Mycobacterium Leprae
Mycobacterium Leprae
Klasifikasi ilmiah.
Kerajaan :Bacteria
Filum : Actinobacteria
Ordo :Actinomycetales
Upaordo : Corynebacterineae
Famili : Mycobacteriaceae
Genus : Mycobacterium
Morfologi
Mycobacterium leprae juga disebut Basillus Hansen, adalah bakteri yang menyebabkan penyakit
kusta (penyakit Hansen). Bakteri ini merupakan bakteri intraselular. M. leprae merupakan gram-
positif berbentuk tongkat. Mycobacterium leprae merupakan pathogen intrasel obligat sehingga
belum dapat dibiakkan invitro (media tak hidup). Bakteri sering ditemukan pada sel endothelial
pembuluh darah atau sel mononuclear (makrofag) sebagai lingkungan yang baik untuk bertahan
hidup dan perkembangbiakan. Perkiraan waktu bagi bakteri ini bereplikasi adalah 10-12 hari
(Martiny, 2006).
Basil lepra ini tahan terhadap degradasi intraseluler oleh makrofag, mungkin karena
kemampuannya keluar dari fagosom ke sitoplasma makrofag dan berakumulasi hingga mencapai
1010 basil/gram jaringan pada kasus lepratype lepromatus. Kerusakan syaraf perifer yang terjadi
merupakan sebuah respon dari system imun Karena adanya basil ini sebagai antigen. Pada lepra
type tuberkuloid, terjadi granuloma yang sembuh dengan sendirinya bersifar berisi sedikit basil
tahan asam (Martiny, 2006).
Bakteri Mycobacterium leprae berbentuk batang, langsing atau sedikit membengkok dengan
kedua ujung bakteri tumpul, tidak bergerak, tidak memiliki spora dan tidak berselubung. Sel-sel
panjang, ada kecenderungan untuk bercabang. Berukuran 1-7 x 0,2-0,5m, bersifat gram positif,
tahan asam, letak susunan bakteri tunggal atau sering bergerombol serupa tumpukan cerutu
sehingga sering disebut packed of cigarette, atau merupakan kelompok padat sehingga tidak
dapat dibedakan antara bakteri yang satu dengan yang lainnya, kadang-kadang terdapat
granulaBentuk-bentuk M. leprae yang dapat ditemukan dalam pemeriksaan mikroskopis adalah :
(Martiny, 2006).
1. Bentuk utuh (solid): dinding sel bakteri tidak terputus, mengambil zat warna secara
sempurna. Jika terdapat daerah kosong/transparan ditengahnya juga dapat dikatakan solid
2. Bentuk globus: adalah bentuk solid yang membentuk kelompok, dapat dibagi 2, yaitu :
1. Globus besar terdiri dari 200-300 bakteri
2. Globus kecil terdiri dari 40-60 bakteri
3. Bentuk pecah (fragmented): dinding bakteri biasanya terputus sebagian atau seluruhnya,
tidak menyerap zat warna secara merata.
4. Bentuk berbutir-butir (granuler): tampak seperti titik-titik yang tersusun
5. Bentuk clump adalah bentuk granuler yang membentuk kelompok tersendiri, biasanya
llebih dari 500 bakteri.
Pengecatan
Agen Penyakit
Mycobacterium lepra merupakan agen penyakit Lepra (penyakit Hansen) adalah infeksi
menahun yang terutama ditandai oleh adanya kerusakan saraf perifer (saraf di luar otak dan
medulla spinalis), kulit, selaput lendir hidung, buah zakar (testis) dan mata. Untuk mendiagnosa
penyakit leprae, maka dilakukan pemeriksaan mikroskopis dari pewarnaan bakteri tahan asam,
uji sitologi dari sel kulit yang terinfeksi dan tes kulit lepromin. Sampai saat ini belum dapat
dilakukan pemeriksaan kultur terhadap M. leprae(Minasari, 2009).
Uji serologi non treponemal terhadap sifilis seperti VDRL dan RPR kadang-kadang menunjukan
hasil positif palsu dari sampel penderita lepra. Diagnosis penyakit kusta ditegakkan jika
seseorang mempunyai satu atau lebih tanda utama (cardinal sign) kusta yang ditemukan pada
waktu pemeriksaan klinis. Cardinal Sign kusta dapat berupa bercak mati rasa, penebalan syaraf
dengan gangguan fungsi syaraf serta BTA positif (Minasari, 2009)
Sabtu, 29 Oktober 2011
Mycobacterium leprae
Kerajaan : Bacteria
Filum : Actinobacteria
Ordo : Actinomycetales
Upaordo : Corynebacterineae
Famili : Mycobacteriaceae
Genus : Mycobacterium
Spesies : M. leprae
Mycobacterium leprae, juga disebut Basillus Hansen, adalah bakteri yang menyebabkan
penyakit kusta (penyakit Hansen). Bakteri ini merupakan bakteri intraselular. M. leprae merupakan
gram-positif berbentuk tongkat. Mycobacterium leprae mirip dengan Mycobacterium tuberculosis dalam
besar dan bentuknya.
Jenis
Ada tiga bentuk penyakit: tuberkuloid, batas, dan lepromatosa, yang paling parah. Modus tepat
transmisi tidak sepenuhnya dipahami. Para bakteri kemungkinan menyebar melalui kontak langsung dan
dispersement di udara melalui batuk atau bersin.
Tanda dan Gejala
Intraseluler dan ekstraseluler massa, globi disebut, sering ditemukan pada korban lepromatosa kusta .
faktor Virulensi (elemen yang membantu bakteri penyebab penyakit) meliputi lapisan luar lilin, dibentuk
oleh produksi asam mycolic unik untuk mikobakteri.
Masa inkubasi kusta bisa panjang. Dalam kasus yang tidak biasa, periode ini bisa sepanjang dua puluh
tahun, atau sesedikit dua.
Tahap awal infeksi termasuk lesi kulit, yang dapat menyebabkan kelumpuhan atau hilangnya sensasi di
daerah, dan akhirnya kehilangan kaki. Kebutaan dapat terjadi sebagai uang muka penyakit.
Penyebab
Mycobacterium leprae adalah agen penyebab penyakit, kusta , juga dikenal sebagai Hansen's Disease.
Mikobakteri memiliki dinding sel yang tidak biasa yang menyebabkan mereka menjadi lambat tumbuh
dan tahan terhadap banyak antibiotik digunakan untuk mengobati infeksi bakteri lain. Untuk alasan ini
tes laboratorium untuk mikobakteri khusus dan memerlukan prosedur khusus, fasilitas dan pelatihan.
Kebanyakan spesies mikobakteri tidak menyebabkan penyakit pada manusia. Manusia patogen yang
paling penting adalah Mycobacterium tuberculosis (yang menyebabkan TBC ) dan Mycobacterium leprae
(yang menyebabkan lepra ). Banyak spesies mikobakteri digambarkan sebagai patogen fakultatif atau
oportunistik. Artinya, mereka dapat menyebabkan penyakit pada manusia dalam kondisi tertentu. Paling
sering kondisi termasuk dikompromikan manusia sistem kekebalan tubuh .
Diagnosa
Mycobacterium leprae adalah organisme berbentuk batang asam-cepat kuat dengan sisi sejajar dan
berakhir bulat. Dalam ukuran dan bentuk itu mirip dengan basil tuberkel. Hal ini terjadi dalam jumlah
besar di lesi kusta lepromatosa, terutama di massa dalam kusta sel , seringkali dikelompokkan bersama-
sama seperti kumpulan dari cerutu atau diatur dalam sebuah pagar. Rantai tidak pernah terlihat. Yang
paling mencolok adalah massa intraseluler dan ekstra-seluler, yang dikenal sebagai globi, yang terdiri
dari gumpalan basil dalam bahan kapsul. Di bawah mikroskop elektron basil tampaknya memiliki
berbagai macam bentuk. paling umum adalah filamen sedikit melengkung 3-10 um panjang berisi
pengaturan yang tidak teratur bahan padat kadang-kadang dalam bentuk batang. struktur berbentuk
batang pendek juga bisa dilihat (identik dengan inklusi berbentuk batang dalam filamen) dan juga
bentuk bulat padat. Beberapa kelompok basil dapat dilihat untuk memiliki membran pembatas.
M. leprae belum pernah tumbuh dalam budaya buatan, namun akan tumbuh di footpads tikus dan
armadillo. Kebudayaan dapat mengambil beberapa minggu untuk matang.
Laboratorium indikator:
Asam-cepat noda
Pertumbuhan armadillo
Pertumbuhan tikus perampok
Dihydroxyphenylalanine (DOPA) oxidase
PCR positif bagi M. leprae leprae
Sejak M. leprae belum pernah dikultur in vitro, tampaknya menjadi patogen intraseluler obligat yang
memerlukan lingkungan dari host makrofag (sejenis putih darah sel) untuk kelangsungan hidup dan
propagasi. Perkiraan tingkat replikasi pada manusia dan hewan yang hidup berada di urutan 10 sampai
12 hari. Basil menolak degradasi intraseluler oleh makrofag, mungkin dengan melarikan diri dari
phagosome ke dalam sitoplasma, dan mengakumulasi ke tingkat tinggi (1010 basil / g jaringan) pada
kusta lepromatosa. Kerusakan saraf perifer tampaknya dimediasi terutama oleh host respon imun
terhadap antigen bacillary. Tuberkuloid kusta ditandai dengan penyembuhan diri granuloma yang hanya
berisi beberapa, jika ada,-cepat basil asam.
Pengobatan
Kusta , seperti tuberkulosis diobati dengan terapi obat multi (MDT). Hal ini karena pengobatan kusta
dengan hanya satu obat anti-lepra dapat mengakibatkan pengembangan resistansi terhadap obat itu.
Obat-obatan yang digunakan dalam MDT untuk kusta adalah kombinasi rifampicin , klofazimin dan
dapson untuk pasien kusta MB dan rifampisin dan dapson untuk pasien kusta PB. Di antara rifampicin ini
adalah obat anti-lepra yang paling penting dan karena itu termasuk dalam perawatan kedua jenis kusta.
Pada pasien yang menerima terapi TB standar (MDT), proporsi yang sangat tinggi basil tewas dalam
beberapa hari, yang menunjukkan bahwa banyak manifestasi kusta harus sebagian karena antigen dari
organisme mati daripada basil hidup. Oleh karena itu diperlukan obat yang akan membantu tubuh untuk
membuang basil kusta mati tapi masih utuh.
Penelitian
Tiga obat ofloksasin , minocycline (tetrasiklin a) dan klaritromisin (macrolide a) - telah menunjukkan
lepra aktivitas anti-sangat menjanjikan pada hewan percobaan dan jangka pendek uji klinis . Obat ini
menawarkan kesempatan untuk mengembangkan dan menguji rejimen baru yang tidak hanya akan
lebih efektif tetapi juga lebih praktis dan dapat diterima pasien. Kemanjuran dan keamanan kombinasi
rifampicin, ofloksasin dan minocycline sepenuhnya diawasi, regimen intermiten akan dipelajari dalam uji
coba lapangan multisenter. Dua protokol baru telah dikembangkan sebagai berikut:
(a) satu dosis pengobatan untuk-lesi kasus tunggal dengan sejumlah kecil basil di dalamnya,
(b) pengukuran keamanan dan kemanjuran penuh diawasi, rejimen obat intermiten dalam
pengobatan kusta.
Daerah yang paling penting bagi penelitian terus menjadi pengembangan pengobatan yang lebih baik
bagi individu yang terkena dengan obat yang ada dan baru. Secara khusus, dengan menggunakan
kombinasi rifampisin, clarithromycin ofloksasin, dan minocycline sepenuhnya diawasi, regimen
intermiten.
Para peneliti terus mengevaluasi efikasi, penerimaan dan kelayakan operasional ofloksasin rejimen yang
mengandung multidrug di lapangan dilakukan uji coba di 15 pusat-pusat di delapan negara endemik
kusta. Dampak HIV infeksi pada pasien individu dan epidemiologi penyakit juga perlu monitoring yang
ketatDalam studi tambahan untuk memantau kambuh pasca perawatan dan pengembangan resistensi
obat yang ada dan baru akan penting.
Beberapa prioritas utama untuk penelitian di bidang imunologi dari kusta termasuk diagnostik baru
untuk deteksi dini kasus, kambuh, resistensi obat dan kelangsungan hidup M.leprae. Evaluasi keefektifan
vaksin anti-kusta dalam studi lapangan, dan penilaian kemungkinan untuk imunoterapi akan dilanjutkan
Studi menangani masalah signifikan dari saraf dan kerusakan jaringan memerlukan bantuan. Untuk
mengembangkan lebih sensitif dan spesifik dalam sistem in vitro untuk pengujian viabilitas M.leprae,
skrining obat dan tes kerentanan terhadap obat. Untuk mempromosikan riset operasional pelaksanaan
WHO/MDT melalui pelayanan kesehatan primer, peneliti akan bertujuan untuk meningkatkan cakupan
pengobatan multi-obat di negara-negara endemik kusta. Studi akan dilakukan dengan antigen tes kulit,
aplikasi mereka dan evaluasi di lapangan. Pengembangan PCR berbasis teknologi-sebagai alat untuk dan
klinis studi epidemiologi adalah penting untuk studi ini.
History Sejarah
Dr Gerhard Armauer Hansen, seorang ilmuwan Norwegia, pertama kali ditemukan pada tahun 1873
Mycobacterium leprae.
Referensi
http://wiki.medpedia.com/Mycobacterium_leprae
http://id.wikipedia.org/wiki/Mycobacterium_lepra
MYCOBACTERIUM
LEPRAE
A. DEFINISI Lepra atau kusta atau Morbus Hansen (MH) adalah penyakit kronik yang
disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae (M. leprae) yg pertama menyerang saraf tepi,
selanjutnya dpt menyerang kulit, mukosa mulut, saluran napas bagian atas, sistem
retikuloendotelial, mata, otot, tulang, dan testis, kecuali susunan saraf pusat.
Secara umum ada tiga tanda kardinal lepra yaitu
Mycobacterium leprae
Klasifikasi ilmiah
Kerajaan: Bacteria
Filum: Actinobacteria
Ordo: Actinomycetales
Upaordo: Corynebacterineae
Famili: Mycobacteriaceae
Genus: Mycobacterium
Spesies: M. leprae
Nama binomial Mycobacterium leprae Hansen, 1874
Mycobacterium leprae, juga disebut Basillus Hansen, adalah bakteri yang menyebabkan penyakit
kusta (penyakit Hansen).
Bakteri ini merupakan bakteri intraselular. M. leprae merupakan gram- positif berbentuk tongkat.
Mycobacterium leprae mirip dengan Mycobacterium tuberculosis dalam besar dan bentuknya.
C. GEJALA
Bakteri penyebab lepra berkembangbiak sangat lambat, sehingga gejalanya baru muncul minimal
1 tahun setelah terinfeksi (rata-rata muncul pada tahun ke-5-7). Gejala dan tanda yang muncul
tergantung kepada respon kekebalan penderita.
Jenis lepra menentukan prognosis jangka panjang, komplikasi yang mungkin terjadi dan
kebutuhan akan antibiotik. Lepra tuberkuloid ditandai dengan ruam kulit berupa 1 atau beberapa
daerah putih yang datar. Daerah tersebut bebal terhadap sentuhan karena mikobakteri telah
merusak saraf-sarafnya. Pada lepra lepromatosamuncul benjolan kecil atau ruam menonjol yang
lebih besar dengan berbagai ukuran dan bentuk. Terjadi kerontokan rambut tubuh, termasuk alis
dan bulu mata. Lepra perbatasan merupakan suatu keadaan yang tidak stabil, yang memiliki
gambaran kedua bentuk lepra. Jika keadaannya membaik, maka akan menyerupai lepra
tuberkuloid, jika keadaannya memburuk, maka akan menyerupai lepra lepromatosa. Selama
perjalanan penyakitnya, baik diobati maupun tidak diobati, bisa terjadi reaksi kekebalan tertentu,
yang kadang timbul sebagai demam dan peradangan kulit, saraf tepi dan kelenjar getah bening,
sendi, buah zakar, ginjal, hati dan mata.
Pengobatan yang diberikan tergantung kepada jenis dan beratnya reaksi, bisa diberikan
kortikosteroid atau talidomid.
Mycobacterium leprae adalah satu-satunya bakteri yang menginfeksi saraf tepi dan hampir
semua komplikasinya merupakan akibat langsung dari masuknya bakteri ke dalam saraf tepi.
Bakteri ini tidak menyerang otak dan medulla spinalis. Kemampuan untuk merasakan sentuhan,
nyeri, panas dan dingin menurun, sehingga penderita yang mengalami kerusakan saraf tepi tidak
menyadari adanya lukabakar, luka sayat atau mereka melukai dirinya sendiri. Kerusakan saraf
tepi juga menyebabkan kelemahan otot yang menyebabkan jari-jari tangan seperti sedang
mencakar dan kaki terkulai. Karena itu penderita lepra menjadi tampak mengerikan. Penderita
juga memiliki luka ditelapak kakinya. Kerusakan pada saluran udara di hidung bisa
menyebabkan hidung tersumbat. Kerusakan mata dapat menyebabkan kebutaan.
Penderita lepra lepromatosa dapat menjadi impoten dan mandul, karena infeksi ini dapat
menurunkan kadar testosteron dan jumlah sperma yang dihasilkan oleh testis.
D. PENCEGAHAN
Dulu perubahan bentuk anggota tubuh akibat lepra menyebabkan penderitanya diasingkan dan
diisolasi. Pengobatan dini bisa mencegah atau memperbaiki kelainan bentuk, tetapi penderita
cenderung mengalami masalah psikis dan sosial. Tidak perlu dilakukan isolasi. Lepra hanya
menular jika terdapat dalam bentuk lepromatosa yang tidak diobati dan itupun tidak mudah
ditularkan kepada orang lain. Selain itu, sebagian besar secara alami memiliki kekebalan
terhadap lepra dan hanya orang yang tinggal serumah dalam jangka waktu yang lama yang
memiliki resiko tertular.
