[go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu

SISTEM PEMERINTAHAN

2020, SISTEM PEMERINTAHAN

Pemerintahan negara juga mempunyai bentuk, yang disebut dengan bentuk pemerintahan (regeringsvorm, forme de gouvernement). 1 Urgensi dalam mempelajari bentuk pemerintahan ini adalah untuk lebih mengetahui distribusi kekuasaan dalam negara ke dalam wujud kewenangan-kewenangan (bevoegheid) serta dapat diketahui mekanisme pemerintahan. 2 Dalam penyelenggaraan pemerintahan suatu negara, sistem pemerintahan yang digunakanakan menjadi salah satu faktor yang menentukan bagaimana keberlangsungan kehidupan bernegara. Penggunaan sistem pemerintahan yang digunakan ini yang kemudian akan mencerminkan apakah pemerintahan akan berjalan efektif dan normal mana kala sistem yang dipilih dan digunakan tepat/sesuai dengan karakter kondisi sosial politik negara. Namun, jika sistem pemerintahan yang digunakan ternyata tidak sesuai maka dapat dipastikan akan menimbulkan kegagalan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Ini yang kemudian akan berdampak pada para pelaksana tugas pemerintahan yang akan merasa kerepotan dan kesusahan dalam menjalankan fungsinya. Memahami sistem pemerintahan itu sangatlah penting. Tetapi, sebelum membahas lebih jauh mengenai sistem pemerintahan, kita harus memahami terlebih dahulu apa sebenarnya yang disebut sebagai suatu "sistem pemerintahan". Sistem pemerintahan merupakan gabungan dari dua istilah "sistem" dan "Pemerintahan". Sistem Pemerintahan atau Bentuk Pemerintahan (regeringsvorm) adalah suatu mekanisme yang berlaku untuk mengatur alat-alat perlengkapan negara dan bagaimana hubungan antara alat-alat perlengkapan itu dalam negara.

Sistem Pemerintahan Oleh : Suhardi. S. suhardisaming@gmail.com Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin A. Sistem Pemerintahan 1. Pengertian Sistem Pemerintahan Di dalam negara terdapat penyelenggara negara, yakni pemerintahan negara. Pemerintahan negara juga mempunyai bentuk, yang disebut dengan bentuk pemerintahan (regeringsvorm, forme de gouvernement).1 Urgensi dalam mempelajari bentuk pemerintahan ini adalah untuk lebih mengetahui distribusi kekuasaan dalam negara ke dalam wujud kewenangan-kewenangan (bevoegheid) serta dapat diketahui mekanisme pemerintahan.2 Dalam penyelenggaraan pemerintahan suatu negara, sistem pemerintahan yang digunakanakan menjadi salah satu faktor yang menentukan bagaimana keberlangsungan kehidupan bernegara. Penggunaan sistem pemerintahan yang digunakan ini yang kemudian akan mencerminkan apakah pemerintahan akan berjalan efektif dan normal mana kala sistem yang dipilih dan digunakan tepat/sesuai dengan karakter kondisi sosial politik negara. Namun, jika sistem pemerintahan yang digunakan ternyata tidak sesuai maka dapat dipastikan akan menimbulkan kegagalan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Ini yang kemudian akan berdampak pada para pelaksana tugas pemerintahan yang akan merasa kerepotan dan kesusahan dalam menjalankan fungsinya. Memahami sistem pemerintahan itu sangatlah penting. Tetapi, sebelum membahas lebih jauh mengenai sistem pemerintahan, kita harus memahami terlebih dahulu apa sebenarnya yang disebut sebagai suatu “sistem pemerintahan”. Sistem pemerintahan merupakan gabungan dari dua istilah “sistem” dan “Pemerintahan”. Sistem Pemerintahan atau Bentuk Pemerintahan (regeringsvorm) adalah suatu mekanisme yang berlaku untuk mengatur alat-alat perlengkapan negara dan bagaimana hubungan antara alat-alat perlengkapan itu dalam negara.3Menurut Carl J. Friedrich 1 Soehino, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta, 2000, hlm. 180-181 I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na’a, MemahamiIlmu Negara & Teori Negara, Reflika Aditama, Bandung, 2015, hlm 91 3 Ibid,.hlm. 102. Periksa juga Moh. Kusnardi dan Bintan Saragih, Ilmu Negara, Perintis Press, Jakarta, 1980, hlm. 120. Lihat pula: Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, Bumi Aksara, Jakarta, 2001, hlm. 49 2 dalam bukunya Man and his Government: An Empirical Theory of Politics, “Sistem” adalah suatu keseluruhan, terdiri dari beberapa bagian yang mempunyai hubungan fungsional baik antara bagian-bagian maupun hubungan fungsional terhadap keseluruhannya, sehingga hubungan itu menimbulkan suatu ketergantungan antara bagian-bagian yang akibatnya jika salah satu bagian tidak bekerja dengan baik akan mempengaruhi keseluruhannya itu.4 Pemerintahan dalam arti luas adalah segala urusan yang dilakukan oleh negara dalam menyelenggarakan kesejahteraan rakyatnya dan kepentingan negara sendiri. Jadi tidak diartikan sebagai pemerintah yang hanya menjalankan tugas eksekutif saja, melainkan juga meliputi tugas-tugas lainnya termasuk legislatif dan yudikatif. Karena itu membicarakan sistem pemerintahan adalah membicarakan bagaiamana pembagian kekuasaan serta hubungan antara lembaga-lembaga negara yang menjalankan kekuasaan-kekuasaan negara itu, dalam rangka menyelenggarakan kepentingan rakyat.5 Menurut Sarundajang, sistem pemerintahan adalah sebutan popular dari bentuk pemerintahan. Hal ini didasari dari pemikiran bahwa bentuk negara adalah peninjauan secara sosiologis, sedangkan secara yuridis disebut bentuk pemerintahan, yatu sistem yang berlaku yang menentukan bagaimana hubungan antara alat perlengakapan negara diatur oleh konstitusinya. Karena itu bentuk pemerintahan sering dan lebih popular disebut sebagai sistem pemerintahan.6 Berbeda dengan Prof. H. Daud