Infeksi Virus Dengue Fix
Infeksi Virus Dengue Fix
Oleh
Dewi Purnamasari
NPM 12700286
Pembimbing
SMF Pediatri
2016
KATA PENGANTAR
Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas referat yang berjudul
“Infeksi virus dengue”.Penyusunan referat ini disusun dengan maksud untuk
memenuhi salah satu syarat penilaian ujian smf pediatri.
Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan pengarahan dari berbagai
pihak, referat ini tidak dapat diselesaikan dengan baik. Oleh karena itu penulis
mengucapkan terima kasih kepada dr. Triastutik Sriprastini, S.Pa sebagai
pembimbing.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan referat ini masih banyak
kekurangan, oleh karena itu penulis membuka kritik dan saran. Semoga referat ini
dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Cover ..................................................................................................i
Kata Pengantar................................................................................. ii
Daftar isi ........................................................................................... iii
Daftar Gambar .................................................................................iv
Daftar Tabel ...................................................................................... v
BAB I Pendahuluan ........................................................................ 1
BAB II Tinjauan Pustaka ................................................................ 3
II.1 Definisi ........................................................................ 3
II.2 Etiologi ......................................................................... 3
II.3 Epidemiologi................................................................ 5
II.4 Patofisiologi ................................................................. 7
II.5 Patogenesis................................................................... 8
II.6 Manifestasi Klinis ...................................................... 11
II.7 Diagnosis Laboratorium ........................................... 23
II.8 Kriteria Klinis Diagnosis........................................... 25
II.9 Tatalaksana Infeksi Virus dengue ........................... 27
II.10 Pemberantasan......................................................... 40
BAB III Penutup ............................................................................. 44
Daftar Pustaka ................................................................................. 43
iii
Daftar Gambar
iv
Daftar Tabel
Tabel II.1 Penyulit pada fase demam, kritis dan konvalesens ............................ 17
v
BAB I
PENDAHULUAN
1
Dan sejak saat itu, penyakit ini menyebar luas ke seluruh Indonesia (Kemenkes
RI, 2010).
Terjadinya Demam Berdarah Dengue di Indonesia berhubungan dengan
berbagai faktor risiko, yaitu: lingkungan yang masih kondusif untuk terjadinya
tempat perindukan nyamuk Aedes aegypti, pemahaman masyarakat yang masih
terbatas mengenai pentingnya pemberantasan sarang nyamuk 3M Plus, perluasan
daerah endemik akibat perubahan dan manipulasi lingkungan yang terjadi karena
urbanisasi dan pembangunan tempat pemukiman baru, serta meningkatnya
mobilitas penduduk. Untuk menekan terjadinya kejadian luar biasa demam
berdarah dengue, perlu membudayakan kembali pemberantasan sarang nyamuk
3M Plus secara berkelanjutan sepanjang tahun dan mewujudkan gerakan 1 rumah
1 jumantik (Kemenkes RI, 2016).
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Definisi
Salah satu varian klinis infeksi virus dengue, yang ditandai oleh
gejala panas 2 – 7 hari dan pada saat panas turun disertai atau disusul
dengan gangguan hemostatik dan kebocoran plasma (plasma leakage).
Penyakit demam akut akibat infeksi virus dengue, dengan
manifestasi yang sangat bervariasi. Mulai dari demam akut hingga
sindrom renjatan yang dapat menyebabkan mortalitas. Indonesia
merupakan negara endemis dengue, morbiditas dan mortalitas dipengaruhi
oleh usia, kepadatan vektor, tingkat penyebaran virus dan kondisi iklim.
II.2 Etiologi
3
dari virus. Sedangkan protien nonstruktural tidak ikut membentuk kapsul
dari struktur virus. Protein NS1 merupakan satu-satunya protein
nonstruktural yang dapat disekresikan oleh sel pejamu mamalia tapi tidak
oleh nyamuk, sehingga dapat ditemukan dalam darah pejamu sebagai
antigen NS1. Masing-masing protein mempunyai peran yang berbeda
dalam patogenesitas, replikasi virus, dan aktivasi respon imun, baik
humoral maupun seluler.
Berdasarkan sifat antigen dikenal ada empat serotipe virus dengue,
yaitu DENV 1, DENV 2, DENV 3, DENV 4. Masing – masing serotipe
mempunyai beberapa galur (strain) atau genotipe yang berbeda. Serotipe
yang dapat ditemukan dan yang paling banyak beredar di suatu negara atau
area geografis tertentu berbeda-beda. Di indonesia keempat serotipe virus
dengue tersebut dapat ditemukan dan DENV 3 merupakan galur yang
paling virulen dan banyak berhubungan dengan kasus berat.
4
biak di tempat-tempat penampungan air buatan antara lain : bak mandi,
ember, vas bunga, tempat minum burung, kaleng bekas, ban bekas dan
sejenisnya di dalam rumah meskipun juga ditemukan di luar rumah di
wilayah perkotaan.
Sedangkan Aedes albopictus lebih banyak ditemukan di
penampungan air alami di luar rumah, seperti axilla daun, lubang pohon,
potongan bambu dan sejenisnya terutama di wilayah pinggiran kota dan
pedesaan, namun juga ditemukan di tempat penampungan buatan di dalam
dan di luar rumah.
II.2.3 Pejamu
Saat nyamuk meghisap darah manusia yang sedang mengalami
viremia, virus masuk ke dalam tubuh nyamuk, yaitu dua hari sebelum
timbul demam sampai 5-7 hari fase demam. Nyamuk kemudian
menularkan virus ke manusia lain. Kerentanan untuk timbulnya penyakit
pada individu antara lain ditentukan oleh status imun dan faktor genetik
pejamu.
II.3 Epidemiologi
Angka insiden rate (IR) tertinggi pada tahun 2010 (65,7) dan
kembali meningkat pada tahun 2013 (45,85) kemudian pada tahun 2014
(39,51) menurun dibanding tahun 2013.
Data Direktorat Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonosis
Kementerian Kesehatan menyebutkan hingga akhir Januari 2016, kejadian
luar biasa (KLB) penyakit DBD dilaporkan ada di 12 Kabupaten dan 3
Kota dari 11 Provinsi di Indonesia, antara lain: 1) Provinsi Banten, yaitu
Kabupaten Tangerang; 2) Provinsi Sumatera Selatan, yaitu Kota
Lubuklinggau; 3) Provinsi Bengkulu, yakni Kota Bengkulu; 4) Provinsi
Bali, yaitu Kota Denpasar dan Kabupaten Gianyar; 5) Provinsi Sulawesi
Selatan, yaitu Kabupaten Bulukumba, Pangkep, Luwu Utara, dan Wajo; 6)
Provinsi Gorontalo, yaitu Kabupaten Gorontalo; serta 7) Provinsi Papua
Barat, yakni Kabupaten Kaimana; 8) Provinsi Papua, yakni Kabupaten
Mappi 9) Provinsi NTT, yakni Kabupaten Sikka; 10) Provinsi Jawa
Tengah, yaitu Kabupaten Banyumas; 11) Provinsi Sulawesi Barat, yakni
Kabupaten Majene (KEMENKES RI, 2016).
