Nation State: Journal of International
Studies Vol. 1 No. 1 | Desember 2018
P ISSN 2620-391X
E ISSN 2621-735X
Ideologi: Faktor Konflik dan Kegagalan Timur Tengah
Muhammad Zainal Muttaqin
Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Indonesia
Email: zeyneilzuqin@gmail.com
Diserahkan: 06 September 2018 | Diterima: 26 November 2018
Abstract
The following article explains how Western ideologies become major factor of conflicts and
failures in the Middle East. In this paper the author looks from the perspective of ideological
hegemony. Ideology undermines the political and economic systems that cause social inequality
and accelerate the outbreak of conflict in the Middle East. The author raised Syria and Libya as
examples to prove the factors that led to the conflict. The author argues that the main cause of
the Middle East conflict is the influence of Western ideology that cannot be accepted by
government in power or even the people, so that it triggers conflicts and even war. Democracy
which is an accepted model in various countries cannot be applied in the Middle East. The author
also criticized the failure of democracy implementation and liberal economies in the Middle East.
Keywords: Ideology, Modernism, Imperialism, Capitalism, Democracy, Middle East.
Abstrak
Tulisan berikut menjelaskan bagaimana ideologi Barat menjadi faktor utama terjadinya konflik dan
kegagalan negara di Timur Tengah. Dalam tulisan ini penulis melihat dari perspektif hegemoni
ideologi. Ideologi merusak sistem politik dan ekonomi yang menyebabkan kesenjangan sosial
sehingga mempercepat pecahnya konflik di Timur Tengah. Penulis mengangkat Suriah dan Libya
sebagai contoh untuk membuktikan faktor yang mendorong terjadinya konflik. Penulis berargumen
bahwa penyebab utama dari konflik Timur Tengah adanya pengaruh ideologi Barat yang belum
bisa diterima baik oleh pemegang kekuasaan maupun masyarakatnya sehingga memicu perpecahan
dan bahkan peperangan. Demokrasi merupakan model yang diterima di berbagai negara tidak bisa
diterapkan di Timur Tengah. Penulis juga memberikan kritikan pada kegagalan implementasi
demokrasi dan ekonomi liberal di Timur Tengah.
Kata Kunci: Ideologi, Modernisme, Imperialisme, Kapitalisme, Demokrasi, Timur Tengah.
PENDAHULUAN
Di tengah berbagai kemajuan
secara global, konflik dan peperangan
tanpa henti menjadi agenda diberbagai
pelosok dunia, terutama di Timur
Tengah yang telah menjadi tanah
sengketa bagi berbagai peradaban
untuk kesekian abad. Timur Tengah
yang mewarisi berbagai suku bangsa,
agama dan budaya kerap bagaikan
campuran adonan yang tak pernah
rampung untuk dimasak. Ditambah
lagi dengan tatanan politik di setiap
wilayah yang meyerupai Firaun di masa
lampau. Kekuasaan menggoda setiap
penguasa akan kemewahan yang
diperoleh dari hasil sumberdaya
minyak bumi. Sehingga menjadikan
Timur Tengah yang kaya akan sumber
minyak bumi ini menjadi tempat
pertumpahan
darah
semenjak
207
Nation State: Journal of International
Studies Vol. 1 No. 1 | Desember 2018
P ISSN 2620-391X
E ISSN 2621-735X
peradaban manusia lahir. Sebagai
faktanya sekarang Timur Tengah
dikontruksikan
dengan
konflik,
fanatisme
Islam
dan
bahkan
terorisme. Di sisi lain Timur Tengah
juga diagungkan sebagai tempat
kelahiran berbagai peradaban dengan
kekayaan kultur budaya, sumberdaya
alam, hingga pusat kemewahan dan
kehidupan
yang
serba
mahal
mempesona.
Pada
dasarnya
perselisihan
ideology hanyalah terjadi antara
ideologi kapitalisme dengan rejim yang
tidak mendukung kapitalisme global.
Seperti rejim sosialis dan komunisme.
Timur Tengah terus mengalami konflik
selama ideologi hegemon menjadi
rujukan dalam politik bernegara. Di
mana ideologi-ideologi barat menjadi
motivasi politik yang dibungkus
dengan unsur demokrasi, Islam, dan
bahkan nasionalime-etnik. Berbagai
unsur politik digunakan sebagai
sentimen
untuk
membangun
indentitas sebuah bangsa dalam
bernegara. Unsur tersebut sebenarnya
pemecah
yang
menimbulkan
peperangan dengan suku etnis dan
pemeluk agama yang berbeda. Penulis
berargumen bahwa Timur Tengah
tidak akan pernah stabil dikarenakan
ideologi barat seperti rejim demokrasi
yang berkembang di wilayah ini tidak
sesuai
dengan
latar
belakang
masyarakatnya. Baik dari segi nilai
agama, kultur dan budaya hingga
sistem politik. Konflik yang terjadi di
Timur Tengah menjadi tanggung
jawab komunitas internasional dan
harus memberikan solusi yang
kongkrit. Karena sudah saatnya
masyarakat Timur Tengah menerima
kesejahteraan dan masa depannya.
Timur Tengah yang telah menjadi
kawasan konflik
untuk kesekian
abadnya sangat sulit untuk kembali
menjadi sebuah “Timur Tengah” yang
diimpikan oleh masyarakat dunia.
