[go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu
METODE AL-QURAN MEMBANGUN MOTIVASI BERIBADAH (Kajian Tafsir Maudhui) KATA PENGANTAR Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin, Segala puji-pujian hanya milik Allah Swt yang senantiasa memberi rahmat, hidayah dan kasih sayang kepada hamba-Nya, sehingga dengan izin-Nya pula tugas mulia telah terselesaikan berupa skripsi yang berjudul METODE AL-QURAN MEMBANGUN MOTIVASI BERIBADAH. Salawat dan salam sejahtera kita persembahkan kepada junjungan Allah yang mulia, baginda besar Muhammad Saw, yang telah memberi jalan cerah dengan obor ketauhidan sehingga mampu memberi manusia peluang berpikir untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Skripsi ini disusun dalam rangka melengkapi syarat untuk menyelesaikan studi dalam Ilmu Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin IAIN Ar-Raniry di Banda Aceh. Namun dalam menyelesaikan skripsi ini tidak luput dari berbagai hambatan, rintangan, serta kesulitan yang terus datang silih berganti, tetapi berkat bantuan dan dorongan dari berbagai pihak sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan sempurna. Kata-kata penghargaan dan ucapan terima kasih kepada Pembimbing I, Dr. H. Hisyami bin Yazid, Lc, M.Ag, dan pembimbing II, Safrilsyah, M.Si, yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga dan buah pikiran untuk membimbing dan memberi arahan atau masukan sejak dari awal sampai selesainya penulisan ini. i Ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada Rektor IAIN Ar-Raniry Prof. Dr. H. Farid Wajdi Ibrahim, MA merupakan orang tua yang selalu memberi motivasi dan dorongan kepada anak-anaknya untuk terus berjuang dalam menggapai sebuah cita-cita. Begitu pula ucapan terima kasih kepada Dekan Fakultas Ushuluddin Dr. H. Syamsul Rijal Sys, M.Ag yang senatiasa memberi peluang dan kemudahan bagi kami dalam melaksanakan tugas-tugas keushuluddinan, Dan ucapan terima kasih seterusnya kepada ketua jurusan Tafsir Hadits Dr. Abdul Wahid, M.Ag dan pembimbing Akademik Samsul Bahri, S.Ag, M.Ag yang selalu siap membantu dan memberi jalan keluar dalam setiap kesulitan yang kami hadapi. Begitu pula selanjutnya ucapan terimakasih yang tak terhingga kepada seluruh dosen khususnya Dosen Fakultas Ushuluddin yang tak pernah mengenal lelah dan bosan, panas terik atau hujan badai tetap ikhlas memberi sebuah pencerahan kepada kami untuk menjadi orang-orang yang berilmu pengetahuan nantinya. Dan ucapan rasa terima kasih kepada seluruh teman-teman yang selalu siap memberi dukungan dan motivasi baik secara moril ataupun materil sehingga penulisan skripsi dapat kita laksanakan dengan maksimal. Ucapan terima kasih kepada Bapak Ir. H. Abu Bakar Adam dan kepada Umi Hj. Rosnawati, S.Pd yang selalu mencurahkan kasih sayang dan perhatian baik jasmani ataupun rohani, dan sanggup menerima setiap kekurangan dan menggantikannya dengan kebaikan. ii Yang teristimewa, Kata ta’zim dan kehormatan kepada yang mulia Ayah dan Mak; Ilyas Yusuf dan Hanidah yang selalu menjadi motivator dalam setiap ruang dan waktu, kasih sayang dan belaian cintanya meski jauh tetap terasa dalam relung hati sanubari, yang terus tercurah dalam bentuk doa yang terpanjat. Tak pernah bosan atau jemu untuk selalu memberi yang terbaik untuk anak-anaknya, tanpa mengenal penat dan lelah walau nyawa menjadi taruhan. Ayah dan Mak engkau adalah orang yang paling baik dan bijaksana yang pernah aku kenal di dunia ini. Akhirnya, penulis mengharapkan doa restu dan kontribusi positif dari semua lapisan untuk memberi yang terbaik guna skripsi ini bermamfaat dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan kesempurnaan penulisan kedepan nantinya. Wassalam, Pasie Raja, 15 Juli 2013 Penulis, Sufyan Ilyas, S.TH.,MH iii DAFTAR ISI KATA PENGANTAR .............................................................................................. i DAFTAR ISI ............................................................................................................ iv SINGKATAN............................................................................................................ vi ABSTRAK ................................................................................................................ vii BAB SATU : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ........................................................................ 1 B. Rumusan Masalah................................................................... 6 C. Tujuan Penelitian .................................................................... 6 D. Manfaat Penelitian .................................................................. 7 E. Penjelasan Istilah .................................................................... 8 F. Metode Penelitan .................................................................... 9 G. Sistematika Pembahasan......................................................... 10 BAB DUA : METODE AL-QURAN DALAM MOTIVASI BERIBADAH A. Metode Al-Quran .................................................................. 12 1. Definisi Metode Al-Quran ................................................ 13 2. Macam-Macam Metode Al-Quran ................................... 15 B. Motivasi ................................................................................. 27 1. Definisi Motivasi ............................................................... 27 2. Macam-Macam Motivasi ................................................... 29 3. Peranan Motivasi Dalam Ibadah ........................................ 36 C. Ibadah .................................................................................... 38 1. Definsi Ibadah .................................................................... 38 2. Macam-Macam Ibadah Dalam Islam ................................. 42 3. Syarat Diterimanya Ibadah ................................................ 44 iv D. Motivasi Beribadah .............................................................. 47 1. Definisi Motivasi Beribadah ............................................. 47 2. Macam-Macam Motivasi Beribadah Dalam Al-Quran .. 48 BAB TIGA : MOTIVASI BERIBADAH PERSPEKTIF AL-QURAN A. Ayat-Ayat Motivasi Beribadah ............................................... 50 B. Penafsiran Ulama Tentang Ayat-Ayat Motivasi..................... 61 C. Aplikasi Metode Rasulullah ................................................... 72 D. Analisis Penulis ...................................................................... 75 1. Al-Hikmah ........................................................................ 76 2. Mau’idhah ......................................................................... 79 3. Mujadalah ......................................................................... 96 BAB EMPAT : PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................................. 100 B. Saran-Saran ............................................................................. 102 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 104 RIWAYAT HIDUP .................................................................................................. 107 v DAFTAR SINGKATAN NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 SINGKATAN Swt Saw ra as QS H M jld hal no terj. cet ed t.th t.tp vol juz ± s/d dkk hal TERJEMAHAN Subhanahu Wa Ta’ala Shallallahu ‘Alaihi Wasallam Radhiallahu ‘Anhu ‘Alaihissalam Al-Quran Surah Hijriah Masehi Jilid Halaman Nomor Terjemahan Cetakan Edisi Tanpa Tahun Tanpa Tempat Penerbit Volume Juzuk Lebih Kurang Sampai Dengan Dan Kawan-Kawan Halaman vi METODE AL-QURAN MEMBANGUN MOTIVASI BERIBADAH (Kajian Tafsir Maudhui) ABSTRAK Metode Al-Quran Membangun Motivasi Beribadah merupakan sebuah judul skripsi yang diangkat karena melihat kondisi masyarakat Islam saat ini telah jauh dari panggilan Allah Swt, dimana mereka telah disibukkan oleh kegiatankegiatan mengejar hawa nafsu dunia untuk mengumpulkan harta benda yang terasa tidak akan pernah cukup meski nafas berada ditenggorokan. Maka sudah seyogyanya kita sadar dan bangkit dari kelalaian permainan dunia yang semakin dikejar akan terasa semakin jauh meninggalkan kita, seolah-olah dunia terus menuntut kepada kita untuk terus mengikutinya tanpa pernah merasa cukup atas apa yang telah kita miliki. Maka dari itu perlu sebuah metode Al-Quran untuk menumbuhkan motivasi kepada masyarakat yang saat ini waktu mereka begitu terbatas dalam melaksanakan ibadah kepada Allah Swt. karena mengingat tujuan hidup diciptakan oleh Allah hanya untuk mengabdi kepada-Nya, namun realita yang kita jumpai bertolak belakang dengan apa yang telah disebutkan dalam Al-Quran. Untuk memperoleh data dalam penelitian ini penulis menggunakan penelitian kepustakaaan (Library Research) yakni mengumpulkan buku atau kitab yang mempunyai relevansi dengan pokok pembahasan dengan menggunakan metode maudhu’i, dimana penulis mencoba menganalisis data-data yang diperoleh secara keseluruhan untuk melihat pemahaman dan pendapat ulama terhadap ayat-ayat motivasi. Hasil penelitian ini Al-Quran menawarkan metode praktis menumbuhkan motivasi kepada manusia untuk beribadah kepada Allah, yaitu metode al-hikmah, metode al-mau’idhah dan metode al-mujadalah. Dengan adanya metode Al-Quran dalam membangun motivasi beribadah setidaknya sudah ada rujukan pasti bagi kita atau psikolog modern khususnya untuk menjadi sumber dan pegangan dalam melaksanakan tugas-tugas keduniawian dengan tujuan memperoleh ridha Allah dan kebahagiaan dunia dan akhirat. vii BAB SATU PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kekuasaan yang hakiki dan paling agung adalah milik Allah swt. Penciptaan mahkluk, kejadian langit dan bumi serta isi diantara keduanya merupakan bukti bahwa Allah itu Maha Kuasa. 1 Namun demikian terdapat pula berbagai kejadian, hikmah dan mukjizat yang menjadi petunjuk bagi setiap hamba-Nya, sehingga tiada satupun yang ada dalam realitas luput dari penjelasannya. Al-Quran menceritakan berbagai hal yang menghubungkan manusia dengan Allah, dan hubungan muamalah dengan sesama manusia serta lingkungannya. Al-Quran merupakan kitab suci yang diturunkan oleh Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw sebagai mukjizat yang menjadi petunjuk dan pelajaran bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan di dunia ataupun di akhirat. Ia diturunkan senantiasa mengiringi manusia sesuai dengan perkembangan zaman serta kemajuan berpikir manusia. Al-Quran memberi jalan keluar dari berbagai masalah yang dihadapi oleh setiap manusia baik yang berkaitan dengan masalah kejiwaan, jasmani, rohani, sosial, ekonomi maupun politik dengan pemecahan yang penuh bijaksana, karena ia diturunkan oleh yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji. 1 M. Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi: Asma al-Husna Dalam Perspektif AlQuran, Cet. I (Jakarta: Lentera Hati, 1998), hal. 246. 1 Untuk menjawab setiap persoalan Al-Quran meletakkan dasar-dasar umum yang dapat dijadikan landasan oleh manusia dalam mencari jalan penyelesaian. 2 Al-Quran berfungsi sebagai petunjuk bagi seluruh manusia, penjelas atas segala petunjuk, membedakan antara hak dan yang bathil serta sebagai mu’jizatul kubra (mukjizat terbesar) bagi Nabi Muhammad dan seluruh umatnya.3 Melalui pesan dan kandungannya, Al-Quran dapat membimbing untuk mengangkat harkat martabat manusia menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Para pakar ilmu AlQuran telah menjelaskan bahwa secara umum kandungan Al-Quran terdiri dari beberapa aspek, yaitu sebagai berikut: 4 Pertama Berkaitan dengan ajaran pengesaan kepada Allah (Tauhid), kedua Al-Quran mengandung berita-berita ghaib yang bersifat metafisik, ketiga Al-Quran mengandung Al-Wa’du (janji baik) dan Al-Wa’id (janji ancaman),keempat Al-Quran mengandung kisah umatumat terdahulu, kelima Al-Quran mengandung norma-norma hukum yang mengatur kehidupan, sehingga berlangsung damai, tertib dan penuh keharmonisan. Maka dapat dipahami bahwa Al-Quran mencakup inti yang menyangkut berbagai masalah, salah satu aspek inti dalam Al-Quran yang mempunyai peran penting bagi kehidupan umat adalah berkaitan tentang motivasi, karena tanpa motivasi maka manusia tak akan mampu melaksanakan suatu hal apapun baik yang menyangkut dengan kepentingan dirinya ataupun orang lain. Manna’ Al-Qathtan, Pengantar Studi Ilmu Al-Quran, Cet. II (Jakarta: Pustaka AlKautsar, 2007), hal. 11-12. 3 Kahar Masyur, Pokok-Pokok Ulumul Quran, Cet. I (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), hal. 11. 4 Ahmad Mukhrij Aji, Memaknai Peringatan Nuzulul Quran, www.radarbogor.com, 07 September 2009. 2 2 Pada prinsipnya ibadah merupakan sari ajaran Islam yang berarti penyerahan diri secara sempurna kepada Allah dengan penuh keikhlasan. Dengan demikian dalam melaksanakan ibadah butuh motivasi sebagai pendukung utama untuk bisa mencapai tingkat ketaqwaan yang diinginkan oleh Allah. Membangun motivasi sangat penting terutama jika dihubungkan dengan hal ibadah kepada Allah, hanya saja metode yang pasti menurut Al-Quran belum diimplementasikan, sehingga masyarakat banyak menggunakan metode yang berbeda-beda. Misalnya seorang Da’i membangun motivasi hanya dengan jalan ceramah dan nasehat, seorang guru menggunakan jalan hukuman dan ancaman, seorang atasan menggunakan penghargaan kepada bawahan, juga tidak sedikit masyarakat menggunakan jalan praktek atau memberi contoh teladan kepada orang lain. Pada hakikatnya manusia diciptakan oleh Allah adalah untuk mengabdi kepada-Nya, hal itu tercermin dalam firman Allah dalam QS.Al-Dzariyat:56, yang berbunyi:        “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan untuk menyembah kepada-Ku”( QS.Al-Dzariyat:56) Dengan demikian, manusia itu diciptakan bukan sekedar untuk hidup mendiami dunia ini dan kemudian mengalami kematian tanpa adanya pertanggung jawaban kepada penciptanya, melainkan manusia itu diciptakan untuk beribadah 3 kepada-Nya, karena tidak ada alasan bagi manusia untuk mengabaikan kewajiban beribadah kepada-Nya5, Allah Swt berfirman dalam QS Al-Baqarah:21:             “Wahai sekalian manusia! Beribadahlah kepada Tuhan kamu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang terdahulu daripada kamu, supaya kamu (menjadi orang-orang yang) bertaqwa.” (QS Al-Baqarah:21) Hal senada juga terdapat dalam beberapa ayat lain yang menganjurkan kita untuk beribadah, diantaranya:       “Dan Sembahlah Tuhanmu, sehingga datang kepadamu (perkara Yang tetap) yakin”. (QS. Al-Hijr:99)                “Dan Tuhan kamu berfirman: "Berdoalah kamu kepada-Ku niscaya Aku perkenankan doa permohonan kamu. Sesungguhnya orang-orang yang sombong takabur dari pada beribadah dan berdoa kepada-Ku, akan masuk neraka jahannam dalam keadaan hina.” (QS.Al-Mukmin:60) Dari ayat di atas sangat jelaslah bahwa Allah sangat menganjurkan kita untuk beribadah, tiada alasan bagi manusia untuk menghindari dari perintah Allah tersebut, maka sangat pentinglah bagi seorang muslim untuk mengetahui 5 Ahmad Thib Raya & Siti Musda Mulia, Menyelami Seluk Beluk Ibadah Dalam Islam (Bogor: Kencana, 2003), hal. 140. 4 bagaimana cara dan langkah untuk menumbuhkan motivasi dalam melaksanakan ibadah seperti yang diperintahkan oleh Allah Swt. Namun demikian, kita perlu melihat kembali metode yang berkembang di masyarakat selama ini, apakah telah sesuai dengan cara yang dianjurkan atau yang digunakan Al-Quran. Karena dalam realita banyak kita lihat masyarakat tidak tergugah dengan segala macam metode yang dibangun untuk menciptakan motivasi, sehingga banyak masyarakat yang hanya menghabiskan waktu dengan sesuatu hal yang tidak bermanfaat dan sia-sia. Sehingga menimbulkan kejenuhan yang akhirnya akan terpikir pada hal-hal yang anarkis, buruk dan bisa merugikan orang lain. Padahal masih banyak jalan dan langkah yang harus ditempuh untuk meraih suatu hal yang berguna baik untuk dirinya ataupun orang lain. Hanya saja masyarakat selama ini belum mampu menciptakan suatu hal yang lebih bermanfaat tanpa ada motivasi yang mendasarinya. Maka dari itu penulis merasa sangat penting pengkajian lebih dalam tentang penelitian ini khususnya metode Al-Quran dalam membangun motivasi. Walaupun tidak sepenuhnya bisa diimplemantasikan namun setidaknya telah ada kepastian yang jelas bagaimana sebenarnya metode dalam membangun motivasi yang benar dan pasti, sehingga telah ada bayangan yang konkrit dalam melaksanakannya. Dalam kehidupan sehari-hari motivasi merupakan hal yang sangat dibutuhkan dalam semua aspek, baik yang berkaitan dengan kegiatan duniawi maupun dalam hal berta’abud kepada Allah Swt. Metode yang digunakan AlQuran merupakan metode yang pasti dan benar tanpa ada kekurangan dan 5 kesalahan sedikitpun karena ia berasal dari sisi yang Maha Benar lagi Maha Bijaksana. B. Rumusan Masalah Untuk membatasi permasalahan ini, penulis telah merinci agar pembahasan lebih terfokus dan tidak melebar. Diantara pembahasan yang ingin dikaji adalah menafsirkan dan meneliti serta menganalisa makna ayat-ayat AlQuran yang berhubungan dengan motivasi beribadah. Maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah metode Al-Quran dalam membangun motivasi untuk beribadah? 2. Bagaimana pandangan ulama dalam memahami ayat motivasi beribadah dalam Al-Quran? C. Tujuan Penelitian Di bagian ini, ada beberapa tujuan pokok yang mendasari penulis dalam menulis skripsi ini, yaitu: 1. Penulis ingin meneliti metode apa yang dipakai Al-Quran dalam membangun motivasi. 2. Ingin mengetahui pandangan ulama dalam memahami ayat-ayat motivasi beribadah dalam Al-Quran. 6 D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian yang terdapat dalam skripsi ini yang perlu dijelaskan adalah sebagai berikut: 1. Bagi Ilmu Pengetahuan Dengan adanya penulisan skripsi ini penulis berharap bisa memberi sumbangan ilmu dan masukan untuk bisa menambah wawasan dan ilmu pengetahuan bagi perkembangan pemikiran generasi muda Islam dalam arus persaingan dunia globalisasi dewasa ini. 2. Bagi Masyarakat Dengan adanya penulisan skripsi ini penulis berharap bisa memberi sumbangan dan masukan serta informasi yang pasti kepada seluruh lapisan masyarakat untuk bisa mengembangkan dalam pengabdian kepada bangsa dan agama. 