POLEMIK PERTAMBANGAN DI MANGGARAI BARAT
DAN RELASINYA DENGAN AJARAN SOSIAL GEREJA
Benny Denar
Mahasiswa Program Pascasarjana STFK Ledalero
Email: bennydenar@yahoo.com
Abstrak:
Sistem Otonomi Daerah ternyata juga melahirkan berbagai ketimpangan dalam
pilihan kebijakan politik pembangunan daerah. Salah satu fenomena paling
kentara adalah munculnya perusahaan-perusahaan berskala transnasional/multi
national corporations (MNC) untuk mengeruk kekayaan alam yang tersebar di
daerah-daerah. Artikel ini membahas secara khusus polemik pertambangan di
Manggarai Barat, NTT, yang coba dikaitkan dengan Ajaran Sosial Gereja (ASG)
tentang lingkungan hidup. Ajaran Sosial Gereja telah menunjukkan secara tegas
rambu-rambu yang perlu untuk menjaga keutuhan ciptaan, termasuk untuk
menolak berbagai tindakan yang merusakkan lingkungan hidup.
Kata-kata kunci:
pertambangan, lingkungan hidup, Ajaran Sosial Gereja, Manggarai Barat
PENGANTAR
Sistem Otonomi Daerah yang berlaku pascaruntuhnya pemerintahan Orde Baru
ternyata tidak saja berdampak positif bagi pembangunan daerah-daerah di
Indonesia, tetapi juga melahirkan berbagai ketimpangan yang meresahkan.
Otonomi Daerah sebagai salah satu tuntutan dasar reformasi ternyata tidak hanya
menampakkan diri sesuai yang dicita-citakan, tetapi justru membawa bias-bias
destruktif yang mencemaskan. Kalau pada zaman Orde Baru korupsi
tersentralisasi di Jakarta, kini pada zaman diberlakukannya Otonomi Daerah,
korupsi ikut terdesentralisasi ke daerah-daerah. Maka daerah-daerah otonom kini
menjadi ladang baru lahirnya korupsi, kolusi dan mepotisme (KKN).
Selain memunculkan ladang baru terjadinya KKN, Otonomi Daerah ternyata
melahirkan persoalan serius terkait dengan pilihan kebijakan politik pembangunan
daerah. Salah satu fenomena paling kentara yang membahasakan adanya
persoalan serius terkait pilihan kebijakan pembangunan daerah adalah munculnya
perusahaan-perusahaan berskala transnasional/multi national corporations (MNC)
untuk mengeruk kekayaan alam yang tersebar di daerah-daerah. Perusahaanperusahaan tersebut mengadakan investasi besar-besaran di bidang pertambangan
yang justru membawa malapetaka baru bagi masyarakat lokal. Hal ini amat
menyata dalam menjamurnya perusahaan-perusahaan transnasional di berbagai
daerah, termasuk daerah-daerah di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). 1
Menjamurnya MNC di NTT membahasakan pengaruh liberalisasi pertambangan
itu telah sampai ke seluruh pelosok wilayah. Salah satu daerah di Propinsi NTT
yang merasakan kehadiran MNC untuk investasi pertambangan adalah Kabupaten
Manggarai Barat. Artikel ini membahas secara khusus polemik pertambangan di
Manggarai Barat yang coba dikaitkan dengan Ajaran Sosial Gereja (ASG) tentang
lingkungan hidup. Untuk itu, penulis mulai dengan memperkenalkan secara
singkat ASG terutama yang berkaitan dengan penyebab kerusakan lingkungan
hidup.
PENYEBAB KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP MENURUT ASG2
Keserakahan Manusia
Menurut ASG, penyebab yang mendasari masalah-masalah kerusakan lingkungan
hidup adalah pretensi manusia untuk melakukan penguasaan tanpa syarat atas
segala sesuatu, tanpa mengindahkan pertimbangan moral apa pun. Pretensi buruk
tersebut menyata dalam tindakan eksploitasi secara masif tanpa memperhatikan
1
Alcx Jcbadu, "Relasi Pertambangan, Kekejaman Neoliberalismc, dan Ilusi Pertumbuhan
Ekonomi" dalam Rikard Rahmat (Ed.), Gereja Itu Politis, Jakarta: JPIC OFM, 2012, hlm. 159.
