Kawali
Bagian dari seri mengenai |
---|
Sejarah Indonesia |
Garis waktu |
Portal Indonesia |
artikel ini perlu dirapikan agar memenuhi standar Wikipedia. |
Kawali (Aksara Sunda Kawali: ) adalah ibu kota Kerajaan Sunda Galuh sejak masa Prabu Ajiguna Linggawisesa (1333-1340 M) yang memindahkannya pada abad ke 14 di Parahyangan Timur Tatar Pasundan hingga masa pemerintahan Mahapraburesi Niskala Wastu Kancana (1371-1475) M. Pada masa pemerintahannya, ibukota Kerajaan Sunda Galuh beralih, dari Pakuan (Bogor) ke Kawali (Ciamis) kota ini makin mendesak kedudukan Galuh di desa Karang Kamulyan kecamatan Cijeungjing, Ciamis kabupaten Ciamis Jawa Barat, tempat pertama kali pusat pemerintahan Kerajaan Galuh didirikan oleh Raja Wretikandayun 612 - 702 M, dan Saunggalah (sekarang Kabupaten Kuningan). Lokasinya berada di tengah segitiga Galunggung, Saunggalah, dan Galuh. Saat ini secara administratif bekas kota Kawali merupakan daerah dalam Kabupaten Ciamis. Bisa disebut bahwa tahun 1333-1482 adalah zaman Kawali dalam sejarah pemerintahan di Jawa Barat dan mengenal lima orang raja atau hampir satu setengah abad lebih.
Pusat Kerajaan yang Berpindah-pindah
[sunting | sunting sumber]Telah dikemukakan bahwa keturunan Manarah yang laki-laki terputus sehingga pada tahun 852 tahta Galuh jatuh kepada keturunan Banga, yaitu Rakeyan Wuwus yang beristrikan puteri keturunan Galuh. Sebaliknya adik perempuan Rakeyan Wuwus menikah dengan putera Galuh yang kemudian menggantikan kedudukan iparnya sebagai Raja Sunda IX dengan gelar Prabu Darmaraksa Buana. Kehadiran orang Galuh sebagai Raja Sunda di Pakuan waktu itu belum dapat diterima secara umum, sama halnya dengan kehadiran Sanjaya dan Tamperan sebagai orang Sunda di Galuh. Prabu Darmaraksa (891 - 895) dibunuh oleh seorang menteri Sunda yang fanatik.
Karena peristiwa itu, tiap Raja Sunda yang baru selalu memperhitungkan tempat kedudukan yang akan dipilihnya menjadi pusat pemerintahan. Dengan demikian, pusat pemerintahan itu berpindah-pindah dari barat ke timur dan sebaliknya. Antara tahun 895 sampai tahun 1311 kawasan Jawa Barat diramaikan sewaktu-waktu oleh iring-iringan rombongan raja baru yang pindah tempat.
Ayah Sri Jayabupati berkedudukan di Galuh, Sri Jayabupati di Pakuan, tetapi puteranya berkedudukan di Galuh lagi. Dua raja berikutnya (Raja Sunda ke-22 dan ke-23) memerintah di Pakuan. Raja ke-24 memerintah di Galuh dan raja ke-25, yaitu Prabu Guru Darmasiksa mula-mula berkedudukan di Saunggalah, kemudian pindah ke Pakuan. Puteranya, Prabu Ragasuci, berkedudukan di Saunggalah dan dipusarakan di Taman, Ciamis.
Dalam abad ke-14 sebutan SUNDA itu sudah meliputi seluruh Jawa Barat, baik dalam pengertian wilayah maupun dalam pengertian etnik. Menurut Pustaka Paratwan i Bhumi Jawadwipa, Parwa I sarga 1, nama Sunda mulai digunakan oleh Maharaja Purnawarman untuk Ibukota kerajaan Tarumanagara yang baru didirikannya bernama Sundapura. Idealisme kenegaraan memang terpaut di dalamnya karena Sundapura mengandung arti kota suci atau kota murni, sedangkan Galuh berarti permata atau batu mulia (secara kiasan berarti gadis).
