i
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah, merupakan satu kata yang sangat pantas penulis ucapkan
kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang karena bimbingan-Nya maka penulis
bisa menyelesaikan sebuah makalah Al-Qur’an Hadits berjudul “Amar Ma’ruf
Nahi Munkar”.
Makalah ini dibuat dengan berbagai observasi dalam jangka waktu tertentu
sehingga menghasilkan karya yang bisa dipertanggungjawabkan hasilnya. Penulis
mengucapkan terima kasih kepada pihak terkait yang telah membantu penulis
dalam menghadapi berbagai tantangan dalam penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa masih sangat banyak kekurangan yang mendasar pada
makalah ini. Oleh karena itu penulis mengundang pembaca untuk memberikan
kritik dan saran yang bersifat membangun untuk kemajuan ilmu pengetahuan ini.
Terima kasih, dan semoga makalah ini bisa memberikan sumbangsih positif bagi
kita semua.
Semarang, 28 Mei 2014
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................ 1
DAFTAR ISI .............................................................................. 2
BAB I. PENDAHULUAN ........................................................ 3
Latar Belakang Masalah ................................................................................. 3
Rumusan Masalah .......................................................................................... 7
Batasan Masalah............................................................................................. 8
Tujuan dan Kegunaan Penulisan .................................................................... 8
Garis Besar Isi ................................................................................................ 9
BAB II. PEMBAHASAN ........................................................10
Pengertian Amar Ma’ruf Nahi Munkar ........................................................ 10
Hukum Amar Ma’ruf Nahi Munkar ............................................................. 13
Kaidah Penting dan Prinsip Dasar dalam Ber-Amar Ma’ruf
Nahi Munkar ................................................................................................ 19
BAB III. KESIMPULAN ........................................................37
BAB IV. PENUTUP ................................................................38
SUMBER .................................................................................39
1
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Amar ma'ruf nahi mungkar merupakan kekhususan dan keistimewaan umat Islam
yang akan mempengaruhi kemulian umat Islam. Sehingga Allah kedepankan
penyebutannya dari iman dalam firman-Nya,
ب
ِ وف َوتَ ْن َه ْونَ َع ِن ا ْل ُمن َك ِر َوتُؤْ ِمنُونَ بِاهللِ َولَ ْو َءا َمنَ أَ ْه ُل ا ْل ِكتَا
ِ س تَأْ ُمرُونَ بِا ْل َم ْع ُر
ِ ُكنتُ ْم َخ ْي َر أ ُ َّم ٍة أ ُ ْخ ِر َجتْ لِلنَّا
َسقُون
ِ لَ َكانَ َخ ْي ًرا لَّهُ ْم ِّم ْنهُ ُم ا ْل ُمؤْ ِمنُونَ َوأَ ْكثَ َرهُ ُم ا ْل َفا
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada
Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di
antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang
yang fasik.”
(QS. Ali Imron : 110)
Demikian pula, Allah membedakan kaum mukminin dari kaum munafikin dengan
hal ini. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
َصالَة
َّ وف َويَ ْن َه ْونَ َع ِن ا ْل ُمن َك ِر َويُقِي ُمونَ ال
ُ َوا ْل ُمؤْ ِمنُونَ َوا ْل ُمؤْ ِمنَاتُ بَ ْع
ِ ض يَأْ ُمرُونَ بِا ْل َم ْع ُر
ٍ ضهُ ْم أَ ْولِ َيآ ُء بَ ْع
سيَ ْر َح ُم ُه ُم للاُ إِنَّ للاَ َع ِزيز َح ِكي ُم
َ سولَهُ أ ُ ْوالَئِ َك
ُ َويُؤْ تُونَ ال َّز َكاةَ َويُ ِطيعُونَ للاَ َو َر
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah)
menjadi penolong sebagian yang lain.
2
Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang mungkar,
mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka ta'at kepada Allah dan RasulNya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
(QS. At-Taubah : 71)
Ketika membawakan kedua ayat diatas, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,
“Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta'ala menjelaskan, umat Islam adalah
umat terbaik bagi segenap umat manusia. Umat yang paling memberi manfaat dan
baik kepada manusia. Karena mereka telah menyempurnakan seluruh urusan
kebaikan dan kemanfaatan dengan amar ma'ruf nahi mungkar. Mereka tegakkan
hal itu dengan jihad di jalan Allah dengan jiwa dan harta mereka. Inilah anugerah
yang sempurna bagi manusia. Umat lain tidak memerintahkan setiap orang kepada
semua perkara yang ma'ruf (kebaikan) dan melarang semua kemungkaran.
Merekapun tidak berjihad untuk itu. Bahkan sebagian mereka sama sekali tidak
berjihad. Adapun yang berjihad -seperti Bani Israil- kebanyakan jihad mereka
untuk mengusir musuh dari negerinya. Sebagaimana orang yang jahat dan dzalim
berperang bukan karena menyeru kepada petunjuk dan kebaikan, tidak pula untuk
amar ma'ruf nahi mungkar. Hal ini digambarkan dalam ucapan Nabi Musa.
َّسى إِن
َ س ِرينَ قَالُوا يَا ُمو
َ ض ا ْل ُمقَ َّد
َ يَاقَ ْو ِم اد ُْخلُوا اْألَ ْر
ِ سةَ الَّتِي َكت ََب للاُ لَ ُك ْم َوالَ ت َْرتَدُّوا َعلَى أَ ْدبَا ِر ُك ْم فَتَنقَلِبُوا َخا
َ فِي َها قَ ْو ًما َجبَّا ِرينَ َوإِنَّا لَن نَّد ُْخلَ َها َحتَّى َي ْخ ُر ُجوا ِم ْن َها فَإِن يَ ْخ ُر ُجوا ِم ْن َها فَإِنَّا دَا ِخلُونَ َقا َل َر ُج
َال ِن ِمنَ الَّ ِذين
َاب فَإِذاَ د ََخ ْلتُ ُموهُ فَإِنَّ ُك ْم َغالِبُونَ َو َعلَى للاِ فَتَ َو َّكلُوا إِن ُكنتُم ُّمؤْ ِمنِين
َ َيَ َخافُونَ أَ ْن َع َم للاُ َعلَ ْي ِه َما اد ُْخلُوا َعلَ ْي ِه ُم ا ْلب
ْ َسى إِنَّا لَن نَّد ُْخلَ َهآ أَبَدًا َما دَا ُموا فِي َها ف
َ ِاذه َْب أَنتَ َو َربُّ َك َفقَات
َل إِنَّا هَاهُنَا َقا ِعدُون
َ قَالُوا يَا ُمو
“Hai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah
bagimu, dan janganlah kamu lari ke belakang (karena kamu takut kepada musuh),
maka kamu menjadi orang-orang yang merugi.
3
Mereka berkata,”Hai Musa, sesungguhnya dalam negeri itu ada orang-orang yang
gagah perkasa. Sesungguhnya kami sekali-kali tidak akan memasukinya sebelum
mereka keluar daripadanya. Jika mereka keluar daripadanya, pasti kami akan
memasukinya". Berkatalah dua orang diantara orang-orang yang takut (kepada
Allah) yang Allah telah memberi nikmat atas keduanya,”Serbulah mereka dengan
melalui pintu gerbang (kota) itu. Maka bila kamu memasukinya niscaya kamu
akan menang. Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu
benar-benar orang yang beriman”. Mereka berkata,”Hai Musa, kami sekali-kali
tidak akan memasukinya selama-lamanya, selagi mereka ada di dalamnya, karena
itu pergilah kamu bersama Rabbmu, dan berperanglah kamu berdua,
sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja.”
