[go: up one dir, main page]

0% found this document useful (0 votes)
56 views10 pages

Potret Kekerasan Terhadap Lansia Perempuan Di Indonesia Dharma Kelana Putra

The document discusses violence against elderly women in Indonesia. It notes that while violence against women is a serious issue, reported cases do not include elderly women victims. Data suggests around 4 million elderly people in Indonesia experience violence, with elderly women at higher risk due to intersecting identities related to gender, age, class, income level, and physical/mental abilities. Violence against elderly women is difficult to uncover because it often occurs domestically and victims face obstacles in reporting problems, tending to remain silent. The document analyzes this issue through the lens of intersectionality theory.
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as PDF, TXT or read online on Scribd
0% found this document useful (0 votes)
56 views10 pages

Potret Kekerasan Terhadap Lansia Perempuan Di Indonesia Dharma Kelana Putra

The document discusses violence against elderly women in Indonesia. It notes that while violence against women is a serious issue, reported cases do not include elderly women victims. Data suggests around 4 million elderly people in Indonesia experience violence, with elderly women at higher risk due to intersecting identities related to gender, age, class, income level, and physical/mental abilities. Violence against elderly women is difficult to uncover because it often occurs domestically and victims face obstacles in reporting problems, tending to remain silent. The document analyzes this issue through the lens of intersectionality theory.
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as PDF, TXT or read online on Scribd
You are on page 1/ 10

12

Community: volume 5, nomor 1, April 2019


p-ISSN: 2477-5746 e-ISSN: 2502-0544

POTRET KEKERASAN TERHADAP LANSIA PEREMPUAN DI


INDONESIA

Dharma Kelana Putra


Balai Pelestarian Nilai Budaya Aceh
Jl. Twk. Hasyim Banta Muda No. 17, Gampong Mulia, Kec. Kuta Alam, Kota Banda
Aceh
dharma.kelana@kemdikbud.go.id

Abstract
Violence against elderly women is one of the long-standing cultural problems in
society, and this issue has only become the world's attention when WHO announced a
program to eliminate violence against the elderly that was welcomed by the
Government of Indonesia by issuing “Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan
dan Perlindungan Anak Nomor 24 Tahun 2010 tentang Model Perlindungan
Perempuan Lansia yang Responsif Gender” as a positive response to tackling the
issue. The main question in this study is how the portrait of violence against elderly
women in Indonesia and why this issue is difficult to reveal. The study was conducted
with descriptive qualitative methods that aimed to describe the exact characteristics
of an individual, circumstances, symptoms or certain groups in society, where all
data were obtained from literature searches and literature studies. This study
concludes that violence against the elderly in Indonesia is a form of gendered ageism
that is almost invisible. This practice is more often experienced by elderly women
because of intertwined identity factors, especially when they come from the lower
classes, do not have income, and experience physical and mental disability. Violence
against elderly women in Indonesia is difficult to reveal because it is in the domestic
sector (family matter), besides that elderly women who are victims of violence also
have various obstacles in conveying their problems so that they are more likely to
choose to remain silent.
Keywords: Intersexionality, Violence Against Elderly Women, Gendered Ageism

PENDAHULUAN
Persoalan kekerasan terhadap kaum perempuan di Indonesia pada dasarnya
masih menjadi misteri yang belum dapat diretas sepenuhnya, baik oleh pemerintah
maupun organisasi sosial yang konsen pada isu tersebut. Kekerasan terhadap
perempuan merupakan salah satu isu sentral dalam kajian Antropologi, yang juga
bersinggungan dengan kajian feminisme, kesetaraan gender, dan gerontologi.
Persoalan ini sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia saja tetapi juga di seluruh
dunia. Meski kini kekerasan terhadap perempuan sudah dianggap sebagai kasus yang
13
Community: volume 5, nomor 1, April 2019
p-ISSN: 2477-5746 e-ISSN: 2502-0544