3. Bagi Diri Sendiri Untuk menambah ilmu pengetahuan dan wawasan penulis khususnya tentang metode Al-Quran dalam membangun motivasi, sehingga dengan adanya penulisan ini bisa menjadi tonggak ukur bagi penulis dalam menjunjung salah satu Tri Darma Perguruan Tinggi. 7 E. Penjelasan Istilah Penelitian ini memiliki beberapa kata kunci yang perlu penulis jelaskan terlebih dahulu, agar nantinya pembaca dapat memahami secara garis besar tentang pokok pembahasan pada bab selanjutnya. 1. Metode Metode adalah seperangkat langkah, cara ataupun proses yang sudah tersusun secara berpola dan sistematis yang dilakukan dengan mengikuti langkahlangkah tertentu guna mencapai tujuan yang hendak dicapai. 2. Al-Quran Al-Quran adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw dengan perantaraan malaikat Jibril sebagai kitab suci umat Islam yang ditulis secara mutawatir untuk pedoman dan petunjuk serta mendapat pahala bagi orang yang membacanya. 6 3. Motivasi Motivasi merupakan sejumlah proses, yang bersifat internal, atau eksternal bagi seorang individu, yang menyebabkan timbulnya sikap antusiasme dan persistensi, dalam hal melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu.7 4. Ibadah Ibadah dalam bahasa Arab memiliki arti kehinaan dan ketundukan. Adapun pengertian ibadah menurut istilah syar’i adalah nama yang merangkum 6 7 Kahar Masyur, Pokok-Pokok Ulumul Quran, Cet. I (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), hal. 2. Winardi, Manajemen Prilaku Organisasi (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1992), hal. 123. 8 segala sesuatu yang diridhai Allah dan yang dicintai-Nya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang dzahir maupun yang bathin.8 F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian dalam penulisan skripsi ini merupakan penelitian yang bersifat kepustakaan (Library Research), yaitu mengumpulkan data dari berbagai sumber dan literatur yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini yang kemudian dijelaskan dengan menggunakan metode maudhu’i. 2. Sumber Data a. Sebagai data primer penulis merujuk kepada buku-buku atau kitab-kitab tafsir Al-Quran yaitu kitab Tafsir Al-Misbah, Tafsir Ibnu Katsir dan Tafsir Al-Azhar. b. Data-data sekunder atau data pendukung penulis merujuk kepada bukubuku yang diperoleh dari karya para tokoh, karya ilmiah, artikel, literatur-literatur dan kajian-kajian lain yang terkait dengan bahan penelitian. 3. Metode Pengumpulan Data Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode maudhu’i yaitu mencoba mencari dan meneliti ayat-ayat yang berkaitan dengan motivasi serta menganalisa terhadap penafsiran ayat-ayat tersebut sesuai dengan tema yang dikaji. 8 Abu Ammar & Abu Fatiah Al-Adnani, Mizanul Muslim (Solo: Cordova Mediatama, 2009), hal. 388. 9 4. Analisis Data a. Metode Deskriptif Yaitu tidak hanya terbatas pada pengumpulan dan penyusunan data, akan tetapi akan meliputi analisa dan interprestasi tentang arti data itu, dan dengan data tersebut nantinya dapat sebuah penyelidikan deskriptif membandingkan persamaan dan perbedaan fenomena tertentu yang kemudian mengambil suatu kesimpulan yang konkrit. 9 b. Metode Content Analysis Yaitu dengan melakukan pengolahan dan pemeriksaan data secara konsepsional atas suatu pernyataan. Dengan demikian penulis memperoleh pemahaman yang jelas apa yang terkandung dalam pernyataan-pernyataan sehingga nantinya mudah dipahami. G. Sistematika Pembahasan Sesuai dengan masalah yang diteliti dalam penyusunan skripsi ini terbagi kedalam empat bab dan untuk memudahkan bagi pembaca dalam menelusuri isi uraian selanjutnya, penulis memandang perlu adanya uraian singkat sebagai garis besar dalam penulisan ini, yaitu: Bab pertama merupakan pendahuluan yang menjadi pengantar umum dalam penulisan skripsi ini yang diisi dengan pembahasan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, 9 Chairani, Penafsiran Ilmiah Al-Quran Terhadap Ayat Kejadian Manusia, Cet. I (Banda Aceh:IAIN Ar-Raniry, 2004), hal. 9. 10 penjelasan istilah, metode penelitian dan sistematika pembahasan. Dalam bab ini menjelaskan gambaran singkat masalah yang akan dibahas pada bab selanjutnya. Bab kedua memuat tentang makna dari metode Al-Quran dan gambaran umum tentang teori motivasi dan ibadah serta sekilas membahas tentang jenis metode yang digunakan Al-Quran. Bab ketiga berisi ayat-ayat Al-Quran yang berhubungan dengan motivasi dan pandangan para mufassir dalam memahami ayat-ayat yang berhubungan dengan tumbuhnya motivasi beribadah, yang selanjutnya dianalisa untuk mencari metode yang digunakan Al-Quran dalam membangun motivasi beribadah. Bab keempat adalah penutup, berisi kesimpulan dari seluruh pembahasan yang telah diuraikan dan dikemukakan beberapa saran yang dapat bermafaat bagi pembaca. 11 BAB DUA METODE AL-QURAN DALAM MOTIVASI BERIBADAH A. Metode Al-Quran Al-Quran adalah mukjizat Islam yang abadi dimana semakin maju ilmu pengetahuan, semakin tampak validitas kemukjizatannya. Allah Swt menurunkan kepada Nabi Muhammad Saw demi membebaskan manusia dari berbagai kegelapan hidup menuju cahaya Ilahi, dan membimbing mereka ke jalan yang lurus. Manusia yang berpegang teguh pada tuntunan Al-Quran akan memperoleh kebahagiaan dan selalu dalam lindungan Allah Swt, namun sebaliknya, mereka yang ingkar dan menjauhkan diri dari Al-Quran ingatlah azab Allah sangat dahsyat. Oleh karena itu kita harus mengerti apa maksud dan tujuan yang dimaksud Al-Quran, bila tidak, salah satu langkah untuk mencari makna yang sebenarnya perlu merujuk kepada hadits Nabi dan pendapat ulama, bukan memahami secara tekstual saja hingga terjerumus kepada kecelaan akal dan hawa nafsu. Di zaman sekarang sudah tidak sulit lagi dalam memahami makna AlQuran, karena telah banyak ulama-ulama mengeluarkan karya hebat dalam bentuk tafsir, tetapi yang sangat sulit bagi masyarakat sekarang adalah bagaimana mereka mengamalkannya, maka dari itu perlu sebuah metode praktis dalam mengamalkan perintah-perintah Ilahi yang tersurat dalam Al-Quran. 12 1. Definisi Metode Al-Quran Pengertian metode secara etimologi berasal dari dua kata, yaitu meta dan hodos. Meta berarti “melalui” dan hodos berarti “jalan” atau “cara” 1. Dalam bahasa Arab dikenal dengan thariqah yang berarti jalan, cara atau langkah strategis yang harus dipersiapkan untuk mencapai tujuan dalam melakukan sebuah kegiatan2. Para ahli mengemukakan makna „metode‟ dengan beragam variasi tergantung dari pemahaman mereka, agar lebih jelas penulis memaparkan beberapa pendapat para ahli psikologi dalam memaparkan makna „metode‟. Menurut Rothwell & Kazanas metode adalah cara, pendekatan, atau proses untuk menyampaikan informasi. Titus mengatakan metode adalah rangkaian cara dan langkah yang tertib dan terpola untuk menegaskan bidang keilmuan. Hal senada juga dikemukakan oleh Acquarie, dia mengungkapkan bahwa metode adalah suatu cara melakukan sesuatu, terutama yang berkenaan dengan rencana tertentu. Winardi mengatakan metode adalah seperangkat langkah (apa yang harus dikerjakan) yang tersusun secara sistematis (urutannya logis). Menurut Almadk metode adalah cara menerapkan prinsip-prinsip logis terhadap penemuan, pengesahan dan penjelasan kebenaran. 1 Arifin, Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, Cet. I (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hal. 61. 2 Shahih Abd. Al-Aziz, al-Tarbiyah al-Haditsah maddatu, Mabadi‟uba, tathiqatuha alAmaliyah, (Kairo: Dar al-M‟arif, 1119 H), hal.196. 13 Menurut Ostle metode adalah pengajaran terhadap sesuatu untuk memperoleh sesuatu interelasi. Drs. Agus M. Hardjana mengatakan metode adalah cara yang sudah dipikirkan masak-masak dan dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah tertentu guna mencapai tujuan yang hendak dicapai. Menurut Hebert Bisno metode adalah teknik-teknik yang digeneralisasikan dengan baik agar dapat diterima atau digunakan secara sama dalam satu disiplin dan praktek. Menurut Max Siporin metode adalah sebuah orientasi aktifitas yang mengarah kepada persyaratan tugas-tugas dan tujuan-tujuan nyata. Rosdy Ruslan mengatakan bahwa metode merupakan kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan suatu cara kerja (sistematis) untuk memahami suatu subjek penelitian, sebagai upaya untuk menemukan jawaban yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan termasuk keabsahannya.3 Hasan Langgulung mendefinisikan bahwa metode adalah cara atau jalan yang harus dilalui untuk mencapai sebuah tujuan. 4 Al-Abrasy mendefinisikan metode adalah jalan yang kita ikuti untuk memberikan pengertian dan pemahaman dalam sebuah kegiatan untuk memperoleh tujuan tertentu.5 3 Arifin, Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, hal. 155. 4 Hasan Langgulung, Pendidikan Dan Peradaban Islam , (Jakarta: ustaka Al-Husna, 1985), hal. 79. 5 Muhammad Athiyah, al-Abrasy, Ruh aal-Tarbiyat wa al-Ta;lim, (Kairo: Isa al-babi alnalabi, tt), hal.257. 14 Dengan demikian dapat dipahami bahwa metode merupakan cara atau jalan yang harus ditempuh untuk mencapai sebuah tujuan yang diharapkan. Dari beberapa pengertian diatas, maka dapat kita pahami bahwa metode AlQuran adalah sebuah langkah atau cara yang digunakan oleh Al-Quran dalam membimbing untuk melaksanakan sesuatu tujuan yang hendak dicapai. Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam pemilihan metode dari AlQuran adalah untuk membangun motivasi manusia dalam menjalankan ibadah kepada Allah guna untuk memperoleh tujuan kebenaran yang hakiki, dimana tujuan disini merupakan tujuan yang sudah pasti, yaitu menjadi manusia yang berta‟abud kepada Allah dengan sesungguh hati, bukan hanya sebatas kata dan separuh hati, sehingga dengan menggunakan metode AlQuran nantinya mampu menumbuhkan motivasi yang kuat untuk beribadah kepada Allah serta membendung hal-hal yang dapat menjadi murkanya Allah kepada kita. 2. Macam-Macam Metode Al-Quran Al-Quran memiliki gaya bahasa yang sangat menarik yang mampu membawa pemaknaan dan pemahaman berdasarkan zaman dan keadaan, meski dalam memahaminya banyak terjadi perbedaan dikalangan ulama tafsir, itu hanya tergantung sisi dan sudut pandang yang mereka gunakan. Seperti halnya dalam memahami metode yang digunakan Al-Quran dalam membangun motivasi beribadah, mereka memiliki cara dan sudut pandang masing-masing sedangkan tujuan hanya satu yaitu beribadah kepada Allah. 15 a. Pandangan Ahli Pendidikan Islam Sebelum jauh mengkaji tentang metode yang digunakan Al-Quran, kita terlebih dahulu melihat pendapat para ahli pendidikan Islam yang telah mengemukakan beberapa metode yang digunakan dalam menumbuhkan motivasi pada seseorang khususnya dalam melaksanakan ibadah kepada Allah Swt, dengan menggunakan metode ini mereka berharap mampu membawa kepada kesungguhan yang amat sangat dalam menjalankan ibadah dengan sepenuh hati. Adapun tokoh pendidikan Islam yang mengemukakan tentang hal tersebut diantaranya: 1) Al-Ghazali Menurut Al-Ghazali metode yang digunakan untuk menumbuhkan motivasi diberikan kepada anak sejak usia dini, sewaktu ia menerimanya dengan hafalan diluar kepala. Ketika ia menginjak dewasa, sedikit demi sedikit makna agama akan tersingkap pada dirinya. Jadi proses dimulai dengan hafalan, diteruskan dengan pemahaman. Demikianlah keimanan akan tumbuh pada anak tanpa dalil terlebih dahulu.6 Menurut Al-Ghazali proses penuntutan anak ibarat menanam sebuah benih, sedangkan keyakinan dalam memberikan keterangan atau pemahaman dalam ibadah merupakan penyiramannya, adapun pagar untuk menjaga adalah kedisiplinan waktu dalam melaksanakannya, sehingga setelah besar ia akan tumbuh kokoh yang tak mampu terombang-ambing dalam angin topan kekejaman dunia. 6 Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, hal. 23. 16 Dari paparan yang dikemukakan Al-Ghazali diatas, dengan demikian dapat kita pahami bahwa dalam menumbuhkan motivasi untuk beribadah, dimulai dari usia dini dengan permulaan hafalan beserta pemahaman, lalu disusul dengan keyakinan dan pembenaran, dan terakir ditegakkan dengan dalil-dalil dan keterangan-keterangan yang menunjang dalam melaksanakan ibadah. 2) Adullah Nashih Ulwan Menurut Adullah Nashih Ulwan metode yang digunakan dalam menumbuhkan motivasi itu dimulai dari orang tua dan rumah tangga dengan menyuruh membaca dan memperkenalkan kekuasaan Allah kepada anak-anaknya, memperkenalkan sejak awal hukum-hukum Islam, dan membiasakan diri dalam melaksanakan ibadah kepada Allah, membaca Al-Quran, serta mendidik mereka untuk meneladani ahklak Rasulullah Saw dalam kehidupan sehari-hari.7 3) Abd. al-Rahman al-Nahlawi Menurut an-Nahlawi, metode yang dapat menyentuh perasaan sehingga akan menumbuhkan motivasi bagi seseorang yaitu dengan metode hiwar (percakapan), dengan kisah, dengan amtsal, dengan teladan, ibrah (pelajaran) mauizah (peringatan), targhib (senang), tarhib (takut).8 7 Adullah Nashih Ulwan, Tarbiyah al-Uulad Fi al-Islam, jilid I, Dar al-Salam, hal.157. Abd. al-Rahman al-Nahlawi, Prinsip-Prinsip Dan Metode Pendidikan Islam, (Bandung: Diponegoro, 1989), hal. 304. 8 17 4) Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibani Adapun yang dikemukakan oleh Omar hampir sama dengan apa yang dikemukakan oleh an-Nahlawi, hanya saja Omar menambahkan adanya metode perbandingan (qiyasiyah), halaqah, dialog, hafalan dan pemahaman.9 Dari kutipan diatas, kita dapat melihat bahwa metode yang dikemukakan para ahli tersebut dilaksanakan sejak dini, bertahap, berkesinambungan dan tuntas, serta dengan cara bijaksana, penuh kasih sayang, teladan yang baik yang sesuai dengan perkembangan yang dapat membangkitkan dan menumbuhkan motivasi secara praktis. Namun demikian metode yang dikemukakan oleh para ahli tersebut bila kita hayati dengan seksama sebenarnya telah terkandung dalam Al-Quran, bahkan Al-Quran menjelaskan dengan sangat rinci dan begitu lebih praktis lagi, sehingga metode yang ditawarkan AlQuran begitu dinamis dan fleksibel dalam ranah masyarakat modern sekarang ini. b. Motivasi Al-Quran Melihat masyarakat zaman sekarang sudah begitu sibuk dengan kegiatannya, sehingga sangat sedikit dan terbatas waktu untuk melakukan ibadah kepada Allah Swt. maka dari itu perlu metode yang tepat dalam menumbuhkan kembali motivasi tersebut supaya mampu tertancap kokoh 9 Omar Mohammd al-Toumy al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, Terj. Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hal. 589. 18 dalam setiap jiwa untuk selalu dekat dengan Allah Swt. meski waktu terbatas tetapi mampu dipergunakan dengan semaksimalnya Karena bila jiwa dan hati dekat dengan Allah maka perbuatanpun akan terjaga dari kejahatan-kejahatan merusak umat; kita sadari atau tanpa kita sadari betapa banyak kejahatan yang tumbuh pada diri masing-masing lantaran masih kurangnya rasa takut kepada Allah Swt, seolah-olah dalam melakukan sesuatu kemungkaran hidup ini tanpa diawasi oleh Allah yang Maha Mengawasi. Maka dari itu Al-Quran memberi jalan bagi kita dalam membendung kejahatan, menolak kemungkaran, dan menggunakan waktu dengan kebenaran tanpa ada kesia-siaan dalam kehidupan walau hanya sementara. Jalan tersebut adalah dengan beribadah sepenuh hati dan dengan keikhlasan yang sesungguh kepada Allah Swt, dengan cara yang diberikan Al-Quran. Adapun cara tersebut tercantum dalam QS. An-Nahl:125 yang berbunyi:                          “Ajaklah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui orang yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk” 19 Ayat tersebut menggambarkan bahwa Al-Quran memiliki metode yang sangat pantas untuk diimplikasikan dalam kehidupan sehari-hari dalam melaksanakan ubudiyah kepada Allah „Azza wa Jalla, dengan tujuan dapat menumbuhkan motivasi dalam beribadah kepada Allah Swt. Dari ayat tersebut secara garis besar metode yang digunakan Al-Quran dalam menumbuhkan motivasi bagi seseorang khususnya dalam bidang ibadah itu terbagi atas tiga bagian, yaitu Al-Hikmah, Al-Mauizhah Hasanah, dan Al-Mujadalah. Ketiga metode tersebut sesungguhnya masih sangat bersifat umum (global), karena memang hampir kebanyakan pesan-pesan Al-Quran menggunakan kata global yang kemudian dielaborasikan melalui haditshadits Nabi dan interpretasi para ulama yang kadang-kadang atas pertimbangan situasi dan kondsi. Oleh karena itu, jenis metode ini perlu dipahami dan dianalisis dengan seksama melalui pendekatan ilmu dakwah yang kemudian dijadikan sebuah rumusan yang sistematis, sehingga bisa diharapkan menjadi pedoman bagi kita dalam upaya menumbuhkan motivasi bagi diri sendiri atau orang lain dalam hal beribadah kepada Allah Swt. 1) Al-Hikmah Kata “hikmah” dalam Al-Quran disebutkan 20 kali, baik dalam bentuk nakirah maupun ma‟rifah. Bentuk masdarnya adalah “hukman” secara bahasa bermakna mencegah. Bila dikaitkan dengan hukum bermakna mencegah dari kedhaliman, dan jika dikaitkan dengan ibadah 20 adalah mencegah hal-hal yang dapat merusak dan menghalangi jalannya ibadah kepada Allah Swt. Menurut al-Ashma‟i asal mula didirikan hukumah (pemerintahan) ialah untuk mencegah manusia dari perbuatan zalim. Maka digunakan istilah hikmatul lijam, karena lijam bermakna cambuk atau kekang kuda yang berguna untuk mencegah tindakan hewan.10 Al-Hikmah juga berarti tali kekang pada binatang sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab Misbahul Munir. Diartikan demikian karena tali kekang itu membuat penunggang dapat mengendalikannya, sehingga dapat mengendalikan dan mengatur perintah bagi tunggangannya. Dari kiasan tersebut maka orang yang memiliki hikmah bermakna orang yang memiliki kendali diri yang dapat mencegah dirinya dari hal-hal yang kurang bernilai, atau menurut Ahmad bin Munir al-Muqri al-Fayumi berarti dapat mencegah dari perbuatan yang hina.11 Orang yang memiliki hikmah disebut al-Hakim, yaitu orang yang memiliki pengetahuan yang paling utama dari segala sesuatu, maka bila dikaitkan dalam konteks ibadah, maka orang-orang yang telah mendapat hikmah merupakan orang-orang yang telah dianugerahi oleh Allah Swt sesuatu yang lebih sehingga ia mampu mengisi kehidupannya dengan semata-mata untuk beribadah kepada Allah Swt. Jenis-jenis hikmah yang diberikan oleh Allah kepada manusia pilihan 10 11 Ibnu Mandzur, Lisanul Arab, jilid 12, (Beirut: Dar Fikr, 1990), hal. 141. Ahmad bin Muhammad al-Muqri‟ al-Fayumi, al-Misbahul Munir, tp. tth, hal. 120. 