[go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penulisan makalah ini dilatarbelakangi oleh maraknya praktik KKN yang terjadi saat ini. Ibarat sebuah penyakit menular, praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) mewabah hampir di seluruh institusi-institusi yang menjadi pilar demokrasi di Indonesia, baik dalam lingkup institusi-institusi yang merupakan cabang-cabang kekuasaan trias politika (eksekutif, legislatif, yudikatif), hingga institusi-institusi tonggak demokrasi lainnya, seperti media massa, kepolisian, dan mahkamah konstitusi. Lembaga survei internasional yang khusus memantau dan mengawasi perkembangan korupsi yang terjadi di negara-negara dalam berbagai belahan dunia, Transparency International, pada pertengahan tahun 2013 yang lalu merilis hasil survei persepsi korupsi di setiap institusi yang ada di Indonesia. Hasil survei tersebut disebut dengan Barometer Korupsi Global (Global Corruption Barometer), dimana untuk konteks Indonesia, jumlah responden yang disurvei adalah berjumlah 1000 (seribu) responden. Berikut disajikan data Barometer Korupsi Global (BKG) Indonesia tahun 2013. Tabel 1. Barometer Korupsi Global (BKG) Indonesia Tahun 2013 Parlemen/ Legislatif Kepolisian Lembaga Peradilan Partai Politik Birokrasi Sektor Bisnis Kesehatan Pendidikan Militer NGO Media Skor 4,5 4,5 4,4 4,3 4,0 3,4 3,3 3,2 3,1 2,8 2,4 Sumber : Transparency International Keterangan: Skala skor 1-5, dimana skor 1 menunjukkan tingkat korupsi rendah, sementara skor 5 menunjukkan tinggi korupsi tinggi. Berdasarkan data pada tabel di atas, dapat diketahui bahwa lima dari sebelas institusi yang dinilai oleh masyarakat sebagai sarang praktik korupsi terbesar di Indonesia adalah kepolisian (91%), lembaga legislatif (89%), lembaga peradilan (86%), partai politik (86%) dan birokrasi (79%). Persepsi masyarakat Indonesia akan adanya praktik korupsi di berbagai institusi seperti data yang disajikan di atas bukanlah tanpa dasar. Lembaga legislatif, misalnya, berdasarkan data dan informasi yang penulis dapatkan, hingga akhir tahun 2012, hampir tiga ribu anggota DPRD, baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota yang terjerat kasus hukum. Dari tiga ribu kasus itu, yang paling banyak terjerat adalah anggota DPRD kabupaten/kota yakni sebanyak 2.545 kasus. Sementara DPRD Provinsi sebanyak 431 kasus. Dari 2.545 anggota dewan tingkat kabupaten/kota, terdapat 1.050 orang atau 40,07% yang teridentifikasi kasusnya adalah korupsi. Sementara untuk kasus yang menimpa anggota DPRD Provinsi, berdasarkan surat izin pemeriksaan yang dikeluarkan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) pada akhir 2012, sebanyak 137 orang diperiksa kepolisian dan 294 orang diperiksa kejaksaan. Dari seluruh kasus yang menimpa anggota DPRD Provinsi tersebut, sebanyak 83,76 persen terjerat kasus korupsi, sementara sisanya kasus pidana, pemerasan, dan perzinahan. Dengan kata lain, selama delapan tahun terakhir yakni 2004 sampai dengan 2012, setidaknya 2.976 anggota dewan di daerah terjerat kasus hukum yang didominasi kasus korupsi. Kasus hukum tidak hanya menjerat anggota DPRD tingkat provinsi dan kabupaten/kota, tetapi juga DPR RI. Sejauh ini saja sedikitnya sudah 94 anggota DPR RI sejak 1999-2013 yang terlibat kasus korupsi dan suap (http://www.pontianakpost.com). Sampai detik ini pun, berbagai kasus KKN, sebagaimana yang dapat diperhatikan dalam media massa, terus berlangsung dan seolah-olah terjadi tiada henti. Fenomena ini menimbulkan sejumlah pertanyaan mendasar, yaitu “apa penyebab maraknya praktik KKN tersebut?” serta “bagaimana cara untuk memberantas atau setidaknya mengurangi praktik KKN tersebut?”. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, pada kenyataannya tidaklah mudah. Baik para akademisi maupun praktisi, memiliki jawaban yang berbeda-beda untuk menjawab pertanyaan tersebut. Hal ini disebabkan karena, masing-masing individu, baik akademisi maupun praktisi, menggunakan pendekatan yang berbeda dalam menjawab realitas sosial yang terjadi (baca KKN). Terlepas dari beragam pandangan yang berbeda dalam menjawab persoalan KKN, akan tetapi secara garis besar, pendekatan yang digunakan oleh para akademisi maupun praktisi dalam menjawab persoalan KKN seperti yang disebutkan di atas dapat dikelompokkan kedalam tiga pendekatan, yakni pendekatan yang memfokuskan diri pada prilaku individu (behavioral), pendekatan yang memfokuskan diri pada sistem/struktural, dan pendekatan yang menggabungkan kedua pendekatan sebelumnya (behavioral dan struktural atau struktural-agen). Dalam makalah ini, perspektif yang penulis gunakan dalam mengkaji persoalan korupsi politik yang terjadi saat ini adalah melalui perspektif sistem, dimana terdapat kelemahan dalam sistem yang ada saat ini sehingga menimbulkan peluang terjadinya korupsi politik. Secara spesifik, penulis akan mengkaji persoalan praktik korupsi politik akibat adanya celah dalam regulasi Pemilu Legislatif yang ada saat ini, terutama mengenai pengaturan dana kampanye. Dalam diskursus yang berkembang mengenai korupsi politik, beberapa sarjana menyakini bahwa cikal bakal terjadinya korupsi politik adalah karena masih dijumpainya sejumlah kelemahan serta ketidaktegasan aturan main dalam regulasi Pemilu Legislatif di Indonesia. Hal ini dapat diketahui, misalnya, dari diskusi/FGD yang diadakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tanggal 4-5 September 2013 yang bertema “Menuju Sistem Politik Berintegritas: Sebuah Pola Pandang”. Salah satu hasil dari diskusi/FGD yang diselenggarakan oleh KPK seperti yang disebutkan di atas adalah bahwa produk regulasi Pemilu Legislatif yang ada saat ini telah menimbulkan sejumlah konsekuensi buruk dalam kehidupan berdemokrasi di Indonesia. Secara garis besar, dampak yang ditimbulkan antara lain: memunculkan sikap pragmatis pada parpol, peran parpol sebagai pilar demokrasi berkurang dan bergeser ke calon anggota legislatif (caleg), persaingan antar calon anggota legislatif sangat keras untuk memperebutkan suara sehingga menimbulkan praktik “money politic” untuk mendapatkan suara, dan biaya