[go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu
Andi Miswar Perkembangan Tafsir Alquran pada Masa Sahabat PERKEMBANGAN TAFSIR AL-QUR’AN PADA MASA SAHABAT Oleh : Andi Miswar Abstract Interpretation of al-Qur'an have grown during Prophet life and he is the first mufassir. After Rasulullah passed away the prophet companies occupied the second interpretor. The first person interpreted al-Qur'an after Rasul is Ali and than Ibnu Abbas. Al-Qur'an was interpreted by prophet companieas by using sources such as Qur’an, prophet tradition,their own opinions (ijtihad) and israiliyat stories ( though this was not mentioned and not allowed by the Prophet.). Meanwhile interpretation of Prophet directly come from Allah or passed by jibril or from himself, difference ways of this two interpretation are not far differences, but the quality of these interpretations is far more eminent. Generally, the form of interpretation applied by prophet companies is called alMa'tsur interpretation which means that the interpretation is based on prophet interpretation, tradition and hisrory. This doesn’t mean the ra’yu or thought was not exluded but included. Precisely in certain condition, they used ideas called interpretation method (ijtihadi). The methode of interpretation used was ijmali ( global), which means a brief and clear interpretation of verses. Kata Kunci: Perkembangan;Tafsir; Sahabat I. PENDAHULUAN Sejarah al-Qur’an menunjukkan bahwa kitab suci al-Qur’an memang tidak mudah dapat dipahami, karena artinya sangat luas. Kesulitan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an terletak dalam mu’jizat bahasa dan isi kitab suci tersebut, dan tidak semua dapat mengetahui arti dan maksudnya. Karena al-Qur’an mengandung pengetahuan dan pelajaran yang penting, suci dan murni yang tidak dapat dipahami dan diamalkan dengan sempurna, melainkan oleh mereka yang tinggi budi pekertinya, jernih dan bersih pikirannya, suci dan murni pula jiwanya. Bagi yang menguasai ilmu lebih luas ia pasti mampu memahami al-Qur ‘an secara lebih baik. Karena itulah, pada setiap kali Allah Swt berbicara tentang dalil ketuhanan-Nya dan keesaan-Nya selalu disertai dengan sebutan orang-orang yang 145 Jurnal Rihlah Vol. V No. 2/2016 Perkembangan Tafsir Alquran pada Masa Sahabat Andi Miswar berakal , orang-orang yang berilmu, orang-orang yang mendengar, berfikir atau orang yang mau menarik pelajaran. Semua itu sebagai isyarat bahwa manusia bisa menjangkau hakekat makna ayat-ayat al-Qur’an dengan salah satu daya kesanggupan tersebut. Penafsiran al-Qur’an telah tumbuh pada masa hidup Nabi dan beliaulah sebagai mufassir al-Awwal dari kitab Allah untuk menerangkan maksud-maksud wahyu yang diturunkan kepadanya. Namun setelah Rasulullah wafat maka tafsir para sahabat nabi menempati urutan kedua setelah tafsir Rasululullah, seperti tafsir Ali dan Ibnu Abbas ( Ibnu Abbas wafat pada tahun 68 Hijriah).1 Ali adalah orang pertama menafsirkan al-Qur’an setelah Rasul . Keterangan tersebut di atas menunjukkan bahwa Sahabat melakukan penafsiran diantaranya karena Rasulullah sebagai penafsir pertama telah wafat, secara otomatis tugas sebagai penyampai yang diembang oleh Rasulullah sebelumnya, beralih ke pundak para sahabat. Mengenai penggantian seperti ini telah disinggung Abd Muin Salim dalam Konsepsi Kekuasaan Politik dalam al-Qur’an, beliau menjelaskan bahwa kata kerja khalafa-yakhlufu dalam al-Qur’an dipergunakan dalam arti “mengganti” baik dalam konteks penggantian generasi ataupun dalam pengertian penggantian kedudukan kepemimpinan. Dalam hal ini konsep yang terkandung dalam kata khalafa tersebut menurutnya tidak hanya bermakna penggantian generasi, tetapi juga berkonotasi fungsional.2 Disamping itu (karena wafatnya Rasulullah) berbagai pertanyaan yang muncul di kalangan para sahabat sendiri tentang makna suatu ayat. Bagi para sahabat mempelajari tafsir al-Qur’an sangat mudah karena memang al-Qur’an diturunkan dengan bahasa mereka, dan karena suasana dan peristiwa turun ayat dapat mereka saksikan, disamping itu mereka menerima al-Qur’an langsung dari shahibir Risalah dan mempelajari tafsir al-Qur’an pun dari beliau sendiri. Meskipun demikian, mereka itu berbeda dalam memahami ayat al-Qur’an, ada ayat yang terang bagi sebahagian sahabat, tetapi bagi sahabat lain justru belum jelas. Berangkat dari pemikiran tersebut diatas, maka penulis akan memfokuskan pembahasan ini pada hal berikut ini: Bagaimana Perkembangan Tafsir pada masa sahabat, Apa yang menjadi sumber tafsir pada masa sahabat dan Bagaimana bentuk dan metode tafsir pada masa itu. II. PEMBAHASAN A. Perkembangan Tafsir Pada Masa Sahabat Rasulullah saw setiap menerima ayat al-Qur’an langsung menyampaikannya kepada para sahabat serta menafsirkan makna yang perlu ditafsirkan. Penafsiran 1 Husein Muhammad al-Zahabiy, al-Tafsir wa al-Mufassirun, juz I (t.p., 1986), h. 32 Abd Muin Salim, Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Qur’an, (Cet. I; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), h. 114. 