[go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu

Contoh kasusnya

BLOOD GLUCOSE LEVEL IN PATIENT WITH DIABETES MELLITUS WITH MONOTHERAPY (sulfonylurea) and COMBINATION therapy (Sulfonylurea+Biguanid) Kadar Glukosa Darah Pada Penderita Diabetes Mellitus Dengan Terapi Obat Tunggal (Sulfonilurea) dan Kombinasi (Sulfonilurea+Biguanid) Sigit Prasetya Utama1, Agus Widyatmoko2 1Mahasiswa Fakultas Kedokteran dan Ilmu kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta 2Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Yogyakarta Alamat korespondensi: Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Jl. Ringroad barat, Tamantirto, Kasihan, Bantul, Yogyakarta Abstract Diabetes mellitus (DM) type 2 is metabolic disorder in endocrine systems caused by disfungsional of beta pancreas cells. One of the way to diagnose Diabetes mellitus is by measure the glucose blood level. Diabetes mellitus has some complication if the glucose blood level uncontroled such as cardiovascular disease, microvascular complication (retinophaty, renal failure and peripheral neurophaty), and macrovascular (coronary heart disease, stroke). Hypoglicemic oral drug can decreas the glucose blood level. The design of this research is cohort retrospektive and the aim is to know the comparison of glusoce level between patient given single therapy (sulfonilurea) and combination therapy (sufonylurea+biguanid). The subject is 55 DM 2 for single therapy and 55 for combination therapy. The sample was taken before and after the therapy. Independent sample T test analysis showed the significance decreasing of blood glucose level (p<0,05) in combination therapy tahn single therapy. Based on the result above showed that combination therapy (sulfonylurea+biguanid) is more effective than single therapy to control the blood glucose level in patient with Diabetes mellitus type 2. Key words: Diabetes Mellitus type 2, single therapy, combination therapy, Sulfonylurea, Biguanid Intisari Diabetes mellitus (DM) tipe 2 merupakan penyakit gangguan metabolik endokrin karena gangguan pada kelenjar sel beta pankreas. Pengukuran kadar glukosa dalam darah merupakan ujung tombak dalam mendiagnosa diabetes mellitus. Diabetes mellitus mempunyai beberapa resiko penyakit apabila kadar glukosa darahnya tidak terkontrol seperti penyakit kardiovaskular, komplikasi mikrovaskular (retinopati, gagal ginjal dan neuropati perifer), dan makrovaskular (penyakit arteri koroner, stroke). Obat hipoglikemik oral sangat membantu dalam menurunkan kadar glukosa darah. Desain penelitian ini adalah kohort retrospektif untuk mengetahui perbandingan kadar glukosa darah pada penderita yang diberi terapi tunggal (sulfonilurea) dengan terapi kombinasi (slfonilurea+biguanid). Subyek terdiri dari 55 penderita DM 2 dengan terapi tunggal dan 55 penderita dengan terapi kombinasi. Pengambilan sampel dilakukan sebelum dan setelah di terapi. Hasil analisis pada uji Independent sample T test menunjukkan penurunan kadar glukosa darah yang bermakna secara statistik (p<0,05) pada kelompok terapi obat kombinasi dibandingkan dengan kelompok terapi obat tunggal. Penelitian ini menunjukkan bahwa terapi obat kombinasi (sulfonimurea+biguanid) lebih efektif dibandingkan dengan terapi obat tunggal dalam mengontrol kadar gula darah pada penderita DM tipe 2. Kata kunci: Diabetes Mellitus tipe 2, Terapi tunggal, Terapi Kombinasi, Sulfonylurea, Biguanid Pendahuluan Diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan. World Health Organization (WHO) memperkirakan