BEBERAPA POKOK PIKIRAN TENTANG
PEMBELAJARAN KIMIA DI SLTA
Makalah
untuk didiskusikan dengan guru-guru mata pelajaran kimia
Madrasah Alyah se Jawa Barat, di BPG Bandung,
4 Nopember 2000
Harry Firman
FPMIPA, Universitas Pendidikan Indonesia
harry_firman@upi.edu
Abstrak
Makalah ini meneroka persoalan yang tengaah dihadapi pembelajaran kimia di SLT dan
mengetengahkan rekomendasi untuk memecahkan persoalan tersebut, khususnya membuat mata
pelajaran kimia di SLTA (SMA, MA, SMK), atraktif bagi siswa, konten pelajaran mudah dicerna,
serta memfasilitasi siswa untuk mengembangkan kapasitas nalarnya dan keterampilan yang
diperlukan siswa di masa depannya. Paparan mengklarifikasi isu-isu besar yang dihadapi
pembelajaran kimia saat ini, dan apa yang seharusnya terjadi dalam pembelajaran kimia, sebagai
landasan untuk mencari jalan bagi menutuk kesenjangan antara kondisi ideal dan realita. Paparan
diakhiri dengan rekomendasi pergeseran-pergeseran yang diperlukan dalam praksis pembelajaran
kimia di SLTA untuk menutuk kesenjangan yang ada.
1. Isu-Isu Besar dalam Pengajaran Kimia Di SLTA
Dewasa ini terdapat banyak kritik terhadap proses dan hasil pembelajaran kimia di SLTA
(termasuk di dalamnya SMA dan MA). Sejumlah kritik terarah pada kegiatan belajar
mengajar yang sangat berpusat pada guru (teacher centered) sehingga pembelajaran nampak
sebagai ceramah, yang di dalamnya pengetahuan (fakta, konsep, prinsip, hukum dan teori)
kimia ditransmisikan dari guru tanpa menstimulasi siswa untuk “berpikir/bernalar”.
Sementara itu karakter kimia sebagai “experimental science” tidak tampak dalam kegiatan
belajar-mengajar kimia, sebab pada umumnya sangat jarang siswa distimulasi untuk
melakukan observasi terhadap fenomena kimia, serta menginterpretasikan fenomena tersebut
dengan menggunakan pengetahuan teoritisnya, apalagi merancang kegiatan eksperimen untuk
memecahkan suatu permasalahan.
Kritik lain terarah pada materi pelajaran yang di samping “sarat”, juga sangat bersifat
teoritik-akademik, tanpa menyinggung aplikasinya untuk memahami peristiwa alam di
sekitarnya atau produk-produk teknologi yang hadir dalam kehidupan sehari-harinya. Kesan
yang diperoleh sebagian besar siswa adalah mata pelajaran kimia steril dari kehidupannya.
Terdapat berbagai justifikasi klasik bagi fenomena pembelajaran kimia seperti yang
dipaparkan di muka, antara lain “kurikulum yang sarat materi”, miskinnya fasilitas
laboratorium, dan kalaupun ada fasilitas laboratorium, namun tidak ada tenaga laboran,
Ebtanas dan UMPTN yang lebih banyak menuntut kompetensi menyelesaian soal-soal yang
bersifat numerik serta menekankan elemen-elemen teoritik.
Akankah kita tetap berada di dalam “lingkaran setan” itu, sementara angka prestasi
belajar siswa dalam kimia secara lokal dan nasional masih relatif rendah? Apakah kita akan
tetap menjadikan mata pelajaran kimia hanya untuk mentransfer pengetahuan teoritik kimia
tanpa menggunakannya untuk mengembangkan “kecerdasan siswa” sebagaimana yang
menjadi salah satu misi pendidikan?
1
Sebagai profesional dalam pengajaran kimia tentu kita tidak akan tinggal diam dalam
menghadapi persoalan tersebut. Sesungguhnya sebagai sarjana pendidikan dalam bidang
kimia kita sangat berpengetahuan dalam soal “kondisi ideal” pembelajaran kimia. Namun
yang acapkali membelenggu kita sehingga tidak cukup kuat tekad dan upaya kita untuk
melakukan “action” perwujudkannya, adalah pengetahuan tadi belum mampu menjadi bagian
dari keyakinan (belief) kita. Sehingga tidaklah terasa bersalah apabila kita menghindarinya
akibat situasi dan kondisi sekolah kurang mendukung. Dalam kaitan itu, diskusi-diskusi
tentang hakekat pembelajaran kimia, masih sangat diperlukan untuk menumbuhkan
keyakinan dalam diri kita bahwa membelajarkan siswa secara aktif dan menstimulasi
kemampuan observasi, bernalar serta kreativitas siswa melalui mata pelajaran kimia,
merupakan misi pengabdian kita selaku guru.
