Bai Qi
Biografi | |
---|---|
Kelahiran | 3 abad SM Kabupaten Mei |
Kematian | 1r November 257 SM Shaanxi |
Penyebab kematian | Eksanguinasi |
Kegiatan | |
Pekerjaan | pemimpin militer |
Keluarga | |
Kerabat | Baiyi Bing (en) (leluhur) Sheng of Bai (en) (leluhur) |
Bai Qi (Hanzi: 白起, ?-257 SM) adalah seorang jenderal Qin pada Zaman Negara-negara Berperang. Selama 30 tahun lebih karier militernya ia telah berperang dengan berbagai negara bagian lain di Tiongkok dan menaklukan lebih dari 70 kota, sejarah mencatat dalam setiap pertempuran yang dipimpinnya ia tidak pernah mengalami kekalahan. Ia terkenal dengan julukan ‘penjagal manusia’ karena sikapnya yang tidak pernah mengenal ampun pada lawan bahkan yang telah menyerah sekalipun. Sejarawan Dinasti Han, Sima Qian, memasukkannya sebagai salah satu dari empat jenderal terbaik Zaman Negara-negara Berperang (战国四大名将).[butuh rujukan]
Riwayat hidup
[sunting | sunting sumber]Bai Qi terlahir dengan nama Gongsun Qi (公孙起) di Kabupaten Mei, Provinsi Shaanxi, belakangan ia mengganti marganya menjadi Bai, namun alasannya tidak jelas. Namanya baru mulai dikenal pada awal pemerintahan Raja Zhaoxiang dari Qin. Ketika itu Raja Zhaoxiang masih bocah sehingga dalam urusan pemerintahan ia dibantu oleh ibu dan pamannya, Wei Ran (Marquis Xiang) yang bertindak sebagai wali. Wei Ran lah yang mengangkat karier Bai dengan memberinya tanggung jawab memperkuat militer negara Qin. Segera setelah diangkat sebagai komandan tertinggi kerajaan ia mereformasi pasukan Qin dengan penerapan disiplin yang ketat dan pelatihan militer yang intensif, ia membangun pasukan kavaleri yang mampu bergerak cepat dan tangguh. Dalam waktu sebentar saja, Qin sudah memiliki pasukan yang kuat dan siap tempur.
Pertempuran
[sunting | sunting sumber]Tahun 294 SM, Bai memimpin 70.000 pasukannya menyerbu wilayah Xincheng (sekarang Kabupaten Yichuan, Henan) milik negara Han. Negara Han dan sekutunya Wei, mengirim pasukan berkekuatan 240.000 untuk menghadapi invasi tersebut. Kedua belah pihak berhadap-hadapan di Yique (sekarang Longmen, di dekat Luoyang, Henan). Komandan pasukan aliansi Han-Wei, Gongsun Xi, menghina pasukan Qin yang kekuatannya jauh lebih kecil dan dipimpin oleh komandan yang belum ada nama itu. Menghadapi lawan yang jumlahnya jauh lebih besar itu, Bai memakai siasat menduduki satu-persatu benteng pertahan mereka terlebih dahulu. Tahun berikutnya ia melakukan serbuan besar-besaran terhadap musuh. Pasukan aliansi itu tidak berdaya menghadapi kavaleri Qin yang telah terlatih dengan baik. Bai sendiri secara pribadi memimpin 2000 pasukan terbaiknya menyerang kemah Gongsun Xi. Begitu cepatnya serbuan itu sehingga Gongsun tertangkap sebelum sempat melakukan perlawanan. Dengan tertangkapnya komandan tertinggi mereka, pasukan aliansi langsung runtuh moralnya dan menyatakan menyerah. Namun Bai, untuk memastikan agar gerak laju pasukannya tidak terhambat oleh banyaknya tawanan dan untuk menciutkan nyali calon lawan berikutnya, memerintahkan agar ke-200.000 pasukan yang telah menyerah itu dihukum mati.
Tahun 278 SM, Bai memimpin pasukannya berperang dengan negara Chu, ia berhasil menduduki kota Yan (sekarang bagian tenggara Yicheng, Hubei) dan beberapa kota lainnya. Tahun berikutnya ia menyerbu ibu kota Chu, Ying (sekarang barat laut Jiangling, Hubei). Raja Chu kabur dan memindahkan ibu kotanya ke Chen (sekarang Huaiyang, Henan). Kemenangan ini membuatnya dianugerahi gelar Bangsawan Wu’an (武安君) oleh Raja Zhaoxiang. Tahun 272 SM, Bai meraih kemenangan berikutnya dengan mengalahkan pasukan aliansi Zhao dan Wei di Huayang (sekarang wilayah selatan Zhengzhou, Henan), 50.000 pasukan aliansi dibantai tanpa ampun dalam pertempuran itu.
