[go: up one dir, main page]

0% found this document useful (0 votes)
7 views10 pages

2 PB

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1/ 10

Islamijah: Journal of Islamic Social Sciences

Vol. 3, No. 2 (2022), pp. 97-106, Doi : 10.30821/islamijah.v3i2.12576

KLASIFIKASI ILMU
DALAM TRADISI INTELEKTUAL ISLAM
Ja’far
Institut Agama Islam Negeri Lhokseumawe
Jl. Medan-Banda Aceh, Alue Awe, Muara Dua, Lhokseumawe, Aceh, 24352
e-mail: jafar@iainlhokseumawe.ac.id

Abstract: This study examines the concept of Muslim scientists regarding


the classification of knowledge. This study is a literature study. The
data of this study come from written and authoritative sources.
This study is based on the fact that Islam requires every Muslim to
seek knowledge. Both the Qur’an and Hadith provide clues that
Islam is a religion that views science as important. Reading activity
is an important activity according to the Qur’an, and this can be
seen from the fact that the first verse revealed to the Prophet is
related to reading activities (iqra’). The Prophet in his various hadiths
also hinted about the obligations and virtues of seeking and developing
knowledge. This study shows that Muslim thinkers detail the views
of the Quran and hadith on the knowledge that must be studied.
This study will reveal the views of al-Ghazâlî, Qutb al-Dîn al-Syîrâzî,
Ibn Khaldûn, Ibn al-Qayyim al-Jauziyah and Syed Muhammad Naquib
al-Attas. This study will be complemented by the views of modern
thinkers on the classification of knowledge as decided in the Second
World Conference on Muslim Education. Their opinion leads to
the conclusion that Islam obliges Muslims to demand and develop
knowledge that is beneficial to the Muslim world, both sharia and
philosophy. This study also strengthens the reference group on
the study of Islamic epistemology in Indonesia.

Keywords: science, sharia, philosophy, Islamic civilization


Islamijah: Journal of Islamic Social Sciences, Volume 3, Number 2, August 2022: 97-106

Pendahuluan
Konsep klasifikasi ilmu merupakan bagian dari pembahasan tentang epistemologi
Islam. Umum dikenal bahwa ilmu kerap dibagi menjadi dua, yakni ilmu agama
dan ilmu umum. Ilmu agama lebih banyak diajarkan di lembaga pendidikan
Islam semacam madrasah, pesantren dan perguruan tinggi agama Islam. Sedangkan
ilmu umum lebih banyak diajarkan di lembaga pendidikan umum seperti sekolah
dan universitas. Dalam perspektif Islam, kedua ilmu ini wajib dipelajari mengingat
keduanya bermanfaat bagi kemajuan peradaban Islam dan kemanusiaan. Kedua
ilmu ini, ilmu agama maupun ilmu umum, memiliki akar sejarah yang panjang.
Ilmu jenis pertama disebut ilmu syariah, sedangkan ilmu jenis kedua disebut
ilmu rasional atau filsafat. Tidak banyak studi mengenai konsep klasifikasi ilmu
yang berkembang di dunia Islam mengingat pengaruh tradisi Barat tentang
ilmu dimana ilmu yang diartikan sains terdiri atas sains alam dan sains sosial.
Studi tentang konsep klasifikasi ilmu, yang merupakan bagian dari kajian
epistemologi Islam, dalam tradisi intelektual ilmu masih penting dilakukan.
Merujuk pendapat Mulyadhi Kartanegara (2003: xiii) bahwa epistemologi Islam
belum mendapat perhatian yang cukup serius dan intensif. Tetapi, epistemologi
Barat malah telah dikenal oleh kalangan terpelajar di Indonesia secara lebih
baik. Padahal, meskipun ada persamaan di antara epistemologi Islam dan Barat,
terdapat perbedaan fundamental di antara keduanya. Epistemologi Islam, termasuk
klasifikasi ilmu, sebenarnya telah lama dikembangkan oleh para filosof Muslim
bahkan terus dilestarikan sampai era modern.
Artikel ini mengkaji konsep klasifikasi ilmu dalam tradisi Islam. Secara
khusus, akan dikaji pandangan figur terkemuka dunia Muslim tentang klasifikasi
ilmu. Mereka yang dikaji adalah al-Ghazâlî, Quthb al-Dîn al-Syîrâzî, Ibn Khaldûn,
Ibn al-Qayyim al-Jauziyah dan Syed Muhammad Naquib al-Attas. Studi ini dipandang
penting mengingat tidak banyak tulisan mengenai perspektif pemikir Muslim
mengenai wacana klasifikasi ilmu, apalagi wacana yang merupakan bagian dari
kajian epistemologi ini masih belum mendapatkan perhatian yang cukup serius
dan intensif sebagaimana ditegaskan oleh Mulyadhi Kartanegara. Studi ini
merupakan studi kepustakaan. Data dalam studi ini didasarkan pada karya-
Klasifikasi Ilmu ... (Ja’far)

