Seni Buddha-Yunani
Seni Buddha-Yunani adalah bentuk manifestasi seni aliran Buddha-Yunani, sebuah perpaduan budaya antara budaya Yunani klasik dan agama Buddha, yang berkembang selama hampir 1.000 tahun di Asia Tengah, antara penaklukan oleh sang Alexander yang Agung pada abad ke-4 SM, dan penaklukan oleh orang-orang Islam pada abad ke-7. Seni Buddha-Yunani memiliki ciri khas realisme idealistik seni Yunani Helenis dan perwujudan pertama sang Buddha dalam bentuk manusia, yang telah membantu membentuk kanon seni dan terutama teknik perpatungan Buddha di seluruh benua Asia sampai sekarang. Seni juga merupakan contoh unik perpaduan budaya antara tradisi Barat dan Timur yang tak tercapai dalam bentuk seni yang lainnya sampai tahap ini.
Asal mula seni Buddha-Yunani bisa ditemukan di kerajaan Yunani-Baktria yang Helenistik dan berdiri antara tahun (250 SM - 130 SM), dan sekarang terletak di Afganistan, dari mana budaya Helenistik Yunani tersebar ke anak benua India dengan didirikannya kerajaan Yunani-India (180 SM-10 SM). Di bawah kaum Yunani-India (Yawana) dan kemudian Kushan, interaksi antara budaya Yunani dan Buddha berkembang di daerah Gandhara, yang sekarang terletak di Pakistan bagian utara, sebelum menyebar lebih lanjut ke India, memengaruhi kesenian Mathura, dan kemudian kesenian Buddha kekaisaran Gupta, yang juga menyebar ke Asia Tenggara. Pengaruh seni Buddha-Yunani juga menyebar ke utara menuju Asia Tengah, dan dengan kuat membentuk kesenian Cekungan Tarim di pintu gerbang ke Tiongkok, dan akhirnya pengaruhnya mencapai Tiongkok, Korea dan Jepang.
Kesenian Helenistik di Asia Selatan
[sunting | sunting sumber]Negara-negara Helenistik yang berkuasa mulai didirikan di wilayah Baktria dan Sogdiana, serta India Utara selama tiga abad setelah penaklukan Alexander Agung pada 330 SM: Kekaisaran Seleukus sampai 250 SM, diikuti dengan kerajaan Yunani-Baktria sampai 130 SM, dan kerajaan Yunani-India dari 180 SM sampai kira-kira 10 SM.
Contoh-contoh pengaruh seni Helenistik bisa ditemukan di koin-koin raja Yunani-Baktria dari masa yang sama, seperti Demetrius I dari Baktria. Banyak koin para raja Yunani-Baktria yang ditemukan, termasuk koin-koin emas dan perak terbesar yang pernah dicetak di Dunia Helenistik, yang digolongkan memiliki kualitas terbaik baik dari segi seni maupun teknik: koin-koin ini menunjukkan: “sebuah kadar individualitas yang tidak pernah tertandingi oleh padanan kerajaan mereka, dari masa yang sama, lebih ke Barat yang sering kali lebih sederhana. ( “show a degree of individuality never matched by the often more bland descriptions of their royal contemporaries further West”. (dikutip dari “Greece and the Hellenistic world”))”.
Kerajaan-kerajaan Helenistik ini mendirikan kota-kota menurut model Yunani, seperti di Ai-Khanoum di Baktria, yang hanya menunjukkan ciri-ciri khas arsitektural Helenistik, patung-patung bergaya Helenistik, dan juga sisa-sisa naskah manuskrip papirus yang memuat karya Aristoteles dan simpanan-simpanan koin.
Unsur-unsur Yunani ini memasuki India barat laut mengikuti invasi kaum Baktria-Yunani pada tahun 180 SM, di mana mereka mendirikan kerajaan Yunani-India di India. Kota-kota Yunani yang diperkuat dengan tembok kota seperti Sirkap di Pakistan sebelah utara, didirikan. Gaya-gaya arsitektural menggunakan corak-corak dekoratif Helenistik seperti keranjang buah dan lung-lungan dedaunan. Alet-palet batu untuk minyak-minyak penyangi yang mewakili tema-tema yang murni Helenistik seperti Nereid yang berwahana Ketos monster laut ditemukan.
