2
MENANAM KEMBALI MODERASI BERAGAMA
UNTUK MERAJUT KEBHINEKAAN BANGSA
Penulis
Masykur, Ali Muhtarom, Fitri Raya
Pusat Pengabdian kepada Masyarakat LP2M
UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten
Tahun 2020
3
4
KATA PENGANTAR
Fundamentalisme keberagamaan yang berpotensi pada radikalisme
dan terorisme beragama, menjadi persoalan serius yang dihadapi
bangsa ini. Fenomena ini terjadi disebabkan kemunculan tokoh
agama dan intelektual yang instan, pragmatis, silsilah dan kapasitas
keilmuan keagamaan yang tidak jelas dan berorientasi pada politik
ideologi, bahkan memiliki pengaruh massa yang luar biasa melalui
jejaring media sosial.1 Konten dan video melalui internet (website,
youtube) dan media sosial (whatsapp, facebook, instagram, twitter)
telah menjadikan tokoh-tokoh agama baru itu sebagai rujukan bagi
keberagamaan masyarakat Indonesia. Ironisnya, tidak jarang
konten narasi dan video keagamaan yang beredar berisi ujaran
kebencian (hate speech), berita bohong (hoax), dan sentimensentimen politik identitas, semisal fanatisme agama, suku, agma,
ras dan antargolongan, yang bisa mengancam keutuhan bangunan
kebangsaan yang sudah disepakati bersama oleh founding fathers
dan founding mothers bangsa ini.
Kompleksitas kehidupan beragama saat ini menghadapi
tantangan dan perubahan yang sangat ekstrem berbeda dengan
masa-masa sebelumnya karena dunia 4.0 sebagai era disrupsi,
sehingga disrupsi keberagamaan pun tak bisa dihindari. Diperparah
dengan pandemi Corona Virus Disease (COVID)-19 yang telah
mengorbankan ribuan jiwa (2.429) di Indonesia, bahkan ratusan
ribu (456.973) jiwa manusia di dunia (20/06/2020, Satgas
Covid19.go.id). Suka atau tidak, era disrupsi digital memang
mendorong lahirnya kompleksitas masyarakat dalam beragama.
Akibat kedangkalan memahami sumber pengetahuan keagamaan,
ada yang memahami ayat-ayat suci secara tekstual dan disertai
1
Sebagaimana dijelaskan bahwa “menurut Nasir, pegawai dan dosen di
perguruan tinggi negeri (PTN) yang terlibat HTI itu melanggar PP 53 tahun 2010
tentang disiplin pegawai negeri sipil (PNS). Dalam peraturan tersebut, kata dia,
PNS harus menyatakan diri setia terhadap Pancasila dan UUD 1945. Lihat
https://regional.kompas.com/read/2017/07/22/16505881/menristekdiktiberipilihan-kepada-dosen-dan-pegawai-ptn-anggota-hti?page=all.,
diunduh
pada tanggal 20 Juni 2020.A
5
fanatisme keagamaan, sehingga mengarah pada ekslusivisme,
ekstremisme, bahkan terorisme dalam kehidupan beragama. Ada
yang kebablasan menafsirkan isi kitab suci sampai tidak bisa
membedakan antara ayat Tuhan dan yang bukan. Ada pula yang
mempermainkan pesanpesan Tuhan menjadi pesan pribadi yang
sarat kepentingan. Semua persimpangan itu rentan menciptakan
konflik yang dapat mengoyak keharmonisan kehidupan bersama.
Pada positiong itu, moderasi beragama tak lagi sekadar wajib, akan
tetapi sudah menjadi kebutuhan untuk diimplementasikan demi
kehidupan beragama yang lebih baik.
Di era disrupsi new normal pengembangan literasi
keagamaan yang mengandung nilai-nilai moderasi sangat
mendesak dilakukan untuk mengimbangi konservatisme berbasis
media sosial. Mengapa? Karena, saat ini faktor-faktor yang dapat
menyumbang tumbuh suburnya pemahaman keagamaan yang
sempit semakin kompleks, bukan saja muncul dari lingkungan
keluarga, pertemanan, atau pelajaran sekolah, melainkan juga yang
tak terbendung dari informasi yang tersebar di belantara internet.
Oleh karenanya, di era ini setiap orang perlu memikirkan kembali
praktik beragama yang selama ini dianutnya. Kebiasaan lama yang
sudah menjadi habitus tertantang kembali dengan adanya tatanan
kebiasaan baru. Keberagamaan (religiosity) kita perlu
dikembalikan pada fundamen sebagai guide spiritualitas dan
moralitas, bukan hanya sekadar pada sisi ritual formalistik.
Sejak tahun 2019 sebagai leading sector, Kementerian
Agama menebarkan cara pandang, sikap dan perilaku umat
beragama yang wasathiyyah (moderat) dalam relung kehidupan
berbangsa dan bernegara.2 Moderasi beragama adalah cara
pandang, sikap dan perilaku kita dalam beragama secara moderat,
yakni memahami dan mengamalkan ajaran agama dengan tidak
ekstrem, baik ekstrem kanan maupun ekstrem kiri. Ekstremisme,
radikalisme, ujaran kebencian, hingga retaknya hubungan
antarumat beragama, merupakan problem yang dihadapi oleh
bangsa Indonesia saat ini. Program pengarusutamaan moderasi
2
Lihat Kementerian Agama RI, Moderasi Beragama, Cet. I, Jakarta: Balitbang
dan Diklat Kementerian Agama RI, 2019; dan Kementerian Agama RI, Tanya
Jawab Moderasi Beragama, Cet. I, Jakarta: Balitbang dan Diklat Kementerian
Agama RI, 2019.
6
beragama ini sangat penting. Bahkan, menjadi sebuah solusi untuk
menciptakan kehidupan beragama yang damai dan rukun di
Indonesia. Moderasi beragama merupakan fokus utama Kemenag
RI untuk melawan radikalisme dan ekstremisme. Dimulai dari unit
terkecil, yakni bilik keluarga, bimbingan perkawinan, dan
merambah ke unit pendidikan, perkantoran, pemerintahan, sampai
moderasi beragama dalam konteks berbangsa dan bernegara.
Ikhtiar sosialisasi moderasi beragama dilakukan Kemenag, yaitu
menyiapkan instruktur nasional moderasi beragama melalui
Pendidikan Instruktur Nasional Moderasi Beragama (PINMB) di
Ciputat, Tangerang, Banten. Acara itu diikuti para dosen dan
mahasiswa Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN)
seluruh Indonesia ini berlangsung empat hari, 27-31 Desember
2019. Untuk itu, kegiatan penyusunan buku ini sebagai tindak
lanjut yang harus dilakukan dalam dharma pengabdian kepada
masyarakat.
Dengan demikian, Gerakan Moderasi Beragama di PTKIN
bertujuan untuk menempuh jalur edukatif dalam memerangi
peredaran konten-konten negatif di media sosial melalui
pemberdayaan literasi masyarakat terkait informasi dan wacana
keagamaan di ruang publik. Kegiatan yang digagas oleh Pusat
Pengabdian kepada Masyarakat LP2M UIN SMH Banten yang
berkolaborasi dengan Rumah Moderasi Beragama ini bertujuan
untuk membekali para dosen dan mahasiswa dengan pengetahuan
sosial mutakhir dan urgensi penyebaran pemahaman keberagamaan
yang moderat, meningkatkan kemampuan dan keterampilan
masyarakat dalam pemanfaatan teknologi digital dalam dakwah
keagamaan, dan menerbitkan tulisan-tulisan dan jurnal ilmiah
terkait relasi agama dan kebhinekaan yang mencerahkan bagi
bangsa Indonesia.
7
8
MODERASI BERAGAMA DALAM PRIBUMISASI
PENDIDIKAN ISLAM
Oleh Ali Muhtarom
Dosen UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten
Pendahuluan
Moderasi beragama menjadi salah satu program yang
diprioritaskan pemerintah untuk membangun kehidupan beragama
yang harmonis dalam kehidupan berbangsa dan bernagara.3 Moderasi
beragama memiliki peran penting di dalam mengelola kemajmukan
bangsa yang beragam dan multikultural. Dalam konteks ini, moderasi
beragama memiliki tujuan untuk mengakomodir perbedaan melalui
sikap dan ekspresi keagamaan yang menjunjung tinggi nilai toleransi
dan persamaan dalam melestarikan nilai-nilai budaya bangsa.
Internalisasi dan pengembangan nilai tersebut saat ini juga menjadi
bagian penting yang dikembangkan oleh institusi pendidikan Islam,
baik dilihat dari penguatan kelembagaan, kegiatan, dan pemikiran
keislamannya.
Meskipun demikian, penguatan dan pengembangan moderasi
beragama tidak sepenuhnya imun dari berbagai tantangan yang sangat
kompleks, terutama dari munculnya pemahaman keagamaan yang
ekstrem, baik yang lebih condong ke arah kiri maupun yang lebih
condong ke arah kanan. Moderasi beragama memfokuskan pada
kajian keagamaan melalui pendekatan kontekstual yang dibangun dari
3
Keseriusan pemerintah tersebut bisa dilihat, diantaranya dari peran
Kementerian Agama Republik Indonesia melalui Direktorat Jenderal Pendidikan
Islam yang telah mengeluarkan kebijakan dalam Renstra 2015-2019 yang kemudian
kebijakan tersebut dikembangkan dalam RPJMN 2020-2024. Melalui kebijakan
tersebut kemudian dibentuk kelompok kerja Implementasi Moderasi Beragama
(Pokja IMA) yang secara khusus melakukan penguatan dan pengembangan moderasi
beragama di tingkat institusi pendidikan Islam. Penjelasan secara lebih mendalam
mengenai hal ini bisa dibaca dalam buku panduan Implementasi Moderasi Beragama
Direktorat Pendis Kemenag RI. Pokja IMA, Implementasi Moderasi Beragama
dalam Pendidikan Islam, (Jakarta: Kelompok Kerja Implementasi Moderasi
Beragama Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama Republik
Indonesia Bekerjasama dengan Lembaga Daulat Bangsa, 2019), 27.
9
kerangka pemahaman keagamaan yang tidak semata-mata bersifat
doktriner dan kaku, namun juga mengakomodir realitas historis yang
melingkupi keberadaan agama tersebut. Meminjam istilah A. Mukti
Ali, pemahaman tersebut harus selaras dengan pendekatan yang
bersifat scientific cum-doctriner4, tidak cenderung tekstualis dan tidak
cenderung sekuler. Artinya, dalam kajian keagamaan dibangun dari
paradigma normatif beradasarkan sumber ajaran agama secara
tekstualis, namun pada saat yang sama juga dibangun melalui
paradigma historis yang tidak bisa dilepaskan dari realitas sosial.
Melalui kerangka pemahaman ini diharapkan akan terjalin
harmonisasi pemahaman keagamaan yang seimbang dengan identitas
kebudayaan lokal yang menjadi karakteristik dan identitas bangsa
Indonesia. Nilai-nilai keagamaan yang mengarah pada sikap toleransi
(tasāmuh), tengah-tengah (tawasuth), dan berkesimbangan (tawāzun)
sebagai prinsip moderasi beragama perlu dikembangkan secara
intensip dalam masyarakat karena realitas pemahaman keagamaaan
yang muncul pada saat ini masih cenderung mengarah pada corak
konservatif, bukan corak yang moderat. Dalam konteks kebangsaan,
meningkatnya corak paham keagamaan konservatif tersebut menjadi
tantangan tersendiri bagi terwujudnya kehidupan berbangsa yang
rukun dan harmonis.
Moderasi Beragama, Pendidikan Islam dan Tantangan Identitas
Kebangsaan
Dalam ranah akademik, terutama dalam pendidikan Islam
diskursus pemikiran keislaman dan moderasi beragama dalam
hubungannya dengan identitas kebangsaan secara terus menerus
mengalami perkembangan. Melalui cara pandang keagamaan yang
beragam, sebagian umat Islam di Indonesia tidak hanya terlibat dalam
pergulatan mengenai tafsir otentitisitas keislaman, namun sebagian
4
A. Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini (Jakarta: Rajawali,
1987), 322-323. Lihat juga A. Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia,
cet. IX (Bandung: Mizan, 1997), 79.
10
dari mereka juga terlibat dalam narasi Islam politik5 yang
mengakibatkan munculnya sikap mengambang terhadap identitas dan
ideologi kebangsaan.6 Dalam konteks pendidikan Islam, perbedaan
cara pandang mengenai pemahaman keagamaan selama ini masih
menyisakan catatan tersendiri. Pendidikan Islam masih dihadapkan
pada persoalan mendasar tentang problem pemahaman keislaman
yang cenderung dualisme, di mana antara keislaman dan kebangsaan
belum sepenuhnya mampu diintegrasikan melalui nalar keislaman
yang lebih kritis.7 Dari pemahaman keislaman yang bersifat dikotomis
tersebut akan memunculkan segregasi dengan realitas kebangsaan
yang dikhawatirkan akan menggerus nilai-nilai substantif pendidikan
yang berkarakter Islam Indonesia.
Sebagian pakar mengatakan bahwa kondisi tersebut muncul
karena pendidikan Islam masih terjebak dalam sekterianisme
pemikiran dan mazhab yang menyebabkan pendidikan Islam belum
memiliki identitas yang mapan. “Sistem nilai Islam yang seharusnya
diterapkan dalam pendidikan Islam masih terjebak dan sangat
dipengaruhi oleh sekterianisme yang disebabkan adanya faktor
pemikiran dari mazhab-mazhab Islam”.8 Tantangan tersebut pada
perkembangan selanjutnya tidak menutup kemungkinan akan
memunculkan efek persaingan yang mengarah pada kemunduran
wacana keislaman, di mana satu kelompok dengan kelompok lainnya
dimungkinkan merasa paling unggul, baik dalam pemahaman
keislaman, ketersediaan fasilitas, komunitas, maupun akses berbagai
jaringan yang dimiliki.
5
Mengenai penjelasan tentang Islam politik bisa dibaca secara lebih
mendetail dalam, Noorhadi Hasan, Islam Politik di Dunia Kontemporer: Konsep,
Genealogi, dan Teori, (Yogyakarta: Suka Press, 2012).
6
Moch. Nur Ichwan. “MUI Gerakan Islamis, dan Umat Mengambang, dalam
Maarif, vol.11, No-2 edisi (Desember 2016), 87-104. Baca juga Moch. Nur Ichwan,
“Towards a Puritanical Moderate Islam: The Majelis Ulama Indonesia and the
Politics of Religious Orthodoxy,” in Martin Van Bruinessen (Ed.), Contemporary
Developments in Indonesian Islam: Explaining the ‘Conservative Turn, Singapore:
ISEAS, 2013, 60-104.
7
M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan
Integratif-Interkonektif. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010).
8
Muhaimin. Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam.
(Jakarta: Rajawali Press, 2011), 2.
11
Dalam praktiknya, berbagai institusi pendidikan Islam yang
berkembang tersebut paling menyolok pada upaya ingin menunjukkan
identitasnya masing-masing. Pendidikan Islam di Indonesia selalu
beridentitas pada organisasi keagaman dan ideologi. Tidak menutup
kemungkinan upaya saling bersaing terkadang juga lebih melibatkan
pada ego kelompok dengan politik identitasnya masing-masing
daripada membangun keberagaman yang mengharmoni. Seperti yang
disampaikan oleh Arief Subhan bahwa secara kelembagaan terdapat
banyak tipe pendidikan Islam di Indonesia, seperti tipe
Muhammadiyah, tipe Kementerian Agama, tipe Nahdlatul Ulama, tipe
Salafi9 dan juga tipe pendidikan Syiah. Apakah dari munculnya
perbedaan pemahaman keagamaan tersebut akan terus menerus
menjadi problem, atau sebaliknya menjadi kekayaan bagi
pengembangan khazanah pemikiran dalam pendidikan Islam. Inilah
yang menjadi tantangan bagi pendidikan Islam, terutama ketika
dikaitkan dengan cara pandang terhadap kebudayaan dan kebangsaan
Indonesia.
Ditilik dari akar historis mengenai tafsir keislaman dan
hubungannya dengan kebudayaan dan kebangsaan, perbedaan tersebut
justru mengarah pada bentuk keagamaan yang diekspresikan dalam
tindakan konservatif. Dalam merespon hubungan dengan budaya dan
identitas kebangsaan, sebagian kelompok yang cenderung konservatif
ini semakin tidak mampu menunjukkan eksprsi keagamaanya yang
akomodatif dengan budaya dan nilai-nilai asli bangsa Indonesa. Pada
saat yang sama, semangat konservatisme keislaman yang semakin
menguat tersebut kemudian dikhawatirkan akan memudarkan rasa
cinta terhadap tanah air dan bangsa.
Kecurigaan yang berlebihan terhadap pengembangan moderasi
beragama dari sebagian kelompok muslim ini karena moderasi
beragama dicurigai sebagai agenda asing untuk meminggirkan
kemurnian dan kekuatan Islam, sehingga narasi dan anggapan tersebut
perlu diluruskan. Moderasi beragama dalam konteks ini lebih
mengarah pada bagaimana memberikan pemahaman keagamaan
9
Arief Subhan, Lembaga Pendidikan Islam Indonesia Abad ke-20:
Pergumulan antara Modernisasi dan Identitas. (Jakarta: Kencana, 2012), 8-9.
12
secara lebih terbuka dan mau menerima berbagai perbedaan yang
terjadi baik dari aspek yang berhubungan dengan perbedaan
keyakinan, perbedaan pemahaman keagamaan, hingga aspek yang
berhubungan dengan kebangsaan dan dasar negara. Kondisi ini perlu
dipahami secara lebih mendalam karena, pada satu sisi bahwa paham
keislaman merupakan doktrin yang menjadi dasar dari pilihan
keyakinan, namun pada sisi yang lain ketika paham tersebut tidak
akomodatif dengan realitas lokal juga akan mengarah pada
disharmonisasi dengan identitas kebangsaan. Konsekuensinya, baik
dari aspek budaya maupun sosio-politik, pengaruh paham keagamaan
tersebut kemudian memunculkan paham dikotomis antara semangat
menjaga kemurnian ajaran dan kebangkitan Islam, di mana ketika
kondisi pemahaman keagamaan ini tidak diletakkan dalam posisi
seimbang akan memunculkan dilema terhadap identitas budaya dan
ideologi kebangsaan.
Kemunculan pemahaman dikotomis ini yang kemudian ingin
dijembatani oleh pemahaman keagamaan yang moderat melalui
pendekatan moderasi beragama dalam bingkai pribumisasi Islam.
Dalam konteks ini, upaya penguatan dan pengembangan moderasi
beragama menjadi sangat penting dilakukan. Pendidikan Islam
memiliki peran penting dalam menjawab problematika tersebut,
terutama dinamika sosial keagamaan yang hingga saat masih terjadi di
tengah masyarakat. Untuk itu, poin penting dalam tulisan ini
diarahkan untuk mendiskusikan tentang bagaimana moderasi
beragama, selain bisa digunakan sebagai pendekatan dalam
pemahaman keagamaan, juga digunakan sebagai cara untuk
menyikapi berbagai perbedaan dalam konteks mengharmonisasikan
hubungan pemahaman keagamaan dengan identitas kebangsaan
melalui konsep pribumisasi pendidikan Islam. Selain itu, tulisan ini
juga mendiskusikan beberapa tantangan dan masa depan praktik
moderasi beragama dalam pendidikan Islam.
13
Moderasi Beragama sebagai Pendekatan dalam Studi
Keagamaan Islam
Kajian mengenai moderasi beragama memiliki hubungan yang
tidak bisa dipisahkan dari cara memahami ajaran agama, bukan
dimaknai sebagai upaya memoderasi ajaran agama. Pemahaman ini
penting diulas secara lebih mendalam supaya tidak mengandung bias
pemaknaan. Agama sebagai sistem keyakinan sudah pasti
mengandung nilai moderatisme, namun pemahaman keagamaan yang
diekspresikan oleh masing-masing pemeluknya, inilah yang kemudian
memunculkan diskusi yang belum kunjung berakhir hingga saat ini.
Secara lebih khusus bisa dimaknai bahwa antara agama dan paham
keagamaan perlu dipahami secara berbeda dan proporsional. Paham
keagamaan merupakan paham atau aliran yang merupakan hasil olah
pikir manusia berkaitan dengan interpretasi dan pengamalan teks-teks
agama yang bersumber dari kitab suci. Tidak bisa dipungkiri bahwa
interpretasi dari teks-teks agama tersebut dipahami secara berbeda
oleh masing-masing individu atau kelompok melalui cara pandang
yang berbeda.
Problem mendasar dari kesenjangan tersebut ketika dikaitkan
dengan konsep moderasi beragama terletak pada kecenderungan
pemikiran yang abstrak oleh sebagian masyarakat, termasuk umat
Islam dalam memahami agama. Sebagian dari mereka ada yang
memahami moderasi beragama dalam narasi yang kaku dan sangat
skripturalis. Antara agama dan paham keagamaan dicampuradukkan
dalam bingkai dogmatis dengan upaya mendasarkan pada dalil-dalil
agama yang sebenarnya secara subtantif menjunjung tinggi nilai
moderatisme, namun dalam kecenderungannya mengarah pada
keengganan menerima moderasi beragama. Kondisi tersebut karena
agama tidak dipahami dari substansi ajarannya yang menjunjung nilainilai universal seperti keadilan, kasih sayang, toleransi, demokrasi,
persaudaraan, hak asasi manusia, dan persatuan. Dalam istilah lain
bisa dikatakan bahwa ekspresi pemahaman keagamaan tersebut, di
samping lebih mengarah pada keengganan untuk memahami realitas
keagamaan dalam konteks kebangsaan, kelompok tersebut juga tidak
14
memiliki orientasi pada pemahaman keagamaan yang terbuka dan
progresif.
Dilihat dari perspektif perbedaan interpretasi sebagaimana telah
disebutkan, wajar ketika fenomena perilaku keagamaan menjadi topik
penting dalam berbagai kajian, baik dalam bentuk diskusi maupun
dalam bentuk riset keagamaan. Berbagai kajian tersebut secara
empiris telah memunculkan corak pemahaman yang beragam. Pada
saat tertentu corak pemahaman yang dimunculkan dalam bentuk
ekspresi keagamaan tersebut mengarah pada bentuk konservatif,
eksklusif, dan bahkan radikal. Sedangkan bentuk pemahaman
keagamaan yang moderat bisa dilihat dari ekspresi keagamaannya
yang inklusif dan terbuka dalam menerima perbedaan. Hal ini tentu
saja tidak bisa dipisahkan dari kedalaman dan keluasan tingkat
pemahaman terhadap agama yang dimiliki oleh masing-masing dari
pemeluk agama tersebut.
Moderasi beragama hadir dari sikap keagamaan yang
mengedepankan keseimbangan karena menjunjung tinggi nilai-nilai
keragaman dalam menciptakan hubungan yang harmonis di tengah
kehidupan berbangsa dan bernegara. Moderasi beragama tidak
condong kepada pemikiran yang liberal atau yang sering disebut
sebagai kelompok kiri. Paham liberal ini tidak sejalan dengan prinsip
moderasi beragama karena dalam menafsirkan agama lebih mengarah
pada upaya menjauhkan doktrin dan ajaran agama itu sendiri.
Moderasi beragama juga tidak condong pada penafsiran keagamaan
yang terlalu konservatif atau yang sering disebut sebagai kelompok
ekstrem kanan. Pemahaman keagamaan yang cenderung hitam putih
ini juga bukan moderasi beragama karena mengandung unsur
pemaksaan dan merasa paling benar dengan cara resisten terhadap
individu atau kelompok lain yang berbeda. Dengan demikian
pemahaman tentang moderasi beragama berarti mendudukkan ajaran
agama yang seimbang dan adil. Secara tegas dikatakan di sini bahwa
moderasi beragama bukan berada dalam posisi yang serba berlebihan.
Sikap moderasi beragama memilih untuk konsisten dalam
memegang prinsip-prinsip keagamaan tanpa terjebak dalam kotak
liberalisme kiri maupun kotak ekstremisme kanan. Dengan demikian,
15
moderasi beragama memiliki pengertian seimbang dalam memahami
ajaran agama, di mana sikap seimbang tersebut diekspresikan secara
konsisten dalam memegangi prinsip ajaran agamanya dengan
mengakui keberadaan pihak lain. Perilaku moderasi beragama
menunjukkan sikap toleran, menghormati atas setiap perbedaan
pendapat, menghargai kemajemukan, dan tidak memaksakan
kehendak atas nama paham keagamaan dengan cara kekerasan.10
Dalam konteks keislaman, moderasi beragama sering
dipadankan dengan Islam wasathiyah. Secara bahasa, Ash-Salibi dan
Ibnu
Manzur
telah
menjejelaskan
bahwa
pengertian wasathiyyah mengarah pada makna adil, utama, pilihan
atau terbaik, dan seimbang antara dua posisi yang berseberangan.11
Secara akademik, Islam wasathiyyah juga disebut justly-balanced
Islam, the middle path atau the middle way Islam, dan Islam sebagai
mediating and balancing power untuk memainkan peran mediasi dan
pengimbang. Pemaknaan ini menunjukkan bahwa Islam wasathiyah
mengedepankan pentingnya keadilan dan keseimbangan serta jalan
tengah agar tidak terjebak pada sikap keagamaan ekstrem. Selama ini,
konsep Islam wasathiyyah dipahami untuk merefleksikan prinsip
tawassuth (tengah), tasāmuh (toleran), tawāzun (seimbang), i'tidāl
(adil), dan iqtishād (sederhana).
Dalam buku yang berjudul “Qadāyā al-Fiqh wa al-Fikr alMu’āshir”, Wahbah az-Zuhaili berpendapat bahwa moderasilah yang
paling mungkin membawa stabilitas dan ketenangan, yang akan
sangat membantu kesejahteraan individu dan masyarakat. Hal ini
dikarenakan wasathiyyah merupakan wujud dari esensi kehormatan
moral dan kemuliaan Islam.12 Pada saat yang sama, Yusuf Al-Qardawi
menjelaskan, wasathiyyah sama dengan at-tawāzun, yaitu upaya
untuk menjaga keseimbangan antara dua sisi/ujung/pinggir yang
10
Pokja IMA Dirjen Pendi Kemenag , Implementasi Moderasi Beragama
dalam Pendidikan Islam, 6.
11
Abu al-Husain Ahmad Ibn Faris. Mu’jam Maqayis al-Lughah, (Beirut:
Daar al-Fikr, 1399/1979), VI : 108, Ibnu Manzur, Lisan al-‘Arab, cet. ke-1, (Beirut:
Dar as-Sadir , t.th, VII.: 2001)
12
Wahbah Az-Zuhaili. Qadāyā al-Fiqh wa al-Fikr al-Mu’āshir, (Beirut ; Dar
al-Fikr, 2006), 583
16
berlawanan atau bertolak-belakang, agar jangan sampai yang satu
mendominasi dan menegasikan yang lain. Sebagai contoh dua sisi
yang bertolak belakang; spiritualisme dan materialisme,
individualisme dan sosialisme, paham yang realistik dan yang idealis,
dan lainnya. Bersikap seimbang yang perlu dimunculkan yaitu dengan
memberi porsi yang adil dan proporsional kepada masing-masing
sisi/pihak tanpa berlebihan, baik karena terlalu banyak maupun terlalu
sedikit.13
Adapun pengertian wasathiyyah menurut terminologi Islam,
yang bersandarkan kepada sumber-sumber otoritatifnya, secara
terperinci dijelaskan Yusuf Al-Qardawi sebagai sebuah sikap yang
mengandung pengertian keadilan sebagai konsekuensi diterimanya
kesaksian seorang saksi berdasarkan Q.S. al-Baqarah [2]: 143.
۟ ُطا ِلتَ ُكون
ً س
ُ وا
سو ُل
ُ ٱلر
َّ َاس َو َي ُكون
ِ علَى ٱل َّن
َ ش َهدَآ َء
َ َو َك َٰذَلِكَ َج َع ْل َٰ َن ُك ْم أ ُ َّمةً َو
علَ ْي َها ٓ ِإ ََّّل ِل َن ْعلَ َم َمن َيتَّ ِب ُع
َ علَ ْي ُك ْم
َ َش ِهيدًا ۗ َو َما َج َع ْلنَا ْٱل ِق ْبلَةَ ٱلَّ ِتى ُكنت
َ
ْ ع ِق َب ْي ِه ۚ َوإِن َكان
َعلَى ٱلَّذِين
ُ سو َل ِم َّمن َينقَ ِل
ُ ٱلر
َّ
َ يرة ً إِ ََّّل
َ علَ َٰى
َ ب
َ َت لَ َك ِب
َّ َهدَى
َّ ُضي َع ِإي َٰ َم َن ُك ْم ۚ ِإ َّن
َّ َٱَّللُ ۗ َو َما َكان
وف َّر ِحي ٌم
ٌ اس لَ َر ُء
ِ ٱَّللَ ِبٱل َّن
ِ ٱَّللُ ِلي
Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat
yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan)
manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan)
kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu
(sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa
yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh
(pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang
yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyianyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang kepada manusia.
Oleh karena itu, hal yang paling mendasar dan perlu
diperhatikan dalam pemahaman moderasi beragama, termasuk di
Yusuf Al-Qardawi. Al-Khasā`is al-‘Ammah li al- Islām, (Bairut:
Mu’assasah ar Risalah 1983), 127.
13
17
dalamnya agama Islam adalah penerapan nilai-nilai keagamaan yang
mengambil jalan tengah (tawassuth), toleran (tasāmuh), dan seimbang
(tawāzun) yang diekspresikan melalui sikap keagamaan: pertama,
tidak bersikap ekstrem dalam menyebarluaskan ajaran agama. Kedua,
tidak mudah mengafirkan sesama muslim karena perbedaan tafsir
pemahaman agama. Ketiga, memposisikan diri dalam kehidupan
bermasyarakat dengan senantiasa memegang teguh prinsip
persaudaraan (ukhuwah) dan toleransi (tasāmuh), hidup
berdampingan dengan sesama umat Islam maupun warga negara yang
memeluk agama lain.14
Pribumisasi Islam dan Pengalaman Moderasi Beragama di Bumi
Nusantara
Seluruh umat Islam sepakat bahwa Alquran dan Hadis merupakan
pedoman dalam menjalankan ajaran Islam. Namun, permasalahan
akan muncul ketika Islam menyebar ke berbagai wilayah di dunia
melalui persentuhannya dengan berbagai kebudayaan dan tradisi
setempat yang tidak mungkin untuk dihindari. Persebaran Islam telah
melewati tradisi-tradisi kultural dan rentang sejarah yang panjang
sehingga otentisitasnya sulit untuk dideteksi.15 Kehadiran Islam di
Indonesia yang saat ini menjadi agama mayoritas, sulit untuk
disangkal apabila tidak melibatkan dialog yang intensif dengan
beragam tradisi dan tata nilai lokal yang lebih dahulu tumbuh dan
dianut oleh masyarakat Indonesia.
