[go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu
2 MENANAM KEMBALI MODERASI BERAGAMA UNTUK MERAJUT KEBHINEKAAN BANGSA Penulis Masykur, Ali Muhtarom, Fitri Raya Pusat Pengabdian kepada Masyarakat LP2M UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten Tahun 2020 3 4 KATA PENGANTAR Fundamentalisme keberagamaan yang berpotensi pada radikalisme dan terorisme beragama, menjadi persoalan serius yang dihadapi bangsa ini. Fenomena ini terjadi disebabkan kemunculan tokoh agama dan intelektual yang instan, pragmatis, silsilah dan kapasitas keilmuan keagamaan yang tidak jelas dan berorientasi pada politik ideologi, bahkan memiliki pengaruh massa yang luar biasa melalui jejaring media sosial.1 Konten dan video melalui internet (website, youtube) dan media sosial (whatsapp, facebook, instagram, twitter) telah menjadikan tokoh-tokoh agama baru itu sebagai rujukan bagi keberagamaan masyarakat Indonesia. Ironisnya, tidak jarang konten narasi dan video keagamaan yang beredar berisi ujaran kebencian (hate speech), berita bohong (hoax), dan sentimensentimen politik identitas, semisal fanatisme agama, suku, agma, ras dan antargolongan, yang bisa mengancam keutuhan bangunan kebangsaan yang sudah disepakati bersama oleh founding fathers dan founding mothers bangsa ini. Kompleksitas kehidupan beragama saat ini menghadapi tantangan dan perubahan yang sangat ekstrem berbeda dengan masa-masa sebelumnya karena dunia 4.0 sebagai era disrupsi, sehingga disrupsi keberagamaan pun tak bisa dihindari. Diperparah dengan pandemi Corona Virus Disease (COVID)-19 yang telah mengorbankan ribuan jiwa (2.429) di Indonesia, bahkan ratusan ribu (456.973) jiwa manusia di dunia (20/06/2020, Satgas Covid19.go.id). Suka atau tidak, era disrupsi digital memang mendorong lahirnya kompleksitas masyarakat dalam beragama. Akibat kedangkalan memahami sumber pengetahuan keagamaan, ada yang memahami ayat-ayat suci secara tekstual dan disertai 1 Sebagaimana dijelaskan bahwa “menurut Nasir, pegawai dan dosen di perguruan tinggi negeri (PTN) yang terlibat HTI itu melanggar PP 53 tahun 2010 tentang disiplin pegawai negeri sipil (PNS). Dalam peraturan tersebut, kata dia, PNS harus menyatakan diri setia terhadap Pancasila dan UUD 1945. Lihat https://regional.kompas.com/read/2017/07/22/16505881/menristekdiktiberipilihan-kepada-dosen-dan-pegawai-ptn-anggota-hti?page=all., diunduh pada tanggal 20 Juni 2020.A 5 fanatisme keagamaan, sehingga mengarah pada ekslusivisme, ekstremisme, bahkan terorisme dalam kehidupan beragama. Ada yang kebablasan menafsirkan isi kitab suci sampai tidak bisa membedakan antara ayat Tuhan dan yang bukan. Ada pula yang mempermainkan pesanpesan Tuhan menjadi pesan pribadi yang sarat kepentingan. Semua persimpangan itu rentan menciptakan konflik yang dapat mengoyak keharmonisan kehidupan bersama. Pada positiong itu, moderasi beragama tak lagi sekadar wajib, akan tetapi sudah menjadi kebutuhan untuk diimplementasikan demi kehidupan beragama yang lebih baik. Di era disrupsi new normal pengembangan literasi keagamaan yang mengandung nilai-nilai moderasi sangat mendesak dilakukan untuk mengimbangi konservatisme berbasis media sosial. Mengapa? Karena, saat ini faktor-faktor yang dapat menyumbang tumbuh suburnya pemahaman keagamaan yang sempit semakin kompleks, bukan saja muncul dari lingkungan keluarga, pertemanan, atau pelajaran sekolah, melainkan juga yang tak terbendung dari informasi yang tersebar di belantara internet. Oleh karenanya, di era ini setiap orang perlu memikirkan kembali praktik beragama yang selama ini dianutnya. Kebiasaan lama yang sudah menjadi habitus tertantang kembali dengan adanya tatanan kebiasaan baru. Keberagamaan (religiosity) kita perlu dikembalikan pada fundamen sebagai guide spiritualitas dan moralitas, bukan hanya sekadar pada sisi ritual formalistik. Sejak tahun 2019 sebagai leading sector, Kementerian Agama menebarkan cara pandang, sikap dan perilaku umat beragama yang wasathiyyah (moderat) dalam relung kehidupan berbangsa dan bernegara.2 Moderasi beragama adalah cara pandang, sikap dan perilaku kita dalam beragama secara moderat, yakni memahami dan mengamalkan ajaran agama dengan tidak ekstrem, baik ekstrem kanan maupun ekstrem kiri. Ekstremisme, radikalisme, ujaran kebencian, hingga retaknya hubungan antarumat beragama, merupakan problem yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini. Program pengarusutamaan moderasi 2 Lihat Kementerian Agama RI, Moderasi Beragama, Cet. I, Jakarta: Balitbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2019; dan Kementerian Agama RI, Tanya Jawab Moderasi Beragama, Cet. I, Jakarta: Balitbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2019. 6 beragama ini sangat penting. Bahkan, menjadi sebuah solusi untuk menciptakan kehidupan beragama yang damai dan rukun di Indonesia. Moderasi beragama merupakan fokus utama Kemenag RI untuk melawan radikalisme dan ekstremisme. Dimulai dari unit terkecil, yakni bilik keluarga, bimbingan perkawinan, dan merambah ke unit pendidikan, perkantoran, pemerintahan, sampai moderasi beragama dalam konteks berbangsa dan bernegara. Ikhtiar sosialisasi moderasi beragama dilakukan Kemenag, yaitu menyiapkan instruktur nasional moderasi beragama melalui Pendidikan Instruktur Nasional Moderasi Beragama (PINMB) di Ciputat, Tangerang, Banten. Acara itu diikuti para dosen dan mahasiswa Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) seluruh Indonesia ini berlangsung empat hari, 27-31 Desember 2019. Untuk itu, kegiatan penyusunan buku ini sebagai tindak lanjut yang harus dilakukan dalam dharma pengabdian kepada masyarakat. Dengan demikian, Gerakan Moderasi Beragama di PTKIN bertujuan untuk menempuh jalur edukatif dalam memerangi peredaran konten-konten negatif di media sosial melalui pemberdayaan literasi masyarakat terkait informasi dan wacana keagamaan di ruang publik. Kegiatan yang digagas oleh Pusat Pengabdian kepada Masyarakat LP2M UIN SMH Banten yang berkolaborasi dengan Rumah Moderasi Beragama ini bertujuan untuk membekali para dosen dan mahasiswa dengan pengetahuan sosial mutakhir dan urgensi penyebaran pemahaman keberagamaan yang moderat, meningkatkan kemampuan dan keterampilan masyarakat dalam pemanfaatan teknologi digital dalam dakwah keagamaan, dan menerbitkan tulisan-tulisan dan jurnal ilmiah terkait relasi agama dan kebhinekaan yang mencerahkan bagi bangsa Indonesia. 7 8 MODERASI BERAGAMA DALAM PRIBUMISASI PENDIDIKAN ISLAM Oleh Ali Muhtarom Dosen UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten Pendahuluan Moderasi beragama menjadi salah satu program yang diprioritaskan pemerintah untuk membangun kehidupan beragama yang harmonis dalam kehidupan berbangsa dan bernagara.3 Moderasi beragama memiliki peran penting di dalam mengelola kemajmukan bangsa yang beragam dan multikultural. Dalam konteks ini, moderasi beragama memiliki tujuan untuk mengakomodir perbedaan melalui sikap dan ekspresi keagamaan yang menjunjung tinggi nilai toleransi dan persamaan dalam melestarikan nilai-nilai budaya bangsa. Internalisasi dan pengembangan nilai tersebut saat ini juga menjadi bagian penting yang dikembangkan oleh institusi pendidikan Islam, baik dilihat dari penguatan kelembagaan, kegiatan, dan pemikiran keislamannya. Meskipun demikian, penguatan dan pengembangan moderasi beragama tidak sepenuhnya imun dari berbagai tantangan yang sangat kompleks, terutama dari munculnya pemahaman keagamaan yang ekstrem, baik yang lebih condong ke arah kiri maupun yang lebih condong ke arah kanan. Moderasi beragama memfokuskan pada kajian keagamaan melalui pendekatan kontekstual yang dibangun dari 3 Keseriusan pemerintah tersebut bisa dilihat, diantaranya dari peran Kementerian Agama Republik Indonesia melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Islam yang telah mengeluarkan kebijakan dalam Renstra 2015-2019 yang kemudian kebijakan tersebut dikembangkan dalam RPJMN 2020-2024. Melalui kebijakan tersebut kemudian dibentuk kelompok kerja Implementasi Moderasi Beragama (Pokja IMA) yang secara khusus melakukan penguatan dan pengembangan moderasi beragama di tingkat institusi pendidikan Islam. Penjelasan secara lebih mendalam mengenai hal ini bisa dibaca dalam buku panduan Implementasi Moderasi Beragama Direktorat Pendis Kemenag RI. Pokja IMA, Implementasi Moderasi Beragama dalam Pendidikan Islam, (Jakarta: Kelompok Kerja Implementasi Moderasi Beragama Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama Republik Indonesia Bekerjasama dengan Lembaga Daulat Bangsa, 2019), 27. 9 kerangka pemahaman keagamaan yang tidak semata-mata bersifat doktriner dan kaku, namun juga mengakomodir realitas historis yang melingkupi keberadaan agama tersebut. Meminjam istilah A. Mukti Ali, pemahaman tersebut harus selaras dengan pendekatan yang bersifat scientific cum-doctriner4, tidak cenderung tekstualis dan tidak cenderung sekuler. Artinya, dalam kajian keagamaan dibangun dari paradigma normatif beradasarkan sumber ajaran agama secara tekstualis, namun pada saat yang sama juga dibangun melalui paradigma historis yang tidak bisa dilepaskan dari realitas sosial. Melalui kerangka pemahaman ini diharapkan akan terjalin harmonisasi pemahaman keagamaan yang seimbang dengan identitas kebudayaan lokal yang menjadi karakteristik dan identitas bangsa Indonesia. Nilai-nilai keagamaan yang mengarah pada sikap toleransi (tasāmuh), tengah-tengah (tawasuth), dan berkesimbangan (tawāzun) sebagai prinsip moderasi beragama perlu dikembangkan secara intensip dalam masyarakat karena realitas pemahaman keagamaaan yang muncul pada saat ini masih cenderung mengarah pada corak konservatif, bukan corak yang moderat. Dalam konteks kebangsaan, meningkatnya corak paham keagamaan konservatif tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi terwujudnya kehidupan berbangsa yang rukun dan harmonis. Moderasi Beragama, Pendidikan Islam dan Tantangan Identitas Kebangsaan Dalam ranah akademik, terutama dalam pendidikan Islam diskursus pemikiran keislaman dan moderasi beragama dalam hubungannya dengan identitas kebangsaan secara terus menerus mengalami perkembangan. Melalui cara pandang keagamaan yang beragam, sebagian umat Islam di Indonesia tidak hanya terlibat dalam pergulatan mengenai tafsir otentitisitas keislaman, namun sebagian 4 A. Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini (Jakarta: Rajawali, 1987), 322-323. Lihat juga A. Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia, cet. IX (Bandung: Mizan, 1997), 79. 10 dari mereka juga terlibat dalam narasi Islam politik5 yang mengakibatkan munculnya sikap mengambang terhadap identitas dan ideologi kebangsaan.6 Dalam konteks pendidikan Islam, perbedaan cara pandang mengenai pemahaman keagamaan selama ini masih menyisakan catatan tersendiri. Pendidikan Islam masih dihadapkan pada persoalan mendasar tentang problem pemahaman keislaman yang cenderung dualisme, di mana antara keislaman dan kebangsaan belum sepenuhnya mampu diintegrasikan melalui nalar keislaman yang lebih kritis.7 Dari pemahaman keislaman yang bersifat dikotomis tersebut akan memunculkan segregasi dengan realitas kebangsaan yang dikhawatirkan akan menggerus nilai-nilai substantif pendidikan yang berkarakter Islam Indonesia. Sebagian pakar mengatakan bahwa kondisi tersebut muncul karena pendidikan Islam masih terjebak dalam sekterianisme pemikiran dan mazhab yang menyebabkan pendidikan Islam belum memiliki identitas yang mapan. “Sistem nilai Islam yang seharusnya diterapkan dalam pendidikan Islam masih terjebak dan sangat dipengaruhi oleh sekterianisme yang disebabkan adanya faktor pemikiran dari mazhab-mazhab Islam”.8 Tantangan tersebut pada perkembangan selanjutnya tidak menutup kemungkinan akan memunculkan efek persaingan yang mengarah pada kemunduran wacana keislaman, di mana satu kelompok dengan kelompok lainnya dimungkinkan merasa paling unggul, baik dalam pemahaman keislaman, ketersediaan fasilitas, komunitas, maupun akses berbagai jaringan yang dimiliki. 5 Mengenai penjelasan tentang Islam politik bisa dibaca secara lebih mendetail dalam, Noorhadi Hasan, Islam Politik di Dunia Kontemporer: Konsep, Genealogi, dan Teori, (Yogyakarta: Suka Press, 2012). 6 Moch. Nur Ichwan. “MUI Gerakan Islamis, dan Umat Mengambang, dalam Maarif, vol.11, No-2 edisi (Desember 2016), 87-104. Baca juga Moch. Nur Ichwan, “Towards a Puritanical Moderate Islam: The Majelis Ulama Indonesia and the Politics of Religious Orthodoxy,” in Martin Van Bruinessen (Ed.), Contemporary Developments in Indonesian Islam: Explaining the ‘Conservative Turn, Singapore: ISEAS, 2013, 60-104. 7 M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif-Interkonektif. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010). 8 Muhaimin. Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam. (Jakarta: Rajawali Press, 2011), 2. 11 Dalam praktiknya, berbagai institusi pendidikan Islam yang berkembang tersebut paling menyolok pada upaya ingin menunjukkan identitasnya masing-masing. Pendidikan Islam di Indonesia selalu beridentitas pada organisasi keagaman dan ideologi. Tidak menutup kemungkinan upaya saling bersaing terkadang juga lebih melibatkan pada ego kelompok dengan politik identitasnya masing-masing daripada membangun keberagaman yang mengharmoni. Seperti yang disampaikan oleh Arief Subhan bahwa secara kelembagaan terdapat banyak tipe pendidikan Islam di Indonesia, seperti tipe Muhammadiyah, tipe Kementerian Agama, tipe Nahdlatul Ulama, tipe Salafi9 dan juga tipe pendidikan Syiah. Apakah dari munculnya perbedaan pemahaman keagamaan tersebut akan terus menerus menjadi problem, atau sebaliknya menjadi kekayaan bagi pengembangan khazanah pemikiran dalam pendidikan Islam. Inilah yang menjadi tantangan bagi pendidikan Islam, terutama ketika dikaitkan dengan cara pandang terhadap kebudayaan dan kebangsaan Indonesia. Ditilik dari akar historis mengenai tafsir keislaman dan hubungannya dengan kebudayaan dan kebangsaan, perbedaan tersebut justru mengarah pada bentuk keagamaan yang diekspresikan dalam tindakan konservatif. Dalam merespon hubungan dengan budaya dan identitas kebangsaan, sebagian kelompok yang cenderung konservatif ini semakin tidak mampu menunjukkan eksprsi keagamaanya yang akomodatif dengan budaya dan nilai-nilai asli bangsa Indonesa. Pada saat yang sama, semangat konservatisme keislaman yang semakin menguat tersebut kemudian dikhawatirkan akan memudarkan rasa cinta terhadap tanah air dan bangsa. Kecurigaan yang berlebihan terhadap pengembangan moderasi beragama dari sebagian kelompok muslim ini karena moderasi beragama dicurigai sebagai agenda asing untuk meminggirkan kemurnian dan kekuatan Islam, sehingga narasi dan anggapan tersebut perlu diluruskan. Moderasi beragama dalam konteks ini lebih mengarah pada bagaimana memberikan pemahaman keagamaan 9 Arief Subhan, Lembaga Pendidikan Islam Indonesia Abad ke-20: Pergumulan antara Modernisasi dan Identitas. (Jakarta: Kencana, 2012), 8-9. 12 secara lebih terbuka dan mau menerima berbagai perbedaan yang terjadi baik dari aspek yang berhubungan dengan perbedaan keyakinan, perbedaan pemahaman keagamaan, hingga aspek yang berhubungan dengan kebangsaan dan dasar negara. Kondisi ini perlu dipahami secara lebih mendalam karena, pada satu sisi bahwa paham keislaman merupakan doktrin yang menjadi dasar dari pilihan keyakinan, namun pada sisi yang lain ketika paham tersebut tidak akomodatif dengan realitas lokal juga akan mengarah pada disharmonisasi dengan identitas kebangsaan. Konsekuensinya, baik dari aspek budaya maupun sosio-politik, pengaruh paham keagamaan tersebut kemudian memunculkan paham dikotomis antara semangat menjaga kemurnian ajaran dan kebangkitan Islam, di mana ketika kondisi pemahaman keagamaan ini tidak diletakkan dalam posisi seimbang akan memunculkan dilema terhadap identitas budaya dan ideologi kebangsaan. Kemunculan pemahaman dikotomis ini yang kemudian ingin dijembatani oleh pemahaman keagamaan yang moderat melalui pendekatan moderasi beragama dalam bingkai pribumisasi Islam. Dalam konteks ini, upaya penguatan dan pengembangan moderasi beragama menjadi sangat penting dilakukan. Pendidikan Islam memiliki peran penting dalam menjawab problematika tersebut, terutama dinamika sosial keagamaan yang hingga saat masih terjadi di tengah masyarakat. Untuk itu, poin penting dalam tulisan ini diarahkan untuk mendiskusikan tentang bagaimana moderasi beragama, selain bisa digunakan sebagai pendekatan dalam pemahaman keagamaan, juga digunakan sebagai cara untuk menyikapi berbagai perbedaan dalam konteks mengharmonisasikan hubungan pemahaman keagamaan dengan identitas kebangsaan melalui konsep pribumisasi pendidikan Islam. Selain itu, tulisan ini juga mendiskusikan beberapa tantangan dan masa depan praktik moderasi beragama dalam pendidikan Islam. 13 Moderasi Beragama sebagai Pendekatan dalam Studi Keagamaan Islam Kajian mengenai moderasi beragama memiliki hubungan yang tidak bisa dipisahkan dari cara memahami ajaran agama, bukan dimaknai sebagai upaya memoderasi ajaran agama. Pemahaman ini penting diulas secara lebih mendalam supaya tidak mengandung bias pemaknaan. Agama sebagai sistem keyakinan sudah pasti mengandung nilai moderatisme, namun pemahaman keagamaan yang diekspresikan oleh masing-masing pemeluknya, inilah yang kemudian memunculkan diskusi yang belum kunjung berakhir hingga saat ini. Secara lebih khusus bisa dimaknai bahwa antara agama dan paham keagamaan perlu dipahami secara berbeda dan proporsional. Paham keagamaan merupakan paham atau aliran yang merupakan hasil olah pikir manusia berkaitan dengan interpretasi dan pengamalan teks-teks agama yang bersumber dari kitab suci. Tidak bisa dipungkiri bahwa interpretasi dari teks-teks agama tersebut dipahami secara berbeda oleh masing-masing individu atau kelompok melalui cara pandang yang berbeda. Problem mendasar dari kesenjangan tersebut ketika dikaitkan dengan konsep moderasi beragama terletak pada kecenderungan pemikiran yang abstrak oleh sebagian masyarakat, termasuk umat Islam dalam memahami agama. Sebagian dari mereka ada yang memahami moderasi beragama dalam narasi yang kaku dan sangat skripturalis. Antara agama dan paham keagamaan dicampuradukkan dalam bingkai dogmatis dengan upaya mendasarkan pada dalil-dalil agama yang sebenarnya secara subtantif menjunjung tinggi nilai moderatisme, namun dalam kecenderungannya mengarah pada keengganan menerima moderasi beragama. Kondisi tersebut karena agama tidak dipahami dari substansi ajarannya yang menjunjung nilainilai universal seperti keadilan, kasih sayang, toleransi, demokrasi, persaudaraan, hak asasi manusia, dan persatuan. Dalam istilah lain bisa dikatakan bahwa ekspresi pemahaman keagamaan tersebut, di samping lebih mengarah pada keengganan untuk memahami realitas keagamaan dalam konteks kebangsaan, kelompok tersebut juga tidak 14 memiliki orientasi pada pemahaman keagamaan yang terbuka dan progresif. Dilihat dari perspektif perbedaan interpretasi sebagaimana telah disebutkan, wajar ketika fenomena perilaku keagamaan menjadi topik penting dalam berbagai kajian, baik dalam bentuk diskusi maupun dalam bentuk riset keagamaan. Berbagai kajian tersebut secara empiris telah memunculkan corak pemahaman yang beragam. Pada saat tertentu corak pemahaman yang dimunculkan dalam bentuk ekspresi keagamaan tersebut mengarah pada bentuk konservatif, eksklusif, dan bahkan radikal. Sedangkan bentuk pemahaman keagamaan yang moderat bisa dilihat dari ekspresi keagamaannya yang inklusif dan terbuka dalam menerima perbedaan. Hal ini tentu saja tidak bisa dipisahkan dari kedalaman dan keluasan tingkat pemahaman terhadap agama yang dimiliki oleh masing-masing dari pemeluk agama tersebut. Moderasi beragama hadir dari sikap keagamaan yang mengedepankan keseimbangan karena menjunjung tinggi nilai-nilai keragaman dalam menciptakan hubungan yang harmonis di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara. Moderasi beragama tidak condong kepada pemikiran yang liberal atau yang sering disebut sebagai kelompok kiri. Paham liberal ini tidak sejalan dengan prinsip moderasi beragama karena dalam menafsirkan agama lebih mengarah pada upaya menjauhkan doktrin dan ajaran agama itu sendiri. Moderasi beragama juga tidak condong pada penafsiran keagamaan yang terlalu konservatif atau yang sering disebut sebagai kelompok ekstrem kanan. Pemahaman keagamaan yang cenderung hitam putih ini juga bukan moderasi beragama karena mengandung unsur pemaksaan dan merasa paling benar dengan cara resisten terhadap individu atau kelompok lain yang berbeda. Dengan demikian pemahaman tentang moderasi beragama berarti mendudukkan ajaran agama yang seimbang dan adil. Secara tegas dikatakan di sini bahwa moderasi beragama bukan berada dalam posisi yang serba berlebihan. Sikap moderasi beragama memilih untuk konsisten dalam memegang prinsip-prinsip keagamaan tanpa terjebak dalam kotak liberalisme kiri maupun kotak ekstremisme kanan. Dengan demikian, 15 moderasi beragama memiliki pengertian seimbang dalam memahami ajaran agama, di mana sikap seimbang tersebut diekspresikan secara konsisten dalam memegangi prinsip ajaran agamanya dengan mengakui keberadaan pihak lain. Perilaku moderasi beragama menunjukkan sikap toleran, menghormati atas setiap perbedaan pendapat, menghargai kemajemukan, dan tidak memaksakan kehendak atas nama paham keagamaan dengan cara kekerasan.10 Dalam konteks keislaman, moderasi beragama sering dipadankan dengan Islam wasathiyah. Secara bahasa, Ash-Salibi dan Ibnu Manzur telah menjejelaskan bahwa pengertian wasathiyyah mengarah pada makna adil, utama, pilihan atau terbaik, dan seimbang antara dua posisi yang berseberangan.11 Secara akademik, Islam wasathiyyah juga disebut justly-balanced Islam, the middle path atau the middle way Islam, dan Islam sebagai mediating and balancing power untuk memainkan peran mediasi dan pengimbang. Pemaknaan ini menunjukkan bahwa Islam wasathiyah mengedepankan pentingnya keadilan dan keseimbangan serta jalan tengah agar tidak terjebak pada sikap keagamaan ekstrem. Selama ini, konsep Islam wasathiyyah dipahami untuk merefleksikan prinsip tawassuth (tengah), tasāmuh (toleran), tawāzun (seimbang), i'tidāl (adil), dan iqtishād (sederhana). Dalam buku yang berjudul “Qadāyā al-Fiqh wa al-Fikr alMu’āshir”, Wahbah az-Zuhaili berpendapat bahwa moderasilah yang paling mungkin membawa stabilitas dan ketenangan, yang akan sangat membantu kesejahteraan individu dan masyarakat. Hal ini dikarenakan wasathiyyah merupakan wujud dari esensi kehormatan moral dan kemuliaan Islam.12 Pada saat yang sama, Yusuf Al-Qardawi menjelaskan, wasathiyyah sama dengan at-tawāzun, yaitu upaya untuk menjaga keseimbangan antara dua sisi/ujung/pinggir yang 10 Pokja IMA Dirjen Pendi Kemenag , Implementasi Moderasi Beragama dalam Pendidikan Islam, 6. 11 Abu al-Husain Ahmad Ibn Faris. Mu’jam Maqayis al-Lughah, (Beirut: Daar al-Fikr, 1399/1979), VI : 108, Ibnu Manzur, Lisan al-‘Arab, cet. ke-1, (Beirut: Dar as-Sadir , t.th, VII.: 2001) 12 Wahbah Az-Zuhaili. Qadāyā al-Fiqh wa al-Fikr al-Mu’āshir, (Beirut ; Dar al-Fikr, 2006), 583 16 berlawanan atau bertolak-belakang, agar jangan sampai yang satu mendominasi dan menegasikan yang lain. Sebagai contoh dua sisi yang bertolak belakang; spiritualisme dan materialisme, individualisme dan sosialisme, paham yang realistik dan yang idealis, dan lainnya. Bersikap seimbang yang perlu dimunculkan yaitu dengan memberi porsi yang adil dan proporsional kepada masing-masing sisi/pihak tanpa berlebihan, baik karena terlalu banyak maupun terlalu sedikit.13 Adapun pengertian wasathiyyah menurut terminologi Islam, yang bersandarkan kepada sumber-sumber otoritatifnya, secara terperinci dijelaskan Yusuf Al-Qardawi sebagai sebuah sikap yang mengandung pengertian keadilan sebagai konsekuensi diterimanya kesaksian seorang saksi berdasarkan Q.S. al-Baqarah [2]: 143. ۟ ُ‫طا ِلتَ ُكون‬ ً ‫س‬ ُ ‫وا‬ ‫سو ُل‬ ُ ‫ٱلر‬ َّ َ‫اس َو َي ُكون‬ ِ ‫علَى ٱل َّن‬ َ ‫ش َهدَآ َء‬ َ ‫َو َك َٰذَلِكَ َج َع ْل َٰ َن ُك ْم أ ُ َّمةً َو‬ ‫علَ ْي َها ٓ ِإ ََّّل ِل َن ْعلَ َم َمن َيتَّ ِب ُع‬ َ ‫علَ ْي ُك ْم‬ َ َ‫ش ِهيدًا ۗ َو َما َج َع ْلنَا ْٱل ِق ْبلَةَ ٱلَّ ِتى ُكنت‬ َ ْ ‫ع ِق َب ْي ِه ۚ َوإِن َكان‬ َ‫علَى ٱلَّذِين‬ ُ ‫سو َل ِم َّمن َينقَ ِل‬ ُ ‫ٱلر‬ َّ َ ‫يرة ً إِ ََّّل‬ َ ‫علَ َٰى‬ َ ‫ب‬ َ ‫َت لَ َك ِب‬ َّ ‫َهدَى‬ َّ ‫ُضي َع ِإي َٰ َم َن ُك ْم ۚ ِإ َّن‬ َّ َ‫ٱَّللُ ۗ َو َما َكان‬ ‫وف َّر ِحي ٌم‬ ٌ ‫اس لَ َر ُء‬ ِ ‫ٱَّللَ ِبٱل َّن‬ ِ ‫ٱَّللُ ِلي‬ Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyianyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia. Oleh karena itu, hal yang paling mendasar dan perlu diperhatikan dalam pemahaman moderasi beragama, termasuk di Yusuf Al-Qardawi. Al-Khasā`is al-‘Ammah li al- Islām, (Bairut: Mu’assasah ar Risalah 1983), 127. 13 17 dalamnya agama Islam adalah penerapan nilai-nilai keagamaan yang mengambil jalan tengah (tawassuth), toleran (tasāmuh), dan seimbang (tawāzun) yang diekspresikan melalui sikap keagamaan: pertama, tidak bersikap ekstrem dalam menyebarluaskan ajaran agama. Kedua, tidak mudah mengafirkan sesama muslim karena perbedaan tafsir pemahaman agama. Ketiga, memposisikan diri dalam kehidupan bermasyarakat dengan senantiasa memegang teguh prinsip persaudaraan (ukhuwah) dan toleransi (tasāmuh), hidup berdampingan dengan sesama umat Islam maupun warga negara yang memeluk agama lain.14 Pribumisasi Islam dan Pengalaman Moderasi Beragama di Bumi Nusantara Seluruh umat Islam sepakat bahwa Alquran dan Hadis merupakan pedoman dalam menjalankan ajaran Islam. Namun, permasalahan akan muncul ketika Islam menyebar ke berbagai wilayah di dunia melalui persentuhannya dengan berbagai kebudayaan dan tradisi setempat yang tidak mungkin untuk dihindari. Persebaran Islam telah melewati tradisi-tradisi kultural dan rentang sejarah yang panjang sehingga otentisitasnya sulit untuk dideteksi.15 Kehadiran Islam di Indonesia yang saat ini menjadi agama mayoritas, sulit untuk disangkal apabila tidak melibatkan dialog yang intensif dengan beragam tradisi dan tata nilai lokal yang lebih dahulu tumbuh dan dianut oleh masyarakat Indonesia. Ditinjau dalam perspektif akademik bahwa kajian moderasi beragama, terutama mengenai konsep moderasi Islam memiliki banyak legitimasi baik secara historis, sosiologis, yuridis, maupun legitimasi yang bersumber dari ajaran Islam. Pertama, legitimasi historis. Sejauh terkait penyebaran agama Islam di Indonesia penggunaan kekerasan hampir tidak ditemukan sebagai cara untuk 14 Pokja IMA Dirjen Pendi Kemenag, Implementasi Moderasi Beragama dalam Pendidikan Islam, 10-13. 