "Timbulnya militerisme Ambon" I.O. Nanulaitta antara lain menulis: "Sedang rakyat diperkenalkan dengan cinta-kasih Kristus oleh Kumpeni, rakyat itu pula yang dipakai untuk memusnahkan dan menghancurkan. Mula-mula pohon-pohon dan tanaman, kemudian juga manusia yang dimusnahkan dan dihancurkan".

Ekstirpasi dan pelayaran hongi mengancam kehidupan rakyat Maluku. Korban ekstirpasi yang pertama ialah rakyat Hoamoal. Dalam tahun 1625 hongi memusnahkan beribu-ribu pohon cengkeh. Ada yang ditebang, ada yang dibakar dan ada pula yang dikuliti batangnya. Pemusnahan ini membangkitkan amarah yang luar biasa. Hanya mereka menunggu waktu saja untuk mengobarkan peperangan guna mempertahankan hak hidup. Bahwa monopoli dan ekstirpasi memusnahkan kehidupan rakyat Maluku sudah terang. Cengkeh dan pala bagi rakyat Maluku adalah seperti beras bagi rakyat Jawa. Pokok pencaharian mereka dimusnahkan. Dalam keadaan demikian dapatkah rakyat mengelakkan kekerasan? Hanya rakyat pengecutlah yang akan menyerah terhadap tindakan-tindakan yang lalim dan sewenang-wenang itu. Rakyat Maluku mengangkat senjata untuk mempertahankan hak hidupnya.

Keadaan di Ambon, Uliase dan Hoamoal makin lama makin buruk. Monopoli dan hongi makin lama makin merajalela. V.O.C. bertindak sewenang-wenang dan kejam di kepulauan Maluku. Akhirnya sampai tiga kali berkobar peperangan yang dahsyat yang menentukan hidup matinya rakyat di daerah-daerah itu, yakni: Perang Hitu I dari tahun 1634 sampai tahun 1643, Perang Hitu II dari tahun 1643 sampai tahun 1646 dan Perang Hoamoal dari tahun 1651 sampai tahun 1656. Kapitan Hitu Kakiali dan Talukabessy memimpin rakyat Hitu melawan Belanda (V.O.C.) dari tahun 1634 sampai tahun 1646. Perang Hoamoal yang berlangsung dari tahun 1651 sampai tahun 1656 dipimpin oleh Kimelaha Majira.

Sebelum peperangan-peperangan itu berkobar, J.P. Coen yang terkenal sebagai peletak batu pertama penjajahan Belanda di Indonesia, telah melakukan kekejaman yang tidak mengenal peri-kemanusiaan di Banda. Pada tanggal 11 Maret 1621 ratap tangis meliputi Banda. Darah putera-puteranya membasahi bumi yang mereka cintai. Seluruh kepulauan ”ontvolkt”, seluruh penduduk kepulauan ”dibersihkan” oleh tangan besi dan kekejaman J.P. Coen. Kolonis-kolonis Belanda atau ”perkeniers” dan budak-budak di antaranya dari Siau, Solor dan Buton diangkut ke Banda untuk mengisi lagi kepulauan yang kosong akibat kekejaman J.P. Coen itu. Tanpa ampun J.P. Coen menghancurkan rakyat Banda. Yang tidak tewas dibunuh atau ditangkap lalu diangkut ke Batavia sebagai budak. Untung bagi mereka yang masih sempat melarikan diri ke Seram atau ke tempat-tempat lain. Banyak orang kaya yang disuruh pancung kepalanya. Di atas reruntuhan kebun-kebun pala, di atas darah yang membasahi bumi, para perkeniers atau kolonis-kolonis Belanda berpesta. Setiap tahun mereka merayakan hari tanggal 11 Maret sebagai hari kemenangan Belanda atas rakyat Banda. Dalam buku beliau ”Timbulnya Militerisme Ambon” I.O. Nanulaitta selanjutnya menulis: ”Tidakkah ini menunjukkan mentalitas dagang manusia-manusia yang menamakan dirinya orang-orang Keristen? Suatu tragik dalam sejarah Coen dijadikan suatu peristiwa gembira. De Graaf yang terkenal di lingkungan ”lndische Kerk” tidak luput dari mentalitas itu. Dalam buku de Graaf yang berjudul ”Geschiedenis van Indonesie” halaman 196 kita baca: ”Geen onschuldigen, ook geen onnozelen had Coen gestraft, maar de tuchtiging was wel heel zwaar geweest”. Bukan ”heel zwaar” tetapi ”heel onmenselijk” (= sangat tidak berperi-kemanusiaan) adalah istilah yang lebih tepat. (Terjemahan bahasa Belanda tersebut di atas adalah sebagai berikut: ”Tidak ada orang yang tidak bersalah, juga tidak ada orang dungu atau orang


136 Pandir yang dihukum oleh J.P. Coen, tetapi hukuman atau siksaan itu memang sangat berat).

Namun beberapa orang penulis bangsa Belanda sendiri mengakui betapa kejamnya tindakan J.P. Coen dalam peristiwa pembunuhan dan pemusnahan yang dilakukannya di Banda. Van der Chys dalam bukunya "De vestiging van het Nederlandsche gezag over de Banda Eilanden in 1599-1626," halaman 159. antara lain menulis: "Ware voor Coen niet reeds een standbeeld opgericht, ik betwijfel of zulks nog zoude verrijzen. Aan zijn naam kleeft bloed" (terjemahannya: Jika seandainya belum ada patung yang sudah didirikan untuk J.P. Coen, maka saya sangsi apakah patung seperti itu masih patut didirikan. Pada nama J.P. Coen melekat darah). J.K.J. De Jonge dalam bukunya ”De opkomst van het Nederlandsch gezag in Oost Indie” jilid ke IV halaman 61 antara lain menulis: ”De verovering van Banda en wat daar op volgde, blijft de donkerste periode uit de geschiedenis van Coen; hij heeft er zijn naam bevlekt door een optreden dat meer dan onmenselijk genoemd moet worden, onmenselijk in alle tijden (terjemahannya: ”Penaklukan Banda dan apa yang menyusul sesudah itu, tetap merupakan babak yang paling hitam atau yang paling gelap di dalam sejarah J.P. Coen. Di situ ia (J.P. Coen) mencemarkan dan menodai namanya dengan suatu perbuatan yang harus disebut sangat tidak berperi-kemanusiaan, perbuatan tidak berperi-kemanusiaan dalam seluruh masa).

Tegasnya, amat banyak contoh dan bukti yang nyata serta tidak dapat dibantah yang menunjukkan betapa kejamnya tindakan Belanda (V.O.C.) di Maluku. Hal ini bukan tidak diketahui oleh orang-orang Makasar dan para pembesar kerajaan Gowa. Oleh karena itu maka kerajaan Gowa dan orang-orang Makasar selalu berusaha menghalang-halangi perbuatan sewenang-wenang orang-orang Belanda (V.O.C.) di kepulauan Maluku. Seperti sudah diketahui, jauh sebelum orang-orang Eropa dan orang-orang Belanda (V.O.C.) sampai ke kepulauan Maluku, bahkan sudah sejak dahulu kala banyak orang Makasar yang sudah berlayar dan berdagang ke Maluku mencari rempah-rempah. Jauh sebelum orang-orang Eropa dan orang-orang Belanda datang, sudah lama ada perhubungan dagang yang ramai antara Maluku dan kerajaan Gowa. Orang-orang Makasar yang banyak dan sering mengunjungi


137

kepulauan Maluku melihat dengan mata kepala sendiri keadaan dan perbuatan sewenang-wenang orang-orang Belanda (V.O.C.) terhadap rakyat Maluku. Oleh karena itu maka orang-orang Makasar dan Sultan Hasanudin sebagai Raja Gowa sadar betul

dan yakin bahwa apabila orang-orang Belanda (V.O.C.) berkuasa, maka rakyat akan diperas, dibunuh mata pencahariannya dan akan menderita. Daerah Maluku dan penderitaan rakyatnya adalah bukti yang nyata dan fakta sejarah yang tidak dapat dibantah.

Demikianlah perjanjian yang dibuat antara kerajaan Gowa dan utusan Belanda (V.O.C.) Willem van der Beeck tidak menjamin hubungan baik antara kerajaan Gowa dan V.O.C. Orang-orang Belanda memang sering mempunyai maksud-maksud yang tertentu di balik perundingan atau perjanjian yang diadakannya. Belanda (V.O.C.) sering mempergunakan perjanjian itu hanya sebagai istirahat dari gempuran dan gangguan orang-orang Makasar. Tadi sudah kami katakan bahwa peperangan dengan kerajaan Gowa menelan biaya yang besar sekali dan perdagangan V.O.C. mengalami kerugian yang tidak sedikit jumlahnya. Di samping itu Belanda (V.O.C.) berusaha mempergunakan perjanjian yang diadakannya untuk mempelajari kekuatan dan kelemahan-kelemahan musuhnya serta kalau dapat mencari orang-orang atau pihak-pihak yang bersedia bekerja-sama dengan V.O.C. Di dalam hal ini perhatian Belanda (V.O.C.) tertuju pada orang-orang Bugis yang menentang kekuasaan dan supremasi kerajaan Gowa. Tegasnya, perjanjian itu oleh V.O.C. selalu dipergunakan sebagai alat dan batu loncatan untuk menarik keuntungan yang sebanyak-banyaknya.

Demikianlah perjanjian yang dibuat pada akhir tahun 1655 antara kerajaan Gowa dan V.O.C. tidak panjang usianya, terutama karena Belanda (V.O.C.) memang mengandung maksud-maksud tertentu yang tidak jujur. Oleh karena itu pula maka orang-orang Makasar tetap membantu perlawanan orang-orang Maluku yang menderita dan sangat dirugikan oleh perdagangan monopoli, yang dipaksakan oleh orang-orang Belanda (V.O.C.). Orang-orang Makasar tetap menghalang-halangi orang-orang Belanda (V.O.C.) bertindak sewenang-wenang di kepulauan Maluku. Bahkan pelabuhan kerajaan Gowa terbuka bagi orang-orang asing seperti orang-orang Portugis, orang-orang Sepanyol, orang-orang Inggeris

138

dan orang-orang Denmark. Hanya orang-orang Belanda yang belum diperbolehkan berdagang dengan bebas di kerajaan Gowa. Hal ini tentu saja merupakan suatu tamparan yang hebat dan suatu tantangan yang sungguh berat bagi orang-orang Belanda (V.O.C.) yang justeru hendak memaksakan perdagangan monopolinya di bagian timur tanah-air kita. Hubungan antara orang-orang Makasar di bawah pimpinan Sultan Hasanudin dan orang-orang Belanda (V.O.C.) makin tegang dan memburuk.

Pada tanggal 2 Pebruari 1657 Belanda (V.O.C.) mengutus Dirck Schouten sebagai komisaris ke Sombaopu. Belanda (V.O.C.) tidak menepati pasal 7 perjanjian yang dibuat oleh utusan Belanda (V.O.C.) Willem van der Beeck dan kerajaan Gowa, yakni bahwasanya Raja Gowa akan memperoleh ganti kerugian sepenuhnya untuk saham baginda dalam kapal Portugis ”St. Joan Bapthista” yang dirampas oleh V.O.C. Belanda (V.O.C.) hanya membayar sebagian saja dari janji yang dinyatakan oleh utusannya yang berwenang. Tentang selisih atau sisanya Dirck Schouten harus minta maaf. Hal ini tentu tidak dapat diterima begitu saja oleh Sultan Hasanudin. Di sini nyata bahwa Belanda (V.O.C.) tidak jujur dalam melaksanakan perjanjian yang telah dibuatnya secara resmi. Belanda (V.O.C.) ternyata berlaku curang dan tidak menepati perjanjian yang telah dibuatnya secara resmi.

Kemudian Belanda (V.O.C.) menuntut agar Kalamatta (saudara Sultan Mandarsyah dari Ternate yang berpihak kepada kerajaan Gowa) diserahkan kepada Belanda (V.O.C.). Baru-baru ini Kalamatta menyerang sebuah kapal Belanda (V.O.C.) di perairan Buton dan membunuh sebagian anak buah kapal itu, sedang sisanya dijadikan budak oleh Kalamatta. Tuntutan Belanda (V.O.C.) untuk menyerahkan Kalamatta ditolak mentah-mentah oleh Sultan Hasanudin. Kerajaan Gowa tidak mau didikte begitu saja oleh orang-orang Belanda (V.O.C.). Sultan Hasanudin menyesali dan mencela bahwa Belanda tidak menepati perjanjian yang telah disetujuinya.

Keterlibatan orang-orang Belanda dalam persoalan Menado yang menjadi persengketaan antara kerajaan Gowa dan kerajaan Ternate juga menambah tegangnya hubungan antara kerajaan Gowa dan V.O.C. Kumpeni Belanda (V.O.C.) yang bersekutu dengan kerajaan Ternate mendirikan sebuah benteng pertahanan


139

di Menado. Beberapa buah perahu kerajaan Gowa, antara lainnya termasuk perahu-petahu milik Karaeng Karunrung dan Karaeng Sumana yang sungguhpun memiliki pas jalan dirampas juga oleh Belanda (V.O.C.). Kerajaan Gowa menuntut ganti kerugian atas perahu-perahu yang dirampas dengan sewenang-wenang oleh Belanda (V.O.C.) itu. Tidak heran jikalau hubungan antara kerajaan Gowa dan V.O.C. makin hari makin meruncing dan gawat V.O.C. lebih gelisah lagi setelah para pembesar Belanda di Batavia mengetahui dengan pasti bahwa kerajaan Gowa dan kerajaan Banten yang juga menjadi musuh Kumpeni Belanda (V.O.C.) saling tukar-menukar utusan.

Begitu gawatnya hubungan antara kerajaan Gowa dan V.O.C. itu sehingga kepala kantor perdagangan Belanda di Sombaopu yang bernama Reyniersen pada tanggal 24 Mei 1658 dengan diam-diam berangkat dengan kapal ”Gelria” ke Batavia. Tindakan Reyniersen ini sangat dicela oleh para pembesar V.O.C. di Batavia. Kepergian Reyniersen dengan sembunyi-sembunyi akan memperbesar kecurigaan orang-orang Makasar, bahwa orang-orang Belanda (V.O.C.) memang sedang mempersiapkan suatu peperangan terbuka dengan kerajaan Gowa. Maka dengan segera para pembesar V.O.C. di Batavia yakni pada tanggal 20 Agustus 1658, mengirimkan dua orang utusan, yakni Joan Barra dan Pieter Schuyftang ke Sombaopu untuk melanjutkan hubungan perdagangan V.O.C. dengan kerajaan Gowa.

Akan tetapi di balik itu dalam bulan Nopember 1658 Gubernur Ambon yang bernama Jacob Bustard membuat perjanjian dengan orang-orang Buru untuk memusuhi orang-orang Makasar. V.O.C. melarang orang-orang Makasar mengunjungi pulau Buru. Orang-orang Buru diwajibkan melaporkan kepada Gubernur Ambon, jikalau ada orang-orang Makasar yang datang berkunjung ke kepulauan mereka.

Pada tanggal 10 Pebruari 1659 Raad van Indie (Dewan Hindia) mengadakan perundingan bagaimana hendaknya sikap V.O.C. terhadap kerajaan Gowa. Belanda (V.O.C.) menghendaki agar kerajaan Gowa jangan mencampuri atau mengusik-usik rakyat di daerah yang dikuasai oleh V.O.C. dan sekutunya seperti Sultan Mandarsyah dari Ternate. V.O.C, menghendaki agar janji ini dicantumkan di dalam sebuah perjanjian. Di dalam perjanjian itu termasuk pula semua sekutu Kumpeni Belanda


140 (V.O.C.). Jikalau kerajaan Gowa tidak mau memenuhi keinginan V.O.C. ini, maka tidak akan diadakan pengembalian uang. Demikian pula segala tuntutan ganti kerugian dari pihak kerajaan Gowa tidak akan dilayani. Maka lebih baik mereka berhadapan dalam peperangan terbuka dari pada hidup di dalam perdamaian yang semu. Untuk melaksanakan keputusan ini pada tanggal 25 Pebruari 1659 diutuslah Willem Bastingh oleh pimpinan V.O.C. di Batavia sebagai komisaris ke Sombaopu. Willem Bastingh membawa pula 50.000 (lima puluh ribu) gulden untuk kemungkinan ada tagihan atau ada tuntutan mengenai keuangan dari pihak kerajaan Gowa.

Tugas Willem Bastingh gagal dan tidak dapat mencapai apa yang dikehendaki oleh V.O.C. Pada tanggal 16 September 1659 utusan V.O.C. itu terpaksa kembali ke Batavia untuk melaporkan segala apa yang dialaminya di Gowa. Setelah beberapa kali mengadakan pembicaraan yang tidak menghasilkan apa-apa, maka pada tanggal 1 April 1659 Sultan Hasanudin menyampaikan sebuah memo kepada V.O.C. dengan tuntutan-tuntutan antara lain sebagai berikut:

1) V.O.C. tidak boleh mencampuri soal pulau Buru dan pulau Seram serta tidak boleh mengganggu penduduk pulau-pulau itu.

2) Orang-orang Makasar yang ada di tangan (di tawan) Kumpeni Belanda (V.O.C.) harus diserahkan kembali kepada Gowa.

3) Raja Gowa harus menerima sisa pembayaran kapal St. Joan Bapthista yang dirampas oleh V.O.C. sesuai dengan jumlah yang dijanjikan oleh Willem van der Beeck (utusan V.O.C. yang terdahulu).

4) V.O.C. harus membayar ganti kerugian untuk 400 (empat ratus) orang Bima yang dibinasakan atau dibawa pergi pada waktu V.O.C. menyerang Bima.

5) Benteng pertahanan Belanda (V.O.C.) di Menado (Minahasa) harus dibongkar.

6) V.O.C. harus mengembalikan perahu-perahu milik Karaeng Karunrung dan Karaeng Sumana yang dirampas oleh V.O.C. serta barang-barang milik Francisco Viera dan Francisco Mendes yang ada di dalam perahu-perahu itu.


141

7) Semua perahu yang mengibarkan panji kerajaan Gowa dan membawa surat-surat keterangan yang dibubuhi cap kerajaan Gowa tidak boleh diganggu oleh orang-orang Belanda (V.O.C.) di lautan manapun juga dan ke manapun juga perahu-perahu itu menuju. Bahkan pun jikalau perahu-perahu itu menuju ke pelabuhan negeri yang bermusuhan dengan Belanda (V.O.C.).

Sebaliknya pihak Kompeni Belanda (V.O.C.) mengadakan usul-usul dan tuntutan-tuntutan antara lain sebagai berikut:

1) Pampasan atau ganti kerugian untuk kapal Bapthista akan dibayar asal Francisco Viera berani menerangkan di bawah sumpah bahwa muatan kapal yang diajukan pampasannya itu betul-betul ada dan memang sekian jumlahnya.

2) Dengan syarat yang sama, yakni pakai keterangan di bawah sumpah, pampasan untuk perahu-perahu Makasar yang dirampas oleh V.O.C. akan dibayar.

3) Pampasan untuk serangan atas Bima tidak akan dibayar, karena serangan itu tidak dilakukan atas Bima, akan tetapi di daerah yang berbatasan dan daerah itu berada di luar daerah yang menjadi urusan kerajaan Gowa.

4) V.O.C. minta agar perdamaian dipelihara pula terhadap sekutu-sekutu V.O.C. seperti Ternate, Bacan, Tidore dan daerah-daerah lainnya. Kerajaan Gowa jangan mencampuri atau mengganggu pelabuhan-pelabuhan dan pulau-pulau yang sudah dikuasai V.O.C.

5) V.O.C. minta agar diberi tanah tempat tinggal yang tetap di ibukota kerajaan Gowa (Sombaopu).

6) V.O.C. menunutut agar semua orang Belanda dan budak-budak V.O.C. yang lari diserahkan kepada V.O.C.

7) V.O.C. menuntut agar supaya kerajaan Gowa membayar hutang-hutangnya kepada V.O.C.

8) V.O.C. menuntut agar kerajaan Gowa melindungi orang-orang Belanda atau para pegawai V.O.C. terhadap orang-orang Makasar dan orang-orang Portugis yang mengganggu mereka.

Jikalau semua ini dipenuhi, maka benteng V.O.C. di Menado akan dibongkar.

Pada tanggal 27 April 1659 diadakan perundingan antara V.O.C. yang diwakili oleh utusan V.O.C. yang bernama Willem
142 Bastingh dan kerajaan Gowa yang diwakili oleh Karaeng Popo yang bertindak atas nama Raja Gowa (Sultan Hasanudin).

Pihak kerajaan Gowa tidak mau membicarakan soal perdamaian dengan kerajaan-kerajaan lain dengan perantaraan V.O.C. Kerajaan Ternate dan kerajaan-kerajaan lainnya itu dapat berhubungan langsung dan berunding tersendiri dengan kerajaan Gowa. Tidak perlu dengan perantaraan V.O.C.

Tentang larangan berdagang di pulau-pulau dan pelabuhan-pelabuhan Maluku "yang katanya" dikuasai oleh V.O.C. tidak disetujui oleh kerajaan Gowa. Pihak kerajaan Gowa menganggap hal itu bertentangan dengan ajaran Tuhan. Menurut kerajaan Gowa, Tuhan menciptakan bumi agar semua orang dapat hidup dan menikmati kemanfaatannya. Ataukah orang-orang Belanda (V.O.C.) menyangka bahwa Tuhan menciptakan pulau-pulau yang begitu jauh letaknya dari negeri mereka semata-mata agar orang-orang Belanda (V.O.C.) saja yang boleh berdagang di pulau-pulau itu?

Seperti yang sudah dikatakan di depan tadi, tugas Willem Bastingh gagal. Beliau tidak dapat mencapai apa yang dikehendaki oleh V.O.C. Pada tanggal 16 September 1659 Willem Bastingh berangkat menuju ke Batavia (Jakarta). Atas persetujuan dan atas idzin Sultan Hasanudin tiga orang Belanda boleh tinggal di Sombaopu, yakni seorang pembantu, seorang penterjemah dan seorang pelaut (matroos). Pembantu yang ditinggalkan itulah pada bulan Nopember 1659 menulis surat ke Batavia (Jakarta).

Pembantu itu melaporkan bahwa di Sombaopu tersebar luas berita bahwa pada tahun yang akan datang V.O.C. akan memaklumkan perang kepada kerajaan Gowa. Oleh karena itu maka kerajaan Gowa giat membangun pertahanan-pertahanan. Kerajaan Gowa mengadakan persiapan untuk menghadapi serangan V.O.C. Memang V.O.C. sudah beberapa kali memblokade dan menyerang Sombaopu, ibukota kerajaan Gowa. Firasat orang-orang Makasar ini memang sangat tajam dan kemudian ternyata mengandung kebenaran. Hubungan antara orang-orang Makasar di bawah pimpinan Sultan Hasanudin dan orang-orang Belanda (V.O.C.) makin hari makin tegang. V.O.C. sangat jengkel atas sikap orang-orang Makasar yang tidak mau menuruti kehendak dan keinginan V.O.C. Oleh karena itu maka


143

para pembesar Belanda (V.O.C.) di Batavia memutuskan untuk

menyerang kerajaan Gowa.

Dalam bulan Januari dan bulan Pebruari 1660 sejumlah besar kapal-kapal yang memang sudah dipersiapkan berangkat ke Ambon. Untuk tidak menimbulkan curiga pada orang-orang Makasar maka kapal-kapal itu berangkat sekelompok demi sekelompok. Jadi tidak sekaligus bersama-sama. Oleh V.O.C. direncanakan agar pada musim kemarau yang akan datang kapal-kapal itu berangkat dari Ambon menuju ke Sombaopu, ibukota kerajaan Gowa. Sebagai pemimpin armada V.O.C. ini ditunjuk dan ditetapkanlah Mr. Johan van Dam. Jabatan Van Dam yang terakhir ialah sebagai Majoor van Batavia. Sebagai wakil van Dam ditunjuk Johan Truytman. Armada ini terdiri dari 31 (tiga puluh satu) buah kapal besar dan kecil serta membawa 2600 (dua ribu enam ratus) orang, di antaranya terdapat 400 (empat ratus) orang Ambon. Valentijn menyatakan 33 (tiga puluh tiga) buah kapal dengan anak buah 2700 (dua ribu tujuh ratus) orang. Kecuali para pemimpinnya tidak seorang anak-buahpun yang tahu ke mana tujuan armada itu.

Di dalam instruksinya Van Dam memerintahkan agar armada itu berlabuh di Tanakeke. Dari sini hanya sebuah kapal yang akan menuju ke Sombaopu untuk menjemput dan mengamankan ketiga orang Belanda yang ditinggalkan oleh Willem Bastingh. Kemudian barulah mereka akan menyerang kerajaan Gowa. Tujuan utama dari pada serangan armada Belanda (V.O.C.) itu, ialah Benteng Pannakukang, sebuah benteng yang terletak di sebelah selatan Benteng Sombaopu. Seperti sudah diketahui, Benteng Sombaopu menjadi benteng utama dan ibukota kerajaan Gowa. Benteng Sombaopu menjadi tempat tinggal Raja Gowa (Sultan Hasanudin). Benteng Ujung Pandang terletak di sebelah utara Benteng Sombaopu. Van Dam memerintahkan pula agar menghindari dan jangan menembak loji orang-orang lnggeris. Demikian rencana serangan armada V.O.C. yang dipimpin oleh Johan van Dam.

Pada tanggal 12 Mei 1660 armada V.Q.C. yang dipimpin oleh Van Dam meninggalkan kota Ambon. Mula-mula mereka menuju ke pulau Berbite, sebuah pulau di sebelah timur-laut pulau Flores. Di pulau itu mereka mengambil air dan bahan-bahan yang segar. Barulah diberitahukan kepada anak buah armada


144 itu apa tujuan armada itu. Setelah mengetahui bahwa yang mereka akan hadapi ialah orang-orang Makasar yang terkenal gagah-berani, maka banyaklah di antara mereka yang sangat heran. Bahkan banyak di antara mereka yang ketakutan.

Dari Tanakeke armada V.O.C. yang dipimpin oleh Johan van Dam dan Johan Truytman menuju ke Sombaopu. Pada tanggal 6 Juni 1660 armada Belanda (V.O.C.) itu sudah berada di depan pelabuhan Sombaopu. Pembantu dan penterjemah yang ditinggalkan oleh Willem Bastingh segera datang ke kapal-kapal Belanda itu, sedang pelaut (matroos) yang tertinggal baru pada tanggal 8 Juni 1660 pagi-pagi dapat mencapai armada Belanda itu. Armada Belanda (V.O.C.) ini terdiri dari 22 (dua puluh dua) buah kapal besar, 3 (tiga) buah kapal yang lebih kecil dan 8 ( delapan) buah kapal pendarat. Armada ini memuat 1064 (seribu enam puluh empat) orang pasukan Belanda dan 1700 (seribu tujuh ratus) orang pasukan yang terdiri dari orang-orang Indonesia. Jadi pada waktu itu orang-orang Belanda sudah pandai mengadu-domba kita bangsa Indonesia.

Orang-orang Belanda segera menyerang enam buah kapal Portugis yang kebetulan sedang berlabuh di pelabuhan Sombaopu. Maka terjadilah pertempuran laut yang singkat dan sangat seru antara armada V.O.C. itu dan kapal-kapal Portugis. Karena kekuatan dan persenjataan yang tidak seimbang, maka armada Belanda itu segera dapat mengalahkan orang-orang Portugis. Kapal pemimpin orang-orang Portugis dapat diledakkan dan ditenggelamkan oleh armada Belanda (V.O.C.). Sebuah kapal Portugis yang diberi nama ”Nostra Signora de Remadia” dapat direbut dan jatuh ke tangan orang-orang Belanda. Kapal itu kemudian dirubah namanya menjadi "Hollandsche Remedia”. Kapal ini lalu digabungkan ke dalam armada Belanda. Orang-orang Portugis yang ditangkap oleh orang-orang Belanda ini dikirim dengan sebuah perahu ke darat. Maksudnya tentu saja untuk memperlihatkan keunggulan Belanda dan agar orang-orang Makasar gentar menghadapi armada V.O.C. yang unggul itu.

Kemenangan orang-orang Belanda itu sedikitpun tidak menggentarkan orang-orang Makasar. Bahkan di daratan tampak pasukan-pasukan kerajaan Gowa mengibarkan panji-panji perangnya dan mulai menembaki dengan serunya kapal-kapal armada V.O.C. Tembakan dari daratan itu dibalas dengan tembakan meriam


145

yang gencar oleh armada V.O.C. Pada malam harinya kapal-kapal Belanda (V.O.C.) menjauhi pantai.

Pada tanggal 12 Juni 1660 pasukan-pasukan Belanda (V.O.C.) dengan diam-diam dinaikkan ke dalam sekoci-sekoci dan sampan-sampan kecil. Kemudian mereka ditutupi dengan kain layar dan tenda sehingga tidak tampak kalau sampan-sampan dan sekoci-sekoci itu berisi pasukan-pasukan Belanda. Kemudian armada V.O.C. yang dipimpin oleh Johan van Dam dan Johan Truytman itu melakukan gerakan semu ke utara seolah-olah tujuan utama serangan armada Belanda (V.O.C.) itu ditujukan kepada Sombaopu, ibukota kerajaan Gowa. Pasukan-pasukan Gowa yang bertugas menjaga dan harus mempertahankan Benteng Pannakukang tertipu oleh gerakan semu armada V.O.C. itu. Mereka menyangka bahwa Benteng Sombaopu akan diserang dan direbut oleh armada Belanda. Maka sebagian besar pasukan-pasukan yang seharusnya menjaga dan mempertahankan Benteng Pannakukang keluar dari benteng itu dan menuju ke utara dengan maksud untuk membantu Benteng Sombaopu. Jadi Benteng Pannakukang dapat dikatakan kosong dan tidak dijaga sama sekali. Sebagian besar pasukan yang seharusnya mempertahankan benteng dikerahkan ke utara untuk membantu membela dan mempertahankan Sombaopu, benteng utama dan ibukota kerajaan Gowa.

Kemudian terjadi duel meriam yang sangat seru antara kapal-kapal armada V.O.C. dan pertahanan Benteng Sombaopu. Sementara itu sekoci-sekoci dan sampan-sampan yang berisi pasukan-pasukan Belanda dengan diam-diam dapat mendarat di pantai dekat Benteng Pannakukang. Pasukan-pasukan Belanda itu segera menyerbu ke dalam benteng yang dapat dikatakan sudah kosong itu. Semua pasukan Gowa yang berada di dalam Benteng Pannakukang yang tidak menduga adanya serangan itu habis dibunuh oleh pasukan-pasukan Belanda. Dengan demikian Benteng Pannakukang berhasil direbut oleh pasukan-pasukan V.O.C.

Kemudian pasukan-pasukan Belanda itu mengadakan persiapan terhadap serangan balasan pasukan-pasukan kerajaan Gowa. Dugaan Belanda itu tidak meleset. Setelah menyadari kekeliruannya, maka pasukan-pasukan Gowa segera mengadakan serangan balasan terhadap pasukan-pasukan Belanda yang bertahan di dalam Benteng Pannakukang Maka terjadilah pertempuran yang sengit antara pasukan-pasukan V.O.C. dan pasukan-pasukan kerajaan


146 Gowa yang mengadakan serangan balasan. Berkat perlengkapan dan persenjataannya yang lebih unggul pasukan-pasukan V.O.C. dapat bertahan, namun tidak tanpa korban. Sembilan orang tentara Belanda yang tewas di dalam pertempuran itu dimakamkan di dekat Benteng Pannakukang.

Untuk mencegah pertumpahan darah yang lebih banyak, maka Belanda berusaha mengadakan perundingan dengan orang-orang Makasar. Usaha Belanda (V.O.C.) untuk mengadakan perundingan dan perjanjian perdamaian tercapai. Pada tanggal 10 Agustus 1660 diadakanlah cease-fire atau penghentian tembak-menembak. Kemudian diadakan sebuah perjanjian gencatan senjata di muka kota Garassi. Karaeng Popo sebagai utusan Raja Gowa (Sultan Hasanudin) akan berangkat ke Batavia (Jakarta) untuk mengurus dan menyelesaikan soal perdamaian antara orang-orang Makasar (kerajaan Gowa) dan orang-orang Belanda (V.O.C.). Perlu kami singgung di sini, bahwa Karaeng Popo atau lengkapnya Abdul Kadir I. Mallawakkang Daeng Sisila Karaeng Popo adalah saudara seayah lain ibu dari Karaeng Pattingaloang Tumenanga ri Bontobiraeng, Mangkubumi kerajaan Gowa yang terkenal cakap dan cendekia.

Perjanjian gencatan senjata yang diadakan pada tanggal 10 Agustus 1660 di muka Garassi itu memuat pasal-pasal antara lain sebqai berikut:

  1. Perhentian permusuhan dan perletakan senjata atau penghentian tembak-menembak berlangsung selama utusan kerajaan Gowa, Karaeng Popo, berada di Batavia (Jakarta).
  2. Kedua belah pihak tetap memiliki kepunyaannya, seperti halnya sebelum Benteng Pannakukang direbut oleh Belanda (V.O.C.).
  3. Orang-orang Makasar (kerajaan Gowa) tidak akan menjalankan tindakan yang bermusuhan terhadap orang-orang Belanda (V.O.C.).
  4. Selain dari pada untuk menjual dan menyerahkan bahan-bahan makanan orang-orang Makasar tidak boleh mendekati atau menghampiri kedudukan Belanda (V.O.C.) di Pannakukang.
  5. Orang-orang Portugis yang berada di Sombaopu (ibukota kerajaan Gowa) harus tetap tinggal di dalam kota dan tidak boleh keluar pelabuhan atau berlayar.


147

6. Bangsa-banga dan saudagar-saudagar lainnya yang sebelum pecah peperangan bergaul sebagai sahabat orang-orang Makasar (kerajaan Gowa) harus menjauhkan diri dari pelabuhan Sombaopu.

Di dalam pasal 3 “Perjanjian Garassi“ ini ada disebutkan bahwa orang-orang Makasar (kerajaan Gowa) tidak boleh menjalankan tindakan yang bermusuhan terhadap orang-orang Belanda. Di dalam pasal 4 ada pula disebutkan bahwa orang-orang Makasar tidak boleh mendekati atau menghampiri kedudukan orang-orang Belanda di Benteng Pannakukang, kecuali untuk menjual atau menyerahkan bahan-bahan makanan. Hal ini dengan jelas menunjukkan betapa takutnya orang-orang Belanda kepada orang-orang Makasar yang memang sering sebagai pasukan perenggut nyawa dengan tiba-tiba menyerang dan merenggut nyawa orang-orang Belanda yang dimusuhinya itu. Di dalam kenyataannya memang sering terjadi bahwa orang-orang Belanda yang sedang menuju ke perahu atau kapalnya dengan tidak disangka-sangka terkena anak sumpitan yang beracun dan tidak lama kemudian meninggal karena racun anak sumpitan itu.

Perjanjian Garassi ini adalah sebuah perjanjian gencatan senjata yang mendahului perjanjian perdamaian yang sedang diurus dan akan dirundingkan oleh Karaeng Popo dengan pimpinan V.O.C. di Batavia (Jakarta). Karaeng Popo diutus oleh Sultan Hasanudin sebagai wakil kerajaan Gowa.