karya pemikir yang dibahas dalam artikel ini. Metode analisis isi sangat diandalkan
dalam studi ini.

Hasil dan Pembahasan


Studi ini akan mengungkap pandangan al-Ghazâlî, Quthb al-Dîn al-Syîrâzî,
Ibn Khaldûn, Ibn al-Qayyim al-Jauziyah dan Syed Muhammad Naquib al-Attas
tentang klasifikasi ilmu. Mereka merupakan pemikir dari era klasik seperti al-
Ghazâlî, Quthb al-Dîn al-Syîrâzî, Ibn Khaldûn, Ibn al-Qayyim al-Jauziyah sampai
pemikir kontemporer seperti Syed Muhammad Naquib al-Attas. Harus dipahami
bahwa konsep klasifikasi ilmu mereka dipengaruhi oleh pandangan mereka
tentang ontologi. Ini sesuai pendapat Mulyadhi Kartanegara (2002: 42) yang
menyatakan bahwa basis klasifikasi ilmu sangat dipengaruhi oleh status ontologis
objek-objek ilmu. Para pemikir Muslim meyakini bahwa objek ilmu tidak tunggal
karena terdiri atas dua objek, yakni objek-objek spiritual dan objek-objek material.
Mereka juga menegaskan bahwa sumber ilmu juga tidak tunggal karena sumber
ilmu dalam Islam adalah Tuhan, wahyu dan alam. Sebab itulah, konsep klasifikasi
ilmu mereka berkorelasi dengan konsep mereka tentang objek dan sumber
ilmu. Telaah mereka terhadap wahyu (Alquran dan hadis) melalui metode
bayânî (tafsir dan takwîl) akan memunculkan ilmu-ilmu religius, sedangkan
pengkajian mereka terhadap alam melalui metode tajrîbî, metode burhânî, dan
metode ‘irfânî akan memunculkan ilmu-ilmu intelektual. Kedua jenis ilmu tersebut
bertujuan untuk mengukuhkan pengetahuan dan keyakinan umat Islam terhadap
eksistensi Allah Swt.
Konsep Islam dan Barat tidak sama mengenai klasifikasi ilmu. Sebagai
dampak dari makna sains yang berarti pengetahuan ilmiah tentang dunia material,
dunia Barat meyakini sains terdiri atas dua jenis, yakni sains alam (natural sciences:
physics, chemistry, astronomy, geology, biology) and sains sosial (social science:psychology,
sociology, anthropology daneconomics) (Ladyman, 2002). Dalam Islam, ilmu yang
berasal dari bahasa Arab, al-‘ilm, berarti “pengetahuan tentang segala sesuatu
sebagaimana adanya.” Keluasan makna ilmu dalam perspektif Islam inilah yang
kemudian membuat klasifikasi ilmu dalam Islam menjadi lebih komprehensif.
Islamijah: Journal of Islamic Social Sciences, Volume 3, Number 2, August 2022: 97-106

