Tasyri’ Journal of Islamic Law, Vol. 1 No. 1, Januari 2022
MAQASHID AL-SYARI’AH
DALAM KAJIAN TEORITIK DAN PRAKTEK
Siti Sarah*(a,1) dan Nur Isyanto*(b,2)
Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah
Sekolah Tinggi Agama Islam Nurul Iman
1 sitisarah_21@mhsuinjkt.ac.id*; 2 nurisyanto@stai-nuruliman.ac.id*
Abstact
Received:
03-12-2021
Revised:
09-12-2021
Published:
28-12-2021
Maqashid al-Shari'ah is an alternative in an effort to solve
socio-religious problems in the current era. This is because it is
realized that the texts, both the Qur'an and Hadith as the
main sources of Islamic law, are very limited in number while
social problems continue to emerge one after another. The
purpose of this paper is to describe the concept of maqashid alsyari'ah both at the theoretical level and in its application.
This study is included in the category of library research by
utilizing data or information from ushul fiqh books as a
primary source, then assisted by some information obtained
from journals, other relevant books as secondary sources. The
data obtained were described and then analyzed. This paper
finds that: 1) maqashid al-syar'iah is part of qa'idah
ushuliyyah and also approaches in understanding the texts of
the Qur'an and the Prophet's Hadith. 2) Mujtahids must
understand maqashid al-syariah in an effort to capture and
interpret the divine verses hidden behind their textual folds. 3)
Maqashid al-Sharia as an approach, needs to be refreshed and
rearranged according to the current context.
Keywords: Approach, Maqashid al-Shari'ah, Qa'idah Ushuliyyah
Abstrak
Diterima:
03-12-2021
Direvisi:
09-12-2021
Dipublikasi:
28-12-2021
Maqashid al-Syari’ah menjadi alternatif dalam dalam
upaya memecahkan problemantika sosial keagamaan di
era saat ini. Demikian ini karena disadari bahwa nash
baik al-Qur’an maupun Hadits sebagai sumber utama
hukum Islam,jumlahnya sangat terbatas sedangkan
problem sosial terus bermunculan silih berganti. Tujuan
tulisan ini adalah untuk mendeskripsikan konsep
maqashid al-syari’ah baik dalam tataran teori maupun
aplikasinya. Kajian ini masuk dalam kategori kajian
kepustakaan (library research) dengan memanfaatkan
data atau informasi dari buku ushul fikih sebagai sumber
primer, kemudian dibantu dengan beberapa informasi
yang didapatkan dari jurnal, buku lain yang relevan
Tasyri’: Journal of Islamic Law,
Prodi Ahwal al-Syakhshiyyah STAI Nurul Iman Parung-Bogor
Page 69
Tasyri’ Journal of Islamic Law, Vol. 1 No. 1, Januari 2022
sebagai sumber sekunder. Data yang didapatkan
dideskripsikan kemudian dianalisis. Tulisan ini
menemukan bahwa: 1) maqashid al-syar’iah merupakan
bagian dari qa’idah ushuliyyah dan juga pendekatan
dalam memahami nash al-Qur’an maupun Hadits Nabi.
2) Mujtahid harus memahami maqashid al-syariah dalam
upaya menangkap dan menafsirkan ayat- ayat Illahiyah
yang tersembunyi di balik lipatan-lipatan tekstualnya. 3)
Maqashid al-syariah sebagai pendekatan, perlu direfresh
dan ditata ulang sesuai dengan konteks kekinian.
Katakunci :
Ushuliyyah
Pendekatan,
Maqashid
al-Syari’ah,
Qa’idah
PENDAHULUAN
Maqashid al-Syari’ah dalam kajian Ushul Fiqih
menempati posisi penting, karena mengkaji tentang
tujuan penetapan hukum dalam Agama Islam. 1 Sebagian
ulama menempatkannya dalam bahasan Ushul Fiqih, dan
ulama lain membahasnya sabagai bahasan tersendiri
serta diperluas dalam “Filsafat Hukum Islam” dengan
tidak mengurangi kedudukannya sabagai bahasan dalam
Filsafat Hukum Islam, namun tetap menjadikannya
sebagai bagian dari bahasan Ushul Fiqh. 2
Maqashid al-Syari’ah telah menjadi kajian para
ilmuwan islam dalam hal kedudukannya sebagai
sandaran hukum islam. Sebagian ilmuwan Islam
menyatakan bahwa Maqashid al-Syari’ah boleh menjadi
sandaran hukum islam karena itu merupakan hasil dari
pada rumusan yang menyeluruh dan mendalam
terhadap nash-nash wahyu. sebahagian yang lain
menyatakan Maqashid al-Syari’ah tidak boleh menjadi
sandaran hukum syara’ tetapi ia hanya menjadi panduan
saja dalam menentukan hukum syara’ karena telah
1 Taha Jabir al-Alwani, Metodologi Hukum Islam Kontemporer, terj.
Yusdani (Yogyakarta, UII Press: 2001), hal. 15-38.
2 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, jilid. 2, (Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 2001), hal. 205.
Tasyri’: Journal of Islamic Law,
Prodi Ahwal al-Syakhshiyyah STAI Nurul Iman Parung-Bogor
Page 70
Tasyri’ Journal of Islamic Law, Vol. 1 No. 1, Januari 2022
terdapat dalil- dalil yang telah disepakati oleh ilmuwan
Islam sejak zaman silam yang boleh menjadi sandaran
hukum.3
Makalah ini membahas tentang Maqashid alSyari’ah yang merupakan bagian dari kaidah ushuliyah
yang ditemukan di banyak kitab ushul fiqh. Kaidah
Ushuliyah adalah hukum kulli yang dapat dijadikan
patokan hukum bagi juz'i yang diambil dari landasan
kulli yaitu al-Qur'an dan as- Sunnah. Oleh karena itu
aturan Ushuliyyah bisa dikatakan istinbathiyah atau
aturan lughawiyah.4
Abdul Wahab Khalaf membagi kaidah ushuliyah
dalam dua bagian, yaitu al-qawâ’id al-ushûliyyah allughawiyyah dan al-qawâ’id al-ushûliyyah al-tasyri’iyyah.
Pembagian pertama melihat sumber ajaran Islam dari
aspek- aspek kebahasaan seperti, Thariq dalalah, mafhum
mukhalafah, wadhih wa ghairu wadhih, musytarik, ‘am wa
khas. Sedangkan yang kedua melihat pada tujuan umum
pembentukan hukum islam (Maqashid al-Syari’ah ), hak
Allah dan hak mukallaf, pada masalah apa saja yang
boleh di-ijtihadi, tentang naskh hukum dan pada taa’rrud
dan tarjih.5
METODE
Penelitian ini merupakan jenis penelitian library
research (kepustakaan) dan menggunakan pendekatan
kualitatif. Sumber data primer diperoleh dari buku-buku
dan kitab ushul fikih, sedangkan sumber data sekunder
Muhammad Nazir Alias dkk., “Maqasid Syariah Sebagai Sandaran
Hukum Menurut Mazhab Syafie” 2 (2018): hal. 49-50.
4 Alfian Qodri Azizi, “Penggunaan Metode Kaidah Ushuliyah
Dalam Memahami Nash Secara Tekstualis Dan Kontekstual,” Journal of
Islamic Studies and Humanities 5, no. 1 (2020): hal. 17.
5 Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh (Kairo: al-Haramain, 2004),
hal. 223- 224.
3
Tasyri’: Journal of Islamic Law,
Prodi Ahwal al-Syakhshiyyah STAI Nurul Iman Parung-Bogor
Page 71
Tasyri’ Journal of Islamic Law, Vol. 1 No. 1, Januari 2022
berupa buku, artikel jurnal yang berkaitan dengan tema
pembahasan. Data yang diperoleh dianalisis dengan
menggunakan teknik deskripstif analisis, dimana data-data
tersebut didiskripsikan kemudian dianalisis dengan
menggunakan teori Miles and Hubermen, yaitu reduksi
data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.
PEMBAHASAN
A. Definisi Maqashid al-Syari’ah
Secara bahasa, Maqasid merupakan bentuk jama dari
mufrad maqshud yang berasal dari lafad qashada yang berarti
tujuan.6 Audah menambahkan, maqashid berarti tujuan,
sarana, hal yang diminati, atau tujuan akhir.7 Istilah ini
dapat disamakan dengan istilah “ends‟ dalam bahasa
Inggris, “telos‟ dalam bahasa Yunani, “finalite‟ dalam Bahasa
Perancis, atau “zweck‟ dalam bahasa Jerman. Adapun dalam
ilmu syari’at, al-maqâshid dapat menunjukkan beberapa
makna seperti al-hadaf (tujuan), al-garad (sasaran), al-mathlub
(hal yang diminati), ataupun al-gayah (tujuan akhir) dari
hukum Islami. Di sisi lain, sebagian ulama Muslim
menganggap maqâshid sama dengan al-Mashâlih (maslahatmaslahat) seperti Abdul Malik al-Juwainy (w: 478 H / 1185
M). Al-Juwainy termasuk ulama pertama yang memulai
mengembangkan
teori
al-Maqshid.
Al-Juwainy
menggunakan istilah maqasid dan al-Mashâlih al-‘Ammah
(maslahah- maslahah publik) sebagai sinonim.8
Sedangkan secara istilah, Maqashid al-Syari’ah
ialah tujuan akhir beserta rahasia- rahasia yang telah
ditetapkan Allah SWT di dalam segala aspek hukumUmar ibn Shaleh ibn Umar, Maqâshid al-Syari‟ah ‘Inda Izzuddin ibn
Abd al-Salam, (Daar AnNafais, 2003), hal. 83.
7 Jasser Audah, Maqâshid al-Syariah Falsafah li al-Tasyri’ al-Islami,
(London: al-Ma’had al ‘Alami li al-Fikr al-Islami, 2007), hal. 15.
8 Jasser Audah, Maqâshid al-Syariah Falsafah li al-Tasyri’ al-Islami,…,
hal. 3.
6
Tasyri’: Journal of Islamic Law,
Prodi Ahwal al-Syakhshiyyah STAI Nurul Iman Parung-Bogor
Page 72
Tasyri’ Journal of Islamic Law, Vol. 1 No. 1, Januari 2022
hukumnya. 9 Ibn’Asyur menyatakan bahwa Maqashid alSyari’ah adalah makna- makna dan hikmah- hikmah
yang diperlihatkan oleh Allah SWT dalam semua atau
sebagian besar syariat-Nya, juga termasuk dalam
wilayah ini sifat- sifat syariat atau tujuan umumnya. 10
Satria Effendi menyebutkan bahwa Maqashid al-Syari’ah
berarti tujuan Allah SWT dan Rasul-Nya dalam
merumuskan hukum- hukum Islam. Tujuan itu dapat
ditelusuri dalam ayat- ayat al-Qur an dan Sunnah
Rasulullah sebagai alasan logis bagi rumusan suatu
hukum
yang berorientasi kepada kemaslahatan
manusia.11 Dalam pengertian yang lain, Maqashid alSyari’ah adalah suatu permulaan yang memuat jawaban
dari suatu pertanyaan berikut dengan contohnya dengan
memuat apa yang dimaksudkan oleh syariat Islam.