Perlu kami singgung di sini, bahwa selama gencatan senjata diadakan, orang-orang Belanda (V.O.C.) mencari dan mempergunakan kesempatan untuk berhubungan dengan orang-orang atau pihak yang memusuhi kerajaan Gowa. Di sini ternyata lagi betapa tidak jujurnya orang Belanda (V.O.C.) yang memang selalu dan terus-menerus berusaha merongrong kerajaan Gowa. Orang-orang Belanda berusaha menghasut orang-orang Bugis, terutama orang-orang Bugis dari Bone, untuk menentang dan melawan kekuasaan Gowa. Seperti telah diketahui pada waktu itu Bone dikalahkan dan ditaklukkan oleh kerajaan Gowa. Banyak orang-orang dan bangsawan Bone yang diangkut sebagai tawanan ke Gowa. Di antara mereka itu terdapat Aru Palaka dan keluarga serta kawan-kawan beliau. Dengan mereka itulah Belanda berusaha mencari hubungan untuk bersama-sama memusuhi dan menentang kekuasaan kerajaan Gowa.


148

Kapten Herman van Outshoorn tinggal bersama Joan Barra dengan kurang lebih 500 (lima ratus) orang pasukan Belanda di Benteng Pannakukang. Mereka diberi bekal makanan untuk lima bulan lamanya. Untuk mereka disediakan pula empat buah kapal yang dipersenjatai dengan baik serta dua buah sekoci. Johan Truytman oleh van Dam dikirim ke Timor dan kepulauan Maluku sedang van Dam sendiri berangkat dengan perutusan kerajaan Gowa yang dipimpin oleh Karaeng Popo melalui Jepara ke Batavia. Pada tanggal 17 Juli 1660 van Dam dan perutusan kerajaan Gowa di bawah pimpinan Karaeng Popo tiba di Batavia.

Pada tanggal 29 Juli 1660 pihak Belanda menunjuk angota Dewan Hindia (Raad van Indie) De Vlamingh van Outshoorn dan Johan van Dam sebagai wakil resmi V.O.C. untuk mengadakan perundingan perdamaian dengan perutusan kerajaan Gowa yang dipimpin oleh Karaeng Popo. Maka diadakanlah perundingan antara V.O.C. dan kerajaan Gowa.

Isi pokok dari pada perjanjian perdamaian itu antara lain ialah:

- Orang-orang Makasar untuk selanjutnya tidak akan mencampuri lagi segala urusan yang mengenai Buton, Menado dan Ambon.

- Orang-orang Makasar tidak boleh lagi mengadakan pelayaran ke Banda dan ke Ambon.

- Orang-orang Portugis harus meninggalkan Sombaopu (Gowa) untuk selama-lamanya, sedang Belanda (V.O.C.) diberi kebebasan untuk berdagang di sana.

- Raja Gowa harus membayar segala biaya perang dan menyerahkan Pangeran Kalamatta (saudara Sultan Ternate) kepada Belanda (V.O.C.).

- Selama Raja Gowa belum menanda-tangani perjanjian ini dan melaksanakan apa yang tercantum di dalam perjanjian itu, maka pasukan-pasukan Belanda (V.0.C.) akan tetap menduduki Benteng Pannakukang yang telah direbutnya pada tanggal 12 Juni 1660.

Karena tidak ada persesuaian paham mengenai jumlah biaya ganti kerugian perang, maka pihak Belanda (V.O.C.) memutuskan untuk mengirimkan sebuah perutusan ke Sombaopu. Perutusan V.O.C. ini terdiri dari Zacharias Wagenaer dan Jacob


149

Cau. Pada tanggal 13 Oktober 1660 perutusan Betanda (V.O.C.) itu tiba di Sombaopu. Akan tetapi Sultan Hasanudin menolak mengadakan pembicaraan dengan perutusan Belanda (V.O.C.) itu sebelum Karaeng Popo kembali dari Batavia. Pada tanggal 24 Nopember 1660 barulah Karaeng Popo tiba di Sombaopu. Suatu kelicikan orang-orang Belanda (V.O.C.) ialah bagaimana cara mereka memaksa kerajaan Gowa untuk memenuhi tuntutan dan keinginan-keinginan V.O.C. Orang-orang Belanda (V.O.C.) menahan sebagai sandera beberapa orang bangsawan dan pembesar kerajaan Gowa yang ikut bersama Karaeng Popo ke Batavia sampai semua orang Portugis diusir dan disuruh keluar dari Gowa. Pada waktu itu orang-orang Portugis yang berada di Sombaopu (Gowa) tidak sedikit jumlahnya, yakni ada kurang lebih dua ribu orang jumlahnya.
Cara lain yang dipergunakan oleh Belanda (V.O.C.) untuk memaksa kerajaan Gowa untuk memenuhi kehendak mereka ialah antara lain memperkuat benteng Pannakukang yang mereka sudah rebut dan duduki. Mereka (orang-orang Belanda) juga mengadakan hubungan dengan orang-orang Bugis yang memusuhi kerajaan Gowa.
Kemudian Sultan Hasanudin memberitahukan kepada orang-orang Portugis yang terkemuka seperti Francisco Viera, Francisco Mendes dan yang lain-lainnya bahwa baginda telah mengadakan perjanjian perdamaian dengan orang-orang Belanda (V.O.C.). Baginda juga memberitahukan bahwa di dalam perjanjian itu ada tercantum pasal yang menyatakan bahwa orang-orang Portugis harus meninggalkan kerajaan Gowa untuk selama-lamanya.
Kerajaan Gowa juga mendesak dan memaksa pihak Belanda (V.O.C. mengalah dalam beberapa hal. Tuntutan Belanda (V.O.C.) sebesar 21.034 (dua puluh satu ribu tiga puluh empat) ringgit sebagai ganti kerugian yang harus dibayar oleh kerajaan Gowa ditiadakan. Demikian pula Pangeran Kalamatta dari Ternate boleh tinggal tetap di Sombaopu (Gowa). Belanda (V.O.C.) harus pula berjanji tidak akan meng-kristen-kan orang-orang Makasar. Orang-orang Belanda yang telah masuk Islam harus tetap menjadi orang Islam.
Pada tanggal 1 Desember 1660 barulah Sultan Hasanudin menanda tangani perjanjian perdamaian itu. Setelah itu pasukan-pasukan Belanda (V.O.C.) mengosongkan dan meninggalkan
Benteng Pannakukang. Tentang seluruh peperangan ini dalam "BUKU HARIAN RAJA-RAJA GOWA DAN TALLO" (Het dagboek der Vorsten van Gowa en Tallo) ada tercantum antara lain sebagai berikut: Tahun 1660: Tanggal 12 Juni Pannakukang diserang oleh orang-orang Belanda. Tanggal 5 Juli Karaeng Popo

pergi ke Batavia untuk membeli kembali Pannakukang. Tanggal 2 Desember kami berunding dengan orang-orang Belanda dan mengadakan perdamaian.

Jadi dalam keyakinan orang-orang Makasar tertanam bahwa Karaeng Popo pergi ke Batavia dengan tugas untuk membeli kembali benteng Pannakukang yang direbut dan diduduki oleh Belanda (V.O.C.).

Di sini bukanlah maksud kami untuk menguraikan dengan panjang lebar dan secara mendetail serta mendalam tentang perjanjian yang diadakan di Batavia (Jakarta). Perjanjian itu dibuat pada tangga1 19 Agustus 1660 oleh Karaeng Popo sebagai utusan dan wakil Sultan Hasanudin dan para wakil V.O.C. yang nama-namanya telah kami sebutkan di depan tadi. Namun secara singkat ingin kami meninjau dan menyoroti perjanjian yang untuk mudahnya kami sebut saja "Perjanjian Jakarta" ini dari beberapa segi. Di depan tadi kami sudah mengatakan bahwa di balik keinginan dan usaha Belanda (V.O.C.) untuk mengadakan perundingan dan mencapai perjanjian persahabatan dengan Raja-Raja atau pemimpin bangsa Indonesia, selalu ada tersembunyi maksud-maksud yang tidak jujur. Memang sejarah bangsa Indonesia penuh dengan fakta-fakta yang membuktikan bahwa tiap-tiap perjanjian dengan pihak Belanda selalu merugikan bagi bangsa Indonesia. Belanda selalu licik dan sangat lihai dalam menghadapi kepercayaan baik bangsa Indonesia terhadap "maksud-maksud baik" Belanda. Pun di dalam perjanjian yang diadakan antara Karaeng Popo yang mewakili Sultan Hasanudin dan wakil-wakil resmi V.O.C. di Jakarta ini tampak dengan jelas hal ini. Dalam perjanjian itu seolah-olah pihak kerajaan Gowa pihak yang takluk atau menyerah tanpa syarat. Pada waktu perjanjian itu dibuat (tahun 1660) potensi politik dan potensi ekonomi kerajaan Gowa di daerah Indonesia bagian timur tidaklah kalah jikalau dibandingkan dengan potensi politik dan potensi ekonomi yang dimiliki oleh Belanda (V.O.C.). Namun, di dalam keadaan yang sedemikian itu Belanda yang memang sangat licik dan tidak jujur berhasil juga menciptakan sebuah perjanjian yang sedemikian rupa seolah-olah pada waktu itu kerajaan Gowa di pihak yang takluk atau menyerah tanpa syarat. Di dalam perjanjian itu dengan jelas tercantum pasal-pasal yang sangat merendahkan dan merugikan kerajaan Gowa. Dengan ini jelas sekali bahwa perjanjian yang dibuat antara Karaeng Popo sebagai wakil Sultan Hasanudin dan Gubernur Jenderal Joan Maetsuycker di Batavia (Jakarta) ini dibuat dengan cara yang tidak jujur di pihak Belanda.

Dengan tidak mengurangi rasa hormat kami kepada Karaeng Popo yang mewakili Sultan Hasanudin, kami sangat heran dan sukar dapat menerima mengapa sampai perjanjian yang sangat merugikan dan merendahkan martabat kerajaan Gowa, dapat tercapai. Padahal pada waktu itu kerajaan Gowa masih memegang supremasi di bagian timur Indonesia. Apakah mungkin karena kurang paham dan kurang berpengalaman dalam diplomasi dan perundingan-perundingan yang bertaraf internasional, maka dengan penuh kepercayaan baik terhadap "maksud-maksud jujur" pihak Belanda, beliau menanda-tangani perjanjian itu. Di dalam "Buku Harian Raja-Raja Gowa dan Tallo" yang telah kami sebutkan tadi, hanya tercantum bahwa Karaeng Popo pergi ke Jakarta (Batavia) untuk membeli kembali Pannakukang. Jadi tugas utama Karaeng Popo yang mewakili Sultan Hasanudin ialah agar Pannakukang kembali ke tangan kerajaan Gowa. Inilah yang menjadi tugas dan tujuan utama dari pada Karaeng Popo ke Batavia. Pokoknya asal Benteng Pannakukang dapat kembali ke pangkuan kerajaan Gowa Jadi mungkin juga Karaeng Popo sebagai wakil Sultan Hasanudin kurang teliti. Beliau kurang menyadari betapa besar kekuatan dan akibat hukum dari pada perumusan-perumusan yang tercantum pada pasal demi pasal perjanjian itu. Pokoknya asal ada disebutkan bahwa Pannakukang akan kembali kepada kerajaan Gowa. Pasal-pasal yang lainnya tidak begitu dihiraukan lagi setelah soal kembalinya Benteng Pannakukang kepada kerajaan Gowa disetujui oleh Belanda (V.O.C.). ltulah yang menjadi tujuan utamanya ke Batavia. Keadaan jiwa dan jalan pikiran Karaeng Popo seperti itulah yang dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh V.O.C. untuk menciptakan rumusan-rumusan perjanjian yang menguntungkan V.O.C. Mungkin juga ada tekanan atau pengaruh psykhologis di Batavia yang pada waktu itu menjadi pusat kekuasaan dan kekuatan V.O.C. Misalnya dengan bujukan-bujukan dan kata-kata serta pelayanan yang menawan hati. Mungkin pula dengan janji-janji yang muluk-muluk yang memang sudah direncanakan oleh pihak Belanda (V.O.C.). Di dalam hal ini orang-orang Belanda (V.O.C.) memang mahir dan sangat lihai. Dalam suasana dan dalam keadaan yang demikianlah Karaeng Popo menanda-tangani perjanjian yang jelas, tapi mungkin tidak disadarinya, sangat merugikan pihak kerajaan Gowa yang diwakilinya.

Suatu pertanyaan yang besar yang timbul pada kita, ialah mengapa perjanjian yang sangat menguntungkan pihak Belanda (V.O.C.), tetapi sangat merugikan kerajaan Gowa itu justeru harus dibuat dan ditanda-tangani di Batavia. Mengapa tidak di Gowa atau di Sombaopu saja. Melihat betapa gigihnya Sultan Hasanudin dan kerajaan Gowa menentang maksud angkara murka Belanda (V.O.C.) di daerah-daerah Indonesia bagian timur, maka amat sukar diterima bahwa Sultan Hasanudin dan orang-orang Makasar mau menyetujui dan menerima perjanjian seperti itu. Apalagi jikalau Sultan Hasanudin dan orang-orang Makasar yang baginda pimpin memahami sepenuhnya pasal-pasal yang tercantum di dalam perjanjian yang sangat merugikan pihak kerajaan Gowa itu. Pada waktu "Perjanjian Batavia" ini ditandatangani, kerajaan Gowa masih tetap merupakan sebuah kerajaan yang kuat serta jaya di Indonesia bagian timur. Pada waktu itu Gowa bukan sebuah kerajaan yang takluk atau bertekuk lutut dan menyerah tanpa syarat.

Kita sudah tahu bahwa Belanda (V.O.C.)lah yang sangat berkepentingan dengan suasana damai. Kita juga tahu bahwa orang-orang Belanda (V.O.C.) sangat bergembira jikalau dapat hidup di dalam suasana damai dengan orang-orang Makasar (kerajaan Gowa) di daerah Indonesia bagian timur. Amatlah sukar bagi kita untuk percaya bahwa perjanjian itu betul-betul dibuat dengan maksud dan tujuan berdamai yang jujur. Berlayar dan berdagang tanpa diganggu atau dimusuhi oleh orang-orang Makasar saja sudah dapat memberi keuntungan yang tak ternilai harganya kepada Belanda (V.O.C.). Pelaut-pelaut Makasar yang gagah-berani sangat disegani di daerah Indonesia bagian timur.

Di depan tadi sudah dikatakan bahwa Belanda (V.O.C.) terpaksa harus merubah siasatnya, yakni siasat mempergunakan kekerasan dengan siasat berunding dan mengadakan perdamaian. Orang-orang Belanda (V.O.C.) berulang-ulang kali berusaha mendekati orang-orang Makasar. Bermusuhan dan bertempur dengan orang-orang Makasar membawa kerugian yang tidak sedikit jumlahnya bagi perdagangan Belanda (V.O.C.).

Jikalau kita meneliti isi perjanjian itu pasal demi pasal, maka jelas sekali seolah-olah kerajaan Gowa sudah tidak mempunyai kemampuan apa-apa. Hal ini bertentangan dengan kenyataan. Pada waktu itu, yakni pada bulan Agustus 1660, kerajaan Gowa masih tetap merupakan sebuah kerajaan yang kuat dan jaya. Kerajaan Gowa masih tetap disegani. Orang-orang Belanda sendiri menyegani pelaut-pelaut Makasar yang gagah-berani dan memberikan julukan "de haantjes van het Oesten"atau Jago-jago benua Timur" kepada orang-orang Makasar. Jadi tidaklah masuk akal jikalau perjanjian yang semacam itu akan diterima dengan baik oleh Sultan Hasanudin dan para kesatria Gowa. Apalagi jikalau kita mengingat bahwa pada bulan Agustus 1660 kerajaan Gowa, baik dilihat dari segi luasnya daerah atau wilayah kekuasaannya maupun dilihat dari segi kekuatan militer dan pengaruhnya, masih tetap merupakan sebuah kerajaan yang kuat dan jaya. Kerajaan Gowa masih tetap disegani bahkan pun oleh Belanda (V.O.C.) sendiri. Dengan ini jelaslah bahwa di dalam perjanjian yang dibuat oleh Karaeng Popo dan Gubemur Jenderal Joan Maetsuycker di Batavia itu, ada hal-hal yang tidak begitu beres.

Tegasnya, kami sangat sangsi kalau perjanjian itu dibuat secara jujur dan dengan iktikat yang jujur pula. Jikalau isi perjanjian itu pasal demi pasal betul-betul dimengerti dan dipahami maksudnya oleh Sultan Hasanudin dan orang-orang Makasar yang baginda pimpin, pasti akan menimbulkan reaksi dan tantangan yang hebat. Orang-orang Makasar yang terkenal sebagai bangsa pelaut yang gagah-berani dan disegani pasti akan menolak dan memang tidak mungkin dapat mentaati isi perjanjian itu. Melarang orang-orang Makasar berlayar dan berdagang berarti membunuh mata pencaharian pokok suku bangsa yang berdarah pelaut dan berjiwa pedagang itu.

Perjanjian perdamaian yang sangat merugikan orang-orang Makasar itu malah merangsang jiwa kemerdekaan orang-orang Makasar untuk menentang nafsu angkara murka Belanda (V.O.C.). Bagi orang-orang Makasar makin jelaslah apa yang sesungguhnya tersembunyi di balik keinginan orang-orang Belanda (V.O.C.) untuk mengadakan perjanjian dengan mereka. Bagi orang-orang Makasar jelaslah sudah, bahwa keinginan atau maksud perdamaian orang-orang Belanda (V.O.C.) tidak jujur. Di balik maksud "baiknya" Belanda (V.O.C.) menyembunyikan maksud yang serakah dan penuh angkara murka. Oleh karena itu maka sementara Karaeng Popo berunding di Batavia (Jakarta), orang-orang Makasar di bawah pimpinan Sultan Hasanudin dan Mangkubumi kerajaan Gowa yang bernama Karaeng Karunrung membangun kubu pertahanan di Mariso. Mereka membuat pertahanan dari Binanga Beru dan parit yang besar dari Benteng Sombaopu sampai ke Ujung Tanah yang kira-kira 2½ (dua setengah) mil panjangnya. Atas prakarsa Karaeng Karunrung dikerahkanlah beribu-ribu tenaga orang Bugis terutama dari Bone ke Gowa untuk membuat benteng pertahanan dan selokan besar yang memisahkan Benteng Pannakukang dan daratan.

Seperti yang sudah kami uraikan di depan tadi, pada waktu itu kerajaan Bone berada di bawah kekuasaan kerajaan Gowa. Sebagai "wakil" atau "komisaris" kerajaan Gowa yang bertugas mengawasi dan memperhatikan jalannya pemerintahan di Bone ditunjuk Arung Tanete Tobala. Dalam pengerahan tenaga membuat benteng pertahanan dan menggali parit yang besar inilah orang-orang dan para bangsawan Bone banyak mengalami penderitaan. Banyak orang-orang Bone yang lari karena tidak tahan menderita. Tetapi mereka ditangkapi dan diberi hukuman yang lebih berat. Bahkan banyak pula yang dibunuh.

Kemudian di bawah pimpinan Aru Palaka yang kemudian lengkapnya bernama dan bergelar La Tenritata To-appatunru' Daeng Serang Datu Mario-riwawo Aru Palaka Petta To-risompaE MatinrowE ri Bontoala orang-orang Bone itu memberontak terhadap kekuasaan kerajaan Gowa. Aru Palaka terkenal pula dengan nama Petta MalampeE Gemme'na artinya Raja kita yang panjang rambutnya. Pemberontakan orang-orang Bone yang dipimpin oleh Aru Palaka ini dimulai pada bulan purnama bulan September 1660 tepat pada waktu di Tallo diadakan pesta panen. Pesta itu sangat ramai dan meriah sekali, karena panen pada waktu itu sangat baik dan berlimpah-limpah hasilnya. Pada saat yang baik itulah orang-orang tawanan dan para pekerja dari Bone melarikan diri. Pelarian ini direncanakan dan dipimpin oleh Aru Palaka. Beliau ini dibantu oleh Arung Bila, Arung Appanang, Arung Belo dan arung-arung atau raja-raja serta para bangsawan Bugis lainnya. Mereka lari dengan teratur untuk berkumpul di Lamuru dan kemudian masuk ke daerah Bone dan Soppeng. Pemilihan waktu ini sungguh tepat sekali. Pada waktu itu kerajaan Gowa memang sedang mendapat ronrongan yang hebat dari pihak Belanda (V.O.C.). Pada waktu itu Belanda (V.O.C.) sudah merebut dan menduduki Benteng Pannakukang. Seperti yang sudah diuraikan tadi pada waktu itu baru diadakan perjanjian gencatan senjata antara pasukan-pasukan Gowa dan pasukan-pasukan Belanda (V.O.C.) di Batavia (Jakarta) sedang diadakan perundingan untuk mengadakan perjanjian perdamaian antara Karaeng Popa yang mewakili Sultan Hasanudin dan para wakil-wakil V.O.C.

Oleh karena itu maka orang-orang Gowa menganggap Aru Palaka sebagai seorang pemberontak, sedang orang-orang Bugis terutama orang-orang Bone dan orang-orang Soppeng menganggap Aru Palaka sebagai seorang pahlawan yang membebaskan mereka dari penderitaan. Orang-orang Gowa dengan dibantu oleh orang-orang Wajo menyerang Bone. Orang-orang Bone dibantu oleh orang-orang Soppeng. Pasukan-pasukan Bone dan Soppeng yang dipimpin oleh Aru Palaka dapat dikalahkan. Aru Palaka sendiri terpaksa harus lari ke Buton dengan pengikut-pengikut beliau yang setia. Oleh karena tidak mungkin lagi mengadakan dan meneruskan perlawanan di daratan Sulawesi-Selatan, maka pada tanggal 25 Desember 1660 Aru Palaka bersama-sama pengikut-pengikut beliau meninggalkan pantai Palette (di daerah Bone). Mereka kemudian berlayar dengan perahu menyeberang ke Buton untuk memperoleh perlindungan dari Sultan Buton. Pada waktu itu Buton juga berada di bawah pengaruh tekanan kerajaan Gowa. Sultan Buton sendiri bersedia membantu Aru Palaka yang bermaksud pergi ke Batavia untuk meminta bantuan kepada Belanda (V.O.C.). Setelah mengetahui bahwa Aru Palaka lari ke Buton, maka Raja Gowa mengirimkan perutusan ke sana. Raja Gowa menuntut agar orang-orang Buton menyerahkan Aru Palaka yang memberontak terhadap kekuasaan kerajaan Gowa. Akan tetapi Sultan Buton menyembunyikan Aru Palaka.

Tiga tahun lamanya Aru Palaka bersama keluarga dekatnya yang menjadi kawan akrabnya, yakni Arung Bila, Datu Pattojo dan Arung Appanang tinggat di Buton di bawah perlindungan Sultan Buton. Pada tahun 1663 barulah Aru Palaka dan kawan-kawan beliau yang setia meninggalkan Buton. Mereka berangkat dengan naik kapal Belanda yang bernama "De Leeuwin" menuju ke Batavia untuk minta bantuan kepada V.O.C. Dengan bantuan V.O.C. mereka akan menyerang kerajaan Gowa dan membebaskan negeri serta keluarga mereka dari kekuasaan kerajaan Gowa. Aru Palaka membawa serta pasukan-pasukan yang terdiri dari kurang lebih 400 (empat ratus) orang-orang Bugis sebagian besar dari Bone dan Soppeng. Mereka inilah yang merupakan pengikut-pengikut Aru Palaka yang setia dan kelak menjadi pasukan inti pasukan-pasukan Aru Palaka yang menyerang kerajaan Gowa, setelah mereka kembali lagi ke daratan Sulawesi Selatan. Kedatangan Aru Palaka dan pengikut-pengikutnya disambut dengan sangat gembira oleh pihak Belanda (V.O.C.). Mengapa tidak! HENDAK AIR PANCURAN TERBIT, HENDAK ULAM PUCUK MENJULAI. Belanda yang selalu dan mahir mempergunakan senjata ampuhnya yang terkenal dengan nama "divide et impera" (= pecah dan jajahlah) memang sudah lama mencari kawan atau tokoh untuk bersama-sama menggempur dan meronrong kerajaan Gowa. Jadi kedatangan Aru Palaka dan kawan-kawannya "bagaikan pucuk dicinta ulam tiba" bagi Belanda (V.O.C.). Aru Palaka dan pengikut-pengikutnya diberi sebuah perkampungan di daerah Batavia (Jakarta), yakni di daerah yang disebut Tanah Angke. Itulah sebabnya maka di dalam formasi atau susunan ketentaraan kerajaan Bone ada pasukan yang disebut To-angke atau Tu-angke artinya orang-orang Angke (Bahasa Bugis: to atau tu = orang). Pemimpin pasukan ini disebut Tomalompona Tu-angke dan Anregurunna Tu-angke.

Sekarang marilah kita kembali kepada ketegangan yang makin memuncak antara orang-orang Makasar (kerajaan Gowa) dan orang-orang Belanda (V.O.C.). Demikianlah untuk ke sekian kalinya diadakan perjanjian perdamaian antara Kerajaan Gowa dan V.O.C. Perjanjian perdamaian kali inipun agaknya tidak lama berlangsung. Pasal-pasal di dalam perjanjian itu terlalu berat dan sangat merugikan bagi orang-orang Makasar. Melarang orang-orang Makasar berlayar dan berdagang di perairan Maluku, membatasi pelayaran dan perdagangan mereka berarti membunuh mata pencaharian yang pokok suku bangsa yang berdarah pelaut dan berjiwa pedagang itu. Jelaslah bagi orang-orang Makasar apa yang sesungguhnya tersembunyi di balik keinginan orang-orang Belanda (V.O.C.) mengadakan perjanjian perdamaian. V.O.C. kemudian mendesak terus agar Sultan Hasanudin melaksanakan sepenuhnya perjanjian yang sangat merugikan kerajaan Gowa itu. Siapapun tentunya dapat membenarkan atau paling sedikit dapat mengerti jikalau reaksi orang-orang Makasar terhadap perjanjian itu sangat hebat. Orang dapat memahami jikalau orang-orang Makasar tidak mau dan memang tidak mungkin dapat mentaati perjanjian itu. Perjanjian itu sangat mengekang kebebasan berdagang dan kemerdekaan berlayar orang-orang Makasar. Mentaati perjanjian itu berarti bunuh diri bagi suku bangsa pelaut yang ulung dan pedagang yang ulet itu.

Dengan tidak mengurangi rasa hormat kami kepada Karaeng Popo yang mewakili Sultan Hasanudin, namun beliau "TELAH MEMBELI KEMBALI PANNAKUKANG DENGAN HARGA YANG SANGAT TINGGI SEKALI". Memang beliau telah berhasil dengan tugasnya, karena kemudian Benteng Pannakukang ternyata kembali kepada kerajaan Gowa. Akan tetapi perjanjian yang tercipta oleh karenanya sangat merugikan dan merendahkan derajat kerajaan Gowa. Oleh karena itu maka Sultan Hasanudin yang didampingi oleh Karaeng Karunrung yang terkenal sangat benci dan tidak mau berkompromi dengan Belanda (V.O.C.) tidak akan menuruti perjanjian itu. Dengan tegas dan dengan terus-terang Sultan Hasanudin menyatakan berkeberatan untuk mengusir orang-orang Portugis dari daerah kerajaan baginda. Menurut Sultan Hasanudin hal itu bertentangan dengan perikemanusiaan, karena orang-orang Portugis sudah lebih 80 (delapan puluh) tahun lamanya bertempat tinggal di daerah itu.

Selanjutnya Sultan Hasanudin menyatakan bahwa jikalau baginda memenuhi semua tuntutan Belanda (V.O.C.), maka berarti baginda membunuh mata pencaharian pokok rakyat baginda. Jikalau baginda mentaati sepenuhnya perjanjian perdamaian itu, maka berarti baginda sendiri menghancurkan kerajaan Gowa. Akhirnya Sultan Hasanudin bersikap tegas. Sultan Hasanudin lebih suka berperang terus dari pada mentaati sepenuhnya perjanjian yang sangat merugikan dan merendahkan derajat kerajaan Gowa itu.

Maka Sultan Hasanudin bersama Karaeng Karunrung makin giat membangun benteng-benteng pertahanan, antara lain: Benteng

158 pertahanan di Mariso. Di sebelah utara benteng Sombaopu dibuat tembok dan parit yang panjangnya kurang lebih 2½ (dua setengah) mil mulai dari Binanga Beru sampai ke Ujung Tanah. Jadi karena tidak mungkin mentaati perjanjian yang merugikan dan sangat merendahkan derajat kerajaan Gowa, maka orang-orang Makasar harus memperkuat benteng pertahanannya.

Kemudian keadaan dan hubungan antara kerajaan Gowa dan V.O.C. makin hari makin tegang. Bentrokan bersenjata yang lebih hebat tidak dapat dielakkan lagi. Terutama setelah Aru Palaka pergi ke Batavia meminta bantuan dan dilindungi oleh V.O.C. hubungan antara kerajaan Gowa dan V.O.C. makin memburuk dan meruncing. Sejak Aru Palaka memberontak terhadap kekuasaan kerajaan Gowa dan lari bersembunyi ke Buton, lalu ke Batavia minta bantuan kepada V.O.C. banyak terjadi peristiwa yang menambah tegangnya hubungan antara Belanda (V.O.C.) dan kerajaan Gowa. Antara lainnya ialah:

(1) Dalam tahun 1662 sebuah kapal Belanda (V.O.C.) yang bernama ”De Walvis” masuk ke perairan yang dikuasai oleh kerajaan Gowa. Kapal itu kemudian dikejar oleh armada kerajaan Gowa, lalu kandas pada sebuah tanah gosong di tepi laut di dekat Sombaopu. Orang-orang Makasar yang mengejar kapal Belanda itu berhasil menyita 16 (enam belas) buah meriam dari kapal yang kandas itu. Kemudian Belanda menuntut kepada Sultan Hasanudin agar baginda mengembalikan meriam-meriam kapal ”De Walvis” yang disita oleh orang-orang Makasar itu. Tuntutan Belanda (V.O.C.) ini ditolak oleh Sultan Hasanudin dengan alasan bahwa kapal itu melanggar dan memasuki wilayah perairan kerajaan Gowa tanpa izin.

(2) Dalam tahun 1664 Sultan Ternate menyerahkan kembali pulau Muna kepada Sultan Buton tanpa persetujuan dan tanpa sepengetahuan Raja Gowa. Pada waktu itu pulau Muna termasuk daerah kekuasaan Gowa. Kemudian temyata bahwa di dalam persoalan ini Belanda (V.O.C.) memainkan peranan yang penting. Pada waktu itu Sultan Buton dan Sultan Ternate dapat dibujuk dan dipikat oleh Belanda (V.O.C.) untuk memusuhi kerajaan Gowa. Hal ini merupakan pelanggaran atas kekuasaan kerajaan Gowa yang dilakukan oleh Belanda (V.O.C.) untuk mengadu domba bangsa Indonesia. Campur tangan Belanda di dalam soal ini menyebabkan Sultan Hasanudin mengajukan protes keras kepada pimpinan V.O.C. di Batavia.

159

(3) Pada malam tanggal 24 Desember 1664 kapal Belanda ”De Leeuwin” memasuki perairan kerajaan Gowa. Seperti diketahui, kapal inilah yang membawa Aru Palaka dengan kawan-kawannya dari Buton ke Batavia. Kapal Belanda itu dikejar oleh armada kerajaan Gowa. Kemudian kapal itu kandas di pulau Dayang-Dayangan di sebelah selatan Benteng Pannakukang. Dari seluruh anak buah kapal Belanda itu ada 40 (empat puluh) orang yang mati tenggelam karena melompat sewaktu dikejar dan hendak ditangkap. Yang lainnya sebanyak kurang lebih 162 (seratus enam puluh dua) orang yang masih hidup ditawan dan diangkut ke Sombaopu.

Kemudian pihak Belanda menuduh bahwa kapal ”De Leeuwin” memuat sebuah peti yang berisi uang perak sebanyak 1425 (seribu empat ratus dua puluh lima) ringgit Belanda. Peti itu, kata Belanda dirampas oleh orang-orang Makasar yang mengejar kapal itu. Belanda (V.O.C.) berulang kali menuntut agar uang itu dikembalikan. Akan tetapi kerajaan Gowa menolak tuntutan Belanda (V.O.C.) itu.

Segala barang sitaan yang berasal dari musuh adalah hak milik kerajaan Gowa. Kapal Belanda itu dengan sewenang-wenang melanggar perairan kerajaan Gowa. Bukankah pula kapal ”De Leeuwin” ini yang mengangkut Aru Palaka dan kawan-kawannya yang memberontak terhadap kekuasaan kerajaan Gowa? Apakah perbuatan Belanda (V.O.C.) melindungi pemberontak dan musuh kerajaan Gowa untuk kelak bersama-sama menyerang dan memerangi kerajaan Gowa bukan suatu tindakan permusuhan?

(4) Kemudian Belanda (V.O.C.) mengirim Cornelis Kuyff dengan 14 (empat belas) orang anak buahnnya untuk memeriksa keadaan kapal ”De Leeuwin” yang kandas itu. Akan tetapi kedatangan orang-orang Belanda itu tanpa izin dan tanpa sepengetahuan Raja Gowa. Oleh karena itu maka setibanya orang-orang Belanda itu di sana, mereka dikepung oleh pasukan-pasukan kerajaan Gowa yang menjaga tempat itu. Pasukan Gowa itu memerintahkan agar orang-orang Belanda itu menyerah. Akan tetapi orang-orang Belanda yang congkak itu menolak. Bahkan mereka mau melawan. Maka terjadilah pertempuran antara orang-orang Belanda itu dan pasukan-pasukan Gowa yang menjaga daerah itu. Akhirnya semua orang Belanda yang tidak mau menyerah itu dibinasakan oleh pasukan-pasukan kerajaan Gowa. Peristiwa-


160 peristiwa kapal ”De Walvis”, ”De Leeuwin” dan pertempuran melawan Cornelis Kuyff ini menujukkan kemenangan Gowa yang gilang-gemilang atas orang-orang Belanda (V.O.C.). Kisah-kisah kemenangan ini dituangkan di dalam sebuah nyanyian sinrili′ yang sampai sekarang masih dikenal dengan nama ”Sinrili′ Kappala′ Tallumbatua (= Sinrili′ kisah kapal nan tiga buah).

(5) Kemudian Gubernur Jenderal Joan Maetsuycker berusaha menyelesaikan pertikaian antara Belanda (V.O.C) dan kerajaan Gowa. Pada tanggal 20 Nopember 1667 pembesar Belanda itu mengirimkan Johan van Wesenhagen sebagai utusan V.O.C. menghadap Sultan Hasanudin di Sombaopu. Perundingan inipun akhirnya gagal juga oleh karena Belanda (V.O.C.) tetap mengajukan tuntutan-tuntutan yang berat dan merugikan kerajaan Gowa. Sebelum itu oleh pimpinan Belanda (V.O.C.) sudah dikirim sebuah perutusan ke Sombaopu yang terdiri dari Jacob Cau yang dibantu oleh Abraham Verspreet. Perutusan ini diberi tugas antara lainnya untuk membujuk Raja Gowa bahwa V.O.C. memberi jaminan akan berusaha memelihara perdamaian dengan orang-orang Makasar (kerajaan Gowa). Selanjutnya utusan V.O.C. itu berusaha menjelaskan bahwa Belanda (V.O.C.) menerima Aru Palaka dan kawan-kawan beliau sekali-kali bukan dengan maksud untuk memusuhi atau memerangi kerajaan Gowa. Siapapun tentunya dapat mengetahui betapa dustanya omongan Belanda ini.