Banyak pemikir Muslim yang mengajukan pandangan mereka tentang klasifikasi


ilmu. Sejauh ini, konsep al-Ghazâlî, Quthb al-Dîn al-Syîrâzî, Ibn Khaldûn, Ibn
al-Qayyim al-Jauziyah dan Syed Muhammad Naquib al-Attas dinilai mewakili
dari semua pandangan ilmuwan Muslim tentang klasifikasi ilmu.
Ditinjau dari sudut normatif, M.M. Sharif (1963) menyebut tiga bentuk
ilmu dalam Alquran. Pertama, knowledge by inference atau ‘ilm al-yaqîn. Kedua,
knowledge by perception and reported perception or observation atau ‘ain al-yaqîn.
Ketiga, knowledge by personal experience or intuition atauhaqq al-yaqîn. Meskipun
menarik, studi ini tidak akan mengelaborasi ketiga jenis ilmu tersebut. Studi
ini akan fokus pada pandangan pemikir Muslim seperti al-Ghazâlî, Quthb al-
Dîn al-Syîrâzî, Ibn Khaldûn, Ibn al-Qayyim al-Jauziyah dan Syed Muhammad
Naquib al-Attas tentang klasifikasi ilmu. Kajian ini juga akan dilengkapi dengan
pandangan pemikir modern tentang klasifikasi ilmu sebagaimana diputuskan
dalam Second World Conference on Muslim Education.
Al-Ghazâlî (w. 1111) merupakan ulama yang sangat berpengaruh di dunia
Islam Sunni. Ia diberi gelar dengan hujjat al-Islâm. Osman Bakar (1998) pernah
meneliti pendapat al-Ghazâlî ini. Ia menyatakan bahwa al-Ghazâlî membuat
empat sistem klasifikasi ilmu, yakni.
1. Ilmu-ilmu teoretis (nazhariyah/theoretical) dan ilmu praktis (‘amaliyah/practical).
2. Ilmu-ilmu yang dihadirkan (hudhûrî/presential) dan ilmu yang dicapai (hushûlî/
attained).
3. Ilmu-ilmu religius (‘ulûm al-syarî‘ah/religious sciences) dan ilmu-ilmu intelektual
(‘ulûm al-‘aqliyah/intellectual sciences).
4. Ilmu-ilmu fardh ‘ain dan ilmu-ilmu fardh kifâyah.
Mengenai klasifikasi keempat, disebutkan bahwa ilmu terdiri atas dua
jenis: ilmu fardh ‘ain dan ilmu fardh kifâyah. Masih dalam pandangan al-Ghazâlî,
istilah fardh ‘ain di atas merujuk kepada kewajiban agama terhadap setiap individu.
Artinya, setiap individu Muslim wajib mencari, memahami, menguasai dan
mengamalkan ilmu fardh ‘ain, dan individu Muslim tersebut akan berdosa manakala
tidak mendapatkannya, sedangkan individu Muslim lainnya tidak akan menanggung
dosa tersebut. Sedangkan istilah fardh kifâyah merujuk kepada kewajiban agama
Klasifikasi Ilmu ... (Ja’far)