2. Apa yang Menjadi Alasan bagi Keberadaan Mata Pelajaran Kimia dalam Kurikulum
SLTA?
Sejak lama semua negara menjadikan mata pelajaran kimia sebagai bagian dari kurikulum
pendidikan jenjang menengahnya. Hal ini menunjukkan bahwa ilmu kimia mempunyai nilai
kependidikan (educational values). Seringkali keberadaan kimia dalam kurikulum sekolah
karena ilmu tersebut dipandang menjadi fundasi untuk mempelajari berbagai bidang ilmu dan
teknologi di perguruan tinggi. Pandangan ini yang melandasi pemikiran pengembang
kurikulum dan pengajar kimia untuk merancang materi pelajaran sangat akademik-teoritik
serta bercakupan luas karena harus meliput semua pengetahuan dasar kimia.
Sesungguhnya keberadaan kimia dalam kurikulum SLTA bukan bertumpu pada alasan
itu saja, sebab kalau dilihat persentase lulusan SLTA yang melanjutkan studi relatif sangat
kecil dibandingkan dengan populasi lulusan SLTA itu sendiri. Kalau dilihat dari sudut itu
saja, pelajaran kimia akan menjadi mubadzir bagi sebagian besar siswa. Keberadaan kimia
dalam kurikulum SLTA, kecuali dipandang sebagai ilmu dasar, juga dapat dijadikan
“kendaraan” untuk mengembangkan/menumbuhkan kecerdasan siswa, antara lain
kemampuan bernalar dan memecahkan permasalahan secara ilmiah. Alasan lain adalah realita
bahwa manusia berada di lingkungan kimia, dalam arti bahan kimia dan peristiwa kimia ada
di lingkungan kita (natural maupun “man-made”), sehingga pemahaman terhadap fenomenafenomena itu akan menghindari manusia dari keterasingannya terhadap lingkungan, serta
dapat berbuat sesuatu terhadap lingkungan untuk menciptakan kondisi lingkungan yang lebih
bermanfaat baginya.
3. Apa yang Seharusnya Terjadi dalam Pembelajaran Kimia?
Ada lima target yang perlu dicapai melalui pembelajaran kimia, agar mata pelajaran kimia
menarik, mudah, serta bermanfaat bagi siswa. Masing-masing adalah sebagai berikut.
1) Pembelajaran kimia harus mampu mengembangkan pemahaman siswa yang mendalam
terhadap pengetahuan dasar kimia.
Pemahaman terhadap pengetahuan kimia merupakan fundasi untuk memahami gejala
alam dan mempelajari pengetahuan kimia yang lebih “advance” di perguruan tinggi,
apabila mereka melanjutkan studi dalam bidang kimia atau bidang lain berbasis kimia.
Pengetahuan yang menjadi “body of knowledge” kimia, yakni fakta, konsep, prinsip,
hukum, teori, serta prosedur. Persoalan besar yang menyebabkan kimia sulit dipelajari
adalah:
2
(1) Karakter pengetahuannya yang “abstrak” (karena membicarakan entitas yang submiroskopis, seperti atom, molekul, ikatan, struktur);
(2) Berbicara dengan simbol-simbol (persamaan reaksi, notasi-notasi, formula); serta
(3) Senantiasa meminta siswa untuk melakukan perpindahan domain berpikir, dari
pengamatan terhadap fenomena makroskopis (perubahan-perubahan yang teramati),
tetapi menafsirkan fenomena-fenomena makroskopis tersebut dengan teori-teori yang
abstrak (sub-mikroskopis), dan merepresentasikan fenomena itu secara simbolik.