Sepanjang bulan Januari dan Februari 2016, kasus DBD yang
terjadi di wilayah tersebut tercatat sebanyak 492 orang dengan jumlah
kematian 25 orang pada bulan Januari 2016, sedangkan pada bulan
6
Februari tercatat sebanyak 116 orang dengan jumlah kematian 9 orang.
Hasil data tersebut menunjukan adanya penurunan KLB di Indonesia
sepanjang bulan Januari-Februari 2016.
Kementerian Kesehatan RI mencatat jumlah penderita DBD di
Indonesia pada bulan Januari-Februari 2016 sebanyak 8.487 orang
penderita DBD dengan jumlah kematian 108 orang. Golongan terbanyak
yang mengalami DBD di Indonesia pada usia 5-14 tahun mencapai
43,44% dan usia 15-44 tahun mencapai 33,25%.
Masyarakat diminta untuk tetap waspada terhadap penyakit DBD
mengingat setiap tahun kejadian penyakit demam berdarah dengue di
Indonesia cenderung meningkat pada pertengahan musim penghujan
sekitar Januari dan cenderung turun pada Februari hingga ke penghujung
tahun.
7
yaitu virus dengue, komponen aktif sistem komplemen, kerusakan sel
endotel dan aktivasi sistem pembekuan darah secara bersamaan atau
terpisah. Trombositopeni dan gangguan fungsi trombosit dianggap sebagai
penyebab utama terjadinya perdarahan pada DBD.
Pada pasien DBD atau DSS ditemukan penurunan kadar
komplemen. Kompleks imun virus dengue dan antibodi pada infeksi
sekunder dapat mengaktivasi sistem komplemen melalui jalur klasik.
Protein NSI dapat mengaktifkan sistem komplemen secara langsung
melalui jalur alternatif dan apabila berlebihan dapat menyebabkan
peningkatan permeabilitas vaskular.
Selain melalui kedua jalur tersebut, aktivasi komplemen pada
infeksi virus dengue juga dapat melalui jalur mannose-binding lectin.
Aktivasi komplemen menghasilkan peptida yang mempunyai aktivitas
biologik sebagai anafilatoksin yaitu C3a dan C5a untuk menstimulasi sel
mast untuk melepaskan histamin dan merupakan mediator kuat untuk
menimbulkan peningkatan permeabilitas kapiler, pengurangan volume
plasma dan syok hipovolemik.
Komplemen C5a menginduksi produksi beberapa sitokin
proinflamasi (seperti TNF-a, IL-1, IL-6, dan IL-8) dan meningkatkan
ekspresi molekul adhesi baik pada neutrofil maupun sel endotel, sehingga
peran C5a dalam peningkatan permeabilitas vaskular sangat besar.
8
yang lebih berat dibandingkan dengan infeksi primer dalam jarak waktu 6
bulan sampai 5 tahun dari infeksi primer. 3) bayi yang lahir dari ibu yang
memiliki antibodi dapat menunjukkan manifestasi klinis berat walaupun
pada infeksi primer. 4) perembesan plasma sebagai tanda karakteristik
untuk DBD terjadi pada saat jumlah virus dalam darah menurun. 5)
perembesan plasma terjadi dalam waktu singkat (24-48jam) dan pada
pemeriksaan patologi tidak ditemukan ke rusakan dari sel endotel
pembuluh darah.
II.5.1 Imunopatogenesis
Sel imun yang paling penting dalam berinteraksi dengan virus
dengue yaitu sel dendrit, monosit/makrofag, sel endotel dan trombosit.
Akibat interaksi tersebut akan dikeluarkan mediator antara lain sitokin,
peningkatan aktivasi sistem komplemen, serta terjadi aktivasi limfosit T.
Apabila aktivasi sel imun tersebut berlebihan akan diproduksi sitokin,
kemokin dan mediator inflamasi dalam jumlah banyak yang akhirnya
menimbulkan tanda dan gejala infeksi virus dengue.
Antibodi pada infeksi dengue terdiri dari igG berfungsi
menghambat peningkatan replikasi virus dalam monosit yaitu enhancing
antibody dan neutralizing antibody. Saat ini dikenal 2 antibodi yaitu
1)kelompok monoklonal yang tidak mempunyai sifat menetralisasi tetapi
memacu replikasi virus. 2)antibodi yang dapat menetralisasi secara
spesifik tanpa daya replikasi virus. Perbedaan ini berdasarkan adanya
virion determinant spesificity. Antibody non neutralisasi yang dibentuk
pada infeksi primer akan menyebabkan terbentuknya kompleks imun pada
infeksi sekunder dengan akibat memacu replikasi virus. Dimana virus
bermultiplikasi didalam sel dan selanjutnya keluar dari sel, sehingga
terjadi viremia. Hal ini mendasari pendapat bahwa infeksi sekunder virus
dengue oleh serotipe dengue yang berbeda cenderung manifestasi berat.
Reaksi imunologis berlangsung sebagai berikut:
Sel fagosit mononuklear yaitu monosit, makrofag, histiosit dan sel
kuffer merupakan tempat utama terjadinya infeksi virus dengue primer
9
Non neutralizing antibody sebagai reseptor spesifik untuk melekatnya
virus dengue pada permukaan sel fagosit mononuklear. Mekanisme
pertama ini disebut mekanisme aferen.
Virus dengue kemudian akan berreplikasi dalam sel fagosit
mononuklear yang telah terinfeksi.
Selanjutnya sel monosit yang mengandung kompleks imun akan
menyebar ke usus, hati, limpa, dan sumsum tulang. Mekanisme ini
disebut efferen. Parameter perbedaan terjadinya DBD dengan dan
tanpa renjatan ialah jumlah sel yang terkena infeksi. Ditandai dengan
peningkatana jenis dan jumlah sitokin yang sering disebut sebagai
badai sitokin (Cytokine Tsunami). Sitokin yang perannya paling
banyak TNFa, IL-1B, IL-6, IL-8 dan IFN y. Serta mediator lain
menimbulkan derajat penyakit berat yaitu kemokin CXCL-9,CXCL-
10 dan CXCL-11 yang dipicu oleh IFN y.