Orang-orang Belanda (V.O.C.) menerima, bahkan menyambut dengan gembira sekali kedatangan Aru Palaka dan kawan-kawan beliau sedang mereka tahu betul siapa Aru Palaka dan kawan-kawan beliau itu. Orang-orang Belanda (V .O.C.) memberi tempat dan melindungi Aru Palaka tidak lain dengan maksud untuk mempergunakan beliau dan pengaruh beliau kelak dalam menghadapi dan memerangi kerajaan Gowa. Namun Belanda (V.O.C.) masih juga mau membujuk orang-orang Makasar, bahwa mereka berusaha memelihara perdamaian dengan kerajaan Gowa dan bahwa mereka menerima Aru Palaka dan kawan-kawan beliau sekali-kali tidak dengan maksud apa-apa terhadap kerajaan Gowa. Namun sejarah telah membuktikan bahwa hal ini sungguh suatu hal yang sangat lucu dan menggelikan.

Pada tanggal 20 Desernber 1663 perutusan Belanda (V.O.C.) ini meninggalkan Batavia dengan membawa hadiah-hadiah untuk


161

Raja dan pembesar-pembesar kerajaan Gowa. Namun perutusan Belanda (V.O.C.) ini tidak berhasil membujuk Sultan Hasanudin. Bahkan Sultan Hasanudin mengirim surat yang isinya menyesali orang-orang Belanda (V.O.C.) karena melindungi Aru Palaka dan kawan-kawan beliau sekaligus. Sultan Hasanudin mengajukan protes yang keras atas campur tangan dalam persoalan pulau Muna. Selanjutnya Sultan Hasanudin menuntut agar pulau Banggai dan Tambuku diserahkan kepada kerajaan Gowa.

Belanda (V.O.C.) menuduh orang-orang Inggeris yang menghasut orang-orang Makasar agar tetap memusuhi orang-orang Belanda (V.O.C.). Bahkan orang-orang Belanda (V.O.C.) menuduh orang-orang lnggeris menghasut orang-orang Makasar untuk menyerang dan memerangi orang-orang Belanda (V.O.C.). Pada waktu itu orang-orang Inggeris memang menjadi musuh orang-orang Belanda yang lebih berbahaya dari pada orang-orang Portugis atau orang-orang Sepanyol. Kedua bangsa yang tersebut belakangan ini sudah mulai pudar bintangnya.

Perlu diketahui bahwa orang-orang Belanda beberapa kali mengalami peperangan dengan orang-orang lnggeris. Demikianlah pada masa-masa Belanda (V.O.C.) sedang bermusuhan dengan kerajaan Gowa, di Eropa orang-orang Belanda mengalami "Perang Inggeris yang kedua" (Tweede Engelse Oorlog). Peperangan ini berlangsung dari tahun 1665 sampai tahun 1667. Tidak heran jikalau orang-orang Belanda (V.O.C.) menuduh orang-orang Inggeris menghasut orang-orang Makasar (kerajaan Gowa). Kemudian Belanda (V.O.C.) memperoleh kabar bahwa Sultan Hasanudin sedang mengadakan persiapan untuk menyerang Ternate, karena Sultan Ternate memihak dan banyak membantu orang-orang Belanda (V.O.C.).

Demikianlah maka pada tahun 1665 Sultan Hasanudin memutuskan perjanjian perdamaian dengan Belanda (V.O.C.). Kemarahan dan kebencian orang-orang makasar terhadap orang-orang Belanda (V.O.C.) tidak terkendalikan lagi. Belanda (V.O.C.) selalu berlaku curang dan serakah. Kapal-kapal Belanda (V.O.C.) diserang dan dikandaskan, kelasinya dibunuh atau ditawan dan muatannya disita. Sebuah kapal Belanda yang kandas di Salayar dan sebuah lagi yang kandas di pulau Doang-Doangang disita muatannya oleh orang-orang Makasar.


Pada tanggal 12 Januari 1666 Pemerintah kerajaan Gowa memutuskan untuk mengusir semua orang-orang Belanda dari wilayah kekusaan Gowa. Oleh karena itu maka orang-orang Belanda segera meninggalkan daerah Gowa. Pada tanggal 13 Maret 1666 Belanda (V.O.C.) mengirimkan tiga orang utusan dengan membawa surat dari Gubernur Jenderal Joan Maetsuycker dan tanda mata seharga kira-kira f. 109.433 (seratus sembilan ribu empat ratus tiga puluh tiga gulden). Di sini tampak lagi betapa lihainya dan betapa liciknya orang-orang Belanda (V.O.C.) dalam menghadapi orang-orang Indonesia. Jikalau mereka dihadapi dengan sikap yang tegas dan keras, maka mereka bersikap lunak, manis dan bersahabat. Jikalau mereka belum merasa dirinya kuat untuk menyerang maka mereka berusaha membujuk dengan segala macam pemberian atau hadiah serta janji yang muluk-muluk. Akan tetapi Sultan Hasanudin menolak bujukan dan rayuan orang-orang Belanda yang manis itu. Bahkan Sultan Hasanudin mengirimkan sebuah armada yang terdiri dari 200 (dua ratus) buah kapal perang ke pulau-pulau Sula. Benteng yang didirikan oleh Sultan Ternate di sana dirusak dan ada 200 (dua ratus) orang penduduk pulau-pulau itu yang ditawan dan diangkut ke Gowa.

Seperti yang sudah kami singgung tadi, Sultan Buton berpihak kepada orang-orang Belanda (V.O.C.). Karena itu Raja Gowa marah kepada Sultan Buton. Kemarahan Raja Gowa ini bertambah hebat lagi setelah mendengar bahwa Sultan Buton ternyata menyembunyikan Aru Palaka dan kawan-kawan beliau sampai bertahun-tahun lamanya. Aru Palaka adalah musuh kerajaan Gowa yang sangat berbahaya. Bahkan Sultan Buton membantu Aru Palaka dan kawan-kawan beliau melarikan diri ke Batavia untuk minta bantuan kepada Belanda (V.O.C.). Oleh karena itu maka Sultan Hasanudin mengirimkan sebuah armada yang besar ke Buton untuk menghukum Sultan Buton atas perbuatannya yang tidak bersahabat bahkan memusuhi kerajaan Gowa itu.

Armada kerajaan Gowa ini terdiri dari 700 (tujuh ratus) buah kapal perang dan 20.000 (dua puluh ribu) orang pasukan. Armada kerajaan Gowa yang dahsyat ini dipimpin oleh laksamana kerajaan Gowa yang bernama Karaeng Bontomaranu. Beliau ini dibantu oleh Sultan Bima dan Raja Luwu yang bernama Sultan Alimudin.

Dengan ini dan mengingat kemampuan pasukan-pasukan kerajaan Gowa untuk melumpuhkan perlawanan Aru Palaka dan kawan-kawannya di daratan Sulawesi Selatan, maka jelaslah bahwa sampai awal tahun kerajaan Gowa masih berdaulat penuh dan masih mempunyai potensi yang hebat sekali, baik di darat maupun di lautan. Dengan ini jelaslah pula apa yang kami kemukakan tadi mengenai perjanjian yang dibuat oleh Karaeng Popo di Batavia. Pada waktu itu (Agustus 1666) kerajaan Gowa bukanlah pihak yang bertekuk lutut atau menyerah tanpa syarat. Gowa sama sekali tidak lumpuh sebagaimana yang seolah-olah hendak digambarkan oleh Belanda (V.O.C.) dalam "Perjanjian Batavia" yang dibuat oleh Karaeng Popo itu.

Jadi sampai pada awal tahun 1667 kerajaan Gowa masih merupakan sebuah kerajaan yang besar dan berkuasa di Indonesia bagian timur. Kerajaan Gowa masih mempunyai kekuatan dan kemampuan yang hebat untuk memukul hancur musuh-musuhnya, baik di daratan Sulawesi Selatan maupun jauh di luarnya. Dengan ini jelaslah bahwa Belanda (V.O.C.) mau menipu kita dan kerajaan Gowa dengan menyodorkan sebuah perjanjian yang dibuat di Batavia, seolah-olah kerajaan Gowa, orang-orang Makasar tidak dapat dipercaya dan tidak tahu menepati perjanjian yang telah dibuatnya. Tentu saja Sultan Hasanudin dan orang-orang Makasar yang dijuluki "ayam-ayam jantan atau jago-jago Benua Timur" itu tidak sudi menerima apalagi mentaati perjanjian yang semacam itu. Perjanjian itu seolah-olah menurunkan derajat mereka sebagai jago-jago atau ayam-ayam jantan yang keok dan kalah perangnya. Seolah-olah mereka bangsa yang penakut dan menyerah tanpa syarat, sungguhpun baru dan hanya Benteng Pannakukang yang direbut oleh orang-orang Belanda (V.O.C.).

Perjanjian yang dibuat oleh Karaeng Popo pada tanggal 19 Agustus 1660 di Batavia itu dibuat dengan tidak jujur, dengan iktikad yang tidak baik. Perjanjian itu tidak sesuai dengan situasi dan kondisi kerajaan Gowa pada masa itu. Jiwa perjanjian itu sangat bertentangan dengan semangat pelaut orang-orang Makasar yang sangat disegani oleh orang-orang Belanda sendiri sebagai "De haantjes van het Oosten".

Demikianlah hubungan antara kerajaan Gowa dan Belanda (V.O.C.) makin hari makin memburuk dan tegang. Keadaan


tegang yang sudah berlangsung beberapa tahun lamanya itu mencapai puncaknya pada tahun 1666. Putusan yang definitif untuk menyerang kerajaan Gowa diambil oleh Dewan Hindia (Raad van Indië) dalam rapatnya pada tanggal 5 Oktober 1666. Pimpinan serangan atas kerajaan Gowa ini mula-mula diserahkan kepada Johan van Dam yang pada tahun 1660 pernah mengalami pertempuran sengit dengan orang-orang Makasar. Akan tetapi oleh karena sudah hampir pensiun dan tahu betul betapa beratnya dan betapa berbahayanya tugas itu, maka Johan van Dam dengan keras menolak. Kemudian V.O.C. terpaksa harus mencari seorang kuat yang akan memimpin pasukan-pasukan dan armada Belanda (V.O.C.), yang akan menyerang kerajaan Gowa. Untuk memimpin pasukan-pasukan dan armada V.O.C. yang akan menghadapi orang-orang Makasar yang terkenal gagah-berani ini haruslah seorang yang gagah-berani, cakap, cerdas dan berpengalaman. Pilihan jatuh kepada Cornelis Janzoon Speelman.

Speelman ini adalah bekas Gubemur Belanda (V.O.C.) di Koromandel (India). Pada waktu dipilih itu Speelman sedang dikenakan skorsing jabatan. Pada tahun 1665 oleh pimpinan V.O.C. di negeri Belanda Speelman disekors. Ia dipersalahkan melanggar larangan V.O.C. dan tanpa izin mengirimkan serta menjual di negeri Belanda sebuah berlian yang mahal harganya. Seperti diketahui Speelman inilah kelak yang menjadi Gubernur Jenderal Belanda yang keempat belas di Indonesia dari tahun 1681 sampai tahun 1684.

Jadi pada waktu dipilih sebagai pemimpin pasukan-pasukan dan armada Belanda (V.O.C.) yang akan menyerang kerajaan Gowa Speelman sedang menjalankan sekorsing atau hukuman jabatan. Tentu saja penunjukan sebagai pemimpin pasukan-pasukan dan armada V.O.C. untuk menyerang kerajaan Gowa adalah suatu kehormatan dan kepercayaan yang besar. Bagi Speelman sendiri penunjukan itu merupakan pula suatu harapan dan kesempatan yang sebaik-baiknya untuk merehabilitasi nama baik dan kedudukannya yang ternoda. Oleh karena itu maka dengan gembira Speelman menerima tugas ini. Ini adalah kesempatan yang baik sekali baginya untuk merehabilitasi atau memperbaiki nama dan kedudukannya yang ternoda. Tidak heran jikalau dengan penuh harapan dan dengan sangat gembira Speelman menerima tugas yang berat ini demi memperbaiki nama dan martabatnya yang se-


165

dang jatuh. Bahkan dengan menerima tugas ini mungkin sekali ia dapat memperoleh kenaikan tingkat atau anugerah yang lainnya jikalau ia berhasil melaksanakan tugasnya dengan baik. Hal ini perlu kami singgung dan kemukakan.

Selain dari pada faktor-faktor yang sangat menguntungkan dan dewi fortuna atau kemujuran-kemujuran yang mengiringinya, tentunya faktor harapan yang menyala-nyala dan berkobar di rongga dada Speelman untuk memperbaiki nama dan kedudukannya yang sudah jatuh serta kemungkinan untuk memperoleh anugerah dan kenaikan tingkat, merupakan pula faktor yang tidak kecil artinya bagi pendorong suksesnya Speelman dalam menunaikan tugasnya yang berat itu.

Pada tanggal 23 Nopember 1666 Gubernur Jenderal Joan Maetsuycker menanda-tangani sebuah komisi dan sebuah instruksi khusus. Untuk dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, Speelman mendapat pangkat atau jabatan dan wewenang sebagai SUPERINTENDANT, ADMIRAL atau LAKSAMANA, KRIJGSOVERSTE dan KOMISARIS ke pos-pos Belanda di Indonesia bagian timur. Speelman harus mengunjungi Gowa, Buton, Ternate, Ambon dan tempat-tempat lainnya.

Armada Belanda yang akan menyerang kerajaan Gowa terdiri dari 21 (dua puluh satu) buah kapal perang yang besar. Sebagai wakil Speelman ditunjuk Dankert van der Straaten. Di dalam armada V.O.C. itu terdapat pula Kapten Christiaen Poleman dan Maximiliaen de Jong. Yang tersebut belakangan ini ditunjuk sebagai komandan Belanda di Ternate. Kemudian ada Aru Palaka dengan pasukan-pasukan Bugisnya dan Kapten Joncker yang memimpin orang-orang Ambon yang membantu Belanda (V.O.C.). Armada V.O.C. ini diperintahkan berlayar ke Sombaopu untuk mengadakan "show of forces" atau pameran kekuatan dan menakut-nakuti orang-orang Makasar. Maksudnya agar supaya kerajaan Gowa mau dan bersedia mengadakan perundingan dengan V.O.C. Jikalau gertakan atau "Show of forces" itu tidak berhasil, maka armada V.O.C. itu diperintahkan untuk mengadakan pendaratan dan perampokan serta pembakaran di tempat-tempat di daerah kerajaan Gowa yang lemah pertahanannya. Kemudian armada itu disuruh berlayar ke pulau Buton untuk mengadakan perundingan dan membuat perjanjian dengan Sultan Buton.



Pilihan waktu oleh Belanda (V.O.C.) ini memang sangat tepat. Pada saat itu kerajaan Buton sedang mendapat ancaman dan tekanan yang berat dari kerajaan Gowa. Sultan Buton diangap bersalah karena membantu Aru Palaka yang menjadi musuh besar dan buronan kerajaan Gowa. Kemudian Speelman diperintahkan pula untuk sebagai komisaris dan superintendant V.O.C. menuju ke Ternate, Bacan, Ambon dan Banda.

Pada waktu itu Sultan Ternate dan Sultan Tidore sedang dalam keadaan tegang dan saling bermusuhan. Hal ini sangat menguntungkan orang-orang Belanda (V.O.C.) yang memang mahir dan sangat pandai mempergunakan senjata " DIVIDE ET IMPERA " atau pecah dan jajahlah. Di dalam sejarah bangsa Indonesia dapat kita lihat, bahwa setiap pertengkaran atau permusuhan antara raja-raja atau pemimpin-pemimpin bangsa Indonesia selalu menguntungkan dan pasti dipergunakan dengan sebaik-baiknya oleh Belanda. Sebagai "kawan yang baik" Belanda (V.O.C.) sering mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa atau bermusuhan itu. Sebagai imbalan jasa atau tanda terima kasih atas "kebaikan" itu, Belanda (V.O.C.) selalu mendapat "upah". Entah berupa bahan makanan atau bantuan pasukan, entah berupa penyerahan sebuah daerah atau suatu fasilitas yang dibutuhkan oleh V.O.C. untuk kepentingan kolonialnya. Tegasnya "kebaikan" atau bantuan Belanda tidak pernah diberikan dengan cuma-cuma atau dengan ikhlas. Bantuan Belanda selalu mengandung maksud-maksud yang menguntungkan nafsu penjajahannya yang penuh angkara murka, Jadi kunjungan Speelman ke daerah-daerah yang kami sebutkan tadi mempunyai maksud yang tertentu. Pertama untuk mencari bantuan guna memperkuat armada dan pasukan-pasukan yang dipimpinnya untuk menyerang kerajaan Gowa. Kedua untuk memperbesar serta memperkuat kekuasaan dan pengaruh V.O.C. di daerah-daerah Indonesia bagian timur. Di dalam perintah atau instruksi yang diberikan kepada Speelman ini, Speelman dilarang dengan keras untuk mendarat atau melakukan pertempuran di daratan melawan pasukan-pasukan kerajaan Gowa. Pada waktu itu kerajaan Gowa masih dianggap terlalu kuat. Risikonya terlalu berat dan mungkin dapat menimbulkan hal-hal yang besar akibatnya dan membahayakan kedudukan Belanda (V.O.C.).

Begitu hati-hati dan begitu besar keseganan Belanda (V.O.C.) terhadap orang-orang Makasar yang dijulukinya "Haantjes van

het Oosten" itu. Jikalau kelak Speelman mendaratkan pasukan-pasukannya dan mengadakan pertempuran di daratan, maka ia melanggar instruksi yang diberikan kepadanya. Hal itu bukan tidak mungkin karena didorong oleh ambisinya yang besar serta faktor-faktor yang telah kami uraikan di depan tadi sebagai sebab-sebab mengapa Speelman mau menerima tugas berat yang ditolak oleh Johan van Dam. Jadi Speelman ingin mempergunakan kesempatan yang sebaik-baiknya untuk memulihkan nama baik dan kedudukannya yang sedang jatuh. Jikalau berhasil bahkan mungkin sekali ia dapat memperoleh promosi dan kenaikan tingkat yang memang sangat diidam-idamkannya sebagai seorang pegawai V.O.C.

Jadi pelanggaran terhadap instruksi yang diterimanya adalah suatu perjudian nasib bagi Speelman. Ia ingin mempergunakan kesempatan dan kemujuran-kemujuran yang sedang menyertainya untuk memperbaiki nama serta kedudukannya yang sedang jatuh itu. Jikalau di dalam perjudian nasib itu ia mujur dan dapat keluar sebagai pemenang, maka ia pasti akan memperoleh kenaikan tingkat serta keuntungan-keuntungan lainnya.

Demikianlah pada tanggal 24 Nopember 1666 armada V.O.C. yang dipimpin oleh Laksamana Cornelis Janszoon Speelman meninggalkan pelabuhan Batavia menuju ke Sombaopu (Gowa). Pada tanggal 19 Desember 1666 armada V.O.C. yang kuat ini sampai di depan Sombaopu, ibukota dan pelabuhan kerajaan Gowa. Dengan pameran kekuatannya, Speelman mula-mula mau menggertak Sultan Hasanudin. Kemudian Speelman mengajukan tuntutan agar kerajaan Gowa membayar segala kerugian yang berhubungan dengan pembunuhan orang-orang Belanda oleh orang-orang Makasar. Selanjutnya Speelman menuntut agar semua orang-orang Makasar yang melakukan pembunuhan diserahkan kepada Speelman. Tuntutan-tuntutan Speelman yang bernada congkak itu tentu saja ditolak oleh Sultan Hasanudin.

Karena pameran kekuatan armada V.O.C. tidak berhasil menakut-nakuti orang-orang Makasar, maka Belanda mulai mengadakan tembakan meriam yang gencar terhadap kedudukan dan pertahanan orang-orang Makasar. Tembakan-tembakan meriam kapal-kapal V.O.C. ini dibalas pula dengan tembakan-tembakan meriam yang gencar pula oleh pihak kerajaan Gowa. Maka terjadilah tembak-menembak dan duel meriam yang seru antara

kapal-kapal armada V.O.C. dan benteng-benteng pertahanan kerajaan Gowa.

Tembak-menembak yang seru ini berlangsung pada tanggal 21 Desember 1666 setelah Speelman memerintahkan untuk menaikkan bendera merah sebagai tanda "PERMAKLUMAN PERANG" kepada kerajaan Gowa. Jadi perang terbuka antara Belanda (V.O.C.) dan kerajaan Gowa yang dipimpin oleh Sultan Hasanudin dimulai pada tanggal 21 Desember 1666 dan diawali dengan tembak-menembak serta duel meriam yang seru sekali. Kemudian armada V.O.C. itu, sesuai dengan instruksi yang diterimanya dari pimpinan V.O.C. di Batavia, menyusur pantai kerajaan Gowa ke selatan. Armada itu menembaki tempat-tempat yang lemah pertahanannya. Di tempat-tempat itu mereka mendarat dan merampok serta membakar dusun-dusun di sepanjang pantai. Maksudnya untuk menimbulkan panik dan ketakutan pada penduduk dan rakyat Gowa.

Pada tanggal 25 Desember 1666 armada V.O.C. di bawah pimpinan Laksamana Cornelis Janszoon Speelman tiba di Bantaeng. Di sini Belanda dan sekutu-sekutunya menurunkan pasukan-pasukannya. Maka terjadilah pertempuran yang sengit antara pasukan-pasukan Belanda dan sekutu-sekutunya melawan pasukan kerajaan Gowa yang dengan gagah-berani mempertahankan Bantaeng. Bantaeng merupakan gudang makanan bagi kerajaan Gowa. Dalam pertempuran yang sengit ini banyak korban yang jatuh di kedua belah pihak. Bahkan Aru Palaka mendapat luka di dalam pertempuran sengit di daerah Bantaeng ini. Berkat keunggulan persenjataannya pasukan-pasukan Belanda dan sekutu-sekutunya akhirnya dapat merebut Bantaeng. Kemudian kota Bantaeng dibakar dan dimusnahkan oleh pasukan-pasukan Belanda dan sekutu-sekutunya. Mungkin karena jengkelnya karena mendapat perlawanan yang gigih, maka selain dari pada kota Bantaeng, pasukan-pasukan Belanda dan sekutu-sekutunya yang sudah kalap itu membakar dan memusnahkan pula lebih dari 30 (tiga puluh) buah desa di sekitar Bantaeng dan lebih dari seratus buah perahu. Bahkan pasukan-pasukan Belanda dan sekutu-sekutunya yang sudah kalap itu membakar pula beratus-ratus ton beras dan padi rakyat. Setelah membakar dan memusnahkan kota Bantaeng serta desa-desa di daerah itu maka armada V.O.C. kemudian menuju ke Buton.

Pada tanggal 31 Desember 1666 sampailah armada V.O.C. di bawah pimpinan Laksamana Speelman itu di Buton. Pada waktu itu Buton sedang dalam keadaan sangat gawat. Benteng kerajaan itu sedang terancam dan dikurung rapat oleh pasukan-pasukan dan armada kerajaan Gowa yang memang sengaja dikirim oleh Sultan Hasanudin untuk menghukum Sultan Buton yang memberi perlindungan dan memberi bantuan kepada Aru Pa1aka dan kawan-kawan beliau. Aru Palaka jadi buronan dan dianggap sebagai musuh kerajaan Gowa yang paling berbahaya. Pasukan-pasukan kerajaan Gowa yang mengurung Buton ini berkekuatan kurang lebih 15.000 (lima belas ribu) orang. Sebagian besar terdiri dari orang-orang Makasar, orang-orang Bugis dan orang-orang Mandar. Pasukan-pasukan kerajaan Gowa ini disertai oleh sebuah armada yang terdiri dari kurang lebih 700 (tujuh ratus) buah perahu. Ada juga yang mengatakan 450 (empat ratus lima puluh) buah perahu. Armada dan pasukan-pasukan kerajaan Gowa ini berada di bawah pimpinan Karaeng Bontomarannu. Beliau dibantu oleh Sultan Bima dan Raja Luwu.

Jadi armada V.O.C. itu datang pada saat yang tepat sekali, terutama bagi Buton yang sudah genting sekali keadaannya. Andaikata armada Belanda dan pasukan-pasukan sekutunya itu datang seminggu atau beberapa minggu kemudian, maka besar sekali kemuungkinannya kerajaan Buton akan musnah atau jatuh ke tangan pasukan-pasukan kerajaan Gowa.

Dengan diam-diam Aru Palaka berhasil naik ke darat. Orang-orang Buton bertahan di dalam sebuah benteng yang tangguh dan sangat baik letaknya. Pintu-pintu benteng itu sudah ditutup rapat. Aru Palaka dapat masuk ke dalam benteng itu dengan melalui sebuah jalan dan pintu yang sangat dirahasiakan. Sesampainya di dalam benteng itu, maka Aru Palaka mengadakan pembicaraan dengan Sultan Buton. Dalam pembicaraan itu antara lain disepakati bahwa meriam-meriam Buton yang tidak sedikit jumlahnya akan serentak mengadakan tembakan yang gencar. Tembakan itu ditujukan ke arah armada kerajaan Gowa bersamaan waktunya dengan tembakan-tembakan meriam armada Belanda (V.O.C.) yang sudah mengurung armada kerajaan Gowa dari arah selatan. Jadi armada V.O.C. di bawah pimpinan Laksamana Speelman menutup rapat mulut Selat Buton di sebelah

selatan. Kemudian dengan diam-diam Aru Palaka dan kawan-kawan beliau mengadakan infiltrasi. Mereka mengadakan kampanye bisik-bisik di kalangan orang-orang Bugis yang turut armada Gowa yang sedang mengurung Buton itu.

Perlu kami jelaskan di sini bahwa di dalam armada kerajaan Gowa yang dipimpin oleh Karaeng Bontomarannu ini terdapat beribu-ribu orang Bugis yang negerinya ditaklukkan oleh kerajaan Gowa. Mereka ini menganggap Aru Palaka sebagai seorang pahlawan yang akan membebaskan mereka dari kekuasaan kerajaan Gowa. Sebelumnya, ada tersiar berita bahwa Aru Palaka gugur di Sumatera sewaktu beliau membantu orang-orang Belanda di sana. Berita kembalinya Aru Palaka dan kawan-kawan beliau dari Batavia bersama pasukan-pasukan dan armada V.O.C. untuk menyerang dan menggempur kerajaan Gowa merupakan berita besar yang tidak disangka-sangka. Berita itu sangat menggembirakan orang-orang Bugis yang memang sudah lama menanti-nantikan Aru Palaka yang akan membebaskan mereka dari kekuasaan kerajaan Gowa. Setelah mendengar bahwa Aru Palaka berada di dalam armada V.O.C. itu, maka di kalangan orang-orang Bugis yang tidak sedikit jumlahnya itu terjadi kegoncangan. Bahkan juga di kalangan orang-orang Mandar yang turut di dalam armada Gowa itu terjadi kegoncangan. Tentu saja hal ini menimbulkan panik dan kekacauan yang luar biasa di dalam armada dan pasukan-pasukan kerajaan Gowa. Mereka sesungguhnya sudah mengurung rapat benteng kerajaan Buton. Karena orang-orang Bugis yang turut dalam pengepungan benteng kerajaan Buton itu tidak sedikit jumlahnya, maka panik dan kekacauan yang ditimbulkannya mernberikan effect dan pukulan psikhologis yang sangat merugikan armada dan pasukan-pasukan kerajaan Gowa. Jumlah orang-orang Bugis ada kurang lebih 5000 (lima ribu) orang. Ditambah lagi dengan kegoncangan orang-orang Mandar yang merasa tidak berkewajiban untuk membela panji-panji kerajaan Gowa. Armada Gowa yang dahsyat itu betul-betul kacau-balau keadaannya.

Demikianlah pada tanggal 1 Januari 1667 terjadi pertempuran laut yang seru. Selat Buton yang biasanya tenang dan sepi di pagi hari, kini tiba-tiba riuh dan ramai oleh dentuman meriam dan desingan peluru. Meriam-meriam besar armada V.O.C. yang

dipimpin oleh Laksamana Speelman mulai menyerang dan menembaki armada dan pasukan-pasukan Gowa yang dipimpin oleh Karaeng Bontomarannu. Bersamaan waktunya dengan serangan armada Belanda dan sekutu-sekutunya itu, meriam-metiam pertahanan Buton memuntahkan pula peluru-pelurunya dari benteng yang terletak di atas sebuah bukit yang sangat strategis letaknya. Orang-orang Bugis yang diperintahkan oleh Aru Palaka menyusup dan mengadakan kampanye bisik-bisik berhasil pula menimbulkan panik dan kekacauan yang luar biasa di dalam armada Gowa. Serangan dari dua jurusan, yakni dari armada V.O.C. dan tembakan-tembakan gencar dari meriam-meriam pertahanan benteng Buton, ditambah lagi dengan kepanikan dan kekacauan hebat yang ditimbulkan oleh orang-orang Bugis yang dengan tiba-tiba berbalik haluan, menyebabkan armada Gowa yang tadinya amat dahsyat dan meyakinkan itu betul-betul kocar-kacir keadaannya.

Jadi terutama berkat usaha dan pengaruh Aru Palaka, maka armada Gowa yang dahsyat dan dipimpin oleh Karaeng Bontomarannu itu dapat dilumpuhkan dan dihancurkan. Sekali-kali bukan karena kehebatan atau kegagah-beranian yang luar biasa Admiral Speelman dan orang-orang Belanda yang dipimpinnya, seperti yang selalu secara berlebih-lebihan ditonjol-tonjolkan oleh orang-orang dan penulis-penulis sejarah bangsa Belanda.

Kekalahan armada Gowa yang dahsyat itu, ialah terutama karena armada dan pasukan-pasukannya tidak terdiri dari suatu kesatuan yang homogeen dan kompak. Di dalam armada dan pasukan-pasukan kerajaan Gowa yang dipimpin oleh Karaeng Bontomarannu itu terdapat banyak sekali orang-orang Bugis yang negerinya ditaklukkan oleh kerajaan Gowa. Loyalitas atau kesetiaan mereka untuk membela panji-panji kerajaan Gowa tidak dapat diandalkan. Bahkan mereka menantikan dan menganggap Aru Palaka yang datang bersama-sama orang-orang Belanda sebagai seorang pahlawan yang akan membebaskan mereka dari kekuasaan kerajaan Gowa. Jumlah orang-orang Bugis ini tidak sedikit, yakni kurang lebih sepertiga dari seluruh kekuatan armada dan pasukan-pasukan kerajaan Gowa itu. Begitu mendengar bahwa Aru Palaka sudah datang dari Batavia dan berada di antara armada V.O.C. yang menyerang itu, maka pasukan-pasukan

Bugis yang tidak sedikit jumlahnya itu segera menarik diri. Bahkan mereka berbalik dan menghantam pasukan-pasukan kerajaan Gowa dari dalam. Demikian pula pasukan orang-orang Mandar yang cukup banyak jumlahnya. Mereka tidak ada nafsu untuk berperang. Mereka merasa bukan kewajiban mereka untuk membela panji-panji kerajaan Gowa. Inilah sebab utama dari pada kekalahan dan kehancuran armada kerajaan Gowa yang tadinya tampak dahsyat dan sangat meyakinkan itu.

Ada suatu pelajaran yang sangat berharga yang dapat kita petik dari peristiwa ini. Suatu kekuatan yang bagaimanapun dahsyatnya, namun jikalau ia tidak terdiri dari suatu kekuatan yang kompak dan homogeen, apalagi jikalau semangat yang mendukung kekuatan itu sangat lapuk, maka kekuatan itu tidak dapat diandalkan.

Sisa armada Gowa yang tidak mau menyerah dan tidak jatuh ke tangan orang-orang Belanda atau sekutu-sekutunya lari menuju ke arah utara. Pintu atau mulut bagian selatan Selat Buton dikurung rapat oleh kapal-kapal perang Belanda yang lebih besar dan lebih unggul persenjataan meriam-meriamnya.

Berbaliknya orang-orang Bugis memberi effect psikologis yang sangat merugikan kepada pasukan-pasukan kerajaan Gowa. Oleh karena itu maka armada dan pasukan-pasukan kerajaan Gowa itu lumpuh, kacau-balau dan tidak dapat memberi perlawanan sebagaimana mestinya. Perlawanan pasukan-pasukan dan armada Gowa yang dipimpin oleh Karaeng Bontomarannu terpaksa dapat dipatahkan dalam waktu yang tidak begitu lama. Beribu-ribu orang tertawan, di antaranya terdapat Karaeng Bontomarannu sendiri, Sultan Bima, Datu Luwu, dua orang raja atau bangsawan dari Mandar, putera sulung dan dua orang saudara Karaeng Bontomarannu.

Karaeng Bontomarannu inilah kelak yang bersama Karaeng Galesong bergabung dengan Trunojoyo meneruskan perlawanannya yang gigih terhadap kekuasaan Belanda (V.O.C.) di pulau Jawa. Ada sementara orang yang menyatakan bahwa Karaeng Bontomarannu dan Karaeng Galesong bukanlah orang lain akan tetapi satu orang juga. Mungkin Karaeng Bontomarannu berganti nama menjadi Karaeng Galesong. Hal ini belum diketahui dengan pasti.


173

Seperti yag dapat kita baca di dalam buku-buku sejarah, setelah kerajaan Gowa dapat dikalahkan oleh Laksamana Speelman, orang-orang Makasar meneruskan perlawanannya menentang kekuasaan Belanda (V.O.C.) di luar daratan Sulawesi Selatan. Orang-orang Makasar ini menyerang dan merampas kapal-kapal dagang Belanda (V.O.C.) di mana dan kapan saja ada kesempatan yang baik. Oleh karena itulah maka orang-orang Makasar ini dan keturunannya dinamakan perompak-perompak atau bajak-bajak laut yang sangat berbahaya dan sangat ditakuti terutama oleh kapal-kapal dagang Belanda. Mula-mula orang-orang Makasar ini menuju ke Banten di Jawa Barat. Kemudian dengan 70 (tujuh puluh) buah perahu mereka menuju ke Jawa Timur. Pada waktu Trunojoyo mengadakan perlawanan dan bermusuhan dengan Belanda (V.O.C.) orang-orang Makasar bersekutu dengan orang-orang Madura di bawah pimpinan Trunojoyo. Kapal-kapal Belanda (V.O.C.) yang membawa bahan-bahan makanan atau barang-barang dagangan diserang dan dirampas oleh orang-orang Makasar. Oleh karena itu maka orang-orang Belanda (V.O.C.) sangat gelisah.