BENTUK-BENTUK BTA-Leprae:
SOLID ( UTUH )
FRagmented ( pecah )
GRanular
http://id.wikipedia.org/wiki/Penyakit_Hansen
Penyakit Hansen
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa
Wikipedia Indonesia tidak dapat bertanggung jawab dan tidak bisa menjamin bahwa
informasi kedokteran yang diberikan di halaman ini adalah benar.
Mintalah pendapat dari tenaga medis yang profesional sebelum melakukan pengobatan.
Penyakit Hansen
ICD-10 A30.
ICD-9 030
OMIM 246300
DiseasesDB 8478
MedlinePlus 001347
MeSH C01.252.410.040.552.386
Penyakit Hansen atau Penyakit Morbus Hansen yang dahulu dikenal sebagai penyakit kusta
atau lepra adalah sebuah penyakit infeksi kronis yang sebelumnya, diketahui hanya disebabkan
oleh bakteri Mycobacterium leprae,[1] hingga ditemukan bakteri Mycobacterium lepromatosis
oleh Universitas Texas pada tahun 2008,[2] yang menyebabkan endemik sejenis kusta di Meksiko
dan Karibia, yang dikenal lebih khusus dengan sebutan diffuse lepromatous leprosy.[3]
Sedangkan bakteri Mycobacterium leprae ditemukan oleh seorang ilmuwan Norwegia bernama
Gerhard Henrik Armauer Hansen pada tahun 1873 sebagai patogen yang menyebabkan penyakit
yang telah lama dikenal sebagai lepra. Saat ini penyakit lepra lebih disebut sebagai penyakit
Hansen, bukan hanya untuk menghargai jerih payah penemunya, melainkan juga karena kata
leprosy dan leper mempunyai konotasi yang begitu negatif, sehingga penamaan yang netral lebih
diterapkan untuk mengurangi stigma sosial yang tak seharusnya diderita oleh pasien kusta.[4]
Penyakit ini adalah tipe penyakit granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari saluran
pernapasan atas; dan lesi pada kulit adalah tanda yang bisa diamati dari luar.[5] Bila tidak
ditangani, kusta dapat sangat progresif, menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-saraf, anggota
gerak, dan mata. Tidak seperti mitos yang beredar di masyarakat, kusta tidak menyebabkan
pelepasan anggota tubuh yang begitu mudah, seperti pada penyakit tzaraath.
Daftar isi
1 Sejarah
2 Ciri-ciri
3 Penyebab
4 Patofisiologi
5 Pengobatan
6 Epidemiologi
o 6.1 Kelompok berisiko
o 6.2 Situasi global
7 Lihat pula
8 Referensi
o 8.1 Bacaan lanjut
9 Pranala luar
Sejarah
Konon, kusta telah menyerang manusia sejak 300 SM, dan telah dikenal oleh peradaban
Tiongkok kuna, Mesir kuna, dan India.[6] Pada 1995, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
memperkirakan terdapat dua hingga tiga juta jiwa yang cacat permanen karena kusta. [7]
Walaupun pengisolasian atau pemisahan penderita dengan masyarakat dirasakan kurang perlu
dan tidak etis, beberapa kelompok penderita masih dapat ditemukan di berbagai belahan dunia,
seperti India dan Vietnam.
Pengobatan yang efektif terhadap penyakit kusta ditemukan pada akir 1940-an dengan
diperkenalkannya dapson dan derivatnya. Bagaimanapun juga, bakteri penyebab lepra secara
bertahap menjadi kebal terhadap dapson dan menjadi kian menyebar. Hal ini terjadi hingga
ditemukannya pengobatan multiobat pada awal 1980-an dan penyakit ini pun mampu ditangani
kembali.
Ciri-ciri
Kusta multibasiler, dengan tingkat keparahan yang sedang, adalah tipe yang sering ditemukan.
Terdapat lesi kulit yang menyerupai kusta tuberkuloid namun jumlahnya lebih banyak dan tak
beraturan; bagian yang besar dapat mengganggu seluruh tungkai, dan gangguan saraf tepi dengan
kelemahan dan kehilangan rasa rangsang. Tipe ini tidak stabil dan dapat menjadi seperti kusta
lepromatosa atau kusta tuberkuloid.
Kusta tuberkuloid ditandai dengan satu atau lebih hipopigmentasi makula kulit dan bagian yang
tidak berasa (anestetik).
Kusta lepormatosa dihubungkan dengan lesi, nodul, plak kulit simetris, dermis kulit yang
menipis, dan perkembangan pada mukosa hidung yang menyebabkan penyumbatan hidung
(kongesti nasal) dan epistaksis (hidung berdarah) namun pendeteksian terhadap kerusakan saraf
sering kali terlambat.
Tidak sejalan dengan mitos atau kepercayaan yang ada, penyakit ini tidak menyebabkan
pembusukan bagian tubuh. Menurut penelitian yang lama oleh Paul Brand, disebutkan bahwa
ketidakberdayaan merasakan rangsang pada anggota gerak sering menyebabkan luka atau lesi.
Kini, kusta juga dapat menyebabkan masalah pada penderita AIDS.[9]
Penyebab
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Mycobacterium leprae
Mycobacterium leprae.
Paket terapi multiobat.
Mycobacterium leprae adalah penyebab dari kusta.[5] Sebuah bakteri yang tahan asam M. leprae
juga merupakan bakteri aerobik, gram positif, berbentuk batang, dan dikelilimgi oleh membran
sel lilin yang merupakan ciri dari spesies Mycobacterium.[10] M. leprae belum dapat dikultur
pada laboratorium.[11]
Patofisiologi
Mekanisme penularan yang tepat belum diketahui. Beberapa hipotesis telah dikemukakan seperti
adanya kontak dekat dan penularan dari udara. [12] Selain manusia, hewan yang dapat tekena
kusta adalah armadilo, simpanse, dan monyet pemakan kepiting.[13] Terdapat bukti bahwa tidak
semua orang yang terinfeksi oleh kuman M. leprae menderita kusta, dan diduga faktor genetika
juga ikut berperan, setelah melalui penelitian dan pengamatan pada kelompok penyakit kusta di
keluarga tertentu. Belum diketahui pula mengapa dapat terjadi tipe kusta yang berbeda pada
setiap individu. [14] Faktor ketidakcukupan gizi juga diduga merupakan faktor penyebab.
Penyakit ini sering dipercaya bahwa penularannya disebabkan oleh kontak antara orang yang
terinfeksi dan orang yang sehat.[15] Dalam penelitian terhadap insidensi, tingkat infeksi untuk
kontak lepra lepromatosa beragam dari 6,2 per 1000 per tahun di Cebu, Philipina[16] hingga 55,8
per 1000 per tahun di India Selatan.[17]
Dua pintu keluar dari M. leprae dari tubuh manusia diperkirakan adalah kulit dan mukosa
hidung. Telah dibuktikan bahwa kasus lepromatosa menunjukkan adnaya sejumlah organisme di
dermis kulit. Bagaimanapun masih belum dapat dibuktikan bahwa organisme tersebut dapat
berpindah ke permukaan kulit. Walaupun terdapat laporan bahwa ditemukanya bakteri tahan
asam di epitel deskuamosa di kulit, Weddel et al melaporkan bahwa mereka tidak menemukan
bakteri tahan asam di epidermis. [18] Dalam penelitian terbaru, Job et al menemukan adanya
sejumlah M. leprae yang besar di lapisan keratin superfisial kulit di penderita kusta lepromatosa.
Hal ini membentuk sebuah pendugaan bahwa organisme tersebut dapat keluar melalui kelenjar
keringat. [19]
Pentingnya mukosa hidung telah dikemukakan oleh Schffer pada 1898.[20] Jumlah dari bakteri
dari lesi mukosa hidung di kusta lepromatosa, menurut Shepard, antara 10.000 hingga
10.000.000 bakteri.[21] Pedley melaporkan bahwa sebagian besar pasien lepromatosa
memperlihatkan adanya bakteri di sekret hidung mereka.[22] Davey dan Rees mengindikasi
bahwa sekret hidung dari pasien lepromatosa dapat memproduksi 10.000.000 organisme per
hari.[23]
Pintu masuk dari M. leprae ke tubuh manusia masih menjadi tanda tanya. Saat ini diperkirakan
bahwa kulit dan saluran pernapasan atas menjadi gerbang dari masuknya bakteri. Rees dan
McDougall telah sukses mencoba penularan kusta melalui aerosol di mencit yang ditekan sistem
imunnya. [24] Laporan yang berhasil juga dikemukakan dengan pencobaan pada mencit dengan
pemaparan bakteri di lubang pernapasan. [25] Banyak ilmuwan yang mempercayai bahwa saluran
pernapasan adalah rute yang paling dimungkinkan menjadi gerbang masuknya bakteri, walaupun
demikian pendapat mengenai kulit belum dapat disingkirkan.
Masa inkubasi pasti dari kusta belum dapat dikemukakan. Beberapa peneliti berusaha mengukur
masa inkubasinya. Masa inkubasi minimum dilaporkan adalah beberapa minggu, berdasarkan
adanya kasus kusta pada bayi muda.[26] Masa inkubasi maksimum dilaporkan selama 30 tahun.
Hal ini dilaporan berdasarkan pengamatan pada veteran perang yang pernah terekspos di daerah
endemik dan kemudian berpindah ke daerah non-endemik. Secara umum, telah disetujui, bahwa
masa inkubasi rata-rata dari kusta adalah 3-5 tahun.
Pengobatan
Sampai pengembangan dapson, rifampin, dan klofazimin pada 1940an, tidak ada pengobatan
yang efektif untuk kusta. Namun, dapson hanyalah obat bakterisidal (pembasmi bakteri) yang
lemah terhadap M. leprae. Penggunaan tunggal dapson menyebabkan populasi bakteri menjadi
kebal. {ada 1960an, dapson tidak digunakan lagi.
Pencarian terhadap obat anti kusta yang lebih baik dari dapson, akhirnya menemukan klofazimin
dan rifampisin pada 1960an dan 1970an. [27]
Terapi di atas lumayan mahal, maka dari itu cukup sulit untuk masuk ke negara yang endemik.
Pada 1985, kusta masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di 122 negara. Pada Pertemuan
Kesehatan Dunia (WHA) ke-44 di Jenewa, 1991, menelurkan sebuah resolusi untuk menghapus
kusta sebagai masalah kesehatan masyarakat pada tahun 2000, dan berusaha untuk ditekan
menjadi 1 kasus per 100.000. WHO diberikan mandat untuk mengembangkan strategi
penghapusan kusta.
Kelompok Kerja WHO melaporkan Kemoterapi Kusta pada 1993 dan merekomendasikan dua
tipe terapi multiobat standar.[29] Yang pertama adalah pengobatan selama 24 bulan untuk kusta
lepromatosa dengan rifampisin, klofazimin, dan dapson. Yang kedua adalah pengobatan 6 bulan
untuk kusta tuberkuloid dengan rifampisin dan dapson.
Sejak 1995, WHO memberikan paket obat terapoi kusta secara gratis pada negara endemik,
melalui Kementrian Kesehatan. Strategi ini akan bejalan hingga akhir 2010.
Pengobatan multiobat masih efektif dan pasien tidak lagi terinfeksi pada pemakaian bulan
pertama.[6] Cara ini aman dan mudah. jangka waktu pemakaian telah tercantum pada kemasan
obat.[6]
Epidemiologi
Di seluruh dunia, dua hingga tiga juta orang diperkirakan menderita kusta.[7] India adalah negara
dengan jumlah penderita terbesar, diikuti oleh Brasil dan Myanmar.
Pada 1999, insidensi penyakit kusta du dunia diperkirakan 640.000, pada 2000, 738.284 kasus
ditemukan. Pada 1999, 108 kasus terjadi di Amerika Serikat. Pada 2000, WHO membuat daftar
91 negara yang endemik kusta. 70% kasus dunia terdapat di India, Myanmar, dan Nepal. Pada
2002, 763.917 kasus ditemukan di seluruh dunia, dan menurut WHO pada tahun itu, 90% kasus
kusta dunia terdapat di Brasil, Madagaskar, Mozambik, Tanzania dan Nepal.
Kelompok berisiko
Kelompok yang berisiko tinggi terkena kusta adalah yang tinggal di daerah endemik dengan
kondisi yang buruk seperti tempat tidur yang tidak memadai, air yang tidak bersih, asupan gizi
yang buruk, dan adanya penyertaan penyakit lain seperti HIV yang dapat menekan sistem imun.
Pria memiliki tingkat terkena kusta dua kali lebih tinggi dari wanita.
Situasi global
Tabel 1: Prevalensi pada awal 2006, dan tren penemuan kasus baru pada 2001-2005, tidak termasuk di Eropa
Prevalensi terdaftar
Kasus baru yang ditemukan pada tahun
Daerah
(rate/10,000 pop.)
Awal 2006 2001 2002 2003 2004 2005
Mediterania
4.024 (0.09) 4.758 4.665 3.940 3.392 3.133
Timur
Negara
(rate/10,000 pop.) (rate/100,000 pop.)
Awal 2004 Awal 2005 Awal 2006 Selama 2003 Selama 2004 Selama 2005
Madagaskar 5.514 (3.4) 4.610 (2.5) 2.094 (1.1) 5.104 (31.1) 3.710 (20.5) 2.709 (14.6)
Mozambik 6.810 (3.4) 4.692 (2.4) 4.889 (2.5) 5.907 (29.4) 4.266 (22.0) 5.371 (27.1)
Nepal 7.549 (3.1) 4.699 (1.8) 4.921 (1.8) 8.046 (32.9) 6.958 (26.2) 6.150 (22.7)
Tanzania 5.420 (1.6) 4.777 (1.3) 4.190 (1.1) 5.279 (15.4) 5.190 (13.8) 4.237 (11.1)
Sebagaimana yang dlaporkan oleh WHO pada 115 negara dan teritori pada 2006 dan diterbitkan
di Weekly Epidemiological Record, prevalensi terdaftar kusta pada awal tahun 2006 adalah
219.826 kasus.[30] Penemuan kasus baru pada tahun sebelumnya adlaah 296.499 kasus. Alasan
jumlah penemuan tahunan lebih tinggi dari prevalensi akhir tahun dijelaskan dengan adanya
fakta bahwa proporsi kasus baru yang terapinya selesai pada tahun yang sama sehingga tidak lagi
dimasukkan ke prevalensi terdaftar. Penemuan secara globa terhadap kasus baru menunjukkan
penurunan.
Tabel 1 menunjukkan penemuan kasus secara global menurun sejak 2001. Tabel 2 menunjukkan
situasi kusta pada enam negara utama.
26 Juli 2011
Alverno dan Mycobacterium leprae penyebab kusta
Analis Kesehatan - Sabtu, 9 Juli 2011. Seluruh Mahasiswa Angkatan XI
Analis Kesehatan Politeknik Kesehatan Kemenkes Pontianak berkunjung ke
RS Khusus Alverno di Singkawang, Rumah Sakit yang lebih spesifik
menangani kasus Kusta. Jadi Postingan kali ini kita membahas tentang
kusta.
Prinsip : Diambil risa serum atau bagian lesi yang aktif dari pasien
terduga lepra kemudian dilakukan pewarnaan tahan asam untuk melihat
adanya bakteri tahan asam dengan bentuk solid, globus, fragmented,
granular atau clump.
Cara Penularan :
Sampel diambil pada bagian yang sedang terjadi infeksi aktif, yaitu :
Interpretasi hasil : BTA : warna merah dan Non BTA : warna biru
Sumber :
http://analiskesehatanmakassar.blogspot.com
http://rudi19.wordpress.com/2009/01/24/prosedur-pewarnaan-ziehl-
nielsen/
leh: Indonesian Children | Desember 14, 2009
Kusta atau Lepra atau disebut juga Penyakit Morbus Hansen, Penyakit Hansen adalah sebuah
penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae.
Penyakit ini adalah tipe penyakit granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari saluran
pernapasan atas; dan lesi pada kulit adalah tanda yang bisa diamati dari luar. Bila tidak ditangani,
kusta dapat sangat progresif, menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-saraf, anggota gerak, dan
mata. Tidak seperti mitos yang beredar di masyarakat, kusta tidak menyebabkan pelepasan
anggota tubuh yang begitu mudah, seperti pada penyakit tzaraath.
Konon, kusta telah menyerang manusia sejak 300 SM, dan telah dikenal oleh peradaban
Tiongkok kuna, Mesir kuna, dan India.
Pada 1995, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan terdapat dua hingga tiga juta
jiwa yang cacat permanen karena kusta. Walaupun pengisolasian atau pemisahan penderita
dengan masyarakat dirasakan kurang perlu dan tidak etis, beberapa kelompok penderita masih
dapat ditemukan di berbagai belahan dunia, seperti India dan Vietnam.
Pengobatan yang efektif terhadap penyakit kusta ditemukan pada akir 1940-an dengan
diperkenalkannya dapson dan derivatnya. Bagaimanapun juga, bakteri penyebab lepra secara
bertahap menjadi kebal terhadap dapson dan menjadi kian menyebar. Hal ini terjadi hingga
ditemukannya pengobatan multiobat pada awal 1980-an dan penyakit ini pun mampu ditangani
kembali.
Ciri-ciri
Manifestasi klinis dari kusta sangat beragam, namun terutama mengenai kulit, saraf, dan
membran mukosa. Pasien dengan penyakit ini dapat dikelompokkan lagi menjadi kusta
tuberkuloid (Inggris: paucibacillary), kusta lepromatosa (penyakit Hansen multibasiler), atau
kusta multibasiler (borderline leprosy).
Kusta multibasiler, dengan tingkat keparahan yang sedang, adalah tipe yang sering ditemukan.
Terdapat lesi kulit yang menyerupai kusta tuberkuloid namun jumlahnya lebih banyak dan tak
beraturan; bagian yang besar dapat mengganggu seluruh tungkai, dan gangguan saraf tepi dengan
kelemahan dan kehilangan rasa rangsang. Tipe ini tidak stabil dan dapat menjadi seperti kusta
lepromatosa atau kusta tuberkuloid.