Busroh, S.H., yang dalam bukunya “Ilmu Negara” yang membahas Sistem Pemerintahan dengan sebutan Bentuk Pemerintahan. Teori bentuk pemerintahan adalah meninjau bentuk negara secara yuridis, yang bermaksud mengungkapkan sistem yang menentukan hubungan antara alat-alat perlengkapan negara tertinggi dan tinggi dalam menentukan kebijaksanaan kenegaraan, hal ini ditemui dalam konstitusi negara. Karena itu bentuk pemerintah ini kadangkala disebut Sistem Pemerintahan.7 Sistem ialah susunan yang terdiri dari bagian-bagian yang berkaitan satu dengan lainnya dengan teratur dan terencana untuk mencapai tujuan tertentu. Jika satu bagian tidak seimbang dengan lainnya atau terganggu fungsinya akan berpengaruh pada bagian lainnya.8 B. Sistem Pemerintahan Presidensil 1. Pengertian Sistem Presidensil 4 Moh. Kusnardi dan Harmally Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan C.V. “Sinar Bakti”, Jakarta, 2010, hlm. 171 5 Ibid. 6 Sarundajang, Babak Baru Sistim Pemerintahan, Kata Hasta Pustaka, Jakarta, 2012, hlm.33. Periksa juga Muliadi Anangkota, Klasifikasi Sistem Pemerintahan: Perspektif Pemerintahan Modern Kekinian, CosmoGov: Jurnal Ilmu Pemerintahan, hlm 148 7 Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, PTBumi Aksara, Jakarta, 2015, hlm. 56 8 Ibid.,hlm 57. Dalam sistem ini lembaga eksekutif dan legislatif memiliki kedudukan independen. Sementara pemegang kewenangan dipilih oleh rakyat secara terpisah. Keduanya memiliki kewenangan membuat undang-undang yang masing-masing bersifat saling melengkapi. Sistem presidensial pada dasarnya mengenal dualisme legitimasi (double legitimate), sebab baik presiden maupun anggota legislatif dipilih langsung oleh warga negara yang berhak memilih. Dengan pertimbangan itu, hal yang paling penting adalah presiden dan kabinetnya tidak dapat dibubarkan dengan mudah oleh legislatif dengan alasan politik, begitu pula sebaliknya.9 Sistem pemerintahan presidensial merupakan sistem pemerintahan negara republik dimana presiden betindak sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Sebagai kepala eksekutif seorang presiden menunjuk pembantu-pembantunya yang akan memimpin departemennya masing-masing dan mereka itu hanya bertanggung jawab kepada presiden.10 Dalam sistem pemerintahan presidensial dipegang teguh keseimbanagn (check and balances) di antara badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Menurut Miriam Budiardjo, secara formal sesuai dengan asas Trias Politica Klasik, Presiden sama sekali terpisah dari badan legislatif dan tidak boleh mempengaruhi organisasi dan penyelenggaraan dari pekerjaan kongres. 11 2. Ciri-ciri Sistem Presidensil Menurut Arend Lipjhart ciri utama dari sistem presidensil adalah pemisahan cabangcabang eksekutif dan legislatif, dengan kekuasaan eksekutif berada di luar lembaga legislatif. Ini sangat berbeda dengan sistem parlementer yang dicirikan oleh lembaga legislatif sebagai ajang utama penyusunan undang-undang dan (melalui keputusan mayoritas) kekuatan eksekutif.12 Ada beberapa prinsip pokok dalam sistem pemerintahan presidensial, yaitu: a) Terdapat pemisahan yang jelas antara kekuasaan eksekutif dan legislatif, presiden merupakan eksekutif tunggal dan kekuasaan eksekutif tidak terbagi. b) Kepala pemerintahan adalah sekaligus kepala negara, c) Presiden mengangkat para menteri sebagai pembantu/bawahan yang bertanggung jawab kepadanya, d) Anggota parlemen tidak boleh menduduki jabatan eksekutif dan sebaliknya, e) Presiden tidak dapat membubarkan parlemen, dan f) Pemerintahan bertanggung jawab kepada rakyat. 13 Menurut S.L Witman dan J.J. Wuest ada empat ciri dan syarat sistem pemerintahan presidensial, yaitu: 9 Muhadam Labolo,MemahamiIlmu Pemerintahan,Rajawali Pers,2014,hlm. 122-123. Moh. Kusnardi dan Harmally Ibrahim,op.cit.,hlm. 176. 11 Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih,Ilmu Negara,Gaya Media Pratama,Jakarta,2017,hlm. 171. 12 Sexio Yuni Noor Sidqi,Anomali Sistem Presidensial Indonesia, JURNAL HUKUM NO.1 VOL.15 JANUARI 2008:32-59,hlm. 35. 13 Cora Elly Noviati,Demokrasi dan Sistem Pemerintahan, Jember, 2013, hlm. 342 10 1. It is based upon the separation of power principles (berdasarkan atas prinsipprinsip pemisahan kekuasaan). 2. The executive has no power to dissolve the legislature nor must he resign when he loses the support of the majority of its membership (eksekutif tidak mempunyai kekuasaan untuk membubarkan parlemen dan juga tidak mesti berhenti sewaktu kehilangan dukungan dari mayoritas anggota parlemen). 3. There is no mutual responsibility between the president and his cabinet,the latter is wholly responsibility to the chief executive (tidak ada tanggung jawab yang timbal balik antara presiden dan kabinetnya,karena seluruh tanggung jawab tertuju pada presiden (sebagai kepala pemerintahan) ). 4. The executive is chosen by the electorate (presiden dipilih langsung oleh para pemilih).14 Selama jabatannya lima tahun, yang boleh diperpanjang menjadi sepuluh tahun kalau dipilih kembali, dia tidak dapat dijatuhkan oleh kongres. Presiden dapat memveto suatu rancangan Undang-undang yang telah diterima baik oleh kongres; kalau kongres bersepakat untuk menolak veto presiden, maka rancangan Undang-undang ini dapat dikirim kembali kepada kongres.15 Kalau rancangan Undang-undang itu diterima lagi dengan dukungan dua pertiga anggota dalam setiap majelis, maka veto presiden dianggap batal; jadi pada tahap terakhir presiden harus kepada keputusan kongres.16 3. Kelebihan dan Kekurangan Sistem Presidensil Secara umum sistem pemerintahan presidensial memiliki tiga macam kelebihan, pertama, stabilitas eksekutif yang didasarkan pada masa jabatan presiden. Kedua, pemilihan kepala pemerintahan oleh rakyat dapat dipandang lebih demokratis dati pemilihan tidak langsung. Ketiga, pemisahan kekuasaan berarti pemerintahan yang dibatasi perlindungan kebebasan individu atas tirani pemerintah. 