Di Hadda, dewa-dewa Helenistik, seperti Atlas ditemukan. Dewa-dewa angin juga digambarkan, yang pada masa yang akan datang akan memengaruhi penggambaran dewa angin sampai sejauh Jepang. Adegan-adegan dewa anggur Dionysius (Bacchus) yang menggambarkan orang-orang dalam gaya klasik minum-minum anggur dari kan-kan sembari memainkan instrumen musik, ditemukan.
Interaksi seni Buddha-Yunani
[sunting | sunting sumber]Langsung setelah India diinvasi oleh orang Yunani untuk membentuk kerajaan Yunani-India, perpaduan antara unsur-unsur Helenistik dan Buddha mulai muncul. Hal ini juga didukung oleh sikap para raja-raja Yunani yang terbuka terhadap agama Buddha. Maka gaya seni ini berkembang selama beberapa abad dan tampaknya berkembang lebih lanjut semasa kekaisaran Kushan mulai abad pertama Masehi.
Model artistik
[sunting | sunting sumber]Seni Buddha-Yunani menggambarkan kehidupan Buddha dalam sebuah cara visual, kemungkinan besar dengan menggunakan model-model realistik dan konsep-konsep yang bisa dicapai para seniman pada masa itu.
Para Bodhisattwa digambarkan sebagai bangsawan India yang memakai perhiasan dan telanjang dada. Sementara para Buddha digambarkan seperti raja-raja Yunani yang memakai busana yang mirip toga. Gedung-gedung di mana mereka digambarkan, menggunakan gaya Yunani dengan pilar-pilar kolom Korintus yang berada di mana-mana dan hiasan pilar melingkar dengan ukiran lung-lungan dedaunan. Kemudian dewa-dewi yang digambarkan merupakan kombinasi dewa-dewi (Atlas, Herakles) dan India (Indra).
Perkembangan gaya
[sunting | sunting sumber]Gaya seni Buddha-Yunani mulai dari sangat halus dan realistik, seperti tampak pada patung-patung Buddha yang berdiri, dengan “penanganan lipatan-lipatan yang sangat realistik dan pada beberapa bahkan sedikit menampakkan volume tubuh model yang menjadi ciri khas karya Yunani yang terbaik” (Boardman). Kemudian gaya ini kehilangan realisme kelas tinggi ini untuk kemudian menjadi semakin simbolis dan dekoratif pada abad-abad yang mendatang.
Arsitektur
[sunting | sunting sumber]Keberadaan stupa di kota Yunani Sirkap, yang dibangun oleh Demetrius sudah menunjukkan sebuah sinkretisme yang kuat atau perpaduan antara agama Yunani dan Buddha, bersama dengan agama-agama lainnya seperti Hindu dan Zoroastrianisme. Gaya bangunan adalah Yunani, yang dihias dengan pilar-pilar kolom Korintus.
Kemudian di Hadda, dewa Yunani Atlas digambarkan menopang monumen Buddha yang dihias dengan pilar-pilar kolom Yunani.
Sang Buddha
[sunting | sunting sumber]Kurang lebih antara abad pertama SM dan abad pertama, perwujudan Buddha secara antropomorfis (bentuk manusiawi) pertama dikembangkan. Inovasi ini, yang sebenarnya dilarang ajaran Buddha, langsung meraih kecanggihan kualitas tinggi dari bentuk seni perpatungan. Gaya ini secara alami diilhami gaya seni pemahatan patung yang berasal dari Yunani Helenistik.
Banyak unsur-unsur stilistik dalam menggambarkan sang Buddha merujuk kepada pengaruh Yunani: toga model Yunani, pose contrapposto Buddha yang (lihat: abad pertama–kedua Buddha yang berdiri dari Gandhara [1] Diarsipkan 2013-06-16 di Wayback Machine. dan [2] Diarsipkan 2013-06-16 di Wayback Machine.), rambut keriting gaya Laut Tengah dan sanggul atas yang tampaknya diambil dari gaya Belvedere Apollo Diarsipkan 2014-06-03 di Wayback Machine.(330 SM), dan ciri rupa wajah-wajah, semua dibuat menggunakan realisme artistik yang kuat (Lihat: Seni Yunani).