prevalensi global diabetes melitus tipe 2 akan meningkat dari 171 juta orang pada tahun 2000 dan menjadi 366 juta pada tahun 2030. Indonesia berada di urutan ke 4 terbanyak kasus diabetes di dunia. Di Indonesia pada tahun 2006, jumlah penyandang diabetes (diabitasi) di Indonesia mencapai 14 juta orang. Dari jumlah itu, baru 50% penderita yang sadar mengidap, dan sekitar 30% di antaranya melakukan pengobatan secara teratur1. Pengukuran kadar glukosa dalam darah merupakan ujung tombak dalam mendiagnosa diabetes mellitus. Penyakit DM merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan dapat menyebabkan komplikasi yang sangat berat pada organ tubuh apabila kadar glukosa dalam darah tidak kita kontrol2. Pasien diabetes mempunyai resiko penyakit kardiovaskular, komplikasi mikrovaskular (retinopati, gagal ginjal dan neuropati perifer), dan makrovaskular (penyakit arteri koroner, stroke)2. Pada DM terapi dilakukan dengan 4 pilar utama yaitu yang pertama kita berikan edukasi mengenai penyakit diabetes bagaimana resikonya, prognosis dan hal lainnya yang belum dimengerti oleh pasien mengenai penyakit yang dideritanya. Yang kedua diet yang meliputi dalam jadwal, jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi harus sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh pasien. Ketiga latihan jasmani, olahraga bertujuan untuk meningkatkan kesegaran jasmani dan membantu menurunkan berat badan yang akan meningkatkan sensitivitas reseptor insulin2. Yang terakhir dengan memberikan terapi obat atau farmakologis, dengan menggunakan obat hipoglikemik oral (OHO) dapat memberikan perbaikan yang bermakna terhadap komplikasi mikro dan makrovaskular3. Pengobatan dapat dilakukan dengan monoterapi dan bagi yang memerlukkan, dapat diberikan terapi kombinasi. Obat hipoglikemik oral sangat bermanfaat dalam membantu menurunkan kadar glukosa darah dengan farmakodinamik dan farmakokinetik yang berbeda pada setiap golongan. contoh beberapa obat OHO yaitu golongan sulfonilurea, biguanid, inhibitor α glukosidase, insulin sensitizing agent3. Penelitian in bertujuan untuk mengetahui perbedaan kadar glukosa darah pada penderita DM tipe 2 antara pemberian terapi tunggal sulfonilurea dengan terapi kombinasi sulfonilurea dan biguanid Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk mengetahui bagaimana pengaruh antara pemberian terapi tunggal sulfonilurea dengan terapi kombinasi sulfonilurea dan biguanid terhadap penurunan kadar glukosa darah pada penderita DM Tipe 2. Bahan dan cara Desain penelitian ini adalah Pada penelitian ini data diambil dari rekam medis pasien di RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta, penelitian dilakukan selama 3 bulan yaitu dari bulan November 2009 sampai bulan Januari 2010. Dalam kurun waktu tersebut telah didapatkan sampel sebanyak 110 data melalui rekam medis yang terdiagnosa DM tipe 2 yang telah diberi terapi dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Dari besarnya sampel tersebut, 55 sampel diberi terapi obat tunggal dan 55 sampel diberi terapi obat kombinasi. Variabel bebas pada penelitian ini adalah terapi obat tunggal dan terapi obat kombinasi sedangkan variabel terikat adalah kadar glukosa darah. Pada obat tunggal menggunakan obat golongan sulfonilurea dan pada obat kombinasi meggunakan obat golongan sulfonilurea dan biguanid. Kriteria inklusi dari penelitian ini adalah menggunakan insulin, menggunakan obat penurun lemak, menggunakan obat penurun berat badan, menggunakan alat kontrasepsi hormonal, menderita hipertensi