JURNAL TRANSFORMATIF Vol. 2, No.
1 60
http://e-journal.iain-palangkaraya.ac.id/index.php/TF April 2018
RIBA AND JUSTIFICATION IN PRACTICE IN SCHOLARS'
VIEWS
Meirison
UIN Imam Bonjol Padang
meirisonn.a@gmail.com
Received : ; Accepted : ; Published :
Abstract: Efforts have long been focused on trying to explain and justify riba
(Usury) and dozens of theories have emerged in this area. This approach went to
some Islamic economics writers, who also tried to justify and interpret interest in
accordance with the principles of Islamic economics. This is one of the most
important economic topics in the past and present, and although the writings on
some of the elements of this subject began about half a century ago, but the
observer renewed the introduction of these views and ideas in different formats in
the present era, Islamic economics issues only show a picture of this subject for
discussion. Therefore, this discussion aims to collect these opinions and theories
and evaluate them in order to present them to the new discussioners - with
different scientific backgrounds - in a suitable manner that serves to discuss this
subject and clarify the general framework for it. This discussion will focus briefly
on the presentation of some of these theories, opinions and justifications and
discuss the hypotheses of these views and theories.
Keywords: Riba, Justification
رد اﻷﻓﻀﻞ واﻷﻛﺜﺮ ﰲ اﻟﻘﺮض
وإن رّد, إذا اﻗﱰض ﻣﻨﻪ ﺷﻴﺌﺎ ﻓﺮّد إﻟﻴﻪ أﻓﻀﻞ ﺟﺎز: ﻗﺎل ﻣﺎﻟﻚ: ﻓﺮق ﺑﲔ ﻣﺴﺄﻟﺘﲔ
؟ وﰲ ﻛﻼ اﳌﻮﺿﻌﲔ وﻗﺪ وﺟﺪ اﻟﻔﻀﻞ,إﻟﻴﻪ أزﻳﺪ ﻣﻨﻪ ﱂ ﳚﺰ
Pengembalian hutang dengan yang lebih bernilai
Membedakan antara kedua masalah, berkata Malik, apabila meminjam
dari sesorang dan mengembalikannya dengan sesuatu yang lebih bernilai
diperbolehkan akan tetapi menambah kuantitas tidak diizinkan.
DOI : XXXXXXXXXXXXXXX
Meirison (Riba and Justification)
Transformatif p-ISSN 2580-7056;
(Journal Islamic Studies), e-ISSN 2580-7064
2 (1), Hal X-X
Copyright © 2018 by Transformatif, p-ISSN 2580-7056; e-ISSN 2580-7064
61
ﻻﻧﻪ إذا اﻗﱰض ﻣﻨﻪ ﻛّﺮ, أن اﻟﺰﻳﺎدة ﰲ اﳌﺜﻞ ﳜﺮج ﻋﻦ اﳌﻤﺎﺛﻠﺔ: اﻟﻔﺮق ﺑﻴﻨﻬﻤﺎ
ﻛﻤﺎ ﻟﻮ ﺑﺎﻋﻪ ﻛﺮا ﺑﻜﺮ,ﺣﻨﻄﺔ ورد إﻟﻴﻪ ﻛﺮّا وﻧﺼﻒ ﱂ ﲢﺼﻞ اﳌﻤﺎﺛﻠﺔ ﻓﻠﻢ ﳚﺰ ذﻟﻚ
أﻻ ﺗﺮى أﻧﻪ ﳚﻮز ﻛﺮ ﺣﻨﻄﺔ, ﻷن اﳌﻤﺎﺛﻠﺔ ﺣﺎﺻﻠﺔ ﻣﻌﻪ, وﻟﻴﺲ ﻛﺬﻟﻚ ﺗﻐﻴﲑ اﻟﺼﻔﺔ,وﻧﺼﻒ
.1 وﻛﺬﻟﻚ دﻳﻨﺎر دور ﺑﺪﻳﻨﺎر أرﻓﻊ ﻣﻨﻪ,ﳏﻤﻮﻟﺔ ﺑﻜﺮ ﺣﻨﻄﺔ ﲰﺮاء
Perbedaan diantara keduanya adalah, penambahan kuantitas dalam jenis
yang sama tidak lagi dinamakan kesetaraan, apabila dipinjam sekarung sekarung
setengah maka tidak bisa dinamakan setara dan tidak diperbolehkan.
Sebagaimana dijual sekarung dengan sekarung setengah. Perubahan pada sifat
benda tersebut masih dianggap setera selama kuantitasnya tidak berubah, coba
fikirkan ketika menukar sekarung gandum dengan sekarung gandum samra,
begitu juga tukar menukar dinar yang lebih tinggi kualitasnya.
وﻓﺮّق ﺑﻌﺾ أﺻﺤﺎﺑﻨﺎ ﲟﺎ روي ﻋﻦ اﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ أﻧﻪ أﻗﱰض ﺑﻜﺮا ﻓﺮد
ﻷﻧﻪ دﻟﻴﻞ ﻋﻠﻰ اﳌﺴﺄﻟﺔ دون اﻟﻔﺮق, وﰲ ﻫﺬا اﻟﻔﺮق ﻧﻈﺮ2ﲨﻼ رﺑﺎﻋﻴﺎ أﻓﻀﻞ ﳑﺎ أﺧﺬ
.ﺑﻴﻨﻬﻤﺎ وﺑﻴﻨﻬﻤﺎ وﺑﲔ ﻣﺎذﻛﺬﻧﺎﻩ
Para sahabat kami membedakan sesuai dengan apa yang dirawikan dari
Nabi S.A.W, bahwa ia meminjam seekor onta yang berumur 3 tahun dan
menggantikanya dengan onta yang berumur 6 tahun (memasuki 7 tahun), lebih
baik dari yang dipinjam oleh beliau pertama kali..
1
Imam Faqih al-Qadhiy Abi Muhammad Abdul Wahab bin Ali bin Nasr al-Baghdadi Furuq
al-Fiqhiyah (Riyadh:Dar al-Buhuts li ad-Dirasat al-Islamiyah wa Ihya’ at- Turats:1992),h.90
2
( ﻋﻦ أﺑﻲ راﻓﻊ أن1600) ( ﻛﺘﺎب اﻟﻤﺴﺎﻗﺎة ﺑﺎب ﻣﻦ اﺳﺘﺴﻠﻒ ﺷﯿﺌﺎ ﻓﻘﺾ ﺧﯿﺮا ﻣﻨﮫ رق1224/2) رواه ﻣﺴﻠﻢ ﻓﻲ ﺻﺤﯿﺤﮫ
ﻓﺮﺟﻊ إﻟﯿﮫ, ﻗﺄﻣﺮ أﺑﺎ راﻓﻊ ان ﯾﻘﻀﻲ اﻟﺮﺟﻞ ﺑﻜﺮه,رﺳﻮل ﷲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ اﺳﺘﺴﻠﻒ ﻣﻦ رﺟﻞ ﺑﻜﺮا ﻓﻘﺪﻣﺖ ﻋﻠﯿﮫ إﺑﻞ اﻟﺼﺪﻗﺔ
إن ﺧﯿﺎر اﻟﻨﺎس أﺣﺴﻨﮭﻢ ﻗﻀﺎ ًء, أﻋﻄﮫ إﯾﺎه: ﻟﻢ أﺟﺪ ﻓﯿﮭﺎ إﻻﺣﯿﺎرا رﺑﺎﻋﯿﺎ ﻓﻘﺎل:أﺑﻮ راﻓﻊ ﻓﻘﺎل
Meirison (Riba and Justification) p-ISSN 2580-7056; e-ISSN 2580-7064
62
ﻷﻧﻪ إذا دﻓﻊ, وﻫﻮ أن اﻟﺘﻬﻤﺔ ﺑﻴﻨﻬﻤﺎ ﺗﻘﻮى ﰲ زﻳﺎدة اﳌﺜﻞ دون اﻟﺼﻔﺔ:وﻓﺮق آﺧﺮ
وﻟﻴﺲ ﻛﺬﻟﻚ ﰲ زﻳﺎدة,ﻛﺮا ﻋﻦ ﻛﺮ وﻧﺼﻒ ﻋﻦ ﻛﺮا ﻢ ﺑﺎن ﻳﻜﻮن إﳕﺎ أﻗﺮﺿﻪ ﻻﺟﻞ ذﻟﻚ
ﻻﻧﻪ إذا دﻓﻊ ﻋﻦ ﻛﺮ ﳏﻤﻮﻟﺔ ﻛﺮ ﲰﺮاء ﱂ ﺗﻘﻊ اﻟﺘﻬﻤﺔ ﰲ ذﻟﻚ ﻛﻤﺎ وﻗﻌﺖ ﰲ زﻳﺎدة,اﻟﺼﻔﺔ
واﷲ أﻋﻠﻢ, ﻓﻠﺬﻟﻚ اﻓﱰﻗﺎ,اﳌﺜﻞ
Kecenderungan terhadap riba lebih keras ketika terjadi penambahan
kuantitas dan tidak pada kualitas, karena dia membayar sekarung dengan
sekarung setengah, boleh jadi ia meminjamkan karena mengharapkan kelebihan,
dan tidak pada penambahan kualitas pada waktu pengembalian pinjaman
tersebut. Hal ini tidak didapatkan ketika sekarung mahmul ditukar dengan
sekarung samra, karena tidak ada penambahan kuantitas oleh karena itu kedua
perkara ini berbeda3.