Seperti, hikmah di balik kewajiban mengeluarkan zakat
adalah untuk kemaslahatan bersama. 12
Maqasid juga dapat dianggap sebagai sejumlah
tujuan (yang dianggap) Ilahi dan konsep akhlak yang
melandasi proses al-tasyri’ al-islam (penyusunan hukum
berdasarkan Syari’at Islam, seperti prinsip keadilan,
kehormatan manusia, kebebasan kehendak, kesucian,
kemudahan, kesetiakawanan, dan sebagainya. 13
Umar ibn Shaleh ibn Umar, Maqâshid al-Syari‟ah ‘Inda Izzuddin ibn
Abd al-Salam,.., hal. 88.
10 Ghilman Nursidin, Konstruksi Pemikiran Maqâshid Syariah Imam alHaramain al-Juwaini (Kajian Sosio-Histois), thesis, (Semarang: IAIN
Walisongo, 2012), hal.8
11 Satria Efendi, M. Zein., Ushul Fiqh, jilid 1 (Jakarta:Prenada
Media,2005), hal. 233
12 Jasser Audah, Maqâshid al-Syariah Falsafah li al-Tasyri’ al-Islami,…,
hal. 14.
13 Jasser Audah, Maqâshid al-Syariah Falsafah li al-Tasyri’ al-Islami,…,
hal. 5.
9
Tasyri’: Journal of Islamic Law,
Prodi Ahwal al-Syakhshiyyah STAI Nurul Iman Parung-Bogor
Page 73
Tasyri’ Journal of Islamic Law, Vol. 1 No. 1, Januari 2022
Dari
beberapa
pengertian
tesebut
dapat
disimpulkan bahwa maqasid adalah puncak dari tujuan
yang dirumuskan oleh Allah SWT dalam segala aspek
hukumnya untuk kemaslahatan manusia.
B. Sejarah Maqashid al-Syari’ah
Sejarah yang melatarbelakangi sebuah teks alQur’an atau instruksi Nabi Muhammad SAW, dapat
dikembalikan ke zaman sahabat Nabi, sebagaimana telah
diriwayatkan tentang sejumlah kejadian pada zaman itu.
Salah satu contoh yang cukup terkenal yakni yang telah
diriwayatkan melalui banyak silsilah perawi adalah
kejadian shalat Ashar di Bani Quraidhah14
َ ُ
َ
َ
َّ ُ َ َ َ َّ َ
َع ْن، َح َّدث َنا ُج َو ْي هرَية ْب ُن أ ْس َم َاء،ّللا ْب ُن ُم َح َّم هد ْب هن أ ْس َم َاء
حدثنا ع ْبد ه
َ ُ َّ َ ُّ َّ َ َ َ َ َ ُ ْ َ ُ َّ َ َ َ َ ُ ْ َ
َ
هللا َعل ْي هه
قال الن هبي صلى: قال، ع هن اب هن عمر ر هض ي ّللا عنهما،نا هف ٍع
ََ َ َ ُ
َ َ ْ َ َ َّ َ َ
َّ ْ َ ٌ َ َ َّ َ َ ُ َ
َ األ ْح
ص َر هإال هفي َب هني ق َرْيظة» فأ ْد َر َك
«ال يص هلين أحد الع:اب
ز
وسلم يوم
ه
ْ
َّ
َ
َ
َ
َ ُ ْ ُ َْ َ َ
ْ َ ُ ُ َْ
َ َوق،صلي َح َّتى َنأ هت َي َها
ال
ال ن ه: فقال بعض ُهم،بعض ُهم العص َر هفي الط هر هيق
َ ُ َّ َ َّ َ َ َ ُ َ َ َ َّ ْ ُ ْ َ َ ُ ْ َ ْ ُ ُ ْ َ
هللا َعل ْي هه
فذ هكر ذ هلك هللن هب هي صلى، لم ي هرد همنا ذ هلك، بل نص هلي:بعضهم
َ َ َّ
ْ
15 ْ ُ ْ
َو َسل َم فل ْم ُي َع هنف َوا هح ًدا همنهم
Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Muhammad
bin Asma' berkata, telah menceritakan kepada kami
Juwairiyah dari Nafi' dari Ibnu 'Umar berkata, "Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepada kami ketika
beliau kembali dari perang Ahzab: "Jangan sekali-kali salah
seorang dari kalian shalat 'Ashar keculi di perkampungan
14 Jasser Audah, Fiqh al-Maqâshid: Inathah al-Ahkam al-Syar’iyyah bi
Maqâshidiha (Herndon, USA: al-Ma‟had al-Fikr al-Islami, 2006), hal.15.
15 Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhari, Shahih Bukhari,
Hadits no. 4119, Kitab al-Magazi, Bab Marjiu nabi min ahzab marjiuhu ila
bani quraidhah, Juz 5 (Mesir: Dar at-Tauqi an- Najah, 1422 h), hal. 112.
Tasyri’: Journal of Islamic Law,
Prodi Ahwal al-Syakhshiyyah STAI Nurul Iman Parung-Bogor
Page 74
Tasyri’ Journal of Islamic Law, Vol. 1 No. 1, Januari 2022
Bani Quraizhah." Lalu tibalah waktu shalat ketika mereka
masih di jalan, sebagian dari mereka berkata, 'Kami tidak
akan shalat kecuali telah sampai tujuan', dan sebagian lain
berkata, 'Bahkan kami akan melaksanakan shalat, sebab
beliau tidaklah bermaksud demikian'. Maka kejadian
tersebut diceritakan kepada Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam, dan beliau tidak mencela seorang pun dari
mereka.
Al-Suhaily dan yang lainnya berkata hadits ini
merupakan bagian dari fiqh, tidak mengapa bagi orang
yang mengambil (hukum) dari dhahirnya hadits atau
ayat. Dan juga tidak mengapa bagi yang mengistimbat
dari nash dengan makna khusus (bathinnya). Karena
mereka berselisih tentang furu’ dan bagi yang berijtihad
dapat ganjaran. 16
Berdasarkan hadits tersebut di atas bahwa Nabi
SAW membenarkan juga sahabat yang memaknai
perkataan Nabi ‘agar cepat- cepat sampai’ sehingga
shalat terlebih dahulu. Ini dilakukan semata- mata
menghindari ‘tarku shalah’ yang merupakan larangan
keras demi maslahah. Jadi mempertimbangkan demi
maslahah dibolehkan dan sudah ada sejak zaman Nabi
SAW.
Al-Raysuni menyimpulkan bahwa sepanjang
perkembangan
usul
fiqih,
Maqashid
al-Syari’ah
mengalami perkembangan besar melalui tiga tokoh
sentral, yaitu Imam al-Haramain Abu al-Ma’alî Abdullâh
al-Juwainy (w. 478 H), Abu Ishaq al-Shathiby (w. 799 H),
dan Muhammad al-THahir Ibn ‘Asyur (w. 1379 H/ 1973
M).17 Melalui ketiga tokoh inilah tonggak dan era penting
16 al-Hafidz Ahmad bin ‘Ali bin Hajar al-‘Asqalani, Fathul Bari, Juz
7 (Mesir: Maktabah Taufiqiyyah, 2008) h. 518.
17 Ahmad Imam Mawardi, Fiqih Minoritas, Fiqh Al-Aqalliyyat dan
Evolusi Maqashid al-Shari’ah dari Konsep ke Pendekatan, (Yogyakarta: LKiS,
2010), ha1. 80-184.
Tasyri’: Journal of Islamic Law,
Prodi Ahwal al-Syakhshiyyah STAI Nurul Iman Parung-Bogor
Page 75
Tasyri’ Journal of Islamic Law, Vol. 1 No. 1, Januari 2022
di mana Maqashid al-Syari’ah betul- betul tampak
mengalami pergeseran makna. Ulama maqasidiyyun
sepakat bahwa nilai-nilai maqashid ini dasar utamanya
adalah al Qur’an dan al-Hadits, yang nashh-nya
senantiasa menegaskan nilai- nilai, tujuan, ‘illat, dan
hikmah
yang
terkandung
di
dalamnya.
Tapi,
pengungkapan nilai- nilai, hikmah, ‘illat, dan tujuan
syariat ke dalam suatu tema besar bernama maqashid
belum ditemukan pada masa- masa awal perkembangan
hukum Islam. 18
Sementara itu dari perspektif pencetus awal
disiplin keilmuan maqashid, Jasser Auda mencatatkan
beberapa ulama. Pertama, al-Tirmizi al-Hakim (w. 296
H/908 M) mendedikasikan karya terkenal pertama bagi
topik maqashid pada bukunya yang berjudul al-SHalah wa
Maqashiduha (Shalat dan Maqasidnya). Buku ini berisi
sekumpulan hikmah dan “rahasia” spiritual di balik
setiap gerakan salat, dengan kecenderungan sufi.
Contohnya adalah “menegaskan ketundukan” sebagai
maqashid di balik pengagungan kepada Allah SWT.
melalui setiap gerakan dalam shalat; ‘mencapai
kesadaran’ sebagai maqâshid di balik memuji kepada
Allah SWT; ‘memfokuskan shalat seseorang’ sebagai
maqashid di balik menghadap Ka’bah; kedua, Abu Zaid
al-Balkhi (w. 322 H/933 M) dalam karya terkenal
pertama tentang maqashid muamalah, al-Ibânah ‘an ‘ilal alDiyânah (Penjelasan Tujuan- tujuan di balik Praktikpraktik Ibadah), di mana dia menelaah maqasid di balik
hukum- hukum yuridis Islam; ketiga, al-Qaffal al-Kabîr
(w. 365 H/975 M) menulis manuskrip terkuno terkait
topik
‘maqashid
Mahâsin
al-Shara’i’
(Keindahankeindahan Hukum Syariat); keempat, Ibn Babawih alM Nur Fauzi, “Menimbang Urgensitas Maqasid Al-Shariah Dan
Aplikasinya Di Era Kontemporer,” 2020., hal. 158.
18
Tasyri’: Journal of Islamic Law,
Prodi Ahwal al-Syakhshiyyah STAI Nurul Iman Parung-Bogor
Page 76
Tasyri’ Journal of Islamic Law, Vol. 1 No. 1, Januari 2022
Qummî (w. 381 H/991 M). Bukunya tentang maqâshid
berjudul ‘Ilal al-Shara’i’ (Alasan- alasan di balik Hukum
syariat), ‘merasionalisasikan’ keimanan kepada Allah,
kenabian, surga dan rukun iman lainnya. Buku ini juga
memberikan rasionalisasi moral terhadap shalat, puasa,
haji, zakat, berbakti kepada orang tua, dan kewajiban
lain; kelima, al-‘Amirî al-Failasuf (w. 381 H/991 M)
mengajukan klasifikasi teoretik pertama terhadap
maqâshid dalam karyanya ‘al-I’lam bi Manaqib al-Islâm’
(Pemberitahuan tentang Kebaikan-kebaikan Islam).