serius di Indonesia, akan tetapi kasus ini masih saja terjadi bahkan cenderung
meningkat dan lebih variatif.
Secara spesifik Komnas Perempuan mencatat pada 2018 kekerasan terhadap
perempuan dalam ranah privat atau personal tercatat sebanyak 9.609 kasus (71%),
sementara di ranah publik sebanyak 3.528 kasus (26%) dan ranah negara sebanyak
247 kasus (1,8%) (Ani, 2018). Dari data tersebut, belum ditemukan adanya pelaporan
yang berasal dari kalangan perempuan berusia lanjut. Padahal, data yang diungkap
oleh WHO menunjukkan bahwa 1 dari 6 lansia di dunia mengalami berbagai bentuk
kekerasan (Indrayani, 2018). Ini memperlihatkan bahwa kekerasan terhadap lansia
perempuan terjadi dalam skala yang mengkhawatirkan tetapi belum terungkap secara
eksplisit karena belum ada laporan kepolisian yang berkaitan dengan hal itu.
Lebih lanjut, data BPS tahun 2015 menunjukkan bahwa 21,6 juta orang lansia
berpotensi mengalami kekerasan, mulai dari kekerasan fisik, seksual, verbal, hingga
kekerasan ekonomi (Kuswandi, 2018) yang akan bertambah setiap tahunnya seiring
dengan pertambahan jumlah penduduk lansia. Membandingkan data ini dengan angka
kekerasan yang di rilis oleh WHO, diasumsikan ada 4 juta orang lansia di Indonesia
yang sedang atau pernah mengalami kekerasan. Dari jumlah tersebut, lansia
perempuan cenderung memiliki kemungkinan mengalami kekerasan yang lebih tinggi
dibanding lansia laki-laki, karena lansia perempuan dalam perspektif gender sangat
rentan terhadap diskriminasi ganda yang muncul dari persimpangan identitas yang
melekat pada diri mereka.
Tingginya angka kekerasan terhadap lansia, khususnya lansia perempuan
justru menimbulkan banyak pertanyaan, padahal pemerintah melalui Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak telah mengeluarkan Peraturan
Menteri Nomor 24 Tahun 2010 tentang Model Perlindungan Perempuan Lansia yang
Responsif Gender. Regulasi ini harusnya mampu menjadi panduan bagi instansi
pemerintah, khususnya di daerah dan masyarakat dalam menyelenggarakan
perlindungan perempuan lanjut usia di lingkungan sekitarnya. Berangkat dari
persoalan tersebut, tulisan ini akan membahas tentang bagaimana potret kekerasan
terhadap lansia perempuan di Indonesia dan mengapa persoalan ini sulit untuk
diungkap.

METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
kualitatif tipe deskriptif, yang bertujuan untuk menggambarkan secara tepat sifat-sifat
suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu di dalam masyarakat
(Suparlan, 1994). Oleh karenanya, penelitian ini tidak ditujukan untuk mencari
hubungan sebab-akibat melainkan sebatas mendeskripsikan tentang bagaimana potret
kekerasan terhadap lansia perempuan di Indonesia. Seluruh data diperoleh dari hasil
penelusuran literatur dan studi kepustakaan melalui internet untuk mencari data
tentang hal-hal atau variabel yang ingin diteliti baik berupa buku dan artikel jurnal
maupun web site.
14
Community: volume 5, nomor 1, April 2019
p-ISSN: 2477-5746 e-ISSN: 2502-0544