Tempat-tempat di pantai selatan pulau Madura dan di bagian utara Jawa Timur diduduki dan sebagian besar dibakar. Demikian pula kota Surabaya. Armada Mataram tidak sanggup menghadapi angkatan laut liar orang-orang Makasar yang bergabung dengan orang-orang Madura ini. Pun angkatan darat dari Mataram yang diangkut oleh angkatan lautnya banyak yang diserang dan dihancurkan. Kemudian tentara Madura yang dipimpin oleh Trunojoyo dan dibantu oleh orang-orang Makasar bertempur di daratan pulau Jawa. Demikianlah orang-orang bersekutu dengan orang-orang Madura di bawah pimpinan Trunojoyo melawan Belanda (V.O.C.). Jadi orang-orang Makasar tetap menentang dan memerangi orang-orang Belanda (V.O.C.). Bahkan orang-orang Makasar menjadikan Kakapar di Jawa Timur sebagai tempat pertahanan mereka. Lebih satu tahun lamanya orang-orang Makasar dapat mempertahankan benteng Kakapar dari serangan pasukan-pasukan Belanda dan sekutu-sekutunya. Setelah terjadi pertempuran yang sengit dan tidak sedikit mengambil korban di pihak musuh, akhirnya orang-orang Makasar terpaksa melepaskan Kakapar. Namun kemudian orang-orang Makasar bergabung lagi dengan pasukan-pasukan Madura yang dipimpin oleh Trunojoyo.

174

Sekarang marilah kita kembali kepada nasib orang-orang Makasar yang ada di Selat Buton. Pasukan-pasukan Makasar yang sedang mengurung benteng pertahanan Buton terpaksa meninggalkan pertahanannya. Orang-orang Bugis segera bergabung dengan pasukan-pasukan Aru Palaka yang turut dalam armada V.O.C. itu. Orang-orang Bugis itu memukul pasukan-pasukan kerajaan Gowa dari dalam. Ada kurang lebih 5000 (lima ribu) orang Bugis yang turut di dalam armada dan pasukan-pasukan kerajaan Gowa yang dipimpin oleh Karaeng Bontomarannu. Ada kira-kira 68 (enam puluh delapan) buah perahu yang segera bergabung pada Aru Palaka dan berbalik menyerang armada Gowa. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 3 Januari 1667. Kemudian pasukan-pasukan Belanda dan sekutu-sekutunya, ditambah dengan orang-orang Bugis yang berbalik dan orang-orang Buton yang merasa dirinya terlepas dari kurungan maut, menggempur dan mengejar pasukan-pasukan kerajaan Gowa. Kini keadaan berbalik. Pasukan-pasukan kerajaan Gowa yang tadinya bersikap menyerang, kini dalam keadaan diserang dan harus membela diri. Mereka tidak dapat lagi bertahan terhadap musuh yang jauh lebih besar jumlahnya dan lebih unggul persenjataannya. Apalagi karena daerah itu masih asing bagi sebagian besar dari mereka. Terutama karena kepanikan dan kekacauan yang disebabkan oleh berbaliknya orang-orang Bugis yang begitu besar jumlahnya, maka akhirnya orang-orang Makasar terpaksa menyerah. Jumlah mereka yang ditawan ada kurang lebih 5500 (lima ribu lima ratus) orang. Sebagian dari mereka, yakni ada kurang lebih 400 (empat ratus) orang yang sudah dipilih, yang badannya kuat dan sehat dibawa dan dijual sebagai budak. Sebagian besar lainnya lagi, yakni kurang lebih 5000 (lima ribu) orang dibawa ke sebuah pulau kecil yang letaknya di Selat Buton.

Sebagian besar orang-orang Makasar yang dibawa ke pulau ini tidak lama kemudian mati kelaparan atau karena penderitaan yang tak tertahankan. Pulau kecil ini kemudian dinamakan

dan sampai sekarang terkenal dengan nama pulau Makasar. Perahu-perahu yang jatuh ke tangan orang-orang Belanda dan sekutu-sekutunya beratus-ratus buah jumlahnya. Seratus dua puluh enam buah diserahkan kepada Aru Palaka. Dua buah perahu yang terbesar yang masing-masing dipersenjatai dengan 18 (delapan belas) dan 15 (lima belas) buah meriam, yakni

yang sebuah perahu kepunyaan Karaeng Bontomarannu dan yang lagi kepunyaan Datu Luwu diambil oleh orang-orang Belanda. Setelah perahu-perahu itu diganti namanya menjadi "Victoria" dan "Macassers schade" keduanya dimasukkan ke dalam formasi armada Speelman. Kepada Sultan Buton diserahkan 30 (tiga puluh) buah perahu. Sisanya, yakni kurang lebih 300 (tiga ratus) buah perahu dibakar dan dimusnahkan. Orang-orang Buton, kurang lebih dua ratus orang yang tadinya ditawan dan dijadikan budak oleh orang-orang Makasar, dikembalikan kepada Sultan Buton. Orang-orang Bugis yang kurang lebih 5000 (lima ribu) orang jumlahnya dimasukkan ke dalam pasukan-pasukan Aru Palaka.

Dengan penuh kecurigaan Speelman memperingatkan kepada Aru Palaka agar supaya Aru Palaka berhati-hati dan jangan terlalu percaya kepada orang-orang Bugis yang berbalik itu. Akan tetapi Aru Palaka lebih mengerti keadaan dan sifat serta watak orang-orang Bugis itu. Beliau memberi jaminan bahwa orang-orang Bugis yang berbalik itu bukanlah orang-orang pengecut. Mereka adalah bekas-bekas kawan sependeritaan yang memang menanti kedatangan Aru Palaka untuk membebaskan mereka.

Selanjutnya pasukan-pasukan Belanda dan sekutu-sekutunya dapat merampas 195 (seratus sembilan puluh lima) panji dan unggul-unggul emas, keris-keris yang hulu atau sarungnya dibalut dengan emas atau perak, bedil dan tombak serta beberapa buah meriam. Selain dari pada itu ada pula sejumlah besar beras dan bahan-bahan makanan lainnya. Demikianlah keadaan serta nasib armada kerajaan Gowa yang he bat dan dahsyat itu.

Jadi sekali lagi perlu kami tegaskan, bahwa kekalahan armada Gowa itu sekali-kali bukan karena keluar-biasaan atau kegagah-beranian Laksamana Speelman dan orang-orang Belanda yang dipimpinnya. Pada awal pertempuran itu, yakni pada hari pertama, sudah banyak orang Belanda yang luka-luka, yakni ada 35 (tiga puluh lima) orang, tiga orang di antaranya berpangkat letnan dan seorang vaandrig. Yang gugur atau tewas ada empat orang. Yang sakit disentri dan tinggal saja di kapal ada 65 (enam puluh lima) orang. Angka-angka itu baru orang- orang Belanda yang tewas, luka-Iuka dan sakit. Jadi dari orang-orang Belanda yang tidak seberapa jumlahnya itu paling sedikit

lebih dari seratus orang yang tidak turut aktif mengambil bagian dalam pertempuran itu. Jadi jelaslah bahwa kekalahan armada dan pasukan-pasukan Gowa itu bukanlah karena keluar-biasaan Speelman atau karena kegagah-beranian orang-orang Belanda yang dipimpinnya. Namun demikianlah yang selalu dan sering terlalu dibesar-besarkan oleh orang-orang Belanda dan penulis-penulis sejarahnya.

Berita kemenangan armada Belanda dan sekutu-sekutunya yang gilang-gemilang di Selat Buton ini dikirim dengan kurir istimewa ke Batavia bersama dengan 50 (lima puluh) buah panji rampasan yang sudah dipilih oleh Speelman sendiri. Bahkan tiga buah surat yang sama isinya dikirim melalui tiga jalan ke Batavia. Maksudnya agar berita kemenangan yang gilang-gemilang itu selekas mungkin dan pasti tiba di Batavia. Berita kilat ini selain dari pada ingin menunjukkan kegembiraannya, juga mengandung maksud-maksud yang lain, terutama kepentingan pribadi Speelman. Pemimpin armada V.O.C. itu ingin terus mengadu untung. Speelman berusaha memperoleh izin dari pimpinan V.O.C. di Batavia untuk menyerang dan merebut pusat kekuatan kerajaan Gowa, yakni Benteng Sombaopu. Kemenangan yang gilang-gemilang yang tidak diduganya itu rupanya sangat kuat mendorong Speelman untuk bertindak lebih jauh.

Berita yang terlebih dahulu sampai, ialah yang dibawa oleh kapal "de Pimpel" yang tiba di Batavia (Jakarta) pada tanggal 11 April 1667. Berita kehancuran armada Gowa yang dahsyat itu sangat menggembirakan, terutama para pembesar V.O.C. di Batavia. Karena kemenangan armada V.O.C. dan sekutu-sekutunya yang gilang-gemilang di Selat Buton ini maka Teluk Bau-Bau oleh orang-orang Belanda dinamakan "Victoria-baai" artinya Teluk Kemenangan. Jadi dengan kemenangannya yang gilang-gemilang itu Speelman berusaha memperoleh balabantuan yang lebih besar dari Batavia.

Belanda bukanlah Belanda penjajah jikalau mereka tidak mau mempergunakan dengan sebaik-baiknya kesempatan yang sangat menguntungkan mereka. Karena merasa dirinya terhindar dari malapetaka dan kehancuran totalnya oleh pertolongan armada V.O.C., maka Sultan Buton sangat bergembira. Baginda sangat berterima kasih kepada kawan-kawan yang datang me-

nolongnya. Saat dan kesempatan ini dipergunakan pula oleh Laksamana Speelman dengan sebaik-baiknva. Di Buton diadakan pesta kemenangan yang sangat meriah oleh Belanda (V.O.C.) dan sekutu-sekutunya.

Setelah kurang lebih sebulan berada di Buton, maka pada tanggal 31 Januari 1667 diadakanlah perjanjian persekutuan antara V.O.C. dan Sultan Buton. Dalam perjanjian itu antara lain ditetapkan bahwa Sultan Buton harus membasmi pohon-pohon cengkeh dan pala di Buton, terutama di pulau Kaidupa dan pulau Wangi-Wangi. Sultan Buton diminta oleh V.O.C. untuk mengawasi pemusnahan pohon rempah-rempah itu dan menjaga agar tidak diadakan penanaman pohon-pohon yang baru. Sebagai gantinya V.O.C. akan memberikan uang tahunan (jaargeld) sebesar seratus ringgit kepada Sultan Buton. Dengan ini jelas pula betapa serakahnya orang-orang Belanda (V.O.C.). Mereka hanya mengingat kepentingan dirinya sendiri saja. Mereka tidak mau mempedulikan kepentingan dan nasib rakyat Buton. Sedikit banyak rakyat Buton turut membantu V.O.C. mencapai kemenangan yang gilang-gemilang di Selat Buton.

Sebuah perahu dan 80 (delapan puluh) orang serdadu Belanda ditinggalkan dan ditempatkan di Buton. Pasukan-pasukan Belanda ini dipimpin oleh Letnan Jan van Haarlem. Kemudian Aru Palaka diminta oleh Speelman agar memerintahkan pengikut-pengikut beliau menuju ke Bone. Mereka diminta menyiapkan perlawanan umum pada saat armada V.O.C. kembali dari kepulauan Maluku. Dalam bulan Mei 1667 Aru Palaka mengirimkan Arung Bila dan Aru Kaju dengan kurang lebih 2000 (dua ribu) orang ke daratan Sulawesi Selatan. Mereka diminta agar mengajak orang-orang Bugis yang ditaklukkan oleh kerajaan Gowa, bangkit mengadakan perlawanan umum. Akan tetapi pasukan-pasukan ini dapat dihalau oleh pasukan-pasukan Gowa. Arung Bila dan Aru Kaju lari ke daerah Luwu. Dari Buton, sesuai dengan instruksi yang diterimanya, Laksamana Speelman menuju ke Maluku. Speelman bermaksud terutama untuk mencari dan mengumpulkan balabantuan guna menyerang keraiaan Gowa. Nasib Speelman sedang baik. Dewi Fortuna sedang mengiringi Speelman. Pada waktu itu Sultan Mandarsyah dari Ternate dan Sultan Saifudin dari Tidore sedang bermusuhan. Setiap pertengkaran atau pennusuhan antara kita sama kita selalu menguntungkan pihak Belanda. Keadaan yang demikian selalu dipergunakan

dengan sebaik-baiknya oleh Belanda. Belanda sangat pandai dan mahir sekali mempergunakan senjata "divide et impera" atau pecah belah dan jajahlah. Belanda selalu pandai mengambil keuntungan yang sebanyak-banyaknya dari setiap perselisihan atau pennusuhan di antara kita sama kita. Sebagai "kawan yang baik" Belanda sering mendamaikan pihak-pihak yang bermusuhan itu. Sebagai rasa dan tanda terima kasih atas "kebaikan hati" itu, Belanda pasti dan selalu mendapat apa-apa atau hadiah. Demikian pula dalam permusuhan antara Sultan Mandarsyah dari Temate dan Sultan Saifudin dari Tidore ini. Kebetulan pada saat itu orang-orang Belanda baru saja mencapai kemenangan atas orang-orang lnggeris di daerah itu setelah mengadakan pertempuran laut empat hari lamanya. Pada tangal 28 Maret 1667 Laksamana Speelman mengadakan pesta kemenangan yang meriah. Kedua orang Sultan yang bermusuhan itu diundang pula ke pesta kemenangan Speelman itu. Dengan mahirnya Speelman berhasil mendamaikan Sultan Mandarsyah dan Sultan Saifudin. Akan tetapi, setelah pesta yang meriah dan "penuh persahabatan" itu selesai, Belanda (V.O.C.) berhasil membujuk dan mengadakan perjanjian persahabatan dengan Sultan Saifudin dari Tidore. Perjanjian ini dibuat pada tangal 29 Maret 1667. Kemudian pada tanggal 30 Maret 1667 Speelman berhasil pula membujuk dan mengadakan perjanjian yang baru dengan Sultan Mandarsyah dari Ternate. Di dalam perjanjian itu antara lain disebutkan, bahwa:

1) Sultan Ternate dan Sultan Tidore mengakui V.O.C. (Belanda) sebagai pelindungnya.

2) Belanda (V.O.C.) memperoleh hak monopoli perdagangan di wilayah kekuasaan kedua orang Sultan itu.

3) Selanjutnya kedua orang Sultan itu menyetujui bahwa jikalau mereka wafat, tidak akan ditunjuk pengganti pengganti mereka tanpa persetujuan V.O.C. (Belanda).

Dengan ini jelaslah lagi betapa mahirnya Belanda(V.O.C.) mempergunakan dengan baik kesempatan yang sangat menguntungkan bagi mereka. Belanda (V.O.C.) selalu pandai mengambil keuntungan yang sebanyak-banyaknya pada setiap ada perpecahan atau permusuhan di antara kita sama kita. Hal ini harus dicamkan baik-baik oleh bangsa Indonesia: SETIAP PERPECAHAN ATAU PERMUSUHAN ANTARA KITA PASTI DAN SELALU MENGUNTUNGKAN KAUM PENJAJAH.


179

Perlu kiranya kami singgung di sini, bahwa sebelum Laksamana Speelman berangkat ke daerah-daerah Indonesia bagian timur, memang sudah dimasukkan ke dalam anggaran belanja, biaya kepergian Speelman itu, termasuk pengeluaran untuk membeli hadiah-hadiah. Hadiah-hadiah itu akan dipersembahkan sebagai "tanda persahabatan" kepada Raja-Raja yang berkuasa di sana. Besar kecilnya nilai hadiah itu tergantung pada besar kecilnya kepentingan V.O.C. dan keuntungan yang dapat diperoleh V.O.C. dari Raja-Raja itu. Misalnya:

1) Untuk Sultan Ternate hadiah seharga 200 ringgit

2) Untuk Sultan Tidore hadiah seharga 200 ringgit

3) Untuk Sultan Buton hadiah seharga 150 ringgit

4) Untuk Sultan Bacan hadiah seharga 150 ringgit

Demikianlah lihainya V.O.C. yang bermental pedagang itu dalam mendekati dan "merayu" Raja-Raja bangsa Indonesia. Dari sejarah ini kita terutama para pemimpin kita, dapat belajar jangan sampai terulang lagi bahwasanya kita terpikat dan terbius oleh pendekatan dan "rayuan pedagang" seperti itu. Caranya mungkin berbeda, tetapi dasar dan tujuannya tetap sama, tidak ada perbedaan antara mental pedagang abad-abad yang lalu dan mental pedagang zaman modern ini.

Kemudian Speelman mengunjungi kerajaan Bacan. Dengan Sultan Bacan Speelman berhasil pula membuat perjanjian. Isinya dapat dikatakan sama saja dengan perjanjian yang telah dibuatnya dengan Sultan Ternate dan Sultan Tidore. Dari Bacan Speelman menuju ke Banda. Kemudian, pada tanggal 26 Mei 1667 Speelman tiba di Ambon. Pada tanggal 6 Juni 1667 Speelman mengadakan pesta perpisahan. Speelman belum berani menyerang pusat kekuatan kerajaan Gowa di Sombaopu sebelum ia berhasil mengumpulkan balabantuan yang cukup kuat dan banyak jumlahnya. Berkat keadaan yang sangat menguntungkan dan nasib mujur yang selalu mengiringinya Speelman berhasil dalam perjalanannya. Speelman berhasil memperoleh balabantuan yang besar sekali dari sekutu-sekutunya di Indonesia bagian timur.

Dari Ambon Speelman memperoleh balabantuan berupa sembilan buah kora-kora atau perahu perang Maluku beserta anak-buahnya sekali yang dipersenjatai. Sebagai tanda persahabatan kepada sekutu-sekutunya itu Speelman menghadiahkan sebuah kepingan emas untuk tiap-tiap orang pemimpin atau kepala.


Dari Sultan Ternate Speelman mendapat bantuan pasukan dan beberapa buah perahu perang. Pasukan-pasukan V.O.C. yang terbaik di Maluku diambil dan dibawa oleh Speelman untuk menyerang kerajaan Gowa. Hal ini sesungguhnya melanggar perintah para pembesar V.O.C. di Batavia. Speelman dilarang mengurangi atau memperlemah pos-pos Belanda (V.O.C.) di Maluku. Namun Speelman sangat membutuhkan tenaga-tenaga yang terbaik untuk mensukseskan tugasnya memerangi orang-orang Makasar yang terkenal gagah-berani. Jadi didorong oleh ambisi yang sangat kuat, ditambah dengan kemenangan-kemenangan serta kemujuran-kemujuran yang mengiringinya, maka makin besar nafsu Speelman untuk sekali lagi mencoba nasibnya. Speelman sangat ingin memperbaiki namanya yang sedang jatuh dan memperoleh kedudukan yang lebih tinggi jikalau ia mujur dan menang.

Setelah berhasil memperkuat kedudukan V.O.C. di Maluku dan setelah memperoleh bantuan yang cukup besar, maka pada tanggal 7 Juni 1667 Speelman berangkat dan menuju ke Buton. Pada tanggal 19 Juni 1667 Speelman tiba di Buton. Pada tanggal 25 Juni 1667 di Victorie Baai (Teluk Bau-Bau) di atas kapal pimpinan armada Belanda "Tertholen" Speelman mengadakan rapat dengan para pembantunya. Mereka merundingkan dan merencanakan tindakan-tindakan selanjutnya dalam menghadapi orang-orang Makasar di daratan Sulawesi Selatan.

Belanda bukanlah Belanda penjajah jikalau mereka tidak mempergunakan saat yang baik untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Sungguhpun sebelum berangkat ke Maluku V.O.C. sudah mengadakan perjanjian dengan Sultan Buton, namun karena merasa dirinya sudah kuat, maka sebelum berangkat menyerang kerajaan Gowa, Belanda (V.O.C.) membuat lagi sebuah perjanjian baru dengan Sultan Buton. Di dalam perjanjian itu dimasukkan lagi pasal-pasal yang hampir sama isinya dengan perjanjian yang dibuat oleh Speelman dengan Sultan Ternate, Sultan Tidore dan Sultan Bacan, Bahkan di dalam perjanjian dengan Sultan Buton itu ditambahkan bangsa-bangsa apa saja yang boleh berdagang di Buton. Juga disebutkan hasil-hasil serta barang-barang apa saja yang boleh diperdagangkan di Buton. Demikianlah Belanda (V.O.C.) yang serakah selalu dan tidak pernah lalai mempergunakan setiap kesempatan yang baik untuk mengambil keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Pun dari

Sultan Buton Speelman mendapat bantuan pasukan dan perahu-perahu serta bahan-bahan makanan. Hal ini tidak sedikit artinya bagi operasi yang akan dijalankan oleh Speelman terhadap induk kekuatan dan pusat kekuasaan kerajaan Gowa di Sombaopu.

Sementara Speelman menuju ke Buton dan Maluku, orang-orang Makasar di bawah pimpinan Sultan Hasanudin tidak tinggal diam. Sultan Hasanudin berusaha keras memperkuat pertahanan kerajaannya. Di sepanjang pantai antara Ujung Pandang dan Bantaeng didirikan kubu-kubu pertahanan. Maksudnya untuk mencegah kemungkinan pasukan-pasukan Belanda dan sekutu-sekutunya mengadakan pendaratan.

Bantaeng yang sudah pernah dimusnahkan oleh pasukan-pasukan Belanda dan sekutu-sekutunya diperkuat lagi dengan pasukan Gowa sejumlah kurang lebih 5000 (lima ribu) orang. Pasukan-pasukan Gowa yang membela Bantaeng ini dipimpin oleh adik Sultan Hasanudin sendiri yang bernama I. Atatojeng Kare Tulolo Karaeng Bonto Majannang. Benteng Ujung Pandang dipertahankan oleh pasukan-pasukan kerajaan Gowa di bawah pimpinan Karaeng Bonto Sunggu. Benteng Pannakukang yang pada tahun 1660 pernah direbut dan diduduki oleh Belanda (V.O.C.) dipertahankan oleh pasukan-pasukan kerajaan Gowa di bawah pimpinan Karaeng Popo. Benteng Sombaopu dipertahankan oleh pasukan-pasukan kerajaan Gowa yang dipimpin sendiri oleh Sultan Hasanudin dibantu oleh Karaeng Karunrung.

Untuk mencegah Aru Palaka menimbulkan pemberontakan dan perlawanan umum di Bone, maka dalam bulan Pebruari 1667 Sultan Hasanudin mengangkat bekas Raja Bone La Maddaremmeng sebagai "komisaris" kerajaan Gowa di Bone. Seperti diuraikan di depan tadi pada tahun 1644 La Maddaremmeng dikalahkan dan diangkut sebagai tawanan ke Gowa. Akan tetapi tindakan politik Sultan Hasanudin ini sudah terlambat. Rakyat Bone sudah mulai bergolak. Apalagi setelah mendengar Aru Palaka dan kawan-kawan beliau sudah kembali dari Batavia dan bersama-sama dengan orang-orang Belanda (V.O.C.) menyerang kerajaan Gowa. Mereka sudah mendengar pula tentang pemusnahan kota Bantaeng serta desa-desa di sekitarnya dan bahwa Aru Palaka beserta kawan-kawan beliau beberapa orang bangsawan Bugis turut di dalam pertempuran itu.

Pengaruh Aru Palaka atas rakyat Bone dan Soppeng makin hari makin bertambah besar. Apalagi setelah mendengar berita kehancuran total armada kerajaan Gowa yang dahsyat di Selat Buton.

Sultan Hasanudin berusaha mengadakan hubungan dengan kerajaan Banten yang menjadi pula musuh orang-orang Belanda (V.O.C.) yang sangat berbahaya.

Sebelum Speelman menuju ke daratan Sulawesi Selatan, pimpinan V.O.C. di Batavia di dalam suratnya yang bertanggal 19 April 1667 dengan tegas berpesan agar Speelman jangan sampai mendaratkan pasukan-pasukan yang terdiri dari orang-orang Belanda. Dari sini dapat kita melihat dengan jelas betapa curangnya V.O.C. Dalam surat itu dengan jelas diminta atau diharapkan agar orang-orang Bugis saja yang bertempur di daratan melawan orang-orang Makasar. Jadi armada dan tentara Belanda yang ikut dipergunakan hanya untuk menakut-nakuti orang-orang Makasar seolah-olah mereka akan mendarat. Dengan demikian mereka mengharapkan orang-orang Makasar akan ketakutan dan menyerah.

Di dalam surat pimpinan V.O.C. itu diperintahkan agar Speelman sedapat mungkin jangan mengorbankan jiwa orang-orang Belanda. Di sinilah tampak dengan jelas kelicikan dan kelihaian orang-orang Belanda (V.O.C.). Mereka hanya pandai mengadu-domba orang-orang Indonesia untuk kemudian berlagak dan bertindak sebagai pahlawan yang gagah-berani. Hal ini perlu dicamkan baik-baik oleh bangsa Indonesia.

Pada tanggal 26 Juli 1667 berangkatlah armada V.O.C. di bawah pimpinan Laksamana Speelman dan sekutu-kutunya menuju ke Jazirah Barat Daya Sulawesi. Sekutu-kutu V.O.C. terdiri dari orang-orang Bugis, Buton, Ternate dan Ambon/Maluku. Perahu-perahu orang-orang Bugis di bawah pimpinan Aru Palaka berangkat lebih dahulu sebagai pasukan pengintai dan pelopor. Kemudian baru menyusul kapal-kapal Belanda yang dipimpin oleh Speelman dan perahu-perahu yang lainnya. Sultan Ternate masih harus tinggal di Buton. Baginda masih menunggu perahu-perahu dan pasukan-pasukan Ternate dari kepulauan Sula. Pada waktu Speelman tiba dengan armadanya di pantai Sulawesi Selatan ia agak gelisah. Ia tidak menjumpai perahu-perahu Bugis yang dipimpin oleh Aru Palaka.

Armada itu diserang oleh taufan, sehingga Aru Palaka dan Kapten Poleman terpisah dari induk armada yang dipimpin oleh Laksamana Speelman. Hal ini sangat menggelisahkan Speelman dan pasukan-pasukan Belanda serta sekutu-sekutunya. Betapa tidak! Aru Palaka mengenal betul daerah Sulawesi Selatan. Beliau mempunyai pengaruh yang besar sekali di kalangan raja-raja dan bangsawan Bugis. Di dalam pertempuran-pertempuran Aru Palaka telah membuktikan dirinya sebagai seorang pemimpin pasukan yang cakap, tangkas dan gagah-berani. Beliau dikagumi baik oleh kawan maupun oleh lawan.

Aru Palaka dan pengikut-pengikutnya sampai di Tiro. Didapatinya tempat itu diduduki oleh orang-orang Makasar. Kemudian diserang dan didudukinya tempat itu. Dari Tiro Aru Palaka menuju ke Pattiro di dekat Bone. Kemudian beliau mengirimkan Aru Bila dan Aru Appanang ke daerah Soppeng untuk memberitahukan kepada rakyat di sana bahwa Aru Palaka sudah ada di Pattiro. Demikian pula bahwa Aru Palaka dengan sekutu-sekutunya sudah merencanakan untuk menyerang dan menghancurkan kerajaan Gowa.

Berita kedatangan Aru Palaka dan kawan-kawan beliau segera tersiar luas. Kemudian banyaklah orang-orang Soppeng bersama Aru Bila dan Aru Appanang pergi ke Pattiro. Mereka menggabungkan diri dengan Aru Palaka, sedang Aru Palaka sendiri berhasil mengumpulkan orang-orang Bone yang cukup banyak jumlahnya.

Perlu kiranya kami singgung di sini, bahwa Aru Palaka adalah seorang anak raja dari daerah Soppeng. Beliau dilahirkan di sekitar tahun 1635 di desa Lamatta di daerah Marioriwawo

(Soppeng). Waktu kecilnya beliau dinamakan La Tenritata. Ayah beliau ialah La Pottobune' Arung Tana Tengnga, sebuah negeri di tepi Sungai WalanaE di dalam wilayah kedatuan Soppeng. lbu Aru Palaka ialah We Tenrisui Datu Marioriwawo puteri raja Bone yang ke XI. Raja Bone inilah yang mula-mula masuk Islam dan baginda bernama La Tenriruwa Sultan Adam Matinrowe ri Bantaeng. Jadi Aru Palaka adalah cucu Raja Bone Sultan Adam. Dari ibunya Aru Palaka alias La Tenritata mendapat gelar atau sering pula disebut Datu Marioriwawo. Akan tetapi beliau lebih dikenal sebagai Aru Palaka Petta MalampeE Gemme'na. Jadi tidaklah heran jikalau Aru Palaka mendapat simpati

dan dukungan yang sebesar-besarnya dari rakyat di daerah Soppeng (daerah ayahnya) dan rakyat dari daerah Bone (daerah ibunya).

Demikianlah Aru Palaka dengan segera berhasil mengumpulkan sebuah tentara yang sebagian besar terdiri dari orang-orang Bone dan orang-orang Soppeng. Setelah berhasil mengumpulkan tentara yang cukup besar jumlahnya maka Aru Palaka pun mulai menyerang orang-orang Gowa di Panju. Maka terjadilah pertempuran yang sengit tiga hari lamanya. Pada hari yang keempat pasukan-pasukan kerajaan Gowa mengadakan serangan umum dan berhasil memukul mundur pasukan-pasukan Aru Palaka. Pasukan-pasukan Bugis yang dipimpin oleh Aru Palaka terpaksa mundur kembali ke Pattiro untuk mengumpulkan dan menyusun kembali kekuatannya.

Kapten Poleman kemudian berhasil bertemu kembali dengan induk armada V.O.C. yang dipimpin oleh Speelman di dekat Bantaeng. Kapten Poleman melaporkan kepada pimpinan armada V.O.C. itu betapa gentingnya keadaan Aru Palaka dan pasukan-pasukan Bugisnya. Kapten Poleman sendiri tidak berdaya dan tidak mampu menolong Aru Palaka. Lalu Kapten Poleman menceriterakan pula betapa nasib Aru Palaka dan pasukan-pasukan Bugisnya jikalau mereka tidak segera dibantu terutama dengan senjata. Speelman juga menyadari sungguh-sungguh betapa nanti pengaruh psykologisnya yang sangat merugikan jikalau Aru Palaka dan pasukan-pasukan Bugisnya sampai dapat dipukul hancur oleh pasukan-pasukan kerajaan Gowa. Kekalahan dan kehancuran Aru Palaka akan memberi pengaruh negatif kepada pasukan-pasukan Belanda dan sekutu-sekutunya. Sebaliknya hal itu dapat memberi semangat yang menyala-nyala bagi pasukan-pasukan kerajaan Gowa. Jikalau sampai terjadi hal yang seperti itu maka rencana Speelman untuk mengalahkan dan menghancurkan kerajaan Gowa akan mengalami kegagalan total. Hal ini disadari betul oleh Speelman. Oleh karena itu maka Speelman segera mengirim Kapten Poleman dengan dua buah perahu, meriam dan senjata-senjata lainnya ke Pattiro. Kapten Poleman menyampaikan kepada Aru Palaka pesan Speelman agar Aru Palaka meninggalkan Pattiro dan segera bergabung dengan pasukan-pasukan lainnya yang menanti beliau di Bantaeng. Karena tidak ada perahu yang cukup banyak untuk mengangkut pasukan-pasukan Bugis

yang sudah berhasil dikumpulkan kembali, maka Aru Palaka dan Kapten Poleman memutuskan untuk menempuh jalan darat. Mereka menyerang lagi pasukan-pasukan Gowa di Panju. Kali ini Aru Palaka dan Kapten Poleman berhasil merebut Panju setelah terlebih dahulu terjadi pertempuran yang seru. Setelah membakar desa-desa yang dilaluinya, akhirnya sampai jugalah Aru Palaka dan Kapten Poleman ke tempat yang dituju, yakni Bantaeng.

Pada tanggal 7 Juli 1667 Speelman menyerang kota Bantaeng. Kota ini dipertahankan dengan gagah-berani oleh pasukan-pasukan kerajaan Gowa yang berjumlah kurang lebih 5000 (lima ribu) orang. Pasukan pasukan kerajaan Gowa ini dipimpin sendiri oleh adik Sultan Hasanudin yang bernama I. Atatojeng Kare Tulolo Karaeng Bonto Majannang. Beliau ini dibantu oleh Karaeng Bontonompo, Karaeng Laiya dan Karaeng Bangkala. Setelah terjadl pertempuran yang sengit, akhirnya pasukan-pasukan Belanda dan sekutu-sekutunya berhasil merebut kota Bantaeng untuk kedua kalinya. Kota Bantaeng dimusnahkan lagi oleh pasukan-pasukan Belanda dan sekutu-sekutunya.

Pada tanggal 10 Juli 1667 Speelman meninggalkan kota Bantaeng menuju ke Sombaopu. Benteng ini menjadi sasaran dan tujuan utama dari pasukan-pasukan Belanda dan sekutu-sekutunya. Pada tanggal 11 Juli 1667 Speelman singgah dan mendarat di Jeneponto. Di sini, setelah mendapat perlawanan yang sengit, pasukan-pasukan Belanda dan sekutu-sekutunya membakar lumbung-lumbung padi persediaan makanan pasukan-pasukan kerajaan Gowa. Pada tanggal 12 Juli 1667 Speelman meninggalkan Jeneponto menuju ke Sombaopu. Pada tangal 13 Juli 1667 armada V.O.C. yang dipirnpin oleh Speelman tiba di perairan Sombaopu. Sewaktu tiba di pelabuhan Sombaopu, Belanda (V.O.C.) mengajukan lagi tuntutan-tuntutan yang dulu. Kerajaan Gowa diminta membayar segala kerugian yang diderita oleh orang-orang Belanda akibat pembunuhan dan perampasan yang dilakukan oleh orang-orang Gowa (orang-orang Makasar) atas kapal-kapal Belanda yang kandas di perairan kerajaan Gowa. Kerajaan Gowa diminta menyerahkan semua pembunuh orang-orang Belanda kepada Speelman. Tuntutan-tuntutan itu ditolak mentah-mentah oleh Sultan Hasanudin. Namun karena tidak mau menodai perbuatan-perbuatan rakyatnya yang membenci


orang-orang Belanda, maka Sultan Hasanudin mengirimkan kepada Speelman semua uang yang telah diketemukan oleh orang-orang Makasar di kapal "De Leeuwin". Bersama dengan itu pula Sultan Hasanudin mengirimkan sejumlah uang emas sebagai pengganti kerugian atas kematian orang-orang Belanda dalam insiden-insiden kapal-kapal Belanda (V.O.C.) yang memasuki perairan kerajaan Gowa tanpa izin. Akan tetapi dengan congkak dan kasarnya Speelman mengeluarkan kata-kata antara lain sebagai berikut: "Want het Hollants loet niet met gelt, maer met het bloet dergene, die het vergoten adde .......... Coste voldaen werde." Jikalau kata-kata ini diterjemahkan dengan bebas, maka artinya adalah kurang lebih sebagai berikut: "Karena darah orang-orang Belanda tidak dapat dibayar dengan uang tetapi harus dibayar dengan darah orang-orang yang membunuhnya."

Kata-kata yang bernada congkak ini dikeluarkan oleh Speelman pada waktu menerima uang dan emas itu. Akan tetapi Speelman TIDAK MENGEMBALIKAN uang dan emas yang dikirimkan oleh Sultan Hasanudin. Rupanya Speelman tidak mengerti tentang watak dan perasaan orang-orang Makasar. Ia salah menafsirkan sikap dan tindakan Sultan Hasanudin. Disangkanya Sultan Hasanudin berbuat demikian karena baginda takut berperang dan berusaha membujuk orang-orang Belanda dengan tindakan baginda itu. Sungguh keliru sikap dan salah benar tafsiran orang-orang Belanda terhadap Sultan Hasanudin. Rupanya Speelman kurang memahami sikap dan watak Sultan Hasanudin sebagai seorang ksatria timur. Rupanya Belanda yang kasar dan congkak keliru dalam menafsirkan sikap ksatria Sultan Hasanudin. Tidak heran jikalau usaha-usaha Belanda untuk menggertak dan menakut-nakuti Sultan Hasanudin selalu gagal. Sultan Hasanudin bukan seorang penakut atau seorang pengecut. Sultan Hasanudin sekali-kali tidak takut berperang. Demikianlah pada tanggal 13 Juli 1667 armada Belanda yang di dipimpin oleh Laksamana Speelman sampai di depan Benteng Sombaopu. Tuntutan Speelman agar Sultan Hasanudin menyerahkan orang-orang Makasar yang membunuh orang-orang Belanda kepada Speelman ditolak mentah-mentah oleh Sultan Hasanudin. Hal ini membuktikan pula bahwa Sultan Hasanudin tidak takut berperang melawan Belanda (V.O.C.).