Sang raja Baktria-Yunani Demetrius I (205-171 SM) sendiri, kemungkinan besar adalah model citra sang Buddha. Ia adalah raja dan penyelamat India, seperti ditekankan oleh penerusnya Raja Apollodotus I dan Menander I, yang secara resmi disebut sebagai BASILEOS SOTHROS "Raja Penyelamat" dalam legenda dwibahasa Yunani dan bahasa Kharoshthi pada koin-koin mereka. Demetrius disebut sebagai Dharmamitra ("Mitra Dharma") dalam teks India Yuga-Purana. Agama Buddha berkembang pada pemerintahannya dan penerusnya, ketika agama ini ditindas oleh dinasti India yang Sunga di sebelah Timur.
Patung-patung Buddha Helenistik awal menggambarkannya dalam gaya seorang raja, di mana simbol-simbol tradisional Buddha (mandala, singgasana kosong, pohon Boddhi, singa-singa) tidak ada. Demetrius kemungkinan dikeramatkan sebagai dewa, dan patung-patung Buddha Helenistik pertama yang kita ketahui kemungkinan merupakan gambaran dari raja Yunani yang ideal, berwibawa, namun ramah dan terbuka terhadap budaya India. Ketika semakin banyak unsur Buddha dimasukkan, mereka menjadi pusat dalam aliran Buddha dan memengaruhi representasi Buddha dalam seni Buddha-Yunani yang lebih mutakhir.
Sebuah ciri khas lain Demetrius ialah bahwa dia diasosiasikan dengan Buddha: mereka sama-sama memiliki dewa pelindung yang sama. Di seni Gandhara, sang Buddha sering kali diperlihatkan di bawah perlindungan dewa Yunani Herakles, yang berdiri dengan gadanya (dan kemudian dengan tongkat intan) yang disandarkan pada lengannya (foto di bawah ini, lihat juga [3]). Representasi Herakles yang kurang lazim ini sama dengan yang ada di belakang koin Demetrius, dan hal ini hanya diasosiasikan kepadanya (dan putranya Euthydemus II), dan hanya terlihat pada sisi belakang koin-koinnya.
Kemudian, figur sang Buddha dimasukkan dalam desain-desain arsitektural seperti pilar-pilar kolom Korintus dan membeku. Adegan-adegan kehidupan Buddha juga sering digambarkan dalam sebuah suasana arsitektoral Yunani dengan para protagonis memakai pakaian Yunani.
Dewa-Dewi dan para Bodhisattwa
[sunting | sunting sumber]Dewa-dewi dan tokoh mitologis Yunani juga cenderung dimasukkan dalam representasi Buddha, dan menunjukkan perpaduan budaya atau sinkretisme yang kuat. Khususnya, Herakles (seperti terlihat pada koin-koin Demetrius, dengan gada yang disandarkan pada lengannya) dipakai secara luas sebagai representasi Bajrapani, pelindung sang Buddha. Dewa Yunani lainnya yang secara luas dipakai dalam seni Buddha-Yunani adalah representasi Atlas, dan Dewa Angin Yunai. Terutama Atlas pada khususnya cenderung dipakai sebaga unsur penopang dalam arsitektur Buddha.
Terutama di bawah peemrintahan kaum Kushan, banyak ditemukan representasi Boddhisattwa yang memakai banyak perhiasan dan berwibawa sebagai layaknya seorang bangsawan dengan gaya Buddha-Yunani yang sangat realistis. Sang Bodhisattwa, yang merupakan ciri khas ajaran Buddha Mahayana, terutama digambarkan memiliki rautan muka para bangsawan Kushan, termasuk segala upakara (perhiasan) mereka.