21 dalam hal beribadah meliputi hikmah jiwa, hikmah hati, dan hikmah pikiran. Adapun hikmah jiwa meliputi: a) Perasaan tanggung jawab pada dirinya untuk melasanakan ibadah kepada Allah Swt. b) Timbulnya perasaan takut (al-khauf) kepada Allah bila yang dilaksanakan tersebut merupakan pekerjaan yang tercela. c) Merasa butuh (al-faqr) kepada Allah, karena yakin bahwa ia tidak mampu hidup tanpa ada pertolongan dari-Nya. d) Tumbuhnya perasaan selalu diawasi (muraqabah) oleh Allah sehingga selalu berhati-hati dalam setiap langkah yang hendak diayun. e) Adanya rasa malu (al-haya‟) kepada Allah bila keseharian berada dalam gelimang dosa. Selain itu, Allah juga memberi hikmah pada seseorang yang lebih berpotensi pada hati, karena bila hati telah dianugerahi cahaya hikmah oleh Allah, maka hati tersebut akan bersinar laksana cermin yang memantulkan bayangan kemilauan yang luar biasa, sehingga akan menumbuhkan perasaan yang luar biasa pada dirinya, adapun perasaan tersebut diantaranya: a) Tumbuhnya rasa cinta (hubb) yang kuat kepada Allah, melebihi segala sesuatu, sehingga ia akan selalu ingin bersama dengan Allah, seolah-olah ia tidak mampu jauh dan selalu teringat kepada Allah Azza wa Jalla. 22 b) Kesungguhan dalam melaksanakan ibadah baik itu dalam melaksanakan ibadah lisan, hati maupun perbuatan untuk mengisi waktu-waktu dalam kehidupan sehari-hari. c) Hati akan terpaut dengan rasa kekhawatiran (isyfaq) terhadap apa yang dilaksanakan, apakah hal tersebut diterima atau diridha oleh Allah atau bahkan sebaliknya ditolak tanpa ada harapan mendapat ridha-Nya. d) Apapun yang dilaksanakan dalam kehidupannya, baik itu suka duka, gembira, bahagia ataupun kesedihan dan kesengsaran itu diterima dengan ikhlas dan lapang dada, karena yakin bahwa segala sesuatu itu datangnya dari Sang Pencipta. Adapun hikmah selanjutnya yang diperoleh dari Allah melalui akal dan pikiran, yang ditanamkan oleh Allah dalam akalnya sehingga ia mampu berpikir dan merenungi kekuasaan dan ayat-ayat Tuhan yang berada di sekitarnya, karena Allah sangat menganjurkan manusia selalu berpikir tentang kekuasaan Allah-Nya. Orang-orang yang mendapat hikmah pikiran akan mampu mengambil ibrah terhadap apa yang dilihatnya. Adapun hikmah pikiran tersebut sangat banyak, namun secara garis besar meliputi: a) Senantiasa memikirkan tujuan dari penciptaan dirinya sendiri. b) Memikirkan tentang penciptaan alam semesta. c) Memikirkan sifat kehidupan dunia yang sementara. d) Memikirkan nikmat-nikmat yang mereka miliki. 23 e) Berpikir tentang akhirat, hari kiamat dan hari penghisaban. f) Sering berpikir tentang kematian. 2) Mau’idhah Hasanah Secara bahasa Mau‟idhah Hasanah terdiri dari dua kata, yaitu mau‟idhah dan hasanah. Kata mau‟idhah berasal dari kata wa‟adhaya‟idhu-wa‟dhan-‟idhatan, yang berarti nasehat, bimbingan, pendidikan dan peringatan.12 Sementara hasanah merupakan lawan dari sayyi‟ah yang bermakna kebaikan lawan dari kejelekan. Adapun secara istilah, kata Mau‟idhah Hasanah memilki beberapa pengertian, seperti menurut Imam Abdullah bin Ahmad anNasafi yang dikutip oleh H. Hasanuddin, “Mau‟idhah Hasanah adalah perkataan-perkataan yang tidak tersembunyi bagi mereka, bahwa engkau memberikan nasehat dan menghendaki mamfaat kepada mereka atau dengan Al-Quran”.13 Menurut Abd. Hamid al-Bilali “Mauidhah Hasanah merupakan salah satu metode dalam Al-Quran yang berkaitan dengan dakwah untuk mengajak kejalan Allah dengan memberi nasehat atau bimbingan dengan cara yang lemah lembut agar mereka mau melakukan suatu kebaikan”.14 12 Ibnu Mandzur, Lisanul Arab, jilid VI, (Beirut: Dar Fikr, 1990), hal. 466. Hasanuddin, SH., Hukum Dakwah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996), hal. 37. 14 Abdul Hamid al-Bilali, Fiqh al-Dakwah fi Ingkar al-Munkar, (Kuwait: Dar al-Dakwah, 1989), hal. 260. 13 24 Mau‟idhah Hasanah dapat pula diartikan sebagai ungkapan yang mengandung unsur bimbingan, pendidikan, pengajaran, kisah-ksah, berita gembira, peringatan, wasiat positif berupa pesan-pesan yang dapat menjadi pedoman dalam kehidupan agar mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat. 3) Mujadalah Secara bahasa lafadz mujadalah terambil dari kata “jadala” yang bermakna memintal, melilit. Apabila ditambah huruf alif pada huruf jim, yang mengikuti wazan “faa-„ala” kata ini dapat bermakna berdebat, berbantah dan mujadalah.15 Kata “jadala” dapat bermakna menarik tali dan mengikatnya guna untuk menguatkan sesuatu. Orang yang berdebat bagaikan menarik dengan ucapan untuk meyakinkan lawan bicaranya dengan menguatkan pendapat melalui argumentasi yang disampaikan. 16 Menurut Ali al-Jarisyah, dalam kitabnya al-Hiwar wa alMunadzarah mengartikan bahwa “al-Jidal” secara bahasa dapat bermakna “datang untuk memilih kebenaran” dan apabila berbentuk isim “al-Jadlu” maka bermakna “pertentangan atau perseteruan yang tajam”17 beliau juga menambahkan lafadz ini musytaq dari lafadz alQatlu yang sama-sama bermakana pertentangan. 15 Ahmad Warson al-Munawir, Kamus al-Munawir, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hal.175. 16 17 Quraisy Shihab, Tafsir al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, 2000), hal. 553. Ali al-Jarisyah, al-hiwar wa al-Munadzarah, (al-Munawarah: Dar al-Wifa, 1989), hal. 19. 25 Secara istilah terdapat beberapa pendapat dalam mengemukakan makna lafadz al-Mujadalah ini, seperti yang dikemukakan oleh Abdus Salam dalam buku etika diskusi mengungkapkan bahwa al-Mujadalah merupakan uapaya tukar pendapat yang dilakukan dua pihak secara sinergis, tanpa adanya suasana yang mengharuskan lahirnya pemusuhan diantara keduanya.18 Menurut Dr. Sayyid Muhammad Thantawi ialah suatu upaya yang bertujuan untuk mengalahkan pendapat lawan dengan cara menyajikan argumentasi dan bukti yang kuat.19 Dari beberapa pendapat diatas dapat kita pahami bahwa mujadalah merupakan cara yang ditempuh dengan argumentasi kuat berdasarkan dalil untuk memperoleh suatu puncak kebenaran. Al-Quran melalui ayat-ayatnya menaruh perhatian yang besar pada masalah ini, terbukti dalam Al-Quran Allah menyebutkan redaksi al-Mujadalah sebanyak 16 kali,20 karena metode ini ditempuh demi menggapai kebenaran yang meyakinkan hati, menyegarkan jiwa, menenangkan perasaan dan menjadikan kaum muslimin termotivasi untuk menjalankan ibadah sehingga akan hidup dalam iman yang kuat untuk memperoleh kesempurnaan tujuan dan kebahagian dunia dan akhirat. 18 World Assembly of Muslim Youth (WAMY), Fi Ushulil Hiwar, (Mesir: Maktabah Wahbah Cairo), Terj. Abdus Salam, Muhil Dhafir, Etika Diskusi, Cet. II (Jakarta:Era Inter Media, 2001), hal.21. 19 Sayyid Muhammad Thanthawi, Adab al-Khiwar fi Islam, (Mesir: Dar al-Nahddhah), Terj. Zuhaeri Misrawi, Zamroni Kamal, cet. I, (Jakarta: Azam, 2001), pada kata pengantar. 20 Al-Raghib al-Afsan, Mu‟jam al-Faadh Al-Quran, (Beirut: Dar al-Fikr, tth), hal. 610. 26 B. Motivasi Manusia diciptakan oleh Allah sebagai khalifah yang ditugaskan untuk memakmurkan bumi, mengenal potensinya, perbendaharaan yang terpendam di dalamnya, sambil mewujudkan apa yang dikehendaki Allah dalam penggunaannya, pengembangan dan peningkatannya, juga memuat upaya penegakan syariat Allah di bumi, juga mewujudkan sistem yang sejalan dengan undang-undang dan hukum yang telah ditetapkan Ilahi. Oleh karena itu, manusia hidup di dunia ini telah mengemban sebuah amanah besar yang harus dijaga dengan hati-hati dan penuh kesabaran. Untuk Menjaga dan memelihara itulah terkadang manusia salah kaprah dalam melaksanakannya, manusia telah banyak digoda oleh syahwat dan hawa nafsu sehingga banyak terjadi kerusakan dan kedhaliman di muka bumi. Namun demikian semua itu bisa terkendali bila manusia telah memiliki motivasi yang kuat dalam menjaga amanah dengan semata-mata sebagai ibadah dan mengharap ridha Allah. Maka dari itulah motivasi merupakan salah satu faktor akurat yang menjadi pendukung terlaksananya sebuah kegiatan dengan baik dan sempurna. 1. Definisi Motivasi Kata motivasi berasal dari bahasa latin “Movere” yang artinya menimbulkan pergerakan. Dalam kamus besar bahasa Indonesia bermakna: “Dorongan yang timbul pada diri seseorang secara sadar atau tidak untuk melakukan suatu tindakan dengan tujuan tertentu; dan usaha yang dapat menyebabkan seseorang atau kelompok orang tertentu tergerak melakukan 27 sesuatu karena ingin mencapai tujuan yang dikehendakinya atau mendapat kepuasan dengan perbuatannya.21 Pengertian motivasi sering kali diartikan dengan motif yaitu dorongan. Dorongan tersebut merupakan gerak jiwa dan jasmani untuk berbuat dan menggerakkan manusia melakukan sesuatu pekerjaan dan pencapaian suatu tujuan. Seperti yang dikemukakan oleh Woodworth dan Marques dimana motivasi sering diartikan sebagai motif yaitu suatu tujuan jiwa yang mendorong individu dan aktivitas-aktivitas tertentu dan untuk tujuan-tujuan tertentu terhadap situasi disekitarnya.22 Menurut Wexley dan Yukl motivasi adalah pemberian atau penimbulan motif atau dorongan seseorang untuk melakukan suatu hal23, sedangkan menurut Mitchell motivasi mewakil proses-proses psilogikal yang menyebabkan timbulnya, dan tumbuhnya dan diarahkannya agar dapat terjadi suatu kegiatan dalam pencapaian tujuan tertentu24. Lain halnya menurut Gray motivasi merupakan sejumlah proses yang bersifat internal atau eksternal bagi setiap individu yang menyebabkan timbulnya sikap antusiasme dan partisipasi dalam hal melakukan dan melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu. Morgan (Soemanto 1987) mengemukakan bahwa motivasi bertalian dengan tiga hal yang sekaligus merupakan aspek-aspek dari motivasi. Ketiga hal tersebut adalah: keadaan yang mendorong tingkah laku (motivating 21 Pusat Bahasa, KBBI, Jakarta: 2008, hal. 973. Mustaqim, Abdul Wahib, Psikologi Pendidikan, (Semarang: Rineka Cipta, 1990), hal.72. 23 Moh. As‟Ad, Psikologi Industri, (Yokyakarta: Liberty, 1998), 24 Winardi, Manajemen Perilaku Organisasi, (Bandung: PT.Citra Aditya, 1992) 22 28 states). Tingkah laku yang didorong oleh keadaaan tersebut (motivated behavior) dan tujuan-tujuan dari tingkah laku tersebut (goals or ends of such behavior). Mc Donald mendefinisikan motivasi sebagai perubahan tenaga dalam diri seseorang yang ditandai oleh dorongan efektif dan reaksi-reaksi mencapai tujuan.25 Selain dari itu, masih banyak sekali ahli-ahli psikologi mendefinisikan makna motivasi dengan sudut pandang yang berbeda. Maka dari itu dapat kita simpulkan bahwa Motivasi adalah energi aktif yang menyebabkan terjadi suatu keinginan yang kuat untuk menyebabkan perubahan pada diri individu yang nampak pada gejala jiwa perasaan dan juga emosi, sehingga mendorong seseorang untuk bertindak dan melakukan sesuatu karena adanya kebutuhan, keinginan dan tujuan yang harus terpuaskan. 2. Macam-Macam Motivasi Secara garis besar, teori motivasi dikelompokkan ke dalam tiga kelompok yaitu teori motivasi dengan pendekatan isi/kepuasan (content theory), teori motivasi dengan pendekatan proses (process theory) dan teori motivasi dengan pendekatan penguat (reinforcement theory). Motivasi dapat diartikan sebagai kekuatan (energi) seseorang yang dapat menimbulkan tingkat persistensi dan antusiasmenya dalam melaksanakan suatu kegiatan, baik yang bersumber dari dalam diri individu itu sendiri (motivasi intrinsik) maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik). 26 25 Soemanto, Wasty, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), Martin Handoko, Motivasi Daya Penggerak Tingkah Laku, (Yokyakarta: Kanisius, 1995), hal. 41. 26 29 Maka jelaslah motivasi memiliki dua variasi yang pertama Motivasi Ekstrinsik yaitu motivasi yang didapat dari luar, baik dari lingkungan sekitar, dorongan dari orang lain, pengaruh kultur sosial dan hal-hal lain yang berasal dari luar, dan yang kedua Motivasi Intrinsik yaitu motivasi yang berasal dari diri sendiri, jenis ini berupa hasrat untuk melakukan sesuatu, keinginan, dan hal-hal yang tumbuh dari jiwa seseorang tanpa dorongan dan pengaruh dari luar.27 Seberapa kuat motivasi yang dimiliki individu akan banyak menentukan terhadap kualitas perilaku yang ditampilkannya, baik dalam konteks ibadah, belajar, bekerja maupun dalam kehidupan lainnya.. Kajian tentang motivasi telah sejak lama memiliki daya tarik tersendiri bagi kalangan pendidik, manager, dan peneliti, terutama dikaitkan dengan kepentingan upaya pencapaian kinerja (prestasi) seseorang dalam belajar atau bekerja, namun sangat sedikit yang memuat tentang bagaimana dalam beribadah. Sebelum melangkah jauh, kita melihat sedikit tentang jenis-jenis, faktor, ataupun teori motivasi menurut para ahli terlebih dahulu, yang nantinya akan kita kaitkan dengan metode yang digunakan Al-Quran dalam membangun motivasi khususnya dalam masalah ibadah kepada Allah Swt. a. Motivasi Intrinsik Menurut Sadirman AM, motivasi intrinsik adalah: “motif-motif yang menjadi aktif atau berfungsi tidak perlu dirangsang dari luar, karena dalam diri setiap individu sudah ada dorongan untuk melakukan sesuatu”. 27 Mustaqim, Abdul Wahib, Psikologi Pendidikan, (Semarang: Rineka Cipta, 1990), hal. 72. 30 Dengan demikian motivasi intrinsik dapat pula dikatakan sebagai bentuk motivasi yang didalamnya aktivitas dimulai dan diteruskan berdasarkan pada suatu dorongan dalam diri dan secara mutlak terkait dengan aktivitas tersebut. Sedangkan menurut Chalijah Hasan motivasi intrinsik adalah: “jenis motivasi ini timbul sebagai akibat dari dalam diri individu sendiri tanpa ada paksaan dan dorongan dari orang lain” Ada beberapa macam terbentuknya motivasi intrinsik antara lain: 1) Adanya Kebutuhan Menurut Ngalim Purwanto: “Tindakan yang dilakukan oleh manusia pada hakikatnya adalah untuk memenuhi kebutuhannya, baik kebutuhan fisik maupun psikis”. Dari pendapat tersebut, misalnya bagi keluarga sakinah yang bermaksud memberikan motivasi kepada anak, maka harus berusaha mengetahui terlebih dahulu apa kebutuhan-kebutuhan anak yang akan dimotivasi. Begitu juga dalam melaksanakan setiap kegiatan lainnya, kita setidaknya mesti mengetahui sedikit tidaknya mamfaat dan hikmah dari apa yang kita laksanakan tersebut. seperti firman Allah dalam Al-Quran surah Al-Anbiya:80 yang berbunyi:           “Dan telah Kami ajarkan kepada Daud membuat baju besi untuk kamu, guna memelihara kamu dalam peperanganmu; Maka hendaklah kamu bersyukur kepada Allah” 31 Menurut Yaumil Agoes menambahkan sedikit, bahwa dalam memahami kebutuhan anak adalah semata-mata untuk memberi peluang pada anak memilih berbagai alternatif yang tersedia dalam suatu lingkungan yang kaya stimulasi”.28 Berdasarkan kepada pendapat tersebut dapat dipahami bahwa kebutuhan merupakan salah satu hal yang dapat menumbuhkan motivasi. 2) Adanya Cita-Cita Selanjutnya pendorong yang mempunyai pengaruh besar adalah adanya cita-cita. Cita-cita merupakan pusat bermacam-macam kebutuhan-kebutuhan, artinya kebutuhan-kebutuhan itu biasanya direalisasikan di sekitar cita-cita itu, sehingga cita-cita tersebut mampu memberikan energi kepada seseorang untuk melakukan sesuatu aktifitas. Jadi seseorang harus mempunyai cita-cita dan dengan cita-cita tersebut dapat meraih apa saja yang diinginkan. Selanjutnya Zakiah Daradjad menjelaskan bahwa: “Mamfaat sikapsikap cita-cita dan rasa ingin tahu seseorang misalnya ada pada umumnya anak-anak preadolescent dan permulaan adolesent memiliki cita-cita yang tinggi dan sering mereka memberi respon dalam bentuk kerja sama permainan, kejujuran dan karajinan”29 28 Yaumil Agoes, Peranan Keluarga Dalam Pembinaan SDM, (Jakarta:Pustaka Antara, 1993), hal. 21. 29 Zakiah Daradjad, Metode Khusus Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hal.144. 32 Dari pendapat tersebut, dapat dipahami bahwa perlu pemberian motivasi yang tepat terhadap seseorang yang belum mengetahui pentingnya kegiatan tersebut yang menunjang terhadap pencapaian cita-citanya. Maka bila dikaitkan dengan ibadah, maka disinilah peranan dan kontribusi orang lain dituntut untuk memberikan motivasi, agar ia dapat melakukan ibadah yang dapat menunjang pencapaian cita-cita ataupun tujuan hidupnya dan dalam hal ini, kontribusi ini dapat berupa dakwah, nasehat ataupun dialog untuk mewujudkannya dengan cara menerangkan manfaatnya, sehingga akan terasa terpanggil untuk beribadah secara efektif dan efisien agar dapat menggapai cita-citanya. 3) Keinginan Tentang Kemajuan Dirinya Bila dikaitkan dalam proses belajar, motivasi memang memegang peranan penting. Namun dalam ibadah juga tidak kalah pentingnya untuk menumbuhkan motivasi tersebut. Menurut Sadirman bahwa: ”Melalui aktualisasi diri pengembangan kompetensi akan meningkatkan kemajuan diri seseorang. Keinginan dan kemajuan diri ini menjadi salah satu keinginan diri seseorang. Keinginan dan kemajuan diri ini menjadi salah satu keinginan bagi setiap individu”.30 30 Sardiman, A.M. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta: Rajawali Persada, 1990), hal. 85. 