Kusta tuberkuloid ditandai dengan satu atau lebih hipopigmentasi makula kulit dan bagian yang
tidak berasa (anestetik).
Kusta lepormatosa dihubungkan dengan lesi, nodul, plak kulit simetris, dermis kulit yang
menipis, dan perkembangan pada mukosa hidung yang menyebabkan penyumbatan hidung
(kongesti nasal) dan epistaksis (hidung berdarah) namun pendeteksian terhadap kerusakan saraf
sering kali terlambat.
Tidak sejalan dengan mitos atau kepercayaan yang ada, penyakit ini tidak menyebabkan
pembusukan bagian tubuh. Menurut penelitian yang lama oleh Paul Brand, disebutkan bahwa
ketidakberdayaan merasakan rangsang pada anggota gerak sering menyebabkan luka atau lesi.
Kini, kusta juga dapat menyebabkan masalah pada penderita AIDS.
Penyebab
Mycobacterium leprae adalah penyebab dari kusta. Sebuah bakteri yang tahan asam M. leprae
juga merupakan bakteri aerobik, gram positif, berbentuk batang, dan dikelilimgi oleh membran
sel lilin yang merupakan ciri dari spesies Mycobacterium. M. leprae belum dapat dikultur pada
laboratorium.
Patofisiologi
Mekanisme penularan yang tepat belum diketahui. Beberapa hipotesis telah dikemukakan seperti
adanya kontak dekat dan penularan dari udara. Selain manusia, hewan yang dapat tekena kusta
adalah armadilo, simpanse, dan monyet pemakan kepiting. Terdapat bukti bahwa tidak semua
orang yang terinfeksi oleh kuman M. leprae menderita kusta, dan diduga faktor genetika juga
ikut berperan, setelah melalui penelitian dan pengamatan pada kelompok penyakit kusta di
keluarga tertentu. Belum diketahui pula mengapa dapat terjadi tipe kusta yang berbeda pada
setiap individu. Faktor ketidakcukupan gizi juga diduga merupakan faktor penyebab.
Penyakit ini sering dipercaya bahwa penularannya disebabkan oleh kontak antara orang yang
terinfeksi dan orang yang sehat. Dalam penelitian terhadap insidensi, tingkat infeksi untuk
kontak lepra lepromatosa beragam dari 6,2 per 1000 per tahun di Cebu, Philipina hingga 55,8 per
1000 per tahun di India Selatan.
Dua pintu keluar dari M. leprae dari tubuh manusia diperkirakan adalah kulit dan mukosa
hidung. Telah dibuktikan bahwa kasus lepromatosa menunjukkan adnaya sejumlah organisme di
dermis kulit. Bagaimanapun masih belum dapat dibuktikan bahwa organisme tersebut dapat
berpindah ke permukaan kulit. Walaupun terdapat laporan bahwa ditemukanya bakteri tahan
asam di epitel deskuamosa di kulit, Weddel et al melaporkan bahwa mereka tidak menemukan
bakteri tahan asam di epidermis. Dalam penelitian terbaru, Job et al menemukan adanya
sejumlah M. leprae yang besar di lapisan keratin superfisial kulit di penderita kusta lepromatosa.
Hal ini membentuk sebuah pendugaan bahwa organisme tersebut dapat keluar melalui kelenjar
keringat.
Pentingnya mukosa hidung telah dikemukakan oleh Schffer pada 1898. Jumlah dari bakteri dari
lesi mukosa hidung di kusta lepromatosa, menurut Shepard, antara 10.000 hingga 10.000.000
bakteri.
Pedley melaporkan bahwa sebagian besar pasien lepromatosa memperlihatkan adanya bakteri di
sekret hidung mereka. Davey dan Rees mengindikasi bahwa sekret hidung dari pasien
lepromatosa dapat memproduksi 10.000.000 organisme per hari.
Pintu masuk dari M. leprae ke tubuh manusia masih menjadi tanda tanya. Saat ini diperkirakan
bahwa kulit dan saluran pernapasan atas menjadi gerbang dari masuknya bakteri. Rees dan
McDougall telah sukses mencoba penularan kusta melalui aerosol di mencit yang ditekan sistem
imunnya. Laporan yang berhasil juga dikemukakan dengan pencobaan pada mencit dengan
pemaparan bakteri di lubang pernapasan. Banyak ilmuwan yang mempercayai bahwa saluran
pernapasan adalah rute yang paling dimungkinkan menjadi gerbang masuknya bakteri, walaupun
demikian pendapat mengenai kulit belum dapat disingkirkan.
Masa inkubasi pasti dari kusta belum dapat dikemukakan. Beberapa peneliti berusaha mengukur
masa inkubasinya. Masa inkubasi minimum dilaporkan adalah beberapa minggu, berdasarkan
adanya kasus kusta pada bayi muda. Masa inkubasi maksimum dilaporkan selama 30 tahun. Hal
ini dilaporan berdasarkan pengamatan pada veteran perang yang pernah terekspos di daerah
endemik dan kemudian berpindah ke daerah non-endemik. Secara umum, telah disetujui, bahwa
masa inkubasi rata-rata dari kusta adalah 3-5 tahun.
Pengobatan
Sampai pengembangan dapson, rifampin, dan klofazimin pada 1940an, tidak ada pengobatan
yang efektif untuk kusta. Namun, dapson hanyalah obat bakterisidal (pembasmi bakteri) yang
lemih terhadap M. leprae. Penggunaan tunggal dapson menyebabkan populasi bakteri menjadi
kebal. ada 1960an, dapson tidak digunakan lagi.
Pencarian terhadap obat anti kusta yang lebih baik dari dapson, akhirnya menemukan klofazimin
dan rifampisin pada 1960an dan 1970an.
Kemudian, Shantaram Yawalkar dan rekannya merumuskan terapi kombinasi dengan rifampisin
dan dapson, untuk mengakali kekebalan bakteri.[25] Terapi multiobat dan kombinasi tiga obat di
atas pertama kali direkomendasi oleh Panitia Ahli WHO pada 1981. Cara ini menjadi standar
pengobatan multiobat. Tiga obat ini tidak digunakan sebagai obat tunggal untuk mencegah
kekebalan atau resistensi bakteri.
Terapi di atas lumayan mahal, maka dari itu cukup sulit untuk masuk ke negara yang endemik.
Pada 1985, kusta masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di 122 negara. Pada Pertemuan
Kesehatan Dunia (WHA) ke-44 di Jenewa, 1991, menelurkan sebuah resolusi untuk menghapus
kusta sebagai masalah kesehatan masyarakat pada tahun 2000, dan berusaha untuk ditekan
menjadi 1 kasus per 100.000. WHO diberikan mandat untuk mengembangkan strategi
penghapusan kusta.
Kelompok Kerja WHO melaporkan Kemoterapi Kusta pada 1993 dan merekomendasikan dua
tipe terapi multiobat standar.[26] Yang pertama adalah pengobatan selama 24 bulan untuk kusta
lepromatosa dengan rifampisin, klofazimin, dan dapson. Yang kedua adalah pengobatan 6 bulan
untuk kusta tuberkuloid dengan rifampisin dan dapson.
Sejak 1995, WHO memberikan paket obat terapoi kusta secara gratis pada negara endemik,
melalui Kementrian Kesehatan. Strategi ini akan bejalan hingga akhir 2010.
Pengobatan multiobat masih efektif dan pasien tidak lagi terinfeksi pada pemakaian bulan
pertama. Cara ini aman dan mudah. jangka waktu pemakaian telah tercantum pada kemasan obat.
Epidemiologi
Di seluruh dunia, dua hingga tiga juta orang diperkirakan menderita kusta. India adalah negara
dengan jumlah penderita terbesar, diikuti oleh Brasil dan Myanmar.
Pada 1999, insidensi penyakit kusta du dunia diperkirakan 640.000, pada 2000, 738.284 kasus
ditemukan. Pada 1999, 108 kasus terjadi di Amerika Serikat. Pada 2000, WHO membuat daftar
91 negara yang endemik kusta. 70% kasus dunia terdapat di India, Myanmar, dan Nepal. Pada
2002, 763.917 kasus ditemukan di seluruh dunia, dan menurut WHO pada tahun itu, 90% kasus
kusta dunia terdapat di Brasil, Madagaskar, Mozambik, Tanzania dan Nepal.
Kelompok berisiko
Kelompok yang berisiko tinggi terkena kusta adalah yang tinggal di daerah endemik dengan
kondisi yang buruk seperti tempat tidur yang tidak memadai, air yang tidak bersih, asupan gizi
yang buruk, dan adanya penyertaan penyakit lain seperti HIV yang dapat menekan sistem imun.
Pria memiliki tingkat terkena kusta dua kali lebih tinggi dari wanita.
Situasi global
Sebagaimana yang dlaporkan oleh WHO pada 115 negara dan teritori pada 2006 dan diterbitkan
di Weekly Epidemiological Record, prevalensi terdaftar kusta pada awal tahun 2006 adalah
219.826 kasus.[27] Penemuan kasus baru pada tahun sebelumnya adlaah 296.499 kasus. Alasan
jumlah penemuan tahunan lebih tinggi dari prevalensi akhir tahun dijelaskan dengan adanya
fakta bahwa proporsi kasus baru yang terapinya selesai pada tahun yang sama sehingga tidak lagi
dimasukkan ke prevalensi terdaftar. Penemuan secara globa terhadap kasus baru menunjukkan
penurunan.
MYCOBACTERIUM LEPRAE
Mycobacterium leprae, juga disebut Basillus Hansen, adalah bakteri yang menyebabkan
penyakit kusta (penyakit Hansen). Bakteri ini merupakan bakteri intraselular. M.
leprae merupakan gram-positif berbentuk tongkat. Mycobacterium leprae mirip
dengan Mycobacterium tuberculosis dalam besar dan bentuknya.
Lebih dari 5 juta penduduk dunia yang terinfeksi oleh kuman ini.
Lepra paling banyak terdapat di Asia, Afrika, Amerika Latin dan kepulauan Samudra Pasifik.
Infeksi dapat terjadi pada semua umur, paling sering mulai dari usia 20an dan 30an. Bentuk
lepromatosa 2 kali lebih sering ditemukan pada pria.
GEJALA
Bakteri penyebab lepra berkembangbiak sangat lambat, sehingga gejalanya baru muncul minimal
1 tahun setelah terinfeksi (rata-rata muncul pada tahun ke-5-7).
Gejala dan tanda yang muncul tergantung kepada respon kekebalan penderita.
Jenis lepra menentukan prognosis jangka panjang, komplikasi yang mungkin terjadi dan
kebutuhan akan antibiotik.
Lepra tuberkuloid ditandai dengan ruam kulit berupa 1 atau beberapa daerah putih yang datar.
Daerah tersebut bebal terhadap sentuhan karena mikobakteri telah merusak saraf-sarafnya.
Pada lepra lepromatosa muncul benjolan kecil atau ruam menonjol yang lebih besar dengan
berbagai ukuran dan bentuk.
Terjadi kerontokan rambut tubuh, termasuk alis dan bulu mata.
Lepra perbatasan merupakan suatu keadaan yang tidak stabil, yang memiliki gambaran kedua
bentuk lepra.
Jika keadaannya membaik, maka akan menyerupai lepra tuberkuloid; jika kaeadaannya
memburuk, maka akan menyerupai lepra lepromatosa.
Selama perjalanan penyakitnya, baik diobati maupun tidak diobati, bisa terjadi reaksi kekebalan
tertentu, yang kadang timbul sebagai demam dan peradangan kulit, saraf tepi dan kelenjar getah
bening, sendi, buah zakar, ginjal, hati dan mata.
Pengobatan yang diberikan tergantung kepada jenis dan beratnya reaksi, bisa diberikan
kortikosteroid atau talidomid.
Mycobacterium leprae adalah satu-satunya bakteri yang menginfeksi saraf tepi dan hampir
semua komplikasinya merupakan akibat langsung dari masuknya bakteri ke dalam saraf tepi.
Bakteri ini tidak menyerang otak dan medulla spinalis.
Kemampuan untuk merasakan sentuhan, nyeri, panas dan dingin menurun, sehingga penderita
yang mengalami kerusakan saraf tepi tidak menyadari adanya luka bakar, luka sayat atau mereka
melukai dirinya sendiri. Kerusakan saraf tepi juga menyebabkan kelemahan otot yang
menyebabkan jari-jari tangan seperti sedang mencakar dan kaki terkulai. Karena itu penderita
lepra menjadi tampak mengerikan.
DIAGNOSA
Diagnosisi ditegakkan berdasarkan gejala-gejalanya.
Untuk memperkuat diagnosis bisa dilakukan pemeriksaan mikroskopik terhadap contoh jaringan
kulit yang terinfeksi.
PENGOBATAN
Antibiotik dapat menahan perkembangan penyakit atau bahkan menyembuhkannya.
Beberapa mikobakterium mungkin resisten terhadap obat tertentu, karena itu sebaiknya diberikan
lebih dari 1 macam obat, terutama pada penderita lepra lepromatosa.
Antibiotik yang paling banyak digunakan untuk mengobati lepra adalah dapson, relatif tidak
mahal dan biasanya aman.
Kadang obat ini menyebabkan reaksi alergi berupa ruam kulit dan anemia.
Rifampin adalah obat yang lebih mahal dan lebih kuat daripada dapson.
Efek samping yang paling serius adalah kerusakan hati dan gejala-gejala yang menyerupai flu.
Antibiotik lainnya yang bisa diberikan adalah klofazimin, etionamid, misiklin, klaritromisin dan
ofloksasin.
Terapi antibiotik harus dilanjutkan selama beberapa waktu karena bakteri penyebab lepra sulit
dilenyapkan.
Pengobatan bisa dilanjutkan sampai 6 bulan atau lebih, tergantung kepada beratnya infeksi dan
penilaian dokter.
Banyak penderita lepra lepromatosi yang mengkonsumsi dapson seumur hidupnya.
PENCEGAHAN
Dulu perubahan bentuk anggota tubuh akibat lepra menyebabkan penderitanya diasingkan dan
diisolasi.
Pengobatan dini bisa mencegah atau memperbaiki kelainan bentuk, tetapi penderita cenderung
mengalami masalah psikis dan sosial.
Tidak perlu dilakukan isolasi. Lepra hanya menular jika terdapat dalam bentuk lepromatosa yang
tidak diobati dan itupun tidak mudah ditularkan kepada orang lain.
Selain itu, sebagian besar secara alami memiliki kekebalan terhadap lepra dan hanya orang yang
tinggal serumah dalam jangka waktu yang lama yang memiliki resiko tertular. Dokter dan
perawat yang mengobati penderita lepra tampaknya tidak memiliki resiko tertular
Terima kasih telah membaca artikel MYCOBACTERIUM LEPRAE , salam sehat
Penyakit Kusta | Penyakit Lepra | Penyakit
Morbus Hansen
Penyakit Kusta | Penyakit Lepra
disebut juga penyakit Morbus Hansen adalah sebuah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh
bakteri Mycobacterium leprae. Penyakit ini merupakan penyakit kronis yang tidak membahayakan
nyawa tetapi merusak sistem kulit, saraf, pernafasan, mata dan testis. Dan apabila Penyakit kusta atau
penyakit Lepra atau penyakit Morbus Hansen ini tidak segera diobati, maka akan menyebabkan
kerusakan pada kulit, saraf-saraf, anggota gerak, dan mata.
Penyakit Kusta | Penyakit Lepra atau disebut juga penyakit Morbus Hansen, tipe penyakit
granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari saluran pernapasan atas. Lesi pada kulit adalah tanda
yang bisa diamati dari luar. Penyakit lepra merupakan penyakit yang menyebar hampir di seluruh dunia,
terutama di negara berkembang, seperti Asia, sebagian benua Amerika dengan insidensi paling banyak
berada di Afrika.
Sejak 1995, WHO memberikan paket obat terapi kusta secara gratis pada negara endemik, melalui
Kementrian Kesehatan. Strategi ini bejalan hingga akhir 2010 dengan menggunakan Pengobatan
multiobat yang terbukti efektif dan pasien tidak lagi terinfeksi pada pemakaian bulan pertama.Cara ini
aman dan mudah serta ada keterangan jangka waktu pemakaian yang tercantum pada kemasan obat
src:
http://id.wikipedia.org/wiki/Penyakit_Hansen
http://medicastore.com/penyakit/92/Lepra.html
http://dinkes.tasikmalayakota.go.id/index.php/informasi-penyakit/198-kusta-lepra.html
makalah dan askep
kumpulan contoh makalah, askep, karya tulis tentang keperawatan
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas rahmat penyertaan dan bimbinganNya sehingga saya
dapat menyelesaikan makalah ini sebagai tugas pada mata kulih FARMATOLOGI dengan topik Anti Lepra
Pada Penyakit Kusta.
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas FARMAKOLOGI Semester II.
Penulis mengucapkan terima kasih pada piha-pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan
makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Untuk itu
penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak untuk perbaikan makalah ini.
Kiranya makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca,
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
DAFTAR PUSTAKA.
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit Lepra disebabkan adanya infeksi kronis, bersifa menular dan menyebabkan cacat, terutama
pada hidung, jari-jari tangan dan kaki serta kulit. Pembangkit penyakit ini adalah Mycobacterium
Lepra.
Ada tiga bentuk Lepra yaitu :
1. Bentuk Tuberkuloid (T) .
bentuk ini bersifat tidak menular dan agak mudah disembuhkan. Pasien tetap memiliki daya tangkis
Imunologi.
BAB II.
PENYAKIT KUSTA.
- DEFINISI.
Kusta adalah penyakit infeksi yang kronik, penyebabnya adalah Mycobacterium Leprae yang Intraseluler
Obligat. Saraf Perifer sebagai Afinitas pertama. Lalu kulit dan Mukosa Traktus Respiratorius bagian atas,
kemudian dapat ke organ-organ lain kecuali susunan saraf pusat.