2
Bagian ini kami ambil dari ASG yang terangkum dalam Kompendium ASG. Bdk. Komisi
Kepausan Untuk Keadilan dan Perdamaian, Kompendium Ajaran Sosial Gereja, penerj. Yosef
Maria Florisan, Maumere: Ledalero, 2009, hlm. 316-319.
keseimbangan lingkungan. Tentang hal ini, Paus Yohanes Paulus II pernah
mengatakan:
Abad modern telah menyaksikan kesanggupan manusia yang semakin
berkembang untuk melakukan intervensi transformatif. Segi penaklukan serta
eksploitasi atas sumber-sumber daya alam telah menjadi dominan dan invasif dan
dewasa ini hal itu telah mencapai titik yang mengancam segi keramahan
lingkungan hidup.3
Menurut ASG, latar belakang dari semua ekploitasi invasif manusia atas alam
adalah adanya pandangan yang memisahkan apa yang kelihatan dari rujukan yang
transenden. Hal ini menyebabkan penolakan gagasan tentang penciptaan dan
memisahkan eksistensi manusia dengan alam. Di sini, ikatan-ikatan yang
mempersatukan dunia dengan pencipta-Nya (Allah) diputuskan. Hal ini
menyebabkan adanya pandangan yang memisahkan manusia dari dunia yang
justru mempermiskin jati diri manusia sendiri. Manusia berpikir bahwa ia asing
terhadap konteks lingkungan hidup di mana ia hidup. Padahal menurut ASG relasi
manusia dengan Allah amat menentukan relasinya dengan sesamanya dan dengan
lingkungan hidupnya. Oleh karena itulah kebudayaan Kristen selalu mengakui
makhluk-makhluk hidup termasuk lingkungan hidup sebagai karunia Allah yang
mesti dipelihara dan dilindungi dengan rasa terima kasih kepada sang pencipta.
Manusia dengan Peradaban Teknokrasi
Keserakahan manusia dalam relasi dengan alam ciptaan sangat tampak dalam
penggunaan teknologi secara serampangan yang justeru merusak lingkungan
hidup. Dengan IPTEK yang tidak digunakan secara bijak, alam hanya sebagai
sarana dalam tangan manusia yang secara konstan dimanipulasi. Di sini ada
pemahaman yang reduksionistis yang melihat alam dalam bingkai mekanistik,
sekaligus
memahami
perkembangan
serta
pembangunan
dalam
bingkai
konsumerisme yang justru membuat manusia terasing.
Menurut ASG, penggunaan IPTEK secara serampangan tidak berasal dari IPTEK
itu sendiri atau tidak muncul dari riset ilmiah dan teknologis. Penggunaan IPTEK
secara serampangan justru muncul dari ideologi saintisme dan ideologi-ideologi
teknokratis yang cenderung mengkondisikan/menggunakan IPTEK dimaksud
3
Ibid., hlm. 316.
untuk memanipulasi alam ciptaan. Padahal menurut ASG, kemajuan IPTEk tidak
akan menghilangkan kebutuhan manusia akan transendensi. Kemajuan IPTEK
selalu berbarengan dengan pertanyaan-pertanyaan menyangkut makna keduanya.
Hal ini menyata dalam suatu kebutuhan yang semakin jelas untuk menghormati
matra transenden pribadi manusia serta ciptaan itu sendiri.
SEJARAH SINGKAT POLEMIK SEKITAR PERTAMBANGAN DI
MANGGARAI BARAT
Deskripsi Polemik
Salah satu daerah di Propinsi NTT yang merasakan kehadiran MNC untuk
investasi pertambangan adalah Kabupaten Manggarai Barat. Hal ini terjadi karena
Manggarai Barat memiliki potensi pertambangan yang cukup banyak. Izin Usaha
Pertambangan (IUP) dikeluarkan pertama kali oleh Bupati Wilfridus Fidelis
Pranda pada 9 Juli 2008 untuk pertambangan di Batu Gosok dan Tebado. 4 Setelah
itu muncul berbagai IUP-IUP lain yang memicu berbagai aksi penolakan oleh
masyarakat yang menentang segala bentuk kegiatan penambangan di Manggarai
Barat. Sampai saat ini tercatat kurang lebih ada 11 Izin Usaha Pertambangan
(IUP) yang pernah dikeluarkan pemerintah. 5 Dalam perjalanannya, sebuah
transformasi isu dan komposisi lahir dalam bentuk munculnya kelompok yang
menamakan diri GERAM (Gerakan Masyarakat Anti Tambang). GERAM berasal
dari berbagai unsur antara lain tokoh agama termasuk beberapa Pastor (Pater
Marsel Agot, SVD, Romo Robertus Pelita, Pr, Romo Emanuel Haru, Pr dan lainlain), pelaku usaha pariwisata, aktivis LSM, dan tokoh masyarakat adat.