(QS. Al-Maa’idah : 21-24)
Demikian pula firman Allah Subhanahu wa Ta'ala (yang artinya),
“Apakah kamu tidak memperhatikan pemuka-pemuka Bani Israil (sesudah Nabi
Musa wafat) ketika mereka berkata kepada seorang Nabi mereka, “Angkatlah
untuk kami seorang raja supaya kami berperang (di bawah pimpinannya) di jalan
Allah”. Nabi mereka menjawab,”Mungkin sekali jika kamu nanti diwajibkan
berperang, kamu tidak akan berperang”. Mereka menjawab,”Mengapa kami tidak
mau berperang di jalan Allah, padahal sesungguhnya kami telah diusir dari
kampung halaman kami dan dari anak-anak kami”. Maka tatkala perang itu
diwajibkan atas mereka, merekapun berpaling, kecuali beberapa orang saja
diantara mereka. Dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang dzalim.”
(QS. Al-Baqarah : 246)
4
Mereka berperang lantaran diusir dari tanah air beserta anak-anak mereka. Sudah
demikian ini, mereka pun masih melanggar perintah. Sehingga tidak dihalalkan
begi mereka harta rampasan perang. Demikan juga tidak boleh mengambil budakbudak tawanan perang.[1]
Demikianlah anugerah Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada umat Islam. Dia
menjadikan amar ma'ruf nahi mungkar sebagai salah satu tugas penting Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Bahkan beliau diutus untuk itu, sebagaimana
firman Allah Subhanahu wa Ta'ala,
ف
ْ س ْو َل النَّ ِب َّي األُ ِّمي ال ِذ
ُ ال ِذيْنَ َيتَّ ِب ُع ْونَ ال َّر
ِ ي َي ِجد ُْونَهُ َم ْكت ُْو ًبا ِع ْن َد ُه ْم ِف ْي الت َّْو َرا ِة َواْ ِإل ْن ِج ْي ِل َيأْ ُم ُر ُه ْم ِبا ْل َم ْع ُر ْو
ْص َرهُ ْم َواْألَ ْغالَ َل الَّتِي َكانَت
ْ ِض ُع َع ْنهُ ْم إ
َ ت َويُ َح ِّر ُم َعلَ ْي ِه ُم ا ْل َخبَائِ َث َو َي
ِ َويَ ْن َهاهُ ْم َع ِن ا ْل ُم ْن َك ِر َويُ ِح ُّل لَهُ ُم الطَّيِّبَا
ي أَ ْن َز َل َم َعهُ أ ُ ْولَئِ َك هُ ُم ا ْل ُم ْفلِ ُح ْون
ْ ص ُر ْوهُ َواتَّبَعُ ْوا النُّ ْو َر الَّ ِذ
َ ََعلَ ْي ِه ْم فَالَّ ِذيْنَ َءا َمنُ ْوا َو َع َز ُر ْوهُ َون
“(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya)
mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang
menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari
mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan
mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka
beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang
yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya
yang terang yang diturunkan kepadanya (al-Qur'an), mereka itulah orang-orang
yang beruntung.”
(QS. Al- A'raaf : 157)
[1]
Ibnu Taimiyah, Al-Amru bil Ma'ruf wan Nahyi ‘Anil Mungkar, hal 34. Kitab ini telah
diterjemahkan oleh al-Akh Abu Ihsan dengan judul yang sama, diterbitkan Pustaka at-Tibyan,
Solo.
5
Kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala menciptakan orang-orang yang selalu
mewarisi tugas utama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ini, bahkan
memerintahkan umat ini untuk menegakkannya, dalam firman-Nya,
َوف َو َي ْن َه ْونَ َع ِن ا ْل ُمن َك ِر َوأ ُ ْوالَ ِئ َك هُ ُم ا ْل ُم ْف ِل ُحون
ِ َو ْلتَ ُكن ِّمن ُك ْم أ ُ َّمةُُُ َي ْدعُونَ إِلَى ا ْل َخ ْي ِر َو َيأْ ُمرُونَ ِبا ْل َم ْع ُر
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar;
mereka adalah orang-orang yang beruntung.”
(QS. Ali Imron : 104)
Tugas penting ini sangat luas jangkauannya, baik zaman atau tempat. Meliputi
seluruh umat dan bangsa dan terus bergerak dengan jihad dan penyampaian ke
seluruh belahan dunia. Tugas ini telah diemban umat Islam sejak masa Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam sampai sekarang hingga hari kiamat nanti.
Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang tersebut, maka penulis merumuskan permasalahanpermasalahan sebagai berikut:
Bagaimana pengertian dari amar Ma’ruf Nahi Munkar?
Bagaimana hukum melaksanakan Amar Ma’ruf Nahi Munkar?
Bagaimanakah derajat kewajiban Amar Ma’ruf Nahi Munkar?
Apa saja kaidah penting dan prinsip dasar yang harus diperhatikan dalam
ber-Amar Ma’ruf Nahi Munkar?
6
Batasan Masalah
Karena terbatasnya waktu dan referensi yang digunakan, maka makalah ini hanya
membahas tentang definisi Amar Ma’ruf Nahi Munkar dan hukumnya, serta
kaidah-kaidah penting dan prinsip dasar yang harus diperhatikan dalam ber-Amar
Ma’ruf Nahi Munkar.
Tujuan dan Kegunaan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
Untuk memenuhi Tugas Harian Mata Pelajaran Al-Qur’an Hadits.
Untuk memperoleh dan memperkaya pemahaman tentang Amar Ma’ruf
Nahi Munkar beserta dalil dan hukumnya.
Untuk ikut berperan serta dalam kegiatan ilmiah, khususnya ilmu AlQur’an Hadits melalui studi kepustakaan guna memperkaya khazanah
dunia ilmu.
Adapun kegunaan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
Dapat mengetahui pengertian dari Amar Ma’ruf Nahi Munkar.
Dapat memahami hukum serta dalil tentang Amar Ma’ruf Nahi Munkar.
Dapat mengetahui serta memahami kaidah penting dan prisip dasar dalam
ber-Amar Ma’ruf Nahi Munkar.
7
Garis Besar Isi
Isi dari makalah secara garis besar adalah sebagai berikut:
Bab I. Pendahuluan
Bab ini berisi tentang latar belakang masalah, batasan masalah, tujuan dan
kegunaan penulisan dan garis besar makalah.
Bab II. Pembahasan
Pada bab ini akan dijelaskan tentang pengertian, hukum serta dalil dan kaidahkaidah penting dalam ber-Amar Ma’ruf Nahi Munkar.
Bab III. Kesimpulan
Pada bab ini menjelaskan tentang hal-hal yang dapat disimpulkan dari Amar
Ma’ruf Nahi Munkar
Bab IV. Penutup
8
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Maksud dari “amar ma’ruf” adalah ‘seluruh ketaatan; dan yang paling utama
adalah ibadah kepada Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, mengikhlaskan ibadah
bagi-Nya semata, serta meninggalkan ibadah kepada selain-Nya. Kemudian,
(tingkatan) di bawahnya adalah segenap ketaatan, berupa perkara-perkara yang
wajib dan mustahab’.[2]
Sementara itu, “mungkar” adalah ‘setiap perkara yang dilarang oleh Allah dan
Rasul-Nya’. Dengan begitu, seluruh kemaksiatan dan kebid’ahaan adalah perkara
mungkar dan kemungkaran yang paling besar adalah menyekutukan Allah
Subhanahu wa Ta’ala.[3]
Mengajak kepada perkara yang ma’ruf dan mencegah dari perkara yang mungkar,
hukumnya adalah fardu kifayah atas umat ini, bukan wajib ain. Jika amar ma’ruf
nahi mungkar telah ditegakkan oleh sebagian orang yang mencukupi, gugurlah
dosa (jika tidak ada yang menunaikannya, red.) atas yang lainnya. Akan tetapi,
jika tidak ada satu pun yang melaksanakannya maka seluruhnya (kaum muslimin,
red.) berdosa.[4]
[2]
Al-Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Munkar, hlm. 6, karya Syekh Al-’Allamah Shalih Al-Fauzan.
Al-Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Munkar, hlm. 6–7, karya Syekh Al-’Allamah Shalih AlFauzan.
[4]
Al-Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Munkar, hlm. 14 dan setelahnya, karya Syekh Al-’Allamah
Shalih Al-Fauzan.