TINJAUAN PUSTAKA
Kajian tentang kekerasan terhadap lansia pada dasarnya bukan yang pertama
kali dilakukan. Sebelumnya, sudah banyak literatur hasil penelitian yang dilakukan di
berbagai tempat dengan fokus kajian yang berbeda-beda. Oleh karenanya, literatur
tersebut dapat dijadikan sebagai referensi yang digunakan untuk menangkap potret
kekerasan terhadap lansia yang terjadi di Indonesia. Adapun beberapa literatur
tersebut antara lain:
Pertama, hasil penelitian Anna Charastatis berjudul The concept of
intersectionality in feminist theory, yang diterbitkan pada 2014 pada Jurnal
Philosophy Compass, Volume 9, Nomor 5, halaman 304-314. Artikel ini membahas
tentang bagaimana dekonstruksi interseksionalitas yang dilakukan dalam upaya untuk
menjelaskan praktik diskriminasi yang muncul karena perempuan memiliki lebih dari
satu identitas yang berkelindan.
Kedua, hasil penelitian (Krekula, Pirjo, & Monika, 2018), yang berjudul
Multiple Marginalizations Based on Age: Gendered Ageism and Beyond:
Contemporary Perspective on Ageism. Artikel ini diterbitkan di International
Perspective on Aging Series, Volume 19, halaman. 33-50. Artikel ini menjelaskan
tentang bagaimana ageisme berbasis gender dialami oleh perempuan, khususnya
kaum lansia. Krekula mengemukakan kemungkinan bahwa perempuan dapat
melakukan penindasan terhadap perempuan lain hanya karena ia berusia lebih muda
atau lebih tua.
Ketiga, hasil penelitian (Julianti, 2013) tentang Kekerasan Struktural
terhadap Orang Lanjut Usia sebagai Hasil dari Konstruksi Sosial yang
Merendahkan, yang diterbitkan dalam Jurnal Kriminologi Indonesia, Volume 9,
Nomor 1, Desember 2013, Hlm. 67-79. Penelitian ini membahas bagaimana
kekerasan terhadap lansia muncul dari persepsi negatif suatu kelompok masyarakat
yang kemudian berubah menjadi kecenderungan untuk melakukan diskriminasi,
marginalisasi yang berakhir pada tindak kekerasan baik verbal, fisik, maupun
kekerasan ekonomi.
Keempat, hasil penelitian (Bodner, Bergman, Yoav, Cohen , & Sara, 2012),
yang berjudul Different dimensions of ageist attitudes among men and women: a
multigenerational perspective. Diterbitkan oleh International Psychogeriatrics, tahun
2012, Volume 24, Nomor 6, Hlm. 895–901. Dalam artikel ini dijelaskan tentang
bagaimana perlakuan yang berbeda terhadap lansia muncul dari perbedaan jenis
kelamin antara laki-laki dengan perempuan, dalam konteks proses sosial dan relasi
antar generasi yang mereka alami. Sekilas, dijelaskan dalam artikel ini bahwa lansia
perempuan jauh lebih rentan mengalami kekerasan dibandingkan lansia laki-laki.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Interseksionalitas pada Lansia Perempuan
Interseksionalitas secara harfiah berarti persimpangan, dalam pandangan
feminisme interseksionalitas merujuk pada identitas ganda yang menempatkan
seseorang pada posisi tertentu dalam masyarakat. Teori interseksionalitas dalam
15
Community: volume 5, nomor 1, April 2019
p-ISSN: 2477-5746 e-ISSN: 2502-0544

feminisme menekankan bahwa kehidupan manusia terdiri atas pertentangan biner


dalam rangkaian identitas yang saling berkelindan atau overlap (Carathatis, 2014).
Adapun bentuk-bentuk interseksionalitas yang menyebabkan penindasan dalam
masyarakat antara lain; jenis kelamin (laki-laki dan perempuan), kemampuan
ekonomi (kaya dan miskin), kelas (kelas atas dan kelas bawah), agama (muslim dan
non muslim), warna kulit (kulit putih dan berwarna), suku (jawa dan non jawa),
penampilan (cantik dan jelek), dan sebagainya (Yamonte, 2017)
Dalam pertentangan identitas yang berkelindan ini, perempuan diposisikan
sebagai kelompok yang kalah serta memiliki potensi mengalami penindasan dan
marjinalisasi yang berlipat ganda ketika ia memiliki identitas lain yang juga berada
pada struktur sosial terbawah seperti; kelas, produktivitas, dan kemampuan fisik.
Semakin banyak jumlah persimpangan identitas seorang perempuan lansia, semakin
besar resiko mereka mengalami tindak kekerasan. Adapun diskriminasi ganda yang
mungkin dialami oleh kaum perempuan lansia pada saat ini antara lain sebagai
berikut:

Tabel 1. Interseksionalitas Lansia Perempuan di Indonesia


Identitas Dominan Subordinat
Seksisme Laki-laki Perempuan
Ageisme Muda Tua
Status marital Menikah Janda
Classisme Atas Bawah
Produktivitas Berpenghasilan Tidak
(pensiunan, dsb) berpenghasilan
Ableisme dan Mampu secara Tidak mampu
kemandirian fisik atau mental secara fisik
atau mental
Sumber: Data Primer