terhadap komunitas Muslim sebagai satu kesatuan, meskipun tidak mengikat


setiap anggota komunitas. Dengan kata lain, pada dasarnya setiap individu
Muslim dibebani kewajiban menuntut ilmu fardh kifâyah, tetapi manakala terdapat
sekelompok kecil saja dari umat Islam telah menguasai dan memahaminya,
maka gugurlah kewajiban bagi Muslim lainnya untuk menuntutnya; dan manakala
tidak ada yang menguasainya, maka seluruh umat Islam akan berdosa sebagai
akibat tidak memenuhi kewajiban tersebut (Bakar, 1998).
Osman Bakar kembali merinci pandangan al-Ghazâlî tentang ilmu-ilmu
religius (‘ulûm al-syarî‘ah/religious sciences) dan ilmu-ilmu intelektual (‘ulûm al-
‘aqliyah/intellectual sciences). Al-Ghazâlî, kata Osman Bakar, memberikan rincian
terhadap kedua jenis ilmu tersebut:
1. Ilmu-ilmu religius (‘ulûm al-syarî‘ah/religious sciences): a) Ilmu tentang prinsip-
prinsip dasar (al-ushûl): ilmu tentang keesaan Ilahi, kenabian dan sahabat
Nabi, eskatologi, sumber pengetahuan religius (Alquran dan hadis). Ilmu
tentang sumber pengetahuan religius (Alquran dan hadis) terbagi menjadi
dua kategori: ilmuilmu alat (ilmu kebahasaan) dan ilmu-ilmu pelengkap:
ulumul Quran, ilmu hadis, ilmu-ilmu yurisprudensi (ushûl al-fiqh), dan biografi
Nabi, sahabat dan orang-orang terkenal. b) Ilmu tentang cabang-cabang
(furû‘): ilmu mengenai kewajiban manusia kepada Tuhan (ibadah), kewajiban
manusia kepada masyarakat (mu‘amalah dan jinayah), dan kewajiban manusia
kepada jiwanya sendiri (akhlak).
2. Ilmu-ilmu intelektual (‘ulûm al-‘aqliyah/intellectual sciences); a) Matematika:
aritmatika, geometri, astronomi dan astrologi, dan musik; b) Logika; c)
Fisika: kedokteran, meteorologi, mineralogi, dan kimia; d) Metafisika: ontologi,
ilmu tentang Tuhan, ilmu tentang substansi sederhana (jiwa dan malaikat),
ilmu tentang dunia halus (gaib), ilmu tentang kenabian dan kewalian, dan
teurgi.
Pemikir lain yang juga berpengaruh adalah Quthb al-Dîn al-Syîrâzî (w.
1311), seorang filosof Muslim. Sebagaimana temuan Osman Bakar (1998), al-
Syîrâzî membagi ilmu menjadi dua jenis: ilmu-ilmu filosofis (‘ulûm al-hikmi)
dan ilmu-ilmu non-filosofis (‘ulûm ghair hikmy). Al-Syîrâzî lebih memperinci
Islamijah: Journal of Islamic Social Sciences, Volume 3, Number 2, August 2022: 97-106

kedua jenis ilmu tersebut sebagai terlihat di bawah ini:


1. Ilmu-ilmu filosofis (‘ulûm al-hikmi), yang terdiri atas ilmu-ilmu filosofis teoretis
(nazhari/theoretical) dan ilmu-ilmu filosofis praktis (‘amali/practical). a) Ilmu-
ilmu filosofis teoretis (nazhari/theoretical), yang terdiri atas metafisika (ilmu
Ilahi, filsafat pertama, kenabian, imamah, dan eskatologi), matematika
(cabang-cabang mayor: geometri, aritmatika, astronomi, dan musik; serta
cabang-cabang minor: optika, aljabar, ilmu tentang berat, ilmu ukur tanah,
ilmu hitung, teknik mesin, ilmu tentang neraca timbangan, ilmu tentang
tabel astronomis, dan irigasi), filsafat alam (cabang mayor: meteorologi,
mineralogi, botani, zoologi, dan psikologi; serta cabang-cabang minor: kedokteran,
astrologi yudisial, pertanian, fisiognomi, sihir, dan kimia), dan logika; b)
Ilmu-ilmu filosofis praktis (‘amali/practical), yang terdiri atas etika, ekonomi
dan politik.
2. Ilmu-ilmu non-filosofis (‘ulûm ghair hikmy), yang terdiri atas ilmu-ilmu kewahyuan
(naqli/transmitted) dan ilmu-ilmu intelektual (‘aqli/intellectual), atau ilmu-
ilmu pokok (ushûl/fundamental) dan ilmuilmu cabang (furu‘/branches). Secara
khusus, dapat dirincikan sebagai berikut: a) Ilmu-ilmu pokok (ushûl/fundamental),
yang terdiri atas ilmu tentang Esensi Tuhan, ilmu tentang Sifat-Nya, ilmu
tentang Perbuatan-Nya, dan ilmu tentang kenabian dan kewahyuan. b)
Ilmu-ilmu cabang (furû‘/branches), yang terdiri atas ilmu tujuan (ilmu Alquran,
ilmu hadis, ilmu prinsip-prinsip yurisprudensi (usul fikih) dan yurisprudensi
(fikih); dan ilmu kesusastraan (lafal ideomatik, komposisi kata, etimologi,
‘ilm al-i‘rab, semantik, kritik sastra, ilmu persajakan, menulis huruf, menulis
puisi, kaligrafi, wacana (‘ilm al-munâzharah), dan ‘ilm al-qawâfi).
Pemikir besar Muslim lainnya, Ibn Khaldûn (1989: 343-398; Ahmad,
2003) juga pernah menyampaikan pandangannya tentang klasifikasi ilmu dalam
Islam dalam karyanya Muqaddimah Ibn Khaldûn. Ia membagi ilmu menjadi
dua jenis yakni al-‘ulûm al-naqliyyah al-wadh‘iyyah (the traditional conventional sciences)
dan al-‘ulûm al-hikmiyyah al-falsafiyyah (the philosophical sciences). Ibn Khaldûn
juga memperinci kedua jenis ilmu tersebut sebagaimana terlihat di bawah ini:
1. Al-‘ulûm al-naqliyah al-wadh‘iyah (transmitted science) meliputi tafsir Alquran
Klasifikasi Ilmu ... (Ja’far)