[3]
9
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya),
“Dan hendaklah ada, di antara kamu, segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada perbuatan yang ma’ruf, dan mencegah dari
kemungkaran. Merekalah orang-orang yang beruntung.”
(QS. Ali Imron : 104)
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
“Barang siapa yang memerintahkan hal yang ma’ruf dan mencegah dari
kemungkaran maka hendaknya dia memiliki ilmu tentang hal yang dia
perintahkan dan hal yang dia larang, serta bersikap lembut dan santun ketika
memerintah dan melarang. Hendaknya, ilmu didahulukan sebelum memerintah,
sedangkan sikap lembut dan santun harus selalu menyertai perintah. Jika tidak
berilmu maka dia tidak boleh mengerjakan segala sesuatu yang ilmu tentangnya
tidaklah dia miliki.”
Apabila ia berilmu tetapi tidak memiliki kelembutan maka dia ibarat dokter yang
tidak memilki kelembutan, kasar terhadap pasiennya, maka niscaya ia tidak akan
diterima, serta ibarat pendidik yang kasar dan tidak disukai oleh anak didiknya.
Sungguh, Allah telah berkata kepada Musa dan Harun ‘alaihimassalam (yang
artinya),
“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah
lembut. Mudah-mudahan ia ingat atau takut.”
(QS. Thaha : 4)
10
Kemudian, orang yang memerintahkan perkara yang ma’ruf dan mencegah
kemungkaran, biasanya, disakiti. Oleh karena itulah, wajib baginya untuk
bersabar dan santun. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya),
“… Dan suruhlah (manusia) mengerjakan perbuatan yang baik dan cegahlah
(mereka) dari perbuatan kemungkaran, serta bersabarlah terhadap segala sesuatu
yang menimpamu. Sesungguhnya, yang demikian itu termasuk hal-hal yang
diwajibkan (oleh Allah).”
(QS. Luqman : 17)
Beliau (Ibnu Taimiyah) menambahkan, “Wajib bagi orang, yang memerintahkan
perkara yang ma’ruf dan mencegah dari kemungkaran, untuk melakukannya
dengan ikhlas karena Allah, dengan maksud taat kepada Allah. Hendaknya pula,
tujuannya adalah untuk memperbaiki orang yang diperintah, menegakkan hujjah
(alasan, red.) kepadanya, dan jangan bertujuan untuk mencari kedudukan, baik
untuk dirinya maupun untuk kelompoknya, atau untuk melecehkan orang lain.
Pondasi agama adalah mencintai karena Allah, benci karena Allah, bersikap loyal
karena Allah, bermusuhan karena Alllah, beribadah hanya karena Allah, meminta
pertolongan hanya kepada Allah, takut hanya kepada Allah, berharap hanya dari
Allah, memberi hanya karena Allah, dan mencegah pun hanya karena Allah. Itu
semua diperoleh, tidak lain, hanya dengan cara mengikuti Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, yang perintahnya adalah perintah Allah dan larangannya adalah
larangan Allah, memusuhinya berarti memusuhi Allah, taat kepadanya adalah
bentuk ketaatan kepada Allah, dan bermaksiat kepadanya berarti bermaksiat
kepada Allah.” (Diringkas dari perkataan Ibnu Taimiyah rahimahullah)
11
Hukum Amar Ma’ruf Nahi Munkar [5]
Amar ma'ruf nahi mungkar merupakan kewajiban yang dibebankan Allah
Subhanahu wa Ta'ala kepada umat Islam sesuai kemampuannya. Ditegaskan oleh
dalil Al Qur'an dan As-Sunnah serta Ijma' para Ulama.
Dalil Al Qur'an
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala (yang artinya),
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar;
mereka adalah orang-orang yang beruntung.”
(QS. Ali Imron : 104)
Ibnu Katsir berkata dalam menafsirkan ayat ini, “Maksud dari ayat ini, hendaklah
ada sebagian umat ini yang menegakkan perkata ini.” [6]
Dan firman-Nya.
هلل
ِ وف َوتَ ْن َه ْونَ ع َِن ا ْل ُمن َك ِر َوتُؤْ ِمنُونَ بِا
ِ س تَأْ ُمرُونَ بِا ْل َم ْع ُر
ِ ُكنتُ ْم َخ ْي َر أ ُ َّم ٍة أ ُ ْخ ِر َجتْ لِلنَّا
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada
Allah.”
(QS. Ali Imron : 110)
[5]
Disarikan dari buku Hakikat Al Amr Bil Ma'ruf wan Nahi ‘Anil Mungkar, karya Dr. Hamd bin
Nashir Al Amaar, hal. 39-40 dan Makalah Al Amr Bil Ma'ruf wan Nahi Anil Mungkar Bainal Ifraath.
[6]
Lihat tafsir Al Quran Al Karim karya Ibnu Katsir 1/339-405.
12
Umar bin Khathab berkata ketika memahami ayat ini, “Wahai sekalian manusia,
barang siapa yang ingin termasuk umat tersebut, hendaklah menunaikan syarat
Allah darinya.”[7]
Dalil As-Sunnah
Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,
َمنْ َرأَى ِم ْن ُك ْم: سمعت رسول للا صلى للا عليه وسلم يقول: قال-رضي للا عنه- عن أبي سعيد الخدري
ان
ْ َست َِط ْع فَبِقَ ْلبِ ِه َو َذلِ َك أ
ْ َسانِ ِه فَإِنْ لَ ْم ي
ْ َُم ْن َك ًرا فَ ْليُ َغيِّ ْرهُ بِيَ ِد ِه فَإِنْ لَ ْم ي
َ ِستَ ِط ْع فَبِل
ِ اإلي َم
ِ ُضعَف
Dari Abu Sa’id Al Khudry -radhiyallahu ‘anhu- berkata, saya mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda, “Barang siapa di antara kamu
yang melihat kemungkaran, maka hendaklah ia merubah (mengingkari) dengan
tangannya, jika tidak mampu hendaklah ia merubah (mengingkari) dengan
lisannya, jika tidak mampu hendaklah ia merubah dengan hatinya, dan itulah
keimanan yang paling lemah.”
(HR. Muslim no. 49)
ليس وراء ذلك من اإليمان حبة خردل: وفي رواية
Dalam riwayat lain, “Tidak ada sesudah itu (mengingkari dengan hati) keimanan
sebesar biji sawi (sedikitpun)”
[7]
Lihat Asy-Syaukaniy, Fathul Qadir, 1/453.
13
Hadits ini adalah hadits yang jami’ (mencakup banyak persoalan) dan sangat
penting dalam syari’at Islam, bahkan sebagian ulama mengatakan, “Hadits ini
pantas untuk menjadi separuh dari agama (syari’at), karena amalan-amalan
syari’at terbagi dua : ma’ruf (kebaikan) yang wajib diperintahkan dan
dilaksanakan, atau mungkar (kemungkaran) yang wajib diingkari, maka dari sisi
ini, hadits tersebut adalah separuh dari syari’at.” [8]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Sesungguhnya maksud dari hadits ini
adalah : Tidak tinggal sesudah batas pengingkaran ini (dengan hati) sesuatu yang
dikategorikan sebagai iman sampai seseorang mukmin itu melakukannya, akan
tetapi mengingkari dengan hati merupakan batas terakhir dari keimanan, bukanlah
maksudnya, bahwa barang siapa yang tidak mengingkari hal itu dia tidak memiliki
keimanan sama sekali, oleh karena itu Rasulullah bersabda, “Tidaklah ada
sesudah itu”, maka beliau menjadikan orang-orang yang beriman tiga tingkatan,
masing-masing di antara mereka telah melakukan keimanan yang wajib atasnya,
akan tetapi yang pertama (mengingkari dengan tangan) tatkala ia yang lebih
mampu di antara mereka maka yang wajib atasnya lebih sempurna dari apa yang
wajib atas yang kedua (mengingkari dengan lisan), dan apa yang wajib atas yang
kedua lebih sempurna dari apa yang wajib atas yang terakhir, maka dengan
demikian diketahui bahwa manusia bertingkat-tingkat dalam keimanan yang wajib
atas mereka sesuai dengan kemampuannya beserta sampainya khitab (perintah)
kepada mereka.”[9]
8
9
Lihat At Ta’yin fi Syarhil Arba’in, At Thufi, hal. 292.