2 146 Jurnal Rihlah Vol. C No. 2/2016 Andi Miswar Perkembangan Tafsir Alquran pada Masa Sahabat Rasulullah itu adakalanya dengan sunnah qauliyah, fi’liyah dan adakalanya dengan sunnah Taqririyah. Dalam pada itu tafsir yang diterima dari Nabi sendiri tidak begitu banyak. Karena mempelajari dan memahami tafsir adalah hal yang sangat urgen, maka sahabatpun bersungguh-sungguh mempelajari al-Qur’an, yakni memahaminya, mentadabburi maknanya, tegasnya mempelajari tafsirnya. Apabila mereka tidak mengetahui makna sesuatu lafadz al-Qur’an, atau sesuatu maksud ayat, segeralah mereka bertanya kepada Rasul sendiri, atau kepada sesama sahabat yang dipandang dapat menjelaskannya. Ali pernah berkata : Aku bertanya kepada Nabi tentang makna yaumul hajjil akbar. Maka nabi menjawab “ Yaumun nahri (hari menyembelih qurban)” maka akupun menafsirkan yaumul hajjil akbar dengan tafsir yang diberikan oleh Nabi kepadaku itu. Dalam al-Qur’an Memang tidak sedikit ayat-ayat yang tak dapat diketahui maksudnya dengan hanya modal bahasa saja. Dalam hal tersebut tidak semua sahabat sederajat dalam memahami al-Qur’an, dan dalam mengetahui makna mufradat dan tarkibnya. Ada diantara mereka yang memahaminya secara ijmal dan ada mengetahuinya secara tafshil. Karena para sahabat dalam memahami al-Qur’an dan mengetahui tafsir al-Qur’an berbeda tingkat pemahaman dan penafsirannya disebabkan tidak semua mempunyai alat yang cukup untuk memahami al-Qur’an. Menurut al-Sayuti sebagaimana yang dikutip oleh Ahmad al-Syirbashi bahwa terkadang kita menghadapi tafsir seorang sahabat Nabi yang dikemukakan dalam susunan kalimat yang sedikit lain sehingga sulit untuk dipahami seseorang akan maksudnya atau bahkan dianggap bukan yang dimaksud oleh ayat tsb, walaupun sebenarnya tidaklah demikian. Namun perlu diingat bahwa tiap keterangan sahabat Nabi adalah makna dari suatu ayat yang dipandang sebagai penjelasan paling terang, atau bisa dianggap yang paling memenuhi kebutuhan si penanya. Diantara para sahabat Nabi ada yang menjelaskan pengertian makna menurut bahasa, tapi ada pula yang menyampaikannya dalam bentuk kesimpulan terhadap maksud dari suatu ayat. Tapi perlu diingat bahwa semua keterangan yang diberikan oleh sahabat Nabi itu pada hakekatnya kembali kepada makna yang satu dan sama3. Jika terdapat dua macam penafsiran yang tidak mungkin dapat disatukan, padahal keduanya sama kuatnya, maka ambil penafsiran yang kemudian.dan jika tidak sama kuatnya, maka tentunya pilihan jatuh kepada yang kuat dan yang benar . Dalam Mabāhis fi ulum al-Qur’an disebutkan bahwa para sahabat yang terkenal dalam bidang tafsir dan ilmu tafsir adalah sebagai berikut : 1. Khulafaurrasyidin 7. Abdullah bin Zubair 2. Abdullah bin Mas’ud 8. Anas bin Malik 3.Abdillah Ibn Abbas 9. Abdillah Ibn Umar 4.Ubay bin Ka’ab 10.Jabir bin Abdullah 3 Ibid, h. 76. 147 Jurnal Rihlah Vol. V No. 2/2016 Perkembangan Tafsir Alquran pada Masa Sahabat Andi Miswar 5.Zaid bin Tsabit 11.Abdullah Ibn Umar Ibn Ash 6.Abu Musa al-Asy;ary 12.dan Aisyah.4 Seorang ahli tafsir bernama Ibnu ‘Athiyyah menyusun urutan nama para ulama tafsir dari kalangan sahabat Nabi. Menurut dia ulama tafsir yang terkemuka yang diakui oleh semua sahabat Nabi adalah Ali bin Abi Thalib ra. Diantara Khulafaurasyidin, yang paling banyak menjadi sumber riwayat adalah Ali bin Abi Thalib. Sementara tiga khalifah lainnya amat sedikit riwayat yang bersumber darinya. Hal ini tiada lain disebabkan karena khalifah-khalifah tersebut lebih dahulu meninggal dunia.5 Berbeda dengan Ali bin Abi Thalib beliau hidup setelah ketiga khalifah, dan dalam suasana perkembangan islam yang semakin meluas, saat banyak orang berbondong-bondong masuk islam, begitu pula tumbuhnya generasi baru putraputra para sahabat. Mereka itu butuh pelajaran dan pemahaman terhadap rahasiarahasia yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an.6 Disini peran Ali selaku khalifah sekaligus sahabat nabi sangat dibutuhkan dalam rangka penyebaran al-Qur’an sekaligus menjelaskan rahasia dibalik ayat-ayat al-Qur’an tersebut. Setelah Ali menyusul Abdullah bin Abbas pada urutan kedua. Ibnu Abbas menafsirkan al-Qur’an dengan melengkapi makna serta pengertiannya. Tidak ada seorang sahabat Nabi yang mendapat julukan Bahrul Ilm (lautan Ilmu) kecuali Ibnu Abbas), dan sederetan predikat yang diberikan kepadanya seperti Habrul Ummah (ulama ummat) dan turjumanul qur’an (juru tafsir al-Qur’an) .Ali pernah berkata bahwa Ibnu Abbas seolah-olah melihat rahasia ghaib dari tirai yang tipis. Sementara Ibnu Mas’ud menyatakan bahwa ia memang seorang penafsir al-Qur’an.7 Dengan berbagai pernyataan dari sahabat tersebut, maka dapat dibayangkan betapa banyak ilmu dan pengetahuan yang dimiliki Ibnu Abbas. Abdullah bin Abas, salahseorang sahabat yang banyak bersama Rasulullah sejak kecil sehingga suatu ketika jibril menemui Rasulullah dan mendapatkan Abdullah bin Abbas lalu berwasia kepada Rasulullah saw. Bahwa dia adalah pembimbing umat ini maka wasiatkanlah kepadanya kebaikan, sehingga Nabi pernah mendoakannya: ‫ الهم فقه في الدين و علمه تاويله‬8 Kedekatan Abdullah bin Abbas dengan Nabi menjadikannya banyak menerima ilmu pengetahuan, serta tafsir terhadap ayat-ayat al-Qur’an bahkan setelah Rasululah wafat beliau banyak berguru kepada tokoh-tokoh senior dari kalangan Manna’Al-Qathan, Mabahis Fi ulum al-Qur’an, Riyadh: Mansyuratul Ishril Hadis, 1973, h. 4 336. 5 6 7 Muhammad Ali Ash Shabuni, Al-Tibyan fi Ulum Qur’an, (Beirut:Dar al-Irsyad, 1970) h. 98 Ibid. Ahmad Asy-Syirbashi, Sejarah Tafsir al-Qur’an , (Cet. 3 Pustaka Firdaus, 1994). h. 75. 