Sel monosit yang telah teraktivasi akan mengadakan interaksi dengan
sistem humoral dan sistem komplemen dengan akibat dilepaskannya
mediator yang mempengaruhi permeabilitas kapiler dan mengaktivasi
sistem koagulasi. Mekanisme ini disebut meknisme efektor.
10
dengue. Faktor genetik lain dluar pengkode HLA adalah gen pengkode
sitokin TNF-a, IFN-y, dan IL-1 serta gen pengkode reseptor IgG, reseptor
vitamin D, dan manossa binding lectin.
12
II.6.2 Demam Berdarah Dengue
Manifestasi klinis demam berdarah dengue ditandai dengan demam
yang tinggi mendadak kontinu kadang bifasik berlangsung antara 2-7 hari.
demam disertai dengan gejala lain yang sering ditemukan pada demam
dengue seperti muka kemerahan, anoreksia, mialgia dan atralgia. Gejala
lain berupa nyeri epigastrik, mual, muntah nyeri didaerah subkosta kanan
atau nyeri abdomen difus, kadang disertai sakit tenggorok. Faring dan
konjungtiva yang kemerahan dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik.
Demam dapat mencapai 400C dan dapat disertai kejang demam.
Yang membedakan dengan demam berdarah dengue dan demam
dengue ialah peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah,
menurunnya volume plasma, trombositopeni dan diatesis hemoragik. Pada
demam berdarah dengue terdapat perdarahan kulit, uji torniquet positif,
memar dan perdarahan pada tempat pengambilan darah vena. Ptekie halus
yang tersebar di anggota gerak, muka, aksila seringkali ditemukan pada
masa dini demam. Epistaksis dan perdarahan gusi jarang di jumpai
sedangkan perdarahan saluran pencernaan hebat lebih jarang lagi dan
biasanya timbul setelah renjatan yang tidak dapat diatasi. Perdarahan
subkonjuntiva kadang-kadang ditemukan. Pada masa konvalesens
seringkali ditemukan eritema pada telapak tangan / telapak kaki di masa
penyembuhan. Hepatomegali ditemukan sejak fase demam dengan
pembesaran yang bervariasi antara 2 – 4 cm bawah arkus kosta. Perlu
diperhatikan bahwa hepatomegali sangat tergantung dari ketelitian
pemeriksa. Hepatomegali tidak disertai dengan ikterus dan tidak
berhubungan dengan derajat penyakit, namun hepatomegali sering
ditemukan pada demam berdarah dengue dengan syok (dengue syok
sindrom/DSS).
Pada demam berdarah dengue terjadi kebocoran plasma yang
secara klinis berbentuk efusi pleura, apabila kebocoran plasma lebih berat
dapat ditemukan asites. Pemeriksaan rontgen foto dada posisi lateral
dekubitus kanan, efusi pleura terutama di hemithoraks kanan merupakan
temuan yang sering dijumpai. Derajat luasnya efusi pleura seiring dengan
13
beratnya penyakit. Pemeriksaan ultrasonografi dapat dipakai untuk
menemukan ascites dan efusi pleura. Penebalan dinding kandung empedu
(gall bladder wall thickening) mendahului manifestasi klinis kebocoran
plasma lain. Peningkatan nilai hematokrit (≥20% dari data dasar) dan
penurunan kadar protein plasma terutama albumin serum (>0,5 g/dl dari
data dasar) merupakan tanda indirek kebocoran plasma. Kebocoran plasma
berat menimbulkan berkurangnya volume intravaskuler yang akan
menyebabkan syok hipovolemi yang dikenal sebagai dengue syok
sindrome yang memperburuk prognosis.
WHO (1975), membagi derajat penyakit demam berdarah dengue
dalam 4 derajat:
Derajat I : Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya
manifestasi perdarahan adalah uji tourniquet positif.
Derajat II : Derajat I disertai perdarahan spontan di kulit dan atau
perdarahan lain.
Derajat III : ditemukannya tanda kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat
dan lembut, tekanan nadi menurun (≤20mmHg) atau hipotensi disertai
kulit dingin, lembab, dan pasien menjadi gelisah.
Derajat IV : Syok berat, nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak
dapat diukur.
Diagnosa banding demam berdarah dengue pada hari pertama sulit
dibedakan dengan morbili dan idiopatic trombositopenis purpura (ITO)
yang disertai demam. Pada hari 3 – 4 kemungkinan diagnosis DBD akan
lebih besar, apabila gejala klinis lain seperti manifestasi perdarahan dan
pembesaan hati menjadi nyata. Kesulitan dalam membedakan syok DBD
dengan syok sepsis, dalam hal ini trombositopeni dan hemokonsentrasi
disamping penilaian gejala klinis lain seperti tipe dan lama denam dapat
membantu.
Perjalanan penyakit demam berdarah dengue terdiri atas 3 fase
yaitu fase demam, kritis, serta konvalesens. Setiap fase perlu pemantauan
yang cermat, karena setiap fase mempunyai risiko yang dapat
memperberat keadaan sakit.
14
Fase demam
Pada kasus ringan semua tanda dan gejala sembuh seiring dengan
menghilangnya demam. Penurunan demam terjadi secara lisis, artinya
suhu tubuh menurun segera, tidak secara bertahap. Menghilangnya demam
dapat disertai berkeringat dan perubahan pada laju nadi dan tekanan darah,
hal ini merupakan gangguan ringan sistem sirkulasi akibat kebocoran
plasma yang tidak berat. Pada kasus sedang sampai berat terjadi kebocoran
plasma yang bermakna sehingga akan menimbulkan hipovolemi dan bila
berat menimbulkan syok dengan mortalitas yang tinggi.
Fase kritis
Fase kritis terjadi pada saat demam turun, pada saat ini terjadi
puncak kebocoran plasma sehingga pasien mengalami syok hipovolemi.
Kewaspadaan dalam mengantisipasi kemungkinan terjadinya syok yaitu
dengan mengenal tanda dan gejala yang mendahului syok (warning sign).
Warning sign umumnya terjadi menjelang akhir fase demam, yaitu antara
15
hari sakit ke 3 -7. Muntah terus menerus dan nyeri perut hebat merupakan
petunjuk awal perembesan plasma dan bertambah hebat saat pasien masuk
ke keadaan syok. Pasien tampak semakin lesu, tetapi pada umumnya tetap
sadar. Gejala tersebut tetap menetap walaupun sudah terjadi syok.
Perdarahan mukosa spontan atau perdarahn di tempat pengambilan darah
merupakan manifestasi perdarahan penting. Hepatomegali dan nyeri perut
sering ditemukan. Penurunan jumlah trombosit yng cepat dan progesif
menjadi di bawah 100.000 sel /mm3 serta kenaikan hematokrit diatas dasar
merupakan tanda awal perembesan plasma, dan pada umumnya di dahului
oleh leukopenia (≤5000 sel / mm3).