Dalam kaitan ini upaya-upaya guru untuk memvisualisasikan penjelasan teoritik
terhadap perubahan kimia akan mengkongkritkan fenomena yang dipelajari, sehingga
lebih “masuk akal” siswa, akan sangat memfasilitasi siswa belajar. Pada dasarnya
seorang guru tidak dapat mentransfer pengetahuannya ke pada siswa dengan harapan
siswa dapat menyerap pengetahuan tersebut. Yang guru dapat lakukan adalah
“memfasilitasi” siswa belajar dengan memberikan kondisi-kondisi yang memudahkan
siswa mengkonstruksi pengetahuan dalam pikirannya. Untuk memfasilitasi siswa belajar
kimia, guru perlu memperlihatkan peristiwa kimia secara nyata (melalui demonstrasi,
tayangan video, atau kegiatan lab), mengajak siswa untuk menginterpretasikan peristiwa
yang teramatinya dengan konsep/teori, serta mengajak siswa menuliskannya dalam
bentuk persamaan reaksi (simbol).
2) Pembelajaran kimia harus mampu mengembangkan kemampuan siswa melakukan
penyelidikan dan memecahkan masalah.
Kalau pembelajaran kimia berhasil mengembangkan kepekaan siswa terhadap masalah
yang hadir di lingkungannya, merancang cara melakukan penyelidikan untuk mencari
jawaban atas permasalah tersebut dengan berpikir kritis tentang masalah yang terkait pada
kimia, artinya mata pelajaran kimia telah berhasil turut “mencerdaskan bangsa”. Kita
tidak dapat mengatakan bahwa seorang siswa itu pintar atau cerdas apabila ia hanya
mampu mengingat fakta, konsep, hukum, teori kimia tanpa memahami “makna fisisnya”
serta mengerti kaitan satu sama lain. Dengan bekal kemampuan menyelidik dan
memecahkan masalah yang ditumbuhkembangkan dalam pembelajaran kimia, siswa dapat
“mentransfernya” ke dalam masalah-masalah di luar kimia, termasuk masalah di
masyarakat.
Di sinilah letak kepentingan memberikan latihan memecahkan atau menjawab
soal/masalah/pertanyaan kepada siswa dalam pembelajaran kimia, namun tentunya
disertai dengan mengembangkan kemampuan siswa menyusun strategi memecahkan soal,
melakukan penyelidikan secara ilmiah (dengan menggunakan scientific method), serta
mencari hubungan serta kaitan-kaitan. Seringkali kita sebagai pengajar
mendemonstrasikan pemecahan masalah melalui pemberian contoh-contoh pemecahan
soal tanpa menjelaskan mengapa kita menata jalan pemecahan soal seperti itu. Akibatnya,
sering terjadi ketika guru memberikan contoh pemecahan soal nampak siswa mengerti,
namun ketika ke hadapan siswa diberi soal sejenis namun dibuat konteksnya sedikit
berlainan (modifikasi atau variasi), serta-merta siswa menjadi kembali tidak mampu
memecahkan soal yang diberikan. Yang perlu ditumbuhkan dalam pembelajaran adalah
kemampuan menata strategi untuk memecahkan soal/masalah.
3) Pembelajaran kimia harus mampu memperluas wawasan siswa mengenai dampak sosial
dan lingkungan yang terkait pada penerapan atau penggunaan proses dan produk kimia di
masyarakat.
3
Tidak ada artinya pengetahuan seseorang apabila tidak dapat diaplikasikan pada kehidupan
sehari-hari di masyarakat. Dalam kaitannya dengan kimia, dewasa ini kehidupan seharihari (daily life) siswa dipenuhi dengan pemanfaatan proses dan bahan-bahan kimia
(pangan, pembersih, obat-obatan, pembasmi hama, dll), yang apabila digunakan secara
berlebihan (tanpa kendali) akan merusak tubuh pengguna dan pencemaran lingkungan.
Pembelajaran kimia perlu menyentuh dampak-dampak sosial dan lingkungan dari bahan
kimia, di samping manfaat-manfaat yang diberikannya, agar siswa kelak mampu menjadi
manusia dewasa yang penuh kearifan dalam memperlakukan bahan kimia.