4
Data ini baru terungkap saat terjadi rapat dengar pendapat di gedung DPRD Manggarai Barat
pada 23 Juli 2009, ketika arus penolakan sudah mulai terjadi. Pada saat itu Bupati Wilfridus
Fidelis Pranda ditanya oleh seorang anggota DPRD (Thobias Wanus) tentang waktu persisnya
aktivitas pertambangan di Manggarai Barat dimulai. Rapat dihadiri oleh Bupati dan unsur
pemerintahan lainnya termasuk Kepala Dinas Pertambangan (Yan Jinus), para anggota DPRD
Manggarai Barat para anggota Gerakan Masyarakat Anti Tambang (GERAM) dan anggota
Masyarakat lainnya. Data ini diambil dari notulen rapat dengar pendapat dimaksud yang dicatat
dan diposkan oleh GERAM. Bdk.. http://gerammabar.blogspot.com/2009/07/pernyataan-bupatimabar-dalam-rapat.html, diakses pada 20 November 2013.
5
Bernadinus Steni, "Tragedi Pertambangan dan Gereja yang Aksional", dalam Rikard Rahmat
(Ed.), Gereja Itu Politis, Jakarta: JPIC OFM, 2012, hlm. 159.
Walaupun mendapat penolakan yang luar biasa (termasuk dari GERAM),
Pemerintah Daerah Manggarai Barat di bawah komando Bupati Fidelis Pranda
tetap kukuh melanjutkan segala aktivitas pertambangan dengan berpegang pada
sekurang-kurangnya tiga argumentasi pokok.
6
Pertama, pemberian kuasa
pertambangan (KP) di Manggarai Barat telah dilakukan sesuai dengan prosedur
hukum pertambangan yang berlaku. Kedua, pertambangan di Manggarai Barat
sejak awal telah mendapat persetujuan masyarakat di lokasi tambang dan
sekitarnya. Ketiga, pertambangan akan mampu meningkatkan Pendapatan Asli
Daerah (PAD) yang tentu saja akan sanggup meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.
Pemilu Kada tahun 2010 menjadi titik penting terkait polemik pertambangan di
Manggarai Barat. Pada saat itu, pertambangan dijadikan bahan kampanye.
Kelompok-kelompok yang menolak pertambangan menjadikan isu pertambangan
sebagai 'senjata' untuk menyerang Bupati Fidelis Pranda. Masyarakat dipetakan
dalam kelompok-kelompok yang mendukung kebijakan pertambangan dari
pemerintah yang mendukung tambang dan kelompok kampanye lain yang tidak
mendukung pertambangan. Hasilnya pasangan Agustinus CH. Dulla – Maximus
Gasa yang terpilih menjadi Bupati dan Wakil Bupati Manggarai Barat. Pasangan
ini memang sebelumnya menjanjikan dihentikannya segala bentuk aktivitas
pertambangan.
Untuk memenuhi janjinya, setelah terpilih tahun 2010, Bupati Gusti Dulla
berkeputusan untuk menghentikan semua aktivitas pertambangan melalui surat
bernomor: SD A. 500/214 /X/2010. Dalam surat tersebut, Bupati Manggarai Barat
dengan sangat jelas memberikan alasan mengapa Manggarai Barat tidak boleh
dijadikan sebagai daerah pertambangan. Alasan yang paling utama adalah bahwa
Manggarai Barat ingin mengembangkan model pembangunan berwawasan
lingkungan. Model pembangunan seperti itu dirasa penting karena Manggarai
Barat sedang konsen membangun bidang pariwisata sebagai leading sektor yang
didukung oleh sektor pertanian, kelautan, perikanan dan peternakan. Menurut
6
Edi Danggur, "Mempertimbangkan Kembali Rencana Pertambangan di Manggarai Barat," dalam
Alex Jebadu, dkk (Ed.), Pertambangan di Flores-Lembata Berkah atau Kutuk?, Maumere:
Ledalero, 2009, hlm. 303.