Ditinjau dalam perspektif akademik bahwa kajian moderasi
beragama, terutama mengenai konsep moderasi Islam memiliki
banyak legitimasi baik secara historis, sosiologis, yuridis, maupun
legitimasi yang bersumber dari ajaran Islam. Pertama, legitimasi
historis. Sejauh terkait penyebaran agama Islam di Indonesia
penggunaan kekerasan hampir tidak ditemukan sebagai cara untuk
14
Pokja IMA Dirjen Pendi Kemenag, Implementasi Moderasi Beragama
dalam Pendidikan Islam, 10-13.
15
Zainul Milal Bizawie, “Islam di Indonesia: Mendialogkan Tradisi,
Rekonsiliasi Kultural”, dalam Epilog Buku Silang Budaya Islam – Melayu:
Dinamika Masyarakat Melayu Jambi, karya Pahmi, (Jakarta: Compas, 2017), 241
18
menambah pemeluk baru. Demikian pula dalam menjalankan ajaran
agama, cara yang banyak diikuti adalah yang jauh dari sikap ekstrem.
Semua itu dapat dibuktikan dengan keragaman kelompok keagamaan
di semua agama. Ini menunujkkan bahwa sejak semula moderasi
sesungguhnya merupakan sikap bawaan masyarakat Indonesia dalam
beragama, khususnya moderasi Islam. Dengan demikian, legitimasi
bagi konsep moderasi Islam berasal dari realitas historis bahwa ajaran
keislaman yang berkembang di Indonesia selalu memiliki warna
kultural setempat, menjadi Jawa, Minagkabau, Sunda, Bugis, Banjar
dan seterusnya. Semua ekspresi keislaman tersebut menunjukkan
moderasi, mencari bentuk paling mungkin dan paling bagus dalam
pertemuan antara Islam dengan budaya setempat.
Kedua adalah realitas sosiologis. Masyarakat Indonesia yang
plural menuntut cara beragama yang mempertimbangkan kehadiran
dan adanya yang lain yang berbeda (the other). Berislam di Indonesia,
sebab itu menuntut kesadaran penuh bahwa warga Indonesia memiliki
pandangan-pandangan religious, etnis, dan agama yang berbeda.
Artinya, umat Islam saat ini mesti memiliki kesadaran kebangsaan
yang baik, melebihi generasi sebelumnya.
Ketiga adalah kesepakatan para pendiri bangsa dalam proses
sejarah terbentuknya nkri. NKRI bukanlah negara agama, tetapi
negara yang menjamin kebebasan menjalankan ajaran-ajaran agama.
Secara yuridis hal ini tercantum dalam pasal 29 UUD 1945 tentang
kebebasan beragama, Negara berdasar atas ketuhanan yang maha esa
2, negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan
kepercayaannya itu. Jaminan itu berarti bahwa negara memastikan
tidak ada yang boleh memaksakan pemahaman agamanya di ranah
publik yang menganggu kebebasan penganut agama lain.
Keempat, legitimasi yang bersumber dari ajaran Islam itu sendiri
beserta contoh perilaku para ulama. Islam adalah agama tengah
wasath sebagaiman dalam surat al Qasahas ayat 77 yang
memerintahkan manusia untuk menjadi saleh, namun juga agar
manusia tidak melupakan kehidupan dunia. Dua aspek itu, rohani dan
dan duniawi harus dijaga secara seimbang. Keseimbangan itu
19
merupakan karakteristik yang harus ditumbuhkan dalam diri umat
manusia sebagai ummatan wasathon.
Jika dikaji secara lebih mendalam, ajaran Islam yang dibawa oleh
nabi Muhammad juga menjunjung tinggi tradisi yang telah terbangun
sebelum Islam datang. Syar’u man qoblanā sebagai salah satu sumber
dalam hukum Islam memiliki pemaknaan yang perlu ditelaah dalam
konteks bahwa Islam telah merespon, bahkan mengadopsi berbagai
warisan dari umat terdahulu. Baik dalam bentuk ritus keagamaan,
sosial maupun budaya. Islam pada era nabi Muhammad tidak bersikap
konfrontatif terhadap warisan tradisi dan budaya Arab pada saat itu.
Beberapa ritus agama Islam seperti haji dan segala bentuk praktiknya
yang berhubungan dengan rukunnya atau bentuk ritual haji lainnya
tidak bisa dipisahkan dari sejarah Nabi Ibrahim.16 Namun, Islam
datang untuk membawa nilai dan peradaban baru dalam melestarikan
ritus yang salah satunya diwujudkan dalam bentuk kewajiban
memakai baju ihram pada saat ibadah haji.
Islam hadir untuk melestarikan kewajiban ihram dengan penuh
peradaban ketika praktik ibadah haji bagi umat Islam Arab pra Islam
dilakukan dengan tanpa busana pada saat tawaf. Bagi masyarakat pra
Islam saat itu, tidak memakai busana saat tawaf mengandung simbol
kesucian karena baju adalah simbol kekotoran, untuk itu, dalam
menghormati ka’bah yang suci, manusia harus melepaskan seluruh
unsur yang menyebabkan dirinya tertutupi oleh sesuatu yang
mengotori yang disimbolkan baju oleh baju.
Akan tetapi, ketika Islam datang, tradisi tidak menggunakan
baju saat melakukan tawaf atau dalam ibadah haji diganti dengan
pakaian ihram. Dari praktik diwajibkannya menggunakan baju ihram
ini mengandung pengertian bahwa Islam hadir membawa peradaban
baru dalam tradisi tawaf tanpa mengurangi substansi pemaknaannya
sebagai tradisi sebagaimana telah dilakukan oleh masyarakat Arab pra
Islam. Pemaknaan simbol baju ihram yang tidak boleh dijahit ketika
tawaf dalam ibadah haji bisa diartikulasikan sebagai simbol kesucian
dalam menghormati ka’bah sebagaimana simbol yang dilakukan oleh
Khalil Abdul Karim, al-Jūzuru al-Tārikhiyyah li al-Syarī’ah al-Islāmiyyah,
(Kairo: Sina li al-Nasyr, 1990).
16
20
masyarakat pra Islam tersebut. Begitu juga beberapa praktik ritualitas
lain dari masyarakat Arab yang kemudian diadopsi oleh Islam
dikemudian hari. Dalam konteks ini, ajaran Islam pada dasarnya tidak
bisa dipisahkan dari serangkaian dialog antara keabadian firman Allah
yang universal dan eternal (berlaku secara terus menerus) dengan
realita kehidupan bangsa Arab.17
Sehubungan dengan pemaknaan sejarah mengenai ibadah haji
yang mengadaptasi dengan tradisi pra Islam tersebut sebenarnya dapat
ditarik ke dalam konteks penyebaran Islam ke Nusantara. Dalam
perkembangan sejarahnya bahwa praktik dakwah penyebaran Islam ke
wilayah Nusantara tidak bersifat monoton dan memusuhi nilai-nilai
komunitas lokal. Para pendakwah ajaran Islam tidak mempunyai
tujuan lain kecuali untuk menyebarkan kebenaran, mengajak
masyarakat untuk berbuat kebaikan dan menghindari kejahatan.
Dalam praktiknya, dakwah Islam yang dilakukan oleh para
mubaligh bisa jadi mengalami persaingan dengan penganjurpenganjur agama lain (Budha dan Hindu), akan tetapi berjalan dengan
tanpa kekerasan dan semuanya berlangsung secara damai.18 Kondisi
ini cukup berbeda dengan penyebaran Islam di Timur Tengah yang
dalam beberapa kasus disertai dengan “kekerasan” oleh militer
Muslim melalui penaklukan-penaklukan (fath). Islam di Indonesia
yang disebarkan oleh pedagang, kemudian dilanjutkan oleh para guru
agama (da’i) dan pengembara sufi ini membentuk karakter keislaman
yang penuh dengan kedamaian sesuai dengan ajaran-ajaran tasawuf.
Berdasarkan data Sensus Penduduk tahun 2010, yang
merupakan sebuah proses pencatatan, perhitungan, dan publikasi data
demografis yang dilakukan terhadap semua penduduk yang tinggal
menetap di suatu wilayah tertentu, struktur dan komposisi penduduk
Indonesia menurut suku bangsa menurut Sensus Penduduk 2010
menempatkan Suku Jawa sebagai suku terbesar dengan populasi 85,2
juta jiwa atau sekitar 40,2 persen dari populasi penduduk Indonesia.
17
Khalil Abdul Karim, al-Jūzuru al-Tārikhiyyah li al-Syarī’ah al-Islāmiyyah,
8.
18
Saifudin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan perkembangannya di
Indonesia, (Bandung: PT Al-Maarif, 1979), 188.
21
Kemudian disusul Suku Sunda dengan jumlah 36,7 juta jiwa atau 15,5
persen. Kemudian Suku Batak di posisi ketiga dengan jumlah 8,5 juta
jiwa atau 3,6 persen. Disusul Suku asal Sulawesi selain Suku
Makassar, Bugis, Minahasa, dan Gorontalo.19
Kemajemukan bangsa Indonesia juga terlihat dari beragam
agama yang dipeluk oleh penduduknya. Begitu juga dengan
keragaman penggunaan bahasa daerah yang digunakan sebagai bahasa
percakapan sehari-hari. Berdasarkan Sensus Penduduk 2010,
penggunaan bahasa daerah merupakan bahasa yang paling banyak
digunakan oleh penduduk Indonesia dalam kehidupan keseharian dan
rumah tangga dengan jumlah 79,5 persen. Sedangkan bahasa
Indonesia digunakan oleh 9,9 persen penduduk Indonesia dalam
percakapan sehari-hari penduduknya. Sisanya, 0,3 persen penduduk
Indonesia menggunakan bahasa asing.20
Dengan kekayaan tersebut, Indonesia memiliki potensi menjadi
bangsa yang besar dengan catatan mampu mengharmoniskan segala
keragaman yang ada di setiap suku bangsanya. Di sisi lain,
keberagaman ini juga bisa menjadi pemicu terjadinya disintegrasi
bangsa bilamana tidak mampu menjaganya. Kita semua tentu juga
menyadari bahwa mengharmoniskan keragaman yang kita miliki
bukanlah perkara yang mudah. Meski demikian, sebagaimana kita
ketahui bersama bahwa mayoritas dari masyarakat kita memilih untuk
tetap ber-bhinneka tunggal ika.
Suasana kehidupan masyarakat Indonesia yang harmonis di
lingkungan masyarakat heterogen dengan berbagai latar belakang
agama terbangun karena masyarakat Indonesia sejak dahulu memiliki
karakter-karakter yang dapat membangun keragaman. Berbagai
kegiatan sosial budaya berciri gotong royong memperlihatkan
karakter masyarakat Indonesia yang saling menghormati antara
berbagai perbedaan golongan, suku bangsa, hingga agama.
19
https://id.wikipedia.org/wiki/Sensus_Penduduk_Indonesia_2010#:~:text=
Menurut%20publikasi%20BPS%20pada%20bulan,1%2C49%20persen%20per%20
tahun.
20
Ibid.
22
Ditinjau dari aspek kesejarahannya bahwa moderasi beragama
yang dijalankan oleh masyarakat Islam di Nusantara ditengarai sudah
ada bersamaan dengan datangnya Islam itu sendiri. Para sejarawan
menyatakan bahwa Islam didakwahkan dengan damai dan
mengakomodasi budaya-budaya lokal yang ada di Nusantara.
Kecenderungan moderasi dalam beragama ini karena Islam dibawa
masuk ke Nusantara oleh para sufi yang memang dikenal memiliki
karakter moderat dalam beragama.
Nusantara yang sebagian besar wilayahnya menjadi tempat
perjumpaan bagi peradaban-peradaban besar dunia juga menjadi
modal utama bagi tumbuh dan berkembangnya sikap moderasi yang
dijalani oleh masyarakatnya. Keterbukaan masyarakat Nusantara
terhadap sesuatu yang datang dari luar ini menjadi lahan subur bagi
pertumbuhan tradisi toleransi keragaman di Indonesia.
Keterbukaan masyarakat Nusantara ini membuktikan bahwa
Nusantara merupakan bangsa yang inklusif. Watak inklusifitas ini
yang menguatkan ajaran-ajaran Islam yang moderat. Islam sangat
bukan hanya cocok diterima masyarakat Nusantara, melainkan juga
menjadi warna bagi budaya Nusantara dalam mewujudkan sifat
akomodatifnya yakni rahmatan lil ‘ālamīn.
Keterbukaan dan kosmoplitnya peradaban masyarakat Nusantara
masa lalu seperti tergambar di atas melahirkan keberagaman dan
kekayaan tradisi. Proses asimilasi tradisi lokal dengan tradisi yang
datang dari masyarakat luar menunjukkan adanya daya kreatif yang
dimiliki oleh masyarakat. Indonesia bukan sekadar menerima budaya
lain secara mentah-mentah, melainkan mengkreasi dan menghasilkan
budaya-budaya baru hasil persilangan antara budaya lokal dengan
budaya luar.21
Tantangan Moderasi Beragama dalam Pemikiran Keislaman di
Indonesia
Ketika Islam pertama kali hadir di tanah Arab, pesan utama dari
sang Rasul Muhammad adalah untuk menyempurnakan akhlak yang
21
Henry Thomas Simartama, dkk: Indonesia Zamrud Toleransi, (Jakarta:
Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Indonesia 2017).
23
mulya (liutammima makārimal akhlāq). Karakteristik akhlak yang
mulya menjadi identitas prilaku bagi muslim yang mencerminkan
sikap adil dan tidak berlebihan dalam bertindak. Sikap adil dalam
berprilaku memiliki korelasi dengan moderasi nilai ajaran dalam
Islam, yaitu menunjukkan sikap tidak berat sebelah atau tengahtengah (tawassuth) dalam segala bentuk perilaku, termasuk dalam
menjalankan ajaran agama Islam. Secara lebih mendalam, Ibnu
Miskawaih memberikan penekanan pada pengembangan konsep
akhlak tersebut dengan mengkaitkannya pada upaya untuk
mengoptimalisasikan potensi manusia secara seimbang. Menurut Ibnu
Miskawaih, manusia dianugerahi tiga potensi dasar yang akan menjadi
sumber kekuatan untuk mengarahkan perilaku manusia kepada jalan
kebenaran atau mengarahkan manusia kepada jalan kemungkaran.
Jalan kebenaran akan melahirkan perilaku baik atau akhlak hasanah.
Sedangkan jalan kemungkaran akan melahirkan perilaku tercela atau
akhlak mazmūmah. Ketiga potensi dasar manusia tersebut adalah
nafsu, amarah, dan kecerdasan. Masing-masing dari ketiga potensi
tersebut harus berjalan seimbang, di mana dalam konteks teori akhlak
ini kemudian melahirkan konsep al ‘adalah atau keseimbangan22.
Keseimbangan dalam mengamalkan ajaran Islam menjadi hal
amat penting untuk dipahami oleh setiap Muslim. Dengan pemahaman
Islam yang seimbang seseorang tidak akan condong pada suasana
batin yang emosional karena ia akan terkontrol dari sentimental
pribadi yang muncul dari sikap dan pemahaman keagamaannya yang
berlebihan. Ketika sikap keagamaan ditunjukkan melalui ekspresi
kemarahan atau menggunakan potensi ghodlob-nya saja, akan mudah
ditebak bahwa seseorang telah dikuasai oleh nafsu dan amarahnya dari
faktor
pemahaman
keagamaannya.
Ketidakadilan
dalam
mengekspresikan ajaran Islam yang hanya di kendalikan oleh rasa
sentimen yang terlalu berlebihan akan berakibat pada pembentukan
sikap kaku dalam beragama. Karakteristik ini kemudian membuat
seseorang kurang bijaksana dalam bersikap dan bertindak, terutama
kepada kelompok lain yang berbeda.
22
Ibnu Miskawaih, Tahdzīb al-Akahlāq, (Beirut, Dār al-Kutub al‘Ilmiyyah,1985), 91
24
Akan tetapi, pada saat ini telah terjadi fenomena yang menjauh
dari misi kerasulan tersebut. Corak dan ekspresi keislaman yang
muncul pada saat ini, meskipun secara umum masih ditampakkan
dalam citra yang moderat, namun tidak bisa dipungkiri bahwa akhirakhir ini sedikit demi sedikit mulai berubah posisi menjadi kurang
moderat. Munculnya banyak kasus intoleransi yang dipicu oleh
eksklusivitas pemahaman keagamaan di beberapa wilayah di tanah air
masih meningkat. Data yang dirilis oleh imparsial pada tahun 2019
kemarin telah menjelaskan bahwa dari 31 kasus intolerensi yang
terjadi di Indonesia 11 kasus diantaranya lebih cenderung mengarah
pada hubungan disharmoni dari faktor paham keagamaan, pelarangan
ibadah menempati posisi yang paling tinggi.23 Kasus yang paling
menghangat dari tindakan intoleransi yang dipicu oleh paham
keagamaan adalah yang terjadi di Solo, yaitu penyerangan terhadap
ritual midodareni dari seorang warga di Solo Sabtu tanggal 8 Agustus
tahun 2020 kemarin24.
Secara lebih spesifik di lembaga pendidikan, kasus intoleransi
juga tidak bisa dihindari keberadaannya. Hasil riset yang dilakukan
oleh PPIM UIN Ciputat melalui metode survei juga menjelaskan
bahwa sikap keberagamaan di lembaga pendidikan baik pada tingkat
dasar, menengah hingga pendidikan tinggi secara nasional di
Indonesia menunjukkan hasil yang mengagetkan. Dalam survei
tersebut dikatakan bahwa aksi intoleran guru sebagai mencapai 69.3
%. Guru di Indonesia mulai dari tingkat TK/RA hingga SMA/MA
memiliki opini intoleran dan radikal yang tinggi. “Secara umum,
persentasenya sudah di atas 50% guru yang memiliki opini yang
intoleran. Sebanyak 46.09% memiliki opini radikal. Sedangkan jika
dilihat dari sisi intensi-aksi, walaupun lebih kecil nilainya dari pada
opini, namun tetap hasilnya mengkhawatirkan. Sebanyak 37.77%
guru intoleran dan 41.26% yang radikal. Dari hasil temuan tersebut
terdapat tiga faktor dominan yang mempengaruhi tingkat opini dan
23
https://news.detik.com/berita/d-4787954/imparsial-ada-31-kasusintoleransi-di-indonesia-mayoritas-pelarangan-ibadah
24
https://regional.kompas.com/read/2020/08/12/10510041/kronologipembubaran-midodareni-di-solo-keluarga-diserang-dan-kaca-mobil?page=all
25
intensi-aksi intoleransi dan radikalisme guru. Pertama, pandangan
Islamis. Sebanyak 40.36% guru setuju bahwa seluruh Ilmu
pengetahuan sudah ada dalam al-Quran, sehingga tidak perlu
mempelajari ilmu-ilmu yang bersumber dari Barat. Kedua, faktor
demografi, yaitu jenis kelamin, sekolah madrasah vs negeri, status
kepegawaian, penghasilan, dan usia. Hasilnya, guru perempuan
memiliki opini yang lebih intoleran dan radikal.
Lebih jauh dijelaskan bahwa guru madrasah lebih intoleran
daripada guru sekolah. Ini dipengaruhi karena di madrasah tempat
proses pembelajaran memiliki iklim dan lingkungan yang homogen.
Di lembaga pendidikan Islam seperti madrasah, guru hanya mengajar
siswa muslim dan berinteraksi dengan guru muslim saja. Ketiga,
faktor kedekatan dengan ormas dan sumber pengetahuan keislaman.
Data yang dirilis tersebut menunjukkan bahwa sebanyak 45.22% guru
merasa dekat dengan organisasi NU dan Muhammadiah sebanyak
19.19%. Kondisi ini lebih lanjut disebutkan bahwa guru-guru yang
dekat dengan NU dan Muhammadiah cenderung lebih memiliki opini
dan intensi-aksi yang toleran dari pada mereka yang merasa dekat
dengan ormas Islam yang selama ini dinilai radikal.25
Hasil survei tersebut semakin menguatkan bahwa ancaman
intoleransi semakin kuat dalam ranah kehidupan berbangsa dan
bernegara dan sekaligus menjadi tantangan berat bagi institusi
pendidikan Islam. Kenyataan tersebut sekaligus menunjukkan bahwa
masa depan bangsa akan dihantui oleh sikap intoleran yang dalam
kondisi tertentu akan cepat menyulut api konflik apabila tidak segera
diantisipasi.
Walaupun tidak sepenuhnya benar, karena adanya anggapan
dari sebagian masyarakat yang menilai bahwa riset tersebut terlalu
berlebihan dan terkesan memojokkan umat Islam. Munculnya
berbagai kasus intoleransi yang dipicu oleh eksklusivitas paham
keagamaan tersebut memang tidak bisa dibantah. Untuk itu,
kemunculan wajah Islam di ruang publik selain menampilkan wajah
moderat, namun pada saat yang lain menjadi tidak ramah, ekstrem,
25
https://conveyindonesia.com/survei-ppim-2018-menyibak-intoleransi-danradikalisme-guru/
26
dan diskriminatif karena faktor pemahaman keagamaan yang tidak
toleran tersebut. Tentu saja, pernyataan yang terakhir ini tidaklah tepat
karena wajah Islam yang sebenarnya adalah penuh kasih sayang
sebagaimana misi untuk menyebarkan rahmat bagi seluruh alam
semesta.
Meskipun tidak tepat Islam dikesankan kurang ramah, ekstrem,
dan diskriminatif, namun tidak bisa dipungkiri bahwa di dalam
kelompok Islam tertentu telah muncul wajah-wajah ganda dalam
Islam. Wajah-wajah ganda ini merupakan cerminan dari pemahaman
beberapa kelompok tertentu dalam Islam yang memiliki agendaagenda keislaman dengan ideologi yang berbeda. Stephen Schwartz
dalam The Two Faces of Islam menjelaskan bahwa tidak bisa
dipungkiri bahwa wajah ganda tersebut memang terjadi di dalam
Islam yang berada diantara bandul ekstrimis-fundamentalis dan
bandul moderat-toleran.26 Dalam konteks kebangsaan kondisi
pemahaman intolerensi tersebut saat ini memang sangat
mengkhawatirkan bagi keutuhan bangsa Indonesia.
Selain faktor pemahaman yang kaku, paham keislaman juga
tidak bisa dipisahkan dari pengaruh ideologi revivalisme yang
mengusung cita-cita pendirian daulah islamiyah semacam khilafah,
darul Islam, dan imamah. Dalam konteks pendidikan Islam, varianvarian ideologi keislaman tersebut saling berkontestasi di Indonesia di
dalam membentuk pemikiran keislaman, terutama yang menjauh dari
identitas kebangsaan. Pergulatan antara bentuk keislaman yang
mengusung paham otentitas dan yang mengusung ideologi politik
ideologi semakin menambah rumit suasana dalam menciptakan
kondisi harmonis dalam masyarakat, bahkan dalam ranah yang lebih
tinggi akan mengkhawatirkan keutahan bangsa, jika orientasinya
mengarah pada narasi kontra terhadap NKRI.
Pada saat tertentu, pemikiran untuk mendasarkan Islam pada
bentuk yang paling orisinil selalu sibuk dalam mengoreksi ibadah
saudaranya sesama muslim. Tidak segan-segan bahwa bentuk
pemikiran keagamaan tersebut mengarah pada emosi keagamaan yang
Stephen Schwartz. The Two Faces of Islam: The House of Sa’ud from
Tradition to Terror, (New York: Doubleday, 2002).
26
27
kemudian diekspresikan pada bentuk kebencian terhadap sesama umat
Islam yang berbeda pilihan manhaj keislamannya, apalagi terhadap
kelompok non muslim yang sering dikaitkan sebagai musuh Islam.
Dalam suasana seperti ini, bentuk pemahaman keagamaan intoleransi
perlu diwaspadai berasama karena apabila tidak diwaspadai tidak
menutup kemungkinan dalam rentang waktu yang tidak lama akan
berakibat pada hubungan antar paham keagamaan yang tidak
harmonis. Dari hubungan yang tidak harmonis ini akan rentan
menyulut konflik di tengah masyarakat.
Pandangan keagamaan tersebut tentu perlu dijembatani dengan
hadirnya penguatan dan pengembangan formulasi moderasi beragama
dari semua pihak. Tidak kalah penting dalam penguatan dan
pengembangan tersebut, pendidikan Islam sudah selayaknya ikut
memainkan peran penting untuk menjambatani kesenjangan paham
keagamaan tersebut. Pendidikan Islam harus mampu mebingkai
kesenjangan dari beragam perbedaan yang muncul di tengah
masyarakat Indonesia dengan menghadirkan sajian pembelajaran
yang lebih mendewasakan berpikir inklusif. Bukan sebaliknya, malah
menjadi bagian dari penyebaran paham eksklusif yang mengarah pada
bentuk pemikiran radikal. Hal ini penting diperhatikan secara
menyeluruh karena pendidikan Islam memiliki pengaruh kuat bagi
masing-masing peserta didik dalam membentuk karakter dan
kepribadia untuk masa depan bangsa.
Dari penjelasan sebagaimana telah disunggung di atas bisa
dipahami bahwa agama pada satu sisi memiliki peran penting dalam
menumbuh-kembangkan sikap yang integratif dan positif di dalam
masyarakat, namun pada sisi yang lain, agama juga dapat melahirkan
sikap konfrontatif yang mengarah pada tindakan negatif dalam
masyarakat. Dua potensi agama ini dapat diuji dalam masyarakat di
Indonesia yang multikultural. Indonesia sebagai negara-bangsa
memiliki karakteristik multikultural karena terdiri dari beragam
budaya, ras, dan golongan. Ketika agama cenderung dipahami sebagai
sumber ajaran yang monoton, potensi agama akan lebih mengarah
pada bentuk resistensi dan konflik. Sebaliknya, ketika agama
28
dipahami secara terbuka, potensi agama akan melahirkan harmoni dan
menjauh dari potensi konflik.
Sejak awal rezim orde lama agama menjadi problem bagi
terciptanya kehidupan yang harmonis. Dalam era Soekarno,
pergolakan paham keagamaan masih menjadi penghalang bagi
terciptanya harmoni dalam perbedaan, terutama yang dipicu dari
segregasi kelompok muslim dan non muslim. Era Orde Baru, problem
agama juga muncul ketika terjadi gesekan antara PKI dan umat Islam.
Isu ini kemudian berimbas pada faksi kenegaraan yang berhadapan
dengan ideologi agama. Hingga pada era reformasi dan pasca
reformasi perjuangan untuk menghadirkan kehidupan yang harmonis
dalam bingkai kehidupan beragama belum sepenuhnya berjalan
mulus.
Sebagai refleksi dari gambaran ini adalah kasus Poso, Maluku, dan
beberapa kasus konflik yang dipicu oleh sentimen agama di tempat
lain di Indonesia. Meskipun konflik tersebut tidak menutup
kemungkinan melibatkan aspek lain seperti faktor sosial, politik, dan
ekonomi, namun pemahaman keagamaan tidak bisa dipisahkan dalam
memerankan konflik tersebut. Pada saat yang sama, sentimen dari
munculnya paham keagamaan juga memicu adanya konflik di
masyarakat ketika terjadi benturan antara agama dengan budaya.
Berbagai kasus yang muncul lebih terlihat dipicu oleh penafsiran
keagamaan yang cenderung kaku.
Dalam hubungannya dengan budaya bangsa, konflik tersebut
dapat memicu konflik di masyarakat sebagaimana digambarkan oleh
Sutiyono sebagai benturan antara agama dengan budaya.27 Dalam
konteks ajaran Islam, apa yang disebut sebagai benturan budaya ini
tidak bisa dipisahkan dari doktrin dalam Islam yang menitik beratkan
pada ajaran tauhid dan menghindarkan diri dari praktik kemusyrikan.
Namun, apakah pemahaman terhadap konsep pemurnian ajaran Islam
tersebut kemudian harus berhadapan secara antagonis dengan budaya
yang sudah mengakar sebagai identitas asli bangsa Indonesia.
Sedangkan pada sisi lain, kekuatan paham keagamaan yang dituduh
27
Sutiyono, Benturan Budaya Islam: Puritan dan Sinkretis, (Jakarta:
Kompas, 2010).
29
sebagai pendukung budaya yang dituduhkan oleh kelompok
“pembaharu Islam” puritanis terhadap kelompok tradisionalis sebagai
bid’ah justru semakin memperkuat identitas keagamaannya di
Indonesia.
Kelompok yang disebut terakhir ini berhasil mempertahankan
identitas keagamaannya dengan cara memasukkan ajaran Islam
kedalam tradisi dan budaya lokal. Bagi kelompok tradisionalis,
memahami ajaran Islam tidak sekedar menampakkan doktrin
tekstualis dengan jargon mengembalikan kepada Alquran dan Hadis,
namun lebih dari itu, ajaran Islam juga diinternalisasi oleh spirit
keagamaan yang mengarah pada unsur mistisisme yang dalam istilah
lain disebut sebagai sufistik. Dalam bentuk pemahaman ini, bentuk
keagamaan mengarah pada sikap adaptif terhadap tradisi dan budaya
yang berkembang di Indonesia. Bentuk pemahaman keagamaan
seperti inilah yang kemudian oleh K.H. Abdurrahman Wahid (Gus
Dur) kemudian dikenal sebagai pribumisasi Islam.
Pada muktamar PBNU ke-33 di Jombang tahun 2015 konsep
pribumisasi Islam ini kemudian dikukuhkan sebagai identitas
Nahdlatul Ulama sebagai Islam Nusantara. Di kalangan masyarakat
NU tidak terjadi resistensi apalagi menunjukkan sikap oposisi
terhadap ajaran agama Islam dengan budaya. Kedua hal ini, yaitu
budaya dan ajaran agama senantiasa berjalan bareng dan dibangun
atas dasar saling menguatkan sebagai karakter asli keislaman di
Indonesia.
Dalam konteks pemahaman doktrin keagamaan tauhid,
masyarakat NU ini memiliki pandangannya tersendiri, terutama
mengenai kategori ajaran mana yang menyimpang dan kategori ajaran
mana yang perlu dilestarikan, sehingga narasi-narasi perlunya
Islamisasi internal sebagaimana istilah yang disebut Nakamura28,
purifikasi Islam yang disebut Peacock,29 atau tuduhan sinkretis
28
Mitsuo Nakamura, Bulan Sabit Muncul dari Balik Pohon Beringin; Studi
tentang Pergerakan Muhammadiyah di Kota Gede, Yogyakarta, (Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 1983).
29
James L. Peacock, Muslim Puritan: Reformist Pshycology in South East
Asia, (Barkeley: University of California, 1978).