Perbedaan suku etnik, agama hingga
kesenjangan
sosial
ekonomi
menjadikan wilayah ini menjadi sebuah
kawasan yang rentan terjadinya konflik
antar agama dan
etnik
hingga
perebutan kekuasaan antara grup etnis
tertentu. Belum lagi ditambah oleh
unsur kekayaan alam seperti minyak
bumi yang menjadi faktor utama dalam
perpecahan negara. Ideologi yang
ditinggalkan barat pada masa mandat
Perancis dan Inggris di wilayah ini
hanya sampai pada mendirikan negara
yang bersifat otokratik, yang sebagaian
besarnya dikuasai oleh sebagian kecil
keluarga bawaan
dari kolonialisme.
Sehingga ideology barat terutama
“demokrasi” menjadi senjata utama
dalam meruntuhkan rejim yang tidak
diinginkan oleh
sistem kapitalisme
global.
Penulis
melihat
fenomena
konflik yang terjadi di Timur Tengah
dari perspektif teori kritikal Gramsci.
Ideologi yang berkembang merupakan
208
Nation State: Journal of International
Studies Vol. 1 No. 1 | Desember 2018
P ISSN 2620-391X
E ISSN 2621-735X
menjadi kolonial raksasa dalam
memenuhi kebutuhan dan merenggut
kapital lebih besar hingga pecahnya
perang dunia I dan II.
pemikiran
yang
mendominasi
kekuasaan dan hanya mewakili
kepentingan
sebagian
golongan
semata. Sehingga ideologi seperti
demokrasi, liberalisme dan kapitalisme
merupakan gagasan yang hanya
memberikan kepentingan ekonomi
bagi golongan tertentu. Sebagai contoh
idiologi “demokrasi” yang digunakan
kelompok penguasa kapitalis barat
untuk menumbangkan pemerintahan
Libya Kaddafi demi kemenangan
ideologi kapitalis dan juga kepentingan
sumber daya alam. Oleh karena itu
segala aspek dalam kehidupan
dibentuk bedasarkan kepentingan
sebagian golongan kelompok. Hal ini
menjadikan kultur ideologi hegemon
menguasai golongan tertentu.
Meningkatnya
berbagai
kebutuhan yang disebabkan oleh
Revolusi Industri Inggis, mendorong
penjelajah laut untuk mendapatkan
bahan baku hingga ke pelosok dunia.
Kebutuhan
bahan
baku
dan
perkembangan industri yang terjadi
selama beberapa abad di Eropa baik
secara ekonomi maupun ideologi telah
merubah bangsa Eropa dalam berpikir,
baik gaya hidup hingga politik yang
melahirkan nasionalisme dan praktek
demokrasi liberal. Akan tetapi apakah
semua hal yang sama telah terjadi di
“Timur Tengah”?.
Wilayah yang kerap dikenal
Timur
Tengah,
tidak
pernah
mengalami
enlightenment
seperti
layaknya yang terjadi di Eropa ataupun
revolusi industri yang terjadi di Inggris.
Wilayah yang dulunya berada di bawah
kekuasaan Turki Usmani hingga
Perang Dunia I ini hanyalah tempat di
mana peradaban kuno lahir yang silih
berganti. Akan tetapi setelah pewaris
terakhir Muawiyah tersapu habis oleh
Imperium Turki Usmani, menjadikan
wilayah ini tempat persinggahan bagi
pedagang Lavantine yang berasal dari
Suriah, Lebanon, Israel dan Jordan
(Shea, 2003). Setelah Turki Usmani
hilang kekuasaan di wilayah ini pada
abad ke 19, menjadikan wilayah ini
Modernisasi Barat dan Timur
Tengah
Modernisme merupakan sebuah
fenomena yang berkembang di Eropa
hingga lahirnya
renaissance
(enlightenment).
Fenomena
ini
merupakan revolusi pemikiran yang
mendorong manusia untuk berpikir
secara bebas dan moderen. Sehingga
melahirkan kelas borjuis/bangsawan
yang memiliki pemikiran untuk
mendirikan modern-state yang sangat
berbeda dengan sistem kekuasaan
monarki sebelumnya. Perkembangan
peradaban di Eropa melahirkan
merkantilisme dan kapitalisme yang
mendorong kaum borjuis Eropa untuk
209
Nation State: Journal of International
Studies Vol. 1 No. 1 | Desember 2018
P ISSN 2620-391X
E ISSN 2621-735X
sebagai lahan baru bagi kolonialisme
Eropa. Inggris dan Perancis secara
mutlak setelah Perang Dunia I
menjadikan wilayah ini sebagai wilayah
kekuasaan.
Kemudian
setelah
berahirnya Perang Dunia II diwariskan
kepada keluarga ekskolonialisme untuk
menjadi penguasa di wilayah ini.
(kekuasaan sebuah keluarga) yang
diwariskan secara turun-temurun.
Ideologisasi Istilah “Timur
Tengah”
“Timur Tengah” (Midlle East)
merupakan sebutan untuk wilayah
Timur dari Barat (Eropa) bagi kolonial
barat semenjak runtuhnya kekuasan
Turki Usmani di abad kesembilan
belas. Timur Tengah tidak pernah
menjadi sebuah terminologi yang
menjelaskan letak geografis dengan
tepat. Karena Timur Tengah bukanlah
wilayah bisa ditandai secara fisik.