- EPIDEMOLOGI
Maslah Epidemologi masih belum terpecahkan. Cara penularannya saja belum diketahui dengan pasti,
hanya berdasrkan anggapan yang klasik ialah melalui kontak langsung antar kulit yang lama dan erat.
Penyebaran penyakit kusta dari suatu benua,negeri dan tempat; ke benua, negeri dan tempat lain
sampai tersebar ke seluruh dunia disebabkan oleh perpindahan orang-orang yang telah terkena
penyakit tersebut.
Kusta bukan penyakit keturunan. Kuman mencapai permukaan kulit melalui Folikel rambut, kelenjar
keringat,dan air susu ibu jarang didapat. Dalam urin Sputum dapat banyak mengandung M Leprae yang
berasal dari Traktus Respiratorius atas. Tempat imlantasi tidak selalu menjadi tempat lesi pertama.
Dapat menyerang semua umur, anak-anak lebih rentan daripada orang dewasa.
- ETIOLOGI
Kuman peyebabnya adalah Mycobactrium Leprae yang ditemukan oleh G.A.HANSEN pd tahun 1974 di
Norwegia, yang sampai sekarang belum juga dapat diberikan dalam media Artifisial. M.Leprae
berbentuk Basil dengan ukuran 3-8 UM x 0,5 UM, tahan asam dan Alkohol dan positif gram.
- PATOGENESIS
Pada tahun 1960 Shepard berhasil Menginokulasikan M .Leprae kedalam
Telapak kaki Mencit, yang berkembang biak disekitar tempat suntikan. Ternyata tidak ada perbedaan
spesies dari dari manapun bahanitu didapat dari negeri manapun, dan dari macam lesi apapun. Untuk
tumbuhnya diperlukan jumlah minimum M.Leprae yang disuntikan dan kalau melampaui jumlah
maksimum, tidak akan meningkatkan perkembangbiakan.
Inokulasi pada mencit yang telah diambil timusnya diikuti oleh Irradiasi (goor) sehingga kehilangan
respon imun selulernya, akan menghasilkan Granuloma penuh basil yang menyeluruh, terutama pada
daerah yang dingin yaitu : hidung, cuping telinga, kaki & ekor. Basil tersebut umtuk lanjut dapat
Diinokulasikan lagi. Berarti memenuhi salah satu Postulat Koch, meskipun belum dipenuh.
M.leprae berproduksi di daerah-daerah yang lebih dingin. Sebenarnya M.Leprae mempunyai
Patogenetas dan daya Invasif yang rendah, sebab penderita yang mengandung kuman jauh lebih banyak
belum tentu memberikan gejala yang lebih berat,bahkan dapat sebaliknya, ketidakseimbangan antara
derajat infeksi dan derajat penyakit, tidak lain disebabkan oleh sistem imun yang berbeda yang
mencegah timbulnya reaksi Granuloma setempat dan menyeluruh yang dapat sembuh sendiri
/Progresif. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut penyakit Imunologik. Gejala-gejala klinisnya
lebih sebanding dengan tingkat reaksi selularnya daripada intensitas infeksinya.
- GEJALA KLINIS
Diagnosis penyakit kusta didasarkan pada gambaran klinis, Bakterioskopis, Hispatologis, diantara
ketiganya, diagnosis secara klinislah yang terpenting yang paling sederhana, hasil bakterioskopis
memerlukan waktu paling sedikit 15-30 menit, sedang Hispatologis memerlukan 3-7 hari. Kalau masih
memungkinkan, baiknya juga dilakukan tes Lepromim (mitsuda) untuk membantu penentuan tipe, yang
hasilnya baru diketahui setelah 3-4 minggu tidak cukup hanya sampai diagnosis kusta saja, tetapi perlu
ditentukan tipenya, sebab penting untuk terapinya.
Setelah basil M.Leprae masuk kedalam tubuh, bergantung pada kerentanan orang tersebut, kalau tidak
rentan tidak akan sakit dan sebaliknya jika rentan setelah masa tunasnya dilampaui akan timbul gejala
penyakitnya. Untuk selanjutnya tipe apa yang akan terjadi pada derita C.M.I (Cellmediated Immunity)
penderita terhadap M.Leprae yang Intraseluler Obligat itu, kalau C.M.I tinggi kearah Lepromatosa, agar
proses selanjunya lebih jelas.
Kusta terkenal sebagai penyakit yang paling ditakuti karena Deformitar atau cacat tubuh orang
awampun dengan mudah dapat menduga kearah penyakit kusta. Yang penting bagi kita sebagai dokter
dan ahli kesehatan lainnya, bahkan barang kali para ahli kecantikan, adalah dapat mendiagnosis,
setidaknya menduga kearah penyakit kusta terutama bagi kelainan kulit yang masih berupa Makula yang
Hipopigmentasi, hiperpigmentasi, dan Eritematosa. Kelainan kulit yang tanpa komplikasi pada penyakit
kusta dapat hanya berbentuk Makula saja, Infiltrat saja, atau keduanya. Harus berhati-hati dan buatlah
diagnosis banding dengan banyak pennyakit kulit lainnya yang hampir menyerupainya. Sebab penyakit
kusta ini mendapat julukan The Greatest Immitator pada ilmu penyakit kulit. Penyakit kulit lain yang
harus diperhatikan sebagai diagnosis banding antara lain adalah : Dermatofitosis, Tinea, versikolor,
Pitiriasisrosea, Pitiriasisalba, dermatitis seboroika, Granuloma Anulare, Xantomatosis, Skleroderma,
Leukomia Kutis, Tuberkolosis Kutis Verukosa, dan BirthMark.
- PEMBANTU DIAGNOSIS
Pemeriksaan Bakterioskopik digunakan untuk membantu menegakan diagnosis dan pengamatan
pengobatan, sediaan dibuat dari keretakan kulit atau mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan
terhadap basil tahan asam, antara lain dengan ZIEHL NEELSEN. Bakterioskopik negative pada seorang
penderita, bukan berarti orang tersebut tidak mengandung M. Leprae
Cara pengambilan bahan ialah dengan menggunakan scalpel steril setelah tempat tersebut
didesinfeksikan, lalu diusahakan agar tempat tersebut, dengan jalan dipijit, menjadi Iskemik agar
kerokan jaringan itu mengandung sesedikit mungkin darah yang akan mengganggu gambaran sedian.
Irisan yang dibuat harus sampai di dermis melampaui Sub epiderma clear zone agar mencapai jaringan
yang diharapkan banyak mengandung sel Virchow (sel lepra) yang didalamnya mengandung basil
M.Lepra. jaringan itu dioleskan digelas asal, difiksasi diatas api, kemudian diwarnai dengan pewarnaan
yang klasik, yaitu ZIEHI NEELSEN. Untuk perawatan ini dapat digunakan modifikasi ZIEHI NEELSEN dan
cara lain dengan segala kelebihan & kekurangannya disesuaikan dengan keadaan setempat.
Cara lain mengambil bahan kerokan dengan alat semacam scalpel kecil tumpul atau bahan olesan
dengan kapas lidi. Sebaiknya diambil dari daerah Septum nasi, selanjutnya dikerjakan seperti biasa.
PEMERIKSAAN HISTOPATOLOGIK
Makrofag dalam jaringan yang berasal dari Monosit di dalam darah ada yang mempunyai nama khusus,
antara lain sel Kupffer dari hati, sel Alveolar dari paru, sel Glia dari otak, dan yang dari kulit disebut
Stiosit. Salah satu tugas makrofag adalah melakukan Fagositetis.
Granuloma adalah akumulasi makrofag dan atau derivate-derivatnya.gambaaran histopalogik bagi tipe
tuberkoloid adalah kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada hasil atau hanya sedikit non-solid. Bagi
lepromatosa terdapat kelim sunyi subepidermal (subepidermal clear zone , ialah suatu daerah langsung
di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik, ada sel vircho dengan banyak hasil.
REAKSI KUSTA
Reaksi kusta adalah interupsi dangan episode akut pada perjalanan penyakit yang sebenarnya sangat
kronik. Reaksi imun itu dapat menguntungkan, tetapi dapat pula merugikan yang disebut reaksi imun
patologik, dan reaksi kusta ini tergolong didalamnya.
Gejala klinis reaksi reversal ialah penambahan atau perluasan lesi yang ada, tetapi bukan modus, tanpa
atau dengan gejala neuritis dari yang ringan sampai yang berat. Gejala neoriris ini penting diperhatikan,
oleh karena sangat menentukan pemberian pengobatan dengan korpis teroid, perlu tidaknya,serta
dosisnya, sebab tanpa gejala neuritis tidak perlu pengobatan dengan kortikosteroid
PENGOBATAN DOS.
Obat anti kusta yang banyak dipakai saat ini adalah DOS (Diamino Difenil Sulfom ) lalu Klofazimin dan
Rifampisin,DDS mulai dipakai sejak 1948 dan pada tahun 1952 di Indonesia, jadi sudah lebih dari 30
tahun pemakaian, klofazimin dipakai sejak 1962 oleh Brown dan Hogerzeil dan rifampisin sejak tahun
1970.
Pengertian relapse atau kambuh pada kusta ada 2 kemungkinan, yaitu relapse sensitive (persistent) dan
relase resisten, pada relase sensitive, decara klinis, bakteriokopik, histopatologik, dapat dinyatakan,
penyakit sekonyong konyong aktif kembali dengan timbulnya lesi batu dan bakterioskopik positif
kembali.
Resitensi terhadap DOS ada yang sekunder dan ada yang primer,resitansi sekunder terjadi karena :
-. Monoterapi DOS.
-. Dosis terlalu rendah.
-. Memakan obat tidak teratur.
-. Pengobatan terlalu lama, setelah 4-24 tahun. Hanya terjadi pada kusta Multibasilar, tetapi tidak pada
Pausibasilat , oleh karena S.I.S penderita tinggi dan pengobatannya relative singkat.
Resistensi primer, bila orang ditulari oleh M.Lepra yang telah resistensi,yang manifestasinya dapat
dalam segala tipe (TT, BT, BB, BL, LL) bergantung pada S.I.S penderita derajat resistensi yang rendah
masih dapat diobati dengan dosis DDS yang lebih tinggi, sedang pada derajat resistensi yang tinggi DDS
tidak dapat dipakai lagi, adanya M.D.T ini adalah sebagai usaha untuk :
- mencegah dan mengobati resistensi.
- Memperpendek masa pengobatan.
- Mempercepat pemutusan mata rantai penularan.
Protionamid / etionamid
Dosisnya 5-10 mg/kg berat badan setiap hari. Di Indonesia obat ini tidak atau jarang dipakai.
Mengenai beberapa sifat lebih lanjut obat-obat tersebut dapat dilihat pada tabel 10-5. oleh karena
distribusi klofarimin dalm jaringan tidak merata MIC-nya sukar dicari.
MDT dengan beberapa alternatifnya telah ditetapkan pada rapat konsultasi kusta nasional (RKKN) yang
kiranya sesuai dan dapat ditetapkan.
Di Indonesia , untuk kusta multibasilar (LL, BL, BB) adalah sebagai berikut
1. rifampisin 600 mg setiap bulan.
2. DDS 100 mg setiap hari.
3. klofazimin 300 mg setiap bulan, diteruskan 50mg sehari atau 100mg sehari atau 3x100 mg setiap
minggu. Kombinasi obat ini diberikan 2 tahun sampai 3 tahun denagn syarat bakteri eskopis masih
positif, pengobatan harus dilanjutkan sampai bakteriokopis negative. Selama pengobatan dilakukan
pemeriksaan secara klinis setiap bulan ,dan secara bakteriokopis minimal setiap tiga bulan. Jadi besar
kemungkinan pengobatan kusta multibasilet ini hanya selama 2-3 tahun. Hal ini adalah waktu yang
relative sangat singkat dan dengan batasan waktu yang tegas, jika dibandingkan dengan cara
sebelumnya yang memerlukan waktu minimal 10 thn sampai seumur hidup.
Kalau susunan MDT tersebut tidak dapat dilaksanakan, dapat diberikan MDT alternative, yang
bermacam-macam, baik macam obat, dosis, dan cara pemberiannya. Kalau MDT alternatifpun tidak
dapat dilaksanakan terpaksa dilakukan monoterapi dengan DDS saja, sambil menunggu tiba saatnya
untuk MDT bagi yang melaksanakan MDT alternative, kalau keadaannya memungkinkan baru berpindah
ke MDT rekomendasi, salah satu contoh MDT alternative adalah :
-. Rifampisin 1200 mg sebagai dosis tunggal sekali saja
-. DDS 100mg setiap hari untuk seterusnya.
BAB III
FARMAKOLOGI
DAPSON (DDS)
Komposisi :
Tiap tablet mengandung :
4,4 Diaminodifenil sulfur
(Dopson).somy
Indikasi ;
Dupson efektif untuk pengobatan segala bentuk penyakit Leprae.
Efek samping :
Hemolisis, Methemoglobinemia, kurang nafsu makan, muntah, sakit kepala, gugup, sukar tidur,
penglihatan kabur, Parestesia, Neuropati perifer yang bersifat reversibel, gatal dan rash kulit.
Peringatan :
Bila terjadi reaksi Lepramatosis yang kuat menyerang mata dan urat saraf, dosis harus dikurangi untuk
pasien yang menderita penyakit paru atau jantung, pemberian Dopson harus berhati hati.
Dosis :
Pengobatan dengan obat ini dimulai dengan dosis awal yang kecil, kemudian dinaikan secara bertahap.
2 minggu pertama : seminggu 1 x 25mg
2 minggu kedua : seminggu 2 x 25mg
2 minggu : seminggu 3 x 25mg
2 minggu : seminggu 4 x 25mg
2 minggu : seminggu 5 x 25mg
Pengkajian,
Gejala penyakit infeksi sangat bervariasi. Untuk beberapa infeksi, cacar air (Vericella), ruam yang
disebarluaskan menunjukan tanda adanya infeksi dan muncul pada orang yang baru terinfeksi. Pada
infeksi lain, seperti tuberkolosis atau hiv, laten memanjang dan infeksi umumnya tidak memiliki gejala,
meskipun infeksi akan ditentukan melalui prosedur Diagnostik.
Riwayat kesehatan, pemeriksaan fisik, dan penggunaan tes diagnostic adalah penting untuk menentukan
infeksi dan penyakit infeksi.
Tujuan dari mendapatkan riwayat adalah mendapatkan kemungkinan dan sumber infeksi serta tingkat
patologi atau nyeri yang berhubungan. Catatan medispasi sebelumnya ditinjau ulang .
Perencanaan
Tujuan utama untuk pasien meliputi pencegahan, penyebaran infeksi, pengetahuan tentang infeksi dan
tindakannya, control terhadap demand an ketidaknyamanan yang berhubungan dengan rasa tidak
nyaman, dan tidak adanya komplikasi.
Intervensi.
Cegah penyebaran infeksi dari pasien ke pasien dengan cara, :
A). Menyediakan isolasi sesuai dengan COC, menggunakan isolasi terhadap substansi tubuh, atau
adaptasi isolasi institusi individual.
B). Menjamin pasien infeksi lewat udara tetapi diruangan pribadi selama mereka dirawat.
C). Menjamin bahwa pasien dengan organisme bukan lewat udara yang sangat menular seperti
Clostridium Difficite dan Shigella secara fisik dipisahkan dari pasien lain jika terdapat kebijakan atau
peraturan kebersihan dari institusi.
DAFTAR PUSTAKA
Poskan Komentar
Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda
Mengenai Saya
leonmilan
Arsip Blog
2010 (5)
2009 (7)
o Juni (7)
makalah bayi tabung
makalah trikomoniasis
makalah anti lepra
makalah anthelmintik
makalah aborsi
makalah anemia
makalah asma
Pengikut
Langganan
Pos
Komentar
NASA Image of the Day
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas rahmat penyertaan dan
bimbinganNya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini sebagai tugas pada
mata kuliah Dasar Dasar Epidemiologi dengan judul makalah Penyakit Lepra .
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas dari
mata kuliah Dasar Dasar Epidemilogi.
Penulis mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah membantu
dalam menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari
kesempurnaan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak
untuk perbaikan makalah ini.
PENULIS
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
.. i
KATA PENGANTAR
... ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I LATAR
BELAKANG 1
A. Pendahuluan 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
. 4
I. Pembahasan 4
A. 1. Perkembangan Teori Terjadinya Penyakit Lepra . 4
2. Hubungan Penyebab Penyakit Lepra 6
3. Model Hubungan Kausal Penyakit . 7
4. Faktor Agent Penyakit .. 7
B. Tahap Riwayat Alamiah Penyakit Lepra 8
C. 1. Upaya Pencegahan Penyakit . 8
2. Besarnya Kemungkinan Penyakit Lepra .. 9
D. Transisi Epidemiologi Penyakit Lepra ... 9
E. Etika Epidemiologi Penyakit Lepra 10
F. Konsep Dasar Epidemiologi Penyakit Lepra 10
G. Aplikasi Epidemiologi Penyakit Lepra 10
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN
.. 12
DAFTAR PUSTAKA
. 13
BAB I
LATAR BELAKANG
A. PENDAHULUAN
Istilah lepra berasal dari bahasa sansekerta, yakni kushtha berarti kumpulan
gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit kusta disebut juga Morbus Hansen, sesuai
dengan nama yang menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada
tahun 1874 sehingga penyakit ini disebut Morbus Hansen.
Penyakit Hansen adalah sebuah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh
bakteri Mycobacterium leprae. Penyakit ini adalah tipe penyakit granulomatosa pada
saraf tepi dan mukosa dari saluran pernapasan atas; dan lesi pada kulit adalah tanda
yang bisa diamati dari luar. Bila tidak ditangani, kusta dapat sangat progresif,
menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-saraf, anggota gerak, dan mata. Tidak
seperti mitos yang beredar di masyarakat, kusta tidak menyebabkan pelepasan
anggota tubuh yang begitu mudah, seperti pada penyakit tzaraath, yang digambarkan
dan sering disamakan dengan kusta.