15 Zainul Milal Bizawie, “Islam di Indonesia: Mendialogkan Tradisi, Rekonsiliasi Kultural”, dalam Epilog Buku Silang Budaya Islam – Melayu: Dinamika Masyarakat Melayu Jambi, karya Pahmi, (Jakarta: Compas, 2017), 241 18 menambah pemeluk baru. Demikian pula dalam menjalankan ajaran agama, cara yang banyak diikuti adalah yang jauh dari sikap ekstrem. Semua itu dapat dibuktikan dengan keragaman kelompok keagamaan di semua agama. Ini menunujkkan bahwa sejak semula moderasi sesungguhnya merupakan sikap bawaan masyarakat Indonesia dalam beragama, khususnya moderasi Islam. Dengan demikian, legitimasi bagi konsep moderasi Islam berasal dari realitas historis bahwa ajaran keislaman yang berkembang di Indonesia selalu memiliki warna kultural setempat, menjadi Jawa, Minagkabau, Sunda, Bugis, Banjar dan seterusnya. Semua ekspresi keislaman tersebut menunjukkan moderasi, mencari bentuk paling mungkin dan paling bagus dalam pertemuan antara Islam dengan budaya setempat. Kedua adalah realitas sosiologis. Masyarakat Indonesia yang plural menuntut cara beragama yang mempertimbangkan kehadiran dan adanya yang lain yang berbeda (the other). Berislam di Indonesia, sebab itu menuntut kesadaran penuh bahwa warga Indonesia memiliki pandangan-pandangan religious, etnis, dan agama yang berbeda. Artinya, umat Islam saat ini mesti memiliki kesadaran kebangsaan yang baik, melebihi generasi sebelumnya. Ketiga adalah kesepakatan para pendiri bangsa dalam proses sejarah terbentuknya nkri. NKRI bukanlah negara agama, tetapi negara yang menjamin kebebasan menjalankan ajaran-ajaran agama. Secara yuridis hal ini tercantum dalam pasal 29 UUD 1945 tentang kebebasan beragama, Negara berdasar atas ketuhanan yang maha esa 2, negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Jaminan itu berarti bahwa negara memastikan tidak ada yang boleh memaksakan pemahaman agamanya di ranah publik yang menganggu kebebasan penganut agama lain. Keempat, legitimasi yang bersumber dari ajaran Islam itu sendiri beserta contoh perilaku para ulama. Islam adalah agama tengah wasath sebagaiman dalam surat al Qasahas ayat 77 yang memerintahkan manusia untuk menjadi saleh, namun juga agar manusia tidak melupakan kehidupan dunia. Dua aspek itu, rohani dan dan duniawi harus dijaga secara seimbang. Keseimbangan itu 19 merupakan karakteristik yang harus ditumbuhkan dalam diri umat manusia sebagai ummatan wasathon. Jika dikaji secara lebih mendalam, ajaran Islam yang dibawa oleh nabi Muhammad juga menjunjung tinggi tradisi yang telah terbangun sebelum Islam datang. Syar’u man qoblanā sebagai salah satu sumber dalam hukum Islam memiliki pemaknaan yang perlu ditelaah dalam konteks bahwa Islam telah merespon, bahkan mengadopsi berbagai warisan dari umat terdahulu. Baik dalam bentuk ritus keagamaan, sosial maupun budaya. Islam pada era nabi Muhammad tidak bersikap konfrontatif terhadap warisan tradisi dan budaya Arab pada saat itu. Beberapa ritus agama Islam seperti haji dan segala bentuk praktiknya yang berhubungan dengan rukunnya atau bentuk ritual haji lainnya tidak bisa dipisahkan dari sejarah Nabi Ibrahim.16 Namun, Islam datang untuk membawa nilai dan peradaban baru dalam melestarikan ritus yang salah satunya diwujudkan dalam bentuk kewajiban memakai baju ihram pada saat ibadah haji. Islam hadir untuk melestarikan kewajiban ihram dengan penuh peradaban ketika praktik ibadah haji bagi umat Islam Arab pra Islam dilakukan dengan tanpa busana pada saat tawaf. Bagi masyarakat pra Islam saat itu, tidak memakai busana saat tawaf mengandung simbol kesucian karena baju adalah simbol kekotoran, untuk itu, dalam menghormati ka’bah yang suci, manusia harus melepaskan seluruh unsur yang menyebabkan dirinya tertutupi oleh sesuatu yang mengotori yang disimbolkan baju oleh baju. Akan tetapi, ketika Islam datang, tradisi tidak menggunakan baju saat melakukan tawaf atau dalam ibadah haji diganti dengan pakaian ihram. Dari praktik diwajibkannya menggunakan baju ihram ini mengandung pengertian bahwa Islam hadir membawa peradaban baru dalam tradisi tawaf tanpa mengurangi substansi pemaknaannya sebagai tradisi sebagaimana telah dilakukan oleh masyarakat Arab pra Islam. Pemaknaan simbol baju ihram yang tidak boleh dijahit ketika tawaf dalam ibadah haji bisa diartikulasikan sebagai simbol kesucian dalam menghormati ka’bah sebagaimana simbol yang dilakukan oleh Khalil Abdul Karim, al-Jūzuru al-Tārikhiyyah li al-Syarī’ah al-Islāmiyyah, (Kairo: Sina li al-Nasyr, 1990). 16 20 masyarakat pra Islam tersebut. Begitu juga beberapa praktik ritualitas lain dari masyarakat Arab yang kemudian diadopsi oleh Islam dikemudian hari. Dalam konteks ini, ajaran Islam pada dasarnya tidak bisa dipisahkan dari serangkaian dialog antara keabadian firman Allah yang universal dan eternal (berlaku secara terus menerus) dengan realita kehidupan bangsa Arab.17 Sehubungan dengan pemaknaan sejarah mengenai ibadah haji yang mengadaptasi dengan tradisi pra Islam tersebut sebenarnya dapat ditarik ke dalam konteks penyebaran Islam ke Nusantara. Dalam perkembangan sejarahnya bahwa praktik dakwah penyebaran Islam ke wilayah Nusantara tidak bersifat monoton dan memusuhi nilai-nilai komunitas lokal. Para pendakwah ajaran Islam tidak mempunyai tujuan lain kecuali untuk menyebarkan kebenaran, mengajak masyarakat untuk berbuat kebaikan dan menghindari kejahatan. Dalam praktiknya, dakwah Islam yang dilakukan oleh para mubaligh bisa jadi mengalami persaingan dengan penganjurpenganjur agama lain (Budha dan Hindu), akan tetapi berjalan dengan tanpa kekerasan dan semuanya berlangsung secara damai.18 Kondisi ini cukup berbeda dengan penyebaran Islam di Timur Tengah yang dalam beberapa kasus disertai dengan “kekerasan” oleh militer Muslim melalui penaklukan-penaklukan (fath). Islam di Indonesia yang disebarkan oleh pedagang, kemudian dilanjutkan oleh para guru agama (da’i) dan pengembara sufi ini membentuk karakter keislaman yang penuh dengan kedamaian sesuai dengan ajaran-ajaran tasawuf. Berdasarkan data Sensus Penduduk tahun 2010, yang merupakan sebuah proses pencatatan, perhitungan, dan publikasi data demografis yang dilakukan terhadap semua penduduk yang tinggal menetap di suatu wilayah tertentu, struktur dan komposisi penduduk Indonesia menurut suku bangsa menurut Sensus Penduduk 2010 menempatkan Suku Jawa sebagai suku terbesar dengan populasi 85,2 juta jiwa atau sekitar 40,2 persen dari populasi penduduk Indonesia. 17 Khalil Abdul Karim, al-Jūzuru al-Tārikhiyyah li al-Syarī’ah al-Islāmiyyah, 8. 18 Saifudin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan perkembangannya di Indonesia, (Bandung: PT Al-Maarif, 1979), 188. 21 Kemudian disusul Suku Sunda dengan jumlah 36,7 juta jiwa atau 15,5 persen. Kemudian Suku Batak di posisi ketiga dengan jumlah 8,5 juta jiwa atau 3,6 persen. Disusul Suku asal Sulawesi selain Suku Makassar, Bugis, Minahasa, dan Gorontalo.19 Kemajemukan bangsa Indonesia juga terlihat dari beragam agama yang dipeluk oleh penduduknya. Begitu juga dengan keragaman penggunaan bahasa daerah yang digunakan sebagai bahasa percakapan sehari-hari. Berdasarkan Sensus Penduduk 2010, penggunaan bahasa daerah merupakan bahasa yang paling banyak digunakan oleh penduduk Indonesia dalam kehidupan keseharian dan rumah tangga dengan jumlah 79,5 persen. Sedangkan bahasa Indonesia digunakan oleh 9,9 persen penduduk Indonesia dalam percakapan sehari-hari penduduknya. Sisanya, 0,3 persen penduduk Indonesia menggunakan bahasa asing.20 Dengan kekayaan tersebut, Indonesia memiliki potensi menjadi bangsa yang besar dengan catatan mampu mengharmoniskan segala keragaman yang ada di setiap suku bangsanya. Di sisi lain, keberagaman ini juga bisa menjadi pemicu terjadinya disintegrasi bangsa bilamana tidak mampu menjaganya. Kita semua tentu juga menyadari bahwa mengharmoniskan keragaman yang kita miliki bukanlah perkara yang mudah. Meski demikian, sebagaimana kita ketahui bersama bahwa mayoritas dari masyarakat kita memilih untuk tetap ber-bhinneka tunggal ika. Suasana kehidupan masyarakat Indonesia yang harmonis di lingkungan masyarakat heterogen dengan berbagai latar belakang agama terbangun karena masyarakat Indonesia sejak dahulu memiliki karakter-karakter yang dapat membangun keragaman. Berbagai kegiatan sosial budaya berciri gotong royong memperlihatkan karakter masyarakat Indonesia yang saling menghormati antara berbagai perbedaan golongan, suku bangsa, hingga agama. 19 https://id.wikipedia.org/wiki/Sensus_Penduduk_Indonesia_2010#:~:text= Menurut%20publikasi%20BPS%20pada%20bulan,1%2C49%20persen%20per%20 tahun. 20 Ibid. 22 Ditinjau dari aspek kesejarahannya bahwa moderasi beragama yang dijalankan oleh masyarakat Islam di Nusantara ditengarai sudah ada bersamaan dengan datangnya Islam itu sendiri. Para sejarawan menyatakan bahwa Islam didakwahkan dengan damai dan mengakomodasi budaya-budaya lokal yang ada di Nusantara. Kecenderungan moderasi dalam beragama ini karena Islam dibawa masuk ke Nusantara oleh para sufi yang memang dikenal memiliki karakter moderat dalam beragama. Nusantara yang sebagian besar wilayahnya menjadi tempat perjumpaan bagi peradaban-peradaban besar dunia juga menjadi modal utama bagi tumbuh dan berkembangnya sikap moderasi yang dijalani oleh masyarakatnya. Keterbukaan masyarakat Nusantara terhadap sesuatu yang datang dari luar ini menjadi lahan subur bagi pertumbuhan tradisi toleransi keragaman di Indonesia. Keterbukaan masyarakat Nusantara ini membuktikan bahwa Nusantara merupakan bangsa yang inklusif. Watak inklusifitas ini yang menguatkan ajaran-ajaran Islam yang moderat. Islam sangat bukan hanya cocok diterima masyarakat Nusantara, melainkan juga menjadi warna bagi budaya Nusantara dalam mewujudkan sifat akomodatifnya yakni rahmatan lil ‘ālamīn. Keterbukaan dan kosmoplitnya peradaban masyarakat Nusantara masa lalu seperti tergambar di atas melahirkan keberagaman dan kekayaan tradisi. Proses asimilasi tradisi lokal dengan tradisi yang datang dari masyarakat luar menunjukkan adanya daya kreatif yang dimiliki oleh masyarakat. Indonesia bukan sekadar menerima budaya lain secara mentah-mentah, melainkan mengkreasi dan menghasilkan budaya-budaya baru hasil persilangan antara budaya lokal dengan budaya luar.21 Tantangan Moderasi Beragama dalam Pemikiran Keislaman di Indonesia Ketika Islam pertama kali hadir di tanah Arab, pesan utama dari sang Rasul Muhammad adalah untuk menyempurnakan akhlak yang 21 Henry Thomas Simartama, dkk: Indonesia Zamrud Toleransi, (Jakarta: Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Indonesia 2017). 23 mulya (liutammima makārimal akhlāq). Karakteristik akhlak yang mulya menjadi identitas prilaku bagi muslim yang mencerminkan sikap adil dan tidak berlebihan dalam bertindak. Sikap adil dalam berprilaku memiliki korelasi dengan moderasi nilai ajaran dalam Islam, yaitu menunjukkan sikap tidak berat sebelah atau tengahtengah (tawassuth) dalam segala bentuk perilaku, termasuk dalam menjalankan ajaran agama Islam. Secara lebih mendalam, Ibnu Miskawaih memberikan penekanan pada pengembangan konsep akhlak tersebut dengan mengkaitkannya pada upaya untuk mengoptimalisasikan potensi manusia secara seimbang. Menurut Ibnu Miskawaih, manusia dianugerahi tiga potensi dasar yang akan menjadi sumber kekuatan untuk mengarahkan perilaku manusia kepada jalan kebenaran atau mengarahkan manusia kepada jalan kemungkaran. Jalan kebenaran akan melahirkan perilaku baik atau akhlak hasanah. Sedangkan jalan kemungkaran akan melahirkan perilaku tercela atau akhlak mazmūmah. Ketiga potensi dasar manusia tersebut adalah nafsu, amarah, dan kecerdasan. Masing-masing dari ketiga potensi tersebut harus berjalan seimbang, di mana dalam konteks teori akhlak ini kemudian melahirkan konsep al ‘adalah atau keseimbangan22. Keseimbangan dalam mengamalkan ajaran Islam menjadi hal amat penting untuk dipahami oleh setiap Muslim. Dengan pemahaman Islam yang seimbang seseorang tidak akan condong pada suasana batin yang emosional karena ia akan terkontrol dari sentimental pribadi yang muncul dari sikap dan pemahaman keagamaannya yang berlebihan. Ketika sikap keagamaan ditunjukkan melalui ekspresi kemarahan atau menggunakan potensi ghodlob-nya saja, akan mudah ditebak bahwa seseorang telah dikuasai oleh nafsu dan amarahnya dari faktor pemahaman keagamaannya. Ketidakadilan dalam mengekspresikan ajaran Islam yang hanya di kendalikan oleh rasa sentimen yang terlalu berlebihan akan berakibat pada pembentukan sikap kaku dalam beragama. Karakteristik ini kemudian membuat seseorang kurang bijaksana dalam bersikap dan bertindak, terutama kepada kelompok lain yang berbeda. 22 Ibnu Miskawaih, Tahdzīb al-Akahlāq, (Beirut, Dār al-Kutub al‘Ilmiyyah,1985), 91 24 Akan tetapi, pada saat ini telah terjadi fenomena yang menjauh dari misi kerasulan tersebut. Corak dan ekspresi keislaman yang muncul pada saat ini, meskipun secara umum masih ditampakkan dalam citra yang moderat, namun tidak bisa dipungkiri bahwa akhirakhir ini sedikit demi sedikit mulai berubah posisi menjadi kurang moderat. Munculnya banyak kasus intoleransi yang dipicu oleh eksklusivitas pemahaman keagamaan di beberapa wilayah di tanah air masih meningkat. Data yang dirilis oleh imparsial pada tahun 2019 kemarin telah menjelaskan bahwa dari 31 kasus intolerensi yang terjadi di Indonesia 11 kasus diantaranya lebih cenderung mengarah pada hubungan disharmoni dari faktor paham keagamaan, pelarangan ibadah menempati posisi yang paling tinggi.23 Kasus yang paling menghangat dari tindakan intoleransi yang dipicu oleh paham keagamaan adalah yang terjadi di Solo, yaitu penyerangan terhadap ritual midodareni dari seorang warga di Solo Sabtu tanggal 8 Agustus tahun 2020 kemarin24. Secara lebih spesifik di lembaga pendidikan, kasus intoleransi juga tidak bisa dihindari keberadaannya. Hasil riset yang dilakukan oleh PPIM UIN Ciputat melalui metode survei juga menjelaskan bahwa sikap keberagamaan di lembaga pendidikan baik pada tingkat dasar, menengah hingga pendidikan tinggi secara nasional di Indonesia menunjukkan hasil yang mengagetkan. Dalam survei tersebut dikatakan bahwa aksi intoleran guru sebagai mencapai 69.3 %. Guru di Indonesia mulai dari tingkat TK/RA hingga SMA/MA memiliki opini intoleran dan radikal yang tinggi. “Secara umum, persentasenya sudah di atas 50% guru yang memiliki opini yang intoleran. Sebanyak 46.09% memiliki opini radikal. Sedangkan jika dilihat dari sisi intensi-aksi, walaupun lebih kecil nilainya dari pada opini, namun tetap hasilnya mengkhawatirkan. Sebanyak 37.77% guru intoleran dan 41.26% yang radikal. Dari hasil temuan tersebut terdapat tiga faktor dominan yang mempengaruhi tingkat opini dan 23 https://news.detik.com/berita/d-4787954/imparsial-ada-31-kasusintoleransi-di-indonesia-mayoritas-pelarangan-ibadah 24 https://regional.kompas.com/read/2020/08/12/10510041/kronologipembubaran-midodareni-di-solo-keluarga-diserang-dan-kaca-mobil?page=all 25 intensi-aksi intoleransi dan radikalisme guru. Pertama, pandangan Islamis. Sebanyak 40.36% guru setuju bahwa seluruh Ilmu pengetahuan sudah ada dalam al-Quran, sehingga tidak perlu mempelajari ilmu-ilmu yang bersumber dari Barat. Kedua, faktor demografi, yaitu jenis kelamin, sekolah madrasah vs negeri, status kepegawaian, penghasilan, dan usia. Hasilnya, guru perempuan memiliki opini yang lebih intoleran dan radikal. Lebih jauh dijelaskan bahwa guru madrasah lebih intoleran daripada guru sekolah. Ini dipengaruhi karena di madrasah tempat proses pembelajaran memiliki iklim dan lingkungan yang homogen. Di lembaga pendidikan Islam seperti madrasah, guru hanya mengajar siswa muslim dan berinteraksi dengan guru muslim saja. Ketiga, faktor kedekatan dengan ormas dan sumber pengetahuan keislaman. Data yang dirilis tersebut menunjukkan bahwa sebanyak 45.22% guru merasa dekat dengan organisasi NU dan Muhammadiah sebanyak 19.19%. Kondisi ini lebih lanjut disebutkan bahwa guru-guru yang dekat dengan NU dan Muhammadiah cenderung lebih memiliki opini dan intensi-aksi yang toleran dari pada mereka yang merasa dekat dengan ormas Islam yang selama ini dinilai radikal.25 Hasil survei tersebut semakin menguatkan bahwa ancaman intoleransi semakin kuat dalam ranah kehidupan berbangsa dan bernegara dan sekaligus menjadi tantangan berat bagi institusi pendidikan Islam. Kenyataan tersebut sekaligus menunjukkan bahwa masa depan bangsa akan dihantui oleh sikap intoleran yang dalam kondisi tertentu akan cepat menyulut api konflik apabila tidak segera diantisipasi. Walaupun tidak sepenuhnya benar, karena adanya anggapan dari sebagian masyarakat yang menilai bahwa riset tersebut terlalu berlebihan dan terkesan memojokkan umat Islam. Munculnya berbagai kasus intoleransi yang dipicu oleh eksklusivitas paham keagamaan tersebut memang tidak bisa dibantah. Untuk itu, kemunculan wajah Islam di ruang publik selain menampilkan wajah moderat, namun pada saat yang lain menjadi tidak ramah, ekstrem, 25 https://conveyindonesia.com/survei-ppim-2018-menyibak-intoleransi-danradikalisme-guru/ 26 dan diskriminatif karena faktor pemahaman keagamaan yang tidak toleran tersebut. Tentu saja, pernyataan yang terakhir ini tidaklah tepat karena wajah Islam yang sebenarnya adalah penuh kasih sayang sebagaimana misi untuk menyebarkan rahmat bagi seluruh alam semesta. Meskipun tidak tepat Islam dikesankan kurang ramah, ekstrem, dan diskriminatif, namun tidak bisa dipungkiri bahwa di dalam kelompok Islam tertentu telah muncul wajah-wajah ganda dalam Islam. Wajah-wajah ganda ini merupakan cerminan dari pemahaman beberapa kelompok tertentu dalam Islam yang memiliki agendaagenda keislaman dengan ideologi yang berbeda. Stephen Schwartz dalam The Two Faces of Islam menjelaskan bahwa tidak bisa dipungkiri bahwa wajah ganda tersebut memang terjadi di dalam Islam yang berada diantara bandul ekstrimis-fundamentalis dan bandul moderat-toleran.26 Dalam konteks kebangsaan kondisi pemahaman intolerensi tersebut saat ini memang sangat mengkhawatirkan bagi keutuhan bangsa Indonesia. Selain faktor pemahaman yang kaku, paham keislaman juga tidak bisa dipisahkan dari pengaruh ideologi revivalisme yang mengusung cita-cita pendirian daulah islamiyah semacam khilafah, darul Islam, dan imamah. Dalam konteks pendidikan Islam, varianvarian ideologi keislaman tersebut saling berkontestasi di Indonesia di dalam membentuk pemikiran keislaman, terutama yang menjauh dari identitas kebangsaan. Pergulatan antara bentuk keislaman yang mengusung paham otentitas dan yang mengusung ideologi politik ideologi semakin menambah rumit suasana dalam menciptakan kondisi harmonis dalam masyarakat, bahkan dalam ranah yang lebih tinggi akan mengkhawatirkan keutahan bangsa, jika orientasinya mengarah pada narasi kontra terhadap NKRI. Pada saat tertentu, pemikiran untuk mendasarkan Islam pada bentuk yang paling orisinil selalu sibuk dalam mengoreksi ibadah saudaranya sesama muslim. Tidak segan-segan bahwa bentuk pemikiran keagamaan tersebut mengarah pada emosi keagamaan yang Stephen Schwartz. The Two Faces of Islam: The House of Sa’ud from Tradition to Terror, (New York: Doubleday, 2002). 26 27 kemudian diekspresikan pada bentuk kebencian terhadap sesama umat Islam yang berbeda pilihan manhaj keislamannya, apalagi terhadap kelompok non muslim yang sering dikaitkan sebagai musuh Islam. Dalam suasana seperti ini, bentuk pemahaman keagamaan intoleransi perlu diwaspadai berasama karena apabila tidak diwaspadai tidak menutup kemungkinan dalam rentang waktu yang tidak lama akan berakibat pada hubungan antar paham keagamaan yang tidak harmonis. Dari hubungan yang tidak harmonis ini akan rentan menyulut konflik di tengah masyarakat. Pandangan keagamaan tersebut tentu perlu dijembatani dengan hadirnya penguatan dan pengembangan formulasi moderasi beragama dari semua pihak. Tidak kalah penting dalam penguatan dan pengembangan tersebut, pendidikan Islam sudah selayaknya ikut memainkan peran penting untuk menjambatani kesenjangan paham keagamaan tersebut. Pendidikan Islam harus mampu mebingkai kesenjangan dari beragam perbedaan yang muncul di tengah masyarakat Indonesia dengan menghadirkan sajian pembelajaran yang lebih mendewasakan berpikir inklusif. Bukan sebaliknya, malah menjadi bagian dari penyebaran paham eksklusif yang mengarah pada bentuk pemikiran radikal. Hal ini penting diperhatikan secara menyeluruh karena pendidikan Islam memiliki pengaruh kuat bagi masing-masing peserta didik dalam membentuk karakter dan kepribadia untuk masa depan bangsa. Dari penjelasan sebagaimana telah disunggung di atas bisa dipahami bahwa agama pada satu sisi memiliki peran penting dalam menumbuh-kembangkan sikap yang integratif dan positif di dalam masyarakat, namun pada sisi yang lain, agama juga dapat melahirkan sikap konfrontatif yang mengarah pada tindakan negatif dalam masyarakat. Dua potensi agama ini dapat diuji dalam masyarakat di Indonesia yang multikultural. Indonesia sebagai negara-bangsa memiliki karakteristik multikultural karena terdiri dari beragam budaya, ras, dan golongan. Ketika agama cenderung dipahami sebagai sumber ajaran yang monoton, potensi agama akan lebih mengarah pada bentuk resistensi dan konflik. Sebaliknya, ketika agama 28 dipahami secara terbuka, potensi agama akan melahirkan harmoni dan menjauh dari potensi konflik. Sejak awal rezim orde lama agama menjadi problem bagi terciptanya kehidupan yang harmonis. Dalam era Soekarno, pergolakan paham keagamaan masih menjadi penghalang bagi terciptanya harmoni dalam perbedaan, terutama yang dipicu dari segregasi kelompok muslim dan non muslim. Era Orde Baru, problem agama juga muncul ketika terjadi gesekan antara PKI dan umat Islam. Isu ini kemudian berimbas pada faksi kenegaraan yang berhadapan dengan ideologi agama. Hingga pada era reformasi dan pasca reformasi perjuangan untuk menghadirkan kehidupan yang harmonis dalam bingkai kehidupan beragama belum sepenuhnya berjalan mulus. Sebagai refleksi dari gambaran ini adalah kasus Poso, Maluku, dan beberapa kasus konflik yang dipicu oleh sentimen agama di tempat lain di Indonesia. Meskipun konflik tersebut tidak menutup kemungkinan melibatkan aspek lain seperti faktor sosial, politik, dan ekonomi, namun pemahaman keagamaan tidak bisa dipisahkan dalam memerankan konflik tersebut. Pada saat yang sama, sentimen dari munculnya paham keagamaan juga memicu adanya konflik di masyarakat ketika terjadi benturan antara agama dengan budaya. Berbagai kasus yang muncul lebih terlihat dipicu oleh penafsiran keagamaan yang cenderung kaku. Dalam hubungannya dengan budaya bangsa, konflik tersebut dapat memicu konflik di masyarakat sebagaimana digambarkan oleh Sutiyono sebagai benturan antara agama dengan budaya.27 Dalam konteks ajaran Islam, apa yang disebut sebagai benturan budaya ini tidak bisa dipisahkan dari doktrin dalam Islam yang menitik beratkan pada ajaran tauhid dan menghindarkan diri dari praktik kemusyrikan. Namun, apakah pemahaman terhadap konsep pemurnian ajaran Islam tersebut kemudian harus berhadapan secara antagonis dengan budaya yang sudah mengakar sebagai identitas asli bangsa Indonesia. Sedangkan pada sisi lain, kekuatan paham keagamaan yang dituduh 27 Sutiyono, Benturan Budaya Islam: Puritan dan Sinkretis, (Jakarta: Kompas, 2010). 29 sebagai pendukung budaya yang dituduhkan oleh kelompok “pembaharu Islam” puritanis terhadap kelompok tradisionalis sebagai bid’ah justru semakin memperkuat identitas keagamaannya di Indonesia. Kelompok yang disebut terakhir ini berhasil mempertahankan identitas keagamaannya dengan cara memasukkan ajaran Islam kedalam tradisi dan budaya lokal. Bagi kelompok tradisionalis, memahami ajaran Islam tidak sekedar menampakkan doktrin tekstualis dengan jargon mengembalikan kepada Alquran dan Hadis, namun lebih dari itu, ajaran Islam juga diinternalisasi oleh spirit keagamaan yang mengarah pada unsur mistisisme yang dalam istilah lain disebut sebagai sufistik. Dalam bentuk pemahaman ini, bentuk keagamaan mengarah pada sikap adaptif terhadap tradisi dan budaya yang berkembang di Indonesia. Bentuk pemahaman keagamaan seperti inilah yang kemudian oleh K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) kemudian dikenal sebagai pribumisasi Islam. Pada muktamar PBNU ke-33 di Jombang tahun 2015 konsep pribumisasi Islam ini kemudian dikukuhkan sebagai identitas Nahdlatul Ulama sebagai Islam Nusantara. Di kalangan masyarakat NU tidak terjadi resistensi apalagi menunjukkan sikap oposisi terhadap ajaran agama Islam dengan budaya. Kedua hal ini, yaitu budaya dan ajaran agama senantiasa berjalan bareng dan dibangun atas dasar saling menguatkan sebagai karakter asli keislaman di Indonesia. Dalam konteks pemahaman doktrin keagamaan tauhid, masyarakat NU ini memiliki pandangannya tersendiri, terutama mengenai kategori ajaran mana yang menyimpang dan kategori ajaran mana yang perlu dilestarikan, sehingga narasi-narasi perlunya Islamisasi internal sebagaimana istilah yang disebut Nakamura28, purifikasi Islam yang disebut Peacock,29 atau tuduhan sinkretis 28 Mitsuo Nakamura, Bulan Sabit Muncul dari Balik Pohon Beringin; Studi tentang Pergerakan Muhammadiyah di Kota Gede, Yogyakarta, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1983). 29 James L. Peacock, Muslim Puritan: Reformist Pshycology in South East Asia, (Barkeley: University of California, 1978). 