Dampak Sosial yang Ditimbulkan
[sunting | sunting sumber]Proses kepindahan seperti ini memang merepotkan (menurut pandangan kita) namun pengaruh positifnya jelas sekali dalam hal pemantapan etnik di Jawa Barat. Antara Galuh dengan Sunda memang terdapat kelainan dalam hal tradisi. Anwas Adiwijaya (1975) mengungkapkan bahwa orang Galuh itu "orang air", sedang orang Sunda "Orang Gunung". Yang satu memiliki "mitos buaya", yang lain "mitos harimau".
Di daerah Ciamis dan Tasikmalaya masih ada beberapa tempat yang bernama Panereban. Tempat yang bernama demikian pada masa silam merupakan tempat melabuhkan (nerebkeun) mayat karena menurut tradisi Galuh, mayat harus "dilarung" (dihanyutkan) di sungai. Sebaliknya orang Kanekes yang masih menyimpan banyak sekali "sisa-sisa" tradisi Sunda, mengubur mayat dalam tanah. Tradisi "nerebkeun" di sebelah timur dan tradisi "ngurebkeun" di sebelah barat (membekas dalam istilah panereban dan pasarean).
Peristiwa sejarah telah meleburkan kedua kelompok sub-etnik ini menjadi satu "Orang Air" dengan "Orang Gunung" itu menjadi akrab dan berbaur seperti dilambangkan oleh dongeng Sakadang Kuya jeung Sakadang Monyet (Seekor kura-kura dan seekor monyet). Dongeng yang khas Sunda ini sangat mendalam dan meluas dalam segala lapisan masyarakat, padahal mereka tahu, bahwa dalam kenyataan sehari-hari monyet dan kuya itu bertemu saja mugkin tidak pernah (di kebun binatang pun tidak pernah diperkenalkan).
Peran bergeser ke timur
[sunting | sunting sumber]Pada abad ke 14 di Priangan timur muncul kota baru yang makin mendesak kedudukan Galuh dan Saunggalah, yaitu Kawali (artinya Kuali atau Belanga). Lokasinya strategis karena berada di tengah segitiga Gunung Galunggung, Saunggalah (Kuningan) dan Galuh, Ciamis. Sejak abad ke-14 ini Galuh selalu bertalian erat dengan Kawali. Tiga orang Raja Sunda,[1] Rakeyan Gendang dengan gelar Brajawisesa (989-1012 Masehi), Prabu Langlangbumi (Sang Mokténg Kerta, 1065 - 1155), Mahaprabu Darmakusuma (Sang Mokténg Winduraja, 1157 - 1175), dipusarakan di Winduraja (sekarang bertetangga desa dengan Kawali).
Sebenarnya gejala pemerintahan yang condong ke timur sudah mulai tampak sejak masa pemerintahan Prabu Ragasuci (1297-1303). Ketika naik tahta menggantikan ayahnya (Prabu Darmasiksa), ia tetap memilih Saunggalah sebagai pusat pemerintahan karena ia sendiri sebelumnya telah lama berkedudukan sebagai raja di timur. Tetapi pada masa pemerintahan puteranya Prabu Citraganda, sekali lagi Pakuan menjadi pusat pemerintahan.
Ragasuci sebenarnya bukan putera mahkota karena kedudukannya itu dijabat kakaknya Rakeyan Jayadarma. Menurut Pustaka Rajyatajya i Bhumi Nusantara parwa II sarga 3, Jayadarma adalah menantu Mahisa Campaka di Jawa Timur karena ia berjodoh dengan Dyah Singamurti alias Dyah Lembu Tal. Menurut buku Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara, Mereka berputera Sang Nararya Sanggramawijaya atau lebih dikenal dengan nama Raden Wijaya, yang lahir di Pakuan (Bogor).
Karena Jayadarma wafat dalam usia muda, Lembu Tal tidak bersedia tinggal lebih lama di Pakuan. Akhirnya Wijaya dan ibunya diantarkan ke Jawa Timur. Dalam Babad Tanah Jawi, Wijaya disebut pula Jaka Susuruh dari Pajajaran yang kemudian menjadi Raja Majapahit yang pertama.