Lepra merupakan penyakit menahun yang menyerang syaraf tepi, kulit dan
organ tubuh manusia yang dalam jangka panjang mengakibatkan sebagian anggota
tubuh penderita tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Meskipun infeksius,
tetapi derajat infektivitasnya rendah. Waktu inkubasinya panjang, mungkin beberapa
tahun, dan tampaknya kebanyakan pasien mendapatkan infeksi sewaktu masa knak-
kanak. Tanda-tanda seseorang menderita penyakit kusta antara lain, kulit mengalami
bercak putih, merah, ada bagian tubuh tidak berkeringat, rasa kesemutan pada anggota
badan atau bagian raut muka, dan mati rasa karena kerusakan syaraf tepi. Gejalanya
memang tidak selalu tampak. Justru sebaiknya waspada jika ada anggota keluarga
yang menderita luka tak kunjung sembuh dalam jangka waktu lama. Juga bila luka
ditekan dengan jari tidak terasa sakit.
Kelompok yang berisiko tinggi terkena lepra adalah yang tinggal di daerah
endemik dengan kondisi yang buruk seperti tempat tidur yang tidak memadai, air yang
tidak bersih, asupan gizi yang buruk, dan adanya penyertaan penyakit lain seperti HIV
yang dapat menekan sistem imun. Pria memiliki tingkat terkena kusta dua kali lebih
tinggi dari wanita.
Penyakit Lepra atau Morbus Hansen adalah penyakit infeksi yang disebabkan
oleh infeksi Mycobacterium leprae yang secara primer menyerang syaraf tepi,
selanjutnya menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem
retikoloendotel, mata, otot, tulang dan testis. Kusta menyebar luas ke seluruh dunia,
dengan sebagian besar kasus terdapat di daerah tropis dan subtropis, tetapi dengan
adanya perpindaham penduduk maka penyakit ini bisa menyerang di mana saja.
Laporan tentang lepra lebih kecil daripada sebenarnya, dan beberapa negara
enggan untuk melaporkan angka kejadian penderita lepra sehingga jumlah yang
sebenarnya tidak diketahui. Melihat besarnya manifestasi penyakit ini maka perlu
dilakukan suatu langkah penanggulangan penyakit tersebut. Program pemberantasan
penyakit menular bertujuan untuk mencegah terjadinya penyakit, menurunkan angka
kesakitan dan angka kematian serta mencegah akibat buruk lebih lanjut sehingga
memungkinkan tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat. Masalah yang
dimaksud bukan saja dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial ekonomi,
budaya, keamanan dan ketahanan sosial.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. PEMBAHASAN
Konon, lepra telah menyerang manusia sejak 300 SM, dan telah dikenal oleh
peradaban Tiongkok kuno, Mesir kuno, dan India. Pada 1995, Penyakit kusta atau lepra
menjadi salah satu penyakit tertua yang hingga kini awet bertahan di dunia. Dari
catatan yang ditemukan di India, penderita lepra udah ditemukan sejak tahun 600
Sebelum Masehi. Dalam buku City of Joy (Negeri Bahagia) karya Dominique, mantan
reporter untuk sejumlah penerbitan di Prancis pada dekade 1960-an hingga 1970-an,
kusta menjadi penyakit yang 'populer' dan menjadi bagian dari kehidupan miskin di
Calcutta, India. Namun, kuman penyebab kusta kali pertama baru ditemukan pada
tahun 1873 oleh Armauer Hansen di Norwegia.Karena itu penyakit ini juga sering
disebut penyakit Hansen. Saat ini penyakit kusta banyak terdapat di Benua Afrika, Asia,
Amerika Tengah, dan Amerika Selatan.
Menurut sejarah pemberantasan penyakit kusta di dunia dapat kita bagi dalam 3
(tiga) zaman yaitu zaman purbakala, zaman pertengahan dan zaman moderen. Pada
zaman purbakala karena belum ditemukan obat yang sesuai untuk pengobatan
penderita kusta, maka penderita tersebut telah terjadi pengasingan secara spontan
karena penderita merasa rendah diri dan malu, disamping itu masyarakat menjauhi
mereka karena merasa jijik. Pada zaman pertengan penderita lepra diasingkan lebih
ketat dan dipaksa tinggal di Leprosaria/koloni perkampungan penderita kusta seumur
hidup.
a. Zaman Purbakala.
Penyakit lepra dikenal hampir 2000 tahun SM. Hal ini dapat diketahui dari
peninggalan sejarah seperti di Mesir, di India 1400 SM, istilah kusta yang sudah dikenal
didalam kitab Weda, di Tiongkok 600 SM, di Nesopotamia 400 SM. Pada zaman
purbakala tersebut telah terjadi pengasingan secara spontan penderita merasa rendah
diri dan malu, disamping masyarakat menjauhi penderita karena merasa jijik dan takut.
b. Zaman Pertengahan.
c. Zaman Modern.
Dengan ditemukannya kuman kusta oleh G.H. Hansen pada tahun 1873, maka
mulailah era perkembangan baru untuk mencari obat anti kusta dan usaha
penanggulangannya. Pengobatan yang efektif terhadap penyakit kusta ditemukan pada
akir 1940-an dengan diperkenalkannya dapson dan derivatnya. Bagaimanapun juga,
bakteri penyebab lepra secara bertahap menjadi kebal terhadap dapson dan menjadi
kian menyebar. Hal ini terjadi hingga ditemukannya pengobatan multiobat pada awal
1980-an dan penyakit ini pun mampu ditangani kembali.
Meskipun cara masuk M.leprae ke dalam tubuh masih belum diketahui dengan
pasti, beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa tersering ialah melalui kulit
yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal.
Pengaruh M. leprae terhadap kulit bergantung pada faktor imunitas seseorang,
kemampuan hidup M.leprae pada suhu tubuh yang rendah, waktu regenerasi yang
lama, serta sifat kuman yang avirulen dan nontoksis.
M.leprae merupakan parasit obligat intraseluler yang terutama terdapat pada sel
makrofag di sekitar pembuluh darah superfisial pada dermis atau sel Schwan di
jaringan saraf. Bila kuman M.leprae masuk ke dalam tubuh, maka tubuh akan bereaksi
mengeluarkan makrofag (berasal dari sel monosit darah, sel mononuklear, histiosit)
untuk memfagositnya.
Pada lepra tipe LL terjadi kelumpuhan sistem imunitas selular, dengan demikian
makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman dapat bermultiplikasi
dengan bebas, yang kemudian dapat merusak jaringan.
Pada lepra tipe TT kemampuan fungsi sistem imunitas selular tinggi, sehingga
makrofag sanggup menghancurkan kuman. Sayangnya setelah semua kuman di
fagositosis, makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid yang tidak bergerak aktif dan
kadang-kadang bersatu membentuk sel datia langhans. Bila infeksi ini tidak segera di
atasi akan terjadi reaksi berlebihan dan masa epiteloid akan menimbulkan kerusakan
saraf dan jaringan disekitarnya.
Sel Schwan merupakan sel target untuk pertumbuhan M.lepare, disamping itu
sel Schwan berfungsi sebagai demielinisasi dan hanya sedikit fungsinya sebagai
fagositosis. Jadi, bila terjadi gangguan imunitas tubuh dalm sel Schwan, kuman dapat
bermigrasi dan beraktivasi. Akibatnya aktivitas regenerasi saraf berkurang dan terjadi
kerusakan saraf yang progresif.
Sampai saat ini manusia merupakan satu-satunya yang diketahui berperan
sebagai reservoir. Di Lusiana dan Texas binatang armadillo liar diketahui secara
alamiah dapat menderita penyakit yang mempunyai kusta seperti pada percobaan yang
dilakukan dengan binatang ini. Diduga secara alamiah dapat terjadi penularan dari
armadilo kepada manusia. Penularan lepra secara alamiah ditemukan terjadi pada
monyet dan simpanse yang ditangkap di Nigeria dan Sierra Lione.
Meskipun cara penularannya yang pasti belum diketahui dengan jelas penularan
di dalam rumah tangga dan kontak/hubungan dekat dalam waktu yang lama tampaknya
sangat berperan dalam penularan. Berjuta-juta basil dikeluarkan melalui lendir hidung
pada penderita kusta tipe lepromatosa yang tidak diobati, dan basil terbukti dapat hidup
selama 7 hari pada lendir hidung yang kering. Ulkus kulit pada penderita kusta
lepromatusa dapat menjadi sumber penyebar basil. Organisme kemungkinann masuk
melalui saluran pernafasan atas dan juga melalui kulit yang terluka. Pada kasus anak-
anak dibawah umur satu tahun, penularannya diduga melalui plasenta.
Dua pintu keluar dari M. leprae dari tubuh manusia diperkirakan adalah kulit dan
mukosa hidung. Telah dibuktikan bahwa kasus lepromatosa menunjukkan adanya
sejumlah organisme di dermis kulit. Bagaimanapun masih belum dapat dibuktikan
bahwa organisme tersebut dapat berpindah ke permukaan kulit. Walaupun terdapat
laporan bahwa ditemukanya bakteri tahan asam di epitel deskuamosa di kulit, Weddel
et al melaporkan bahwa mereka tidak menemukan bakteri tahan asam di epidermis.
Dalam penelitian terbaru, Job et al menemukan adanya sejumlah M. leprae yang besar
di lapisan keratin superfisial kulit di penderita kusta lepromatosa. Hal ini membentuk
sebuah pendugaan bahwa organisme tersebut dapat keluar melalui kelenjar keringat.
Pentingnya mukosa hidung telah dikemukakan oleh Schffer pada 1898. Jumlah dari
bakteri dari lesi mukosa hidung di kusta lepromatosa, menurut Shepard, antara 10.000
hingga 10.000.000 bakteri. Pedley melaporkan bahwa sebagian besar pasien
lepromatosa memperlihatkan adanya bakteri di sekret hidung mereka. Davey dan Rees
mengindikasi bahwa sekret hidung dari pasien lepromatosa dapat memproduksi
10.000.000 organisme per hari.
3. FAKTOR AGENT PENYAKIT
Penyakit lepra dapat ditularkan dari penderita kusta tipe multi basiler (MB)
kepada orang lain dengan cara penularan langsung. Penularan yang pasti belum
diketahui, tapi sebagian besar para ahli berpendapat bahwa penyakit kusta dapat
ditularkan melalui saluran pernapasan dan kulit. Timbulnya penyakit kusta bagi
seseorang tidak mudah dan tidak perlu ditakuti tergantung dari beberapa faktor antara
lain :
Adalah penderita kusta tipe MB. Penderita Multi Basiler ini pun tidak akan menularkan
lepra apabila berobat teratur.
Kuman kusta dapat hidup di luar tubuh manusia antara 1-9 hari tergantung pada suhu
dan cuaca dan diketahui kuman kusta yang utuh yang dapat menimbulkan penularan.
Sebagian besar manusia kebal terhadap penyakit kusta. Dari hasil penelitian
menunjukkan gambar sebagai berikut dari 100 orang yang terpapar, 95 orang tidak
menjadi sakit, 3 orang sembuh sendiri tanpa obat, 2 orang menjadi sakit, hal ini belum
lagi memperhitungkan pengaruh pengobatan. Tidak semua orang yang terinfeksi oleh
kuman M. leprae menderita lepra dan diduga faktor genetika juga ikut berperan, setelah
melalui penelitian dan pengamatan pada kelompok penyakit lepra di keluarga tertentu.
Belum diketahui pula mengapa dapat terjadi tipe lepra yang berbeda pada setiap
individu. Faktor ketidakcukupan gizi juga diduga merupakan faktor penyebab.
Tahap riwayat alamiah penyakit lepra, terdiri dari lima tahap yaitu :
1. Tahap prepatogenesis, dimana ada interaksi penjamu dan bibit penyakit
2. Tahap inkubasi, dimana bibit penyakit masuk tetapi gejala belum Nampak
3. Tahap penyakit dini , dimana muncul gejala penyakit dan penjamu jatuh sakit
Hingga saat ini tidak ada vaksinasi untuk penyakit lepra. Dari hasil penelitian
dibuktikan bahwa kuman kusta yang masih utuh bentuknya, lebih besar kemungkinan
menimbulkan penularan dibandingkan dengan yang tidak utuh. Jadi faktor pengobatan
adalah amat penting dimana kusta dapat dihancurkan, sehingga penularan dapat
dicegah. Disini letak salah satu peranan penyuluhan kesehatan kepada penderita untuk
menganjurkan kepada penderita untuk berobat secara teratur. Pengobatan kepada
penderita kusta adalah merupakan salah satu cara pemutusan mata rantai penularan.
Kuman kusta diluar tubuh manusia dapat hidup 24-48 jam dan ada yang berpendapat
sampai 7 hari, ini tergantung dari suhu dan cuaca diluar tubuh manusia tersebut. Makin
panas cuaca makin cepatlah kuman kusta mati. Jadi dalam hal ini pentingnya sinar
matahari masuk ke dalam rumah dan hindarkan terjadinya tempat-tempat yang lembab.
Ada beberapa obat yang dapat menyembuhkan penyakit kusta. Tetapi kita tidak dapat
menyembuhkan kasus-kasus kusta kecuali masyarakat mengetahui ada obat
penyembuh kusta, dan mereka datang ke Puskesmas untuk diobati. Dengan demikian
penting sekali agar petugas kusta memberikan penyuluhan lepra kepada setiap orang,
materi penyuluhan kusta kepada setiap orang, materi penyuluhan berisikan pengajaran
bahwa :
a. Ada obat yang dapat menyembuhkan penyakit kusta
b. Sekurang-kurangnya 80 % dari semua orang tidak mungkin terkena kusta
1. SEGITIGA EPIDEMIOLOGI
agent
host
environtment
Dimana sebagai agent dari penyakit lepra adalah mikobakterium leprae, sebagai
host adalah manusia, dan environmentnya adalah lingkungan yang sudah terinfeksi
penyakui lepra.
2. PORTAL OF ENTRY
Pintu masuk dari mikobakterium leprae ke tubuh manusia masih menjadi tanda
Tanya , saat ini diperkirakan bahwa kulit yang terluka dan saluran pernapasan atas
menjadi gerbong dari masuknya bakteri.
PORTAL OF EXIT
Kulit dan mukosa hidung telah dibuktikan bahwa kasus lepromatosa menunjukkan
adanya sejumlah organism di dermis kulit.
BAB III.
Dari hasil semester III, penulis dapat memberi kesimpulan serta saran kepada
Dosen Dasar-Dasar Epidemiolog antara lain:
1. Mata kuliah Dasar-Dasar Epidemiologi cukup menarik dan bermanfaat dalam kehidupan
sehari-hari, bukan hanya untuk diri sendiri tapi juga untuk orang banyak
2. Selaku dosen harus lebih kreatif lagi dalam memberi materi di perkuliahan agar
mahasiswa lebih semangat dan memiliki inspirasi yang dapat membantu mahasiswa
menjadi lebih baik
3. Khusus Dosen Dasar-Dasar Epidemiologi, kiranya agar berusaha untuk bisa dekat
dengan mahasiswa, saling mengerti, saling menghargai, karena dosen dan mahasiswa
adalah suatu hal yang tidak bisa dipisahkan, mereka saling membutuhkan.
DAFTAR PUSTAKA
Nadesul, Hendrawan. 1995. Bagaimana Kalau Terkena Penyakit Kulit. Puspa Swara. Jakarta
Jul 3 2012
Kusta termasuk penyakit tertua, kata kusta berasal dari bahasa India yaitu kustha, dikenal sejak
1400 tahun sebelum masehi. Penyakit kusta merupakan penyakit yang sangat ditakuti oleh
masyarakat karena sering kali mengakibatkan mutilasi pada anggot tubuh terutama bagian kaki.
Kusta atau lepra merupakan penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae termasuk
bakteri gram negatif yang tahan asam. Mycobacterium leprae sudah tidak terlalu banyak
penderitanya saat ini, namun di beberapa daerah di Indonesia M leprae masih bisa ditemukan.
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memberikan hasil pembelajaran mandiri penulis
mengenai penyakit lepra, dimana didalamnya memuat mengenati epidemiologi, etiologi,
patogenesis, gejala klinis, pemeriksaan, diagnosis banding, pengobatan dan penatalaksanaan
serta prognosis dari penyakit kusta.
Epidemiologi
Kusta merupakan penyakit infeksi yang saat masih tinggi prevalensinya terutama di negara
berkembang, merupakan penyakit bersifat endemki diseluruh dunia kecuali Antartika. Di
Amerika hanya Kanada dan Chili yang tidak pernah ditemukan endemik dari kusta. Di bagian
Selatan Eropa hanya ditemukan sedikit kasus dari kusta. Angka kejadi tertinggi kasus kusta
terdapat dibagian pulau Pasifik, seperti India. India merupakan negara kedua yang memiliki
angka tertinggi dari kusta.3
Kasus lepra atau kusta secara mendunia menurun sekitar 90% selama kurun waktu 20 tahun ini
karena adanya program kesehatan. Dari data WHO menyatakan ada 220.000 kasus pada tahun
2006. WHO memiliki target untuk menghilangkan M. leprae di dekade berikutnya, meskipun
saat ini masih ada banyak penderita penyakit kusta.4
Kebanyakan pasien terinfeksi saat masih kecil dimana penderita tinggal bersama penderita kusta.