Peningkatan hematokrit diatas dasar merupakan salah satu tanda
paling awal yang sensitif dalam mendeteksi perembesan plasma yang pada
umumnya berlangsung selama 24 – 48 jam. Peningkatan hematokrit
mendahului perubahan tekanan darah serta volume nadi, oleh karena itu
pengukuran hematokrit berkala sangat penting, apabila makin meningkat
berarti kebutuhan cairan intravena untuk mempertahankan volume
intravaskular bertambah, sehingga penggantian cairan yang adekuat dapat
mencegah syok hipovolemi.
Bila syok terjadi, mula-mula tubuh melakukan kompensasi (syok
terkompensasi), namun apabila mekanisme tersebut tidak berhasil pasien
akan jatuh kedalam syok dekompensasi yang dapat berupa syok hipotensif
dan profound shock yang menyebabkan asidosis metabolik, gangguan
organ progesif, dan koagulasi intravaskular diseminata. Perdarahan hebat
yang terjadi menyebabkan penurunan hematokrit dan jumlah leukosit yang
semula leukopenia dapat meningkat sebagai respon stres pada pasien
dengan perdarahan hebat. Beberapa pasien masuk ke fase kritis
perembesan plasma dan kemudian mengalami syok sebelum demam turun,
pada pasien tersebut peningkatan hematokrit serta trombositopeni terjadi
sangat cepat. Selain itu pada pasien demam berdarah dengue baik yang
disertai syok atau tidak dapat terjadi keterlibatan organ mislanya hepatitis
berat, ensefalitis, miokarditis, dan atau perdarahan hebat yang dikenal
sebagai expanded dengue syndrome.
16
Fase penyembuhan
Apabila pasien dapat melalui fase kritis yang berlangsung sekitar
24-28 jam, terjadi reabsorbsi cairan dari ruang ekstravaskular ke dalam
ruang intravaskular yang berlangsung secara bertahap pada 48-72 jam
berikutnya. Keadaan umum dan nafsu makan membaik, gejala
gastrointestinal mereda, status hemodinamik stabil, dan diuresis menyusul
kemudian. Pada beberapa pasien dapat ditemukan ruam konvalesen,
beberapa kasus lain dapat disertai pruritus umum. Bradikardi dan
perubahan elektrokardiografi pada umumnya terjadi pada tahap ini.
Hematokrit kembali stabil atau mungkin lebih rendah karena efek dilusi
cairan yang direabsorbsi. Jumlah leukosit mulai meningkat segera setelah
penurunan suhu tubuh akan tetapi pemulihan jumlah trombosit umumnya
lebih lambat. Gangguan pernapasan akibat efusi pleura masif dan ascites,
edem paru atau gagal jantung kongestif akan terjadi selama fase kritis dan
atau fase pemulihan jika cairan intravena diberikan berlebihan.
17
Tabel II.2 Diagnosis banding pada fase demam DBD
Flu like syndrome Influenza, campak, chikungunya,
mononukleosis, infeksiosa
Penyakit dengan ruam Rubela, campak, demam skarlatina,
infeksimeningokokus, chikungunya,
reaksi obat (drug fever)
Penyakit diare Rotavirus dan infeksi
mikroorganisme enterik lain
Penyakit dengan manifestasi Meningoensefalitis, kejang demam
neurologi
18
fase ini umumnya tetap sadar, sehingga dokter yang kurang
berpengalaman mungkin tidak mengetahui bahwa pasien sudah berada
dalam keadaan kritis. Pemberian cairan yang adekuat pada umumnya akan
memberikan prognosis yang baik. Bila keadaan kritis luput dari
pengamatan sehingga pengobatan tidak diberikan dengan cepat dan tepat,
maka pasien akan jatuh kedalam syok dekompensasi.
Syok dekompensasi (DBD derajat IV)
Pada keadaan ini tekanan sistolik dan diastolik telah menurun,
disebut syok hipotensif. Selanjutnya apabila pasien terlambat berobat dan
pemberian pengobatan tidak adekuat akan terjadi profound shock yang
ditandai dengan nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak terukur, sianosis
makin jelas terlihat.
20
Kelebihan cairan terjadi karena hanya melihat kadar HB dan HCT
tanpa memperhatikan hari sakit.
Gangguan elektrolit
Gangguan elektrolit sering terjadi selama fase kritis yaitu
hiponatremi dan hipokalsemi, sedangkan hipokalemi lebih sering
pada fase konvalesens. Hiponatremi terjadi akibat pemberian cairan
infus larutan hipotonis yang tidak adekuat. Hipokalsemi akibat
perembesan kalsium mengikuti albumin masuk ke rongga pleura
atau peritoneal. Hipokalemi disebabkan adanya kondisi stres dan
pemberian diuretik.
Perdarahan masif
Adanya aktivasi koagulasi yang luas menyebabkan
pembentukan fibrin intravaskular dan oklusi pembuluh darah kecil
yang mengakibatkan timbulnya trombosis. Peningkatan
21
penggunaan trombosit pada KID menyebabkan makin menurunnya
jumlah trombosit dan faktor pembekuan sehingga memicu
perdarahan hebat.
Perdarahan berat pada infeksi dengue umumnya terjadi
pada saluran cerna berupa hematemesis, hematokesia, dan melena.
Hematemesis adalah muntah darah segar kemerahan atau coklat-
kehitaman. Melena adalah tinja yang bewarna hitam sedangkan
hematokesia adalah keluarnya darah segar dari anus bercampur
tinja.
Infeksi ganda
Didaerah endemik infeksi dengue terjadi bersamaan dengan
infeksi lain seperti diare akut, pneumonia, campak, cacar air,
demam tifoid, infeksi saluran kemih, leprospirosis, dan malaria.
Jika pasien infeksi dengue masih mengalami demam setelah fase
kritis dan syok terlewati maka sumber infeksi lainnya harus dicari.
Infeksi yang terjadi sebelum masuk rumah sakit (infeksi saluran
cerna, infeksi saluran pernapasan, infeksi saluran kemih, infeksi
kulit). Infeksi yang didapat saat dirumah sakit (tromboflebilits,
pneumonia, infeksi saluran kemih akibat pemasangan kateter urin
dan sepsis).
Kelainan ginjal
Kelainan ginjal akut umumnya terjadi pada fase terminal
syok. Untuk mencegah gagal ginjal maka setelah syok diatas
dengan mengisi volume intravaskular, penting diperhatikan apakah
benar syok telah teratasi dengan baik. Diuresis sebagai parameter
yang penting dan mudah dikerjakan untuk mengetahui apakah syok
telah teratasi. Diuresis diusahakan > 1 mL/kgBB/jam. Oleh karena
jika syok belum teratasi dengan baik, sedangkan volume cairan
telah dikurangi dapat terjadi acute kidney injuri (AKI), ditandai
penurunan jumlah urin dan peningkatan kadar ureum dan kreatinin.