30
sebagaimana dalam ungkapan Cliford Geertz yang dianggap menjurus
kepada kemusyrikan sebagaimana dituduhkan oleh kelompok
puritanis tidak mampu menggoyahkan keyakinan kelompok
tradisonalis tersebut. Justeru sebaliknya kelompok ini malah semakin
menunjukkan praktik keagamaan yang adaptif dengan tradisi dan
budaya sebagai bagian penting yang tidak bisa dipisahkan dari
melestarikan kearifan lokal. Praktik keagamaan melalui paradigma
pribumisasi Islam ini di samping menjadi karakteristik keislaman
Indonesia, juga dianggap mengandung dimensi spiritual tingkat tinggi,
bukan mengarah pada dimensi bid’ah atau bahkan mengandung unsur
syirik sebagaimana yang dituduhkan oleh kelompok puritanis Islam.
Ketika beberapa ritual yang dilakukan seperti selamatan,
tahlilan, dan ziyarah kubur dituduh oleh kelompok puritanis sebagai
praktik yang menyimpang dari ajaran Islam, kalangan tradisionalis
Muslim justru berbalik untuk membela ajaran yang diyakininya
tersebut, sehingga tidak menutup kemungkinan terjadi nuansa
ketegangan diantara kedua belah pihak sebagaimana yang terjadi pada
kelompok jamaah pengajian di beberapa wilayah di Indonesia.
Namun, perlu digaris bawahi bahwa beberapa ketegangan yang terjadi
di kalangan kelompok tradisionalis dengan kelompok puritanis lebih
disebabkan untuk mempertahankan keyakinannya dari serangan yang
dituduhkan sebagai bid’ah.
Persoalan mengenai dinamika pemahaman keagamaan dalam
bentuk oposisi binner yang memperhadapkan antara kelompok
puritanis dan kelompok tradisional, yang biasanya melestarikan tradisi
ritual keagamaan melalui mazhab dan praktik sufistik tidak hanya
terjadi di Indonesia, namun juga terjadi diseluruh penjuru dunia.
Paham keagamaan puritanis yang cenderung bersikap resisten dan
oposisi terhadap nilai budaya dan kearifan lokal juga dialami oleh
muslim tradisonalis yang memegangi praktik tarikat dalam tradisi
pengamalan ajaran kesufian di Maroko. Konflik yang terjadi di negara
tersebut bermula dari ekspansi gerakan puritanisme Salafi yang
berseberangan dengan kelompok Sufisme yang lebih identic dengan
sebutan kelompok Sunni. Penolakan mereka kepada doktrin puritanis
yang dibawa oleh Taqiuddin Al-Hilali, seorang juru dakwah yang
31
mengikuti doktrin Salafisme Arab Saudi dengan ketat dan kaku
disebabkan karena kelompok puritanis Salafisme selalu menyerang
beberapa tradisi keagamaan kelompok tarekat sebagai praktik yang
sesat. Pada saat yang sama, kelompok Sufisme di Maroko juga
menolak kehadiran doktrin Salafisme karena doktrin yang diajarkan
tidak akomodatif dengan tradisi dan budaya lokal.30 Doktrin puritanis
yang cenderung bersikap destruktif terhadap budaya juga dialami oleh
masyarakat Bosnia dalam transisi pasca perang, di mana mereka
menghancurkan seluruh bangunan yang dianggap mengandung unsur
Syirik,31 sebagaimana juga pernah terjadi pembongkaran kubah
Masjid dan makam-makam para sahabat dan istri nabi.32
Di Indonesia, arus puritanisme konservatif yang cenderung kaku
belum sepenuhnya bisa dipadamkan. Gerakan ini mengalami situasi
yang kompleks dan membingungkan sebagai gelombang ekspansi
wahhabisme ke Indonesia. Arus perkembangan pembaharuan Islam
yang dimulai dari sejarah konfrontatif konflik diinfiltrasi paham
pembaharuan wahhabisme pada abad 18 M di Minagkabau Sumatra
Barat pada perkembangan diskursus pemikiran keislaman di Indonesia
terus mengalami dinamikanya tersendiri. Perkembangan atas nama
pembaharuan tersebut kemudian mengalami bentuk dan berevolusi
dalam interpretasi pemahaman keislaman, dari yang sekedar menolak
tradisi dan budaya hingga gerakan yang mengarah pada politik yang
diwujudkan dalam beberapa peristiwa pemberontakan DI (Darul
Islam) di berbagai wilayah di Indonesia. Kemudian di era tahun 1970an dan 1980-an perkembangan dari dinamika pembaharuan yang
cenderung puritanisme ini kemudian mewarnai perkembangan peta
keislaman kontemporer, terutama dalam merespon kebijakan
Pancasila sebagai asas tunggal. Sedangkan warisan gerakan
pembaharuan puritanisme saat ini semakin terfragmentasi dalam
berbagai bentuk, meskipun diskursusnya tidak bisa dipisahkan dari
30
Henri Lauzière, The Making of Salafism: Islamic Reform in The Twentieth
Century, (New York: Columbia University Press, 2016), 216.
31
Stephen Schwartz. The Two Faces of Islam: The House of Sa’ud from
Tradition to Terror, (New York: Doubleday, 2002).
32
Hamid Algar, Wahhabisme: Sebuah Tinjauan Kritis, Jakarta: Yayasan Abad
Demokrasi, 2011), 42.
32
narasi para pendahulunya yang berkisar dari persoalan mengenai
penyelamatan akidah, tuntutan penerapan syariah Islam, hingga
tuntutan pembentukan negara Islam.
Mengurai Problem Penguatan dan Pengembangan Moderasi
Beragama dalam Pendidikan Islam
Secara umum tantangan penguatan dan pengembangan
moderasi beragama dalam pendidikan Islam bisa dilihat dari dua aspek
yaitu yang bersifat internal dan eksternal. Pertama, dari aspek internal,
penguatan dan pengembangan moderasi beragama masih dihadapkan
pada sikap keagamaan yang bersifat konservatif. Dalam konteks
Pendidikan Islam, pembelajaran masih berorientasi pada ranah
pengetahuan kognitif. Pembelajaran agama belum mampu menuntun
jalan kepada peserta didik dalam pengembangan kesalehan baik secara
spiritual maupun sosial. Pengalaman keagamaan yang muncul
dipermukaan masih sebatas simbol-simbol yang belum menyentuh
pada substansi agama, sehingga nilai-nilai ajaran agama belum
menjadi dasar dalam berfikir, bersikap, dan bertindak dalam
kehidupan sehari-hari.33 Pada saat yang sama, persoalan kualitas
pembelajaran juga memiliki keterkaitan dalam menghambat
penguatan moderasi beragama dalam pendidikan Islam. Keterkaitan
tersebut mengarah pada proses pembelajaran yang terlihat masih
monoton, belum dinamis, dan belum menggugah kesadaran berpikir
secara kritis.34 Persoalan lain yang menjadi problem adalah minimnya
minat membaca literatur keislaman melalui berbagai pendekatan
disiplin keilmuan dari sebagian pendidik dan juga peserta didik.
Faktor lain yang menjadi problem internal adalah adalah problem
ketersediaan sarana pembelajaran, terutama literasi keislaman yang
belum memadai.
33
Keputusan Mentei Aagama nomor 183 tahun 2019 tentang Kurikulum
Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab pada Madrasah.
34
Abdul Aziz. Materi Webinar Nasional yang berjudul” penguatan literasi
Webinar : Penguatan Kelembagaan dan Literasi Pendidikan Islam Indonesia Pasca
Pandemi Covid-19. Diselenggarakan Program Doktoral Pascasarjana UIN Banten
pada tanggal, 13 Juli 2020.
33
Dalam institusi pendidikan Islam yang sejatinya memiliki peran
penting untuk menjadi jembatan ketika terjadi berbagai kesenjangan
yang terjadi di tengah masyarakat, terutama yang berhubungan dengan
paham keagamaan, institusi pendidikan Islam belum sepenuhnya
menjadi kiblat bagi masyarakat karena sebagian dari masyarakat
masih menggantungkan pilihannya pada institusi organisasi
kemasyarakatan seperti MUI, PBNU, Muhammadiyah, dan lainya.
Pada titik ini pendidikan Islam semakin diuji ketika bersentuhan pada
persoalan paham keislaman itu sendiri. Persoalan yang hingga saat ini
belum mampu dituntaskan adalah persoalan mazhab dan otoritasnya
yang masih menyelimuti pandangan masing-masing institusi
pendidikan Islam.
Kedua, adalah tantangan eksternal yaitu munculnya ideologi dan
gerakan baru keagamaan yang bersifat transnasional. Ideologi dan
gerakan ini memiliki kecenderungan untuk melakukan infiltrasi
paham keagamaan yang berseberangan dengan identitas paham
keagamaan asli Indonesia yang mengutamakan nilai-nilai budaya
luhur bangsa serta merawat kebhinnekaan. Secara konseptual ideologi
keagamaan transnasional sebagaimana dalam travelling theori (alnadzariyah al-muhajiroh) sebagaimana dikemukakan Edward Said
bisa dipahami ke dalam dua kategori yaitu dari perspektif karakter asal
ideologi dan paham kegamaan yang dikembangkan melalui proses
ekspansi ideologi ke berbagai wilayah di seluruh dunia.35 Perspektif
yang pertama memberi pemahaman bahwa paham ini berasal dari
wilayah yang jauh dari negara Indonesia. K.H. Hasyim Muzadi
35
Menurut Edward Said, ada empat tahap yang harus dilalui dalam proses
perjalanan ideologi (ide). Pertama, adalah a point of origin (tempat asal), di mana
separangkat gagasan tercetus, dielaborasi dan dikontekstualisasikan dalam ruang
wacana di tempat asal. Kedua, adalah tahap distance transversed, yaitu tindakan
perjalanan itu sendiri, di mana sebuah ide mengalami perjalanan dari suatu tempat ke
ruang tempat dan waktu yang berbeda. Ketiga, adalah tahap pertemuan, encounter
stage, di mana gagasan tersebut bertemu dengan gagasan atau ideologi lain serta
dikontestasikan dalam sebuah ruang wacana yang bisa berujung pada sikap
penerimaan, penolakan dan modifikasi. Keempat, adalah tahap transformasi, di mana
gagasan tersebut menjelma menjadi entitas baru yang diterima oleh individu atau
pihak penerima. Penjelasan ini dapat dibaca dalam, Edward Said, al-‘aalam wa alnash wa al-naqidl, (The World, the Text and the Critic) Ittihaad al-Kitaab al-‘Arabi,
2000, 269-273.
34
menyebutkan bahwa ideologi keagamaan transnasional adalah paham
keagamaan yang diimpor dari luar negeri untuk dikembangkan di
Indonesia.
Perspektif yang kedua adalah terkait paham keagamaan yang
dikembangkan. Paham keagamaan transnasional memiliki
karakteristik eksklusif, monoton, dan tidak mau menerima varianvarian dari paham keagamaan yang berbeda dari kelompok lain di luar
kelompok mereka.36 Dalam kondisi ini, paham keagamaan
transnasional lebih mengarah pada gerakan puritanisme Wahhabi
yang selalu mengoreksi bentuk dan praktek ibadah dari Muslim di
Indonesia secara ketat untuk disesuiakan dengan tata cara dan praktik
keagamaan Wahhabisme, yang secara umum bersumber dari otoritas
keagamaan Timur Tengah, terutama Arab Saudi dan Yaman. Dalam
pemahaman yang lain, sikap oposisi dari gerakan ini selain monoton
juga mengarah kepada bentuk politik, baik yang terlihat dalam
kecenderungannya pada identitas semangat pembaharuan Islam dan
revivalismenya sebagaimana infiltrasi ideologi Ikhwanul Muslimin
yang berasal dari Mesir.
Sedangkan dalam konteks yang lebih tinggi, paham keagamaan
transnasional tidak hanya mengarah pada bentuk resistensi budaya
yang dianggap mengotori kemurnian Islam, namun juga mengarah
pada level menolak sistem pemerintahan yang sah secara konstiusi
negara. Meskipun paham puritanisme dan revivalisme memiliki titik
temu dalam bentuk penolakannya pada tradisi dan budaya, namun
keduanya tidak bisa disatukan karena yang pertama lebih
mengutamakan dakwah pemurnian Islam, sedangkan yang kedua, di
samping mengutamakan dakwah pemurnian juga mengarah pada
gerakan politik. Kemudian pada level yang ketiga paham keagamaan
puritan yang dipengaruhi oleh ideologi transnasional tersebut
memiliki agenda yang lebih tinggi lagi, yaitu ingin mendirikan negara
Islam dunia dengan sistem khilafah. Level inilah yang oleh Masdar
Hilmy dan Ahmad Syafii Maarif disebut sebagai paham transnasional
Abdurrahman Wahid, “Musuh dalam Selimut, dalam pengantar editor buku,
Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, (Jakarta:
Gerakan Bhinneka Tunggal Ika,The Wahid Institute, dan Maarif Institute, 2009), 20.
36
35
yang sebenarnya, di mana gerakan tersebut secara nyata ditunjukkan
oleh ideologi HTI.37
Moderasi Beragama dan Pribumisasi dalam Pemikiran
Pendidikan Islam
Perjumpaan antara Islam dan budaya kerap mengundang
perdebatan yang cukup panjang dan menyisakan beberapa persoalan.
Islam sebagai agama bersumber dari wahyu yang pasca nabi wafat
sudah tidak turun lagi, sementara budaya adalah hasil kreasi manusia
yang dapat berubah sesuai kebutuhan hidup manusia. Hubungan
antara agama dan budaya merupakan sesuatu yang ambivalen. Di titik
ini, kerap kali terjadi pertentangan antara Islam dengan tradisi lokal
masyarakat yang berkembang di masyarakat setempat.
Peleraian ketegangan antara ajaran Islam dan tradisi lokal
dijembatani oleh fiqh. Aspek Fiqh yang merupakan buah ijtihad para
ulama membuka ruang untuk menjadi “tool” dalam melerai
ketegangan. Sejumlah kaidah-kaidah fiqh dan ushul fiqh seperti alAdah muhakkamah (Tradisi yang baik bisa dijadikan sumber hukum),
al-Urf yunzalu manzilat al-Syarth (tradisi menempati posisi syarat),
terbukti ampuh untuk mendamaikan pertentangan antara ajaran Islam
dan tradisi lokal. Kaidah fiqh di atas menjadi dasar pengakuan dalam
menyelesaikan berbagai hal-hal yang bersifat tradisi di satu sisi, dan
ajaran Islam di sisi lain, yang memang secara tekstual tidak diberikan
dasar hukumnya.
Dalam konteks diskusrsus tersebut, pendidikan Islam
seharusnya memainkan peran penting dalam penguatan dan
pengembangan pemahaman keagamaan yang moderat. Pendidikan
Islam harus mampu menghadirkan dan sekaligus membumikan
pemahaman moderasi beragama di tengah masyarakat, terutama
masyarakat muslim di Indonesia. Pemahaman moderasi beragama
dalam konteks pendidikan Islam untuk meleraikan perdebatan dan
37
Ahmad Syafi’i Maarif, Islam dalam Binngkai Keindonesiaan dan
Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah, (Bandung: Mizan Publika, 2009), 191. Lihat
juga, Masdar Hilmy, “Akar-Akar Transnasionalisme Islam Hizbut Tahrir Indonesia
(HTI)”, ISLAMICA, Vol.6 No.1 September 2011, 1.
36
kesenjangan antara agama dan perjumpaannya dengan tradisi dan
budaya tersebut perlu dibangun dalam penguatan paradigma
pribumisasi Islam sebagai pengejawentahan dari substansi ajaran
Islam. Pemahaman keagamaan yang damai, toleran, dan menghargai
keragaman sangat penting diberikan kepada para peserta didik.
Dalam konteks penyelenggaraan pendidikan yang menekankan
pada penguatan dan pengembangan moderasi beragama, setidaknya
terdapat dua hal penting yang perlu dilakukan dalam konteks
mendorong pendidikan Islam Indonesia sebagai destinasi pendidikan
Islam moderat. Kedua hal tersebut adalah membumikan moderasi
keislaman dan penguatan kelembagaan pendidikan Islam melalui
paradigm integrasi keilmuan. Kedua hal ini menjadi ciri dan sekaligus
karakteristik pendidikan yang dikembangkan di Indonesia
Pertama, moderasi Islam; pemahaman keislaman di Indonesia
memiliki karakteristik yang khas. Pemahaman Islam yang
berkembang dalam kultur dan masyarakat di Indonesia adalah
pemahaman Islam yang moderat, toleran, dan menjunjung tinggi
perbedaan. Islam Indonesia senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan, menghargai hak-hak asasi manusia, menghormati
keragaman budaya dan masyarakat, mengidamkan kedamaian,
keadilan, toleransi, dan sikap yang seimbang (tawazun). Di tengah
pelbagai perbedaan dan keragaman sosio-kultural, agama, adat dan
budaya, bahasa, dan lokalitas dalam ribuan pulau serta lainnya,
Indonesia tetap kekar dalam bingkai persatuan dan kesatuan
keindonesiaan.
Dalam hal relasi antara Islam dan negara adalah dengan
mengambil bentuk substansialistik dengan dasar Pancasila, tidak
mengambil bentuk formalistik atau sekularistik, akan menjadikan
kondisi Indonesia sangat produktif dalam mengusung nilai-nilai
keislaman dalam konteks kebangsaan. Islam sebagai agama pada satu
sisi dan negara pada sisi yang lain, keduanya saling menguatkan dan
saling bersinergi. Keduanya dapat dibedakan, namun tidak dapat
dipisahkan. Keberislaman warga negara Indonesia di antaranya adalah
menunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan. Cinta terhadap tanah air
37
merupakan bagian dari implementasi atau wujud keislamannya. Hal
ini yang menjadikan Islam Indonesia memiliki karakternya yang khas
Kedua, relasi ilmu dan agama; dalam studi agama dan ilmu
pengetahuan, setidaknya ada empat relasi antara agama dan ilmu
pengetahuan yaitu konflik, independensi, dialog, dan integrasi. Seperti
dinyatakan G. Ian Barbour, peneliti dunia bidang sains dan agama
dalam buku When Science Meets Religion, 2000, disebutkan bahwa
antara agama dan ilmu pengetahuan terkadang saling berkonflik,
bertentangan dan tidak harmonis. Kebenaran agama diruntuhkan
temuan sains. Ada kalanya, antara agama dan ilmu pengetahuan tidak
memiliki hubungan apapun dimana dua hal itu berdiri di atas
paradigmanya masing-masing. Namun meski antara keduanya
independen, pada saat tertentu agama dan ilmu pengetahuan itu
bersinggungan dan berdialektika. Untuk itu antara agama dan ilmu
pengetahuan menjadi terintegrasi, saling menguatkan dan
memberikan afirmasi antara keduanya. Untuk itu, pendidikan Islam
mendapat tantangan baru untuk selalu menghadirkan pemahaman
keislaman yang lebih menekankan pada nilai-nilai substansial dari
ajaran Islam. Adapun dalam kaitannya dengan pemahaman keislaman
yang moderat, pendidikan Islam perlu melakukan penyiapanpenyiapan khusus dalam proses pendidikannya seperti perlunya
menyiapkan tenaga pendidik yang menguasai secara lebih luas dan
mendalam mengenai ilmu-ilmu keislaman melalui kerangka
metodologis yang kuat.
Dalam rangka memperkuat pemahaman keislaman yang searah
dengan pembumian prinsip Islam wasathiyah yang moderat seperti
prinsip keseimbangan, toleransi, keadilan, dan penghormatan terhadap
perbedaan, pendidikan Islam saat ini perlu menghadirkan kembali
pemikiran para intelektual Islam. Abdurrahman Wahid, sebagai
pencetus gagasan pribumisasi Islam pada era 1980-an adalah salah
satu tokoh Muslim yang seluruh pemikiran keislaman dan
kebangsaannya perlu dikaji dan dikembangkan dalam pendidikan
Islam. Dalam kaitannya dengan pribumisasi Islam ini, Gus Dur
membuat contoh bagaimana mengaplikasikan kaidah dalam
menyelesaikan sebuah kasus pemberian waris antara suami-istri,
38
dimana terdapat adat atau tradisi gono-gini di daerah Yogya-Solo dan
adat perpantangan di Banjarmasin. Abdurrahman Wahid menilai
bahwa respons masyarakat adat yang berada di luar lingkup pengaruh
kiai terhadap ketentuan nash dengan pemahaman lama yang
merupakan pegangan para kiai itu. Harta rumah tangga dianggap
sebagai perolehan suami-istri secara bersama-sama, yang karenanya
mesti dipisahkan terlebih dahulu sebelum diwariskan, ketika salah
satu dari suami/istri meninggal. Setengah dari harta itulah yang
kemudian dibagikan kepada ahli waris menurut hukum Islam, sedang
separoh lainnya adalah milik suami/istri yang masih hidup.
Dari peleraian ketegangan ini membuktikan bahwa hukum Islam
itu bersifat fleskibel dan dinamis. Ia bisa menyesuaikan dengan ruang
dan zaman. Oleh karenanya, Islam akan terus relevan dalam konteks
apapun dan di manapun. Dalam konteks Islam di Indonesia,
penyesuaian ajaran agama dengan tradisi dan kearifan lokal
masyarakat Indonesia disebut sebagai Pribumisasi Islam Indonesia.
Fakta tentang adanya usaha “Pribumisasi Islam” merupakan jejak
peninggalan dan warisan dakwah Wali Songo masih terlihat sampai
hari ini dalam bentuk penyesuaian ajaran Islam semisal penggunaan
bahasa lokal sebagai ganti dari bahasa Arab. Sejumlah bahasa lokal
yang digunakan untuk menngantikan istilah berbahasa Arab, misalnya
dalam penggunaan sebutan “Gusti Kang Murbeng Dumadi” sebagai
ganti dari Allah Rabb al-‘Alamin. Kanjeng Nabi untuk menyebut Nabi
Muhammad SAW. Susuhunan untuk menyebut Hadrat al-Shaikh.
Puasa untuk mengganti istilah Shaum. Sembah Yang sebagai ganti
Shalat. Dan masih banyak lainnya.
Gagasan pribumisasi tersebut mengarah pada upaya untuk
mengontekstualisasikan Islam dan penempaan Islam dalam kerangka
budaya. Kontekstualisasi Islam mengandung pengertian upaya untuk
mengakomodasi adat oleh fikih (al-‘adah muhakkamah) sebagaimana
dalam upaya mengakomodasi hukum waris Islam atas adat waris lokal
seperti adat perpantangan (Banjarmasin) dan gono-gini (YogyakartaSolo) sebagaimana telah disebutkan di atas. Kemudian
kontekstualisasi juga dikembangkan dalam aplikasi nash. Pada aspek
yang terakhir ini bisa dicontohkan dalam kasus emansipasi wanita
39
(modern), di mana dibutuhkan cara pandang keadilan menurut
keadilan suami, menjadi keadilan menurut istri dalam kasus poligami.
Kasus ini merujuk pada QS. Al-Nisa’[4]: 3. Dengan demikian adanya
perubahan cara pandang keadilan dengan cara tidak dipoligami bagi
istri tidak harus mengganti nash Alquran itu sendiri.38
Sedangkan pribumisasi Islam sebagai penempaan Islam dalam
kerangka budaya melahirkan manifestasi (bentuk) Islam dalam
kultural lokal. Pengelaborasian ini dapat dilihat dari peninggalan
Masjid Demak yang menggunakan atap ‘Meru’ (Hindu-Budha),
bukan menggunakan kubah yang menjadi identitas budaya lokal Arab.
Konsep inilah yang digagas oleh Gus Dur dalam menjadikan
pribumisasi Islam menjadi pandangan hidup (weltanschaung) Islam
tanpa harus tercerabut dari tradisi dan budaya local nusantara.39
Pada titik ini dapat disimpulkan bahwa Pribumisasi Islam adalah
bagian dari sejarah Islam itu sendiri, baik di negeri asalnya (baca:
Arab) maupun di negeri lain, termasuk Indonesia. Hal ini semakin
menguatkan diktum yang mengatakan bahwa Islam akan selalu
relevan di segala ruang dan waktu (shalih likulli zaman wal makan).
38
Tim Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Ensiklopedi Islam Nusantara:
Edisi Budaya, (Jakarta: Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Direktorat
Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI, 2018), 389.
39
Ibid, 389.
40
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin, M. Islamic Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan
Integratif-Interkonektif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Ali, Mukti A., Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini (Jakarta:
Rajawali, 1987), 322-323. Lihat juga A. Mukti Ali, Ilmu
Perbandingan Agama di Indonesia, cet. IX (Bandung: Mizan,
1997).
Algar, Hamid. Wahhabisme: Sebuah Tinjauan Kritis, Jakarta:
Yayasan Abad Demokrasi, 2011).
Al-Qardawi, Yusuf. Al-Khasā`is al-‘Ammah li al- Islām, (Bairut:
Mu’assasah ar Risalah 1983).
Aziz, Abdul. Materi Webinar Nasional yang berjudul” penguatan
literasi Webinar : Penguatan Kelembagaan dan Literasi
Pendidikan Islam Indonesia Pasca Pandemi Covid-19.
Diselenggarakan Program Doktoral Pascasarjana UIN Banten
pada tanggal, 13 Juli 2020.
Az-Zuhaili, Wahbah. Qadāyā al-Fiqh wa al-Fikr al-Mu’āshir, (Beirut
; Dar al-Fikr, 2006).
Bizawie, Milal, Zainul. “Islam di Indonesia: Mendialogkan Tradisi,
Rekonsiliasi Kultural”, dalam Epilog Buku Silang Budaya
Islam – Melayu: Dinamika Masyarakat Melayu Jambi, karya
Pahmi, (Jakarta: Compas, 2017).
Faris, Ibn, Ahmad, al-Husain Abu. Mu’jam Maqayis al-Lughah,
(Beirut: Daar al-Fikr, 1399/1979), VI : 108, Ibnu
Manzur, Lisan al-‘Arab, cet. ke-1, (Beirut: Dar as-Sadir , t.th,
VII.: 2001).
Hasan, Noorhadi. Islam Politik di Dunia Kontemporer: Konsep,
Genealogi, dan Teori, (Yogyakarta: Suka Press, 2012).
41
https://id.wikipedia.org/wiki/Sensus_Penduduk_Indonesia_2010#:~:t
ext=Menurut%20publikasi%20BPS%20pada%20bulan,1%2
C49%20persen%20per%20tahun.
https://news.detik.com/berita/d-4787954/imparsial-ada-31-kasusintoleransi-di-indonesia-mayoritas-pelarangan-ibadah
https://regional.kompas.com/read/2020/08/12/10510041/kronologipembubaran-midodareni-di-solo-keluarga-diserang-dankaca-mobil?page=all
https://conveyindonesia.com/survei-ppim-2018-menyibakintoleransi-dan-radikalisme-guru/\
Ichwan, Moch Nur. “MUI Gerakan Islamis, dan Umat Mengambang,
dalam Maarif, vol.11, No-2 edisi (Desember 2016), 87-104.
Baca juga Moch. Nur Ichwan, “Towards a Puritanical
Moderate Islam: The Majelis Ulama Indonesia and the Politics
of Religious Orthodoxy,” in Martin Van Bruinessen (Ed.),
Contemporary Developments in Indonesian Islam: Explaining
the ‘Conservative Turn, Singapore: ISEAS, 2013, 60-104.
Karim, Abdul, Khalil. al-Jūzuru al-Tārikhiyyah li al-Syarī’ah alIslāmiyyah, (Kairo: Sina li al-Nasyr, 1990).
Keputusan Mentei Aagama nomor 183 tahun 2019 tentang Kurikulum
Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab pada Madrasah.
Lauzière, Henri. The Making of Salafism: Islamic Reform in The
Twentieth Century, (New York: Columbia University Press,
2016).
Maarif, Syafii, Ahmad. Islam dalam Binngkai Keindonesiaan dan
Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah, (Bandung: Mizan
Publika, 2009), 191. Lihat juga, Masdar Hilmy, “Akar-Akar
Transnasionalisme Islam Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)”,
ISLAMICA, Vol.6 No.1 September 2011, 1.
42
Miskawaih, Ibnu. Tahdzīb al-Akahlāq, (Beirut, Dār al-Kutub al‘Ilmiyyah,1985).
Muhaimin. Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan
Islam. (Jakarta: Rajawali Press, 2011).
43
Nakamura, Mitsuo. Bulan Sabit Muncul dari Balik Pohon Beringin;
Studi tentang Pergerakan Muhammadiyah di Kota Gede,
Yogyakarta, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
1983).
Peacock, James L. Muslim Puritan: Reformist Pshycology in South
East Asia, (Barkeley: University of California, 1978).
Simartama, Thomas, Henry, dkk: Indonesia Zamrud Toleransi,
(Jakarta: Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Indonesia 2017).
Subhan,Arief. Lembaga Pendidikan Islam Indonesia Abad ke-20:
Pergumulan antara Modernisasi dan Identitas. (Jakarta:
Kencana, 2012).
Schwartz, Stephen. The Two Faces of Islam: The House of Sa’ud from
Tradition to Terror, (New York: Doubleday, 2002).
Sutiyono, Benturan Budaya Islam: Puritan dan Sinkretis, (Jakarta:
Kompas, 2010).
Said, Edward. al-‘aalam wa al-nash wa al-naqidl, (The World, the
Text and the Critic) Ittihaad al-Kitaab al-‘Arabi, 2000.
Tim Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Ensiklopedi Islam
Nusantara: Edisi Budaya, (Jakarta: Direktorat Pendidikan
Tinggi Keagamaan Islam Direktorat Jenderal Pendidikan
Islam Kementerian Agama RI, 2018).
Tim Kelompok Kerja (Pokja IMA), Implementasi Moderasi
Beragama dalam Pendidikan Islam, (Jakarta: Kelompok
Kerja Implementasi Moderasi Beragama Direktorat Jenderal
Pendidikan Islam Kementerian Agama Republik Indonesia
Bekerjasama dengan Lembaga Daulat Bangsa, 2019).
Wahid, Abdurrahman. “Musuh dalam Selimut, dalam pengantar editor
buku, Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam
Transnasional di Indonesia, (Jakarta: Gerakan Bhinneka
Tunggal Ika,The Wahid Institute, dan Maarif Institute, 2009).
Zuhri, Saifudin. Sejarah Kebangkitan Islam dan perkembangannya di
Indonesia, (Bandung: PT Al-Maarif, 1979).
44
Moderasi Beragama dalam Kontestasi Politik
Identitas
Masykur
UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten
masykur@uinbanten.ac.id
Moderasi beragama kembali ditanamkan dalam kontestasi politik identitas untuk
menjaga kedamaian dan kerukunan antarumat beragama dari kekejian
radikalisme dan terorisme.