33 4) Minat Motivasi muncul karena ada kebutuhan, begitu juga minat sehingga tepatlah kalau minat merupakan alat motivasi yang pokok. Proses tersebut itu akan berjalan kalau disertai dengan minat. Namun dalam metode Al-Quran minat termasuk bagian kecil dalam beribadah, karena ibadah adalah suatu perintah dan kewajiban yang wajib dilaksanakan oleh setiap manusia. b. Motivasi Ekstrinsik Menurut Chalijah Hasan motivasi ekstrinsik adalah “jenis motivasi yang timbul sebagai akibat pengaruh dari luar individu, apakah karena adanya ajakan, suruhan atau paksaan dari orang lain sehingga dengan kondisi yang demikian akhirnya mau melakukan sesuatu kegiatan”.31 Sedangkan Sadirman menyebutkan: “motivasi ekstrinsik itu adalah motifmotif yang aktif dan fungsinya karena adanya perangsang dari luar”.32 Motif ekstrinsik dapat pula dikatakan sebagai suatu bentuk motivasi yang didalamnya aktivitas sesuatu diteruskan berdasarkan dorongan dari luar yang tidak secara mutlak berkaitan dengan aktivitas tersebut. Berdasarkan pada pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa motivasi ekstrinsik itu aktif jika dirangsang dari luar dan mempunyai kontribusi besar dalam menumbuhkan motivasi ini adalah keluarga sebagai tempat yang pertama dan utama dalam segala proses kehidupan. Ada 31 Chalijah Hasan, Dimensi-Dimensi Psikologi Pendidikan, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1994), hal. 42. 32 Sardiman, A.M, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta: Rajawali Persada, 1990), hal. 88. 34 beberapa cara untuk menumbuhkan dan membangkitkan motivasi seseorang agar melakukan sebuah aktifitas ataupun kegiatan, diantaranya adalah: 1) Pemberian Hadiah Hadiah merupakan sarana penting bagi seseorang dalam membangun dan menumbuhkan motivasi, ini merupakan salah satu alat yang bersifat positif dan fungsinya sebagai alat represif positif. Hadiah juga merupakan alat pendorong untuk lebih aktif. Dalam Al-Quran sangat jelas bila kita melihat berbagai hadiah yang dijanjikan Allah kepada manusia, baik itu hadiah yang akan diberikan di alam dunia maupun hadiah terbesar yang nantinya diperoleh di akhirat kelak. 2) Kompetensi Saingan atau kompetensi dapat digunakan sebagai alat untuk mendorong untuk menumbuhkan sebuah motivasi, baik persaingan individu maupun kelompok dalam rangka meningkatkan atau mencapai sebuah kemenangan. Memang unsur persaingan itu banyak digunakan dalam dunia modern sekarang ini, hampir setiap aspek butuh persaingan untuk mencapi tujuannya tersebut. tetapi sangat baik jika digunakan untuk meningkatkan kegiatan motivasi dalam beribadah kepada Allah. 35 Namun demikian Al-Quran juga menjelaskan tentang hal ini, yang dikupas secara panjang lebar yang lebih dikenal dengan sebuah metode praktis yang disebut dengan mujadalah. 3) Hukuman Hukuman merupakan pendidikan yang tidak menyenangkan, alat yang bersifat negatif, namun demikian dapat menjadi alat motivasi atau pendorong untuk mempergiat kegiatan tersebut agar tidak memperoleh hukuman yang telah ditetapkan. Ishom Ahmadi menyebutkan, “Hukuman adalah termasuk alat pendidikan represif yang bertujuan menyadarkan anak didik agar melakukan hal-hal yang baik dan sesuai dengan tata aturan yang berlaku”. Menurut Sadirman adalah “Bentuk reinforcement yang positif dan sekaligus merupakan motivasi yang baik”. Maka jelaslah bagi kita dalam menempuh jalan ini perlu berhatihati karena ditakutkan dikenakan hukuman, hal tersebut juga dijelaskan oleh banyak ayat Al-Quran tentang ancaman dan hukuman yang diberikan oleh Allah kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya. 3. Peranan Motivasi Dalam Ibadah Perlu ditegaskan, bahwa motivasi bertalian dengan suatu tujuan yang berpengaruh pada aktifitas, maka fungsi motivasi dalam beribadah adalah: a. Mendorong manusia untuk beribadah dengan sepenuh hati, yang menjadi penggerak atau motor yang mampu membendung segala 36 kemungkaran. Motivasi dalam hal ini merupakan motor penggerak dari setiap ibadah yang akan dikerjakan. b. Menentukan arah perbuatan, yakni ke arah tujuan yang hendak dicapai. Dengan demikian motivasi dalam beribadah dapat memberikan arah dan kegiatan yang harus dikerjakan sesuai dengan yang telah ditetapkan. c. Menyeleksi perbuatan, yakni menentukan perbuatan-perbuatan apa yang harus dikerjakan yang serasi guna mencapai tujuan dengan menyisihkan perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan tersebut. Sehingga akan muncul waktu yang tersisa selalu terisi dengan hal-hal yang bermamfaat, tanpa berlalu dengan sia-sia. Disamping itu, dalam beribadah motivasi dapat berfungsi sebagai pendorong usaha pencapaian ibadah yang sempurna, dengan melangkah kepada tempat atau majelis ilmu yang mampu membawa kepada kebaikan dan keabsahan ibadah selama ini. Melihat uraian diatas, maka dapat dipahami bahwa dengan adanya motivasi pada diri seseorang dalam melaksanakan ibadah kepada Allah, baik itu motivasi yang dibangun dari dasar diri individual, ataupun kondisi dan dorongan dari luar yang dibangkitkan melalui pemberian motivasi oleh orang lain maka kegiatan ibadah yang merupakan tujuan pokok dalam kehidupan akan terlaksana secara optimal. 37 C. Ibadah Manusia bukan hanya sebatas mahkluk ciptaan Allah yang hanya hidup, makan dan tidur seperti mahkluk-mahkluk lain tanpa ada pertanggung jawaban di depan Tuhannya. Manusia adalah jenis mahkluk sempurna yang diciptakan Tuhan yang diberi akal untuk berpikir kebesaran-Nya, diberi hati untuk merenungi kasih sayang-Nya, diberi jiwa untuk menghayati ciptaan-Nya, diberi nafsu untuk melaksanakan perintah-Nya, selain itu Allah juga memberikan kepada manusia raga yang hebat untuk mampu menundukkan hewan, tumbuhan, dan dunia beserta isinya, semua itu dengan tujuan satu yaitu agar memudahkan manusia beribadah kepada Tuhannya. 1. Definisi Ibadah Ibadah dalam dalam bahasa Arab memiliki arti kehinaan dan ketundukan. Ibadah ialah penghambaan diri kepada Allah ta‟ala dengan mentaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, sebagaimana yang telah disampaikan oleh Rasulullah Saw inilah hakekat agama Islam, karena Islam maknanya ialah penyerahan diri kepada Allah semata, yang disertai dengan kepatuhan mutlak kepada-Nya, dengan penuh rasa rendah diri dan cinta. Ibadah berarti juga segala perkataan dan perbuatan, baik lahir maupun batin, yang dicintai dan diridhai oleh Allah. Dan suatu amal akan diterima oleh Allah sebagai ibadah apabila diniatkan dengan ikhlas karena Allah semata; dan mengikuti tuntunan Rasulullah Saw. 38 Adapun pengertian ibadah menurut istilah syar‟i adalah nama yang merangkum segala sesuatu yang diridhai Allah dan yang dicintai-Nya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang dzahir maupun yang bathin.33 Dr. Ibrahim Al-Buraini dalam kitab Al-Makhal li Dirasatil Aqidah, hal 14-15 memberi definisi ibadah sebagai berikut: ”Nama yang mencakup segala sesuatu yang diridhai Allah dan dicintai-Nya, baik berupa perkataan maupun perbuatan yang tampak atau yang tidak, dengan penuh rasa cinta, kepasrahan dan ketundukan yang sempurna serta membebaskan diri dari segala hal yang bertentangan dan menyalahi”34 Namun demikian jika kita melihat definisi diatas maka jelaslah bahwa ibadah seorang mukmin itu mesti dibangun atas tiga dasar utama, yaitu: Rasa Cinta (Al-Hubb), Rasa Takut (Al-Khauf) dan Rasa Harap (Ar-Raja‟). a. Rasa Cinta (Al-Hubb) Adanya rasa cinta yang sangat kepada Allah dan Rasul-Nya dan kecintaan dalam hal beribadah kepada-Nya yang akan mendahulukan segala hal yang datang dari Allah. Hal ini menuntut seorang hamba untuk mencintai Allah dan Rasul-Nya melebihi segala sesuatu dari yang lain. Seperti yang telah disebutkan dalam Al-Quran Allah berfirman dalam surat At-Taubah ayat 24 yang berbunyi:                  33 Abu Ammar & Abu Fatiah Al-Adnani, Mizanul Muslim, (Solo: Cordova Mediatama, 2009), hal. 388. 34 Ibid. hal. 388. 39                   “Katakanlah (Wahai Muhammad): "Jika bapa-bapa kamu, dan anak-anak kamu, dan saudara-saudara kamu, dan isteri-isteri (atau suami-suami) kamu, dan kaum keluarga kamu, dan harta benda yang kamu usahakan, dan perniagaan yang kamu khawatir kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, (jika semuanya itu) menjadi perkaraperkara yang kamu cintai lebih dari pada Allah dan Rasul-Nya dan (dari pada) berjihad untuk agama-Nya, maka tunggulah sehingga Allah mendatangkan keputusan-Nya (azab siksa-Nya); karena Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik (durhaka)”. Melihat ayat diatas maka jelaslah bagi seorang hamba untuk mencintai Allah dan Rasul-Nya melebihi dari sesuatu yang lain, ini merupakan bagian dari maqam yang pertama untuk menumbuhkan rasa cinta seorang hamba kepada Allah dan Rasul-Nya yang disebut dengan Maqam Takmil (Penyempurnaan). Pada tingkatan selanjutnya disebut dengan Maqam Tafriq (Perbedaan), dalam artian bahwa seorang hamba dalam mencintai saudaranya berlandaskan cinta kepada Allah. Ia tidak mencintainya kecuali karena Allah35. Ia harus mampu membedakan antara apa yang ia cintai dengan apa yang ia benci. Dan pada tingkatan yang terakir disebut dengan Maqam Daf‟udh Dhidd (Penolakan Terhadap Lawan), yaitu seorang hamba hendaknya membenci segala hal yang bertentangan dengan cintanya kepada Allah, ia harus menjadikan kebencian tersebut sebagaimana kebenciannya untuk dilempar kedalam api neraka, seperti yang pernah disabdakan oleh Rasulullah : 35 Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Mujadilah [58]: 22. 40 “Ada tiga perkara yang bila terkumpul pada diri seseorang niscaya ia akan mengalami kelezatan iman, yaitu apabila Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari apapun, seseorang yang mencintai orang lain semata-mata karena Allah (karena keimanan dan amal shaleh kepada Allah), dan benci kembali kepada kekafiran setelah Allah menyelamatkannya dari kekafiran sebagaimana ia tidak suka apabila dilemparkan kedalam neraka.36 b. Rasa Takut (Al-Khauf) Yaitu adanya rasa takut yang sangat kepada Allah, sehingga tiada sesuatu apapun yang lebih ditakutkan kecuali takut kepada Allah, murkaNya dan azab-Nya. Rasa takut yang menyebabkan seseorang tunduk, patuh dan taat kepada sesuatu yang ia takuti adalah bagian dari ibadah yang hanya boleh ditujukan kepada Allah. Rasa takut ini merupakan bagian yang harus ada, agar iman dan ibadah seorang hamba menjadi benar dan lurus. Allah berfirman dalam surh Ali Imran:175, yang berbunyi:              “Sesungguhnya (pembawa berita) yang demikian itu ialah Syaitan yang (bertujuan) menakut-nakutkan (kamu terhadap) pengikut-pengikutnya (kaum kafir musyrik). oleh karena itu, janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika betul kamu orang-orang yang beriman”37. c. Rasa Harap (Ar-Raja’) Yaitu harapan untuk memperoleh pahala yang ada di sisi Allah berupa ridha dan kasih sayang-Nya, pahala dan syurga-nya tanpa rasa putus asa. Dengan adanya harapan terhadap karunia-karunia Allah yang agung ini seseorang hamba akan giat beribadah kepada Allah untuk 36 37 HR. Bukhari; Kitab Al-Iman no. 16 Muslim Kitab Al-Iman no. 43. Lihat juga QS. Al-Baqarah [2]:40 QS. Al-Maidah [5]: 44. 41 melaksanakan amal shaleh dan menjauhi larangan-Nya. Rasa harap ini ada dua macam pembagiannya yang pertama; rasa harap hamba yang melakukan amal kebajikan untuk diterima, diridhai dan dibalas oleh Allah dengan pahala dari sisi-Nya. Dan jenis yang kedua merupakan rasa harap seorang hamba yang melakukan amal keburukan untuk diterima taubatnya. Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Az-Zumar [39]: 53). 2. Macam-Macam Ibadah Dalam Islam Kita telah mengetahui bahwa misi utama manusia di muka bumi ialah menyembah Allah azza wa jalla yang telah menciptakan dan memberi nikmat yang tak terhingga kepada setiap mahkluknya yang bernyawa, namun tak bisa kita pungkiri bahwa tujuan hidup ini hanyalah untuk beribadah kepada-Nya, hanya saja kita perlu mengetahui aspek dan cara-cara yang mesti kita tempuh untuk menuju tujuan utama dengan benar dan di ridhai-Nya. Islam telah menjelaskan panjang lebar tentang ibadah-ibadah yang mesti dilaksanakan oleh seorang Muslim dalam mendekatkan diri kepada Allah, yang semua itu bila kita asumsikan bisa dibagi dua macam yaitu ibadah dalam makna umum dan khusus. Adapun ibadah yang termasuk kedalam pembahagian umum itu mencakupi dua hal, yaitu38 : 38 Yusuf Al-Qaradhawi, Ibadah Dalam Islam, (Jakarta: Akbar, 2005), hal. 57. 42 a. Mencakupi keseluruhan agama dan kehidupan, yaitu meliputi seluruh hal-hal yang berhubungan dengan kewajiban dan rukun syiar agama seperti shalat, puasa, zakat dan haji. Juga hal-hal yang diluar kewajiban seperti zikir, doa, istighfar, tasbih, tahlil, takbir dan tahmid. Dalam aspek yang berhubungan dengan seluruh kehidupan ini mencakupi hubungan baik antara sesama, seperti menepati janji, menunaikan hakhak sesama berbuat baik, dan segala macam perbuatan yang menyangkut dengan sesama manusia dan binatang. Maka dari kedua aspek tersebut terbentuk sebuah bingkai yang memiliki cakupan yang besar yaitu amar ma‟ruf nahi munkar. b. Ibadah mencakup seluruh hal yang berkaitan dengan eksistensi manusia baik yang tampak maupun yang tidak tampak seperti: Islam, Iman, Ihsan, Doa, Khauf (rasa takut), Raja‟ (rasa harap), Tawakkal, Raghbah, Rahbah, Khusyu‟, Khasyah, Inabah, Isti‟anah, Isti‟adzah, Istighatsah. Ulama Membagi Ibadah kepada tiga: Hati (qalbiyah), Lisan (lisaniyah) dan Perbuatan. Rasa khauf (takut), raja‟ (mengharap), mahabbah (cinta), tawakkal (ketergantungan), raghbah (senang), dan rahbah (takut) adalah ibadah qalbiyah (yang berkaitan dengan hati). Sedangkan tasbih, tahlil, takbir, tahmid dan syukur dengan lisan dan hati adalah ibadah lisaniyah (hati). Sedangkan shalat, zakat, haji, dan jihad adalah ibadah badaniyah (perbuatan). Serta masih banyak lagi macam-macam ibadah yang berkaitan dengan amalan hati, lisan dan badan. 43 Ibadah inilah yang menjadi tujuan penciptaan manusia, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi makan kepada-Ku. Sesungguhnya Allah Dia-lah Maha Pemberi rezeki Yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.” (QS. Adz-Dzaariyaat: 56-58) Allah Azza wa Jalla memberitahukan bahwa hikmah penciptaan jin dan manusia adalah agar mereka melaksanakan ibadah hanya kepada Allah Azza wa Jalla. Dan Allah Mahakaya, tidak membutuhkan ibadah mereka, akan tetapi merekalah yang membutuhkan-Nya, karena ketergantungan mereka kepada Allah, maka barang siapa yang menolak beribadah kepada Allah, ia adalah sombong. Siapa yang beribadah kepada-Nya tetapi dengan selain apa yang disyari‟atkan-Nya, maka ia adalah mubtadi‟ (pelaku bid‟ah). Dan barangsiapa yang beribadah kepada-Nya hanya dengan apa yang disyari‟atkanNya, maka ia adalah mukmin muwahhid (yang mengesakan Allah). 3. Syarat Diterimanya Ibadah Ibadah adalah perkara tauqifiyah yaitu tidak ada suatu bentuk ibadah yang disyari‟atkan kecuali berdasarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah. Apa yang tidak disyari‟atkan berarti bid‟ah mardudah (bid‟ah yang ditolak) sebagaimana sabda Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam “Barangsiapa yang beramal tanpa adanya tuntunan dari kami, maka amalan tersebut tertolak.” 39 Agar dapat diterima, ibadah disyaratkan harus benar. Dan ibadah itu tidak bisa dikatakan benar dan diterima oleh Allah kecuali dengan adanya dua syarat: a. Ikhlas karena Allah semata, bebas dari syirik besar dan kecil. b. Ittiba‟, sesuai dengan tuntunan Rasulullah Saw. 39 HR. Muslim (no. 1718 (18)) dan Ahmad (VI/146; 180; 256), dari hadits „Aisyah, ra. 44 Syarat yang pertama merupakan konsekwensi dari syahadat laa ilaaha illallaah, karena mengharuskan ikhlas beribadah hanya kepada Allah dan jauh dari syirik kepada-Nya. Sedangkan syarat kedua adalah konsekwensi dari syahadat Muhammad Rasulullah, karena menuntut wajibnya taat kepada Rasul, mengikuti syari‟atnya dan meninggalkan bid‟ah atau ibadah-ibadah yang diada-adakan. “(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, dan ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala di sisi Rabb-nya dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah:112) Ibnu Taimiyah mengatakan, “Inti agama ada dua pilar yaitu kita tidak beribadah kecuali hanya kepada Allah, dan kita tidak beribadah kecuali dengan apa yang disyari‟atkan, tidak dengan bid‟ah.” Sebagaimana Allah berfirman.               “Maka barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya maka hendaknya ia mengerjakan amal shalih dan janganlah ia mempersekutukan sesuatu pun dalam beribadah kepada Rabb-nya.” (QS. Al-Kahfi:110) Hal yang demikian itu merupakan manifestasi (perwujudan) dari dua kalimat syahadat “laa ilaaha illallaah, muhammad rasulullah”. Pada yang pertama, kita tidak beribadah kecuali kepada-Nya. Pada yang kedua, bahwasanya Muhammad Shallallahu „alaihi wa sallam adalah utusan-Nya yang menyampaikan ajaran-Nya. Maka kita wajib membenarkan dan mempercayai beritanya serta mentaati perintahnya. Beliau telah menjelaskan bagaimana cara kita beribadah kepada Allah, dan melarang kita dari hal-hal baru atau bid‟ah. 45 Serta Nabi Saw menyebutkan bahwa semua bid‟ah itu sesat. 40 adapun hikmah dibalik kedua syarat tersebut adalah: a. Sesungguhnya Allah memerintahkan untuk mengikhlaskan ibadah kepada-Nya semata. Maka, beribadah kepada selain Allah di samping beribadah kepada-Nya adalah kesyirikan. Allah Swt berfirman: “Maka sembahlah Allah dengan tulus ikhlas beragama kepada-Nya.” (QS. Az-Zumar:2) b. Sesungguhnya Allah mempunyai hak dan wewenang tasyri‟ (memerintah dan melarang). Hak tasyri‟ adalah hak Allah semata. Maka, barangsiapa beribadah kepada-Nya bukan dengan cara yang diperintahkan-Nya, maka telah melibatkan dirinya di dalam tasyri‟. c. Sesungguhnya Allah telah menyempurnakan agama bagi kita41 Maka, orang yang membuat tata cara ibadah sendiri dari dirinya, berarti ia telah menambah ajaran agama dan menuduh bahwa agama ini tidak sempurna (mempunyai kekurangan). d. Dan sekiranya boleh bagi setiap orang untuk beribadah dengan tata cara dan kehendaknya sendiri, maka setiap orang menjadi memiliki caranya tersendiri dalam ibadah. Jika demikian halnya, maka yang terjadi di dalam kehidupan manusia adalah kekacauan yang tiada taranya karena perpecahan dan pertikaian akan meliputi kehidupan mereka disebabkan perbedaan kehendak dan perasaan masing-masing. Lihat al-„Ubudiyyah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Tahqiq „Ali Hasan „Ali „Abdul Hamid (hal. 221-222). 41 QS. Al-Maidah: 3. 