atau minum obat hipertensi, menderita penyakit hepar, menderita gagal jantung kongestif atau gagal ginjal kronik, menderita penyakit paru obstruktif menahun, merokok, menggunakan alkohol, hamil, menyusui dan menderita penyakit akut dan kronik selain komplikasi DM tipe 2. Hasil penelitian Dari hasil penelitian selama oktober sampai dengan bulan januari didapatkan hasil data sebagai berikut: 1. Data Deskriptif Subjek Penelitian a.Berdasar Jenis Kelamin Tabel 1.1 Deskripsi Subjek Penelitian Berdasar Jenis Kelamin Kelompok Tunggal Kombinasi Pria 46 (84%) 40(72%) Wanita 9 (16%) 15 (28%) Jumlah 55 55 Sumber : Instalasi Catatan Medis RS PKU Muhammadiyah 2009-2010 Tabel diatas menjelaskan bahwa kebanyakan pasien pada kelompok terapi obat tunggal adalah pria sebanyak 46 orang (84%) sedangkan wanita sebanyak 9 orang (16%). Kemudian pada kelompok terapi obat kombinasi kebanyakan pasien adalah pria yaitu sebanyak 40 orang (72%) sedangkan wanita sebanyak 15 orang (28%). b. Berdasar Usia Tabel 1.2 Deskripsi Subjek Penelitian Berdasar Usia Kelompok Tunggal Kombinasi p Rata-rata usia pada subjek laki-laki 54,42 ± 7,643 (43-76) 52,60 ± 5,900 (43-67) 0,279 Rata-rata usia pada subjek erempuan 53,56± 7,468 (45-67) 50,00 ± 6,381 (35-65) 0,259 Sumber : Instalasi Catatan Medis RS PKU Muhammadiyah 2008-2009 Tabel 1.2 menjelaskan bahwa rata-rata usia subjek laki-laki pada kelompok terapi obat tunggal adalah 54,42 tahun, standar deviasi (SD) 7,643 tahun dengan usia termuda 43 tahun dan usia tertua 76 tahun. Kemudian pada subjek perempuan pada terapi obat tunggal rata-rata usianya adalah 53,56 tahun , SD 7,468 tahun dengan usia termuda 45 tahun dan usia tertua 67 tahun. Sedangkan pada kelompok terapi obat kombinasi, untuk subjek laki-laki rata-rata usianya adalah 52,60 tahun, SD 5,900 tahun dengan subjek termuda berusia 43 tahun dan usia tertua 67 tahun. Pada subjek perempuan rata-rata usianya adalah 50,00 tahun. SD 6,381 dengan usia termuda 35 tahun dan tertua 65 tahun. Sebelum melakukan uji untuk melihat perbedaan antar kelompok, dilakukan terlebih dahulu uji normalitas dengan menggunakan One Sample Kolmogorov Smirnov Test. Hasil sebaran data adalah normal (p>0,05). Karena distribusi data setiap kelompok normal maka dilakukan uji berikutnya untuk dengan uji independent sample T test, dengan hasil sebagai berikut: 3. Uji Statistik Kelompok Tunggal dan Kombinasi Independent sample T test. Kelompok Tunggal Kombinasi P Sebelum 279,62±78,092 268,53±98,090 0,513 Sesudah 227,76±65,790 105,15±45,010 0,000 Sumber : Instalasi Catatan Medis RS PKU Muhammadiyah 2009-2010 Tabel diatas menunjukan pada kelompok sebelum terapi tunggal dan sebelum terapi kombinasi tidak terdapat perbedaan yang signifikan karena nilai p>0,05. Sedangkan pada kelompok sesudah terapi tunggal dan kombinasi nilai p sebesar 0,000 hal ini menunjukan bahwa perbedaan rerata kombinasi kedua kelompok bermakna secara statistika karena p < 0,05. Sehingga dari hasil diatas dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara kelompok sesudah terapi kombinasi dan kelompok sesudah terapi tunggal dengan perbedaan 122,61 mg/dl,dimana pada kelompok sesudah terapi kombinasi memiliki rata-rata yang lebih rendah di bandingkan dengan kelompok sesudah terapi tunggal. 