Penderita kusta pada anak-anak baik laki-laki atau perempuan sama besarnya, namun pada orang
dewasa pria lebih sering terkena kusta. Kebersihan yang kurang akan memperbesar resiko
transmisi dari Mycobacterium leprae. Kusta hanya dapat ditularkan oleh penderita yang fase
lepromatus leprosi.1,2,3,4
Penularan kusta saat ini masih belum diketahui secara pasti hanya berdasarkan anggapan klasik
yaitu melalui kontak langsung antar kulit yang lama dan erat. Anggapan kedua adalah secara
inhalasi, sebab M leprae dapat bertahan hidup didalam droplet beberapa hari. Masa tunas kusta
sangat bervariasi antara 40 hari sampai 40 tahun, umumnya 3-5 tahun.1
Sampai saat ini kusta hanya pernah ditemukan menginfeksi manusia, dan pernah dilaporkan
ditemukan pada armadilo liar. Hal ini juga menjadi pemersulit pembiakkan M leprae. M leprae
belum dapat dibiakkan dengan medium buatan maupun biakan sel, hanya dapat tumbuh pada
mouse footpad dan armadilo.1
Kusta bukan merupakan penyakit keturunan. Kuman dapat ditemukan di kulit, folikel rambut,
kelenjar keringat dan air susu ibu, jarang didapat dalam urin. Sputum dapat banyak mengandung
M leprae yang berasal dari traktus respiratorius atas. Tempat implantasi tidak selalu menjadi
tempat lesi pertama. Seperti yang dikatakan di atas penyakit kusta dapat menyerang semua umur
baik anak-anak maupun dewasa. Di Indonesia penderita anak-anak di bawah umur 14 tahun,
didapatkan 11,39% tetapi anak di bawah umur 1 tahun jarang sekali. Saat ini usaha pencatatan
penderita dibawah usia 1 tahun penting dilakukan untuk di cari kemungkinan ada tidaknya kusta
konginetal. Frekuensi tertinggi kusta terdapat pada orang dengan usia 25-35 tahun.1
Kusta juga sering mengenai masyarakat dengan sosial ekonomi yang rendah, dari data penelitian
semakin rendah sosial ekonominya maka akan semakin berat penyakitnya, sebaliknya semakin
tinggi keadaan sosial ekonomi masyarakat makan akan semakin membantu penyembuhan. Selain
itu dari penelitian ada perbedaan reaksi infeksi M leprae yang mengakibatkan gambaran klinis di
berbagai suku bangsa. Hal ini diduga disebabkan faktor genetik yang berbeda.1
Kusta merupakan penyakit yang menyeramkan dan ditakuti oleh karena dapat terjadi ulserasi,
mutilasi dan deformitas. Penderita kusta bukan menderita karena penyakitnya saja, tetapi juga
karena dikucilkan dari masyarakat disekitarnya. Hal ini akibat kerusakan saraf besar yang
ireversibel di wajah dan ekstremitas, motorik dan sensorik, serta dengan adanya anestetik disertai
paralisis dan atrofi otot.1
Etiologi
Kuman penyebab dari kusta adalah Mycobacterium leprae. M leprae merupakan basil tahan asam
berukuran panjang 4 7 m dan lebar 0,3 0,4 m. Genom M leprae ada 3.3 juta pasang,
dengan kurang lebih 1600 gen.3
Patogenesis
Pada tahun 1960 Shepard berhasil menginoklusikan M leprae pada kaki mencit dan berkembang
biak di sekitar tempat suntikan. Dari berbagai sepesimen, bentuk lesi maupun negara asal
penderita, ternyata tidak ada perbedaan spesies. Agar dapat tubuh diperlukan jumlah minimum
M leprae di tempat suntikkan namun jumlah maksimal tidak berarti meningkatkan
perkembangbiakan.
Inokulasi pada mencit yang telah diambil timusnya dengan diikuti iradiasi 900 r, sehingga
kehilangan respon imun selularnya akan menghasilkan granuloma penuh kuman terutama di
bagian tubuh yang relatif dingin yaitu hidung, cuping telinga, kaki dan ekor. Kuman tersebut
selanjutnya dapat diinokulasikan lagi, berarti memenuhi salah satu postulat Koch, meskipun
belum seluruhnya dapat dipenuhi. Sebenarnya M leprae mempunyai patogenisitas dan daya
invasi yang rendah, sebab penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu
memberikan gejala yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidak seimbangan antara
derajat infeksi dengan derajat penyakit, tidak lain disebabkan oleh respon imun yang berbeda,
yang merangsang timbulnya granuloma setempat dan menyeluruh yang dapat sembuh atau
progresif. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik. Gejala
klinis lebih sebanding dengan tingkat reaksi selularnya daripada intesitas infeksinya.1,3
Telah sedikit dipahami mengenai perbedaan reaksi dari M leprae pada individu yang berbeda.
Kromosom 10p13 merupakan lokus yang mengandung kode dari reseptor mannose C yang
mempunyai peranan penting pada rekasi selluler dari M leprae. Pada umumnya, kusta ditemukan
berkaitan dengan HLA-DR2.
Gejala Klinis
Bila kuman M leprae masuk kedalam tubuh seseorang dapat timbul gejala klinis sesuai dengan
kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis bergantung pada sistem imunitas seluler (SIS)
penderita. Bila SIS baik akan tampak gambaran klinis ke arah tuberkuloid, dan bila keadaan SIS
nya rendah akan memberikan gambaran lepromatosa.1-4
Tipe I (indeterminate) tidak termasuk dalam spektrum. TT adalah tipe tuberkuloid polar yakni
tuberkuloid 100% merupakan tipe yang stabil. Jadi berarti tidak mungkin berubah tipe. Begitu
juga LL adalah tipe lepromatosa polar yakni lepromatosa 100%, juga merupakan tipe yang stabil
dan tidak mungkin berubah lagi. Sedangkan tipe antara Ti dan Li disebut sebagai tipe borderline,
berarti campuran antara tuberkuloid dan lepromatosa. BB adalah tipe cammpurang yang terdiri
dari 50% tubekuloid dan 50% lepromatosanya. BT dan Ti lebih banyak tuberkuloidnya
sementara BL dan Li lebih banyak lepromatosanya. Tipe-tipe campuran ini adalah tipe yang
labil, berarti dapat bebas beralih tipe, baik ke arah TT maupun ke arah LL. Zona spektrum kusta
menurut berbagai klasifikasi dapat dilihat di tabel di bawah ini.
- Sekret hidung
Tes Lepromin Negatif Negatif Biasanya negatif
- Lesi kulit
Tes lepromin Positif kuat (3+) Positif lemah Dapat positif lemah
atau negative
Kusta Indeterminate merupakan kusta yang palin ringan dimana hanya sangat kecil atau terbatas
mempengaruhi saraf dan kulit. Hanya ada sedikit bakteri yang ditemukan dan dengan tes
lepromin sering kali hanya memberikan positif lemah. Di bawah mikroskop, dapat dilihat
peradangan hanya minimal dan tidak tipikal. Kusta Indeteminate sering kali hanya pada satu
bagian tubuh, asimptomatik, berupa makula hipopigmentasi dengan diameter beberapa cm.
Kusta indeterminate sering kali ditemukan di wajah, punggung, permukaan ekstensor dari
ekstremitas. Bila multipel lesi yang terjadi penyebarannya tidak simetris. Sensasi kulit mungkin
sedikit berkurang namun fungsi dari kelenjar keringat masih normal. Penebalan saraf biasanya
hanya ditemukan pada satu saraf.5
Kusta Lepromatous merupakan kusta yang ditandai dengan adanya infeksi M. leprae yang
progresif dimana banyak bakteri yang ditemukan pada lesi kulit. Lesi kulit umumnya asimetris,
kecil, bersinar dan umunya konfluen. Plaq infiltrat memiliki batas yang tidak tegas dengan warna
merah kecoklatan, dimana sering kali berubah tergantung warna kulit penderita. Tempat yang
sering terkena adalah wajah dengan infiltrasi di bagian depan kepala, dagu, hidung, dan telinga
yang sering mengakibatkan deformitas pada wajah yang disebut leonine facies (lions face).
Tanda lain yang sering terjadi adalah madarosis. Dengan berkembangnya penyakit anestesia dan
kekeringan kulit juga akan semakin parah. Daerah tubuh yang hangat akan terhindar seperti
bagian axilla, inguinal, perineum, dan scalp.
Mukosa hidung merupakan bagian yang hampir selalu terserang. Kelainan kronik dari hidung
seperi hemorrhagic sering kali ditemukan pada penderita kusta di daerah endemis. Serangan M.
leprae pada hidung akan menganggu proses pernafasan dan merusak septum nasal dan
mengakibatkan hidung kehilangan substansinya (clover leaf nose). Mukosa lain seperti bibir,
mulut dan laring juga dapat terkena infiltrasi dari M leprae. Infiltrasi juga dapat mengenai mata
dibagian konjungtiva, kornea dan badan ciliary.5
Kerusakan saraf perifer umumnya muncul dalam waktu yang lama. Kerusakan saraf tepi
mulanya mengenai saraf sensoris dan umumnya simeteris di bagian ekstensor. Kehilangan
sensoris kemudian secara perlahan akan menyebar ke bagian tengah tubuh. Rasa sakit jarang
terjadi karna infeksi M leprae pada saraf sensoris. Saraf otonom juga terkena dengan ditandai
adanya kehilangan fungsi dari kelenjar keringat dan kelainan vasomotor pembuluh darah tepi.
Pada lepromatous leprosi, terkenanya saraf motor yang besar lebih sering terjadi dibandingkan
lepra tipe tubekuloid. Pada keadaan lepra lepromatosa yang lebih berat bisa mengakibatkan
tangan dan kaki mengecil, karena terjadinya osteoporosis dengan fraktur kompresi. Adanya
trauma yang tidak disadari penderita dan infeksi sekunder juga bisa mengakibatkan kecacatan.
Beberapa pasien memiliki limfeadenopathy. Infiltrat kadang-kadang dapat ditemukan pada testis
yang bisa mengakibatkan kemandulan dan gynecomastia.5
Lepra tuberkuloid merupakan lepra yang terjadi dengan jumlah lepra yang tidak terlalu banyak di
tubuh dan keadaan sistem imun seluler tubuh penderita yang masih baik. Kerusakan saraf juga
terjadi tetapi tidak sistemik. Lesi yang terjadi umumnya asimetris, jumlahnya sedikit, dan
menyebar dengan sangat pelan. Mulanya bewarna merah atau merah keunguan, dan berupa
makula atau papula. Kemudai secara perlahan membesar, dengan batas yang tegas, dan
memperlihatkan bagian tengah yang bersih dengan atrofi yang halus, bersisik dan
hipopigmentasi. Predileksi lesinya di bagian gluteus, punggung, wajah dan ekstensor ekstremitas.
Hilangnya sensasi, anhidrosis dan hilangnya rambut juga terjadi.
Inflamasi granul akan mengakibatkan kerusakan pada saraf tepi yang mengakibatkan hilangnya
fungsi saraf tersebut. Gangguan fungsi sensoris merupakan kelainan saraf yang awal, selanjutnya
dapat mengakibatkan paralisis dan akhirnya mengakibatkan atrofi otot. Kerusakan pada saraf
wajah juga dapat terjadi dan mengakibatkan kelainan ekpresi wajah dimana wajahnya menjadi
tidak berekspresi atau Antonine facies. Paralisis pada otot-otot vocal juga dapa terjadi.5
Masalah yang terberat daripada kusta tuberkuloid adalah bila kerusakan saraf mencapai di bagian
saraf yang menggerakan ekstremitar. Saraf yang terkenan umumny adalah saraf yang lebih
superficialis dan mudah terkena trauma. Kerusakan saraf bisa mengenai N. ulnaris dan N
medialis yang mengakibatkan terjadinya perubahan tangan yang berbentuk clawing lateral
maupun medial. Pada kaki, bila yang terkena adalah sara peroneal akan mengakibatkan
terjadinya foot drop dan bila mengenai saraf tibialis posterior akan mengakibarkan terjadinya
anestesia pada telapak kaki. Sebagai hasil kerusakan saraf dapat mengakibatkan kulit yang
kering, proses penyembuhan yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya, paralisis otot, respon
terhadap trauma yang kecil. Dalam keadaan ini bila ada trauma kecil seperti menginjak batu, atau
bahkan karna trauma panas pada kulit, penderita tidak akan merasakan apa-apa sehingga bisa
mengakibatkan terjadi kerusakan yang besar.
Menurut WHO pada tahun 1981, kusta dibagi menjadi multibasiler dan pausibasiler. Yang
termasuk tipe multibasiler adalah tipe LL, BL dan BB pada klasifikasi Ridley-Jopling dengan
indeks bakteri (IB) lebih dari 2+ sedangkan pausibasiler adalah tipe I, TT dan BT dengan IB
kurang dari 2+.1
Untuk kepentingan pengobatan pada tahun 1987 telah terjadi perubahan. Yang dimaksud dengan
kusta PB adalah kusta dengan BTA negatif pada pemeriksaan kerokan jaringan kulit, yaitu tipe-
tipe I, TT, dan BT menurut klasifikasi Ridley-Jopling. Bila pada tipe-tipe tersebut disertai
dengan BTA positif, maka akan dimasukkan kedalam kusta MB. Sedangkan kusta MB adalah
semua penderita kusta tipe BB, BL dan LL atau apapun klasifikasi klinisnya dengan BTA positif
harus diobati dengan rejimen MDT-MB.1
Karena pemeriksaan kerokan jaringan kulit tidak selalu tersedia di lapangan, pada tahun 1995.
WHO lebih menyederhanakan klasifikasi klinis kusta berdasarkan hitung lesi kulit dan saraf
yang terkena. Hal ini dapat di lihat di tabel di bawah ini
Sifat PB MB
1. Lesi kulit - 1 5 lesi - Lebih dari 5 lesi
Antara diagnosa secara klinis dan secara histopatologik, ada kemungkinan terdapat persamaan
maupun perbedaan tipe. Perlu diingat bahwa diagnosis klinis seseorang harus didasarkan kepada
hasil pemeriksaan kelainan klinis seluruh tubuh orang tersebut. Sebaiknya jangan hanya
didasarkan pemeriksaan sebagian tubuh saja, sebab ada kemungkinan diagnosis klinis di wajah
berbeda dengan tubuh, lengan, tungkai dan sebagainya. Bahkan pada satu lesi (kelainan kulit)
pun dapat berbeda tipenya. Begitu juga dengan dasar diagnosis histopatologik, tergantung pada
beberapa tempat dan dari tempat mana biopsinya di ambil. Sebagaimana lazimnya dalam bentuk
diagnosis klini, dimulai dengan inspkesi, palpasi, lalu dilakukan pemeriksaan dengan alat yang
sederhana misalnya jarum, kapas, tabung rekasi masing-masing air panas dan air dingin, pensil
tinta dan sebagainya.1
Kelainan kulit pada penyakti kusta tanpa komplikasi dapat hanya berbentuk makula saja, infiltrat
saja atau keduaya. Kalau secara inspeksi mirip penyakit lain ada tidaknya anestesia sangat
banyak membantu penentuan diagnosis, mesikpun tidak selalu jelas. Hal ini dengan mudah
dilakukan dengan menggunakan jarum terhadap rasa nyeri, kapas terhadap rasa raba dan kalau
masih belum jelas dengan kedua cara tersebut baruah pengujian terhadap rasa suhu yaitu panas
dan dingin dengan menggunakan 2 tabung reaksi.
Untuk mengetahui adanya kerusakan fungsi saraf otonom di daerah lesi yang dapat jelas dan
dapat pula tidak, yang dipertegas dengan menggunakan pensil tinta (tanda Gunawan). Cara
menggoresnya mulai dari tengah lesi ke arah kulit normal. Bila ada gangguan, goresan pada kulit
normal akan lebih tebal bila dibandingkan dengan bagian tengah lesi. Dapat pula diperhatikan
adanya alopesia di daerah lesi, yang kadang-kadang dapat membantu, tetapi bagi penderita yang
memiliki kulit berambut sedikit sangat sukar menentukannya. Gangguan fungsi motoris
diperiksan dengan menggunakan Voluntary Muscle Test (VMT).1
Kusta yang mengenai saraf perifer yang perlu diperhatikan ialah pembesaran, konsitensi, ada
atau tidaknya nyeri spontan dan nyeri tekan. Hanya beberaoa saraf superfisial yang dapat dan
perlu diperiksa yaitu N. fasialis, N. aurikularis magnus, N. radialis, N. ulnaris, N. medianus, N.
poplitea lateralis dan N. tibialis posterior. Bagi tipe ke arah lepromatosa kelainan saraf biasanya
bilateral atau menyeluruh, sedang bagi tipe tuberkuloid, kelainan sarafnya lebih terlokalisasi
mengikuti tempat lesinya.1
Deformitas atau cacat yang disebabkan oleh kusta dapat dibedakang menjadi 2 yaitu deformitas
primer dan deformitas sekunder. Cacat primer sebagai akibat langsung oleh granuloma yang
terbentuk sebagi reaksi terhadap M. leprae, yang mendesak dan merusak jaringan di sekitarnya,
yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius atas, tulang-tulang jari, dan wajah. Cacat sekunder
terjadi sebagai akibat adanya deformitas primer, terutama kerusakan pada saraf baik saraf
sensorik, motorik dan saraf autonom. Cacat sekunder dapat berupa kontraktur sendi, mutilasi
tangan dan kaki.1
1. N. Ulnaris:
- Atrofi hipotenar dan otot interseus serta kedua otot lumbrikalis medial
1. N. medianus
- Anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk dan jari tengah
1. N. Radialis
1. N. popliteal lateralis
1. N. tibialis posterior
- Claw toes
1. N. fasialis
- Cabang bukal, mandibular dan servikal menyebabkan kehilangan ekspresi wajah dan
kegagalan mengatupkan bibir
1. N. trigeminus
Kerusakan mata pada kusta juga dapat primer dan sekunder. Primer mengakibatkan alopesia
pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkan
oleh rusaknya N. fasialis yang dapat membuat paralisis N. orbikularis palpebarum sebagian atau
seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya, menyebabkan kerusakan bagian-
bagian mata lainnya. Secara sendiri-sendiri atau bergabung akhirnya dapat menyebabkan
kebutaan.
Infiltrat granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas kelenjar keringat, kelenjar palit dan
folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan alopesia. Pada tipe lepromatosa dapat
timbul ginekomastia akibat gangguan hormonal dan oleh karena infiltrasi granuloa pada tubulus
seminiferus testis.1
Untuk dapat membuat diagnosis klinis dan tipenya, perlu diketahui terlebih dahulu cara membuat
diagnosis kedua bentuk polat TT dan LL yang telah diuraikan secara sistematis pada tabel 1
diatas.