politik (political cost) yang mahal yang harus ditanggung baik bagi oleh parpol peserta pemilu maupun calon anggota legislatif (caleg) itu sendiri. Dampak-dampak yang disebutkan tersebut pada akhirnya berujung pada satu titik, yaitu praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Sebagai contoh, misalnya, Pramono Anung (wakil ketua DPR RI) dalam publikasi bulanan KPK (Integrito, edisi 32, hal. 7) mengungkapkan bahwa rata-rata pengeluaran seorang politisi yang akan berlaga dalam sistem politik proporsional terbuka adalah antara Rp. 1,5 miliar hingga Rp. 2 miliar. Pramono Anung lebih lanjut menjelaskan bahwa latar belakang seorang politisi mempengaruhi besarnya biaya politik yang harus dikeluarkan seorang caleg. Misalnya caleg yang memiliki latar belakang sebagai publik figur paling sedikit membutuhkan biaya Rp. 200 juta sampai Rp. 800 juta. Caleg yang berlatar belakang TNI dan Polri membutuhkan biaya berkisar Rp. 800 juta hingga Rp. 2 miliar. Sementara caleg yang berlatar belakang sebagai pengusaha membutuhkan biaya berkisar Rp. 1,2 miliar hingga Rp.6 miliar. Angka-angka seperti yang disebutkan di atas merupakan salah satu hasil penelitan yang didapatkan Pramono Anung dari respondennya ketika menyusun disertasi doktoralnya. Ia meyakini ada politisi DPR RI lainnya yang membutuhkan biaya yang jauh lebih tinggi. Tidak seimbangnya antara biaya politik yang dikeluarkan caleg pada masa kampanye dengan gaji yang diperoleh setalah lolos dan duduk di kursi parlemen menyebabkan para anggota dewan untuk melakukan korupsi. Seperti diketahui bahwa penghasilan anggota legislatif yang duduk dibangku DPR RI berkisar Rp. 25-30 juta per bulan. Jika penghasilan tersebut dikali lima tahun, maka jumlah total penghasilan anggota dewan tidak lebih dari Rp. 2 miliar. Secara logika rasional, karena pengeluaran yang dikeluarkan seorang anggota dewan pada saat mencalonkan diri dalam Pemilu Legislatif tidak bisa tertutupi dengan penghasilan yang didapatkan ketika ia telah menjadi anggota dewan, menyebabkan para anggota dewan tersebut menghalalkan segala cara untuk mengembalikan modal yang telah mereka keluarkan, termasuk dengan cara melakukan praktik KKN (Integrito, edisi 32, hal. 52-53). Rumusan Masalah Dengan demikian, dapat diketahui bahwa terdapat kelemahan yang termuat dalam regulasi Pemilu Legislatif di Indonesia sehingga memberi peluang bagi terjadinya praktik korupsi politik. Kelemahan tersebut terutama mengenai pengaturan dana kampanye, dimana menurut beberapa sarjana, pengaturan dana kampanye sebagaimana yang termuat dalam UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, dianggap masih belum secara tegas mengatur mengenai pendanaan kampanye sehingga menimbulkan peluang bagi terjadinya praktik korupsi politik, seperti jual beli suara, manipulasi suara, politik uang (money politic) maupun pencucian uang. Beranjak dari hal di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini, yaitu: Bagaimanakah pengaturan dana kampanye dalam UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota ?. Bagaimanakah keterkaitan antara pengaturan dana kampanye dalam UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dengan praktik korupsi politik ?. Tujuan Penulisan Makalah Tujuan penulisan makalah ini, yaitu: Untuk mengetahui bagaimana pengaturan dana kampanye dalam regulasi Pemilu Legislatif yang ada di Indonesia. Untuk mengetahui pada titik mana pengaturan dana kampanye yang ada dalam regulasi Pemilu Legislatif di Indonesia meberikan peluang bagi terjadinya korupsi politik. BAB II PEMBAHASAN Pengaturan Kampanye Dalam UU Pemilu. Kampanye dalam pemilu menjadi salah satu instrument penting bagi calon anggota DPR, DPD dan DPRD untuk pemenangan. Setiap peserta pemilu bisa dipastikan melakukan kampanye untuk mengenalkan visi dan misi kepada pemilih. Melalui kampanye, peserta pemilu meyakinkan dan mencoba menarik hati pemilih agar memilih yang bersangkutan. Karena itu, Pasal 77 UU No 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD (Pemilu Legislatif) menyebutkan bahwa kampanye pemilu merupakan bagian dari pendidikan politik masyarakat dan dilaksanakan secara bertanggungjawab. Kampanye dikatakan sebagai pendidikan politik bisa diartikan sebagai mekanisme untuk mengenalkan, memberi kesadaran dan pemahaman politik kepada pemilih. Diharapkan pemilih memiliki pemahaman dan kesadaran politik. Tujuannya tak lain menjadikan pemilih mengenal calon wakil rakyat yang akan duduk sebagai anggota legislatif. Pemilih tidak lagi salah pilih karena mengenal lebih dulu wakilnya. Pengertian kampanye tersebut tidak ditemukan dalam UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum. Pada UU No. 3 Tahun 1999, tidak diatur dan memberikan pengertian tentang kampanye. Pengertian kampanye baru muncul dalam Pemilu 2004 dibawah pengaturan UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Legislatif. Pasal 1 ayat (11) UU No. 12 Tahun 2003 mendifinisikan kampanye sebagai kegiatan peserta pemilu dan atau calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk meyakinkan para pemilih dengan menawarkan program-program. Orientasi pengaturan kampanye hingga berlakunya UU No. 10 Tahun 2008 masih sama. Pasal 1 ayat (26) UU No. 10 Tahun 2008 mendifinisikan kampanye pemilu sebagai kegiatan peserta pemilu dan atau calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota untuk meyakinkan para pemilih dengan menawarkan program-program. Berdasarkan pengenrtian ini, jelas bahwa kampanye ditujukan untuk menjembatani pemilih dengan kandidat untuk saling mengenal. Bentuk-bentuk Kampanye Seiring berkembangnya waktu dan praktik kampanye, UU No. 8 Tahun 2012 memberikan orientasi yang sedikit berbeda. Kampanye sebagai media pengenalan dan meyakinkan pemilu harus dilakukan secara bertanggungjawab. Informasi yang disampaikan sungguh mencerminkan program kerja yang ditawarkan, bukan sekedar omong kosong belaka. Begitu juga dengan penggunaan sumber daya dalam kampanye, haruslah bisa dipertanggungjawabkan sehingga tidak disalahgunakan. Pelaksanaan kampanye tersebut dilakukan secara beragam. Undang-undang Pemilu dari waktu ke waktu