40 46 D. Motivasi Beribadah 1. Definisi Motivasi Beribadah Dalam hidup ini kita bukanlah dicipta hanya sekedar untuk makan, minum, tidur ataupun mengumpulkan harta benda untuk keperluan duniawi semata, tetapi perlu kita ketahui bahwa kita hidup nantinya perlu pertanggung jawaban atas apa yang telah dianugerahi oleh Allah kepada kita selama hidup di dunia ini. Maka sudah seyogyanya kita sadar dan bangkit dari kelalalian permainan dunia yang semakin dikejar akan terasa semakin jauh meninggalkan kita, seolaholah dunia terus menuntut kepada kita untuk terus mengikutinya tanpa pernah merasa cukup atas apa yang telah kita miliki. Melihat pembahasan yang telah penulis paparkan secara panjang lebar diatas, maka jelaslah bagi kita tentang hal-hal yang patut kita laksanakan dalam upaya membentuk kepribadian yang selalu dalam keadaan ber‟ubudiyah kepada Allah semata. Dalam hal itu perlu kita paparkan sedikit tentang makna dari motivasi beribadah itu sendiri, karena ini merupakan sebuah fenomena yang telah hilang dalam kehidupan umat zaman modern dewasa ini. Motivasi beribadah merupakan dua serangkaian kata yang telah terikat dalam sebuah makna yang memiliki pengertian yang satu, namun demikian jika kita lihat pengertian dari masing kata tersebut memiliki keterkaitan erat dalam kehidupan kita sehari hari. 47 Motivasi adalah: “Dorongan yang timbul pada diri seseorang secara sadar atau tidak untuk melakukan suatu tindakan dengan tujuan tertentu; dan usaha yang dapat menyebabkan seseorang atau kelompok orang tertentu tergerak melakukan sesuatu karena ingin mencapai tujuan yang dikehendakinya atau mendapat kepuasan dengan perbuatannya”, atau dengan kata lain, motivasi adalah dorongan yang menyebabkan seseorang melakukan sebuah kegiatan”. Sedangkan ibadah adalah: “Segala sesuatu yang diridhai Allah dan dicintai-Nya, baik berupa perkataan maupun perbuatan yang tampak atau yang tidak, dengan penuh rasa cinta, kepasrahan dan ketundukan yang sempurna serta membebaskan diri dari segala hal yang bertentangan dan menyalahi”. Maka dapat dipahami bahwa motivasi beribadah adalah “energi aktif yang mendorong sehingga menyebabkan terjadi suatu keinginan yang kuat untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan yang diridhai dan dicintai Allah Swt”. 2. Macam-Macam Motivasi Beribadah Dalam Al-Quran Diantara metode yang digunakan oleh Al-Quran dalam membangun motivasi seorang hamba untuk berubudiah kepada Allah dapat dikelompokkan menjadi dua pembahagian. Bagian yang petama Al-Quran mengeluarkan konsep yang bertalian dengan diri pribadi terlebih dahulu, dimana konsep ini bertalian erat dengan dorongan yang akan memberi motivasi bagi diri sendiri tanpa ada pengaruh dari luar sedikitpun, walaupun dalam keadaan apapun dan dimanapun, konsep ini akan lebih praktis bila telah ada dalam diri seorang hamba, bila dikaitkan dengan teori motivasi, Al-Quran menjelaskan bahwa konsep ini lebih condong kepada motivasi 48 yang bersifat instrinsik, dalam hal ini mencakup: Perasaaan tanggung jawab, Rasa Takut (Al-Khauf), Merasa Butuh (Al-Faqr), Selalu di Awasi (Muraqabah), Pengetahuan, Bersabar, Menentramkan Jiwa (Sakinah), Memilih (Ijtiba‟), Mengingat Bayangan Atas Nikmat, Doa, Rasa Harap (Raja‟), Rasa Cinta, Kebulatan Tekad („Azzam), Kekhawatiran (Isyfaq), Kesungguhan, Ikhlas (Ikhlas), Merasa Paling Banyak Dosa, Rasa Malu (Al-Haya‟). Bagian yang kedua dalam membangun motivasi kepada manusia untuk beribadah kepada Allah, Al-Quran memberi konsep selain berhubungan dengan kepribadian diri sendiri juga memberi konsep yang bertalian dengan dorongan dari luar, dimana konsep ini membutuhkan objek lain yang akan memberi dorongan untuk beribadah, dalam artian Al-Quran memjelaskan bahwa bahwa manusia tak akan mampu hidup sendiri tanpa ada orang lain, maka disini objek yang menjadi pendorong adalah orang lain, hanya saja Al-Quran memberi motode bagi objek dalam penyampaian bagi manusia agar tumbuhnya motivasi yang tinggi untuk dapat beribadah kepada Allah dengan sebenarnya dan dengan sepenuh hati, adapun metode yang kedua ini bisa disebut dengan motivasi bersifat ekstrinsik yaitu dorongan dari luar yang meliputi ancaman, hukuman, janji-janji baik atau buruk, nasehat, dialog, dan hal-hal lain yang berasal dari luar individu manusia. 49 BAB TIGA MOTIVASI BERIBADAH PERSPEKTIF AL-QURAN A. Ayat-Ayat Motivasi Beribadah Sebelum Allah menciptakan mahkluk diatas muka bumi, Dia telah berfirman kepada seluruh para malaikat akan menciptakan seorang manusia yang nantinya dijadikan khalifah dan pengurus dunia ini1, namun para malaikat tidak begitu yakin kepada manusia sehingga Allah mengajarkan bermacam-macam pengetahuan kepada manusia (adam) yang tidak diketahui oleh malaikat sebelumnya sehingga mereka mengakui dan sujud didepannya kecuali iblis yang sombong. Iblis menduga bahwa substansi dirinya lebih baik dari manusia, karena dia diciptakan dari api sedangkan manusia diciptakan dari tanah. Api yang menjadi bahan dasar penciptaan iblis lebih baik naturnya dari bahan dasar penciptaan manusia, Allah Swt berfirman dalam Al-Quran surah Shad [38]:76): Iblis berkata: "Aku lebih baik dari padanya, karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah". Menurut Ihkwan al-Shafa, iblis mengalami kesalahan persepsi dalam melihat keutuhan manusia, dia hanya melihat aspek fisik manusia tanpa melihat aspek ruhaniyahnya. 2 Hal itu terungkap dari firman Allah yang berbunyi:                     1 QS. Al-Baqarah [2]:30) Abd al-Lathif Muhammad, al-Insan fi Fikr Ikhwan al-Shafa‟, (Cairo:Maktabah al-Anjalu al-Mishriyat, t.th), hal. 159. 2 50 Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh. (QS. Al-Ahzab [33]:72). Meski Allah menyebutkan bahwa manusia merupakan mahkluk bodoh dan zalim, namun tugas kekhalifahan merupakan sebuah amanah yang begitu besar yang tak satupun mahkluk Allah mampu memikulnya, tetapi karena derajat manusia itu telah diangkat oleh Allah dibandingkan dengan mahkluk ciptaan lainnya, maka hal itulah yang menjadi manusia lebih mulia dari mahkluk-mahkluk lain, firman Allah yang artinya: “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anakanak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan . Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan” (QS. Al-Isra [17]:70) Maka jelaslah bagi kita sebagai seorang hamba yang hina, ternyata Allah telah mengangkat derajat kita menjadi orang yang mulia diantara mahklukmahkluk-Nya yang lain, sungguh ini suatu kehormatan bagi kita disisi Allah, sehingga dengan adanya firman Tuhan yang Maha tinggi menjadi pedoman bagi kita agar kita tidak merasa rendah didepan manusia yang lain, tapi seyokyanya bagi kita tetap tunduk dan patuh kepada Allah Swt. Maka dapat dipahami bahwa amanah inilah yang menjadi konsep utama manusia diciptakan dan merupakan inti kodrat manusia yang diberi sejak awal penciptaan, karena tanpa amanah manusia tidak memiliki keunikan dengan 51 mahkluk-mahkluk lain. Amanah dalam arti etimologi bermakna titipan, kepercayaan, janji dan kesaksian.3 Maka dengan adanya amanah yang menjadi perjanjian di alam pra-kehidupan inilah yang menjadi motivasi bagi manusia untuk hidup diatas muka bumi ini. Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengutip pendapat Al-„Aufi, ia berkata dari Ibnu Abbas ra, “yang dimaksud dengan amanah adalah ketaatan yang ditawarkan kepada mereka sebelum ditawar kepada Adam, akan tetapi mereka tidak menyanggupinya, lalu Allah berfirman kepada Adam: “Aku memberikan amanah kepada langit dan bumi serta gunung-gunung, tetapi mereka tidak menyanggupinya, apakah kamu sanggup menerimanya?” Adam menjawab: “ya Rabb-ku apa isinya” Allah berfirman: “jika engkau berbuat baik engkau akan diberi balasan, dan jika engkau berbuat buruk engkau akan disiksa” lalu Adam menerimanya, itulah firman Allah: “dan dipikullah amanat itu oleh manusia, sesungguhnya manusia itu amat dhalim dan amat bodoh.”4 Makna amanah secara umum mencakup semua beban agama,5 yang harus dilaksanakan oleh manusia seutuhnya, salah satu beban tersebut adalah beribadah kepada Allah Swt dengan sesungguh hati. Maka dari itu perlu kita melihat redaksi ayat Al-Quran tentang membangun motivasi beribadah mengingat pentingnya ibadah pada setiap jiwa manusia. Hal ini tercermin dalam Al-Quran surah AdzDzariyat [51]:56, yang berbunyi: 3 Ibnu Qayyim al-Jauziyah, al-Ruh, hal. 77 Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, terj. M. Abdul Ghoffar, Abu Ihsan, jilid 6, (Jakarta: Pustaka Imam Syafi‟i, 2000), hal. 121. 5 Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, hal. 332. 4 52        Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. Ayat diatas merupakan dalil untuk melihat kodrat manusia yang sebenarnya, yang merupakan janji antara manusia dan Tuhan yang telah diikrarkan di alam arwah, yang semua itu menjadi pondasi pokok bagi kita untuk menumbuhkan kembali motivasi untuk melaksanakan seluruh ikrar yang telah disepakati dengan Allah yaitu beribadah kepada-Nya. Ini merupakan motivasi dan tujuan akhir manusia yang sebenarnya hanya untuk Allah, yaitu setiap langkah dan detak jantung dalam kehidupan selalu berpusat kepada Allah, tanpa ada ketergantungan pada lainnya, namun disisi lain bila kita tilik dalam kehidupan manusia lebih termotivasi dengan keinginan masuk syurga atau terhindar dari api neraka, sehingga setiap langkah yang dilakukan alat ukur yang sering digunakan adalah syurga atau neraka. Meski demikian, ini merupakan salah satu aspek motivasi dari Al-Quran dalam menumbuhkan motivasi kepada manusia untuk melaksanakan ibadah kepada Allah Swt, karena ayat Al-Quran tidak menyebutkan secara langsung kata motivasi, tetapi di sini penulis mengambil aspek dari pengaruh timbulnya motivasi yaitu berupa janji-janji yang difirmankan Allah dalam Al-Quran. Adapun janji merupakan salah satu aspek pendorong yang paling ampuh untuk dapat menumbuhkan motivasi beribadah kepada Allah Swt, janji yang disampaikan Allah berupa balasan terhadap apa yang kita lakukan baik berupa janji kebaikan maupun ancaman yang berupa keburukan. 53 Dengan mengingat adanya janji dari Allah Swt berupa kenikmatan ataupun janji berupa ancaman dan hukuman yang diperoleh baik disaat di dunia ataupun di alam akhirat kelak, maka menjadi faktor yang mendorong tumbuhnya motivasi bagi jiwa manusia untuk melaksanakan apa yang diperintahkan Allah Swt. Diantara ayat-ayat Al-Quran yang menjanjikan balasan terhadap hamba-Nya berupa kebaikan atau keburukan adalah:                                                                                           Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari AlQuran. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Quran dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS. Al-Muzammil [73]:20). 54 Ayat ini mengambarkan sebuah prinsip praktis dalam Al-Quran, dimana Allah memberi kita kemudahan tanpa memberatkan kita, Prinsip ini merupakan prinsip yang sangat akurat bagi seseorang dalam melihat serta meninjau sesuatu yang hendak dilaksanakan, karena bila sesuatu tersebut mudah dan dipermudah, maka kemungkinan besar objek tujuan akan lebih mudah terserap dan tertarik atas apa yang ditetapkan. Maka dari itulah sesuatu yang ditetapkan sudah seharusnya dipermudah, tetapi bukan memudah-mudahkan, atau mencari yang paling mudah, tetapi Al-Quran telah menjelaskan segala sesuatu dengan sangat mudah.                  Dan hanya kepunyaan Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi supaya Dia memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat jahat terhadap apa yang telah mereka kerjakan dan memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik dengan pahala yang lebih baik (syurga). (QS. An-Najm [53]:31) Allah Swt telah menegaskan keadaan manusia di dalam Al-Quran bahwa surga dijanjikan hanya untuk orang-orang yang memelihara diri daripada kejahatan, yaitu orang-orang yang berlomba-lomba menuju pengampunan dan keridhaan Allah Swt serta bertaubat kepada-Nya dengan mengerjakan kebajikan dan beramal shaleh. Namun bagi mereka yang ingkar Allah telah menyebutkan bahwa azab-Nya sangat pedih.                     55 Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (QS. AnNahl [16]:97).      Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna. (QS.An-Najm [53]:41).            Supaya Allah memberi balasan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh. Mereka itu adalah orang-orang yang baginya ampunan dan rezki yang mulia. (QS. Saba‟ [34]:4).                                        Atau agar kamu (tidak) mengatakan: "Sesungguhnya jikalau kitab ini diturunkan kepada kami, tentulah kami lebih mendapat petunjuk dari mereka." Sesungguhnya telah datang kepada kamu keterangan yang nyata dari Tuhanmu, petunjuk dan rahmat. Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mendustakan ayatayat Allah dan berpaling daripadanya? Kelak Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang berpaling dari ayat-ayat Kami dengan siksa yang buruk, disebabkan mereka selalu berpaling. (QS. Al-An‟Am [6]:157).               56 Tak seorangpun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang indah dipandang sebagai balasan bagi mereka, atas apa yang mereka kerjakan. (QS. As-Sajdah [32]:10).                 Demikianlah balasan terhadap musuh-musuh Allah, (yaitu) neraka; mereka mendapat tempat tinggal yang kekal di dalamnya sebagai balasan atas keingkaran mereka terhadap ayat-ayat Kami. (QS. Fushilat [41]:28).                 (Meraka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah memberikan balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Allah memberi rezki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas. (QS. An-Nur [24]:38).      Sebagai balasan bagi apa yang telah mereka kerjakan. (QS. Al-Waqi‟ah [56]:24).          Sebagai nikmat dari Kami. Demikianlah Kami member balasan kepada orangorang yang bersyukur. (QS. Al-Qamar [54]:35).               57 Masukklah kamu ke dalamnya (rasakanlah panas apinya); maka baik kamu bersabar atau tidak, sama saja bagimu; kamu diberi balasan terhadap apa yang telah kamu kerjakan. (QS. At-Thuur [52]:16).                                           Dan mengapa kamu tidak menafkahkan (sebagian hartamu) pada jalan Allah, padahal Allah-lah yang mempusakai (mempunyai) langit dan bumi? Tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan (Mekah). Mereka lebih tingi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. QS. Al-Hadid [57]:10). Melihat beberapa ayat yang telah penulis paparkan diatas, marilah kita hayati dan kita renungkan kembali bahwa sebenarnya kita ini hanyalah mahkluk yang sangat lemah dan tiada apa-apanya dibandingkan dengan kekuasaan Allah yang Maha Tinggi, karena tiada suatupun yang bermakna bila tanpa pertolongan dari-Nya. semoga dengan adanya ayat-ayat tersebut dapatlah ini menjadi pokok dan pondasi bagi kita untuk selalu patuh dan tunduk kepada perintah Allah dan dapat menjadi motivasi bagi kita agar selalu berada dalam keadaan beriman dan beribadah kepada-Nya dan semoga kita menjadi hamba-hamba yang selalu dalam Ridha-Nya. Setiap manusia memiliki target dalam kehidupannya. Hasanah di dunia dan hasanah di akhirat. Seperti firman Allah SWT. dalam surah Al-Baqarah ayat 201 yang berbunyi: 58               Dan di antara mereka ada yang berdoa: ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan periharalah kami dari siksa api neraka. Tak jarang manusia memiliki sikap mengharapkan usahanya berbuah hasil dalam jangka waktu yang singkat. Mengharapkan upah segera dalam bekerja, mengharapkan balasan segera setelah beramal saleh. Dalam setiap aktivitas kita, tentunya ada harapan jangka pendek dan jangka panjang. Sejatinya setiap manusia harapan jangka panjangnya adalah akhirat. Dalam beribadah, tentunya juga memiliki target jangka pendek dan jangka panjang. Perasaan berat saat mengupayakan diri mendekatkan diri kepada Allah dengan segala target dan usaha yang harus dillakukan, terkadang kita hanya berdiam diri tidak melakukan apa-apa untuk meningkatkan kemampuannya dalam beribadah kepada Allah akibatnya sepanjang usia yang Allah Swt. berikan, tidak ada peningkatan dalam melaksanakan ibadah, baik kualitas maupun kuantitasnya. Bentuk motivasi yang juga di jelaskan adalah tentang berbahagia bersama orang-orang yang sedikit. “dan orang-orang yang dahulu (beriman), merekalah yang paling dahulu (masuk surga). Mereka itulah yang didekatkan kepada Allah. Derada dalam jannah kenikmatan. Segolongan besar dari orang-orang yang terdahulu. Dan segolongan sedikit dari orang-orang generasi terakhir”. (QS. AlWaqi‟ah: 10-14) Kata qalil (sedikit), dalam banyak ayat Al-Qur‟an selalu menunjukkan sekelompok manusia yang berkualitas, dan orang-orang yang memiliki kemauan kuat dan keras untuk meningkatkan kualitas hidup. Orang-orang yang bersegera 59 untuk melakukan amal saleh, jumlahnya memang sedikit. Kita tidak boleh terpengaruh oleh banyaknya (kuantitas) manusia yang tidak tertarik melakukan amal saleh tersebut. Teguhkanllah diri kita bahwa amal saleh ini adalah sesuatu yang sangat dicintai oleh Allah SWT. Renungkanlah beberapa terjemahan ayat berikut: “dan tidak beriman bersama dengan Nuh itu kecuali sedikit”. (QS. Hud: 40). “bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba Ku yang besryukur (berterima kasih)”. (QS. Saba: 34) Dan masih banyak lagi ayat yang menjelaskan tentang “kelompok yang sedikit”, dibalik berat dan banyaknya tantangan untuk melakasanakan niat di atas, sesungguhnya kenyataan di lapangan kehidupan menunjukkan bahwa memang sangat sedikit orang yang siap berkorban untuk menggapai niat mulia tersebut. Menyadari realita tersebut maka kita harus memiliki sifat yang sabar, teguh, tidak mudah putus asa. Apa yang akan kita raih itu sesungguhnya merupakan sesuatu yang besar dan berat perjuangannya, dan tidak semua manusia siap melakukannya. Dengan demikian, sejak awal melangkah dan seterusnya, kita tidak boleh melupakan hakikat ini. Kekhawatiran akan selalu dibisikkan ketika kita mulai intens melaksanakan ibadah kepada Allah, baik itu muncul dari golongan manusia ataupun jin. Ada saja yang membuat kita ragu untuk meneruskan, terlebih ketika kita berpikir tentang masa depan yang belum kita ketahui. Rasa was-was inilah yang mampu mengendorkan semangat kita, semoga kita sabar dan teguh melakukan ibadah untuk mengharap ridha Allah dan mengingat janji-Nya. 60 B. Penafsiran Ulama Tentang Ayat-Ayat Motivasi 1. QS. Adz-Dzariyat [51]:56        “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku” Ayat diatas memberi gambaran yang jelas bagi kita, seperti yang disampaikan oleh Quraish Shihab dalam karya yang berjudul Tafsir Al-Mibah, yang dikutip dari Syeikh Muhammad Abduh dimana beliau menjelaskan bahwa ibadah bukan hanya sekedar ketaatan dan ketundukan, tetapi ia merupakan sebuah bentuk ketundukan dan ketaatan yang mencapai puncaknya akibat adanya rasa keagungan dalam jiwa seseorang terhadap siapa yang kepada-Nya ia mengabdi, Ia juga merupakan dampak dari keyakinan bahwa keyakinan itu tertuju pada yang memiliki kekuasaan yang tidak terjangkau arti hakikatnya. Menurut Quraish Shihab ibadah itu ada dua bagian, yaitu ibadah murni (ibadah mahdhah) dan ibadah tidak murni (ghairu mahdhah), ibadah mahdhah yaitu ibadah yang telah ditentukan oleh Allah bentuk, kadar atau waktunya, seperti shalat, puasa, zakat, dan haji, sedangkan ibadah ghairu mahdhah merupakan ibadah dalam bentuk segala aktivitas manusia lahir dan batin yang dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. 