Bupati Manggarai Barat, oleh karena pembangunan di Manggarai Barat tertuju
kepada sektor pariwisata, maka pemeliharaan lingkungan hidup menjadi syarat
mutlak.7
Surat Keputusan (SK) Moratorium di atas tentu saja tidak menjadi berita final
berakhirnya aktivitas pertambangan di Manggarai Barat. Bahkan saat ini, ada
perusahaan tambang yang menggugat Pemda Manggarai Barat di Pengadilan
Negeri dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) karena SK Moratorium
dinilai merugikan mereka. Bahkan berita terbaru menyebutkan, Pemda
Manggarai Barat dinyatakan kalah oleh beberapa investor di Pengadilan Negeri
dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) terkait SK Moratorium dinilai
merugikan mereka. 8 Apalagi tidak ada jaminan Bupati berikutnya nanti akan
memiliki kebijakan yang sama terhadap pertambangan. Jadi ancaman akan masih
berlangsungnya aktivitas pertambangan di Manggarai Barat masih sangat riil.
Menguatnya Liberalisasi Pertambangan: Sebuah Kesimpulan Singkat
Ancaman di atas sebenarnya membahasakan adanya kekuatan besar di balik
menjamurnya aktivitas pertambangan. Tafsiran banyak pengamat menunjukkan
bahwa sistem ekonomi dan politik liberal adalah fundasi kuat yang memunculkan
banyak persoalan terhadap lingkungan hidup, termasuk bahaya menjamurnya
investasi pertambangan. Di Indonesia, liberalisasi pertambangan sudah muncul
sejak Orde Baru dan semakin menguat sejak zaman reformasi.
Setidaknya penguatan terhadap liberalisasi pertambangan setelah Orde Baru dapat
diteliti dari tiga aspek.9 Pertama, penguatan terhadap liberalisasi pertambangan
tersebut dapat dilihat dari produk hukum yang dihasilkan atau diperbarui
pascareformasi yang lebih condong mendukung sistem liberalisasi pertambangan.
Kedua, kemudahan akses bagi investor transnasional untuk mendapatkan
perizinan. Kalau pada zaman Orde Baru, izin untuk investasi pertambangan
Bupati Manggarai Barat, “Peringatan Kepada para Pemegang Izin KP/IUP”, dikeluarkan di
Labuan Bajo pada 2 Oktober 2010 dan ditandatangani Bupati Manggarai Barat Agustinus CH.
Dula.
8
"Pemkab Mabar Kalah di Pengadilan", Berita dalam Pos Kupang, 23 November 2013.
9
Max Regus, "Tambang, Kewargaan Lokal, dan Hak Ekonomi Politik", dalam Boni Hargens
(Ed.), Kebuntuan Demokrasi Lokal di Indonesia, Jakarta: Parrhesia, 2009, hlm. 76-80.
7
tersentralisasi di Jakarta, maka pada era Otonomi Daerah, para pemodal
transnasional bisa langsung berhubungan dengan kepala daerah untuk
memperoleh izin melakukan segala jenis investasi, termasuk investasi di bidang
pertambangan. Atas nama investasi dan optimalisasi khas daerah, para kepala
daerah mempermudah memberikan izin investasi pertambangan demi meraup
keuntungan. 10 Ketiga, menguatnya liberalisasi pertambangan juga ditandai oleh
'kemesraan/kedekatan' hubungan antara investor dengan penguasa. Akibatnya
semua kebijakan terkait izin melakukan investasi pertambangan dipermudah. Para
penguasa lebih mudah melayani kepentingan investasi para pemodal daripada
mendengar suara dan kepentingan rakyatnya sendiri.11
JALAN KELUAR12
Pentingnya Tanggung Jawab
Kepedulian terhadap lingkungan hidup menyajikan sebuah tantangan kepada
setiap orang untuk menghormati alam lingkungan sebagai harta milik bersama
yang diperuntukkan bagi semua orang dengan mencegah siapa pun merusakkan
lingkungan, termasuk yang bermotif ekonomi sekadar untuk menumpukkan
kekayaan. Tanggung jawab terhadap lingkungan hidup tidak saja karena
kebutuhan-kebutuhan saat sekarang tetapi juga kebutuhan-kebutuhan generasi
mendatang.