Tahun 260 SM, pasukan Qin dibawah pimpinan Jenderal Wang He berperang dengan Zhao di Changping (sekarang timur laut Gaoping, Shanxi). Pasukan Zhao dibawah pimpinan Jenderal Lian Po bertahan dengan gigih sehingga pasukan Qin frustasi karena serangan mereka selalu berhasil dipatahkan dan persediaan semakin menipis. Keadaan ini berlangsung selama empat bulan hingga akhirnya Lian Po disingkirkan lewat siasat adu domba oleh perdana menteri Qin, Fan Sui. Lian dicabut dari jabatannya dan digantikan oleh Zhao Kuo, jenderal muda yang tidak berpengalaman tapi sombong. Pada saat yang sama pula negara Qin diam-diam mengirim Bai ke Changping untuk menggantikan Wang. Bai berpura-pura kalah untuk memancing pasukan Zhao dalam perangkap, setelah mereka masuk perangkap ia memutus jalur logistik dan jalur mundur. Zhao Kuo dan pasukannya terisolasi di Changping selama hampir dua bulan. Zhao Kuo tewas dalam hujan anak panah ketika berupaya menerobos kepungan. Sisa pasukan Zhao sebanyak 400.000 orang menyerah dan membiarkan pasukan Qin memasuki kota. Bai mengenal karakter orang Zhao yang keras kepala dan pantang menyerah, agar tidak menimbulkan kesulitan di kemudian hari, ia memerintahkan pembantaian massal terhadap pasukan yang telah menyerah itu, hanya 240 prajurit junior dibiarkan pulang untuk menjadi saksi atas kebrutalannya. Sejarah mencatat bahwa pembantaian itu telah menyebabkan air sungai di lembah Yang berubah menjadi merah oleh darah manusia. Hingga kini sungai kecil itu dinamakan Danshui (丹水), yang artinya air merah. Ia juga memerintahkan potongan kepala mereka ditumpuk hingga menciptakan sebuah pemandangan mengerikan berupa bukit kepala manusia.
Bai merencanakan serbuan berikutnya terhadap ibu kota Zhao, Handan, untuk menaklukan negara itu. Maka ia mengirim proposal pada Raja Zhaoxiang untuk meminta persetujuan resmi. Fan Sui yang iri dengan prestasi Bai menyarankan agar raja menolak proposal itu dengan alasan pasukan Qin sudah kelelahan setelah berperang selama hampir setahun penuh, mereka harus ditarik mundur untuk direstrukturisasi. Bai terpaksa harus menarik mundur pasukannya dengan berat hati. Dua tahun kemudian, Raja Zhaoxiang bermaksud kembali menyerang Zhao, tetapi saat itu Zhao sudah mulai pulih kekuatannya. Bai melihat bahwa harapan menang sangat tipis sehingga ia menolak ketika raja menugaskan untuk memimpin pasukan dengan alasan sakit. Raja Zhaoxiang terpaksa memberikan tugas ini pada Wang Ling. Kota Handan dikepung, tetapi rakyat dan tentara Zhao melawan dengan gigih sehingga Wang mengalami kebuntuan, tidak bisa maju maupun mundur. Hingga tahun 258 SM, pasukan Qin belum berhasil merebut kota itu, terlebih negara Chu dan Wei turun tangan membantu Zhao. Wang He, yang dikirim untuk menggantikan Wang Ling pun tidak dapat berbuat banyak menghadapi Zhao yang telah dibantu dua negara tetangganya. Setelah menganalisis perkembangan di medan perang, Bai menyarankan agar raja menarik mundur pasukan sebelum mengalami kekalahan telak, tetapi raja bersikeras melanjutkan pengepungan sampai berhasil merebut kota itu.
Akhir hayat
[sunting | sunting sumber]Tahun 257 SM, bala bantuan dari Chu dan Wei yang berkekuatan besar tiba di Handan. Pengepungan terhadap Handan berhasil dibuyarkan, Jenderal Zheng Anping dari Qin membelot ke Zhao bersama 200.000 pasukannya, sedangkan Wang He dan sisanya kabur kembali ke Qin. Ketika mendengar kabar kekalahan ini, Bai menatap langit dan meratap, “Kalau saja Yang Mulia mendengar nasihatku, tragedi ini tidak akan terjadi.” Ketika keluhan Bai didengar oleh raja, ia sangat marah. Fan Sui memanfaatkan kesempatan ini untuk menjatuhkannya. Ia menghasut raja agar memerintahkan Bai memimpin serangan balasan ke Zhao. Bai menolak perintah ini karena mustahil untuk meraih kemenangan dengan pasukan yang sudah babak belur. Penolakan ini membuat raja semakin marah, ia menganggap Bai melawan perintah dan mencabut gelar kebangsawanannya, pangkatnya pun diturunkan menjadi prajurit biasa dan diasingkan ke Yinmi. Fan belum merasa tenang selama Bai masih hidup, di depan sang raja ia berkata, “Bai Qi memendam ketidakpuasan terhadap Yang Mulia, ia terus mengeluh ketika akan meninggalkan Xianyang (ibu kota Qin), hamba khawatir bila ada penguasa negara lain merekrutnya, ia akan menjadi kesulitan bagi negara kita kelak.” Maka raja mengirim utusan untuk menyusul Bai. Utusan raja menemui Bai di Duyou (timur laut Xianyang) dan menyerahkan pedang pusaka kerajaan padanya serta memerintahkannya bunuh diri. Dengan hati hancur, Bai melakukan seperti yang diperintahkan rajanya. Nasib sang penjagal manusia itu berakhir tragis di ujung pedang pusaka kerajaan.
Referensi
[sunting | sunting sumber]