dan hadis, fikih dan usul fikih, ilmu Kalam, tafsir ayat-ayat mutasyâbihât,
tasawuf, dan tabir Mimpi.
2. Al-‘ulûm al-hikmiyah al-falsafiyyah (rational science) yang terdiri atas dua jenis,
yakni ilmu-ilmu teoretis dan ilmu-ilmu praktis. a) Ilmu-ilmu teoretis adalah
ilmu logika (burhân (demonstrasi), jadal (dialektika), khitabah (retorik), syi‘ir
(puitik), dan safsathah (sofistik); fisika (minerologi, botani, zoologi, kedokteran,
dan ilmu pertanian); matematika (aritmatika (kalkulus, aljabar), geometri
(figure sferik, kerucut, mekanika, surveying, dan optik), dan astronomi);
metafisika (ontologi, teologi, kosmologi, dan eskatologi). b) Ilmu-ilmu praktis
adalah etika, politik, ekonomi, dan sosiologi.
Berbeda dari pemikir di atas, Ibn al-Qayyim al-Jauziyah (2011: 2651-2666)
membagi ilmu menjadi tiga derajat sebagaimana terlihat di bawah ini:
1. ‘Ilm jalîyun, yakni ilmu yang tampak mata, bisa didengar dan disebar secara
benar, serta benar berdasarkan eksperimen. Ilmu ini terdiri atas tiga tipe:
ilmu yang bisa diterima penglihatan mata, ilmu yang disandarkan kepada
pendengaran (ilmu penyebaran), dan ilmu yang disandarkan kepada akal
(ilmu eksperimen);
2. ‘Ilm khafîyun, yakni ilmu yang tumbuh di dalam “rahasia-rahasia” yang suci
(yaitu ruh manusia) dari badan yang suci (sebagai akibat dari ketaatan kepada
Allah melalui pelaksanaan syariat),” karena “disirami air” latihan yang murni
(penyucian jiwa sesuai syariat), tampak dalam nafas-nafas yang benar (nafas
zikir dan makrifah, serta kebebasan dari kotoran duniawi), dimiliki orang-
orang yang mempunyai hasrat yang tinggi (yakni para rasul dan ulama)
yang muncul pada saat-saat senggang (sewaktu bermunajat kepada Allah).
Ilmu ini menampakkan hal-hal gaib, meniadakan yang ada (selain Allah).
Ilmu ini disebut makrifat.
3. ‘ilm ladunîyun, yakni ilmu yang diisyaratkan kepada ilmu yang diperoleh
seorang hamba tanpa menggunakan sarana, tetapi berdasarkan ilham dari
Allah, dan diperkenalkan Allah kepada hamba-Nya. Ilmu ladunnî merupakan
buah dari ibadah, serta kepatuhan dan kebersamaan dengan Allah, dan
dicari dari kepatuhan kepada Rasul-Nya. Ilmu ladunnî terdiri atas dua macam:
Islamijah: Journal of Islamic Social Sciences, Volume 3, Number 2, August 2022: 97-106