Pendahuluan
Moderasi beragama bukan moderasi agama. Moderasi bukan
ekstremisme dan bukan liberalisme. Dewasa ini gerakan politik
identitas ekstremisme terus menerus menyerang ideologi Pancasila.
Sebaliknya, politik identitas liberalisme pun tak pernah berhenti
mencampuri ideologi Pancasila. Pada tahun 2019 moderasi
beragama hadir menengahi kontestasi politik identitas yang
merusak visi dan misi ideologi Pancasila sebagai paradigma
kerukunan umat beragama. Dalam buku moderasi beragama yang
diterbitkan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI,
secara jelas dan tegas moderasi beragama memosisikan Pancasila
sebagai ideologi yang moderat untuk keberagamaan di dalam
keragaman agama (Kementerian Agama RI, 2019: 17-18).
Posisi moderasi beragama menengahi kontestan yang
mengitari ideologi Pancasila. Para pemikir studi keagamaan
mengategorikan kontestan tak hanya dua di atas. Howard M.
Federspiel mengategorikan tiga: puritan, nominal, dan nasionalis.
Clifford Geertz membagi tiga: santri, abangan, dan priyayi. Selain
itu, William Liddle mengateorikan dua: skriptualis dan
substansialis. Deliar Noer membagi dua: tradisionalis dan modernis
(Aksin Wijaya, 2019: 53-54). Abdurahman Wahid (Gur Dur) pun
mengateorikan dua: formalis dan kulturalis. Salah satu karakter dari
kaum formalis, terlihat pada cara menafsirkan surat al-Baqarah ayat
208: “…udhkhullu fi al-silmi kaffah bahwa kata al-silmi diartikan
dengan “Islami”. Sedangkan, kaum kulturalis menafsirkannya
45
dengan “perdamaian”. Tentu saja, konsekuensi dari kedua
penafsiran itu memiliki implikasi yang luas (Abdurrahman Wahid,
2006: xvii).
Tulisan ini mendudukkan moderasi beragama pada konteks
politik identitas yang diperankan oleh para kontestan tersebut di
wilayah negara Indonesia yang hingga kini terus menerus
bergejolak. Ada tiga pertanyaan yang akan dielaborasi, pertama,
mengapa pemikiran dan gerakan mederasi beragama yang
dibumikan oleh Kementerian Agama RI? Kedua, mengapa
kontestasi politik identitas di Indonesia diperankan oleh organisasi
sosial keagamaan selama ini? Terakhir, mengapa moderasi
beragama berideologi Pancasila sebagai landasan utama untuk
kebebasan beragama dan kemerdekaan hidup bersama? Tiga
pertanyaan ini akan menjadi pembahasan yang menarik saat ini
ketika ada ruang perebutan kursi kekuasaan. Pembahasan
menggunakan interpretasi teks dalam pandangan Paul Ricoeur
bahwa “teks selalu berusaha keluar dari tataran pengarang. Apa
yang dikatakan teks sekarang lebih berarti daripada apa maksud
yang dikatakan pengarang. Setiap penafsiran mengikuti mengikuti
prosedurnya dalam lingkaran makna yang tidak lagi berhubungan
dengan psikologi pengarang” (Masykur Wahid, 2015: 81).
Pemikiran dan Gerakan Moderasi Beragama
Moderasi beragama terdiri dari dua kata, “moderasi” dan
“beragama”. Dua kata tersebut tidak dapat dipahami maknanya
secara terpisah. Moderasi beragama menjadi sebuah terminologi
untuk menyebut kaum Muslim di Indonesia. Gus Dur menyebut
umat Islam di Indonesia dengan sebutan “negerinya kaum Muslim
moderat” (Abdurrahman Wahid, 2006: xvii). Moderasi berasal dari
bahasa Latin moderâtio yang berarti “kesedangan” (tidak kelebihan
dan tidak kekurangan) dan “penguasaan diri” (dari sikap sangat
kelebihan dan kekurangan). Moderasi dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) berarti “pengurangan kekerasan” dan
“penghindaran ke-ekstrem-an”. Misalnya, “orang itu bersikap
moderat” berarti bahwa orang itu bersikap wajar, biasa-biasa saja,
dan tidak ekstrem.
Moderasi dalam bahasa Arab dikenal dengan kata wasath
atau wasathiyah. Selain itu, memiliki persamaan makna dengan
kata tawassuth yang berarti “tengah-tengah”, i’tidal yang berarti
46
“adil”, dan tawazun yang berarti “berimbang”. Dalam praktiknya,
orang yang menerapkan prinsip wasathiyah dapat disebut wasith.
Kata wasathiyah berarti juga sebagai “pilihan terbaik”. Dalam
konteks ini, moderasi berarti “memilih posisi jalan tengah di antara
berbagai pilihan ekstrem”. Kata wasith sudah diserap ke dalam
bahasa Indonesia menjadi kata “wasit” yang berarti “penengah”,
“perantara” (dalam perdagangan, bisnis), “pelerai (pemisah,
pendamai) antara yang berselisih”, dan “pemimpin di
pertandingan”.
Pemaknaan kata moderasi di atas lebih memiliki signifikansi
dalam mereproduksi peradaban manusia tanpa ekstremisme apabila
di dalam satu terminologi dengan beragama (menganut agama).
Dalam pandangan Kementerian Agama RI, tepat bahwa moderasi
beragama harus dipahami sebagai “sikap beragama yang seimbang
antara pengamalan agama sendiri (eksklusif) dan penghormatan
kepada praktik beragama orang lain yang berbeda keyakinan
(inklusif)”. Praktiknya, keseimbangan dalam beragama ini
menghindarkan dari sikap ekstrem berlebihan, fanatik dan sikap
revolusioner dalam beragama. Dapat dikatakan bahwa moderasi
beragama merupakan solusi atas hadirnya dua kutub ekstrem dalam
beragama, kutub ultra-konservatif atau ekstrem kanan di satu sisi,
dan liberal atau ekstrem kiri di sisi lain. Dengan demikian,
moderasi beragama dengan makna “adil dan seimbang” merupakan
kunci terciptanya toleransi dan kerukunan antarumat beragama,
baik di tingkat lokal, nasional, maupun global. Dalam konteks
masyarakat Indonesia yang multikultur, tentunya, moderasi
beragama dengan prinsip adil dan seimbang bukan hanya sebuah
pilihan, melainkan adalah keharusan (Kementerian Agama RI,
2019: 15-18).
Dari pengertian di atas, moderasi beragama dibumikan di
Indonesia dengan pemikiran dan gerakan yang telah mengakar
secara kultural sejatinya. Pembumian moderasi beragama
didasarkan juga pada hadits Nabi Muhammad Saw bahwa “khairul
umur ausathuha” (sebaik-baik persoalan adalah yang berada di
tengah) dalam kitab al-Maqashid al-Hasanah fi Bayan Kathir min
al-Ahadits al-Musytaharat 'ala al-alsinah karya Imam Muhammad
'Abd al-Rahman al-Sakhawi Nomor 455. Moderasi beragama
dibumikan di negeri bhineka tunggal ika dengan kerangka
pemikiran multikultur.
47
Multikultur (multicultural) merupakan istilah deskriptif
untuk mencirikan fakta keragaman budaya (cultural diversity) di
dalam masyarakat. Istilah “budaya” yang dimaksud pada
keragaman budaya adalah mengacu kepada suatu sistem, seperti
pada keyakinan dan praktik. Dengan ketertanaman budaya di dalam
aktivitas dan relasi manusia, budaya menjadi pusat perhatian agama
dan etnik. Relasi antara budaya dan agama terkait erat. Budaya dan
agama saling mempengaruhi satu sama lain pada berbagai tingkat.
Budaya dapat mempengaruhi bagaimana agama diinterpretasikan,
ritual dilakukan, dan tempat ibadah ditetapkan di dalam kehidupan
sosial. Sebaliknya, agama dapat mengonstruksi sistem keyakinan
dan praktik pada budaya ketika individu atau komunitas berpindah
agama, cara berpikir dan hidupnya akan mengalami perubahan
penting. Oleh sebab itu, mengapa individu berganti agama
membawa budayanya ke dalam agama barunya, seperti perbedaan
di antara individu Muslim di Indonesia, India, Iran, dan Aljazair,
atau Kristianitas di Cina, Mesir, dan Amerika. Dari realitas relasi
agama dan budaya, tak ada agama yang “bebas-budaya” dan
kehendak Tuhan tidak dapat memperoleh makna manusia yang
sudah ditentukan tanpa “mediasi budaya”. Dalam agama Kristen
diyakini bahwa Kristus adalah Tuhan, akan tetapi kepastian
kekristenan (Kristinitas) adalah fenomena budaya (Parekh, 2000:
147). Begitu pula, etnisitas adalah fenomena budaya. Komunitas
etnik memiliki sistem keyakinan dan praktik yang diwujudkan di
dalam adat, ritual, dan perayaan budaya, misalnya etnik Bugis,
Buton, Makassar dan etnik lainnya. Etnik Bugis, misalnya, adalah
fenomena budaya faktual yang mempertemukan dan saling
mempengaruhinya antara agama dan etnik di mana budaya sebagai
mediator. Dengan demikian, keragaman moral dan budaya
merupakan faktisitas budaya di dalam masyarakat multikultur.
Ada empat argumentasi filosofis atas keragaman moral dan
budaya yang didasarkan pada realitas keragaman pandangan moral
dan budaya. Pertama, keragaman moral dan budaya dapat
“meningkatkan berbagai pilihan yang tersedia dan memperluas
kebebasan memilih”. Hal itu penting tetapi membatasi, karena
menilai budaya-budaya lain sebagai obyek pilihan potensial tidak
menghormati budaya-budaya yang realistis, seperti masyarakat
pribumi, komunitas etnik, jama’ah Ahmadiyah. Kedua, keragaman
budaya merupakan “hasil yang tak terhindarkan dan legitimit
48
terhadap pelaksanaan hak” (Parekh, 2000: 165-166). Dengan
keragaman yang tak terhindarkan, masyarakat harus menciptakan
kondisi kondusif, tidak cukup sekadar memberi hak formal pada
budaya, seperti menghormati perbedaan, memelihara keyakinan
diri minoritas, dan penyediaan sumber daya tambahan kepada yang
membutuhkan.
Ketiga, keragaman budaya dapat “menciptakan dunia yang
kaya, bervariasi, serta menyenangkan dan menstimulasi secara
estesis”. Namun, keragaman yang didasarkan pada estetika tidak
meyakinkan dunia moral dan sosial yang seragam, bahkan antara
keduanya seringkali konflik. Keempat, keragaman budaya dapat
“mendorong kompetisi yang sehat antara sistem yang berbeda dari
ide-ide dan cara hidup, dan keduanya mencegah dominasi salah
satunya serta memfasilitasi kebenaran baru muncul”. Namun,
kompetisi dalam individualitas dan progresivitas itu berpandangan
pada keunggulan manusia, akan tetapi instrumental dan tidak
apresiatif terhadap nilai intrinsik, seperti tidak mampu
mempertahankan hak-hak masyarakat pribumi, jama’ah
Ahmadiyah, komunitas religius ortodok, dan lainnya untuk
menemukan kebenaran baru (Parekh, 2000: 165-167).
Argumentasi filosofis keragaman moral dan budaya
tersebut menjelaskan bahwa moral dan budaya yang berbeda
memperbaiki dan melengkapi satu sama lain mengenai bentuk baru
pemenuhan manusia, seperti keselarasan dengan alam, satu rasa
akan keseimbangan ekologis, kepuasan, kejujuran, dan
kesederhanaan. Dalam konteks itu, keragaman moral dan budaya
merupakan penentu dan kondisi kebebasan manusia. Selain itu,
keragaman moral dan budaya menyadarkan kepada manusia akan
adanya keragaman moral dan budaya dalam dirinya, seperti
mendorong dialog internal budaya, menciptakan ruang pemikiran
kritis dan independen, dan mempertahankan kemampuan
eksperimental. Sebaliknya, budaya atau agama homogen akan
menghapus perbedaan dan memunculkan ambiguitas internal. Oleh
sebab itu, keragaman moral dan budaya menciptakan iklim dialog
yang saling menguntungkan (Parekh, 2000: 167-168).
Meski demikian, dalam keunggulan keragaman moral dan
budaya itu, “moral dan budaya mudah melemahkan dan sulit
menciptakan”. Misalnya, dikatakan bahwa masyarakat homogen
secara budaya memiliki kelebihan, satu perasaan dalam komunitas,
49
solidaritas,
komunikasi
antarpersonal
lebih
mudah,
mempertahankan satu budaya yang besar, relatif mudah disatukan,
ekonomis secara psikologis dan politis, dan dapat mengandalkan
mobilitas loyalitas anggota, akan tetapi masyarakat homogen itu
cenderung tertutup, intoleran, antiperubahan, menyesakkan dan
menindas, melemahkan perbedaan, ketidaksepakatan, dan
eksperimen dalam hidup. Dengan demikian, multikulturalisme
tidak berkomitmen pada pandangan bahwa “hanya cara hidup yang
terbuka secara budaya terbaik”, akan tetapi mengakui bahwa “good
life dapat menyebabkan beberapa cara yang berbeda termasuk
mandiri secara budaya dan menemukan ruang kedua”. Namun
demikian, jika yang lain dianggap setara, maka “cara hidup yang
terbuka dan budaya yang berbeda lebih baik daripada cara hidup
yang mandiri secara budaya” (Parekh, 2000: 167-172). Atas dasar
kesetaraan, keragaman moral dan budaya membutuhkan
argumentasi keadilan, karena tak mungkin masyarakat mayoritas
akan menerima kewajiban keadilan terhadap masyarakat minoritas
tanpa kepercayaan bahwa masyarakat mayoritas akan memperoleh
sesuatu dalam proses tersebut (Kymlicka, 1995: 127).
Dengan pemikiran multikultur tersebut, pembumian
moderasi beragama di negeri bhineka tunggal ika ini wajib
digerakkan dengan dua gerakan, yaitu toleransi dan antikekerasan.
Tak cukup hanya mengandalkan kewajiban kesetaraan dan
keadilan, tanpa gerakan tolerasi dan antikekerasan di dalam
masyarakat mayoritas dan minoritas. Pertama, toleransi merupakan
sikap untuk memberi ruang dengan tidak mengganggu hak orang
lain untuk berkeyakinan, mengekspresikan keyakinannya, dan
menyampaikan pendapat, meskipun hal tersebut berbeda dengan
apa yang diyakini sepanjang bukan hal yang sifatnya ushuliyyah
(pokok-pokok ajaran agama), dan tidak berpotensi merusak sendisendi agama. Toleransi menekankan pada sikap terbuka, lapang
dada, sukarela, dan lembut dalam menerima perbedaan, sehingga
toleransi selalu disertai dengan sikap hormat, menerima orang yang
berbeda sebagai bagian dari diri kita, dan berpikir positif terhadap
perbedaan tersebut. Berpikir positif akan muncul jika yang
diprioritaskan adalah kesamaan universal, bukan perbedaan yang
sifatnya parsial. Toleransi sangat dibutuhkan dalam dunia
demokrasi, sebab akan menjadi landasan dan roda dalam
menjalankan demokrasi. Demokrasi hanya bisa berjalan ketika
50
seseorang mampu mengungkapkan pendapatnya dengan baik dan
benar, sekaligus mampu juga untuk menerima pendapat orang lain.
Oleh karena itu, kematangan demokrasi sebuah bangsa, antara lain
bisa diukur dengan sejauh mana toleransi bangsa itu. Semakin
tinggi toleransinya terhadap perbedaan, maka bangsa itu cenderung
semakin demokratis, demikian juga sebaliknya.
Toleransi sebenarnya tidak hanya terkait dengan keyakinan
agama, namun bisa terkait dengan perbedaan ras, jenis kelamin,
perbedaan orientasi seksual, suku, budaya, dan sebagainya. Dalam
konteks gerakan toleransi, toleransi dalam beragama yang menjadi
tekanan adalah toleransi antaragama dan toleransi intraagama, baik
terkait dengan toleransi sosial maupun politik. Hal ini bukan berarti
toleransi di luar persoalan agama tidak penting, tetapi yang paling
sensitif dan yang paling kuat menjadi pemicu konflik, yaitu
toleransi beragama yang menjadi inti dari moderasi beragama.
Dengan toleransi antaragama, kita dapat melihat sikap kita pada
pemeluk agama lain, kesediaan berdialog, bekerja sama, pendirian
tempat ibadah, serta pengalaman berinteraksi dengan pemeluk
agama lain. Toleransi intraagama dapat digunakan untuk
menyikapi perbedaan dalam amaliah ibadah dalam berbagai
madzhab dan bahkan perbedaan pada sekte-sekte minoritas yang
dianggap menyimpang dari arus besar agama tersebut (Keputusan
Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor 2974, 2020).
Kedua, antikekerasan dalam moderasi beragama ini dipahami
sebagai suatu ideologi (ide atau gagasan) dan paham yang ingin
melakukan perubahan pada sistem sosial dan politik dengan
menggunakan cara-cara antikekerasan (ekstrem) nuansa agama,
baik kekerasan verbal, fisik dan pikiran. Inti dari tindakan
kekerasan adalah sikap dan tindakan seseorang atau kelompok
tertentu yang menggunakan cara-cara kekerasan dalam mengusung
perubahan yang diinginkan yang dikenal dengan istilah
radikalisme. Kelompok radikal umumnya menginginkan
perubahan tersebut dalam tempo singkat, secara drastis, dan
bertentangan dengan sistem sosial yang berlaku, bahkan bisa
mengesahkan tindakan kekerasan untuk melakukannya.
Radikalisme pada mulanya berangkat dari verbal (pendapat),
namun terus meningkat hingga menjadi aksi teror. Orang yang
radikal dapat melakukan cara apapun agar keinginannya tercapai,
termasuk meneror pihak yang tidak sepaham dengan mereka.
51
Sebenarnya radikalisme tidak dapat dikaitkan dengan agama
tertentu, meskipun di Indonesia lebih banyak dialamatkan ke
agama Islam. Pada dasarnya, radikalisme bisa melekat pada semua
agama, bukan hanya Islam saja. Salah satu indikatornya, adanya
tempat ibadah yang dibakar dan dirusak oleh pelaku radikalisme,
misalnya berupa masjid, gereja, pura, klenteng atau rumah ibadah
lainnya (Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor
2974, 2020).
Kontestasi Politik Identitas di Indonesia
Dalam konteks politik identitas, identitas sosial yang plural
membentuk masyarakat multikultur. Identitas sosial merupakan
perpaduan dari normativitas dan kekuasaan, yang dilegitimasi
dalam bahasa tubuh keyakinan yang berlaku dan ditopang oleh
relasi kekuasaan yang berlaku. Atas dasar pengertian identitas
sosial itu, masyarakat adalah sebuah sistem identitas yang
diartikulasikan dengan baik, masing-masing tunduk pada normanorma tertentu, membawa hak atau milik pribadi tertentu, dan
ditegakkan oleh sanksi formal dan informal yang membentuk
bagian dari rezim disiplinnya. Dalam masyarakat yang sadar ras,
hitam dan putih kategori sosial yang signifikan, dan masyarakat
diklasifikasikan menjadi sasaran norma-norma tertentu, bentuk
relasi, stereotip, dan cara penanganan (Parekh, 2008: 16).
Istilah “identitas” (identity) dipahami secara berbeda-beda
dalam penggunaannya. Identitas diartikan adalah “suatu rasa
kesamaan atau kesatuan personalitas”, dan dapat juga untuk
menyebut “otentisitas” (Parekh, 2008: 279). Dalam masyarakat
multikultur, identitas lebih tepat diartikan dengan otentisitas.
Masyarakat multikultur memiliki beberapa identitas sosial, di mana
tidak semua masyarakat setara dalam jangkauan dan kedalaman,
karena adanya perbedaan otentisitasnya. Oleh sebab itu, dalam
pluralitas identitas sosial, identitas agama dan etnik cenderung
memainkan peran bagi sebagian besar seorang individu di dalam
masyarakat (Parekh, 2008: 21).
Identitas sosial merupakan cara di mana individu
menempatkan dan mengorientasikan diri di dunia. Untuk itu,
penting dijelaskan identitas individual yang merupakan tiga
dimensi yang saling terkait tak terpisahkan. Pertama, identitas
pribadi. Sebagai identitas pribadi, manusia merupakan “individu
52
yang unik, pusat kesadaran diri yang berbeda, memiliki tubuh yang
berbeda, rincian biografis, kehidupan batin yang tak tereliminasi,
dan rasa kedirian atau subjektivitas”. Kedua, identitas sosial.
Sebagai identitas sosial, dijelaskan bahwa: “Manusia tertanam
secara sosial, sebagai anggota dari etnik, agama, budaya, pekerjaan,
nasional, dan kelompok yang berbeda lainnya, serta terkait dengan
orang lain dalam berbagai cara, baik formal dan informal.” Dalam
kehidupan sosial, identitas sosial seorang individu dalam
masyarakat mendefinisikan dan membedakan diri, serta
didefinisikan dan dibedakan oleh orang lain. Ketiga, identitas
individual atau identitas keseluruhan. Sebagai identitas individual,
manusia berbeda di alamnya, muncul dalam cara yang berbeda,
dapat dan harus dibedakan untuk melawan tendensi pada saat yang
luas untuk menyamakan identitas individu dengan salah satu dari
identitas pribadi atau sosial (Parekh, 2008: 9).
Sebagaimana identitas individual, identitas nasional lebih
dari itu, sangat kompleks, berlapis-lapis, terdiri dari yang berbeda
dan seringkali mengalami konflik pemikiran, pola perilaku, nilainilai dan cita-cita yang terakumulasi selama berabad-abad.
Kompleksitivitas identitas nasional memiliki keuntungan dan
kerugian. Keuntungannya sebagai rekaman historis, debat publik,
dan artikulasi institusional. Kerugiannya sebagai peleburan banyak
orang, masa lalu yang panjang, kepentingan yang dominan dan
manipulasi ideologis. Atas dasar itu, Parekh mengartikan identitas
nasional adalah: “Komunitas politik yang memiliki sejarah
tertentu, tradisi, keyakinan, kualitas karakter, dan memori historis,
yang membatasi berbagai alternatif membukanya.”
Dari pengertian tersebut, identitas nasional bukan fakta hidup
yang primordial, kasar dan tak dapat diubah, serta pasif diwarisi
oleh setiap generasi. Oleh sebab itu, identitas nasional bukan
substansi, melainkan klaster intensi yang saling terkait yang
seringkali menarik dalam arah yang berbeda, dan setiap generasi
harus mengidentifikasi nilai-nilai dan cita-cita yang terlalu tidak
pernah transparan dan tidak ambigu (Parekh, 2008: 60-61).
Identitas nasional dalam praktiknya merupakan istilah yang
digunakan di dalam dua arti yang terkait tetapi berbeda, yaitu antara
identitas individual dan identitas nasional. Identitas individual
mengacu pada “anggota dari komunitas politik sebagai perbedaan
jenis lain dari komunitas”, sedangkan identitas nasional mengacu
53
pada “identitas komunitas politik” (Parekh, 2008: 56). Misalnya,
orang Indonesia adalah identitas nasional, orang Kristen atau Bugis
adalah identitas individual religius atau etnis, sedangkan Indonesia
adalah komunitas politik daripada lainnya.
Identitas nasional adalah bagian penting dan sering dihargai
oleh identitas individual. Pada sisi gelap, identitas nasional dapat
mudah menjadi sumber konflik dan perpecahan. Hal itu terjadi
karena identitas nasional merupakan hasil seleksi, yang
menekankan salah satu pandangan moral dan budaya, dan
mendelegitimasi pandangan yang lain. Bahkan, identitas nasional
dapat menjadi wahana membungkam suara-suara pembangkang
dan membentuk seluruh masyarakat dalam imajinasi tertentu
dengan segala implikasinya yang otoriter dan represif. Di dalam
masyarakat multikultur, identitas nasional menimbulkan
keragaman yang tak terhindarkan atas nilai, visi good life, dan
interpretasi historis (Parekh, 2000: 231).
Dengan demikian, begitu penting identitas sosial yang plural
di dalam masyarakat multikultur, karena setiap identitas sosial
merupakan cara tertentu dalam memandang dunia. Identitas sosial
yang plural berarti individu berperspektif plural, di mana masingmasing melengkapi wawasan dan mengoreksi keterbatasan lainnya.
Secara kolektif masyarakat membuat posibilitas pandangan dunia
yang lebih luas, lebih bernuansa, dan dapat dibedakan (Parekh,
2008: 24). Konsekuensinya, tak bisa dihindari, kontestasi politik
identitas terus menerus digerakkan oleh kontestan (partai politik
atau organisasi sosial keagamaan yang berafiliasi kepada partai
politik) untuk merebut kekuasaan di dalam sistem demokrasi
Pancasila yang berprinsip pada bhinneka tunggal ika. Untuk itu,
merawat identitas nasional dengan terus menerus menumbuhkan
nasionalisme tanpa henti di dalam gerakan moderasi beragama.
Moderasi Beragama Berideologi Pancasila
Fenomena kontestasi politik identitas di Indonesia meneguhkan
kembali moderasi beragama berideologi Pancasila sebagai
landasan filosofis bersama (commom philosophical ground) untuk
kebebasan beragama dan kemerdekaan hidup bersama. Ideologi
negara, Pancasila, sangat menekankan terciptanya kerukunan
antarumat beragama. Indonesia menjadi contoh bagi bangsabangsa di dunia dalam keberhasilan mengelola keragaman moral
54
dan budayanya. Bahkan, Indonesia dianggap berhasil dalam
menyandingkan secara harmoni cara beragama dengan bernegara.
Konflik dan gesekan sosial dalam skala kecil memang masih kerap
terjadi, namun selalu berhasil keluar dari konflik. Bangsa bhinneka
tunggal ika kembali pada kesadaran atas pentingnya persatuan dan
kesatuan sebagai bangsa yang besar, yakni bangsa yang
dianugerahi keragaman oleh Tuhan Yang Mahaesa. Namun, harus
tetap waspada. Salah satu ancaman terbesar yang dapat memecah
belah bangsa, yaitu konflik nuansa agama, terutama yang disertai
dengan aksi-aksi kekerasan. Mengapa? Karena, agama apapun dan
di manapun, memiliki sifat dasar keberpihakan yang sarat dengan
muatan emosi dan subjektivitas tinggi, sehingga selalu melahirkan
ikatan emosional pada pemeluknya. Bahkan, bagi pemeluk fanatik,
agama merupakan “benda” suci yang sakral, angker, dan keramat.
Fanatisme ekstrem terhadap kebenaran tafsir agama seringkali
menyebabkan permusuhan dan pertengkaran di antara mereka
(Kementerian Agama RI, 2019: 5).
Konflik nuansa agama ini dapat menimpa berbagai organisasi
sosial keagamaan atau madzhab fikih dalam satu agama yang sama
(sektarian atau intraagama), atau terjadi pada beragam organisasi
sosial keagamaan dalam agama-agama yang berbeda (komunal
atau antaragama). Biasanya, awal terjadinya konflik nuansa agama
ini disulut oleh sikap saling menyalahkan tafsir dan paham
keagamaan, merasa benar sendiri, serta tidak membuka diri pada
tafsir dan pandangan keagamaan orang lain. Dalam konflik sosial,
tindakan permusuhan dan pertengkaran merupakan perilaku sosial
seorang manusia dalam masyarakat multikultur. Perilaku sosial
individu tersebut tertanam atau dilatarbelakangi oleh kondisi sosial
dan konteks budaya yang menumbuhkan dan mengembangkannya.
Perilaku sosial antarindividu yang berkonflik memiliki konteks
historis. Misalnya, konteks kejadian tragedi konflik sosial di Poso,
Ambon, dan Cikeusik.
Konflik di dalam masyarakat Poso pertama kali terjadi pada
24 Desember 1998, tepatnya pada malam Natal di bulan
Ramadhan. Poso merupakan salah satu kabupaten di provinsi
Sulawesi Tengah. Pada saat itu berdasarkan Peraturan Menteri
Dalam Negeri No. 18 tahun 2013, luas wilayah provinsi adalah
61.841,29 km2. Dengan luas provinsi tersebut wilayah kabupaten
55
Poso adalah 7.112,25 km2 yang dikelilingi oleh dua belas
kabupaten/kota, yaitu: Banggai Kepulauan, Banggai, Morowali,
Donggala, Tolitoli, Buol, Parigi Moutong, Tojo Una-Una, Sigi,
Banggai Laut, Morowali Utara, dan Palu. Masyarakat Poso
berjumlah 225.379 jiwa, yang terdiri dari 116.827 jiwa berjenis
kelamin laki-laki dan 108.552 jiwa berjenis kelamin perempuan.
Komposisi kehidupan religius memiliki keragaman moral dan
budaya. Dalam perspektif agama-agama yang diakui negara
kehidupan religius terdiri dari agama yang berbeda-beda: Islam
43,99%, Kristen Protestan 47,42%, Kristen Katolik 1,62%, Hindu
6,74%, dan Budha 0,22% (Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi
Tengah, 2013). Dalam kehidupan religius internal Kristen,
Protesan sebagai mayoritas dan Katolik sebagai minoritas. Dalam
kehidupan antaragama, Kristen sebagai agama mayoritas dan Islam
sebagai agama minoritas.
Komposisi kehidupan sosial masyarakat Poso terdiri dari
masyarakat pribumi dan nonpribumi. Masyarakat pribumi di dalam
masyarakat Poso berasal dari etnik yang berbeda-beda: Etnik Kaili,
Pamoa, Mori, dan Wana. Masyarakat nonpribumi dalam
masyarakat Poso berasal dari daerah yang berbeda-beda: Sulawesi
Selatan, Sulawesi Utara, Jawa, Gorontalo, Lombok, Bali, dan
sebagian kecil dari daerah yang lain. Komposisi kehidupan sosial
tersebut memproduksi afiliasi etnik, seperti paguyuban Jawa,
Bugis-Makassar, Bali, dan Gorontalo. Afiliasi etnik diperkuat lagi
dengan afiliasi religius. Kehidupan afiliasi religius masyarakat
Poso didominasi oleh Islam dan Kristen yang dianut oleh
masyarakat nonpribumi. Mayoritas penduduk pribumi menganut
kehidupan religius Kristen sekaligus bagian dari etnik Pamona dan
Mori (Darlis, 2012: 29-30).
Pada tahun 2012 pasca konflik, terorisme tumbuh subur di
wilayah Poso, sebagaimana dilaporkan oleh Lembaga Pusat Studi
Hak Asasi Manusia (LPS-HAM) Sulawesi Tengah yang menilai
bahwa kepolisian harus ikut bertanggung jawab atas tewasnya dua
anggotanya di Poso, yang diduga dibunuh kelompok teroris.
Bahkan, menurut deklarator Malino I dan tokoh agama, Pendeta
Rinaldy Damanik, pemulihan Poso pasca konflik masih terabaikan.