memberikan bentuk yang berbeda-beda. Bentuk-bentuk kampanye dalam UU Pemilu sebagai berikut: UU 12/2003 (Pasal 72) UU 10/2008 (Pasal 81) UU 8/2012 (Pasal 82) Pertemuan terbatas Tatap muka Penyebaran melalui media cetak dari media elektronik. Penyerian melalui radio dan atau televisi. Penyebaran bahan kampanye kepada umum. Pemasangan alat peraga di tempat umum. Rapat umum. Kegiatan lain yang tidak melanggar peraturan perundang-undangan. Pertemuan terbatas Pertemuan tatap muka Media massa cetak dan media massa elektronik. Penyebaran kampanye kepada umum. Pemasangan alat peraga di tempat umum. Rapat umum. Kegiatan lain yang tidak melanggar larangan kampanye dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pertemuan bebas Pertemuan tatap muka Penyebaran bahan kampanye pemilu kepada umum Pemasangan alat peraga di tempat umum. Iklan media massa cetak dan media massa elektronik. Rapat umum. Kegiatan lain yang tidak melanggar larangan kampanye pemilu dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Waktu Kampanye Kegiatan kampanye tersebut diatur dalam waktu yang berbeda. Baik UU No. 12 Tahun 2003 dan UU No. 10 Tahun 2008 menyamakan waktu kampanye terhadap seluruh bentuk. Namun berbeda dengan UU No. 8 Tahun 2012, kampanye dalam bentuk pertemuan terbatas, tatap muka, penyebaran bahan kampanye pemilu kepada umum dan pemasangan alat peraga ditempat umum dilaksanakan sejak 3 hari setelah calon peserta pemilu ditetapkan sebagai peserta pemilu hingga dimulainnya masa tenang. Sedangkan kampanye melalui media cetak dan elektronik dilakukan selama 21 hari. Berikut perbandingan waktu kampanye dalam UU Pemilu. UU 12/2003 UU 10/2008 UU 8/2012 Kampanye dilakukan selama 3 minggu dan berakhir 3 hari sebelum hari pemungutan suara (Pasal 71 ayat (3)) Pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka, media massa cetak dan media massa elektronik, penyebaran bahan kampanye kepada umum, pemasangan alat peraga di tempat umum dilaksanakan sejak 3 hari setelah pasangan calon ditetapkan sebagai peserta pemilu sampai dengan dimulainnya masa tenang (Pasal 82 ayat (1)). Rapat umu dilaksankan selama 21 hari dan berakhir sampai dimulainya masa tenang. Pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka, penyebaran bahan kampanye pemilu kepada umum, pemasangan alat peraga di tempat umum dilaksanakan 3 hari setelah penetapan peserta pemilu hingga dimulainnya masa tenang (Pasal 83 ayat (1)). Iklan media massa cetak dan media massa elektornik serta rapat umum dilakukan selama 21 hari dan berakhir hingga pelaksanaan masa tenang (Pasal 83 ayat (2)). Sumber: diolah dari beberapa UU Pemilu Dana Kampanye Pendanaan kampanye merupakan tanggung jawab partai politik peserta pemilu. Menurut Pasal 129 ayat (2) UU No. 8 Tahun 2012, pendanaan kampanye berasal dari tiga sumber. Ketiga sumber itu yakni dari partai politik, calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dari partai politik yang bersangkutan, dan sumbangan sah menurut hukum dari pihak lain. Berikut beberapa sumber pendanaan kampanye dalam beberapa undang-undang: UU 12/2003 UU 10/2008 UU 8/2012 Anggota partai politik peserta pemilu yang bersangkutan termasuk calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Pihak-pihak lain yang tidak mengikat, yang meliputi badan hukum swasta atau perorangan, baik yang disampaikan kepada partai politik peserta pemilu maupun kepada calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota. Partai politik. Calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dari partai politik yang bersangkutan. Sumbangan yang sah menurut hukum dan pihak lain. Partai politik. Calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dari partai politik yang bersangkutan. Sumbangan yang sah menurut hukum dan pihak lain. Sumber: diolah dari beberapa UU Pemilu Sumbangan dana kampanye dapat diberikan dalam bentuk uang, barang ayau jasa. Sumbangan dana kampanye yang berupa uang ditempatkan pada rekening khusus dana kampanye partai politik peserta pemilu pada bank. Sedangkan sumbangan dan kampanye dalam bentuk baran dan/atau jasa dicatat berdasarkan harga-harga pasar yang wajar pada saat sumbangan diterima. Dana kampanye itu sendiri dicatat dalam pembukuan penerimaan dan pengeluaran khusus dana kampanye pemilu yang terpisah dari pembukuan keuangan partai politik. Pembukuan dana kampanye dimulai sejak 3 (tiga) hari setelah partai politik ditetapkan sebagai peserta pemilu dan ditutup satu minggu sebelum penyampaian laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye pemilu kepada kantor akuntan publik yang ditunjuk KPU. Dana kampanye pemilu yang bersumber dari sumbangan pihak lain bersifat tidak mengikat dan dapat berasal dari perorangan, kelompok, perusahaan, dan atau badan usaha non pemerintah. Pada Pasal 131 UU No. 8 Tahun 2012 diatur tentang batasan sumbangan, yakni dana kampanye yang berasal dari sumbangan pihak lain perseorangan tidak boleh dari Rp. 1.000.000.000 (satu miliyar), sedangkan dana kampanye pemilu yang berasal dari sumbangan pihak lain kelompok, perusahaan dan atau badan usaha non pemerintah tidak boleh lebih dari Rp. 7.500.000.000 (7,5 miliyar). Berikut perbandingan sumbangan kampanye yang diatur dalam undang-undang Pemilu Legislatif: UU 12/2003 UU 10/2008 UU 8/2012 Perseorangan Kelompok Perseorangan Kelompok Perseorangan Kelompok 100 juta 750 juta 1 Milyar 5 Milyar 1 Milyar 7,5 Milyar Sumber: diolah dari beberapa UU Pemilu Pemberian sumbangan tersebut harus mencantumkan identitas yang jelas. Sumbangan melebihi ketentuan di atas tidak boleh digunakan. Peserta pemilu juga berkewajiban untuk melaporkan sumbangan yang diterima kepada KPU dan menyerahkan kelebihan sumbangan kepada kas negara. Pengembalian itu mesti dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari setelah masa kampanye berakhir. Selain itu, atas penggunaan dana kampanye, partai politik peserta pemilu wajib memberikan laporan awal dana kampanye dan rekening khusus dana kampanye pemilu. Laporan dana kampanye diserahkan kepada KPU, KPU Provinsi maupun KPU Kabupaten/Kota paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum hari pertama jadwal pelaksanaan kampanye pemilu dalam bentuk rapat umum. Sedangkan laporan dana kampanye yang meliputi penerimaan dan pengeluaran wajib disampaikan kepada kantor akuntan publik yang ditunjuk KPU paling lama 15 (lima belas) hari sesudah hari pemungutan suara. Kantor akuntan publik berdasarkan laporan partai politik akan menyampaikan hasil audit kepada KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten.Kota paling lama 30 hari sehak diterimanya laporan laporan. KPU da jajarannya memberitahukan hasil audit dana kampanye peserta pemilu masing-masing kepada peserta pemilu paling lama 7 (tujuh) hari setelah KPU dan jajarannya menerima hasil audit dari kantor akuntan publik. KPU dan jajarannya mengumumkan hasil pemeriksaan dana kampanye pemilu kepada publik paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah diterimanya laporan hasil pemeriksaan. Sanksi akan diberlakukan terhadap pengurus partai politik peserta pemilu tingkat pusat, provinsi maupun kabupaten/kota yang tidak menyampaikan laporan awal dana kampanye pemilu kepada KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota sampai batas waktu yang ditentukan. Sanksinya berupapembatalan kepesertaannya partai politik dalam pemilu pada wilayah yang bersangkutan. Sanksi juga diberlakukan terhadap pengurus partai politik peserta pemilu tingkat pusat, provinsi maupun kabupaten/kota yang tidak menyampaikan laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye pemilu kepada kantor akuntan publik sampai batas waktu yang telah ditentukan. Partai politik yang bersangkutan akan dikenai sanksi tidak ditetapkannya calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota menjadi calon terpilih. Selain aturan tentang sumbangan dan pendanaan kampanye, Pasal 139 UU No. 8 Tahun 2012 juga mengatur tentang larangan, dimana peserta pemilu tidak boleh menerima sumbangan dana kampanye pemilu yang berasal dari pihak asing, penyumbang yang tidak jelas identitasnya, pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah, dan/atau pemerintah desa dan badan usaha milik desa. Peserta pemilu yang menerima sumbangan dari pihak tersebut maka dilarang menggunakan dana tersebut dan wajib melaporkannya kepada KPU. Peserta pemilu juga wajib menyerahkan sumbangan yang berasal dari pihak tersebut kepada kas negara paling lambat 14 (empat belas) hari setelah masa kampanye pemilu berakhir. Arah Kebijakan Hukum Pengaturan Dana Kampanye Dalam bukunya yang berjudul “Politik Hukum di Indonesia”, Mahfud MD memberi definisi politik hukum sebagai kebijakan hukum (legalpolicy) yang akan atau telah dilaksanakan. Politik hukum tersebut meliputi dua hal yakni: Pertama, pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan. Kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan penegakan hukum (Mahfud MD 2009: 17). Jadi politik hukum mencakup proses pembuatan dan pelaksanaan hukum yang dapat menunjukkan sifat dan arah mana hukum akan dibangun dan ditegaskan. Mendasarkan pada ruang lingkup pertama, politik hukum pengaturan dana kampanye tidak mengalami perkembangan dari peraturan sebelumnya. Politik hukum pengaturan dana kampanye dalam Pemilu Legislatif tidak jauh berbeda dengan aturan sebelumnya. Arah kebijakan hukum yang dibentuk tidak cukup signifikan untuk melakukan pembaruaan aturan dengan menyesuaikan kebutuhan terkini. Perubahan pengaturan hanya terjadi terhadap besaran sumbangan kelompok atau badan hukum terhadap partai politik hingga 7,5 Milyar. Begitu juga dengan waktu pelaporan awal dana kampanye dari 7 hari menjadi 14 hari sebelum hari pertama jadwal pelaksanaan kampanye rapat umum. Selain itu, waktu kampanye melalui iklan media cetak dan elektronik lebih singkat, hanya 21 hari. Selebihnya pengaturan tentang dana kampanye sama seperti aturan sebelumnya. Laporan dana kampanye tetap dibebankan kepada partai politik. Kondisi ini tentunya tidak menguntungkan bagi penentuan arah kebijakan hukum yang diberlakukan. Terdapat kondisi berbeda yang mesti disikapi secara berbeda dalam penentuan arah kebijakan hukumnya. Kondisi berbeda itu terkait dengan pilihan sistem pemilu dengan pengaturan sebelumnya. Pilihan sistem pemilu mestinya menjadi acuan dalam pengaturan dana kampanye. Relasi Sistem Pemilu Dengan Sistem Pendanaan Kampanye Pemilu diselenggarakan dalam sebuah kerangka sistem yang terdiri atas beberapa sub-sistem yang saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu sama lain. Sistem pemilu adalah hubungan saling keterkaitan antara isntrumen-instumrn teknis pemilu yang terdiri dari: 1) besaran daerah pemilihan; 2) metode pencalonan; 3) metode pemberian suara; dan 4) metode penghitungan suara (Ahsanul Minan 2012: 86). Pilihan atas sistem-sistem tersebut juga akan mempengaruhi pola kompetisi antar kontestan, serta model kampanye. Dalam sistem proporsional tertutup, kompetisi dalam pemilu lebih diwarnai oleh peran partai politik, yang akan mengendalikan proses penentuan nomor urut caleg, serta model dan bentuk kampanyenya. Model dan bentuk kampanye dalam sistem proporsional tertutup sangat ditentukan oleh partai politik karena kontestan utama dalam sistem pemilu ini adalah partai politik, sehingga institusi partai yang akan menentukan strategi dan bentuk kegiatan kampanye, termasuk besaran biaya, target sumbangan dana kampanye yang harus didapatkan, dan bagaimana pembelanjaan dana kampanye. Sedangkan dalam sistem proporsional terbuka, meskipun partai politik secara “de jure” merupakan peserta pemilu, namun corak kompetisinya lebih didominasi oleh peran caleg dalam menentukan strategi dan bentuk kegiatan kampanye. sistem penentuan caleg terpilih berdasarkan atas perolehan suara caleg terbanyak dalam sistem proporsional terbuka, mendorong caleg untuk berlomba-lomba menggalang dukungan pemilih sebesar mungkin. Dalam tataran praktis, caleg berperan secara diminan dalam melakukan kegiatan kampanye, termasuk juga dalam menggalang dana dan membelanjakan dana kampanye yang berhasil dikumpulkan. Partai poltik bersifat pasif atau terbatas pada mendesain strategi umum dan melakukan kegiatan kampanye secara umum. Perbedaan