وﻋﻦ أﰊ راﻓﻊ أي ﻣﻮﱃ رﺳﻮل اﷲ ﻗﺎل اﺳﺘﺴﻠﻒ رﺳﻮل اﷲ أي اﺳﺘﻘﺮض ﺑﻜﺮا ﻳﻔﺘﺢ
ﻣﻮﺣﺪة وﺳﻜﻮن ﻛﺎف ﻓﱴ ﻣﻦ اﻹﺑﻞ ﲟﻨﺰﻟﺔ اﻟﻐﻼم ﻣﻦ اﻹﻧﺴﺎن ﻓﺠﺎءﺗﻪ أي اﻟﻨﱯ إﺑﻞ
ﻣﻦ اﻟﺼﺪﻗﺔ أي ﻗﻄﻌﺔ إﺑﻞ ﻣﻦ إﺑﻞ اﻟﺼﺪﻗﺔ ﻗﺎل أﺑﻮ راﻓﻊ ﻓﺄﻣﺮﱐ أن أﻗﻀﻲ اﻟﺮﺟﻞ ﺑﻜﺮﻩ
ﻓﻘﻠﺖ ﻻ أﺟﺪ إﻻ ﲨﻼ ﺧﻴﺎرا ﻳﻘﺎل ﲨﻞ ﺧﻴﺎر وﻧﺎﻗﺔ ﺧﻴﺎرة أي ﳐﺘﺎرة رﺑﺎﻋﻴﺎ ﺑﻔﺘﺢ اﻟﺮاء
وﲣﻔﻴﻒ اﻟﺒﺎء واﻟﻴﺎء وﻫﻮ ﻣﻦ اﻹﺑﻞ ﻣﺎ أﺗﻰ ﻋﻠﻴﻪ ﺳﺖ ﺳﻨﲔ ودﺧﻞ ﰲ اﻟﺴﺎﺑﻌﺔ ﺣﲔ
ﻃﻠﻌﺖ رﺑﺎﻋﻴﺘﻪ ﻓﻘﺎل رﺳﻮل اﷲ أﻋﻄﻪ إﻳﺎﻩ ﻓﺈن ﺧﲑ اﻟﻨﺎس أﺣﺴﻨﻬﻢ ﻗﻀﺎء
Rasulullah meminjam seekor berumur tiga tahun, kemudian datang
kepada Rasulullah ontah dari hasil sedekah (Zakat), dan ia meminta saya (Abi
Rafi’) untuk membayar dengan onta yang berumur tiga tahun, akan tetapi saya
3
Ibid, hal.91
Meirison (Riba and Justification) p-ISSN 2580-7056; e-ISSN 2580-7064
63
tidak mendapatkan onta yang sepadan hanya ada seekor onta yang telah berumur
6 tahun (akan memasuki umur 7 tahun), berkata Nabi S.A.W “berikanlah kepada
orang itu, sebaik-baik kamu adalah orang yang paling baik dalam membayar
hutang!”..
ﰲ ﺷﺮح اﻟﺴﻨﺔ ﻓﻴﻪ ﻣﻦ اﻟﻔﻘﻪ ﺟﻮازا اﺳﺘﺴﻼف اﻹﻣﺎم ﻟﻠﻔﻘﺮاء إذا رأى ﻢ ﺧﻠﺔ وﺣﺎﺟﺔ
ﰒ ﻳﺆدﻳﻪ ﻣﻦ ﻣﺎل اﻟﺼﺪﻗﺔ إن ﻛﺎن ﻗﺪ أوﺻﻞ إﱃ اﳌﺴﺎﻛﲔ وﻓﻴﻪ دﻟﻴﻞ ﻋﻠﻰ ﺟﻮاز
اﺳﺘﻘﺮاض اﳊﻴﻮان وﺛﺒﻮﺗﻪ ﰲ اﻟﺬﻣﺔ وﻫﻮ ﻗﻮل أﻛﺜﺮ أﻫﻞ اﻟﻌﻠﻢ وﺑﻪ ﻗﺎل اﻟﺸﺎﻓﻌﻲ رﲪﻪ اﷲ
وﰲ اﳊﺪﻳﺚ دﻟﻴﻞ ﻋﻠﻰ أن ﻣﻦ اﺳﺘﻘﺮض ﺷﻴﺌﺎ ﻳﺮد ﻣﺜﻞ ﻣﺎ اﻗﱰض ﺳﻮاء ﻛﺎن ذﻟﻚ ﻣﻦ
ذوات اﻟﻘﻴﻢ أو ﻣﻦ ذوات اﻷﻣﺜﺎل ﻷن اﳊﻴﻮان ﻣﻦ ذوات اﻟﻘﻴﻢ وأﻣﺮ اﻟﻨﱯ ﺑﺮد اﳌﺜﻞ وﻓﻴﻪ
دﻟﻴﻞ ﻋﻠﻰ أن ﻣﻦ اﺳﺘﻘﺮض ﺷﻴﺌﺎ ﻓﺮد أﺣﺴﻦ أو أﻛﺜﺮ ﻣﻨﻪ ﻣﻦ ﻏﲑ ﺷﺮﻃﻪ ﻛﺎن ﳏﺴﻨﺎ
وﳛﻞ ذﻟﻚ ﻟﻠﻤﻘﺮض وﻗﺎل اﻟﻨﻮوي رﲪﻪ اﷲ ﳚﻮز ﻟﻠﻤﻘﺮض أﺧﺬ اﻟﺰﻳﺎدة ﺳﻮاء زاد ﰲ
اﻟﺼﻔﺔ أو ﰲ اﻟﻌﺪد وﻣﺬﻫﺐ ﻣﺎﻟﻚ أن اﻟﺰﻳﺎدة ﰲ اﻟﻌﺪد ﻣﻨﻬﻰ ﻋﻨﻬﺎ وﺣﺠﺔ أﺻﺤﺎﺑﻨﺎ
ﻋﻤﻮم ﻗﻮﻟﻪ ﻓﺈن ﺧﲑ اﻟﻨﺎس أﺣﺴﻨﻬﻢ ﻗﻀﺎء وﰲ اﳊﺪﻳﺚ دﻟﻴﻞ ﻋﻠﻰ أن رد اﻷﺟﻮد ﰲ
اﻟﻘﺮض أو اﻟﺪﻳﻦ ﻣﻦ اﻟﺴﻨﺔ وﻣﻜﺎرم اﻷﺧﻼق وﻟﻴﺲ ﻫﻮ ﻣﻦ ﻗﺮض ﺟﺮ ﻣﻨﻔﻌﺔ ﻷن
اﳌﻨﻬﻰ ﻋﻨﻪ ﻣﺎ ﻛﺎن ﻣﺸﺮوﻃﺎ ﰲ ﻋﻘﺪ اﻟﻘﺮض وﰲ اﳊﺪﻳﺚ إﺷﻜﺎل وﻫﻮ أن ﻳﻘﺎل ﻛﻴﻒ
ﻗﻀﻰ ﻣﻦ إﺑﻞ اﻟﺼﺪﻗﺔ أﺟﻮد ﻣﻦ اﻟﺬي ﻳﺴﺘﺤﻘﻪ اﻟﻐﺮﱘ ﻣﻊ أن اﻟﻨﺎﻇﺮ ﰲ اﻟﺼﺪﻗﺎت ﻻ
ﳚﻮز ﺗﱪﻋﻪ ﻣﻨﻬﺎ واﳉﻮاب أﻧﻪ اﻓﱰض ﻟﻨﻔﺴﻪ ﰒ اﺷﱰى ﰲ اﻟﻘﻀﺎء ﻣﻦ إﺑﻞ اﻟﺼﺪﻗﺔ ﺑﻌﲑا
)Meirison (Riba and Justification p-ISSN 2580-7056; e-ISSN 2580-7064
64
وأداﻩ وﻳﺪل ﻋﻠﻴﻪ ﺣﺪﻳﺚ أﰊ ﻫﺮﻳﺮة اﺷﱰوا ﻟﻪ ﺑﻌﲑا ﻓﺄﻋﻄﻮﻩ إﻳﺎﻩ وﻗﻴﻞ إن اﳌﻘﱰض ﻛﺎن
ﺑﻌﺾ اﶈﺘﺎﺟﲔ اﻗﱰض ﻟﻨﻔﺴﻪ ﻓﺄﻋﻄﺎﻩ ﻣﻦ اﻟﺼﺪﻗﺔ ﺣﲔ ﺟﺎءت وأﻣﺮﻩ ﺑﺎﻟﻘﻀﺎء ﻗﺎل
4
وﻓﻴﻪ ﺟﻮاز إﻗﺮاض اﳊﻴﻮاﻧﺎت ﻛﻠﻬﺎ وﻫﻮ ﻣﺬﻫﺐ ﻣﺎﻟﻚ واﻟﺸﺎﻓﻌﻲ
Dari keterangan sunnah diatas dapat diambil persepsi bahwa Imam boleh
meminjam harta yang berasal dari zakat untuk membantu fakir/miskin apabila
dibutuhkan, boleh meminjamkan hewan, inilah pendapat as-Syafi'i rahimahulah,
hadits tersebut dapat dijadikan dalil, apabila seseorang meminjam sesuatu
hendaklah dikembalikan sesuai dengan yang dipinjam baik dalam nilai atau dalam
kuantitas (barang yang serupa) kerena hewan mempunyai nilai, nabi
memerintahkan untuk mengembalikan hewan yang serupa dan diberikan jenis
yang lebih baik atau lebih banyak dari pada yang beliau pinjam, tanpa ada
persyaratan sebelumnya, ini adalah salah satu bentuk kemurahan (ihsan), hal ini
dipebolehkan bagi orang yang meminjam kata an-Nawawi walaupun berlebih
dalam kualitas maupun kuantitas.5 Akan tetapi mazhab Maliki melarang
melebihkan kuantitas. Yang dijadikan hujjah oleh sahabat-sahabat kita bersifat
umum yang mengatakan "sebaik-baik manusia adalah orang yang paling baik
dalam membayar hutan". Mengembalikan hutan dengan yang lebih baik bukanlah
termasuk kedalam hadits yang mekatakan pinjaman yang terdapat ekploitasi
dalamnya maka ia adalah riba. Hal inilah yang dilarang, sebaimana tambahan
tersebut disyaratkan terlebih dahulu sebelum meminjam. Dari hadits tersebut