Politik pembiaran dilakukan dengan tidak memulihkan sama sekali
bangunan di kompleks masyarakat Muslim dan Kristen. Trauma
kekerasan yang dialami masyarakat tetap dibiarkan. Negara tidak
56
melakukan peningkatan kesejahteraan yang disinergikan dengan
program penegakan hukum dan peningkatan keamanan. Dalam
catatannya, konflik Poso pada tahun 1998-2000 sudah membunuh
lebih
dari
3.000
orang
(http://indonesia.ucanews.com/2012/10/18/pusat-studi-ham).
Konflik masyarakat Ambon mulai terjadi pada 19 Januari
1999 ketika liburan hari raya Idul Fitri. Ambon dewasa ini
merupakan wilayah kabupaten kota di provinsi Maluku, yang
memiliki luas 359,45 km2. Wilayah Ambon dikelilingi oleh
sepuluh wilayah kapubaten/kota yang berbeda-beda, yaitu: Maluku
Tenggara Barat, Maluku Tenggara, Maluku Tengah, Buru,
Kepulauan Aru, Seram Bagian Barat, Seram Bagian Timur,
Maluku Barat Daya, Buru Selatan, dan Kota Tual (Bappeda
Provinsi Maluku). Komposisi gender masyarakat Ambon yang
berjumlah 379.615 jiwa, terdiri dari: laki-laki 189.728 jiwa dan
perempuan 189.887 jiwa (Badan Pusat Statistik Provinsi Maluku,
2013).
Pasca konflik pada tahun 2012, bahkan para tokoh Republik
Maluku Serikat (RMS) bersuka cita atas fenomena konflik sosial
itu, dengan segala bentuk propagandanya yang seolah-olah
mengajak para pemuka agama di Maluku untuk bertanggung jawab
dan melakukan perlawanan terhadap negara. Perlawanan
masyarakat Maluku dilatarbelakangi bahwa negara telah membuat
masyarakat Islam dan Kristen untuk menderita atas kejahatan dan
kekejaman aparat keamanan dan intelijennya. Selain itu, para tokoh
RMS juga mengajak anggota legislatif selaku representasi
masyarakat lokal untuk memprotes dan membenci kepada negara
(http://hankam.kompasiana.com/2012/05/25).
Konflik sosial yang ketiga terjadi pada 6 Februari 2011 di
dalam masyarakat Cikeusik. Wilayah Cikeusik sekarang ini
merupakan wilayah kecamatan di Kabupaten Pandeglang, Provinsi
Banten, dengan luas wilayah 322,76 km2. Wilayah Cikeusik
dikelilingi oleh 34 wilayah kecamatan yang berbeda-beda, yaitu:
Kecamatan Sumur, Cimanggu, Cibaliung, Cibitung, Cigeulis,
Panimbang, Sobang, Munjul, Angsana, Sindangresmi, Picung,
Bojong, Seketi, Cisata, Pagelaran, Patia, Sukaresmi, Labuan,
Carita, Jiput, dan Cikedal, Menes, Pulosari, Mandalangi, Cimanuk,
Cipeucang, Banjar, Kaduhejo, Mekarjaya, Pandeglang, Majasari,
Cadasari, Karangtanjung, dan Koroncong. Wilayah Cikeusik
57
dibatasi secara administratif di sebelah utara, Kabupaten Serang; di
sebelah selatan, Samudera Indonesia; di sebelah barat, Selat Sunda;
dan di sebelah timur, Kabupaten Lebak. Penduduk masyarakat
Cikeusik berjumlah 52,281 jiwa. Komposisi gender masyarakat
Cikeusik terdiri dari jenis kelamin perempuan 25.552 jiwa dan lakilaki 26.729 jiwa (Badan Pusat Statistik Kabupaten Pandeglang,
2012).
Dari konteks fenomena konflik sosial di Poso, Ambon dan
Cikeusik, dapat dijelaskan bahwa perilaku sosial seorang manusia
yang memunculkan konflik sosial. Fenomena konflik sosial
tersebut benar merupakan konflik antarindividu di dalam
masyarakat multikultur. Konflik antarindividu dipahami dari tiga
perilaku seorang individu, sebagai berikut. Pertama, adanya
individu-individu dari komunitas yang terlibat dan mengalami
konflik sosial adalah anggota komunitas moral dan budaya yang
berbeda. Kedua, setiap individu dari komunitas moral dan budaya
yang terlibat dalam konflik meyakini bahwa Tuhan adalah tujuan
utama dan sekaligus yang mutlak. Ketiga, setiap individu dari
komunitas moral dan budaya memaknai kehidupan religiusitas dan
etnisitasnya merupakan bentuk penderitaan dan penerimaan di
dunia atas kehendak Tuhan.
Atas dasar perilaku sosial individu dari komunitas yang
terlibat di dalam konflik di atas, ada tiga unsur fundamental yang
memunculkan konflik sosial di dalam negara bhinneka tungga.
Pertama, keseragaman identitas. Masyarakat multikultur di dalam
sebuah negara-bangsa tentunya membutuhkan identitas nasional,
akan tetapi identitas nasional telah mereduksi identitas individual
setiap warga negara. Reduksi identitas nasional dalam bentuk
keseragaman identitas. Identitas nasional dapat dengan mudah
menjadi sumber konflik dan perpecahan, karena setiap definisi
identitas nasional tentunya selektif dan harus relatif sederhana
untuk mencapai tujuan yang diharapkan, maka identitas nasional
menekankan salah satu dari untaian pemikiran dan pandangan serta
mendelegitimasi atau meminggirkan yang lain”. Keseragaman
identitas melalui identitas nasional telah menjadikan kendaraan
pembungkam suara kritis dan membentuk seluruh masyarakat
dalam citra tertentu yang implikasinya otoritarian dan represif
(Parekh, 2000: 231). Rezim otoritarian Orde Baru telah
menanamkan definisi keseragaman identitas nasional bahwa
58
“Pancasila adalah asas tunggal”. Dalam praktiknya rezim Orde
Baru didominasi oleh etnik Jawa. Konflik Poso dan Ambon dipicu
oleh dominasi etnik nonpribumi, seperti Jawa atau Bugis.
Kedua, klaim kebenaran pandangan moral dan budaya.
Setiap masyarakat yang memiliki kehidupan religius, menganut
agama dan etnik tertentu dengan klaim kebenaran pandangan moral
dan budaya masing-masing. Benturan klaim kebenaran moral dan
budaya di dalam masyarakat multikultur tidak dapat dihindari.
Konflik Poso dan Ambon merupakan benturan pandangan
antarklaim kebenaran agama Kristen dan Islam. Bahkan, benturan
antarpandangan Islam, antara Islam Ahmadiyah dan Islam
mainstream di dalam konflik Cikeusik. Absensi negara terhadap
benturan klaim kebenaran pandangan tersebut menandai bentuk
pembiaran negara, dan kegagalan negara sebagai pengelola
perbedaan pandangan moral dan budaya. Bahkan, rezim Orde Baru
dan Orde Reformasi telah menanamkan klaim kebenaran
pandangan moral dan budaya dalam bentuk agama resmi negara.
Dengan adanya agama resmi negara itu, rezim Orde Baru menolak
Konghucu sebagai agama, serta rezim Orde Baru dan Orde
Reformasi menolak Islam Ahmadiyah sebagai agama resmi.
Karenanya, relasi agama dan negara harus dijaga dengan rekognisi
Pancasila sebagai landasan utama dalam pandangan moral dan
budaya yang universal dan plural. Sementara itu, agama dan etnik
seharusnya menjadi sumber alternatif moralitas dan kesetiaan, serta
terus mengingatkan bahwa menjadi manusia lebih bermartabat
daripada menjadi warga negara (Parekh, 2000: 328).
Ketiga, keseragaman sosial dalam keragaman moral dan
budaya. Keseragaman sosial terhadap masyarakat multikultur
hanya mereproduksi resistensi bahkan konflik sosial. Padahal,
masyarakat multikultur mengandung keragaman agama dan etnik
yang memiliki perbedaan pandangan moral dan budaya yang
berbeda-beda, yaitu keyakinan dan praktik good life yang berbedabeda. Pelarangan, pemaksaan dan penyesatan terhadap jamaah dan
doktrin Ahmadiyah supaya mengikuti agama mainstream atau
membentuk agama nonIslam merupakan bentuk keseragaman
sosial yang dilakukan negara supaya mengikuti agama resmi.
Keseragaman sosial itu tak lain adalah penghilangan kebebasan
beragama dan menganut kepercayaan etnik setiap warga negara,
sehingga konflik antarindividu memunculkan tragedi konflik
59
Cikeusik. Keseragaman sosial tersebut sebagai pemikiran monisme
moral yang memandang bahwa “perbedaan sebagai penyimpangan,
sebagai ungkapan patologi moral” (Parekh, 2000: 49). Selama
rezim Orde Baru dan rezim Reformasi semboyan bhineka tunggal
ika di dalam negara-bangsa yang multikultur hanya semata-mata
simbol, tanpa mengajarkan dan mempraktikkan nilai-nilai
perbedaan dan identitas yang menanamkan keragaman moral dan
budaya, serta prinsip memanusiakan manusia.
Tiga unsur fundamental di atas sangat berkaitan erat dengan
kondisi sosial yang membentuk karakter manusia yang berbedabeda dalam kehidupan bersama. Dalam mitos Phaedrus Plato
menjelaskan karakter manusia yang berbeda-beda berada di dalam
kebaikan dan kejahatan (good and evil). Karakter baik dan jahat
kembali hadir di dalam konflik antarindividu yang dipengaruhi oleh
gairah atau kemarahan pada satu sisi. Pada sisi lain konflik
antarindividu dipengaruhi oleh nafsu dan naluri hewani. Mitos
dalam pemikiran Plato tersebut serupa dengan apa yang dapat
disebut agama bawah tanah dalam segala usia dan negara (Plato,
1999: 51; 56).
Baik dan jahat dalam kehidupan sosial disebabkan oleh
“konflik antarindividu karena sikap egois seorang manusia”. Sikap
egois menimbulkan derita kepada orang lain. Sikap egois
(selfishness) dapat dipahami dengan membedakan dari sikap
mementingkan diri (self-interest). Keegoisan adalah perilaku
seorang manusia yang menempatkan diri sendiri di atas orang lain
dan mengejar kepentingan diri sendiri atas biaya orang lain.
Sementara itu, kepentingan diri adalah perilaku seseorang yang
mengamankan kondisi-kondisi dengan mempertimbangkan
eksistensi good life seutuhnya. Oleh karena itu, diyakini bahwa
“tak ada konflik di antara kepentingan diri pada seluruh manusia”.
Konflik sosial berawal dari pikiran (interpretasi) seseorang dalam
memahami kepentingan diri dan kepentingan orang lain dalam
kehidupan sosial. Dalam proses berpikir, seseorang mengalami
konflik yang dipengaruhi moralitas sosial. Secara moral seseorang
memenuhi kepentingan diri sesuai dengan tatanan sosial yang
legitimit, karena secara rasional sesuai dengan hasrat manusia yang
tepat. Meski demikian, seseorang seringkali memenuhi
kepentingan diri melebihi dari aturan sosial yang berlaku, bahkan
60
merampas dan menindas kepentingan orang lain (Parekh, 1989:
117).
Padahal, kehidupan manusia Indonesia sudah difasilitasi
dengan aturan sosial secara konstitusional yang termaktub di dalam
UUD 1945. Aturan sosial konstitusional terhadap hak dan
kewajiban warga negara yang patuh. Dalam teks Pembukaan UUD
1945 alinea pertama tertulis bahwa “sesungguhnya kemerdekaan
itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di
atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan”. Kemerdekaan manusia
sebagai bangsa adalah hak. Manusia yang merdeka berarti individu
yang memiliki hak kebebasan dari penjajahan, karena tidak
perikemanusian dan perikeadilan. Makna manusia yang merdeka
diperdalam di dalam Universal Declaration of Human Rights
(1948) pada Pasal 1 bahwa “semua manusia dilahirkan merdeka
dan mempunyai martabat dan hak yang sama. Mereka dikaruniai
akal budi dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu dengan yang
lain dalam semangat persaudaraan”.
Legitimasi konstitusional universal terhadap martabat
manusia yang merdeka berkat perikemanusiaan dan perikeadilan
seharusnya dirawat dalam semangat persaudaraan. Hal itu yang
seharusnya menjadi kesadaran bersama bahwa warga negara
memiliki perbedaan dan identitas dalam keragaman moral dan
budaya. Namun, bangsa Indonesia dewasa ini mengalami krisis
moral dan budaya dalam kehidupan sosial yang berujung pada tiga
tragedi konflik sosial. Corak konflik nuansa agama dan nuansa
etnik di berbagai wilayah Indonesia merupakan fakta krisis moral
dan budaya.
Moderasi beragama diperlukan sebagai strategi moral dan
budaya dalam merawat kebangsaan. Sebagai bangsa yang sangat
heterogen, sejak awal para pendiri bangsa sudah berhasil
mewariskan satu bentuk kesepakatan dalam berbangsa dan
bernegara, yakni Pancasila dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang telah nyata berhasil menyatukan semua kelompok
agama, etnis, bahasa, dan budaya. Indonesia disepakati bukan
negara agama, tapi juga tidak memisahkan agama dari kehidupan
sehari-hari warganya. Nilai-nilai agama dijaga, dipadukan dengan
nilai-nilai kearifan dan adat-istiadat lokal, beberapa hukum agama
dilembagakan oleh negara, ritual agama dan budaya berjalin
61
berkelindan dengan rukun dan damai (Kementerian Agama RI,
2019: 10).
Moderasi
beragama
berideologi
Pancasila
dapat
diimplementasi di dalam gerakan toleransi di Desa Balun
Lamongan. Desa Balun adalah desa yang paling unik di Kabupaten
Lamongan, bahkan mungkin di Indonesia. Di desa ini terdapat tiga
agama yang dipeluk oleh warganya, yaitu: Islam, Hindu, dan
Kristen, namun relasi kehidupan budaya dan agama relatif damai
dan penuh toleransi di tengah perbedaan agama, sehingga desa ini
dikenal dengan “Desa Pancasila” atau “Kampung Inklusif”. Tentu
fenomena ini menarik, karena di tengah perbedaan agama mereka
dapat membangun tata kehidupan budaya dan moral yang damai
dan harmonis. Sementara itu, di daerah lain perbedaan agama atau
keyakinan seringkali menjadi legitimasi atau pemicu terjadinya
konflik dan kekerasaan antarkelompok di masyarakat
(Kementerian Agama RI, 2019: 75).
Setidaknya dalam lima tahun ke depan, moderasi beragama
berideologi Pancasila telah dipaparkan dan didiskusikan bersama
Bappenas dan kementerian/lembaga lain pada 25 Juni 2019. Ada
empat arah kebijakan pemerintah yang akan ditempuh untuk mewujudkan program Prioritas Nasional Revolusi Mental dan
Pembangunan Kebudayaan, yakni:
1. Revolusi mental dan pembinaan ideologi Pancasila untuk
mengukuhkan ketahanan budaya dan mentalitas bangsa yang
maju, modern dan berkarakter
2. Pemajuan dan pelestarian kebudayaan untuk memperteguh jati
diri, meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan mempengaruhi
arah perkembangan peradaban dunia
3. Memperkuat moderasi beragama sebagai fondasi cara pandang,
sikap, dan praktik beragama jalan tengah untuk meneguhkan
toleransi, kerukunan, dan harmoni sosial
4. Meningkatkan budaya literasi, inovasi dan kreativitas untuk
mewujudkan masyarakat berpengetahuan, inovatif, kreatif, dan
berkarakter (Kementerian Agama RI, 2019: 133).
Dengan demikian, visi moderasi beragama sesungguhnya
dapat tumbuh subur di Indonesia, lebih subur ketimbang di negaranegara lain, karena kekuatan ideologi Pancasila dan prinsip bhineka
tunggal ika, yang memiliki misi menjaga keberagamaan, merawat
62
keragaman, berakulturasi dengan kebudayaan, serta menjaga
persatuan dan kesatuan masyarakatnya. Pada pidato kelahiran
Pancasila, 1 Juni 1945, Presiden pertama RI, Soekarno,
menyatakan: “Hendaknya Negara Indonesia ialah negara yang tiaptiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan,
yakni dengan tiada “egoisme-agama”. Dan, hendaknya negara
Indonesia satu negara yang ber-Tuhan. Marilah kita amalkan,
jalankan agama, baik Islam maupun Kristen, dengan cara yang
berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah hormat
menghormati satu sama lain” (Kementerian Agama RI, 2019: 155156).
Kesimpulan
Pancasila tertanam dalam moderasi beragama sebagai
landasan bersama (kalimatun sawa’ atau common platform) dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara yang ragam suku, agama, ras
dan antargolongan. Ideologi Pancasila ini-lah yang mengubah
kehidupan beragama dan berbudaya Indonesia yang multikultur
lebih dinamis dan harmonis. Oleh karena itu, dapat disimpulkan
bahwa pertama, untuk meneguhkan ideologi Pancasila di dalam
moderasi beragama, Kementerian Agama RI memastikan adanya
pemikiran multikulur dan gerakan moderasi beragama, yaitu
toleransi dan antikekerasan, supaya terus menerus mengakar di
bumi Nusantara. Kedua, untuk mendamaikan tensi konstelasi
kontestasi politik identitas di Indonesia yang diperankan oleh
organisasi sosial keagamaan selama ini, seluruh komponen bangsa
dan negara memastikan identitas nasional dirawat dalam
nasionalisme tanpa henti. Terakhir, untuk kembali menanamkan
moderasi beragama berideologi Pancasila sebagai landasan
filosofis bersama untuk kebebasan beragama dan kemerdekaan
hidup bersama. Dengan tiga simpul tersebut, diharapkan bahwa
moderasi beragama dalam kontestasi politik identitas tidak
terjerusmus pada ideologi terorisme dengan politik propaganda
nuansa agama.
63
Daftar Pustaka
al-Sakhawi, Imam Muhammad 'Abd al-Rahman. al-Maqashid alHasanah fi Bayan Kathir min al-Ahadits al-Musytaharat 'ala
al-Alsinah. Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Pandeglang, 2012.
Badan Pusat Statistik Provinsi Maluku, 2013.
Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tengah, 2013
Darlis, Andi Muh. 2012. Konflik Komunal: Studi dan Rekonsiliasi
Konflik Poso. Yogyakarta: Buku Litera.
http://hankam.kompasiana.com/2012/05/25.
http://indonesia.ucanews.com/2012/10/18/pusat-studi-ham.
Kementerian Agama RI, 2019. Moderasi Beragama. Jakarta:
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI.
Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor 2974 Tahun
2020 tentang Petunjuk Teknis Kuliah Kerja Nyata Moderasi
Beragama.
Kymlicka, Will. 1995. Multicultural Citizenship: A Liberal Theory
of Minority Rights. New York: Oxford University Press Inc.
Parekh, Bhikhu. 1989. Colonialism, Tradition and Reform: An
Analysis of Gandhi’s Political Discourse. Revised Edition.
New Delhi: Sage Publications.
_____________. 2000. Rethinking Multiculturalism: Cultural
Diversity and Political Theory. London: McMillan Press
Ltd.
_____________. 2008. A New Politics of Identity: Political
Principles for an Interdependent World. New York:
Palgrave MacMillan Press.
Plato. 1999. Euthyphro. Trans. Benjamin Jowett. Pennsylvania
State University: An Electronic Classics Series Publication.
Wahid, Abdurrahman. 2006. Islamku Islam Anda Islam Kita:
Agama Masyarakat Negara Demokrasi. Jakarta: The Wahid
Institute.
Wahid, Masykur. 2015. Teori Interpretasi Paul Ricoeur.
Yogyakarta: LKiS.
Wijaya, Ahsin. 2019. Kontestasi Merebut Kebenaran Islam di
Indonesia dari Berislam secara Teologis ke Berislam secara
Humanis. Yogyakarta: IRCiSod.
64
MODERASI BERAGAMA
DALAM DINAMIKA SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT
BANTEN
Fitri Raya, M.Ek
A. Pendahuluan
Keragaman dan perbedaan merupakan sunatullah yang
tidak dapat dielakkan dari panggung kehidupan (conditio sine
quo non), karena itu salah satu tantangan serius dalam
kehidupan beragama dewasa ini adalah bagaimana seorang
penganut agama dapat mendefinisikan dan memposisikan
dirinya secara tepat di tengah-tengah agama orang lain yang
berbeda dan beragam. Bahkan di tengah pusaran kencangnya
arus global di mana persentuhan dan pergaulan antar umat
beragama semakin dekat dan intens. Watak semua agama
adalah mencita-citakan kehidupan yang aman, tentram,
harmoni, dan damai. Tidak ada satu agama pun yang secara
teologis membenarkan pemeluknya memusuhi pemeluk agama
lain. Doktrin teologis semua agama menganjurkan pemeluknya
mengembangkan sikap akseptasi (kesediaan menerima
keanekaragaman), apresiasi (menghargai keyakinan yang
dianut kelompok lain) dan ko-eksistensi (kesediaan untuk hidup
berdampingan secara rukun dan damai dengan membiarkan
kelompok lain ada). Namun demikian, kendati di kalangan
umat beragama meyakini bahwa doktrin agama mereka
dipenuhi pesan-pesan persaudaraan dan kasih sayang antara
sesama manusia, tetapi tidak dengan sendirinya agama menjadi
garansi bagi terciptanya perdamaian. Bahkan dalam perspektif
tertentu, agama seringkali mewujudkan dirinya sebagai pisau
bermata dua; ia mendukung perdamaian, namun ia juga
menyediakan bahan bakar untuk membrangus perdamaian
manusia. Atas nama agama, manusia memupuk persaudaraan
dan persahabatan. Tapi atas nama agama pula manusia saling
bermusuhan bahkan saling membunuh satu sama lain.40
40
https://radarjember.jawapos.com/pascasarjana_iain/27/06/2019/watakmoderasi-beragama/ akses tanggal 10 Agustus 2020 jam 12.58 WIB.
65
Dalam banyak kasus, umat beragama masih sulit
membedakan mana doktrin agama yang bersifat normatif
(dilandasi teks-teks suci) dan mana pula yang tafsir terhadap
teks-teks suci (yang sarat bias kepentingan politis, sosiologis,
pragmatis). Tumpang tindih antara yang konsepsional normatif
dengan yang operasional interpretatif pada wilayah keagamaan
pada gilirannya menjadi embrio konflik. Untuk menyudahi
terjadinya konflik di kalangan umat beragama, sekaligus
mengembalikan agama pada fungsi dasarnya sebagai payung
harmoni, ketentraman dan kedamaian, maka sikap moderat dan
dialog antar umat beragama menjadi urgen dikembangkan
sebagai instrumen guna membuka kerangka hubungan dan
kerjasama yang saling menentramkan, sekaligus sebagai upaya
memperluas inklusifitas visi religiusitas kaum beragama.
Keberagamaan moderat merupakan sebuah cara
beragama yang lapang dan terbuka. Sikap terbuka ini akan
berdampak pada relasi sosial yang sejuk, sehat dan harmonis
antar sesama penganut agama. Hal ini berlandaskan toleransi
dan penghormatan akan kebebasan setiap orang untuk
meyakini, menjalani dan mengekspresikan agama yang
dianutnya, perbedaan cara beragama ini tidak boleh menjadi
penghalang bagi upaya saling menghormati, menghargai, dan
bekerjasama. Keberagamaan moderat merupakan proses
transformasi dan internalisasi nilai-nilai dasar dan ideal ajaran
agama yang berusaha mengaksentuasikan aspek-aspek
perbedaan dan disparitas kemanusiaan dalam konteksnya yang
luas sebagai suatu sunnatulloh yang mesti diterima dengan
penuh kearifan dan lapang dada di tengah kenyataan
kemanusiaan yang plural dalam segala dimensinya guna
mewujudkan tatanan kehidupan yang berkeadilan. Hal ini
merupakan usaha komprehensif dalam mencegah terjadinya
konflik antar agama, mencegah terjadinya radikalisme agama,
sekaligus pada saat yang sama memupuk terwujudnya sikap
yang apresiatif terhadap pluralitas dalam dimensi dan
perspektif apapun, karena Islam moderat memiliki visi dan misi
untuk mewujudkan agama pada sisi yang lebih santun, dialogis,
apresiatif dan peduli terhadap persoalan hidup umat manusia
yang komunal transformatif.
66
Moderasi agama merupakan salah satu pengejawantahan
rahmatan lil alamin dan telah dicontohkan secara memukau
oleh Rasulullah dan sahabatnya di Madinah. Itulah wajah Islam
yang orisinil yakni Islam yang moderat, toleran, ramah dan
akomodatif. Model beragama seperti ini, selain secara internal
dapat melahirkan konfigurasi keberagamaan yang bijak,
menentramkan dan hanif sesuai fitrah asasi manusia, juga
secara eksternal dapat mengkonstruk cara beragama yang
lapang dan terbuka serta mengutamakan titik temu dan
harmonisasi dalam membangun kehidupan majemuk sehingga
keberagamaan betul-betul berfungsi secara efektif sebagai
rahmat bagi seluruh mahluk Tuhan. Oleh karena itu,
memahami agama orang lain adalah penting, sehingga tidak
terjadi salah pengertian, dan saling menjunjung tinggi nilainilai moral dan nilai-nilai universal yang ada pada masingmasing agama. Sebab, kedua nilai itu merupakan ‘esensi
kemanusiaan’ yang diajarkan semua agama. Untuk memahami
agama orang lain itu harus bertolak dari pemahaman yang
bersipat integral bukan parsial. Di sini diperlukan minimal dua
persiapan dialog, yakni kesiapan intelektual dan kedewasaan
emosional.
Sebesar apakah peran agama dalam dinamika sosial
ekonomi sebuah tatanan masyarakat? Bicara moderasi
beragama tentu berkaitan erat dengan segala aspek, tak
terkecuali bagi prilaku sosial ekonomi tatanan masyarakat.
Agama dipahami memberikan pengaruh besar dalam berbagai
sektor kehidupan. Memang pada awal abad 20 agama pernah
diramalkan akan menemukan kematian seiring dengan
kemajuan sains dan teknologi. Ketika itu peran agama
diramalkan akan tergeser oleh kekuatan sains dan teknologi.
Namun, ramalan tersebut meleset atau tidak terbukti.
Kenyataannya, agama berperan sangat sentral di dalam
kehidupan manusia di abad 21 sekarang ini, tak terkecuali bagi
giat sosial ekonomi. Perlu ditegaskan bahwa agama tidak akan
pernah mati, bahkan sebaliknya ia menjadi peran utama.
Moderat (Wasatiyyah) berarti keseimbangan di antara
dua sisi, kiri dan kanan, seperti halnya sifat dermawan yang
berada di antara sifat pelit (bakhil) dan boros tidak pada
tempatnya (tabzir). Islam tidak melarang umatnya untuk
67
menjadi orang kaya. Justru sebaliknya, Allah SWT
memerintahkan setiap umat Islam menjadi orang kaya
sebagaimana tersirat dalam firman Allah surat Alqoshosh ayat
7741 dan surat Al-Jumu’ah ayat 10.42 Ini menunjukkan bahwa
Islam adalah agama yang sempurna. Semuanya berjalan sesuai
dengan fitrahnya, tidak ada yang bertentangan dengan fitrah
manusia. Bahkan dalam urusan sosial ekonomi pun tampak
dengan jelas kemoderatannya. Selama berabad-abad,
pergumulan manusia untuk bertahan hidup, melawan
kemiskinan, dan meningkatkan kesejahteraan, senantiasa
bertemu dan berdialog dengan keyakinan, agama, dan
pemahaman yang dibentuk atasnya.
Sebesar apakah peran agama dalam dinamika sosial
ekonomi? Bagaimanakah nilai-nilai spritual menggerakkan
roda ekonomi masyarakat Banten? Lantas apa pentingnya
moderasi beragama dalam dinamika sosial ekonomi
masyarakat Banten? Selama berabad-abad, pergumulan
manusia untuk bertahan hidup, melawan kemiskinan, dan
meningkatkan kesejahteraan, senantiasa bertemu dan berdialog
dengan keyakinan, agama, dan pemahaman yang dibentuk
atasnya. Filsof ekonomi terkemuka Amerika, Kenneth
Boulding (1970), menyatakan agama memberikan pengaruh
yang tak dapat diabaikan dalam perekonomian. Agama
menentukan keputusan jenis komoditas yang diproduksi,
kelembagaan ekonomi, dan perilaku sosial ekonomi suatu
kelompok masyarakat. Meskipun ilmu pengetahuan dan
teknologi, investasi, serta sumber daya alam, merupakan
faktor-faktor yang sangat berpengaruh dalam perkembangan
Artinya: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari
(kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana
Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di
(muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat
kerusakan”.
41
Artinya: “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di
muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya
kamu beruntung”.
42
68
sosial ekonomi, agama juga dipertimbangkan sebagai elemen
penting karena berperan membentuk etos kerja masyarakat.43
B. Agama dalam Pembangunan Sosial Ekonomi
Agama memegang peranan penting dalam kehidupan
masyarakat terutama dalam menyusun normanorma sosial
kemasyarakatan. Agama di satu sisi menuntut penganutnya
untuk bersikap eksklusif. Tapi pada sisi lain, agama juga
mengajarkan sikap inklusif atau terbuka. Agama hadir dalam
upaya menjaga, melindungi hak hidup masyarakat, serta untuk
melindungi hajat hidup manusia. Oleh sebab itu agama menjadi
dimensi utama dalam bingkai kehidupan sosial dan ekonomi
masyarakat. Jelas di dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa
persolan ekonomi merupakan hal yang sangat penting bagi
kehidupan manusia yang bercita-cita mewujudkan keadilan
sosial. Aktivitas ekonomi yang tidak seimbang, apalagi
menghalangi terwujudnya keadilan sosial dikutuk dengan
keras. Bahkan tidk ada kutukan yang lebih keras yang adal di
dalam Kitab Suci melainkan kutukan terhadap pelaku ekonomi
yang berlaku tidak adil.44
Pembangunan ekonomi merupakan salah satu dimensi
pembangunan yang dapat mendorong kemajuan masyarakat.
Adapun ukuran tingkat kemajuan ekonomi di masyarakat
adalah tingkat produktivitas dan etos kerja guna meraih
pencapaian yang tinggi. Dalam konteks inilah nilai-nilai ajaran
agama harus dimaknai sebagai factor pendorong terhadap
kemajuan dengan menumbuhkan etos kerja tinggi yang
berorientasi pada peningkatan produktivitas ekonomi.45
Agama dan pembangunan sosial ekonomi merupakan
kisah yang menarik perhatian banyak ilmuwan. Max Weber,
sosiolog dan ekonom ternama Jerman, dalam bukunya yang
termashur, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism
43
Muhammad Ramadhan, Politik Ekonomi Islam Dalam Narasi
Pembangunan Nasional, Cet. Ke-1, (Yogyakarta : LKiS, 2018), hlm. 47.