Penyebutan Timur Tengah merupakan
sebutan
negara
barat
yang
memposisikan geografisnya sebagai
central/pusat dunia. Setelah Perang
Dunia I “Timur Tengah” merupakan
sebutan kolonialisme Eropa ke wilayah
Timur Imperial Turki Usmani. Dalam
beragam literatur kajian Timur Tengah
kerap ditemukan kata “Oriental” atau
kajian yang mempelajari wilayah Timur
Tengah. Wilayah ini meliputi wilayah
Sahara Afrika, Mesir, perbatasan India
hingga ke Teluk Bosphorus Istanbul.
Dalam literatur, penggunaan Timur
Tengah pertama kali digunakan oleh
geopolitikus Amerika Alfred Thayer
Mahan pada tahun 1902 (Koppes,
1976). Penyebutan Timur Tengah
menjadi terminologi asing yang
diberikan oleh barat. Secara ideologis
Timur Tengah adalah sebuah wilayah
yang dibentuk berdasarkan pandangan
Dari segi sejarah Timur Tengah
sangatlah berbeda jika dibandingkan
dengan Eropa. Eropa yang mengalami
kemajuan baik dalam sistem ekonomi
maupun politik, wilayah ini hanyalah
menjadi bagian yang berada di bawah
kekuasaan Imperium dan kolonialisme.
Oleh sebab itu wilayah ini tidak pernah
menjadi pusat kemajuan akan tetapi
Timur Tengah hanya menjadi bagian
“pinggiran” (peripheral). Timur Tengah
berkembang secara tradisional dengan
kekayaan
kultur
dan
ideologi
tersendiri. Tempat lahirnya beragam
agama dan ultur yang berakar pada nilai
nilai
keagamaan.
Sehingga
perkembangan yang terjadi di Timur
Tengah sangatlah berlawanan dengan
apa yang berkembang di Eropa.
Ideologi yang berkembang di Eropa
berbeda dengan apa yang berkembang
di Timur Tengah. Timur Tengah yang
dipenuhi oleh beragam suku dan ras
serta kultur yang sangat kental
menjadikan wilayah ini seperti minyak
dan air yang tidak pernah bisa
disatukan. Sehingga ideologi barat
terutama rejim demokrasi menjadi
ancaman bagi kekuasaan otokratik
210
Nation State: Journal of International
Studies Vol. 1 No. 1 | Desember 2018
P ISSN 2620-391X
E ISSN 2621-735X
dua golongan yaitu Sunni dan Syiah.
Oleh sebab itu nilai agama juga
menjadi salah satu pemicu terjadinya
konflik antar suku yang tak kunjung
selesai
hingga
turun-temurun.
Komposisi penduduk yang heterogen
ini merupakan salah satu faktor konflik
antara
grup
etnik
dalam
memperebutkan kekuasaan politik.
Perbedaan nilai agama yang berbeda
juga merupakan faktor konflik dalam
kompetisi kekuasaan. Sehingga nilai
demokrasi barat yang berakar pada
sekularisme, kebebasan sangat sulit
untuk direalisasikan, apalagi membawa
demokrasi yang berbau liberal yang
mengancam kekusaan otokratik atau
kekuasaan keluarga. Seperti contohnya
keluarga Esad di Suriah yang
merupakan penganut agama minoritas
Nusairi. Memimpin penduduk yang
90% manyoritas Sunni (Akdemir,
2000).
Sehingga
menimbulkan
pemerintahan yang otokratik dan
memicu konflik antar suku etnik dan
agama. Tidaklah heran ketika sebagian
besar masyarakat Suriah menolak
pemimpinnya
sendiri
karena
menganggap penindasan dari keluarga
yang beragama Nusairi terhadapat
penduduk Sunni selama puluhan
tahun.
dan kepentingan barat dalam
melakukan penjajahan pada abad 19
hingga sekarang (Gerald & Alasdair,
1985).
Komposisi Etnik Yang Heterogen
dan Ideologi Agama Yang Kental
Timur Tengah merupakan rumah
bagi puluhan etnisitas dan suku agama.
Bangsa Arab merupakan suku
mayoritas yang ada di Timur Tengah
(Ethnic groups in the Middle East,
2018). Selain itu di antaranya juga
terdapap suku etnik Iran, Turkmen,
Urdu, Kurdi, Yahudi, Azeri, Pasytun
dan Berber (Shoup, 2011). Sehingga
komposisi penduduk di setiap negara
di Timur Tengah pun sangatlah
beragam. Mesir merupakan negara
yang memiliki populasi penduduk
Arab Sunni paling banyak di Timur
Tengah dan Bahrain merupakan
negara yang memiliki populasi paling
rendah
di
dalam
regional
(Demographics of Egypt, 2018).
Timur Tengah juga tempat
lahirnya nenek moyang dari berbagai
agama. Geografis ini dimayoritaskan
oleh penduduk Muslim. Akan tetapi
Timur Tengah juga terdapat pemeluk
agama Kristen, dan Yudaism,
Yedisims, Zerdus, Nusairi, Namiri,
dan bahkan Ensari (Religion in the
Middle East, 2018).