30 sebagaimana dalam ungkapan Cliford Geertz yang dianggap menjurus kepada kemusyrikan sebagaimana dituduhkan oleh kelompok puritanis tidak mampu menggoyahkan keyakinan kelompok tradisonalis tersebut. Justeru sebaliknya kelompok ini malah semakin menunjukkan praktik keagamaan yang adaptif dengan tradisi dan budaya sebagai bagian penting yang tidak bisa dipisahkan dari melestarikan kearifan lokal. Praktik keagamaan melalui paradigma pribumisasi Islam ini di samping menjadi karakteristik keislaman Indonesia, juga dianggap mengandung dimensi spiritual tingkat tinggi, bukan mengarah pada dimensi bid’ah atau bahkan mengandung unsur syirik sebagaimana yang dituduhkan oleh kelompok puritanis Islam. Ketika beberapa ritual yang dilakukan seperti selamatan, tahlilan, dan ziyarah kubur dituduh oleh kelompok puritanis sebagai praktik yang menyimpang dari ajaran Islam, kalangan tradisionalis Muslim justru berbalik untuk membela ajaran yang diyakininya tersebut, sehingga tidak menutup kemungkinan terjadi nuansa ketegangan diantara kedua belah pihak sebagaimana yang terjadi pada kelompok jamaah pengajian di beberapa wilayah di Indonesia. Namun, perlu digaris bawahi bahwa beberapa ketegangan yang terjadi di kalangan kelompok tradisionalis dengan kelompok puritanis lebih disebabkan untuk mempertahankan keyakinannya dari serangan yang dituduhkan sebagai bid’ah. Persoalan mengenai dinamika pemahaman keagamaan dalam bentuk oposisi binner yang memperhadapkan antara kelompok puritanis dan kelompok tradisional, yang biasanya melestarikan tradisi ritual keagamaan melalui mazhab dan praktik sufistik tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga terjadi diseluruh penjuru dunia. Paham keagamaan puritanis yang cenderung bersikap resisten dan oposisi terhadap nilai budaya dan kearifan lokal juga dialami oleh muslim tradisonalis yang memegangi praktik tarikat dalam tradisi pengamalan ajaran kesufian di Maroko. Konflik yang terjadi di negara tersebut bermula dari ekspansi gerakan puritanisme Salafi yang berseberangan dengan kelompok Sufisme yang lebih identic dengan sebutan kelompok Sunni. Penolakan mereka kepada doktrin puritanis yang dibawa oleh Taqiuddin Al-Hilali, seorang juru dakwah yang 31 mengikuti doktrin Salafisme Arab Saudi dengan ketat dan kaku disebabkan karena kelompok puritanis Salafisme selalu menyerang beberapa tradisi keagamaan kelompok tarekat sebagai praktik yang sesat. Pada saat yang sama, kelompok Sufisme di Maroko juga menolak kehadiran doktrin Salafisme karena doktrin yang diajarkan tidak akomodatif dengan tradisi dan budaya lokal.30 Doktrin puritanis yang cenderung bersikap destruktif terhadap budaya juga dialami oleh masyarakat Bosnia dalam transisi pasca perang, di mana mereka menghancurkan seluruh bangunan yang dianggap mengandung unsur Syirik,31 sebagaimana juga pernah terjadi pembongkaran kubah Masjid dan makam-makam para sahabat dan istri nabi.32 Di Indonesia, arus puritanisme konservatif yang cenderung kaku belum sepenuhnya bisa dipadamkan. Gerakan ini mengalami situasi yang kompleks dan membingungkan sebagai gelombang ekspansi wahhabisme ke Indonesia. Arus perkembangan pembaharuan Islam yang dimulai dari sejarah konfrontatif konflik diinfiltrasi paham pembaharuan wahhabisme pada abad 18 M di Minagkabau Sumatra Barat pada perkembangan diskursus pemikiran keislaman di Indonesia terus mengalami dinamikanya tersendiri. Perkembangan atas nama pembaharuan tersebut kemudian mengalami bentuk dan berevolusi dalam interpretasi pemahaman keislaman, dari yang sekedar menolak tradisi dan budaya hingga gerakan yang mengarah pada politik yang diwujudkan dalam beberapa peristiwa pemberontakan DI (Darul Islam) di berbagai wilayah di Indonesia. Kemudian di era tahun 1970an dan 1980-an perkembangan dari dinamika pembaharuan yang cenderung puritanisme ini kemudian mewarnai perkembangan peta keislaman kontemporer, terutama dalam merespon kebijakan Pancasila sebagai asas tunggal. Sedangkan warisan gerakan pembaharuan puritanisme saat ini semakin terfragmentasi dalam berbagai bentuk, meskipun diskursusnya tidak bisa dipisahkan dari 30 Henri Lauzière, The Making of Salafism: Islamic Reform in The Twentieth Century, (New York: Columbia University Press, 2016), 216. 31 Stephen Schwartz. The Two Faces of Islam: The House of Sa’ud from Tradition to Terror, (New York: Doubleday, 2002). 32 Hamid Algar, Wahhabisme: Sebuah Tinjauan Kritis, Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi, 2011), 42. 32 narasi para pendahulunya yang berkisar dari persoalan mengenai penyelamatan akidah, tuntutan penerapan syariah Islam, hingga tuntutan pembentukan negara Islam. Mengurai Problem Penguatan dan Pengembangan Moderasi Beragama dalam Pendidikan Islam Secara umum tantangan penguatan dan pengembangan moderasi beragama dalam pendidikan Islam bisa dilihat dari dua aspek yaitu yang bersifat internal dan eksternal. Pertama, dari aspek internal, penguatan dan pengembangan moderasi beragama masih dihadapkan pada sikap keagamaan yang bersifat konservatif. Dalam konteks Pendidikan Islam, pembelajaran masih berorientasi pada ranah pengetahuan kognitif. Pembelajaran agama belum mampu menuntun jalan kepada peserta didik dalam pengembangan kesalehan baik secara spiritual maupun sosial. Pengalaman keagamaan yang muncul dipermukaan masih sebatas simbol-simbol yang belum menyentuh pada substansi agama, sehingga nilai-nilai ajaran agama belum menjadi dasar dalam berfikir, bersikap, dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari.33 Pada saat yang sama, persoalan kualitas pembelajaran juga memiliki keterkaitan dalam menghambat penguatan moderasi beragama dalam pendidikan Islam. Keterkaitan tersebut mengarah pada proses pembelajaran yang terlihat masih monoton, belum dinamis, dan belum menggugah kesadaran berpikir secara kritis.34 Persoalan lain yang menjadi problem adalah minimnya minat membaca literatur keislaman melalui berbagai pendekatan disiplin keilmuan dari sebagian pendidik dan juga peserta didik. Faktor lain yang menjadi problem internal adalah adalah problem ketersediaan sarana pembelajaran, terutama literasi keislaman yang belum memadai. 33 Keputusan Mentei Aagama nomor 183 tahun 2019 tentang Kurikulum Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab pada Madrasah. 34 Abdul Aziz. Materi Webinar Nasional yang berjudul” penguatan literasi Webinar : Penguatan Kelembagaan dan Literasi Pendidikan Islam Indonesia Pasca Pandemi Covid-19. Diselenggarakan Program Doktoral Pascasarjana UIN Banten pada tanggal, 13 Juli 2020. 33 Dalam institusi pendidikan Islam yang sejatinya memiliki peran penting untuk menjadi jembatan ketika terjadi berbagai kesenjangan yang terjadi di tengah masyarakat, terutama yang berhubungan dengan paham keagamaan, institusi pendidikan Islam belum sepenuhnya menjadi kiblat bagi masyarakat karena sebagian dari masyarakat masih menggantungkan pilihannya pada institusi organisasi kemasyarakatan seperti MUI, PBNU, Muhammadiyah, dan lainya. Pada titik ini pendidikan Islam semakin diuji ketika bersentuhan pada persoalan paham keislaman itu sendiri. Persoalan yang hingga saat ini belum mampu dituntaskan adalah persoalan mazhab dan otoritasnya yang masih menyelimuti pandangan masing-masing institusi pendidikan Islam. Kedua, adalah tantangan eksternal yaitu munculnya ideologi dan gerakan baru keagamaan yang bersifat transnasional. Ideologi dan gerakan ini memiliki kecenderungan untuk melakukan infiltrasi paham keagamaan yang berseberangan dengan identitas paham keagamaan asli Indonesia yang mengutamakan nilai-nilai budaya luhur bangsa serta merawat kebhinnekaan. Secara konseptual ideologi keagamaan transnasional sebagaimana dalam travelling theori (alnadzariyah al-muhajiroh) sebagaimana dikemukakan Edward Said bisa dipahami ke dalam dua kategori yaitu dari perspektif karakter asal ideologi dan paham kegamaan yang dikembangkan melalui proses ekspansi ideologi ke berbagai wilayah di seluruh dunia.35 Perspektif yang pertama memberi pemahaman bahwa paham ini berasal dari wilayah yang jauh dari negara Indonesia. K.H. Hasyim Muzadi 35 Menurut Edward Said, ada empat tahap yang harus dilalui dalam proses perjalanan ideologi (ide). Pertama, adalah a point of origin (tempat asal), di mana separangkat gagasan tercetus, dielaborasi dan dikontekstualisasikan dalam ruang wacana di tempat asal. Kedua, adalah tahap distance transversed, yaitu tindakan perjalanan itu sendiri, di mana sebuah ide mengalami perjalanan dari suatu tempat ke ruang tempat dan waktu yang berbeda. Ketiga, adalah tahap pertemuan, encounter stage, di mana gagasan tersebut bertemu dengan gagasan atau ideologi lain serta dikontestasikan dalam sebuah ruang wacana yang bisa berujung pada sikap penerimaan, penolakan dan modifikasi. Keempat, adalah tahap transformasi, di mana gagasan tersebut menjelma menjadi entitas baru yang diterima oleh individu atau pihak penerima. Penjelasan ini dapat dibaca dalam, Edward Said, al-‘aalam wa alnash wa al-naqidl, (The World, the Text and the Critic) Ittihaad al-Kitaab al-‘Arabi, 2000, 269-273. 34 menyebutkan bahwa ideologi keagamaan transnasional adalah paham keagamaan yang diimpor dari luar negeri untuk dikembangkan di Indonesia. Perspektif yang kedua adalah terkait paham keagamaan yang dikembangkan. Paham keagamaan transnasional memiliki karakteristik eksklusif, monoton, dan tidak mau menerima varianvarian dari paham keagamaan yang berbeda dari kelompok lain di luar kelompok mereka.36 Dalam kondisi ini, paham keagamaan transnasional lebih mengarah pada gerakan puritanisme Wahhabi yang selalu mengoreksi bentuk dan praktek ibadah dari Muslim di Indonesia secara ketat untuk disesuiakan dengan tata cara dan praktik keagamaan Wahhabisme, yang secara umum bersumber dari otoritas keagamaan Timur Tengah, terutama Arab Saudi dan Yaman. Dalam pemahaman yang lain, sikap oposisi dari gerakan ini selain monoton juga mengarah kepada bentuk politik, baik yang terlihat dalam kecenderungannya pada identitas semangat pembaharuan Islam dan revivalismenya sebagaimana infiltrasi ideologi Ikhwanul Muslimin yang berasal dari Mesir. Sedangkan dalam konteks yang lebih tinggi, paham keagamaan transnasional tidak hanya mengarah pada bentuk resistensi budaya yang dianggap mengotori kemurnian Islam, namun juga mengarah pada level menolak sistem pemerintahan yang sah secara konstiusi negara. Meskipun paham puritanisme dan revivalisme memiliki titik temu dalam bentuk penolakannya pada tradisi dan budaya, namun keduanya tidak bisa disatukan karena yang pertama lebih mengutamakan dakwah pemurnian Islam, sedangkan yang kedua, di samping mengutamakan dakwah pemurnian juga mengarah pada gerakan politik. Kemudian pada level yang ketiga paham keagamaan puritan yang dipengaruhi oleh ideologi transnasional tersebut memiliki agenda yang lebih tinggi lagi, yaitu ingin mendirikan negara Islam dunia dengan sistem khilafah. Level inilah yang oleh Masdar Hilmy dan Ahmad Syafii Maarif disebut sebagai paham transnasional Abdurrahman Wahid, “Musuh dalam Selimut, dalam pengantar editor buku, Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, (Jakarta: Gerakan Bhinneka Tunggal Ika,The Wahid Institute, dan Maarif Institute, 2009), 20. 36 35 yang sebenarnya, di mana gerakan tersebut secara nyata ditunjukkan oleh ideologi HTI.37 Moderasi Beragama dan Pribumisasi dalam Pemikiran Pendidikan Islam Perjumpaan antara Islam dan budaya kerap mengundang perdebatan yang cukup panjang dan menyisakan beberapa persoalan. Islam sebagai agama bersumber dari wahyu yang pasca nabi wafat sudah tidak turun lagi, sementara budaya adalah hasil kreasi manusia yang dapat berubah sesuai kebutuhan hidup manusia. Hubungan antara agama dan budaya merupakan sesuatu yang ambivalen. Di titik ini, kerap kali terjadi pertentangan antara Islam dengan tradisi lokal masyarakat yang berkembang di masyarakat setempat. Peleraian ketegangan antara ajaran Islam dan tradisi lokal dijembatani oleh fiqh. Aspek Fiqh yang merupakan buah ijtihad para ulama membuka ruang untuk menjadi “tool” dalam melerai ketegangan. Sejumlah kaidah-kaidah fiqh dan ushul fiqh seperti alAdah muhakkamah (Tradisi yang baik bisa dijadikan sumber hukum), al-Urf yunzalu manzilat al-Syarth (tradisi menempati posisi syarat), terbukti ampuh untuk mendamaikan pertentangan antara ajaran Islam dan tradisi lokal. Kaidah fiqh di atas menjadi dasar pengakuan dalam menyelesaikan berbagai hal-hal yang bersifat tradisi di satu sisi, dan ajaran Islam di sisi lain, yang memang secara tekstual tidak diberikan dasar hukumnya. Dalam konteks diskusrsus tersebut, pendidikan Islam seharusnya memainkan peran penting dalam penguatan dan pengembangan pemahaman keagamaan yang moderat. Pendidikan Islam harus mampu menghadirkan dan sekaligus membumikan pemahaman moderasi beragama di tengah masyarakat, terutama masyarakat muslim di Indonesia. Pemahaman moderasi beragama dalam konteks pendidikan Islam untuk meleraikan perdebatan dan 37 Ahmad Syafi’i Maarif, Islam dalam Binngkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah, (Bandung: Mizan Publika, 2009), 191. Lihat juga, Masdar Hilmy, “Akar-Akar Transnasionalisme Islam Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)”, ISLAMICA, Vol.6 No.1 September 2011, 1. 36 kesenjangan antara agama dan perjumpaannya dengan tradisi dan budaya tersebut perlu dibangun dalam penguatan paradigma pribumisasi Islam sebagai pengejawentahan dari substansi ajaran Islam. Pemahaman keagamaan yang damai, toleran, dan menghargai keragaman sangat penting diberikan kepada para peserta didik. Dalam konteks penyelenggaraan pendidikan yang menekankan pada penguatan dan pengembangan moderasi beragama, setidaknya terdapat dua hal penting yang perlu dilakukan dalam konteks mendorong pendidikan Islam Indonesia sebagai destinasi pendidikan Islam moderat. Kedua hal tersebut adalah membumikan moderasi keislaman dan penguatan kelembagaan pendidikan Islam melalui paradigm integrasi keilmuan. Kedua hal ini menjadi ciri dan sekaligus karakteristik pendidikan yang dikembangkan di Indonesia Pertama, moderasi Islam; pemahaman keislaman di Indonesia memiliki karakteristik yang khas. Pemahaman Islam yang berkembang dalam kultur dan masyarakat di Indonesia adalah pemahaman Islam yang moderat, toleran, dan menjunjung tinggi perbedaan. Islam Indonesia senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, menghargai hak-hak asasi manusia, menghormati keragaman budaya dan masyarakat, mengidamkan kedamaian, keadilan, toleransi, dan sikap yang seimbang (tawazun). Di tengah pelbagai perbedaan dan keragaman sosio-kultural, agama, adat dan budaya, bahasa, dan lokalitas dalam ribuan pulau serta lainnya, Indonesia tetap kekar dalam bingkai persatuan dan kesatuan keindonesiaan. Dalam hal relasi antara Islam dan negara adalah dengan mengambil bentuk substansialistik dengan dasar Pancasila, tidak mengambil bentuk formalistik atau sekularistik, akan menjadikan kondisi Indonesia sangat produktif dalam mengusung nilai-nilai keislaman dalam konteks kebangsaan. Islam sebagai agama pada satu sisi dan negara pada sisi yang lain, keduanya saling menguatkan dan saling bersinergi. Keduanya dapat dibedakan, namun tidak dapat dipisahkan. Keberislaman warga negara Indonesia di antaranya adalah menunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan. Cinta terhadap tanah air 37 merupakan bagian dari implementasi atau wujud keislamannya. Hal ini yang menjadikan Islam Indonesia memiliki karakternya yang khas Kedua, relasi ilmu dan agama; dalam studi agama dan ilmu pengetahuan, setidaknya ada empat relasi antara agama dan ilmu pengetahuan yaitu konflik, independensi, dialog, dan integrasi. Seperti dinyatakan G. Ian Barbour, peneliti dunia bidang sains dan agama dalam buku When Science Meets Religion, 2000, disebutkan bahwa antara agama dan ilmu pengetahuan terkadang saling berkonflik, bertentangan dan tidak harmonis. Kebenaran agama diruntuhkan temuan sains. Ada kalanya, antara agama dan ilmu pengetahuan tidak memiliki hubungan apapun dimana dua hal itu berdiri di atas paradigmanya masing-masing. Namun meski antara keduanya independen, pada saat tertentu agama dan ilmu pengetahuan itu bersinggungan dan berdialektika. Untuk itu antara agama dan ilmu pengetahuan menjadi terintegrasi, saling menguatkan dan memberikan afirmasi antara keduanya. Untuk itu, pendidikan Islam mendapat tantangan baru untuk selalu menghadirkan pemahaman keislaman yang lebih menekankan pada nilai-nilai substansial dari ajaran Islam. Adapun dalam kaitannya dengan pemahaman keislaman yang moderat, pendidikan Islam perlu melakukan penyiapanpenyiapan khusus dalam proses pendidikannya seperti perlunya menyiapkan tenaga pendidik yang menguasai secara lebih luas dan mendalam mengenai ilmu-ilmu keislaman melalui kerangka metodologis yang kuat. Dalam rangka memperkuat pemahaman keislaman yang searah dengan pembumian prinsip Islam wasathiyah yang moderat seperti prinsip keseimbangan, toleransi, keadilan, dan penghormatan terhadap perbedaan, pendidikan Islam saat ini perlu menghadirkan kembali pemikiran para intelektual Islam. Abdurrahman Wahid, sebagai pencetus gagasan pribumisasi Islam pada era 1980-an adalah salah satu tokoh Muslim yang seluruh pemikiran keislaman dan kebangsaannya perlu dikaji dan dikembangkan dalam pendidikan Islam. Dalam kaitannya dengan pribumisasi Islam ini, Gus Dur membuat contoh bagaimana mengaplikasikan kaidah dalam menyelesaikan sebuah kasus pemberian waris antara suami-istri, 38 dimana terdapat adat atau tradisi gono-gini di daerah Yogya-Solo dan adat perpantangan di Banjarmasin. Abdurrahman Wahid menilai bahwa respons masyarakat adat yang berada di luar lingkup pengaruh kiai terhadap ketentuan nash dengan pemahaman lama yang merupakan pegangan para kiai itu. Harta rumah tangga dianggap sebagai perolehan suami-istri secara bersama-sama, yang karenanya mesti dipisahkan terlebih dahulu sebelum diwariskan, ketika salah satu dari suami/istri meninggal. Setengah dari harta itulah yang kemudian dibagikan kepada ahli waris menurut hukum Islam, sedang separoh lainnya adalah milik suami/istri yang masih hidup. Dari peleraian ketegangan ini membuktikan bahwa hukum Islam itu bersifat fleskibel dan dinamis. Ia bisa menyesuaikan dengan ruang dan zaman. Oleh karenanya, Islam akan terus relevan dalam konteks apapun dan di manapun. Dalam konteks Islam di Indonesia, penyesuaian ajaran agama dengan tradisi dan kearifan lokal masyarakat Indonesia disebut sebagai Pribumisasi Islam Indonesia. Fakta tentang adanya usaha “Pribumisasi Islam” merupakan jejak peninggalan dan warisan dakwah Wali Songo masih terlihat sampai hari ini dalam bentuk penyesuaian ajaran Islam semisal penggunaan bahasa lokal sebagai ganti dari bahasa Arab. Sejumlah bahasa lokal yang digunakan untuk menngantikan istilah berbahasa Arab, misalnya dalam penggunaan sebutan “Gusti Kang Murbeng Dumadi” sebagai ganti dari Allah Rabb al-‘Alamin. Kanjeng Nabi untuk menyebut Nabi Muhammad SAW. Susuhunan untuk menyebut Hadrat al-Shaikh. Puasa untuk mengganti istilah Shaum. Sembah Yang sebagai ganti Shalat. Dan masih banyak lainnya. Gagasan pribumisasi tersebut mengarah pada upaya untuk mengontekstualisasikan Islam dan penempaan Islam dalam kerangka budaya. Kontekstualisasi Islam mengandung pengertian upaya untuk mengakomodasi adat oleh fikih (al-‘adah muhakkamah) sebagaimana dalam upaya mengakomodasi hukum waris Islam atas adat waris lokal seperti adat perpantangan (Banjarmasin) dan gono-gini (YogyakartaSolo) sebagaimana telah disebutkan di atas. Kemudian kontekstualisasi juga dikembangkan dalam aplikasi nash. Pada aspek yang terakhir ini bisa dicontohkan dalam kasus emansipasi wanita 39 (modern), di mana dibutuhkan cara pandang keadilan menurut keadilan suami, menjadi keadilan menurut istri dalam kasus poligami. Kasus ini merujuk pada QS. Al-Nisa’[4]: 3. Dengan demikian adanya perubahan cara pandang keadilan dengan cara tidak dipoligami bagi istri tidak harus mengganti nash Alquran itu sendiri.38 Sedangkan pribumisasi Islam sebagai penempaan Islam dalam kerangka budaya melahirkan manifestasi (bentuk) Islam dalam kultural lokal. Pengelaborasian ini dapat dilihat dari peninggalan Masjid Demak yang menggunakan atap ‘Meru’ (Hindu-Budha), bukan menggunakan kubah yang menjadi identitas budaya lokal Arab. Konsep inilah yang digagas oleh Gus Dur dalam menjadikan pribumisasi Islam menjadi pandangan hidup (weltanschaung) Islam tanpa harus tercerabut dari tradisi dan budaya local nusantara.39 Pada titik ini dapat disimpulkan bahwa Pribumisasi Islam adalah bagian dari sejarah Islam itu sendiri, baik di negeri asalnya (baca: Arab) maupun di negeri lain, termasuk Indonesia. Hal ini semakin menguatkan diktum yang mengatakan bahwa Islam akan selalu relevan di segala ruang dan waktu (shalih likulli zaman wal makan). 38 Tim Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Ensiklopedi Islam Nusantara: Edisi Budaya, (Jakarta: Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI, 2018), 389. 39 Ibid, 389. 40 DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Amin, M. Islamic Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif-Interkonektif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010. Ali, Mukti A., Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini (Jakarta: Rajawali, 1987), 322-323. Lihat juga A. Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia, cet. IX (Bandung: Mizan, 1997). Algar, Hamid. Wahhabisme: Sebuah Tinjauan Kritis, Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi, 2011). Al-Qardawi, Yusuf. Al-Khasā`is al-‘Ammah li al- Islām, (Bairut: Mu’assasah ar Risalah 1983). Aziz, Abdul. Materi Webinar Nasional yang berjudul” penguatan literasi Webinar : Penguatan Kelembagaan dan Literasi Pendidikan Islam Indonesia Pasca Pandemi Covid-19. Diselenggarakan Program Doktoral Pascasarjana UIN Banten pada tanggal, 13 Juli 2020. Az-Zuhaili, Wahbah. Qadāyā al-Fiqh wa al-Fikr al-Mu’āshir, (Beirut ; Dar al-Fikr, 2006). Bizawie, Milal, Zainul. “Islam di Indonesia: Mendialogkan Tradisi, Rekonsiliasi Kultural”, dalam Epilog Buku Silang Budaya Islam – Melayu: Dinamika Masyarakat Melayu Jambi, karya Pahmi, (Jakarta: Compas, 2017). Faris, Ibn, Ahmad, al-Husain Abu. Mu’jam Maqayis al-Lughah, (Beirut: Daar al-Fikr, 1399/1979), VI : 108, Ibnu Manzur, Lisan al-‘Arab, cet. ke-1, (Beirut: Dar as-Sadir , t.th, VII.: 2001). Hasan, Noorhadi. Islam Politik di Dunia Kontemporer: Konsep, Genealogi, dan Teori, (Yogyakarta: Suka Press, 2012). 41 https://id.wikipedia.org/wiki/Sensus_Penduduk_Indonesia_2010#:~:t ext=Menurut%20publikasi%20BPS%20pada%20bulan,1%2 C49%20persen%20per%20tahun. https://news.detik.com/berita/d-4787954/imparsial-ada-31-kasusintoleransi-di-indonesia-mayoritas-pelarangan-ibadah https://regional.kompas.com/read/2020/08/12/10510041/kronologipembubaran-midodareni-di-solo-keluarga-diserang-dankaca-mobil?page=all https://conveyindonesia.com/survei-ppim-2018-menyibakintoleransi-dan-radikalisme-guru/\ Ichwan, Moch Nur. “MUI Gerakan Islamis, dan Umat Mengambang, dalam Maarif, vol.11, No-2 edisi (Desember 2016), 87-104. Baca juga Moch. Nur Ichwan, “Towards a Puritanical Moderate Islam: The Majelis Ulama Indonesia and the Politics of Religious Orthodoxy,” in Martin Van Bruinessen (Ed.), Contemporary Developments in Indonesian Islam: Explaining the ‘Conservative Turn, Singapore: ISEAS, 2013, 60-104. Karim, Abdul, Khalil. al-Jūzuru al-Tārikhiyyah li al-Syarī’ah alIslāmiyyah, (Kairo: Sina li al-Nasyr, 1990). Keputusan Mentei Aagama nomor 183 tahun 2019 tentang Kurikulum Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab pada Madrasah. Lauzière, Henri. The Making of Salafism: Islamic Reform in The Twentieth Century, (New York: Columbia University Press, 2016). Maarif, Syafii, Ahmad. Islam dalam Binngkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah, (Bandung: Mizan Publika, 2009), 191. Lihat juga, Masdar Hilmy, “Akar-Akar Transnasionalisme Islam Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)”, ISLAMICA, Vol.6 No.1 September 2011, 1. 42 Miskawaih, Ibnu. Tahdzīb al-Akahlāq, (Beirut, Dār al-Kutub al‘Ilmiyyah,1985). Muhaimin. Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam. (Jakarta: Rajawali Press, 2011). 43 Nakamura, Mitsuo. Bulan Sabit Muncul dari Balik Pohon Beringin; Studi tentang Pergerakan Muhammadiyah di Kota Gede, Yogyakarta, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1983). Peacock, James L. Muslim Puritan: Reformist Pshycology in South East Asia, (Barkeley: University of California, 1978). Simartama, Thomas, Henry, dkk: Indonesia Zamrud Toleransi, (Jakarta: Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Indonesia 2017). Subhan,Arief. Lembaga Pendidikan Islam Indonesia Abad ke-20: Pergumulan antara Modernisasi dan Identitas. (Jakarta: Kencana, 2012). Schwartz, Stephen. The Two Faces of Islam: The House of Sa’ud from Tradition to Terror, (New York: Doubleday, 2002). Sutiyono, Benturan Budaya Islam: Puritan dan Sinkretis, (Jakarta: Kompas, 2010). Said, Edward. al-‘aalam wa al-nash wa al-naqidl, (The World, the Text and the Critic) Ittihaad al-Kitaab al-‘Arabi, 2000. Tim Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Ensiklopedi Islam Nusantara: Edisi Budaya, (Jakarta: Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI, 2018). Tim Kelompok Kerja (Pokja IMA), Implementasi Moderasi Beragama dalam Pendidikan Islam, (Jakarta: Kelompok Kerja Implementasi Moderasi Beragama Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama Republik Indonesia Bekerjasama dengan Lembaga Daulat Bangsa, 2019). Wahid, Abdurrahman. “Musuh dalam Selimut, dalam pengantar editor buku, Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, (Jakarta: Gerakan Bhinneka Tunggal Ika,The Wahid Institute, dan Maarif Institute, 2009). Zuhri, Saifudin. Sejarah Kebangkitan Islam dan perkembangannya di Indonesia, (Bandung: PT Al-Maarif, 1979). 