[go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu

Addororu Yuzaal (Kemudharatan Harus di Hilangkan)

Salah Satu Kaidah Fiqh yang membahas tentang transaksi bisni dan keuangan dalam koridor Hukum Islam. Dipaparkan secara gamblang, baik teori mauppun praktek

Tugas Kaidah Fiqh untuk Manajemen dan Bisnis Tanggal 30 Oktober 2014 Kelompok 1 Tema : Kaidah Fiqh “Menghilangkan Mudharat” Nama : 1. Didi Ardiansyah (P056132 .18EK) 2. Sofyan Baehaqie (P056132873.18EK) KAIDAH FIQH “MENGHILANGKAN MUDHARAT” DALAM TRANSAKSI BISNIS DAN KEUANGAN Apa itu Mudharat ? Dalam al-Qur’an kata-kata mudharat banyak disebutkan, kurang lebih ada sekitar 50 kata yang diulang-ulang seperti ضارٌّ – يضارّ ء – ضررٌ- ضُرٌّ- ضرّا ضَرَّ- يضرُّ- , yang memilki arti mebahayakan dan merugikan. Adapun contoh kata mudharat dalam Alquran adalah pada Surat Yunus ayat 106: Artinya: “Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfa'at dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian), itu, maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zalim” Kata ّ ضرّ bisa memunculkan مضار ضرورة yang keduanya memilki arti terpaksa atau dalam bahasa Indonesianya sering disebut darurat. Menurut sebagian kata مضار yang memilki arti dari asal kata ضر bahaya, atau dengan kata lain modern berarti mudharat. Kaidah Fiqh “Adh-Dhararu Yuzalu” Kaidah “Ad-Dhararu Yuzalu” memiliki arti bahwa kemudharatan/kesulitan harus dihilangkan. Jadi konsepsi kaidah ini memberikan pengertian bahwa manusia harus dijauhkan dari idhrar (tindak menyakiti), baik oleh dirinya maupun orang lain, dan tidak semestinya ia menimbulkan bahaya (menyakiti) pada orang lain. Namun Dharar (Dharar) secara etimologi adalah berasal dari kalimat "adh Dharar" yang berarti sesuatu yang turun tanpa ada yang dapat menahannya. Sedangkan Dharar secara terminologi menurut para ulama ada beberapa pengertian diantaranya adalah: Dharar ialah posisi seseorang pada suatu batas dimana kalau tidak mau melanggar sesuatu yang dilarang maka bisa mati atau nyaris mati. Abu Bakar Al Jashas, mengatakan  “Makna Dharar disini adalah ketakutan seseorang pada bahaya yang mengancam nyawanya atau sebagian anggota badannya karena ia tidak  makan”. Menurut Ad Dardiri, “Dharar ialah menjaga diri dari kematian atau dari kesusahan yang teramat sangat”. Menurut sebagian ulama dari Madzhab Maliki, “Dharar ialah mengkhawatirkan diri dari kematian berdasarkan keyakinan atau hanya sekedar dugaan”. Menurut Asy Suyuti, “Dharar adalah posisi seseorang pada sebuah batas dimana kalau ia tidak mengkonsumsi sesuatu yang dilarang maka ia akan binasa atau nyaris binasa. Berdasarkan pendapat para ulama di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Dharar adalah kesulitan yang sangat menentukan eksistensi manusia, karena jika ia tidak diselesaikan maka akan mengancam agama, jiwa, nasab, harta serta kehormatan manusia. Dalil Kaidah “Adh-Dhararu Yuzalu” Kaidah Fiqh “Adh-Dhararu Yuzalu” menunjukkan bahwa kemadharatan itu telah terjadi atau akan terjadi, dengan demikian setiap kemadharatan memang harus dihilangkan. Dasar dari kaidah ini adalah firman Allah dalam surat al-A’raf ayat 56: Artinya: dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. (Q.S al-a’raf : 56) dan Surat al-Qashash ayat 77: Artinya: dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (Q.S al-Qashash : 77) Islam tidak menghendaki adanya kemudaratan bagi pemeluknya, maka harus dihilangkan jika ada. Kaedah ini sering diungkapakan melalui adits nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas:: عَنْ‎‮ ‬أَبِي‮ ‬سَعِيْدٍ‮ ‬سَعَدْ‮ ‬بْنِ‮ ‬سِنَانِ‮ ‬الْخُدْرِي‮ ‬رَضِيَ‮ ‬اللهُ‮ ‬عَنْهُ‮ ‬أَنَّ‮ ‬رَسُوْلَ‮ ‬اللهِ‮ ‬صَلَّى‮ ‬الله‮ ‬عليه‮ ‬وسلَّمَ‮ ‬قَالَ‮ ‬:‮ ‬لاَ‮ ‬ضَرَرَ‮ ‬وَلاَ‮ ‬ضِرَارَ‮ Dari Abu Sa’id, Sa’ad bin Sinan Al Khudri