Majmu’ Fatawa, 7/427
14
Hadits dan perkataan Syaikhul Islam di atas menjelaskan bahwa amar ma’ruf dan
nahi mungkar merupakan karakter seorang yang beriman, dan dalam mengingkari
kemungkaran tersebut ada tiga tingkatan:
Mengingkari dengan tangan.
Mengingkari dengan lisan.
Mengingkari dengan hati.
Tingkatan pertama dan kedua wajib bagi setiap orang yang mampu
melakukannya, sebagaimana yang dijelaskan oleh hadits di atas, dalam hal ini
seseorang apabila melihat suatu kemungkaran maka ia wajib mengubahnya
dengan tangan jika ia mampu melakukannya, seperti seorang penguasa terhadap
bawahannya, kepala keluarga terhadap istri, anak dan keluarganya, dan
mengingkari dengan tangan bukan berarti dengan senjata.
Imam Al Marrudzy bertanya kepada Imam Ahmad bin Hambal, “Bagaimana
beramar ma’ruf dan nahi mungkar?” Beliau menjawab, “Dengan tangan, lisan dan
dengan hati, ini paling ringan,” saya bertanya lagi: “Bagaimana dengan tangan?”
Beliau menjawab, “Memisahkan di antara mereka,” dan saya melihat beliau
melewati anak-anak kecil yang sedang berkelahi, lalu beliau memisahkan di
antara mereka.
Dalam riwayat lain beliau berkata, “Merubah (mengingkari) dengan tangan
bukanlah dengan pedang dan senjata.”[10]
Adapun dengan lisan seperti memberikan nasihat yang merupakan hak di antara
sesama muslim dan sebagai realisasi dari amar ma’ruf dan nahi mungkar itu
sendiri, dengan menggunakan tulisan yang mengajak kepada kebenaran dan
membantah syubuhat (kerancuan) dan segala bentuk kebatilan.
[10]
Lihat, Al Adabusy Syar’iyah, Ibnu Muflih, 1/185.
15
Adapun tingkatan terakhir (mengingkari dengan hati) artinya adalah membenci
kemungkaran- kemungkaran tersebut, ini adalah kewajiban yang tidak gugur atas
setiap individu dalam setiap situasi dan kondisi, oleh karena itu barang siapa yang
tidak mengingkari dengan hatinya maka ia akan binasa.
Imam Ibnu Rajab berkata -setelah menyebutkan hadits di atas dan hadits-hadits
yang senada dengannya-, “Seluruh hadits ini menjelaskan wajibnya mengingkari
kemungkaran sesuai dengan kemampuan, dan sesungguhnya mengingkari dengan
hati sesuatu yang harus dilakukan, barang siapa yang tidak mengingkari dengan
hatinya, maka ini pertanda hilangnya keimanan dari hatinya.” [11]
فقال عبد. هلك من لم يأمر بالمعروف ولم ينه عن المنكر: -رضي للا عنه- قال رجل لعبد للا بن مسعود
بل هلك من لم يعرف المعروف بقلبه وينكر المنكر بقلبه:للا
Salah seorang berkata kepada Ibnu Mas’ud, “Binasalah orang yang tidak menyeru
kepada kebaikan dan tidak mencegah dari kemungkaran”, lalu Ibnu Mas’ud
berkata, “Justru binasalah orang yang tidak mengetahui dengan hatinya kebaikan
dan tidak mengingkari dengan hatinya kemungkaran.”
(Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf beliau no. 37581)
Imam Ibnu Rajab mengomentari perkataan Ibnu Mas’ud di atas dan berkata,
“Maksud beliau adalah bahwa mengetahui yang ma’ruf dan mungkar dengan hati
adalah kewajiban yang tidak gugur atas setiap orang, maka barang siapa yang
tidak mengetahuinya maka dia akan binasa, adapun mengingkari dengan lisan dan
tangan ini sesuai dengan kekuatan dan kemampuan.” [12]
[11]
[12]
Jami’ul Ulum wal Hikam, 2/258.
Jami’ul Ulum wal Hikam 2/258-259.
16
Seseorang yang tidak mengingkari dengan hatinya maka ia adalah orang yang
mati dalam keadaan hidup, sebagaimana perkataan Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu
tatkala ditanya, “Apakah kematian orang yang hidup?” Beliau menjawab:
من لم يعرف المعروف بقلبه وينكر المنكر بقلبه
“Orang yang tidak mengenal kebaikan dengan hatinya dan tidak mengingkari
kemungkaran dengan hatinya.”
(Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf beliau no. 37577)
Sedangkan Ijma' kaum muslimin, telah dijelaskan oleh para ulama, diantaranya:
1. Ibnu Hazm Adz Dzahiriy, beliau berkata, “Seluruh umat telah bersepakat
mengenai kewajiban amar ma'ruf nahi mungkar, tidak ada perselisihan
diantara mereka sedikitpun.”[13]
2. Abu Bakr al- Jashshash, beliau berkata, “Allah Subhanahu wa Ta'ala telah
menegaskan kewajiban amar ma'ruf nahi mungkar melalui beberapa ayat
dalam Al Qur'an, lalu dijelaskan Rasulullah n dalam hadits yang mutawatir.
Dan para salaf serta ahli fiqih Islam telah berkonsensus atas
kewajibannya.”[14]
3. An-Nawawi berkata, “Telah banyak dalil-dalil Al-Qur'an dan Sunnah serta
Ijma yang menunjukkan kewajiban amar ma'ruf nahi mungkar.”[15]
4. Asy-Syaukaniy berkata, “Amar ma'ruf nahi mungkar termasuk kewajiban,
pokok serta rukun syari'at terbesar dalam syariat. Dengannya sempurna aturan
Islam dan tegak kejayaannya.”[16]
[13]
Ibnu Hazm, Al-Fashl Fil Milal Wan Nihal, 5/19.
Al-Jashash, Ahkamul Qur'an , 2/486.
[15]
An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, 2/22.
[14]
17
Jelaslah kewajiban umat ini untuk ber-Amar Ma'ruf Nahi Mungkar.
Kaidah Penting dan Prinsip Dasar Dalam Ber-Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Kemudian dalam amar ma’ruf dan nahi mungkar ada berapa kaidah penting dan
prinsip dasar yang harus diperhatikan, jika tidak diindahkan niscaya akan
menimbulkan kemungkaran yang lebih besar dan banyak:
Pertama: Mempertimbangkan antara maslahat dan mafsadah.
Ini adalah kaidah yang sangat penting dalam syari’at Islam secara umum dan
dalam beramar ma’ruf dan nahi mungkar secara khusus, maksudnya ialah
seseorang yang beramar ma’ruf dan nahi mungkar ia harus memperhatikan dan
mempertimbangkan antara maslahat dan mafsadat dari perbuatannya tersebut, jika
maslahat yang ditimbulkan lebih besar dari mafsadatnya maka ia boleh
melakukannya, tetapi jika menyebabkan kejahatan dan kemungkaran yang lebih
besar maka haram ia melakukannya, sebab yang demikian itu bukanlah sesuatu
yang di perintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, sekalipun kemungkaran
tersebut berbentuk suatu perbuatan yang meninggalkan kewajiban dan melakukan
yang haram.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Jika amar ma’ruf dan nahi mungkar
merupakan kewajiban dan amalan sunah yang sangat agung (mulia) maka sesuatu
yang wajib dan sunah hendaklah maslahat di dalamnya lebih kuat/besar dari
mafsadatnya, karena para rasul diutus dan kitab-kitab diturunkan dengan
membawa hal ini, dan Allah tidak menyukai kerusakan, bahkan setiap apa yang
diperintahkan Allah adalah kebaikan, dan Dia telah memuji kebaikan dan orang[16]
Asy-Syaukaniy, Fathul Qadir, 1/450.