44 Moderasi Beragama dalam Kontestasi Politik Identitas Masykur UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten masykur@uinbanten.ac.id Moderasi beragama kembali ditanamkan dalam kontestasi politik identitas untuk menjaga kedamaian dan kerukunan antarumat beragama dari kekejian radikalisme dan terorisme. Pendahuluan Moderasi beragama bukan moderasi agama. Moderasi bukan ekstremisme dan bukan liberalisme. Dewasa ini gerakan politik identitas ekstremisme terus menerus menyerang ideologi Pancasila. Sebaliknya, politik identitas liberalisme pun tak pernah berhenti mencampuri ideologi Pancasila. Pada tahun 2019 moderasi beragama hadir menengahi kontestasi politik identitas yang merusak visi dan misi ideologi Pancasila sebagai paradigma kerukunan umat beragama. Dalam buku moderasi beragama yang diterbitkan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, secara jelas dan tegas moderasi beragama memosisikan Pancasila sebagai ideologi yang moderat untuk keberagamaan di dalam keragaman agama (Kementerian Agama RI, 2019: 17-18). Posisi moderasi beragama menengahi kontestan yang mengitari ideologi Pancasila. Para pemikir studi keagamaan mengategorikan kontestan tak hanya dua di atas. Howard M. Federspiel mengategorikan tiga: puritan, nominal, dan nasionalis. Clifford Geertz membagi tiga: santri, abangan, dan priyayi. Selain itu, William Liddle mengateorikan dua: skriptualis dan substansialis. Deliar Noer membagi dua: tradisionalis dan modernis (Aksin Wijaya, 2019: 53-54). Abdurahman Wahid (Gur Dur) pun mengateorikan dua: formalis dan kulturalis. Salah satu karakter dari kaum formalis, terlihat pada cara menafsirkan surat al-Baqarah ayat 208: “…udhkhullu fi al-silmi kaffah bahwa kata al-silmi diartikan dengan “Islami”. Sedangkan, kaum kulturalis menafsirkannya 45 dengan “perdamaian”. Tentu saja, konsekuensi dari kedua penafsiran itu memiliki implikasi yang luas (Abdurrahman Wahid, 2006: xvii). Tulisan ini mendudukkan moderasi beragama pada konteks politik identitas yang diperankan oleh para kontestan tersebut di wilayah negara Indonesia yang hingga kini terus menerus bergejolak. Ada tiga pertanyaan yang akan dielaborasi, pertama, mengapa pemikiran dan gerakan mederasi beragama yang dibumikan oleh Kementerian Agama RI? Kedua, mengapa kontestasi politik identitas di Indonesia diperankan oleh organisasi sosial keagamaan selama ini? Terakhir, mengapa moderasi beragama berideologi Pancasila sebagai landasan utama untuk kebebasan beragama dan kemerdekaan hidup bersama? Tiga pertanyaan ini akan menjadi pembahasan yang menarik saat ini ketika ada ruang perebutan kursi kekuasaan. Pembahasan menggunakan interpretasi teks dalam pandangan Paul Ricoeur bahwa “teks selalu berusaha keluar dari tataran pengarang. Apa yang dikatakan teks sekarang lebih berarti daripada apa maksud yang dikatakan pengarang. Setiap penafsiran mengikuti mengikuti prosedurnya dalam lingkaran makna yang tidak lagi berhubungan dengan psikologi pengarang” (Masykur Wahid, 2015: 81). Pemikiran dan Gerakan Moderasi Beragama Moderasi beragama terdiri dari dua kata, “moderasi” dan “beragama”. Dua kata tersebut tidak dapat dipahami maknanya secara terpisah. Moderasi beragama menjadi sebuah terminologi untuk menyebut kaum Muslim di Indonesia. Gus Dur menyebut umat Islam di Indonesia dengan sebutan “negerinya kaum Muslim moderat” (Abdurrahman Wahid, 2006: xvii). Moderasi berasal dari bahasa Latin moderâtio yang berarti “kesedangan” (tidak kelebihan dan tidak kekurangan) dan “penguasaan diri” (dari sikap sangat kelebihan dan kekurangan). Moderasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti “pengurangan kekerasan” dan “penghindaran ke-ekstrem-an”. Misalnya, “orang itu bersikap moderat” berarti bahwa orang itu bersikap wajar, biasa-biasa saja, dan tidak ekstrem. Moderasi dalam bahasa Arab dikenal dengan kata wasath atau wasathiyah. Selain itu, memiliki persamaan makna dengan kata tawassuth yang berarti “tengah-tengah”, i’tidal yang berarti 46 “adil”, dan tawazun yang berarti “berimbang”. Dalam praktiknya, orang yang menerapkan prinsip wasathiyah dapat disebut wasith. Kata wasathiyah berarti juga sebagai “pilihan terbaik”. Dalam konteks ini, moderasi berarti “memilih posisi jalan tengah di antara berbagai pilihan ekstrem”. Kata wasith sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi kata “wasit” yang berarti “penengah”, “perantara” (dalam perdagangan, bisnis), “pelerai (pemisah, pendamai) antara yang berselisih”, dan “pemimpin di pertandingan”. Pemaknaan kata moderasi di atas lebih memiliki signifikansi dalam mereproduksi peradaban manusia tanpa ekstremisme apabila di dalam satu terminologi dengan beragama (menganut agama). Dalam pandangan Kementerian Agama RI, tepat bahwa moderasi beragama harus dipahami sebagai “sikap beragama yang seimbang antara pengamalan agama sendiri (eksklusif) dan penghormatan kepada praktik beragama orang lain yang berbeda keyakinan (inklusif)”. Praktiknya, keseimbangan dalam beragama ini menghindarkan dari sikap ekstrem berlebihan, fanatik dan sikap revolusioner dalam beragama. Dapat dikatakan bahwa moderasi beragama merupakan solusi atas hadirnya dua kutub ekstrem dalam beragama, kutub ultra-konservatif atau ekstrem kanan di satu sisi, dan liberal atau ekstrem kiri di sisi lain. Dengan demikian, moderasi beragama dengan makna “adil dan seimbang” merupakan kunci terciptanya toleransi dan kerukunan antarumat beragama, baik di tingkat lokal, nasional, maupun global. Dalam konteks masyarakat Indonesia yang multikultur, tentunya, moderasi beragama dengan prinsip adil dan seimbang bukan hanya sebuah pilihan, melainkan adalah keharusan (Kementerian Agama RI, 2019: 15-18). Dari pengertian di atas, moderasi beragama dibumikan di Indonesia dengan pemikiran dan gerakan yang telah mengakar secara kultural sejatinya. Pembumian moderasi beragama didasarkan juga pada hadits Nabi Muhammad Saw bahwa “khairul umur ausathuha” (sebaik-baik persoalan adalah yang berada di tengah) dalam kitab al-Maqashid al-Hasanah fi Bayan Kathir min al-Ahadits al-Musytaharat 'ala al-alsinah karya Imam Muhammad 'Abd al-Rahman al-Sakhawi Nomor 455. Moderasi beragama dibumikan di negeri bhineka tunggal ika dengan kerangka pemikiran multikultur. 47 Multikultur (multicultural) merupakan istilah deskriptif untuk mencirikan fakta keragaman budaya (cultural diversity) di dalam masyarakat. Istilah “budaya” yang dimaksud pada keragaman budaya adalah mengacu kepada suatu sistem, seperti pada keyakinan dan praktik. Dengan ketertanaman budaya di dalam aktivitas dan relasi manusia, budaya menjadi pusat perhatian agama dan etnik. Relasi antara budaya dan agama terkait erat. Budaya dan agama saling mempengaruhi satu sama lain pada berbagai tingkat. Budaya dapat mempengaruhi bagaimana agama diinterpretasikan, ritual dilakukan, dan tempat ibadah ditetapkan di dalam kehidupan sosial. Sebaliknya, agama dapat mengonstruksi sistem keyakinan dan praktik pada budaya ketika individu atau komunitas berpindah agama, cara berpikir dan hidupnya akan mengalami perubahan penting. Oleh sebab itu, mengapa individu berganti agama membawa budayanya ke dalam agama barunya, seperti perbedaan di antara individu Muslim di Indonesia, India, Iran, dan Aljazair, atau Kristianitas di Cina, Mesir, dan Amerika. Dari realitas relasi agama dan budaya, tak ada agama yang “bebas-budaya” dan kehendak Tuhan tidak dapat memperoleh makna manusia yang sudah ditentukan tanpa “mediasi budaya”. Dalam agama Kristen diyakini bahwa Kristus adalah Tuhan, akan tetapi kepastian kekristenan (Kristinitas) adalah fenomena budaya (Parekh, 2000: 147). Begitu pula, etnisitas adalah fenomena budaya. Komunitas etnik memiliki sistem keyakinan dan praktik yang diwujudkan di dalam adat, ritual, dan perayaan budaya, misalnya etnik Bugis, Buton, Makassar dan etnik lainnya. Etnik Bugis, misalnya, adalah fenomena budaya faktual yang mempertemukan dan saling mempengaruhinya antara agama dan etnik di mana budaya sebagai mediator. Dengan demikian, keragaman moral dan budaya merupakan faktisitas budaya di dalam masyarakat multikultur. Ada empat argumentasi filosofis atas keragaman moral dan budaya yang didasarkan pada realitas keragaman pandangan moral dan budaya. Pertama, keragaman moral dan budaya dapat “meningkatkan berbagai pilihan yang tersedia dan memperluas kebebasan memilih”. Hal itu penting tetapi membatasi, karena menilai budaya-budaya lain sebagai obyek pilihan potensial tidak menghormati budaya-budaya yang realistis, seperti masyarakat pribumi, komunitas etnik, jama’ah Ahmadiyah. Kedua, keragaman budaya merupakan “hasil yang tak terhindarkan dan legitimit 48 terhadap pelaksanaan hak” (Parekh, 2000: 165-166). Dengan keragaman yang tak terhindarkan, masyarakat harus menciptakan kondisi kondusif, tidak cukup sekadar memberi hak formal pada budaya, seperti menghormati perbedaan, memelihara keyakinan diri minoritas, dan penyediaan sumber daya tambahan kepada yang membutuhkan. Ketiga, keragaman budaya dapat “menciptakan dunia yang kaya, bervariasi, serta menyenangkan dan menstimulasi secara estesis”. Namun, keragaman yang didasarkan pada estetika tidak meyakinkan dunia moral dan sosial yang seragam, bahkan antara keduanya seringkali konflik. Keempat, keragaman budaya dapat “mendorong kompetisi yang sehat antara sistem yang berbeda dari ide-ide dan cara hidup, dan keduanya mencegah dominasi salah satunya serta memfasilitasi kebenaran baru muncul”. Namun, kompetisi dalam individualitas dan progresivitas itu berpandangan pada keunggulan manusia, akan tetapi instrumental dan tidak apresiatif terhadap nilai intrinsik, seperti tidak mampu mempertahankan hak-hak masyarakat pribumi, jama’ah Ahmadiyah, komunitas religius ortodok, dan lainnya untuk menemukan kebenaran baru (Parekh, 2000: 165-167). Argumentasi filosofis keragaman moral dan budaya tersebut menjelaskan bahwa moral dan budaya yang berbeda memperbaiki dan melengkapi satu sama lain mengenai bentuk baru pemenuhan manusia, seperti keselarasan dengan alam, satu rasa akan keseimbangan ekologis, kepuasan, kejujuran, dan kesederhanaan. Dalam konteks itu, keragaman moral dan budaya merupakan penentu dan kondisi kebebasan manusia. Selain itu, keragaman moral dan budaya menyadarkan kepada manusia akan adanya keragaman moral dan budaya dalam dirinya, seperti mendorong dialog internal budaya, menciptakan ruang pemikiran kritis dan independen, dan mempertahankan kemampuan eksperimental. Sebaliknya, budaya atau agama homogen akan menghapus perbedaan dan memunculkan ambiguitas internal. Oleh sebab itu, keragaman moral dan budaya menciptakan iklim dialog yang saling menguntungkan (Parekh, 2000: 167-168). Meski demikian, dalam keunggulan keragaman moral dan budaya itu, “moral dan budaya mudah melemahkan dan sulit menciptakan”. Misalnya, dikatakan bahwa masyarakat homogen secara budaya memiliki kelebihan, satu perasaan dalam komunitas, 49 solidaritas, komunikasi antarpersonal lebih mudah, mempertahankan satu budaya yang besar, relatif mudah disatukan, ekonomis secara psikologis dan politis, dan dapat mengandalkan mobilitas loyalitas anggota, akan tetapi masyarakat homogen itu cenderung tertutup, intoleran, antiperubahan, menyesakkan dan menindas, melemahkan perbedaan, ketidaksepakatan, dan eksperimen dalam hidup. Dengan demikian, multikulturalisme tidak berkomitmen pada pandangan bahwa “hanya cara hidup yang terbuka secara budaya terbaik”, akan tetapi mengakui bahwa “good life dapat menyebabkan beberapa cara yang berbeda termasuk mandiri secara budaya dan menemukan ruang kedua”. Namun demikian, jika yang lain dianggap setara, maka “cara hidup yang terbuka dan budaya yang berbeda lebih baik daripada cara hidup yang mandiri secara budaya” (Parekh, 2000: 167-172). Atas dasar kesetaraan, keragaman moral dan budaya membutuhkan argumentasi keadilan, karena tak mungkin masyarakat mayoritas akan menerima kewajiban keadilan terhadap masyarakat minoritas tanpa kepercayaan bahwa masyarakat mayoritas akan memperoleh sesuatu dalam proses tersebut (Kymlicka, 1995: 127). Dengan pemikiran multikultur tersebut, pembumian moderasi beragama di negeri bhineka tunggal ika ini wajib digerakkan dengan dua gerakan, yaitu toleransi dan antikekerasan. Tak cukup hanya mengandalkan kewajiban kesetaraan dan keadilan, tanpa gerakan tolerasi dan antikekerasan di dalam masyarakat mayoritas dan minoritas. Pertama, toleransi merupakan sikap untuk memberi ruang dengan tidak mengganggu hak orang lain untuk berkeyakinan, mengekspresikan keyakinannya, dan menyampaikan pendapat, meskipun hal tersebut berbeda dengan apa yang diyakini sepanjang bukan hal yang sifatnya ushuliyyah (pokok-pokok ajaran agama), dan tidak berpotensi merusak sendisendi agama. Toleransi menekankan pada sikap terbuka, lapang dada, sukarela, dan lembut dalam menerima perbedaan, sehingga toleransi selalu disertai dengan sikap hormat, menerima orang yang berbeda sebagai bagian dari diri kita, dan berpikir positif terhadap perbedaan tersebut. Berpikir positif akan muncul jika yang diprioritaskan adalah kesamaan universal, bukan perbedaan yang sifatnya parsial. Toleransi sangat dibutuhkan dalam dunia demokrasi, sebab akan menjadi landasan dan roda dalam menjalankan demokrasi. Demokrasi hanya bisa berjalan ketika 50 seseorang mampu mengungkapkan pendapatnya dengan baik dan benar, sekaligus mampu juga untuk menerima pendapat orang lain. Oleh karena itu, kematangan demokrasi sebuah bangsa, antara lain bisa diukur dengan sejauh mana toleransi bangsa itu. Semakin tinggi toleransinya terhadap perbedaan, maka bangsa itu cenderung semakin demokratis, demikian juga sebaliknya. Toleransi sebenarnya tidak hanya terkait dengan keyakinan agama, namun bisa terkait dengan perbedaan ras, jenis kelamin, perbedaan orientasi seksual, suku, budaya, dan sebagainya. Dalam konteks gerakan toleransi, toleransi dalam beragama yang menjadi tekanan adalah toleransi antaragama dan toleransi intraagama, baik terkait dengan toleransi sosial maupun politik. Hal ini bukan berarti toleransi di luar persoalan agama tidak penting, tetapi yang paling sensitif dan yang paling kuat menjadi pemicu konflik, yaitu toleransi beragama yang menjadi inti dari moderasi beragama. Dengan toleransi antaragama, kita dapat melihat sikap kita pada pemeluk agama lain, kesediaan berdialog, bekerja sama, pendirian tempat ibadah, serta pengalaman berinteraksi dengan pemeluk agama lain. Toleransi intraagama dapat digunakan untuk menyikapi perbedaan dalam amaliah ibadah dalam berbagai madzhab dan bahkan perbedaan pada sekte-sekte minoritas yang dianggap menyimpang dari arus besar agama tersebut (Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor 2974, 2020). Kedua, antikekerasan dalam moderasi beragama ini dipahami sebagai suatu ideologi (ide atau gagasan) dan paham yang ingin melakukan perubahan pada sistem sosial dan politik dengan menggunakan cara-cara antikekerasan (ekstrem) nuansa agama, baik kekerasan verbal, fisik dan pikiran. Inti dari tindakan kekerasan adalah sikap dan tindakan seseorang atau kelompok tertentu yang menggunakan cara-cara kekerasan dalam mengusung perubahan yang diinginkan yang dikenal dengan istilah radikalisme. Kelompok radikal umumnya menginginkan perubahan tersebut dalam tempo singkat, secara drastis, dan bertentangan dengan sistem sosial yang berlaku, bahkan bisa mengesahkan tindakan kekerasan untuk melakukannya. Radikalisme pada mulanya berangkat dari verbal (pendapat), namun terus meningkat hingga menjadi aksi teror. Orang yang radikal dapat melakukan cara apapun agar keinginannya tercapai, termasuk meneror pihak yang tidak sepaham dengan mereka. 51 Sebenarnya radikalisme tidak dapat dikaitkan dengan agama tertentu, meskipun di Indonesia lebih banyak dialamatkan ke agama Islam. Pada dasarnya, radikalisme bisa melekat pada semua agama, bukan hanya Islam saja. Salah satu indikatornya, adanya tempat ibadah yang dibakar dan dirusak oleh pelaku radikalisme, misalnya berupa masjid, gereja, pura, klenteng atau rumah ibadah lainnya (Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor 2974, 2020). Kontestasi Politik Identitas di Indonesia Dalam konteks politik identitas, identitas sosial yang plural membentuk masyarakat multikultur. Identitas sosial merupakan perpaduan dari normativitas dan kekuasaan, yang dilegitimasi dalam bahasa tubuh keyakinan yang berlaku dan ditopang oleh relasi kekuasaan yang berlaku. Atas dasar pengertian identitas sosial itu, masyarakat adalah sebuah sistem identitas yang diartikulasikan dengan baik, masing-masing tunduk pada normanorma tertentu, membawa hak atau milik pribadi tertentu, dan ditegakkan oleh sanksi formal dan informal yang membentuk bagian dari rezim disiplinnya. Dalam masyarakat yang sadar ras, hitam dan putih kategori sosial yang signifikan, dan masyarakat diklasifikasikan menjadi sasaran norma-norma tertentu, bentuk relasi, stereotip, dan cara penanganan (Parekh, 2008: 16). Istilah “identitas” (identity) dipahami secara berbeda-beda dalam penggunaannya. Identitas diartikan adalah “suatu rasa kesamaan atau kesatuan personalitas”, dan dapat juga untuk menyebut “otentisitas” (Parekh, 2008: 279). Dalam masyarakat multikultur, identitas lebih tepat diartikan dengan otentisitas. Masyarakat multikultur memiliki beberapa identitas sosial, di mana tidak semua masyarakat setara dalam jangkauan dan kedalaman, karena adanya perbedaan otentisitasnya. Oleh sebab itu, dalam pluralitas identitas sosial, identitas agama dan etnik cenderung memainkan peran bagi sebagian besar seorang individu di dalam masyarakat (Parekh, 2008: 21). Identitas sosial merupakan cara di mana individu menempatkan dan mengorientasikan diri di dunia. Untuk itu, penting dijelaskan identitas individual yang merupakan tiga dimensi yang saling terkait tak terpisahkan. Pertama, identitas pribadi. Sebagai identitas pribadi, manusia merupakan “individu 52 yang unik, pusat kesadaran diri yang berbeda, memiliki tubuh yang berbeda, rincian biografis, kehidupan batin yang tak tereliminasi, dan rasa kedirian atau subjektivitas”. Kedua, identitas sosial. Sebagai identitas sosial, dijelaskan bahwa: “Manusia tertanam secara sosial, sebagai anggota dari etnik, agama, budaya, pekerjaan, nasional, dan kelompok yang berbeda lainnya, serta terkait dengan orang lain dalam berbagai cara, baik formal dan informal.” Dalam kehidupan sosial, identitas sosial seorang individu dalam masyarakat mendefinisikan dan membedakan diri, serta didefinisikan dan dibedakan oleh orang lain. Ketiga, identitas individual atau identitas keseluruhan. Sebagai identitas individual, manusia berbeda di alamnya, muncul dalam cara yang berbeda, dapat dan harus dibedakan untuk melawan tendensi pada saat yang luas untuk menyamakan identitas individu dengan salah satu dari identitas pribadi atau sosial (Parekh, 2008: 9). Sebagaimana identitas individual, identitas nasional lebih dari itu, sangat kompleks, berlapis-lapis, terdiri dari yang berbeda dan seringkali mengalami konflik pemikiran, pola perilaku, nilainilai dan cita-cita yang terakumulasi selama berabad-abad. Kompleksitivitas identitas nasional memiliki keuntungan dan kerugian. Keuntungannya sebagai rekaman historis, debat publik, dan artikulasi institusional. Kerugiannya sebagai peleburan banyak orang, masa lalu yang panjang, kepentingan yang dominan dan manipulasi ideologis. Atas dasar itu, Parekh mengartikan identitas nasional adalah: “Komunitas politik yang memiliki sejarah tertentu, tradisi, keyakinan, kualitas karakter, dan memori historis, yang membatasi berbagai alternatif membukanya.” Dari pengertian tersebut, identitas nasional bukan fakta hidup yang primordial, kasar dan tak dapat diubah, serta pasif diwarisi oleh setiap generasi. Oleh sebab itu, identitas nasional bukan substansi, melainkan klaster intensi yang saling terkait yang seringkali menarik dalam arah yang berbeda, dan setiap generasi harus mengidentifikasi nilai-nilai dan cita-cita yang terlalu tidak pernah transparan dan tidak ambigu (Parekh, 2008: 60-61). Identitas nasional dalam praktiknya merupakan istilah yang digunakan di dalam dua arti yang terkait tetapi berbeda, yaitu antara identitas individual dan identitas nasional. Identitas individual mengacu pada “anggota dari komunitas politik sebagai perbedaan jenis lain dari komunitas”, sedangkan identitas nasional mengacu 53 pada “identitas komunitas politik” (Parekh, 2008: 56). Misalnya, orang Indonesia adalah identitas nasional, orang Kristen atau Bugis adalah identitas individual religius atau etnis, sedangkan Indonesia adalah komunitas politik daripada lainnya. Identitas nasional adalah bagian penting dan sering dihargai oleh identitas individual. Pada sisi gelap, identitas nasional dapat mudah menjadi sumber konflik dan perpecahan. Hal itu terjadi karena identitas nasional merupakan hasil seleksi, yang menekankan salah satu pandangan moral dan budaya, dan mendelegitimasi pandangan yang lain. Bahkan, identitas nasional dapat menjadi wahana membungkam suara-suara pembangkang dan membentuk seluruh masyarakat dalam imajinasi tertentu dengan segala implikasinya yang otoriter dan represif. Di dalam masyarakat multikultur, identitas nasional menimbulkan keragaman yang tak terhindarkan atas nilai, visi good life, dan interpretasi historis (Parekh, 2000: 231). Dengan demikian, begitu penting identitas sosial yang plural di dalam masyarakat multikultur, karena setiap identitas sosial merupakan cara tertentu dalam memandang dunia. Identitas sosial yang plural berarti individu berperspektif plural, di mana masingmasing melengkapi wawasan dan mengoreksi keterbatasan lainnya. Secara kolektif masyarakat membuat posibilitas pandangan dunia yang lebih luas, lebih bernuansa, dan dapat dibedakan (Parekh, 2008: 24). Konsekuensinya, tak bisa dihindari, kontestasi politik identitas terus menerus digerakkan oleh kontestan (partai politik atau organisasi sosial keagamaan yang berafiliasi kepada partai politik) untuk merebut kekuasaan di dalam sistem demokrasi Pancasila yang berprinsip pada bhinneka tunggal ika. Untuk itu, merawat identitas nasional dengan terus menerus menumbuhkan nasionalisme tanpa henti di dalam gerakan moderasi beragama. Moderasi Beragama Berideologi Pancasila Fenomena kontestasi politik identitas di Indonesia meneguhkan kembali moderasi beragama berideologi Pancasila sebagai landasan filosofis bersama (commom philosophical ground) untuk kebebasan beragama dan kemerdekaan hidup bersama. Ideologi negara, Pancasila, sangat menekankan terciptanya kerukunan antarumat beragama. Indonesia menjadi contoh bagi bangsabangsa di dunia dalam keberhasilan mengelola keragaman moral 54 dan budayanya. Bahkan, Indonesia dianggap berhasil dalam menyandingkan secara harmoni cara beragama dengan bernegara. Konflik dan gesekan sosial dalam skala kecil memang masih kerap terjadi, namun selalu berhasil keluar dari konflik. Bangsa bhinneka tunggal ika kembali pada kesadaran atas pentingnya persatuan dan kesatuan sebagai bangsa yang besar, yakni bangsa yang dianugerahi keragaman oleh Tuhan Yang Mahaesa. Namun, harus tetap waspada. Salah satu ancaman terbesar yang dapat memecah belah bangsa, yaitu konflik nuansa agama, terutama yang disertai dengan aksi-aksi kekerasan. Mengapa? Karena, agama apapun dan di manapun, memiliki sifat dasar keberpihakan yang sarat dengan muatan emosi dan subjektivitas tinggi, sehingga selalu melahirkan ikatan emosional pada pemeluknya. Bahkan, bagi pemeluk fanatik, agama merupakan “benda” suci yang sakral, angker, dan keramat. Fanatisme ekstrem terhadap kebenaran tafsir agama seringkali menyebabkan permusuhan dan pertengkaran di antara mereka (Kementerian Agama RI, 2019: 5). Konflik nuansa agama ini dapat menimpa berbagai organisasi sosial keagamaan atau madzhab fikih dalam satu agama yang sama (sektarian atau intraagama), atau terjadi pada beragam organisasi sosial keagamaan dalam agama-agama yang berbeda (komunal atau antaragama). Biasanya, awal terjadinya konflik nuansa agama ini disulut oleh sikap saling menyalahkan tafsir dan paham keagamaan, merasa benar sendiri, serta tidak membuka diri pada tafsir dan pandangan keagamaan orang lain. Dalam konflik sosial, tindakan permusuhan dan pertengkaran merupakan perilaku sosial seorang manusia dalam masyarakat multikultur. Perilaku sosial individu tersebut tertanam atau dilatarbelakangi oleh kondisi sosial dan konteks budaya yang menumbuhkan dan mengembangkannya. Perilaku sosial antarindividu yang berkonflik memiliki konteks historis. Misalnya, konteks kejadian tragedi konflik sosial di Poso, Ambon, dan Cikeusik. Konflik di dalam masyarakat Poso pertama kali terjadi pada 24 Desember 1998, tepatnya pada malam Natal di bulan Ramadhan. Poso merupakan salah satu kabupaten di provinsi Sulawesi Tengah. Pada saat itu berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 18 tahun 2013, luas wilayah provinsi adalah 61.841,29 km2. Dengan luas provinsi tersebut wilayah kabupaten 55 Poso adalah 7.112,25 km2 yang dikelilingi oleh dua belas kabupaten/kota, yaitu: Banggai Kepulauan, Banggai, Morowali, Donggala, Tolitoli, Buol, Parigi Moutong, Tojo Una-Una, Sigi, Banggai Laut, Morowali Utara, dan Palu. Masyarakat Poso berjumlah 225.379 jiwa, yang terdiri dari 116.827 jiwa berjenis kelamin laki-laki dan 108.552 jiwa berjenis kelamin perempuan. Komposisi kehidupan religius memiliki keragaman moral dan budaya. Dalam perspektif agama-agama yang diakui negara kehidupan religius terdiri dari agama yang berbeda-beda: Islam 43,99%, Kristen Protestan 47,42%, Kristen Katolik 1,62%, Hindu 6,74%, dan Budha 0,22% (Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tengah, 2013). Dalam kehidupan religius internal Kristen, Protesan sebagai mayoritas dan Katolik sebagai minoritas. Dalam kehidupan antaragama, Kristen sebagai agama mayoritas dan Islam sebagai agama minoritas. Komposisi kehidupan sosial masyarakat Poso terdiri dari masyarakat pribumi dan nonpribumi. Masyarakat pribumi di dalam masyarakat Poso berasal dari etnik yang berbeda-beda: Etnik Kaili, Pamoa, Mori, dan Wana. Masyarakat nonpribumi dalam masyarakat Poso berasal dari daerah yang berbeda-beda: Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Jawa, Gorontalo, Lombok, Bali, dan sebagian kecil dari daerah yang lain. Komposisi kehidupan sosial tersebut memproduksi afiliasi etnik, seperti paguyuban Jawa, Bugis-Makassar, Bali, dan Gorontalo. Afiliasi etnik diperkuat lagi dengan afiliasi religius. Kehidupan afiliasi religius masyarakat Poso didominasi oleh Islam dan Kristen yang dianut oleh masyarakat nonpribumi. Mayoritas penduduk pribumi menganut kehidupan religius Kristen sekaligus bagian dari etnik Pamona dan Mori (Darlis, 2012: 29-30). Pada tahun 2012 pasca konflik, terorisme tumbuh subur di wilayah Poso, sebagaimana dilaporkan oleh Lembaga Pusat Studi Hak Asasi