Kusta dapat dibedakan menjadi kusta histoid dan kusta tipe neural:
1. Kusta Histoid
Kusta histoid merupakan variasi lesi pada tipe lepormatosa yang pertama dikemukakan oleh
WADE pada tahun 1963. Secara klinis berbentuk nodus yag berbatas tegas, dapat juga berbentuk
plak. Bakterioskopik positif tinggi. Umumnya timbul sebagai kasus relaps sensitif atau relaps
resisiten.
- Ada anestesia dan atau paralisis, serta atrofi otot pada daerah yang disarafinya
- Bakterioskopik negatif
- Untuk menentukan tipe, biasanya tipe tuberkuloid, borderline atau tipe nonspesifik, harus
dilakukan pemeriksaan histopatologik saraf.
Reaksi Kusta
Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang sebenarnya
sangat kronik. Adapun patofisiologinya belum diketahui dengan pasti sampai saat ini. Mengenai
patofisiologi yang belum jelas tersebut akan diterangkan secara imunologik. Dimana reaksi imun
tubuh kita dapat menguntungkan dan merugikan yang disebut reaksi imun patologik dan reaksi
kusta tergolong di dalamnya. Reaksi kusta dapat dibedakan menjadi eritema nodosum leprosum
(ENL) dan reaksi reversal atau reaksi upgrading.1
ENL terutama timbul pada tipe lepromatosa polar dan dapat pula pada BL, berarti makin tinggi
tingkat multibasilarny makin besar kemungkinanan timbulnya ENL. Secara imunopatologis,
ENL termasuk respon imun humoral, berupa fenomena kompelks imun akibat reaksi antara
antigen M leprae + antibodi (IgM & IgG) + komplemen yang kemudian akan menghasilkan
komplek imun. Dengan terbentuknya kompleks imun ini maka ENL termasuk di dalam golongan
penyakit komplek imun. Kadar antibodi imunoglobulin penderita kusta lepromatosa lebih tinggi
daripada tipe tuberkuloid. Hal ini terjadi oleh karena pada tipe lepromatosa jumlah kuman jauh
lebig banyak daripada tipe tuberkuloid. ENL lebih banyak terjadi pada saat pengobata. Hal ini
terjadi karena banyak kuman kusta yang mati dan hancur yang kemudian kuman kuman lepra
ini akan menjadi antigen, dengan demikian akan meningkatkan terbentuknya komplek imun.
Kompleks imun ini terus beredar dalam sirkulasi darah yang akhirnya dapat mengendap dan
melibatkan berbagai organ.1
Pada kulit akan timbul gejala klinis yang berupa nodus eritema, dan nyeri dengan tempat
predileksi di lengan dan tungkai. Bila mengenai organ lain dapat mengakibatkan gejala seperti
iridosiklitis, neuritis akut, limfadenitis, arthritis, orkitis, dan nefritis akut dengan adanya
proteinuria. ENL dapat disertai gejala konstitusi dari ringan sampai berat yang dapat diterangkan
secara imunologik.
Pada reaksi ENL tidak terjadi perubahan tipe kusta, lain halnya dengan reaksi reversal yang
terjadi pada kusta tipe borderline (Li, BL, BB, BT, Ti) sehingga dapat disebut reaksi borderline.
Yang memegang pernanan utama dalam reaksi kusta ini adalah sistem imunitas seluler, yaitu bila
terjadi peningkatan SIS yang mendadak. Meskipun faktor pencetusnya belum diketahui pasti,
diperkirakan ada hubungannya dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Reaksi peradangan
terjadi pada tempat-tempat kuman M leprae berada, yaitu pada saraf dan kulit, umumnya terjadi
pada pengobatan 6 bulan pertama. Neuritis akut dapat menyebabkan kerusakan saraf secara
mendadak, oleh karena itu memerlukan pengobatan segera yang memadai. Seperti yang sudah
dijelaskan di atas yang memiliki peranan untuk menentukan tipe kusta adalah SIS. Tipe kusta
yang termasuk borderline ini dapat berubah menjadi tipe TT dan LL dengan mengikuti naik
turunnya SIS, sebab setiap perubahan tipe selalu terjadi perubahan SIS juga. Begitu pula reaksi
reversal terjadi perpindahan tipe ke arah TT dengan disertai peningkatan SIS hanya bedanya
dengan cara mendadak dan cepat.1
Penggunaan istilah downgrading untuk reaksi kusta saat ini sudah hampir tidak pernah
digunakan lagi, downgrading merupakan kata yang menggambarkan proses perubahan ke arah
lepromatosa.
Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi yang telah ada bertambah
aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relatif singkat. Artinya lesi hipopigmentasi
menjadi eritema menjadi eritematosa, lesi makula menjadi infiltrat, lesi infiltrat semakin infiltrat
lagi, dan lesi lama menjadi bertambah luas. Adanya gejala neuritis akut perlu diperhatikan
karena sangat menentukan prognosis dari pengobatan, bila ada neuritis maka penggunaan
kortikosteroid diperlukan untuk mengurangi reaksi peradangan.
Pada beberapa kasus kusta dapat ditemukan fenomena Lucio. Fenomena lucio merupakan reaksi
kusta yang sangat berat yang terjadi pada kusta tipe lepromatosa non nodular difus. Kusta tipe ini
terutama ditemukan di Meksiko dan Amerika Tengah, di negara lain prevalensinya rendah.
Gambaran klinis dapat berupa plak atau infiltrat difus, berwarna merah muda, bentuk rak teratur
dan terasa nyeri. Lesi terutama pada ekstremitas, kemudian meluas ke seluruh tubuh. Lesi yang
berat akan semakin eritematosa, disertai purpura dan bula kemudian dengan cepat terjadi
nekrosis serta ulserasi yang nyeri. Lesi lambat menyembuh dan akhirnya terbentuk jaringan
parut.
Gambaran histopatologik dari fenomena lucio menunjukkan nekrosis epidermal iskemik dengan
nekrosis pembuluh darah superfisial, edema, dan proliferasi enodetelial pembuh darah lebih
dalam. Didapatkan banyak basil M. leprae di endotel kapiler. Walaupun tidak ditemukan infiltrat
polimorfonuklear seperti pada ENL, namun dengan imunofloureseni tampak deposti
imunoglobulin dan komplemen di dalam dinding pembuluh darah. Titer kompleks imun yang
beredar dan krioglobulin sangat tinggi pada semua penderita.
Pemeriksaan
Pada penyakit kusta pemeriksaan yang bisa dilakukan umumny adalah inspeksi, selain itu
pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan anestesi dengan menggunakan jarum
atau kapas seperti yang sudah dijelaskan di atas. Pemeriksaan juga bisa dilakukan dengan
pemeriksaan dengan menggunakan tinta. Selain pemeriksaan terserbut ada beberapa pemeriksaan
yang bisa dilakukan untuk menunjang diagnosa kusta.
Pertama-tama harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh kuman, setelah
terlebih dahulu menentukan jumlah tempat yang akan diambil. Mengenai jumlah lesi juga
ditentukan oleh tujuannya yaitu untuk riset atau rutin. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan
untuk rutin minimmal 2-4 lesi lain yang paling aktif, berarti yang paling eritamtosa dan paling
infiltratif. Pemilihan kedua cuping telinga tersebut tanpa menghiraukan ada tidaknya lesi di
tempat tersebut oleh karena atas dasar pengalaman tempat tersebut diharapkan mengandung
kuman paling banyak. Perlu diingat bahwa setiap tempat pengambilan harus dicatat, guna
pengambilan ditempat yang sama pada pegamatan pengobatan untuk dibandingkan hasilnya.1
Cara pengambilan bahan dengan menggunakan skapel steril. Setelah lesi tersebut didesinfeksi
kemudian dijepit antara ibu jari dan jari telunjuk agar menjadi iskemik, sehingga kerokan
jaringan mengadung sedikit mungkin darah yang akan menganggu gambaran sediaan. Irisan
yang dibuat harus sampai di dermis melampaui subepidermal clear zone agar mencapai jaringan
yang diharapkan banyak mengadung sel Virchow (sel lepra) yang didalamnya mengandung
kuman M. leprae. Kerokan jaringan itu dioleskan di gelas alas, difiksasi di atas api, kemudian
diwarnai dengan pewarnaan yang klasik, yaitu Ziehl-Neelsen dan cara-cara lain.
Sediaan mukosa hidung diperoleh dengan cara nose blows, terbaik dilakukan pagi hari yang
ditampung dengan sehelai plastik. Perhatikan sifat cairang hidung tersebut apakah cair, serosa,
bening, mukoid, mukopurulen, purulen, ada darah atau tidak. Cara lain mengambil bahan
kerokan mukosa hidung dengan alat semacam skalpel kecil tumpul atau bahan olesan dengan
kapas lidi. Sebaiknya diambil di daerah septum nasi, selanjutnya dikerjakan seperti biasa.
Sediaan mukosa hidung sudah jarang dilakukan karena kemungkinan adanya M. atipik, M.
leprae tidak pernah positif kalau pada kulit negatif, bila diobati, hasil pemeriksaan mukosa
hidung negatif terlebih dahulu, rasa nyeri saat pengambilan.1
M. leprae tergolong BTA, akan tampak merah pada sediaan, dibedakan bentuk utuh (solid),
batang terputus (fragmented) dan butiran (granuler). Bentuk solid adalah kuman hidup,
sedangkan fragmented dan granuler merupakan bentuk mati. Secara teori penting untuk
membedakan bentuk solid dan nonsolid, berarti membdekan antara M. leprae yang hidup dan
yang mati. Dalam praktik susah untuk membedakan bentuk yang solid dan yang tidak solid
karena dipengaruhi banyak faktor.
Kepadatan M. leprae tanpa membedakan solid atau nonsolid pada sebuah sediaan dinyatakan
dengan Indek Bakteri (IB) dengan nilai dari 0 sampai 6+ menurut Ridley.
Pemeriksaan dengan menggunakan mikroskop cahaya dengan minyak emersi pada pembesaran
lensa obyektif 100x. IB seseorang adalag IB rata-rata semua lesi yang dibuat sediaan.
Indeks Morfologi (IM) adalah persentase bentuk solid dibandingkan denan jumlah solid dan
nonsolid.
Rumus :
Syarat perhitungan:
- IB 1+ tidak perlu dibuat IM-nya karena untuk mendapatkan 100 BTA harus mencapai
dalam 1000 sampai 10.000 lapangan pandang
- Mulai dari IB 3+ harus dihitung IM-nya, sebab dengan IB 3+ maksimum harus dicari
dalam 100 lapangan.
Ada pendapat bahwa jika jumlah BTA kurang dari 100, dapat pula dihitung IM-nya tetapi tidak
dinyatakan dalam % tetap dalam pecahan yang tidak boleh diperkecil atau diperbesat.
Pemeriksaan Histopatologik
Salah satu tugas makrofag adalah melakukan fagositosis, kalau ada kuman M leprae masuk,
tergantung pada sistem kekebalan seluler orang tersebut bila sistem imunitas selulernya baik
maka makrofag akan mampu memfagosit M. leprae. Datangnya histiosit ketempat kuman
disebabkan karena proses imunologik dengan adanya faktor kemotaktik. Kalau datangnya
berlebihan dan tidak ada lagi yang harus difagosit, makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid
yang tidak dapat bergerak dan kemudian akan dapat berubah menjadi sel datia Langhans.
Adanya massa epiteloid yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang disebut tuberkel akan
menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Pada penderita dengan SIS rendah atau
lumpuh, histiosit tidak dapat menghancurkan M. leprae yang sudah ada didalamnya, bahkan
dijadikan tempat berkembang biak dan disebut sel Virchow atau sel lepra atau sel busa dan
sebagai alat pengangkut penyebarluasaan.
Pemeriksaan serologik
Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi pada tubuh seseorang yang
terinfeksi M leprae. Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik terhadap M. leprae yaitu
antibodi anti phenolic glycolipid (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16 kD serta 35 kD.
Sedangkan antibodi yang tidak spesifik antara lain antibodi anti-lipoarabinomanan (LAM) yang
juga dihasilkan oleh kuman M. tuberculosis.
Kegunaan pemeriksaan serologik ini ialah dapat membantu diagnosis kusta yang meragukan
karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas. Disamping itu dapat membantu menentukan
kusta subklinis, karena tidak didapati lesi kulit misalnya pada narakontak serumah. Macam-
macam pemeriksaan serologik kusta lainnya adalah:
Diagnosis Banding
Dermatofitosis
Dermatofitosis merupakan penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya
stratum korneum pada epidermis, rambut dan kuku yang disebabkan jamur golongan
dermatofita. Umumnya dermatofitosis pada manusia disebabkan oleh jamur genus Microsporum,
Trichophyton, dan Epidemophyton. Jamur ini dapat menyebabkan kelainan pada kulit, kuku dan
rambut. Namun untuk diagnosis pembanding dari lesi kulit karena lepra lebih mengarah ke tinea
korporis. Kelainan kulit yang dapat dilihat dari klinik merupakan lesi bulat atau lonjong,
berbatas tegas terdiri dari eritema, skuama, kadang-kadang dengan vesikel dan papul di tepi lesi.
Daerah tengahnya cendrung lebih tenang. Gambaran kelainan pada dermatofitosis ini mirip
dengan lesi kulit yang terjadi pada leprae terutama dalam bentuk TT. Untuk membedakannya
kerokan dapat dilakukan baik dengan KOH atau pewarnaa Ziel-Neelsen. Cara yang paling
mudah yaitu dengan menguji keadaan saraf sensoris pada kulit. Pemeriksaan dengan Woods light
juga dapat digunaka untuk membedakan tinea korporis yang disebabkan oleh M. canis yang
memberikan warna bewarna hijau-kuning.
Tinea versikolor
Tinea verikolor merupakan kelainan kulit yang disebabkan oleh Malassezia furfur. Merupakan
penyakit jamur superfisial yang kronik, biasanya tidak memberikan keluhan subyektif berupa
bercak skuama halus yang berwarna putih sampai coklat hitam, terutama meliputi badan dan
kadang-kadang dapat menyerang ketiak, lipat paha, lengan, tungkai atas, leher, muka dan kulit
kepala yang berambut.
Kelainan pada pitiriasis versikolor juga dapat berupa lesi yang bewarna-warni, bentuk tidak
teratur sampai teratur, batas jelas sampai difus. Lesi pada leprae kadang bisa sangat mirip dengan
kelainan pitiriasis versikolor. Tapi pada pitiriasis versikolor akan memberikan flouresensi bila
diberikan cahaya dengan woods light yaitu akan bewarna hijau-kebiruan. Tes sensibilitas saraf
sensoris juga dapat dilakukan untuk mebedakannya, kerokan juga bisa.
Pitriasis rosea
Pitiriasis rosea ialah penyakit kulit yang belum diketahui penyebabnya, dimulai dengan sebuah
lesi inisial berbentuk eritema dan skuama halus. Kemudian disusul oleh lesi-lesi yang lebih kecil
di badang, lengan dan paha atas yang tersusun sesuai dengan lipatan kulit dan biasanya
menyembuh dalam waktu 3-8 minggu. Gejala konstitusi umumnya tidak terdapat, sebagian
penderita mengeluh gatal ringan. Penyakit dimulai dengan adanya lesi pertama (herald patch),
umumnya di badan, solitar, berbentuk oval dan anular diameternya kira-kira 3 cm. Ruam terdiri
dari eritema dan skuama halus dipinggir. Lamanya beberapa hari hingga beberapa minggu. Lesi
berikutnya timbul 4 10 hari setelah lesi pertama hanya lebih kecil, susunannya sejajar dengan
kosta, hingga menyerupai pohon cemara terbalik. Lesinya mirip dengan lesi pada kusta.
Pitriasis alba
Pitiriasi alba merupaja bentuk dermatitis yang tidak spesifik dan belum diketahui penyebabnya.
Ditandai dengan adanya bercak kemerahan dan skauma halus yang akan menghilang serta
meninggalkan area yang depigmentasi. Terjadinya diduga karena infeksi dari Streptococcus,
tetapi belum dapat dibuktikan. Pitiriasis alba memiliki lesi yang berbentuk bulat, oval atau plakat
yang tak teratur. Warna merah muda atau sesuai warna kulit dengan skuama halus. Setelah
eritema hilang lesi dijumpai hanya depigmentasi dengan skuama halus.
Dermatitis seboroika
Dermatitis seboroika dipakai untuk segolongan kelainan kulit yang didasari oleh faktor konstitusi
dan bertempat predileksi di tempat-tempat seboroik. Kelainan kulit terdiri atas eritema dan
skuama yang berminyak dan agak kekuningan, batasnya agak kurang tegas. D.S. yang ringan
hanya mengenai kulit kepala berupa skuama-skuama yang halus, mulai sebagai bercak kecil
yang kemudian mengenai seluruh kulit kepala dengan skuama yang halus dan kasar. Kelainan
tersebut disebut pitiriasis sika (ketombe dandruff). Bentuk yang berminyak disebut pitiriasis
steatoides yang dapat disertai eritema dan krusta-krusta yang tebal. Rambut pada tempat tersebut
mempunyai kecenderungan rontok, mulai di bagian verteks dan frontal.
Psoriasis
Psoriasis ialah penyakit yang penyebabnya autoimun, bersifat kronik dan residif, ditandai dengan
adanya bercak-bercak eritema berbatas tegas dengan skuama yang kasar, berlapis-lapis dan
transparan; disertai fenomena tetesan lilin, Auspitz dan Kobner. Kelainan kulit terdiri atas
bercak-bercak eritema yang meninggi (plak) dengan skuama di atasnya. Eritema sirkumskrip dan
merata, tetapi pada stadium penyembuhan sering eritema ditengah menghilang dan hanya
terdapat di pinggir. Skuama berlapis-lapis dan kasar dan bewarna putih mika, serta transparan.
Besar kelainan bervariasi.
Pengobatan
Obat antikusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS (diamniodifeni sulfon)
kemudian kloafizimin, dan rifampisin. Pada tahun 1998 WHO menambahkan 3 obat antibiotik
lain untuk pengobatan alternatif yaitu ofloksasin, minosiklin dan klaritromisin.