Kontribusi kaum Kushan
[sunting | sunting sumber]Sejarah seni Buddha-Yunani yang lebih mutakhir di India barat laut sering kali dihubungkan dengan kekaisaran Kushan. Kaum Kushan merupakan bangsa nomad yang mulai bermigrasi dari Dataran Rendah Tarim di Asia Tengah dari kurang lebih 170 SM dan berakhir dengan mendirikan sebuah kekaisaran di India barat daya mulai dari abad ke-2 SM. Mereka terpengaruh budaya Yunani karena kontak mereka dengan orang Baktria-Yunani dan kemudian orang Yunani-India dan bukan dari orang Yunani-Helenistik. Kaum Kushan mengambil dan menggunakan huruf Yunani.
Kaum Kushan, di tengah-tengah Jalur Sutra secara antusias mengumpulkan karya-karya seni dari seluruh penjuru dunia kuno, seperti bisa dilihat dari penemuan-penemuan tempat penyimpanan harta karun di ibu kota utara mereka di Begram, Afganistan.
Kaum Kushan mensponsori agama Buddha bersama-sama dengan agama- agama Iran dan Hindu lainnya. Kemungkinan mereka pula yang ikut menggalakkan berkembangnya seni Buddha-Yunani. Tetapi di sisi lain koin-koin mereka menunjukkan tidak adanya kecanggihan artistik: penggambaran raja-raja mereka, seperti Kanishka, cenderung agak kasar (tidak ada proporsi tubuh, gambar kasar), dan gambar Buddha merupakan kumpulan dari sebuah patung Buddha gaya Helenistik dengan kaki-kaki yang digambar jelek dan pisah satu sama lain mirip gambar raja Kushan. Gambar ini cenderung menunjukkan kekunaan patung-patung Buddha-Yunani, yang dipakai sebagai model dan korupsi selanjutnya oleh para seniman Kushan.
Penyebaran Seni Buddha-Yunani ke Asia Tengah
[sunting | sunting sumber]Pengaruh seni Buddha-Yunani secara alami mengikuti ekspansi agama Buddha ke Asia Tengah dan Asia Timur dari abad pertama SM.
Baktria
[sunting | sunting sumber]Baktria berada di bawah kekuasan langsung Yunani selama lebih dari dua abad dari penaklukkan oleh sang Alexander yang Agung pada 332 SM sampai akhir masa kerajaan Baktria-Yunani pada sekitar tahun 125 SM. Seni Baktria hampir seluruhnya juga Helenistik secara sempurna seperti bisa dilihat pada peninggalan-peninggalan arkeologis Baktria-Yunani di kota-kota seperti Alexandria di Oxus (Ai-Khanoum), atau seni numismatik (yang berhubungan dengan koin-koin) raja-raja Baktria-Yunani dan sering dianggap yang terbaik berasal dari Dunia Helenistik, termasuk koin-koin perak dan emas terbesar yang pernah dicetak oleh orang Yunani.
Ketika agama Buddha menyebar di Asia Tengah mulai abad pertama, Baktria melihat datangya hasil pengaruh sinkretisme Buddha-Yunani datang di wilayahnya dari India, dan sebuah pembauran baru dalam seni perpatungan berada di sana sampai datangnya invasi Islam.
Perwujudan paling menyolok adalah Patung Buddha Bamiyan. Mereka kelihatannya berasal dari aabd pertama sampai abad ke-3 Masehi. Mereka dipengaruhi secara kuat oleh budaya Helenistik.
Di daerah Baktria lain yang bernama Fondukistan, beberapa kesenian Buddha-Yunani lestari sampai abad ke-7 di biara-biara Buddha, menunjukkan pengaruh Helenistik yang kuat dipadukan dengan gaya dekorasi dan corak India dan sedikit pengaruh kaum Sasanid Persia.