Tentang pentingnya tanggung jawab untuk menyiapkan lingkungan yang nyaman
bagi generasi mendatang, Paus Paulus VI dalam ensiklik Populorum Progressio
menulis:
Kita menjadi ahli waris angkatan-angkatan sebelum kita dan kita menuai
keuntungan dari usaha-usaha orang-orang sezaman. Kita mempunyai kewajiban
terhadap semua orang. Oleh karena itu, kita tidak dapat mengabaikan
10
Ada banyak media melansir adanya fenomena ini, salah satunya pernah dibahas dalam kolom
editorial Victory News, edisi 13 Desember 2013.
11
Max Rcgus, Tobat Politik, Jakarta: Parrhcsia, 2011, hlm. 9.
12
Jalan keluar tiga butir pertama penulis ambil dari Kompendium Ajaran Sosial Gereja, bdk.
Komisi Kepausan Untuk Keadilan dan Perdamaian, op.cit., hlm. 319-324.
kesejahteraan mereka yang akan menyusul kita untuk menumbuhkan bangsa
13
manusia.(PP, art. 17)
Inilah tanggung jawab yang dipunyai generasi-generasi sekarang terhadap
generasi-generasi yang akan datang. ASG juga menekankan tanggung jawab yang
harus tertuang dalam produk dan penegakan hukum yang membela keutuhan
ciptaan.
Menimbang Kegiatan Ekonomi
ASG juga memberi cacatan khusus terkait pola pengembangan ekonomi yang
berdampak langsung bagi lingkungan hidup. Menurut ASG, program-program
pengembangan ekonomi mesti secara saksama memperhatikan perlunya
menghormati keutuhan serta irama-irama alam, karena sumber-sumber daya alam
itu terbatas dan beberapa darinya tidak dapat dibarui. Di sini ada kebutuhan untuk
menentang irama eksploitasi yang membahayakan ketersediaan beberapa sumber
daya alam baik untuk saat ini maupun untuk masa yang akan datang.
Kegiatan ekonomi mesti menghormati lingkungan. Di sini harus ada
keseimbangan antara usaha pembangunan ekonomi dengan kebutuhan-kebutuhan
perlindungan lingkungan hidup. Setiap kegiatan ekonomi yang mendayagunakan
sumber-sumber daya alam mesti juga peduli untuk melindungi lingkungan hidup.
Sistem ekonomi yang menghormati lingkungan hidup tidak akan menempatkan
maksimilisasi keuntungan sebagai satu-satunya tujuannya, karena perlindungan
terhadap lingkungan hidup tidak dapat dijamin semata-mata berdasar pada
pertimbangan finansial menyangkut biaya dan laba. Lingkungan hidup adalah
salah satu harta milik yang tidak dapat dilindungi atau dikembangkan secara
memadai oleh kekutan pasar.
PerIu Menghargai Masyarakat Adat
Terkait dengan usaha menjaga keutuhan ciptaan, ASG juga berusaha memberikan
perlindungan terhadap masyarakat adat dari kepentingan industri/ekonomi. Sebab
menurut ASG, hubungan suku-suku pribumi dengan tanah serta sumber daya
13
Dikutip dari Komisi Kepausan Untuk Keadilan dan Perdamaian, op. cit., hlm.320-321.
merupakan sebuah ungkapan yang hakiki tentang jati diri mereka. Perlindungan
terhadap masyarakat adat penting dilakukan sebab kepentingan industri termasuk
pertambangan sangat kuat mengusir mereka dari tanah mereka sendiri yang
merupakan simbol jati diri mereka sendiri. Oleh karena itu, berhadapan dengan
investasi ekonomi yang semakin masif, hak-hak suku pribumi mesti dilindungi
sewajarnya.
Bahkan menurut ASG, suku-suku pribumi menyajikan teladan tentang satu
kehidupan yang dilakoni dalam keselarasan dengan lingkungan hidup yang telah
mereka kenal dengan sangat baik. Pengalaman mereka yang luar biasa yang
merupakan sumber daya yang tak tergantikan bagi semua umat manusia, terancam
risiko akan punah dengan lingkungan hidup dari mana mereka berasal.