Dari Bantaeng Aru Bila dan Aru Appanang diutus oleh Aru Palaka ke daerah-daerah Soppeng, Barru, Nepo dan Tanete untuk mengajak raja-raja di daerah itu bangkit melawan kekuasaan kerajaan Gowa. Raja-raja Bugis itu diminta bergabung dengan pasukan-pasukan Aru Palaka untuk mengusir orang-orang Makasar dari daerah-daerah Bugis seperti: daerah Mandalle, Segeri, Labbakkang, Pangkajene sampai ke Maros. Daerah-daerah yang kami sebutkan di atas itu terletak di sebelah utara Benteng Sombaopu.

Jadi pasukan-pasukan dari Soppeng, Nepo, Barru dan Tanete akan menyerang Sombaopu dari sebelah utara da timur. Pasukan-pasukan Bugis yang dipimpin oleh Aru Palaka dibantu oleh pasukan-pasukan Belanda di bawah pimpinan Kapten Poleman akan menerobos dari Turatea dan menyerang Sombaopu dari arah selatan. Pasukan-pasukan dari Buton dan Ternate dengan kora-kora atau dengan perahu-perahu mereka yang lebih kecil akan menyusur tepi pantai. Induk armada V.O.C. dengan kapal-kapal yang besar dan dipimpin langsung oleh Laksamana Speelman akan menyerang dari arah laut. Jadi orang-orang Buton, orang-orang Ternate dan armada V.O.C. akan menyerang dari jurusan barat.

Sampai beberapa hari lamanya armada Belanda (V.O.C.) tinggal diam saja di depan Sombaopu. Mereka menunggu berita tentang pasukan-pasukan Bugis yang dipimpin oleh Aru Palaka. Sementara itu pasukan-pasukan sekutu Belanda dari Ternate tiba dengan 19 (sembilan belas) buah kora-kora dan 9 (sembilan) buah joli-joli. Kemudian tambahan mesiu sebanyak 15.000 (lima belas ribu) pon tiba pula. Dari Buton datang 24 (dua puluh empat) buah perahu dengan seribu orang.

Dengan ini jelaslah bahwa tanpa bantuan sekutu-sekutunya yang terdiri dari orang-orang Indonesia juga, V.O.C. tidak akan mampu mengalahkan kerajaan Gowa. Jadi hanya dengan senjata yang terkenal dengan nama "divide et impera" Belanda (V.O.C.) berhasil mengalahkan kerajaan Gowa. Memang Belanda sangat mempergunakan senjata yang terkenal dengan nama "divide et impera" itu. Bangsa Indonesia diadu-domba dengan bangsanya sendiri. Di sini orang-orang suku Makasar diadu terutama melawan orang-orang suku Bugis yang dibantu oleh orang-orang suku Buton, suku Ternate dan suku Maluku (Ambon).



Demikianlah armada V.O.C. yang dipimpin oleh Laksamana Speelman belum berani menyerang. Mereka menanti kabar dan kedatangan pasukan-pasukan Bugis yang dipimpin oleh Aru Palaka. Orang-orang Makasar yang dipimpin oleh Sultan Hasanudin dengan tenang pula mengawasi gerak-gerik armada V.O.C. itu. Demikianlah keadaannya sampai beberapa hari lamanya, sunyi dan tiada terjadi apa-apa antara armada V.O.C. dan pasukan-pasukan pertahanan kerajaan Gowa.

Tiba-tiba pada tanggal 19 Juli 1667, pagi-pagi sekali meriam-meriam pertahanan kerajaan Gowa, terutama dari Benteng Sombaopu memuntahkan peluru-pelurunya. Tembakan-tembakan itu terutama ditujukan kepada kapal "Tertholen" yang menjadi kapal pemimpin armada V.O.C. yang ditumpangi oieh Laksamana Speelman sendiri. Maka terjadilah tembak-menembak yang sangat seru antara meriam-meriam pertahanan kerajaan Gowa dengan meriam-meriam dari kapal-kapal armada V.O.C. Tidak kurang dari 4000 (empat ribu) tembakan yang dilepaskan oleh meriam-meriam kapal-kapal armada V.O.C. Kurang lebih sepertiga dari persediaan mesiu dan pelurunya sudah dihabiskan oleh Belanda pada hari tanggal 19 Juli 1667 itu. Tembak-menembak dan duel meriam yang sangat seru itu terjadi sejak pagi hari dimulai sejak terbitnya matahari di ufuk timur sampai malam setelah matahari terbenam di ufuk barat. Setelah malam tiba, kapal-kapal V.O.C. menjauhkan diri dari pantai. Barulah tembak-menembak dan duel meriam itu berhenti.

Perlu kami singgung di sini bahwa di kerajaan Gowa yang dipimpin oleh Sultan Hasanudin pada waktu itu banyak sekali benteng-benteng pertahanan. Yang terpenting antara lainnya: Benteng Sombaopu, Benteng Ujung Tanah, Benteng Ujung Pandang, Benteng Pannakukang, Benteng Garassi, Benteng Galesong, Benteng Barombong, Benteng Gowa dan lain-lainnya. Pada waktu itu Benteng Sombaopulah yang menjadi benteng utama dan benteng yang terbesar dan terkuat di antara benteng-benteng yang kami sebutkan tadi itu. Benteng Sombaopu juga menjadi tempat kediaman Raja Gowa. Sombaopu juga menjadi ibukota dan pelabuhan terbesar kerajaan Gowa.

Ada diceriterakan bahwa benteng yang mempertahankan ibu negeri kerajaan Gowa (Sombaopu) pada waktu itu dipersenjatai dengan kurang lebih 130 (seratus tiga puluh) buah meriam

dari bermacam-macam kaliber atau ukuran. Di dalam buku atau karangan Dr. K.G. Grucq yang berjudul "De Geschiedenis van het heilige kanon van Makasar" (= Sejarah meriam keramat orang-orang Makasar) dapat kita baca antara lain sebagai berikut (Setelah diterjemahkan dengan bebas): "Kemudian armada (yakni yang dipimpin oleh Van Dam pada tahun 1660, penulis) mendekati Sombaopu yang dipertahankan oleh tiga buah benteng yang diperkuat yakni Panakoke (maksudnya Pannakukang), Sambopu (maksudnya Sombaopu) dan Ujung Pandang. Benteng-benteng itu dipersenjatai dengan 130 (seratus tiga puluh) meriam. Benteng Sombaopu berbentuk persegi empat. Dinding atau front sebelah barat (yakni sebelah atau arah laut/Selat Makasar) dan dinding sebelah utara sangat diperkuat. Dinding sebelah selatan dan sebelah timur tidak begitu diperkuat. Di dinding sebelah barat (arah Selat Makasar) terdapat Baluwara-Barat-Daya, Baluwara-Tengah dan Baluwara-Barat-Laut yang juga sering disebut Baluwara-Agung (Groot Bolwerk). Di Baluwara Agung inilah ditempatkan sebuah meriam yang amat dahsyat yang disebut "MERIAM ANAK MAKASAR".

Jadi Benteng Sombaopu menjadi tempat kediaman Sultan Hasanudin. Benteng ini berbangun persegi empat dan menjadi benteng kebanggaan kerajaan Gowa. Benteng Sombaopu adalah benteng yang terbesar, terkuat dan tertangguh di antara benteng-benteng kerajaan Gowa yang sudah kami sebutkan tadi. Terutama bagian barat dan bagian utaranya, yakni arah dari mana musuh diharapkan dan diperkirakan datang menyerang, diperkuat dan dipersenjatai dengan hebat. Dinding bagian selatan dan bagian timur benteng itu tidak begitu diperkuat. Hal ini disebabkan karena diperkirakan musuh tidak akan menyerang Benteng Sombaopu dari arah selatan atau dari arah timur. Di sebelah selatan dan disebelah timur benteng Sombaopu sampai bermil-mil jauhnya adalah daerah inti kerajaan Gowa. Jadi menurut perhitungan sangat mustahil dan tidak mungkin jikalau musuh berani menyerang Sombaopu dari arah selatan dan timur. Mereka pasti akan mendapat perlawanan yang gigih dan harus melewati bangkai-bangkai rakyat Gowa yang tidak akan menyerah begitu saja. Mereka pasti akan melewati tumpukan mayat pahlawan-pahlawan Gowa yang akan membela setiap jengkal bumi tanah-airnya sampai tetesan darah yang penghabisan.


Jadi diperkirakan musuh hanya mungkin dapat menyerang Benteng Sombaopu dari arah barat (dari arah laut) dan arah utara. Di baluwara (bolwerk) bagian barat-laut yang sering pula disebut "Baluwara Agung" (Groot bolwerk) terdapat meriam keramat kerajaan Gowa. Meriam ini sangat dahsyat dan terkenal dengan nama "MERIAM ANAK MAKASAR". Karena dahsyatnya, baik dari segi ukuran maupun dari daya tembaknya maka meriam keramat kerajaan Gowa ini sering pula dinamakan "MERIAM SUBAHANA". Meriam inilah yang menjadi kebanggaan orang-orang Gowa. Meriam ini sangat disegani, bahkan sangat ditakuti oleh kapal-kapal Belanda (V.O.C.). Mereka tidak berani sembrono dan terlalu dekat Makasar" yang sangat dahsyat ini ditempatkan di Baluwara Agung benteng kebanggaan kerajaan Gowa itu.

Menurut penyelidikan Dr. K.G. Crucq, meriam "Anak Makasar" ini adalah meriam yang terbesar yang pernah ada dan dimiliki oleh pertahanan bangsa Indonesia. Besar mulutnya 41,5 cm (garis menengahnya), sehingga orang dengan mudah dapat masuk ke dalam meriam itu. J.W. Vogel dalam karangannya yang berjudul "Oost Indianische Reisbeschreibung" menggambarkan bahwa mulut meriam "Anak Makasar" itu sedemikian besarya "dass der grosste Mensch gar fuglich hinein kriechten und sich verbergen kan" (= sehingga orang yang paling beaar sekalipun dengan mudah dapat merayap ke dalamnya dan bersembunyi disitu). Berat meriam "Anak Makasar" itu seluruhnya ada kira-kira 11.000 lb. + 8.000 lb. = 19.000 (sembilan belas ribu) lb. sama dengan 9.500 kg. atau 9,5 ton. Panjang meriam keramat ini enam meter, kaliberya 41,5 cm dan beratnya 19.000 lb. atau 9 500 kg.

Meriam "Pancawura" atau "Sapujagad" di Solo (Surakarta) panjangnya 5,30 m dan kelibernya 36 cm. Menurut Dr. K.G. Crucq yang banyak mengadakan penelitian tentang meriam-meriam yang ada di Indonesia, meriam "Anak Makasar" yang ada di Benteng Sombaopu itu lebih besar dari pada meriam "Pancawura" atau "Kyai Sapujagad" yang ada di keraton Surakarta. Pun jikalau dibandingkan dengan meriam-meriam keramat lainnya, seperti misalnya meriam "Ki Amuk" yang ada di Banten, meriam "Anak Makasar" ini lebih besar ukuran atau kalibernya.


Demikianlah pada waktu matahari terbit pada tanggal 19 Juli 1667 terjadi tembak-menembak yang sangat seru antara meriam-meriam pertahanan kerajaan Gowa dan meriam-meriam armada V.O.C. Tembak-menembak yang sangat seru ini berlangsung terus sampai malam hari. Pada waktu malam tiba Speelman memerintahkan agar kapal-kapal Belanda menjauhi jarak tembak meriam-meriam pertahanan kerajaan Gowa, terutama meriam "Anak Makasar".

Pada keesokan harinya, yakni pada tanggal 20 Juli 1667 Speelman mengadakan pertemuan dengan staf dan pembantu-pembantunya. Di dalam pertemuan itu disepakati dan kemudian diperintahkan agar jangan lagi mengadakan tembak-menembak yang seseru hari tanggal 19 Juli 1667. Dikuatirkan kalau persediaan peluru dan mesiu Belanda (V.O.C) tidak akan cukup untuk melakukan tembak-menembak yang seperti itu sampai beberapa hari lamanya. Jadi tembakan-tembakan meriam Belanda (V.O.C.) itu hanya untuk menakut-nakuti orang-orang Makasar saja. Akan tetapi sekarang ternyata bahwa ayam-ayam jantan benua timur yang gagah-berani itu sedikitpun tidak gentar. Bahkan mereka membalas tembakan-tembakan meriam Belanda itu dengan tembakan-tembakan meriam yang tidak kalah serunya.

Jadi dugaan Belanda, bahwa Sultan Hasanudin mengembalikan uang dan emas yang diambil dari kapal-kapal Belanda yang ditenggelamkan dan sebagai ganti kerugian orang-orang Belanda yang dibunuh, karena Sultan Hasanudin takut berperang, salah dan meleset sama sekali. Dengan ini jelaslah bahwa orang-orang Belanda yang congkak dan kasar itu tidak mengerti dan salah menafsirkan watak dan sikap Sultan Hasanudin.

Jadi tembakan-tembakan meriam Belanda itu sedikitpun tidak menggentarkan hati rakyat Gowa. Bahkan rakyat Gowa menyambut armada V.O.C. itu dengan tantangan. Di dalam buku Dr. F.W. Stapel yang berjudul "Het Bongaais Verdrag" halaman 135-136 ada dikatakan antara lain sebagai berikut: "Te twee uur's middags voer de vloot met de bloedvlag gehesen de ree op tot vlak voor de stad. Men konzien, dat de kust duchtig versterkt was, en van Barombong tot het fort Yongpandanch den elcandre gehegt. Ook zag men een geweldige mensenmenigte aan het strand en ontallijcke vlagge van veelderhande coleure, waarmee uittartende bewegingen werden gemaakt"


(diterjemahkan dengan bebas): "Jam dua siang armada Belanda dengan mengibarkan panji perangnya mendekati kota (Sombaopu, penulis) sampai jarak yang cukup dekat. Orang dapat melihat bahwa seluruh pantai diperkuat pertahanannya. Pertahanan yang ketat itu berantai dan sambung-menyambung dari Barombong sampai ke Ujung Pandang. Juga dapat dilihat lautan manusia di tepi pantai dengan membawa panji-panji yang beraneka warna tak terhitung banyaknya. Dengan panji-panji itu mereka melakukan gerakan-gerakan yang sifatnya menantang".

Demikianlah fakta yang kami kemukakan di atas itu kami kutipkan dari tulisan seorang ahli sejarah bangsa Belanda sendiri, untuk menunjukkan bahwa orang-orang Makasar tidak takut berperang. Bahkan mereka menyongsong armada V.O.C. yang datang itu dengan sikap yang menantang. Dengan ini jelaslah bahwa Sultan Hasanudin dan rakyat Gowa yang dipimpinnya sekali-kali tidak takut berperang.

Oleh karena itu maka pada tanggal 21 Juli 1667 armada V.O.C. yang dipimpin oleh Laksamana Speelman berlayar lagi ke arah selatan. Mereka berusaha membikin bingung orang-orang Makasar dengan mengadakan pendaratan-pendaratan di beberapa tempat. Pada hari itu pasukan-pasukan Belanda dan sekutu-sekutunya mendarat di sebelah selatan Benteng Barombong. Pada waktu itu juga tibalah kurang lebih 1000 (seribu) orang pasukan-pasukan Buton dengan 24 (dua puluh empat) buah perahu. Pasukan-pasukan Belanda dan sekutu-sekutunya menyerang dan berhasil membakar desa Batta-Batta. Untuk membingungkan orang-orang Gowa maka armada V.O.C. kembali lagi ke utara. Pada tanggal 24 Juli 1667 armada V.O.C. itu tinggal diam dan berlabuh di depan Benteng Sombaopu. Pada malam tanggal 26 menjelang 27 Juli 1667 armada V.O.C. berlayar sampai ke dekat Sombaopu. Kemudian mereka menembaki benteng kebanggaan kerajaan Gowa itu.

Pada tanggal 30 Juli 1667 Pasukan-pasukan Belanda dan sekutu-sekutunya menyerang pertahanan Galesong. Maka terjadilah pertempuran yang seru. Setelah bertempur dengan gagah-berani dan karena kalah unggul persenjataannya, akhirnya pasukan-pasukan Gowa terpaksa meninggalkan tempat itu. Seorang perwira-pasukan-pasukan Belanda (V.O.C.), yakni Letnan Joncker Sloot bersama dengan 24 (dua puluh empat) orang anak buahnya tewas dan 16 (enam belas) orang lagi luka-luka dalam pertempuran yang sengit di daerah Galesong.

Kemudian pasukan-pasukan Belanda mendapat kabar dari mata-matanya, bahwa pasukan-pasukan kerajaan Gowa yang sangat besar jumlahnya akan menyongsong kedatangan pasukan-pasukan Aru Palaka yang dibantu oleh Kapten Poleman. Mereka ini menempuh jalan darat. Karena takut kalau pasukan-pasukan Aru Palaka yang dibantu oleh Kapten Poleman dapat dihancurkan oleh pasukan-pasukan kerajaan Gowa, maka Speelman segera mengirimkan bala-bantuan. Kalau pasukan-pasukan Aru Palaka yang dibantu oleh Kapten Poleman sampai, dapat dihancurkan oleh pasukan-pasukan kerajaan Gowa, maka malapetaka yang besar pasti akan menimpa pasukan-pasukan Belanda dan sekutu-sekutunya. Akibat psikologis dari pada kehancuran pasukan-pasukan Aru Palaka pasti akan besar sekali. Pasukan-pasukan Belanda dan pasukan-pasukan sekutu-sekutunya pasti akan mengalami goncangan mental. Semangat tempur mereka pasti akan merosot Pasukan-pasukan Aru Palaka menjadi tumpukan harapan Speelman, bahkan harapan seluruh pasukan-pasukan Belanda dan sekutu-sekutunya. Jikalau pasukan-pasukan Aru Palaka sampai dapat dihancurkan oleh pasukan-pasukan kerajaan Gowa maka semua rencana Speelman akan berantakan dan usahanya untuk menaklukan kerajaan Gowa pasti akan gagal. Oleh karena itu maka tanpa berpikir panjang lagi Speelman segera mengirimkan balabantuan ke sana. Pasukan-pasukan Belanda dan sekutu-sekututunya bertemu dengan pasukan-pasukan Aru Palaka di Polombangkeng. Ternyata bahwa pasukan-pasukan Aru Palaka yang dibantu oleh Kapten Poleman sering mendapat serangan. Mereka mendapat perlawanan yang gigih dari pasukan-pasukan kerajaan Gowa yang mempertahankan setiap jengkal tanah-airnya dengan gagah-berani. Pasukan-pasukan kerajaan Gowa yang mempertahankan daerah ini dipimpin oleh Karaeng Lengkese.

Kemudian armada V.O.C. di bawah pimpinan Speelman kembali lagi ke Galesong bersama Aru Palaka dan Kapten Poleman. Lalu Aru Palaka menyatakan bahwa pasukan-pasukan Bugisnya beliau tinggalkan di daerah Turatea. Pasukan-pasukan ini dipimpin oleh Aru Bila dan Aru Kaju. Pasukan-pasukan itu terdiri dari 8000 (delapan ribu) orang banyaknya. Pasukan ini disertai oleh pasukan berkuda, persediaan makanannya cukup


banyak. Yang kurang hanya bedil atau senapan, peluru dan mesiu. Aru Palaka minta diberi bantuan cukup 200 (dua ratus) orang pasukan-pasukan Belanda ditambah dengan beberapa pucuk meriam. (Pasukan-pasukan Belanda umumnya dapat menembak dan masing-masing diperlengkapi dengan bedil atau senapan. Dengan bantuan itu Aru Palaka sanggup mengalahkan pasukan-pasukan kerajaan Gowa di daerah itu. Mereka sanggup pula merebut dan membersihkan sempitan Laiya di pegunungan Turatea yang dipertahankan oleh pasukan-pasukan Karaeng Lengkese.

Akan tetapi Speelman tidak berani mengambil risiko. Speelman tidak berani mengirimkan sekian banyaknya pasukan-pasukan Belanda jauh ke daerah Sulawesi Selatan. Hal ini tidak hanya menyalahi instruksi yang diterimanya, akan tetapi dapat pula menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan sama sekali. Orang-orang Makasar yang fanatik, mungkin dapat ibarat api disirami bensin menyala dan berkobar semangat tempurnya jikalau mereka tahu bahwa yang mereka hadapi itu adalah orang-orang Belanda yang memang mereka benci dan musuhi. Speelman dan staf serta pembantu-pembantunya tidak berani mengambil risiko ini. Oleh karena itu maka Speelman dan staf serta para pembantunya memutuskan untuk merebut Galesong dan membangun sebuah pertahanan di sana. Dengan demikian maka Karaeng Lengkese dan pasukan-pasukannya dapat dipancing dan dipikat ke daerah Galesong.

Dengan ini dapat kita lihat dengan jelas betapa liciknya Belanda. Mereka tidak berani mempergunakan apalagi mengorbankan atau menjadikan umpan pasukan-pasukan Belanda untuk berhadapan langsung dengan orang-orang Makasar di daratan Sulawesi Selatan. Yang disuruh bertempur dan berlaga ialah terutama orang-orang Bugis di bawah pimpinan Aru Palaka. Hal ini tidak hanya dilakukan oleh Belanda dalam peperangannya melawan Sultan Hasanudin saja, akan tetapi selalu dan di mana-mana saja di Indonesia. Bahkan pun di dalam "Perang Kemerdekaan" kita dari tahun 1945 sampai tahun 1950. Masih segar dalam ingatan kita, betapa pasukan-pasukan K.L. atau Koninklijk Leger yang terdiri dari orang-orang Belanda totok hanya disuruh menjaga kota-kota besar saja. Mereka diberi alat-alat yang serba lengkap, sedang pasukan-pasukan K.N.I.L.

atau Koninklijk Nederlands lndische Leger yang sebagian besar terdiri dari orang-orang Indonesia disuruh ke pelosok-pelosok dan bertempur melawan pejoang-pejoang kita.

Demikianlah armada Belanda dan sekutu-sekutunya menuju ke Galesong. Mereka mendarat di Galesong pada tanggal 1 Agtustus 1667. Pada waktu mendarat pasukan-pasukan Belanda dan sekutu-sekutunya tidak mendapat perlawanan yang berarti. Akan tetapi tidak lama kemudian datanglah pasukan-pasukan Gowa menyerang. Maka terjadilah pertempuran yang seru. Di kedua belah pihak banyak korban yang jatuh. Di pihak Belanda tewas 34 (tiga puluh empat) orang dan 22 (dua puluh dua) orang luka-luka. Di antara yang tewas terdapat dua orang letnan. Berkat keunggulan persenjataannya maka akhirnya pasukan-pasukan Belanda yang dibantu oleh pasukan-pasukan sekutu-sekutunya berhasil merebut dan menduduki Galesong. Kemudian Galesong dijadikan pusat atau markas pasukan-pasukan Belanda dan sekutu-sekutunya. Tujuan utama segala serangan pasukan-pasukan Belanda dan sekutu-sekutunya ialah Benteng Sombaopu. Benteng ini menjadi tempat kediaman Sultan Hasanudin. Benteng yang tangguh ini harus direbut, betapapun besar korban yang harus diberikan.

Pada tanggal 3 Agustus 1667 Speelman menerima kabar dari korporaal Hans Melcker yang menyertai pasukan-pasukan Bugis di Turatea bersama 27 (dua puluh tujuh) orang anak buahnya pasukan Belanda. Kopral Belanda ini menceriterakan bahwa setelah ditinggalkan oleh Aru Palaka dan Kapten Poleman, mereka dan pasukan-pasukan yang ada di daerah Turatea mendapat ancaman yang serius dari pasukan-pasukan yang banyak jumlahnya. Oleh karena itu maka Speelman dan Aru Palaka segera mengirimkan bala-bantuan ke daerah Turatea. Kemudian armada Belanda berhasil mengangkut Pasukan-pasukan Aru Palaka ke Galesong. Pasukan-pasukan ini sebagian besar terdiri dari orang-orang Bugis yang berasal dari Soppeng dan Bone. Jumlah mereka ada kurang lebih 6000 (enam ribu) orang. Kini jumlah orang-orang Bugis di bawah pimpinan Aru Palaka yang membantu Speelman berjumlah kurang lebih 10.000 (sepuluh ribu) orang. Mereka berkumpul di Galesong.

Demikianlah kerajaan Gowa di bawah pimpinan Sultan Hasanudin diserang oleh pasukan-pasukan Belanda dan sekutu-sekutunya yang beribu-ribu orang jumlahnya. Kekuatan pasukan-


pasukan Belanda (V.O.C.) pada waktu itu ialah 515 (lima ratus lima belas) orang militer atau pasukan darat dan 773 (tujuh ratus tujuh puluh tiga) orang awak kapal (pelaut). Pasukan-pasukan inti Aru Palaka terdiri dari kurang lebih 10.000 (sepuluh ribu) orang ditambah dengan kurang lebih 1000 (seribu) orang Bone dan Soppeng di bawah pimpinan Aru Bila dan Aru Appanang. Jumlah pasukan-pasukan Buton dan Ternate ada kurang lebih 3000 (tiga ribu) orang. Seluruh pasukan ini ditambah lagi dengan kompi-kompi yang dipimpin oleh Kapten Joncker dan Kapten Spijker yang membawa empat buah meriam berkumpul di daerah Galesong. Kemudian pasukan yang besar ini ditambah lagi dengan pasukan-pasukan dari Soppengriaja (Mangkoso), Nepo (Palanro), Barru dan Tanete yang berhasil dikumpulkan oleh Aru Bila dan Aru Appanang. Kedua orang bangsawan Bugis ini diutus oleh Aru Palaka ke daerah-daerah itu. Pasukan-pasukan ini menyerang kerajaan Gowa dari sebelah utara, yakni dari daerah-daerah Mandalle, Segeri, Labbakkang, Pangkejene dan Maros. Jumlah pasukan-pasukan Bugis yang menyerang dan datang dari jurusan utara ini ada kurang lebih 4000 (empat ribu) orang. Demikianlah kita dapat menggambarkan betapa besarnya jumlah pasukan-pasukan Belanda dan sekutu-sekutunya. Kita dapat melihat bahwa sebagian besar pasukan-pasukan Belanda dan sekutu-sekutunya itu terdiri dari orang-orang Bugis. Mereka mengakui Aru Palaka sebagai pemimpin mereka. Orang-orang Bugis, terutama orang-orang Bugis dari Bone dan Soppeng menganggap Aru Palaka Petta MalampeE Geme'na sebagai pahlawan yang akan membebaskan mereka dari kekuasaan kerajaan Gowa. Tidaklah mengherankan jikalau Aru Palaka terancam bahaya, Speelman dan seluruh stafnya serta perwira-perwira Belanda yang mendampinginya sangat gelisah.

Dengan bantuan pasukan-pasukan Bugis yang sedemikian besarnya itulah rupanya Speelman berani melanggar instruksi atasannya dan berani menyerang kerajaan Gowa. Namun Speelman tidak berani menempatkan pasukan-pasukan Belanda dalam jumlah yang banyak di daratan Sulawesi Selatan. Pasukan-pasukan Belanda yang bertempur di daratan tidak seberapa jumlahnya. Mereka hanya bersifat membantu saja di mana perlu. Yang disuruh bertempur ialah terutama pasukan-pasukan Bugis di bawah pimpinan Aru Palaka. Mereka ini memang tinggi semangat tempurnya, karena mereka bertempur didorong dan dilandasi oleh cita-cita ingin memerdekakan dirinya dari kekuasaan kerajaan Gowa.

Kemudian ada pasukan-pasukan Buton dan pasukan-pasukan Ternate. Akan tetapi pasukan-pasukan ini tidak begitu diandalkan oleh Speelman. Bahkan orang-orang Belanda sering kecewa dan mencela semangat tempur orang-orang Buton dan orang-orang Ternate. Sungguhpun demikian, namun sewaktu hendak menyerang Benteng Barombong dan Sultan Mandarsyah sakit keras, lalu hendak pulang ke Ternate, beliau ditahan oleh Speelman, karena betatapun juga kehadiran baginda penting sekali artinya. Kepergian baginda ke Ternate dapat menimbulkan hal-hal yang merugikan kepentingan Belanda (V.O.C.).

Di sini kita dapat melihat ketidak-jujuran orang-orang Belanda (V.O.C.) terhadap sekutu-sekutunya. Di satu pihak mereka sangat kecewa dan mencela semangat tempur orang-orang Ternate. Akan tetapi di lain pihak mereka sangat kuatir jikalau kepergian Sultan Ternate itu menimbulkan hal-hal yang merugikan kepentingan orang-orang Belanda. Untuk jelasnya dan sebagai bukti baiklah kami kutipkan apa yang ditulis oleh Dr. F.W. Stapel di dalam bukunya yang berjudul "Bet Bongam Verdrag" bij J.B. Wolters M. Groningen, Den Haag 1922 pada halaman 152 sebagai berikut: "De Ternatanen hadden intussen verstenking gekregen van 28 vaartuigen onder de vorsten van Loeyaen Tomini, leenmannen van Mandarsjah. Deze laatste zelf had daarentegen wegens ernstige ziekte verlof gevraagd naar Ternate te mogen terugkeren, wat de Raad niet toestond. Immers "het contrairie moesson" maakte de reis voor Inlandse vaartuigen zeef bezwaarlijk en bovendien zou, hoewel men van Ternatanen eigenlijk niets dan last had, het vertrek op de vijand een verkeerde indruk kunnen maken."

Terjemahan bebasnya kurang lebih sebagai berikut: '"Sementara itu orang-orang Ternate memperoleh bala-bantuan 28 buah perahu di bawah pimpinan Raja-Raja Luya dan Tomini, raja-raja daerah takluk Sultan Mandarsyah. Yang terakhir ini, (Sultan Mandarsyah, penulis) minta permisi untuk pulang ke Ternate karena baginda sakit keras. Akan tetapi hal ini tidak diperkenankan oleh Dewan. Memang "musim yang buruk" mempersulit pelayaran bagi perahu-perahu Ternate dan lagi pula, sungguhpun sebenarnya orang-orang Ternate bagi kami


tidak lain dari pada beban (maksudnya hanya merepotkan saja), namun keberangkatan baginda dapat memberi kesan yang salah kepada musuh.”

Di sini tampak dengan jelas ketidak-jujuran orang-orang Belanda terhadap sekutu dan kawan-kawan seperjoangannya. Di satu pihak mereka mencela orang-orang Ternate sebagai beban yang merepotkan orang-orang Belanda (V.O.C.) saja. Namun di lain pihak mereka keberatan jikalau Sultan Mandarsyah pulang ke Ternate dan meninggalkan daerah pertempuran. Kepergian Sultan Mandarsyah dikuatirkan akan merugikan kepentingan orang-orang Belanda.

Pada halaman 160 buku yang kami sebutkan di atas, ada ditulis antara lain sebagai berikut: ”De Ternatanen bleven aandringen om te mogen vertrekken; hun koning had hete koortsen en was zeer be vreesd buiten zijn land te sterven. En de minderen waren zo bang voor de Makassaren ”dat haer het noemen van de naam can doen vervaren”. Toch werd hun vertrek tegengehouden, daar het voor de naar goed was, dat Ternate mee bleef strijden.”

Kalau diterjemahkan dengan bebas artinya kurang lebih. ”Orang-orang Ternate tetap mendesak agar diperbolehkan berangkat. Raja mereka demam keras dan takut sekali wafat jauh dari negerinya. Dan para bawahan begitu takut kepada orang-orang Makasar sehingga menyebut nama itu saja dapat menyebabkan mereka lari. Namun keberangkatan mereka dicegah juga, karena demi kebaikan nama sebaiknya Ternate tetap turut berjuang.”

Dengan ini makin jelaslah betapa curangnya orang-orang Belanda terhadap kawan-kawannya. Mereka mencap orang-orang Ternate penakut dan hanya merepotkan orang-orang Belanda saja. Namun mereka tetap juga menahan orang-orang Ternate dan mencegah jangan sampai mereka pulang ke negerinya, meskipun untuk mengantarkan Raja mereka yang sedang sakit keras. Jadi Belanda memang hanya pandai memecah-belah dan mahir mengadu-domba bangsa Indonesia. Hal ini hendaknya dicamkan baik-baik dan menjadi pelajaran yang berguna bagi bangsa Indonesia.

Demikianlah, berkat pengaruh Aru Palaka di kalangan orang-orang Bugis, maka Belanda (V .O.C.) dapat memperoleh bantuan pasukan-pasukan yang banyak jumlahnya. Pihak kerajaan Gowa mengajukan pasukan-pasukan yang jumlahnya kurang lebih (dua puluh ribu) orang ke medan pertempuran. Mengingat keadaan pada abad ketujuhbelas di Sulawesi Selatan, maka dapatlah kita membayangkan betapa dahsyatnya pertempuran ini. Pasukan-pasukan yang berpuluh-puluh ribu banyaknya maju dan berperang di medan laga. Oleh Belanda sendiri diakui bahwa peperangan antara V.O.C. dan kerajaan Gowa adalah peperangan yang paling berat dan yang paling seru yang pernah dilakukan oleh V.O.C. di Indonesia. Kita dapat melihat dengan jelas bahwa tujuan pokok dari pada gerakan-gerakan dan serangan-serangan pasukan-pasukan Belanda dan sekutu-sekutunya adalah Benteng Sombaopu yang menjadi tempat kediaman Sultan Hasanudin. Dengan jelas dapat kita melihat bahwa kerajaan Gowa dengan Benteng Sombaopu sebagai sasaran utamanya diserang dari beberapa jurusan:

(1) Dari arah selatan melalui daratan menyerang pasukan-pasukan inti Aru Palaka yang dibantu oleh sepasukan Belanda di bawah pimpinan Kapten Poleman.

(2) Dari arah timur, juga melalui daratan, pasukan-pasukan kerajaan Gowa diserang oleh pasukan-pasukan bantuan Aru Palaka dari Bone dan Soppeng melalui Lamuru dan Camba. Pasukan-pasukan ini dipimpin oleh Aru Bila dan Aru Appanang.

(3) Dari arah utara, melalui daratan, pasukan-pasukan kerajaan Gowa harus menghadapi pasukan-pasukan bantuan Aru Palaka dari Nepo (Palanro), Soppengriaja (Mangkoso), Barru dan Tanete.

(4) Dari arah barat, dari arah laut pasukan-pasukan kerajaan Gowa diserang oleh pasukan-pasukan bantuan dari Buton, Maluku dan Ternate serta pasukan-pasukan inti Belanda yang dibantu oleh armada Belanda yang dipimpin sendiri oleh Laksamana Speelman.