Manusia (LPS-HAM) Sulawesi Tengah yang menilai bahwa kepolisian harus ikut bertanggung jawab atas tewasnya dua anggotanya di Poso, yang diduga dibunuh kelompok teroris. Bahkan, menurut deklarator Malino I dan tokoh agama, Pendeta Rinaldy Damanik, pemulihan Poso pasca konflik masih terabaikan. Politik pembiaran dilakukan dengan tidak memulihkan sama sekali bangunan di kompleks masyarakat Muslim dan Kristen. Trauma kekerasan yang dialami masyarakat tetap dibiarkan. Negara tidak 56 melakukan peningkatan kesejahteraan yang disinergikan dengan program penegakan hukum dan peningkatan keamanan. Dalam catatannya, konflik Poso pada tahun 1998-2000 sudah membunuh lebih dari 3.000 orang (http://indonesia.ucanews.com/2012/10/18/pusat-studi-ham). Konflik masyarakat Ambon mulai terjadi pada 19 Januari 1999 ketika liburan hari raya Idul Fitri. Ambon dewasa ini merupakan wilayah kabupaten kota di provinsi Maluku, yang memiliki luas 359,45 km2. Wilayah Ambon dikelilingi oleh sepuluh wilayah kapubaten/kota yang berbeda-beda, yaitu: Maluku Tenggara Barat, Maluku Tenggara, Maluku Tengah, Buru, Kepulauan Aru, Seram Bagian Barat, Seram Bagian Timur, Maluku Barat Daya, Buru Selatan, dan Kota Tual (Bappeda Provinsi Maluku). Komposisi gender masyarakat Ambon yang berjumlah 379.615 jiwa, terdiri dari: laki-laki 189.728 jiwa dan perempuan 189.887 jiwa (Badan Pusat Statistik Provinsi Maluku, 2013). Pasca konflik pada tahun 2012, bahkan para tokoh Republik Maluku Serikat (RMS) bersuka cita atas fenomena konflik sosial itu, dengan segala bentuk propagandanya yang seolah-olah mengajak para pemuka agama di Maluku untuk bertanggung jawab dan melakukan perlawanan terhadap negara. Perlawanan masyarakat Maluku dilatarbelakangi bahwa negara telah membuat masyarakat Islam dan Kristen untuk menderita atas kejahatan dan kekejaman aparat keamanan dan intelijennya. Selain itu, para tokoh RMS juga mengajak anggota legislatif selaku representasi masyarakat lokal untuk memprotes dan membenci kepada negara (http://hankam.kompasiana.com/2012/05/25). Konflik sosial yang ketiga terjadi pada 6 Februari 2011 di dalam masyarakat Cikeusik. Wilayah Cikeusik sekarang ini merupakan wilayah kecamatan di Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten, dengan luas wilayah 322,76 km2. Wilayah Cikeusik dikelilingi oleh 34 wilayah kecamatan yang berbeda-beda, yaitu: Kecamatan Sumur, Cimanggu, Cibaliung, Cibitung, Cigeulis, Panimbang, Sobang, Munjul, Angsana, Sindangresmi, Picung, Bojong, Seketi, Cisata, Pagelaran, Patia, Sukaresmi, Labuan, Carita, Jiput, dan Cikedal, Menes, Pulosari, Mandalangi, Cimanuk, Cipeucang, Banjar, Kaduhejo, Mekarjaya, Pandeglang, Majasari, Cadasari, Karangtanjung, dan Koroncong. Wilayah Cikeusik 57 dibatasi secara administratif di sebelah utara, Kabupaten Serang; di sebelah selatan, Samudera Indonesia; di sebelah barat, Selat Sunda; dan di sebelah timur, Kabupaten Lebak. Penduduk masyarakat Cikeusik berjumlah 52,281 jiwa. Komposisi gender masyarakat Cikeusik terdiri dari jenis kelamin perempuan 25.552 jiwa dan lakilaki 26.729 jiwa (Badan Pusat Statistik Kabupaten Pandeglang, 2012). Dari konteks fenomena konflik sosial di Poso, Ambon dan Cikeusik, dapat dijelaskan bahwa perilaku sosial seorang manusia yang memunculkan konflik sosial. Fenomena konflik sosial tersebut benar merupakan konflik antarindividu di dalam masyarakat multikultur. Konflik antarindividu dipahami dari tiga perilaku seorang individu, sebagai berikut. Pertama, adanya individu-individu dari komunitas yang terlibat dan mengalami konflik sosial adalah anggota komunitas moral dan budaya yang berbeda. Kedua, setiap individu dari komunitas moral dan budaya yang terlibat dalam konflik meyakini bahwa Tuhan adalah tujuan utama dan sekaligus yang mutlak. Ketiga, setiap individu dari komunitas moral dan budaya memaknai kehidupan religiusitas dan etnisitasnya merupakan bentuk penderitaan dan penerimaan di dunia atas kehendak Tuhan. Atas dasar perilaku sosial individu dari komunitas yang terlibat di dalam konflik di atas, ada tiga unsur fundamental yang memunculkan konflik sosial di dalam negara bhinneka tungga. Pertama, keseragaman identitas. Masyarakat multikultur di dalam sebuah negara-bangsa tentunya membutuhkan identitas nasional, akan tetapi identitas nasional telah mereduksi identitas individual setiap warga negara. Reduksi identitas nasional dalam bentuk keseragaman identitas. Identitas nasional dapat dengan mudah menjadi sumber konflik dan perpecahan, karena setiap definisi identitas nasional tentunya selektif dan harus relatif sederhana untuk mencapai tujuan yang diharapkan, maka identitas nasional menekankan salah satu dari untaian pemikiran dan pandangan serta mendelegitimasi atau meminggirkan yang lain”. Keseragaman identitas melalui identitas nasional telah menjadikan kendaraan pembungkam suara kritis dan membentuk seluruh masyarakat dalam citra tertentu yang implikasinya otoritarian dan represif (Parekh, 2000: 231). Rezim otoritarian Orde Baru telah menanamkan definisi keseragaman identitas nasional bahwa 58 “Pancasila adalah asas tunggal”. Dalam praktiknya rezim Orde Baru didominasi oleh etnik Jawa. Konflik Poso dan Ambon dipicu oleh dominasi etnik nonpribumi, seperti Jawa atau Bugis. Kedua, klaim kebenaran pandangan moral dan budaya. Setiap masyarakat yang memiliki kehidupan religius, menganut agama dan etnik tertentu dengan klaim kebenaran pandangan moral dan budaya masing-masing. Benturan klaim kebenaran moral dan budaya di dalam masyarakat multikultur tidak dapat dihindari. Konflik Poso dan Ambon merupakan benturan pandangan antarklaim kebenaran agama Kristen dan Islam. Bahkan, benturan antarpandangan Islam, antara Islam Ahmadiyah dan Islam mainstream di dalam konflik Cikeusik. Absensi negara terhadap benturan klaim kebenaran pandangan tersebut menandai bentuk pembiaran negara, dan kegagalan negara sebagai pengelola perbedaan pandangan moral dan budaya. Bahkan, rezim Orde Baru dan Orde Reformasi telah menanamkan klaim kebenaran pandangan moral dan budaya dalam bentuk agama resmi negara. Dengan adanya agama resmi negara itu, rezim Orde Baru menolak Konghucu sebagai agama, serta rezim Orde Baru dan Orde Reformasi menolak Islam Ahmadiyah sebagai agama resmi. Karenanya, relasi agama dan negara harus dijaga dengan rekognisi Pancasila sebagai landasan utama dalam pandangan moral dan budaya yang universal dan plural. Sementara itu, agama dan etnik seharusnya menjadi sumber alternatif moralitas dan kesetiaan, serta terus mengingatkan bahwa menjadi manusia lebih bermartabat daripada menjadi warga negara (Parekh, 2000: 328). Ketiga, keseragaman sosial dalam keragaman moral dan budaya. Keseragaman sosial terhadap masyarakat multikultur hanya mereproduksi resistensi bahkan konflik sosial. Padahal, masyarakat multikultur mengandung keragaman agama dan etnik yang memiliki perbedaan pandangan moral dan budaya yang berbeda-beda, yaitu keyakinan dan praktik good life yang berbedabeda. Pelarangan, pemaksaan dan penyesatan terhadap jamaah dan doktrin Ahmadiyah supaya mengikuti agama mainstream atau membentuk agama nonIslam merupakan bentuk keseragaman sosial yang dilakukan negara supaya mengikuti agama resmi. Keseragaman sosial itu tak lain adalah penghilangan kebebasan beragama dan menganut kepercayaan etnik setiap warga negara, sehingga konflik antarindividu memunculkan tragedi konflik 59 Cikeusik. Keseragaman sosial tersebut sebagai pemikiran monisme moral yang memandang bahwa “perbedaan sebagai penyimpangan, sebagai ungkapan patologi moral” (Parekh, 2000: 49). Selama rezim Orde Baru dan rezim Reformasi semboyan bhineka tunggal ika di dalam negara-bangsa yang multikultur hanya semata-mata simbol, tanpa mengajarkan dan mempraktikkan nilai-nilai perbedaan dan identitas yang menanamkan keragaman moral dan budaya, serta prinsip memanusiakan manusia. Tiga unsur fundamental di atas sangat berkaitan erat dengan kondisi sosial yang membentuk karakter manusia yang berbedabeda dalam kehidupan bersama. Dalam mitos Phaedrus Plato menjelaskan karakter manusia yang berbeda-beda berada di dalam kebaikan dan kejahatan (good and evil). Karakter baik dan jahat kembali hadir di dalam konflik antarindividu yang dipengaruhi oleh gairah atau kemarahan pada satu sisi. Pada sisi lain konflik antarindividu dipengaruhi oleh nafsu dan naluri hewani. Mitos dalam pemikiran Plato tersebut serupa dengan apa yang dapat disebut agama bawah tanah dalam segala usia dan negara (Plato, 1999: 51; 56). Baik dan jahat dalam kehidupan sosial disebabkan oleh “konflik antarindividu karena sikap egois seorang manusia”. Sikap egois menimbulkan derita kepada orang lain. Sikap egois (selfishness) dapat dipahami dengan membedakan dari sikap mementingkan diri (self-interest). Keegoisan adalah perilaku seorang manusia yang menempatkan diri sendiri di atas orang lain dan mengejar kepentingan diri sendiri atas biaya orang lain. Sementara itu, kepentingan diri adalah perilaku seseorang yang mengamankan kondisi-kondisi dengan mempertimbangkan eksistensi good life seutuhnya. Oleh karena itu, diyakini bahwa “tak ada konflik di antara kepentingan diri pada seluruh manusia”. Konflik sosial berawal dari pikiran (interpretasi) seseorang dalam memahami kepentingan diri dan kepentingan orang lain dalam kehidupan sosial. Dalam proses berpikir, seseorang mengalami konflik yang dipengaruhi moralitas sosial. Secara moral seseorang memenuhi kepentingan diri sesuai dengan tatanan sosial yang legitimit, karena secara rasional sesuai dengan hasrat manusia yang tepat. Meski demikian, seseorang seringkali memenuhi kepentingan diri melebihi dari aturan sosial yang berlaku, bahkan 60 merampas dan menindas kepentingan orang lain (Parekh, 1989: 117). Padahal, kehidupan manusia Indonesia sudah difasilitasi dengan aturan sosial secara konstitusional yang termaktub di dalam UUD 1945. Aturan sosial konstitusional terhadap hak dan kewajiban warga negara yang patuh. Dalam teks Pembukaan UUD 1945 alinea pertama tertulis bahwa “sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. Kemerdekaan manusia sebagai bangsa adalah hak. Manusia yang merdeka berarti individu yang memiliki hak kebebasan dari penjajahan, karena tidak perikemanusian dan perikeadilan. Makna manusia yang merdeka diperdalam di dalam Universal Declaration of Human Rights (1948) pada Pasal 1 bahwa “semua manusia dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak yang sama. Mereka dikaruniai akal budi dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu dengan yang lain dalam semangat persaudaraan”. Legitimasi konstitusional universal terhadap martabat manusia yang merdeka berkat perikemanusiaan dan perikeadilan seharusnya dirawat dalam semangat persaudaraan. Hal itu yang seharusnya menjadi kesadaran bersama bahwa warga negara memiliki perbedaan dan identitas dalam keragaman moral dan budaya. Namun, bangsa Indonesia dewasa ini mengalami krisis moral dan budaya dalam kehidupan sosial yang berujung pada tiga tragedi konflik sosial. Corak konflik nuansa agama dan nuansa etnik di berbagai wilayah Indonesia merupakan fakta krisis moral dan budaya. Moderasi beragama diperlukan sebagai strategi moral dan budaya dalam merawat kebangsaan. Sebagai bangsa yang sangat heterogen, sejak awal para pendiri bangsa sudah berhasil mewariskan satu bentuk kesepakatan dalam berbangsa dan bernegara, yakni Pancasila dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang telah nyata berhasil menyatukan semua kelompok agama, etnis, bahasa, dan budaya. Indonesia disepakati bukan negara agama, tapi juga tidak memisahkan agama dari kehidupan sehari-hari warganya. Nilai-nilai agama dijaga, dipadukan dengan nilai-nilai kearifan dan adat-istiadat lokal, beberapa hukum agama dilembagakan oleh negara, ritual agama dan budaya berjalin 61 berkelindan dengan rukun dan damai (Kementerian Agama RI, 2019: 10). Moderasi beragama berideologi Pancasila dapat diimplementasi di dalam gerakan toleransi di Desa Balun Lamongan. Desa Balun adalah desa yang paling unik di Kabupaten Lamongan, bahkan mungkin di Indonesia. Di desa ini terdapat tiga agama yang dipeluk oleh warganya, yaitu: Islam, Hindu, dan Kristen, namun relasi kehidupan budaya dan agama relatif damai dan penuh toleransi di tengah perbedaan agama, sehingga desa ini dikenal dengan “Desa Pancasila” atau “Kampung Inklusif”. Tentu fenomena ini menarik, karena di tengah perbedaan agama mereka dapat membangun tata kehidupan budaya dan moral yang damai dan harmonis. Sementara itu, di daerah lain perbedaan agama atau keyakinan seringkali menjadi legitimasi atau pemicu terjadinya konflik dan kekerasaan antarkelompok di masyarakat (Kementerian Agama RI, 2019: 75). Setidaknya dalam lima tahun ke depan, moderasi beragama berideologi Pancasila telah dipaparkan dan didiskusikan bersama Bappenas dan kementerian/lembaga lain pada 25 Juni 2019. Ada empat arah kebijakan pemerintah yang akan ditempuh untuk mewujudkan program Prioritas Nasional Revolusi Mental dan Pembangunan Kebudayaan, yakni: 1. Revolusi mental dan pembinaan ideologi Pancasila untuk mengukuhkan ketahanan budaya dan mentalitas bangsa yang maju, modern dan berkarakter 2. Pemajuan dan pelestarian kebudayaan untuk memperteguh jati diri, meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan mempengaruhi arah perkembangan peradaban dunia 3. Memperkuat moderasi beragama sebagai fondasi cara pandang, sikap, dan praktik beragama jalan tengah untuk meneguhkan toleransi, kerukunan, dan harmoni sosial 4. Meningkatkan budaya literasi, inovasi dan kreativitas untuk mewujudkan masyarakat berpengetahuan, inovatif, kreatif, dan berkarakter (Kementerian Agama RI, 2019: 133). Dengan demikian, visi moderasi beragama sesungguhnya dapat tumbuh subur di Indonesia, lebih subur ketimbang di negaranegara lain, karena kekuatan ideologi Pancasila dan prinsip bhineka tunggal ika, yang memiliki misi menjaga keberagamaan, merawat 62 keragaman, berakulturasi dengan kebudayaan, serta menjaga persatuan dan kesatuan masyarakatnya. Pada pidato kelahiran Pancasila, 1 Juni 1945, Presiden pertama RI, Soekarno, menyatakan: “Hendaknya Negara Indonesia ialah negara yang tiaptiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme-agama”. Dan, hendaknya negara Indonesia satu negara yang ber-Tuhan. Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam maupun Kristen, dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah hormat menghormati satu sama lain” (Kementerian Agama RI, 2019: 155156). Kesimpulan Pancasila tertanam dalam moderasi beragama sebagai landasan bersama (kalimatun sawa’ atau common platform) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang ragam suku, agama, ras dan antargolongan. Ideologi Pancasila ini-lah yang mengubah kehidupan beragama dan berbudaya Indonesia yang multikultur lebih dinamis dan harmonis. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pertama, untuk meneguhkan ideologi Pancasila di dalam moderasi beragama, Kementerian Agama RI memastikan adanya pemikiran multikulur dan gerakan moderasi beragama, yaitu toleransi dan antikekerasan, supaya terus menerus mengakar di bumi Nusantara. Kedua, untuk mendamaikan tensi konstelasi kontestasi politik identitas di Indonesia yang diperankan oleh organisasi sosial keagamaan selama ini, seluruh komponen bangsa dan negara memastikan identitas nasional dirawat dalam nasionalisme tanpa henti. Terakhir, untuk kembali menanamkan moderasi beragama berideologi Pancasila sebagai landasan filosofis bersama untuk kebebasan beragama dan kemerdekaan hidup bersama. Dengan tiga simpul tersebut, diharapkan bahwa moderasi beragama dalam kontestasi politik identitas tidak terjerusmus pada ideologi terorisme dengan politik propaganda nuansa agama. 63 Daftar Pustaka al-Sakhawi, Imam Muhammad 'Abd al-Rahman. al-Maqashid alHasanah fi Bayan Kathir min al-Ahadits al-Musytaharat 'ala al-Alsinah. Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut. Badan Pusat Statistik Kabupaten Pandeglang, 2012. Badan Pusat Statistik Provinsi Maluku, 2013. Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tengah, 2013 Darlis, Andi Muh. 2012. Konflik Komunal: Studi dan Rekonsiliasi Konflik Poso. Yogyakarta: Buku Litera. http://hankam.kompasiana.com/2012/05/25. http://indonesia.ucanews.com/2012/10/18/pusat-studi-ham. Kementerian Agama RI, 2019. Moderasi Beragama. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI. Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor 2974 Tahun 2020 tentang Petunjuk Teknis Kuliah Kerja Nyata Moderasi Beragama. Kymlicka, Will. 1995. Multicultural Citizenship: A Liberal Theory of Minority Rights. New York: Oxford University Press Inc. Parekh, Bhikhu. 1989. Colonialism, Tradition and Reform: An Analysis of Gandhi’s Political Discourse. Revised Edition. New Delhi: Sage Publications. _____________. 2000. Rethinking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory. London: McMillan Press Ltd. _____________. 2008. A New Politics of Identity: Political Principles for an Interdependent World. New York: Palgrave MacMillan Press. Plato. 1999. Euthyphro. Trans. Benjamin Jowett. Pennsylvania State University: An Electronic Classics Series Publication. Wahid, Abdurrahman. 2006. Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi. Jakarta: The Wahid Institute. Wahid, Masykur. 2015. Teori Interpretasi Paul Ricoeur. Yogyakarta: LKiS. Wijaya, Ahsin. 2019. Kontestasi Merebut Kebenaran Islam di Indonesia dari Berislam secara Teologis ke Berislam secara Humanis. Yogyakarta: IRCiSod. 64 MODERASI BERAGAMA DALAM DINAMIKA SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT BANTEN Fitri Raya, M.Ek A. Pendahuluan Keragaman dan perbedaan merupakan sunatullah yang tidak dapat dielakkan dari panggung kehidupan (conditio sine quo non), karena itu salah satu tantangan serius dalam kehidupan beragama dewasa ini adalah bagaimana seorang penganut agama dapat mendefinisikan dan memposisikan dirinya secara tepat di tengah-tengah agama orang lain yang berbeda dan beragam. Bahkan di tengah pusaran kencangnya arus global di mana persentuhan dan pergaulan antar umat beragama semakin dekat dan intens. Watak semua agama adalah mencita-citakan kehidupan yang aman, tentram, harmoni, dan damai. Tidak ada satu agama pun yang secara teologis membenarkan pemeluknya memusuhi pemeluk agama lain. Doktrin teologis semua agama menganjurkan pemeluknya mengembangkan sikap akseptasi (kesediaan menerima keanekaragaman), apresiasi (menghargai keyakinan yang dianut kelompok lain) dan ko-eksistensi (kesediaan untuk hidup berdampingan secara rukun dan damai dengan membiarkan kelompok lain ada). Namun demikian, kendati di kalangan umat beragama meyakini bahwa doktrin agama mereka dipenuhi pesan-pesan persaudaraan dan kasih sayang antara sesama manusia, tetapi tidak dengan sendirinya agama menjadi garansi bagi terciptanya perdamaian. Bahkan dalam perspektif tertentu, agama seringkali mewujudkan dirinya sebagai pisau bermata dua; ia mendukung perdamaian, namun ia juga menyediakan bahan bakar untuk membrangus perdamaian manusia. Atas nama agama, manusia memupuk persaudaraan dan persahabatan. Tapi atas nama agama pula manusia saling bermusuhan bahkan saling membunuh satu sama lain.40 40 https://radarjember.jawapos.com/pascasarjana_iain/27/06/2019/watakmoderasi-beragama/ akses tanggal 10 Agustus 2020 jam 12.58 WIB. 65 Dalam banyak kasus, umat beragama masih sulit membedakan mana doktrin agama yang bersifat normatif (dilandasi teks-teks suci) dan mana pula yang tafsir terhadap teks-teks suci (yang sarat bias kepentingan politis, sosiologis, pragmatis). Tumpang tindih antara yang konsepsional normatif dengan yang operasional interpretatif pada wilayah keagamaan pada gilirannya menjadi embrio konflik. Untuk menyudahi terjadinya konflik di kalangan umat beragama, sekaligus mengembalikan agama pada fungsi dasarnya sebagai payung harmoni, ketentraman dan kedamaian, maka sikap moderat dan dialog antar umat beragama menjadi urgen dikembangkan sebagai instrumen guna membuka kerangka hubungan dan kerjasama yang saling menentramkan, sekaligus sebagai upaya memperluas inklusifitas visi religiusitas kaum beragama. Keberagamaan moderat merupakan sebuah cara beragama yang lapang dan terbuka. Sikap terbuka ini akan berdampak pada relasi sosial yang sejuk, sehat dan harmonis antar sesama penganut agama. Hal ini berlandaskan toleransi dan penghormatan akan kebebasan setiap orang untuk meyakini, menjalani dan mengekspresikan agama yang dianutnya, perbedaan cara beragama ini tidak boleh menjadi penghalang bagi upaya saling menghormati, menghargai, dan bekerjasama. Keberagamaan moderat merupakan proses transformasi dan internalisasi nilai-nilai dasar dan ideal ajaran agama yang berusaha mengaksentuasikan aspek-aspek perbedaan dan disparitas kemanusiaan dalam konteksnya yang luas sebagai suatu sunnatulloh yang mesti diterima dengan penuh kearifan dan lapang dada di tengah kenyataan kemanusiaan yang plural dalam segala dimensinya guna mewujudkan tatanan kehidupan yang berkeadilan. Hal ini merupakan usaha komprehensif dalam mencegah terjadinya konflik antar agama, mencegah terjadinya radikalisme agama, sekaligus pada saat yang sama memupuk terwujudnya sikap yang apresiatif terhadap pluralitas dalam dimensi dan perspektif apapun, karena Islam moderat memiliki visi dan misi untuk mewujudkan agama pada sisi yang lebih santun, dialogis, apresiatif dan peduli terhadap persoalan hidup umat manusia yang komunal transformatif. 66 Moderasi agama merupakan salah satu pengejawantahan rahmatan lil alamin dan telah dicontohkan secara memukau oleh Rasulullah dan sahabatnya di Madinah. Itulah wajah Islam yang orisinil yakni Islam yang moderat, toleran, ramah dan akomodatif. Model beragama seperti ini, selain secara internal dapat melahirkan konfigurasi keberagamaan yang bijak, menentramkan dan hanif sesuai fitrah asasi manusia, juga secara eksternal dapat mengkonstruk cara beragama yang lapang dan terbuka serta mengutamakan titik temu dan harmonisasi dalam membangun kehidupan majemuk sehingga keberagamaan betul-betul berfungsi secara efektif sebagai rahmat bagi seluruh mahluk Tuhan. Oleh karena itu, memahami agama orang lain adalah penting, sehingga tidak terjadi salah pengertian, dan saling menjunjung tinggi nilainilai moral dan nilai-nilai universal yang ada pada masingmasing agama. Sebab, kedua nilai itu merupakan ‘esensi kemanusiaan’ yang diajarkan semua agama. Untuk memahami agama orang lain itu harus bertolak dari pemahaman yang bersipat integral bukan parsial. Di sini diperlukan minimal dua persiapan dialog, yakni kesiapan intelektual dan kedewasaan emosional. Sebesar apakah peran agama dalam dinamika sosial ekonomi sebuah tatanan masyarakat? Bicara moderasi beragama tentu berkaitan erat dengan segala aspek, tak terkecuali bagi prilaku sosial ekonomi tatanan masyarakat. Agama dipahami memberikan pengaruh besar dalam berbagai sektor kehidupan. Memang pada awal abad 20 agama pernah diramalkan akan menemukan kematian seiring dengan kemajuan sains dan teknologi. Ketika itu peran agama diramalkan akan tergeser oleh kekuatan sains dan teknologi. Namun, ramalan tersebut meleset atau tidak terbukti. Kenyataannya, agama berperan sangat sentral di dalam kehidupan manusia di abad 21 sekarang ini, tak terkecuali bagi giat sosial ekonomi. Perlu ditegaskan bahwa agama tidak akan pernah mati, bahkan sebaliknya ia menjadi peran utama. Moderat (Wasatiyyah) berarti keseimbangan di antara dua sisi, kiri dan kanan, seperti halnya sifat dermawan yang berada di antara sifat pelit (bakhil) dan boros tidak pada tempatnya (tabzir). Islam tidak melarang umatnya untuk 67 menjadi orang kaya. Justru sebaliknya, Allah SWT memerintahkan setiap umat Islam menjadi orang kaya sebagaimana tersirat dalam firman Allah surat Alqoshosh ayat 7741 dan surat Al-Jumu’ah ayat 10.42 Ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang sempurna. Semuanya berjalan sesuai dengan fitrahnya, tidak ada yang bertentangan dengan fitrah manusia. Bahkan dalam urusan sosial ekonomi pun tampak dengan jelas kemoderatannya. Selama berabad-abad, pergumulan manusia untuk bertahan hidup, melawan kemiskinan, dan meningkatkan kesejahteraan, senantiasa bertemu dan berdialog dengan keyakinan, agama, dan pemahaman yang dibentuk atasnya. Sebesar apakah peran agama dalam dinamika sosial ekonomi? Bagaimanakah nilai-nilai spritual menggerakkan roda ekonomi masyarakat Banten? Lantas apa pentingnya moderasi beragama dalam dinamika sosial ekonomi masyarakat Banten? Selama berabad-abad, pergumulan manusia untuk bertahan hidup, melawan kemiskinan, dan meningkatkan kesejahteraan, senantiasa bertemu dan berdialog dengan keyakinan, agama, dan pemahaman yang dibentuk atasnya. Filsof ekonomi terkemuka Amerika, Kenneth Boulding (1970), menyatakan agama memberikan pengaruh yang tak dapat diabaikan dalam perekonomian. Agama menentukan keputusan jenis komoditas yang diproduksi, kelembagaan ekonomi, dan perilaku sosial ekonomi suatu kelompok masyarakat. Meskipun ilmu pengetahuan dan teknologi, investasi, serta sumber daya alam, merupakan faktor-faktor yang sangat berpengaruh dalam perkembangan Artinya: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. 41 Artinya: “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”. 