Contoh lain dari perpecahan yang
disebabkan oleh perbedaan suku
agama dan etnis Irak, di mana partai
politik menyimbolkan nilai agama dan
merepresentasikan suku tertentu.
Mayoritas
populasi
Timur
Tengah adalah suku Arab, suku Arab
pun secara agama terpecah ke dalam
211
Nation State: Journal of International
Studies Vol. 1 No. 1 | Desember 2018
P ISSN 2620-391X
E ISSN 2621-735X
Sistem etnik dan keluarga yang
terdapat
di
Timur
Tengah
menyebabkan
kekuasaan
politik
dikuasai oleh keluarga tertentu.
Sehingga tatanan politik di Timur
Tengah cenderung bersifat Monarki
dan dikuasai oleh satu keluarga secara
turun-temurun. Seperti Saudi Arabia,
Qatar, Uni Emirat Arab dan
Kesultanan Yaman. Tidak hanya itu,
juga terdapat sistem politik yang
bersifat republik dan berbasis militer
seperti Mesir dan Iraq. Akan tetapi
masih
tetap
saja meneruskan
kekuasaan warisan yang hanya
mengedepankan
kepentingan
kelompok tertentu dan juga menjaga
kekuasaan yang diperoleh. Sehingga
walaupun ada sistem yang demokratis,
dalam prakteknya hanya terdapat rejim
berbasis militer dan radikal yang
dikuasai oleh keluarga tertentu
(Lenczowski, 1988).
Partai politik di Irak hanya dipenuhi
oleh masyarakat Sunni atau Syiah.
Sehingga melahirkan partai politik
yang hanya dikomposisikan oleh suku
Turkmen, Arab atau Kurdi. Sehingga
bisa disimpulkan bahwa komposisi
penduduk yang sangat heterogen dan
bervariasi memberikan peluang bagi
setiap suku agama atau etnik di Timur
Tengah untuk memiliki pandangan
yang khas dan memiliki pendekatan
berbeda terhadap ideologi barat.
Kepemerintahan Otokratik dan
Monarki
Timur Tengah yang merupakan
wilayah peninggalan kolonialisme
memiliki sistem politik yang sangat
unik. Setelah kepemerintahan mandat
Inggris, Prancis dan Rusia berakhir di
wilayah ini pada abad ke 19, bagianbagian negara di wilayah ini diwariskan
kepada keluarga yang memiliki
hubungan dekat dengan negara
mandat. Ini akan mempermudah bagi
negara mandat dalam menjalin
hubungan diplomatik di kemudian hari
untuk berbagai kepentingan. Akan
tetapi pemberian kekuasaan kepada
keluarga tertentu di wilayah ini telah
menyebabkan berkembangnya negara
yang bersifat otokratik di bawah Partai
Sosialis Arab Ba’ath (Arab Baas Socialist
Party). Pemerintahan hanya dipegang
oleh sebagian kecil anggota keluarga
atau yang memiliki afiliasi dengan
Partai Ba’ath (Atay, 2000).
Dengan adanya hasrat dan
keinginan untuk berkuasa, hampir di
setiap etnik di Timur Tengah sulit
untuk menerima demokrasi. Nilai
demokrasi sendiri bahkan ditolak oleh
otoritas yang berkuasa dan bahkan
kawasan ini menolak kehadiran
demokrasi (Ottaway & Carithers,
2004).
Dikarenakan
kekuasaan
ditafsirkan sebagai milik keluarga
berdarah biru. Oleh sebab itu, ideologi
kekuasaan yang ada di Timur Tengah
sangatlah berlawanan dengan ideologi
barat. Sehingga ideologi barat seperti
212
Nation State: Journal of International
Studies Vol. 1 No. 1 | Desember 2018
P ISSN 2620-391X
E ISSN 2621-735X
Mesir
yang
mangakibatkan
pengangguran massal yang masif.
modernisme, nasionalisme, bahkan
demokrasi pun tidak mungkin
berkembang di Timur Tengah. Oleh
sebab itu demokratisasi Timur Tengah
hanyalah agenda bagi negara barat
yang
memicu
konflik
dalam
memperebutkan kekuasaan.
Paham ekonomi liberal yang
dipahami negara di Timur Tengah
sangatlah berbeda. Masyarakat Timur
Tengah hanya paham akan kebebasan
dalam bertransaksi dan dagang. Tidak
menyadari bahwa negara-negara
tersebut harus bersaing di berbagai
produk dalam ekonomi global.
Dengan mengandalkan satu komoditas
saja
sebagai
roda
ekonomi
menyebabkan sektor lain tidak bisa
berkembang. Negara di Timur Tengah
menjadi tidak produktif dan hanya
menjadi negara konsumtif atau pasar
bagi
negara
lain.
Dari
sisi
perekonomian Timur Tengah adalah
wilayah yang dirugikan dan ketinggalan
jauh untuk berkompetisi, ini juga
diakibat oleh pemerintah yang hanya
menggunakan
sebagian
besar
pendapatan negara untuk
pembelanjaan pertahanan seperti
alutsista. Pengeluaran ini telah
menguras sebagian besar pendapatan
nasional hingga 4.2% dari GDP
(Military
Expenditure,
2017).