18
orang yang berbuat baik dan orang-orang yang beriman serta beramal saleh, serta
mencela orang-orang yang berbuat kerusakan dalam beberapa tempat, apabila
mafsadat amar ma’ruf dan nahi mungkar lebih besar dari maslahatnya maka ia
bukanlah sesuatu yang diperintahkan Allah, sekalipun telah ditinggalkan
kewajiban dan dilakukan yang haram, sebab seorang mukmin hendaklah ia
bertakwa kepada Allah dalam menghadapi hamba-Nya, karena ia tidak memiliki
petunjuk untuk mereka, dan inilah makna firman Allah Subhanahu wa Ta'ala,
يا أيها الذين آمنوا عليكم أنفسكم ال يضركم من ضل إذا اهتديتم
“Wahai orang-orang yang beriman perhatikanlah dirimu, orang yang sesat tidak
akan membahayakanmu jika kamu mendapat petunjuk.”
(QS. Al-Maa’idah : 105)
Dan mendapat petunjuk hanya dengan melakukan kewajiban.” [17]
Dan beliau juga menambahkan, “Sesungguhnya perintah dan larangan jika
menimbulkan maslahat dan menghilangkan mafsadat maka harus dilihat sesuatu
yang berlawanan dengannya, jika maslahat yang hilang atau kerusakan yang
muncul lebih besar maka bukanlah sesuatu yang diperintahkan, bahkan sesuatu
yang diharamkan apabila kerusakannya lebih banyak dari maslahatnya, akan
tetapi ukuran dari maslahat dan mafsadat adalah kacamata syari’at.”
[17]
Al Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Mungkar, hal. 10. cet. Wizarah Syuun al Islamiyah.
19
Imam Ibnu Qoyyim berkata, “Jika mengingkari kemungkaran menimbulkan
sesuatu yang lebih mungkar dan di benci oleh Allah dan Rasul-Nya, maka tidak
boleh dilakukan, sekalipun Allah membenci pelaku kemungkaran dan
mengutuknya.”[18]
Oleh karena itu perlu dipahami dan diperhatikan empat tingkatan kemungkaran
dalam bernahi mungkar berikut ini:
Hilangnya kemungkaran secara total dan digantikan oleh kebaikan.
Berkurangnya kemungkaran, sekalipun tidak tuntas secara keseluruhan.
Digantikan oleh kemungkaran yang serupa.
Digantikan oleh kemungkaran yang lebih besar.
Pada tingkatan pertama dan kedua disyari’atkan untuk bernahi mungkar, tingkatan
ketiga butuh ijtihad, sedangkan yang keempat terlarang dan haram
melakukannya.[19]
Kedua: Karakteristik orang yang ber-Amar Ma’ruf dan Nahi Mungkar.
Sekalipun amar ma’ruf dan nahi mungkar merupakan kewajiban setiap orang yang
mempunyai kemampuan untuk itu sesuai dengan maratib (tingkatan-tingkatan) di
atas, akan tetapi orang yang melakukan hal itu harus memiliki kriteria berikut ini:
1. Berilmu.
2. Lemah lembut dan penyantun.
3. Sabar.
[18]
[19]
I’laamul Muwaqqi’iin, 3/4.
Lihat, ibid, dan Syarh Arba’in Nawawiyah, Syaikh Al Utsaimin, hal: 255.
20
Berilmu
Amar ma’ruf dan nahi mungkar adalah ibadah yang sangat mulia, dan
sebagaimana yang dimaklumi bahwa suatu ibadah tidak akan diterima oleh Allah
kecuali apabila ikhlas kepada-Nya dan sebagai amal yang saleh, suatu amalan
tidak akan mungkin menjadi amal saleh kecuali apabila berlandaskan ilmu yang
benar. Karena seseorang yang beribadah tanpa ilmu maka ia lebih banyak
merusak daripada memperbaiki, karena ilmu adalah imam amalan, dan amalan
mengikutinya.
Syaikhul Islam berkata, “Jika ini merupakan definisi amal saleh (yang memenuhi
persyaratan ikhlas dan ittiba’) maka seseorang yang beramar ma’ruf dan nahi
mungkar wajib menjadi seperti ini juga terhadap dirinya, dan tidak akan mungkin
amalannya menjadi amal saleh jika ia tidak berilmu dan paham, dan sebagaimana
yang dikatakan oleh Umar bin Abdul Aziz, “Barang siapa yang beribadah kepada
Allah tanpa ilmu maka apa yang dirusaknya lebih banyak dari apa yang
diperbaikinya,” dan dalam hadits Mu’adz Bin Jabal, “Ilmu adalah imam amalan,
dan amalan mengikutinya,” dan ini sangat jelas, karena sesungguhnya niat dan
amalan jika tidak berlandaskan ilmu maka ia adalah kebodohan, kesesatan dan
mengikuti hawa nafsu… dan inilah perbedaan antara orang-orang jahiliyah dan
orang-orang Islam.”[20]
Ilmu di sini mencakup ilmu tentang kebaikan dan kemungkaran itu sendiri, bisa
membedakan antara keduanya dan berilmu tentang keadaan yang diperintah dan
yang dilarang.
[20]
Al Amru bil Ma’ruf wan Nahyu anil Mungkar, hal. 19. cet. Wizarah Syuun al Islamiyah.
21
Lemah Lembut dan Santun ( Ar-Rifq dan Al Hilm )
Seorang yang beramar ma’ruf dan nahi mungkar hendaklah mempunyai sifat
lemah lembut dan penyantun, sebab segala sesuatu yang disertai lemah lembut
akan bertambah indah dan baik, dan sebaliknya jika kekerasan menyertai sesuatu
maka akan menjadi jelek, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam,
وال ينزع من شيء إال شانه،إن الرفق ال يكون في شيء إال زانه
“Sesungguhnya tidaklah lemah lembut ada pada sesuatu kecuali akan
menghiasinya, dan tidaklah dicabut (hilang) dari sesuatu kecuali akan
membuatnya jelek.”
(HR. Muslim no. 2594)
ويعطي على الرفق ما ال يعطى على العنف وما ال يعطي، إن للا رفيق يحب الرفق في األمر كله: وقال
على ما سواه
“Sesungguhnya Allah Maha Penyantun, Ia menyukai sifat penyantun (lemah
lembut) dalam segala urusan, dan memberikan dalam lemah lembut apa yang
tidak diberikan dalam kekerasan dan apa yang tidak diberikan dalam selainnya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
والناس يحتاجون إلى مداراة ورفق في األمر بالمعروف والنهي عن:-رحمه للا- قال اإلمام أحمد بن حنبل
، ليس لفاسق حرمة: ألنه يقال، فقد وجب عليك نهيه وإعالمه، بال غلظة إال رجال معلنا بالفسق،المنكر
فهؤالء ال حرمة لهم
Imam Ahmad berkata, “Manusia butuh kepada mudaaraah (menyikapinya dengan
lembut) dan lemah lembut dalam amar ma’ruf dan nahi mungkar, tanpa kekerasan
22
kecuali seseorang yang terang-terangan melakukan dosa, maka wajib atasmu
melarang dan memberitahunya, karena dikatakan, ‘Orang fasik tidak memiliki
kehormatan’ maka mereka tidak ada kehormatannya.” [21]
Jika ini di zaman Imam Ahmad bin Hambal, Imam Ahlussunnah wal Jama’ah,
zaman di mana ilmu dan sunnah lebih dominan dalam kehidupan manusia dan
mewarnai perilaku mereka kecuali ahlul bid’ah, tentu manusia di zaman kita
sekarang ini lebih membutuhkan lemah lembut dan santun dalam menghadapi dan
menyikapi kesalahan yang mereka lakukan, apalagi dengan berkembangnya
kebodohan di kalangan kaum muslimin dan semakin jauhnya mereka dari
bimbingan Al-Qur’an dan Sunnah kecuali orang-orang yang diberi petunjuk oleh
Allah Subhanahu wa Ta'ala. Kita berdoa semoga Allah mengembalikan kaum
muslimin kepada kebenaran, amiin.