42 68 sosial ekonomi, agama juga dipertimbangkan sebagai elemen penting karena berperan membentuk etos kerja masyarakat.43 B. Agama dalam Pembangunan Sosial Ekonomi Agama memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat terutama dalam menyusun normanorma sosial kemasyarakatan. Agama di satu sisi menuntut penganutnya untuk bersikap eksklusif. Tapi pada sisi lain, agama juga mengajarkan sikap inklusif atau terbuka. Agama hadir dalam upaya menjaga, melindungi hak hidup masyarakat, serta untuk melindungi hajat hidup manusia. Oleh sebab itu agama menjadi dimensi utama dalam bingkai kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Jelas di dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa persolan ekonomi merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia yang bercita-cita mewujudkan keadilan sosial. Aktivitas ekonomi yang tidak seimbang, apalagi menghalangi terwujudnya keadilan sosial dikutuk dengan keras. Bahkan tidk ada kutukan yang lebih keras yang adal di dalam Kitab Suci melainkan kutukan terhadap pelaku ekonomi yang berlaku tidak adil.44 Pembangunan ekonomi merupakan salah satu dimensi pembangunan yang dapat mendorong kemajuan masyarakat. Adapun ukuran tingkat kemajuan ekonomi di masyarakat adalah tingkat produktivitas dan etos kerja guna meraih pencapaian yang tinggi. Dalam konteks inilah nilai-nilai ajaran agama harus dimaknai sebagai factor pendorong terhadap kemajuan dengan menumbuhkan etos kerja tinggi yang berorientasi pada peningkatan produktivitas ekonomi.45 Agama dan pembangunan sosial ekonomi merupakan kisah yang menarik perhatian banyak ilmuwan. Max Weber, sosiolog dan ekonom ternama Jerman, dalam bukunya yang termashur, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism 43 Muhammad Ramadhan, Politik Ekonomi Islam Dalam Narasi Pembangunan Nasional, Cet. Ke-1, (Yogyakarta : LKiS, 2018), hlm. 47. 44 Nurcholish Majid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, Edisi Baru Cet. Ke-1, (Bandung : PT. Mizan Pustaka, 2008), Hlm. 87-88. 45 Muhammad Ramadhan, Politik Ekonomi Islam Dalam Narasi Pembangunan Nasional, Cet. Ke-1, (Yogyakarta : LKiS, 2018), hlm. 1-2. 69 (1974), menyimpulkan agama merupakan faktor penyebab kemunculan kapitalisme di Eropa Barat dan Amerika Serikat. Weber mengungkapkan kemajuan ekonomi beberapa negara di Eropa dan Amerika Serikat di bawah kapitalisme disebabkan terutama oleh Etika Protestan yang dikembangkan Calvin. Calvinisme mengajarkan seseorang sudah ditakdirkan untuk masuk surga atau neraka. Tetapi, yang bersangkutan tidak mengetahui takdir mana yang akan menimpanya. Satu cara mengetahuinya adalah melalui kerjanya di dunia. Kalau seseorang berhasil dalam kerja dunia, dia berpeluang besar masuk surga. Sebaliknya, kegagalan di dunia besar kemungkinan mengantarkannya ke neraka. Kepercayaan ini medorong penganut Calvinisme bekerja keras. Mereka bekerja giat meraih kesuksesan bukan demi kekayaan material semata, melainkan lebih untuk menghalau kecemasannya.46 Roberth N. Bellah mengakui bahwa Islam juga terbukti memberikan pengaruh yang cukup kuat dalam proses perubahan sosial menuju peradaban yang gemilang. Bahkan Islam dinilai sebagai sebagai agama yang mampu berkomunikasi dengan realitas sosial yang dianggap baru sejak masa klasik sampai memasuki masa sekarang modern dan postmodern. Sementara, jika agama dijadikan sebagai pilar dan spirit dalam menerapkan kebijakan public maka nilai-nilai luhur agama akan tercipta sebuah tatanan masyarakat yang berperadaban (citizen) atau masyarakat madani (civil, tamaddun, dan mutamaddun). Yaitu sebuah masrakarat yang damai, tentram dan sejahtera, seperti masyarakat yang telah dibangun oleh Rasulullah di Madinah.47 Dalam konteks lebih luas terciptanya masyarakat yang madani dapat juga dilihat dari pelaksanaan pemeritahan yang bersih (clean governance) dan pola kegiatan ekonomi di 46 Pippa Norris & Ronald Inglehart, Sekularisasi Ditinjau Kembali: Agama dan Politik di Dunia Dewasa Ini, Cet. Ke-1, (Tangerang : Pustaka Alvabet, 2009), hlm. 194. 47 Mujiburrahman, Dimensi Agama Dalam Pembangunan Negara (Kajian Transformasi Pendidikan Islam Di Indonesia), Jurnal Ilmiah DIDAKTIKA, Vol. 18, No. 2, Februari 2018, hlm. 189-204. 70 masyarakat berjalan dengan baik dengan menjujung tinggi nilai-nilai keadilan sosial. Inilah yang menjadi rule and principle dalam implementasi agama dalam bidang sosial ekonomi. Ekonomi tidak hanya bertumpu pada keuntungan semata, akan tetapi bagaimana kegaiatan ekonomi yang dilakukan memperhatikan dimensi sosial. Tentu hal ini menjadi sebuah keharusan bagi semua pelaku ekonomi yang ada. C. Pentingnya Moderasi Beragama dalam Aktivitas Sosial Ekonomi Agama hadir ke dunia menjadi bagian dari kehidupan manusia. Ada dan tidaknya agama tergantung dengan manusia, karena memang adanya selalu melekat dalam diri sanubari manusia. Secara umum, manusia percaya terhadap Tuhan yang mengendalikan hidup mereka sebagai awal dari Sebuah agama, terutama ketika seseorang kehilangan akal rasional untuk memecahkan problem kehidupannya. Agama memiliki peran dalam seluruh aspek kehidupan manusia termasuk dalam aktivitas sosial ekonomi. Agama tidak hanya mengajarkan bagaimana berhubungan dengan Tuhan-nya yang sering disebut sebagai ritual. Setiap agama juga mengajarkan setiap manusia harus hidup di muka bumi secara normal, berhadapan dengan serangkaian permasalahan hidup di dunia. Tugas-tugas keduniaan yang diajarkan oleh setiap agama kepada semua pengikutnya mempengaruhi cara mereka dalam menyikapi dan menjalani kehidupan dunianya dengan mendasarkan ajaran agama yang bersangkutan, sesuai dengan taraf pemikiran dan kebutuhan mereka. Sementara itu, akal manusia sendiri terus berkembang demi mengembangkan peradaban yang terkait upaya memenuhi kebutuhannya, tentang bagaimana mereka memanfaatkan alam sekitarnya demi kebutuhan itu. Dalam sejarah perkembangan ilmu dan teknologi, agama juga senantiasa berperan dalam mengubah dunia ini melalui pemeluknya.48 Khadiq, Agama Sebagai “Modal” Pembangunan Masyarakat, Jurnal Aplikasi llmu-ilmu Agama, Vol. VI, No.2 Desember 2005, hlm. 122-141. 48 71 Pemahaman Islam secara moderat menjadi sangat penting karena sikap keberagaman yang moderat akan menjadikan seseorang berkepribadian paripurna. Moderasi beragama adalah cara pandang kita dalam beragama secara moderat, yakni memahami dan mengamalkan ajaran agama dengan tidak ekstrem, baik ekstrem kanan maupun ekstrem kiri. Ekstremisme, radikalisme, ujaran kebencian (hate speech), hingga retaknya hubungan antar umat beragama, merupakan problem yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini. Sehingga, adanya program pengarusutamaan moderasi beragama yang digaungkan pemerintah saat ini dinilai penting dan menemukan momentumnya. Bentuk ektremisme terjewantahkan dalam dua kutub yang saling berlawanan. Satu pada kutub kanan yang sangat kaku dalam beragama. Memahami ajaran agama dengan membuang jauh-jauh penggunaan akal. Sementara di pihak yang lain justru sebaliknya, sangat longgar dan bebas dalam memahami sumber ajaran Islam. Kebebasan tersebut tampak pada penggunaan akal yang sangat berlebihan, sehingga menempatkan akal sebagai tolak ukur kebenaran sebuah ajaran. Kelompok yang memberikan porsi berlebihan pada teks, namun menutup mata dari perkembangan realitas cenderung menghasilkan pemahaman yang tekstual. Sebaliknya, ada sebagian kelompok terlalu memberikan porsi lebih pada akal atau realitas dalam memahami sebuah permasalahan. Sehingga, dalam pengambilan sebuah keputusan, kelompok ini justru sangat menekankan pada realitas dan memberikan ruang yang bebas terhadap akal. Menjadi moderat bukan berarti menjadi lemah dalam beragama. Menjadi moderat bukan berarti cenderung terbuka dan mengarah kepada kebebasan. Keliru jika ada anggapan bahwa seseorang yang bersikap moderat dalam beragama berarti tidak memiliki militansi, tidak serius, atau tidak sungguh-sungguh, dalam mengamalkan ajaran agamanya. Lantas apa urgensinya moderasi beragama bagi sosial ekonomi masyarakat? Maka jawabannya adalah moderasi beragama dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat harus dilakukan. Karena dengan berkembangnya industry keuangan syariah yang menjadi trend beberapa tahun terakhir menjadi ruang bagi para penggiat ekonomi konvensional untuk 72 merambah ke ekonomi Islam khususnya industry keuangan syariah. Ini tentunya akan jadi masalah besar jika mereka yang berkecimpung di industry syariah namun tidak memahami ekonomi Islam secara utuh. System ekonomi Islam tidak hanya berbicara seputar halal-haram dan riba saja, akan tetapi bagaimana menerjemahkan teks (Al-Qur’an) yang ada ke dalam konteks perilaku ekonomi. Hal ini tentunya perlu pemahaman perangkat keilmuan yang mumpuni tidak hanya ilmu ekonomi secara umum, akan tetapi juga fasih terhadap ilmu-ilmu agama khususnya dibidang mauamalah agar penerjemahan terhadap teks tidak parsial. Selain hal tersebut diatas moderasi beragama sangat perlu diutamakan dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat, karena:49 1. Memelihara eksistensi agama-agama Penganutan suatu agama harus didukung oleh ilmu pengetahuan dan amal perbuatan. Amal perbuatan dimanifestasikan dalam dua pola hubungan, yakni hubungan vertical yang secara rutin dengan sang Khaliq-Nya dan hubungan horizontal dengan sesame makhluk Tuhannya. Hubungan vertical yang rutin untuk membentuk dan membina kepribadian tiap insan agar ia mampu melahirkan akhlaqul karimah yang diperlukan sekali dalam membina hubungan horizontal. Sedangkan manifestasi hubungan horizontal, selain hubungan intern suatu agama juga untuk memelihara hubungan luar untuk penganut agama lain. Mewjudkan kerukunan antar umat beragama merupakan dari usaha untuk mendorong setiap penganut konsekuen dengan agama yang ia anut, sehingga keberagamannya bukan hanya dalam bentuk pengakuan tetapi dapat memberi nilai bagi dirinya dan masyarakat. Sebagai mahkluk sosial manusia dalam segi kehidupan tidak mampu melepaskan diri dari keterkaitannya dengan orang lain. Keterkaitan inilah yang menajdikan orang untuk berusaha memperkecil sikap radikal dengan mempertimbangkan pihak lain serta mengutamakan keadilan. Pengertian keadilan di sini adalah 49 Saidurrahman dan Arifinsyah, Nalar Kerukunan: Merawat Keragaman Bangsa Mengawal NKRI, Cet. Ke-1, (Jakarta, Kencana : 2018), hlm. 89-94. 73 setiap golongan mempertimbangkan golongan atau pihak lain dengan memelihara kondisi yang telah ada. Setiap golongan memandangan golongan lain sebagaimana memandang golongannya sendiri. Bila setiap golongan agama disamping mengutamakan golongannya sendiri juga mempertimbangkan golongan agama lain serta kondisi sosila yang ada, berarti setiap golongan umta beragama telah memelihara wibawa masingmasing. Kewajiban ini menjadikan antara golongan umat beragama saling menyegani, sehingga terbina rasa saling menghargai dan saling menghormati. Apabila umat beragama mampu memelihara wibawa masing-masing berarti telah memelihara eksistensi dan kehidupan agama masing-masing. 2. Memelihara persatuan dan rasa kebangsaan Dalam membangun dan membina masyarakat dan bangsa dengan totalitasnya, perlu dipikirkan terutama generasi penerusnya, agar keberagaman yang telah menyatu dengan alam dan kondisi Indonesia ini difahami dan diterima oleh mereka. Dengan penengertian tidak menjadikan keberagaman ini sebagai topic permasalahan terutama yang sifatnya sensitive sekali yaitu agama. Bila kita membalik lembaran sejarah dunia tidak sedikit diperoleh catatan tentang rusaknya persatuan dan rasa kebangsaan suatu Negara yang diakibatkan oleh tidak harmonisnya hubungan dan pergaulan antara penganut agama yang berlainan. Indonesia sebaga Negara pancasila dalam penganutan agama menganut prinsip kebebasan, termasuk menyiarkan agama itu sendiri. Negara dan pemerintah tidak menghalangis setiap golongan agama untuk menyiarkan dan menyebarkan agamanya. Namun, demikian kebabesan ini tidak ditafsirkan dengan kebebasan tanpa batas dan harus didasarkan pada Pancasila dan UUD 1945 dengan berorientasi pada pemeliharaan persatuan dan rasa kebangsaan. Memelihara rasa kebangsaan tidak akan melemahkan ikatan atau solidaritas golongan dalam hal ini golongan agama. Rasa kebangsaan menghilangkan rasa asing dan sikap permusuhuan antara golongan. Urgunsi kerukunan adalah setiap golongan umat beragama memandang rasa kebangsaan ini dengan pandangan yang sama serta diiringi rasa tanggungjawab untuk memelihara dan mempertahankannya. 74 3. Menunjang dan menyukseskan pembangunan Pembangunan meruapak tuntutan zaman dan setiap generasi. Tunutan ini harus dipenuhi dan dilaksanakan. Pembanguan merupakan pertanda gerak dan sebagai respon dari tuntutan tersebut. Setiap generasi menghendaki perubahan dan pembaharuan. Perubahan dan pembaharuan dilaksanakan dengan pembangunan. Melaksanakan pembangunan mengandung usaha inovasi dan emansipasi. Inovasi mengadakan pembaharuan dari segela keterbelakangan, emansipasi membebaskan diri dari segela keterbelakangan. Hakikat dan tujuan pembangunan untuk memperbaiki dan meninggikan martabat manusia, dengan pengertian pembangunan untuk manusia, bukan manusia untuk pembangunan. Karena itu pembangunan harus dapat mencapai tujuan dan sasaran yang sesuai dengan yang telah diprogramkan. Pembangunan dapat dilakukan dari semua aspek, diantaranya pembangunan sosial dan ekonomi. Pembangunan ekonomi secara sederhana dapat dilakukan memberikan pemahaman dan pemberdayaan kepada masyarakat dan dapat memajukan kesejahteraan ekonomi keluarga dan pada akhirnya akan berdampak pada pembangunan ekonomi secara nasional. 4. Mewujudkan masyarakat religious Masyarakat religious dinilai dan diukur bukan berdasarkan kuantitas jumlah anggotanya, tetapi kepada landasan, system pengaturan dan ikatan antara anggotanya tersebut. Ikatan ini didorong oleh kesadaran dari masing-masing individu masyarakat itu sendiri. Dari sinilah tumbuh tatanan kehidupan sosial yang merupakan kenyataan religi. Keindahan dari masyarakat religious tercermin pada persamaan, kebebasan, gotong royong. Persamaan menghilangkan egoitas dan individualistis baik secara pribadi maupun golongan. Kebebasan merujuk pada bebas berpendapat untuk kemaslahatan bersama yang berlandaskan pada garis yang sudah ditetapkan oleh agamanya. Sementara gotong royong merupakan bentuk kearifan local dan ciri khas masyarakat Indonesia dalam sendi kehidupan bermasyarakat. Jika agama dikembangkan sebagai factor pemersatu, maka ia akan memberikan stabilitas dan kemajuan Negara. Dialog antar umat beragama dapat memperkuat kerukunan umat beragama dan 75 menjadikan agama sebagai factor pemersatu dalam kehidupan berbangsa. D. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Banten Secara atronomis provinsi Banten terletak antara 1050 15’ - 1060 11 Bujur Timur dan 50 21’ - 70 10’ Lintang Selatan dengan luas wilayah 8.651,20 Km2. Dengan perbatasan di sebelah utara Laut Jawa, di sebelah selatan Lautan Hindia, di sebelah timur Kabupaten Bogor dan DKI Jakarta, dan sebelah barat Selat Sunda. Berdasarkan bentang lahan atau geomorfologinya wilayah Banten di bagi menjadi dua bagian yaitu dataran tinggi dan dataran rendah. Dataran tinggi umumnya berada dibagian selatan dan merupakan daerah pegunungan dengan ketinggian rata-rata 400 m di atas permukaan laut. Pegunungan di wilayah ini melintang dari timur ke barat dan diakhiri bentukan Gunung Pulosari Aseupan dan Karang sebelah utara. Sedangkan dataran rendah berada di bagian utara dengan ketinggian 0-25 m di atas permukaan laut.50 Masa lalu Banten dikenal karena di sini berdiri kerajaan Islam yang sangata termasyhur di zamannya. Namun, sebenarnya sebelum berdirinya kerajaan Islam, Banten sudah memiliki kebudayaan yang cukup tinggi. Inventarisasi dan dan penelitian peninggalan purbakala yang dimulai sejak abad ke19 membuktikan akan hal tersebut.51 50 Tri Hatmadji, Ragam Pusaka Budaya Banten, Balai Besar Peninggalan Pubakala Serang Wilayah Kerja provinsi Banten, Jawa Barat, DKI Jakarta dan Lampung, (Jakarta : Direktorat Jenderal Kebudayaan, 2005), hlm. 3. 51 J.W.G.J Prive seorang kontrolir dari Belanda pada tahun 1896 melaporkan adanya temuan bangunan kuno di dekat desa Citorek Bayah yang kemudian dikenal sebagai bangunan punden barundak Lebak Sibedung. Kemudian N.J Krom dalam bukunya Repporten van der Oudhiekundingen Dients In Netherlansch Indie tahun 1914 menyatakan bahwa di seputar Kabupaten Pandeglang ada peninggalan arkeologi berupa arca nenek moyang, beberapa kapak batu dari hasil peninggalan arkeologis di Pamarayan (Kolelet) dan patung tipe Polinesia di Tenjo (Sanghyang Dengdek). Lihat Tri Hatmadji, Ragam Pusaka Budaya Banten, Balai Besar Peninggalan Pubakala Serang Wilayah Kerja provinsi Banten, Jawa Barat, DKI Jakarta dan Lampung, (Jakarta : Direktorat Jenderal Kebudayaan, 2005), hlm. 4. 76 Kebudayaan Banten semakin berkembang setelah bersentuhan dengan dunia luar. Pengaruh luar datang dari India yang membawa agama Hindu dan Budha, yang juga berdampak pada system sosial dan pemerintahan di nusantara yang ditandai dengan berdirinya kerajan-kerajaan. Salah satu kerajaan Hindu yang ada di Banten kerajaan Banten Girang sekitar abad ke-10 sampai abad ke-16. Dengan masuknya Islam berdampak mundurnya pengaruh Hindu dan Budha di Banten. Kerajaan Girang berada dibawah penguasaan Islam yang kemudian mendirikan kerjaan di sekitar Teluk Banten. Pusat kotanya dikenal dengan nama Surosowan yang saat ini disebut dengan Banten Lama. Saat ini masa lalu banten tersebut hanya meninggalkan bukti-bukti sejarah yang masih terjaga kelestariannya, yakni bekas komplek surosowan yang dibangun pada masa Sultan Maulana Hasanuddin, Masjid Agung Banten, makam raja-raja Banten dan keluarganya, komplek kraton kaibon dan lain-lain. Kerajaan Islam Banten mengalami kemunduran dimulai masuknya pengaruh VOC (Vereniging Oost-Indie Compagnie) yaitu perkumpulan dagang dari Belanda tahun 1602-1799 dan penjajahan colonial Belanda. Belanda menghancurkan menghancurkan pusat kota kesultanan dan memindahkan pusat Kota ke Serang.52 Banten merupkan salah satu wilayah provinsi Jawa Barat, akan tetapi dengan perkembangan yang ada Banten pun memisahkan diri dari Jawa Barat dan menjadi provinsi tersendiri yang dibentuk berdasarkan UU No. 23 Tahun 2000 tertanggal 17 Oktober tahun 2000. Adapun puncak perayaan terjadi pada tanggal 4 Oktober 2000 saat puluhan ribu masyarakat Banten datang ke Gedung DPR RI di Senayan Jakarta, dengan Sidang Paripurna DPR untuk pengesahan RUU Provinsi Banten. Akhirnya, masyarakat Banten pun sepakat tanggal 4 Oktober 2000 sebagai Hari Jadi Provinsi Banten yang saat itu dipimpin oleh Bapak H.D. Munandar sebagai Gubernur dan Ibu H. Ratu Atut Chosiyah, SE sebagai wakil Gubernur.53 52 Tri Hatmadji, Ragam Pusaka Budaya Banten, hlm. 5. https://www.bantenprov.go.id/profil-provinsi/sejarah-banten/bantenmenuju-provinsi akses tanggal 10 Agustus 2020 jam 11.41 WIB. 53 77 Banten telah mengalami proses perjalanan sejarah yang panjang yang kini merupakan salah satu provinsi yang ada di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dari perjalanan tersebut Banten mewariskan peninggalan-peninggalan hasil kegiatan masyarakat dan kebudayaannya yang termaktub dalam sejarah bangsa ini. Selain peninggalan sebagai bukti sejarah, dengan proses perjalanan tersebut juga membentuk kultural kondisi sosial masyakarat Banten. Dalam perkembangan sosial dan ekonomi secara umum Banten sudah menjadi daerah yang sangat diperhitungkan karena di Provinsi Banten terdapat banyak asset vital Negara sebagai motor penggerak ekonomi nasional, seperti Pelabuhan Merak-Bakauheni yang merupakan akses utama jalur transportasi darat yang merupakan penghubung dari pulau Jawa menuju pulau sumatera dan sebaliknya. Wilayah laut Banten merupakan salah satu jalur laut potensial, Selat Sunda merupakan salah satu jalur yang dapat dilalui kapal besar yang menghubungkan Australia, Selandia Baru, dengan kawasan Asia Tenggara misalnya Thailand, Malaysia dan Singapura. Bandara Internasional Soekarno Hatta merupakan akses utama transportasi udara Indonesia baik skala domestik maupun internasional. Selain itu banyak juga perusahaan-perusahaan yang bonafit seperti Krakatau Steel, Chandra Asri, dan lain-lain. Ini membuktikan bahwa Banten menjadi titik utama dalam menghubungkan pulau-pulau yang ada di Indonesia. Secara kasat mata dengan melihat kondisi tersebut seharusnya Banten menjadi salah satu provinsi yang makmur dan sejahtera. Akan tetapi, jika kita melihat data yang ada di lapangan provinsi Banten masih dalam kondisi yang memprihatinkan. Tingkat penganggurang dan angka kemiskinan warganya masih tinggi.54 54 Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Perwakilan Banten, Adhi Wiriana dalam siaran persnya, mengungkapkan angka kemiskinan berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) bulan Maret 2020 sebesar 5,92 persen, mengalami peningkatan sebesar 0,98 poin dibanding periode sebelumnya (September 2019) yang sebesar 4,94 persen. Hal ini sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk miskin sebanyak 134,6 ribu orang dari 641,42 ribu orang pada September 2019 menjadi 775,99 ribu orang pada Maret 2020. Persentase penduduk miskin di daerah perkotaan yang pada September 2019 sebesar 4,00 persen naik menjadi 5,03 persen, pada Maret 2020. Sementara 78 Proses pembangunan secara kontinyu harus dilakukan secara maksimal agar pertumbuhan ekonomi provinsi Banten dapat memberikan efek positif kepada masyarakat secara umum. Pembangunan pada dasarnya bertujuan untuk menciptakan kemakmuran dan mengurangi kemiskinan. Kemiskinan sendiri secara umum diartikan sebagai ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, seperti makanan, pakaian dan tempat tinggal, serta pendidikan dan kesehatan. Kemiskinan merupakan masalah global dan bersifat multidimensi, yang bukan hanya mencerminkan kondisi ekonomi tetapi juga kondisi sosial, politik, dan budaya suatu negara. Kemiskinan dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut mengacu kepada satu set standar yang konsisten, tidak terpengaruh oleh waktu dan tempat. Kemiskinan absolut ini juga merupakan situasi, di mana sebagian penduduk memiliki pendapatan di bawah garis kemiskinan, sehingga tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup minimumnya. Sementara kemiskinan relatif adalah apabila penduduk tersebut sebenarnya telah hidup di atas garis kemiskinan, namun masih berada di bawah kemampuan masyarakat sekitarnya. Kemiskinan juga dapat diklasifikasikan dalam dua bentuk. Pertama, kemiskinan kultural yang mengacu pada persoalan sikap seseorang atau persentase penduduk miskin di daerah perdesaan pada September 2019 sebesar 7,31 persen, naik menjadi 8,18 persen pada Maret 2020. Selama periode September 2019-Maret 2020, jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan naik sebanyak 101,6 ribu orang (dari 371,28 ribu orang pada September 2019 menjadi 472,84 ribu orang pada Maret 2020), demikian pula di daerah perdesaan naik sebanyak 33,0 ribu orang (dari 270,13 ribu orang pada September 2019 menjadi 303,14 ribu orang pada Maret 2020). Sementara faktor yang mempengaruhi tigkat kemiskinan di Provinsi Banten selama periode September 2019-Maret 2020 antara lain, laju pertumbuhan ekonomi Triwulan I 2020 sebesar 3,09 persen, lebih rendah dibanding laju pertumbuhan ekonomi Triwulan III 2019 (5,41 persen), meskipun tidak berkorelasi langsung. https://www.rmolbanten.com/read/2020/07/16/18196/Data-BPS,Pengangguran-Di-Banten-Dalam-Waktu-Enam-Bulan-Nambah-134-Ributanggal 10 Agustus 2020 jam 11.52 WIB. 79 masyarakat yang disebabkan oleh faktor budaya, seperti tidak mau berusaha untuk memperbaiki kehidupannya, malas, pemboros, dan atau tidak kreatif. Kedua, kemiskinan struktural, yaitu kondisi miskin yang timbul karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum menjangkau seluruh masyarakat, sehingga menyebabkan ketimpangan pada distribusi pendapatan, yang berujung pada kemiskinan. E. Moderasi Beragama dalam Bidang Sosial Ekonomi; Sebuah Telaah Kritis Agama diyakini sebagai wahyu Tuhan yang menjadi pedoman manusia dalam menjalankan kehidupannya dan suatu kebenaran yang tidak dipungkiri oleh penganutnya. Agama memiliki arti penting bagi manusia agar tidak tersesat dalam menjalankan kehidupan dunia. Posisi dan fungsi agama dalam kehidupan secara sosioligis setidaknya bias dilihat dari persektif fungsionalisme dan konflik. Agama telah dicirkan sebagai pemersatu aspirasi manusia yang paling asasi, sebagai sejumlah besar moralitas, sumber tatanan masyarakat dan perdamaian batin individual, sebagai suatu yang memuliakan dan yang membuat manusia beradab. Akan tetapi agama telah pula dituduh sebagai penghambat kemajuan manusia, mempertinggi fanatisme dan sikap tidak toleran, pengabaian, pengacuhan, tahayul dan kesia-siaan. Padahal agama juga berfungsi sebagai peneguhan consensus nilai solidaritas sosial. Akan tetapi jika disalah artikan agama bisa menimbulkan pertengkaran dan konflik dalam kehidupan manusia.55 Menelusuri kehidupan keberagamaan masyarakat Indonesia sesungguhnya meruapakan suatu usaha untuk memahami bagaimana agama itu diekspresikan dalam kehidupan sehari-hari. Usaha untuk melihat dan memahami ekspresi keberagamaan dapat dilihat dari tiga bentuk, yakni pertama pemikiran keagamaan yaitu ekspresi pengalaman keagamaan dalam bentuk konsep-konsep atau ajaran yang bercorak teoritis dan intelektulis. Kedua, perilaku keagamaan 55 Saidurrahman dan Arifinsyah, Nalar Kerukunan: Merawat Keragaman Bangsa Mengawal NKRI, Cet. Ke-1, (Jakarta, Kencana : 2018), hlm. 13-15. 80 (ritual) yaitu ekspresi perbuatan dalam bentuk tingkah laku atau perbuatan sebagai bentuk penerapan praktis dari konsepkonsep atau hasil pemikiran yang besifat teoritis dan intelektulis. Ketiga, perkumpulan keagamaan, yaitu perhimpunan orang-orang yang mempunyai pemikiran dan perbuatan yang sama.56 Sejatinya agama dalam kehidupan manusia berkaitan dengan pencarian makna hidup, atau bagaimana cara manusia memaknai hidup. Pencairan makna hidup inilah setidaknya didorong oleh kesadaran eksistensial manusia. Agenda utama agama adalah menegakkan harkat dan martabat manusia. Itulah yang menjadi hakika agama dan keberagamaan. Dengan kata lain ketika kemanusiaan menjadi agenda utama agama, maka inilah yang menjadi kekuatan spiritual dari agama sebegai pemelihara perdamaian. Agama, baru benar-benar menjadi agama yang benar dan mengemban amanah Tuhan jika menjadikan kemanusian sebagai agenda utamanya.57 Untuk mencapai agenda utama dari sebuah agama, maka yang menjadi kuncinya adalah pemahaman dan pemaknaan ajaran agama dalam kehidupan bermasyarakat harus mengedepan rasa saling menghormati dan menghargai antar sesama. Menganggap agama sendiri yang paling benar dan menganggap agama lain adalah musuh tidaklah dibenarkan. Berjalan bersama walaupun berbeda keyakinan untuk mewujudkan sebuah nilai kemanusiaan adalah pilar utama. Oleh sebab itu, moderasi beragama menjadi point utama dalam menjalin hubungan antar sesama manusia. Jika dianalogikan, moderasi adalah ibarat gerak dari pinggir yang selalu cenderung menuju pusat atau sumbu (centripetal), sedangkan ekstremisme adalah gerak sebaliknya menjauhi pusat atau sumbu, menuju sisi terluar dan ekstrem (centrifugal). Ibarat bandul jam, ada gerak yang dinamis, tidak berhenti di satu sisi luar secara ekstrem, melainkan bergerak 56 Muhammad Ramadhan, Politik Ekonomi Islam Dalam Narasi Pembangunan Nasional, Cet. Ke-1, (Yogyakarta : LKiS, 2018), hlm. 65. 