Klasifikasi ini semata- mata berdasarkan ‘hukum pidana’
(hudûd) dalam hukum Islam. 19
al-‘Amirî al-Failasuf adalah seorang filsuf dan ahli
kalam, yang berbeda dengan pengkaji Maqashid al-Syari’ah
sebelumnya yang rata- rata hanya memiliki expertise
(keahlian) dalam bidang fiqih. Dengan pendekatan
filosofisnya, ia menyatakan dalam kitab perbandingan
agamanya yang monumental al-I’lam bi al-Manaqib al-Islam,
bahwa dalam rangka membangun kehidupan individu dan
sosial yang baik dipastikan adanya lima pilar yang harus
ditegakkan, yang tanpanya kemaslahatan tidak akan pernah
terealisasi. Lima hal itu adalah: mazjarah qatl al-nafs (sanksi
hukum untuk pembunuhan jiwa), mazjarah akhdh al-mal
(sanksi hukum untuk pencurian harta), mazjarah fath al-satr
(sanksi hukum untuk membuka ‘aib), mazjarah thalbal-‘irdh
(sanksi hukum untuk perusakan atau pencelaan
kehormatan), dan mazjarah khal’ al-baydhah (sanksi hukum
untuk pelepasan kehormatan dan ketulusan). Lima poin
inilah yang kemudian menjadi cikal- bakal al-dlarûriyyat alkhamsah yang menjadi sentral points kajian Maqashid al-
19
Fauzi, hal. 59.
Tasyri’: Journal of Islamic Law,
Prodi Ahwal al-Syakhshiyyah STAI Nurul Iman Parung-Bogor
Page 77
Tasyri’ Journal of Islamic Law, Vol. 1 No. 1, Januari 2022
Syari’ah setelahnya, seperti al- Juwaynî, al- Ghazali, dan
sebagainya.20
Pasca para pencetus awal teori maqashid di atas,
konsep ini terus mengalami evolusi yang signifikan. Para
ulama maqashidiyyun di era ini di antaranya adalah,
pertama, Abu al-Ma’ali al-Juwainy (w. 478 H/1085 M).
Karya al-Juwainy yang berkaitan dengan maqashid
terdapat dalam dua karyanya, yakni al-Burhan fi Ushul alFiqh (Dalil- dalil Nyata dalam Usul fiqh) dan Ghiyas alUmam (Penyelamat Umat-umat). Dalam al-Burhan, alJuwainy memperkenalkan teori tingkatan dharuriyyah,
dengan cara yang mirip dengan teori tingkatan
keniscayaan yang familier saat ini. Dia menyarankan
lima
tingkatan
maqashid,
yaitu
keniscayaan
(dharuriyyah), kebutuhan public (al-hajah al-‘âmmah),
perilaku moral (al-makrumat) anjuran- anjuran (almandubat) dan ‘apa yang tidak dapat dicantumkan pada
alasan khusus’. Dia mengemukakan bahwa maqashid
hukum Islam adalah kemaksuman (al-‘ishmah) atau
penjagaan keimanan, jiwa, akal, keluarga, dan harta.
Sementara itu dalam al-Burhan, al-Juwainy memberi
kontribusi penting terhadap teori maqashid yang tujuan
utamanya terkait dengan isu politik. 21
Menurut al-Juwainy seperti dikutip oleh
Mohammad Hashim Kamali bahwa
pentingnya
pengetahuan
mengenai
Maqashid
al-Syari’ah
ini
didasarkan pada bahwa para sahabat Nabi menunjukkan
kesadaran tingkat tinggi akan tujuan syariat, dan
menambahkan bahwa “seseorang yang tidak bercermin
20 Ahmad Imam Mawardi, Fiqih Minoritas, Fiqh Al-Aqalliyyat dan
Evolusi Maqashid al-Shari’ah dari Konsep ke Pendekatan, (Yogyakarta: LKiS,
2010), hal. 191.
21 Fauzi, “Menimbang Urgensitas Maqasid Al-Shariah Dan
Aplikasinya Di Era Kontemporer,” Hal. 160.
Tasyri’: Journal of Islamic Law,
Prodi Ahwal al-Syakhshiyyah STAI Nurul Iman Parung-Bogor
Page 78
Tasyri’ Journal of Islamic Law, Vol. 1 No. 1, Januari 2022
pada maqashid sesungguhnya melakukan sesuatu yang
membahayakan dirinya dan kemungkinan tidak memiliki
pemahaman yang dalam tentang syariat”. 22
Kedua, Abu Hamid al- Ghazali (w. 505 H/ 1111
M). al- Ghazali mengembangkan teori gurunya dalam
kitabnya al-Mustasfa (Sumber yang Dijernihkan). alGhazâlî mengurutkan ‘kebutuhan’ yang disarankan alJuwainy dengan keimanan, jiwa, akal, keturunan, dan
harta. Al-Ghazali juga mencetuskan istilah ‘perlindungan
(al-hifz) terhadap kebutuhan-kebutuhan ini. 23
Al-Ghazali menjadi istimewa dalam kajian
Maqashid al-Syari’ah karena keberhasilannya menjabarkan
aspek al-dharuriyyat al-khamsah, yang tanpanya maslahah
dinyatakan tidak ada. Dialah orang pertama yang
memberikan nama al-dharuriyyat al-khamsah, menjelaskan
secara memadai dan menyusunnya dengan urutan
agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta sebagai hal- hal
yang dilindungi oleh Islam. Kitabnya yang berjudul alMustashfa fi ‘Ilm al-Ushul menjelaskan tentang hal ini.
Dengan penjelasannya yang lengkap mengenai konsepsi
maslahah dan prinsip- prinsip teoretis hukum Islam, alGhazâlî dikukuhkan dalam sejarah usul fiqih sebagai
peletak dasar ilmu usul fiqih. Menurut al-Ghazâlî, al-usûl
al-khamsah merupakan ajaran yang tidak saja diajarkan
oleh Islam, tetapi juga diajarkan dan menjadi prinsip
seluruh agama (milal) yang menghendaki terciptanya
kemaslahatan bagi manusia di muka bumi ini. Oleh
karenanya, lanjut al -Ghazâlî, tidak ada satu agama pun
yang tidak melarang kufur, pembunuhan, zina,
22 Mohammad Hashim Kamali, Membumikan Syariah Pergulatan
Mengaktualkan Islam (Bandung: Mizan, 2013), 166.
23 Fauzi, “Menimbang Urgensitas Maqasid Al-Shariah Dan
Aplikasinya Di Era Kontemporer,” hal. 160.
Tasyri’: Journal of Islamic Law,
Prodi Ahwal al-Syakhshiyyah STAI Nurul Iman Parung-Bogor
Page 79
Tasyri’ Journal of Islamic Law, Vol. 1 No. 1, Januari 2022
pencurian, dan mengkonsumsi sesuatu yang dapat
merusak atau mengganggu fungsi akal. 24
Ketiga, al- Izz al-Din Ibn Abd as- Salam (w. 660
H/1209 M). al- Izz menulis dua buku tentang maqashid
dalam nuansa hikmah di balik hukum Islam, yaitu
Maqâshid al-SHhalah (Maqashid shalat) dan Maqashid ashSHhaum (Maqasid Puasa). Tetapi kontribusi signifikannya
terhadap perkembangan teori maqashid adalah bukunya
tentang kemaslahatan yang berjudul Qawa’id al-Ahkam fi
Masalih
al-Anam
(Kaidah-kaidah
hukum
bagi
Kemaslahatan Umat manusia); Keempat, Syihab al-Din
al-Qarafî (w. 684 H/1285 M) kontribusi al- Qarafi
terhadap teori maqashid adalah diferensiasi antara jenisjenis perbuatan Nabi berdasarkan ‘maksud/ niat ‘beliau;
kelima, Syams ad-Din Ibn al-Qayyim (w. 748 H/1347 M).
Kontribusi Ibn Qayyim terhadap teori maqashid adalah
melalui kritiknya yang sangat mendetail terhadap triktrik fikih (al-hiyal al-fiqhiyyah), berdasarkan fakta bahwa
hal tersebut bertentangan dengan maqashid Ibn Qayyim;
Keenam, al-Imam Abu Ishaq Ibrahim Ibn Musa Ibn
Muhammad al-Lakhmi al-Syathiby al-Gharnathy (w. 790
H/ 1388 M). Dua kitabnya yang fenomenal adalah alI’tishham dan al-Muwafaqat fi Ushul asy-Syariah. alMuwafaqat adalah kitab yang membahas secara luas
tentang Maqashid al-Syari’ah, tidak hanya menjabarkan
definisi dan konsep nilai yang dibawanya, tetapi sampai
pada kaidah- kaidah dasar yang harus dilalui dalam
berpikir dengan dasar konsiderasi Maqashid al-Syari’ah .
Al-Syathiby berhasil menampilkan wajah baru Maqashid
al-Syari’ah yang lebih dinamis dan aplikatif. 25
24 Halil Thahir, Ijtihad Maqasidi Rekonstruksi Hukum Islam Berbasis
Interkoneksitas Maslahah, (Yogyakarta: LKiS, 20), 38
25 Fauzi, “Menimbang Urgensitas Maqasid Al-Shariah Dan
Aplikasinya Di Era Kontemporer,” hal.61.
Tasyri’: Journal of Islamic Law,
Prodi Ahwal al-Syakhshiyyah STAI Nurul Iman Parung-Bogor
Page 80
Tasyri’ Journal of Islamic Law, Vol. 1 No. 1, Januari 2022
Dalam perkembangannya, muncul pilar ketiga
dengan hadirnya seorang sarjana bernama Muhammad
al-THhahir Ibn ‘Asyur (w. 1379 H/ 1973 M). Karyanya
yang terkenal adalah Maqashid al-Syariah al-Islamiyyah.26
Dalam waktu yang hampir bersamaan juga hadir tokoh
lain, yakni ‘Alal al-Fasyi (w. 1394 H) dengan kitabnya
yang bernama Maqashid al-Syariah wa Makarimuha.
Banyak kesamaan ide dan pemikiran dari dua tokoh asal
Maghrib ini, salah satu contohnya adalah: pandangan
yang menyatakan bahwa maqashid syar’iyyah berdiri di
atas fitrah manusia. Berangkat dari firman Allah SWT
dalam surat al- Rum ayat 30 dan surat al-A’râf ayat 119,
THhahir Ibn ‘Âshyur dan ‘Alal al-Fasyi sepakat bahwa
menjaga fitrah manusia adalah termasuk dalam Maqashid
al-Syari’ah , untuk itu, syariat Islam tidak akan pernah
bertentangan dengan akal manusia selama ia dalam
kondisi normal. Kemudian muncullah para pengkaji
maslahah seperti Muhammad Sa’id Ramadhhan al-Buthi,
dengan kitabnya, Dawâbit al-Mashlahah fi al-Syarîah alIslâmiyyah. Mustafa Zaid, ia menulis buku tentang
maslahah, berjudul al-Mashlahah fi al-Tashrî’i al-Islâmi.