44
Nurcholish Majid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, Edisi Baru
Cet. Ke-1, (Bandung : PT. Mizan Pustaka, 2008), Hlm. 87-88.
45
Muhammad Ramadhan, Politik Ekonomi Islam Dalam Narasi
Pembangunan Nasional, Cet. Ke-1, (Yogyakarta : LKiS, 2018), hlm. 1-2.
69
(1974), menyimpulkan agama merupakan faktor penyebab
kemunculan kapitalisme di Eropa Barat dan Amerika Serikat.
Weber mengungkapkan kemajuan ekonomi beberapa negara di
Eropa dan Amerika Serikat di bawah kapitalisme disebabkan
terutama oleh Etika Protestan yang dikembangkan Calvin.
Calvinisme mengajarkan seseorang sudah ditakdirkan untuk
masuk surga atau neraka. Tetapi, yang bersangkutan tidak
mengetahui takdir mana yang akan menimpanya. Satu cara
mengetahuinya adalah melalui kerjanya di dunia. Kalau
seseorang berhasil dalam kerja dunia, dia berpeluang besar
masuk surga. Sebaliknya, kegagalan di dunia besar
kemungkinan mengantarkannya ke neraka. Kepercayaan ini
medorong penganut Calvinisme bekerja keras. Mereka bekerja
giat meraih kesuksesan bukan demi kekayaan material semata,
melainkan lebih untuk menghalau kecemasannya.46
Roberth N. Bellah mengakui bahwa Islam juga terbukti
memberikan pengaruh yang cukup kuat dalam proses
perubahan sosial menuju peradaban yang gemilang. Bahkan
Islam dinilai sebagai sebagai agama yang mampu
berkomunikasi dengan realitas sosial yang dianggap baru
sejak masa klasik sampai memasuki masa sekarang modern dan
postmodern. Sementara, jika agama dijadikan sebagai pilar dan
spirit dalam menerapkan kebijakan public maka nilai-nilai
luhur agama akan tercipta sebuah tatanan masyarakat yang
berperadaban (citizen) atau masyarakat madani (civil,
tamaddun, dan mutamaddun). Yaitu sebuah masrakarat yang
damai, tentram dan sejahtera, seperti masyarakat yang telah
dibangun oleh Rasulullah di Madinah.47
Dalam konteks lebih luas terciptanya masyarakat yang
madani dapat juga dilihat dari pelaksanaan pemeritahan yang
bersih (clean governance) dan pola kegiatan ekonomi di
46
Pippa Norris & Ronald Inglehart, Sekularisasi Ditinjau Kembali: Agama
dan Politik di Dunia Dewasa Ini, Cet. Ke-1, (Tangerang : Pustaka Alvabet,
2009), hlm. 194.
47
Mujiburrahman, Dimensi Agama Dalam Pembangunan Negara (Kajian
Transformasi Pendidikan Islam Di Indonesia), Jurnal Ilmiah DIDAKTIKA, Vol.
18, No. 2, Februari 2018, hlm. 189-204.
70
masyarakat berjalan dengan baik dengan menjujung tinggi
nilai-nilai keadilan sosial. Inilah yang menjadi rule and
principle dalam implementasi agama dalam bidang sosial
ekonomi. Ekonomi tidak hanya bertumpu pada keuntungan
semata, akan tetapi bagaimana kegaiatan ekonomi yang
dilakukan memperhatikan dimensi sosial. Tentu hal ini menjadi
sebuah keharusan bagi semua pelaku ekonomi yang ada.
C. Pentingnya Moderasi Beragama dalam Aktivitas Sosial
Ekonomi
Agama hadir ke dunia menjadi bagian dari kehidupan
manusia. Ada dan tidaknya agama tergantung dengan manusia,
karena memang adanya selalu melekat dalam diri sanubari
manusia. Secara umum, manusia percaya terhadap Tuhan yang
mengendalikan hidup mereka sebagai awal dari Sebuah agama,
terutama ketika seseorang kehilangan akal rasional untuk
memecahkan problem kehidupannya. Agama memiliki peran
dalam seluruh aspek kehidupan manusia termasuk dalam
aktivitas sosial ekonomi.
Agama tidak hanya mengajarkan bagaimana
berhubungan dengan Tuhan-nya yang sering disebut sebagai
ritual. Setiap agama juga mengajarkan setiap manusia harus
hidup di muka bumi secara normal, berhadapan dengan
serangkaian permasalahan hidup di dunia. Tugas-tugas
keduniaan yang diajarkan oleh setiap agama kepada semua
pengikutnya mempengaruhi cara mereka dalam menyikapi dan
menjalani kehidupan dunianya dengan mendasarkan ajaran
agama yang bersangkutan, sesuai dengan taraf pemikiran dan
kebutuhan mereka. Sementara itu, akal manusia sendiri terus
berkembang demi mengembangkan peradaban yang terkait
upaya memenuhi kebutuhannya, tentang bagaimana mereka
memanfaatkan alam sekitarnya demi kebutuhan itu. Dalam
sejarah perkembangan ilmu dan teknologi, agama juga
senantiasa berperan dalam mengubah dunia ini melalui
pemeluknya.48
Khadiq, Agama Sebagai “Modal” Pembangunan Masyarakat, Jurnal
Aplikasi llmu-ilmu Agama, Vol. VI, No.2 Desember 2005, hlm. 122-141.
48
71
Pemahaman Islam secara moderat menjadi sangat
penting karena sikap keberagaman yang moderat akan
menjadikan seseorang berkepribadian paripurna. Moderasi
beragama adalah cara pandang kita dalam beragama secara
moderat, yakni memahami dan mengamalkan ajaran agama
dengan tidak ekstrem, baik ekstrem kanan maupun ekstrem kiri.
Ekstremisme, radikalisme, ujaran kebencian (hate speech),
hingga retaknya hubungan antar umat beragama, merupakan
problem yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini.
Sehingga, adanya program pengarusutamaan moderasi
beragama yang digaungkan pemerintah saat ini dinilai penting
dan menemukan momentumnya. Bentuk ektremisme
terjewantahkan dalam dua kutub yang saling berlawanan. Satu
pada kutub kanan yang sangat kaku dalam beragama.
Memahami ajaran agama dengan membuang jauh-jauh
penggunaan akal. Sementara di pihak yang lain justru
sebaliknya, sangat longgar dan bebas dalam memahami sumber
ajaran Islam. Kebebasan tersebut tampak pada penggunaan akal
yang sangat berlebihan, sehingga menempatkan akal sebagai
tolak ukur kebenaran sebuah ajaran.
Kelompok yang memberikan porsi berlebihan pada teks,
namun menutup mata dari perkembangan realitas cenderung
menghasilkan pemahaman yang tekstual. Sebaliknya, ada
sebagian kelompok terlalu memberikan porsi lebih pada akal
atau realitas dalam memahami sebuah permasalahan. Sehingga,
dalam pengambilan sebuah keputusan, kelompok ini justru
sangat menekankan pada realitas dan memberikan ruang yang
bebas terhadap akal. Menjadi moderat bukan berarti menjadi
lemah dalam beragama. Menjadi moderat bukan berarti
cenderung terbuka dan mengarah kepada kebebasan. Keliru jika
ada anggapan bahwa seseorang yang bersikap moderat dalam
beragama berarti tidak memiliki militansi, tidak serius, atau
tidak sungguh-sungguh, dalam mengamalkan ajaran agamanya.
Lantas apa urgensinya moderasi beragama bagi sosial
ekonomi masyarakat? Maka jawabannya adalah moderasi
beragama dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat harus
dilakukan. Karena dengan berkembangnya industry keuangan
syariah yang menjadi trend beberapa tahun terakhir menjadi
ruang bagi para penggiat ekonomi konvensional untuk
72
merambah ke ekonomi Islam khususnya industry keuangan
syariah. Ini tentunya akan jadi masalah besar jika mereka yang
berkecimpung di industry syariah namun tidak memahami
ekonomi Islam secara utuh. System ekonomi Islam tidak hanya
berbicara seputar halal-haram dan riba saja, akan tetapi
bagaimana menerjemahkan teks (Al-Qur’an) yang ada ke
dalam konteks perilaku ekonomi. Hal ini tentunya perlu
pemahaman perangkat keilmuan yang mumpuni tidak hanya
ilmu ekonomi secara umum, akan tetapi juga fasih terhadap
ilmu-ilmu agama khususnya dibidang mauamalah agar
penerjemahan terhadap teks tidak parsial.
Selain hal tersebut diatas moderasi beragama sangat
perlu diutamakan dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat,
karena:49
1. Memelihara eksistensi agama-agama
Penganutan suatu agama harus didukung oleh ilmu
pengetahuan
dan
amal
perbuatan.
Amal
perbuatan
dimanifestasikan dalam dua pola hubungan, yakni hubungan
vertical yang secara rutin dengan sang Khaliq-Nya dan hubungan
horizontal dengan sesame makhluk Tuhannya. Hubungan vertical
yang rutin untuk membentuk dan membina kepribadian tiap insan
agar ia mampu melahirkan akhlaqul karimah yang diperlukan
sekali dalam membina hubungan horizontal. Sedangkan
manifestasi hubungan horizontal, selain hubungan intern suatu
agama juga untuk memelihara hubungan luar untuk penganut
agama lain. Mewjudkan kerukunan antar umat beragama
merupakan dari usaha untuk mendorong setiap penganut
konsekuen dengan agama yang ia anut, sehingga keberagamannya
bukan hanya dalam bentuk pengakuan tetapi dapat memberi nilai
bagi dirinya dan masyarakat.
Sebagai mahkluk sosial manusia dalam segi kehidupan
tidak mampu melepaskan diri dari keterkaitannya dengan orang
lain. Keterkaitan inilah yang menajdikan orang untuk berusaha
memperkecil sikap radikal dengan mempertimbangkan pihak lain
serta mengutamakan keadilan. Pengertian keadilan di sini adalah
49
Saidurrahman dan Arifinsyah, Nalar Kerukunan: Merawat Keragaman
Bangsa Mengawal NKRI, Cet. Ke-1, (Jakarta, Kencana : 2018), hlm. 89-94.
73
setiap golongan mempertimbangkan golongan atau pihak lain
dengan memelihara kondisi yang telah ada. Setiap golongan
memandangan golongan lain sebagaimana memandang
golongannya sendiri. Bila setiap golongan agama disamping
mengutamakan golongannya sendiri juga mempertimbangkan
golongan agama lain serta kondisi sosila yang ada, berarti setiap
golongan umta beragama telah memelihara wibawa masingmasing. Kewajiban ini menjadikan antara golongan umat beragama
saling menyegani, sehingga terbina rasa saling menghargai dan
saling menghormati. Apabila umat beragama mampu memelihara
wibawa masing-masing berarti telah memelihara eksistensi dan
kehidupan agama masing-masing.
2. Memelihara persatuan dan rasa kebangsaan
Dalam membangun dan membina masyarakat dan bangsa
dengan totalitasnya, perlu dipikirkan terutama generasi
penerusnya, agar keberagaman yang telah menyatu dengan alam
dan kondisi Indonesia ini difahami dan diterima oleh mereka.
Dengan penengertian tidak menjadikan keberagaman ini sebagai
topic permasalahan terutama yang sifatnya sensitive sekali yaitu
agama. Bila kita membalik lembaran sejarah dunia tidak sedikit
diperoleh catatan tentang rusaknya persatuan dan rasa kebangsaan
suatu Negara yang diakibatkan oleh tidak harmonisnya hubungan
dan pergaulan antara penganut agama yang berlainan.
Indonesia sebaga Negara pancasila dalam penganutan
agama menganut prinsip kebebasan, termasuk menyiarkan agama
itu sendiri. Negara dan pemerintah tidak menghalangis setiap
golongan agama untuk menyiarkan dan menyebarkan agamanya.
Namun, demikian kebabesan ini tidak ditafsirkan dengan
kebebasan tanpa batas dan harus didasarkan pada Pancasila dan
UUD 1945 dengan berorientasi pada pemeliharaan persatuan dan
rasa kebangsaan. Memelihara rasa kebangsaan tidak akan
melemahkan ikatan atau solidaritas golongan dalam hal ini
golongan agama. Rasa kebangsaan menghilangkan rasa asing dan
sikap permusuhuan antara golongan. Urgunsi kerukunan adalah
setiap golongan umat beragama memandang rasa kebangsaan ini
dengan pandangan yang sama serta diiringi rasa tanggungjawab
untuk memelihara dan mempertahankannya.
74
3. Menunjang dan menyukseskan pembangunan
Pembangunan meruapak tuntutan zaman dan setiap
generasi. Tunutan ini harus dipenuhi dan dilaksanakan.
Pembanguan merupakan pertanda gerak dan sebagai respon dari
tuntutan tersebut. Setiap generasi menghendaki perubahan dan
pembaharuan. Perubahan dan pembaharuan dilaksanakan dengan
pembangunan. Melaksanakan pembangunan mengandung usaha
inovasi dan emansipasi. Inovasi mengadakan pembaharuan dari
segela keterbelakangan, emansipasi membebaskan diri dari segela
keterbelakangan.
Hakikat dan tujuan pembangunan untuk memperbaiki dan
meninggikan martabat manusia, dengan pengertian pembangunan
untuk manusia, bukan manusia untuk pembangunan. Karena itu
pembangunan harus dapat mencapai tujuan dan sasaran yang sesuai
dengan yang telah diprogramkan. Pembangunan dapat dilakukan
dari semua aspek, diantaranya pembangunan sosial dan ekonomi.
Pembangunan ekonomi secara sederhana dapat dilakukan
memberikan pemahaman dan pemberdayaan kepada masyarakat
dan dapat memajukan kesejahteraan ekonomi keluarga dan pada
akhirnya akan berdampak pada pembangunan ekonomi secara
nasional.
4. Mewujudkan masyarakat religious
Masyarakat religious dinilai dan diukur bukan berdasarkan
kuantitas jumlah anggotanya, tetapi kepada landasan, system
pengaturan dan ikatan antara anggotanya tersebut. Ikatan ini
didorong oleh kesadaran dari masing-masing individu masyarakat
itu sendiri. Dari sinilah tumbuh tatanan kehidupan sosial yang
merupakan kenyataan religi. Keindahan dari masyarakat religious
tercermin pada persamaan, kebebasan, gotong royong. Persamaan
menghilangkan egoitas dan individualistis baik secara pribadi
maupun golongan. Kebebasan merujuk pada bebas berpendapat
untuk kemaslahatan bersama yang berlandaskan pada garis yang
sudah ditetapkan oleh agamanya. Sementara gotong royong
merupakan bentuk kearifan local dan ciri khas masyarakat
Indonesia dalam sendi kehidupan bermasyarakat.
Jika agama dikembangkan sebagai factor pemersatu, maka
ia akan memberikan stabilitas dan kemajuan Negara. Dialog antar
umat beragama dapat memperkuat kerukunan umat beragama dan
75
menjadikan agama sebagai factor pemersatu dalam kehidupan
berbangsa.
D. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Banten
Secara atronomis provinsi Banten terletak antara 1050
15’ - 1060 11 Bujur Timur dan 50 21’ - 70 10’ Lintang Selatan
dengan luas wilayah 8.651,20 Km2. Dengan perbatasan di
sebelah utara Laut Jawa, di sebelah selatan Lautan Hindia, di
sebelah timur Kabupaten Bogor dan DKI Jakarta, dan sebelah
barat Selat Sunda. Berdasarkan bentang lahan atau
geomorfologinya wilayah Banten di bagi menjadi dua bagian
yaitu dataran tinggi dan dataran rendah. Dataran tinggi
umumnya berada dibagian selatan dan merupakan daerah
pegunungan dengan ketinggian rata-rata 400 m di atas
permukaan laut. Pegunungan di wilayah ini melintang dari
timur ke barat dan diakhiri bentukan Gunung Pulosari Aseupan
dan Karang sebelah utara. Sedangkan dataran rendah berada di
bagian utara dengan ketinggian 0-25 m di atas permukaan
laut.50 Masa lalu Banten dikenal karena di sini berdiri kerajaan
Islam yang sangata termasyhur di zamannya. Namun,
sebenarnya sebelum berdirinya kerajaan Islam, Banten sudah
memiliki kebudayaan yang cukup tinggi. Inventarisasi dan dan
penelitian peninggalan purbakala yang dimulai sejak abad ke19 membuktikan akan hal tersebut.51
50
Tri Hatmadji, Ragam Pusaka Budaya Banten, Balai Besar Peninggalan
Pubakala Serang Wilayah Kerja provinsi Banten, Jawa Barat, DKI Jakarta dan
Lampung, (Jakarta : Direktorat Jenderal Kebudayaan, 2005), hlm. 3.
51
J.W.G.J Prive seorang kontrolir dari Belanda pada tahun 1896 melaporkan
adanya temuan bangunan kuno di dekat desa Citorek Bayah yang kemudian
dikenal sebagai bangunan punden barundak Lebak Sibedung. Kemudian N.J
Krom dalam bukunya Repporten van der Oudhiekundingen Dients In
Netherlansch Indie tahun 1914 menyatakan bahwa di seputar Kabupaten
Pandeglang ada peninggalan arkeologi berupa arca nenek moyang, beberapa
kapak batu dari hasil peninggalan arkeologis di Pamarayan (Kolelet) dan patung
tipe Polinesia di Tenjo (Sanghyang Dengdek). Lihat Tri Hatmadji, Ragam
Pusaka Budaya Banten, Balai Besar Peninggalan Pubakala Serang Wilayah
Kerja provinsi Banten, Jawa Barat, DKI Jakarta dan Lampung, (Jakarta :
Direktorat Jenderal Kebudayaan, 2005), hlm. 4.
76
Kebudayaan Banten semakin berkembang setelah
bersentuhan dengan dunia luar. Pengaruh luar datang dari India
yang membawa agama Hindu dan Budha, yang juga berdampak
pada system sosial dan pemerintahan di nusantara yang ditandai
dengan berdirinya kerajan-kerajaan. Salah satu kerajaan Hindu
yang ada di Banten kerajaan Banten Girang sekitar abad ke-10
sampai abad ke-16. Dengan masuknya Islam berdampak
mundurnya pengaruh Hindu dan Budha di Banten. Kerajaan
Girang berada dibawah penguasaan Islam yang kemudian
mendirikan kerjaan di sekitar Teluk Banten. Pusat kotanya
dikenal dengan nama Surosowan yang saat ini disebut dengan
Banten Lama. Saat ini masa lalu banten tersebut hanya
meninggalkan bukti-bukti sejarah yang masih terjaga
kelestariannya, yakni bekas komplek surosowan yang dibangun
pada masa Sultan Maulana Hasanuddin, Masjid Agung Banten,
makam raja-raja Banten dan keluarganya, komplek kraton
kaibon dan lain-lain. Kerajaan Islam Banten mengalami
kemunduran dimulai masuknya pengaruh VOC (Vereniging
Oost-Indie Compagnie) yaitu perkumpulan dagang dari
Belanda tahun 1602-1799 dan penjajahan colonial Belanda.
Belanda menghancurkan menghancurkan pusat kota kesultanan
dan memindahkan pusat Kota ke Serang.52
Banten merupkan salah satu wilayah provinsi Jawa
Barat, akan tetapi dengan perkembangan yang ada Banten pun
memisahkan diri dari Jawa Barat dan menjadi provinsi
tersendiri yang dibentuk berdasarkan UU No. 23 Tahun 2000
tertanggal 17 Oktober tahun 2000. Adapun puncak perayaan
terjadi pada tanggal 4 Oktober 2000 saat puluhan ribu
masyarakat Banten datang ke Gedung DPR RI di Senayan
Jakarta, dengan Sidang Paripurna DPR untuk pengesahan RUU
Provinsi Banten. Akhirnya, masyarakat Banten pun sepakat
tanggal 4 Oktober 2000 sebagai Hari Jadi Provinsi Banten yang
saat itu dipimpin oleh Bapak H.D. Munandar sebagai Gubernur
dan Ibu H. Ratu Atut Chosiyah, SE sebagai wakil Gubernur.53
52
Tri Hatmadji, Ragam Pusaka Budaya Banten, hlm. 5.
https://www.bantenprov.go.id/profil-provinsi/sejarah-banten/bantenmenuju-provinsi akses tanggal 10 Agustus 2020 jam 11.41 WIB.
53
77
Banten telah mengalami proses perjalanan sejarah yang
panjang yang kini merupakan salah satu provinsi yang ada di
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dari perjalanan tersebut
Banten mewariskan peninggalan-peninggalan hasil kegiatan
masyarakat dan kebudayaannya yang termaktub dalam sejarah
bangsa ini. Selain peninggalan sebagai bukti sejarah, dengan
proses perjalanan tersebut juga membentuk kultural kondisi
sosial masyakarat Banten. Dalam perkembangan sosial dan
ekonomi secara umum Banten sudah menjadi daerah yang
sangat diperhitungkan karena di Provinsi Banten terdapat
banyak asset vital Negara sebagai motor penggerak ekonomi
nasional, seperti Pelabuhan Merak-Bakauheni yang merupakan
akses utama jalur transportasi darat yang merupakan
penghubung dari pulau Jawa menuju pulau sumatera dan
sebaliknya. Wilayah laut Banten merupakan salah satu jalur
laut potensial, Selat Sunda merupakan salah satu jalur yang
dapat dilalui kapal besar yang menghubungkan Australia,
Selandia Baru, dengan kawasan Asia Tenggara misalnya
Thailand, Malaysia dan Singapura. Bandara Internasional
Soekarno Hatta merupakan akses utama transportasi udara
Indonesia baik skala domestik maupun internasional. Selain itu
banyak juga perusahaan-perusahaan yang bonafit seperti
Krakatau Steel, Chandra Asri, dan lain-lain. Ini membuktikan
bahwa Banten menjadi titik utama dalam menghubungkan
pulau-pulau yang ada di Indonesia. Secara kasat mata dengan
melihat kondisi tersebut seharusnya Banten menjadi salah satu
provinsi yang makmur dan sejahtera. Akan tetapi, jika kita
melihat data yang ada di lapangan provinsi Banten masih dalam
kondisi yang memprihatinkan. Tingkat penganggurang dan
angka kemiskinan warganya masih tinggi.54
54
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Perwakilan Banten, Adhi Wiriana
dalam siaran persnya, mengungkapkan angka kemiskinan berdasarkan hasil
Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) bulan Maret 2020 sebesar 5,92
persen, mengalami peningkatan sebesar 0,98 poin dibanding periode sebelumnya
(September 2019) yang sebesar 4,94 persen. Hal ini sejalan dengan
bertambahnya jumlah penduduk miskin sebanyak 134,6 ribu orang dari 641,42
ribu orang pada September 2019 menjadi 775,99 ribu orang pada Maret 2020.
Persentase penduduk miskin di daerah perkotaan yang pada September 2019
sebesar 4,00 persen naik menjadi 5,03 persen, pada Maret 2020. Sementara
78
Proses pembangunan secara kontinyu harus dilakukan
secara maksimal agar pertumbuhan ekonomi provinsi Banten
dapat memberikan efek positif kepada masyarakat secara
umum. Pembangunan pada dasarnya bertujuan untuk
menciptakan kemakmuran dan mengurangi kemiskinan.
Kemiskinan sendiri secara umum diartikan sebagai
ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan
dasarnya, seperti makanan, pakaian dan tempat tinggal, serta
pendidikan dan kesehatan. Kemiskinan merupakan masalah
global dan bersifat multidimensi, yang bukan hanya
mencerminkan kondisi ekonomi tetapi juga kondisi sosial,
politik, dan budaya suatu negara. Kemiskinan dikelompokkan
menjadi dua kategori, yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan
relatif.
Kemiskinan absolut mengacu kepada satu set standar
yang konsisten, tidak terpengaruh oleh waktu dan tempat.
Kemiskinan absolut ini juga merupakan situasi, di mana
sebagian penduduk memiliki pendapatan di bawah garis
kemiskinan, sehingga tidak mencukupi untuk memenuhi
kebutuhan hidup minimumnya. Sementara kemiskinan relatif
adalah apabila penduduk tersebut sebenarnya telah hidup di atas
garis kemiskinan, namun masih berada di bawah kemampuan
masyarakat sekitarnya. Kemiskinan
juga
dapat
diklasifikasikan dalam dua bentuk. Pertama, kemiskinan
kultural yang mengacu pada persoalan sikap seseorang atau
persentase penduduk miskin di daerah perdesaan pada September 2019 sebesar
7,31 persen, naik menjadi 8,18 persen pada Maret 2020. Selama periode
September 2019-Maret 2020, jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan naik
sebanyak 101,6 ribu orang (dari 371,28 ribu orang pada September 2019 menjadi
472,84 ribu orang pada Maret 2020), demikian pula di daerah perdesaan naik
sebanyak 33,0 ribu orang (dari 270,13 ribu orang pada September 2019 menjadi
303,14 ribu orang pada Maret 2020). Sementara faktor yang mempengaruhi
tigkat kemiskinan di Provinsi Banten selama periode September 2019-Maret
2020 antara lain, laju pertumbuhan ekonomi Triwulan I 2020 sebesar 3,09
persen, lebih rendah dibanding laju pertumbuhan ekonomi Triwulan III 2019
(5,41
persen),
meskipun
tidak
berkorelasi
langsung.
https://www.rmolbanten.com/read/2020/07/16/18196/Data-BPS,Pengangguran-Di-Banten-Dalam-Waktu-Enam-Bulan-Nambah-134-Ributanggal 10 Agustus 2020 jam 11.52 WIB.
79
masyarakat yang disebabkan oleh faktor budaya, seperti
tidak mau berusaha untuk memperbaiki kehidupannya,
malas, pemboros, dan atau tidak kreatif. Kedua, kemiskinan
struktural, yaitu kondisi miskin yang timbul karena pengaruh
kebijakan pembangunan yang belum menjangkau seluruh
masyarakat, sehingga menyebabkan ketimpangan pada
distribusi pendapatan, yang berujung pada kemiskinan.
E. Moderasi Beragama dalam Bidang Sosial Ekonomi;
Sebuah Telaah Kritis
Agama diyakini sebagai wahyu Tuhan yang menjadi
pedoman manusia dalam menjalankan kehidupannya dan suatu
kebenaran yang tidak dipungkiri oleh penganutnya. Agama
memiliki arti penting bagi manusia agar tidak tersesat dalam
menjalankan kehidupan dunia. Posisi dan fungsi agama dalam
kehidupan secara sosioligis setidaknya bias dilihat dari
persektif fungsionalisme dan konflik. Agama telah dicirkan
sebagai pemersatu aspirasi manusia yang paling asasi, sebagai
sejumlah besar moralitas, sumber tatanan masyarakat dan
perdamaian batin individual, sebagai suatu yang memuliakan
dan yang membuat manusia beradab. Akan tetapi agama telah
pula dituduh sebagai penghambat kemajuan manusia,
mempertinggi fanatisme dan sikap tidak toleran, pengabaian,
pengacuhan, tahayul dan kesia-siaan. Padahal agama juga
berfungsi sebagai peneguhan consensus nilai solidaritas sosial.
Akan tetapi jika disalah artikan agama bisa menimbulkan
pertengkaran dan konflik dalam kehidupan manusia.55
Menelusuri kehidupan keberagamaan masyarakat
Indonesia sesungguhnya meruapakan suatu usaha untuk
memahami bagaimana agama itu diekspresikan dalam
kehidupan sehari-hari. Usaha untuk melihat dan memahami
ekspresi keberagamaan dapat dilihat dari tiga bentuk, yakni
pertama pemikiran keagamaan yaitu ekspresi pengalaman
keagamaan dalam bentuk konsep-konsep atau ajaran yang
bercorak teoritis dan intelektulis. Kedua, perilaku keagamaan
55
Saidurrahman dan Arifinsyah, Nalar Kerukunan: Merawat Keragaman
Bangsa Mengawal NKRI, Cet. Ke-1, (Jakarta, Kencana : 2018), hlm. 13-15.
80
(ritual) yaitu ekspresi perbuatan dalam bentuk tingkah laku atau
perbuatan sebagai bentuk penerapan praktis dari konsepkonsep atau hasil pemikiran yang besifat teoritis dan
intelektulis. Ketiga, perkumpulan keagamaan, yaitu
perhimpunan orang-orang yang mempunyai pemikiran dan
perbuatan yang sama.56
Sejatinya agama dalam kehidupan manusia berkaitan
dengan pencarian makna hidup, atau bagaimana cara manusia
memaknai hidup. Pencairan makna hidup inilah setidaknya
didorong oleh kesadaran eksistensial manusia. Agenda utama
agama adalah menegakkan harkat dan martabat manusia. Itulah
yang menjadi hakika agama dan keberagamaan. Dengan kata
lain ketika kemanusiaan menjadi agenda utama agama, maka
inilah yang menjadi kekuatan spiritual dari agama sebegai
pemelihara perdamaian. Agama, baru benar-benar menjadi
agama yang benar dan mengemban amanah Tuhan jika
menjadikan kemanusian sebagai agenda utamanya.57
Untuk mencapai agenda utama dari sebuah agama,
maka yang menjadi kuncinya adalah pemahaman dan
pemaknaan ajaran agama dalam kehidupan bermasyarakat
harus mengedepan rasa saling menghormati dan menghargai
antar sesama. Menganggap agama sendiri yang paling benar
dan menganggap agama lain adalah musuh tidaklah
dibenarkan. Berjalan bersama walaupun berbeda keyakinan
untuk mewujudkan sebuah nilai kemanusiaan adalah pilar
utama. Oleh sebab itu, moderasi beragama menjadi point utama
dalam menjalin hubungan antar sesama manusia.
Jika dianalogikan, moderasi adalah ibarat gerak dari
pinggir yang selalu cenderung menuju pusat atau sumbu
(centripetal), sedangkan ekstremisme adalah gerak sebaliknya
menjauhi pusat atau sumbu, menuju sisi terluar dan ekstrem
(centrifugal). Ibarat bandul jam, ada gerak yang dinamis, tidak
berhenti di satu sisi luar secara ekstrem, melainkan bergerak
56
Muhammad Ramadhan, Politik Ekonomi Islam Dalam Narasi
Pembangunan Nasional, Cet. Ke-1, (Yogyakarta : LKiS, 2018), hlm. 65.
57
Saidurrahman dan Arifinsyah, Nalar Kerukunan: Merawat Keragaman
Bangsa Mengawal NKRI, Cet. Ke-1, (Jakarta, Kencana : 2018), hlm. 16.