4) Pembelajaran kimia harus mampu memenuhi kebutuhan fisik dan psikologis siswa
Apabila kita ingin mata pelajaran kimia disukai siswa, pembelajaran kimia perlu
memenuhi kebutuhan (needs) pribadi siswa. Motivasi belajar akan tumbuh apabila proses
pembelajaran kimia mampu memenuhi dorongan fisik dan psikologis siswa. Pada
dasarnya siswa SLTA mempunyai kebutuhan akan “keaktifan” alih-alih “pasif”. Agar
disenangi siswa, pembelajaran kimia perlu “mengaktifkan” siswa, baik secara fisik
(kegiatan lab yang menggunakan keterampilan motorik), maupun secara psikologis
(berpikir, menghadapi tantangan & pertanyaan). Di samping itu siswa yang juga
merupakan mahluk sosial mempunyai dorongan untuk berinteraksi dengan “peer”-nya,
sehingga kegiatan-kegiatan pembelajaran dalam kelompok (collaborative atau cooperative
learning) akan menyebabkan siswa senang belajar kimia.
5) Pembelajaran kimia harus mampu mencerahkan siswa tentang karir masa depan yang
terkait kimia.
Siswa SLTA berada di persimpangan jalan untuk memilih karir masa depannya. Seringkali
pendidikan tidak memberikan kejelasan bagi siswa tentang hal ihwal mengenai profesiprofesi yang dapat dimasukinya ke depan. Dalam kaitan itu melalui pembelajaran kimia
perlu juga menyentuh bidang-bidang profesi yang dapat dimasuki dengan bekal
pengetahuan kimia, seperti kimia, pertanian, farmasi, teknologi makanan, teknologi
material, bioteknologi, metalurgi, teknologi kimia industri, dll. Apa yang dikerjakan
profesional dalam tiap-tiap bidang profesi itu, serta dimana peranan pengetahuan dasar
kimia dalam membentuk profesionalitas para ahli tersebut. Pembelajaran kimia yang
berhasil mencerahkan karir masa depan akan dapat mendorong motivasi belajar siswa
dalam mata pelajaran kimia.
4. Pergeseran-Pergeseran yang Diperlukan
Apa yang harus kita lakukan di dalam kelas untuk menciptakan pembelajaran kimia yang
efektif sebagaimana dipaparkan pada butir 3 di atas? Tentu perlu upaya pengubahan pola
pembelajaran kimia di kelas kita, dan paparan pada butir 3 diharapkan menimbulkan inspirasi
bagi guru untuk merancang pembelajaran yang akan dilakukan. Namun demikian tentu
perubahan yang drastis umumnya sangat sulit dilakukan. Kebiasaan-kebiasaan kita yang telah
mentradisi serta keyakinan-keyakinan yang telah matap dalam benak kita, menghambat daya
inovasi kita. Transisi dari tradisi lama ke tradisi baru memerlukan waktu, karena memang
diperlukan waktu untuk terbentuknya pemahaman baru dan keyakinan baru. Sedikit-demi
sedikit diharapkan terjadi pergeseran (shifting) dari paradigma pembelajaran lama ke
paradigma pembelajaran baru, sebagaimana dipaparkan lebih jauh di bawah ini.
1) Pergeseran dari mengingat ke arah berpikir/bernalar
4
Memori kerja (working memory) otak siswa sangat terbatas. Di samping itu potonganpotongan pengetahuan yang terlepas-lepas dan tidak dipahami makna fisiknya sulit untuk
diakses kembali. Oleh karenanya menyuruh siswa mengingat banyak hal adalah sia-sia
saja, karena mereka tidak dapat menggunakannya. Beberapa potongan pengetahuan
memang setelah dipahami maknanya ada yang perlu diingat, tetapi hal seperti itu tidak
banyak, hanya sejumlah materi sentral.
Yang lebih penting adalah melalui pembelajaran kimia kita menstimulasi
pengembangan kemampuan berpikir, mengaitkan konsep-konsep yang nampak terpecahpecah menjadi kesatuan hubungan yang bermakna, mengajukan pertanyaan kritis
terhadap fenomena kimia yang diobservasinya, memecahkan masalah-masalah kimia
yang menuntut siswa mengidentifikasi permasalahan, memilih konsep dan prinsip yang
dapat dipakai untuk memecahkan permasalahan itu, menata sistematika prosedur
pemecahan masalah, serta mencari data dan informasi pendukung yang diperlukan.
