BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hasil Hutan Bukan Kayu
2.1.1 Pengertian Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK)
Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) adalah jenis tanaman yang tumbuh,
baik di dalam maupun di luar kawasan hutan. Walaupun peranan HHBK sudah
dirasakan masyarakat sebagai salah satu sumber pendapatan, namun sistem
pengelolaanya masih bersifat tradisional sehingga kualitas yang dihasilkan masih
jauh dari standar yang diharapkan dan harganya tergolong masih rendah
(Sakala,Nugroho, dan Nurrochnat, 2012). HHBK atau Non-Tinber Forest product
memiliki nilai yang sangat strategis. HHBK merupakan salah satu sumber daya
tan yang memiliki keunggulan yang kooparatif dan bersinggungan langsung
dengan masyarakat sekitar hutan (Moko,2008).
2.1.2 Jenis Hasil Hutan Bukan Kayu
Jenis Penghasil Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) merupakan pilihan
yang paling logis, karena di kawasan hutan lindung pemanfaatan kayu tidak
diperbolehkan. Hasil analisis kesesuaiam jenis lokasi yang akan direhabilitasi
merupakan pertimbangan utama dalam pemilihan jenis HHBK. Namun demikian,
jenis yang akan dikembangkan dalam rangka rehabilitasi hutan lindung
hendaknya mempunyai nilai lebih lainnya, misalnya mempunyai potensi untuk
mencegah erosi dan longsor. Parameter yang dapat digunakan dalam hal tersebut
salah satunya adalah sistem perakaran (Setiawan dan Narendra, 2012).
Menurut Arief bahwa “ Masyarakat hutan adalah penduduk yang tinggal di
dalam dan di sekitar hutan yang mata pencaharian dan lingkungan hidupnya
sebagian besar bergantung pada eksistensi hutan dan kegiatanperhutan (Arief,
2001)”. Masyarakat hutan memanfaatkan hasil hutan bukan kayu baik dikonsumsi
secara langsung seperti binatang buruan, sagu, umbi-umbian, buah-buahan, sayur-
sayuran, obat-obatan, kayu bakar dan lainnya, maupun dipasarkan untuk
4
memperoleh uang seperti misalnya rotan, damar, gaharu, madu, minyak atsari,
dan lainnya (Primack, 1993).
Pemanfaatan HHBK yang lebih optimal didapatkan dengan jenis HHBK
yang lebih beragam, sehingga akan lebih banyak produk yang dapat dipasarkan.
Hasil agroforestri dalam suatu wilayah yang diverivikasi akan meningkatkan
macam produk yang akan dipasarkan, sehingga dapat diharapkan dapat
menunjang perekonomian masyarakat pedesaan (Wulandari, 2012). Brdasarkan
hasil penelitian penelitian Sumandiwangsa dan Setyawan (2001), ternyata HHBK
tidak terbatas hanya madu, rotan, damar, dan gaharu saja, akan tetapi juga
termaksuk hasil-hasil produksi turunannya termaksuk jasa lingkungan.
Menurut Departemen Kehutanan (2007) pemanfaatan jenis tumbuhan dan
satwa liar berupa HHBK bertujuan agar jenis tumbuhan dan satwa liar dapat
didaya-gunaka secara lestari untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Tujuan
pemanfaatan HHBK dalam pemberdayaan masyarakat didaerah penyangga
kawasan konservasi: a. Meningkatkan sosial ekonomi masyarakat daerah
penyangga. b. Rehabilitasi lahan di daerah penyangga. c. Mencegah erosi dan
meningkatkan kualitas lingkungan dan pemgaturan tata air. d. Mencegah /
menekan laju perambahan hutan dan illegal logging. e. Menjaga kawasan
konservasi sesuai fungsinya.
2.1.3 Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu
Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu dapat membantu masyarakat
mendapatkan sumber mata pencharian yang lebih beragam tanpa merusak hutan.
Menurutt Irawati, Suka, dan Ekawati bahwa “ dengan menanam berbagai jenis
tanaman buah-buahan dan tanaman perkebunan, petani dapat memenuhi seluruh
kebutuhan jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Namun
kecukupannya sangat mempengaruhi oleh luasan lahannya. Jangka waktu panen
HHBK yang lebih singkat sangat besar perannya dalam mempertahankan
eksistensi hutan karena petani tetap mempunyai sumber pendapatan dari lahan
hutan. Selain itu, juga dapat memberikan pengetahuan kepada masyarakat lokal,
5
bahwa pemanfaatan hutan tidak hanya dari kayunya saja, melainkan dengan
pemanfaatan buah-buahan seperti durian, mangga, alpukat, serta hasil hutan
lainnya seperti karet, atau rotan dan lain sebagainya (Irawanti, Suka, dan Ekawati,
2012).