BEBERAPA SOLUSI PRAKTIS: SEMACAM PEMERKAITAN
Gereja Mesti Konsisten Membuat Advokasi terhadap Lingkungan Hidup
Dalam level Gereja lokal, penolakan terhadap perusakan lingkungan hidup
terutama aktivitas pertambangan kian gencar akhir-akhir ini. 14 Hal ini dilatari
karena hampir lima tahun lebih masyarakat Flores dan Lembata dihadapkan
dengan masalah pertambangan. Gereja Katolik Flores dan Lembata (terutama
hierarki dan kelompok awam Katolik) memainkan peranan penting dalam
advokasi penolakan pertambangan. Meskipun kosekwensinya tentu saja tidak
ringan. Gereja Katolik bahkan vis a vis (muka dengan muka) berhadapan dengan
pemerintah yang menerbitkan izin pertambangan. Gereja Katolik berhadapan
dengan pemimpin-pemimpin pemerintahan lokal di Flores dan Lembata yang juga
adalah orang-orang Katolik.
Walaupun harus berhadapan dengan penguasa-penguasa lokal yang adalah anak
kandungnya sendiri, namun sampai kini Gereja tetap fokus dan konsisten menolak
dosa-dosa ekologis termasuk pertambangan. Gereja Keuskupan Ruteng misalnya,
14
Meskipun akhir-akhir ini ada beberapa keuskupan yang gencar menolak aktivitas pertambangan,
namun masih ada ketakutan umum kalau Gereja bisa jadi mengikuti arus modal atau justru bekerja
sama dengan para investor tambang. Bdk. Ferdy Hasiman, Monster Tambang Gerus Ruang Hidup
Warga Nusa Tenggara Timur Jakarta: JPIC-OFM Indonesia, 2014, hlm.71-73.
dalam salah satu hasil keputusan sinodenya yang berlangsung pada 13-17 Januari
2014 lalu, dengan tegas menolak aktivitas pertambangan di Manggarai Raya
karena dinilai merusak ciptaan. Gereja bahkan meminta semua pihak termasuk
pemerintah untuk menjaga keutuhan ciptaan.15
Ada pertanyaan selalu muncul; "Bagaimana kalau suara profetis itu menyebabkan
sebuah rezim tumbang, apakah suara profetis itu bukan termasuk gerakan
politik?” Pertanyaan-pertanyaan seperti ini tentu saja menimbulkan dilema dalam
menilai keterlibatan kaum klerus. Namun, ketakutan/dilema seperti itu sepatutnya
tidak perlu terjadi asalkan perjuangan/suara profetis itu benar-benar mengikuti
gerakan kenabian seperti yang terdapat dalam Kitab Suci.”16
Pertama,
pewartaan
dan
tindakan
profetis
itu
bukan
pesanan
dari
kekuatan/kekuasaan tertentu. Kedua, pewartaan dan tindakan profetis yang sama
dilakukan tidak mengindahkan konstelasi kekuasaan yang ada. Singkatnya,
pewartaan dan suara profetis tersebut hanya dilakukan semata-mata untuk
membela
kebaikan
umum,
tidak
berpretensi
mengejar
kepentingan
pribadi/golongan.
Pentingnya Memperkuat Ekopastoral
Selain seruan dan pendidikan ekologis, Gereja juga amat perlu dengan gencar
menggalakkan gerakan ekopastoral yang selama ini sudah dimulai di beberapa
tempat.
Gerakan
ekopastoral
penting
untuk
melawan
sistem
ekonomi/pembangunan (termasuk pertanian) eksploitatif yang tidak ramah
terhadap lingkungan hidup.
Ada beberapa gerakan yang bisa dibuat untuk mengembangkan ekopastoral. 17
Pertama, menggali dan menemukan kembali praktik-praktik pertanian yang
didasarkan pada kearifan lokal.18 Hemat kami, ada banyak sekali praktik pertanian
yang dibuat masyarakat lokal yang sangat menghargai keutuhan ciptaan. Bahkan
15
Flores Pos, 20 Januari 2014.
Paulus Budi Kledcn, Teologi Terlibat, Maumere: Ledalero, 2003, hlm. 217.
17
Benny Denar, "Pertobatan Ekologis dan Gerakan Ekopastoral" Opini dalam Flores Pos, Senin 24
Februari 2014.
18
Bdk. Ebenhaizer Nuban Timo, Alam Belum Berhenti Bercerita, Maumere: Ledalero, 2010, hlm.
viii-ix.
16
dalam masyarakat Manggarai-Flores misalnya, ada keyakinan bahwa tanah
garapan merupakan sesuatu yang sakral sehingga tidak pantas dieksploitasi secara
membabi buta.
Kedua, Gereja perlu mengajak umat dan masyarakat untuk menghormati,
menghargai dan memuliakan sumber-sumber pangan (air, tanah, dan tanaman)
sebagai bagian dari perwujudan hidup beriman dan beragama. Di sini pewartaan
iman harus juga menyentuh usaha penyelamatan lingkungan hidup dari
keserakahan manusia.