model kampanye dalam sistem proporsional terbuka dan sistem proporsional tertutup ini berimplikasi pada model pengelolaan dana kampanye, dimana dalam sistem proporsional tertutup pengelolaan dana kampanye lebih di dominasi oleh peran dan berbasis partai politik. Sedangkan dalam sistem proporsional terbuka, caleg pada level praksis menjadi pihak yang turut terlibat secara aktif dan bahkan cenderung dominan dalam mengelola dana kampanye pemilu, karena mereka dituntut untuk memperoleh suara sebanyak-banyaknya untuk merebut kursi parlemen. Perbedaan model kampanye dan model pengelolaan dana kampanye ini juga akan mempengaruhi sistem pengaturan dana kampanye. Pengaruh ini mencakup pada: Entitas pengelolaan dana kampanye, dimana pada sistem proporsional tertutup, entitas pengelolaan dana kampanye dapat dibatasi pada partai politik, yang bertanggung jawab mengelola dan mempertanggungjawabkan dana kampanye. sedangkan pada sistem proporsional terbuka, entitas pengelola dana kampanye tidak cukup hanya partai politik, tetapi juga harus mencakup caleg, karena caleg mengelola secara langsung dana kampanye, sehingga caleg juga berkewajiban untuk mengelola dan mempertanggunjawabkan dana kampanyenya. Dalam sistem proporsional terbuka, partai sebagai entitas pengelola dana kampanye menjalankan peran ganda yakni sebagai entititas yang mengelola dana kampanye yang berada dibawah penguasaannya, dan juga berperan sebagai konsolidator atas pengelolaan dan pelaporan dana kampanye calegnya. Entitas peneriman sumbangan dana kampanye. Dalam sistem proporsional tertutup, penerima sumbangan dana kampanye dapat secara mudah dipusatkan kepada institusi partai politik selaku entitas tunggal dalam pengelolaan dan pertanggungjawaban dana kamapanye. Namun dalam sistem proporsional terbuka, penerimaan sumbangan dana kampanye lebih sulit disentralisasi kepada partai politk, karena seluruh caleg cenderung secara aktif melakukan fund rising untuk membiayai kampanye individual mereka. Sistem pembukuan dana kampanye. sistem proporsional tertutup yang menempatkan partai politik secara lebih dominan dalam mengelola dana kampanye, akan menjadikan sistem pembukuaan dana kampanye lebih sederhana. Sistem bukuaan dana kampanye dalam sistem ini dapat dibuat berbasis entitas partai politik, sehingga bersifat tunggal. Sedangkan dalam sistem proporsional terbuka yang mendorong pengelolaan dana kampanye dilakukan oleh 2 (dua) entitas (partai politik dan caleg) akan mengharuskan sistem pembukuaan dana kampanye dibuat dalam format yang mampu mencerminkan arus dana kampanye di 2 (dua) entitas tersebut. Oleh karena itu, dalam sistem proporsional terbuka, diperlukan mekanisme pembukuaan dana kampanye yang mampu mengintegrasikan antara pembukuaan dana kampanye caleg dan pembukuan dana kampanye partai atau lebih lazim disebut sistem pembukuaan terintegrasi. Sistem pengawasan terhadap pengelolaan dan pelaporan dana kampanye. Dalam sistem proporsional tertutup, pengawasan atas pengelolaan dan pelaporan dana kampanye dapat difokuskan kepada satu entitas yakni partai politik, sehingga lebih sederhana dan mudah. Berbeda dengan sistem proporsional terbuka, yang mengharuskan sistem pengawasan atas pengelolaan dan pelaporan dana kampanye harus dilakukan terhadap 2 (dua) entitas yakni terhadap laporan keuangan partai politik dan laporan keuangan caleg (Ahsanul Minan 2012: 87-88). Skema Perubahan Pengaturan tentang Dana Kampanye Isu UU No. 10/2008 UU No. 8/2012 Keterangan Batasan besaran sumbangan pihak lain yang berupa kelompok perusahaan, dan/atau badan usaha non pemerintah untuk kampanye pemilu anggota DPR dan DPRD. Rp. 5 Milyar Rp. 7,5 Milyar Terdapat peningkatan treshold maksimal sumbangan. Tenggat waktu penyampaian laporan awal dan rekening khusus dana kampanye. Paling lambat 7 (hari) sebelum hari pertama jadwal pelaksanaan kampanye dalam bentuk rapat umum. Paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum hari pertama pelaksanaan Kampanye Pemilu dalam bentuk rapat umum. Terdapat penambahan jangka waktu. Ancaman pidana terhadap pelaku manipulasi laporan dana kampanye. Berdasarkan Pasal 281, ancaman berupa dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp. 6 juta dan paling banyak Rp. 24 juta. Berdasarkan Pasal 280, acaman berupa dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 12 juta. Terjadi penurunan ancaman pidana terhadap pelaku manipulasi laporan dana kampanye. Ancaman pidana terhadap pelanggar batas maksimum sumbangan dana kampanye. Berdasarkan Pasal 275, ancaman berupa dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp. 1 Milyar dan paling banyak Rp. 5 Milyar. Pasal 303: Bagi yang memberikan sumbangan kampanye melebihi batas yang ditentukan (baik perorangan, kolompok, perusahaan, dan/atau badan usaha non pemerintah), maka dikenakan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp. 5 Milyar. Bagi peserta pemilu yang menggunakan kelebihan sumbangan, tidak melaporkan kelebihan sumbangan kepada KPU, dan/atau tidak menyerahkan kepada kas negara, maka dikenakan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp. 5 Milyar. Terjadi perubahan subyek yang dikenakan ancaman pidana. Dalam UU No. 10/2008, pemberi dan penerima diancam dengan hukum pidana. Sedangkan dalam UU No. 2/2012, pemberi sumbangan yang melanggar batas maksimum diancam dengan ancaman pidana, namun terhadap penerima sumbangan (parpol) hanya diancam dengan hukuman pidana jika tidak menyerahkan kelebihan sumbanagn kepada kas negara. Ancaman pidana terhadap penerima sumbangan dari pihak yang dilarang. Berdasarkan Pasal 277, ancaman berupa pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp. 12 juta dan paling banyak Rp. 36 juta. Berdasarkan Pasal 305, acaman berupa pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan dan denda paling banyak Rp. 36 juta. Terjadi penghapusan ancaman pidana minimal. Sumber: diolah dari beberapa UU Pemilu Dari skema di atas, serta uraian yang telah dijelaskan sebelumnya, maka dapat diketahui sejumlah permasalahan mengenai pengaturan dana kampanye sebagaimana yang diatur dalam regulasi Pemilu Legislatif