Di sekitar Galesong terjadi pertempuran-pertempuran yang sengit. Orang-orang Makasar bertempur dengan gagah-berani. Setiap jengkal tanah Gowa dibayar dengan sangat mahal oleh pasukan-pasukan Belanda dan sekutu-sekutunya. Keadaan pasukan-pasukan Belanda mulai mengkhawatirkan. Oleh karena itu maka di dalam suratnya tanggal 6 Agustus 1667 dengan amat sangat Speelman minta bantuan berupa pasukan yang segar, mesiu dan peluru. Untung saja pasukan-pasukan Bugis yang


membantu Aru Palaka banyak yang pada baru datang. Mereka mengalir terus ke medan pertempuran. Setiap saat mereka dapat diserang oleh pasukan-pasukan kerajaan Gowa yang dipimpin sendiri oleh Sultan Hasanudin dibantu oleh Karaeng Karunrung dan Karaeng Lengkese.

Pasukan-pasukan Belanda sendiri sesungguhnya tidak begitu bersemangat untuk bertempur. Mereka lebih suka mengadakan perundingan-perundingan dan mencapai perjanjian perdamaian yang sebanyak mungkin menguntungkan mereka. Pasukan-pasukan Bugis yang dipimpin oleh Aru Palakalah yang memiliki semangat tempur yang tinggi. Hanya mereka tidak begitu dipersenjatai dengan bedil dan meriam seperti halnya pasukan-pasukan Belanda. Bahkan jikalau dibandingkan dengan pasukan-pasukan Gowa maka pasukan-pasukan Bugis tidak seberapa persenjataannya. Persenjataan pasukan-pasukan Gowa lebih baik.

Pada tanggal 18 Agustus 1667 Aru Palaka mengadakan serangan terhadap sebuah pertahanan Gowa di sebelah utara Galesong. Di dalam serangan ini Speelman yang hendak membantu Aru Palaka nyaris tewas terkena peluru meriam pertahanan Gowa. Aru Palaka berhasil merebut pertahanan itu setelah melakukan pertempuran yang sengit. Akan tetapi ia segera minta bantuan, karena dengan sekonyong-konyong muncullah pasukan-pasukan kerajaan Gowa yang besar jumlahnya. Pasukan-pasukan inti Aru Palaka berada di dalam keadaan yang gawat. Kalau tidak segera dibantu mungkin dapat dihancurkan oleh pasukan-pasukan Gowa yang datang menyerang itu. Karena Aru Palaka dan pasukan-pasukan Bugisnya merupakan tulang punggung serta tumpukan harapan Speelman untuk mengalahkan kerajaan Gowa, maka tanpa berpikir panjang lagi Speelman segera mengirimkan balabantuan. Untung sekali balabantuan itu datang tepat pada waktunya. Maka terjadilah lagi pertempuran yang seru. Pertempuran seru ini berlangung dari jam 06.00 pagi sampai jam 12.00 siang. Serangan pasukan-pasukan kerajaan Gowa datang dengan bertubi-tubi dan secara bergelombang. Hanya berkat keunggulan persenjataannya saja maka pasukan-pasukan Belanda dan sekutu-sekutunya dapat bertahan terhadap serangan-serangan kerajaan Gowa yang bertubi-tubi dan secara bergelombang datangnya itu. Pasukan-pasukan Belanda dan sekutu-sekutunya makin lama makin genting keadaannya. Sebagian besar pasukan-pasukan Belanda jatuh sakit atau luka-luka. Mereka kekurangan tenaga dokter dan obat-obatan. Peluru dan mesiu Belanda juga harus dihemat. Kapal-kapal Belanda yang harus mondar-mandir untuk membelokkan perhatian dan menakut-nakuti orang-orang Makasar juga mengkhawatirkan keadaannya. Oleh karena itu maka Speelman mengirim surat ke Batavia dan mendesak agar supaya para pembesar V.O.C. di Batavia segera mengirimkan balabantuan. Kalau tidak, maka segala usaha Sipeelman pasti akan gagal dan berantakan. Pengaruh dan kekuasaan di Indonesia bagian timur akan terancam.

Sementara itu Speelman berusaha menutupi keadaannya yang sangat genting itu, baik kepada sekutu-sekutunya maupun dan apalagi kepada orang-orang Makasar. Sayang sekali keadaan ini tidak begitu dimengerti serta tidak dipergunakan semaksimal mungkin dengan sebaik-baiknya oleh orang-orang Makasar. Memang mereka sendiri juga berada dalam keadaan yang tidak begitu cemerlang. Namun andaikata orang-orang Makasar dapat mengetahui keadaan musuhnya yang sesungguhnya dan dapat mempergunakan kesempatan itu dengan sebaik-baiknya, maka besar sekali kemungkinannya keadaan akan berlainan sekali dari apa yang kami hadapi sekarang sebagai kenyataan. Namun penjajahan Belanda memang sedang menanjak menuju ke puncak kejayaannya dan belum dapat dibendung dengan kekuatan apapun juga. Demikian pula Laksamana Speelman memang sedang bernasib baik.

Untuk menutupi keadaan yang sebenarnya, maka Speelman menganjurkan agar mereka tetap mengadakan serangan-serangan seolah-olah mereka masih tetap di dalam keadaan yang segar bugar dan tidak kekurangan apapun juga. Sementara itu banyak juga orang-orang Bugis yang tadinya dibawa ke Gowa sebagai tawanan perang melarikan diri. Mereka mencari perlindungan pada pasukan-pasukan Aru Palaka. Dalam kelompok kelompok yang tidak sedikit jumlahnya, mereka melarikan diri ke pihak Aru Palaka. Mereka menganggap Aru Palaka sebagai pembebas mereka. Dari mereka inilah banyak diperoleh keterangan-keterangan tentang keadaan kerajaan Gowa. Sedikit atau banyak keterangan itu berguna juga bagi Belanda dan sekutu-sekutunya.

Bahkan tidak sedikit di antara orang-orang pelarian ini kemudian berbalik dan bersama pasukan-pasukan Aru Palaka


memerangi pasukan-pasukan Gowa. Mereka ini sering pula menjadi penunjuk jalan yang mengetahui tentang rahasia dan kelemahan-kelemahan pertahanan kerajaan Gowa. Dari pelarian-pelarian inilah Belanda dan sekutu-sekutunya mengetahui bahwa Raja Tallo (Karaeng Karunrung?), Karaeng Popo dan Karaeng Lengkese adalah di antara para pembesar dan bangsawan Gowa yang sangat gigih menentang diadakannya perundingan dengan Belanda. Dari para pelarian ini pulalah pihak Belanda (V.O.C.) mengetahui siapa-siapa di antara para pemimpin atau karaeng dari pihak Gowa yang sudah mulai goyah hatinya. Siapa-siapa yang bersedia menyeberang ke pihak Belanda dan sekutu-sekutunya. Antara lain: Kalamatta (saudara Sultan Ternate), Karaeng Laiya dan Karaeng Bangkala. Sementara itu pasukan-pasukan Belanda mendapat bantuan berupa makanan, peluru dan mesiu dari daerah Maluku dan dari pulau Jawa. Kemudian pasukan-pasukan Belanda dan sekutu-sekutunya merencanakan untuk menyerang dan merebut Benteng Barombong yang terletak di sebelah selatan Benteng Sombaopu. Benteng Barombong dipertahankan oleh pasukan-pasukan kerajaan Gowa yang dipimpin oleh Karaeng Lengkese. Beliau ini adalah seorang bangsawan dan pemimpin Gowa yang terkenal tidak mau berunding dan tidak mau berdamai dengan orang-orang Belanda (V.O.C.). Dengan merebut Benteng Barombong maka pasukan-pasukan Belanda dan sekutu-sekutunya makin mendekati Benteng Sombaopu. Laksamana Speelman sendiri yang akan memimpin pasukan-pasukan Belanda dan sekutu-sekutunya. Speelman dibantu oleh Aru Palaka dengan pasukan-pasukan Bugisnya dan Kapten Dupont dengan 200 (dua ratus) orang pasukan-pasukan Belanda serta orang-orang Maluku di bawah pimpinan Kapten Joncker dari Manipa (Maluku).

Pada tanggal 7 September 1667 berangkatlah pasukan-pasukan Belanda dan sekutu-sekutunya dengan tujuan utama merebut dan menduduki Benteng Barombong. Kemudian mereka akan mendekati dan mengancam Benteng Sormbaopu dari arah selatan. Jadi pasukan-pasukan Belanda dan sekutu-sekutunya akan menyerang Benteng Sombaopu dari bagian yang tidak begitu kuat pertahanannya. Kemudian Speelman memerintahkan untuk mendirikan kubu-kubu pertahanan di tepi pantai menempatkan beberapa buah meriam dan kapal di kubu-kubu pertahanan itu. Benteng Barombong juga diperlengkapi dengan meriam-meriam yang cukup besar. Maka terjadilah tembak-menembak yang cukup seru antara pasukan-pasukan Belanda dan sekutu-sekutunya dengan pasukan-pasukan Gowa yang dipimpin oleh Karaeng Lengkese.

Tiba-tiba Speelman dan seluruh pasukan-pasukan Belanda yang dipimpinnya sangat gelisah. Mereka mendengar berita bahwa pasukan-pasukan kerajaan Gowa yang sangat kuat sedang menuju ke daerah-daerah Bugis. Tentu saja mereka gelisah mendengar berita itu. Betapa tidak! Kalau berita itu terdengar dan mempengaruhi pasukan-pasukan Bugis Aru Palaka, maka celakalah nasib pasukan-pasukan Belanda dan sekutu-sekutunya yang lain. Pasukan-pasukan Bugis merupakan pasukan-pasukan yang terbesar jumlahnya dan mereka menjadi tulang punggung pasukan-pasukan penyerang itu. Jikalau pasukan-pasukan Bugis yang dipimpin oleh Aru Palaka mendengar bahwa kampung halaman dan anak-isteri mereka terancam oleh pasukan-pasukan kerajaan maka mereka pasti akan gelisah sekali. Kalau mereka dipengaruhi bayangan bahwa pasukan-pasukan Gowa akan membalas dendam dan tentunya akan bertindak kejam, maka tentunya mereka sukar untuk ditahan bertempur terus. Mungkin sekali mereka akan meninggalkan medan pertempuran. Mereka tentunya ingin pulang untuk melindungi dan menyelamatkan anak-isteri serta keluarga yang mereka tinggalkan di kampung halaman mereka. Jikalau sampai hal ini terjadi, maka malapetaka yang besar akan menimpa pasukan-pasukan Belanda dan sekutu-sekutunya yang lain.

Untuk membuktikan betapa gelisahnya Laksamana Speelman dan orang-orang Belanda (V.O.C.) kalau mereka ditinggalkan oleh pasukan-pasukan Bugis yang dipimpin oleh Aru Palaka, baiklah kami kutipkan apa yang dikatakan oleh Dr. F.W. Stapel di dalam buku beliau yang berjudul "Comelis Janszoon Speelman" terbitan s'Gravenhage Martinus Nijhoff 1936 halaman 43 sebagai berikut: '"Zeer verontrust werd Speelman intusschen door het dricht, dat een Makassaarsch leger binnen door naar het land der beginagen was getrokken; als Aroe Palakka's mannen zouden verneen, dat de vijand hun geboorteland en de achtergebleven vrouwen en landeren bedreigde, zouden zij stellig de Nederlanders in de steek ten."


Terjemahan bebasnya kurang lebih: "Sementara itu Speelman, merasa sangat gelisah karena mendengar berita, bahwa sepasukan tentara kerajaan Gowa sedang menuju ke negeri pedalaman, ke negeri orang-orang Bugis. Kalau orang-orang Aru Palaka mendengar bahwa kampung halaman dan anak-isteri mereka yang tertinggal terancam oleh musuh (orang-orang Makasar; penulis), maka orang-orang Bugis itu pasti akan meninggalkan orang-orang Belanda."

Sayang sekali hal ini tidak diketahui dan dipergunakan dengan sebaik-baiknya oleh pihak kerajaan Gowa. Andaikata situasi dan kegelisahan Speelman ini diketahui dan dipergunakan dengan sebaik-baiknya oleh pihak kerajaan Gowa, maka keadaan akan menguntungkan pihak kerajaan Gowa. Andaikata kerajaan Gowa dapat melancarkan apa yang sekarang dinamakan "psy-war" atau perang-urat-syaraf dengan cara dan arah yang tepat, maka kerajaan Gowa dapat mencapai keuntungan yang sebesar-besarnya. Kerajaan Gowa pasti dapat mendesak dan mengacau-balaukan pasukan-pasukan musuhnya. Akan tetapi sayang, seribu kali sayang!

Berita itu akhirnya sampai juga kepada orang-orang Bugis. Datu Soppeng tua, yang menjadi teman seperjuangan ayah Aru Palaka mengirim surat, bahwa pasukan-pasukan Gowa yang besar jumlahnya sedang menuju ke tanah Bugis. Pasukan-pasukan Gowa ini dipimpin oleh Karaeng Bontomarannu, Karaeng Karunrung, Karaeng Garassi dan lain-lainnya.

Perlu kami jelaskan di sini, bahwa seperti sudah kami uraikan di depan tadi, Karaeng Bontomarannu ditawan oleh Belanda di dalam pertempuran laut di Selat Buton pada awal Januari 1667. Pada tanggal 1 Agustus 1667 Karaeng Bontomarannu dapat lolos dan melarikan diri dari tempat tahanannya pada waktu malam hari. Beliau membawa serta sepucuk bedil yang baru dan sebilah keris berhulu emas. Kemudian beliau bergabung lagi dengan pasukan-pasukan Gowa dan bertempur di pihak kerajaan Gowa. Anak sulung beliau yang bernama Karaeng Tompo masih ditawan di armada Speelman. Karaeng Tompo ini kelak setelah dibawa oleh orang-orang Belanda ke Batavia, dapat melarikan diri dari tempat tahanannya. Beliau kemudian dapat mencapai Banten.

Orang-orang Makasar ternyata, sungguhpun sudah ditawan oleh orang-orang Belanda, selalu berusaha melarikan diri atau mengamuk. Sungguhpun berada di dalam tawanan, namun orang-orang Makasar masih juga dapat merepotkan dan membikin pusing kepala orang-orang Belanda. Demikian pula di dalam rombongan tentara Belanda (V.O.C.) yang dikembalikan ke Batavia karena sakit atau luka-luka terdapat 15 (lima belas) orang bangsawan Gowa dan 45 (empat puluh lima) orang yang dijadikan budak tawanan. Mereka dimuat di kapal "Nuysenborg". Dalam pelayaran ke Batavia itu orang-orang Gowa itu dapat melepaskan diri dan mengamuk di atas kapal. Tentu saja hal ini menimbulkan kekacauan yang hebat di kalangan orang-orang Belanda. Kemudian orang-orang Makasar itu dibunuh semuanya oleh orang-orang Belanda.

Sekarang marilah kita kembali kepada berita bahwa pasukan-pasukan Gowa sedang menuju ke tanah Bugis. Hal ini sangat menggelisahkan orang-orang Belanda. Namun akhirnya Speelman berhasil membujuk dan meyakinkan orang-orang Bugis dan terutama Aru Palaka untuk tetap menyerang dan menggempur orang-orang Gowa justeru dan sebaik-baiknya di pusat kekuatannya sendiri, yakni di tanah Gowa aseli. Menggempur musuh di sarangnya atau di tanah-aselinya sendiri lebih baik dari pada memeranginya di luar.

Jadi sesungguhnya bukan pasukan-pasukan Belanda atau Speelman yang menaklukkan atau mengalahkan kerajaan Gowa. Seperti diketahui pasukan-pasukan Belanda tidak seberapa jumlahnya. Tanpa bantuan yang besar dari Aru Palaka dan pasukan-pasukan Bugisnya, pasukan-pasukan Belanda tidak akan berani menyerang apalagi dapat menaklukkan kerajaan Gowa. Sekarang terbuktilah, bahwa apa yang pernah dinyatakan oleh pihak Belanda (V.O.C.) dengan perantaraan para utusannya yang terdiri dari Jacob Cau dan Abraham Verspreet yang pada akhir tahun 1663 datang menghadap Sultan Hasanudin di Sombaopu, tidak benar dan bohong besar. Pada waktu itu para utusan V.O.C. menyatakan bahwa orang-orang Belanda (V.O.C.) menerima Aru Palaka dan kawan-kawan beliau, sekali-kali bukanlah dengan maksud untuk bersama-sama orang-orang Bugis memerangi kerajaan Gowa.

Jadi Aru Palaka dan pasukan-pasukan Bugisnyalah yang sangat giat dan banyak melakukan pertempuran-pertempuran yang seru. Merekalah yang banyak merebut daerah-daerah Go-


wa, setapak demi setapak dengan pengorbanan yang tidak ternilai harganya. Kalau kita mengingat bahwa Aru Palaka dan orang-orang Bugis berjoang didorong oleh cita-cita kemerdekaan ingin membebaskan dirinya dan kekuasaan kerajaan Gowa, maka tidaklah terlalu mengherankan kita jikalau mereka giat dan bertempur dengan gagah-berani. Seperti yang kita sudah ketahui, dalam perkembangan dan kemajuannya kerajaan Gowa telah menaklukkan kerajaan-kerajaan dan negeri-negeri di sekitarnya, termasuk kerajaan-kerajaan Bugis. Tegasnya, jikalau kita mempergunakan bahasa jaman sekarang ini, maka Aru Palaka dengan pasukan-pasukan Bugisnya berjoangan untuk kebebasan dan kemerdekaannya.

Lain halnya dengan pasukan-pasukan Belanda (V.O.C.) yang dipimpin oleh Laksamana Speelman. Mereka berperang dengan maksud dan tujuan yang lain. Tujuan mereka bahkan sangat berbeda dan sangat bertentangan dengan tujuan perjoangan Aru Palaka dan pasukan-pasukan Bugisnya. Jadi meskipun kedua bangsa itu berteman dalam memerangi kerajaan Gowa namun maksud dan tujuan serta dasar perjoangan mereka berbeda. Seperti bumi dan langit! Aru Palaka dan pasukan-pasukan Bugisnya berjoang dengan semangat kemerdekaan yang menyala-nyala di dada, sedang pasukan Belanda (V.O.C.) yang dipimpin oleh Speelman berjoang dengan tujuan yang penuh angkara murka. Mereka berjoang justeru untuk menegakkan penjajahan. Jadi dengan jelas dapat kita melihat, bahwa sungguhpun Aru Palaka dan pasukan-pasukan Bugisnya berteman dengan Speelman dan pasukan-pasukan Belanda (V.O.C.) namun semangat dan maksud tujuan perjoangan mereka berbeda, sangat berbeda. Bagaikan siang dan malam. Yang satu berjoang untuk kemerdekaan dan kebebasannya, sedang yang lain berjoang untuk menancapkan kekuasaan penjajahannya.

Sejarah selanjutnya di Sulawesi Selatan membuktikan bahwa kelak justeru orang-orang Bugis terutama orang-orang Bone menjadi musuh orang-orang Belanda, karena orang-orang Belanda hendak meluaskan sayap kekuasaan penjajahannya di Sulawesi Selatan. Setelah kerajaan Gowa jatuh, orang-orang Bugis, terutama orang-orang Bugis Bone lalu menjadi musuh orang-orang Belanda yang utama dan yang paling berbahaya. Seperti yang kita sama ketahui, tidak kurang dari empat kali Belanda terpaksa harus mengirimkan pasukan-pasukan ekspedisinya yang kuat ke Sulawesi Selatan untuk "mengamankan" dan "menenteramkan" daerah itu menurut istilah yang sering dipergunakan oleh orang-orang Belanda. Ekspedisi atau pengiriman pasukan-pasukan perang ke Sulawesi Selatan ini oleh Belanda sering juga disebut "Bonische expeditien" atau "Ekspedisi-ekspedisi Bone". Ada empat "Ekspedisi Bone" yang terkenal di dalam sejarah, yakni:

(1) Ekspedisi Bone yang pertama". Pengiriman tentara ekspedisi Belanda untuk mengamankan dan menenteramkan Sulawesi Selatan ini dipimpin oleh Jenderal Major Baron Van Geen ( 1824 - 1825).

(2) "'Ekspedisi Bone yang kedua". Pengiriman tentara ekspedisi Belanda untuk menghukum perusuh-perusuh yang menentang kekuasaan Belanda ini dipimpin oleh Jenderal Mayor E.C.C. Steinmetz (berangkat dari pulau Jawa pada bulan Januari 1859).

(3) "Ekspedisi Bone yang ketiga". Pengiriman tentara ekspedisi Belanda untuk menumpas "perusuh-perusuh" yang mengganggu keamanan kepentingan Belanda di Sulawesi Selatan ini dipimpin oleh Letnan Jenderal Van Swieten (berakhir pada tanggal 8 Januari 1860).

(4) "Ekspedisi Bone yang keempat". Pengiriman tentara ekspedisi Belanda ini dipimpin oleh Kolonel P.H. van der Wedden. Akan tetapi kemudian karena beliau ini sakit diganti oleh Kolonel C.A. van Loenen (Surat Keputusan pengangkatannya tanggal 14 Juni 1905).

Jadi demikianlah orang-orang Bugis terutama orang-orang Bone yang mula-mula berkawan dengan orang-orang Belanda, kemudian menjadi musuh besar orang-orang Belanda karena mereka berwatak penjajah yang penuh angkara murka.

Sekarang marilah kita kembali pada uraian kami tentang peperangan antara pasukan-pasukan Belanda (V.O.C.) dan sekutu-sekutunya melawan pasukan-pasukan kerajaan Gowa yang dipimpin oleh Sultan Hasanudin. Kita dapat melihat bahwa golongan-golongan yang terpenting yang sedang bertempur di medan perang Sulawesi-Selatan pada abad ketujuh belas ini, terdiri dari:

(1) Orang-orang Gowa atau orang-orang suku Makasar di bawah pimpinan Sultan Hasanudin. Mereka ini tidak mau tunduk kepada kemauan Belanda (V.O.C.) yang hendak memaksakan


hak monopoli dan keinginan-keinginan penjajahan mereka. Orang-orang Gowa atau orang-orang suku Makasar berjoang dan bertempur dengan semangat ayam jantan yang gagah-berani untuk mempertahankan kehormatannya dan untuk membela setiap jengkal tanah-airnya yang terancam oleh pasukan-pasukan penyerbu. Sultan Hasanudin berjoang dengan gagah-berani untuk membela dan mempertahankan kehormatan negerinya yang diserang dan diserbu oleh musuh.

(2) Orang-orang Bugis yang dipimpin oleh Aru Palaka. Mereka ini berjoang dan bertempur dengan semangat kemerdekaan yang menyala-nyala di dada untuk melepaskan dan membebaskan dirinya dari kekuasaan kerajaan Gowa. Aru Palaka sendiri berjoang dan bertempur dengan gagah-berani karena didorong oleh semangat ingin membebaskan keluarga dan rakyatnya dari kekuasaan kerajaan Gowa. Di samping itu beliau juga diliputi oleh perasaan dendam dan ditugaskan oleh adatnya dan sumpahnya untuk membalaskan kematian kakek dan ayahnya.

(3) Orang-orang Belanda yang dipimpin oleh Laksamana Speelman. Mereka datang bertempur dan berperang di Sulawesi Selatan dengan tujuan dan didorong oleh keinginan yang penuh angkara murka. Mereka ingin menyingkirkan kerajaan Gowa yang menjadi penghalang yang besar dan utama bagi tujuan-tujuan penjajahannya di Indonesia bagian timur. Belanda (V.O.C.) ingin meluaskan pengaruh dan kekuasaan penjajahannya di Indonesia bagian timur. Speelman sendiri seperti yang sudah kami uraikan di depan tadi berjoang karena didorong pula oleh ambisi pribadinya yang kuat. Speelman ingin memperbaiki namanya yang sudah jatuh. Waktu diangkat sebagai pemimpin armada V.O.C. yang menyerang kerajaan Gowa Speelmnan sedang mengalami hukuman jabatan. Ia disekors karena melanggar peraturan.

Kalau kali ini ia bernasib mujur, maka Speelman akan memperbaiki namanya dan bahkan dapat memperoleh anugerah atau kedudukan yang lebih tinggi.

Demikianlah dengan jelas dapat kita melihat gambaran dari pada semangat dan tujuan serta kepentingan apa yang mendorong atau menjiwai pasukan-pasukan serta tokoh-tokoh yang terjun ke medan laga di daerah pertempuran di sekitar Benteng Sombaopu itu. Dengan mengetahui serta memahami tujuan serta tujuan perjoangan ketiga golongan yang terjun ke medan pertempuran itu, dapatlah kita membedakan dan menilai semangat, jiwa serta keberanian mereka. Dengan ini pula kami hendak menjelaskan dan membuktikan bahwa sesungguhnya bukan Speelman atau orang-orang Belanda (V.O.C.) yang mengalahkan atau menaklukkan kerajaan Gowa seperti yang terlalu ditonjol-tonjolkan oleh orang-orang Belanda dan para penulis sejarahnya. Aru Palaka dan pasukan-pasukan Bugisnyalah. yang selalu aktif dan mengambil inisiatif untuk menyerang dan merebut satu demi satu daerah dan benteng-benteng pertahanan kerajaan Gowa.

Jadi Aru Palaka dan pasukan-pasukan Bugisnyalah yang memegang peranan terpenting dalam mengalahkan dan menaklukkan kerajaan Gowa. Hanya Speelman dan orang-orang Belanda (V.O.C) memang sangat mahir mempergunakan senjata " D I V I D E   E T   I M P E R A " atau pecah dan jajahlah. Di dalam hal ini orang-orang Belanda mengadu domba terutama orang-orang Bugis dan orang-orang suku Makasar. Kemudian mereka tumpangi kemenangan-kemenangan orang-orang Bugis yang dipimpin oleh Aru Palaka itu dan mengaku serta disanjung sebagai pahlawan-pahlawan penakluk kerajaan Gowa yang luar biasa dan gagah-berani. Maksud kami mengemukakan hal itu ialah sekali lagi untuk mengemukakan fakta-fakta sebagai bukti bahwa kehebatan Speelman dan orang-orang Belanda yang sering, bahkan selalu ditonjol-tonjolkan oleh pihak Belanda dan penulis-penulis mereka sebagai penakluk kerajaan Gowa yang luar biasa dan gagah-berani, terlalu dibesar-besarkan. Sebaliknya mereka dengan sengaja mengecilkan atau menyembunyikan peranan dan kemampuan orang-orang Indonesia serta para pemimpin bangsa Indonesia.

Perlu kiranya kami singgung di sini, bahwa Speelman oleh para ahli sejarah bangsa Belanda dianggap sebagai seorang tokoh yang sangat penting. Di samping Jan Pieterszoon Coen dan Antonio van Diemen, Cornelis Janszoon Speelman dianggap sebagai seorang tokoh penegak kekuasaan penjajahan Belanda yang terpenting dan terbesar di lndonesia. Para ahli sejarah bangsa Belanda menempatkan Speelman dalam barisan utama tokoh pemancang dan pelebar wilayah kekuasaan Belanda di Indonesia. Hal ini tidak lain dan terutama karena peranan


Speelman dalam menaklukkan kerajaan Gowa dianggap sebagai musuh atau lawan yang sangat berat oleh kaum penjajah Belanda. Perbuatan Speelman dianggap sebagai suatu hal yang luar biasa. Oleh karena itu maka Speelman disanjung-sanjung dan dipuji-puji sebagai seorang pahlawan yang gagah-berani. Kita sudah sama tahu motif dan ambisi apa yang mendorong Speelman untuk menerima jabatan yang ditolak oleh Johan van Dam. Jikalau kita melihat motif dan ambisi Speelman menerima tugasnya ditambah jagi fakta-fakta yang sesungguhnya terjadi di dalam pertempuran-pertempuran sejak awal sampai jatuhnya Benteng Sombaopu, maka jelas bahwa sanjungan dan pujian terhadap Speelman dan orang-orang Belanda yang dipimpinnya tidaklah sesuai dengan kenyataan dan terlalu dibesar-besarkan.

Cobalah perhatikan syair atau sajak yang dibuat oleh Jacob Steendam tentang Speelman sebagai berikut:

Den dapperen Speelman, die de trotse Macassaren

Volsstreckt verheerde voor de groote Maatschappij* (*= V.O.C.

Bouton ontsette van haar vyandlycke schaaren,

Molueke vryde van geduchte dwinglady.

Thoond dus sijn wesen op den throon van sijn gelucken,

Sijn staat en crijghscund is door kunst niet uyt te drucken.

Terjemahan bebasnya kurang lebih:

Speelman yang gagah-berani, yang secara mutlak memusnahkan

Orang-orang Makasar untuk Serikat Dagang Raya, *(*= VOC)

Membebaskan Buton dari pasukan-pasukan musuhnya,

Melepaskan pulau-pulau Maluku dari kelaliman yang dahsyat

Menunjukkan dirinya diatas mahkota kemujuran-kemujurannya

Kecakapannya memerintah dan berperang tak dapat dilukiskan oleh seni.

Perhatikanlah betapa terlalu dilebih-lebihkan dan dibesar-besarkannya kehebatan Speelman: "Sijn staat- en crijghscund is door kunst niet uit te drucken'". Seni dianggap terlampau miskin dan tidak mampu melukiskan keunggulan Speelman dalam berperang.

Perhatikan pulalah betapa bohongnya dan bandingkanlah kenyataan yang sebenarnya dengan apa yang dinyatakan oleh Jacob Steendam ini: "Molucke vryde van geduchte dwinglandy"
yang artinya: MEMBEBASKAN PULAU-PULAU MALUKU DARI KELALIMAN YANG DAHSYAT. Siapa pun dapat mengerti bahwa kalimat ini adalah suatu kebohongan yang besar.

Sungguh geli hati kita yang sudah pernah membaca atau mendengar betapa kejamnya dan betapa sewenang-wenangnya tindakan-tindakan Belanda (V.O.C.) di kepulauan Maluku. Orang yang sudah pernah membaca atau mendengar kekejaman orang-orang Belanda di Maluku tahu benar bahwa apa yang dikatakan oleh Jacob Steendam itu adalah suatu kebohongan yang besar dan mentertawakan.

Siapakah yang menyebabkan kepulauan Maluku menjadi daerah tandus karena mengadakan perusakan-perusakan dan pemusnahan-pemusnahan kebun rempah-rempah rakyat? Bukankah Belanda atau V.O.C. sendiri? Siapakah yang banyak membunuh, menyiksa dan menjadikan budak orang-orang Maluku dalam perjalanan atau pelayaran yang terkenal dengan nama "hongitochten"?

Siapakah dan atas hak apakah orang-orang atau rakyat kepulauan Maluku dilarang menjual rempah-rempah hasil kebunnya sendiri kepada orang atau bangsa lain? Siapakah yang menetapkan harga rempah-rempah menurut kemauannya dan seenaknya sendiri tanpa menghiraukan nasib dan kepentingan orang-orang Maluku? Siapakah yang dengan kejam menghukum orang-orang yang dianggap melanggar peraturan yang dibuat secara sepihak? Siapakah yang dengan sewenang-wenang menyuruh atau memerintahkan dengan tangan besi perusakan atau penanaman kembali kebun rempah-rempah di Maluku? Siapakah yang memusnahkan mata pencaharian pokok dan memelaratkan rakyat Maluku? BUKAN ORANG-ORANG MAKASAR ATAU KERAJAAN GOWA, AKAN TETAPI ORANG-ORANG BELANDA ATAU V.O.C.!!! Jadi bukan orang-orang Makasar atau kerajaan Gowa, tetapi orang-orang Belanda dan V.O.C. lah yang melakukan kelaliman yang jarang ada banding-taranya di dalam sejarah."

Kita sudah sama mengetahui dan seluruh dunia akan berdiri bulu romanya jikalau membaca dan mengetahui tentang fakta-fakta betapa kejamnya Belanda (V.O.C.) dalam memaksakan monopoli perdagangannya di Maluku. Orang akan merinding jikalau mengetahui betapa Belanda (V.O.C.) menjalankan


apa yang di dalam sejarah terkenal dengan nama " H O N G I T O C H T E N " atau "Pelayaran hongi". Sungguh sewenang-wenang, sangat kejam dan tidak mengenal peri kemanusiaan.

H O N G I adalah istilah rakyat di Maluku bagi armada kora-kora mereka, bilamana mereka bergerak untuk berperang. Kemudian cara ini dipergunakan oleh Belanda (V.O.C.) secara paksa. Dalam pelayaran-pelayaran hongi itu rakyat dikerahkan dengan paksa untuk mengayuh atau mendayung sejumlah perahu kora-kora (= perahu perang). Adakalanya sampai 30 atau 40 buah yang dikerahkan. Perahu kora-kora itu harus disediakan oleh rakyat untuk V.O.C. dengan cuma-cuma. Rakyat yang ikut dalam pelayaran hongi itu sering sampai 3000 ( tiga ribu) orang jumlahnya. Sebuah perahu kora-kora yang besar dapat memuat sampai seratus orang. Pada jaman itu pengerahan tenaga sampai tiga ribu orang, bukanlah suatu jumlah yang kecil. Rakyat yang sebanyak itu dipergunakan untuk mengayuh atau mendayung perahu kora-kora dan untuk menebang atau merusak pohon cengkeh rakyat. Bukan saja kebun-kebun cengkeh atau kebun-kebun pala mereka yang dimusnahkan, akan tetapi juga rakyat yang dianggap melanggar larangan atau peraturan V.O.C. dihukum denda atau dihukum badan, bahkan banyak pula yang dibunuh. Adakalanya rakyat yang sekian banyaknya itu sampai berminggu-minggu lamanya mengikuti pelayaran hongi itu. Mereka sering tidak dibayar bahkan mereka harus menyediakan dan membawa sendiri bekalnya. Pelayaran hongi itu mulai dijalankan oleh Belanda (V.O.C.) pada tahun 1625 dan pada waktu itu beribu-ribu pohon cengkeh yang dimusnahkan, ada yang ditebang ada pula yang dibakar atau dikuliti batangnya.

Adakalanya pula kalau merasa takut akan kekurangan produksi, V.O.C. memerintahkan menanam pohon-pohon cengkeh sampai beribu-ribu batang jumlahnya. Demikianlah pada tahun 1656 de Vlamingh memerintahkan rakyat Maluku menanam sampai 120.000 (seratus dua puluh ribu) batang pohon cengkeh. Kemudian, yakni dalam tahun 1658 disuruh tambah lagi dengan 60.000 (enam puluh ribu) pohon. Adakalanya baru saja perintah menanam pohon-pohon cengkeh itu dilaksanakan dan pohon-pohon itu baru saja tumbuh, akan tetapi oleh karena takut kalau kelebihan produksi maka pohon-pohon yang belum lagi menghasilkan itu sudah disuruh musnahkan lagi. Kalau produksi melimpah Kompeni (V.O.C.) tidak sanggup lagi membeli semua hasil cengkeh itu. Namun rakyat tetap tidak boleh menjual kebunnya itu kepada pedagang-pedagang lain selain dari pada kepada V.O.C. Kalau mereka berani melanggar peraturan - yang telah ditetapkan oleh V.O.C. ini mereka pasti akan mendapat hukuman yang berat. Tentu saja hasil-hasil cengkeh itu menjadi busuk.