dari sisi Allah dan dari sisi setan. Ilmu ladunnî dari Allah merupakan buah
cinta sebagai akibat dari pelaksanaan kewajiban agama, sedangkan ilmu
ladunnî dari setan merupakan buah dari kecintaan terhadap setan dengan
jalan berpaling dari wahyu dan mementingkan hawa nafsu.
Mewakili pemikir Muslim di era kontemporer, Syed Muhammad Naquib
al-Attas (1999: 40-42) juga pernah menyajikan pandangannya tentang klasifikasi
ilmu. Menurutnya, ilmu dalam tradisi Islam dibagi menjadi dua jenis, yakni
ilmu pemberian Allah (the God given knowledge), yaitu ilmu-ilmu agama (the
religious sciences), dan ilmu capaian (the acquired knowledge), yaitu ilmu-ilmu rasional,
intelektual dan filosofis (the rational, intellectual and philosophical sciences). Menurut
al-Attas, kedua ilmu ini terdiri atas beberapa cabang, yakni:
1. Ilmu-ilmu agama (the religious sciences); a) Alquran: pembacaan dan penafsirannya
(tafsir dan takwil), b) Al-Sunnah: kehidupan Nabi, sejarah dan pesan-pesan
para Rasul sebelumnya, hadis dan riwayat-riwayat otoritatifnya, c) Al-Syariah:
undang-undang dan hukum, prinsip-prinsip dan praktik-praktik Islam (Islam,
Iman dan Ihsan), d) Teologi: Tuhan, Esensi-Nya, Sifat-sifat dan Nama-nama-
Nya, serta Tindakan-tindakan-Nya (tauhid), e) Metafisika Islam (tasawuf):
psikologi, kosmologi dan ontologi; unsur-unsur yang sah dalam filsafat Islam
(termasuk doktrin-doktrin kosmologis yang benar berkenaan dengan tingkatan-
tingkatan wujud), f) Ilmu-ilmu linguistik: bahasa Arab, tata bahasa, leksikografi
dan kesusastraannya.
2. Ilmu-ilmu rasional, intelektual dan filosofis (the rational, intellectual and philosophical
sciences); a) Ilmu-ilmu kemanusiaan (humaniora), b) Ilmu-ilmu alam, c) Ilmu-
ilmu terapan, d) Ilmu-ilmu teknologi, e) Perbandingan agama, f) Kebudayaan
dan peradaban Barat, g) Ilmu-ilmu linguistik: bahasa-bahasa Islam, tata bahasa,
leksikografi dan literatur, h) Sejarah Islam: pemikiran kebudayaan dan peradaban
Islam, perkembangan ilmu-ilmu sejarah Islam, filsafat dan sains Islam, Islam
sebagai sejarah dunia.
Terakhir, para pemikir Muslim modern dari berbagai negara kemudian
membuat konsensus tentang klasifikasi ilmu dalam Islam. Berdasarkan buku
Second World Conference on Muslim Education: International Seminar on Islamic
Concept and Curricula, Recommendations (1980), mereka membagi ilmu menjadi
Klasifikasi Ilmu ... (Ja’far)