81
menuju ke tengahtengah. Meminjam analogi ini, dalam konteks
beragama, sikap moderat dengan demikian adalah pilihan untuk
memiliki cara pandang, sikap, dan perilaku di tengahtengah di
antara pilihan ekstrem yang ada, sedangkan ekstremisme
beragama adalah cara pandang, sikap, dan peri laku melebihi
batasbatas moderasi dalam pemahaman dan praktik beragama.
Karenanya, moderasi beragama kemudian dapat dipahami
sebagai cara pandang, sikap, dan perilaku selalu mengambil
posisi di tengah-tengah selalu bertindak adil dan tidak ekstrem
dalam beragama.58
Moderasi beragama harus dipahami sebagai sikap
beragama yang seimbang antara pengamalan agama sendiri
(eksklusif) dan penghormatan kepada praktik beragama orang
lain yang berbeda keyakinan (inklusif). Keseimbangan atau
jalan tengah dalam praktik beragama ini niscaya akan
menghindarkan kita dari sikap ekstrem berlebihan, fanatik dan
sikap revolusioner dalam beragama. Seperti telah diisyaratkan
sebelumnya, moderasi beragama merupakan solusi atas
hadirnya dua kutub ekstrem dalam beragama, kutub ultrakonservatif atau ekstrem kanan di satu sisi dan liberal atau
ekstrim kiri disis lain. Moderasi beragama sesungguhnya
merupakan kunci terciptanya toleransi dan kerukunan, baik di
tingkat lokal, nasional, maupun global. Pilihan pada moderasi
dengan menolak ekstremisme dan liberalisme dalam beragama
adalah kunci keseimbangan, demi terpeliharanya peradaban
dan terciptanya perdamaian. Dengan cara inilah masingmasing
umat beragama dapat memperlakukan orang lain secara
terhormat, menerima perbedaan, serta hidup bersama dalam
damai dan harmoni. Dalam masyarakat multikultural seperti
Indonesia, moderasi beragama bukanlah sebuah pilihan, akan
tetapi sebuah keharusan.59
Persoalan moderasi bukan hanya sekedar urusan atau
kepentingan orang per orang, melainkan juga urusan dan
58
Badan Litbag dan Diklat Kementerian Agama RI, Moderasi Beragama,
Cet. Ke-1, (Jakarta, Kemenag RI : 2019), hlm. 17.
59
Badan Litbag dan Diklat Kementerian Agama RI, Moderasi Beragama,
Cet. Ke-1, (Jakarta, Kemenag RI : 2019), hlm. 18.
82
kepentingan setiap kelompok dan umat, kepentingan Negara,
dan masyarakat. Moderasi atau wasathiyyah bukanlah sikap
yang bersifat tidak jelas atau tidak tegas terhadap sesuatu
bagaikan sikap netral yang pasif, bukan juga pertengahan
matematis. Bukan juga sebagaimana dikesankan oleh kata
“wasath”, yakni “pertengahan” yang mengantar pada dugaan
bahwa wasathiyyah tidak menganjurkan manusia berusaha
mencapai puncak sesuatu yang baik dan positif—seperti
ibadah, ilmu, kekayaan, dan sebagainya. Akibat kekaburan
makna wasathiyyah (moderasi) maka yang ekstrem maupun
yang menggampangkan sama-sama menilai diri mereka telah
menerapkan moderasi, padahal kedua sikap itu jauh
dari pertengahan yang menjadi salah satu indikator moderasi.
Wasathiyyah sangat luas maknanya. Ia memerlukan
pemahaman dan pengetahuan yang mendalam tentang syariat
Islam dan kondisi objektif yang dihadapi sekaligus cara dan
kadar menerapkannya.60
Penerapan moderasi tidak hanya dilakukan dalam
kehidupan beragama saja, akan tetapi moderasi juga harus
diterapkan dalam aktivitas sosial ekonomi. Tentu pemaknaan
moderasi dalam aktivitas sosial ekonomi muaranya adalah dari
pemahaman agama yang dihubungkan dengan sosial ekonomi.
Setiap ajaran agama tujuan utamanya adalah bagaimana bisa
mencapai rido-Nya dengan menjalankan perintah dan menjauhi
larangan-Nya. Di sinilah moderasi menjadi hal utama.
Perkembangan indutri keuangan syariah di Indonesia yang
sudah menjadi bagian dari masyarakat secara umum dalam
penerapannya harus mengedepankan konsep moderasi. Agama
bukan menjadi satu-satunya alasan dalam penerapan system
ekonomi Islam, akan tetapi bagaimana penerapan ekonomi
islam tersebut dapat memberikan solusi dan manfaat bagi
masyarakat tanpa adanya pihak yang dirugikan. Karena
sejatinya dalam ekonomi Islam jika ada kerugian ditanggung
bersama dan jika mendapatkan keuntungan juga dibagi bersama
antara pihak yang terlibat dalam transaksi yang dilakukan.
60
M Quraish Shihab, Wasathiyyah Wawasan Islam tentang Moderasi
Beragama, Cet. Ke-2, (Ciputat, Lantera Hati: 2020), hlm. x.
83
Pemahaman ekonomi islam yang tidak komprehensif akan
melahirkan pemaknaan yang kurang tepat terhaadap aktivitas
sosial ekonomi. Sehingga memahami moderasi dalam aktivitas
sosial ekonomi juga harus dilakukan secara bersamaan terhadap
pemahaman agama yang moderat. Karena saat ini, moderasi
beragama bukan saja relevan dalam konteks Indonesia, tetapi
juga sangat signifikan dalam konteks global.
F. Kesimpulan
Moderasi
agama
merupakan
salah
satu
pengejawantahan rahmatan lil alamin dan telah dicontohkan
secara memukau oleh Rasulullah dan sahabatnya di Madinah.
Itulah wajah Islam yang orisinil yakni Islam yang moderat,
toleran, ramah dan akomodatif. Model beragama seperti ini,
selain secara internal dapat melahirkan konfigurasi
keberagamaan yang bijak, menentramkan dan hanif sesuai
fitrah asasi manusia, juga secara eksternal dapat mengkonstruk
cara beragama yang lapang dan terbuka serta mengutamakan
titik temu dan harmonisasi dalam membangun kehidupan
majemuk sehingga keberagamaan betul-betul berfungsi secara
efektif sebagai rahmat bagi seluruh mahluk Tuhan.
Oleh karena itu, memahami agama orang lain adalah
penting, sehingga tidak terjadi salah pengertian, dan saling
menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan nilai-nilai universal
yang ada pada masing-masing agama. Sebab, kedua nilai itu
merupakan ‘esensi kemanusiaan’ yang diajarkan semua agama.
Untuk memahami agama orang lain itu harus bertolak dari
pemahaman yang bersipat integral, bukan parsial. Di sini
diperlukan minimal dua persiapan dialog, yakni kesiapan
intelektual dan kedewasaan emosional.
Dinamika keberagaman itu nampak begitu kental dalam
kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Banten. Banten,
sekitar 500 tahun lalu, pernah menjadi bandar terbesar di pulau
Jawa. Bangsa Portugis, bukanlah pedagang asing pertama yang
mencari lada dan rempah-rempah lainnya di Karangantu,
pelabuhan Banten. Karena jauh sebelumnya, mereka didahului
saudagar-saudagar Cina, Arab, Gujarat, dan Turki yang
mengangkut rempah-rempah dari bandar Karangantu yang
84
ramai melalui Teluk Parsi. Kemudian mereka menjualnya
kepada pembeli Eropa yang sangat berhasrat.
Puncak masa kejayaan sosial dan ekonomi Banten
terjadi pada masa Sultan Maulana Yusuf (1570-1580). Ia putra
Sultan Maulana Hasanuddin, pendiri Kerajaan Islam Banten.
Begitu majunya perdagangan kala itu, hingga Banten menjadi
tempat penimbunan barang dari segala penjuru dunia, yang
kemudian disebarkan ke antero Nusantara. Dengan majunya
perdagangan maritim, Sorosowan, ibu kota kerajaan, menjadi
ramai. Para pendatang dengan berbagai latar belakang suku, ras
dan agama diterima dengan baik oleh Sultan Maulana Yusuf
sehingga berimbas positif pada kemajuan Banten secara umum.
Sultan Maulana Yusuf benar-benar mampu mengelaborasi
moderasi beragama dalam kehidupan sosial dan ekomoni
masyarakat Banten saat itu.
Sejarah panjang Banten yang kini merupakan salah satu
provinsi yang ada di Negara Kesatuan Republik Indonesia
mewariskan
peninggalan-peninggalan
hasil
kegiatan
masyarakat dan kebudayaannya yang termaktub dalam sejarah
bangsa ini. Selain peninggalan sebagai bukti sejarah, dengan
proses perjalanan tersebut juga membentuk kultural kondisi
sosial masyakarat Banten. Dalam perkembangan sosial dan
ekonomi secara umum Banten sudah menjadi daerah yang
sangat diperhitungkan karena di Provinsi Banten terdapat
banyak asset vital Negara sebagai motor penggerak ekonomi
nasional, seperti Pelabuhan Merak-Bakauheni akses utama dari
pulau Jawa menuju pulau sumatera dan sebaliknya, Bandara
Internasional Soekarno Hatta sebagai akses utama transportasi
udara Indonesia baik skala domestik maupun internasional.
Selain itu banyak juga perusahaan-perusahaan yang bonafit
seperti Krakatau Steel, Chandra Asri, dan lain-lain. Ini
membuktikan bahwa Banten menjadi titik utama dalam
menghubungkan pulau-pulau yang ada di Indonesia dan
penggerak roda perekonomian secara nasional.
Secara kasat mata dengan melihat kondisi tersebut
seharusnya Banten menjadi salah satu provinsi yang makmur
dan sejahtera. Akan tetapi, jika kita melihat data yang ada di
lapangan provinsi Banten masih dalam kondisi yang
memprihatinkan. Tingkat pengangguran dan angka kemiskinan
85
warganya masih tinggi. Fakta ini memerlukan proses
pembangunan secara kontinyu dan maksimal agar pertumbuhan
ekonomi provinsi Banten dapat memberikan efek positif
kepada masyarakat secara umum. Potensi besar Banten tidak
boleh dijadikan angin lalu dan/atau hanya dinikmati segelintir
kelompok. Sejarah Banten era Sultan Maulana Yusuf dapat
dijadikan pijakan semangat warga Banten dan pemangku
kebijakan dalam membangun pemerataan sosial dan ekonomi
dengan menyandarkan pada moderasi beragama. Karena
pembangunan pada dasarnya bertujuan untuk menciptakan
kemakmuran dan kesejahteraan bersama-sama, kemakmuran
bukan hanya untuk dia, tapi kita.
86
DAFTAR PUSTAKA
Badan Litbag dan Diklat Kementerian Agama RI, Moderasi
Beragama, Cet. Ke-1, (Jakarta, Kemenag RI : 2019.
Hatmadji, Tri, Ragam Pusaka Budaya Banten, Balai Besar
Peninggalan Pubakala Serang Wilayah Kerja provinsi
Banten, Jawa Barat, DKI Jakarta dan Lampung, Jakarta :
Direktorat Jenderal Kebudayaan, 2005.
Khadiq, Agama Sebagai “Modal” Pembangunan Masyarakat,
Jurnal Aplikasi llmu-ilmu Agama, Vol. VI, No.2 Desember
2005.
Majid, Nurcholish, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, Edisi
Baru Cet. Ke-1, Bandung : PT. Mizan Pustaka, 2008.
Mujiburrahman, Dimensi Agama Dalam Pembangunan Negara
(Kajian Transformasi Pendidikan Islam Di Indonesia),
Jurnal Ilmiah DIDAKTIKA, Vol. 18, No. 2, Februari 2018.
Norris, Pippa & Ronald Inglehart, Sekularisasi Ditinjau Kembali:
Agama dan Politik di Dunia Dewasa Ini, Cet. Ke-1,
Tangerang : Pustaka Alvabet, 2009.
Ramadhan, Muhammad, Politik Ekonomi Islam Dalam Narasi
Pembangunan Nasional, Cet. Ke-1, Yogyakarta : LKiS,
2018.
Saidurrahman dan Arifinsyah, Nalar Kerukunan: Merawat
Keragaman Bangsa Mengawal NKRI, Cet. Ke-1, Jakarta,
Kencana : 2018.
Saidurrahman dan Arifinsyah, Nalar Kerukunan: Merawat
Keragaman Bangsa Mengawal NKRI, Cet. Ke-1, Jakarta,
Kencana : 2018.
Shihab, M Quraish, Wasathiyyah Wawasan Islam tentang
Moderasi Beragama, Cet. Ke-2, Ciputat, Lantera Hati: 2020.
LINK WEBSITE:
87
https://radarjember.jawapos.com/pascasarjana_iain/27/06/2019/w
atak-moderasi-beragama/ akses tanggal 10 Agustus 2020
jam 12.58 WIB.
https://www.bantenprov.go.id/profil-provinsi/sejarahbanten/banten-menuju-provinsi akses tanggal 10 Agustus
2020 jam 11.41 WIB.
https://www.rmolbanten.com/read/2020/07/16/18196/Data-BPS,Pengangguran-Di-Banten-Dalam-Waktu-Enam-BulanNambah-134-Ribu- tanggal 10 Agustus 2020 jam 11.52
WIB.
88
89
Moderasi Beragama dalam Kebudayaan Lokal
Masyarakat Banten
Masykur Wahid
UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten
Pendahuluan
Pemahaman moderasi beragama dalam masyarakat Banten
tidak bisa lepas dari ikatan kebudayaan lokal yang tumbuh dan
berkembang sejak pemberontakan petani tahun 1888. Kebudayaan
lokal (local culture) menjelaskan kehadiran sebuah konstruksi
kearifan, pengetahuan, dan intelegensi masyarakat tertentu.
Kearifan lokal (local wisdom) dikonstruksi sebagai sikap,
pandangan, dan kemampuan suatu masyarakat tertentu untuk
mengelola lingkungan rohani dan jasmani yang memberikan
kepada dirinya daya tahan dan daya tumbuh di dalam wilayah di
mana masyarakat berada. Konstruksi kearifan ini sebagai jawaban
kreatif masyarakat terhadap situasi geografis politis, historis, dan
situasional yang bersifat lokal. Selain itu, sebagai strategi
kehidupan yang berwujud suatu aktivitas yang dilakukan oleh
masyarakat lokal untuk menjawab berbagai permasalahan dalam
memenuhi kebutuhannya. Sistem pemenuhan kebutuhan
masyarakat meliputi seluruh unsur kehidupan, yaitu agama, ilmu
pengetahuan, ekonomi, teknologi, organisasi sosial, bahasa dan
komunikasi, serta kesenian (Permana 2010).
Pengetahuan lokal (local knowledge) dalam masyarakat
merupakan pengetahuan yang khas dimiliki suatu masyarakat yang
telah berkembang lama sebagai hasil dari proses hubungan timbalbalik antara masyarakat dengan lingkungannya. Pengetahuan lokal
terkait dengan perubahan dan siklus iklim di wilayah tertentu,
kemarau dan penghujan, jenis-jenis fauna dan flora, serta kondisi
geografis, demografis, dan sosiografis. Selain itu, terkait dengan
kemampuan adaptasi yang menjadi bagian dari pengetahuan lokal
masyarakat untuk menguasai alam lingkungannya (Permana 2010).
Sedangkan, intelegensi lokal (local genius) dalam pandangan H.G.
90
Quaritch Wales merupakan sebuah kemampuan kebudayaan
masyarakat tertentu untuk menghadapi pengaruh kebudayaan asing
pada saat kedua kebudayaan saling berinteraksi. Wales kali
pertama mengenalkan istilah “local genius” dengan ciri-ciri
kebudayaan yang dimiliki bersama oleh suatu masyarakat tertentu
sebagai hasil pengalaman masyarakat sepanjang hidupnya. Di
samping itu, intelegensi lokal dijelaskan oleh Haryati Soebadio
sebagai identitas budaya bangsa yang menyebabkan bangsa mampu
menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan
kemampuannya sendiri (Permana 2010). Dengan tiga kekuatan
konstruksi tersebut, kebudayaan lokal dimiliki dan diturunkan
secara berkelanjutan dari generasi ke generasi selama ratusan,
bahkan ribuan tahun oleh masyarakat lokal. Oleh karenanya,
kebudayaan lokal kuat berakar, tidak mudah goyah dan
terkontaminasi oleh pengaruh kebudayaan lain yang saling
berinteraksi.
Masyarakat Banten memiliki kesejarahan sebuah kesultanan
yang unggul dan terkemuka di pulau Jawa pada abad ke-15 hingga
18. Pada abad-abad itu keunggulan Banten disebabkan sebagai
pusat perdagangan internasional. Banyak para saudagar asing yang
datang di Banten, baik dari dalam maupun luar Nusantara, untuk
bermukin dan menetap. Dikenal terkemuka, dikarenakan Banten
sebagai penghasil lada terbesar, baik yang diperoleh dari wilayah
Banten maupun dari wilayah Lampung sebagai daerah taklukannya
(Untoro 2006). Karenanya, selama beberapa abad itu kesultanan
Banten dikenal dengan jaman keemasan Banten. Di dalam tulisan
ini akan dijelaskan keunggulan dan keterkemukaan kebudayaan
lokal Banten dalam moderasi beragama.
Islam Banten sebagai Titik Temu Ragam Budaya
Islam Banten dalam pemerintahan kesultanan kali pertama
dipimpin oleh Sultan Maulana Hasanuddin pada tahun 1524/1525.
Walisongo Cirebon, Sunan Gunung Jati, menunjuk Maulana
Hasanuddin untuk menjadi sultan di Banten dengan mendirikan
Kota Surosowan sebagai ibukota kesultanan Banten. Tahun 15241525 bertepatan dengan masa kejatuhan kekuasaan Kerajaan Sunda
yang berkuasa di Banten Girang ke tangan penguasa beragama
Islam. Raja di Kerajaan Sunda pada saat itu memeluk agama Hindu.
91
Mulai kekuasaan kesultanan Banten diperluas ke Lampung dan
wilayah sekitar Sumatera Selatan. Perpindahan kekuasaan dari
agama Hindu ke agama Islam menunjukkan adanya titik temu
ragam budaya. Pertemuan ragam budaya terjadi seiring dengan
produksi lada yang melimpah. Sultan Banten pertama menikah
dengan puteri kesultanan Demak, puteri Sultan Trenggana.
Selanjutnya, Sultan Maulana Hasanuddin diteruskan oleh Maulana
Yusuf (Untoro 2006). Menjadi titik temu ragam budaya merupakan
keunggulan masyarakat Banten dalam interaksi antarbudaya secara
global.
Sultan Maulana Yusuf memerintah dari tahun 1570 hingga
tahun 1580 yang berhasil meruntuhkan Kerajaan Sunda yang
berkedudukan di Pakuwan Pajajaran. Penyerangannya dilandasi
oleh tekad Sultan Maulan Yusuf untuk mengembangkan agama
Islam ke daerah pedalaman Banten, hingga Jawa Barat menjadi
daerah pertemuan dengan agama baru. Pertemuan ragam budaya
ditunjukkan dengan sumber tertulis yang berbentuk Tambo Jawa
Barat bahwa tidak diceritakan lebih lanjut mengenai raja dan
keluarga dari Kerajaan Sunda, hanya menyebutkan bahwa
golongan bangsawan Sunda yang memeluk agama Islam
diperbolehkan tetap menyandang pangkat dan gelarnya. Ketika
Sultan Maulana Yusuf mangkat, putera sebagai penggantinya yang
bernama Pangeran Muhammad masih berusia di bawah umur. Oleh
karena itu, yang bertindak sebagai wali, yaitu Pangeran Aria Japara
(Untoro 2006).
Budaya asing pun hadir di Banten pada masa pemerintahan
Pangeran Muhammad sebagai suatu periode sejarah yang penting,
yakni datangnya bangsa Belanda pertama kali pada tahun 1596.
Kedatangan kapal-kapal dagang Belanda dipimpin oleh Cornelis de
Houtman dan berlabuh di Pelabuhan Banten. Catatan orang
Belanda menguraikan mengenai ramainya pedagang asing yang
berniaga di Pelabuhan Banten beserta dengan barang-barang
dagangannya. Menjelang akhir abad XVI, Kota Surosowan Banten
sudah mendapat perhatian pedagang internasional dan tempat
pertemuan bagi kaum saudagar (Untoro 2006). Pertemuan ragam
budaya di Banten berjalan harmonis seiring dengan kelancaran
perdagangan internasional di Pelabuhan.
Banyak sultan yang memerintah pada akhir abad XVI,
tepatnya tahun 1602 saat kantor VOC didirikan di Banten. Salah
92
satunya, Abdul Mufakir Mahmud Abdul Kadir (1596-1640) yang
banyak memberikan kewenangan kepada saudagar Belanda,
sehingga mereka menanamkan pengaruhnya di Banten. Belanda
atau Inggris berusaha mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya,
sehingga Kota Banten sering dijadikan arena permusuhan antara
kedua bangsa itu. Keadaan makin buruk ketika terdapat pertikaian
di antara kedua keluarga sultan yang mencari sekutu untuk
mempertahankan kepentingan masing-masing. Pertikaian bukan
karena pertemuan ragam budaya, akan tetapi perebutan kekuasaan.
Namun, pada masa pemerintahan Sultan Abdul Ma’ali Ahmad
(1640-1651), hubungan Belanda dan Banten menjadi cukup damai
untuk kurang lebih 30 tahun (Untoro 2006).
Namun, kondisi masyarakat Banten dalam temu ragam
budaya mengalami perubahan pada saat pemerintahan dipimpin
oleh Abdul Fath Abdul Fattah yang dikenal Sultan Ageng Tirtayasa
(1651-1681). Sikapnya sangat memusuhi Belanda dan senantiasa
berusaha menghalangi perkembangan perdagangan Belanda. Sikap
ini merugikan Belanda, bahkan seringkali rasa permusuhan
berubah menjadi peperangan. Misalnya, pada tahun 1656 dua buah
kapal Belanda berhasil dirampas oleh orang-orang Banten dan
perkebunan tebu milik Belanda di daerah Banten dirusak. Peristiwa
perampasan dan perusakan ini menyebabkan orang Belanda tidak
aman tinggal di Banten, yang akhirnya beberapa orang Belanda
meninggalkan Banten menuju ke Batavia (Untoro 2006).
Akibat sikap permusuhan masyarakat Banten terhadap
Belanda, Pelabuhan Banten diblokade. Selain itu, peristiwa ini
sangat merugikan perdagangan masyarakat Banten, sehingga
Sultan Ageng Tirtaya mengadakan perundingan dengan Belanda.
Sultan menjadikan Kesultanan Banten berkembang pesat, bahkan
pada perempat ketiga dari abad VII membangun pelayaran sendiri
dengan bantuan orang-orang Eropa dan mengadakan pelayaran ke
Filipina, Tiongkok, India, dan Persia. Melalui perdagangan
internasional ini, masyarakat Banten menruskan titik temu ragam
budaya untuk semakin berkembang dan meluas jejaring
antarbudaya. Tentunya, jejaring antarbudaya di Nusantara pun
dilakukan oleh masyarakat Banten melalaui perdagangan.
Dijelaskan bahwa setelah Makasar takluk dalam kekuasaan
Belanda pada tahun 1669, banyak pedagang yang pindah ke
Banten. Komoditi yang penting, lada, pala dan cengkeh, dikirim ke
93
Banten dari Sumatera, Ambon, Mala, Bengkulu dan Lampung,
sehingga Banten memonopoli lada di Jawa Barat dan Sumatera
Selatan (Untoro 2006).
Dengan jejaring antarbudaya di Nusantara dan internasional,
suasana aman, damai, dan penuh kemakmuran berlangsung hingga
tahun 1676, yaitu ketika putera Sultan Ageng yang bernama Abu
Nasr Abdul Qahhar (1672-1687) atau bergelar Sultan Haji kembali
setelah menunaikan ibadah haji di Mekah. Abu Nasr Abdul Qahhar
tidak setuju dengan politik ayahnya yang menentang Belanda.
Akibat tindakannya timbul dua golongan di antara kalangan
keluarga sultan, yaitu Sultan Ageng dengan pengikutnya anti
Belanda, dan Putera Mahkota merangkap Sultan Muda yang
berpihak pada Belanda. Ketika permusuhan dua golongan ini
pecah, maka Sultan Haji meminta bantuan Belanda yang
menolongnya memperoleh mahkota. Sebagai imbalannya, Belanda
mendapat monopoli perdagangan di Banten, dan para pedagang
Eropa yang bukan Belanda diusir dari daerah kesultanan Banten.
Secara langsung peristiwa ini menjelaskan berakhirnya masa
perkembangan perdagangan di Kota Banten, dan kekuasaan Sultan
Haji hanya merupakan perwujudan kekuasaan Belanda yang
sesungguhnya (Untoro 2006). Pemerintahan sultan selanjutanya
setelah Sultan Haji lebih banyak diatur dan diawasi oleh Belanda,
misalnya dalam menetapkan dan memberhentikan penguasa. Selain
itu, peraturan Belanda yang dianggap sangat memberatkan rakyat
setempat, seperti kerja rodi. Keadaan yang sama tidak
menyenangkan hati sebagian besar masyarakat Banten dan
kalangan kesultanan yang anti Belanda (Untoro 2006).
Dengan pergeseran interaksi kekusaan, bergeser juga
harmoni temu antarbudaya. Pada masa pemerintahan beberapa
sultan terakhir, di antaranya Sultan Wakil Pangeran Sura Manggala
(1808), Sultan Muhammad Syafiyuddin (1809), dan Sultan
Muhammad Rafi’uddin (1813), kondisi pemerintahan semakin
tidak seimbang. Pemerintah Belanda di bawah pimpinan Deandels,
seorang Gubernur Jenderal yang kejam memerintahkan rakyat
Banten untuk membuat Pelabuhan di Labuan, Pantai Barat Banten
Selatan. Rakyat tertindas karena pekerajaan yang berat tanpa
peralatan memadai. Peristiwa kekejaman Belanda menimbulkan
kegusaran dan kemarahan Sultan Banten, sehingga kerja paksa
dihentikannya. Deandels membalas dendam dengan mengirimkan
94
pasukan untuk menyerbuan Keraton Surosowan dan istana dibakar.
Peristiwa serangan dan pembakaran terjadi pada tahun 1808 di
mana Sultan Banten dibuang ke Ambon dan seluruh Pesisir Banten
dimasukkan dalam pengawasan Batavia. Penggantian Sultan
Banten dikukuhkan, namun kekuasaannya dibatasi di sekitar
Pandeglang. Sedangkan, pemerintahan sipil diangkat seorang
Residen yang berkedudukan di Serang. Keraton Surosowan hancur
dan sejak saat itu lenyap kesultanan Banten (Untoro 2006). Tanpa
dialog antarbudaya, hanya semata-mata kekuasaan, di dalam
masyarakat Banten hanya mereproduksi kekerasan kemanusiaan
dan kerusakan budaya. Untuk itu, diperlukan moderasi beragama
untuk menghilangkan tindakan kolonialisme secara internal di
dalam kebudayaan masyarakat Banten sendiri.
Moderasi Beragama, Seribu Kyai dan Sejuta Santri
Moderasi beragama di dalam kebudayaan masyarakat Banten
selaras dengan eksistensi kyai dan santri di dalam mewujudkan
kehidupan beragama di wilayah Banten, Nusantara dan dunia
internasional. Eksistensi kyai dan santri dalam kehidupan
beragama dilatarbelangi oleh pemberontakan petani Banten pada
tahun 1888. Pemberontakan petani Banten berawal dari kebencian
terhadap dominasi Belanda yang dipaksakan dan rasa permusuhan
yang sangat mendalam terhadap segala hal yang berbau asing, yang
mendasari keresahan umum, hingga adanya jalan keluar baru
berupa persekutuan dengan gerakan-gerakan keagamaan yang
ekstrem (Kartodirdjo 1984). Adanya kekuatan keberagamaan
masyarakat Banten dengan eksistensi pesantren, dikenal istilah
seribu kyai dan sejuta santri. Kekuatan ini merupakan
keterkemukaan keberagamaan masyarakat Banten.
Adanya pemberontakan petani, gerakan-gerakan keagamaan
bertambah kuat dan memperoleh satu kelembagaan yang lebih
efektif, yakni tarekat. Kebangkitan kembali (revivalisme) agama
menjadi satu alat untuk mengerahkan orang-orang untuk tujuan
pemberontakan dan bukan gerakan keagamaan yang murni.
Sebagian besar Pulau Jawa dilanda gerakan kebangkitan kembali
kehidupan agama, yang memperlihatkan peningkatan yang luar
biasa pada kegiatan agama, seperti melaksanakan shalat,
menunaikan ibadah haji, memberikan pendidikan Islam tradisonal
95
kepada anak-anak muda, mendirikan cabang-cabang tarekat,
penyelenggaraan khutbah yang luas, dan sebagainya.
Dalam bagian akhir tahun 1850-an, Holle mencatat bahwa
para Bupati masih harus mengeluarkan perintah agar rakyat lebih
taat dalam menjalankan ibadah mereka. Kebangkitan kembali
kehidupan agama memanifestasikan dirinya dalam peningkatan
jumlah pesantren dan orang-orang menunaikan ibadah haji. Selain
itu, pembangunan sejumlah besar masjid dan mushola sebagai
bentuk meningkatnya ketaatan beribadah umat Islam. Khusus
mengenai daerah-daerah yang penduduk Muslimnya sangat
dominan, informasi-informasi menunjukkan bahwa masyarakat
sangat menghormati para haji, karena para haji merupakan prestise
yang sangat besar dan berpengaruh untuk mendorong masyarakat
supaya lebih mentaati kewajiban-kewajiban agama (Kartodirdjo
1984).
Pada masa penjajahan kebangkitan agama sangat
membahayakan rezim kolonial Belanda. Namun, rangsangan dari
luar bagi kebangkitan kembali kehidupan beragama, banyak orang
yang sedang mendalami agama Islam di Indonesia tidak
memperhatikan kenyataan bahwa perang Rusia danTurki yang di
Indonesia dikenal sebagai perang Rus, memiliki pengaruh yang
sangat besar terhadap alam pikiran kaum Muslim yang hidup di
“negara-negara di bawah angin”. Rakyat Indonesia ingin sekali
mengetahui perkembangannya, dan setiap kemenangan di pihak
Sultan Rum dirayakan secara meriah dengan doa-doa dan sedekah.
Di samping itu, adanya benih Pan-Islamisme ini, harus
memperhitungkan sistem komunikasi yang luas di dunia Islam
yang telah dibangun melalui pelaksanaan ibadah haji. Di banyak
bagian dunia Islam, kebangunan kehidupan beragama dimulai
bersamaan waktunya dengan perlombaan di antara imperialis untuk
memperoleh daerah-daerah jajahan dalam pertengahan kedua abad
XIX. Pada umumnya ada suatu korelasi antara ekspansi negaranegara kolonial dan Pan-Islamisme atau bangunan kembali
kehidupan beragama. Pun, terjadi pada perkembangan Islam di
Indonesia, termasuk di Banten (Kartodirdjo 1984).