Lebih lanjut, teori interseksionalitas membuka kemungkinan bahwa tidak


hanya laki-laki saja yang menindas kaum perempuan, bahkan perempuan juga bisa
menindas sesamanya karena melihat identitas lain yang melekat pada mereka, seperti
perempuan kulit putih menindas perempuan kulit hitam dalam teori interseksionalitas
yang dikemukakan oleh (Crenshaw, 1989) atau seorang perempuan menindas
perempuan lain karena faktor usia (Krekula, Pirjo, & Monika, 2018). Pembedaan
perlakuan terhadap laki-laki dan perempuan berdasarkan usia atau gendered ageism
merupakan sesuatu yang nyata namun seolah tak terasa. Praktik ini terjadi ketika
seseorang mendapatkan perlakuan yang berbeda tidak hanya karena jenis kelaminnya,
tetapi juga karena ia terlalu tua atau terlalu muda (Bodner, Bergman, Yoav, Cohen ,
& Sara, 2012).
Secara teoritis, diskriminasi usia bergender (gendered ageism) terhadap
perempuan lansia jauh lebih berbahaya dibanding diskriminasi ras. Di California
16
Community: volume 5, nomor 1, April 2019
p-ISSN: 2477-5746 e-ISSN: 2502-0544

misalnya, keberadaan lansia perempuan seringkali dianggap tidak lebih berharga


dibanding lansia laki-laki oleh keluarga dan lingkungan sosialnya, selain itu lansia
perempuan dianggap lebih inferior dibanding lansia laki-laki dan tetap menjadi objek
karena dianggap tidak lebih produktif (Project, 2019). Tanpa disadari, stereotip
membuat mereka menjadi rentan akan kekerasan seperti penelantaran dan bentuk
kekerasan lainnya.
Lebih lanjut, praktik diskriminasi yang dialami oleh perempuan lansia
cenderung berbeda-beda karena adanya perbedaan konstruksi tentang usia pada
masyarakat dengan latar kultur yang berbeda. Konstruksi tentang usia mempengaruhi
sikap masyarakat dalam memperlakukan orang tua dan lansia, termasuk di dalamnya
nilai, norma, social sharing, persepsi terhadap kewajiban dalam keluarga yang
sifatnya timbal balik, serta aspek kultural lainnya (Meda, 2014). Kekerasan terhadap
lansia secara eksplisit di Indonesia masih menjadi fenomena yang kasuistis, tetapi
tidak tertutup kemungkinan kondisi yang terjadi di California terjadi juga di
Indonesia mengingat masyarakat yang semakin individual dan kapitalistis.

Kekerasan Berbasis Gender Pada Lansia Perempuan


Kekerasan terhadap lansia perempuan merupakan sebuah tindakan kekerasan
yang sekurang-kurangnya memiliki 2 dimensi utama, yakni kekerasan terhadap lansia
dan kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan terhadap perempuan secara universal
didefinisikan sebagai “any act of genderbased violence that results in, or is likely to
result in, physical, sexual or psychological harm or suffering to women, including
threats of such acts, coercion or arbitrary deprivation of liberty, whether occurring
in public or in private life” (Declaration on the Elimination of Violence against
Women, 2019). Sementara itu, kekerasan terhadap lansia didefinisikan sebagai "a
single, or repeated act, or lack of appropriate action, occurring within any
relationship where there is an expectation of trust which causes harm or distress to
an older person" (WHO, 2017). Dari kedua definisi ini, baik kekerasan terhadap
lansia atau kekerasan terhadap perempuan dapat dipahami sebagai suatu bentuk
pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia.
(Krekula, Pirjo, & Monika, 2018) mengatakan bahwa kekerasan tersebut
muncul karena adanya relasi antar kelompok usia yang kompleks, yang menyebabkan
munculnya klasifikasi usia yang berbeda dan menjadi dasar terbentuknya relasi kuasa
antara kelompok dominan dengan kelompok subordinat atas dasar kepercayaan atau
tanggung jawab perawatan. Kekerasan terhadap lansia perempuan dapat terjadi di
sektor domestik, baik oleh keluarga di dalam rumah tangga maupun oleh petugas
perawat lansia yang bekerja di rumah (Wilke & Vinton, 2003);(Maryam, R, & dkk,
2012);(Julianti, 2013). Sementara pada ranah publik, kekerasan terhadap lansia dapat
dilakukan oleh petugas fasilitas perawatan lansia maupun oleh orang lain dalam
lingkungan sosial yang lebih luas (Yuliawati, Ayu, & Handadari, 2013); (Mardiah,
2018). Dalam rilisnya di tahun 2018, WHO mengemukakan bahwa kekerasan
terhadap lansia perempuan dapat berbentuk:
17
Community: volume 5, nomor 1, April 2019
p-ISSN: 2477-5746 e-ISSN: 2502-0544

1. Kekerasan fisik, seperti; memukul, menendang, mendorong, memberi obat-


obatan yang salah, serta mengekang (mengikat).
2. Kekerasan psikis atau kekerasan emosional, seperti; menghina, mengancam,
memperlakukan, mengatur perilaku dan mengisolasi.
3. Kekerasan seksual, seperti; menyentuh alat kelamin dan bagian tubuh yang
sensitif.
4. Eksploitasi finansial, seperti; menyalahgunakan dan mencuri uang atau
properti dari lansia.
5. Penelantaran, seperti; tidak memberi makan, tidak memberi tempat tinggal
dan perawatan medis.