radhiallahuanhu, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak boleh melakukan perbuatan yang memudharatkan, dan tidak boleh membalas kemudharatan dengan cara yang salah” ( H.R. Imam Ahmad dan Ibnu Majah) Para ulama berbeda pendapat tentang perkataan dharar dan dhirar yaitu: Al-Husaini mengartikan al-dharar dengan “bagimu ada manfaat tapi bagi tetanggamu ada mudarat”. Sedangkan al-dhirar diartikan dengan  “bagimu tidak ada manfaatnya dan bagi orang lain memudaratkan”. Ulama lain mengartikan al-dharar dengan “ membuat kemudaratan” dan al-dhirar diartikan membawa kemudaratan diluar ketentuan syari’ah.  Beberapa contoh mengenai kaidah ad-dhararu yuzalu  antara lain: Larangan menimbun barang-barang kebutuhan pokok masyarakat karena perbuatan tersebut mengakibatkan kemudaratan bagi rakyat. Larangan menghancurkan pohon-pohon, membunuh anak kecil, orang tua, wanita, dan orang-orang yang tidak terlibat peperangan dan pendeta agama lain adalah untuk menghilangkan kemudaratan. Jika seseorang membuat pekerjaan yang menyebabkan kerusakan dinding rumah tetangganya, maka pekerjaan ini tidak diperbolehkan mengingat bahaya yang begitu jelas di dalamnya. Jika seseorang membangun rumah disamping pabrik telah berdiri sebelumnya, maka ia tidak berhak menuntut penutupan pabrik karena ada efek negatif yang diterima dirinya. Hal itu dikarenakan ia sendiri yang memasuki wilayah bahaya dengan keinginan dan pilihannya sendiri. Kaidah Hukum Hajr, Khiyar Aib, Khiyar Ghabn, Tas’ir, Dharibah, dan Syuf’ah Penerapan Kaidah “Adh-Dhararu Yuzalu” dalam beberapa hukum antara lain: Hukum pencegahan (Hajr) Hukum Islam telah membuat batasan-batasan terhadap akad dari suatu pihak yang memiliki karakter membahayakan orang lain dan transaksi yang kemungkinkan besar membahayakan orang lain. Tindakan mencegah seseorang dari transaksi tersebut termasuk mencegah dari menyia-nyiakan hartanya disebut hajr. Alasan-alasan penting dari pencegahan tersebut adalah :  a.    Safah atau pemborosan. Hal ini merujuk pada penyalahgunaan harta yang berlawanan dengan akal dan syariah dengan cara menghabiskannya tanpa tujuan yang benar atau menggunakan harta secara berlebihan di luar kebutuhan. b.    Orang yang memiliki penyakit yang mematikan dilarang melakukan transaksi atas seluruh harta yang dimilikinya karena dia harus memikirkan kepentingan ahli warisnya. Sebagai contoh transaksi searah yang dilakukannya adalah memberikan donasi, waqaf, infaq dan sedekah yang hanya dibatasi pada sepertiga dari hartanya. c.    Orang yang telah dinyatakan bangkrut oleh pengadilan maka terlarang baginya untuk mempergunakan hartanya karena hartanya itu adalah untuk melindungi hak kreditor (pemberi piutang) dan mencegah membuat transaksi yang membahayakan kreditor. Melanjutkan kontrak bagi hasil sampai masa panen tiba Kontrak tersebut tetap berlanjut walau salah satu atau kedua belah pihak meninggal dunia. Hal ini untuk mencegah terjadi kemudaratan. Untuk mencegah atau menghilangkan kemudharatan ada beberapa ketentuan yaitu : Khiyar al-‘ayb (hak untuk membatalkan kontrak karena barangnya cacat), Khiyar al-gabn (hak untuk membatalkan kontrak karena penipuan), Penghentian kontrak karena beberapa keadaan. Kebijakan penetapan harga (Tas’ir) Tas’ir menurut bahasa adalah kesepakatan atas suatu harga. Adapun menurut pengertian syariah adalah perintah penguasa atau para wakilnya atau siapa saja yang mengatur urusan kaum muslimin kepada pelaku pasar agar mereka tidak menjual barang dagangan mereka kecuali dengan harga tertentu, dan mereka dilarang menambah atas harga itu agar mereka tidak melonjakkan harga, atau mengurangi dari harga itu agar mereka tidak merugikan lainnya. Artinya, mereka dilarang menambah atau mengurangi dari harga itu demi kemaslahatan masyakarat (Imam Taqiyuddin An-Nabhani). Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum tas’ir menjadi 2 (dua) madzhab sebagai berikut: Pendapat jumhur ulama dari ulama Hanafiyah, Syafiiyah, dan Hanabilah, yang mengharamkan secara mutlak.. Ini juga pendapat ulama muta`akkhirin seperti Imam Syaukani dan Imam An-Nabhani. Menurut Ibnu Taimiyah dan Imam Ibnul Qayyim jika tas’ir mengandung kezhaliman, hukumnya haram. Jika untuk menegakkan keadilan, hukumnya boleh bahkan wajib. Dasar Hadist “Dari Anas RA, dia berkata,”Harga melonjak pada masa Rasulullah SAW. Maka berkatalah orang-orang,’Wahai Rasulullah, tetapkanlah harga untuk kami.’ Maka bersabda Nabi SAW,”Sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Menetapkan Harga, Yang Memegang Rizki, Yang Melapangkan Rizki, Yang Maha Pemberi Rizki. Dan sungguh akan betul-betul berharap berjumpa dengan Tuhanku sementara tak ada seorang pun dari kalian yang akan menuntutku karena suatu kezhaliman dalam urusan harta atau nyawa.” (HR Abu Dawud, hadits no 3450). Pendapat sebagian ulama Hanafiyah dan Malikiyah, yang membolehkan, meski tidak membolehkan secara mutlak. Sebagian ulama Hanafiyah membolehkan tas’ir jika para pedagang melambungkan harga secara tidak wajar. Sebagian ulama Malikiyah membolehkan tas’ir jika sebagian kecil pedagang di pasar sengaja menjual dengan harga sangat murah, sedang umumnya pedagang memasang harga lebih mahal. Maka tas’ir dibolehkan untuk menaikkan harga agar sesuai dengan harga umumnya pedagang. Menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani, dengan diharamkannya Tas’ir maka perlu dilihat penyebab melonjaknya harga dan dicari penyelesainnya yaitu: karena terjadi ihtikar (penimbunan). Jika sebabnya adalah ihtikar, maka tindakan yang dilakukan negara adalah menindak tegas orang yang melakukan ihtikar, sebab ihtikar adalah haram menurut syara’. karena kelangkaan barang. Jika sebabnya adalah faktor kelangkaan barang, maka tindakan negara adalah menambah persediaan (supply) agar ketersediaan barang di pasar mencukupi dan harga barang tidak melonjak. Dharibah (Pajak) Dharibah atau pajak adalah harta yang diwajibkan Allah atas kaum muslimin dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka serta pihak-pihak yang diwajibkan atas mereka, namun Baitul mal tidak dapat memenuhi hal tersebut. Kebutuhan-kebutuhan tersebut antara lain untuk: Pembiayaan untuk jihad Pembiayaan orang-orang fakir, miskin, dan ibnu sabil. Pembiayaan untuk kemaslahatan kaum muslimin, memberikan layanan umum, serta hal-hal yang sangat vital bagi kaum muslimin. Diwajibkan dharibah atas seorang muslimin yang telah mampu memenuhi kebutuhan pokok dan sekundernya, sesuai standar kebutuhan pada saat itu. Dharibah diwajibkan atas kelebihan harta tersebut, namun sebatas terpenuhinya kebutuhan Baitul mal untuk mampu memenuhi kebutuhan seperti yang dijelaskan di atas. Negara tidak boleh mewajibkan pajak tidak langsung, pajak bumi dan bangunan, pajak jual beli (muamalat) dan sebagainya sebagaimana diterapkan dalam sistem kapitalis. Syuf’ah (Penggabungan) Menurut bahasa, Syuf’ah berarti “penggabungan”, yakni penggabungan secara paksa atas suatu hak yang sudah dijual ke pihak lain supaya dijual kembali kepada pihak yang lebih berhak, yakni anggota perserikatan (syarikah). Dalam kerangka inilah, syuf’ah berarti pemilikan barang yang diperkongsikan (al masyfu’) oleh pihak yang bergabung pada suatu persekutuan milik secara paksa dari pihak yang membeli dengan cara mengganti nilai harga jual yang sudah dilakukan . Dengan istilah lain dapat pula dikatakan bahwa syuf’ah adalah pemilikan harta perserikatan yang telah dijual oleh salah satu pihak ke pihak lain yang tidak termasuk dalam persekutuan itu serta tidak pula seizin anggota persekutuan dengan cara mengganti uang penjual ke pihak pembeli. Ilustrasi: A dan B meiliki sebuah rumah secara bersama. Tanpa