17 Selain adanya beberapa kelebihan dari sistem presidensial, sistem ini juga mengandung tiga macam kekurangan. Pertama, kemandegan atau konflik eksekutif-legislatif, yang bisa berubah menjadi “jalan buntu” dan “kebuntuan” adalah akibat dari koeksistensi dua badan independen yang diciptakan oleh pemerintahan presidensial dan yang mungkin bertentangan. Kedua, kekakuan temporal. Masa jabatan presiden yang pasti menguraikan periode-periode yang dibatasi secara kaku dan tidak berkelanjutan, sehingga tidak memberikan kesempatan untuk melakukan berbagai penyesuaian yang dikehendaki oleh keadaan. Ketiga, sistem ini berjalan atas dasar aturan “pemenang menguasai semua” yang cenderung membuat politik demokrasi sebagai sebuah permainan dengan semua potensi konfliknya.18 14 Ni’matul Huda, Ilmu Negara, Rajawali Pers, Depok,2017, hlm. 255 Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, op. Cit, hlm. 171. 16 Ibid, hlm. 171. 17 Ni’matul Huda, op. Cit, hlm. 255-256. 18 Ibid, hlm. 256-257. 15 4. Sejarah Singkat Sistem Presidensil Sejarah sistem presidensial berawal dari lahirnya negara baru amerika serikat buah dari perjuangan rakyat koloni inggris di benua Amerika untuk memiliki pemerintahan sendiri lepas dari pusat kekuasaan, kerajaan Inggris. Perlawanan rakyat tersebut dipicu oleh perasaan tidak adil masyarakat koloni, yang sebagian besar berawal dari inggris, namun hak dan kedudukannya ditempatkan tidak sederajat dengan hak dan kedudukan penduduk di Inggris. Amerika sudah tentu berbenturan dengan kepentingan Inggris yang tidak ingin wilayah koloninya lepas dari negara induk. Kehendak mereka untuk merdeka akhirnya harus ditempuh melalui peperangan panjang dan melelahkan, dengan Inggris (1775-1783), yang kala itu adalah negara adhikuasa dan adhidaya. Rakyat koloni memenangkan peperangandan selanjutnya mereka menyatakan dirinya merdeka, sebagai bangsa Amerika. Namun, buah peperangan adalah terkurasnya dana dan daya yang dimiliki bangsa. Negara dan bangsa Amerika menghadapi krisis ekonomi dan keuangan serius yang membahayakan masa depannya. Dalam suasana muramnya kondisi perekonomian dan parahnya finansial akibat perang yang melelahkan,13 wilayah bekas koloni yang baru saja merdeka (memiliki kedudukan yang sama dan sederajat),sepakat untuk bergabung membentuk sebuah negara baru dengan sistem federasi. Negara Amerika dibentuk berdasarkan prinsip adanya pemerintah federal (pemerintah pusat) dan pemerintah negara bagian di mana setiap anggota federasi (negara bagian) sepakat untuk tetap menghargai eksistensi wilayah masing-masing.Para pendiri bangsa sadar bahwa untuk keluar dari kesulitan dibutuhkan pemerintahan kuat. Pemerintahan kuat adalah pemeintah dengan landasan sistem kuat artinya, konstitusi negara harus kuat dan kokoh. Konstitusi kuat dan kokoh adalah konstitusi yang didalamanya mengandung nilai-nilai kenegaraan yang berpihak pada kepentingan rakyat. Konstitusi yang kuat dan kokoh adalah konstitusi yang logis, mudah dipahami, dan karenanya mudah diterima masyarakat. Sebagai bangsa yang imigran yang berasal dari eropa, banyak diantaranya yang telah belajar dan memahami buah pikiran para filsuf kenegaraan eropa tentang negara ideal, yakni negara negara yang mendasarkan pemerintahannya pada hukum dan kehendak umum. Tidak seperti di negara asalnya, Eropa, yang tidak mudah merealisasikan konsep negara ideal karena terbentur pada kekuasaan yang sudah ada (monarki dengan sistemnya yang absolut ataupun semi absolut), maka dinegara yang sama sekali baru seperti Amerika, sangat dimungkinkan bagi diterapkannya teori kenegaraan tentang ‘negara ideal’.Untuk menghindari kesalahpahaman dan kesalah pengertian mereka, para pendiri republik sepakat bahwa konstitusi negara harus tertulis. Setiap pasal dalam konstitusi harus dibuat secara nyata dan jelas. Kesepakatan yang dihasilkan, seluruhnya dicatat dalam dokumen tertulis yang merupakan aturan dasar tertulis, yakni Undang-Undang Dasar (UUD) (1787). Aturan tersebut adalah aturan dasar tertinggi yang merupakan acuan dalam membuat ketentuan atau aturan selanjutnya (undang-undang). Undang-Undang Dasar Amerika Serikat (UUD-AS) tercatat dalam sejarah sebagai Undang-Undang Dasar tertulis yang tertua di dunia.19 5. Kendala Sistem Presidensil Banyak negara penganut sistem presidensial, dalam praksis, kurang berhasil melaksanakan sistem anatara lain akibat terjebak oleh pola kediktatoran. Kedudukan presiden yang dipilih langsung oleh rakyat, berpengaruh pada kuatnya legitimasi presiden. Kokohnya kedudukan presiden di satu sisi, lebih memberikan kepastian masa jabatan yang pada gilirannya lebih memberikan ketenangan dalam melaksanakan fungsi pemerintahan. Namun di sisi lain, kepastian masa jabatan juga bisa disalahgunakan, karena presiden memiliki waktu cukup untuk melakukan rekayasa, secara bertahap, guna memperkuat kedudukannya. Kediktatoran yang melanda sejumlah negara, penganut sistem presidensial terjadi melalui tahap-tahap semacam itu. Filipina (marcos), Korea Selatan (Syngman Rhee, Park Chung Hee, Kim