22
Miokarditis
Disfungsi kontraktilitas miokardium dapat terjadi pada
pasien infeksi dengue yang mengalami syok berkepanjangan.
Penyebabnya terutama adalah asidosis metabolik, hipokalsemia dan
kardiomiopati. Beberapa pasien dengan edema paru atau kelebihan
cairan dapat mengalami miokarditis, sehingga jika didapatkan
kecurigaan terhadap miokarditis pemberian cairan harus berhati-
hati.
23
II.7.4 Uji Serologi Serum Imun
Pemeriksaan respon imun serum berupa haemaglutinasi inhibition
test (UJI H1), complement fixation test (CFT), neutrlization test (Uji
neutralisasi), pemeriksaan serologi IgM dan igG anti dengue.
Pada pemeriksaan serologi IgM dan IgG anti dengue dimana IgM
anti dengue muncul pada infeksi primer sedangkan IgG anti dengue
muncul pada infeksi sekunder karena kadar igG dalam serum bertahan
lama dengan memanfaatkan teknik ELISA mikro.
Pada pemeriksaan uji serologi H1 pada infeksi primer, titer
antibodi H1 pada masa akut yaitu apabila serum diperoleh sebelum hari
ke-4 sakit adalah kurang dari 1: 20 dan titer akan naik 4 x pada masa
konvalesen tetapi tidak melebihi 1 : 1280. Pada infeksi sekunder oleh virus
dengue baru ditandai titer antibodi H1 kurang dari 1 : 20 pada masa akut
sedangkan pada masa konvalesen titer bernilai sama atau lebih besar dari
1:2560. Persangkaan adanya infeksi sekunder yang baru terjadi ditandai
oleh titer antibodi H1 yang sama atau lebih besar dari pada 1 : 1280 pada
masa akut dalam hal ini tidak diperlukan kenaikan titer 4 x atau lebih besar
pada masa konvalesen.
24
namun lebih sering pada demam berdarah dengue. Penurunan trombosit
<100.000 / uL terjadi pada akhir fase demam memsuki fase kritis atau saat
penurunan suhu. Trombositopeni ditemukan pada hari sakit ketiga sampai
ke delapan.
Hematokrit
Peningkatan ringan pada umumnya disebabkan oleh demam tinggi
anoreksi dan muntah. Peningkatan hematokrit lebih dari 20% merupakan
tanda dari adanya kebocoran plasma. Trombositopeni < 100.000 / uL dan
peningkatan hematokrit lebih dari 20 % merupakan bagian dari diagnosis
klinis DBD.
25
Nyeri kepala, mialgia, atralgia, nyeri retroorbita
Dijumpai kasus DBD baik di lingkungan sekolah, rumah atau
disekitar rumah
Hepatomegali
Terdapat kebocoran plasma yang ditandai dengan salah-satu
tanda/gejala:
Peningkatan nilai hematokrit > 20 % dari pemeriksaan
awal atau dari populasi menurut umur
Ditemukan adanya efusi pleura, asites
Hipoalbumin, hiponatremi
Trombositopeni < 100.000 / mm3
Demam disertai dengan dua atau lebih manifestasi klinis,
ditandai bukti perembesan plasma dan trombositopeni cukup
untuk menegakkan diagnosis DBD
Tanda bahaya
Demam turun tetapi keadaan anak memburuk
Nyeri perut dan nyeri tekan abdomen
Muntah yang menetap
Letargi, gelisah
Perdarahan mukosa
Nadi kecil
Hepatomegali
Akumulasi cairan
Oliguria
Peningkatan kadar hematokrit dengan penurunan cepat jumlah
trombosit.
II.8.3 Diagnosis Klinis Dengue Syok Syndrom
Syok Terkompensasi (DBD derajat III)
Takikardi
Takipnea
tekanan nadi (sistolik dan diastolik < 20 mmHg)
waktu pengisian kapiler > 2 detik
26
kulit dingin
produksi urin < 1 ml/kgbb/jam
anak gelisah
Syok Dekompensasi (DBD derajat IV)
Takikardi
Hipotensi (sistolik dan diastolik turun)
Nadi cepat dan kecil pernapasan kusmaul atau hiperpnea
Sianosis
kulit tembab dan dingin
profound syok : nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak
terukur
II.8.4 Diagnosis Klinis Expanded Dengue Syndrome
Memenuhi kriteria DD atau DBD baik disertai syok maupun tidak,
manifestasi klinis komplikasi infeksi virus dengue atau dengan
manifestasi klinis yang tidak biasa, seperti tanda dan gejala:
kelebihan cairan
gangguan elektrolit
ensefalopati
ensefalitis
perdarahn hebat
gagal ginjal akut
haemolitik uremic syndrome (HUS)
gangguan jantung: gangguan konduksi, miokarditis,
perikarditis
infeksi ganda
27
Hindari pemberian asetilsalisilat, NSAID (Ibuprofen) karena dapat
menyebabkan gastritis dan perdarahan. Anak dianjurkan cukup minum,
boleh air putih, teh, sirup, susu namun lebih baik bila diberikan cairan
yang mengandung elektrolit seperi jus buah, oralit atau air tajin. Tanda
kecukupan cairan adalah diuresis setiap 4 – 6 jam.
Pasien rawat jalan harus kembali berobat setiap hari dan dinilai
oleh petugas kesehatan sampai melewati fase kritis (hari sakit ke 3-5).
Mengenai pola demam, jumlah cairan yang keluar dan masuk (muntah,
buang air kecil), tanda perembesan plasma dan perdarahan serta
pemeriksaan darah lengkap.
Pasien harus segera dibawa kerumah sakit jika ditemukan satu atau
lebih keadaan berikut: pada saat suhu turun keadaan anak memburuk,
nyeri perut hebat, muntah terus-menerus, tangan dan kaki dingin dan
lembab, letargi atau gelisah/rewel, anak tampak lemas, perdarahan
(misalnya buang air besar bewarna hitam atau muntah hitam), sesak napas,
tidak buang air kecil lebih 4-6 jam atau kejang.
Kebanyakan penderita demam dengue setelah panas turun, merasa
tampak lebih segar timbul nafsu makan dan akan segera sembuh tanpa
disertai komplikasi sehingga tidak membutuhkan pengobatan khusus.
Kadang timbul gejala klinis “konfalescence petechal rash” pada tangan
atau kaki dengan memberi kesan seperi sarung tangan atau kaus kaki.