Memang Belanda (V.O.C.) yang serakah itu hanya mengingat kepentingan dirinya sendiri saja, sedang nasib dan kepentingan rakyat Maluku tidak diperdulikan sama sekali. Tegasnya, pelayaran hongi dan pelaksanaan monopoli perdagangan yang dipaksakan oleh Belanda (V.O.C.) di kepulauan Maluku adalah suatu tragedi atau peristiwa yang sangat memilukan hati di dalam sejarah rakyat Maluku. Tepatnya apa yang dikatakan oleh rakyat Maluku sendiri, bahwa cengkeh dan pala adalah kemakmuran dari Maluku akan tetapi cengkeh dan pala menjadi kutukan pula bagi anak-cucu rakyat Maluku sendiri. Rakyat kepulauan Maluku sangat menderita. Mereka kehilangan penghasilan dan mata pencaharian pokok mereka, sedang tanah Maluku yang tadinya subur menjadi tandus akibat perbuatan Belanda (V.O.C.) yang sewenang-wenang. Tidaklah heran jikalau pengrusakan dan pemusnahan kebun-kebun rempah-rempah serta perbuatan sewenang-wenang Belanda (V.O.C.) itu membangkitkan amarah rakyat Maluku yang hebat.

Dengan ini kita tidak dapat ditipu. Jelas sekali bahwa apa yang ditulis oleh Jacob Steendam dalam syair atau sajaknya: Molucke vrijde van geduchte dwinglandy", bahwa Speelman membebaskan kepulauan Maluku dari kelaliman yang dahsyat adalah suatu bual dan omong kosong yang besar. Kata-kata Jacob Steendam itu bahkan sangat bertentangan dengan kenyataan sebenarnya di dalam sejarah. Belandalah yang melakukan kelaliman yang jarang, bahkan tidak ada banding-taranya di kepulauan Maluku.

Apakah yang menyebabkan perlawanan rakyat Maluku sebelum dan sesudahnya kerajaan Gowa jatuh? Apakah perlawanan itu hanya dilakukan oleh segerombolan orang-orang Maluku yang mata gelap dan kalap tanpa sebab? Siapakah yang menumpas dengan kejam perlawanan rakyat Maluku yang dipimpin oleh pahlawan-pahlawan Maluku seperti Kapitan Hitu Kakiali dan Talukabessi? Bukanlah de Vlamingh sendiri yang secara kejam,


dan tidak mengenal peri kemanusiaan menikam mulut pahlawan Saidi dengan tombak sampai tiga kali karena dianggap pemberontak yang menjengkelkan? Pada waktu itu Pahlawan Saidi sudah tidak berdaya. Beliau tertangkap dan dalam keadaan luka berat dibawa ke hadapan laksamana Belanda yang "gagah-berani" itu. De Graaf sendiri dalam bukunya "De geschiedenis van Indonesië"' Uitgeverij W. van Hoeve 'sGravenhage Bandung 1949 halaman 190 menyebut perbuatan de Vlamingh van Outshoorn itu "E E N  G R U W E L I J K E  D A A D" artinya suatu perbuatan yang bengis. Lawan yang sudah tidak berdaya dan dalam keadaan luka parah ditikam dengan tombak mulutnya sampai tiga kali. Apakah itu perbuatan seorang ksatria yang gagah-berani? Siapapun yang hendak berkata dengan jujur pasti akan mengatakan bahwa perbuatan itu bukan perbuatan seorang jantan yang gagah-berani. Perbuatan itu buas dan tidak mengenal peri kemanusiaan.

Mengapa sesudah kerajaan Gowa jatuh rakyat Maluku di bawah pimpinan Pahlawan Pattimura masih juga bangkit lagi mengadakan perlawanan terhadap kekuasaan Belanda? Sebabnya tidak lain karena rakyat Maluku yang patriotik sangat menentang kelaliman Belanda yang dahsyat. Jadi orang-orang Belandalah yang melakukan kelaliman yang tidak ada taranya di kepulauan Maluku.

Untuk menambah gambaran betapa kejamnya orang-orang Belanda di Maluku kita kutipkan apa yang ditulis oleh I.O. Nanulaitta di dalam buku beliau yang berjudul '"Timbulnya militerisme Ambon sebagai suatu persoalan politik-sosial ekonomis" Bhratara 1966 Djakarta halaman 61-62 sebagai berikut:

"Tanpa ampun lagi Coen menghancurkan rakyat Banda. Rakyat bertempur mati-matian. Yang tidak tewas, mati dibunuh atau ditangkap dan diangkut ke Batavia sebagai budak. Untung bagi mereka yang dapat melarikan diri ke Seram atau Kai. 44 (empat puluh empat) orang kaya dipancung kepalanya oleh algojo-algojo Jepang, yang berdinas pada Kompeni.

11 Maret 1621 ratap tangis meliputi Banda. Darah putera-puteranya membasahi bumi yang mereka cintai. Seluruh kepulauan "oatvolkt" (= dihabisi atau dimusnahkan penduduknya, penulis) oleh tangan besi Coen. Kolonis-kolonis Belanda (perkeniers) dan budak-budak antaranya dari Siau, Solor, Buton diangkut ke Banda untuk mengisi lagi kepulauan yang kosong itu. Di atas runtuhan kebun-kebun pala, di atas daerah yang membasahi bumi, para perkeniers setiap tahun merayakan hari tanggal 11 Maret, sebagai hari "kemenangan". Belanda atas rakyat Banda. Tidaklah ini menunjukkan mentalitas dagang (kruideniers politiek) manusia-manusia yang menamakan dirinya "orang-orang Kristen"?. Suatu tragik dalam sejarah Coen, dijadikan suatu peristiwa gembira! De Graaf yang terkenal di lingkungan 'Indische Kerk", tidak luput dari mentalitas itu. Kita baca dalam bukunya halaman 196 "Geen onschuldigen, ook geen onnozelen had Coen gestraft, maar de tuchtiging was wel heel zwaar gweest" (=Tidak ada orang yang tak bersalah, juga tidak ada orang dungu yang telah dihukum oleh Coen, namun hukuman itu memang sangat berat, penulis). Bukan "heel zwaar" (= sangat berat), tetapi "heel onmenselijk" (= sangat. tidak berperikemanusiaan) adalah istilah yang lebih tepat. Tidakkah rakyat berhak membela kepentingannya, jika hak hidupnya terancam? Tidakkah dia berhak atas kebebasan di tanah tumpah darahnya sendiri? Tanpa Belanda rakyat Banda bisa hidup, bisa makmur, bebas berdagang. Belanda memerlukan Banda dengan palanya dan tidak sebaliknya.

Sesudah pembunuhan di Banda, Coen menuju ke Ambon dengan maksud bertindak sedemikian pula terhadap orang-orang kaya di Ambon dan Uliase yang memusuhi Kompeni. Tetapi untunglah rakyat di kepulauan itu terhindar dari pemusnahan, karena Dewan Hindia mencegah pembunuhan selanjutnya.

Demikian antara lain yang ditulis oleh I.O. Nanulaitta seorang ahli dan penulis sejarah, seorang putera Maluku asli.

Apa-apa yang kami kemukakan di atas adalah sekedar beberapa fakta untuk membuktikan bahwa apa yang dikatakan oleh orang-orang Belanda tentang Speelman dan kemenangannya atas kerajaan Gowa banyak mengandung hal-hal yang tidak benar dan sangat bertentangan dengan kenyataan yang sebenarnya.

Dengan ini kami juga sekaligus ingin membantah penulis-penulis Belanda yang memang sering dengan sengaja membesar-besarkan keberanian, melebih-lebihkan kemampuan tokoh-tokoh bangsanya tetapi dengan tujuan untuk mengecilkan bahkan merendahkan kemampuan tokoh-tokoh dan para pemimpin bangsa Indonesia.


Baik di dalam pertempuran laut yang dahsyat di perairan pada tanggal 1 Januari 1667, maupun di dalam pertempuran-pertempuran sengit di daratan Sulawesi Selatan sejak mendarat di Tiro, di medan pertempuran di dekat Panju, kemudian di medan perang di daerah Turatea, di sekitar Galesong, di dekat Barombong sampai di medan-medan pertempuran di sekitar perebutan Benteng Sombaopu, selalu Aru Palaka dan bukan Speelman yang menunjukkan kegagah-beranian serta kecakapannya sebaagai seorang pemimpin perang. Aru Palaka selalu berada di depan dan memimpin langsung pasukan-pasukannya di dalam semua pertempuran. Bahkan beliau sampai beberapa kali luka-luka dan luput dari bahaya maut. Pasukan-pasukan Belanda (V.O.C.) hanya selalu bersifat pasukan bantuan atau pasukan cadangan di belakang garis pertempuran. Yang selalu di depan dan bertempur lebih dahulu ialah pasukan-pasukan Bugis yang dipimpin langsung oleh Aru Palaka.

Menjelang Kompeni Belanda (V.O.C.) selalu berusaha memikat dan menjaga agar Aru Palaka tetap berkawan dengan orang-orang Belanda. Sebaliknya kita harus pula mengakui bahwa Aru Palaka sangat membutuhkan bantuan Belanda (V.O.C.) terutama bantuan senjata untuk membebaskan negeri dan rakyatnya. Namun cara orang-orang Belanda memuji-muji dan menyanjung Speelman terlalu dilebih-lebihkan, sehingga seni dianggap tidak mampu melukiskannya. Cara orang-orang Belanda menyatakan seolah-olah kerajaan Gowa yang dipimpin oleh Sultan Hasanudin melakukan kelaliman yang dahsyat di kepulauan Maluku dan orang-orang Belanda (V.O.C.) yang membebaskan rakyat Maluku dari kelaliman adalah pemutar-balikan sejarah dan pernyataan yang penuh kebohongan. Bukan kerajaan Gowa tetapi Belandalah yang lalim dan berlaku sewenang-wenang di Maluku.

Sekarang marilah kita kembali lagi ke medan pertempuran. Pasukan-pasukan kerajaan Gowa dengan gagah-berani mempertahankan setiap jengkal tanah-airnya dari serbuan pasukan-pasukan musuhnya. Demikianlah Speelman dan pasukan-pasukan Belanda (V.O.C.) sangat gelisah mendengar kabar bahwa pasukan-pasukan Gowa yang kuat sedang menuju ke tanah Bugis. Mereka takut kalau mereka sampai ditinggalkan oleh pasukan-pasukan Bugis yang dipimpin oleh Aru Palaka Bahkan Speelman sendiri bermaksud untuk berangkat ke Batavia dan menjelaskan betapa gawatnya keadaan pasukan-pasukan Belanda dan sekutu-sekutunya. Speelman ingin memperoleh balabantuan yang lebih banyak untuk melaksanakan rencananya. Speelman ingin pula menginsyafkan para pembesar Belanda (V.O.C.) di Batavia betapa besar akibatnya jikalau mereka sampai dihancurkan oleh pasukan-pasukan kerajaan Gowa. Seluruh kekuasaan dan pengaruh Belanda (V.O.C.) di Indonesia bagian timur pasti akan hancur dan berantakan. Mereka harus segera mengirimkan balabantuan.

Sementara Kapten Pierre Dupont dengan lima buah kapal perang Belanda (V.O.C.) mondar-mandir dan menembaki Benteng Sombaopu, Aru Palaka dan pasukan-pasukan Bugisnya mengadakan serangan-serangan. Kemudian Aru Palaka merebut dan menduduki beberapa kubu pertahanan di sekitar Benteng Barombong. Pada malam tanggal 22 menjelang 23 Oktober 1667, setelah terjadi rentetan pertempuran-pertempuran yang seru, akhirnya jatuhlah Benteng Barombong ke tangan pasukan-pasukan Aru Palaka.

Demikianlah pasukan-pasukan Belanda (V.O.C.) dan sekutu-sekutunya makin mendekati Benteng Sombaopu yang menjadi tujuan dan sasaran utama dari pada segala serangan mereka. Kemenangan yang dicapai oleh Aru Palaka ini membawa kegembiraan dan menimbulkan harapan di dalam pasukan-pasukan Belanda (V.O.C.) dan sekutu-sekutunya yang sudah mulai merasa lesu dan jemu itu.

Di pihak kerajaan Gowapun keadaan tidak begitu menggembirakan. Wilayah kerajaan Gowa makin hari makin sempit oleh pasukan-pasukan musuh yang makin lama makin mendesak. Tekanan-tekanan pihak lawan dari segala penjuru makin hari makin terasa. Beberapa sekutu kerajaan Gowa berbalik dan kemudian berpihak kepada Belanda dan sekutu-sekutunya. Namun serangan-serangan balasan diadakan juga oleh pihak kerajaan Gowa. Di dalam pertempuran-pertempuran itu di kedua belah pihak jatuh korban. Setelah mengadakan pertempuran-pertempuran yang sengit dan merebut daerah Gowa setapak demi setapak dengan biaya dan pengorbanan yang tak ternilai harganya, maka akhirnya pada tanggal 26 Oktober 1667 sampailah pasukan-pasukan Belanda serta sekutu-sekutunya di dekat Benteng Sombaopu yang menjadi tempat kediaman Sultan Hasanudin. Jadi


pasukan-pasukan Belanda dan sekutu-sekutunya mendekati Benteng Sombaopu dari arah selatan dari bagian yang tidak begitu kuat pertahanannya. Seperti diketahui Benteng Sombaopu dipertahankan oleh pasukan-pasukan kerajaan Gowa yang dipimpin sendiri oleh Sultan Hasanudin dan Karaeng Karunrung.

Belanda yang memang sangat licik dan pandai memilih serta mempergunakan saat yang sebaik-baiknya menganggap sekarang sudah tibalah saatnya untuk mengadakan perundingan dan membicarakan soal perdamaian. Saat ini dipilih dengan tepat oleh Belanda. Dengan kemenangan-kemenangan yang dicapai oleh Aru Palaka dan pasukan-pasukan Bugisnya pada saat-saat terakhir itu pihak kerajaan Gowa akan mengira bahwa pasukan-pasukan Belanda dan sekutu-sekutunya masih segar dan hebat kekuatannya.

Sesungguhnya pasukan-pasukan Belanda sendiri sangat menyedihkan keadaannya. Pasukan-pasukan Belanda banyak yang jatuh sakit. Sangatlah penting bagi Belanda (V.O.C.) sendiri untuk segera mengakhiri peperangan itu. Di sini nyata sekali bahwa orang-orang Belanda (V.O.C.) yang disanjung sebagai pahlawan-pahlawan yang gagah-berani itu hanya pandai membonceng pada kemenangan-kemenangan yang dicapai oleh pasukan-pasukan Bugis yang dipimpin oleh Aru Palaka. Pasukan-pasukan Bugis yang makin membanjir dan dipimpin oleh Aru Palaka banyak yang baru datang. Mereka masih segar keadaannya. Mereka dijiwai oleh semangat dan cita-cita kemerdekaan sedang orang-orang Belanda sudah lesu dan bosan berperang. Mereka bertempur karena didorong oleh ambisi pribadi dan dengan tujuan yang penuh angkara murka. Orang-orang Belanda banyak yang jatuh sakit. Mereka sudah lesu dan tidak begitu bernafsu untuk berperang. Makin cepat peperangan itu selesai makin senanglah mereka. Mereka ingin lekas-lekas keluar dan pergi meninggalkan medan perang yang sangat mengerikan itu.

Akan tetapi dengan bantuan Aru Palaka dan pasukan-pasukan Bugisnya, orang-orang Belanda (V.O.C.) ingin memetik hasil dan keuntungan yang sebesar-besarnya dari keadaan baik yang diciptakan oleh Aru Palaka dan kawan-kawan seperjoangan beliau. Hanya itulah kelihaian dan kelebihan Belanda yang perlu dan harus kita camkan sebagai pelajaran yang diberikan oleh sejarah kepada kita bangsa Indonesia. Belanda sangat mahir mengadu-domba bangsa Indonesia untuk kemudian menguasai dan menjajah bangsa Indonesia yang sudah terpecah-belah itu.

Pada tanggal 29 Oktober 1667 dikirimlah sebuah utusan untuk membawa surat. Surat itu dibawa oleh dua orang bangsawan Bone yang dikawal oleh lima puluh orang yang bersenjata keris. Surat itu secara resmi disampaikan kepada Sultan Hasanudin di istana baginda di Sombaopu.

Lalu diadakanlah gencatan senjata selama tiga hari yang kemudian diperpanjang lagi. Selama diadakan gencatan senjata masing-masing pihak memperkuat pertahanannya. Namun pasukan-pasukan kedua belah pihak ada juga kesempatan untuk saling kunjung-mengunjungi. Terutama oleh pihak Belanda yang memang licik, hal ini merupakan kesempatan baik yang memang dipergunakannya pula dengan sebaik-baiknya. Mereka berusaha mengorek sebanyak mungkin keterangan mengenai keadaan pihak kerajaan Gowa. Pada kesempatan itulah Belanda berhasil memperoleh info bahwa tiga orang pemimpin dan bangsawan Gowa yang terkenal, yakni Karaeng Karunrung, Karaeng Popo dan Karaeng Lengkese menentang dan tidak mau mengadakan perjanjian perdamaian dengan pihak Belanda (V.O.C.). Ketiga orang pemimpin bangsawan Gowa ini menghendaki agar supaya peperangan dilanjutkan sampai titik darah yang penghabisan.

Dengan segala macam usaha disertai bujukan dan sikap yang manis orang-orang Belanda mencoba menarik hati para pemimpin dan bangsawan Gowa untuk mengadakan perjanjian perdamaian. Para pemimpin, pembesar atau bangsawan Gowa yang ragu-ragu dan tampak mulai bimbang hatinya, diberi hadiah-hadiah dan janji-janji yang menarik. Mereka dijanjikan kemerdekaan, bahkan nasib mereka akan dijamin dengan baik. Yang berhasil dapat dibujuk oleh orang-orang Belanda terdapat antara lain: Karaeng Laiya dan Karaeng Bangkala. Pun saudara Sultan Ternate, yakni yang bernama Kalamatta yang sudah lama berpihak kepada kerajaan Gowa dapat dibujuk dan dipikat oleh orang-orang Belanda. Kepada Kalamatta dijanjikan bahwa kemerdekaan dan nasib beliau akan dijamin dengan baik. Kepada para pemimpin dan pembesar serta bangsawan Gowa yang bersedia lari ke pihak Belanda (V.O.C.) Speelman dengan diam-diam mengirim surat dan hadiah-hadiah. Demikian pula kepada Kalamatta. Di dalam surat menyurat itu dengan manisnya Speelman memikat dan membujuk


Kalamatta agar bersedia memihak kepada Kompeni (V.O.C.) dan berbaik kembali dengan saudara beliau. Demikian pula dengan Karaeng Laiya dan Karaeng Bangkala. Kedua orang pemimpin dan bangsawan ini berhasil dibujuk oleh Speelman untuk berbalik dan berpihak kepada Kompeni Belanda.

Sesuai dengan janji yang sudah disepakati, maka pada tanggal 4 Nopember 1667 Speelman mengirim Aru Kaju ke daerah Turatea untuk berunding dengan Karaeng Laiya dan Karaeng Bangkala. Tidak lupa Speelman mengirimkan hadiah-hadiah dan janji-janji yang menarik kepada kedua orang pemimpin yang sudah menyatakan kesediaannya untuk menghentikan perlawanannya. Kedua orang pemimpin ini bersedia untuk berdamai dan berkawan dengan Belanda dan sekutu-sekutunya.

Bukan buatan marahnya orang-orang Gowa terhadap tindakan Karaeng Laiya dan Karaeng Bangkala ini. Mereka dianggap mengkhianati kerajaan Gowa. Karaeng Karunrung segera hendak menghajar kedua orang pemimpin ini dengan tiga ribu orang pasukan-pasukan beliau. Akan tetapi tindakan Karaeng Karunrung ini dapat dicegah oleh Sultan Hasanudin. Sungguhpun Sultan Hasanudin juga merasa jengkel dan marah atas perbuatan kedua orang pemimpin yang tidak setia itu, namun sebagai seorang Raja Sultan Hasanudin harus bertindak bijaksana dan pandai mengekang gejolak perasaannya.

Betapa lihainya Belanda (V.O.C.) mempergunakan setiap peristiwa yang sekecil-kecilnya sekalipun untuk mencapai keuntungan yang sebesar-besarnya, dapat kita lihat dalam peristiwa membaliknya Karaeng Laiya dan Karaeng Bangkala ke pihak Belanda. Perlu kami katakan di sini bahwa sejak awal Nopember 1667 telah tercapai suatu gencatan senjata antara pasukan-pasukan kerajaan Gowa dan pasukan-pasukan Belanda beserta sekutu-sekutunya. Seperti yang kami sudah katakan tadi, pada tanggal 4 Nopember 1667 Speelman mengirim Aru Kaju ke daerah Turatea untuk berunding dengan Karaeng Laiya dan Karaeng Bangkala. Di sini kita dapat lagi melihat dengan jelas betapa tidak jujurnya orang-orang Belanda. Mereka mempergunakan cease-fire atau gencatan senjata untuk membujuk dan memikat pemimpin-pemimpin lawannya agar menghentikan perlawanannya dan berpihak kepada mereka. Bahkan dengan diam-diam dan secara sepihak Belanda mengadakan perundingan tersendiri dengan pemimpin-pemimpin yang mau atau menunjukkan minat untuk berpihak kepada mereka. Hal ini terang merupakan suatu pelanggaran. Akan tetapi Belanda tidak peduli dan Belanda memang pandai memecah-belah rakyat Indonesia. Kemudian hal ini hendak dipergunakan dengan sebaik-baiknya oleh Belanda.

Pada tanggal 11 Nopember 1667, jadi seminggu sebelum "Perjanjian Bungaya" ditanda-tangani, Aru Kaju datang melaporkan bahwa Karaeng Laiya dan Karaeng Bangkala beserta pasukannya yang berjumlah kurang lebih 6000 (enam ribu) orang sedang menuju ke markas besar pasukan-pasukan Belanda dan sekutu-sekutunya. Kedatangan Karaeng Laiya dan Karaeng Bangkala dengan pasukan-pasukannya untuk bergabung dan berpihak kepada pasukan-pasukan Belanda dan sekutu-sekutunya ini mau dipergunakan dengan sebaik-baiknya oleh Speelman. Agar supaya peristiwa itu memberikan kesan yang dalam kepada orang-orang Makasar maka Speelman mempersiapkan suatu upacara penyambutan yang hebat. Kedua orang pemimpin yang bersedia bekerja sama dengan Belanda itu disongsong dan disambut oleh Speelman sendiri dengan para pembesar Belanda dan sekutu-sekutunya. Di antara yang menyambut terdapat antara lain Speelman, Aru Palaka, Kapten Joncker, Sultan Mandarsyah dari Ternate dari yang lain-lainnya.

Para pembesar ini diiringi oleh pasukan pengawal dan satu kompi pasukan-pasukan Belanda. Kemudian iring-iringan itu menuju ke Markas Besar pasukan-pasukan Belanda dan sekutu-sekutunya Kemudian pasukan-pasukan Belanda menembakkan salvo dengan bedilnya. Lalu diadakan tembakan-tembakan meriam. Tiap kapal melepaskan tiga tembakan dengan meriam-meriamnya. " S A N D I W A R A " atau show ini memang dengan sengaja diperlihatkan oleh orang-orang Belanda. Maksudnya untuk memberikan kesan yang hebat dan rasa bangga kepada sekutu-sekutunya. Selain daripada itu juga untuk menanamkan suatu kesan yang hebat dan rasa kagum kepada orang-orang Makasar sebagai suatu provokasi atau cara intimidasi yang halus. Orang-orang Belanda ingin agar di dalam perundingan-perundingan yang akan diadakan, orang-orang Makasar banyak mengalah dan banyak memberi konsesi serta keuntungan keuntungan kepada Belanda. Inilah kepandaian dan kelihaian Belanda yang harus diperhatikan. Mereka selalu pandai mempergunakan setiap ke-


sempatan yang sekecil-kecilnya sekalipun untuk mencapai keuntungan yang sebesar-besarnya.

Sungguhpun di dalam keadaan cease-fire atau gencatan senjata namun orang-orang Belanda tidak berhenti-hentinya mempergunakan kesempatan yang baik untuk mengadakan provokasi dan intimidasi. Mereka ingin memberi kesan seolah-olah secara mutlak dan sudah pasti mereka akan menang perang dan kerajaan Gowa pasti akan menyerah tanpa syarat. Perang urat syaraf yang dilancarkan oleh pihak Belanda memang tidak sedikit hasilnya. Banyak juga orang-orang bahkan pembesar-pembesar kerajaan Gowa yang terkena perang urat syaraf Belanda ini.

Demikianlah pada tanggal 14 - 15 Nopember 1667, jadi hanya beberapa hari sebelum "Perjanjian Bungaya" ditandatangani, ada beberapa orang pemimpin Gowa yang dapat dipikat oleh Belanda dan sekutu-sekutunya. Di sini Belanda mempergunakan lagi Aru Palaka yang memang besar sekali pengaruhnya untuk memikat mereka. Beberapa orang pemimpin Gowa yang memang diketahui tergolong orang-orang yang setuju diadakannya perjanjian perdamaian dengan Belanda (V.O.C.) pada malam tanggal 14 menjelang 15 Nopember diundang untuk mengadakan pertemuan dengan Aru Palaka.

Di dalam hal ini kita harus mengakui kelihaian dan kepandaian Belanda dalam mempergunakan setiap kesempatan untuk memperoleh keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Perang urat syaraf yang dilancarkan oleh Belanda memang banyak juga hasilnya. Demikianlah pada tanggal 18 Nopember 1667 banyak sekali orang-orang Bugis yang dulu dibawa sebagai tawanan ke Gowa, pria dan wanita dengan membawa segala apa yang dimilikinya menuju ke daerah yang sudah diduduki oleh pasukan-pasukan Belanda dan sekutu-sekutunya.

Jadi perang urat syaraf yang dilancarkan oleh Belanda (V.O.C.) selama diadakannya gencatan senjata memang berhasil sekali. Hal ini perlu dicamkan oleh kita bangsa Indonesia sebagai pelajaran yang diberikan oleh sejarah kepada kita. Prof. Sir John Seeley di dalam buku belau yang berjudul "The expansion of England" antara lain menyatakan: "We study history that we may be wise for the event" artinya bahwa kita mempelajari sejarah agar kita menjadi bijaksana atau sudah mengerti sebelum sesuatu peristiwa terjadi. Demikian dalam masa cease-fire atau gencatan senjata itu Belanda tidak berhenti-hentinya melancarkan psy-war atau perang urat syaraf, melakukan intimidasi dan provokasi. Mereka sangat giat membujuk dan memikat sebanyak mungkin orang ke pihak mereka. Maksudnya agar pada saat-saat perundingan diadakan mereka dapat memberikan tekanan-tekanan psykologis kepada lawannya.

Tegasnya, segala usaha dijalankan oleh Belanda untuk mencapai suatu perjanjian perdamaian yang sebanyak mungkin menguntungkan mereka. Inilah yang terjadi selama diadakan gencatan senjata menjelang saat-saat ditanda-tanganinya perjanjian perdamaian antara kerajaan Gowa di satu pihak dan Belanda (V.O.C.) bersama sekutu-sekutunya di lain pihak.

Demikianlah Belanda (V.O.C.) berhasil menciptakan "Perjanjian Bungaya" sebagai suatu pengantar ke arah jatuhnya kerajaan Gowa dan kemudian disusul dengan jatuhnya kerajaan-kerajaan Sulawesi-Selatan yang lainnya. Dengan "Perjanjian Bungaya" sebagai modal dan sebagai pedomannya, Belanda sedikit demi sedikit tapi meluaskan pengaruh dan kekuasaan penjajahannya ke seluruh wilayah Sulawesi Selatan.

Pada tanggal 18 Nopember 1667 ditanda-tanganilah sebuah perjanjian di sebuah desa atau tempat di sebelah selatan kota Makasar atau Ujung Pandang sekarang. Desa ini terletak di dekat Barombong yang kini terkenal sebagai tempat pemandian di tepi pantai yang sangat indah. tempat atau desa di mana perjanjian itu ditanda-tangani disebut "B U N G A Y A".

Oleh karena itu perjanjian ini kemudian terkenal dengan nama "P E R J A N J I A N   B U N G A Y A ". Oleh orang-orang Belanda perjanjian disebut "H E T   B O N G A A I S V E R D R A G"

Di dalam perundingan-perundingan sebelum Perjanjian Bungaya itu ditanda-tangani, Speelman dan orang-orang Belanda sangat terkesan oleh sikap Pahlawan Hasanudin. Terhadap Aru Palaka dan Aru Kaju Sultan Hasanudin bersikap "C O R R E C T" dan ramah. Terhadap musuh yang layak Sultan Hasanudin bersikap menghargai mereka. Akan tetapi terhadap raja-raja yang berbalik seperti Karaeng Laiya dan Karaeng Bangkala, demikian pula terhadap wakil-wakil atau


pembesar-pembesar kerajaan Buton Sultan Hasanudin dan juga pembesar-pembesar kerajaan Gowa bersikap lain.

Pada tanggal 13 Nopember 1667, pada waktu pertemuan pertama di Bungaya hampir selesai, ada terjadi sebuah insiden. Rakyat yang berjejal-jejal di sekitar baruga atau balai tempat perundingan itu diadakan, makin mendesak ke dalam. Beberapa orang pemimpin pasukan Gowa berusaha mendorong mereka mundur. Oleh karena itu maka terjadi desak-mendesak. Beberapa orang kemudian terjatuh. Maka terjadilah kekacauan. Kedua belah pihak lalu siap dengan senjata di tangan. Insiden ini dapat diatasi dan hal yang lebih mengerikan tidak sampai terjadi berkat ketenangan sikap Sultan Hasanudin. Belanda sendiri mengakui dan mengagumi ketenangan sikap Sultan Hasanudin di dalam menghadapi suatu situasi yang tegang.

"De kalme houding van Speelman enerzijds en Hassan-Oedin anderzijds voorkwam erger" artinya: "Sikap tenang Speelman di satu pihak dan Sultan Hasanudin di lain pihak mencegah terjadinya hal-hal yang lebih hebat. Demikianlah antara lain yang dapat kita baca di dalam buku "Het Bongaais Verdrag" karangan Dr. F.W. Stapel halaman 181 yang menunjukkan ketenangan sikap Sultan Hasanudin di dalam menghadapi suatu keadaan yang gawat. Kalau tidak, maka insiden itu dapat meningkat menjadi suatu pertikaian bersenjata yang pasti akan mengambil korban jiwa yang tidak sedikit.

Ada dikatakan (dalam lontara Bone?) bahwa pada waktu diadakan pembicaraan-pembicaraan pendahuluan sebelum Perjanjian Bungaya ditanda-tangani Karaeng Bontomarannu dan Karaeng Karunrung menghilang dari istananya. Ada sumber yang menyatakan bahwa Karaeng Bontomarannu dan Karaeng Galesong yang meneruskan perlawanannya di pulau Jawa kelak adalah satu orang juga. Karaeng Bontomarannu dan Karaeng Karunrung tidak setuju untuk mengadakan perjanjian dengan musuh yang mereka benci itu. Mereka berkeras untuk melanjutkan pertempuran sampai kepada tetesan darah yang terakhir. Jadi antara Sultan Hasanudin dan kedua orang pahlawan Gowa itu terjadi perbedaan pendapat mengenai Perjanjian Bungaya. Karaeng Galesong (alias Karaeng Bontomarannu) dan Karaeng Karunrung tidak setuju diadakan perjanjian dengan Belanda (V.O.C). Mereka ingin agar peperangan dilanjutkan terus. Tapi di dalam sumber lain seperti misalnya "Het Bongaais Verdrag" karangan Dr. F.W. Stapel dikatakan bahwa yang berkeras menentang diadakannya perjanjian dengan Belanda (V.O.C.) ialah Karaeng Tallo, Karaeng Popo dan Karaeng Lengkese.

Karaeng Popo sebagai seorang ksatria tidak mau untuk kedua kalinya berunding dan membuat perjanjian dengan Belanda (V.O.C.). Beliau menyatakan bahwa beliau sudah pernah sebagai wakil kerajaan Gowa mengadakan perundingan dan membuat perjanjian perdamaian dengan Belanda (V.O.C.). Sekali itu saja sudah cukup dan sebagai seorang kesatria beliau tidak sudi untuk kedua kalinya berunding dan berdamai dengan orang-orang Belanda (V.O.C.). Seperti yang sudah diuraikan di depan tadi, pada perjanjian yang ditanda-tangani di Batavia pada tanggal 19 Agustus 1660 Karaeng Popo dikirim ke Batavia mewakili Sultan Hasanudin untuk "membeli" Benteng Pannakukang. Karaeng Popo lebih suka melanjutkan peperangan dan bertempur terus sampai tetesan darah yang terakhir. Tegasnya, banyak bangsawan dan pemimpin Gowa tidak setuju kalau diadakan perundingan atau perjanjian perdamaian dengan Belanda (V.O.C.). Mereka ingin agar peperangan dilanjutkan terus.

Namun sebagai seorang Raja yang bertanggung jawab atas nasib dan rakyat kerajaan Gowa, Sultan Hasanudin harus mempertimbangkan faktor-faktor yang lain. Beliau harus mempertimbangkan pertimbangan-pertimbangan yang lain. Di dada Sultan Hasanudin tetap berkobar semangat perlawanan menentang penjajahan Belanda. Hal ini terbukti tidak seberapa lama kemudian.

Setelah merasa bahwa Perjanjian Bungaya itu sangat memberatkan rakyat dan kerajaan Gowa dan tidak mungkin dilaksanakan, maka hubungan antara kerajaan Gowa yang dipimpin oleh Sultan Hasanudin dan V.O.C. tegang lagi. Kemudian, yakni pada tanggal 12 April 1668, untuk kesekian kalinya perang antara Kerajaan Gowa dan V.O.C. pecah dan berkobar lagi. Jadi sungguhpun di dalam dada Sultan Hasanudin tetap berkobar semangat perlawanan menentang penjajahan Belanda, namun sebagai seorang Raja Gowa, Sultan Hasanudin harus pula memperhatikan faktor-faktor yang lain dan terutama kepentingan rakyatnya. Sebagai seorang pemimpin, Sultan Hasanudin harus


menempatkan kepentingan rakyat dan kepentingan negara di atas kepentingan dirinya sendiri.

Kita sudah tahu bahwa Sultan Hasanudin bukan seorang penakut dan seorang pengecut. Sebagai bekas seorang Karaeng Tumakkajannangang, yakni pemimpin atau komandan pasukan-pasukan khusus kerajaan Gowa, Sultan Hasanudin tidak diragukan lagi keberaniannya. Sebagai seorang Karaeng Tumakkajannangang Sultan Hasanudin yang melatih dan menggembleng kesatria-kesatria Gowa yang karena kegagah-beraniannya oleh orang-orang Belanda sendiri dijuluki ”de haantjes van het Oosten” (= jago jago dari benua timur).

Seperti yang sudah kami singgung tadi, hanya karena ketenangan Sultan Hasanudin di satu pihak maka insiden yang terjadi pada tanggal 13 Nopember 1677 dapat diatasi. Ketenangan yang seperti itu pasti tidak akan dimiliki oleh seorang pengecut atau penakut. Tegasnya, banyak bukti-bukti yang dapat dikemukakan bahwa Sultan Hasanudin bukan seorang penakut atau pengecut. Sultan Hasanudin jelas seorang kesatria yang gagah-berani.