Sementara itu, kematian Jayadarma mengosongkan kedudukan putera mahkota karena Wijaya berada di Jawa Timur. Prabu Darmasiksa kemudian menunjuk putera Prabu Ragasuci, Citraganda, sebagai calon ahli warisnya. Permaisuri Ragasuci adalah Dara Puspa, puteri Kerajaan Melayu, adik Dara Kencana isteri Kertanegara. Citraganda tinggal di Pakuan bersama kakeknya. Ketika Prabu Darmasiksa wafat, untuk sementara ia menjadi raja daerah selama enam tahun di Pakuan. Ketika itu Raja Sunda dijabat ayahnya di Saunggalah. Dari 1303 sampai 1311, Citraganda menjadi Raja Sunda di Pakuan dan ketika wafat ia dipusarakan di Tanjung.
Prabu Lingga Dewata, putera Citraganda, mungkin berkedudukan di Kawali. Yang pasti, menantunya, Prabu Ajiguna Wisesa (1333-1340 sudah berkedudukan di Kawali dan sampai tahun 1482 pusat pemerintahan tetap berada di sana. Bisa disebut bahwa tahun 1333-1482 adalah zaman Kawali dalam sejarah pemerintahan di Jawa Barat dan mengenal lima orang raja.
Lain dengan Galuh, nama Kawali terabadikan dalam dua buah prasasti batu peninggalan Prabu Raja Wastu atau Mahaprabu Niskala Wastu Kancana yang tersimpan di Astana Gede, Kawali. Dalam prasasti itu ditegaskan "mangadeg di kuta Kawali" (bertahta di kota Kawali) dan keratonnya disebut Surawisesa yang dijelaskan sebagai "Dalem sipawindu hurip" (keraton yang memberikan ketenangan hidup).
Prabu Raja Wastu atau Niskala Wastu Kancana adalah putera Prabu Maharaja Lingga Buana yang gugur di medan Bubat dalam tahun 1357. Ketika terjadi Pasunda Bubat, usia Wastu Kancana baru 9 tahun dan ia adalah satu-satunya ahli waris kerajaan yang hidup karena ketiga kakaknya meninggal. Pemerintahan kemudian diwakili oleh pamannya Mangkubumi Suradipati atau Prabu Bunisora (ada juga yang menyebut Prabu Kuda Lalean, sedangkan dalam Babad Panjalu (Kerajaan Panjalu Ciamis) disebut Prabu Borosngora. Selain itu ia pun dijuluki Batara Guru di Jampang karena ia menjadi pertapa dan resi yang ulung). Mangkubumi Suradipati dimakamkan di Geger Omas.
Setelah pemerintahan dijalankan pamannya yang sekaligus juga mertuanya, Niskala Wastu Kancana dinobatkan menjadi raja pada tahun 1371 pada usia 23 tahun. Permaisurinya yang pertama adalah Lara Sarkati puteri Lampung. Dari perkawinan ini lahir Sang Haliwungan, yang setelah dinobatkan menjadi Raja Sunda bergelar Prabu Susuktunggal. Permaisuri yang kedua adalah Mayangsari puteri sulung Bunisora atau Mangkubumi Suradipati. Dari perkawinannya dengan Mayangsari lahir Ningrat Kancana, yang setelah menjadi penguasa Galuh bergelar Prabu Dewa Niskala.
Setelah Mahapraburesi Niskala Wastu Kancana wafat tahun 1475, kerajaan dipecah dua di antara Susuktunggal dan Dewa Niskala dalam kedudukan sederajat. Politik kesatuan wilayah telah membuat jalinan perkawinan antar cucu Wastu Kencana. Jayadewata atau Sri Baduga Maharaja putera Dewa Niskala, mula-mula memperistri Ambetkasih, puteri Ki Gedeng Sindangkasih, kemudian memperistri Subanglarang. Yang terakhir ini adalah puteri Ki Gedeng Tapa yang menjadi Raja Singapura.
Subanglarang merupakan keluaran pesantren Pondok Quro di Pura, Karawang. Ia seorang wanita muslim murid Syekh Hasanudin atau lebih dikenal sebagai Syekh Qura yang menganut Mazhab Hanafi. Pesantren Qura di Karawang didirikan olehnya pada tahun 1416 dalam masa pemerintahan Niskala Wastu Kancana. Pesantren ini merupakan pesantren tertua di Jawa Barat. Subanglarang belajar di situ selama dua tahun. Ia merupakan nenek dari Syarif Hidayatullah.