dua jenis, yakni perennial knowledge dan acquired knowledge. Secara rinci dapat
disebutkan di bawah ini:
1. Perennial Knowledge, yang terdiri atas: a) Al-Qur’an (seperti qira’âh, hifzh,
tafsir, Sunnah, sejarah Nabi dan Sahabat, tauhid, usul fikih dan fikih, dan
bahasa Arab Alquran (fonologi, sintaxis, dan semantik); b) Ilmu-ilmu bantu
(auxillarysubjects): metafisika Islam, perbandingan agama, kebudayaan Islam.
2. Acquired knowledge, yang terdiri atas a) Imajinatif/seni (imaginative/arts):
seni Islam, arsitektur, dan bahasa; b) Ilmu-ilmu intelektual (intellectual science):
ilmu sosial, sastra, filsafat, pendidikan, ekonomi, politik, ilmu sejarah dan
peradaban Islam (politik, ekonomi, kehidupan sosial, perang dan damai),
geografi, sosiologi, linguistik (islamisasi bahasa), psikologi (sesuai konsep
Islam: Alquran, hadis, pemikiran ilmuwan Muslim awal dan kaum sufi),
dan antropologi (sesuai Alquran dan hadis); c) Ilmu-ilmu alam (intellectual
science): filsafat ilmu, matematika, statistik, fisika, kimia, sains kehidupan,
astronomi dan ilmu ruang; d) Ilmu-ilmu terapan (applied science): teknik
dan teknologi (seperti teknik sipil), kedokteran, pertanian dan kehutanan;
e) Ilmu-ilmu paktik (practical science): perdagangan, ilmu administrasi (seperti
administrasi bisnis dan administrasi publik), ilmu perpustakaan, ilmu komunikasi
(seperti komunikasi massa).

Penutup
Studi di atas menunjukkan tiga hal. Pertama, klasifikasi ilmu dari para
pemikir Muslim dipengaruhi oleh konsep mereka tentang objek-objek ontologis
ilmu dan sumber-sumber ilmu dalam tradisi Islam. Kedua, para pemikir Muslim
secara umum sepakat bahwa ilmu terdiri atas dua jenis, yakni ilmu-ilmu keagamaan
yang bersumber dari wahyu, dan ilmu-ilmu rasional yang bersumber dari rasio
dan alam. Ketiga, para pemikir di era modern membuat konsensus tentang
klasifikasi ilmu yakni perennial knowledge dan acquired knowledge. Studi di atas
menunjukkan bahwa ilmu dalam tradisi Islam sangat luas selain juga ada perbedaan
paradigma antara Islam dan Barat mengenai ilmu. Sebagai saran bagi peneliti
lain, menarik memang untuk meneliti lebih lanjut tentang bagaimana implikasi
Islamijah: Journal of Islamic Social Sciences, Volume 3, Number 2, August 2022: 97-106

konsep klasifikasi ilmu menurut para pemikir Muslim dari era klasik sampai
era modern terhadap dunia pendidikan Islam kontemporer.

Pustaka Acuan
Ahmad, Zaid. (2003). The Epistemology of Ibn Khaldun. London: Routledge.
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. (1999). The Concept of Education in Islam: a
Framework for an Islamic Philosophy of Education. Kuala Lumpur: ISTAC.
Al-Fârâbî. (1949). Ihshâ’ al-‘Ulûm. Kairo: Dâr al-Fikr al-‘Arabî.
Al-Ghazâlî. (2006). Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, transl. Maulana Fazlul Karim. New Delhi:
Islamic Book Service.
Al-Jauziyah, Ibn Qayyim. (2011). Madârij al-Sâlikîn, Juz IV. Riyadh: Dâr al-Shamî‘î,
2011.
Bakar, Osman. (1998). Classification of Knowledge in Islam: A Study in Islamic
Philosophies of Science. Cambridge: The Islamic Texts Society, 1998.
Farooqui, Jamil. Islamic Concept of Knowlegde. In Studies on Islam 2(2) 2005.
Ibn Khaldûn. (1989). The Muqaddimah, transl. Franz Rosenthal. Princeton: Princeton
University Press.
Kartanegara, Mulyadhi. (2002). Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi
Islam. Bandung: Mizan.
King Abdul Aziz University dan Quaid Azam University. (1980). Second World
Conference on Muslim Education: International Seminar on Islamic Concept
and Curricula, Recommendations. Islamabad: King Abdul Aziz University
dan Quaid Azam University.
Ladyman, James. (2002). Understanding Philosophy of Science. New York: London:
Routledge.
Sharif, M.M. (1963). Philosophical Teachings of the Qur’an. In M.M. Sharif
(ed.). (1963). A History of Muslim Philosophy. Wiesbaden: Otto Harrassowitz.

You might also like