Tindak kekerasan terhadap lansia perempuan biasanya dipicu oleh


kemunduran dalam hal kemampuan fisik dan psikis yang dialami oleh setiap orang
ketika memasuki usia lanjut. Kondisi ini mengakibatkan kaum lansia menjadi
sangat bergantung pada orang lain dalam kehidupannya dan menempatkan mereka
sebagai objek kekerasan yang potensial. Apalagi, para pelaku biasanya memiliki
perilaku yang beresiko seperti; tidak memiliki kemampuan untuk merawat orang
tua; senang menyelesaikan permasalahan dengan cara yang agresif; kecanduan
alkohol; depresi; tidak mampu mengendalikan stress; serta adanya penerimaan
masyarakat terhadap agresifitas yang dilakukan terhadap kaum lansia (Mardiah,
2018). Hal ini dibuktikan oleh studi yang dilakukan (Maryam, R, & dkk, 2012),
yang menghasilkan suatu kesimpulan bahwa semakin berat beban keluarga dalam
merawat lansia semakin besar pula kemungkinan lansia tersebut mengalami
kekerasan dan penelantaran. Senada dengan itu, (Yuliawati, Ayu, & Handadari,
2013) mengatakan bahwa Lansia yang paling rentan terhadap bentuk-bentuk
kekerasan domestik adalah lansia dengan demensia (pikun).
Disadari atau tidak, tindak kekerasan terhadap lansia perempuan memiliki
dampak negatif yang mempengaruhi kehidupan para korban, baik secara fisik,
mental, sosial maupun finansial yang sifatnya berkepanjangan, bahkan tak jarang
berujung pada kematian ( (Maryam, R, & dkk, 2012); (Yuliawati, Ayu, & Handadari,
2013); (Julianti, 2013); (Krekula, Pirjo, & Monika, 2018). Situasi ini menempatkan
kasus kekerasan terhadap lansia menjadi persoalan kultural yang menakutkan, tidak
hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia.

Titik Buta Kekerasan Terhadap Lansia Perempuan


Jika kekerasan terhadap perempuan dikatakan sebagai suatu fenomena gunung
es, kekerasan terhadap lansia perempuan adalah problem yang hampir tidak terlihat.
WHO mencatat dari rata-rata 100 kejadian kekerasan terhadap lansia di seluruh
dunia, hanya 4% saja yang dilaporkan ke pihak yang berwajib (Who, 2017). Hal ini
dikarenakan lansia perempuan korban kekerasan cenderung merasa takut dan cemas
akan banyak hal, seperti; takut pelaku akan membalas dengan perbuatan yang jauh
lebih buruk karena ia dilaporkan; tidak ingin pelaku kekerasan mendapatkan masalah;
18
Community: volume 5, nomor 1, April 2019
p-ISSN: 2477-5746 e-ISSN: 2502-0544