Sebagian besar karya-karya seni dari Baktria dirusak mulai abad ke-5: orang-orang Buddha sering dituduh sebagai penyembah berhala dan ditindas oleh orang-orang Muslim yang merusak simbol-simbol keagamaan (iconoclastic). Pengrusakan ini berlanjut sampai era modern pada masa Perang Afganistan dan terutama dilakukan oleh rezim Taliban pada tahun 2001. Kasus paling dikenal adalah penghancuran patung Buddha Bamiyan. Secara ironis karya-karya seni Afganistan yang terselamatkan justru terjadi pada era kolonial dan dikeluarkan dari negara ini. Terutama, sebuah koleksi yang cukup kaya dipamerkan di Musee Guimet di Prancis.
Cekungan Tarim
[sunting | sunting sumber]Seni Cekungan Tarim, juga disebut Seni Serindia, adalah seni yang berkembang mulai abad ke-2 sampai ke-11 di Serindia atau Xinjiang, daerah China yang terletak paling barat yang merupakan bagian dari Asia Tengah. Seni ini muncul dari seni Gandhara dan secara jelas mengkombinasikan tradisi India dengan pengaruh Yunani dan Romawi.
Para misionaris atau pendakwah Buddha yang mengadakan perjalanan melalui Jalur Sutra memperkenalkan kesenian ini, bersama dengan agama Buddha sendiri ke Serindia, di mana kemudian berbaur dengan pengaruh China dan Persia.
Lihat pula: Penyebaran agama Buddha melalui Jalur Sutra
Pengaruh Buddha-Yunani di Asia Timur
[sunting | sunting sumber]Kesenian Tiongkok, Korea dan Jepang mendapatkan pengaruh artistik Buddha-Yunani, tetapi cenderung mereka menambahinya dengan elemen-elemen lokal. Yang masih bisa ditengarai sebagai pengaruh seni Buddha-Yunai secara langsung adalah:
- Realisme idealistik umum figur-figur yang merupakan peninggalan seni Yunani.
- Elemen pakaian dengan gaya lipatan-lipatan Yunani yang sangat elaboratif.
- Rambut keriting yang merupakan khas Laut Tengah.
- Di beberapa pelukisan Buddha, ada tokoh-tokoh bersayap yang terbang dan memegang rangkaian bunga.
- Elemen-elemen pemahatan Yunani seperti daun anggur dan lung-lungan dedaunan.
China
[sunting | sunting sumber]Unsur-unsur artistik Buddha-Yunani bisa dirunut semua karya seni Buddha-Tiongkok dengan beberapa variasi lokal dan waktu, tergantung pada karakter beberapa dinasti yang telah memeluk agama Buddha.
Beberapa patung Dinasti Wei Utara bisa dikatakan merupakan reminisensi patung-patung Buddha berdiri dari Gandhara meski gayanya lebih simbolis. Namun karakternya secara umum dan pelukisan pakaian masih sama. Patung-patung lain, misalkan dari Dinasti Qi Utara, juga melestarikan gaya Buddha-Yunani secara umum, tetapi sifat realisme kurang dan memiliki unsur-unsur simbolis yang lebih kuat.
Beberapa patung Wei Timur (kiri) menunjukkan gambar Buddha dengan lipatan-lipatan jubah gaya Yunani yang megah dan dikelilingi tokoh-tokoh terbang yang membawa rangkaian bunga.
Jepang
[sunting | sunting sumber]Di Jepang, kesenian Buddha mulai berkembang setelah negara ini memeluk agama Buddha pada tahun 548. Beberapa ubin dari periode Asuka, periode pertama setelah rakyat Jepang mulai memeluk agama Buddha, menunjukkan gaya klasik yang menonjol, dengan penggunaan pakaian gaya Helenistik secara meluas dan pelukisan anatomi tubuh secara realistik, yang merupakan ciri khas gaya seni Buddha-Yunani.
Karya seni lainnya menggunakan beberapa variasi pengaruh China dan Korea, sehingga seorang pemeluk Buddha Jepang sangat bervariasi dalam berekspresi. Banyak unsur seni Buddha-Yunani masih lestari sampai sekarang, seperti Herakles yang merupakan di belakang para penjaga Nio di depan banyak kuil-kuil Buddha Jepang, atau representasi sang Buddha yang masih memperlihatkan gaya seni Yunani seperti patung Buddha di Kamakura.