terdapat permasalahan, bisakah nazir membayarkan pinjaman pada orang yang
menghutanginya dengan harta yang lebih baik dari yang dipinjam serta berasal
dari zakat?, sedangkan sebenarnya nazir tidak boleh bersedekah dari harta zakat,
jawabannya nazir meminjamnya dari harta tersebut, kemudian dibelilah seekor
onta dan diserahkan kembali, sebagaimana yang disebutka dalam hadits Abu
4
Maktabah Syamilay 9/367
5
Al-Wakil, Muhammad bin Umar, al-Asybah wa an-Nazair bi Tahqiq (Kairo, Maktabar
Rasyid, 1999),hal.343
Meirison (Riba and Justification) p-ISSN 2580-7056; e-ISSN 2580-7064
65
Hurairah, Nabi membeli onta kemudian ia menyerahkan onta tersebut, dikatakan,
yang meminjam itu adalah orang lain yang membutuhkan kemudian dibayar dari
harta zakat, diperbolehkan meminjam hewan dari harta zakat menurut Imam
Malik dan Imam Syafi'iy.
وﻗﺎل» :إن ﺧﻴﺎرﻛﻢ أﺣﺴﻨﻜﻢ ﻗﻀﺎءً«; وﻷﻧﻪ ﱂ ﲡﻌﻞ ﺗﻠﻚ اﻟﺰّﻳﺎدة ﻋﻮﺿﺎً ﰲ اﻟﻘﺮض،
وﻻ وﺳﻴﻠﺔ إﻟﻴﻪ ،وﻻ إﱃ اﺳﺘﻴﻔﺎء ﺣﻘّﻪ ،ﻓﺤﻠﺖ ﻛﻤﺎ ﻟﻮ ﱂ ﻳﻜﻦ ﻗﺮض ،ﺑﻞ إن اﳊﻨﻔﻴﺔ
ﻳﺴﺘﺤﺐ ﰲ ﺣ ّﻖ اﳌﻘﱰض أن ﻳﺮد أﺟﻮد ﳑﺎ أﺧﺬ ﺑﻐﲑ ﺷﺮط،
ّ ﺼﻮا ﻋﻠﻰ أﻧﻪ
واﻟﺸﺎﻓﻌﻴﺔ ﻧ ّ
وأﻧﻪ ﻻ ﻳﻜﺮﻩ ﻟﻠﻤﻘﺮض أﺧﺬﻩ.
وذﻫـﺐ ﻣﺎﻟـﻚ إﱃ اﻟﺘﻔﺼـﻴﻞ ﰲ اﳌﺴـﺄﻟﺔ ،ﻓﻜـﺮﻩ أن ﻳﺰﻳـﺪ اﳌﻘـﱰض ﰲ اﻟﻜـ ّﻢ واﻟﻌـﺪد إﻻ ﰲ
اﻟﻴﺴﲑ ﺟ ّﺪاً ،وﻗﺎل :إﳕﺎ اﻹﺣﺴﺎن ﰲ اﻟﻘﻀﺎء أن ﻳﻌﻄﻴﻪ أﺟﻮد ﻋﻴﻨﺎً وأرﻓﻊ ﺻﻔﺔً ،وأﻣﺎ أن
ﻳﺰﻳ ــﺪﻩ ﰲ اﻟﻜﻴ ــﻞ أو اﻟ ــﻮزن أو اﻟﻌ ــﺪد ﻓ ــﻼ ،وﻫ ــﺬا ﻛﻠّــﻪ إذا ﻛ ــﺎن ﻣ ــﻦ ﻏ ــﲑ ﺷ ــﺮط ﺣ ــﲔ
اﻟﺴـﻠﻒ .6وروي ﻋـﻦ أﲪـﺪ اﳌﻨـﻊ ﻣـﻦ اﻟّﺰﻳـﺎدة واﻟﻔﻀـﻞ ﰲ اﻟﻘـﺮض ﻣﻄﻠﻘـﺎً ،وﻋـﻦ أ ّ
ﰊ ﺑـﻦ
ﻛﻌﺐ واﺑﻦ ﻋﺒﺎس واﺑـﻦ ﻋﻤـﺮ رﺿـﻲ اﷲ ﻋـﻨﻬﻢ أن اﳌﻘـﺮض ﻳﺄﺧـﺬ ﻣﺜـﻞ ﻗﺮﺿـﻪ ،وﻻ ﻳﺄﺧـﺬ
ﻓﻀـﻼً; ﻟــﺌﻼ ﻳﻜــﻮن ﻗﺮﺿ ـﺎً ﺟــﺮ ﻣﻨﻔﻌ ـﺔً .وﻧــﺺ اﳊﻨﻔﻴــﺔ ﻋﻠــﻰ أن اﳌــﺪﻳﻦ إذا ﻗﻀــﻰ اﻟــﺪﻳﻦ
رب اﻟﺪﻳﻦ ﻋﻠﻰ اﻟﻘﺒﻮل ،ﻛﻤﺎ ﻟﻮ دﻓﻊ إﻟﻴﻪ أﻧﻘﺺ ﳑﺎ ﻋﻠﻴﻪ ،وإن
أﺟﻮد ﳑﺎ ﻋﻠﻴﻪ ،ﻓﻼ ﳚﱪ ّ
ﻗﺒﻞ ﺟﺎز ،ﻛﻤﺎ ﻟﻮ أﻋﻄﺎﻩ ﺧﻼف اﳉﻨﺲ .ﻗﺎل ﰲ اﻟﻔﺘﺎوى اﳍﻨﺪﻳﺔ :وﻫﻮ اﻟﺼﺤﻴﺢ.7
6
Anas Ibnu Malik al-Mudawanah al-Kubara (Beirut, Dar al-Fikr, 1978),h.341
7
Al-Sayis, Ali, Nasy’atu al’Fiqh al-Ijtihâd wa Athwâruh, (Kairo, Majma’ al-Buhuts al-
Islamiyah, 1980), hal.33
)Meirison (Riba and Justification p-ISSN 2580-7056; e-ISSN 2580-7064
66
Sebagaimana yang telah diterangkan, dari bebarapa mazhab fuqha',
tentang bentu pengembalian pinjaman tersebut, baik dalam bentuk, maupun nilai,
kualitas barang pinjaman tersebut, sedangkan yang berhubungan dengan bagus
atau jeleknya barang tersebut digolongkan pada kualitas, kurang dan lebih
digolongkan kepada kuantitas, jumhur fuqaha Hanafiah, as-Syafi'iyah, Hanabila
dan Ibnu Habib dari mazha Maliki dan ulama lainnya membolehkan kelebihan
dalam bentuk apapun baik kualitas maupun kuantitas atas dasar kesepakatan pihak
yang melakukan transaksi, selama kedua belah pihak tidak bersepakat untuk
melakukan penambahan pengembalian hutang tersebut.8 Hal ini sah karena telah
dilakukan oleh Rasulullah yang meminjam onta yang berumur tiga tahun dan
mengembalikannya dengan yang lebih baik dan beliau barkata sebaik-baik kamu
adalah orang yang paling baik dalam membayar hutang, bahkan Syafi'iyah dan
Hanafiyah menjadikan hadits tersebut sebagai dasar bahwa sunnah hukumnya
bagi orang yang berhutang untuk membayar hutangnya dengan yang lebih baik,
tidaklah makruh hukumnya bagi orang yang berpiutang menerimanya.9
Imam Malik merincikan masalah ini, makruh hukumnya orang yang
berhutang melebihkan pembayarannya dalam kuantitas, kecuali hanya sedikit
saja, ihsan yang dimaksudkan itu adalah dengan memberikan kualiatas yang
lebih baik, sedangkan melebihkan kuantitas/timbangan dan jumlah tidak
diperbolehkan dan ini tanpa ada persyaratan sebelumnya