4. Rerata sebelum dan sesudah didiagnosis pada terapi tunggal dan kombinasi Tabel 4.1 Paired samples test Tunggal 51,855±49,578 P = 0,000 Sumber : Instalasi Catatan Medis RS PKU Muhammadiyah 2007-2009 Pada tabel diatas menunjukkan rerata kadar glukosa pada kelompok terapi obat tunggal sebelum dan sesudah diterapi, dimana rerata kadar glukosa setelah diberikan terapi obat tunggal dengan nilai P = 0,000 hal ini menunjukkan bahwa secara statistik terdapat perbedaan yang bermakna antara kadar glukosa sebelum dan sesudah diterapi. Tabel 4.2 Paired samples test Kombinasi 163,382±79,786 P = 0,000 Sumber : Instalasi Catatan Medis RS PKU Muhammadiyah 2007-2009 Pada tabel diatas menunjukkan rerata kadar glukosa pada kelompok terapi obat kombinasi sebelum dan sesudah diterapi, dimana rerata kadar glukosa setelah diberikan terapi obat kombinasi mendapat nilai P = 0,000 hal ini menunjukkan bahwa secara statistik terdapat perbedaan yang bermakna antara kadar glukosa sebelum dan sesudah diterapi. 5. Data rerata selisih pada terapi tunggal dan kombinasi Student newman keuls test . ∆ Kombinasi ∆ Tunggal p 163,38181818 51,854545455 0,000 Sumber : Instalasi Catatan Medis RS PKU Muhammadiyah 2009-2010 Pada tabel diatas didapatkan data delta (∆) dari kelompok terapi kombinasi dan kelompok terapi tunggal yang dilakukan dengan uji student newman keuls test didapatkan nilai p sebesar 0,000. Hasil dari uji test ini menunjukan bahwa perbedaan rerata selisih antara sesudah dan sebelum kedua kelompok bermakna secara statistika karena p< 0,05. Dapat disimpulkan bahwa adanya perbedaan yang bermakna antara rerata selisih pada kelompok terapi kombinasi dengan rerata selisih kelompok terapi tunggal. Diskusi Diet, aktivitas fisik, oral hipoglikemik, dan insulin merupakan agen yang dapat mengontrol kadar glukosa darah pada penderita DM4. Dari hasil peneitian, data yang diambil dari rekam medis di bagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok terapi obat tunggal yang menggunakan obat golongan sulfonilurea (glibenklamid) dan kelompok terapi obat kombinasi yang menggunakan obat golongan sulfonilurea (glibenklamid) di kombinasikan dengan obat golongan biguanid (metformin). Diabetes Melitus tipe 2 merupakan suatu kelompok penyakit metabolik yang ditandai oleh hiperglikemi akibat kelainan sekresi insulin oleh sel beta pankreas, gangguan kerja insulin/resistensi insulin atau keduanya. Pada DM2 pankreas tetap menghasilkan insulin, kadang kadarnya lebih tinggi dari normal, namun tubuh membentuk kekebalan terhadap efeknya, sehingga terjadi kekurangan insulin relative5. Kekurangan insulin relative dapat disebabkan oleh beberapa faktor yang mendasari kelainan tersebut salah satunya kerusakan pada sel β pankreas yang dapat menghentikan produksi insulin karena terganggunya mekanisme produksi akibat kerusakan dari sel β pankreas6. Melemahnya reseptor insulin pada sel target insulin juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kelainan pada mekanisme kerja insulin. Apabila pada penderita DM tipe 2 tidak dapat mengontrol kadar glukosa darah dengan cara diet dan mengatur pola hidup dengan olah raga sesuai dengan 4 pilar pada terapi DM maka pemberian farmakoterapi oral hipoglikemik dapat di berikan guna mengontrol kadar glukosa pada pasien tersebut4. Teoritis pada pengobatan DM adalah dengan memberikan insulin secukupnya sehingga metabolisme karbohidrat, lemak dan protein pada penderita mendekati metabolisme normal7. Pemberian insulin dapat diberikan melalui pemberian eksogen dan pemberian endogen. Pada pemberian eksogen yaitu dengan pemberian terapi insulin langsung dengan cara menyuntikan melalui subkutan yang menggunakan spuit dan jarum suntik8. Pada pemberian endogen yaitu dengan memberikan terapi farmakoterapi obat hipoglikemik oral dengan cara meningkatkan