6 Lain halnya menurut Thabathaba‟I seperti yang dikutip dalam Tafsir alMisbah, dimana menurut ulama ini tujuan dari ayat diatas memiliki makna bahwa sesuatu yang digunakan oleh yang bertujuan itu (Allah) adalah untuk 6 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, vol. 13, (Jakarta:Lentera Hati, 2005), hal. 356. 61 menyempurnakan yang belum sempurna bagi-Nya, atau menanggulangi kebutuhan kekurangan-Nya. Pendapat ini dengan tegas dibantah oleh Quraish Shihab bahwa itu merupakan hal yang mustahil bagi Allah, karena Dia tidak memiliki kebutuhan, dengan demikian tidak ada bagi-Nya yang perlu disempurnakan ataupun kekurangan yang perlu ditanggulangi. Namun disisi lain, suatu perbuatan yang tidak memiliki tujuan adalah perbuatan sia-sia yang perlu dihindari, maka perlu dipahami bahwa ada tujuan bagi Allah Swt dalam perbuatan-Nya.7 Selanjutnya Thabathaba‟I menjelaskan bahwa ibadah yang dimaksud itu adalah kehadiran dihadapan Allah Swt dengan kerendahan hati dan penghambaan diri kepada-Nya, serta membutuhkan sepenuhnya kepada Tuhan pemilik kemuliaan mutlak dan kekayaan murni, beliau menambahkan hakikat ibadah adalah menempatkan diri seseorang dalam ketundukan serta mengarahkan kepada maqam Tuhannya. Sayyid Quthub mengomentari ayat diatas secara panjang lebar, antara lain ditegaskan bahwa ayat diatas meskipun singkat namun mengundang hakikat dan makna agung. Manusia tidak akan berhasil dalam kehidupan tanpa menyadari maknanya dan meyakininya baik kehidupan pribadi atau kolektif. Ayat ini menurut beliau membuka sekian banyak sisi dan aneka sudut dari makna dan tujuan. Sisi pertama, bahwa pada hakikatnya ada tujuan tertentu dari wujud manusia dan jin, ini merupakan suatu tugas, siapa yang melaksanakannya berarti ia telah mewujudkan tujuan wujudnya, dan siapa saja yang mengabaikannya maka 7 Ibid, hal. 357 62 dia telah membatalkan hakikat wujudnya, dan menjadikan dia seorang yang tidak memiliki tugas atau pekerjaan, hidupnya kosong tidak bertujuan dan berakir dengan dengan kehampaan. Tugas tersebut adalah ibadah kepada Allah, yakni penghambaan diri kepada-Nya, disini ada hamba dan disana ada Allah, disini ada hamba yang menyembah dan mengabdi disana ada Tuhan yang disembah, juga diarahkan seluruh pengabdian hanya kepada Allah Swt. Menurut Sayyid Quthub pengarang Tafsir fi Zilalil Al-Quran, menambahkan sisi lain yang menonjol dari hakikat besar dan agung itu ditinjau dari makna ibadah, dimana ibadah bukanlah hanya terbatas pada pelaksanaan tuntunan ritual, karena jin dan manusia tidak menghabiskan waktu mereka dalam pelaksanaan ibadah ritual, Allah tidak mewajibkan mereka melaksanakan hal tersebut, Allah mewajibkan aneka kegiatan lain yang menyita sebagian besar kehidupan mereka. Memang kita tidak menyadari batas-batas yang diwajibkan kepada jin tetapi kita dapat mengetahui batas-batas yang diwajibkan kepada manusia, yaitu seperti yang dijelaskan dalam Al-Quran tentang penicptaan manusia sebagai khalifah di bumi. Hal ini menuntut aneka ragam aktivitas penting, guna memakmurkan bumi, mengenal potensinya, perbendaharaan yang terpendam di dalamnya, sambil mewujudkan apa yang dikehendaki Allah dalam penggunaannya, pengembangan dan peningkatannya. Kekhalifahan juga memuat upaya penegakan syariat Allah di bumi, juga mewujudkan sistem yang sejalan dengan undang-undang dan hukum yang telah ditetapkan Ilahi. 63 Dengan demikian dapat dipahami bahwa jangkauan ibadah disini lebih luas maknanya dari pada ibadah yang berbentuk ritual. Tugas kekhalifahan termasuk dalam ibadah, karena hukum ibadah mencakup dua hal pokok, yaitu: a. Kemantapan makna penghambaan diri kepada Allah dalam hati setiap insan, kemantapan perasaan bahwa ada hamba dan ada Tuhan, hamba sebagai yang patuh dan Allah yang wajib dipatuhi tidak ada sekutu bagi-Nya, tidak ada wujud ini kecuali satu, selain dari-Nya adalah mahkluk dan hamba. b. Mengarah kepada Allah dalam setiap gerak pada nurani, pada setiap anggota badan dan setiap gerak dalam kehidupan, semuanya hanya mengarah kepada Allah secara tulus ikhlas, melepaskan diri dari segala perasaan yang lain dan dari segala makna yang selain makna penghambaan diri kepada Allah. Dalam tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahwa maksud QS. Adz-Dzariyat [51]:56 Allah menciptakan manusia dan jin dengan tujuan beribadah kepada-Nya, bukan disebabkan karena Dia membutuhkannya, Allah tidak pernah butuh sedikitpun kepada ciptaan-Nya, dan tidak memberi atau mengambil manfaat atas apa yang telah Allah ciptakan, beribadah atau tidaknya mahkluk atau ciptaan-Nya, tidak sedikitpun mengangkat dan menurunkan derajat Kemahakuasaan Allah yang Maha Tinggi atas segala sesuatu. Tetapi hamba yang sangat butuh pertolongan dan bimbingan setiap saat dari Allah Swt. 64 Seperti HR. Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah ra, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda: “Allah berfirman: wahai anak Adam, luangkanlah waktu untuk beribadah kepada-Ku, Aku akan memenuhi hatimu dengan kekayaan, dan Aku akan menutupi kefakiranmu, dan jika kamu tidak melakukannya, maka Aku akan mengisi hatimu dengan kesengsaraan dan Aku tidak akan menutupi kefakiranmu”8 Dalam tafsir Al-Azhar karya Prof. Dr. Hamka, menyebutkan bahwa ayat ini memberi peringatan kepada manusia bahwa sadar atau tidak dia pasti mematuhi kehendak Tuhan. Maka jalan yang lebih baik bagi manusia adalah menginsafi kegunaan hidupnya sehingga ia tidak merasa keberatan mengerjakan berbagai ibadh kepada Tuhan. Apabila manusia mengenal kepada budi luhur, maka ia akan mengenal apa yang disebut terima kasih, bayangkan saja segala yang telah dianugerahi Allah bagi menjamin hidup di dunia, mulai dari kita masih tertutup mata sampai sekarang ini, itu semua tidaklah dapat dihitung dan dinilai betapa besar nikmat dan karunia Allah kepada kita. Semua itu belumlah sebanding dengan amal yang sangat sedikit baru kita laksanakan, atas berkat rahmat dan kasih saying-Nya kita pada hari ini masih mampu menatap wajah dunia.9 8 Tafsir Ibnu Katsir, Labaabut Tafsir Min Ibnu Katsir, terj. M. Abdul Ghoffar, Abu Ihsan, jilid 6, (Jakarta: Pustaka Imam Syafi‟i, 2000), hal, 18-19. 9 Prof. Dr. Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juzuk XXVII, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988), hal. 37-42. 65 2. QS. Al-Ahzab [33]:72                     “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat, kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh” Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah menjelaskan makna „amanah‟ yang terkandung dalam ayat ini merupakan satu ilustrasi yang ditawarkan Allah yang bukan bersifat paksaan, tentunya siapa saja yang ditawarkan Allah dirinya itu memiliki potensi untuk melakukannya. Namun tawaran yang diberikan Allah merupakan beban yang sangat berat, sehingga langit, bumi dan gunung menolaknya, karena mereka bukan mahkluk pemikul amanah. 10 Kata „amanah‟ dalam ayat diatas, ulama berbeda-beda pendapat dalam memahaminya, ada yang mempersempit sehingga menentukan kewajiban keagamaan tertentu, seperti rukun Islam, puasa dan mandi junub, seperti pendapat Malik meriwayatkan bahwa Zaid bin Aslam mengatakan bahwa amanat itu ada tiga, yaitu shalat, puasa dan mandi junub.11 Ada juga yang memperluas sehingga sehingga mencakup semua beban agama. Selain itu ada yang memahami dalam arti „akal‟ karena dengan akal mahkluk atau manusia memikul tanggung jawab. 12 10 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, vol. 11, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), hal. 332. Tafsir Ibnu Katsir, Labaabut Tafsir Min Ibnu Katsir, terj. M. Abdul Ghoffar, Abu Ihsan, jilid 5, (Jakarta: Pustaka Imam Syafi‟i, 2000), hal, 122. 12 Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, hal. 332. 11 66 Penawaran amanah ada juga dipahami oleh banyak ulama dalam arti kiasan, ada yang memahami mahkluk yang disebut diatas seperti langit, bumi dan gunung benar ditawarkan amanah tersebut, dan ada juga yang memahaminya bahwa yang ditawarkan bukan langit, bumi, atau gunung, tetapi yang ditawarkan adalah penghuni langit, penghuni bumi dan penghuni gunung, sedangkan kata “insan” ada ulama yang memahami khusus kepada Adam, dan ada juga pendapat bahwa yang dimaksud adalah berbagai jenis manusia. Ibnu „Asyur cenderung memahami kata „amanah‟ dalam makna hakiki, yaitu apa yang diserahkan kepada seseorang untuk dipelihara dan ditunaikan sebaik mungkin, serta menghindari segala bentuk penyia-nyiaan baik itu secara sengaja ataupun lupa. Demikian juga diungkapkan Thabathaba‟i bahwa amanah itu pada hakikatnya adalah suatu yang dititipkan kepada orang lain untuk dipelihara dan suatu saat dikembalikan kepada pemiliknya, ini berarti ada sesuatu yang dititipkan Allah kepada manusia dan harus dikembalikan kepada-Nya. Selanjutnya ulama ini menambahkan bahwa siapa saja yang menyandang amanah akan berpotensi kepada sifat kemunafikan, kemusyrikan atau kedhaliman. Bagi yang tidak menjaga atau merusak amanah yang diberikan ataupun menjaga dan memelihara dengan sebaik-baiknya, tentu akan memikul salah satu dari tiga sifat yang disebutkan diatas.13 13 Ibid, hal 334. 67 Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengutip pendapat Al-„Aufi, ia berkata dari Ibnu Abbas ra, “yang dimaksud dengan amanah adalah ketaatan yang ditawarkan kepada mereka sebelum ditawar kepada Adam, akan tetapi mereka tidak menyanggupinya, lalu Allah berfirman kepada Adam: “Aku memberikan amanah kepada langit dan bumi serta gunung-gunung, tetapi mereka tidak menyanggupinya, apakah kamu sanggup menerimanya?” Adam menjawab: “ya Rabb-ku apa isinya” Allah berfirman: “jika engkau berbuat baik engkau akan diberi balasan, dan jika engkau berbuat buruk engkau akan disiksa” lalu Adam menerimanya, itulah firman Allah: “dan dipikullah amanat itu oleh manusia, sesungguhnya manusia itu amat dhalim dan amat bodoh.”14 Melihat ayat diatas, muncul sebuah pertanyaan: “mengapa Allah yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui membebankan kepada manusia beban yang berat dan penting, yang justru telah ditolak oleh mahkluk-mahkluk besar dan kuat seperti langit dan bumi ataupun gunung-gunung, padahal Allah telah mengetahui bahwa manusia itu mahkluk kecil dan lemah, dan menerima amanah itu karena kedhaliman dan kebodohan manusia, keangkuhan serta kelengahannya menyangkut dampak-dampak penerimaannya ?” ini serupa dengan membebani seseorang yang tidak waras suatu tugas yang bersifat umum yang sebelumnya telah ditolak oleh orang-orang hebat dan berakal sehat”. Menurut Thabathaba‟i bahwa kedhaliman dan kebodohan merupakan suatu yang buruk dan mengandung kecaman terhadap pelakunya, dan juga karena kedhaliman dan kebodohan manusia itulah sebab yang menjadikan ia memikul amanah besar tersebut.15 Di sisi lain Quraish Shihab menjelaskan bahwa penyerahan amanah oleh Allah kepada manusia dan diterimanya menunjukkan bahwa manusia memiliki potensi untuk menunaikannya dengan baik, itu karena Allah tidak menyerahkan amanah itu bila Ia tidak mengetahui ketiadaan potensi itu, tidak ubah seperti 14 15 Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, hal. 121. M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, vol. 11, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), hal. 334. 68 seorang yang akan tercela jika menyerahkan sebilah pisau kepada anak kecil atau memerintahkan anak dibawah umur mengemudi kendaraan, sang ayah yang bijaksana baru akan menyerahkan hal tersebut atau menugaskan siapa yang diketahuinya memiliki potensi untuk melaksanakan amanah.16 Adapun tujuan penolakan langit, bumi dan gunung adalah untuk menggambarkan betapa besar amanah itu, bukannya untuk menggambarkan betapa kecil dan remeh ciptaan-ciptaan Allah. Sayyid Quthub menulis bahwa langit, bumi dan gunung yang dipilih Allah merupakan mahkluk yang sangat besar, manusia hidup di dalam dan di sekitarnya, sehingga terlihat manusia itu sangat kecil. Mahkluk-mahkluk ini mengenal Allah tanpa upaya dari mereka, kesemuanya taat secara otomatis tanpa berfikir atau perantara, mereka berjalan sesuai sesuai dengan hukum yang ditetapkan Allah secara teratur tanpa berhenti walau sesaatpun, dan tanpa menyadari atau mempunyai pilihan menyangkut kerjanya itu, semua tunduk kepada-Nya, namun mereka merasa takut memikul amanah, tanggung jawab dan pengetahuan. Sedangkan manusia mengenal Allah dengan pengetahuan dan perasaannya, serta memahami hukum-hukum-Nya, manusia mengamalkan hukum-hukum itu melalui upaya dan kesungguhan, taat kepada Allah berdasarkan kehendak dan dorongan dirinya seta dengan melawan nafsu yang mengajak kepada penyimpangan dan setiap langkah yang ditempuh melalui pikiran dan pengetahuan. 16 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, vol. 11, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), hal. 332. 69 Manusia memilih suatu jalan mengetahui arah dan tujuannya, ini merupakan amanah besar yang dipikul oleh mahkluk kecil badannya, lemah kekuatan dan kemampuannya, terbatas umurnya, dan diperebutkan oleh aneka syahwat, dorongan, kecenderungan serta keinginan-keinginan.17 Amanah merupakan sebuah hal yang berat, karena penerimaan itu menyandang resiko yang besar, dengan menerima maka ia telah memikul satu beban tanggung jawab yang besar, dan karena itu pula ia mendapat lakap “dhaliman” menganiaya dirinya dan “jahulan” tidak mengetahui kemampuannya, jika dibandingkan dengan besarnya tanggung jawab yang bersedia dipikulnya. Memang jika ia berhasil memikul dan bangkit melaksanakan apa yang dituntut amanat tersebut, maka sungguh dia telah mencapai maqam yang mulia, suatu kedudukan unik dan terhormat diantara mahkluk-mahkluk Allah Swt. Prof. Dr. Hamka dalam karyanya Tafsir Al-Azhar mengomentari ayat tersebut, dimana dalam tawaran Allah kepada langit dan bumi serta gunung tentang tanggung jawab amanah yang hendak diberikan kepada mereka, namun mereka menolak tidak menyanggupinya tetapi manusia menampilkan diri untuk memangku amanat besar tersebut, tetapi apalah jadinya setelah manusia menyanggupinya, ujung ayat menjelaskan “sesungguhnya mereka amat dhalim dan bodoh”. Mereka disebut dhalim karena menyia-nyiakan amanat itu, tidak menjunjung tinggi tawaran Allah yang telah mereka terima, mereka menjadi terhitung bodoh karena tidak tahu harga diri, sampai ada yang mau menyekutukan yang lain dengan Allah, dan sampai ada yang mau menjadi orang munafik, dan 17 Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, hal. 335. 70 juga mereka tidak menyadari bahwa hidup manusia itupun merupakan amanah Allah, seperti yang termaktub dalam Al-Quran bahwa tujuan penciptaan manusia adalah untuk beribadah kepada Allah Swt, mereka terkadang lupa sehingga hidupnya sia-sia.18 Tafsir Al-Qaffal seperti yang dikutip dalam tafsir Al-Azhar mengatakan bahwa amanah yang terkandung dalam ayat ini adalah semata-mata adalah perumpamaan belaka, karena didalam Al-Quran terdapat banyak perumpamaan yang mendalam, diantaranya seperti yang tersebut dalam QS. Al-Hasyr [59]:21 yang menerangkan jika Al-Quran diturunkan diatas puncak sebuah gunung, pastilah akan kamu lihat gunung itu tunduk hingga menjadi hancur karena takutnya kepada Allah, namun jika kita bawa sebuah mushaf ke sebuah gunung atau bukit, lalu kita letakkan disana, maka gunung itu tidak akan runtuh sedikitpun karena itu. Maka Al-Quffal mengatakan bahwa yang ditekan disini adalah perhatian kita terhadap amanah yang diletakkan Tuhan keatas pundak manusia, sekiranya langit bertubuh seperti manusia, begitu pula bumi ataupun gunung akan beratlah mereka menerima amanat itu karena sangat mulia, tetapi manusia yang kecil menerima tetapi disia-siakannya.19 Hal senada disampaikan Al-Qurthubi dalam tafsirnya, bahwa ini adalah majaz atau sindiran, sedangkan langit, bumi dan gunung merasa berat memikulnya, maka sebab itu hendaklah manusia berhati-hati. 18 19 Prof. Dr. Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juz XXII, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988), hal.111. Ibid, hal.112. 