فإن اسمعوه ما يكره ال يغضب فيكون يريد أن ينتصر لنفسه، ينبغي أن يأمر بالرفق والخضوع:وقال أيضا
“Mesti ia menyeru dengan lemah lembut dan merendahkan diri, jika mereka
memperdengarkan (memperlihatkan) kepadanya apa yang dibenci jangan ia
marah, karena (kalau marah) berarti ia ingin membalas untuk dirinya sendiri.”[22]
[21]
[22]
.272/2 وابن رجب في جامع العلوم والحكم،212/1 ”نقله ابن مفلح في “اآلداب الشرعية
.272/2 وابن رجب في جامع العلوم والحكم،213/1 ذكره ابن مفلح في اآلداب الشرعية
23
Sabar
Hendaklah seseorang yang beramar ma’ruf dan nahi mungkar bersifat sabar, sebab
sudah merupakan sunnatullah bahwa setiap orang yang mengajak kepada
kebenaran dan kebaikan serta mencegah dari kemungkaran pasti akan menghadapi
bermacam bentuk cobaan, jika ia tidak bersabar dalam menghadapinya maka
kerusakan yang ditimbulkan lebih banyak dari kebaikannya. Sebagaimana firman
Allah Subhanahu wa Ta'ala tentang wasiat Luqman terhadap anaknya,
وأمر بالمعروف وانه عن المنكر واصبر على ما أصابك إن ذلك من عزم األمور
“Dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari
perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu.
Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).”
(QS. Luqman : 17)
Oleh karena itu Allah ta’ala memerintahkan para rasul -di mana mereka adalah
panutan orang yang ber-Amar Ma’ruf dan Nahi Mungkar- untuk bersabar,
sebagaimana firman Allah kepada Nabi Muhammad -Shallallahu ‘alaihi wa
sallam- yang terdapat pada awal surat Muddatsir, surat yang pertama turun setelah
Iqra’:
ولربك فاصبر، وال تمنن تستكثر، والرجز فاهجر، وثيابك فطهر، وربك فكبر، قم فأنذر،يا أيها المدثر
“Hai orang yang berselimut. Bangunlah, lalu beri peringatan. Dan Rabbmu
agungkanlah. Dan pakaianmu bersihkanlah. Dan perbuatan dosa (menyembah
berhala) tinggalkanlah. Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud)
memperoleh (balasan) lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Rabbmu
bersabarlah.”
(QS. Al-Muddatsir : 1-7)
24
Dan sangat banyak ayat yang memerintahkan untuk bersabar dalam menghadapi
segala cobaan dan problem hidup secara umum, dan dalam berdakwah secara
khusus.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Sabar terhadap cobaan dari manusia
dalam beramar ma’ruf dan nahi mungkar jika tidak dipergunakan pasti akan
menimbulkan salah satu dari dua permasalahan (kerusakan): boleh jadi ia
meninggalkan amar ma’ruf dan nahi mungkar, atau timbulnya fitnah dan
kerusakan yang lebih besar dari kerusakan meninggalkan amar ma’ruf dan nahi
mungkar, atau semisalnya, atau mendekatinya, kedua hal ini adalah maksiat dan
kerusakan,
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
وأمر بالمعروف وانه عن المنكر واصبر على ما أصابك إن ذلك من عزم األمور
“Dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari
perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu.
Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).”
Maka barang siapa yang menyeru tapi tidak sabar, atau sabar tetapi tidak
menyeru, atau tidak menyeru dan tidak bersabar, maka akan timbul dari ketiga
macam ini kerusakan, kebaikan itu hanya terdapat dalam menyeru (kepada
kebaikan) dan bersabar.”[23]
[23]
Al Adabusy Syar’iyah, Ibnu Muflih, 1/181.
25
Maka harus ada ketiga karakter di atas: ilmu, lemah lembut, sabar; ilmu sebelum
menyeru dan melarang, dan lemah lembut bersamanya, dan sabar sesudahnya,
sekalipun masing-masing dari ketiga karakter tersebut harus ada pada setiap
situasi dan kondisi, hal ini sebagaimana yang dinukilkan dari sebagian salaf:
ورفيقا فيما، وفقيها فيما ينهى عنه،ال يأمر بالمعروف وينهى عن المنكر إال من كان فقي ًها فيما أمر به
وحليما فيما ينهى عنه، حليما فيما يأمر به، ورفيقا فيما ينهى عنه،يأمر به
“Tidaklah menyeru kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran kecuali
orang yang berilmu (memahami) apa yang ia serukan, dan memahami apa yang
dia larang, dan berlemah lembut di dalam apa yang ia serukan, dan berlemah
lembut dalam apa yang ia larang, dan santun dalam apa yang ia serukan dan
santun dalam apa yang ia larang.”[24]
Ketiga: Syarat perbuatan yang wajib diingkari[25]
Tidak semua kemungkaran dan kesalahan yang wajib diingkari, kecuali perbuatan
dan kemungkaran yang memenuhi persyaratan berikut ini:
1. Perbuatan tersebut benar suatu kemungkaran, kecil atau besar.
Maksudnya: Nahi mungkar tidak khusus terhadap dosa besar saja, tetapi
mencakup juga dosa kecil, dan juga tidak disyaratkan kemungkaran tersebut
berbentuk maksiat, barang siapa yang melihat anak kecil atau orang gila sedang
meminum khamr maka wajib atasnya menumpahkan khamr tersebut dan
melarangnya, begitu juga jika seseorang melihat orang gila melakukan zina
. 213/1 وابن مفلح في اآلداب الشرعية137/28 نقله شيخ اإلسالم في مجموع الفتاوى
Lihat: Tanbiihul Ghaafiliin, Ibnu An Nahhas, hal. 25-30, Al Amru bil Ma’ruf wan Nahyu anil
Mungkar, Al Qodhy Abu Ya’la, hal. 158, Jami’ Ulum Wal Hikam, Ibnu Rajab, 2/269-271, Al
Adabusy Syar’iyah, Ibnu Muflih, 2/188-190.
[24]
[25]
26
dengan seorang perempuan gila atau binatang, maka wajib atasnya mengingkari
perbuatan tersebut sekalipun dalam keadaan sendirian, sementara perbuatan ini
tidak dinamakan maksiat bagi orang gila.
2. Kemungkaran tersebut masih ada.
Maksudnya: Kemungkaran tersebut betul ada tatkala seorang yang bernahi
mungkar melihatnya, apabila si pelaku telah selesai melakukan kemungkaran
tersebut maka tidak boleh diingkari kecuali dengan cara nasihat, bahkan dalam
keadaan seperti ini lebih baik ditutupi, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam,
من ستر مسلما ستره للا في الدنيا واآلخرة
“Barangsiapa yang menutupi (kesalahan) seorang muslim, maka Allah akan
menutupi (dosa dan kesalahan)nya di dunia dan akhirat.”
(HR. Muslim)
Sebagai contoh: Seseorang yang telah selesai minum khamr kemudian mabuk,
maka tidak boleh diingkari kecuali dengan cara menasihati apabila ia telah sadar.
Dan ini (menutupi kesalahan dan dosa seorang muslim) tentunya sebelum hukum
dan permasalahan tersebut sampai ke tangan pemerintah atau pihak yang
berwenang, atau orang tersebut seseorang yang berwibawa dan tidak dikenal
melakukan kemungkaran dan keonaran, apabila permasalahan tersebut telah
sampai ke tangan pemerintah dengan cara yang syar’i, dan orang tersebut dikenal
melakukan kerusakan, kemungkaran dan keonaran, maka tidak boleh ditutupi dan
diberi syafaat.
27
Adapun kemungkaran yang diperkirakan akan muncul dengan tanda-tanda dan
keadaan tertentu, maka tidak boleh diingkari kecuali dengan cara nasehat lewat
ceramah agama, khutbah dll.