Dae yung, Chun Doo Hwan, Roh Tae Woo), Peru (Fujimori), adalah sekadar contoh. Demikian pula bermacam cara digunakan untuk melanggengkan kekuasan kediktatoran, dengan menggunakan label demokrasi, yang hanya mungkin dilakukan pada pemerintahan presidensial.20 C. Sistem Pemerintahan Parlementer 1. Pengertian Sistem Pemerintahan Parlementer Sistem Parlementer adalah sistem dengan hubungan antara eksekutif dan badan perwakilan rakyat sangat erat. Hal ini disebabkan adanya pertanggungjawaban para menteri terhadap parlemen, maka setiap kabinet yang dibentuk harus memperoleh dukungan kepercayaan dengan suara yang terbanyak dari parlemen yang berarti, bahwa kebijaksanaan pemerintah atau kabinet tidak boleh menyimpang dari apa yang dikehendaki oleh parlemen.21 Jadi, sistem parlementer ini lahir dari pertanggungjawaban menteri. Seperti halnya yang terjadi di Inggris dimana seorang raja tidak dapat diganggu-gugat (the King can do no wrong), maka jika terjadi perselisihan antara raja dengan rakyat, menterilah yang bertanggung jawab terhadap segala tindakan raja. Demikianlah Thomas Wenthworth, salah seorang menteri pada masa kerajaan Karel I dituduh melakukan tindak pidana oleh majelis rendah dan kemudian dijatuhkan hukuman mati oleh majelsi tinggi. 22 Pada Sistem Pemerintahan Parlementer, antara Eksekutif dan Legislatif saling tergantung satu sama lain.Eksektutif terdiri dari Raja atau Presiden yang disebut Kepala Negara (the head executive) (adakalanya terdapat Wakil Presiden atau Wakil Kepala Negara) dan Kabinet yang dipimpin oleh Perdana Menteri atau Kanselir yang berperan 19 Hendarmin Ranadireksa, Arsitektur Konstitusi Demokratik, Fokusmedia, Bandung, 2015, hlm. 146-148. Hendarmin Ranadireksa, Op. Cit, hlm. 174. 21 Moh. Kusnardi dan Harmally Ibrahim, op.cit, hlm. 172 22 Ibid. 20 sebagai Kepala Pemerintahan (the real executive).23 Raja atau Presiden sebagai Kepala Negara tidak dapat diganggu gugat. Kabinet sebagai pelaksana tugas-tugas Eksekutif tunduk dan bertanggung jawab kepada Parlemen, karena biasanya Kabinet dipilih oleh Parlemen atau dibentuk oleh partai/organisasi yang mayoritas (lebih dari separuh) di Parlemen, atau kalau tidak ada partai/organisasi berkoalisi sehingga mendapat dukungan lebih dari separuh anggota Parlemen.24 Masa jabatan Kabinet ini juga tergantung dari Parlemen, artinya suatu Kabinet yang dimosi oleh (tidak mendapat kepercayaan lagi dari) Parlemen, maka Kabinet akan jatuh. Biasanya Kepala Negara menunjuk ketua partai oposisi untuk membentuk Kabinet baru atau dapat juga Perdana Menteri yang dimosi memohon kepada Raja/Presiden untuk membubarkan Parlemen dan segera menyelenggarakan pemilihan umum. Jadi dapat dikatakan bahwa masa kerja Kabinet selain ditentukan oleh konstitusi negara bersangkutan, juga tergantung dari dukungan Parlemen. Kabinet semacam ini disebut Kabinet Parlementer (Parliamentary Executive) atau sistem pemerintahan Parlementer.25 2. Ciri Umum Sistem Parlementer a. Terpisahnya Jabatan Kepala Negara dengan Kepala Pemerintahan Ciri sistem parlementer adalah dipisahnya lembaga kepada negara dengan lembaga kepala pemerintahan (fungsi eksekutif). Ini berarti kepala negara, sebagai figure yang (harus) berwawasan kenegarawanan dipisahkan dengan kepala pemerintahan, yakni figur yang berwawasan politik (karena jabatan dalam pemerintahan adalah jabatan politik). Fungsi kepala negara bukan lagi obyek yang diperebutkan karena fungsi kepala negara telah menjadi figure symbol, menjadi milik bangsa. Dengan tidak diperebutkannya fungsi kepala negara maka pertarungan memperebutkan kekuasaan politik berada pada wilayah murni politik. Dalam sistem pemerintahan parlementer, kepala negara adalah unsur konstanta. Karena obyek yang dipertarungakan berada di bawah kepala negara, di wilayah murni politik, maka iklim politik dalam sistem parlementer terasa lebih dinamis (agar dibedakan dengan pengertian labil) dibandingkan dengan sistem presidensial. b. Kepala Negara sebagai Simbol Representasi Negara Kepala negara, dalam sistem parlementer, adalah produk dari proses eliminasi atas hak kekuasaan eksekutif raja (di Inggris) yang berlangsung melalui tahapan sejarah cukup panjang. Kedudukan raja yang semula diposisikan sebagai symbol “wakil Tuhan”, yang oleh karenanya memiliki kekuasaan eksekutif sangat besar dan sangat luas, secara berangsur tereliminasi. Proses eliminasi praktis berhenti ketika telah sampai pada tingkat sudah tidak mungkin untuk dikurangi lebih jauh. Peran kepala negara 23 I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na’a, op.cit., hlm 102 Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, op.cit., hlm.166 25 Ibid.,hlm. 166-167 24 berhenti pada tingkat yang - tidak bisa tidak - diperlukan dalam negara, sebagai symbol representasi negara, yang tidak lagi memiliki fungsi eksekutif sehari-hari. Maka kepala negara adalah figure yang terbebas dari kegiatan politik praktis. c. Jabatan Raja dan Jabatan Presiden Raja sebagai kepala negara yang berperan sebagai symbol representasi negara sama halnya dengan peran presiden dalam negara berbentuk republic dalam sistem pemerintahan parlementer. Jabatan raja (untuk negara kerajaan) dalam konstitusi monarki adalah bersifat turun temurun. Jabatan presiden dalam sistem parlementer bisa dipilih melalui proses pemilihan umum (berbeda dengan pemilihan umum parlemen untuk memilih perdana menteri, pemilihan umum presiden tidak hingar bingar) namun bisa juga dipilih oleh lembaga