8 Abdullah Muhammad Salqiny, Abdullah bin Abbas wa Madrasatuhu fi tafsir bi maktabah Mukarramah (Dārus Salām), h. 16 148 Jurnal Rihlah Vol. C No. 2/2016 Andi Miswar Perkembangan Tafsir Alquran pada Masa Sahabat sahabat, misalnya Umar bin Khattab, Ubay bin Ka’ab, Ali bin Abi Thalib, dan Zaid bin Tsabit. Metode yang diterapkan Abdullah bin Abbas dalam tafsir al-Qur’an adalah merujuk kepada al-Qur’an itu sendiri, tafsir Nabi, sahabat-sahabat senior dan selanjutnya melakukan ijtihad.9 Dalam melakukan ijtihad, selain kaedah-kaedah bahasa Arab, Asbāb alNuzul, juga adat kebiasaan masyarakat arab, syair-syair jahiliy, untuk membantu memahami kata-kata asing yangterdapat dalam al-Qur’an sesuatu yang sulit dimengerti maknanya, maka hendaklah kamu melakukan penelitian (melihat) pada syair-syair, karena syair-syair itu adalah sastra arab kuno. Selain itu, beliau juga sering berkonsultasi dengan ahli kitab seperti Ka’ab al-Ahbar dan Abdullah bin Salam. Kalaupun Ibnu Abbas dikenal sebagai tokoh yang banyak mengetahui tentang adat istiadat masyarakat Arab, memahami berbagai peristiwa dalam sejarah kehidupan bangasa Arab, namun beliau tidak terpengaruh pada pikiran dan pendapatnya dalam menafsirkan al-Qur’an. Dalam menafsirkan al-Qur’an beliau lebih mengutamakan riwayat dan nash-nash dari Nabi Muhammad saw. Ahmad Asy-Syirbashi mengungkapkan bahwa Tafsir Ibnu Abbas sudah dicetak dan diterbitkan, sekali pun hanya sebagian. Naskah aslinya dalam tulisan tangan masih tersimpan baik di perpustakaan Hamidiyyah di istambul (Turki). Tafsir tersebut berjudul Tanwirul Miqbas bi Tafsir Ibni Abbas. Menurut al-Syirbashi bahwa dari judulnya nampak jelas bukan karya Ibnu Abbas sendiri. Tafsir Ibnu Abbas dicetak pada setiap tepi halaman kitab Tafsir al-Durr al-Mantsur yang ditulis oleh As-Sayuti di kairo pada tahun 1314 H. Sementara Amin al-Khuli berpendapat bahwa tafsir yang dikatakan orang berasal dari Ibnu Abbas dan yang dicetak dengan judul Tanwirul Miqbas Min Tafsir Ibni Abbas, bukanlah tafsir Ibnu Abbas yang sebenarnya, melainkan tafsir yang ditulis oleh Majduddin al-Fairuz abadi, penyusun kamus al-Muhīth.10 B. Sumber-sumber tafsir pada masa Sahabat. Pola dan metode penafsiran al-Qur’an yang diberikan oleh sahabat tidak terdapat perbedaaan yang berarti dari penafsiran yang diberikan oleh Nabi, kecuali dari sudut sumber. Kalau tafsir Nabi berasal dari Allah langsung atau lewat jibril atau dari pribadi beliau sendiri, sementara penafsiran sahabat bersumber dari al-Qur’an, Nabi, dan dari Ijtihad mereka. Jadi perbedaan teknis antara kedua tafsir itu tidak terlalu jauh. Namun, dari segi kualitas jelas penafsiran Nabi jauh lebih unggul dan lebih terpercaya karena beliau langsung menerima ayat al-Qur’an dari Allah. 9 10 Ibid, h. 90-91 Ibid, h.74 149 Jurnal Rihlah Vol. V No. 2/2016 Perkembangan Tafsir Alquran pada Masa Sahabat Andi Miswar Menurut Al-Zahabiy, sumber tafsir al-Qur’an pada masa sahabat , ada sekitar empat macam, yaitu: (a) Al-Qur’an al-Karim (b). Hadis-hadis Nabi saw. (c). Ijtihad d). Cerita ahli kitab dari kaum yahudi dan Nasrani.11 Berikut akan diuraikan . a. Al-Qur’an al-karim Bangsa Arab pada masa-masa awal diturunkannya al-Qur’an mampu memahami maksud al-Qur’an. Para sahabat sebagai orang-orang yang berkesempatan menyaksikan turunnya wahyu kepada Nabi saw, tidak begitu banyak menanyakan kepada Nabi saw. tentang makna-makna al-Qur’an dan tidak pula tentang penafsiran ayat-ayatnya, karena mereka adalah pemilik bahasa yang dipergunakan oleh alQur’an. Kecuali hal-hal yang sulit mereka pahami. Mereka merasa cukup dengan kemampuan mereka dibidang balaghah dan penguasaan mereka tentang segala aspek bahasa arab. Aspek-aspek bahasa arab yang terdapat dalam al-Qur’an telah mereka kenal dalam bahasa mereka. Dalam kondisi seperti itu, maka tidak dirasa perlu disusun tafsir , kecuali untuk sebagian ayat-ayat al-Qur’an yang maksudnya kurang jelas bagi para sahabat, ( karena tidak semua ayat al-Qur’an telah ditafsirkan oleh Nabi). maka mereka menanyakannya langsung kepada Nabi saw. Seperti halnya ketika turun firman Allah, QS. 6:82 ُ ‫سواْ إِي َمانَ ُهم ِب‬ ﴾٨٢﴿ َ‫ظ ْل ٍم أ ُ ْولَـئِكَ لَ ُه ُم األ َ ْم ُن َو ُهم ُّم ْهتَدُون‬ ُ ‫الَّذِينَ آ َمنُواْ َولَ ْم يَ ْل ِب‬ Artinya: Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. Para sahabat merasa sulit memahami kata Dzulm yang terdapat dalam ayat tersebut, mereka bertanya siapakah diantara kami yang tidak mendzhalimi (menganiaya) dirinya? lalu bertanya kepada Nabi, Nabi menjawab maksud ayat tersebut tidaklah seperti yang kalian duga, tetapi maksudnya adalah sebagaimana kata lukman kepada anaknya : Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, karena mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman yang besar. ( sebagaimana terdapat dalam QS.Lukman /31:13 ). ُ ‫ان ِِل ْبنِ ِه َو ُه َو يَ ِع‬ ُ َ‫اَّللِ إِ َّن الش ِْركَ ل‬ ُ ‫َوإِ ْذ قَا َل لُ ْق َم‬ َّ ِ‫ي َِل ت ُ ْش ِر ْك ب‬ ﴾١٣﴿ ‫ع ِظي ٌم‬ َ ‫ظ ْل ٌم‬ َّ َ‫ظهُ يَا بُن‬ Terjemahnya Dan (Ingatlah) ketika Luqman Berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar" . 11 Al-Zahabiy, al-Tafsir wa al-Mufassirun, (juz I Kairo: Dar al-Kutub al-Haditsah 1986 ) h. 3762. 150 Jurnal Rihlah Vol. C No. 2/2016 Andi Miswar Perkembangan Tafsir Alquran pada Masa Sahabat Jadi,iman kepada Allah bukanlah membenarkan dengan mempersekutukan-Nya (syirk) dengan sesuatu yang lain.12 Demikian pula halnya ketika Sahabat bertanya kepada Nabi tentang makna : ﴾٧﴿ َ‫علَي ِه ْم َوِلَ الضَّالِين‬ ُ ‫ال َمغ‬ ِ ‫ضو‬ َ ‫ب‬ yang terdapat pada akhir surah al-Fatihah. Nabi menjawab al-Magdbi alaihim (mereka yang dimurkai oleh Allah adalah orang yahudi). Dan al-Dhālin (mereka yang sesat adalah orang-orang Nasrani.). Jawaban Nabi SAW ini sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn Hibban dan ia menshahikannya.13 Penafsiran sahabat terhadap al-Qur’an senantiasa mengacu kepada inti dan kandungan al-Qur’an, mengarah kepada penjelasan makna yang dikehendaki dan hukum-hukun yang terkandung dalam ayat serta menggambarkan makna yang tinggi, kesemuanya itu ditemukan dari ayat-ayat yang berisi nasihat, petunjuk, kisah-kisah agamis, penuturan tentang keadaan umat terdahulu, penjelasan tentang maksud pribahasa dan ayat-ayat yang dijadikan oleh Allah. sebagai contoh bagi manusia untuk dipikirkan dan direnungkan dan dijadikan sebagai nasihat yang baik dan bermanfaat. Untuk itu semua, para sahabat banyak merujuk kepada pengetahuan mereka tentang sebab-sebab turunnya ayat ( peristiwa-peristiwa yang menjadi sebab turunnya ayat) oleh karenanya, mereka tidak mengkaji dari segi Nahwu, i’rab dan macammacam balaghah (ilmu ma’aniy, bayan, badi’, majaz dan kinayah). Juga mereka tidak mengkaji segi-segi lafadz, susunan kalimat, hubungan suatu ayat dengan ayat sebelumnya dan segi-segi lain yang sangat diperhatikan oleh mufassir-mufassir yang datang kemudian (mutaakhirun). Oleh karena mereka memiliki dzauq (rasa kebahasaan) dan juga fitrah bagi mereka. Berbeda dengan mufassir yang datang kemudian, baru mengetahui itu semua berdasarkan kaidah-kaidah dan dari kitab-kitab serta hasil-hasil kajian. Penafsiran para sahabat pada mulanya didasarkan atas sumber yang mereka terima dari Nabi saw. Mereka banyak mendengarkan tafsiran Nabi dan memahami serta menghayatinya dengan baik. Mereka menerima bacaan ayat-ayat al-Qur’an langsung dari Nabi, yaitu setelah ayat tersebut diterima beliau, dan mereka menyaksikan peristiwa yang melatar belakangi turunnya ayat dan mengetahui persesuaian ayat yang satu dan yang lain. Mereka menguasai bahasa Arab secara baik, mengetahui dan menghayati budaya serta adat-istiadat bangsa Arab. Beberapa sumber menyinggung bahwa mereka yang menafsirkan al-Qur’an dengan pengertian dan pentakwilan paling baik adalah para sahabat Nabi, karena Al12 Ali Hasan al-Aridl, Tarikh Ilm Tafsir wa Manahij al-Mufassirin, Alih Bahasa oleh Akrom, Ed.1., Cet 2 Jakarta : PTRaja Grafindo Persada, 1994. h. 14. lihat pula Manna’ al-Qathan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, (Riyadh: Dār al-Su’udiyyah,1378), h. 178. 13 Ibid. Lihat pula Ahmad bin Hanbal,Musnad bin Hanbal, Jilid V (Beirut :Maktabah alIslamiyah, 1978), h. 378-379. 151 Jurnal Rihlah Vol. V No. 2/2016 Perkembangan Tafsir Alquran pada Masa Sahabat Andi Miswar Qur’an diturunkan dalam bahasa mereka sebagaimana telah disinggung terdahulu. Semua itu merupakan sumber tafsir yang besar manfaatnya bagi mereka untuk dapat memahami dan menerangkan arti ayat dengan baik dan benar. b. Hadis-Hadis Nabi / Riwayat (Nukilan dari Nabi saw) Setelah Rasulullah saw. Wafat pada tahun 11H (632 M), para sahabat makin giat mempelajari al-Qur’an dan memahami makna- maknanya dengan jalan riwayat , secara lisan, dari mulut ke mulut, dari sahabat yang satu kepada sahabat yang lain, terutama mereka yang banyak mendengarkan hadis dan tafsir dari Nabi. Penafsiran yang dikembalikan kepada Nabi dilakukan terutama ketika para sahabat Nabi mendapatkan kesulitan dalam memahami suatu ayat dari al-Qur’an. Karena sebagian dari ayat-ayat al-Qur’an memang terdapat ayat yang tidak dimengerti takwilnya terkecuali setelah mendapatkan penjelasannya dari Rasul saw. Menurut al-Zarqani, Nabi saw menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an kepada sahabatsahabatnya melalui sabda-sabda beliau atau dengan perbuatan beliau dan atau melalui ketetapannya (taqrirnya). Contoh, QS.al-Baqarah,/2:238. ُ ِ‫ َحاف‬ َ ‫صالَةِ ْال ُو ْس‬ ﴾٢٣٨﴿ َ‫طى َوقُو ُمواْ َِّللِ قَانِتِين‬ ِ ‫صلَ َوا‬ َّ ‫ت وال‬ َّ ‫علَى ال‬ َ ْ‫ظوا‬ Terjemahnya: Peliharalah segala shalat(mu) dan (peliharalah) shalat wustha’ berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu. Kata al-Wusthā pada ayat tersebut ditafsirkan oleh Nabi Muhammad saw. Dengan shalat Ashar.14 Penjelasan (tafsir) yang dinukilkan dari Rasul adalah pokok pertama bagi penafsiran al-Qur’an. Dan para sahabat telah menyepakati penafsiran dengan dasar atsar (nukilan-nukilan dari Nabi saw) . Demikian juga tafsir al-Qur’an dengan nukilan dari sahabat Nabi, menurut alHakim bahwa tafsir sahabat yang menafsirkan wahyu dengan turunnya al-Qur’an, kedudukan hukumnya adalah marfu, artinya bahwa tafsir sahabat tersebut mempunyai kedudukan sama dengan kedudukan hadis Nabi saw. Yang silsilahnya sampai kepada Nabi saw. Oleh karena itu tafsir sahabiy adalah bernilai ma’tsur.15 Contoh QS.alAnbiya,21:30. ِ ‫س َم َاوا‬ َّ ‫أ َ َولَ ْم يَ َر الَّذِينَ َكفَ ُروا أ َ َّن ال‬ َ ‫ت َو ْاأل َ ْر‬ ٍ ‫َيءٍ َحي‬ ْ َ ‫ض َكانَت َا َرتْقا ً فَفَت َ ْقنَا ُه َما َو َج َع ْلنَا ِمنَ ْال َماء ُك َّل‬ ﴾٣٠﴿ َ‫أَفَ َال يُؤْ ِمنُون‬ 14 15 Lihat Muhammad Ali Ash-Shabuniy, h.131 Ibid , h. 78. 152 Jurnal Rihlah Vol. C No. 2/2016 Andi Miswar Perkembangan Tafsir Alquran pada Masa Sahabat Artinya: Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, Kemudian kami pisahkan antara keduanya. Ibnu Abbas menafsirkan ayat tersebut di atas dalam al-Tanwir al-Miqbas min tafsir Ibni Abbas, sebagai berikut: ِ ‫س َم َاوا‬ َّ ‫أ َ َولَ ْم َي َر الَّذِينَ َكفَ ُروا أ َ َّن ال‬ َ ‫ت َو ْاأل َ ْر‬ ٍ ‫َيءٍ َحي‬ ْ َ ‫ض َكانَت َا َرتْقا ً فَفَت َ ْقنَا ُه َما َو َج َع ْلنَا ِمنَ ْال َماء ُك َّل‬ ‫﴾ أ َ َولَ ْم [ يعلم ] الَّذِينَ َكفَ ُروا [ جحد بمحمدعليه السالة والسالم والقرآن ] أ َ َّن‬٣٠﴿ َ‫أَفَ َال يُؤْ ِمنُون‬ ‫ض َكانَت َا َرتْقا ً [ لم تنزل منها قطرة من مطر ولم ينبت على اِلرض َيء من‬ ِ ‫س َم َاوا‬ َّ ‫ال‬ َ ‫ت َو ْاأل َ ْر‬ ‫النبات ملتزقا بعضها على بعض ] فَفَت َ ْقنَا ُه َما [ ففرقتا هما و أبنا بعضهما عن بعض با لمطر‬ ‫َيءٍ َحي ٍ [ خلقنا من ماء الذكر واِلنثي كل َيء يحتاج إلى الما‬ ْ َ ‫والنبات ] َو َج َع ْلنَا ِمنَ ْال َماء ُك َّل‬ ] ‫] أَفَ َال يُؤْ ِمنُونَ [ بمحمد صلى هللا عليه وسلم والقرآن يعني أهل مكة‬ Kalimat ‫ض َكانَت َا َرتْقا ً فَفَت َ ْقنَا ُه َما‬ ِ ‫س َم َاوا‬ َّ ‫ أ َ َّن ال‬ditafsirkan oleh sahabat Nabi (Ibnu َ ‫ت َو ْاأل َ ْر‬ Abbas) dengan mengatakan :langit itu rapat tidak menurunkan hujan dan bumi pun rapat tidak mengeluarkan tumbuh-tumbuhan, maka tatkala Allah menjadikan penduduk bumi, ia mentakdirkan langit menurunkan hujan dan bumi menumbuhkan tumbuh-tumbuhan.16 Sebagian sahabat menafsirkan ayat al-Qur’an hanya berpedoman kepada nukilan-nukilan dari Nabi saw saja dan tidak mau mempergunakan ijtihad. diantara sahabat