71 Dengan ketegasan hidup yang memiliki tanggung jawab dan amanah, semoga kita termasuk dalam jiwa orang-orang beriman yang memegang teguh amanah, tidak menjadi orang yang goyang pendirian, jiwa kecil tidak menjadi munafik ataupun musyrik, meski banyak godaan hawa nafsu atau dorongan kemaksiatan untuk menyia-nyiakan amanah yang telah terpundakkan, mereka telah membuat sekutu untuk menghancurkannya, tetapi mereka akan rapuh dan hancur disebabkan hati dan jiwa telah terpatri kokoh dalam ketauhidan kepada Allah Swt. C. Aplikasi Metode Rasulullah Rasulullah merupakan contoh teladan yang patut kita teladani, setiap langkah dan gerak gerik beliau merupakan pelajaran berharga bagi kita sebagai umatnya. Maka tidak heran bila kita membaca literatur umat-umat dahulu yang memiliki kepribadian kokoh dan konsistens dalam menjalankan risalah Rasul, yang tidak pernah bimbang dan tak sedikitpun goyang dalam menegakkannya. Sayangnya umat belakangan ini yang mereka mencoba mengikuti jejak Rasul tetapi tidak mampu memberi jalan terang malah jauh tersesat dalam jurang kehinaan. Maka seyokyanya sebelum kita mengikuti sunah Rasul sudah sepatutnya kita melihat dalil-dalil hadits tentang hal tersebut, bukan hanya berpegang atas dasar logika semata sehingga bersandar pada hadits dhaif bahkan palsu. Tetapi kita mesti mencoba menelusuri dan menggali kembali kebenaran yang dipaparkan oleh ahli-ahli modern sehingga tidak terjadi praktek bid‟ah yang tidak pernah kita harapkan. 72 Dalam penyiaran Islam, Rasulullah memiliki beberapa pendekatan dalam menyampaikan misi, guna dan tujuan beliau diantaranya untuk menghapus kedhaliman kaum jahiliyah seperti dalam hal penyembahan berhala dan diganti dengan penyembahan kepada Allah Swt, serta berusaha menumbuhkan motivasi bagi mereka terutama dalam beribadah kepada Allah Swt dengan sebenarnya. Adapun pendekatan tersebut ternyata mampu merubah kaum jahiliyah menjadi kaum yang berbudi dan berahklak mulia, sehingga dalam waktu dua periode ± 23 tahun mereka mampu menerima ajaran Rasul dengan mantap dan kokoh. Maka pendekatan inilah yang menjadi pelajaran berharga bagi kita sebagai manusia yang dipundakkan untuk terus mengembangkan serta menyiarkan agama ini agar terus berkibar panji-panji Islam hingga seluruh pelosok dunia. Pendekatan tersebut yaitu: 1. Pendekatan Personal Pendekatan dengan cara ini terjadi dengan cara individual yaitu Rasul langsung bertatap muka dengan sahabat dan orang sekitar dalam memberi materi dan pelajaran agama, sehingga apa yang disampaikan Rasul langsung diterima oleh mereka tanpa ada perantaraan. Pendekatan ini dilakukan Nabi disaat permulaan turunnya Wahyu dari Allah melalui Jibril disaat beliau berada di Jabal Nur dalam gua Hira‟ menggunakan pendekatan ini kepada orang-orang terdekat secara rahasia. Pendekatan ini dilakukan dengan tujuan tidak menimbulkan goncangan reaksionel dikalangan masyarakat Quraish mengingat saat itu mereka masih berpegang teguh pada kepercayaan animisme warisan leluhur mereka. 73 2. Pendekatan Pendidikan Diantara metode yang digunakan Rasulullah dalam menumbuhkan keyakinan kepada para sahabat tentang ketauhidan Allah Swt melalui pendekatan pendidikan. Dimana Rasul menyampaikan nasehat atau pelajaran lewat pendidikan yang dilakukan perkelompok atau komunitas, hal itu sering dilakukan di As-Shuffah, Dar Al-Qurraa dan Kuffah. 3. Pendekatan Diskusi Pendekatan diskusi merupakan salah satu dari bentuk yang paling akurat dalam memecah sebuah masalah. Pendekatan ini akan memberi peluang kepada yang lain untuk memberi tanggapan atau menyanggahinya. 4. Pendekatan Penawaran Salah satu falsafah pendekatan penawaran yang dilakukan Nabi adalah ajakan untuk beriman kepada Allah tanpa menyekutui-Nya dengan yang lain. Cara ini dilakukan Nabi Saw dengan memakai metode yang tepat tanpa paksaan sehingga orang yang meresponnya tidak dalam keadaan tertekan bahkan ia akan melakukannya dengan niat ikhlas yang timbul dari hati yang paling dalam. 5. Pendekatan Misi Maksud dari pendekatan ini adalah pengiriman utusan yang telah dianggap mampu oleh Nabi kepada tempat-tempat yang masih jauh dalam ketauhidan Allah Swt, meskipun pendekan model ini saat dirintis di Mekkah belum berhasil, tetapi Rasulullah mengembangkan saat beliau berada di Madinah, ternyata model pendekatan ini juga berhasil dengan maksimal. 74 D. Analisis Penulis Dalam banyak ayat Al-Quran telah disinggung oleh Allah Swt tentang hal-hal yang berhubungan dengan tumbuhnya motivasi pada diri manusia, meskipun redaksi yang digunakan bukan langsung tertuju pada “tumbuhnya motivasi” karena teks Al-Quran bersifat global atau universal yang mencakup halhal umum lainnya. Tetapi perlu kita ketahui dari beberapa ayat yang telah dipaparkan diatas telah mencakup beberapa hal yang menjadi faktor tumbuhnya motivasi pada seseorang, baik itu yang bersifat internal ataupun eksternal. Dalam pembahasan ini penulis bukan membahas tentang penjelasan ayatayat motivasi tersebut ditinjau dari pengertian definisi saja, tetapi melihat bagaimana dan metode apa saja yang digunakan dalam Al-Quran dalam menumbuhkan motivasi tersebut. seperti contoh dalam QS. Yunus ayat 108-109, dimana Allah menyerukan sesuatu penuh dengan kelembutan (qaulan layyinan), QS. Isra ayat 70, Allah akan mengangkat derajat anak-anak Adam dari seluruh ciptaan-Nya yang lain. Ini merupakan salah satu bentuk motivasi yang bersifat ekstrinsik yang terakum dalam pemberian hadiah atau bagian dari mau‟idhah. Ataupun berupa janji-janji baik yang disampaikan oleh Allah maupun hukuman yang akan diberikan-Nya. Oleh karena itu melihat beragam macam redaksi ayat yang di sampaikan Allah lewat kalam suci, penulis melihat semua itu telah terakum dalam dalam QS. An-Nahl:125 yang berbunyi: 75                           “Ajaklah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk” Ayat ini merupakan ayat yang telah mencakup dari berbagai macam faktor untuk menumbuhkan motivisi beribadah pada diri manusia yang dilihat dari metode yang disampaiakan, yaitu dengan Al-Hikmah, Al-Mau’idhah, AlHasanah. Dalam memahami ayat ini, penulis melihat metode tersebut merupakan langkah yang ditempuh untuk menumbuhkan kembali motivasi beribadah kepada Allah. Hal ini bertalian erat dengan kewajiban kita untuk merealisasikan kembali perjanjian hamba dengan Allah yang telah terikrar sejak awal mula diciptakan. 1. Al-Hikmah Ajaran Islam sungguh sangat humanis, karena ia merupakan ajaran yang sesuai dengan fitrah manusia, dan pada dasarnya manusia akan cenderung dan membutuhkan hal-hal yang bersifat fitrah. Bahkan dalam Al-Quran sudah Allah tegaskan bahwa manusia sebelum lahir sudah mengadakan perjanjian dengan Rabbnya bahwa ia mengakui Allah sebagai Tuhannya, ini merupakan perjanjian tauhid. 76 Firman Allah dalam QS. Al-„Araf [7]:172 yang berbunyi: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)". Melihat konteks ayat ini maka dapat kita pahami bahwa salah satu bentuk metode Al-Hikmah adalah untuk mengembalikan manusia kepada asal hakikat fitrahnya yakni mengakui serta menjunjung tinggi ikrar yang telah diucapkan di depan Tuhannya. Karena demikian sebuah aktifitas yang sangat penting perlu dilakukan dengan penuh hikmah dan kearifan untuk menghindari dari segala bentuk konflik ataupun hal yang tak diinginkan, karena dalam melaksanakan ini bukanlah hal yang mudah, kesulitan disebab oleh banyak faktor diantaranya masyarakat memiliki tipe yang berbeda-beda. Menurut M. Bahri Ghazali mengklasifikasi masyarakat dalam lima tipe, yaitu: a. Tipe innovator, yaitu masyarakat yang memiliki keinginan keras pada setiap keadaan yang sifatnya membangun, bersifat agresif, dan tergolong memiliki kemampuan antisipatif dalam setiap langkah. b. Tipe pelopor, yaitu masyarakat yang selektif dalam menerima pembaharuan dengan pertimbangan tidak semua pembaharuan dapat membawa perubahan yang positif. Untuk menerima dan menolak ide pembaharuan mereka mencari pelopor yang mewakili mereka dalam menggapai pembaharuan itu. 77 c. Tipe pengikut dini, yaitu masyarakat sederhana yang kadang-kadang kurang siap mengambil resiko dan umumnya lemah mental. Kelompok masyarakat ini selalu membutuhkan seorang pelopor untuk menangani setiap masalah mereka. d. Tipe pengikut akhir, yaitu masyarakat yang ekstra hati-hati sehingga berdampak kepada anggota masyarakat yang skeptis terhadap pembaharuan, karena faktor kehati-hatian yang berlebihan, maka setiap gerakan pembaharuan memerlukan waktu dan pendekatan yang sesuai untuk bisa masuk. e. Tipe kolot, yaitu masyarakat yang tidak mau menerima pembaharuan sebelum mereka benar-benar terdesak oleh lingkungannya. Maka setelah melihat beberapa tipe masyarakat diatas, maka sudah seyogyanya sebelum kita masuk kedalam mereka mesti mempelajari terlebih dahulu tentang mereka, karena metode hikmah ini akan mampu menetapkan manusia sesuai dengan kadar yang telah ditetapkan. Hal ini sejalan dengan sunatullah dalam penciptaan mahkluk dan mengikuti metode perundang-undangan hukum Islam, dengan mengetahui bahwa manusia tidak senang menghadapi perpindahan yang dilakukan sekaligus dari suatu keadaan kepada keadaan yang lain, meskipun keadaan yang selama ini mereka jalani merupakan kehidupan yang salah dan mereka tahu bahwa keadaan yang asing itu sebenarnya sesuatu kebenaran yang nyata, tetapi semua itu perlu tahapan tersendiri untuk memperoleh sebuah kesempurnaan. 78 Salah satu hal yang menjadi contoh seperti diturunnya Al-Quran tidak secara sekaligus, melainkan surat demi surat, ayat-demi ayat dan kadangkadang menurut peristiwa-peristiwa yang menghendaki diturunkannya, agar dengan cara demikian lebih disenangi oleh jiwa dan lebih bisa meresapi kembali untuk mendorong kearah mentaati serta bersiap-siap untuk meninggalkan ketentuan-ketentuan lama dan menerima hukum yang baru. Maka sebagai metode hikmah ini juga perlu tahapan-tahapan tertentu. 2. Mau’idhah Mau‟idhah Hasanah merupakan salah satu metode dalam Al-Quran yang berkaitan dengan dakwah untuk mengajak kejalan Allah dengan memberi nasehat atau bimbingan dengan cara yang lemah lembut agar mereka mau melakukan suatu kebaikan”.20 a. Nasehat Islam merupakan agama yang saling menasehati, seperti riwayat dari Abu Ruqayyah Tamiim bin Aus Ad-Daari radhiyallohu‟anhu, sesungguhnya Nabi shallallahu „alaihi wasallam pernah bersabda: ”Agama itu adalah nasehat”. Kami (sahabat) bertanya: ”Untuk siapa?” Beliau bersabda: ”Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, Pemimpinpemimpin umat Islam, dan untuk seluruh muslimin.” (HR.Muslim) Maka jelaslah bahwa nasehat merupakan salah satu pilar yang menjadi pondasi kuat kaum muslimin dalam menegakkan kebenaran untuk menghapus kedhaliman yang terus merajalela dalam dunia modern. 20 Abdul Hamid al-Bilali, Fiqh al-Dakwah fi Ingkr al-Munkar, (Kuwait: Dar al-Dakwah, 1989), hal.260. 79 Karena Rasul telah mengungkapkan secara tegas kewajiban muslim untuk saling menasehati muslim lainnya bila telah berada dalam jalur kemungkaran. Ini merupakan kewajiban personal yang mesti diterapkan oleh setiap individu bukan hanya sebatas bergantung pada ulama dan umara semata, tetapi ini merupakan kewajiban individual yang secara fenomenal sulit kita jumpai karena manusia telah jauh larut dalam ketergantungan tersebut. maka seyokyanya hal ini mesti kita tumbuhkan kembali mengingat realita yang telah jauh merosot dan menyimpang dari ajaran-ajaran kebenaran. Maka dapat diasumsikan, bahwa menasehati merupakan sebuah langkah mulia dalam membangun kembali jalan yang benar guna untuk beribadah kepada Allah, ini merupakan sebuah langkah yang lebih praktis disebut dengan dakwah. Dimana dakwah merupakan metode yang digunakan dalam bentuk penyajian secara lisan dan dilakukan langsung didepan masyarakat dengan menyampaikan perintah Allah dan untuk menjauhi semua larangan Allah dan Rasul-Nya. Metode ini adalah metode yang pertama sekali dilakukan oleh Nabi kita Muhammad Saw dalam menyampaikan risalah kepada ummatnya untuk berbuat kebajikaan dan meninggalkan larangan. Banyak manusia yang tergugah dan luluh hatinya dengan mendengar dakwah dan seruan yang disampaikan sehingga metode ini seringkali digunakan oleh para guru, ulama, dan kyai-kyai dalam pencapaian sebuah tujuan, sebagai mana Firman Allah: 80                   “Jika mereka yang kamu seru itu tidak menerima seruanmu (ajakanmu) itu maka ketahuilah, sesungguhnya Al Quran itu diturunkan dengan ilmu Allah, dan bahwasanya tidak ada Tuhan selain Dia, maka maukah kamu berserah diri (kepada Allah)? (QS. Hud [11]:14)      "Kemudian Aku telah menyeru mereka dengan terang-terang” (QS. Nuh:8) Dan tidak sedikit juga dari metode ini memiliki kecenderungan yang negatif dimana metode ini seringkali tidak menjadi metode yang lunak bagi sebagian kecil manusia, seperti yang telah Allah sebutkan                   “Dan mereka berkata: "Hati kami dalam tutupan yang berlapis-lapis (menghalang kami) dari pada memahami apa yang Engkau serukan kami kepada-Nya, dan pada telinga kami penyumbat (menjadikan kami tidak dapat mendengarnya), serta di antara kami dengan mu ada sekatan (yang memisahkan fahaman kita); oleh itu, bekerjalah engkau (untuk agama mu), Sesungguhnya kami juga tetap bekerja (untuk mempertahankan kepercayaan kami)! " (QS. Fushilat: [41:5) Dalam Ayat lain Allah menjelaskan kepada orang yang menyerukan dakwah, agar mereka senantiasa patuh dan mengikuti jalur syariat yang benar, jangan menyampaikan sesuatu yang bathil sesuai 81 dengan kemauan hawa nafsu sendiri, hal itu telah ditegaskan dalam AlQuran yang berbunyi :                   “Supaya mereka memikul dosa-dosanya dengan sepenuh-penuhnya pada hari kiamat, dan sebahagian dosa-dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak mengetahui sedikitpun (bahwa mereka disesatkan). Ingatlah, amat buruklah dosa yang mereka pikul itu.” (QS. An-Nahl [16]:25) Dari beberapa ayat diatas maka jelaslah bagi kita bahwa menyiarkan agama ini bagi masyarakat perlu dakwah dan seruan yang harus ditempuh dengan baik, karena dengan dakwah setidaknya kita dapat membawa pendengar kedalam pengetahuan dan penghayatan yang dalam tentang kekuatan dan kekuasaan Allah yang dapat kita laksanakan secara lisan dan langsung di depan masyarakat. Karena metode ini adalah cara yang ditempuh oleh Nabi-Nabi Allah dalam menyiarkan agama tauhid dan mengajak beriman kepada Allah, dan ternyata metode ini adalah metode yang sangat ampuh bagi kita dalam mencontoh cara Nabi menyampaikan risalah kepada ummatnya. Oleh karena itu Al-Quran menjadi pedoman bagi kita untuk melihat langkah dan metode dalam memberi nasehat telah termaktub dalam kitab suci yang mampu memberi dampak positif dalam menanggapi tujuan yang kita harapkan. Adapun jenis-jenis ungkapan AlQuran dalam menyampaikan nasehat memiliki kevariasian yang begitu 82 menakjubkan, tergantung atas situsi dan kondisi objek yang dituju. Jenis tersebut diantaranya: 1) Qaulan Baligha Qaulan Baligha merupakan ungkapan Al-Quran yang membekas dalam jiwa, yang memiliki makna yang sangat mengesankan, sehingga siapa yang mendengar akan merasa diberi pelajaran yang begitu dahsyat padanya. Ungkapan ini terletak pada surah An-Nisa ayat 63 dengan Firman-Nya:                  “Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka” Yang dimaksud dalam ayat diatas adalah perilaku orang munafik. Dimana mereka ketika diajak untuk memahami hukum Allah, mereka menghalangi orang lain untuk patuh21. Kalau mereka dapat musibah atau kecelakan karena perbuatan mereka sendiri, mereka datang mohon perlindungan atau bantuan. Mereka inilah yang perlu dihindari, diberi pelajaran atau diberi penjelasan dengan 21 QS. An-Nisa: 61. 83 cara yang berbekas dan mengesankan agar mereka tercegah dari niat jahatnya22 Karena itu Qaulan Baligha dapat disebut dengan komunikasi yang efektif. Merujuk pada asal kata baligha yang bermakna “matang, sampai atau fasih”23 Jadi, untuk orang munafik24 seperti ini diperlukan komunikasi yang efektif yang dapat menggugah jiwanya, bahasa yang dipakai adalah bahasa yang mengesankan atau membekas pada hatinya, karena hati orang munafik telah dikotori dengan sifat dusta, khianat dan ingkar janji maka bila hati tersebut tidak mampu disentuh sulit untuk menundukkannya. 2) Qaulan Layyinan Qaulan Layyinan secara harfiyah bemakna komunikasi dengan cara lemah lembut yang dianjurkan oleh Allah melalui kalamnya, hal ini tercantum dalam surah Thaha ayat 43-44 yang berbunyi:                “Pergilah kamu berdua kepada Fir'aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut". 22 Tafsir Ibnu Katsir, juz 5. hal.281. Kamus Munawir, hal.107. 24 Munafik merupakan sebutan bagi orang-orang yang mengaku mengikuti ajaran agama tetapi kenyataannya mereka ingkar 23 84 Ungkapan Qaula Layyinan merupakan perintah Allah yang dituju kepada Nabi Musa dan Nabi Harun untuk menyampaikan kepada Fir‟aun dengan kata-kata yang lemah lembut, dengan tujuan untuk menyadarkannya supaya jangan mengaku menjadi tuhan dan mau menerimanya atau takut kepada Allah lalu karenanya ia mau sadar. 25 Berhadapan dengan hal seperti ini seperti penguasa yang dhalim, Al-Quran mengajarkan cara dan metode penyampaian dengan ungkapan sejuk dan lemah lembut, tidak kasar atau dengan ucapan keras dan lantang, karena hak tersebut bila ungkapan tersebut dikeluarkan akan cenderung terpancing respon keras dalam waktu spontan, sehingga menghilangkan peluang untuk dialog dan komunikasi yang hendak disampaikan. Ini merupakan sebuah hal yang perlu sekali kita perhatikan dalam melihat orang yang hendak dituju jangan sampai semua itu hancur berantakan akibat salah langkah dalam mengambil tindakan. 3) Qaulan Ma’rufan Qaulan Ma‟rufan dapat diterjemahkan sebagai ungkapan yang pantas, salah satu pengertian ma‟rufan secara etimologi adalah al-khair atau ihsan yang bermakna “baik-baik”. Jadi qaulan ma‟rufan mengandung pengertian perkataan atau ungkapan yang pantas dan baik. 25 Tafsir Jalalain. 85              “Perkataan yang baik dan pemberian maaf, lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun.” (QS. AlBaqarah [2]:263) Jalaluddin Rahmad menjelaskan bahwa qaulan ma‟rufan adalah perkataan yang baik. Allah menggunakan frase ini ketika berbicara tentang kewajiban orang-orang kaya atau orang yang kuat terhadap orang-orang miskin atau lemah. Qaulan ma‟rufan berarti pembicaraan yang bermamfaat, mencerahkan pemikiran, memberikan menunjukkan pengetahuan, pemecahan terhadap kesulitan pada orang lemah, jika kita tidak dapat membantu secara material, setidaknya kita dapat membantu dengan psikologi. 