Kemudian Jayadewata mempersitri Kentring Manik Mayang Sunda puteri Prabu Susuktunggal. Jadilah antara Raja Sunda di Pakuan Bogor dan Raja Galuh di Kawali yang seayah ini menjadi besan. Untuk seterusnya, putra Dewa Niskala bernama Sri Baduga Maharaja menyatukan kedua kerajaan Sunda dan Galuh, lalu menjadikan Pakuan Pajajaran, Bogor sebagai pusat pemerintahan. Dengan tindakan ini, berakhirlah peran Kawali sebagai salah-satu kota penting (pusat pemerintahan) di Tatar Pasundan saat itu.
Selanjutnya, yang bertahta di Kawali adalah Prabu Ningrat Wangi (1404-1423 Saka 1482/3 - 1501/2 Masehi), lamanya 19 tahun, sebagai raja wilayah Galuh dan terakhir (34) Prabhu Jayaningrat, pada tahun 1423-1450 Saka (1501/2 - 1528/9 Masehi), lamanya 2 tahun, sebagai ratu wilayah Galuh terakhir, karena kerajaan Galuh ditaklukkan oleh Kesultanan Cirebon. Semenjak waktu itu kerajaan Galuh dan kerajaan-kerajaan kecil lainnya berada di bawah kekuasaan Cirebon, yang diperintah oleh Susuhunan Jati.[2]
Kawali kontemporer
[sunting | sunting sumber]Saat ini, nama Kawali digunakan pada desa Kawali dan kecamatan Kawali di Kabupaten Ciamis.
Prasasti Kawali
[sunting | sunting sumber]Prasasti Astana Gede atau Prasasti Kawali merujuk pada beberapa prasasti yang ditemukan di kawasan Kabuyutan Kawali, kabupaten Ciamis, Jawa Barat.[3]
Berdasarkan perbandingan dengan peninggalan sejarah lainnya seperti naskah Carita Parahyangan dan Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara, dapat disimpulkan bahwa Prasasti Kawali I ini merupakan sakakala atau tugu peringatan untuk mengenang kejayaan Prabu Niskala Wastu Kancana, penguasa Sunda Galuh yang bertahta di Kawali, putra Prabu Linggabuana yang gugur di Bubat.
Isi teks
[sunting | sunting sumber]- Alihaksara diplomatis
Teks di bagian muka:
- nihan tapa kawa-
- li nu sang hyang mulia tapa bha-
- gya parĕbu raja wastu
- mangadĕg di kuta ka-
- wali nu mahayuna kadatuan
- sura wisesa nu marigi sa-
- kuliling dayĕh. nu najur sakala
- desa aja manu panderi pakĕna
- gawe ring hayu pakĕn hebel ja
- ya dina buana
Teks di bagian tepi tebal:
- hayua diponah-ponah
- hayua dicawuh-cawuh
- inya neker inya angger
- inya ninycak inya rempag
Alihbahasa
[sunting | sunting sumber]Teks di bagian muka:
- Inilah jejak (tapak) (di) Kawali (dari) tapa dia Yang Mulia Prabu Raja Wastu (yang) mendirikan pertahanan (bertahta di) Kawali, yang telah memperindah kedaton Surawisesa, yang membuat parit pertahanan di sekeliling wilayah kerajaan, yang memakmurkan seluruh pemukiman. Kepada yang akan datang, hendaknya menerapkan keselamatan sebagai landasan kemenangan hidup di dunia.
Teks di bagian tepi tebal:
- Jangan dimusnahkan!
- Jangan semena-mena!
- Ia dihormati, ia tetap.
- Ia menginjak, ia roboh.[4]
Rujukan
[sunting | sunting sumber]- ^ http://www.harapanrakyat.com/2013/11/di-winduraja-ciamis-terdapat-jejak-peninggalan-kerajaan-sunda-kuno/
- ^ https://artshangkala.wordpress.com/2009/08/24/tokoh-tokoh-galuh-menurut-wangsakerta/
- ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-03-11. Diakses tanggal 2016-03-24.
- ^ https://id.wikipedia.org/wiki/Prasasti_Astana_Gede
Didahului oleh Kerajaan Kendan |
Kerajaan Galuh (Kawali)
(1333 - 1528) M |
Dilanjutkan: Kesultanan Cirebon |