Musthafa Syalabi, dengan kitabnya, Ta’lîl al-Ahkam,
Husain Hamid Hasan, dengan kitabnya, Nadhâriyyat alMashlahah fi al-Fiqh al-Islâmî.27
Hal baru lainnya yang dilakukan oleh Ibn ‘Âsyur
adalah keberaniannya meletakkan hurriyyah (kebebasan/
freedom
yang
berbasiskan
al-musâwah
atau
egalitarianisme), fitrah (kesucian), samahah (toleransi), alhaq (kebenaran dan keadilan) sebagai bagian dari aplikasi
Maqashid al-Syari’ah. Kebebasan berbicara, berpendapat,
beragaman dan bertindak nerupakan hak asasi manusia
yang dilindungi. Pernyataan seperti ini tentu merupakan
26
27
Mawardi, Fiqih Minoritas,…, hal. 195-196
Halil Thahir, Ijtihad Maqasidi Rekonstruksi,…, hal. 34-35
Tasyri’: Journal of Islamic Law,
Prodi Ahwal al-Syakhshiyyah STAI Nurul Iman Parung-Bogor
Page 81
Tasyri’ Journal of Islamic Law, Vol. 1 No. 1, Januari 2022
pengembangan dari al- dharuriyyat al-khams yang digagas
oleh ulama sebelumnya. Pengembangan ini bukan hanya
dari sisi tambahan kuantitas unsur maqâshid, melainkan
juga dari sisi kualitas efek penetapan unsur- unsur
maqashid syar’iyyah itu sendiri. Pembagian maqashid
syar’iyyah menjadi al-dharuriyyat al-khams hanya
berfungsi lebih sebagai proteksi terhadap diri, sementara
unsur kebebasan, keadilan, kesucian, dan egalitarianisme
menekankan fungsi progresif Islam yang lebih umum. 28
Pasca Ibn ‘Âsyûr hingga saat ini, Maqashid alSyari’ah menapaki jalan menuju puncak kejayaan, dengan
indikator utama dijadikannya Maqashid al-Syari’ah
sebagai rujukan dan dalil pokok dalam menjawab
sebagian besar persoalan kontemporer, Terakhir yaitu
Jaser Auda dengan bukunya yang berjudul Maqâshid alSyariah Falsafah li al-Tasyri’ al-Islami atau yang berbahasa
inggris Maqâshid al-Syariah as Philosophy of Islamic Law. 29
C. Konsep Maqashid al-Syari’ah
Maqashid al-Syari’ah adalah konsep untuk
mengetahui nilai- nilai dan sasaran yang mengandung
syara’ yang tersurat dan tersirat dalam al-Qur’an dan
Hadits. Ditetapkan Allah SWT terhadap manusia dan
tujuan akhir hukum tersebut adalah satu, yaitu mashlahah
atau kebaikan dan kesejahteraan umat manusia baik di
dunia maupun di akhirat. Dan untuk mencapai
kemaslahatan tersebut manusia harus memenuhi
28 Fauzi, “Menimbang Urgensitas Maqasid Al-Shariah Dan
Aplikasinya Di Era Kontemporer,” hal. 165.
29 ML Hakim, “Pergeseran Paradigma Maqasid Al-Syari’ah: Dari
Klasik Sampai Kontemporer,” Al-Manahij: Jurnal Kajian Hukum Islam, no. 25
cites: https://scholar.google.com/scholar?cites=14873666119875712508 &
as_sdt=2005
&
sciodt=2007
&
hl=en
(2016):
hal.
11.,
http://ejournal.iainpurwokerto.ac.id/index.php/almanahij/article/view/913
.
Tasyri’: Journal of Islamic Law,
Prodi Ahwal al-Syakhshiyyah STAI Nurul Iman Parung-Bogor
Page 82
Tasyri’ Journal of Islamic Law, Vol. 1 No. 1, Januari 2022
kebutuhan dharurriyat (Primer), dan Menyempurnakan
kebutuhan hajiyat (sekunder) dan tahsinat atau kamaliat
(tersier) 30
Berbicara mengenai ruang lingkup Maqashid alSyari’ah, sudah banyak tulisan yang berusaha
membahasnya, sehingga terdapat banyak pendapat
ulama, bergantung dimensi yang dipandang oleh fiqih
atau ulamanya. Jasser Audah memberikan kesimpulan
bahwa klasifikasi klasik Maqashid al-Syari’ah meliputi 3
(tiga) jenjang keniscayaan: al-Dharuriyyat, al-Hajiyyah,
dan al-Tahsiniyyat.31 Sedangkan Izzuddin ibn Abd alSalam menyebutkan dengan tiga skala prioritas yaitu aldharuriyyat, al-hajiyyat dan al-takmilat atau al-tatimmat.32
Kemudian para ulama membagi daruriyyat menjadi 5
(lima): hifdz al-Dîn (perlindungan agama), hifdz al-Nafs
(perlindungan jiwa), hifdz al-Mâl (perlindungan harta),
hifdz al-Aql (perlindungan akal), dan hifdz al-Nasl
(perlindungan
keturunan).
Sebagian
ulama
menambahkan hifdz al-‘Ird (perlindungan kehormatan)
untuk menggenapkan kelima maqasid itu menjadi enam
tujuan pokok/ primer atau al-daruriyyat.
Penetapan dalam untuk menentukan dasar
hukum maqashid syar’iyyah bisa dinyatakan secara
spesifik sebagai tujuan dari syariat melalui tiga cara
penetapan, menurut Asy-Syatiby, ada tiga cara
penetapan, yaitu: 1) cukup mengetahui dalil perintah
atau larangan yang secara jelas, bahwa tujuan yang
dikehendaki adalah kepatuhan dengan menjalankan
perintah dan meninggalkan larangan, 2) dengan
30
Abdurrahman
Misno
B.P,
Maqashid
Al-Syariah,
http://majelispenulis.blogspot.in/2013/09/Maqashid-al-syariah-tujuan-hukum-Islam
31 Jasser Audah, Maqâshid al-Syariah Falsafah li al-Tasyri’ al-Islami,…,
hal. 15.
32 Amir Muallim dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam,
ed.1, cet.1, (Yogyakarta: UII Press, 1999), hal. 53
Tasyri’: Journal of Islamic Law,
Prodi Ahwal al-Syakhshiyyah STAI Nurul Iman Parung-Bogor
Page 83
Tasyri’ Journal of Islamic Law, Vol. 1 No. 1, Januari 2022
memandang ‘illat- ‘illat dari perintah atau larangan,
seperti pensyariatan nikah yang bertujuan untuk
memelihara keturunan, 3) bahwa dalam penerapan
hukum syari’at, syar’i memiliki tujuan pokok (Maqashid
Ashliyyah) dan tujuan pelengkap (Maqashid tabi’ah).
Adakalanya tertera secara eksplisit, tersirat secara
implisit, ataupun didapatkan dari hasil penulusuran
(istiqra’) terhadap nash. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa setiap maqashid yang tidak tertera dalam nash
namun tidak bertentangan dengan ketentuan diatas,
termasuk juga dalam Maqashid al-Syari’ah .33
Subtansi teori Maqashid al-Syari’ah adalah
mewujudkan kemaslahatan hamba dengan cara
mendatangkan manfaat bagi mereka dan menolak
kemudharatan dari mereka. Dalam hal ini, menurut alSyâthiby, al-maqashid al-syar’iyyah sebagai pembuat
hukum dan maqâshid al-mukallaf ,tujuan mukallaf sebagai
pelaksana hukum.
Dalam pembahasan maqashid syar’iyyah, alSyâthiby membagi kategori ini ke dalam empat aspek
yang terdiri dari:
1. Tujuan awal Syari’at, yakni kemaslahatan manusia
di dunia dan akhirat. Aspek ini berkaitan dengan
hakikat Maqashid al-Syari’ah .
2. Syariat sebagai sesuatu yang harus difahami. Aspek
ini berkaitan dengan urgensi bahasa agar syariat
dapat difahami dan mashlahah dapat dicapai.
3. Syariat sebagai hukum taklif yang harus
dilaksanakan.
Aspek
ini
berkaitan
dengan
pelaksanaan ketentuan syari’at dalam rangka
merealisasikan mashlahah. Selain itu juga berkaitan
33
Abu Ishaq Ibrahim bin Musa bin Muhammad Allakhmy As
Syatiby, Kitab Al Muwafaqoot (Penerbit Dar Ibn Qayyim; 2003), h. 78.
Tasyri’: Journal of Islamic Law,
Prodi Ahwal al-Syakhshiyyah STAI Nurul Iman Parung-Bogor
Page 84
Tasyri’ Journal of Islamic Law, Vol. 1 No. 1, Januari 2022
dengan kemampuan manusia dalam melaksanakan
syari’at.
4. Tujuan syariat dalam membawa manusia ke bawah
naungan hukum. Aspek ini berkaitan dengan
kepatuhan manusia sebagai mukallaf terhadap
syariat, di mana ia bertujuan untuk membebaskan
manusia dari kekangan hawa nafsu. 34
al-Syâthiby mengeksplorasi bahwa mashlahah ini
dapat diwujudkan bila lima unsur pokok dalam syari‘ah
dapat direalisasikan, yakni: Pertama, Pemeliharaan atas
agama (hifzh al-dîn). Kedua, Pemeliharaan atas jiwa (hifzh
al-nafs). Ketiga, Pemeliharaan atas akal (hifzh al-‘aql).
Keempat, Pemeliharaan atas keturunan (hifzh al-nasl).
Kelima, Pemeliharaan atas harta (hifzh al-mâl).35
Lima unsur pokok di dalam syariah ini dalam
istilah jurisprudensi Islam disebut dengan al-mabadi’ alkhamsah atau al-ushul al-khamsah yang berarti lima unsur
pokok. Sebelum al-Syâthiby, teori ini sudah pernah
diformulasikan dan dipublikasikan oleh para ulama
pendahulu al-Syâthiby, seperti al- Ghâzali dalam
kitabnya, al-Mustashfâ min ‘Ilm al-Ushûl.36 Namun konsep
ini kemudian dikembangkan secara sistematis oleh alSyâthiby, sehingga al-Syâthiby dalam hal ini dinobatkan
sebagai pencetus teori Maqashid al-Syari’ah .
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa
subtansi maqashid syar’iyyah adalah mashlahah. suatu hal
baru dianggap sebagai mashlahah bila mendatangkan
manfaat
dan
menolak
kemudharatan.
Menurut
34 Al-Syâṭibî, al-Muwâfaqat fi Ushûl al-Aḥkâm, Jld II, IV, (Beirut: Dar
al-Fikr, tt), hal. 62-63
35 Al-Syâṭibî, al-Muwâfaqat fi Ushûl..., hlm. 64
36 Al-Ghazali, al-Mustashfâ min ‘Ilm al-Ushûl, Jld I, (Beirut: Dar Ihya’
al-turats al-‘Arabi, nd), hal. 287
Tasyri’: Journal of Islamic Law,
Prodi Ahwal al-Syakhshiyyah STAI Nurul Iman Parung-Bogor
Page 85
Tasyri’ Journal of Islamic Law, Vol. 1 No. 1, Januari 2022
Muhammad Thahir ibn ‘Asyûr, Mashlahah itu dapat
dilihat dari tiga sudut pandang, yaitu:
1. Dari sisi kekuatan dan pengaruhnya untuk
kesejahteraan umat. Pada aspek ini, mashlahah
terbagi tiga macam, yaitu:
a. Dharuriyat
Secara bahasa dharûriyat berarti kebutuhan yang
mendesak. Dharûriyat ini dikatakan mendesak
karena
merupakan
sendi
dari
eksistensi
kehidupan manusia yang harus ada. Mashlahah
dharûriyat adalah sesuatu yang mesti ada bagi
manusia demi tegaknya kemaslahatan agama dan
dunia. Apabila hal ini tidak ada, maka akan
menimbulkan kerusakan, dan terancamnya
kehidupan dunia dan kehidupan akhirat.
