Śri Jayaśakti
Śri Jayaśakti adalah seorang raja dari Kerajaan Bali yang berkuasa antara tahun 1133-1150 Masehi. Pada masa pemerintahnya, ada dua kitab undang–undang yang diterbitkan yakni Utara Widdi Balawan dan Raja Wacana (Rajaniti). Setelah berakhir masa pemerintahan raja Suradhipa, secara beruntun memerintah di Bali empat orang raja yang menggunakan unsur jaya dalam gelarnya, yaitu;
- Śri Maharaja Śri Jayaśakti tahun 1055-1072 Saka (1133-1150 M)
- Śri Maharaja Śri Ragajaya tahun 1077 Saka (1155 M)
- Śri Maharaja Jayapangus tahun 1099-1103 Saka (1178-1181 M)
- Śri Maharaja Ekajayalancana beserta ibunya yaitu Śri Maharaja Śri Arjaryya Dengjayaketana yang mengeluarkan prasastinya pada tahun 1122 Saka (1200 M).[1]
Hubungan kekeluargaan di antara mereka tidak diketahui secara pasti. Walaupun demikian, berdasarkan kelaziman dalam sistem pergantian kepala negara suatu kerajaan tradisional serta digunakannya unsur jaya dalam gelar masing-masing raja itu maka kemungkinan besar hubungan antara raja yang satu dan penggantinya merupakan hubungan ayah dengan anaknya. Jika tidak demikian, paling tidak mereka dipertalikan oleh hubungan kekeluargaan yang sangat dekat. Masa pemerintahan keempat raja itu hampir sezaman dengan masa pemerintahan raja-raja Jayabhaya (1057 -1079 Saka), Sarweswara (1081 Saka), Aryeswara (1091-1093 Saka), Kroncaryadhipa atau Gandra (1103 Saka), Kameswara (1104-1107 Saka), dan Kertajaya atau Srengga (1116-1127 Saka) di kerajaan Kadiri di Jawa Timur.[2]
Hal yang menarik perhatian pula, ialah adanya unsur kata "Jaya" yang digunakan pada keempat gelar raja Bali Kuno dan paling sedikit pada dua nama raja Kadiri tersebut di atas. Adanya unsur yang sama itu rupanya bukan semata-mata bersifat kebetulan tetapi juga menunjukkan adanya hubungan kekerabatan di antara mereka. Kemungkinan adanya hubungan kekerabatan di antara mereka diperkuat oleh keterangan dalam kitab Bharatayuddha. Dalam kitab itu, dikatakan bahwa raja Jayabhaya sempat meluaskan kekuasaannya ke Indonesia bagian timur dan tidak ada pulau yang sanggup mempertahankan diri dari kekuasaan Jayabhaya.[3]
Setelah Raja Jayasakti, yang memerintah adalah Ragajaya selitar tahun 1155. Ragajaya kemudian digantikan oleh Raja Jayapangus (1177-1181).
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ Dawan, Lanang (Sabtu, 14 Mei 2011). "ŚRI SURADHIPA". PEMECUTAN-BEDULU-MAJAPAHIT. Diakses tanggal 2019-12-18.
- ^ cf. Damais, 1952:hlm.66-71 ; Sumadio dkk., 1990:hlm.267-272, 306.
- ^ Krom, 1956:hlm.154-155
Lihat pula
[sunting | sunting sumber]Bacaan lebih lanjut
[sunting | sunting sumber]- C.C. Berg (1927). De middeljavaansche historische traditie. Santpoort.
- A.J. Bernet Kempers (1991). Monumental Bali; Introduction to Balinese Archaeology & Guide to the Monuments. Berkeley & Singapore. ISBN 0-945971-16-8.
- Creese, Helen (1991). "Balinese babad as historical sources; A reinterpretation of the fall of Gelgel". Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. 147.
- Nordholt, Henk Schulte (1980). "Macht, mensen en middelen; Patronen en dynamiek in de Balische politiek ca. 1700-1840". Doctoraalscriptie. Amsterdam.
- Nordholt, Henk Schulte (1996). The Spell of Power; A History of Balinese Politics. Leiden. ISBN 90-6718-090-4.
- Wiener, Margaret J. (1995). Visible and Invisible Realms; Power, Magic, and Colonial Conquest in Bali. Chicago & London. ISBN 0-226-88580-1.
Didahului oleh: Śri Maharaja Sri Suradhipa |
Penguasa Bali 1133-1150 M |
Diteruskan oleh: Ragajaya |