Beberapa pengaruh Buddha-Yunani lainnya bisa ditemukan di khazanah perdewaan Jepang. Salah satu contoh yang paling menonjol adalah Dewa Angin Jepang Fujin. Masih konsisten dengan ikonografi Yunani untuk Dewa Angin Boreas, Dewa Angin Jepang di atas kepalanya memegang sebuah kain besar atau "kipas angin" dengan gaya penampilan yang sama. Rambut dan bulu muka yang lebat juga masih dipertahankan di pelukisan gaya Jepang, seperti juga rautan muka yang dilebih-lebihkan.
Dewa Buddha lainnya, bernama Shukongoshin, salah satu Dewa pelindung kuil Buddha di Jepang yang penuh murka, juga merupakan kasus menarik transmisi citra Dewa ternama Yunani, Herakles ke daerah Timur Jauh sepanjang Jalur Sutra. Herakles juga dipakai dalam Seni Buddha-Yunani untuk melukiskan Bajrapani, sang pelindung Buddha, dan gambarannya kemudian dipakai di China dan Jepang untuk menggambarkan Dewa-Dewa pelindung kuil-kuil Buddha.
Akhirnya, inspirasi artistik ukiran gaya lung-lungan dedaunan Yunani, bisa ditemukan secara harafiah pada genteng-genteng atap Jepang, salah satu elemen yang lestari pada arsitektur kayu selama berabad-abad. Salah satu contoh yang terang berasal dari ubin-ubin kuil Nara, di mana beberapa di antaranya menunjukkan gambar anggur dan daun anggur. Corak-corak ini lalu berkembang menjadi lukisan yang lebih simbolis, namun sampai sekarang masih lestari dipergunakan di banyak gedung-gedung tradisional Jepang.
Pengaruh Selatan Seni Buddha-Yunani
[sunting | sunting sumber]Seni Mathura
[sunting | sunting sumber].
Pelukisan Buddha in Mathura, di India Tengah Utara, secara umum ditarikh lebih mutakhir daripada yang ada di Gandhara, meski hal ini tidak tanpa pertentangan, jumlahnya juga jauh lebih sedikit. Sampai saat itu, kesenian Buddha India bersifat anikonik, menghindari segala penggambaran Buddha, kecuali simbol-simbolnya seperti mandala, atau pohon Boddhi, meski beberapa pahatan Mathura kuno berbentuk Yaksa ditarikh kurang lebih berasal dari abad pertama SM. Bahkan Yaksa-Yaksa ini memperlihatkan beberapa pengaruh Helenistik, kemungkinan hal ini disebabkan karena didudukinya Mathura oleh bangsa India-Yunani semasa abad ke-2 SM.
Jika membicarakan teori artistik bagi pelukisan-pelukisan pertama sang Buddha, seni Yunani memberikan latar belakang yang sangat alami dan didukung dengan tradisi berabad-abad dalam menggambarkam tokoh dewa secara antromorfis, sedangkan sebaliknya “sebelumnya dalam ilmu perpatuangan India tidak sesuatu pun yang menyinggung akan adanya pembahasan bentuk atau pakaian, dan kumpulan Dewa-Dewi Hindu tidak memberikan model yang memadai bagi seorang makhluk Dewa yang bangsawan dan sepenuhnya manusiawi.”(Boardman) (aslinya dalam bahasa Inggris: “there was nothing in earlier Indian statuary to suggest such a treatment of form or dress, and the Hindu pantheon provided no adequate model for an aristocratic and wholly human deity” (Boardman)).
Seni perpatungan Mathura menggunakan banyak unsur-unsur Helenistik, seperti realisme idealistik yang umum, beberapa ciri khas seperti rambut keriting dan lipatan-lipatan khas pakaian. Sedangkan ciri khas Mathura ialah iklim yang lebih panas dan terlihat dari pakaian yang lebih lebar dan secara bertahap lebih menutupi satu bahu daripada kedua bahu. Kemudian raut muka juga terlihat lebih India.