57 Saidurrahman dan Arifinsyah, Nalar Kerukunan: Merawat Keragaman Bangsa Mengawal NKRI, Cet. Ke-1, (Jakarta, Kencana : 2018), hlm. 16. 81 menuju ke tengahtengah. Meminjam analogi ini, dalam konteks beragama, sikap moderat dengan demikian adalah pilihan untuk memiliki cara pandang, sikap, dan perilaku di tengahtengah di antara pilihan ekstrem yang ada, sedangkan ekstremisme beragama adalah cara pandang, sikap, dan peri laku melebihi batasbatas moderasi dalam pemahaman dan praktik beragama. Karenanya, moderasi beragama kemudian dapat dipahami sebagai cara pandang, sikap, dan perilaku selalu mengambil posisi di tengah-tengah selalu bertindak adil dan tidak ekstrem dalam beragama.58 Moderasi beragama harus dipahami sebagai sikap beragama yang seimbang antara pengamalan agama sendiri (eksklusif) dan penghormatan kepada praktik beragama orang lain yang berbeda keyakinan (inklusif). Keseimbangan atau jalan tengah dalam praktik beragama ini niscaya akan menghindarkan kita dari sikap ekstrem berlebihan, fanatik dan sikap revolusioner dalam beragama. Seperti telah diisyaratkan sebelumnya, moderasi beragama merupakan solusi atas hadirnya dua kutub ekstrem dalam beragama, kutub ultrakonservatif atau ekstrem kanan di satu sisi dan liberal atau ekstrim kiri disis lain. Moderasi beragama sesungguhnya merupakan kunci terciptanya toleransi dan kerukunan, baik di tingkat lokal, nasional, maupun global. Pilihan pada moderasi dengan menolak ekstremisme dan liberalisme dalam beragama adalah kunci keseimbangan, demi terpeliharanya peradaban dan terciptanya perdamaian. Dengan cara inilah masingmasing umat beragama dapat memperlakukan orang lain secara terhormat, menerima perbedaan, serta hidup bersama dalam damai dan harmoni. Dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia, moderasi beragama bukanlah sebuah pilihan, akan tetapi sebuah keharusan.59 Persoalan moderasi bukan hanya sekedar urusan atau kepentingan orang per orang, melainkan juga urusan dan 58 Badan Litbag dan Diklat Kementerian Agama RI, Moderasi Beragama, Cet. Ke-1, (Jakarta, Kemenag RI : 2019), hlm. 17. 59 Badan Litbag dan Diklat Kementerian Agama RI, Moderasi Beragama, Cet. Ke-1, (Jakarta, Kemenag RI : 2019), hlm. 18. 82 kepentingan setiap kelompok dan umat, kepentingan Negara, dan masyarakat. Moderasi atau wasathiyyah bukanlah sikap yang bersifat tidak jelas atau tidak tegas terhadap sesuatu bagaikan sikap netral yang pasif, bukan juga pertengahan matematis. Bukan juga sebagaimana dikesankan oleh kata “wasath”, yakni “pertengahan” yang mengantar pada dugaan bahwa wasathiyyah tidak menganjurkan manusia berusaha mencapai puncak sesuatu yang baik dan positif—seperti ibadah, ilmu, kekayaan, dan sebagainya. Akibat kekaburan makna wasathiyyah (moderasi) maka yang ekstrem maupun yang menggampangkan sama-sama menilai diri mereka telah menerapkan moderasi, padahal kedua sikap itu jauh dari pertengahan yang menjadi salah satu indikator moderasi. Wasathiyyah sangat luas maknanya. Ia memerlukan pemahaman dan pengetahuan yang mendalam tentang syariat Islam dan kondisi objektif yang dihadapi sekaligus cara dan kadar menerapkannya.60 Penerapan moderasi tidak hanya dilakukan dalam kehidupan beragama saja, akan tetapi moderasi juga harus diterapkan dalam aktivitas sosial ekonomi. Tentu pemaknaan moderasi dalam aktivitas sosial ekonomi muaranya adalah dari pemahaman agama yang dihubungkan dengan sosial ekonomi. Setiap ajaran agama tujuan utamanya adalah bagaimana bisa mencapai rido-Nya dengan menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Di sinilah moderasi menjadi hal utama. Perkembangan indutri keuangan syariah di Indonesia yang sudah menjadi bagian dari masyarakat secara umum dalam penerapannya harus mengedepankan konsep moderasi. Agama bukan menjadi satu-satunya alasan dalam penerapan system ekonomi Islam, akan tetapi bagaimana penerapan ekonomi islam tersebut dapat memberikan solusi dan manfaat bagi masyarakat tanpa adanya pihak yang dirugikan. Karena sejatinya dalam ekonomi Islam jika ada kerugian ditanggung bersama dan jika mendapatkan keuntungan juga dibagi bersama antara pihak yang terlibat dalam transaksi yang dilakukan. 60 M Quraish Shihab, Wasathiyyah Wawasan Islam tentang Moderasi Beragama, Cet. Ke-2, (Ciputat, Lantera Hati: 2020), hlm. x. 83 Pemahaman ekonomi islam yang tidak komprehensif akan melahirkan pemaknaan yang kurang tepat terhaadap aktivitas sosial ekonomi. Sehingga memahami moderasi dalam aktivitas sosial ekonomi juga harus dilakukan secara bersamaan terhadap pemahaman agama yang moderat. Karena saat ini, moderasi beragama bukan saja relevan dalam konteks Indonesia, tetapi juga sangat signifikan dalam konteks global. F. Kesimpulan Moderasi agama merupakan salah satu pengejawantahan rahmatan lil alamin dan telah dicontohkan secara memukau oleh Rasulullah dan sahabatnya di Madinah. Itulah wajah Islam yang orisinil yakni Islam yang moderat, toleran, ramah dan akomodatif. Model beragama seperti ini, selain secara internal dapat melahirkan konfigurasi keberagamaan yang bijak, menentramkan dan hanif sesuai fitrah asasi manusia, juga secara eksternal dapat mengkonstruk cara beragama yang lapang dan terbuka serta mengutamakan titik temu dan harmonisasi dalam membangun kehidupan majemuk sehingga keberagamaan betul-betul berfungsi secara efektif sebagai rahmat bagi seluruh mahluk Tuhan. Oleh karena itu, memahami agama orang lain adalah penting, sehingga tidak terjadi salah pengertian, dan saling menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan nilai-nilai universal yang ada pada masing-masing agama. Sebab, kedua nilai itu merupakan ‘esensi kemanusiaan’ yang diajarkan semua agama. Untuk memahami agama orang lain itu harus bertolak dari pemahaman yang bersipat integral, bukan parsial. Di sini diperlukan minimal dua persiapan dialog, yakni kesiapan intelektual dan kedewasaan emosional. Dinamika keberagaman itu nampak begitu kental dalam kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Banten. Banten, sekitar 500 tahun lalu, pernah menjadi bandar terbesar di pulau Jawa. Bangsa Portugis, bukanlah pedagang asing pertama yang mencari lada dan rempah-rempah lainnya di Karangantu, pelabuhan Banten. Karena jauh sebelumnya, mereka didahului saudagar-saudagar Cina, Arab, Gujarat, dan Turki yang mengangkut rempah-rempah dari bandar Karangantu yang 84 ramai melalui Teluk Parsi. Kemudian mereka menjualnya kepada pembeli Eropa yang sangat berhasrat. Puncak masa kejayaan sosial dan ekonomi Banten terjadi pada masa Sultan Maulana Yusuf (1570-1580). Ia putra Sultan Maulana Hasanuddin, pendiri Kerajaan Islam Banten. Begitu majunya perdagangan kala itu, hingga Banten menjadi tempat penimbunan barang dari segala penjuru dunia, yang kemudian disebarkan ke antero Nusantara. Dengan majunya perdagangan maritim, Sorosowan, ibu kota kerajaan, menjadi ramai. Para pendatang dengan berbagai latar belakang suku, ras dan agama diterima dengan baik oleh Sultan Maulana Yusuf sehingga berimbas positif pada kemajuan Banten secara umum. Sultan Maulana Yusuf benar-benar mampu mengelaborasi moderasi beragama dalam kehidupan sosial dan ekomoni masyarakat Banten saat itu. Sejarah panjang Banten yang kini merupakan salah satu provinsi yang ada di Negara Kesatuan Republik Indonesia mewariskan peninggalan-peninggalan hasil kegiatan masyarakat dan kebudayaannya yang termaktub dalam sejarah bangsa ini. Selain peninggalan sebagai bukti sejarah, dengan proses perjalanan tersebut juga membentuk kultural kondisi sosial masyakarat Banten. Dalam perkembangan sosial dan ekonomi secara umum Banten sudah menjadi daerah yang sangat diperhitungkan karena di Provinsi Banten terdapat banyak asset vital Negara sebagai motor penggerak ekonomi nasional, seperti Pelabuhan Merak-Bakauheni akses utama dari pulau Jawa menuju pulau sumatera dan sebaliknya, Bandara Internasional Soekarno Hatta sebagai akses utama transportasi udara Indonesia baik skala domestik maupun internasional. Selain itu banyak juga perusahaan-perusahaan yang bonafit seperti Krakatau Steel, Chandra Asri, dan lain-lain. Ini membuktikan bahwa Banten menjadi titik utama dalam menghubungkan pulau-pulau yang ada di Indonesia dan penggerak roda perekonomian secara nasional. Secara kasat mata dengan melihat kondisi tersebut seharusnya Banten menjadi salah satu provinsi yang makmur dan sejahtera. Akan tetapi, jika kita melihat data yang ada di lapangan provinsi Banten masih dalam kondisi yang memprihatinkan. Tingkat pengangguran dan angka kemiskinan 85 warganya masih tinggi. Fakta ini memerlukan proses pembangunan secara kontinyu dan maksimal agar pertumbuhan ekonomi provinsi Banten dapat memberikan efek positif kepada masyarakat secara umum. Potensi besar Banten tidak boleh dijadikan angin lalu dan/atau hanya dinikmati segelintir kelompok. Sejarah Banten era Sultan Maulana Yusuf dapat dijadikan pijakan semangat warga Banten dan pemangku kebijakan dalam membangun pemerataan sosial dan ekonomi dengan menyandarkan pada moderasi beragama. Karena pembangunan pada dasarnya bertujuan untuk menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan bersama-sama, kemakmuran bukan hanya untuk dia, tapi kita. 86 DAFTAR PUSTAKA Badan Litbag dan Diklat Kementerian Agama RI, Moderasi Beragama, Cet. Ke-1, (Jakarta, Kemenag RI : 2019. Hatmadji, Tri, Ragam Pusaka Budaya Banten, Balai Besar Peninggalan Pubakala Serang Wilayah Kerja provinsi Banten, Jawa Barat, DKI Jakarta dan Lampung, Jakarta : Direktorat Jenderal Kebudayaan, 2005. Khadiq, Agama Sebagai “Modal” Pembangunan Masyarakat, Jurnal Aplikasi llmu-ilmu Agama, Vol. VI, No.2 Desember 2005. Majid, Nurcholish, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, Edisi Baru Cet. Ke-1, Bandung : PT. Mizan Pustaka, 2008. Mujiburrahman, Dimensi Agama Dalam Pembangunan Negara (Kajian Transformasi Pendidikan Islam Di Indonesia), Jurnal Ilmiah DIDAKTIKA, Vol. 18, No. 2, Februari 2018. Norris, Pippa & Ronald Inglehart, Sekularisasi Ditinjau Kembali: Agama dan Politik di Dunia Dewasa Ini, Cet. Ke-1, Tangerang : Pustaka Alvabet, 2009. Ramadhan, Muhammad, Politik Ekonomi Islam Dalam Narasi Pembangunan Nasional, Cet. Ke-1, Yogyakarta : LKiS, 2018. Saidurrahman dan Arifinsyah, Nalar Kerukunan: Merawat Keragaman Bangsa Mengawal NKRI, Cet. Ke-1, Jakarta, Kencana : 2018. Saidurrahman dan Arifinsyah, Nalar Kerukunan: Merawat Keragaman Bangsa Mengawal NKRI, Cet. Ke-1, Jakarta, Kencana : 2018. Shihab, M Quraish, Wasathiyyah Wawasan Islam tentang Moderasi Beragama, Cet. Ke-2, Ciputat, Lantera Hati: 2020. LINK WEBSITE: 87 https://radarjember.jawapos.com/pascasarjana_iain/27/06/2019/w atak-moderasi-beragama/ akses tanggal 10 Agustus 2020 jam 12.58 WIB. https://www.bantenprov.go.id/profil-provinsi/sejarahbanten/banten-menuju-provinsi akses tanggal 10 Agustus 2020 jam 11.41 WIB. https://www.rmolbanten.com/read/2020/07/16/18196/Data-BPS,Pengangguran-Di-Banten-Dalam-Waktu-Enam-BulanNambah-134-Ribu- tanggal 10 Agustus 2020 jam 11.52 WIB. 88 89 Moderasi Beragama dalam Kebudayaan Lokal Masyarakat Banten Masykur Wahid UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten Pendahuluan Pemahaman moderasi beragama dalam masyarakat Banten tidak bisa lepas dari ikatan kebudayaan lokal yang tumbuh dan berkembang sejak pemberontakan petani tahun 1888. Kebudayaan lokal (local culture) menjelaskan kehadiran sebuah konstruksi kearifan, pengetahuan, dan intelegensi masyarakat tertentu. Kearifan lokal (local wisdom) dikonstruksi sebagai sikap, pandangan, dan kemampuan suatu masyarakat tertentu untuk mengelola lingkungan rohani dan jasmani yang memberikan kepada dirinya daya tahan dan daya tumbuh di dalam wilayah di mana masyarakat berada. Konstruksi kearifan ini sebagai jawaban kreatif masyarakat terhadap situasi geografis politis, historis, dan situasional yang bersifat lokal. Selain itu, sebagai strategi kehidupan yang berwujud suatu aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal untuk menjawab berbagai permasalahan dalam memenuhi kebutuhannya. Sistem pemenuhan kebutuhan masyarakat meliputi seluruh unsur kehidupan, yaitu agama, ilmu pengetahuan, ekonomi, teknologi, organisasi sosial, bahasa dan komunikasi, serta kesenian (Permana 2010). Pengetahuan lokal (local knowledge) dalam masyarakat merupakan pengetahuan yang khas dimiliki suatu masyarakat yang telah berkembang lama sebagai hasil dari proses hubungan timbalbalik antara masyarakat dengan lingkungannya. Pengetahuan lokal terkait dengan perubahan dan siklus iklim di wilayah tertentu, kemarau dan penghujan, jenis-jenis fauna dan flora, serta kondisi geografis, demografis, dan sosiografis. Selain itu, terkait dengan kemampuan adaptasi yang menjadi bagian dari pengetahuan lokal masyarakat untuk menguasai alam lingkungannya (Permana 2010). Sedangkan, intelegensi lokal (local genius) dalam pandangan H.G. 90 Quaritch Wales merupakan sebuah kemampuan kebudayaan masyarakat tertentu untuk menghadapi pengaruh kebudayaan asing pada saat kedua kebudayaan saling berinteraksi. Wales kali pertama mengenalkan istilah “local genius” dengan ciri-ciri kebudayaan yang dimiliki bersama oleh suatu masyarakat tertentu sebagai hasil pengalaman masyarakat sepanjang hidupnya. Di samping itu, intelegensi lokal dijelaskan oleh Haryati Soebadio sebagai identitas budaya bangsa yang menyebabkan bangsa mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuannya sendiri (Permana 2010). Dengan tiga kekuatan konstruksi tersebut, kebudayaan lokal dimiliki dan diturunkan secara berkelanjutan dari generasi ke generasi selama ratusan, bahkan ribuan tahun oleh masyarakat lokal. Oleh karenanya, kebudayaan lokal kuat berakar, tidak mudah goyah dan terkontaminasi oleh pengaruh kebudayaan lain yang saling berinteraksi. Masyarakat Banten memiliki kesejarahan sebuah kesultanan yang unggul dan terkemuka di pulau Jawa pada abad ke-15 hingga 18. Pada abad-abad itu keunggulan Banten disebabkan sebagai pusat perdagangan internasional. Banyak para saudagar asing yang datang di Banten, baik dari dalam maupun luar Nusantara, untuk bermukin dan menetap. Dikenal terkemuka, dikarenakan Banten sebagai penghasil lada terbesar, baik yang diperoleh dari wilayah Banten maupun dari wilayah Lampung sebagai daerah taklukannya (Untoro 2006). Karenanya, selama beberapa abad itu kesultanan Banten dikenal dengan jaman keemasan Banten. Di dalam tulisan ini akan dijelaskan keunggulan dan keterkemukaan kebudayaan lokal Banten dalam moderasi beragama. Islam Banten sebagai Titik Temu Ragam Budaya Islam Banten dalam pemerintahan kesultanan kali pertama dipimpin oleh Sultan Maulana Hasanuddin pada tahun 1524/1525. Walisongo Cirebon, Sunan Gunung Jati, menunjuk Maulana Hasanuddin untuk menjadi sultan di Banten dengan mendirikan Kota Surosowan sebagai ibukota kesultanan Banten. Tahun 15241525 bertepatan dengan masa kejatuhan kekuasaan Kerajaan Sunda yang berkuasa di Banten Girang ke tangan penguasa beragama Islam. Raja di Kerajaan Sunda pada saat itu memeluk agama Hindu. 91 Mulai kekuasaan kesultanan Banten diperluas ke Lampung dan wilayah sekitar Sumatera Selatan. Perpindahan kekuasaan dari agama Hindu ke agama Islam menunjukkan adanya titik temu ragam budaya. Pertemuan ragam budaya terjadi seiring dengan produksi lada yang melimpah. Sultan Banten pertama menikah dengan puteri kesultanan Demak, puteri Sultan Trenggana. Selanjutnya, Sultan Maulana Hasanuddin diteruskan oleh Maulana Yusuf (Untoro 2006). Menjadi titik temu ragam budaya merupakan keunggulan masyarakat Banten dalam interaksi antarbudaya secara global. Sultan Maulana Yusuf memerintah dari tahun 1570 hingga tahun 1580 yang berhasil meruntuhkan Kerajaan Sunda yang berkedudukan di Pakuwan Pajajaran. Penyerangannya dilandasi oleh tekad Sultan Maulan Yusuf untuk mengembangkan agama Islam ke daerah pedalaman Banten, hingga Jawa Barat menjadi daerah pertemuan dengan agama baru. Pertemuan ragam budaya ditunjukkan dengan sumber tertulis yang berbentuk Tambo Jawa Barat bahwa tidak diceritakan lebih lanjut mengenai raja dan keluarga dari Kerajaan Sunda, hanya menyebutkan bahwa golongan bangsawan Sunda yang memeluk agama Islam diperbolehkan tetap menyandang pangkat dan gelarnya. Ketika Sultan Maulana Yusuf mangkat, putera sebagai penggantinya yang bernama Pangeran Muhammad masih berusia di bawah umur. Oleh karena itu, yang bertindak sebagai wali, yaitu Pangeran Aria Japara (Untoro 2006). Budaya asing pun hadir di Banten pada masa pemerintahan Pangeran Muhammad sebagai suatu periode sejarah yang penting, yakni datangnya bangsa Belanda pertama kali pada tahun 1596. Kedatangan kapal-kapal dagang Belanda dipimpin oleh Cornelis de Houtman dan berlabuh di Pelabuhan Banten. Catatan orang Belanda menguraikan mengenai ramainya pedagang asing yang berniaga di Pelabuhan Banten beserta dengan barang-barang dagangannya. Menjelang akhir abad XVI, Kota Surosowan Banten sudah mendapat perhatian pedagang internasional dan tempat pertemuan bagi kaum saudagar (Untoro 2006). Pertemuan ragam budaya di Banten berjalan harmonis seiring dengan kelancaran perdagangan internasional di Pelabuhan. Banyak sultan yang memerintah pada akhir abad XVI, tepatnya tahun 1602 saat kantor VOC didirikan di Banten. Salah 92 satunya, Abdul Mufakir Mahmud Abdul Kadir (1596-1640) yang banyak memberikan kewenangan kepada saudagar Belanda, sehingga mereka menanamkan pengaruhnya di Banten. Belanda atau Inggris berusaha mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya, sehingga Kota Banten sering dijadikan arena permusuhan antara kedua bangsa itu. Keadaan makin buruk ketika terdapat pertikaian di antara kedua keluarga sultan yang mencari sekutu untuk mempertahankan kepentingan masing-masing. Pertikaian bukan karena pertemuan ragam budaya, akan tetapi perebutan kekuasaan. Namun, pada masa pemerintahan Sultan Abdul Ma’ali Ahmad (1640-1651), hubungan Belanda dan Banten menjadi cukup damai untuk kurang lebih 30 tahun (Untoro 2006). Namun, kondisi masyarakat Banten dalam temu ragam budaya mengalami perubahan pada saat pemerintahan dipimpin oleh Abdul Fath Abdul Fattah yang dikenal Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1681). Sikapnya sangat memusuhi Belanda dan senantiasa berusaha menghalangi perkembangan perdagangan Belanda. Sikap ini merugikan Belanda, bahkan seringkali rasa permusuhan berubah menjadi peperangan. Misalnya, pada tahun 1656 dua buah kapal Belanda berhasil dirampas oleh orang-orang Banten dan perkebunan tebu milik Belanda di daerah Banten dirusak. Peristiwa perampasan dan perusakan ini menyebabkan orang Belanda tidak aman tinggal di Banten, yang akhirnya beberapa orang Belanda meninggalkan Banten menuju ke Batavia (Untoro 2006). Akibat sikap permusuhan masyarakat Banten terhadap Belanda, Pelabuhan Banten diblokade. Selain itu, peristiwa ini sangat merugikan perdagangan masyarakat Banten, sehingga Sultan Ageng Tirtaya mengadakan perundingan dengan Belanda. Sultan menjadikan Kesultanan Banten berkembang pesat, bahkan pada perempat ketiga dari abad VII membangun pelayaran sendiri dengan bantuan orang-orang Eropa dan mengadakan pelayaran ke Filipina, Tiongkok, India, dan Persia. Melalui perdagangan internasional ini, masyarakat Banten menruskan titik temu ragam budaya untuk semakin berkembang dan meluas jejaring antarbudaya. Tentunya, jejaring antarbudaya di Nusantara pun dilakukan oleh masyarakat Banten melalaui perdagangan. Dijelaskan bahwa setelah Makasar takluk dalam kekuasaan Belanda pada tahun 1669, banyak pedagang yang pindah ke Banten. Komoditi yang penting, lada, pala dan cengkeh, dikirim ke 93 Banten dari Sumatera, Ambon, Mala, Bengkulu dan Lampung, sehingga Banten memonopoli lada di Jawa Barat dan Sumatera Selatan (Untoro 2006). Dengan jejaring antarbudaya di Nusantara dan internasional, suasana aman, damai, dan penuh kemakmuran berlangsung hingga tahun 1676, yaitu ketika putera Sultan Ageng yang bernama Abu Nasr Abdul Qahhar (1672-1687) atau bergelar Sultan Haji kembali setelah menunaikan ibadah haji di Mekah. Abu Nasr Abdul Qahhar tidak setuju dengan politik ayahnya yang menentang Belanda. Akibat tindakannya timbul dua golongan di antara kalangan keluarga sultan, yaitu Sultan Ageng dengan pengikutnya anti Belanda, dan Putera Mahkota merangkap Sultan Muda yang berpihak pada Belanda. Ketika permusuhan dua golongan ini pecah, maka Sultan Haji meminta bantuan Belanda yang menolongnya memperoleh mahkota. Sebagai imbalannya, Belanda mendapat monopoli perdagangan di Banten, dan para pedagang Eropa yang bukan Belanda diusir dari daerah kesultanan Banten. Secara langsung peristiwa ini menjelaskan berakhirnya masa perkembangan perdagangan di Kota Banten, dan kekuasaan Sultan Haji hanya merupakan perwujudan kekuasaan Belanda yang sesungguhnya (Untoro 2006). Pemerintahan sultan selanjutanya setelah Sultan Haji lebih banyak diatur dan diawasi oleh Belanda, misalnya dalam menetapkan dan memberhentikan penguasa. Selain itu, peraturan Belanda yang dianggap sangat memberatkan rakyat setempat, seperti kerja rodi. Keadaan yang sama tidak menyenangkan hati sebagian besar masyarakat Banten dan kalangan kesultanan yang anti Belanda (Untoro 2006). Dengan pergeseran interaksi kekusaan, bergeser juga harmoni temu antarbudaya. Pada masa pemerintahan beberapa sultan terakhir, di antaranya Sultan Wakil Pangeran Sura Manggala (1808), Sultan Muhammad Syafiyuddin (1809), dan Sultan Muhammad Rafi’uddin (1813), kondisi pemerintahan semakin tidak seimbang. Pemerintah Belanda di bawah pimpinan Deandels, seorang Gubernur Jenderal yang kejam memerintahkan rakyat Banten untuk membuat Pelabuhan di Labuan, Pantai Barat Banten Selatan. Rakyat tertindas karena pekerajaan yang berat tanpa peralatan memadai. Peristiwa kekejaman Belanda menimbulkan kegusaran dan kemarahan Sultan Banten, sehingga kerja paksa dihentikannya. Deandels membalas dendam dengan mengirimkan 94 pasukan untuk menyerbuan Keraton Surosowan dan istana dibakar. Peristiwa serangan dan pembakaran terjadi pada tahun 1808 di mana Sultan Banten dibuang ke Ambon dan seluruh Pesisir Banten dimasukkan dalam pengawasan Batavia. Penggantian Sultan Banten dikukuhkan, namun kekuasaannya dibatasi di sekitar Pandeglang. Sedangkan, pemerintahan sipil diangkat seorang Residen yang berkedudukan di Serang. Keraton Surosowan hancur dan sejak saat itu lenyap kesultanan Banten (Untoro 2006). Tanpa dialog antarbudaya, hanya semata-mata kekuasaan, di dalam masyarakat Banten hanya mereproduksi kekerasan kemanusiaan dan kerusakan budaya. Untuk itu, diperlukan moderasi beragama untuk menghilangkan tindakan kolonialisme secara internal di dalam kebudayaan masyarakat Banten sendiri. Moderasi Beragama, Seribu Kyai dan Sejuta Santri Moderasi beragama di dalam kebudayaan masyarakat Banten selaras dengan eksistensi kyai dan santri di dalam mewujudkan kehidupan beragama di wilayah Banten, Nusantara dan dunia internasional. Eksistensi kyai dan santri dalam kehidupan beragama dilatarbelangi oleh pemberontakan petani Banten pada tahun 1888. Pemberontakan petani Banten berawal dari kebencian terhadap dominasi Belanda yang dipaksakan dan rasa permusuhan yang sangat mendalam terhadap segala hal yang berbau asing, yang mendasari keresahan umum, hingga adanya jalan keluar baru berupa persekutuan dengan gerakan-gerakan keagamaan yang ekstrem (Kartodirdjo 1984). Adanya kekuatan keberagamaan masyarakat Banten dengan eksistensi pesantren, dikenal istilah seribu kyai dan sejuta santri. Kekuatan ini merupakan keterkemukaan keberagamaan masyarakat Banten. Adanya pemberontakan petani, gerakan-gerakan keagamaan bertambah kuat dan memperoleh satu kelembagaan yang lebih efektif, yakni tarekat. Kebangkitan kembali (revivalisme) agama menjadi satu alat untuk mengerahkan orang-orang untuk tujuan pemberontakan dan bukan gerakan keagamaan yang murni. Sebagian besar Pulau Jawa dilanda gerakan kebangkitan kembali kehidupan agama, yang memperlihatkan peningkatan yang luar biasa pada kegiatan agama, seperti melaksanakan shalat, menunaikan ibadah haji, memberikan pendidikan Islam tradisonal 95 kepada anak-anak muda, mendirikan cabang-cabang tarekat, penyelenggaraan khutbah yang luas, dan sebagainya. Dalam bagian akhir tahun 1850-an, Holle mencatat bahwa para Bupati masih harus mengeluarkan perintah agar rakyat lebih taat dalam menjalankan ibadah mereka. Kebangkitan kembali kehidupan agama memanifestasikan dirinya dalam peningkatan jumlah pesantren dan orang-orang menunaikan ibadah haji. Selain itu, pembangunan sejumlah besar masjid dan mushola sebagai bentuk meningkatnya ketaatan beribadah umat Islam. Khusus mengenai daerah-daerah yang penduduk Muslimnya sangat dominan, informasi-informasi menunjukkan bahwa masyarakat sangat menghormati para haji, karena para haji merupakan prestise yang sangat besar dan berpengaruh untuk mendorong masyarakat supaya lebih mentaati kewajiban-kewajiban agama (Kartodirdjo 1984). Pada masa penjajahan kebangkitan agama sangat membahayakan rezim kolonial Belanda. Namun, rangsangan dari luar bagi kebangkitan kembali kehidupan beragama, banyak orang yang sedang mendalami agama Islam di Indonesia tidak memperhatikan kenyataan bahwa perang Rusia danTurki yang di Indonesia dikenal sebagai perang Rus, memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap alam pikiran kaum Muslim yang hidup di “negara-negara di bawah angin”. Rakyat Indonesia ingin sekali mengetahui perkembangannya, dan setiap kemenangan di pihak Sultan Rum dirayakan secara meriah dengan doa-doa dan sedekah. Di samping itu, adanya benih Pan-Islamisme ini, harus memperhitungkan sistem komunikasi yang luas di dunia Islam yang telah dibangun melalui pelaksanaan ibadah haji. Di banyak bagian dunia Islam, kebangunan kehidupan beragama dimulai