tidak memiliki kapasitas mental yang baik untuk melapor; serta merasa malu akan
keadaan yang menimpanya (WHO, 2017).
Hubungan kekerabatan yang dekat membuat kaum Lansia perempuan korban
kekerasan merasa enggan melapor dan cenderung memendam persoalan ini sendiri
semampu mereka. Di Amerika, kaum lansia bahkan cenderung memilih untuk hidup
sendiri di rumah atau hidup bersama dengan rekan seusianya di fasilitas rumah jompo
yang dibiayai oleh pemerintah untuk menghindari ketegangan dalam keluarga. Bagi
mereka itu merupakan sebuah pilihan rasional, mengingat di usia yang senja, para
lansia terutama wanita sangat rentan terhadap bentuk-bentuk kekerasan domestik
(elder abuse), mulai dari kekerasan fisik, seksual, ekonomi maupun psikis (Wilke &
Vinton, 2003).
Sama halnya dengan di Amerika, kekerasan terhadap lansia perempuan di
Indonesia juga sulit untuk diungkap sebab ini merupakan ranah domestik. Jika pun
ada, kasus tersebut terungkap karena adanya kepedulian dari tetangga yang
melakukan intervensi atau sebatas merekam tindakan tersebut. Seperti kasus konflik
dengan anak yang berujung pada kekerasan fisik atau pemukulan terhadap orang
tuanya, baik karena masalah uang (Jaf, 2018) maupun alasan lain yang belum
diketahui sebabnya (Prasanda, 2017). Hal ini terjadi karena di Indonesia, keluarga
dan rumah tangga adalah suatu ranah yang sifatnya sangat pribadi, sehingga orang
tidak akan melakukan intervensi apabila belum ada indikasi yang mengarah pada
penganiayaan fisik. Hal ini senada dengan pendapat Asisten Deputi Bidang
Perlindungan Hak Perempuan pada Situasi Darurat dan Kondisi Khusus Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Nyimas Aliah yang dikutip dari
salah satu media daring (Astuti, 2018), bahwa:
"Hambatan dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan
berbasis gender pada lansia pun masih sering ditemui, mulai dari
korban lansia yang tidak tahu harus melaporkan masalahnya ke mana,
atau enggan melaporkan masalahnya karena dinilai akan merepotkan
keluarga, hingga belum optimalnya peran lembaga layanan, minimnya
wilayah aman bagi lansia untuk melapor, hal tersebut diperburuk
dengan kondisi di mana belum semua petugas memahami prinsip
penanganan lansia korban kekerasan berbasis gender"

PENUTUP
Kekerasan terhadap lansia perempuan pada dasarnya tidak hanya terjadi di
Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia. Ia memiliki praktik yang sama, sehingga
dapat dianalisis dengan model yang sama. Kekerasan terhadap lansia perempuan
dalam perspektif feminisme interseksional merupakan suatu bentuk diskriminasi usia
bergender (gendered ageism) yang seringkali hampir tidak terlihat. Praktik ini lebih
sering dialami oleh lansia perempuan karena faktor identitas yang berkelindan,
terutama ketika mereka berasal dari kelas bawah, tidak berpenghasilan, serta
mengalami ketidakmampuan secara fisik dan mental. Dalam perspektif feminisme
interseksional, Lansia perempuan dianggap lebih cenderung menjadi korban
19
Community: volume 5, nomor 1, April 2019
p-ISSN: 2477-5746 e-ISSN: 2502-0544

kekerasan dibanding lansia laki-laki, sebab lansia perempuan dianggap lemah,


sangat bergantung pada orang lain, tidak produktif dan menjadi beban
keluarga. Adapun bentuk-bentuk kekerasan terhadap lansia di Indonesia antara
lain; Kekerasan fisik, Kekerasan psikis atau Kekerasan emosional, Kekerasan
seksual, Eksploitasi finansial, serta Penelantaran.
Kekerasan terhadap lansia perempuan di Indonesia sendiri sulit untuk sulit
diungkap sebab ia berada dalam ranah domestik rumah tangga yang sifatnya pribadi.
Kasus kekerasan cenderung terungkap ketika ada kepedulian dari tetangga dan orang-
orang di sekitar lansia, tetapi kasus tersebut tidak serta-merta dapat dilaporkan ke
ranah hukum karena mempertimbangkan berbagai hal, seperti aspek kekeluargaan,
rasa takut dan khawatir, kasihan kepada pelaku, serta malu akan keadaan yang
dialaminya. Persoalan kekerasan terhadap lansia perempuan pada dasarnya bukan
semata karena persoalan struktural, tetapi juga karena ada sesuatu yang salah dalam
kultur masyarakat. Untuk meretas hal ini, dibutuhkan studi lanjutan yang membahas
tentang konstruksi sosial tentang lansia, baik dalam perspektif individual korban
(victim), maupun dalam perspektif masyarakat dimana ia berada (perpetrator).