Sungguhpun Sultan Hasanudin sebagai seorang pahlawan yang gagah-berani, sebagai seorang penggembleng dan komandan pasukan khusus yang sudah beberapa kali memimpin sendiri pasukan-pasukan beliau di dalam pelbagai medan pertempuran ingin meneruskan peperangan, namun beliau tidak boleh bersikap buta tuli ternadap kenyataan pahit yang sedang dihadapinya. Sebagai seorang Raja dan sebagai seorang pemimpin tertinggi kerajaan Gowa beliau tentunya tahu betul betapa parahnya keadaan rakyat dan kerajaan Gowa. Kerajaan Gowa betul-betul dikoyak-koyak oleh musuh yang datang membanjir dari segala penjuru: dari selatan, dari timur, dari utara dan dari barat. Pasukan-pasukan Belanda (V.O.C.) makin hari makin bertambah banyak jumlahnya, sedang pasukan-pasukan kerajaan Gowa sudah terlalu lelah. Mereka sudah sejak lama selalu siap-siaga dan terus-menerus bertempur. Tanah Gowa sendiri sudah sangat parah keadaannya karena menjadi arena pertempuran pasukan-pasukan yang berpuluh-puluh ribu orang jumlahnya. Sawah dan ladang tidak dikerjakan, bahkan banyak yang rusak diinjak-injak atau dihancurkan. Desa-desa dan lumbung padinya banyak yang dibakar dan dimusnahkan oleh pasukan-pasukan Belanda dan sekutu-sekutunya. Persediaan makanan rakyat berupa beras atau padi dan ternak hanya yang dirampas atau dimusnahkan oleh musuh. Kenyataan pahit inilah yang harus dihadapi oleh Sultan Hasanudin dan pertimbangan-pertimbangan ini pulalah yang harus diperhatikan oleh Sultan Hasanudin dengan tenang. Sultan Hasanudin tidak boleh memperturutkan hawa nafsunya. Kepentingan pribadi dan gejolak hati pejoangnya harus ditundukkan dan diletakkan di bawah kepentingan rakyat dan kerajaan Gowa. Faktor-faktor inilah yang menjadi sebab utama perbedaan pendapat sultan Hasanudin dan bangsawan-bangsawan Gowa yang ingin melanjutkan peperangan. Jadi sekali-kali bukan karena Sultan Hasanudin kurang berani dibandingkan dengan mereka itu.

Perang urat syaraf dan provokasi yang dilancarkan oleh pihak Belanda (V.O.C.) selama diadakannya cease-fire atau gencatan senjata, memang tidak kecil pengaruhnya. Terlebih-lebih terhadap mereka yang tipis imannya dan goyah hatinya. Banyak sekutu-sekutu, bahkan pemimpin-pemimpin Gowa yang terpikat oleh bujukan manis dan janji-janji Belanda (V.O.C.) yang muluk-muluk. Hal inipun diketahui dan disadari betul oleh Sultan Hasanudin.

Melanjutkan peperangan dalam kondisi atau keadaan yang sedemikian berarti bunuh diri dan kehancuran serta malapetaka bagi rakyat Gowa. Perjanjian perdamaian itu mungkin dapat menghindarkan rakyat Gowa dari penyembelihan yang sangat mengerikan. Dengan adanya perjanjian perdamaian itu rakyat dan pasukan-pasukan Gowa yang sudah sangat lelah itu dapat beristirahat dan memulihkan kekuatannya. Demikianlah kiranya pertimbangan Sultan Hasanudin mengapa beliau menganggap lebih bijaksana untuk mengadakan perundingan dan membicarakan perdamaian, sungguhpun di dalam dada beliau tetap menyala dan berkobar semangat anti penjajahan Belanda (V.O.C.).

Jadi pada waktu Perjanjian Bungaya ditanda-tangani pada tanggal 18 Nopember 1667 Karaeng Karunrung dan Karaeng Bontomarannu atau Karaeng Galesong menghilang dari istananya. Seperti yang diketahui kemudian ternyata bahwa pahlawan-pahlawan Gowa yang gagah-berani dan tidak mengenal kompromi dengan orang-orang Belanda (V.O.C.) banyak yang melanjutkan perjoangannya menentang Belanda (V.O.C) di luar daerah Gowa. Kita mengenal di dalam sejarah nama Karaeng Galesong yang membantu Trunojoyo dalam perlawanannya menentang orang-orang Belanda (V.O.C.). Bersama dengan pasukan-pasukan Madura yang dipimpin oleh Trunojoyo orang-orang suku Makasar di bawah pimpinan Karaeng Galesong mengadakan perlawanan terhadap Belanda (V.O.C.) di Pulau Jawa.

Demikianlah pada tanggal 18 Nopember 1667, di sebuah desa yang dinamakan Bungaya yang terletak di dekat Barombong yang baru saja direbut oleh pasukan-pasukan Belanda dan sekutunya, diadakan perundingan. Perundingan inilah yang kemudian menghasilkan sebuah perjanjian yang terkenal di dalam sejarah Indonesia dengan nama "P E R J A N J I A N B U N G A Y A ". Oleh orang-orang Belanda perjanjian ini disebut: " H E T B O N G A A I S V E R D R A G ". Orang-orang Makasar menamakan perjanjian itu " C A P P A Y A R I B U N G A Y A " artinya Perjanjian di Bungaya.

Jadi nama yang benar dan tepat untuk perjanjian ini ialah " P E R J A N J I A N B U N G A Y A ". Banyak penulis sejarah dan sejarahwan kita yang mengikut-ikuti kesalahan orang-orang Belanda dan menarnakan perjanjian itu:

1. Perjanjian Bongaya seperti yang dapat kita lihat di dalam
a)buku "Sejarah Kebangsaan" jilid 2 oleh J. Wiramihardja dkk. Penerbit Bina Cipta - Bogor 1966 halaman 18;
b)"Sejarah Indonesia" oleh Dra. Darsiti Soeratman jilid II Cetakan ke VI 1966 Majelis Luhur Taman Siswa Yogyakarta halaman 32;
c)"Buku pelajaran Sejarah Indonesia" oleh M. Endo Hardjasoewita jilid II cetakan ke VII halaman 45.

Bahkan ada pula yang menamakan perjanjian itu:

2. Perjanjian Bonggaya seperti yang dapat kita baca di dalam buku:
a) "Nusa dan Bangsa" oleh Sutrisno Kutojo jilid I cetakan kesembilan, halaman 83;
b) "Sejarah Indonesia" oleh Dr. R.M. Sutjipto Wirjosuparto jilid II Indira 1961, halaman 41;
c) "Timbulnya Militerisme Ambon" oleh I.O. Nanulaita, Bhratara 1966 Jakarta, halaman 97.

Kesalahan-kesalahan yang tersebut di atas bersumber pada kesalahan yang diperbuat oleh orang-orang Belanda yang salah menyebut kata Bungaya menjadi Bonggaya. Kata Bungaya ber asal dari kata bahasa Indonesia aseli, yakni bunga (bunga = kembang, bahasa Belanda bloem, bahasa lnggeris flower). Kata ini mendapat kata imbuan ya, lalu menjadi Bungaya artinya de bloem, the flower. Imbuan ya dalam bahasa Makasar ini sama artinya dengan kata bahasa Indonesia: si, sang atau yang.

Misalnya: Bungaya = sang bunga.
Ejaya= merah; ejaya = yang merah.
Caddiya = caddi = kecil; caddiya = yang kecil.

Jadi nama Bungaya berasal dari kata bunga. Orang-orang Belanda memang sukar untuk mengucapkan dengan tepat: "bunga." Mereka selalu cenderung untuk menyebut: "Bungga" atau "Bongga" sehingga Bungaya juga diucapkan salah menjadi Bonggaya atau Bon-khaya, lalu perjanjian itu dinamakan "Bongaais Verdrag" (baca: Bon-khais Verdrag).

Jadi janganlah kita meniru dan ikut-ikut, bahkan memperkuat dan "meresmikan" kesalahan yang diperbuat oleh orang-orang Belanda itu. Tepatnya nama desa tempat perjanjian itu ditandatangani ialah BUNGAYA dan bukan BONGAYA atau BONGGAYA dan sebagainya. Bahkan ada pula orang yang mengira nama Bongaya ini sama dengan Jongaya, yakni sebuah kampung pada batas sebelah selatan kota Ujung Pandang ke arah Sungguminasa (ibukota kabupaten Gowa sekarang).

Sampai sekarang desa Bungaya ini masih ada. Sekarang Bungaya merupakan sebuah kampung atau desa yang tidak berarti lagi, kalau dibandingkan dengan kedudukannya pada abad ke XVII. Sekarang Bungaya dikenal sebagai sebuah tempat pemakaman atau pekuburan untuk kampung-kampung di sekitarnya. Bungaya terletak kira-kira satu kilometer di sebelah timur Barombong. Barombong adalah sebuah tempat pemandian tepi pantai yang terkenal dan indah di sebelah selatan kota Ujung Pandang sekarang. Kalau Barombong terletak di tepi pantai maka Bungaya agak ke darat letaknya, yakni kurang lebih satu atau satu setengah kilometer ke arah timur. Bungaya kira-kira 15 km jauhnya ke arah selatan kota Ujung Pandang, ibukota Propinsi Sulawesi Selatan.

Dewasa ini Bungaya termasuk Kesatuan Desa Barombong, Kecamatan Palangga, Kabupaten Gowa (Kesatuan Desa sama dengan Kelurahan di Jawa. Di Sulawesi Selatan orang belum mengenal Kelurahan. Yang ada ialah Kesatuan Desa). Demikianlah


230
Benteng Ujung Pandang.
tentang nama Bungaya yang terkenal sebagai tempat Perjanjian Bungaya ditanda-tangani pada tanggal 18 Nopember 1667.
Adapun isi-isi pokok dari pada ”Perjanjian Bungaya” ini kurang lebih adalah sebagai berikut:

Pasal 1


Menyetujui perjanjian tanggal 19 Agustus 1660 yang diadakan di Batavia antara Karaeng Popo sebagai wakil berkuasa penuh kerajaan Gowa dan Gubernur Jenderal Joan Maetsuycker dan Perjanjian yang disetujui pada tanggal 2 Desember 1660 oleh kerajaan Gowa dan Jacob Cau sebagai Komisaris Belanda.

Pasal 2


Semua pegawai bangsa Eropa dan kawula Kompeni (V.O.C.) yang ada di Sombaopu (Makasar) dan sekitarnya, baik yang baru saja menyeberang atau lari ke pihak Gowa maupun yang sudah lama berada di Gowa tanpa ada kecuali harus segera diserahkan kepada Kompeni Belanda.

Pasal 3

Semua alat-alat, meriam-meriam, uang kontan dan barang-barang lainnya yang telah diambil atau disita oleh pemerintah kerajaan Gowa yang berasal dari kapal "de Walvis" yang mendapat kecelakaan atau kandas di pulau Salayar dan dari kapal ”de Leuwin” yang kandas di pulau Doang-Doangan (Don Doange) harus diserahkan kepada Kompeni Belanda.

Pasal 4

Orang-orang yang bersalah karena di sana-sini telah melakukan pembunuhan-pembunuhan atas diri orang-orang Belanda dan mereka yang telah merusak kapal-kapal Belanda akan dihukum di hadapan Residen Belanda.

Padal 5

Orang-orang yang mempunyai hutang kepada Kompeni Belanda (V.O.C.) harus membayar lunas segala hutangnya dalam waktu yang tidak begitu lama.

Pasal 6

Orang-orang Portugis dan orang-orang Inggeris harus meninggalkan Gowa sebelum akhir tahun. Raja Gowa tidak boleh mengidzinkan bangsa-bangsa Eropa yang lainnya berdagang di dalam wilayah

231

kerajaan Gowa, pun tidak boleh menerima duta atau perutusan dan surat-surat apapun dari mereka.

Pasal 7

Semua orang Eropa, kecuali Kompeni Belanda, dilarang berdagang di daerah kekuasaan kerajaan Gowa. Hanya Kompeni Belanda saja yang boleh memasukkan atau menjual barang-barang dan bahan-bahan pakaian impor seperti dari persi dan India serta barang-barang dari negeri Cina. Orang-orang yang melanggar ketentuan ini akan dihukum dan barang-barangnya akan disita oleh Kompeni (V.O.C.). Dalam larangan ini tidak termasuk bahan-bahan pakaian kasar yang ditenun di daerah-daerah pesisir timur pulau Jawa.

Pasal 8

Kompeni Belanda (V.O.C.) dibebaskan dari segala bea dan biaya pemasukkan atau pengeluaran barang-barang dagangan yang diangkutnya.

Pasal 9

Orang-orang Makasar hanya boleh berlayar ke daerah-daerah seperti Bali, Jawa, Batavia, Banten, Jambi, Palembang, Johor dan Kalimantan dengan memohon surat pas atau surat izin berlayar dari Kompeni (V.O.C.). Orang-orang yang didapati di daerah-daerah ini tanpa pas atau surat izin akan dianggap sebagai musuh dan ditangkap atau disita barang-barangnya. Selanjutnya orang-orang Makasar dilarang mengirimkan perahu-perahunya ke Bima, Solor, Timor dan lain-lainnya, ke sebelah timur Selat Salayar, ke sebelah utara dan timur pulau Kalimantan, ke Mindanao (Pilipina) atau ke pulau-pulau di sekitarnya. Siapa yang melanggar hal ini dan didapati di daerah-daerah ini dapat ditangkap dan disita barang-barangnya.

Pasal 10

Semua benteng di tepi pantai yang diperkuat untuk melawan Kompeni (V.O.C.) seperti Benteng Barombong, Benteng Pannakukang, Benteng Garassi, Benteng Mariso dan lain-lainnya harus dimusnahkan. Juga tidak boleh lagi mendirikan benteng-benteng atau kubu-kubu pertahanan yang baru di manapun juga. Hanya Benteng Sombaopu yang besar itu boleh tetap berdiri untuk Raja Gowa.


232

Pasal 11

Benteng Ujung Pandang yang terletak di sebelah utara harus dikosongkan oleh pasukan-pasukan kerajaan Gowa untuk kemudian diserahkan di dalam keadaan yang baik kepada Kompeni Belanda (V.O.C.) yang akan menempatkan pasukan-pasukannya di dalam benteng itu. Perkampungan dan tanah di sekitar Benteng Ujung Pandang diserahkan pula kepada Kompeni Belanda. Loji Kompeni Belanda yang didirikan oleh Verspreet dahulu dibangun kembali di tempat ini.

Pasal 12

Mata uang Belanda (V.O.C.) berlaku dan boleh beredar di Ujung Pandang (Makasar).

Pasal 13

Raja dan para pembesar Gowa harus menyerahkan kepada Kompeni (V.O.C) seribu orang budak laki-laki dan perempuan yang terdiri dari orang-orang dewasa yang muda dan sehat. Hal ini boleh dibayar dengan budak atau dengan meriam, dengan emas, dengan perak atau dengan uang sejumlah harga budak-budak itu. Separuhnya sudah harus diberikan pada bulan Juni 1668 sedang sisanya paling lambat tahun berikutnya sudah harus dilunasi.

Pasal 14

Raja dan para pembesar Gowa tidak boleh mencampuri urusan negeri Bima. Mereka tidak boleh lagi secara langsung atau tidak langsung membantu Bima baik dalam bentuk nasehat maupun tindakan untuk melawan Kompeni (V.O.C.).

Pasal 15

Kerajaan Gowa berjanji akan menyerahkan kepada Kompeni (V.O.C:) Raja Bima, menantu beliau Raja Dompu, Raja Tambora, Raja Sanggar beserta pengikut-pengikutnya semuanya ada dua puluh lima orang yang sebagian besar terdiri dari orang-orang Bima yang telah mengadakan pembunuhan atas orang-orang Belanda (V.O.C.) untuk mendapat hukuman yang setimpal dengan perbuatannya. Demikian pula kerajaan Gowa harus menyerahkan Karaeng Bontomarannu kepada Kompeni (V.O.C.).


233

Pasal 16

Raja Gowa harus melepaskan haknya atas kerajaan Buton dan mengembalikan semua orang Buton yang masih hidup yang telah ditangkap dan dibawa pergi oleh orang-orang Makasar kepada Sultan Buton.

Pasal 17

Raja Gowa harus mengembalikan pula semua orang tawanan dan semua alat-alat yang dirampas di kepulauan Sula kepada Sultan Ternate. Raja Gowa harus melepaskan segala haknya atas kepulauan Sula yang termasuk kekuasaan Sultan Ternate, demikian pula atas pulau Salayar, pulau Muna (Pantsiano), seluruh daerah pantai timur Sulawesi terhitung mulai Manado sampai ke pulau Muna, pulau-pulau Banggai. Gapi dan lain-lainnya. Demikian pula daerah antara Mandar dan Menado, negeri-negeri Lambagi, Kaidipa, Buol, Toli-Toli, Dampelas, Balaisang, Silensak, dan Kaili yang dahulu menjadi milik kerajaan Ternate.

Pasal 18

Kerajaan Gowa harus melepaskan kekuasaann} atas kerajaan-kerajaan Bugis (seperti Bone dan lain-lainnya) serta berjanji akan membebaskan Datu Soppeng La Tenribali beserta keluarga baginda dan mengembalikan semua tanah dan harta-pusaka baginda serta Raja-Raja atau bangsawan Bugis yang lainnya yang ditawan dan diasingkan oleh kerajaan Gowa. Demikian pula kerajaan Gowa harus melepaskan semua orang-orang Bugis anak-anak dan orang-orang perempuan yang ditawannya.

Pasal 19

Kerajaan Gowa selanjutnya menyatakan akan mengakui Raja Laiya dan Raja Bangkala beserta seluruh negeri Turatea dan Bajeng serta daerah-daerah kekuasaannya yang sementara dalam peperangan telah datang ke pihak Kompeni V.O.C.) sebagai Raja-Raja dan daerah-daerah yang bebas (lepas dari kekuasaan kerajaan Gowa).

Pasal 20

Semua negeri yang di dalam peperangan dapat dialahkan dan direbut oleh Kompeni (V.O.C.) dan sekutu-sekutunya, terhitung


234

mulai daerah Bulo-bulo sampai ke daerah Turatea dan kemudian selanjutnya dari daerah itu sampai ke Bungaya akan menjadi dan tetap sebagai negeri-negeri milik yang telah direbut oleh Kompeni (V.O.C.) dan sekutu-sekutunya menurut hukum perang. Kemudian setelah Raja Panna dan Raja Bakka datang, maka negeri-negeri itu akan diperlakukan sesuai dengan hak Kompeni (V.O.C.) atas daerah-daerah di sebelah utara Ujung Pandang (Makasar)

Pasal 21

Pemerintah kerajaan Gowa harus melepaskan haknya atas negeri-negeri Wajo, Bulo-Bulo dan Mandar yang dianggap bersalah karena turut melawan Kompeni (V.O.C.) dan sekutu-sekutunya. Negeri-negeri itu akan diperlakukan oleh Kompeni (V.O.C.) dan sekutu-sekutunya menurut kehendak Kompeni (V.O.C.).

Pasal 22

Juga disetujui bahwa orang-orang Bugis dan orang-orang Turatea yang mempunyai isteri-isteri orang Makasar dan sebaliknya orang-orang Makasar yang mempunyai isteri orang Bugis atau orang Turatea, dapat mengambil kekayaan masing-masing menurut kesukaannya. Selanjutnya orang-orang Makasar yang hendak perai ke tempat orang-orang Bugis dan Turatea, demikian pula orang-orang Bugis dan orang-orang Turatea yang hendak pergi ke tempat orang-orang Makasar tidak akan ditahan atau dilarang jika mereka memperoleh izin dan surat keterangan dari Rajanya. Tanpa izin dan surat keterangan itu mereka harus ditolak dan disuruh pulang ke tempat asalnya.

Pasal 23

Sesuai dengan bunyi pasal enam perjanjian ini, maka pemerintah kerajaan Gowa berjanji akan menutup negerinya bagi bangsa-bangsa lain. Apabila pemerintah kerajaan Gowa tidak mampu menolak mereka untuk tinggal di daerah Gowa, maka pemerintah kerajaan Gowa akan minta bantuan kepada Kompeni (V.O.C.) yang diakuinya sebagai pelindung Gowa, dengan kewajiban selanjutnya, bahwa Gowa akan membantu Kompeni (V.0.C) terhadap musuh-musuh Kompeni (V.O.C.). Gowa tidak akan mengadakan hubungan dan mengadakan perundingan-perundingan perdamaian dan sebagainya dengan bangsa atau negeri yang berperang dengan Kompeni (V.O:C.).

Pasal 24

Berdasarkan pasal-pasal yang tersebut di atas, maka ditetapkan dan dibuatlah oleh Raja danpara pembesar kerajaan Gowa. sebuah perjanjian perdamaian, persahabatan dan persekutuan sepanjang masa (altoos durende vreede, vriend en bondgenootschap), di dalam mana termasuk pula Raja-Raja dari Ternate, Tidore, Bacan, Buton, Raja-Raja Bugis, Bone, Soppeng, Luwu', Turatea, Laiya, Bajeng dengan semua daerah-daerah takluknya, demikian pula Bima serta kepala-kepala atau Raja-raja yang kemudian akan memohon masuk dalam persekutuan ini.

Pasal 25

Apabila di antara negeri-negeri atau Raja-Raja di dalam persekutuan ini terjadi salah faham atau perselisihan, maka mereka tidak boleh terus berperang akan tetapi harus memberi tahukan atau melaporkan persoalannya kepada pimpinan orang-orang Belanda (V.O.C) yang akan menengahi dan menyelesaikan pertikaian mereka. Apabila salah satu pihak tidak mau mengindahkan perantaraan yang diberikan itu dan tetap bersitegang leher atau membangkang, maka jikalau perlu semua anggota persekutuan akan memberikan bahtuan kepada pihak yang lain.

Pasal 26

Dua orang terkemuka dari Hadat atau Dewan Pemerintah Kerajaan Gowa, entah Karaeng Tallo, Karaeng Lengkese, Karaeng Popo, Karaeng Garassi, atau Karaeng Karunrung, tegasnya dua orang terkemuka, akan berangkat bersama Laksamana Speelman ke Batavia untuk mempersembahkan dan memohon pengesahan atas perjanjian perdamaian ini dari Gubernur Jenderal dan Dewan Hindia (Heeren Raaden van Indie). Jika dianggap perlu Gubernur Jenderal dapat meminta dua orang anak Raja sebagai sandera di Batavia yang setelah setahun dapat diganti oleh orang lain.

Pasal 27

Untuk melaksanakan yang tersebut dalam pasal enam perjanjian ini Kompeni (V.O.C.) akan mengangkut orang-orang lnggeris beserta segenap barang-barangnya ke Batavia.


Pasal 28

Demikian pula untuk melaksanakan apa yang tersebut pada pasal lima belas perjanjian ini, maka apabila di dalam jangka waktu sepuluh hari Raja Bima dan Karaeng Bontomarannu tidak diketemukan dan tidak diserahkan kepada Kompeni (V.O.C.) hidup atau mati, maka putera Raja Bima dan putera Karaeng Bontomarannu akan dijadikan sandera oleh Kompeni (V.O.C.).

Pasal 29

Pemerintah kerajaan Gowa berjanji akan membayar kepada Kompeni (V.O.C.) uang ganti biaya perang sejumlah 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) ringgit yang akan dibayar lunas dalam lima tahun berturut-turut. Hutang itu dapat dibayar dengan meriam, bahan atau hasil perdagangan, emas, perak, atau perhiasan yang senilai dengan jumlah hutang tersebut.

Pasal 30

Perjanjian ini ditanda-tangani dan dicap oleh Raja dan pembesar-pembesar kerajaan Gowa, oleh Laksamana Speelman atas nama Kompeni (V.O.C.) beserta semua Raja-Raja dan Pangeran atau pembesar yang turut dalam persekutuan ini di atas sumpah menurut adat atau cara masing-masing, pada hari Jum'at tanggal 18 Nopember 1667 di Bungaya (di sekitar Barombong).

Jadi demikianlah isi-isi pokok dari pada "PERJANJIAN BUNGAYA" yang ditanda-tangani oleh kedua belah pihak yang bermusuhan pada tanggal 18 Nopernber 1667 di desa Bungaya, sebuah tempat tidak jauh dari Barombong. PERJANJIAN BUNGAYA inilah yang di kemudian hari menjadi dasar bagi Belanda (V.O.C.) untuk selanjutnya menanamkan dan memperkokoh kekuasaan penjajahannya di Sulawesi Selatan dan Tenggara khususnya dan di Indonesia bagian timur pada umumnya. Seperti kita ketahui, di dalam PERJANJIAN BUNGAYA ikut serta Raja-Raja atau kerajaan-kerajaan dan pemimpin-pemimpin yang terpenting dan terkemuka di Sulawesi Selatan dan Tenggara serta Raja-Raja dan pemimpin pemimpin di Indonesia bagian timur.

Jikalau ada yang menyatakan bahwa Perjanjian tahun 1646 yang dibuat antara Belanda (V.O.C.) dan Sunan Amangkurat

dari Mataram merupakan tindakan politik yang besar sekali pengaruhnya dan membuka pintu bagi Belanda (V.O.C.) untuk

mencampuri urusan dalam negeri kerajaan Mataram, maka P E R J A N J I A N   B U N G A Y A yang ditanda-tangani pada tanggal 18 Nopember 1667 inipun merupakan tindakan politik yang sangat besar sekali pengaruhnya, terutama di Indonesia bagian timur.

P E R J A N J I A N   B U N G A Y A ini merupakan sebuah kunci yang penting sekali artinya bagi pihak Belanda (V.O.C.) untuk sewaktu-waktu mencampuri urusan dalam negeri hampir seluruh kerajaan-kerajaan tidak saja di Sulawesi Selatan, tetapi juga kerajaan-kerajaan dan negeri-negeri di seluruh Indonesia bagian timur. P E R J A N J I A N   B U N G A Y A merupakan kunci wasiat bagi Belanda (V.O.C.) untuk membuka pintu selebar-lebarnya dan menanamkan kekuasaan penjajahannya di Indonesia bagian timur. Dengan senjata divide et impera-nya yang ampuh, Belanda (V.O.C.) dengan mudah mengadu-domba bangsa Indonesia. Dengan mempergunakan pasal 25 P E R J A N J I A N   B U N G A Y A Belanda (V.O.C.) merasa dirinya berhak untuk mencampuri urusan dalam negeri kerajaan-kerajaan di Indonesia bagian timur. Bahkan menurut pasal 25 itu Belanda (V.O.C.) yang menjadi penengah dan berhak memutuskan pihak mana yang bersalah dan jikalau perlu bersama sekutu-sekutunya yang lain dapat ”mengeroyok” pihak yang membandel terhadap putusan penengah. Menurut pasal 25 P E R J A N J I A N   B U N G A Y A hak menjadi penengah ada di tangan pihak Belanda (V.O.C.). Tegasnya, P E R J A N J I A N   B U N G A Y A memberi peluang yang seluas-luasnya bagi Belanda (V.O.C.) untuk mencampuri urusan dalam negeri kerajaan-kerajaan di Indonesia bagian timur. Campur tangan Belanda yang sangat lihai seperti yang kita lihat dan terbukti di dalam sejarah tanah-air kita, sedikit demi sedikit mengurangi dan akhirnya melenyapkan sama sekali kekuasaan dan kedaulatan kerajaan-kerajaan itu.

P E R J A N J I A N   B U N G A Y A yang sangat merugikan orang-orang Makasar ini sangat melegakan hati orang-orang Belanda (V.O.C.) yang sesungguhnya sudah sangat payah keadaannya. Pasukan-pasukan Belanda (V.O.C.) sangat menyedihkan keadaannya. Tidak kurang dari 182 (setatus delapan puluh dua) orang serdadu dan 96 (sembilan puluh enam) orang pelaut Belanda sangat gawat keadaannya. Jikalau kita mengingat bahwa jumlah orang-orang Belanda yang turut dalam pertempuran-pertempuran melawan Gowa tidak seberapa jumlahnya, maka dapatlah kita membayangkan betapa gawatnya keadaan Belanda pada saat P E R J A N J I A N   B U N G A Y A ditanda-tangani. Tiap hari delapan sampai sepuluh orang yang mati karena sakit. Sebagian besar orang-orang Belanda itu menderita penyakit disentri. Bahkan pun dokter-dokter Belanda banyak yang jatuh sakit, sehingga keadaan orang-orang Belanda betul-betul payah.

Jadi P E R J A N J I A N   B U N G A Y A sungguh melegakan hati orang-orang Belanda. Bahkan perjanjian yang begitu menguntungkan Belanda di luar dugaan mereka jikalau melihat keadaan mereka yang sebenarnya. PE R J A N J I A N   B U N G A Y A disambut dengan sangat gembira oleh orang-orang Belanda, baik yang berada dan menderita di Sulawesi Selatan, maupun dan terutama orang-orang Belanda yang berada di Batavia. Betapa tidak !

Memang Dewi Fortuna sedang mengiringi Laksamana Cornelis Janszoon Speelman! Roda penjajahan Belanda memang sedang menggelinding dengan hebatnya dan tidak dapat dibendung atau ditahan dengan kekuatan apapun juga.

Sungguhpun keadaan Belanda (V.O.C.) sangat gawat, dengan prajurit-prajurit yang sudah kepayahan dan banyak yang jatuh sakit, namun karena mengetahui betul bahwa pihak Gowa juga tidak begitu cerah bahkan sangat parah keadaannya, dan terutama dengan bantuan yang besar dari Aru Palaka dan pasukan-pasukan Bugis yang makin banyak mengalir ke medan pertempuran serta masih segar keadaannya, Speelman berhasil menciptakan sebuah perjanjian yang sangat menguntungkan pihak Belanda (V.O.C.). Inilah kelebihan Speelman dan orang-orang Belanda yang harus kita akui. Mereka pandai dan sangat lihai mempergunakan setiap peluang yang bagaimanapun juga kecilnya untuk mencapai hasil dan keuntungan yang sebesar-besarnya. Hal ini harus kita camkan betul-betul sebagai pelajaran yang diberikan oleh sejarah kepada kita bangsa Indonesia.

Berita kemenangan Belanda (V.O.C.) dan sekutu-sekutunya terhadap kerajaan Gowa itu tiba di Batavia pada tangal 14 Maret 1668. Berita itu disambut dengan 25 (dua puluh lima) tembakan meriam. Pada tanggal 15 Maret 1668 di Batavia diadakan pesta semalam suntuk yang sangat meriah. Gubernur

239

Jenderal sendiri dan para anggota Dewan Hindia (de Raden van Indie) beserta isteri-isteri mereka turut pula semalam suntuk merayakan pesta kemenangan yang menggembirakan mereka itu. Tidak kurang dari 197 (seratus sembilan puluh tujuh) tembakan meriam yang dilepaskan sebagai tanda kegembiraan orang-orang Belanda di Batavia atas kemenangan Speelman dan kawan-kawannya. Bintang Speelman menanjak. Pujian dan sanjungan banyak yang ditujukan kepada Speelman. Bahkan kepada Speelman ditawarkan jabatan Gubernur Amboina, akan tetapi ditolak oleh yang bersangkutan.

Betapa pentingnya kemenangan Belanda (V.O.C.) atas kerajaan Gowa ini bagi Belanda, dapat kita lihat dari tindakan mereka. Mereka dengan segera, yakni pada tanggal 15 Maret 1668 menyebarkan isi perjanjian perdamaian itu di Batavia. Juga kepada Raja-Raja yang belum takluk kepada V.O.C. Maksudnya untuk memberi kesan kepada mereka betapa hebatnya kekuasaan dan kekuatan V.O.C. Dengan demikian Raja-Raja itu segan dan takut kepada V.O.C.

Dengan seidzin para pembesar Belanda (V.O.C.) Speelman mengganti nama BENTENG UJUNG PANDANG dengan nama kota kelahirannya, yakni FORT ROTTERDAM. Sesudah PERJANJIAN BUNGAYA ditanda-tangani, maka Speelman menempati Benteng Ujung Pandang yang sudah diganti namanya menjadi Fort. Rotterdam.

Setelah PERJANJIAN BUNGAYA ditanda-tangani maka perlawanan Sultan Hasanudin mencapai babak terakhir. Di dada Sultan Hasanudin masih tetap berkobar nyala perlawanan menentang penjajahan Belanda. Namun sebagai seorang Raja dan demi keselamatan rakyat dan kerajaan Gowa yang dipimpinnya, Sultan Hasanudin harus pula mempertimbangkan faktor-faktor yang lainnya.

Tidaklah tepat jikalau dikatakan, bahwa setelah PERJANJIAN BUNGAYA ditanda-tangani, maka berakhirlah peperangan antara kerajaan Gowa dan Belanda (V.O.C.). PERJANJIAN BUNGAYA ditanda-tangani pada tanggal 18 Nopember 1667 namun peperangan antara kerajaan Gowa dan V.O.C. yang dibantu oleh sekutu-sekutunya belumlah berakhir. Sesudah PERJANJIAN BUNGAYA ditanda-tangani pada tanggal 18 Nopember 1667, masih terjadi lagi pertempuran-pertempuran sengit. bahkan

masih ada pertempuran yang terdahsyat yang pernah dilakukan oleh V.O.C. (Belanda) di Indonesia. Hal ini diakui sendiri oleh orang-orang Belanda.

Setelah PERJANJIAN BUNGAYA ditanda-tangani, Speelman bersama pasukan-pasukan Belanda menduduki Benteng Ujung Pandang atau Fort Rotterdam. Akan tetapi Speelman belum menaklukkan kerajaan Gowa, karena Sombaopu, benteng utama dan benteng terbesar kerajaan Gowa masih tegak dan belum direbut dan diduduki oleh pasukan-pasukan Belanda (V.O.C.). dan sekutu-sekutunya. Sombaopu adalah tempat kedudukan Raja Gowa (Sultan Hasanudin). Sungguhpun PERJANJIAN BUNGAYA sudah ditanda-tangani dan V.O.C. menduduki Benteng Ujung Pandang, namun Speelman tidak berani membubarkan pasukan-pasukan sekutunya dan tetap menahan seluruh armada V.O.C. di perairan Gowa. Sebab utamanya ialah karena potensiil kerajaan Gowa masih berbahaya bagi V.O.C. Speelman masih khawatir akan adanya serangan pasukan-pasukan Gowa yang dipimpin oleh Sultan Hasanudin sendiri.

Bahkan pada waktu Sultan Mandarsyah sakit keras dan hendak pulang ke Ternate, baginda ditahan oleh Speelman, karena takut kalau kepergian baginda itu dapat menimbulkan hal-hal yang merugikan V.O.C. Betapapun juga kehadiran baginda itu penting sekali artinya dan memberi effect psykologis yang menguntungkan Belanda (V.O.C.).

Sungguhpun PERJANJIAN BUNGAYA ditanda-tangani pada tangal 18 Nopember 1667, namun ketegangan antara kerajaan Gowa dan V.O.C. masih juga berlangsung terus. Jadi tidaklah tepat jikalau dikatakan bahwa PERJANJIAN BUNGAYA yang ditanda-tangani pada tanggal 18 Nopember 1667 mengakhiri peperangan antara kerajaan Gowa dan V.O.C., karena sesudah itu masih terjadi lagi pertempuran yang seru, bahkan pertempuran terseru dan terdahsyat yang pernah dilakukan oleh V.O.C. di Indonesia. Pertempuran ini ialah pertempuran berdarah memperebutkan Benteng Sombaopu yang akan kita uraikan pada bab berikutnya.

______