Pendapatan tidak dialihkan untuk
investasi yang memberikan kontribusi
untuk pertumbuhan ekonomi. Hal
seperti ini persis seperti yang dialami
oleh pemerintah Mesir, Iran, Suriah
dan Yaman.
Kegagalan Ekonomi Liberal dan
Realisme
Dari total 17 negara (Arab Saudi,
Bahrain, Irak, Iran, Israel, Kuwait,
Lebanon, Mesir, Palestina, Oman,
Qatar, Siprus, Suriah, Turki, Uni
Emirat Arab, Yaman dan Yordania)
yang ada di wilayah Timur Tengah,
tidak semua negara adalah penghasil
minyak bumi. Terdapat juga negara
yang tidak memiliki sumber daya alam
minyak ataupun gas. Seperti Israel
yang bergantung pada export
teknologi yang dikembangkannya.
Contoh lain adalah Yordania yang
terus berusaha menjadi pusat
perdagangan agar bisa tetap bertahan
di dalam perekonomian global. Secara
umum negara di Timur Tengah
tergantung pada satu sumber
pendapatan yaitu minyak bumi.
Ketergantungan pada satu komoditas
seperti minyak bumi menyebabkan
ekonomi yang tidak stabil akibat
regulasi yang diciptakan oleh pasar
komoditas global. Oleh karena itu
ketika pendapatan utama menurun
menimbulkan masalah ekonomi yang
serius. Seperti halnya yang terjadi di
Paham keharusan memiliki
kekuatan militer yang kuat untuk
menjaga rejimnya telah membuat
213
Nation State: Journal of International
Studies Vol. 1 No. 1 | Desember 2018
P ISSN 2620-391X
E ISSN 2621-735X
pemerintah di Timur Tengah
mengeluarkan anggaran besar-besaran
untuk pertahanan. Pendapatan negara
sebagian besarnya digunakan untuk
pembelian senjata. Karena penguasa di
Timur Tengah lebih mementingkan
keamanan rejim dan kekuasaannya
dibandingkan kesejahteraan rakyat.
Oleh sebab itu investasi yang
dilakukan untuk sektor lain sangatlah
sedikit.
Seperti
tidak
adanya
pemberdayaan pangan, kurangnya
infrastruktur air bersih, dan minimnya
investasi di infrastruktur utama
lainnya. Sehingga menjadikan Timur
Tengah sebagai pasar untuk export
pangan. Kesalahpahaman pemerintah
akan pentingnya kekuatan militer
dalam manjaga keseimbangan di
Timur Tengah, telah menguras semua
pendapatan negara untuk
pembelanjaan
yang
akhirnya
membawa ancaman bagi wilayah
Timur Tengah. Seperti yang dilakukan
oleh
Saudi
Arabia
dengan
pembelanjaan senjata hingga 70 milyar
dolar di tahun 2017 (World Military
Spending 2017). Hal ini membawa
kekhawatiran ke kawasan terutama
yang berpenduduk Syiah. Oleh sebab
itu realisme telah menutup mata
panguasa di Timur Tengah dengan
mementingkan apa yang sebenarnya
tidak memberikan kesejahteraan bagi
rakyatnya,
dan
bahkan
menguntungkan negara barat dari segi
pembelanjaan negara. Penulis sendiri
melihat ini adalah sebuah tipuan
ideologi barat yang dilakukan terhadap
Timur Tengah untuk keuntungan dari
industri
persenjataan
tanpa
memperdulikan
apa
masalah
sebenarnya yang dihadapi Timur
Tengah. Di mana Timur Tengah
menjadi pasar bagi industri alutsista
Barat. Hal ini merupakan kekejaman
kapitalisme global yang hanya fokus
pada keuntungan
dengan
menanamkan persepsi kenegaraan
yang salah terhadap penguasa politik di
Timur Tengah.
Investasi di sektor yang memacu
ekonomi di negara-negara Timur
Tengah sangatlah sedikit. Seperti
kurangnya investasi di sektor pangan,
kanalisasi, infrastruktur, industri dan
bahkan
pendidikan.
Hal
ini
menimbulkan masalah baru yang
sangat berpengaruh secara global.
Masalah utama tersebut adalah
urbanisasi yang tidak terkontrol yang
disebabkan oleh peningkatan populasi.
Ditambah lagi dengan infrastruktur
yang tidak memadai seperti kanalisasi
menjadikan kota tidak terawat dan
kotor. Seperti apa yang terjadi di Kairo,
Karachi dan bahkan Bagdad yang
pernah menjadi pusat peradaban di
zamannya.
Minimnya
investasi
pemerintah dalam sektor infrastruktur
dan industri menimbulkan angka
pengangguran yang tinggi. Fenomena
ini menyebabkan masyarakat Timur
Tengah sulit untuk mendapatkan
214
Nation State: Journal of International
Studies Vol. 1 No. 1 | Desember 2018
P ISSN 2620-391X
E ISSN 2621-735X
pekerjaan. Angka penganggguran
menyebabkan timbulnya masalah
kemiskinan yang menjadi pemicu
berbagai masalah sosial lainya. Dari
data Bank Dunia masyarakat Timur
tengah
menunjukkan
angka
pendapatan dengan rata-rata 2$ per
hari (The World Bank, 2017). Sehingga
perputaran ekonomi pun melemah
akibat daya beli yang kurang karena
penduduk didominasi oleh kelas
menengah ke bawah. Dengan beragam
masalah yang timbul menyebabkan
kawasan ini sangat dinamis baik secara
politik maupun dari segi ekonomi.