Mashlahah ini disebut sebagai mashlahah primer.
Yang termasuk ke dalam mashlahah dharûriyat
adalah: Pertama. Pemeliharaan atas agama (hifzh
al-dîn). Kedua. Pemeliharaan atas jiwa (hifzh alnafs). Ketiga. Pemeliharaan atas akal (hifzh al- ‘aql).
Keempat. Pemeliharaan atas keturunan (hifzh alnasl), dan kelima pemeliharaan atas harta (hifzh almâl).
b. Hâjiyat
Mashlahah hâjiyat adalah sesuatu yang sebaiknya
ada bagi keteraturan hidup manusia, agar mereka
terhindar dari kesulitan. Kalau sesuatu ini tidak
ada, maka ia tidak akan menimbulkan kerusakan
atau kematian, hanya saja akan mengakibatkan
masyaqqah dan kesulitan. Mashlahah seperti ini
disebut mashlahah sekunder. Hukum- hukum
yang lahir berdasarkan pertimbangan mashlahah
hâjiyat terdapat dalam semua bab- bab fiqh. Dalam
masalah ibadat seperti rukhsah melakukan jama’
dan qashar shalat bagi orang musafir. Dalam fiqh
Tasyri’: Journal of Islamic Law,
Prodi Ahwal al-Syakhshiyyah STAI Nurul Iman Parung-Bogor
Page 86
Tasyri’ Journal of Islamic Law, Vol. 1 No. 1, Januari 2022
yang berdimensi adat seperti dibolehkan
memakan binatang buruan. Dalam fiqh muamalat
seperti dibolehkan akad al-qiradh, al-salam, dan
lain-lain. sedangkan dalam fiqh jinayat seperti
menetapkan terhadap keluarga si pembunuh. 37
c. Tahsiniyat
Mashlahah Tahsinat adalah sesuatu yang sebaiknya
ada demi sesuainya dengan keharusan akhlak
yang baik atau dengan adat. Kalau sesuatu ini
tidak ada, maka tidak akan menimbulkan
kerusakan atau hilangnya sesuatu, juga tidak akan
menimbulkan masyaqqah dalam melaksanakannya,
hanya saja dinilai tidak pantas dan tidak layak
menurut ukuran tatakrama dan kesopanan.
mashlahah seperti ini disebut mashlahah tersier. Di
antara contohnya dalam fiqh ibadat adalah
thaharah, menutup aurat, dan menghilangkan
najis. Dalam fiqh adat seperti adab makan dan
minum. Dalam fiqh muamalat seperti larangan
menjual benda yang najis. Sedangkan dalam fiqh
jinayat seperti larangan membunuh wanita dan
anak- anak dalam peperangan. Pembagian
mashlahah pada tiga hal tersebut, sekaligus
menunjukkan peringkat kepentingannya masingmasing.
2. Dari sisi keterkaitannya dengan kepentingan umum
dan individu. Pada aspek ini, mashlahah terbagi dua
macam, yaitu:
a. Kulliyah
Mashlahah kulliyah adalah mashlahah yang kembali
kepada kepentingan umat Islam secara umum,
atau kepada kelompok yang besar. Muhammad
Thahir ibn ‘Asyûr memberi contoh mashlahah ini
37
Al-Syâṭibî, al-Muwâfaqat fi Ushûl..., hlm. 64
Tasyri’: Journal of Islamic Law,
Prodi Ahwal al-Syakhshiyyah STAI Nurul Iman Parung-Bogor
Page 87
Tasyri’ Journal of Islamic Law, Vol. 1 No. 1, Januari 2022
seperti menjaga dua tanah haram (makkah dan
Madinah) agar jangan sampai jatuh ke tangan
orang-orang kafir. Demikian pula masalahmasalah lain di mana kemaslahatannya ditujukan
untuk umum. Dan bila kemaslahatan ini tidak
tercapai maka mafsadahnya juga kembali kepada
umat secara umum.
b. Juz’iyah
Mashlahah juz’iyah adalah mashlahah yang kembali
kepada individu umat atau golongan yang kecil
dari mereka. Menurut Ibn ‘Asyûr, contoh contoh
kemaslahatan ini sudah tercover dalam semua
hukum- hukum syari’at yang berhubungan
dengan muamalat. 38
3. Dari sisi tingkat kebutuhan kepadanya. Pada aspek
ini, mashlahah terbagi tiga, yaitu:
a. Qath’iyyah
Mashlahah qath’iyyah adalah mashlahah yang
dipahami dari dalil- dalil berupa nash yang tidak
mempunyai kemungkinan takwil. Selain itu,
termasuk juga ke dalam mashlahah qath’iyah apa
saja yang bisa dikategorikan sebagai mashlahah
dharuriyat, dan hal- hal yang menurut akal
terdapat kemaslahatan yang besar.
b. Zhanniyah
Mashlahah zhanniyah adalah apa saja hasil
penalaran akal yang bersifat zhanniy, seperti
memelihara anjing di rumah sebagai penjaga pada
saat merasa terancam. Termasuk juga mashlahah
zhanniyah, masalah-maslah yang bersumber
kepada dalil zhanniy.
c. Wahmiyyah
38
Muhammad Thahir ibn ‘Asyûr, Maqâshid al-Syâri’ah..., hal. 90.
Tasyri’: Journal of Islamic Law,
Prodi Ahwal al-Syakhshiyyah STAI Nurul Iman Parung-Bogor
Page 88
Tasyri’ Journal of Islamic Law, Vol. 1 No. 1, Januari 2022
Mashlahah wahmiyyah adalah hal- hal yang
dianggap kemaslahatan melalui khayalan semata. Ketika
penalaran dilakukan secara mendalam, didapatkan
bahwa sebenarnya hal- hal tersebut merupakan
kemudharatan. Seperti mengkonsumsi minuman keras
dan obat- obat terlarang.
D. Maqashid al-Syari’ah dalam Kajian Teoritik dan
Praktek
Maqashid al-Syari’ah terdapat beberapa unsurunsur pokok yang menjadi tujuan pokok dalam
pembahasannya yaitu:
1. Perlindungan terhadap agama (Hifzh al-Din)
Agama Islam merupakan agama yang menjaga
hak dan kebebasan serta bertoleransi dengan agama lain,
dan kebebasan dalam Islam yang pertama adalah
kebebasan berkeyakinan dan beribadah. Setiap pemeluk
agama berhak atas agamanya dan alirannya. Islam
mengajarkan untuk tidak memaksa seseorang untuk
masuk dalam ajaran Islam, karena setiap manusia
mempunyai hak dalam menentukan keyakinannya.
Dasar hak ini sesuai dengan firman Allah SWT QS. alBaqarah/ 256;
َ َ ْ
ْ
ْ ُّ َ َّ َ َّ ْ َ ْ
َ ْ َا
الرش ُد هم َن ال غ هي ف َم ْن َّي ك ُف ْر
الد ي هن ق د ت ب ي ن
ال ها ك َراه هف ى ه
َ
ْ
ْ ْ
ٰ
ْ ْ ُ َ ْ ُ َّ
ْ اّلل َف َق د
اس َت ْم َس َك هب ال ُع ْر َو هة ال ُوث ق ى ال
ه
هب الط اغ و هت وي ؤ هم ن هب ه
ُ ٰ ام َل َه ا َو
َ ْان ف
َ ص
ّللا َس هم ْي ٌع َع هل ْي ٌم
ه
Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam).
Sungguh, telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat.
Siapa yang ingkar kepada taghut dan beriman kepada Allah
sungguh telah berpegang teguh pada tali yang sangat kuat
yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.
Tasyri’: Journal of Islamic Law,
Prodi Ahwal al-Syakhshiyyah STAI Nurul Iman Parung-Bogor
Page 89
Tasyri’ Journal of Islamic Law, Vol. 1 No. 1, Januari 2022
Dalam perlindungan agama (Hifzh al-Din) agar
penerapan dalam beragama berjalan dengan aman,
tentram dan sesuai syariat Islam, maka diperlukan
perlindungan dan penjagaan untuk pribadi dengan
mengharamkan perbuatan yang bersifat memata- matai,
menganiaya dan menyakiti tanpa sebuah alasan yang
masuk akal atau benar. Seperti kita ketahui juga dalam
sebuah negara kita mempunyai hak- hak dalam
menjalankan hidup ini, maka dari itu Islam berpegang
teguh dalam hak- hak ini dan meyakinkan bahwa setiap
manusia walaupun non muslim tetap menjadi manusia
yang diberikan perhatian dan saling menjaga serta
berakhlak mulia sesama manusia. Hal ini juga kembali di
jelaskan dalam firman Allah dalam QS.An-Nahl / 90:
ْ َ ٰ َّ
ْ
ْ
ْ ْ
اال ْح َس هان َو ها ْي َت ا هئ هذ ى ال ُق ْرب ى َو َي ْن ه ى َع هن
ها ن ّللا َي أ ُم ُر هب ال َع د هل َو ه
ْ ْ َ ُْ
َّ َ َ ُ َّ َ ُ ُ
َ ْ
٩٠ ال َف ْح شا هء َواْل ْن ك هر َوال َب غ هي َي هع ظ ك ْم ل َع ل ك ْم ت ذ ك ُر ْو َن
Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil, berbuat
kebajikan, dan memberikan bantuan kepada kerabat. Dia (juga)
melarang perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia
memberi pelajaran kepadamu agar kamu selalu ingat.
Dari ayat tersebut, sudah secara jelas dan
gamblang bahwa dalam suatu negara dengan berbagai
undang- undang yang dibuat harus memperhatikan
hukum secara adil dan memberikan jaminan hak kepada
setiap manusia untuk segala urusan dan mencegah saling
menganiaya
antar
sesama
manusia. 39
Dalam
perlindungan agama (hifzh al-Din) bisa dibedakan
menjadi tiga tingkatan sesuai dengan kepentingannya
yakni:
Hifzh al-din dalam tingkatan Dharruriyat, yaitu
memelihara dan melaksanakan kewajiban keagamaan
39
Ahmad Al-Mursi H.J, Maqashid Syariah (Cet. III; Jakarta: Amzah;
2013), h. 18
Tasyri’: Journal of Islamic Law,
Prodi Ahwal al-Syakhshiyyah STAI Nurul Iman Parung-Bogor
Page 90
Tasyri’ Journal of Islamic Law, Vol. 1 No. 1, Januari 2022
yang termasuk tingkatan primer, seperti melaksanakan
shalat lima waktu, jika kewajiban shalat ini di abaikan
maka eksistensi agama akan terancam. Begitu pula
pelaksanaan ibadah haji, jika tidak difasilitasi maka
rukun islam yang kelima akan punah. Hifzh al-din dalam
tingkatan Hajjiyat, yaitu melaksanakan ketentuan agama
dengan maksud menghindarkan kesulitan seperti
pensyar’iatan shalat jamak dan qasar bagi seorang yang
sedang berpergian. Jika ketentuan ini tidak dilaksanakan
maka tidak akan mengancam eksistensi agama,
melainkan hanya akan mempersulit orang yang akan
melakukannya. Hifzh al-din dalam tingkatan Tahsiniyyat,
yaitu mengikuti petunjuk Agama guna menjunjung
tinggi martabat manusia sekaligus menyempurnakan
pelaksanaan kewajiban terhadap Tuhan. Misalnya,
menutup aurat, membersihkan badan, pakaian, dan
tempat tinggal. Pelaksanaan ini erat kaitannya dengan
akhlak
mulia.