3. Kemungkaran tersebut nyata tanpa dimata-matai.
Maksudnya: Tidak boleh memata-matai suatu kemungkaran yang tidak jelas
untuk diingkari, seperti seseorang yang menutupi maksiat dan dosa di dalam
rumah dan menutup pintunya, maka tidak boleh bagi seorang pun memata-matai
untuk mengingkarinya, karena Allah ta’ala melarang kita untuk memata matai,
Allah Subhanahu wa Ta'ala befirman,
ضا أَيُ ِح ُّب
ْ يَا أَيُّ َها الَّ ِذينَ آ َمنُوا
ً ض ُك ْم بَ ْع
ُ سوا َوال يَ ْغت َْب بَ ْع
ُ س
َّ ض الظَّنِّ إِ ْثم َوال ت ََج
َ اج َتنِبُوا َكثِي ًرا ِمنَ الظَّنِّ إِنَّ بَ ْع
للا تَ َّواب َر ِحيم
َ َّ َّللا إِن
َ َّ أَ َح ُد ُك ْم أَنْ يَأْ ُك َل لَ ْح َم أَ ِخي ِه َم ْيتًا َف َك ِر ْهتُ ُموهُ َواتَّقُوا
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka
(kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencaricari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah
seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati?
Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.”
(QS. Al Hujuraat : 12)
Persyaratan ini diambil dari hadits di atas, ( )من رأى منكم منكرا, Manthuq (lafadz)nya
menjelaskan bahwa pengingkaran berkaitan dengan penglihatan, Mafhumnya:
Barangsiapa yang tidak melihat maka tidak wajib mengingkari.
28
4. Kemungkaran tersebut suatu yang disepakati, bukan permasalahan
khilafiyah.
Maksudnya: Jika permasalahan tersebut khilafiyah, yang berbeda pendapat ulama
dalam menilainya maka tidak boleh bagi yang melihat untuk mengingkarinya,
kecuali permasalahan yang khilaf di dalamnya sangat lemah yang tidak berarti
sama sekali, maka ia wajib mengingkarinya, sebab tidak semua khilaf yang bisa
diterima, kecuali khilaf yang memiliki sisi pandang yang jelas.
Sebagai contoh: Jika anda melihat seseorang memakan daging unta kemudian ia
berdiri dan langsung shalat, jangan diingkari, sebab ini adalah permasalahan
khilafiyah.
Di antara contoh permasalahan yang khilafiyah yang tidak berarti, dan sebagai
sarana untuk berbuat suatu yang diharamkan: Nikah Mut’ah (kawin kontrak) dan
ini adalah suatu cara untuk menghalalkan zina, bahkan sebagian ulama
mengatakan ini adalah perzinaan yang nyata. Dalam hal ini ulama Ahlus sunnah
sepakat tentang haramnya nikah mut’ah kecuali kaum Syi’ah (Rafidhah), dan
khilaf mereka di sini tidak ada harganya sama sekali.
Keempat: Metode dan cara beramar ma’ruf dan nahi mungkar terhadap penguasa
atau pemimpin
Penguasa, pemerintah atau hakim adalah manusia biasa dan tidak ma’shum dari
dosa, bisa benar, baik dan berlaku adil dan bisa juga bersalah dan berbuat zalim
sebagaimana halnya manusia biasa, akan tetapi tidak semua orang berhak untuk
mengingkari kemungkaran yang muncul dari penguasa dan tidak pula semua cara
yang bisa digunakan dalam hal ini, oleh karena itu agama Islam -agama yang
sempurna dan universal- telah menjelaskan metode dan cara yang digunakan
29
untuk ber-nahi mungkar terhadap penguasa, jikalau metode ini tidak diindahkan
dan digunakan dalam hal ini niscaya akan menimbulkan bermacam bentuk fitnah
dan kerusakan yang sangat besar, berupa hilangnya keamanan dan kestabilan
suatu negara, kehormatan dan martabat diri, darah yang bertumpahan dan nyawa
yang melayang dll, dan sejarah perjalanan umat ini merupakan saksi nyata
terhadap apa yang saya kemukakan.
Syaikhul Islam berkata, “Hampir tidak dikenal suatu golongan pun yang khuruj
(angkat senjata dan kudeta) menghadapi penguasa kecuali kerusakan yang
disebabkan oleh perbuatan mereka lebih besar dari kemungkaran yang
dihapuskan.”[26]
Imam Ibnu Qayyim berkata, “Barang siapa yang memperhatikan fitnah baik besar
atau kecil yang menimpa Islam, niscaya ia akan mengetahui bahwa penyebabnya
adalah tidak mengindahkan prinsip ini (tidak boleh kudeta dan angkat senjata
terhadap penguasa) dan tidak sabar terhadap kemungkaran yang ingin dihapuskan,
sehingga menyebabkan kemungkaran yang lebih besar.” [27]
Adapun metode yang digunakan dalam mengingkari kemungkaran yang dilakukan
oleh penguasa atau pemerintah ada dua:
Pertama: Tidak boleh menggunakan kekerasan dan senjata.
وال أن، ليس ألحد منعه بالقهر باليد: )84 هت) في “تنبيه الغافلين” (ص418 قال اإلمام ابن النحاس (ت
وإذهابا لهيبة، وتهييجا للشر، ألن في ذلك تحريكا للفتن، أو يجمع عليه أعوانا،يشهر عليه سالحا
وغير ذلك مما، وتخريب البالد، وربما أدى ذلك إلى تجريهم على الخروج عليه،السلطان من قلوب الرعية
ال يخفى
[26]
[27]
Minhaajussunnah, 3/390.
I’laamul Muwaqqi’iin, 3/4.
30
Imam Ibnu Nahas berkata: “Tidak boleh bagi seorang pun melarang penguasa
dengan menggunakan kekerasan dan tangan serta tidak boleh angkat senjata, atau
mengumpulkan masa, karena yang demikian itu menyebabkan fitnah dan
menimbulkan kejahatan (kerusakan) serta hilangnya wibawa seorang pemimpin di
hati masyarakat, dan terkadang bisa menyebabkan keberanian mereka untuk
khuruj (kudeta) terhadapnya, dan rusak (hancur) nya suatu Negara, dan kerusakan
lain yang nyata (tidak di pungkiri).”
Apa yang dikemukakan oleh Imam Ibnu An Nahhas di atas merupakan manhaj
Ahlus Sunnah dalam mengingkari kemungkaran para penguasa, hal ini sesuai
dengan apa yang dianjurkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang
wajibnya memberikan nasihat kepada para pemimpin dan larangan untuk kudeta
dan angkat senjata terhadap penguasa yang zalim, dan sesuai dengan apa yang
dikatakan dan dipraktekkan oleh para ulama salafush sholih.
(إنه لحسن ولكن ليس: (أال نأمر بالمعروف وننهى عن المنكر) قال: قيل لحذيفة:عن أبي البختري قال
.)من السنة أن ترفع السالح على إمامك
Dari Abu Al Bukhtury beliau berkata, dikatakan kepada Hudzaifah, “Tidakkah
kita beramar ma’ruf dan nahi mungkar?” Beliau menjawab, “Ini sungguh sangat
baik, tetapi bukanlah merupakan sunnah kamu mengangkat senjata (dalam
beramar ma’ruf dan nahi mungkar) terhadap imam (penguasa atau
pemerintah)mu.”[28]
فوقع، فأنكره، (المسكين رأى منكرا: عندما خرج خارجي بالبصرة-رحمه للا تعالى- قال الحسن البصرى
)فيما هو أنكر منه
وأبو عمرو الداني في،388 : رقم،153/1 ) ونعيم بن حماد في الفتن37613( رقم،508/7 رواه ابن أبي شيبة في مصنفه
63/6 والبيهقي في شعب اإليمان.407/2 وابن عدي في الكامل، ،391/2 السنن الواردة في الفتن
[28]
31
Imam Hasan Al Bashri -rahimahullah- berkata, tatkala keluar salah seorang
Khawarij di Bashrah-: “Miskin (kasihan)!!, ia melihat suatu kemungkaran, lalu
mengingkarinya (dengan kekerasan), maka ia terjerumus ke dalam kemungkaran
yang lebih besar.”[29]
Kedua: Menasehati penguasa atau pemimpin dengan sembunyi.