2) Pergeseran dari menyampaikan secara verbal seluruh materi pelajaran ke arah yang lebih
menekankan materi kunci (sentral)
Ada kecenderungan kita untuk “memberikan” (menceritakan) semua materi pelajaran
secara rinci kepada siswa dalam proses pembelajaran, dan kita merasa telah selesai
mengajar apabila telah menyampaikan semuanya kepada siswa. Dalam hal ini perlu
diketahui bahwa berbagai penelitian menunjukkan apa yang dikatakan guru tidak sertamerta menjadi apa yang ditangkap otak siswa, sehingga cara membelajarkan siswa
dengan “mentrasmisikan pengetahuan” tidak efektif. Dengan gaya transmisi pengetahuan,
waktu yang tersedia akan selalu kurang untuk meliput semua materi yang ada dalam
GBPP, dan kita mengatakan terget kurikulum sulit tercapai karena kurang waktu.
Dari keseluruhan materi pelajaran terdapat materi kunci yang kedudukannya sentral,
sedangkan yang lain lebih bersifat marginal. Fokus pembelajaran di kelas hendaknya
terkonsentrasi pada materi sentral ini, sehingga tersedia cukup waktu bagi siswa untuk
memahami dan menginternalisasi materi pelajaran yang diajarkan. Di samping itu
gunakan alat-alat bantu (teaching aid) untuk memfasilitasi siswa dalam memahami
materi pelajaran, alih-alih menceramahkannya, seperti gambar visualisasi (melalui poster
atau proyeksi). Visualiasi terbukti sangat memudahkan siswa memahami materi
pelajaran, sehingga dapat memotong waktu pembelajaran.
Bagaimana dengan materi pelajaran yang marjinal? Kita perlu menyadari bahwa kita
tidak sendirian dalam membelajarkan siswa. Paling sedikit ada buku pelajaran dan LKS
yang tersedia, untuk dijadikan sumber pengetahuan, dan siswa perlu mempunyai potensi
intelektual untuk memahami isi buku asalkan dilatih. Melibatkan siswa, guru, buku
sumber, dan peralatan, secara interaktif merupakan paradigma baru dalam pembelajaran
yang banyak dianut di negara maju. (Paradigma lama: Guru memberikan pengetahuan
kepada siswa secara “one way”)
3) Pergeseran dari pembelajaran berbasis content ke arah keseimbangan antara content dan
proses.
Kita sering kali lupa, hanya memandang pembelajaran sebagai “transfer of knowledge”,
seraya melupakan fungsi utama lainnya dari mata pelajaran, yakni mengembangkan
intelektualitas siswa. Kemampuan observasi, interpretasi dan analisis data, aplikasi
pengetahuan, merancang eksperimen, berkomunikasi, dll. (scientific processes) juga perlu
dikembangkan. Tanyai lulusan SLTA Anda yang lulus 3-4 tahun yang lalu, seberapa
5
banyak materi pelajaran kimia yang masih diingatnya. Namun, bagaimana halnya dengan
keterampilan proses. Mereka aplikasikan dalam bidang yang didalaminya di perguruan
tinggi atau bidang pekerjaan. Itulah yang akan menyebabkan siswa lulusan IPA nampak
lebih “smart” ketimbang yang lain.
Pengetahuan dan keterampilan proses harus dipandang seimbang sebagai tujuan
pembelajaran. Penekanan pada keterampilan proses tidak mesti memerlukan tambahan
peralatan dan adanya laboratorium lengkap dengan laborannya. Pertanyaan guru untuk
meminta siswa mempelajari suatu grafik dan mencerikatakan tafsirannya sudah
merupakan upaya guru mengembangkan keterampilan proses. Demikian pula bila guru
meminta siswa untuk menelaah tabel data hasil percobaan (diberikan guru) dan
selanjutnya siswa diminta menyimpulkan, sebab hasil simpulannya itu merupakan konsep
atau prinsip yang diajarkan (katakanlah rumus tetapan kesetimbangan, Kc), merupakan
juga contoh pembelajaran yang menekankan keseimbangan content-proses.
4) Pergeseran dari teoritik ke arah aplikasi
Penelitian menunjukan bahwa pelajaran menjadi kurang menarik bagi siswa apabila
materi pelajaran steril dari aplikasinya dalam kehidupan nyata. Oleh karenannya ketika
kita memulai mengajarkan suatu pokok bahasan, kita perlu menggambarkan secara
permukaan aplikasi dari apa yang akan dipelajari mereka. Di samping itu pada fase akhir
pembelajaran sangat penting untuk membuka wawasan siswa tentang aplikasi atau
keterkaitan pengetahuan yang baru saja dipelajarinya dengan fenomena nyata dalam
kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, setelah mempelajari reaksi redoks ada baiknya
kelas mendiskusikan bagaimana bahan pemutih bekerja pada pakaian kita. Setelah siswa
mempelajari ikatan hidrogen, selayaknya mereka diajak untuk memberikan menjelaskan
ilmiah terhadap fenomena “es terapung dalam air”.