Jika
tidak
dilakukan,
karena
memungkinkan, maka tidak akan mengancam eksistensi
agama dan tidak pula mempersulit orang yang
melakukannya. 40
Salah satu contoh kongkret dalam Hifzh al-din,
Islam mewajibkan ibadah, misalnya haji. Demi
kelancaran pelaksanaan tujuan primer ini dibutuhkan
fasilitas haji, misalnya transportasi. Tanpa transportasi,
orang masih dapat menunaikan ibadah haji tetapi akan
menghadapi banyak masalah. Kalau harus berjalan dari
jakarta ke Madinah dan Makkah, misalnya, maka akan
memakan banyak waktu, biaya, atau tenaga. Jika berjalan
kaki di padang pasir sepanjang jalan ini berakibat fatal
maka transportasi di sini tidak lagi hanya dibutuhkan
tetapi meningkat menjadi niscaya (dharury), karena
H.M. Hasbi Umar, Nalar Fiqh Kontemporer (Jakarta: Penerbit Persada
Press; 2007), hal. 124
Tasyri’: Journal of Islamic Law,
Prodi Ahwal al-Syakhshiyyah STAI Nurul Iman Parung-Bogor
Page 91
Tasyri’ Journal of Islamic Law, Vol. 1 No. 1, Januari 2022
pelaksanaan ibadah tidak boleh berarti bunuh diri. Pada
tahap tersier, maka transortasi yang akan digunakan
diserahkan kepada rasa estetika dan kemampuan lokal.
Di sini akan terjadi variasi. Mungkin ada yang memilih
jalan darat dengan naik unta, mobil, atau kereta api.
Mungkin ada yang memilih jalur laut dengan naik
perahu layar, kapal api atau kapal selam. Sebagian
mungkin lebih suka menggunakan jalur udara dengan
naik pesawat Boeing atau yang lain. Masing- masing
berdasarkan
pada
pertimbangan
estetika
dan
kemampuan lokal. Di sini tampak jelas bahwa
pengharusan menggunakan jalur dan jenis kendaraan
tertentu dapat menimbulkan mafsadat: terbunuhnya
banyak spesialisasi dan lapangan kerja di bidang
transportasi. 41
2. Perlindungan terhadap Jiwa (Hifdz An-Nafs)
Menjaga hak hidup merupkan suatu tindakan
yang terhormat dalam ajaran Islam, tetapi dalam konteks
abad sekarang ini, jiwa hanya merupakan sesuatu yang
tidak penting bagi umat manusia di muka bumi ini,
banyak terjadi kelakuan- kelakuan yang dibuat oleh
manusia yang mengorbankan nyawanya namun tidak
sesuai dengan syariat Islam, seperti membunuh diri atau
melakukan kesengajaan untuk menghilangkan nyawa
seseorang. Hal ini merupakan hal yang dikecam oleh
Allah SWT dalam firman-nya di QS. An-Nisa /29:
ُ َ َّ ا
ُ َ ْ َ ُ َ َ َ ا َ َّ ْ َ َ ُ ْ َ َ ْ ُ ُ ْا
َْ
اط هل ها ال ا ْن َت ك ْو َن
ي ا ُّي َه ا ال هذ ي ن ا م ن وا ال ت أ ك ل وا ا ْم وال ك ْم ب ي ن ك ْم هب ال ب ه
ُ َ َ َ ٰ َّ ْ ُ َ ُ ْ َ ْ ُ ْ َ َ َ ْ ُ ُ ْا
ََ ْ َ ًَ َ
ان هب ك ْم
اض هم ن ك م وال ت ق ت ل وا ا ن ف س ك م ها ن ّللا ك
ٍ هت ج ارة ع ن ت ر
َر هح ْي ًم ا
Fauzi, “Menimbang Urgensitas Maqasid Al-Shariah Dan
Aplikasinya Di Era Kontemporer,” hal. 177.
41
Tasyri’: Journal of Islamic Law,
Prodi Ahwal al-Syakhshiyyah STAI Nurul Iman Parung-Bogor
Page 92
Tasyri’ Journal of Islamic Law, Vol. 1 No. 1, Januari 2022
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan
harta sesamamu dengan cara yang batil (tidak benar), kecuali
berupa perniagaan atas dasar suka sama suka di antara kamu.
Janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah
adalah Maha Penyayang kepadamu.
Untuk tujuan penjelasan inti dari ayat tersebut
kita bisa melihat bahwa tindakan membunuh ataupun
bunuh diri berarti menghancurkan sifat (keadaan) dan
mencabut ruh manusia. Padahal kita ketahui bahwa
hanya Allah lah yang pantas untuk mencabut dan
meniupkan ruh kepada seluruh manusia di muka bumi
ini dalam konteks antara kematian dan pembunuhan
mempunyai perbedaan yang mendasari kalimat
keduanya. Pembunuhan tidaklah sama dengan kematian,
karena pembunuhan adalah meruysak struktur tubuh
yang menyebabkan keluarnya ruh yang berada pada
manusia itu dalam kondisi sehat dengan spesifikasispesifikasi khusus dengan adanya unsur kesengajaan di
dalamnya yang dilakukan oleh sesama manusia.
Sedangkan kematian adalah keluarnya ruh dari tubuh
dengan keadaan sehat dan hanya Allah SWT lah yang
mematikannya. 42
Termasuk dalam perlindungan jiwa dalam agama
Islam atau jiwa manusia bahwa Islam memberikan hak
kepada suatu jiwa yang di berikan oleh Allah SWT
termasuk suatu jiwa yang masih berada dalam janin.
Seperti kehidupan di zaman sekarang ini kebanyakan
seorang wanita yang berzina dan menghasilkan suatu
nyawa di dalam perutnya , namun tidak diinginkan
maka wanita tersebut melakukan tindakan (Aborsi),
padahal hal ini juga dilarang oleh ajaran Islam terkecuali
apabila ada beberapa faktor yang benar- benar harus
42
Ahmad Al-Mursi H.J, Maqashid Syariah (Cet. III; Jakarta: Amzah;
2013), h. 27
Tasyri’: Journal of Islamic Law,
Prodi Ahwal al-Syakhshiyyah STAI Nurul Iman Parung-Bogor
Page 93
Tasyri’ Journal of Islamic Law, Vol. 1 No. 1, Januari 2022
menggugurkan janin tersebut ialah dikhawatirkan ibu
darti janin tersebut meninggal atau sebab lain.
Berdasarkan kepentingannya memelihara jiwa ini
dapat di bedakan menjadi tiga tingkatan yaitu:
Memelihara jiwa dalam tingkatan dharruriyah, seperti
pensyaria’tan kewajiban memenuhi kebutuhan pokok
berupa makanan untuk mempertahankan hidup. Jika
kebutuhan pokok itu diabaikan maka akan berakibat
terancamnya eksistensi jiwa manusia. Dalam tingakatan
hajjiyat yaitu seperti dibolehkannya untuk berburu dan
menikmati makanan yang halal dan bergizi. Jika
ketentuan ini diabaikan maka akan mengancam eksitensi
manusia, melainkan hanya akan mempersulit hidupnya.
Dalam tingkatan tahsiniyat yaitu seperti, disyariatkannya
aturan tata cara makan dan minum. Ketentuan ini hanya
akan berhubungan dengan etika atau kesopanan. Jika
diabaikan maka ia tidak mencancam eksitensi manusia
ataupun mempersulit kehidupan manusia.
Termasuk juga dalam Hifdz An-Nafs, syariat islam
melarang bagi seorang muslim untuk membunuh atau
melenyapkan nyawa, bunuh diri, berzina, aborsi (tanpa
sebab), membiarkan orang kelaparan, merusak atau
menjual organ- organ tubuh. Hal itu semua semata- mata
untuk memelihara jiwa (Hifdz An-Nafs).
Bagaimana cara untuk memelihara jiwa? untuk
menyelamatkan jiwa, Islam mengharuskan manusia
menjaga kesehatan. Demi kelancaran proses perwujudan
tujuan primer ini dibutuhkan berbagai sarana, misalnya
olahraga. Tanpa olahraga, orang bisa saja menjaga
kesehatan, misalnya dengan cara makan dan tidur yang
teratur, tetapi kehadiran olah raga akan membantu
menyempurnakan kedua sikap di atas. Pada tahap
tersier, olah raga yang akan dipilih diserahkan kepada
rasa estetika dan kemampuan lokal dengan berbagai
Tasyri’: Journal of Islamic Law,
Prodi Ahwal al-Syakhshiyyah STAI Nurul Iman Parung-Bogor
Page 94
Tasyri’ Journal of Islamic Law, Vol. 1 No. 1, Januari 2022
variasi. Masing-masing pilihan diserahkan pada rasa
estetika dan kemampuan lokal, karena pengharusan
menggunakan
jenis
olah
raga
tertentu
akan
menimbulkan mafsadat, yaitu terbunuhnya banyak
spesialisasi dan lapangan kerja di bidang olah raga. 43
3. Perlindungan terhadap akal ( Hifdz al-Aql)
Akal merupakan sumber hikmah yang diberikan oleh
Allah SWT kepada umat manusia untuk dipergunakan
sesuai dengan hakekatnya, akal ini merupakan sinar
hidayah, dan pengetahuan yang diberikan kepada
manusia untuk dunia dan akhirat. Dengan akal surat dari
perintah Allah disampaikan, dengan akal pula manusia
bisa menjadi pemimpin di muka bumi ini dan
membedakan manusia dengan makhluk lainnya di muka
bumi ini. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam
QS. al- Isra’/70
ْ
ْ
ْ
َ ََ
ْ
َول ق ْد ك َّر ْم َن ا َب هن اْي ا َد َم َو َح َم ل ن ُه ْم هف ى ال َب هر َوال َب ْح هر َو َر َزق ن ُه ْم هم َن
ً
ْ َّ َ َ
َّ
َ
َ ََ
ض ل ن ُه ْم َع ل ى ك هث ْي ٍر هم َّم ْن خ ل ْق َن ا ت ْف هض ْي ًل
الط هي ب هت وف
Sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam dan Kami
angkut mereka di darat dan di laut. Kami anugerahkan pula
kepada mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan
mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan
kelebihan yang sempurna.