Ketiga, membangun dan memperkuat kelompok-kelompok tani yang bersahabat
dengan alam (pertanian organik/pertanian lestari). Kelompok-kelompok tani
seperti inilah yang diharapkan mampu menjadi teladan bagi model pertanian
berwawasan lingkungan. Untuk mendukung petani-petani seperti ini maka perlu
diambil langkah-langkah advokasi menghadapi kebijakan-kebijakan publik yang
tidak berpihak kepada kepentingan petani dan dunia pertanian yang berwawasan
lingkungan. Bukan tidak mungkin, dengan aksi pertobatan ekologis dan
pendidikan nilai yang mengubah kesadaran ekologis, serta dijalankan dalam
bingkai gerakan ekopastoral, lingkungan hidup akan sungguh dijaga dan
dilestarikan secara bijak.
PENUTUP
Selain aktivitas pertambangan, tentu saja ada banyak sekali faktor yang
menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan hidup. Investasi pertambangan
sendiri harus ditinjau dari berbagai aspek supaya bisa menemukan jalan keluar
yang lebih komprehensif. Ajaran Sosial Gereja telah menunjukkan secara tegas
rambu-rambu yang perlu untuk menjaga keutuhan ciptaan, termasuk untuk
menolak berbagai tindakan yang merusakkan lingkungan hidup. Namun yang
penting adalah bagaimana kita bisa menerapkan secara implikatif berbagai aspek
Ajaran Sosial Gereja tersebut dalam masalah-masalah nyata kerusakan
lingkungan hidup, terutama yang muncul dalam aktivitas pertambangan. Mudahmudahan pembahasan dalam artikel ini memberi inspirasi untuk para agen
pastoral Gereja agar setia menjalankan amanat Kristus untuk menyelamatkan
dunia, termasuk untuk menjaga keutuhan ciptaan.
RUJUKAN:
Bupati Manggarai Barat, “Peringatan Kepada para Pemegang Izin KP/IUP”,
dikeluarkan di Labuan Bajo pada 2 Oktober 2010 dan ditandatangani Bupati
Manggarai Barat Agustinus CH. Dula.
Danggur, Edi, "Mempertimbangkan Kembali Rencana Pertambangan di
Manggarai Barat," dalam Alex Jebadu, dkk (Ed.), Pertambangan di FloresLembata Berkah atau Kutuk?, Maumere: Ledalero, 2009.
Denar, Benny, "Pertobatan Ekologis dan Gerakan Ekopastoral" dalam Flores
Pos, Senin 24 Februari 2014.
Flores Pos, 20 Januari 2014.
Hasiman, Ferdy, Monster Tambang Gerus Ruang Hidup Warga Nusa Tenggara
Timur, Jakarta: JPIC-OFM Indonesia, 2014.
Jcbadu, Alcx, "Relasi Pertambangan, Kekejaman Neoliberalismc, dan Ilusi
Pertumbuhan Ekonomi" dalam Rikard Rahmat (Ed.), Gereja Itu Politis, Jakarta:
JPIC OFM, 2012.
Kledcn, Paulus Budi, Teologi Terlibat, Maumere: Ledalero, 2003.
Komisi Kepausan Untuk Keadilan dan Perdamaian, Kompendium Ajaran Sosial
Gereja, penerj. Yosef Maria Florisan, Maumere: Ledalero, 2009.
Pos Kupang, 23 November 2013.
Rcgus, Max, Tobat Politik, Jakarta: Parrhcsia, 2011.
__________, "Tambang, Kewargaan Lokal, dan Hak Ekonomi Politik", dalam
Boni Hargens (Ed.), Kebuntuan Demokrasi Lokal di Indonesia, Jakarta: Parrhesia,
2009.
Steni, Bernadinus, "Tragedi Pertambangan dan Gereja yang Aksional", dalam
Rikard Rahmat (Ed.), Gereja Itu Politis, Jakarta: JPIC OFM, 2012.
Timo, Ebenhaizer Nuban, Alam Belum Berhenti Bercerita, Maumere: Ledalero,
2010.
Victory News, edisi 13 Desember 2013.
http://gerammabar.blogspot.com/2009/07/pernyataan-bupati-mabar-dalamrapat.html, diakses pada 20 November 2013.