Sehingga menjadikan Timur Tengah
sebuah kawasan yang rentan terhadap
konflik.
Pada abad ke 19. Banyaknya sekolah
misionaris Kristen dan katolik di
Timur Tengah seperti Amerikan Kolej
di Beirut, Robert Kolej di Istanbul
memicu menyebarnya ideologi barat.
Sekolah misionaris ini mengajari
berbagai ideologi barat seperti;
republik, nasionalisme, demokrasi. Hal
ini telah mendorong praktek politik
bagi suku Arab yang beragama Kristen
pada masa itu. Pada dasarnya
Nasionalisme ini muncul untuk
melawan kekuasaan Turki Usmani
yang berkuasa di wilayah ini pada masa
abad ke 19. Sehingga nasionalisme
Arab dimunculkan untuk melawan
kekuasaan Turki Usmani yang
bercorak islam. Oleh sebab itu
nasionalisme arab merupakan sebuah
ideologi barat yang dipelopori oleh
tokoh nonmuslim untuk memetik
kekuasaan dari keruntuhan Turki
Usmani.
Nasionalisme Arab
Di
Eropa
nasionalisme
merupakan unsur penyebab pecahnya
Revolusi Perancis. Di Timur Tengah
nasionalisme
adalah
ideologi
imaginatif yang sebenarnya tidak lahir
dari Bangsa Arab. Nasionalisme Arab
pertama kali di pelopori oleh dua
orang pemikir. Yaitu Butrus alBustani, tokoh Lebanon yang
beragama kristen katolik dan Nasif Elyazici yang berasal dari Yunani Katolik
(Abu-Manneh, 1980). Al-Bustani
merupakan
pelopor
dalam
pembentukan indentitas bangsa Suriah
dengan penduduk yang heterogen
dengan berbagai latar belakang agama
dan suku etnik (Abu-Manneh, 1980).
Hingga saat ini tidak terdapat
nasionalisme Arab yang solid, karena
masyarakat arab sendiripun mengalami
konflik terutama antara Sunni dan
Syiah. Oleh sebab itu nasionalisme
Arab bukanlah setimen yang dibangun
untuk nasionalisme arab melainkan
fanatisme agama yang menjadi unsur
pemersatu dan pemecah grup etnik
yang ada di wilayah ini. Bisa
disimpulkan
bahwa
ideologi
nasionalisme yang ada di Timur
Tengah merupakan sebuah produk
pemikiran barat yang perkenalkan
215
Nation State: Journal of International
Studies Vol. 1 No. 1 | Desember 2018
P ISSN 2620-391X
E ISSN 2621-735X
demonstrasi yang dimulai dari Tunisia
hingga ke Yaman. Kegagalan nilai
ideologi barat baik dalam sistem
ekonomi maupun rejim pemerintah
menyebabkan terjadinya berbagai
perpecahan yang bisa menjadi
ancaman bagi perdamaian global.
Ideologi barat berupa nation-state,
nasionalisme, ekonomic liberalization
menjadi bahan utama penguasa di
Timur Tengah dalam membangun
pemerintahan yang otokratik. Sehingga
Arab Spring merupakan gambaran dari
kegagalan rejim dan sistem ekonomi.
melalui sekolah misionaris Eropa.
Masyarakat Arab sendiripun tidak
menerima nasionalisme model nationstate sebagai identitas kenegaraan.
Sehingga sulit untuk masyarakat Arab
untuk bersatu, belum lagi ditambah
dengan latar belakang agama dan suku
etnis yang berbeda.
“Arab Spring”: Benturan Ideologi
Barat dan Intervensi Timur
Tengah
Banyak yang berpendapat bahwa
“Arab spring/awakening” adalah awal
mula
wilayah
Timur
Tengah
mengalami enlightenment. Masyarakat
Arab berbondong-bondong turun ke
jalan
untuk
memperjuangkan
demokrasi, hak asasi manusia dan
kehidupan
yang
layak
dari
pemerintahnya. Di berbagai media dan
bahkan menjadi buku banyak tulisan
yang berargumantasi bahwa Arab
Spring merupakan dinamika yang
ditimbulkan oleh masyarakat Arab
yang sadar akan hak-haknya sebagai
warganegara. Gejolak Arab spring juga
dipercepat dengan adanya media
sosial.
Jika
dikaitkan
dengan
argumentasi penulis sebelumnya
semua ini terjadi karena kegagalan
sistem politik dan sistem ekonomi
yang telah dibahaskan penulis
sebelumnya. Yaitu masalah sosial
seperti
urbanisasi,
peningkatan
populasi,
pengangguran
dan
kemiskinan sehingga menjadi pemicu
Sebagai contoh, Konflik di Libya
salah satu progres yang menarik saat
terjadinya penggulingan Muammar
Kaddafi yang juga kerap dikenal
sebagai “revolusi NATO” pada tahun
2011 yang silam. Pertikaian basar di
Libya pada dasarnya adalah pertikaian
antara kabilah. Yaitu pertikaian antar
kabilah/suku yang ada di Bengazi dan
Trablusgarp dalam memperebutkan
sumberdaya alam Libya. Akan tetapi
pertikaian ini mengundang negara
ekskolonial Perancis ikut serta dalam
penegakan
“demokrasi”
yang
diinginkan oleh “masyarakat Libya”.