yang tidak membenarkan penafsiran dengan ijtihad adalah Abu Bakar r.a dan Umar r.a. Abu Bakar pernah berkata : ‫أي أرض تقـلنى و أي سماء تظلنى إذا قلت فى كتاب هللا ماِل أعلم‬ Bumi manakah yang menampung aku dan langit manakah yang menaungi aku , apabila aku mengatakan mengenai kitab Allah suatu yang tidak aku ketahui .17 Begitulah kehati-hatian Abu Bakar dengan tidak serta merta dalam memberikan penafsiran terhadap suatu ayat, mawas diri (wara’) , dan sangat menghormati alQur’an. Para sahabat dan sebagian ulama menaruh perhatian khusus terhadap hadishadis Nabi saw. yang berfungsi sebagai penafsir ayat-ayat al-Qur’an dan mereka menamakan penafsiran yang demikian dengan tafsir bi al-Ma’tsur. c. Ijtihad 16 Ibid., h. 132 lihat Ibnu Abbas, Tanwīrul Miqbās min Tafsir Ibni Abbas, Dar al-Fikr, tt. h. 270 17 Hasbi Assiddieqiy , Sejarah Ilmu al-Qur’an, , (cet 15,jakarta : Buan Bintang; 1994), h. 209 153 Jurnal Rihlah Vol. V No. 2/2016 Perkembangan Tafsir Alquran pada Masa Sahabat Andi Miswar Mengenai penafsiran dengan ijtihad, terdapat peselisihan diantara para sahabat. Karena sebahagian sahabat dalam menafsirkan al-Qur’an hanya berpedoman kepada riwayat semata, tidak mau mempergunkan ijtihad. Sementara sebagian yang lain, disamping menafsirkan ayat dengan hadis-hadis yang diterimanya dari Nabi atau dari sesamanya, mereka menafsirkan juga dengan ijtihad. Tegasnya disamping mereka menafsirkan dengan atsar, mereka juga menafsirkan al-Qur’an dengan berpegangan kepada kekuatan bahasa arab dan asbab al-nuzul. Karena itu menjadilah ijtihad dasar tafsir yang ketiga dan diantara sahabat yang menafsirkan al-Qur’an dengan ijtihad, disamping riwayat, adalah Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas. Keduanya berusaha mengumpulkan sunnah mengenai tafsir dan keduanya terkenal mahir dalam bidang takwil/istinbath. Karena itu, banyak paham-paham yang beliau ketengahkan dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an. Menurut Ash-Shabuniy, tafsir dengan ijtihad disebut juga dengan tafsir bi alDirayah, yang berdasarkan ijtihad dengan berpegang kepada prinsip-prinsip yang benar. Ijtihad mufassir yang didukung oleh kemampuan bahasa arab dalam berbagai aspeknya, lafalnya, dalilnya, syair-syair jahiliyahnya, demikian asbab al-Nuzulnya, nasikh mansukhnya dan lain-lain. Penafsir harus menggunakan nalarnya berdasarkan dalil-dalil syar’i, dan kaidah bahasa arab, terutama pada masa turunnya ayat-ayat alQur’an. Hal ini dapat dilihat pada QS.Shad/38:29. ﴾٢٩﴿ ‫ب‬ ِ ‫اركٌ ِل َيدَّب َُّروا آ َياتِ ِه َو ِليَتَذَ َّك َر أ ُ ْولُوا ْاأل َ ْل َبا‬ َ ‫ِكتَابٌ أَنزَ ْلنَاهُ ِإلَيْكَ ُم َب‬ Artinya: Ini adalah sebuah Kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran. Pemahaman dan ijtihad sahabat Nabi diperlukan ketika mereka tidak menemukan tafsiran suatu ayat dalam kitab Allah dan juga tidak menemukannya dari penjelasan Nabi. Diantara sahabat Nabi terdapat pedekar yang sangat tangguh dalam bidang tafsir al-Qur’an, mereka itu antara lain :sahabat Nabi yang tergabung dalam empat khalifah (al-Khulafā al-Arba’ah), Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit dan lain-lain.18 Ijtihad itu sesungguhnya terkadang mewujudkan ikhtilaf diantara para sahabat yang berijtihad dalam menafsirkan lafadz dan ayat, seperti yang dapat kita temukan bila mempelajari tafsir Ibnu Jarir al-Thabary. Ringkasnya bahwa adab-adab jahiliy (kesusastraan zaman jahiliyah), baik syair maupun atsar, sebab nuzul dan adatadat kebiasaan orang arab dalam mempergunakan tutur kata, menjadi sumber tafsir bagi golongan ini. Menurut al-Syatibi, penafsiran atas dasar ra’yu (pendapat) hendaknya disesuaikan dengan makna yang terkandung dalam bahasa arab, sesuai dengan kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya. Hal ini tidak boleh diremehkan karena kenyataan 18 Said Agil Husain al-Munawar, Hakiki,Jakarta:ciputat Press.2004. h. 67-68. Al-Qur’an membangun tradisi keshalehan 154 Jurnal Rihlah Vol. C No. 2/2016 Andi Miswar Perkembangan Tafsir Alquran pada Masa Sahabat menghendaki bahwa: (a). al-Qur’an harus dibicarakan, dijelaskan maknanya dan disimpulkan hukum-hukumnya yang belum digarap oleh ulama terdahulu. Jika umat islam mandek, maka hukum syariat pun jadi beku. (b). Karena Rasulullah saw tidak menafsirkan seluruh ayat dalam al-Qur’an. Untuk itu masih tetap terbuka kesempatan bagi usaha penafsiran berdasarkan pendapat yang sah menurut dalil-dalil syara’ dan apa yang telah ditafsirkan oleh beliau, umat islam harus berpegang teguh atasnya (c). Para sahabat Nabi selalu bersikap sangat hati-hati, mereka tidak asal bicara mengenai al-Qur’an menurut pemahaman mereka. d. Cerita ahli Kitab (dari kaum yahudi dan Nasrani) para sahabat menjadikan pula kisah-kisah dan penjelasan-penjelasannya, sebagai dasar bagi tafsir. Misalnya : Dari pekabaran kitab Taurat: bahwa apabila mereka mendengar kisah anjing pemuda-pemuda gua, umpamanya, merekapun berkata; Bagaimana rupa dan warnanya ? Ketika mereka membaca kisah khaidir beserta Musa, mereka bertanya pula siapakah nama anak yang dibunuh Khaidir itu ? Penjelasan-penjelasan tentang hal tersebut banyak terdapat dalam Taurat dan dalam tambahan-tambahannya. Isi taurat dan tambahan-tambahannya, diterima para sahabat dari orang-orang yahudi yang telah masuk islam, seperti Ka,bul Ahbar dan Wahab Ibn Munabbih. Dan Ibnu Abbas seringkali bersama-sama dengan Ka’bul Ahbar.19 Dengan demikian dipahami bahwa jika para sahabat ingin mengetahui beritaberita umat terdahulu yang ada hubungannya dengan ayat yang hendak ditafsirkan (sedang riwayat yang shahih dari Nabi tidak diperoleh), maka mereka bertanya kepada orang Nasrani atau yahudi yang telah masuk islam. Mereka menerima riwayat-riwayat