legislatif, karena jabatan kepala negara bukan jabatan yang melakukan “Kontrak Sosial” dengan rakyat d. Sistem yang Dinamis Parlemen, dengan kewenangannya yang luas untuk mengontrol pemerintahan (eksekutif) berdampak pada tingginya dinamika iklim perpolitikan. Pertarungan tidak mengenal jeda antara partai yang memerintah dengan partai oposisi adalah ciri utama sistem parlementer. Hal yang acapkali disalahartikan sebagai sistem pemerintahan labil. Julukan sebagai sebuah sistem pemerintahan yang labil didasarkan atas fakta acapkali cabinet harus jatuh sebelum habis periode masa jabatan. Sistem parlementer kemudian dinilai kurang memberikan jaminan bagi terselenggaranya pemerintahan bisa berlangsung sesuai denga periode waktu yang ditentukan. Sistem parlementer yang memberikan kewenangan parlemen untuk menarik atau mencabut dukungannya terhadap eksekutif seakan menempatkan posisi eksekutif selalu berada dalam ketidakpastian. Sebaliknya penganut sistem parlementer memandang dari sisi lain. Kemungkinan bagi mudah jatuhnya pemerintahan justru dinilai positif. Pemerintahan (kabinet) yang jatuh adalah bukti bahwa cabinet tersebut lemah dan karenanya pantas, bahkan harus, jatuh atau lengser. Yang diperlukan negara adalah pemerintahan kuat yakni sanggup dan mampu menahan hantaman kritik. Pemerintahan kuat adalah pemerintahan yang tidak roboh oleh badai kritik. Dalam sistem parlementer, adalah normal (harus dianggap biasa) cabinet pemerintahan berakhir sebelum habis periode masa kepengurusannya. Hakekat sistem parlementer adalah tidak memberi tempat pada pemerintahan yang lemah untuk mempimpin negeri. Mudah bergantinya pemerintahan, bagi penganut sistem parlementer, dipahami sebagai cermin iklim perpolitikan yang dinamis.26 3. Sejarah Sistem Parlementer Sistem Parlementer lahir di Inggris sebagai buah perjuangan kekuatan di luar raja (diperankan bangsawan) untuk memperoleh sebagian kewenangan yang sebelumnya ada 26 Ibid., hlm 125-127 pada raja. Proses demokratisasi di Inggris terjadi melalui tahapan cukup panjang, ratusan tahun. Dimulai dari Magna Carta Libertatum (Perjanjian Agung tentang Kebebasan) yakni dengan disepakatinya perjanjian tertulis antara raja John dengan kaum bangsawan dan kaum clerus. Magna Charta memuat pengakuan raja dalam bentuk perjanjian tertulis tentang, antara lain: a. Hak kaum clerus untuk memilih uskup dan padri dengan bebas, b. Hak kaum bangsawan mengenai kepemilikan tanah turun temurun, dan c. Hak kota untuk dibebaskan dari pajak yang sewenang-wenang. Magna Carta juga berisi ketentuan yang melarang penahanan, penghukuman, dan perampasan benda dengan sewenang-wenang, menjamin proses hokum secara benar dan akses untuk diadili di depan juri.27 Magna Carta sangat bersejarah karena baru pertama kali hak dan kewajiban raja dan rakyat dikuatkan dalam bentuk tertulis. Pelaksanaan Magna Carta dilakukan melalui dewan yang khusus dibentuk untuk keperluan tersebut yang terdiri dari kaum clerus, bangsawan, dan (menyusul kemudian) beberapa penduduk. Dewan itu merupakan embrio atas terjadinya parlemen. Sekitar tahun 1350, terjadi pemisahan parlemen menjadi House of Lords dan House of Commons.28 4. Kendala Sistem Parlementer a. Mudah Terjebak pada Iklim Politik yang Labil Sistem parlementer sering dipersepsikan sebagai sistem yang labil. Hal yang biasa terjadi ketika suara partai pemenang <50% + 1, yang mengharuskannya membentuk pemerintahan koalisi. Dalam hal semacam itu partai-partai mudah terjebak ada perilaku berlebihan (over acting). Ketergantungan pemerintah (kabinet) pada parlemen, tempat di mana cabinet berasal, mudah disalahgunakan oleh partai/partai-partai anggota koalisi yang menyadari benar bahwa suara kecil mereka sangat berarti bagi tercapainya kuorum. Mereka, partai/partai-partai kecil dimaksud, yang kini memiliki posisi tawar kuat, memanfaatkan ketergantungan cabinet pada parlemen dengan “memaksakan” kehendaknya. Terjadi kondisi paradoksal. Partai/partai-partai kecil seakan menjadi pihak yang lebih menentukan ketimbang partai/partai-partai besar, hanya karena mereka penentu kuorum. Cabinet menjadi rawan dan mudah jatuh. Yang terjadi bukan lagi dinamika politik melainkan kelabilan politik.29 b. Ancaman menjadi Oligarkis Tidak ada sistem pemerintahan apapun yang bisa terhindar dari bahaya penyalahgunaan kekuasaan. Godaan kekuasaan, kapanpun dan dimanapun, tidak 27 Hendarmin Ranadireksa, op.cit., hlm 117 Ibid., Periksa Van der Werf J. dan Soendoro M., Sejarah Umum, Noordhoff-kolff N. V., Jakarta, 1953, hlm. 201. Periksa juga Gordon Morris Bakken, Pembuatan Undang-Undang dalam Masyarakat Demokratis, Demokrasi, Office International Information Programs U.S. Department of State, hlm. 30 29 Ibid,.hlm. 141 28 pernah berubah yakni keserakahan manusia. Kedudukan dan uang sebagai senjata paling ampuh untuk melumpuhkan kekuatan moral telah teruji dalam sejarah peradaban manusia. Pernyataan ahli sejarah Inggris, Lord Acton (1834-1902), “power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely” (kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan mutlak sudah pasti korup), masih tetap relevan hingga kini. Dalam sistem parlementer, partai politik yang menang mutlak, bisa terjebak pada kecenderungan tersebut yakni, upaya untuk terus mempertahankan kekuasaan, selama mungkin, bukan lagi pada kewajiban mensejahterakan rakyat. Cara legal, maupun illegal, ditempuh antara lain dengan melakukan konspirasi antar elit politik guna mengeliminasi kekuatan oposisi. Sistem parlementer berpotensi menjadi pemerintahan oligarkis.30 D. Sistem Pemerintahan Campuran Sistem pemerintahan campuran pada dasarnya merupakan campuran antara ciri system pemerintahan parlementer dan ciri sistem pemerintahan presidensial yang menunjukkan bahwa sistem pemerintahan campuran masih mempunyai hubungan yang erat dengan sistem pemerintahan presidensial dan sistem pemerintahan parlementer. 