Manfaat hutan dalam kelompok fungsi sosial-budaya adalah barang dan
jasa yang dapat dihasilkan oleh hutan yang dapat memenuhi kepentingan umum,
terutaman bagi masyarakat di sekitar hutan untuk berbagi kepentingan dalam
pemenuhan kebutuhan hidupnya. Termaksuk dalam kelompok ini, misalnya
penyediaan lapangan pekerjaan, penyediaan lahan untuk bercocok tanam,
penyediaan kayu bakar, serta barbagai fungsi yang diperlukan dalam rangka
melaksanakan pendidikan, penelitian, serta untuk kegiatan budaya dan keagamaan
(Suhendang 2002).
Jenis Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang dilakukan oleh
masyarakat Adat Kesepuhan Sinar Resmi antara lain yaitu kayu bakar, tumbuhan
obat, tanaman hias, kerajinan tangan, buah-buahan dan pakan ternak. Bagi
masyarakat di sekitar hutan keberadaan kawasan hutan sangat berarti bagi
kelangsungan hidupnya yang dapat memberikan nilai tambah bagi kehidupan
mereka (Birgantoro dan Nurrochmat, 2007).
2.1.4 Strategi Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu
Strategi pengembangan HHBK dimaksudkan untuk mengurangi
ketergantungan pada hasil hutan kayu, meningkatkan pendapatan
masyarakathutan dari HHBK, menumbuhkan kesadaran masyarakat akan kawasan
hutan, meningkatkan devisa sektor kehutanan bukan kayu dan menciptakan
lapangan kerja baru di sektor kehutanan dari komoditas bukan kayu (Sakala et al,
2012). Pemanfaatan HHBK sebagai alternatif sumber pangan, sumber bahan obat-
obatan, penghasil serat, penghasil getah-getahan yang dapat meningkatkan
ekonomi lokal dan nasional (Wibowo, 2013).
6
Menurut Palmolino bahwa “ beberapa faktor menjadi kendala
pengembangan HHBK antara lai : skala pemanfaatana yang rendah, dilakukan
dalam skala kecil, keterbatasan modal, peraturan yang tidak mendukung dan
kurangnya penguasaan iptek (Palmolina, 2014) ”. HHBK secara umum berperan
tidak hanya pada aspek ekologis, HHBK merupakan bagian dari ekosistem hutan
dan mempunyai fungsi dan peran tertentu yang ikut menunjang keberlangsungan
ekosistem tersebut. Dari aspek ekonomis, HHBK dapat menjadi salah satu sumber
penghasil bagi masyarakat maupun pemerintah. Sedangkan dari aspek sosial
budaya, masyarakat ikut dilibatkan dalam pemanfaatan dan pengelolaan HHBK,
maka dapat menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang cukup besar sehingga dapat
mengurangi angka pangangguran. Salah satu keunggulan HHBK dibanding
dengan hasil hutan kayu adalah pemanfaatan dan pengolahannya membutuhkan
modal kecil sampai menengah serta dapat memanfaatkan teknologi yang
sederhana sampai menengah (Sudarmalik, 2006).
Pemasaran merupakan salah satu komponen penting dalam pemanfaatan
dan pengembangan produk-produk HHBK. Bagaimanapun juga, untuk
meningkatkan status penghidupan dan ekonomi petani, produk-produk tersebut
harus dijual. Tanpa adanya pemasaran, maka HHBK yang dipungut atau
diproduksi oleh petani tidak akan bergerak dan tidak akan pernah maju selain
hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari petani saja. Namun aspek
pemasaran sering tidak mendapatkan perhatian. Soekartawi (1993) dalam
Khairida (2002) mengatakan bahwa kelemahan dalam sistem kehutanan di negara
berkembang seperti indonesia adala kurangnya perhatian dalam bidang
pemasaran.