bersamaan waktunya dengan perlombaan di antara imperialis untuk memperoleh daerah-daerah jajahan dalam pertengahan kedua abad XIX. Pada umumnya ada suatu korelasi antara ekspansi negaranegara kolonial dan Pan-Islamisme atau bangunan kembali kehidupan beragama. Pun, terjadi pada perkembangan Islam di Indonesia, termasuk di Banten (Kartodirdjo 1984). Perkembangan umum Pan-Islamisme dan kebangunan kehidupan beragama ditunjukkan bahwa secara mencolok ditandai oleh karakteristik-karakteristik yang pada dasarnya anti-Barat. Penaklukan-penaklukan yang dilakukan oleh imperialisme Barat 96 sedang memperoleh kemajuan-kemjuan besar, dalam periode yang genting ini, pemikir-pemikir Muslim menyadari sepenuhnya bahwa dunia Islam sedang terancam bahaya yang semakin besar akan jatuh ke bawah dominasi Barat. Menghadapi ancaman dari Barat ini, kaum Muslim di bagian-bagian luas dunia Arab memperlihatkan fanatisme yang militan yang timbul dari perasaan benci terhadap penakluk-penakluk yang kafir. Tidak mengherankan jika fanatisme dan semangat militan yang menggelora di Timur Tengah dan Afrika Utara selama pertengahan kedua abad XIX, bergema pula di kalangan kaum Muslim Indonesia. Kontak yang lebih era antara daerah-daerah yang sangat berjauhan satu sama lain dalam dunia Islam telah dipermudah oleh praktik ibadah haji yang terus meningkat dengan adanya komunikasi dan perjalanan yang lebih baik (Kartodirdjo 1984). Kebangkitan kembali keberagamaan terdapat suatu reaksi tertentu terhadap westernisasi, akan tetapi jelas ada berbagai jenis tanggapan dan tingkat kecepatan penyesuaian yang berbeda-beda. Tidak boleh dilupakan bahwa kebijaksanaan Belanda yang bercorak liberalistis mengenai agama, memberikan ruang bergerak kepada berbagai macam gerakan keagamaan, dari yang bersifat damai dan menyesuaikan diri hingga kepada yang radikal dan agresif. Perasaan takut yang dominan di kalangan pejabat-pejabat pamongraja Eropa terhadap semua gerakan yang jelas memiliki orientasi keagamaan, dapat ditelusuri kembali kepada suatu hajifobi. Adanya pandangan bahwa di dalam Islam tidak ada pembedaan antara komunitas agama dan komunitas politik, membuat gerakan protes keagamaan dengan mudah berubah menjadi sebuah gerakan politik. Diketahui bahwa persaudaranpersaudaraan religius di banyak daerah di dunia Muslim terseret ke dalam gerakan religio-politik. Kaum haji dianggap sebagai satu bahaya yang potensial bagi penguasa kolonial, sejauh mereka dapat memimpin suatu gerakan. Karakteristik yang menonjol dari gerakan-gerakan keagamaan yang radikal dalam pertengahan kedua abad XIX, yaitu pengutukan yang keras terhadap dominasi Barat dan serangan-serangan yang tajam terhadap lembagalembaga baru yang diberlakukan (Kartodirdjo 1984) Golongan-golongan yang memprotes merupakan masyarakat-masyarakat yang telah ditaklukkan, yang protes keagamaannya berasal dari satu tradisi keagamaan yang berbeda, 97 gerakan ini cenderung untuk menuju konflik. Bentuk-bentuk gerakan keagamaan yang ekstrem tidak mau menyesuaikan diri, dan menduduki tempat yang penting dalam perjuangan mempertahankan kesadaran akan martabat dan harga diri dalam menghadapi situasi ketersingkiran dan diskriminasi. Inferioritas yang dirasakan hanya sebagai hal yang lahiriah saja, hanya menyangkut kekuatan fisik, dan bukan kekuatan rohani. Sebaliknya, ada golongan agama yang menekankan keharusan menerima kekuasaan Belanda secara damai dan mendorong penyesuaian diri dengan sistem politik yang baru. Akibatnya, akan timbul perpecahan dan golongan-golongan yang saling bertentangan dalam perkembangan gerakan-gerakan keagamaan (Kartodirdjo 1984). Perkembangan tarekat-tarekat di Banten pun menjadi golongan-golongan kebangkitan kembali yang paling dominan. Pada permulaannya tarekat-tarekat pada dasarnya merupakan gerakan-gerakan kebangkitan kembali agama, akan tetapi secara berangsur-angsur mereka berkembang menjadi badan-badan politik keagamaan. Mereka membentuk alat-alat kelembagaan untuk kegiatan politik yang ekstrem. Mereka menolak keras proses westernisasi dan bertekad untuk mempertahankan lembagalembaga tradisional terhadap pengaruh dan campur tangan Belanda. Didorong oleh kebencian terhadap orang asing, mereka menggunakan kekerasan terhadap penguasa Belanda dan terhadap sesama orang Muslim yang bekerja sama dengan Belanda. Perkembangan protes keras dapat ditafsirkan berdasarkan pada kondisi-kondisi sosial yang bersifat ekstrem dan rangsangan spesifik yang terdapat di masyarakat Banten dalam tahun-tahun 80an (Kartodirdjo 1984). Ajaran-ajaran sufi telah masuk ke Indonesia sejak abad XVI atau awal abd XVII. Awalnya tarekat Satariah disebarkan di Aceh oleh Abdurra’uf dari Singkel. Sejak abad XVII gerakan Satariah dari Aceh ke Jawa Barat, kemudian ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Syekh Abdul Muhyi dari Karang, seorang murid Abdura’uf, menyebarkan tarekat Satariah di Jawa Barat. Selain itu, Hamzah alFansuri, mistikus Qadariah sekaligus darwis pengembara, telah mengunjungi berbagai tempat, termasuk Banten. Sejak pertengahan pertama abad XVII Banten telah mengadakan kontak dengan Mekah, melalui pengiriman berulang-kali misi-misi untuk 98 mencari informasi mengenai soal-soal keagamaan (Kartodirdjo 1984). Pada pertengahan kedua abad XIX, di dunia internasional Banten terkenal sebagai sebuah pusat Islam ortodoks, di mana pengetahuan agama dan cara hidup yang sesuai dengan ketentuan agama sangat dihargai. Ada tanda yang menunjukkan bahwa aliran Qadariah telah memasuki masyarakat Islam di Banten sebelum abad XIX, akan tetapi ketika itu belum mencapai momentum yang signifikan. Secara latar historis perkembangan aliran Qadariah di Banten selama bagian akhir dengan jelas menandakan suatu kebangkitan kembali dalam arti sesungguhnya (Kartodirdjo 1984). Perkembangan perpecahan sebagai perpanjangan dari apa yang terdapat di dalam daerah inti dunia Islam-birokrasi keagamaan berhadapan dengan yang sudah mempunyai kedudukan mapan sebagai guru agama atau pemimpin perkumpulan agama, persaingan di antara tarekat-tarekat, pertentangan antarkelompok di dalam tarekat itu sendiri. Kegiatan-kegiatan konstruksi yang dipimpin oleh pemuka-pemuka perkumpulan agama diikuti dengan kecurigaan dan permusuhan oleh kaum ulama resmi. Oleh karena kekuatannya terletak dalam daya tariknya bagi rakyat, perkumpulan-perkumpulan agama cenderung untuk menjadi basis organisasi untuk melancarkan gerakan-gerakan protes keagamaan. Persaingan di antara berbagai perkumpulan di beberapa daerah seringkali menyebabkan kehilangan banyak enersi dan urgenisitas. Di samping itu, muncul gerakan-gerkan pembaharuan yang modern di kemudian hari menyebabkan semakin mendalamnya perpecahan di antara gerakan-gerakan kebangkitan kembali agama (Kartodirdjo 1984). Pesantren dan tarekat merupakan pasangan gerakan PanIslamisme di bidang politik. Meskipun revitalisasi Islam merupakan segi konstruktif daripada sasaran bersama, gerakan itu tidak mempunyai arah yang terpusat, tidak meahirkan suatu solidaritas Muslim dalam skala besar. Kekuatan-kekuatan pemecah belah tampak pada berbagai gerakan tarekat, yang menumbuhkan satu sikap eksklusif dan persaingan tak kenal kompromi di antara meraka. Daya tarik beberapa di antara tarekat-tarekat itu berkaitan erat dengan pesatnya ekspansi lembaga-lembaga pendidikan Islam yang tradisional, yang meratakan jalan bagi tarekat-tarekat untuk memperoleh anggota-anggota baru (Kartodirdjo 1984). 99 Penyebaran agama Islam tidak terjadi sebelum abad yang lalu, ketika ilmu pengetahuan Islam mendapat dorongan baru dari kaum ulama yang semakin meningkat jumlahnya yang kembali dari menunaikan ibadah haji. Lembaga pesantren yang sudah tua usinya tidak disangsikan lagi telah memperoleh kekuatan dan daya tarik baru di kalangan rakyat dalam kondisi-kondisi yang diciptakan oleh kebangunan agama. Dalam pertengahan kedua abad XIX berlangsung suatu proses saling memperkuat di antara berbagai aspek gerakan keagamaan. Pesantren-pesantren yang sangat terkenal menarik murid-murid dari berbagai daerah di Pulau Jawa, dari Banten, Priangan dan Sida Cerma, yang dianggap pesantren yang paling terkenal dalam bagian akhir abad XIX. Keterkemukaan sebuah pesantren, dan daya tarik nasional yang melekat padanya, sangat tergantung kepada reputasi gurunya. Sebagai pusat-pusat dan sumber-sumber yang sesungguhnya dari kebudayaan JawaIslam, pesantren-pesantren dipandang sebagai pusat-pusat pendidikan dan pegangan. Itu yang melahirkan kekuatan Islam yang integratif, yang mendesak batas-batas etno-regional dan mempercepat proses merakyatnya aliran-aliran baru di bidang agama. Tidak keliru untuk menjelaskan bahwa dalam abad XIX banyak pesantren sudah mempunyai dimensi nasional (Kartodirdjo 1984). Sebagai lembaga yang sangat tua, pesantren tidak hanya mengajarkan pengetahuan dasar tentang Islam, akan tetapi juga memberikan latihan dalam cara hidup dan cara berpikir orang Islam. Ketaatan yang mutlak kepada kyai, satu disiplin yang keras dalam kehidupan sehari-hari, persamaan, dan persaudaraan di kalangan para santri merupakan hal-hal yang esensial dalam kehidupan pesantren. Sesungguhnya, selama berlangsungnya pendidikan di pesantren, seringkali terjadi perubahan-perubahan fundamental dalam struktur kepribadian mereka. Namun, selama beberapa dasawarsa, di Banten terdapat peningkatan fanatisme di kalangan pesantren, dan satu sikap yang bermusuhan dan agresif ditanamkan pada diri para santri terhadap orang-orang asing dan kaum priyayi (pemerintah). Sikap fanatisme memandang rendah segala sesuatu yang tidak sesuai dengan Islam. Saat itu dianggap bahwa tiap pesantren secara potensial merupakan pusat sentimen anti-Eropa dan anti-priyayi. Konflik sosial yang terkandung secara inhern di dalam antagonisme religio-politik 100 seringkali terungkap secara terbuka dalam bentuk cemoohan yang terutama ditunjukan terhadap pejabat-pejabat Belanda dan kaum priyayi. Dengan sendirinya pejabat-pejabat menyadari sepenuhnya bagaimana rakyat memusuhi mereka, dan pemerintah kolonial tak bisa tidak akhirnya melihat bahwa pesantren merupakan alat pengendalian ideologis yang berguna dan bahwa pelajaran yang diberikan dijadikan alat kepentingan kaum elit agama. Oleh karena itu, segera setelah pemberontakan Cilegon dapat ditumpas, pemerintah mengambil langkah-langkah untuk menempatkan semua pesantren di bawah pengawasan resmi yang ketat. Satu tindakan yang lebih positif adalah mendirikan sekolah-sekolah sekular jenis baru tertentu, yang dimaksudkan untuk meluaskan pengaruh pemerintah kolonial dan untuk melawan pengaruh pesantren yang sangat besar. Tentunya, kaum elit agama sangat menentang penyebarluasan sistem-sistem pendidikan Barat, yang akan membatasi kemajuan Islam. Meskipun dalam perempat bagian terakhir abad XIX, penetrasi kebudayaan Barat belum mendalam, namun sangat dirasakan sebagai satu ancaman langsung terhadap kedudukan para kyai, dan dianggap sebagai soal “hidup dan mati”. Bagaimanapun, melalui pesantren dan tarekatnya, kyai dapat menguasai masyarakat desa dan dapat dengan mudah mengerakkan sumber-sumber material dan manusia kaum petani (Kartodirdjo 1984). Moderasi beragama dalam kebudayaan pesantren (kyai dan santri) menjelaskan bahwa kebudayaan merupakan hasil perkembangan cara hidup manusia. Kebudayaan tidak pernah statis, senantiasa berkembang. Begitu pun, dalam beragama selalu mengalami perkembangan. Apa yang dahulu dipandang pantas, sekarang mungkin tidak pantas. Sebaliknya, apa yang pada masa lalu tidak pantas, kini dianggap pantas. Apa yang dahulu konvensi, saat ini dianggap keanehan, tetapi apa yang dahulu aneh, malah kini dianggap konvensi. Gus Dur memberikan contoh bahwa ada daerah gelap di tengah kontradiksi-kontradiksi tersebut. Dalam pandangan Kyai Haji Yusuf Hasyim (1929-2007), putera terakhir Syaikhana Kyai Haji Hasyim Asy’ari, Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, generasinya merupakan “generasi sial”. Alasannya, generasi mereka sering “dipukuli” oleh orang tua mereka sendiri, disuruh macam-macam, namun kehendak mereka tidak pernah dituruti oleh para orang tua. Akan tetapi, dia sebagai orang tua 101 sekarang tidak berani melakukan hal yang sama terhadap anakanak mereka. Bahkan sialnya, anak-anak masa kini berani memukuli para orang tua. Dulu “dijajah” orang tua, sekarang “dijajah” anak-anak. Ketundukan kepada orang tua yang dahulu dianggap mutlak dan biasa, kini tidak dapat diterima begitu saja (Abdurrahman Wahid 2007). Sekarang, jika orang tua memukuli anak mereka, maka mereka bisa dituntut ke pengadilan, dan posisi mereka sebagai orang tua bisa dibatalkan. Bahkan, sang anak meminta agar orang tuanya diganti. Ini yang dalam pandangan Gus Dur, yang dahulu konvensional, sekarang tidak konvensional kembali. Sebaliknya, yang dahulu tidak konvensional, dewasa ini menjadi konvensional. Ini kebudayaan, selalu ada unsur-unsur yang menetap, akan tetapi dengan fluktuasi-fluktuasi tertentu dari zaman ke zaman. Semua ini membuat hidup manusia tidak pernah sesuai sepenuhnya dengan aturan-aturan normatif yang abadi atau diabadikan (Abdurrahman Wahid 2007). Tarik menarik antara kebudayaan dengan beragama sangat tampak di dalam Islam. Dalam penerapan i’tidal (adil) untuk pernikahan lebih dari satu, yang terdapat dalam surat an-Nisa’ ayat 3, seringkali dengan cara berpikir yang sederhana. Seorang lakilaki yang ingin menikah kembali cukup menghitung, apakah ia dapat membagi atau tidak, penghasilan dan ketersediaan waktunya secara adil. Cara seperti ini tidak dapat kembali dilakukan pada masa saat ini. Seorang Muslim modern yang ditanyai masalah ini akan menjawab bahwa cara hitung-hituangan seperti itu tidak dapat kembali dijadikan standar. Ukuran keadilan ditentukan oleh objek, dalam hal ini adalah perempuan, bukan laki-laki. Sebab, jika lakilaki menerapkan ukuran keadilan atas perempuan hanya dari sudut pandangnya belaka, betapa pun peralakuannya tidak adil. Karena itu, niscaya akan memandangnya sebagai adil dari laki-laki semata (Abdurrahman Wahid 2007). Pandangan baru mengeni keadilan seperti di atas sudah umum diterima di kalangan Muslim modern. Akan tetapi, mereka belum berani maju melangkah ke satu tahapan kembali, yakni menyelenggarakan plebisit. Sebab, jika keadilan ditentukan oleh objek hukum (dalam kasus pernikahan lebih dari satu, objek hukum adalah perempuan), maka sebagai konsekuensinya, plebisit sebaiknya ditiadakan. Atas dasar plebisit, undang-undang dapat 102 dibuat yang kelak akan mengatur ketentuan apakah menikah dengan perempuan lebih dari satu, yang kedua-duanya masih hidup, diperbolehkan atau tidak. Hal ini dahulu pernah diinginkan Habib Burguiba di Turki Ketika melarang poligami. Namun, mereka yang belum mengerti, termasuk kaum perempuan, dengan marah menentangnya. Mereka berpendapat bahwa larangan itu merupakan pelanggaran terhadap ketentuan al-Qur’an. Mereka tidak teliti bahwa ketentuan al-Qur’an sendiri membuka diri terhadap perubahan dengan mengatakan: “Kalau tidak dapat bersikap adil, cukup menikah satu kali”. Ketentuan ini mirip dengan undang-undang dasar di banyak negara yang mengatakan bahwa konstitusi itu bisa diubah melalui sebuah amandemen (Abdurrahman Wahid 2007). Dari penjelasan Gus Dur di atas, ketegangan-ketegangan beragama dan berbudaya akan terus menerus terjadi. Salah satu wajah ketegangan itu, upaya untuk menundukkan kebudayaan kepada agama melalui proses pemberian legitimasi (proses legitimasi) sebagai moderasi beragama. Legitimasi diberikan bukan sebagai alat penguat, akan tetapi sebagai alat pengerem. Proses ini berfungsi melakukan penyaringan (penyempitan) terhadap hal-hal yang dipandang sesuai atau bertentangan dengan aturan-aturan agama. Penyaringan ini bermakna yang “diperbolehkan” adalah yang memperoleh legitimasi, sedangkan yang di luar tidak diperbolehkan (Abdurrahman Wahid 2007). Yang jelas, gerakan-gerakan keagamaan memutuskan untuk mengemukaan pikiran-pikiran alternatif terhadap apa yang dijalankan oleh pemerintah, biasanya jarang sekali mereka mundur dari ketetapan mereka, walaupun besar risiko yang harus dihadapi dalam bentuk persekusi dan penindasan atas aspirasi mereka. Kasus para “pemimpin oposisi” Korea Selatan, seperti Kim Dae Jung, yang mendasarakan gerakan moral politis mereka atas keyakinan agama Nasrani dan para pemimpin partai keselamatan nasional di Turki, di bawah pimpinan Nejmedin Erbakan. Ketahanan seperti ini sudah terbukti sebelumnya, dan dalam perkembangannya di masa pembangunan mengambil bentuk perlawanan terhadap apa yang dirumuskan sebagai “penjajahan terselubung” oleh perusahaan-perusahaan multinasional, persekutuan-persekutuan militer dan sebagainya (Abdurahman Wahid 2000). 103 Ketetapan pendirian gerakan-gerakan alternatif yang berlandaskan pada “aspirasi keagamaan” itu datang dan tumbuh dari kemampuan merumuskan pemikiran mereka dari sumbersumber ajaran agama, sehingga apa pun yang mereka yakini memiliki dimensi keabadian perjuangan dan berlanggengan citacita. Pengorbanan yang harus diberikan hanya merupakan sebagian saja dari keseluruhan perjuangan yang tidak akan pernah berhenti. Kegagalan demi kegagalan hanya menjadi susunan bata yang akan membentuk gedung indah yang dicita-citakan, darah dan keringat yang tercurahkan adalah penyiram bagi tumbuhnya cita-cita itu sendiri. Konsep kesyahidan (martyrdom) mendudukkan akibat tindakan persekutif dan penindasan fisik dalam kerangka yang sama sekali berlainan dari apa yang dimaksudkan oleh aparat yang melaksanakan persekusi itu sendiri. Munculnya ketahanan luar biasa untuk terus menerus memperjuangkan aspirasi di hadapan segala macam kesulitan dalam intensitas sedemikian besar, sebagai studi yang praktis dicapai oleh setiap gerakan alternatif jika telah menemukan dirinya, membawa problem besar berupa “lingkaran setan” esklasi perlawanan versus “tindakan pengamanan pemerintah” di banyak negara yang sedang berkembang. Eskalasi dalam konflik antara gerakan keagamaan di satu pihak dan pemerintah di pihak lain, dengan bebannya yang sedemikian besar atas kelangsungan pembangunan, adalah persoalan dasar yang dihadapi oleh negara yang sedang berkembang pada umumnya (Abdurahman Wahid 2000). Tampak bahwa ada upaya untuk menutupi wujud persoalan dasar ini, dengan mengetengahkan berbagai “persoalan dasar” lain, seperti kesulitan sangat besar dalam mengubah sikap hidup tradisional, kecilnya kemampuan untuk segera mengembangkan sumber-sumber alam atas tenaga dan swakarsa sendiri, tidak tersedinya kelengkapan teknis untuk mendirikan infrastruktur sosial-ekonomi yang diperlukan dalam mutu dan lingkup yang cukup bagi kebutuhan pembangunan, dan seterusnya. Namun, masalah-masalah teknis seperti itu, sangat mendasarnya sekali pun, tidak memunculkan kerawanan situasi yang dibawakan oleh kesalahpahaman antara ideologi negara dan keyakinan agama yang muncul di sejumlah besar negara berkembang dalam kondisi saat ini. Bagaimana pun juga, akan sia-saia kecenderungan menutupi permasalahan sebenarnya, karena hanya akan menunda 104 penyelesaian persoalan sosial yang dahsyat sebagai “jalan penyelesaian”. Sikap menutup mata terhadap persoalan dasar di atas akan membuat konflik yang ditimbulkan tak terkendalikan lagi (unmanageable conflict) dalam jangka panjang (Abdurahman Wahid 2000). Dengan demikian, adanya keunggulan dan keterkemukaan budaya Banten, moderasi beragama dalam kebudayaan masyarakat Banten dipraktikkan sejak menghadapi kolonialisme Belanda yang menghasilkan pemberontokan petani. Pemaknaan moderasi beragama bagi masyarakat Banten, yakni berbuat adil dan mampu menengahi konflik yang berpotensi kekerasan dan peperangan. Saat ini di era kemerdekaan pesantren yang digerakkan oleh sejuta kyai dan seribu santri dalam gerakan tarekat melakukan moderasi beragama untuk tidak terlihat dalam gerakan Pan-Islamisme yang memberontak kepada pemerintahan yang sah. Sebaliknya, membumikan ajaran Islam untuk menegakkan keadilan, kesejahteraan sosial, dan perdamaian dunia. Daftar Pustaka Kartodirdjo, Sartono. 1984. Pemberontakan Petani Banten 1888. Vol. 1. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya. Permana, R. Cecep Eka. 2010. Kearifan Lokal Masyarakat Baduy Dalam Mitigasi Bencana. I. Jakarta: Wedatama Widya Sastra. Untoro, Heriyanti O. 2006. Kebesaran Dan Tragedi Kota Banten. Edited by Budianto. 1st ed. Jakarta: Yayasan Kota Kita. Wahid, Abdurahman. 2000. Prisma Pemikiran Gus Dur. Yogyakarta: LKiS Yogyakarta. Wahid, Abdurrahman. 2007. Islam Kosmopolitan: Nilai-Nilai Indonesia Dan Transformasi Kebudayaan. Edited by Agus Maftuh Abegebriel dan Ahmad Suaedy. Jakarta: The Wahid Institute. 105 106 107 DAFTAR KONTRIBUTOR 1. Dr. Masykur, M.Hum Pada tanggal 17 Juni 1976 tubuh dan jiwa manusia yang diberi nama Masykur Wahid dilahirkan di sebuah desa yang dikenal dengan nama Losari Lor, Losari, Cirebon. Pada tahun 1995, penulis nyantri di Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak sambil memperdalam ilmu filsafat di Jurusan Aqidah Filsafat IAIN (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Untuk memperdalam dan mempertajam kembali nalar-kritisnya, penulis hijarah ke Depok dan memilih Program Studi Ilmu Filsafat Departemen Filsafat Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI Depok Program Magister (2004) dan Program Doktoral (2015) dalam ilmu filsafat. Buku ini merupakan jejak penulis sebagai penebar kedamaian dan keharmonisan dalam hidup beragama. Ada beberapa karya yang telah ditulis oleh penulis, antara lain: Ulama Perempuan Banten: Dari Mekah, Pesantren, dan Majelis Taklim untuk Islam Nusantara (2017); Teori Interpretasi Paul Ricoeur (2015); Religious Conflict, Islam and Multiculturalism: Traces Domination, Hegemony and Freedom in Indonesia (2012); Sunda Wiwitan Baduy: Agama Penjaga Lindung di Desa Kanekes (2011); Agama, Etnisitas dan Radikalisme: Pluralitas Masyarakat Kota Sala (2007); dan From Traditionalist Being Revivalist Muslims: Story on the Members of NU Who Join HTI in Serang Banten (2006). Selain menulis, sejak tahun 2004 hingga kini penulis beraktivitas sehari-hari untuk berbagi ilmu filsafat bersama mahasiswa di UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten. 108 2. Dr. Ali Muhtarom, M.S.I. Lahir di Jepara pada tanggal 25 Mei 1980. Pendidikan dasar ditempuh hingga lulus di MI Miftahul Huda Jepara tahun 1994, jenjang pendidikan menengah MTs dan Madrasah Aliyah ditamatkan hingga lulus di Yayasan Madarijul Huda Kembang Dukuhseti Pati Jawa Tengah pada tahun 1998 (MTs) dan 2001 (MAK). Jenjang Sarjana (S1) di Institut Agama Islam Al-Aqidah Jakarta, Jurusan Pendidikan Islam pada tahun 2005. Memperoleh gelar Magister (S2) pada tahun 2008 dan gelar Doktor (S3) pada tahun 2018 bidang pendidikan Islam di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pada saat ini, penulis adalah dosen pada Prodi PAI Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten. Sebagai dosen di bidang Pendidikan Islam, penulis menekuni bidang kajian-kajian keislaman, terutama yang berhubungan dengan Pendidikan Islam. Beberapa tulisan karya ilmiah, baik buku maupun hasil riset telah diterbitkan, di antaranya buku terbaru yang berjudul Gerakan Keagamaan Islam Transnasional: Diskursus dan Kontestasi Wacana Islam Politik di Indonesia, (2019), “Ideologi dan Lembaga Pendidikan Islam Transnasional di Indonesia, 2019, angota tim penulis buku “Implementasi Moderasi Beragama dalam Pendidikan Islam” Direktorat Pendis Kemenag RI, 2019, dan tim riset penulisan “Trend Pemikiran Islam di Indonesia Pasca-Orde Baru: Kajian terhadap Literatur Terjemah Keislaman dan Konsumsinya di Kalangan Pemimpin Keagamaan Islam di Jawa Tengah dan Yogyakarta”, kerjasama Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan Lektur Khazanah Keagamaan dan Managemen Organisasi Kementerian Agama Republik Indonesia. Diantara jurnal yang dihasilkan adalah “Pembinaan Kesadaran Lingkungan Hidup di Pondok Pesantren: Studi Kasus di Pondok Pesantren Al-Mansur Darunnajah 3 Kabupaten Serang” terbit di Jurnal IBDA IAIN Purwokerto 2014, “The Study of Indonesian Moslem Responses on Salafy- Shia Transnational Islamic Education Institution” di Jurnal Ilmiah ISLAM FUTURA UIN ArRaniri Aceh tahun 2017. 109 3. Fitri Raya, M.Ek Lahir di Musi Rawas Sumatera Selatan pada tanggal 10 Agustus 32 tahun silam. Pendidikan Dasar di tempuh di kampung halaman yang terpencil di SD Negeri Muara Megang lulus tahun 1999, melanjutkan jenjang pendidikan MTs di Pondok Pesantren Riyadhus Sholihin Megang Sakti lulus tahun 2002, kemudian melanjutkan ke jenjang MA di Pondok Pesantren Mazro’illah Lubuk Linggau lulus tahun 2005. Setelah lulus MA merantau ke Yogyakarta melanjutkan Program profesi D1 dengan jurusan Manajemen Administrasi Rumah Sakit (hanya Ijazahnya hilang saat kejadian gempa Jogja tahun 2006). Karena belum mau pulang ke kampung akhirnya melanjutkan kuliah lagi S1 di Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga lulus tahun 2010. Belum puas dengan gelar Sarjana, penulis melanjutkan kuliah Pascasarjana Fakultas Ekonomi di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta tahun 2012. Setelah lulus S2, penulis lalu merantau ke Kota Palembang dan berkesempatan mengajar di sejumlah kampus sebagai Dosen Luar Biasa, yaitu di Fakultas Ekonomi Universitas Indo Global Mandiri (UIGM) Palembang dan di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Raden Fatah Palembang. Pada tahun 2015, penulis hijrah ke Jakarta. Di Ibu Kota penulis kembali dipercaya menjadi Dosen di Program Studi Akuntansi Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) Jakarta. Lalu pada awal 2019, penulis kembali hijrah ke Kota Serang setelah diterima menjadi Pegawai Negeri Sipil di UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten. Di sela mengajar, penulis juga akti menjadi Pengurus Pusat Fatayat NU bidang Ekonomi hingga saat ini dan Anggota Rumah Moderasi UIN SMH Banten. Berikut karya ilmiah terbaru penulis yang sudah dipublikasikan: “Ujian Solidaritas dan Spiritualitas di Tengah Pandemi”, portal media Radarbangsa.com, 30 Maret 2020, “Keuangan Syariah & Realitas Masyarakat: Babak Baru Sistem Perbankan Syariah di Indonesia”, Jurnal Az-Zarqa', Vol. 12, No. 1 Juni 2020. 110 111