31 Made Pasek Diantha menentukan ciri-ciri utama sistem pemerintahan campuran, yaitu: a. Menteri-menteri dipilih oleh parlemen. b. Lamanya masa jabatan eksekutif ditentukan dengan pasti dalam konstitusi. c. Menteri-menteri tidak bertanggung jawab baik kepada parlemen maupun kepada presiden.32 Berdasarkan uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa poin pertama merupakan ciri pokok dari sistem parlementer, sedangkan ciri yang kedua adalah merupakan ciri pokok dari sistem parlementer, sedangkan ciri yang kedua adalah merupakan ciri pokok dari sistem pemerintahan presidensial. Ciri yang ketiga merupakan konsekuensi dari dianutnya ciri pertama dan kedua secara bersama-sama.33 Pada pemerintahan sistem quasi presidensial, presiden merupakan kepala pemerintahan dengan dibantu oleh kabinet (ciri presidensial). Tetapi dia bertanggung jawab kepada lembaga dimana dia bertanggung jawab, sehingga lembaga ini (legislatif) dapat menjatuhkan presiden/eksekutif (ciri sistem parlementer). Misal, sistem pemerintahan Republik Indonesia.34 30 Ibid.,hlm. 143 Lintje Anna Marpaung, Hukum Tata NegaraIndonesia, Pustaka Magister, Semarang, 2013, hlm. 120. 32 Made Pasek Diantha, Op.cit, hlm. 51. Lihat juga Lintje Anna Marpaung, Hukum Tata Negara Indonesia, Pustaka Magister, Semarang, 2013, hlm. 121. 33 Ibid., 34 Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hlm. 153. 31 Hal senada juga diungkapkan Bagir Manan (dalam hubungannya dengan kedudukkan presiden dalam suatu negara). Beliau mendeskripsikan beberapa model kelembagaan kepresidenan sebagai berikut: a. Model Amerika Serikat sebagai pencerminan Sistem Pemerintahan presidensial (murni). b. Model yang terdapat dalam Sistem Pemerintahan Parlementer. c. Model Prancis dengan Sistem Pemerintahan Semipresidensial atau Campuran yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) Seperti Sistem Parlementer, selain jabatan preside nada pula jabatan dewan menteri yang dipimpin perdana menteri yang terpisah dari jabatan presiden. 2) Baik presiden maupun cabinet sama-sama mempunyai kekuasaan riil atas penyelenggaran pemerintahan. Presiden tidak sekadar symbol seremonial, jadi ada pembagian kekuasaan antara presiden dan kabinet. Presiden memegang kendali utama jalannya pemerintahan, sedang kabinet dipimpin presiden. 3) Perdana menteri dan menteri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden seperti dalam Sistem Parlementer, dewan menteri bertanggung jawab kepada “National Assembly” (Majelis Rendah), yaitu salah satu unsur utama badan perkawilan rakyat Prancis di samping senat. 4) Presiden dipilih langsung oleh rakyat untuk masa jabatan tujuh tahun dan dapat dipilih kembali. d. Model Uni Soviet, yaitu Sistem “Kamerad” yang berarti kekuasaan tertinggi ada pada soviet tertinggi (Supreme Soviet) yaitu Badan Perkawilan Rakyat dari seluruh Soviet. e. Model Republik Indoensia menurut UUD 1945 yaitu lembaga kepresidenan menurut UUD 1945, dalam beberapa segi serupa dengan lembaga kepresidenan di Amerika Serikat, yaitu: 1) Sistem Eksekutif Tunggal. 2) Presiden adalah penyelenggara pemerintahan. Model-model di atas menunjukkan bahwa kedudukan dan mekanisme pengisian jabatan presiden berbeda-beda di tiap negara. Hal ini tidak disebabkan hanya oleh perbedaa sistem pemerintahan, melainkan juga atas dasar keadaan-keadaaan khusus atau kebutuhan-kebutuhan khusus negera yang bersangkutan.35 Menurut Sri Soemantri, dalam sistem pemerintahan campuran terdapat dua kemungkinan, yaitu: a. Sistem pemerintahan (campuran) di mana yang dominan adalah segi parlementernya, tetapi ada segi-segi presidensialnya. 35 Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, FH UII Press, Jakarta, 1999, hlm. 49-60; Baca juga Lintje Anna Marpaung, Hukum Tata Negara Indonesia, Pustaka Magister, Semarang, 2013, hlm. 123. b. Sistem pemerintahan (campuran) di mana yang dominan adalah segi presidensialnya, tetapi ada segi-segi parlementernya.36 Variasi dari sistem pemerintahan campuran ini berbeda-beda antara negara yang satu dengan lainnya. Konstitusi beberapa negara mengembangkan “responsible government” yang berbeda-beda sesuai dengan sejarah, lingkungan, problem-problem yang dihadapi, serta kecocokan antara sistem yang akan diterapkan dengan kebutuan nyata masyrakatnya. Penyesuaian-penyesuaian inilah yang menyebabkan lahirnya kemungkinan-kemungkinan yang disebutkan Sri Soemantri di atas.37 Sistem hubungan antara eksekutif dan legislatif di Prancis sebelum republik kelima (1958), diwarnai oleh dominasi legislatif terhadap eksekutif. Legislatiflah yang membentuk eksekutif tetapi eksekutif tidak dapat membubarkan legislatif. Akibatnya, dalam sejarah pemerintahan sebelum republik kelima, tidak pernah terdapat eksekutif yang stabil dan mampu menyelenggarakan pemerintahan secara efektif. Kenyataan inilah yang mendorong diadakannya perombakan sistem hubungan antara lembagalembaga negara (sistem pemerintahan) di Prancis. Setelah tahun 1958, negara Prancis mengenal sebutan Konstitusi de Gaulle. Melalui konstitusi republic kelima, ketidakseimbangan