sepengetahuan dan seizin A, B menjual haknya kepada C. Dalam keadaan demikian, A mempunyai hak syuf’ah dengan secara paksa mengambil rumah itu dari C melalui cara ganti rugi sebesar penjualan yang dilakukan B kepada C. Jadi pengambilan harta secara paksa atas harta perkongsian yang telah dijual kepada pihak luar tanpa kerelaan atau persetujuan pihak pihak yang berserikat dengan cara menebus harga jual, itulah yang dimaksud syuf’ah. Kaidah Penting Untuk Menghilangkah Mudharat Terdapat beberapa kaidah penting, 2 diantaranya adalah: Menghilangkan mudharat yang berat dengan mudharat yang ringan   اذا تعارض مفسدتان روعى اعظمهما ضررا بارتكاب اخفِّهما “Apabila dua mafsadah bertentangan, maka perhatikan mana yang lebih besar madharatnya dengan memilih yang lebih ringan madharatnya” (Abdul Hamid Hakim, 1956:82) Diambil mudarat yang lebih ringan diantara dua mudarat artinya, apabila suatu perkara atau tindakan menyebabkan suatu bahaya yang tidak dapat dihilangkan kecuali dengan satu tindakan bahaya lainnya yang salah satu dari kedua bahaya tersebut lebih besar dari pada yang lainnya, maka bahaya yang lebih besar dihilangkan dengan yang lebih kecil. Namun, apabila tindakan tersebut mendatangkan akibat yang lebih besar, maka tidak boleh dilakukan. Misalnya penggusuran tenda pemprotes/pengungsi di jalan umum/jalan tol. Menahan mudahrat yang khusus dari mudharat yang umum الحاجة العا مة اوالخاصة تنزل منزلة الضرورة “Kebutuhan umum atau khusus dapat menduduki tempat Dharar” (Wahbah az-Zuhaili, 1982:261) Kaidah diatas menunjukkkan bahwa keringanan itu tidak hanya berlaku bagi kemadharatan, baik kebutuhan umum maupun khusus, sehingga dapat dikatakan bahwa keringanan itu diperbolehkan karena kebutuhan sebagaimana kebolehan keringanan atas kemadharatan, karena itu hajat itu hampir sama kedudukannya dengan mudharat. Misalnya, pada dasarnya transaksi jual beli diharuskan terpenuhi semua rukun dan syaratnya, namun untuk mempermudah transaksi tersebut maka diperbolehkan akad salam (pesanan) walaupun pada dasarnya hal itu tidak mengikuti hukum asal. Prinsip-Prinsip Perdagangan atau Bisnis Dalam Islam Ada beberapa prinsip-prinsip dasar yang diajarkan Islam dalam aktifitas perdagangan antara lain adalah: Prinsip saling ridha antara pihak terkait (penjual dan pembeli). Perdagangan yang berkah adalah perdagangan yang menguntungkan kedua belah pihak. tidak ada salah satu pihak yang merasa trzhalimi. Keduanya harus saling rela tanpa adanya paksaan. Sebagaimana firman Allah yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa : 29) Tidak mendurhakai Allah Manusia diwajibkan bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, namun dalam bekerja manusia tidak boleh melalaikan kewajiban-kewajibannya beribadah kepada Allah. Sebagaimana yang terdapat dalam beberapa surat yang artinya. “dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah: "Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan", dan Allah Sebaik-baik pemberi rezeki.” (QS. Al-Jumu’ah : 11) “laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.” (QS. An-Nur [24] : 37) “Katakanlah: "Jika bapa-bapa , anak-anak , saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-NYA". dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (At-Taubah : 24) Ketiga ayat diatas diatas melarang kita supaya tidak melupakan Allah dikarenakan urusan perdagangan. Sudah merupakan keniscayaan bahwa kita dilarang melalaikan ibadah kepada Allah karena urusan perdagangan, contohnya seperti mengulur-ulur waktu shalat. Dalam konteks perdagangan, lalai mengingat Allah dapat diartikan sebagai berbuat kecurangan-kecurangan yang dapat merugikan orang lain seperti mengurangi timbangan, menyembunyikan cacat suatu barang, dan kecurangan lainnya. Prinsip Keadilan Dalam Menakar “dan Tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.” (QS. Ar-Rahman : 9) “dan kepada (penduduk) Mad-yan (kami utus) saudara mereka, Syu'aib. ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain Dia. dan janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan, Sesungguhnya aku melihat kamu dalam Keadaan yang baik (mampu) dan Sesungguhnya aku khawatir terhadapmu akan azab hari yang membinasakan (kiamat)." (84) “dan Syu'aib berkata: "Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan.” (85). (QS. Hud : 84-85) Takaran merupakan sesuatu yang penting dan krusial dalam perdagangan. Kedua ayat diatas sangat jelas melarang kita untuk memenuhi takaran dengan benar dan adil. Berbuat adil merupakan salah satu upaya pendekatan diri kepada taqwa. Larangan Dalam Perdagangan Bai’ Najasy Transaksi najasy diharamkan karena si penjual menyuruh orang lain untuk memuji barangnya atau menawar dengan harga tinggi agar orang lain tertarik pula untuk membeli. Si penawar sendiri tidak bermaksud untuk benar-benar membeli barang tersebut, ia hanya ingin menipu orang lain yang benar-benar ingin membeli. Sebelumnya orang ini telah mengadakan kesepakatan dengan penjual untuk membeli dengan harga tinggi agar pembeli yang sesungguhnya membeli dengan harga yang tinggi dengan maksud untuk ditipu. Akibatnya terjadi permintaan palsu (false demand). Monopoli dan Ihtikar (penimbunan barang) Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa monopoli adalah situasi yang pengadaan barang dagangannya tertentu (di pasar lokal atau nasional) sekurang-kurangnya sepertiganya dikuasai oleh satu orang atau satu kelompok sehingga harganya dapat dikendalikan. Monopoli dalam bahasa arabnya dikenal dengan istilah ihtikar yaitu secara bahasa adalah menyimpan makanan. Pada 5 Maret 1999 Pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang larangan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Pada pasal 1 disebutkan bahwa monopoli adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang atau atas penggunaan jasa tertentu oleh suatu pelaku atau suatu kelompok pelaku usaha. Monopoli atau ihtikar diharamkan dalam islam sebagaimana hadist riwayat muslim: “Tidaklah orang yang melakukan ihtikar itu kecuali ia berdosa. Monopoli yang dilarang adalah menimbun barang-barang yang merupakan kebutuhan masyarakat seperti pangan, sandang, minyak, dan lain-lain. Adapun menimbun barang-barang yang bukan kebutuhan pokok masyarakat dan barang tersebut banyak di tangan pedagang, serta tidak merugikan masyarakat, maka hal ini diperbolehkan. Untuk itulah sektor-sektor ekonomi yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak harus di kuasai Negara untuk kesejahteraan bersama. Talaqi Rukban Tindakan yang dilakukan oleh pedagang kota (atau pihak yang lebih memiliki informasi yang lebih lengkap) membeli barang petani (atau produsen yang tidak memiliki informasi yang benar tentang harga pasar) yang masih di luar kota, untuk mendapatkan harga yang lebih murah dari harga pasr yang sesungguhnya. Rasulullah melarang hal ini sebagaimana dalam hadist “Dari Anas r.a ia berkata: “Rasulullah SAW melarang orang-orang kota menjualkan barang orang desa yang baru dating sebelum sampai di pasar, walaupun orang itu saudara kandungnya sendiri.” Transaksi ini dilarang karena mengandung dua hal: pertama, rekayasa penawaran yaitu mencegah masuknya barang ke pasar (entry barrier), dan kedua, mencegah penjual dari luar kota untuk mengetahui harga pasar yang berlaku. “Dari Abu Hurairah r.a berkata: “Rasulullah SAW melarang menyongsong (mencegat kafilah dagang sebelum sampai di pasar) dan juga melarang orang-orang kota menjual kepada orang desa.” Inti dari pelarangan ini adalah tidak adilnya tindakan yang dilakukan oleh pedagang kota yang tidak menginformasikan harga pasar sesungguhnya. Mencari barang dengan harga lebih