Untuk mencegah resistensi pengobatan tuberkulosis telah menggunakan multi drug treatment
(MDT) sejak 1951, sedangkan untuk kusta baru dimulai pada tahun 1971. Pada saat ini ada
berbagai macam dan cara MDT dan yang dilaksanakan di Indonesia sesuai rekomendasi WHO,
dengan obat alternatif sejalan dengan kebutuhan dan kemampuan. Yang paling dirisaukan ialah
resistensi terhadap DDS karena DDS adalah obat antikusta yang paling banyak dipakai dan
paling murah. Obat ini sesuai dengan para penderita yang ada di negara berkembang dengan
sosial ekonomi rendah.
- Ketersediaan obat
- Harga obat
- Kemungkinan penerapannya
DDS
DDS merupakan obat pertama yang berhasil untuk mengobati M leprae yang dalam keadaan
dorman atau sleeping. Dengan DDS kuman aktif kembali dan akhirnya bisa mati karena efek
DDS. Memang ada beberapa kasus kusta yang resisten terhadap DDS, kusta yang resisten
terhadap DDS adalah tipe multibasiler tidak pernah dilaporkan ada kusta tipe pausibasiler yang
resisten terhadap DDS, karena pad kusta pausibasiler kadar SIS dalam darah penderita tinggi dan
tidak perlu waktu lama untuk membunuh kuman yang tersisa.
Resistensi terhadap DDS dapat primer maupun sekunder. Resistensi primer terjadi pada
penderita yang ditulari oleh M leprae yang telah resisten dan manifestasinya dapat dalam
berbagai tipe (TT, BT, BB, BL, LL), bergantung pada kadar SIS penderita. Derajat resistensinya
yang rendah dapat diobati degan dosis DDS yang lebih tinggi, sedangkan pada derajat resistensi
yang tinggi DDS tidak dapat dipakai lagi. Resistensi dari DDS dapat terjadi karena monoterapi
DDS, dosis yang terlalu rendah, minum obat tidak teratur, minum obat tidak adekuat baik dosis
maupun lama pemberiannya, pengobatan terlalu lama, setelah 4-24 tahun.
Efek samping DDS antara lain nyeri kepala, erupsi obat, anemina hemolitik, leukopenia,
insomnia, neuropati perifer, sindrom DDS, nekrolisis epidermal toksis, hepatitis,
hipoalbuminemia dan methemoglibinemia.
Rifampisin
Rifampisin adalah salah satu obat yang menjadi sala satu komponen kombinasi DDS dengan
dosis 10 mg / kg berat badan; diberikan setiap hari atau setiap bulan. Rifampisin tidak boleh
diberikan sebagai monoterapi, oleh karena memperbesar kemungkinan terjadinya resistensi,
tetapi pada pengobatan kombinasi selalu diikutkan tidak boleh diberikan setiap minggu karena
efek sampingnya. Efek samping yang dapat terjadi adalah hepatotoksik, nefrotoksik, gejala
gastrointestinal, flu-like syndrome, dan erupsi obat.
Klofazimin (lamprene)
Dosis sebagai antikusta adalah 50 mg setiap hari atau 100 mg selang sehari, atau 3 x 100 mg
setiap minggu. Juga bersifat antiinflamasti sehingga dpat digunakan pada ENL dengan dosis
yang lebih besar yaitu 200-300 mg/hari namun awitan kerja baru timbul setelah 2-3 minggu.
Resistensi pertama pada satu kasus telah dibuktikan pada tahun 1982.
Efek sampingnya adalah perubahan warna kulit menjadi merah kecoklatan pada kulit dan warna
kekuningan pada sklera, sehingga mirip ikterus, apalagi pada dosis yang lebih besar. Hal ini bisa
terjadi karena Klofazimin merupakan zat warna yang dideposit terutama pada sel sel sistem
retikuloendotelial, mukosa dan kulit. Pigmentasi bersifat reversibel, meskipun menghilangnya
lambat sejak penggunaan obat dihentikan. Efek samping lain yang terjadi karena penggunaan
dosis besar adalah nyeri abdomen, nausea, diare, anoreksia, dan vomitus. Selain itu dapat terjadi
penurunan berat badan.
Protionamid
Dosis diberikan 5-10 mg/kg berat badan setiap hari, dan untuk Indonesia obat ini jarang
digunakan. Distribusi protionamid di dalam tubuh tidak merata sehingga kadar hambat
minimalnya sukat ditentukan.
Ofloksasin
Penggunaan pada anak, remaja, wanita hamil dan menyusui haru hati-hati, karena dalam
percobaan pada hewan muda kuinolon mengakibtakan atropati.
Minosiklin
Termasuk kedalam golongan tertasiklin, mempunyai efek bakterisid yang lebih tinggi dari pada
klofazimin tetapi lebih rendah dibandingkan rifampisin. Dosis harian yang bisa diberikan adalah
100 mg. Efek samping dari penggunaan minoksidil adalah sama seperti tertrasiklin dapat
mengakibatkan berubahnya warna gigi pada anak, kadang-kadang dapat menyebabkan
hiperpigmentasi kulit dan membran mukosa, berbagai saluran cerna dan susunan saraf pusat,
termasuk dizzined, dan unsteadiness. Oleh sebab itu minosiklin tidak boleh diberikan pada anak-
anak dan ibu yang hamil.
Klaritromisin
Merupakan kelompok antibiotik makrolif dan mempunyai aktivitas baktersid terhadap M leprae.
Pada penderita kusta lepromatosa dosis harian 500 mg dapat membunuh 99% kuman hidup
dalam 28 hari dan lebih dari 99,9% dalam 56 hari. Efek diare yang terbukti sering ditemukan bila
obat ini diberikan dengan dosis 200 mg.
Sediaan obat-obat di atas merupakan obat dapat di sesuaikan dengan tipe dari kusta, beberapa
terapi kombinasi yang dapat dilakukan adalah:
MDT untuk multibasiler (BB, BL, LL atau semua tipe dengan BTA positif)
- Klofazimin: 300 mg setiap bulan, dalam pengawasan, diteruskan 50 mg sehari atau 100 mg
selama sehari atau 3 kali 100 mg setiap minggu.
Mula-mula kombinasi obat ini diberikan 24 dosis dalam 24 sampai 36 bulan dengan syarat
bakterioskopis harus negatif. Apabila bakterioskopis harus negatif. Apabila bakterioskopis masih
positif, pengobatan harus dilanjutkan sampai bakterioskopis negatif. Selama pengobatan
dilakukan pemeriksaan secara kinis setiap bulan dan secara bakterioskopis minimal setiap 3
bulan. Jadi besar kemungkinan pengobatan kusta multibasiler ini hanya selama 2 sampai 3 tahun.
Hal ini adalah waktu yang relatif sangat singkat dan dengan batasan waktu yang tegas, jika
dibandingkan dengan cara sebelumnya yang memerlukan waktu minimal 10 tahun sampai
seumur hidup. Penghentian pemberian obat lazim disebut Release From Treatment (RFT).
Setelah RFT dilakukan tindak lanjut (tanpa pengobatan) secara klinis dan bakterioskopis tetap
negatif dan klinis tidak ada keaktifan baru, maka dinyatakan bebas dari pengamatan atau disebut
Releas From Control (RFC).
Saat ini, apabila secara klinis sudah terjadi penyembuhan, pemberian oral dapat dihentikan, tanpa
memperhatikan bakterioskopis.
Keduanya diberikan dalam 6 dosis selama 6 bulan sampai 9 bulan, berarti RFT setelah 6-9 bulan
sampai 9 bulan, berarti RFT setelah 6-9 bulan. Selama pengobatan pemeriksaan secara klinis
setiap bulan dan bakterioskopis. Kalau tidak ada keaktivan baru secara klinis, dan bakterioskopis
tetap negatif, maka dinyatakan RFC.
Sejak tahun 1995 WHO tidak lagi menganjurkan pelaksaan RFC. Apabila RFT telah tercapai
tanpa memperhatikan hasil bakterioskopis, penderita tidak lagi diawasi sampai RFC, walaupun
akhir-akhir ini banyak yang menganjurkan diberlakukan kembali antara lain untuk mengawasi
adanya reaksi dan relaps.
Berdasarkan klasifikasi WHO (1997) untuk kepentingan pengobatan, penderita kusta dibagi
menjadi 3 grup, yaitu pausibasiler dengan lesi tunggal, pausibasiler dengan lesi 2-5 buah, dan
penderita multibasiler dengan lesi lebih dari 5 buah.
Sebagai standar pengobatan. WHO Expert Committee pada tahun 1998 telah memperpendek
masa pengobatan menjadi 12 dosis dalam 12-18 bulan, sedangkan pengobatan untuk kasus PB
dengan lesi kulot 2-5 bulan tetap 6 dosis dalam 6-9 bulan. Bagi kasus PB dengan lesi tunggal
pengobatan adalah Rifampisin 600 mg ditambah dengan Ofloksasin 400 mg dan Minosiklin 100
mg (ROM) dosis tunggal.
Kalau susunan MDT tersebut tidak dapat dilaksanakan karena berbagai alasan, WHO Expert
Committee pada tahun 1998 mempunyai rejimen untuk situasi khusus.
Penderita MB yang resisten dengan rifampisin biasanya akan resisten pula dengan DDS sehingga
hanya bisa mendapat klofa-zimin. Dalam hal ini rejimen pengobatan menjadi klofazimin 50 mg,
ofloksasin 400mg dan minoksiklin 100 mg setiap hari selama 6 bulan, diteruskan klofazimin 50
mg ditambah ofloksasin 400mg atau minoksiklin 100 mg setiap hari selama 18 bulan.
Pengobatan ENL
Obat yang paling sering dipakai ialah tablet kortikosterois, antara lain prednisolon. Dosisnya
bergantung pada berat ringannya reaksi, biasanya prednisolon 15-30 mg sehari, kadang-kadang
lebih. Makin berat reaksinya makin tinggi dosisnya, tetapi perlu diberikan 15-30 mg sehari,
kadang-kadang lebih. Makin berat reaksinya makin tinggi dosisnya, tetapi sebaliknya bia
reaksinya terlalu ringan tidak perlu diberikan. Sesuai dengan perbaikan reaksi, dosisnya
diturunkan secara bertahap sampai diberhentikan sama sekali. Perhatikan kontraindikasi
pemakaian kortikesteroid. Dapat ditambahkan obat analgetik-antipiretik dan sedative atau bila
berat, penderita dapat menjalani rawat-inap. Ada kemungkinan kortikosteroid dapat
mengakibatkan ketergantungan, ENL akan timbul kalau obat tersebut dihentikan atau diturunkan
pada dosis tertentu, sehingga penderita ini harus mendapatkan kortikostreoid terus menerus.
Obat yang dianggap sebagai obat pilihan pertama adalah talidomid, tetapi harus berhati-hati
karena mempunyai efek teratogenik. Jadi tidak boleh diberikan kepada orang hamil atau masa
subur. Di Indonesia obat ini tidak didapat.
Klofazimin kecuali kecuali sebagai obat antikusta dapat juga dipakai sebagai anti-reaksi ENL,
tetapi dengan dosis yang lebih tinggi. Juga bergantung pada berat ringannya reaksi, makin berat
makin tinggi dosisnya, biasanya antara 200-300 mg sehari. Khasiatnya lebih lambat daripada
kortikosteroid. Juga dosisnya diturunkan secara bertahap disesuaikan dengan perbaikan ENL.
Keuntungan lain klofazimin dapat dipakai sebagai usaha untuk lepas dari ketergantungan
kortikosteroid. Salah satu efek samping yang tidak dikehendaki oleh banyak penderita ialah
bahwa kulit menjadi bewarna merah kecoklatan, apalagi pada dosis tinggi. Tapi masih bersifat
reversible, meskipun menghilangnya lambat sejak obatnya dihentikan. Masih ada obat-obat lain,
tetapi tidak begitu lazim dipakai. Selama penaggulangan ENL ini,obat-obat antikusta yang
sedang diberikan diteruskan tanpa dikurangi dosisnya.
Perlu diperhatikan apakah reaksi ini disertai neuritis atau tidak. Sebab kalau tanpa neuritis akut
tidak perlu diberi pengobatan tambahan. Kalau ada neuritis akut, obat pilihan pertama adalah
kortikosteroid yang dosisnya disesuaikan dengan berat ringannya neuritis, makin berat makin
tinggi dosisnya. Biasanya diberikan prednisolon 40 mg sehari, kemudian diturunkan perlahan-
lahan. Pengobatan harus secepat-cepatnya dan dengan dosis yang adekuat untuk mengurangi
terjadinya kerusakan saraf secara mendadak. Jarang terjadi ketergantungan terhadap
kortikosteroid. Anggota gerak yang terkena neuritis akut harus diistirahatkan. Analgetik dan
sedativ kalau diperlukan dapat diberikan. Klofazimin untuk reaksi reversal kurang efektif, oleh
karena itu tidak pernah dipakai, begitu juga talidomid tidak efektif untuk reaksi reversal.
Pengobatan reaksi kusta yang dianjurkan Sub Direktorat Kusta Direktorat Jendral Pengedalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (PP & PL) Departemen Kesehatan Indonesia dapat dilihat
skema di bawah ini.
Pemberian lampren
ENL yang berat dan bekepanjangan dan terdapat ketergantungan pada steroid (pemberian
prednisolon tidak dapat diturunkan sampai 0), perlu ditambahakn klofazimin untuk dewasa 300
mg/ hari selama 2-3 bulan. Bila ada perbaikan diturunkan menjadi 200 mg/hari selama 2-3 bulan.
Jika ada perbaikan diturunkan menjadi 100mg/hari selama 2-3 bulan dan selanjutnya kembali ke
dosis klofazimin semula, 50 mg/hari, kalau penderita masih dalam pengobatan MDT, atau
dihentikan bila penderita sudah dinyatakan RFT. Pada saat yang sama, dosis prednisolon
diturunkan secara bertahap.
Pencegahan Cacat
Cara terbaik untuk melakukan pencegahan cacat atau prevention of disabilities (POD) adalah
dengan melaksanakan diagnosis dini kusta, pemberian pengobatan MDT yang cepat dan tepat.
Selanjutnya dengan mengenali gejala dan tanda reaksi kusta yang disertai gangguan saraf serta
memulai pengobatan dengan kortikosteroid sesegera mungkin. Bila terdapat gangguan
sensibilitas, penderita diberi petunjuk sederhana misalnya memakai sepatu untuk melindungi
kaki yang telah terkena, memakai sarung tangan billa bekerja dengan benda yang tajam atau
panas, dan memakai kacamata untuk melindungi matanya. Selain itu diajarkan pula cara
perawatan kulit sehari-hari. Hal ini dimulai dengan memeriksa sehari-hari. Hal ini dimulai
dengan memeriksa ada tidaknya memar, luka , atau ulkus. Setelah itu tangan dan kaki direndam,
disikat dan diminyakyi agar tidak kering dan pecah.
WHO Expert Committee on Leprosy membuat klasifikasi cacat pada tangan, kaki dan mata bagi
penderita kusta. Pada pertemuan yang ketujuh (1977) dibuat amandemen khusus untuk mata, hal
ini dapat di lihat pada tabel di bawah ini.1
Rehabilitasi
Usaha rehabilitasi medis yang dapat dilakukan untuk cacat tubuh ialah antara lain dengan jalan
operasi dan fisioterapi. Meskipun hasilnya tidak sempurna kembali ke asal, tetapi fungsinya dan
secara kosmetik dapat diperbaiki. Cara lain ialah dengan cara kekaryaan yaitu dengan memberi
lapangan pekerjaan yang sesuai untuk cacat tubuhnya, sehingga dapat berprestasi dan dapat
meningkatkan rasa percaya diri selain itu dapat dilakukan terapi psikologik.
Prognosis
Pada kasus kusta yang tidak diterapi, pasien yang bisa sembuh sendiri tanpa pengobatan adalah
pasien yang mengidap kusta tipe TT dan BT yang berkembang menjadi TT. Sementara yang
lainnya akan terjadi perkembangan secara progresif. Gejala yang timbul sering kali karena
cedera saraf dan fase reaksi.
BT, BB, BL, LLs bisa berkembang menjadi lebih buruk upgrade, sementara BT, BB dan BL
yang downgrading akan dapat sembuh sendiri. BL, LLs, dan LLp bisa berkembang mejadi ENL.
Neutritis perifer sering kali mengakibatkan kerusakan saraf sensoris permanen dan susah untuk
ditangan, hanya dapat dikurangi peradangannya dengan kortikosteroid.3
Kesimpulan
Dari kajian di atas dapat disimpulkan bahwa kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik dan
disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluller obligat. Bakteri ini akan
menyerang saraf perifer, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, bakteri ini juga
dapat ke organ tubuh yang lainnya kecuali susuanan saraf pusat.
Daftar Pustaka
1. Mulyati, K. Pudji, Susilo, J. Leprosi. Dalam: Sutanto, I., Ismid, I. S., Sjarifuddin, P.K.,
Sungkar, S., editor. Buku ajar parasitologi kedokteran. Edisi keempat. Jakarta: FK UI;
2008.h.319-25.
2. Dacre, Jane dan Kopelman, Peter. Buku saku keterampilan klinis. Cetakan pertama.
Jakarta: EGC; 2005.h.258-59.
3. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S., editor. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi
kelima. Cetakan ketiga. Jakarta: FK UI; 2008.h.34, 92-4, 129-47, 189-91, 334-5.
4. Siregar, R.S. Atlas berwarna saripati penyakit kulit. Edisi kedua. Cetakan pertama.
Jakarta: EGC; 2005.h.29-34.
5. Wolff, K., Johnson, R.A., Suurmond, D. Fitzpatricks color atlas & synopsis of clinical
dermatology. Edisi kelima. USA: The McGraw-Hill Companies; 2005.h.699-700.
6. Setiabudy, R. Bahry, B. Obat jamur. Dalam: Gunawan, S.G., Setiabudy, R., Nafrialdi,
Elysabeth. Farmakologi dan terapi. Edisi kelima. Jakarta: FK UI ; 2009.h.574-5, 579-82.