antara kekuasaan legislatif dan eksekutif mulai dikoreksi. Ciri pokok dari konstitusi ini ialah memperkuat kedudukan lembaga eksekutif, meningkatkan ketidaktergantungan eksekutif kepada legislatif dan membatasi kekuasaan dari legislatif.38 Sementara itu, dalam sistem campuran, terdapat ciri-ciri presidensial dan ciri-ciri parlementer secara bersamaan dalam sistem pemerintahan yang diterapkan. Sistem campuran ini biasanya oleh para ahli disebut sesuai dengan kebiasaan yang diterapkan oleh masing-masing negara. Misalnya, sistem yang dipraktikkan di Prancis biasa dikenal oleh para sarjana dengan sebutan hybrid system. Kedudukan sebagai kepala negara dipegang oleh Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat, tetapi juga ada kepala pemerintahan yang dipimpin oleh seorang Perdana Menteri yang didukung oleh parlemen seperti dalam sistem parlementer yang biasa. Oleh karena itu, sistem Prancis ini dapat pula kota sebut sebagai sistem quasi-parlementer.39 Quasi secara umum berarti ada kemiripan dari percampuran dengan hal lain, namun pada dasarnya terdapat perbedaan secara material ketika kita mencoba untuk menelaah kembali antara dua percampuran tersebut. Pada hakikatnya sistem pemerintahan quai merupakan bentuk variasi dari sistem pemerintahan parlementer dan sistem pemerintahan presidensial. Hal ini disebabkan situasi dan konsidi yang berbeda sehingga melahirkan bentuk-bentuk semuanya. Apabila dilihat dari kedua sistem pemerintahan diatas, sistem pemerintahan quasi bukan merupakan bentuk sebenarnya. Dalam sistem ini dikenal bentuk quasi parlementer 36 Sri Soemantri, Sistem-Sistem Pemerintahan Negara Asean, Tarsito, Bandung, 1976 Lihat juga Lintje Anna Marpaung, Hukum Tata Negara Indonesia, Pustaka Magister, Semarang, 2013, hlm. 123. 37 Lintje Anna Marpaung, Op.cit.,hlm. 123. 38 Bagir Manan, Op.cit, hlm. 53; Baca juga Lintje Anna Marpaung, Hukum Tata Negara Indonesia, Pustaka Magister, Semarang, 2013, hlm. 123. 39 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Rajawali Pers, Depok, 2017, hlm. 323-324. bentuk sebenarnya. Dalam sistem ini dikenal bentuk quasi parlementer dan quasi presidensial.40 Dalam sistem pemerintahan di berbagai negara yang menganut sistem campuran itu, kadang-kadang ciri presidensialnya memang lebih menonjol, tetapi ada pula negara yang ciri parlementernyalah yang lebih menonjol. Apabila ciri presidensialnya yang lebih menonjol, maka sistem demikian dapat kita sebut quasi-presidentil atau semi presidensial. Misalnya, sebelum UUD 1945 diubah pertama kali pada 1999, UUD 1945 dikatakan menganut sistem pemerintahan presidensial. Akan tetapi, di samping itu, sistem yang diterapkan tetap mengandung ciri parlementernya, yaitu dengan adanya MPR yang berstatus sebagai lembaga tertinggi negara, tempat kemana Presiden harus tunduk dan bertanggung jawab. Oleh karena itu, sistem pemerintahan yang dianut oleh UUD 1945 sebelum perubahan itu adalah sistem quasi-presidentil (semi presidensial) karena ciri presidentilnya tetap lebih menonjol, meskipun terdapat pula ciri parlementer. Akan tetapi, apabila ciri parlementernya yang lebih menonjol, maka sistem demikian lebih tepat disebut quasi-parlementer.41 E. Sistem Pemerintahan Referendum Sistem pemerintahan referendum adalah sebuah sistem pemerintahan dengan pengawasan langsung oleh rakyat terhadap badan legislatif. Dalam sistem referendum parlemen tunduk kepada kontrol langsung oleh rakyat.42 Jika di dalam sistem presidensil kedudukan badan eksekutif itu bebas dari badan legislatif, dan tidak ada hubungannya, sedangkan di dalam sistem parlementer antara badan eksekutif dan badan legislatif itu ada hubungan yang bersifat timbal balik, maka akan sangat berlainan keadaannya dengan pemerintahan yang mempergunakan sistem referendum ini. 43 Di dalam sistem pemerintahan referendum, badan eksekutif merupakan bagian dari badan legislatif. Di Swiss badan eksekutif di sebut bundesrat (badan bekerja legislatif) sedangkan legislatif disebut bundesversammlung. Dalam sistem ini, badan legislatif membentuk sub badan di dalamnya sebagai pelaksana tugas pemerintah. Jadi lembaga eksekutif (bundesrat) adalah badan pekerja dari lembaga legislatif (bundesversammlung) yang dibentuk oleh lembaga legislatif sebagai pelaksana tugas pemerintah. Kontrol terhadap lembaga legislatif dalam sistem ini dilakukan langsung oleh rakyat melalui lembaga referendum.44 Sehingga badan eksekutif dalam menjalankan tugas atau kebijakannya harus sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh legislatif. Jika tidak, maka eksekutif tidak mempunyai kebebasan lagi untuk meneruskan apa yang menjadi kehendaknya, melainkan harus menjalankan apa yang menjadi kehendak legislatif. 40 Titik Triwulan Tutik, Op.cit.,hlm. 153. Jimly Asshiddiqie, op.cit., hlm. 324. 42 Abu Daud Busroh, op.cit., hlm. 63 43 Ibid. 44 Soehino, op.cit., hlm. 254. 41 Legislatif terdiri dari nationalrat dan standerat.Nationalrat merupakan badan perwakilan nasional, sedangkan standerat merupakan perwakilan daripada negaranegara bagian yang di sebut kanton. Dengan demikian, eksekutif (bundesrat) tidak dapat dibubarkan oleh legislatif (bundesversammlung). Dalam sistem ini eksekutif (standerat) semata-mata hanya menjadi badan pelaksana saja dari segala kehendak atau keputusan legislatif (bundesversammlung), dalam hal ini, di antara anggota-anggota legislatif itu ditunjuk tujuh orang, yang kemudian ketujuh orang ini merupakan suatu badan yang bertugas melaksanakan keputusan-keputusan dari legislatif. Dengan demikan anggota-anggota eksekutif (standerat) itu diambil dari sebagian anggota-anggota legislatif (bundesversammlung).45 Menurut Sarundajang46 terdapat tiga macam referendum, yaitu: 1. Referendum Obligator Referendum wajib, dimana berlakunya suatu undang-undang yang dibuat Parlemen, dan telah disetujui oleh rakyat melalui suara terbanyak. 