28
Sumber : Idai 2015
Gambar II.4 Tatalaksana Kasus tersangka DBD
29
Periode febris
Tatalaksana demam berdarah dengue fase demam tidak berbeda
dengan tatalaksana demam dengue, bersifat simtomatik dan suportif yaitu
antipiretik parasetamol 10mg/kgbb/x diberikan setiap 4-6jam. Bila disertai
kejang deman disamping antipiretik diberikan antikonvulsif selama masih
demam. Pemberian cairan oral untuk mencegah dehidrasi. Jenis minuman
yang dianjurkan adalah jus buah, teh manis, sirup, susu serta larutan oralit.
Pasien perlu diberikan minuman 50 ml/kgbb dalam 4-6 jam pertama.
Apabila penderita tidak mau minum, muntah terus, atau panas yang terlalu
tinggi maka pemberian cairan intravena rumatan menjadi pilihan.
Apabila cairan intravena dijadikan pilihan terapi, maka dikenal
formula untuk memenuhi cairan rumatan yaitu formula halliday segar
dengan rincian sbb:
Tabel II.4 Kebutuhan Cairan Rumatan
Berat badan (Kg) Cairan Rumatan (volume)/24 jam
10 100cc/kgbb
10-20 1000cc + 50cc/kgbb (diatas 10)
>20 1500cc + 20cc/kgbb (diatas 20)
Pada anak gemuk, kebutuhan cairan disesuaikan berat badan ideal untuk
anak umur yang sama.
Setiap derajat C peningkatan temperatur, cairan ditambah 12 % dari
kebutuhan rumatan.
Untuk cairan rumatan ini dapat diberikan solutio D5 ½ saline untuk anak
usia >3 tahun atau D5 ¼ saline untuk penderita berumur ≤3 tahun.
Lakukan observasi secara cermat setiap 6 jam tanda vitalnya, dengan
tujuan untuk mendeteksi tanda kebocoran plasma yang mengarah ke
demam berdarah dengue.
Periode Afebris
Pada saat temperatur turun, pada demam berdarah dengue terjadi 2
fenomena yang dapat membawa penderita pada keadaan kritis bahkan
30
dapat berakhir pada kematian apabila tidak tertangani dengan benar yaitu
gangguan hemostatik berupa penurunan jumlah dan kwalitas trombosit,
gangguan faktor beku darah, disseminated intravascular coagulation, dan
kebocoran plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas pembuluh
darah. WHO (1975), Defisit plasma dalam pembuluh darah pada penyakit
demam berdarah dengue dibedakan menjadi 4 derajat.
Derajat I : Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya
manifestasi perdarahan adalah uji tourniquet positif.
Derajat II : Derajat I disertai perdarahan spontan di kulit dan atau
perdarahan lain.
Derajat III : Ditemukannya tanda kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat
dan lembut, tekanan nadi menurun (≤20mmHg) atau hipotensi disertai
kulit dingin, lembab, dan pasien menjadi gelisah.
Derajat IV : Syok berat, nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak
dapat diukur.
Penggantian volume plasma pada DBD harus diberikan dengan
bijaksana dan hati-hati. Kebutuhan cairan awal dihitung untuk 2 atau 3 jam
pertama, sedangkan pada kasus syok mungkin lebih sering setip 30 – 60
menit. Tetesan dalam 24 – 48 jam berikutnya harus selalu disesuaikan
dengan tanda vital, kadar hematokrit dan jumlah volume urin.
Jenis cairan yang direkomendasikan oleh WHO ialah larutan
kristaloid dan larutan koloid. Larutan kristaloid seperti larutan ringer lakat
(RL) atau dekstrosa 5 % dalam larutan ringer laktat (D5/RL), ringer asetat
(RA) atau dektrosa 5% dalam larutan ringer asetat(D5/RA), NaCl 0,9%
atau dextrosa 5% dalam larutan garam faali. Sedangkan larutan koloid
adalah dekstran 40 dan plasma darah.
Penggunaan cairan kristaloid merupakan terapi utama, baik pada
DD, DBD maupun DSS. Pada DSS, cairan kristaloid digunakan pada
86,1% kasus, sedang plasma ekpander 56,1%. Cairan koloid digunakan
pada resusitasi kedua pada DSS apabila dengan cairan kristaloid tidak
membaik. Penelitian Bridget dkk menunjukkan tidak ada perbedaan
bermakna pada resusitasi awal antar cairan kristaloid (RL) dengan koloid
31
(dextran 70 atau HES 6%), koloid lebih sering menyebabkan efek
samping. Pada penelitian di Thailand, 30%-50% DSS mendapatkan cairan
koloid. Penggunaan komponen darah (plasma, PRC dan trombosit) lebih
sering pada DSS, 16,3% pasien mendapatkan tranfusi trombosit oleh
karena terjadi perdarahan aktif disertai trombositopenia, 9,3%
mendapatkan tranfusi PRC, sedangkan pada DBD 5,1% mendapatkan
tranfusi trombosit dan 4,8% transfusi PRC. Penelitian di Thailand
mendapatkan penggunaan komponen darah 5%-30% pada kasus (Hartoyo,
2008).
Antibiotik masih digunakan pada DSS dengan komplikasi sepsis,
39,5% DSS mendapatkan antibiotik oleh karena disertai sepsis. Angka
kematian pasien DSS 6,9%, pada umumnya kematian disebabkan oleh
disseminated intravascular coagulation (DIC) atau multiple organ
difunction syndrome (MODS) akibat syok lama. Pada penelitian di India,
angka kematian pasien DSS 9,3%, sedangkan di Philipina 2%. Pada
umumnya angka kematian oleh karena syok tidak teratasi lebih dari satu
jam, sehingga terjadi komplikasi lainnya (Hartoyo, 2008).
32
Pemberian oksigen
Terapi 2 liter per menit harus selalu diberikan pada semua pasien
syok. Dianjurkan pemberian dengan menggunakan masker.
Transfusi darah
Penurunan hematokrit (misalnya dari 50 % ke 40 %) tanpa
perbaikan klinis walaupun telah diberikan cairan yang mencukupi,
merupakan tanda perdarahan. Pemberian darah segar dimaksudkan untuk
menaikkan konsentrasi sel darah merah. Plasma segar dan atau suspensi
trombosit berguna untuk pasien dengan DIC yang menimbulkan
perdarahan masif.
Kelainan ginjal
Bila diuresis belum mencukupi 2 ml/kgbb/jam sedangkan cairan
yang diberikan sudah sesuai kebutuhan maka selanjutnya furosemid 1
mg/kgbb dapat diberikan. Pemantauan tetap perlu dilakukan untuk jumlah
diuresis, kadar ureum dan kreatinin. Tetapi apabila diuresis tetap belum
mencukupi, pada umumnya syok juga belum dapat dikoreksi dengan baik,
maka pemasangan CVP (central venous pressure) perlu dilakukan untuk
pedoman pemberian cairan selanjutnya.