Dirawikan dari Ahmad ia melarang penambahan dalam pinjaman dalam
bentuk apapun baik kualitas maupun kuantitas, diriwayatkan dari Ubay bin Ka'b,
Ibnu Abbas, Ibnu Umar, R.A, bahwa orang yang berpiutang menerima piutang
sesuai dengan yang dihutangkannya, tidak boleh lebih, supaya pinjaman tersebut
tidak mendatangkan manfa'at, Hanafi menjadikan hadits diatas sebagai dalil
terhadap orang yang berhutang membayar dengan lebih baik dalam kualitas,
janganlah dipaksa urang yang menerima piutang untuk menerimanya, sama
halnya apabila hutang itu dibayar dalam keadaan kurang, apabila pihak yang
8
Al-Jashash, Abu Bakar Ahmad Ibn Ali al-Razi, Ahkâm al-Qur’ân, (Beirut: Dār al-Kutub al-
Arabī, t.t. juz 1), hal.331
9
Amin, Abdullah bin Syaikh Muhammad, ‘Ilâj al-Qur’ân al-Karim li al-Jarîmah, (Madinah:
Tp.p., l982.),hal.34
Meirison (Riba and Justification) p-ISSN 2580-7056; e-ISSN 2580-7064
67
punya piutang rela maka pembayaran itu diperbolehkan, sama halnya membayar
hutang dengan jenis yang lain, hal ini dikatakan dalam sah dalam buku fatwa
hindiah.10
PEMBAHASAN
A. Riba dalam Segala Bentuk Haram?
Apakah setiap riba dalam bentuk apapun pasti diharamkan secara mutlak
atas kedua belah pihak (pemberi piutang/rentenir dan yang berhutang)?
Ataukah hanya diharamkan atas rentenir saja, sedangkan yang berhutang
terbebas? Dan bila yang berhutang tidak berdosa, apakah hal ini hanya bila
sedang membutuhkan kepada piutang saja, terjepit dan kemiskinan, ataukah
kebutuhan tidak menjadi persyaratan bagi bolehnya berhutang dengan
membayar riba? Bila dibolehkan bagi orang yang membutuhkan/terjepit,
apakah bagi orang yang kebutuhannya tidak terlalu mendesak boleh untuk
berhutang dari bank yang bertransaksi dengan bunga/riba 15 % setiap tahun –
misalnya-. Dengan demikian, ia dapat berusaha dengan modal uang hutang
tersebut, dan menghasilkan keuntungan yang lebih besar dari bunga/riba yang
ditetapkan, misalnya keuntungannya sebesar 50 % setiap tahun. Dengan cara
ini, berarti ia berhasil memperoleh hasil dari piutang tersebut sebesar 35 %
yang merupakan sisa keuntungan dikurangi bunga yang ditetapkan,
sebagaimana pada kasus yang dicontohkan, ataukah riba tetap tidak boleh
dengan cara apapun?
10
al-Madany, Muhammad Mawathin al-Ijtihad fi al-Syari’at al-Islamiyah, (Kuwait:
Maktabah al-Manar, t.t. ), hal.343
Meirison (Riba and Justification) p-ISSN 2580-7056; e-ISSN 2580-7064
68
Riba diharamkan dalam keadaan apapun dan dalam bentuk apapun.
Diharamkan atas pemberi piutang dan juga atas orang yang berhutang darinya
dengan memberikan bunga, baik yang berhutang itu adalah orang miskin atau
orang kaya. Masing-masing dari keduanya menanggung dosa, bahkan
keduanya dilaknati (dikutuk). Dan setiap orang yang ikut membantu keduanya,
dari penulisnya, saksinya juga dilaknati11. Berdasarkan keumuman ayat-ayat
dan hadits-hadits shahih yang-nyata mengharamkan riba. Allah Ta’ala
berfirman,
ِﻚ
َ َﺲ ذَﻟ
اﻟﱠﺬِﻳ َﻦ ﻳَﺄْ ُﻛﻠُﻮ َن اﻟﱢﺮﺑَﺎ ﻻَ ﻳـَﻘُﻮﻣُﻮ َن إِﻻﱠ َﻛﻤَﺎ ﻳـَﻘُﻮُم اﻟﱠﺬِي ﻳـَﺘَ َﺨﺒﱠﻄُﻪُ اﻟ ﱠﺸْﻴﻄَﺎ ُن ِﻣ َﻦ اﻟْﻤ ﱢ
ﺑِﺄَﻧـﱠ ُﻬ ْﻢ ﻗَﺎﻟُﻮاْ إِﳕﱠَﺎ اﻟْﺒَـْﻴ ُﻊ ِﻣﺜْ ُﻞ اﻟﱢﺮﺑَﺎ َوأَ َﺣ ﱠﻞ اﻟﻠّﻪُ اﻟْﺒَـْﻴ َﻊ َو َﺣﱠﺮَم اﻟﱢﺮﺑَﺎ ﻓَﻤَﻦ ﺟَﺎءﻩُ ﻣ َْﻮ ِﻋﻈَﺔٌ ﻣﱢﻦ ﱠرﺑﱢِﻪ
َﺎب اﻟﻨﱠﺎ ِر ُﻫ ْﻢ ﻓِﻴﻬَﺎ ﺧَﺎﻟِﺪُو َن
ُ ﺻﺤْ َِﻚ أ
َ َﻒ َوأَْﻣ ُﺮﻩُ إ َِﱃ اﻟﻠّ ِﻪ َوَﻣ ْﻦ ﻋَﺎ َد ﻓَﺄ ُْوﻟَـﺌ
َ ﻓَﺎﻧﺘَـ َﻬ َﻰ ﻓَـﻠَﻪُ ﻣَﺎ َﺳﻠ
: 275-276ُِﺐ ُﻛ ﱠﻞ َﻛﻔﱠﺎ ٍر أَﺛِﻴ ٍﻢ اﻟﺒﻘﺮة
َﺎت وَاﻟﻠّﻪُ ﻻَ ﳛ ﱡ
ِ ﺼ َﺪﻗ
ﳝَْ َﺤ ُﻖ اﻟﻠّﻪُ اﻟْﱢﺮﺑَﺎ َوﻳـُﺮِْﰊ اﻟ ﱠ.