Pengaruh seni Yunani masih bisa dirasakan melampaui Mathura sampai sejauh Amaravati di pesisir timur India seperti bisa dilihat dari gaya lung-lungan dedaunan Yunani yang dikombinasikan dengan Dewa-Dewi Hindu. Corak-corak lain seperti kereta-kereta Yunani yang ditarik empat kuda juga bisa ditemukan di wilayah yang sama.
Secara kebetulan, seni Hindu mulai berkembang dari abad pertama sampai abad ke-2 Masehi dan diilhami oleh seni Buddha Mathura. Seni ini secara berangsur-angsur memasukkan unsur-unsur asli Hindu dan simbolisme, meski bertentangan dengan keseimbangan umum dan kesederhanaan seni Buddha.
Seni Gupta
[sunting | sunting sumber]Seni Mathura secara berangsur-angsur memasukkan unsur-unsur India dan mencapai puncaknya yang sangat tinggi pada masa kekaisaran Gupta, antara abad ke-4 dan abad ke-6. Seni Gupta dianggap sebagai puncak Seni Buddha India.
Unsur-unsur Helenistik masih bisa dilihat secara jelas dalam kemurnian patung-patung dan lipatan-lipatan pakaian, tetapi diperbaiki dengan sebuah penggambaran pakaian dengan seni pahat yang sangat halus dan semacam sinar yang diperkuat dengan penggunaan batu granit warna merah muda.
Detail-detail artistik cenderung tampak kurang realistik, seperti bisa dilihat pada keriting rambut yang mirip kerang yang dipakai untuk menggambarkan rambut sang Buddha.
Kesenian Asia Tenggara
[sunting | sunting sumber]Kebudayaan India terbukti sangat berpengaruh pada perkembangan kebudayaan Asia Tenggara. Banyak negara mengambil aksara India dan budayanya, bersamaan dengan agama Hindu dan Buddha Mahayana.
Pengaruh seni Buddha-Yunani masih tampak pada kebanyakan pelukisan Buddha di Asia Tenggara, meski mereka biasanya cenderung berbaur dengan kesenian Hindu-India dan kemudian mengambil unsur-unsur lokal.
-
Patung Buddha yang berasal dari Kamboja abad ke-14
-
Bodhisattwa Lokeswara dari Kamboja abad ke-12
-
Arca Prajnaparamita Jawa abad ke-13
-
Bodhisattava Avalokiteshvara dari Chaiya, Thailand, pengaruh kesenian Sriwijaya
Dampak budaya seni Buddha-Yunani
[sunting | sunting sumber]Di luar unsur-unsur gaya yang terbesar di seluruh Asia selama hampir seribu tahun, kontribusi utama seni Buddha-Yunani kepada agama Buddha adalah realisme idealistik yang diilhami seni Yunani dan membantu menggambar secara langsung dan visual, keadaan berkah pribadi dan pencerahan yang disiarkan oleh agama Buddha. Sosialisasi daripada pendekatan manusiawi agama Buddha dan keterbukaannya terhadap semua orang, kemungkinan besar terjadi berkat perpaduan seni Yunani dan seni Buddha.
Lihat pula
[sunting | sunting sumber]Referensi
[sunting | sunting sumber]- Richard Foltz, Religions of the Silk Road: Premodern Patterns of Globalization, New York: Palgrave Macmillan, 2010. ISBN 978-0-230-62125-1
- "The Diffusion of Classical Art in Antiquity" by John Boardman (Princeton University Press, 1994) ISBN 0-691-03680-2
- "Old World Encounters. Cross-cultural contacts and exchanges in pre-modern times" by Jerry H.Bentley (Oxford University Press, 1993) ISBN 0-19-507639-7
- "Alexander the Great: East-West Cultural contacts from Greece to Japan" (NHK and Tokyo National Museum, 2003)
- "The Greeks in Bactria and India" W.W. Tarn, Cambridge University Press
- "Living Zen" by Robert Linssen (Grove Press New York, 1958) ISBN 0-8021-3136-0
- "Echoes of Alexander the Great: Silk route portraits from Gandhara" by Marian Wenzel, with a foreword by the Dalai Lama (Eklisa Anstalt, 2000) ISBN 1-58886-014-0