2. Referendum Fakultatif Suatu undang-undang yang dibuat oleh Parlemen setelah diumumkan, beberapa kelompok masyarakat yang berhak meminta disahkan melalui referendum. 3. Referendum Consultative Referendum untuk soal-soal tertentu yang teknisnya rakyat tidak tahu. F. Sistem Pemerintahan di Indonesia Setiap negara pastinya memiliki sistem pemerintahan yang berfungsi untuk menjaga kestabilan ketatanegaraan dan masyarakat. Sistem ini juga melindungi fondasi pemerintahan dan menjaga tingkah laku seluruh masyarakatnya, baik untuk kaum mayoritas maupun minoritas. Sistem dalam pemerintahan memiliki peranan yang sangat penting untuk menjaga kekuatan ekonomi, politik, keamanan, dan pertahanan suatu negara. Dimana dalam sistem ini, keikutsertaan masyarakat juga diharuskan agar terbentuk sistem yang adil dan merata. MenurutJimly Asshidiqie47, system pemerintahan diartikan sebagai suatu system hubungan antara lembaga-lembaga negara. Sedangkan menurut Sri Soemantri48, Sistem Pemerintahan adalah hubungan antara lembaga legislatif dan eksekutif.Ismail Suny49 mempunyai pendapat bahwa system pemerintahan adalah suatu system tertentu yang menjelaskan bagaimana hubungan antara alat-alat perlengkapan negara yang tertinggi di suatunegara. Berkaitan dengan sistim pemerintahan, pada umumnya di bedakan kedalam dua system utama, yaitu system presidensiil dan parlementer, diluar ke dua system tersebut 45 Ni’matul Huda, op.cit., hlm. 267 Sarundajang, op.cit., hlm.33 47 Noviati Cora Elly, “Demokrasi dan Sistem Pemerintahan” Jurnal Konstitusi 10.2 (2013): 333-354 48 Sri Soemantri, op.cit., hlm. 37 49 Ismail Sunny, MekanismeDemokrasiPancasila, AksaraBaru, Jakarta, 1987, hlm 9-10 46 merupakan system campuran atau kuasa parlementer atau kuasa presidensiil, ada juga menyebut sistem referendum. Sistem pemerintahan di Indonesia membagi kekuasaan pemerintah menjadi tiga yakni yudikatif, eksekutif dan legislatif. Secara umum, sistem ketatanegaraan di Indonesia juga menunjukkan bahwa cabang kekuasaan yang paling besar tanggung jawabnya dalam pembuatan undang-undang dan tata kelola bangsa adalah Legislatif dan Eksekutif. Sementara dalam arti sempit, pengertian sistem ketatanegaraan lebih merujuk eksekutif. Dimana cabang eksekutif adalah kabinet pemerintahan yang bertanggungjawab terhadap tata kelola ketatanegaraan dan pemerintahan seharihari.50Sistem Pemerintahan sangat berkaitan dengan pelaksanaan kehidupan bertatanegara. Hal itulah yang kemudian berhubungan langsung dengan formulasi kenegaraan dan kepala negara. Bentuk pemerintahan Indonesia sempat mengalami perubahan. Sebelum diamandemen, kita ketahui bahwa UUD 1945 memiliki pengaruh yang besar untuk mengatur kedudukan lembaga tinggi negara dan lembaga tertinggi negara. Dalam sistem ini, kedaulatan rakyat secara langsung diberikan kepada MPR sebagai lembaga tertinggi. Sistem ini membuat kekuasaan kepala negara menjadi tidak terbatas. Setelah amandemen, bentuk pemerintahan di Indonesia berubah menjadi Republik. Sementara sistem pemerintahan Indonesia saat itu adalah presidensial. Sistem pemerintahan Indonesia setelah diamendemen atau yang berlaku saat ini dijelaskan secara rinci di dalam Pembukaan UUD 1945 tepatnya pada Alinea ke-IV. Dalam UUD 1945, diketahui bahwa Indonesia merupakan negara berbentuk Republik. Indonesia juga merupakan Negara Kesatuan. Dimana Presiden Republik Indonesia adalah kepala pemerintah sekaligus kepala negara. Presiden memegang kekuasaan berdasarkan Undang-undang Dasar.51 50 HendarminRanadireksa, op. cit., hal.144 Noviati Cora Elly, op.cit.,hlm. 333-354 51 DAFTAR PUSTAKA Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, PT. Bumi Aksara, Jakarta, 2015. Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, FH UII Press, Jakarta, 1999. Cora Elly Noviati, Demokrasi dan Sistem Pemerintahan, Jember, 2013. Hendarmin Ranadireksa, Arsitektur Konstitusi Demokratik, Fokusmedia, Bandung, 2015. I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na’a, MemahamiIlmu Negara & Teori Negara, Reflika Aditama, Bandung, 2015. Ismail Sunny, MekanismeDemokrasiPancasila, AksaraBaru, Jakarta, 1987, hlm 9-10. Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Rajawali Pers, Depok, 2017. Lintje Anna Marpaung, Hukum Tata NegaraIndonesia, Pustaka Magister, Semarang, 2013. Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2017. Moh. Kusnardi dan Harmally Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan C.V. “Sinar Bakti”, Jakarta, 2010. Muhadam Labolo, MemahamiIlmu Pemerintahan, Rajawali Pers, 2014. Ni’matul Huda, Ilmu Negara, Rajawali Pers, Depok, 2017. Noviati Cora Elly, “Demokrasi dan Sistem Pemerintahan” Jurnal Konstitusi 10.2 (2013): 333-354. Sarundajang, Babak Baru Sistim Pemerintahan, Kata Hasta Pustaka, Jakarta, 2012. Sexio Yuni Noor Sidqi, Anomali Sistem Presidensial Indonesia, JURNAL HUKUM NO.1 VOL.15 JANUARI 2008:32-59. Soehino, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta, 2000. Sri Soemantri, Sistem-Sistem Pemerintahan Negara Asean, Tarsito, Bandung, 1976. Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008.