dahulu itu dari kisah-kisah yang diceritakan oleh orang-orang tua mereka. Dengan demikian masuklah keterangan-keterangan yang disampaikan oleh orang yahudi ke dalam bidang tafsir dalam hal yang tidak bersangkutan dengan hukum. Padahal Nabi SAW tidak membenarkan para sahabat untuk mempercayai kisah-kisah itu. Dengan tidak disadari kisah-kisah tersebut menjadi bahan tafsir. Dan inilah yang disebut dengan israiliyyat. Abuddin Nata menambahkan bahwa jikalau kita mengamati metode penafsiran sahabat Nabi saw., ditemukan bahwa pada dasarnya setelah mereka gagal menemukan penjelasan Nabi saw, mereka merujuk kepada pemggunaan bahasa dan syair-syair Arab.20 Cukup banyak contoh yang dapat dikemukakan tentang hal ini, misalnya Umar ibn Khattab pernah bertanya tentang arti takhawwuf dalam firman Allah QS.16:47. ﴾٤٧﴿ ‫ُوف َّر ِحي ٌم‬ ٌ ‫علَى تَخ َُّوفٍ فَإ ِ َّن َربَّ ُك ْم لَرؤ‬ َ ‫أ َ ْو يَأ ْ ُخذَ ُه ْم‬ 19 Hasbi Al-Siddieqy, Ibid, h. 201 20 Abuddin Nata, Metodologi Study Islam, (Cet.IX; Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada, 2004. h.216. 155 Jurnal Rihlah Vol. V No. 2/2016 Perkembangan Tafsir Alquran pada Masa Sahabat Andi Miswar : Artinya Atau Allah mengazab mereka dengan berangsur-angsur (sampai binasa) Maka Sesungguhnya Tuhanmu adalah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Seorang Arab dari kabilah Huzail menjelaskan artinya adalah:pengurangan, yang berarti dalam keadaan berkekurangan dan penyiksaan sedikit demi sedikit. Quraish Shihab memberi contoh, misalnya pertama dengan kemarau panjang, disusul dengan masa paceklik, wabah penyakit, bencana alam, lalu sakit disusul dengan hilangnya rasa aman. Demikian silih berganti, terus menerus dan sedikit demi sedikit tapi tanpa henti, hingga akhirnya yang bersangkutan binasa .21 Arti pengurangan ini berdasarkan penggunaan bahasa yang dibuktikan dengan syair pra islam. Dan Umar ketika itu puas dengan jawaban tersebut, dan menganjurkan untuk mempelajari syair-syair tersebut dalam rangka memahami alQuran. C. Bentuk dan Metode Tafsir Sahabat. Dilihat dari segi sumber-sumber tafsir tersebut, bentuk tafsir para sahabat pada umumnya adalah al-Ma’sur, yaitu penafsiran yang lebih banyak didasarkan atas sumber yag diriwayatkan atau diterima dari Nabi dari pada pemikiran (al-ra’yu).. Dilihat dari segi metode penafsiran, ternyata para sahabat memakai metode tafsir ijmali (gobal), yaitu menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an secara singkat dan ringkas, hanya sekedar memberi penjelasan muradif (sinonim) kata-kata yang sukar dengan sedikit keterangan. Dengan demikian, ayat yang masih bersifat global/mujmal pada suatu masalah mereka memberikan penjelasannya secara rinci pada ayat yang lain. Biasa disebut dengan tafsir al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an. Begitu pula ayat-ayat yang bersifat mutlak atau masih umum, terdapat pada tempat lain ayat yang menjadi qayid atau yang mengkhususkannya.Corak penafsiran dengan pendekatan Qur’ani seperti ini contohnya pada QS.Al-Maidah :1. ْ َّ‫أ ُ ِحل‬ ‫علَ ْي ُك ْم‬ َ ‫ت لَ ُكم بَ ِهي َمةُ األ َ ْن َع ِام ِإِلَّ َما يُتْلَى‬  Terjemahnya: Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. Kalimat ‫علَ ْي ُك ْم‬ َ ‫ َما يُتْلَى‬pada ayat tersebut ditafsirkan oleh ayat lain dalam QS.al-Maidah /5: 3 : ْ ‫ ُح ِر َم‬ ‫ير َو َما أ ُ ِه َّل ِلغَي ِْر اَّللِ ِب ِه‬ َ ‫ت‬ ِ ‫علَ ْي ُك ُم ْال َم ْيتَةُ َو ْالدَّ ُم َولَحْ ُم ْال ِخ ْن ِز‬ (Diharamkan bagimu memakan bangkai, darah, daging babi(daging hewan yang disembelih atas nama selain Allah). 21 Quraish Shihab,Tafsir al-Mishbah, Pesan ,Kesan Keserasian al-Qur’an.vol.7. ( Cet;VII, Ciputat:Lentera Hati, 2007), h. 240 156 Jurnal Rihlah Vol. C No. 2/2016 Andi Miswar Perkembangan Tafsir Alquran pada Masa Sahabat Demikian halnya, sistematika penafsiran para sahabat amat sederhana, uraian tafsirnya monoton, seperti urutan ayat-ayat didalam mushaf, tidak ada judul atau sub judul dan sebagainya. Ruang lingkup penafsirannya bersifat horizontal, artinya penafsiran yang diberikan melebar dan global, tidak mendalam dan merinci suatu kasus atau peristiwa, dan belum difokuskan pada sesuatu bidang pembahasan tertentu atau boleh disebut tafsiran mereka bercorak umum. Adapula kebiasaan para sahabat setiap kali membaca al-Qur’an kurang lebih sepuluh ayat, mereka tidak melanjutkan bacaan lebih dahulu, kecuali setelah mereka memahami dengan tepat makna-makna ayat yang telah mereka baca, baik yang berkaitan dengan iman, ilmu maupun amal.22 Sahabat Nabi juga mendiskusikan suatu ayat untuk mengkaji kandungan maknanya yang sangat dalam. Seperti diriwayatkan oleh al-Bukhari melalui sanad Ubaid bin Amir, ia berkata Pada suatu hari Umar bin Khattab bertanya kepada sahabat-sahabat Nabi tentang hal apa, menurut pendapat kalian ayat berikut ini diturunkan ‫ار لَهُ فِي َها ِمن ُك ِل‬ ٍ ‫أَيَ َودُّ أ َ َحدُ ُك ْم أَن ت َ ُكونَ لَهُ َجنَّةٌ ِمن نَّ ِخي ٍل َوأ َ ْعنَا‬ ُ ‫ب تَجْ ِري ِمن تَحْ تِ َها األ َ ْن َه‬ ْ َ‫َار فَاحْ ت ََرق‬ ِ ‫الث َّ َم َرا‬ ُ ٌ‫صابَهُ ْال ِكبَ ُر َولَهُ ذُ ِريَّة‬ ُ‫ت َكذَلِكَ يُبَيِ ُن اَّلل‬ ٌ ‫ار فِي ِه ن‬ ٌ ‫ص‬ َ َ ‫ت َوأ‬ َ ‫صابَ َها إِ ْع‬ َ َ ‫ضعَفَاء فَأ‬ ﴾٢٦٦﴿ َ‫ت لَعَلَّ ُك ْم تَتَفَ َّك ُرون‬ ِ ‫لَ ُك ُم اآليَا‬ Terjemahnya Apakah ada salah seorang di antaramu yang ingin mempunyai kebun kurma dan anggur yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; dia mempunyai dalam kebun itu segala macam buah-buahan, Kemudian datanglah masa tua pada orang itu sedang dia mempunyai keturunan yang masih kecil-kecil. Maka kebun itu ditiup angin keras yang mengandung api, lalu terbakarlah. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu supaya kamu memikirkannya. Sahabat menjawab Allah swt lebih mengetaui maksud ayat itu, maka Umar marah, dan meminta sahabat untuk mengatakan tahu atau tidak tentang hal tersebut. lalu Ibnu Abbas berkata : Aku mempunyai pendapat wahai Amirul Mukminin. Bahwasanya ayat itu mengemukakan suatu pribahasa tentang amal perbuatan. Umar bertanya amal apa ? Ibnu Abbas menjawab “ sungguh seorang laki-laki berlaku taat kepada Allah, lalu ia dipermainkan syaitan, sehingga ia melakukan kemaksiatan dan amal-amalnya menjadi tenggelam.23 Itulah sosok Ibnu Abbas, cendekiawan yang mahir dan masyhur dalam disiplin keilmuan tafsir al-Qur’an dari kalangan sahabat, dan wajar saja jika ia berada dalam barisan para pembesar sahabat . 22 Abd Rahman Dahlan, Kaidah-kaidah penafsiran al-Qur’an. Cet.1 (Bandung:Mizan,1997), h. 20 23 Muhammad Ali Ash-Shabuni , op cit, h. 101. 157 Jurnal Rihlah Vol. V No. 2/2016 Perkembangan Tafsir Alquran pada Masa Sahabat Andi Miswar Menurut Abd Muin Salim, dalam praktek penafsiran al-Qur’an pada masa sahabat sudah menggunakan berbagai teknik interpretasi, diantaranya adalah 24 : 1. Teknik Interpretasi Tekstual Yakni penafsiran dilakukan dengan menggunakan teks-teks al-Qur’an atau dengan riwayat dari Nabi Muhammad SAW berupa perbuatan, perkataan atau pengakuan. Contohnya ketika Ibnu Abbas menafsirkan QS.al-Fāthir/35:2 dengan QS.ali-Imran /3:128. 25 2. Teknik Interpretasi Linguistik Yakni penafsiran dengan menggunakan pengertian-pengertian dan kaidahkaidah bahasa, data yang berupa kosa kata dianalisis berdasarkan makna etimologis, morfologis, dan leksikal. Contoh ketika Rasululah memahami adanya hak pilih dalam QS.al-Taubah/9:80 berdasarkan adanya kata au dalam ayat itu. Sedangkan Umar bin Khattab memahami adanya larangan menyembahyangi orang-orang munafiq. 3. Teknik Interpretasi Sosio Historis Yaitu penafsiran yang dilakukan dengan menggunakan data sejarah berkenaan dengan kehidupan masyarakat Arab semasa al-Qur’an diturunkan. Termasuk di sini riwayat yang berkenaan dengan sebab turunnya al-Qur’an. Contohnya ketika Abu Ayyub al-Anshari mengoreksi pemahaman umat Islam terhadap kata al-Tahlukat ’kebinasaan’ (sebagaimana telah dijelaskan terdahulu ) dalam QS.al-Baqarah/2:195 dengan mengemukakan sebab turunnya ayat tersebut. 26 4. Teknik Interpretasi Teleologis Yaitu penafsiran dengan dengan menggunakan kaidah-kaidah fiqh yang pada hakikatnya merupakan perumusan hikmah yang terkandung dalam aturanaturan agama. Interpretasi seperti ini ditemukan dalam tafsir Sahabat, seperti yang diriwayatkan tafsir Aisyah terhadap kata khair dalam QS.alBaqarah/2:180 yang berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya.Menurut riwayat tesebut seorang sahabat hendak berwasiat karena meninggalkan harta yang banyak. Tetapi karena ahli warisnya juga banyak, maka harta tersebut tidak mencukupi untuk berwasiat.27 24 Abd Muin Salim, Fiqh Siyasah, Op. cit, h. 23-30. Lihat juga Abd Muin Salim, Metodologi Tafsir Sebuah Rekonstruksi Epistemologi; Memantapkan Keberadaan Ilmu afsir Sebagai Disiplin Ilmu, UjungPandang: IAIN Alauddin Makassar (Orasi Pengukuhan Guru Besar), 28 April 1999 Selanjutnya disebut Metodologi Tafsir. h. 33-35 Lihat Jalaluddin al-Sayuti, al-Durr al-Mansūr fi al-Tafsir al-Ma’sur, VII, (Beirut : Dar alFikr, 1403 H/ 1983 M), H. 5 25 Abd Rahman bin Jalal al-Din, Al-Durr al-Mansūr fi Tafsir al-Ma’sūr, jilid I, Beirut: Dar alFikr, 1403/1983. 27 Ibid, h. 423, Lihat juga Abu Ja’far bin Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan an ta’wil ay al-Qur’an, Jilid II , h.121 26 158 Jurnal Rihlah Vol. C No. 2/2016 Andi Miswar Perkembangan Tafsir Alquran pada Masa Sahabat 5. Teknik Interpretasi Kultural Yakni penggunaan pengetahuan yang mapan untuk memahami kandungan alQur’an, dengan mengacu pada pandangan bahwa pengetahuan yang diperoleh berdasarkan pengalaman dan penalaran yang benar dan tidak bertentangan dengan kandungan al-Qur’an. Contohnya kasus Amr bin Ash mengimami pasukannya dalam keadaan junub dan hanya bertayammum. Ia memahami mandi junub dalam cuaca amat dingin berarti bunuh diri dan ini dilarang,28 sebagaimana dalam QS.al-Nisa/4:29.Tafsir ini ditaqrirkan oleh Rasulullah. 6. Teknik Interpretasi Logis. Yang dimaksud teknik ini adalah penggunaan prinsip-prinsip logika dalam usaha mendapatkan kandungan sebuah preposisi Qur’ani. Contohnya penafsiran Ibnu Abbas terhadap QS.al-Nasr 110/1 sebagai isyarat akan ajal Rasulullah SAW. Demikianlah pergulatan pemikiran tafsir pada masa sahabat yang masih diwarnai corak penafsiran tafsir bi al-Ma’tsur. Namun demikian, cukup menarik untuk diamati bahwa peran akal juga cukup memiliki tempat yang layak pada penafsiran mereka dengan menggunakan ijtihad dan menggali maknanya yang mendalam. Fenomena tersebut sesungguhnya memberikan tempat yang sangat lapang terhadap ijtihad dan pergulatan persoalan dizamannya. Tafsir dengan berbagai bentuknya pada masa sahabat oleh sebagian ulama mengatakan wajib dirujuk, karena sahabat adalah ahli lisan. Mereka menyaksikan karinah-karinah sehingga ayat-ayat dipahami betul. Itupula sebabnya kata Ibnu Katsir dalam muqaddimah tafsirnya, bahwa apabila tafsir (penjelasan) ayat tidak ditemukan dalam al-Qur’an, dan tidak pula dalam hadis maka hendaklah mencarinya dalam perkataan sahabat. Sebab sahabat itu tahu benar tafsir al-Qur’an berdasar atas apa yang mereka saksikan atau dialami langsung oleh mereka. Demikanlah perkembangan tafsir pada periode sahabat, teristimewa sahabat besar seperti Ali, Abdullah Ibn Abbas, Ibn Mas’ud, Ubay Ibn Ka’ab menyampaikan dan menerangkan tafsir-tafsir yang mereka terima dari Rasul, dan riwayat-riwayat yang mereka terima dari orang israil kepada tabi’in. Mereka menerangkan, tafsir alQur’an, baik dengan jalan dirayah maupun dengan jalan riwayat, serta sebab-sebab nuzulnya kepada tabi’in. Periode Sahabat berakhir pada masa meninggalnya sahabat yang terakhir bernama Abu Tufail al-Laisi pada tahun 100 H di kota mekah.29 Dan selanjutnya tabi’in meriwayatkan kepada tabi’in tabi’in . Pada zaman Nabi dan Sahabat tafsir belum dikumpulkan secara teratur, karena himpunan tafsir baru terbentuk pada abad kedua Hijriah. Tafsir pada zaman tersebut Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad, al-Jāmi’ li Ahkam al-Qur’an , jilidV, Mishr : Dar alKātib al-Arabi, 1967, h. 156-167. 