Manusia yang hidup di dunia ini merupakan
makhluk hidup yang paling tinggi derajatnya diantara
makhluk hidup yang lainnya, seperti telah dijelaskan
bahwa manusia mempunyai akal fikiran untuk
melakukan sesuatu. Olehnya itu Islam mengajarkan
untuk melindungi akal dari perbuatan yang tidak sejalan
dengan agama Islam. Melalui akalnya manusia
mendapatkan petunjuk menuju ma’rifat kepada tuhan
Fauzi, “Menimbang Urgensitas Maqasid Al-Shariah Dan
Aplikasinya Di Era Kontemporer,” hal. 177-178.
43
Tasyri’: Journal of Islamic Law,
Prodi Ahwal al-Syakhshiyyah STAI Nurul Iman Parung-Bogor
Page 95
Tasyri’ Journal of Islamic Law, Vol. 1 No. 1, Januari 2022
dan penciptanya. Tanpa akal manusia tidak berhak
mendapatkan pemuliaan yang bisa mengangkatnya
menuju barisan para malaikat. 44
Islam memerintahkan kita menjaga akal dan
mencegah bentuk kekerasan atau penganiayaan yang
ditujukan untuk memperlemah akal fikiran kita untuk
melakukan ajaran yang dilarang oleh Islam. Salah satu
dari perbuatan yang bisa merusak akal adalah meminum
minuman keras yang menyebabkan seseorang mabuk
dan kehilangan sadaran serta fikiran. Seseorang akan
mabuk apabila telah meminum khamr’ atau minuman
keras.45
Dalam tingkatannya untuk memelihara akal
berdasarkan kepentingannya bisa dibagi dengan tiga
tingkatan:
Dalam
tingkatan
Dharurriyat
seperti
diharamkannya
mengkonsumsi
minuman
yang
memabukkan. Jika eksistensi ini tidak di lakukan maka
akan mengakibatkan terancamnya gannguan akal. Dalam
tingkatan hajjiyat, seperti anjuran menuntut ilmu
pengetahuan. Sekiranya aktivitas ini tidak dilakukan
maka tidak akan merusak akal seseorang, namun akan
mempersulit diri seseorang dalam pengembangan ilmu
pengetahuan. Dalam tingkatan tahsiniyat, seperti
menghindarkan
dari
dari
mengkhayal
atau
mendengarkan sesuatu yang tidak berguna. Hal ini
berkaitan dengan etika, tidak akan mengganggu
eksistensi akal secara langsung. 46
Untuk menyelamatkan akal, Islam mengharuskan
manusia belajar di sepanjang hayatnya. Demi kelancaran
44
Ahmad Al-Mursi H.J, Maqashid Syariah (Cet. III; Jakarta:
AMZAH; 2013), hal. 92
45 Ahmad Al-Mursi H.J, Maqashid Syariah (Cet. III; Jakarta:
AMZAH; 2013), hal. 106.
46 H.M. Hasbi Umar,Nalar Fiqh Kontemporer (Jakarta: Penerbit
Persada Press; 2007), hal. 126
Tasyri’: Journal of Islamic Law,
Prodi Ahwal al-Syakhshiyyah STAI Nurul Iman Parung-Bogor
Page 96
Tasyri’ Journal of Islamic Law, Vol. 1 No. 1, Januari 2022
proses perwujudan tujuan al-daruriyyat ini dibutuhkan
lembaga pendidikan, misalnya pembidangan dari tingkat
terendah hingga tingkat tertinggi. 47
4. Perlindungan terhadap keturunan (Hifdz an-Nasl)
Islam memberikan perhatian lebih terhadap
aturan dan membersihkan keturunan dari cacat dan
mengayominya dengan kebaikan atau perbaikan serta
ketenangan hidup kepada keturunan tersebut. Ketika
sebuah nasab merupakan pendirian yang teguh dalam
kekerabatan keluarga dan penghubung antara anggota
keluarga, maka Islam memberikan perhatian yang sangat
besar untuk melindungi nasab dari segala sesuatu yang
menyebabkan kehancuran sebuah nasab tersebut. 48
Dalam penjagaan nasab atau keturunan Islam juga
melarang membuat nasab keturunan dari perbuatan zina.
Secara umum perbuatan zina adalah suatu perbuatan
seksual yang dilakukan oleh seorang pria dan wanita
tanpa adanya akad nikah atau hubungan yang mengikat
secara resmi kepada dua orang tersebut, sehingga
perbuatan ini diharamkan oleh agama Islam yang mana
perbuatan ini mengancam eksistensi dalam kehormatan
menjaga keturunan. Allah SWT telah berfirman dalam
QS. An- Nur /2:
ْ ََ
ُ ْ ُ َْ َ
َ ُ ْ ُ ْ َ َّ َ ُ َ َّ َ
اح ٍد هم ْن ُه َم ا هم ائ ة َج ل َد ٍة َّوال ت أ خ ذ ك ْم
ا لزا هن ي ة والزا هن ْي ف اج هل د وا ك َّل و ه
ْ
ْ
ٌ َْ
ٰ َ ُْ ُْ ُُْ ْ ٰ
ْ
اّلل َوال َي ْو هم اال هخ هر
هب هه َم ا َرأ ف ة هف ْي هد ي هن ه
ّللا ها ن ك ن ت ْم ت ؤ هم ن ون هب ه
َ
ٌ َ
ُْ
ْ ْ
َول َي ش َه ْد َع ذ َاب ُه َم ا ط ا ى َف ة هم َن اْل ْؤ هم هن ْي َن
Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masingmasing dari keduanya seratus kali dan janganlah rasa belas
47 fauzi, “Menimbang Urgensitas Maqasid Al-Shariah Dan
Aplikasinya Di Era Kontemporer,” hal. 178.
48 Ahmad Al-Mursi H.J, Maqashid Syariah, (Cet. III; Jakarta: Amzah;
2013), hal. 143
Tasyri’: Journal of Islamic Law,
Prodi Ahwal al-Syakhshiyyah STAI Nurul Iman Parung-Bogor
Page 97
Tasyri’ Journal of Islamic Law, Vol. 1 No. 1, Januari 2022
kasihan
kepada
keduanya
mencegah
kamu
untuk
(melaksanakan) agama (hukum) Allah jika kamu beriman
kepada Allah dan hari Kemudian. Hendaklah (pelaksanaan)
hukuman atas mereka disaksikan oleh sebagian orang-orang
mukmin.
Dalam tingkatannya memelihara keturunan yaitu:
Tingkatan dharuriyat seperti pensyari’atan hukum
perkawinan dan larangan melakukan perzinahan.
Apabila ketentuan ini diabaikan maka eksistensi
keturunan akan terancam. Dalam tingkatan hajjiyat
seperti ditetapkannya ketentuan menyebutkan mahar
bagi suami pada saat akad nikah dan diberikan hak talak
padanya. Jika mahar tidak disebutkan pada waktu akad,
maka suami akan mengalami kesulitan karena ia di
haruskan untuk membayar mahar misl. Sedangkan dalam
kasus talak, suami akan mengalami kesulitan, jika ia
tidak menggunakan hak talaknya, padahal situasi dan
kondisinya sudah tidak harmonis lagi. Dalam tingkatan
tahsiniyat seperti di syariatkan khitbah atau walimah
dalam perkawinan. Hal ini dilakukan dalam rangka
menyempurnakan
kegiatan
perkawinan.
Jika
ia
diabaikan maka tidak akan mengancam eksistensi
keturunan, dan tidak pula akan mempersulit orang yang
melakukan perkawinan, ia hanya berkaitan dengan etika
atau martabat seseorang. 49
5. Perlindungan terhadap harta (Hifdz al-Mal)
Harta merupakan sesuatu kebutuhan inti dalam
kehidupan di dunia ini, di mana manusia tidak akan
pernah terlepas dari harta tersebut. Dalam kehidupan ini
manusia termotivasi untuk mencari harta demi menjaga
eksistensi kehidupan dan demi menambah kenikmatan
materi dan religi. Namun, dalam motivasi pencarian
49
Lihat, H.M. Hasbi Umar,Nalar Fiqh Kontemporer (Jakarta: Penerbit
Persada Press; 2007), hal. 126.
Tasyri’: Journal of Islamic Law,
Prodi Ahwal al-Syakhshiyyah STAI Nurul Iman Parung-Bogor
Page 98
Tasyri’ Journal of Islamic Law, Vol. 1 No. 1, Januari 2022
harta ini dibatasi menjadi tiga syarat yaitu, harta
dikumpulkan dengan cara yang halal, dipergunakan
untuk hal- hal yang halal dan dari harta ini harus
dikeluarkan hak Allah dan masyarakat di tempat di
mana dia hidup. 50
Namun dalam penggunaan harta ini Allah SWT
melarang dalam pemakaian harta yang boros yang
berakibatkan sifat sombong karena harta itu sendiri.
Islam juga melarang melakukan pencarian harta dengan
memakan hasil riba dari orang lain, sebagaimana firman
Allah SWT dalam QS. al- Baqarah /275- 276;
َ
ُ َ
َّ
َ َّ َ
َ ْ ُ ُ ْ َ َ ْ َّ َ
ن
الرب وا ال َي ُق ْو ُم ْون ها ال ك َم ا َي ُق ْو ُم ال هذ ْي َي َت خ َّب ط ُه
ا ل هذ ي ن ي أ ك ل و
ه
ْ
ْ
ُ
َ
َ
ا
َ
َ
َ ُ ْ َّ
ْ ُ َّ َ
ُ ْ ُ ْ َ َ َّ ْ
الرب وا َوا َح َّل
الشي ط ن هم ن اْل ه
س ذ هل ك هب ا ن ه م ق ال وا ها ن م ا ال ب ي ع هم ث ل ه
ََ
َ
ٌَ
ْ َ
َ َّ َ َ َ ْ َ ْ ُ ٰ
الرب وا ف َم ْن َج ا َء ه َم ْو هع ظ ة هم ْن َّر هب ه ف ان َت ه ى ف ل ه َم ا
ّللا ال ب ي ع و اح رم ه
ََ َ َ َ
ٰ َ
َّ ص ح ُب
ْ ّللا َو َم ْن َع َاد َف ُا ول ى َك َا
الن هار ُه ْم هف ْي َها
س ل ف وا ْم ُره ها ل ى ه
َ ُٰ َ
ُ
ُ ٰ َي ْم َح ُق٢٧٥ خ ل ُد ْو َن
َّ ّللا الرب وا َو ُي ْرب ى
ّللا ال ُي هح ُّب ك َّل
الص َد ق هت و
ه
ه
ه
َ
َ
٢٧٦ ك َّف ٍار ا هث ْي ٍم
275.Orang-orang yang memakan (bertransaksi dengan) riba
tidak dapat berdiri, kecuali seperti orang yang berdiri
sempoyongan karena kesurupan setan. Demikian itu terjadi
karena mereka berkata bahwa jual beli itu sama dengan riba.