murah tidaklah dilarang, namun apabila transaksi jual beli antara dua pihak di mana yang satu memiliki informasi yang lengkap dan yang satu lainnya tidak tahu harga pasar, dan kondisi tersebut dimanfaatkan untuk mencari keuntungan yang lebih, maka terjadilah penzaliman antara pedagang kota dengan petani di luar kota tersebut. Tadlis (Penipuan) Penipuan dalam kuantitas ataupun kualitas jelas dilarang dalam islam. Penipuan kuantitas biasanya terjadi saat menimbang atau mengurangi timbangan. Sedangkan penipuan dalam kualitas biasanya dilakukan dengan penyembunyian cacat barang yang dijual, atau dengan bersumpah terhadap suatu barang sehingga tertutupi kecacatan barang tersebut. “dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Al-Isra : 35) Rasulullah bersabda: “Sumpah itu dapat melariskan barang dan menghilangkan barokah keuntungan.” Larangan Gharar (uncertain to both parties), riba dan maysir Taghrir dalam istilah fiqh muamalah berarti melakukan sesuatu secara membabi buta tanpa pengetahuan yang mencukupi; atau mengambil risiko sendiri dari suatu perbuatan yang mengandung risiko tanpa mengetahui dengan persis apa akibatnya, atau memasuki domain risiko tanpa memikirkan konsekuensinya. Menurut Ibnu Taimiyah, gharar terjadi bila seseorang tidak tahu apa yang tersimpan bagi dirinya pada akhir suatu kegiatan jual beli. Abu Hurairah r.a berkata: “bahwa Rasulullah SAW melarang jual beli dengan cara melempar batu dan jual beli gharar (yang belum jelas harga, barang, waktu, dan tempatnya).” Contoh gharar adalah transaksi ijon yang tidak jarang masih dijumpai di masyarakat terutama masyarakat pedesaan. Riba sudah sangat jelas hukumnya dalam Islam yaitu haram, sebagaimana firman Allah yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. (278) Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (279) (QS. Al-Baqoroh [2] : 278-279) Ayat tersebut adalah puncaknya pengharaman riba secara total. Kemudian Islam juga melarang jual beli yang mengandung unsur maysir (perjudian) seperti taruhan yang dapat menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain. Sebagaiamana firman Allah yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” ( Al-Maidah [5] : 90) Larangan memaksa Seorang penjual tidak boleh memaksa pembeli untuk membeli barangnya, karena pembeli pun berhak menentukan pilihannya untuk melanjutkan bertransaksi atau tidak. Hak ini disebut hak khiyar (hak memilih) Rasulullah SAW bersabda “Dua orang yang melakukan jual beli boleh melakukan khiyar (pilihan untuk melangsungkan transaksi atau membatalkannya) selama keduanya belum berpisah”, atau sabda beliau: “hingga keduanya berpisah. Jika keduanya jujur dan menampakkan dagangannya maka keduanya diberkahi dalam jual belinya dan bila menyembunyikan dan berdusta maka akan dimusnahkan keberkahan jual belinya.” “Rasulullah SAW melarang munaabadzah, yaitu seseorang melempar pakaiannya sebagai bukti pembelian harus terjadi (dengan mengatakan bila kamu sentuh berarti terjadi transaksi) sebelum orang lain itu menerimanya atau melihatnya dan beliau juga melarang jual beli mulaamasah, yaitu menjual kain dengan hanya menyentuh kain tesebut tanpa melihatnya (yaitu dengan suatu syarat misalnya kalau kamu sentuh berarti kamu harus membeli.” Larangan jual beli barang haram “Dari Jabir bin Abdullah r.a bahwasanya dia mendengar Rasulullah SAW bersabda ketika hari penaklukan kota Makkah: “Allah dan rasul-Nya telah mengharamkan khamr, bangkai, babi, dan patung-patung.” Ada yang bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana dengan lemak dari bangkai (sapi dan kambing) karena bisa dimanfaatkan untuk memoles sarung pedang, meminyaki kulit-kulit, dan sebagai bahan minyak untuk penerangan bagi manusia ?. beliau menjawab: Tidak, dia tetap haram.” Kemudian saat itu juga Rasulullah bersabda: semoga Allah melaknat yahudi, karena ketik Allah mengharamkan lemak hewan (sapi dan kambing) mereka mencairkannya dan memperjual belikannya, dan memakan uang hasil penjualannya.” Jual beli barang yang haram jelas dilarang, dan dari hadist tersebut juga dijelaskan bahwa memakan hasil dari penjualan barang yang haram pun dilarang. Bisnis dan Keuangan dalam Islam. Perkembangan ekonomi Islam identik dengan berkembangnya Lembaga Keuangan Syariah (LKS). Salah satu filosofi dasar ajaran Islam dalam kegiatan ekonomi dan bisnis, yaitu larangan untuk berbuat curang dan dzalim. Semua transaksi yang dilakukan oleh seorang muslim haruslah berdasarkan prinsip rela sama rela (‘an tarādhin minkum), dan tidak boleh ada pihak yang menzalimi atau dizalimi. Jadi persoalannya tak hanya pada sama- sama ikhlas namun lebih kepada semua prinsip perdagangan itu, dilakukan dalam koridor syariah. Prinsip dasar ini mempunyai implikasi yang sangat luas dalam bidang ekonomi dan bisnis, termasuk dalam praktek perbankan. Salah satu kritik Islam terhadap praktek perbankan konvensional adalah dilanggarnya prinsip al kharāj bi al dhamān (hasil usaha muncul bersama biaya) dan prinsip al ghurmu bi al ghunmi (profit muncul bersama resiko). Dalam pembayaran bunga kredit dan pembayaran bunga deposito, tabungan dan giro, bank konvensional memberikan pinjaman dengan mensyaratkan pembayaran bunga yang besarnya tetap dan ditentukan terlebih dahulu di awal transaksi (fixed and predetermined rate). Sedangkan nasabah yang mendapatkan pinjaman tidak mendapatkan keuntungan yang fixed and predetermined  juga, karena dalam bisnis selalu ada kemungkinan rugi, impas atau untung yang besarnya tidak dapat ditentukan dari awal. Oleh karenanya mengenakan tingkat bunga untuk suatu pinjaman merupakan tindakan yang memastikan sesuatu yang tidak pasti, karena itu diharamkan. Di sini bank konvensional menuntut mendapatkan untung yang fixed and predetermined tetapi menolak untuk menanggung risikonya (al ghunmu bi lā ghurmi / againing return without being responsible for any risk). Bank konvensional mengharapkan hasil usaha, tetapi tidak bersedia menanggung biayanya (al kharāj bi lā dhamān / gaining income without being responsible for any expenses). Padahal prinsip-prinsip tersebut merupakan prinsip dasar dalam teori keuangan, yakni prinsip bahwa return/profit selalu beriringan dengan risiko (return goes along with risk). Sebagai sebuah alternatif, Lembaga Keuangan Syariah termasuk perbankan syariah telah memformulasikan sistem interaksi kerja yang dapat menghindari aspek-aspek negatif dari sistem kerja bank konvensional, yaitu dengan menerapkan beberapa sistem, dimana harus diciptakan bank (lembaga keuangan) syariah yang tidak bekerja atas dasar bunga melainkan atas sistem bagi hasil, antara lain yang dikenal dalam fiqh mu’amalah sebagai transaksi mudhārabah atau qirādh  dan musyārakah. Pada dasarnya, implementasi konsep kaidah al kharāj bi al dhomān dan al ghurmu bi al ghunmi dalam pembiayaan mudārabah tidak jauh berbeda dengan pembiayaan musyārakah pada perbankan syariah. Namun pada prakteknya, pembiayaan mudārabah dan musyārakah pada perbankan syariah hanya terdapat dan sering diaplikasikan serta dijumpai pada produk simpanan atau tabungan (penghimpunan dana/funding), sebab lebih simpel dan sederhana jika ditinjau dari segi pengelolaan dan operasionalnya. Jika akad mudārabah diaplikasikan dalam pembiayaan, dapat dipastikan pembiayaan mudārabah sangat jarang ditemukan dikarenakan tingkat ghurmu-nya yang sangat tinggi, padahal jika usahanya meraih sukses maka secara otomatis tingkat ghurmu-nya juga tinggi. Maka, seharusnya produk ini bisa menjadi produk unggulan/andalan dan harus paling dominan pada perbankan syariah sebagai bank yang selalu menjunjung tinggi jargon “bagi-hasil” dengan