Perkembangan umum Pan-Islamisme dan kebangunan
kehidupan beragama ditunjukkan bahwa secara mencolok ditandai
oleh karakteristik-karakteristik yang pada dasarnya anti-Barat.
Penaklukan-penaklukan yang dilakukan oleh imperialisme Barat
96
sedang memperoleh kemajuan-kemjuan besar, dalam periode yang
genting ini, pemikir-pemikir Muslim menyadari sepenuhnya bahwa
dunia Islam sedang terancam bahaya yang semakin besar akan
jatuh ke bawah dominasi Barat. Menghadapi ancaman dari Barat
ini, kaum Muslim di bagian-bagian luas dunia Arab
memperlihatkan fanatisme yang militan yang timbul dari perasaan
benci terhadap penakluk-penakluk yang kafir. Tidak
mengherankan jika fanatisme dan semangat militan yang
menggelora di Timur Tengah dan Afrika Utara selama pertengahan
kedua abad XIX, bergema pula di kalangan kaum Muslim
Indonesia. Kontak yang lebih era antara daerah-daerah yang sangat
berjauhan satu sama lain dalam dunia Islam telah dipermudah oleh
praktik ibadah haji yang terus meningkat dengan adanya
komunikasi dan perjalanan yang lebih baik (Kartodirdjo 1984).
Kebangkitan kembali keberagamaan terdapat suatu reaksi
tertentu terhadap westernisasi, akan tetapi jelas ada berbagai jenis
tanggapan dan tingkat kecepatan penyesuaian yang berbeda-beda.
Tidak boleh dilupakan bahwa kebijaksanaan Belanda yang
bercorak liberalistis mengenai agama, memberikan ruang bergerak
kepada berbagai macam gerakan keagamaan, dari yang bersifat
damai dan menyesuaikan diri hingga kepada yang radikal dan
agresif. Perasaan takut yang dominan di kalangan pejabat-pejabat
pamongraja Eropa terhadap semua gerakan yang jelas memiliki
orientasi keagamaan, dapat ditelusuri kembali kepada suatu hajifobi. Adanya pandangan bahwa di dalam Islam tidak ada
pembedaan antara komunitas agama dan komunitas politik,
membuat gerakan protes keagamaan dengan mudah berubah
menjadi sebuah gerakan politik. Diketahui bahwa persaudaranpersaudaraan religius di banyak daerah di dunia Muslim terseret ke
dalam gerakan religio-politik. Kaum haji dianggap sebagai satu
bahaya yang potensial bagi penguasa kolonial, sejauh mereka dapat
memimpin suatu gerakan. Karakteristik yang menonjol dari
gerakan-gerakan keagamaan yang radikal dalam pertengahan
kedua abad XIX, yaitu pengutukan yang keras terhadap dominasi
Barat dan serangan-serangan yang tajam terhadap lembagalembaga baru yang diberlakukan (Kartodirdjo 1984)
Golongan-golongan
yang
memprotes
merupakan
masyarakat-masyarakat yang telah ditaklukkan, yang protes
keagamaannya berasal dari satu tradisi keagamaan yang berbeda,
97
gerakan ini cenderung untuk menuju konflik. Bentuk-bentuk
gerakan keagamaan yang ekstrem tidak mau menyesuaikan diri,
dan menduduki tempat yang penting dalam perjuangan
mempertahankan kesadaran akan martabat dan harga diri dalam
menghadapi situasi ketersingkiran dan diskriminasi. Inferioritas
yang dirasakan hanya sebagai hal yang lahiriah saja, hanya
menyangkut kekuatan fisik, dan bukan kekuatan rohani.
Sebaliknya, ada golongan agama yang menekankan keharusan
menerima kekuasaan Belanda secara damai dan mendorong
penyesuaian diri dengan sistem politik yang baru. Akibatnya, akan
timbul perpecahan dan golongan-golongan yang saling
bertentangan dalam perkembangan gerakan-gerakan keagamaan
(Kartodirdjo 1984).
Perkembangan tarekat-tarekat di Banten pun menjadi
golongan-golongan kebangkitan kembali yang paling dominan.
Pada permulaannya tarekat-tarekat pada dasarnya merupakan
gerakan-gerakan kebangkitan kembali agama, akan tetapi secara
berangsur-angsur mereka berkembang menjadi badan-badan
politik keagamaan. Mereka membentuk alat-alat kelembagaan
untuk kegiatan politik yang ekstrem. Mereka menolak keras proses
westernisasi dan bertekad untuk mempertahankan lembagalembaga tradisional terhadap pengaruh dan campur tangan
Belanda. Didorong oleh kebencian terhadap orang asing, mereka
menggunakan kekerasan terhadap penguasa Belanda dan terhadap
sesama orang Muslim yang bekerja sama dengan Belanda.
Perkembangan protes keras dapat ditafsirkan berdasarkan pada
kondisi-kondisi sosial yang bersifat ekstrem dan rangsangan
spesifik yang terdapat di masyarakat Banten dalam tahun-tahun 80an (Kartodirdjo 1984).
Ajaran-ajaran sufi telah masuk ke Indonesia sejak abad XVI
atau awal abd XVII. Awalnya tarekat Satariah disebarkan di Aceh
oleh Abdurra’uf dari Singkel. Sejak abad XVII gerakan Satariah
dari Aceh ke Jawa Barat, kemudian ke Jawa Tengah dan Jawa
Timur. Syekh Abdul Muhyi dari Karang, seorang murid Abdura’uf,
menyebarkan tarekat Satariah di Jawa Barat. Selain itu, Hamzah alFansuri, mistikus Qadariah sekaligus darwis pengembara, telah
mengunjungi berbagai tempat, termasuk Banten. Sejak
pertengahan pertama abad XVII Banten telah mengadakan kontak
dengan Mekah, melalui pengiriman berulang-kali misi-misi untuk
98
mencari informasi mengenai soal-soal keagamaan (Kartodirdjo
1984).
Pada pertengahan kedua abad XIX, di dunia internasional
Banten terkenal sebagai sebuah pusat Islam ortodoks, di mana
pengetahuan agama dan cara hidup yang sesuai dengan ketentuan
agama sangat dihargai. Ada tanda yang menunjukkan bahwa aliran
Qadariah telah memasuki masyarakat Islam di Banten sebelum
abad XIX, akan tetapi ketika itu belum mencapai momentum yang
signifikan. Secara latar historis perkembangan aliran Qadariah di
Banten selama bagian akhir dengan jelas menandakan suatu
kebangkitan kembali dalam arti sesungguhnya (Kartodirdjo 1984).
Perkembangan perpecahan sebagai perpanjangan dari apa
yang terdapat di dalam daerah inti dunia Islam-birokrasi
keagamaan berhadapan dengan yang sudah mempunyai kedudukan
mapan sebagai guru agama atau pemimpin perkumpulan agama,
persaingan di antara tarekat-tarekat, pertentangan antarkelompok di
dalam tarekat itu sendiri. Kegiatan-kegiatan konstruksi yang
dipimpin oleh pemuka-pemuka perkumpulan agama diikuti dengan
kecurigaan dan permusuhan oleh kaum ulama resmi. Oleh karena
kekuatannya terletak dalam daya tariknya bagi rakyat,
perkumpulan-perkumpulan agama cenderung untuk menjadi basis
organisasi untuk melancarkan gerakan-gerakan protes keagamaan.
Persaingan di antara berbagai perkumpulan di beberapa daerah
seringkali menyebabkan kehilangan banyak enersi dan urgenisitas.
Di samping itu, muncul gerakan-gerkan pembaharuan yang modern
di kemudian hari menyebabkan semakin mendalamnya perpecahan
di antara gerakan-gerakan kebangkitan kembali agama
(Kartodirdjo 1984).
Pesantren dan tarekat merupakan pasangan gerakan PanIslamisme di bidang politik. Meskipun revitalisasi Islam
merupakan segi konstruktif daripada sasaran bersama, gerakan itu
tidak mempunyai arah yang terpusat, tidak meahirkan suatu
solidaritas Muslim dalam skala besar. Kekuatan-kekuatan pemecah
belah tampak pada berbagai gerakan tarekat, yang menumbuhkan
satu sikap eksklusif dan persaingan tak kenal kompromi di antara
meraka. Daya tarik beberapa di antara tarekat-tarekat itu berkaitan
erat dengan pesatnya ekspansi lembaga-lembaga pendidikan Islam
yang tradisional, yang meratakan jalan bagi tarekat-tarekat untuk
memperoleh anggota-anggota baru (Kartodirdjo 1984).
99
Penyebaran agama Islam tidak terjadi sebelum abad yang
lalu, ketika ilmu pengetahuan Islam mendapat dorongan baru dari
kaum ulama yang semakin meningkat jumlahnya yang kembali dari
menunaikan ibadah haji. Lembaga pesantren yang sudah tua usinya
tidak disangsikan lagi telah memperoleh kekuatan dan daya tarik
baru di kalangan rakyat dalam kondisi-kondisi yang diciptakan oleh
kebangunan agama. Dalam pertengahan kedua abad XIX
berlangsung suatu proses saling memperkuat di antara berbagai
aspek gerakan keagamaan. Pesantren-pesantren yang sangat
terkenal menarik murid-murid dari berbagai daerah di Pulau Jawa,
dari Banten, Priangan dan Sida Cerma, yang dianggap pesantren
yang paling terkenal dalam bagian akhir abad XIX. Keterkemukaan
sebuah pesantren, dan daya tarik nasional yang melekat padanya,
sangat tergantung kepada reputasi gurunya. Sebagai pusat-pusat
dan sumber-sumber yang sesungguhnya dari kebudayaan JawaIslam, pesantren-pesantren dipandang sebagai pusat-pusat
pendidikan dan pegangan. Itu yang melahirkan kekuatan Islam
yang integratif, yang mendesak batas-batas etno-regional dan
mempercepat proses merakyatnya aliran-aliran baru di bidang
agama. Tidak keliru untuk menjelaskan bahwa dalam abad XIX
banyak pesantren sudah mempunyai dimensi nasional (Kartodirdjo
1984).
Sebagai lembaga yang sangat tua, pesantren tidak hanya
mengajarkan pengetahuan dasar tentang Islam, akan tetapi juga
memberikan latihan dalam cara hidup dan cara berpikir orang
Islam. Ketaatan yang mutlak kepada kyai, satu disiplin yang keras
dalam kehidupan sehari-hari, persamaan, dan persaudaraan di
kalangan para santri merupakan hal-hal yang esensial dalam
kehidupan pesantren. Sesungguhnya, selama berlangsungnya
pendidikan di pesantren, seringkali terjadi perubahan-perubahan
fundamental dalam struktur kepribadian mereka.
Namun, selama beberapa dasawarsa, di Banten terdapat
peningkatan fanatisme di kalangan pesantren, dan satu sikap yang
bermusuhan dan agresif ditanamkan pada diri para santri terhadap
orang-orang asing dan kaum priyayi (pemerintah). Sikap fanatisme
memandang rendah segala sesuatu yang tidak sesuai dengan Islam.
Saat itu dianggap bahwa tiap pesantren secara potensial merupakan
pusat sentimen anti-Eropa dan anti-priyayi. Konflik sosial yang
terkandung secara inhern di dalam antagonisme religio-politik
100
seringkali terungkap secara terbuka dalam bentuk cemoohan yang
terutama ditunjukan terhadap pejabat-pejabat Belanda dan kaum
priyayi. Dengan sendirinya pejabat-pejabat menyadari sepenuhnya
bagaimana rakyat memusuhi mereka, dan pemerintah kolonial tak
bisa tidak akhirnya melihat bahwa pesantren merupakan alat
pengendalian ideologis yang berguna dan bahwa pelajaran yang
diberikan dijadikan alat kepentingan kaum elit agama. Oleh karena
itu, segera setelah pemberontakan Cilegon dapat ditumpas,
pemerintah mengambil langkah-langkah untuk menempatkan
semua pesantren di bawah pengawasan resmi yang ketat. Satu
tindakan yang lebih positif adalah mendirikan sekolah-sekolah
sekular jenis baru tertentu, yang dimaksudkan untuk meluaskan
pengaruh pemerintah kolonial dan untuk melawan pengaruh
pesantren yang sangat besar. Tentunya, kaum elit agama sangat
menentang penyebarluasan sistem-sistem pendidikan Barat, yang
akan membatasi kemajuan Islam. Meskipun dalam perempat
bagian terakhir abad XIX, penetrasi kebudayaan Barat belum
mendalam, namun sangat dirasakan sebagai satu ancaman langsung
terhadap kedudukan para kyai, dan dianggap sebagai soal “hidup
dan mati”. Bagaimanapun, melalui pesantren dan tarekatnya, kyai
dapat menguasai masyarakat desa dan dapat dengan mudah
mengerakkan sumber-sumber material dan manusia kaum petani
(Kartodirdjo 1984).
Moderasi beragama dalam kebudayaan pesantren (kyai dan
santri) menjelaskan bahwa kebudayaan merupakan hasil
perkembangan cara hidup manusia. Kebudayaan tidak pernah
statis, senantiasa berkembang. Begitu pun, dalam beragama selalu
mengalami perkembangan. Apa yang dahulu dipandang pantas,
sekarang mungkin tidak pantas. Sebaliknya, apa yang pada masa
lalu tidak pantas, kini dianggap pantas. Apa yang dahulu konvensi,
saat ini dianggap keanehan, tetapi apa yang dahulu aneh, malah kini
dianggap konvensi. Gus Dur memberikan contoh bahwa ada daerah
gelap di tengah kontradiksi-kontradiksi tersebut. Dalam pandangan
Kyai Haji Yusuf Hasyim (1929-2007), putera terakhir Syaikhana
Kyai Haji Hasyim Asy’ari, Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa
Timur, generasinya merupakan “generasi sial”. Alasannya,
generasi mereka sering “dipukuli” oleh orang tua mereka sendiri,
disuruh macam-macam, namun kehendak mereka tidak pernah
dituruti oleh para orang tua. Akan tetapi, dia sebagai orang tua
101
sekarang tidak berani melakukan hal yang sama terhadap anakanak mereka. Bahkan sialnya, anak-anak masa kini berani
memukuli para orang tua. Dulu “dijajah” orang tua, sekarang
“dijajah” anak-anak. Ketundukan kepada orang tua yang dahulu
dianggap mutlak dan biasa, kini tidak dapat diterima begitu saja
(Abdurrahman Wahid 2007).
Sekarang, jika orang tua memukuli anak mereka, maka
mereka bisa dituntut ke pengadilan, dan posisi mereka sebagai
orang tua bisa dibatalkan. Bahkan, sang anak meminta agar orang
tuanya diganti. Ini yang dalam pandangan Gus Dur, yang dahulu
konvensional, sekarang tidak konvensional kembali. Sebaliknya,
yang dahulu tidak konvensional, dewasa ini menjadi konvensional.
Ini kebudayaan, selalu ada unsur-unsur yang menetap, akan tetapi
dengan fluktuasi-fluktuasi tertentu dari zaman ke zaman. Semua ini
membuat hidup manusia tidak pernah sesuai sepenuhnya dengan
aturan-aturan normatif yang abadi atau diabadikan (Abdurrahman
Wahid 2007).
Tarik menarik antara kebudayaan dengan beragama sangat
tampak di dalam Islam. Dalam penerapan i’tidal (adil) untuk
pernikahan lebih dari satu, yang terdapat dalam surat an-Nisa’ ayat
3, seringkali dengan cara berpikir yang sederhana. Seorang lakilaki yang ingin menikah kembali cukup menghitung, apakah ia
dapat membagi atau tidak, penghasilan dan ketersediaan waktunya
secara adil. Cara seperti ini tidak dapat kembali dilakukan pada
masa saat ini. Seorang Muslim modern yang ditanyai masalah ini
akan menjawab bahwa cara hitung-hituangan seperti itu tidak dapat
kembali dijadikan standar. Ukuran keadilan ditentukan oleh objek,
dalam hal ini adalah perempuan, bukan laki-laki. Sebab, jika lakilaki menerapkan ukuran keadilan atas perempuan hanya dari sudut
pandangnya belaka, betapa pun peralakuannya tidak adil. Karena
itu, niscaya akan memandangnya sebagai adil dari laki-laki semata
(Abdurrahman Wahid 2007).
Pandangan baru mengeni keadilan seperti di atas sudah
umum diterima di kalangan Muslim modern. Akan tetapi, mereka
belum berani maju melangkah ke satu tahapan kembali, yakni
menyelenggarakan plebisit. Sebab, jika keadilan ditentukan oleh
objek hukum (dalam kasus pernikahan lebih dari satu, objek hukum
adalah perempuan), maka sebagai konsekuensinya, plebisit
sebaiknya ditiadakan. Atas dasar plebisit, undang-undang dapat
102
dibuat yang kelak akan mengatur ketentuan apakah menikah
dengan perempuan lebih dari satu, yang kedua-duanya masih
hidup, diperbolehkan atau tidak. Hal ini dahulu pernah diinginkan
Habib Burguiba di Turki Ketika melarang poligami. Namun,
mereka yang belum mengerti, termasuk kaum perempuan, dengan
marah menentangnya. Mereka berpendapat bahwa larangan itu
merupakan pelanggaran terhadap ketentuan al-Qur’an. Mereka
tidak teliti bahwa ketentuan al-Qur’an sendiri membuka diri
terhadap perubahan dengan mengatakan: “Kalau tidak dapat
bersikap adil, cukup menikah satu kali”. Ketentuan ini mirip
dengan undang-undang dasar di banyak negara yang mengatakan
bahwa konstitusi itu bisa diubah melalui sebuah amandemen
(Abdurrahman Wahid 2007).
Dari penjelasan Gus Dur di atas, ketegangan-ketegangan
beragama dan berbudaya akan terus menerus terjadi. Salah satu
wajah ketegangan itu, upaya untuk menundukkan kebudayaan
kepada agama melalui proses pemberian legitimasi (proses
legitimasi) sebagai moderasi beragama. Legitimasi diberikan
bukan sebagai alat penguat, akan tetapi sebagai alat pengerem.
Proses ini berfungsi melakukan penyaringan (penyempitan)
terhadap hal-hal yang dipandang sesuai atau bertentangan dengan
aturan-aturan agama. Penyaringan ini bermakna yang
“diperbolehkan” adalah yang memperoleh legitimasi, sedangkan
yang di luar tidak diperbolehkan (Abdurrahman Wahid 2007).
Yang jelas, gerakan-gerakan keagamaan memutuskan untuk
mengemukaan pikiran-pikiran alternatif terhadap apa yang
dijalankan oleh pemerintah, biasanya jarang sekali mereka mundur
dari ketetapan mereka, walaupun besar risiko yang harus dihadapi
dalam bentuk persekusi dan penindasan atas aspirasi mereka. Kasus
para “pemimpin oposisi” Korea Selatan, seperti Kim Dae Jung,
yang mendasarakan gerakan moral politis mereka atas keyakinan
agama Nasrani dan para pemimpin partai keselamatan nasional di
Turki, di bawah pimpinan Nejmedin Erbakan. Ketahanan seperti
ini sudah terbukti sebelumnya, dan dalam perkembangannya di
masa pembangunan mengambil bentuk perlawanan terhadap apa
yang dirumuskan sebagai “penjajahan terselubung” oleh
perusahaan-perusahaan multinasional, persekutuan-persekutuan
militer dan sebagainya (Abdurahman Wahid 2000).
103
Ketetapan pendirian gerakan-gerakan alternatif yang
berlandaskan pada “aspirasi keagamaan” itu datang dan tumbuh
dari kemampuan merumuskan pemikiran mereka dari sumbersumber ajaran agama, sehingga apa pun yang mereka yakini
memiliki dimensi keabadian perjuangan dan berlanggengan citacita. Pengorbanan yang harus diberikan hanya merupakan sebagian
saja dari keseluruhan perjuangan yang tidak akan pernah berhenti.
Kegagalan demi kegagalan hanya menjadi susunan bata yang akan
membentuk gedung indah yang dicita-citakan, darah dan keringat
yang tercurahkan adalah penyiram bagi tumbuhnya cita-cita itu
sendiri. Konsep kesyahidan (martyrdom) mendudukkan akibat
tindakan persekutif dan penindasan fisik dalam kerangka yang
sama sekali berlainan dari apa yang dimaksudkan oleh aparat yang
melaksanakan persekusi itu sendiri. Munculnya ketahanan luar
biasa untuk terus menerus memperjuangkan aspirasi di hadapan
segala macam kesulitan dalam intensitas sedemikian besar, sebagai
studi yang praktis dicapai oleh setiap gerakan alternatif jika telah
menemukan dirinya, membawa problem besar berupa “lingkaran
setan” esklasi perlawanan versus “tindakan pengamanan
pemerintah” di banyak negara yang sedang berkembang. Eskalasi
dalam konflik antara gerakan keagamaan di satu pihak dan
pemerintah di pihak lain, dengan bebannya yang sedemikian besar
atas kelangsungan pembangunan, adalah persoalan dasar yang
dihadapi oleh negara yang sedang berkembang pada umumnya
(Abdurahman Wahid 2000).
Tampak bahwa ada upaya untuk menutupi wujud persoalan
dasar ini, dengan mengetengahkan berbagai “persoalan dasar” lain,
seperti kesulitan sangat besar dalam mengubah sikap hidup
tradisional, kecilnya kemampuan untuk segera mengembangkan
sumber-sumber alam atas tenaga dan swakarsa sendiri, tidak
tersedinya kelengkapan teknis untuk mendirikan infrastruktur
sosial-ekonomi yang diperlukan dalam mutu dan lingkup yang
cukup bagi kebutuhan pembangunan, dan seterusnya. Namun,
masalah-masalah teknis seperti itu, sangat mendasarnya sekali pun,
tidak memunculkan kerawanan situasi yang dibawakan oleh
kesalahpahaman antara ideologi negara dan keyakinan agama yang
muncul di sejumlah besar negara berkembang dalam kondisi saat
ini. Bagaimana pun juga, akan sia-saia kecenderungan menutupi
permasalahan sebenarnya, karena hanya akan menunda
104
penyelesaian persoalan sosial yang dahsyat sebagai “jalan
penyelesaian”. Sikap menutup mata terhadap persoalan dasar di
atas akan membuat konflik yang ditimbulkan tak terkendalikan lagi
(unmanageable conflict) dalam jangka panjang (Abdurahman
Wahid 2000).
Dengan demikian, adanya keunggulan dan keterkemukaan
budaya Banten, moderasi beragama dalam kebudayaan masyarakat
Banten dipraktikkan sejak menghadapi kolonialisme Belanda yang
menghasilkan pemberontokan petani. Pemaknaan moderasi
beragama bagi masyarakat Banten, yakni berbuat adil dan mampu
menengahi konflik yang berpotensi kekerasan dan peperangan.
Saat ini di era kemerdekaan pesantren yang digerakkan oleh sejuta
kyai dan seribu santri dalam gerakan tarekat melakukan moderasi
beragama untuk tidak terlihat dalam gerakan Pan-Islamisme yang
memberontak kepada pemerintahan yang sah. Sebaliknya,
membumikan ajaran Islam untuk menegakkan keadilan,
kesejahteraan sosial, dan perdamaian dunia.
Daftar Pustaka
Kartodirdjo, Sartono. 1984. Pemberontakan Petani Banten 1888. Vol. 1.
Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.
Permana, R. Cecep Eka. 2010. Kearifan Lokal Masyarakat Baduy Dalam
Mitigasi Bencana. I. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Untoro, Heriyanti O. 2006. Kebesaran Dan Tragedi Kota Banten. Edited by
Budianto. 1st ed. Jakarta: Yayasan Kota Kita.
Wahid, Abdurahman. 2000. Prisma Pemikiran Gus Dur. Yogyakarta: LKiS
Yogyakarta.
Wahid, Abdurrahman. 2007. Islam Kosmopolitan: Nilai-Nilai Indonesia Dan
Transformasi Kebudayaan. Edited by Agus Maftuh Abegebriel dan
Ahmad Suaedy. Jakarta: The Wahid Institute.
105
106
107
DAFTAR KONTRIBUTOR
1. Dr. Masykur, M.Hum
Pada tanggal 17 Juni 1976 tubuh dan
jiwa manusia yang diberi nama Masykur
Wahid dilahirkan di sebuah desa yang
dikenal dengan nama Losari Lor, Losari,
Cirebon. Pada tahun 1995, penulis nyantri
di Pondok Pesantren Al-Munawwir
Krapyak sambil memperdalam ilmu filsafat
di Jurusan Aqidah Filsafat IAIN (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Untuk memperdalam dan mempertajam kembali nalar-kritisnya,
penulis hijarah ke Depok dan memilih Program Studi Ilmu Filsafat
Departemen Filsafat Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI Depok
Program Magister (2004) dan Program Doktoral (2015) dalam ilmu
filsafat.
Buku ini merupakan jejak penulis sebagai penebar
kedamaian dan keharmonisan dalam hidup beragama. Ada
beberapa karya yang telah ditulis oleh penulis, antara lain: Ulama
Perempuan Banten: Dari Mekah, Pesantren, dan Majelis Taklim
untuk Islam Nusantara (2017); Teori Interpretasi Paul Ricoeur
(2015); Religious Conflict, Islam and Multiculturalism: Traces
Domination, Hegemony and Freedom in Indonesia (2012); Sunda
Wiwitan Baduy: Agama Penjaga Lindung di Desa Kanekes (2011);
Agama, Etnisitas dan Radikalisme: Pluralitas Masyarakat Kota
Sala (2007); dan From Traditionalist Being Revivalist Muslims:
Story on the Members of NU Who Join HTI in Serang Banten
(2006). Selain menulis, sejak tahun 2004 hingga kini penulis
beraktivitas sehari-hari untuk berbagi ilmu filsafat bersama
mahasiswa di UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten.
108
2. Dr. Ali Muhtarom, M.S.I.
Lahir di Jepara pada tanggal 25 Mei
1980. Pendidikan dasar ditempuh hingga
lulus di MI Miftahul Huda Jepara tahun
1994, jenjang pendidikan menengah MTs
dan Madrasah Aliyah ditamatkan hingga
lulus di Yayasan Madarijul Huda
Kembang Dukuhseti Pati Jawa Tengah
pada tahun 1998 (MTs) dan 2001 (MAK). Jenjang Sarjana (S1) di
Institut Agama Islam Al-Aqidah Jakarta, Jurusan Pendidikan Islam
pada tahun 2005. Memperoleh gelar Magister (S2) pada tahun 2008
dan gelar Doktor (S3) pada tahun 2018 bidang pendidikan Islam di
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Pada saat ini, penulis adalah dosen pada Prodi PAI Program
Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin
Banten. Sebagai dosen di bidang Pendidikan Islam, penulis
menekuni bidang kajian-kajian keislaman, terutama yang
berhubungan dengan Pendidikan Islam.
Beberapa tulisan karya ilmiah, baik buku maupun hasil riset
telah diterbitkan, di antaranya buku terbaru yang berjudul Gerakan
Keagamaan Islam Transnasional: Diskursus dan Kontestasi
Wacana Islam Politik di Indonesia, (2019), “Ideologi dan Lembaga
Pendidikan Islam Transnasional di Indonesia, 2019, angota tim
penulis buku “Implementasi Moderasi Beragama dalam
Pendidikan Islam” Direktorat Pendis Kemenag RI, 2019, dan tim
riset penulisan “Trend Pemikiran Islam di Indonesia Pasca-Orde
Baru: Kajian terhadap Literatur Terjemah Keislaman dan
Konsumsinya di Kalangan Pemimpin Keagamaan Islam di Jawa
Tengah dan Yogyakarta”, kerjasama Pascasarjana UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta dengan Lektur Khazanah Keagamaan dan
Managemen Organisasi Kementerian Agama Republik Indonesia.
Diantara jurnal yang dihasilkan adalah “Pembinaan Kesadaran
Lingkungan Hidup di Pondok Pesantren: Studi Kasus di Pondok
Pesantren Al-Mansur Darunnajah 3 Kabupaten Serang” terbit di
Jurnal IBDA IAIN Purwokerto 2014, “The Study of Indonesian
Moslem Responses on Salafy- Shia Transnational Islamic
Education Institution” di Jurnal Ilmiah ISLAM FUTURA UIN ArRaniri Aceh tahun 2017.
109
3. Fitri Raya, M.Ek
Lahir di Musi Rawas Sumatera Selatan
pada tanggal 10 Agustus 32 tahun silam.
Pendidikan Dasar di tempuh di kampung
halaman yang terpencil di SD Negeri Muara
Megang lulus tahun 1999, melanjutkan jenjang
pendidikan MTs di Pondok Pesantren Riyadhus
Sholihin Megang Sakti lulus tahun 2002,
kemudian melanjutkan ke jenjang MA di
Pondok Pesantren Mazro’illah Lubuk Linggau lulus tahun 2005.
Setelah lulus MA merantau ke Yogyakarta melanjutkan Program
profesi D1 dengan jurusan Manajemen Administrasi Rumah Sakit
(hanya Ijazahnya hilang saat kejadian gempa Jogja tahun 2006).
Karena belum mau pulang ke kampung akhirnya melanjutkan
kuliah lagi S1 di Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga lulus tahun
2010.
Belum puas dengan gelar Sarjana, penulis melanjutkan kuliah
Pascasarjana Fakultas Ekonomi di Universitas Islam Indonesia
(UII) Yogyakarta tahun 2012. Setelah lulus S2, penulis lalu
merantau ke Kota Palembang dan berkesempatan mengajar di
sejumlah kampus sebagai Dosen Luar Biasa, yaitu di Fakultas
Ekonomi Universitas Indo Global Mandiri (UIGM) Palembang dan
di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Raden Fatah
Palembang.
Pada tahun 2015, penulis hijrah ke Jakarta. Di Ibu Kota
penulis kembali dipercaya menjadi Dosen di Program Studi
Akuntansi Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA)
Jakarta. Lalu pada awal 2019, penulis kembali hijrah ke Kota
Serang setelah diterima menjadi Pegawai Negeri Sipil di UIN
Sultan Maulana Hasanuddin Banten. Di sela mengajar, penulis juga
akti menjadi Pengurus Pusat Fatayat NU bidang Ekonomi hingga
saat ini dan Anggota Rumah Moderasi UIN SMH Banten.
Berikut karya ilmiah terbaru penulis yang sudah
dipublikasikan: “Ujian Solidaritas dan Spiritualitas di Tengah
Pandemi”, portal media Radarbangsa.com, 30 Maret 2020,
“Keuangan Syariah & Realitas Masyarakat: Babak Baru Sistem
Perbankan Syariah di Indonesia”, Jurnal Az-Zarqa', Vol. 12, No. 1
Juni 2020.
110
111