5) Pergeseran dari “teacher centered” ke arah “learner centered”
Sudah lama kita terbelenggu oleh pandangan bahwa dalam proses pendidikan guru
sebagai satu-satunya sumber ilmu pengetahuan, dan dalam proses pembelajaran
pengetahuan tersebut ditransfer ke murid melalui “penjelasan guru”, bagaikan
mengalirkan air dari poci ke gelas kosong, dan siswa diharapkan dapat menyerap segala
apa yang disampaikan guru. Tetapi kondisi telah berubah. Pada era informasi ini begitu
banyak sumber informasi yang dapat diakses siswa, misalnya buku-buku, surat kabar dan
majalah, tayangan TV, CD/DVD, serta informasi dalam berbagai situs internet sekalipun.
Dalam perkembangan dunia saat ini guru di negara maju telah menggeser posisi dan
perannya, dari sumber pengetahuan menjadi fasilitator belajar. Hal ini bukan berarti guru
menjadi kehilangan posisi, tetapi mengokohkan diri sebagai individu yang diperlukan
untuk membelajarkan siswa bagaimana cara belajar (learning how to learn). Tugas
penting guru yang tidak dapat disubstitusikan adalah mengembangkan kemampuan siswa
menggunakan sumber-sumber belajar tadi dalam memahami sesuatu fenomena alam,
serta memecahkan masalah yang dihadapi dengan menafaatkan aneka sumber informasi
yang tersedia.
Perkembangan jaman menuntut pergeseran paradigma pembelajaran dari asalnya
yang didominasi guru (teacher centered) ke arah yang lebih dipenuhi dengan aktivitas
fisik dan berpikir siswa (learner centered), dan guru yang berfungsi membantu siswa
belajar perlu menjadi perancang dan pengelola kegiatan pembelajaran yang
6
mengaktifkan siswa, serta menjadi konsultan bagi murid-muridnya manakala mereka
menghadapi kendala dalam belajarnya.
6) Pergeseran dari penyajian secara steril ke arah keterkaitan pada isu sosial dan lingkungan
Salah guna (misuse) proses dan produk kimia karena ketidaktahuan (ignorance) atau
karena lemahnya moral telah menimbulkan permasalahan sosial dan lingkungan di
masyarakat. Tinjaulah kasus “import sampah bahan-bahan berbahaya”, “penggunaan
bahan-bahan kimia terlarang untuk pewarna makanan, obat-obatan, pendingin ruangan,
dll., penggunaan produk industri kimia berlebihan (BBM, pembersih, pemutih,
insektisida), jelas-jelas menimbulkan persoalan sosial dan lingkungan, baik secara lokal
maupun global.
Seiring dengan kemunculan isu sosial dan lingkungan sebagai dampak
perkembangan aplikasi kimia, maka menjadi tanggungjawab moral guru mata pelajaran
kimia untuk lebih menggukan “kendaraan” materi pelajaran kimia untuk memelekan
siswa tentang dampak-dampak tersebut. Misalnya, setelah siswa belajar tentang struktur
molekul metana serta senyawa turunanannya, momentum ini sangat tepat untuk dijadikan
bahan diskusi tentang keberadaan freon, mengapa dulu dipakai, apa dampaknya terhadap
lingkungan sehingga kini dilarang, serta akibat-akibat lebih jauh apabila manusia
melanggar larangan itu.
Sumber
Bucat, B. & Fensham, P. (Eds.) (1995). Selected papers on chemical education research:
Implications for the teaching of chemistry. Delhi: The IUPAC committee on
teaching of chemistry.
Coldbeck, M. (1991). Some thoughts on the teaching of high school level chemistry in
Japan and England. Journal of Science Education in Japan, 15,3, 110-144.
Firman, H. (1999). Visualisasi sebagai alternatif untuk memfasilitasi siswa belajar konsep
abstrak dalam bahan kajian stoikiometri. Makalah dibahas pada pertemuan MGMP
Kimia Kotamadya Bandung, 27 Maret 1999.
Takeuchi, Y. & Ito, M. M. (Eds.) (1997). Chemical education in Asia-Pacific. Tokyo: The
Chemical Society of Japan.
7