Masuknya Perancis dalam pertikaian
yang terjadi di Libya juga mengundang
NATO untuk ikut serta dalam
memerangi Kaddafi yang dianggap
sebagai diktator. Pada dasarnya secara
ekonomi, Perancis juga memiliki
kepentingan di Libya. Di mana salah
satu ladang minyak terbesar di Libya
216
Nation State: Journal of International
Studies Vol. 1 No. 1 | Desember 2018
P ISSN 2620-391X
E ISSN 2621-735X
dikelola oleh perusahan asal Prancis
yaitu Total (Total, 2018). Sehingga
pada ahirnya pemerintahan Kaddafi
dijatuhkan dengan intervensi pihak
asing melalui tangan masyarakat Libya
sendiri.
Apakah Libya membaik pasca
Kaddafi? Apakah benar masyarakat
Libya memperjuangkan “demokrasi”?
Apa yang dikehendaki barat dan
koalisinya? Ini semua menjadi
pertanyaan yang harus dicerna
kembali. Di mana Libya pasca rejim
Kaddafi menjadi terbelah antara
Benggazi dan Trablusgarp dikarenakan
kompetisi kekuasaan antara dua
kabilah. Etnik yang terbelah di Libya
tidaklah
memperjuangkan
nilai
demokrasi, melainkan memperebutkan
sumber daya alam minyak. Negara
barat seperti Inggris, Prancis dan AS
tidak mungkin ikut mengintervensi
Libya jika tidak memiliki kepentingan
baik secara ideologis maupun
ekonomi. Sumber energi minyak di
Libya di operasikan dan hasilnya dibeli
oleh perusahaan Inggris dan Perancis
semenjak Rejim Kaddafi. Perusahaan
ini seperti Shell Group, British Perol
dan Total. Intervensi barat terhadap
Libya bisa diterjemahkan sebagai
pengamanan Aset barat yang berada di
Libya. Ini adalah faktor sistem
ekonomi liberal yang kejam hingga
dengan harus memecah belah Libya
untuk kepentingan sistem kapitalisme
global. Untuk melegitimasi apa yang
terjadi di Libya, media barat
memaparkan
seakan-akan
kesejahteraan rakyat Libya akan ada
jika demokrasi bisa diterapkan di
Libya. Akan tetapi ini merupakan
ideologi negara hegemon yang
Ini merupakan salah satu akhir
dari
“Arab
Awekening”
yang
dibanggakan oleh media barat pada
umumnya. Menurut penulis apa yang
terjadi di Libya adalah pertikaian
ideologi barat dan timur. Kaddafi yang
menjunjung tinggi nilai sosialis dan
menguasai sumber besar energi
minyak di dunia tidak memberikan
kesempatan bagi para pro barat. Barat
sangat tidak senang ketika sumber
perputaran roda ekonomi kapaitalis
berada di tangan rejim diktator sosialis.
Barat menggunakan nilai ideology
demokrasi untuk menghancurkan
Kaddafi
dengan
menggunakan
rakyatnya sendiri. Sehingga apa yang
terjadi di Libya bukanlah suatu hal
yang alami melainkan sebuah ideologi
global untuk melawan Kaddafi. Media
sebagai ujung tombak dalam misi
menjatuhkan rejim Kaddafi Libya,
dengan segala upayanya memberikan
penjelasan kepada masyarakat dunia
bahwa rejim Libya adalah antidemokrasi.
Sehingga
intervensi
NATO terhadap Libya secara militer
diawali dengan perselisihan ideologi
barat yaitu demokrasi yang tidak berhasil
menggulingkan
pemerintahan
Kaddafi.
217
Nation State: Journal of International
Studies Vol. 1 No. 1 | Desember 2018
P ISSN 2620-391X
E ISSN 2621-735X
memiliki hegemoni ideologi baik
dalam
berpolitik
internasional.
Sehingga ideologi merusak konsep
bernegara masyarakat Timur Tengah.
Perpecahan dan konflik pun tidak bisa
dihindari
dengan
dalih
demi
“demokrasi” dan masa depan
masyarakat Libya.
Kendatipun demikian demokrasi
merupakan rejim politik kerap
diterapkan di berbagai negara. Akan
tetapi rejim demokrasi sulit untuk
diterapkan di negara yang ada di Timur
Tengah. Timur Tengah merupakan
sebuah kawasan yang sangat dinamis
dengan komposisi penduduk yang
heterogen dari berbagai etnis, agama
dan kultur. Penulis menyimpulkan
bahwa demokrasi di Timur Tengah
hanyalah ideologi yang digunakan oleh
sebagian kelompok pro-barat untuk
legitimasi publik dalam meraih
kekuasaan. Hal ini telah dibuktikan
dengan apa yang telah terjadi seperti di
Mesir, Suriah, Libya, Irak dan bahkan
Afganistan. Sehingga rejim demokrasi
bukanlah solusi bagi konflik yang
muncul di Timur Tengah hingga
sekarang. Dalam hal ini penulis
memberikan rekomendasi bahwa
baiknya sistem pihak asing tidak ikut
intervensi dalam rejim politik yang ada
di Timur Tengah. Karena masyarakat
Timur Tengah memiliki budaya
berpolitik tersendiri yang jauh dari
pembahasan demokrasi, pun tujuan
akhir yang dicapai adalah kesejahteraan
rakyat. Oleh sebab itu membiarkan
Timur Tengah tumbuh dengan
sedirinya tanpa intervensi pihak asing
baik secara ideologi maupun intervensi
militer merupakan jalan keluar terbaik.