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit
gila. Keadaan mereka yang demikian itu disebabkan mereka berkata
(berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba. Orang-orang
yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabb-nya, lalu terus berhenti
(dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu
(sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang
11
Majmu’ Fatawa al-Lajnah ad-Da’imah 13/268-271, fatwa no. 3630
Meirison (Riba and Justification) p-ISSN 2580-7056; e-ISSN 2580-7064
69
yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-
penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan
melipat-gandakan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang
senantiasa berbuat kekafiran / ingkar, dan selalu berbuat dosa.” (Qs. al-
Baqarah: 275-276).
Sahabat Ubadah bin Shamit radhiallahu ‘anhu meriwayatkan dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اﻟﺬﻫﺐ ﺑﺎﻟﺬﻫﺐ واﻟﻔﻀﺔ ﺑﺎﻟﻔﻀﺔ واﻟﱪ ﺑﺎﻟﱪ واﻟﺸﻌﲑ ﺑﺎﻟﺸﻌﲑ واﻟﺘﻤﺮ ﺑﺎﻟﺘﻤﺮ واﳌﻠﺢ
رواﻩ ﻣﺴﻠﻢ. ﻓﻤﻦ زاد أو اﺳﺘﺰاد ﻓﻘﺪ أرﰉ، ﻳﺪا ﺑﻴﺪ، ﺳﻮاء ﺑﺴﻮاء،ﺑﺎﳌﻠﺢ ﻣﺜﻼ ﲟﺜﻞ
“Emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan
gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual
dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, (takaran / timbangannya)
harus sama dan kontan. Barangsiapa yang menambah atau meminta
tambahan, maka ia telah berbuat riba.” (HR. Muslim dalam kitabnya as-
Shahih).
Sahabat Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu menuturkan bahwasannya
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Meirison (Riba and Justification) p-ISSN 2580-7056; e-ISSN 2580-7064
70
وﻻ ﺗﺒﻴﻌﻮا، وﻻ ﺗﺸﻔﻮا ﺑﻌﻀﻬﺎ ﻋﻠﻰ ﺑﻌﺾ،ﻻ ﺗﺒﻴﻌﻮا اﻟﺬﻫﺐ ﺑﺎﻟﺬﻫﺐ إﻻ ﻣﺜﻼ ﲟﺜﻞ
وﻻ ﺗﺒﻴﻌﻮا ﻣﻨﻬﺎ ﻏﺎﺋﺒﺎ، وﻻ ﺗﺸﻔﻮا ﺑﻌﻀﻬﺎ ﻋﻠﻰ ﺑﻌﺾ،اﻟﻮرق ﺑﺎﻟﻮرق إﻻ ﻣﺜﻼ ﲟﺜﻞ
رواﻩ اﻟﺒﺨﺎري وﻣﺴﻠﻢ. ﺑﻨﺎﺟﺰ
“Janganlah engkau jual emas ditukar dengan emas melainkan sama dengan
sama, dan janganlah engkau lebihkan sebagiannya di atas sebagian lainnya.
Janganlah engkau jual perak ditukar dengan perak melainkan sama dengan
sama, dan janganlah engkau lebihkan sebagiannya di atas sebagian lainnya.
Dan janganlah engkau jual sebagiannya yang diserahkan dengan kontan
ditukar dengan lainnya yang tidak diserahkan dengan kontan.” (HR. al-
Bukhary dan Muslim).
Imam Ahmad dan al-Bukhary meriwayatkan, bahwasannya Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
اﻟﺬﻫﺐ ﺑﺎﻟﺬﻫﺐ واﻟﻔﻀﺔ ﺑﺎﻟﻔﻀﺔ واﻟﱪ ﺑﺎﻟﱪ واﻟﺸﻌﲑ ﺑﺎﻟﺸﻌﲑ واﻟﺘﻤﺮ ﺑﺎﻟﺘﻤﺮ واﳌﻠﺢ
اﻵﺧﺬ، ﻓﻤﻦ زاد أو اﺳﺘﺰاد ﻓﻘﺪ أرﰉ، ﻳﺪا ﺑﻴﺪ، ﺳﻮاء ﺑﺴﻮاء،ﺑﺎﳌﻠﺢ ﻣﺜﻼ ﲟﺜﻞ
رواﻩ ﻣﺴﻠﻢ.واﳌﻌﻄﻲ ﻓﻴﻪ ﺳﻮاء
“Emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan
gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual
dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, harus sama dan sama dan
kontan. Barangsiapa yang menambah atau meminta tambahan, maka ia telah
Meirison (Riba and Justification) p-ISSN 2580-7056; e-ISSN 2580-7064
71
berbuat riba, pemungut dan yang memberikannya dalam hal ini sama.” (HR.
Muslim).
Dan telah tetap dari sahabat Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu
bahwasannya ia menuturkan,
)ﻫﻢ: وﻗﺎل،ﻟﻌﻦ رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠّﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠّﻢ آﻛﻞ اﻟﺮﺑﺎ وﻣﻮﻛﻠﻪ وﻛﺎﺗﺒﻪ وﺷﺎﻫﺪﻳﻪ
رواﻩ ﻣﺴﻠﻢ.(ﺳﻮاء
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaknati pemakan riba
(rentenir), orang yang memberikan / membayar riba (nasabah), penulisnya
(sekretarisnya), dan juga dua orang saksinya. Dan beliau juga bersabda,
‘Mereka itu sama dalam hal dosanya’.” (HR. Muslim).
Dan uang kertas yang berlaku pada zaman sekarang ini kedudukannya sama
dengan emas dan perak yang berfungsi sebagai alat jual beli, oleh karena itu
hukumnya adalah sama dengan hukum emas dan perak. Dengan sebab itulah,
hendaknya setiap orang muslim untuk mencukupkan diri dengan hal-hal yang
dihalalkan dan menjauhkan dirinya dari segala yang diharamkan Allah ‘Azza
wa Jalla. Dan Allah sungguh telah memberikan kelapangan kepada umat Islam
dalam hal pekerjaan di dunia ini guna mengais rezeki. Sehingga, bisa saja
orang yang fakir bekerja sebagai tenaga kerja (kuli) atau pelaku usaha dengan
menggunakan modal orang lain dengan sistem mudharabah dengan perjanjian
bagi hasil, misalnya fifty-fifty atau yang semisalnya dari keuntungan, dan
Meirison (Riba and Justification) p-ISSN 2580-7056; e-ISSN 2580-7064
72
bukan dari modal, tidak juga dengan jumlah / nominal uang tertentu dari
keuntungan. Bahkan penggunaan uang logam dan uang kertas lebih rentan
untuk praktek riba dengan alas an penurunan nial mata uang maka timbulah
bunga sedangkan mereka tidak pernah menyinggung permasalahan kenaikan
mata uang atau nilainya sehingga uang para nasabah dikembalikan atau
dianggap sebagai hasil surplus dari penguatan mata uang tersebut. Bank
manapun diatas dunia ini tidak pernah memberikan keuntungan kepada
nasabahnya dengan penguatan mata uang yang disimpannya akan tetapi yang
selalu merasakan keurugian akibat melemahnya mata uang yang disimpan
bank adalah para nasabah itu sendiri12. Dan barang siapa yang tidak mampu
berusaha padahal ia fakir, maka halal baginya untuk meminta-minta,
menerima zakat, dan juga jaminan sosial.
Tidak boleh bagi seorang muslim, baik kaya atau fakir untuk berhutang
kepada bank atau lainnya dengan bunga 5 % atau 15 % atau lebih atau kurang
dari itu. Karena itu adalah riba, dan termasuk dosa besar. Dan Allah telah
mencukupkan baginya dengan jalan-jalan mengais rezeki yang dihalalkan
sebagaimana disebutkan di atas, baik menjadi tenaga kerja di tempat orang
yang memiliki pekerjaan atau mendaftarkan diri menjadi pegawai negeri pada
jabatan yang halal, atau berdagang dengan modal orang lain dengan sistem
12
Rifial Ka’bahSeminar Ekonomi Islam, Pps IAIN I.B Padang 5 Agustus 2004
Meirison (Riba and Justification) p-ISSN 2580-7056; e-ISSN 2580-7064
73
mudharabah dengan bagi hasil dalam persentase tertentu, sebagaimana
dijelaskan di atas.13
B. SYUBUHAT-SYUBUHAT SEPUTAR BUNGA BANK
1. Bunga bank dianggap membalas kebaikan dengan kebaikan yang lebih.
Syubuhat :
“Saya tidak dapat mengatakan bahwa setiap tambahan terhadap harta
pokok dianggap sebagai riba yang diharamkan syari’at, karena beberapa
ayat Al Quran dan hadits Rasulullah saw. tidak menguatkan hal itu,
bahkan menguatkan seruan untuk menanamkan ruh kemurahan hati dan
membalas kebaikan dengan kebaikan yang lebih baik. Dalil :
“Apabila kalian dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah
penghormatan itu dengan yang lebih baik atau balaslah (dengan yang
serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu.” ( Q.S An
Nisaa’ : 86)
“...Dan janganlah kalian melupakan keutamaan diantara kalian.
Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang kalian kerjakan.” (
Q.S Al Baqarah : 237 )
Perbedaan Fiqh (Ljǂ ƬƨƵǚƩ ƨƵǚ)
“Memang tidak setiap tambahan terhadap harta pokok dapat
dianggap riba. Namun tambahan yang disyaratkan diawal terhadap
13
Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, (Jakarta: INIS,
1994.),hal.146
Meirison (Riba and Justification) p-ISSN 2580-7056; e-ISSN 2580-7064
74
uang/harta pokok tanpa ada transaksi pengganti yang dibenarkan
syari’at, adalah riba yang diharamkan.
Adapun ayat di atas tidak memuat dalil tentang masalah riba (bunga), baik
yang tersirat ataupun yang tersurat, yang zhahir ataupun yang dapat
ditakwil. Apakah termasuk mambalas kebaikan ketika peminjam
diharuskan membayar pinjaman disertai tambahan (bunga) yang telah
ditetapkan, sementara yang memberikan pinjaman tidak peduli dengan
kondisi sipeminjam?”
2. Rasulullah pernah membayar utang lebih dari harta pokok yang dipinjam.
Dari Abu Rafi’ r.a bahwa Rasulullah saw. meminjam unta yang berumur
tiga tahun kepada seseorang. Lalu datang unta-unta shadaqah kepada
beliau. Beliau memerintahkan Abu Rafi’ menyahur unta pinjaman itu. Tapi
Abu Rafi’ kembali dan berkata :”saya tidak mendapatkan di antara unta-
unta shadaqah kecuali yang sudah berumur enam tahun.” Beliau bersabda
:”Berikan saja kepadanya, karena sebaik-baik manusia ialah yang paling
baik penyahurannya di antara mereka.”
Jadi orang itu meminjamkan seekor unta yang berumur tiga tahun kepada
nabi saw. lalu beliau menggantinya dengan unta yang berumur enam
tahun; yang berarti lebih baik dan lebih mahal. Anggaplah unta yang
berumur tiga tahun nilainya seribu dirham, sedangkan yang enam tahun
nilainya seribu limaratus dirham, apakah tambahan terhadap harta pokok
ini juga dianggap riba?
Meirison (Riba and Justification) p-ISSN 2580-7056; e-ISSN 2580-7064
75
Jawaban :
Terdapat perbedaan yang mendasar antara apa yang dilakukan oleh
Rasulullah dan apa yang dilakukan oleh bank dewasa ini. Dalam hadits di
atas, orang yang memberikan pinjaman tidak menetapkan syarat kepada
Nabi saw. agar beliau melunasi unta berumur tiga tahun dengan unta
yang berumur enam tahun. Sementara bank menetapkan tambahan
dimuka, yang berarti itu riba.
Tentang syarah hadits ini, Imam An Nawawy Rahimahullah mengatakan :
“di dalam hadits ini disebutkan bahwa siapa yang mempunyai beban
pinjaman berupa al qordhu atau yang lainnya, maka dianjurkan agar dia
mengembalikan dengan barang atau pengembalian yang lebih baik dari
barang yang dipinjamkan kepadanya. Yang demikian ini hukumnya sunat
dan termasuk akhlak yang mulia. Ini bukan merupakan pinjaman yang
dimanfaatkan untuk mendapatkan keuntungan, karena yang demikian itu
dilarang. Karena yang dilarang ialah jika ada syarat dalam transaksi
pinjam meminjam.”
Al Hafizh Ibnu Hajar Al ‘Asqolani berkata ;” di dalam hadits ini
terkandung pembolehan mengembalikan yang lebih baik dari pinjaman,
jika tidak ada syarat. Jika syarat itu terjadi dalam transaksi, maka hal itu
haram menurut kesepakatan. Ini juga merupakan pendapat jumhur.”
Jadi Nabi saw. mengembalikan pinjaman lebih banyak/baik dari
pinjaman, tanpa ada syarat atau kesepakatan di antara keduanya. Adapun
bank konvensional, ketika seseorang menabung satu juta rupiah, maka dia
Meirison (Riba and Justification) p-ISSN 2580-7056; e-ISSN 2580-7064
76
membuat kesepakatan dengan pihak bank bahwa uangnya akan bertambah
12 % misalnya, setiap tahun. Kemudian datang orang lain untuk
mendapatkan pinjaman dari bank, lalu pihak bank menyetujui pinjaman
itu, tapi dengan syarat nasabah yang menjadi debitur harus
mengembalikan pinjaman dengan tambahan 17% untuk jangka waktu satu
tahun. Disini ada penetapan syarat saat terjadi transaksi tabungan dari
nasabah dan saat memberikan pinjaman dengan nasabah lain, sehingga
bank melakukan praktik riba dua kali.
Dari Nafi’, bahwa ia pernah mendengar Abdullah bin Umar berkata ,
‘Barang siapa meminjamkan suatu pinjaman, maka dia tidak boleh
menetapkan syarat kecuali pelunasan pinjaman itu.’ Ibnu Qudamah
berkata Setiap pinjaman yang didalamnya ada penetapan syarat
tambahan, maka hal itu haram tanpa ada perselisihan pendapat tentang
hal itu14.’
3. Masalah rela sama rela (saling ridho).
Telah ada ketetapan dalil-dalil yang shahih dalam Al Kitab dan As
Sunnah serta ijma’ bahwa tambahan yang disyaratkan terhadap harta
pokok ketika terjadi transaksi pinjam-meminjam, dianggap riba yang
diharamkan menurut syari’at. Jika sesuatu sudah ada ketetapan
pengharamannya menurut syari’at, maka tidak dapat dibuat halal karena
ada saling ridha.
14
dalam kitab al Mughny, jilid 6 hal.436
Meirison (Riba and Justification) p-ISSN 2580-7056; e-ISSN 2580-7064
77
Umpanya ada seorang laki-laki berzina dengan wanita, keduanya saling
ridho dan suka sama suka. Apakah zina itu menjadi halal bagi keduanya ?
Atau ada seorang laki-laki menikah dengan saudari kandungnya, keduanya
saling ridha. Apakah pernikahan ini sah ?
4. Bunga bank boleh untuk kemaslahatan manusia.
Ini merupakan pernyataan yang tidak masuk akal, karena apakah
mungkin pertimbangan kemaslahatan manusia dapat menghalalkan sesuatu
yang telah jelas haram menurut syari’at? Bagaimana mungkin
pertimbangan kemaslahatan manusia dapat membuat riba sebagai sesuatu
yang halal bagi orang yang memakannya, wakilnya, sekretarisnya dan
kedua saksinya, meskipun Nabi saw. telah melaknat orang-orang itu?
Contoh : Negara memerlukan pendapatan dalam rangka mengangkat
taraf hidup. Potensi kelautan memiliki peranan yang sangat besar untuk
meningkatkan pendapatan negara. Sementara para pelaut asing dari
kalangan orang-orang kafir dan musyrik tidak dapat bekerja secara
optimal kecualai jika mereka minum arak. Lalu apakah kita harus
membolehkan produksi arak, menjual dan memperdagangkannya serta
menyuguhkannya kepada para nelayan atau pelaut? Tidak, Tidak boleh.
Yang haram tetap saja haram.
5. Kekeliruan menggolongkan bunga bank kepada wakalah.
Transaksi dengan bank tidak dapat disebut wakalah, karena syarat-syarat
wakalah tidak cocok untuk transaksi dengan bank. Diantaranya : pertama,
al wakil maupun al muwakil tidak boleh menetapkan syarat nilai dimuka
Meirison (Riba and Justification) p-ISSN 2580-7056; e-ISSN 2580-7064
78
dari harta pokok. Sekiranya al wakil dan al muwakkil menyalahi syarat
ini, lalu keduanya menetapkan syarat nilai dimuka, maka al wakalah
menjadi gugur dan ia berubah menjadi hutang piutang ribawi yang
diharamkan.