branding “syariah” yang kerap diidentikkan dengan agama Islam itu sendiri, dan bank yang sering kali memprioritaskan prinsip keadilan (‘adl) dan pelarangan dharar bagi semua pihak dalam bermu’amalah. Al Ghurmu pada Pembiayaan Mudhārabah dan Musyārakah Selanjutnya, oleh karena konsep kaidah al kharaj bi al dhoman dan al ghunmu bi al ghurmi. Tentunya, pembiayaan mudhārabah dan musyārakah pada perbankan syariah rentan akan risiko-risiko, bahkan faktor inilah yang mengakibatkan tidak banyak dari perbankan syariah yang enggan (belum minat) untuk melaksanakan pembiayaan mudhārabah dan musyārakah. Pembiayaan mudhārabah dan musyārakah memiliki beberapa risiko (ghurmu) yang harus dikendalikan dengan manajemen risiko pembiayaan mudārabah dan musyārakah, risiko pembiayaan mudārabah dan musyārakah dibagi menjadi dua jenis yaitu: Risiko Bisnis (Business Risk) Yaitu risiko yang ditimbulkan dari aktifitas bisnis itu sendiri. jika untung, pembagian berdasarkan nisbah, sedangkan kalau rugi pembagian berdasarkan proporsi modal. Jika bisnis rugi, maka sesungguhnya mudārib  akan menanggung kerugian. Bila yang dikontribusikan adalah uang, maka risikonya adalah hilangnya uang tersebut, sedangkan bila yang dikontribusikan adalah kerja, maka risiko adalah hilangnya kerja, usaha dan waktunya dengan tidak mendapatkan hasil apapun atas jerih payahnya dalam bisnis. Risiko Karakter (Character Risk) Bila kerugian terjadi karena buruk mudārib, misalnya karena mudārib lalai dan/atau melanggar persyaratan-persyaratan kontrak mudārabah dan musyārakah, maka sāhib al-māl tidak perlu menanggung kerugian. Risiko yang terdapat dalam mudārabah dan musyārakah, terutama dalam penerapannya dalam pembiayaan relatif tinggi. Dia antaranya: Side streaming, nasabah menggunakan dana itu bukan seperti yang disebut dalam kontrak. Lalai dan kesalahan yang disengaja. Penyembunyian keuntungan oleh nasabah bila nasabahnya tidak jujur. Sedangkan risiko pembiayaan mudārabah antara lain: Nasabah yang tidak amanah (tidak jujur). Pelaporan keuangan tidak sesuai dengan kenyataan (manipulasi laporan). Nasabah tidak memakai dana sebagaimana kesepakatan dalam kontrak perjanjian. Kecerobohan dan kesalahan yang disengaja oleh nasabah. Nasabah tidak mampu menjaga serta mengelola kondisi keuangan sesuai dengan cara-cara usaha yang sehat dan hati-hati. Karakter nasabah tidak baik. Tidak ada pembukuan yang jelas (biasanya pada pengusaha kecil). Risiko-risiko pembiayaan mudārabah dan musyārakah di atas, bukan untuk dihindari melainkan harus dihadapi dan dikendalikan, karena memang semua pembiayaan yang ada dalam perbankan memiliki tingkat risiko yang berbeda-beda sesuai dengan jumlah nominal, waktu, tempat dan kondisi. Kalau bank tidak mampu mengantisipasi, mengatasi dan mengendalikannya, maka akan berakibat pada sektor pendapatan dan kepercayaan terhadap bank berkurang.  Untuk mengantisipasi kondisi serta penilaian masyarakat terhadap bank (lembaga keuangan) yang negatif (tidak sehat), maka sangat penting adanya pengendalian risiko sehingga kepercayaan masyarakat, nasabah serta pemerintah bertanbah baik dan akan berpengaruh terhadap sektor pendapatan bank meningkat sesuai dengan perencaan standar koefisien pendapatan yang diharapak yaitu bagi hasil. Usaha untuk meminimalisasi risiko dapat digunakan alat-alat analisa calon nasabah yang biasa digunakan dalam perbankan baik secara umum maupun khusus, yaitu menggunakan prinsip-prinsip seperti: 5C dan 3R. Contoh, seseorang penyewa kendaraan penumpang untuk membawa keluarganya, tetapi si penyewa menggunakannya untuk membawa barang-barang yang berat yang mengakibatkan kendaraan tersebut rusak berat.Maka, si penyewa harus mengganti kerusakan tersebut dan tidak perlu membayar sewaannya.   MAGISTER MANAJEMEN SYARIAH ANGKATAN EK 18 TAHUN 2014 16