Monitoring
Monitoring nadi, tekanan darah, respirasi dan temperatur harus
dicatat setiap 15-30 menit atau lebih sering sampai syok dapat teratasi.
Kadar hematokrit harus diperiksa tiap 4-6 jam sampai keadaan pasien
stabil.
Kriteria memulangkan pasien
Pasien dapat dipulangkan apabila tidak demam selama 24 jam
tanpa antipiretik, nafsu makan membaik tampak perbaikan secara klinis,
hematokrit stabil, tiga hari setelah syok teratasi, jumlah trombosit >
50.000/ul dan cenderung meningkat serta tidak dijumpai distres pernafasan
(disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis).
33
Demam berdarah dengue derajat I dan II
RL 7 cc/kgbb/1 jam
Monitor vital sign (VS) dan nilai Hematokrit (PCV) dan trombosit tiap 6-12
jam
Membaik Memburuk
RL 15 cc/kgbb/1 jam
Membaik 24 -48 jam
sumber:PDT 2008
Membaik
Gambar II.5 Tatalaksana Kasus DBD derajat 1 dan II
Keterangan gambar II.5. Pasien keluhan demam 2-7 hari, uji tourniquet + dan
terdapat perdarahan spontan serta peningkatan hematokrit > 20% dari
pemeriksaan sebelumnya dan trombosit <100.000. pada saat pasien datang
berikan cairan kristaloid 7 cc/kgbb/1jam. Monitor tanda vital, kadar hematokrit
serta trombosit tiap 6 jam. Selanjutnya evaluasi 12-24 jam.
1. Apabila selama observasi keadaan umum baik, yaitu anak tampak tenang,
tekanan nadi kuat, tekanan darah stabil, diuresis cukup 1ml/kgbb/jam, dan
kadar PCV cenderung turun dalam 2 kali pemeriksaan berturut-turut, maka
tetesan dikurangi menjadi 5 ml/kgbb/jam. Apabila dalam observasi
34
selanjutnya tanda vital tetap stabil, tetesan dikurangi menjadi 3ml/kgbb/jam
dan akhirnya cairan dihentikan pada 24-48 jam.
2. Apabila keadaan klinis anak tidak ada perbaikan, anak tampak gelisah, nafas
cepat, frekuensi nadi meningkat, diuresis kurang, tekanan nadi < 20 mmhg,
peningkatan pcv, maka tetesan dinaikkan 10cc/kgbb/1jam. Apabila keadaan
tetap buruk namun respon masih ada, cairan dinaikkan lagi 15cc/kgbb/1jam.
Apabila tampak distres napas makin berat dan pcv naik maka berikan cairan
koloid 20cc/kgbb cepat. Namun bila pcv turun berikan transfusi darah segar
10cc/kgbb/jam. Bila keadaan klinis membaik maka cairan disesuaikan.
35
Demam berdarah dengue derajat III
Kristaloid Koloid
10cc/kgbb/1jam 20cc/kgbb/cepat
Kristaloid
Kristaloid Kristaloid
3cc/kgbb/1jam Perdarahan + Perdarahan -
5cc/kgbb/1jam 10cc/kgbb/1jam
Kristaloid
5cc/kgbb/1jam
Kristaloid
Sumber: PDT 2008 3cc/kgbb/1jam
36
dan nadi tiap 15 menit, hematokrit dan trombosit tiap 4-6 jam. Periksa
elektrolit dan gula darah.
2. Apabila dalam 30 menit syok belum teratasi, tetesan ringer laktat belum
dilanjutkan 20cc/kgbb, ditambah koloid 20cc.kgbb cepat. Observasi keadaan
umum, tekanan darah, nadi tiap 15 menit, dan hct tiap 4-6jam. Koreksi
asidosis, elektrolit dan gula darah.
Apabila syok telah teratasi disertai penurunan kadar hb/hct, tekanan nadi
> 20 mmhg, nadi kuat, maka tetesan cairan kristaloid dikurangi menjadi
10 cc/kgbb/1jam. Keadaan klinis membaik tetasan diturunkan
7cc/kgbb/1jam. Kemudian secara bertahap diturunkan menjadi
5cc/kgbb/1jam dan seterusnya 3cc/kgbb/1jam. Dianjurkan pemberian
cairan tidak melebihi 48 jam setelah syok teratasi. Observasi klinis
tekanan darah, nadi, jumlah urin dikerjakan tiap jam (>1ml/kgbb/jam)
dan pemeriksaan hematokrit dan trombosit tiap 4-6jam sampai keadaan
umum membaik.
Apabila syok belum teratasi sedangkan hct menurun tetapi masih > 40
vol%, berikan darah dalam volume kecil 10 ml/kgbb. Apabila tampak
perdarahan masiv berikan darah segar 20 cc/kgbb dan lanjutkan cairan
kristaloid 10cc/kgbb/1jam.
Keterangan gambar II.7 sindrom syok dengue dekompensasi adalah DBD derajat
IV, dengan gejala nadi tidak teraba, dan tensi tidak terukur, penurunan kesadaran,
distres nafas/sianosis, kulit dingin/lembab, ekstremitas dingin.
37
secara bertahap menjadi 7cc/kgbb/1jam, 5cc/kgbb/1jam dan 3cc/kgbb/1jam.
Bila memburuk berikan kristaloid 10cc/kgbb/1jam. Keadaan tetap buruk dan
respon tidak ada hati-hati bila terjadi perdarahan segera transfusi whole blood
dan bila perdarahan tidak ada namun respon memburuk berikan inotropik.