Padahal, Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. Siapa pun yang telah sampai kepadanya
peringatan dari Tuhannya (menyangkut riba), lalu dia
berhenti sehingga apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi
miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Siapa yang
mengulangi (transaksi riba), mereka itulah penghuni neraka.
Mereka kekal di dalamnya.
50
Ahmad Al-Mursi H.J, Maqashid Syariah (Cet III; Jakarta:
AMZAH; 2013), hal. 143
Tasyri’: Journal of Islamic Law,
Prodi Ahwal al-Syakhshiyyah STAI Nurul Iman Parung-Bogor
Page 99
Tasyri’ Journal of Islamic Law, Vol. 1 No. 1, Januari 2022
276.
Allah menghilangkan (keberkahan dari) riba dan
menyuburkan sedekah. Allah tidak menyukai setiap orang
yang sangat kufur lagi bergelimang dosa.
Dalam tingkatannya melindungi harta di
asumsikan sebagai berikut : dalam tingkatan dharurriyat
seperti pensyariatan aturan kepemilikan harta dan
larangan mengambil harta orang lain dengan cara yang
ilegal. Apabila aturan tersebut dilanggar maka akan
mengancam eksistensi melindungi harta. Memelihara
harta dalam tingkatan hajjiyat seperti disyariatkannya
jual beli dengan cara salam. Apabila harta cara ini tidak
dipakai maka tidak akan mengancam eksistensi harta
melainkan hanya akan mempersulit seseorang yang
memerlukan modal. Memelihara harta dalam tingkatan
tahsiniyat seperti adanya ketentuan agar menghindarkan
diri dari penipuan. Karena hal itu merupakan keterkaitan
dengan moral dan etika dalam bermuamalah. Hal ini
juga akan berpengaruh kepada keabsahan jual beli
tersebut, sebab pada tingkatan ketiga ini merupakan
syarat adanya tingkatan kedua dan pertama. 51
Untuk
menyelamatkan
harta,
Islam
mengharuskan orang mengetahui ilmu menjaga harta.
Demi kelancaran proses perwujudan tujuan dharurriyat
ini dibutuhkan fasilitas menjaga harta, misalnya bank
sebagai tempat penyimpanan uang. Tanpa bank,
penyimpanan uang tetap bisa dilakukan misalnya di
bawah tilam, di celengan, atau di kubur di suatu tempat.
Namun demikian, kehadiran bank sangat membantu si
pemilik dari banyak kemungkinan yang akan
mengganggu, baik itu perampok, pencuri atau bahaya
lain semisal kebakaran. Pada tahap tahsiniyat, pilihan
51
H.M. Hasbi Umar, Nalar Fiqh Kontemporer (Jakarta: Penerbit
Persada Press; 2007), hal. 127.
Tasyri’: Journal of Islamic Law,
Prodi Ahwal al-Syakhshiyyah STAI Nurul Iman Parung-Bogor
Page 100
Tasyri’ Journal of Islamic Law, Vol. 1 No. 1, Januari 2022
untuk menentukan bank diserahkan kepada kemantapan
dan kemampuan lokal.
Adapun kajian Maqashid al-Syari’ah dalam teoritik
dan praktek dapat digambarkan sebagai berikut;
Usul alKamsah
Hifzh
ad-Din
Hifzh
an-Nafs
Dalil
Aplikasi
QS. alBaqarah/
256,
QS. AnNahl / 90
▪
QS. AnNisa
/29,30
▪
▪
▪
▪
▪
Hifzh alAql
Hifzh
an-Nasl
QS. alBaqarah/
173
QS. alIsra’/70
▪
QS. AnNur /2
▪
▪
▪
▪
▪
Solusi
Memelihara dan
melaksanakan kewajiban
keagamaan
Melaksanakan ruksoh
Penyempurnaan ibadah
Keharusan
beragama
Memenuhi kebutuhan
pokok
Dibolehkannya untuk
berburu dan menikmati
bergizi.
Aturan tata cara makan
dan minum
Menjaga
Kesehatan
Mengkonsumsi yang
memabukkan
Anjuran menuntut ilmu
pengetahuan
Mengkhayal atau
mendengarkan sesuatu
yang tidak berguna.
Belajar
sepanjang
hayatnya.
Hukum perkawinan dan
larangan melakukan
perzinahan
Menyebutkan mahar bagi
suami pada saat akad
nikah dan -diberikan hak
talak padanya.
Khitbah atau walimah
dalam perkawinan
Melanggen
gkan
pernikahan
Tasyri’: Journal of Islamic Law,
Prodi Ahwal al-Syakhshiyyah STAI Nurul Iman Parung-Bogor
Page 101
Tasyri’ Journal of Islamic Law, Vol. 1 No. 1, Januari 2022
Hifzh alMal
QS. alBaqarah
/275- 276
QS. alMaidah/
90
▪
▪
▪
Aturan kepemilikan harta
dan larangan mengambil
harta orang lain dengan
cara yang illegal
Jual beli dengan cara
salam
Menghindarkan diri dari
penipuan
Mengetahu
i ilmu
menjaga
harta
PENUTUP
Konsep al- maqashid al-syar’iah baik sebagai bagian
dari qaidah ushuliyyah maupun pendekatan sangat
relevan untuk terus dikembangkan dan dijadikan
rujukan
dalam
menyikapi
problemantika
sosial
keagamaan di era saat ini. Titik pointnya adalah ketika
sumber- sumber hukum yang terbatas itu membeku dan
terdiam dalam menyikapi realita kehidupan yang
semakin berkembang sedemikian kompleksnya, maka almaqasid menjadi alternatif rujukan dalam upaya
memecahkan problemantika tersebut.
Para ulama maqasidiyyun di era klasik, abad
tengah hingga kontemporer menyatakan pentingnya
pemahaman terhadap al-maqashid al-syariah dalam
menangkap dan menafsirkan ayat- ayat Illahiyah yang
tersembunyi di balik lipatan-lipatan tekstualnya. Sebagai
sebuah qaidah dan pendekatan, kiranya konsep almaqashid al-syariah perlu direfresh dan ditata ulang sesuai
dengan konteks kekinian. Karena gagasan atau konsep
itu pun juga tidak berangkat dari ruang hampa tanpa
historisitas yang mengelilinginya.
DAFTAR PUSTAKA
al- ‘Asqalani, al-Hafidz Ahmad bin ‘Ali bin Hajar. Fathul
Bari, Juz 7. Mesir: Maktabah Taufiqiyyah, 2008.
Tasyri’: Journal of Islamic Law,
Prodi Ahwal al-Syakhshiyyah STAI Nurul Iman Parung-Bogor
Page 102
Tasyri’ Journal of Islamic Law, Vol. 1 No. 1, Januari 2022
al- Alwani, Taha Jabir. Metodologi Hukum Islam Kontemporer,
terj. Yusdani, Yogyakarta, UII Press: 2001.
al- Mursi H.J, Ahmad. Maqashid Syariah Cet. III; Jakarta:
AMZAH; 2013.
Audah, Jasser. Fiqh al-maqâshid : Inathah al-Ahkam alSyar’iyyah bi Maqâshidiha, Herndon, USA: al-Ma‟had
al-Fikr al-Islami, 2006.
_______, Maqâshid al-Syariah Falsafah li al-Tasyri’ al-Islami,
London: al-Ma’had al ‘Alami li al-Fikr al-Islami, 2007.
Azizi, Alfian Qodri. “Penggunaan Metode Kaidah Ushuliyah
Dalam Memahami Nash Secara Tekstualis Dan
Kontekstual,” Journal of Islamic Studies and
Humanities 5, no. 1 (2020).
al-Bukhari, Muhammad bin Ismail Abu Abdillah. Shahih
Bukhari, Hadits no. 4119, Kitab al-Magazi, Bab Marjiu
nabi min ahzab marjiuhu ila bani quraidhah, Juz 5.
Mesir: Dar at-Tauqi an- Najah, 1422.
Efendi, Satria, M. Zein., Ushul Fiqh, jilid 1, Jakarta:Prenada
Media, 2005.
Fauzi, M Nur. “Menimbang Urgensitas Maqasid Al-Shariah Dan
Aplikasinya Di Era Kontemporer,” 2020.
al-Ghazali, al-Mustashfâ min ‘Ilm al-Ushûl, Jid I, (Beirut: Dar
Ihya’ al-turats al-‘Arabi, nd),
ibn ‘Asyur, Muhammad Thahir. Maqâshid al-Syâri’ah alIslamiyah, Cet I, (Tunisia: Mathba’ah al-Faniyah, 1966.
ibn Umar, Umar ibn Shaleh. Maqâshid al-Syari‟ah ‘Inda
Izzuddin ibn Abd al-Salam, Daar AnNafais, 2003.
Kamali, Mohammad Hashim. Membumikan Syariah
Pergulatan Mengaktualkan Islam, Bandung: Mizan,
2013.
Khalaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushul Fiqh, Kairo: al-Haramain,
2004.
Mawardi, Ahmad Imam. Fiqih Minoritas, Fiqh Al-Aqalliyyat
dan Evolusi Maqashid al-Shari’ah dari Konsep ke
Pendekatan, Yogyakarta: LKiS, 2010.
Tasyri’: Journal of Islamic Law,
Prodi Ahwal al-Syakhshiyyah STAI Nurul Iman Parung-Bogor
Page 103
Tasyri’ Journal of Islamic Law, Vol. 1 No. 1, Januari 2022
Misno
B.P,
Abdurrahman.
Maqashid
Al-Syariah,
http://majelispenulis.blogspot.in/2013/09/Maqashi
d-al-syariah-tujuan-hukum-Islam
ML Hakim, “Pergeseran Paradigma Maqasid Al-Syari’ah: Dari
Klasik Sampai Kontemporer,” Al-Manahij: Jurnal Kajian
Hukum
Islam,
no.
25
cites:
https://scholar.google.com/scholar?cites=148736661
19875712508 & as_sdt=2005 & sciodt=2007 & hl=en
(2016)
http://ejournal.iainpurwokerto.ac.id/index.php/al
manahij/article/view/913.
Muallim, Amir dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum
Islam, ed.1, cet.1, Yogyakarta:UII Press, 1999.
Nazir, Muhammad Alias dkk., “Maqasid Syariah Sebagai
Sandaran Hukum Menurut Mazhab Syafie” 2, 2018.
Nursidin, Ghilman. Konstruksi Pemikiran Maqâshid Syariah
Imam al-Haramain al-Juwaini (Kajian Sosio-Histois),
thesis, Semarang: IAIN Walisongo, 2012.
Syarifuddin, Amir . Ushul Fiqh, jilid.2, Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 2001.
asy-Syâthibî, al-Muwâfaqat fi Ushûl al-Ahkâm, Jld II, IV, Beirut:
Dar al-Fikr, tt.
Thahir, Halil. Ijtihad Maqasidi Rekonstruksi Hukum Islam
Berbasis Interkoneksitas Maslahah, Yogyakarta: LKiS.
Umar, H.M. Hasbi. Nalar Fiqh Kontemporer. Jakarta: Penerbit
Persada Press; 2007.
Tasyri’: Journal of Islamic Law,
Prodi Ahwal al-Syakhshiyyah STAI Nurul Iman Parung-Bogor
Page 104