saat ini, yaitu: Terjadinya penurunan derajat kualitas pengaturan dana kampanye pemilu apabila diperbandingkan dengan UU No. 10 Tahun 20108 dengan UU No. 8 Tahun 2012. Pengaturan tentang dana kampanye dalam UU No. 8 Tahun 2012 tidak memperbaiki carut marut sistem pengaturan dana kampanye dalam UU No. 10 Tahun 2008. Kekacauan pengaturan dana kampanye dalam UU No. 10 Tahun 2008 dapat dimaklumi karena terjadinya perubahan sistem pemilu sebagai akibat dari adanya Putusan Mahkamah Konstitusi yang menentukan bahwa penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak, dimana putusan ini menghasilkan perubahan fundamental metode kampanye dan metode pengelolaan dana kampanye dari berbasis institusi partai menjadi berbasis caleg. Akibatnya, sistem pembukuan dan pelaporan dana kampanye dalam Pemilu 2009 mengalami kekacauan dan missmatch. Sayangnya, dalam UU No. 8 Tahun 2012, persoalan ini tidak dibenahi. Meskipun UU ini secara jelas telah menganut sistem proporsional terbuka dengan penentuan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak, namun sistem pengelolaan dana kampanye tetap dibangun berbasis partai politik, dan tidak secara tegas memandatkan upaya siskronisasi antara pengelolaan dana kampanye oleh caleg dengan dana kampanye dari partai politik. Hal ini mengakibatkan muculnya permasalahan di level: Ketidakjelasan entitas pengelola dana kampanye. apakah caleg harus membuat pembukuan dan laporan dana kampanye ? Bagaimana pola hubungan antara partai dengan caleg dalam mengelola dan melaporkan dana kampanye ? Pada sistem proporsional terbuka, entitas pengelola dana kampanye tidak cukup hanya partai politik, tapi juga harus mencakup caleg juga. Entitas peneriman sumbangan dana kampanye. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, dalam sistem proporsional tertutup, penerima sumbangan dana kampanye dapat secara mudah dipusatkan kepada institusi partai politik selaku entitas tunggal dalam pengelolaan dan pertanggungjawaban dana kamapanye. Namun dalam sistem proporsional terbuka, penerimaan sumbangan dana kampanye lebih sulit disentralisasi kepada partai politk, karena seluruh caleg cenderung secara aktif melakukan fund rising untuk membiayai kampanye individual mereka. pertanyaannya, apakah boleh menerima sumbangan dana kampanye ? Jika iya, bagaimanakah mekanisme pembukuannya ? Bagaimana mekanisme pengawasannya ? Sistem pembukuan dana kampanye. Dalam sistem proporsional terbuka yang mendorong pengelolaan dana kampanye dilakukan oleh 2 (dua) entitas (partai politik dan caleg) akan mengharuskan sistem pembukuaan dana kampanye dibuat dalam format yang mampu mencerminkan arus dana kampanye di 2 (dua) entitas tersebut. Oleh karena itu, dalam sistem proporsional terbuka, diperlukan mekanisme pembukuaan dana kampanye yang mampu mengintegrasikan antara pembukuaan dana kampanye caleg dan pembukuan dana kampanye partai atau lebih lazim disebut sistem pembukuaan terintegrasi. Permasalahannya, UU No. 8 Tahun 2012 tidak mengatur tentang ini. UU No. 8 Tahun 2012 memang telah mengatur batasan sumbangan yang dapat diberikan oleh perusahaan kepada parpol dan/atau calon, tetapi di dalamnya belum ada ketentuan rinci mengenai apakah perusahaan yang dimaksud meliputi suatu grup sebagai satu kesatuan atau masing-masing perusahaan secara terpisah?. Tidak adanya penjelasan rinci mengenai hal ini memungkinkan suatu grup korporasi melampaui batas sumbangan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan cara memecah sumbangannya melalui perusahaan grupnya. Jika ketentuan ini tidak segera diperjelas, akan muncul perselingkuhan antara “pebisnis busuk” dengan “politikus tidak bermoral”, yang pada akhirnya berujung pada praktik KKN, seperti politikus maupun parpol tertentu berusaha memenangkan tender seseorang atau perusahaan yang dianggap “berjasa” karena mendukung pendanaan pada saat pemilu. Atau dalam bahasa yang berbeda, Burhanuddin Muhtadi (dalam Integrito, edisi 32, hal. 8) mengungkapkan muncul pola relasi yang melenceng dari jalur demokrasi yang sesungguhnya, dimana politikus berperan sebagai patron dan pebisnis yang menjadi kliennya, sehingga sistem politik yang terbangun adalah sistem politik yang digerakkan oleh uang, dimana kebijakan-kebijakan politik tak lebih merupakan perpanjangan kepentingan elit bisnis dan investor. Analisis Terhadap Keterkaitan Antara Dana Kampanye Dengan Praktik Korupsi Politik. Michael dan Pinto Duschinsky (ilmuwan politik yang menekuni bidang pendanaan partai politik, kampanye dan korupsi politik) mengungkapkan bahwa korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan yang berkaitan dengan pembiayaan partai politik dan kegiatan kampanye merupakan ancaman paling serius bagi demokrasi saat ini (dalam Husodo 2012: 30). Konsekuensi yang ditimbulkan mencakup dua hal. Pertama, adanya perlakuan istimiwa bagi penyumbang terbesar. Sumbangan besar dari para individu berkantong tebal maupun dari kelompok kepentingan tertentu dapat melahirkan sejumlah pengaruh yang tidak proporsional. Meskipun tidak ada kepentingan tertulis dalam donasi besar, akan tetapi menerima sumbangan dalam jumlah besar dapat melahirkan persepsi adanya upaya membeli pengaruh maupun usaha mendapatkan perlakuan istimewa. Kedua, adanya anggapan bahwa pemilu pada dasarnya pemilu hanya dapat diikuti oleh kandidat atau individu yang kaya atau oleh mereka yang memiliki jaringan atau lingkaran pendukung kaya raya, sementara yang tidak memiliki cukup uang tidak akan dapat berkompetisi. Pemantauan ICW Terhadap Belanja Kampanye Pada Pemilu Legislatif 2009 NO. PARTAI POLITIK TOTAL BELANJA KAMPANYE 1. GERINDRA Rp. 308.770.923.325 2. DEMOKRAT Rp. 235.168.086.289 3. GOLKAR Rp. 145.583.002.911 4. PKS Rp. 36.521.468.175 5. HANURA Rp. 19.235.371.037 6. PAN Rp. 17.858.157.150 7. PDIP Rp. 39.944.434.113 8. PPP Rp. 18.338.239.000 9. PKB Rp. 3.609.500.000 Sumber: Lia Wulandari (2012: 64) Meskipun dalam pemilu ada pemilih yang dapat bebas menentukan pilihannya, kandidat yang saling bersaing, ada penyelenggara pemilu, dilengkapi dengan lembaga pengawasannya, ada sistem yang mengatur, namun semua