(ويختار الكالم مع السلطان في الخلوة: )55 هـ) في “تنبيه الغافلين” (ص418 قال اإلمام ابن النحاس (ت
.) بل يود لو كلمه سرا ونصحه خفية من غير ثالث لهما،على الكالم معه على رؤوس األشهاد
Imam Ibnu An Nahhas berkata, “Dan ia memilih pembicaraan bersama penguasa
di tempat yang tersembunyi dari pembicaraan di hadapan orang banyak, bahkan ia
menginginkan kalau bisa berbicara dan menasihatinya dalam keadaan
tersembunyi tanpa ada orang ketiga.”
(ولكنه ينبغي لمن ظهر له غلط اإلمام في بعض المسائل أن يناصحه وال يظهر:وقال اإلمام الشوكاني
)الشناعة عليه على رؤوس األشهاد
Imam Asy Syaukani berkata, “Akan tetapi mesti bagi orang yang melihat
kesalahan imam dalam sebagian masalah agar menasihatinya, dan jangan
memperlihatkan pengingkaran kepadanya di hadapan orang banyak.” 30
Apa yang dekemukakan oleh dua imam di atas sesuai dengan apa yang
disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan nasihat para
salafus sholeh:
(من أراد أن ينصح لسلطان بأمر فال يبد له عالنية ولكن ليأخذ بيده:قال رسول للا صلى للا عليه وسلم
) وإال كان قد أدى الذي عليه له، فإن قبل منه فذاك،فيخلو به
[29]
30
.48 : رقم345/1 أخرجه اآلجري في الشريعة
556/4 السيل الجرار
32
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang ingin
menasihati pemimpin dalam suatu urusan maka jangan ia perlihatkan secara
terang-terangan, akan tetapi hendaklah ia memegang tangan dan membawanya
menyendiri, jika dia menerima nasihatnya itulah yang diharapkan, dan jika tidak,
ia telah menyampaikan apa yang wajib atasnya.”
)303/3 )رواه أحمد في مسنده
Dari Sa’id Bin Jamhan, bahwa ia datang kepada Abdullah Bin Abi Aufa radhiyallahu anhu- dalam keadaan ia tidak melihat kemudian mengucapkan salam
kepadanya, lalu beliau menjawab sambil bertanya, “Anda siapa?” Dia menjawab,
“Saya Sa’id Bin Jamhan” dan ia berkata, “Pemerintah telah berbuat zalim kepada
masyarakat, ia melakukan kedzaliman terhadap mereka,” lalu ia memegang
tanganku dan mencubitnya dengan kuat, kemudian berkata, “Celaka kamu wahai
Ibnu Jamhan, berpeganglah kamu dengan sawadul a’zham (jama’ah yang banyak)
-dia katakan dua kali-, jika pemerintah mendengar nasihatmu maka datangi ke
rumahnya dan sampaikan kepadanya apa yang kamu ketahui, jika ia menerima
nasihatmu (itu yang diharapkan), jika tidak, tinggalkan dia, karena kamu belum
tentu lebih tahu daripadanya.”
أترون أني ال أكلمه: أال تدخل على عثمان فتكلمه؟ فقال: أنه قيل له-رضي للا عنه- وعن أسامة بن زيد
وللا لقد كلمته فيما بيني وبينه ما دون أن أفتتح أمرا ال أحب أن أكون أول من فتحه،إال أسمعكم
Dari Usamah Bin Zaid -radhiyallahu ‘anhu- dikatakan kepada beliau, “Apakah
kamu tidak masuk (menemui) Utsman dan berbicara dengannya
(menasihatinya)?” Beliau menjawab, “Apakah kalian menyangka saya tidak
berbicara kepadanya (menasihatinya) kecuali harus saya beritahu kalian, demi
Allah sungguh saya telah berbicara dengannya secara empat mata, tanpa
33
membuka permasalahan yang saya tidak ingin menjadi orang yang paling pertama
membukanya.”[31]
(يعنى المجاهرة باإلنكار: 333 قال الشيخ األلباني رحمه للا في تعليقه على “مختصر صحيح مسلم” ص
كما اتفق في اإلنكار على عثمان جهارا إذ، ألن في اإلنكار جهارا ما يخشى عاقبته،على األمراء في المأل
نشأ عنه قتله)اهـ.
Syekh Albani -rahimahullah- mengomentari hadits di atas sambil berkata,
“Maksudnya terang- terangan dalam mengingkari (kesalahan) para pemimpin di
hadapan orang banyak, karena mengingkari secara terang-terangan
(menyebabkan) apa yang ditakutkan akibatnya, sebagaimana yang terjadi dalam
pengingkaran terhadap Utsman secara terang-terangan, yang menyebabkan
terbunuhnya beliau.”
(Mukhtashar Shahih Muslim hal. 330)
Setelah dijelaskan metode Ahlus sunnah dalam mengingkari kemungkaran baik
yang muncul dari masyarakat umum atau dari penguasa atau pemimpin, ada
baiknya di akhir lembaran ini disebutkan sebagian metode yang salah yang
bertentangan dengan nash-nash syar’i dan prinsip-prinsip Ahlussunnah Wal
jama’ah dan manhaj salaf dalam mengingkari kemungkaran, di antaranya:
Angkat senjata, kudeta dan provokasi untuk melawan pemerintah.
Melakukan demonstrasi yang merupakan metode yang paling disukai oleh
mayoritas manusia di zaman sekarang ini, sementara ini adalah metode
yang dicetuskan oleh orang-orang Yahudi.
Dengan membeberkan kesalahan pemerintah di depan masyarakat umum,
atau lewat media massa.
[31]
Dengan menggunakan kekerasan dan main hakim sendiri.
واللفظ لمسلم،)2989 : ومسلم (رقم6685 :فتح الباري] رقم- 330/6[ رواه البخاري
34
Sengaja memata-matai suatu kemungkaran yang tersembunyi untuk
diingkari.
Mengingkari kemungkaran yang menyebabkan munculnya kemungkaran
yang lebih besar.
dll.
35
BAB III
KESIMPULAN
Perintah melakukan amar ma’ruf (mengajak kepada kebaikan) dan
mencegah kemunkaran.
Melakukan amar ma’ruf nahi munkar adalah kewajiban yang dituntut
dalam ajaran Islam atas setiap muslim sesuai kemampuan dan
kekuatannya.
Tindakan paling baik dalam mencegah amar ma’ruf nahi munkar adalah
dilakukan oleh tangannya sendiri atau memiliki kekuasaan yang dimiliki.
Ini merupakan tingkatan iman yang terbaik.
Mengingkari dengan hati diwajibkan kepada setiap muslim, sedangkan
pengingkaran dengan tangan dan lisan berdasarkan kemampuannya.
Menolak kemunkaran dengan hati merupakan bentuk/ tingkatan iman yang
paling lemah, lebih-lebih jika hati tidak tersentuh, hal itu bukan ciri orang
yang beriman.
36
BAB IV
PENUTUP
Demikian yang bisa disampaikan dalam lembaran yang sederhana ini, mudahmudahan bermanfaat bagi penulis dan para pembaca, jika didapatkan di dalamnya
kebenaran ini semata mata taufiq dari Allah Subhanahu wa Ta'ala dan jika
didapatkan kesalahan dan kekeliruan ini semata-mata dari diri penulis sendiri,
penulis beristighfar dan bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala serta sangat
mengharapkan nasihat dan saran dari para pembaca.
وصلى للا وسلم على نبيا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين،الحمد هلل بنعمته تتم الصالحات
37
SUMBER
http://muslim.or.id/manhaj/amar-maruf-nahi-mungkar-1.html
http://muslim.or.id/manhaj/amar-maruf-nahi-mungkar-2.html
http://muslim.or.id/manhaj/amar-maruf-nahi-mungkar-3.html
http://muslimah.or.id/manhaj/kaidah-dalam-amar-maruf-dan-nahimungkar.html
http://almanhaj.or.id/content/2708/slash/0/amar-maruf-nahimungkar-menurut-hukum-islam/