DAFTAR PUSTAKA

Ani. (2018, 12 01). CNN INDONESIA. Retrieved 2019, from


https://www.cnnindonesia.com:
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20181128211801-20-
350079/kekerasan-terhadap-perempuan-terganjal-proses-pembuktian
Astuti, I. (2018, 05 08). Media Indonesia. Retrieved 2019, from
https://mediaindonesia.com: https://mediaindonesia.com/read/detail/159716-
kekerasan-berbasis-gender-bayangi-lansia-perempuan
Bodner, E., Bergman, Yoav, Cohen , F., & Sara. (2012). Different dimensions of
ageist attitudes among men and women : a multigenerational perspectif.
International Psychogeatrics, 895-901.
Carathatis, A. (2014). The Concept of Intersectionality in Feminist Theory.
Philosophy Compass, 9, 304-314.
Crenshaw, K. (1989). Demarginalizing the Intersection of Race and Sex: A Black
Feminist Critique of Antidiscrimination Doctrine, Feminist Theory and
Antiracist Politics. Retrieved 05 30, 2019, from http//chicagounbound.edu:
https://chicagounbound.uchicago.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1052&cont
ext=uclf
Declaration on the Elimination of Violence against Women (2019).
20
Community: volume 5, nomor 1, April 2019
p-ISSN: 2477-5746 e-ISSN: 2502-0544

Indrayani, A. (2018, 05 08). Media Indonesia. Retrieved 2019, from


https://mediaindonesia.com: https://mediaindonesia.com/read/detail/159716-
kekerasan-berbasis-gender-bayangi-lansia-perempuan
Jaf. (2018, 04 02). Aceh Tribun News. Retrieved 2019, from
http://aceh.tribunnews.com: http://aceh.tribunnews.com/2018/04/02/anak-
pukul-ibu-kandung,
Julianti, S. (2013). Kekerasan Struktural terhadap Orang Lanjut Usia sebagai Hasil
dari Konstruksi Sosial yang Merendahkan. Jurnal Kriminologi Indonesia, 67-
69.
Krekula, C., Pirjo, N., & Monika, W. (2018). Multiple marginalizations based on
age: gendered ageism and beyond." Contemporary perspectives on ageism.
Springer Cham.
Kuswandi. (2018, 12 10). Jawa Pos. Retrieved 2019, from https://www.jawapos.com:
https://www.jawapos.com/nasional/10/12/2018/216-juta-lansia-indonesia-
alami-kekerasan-ekonomi-hingga-seksual/
Mardiah, L. (2018). Kekerasan pada Lansia dalam Keluarga di Wilayah Binaan
Puskesmas Padang Bulan Kecamatan Medan Baru. Medan: Universitas
Sumatera Utara.
Maryam, R, S., & dkk. (2012). Beban Keluarga Merawat Lansia Dapat Memicu
Tindakan Kekerasan dan Penelataran Terhadap Lansia. Jurnal Keperawatan
Indonesia, 143-150.
Meda, S. (2014). No Country for Old Men? Italian Families Facing the Challenges of
an Aging Society. Journal of Comparative Family Studies, 45 (2), 275-292.
Prasanda, A. (2017, 11 15). Medan Tribun News. Retrieved 2019, from
https://medan.tribunnews.com:
https://medan.tribunnews.com/2017/11/15/anak-perempuannya-tega-pukul-
ayahnya-yang-sudah-tua-sampai-lebam-warga-dasar-anak-durhaka
Project, W. (2019). old woman project. Retrieved 2019, from
http://oldwomensproject.org: http://oldwomensproject.org/ageism.htm
Suparlan, P. (1994). Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Universitas Indonesia
Press.
Who. (2017). Retrieved 2019, from
https://www.who.int/ageing/media/infographics/EA_infographic_EN_Jun_18_web.p
df?ua=1
21
Community: volume 5, nomor 1, April 2019
p-ISSN: 2477-5746 e-ISSN: 2502-0544

WHO. (2017). Retrieved 2019, from


https://www.who.int/ageing/projects/elder_abuse/en/
WHO. (2017). who.int. Retrieved 2019, from https://www.who.int:
https://www.who.int/ageing/media/infographics/EA_infographic_EN_Jun_18
_web.pdf?ua=1
Wilke, D., & Vinton, L. (2003). Domestic Violence and Aging: Teaching About
Their Intersection. . ournal of Social Work Education, 39 (2), 225-235.
Yamonte, C. (2017, 01 06). NCDA. Retrieved 2019, from https://www.ncda.org:
https://www.ncda.org/aws/NCDA/pt/sd/news_article/139052/_PARENT/CC_
layout_details/false
Yuliawati, Ayu, D., & Handadari, W. (2013). Hubungan antara Tingkat Stres dengan
Tindak Kekerasan pada Caregiver Lansia dengan Demensia. Jurnal Psikologi
Klinis dan Kesehatan Mental, Volume 02, Nomor 1.

You might also like