Hal ini telah dibuktikan bagaimana
keberhasilan rejim politik yang ada di
negara teluk seperti Qatar, Arab Saudi
KESIMPULAN
Berbagai peristiwa yang telah
terjadi di Timur Tengah seperti di
Suriah, Libya, Iraq, Mesir dan bahkan
Afganistan sangatlah jauh dari
perjuangan
demokrasi
demi
kesejahteraan
masyarakatnya.
Pemahaman ideologi telah memicu
masyarakat Timur Tengah berbeda
pendapat dalam berpolitik. Sehingga
mendorong dalam konflik dan perang
saudara. Perbedaan agama, rejim
politik dan juga suku etnik adalah
penyebab utama masyarakat Timur
Tengah berada dalam konflik. Ideologi
barat seperti demokrasi adalah ideologi
yang sangat bertentangan dengan nilai
dan kultur rejim yang ada di Timur
Tengah. Di mana masyarakat Timur
Tengah lebih cenderung nyaman
dengan rejim otokratik atau bahkan
diktator dalam ungkapan barat.
Ideologi seperti demokrasi, liberalisme
dan hak asasi manusia bukanlah jalan
keluar untuk penyelesaian konflik di
Timur Tengah sangat tidak sesuai dan
berseberangan dengan nilai kultur dan
budaya berpolitik.
218
Nation State: Journal of International
Studies Vol. 1 No. 1 | Desember 2018
P ISSN 2620-391X
E ISSN 2621-735X
Shoup, J. A. (2011) Ethnic Group of Africa and
Middle East. Santa Barbara, California:
ABC-CLIO, LLC.
dan Emirat Arab yang jauh dari
pemikiran demokrasi. Bahkan Timur
Tengah telah menjadi pusat perdaban
terdahulu yang megah seperti
Babilonia kuno hingga kerajaan Persia
dan bertahan hingga berabad-abad.
SIPRI. (2017) World Military Spending 2017
(Online). Tersedia di:
http://visuals.sipri.org (Diakses: 28
Agustus 2018).
The World Bank. (2017) Wage and Salaried
Workers, Male (% of Male Employment)
(Modeled ILO Estimate) (Online).
Tersedia di:
https://data.worldbank.org/indicator
/SL.EMP.WORK.MA.ZS?locations=
EG&view=chart (Diakses: 27 Agustus
2018).
REFERENSI
Abu-Manneh, B. (1980) “The Christians
between Ottomanism and Syrian
Nationalism: The Ideas of Butrus AlBustani”, International Journal of Middle
East Studies, Vol. 11, pp. 287-304.
Total. (2018) Total in Libya (Online).Tersedia
di: https://www.total.com/en/libya
(Diakses 29 Agustus 2018).
Akdemir, S. (2000) “Suriye’deki Etnik ve
Dini Siyasi Yapının Oluşmasındaki
Rolü/Peranan Struktur Politik Etnik
dan Agama di Suriah”, Avrasya Dosyasi,
Vol. 6, pp. 201-237.
Wikipedia (2018) Religion in the Middle East
(Online). Tersedia di:
https://en.wikipedia.org/wiki/Religio
n_in_the_Middle_East (Diakses 28
Agustus 2018).
Atay, M. (2000) “Arab Baas Sosyalist Partisi
Üzerine (Partai Sosialis Arab Ba'ath)”,
Avrasya Dosyası, Vol. 6(No. 1), pp.
131-154.
Chelkowski, Peter J. & Pranger, Robert J
(Eds). (1988) Ideology and Power in the
Middle East, London: Duke University
Press.
Wikipedia. (2018) Ethnic groups in the Middle
East (Online). Tersedia di:
https://en.wikipedia.org/wiki/Ethnic
_groups_in_the_Middle_East
(Diakses 28 Agustus 2018).
Gerald, B. H., & Alasdair, D. (1985) The
Middle East and North Africa: A Political
Geography. The Middle East and North
Africa, Oxford: Oxford University
Press.
Wikipedia. (2018). Demographics of Egypt
(Online). Tersedia di:
https://en.wikipedia.org/wiki/Demo
graphics_of_Egypt#Ethnic_groups
(Diakses 28 Agustus 2018).
Koppes, C. R. (1976) “Captain Mahan,
General Gordon, and the origins of
the term ‘Middle East”, Middle Eastern
Studies, Vol. 12.
World Bank. (2017) Military Expenditure
(Online). Tersedia di:
https://data.worldbank.org/indicator
/MS.MIL.XPND.GD.ZS (Diakses 28
Agustus 2018).
Ottaway, M., & Carithers, T. (2004) “Middle
East Democracy”, Foreign Policy, Vol.
145.
Shea, J. J. (2003) “The Middle Paleolithic of
the East Mediterranean Levant”,
Journal of World Prehistory, Vol. 17, No.
4, pp. 313-394.
219