Syarat kedua, al wakil tidak dapat memberi jaminan sekiranya
barang yang didelegasikan rusak, tanpa ada tindakan pengabaian
darinya. Sementara bank memberikan jaminan terhadap hal tersebut.
Sekiranya seseorang menyimpan uangnya di bank sejumlah satu juta
rupiah, lalu uang itu dipergunakan bank untuk membangun pabrik, tapi
pabrik yang sudah dibangun terbakar tanpa ada kesengajaan atau tanpa
ada pengabaian dari bank, maka apa sikap nasabah? Tentu dia akan
menuntu haknya secara penuh dan juga dengan tambahan yang telah
disepakati dimuka.
6. Kegiatan usaha Bank Konvensional bukan Mudharabah
Diantara alasan nyeleneh dan kontroversial yang dikemukakan oleh
sebagian orang yang ingin menjustifikasi bunga riba itu ialah bahwa
bunga itu merupakan bagian keuntungan bagi pejabat di lingkungan bank
Konvensional. Hal ini untukmenggambarkan bahwa praktik yang
dilakukan bank itu identik dengan mudharabah (prinsip bagi hasil)
Maksudnya, dalam hubungan antara pihak bank dengan pihak nasabah,
bank berfungsi sebagai mudharib ‘yang akan mengusahakan harta dan
mengembangkannya’, dan nasabah berkedudukan sebagai pemilik harta
(financier). Kemudian dalam hubungan antra pihak bank dengan pihak
Meirison (Riba and Justification) p-ISSN 2580-7056; e-ISSN 2580-7064
79
ketiga, bank berfungsi sebagai pemilik harta, sementara pihak ketiga
berfungsi sebagai mudharib.
Gambaran di atas bertentangan dengan inti kontrak mudharabah. Karena
dalam akad tersebut posisi mudharib adalah sebagai pemegang amanah
terhadap harta yang diserahkan kepadanya, bukan sebagai penjamin. Jadi
pihaknya tidak bertanggung jawab atas kehilangan/kerusakan kecuali
terbukti bahwa ia telah melakukan pengkhianatan, pelanggaran atau
menyepelekannya.
Seandainya dimasukkan dalam persyaratan bahwa mudharib menjamin
keselamatan uang/harta mudharabah maka akan mengakibatkan batalnya
akad mudharabah dan hilang legalitasnya. Sedangkan fakta yang tidak
mungkin dibantah kebenarannya bahwa bank menjamin uang yang
dipegangnya. Bagaimana mungkin bank dalam hal ini berfungsi ganda
sebagai pemegang amanah dan sebagai penjamin dalam waktu yang
sama?
Demikan pula dalam akad mudharabah diisyaratkan kedudukan yang
seimbang antara keduabelah pihak dalam menanggung resiko baik untung
maupun rugi. Tidak boleh secara sepihak mendapat keuntungan yang
pasti dari sejumlah uang tertentu dengan mengorbankan pihak lain.15
Penentuan jumlah nominal uang atau harta tertentu dikhususkan untuk
pemilik modal saja, ataupun khusus untuk mudharib, mengakibatkan
rusaknya akad mudharabah dan bergeser dari lingkungan halal ke
15
al-Zarqani, Muhammad Abd al-Azim Manâhil al-Irfân fi Ulum al-Qurân, (Mesir: Isa al-
Bābi al-Halabi, l957),hal.234
Meirison (Riba and Justification) p-ISSN 2580-7056; e-ISSN 2580-7064
80
lingkungan haram. Ibnu Mundzir berkata, ‘seluruh ahli ilmu pengetahuan
islambersepakat atas batalnya akad mudharabah jika salah satu pihak
atau masing-masing pihak menentukan persyaratan khusus beberapa
dirham tertentu untuk dirinya’. Ibnu Qudamah mengatakan bahwa hal itu
tidak sah karena dua alasan16 :
a. Sekiranya ia syaratkan nominal tertentu yang akan menjadi haknya,
berkemungkinan hanya jumlah nominal itu yang menraik keuntungan.
Akibatnya, hanya pihaknya yang menguasai seluruh keuntungan atau
sebaliknya, jumlah nominal itu tidak menghasilkan apa-apa sehingga
ia tidak mendapatkan apa-apa atau ia untung besar sehingga ia
dirugikan.
b. Bagian (porsi) seharusnya diketahui dalam bentuk pembagian
(persentase), karena tidak mungkin menentukan jumlahnya secara
pasti. Jika pembagian itu tidak diketahui oleh masing-masing pihak,
maka kontrak tersebut menjadi bata(rusak)
7. Masalah riba yang berlipat ganda.
Dalam upaya untuk mencari-cari celah membolehkan bunga bank,
ada orang yang beralasan bahwa riba yang diharamkan Al Qur’an ialah
riba yang adh’afan mudha’afah’berlipat ganda’, sedangkan riba yang kecil
seperti 8% atau 10% tidak termasuk riba yang dilarang. Ungkapan ini
terdengar sejak awal abad kedua puluh, dengan alasan berpegang kepada
konotasi ayat Al Qur’an :
16
Ibnu Qudama al Mughny, jilid 6 hal.436 , ‘
Meirison (Riba and Justification) p-ISSN 2580-7056; e-ISSN 2580-7064
81
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba
dengan berlipat ganda, takutilah Allah, semoga kamu beruntung.” (Q.S
Ali Imran : 130)
Orang yang memiliki kemampuan memahami cita rasa bahasa Arab
yang tinggi dan mnemahami retorikanya, sangat memaklumi bahwa sifat
riba yang disebutkan dalam ayat ini ‘adh’afan mudha’afah’ adalah dalam
konteks menerangkan kondisi objektif dan sekaligus mengecamnya.
Mereka telah sampai pada tingkat ini dengan cara melipatgandakan
bunganya17.
Pola berlipat ganda ini tidak dianggap sebagai kriteria (syarat)
dalam pelarangan riba. Dalam arti bahwa berlipat ganda hukumnya boleh.
Lagi pula manakah yang disebut disebut riba yang kecil dan mana riba
yang besar? Siapa yang menyatakan 10% itu kecil dan 12% itu besar? Apa
ukurannya? Sangat relatif. Jika kita mau berpegang pada makna eksplisit
ayat, maka yang disebut berlipat ganda itu besarnya 600% sebagaimana
yang pernah diungkapkan oleh Prof. Dr.Muhammad Daraz, karena kata
‘adh’af’ itu sendiri bentuk jamak, paling sedikitnya tiga. Maka, jika tiga
dilipatgandakan walaupun sekali, maka akan menjadi enam. Adakah yang
membenarkan hal ini?
Dalam surah Al Baqarah, terdapat penghapusan riba secara total.
“Wahai orang-orang yang beriman, takutlah kepada Allah dantinggalkanlah sisa
riba, jika kamu orang yang beriman. Jika kamu tidak melepaskan seluruh sisa
riba, maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Jika
17
Yusuf Qaradawi Riba Haram,
Meirison (Riba and Justification) p-ISSN 2580-7056; e-ISSN 2580-7064
82
kamu bertobat, maka bagimu pokok hartamu. Kamu tidak menganiaya dan tidak
pula dianiya.” ( Q.S Al Baqarah : 278-279 )
KESIMPULAN
Sesungguhnya akad pinjaman untuk menolong seseorang dalam
kehidupannya dan bukanlah pinjam meminjam ini termasuk sebuah usaha yang
menghasilkan atau tempat menghasilkan keuntungan bagi seseorang. Dan bukan
pula pinjam meminjam ini sebagai media eksploitasi terhadap sebagian orang atas
sebagian yang lain. Oleh karena itu orang yang meminjam uang tidak
mengembalikan pinjamannya kecuali sesuai dengan apa yang dipinjamkan
pertama kali sesuai dengan kaidah fiqh yang dikatakan oleh para fuqaha ﻛﻞ ﻗﺮض ﺣﺮ
ﻧﻔﻌﺎ ﻓﮭﻮ رﺑﺎsetiap pinjaman yang terdapat manfaat dalamnya maka ia adalah riba .