perangkat itu menjadi tidak bekerja dengan baik jika sudah dipengaruhi oleh uang. Demokrasi elektoral dapat dengan mudah dibajak oleh kelompok yang anti demokrasi jika uang dalam pemilu tidak diatur dengan sungguh-sungguh. Kombinasi antara tak terbatasnya penggunaan dana kampanye, tidak diaturnya secara tegas prinsip mendasar pendanaan kampanye serta lumpuhnya penegakan hukum atas pelanggaran tersebut adalah celah sempurna bagi terjadinya praktik korupsi politik. Jika pemilu dilalui dengan proses yang koruptif dan manipulatif, yang lahir adalah pemimpin-pemimpin yang berwatak demikian. Hal ini secara nyata terbukti, sebagaimana data yang diungkapkan KPK, pada 2011 KPK telah menetapkan 43 mantan anggota DPR RI sebagai tersangka dalam kasus suap. Jumlah itu terus bertamabah, dimana pada tahun 2012 yang lalu, beberapa anggota DPR RI seperti Anggelina Sondakh dan Wa Ode Nurhayati telah ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh KPK pada kasus yang berbeda. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, tujuan pengaturan dana kampanye adalah untuk menjaga kemandirian partai politk dan calon anggota legislatif (terpilih) dari pengaruh uang yang disetor oleh para penyumbang. Hal ini perlu karena misi partai politik dan pejabat publik adalah memperjuangkan kepentingan anggota, pemilih, konstituen, atau masyarakat. Pengaturan dana kampanye mengatur pendapatan dan belanja kampanye selama masa pemilu, sehingga meliputi semua transaksi yang dilakukan partai politik dan calon untuk meyakinkan pemilih selama masa pemilu. Prinsip pokok pengaturan dana kampanye adalah transparansi dan akuntabilitas. Prinsip transparansi mengharuskan partai politik dan calon bersikap terbuka terhadap semua proses pengelolaan dana kampanye. Sejumlah kewajiban harus dilakukan partai politik dan calon, seperti membuka daftar penyumbang dan membuat laporan dana kampanye, yang mencatat semua pendapatan dan belanja selama masa kampanye. Tujuan membuka daftar penyumbang dan laporan dana kampanye adalah untuk menguji prinsip akuntabilitas, yaitu memastikan tanggungjawab partai dan calon, bahwa dalam proses penerimaan dan membelanjakan dana kampanye dilakukan secara rasional, sesuai etika dan tidak melanggar aturan. Didik Supriyanto (2013: 31) mengungkapkan, materi penguatan dana kampanye meliputi sumber keuangan, jenis-jenis belanja, daftar penyumbang, laporan keuangan dan sanksi. Sumber dana kampanye dapat berasal dari partai politik, calon sumbangan perorangan dan perusahaan, sementara belanja kampanye meliputi biaya operasional kantor, rapat-rapat, pemasangan poster spanduk dan baliho, serta pemasangan iklan di media. Daftar penyumbang adalah dokumentar yang bisa menunjukkan sesungguhnya siapa yang paling mempengaruhi partai dan calon dari sisi keuangan, sedangkan laporan dana kampanye untuk menguji lebih lanjut prinsip transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dana kampanye. Dalam UU No. 8 Tahun 2012 sudah mengatur semua materi sebagaimana yang disebutkan oleh Supriyanto di atas. Tetapi jika dicermati, pengaturan dana kampanye dalam UU tersebut tidak konsisten menerapkan prinsip transparansi dan akuntabilitas. Didik Supriyanto (2013: 31), lebih lanjut mengungkapkan bahwa pengaturan dana kampanye sebagaimana yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 2012 masih menyisakan sejumlah permasalahan seperti sumber dana banyak lubang, daftar penyumbang gampang dimanipulasi, rekening dana kampanye tidak berfungsi, belanja kampanye tidak dibatasi, pembukuan tidak standar audit, mekanisme pelaporan membingungkan, dan sanksi tidak tegas sehingga tidak memberi efek jera. Apabila dilihat dari sisi pendapatan, terdapat beberapa masalah pengaturan dana kampanye dalam tiga undang-undang pemilu seperti yang disebutkan di atas. Pertama, pengaturan sumber dana terlarang tidak efektif karena datangnya sumber terlarang tidak bisa segera dideteksi dan dikenakan sanksi. Kedua, pembatasan jumlah sumbangan perseorangan dan perusahaan tidak efektif karena sumbangan partai dan calon tidak dibatasi, sehingga banyak penyumbang perseorangan dan perusahaan menitipkan uang melalui jalur ini. Ketiga, rekening dana kampanye tidak berfungsi karena transaksi tunai dibiarkan. Sementara bila dilihat dari sisi belanja, menimbulkan dua masalah. Pertama, tiadanya pembatasan belanja kampanye membuat partai politik dan calon menggalang dana kampanye dengan segala macam cara agar dapat menggelar kampanye besar-besaran. Kedua, peserta pemilu cenderung tidak melaporkan semua belanja kampanyenya, karena transaksi tunai masih diperkenankan dan sumbangan barang dan jasa masih dibolehkan. Sedang jika dilihat dari sisi pelaporan dana kampanye, pengaturan dan pengelolaan dana kampanye menimbulkan beberapa masalah. Pertama, rekening dana kampanye hanya jadi pajangan. Kedua, daftar penyumbang tidak mampu mendeteksi dana terlarang. Ketiga, belum terdapat standarisasi pembukuan sehingga masing-masing peserta membuat rincian pemasukan dan pengeluaran secara berbeda-beda. Keempat, obyek, mekanisme dan jadwal audit tidak jelas. Kelima, mekanisme pengumuman laporan dana kampanye ke publik terlalu rumit, sehingga menyulitkan akses publik. Sebenarnya DPR dan Pemerintah kelemahan-kelemahan pengaturan dana kampanye seperti yang disebutkan di atas, tetapi undang-undang yang mereka buat tetap tidak mengalami perubahan. Beberapa alasan, misalnya seperti yang diungkapkan oleh Didik Supriyanto (2013: 32) yakni: Pertama, partai dan kader yang menjadi calon sudah berada pada zona nyaman sehingga tidak mau direpotkan oleh urusan administrasi pelaporan dana kampanye. Kedua, partai politik sudah terlanjur dikuasai oleh pemilik uang, baik yang terlibat langsung dengan kepengurusan partai politik, maupun sekedar menjadi “cukong” di luar kepengururusan partai politik. Mereka menolak pengetatan karena dapat mengurangi pengaruh mereka di partai politk. Dua sikap seperti yang disebutkan Didik Supriyanto di atas, dilatarbelakangi oleh fakta bahwa biaya kampanye (termasuk di dalamnya pencalonan) sangat mahal, sehingga mereka menutup semua langkah yang akan menyulitkan mereka menggalang dana kampanye, baik secara ilegal maupun ilegal. Mereka tidak mau terjebak pada implementasi prinsip transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dana kampanye. Beragam modus korupsi politik yang biasanya dilakukan oleh partai politik demi memenuhi kebutuhan kegiatan partai politik, termasuk kampanye adalah dengan cara memanfaatkan APBN di kementerian, APBD, dan penggunaan bansos bagi kepentingan parpol. Praktik curang dalam penggunaan APBN biasanya dilakukan melalui tender, proyek pemerintah dan BUMN. Kemudian, cara lama yang masih menjadi andalan para politisi busuk adalah pemanfaatan bansos yang dialokasikan dari pemerintah kepada masyarakat. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Indonesia Budget Center (IBC) bahwa menjelang pelaksanaan pesta demokrasi terdapat kecenderungan meningkatnya penggunaan dana bansos pada kementerian yang pimpinannya memiliki afiliasi dengan partai politik (Integrito, edisi 32, hal. 7). Hal ini dapat dilihat misalnya pada dana bansos yang disalurkan oleh kementerian menjelang pemilu 2009 meningkat sekitar 52 persen atau sebesar Rp 25,52 triliun dibandingkan anggaran bansos 2007 sebesar Rp 49,41 triliun. Pada penetapan Anggaran Pendapatan Belanja Negara-Perubahan (APBN-P) 2009 Dana Bansos ditetapkan sebesar Rp74,93 triliun. Selain itu, jika diperhatikan lebih jauh, jumlah dana bansos dalam APBN terus bertambah dari tahun ke tahun dan sepertinya memang dikondisikan meningkat tajam pada saat revisi UU APBN. Hal ini terlihat pada UU APBN 2011, dana bansos sebesar Rp59,18 triliun, lalu bertambah Rp18,63 trilIun atau 31 persen menjadi Rp77,81 triliun pada APBN-P 2011. Sedangkan dana bansos pada APBN 2012 awalnya hanya sebesar Rp43,76 triliun lalu bertambah 87 persen atau Rp38,26 triliun menjadi Rp82,03 triliun. Pada APBN 2013, dana bansos ditetapkan sebesar Rp69,61 triliun (Integrito, edisi 32, hal. 7). Dengan demikian, persoalan mengenai pengaturan keuangan untuk dana kampanye ini, kemudian yang menjadi berbuah-buah kasus pelanggaran hukum, terutama yang berkaitan dengan kasus korupsi, politik uang, jual-beli suara, penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan, serta kasus-kasus lainnya. Jika selama masa pemilu besarnya dana kampanye menimbulkan ketidakadilan di kalangan partai politik peserta pemilu dan calon, maka pada pasca pemilu besarnya dana kampanye menyebabkan korupsi di lingkungan pejabat politik. Hal itu terjadi karena para kader partai politik yang menduduki jabatan politik harus mengumpulkan dana untuk membiayai kegiatan partai politik dan mempersiapkan dana kampanye untuk pemilu berikutnya. Keharusan mengumpulkan dana itulah yang mendorong mereka menyalahgunakan kewenangannya sebagai pejabat publik untuk memanfaatkan atau mengambil dana negara yang dikelolanya. Oleh karena itu, untuk melakukan pencegahan serta mengatasi terjadinya pelanggaran kasus-kasus tersebut, maka perlu diperhatikan kembali pengaturan dan ketentuan-ketentuan yang jelas dan tegas tentang dana kampanye pemilu. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi, maka regulasi Pemilu Legislatif harus dapat menjalankan fungsi kontrol terhadap kekuasaan agar kekuasaan politik dapat berjalan seimbang dan selaras. BAB III PENUTUP KESIMPULAN Sesuai dengan rumusan masalah yang diajukan dalam makalah ini, maka kesimpulan yang dapat didapatkan, adalah sebagai berikut: Pengaturan dana kampanye sebagaimana yang tertuang dalam UU No. 8 Tahun 2012 saat ini tidak mengalami perkembangan dari peraturan sebelumnya. Perubahan pengaturan hanya terjadi terhadap besaran sumbangan kelompok atau badan hukum terhadap partai politik hingga 7,5 Milyar. Begitu juga dengan waktu pelaporan awal dana kampanye dari 7 hari menjadi 14 hari sebelum hari pertama jadwal pelaksanaan kampanye rapat umum. Selain itu, waktu kampanye melalui iklan media cetak dan elektronik lebih singkat, hanya 21 hari. Selebihnya pengaturan tentang dana kampanye sama seperti aturan sebelumnya. Laporan dana kampanye tetap dibebankan kepada partai politik. Pengaturan dana kampanye sebagaimana yang tertuang dalam UU No. 8 Tahun 2012 menimbulkan sekelumit permasalahan yang belum dijawab, antara lain: Terjadinya penurunan derajat kualitas pengaturan dana kampanye pemilu apabila diperbandingkan dengan UU No. 10 Tahun 20108 dengan UU No. 8 Tahun 2012. Pengaturan tentang dana kampanye dalam UU No. 8 Tahun 2012 tidak memperbaiki carut marut sistem pengaturan dana kampanye dalam UU No. 10 Tahun 2008. Meskipun UU ini secara jelas telah menganut sistem proporsional terbuka dengan penentuan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak, namun sistem pengelolaan dana kampanye tetap dibangun berbasis partai politik, dan tidak secara tegas memandatkan upaya siskronisasi antara pengelolaan dana kampanye oleh caleg dengan dana kampanye dari partai politik. Hal ini mengakibatkan muculnya permasalahan di level: Ketidakjelasan entitas pengelola dana kampanye. Entitas peneriman sumbangan dana kampanye. Sistem pembukuan dana kampanye. Tidak adanya penjelasan rinci mengenai batasan sumbangan yang dapat diberikan oleh perusahaan kepada parpol dan/atau calon. Persoalan mengenai pengaturan keuangan untuk dana kampanye seperti yang diungkapkan di atas, kemudian yang menjadi berbuah-buah kasus pelanggaran hukum, terutama yang berkaitan dengan kasus korupsi, politik uang, jual-beli suara, penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan, serta kasus-kasus lainnya. Jika selama masa pemilu besarnya dana kampanye menimbulkan ketidakadilan di kalangan partai politik peserta pemilu dan calon, maka pada pasca pemilu besarnya dana kampanye menyebabkan korupsi di lingkungan pejabat politik. Hal itu terjadi karena para kader partai politik yang menduduki jabatan politik harus mengumpulkan dana untuk membiayai kegiatan partai politik dan mempersiapkan dana kampanye untuk pemilu berikutnya. Keharusan mengumpulkan dana itulah yang mendorong mereka menyalahgunakan kewenangannya sebagai pejabat publik untuk memanfaatkan atau mengambil dana negara yang dikelolanya. 28