Tetap buruk/respon -
Membaik
Koloid Koloid
10cc/kgbb/1jam 20cc/kgbb cepat
Kristaloid
10cc/kgbb/1jam Kristaloid Kristaloid Kristaloid
10cc/kgbb/1jam 7cc/kgbb/1jam 10cc/kgbb/1jam
Kristaloid
7cc/kgbb/1jam Kristaloid Kristaloid Membaik
7cc/kgbb/1jam 5cc/kgbb/1jam Tetap buruk
/respon-
Kristaloid Kristaloid
5cc/kgbb/1jam Kristaloid Kristaloid
7cc/kgbb/1jam
5cc/kgbb/1jam 3cc/kgbb/1jam Perdarahan + Perdarahan -
Kristaloid
Kristaloid
3cc/kgbb/1jam Kristaloid
5cc/kgbb/1jam Transfusi
3cc/kgbb/1jam whole bood Inotropik
10cc/kgbb
Kristaloid
Sumber: PDT 2008 3cc/kgbb/1jam
Gambar II.7 Tatalaksana Kasus DBD derajat IV
38
II.9.3 Tatalaksana fase pemulihan (recovery phase)
Fase pemulihan ditandai dengan perbaikan klinis, nafsu makan
membaik, dan secara umum tampak membaik
Status hemodinamik dan perfusi perifer yang baik perlu dipantau
dengan baik
Didapatkan penurunan kadar hematokrit ke kadar basal dan volume
urin yang cukup
Pemberian cairan intravena tidak boleh dilanjutkan lagi untuk
mencegah kelebihan cairan karena pada fase pemulihan cairan dari
ekstravaskular kembali masuk ke dalam rongga intravaskular
Pada pasien dengan efusi pleura yang luas dan asites, pada fase
pemulihan mudah terjadi kelebihan cairan, maka dapat diberikan
furosemid 1 ml/kgbb/x untuk mengurangi oedem paru. Apabila efusi
pleura hanya sedikit dan keadaan umum anak baik, tidak perlu
diberikan diuretika karena akan direabsorbsi spontan.
Mungkin terjadi hipokalemia yang disebabkan oleh stres dan diuresis,
perlu segera di koreksi dengan memberikan buah yang kaya kalium
atau suplemen
Tidak jarang dijumpai bradikardi, maka perlu pemantauan untuk
terjadinya penyulit yang jarang yitu heart block atau ventricular
premature contraction.
39
II.9.5 Kriteri pulang rawat
Tidak demam minimal 24 jam tanpa terapi antipiretik
Nafsu makan membaik
Perbaikan klinis yang jelas
Jumlah urin cukup
Minimal 2 – 3 hari setelah syok teratasi
Tidak tampak distres pernapasan yang disebabkan efusi pleura atau
asites
Jumlah trombosit > 50.000/mm3 . apabila masih rendah namun klinis
baik, pasien boleh pulang dengan nasihat jangan melakukan aktivitas
yang memudahkan untuk mengalami trauma selama 1 – 2 minggu
(sampai trombosit normal). Pada umumnya apabila tidak ada penyulit
atau penyakit lain yang menyertai (misalnya idiopatik trombositopeni
purpura = ITP), trombosit akan kembali ke kadar normal dalam waktu
3-5 hari.
II.10 Pemberantasan
41
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Penderita infeksi virus dengue tetap ditemukan dalam jumlah yang banyak
di Indonesia, walaupun angka kematian telah dapat ditekan tetapi penyakit ini
masih menjadi masalah kesehatan masyarakat
Infeksi virus dengue merupakan penyebab demam dengue, demam
berdarah dengue, dengue syok sindrom dan expanded dengue sindrom. penyakit
ini ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti yang terinfeksi
virus dengue. Virus dengue masuk dalam kelompok arbovirus yang dikenal
dengan genus Flavivirus dan famili Flaviviride. Mempunyai 4 jenis serotipe,
yaitu: Den-1, Den-2, Den-3, Den-4.
Patogenesis virus dengue yakni Virus dengue masuk kedalam tubuh inang
kemudian mencapai sel target yaitu makrofag. Sebelum mencapai sel target maka
respon immune non-spesifik dan spesifik tubuh akan berusaha menghalanginya.
Aktivitas komplemen pada infeksi virus dengue diketahui meningkat seperti C3a
dan C5a mediator-mediator ini menyebabkan terjadinya kenaikan permeabilitas
kapiler celah endotel melebar lagi. Akibat kejadian ini maka terjadi ekstravasasi
cairan dari intravaskuler ke extravaskuler dan menyebabkan terjadinya tanda
kebocoran plasma seperti hemokonsentrasi, hipoproteinemia, efusi pleura, asites,
penebalan dinding vesica fellea dan syok hipovolemik.
Kenaikan permeabilitas kapiler ini berimbas pada terjadinya
hemokonsentrasi, tekanan nadi menurun dan tanda syok lainnya merupakan salah
satu patofisiologi yang terjadi pada DBD.
Pengendalian DBD yang utama adalah dengan memutus rantai penularan
yaitu dengan pengendalian vektornya, karena sampai saat ini vaksin dan obatnya
belum ada. Vektor DBD yaitu nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus
pengendaliannya tidak mungkin berhasil dengan baik kalau hanya dilakukan oleh
sektor kesehatan, karena berbasis lingkungan dan nyamuk Aedes berkembang
biak di wilayah permukiman penduduk. Untuk mencegah resistensi dan
effektifitas, maka penggunaan insektisida harus selektif, tepat sasaran, tepat dosis,
tepat waktu, tepat cakupan. Peran serta masyarakat dan lintas sektor terkait harus
ditingkatkan secara berkesinambungan melalui penyuluhan dan promosi
kesehatan untuk mengendalikan sumber nyamuk melalui 3M plus atau
pemberantasan sarang nyamuk (PSN) terpadu. Untuk meningkatkan daya ungkit
pengendalian DBD akan terlaksana dengan baik kalau digerakkan oleh
Kementrian dalam negeri termasuk pemerintah daerah di semua tingkat
administrasi dan dukungan dukungan teknik dari sektor kesehatan.
42
DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI. 2016. Kendalikan DBD Dengan PSN 3M Plus, tersedia pada
http://www.depkes.go.id/article/view/16020900002/kendalikan-dbd-
dengan-psn-3m-plus.html#sthash.5gvJWjea.dpuf, diakses pada 7
September 2016.
Hartoyo, Edi. 2008. Spektrum Klinis Demam Berdarah Dengue pada anak, Bagian
Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Lambung
Mangkurat/RSUD. Ulin Banjarmasin, Sari Pediatri,Volume 10 Edisi 3,
Oktober 2008.
IDAI. 2010. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis, Infeksi Virus Dengue, Edisi
II, Badan Penerbit IDAI, Jakarta, hal. 155-181.
Kemenkes RI. 2016. Wilayah Klb Dbd Ada Di 11 Provinsi, tersedia pada
http://www.depkes.go.id/article/print/16030700001/wilayah-klb-dbd-ada-
di-11-provinsi.html, diakses pada 7 September 2016.
Pedoman Diagnosis dan Terapi. 2008. Infeksi Virus Dengue, Bag/SMF Ilmu
Kesehatan Anak Rumah sakit Umum Dokter Soetomo Surabaya, hal. 102-
110.
UKK Infeksi dan penyakit Tropis IDAI. 2014. Pedoman Diagnosis dan Tata
Laksana Infeksi Virus Dengue pada Anak, Edisi 1, Badan Penerbit IDAI,
Jakarta, hal. 7 – 69.
43