18
Akan tetapi keharaman riba itu terikat dengan akad yang dilakukan pertama kali
atau merujuk kepada persyaratan yang dikemukakan waktu akad tersebut
berlangsung. Apabila tidak ada persyaratan untuk menambah jumlah
pengembalian atau kesepakatan sebelumnya. Apabila persaratan dan kesepakatan
tidak ada sebelumnya maka apabila pinjaman tersebut bertambah atau diganti
dengan yang lebih baik dikemudian hari maka itu bukanlah riba namanya. Bagi
orang yang meminjamkan boleh mengambilnya tanpa ada sangsi apapun dan tidak
dianggap telah berbuat perkara yang makruh.
Hal in berdasarkan hadits yang dirawikan dari Rasulullah S.A.W dari Abi
Rafi’
ﺳﺘﻠﻒ رﺳﻮل اﷲ, ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻗﺎل, ﻋﻦ أﰊ رﻓﻴﻊ أي ﻣﻮﻻ رﺳﻮل اﷲ
ﻓﺄﻣﺮﱐ أن أﻗﻀﻲ اﻟﺮﺟﻞ, ﻓﺠﺎءﺗﻪ إﺑﻞ اﻟﺼﺪﻗﺔ,ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻣﻦ رﺟﻞ ﺑﻜﺮا
18
Sayid Sabiq Fiqh Sunnah (Beirut;Dar al-Fikr, 1992),Jilid III, h.184
Meirison (Riba and Justification) p-ISSN 2580-7056; e-ISSN 2580-7064
83
ﻓﻘﺎل اﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ19 ﱂ أﺟﺪ ﰲ اﻹﺑﻞ إﻻ ﲨﻼ ﺧﻴﺎرا رﺑﺎﻋﻴﺎ:ﺑﻜﺮا ﻓﻘﻠﺖ
" ًوﺳﻠﻢ "اﻋﻄﻪ إﻳﺎﻩ ﻓﺎن ﺧﲑﻛﻢ أﺣﺴﻨﻜﻢ ﻗﻀﺎء
))ﻛﺎن ﱄ ﻋﻠﻰ رﺳﻮل اﷲ ﺣﻖ ﻓﻘﻀﺎﱐ وزادﱐ ((رواﻩ أﲪﺪ: ﻗﺎل ﺟﺎﺑﺮ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ اﷲ
واﻟﺒﺨﺎري وﻣﺴﻠﻢ
Dari Abi Rafi' hamba Rasulullah S.A.W berkata," Rasulullah meminjam
seekor berumur tiga tahun, kemudian datang kepada Rasulullah ontah dari hasil
sedekah (Zakat), dan ia meminta saya (Abi Rafi’) untuk membayar dengan onta
yang berumur tiga tahun, akan tetapi saya tidak mendapatkan onta yang sepadan
hanya ada seekor onta yang telah berumur 6 tahun (akan memasuki umur 7
tahun), berkata Nabi S.A.W “berikanlah kepada orang itu, sebaik-baik kamu
adalah orang yang paling baik dalam membayar hutang!”.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim,KSA, 2006
Anas Ibnu Malik al-Mudawanah al-Kubara (Beirut, Dar al-Fikr, 1978)
Sayid Sabiq Fiqh Sunnah, (Dar al-Fikr, 1990)
Ali Hafif at-Ta’min Majma’ Buhuts Islamiah (Kairo, Dar Tsaqafah, 2016), h.617
Al-Juwaini, al-Burhan fi Ushul al-Fiqh (Kairo, Dar al-Wafa, 1988)
Al-Arabi, Muhammad bin Abdullah al-Qabs Syarah Muwatha Malik (Rabath,
Dar al-Gharb al-Islam, 2016)
Al-Wakil, Muhammad bin Umar, al-Asybah wa an-Nazair bi Tahqiq (Kairo,
Maktabar Rasyid, 1999)
Abu Yusuf, Kitâb al-Kharâj, Kairo: Al-Matba’ah al-Salafiah, 1962/ 1963.
واﻟﺮﺑﺎﻋﻲ اﻟﺬي اﺳﺘﻜﻤﻞ ﺳﺖ ﺳﻨﯿﻦ ودﺧﻞ ﻓﻲ اﻟﺴﺎﺑﻌﺔ,اﻟﻤﺨﺘﺎر:اﻟﺨﯿﺎر
19
Meirison (Riba and Justification) p-ISSN 2580-7056; e-ISSN 2580-7064
84
Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, Beirut: Dar al-Fikr, tt, .
Albert Hourani, A History of the Arab Peoples, Cambridge, Massachusetts: The
BelknapPress of Harvard University Press, l99l.
Al-Ghazali, Al-Mustashfâ fî Ilmi al-Ushûl, Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyah, 1993.
al-Jashash, Abu Bakar Ahmad Ibn Ali al-Razi, Ahkâm al-Qur’ân, Beirut: Dār al-
Kutub al-Arabī, t.t. juz 1.
al-Kahlani, Muhammad Ibn Ismail, Subul al-Salâm Syarah Bulûgh al-Marâm,
Beirut: Dār l-Fikr, t.t. juz 3.
al-Madany, Muhammad Mawathin al-Ijtihad fi al-Syari’at al-Islamiyah, Kuwait:
Maktabah al-Manar, t.t.
Al-Maraghi, Ahmad Musthafa, Tafsîr al-Maraghî, Mesir: Al-Halabi, 1946. Jilid
I,al-Nabhani, Taqiyuddin, Nizham al-Hukmi fi al-Islam, Beirut: Dar al-
Ummah, 410 H.
al-Qardhawi, Yusuf, Al-Madkhâl fi Dirâsât al-Syari’at al-Islâmiyat, Ed. Indonesia,
Membumikan Syariat Islam, Surabaya: Dunia Ilmu, 1997.
al-Qaththan, Manna’, Mabâhits fî ‘Ulum al-Qru’ân, Riyad: 1973.
Al-Sayis, Ali, Nasy’atu al’Fiqh al-Ijtihâd wa Athwâruh, Majma’ al-Buhuts al-
Islamiyah, 1980.
Al-Syathibi, Al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Ahkâm, Mesir: Dār al-Fikr, t.t.
Alwi Shihab, Islam Inklusif, Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, Bandung:
Mizan, 1997.
al-Zarqani, Muhammad Abd al-Azim Manâhil al-Irfân fi Ulum al-Qurân, Mesir:
Isa al-Bābi al-Halabi, l957.
Al-Zuhaili, Wahbah Al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuh, Suriah: Dār al-Fikri, Cet. 4,
1997.
Ushûl al-Fiqh al-Islâmi, Beirut: Dâr al-Fikri, 1986.
Amin, Abdullah bin Syaikh Muhammad, ‘Ilâj al-Qur’ân al-Karim li al-Jarîmah,
Madinah: Tp.p., l982.
An-Na’im, Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human
Meirison (Riba and Justification) p-ISSN 2580-7056; e-ISSN 2580-7064
85
Rights, and International LawNewYork: Syracuse University Press, 2016
Arkoun, Mohammad, Berbagai Cara Pembacaan Quran, Jakarta: INIS, 1997.
Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, Jakarta:
INIS, 1994.
Arnold J. Toynbe, A Study of Histori I-IV, New York & London: Oxford
University Press,1946.
Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama: Melacak Akar-akar Pembaharuan Pemikiran
Islam di Indonesia, Bandung: Mizan, l994.
Dr.Yaqub ibnu Abdul Wahab al-Bahisin, al-Furuq Fiqhiyah wa al-
Ushuliyah,Riyadh, (Syirkah Riyadh li at-Tawzi’,1998)
Sahih Muslim Jilid 2 hadits no 1224, Beirut, Dar-Fikr 1992
Imam Faqih al-Qadhiy Abi Muhammad Abdul Wahab bin Ali bin Nasr al-
Baghdadi Furuq al-Fiqhiyah (Riyadh:Dar al-Buhuts li ad-Dirasat al-
Islamiyah wa Ihya’ at- Turats:1992)
Majmu’ Fatawa al-Lajnah ad-Da’imah 13/268-271, fatwa no. 3630 (Kairo, Dar at
– Turats al-Arabi)
Ibnu Qudamah Al-Mughni , Kairo, Dat at-Turats al-Arabi, 1991
Wahbah Zuhaili Fiqh Islam wa Adilathu, Beirut, Dar al-Fikr, 1992
Yusuf Qardhawi, Riba Haram, terjemahan, Jakarta, Rabbani Press 1990
Meirison (Riba and Justification) p-ISSN 2580-7056; e-ISSN 2580-7064