produksi insulin melalui sel β pankreas. Dengan pemberian terapi obat kombinasi, terapi yang diberikan dengan menggunakan golongan sulfonillurea dan golongan biguanid yang mempunyai mekanisme kerja yang berbeda. Sulfonilurea yang berkerja dengan merangsang sekresi insulin di kelenjar pankreas dan biguanid Bekerja langsung pada hepar menurunkan produksi glukosa hati namun tidak merangsang insulin oleh kelenjar pankreas. Kedua mekanisme tersebut dapat memberikan penurunan kadar glukosa yang jauh lebih bermakna bila dibandingkan dengan penggunaan terapi obat tunggal sulfonilurea. Pada penelitian ini pengobatan dengan OHO yang diberikan terapi obat kombinasi menunjukan perbedaan kadar glukosa darah yang lebih rendah bila dibandingkan dengan terapi obat tunggal. Dari uji statistika didapatkan rerata yang bermakna yaitu dengan nilai p< 0,05 pada terapi obat kombinasi dengan uji student newman keuls test dan dengan uji independent sample T test. Dari beberapa teori dan hasil penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa pada penderita DM dengan menggunakan terapi obat kombinasi yang menggunakan obat OHO golongan sulfonilurea dengan obat golongan biguanid, didapatkan perbedaan yang bermakna dimana terapi obat kombinasi lebih efektif pada terapi DM. Hasil dari penelitian saat ini berbeda dengan hasil dari penelitian sebelumnya, dimana pada penelitian sebelumnya pada terapi obat kombinasi dan tunggal di dapatkan hasil yang sama. Mungkin disebabkan karena pada penelitian sebelumnya menggunakan insulin sebagai obat terapi yang diberikan pada terapi tunggal dan pada terapi kombinasi yang dikombinasikan dengan OHO. Interpretasi hasil data di atas menunjukkan bahwa pada kelompok terapi obat kombinasi lebih efektif mongontrol kadar glukosa pada penderita DM dibandingkan dengan terapi obat tunggal. Kesimpulan Pada penelitian ini di dapatkan perbedaan yang signifikan secara statistik antara kelompok terapi obat kombinasi dengan kelompok terapi obat tunggal. Dimana pada kelompok terapi obat kombinasi menunjukan penurunan kadar glukosa darah yang lebih rendah dibandingkan dengan kelompok terapi obat tunggal pada DM tipe 2. Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang perbedaan kadar glukosa darah pada penggunakan terapi tunggal dan kombinasi dengan jumlah sampel yang lebih besar serta disain penelitian prospektif agar data yang ada menjadi lebih akurat dan komprehensif. Daftar Pustaka 1. Pusat Data dan Informasi Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia (PDPERSI). 2003. Diakses pada tanggal... dari http://www.pdpersi.co.id 2. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI). 2006. Diabetes mellitus, Konsensus Pengolahan dan Pencegahan DM tipe 2 di Indinesia, Jakarta 3. Soewondo, P. 2006. Ketoasidosis Diabetik. (hal 1896). Ilmu Penyakit Dalam FKUI. EGC; Jakarta. 4. Brian J. Fertig, MD; David A.Simmons, MD; and Donald B. Martin,MD.1989. Therapy For Diabetes:Michigan 5. Merentek E. 2006. Resistensi Insulin Pada Diabetes Mellitus Tipe 2. Cermin Dunia Kedokteran No. 150; Makasar 6. Gustaviani , R. 2006. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Mellitus (hal857-1859). Ilmu Penyakit Dalam FKUI. EGC; Jakarta. 7. Guyton and Hall. 1997. Insulin, Glukagon, dan Diabetes Mellitus (hal1221-1231).Fisiologi Kedokteran. EGC; Jakarta 8. Karam J H. 1998. Hormon Pankreas dan Obat-obatan Antidiabetes (hal 663-681). Katzung B G, Farmakologi Dasar dan Klinik. EGC; Jakarta 9. Storwig S M, Avil M L , Raskin P. 2002. Comparison of Insulin Monotherapy