29 Subhi al-Shalih, Ulumul Hadis wa Mustalahahu, (Cet 17, Beirut:Dar al-Ilm l al-Malayin, 28 1988.) h. 354 159 Jurnal Rihlah Vol. V No. 2/2016 Perkembangan Tafsir Alquran pada Masa Sahabat Andi Miswar masih berserakan dan ayat-ayat yang ditafsirkan masih terpisah-pisah dan belum tersusun secara rapi. Begitupula ayat-ayat yang ditafsirkan pada masa itu belum meliputi seluruh ayat-ayat al-Qur’an.30 Tafsir al-Qur’an pada masa sahabat belum memasuki tahap pembukuan (tadwīn). Tafsir baru ditulis dan dibukukan pada abad kedua Hijriah. Pengaruh tafsir pada masa Sahabat ini sangat berarti pada masa selanjutnya yaitu masa tabi’in. Baik dari segi sumber tafsir, bentuk dan metode akan mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Kalau dari kalangan Sahabat dikenal beberapa tokoh mufassir terkemuka, berarti mufassir pada masa tabi’in nantinya adalah jebolan dari madrasah sebelumnya (madrasah Sahabat) sehinga metode yang digunakan pun tidak jauh berbeda dengan generasi sebelumnya, kecuali dari segi ijtihad yang agak berkembang. III. KESIMPULAN 1. Penafsiran para sahabat pada mulanya didasarkan atas sumber yang mereka terima dari Nabi saw. Mereka menerima bacaan ayat-ayat al-Qur’an langsung dari Nabi. Juga menyaksikan peristiwa yang melatar belakangi turunnya ayat. serta banyak mendengarkan tafsiran Nabi dan memahami serta menghayatinya dengan baik.. Adapun Sumber-sumber tafsir pada masa sahabat paling tidak ada empat yaitu: alQur’an al-Karim, Hadis-hadis Nabi, Ijtihad atau kekuatan istinbath (melalui bahasa, budaya, adat kebiasaan bangsa Arab), serta cerita ahli kitab dari kaum yahudi dan Nasrani yang dikenal dengan israiliyat. 2. Metode penafsiran al-Qur’an yang ditempuh oleh sahabat tidak jauh berbeda dengan penafsiran yang diberikan oleh Nabi. Tafsir Nabi berasal dari Allah langsung atau lewat jibril atau dari pribadi beliau sendiri, sementara penafsiran sahabat bersumber dari al-Qur’an, Nabi dan ijtihad mereka ditambah dengan israiliyat (meskipun hal tersebut tidak diperkenankan oleh Nabi.). Jadi perbedaan teknis tidak begitu jauh, namun dari segi kualitas, jelas penafsiran Nabi jauh lebih unggul dan lebih terpercaya karena beliau langsung menerima ayat dari Allah. 3. Pada umumnya bentuk tafsir yang diterapkan oleh para sahabat adalah al-Ma’tsur (penafsiran yang lebih banyak didasarkan atas sumber yang diriwayatkan dari Nabi, meski demikian bukan berarti tidak menggunakan ra’yu. Justru dalam kondisi tertentu mereka menggunakan pemikiran /ijtihadi. Sementara metode tafsir yang digunakan adalah tafsir ijmali (global), yakni penafsiran ayat secara 30 Manna al-Qathan, Op cit., h. 180. 160 Jurnal Rihlah Vol. C No. 2/2016 Andi Miswar Perkembangan Tafsir Alquran pada Masa Sahabat singkat dan ringkas. Terakhir mereka juga menggunakan teknik-teknik interpretasi. DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’an al- Karim al-Zahabiy, Husein Muhammad, al-Tafsir wa al-Mufassirn, juz I Kairo: Dar alKutub al-Haditsah (t.p., 1986 ) Ahmad bin Hanbal,Musnad bin Hanbal, Jilid V (Beirut :Maktabah al-Islamiyah, 1978 Ali Hasan al-Aridl, Tarikh Ilm Tafsir wa Manahij al-Mufassirin, Alih Bahasa oleh Akrom, Ed.1., Cet 2 Jakarta : PTRaja Grafindo Persada, 1994 Adnan Amal, Taufik, Rekonstruksi al-Qur’an (Yogyakarta: Forum kajian Budaya dan Agama, FKBA, 2001 Al-Qurthubi, Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad, al-Jāmi’ li Ahkam al-Qur’an , jilidV, Mishr : Dar al-Kātib al-Arabi, 1967 Assiddieqiy, Hasbi , Sejarah Ilmu al-Qur’an, , (cet 15,jakarta : Buan Bintang; 1994) al-Thabari, Abu Ja’far bin Muhammad bin Jarir, Jami’ al-Bayan an ta’wil ay alQur’an, Jilid II, Ash Shabuni, Muhammad Ali, Al-Tibyan fi Ulum Qur’an, (Beirut:Dar al-Irsyad, 1970) Asy-Syirbashi, Ahmad, Sejarah Tafsir al-Qur’an ,(Cet. III; Pustaka Firdaus, 1994). Dahlan, Abd Rahman, Kaidah-kaidah penafsiran al-Qur’an. Cet.1 (Bandung:Mizan,1997) Ibnu Abbas, Tanwīrul Miqbās min Tafsir Ibni Abbas, Dar al-Fikr, tt. Ibnu Katsir, Al-Imam al-Jalil al-Hafiz Imad al-Din Abi al-Fida’I Ismail al-Qurasyi alDimasqi, Tafsir al-Qur’an al-Azim, Beiirut:Dar al-Fikr, 1401H/1981 M. Manna’Al-Qathan, Mabahis Fi ulum al-Qur’an, Riyadh: Mansyuratul Ishril Hadis, 1973. Nata Abuddin, Metodologi Study Islam, (Cet.IX; Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada, 2004. Quraish Shihab,Tafsir al-Mishbah, Kesan Keserasian al-Qur’an vol.7. ( Cet;VII, Ciputat:Lentera Hati, 2007) Salim, Abd Muin, Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Qur’an, (Cet. I; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994) ---------,Metodologi Tafsir Sebuah Rekonstruksi Epistemologi; Memantapkan Keberadaan Ilmu afsir Sebagai Disiplin Ilmu, UjungPandang: IAIN Alauddin Makassar (Orasi Pengukuhan Guru Besar), 28 April 1999 Selanjutnya disebut Metodologi Tafsir. Said Agil Husain al-Munawar,Al-Qur’an membangun tradisi keshalehan Hakiki,Jakarta:ciputat Press.2004. Subhi al-Shalih, Ulumul Hadis wa Mustalahahu., Beirut:Dar al-Ilm l al-Malayin, Cet 17, 1988. 161 Jurnal Rihlah Vol. V No. 2/2016 Perkembangan Tafsir Alquran pada Masa Sahabat Andi Miswar 162 Jurnal Rihlah Vol. C No. 2/2016