Pengaturan mengenai usaha pemungutan hasil hutan baik kayu maupun
non kayu dalam suatu dusun diatur dalam suatu sistem yang disebut sasi. Istilah
sasi menekankan pada suatu larangan yang temporal dan lambang (atribut yang
bersama-sama membuat institusi sasi mengikat) (Kisya, 1993 dalam Ibrahim,
2009). Sasi dikenal masyarakat maluku sebagai suatu pranata adat, yaitu sebagai
suatu larangan untuk memungut atau merusak sumber daya alam tertentu dalam
7
jangka waktu tertentu dengan tujuan untuk menjaga kelestarian alam dan
lingkungan hidup, penggunaan hak seseorang secara tepat, menurut waktu yang
ditentukan untuk memanen, serta mengurangi kemungkinan timbulnya pencurian.
2.1.5 Pengaruh HHBK Terhadap Perekonomian
Menurut Waluyo (2013) bahwa “ HHBK adalah semua barang / bahan
yang di ambil atau dipanen selain kayu dari ekosisten alam, hutan tanaman dan
digunakan untuk keperluan rumah tangga atau dipasarkan. Banyaknya jenis
tanaman penyusun hutan rakyat yang tergabung dalam kelompok HHBK ini dapat
berdampak terhadap jangka waktu penerimaan. Adanya pengaturan waktu
penerimaan pendapatan ini sangat menguntungkan petani karena dapat memenuhi
kebutuhan yang rutin. Selain itu keberadaan HHBK ini memberikan manfaat
sosial, budaya, ekonomi, dan lingkungan untuk seluruh lapisan masyarakat.
Namun sayangnya keberadaan HHBK ini masih belum dimanfaatkan secara
maksimal, kalaupun pemanfaatan HHBK dilakukan secara maksimal itu hanya
terjadi pada jenis-jenis tertentu saja oleh karena itu HHBK ini sifatnya masih
lokal.”
Menurut Kladen, et al (2009) bahwa “ hak-hak lahan dan sumber daya
alam, termasuk hutan, dapat dikelola secara komunal agar manfaat dirasakan olej
keseluruhan masyarakat dan juga secara individun untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhan setiap keluarga.” Namun, saat ini berbagai manfaat sember daya hutan
(SDH) masih dinilai secara rendah karena masih banyak pihak yang belum
memahami nilai dari berbagai manfaat SDH tersebut. Untuk memahami manfaat
dari SDH tersebut perlu dilakukan penilaian terhadap manfaat yang dihasilkan
SDH. Pnilaian sendiri merupakan upaya untuk menentukan nilai atau manfaat dari
suatu barang atau jasa untuk kepentingan manusia. Terlebih dengan meningkatnya
pertambahan penduduk saat ini yang menyebabkan timbulnya tekanan yang serius
terhadap SDH, menyebabkan perlunya penyempurnaan pengelolaan sumber daya
hutan melalui penilaian akurat terhadap nilai ekonomi sumberdaya alam yang
sesungguhnya (Nurfatriani, 2006).
8
Menurut Njurumana dan Butarbutar (2008) bahwa “ hasul hutan bukan
kayu merupakan jenis tanaman yang tumbuh, baik didalam maupun diluar
kawasan hutan. Peran HHBK sudah dirasakan masyarakat sebagai salah satu
sumber pendapatan, namun sistem pengelolaannya masih bersifat tradisional
sehingga kualitas yang dihasilkan masih jauh dari standar yang diharapkan dan
harganya masih rendah. Pemerintah sebagai pengambil kebijakan perlu mengatur
programpengembangan HHBK melalui agroforestri, baik didalam maupun diluar
kawasan hutan secara berkesinambungan bersama masyarakat sehingga menjadi
sumber pendapatan masyarakat yang kooperatif”.
Produk HHBK memiliki potensi cukup besar dalam meningkatkan nilai
ekonom lahan hutan. Lima komoditas utama pengembangan HHBK: rotan,
bambu, lebah madu, gaharu, dan ulat sutera (Kaban. 2009). Pemanfaatan HHBK
yang lebih optimal didapatkan dengan jenis HHBK yang lebih beragam, sehingga
akan lebih banyak produk yang dapat dipasarkan. Hasil dari agroforestri di suatu
wilayah yang diverifikasi akan meningkatkan macam produk yang akan
dipasarkan, sehingga diharapkan dapat menunjang perekonomian masyarakat
pedesaan (Wulandari, 2013).