26 4) Qaulan Maisura Qaulan Maisura adalah perkataan yang ringan, kalimat yasura berasal dari kata yasr yang bermakna “mudah”, qaulan maisura adalah lawan dari ma‟sura; perkataan sulit. Maka dapat dipahami qaulan maisura merupakan perkataan yang mudah diterima, ringan, pantas dan tidak berliku-liku, dalam artian pesan yang disampaikan itu sederhana, mudah dimengerti dan dapat dipahami secara spontan tanpa harus berpikir dua kali. Firman Allah: 26 Jalaluddin Rahmad, Etika Komunikasi Perspektif Religi, Makalah Seminar, (Jakarta: Perpustakaan Nasional, 18 Mei 1996). 86              “Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang kamu harapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan yang pantas.” (QS. Al-Isra‟ [17]:28) 5) Qaulan Karima Qaulan karima adalah perkataan yang mulia, santun, penuh penghormatan dan penghargaan, dimana saat menyampaikan sebuah nasehat mereka tidak merasa sedang menggurui.                             “Dan Tuhanmu telah menetapkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. Al-Isra [17]:23) Berkenaan dengan redaksi ayat ini, qaulan karima yang dimaksud lebih cocok bila kita menghadapi seseorang yang sudah termasuk kategori lanjut usia, haruslah bersikap seperti orang tua sendiri, yakni hormat dan tidak berkata kasar kepadanya. Karena manusia meskipun sudah mencapai usia lanjut namun mereka masih 87 bisa juga berbuat khilaf dan kesalahan. Sementara kondisi fisik mereka mulai melemah membuat mereka sangat sensitif dan mudah tersinggung, maka sudah seyokyanya perkataan yang mulia dan hormat yang dapat melunakkan mereka. b. Tabsyir Wa Tandzir 1) Tabsyir Tabsyir secara bahasa berasal dari kata basyra yang bermakna memperhatikan dan merasa senang.27 Menurut Quraish Shihab basyara berarti menampakkan sesuatu dengan baik dan indah.28 Maka basyar dalam bahasa Arab sering juga dimaknai dengan kulit, karena kulitlah yang membuat keindahan. Kenapa manusia sering disebut basyar karena bagian terbesar pada diri manusia yang mampu dilihat dan ditatap hanya bagian luar saja yaitu kulit, dan dengan kulit itu pula manusia sombong, angkuh dan ada juga sebagian kecil yang baik dan indah. Dalam Al-Quran kata tabsyir banyak disebutkan, menurut Muhammad Abdul Baqi‟ kata tabsyir atau mubasyir disebutkan sebanyak 18 kali.29 Dari sekian banyak kata tabsyir semua diartikan dengan “kabar gembira atau berita pahala”, hanya saja bentuk kabar gembira beragam bentuk. Antara lain kabar gembira dengan syariat Islam, kabar gembira dengan kedatangan Rasul, kabar gembira 27 Ahmad Wason Munawir, Kamus Munawir, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hal. 85. M. Qurish Shihab, Wawasan Al-Quran, (Bandung: Mizan, 1996), hal. 279. 29 Abdul Baqi Muhammad Fuad, al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfadz Al-Quran al-Karim, (Cairo: Dar Al-Kutub al-Misyriyah, tt), hal. 120. 28 88 tentang turunnya Al-Quran, dan kabar gembira tentang syurga dan kenikmatan. Adapun tujuan dari tabsyir adalah: a) Menguatkan atau memperkokoh keimanan b) Memberikan harapan c) Menumbuhkan semangat untuk beramal d) Menghilangkan sifat keragu-raguan Tujuan-tujuan diatas diharapkan mampu menjadi sebuah motivasi didalam beribadah kepada Allah dengan ikhlas dan sepenuh hati. Adapun motivasi tersebut oleh Said bin Ali al-Qahtani30 membagi dua macam, yaitu: pemberian motivasi dengan janji dan pemberian motivasi dengan menyebutkan bermacam-macam ketaatan. Adapun pemberian motivasi dengan janji mempunyai gambaran yang beraneka ragam, antara lain: a) Janji berupa kehidupan yang baik, yakni selamat dari segala yang dibenci oleh Allah, selalu dalam lindungan dan pengawasan Allah Swt. dalam firman-Nya Allah menjanjikan kebaikan kepada orang-orang yang beramal shaleh yang disertai dengan ikhlas:                     30 Said bin Ali al-Qathani, Dakwah Islam Dakwah Bijak, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), hal. 362. 89 “Barangsiapa yang mengerjakan amal shaleh, baik lakilaki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan” (QS. An-Nahl [16]:97) b) Janji berupa pemberian kekuasan diatas bumi, ini merupakan janji Tuhan yang telah disebutkan dalam AlQuran, meskipun manusia merupakan mahkluk khalifah, yang bertugas menjadi pemimpin, paling kecil pemimpin dirinya dan keluarganya, tetapi bila berada dalam keimanan, apapun yang mereka pimpin tidak sedikitpunm goyang dan bimbang dalam melaksanakannya, ia akan merasa aman dan tentram melaksanakannya.                                          “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shaleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagai mana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap 90 menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS: An-Nur [24]:55) c) Janji berupa segala penambahan kebaikan yang disertai dengan rasa syukur kepada Allah Swt. Karena dengan syukur akan terasa besarnya nikmat dan karunia Allah, hingga hati akan mersa cukup atas apa yang telah dianugerahi Allah kepadanya. Namun sebaliknya bila ia ingkar sungguh dia berada dalam kerugian, ia merasa betapa sedikitnya nikmat yang diperoleh selama ini, hingga ia akan terus mencari dengan mengedepankan hawa nafsu tanpa pernah mersa cukup atas semua yang telah diperolehnya.              “Dan tatkala Tuhanmu memaklumkan; Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". (QS. Ibrahim [14]:7) d) Janji berupa panjang umur, hal ini bukan bermakna hidup lama diatas permukaan bumi Tuhan, tetapi hidupnya selama di bumi walau hanya sesaat dipenuhi dengan keberkahan, waktu tanpa berlalu sia-sia, hati tidak pernah absen untuk mengingat Allah, sehingga kehidupannya akan jauh dari perbuatan maksiat dan akan dilindungi Allah dari murkaNya. 91                                      “Berkata Rasul-Rasul mereka: "Apakah ada keraguraguan terhadap Allah, Pencipta langit dan bumi? Dia menyeru kamu untuk memberi ampunan kepadamu dari dosa-dosamu dan menangguhkan (siksaan)mu sampai masa yang ditentukan?" Mereka berkata: "Kamu tidak lain hanyalah manusia seperti kami juga. kamu menghendaki untuk menghalang-halangi (membelokkan) kami dari apa yang selalu disembah nenek moyang kami, karena itu datangkanlah kepada kami, bukti yang nyata." (QS. Ibrahim [14]:10) e) Janji berupa pertolongan dan taufik-Nya, yakni Allah selalu memberi pertolongan kepada hamba-hamba yang beriman, baik disaat ia hidup di dunia dan disaat berada di akhirat. Bila taufik dan pertolongan Allah telah didapati, sungguh hamba tersebut telah berada dalam jenjang keberuntungan yang tiada bisa dsibandingkan dengan segala sesuatu.                             92 “Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindungpelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya” (QS. Al-Baqarah [2]:257) Dari beberapa ayat diatas, maka jelaslah Al-Quran memberi motivasi pada seseorang untuk melakukan ibadah dan beramal shaleh berupa janji-janji yang dapat mendorang untuk melaksanakannya. Janji-janji yang termaktub dalam Al-Quran menjadi motivator bagi seseorang untuk melaksanakan ibadah, mengingat ada aspek yang ingin dicapai bila ibadah telah dilaksanakan. Janji-janji dalam Al-Quran merupakan bagian dari aspek motivasi ekstrinsik yang timbul akibat dorongan dan pengaruh dari luar berupa harapan untuk mendapatkan apa yang telah dijanjikan oleh Allah Swt. Maka dapat kita asumsikan janji merupakan salah satu metode Al-Quran dalam menumbuhkan motivasi beribadah pada seseorang. 93 2) Tandzir Kata tandzir atau indzar secara bahasa berasal dari kata nadza-ra yang menurut Ahmad bin Faris adalah suatu kata yang menunjukkan untuk menakutkan (takhwif). 31 Adapun secara istilah, tandzir merupakan ungkapan yang mengandung unsur peringatan kepada orang yang tidak beriman atau kepada orang yang melakukan perbuatan dosa atau hanya untuk tindakan preventif agar tidak terjerumus pada perbuatan dosa dengan bentuk ancaman berupa siksaan di hari kiamat. Ini merupakan salah satu bentuk metode dakwah Al-Quran dimana isinya berupa peringatan terhadap manusia tentang adanya kehidupan akhirat dengan segala konsekuensinya.32 c. Qashash Secara epistimologi lafadz qashash merupakan bentuk jamak dari kata qishah lafadz ini merupakan bentuk masdar dari kata qassa ya qussu.33 yang bermakana menceritakan atau menelusuri/mengikuti jejak. Adapun makna dari sebagian besar ayat-ayat Al-Quran mengarah kepada kisah atau cerita. Adapun makna secara terminologi qashash berarti kisah-kisah dalam Al-Quran yang menceritakan hal ikhwal umat terdahulu dan Nabi-Nabi mereka serta peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lampau, masa Ahmad bin Faris bin Zakaria, Mu‟zam al-Muqayis fi al-Lughah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), hal. 1021. 32 Ali Mustafa Yakub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), hal. 49. 33 Ibnu Mandzur, Lisanul Arab. 12/148. 31 94 kini dan masa yang akan datang.34 Allah berfirman dalam Al-Quran surah Ali Imran ayat 62 yang berbunyi:                  “Sesungguhnya ini ialah kisah-kisah yang benar; dan tiadalah Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Allah; dan (ingatlah), Sesungguhnya Allah, Dia lah Yang Maha Kuasa, lagi Maha Bijaksana”. Dari ayat diatas jelas bagi kita bahwa kisah-kisah yang termaktub dalam Al-Quran merupakan peristiwa nyata yang tak perlu diragukan lagi kebenarannya. Adapun tujuan dengan adanya kisah dalam Al-Quran sangatlah penting untuk menjadi cermin bagi kita dalam hidup didunia ini dan dapat mengoreksi kepribadian masing-masing, dimana kisah itu merupakan salah satu bentuk dari peradaban masa lalu, sehingga bisa menumbuhkan ahklakul karimah untuk mendidik dan meresapi kembali hikmah dibalik semua itu dan berusaha untuk menjauhi dan tidak mengulangi perbuatan buruk yang dapat menjadi murka-Nya kepada kita. 34 Mustafa Muhammad Sulaiman, al-Qishash fi al-Karim, (Mesir: Mathbah al-Amanah, 1994), hal. 4. 95 3. Mujadalah Al-Quran melalui ayat-ayatnya menaruh perhatian besar pada percakapan atau dialog demi menegakkan dalil-dalil ke-Esaan Allah dan membuktikan misi Rasulullah Saw. Metode ini ditempuh demi untuk menggapai kebenaran yang meyakinkankan hati, menyegarkan jiwa, menenangkan perasaan dan menjadikan kaum muslimin hidup dalam iman yang kuat. Dalam hal ini yang perlu digaris bawahi bahwa antara debat dan dialog memiliki sisi pembeda, biasanya dalam perdebatan terjadi perseteruan meski hanya sekedar perseteruan lisan, perdebatan senantiasa bermuara pada permusuhan yang diwarnai oleh fanatisme terhadap pendapatnya masingmasing pihak dengan merendahkan pihak lainnya. Sedangkan dialog dalam redaksi Al-Quran menggunakan lafadz Al-Hiwar. Menyikapi hal ini redaksi yang digunakan Al-Quran bukan menggunakan “al-mujadalah al-hiwar” akan tetapi Al-Quran menggunakan lafadz “qaala” (dia telah berkata), “yaquulu” (dia sedang / akan berkata), “qul‟ (katakanlah), qaalu” (mereka telah berkata), “yaquuluuna” (mereka sedang / akan berkata), dan “quuluu” (katakanlah oleh kamu semua) diturunkan dari kata dasar “Al-Qawl” yang bermakna pendapat. Karena dalam dialog tersebut kedua pihak saling mengemukakan pendapatnya, dan 96 hal ini telah diungkapkan oleh Al-Quran secara berulang-ulang lebih dari 1.700.35 a. Al-Hiwar Islam merupakan agama saling menasehati, sebuah agama tidak mampu berdiri kokoh atau tersebar suatu pola kecuali dengan sebuah nasehat yang mampu mendorong dan memberi motivasi kepada pemeluknya untuk tetap konsisten terhadap kepercayaan yang dianutnya, bukan hanya sekedar mengeluarkan dari lisan, tetapi harus mampu membuktikan dalam segala aspek kehidupan. Kewajiban ini didasarkan atas suatu ajaran, bahwa Islam merupakan sebuah agama risalah untuk manusia, sedangkan pemeluknya harus mampu menanggung amanah yang telah ditetapkan yaitu sebagai penerus risalah Islam yang telah disampaikan oleh Nabi dalam segala dimensi ruang dan waktu. Dalam mengemban amanah yang berat ini bagi jiwa-jiwa muslim dituntut selalu berpijak untuk mampu menyentuh dan menyejukkan hati agar apa yang disampaikan dapat mereka terima, sehingga dapat memberi perubahan kearah yang lebih bagus. Dalam hal melakukan perdebatan atau dialog mesti disikapi dengan arif dan bijaksana karena dengan cara ini akan mampu memicu dan menumbuhkan motivasi mereka untuk berpikir atau menghayati kembali atas apa yang telah kita sampaikan. Dapat dilihat pada Al-Mu‟jam Al-Mufahras dan ayat-ayat yang mempergunakan lafadz Al-Khiwar. (Disamping menggunkan lafadz yang berakar kata al-qawl, terdapat pula lafadz “Haajjaka, Tuhaa-jjuna, Haa-jjajtum” yang berarti membantah: QS. Ali Imran ayat 61, 65, 66 ). 35 97 Ibarat dua insan yang dipisahkan oleh sebuah sungai yang luas ataupun jurang yang dalam, dan apabila mereka ingin bertemu maka mereka memerlukan sebuah jembatan, dalam konteks dua insan yang berbeda yang ingin menggapai suatu kata kesepakatan, jembatan bisa disebut dengan dialog, sedangkan jembatan tersebut meski ditopang dengan pondasi yang kokoh agar mampu mengatur para penyeberang sehingga sampai tujuan kesepakatan dengan selamat. b. As-Ilah Wa Ajwibah Kata As-„Ilah merupakan jamak dari kata As-Saw-al yang berarti pertanyaan-pertanyaan36 begitu pula kata Ajwibah merupakan jamak dari kata Ajabah yang bermakna jawaaban-jawaban37 Maka pengertian dari mujadalah al-Islah wa Ajwibah adalah perdebatan yang dilakukan oleh dua orang maupun sekelompok orang untuk berusaha memunculkan suatu yang paling bagus atau yang paling baik, dalam bentuk mengajukan pertanyaan dan jawaban yang merupakan argumennya masing-masing. As-Ilah wa Aj-wibah dalam Al-Quran pada dasarnya sebuah jawaban itu harus sesuai dengan dengan pertanyaan dengan bunyi kaedah “Asalnya suatu jawaban adalah harus sesuai dengan pertanyaan.38 Namun terkadang ia menyimpang dari apa yang dikehendaki pertanyaan. Hal ini untuk mengingatkan bahwa jawaban itulah yang seharusnya ditanyakan, contohnya seperti QS. Al-Baqarah ayat 189, mereka 36 Ahmad Warson, Munawir, hal. 636. Al-Zarkasyi, Al-Burhan fi „Ulumul Quran, Juz II, (Kairo: Dar al-Ihya al-Kutub alArabiyyah, 1376 H), hal. 83. 38 op.cit,. (Beirut:Dar al-Kutb al-Ilmiyyah, 1988), cet. I. hal. 50 37 98 menanyakan kepada Rasulullah tentang bulan, mengapa pada mulanya ia tampak kecil seperti benang, kemudian bertambah sedikit demi sedikit hingga sempurnama, dan kemudian menyusut kembali seperti semula. Adapun jawaban yang diberikan Rasul berupa penjelasan dari hikmahnya, untuk mengingat bahwa yang lebih penting ditanyakan ialah hal tersebut bukan yang mereka tanyakan. 99 BAB EMPAT PENUTUP A. Kesimpulan Al-Quran memiliki banyak ragam metode dalam hal menumbuhkan motivasi bagi manusia dalam hal ibadah khususnya. Hal ini dapat penulis bandingkan dengan teori-teori yang dikeluarkan para ahli psikologi dalam hal menumbuhkan motivasi. Walaupun sebagian yang telah disebutkan para ahli juga disebutkakan dalam Al-Quran, tetapi banyak hal yang belum kita temukan di beberapa buku atau rujukan tentang psikologi yang menjelaskan hal-hal yang membangun motivasi sebagaimana yang telah disebutkan Al-Quran kira-kira 14 abad yang lalu. Sungguh takjub bila kita terus menelusuri dan mempelajari ayat-ayat Tuhan yang terpancarkan dalam Al-Quran memiliki banyak sekali ilmu yang tersimpan dan tak akan habis-habisnya bila seorang hamba mampu memahaminya. Maka dari itu penulis dapat menyimpulkan bahwa: 1. Al-Quran merupaka kalam suci yang mengatur seluruh perundangundangan hidup manusia, salah satu isi yang terkandung dalam Al-Quran adalah menganjurkan manusia untuk selalu taat beribadah kepada Allah tanpa menyekutui-Nya dengan sesuatu apapun. 2. Dalam beribadah kepada Allah memiliki rambu-rambu yang harus dilalui oleh setiap manusia yang ingin melaksanakannya. Diantara rambu-rambu yang paling penting adalah motivasi pada diri pribadi untuk melakukan 100 ibadah sesuai dengan kodrat, hakikat, dan motto hidup di dunia yaitu untuk selalu beribadah kepada Allah. 3. Dalam menumbuhkan motivasi khususnya dalam beribadah, Allah menjelaskan dalam Al-Quran dengan beberapa metode yang mampu memberi solusi dan harapan agar dapat menjadi hamba yang selalu ingat kepada-Nya. 4. Metode yang digunakan Al-Quran dalam menumbuhkan motivasi beribadah terangkum dalam Al-Quran surah An-Nahl:125 yang artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”. 5. Adapun Ayat ini merupakan ayat yang telah mencakup dari berbagai macam faktor untuk menumbuhkan motivisi beribadah pada diri pribadi manusia atau orang lain yang dilihat dari metode yang disampaiakan, yaitu dengan Al-Hikmah, Al-Mau’idhah, Al-Hasanah. 101 B. Saran-Saran Berdasarkan pembahasan tentang Metode Al-Quran Membangun Motivasi Beribadah, penulis akan mengemukakan beberapa saran yang diharapkan nantinya mampu menjadi pijakan atau pedoman bagi penulis khususnya, selanjutnya bagi Mahasiswa, Dosen/Guru, Masyarakat, Pemerintah dan Perguruan Tinggi. 1. Bagi mahasiswa yang menjadi Agent of Change atau Agent of Sosial Control dengan adanya pemabahasan ini mampu mempersiapkan diri menjadi motivator, inovator, dinamisator dan katalisator dalam berbagai problem sosial keagamaan bagi diri sendiri ataupun orang lain. 2. Bagi masyarakat; setelah melihat pembahasan yang penulis paparkan diatas, diharapkan kepada seluruh lapisan masyarakat untuk bisa mengintrofeksi diri, apakah selama ini motto atau tujuan hidup telah kita laksanakan dengan maksimal, jika belum mulai sekarang mari kita berusaha sekuat mungkin untuk menuju kearah yang lebih baik. 3. Bagi Pemerintah yang menjadi penggerak dalam setiap kegiatan bernegara diharapkan mampu memberi arahan dan bimbingan yang lebih kepada warga negara dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan yang berbau keislaman, melihat kondisi masyarakat telah jauh dan dilalaikan dengan persoalan duniawian. 4. Bagi Dosen/Guru yang merupakan pilar kebangkitan ummat diharapkan lebih meningkatkan kualitas dan kuantitas anak didiknya dalam mengayomi pendidikan agama, mengingat betapa banyaknya remaja- 102 remaja muslim telah terdekadensi moral yang sangat drastis diera modern ini. 5. Bagi Perguruan tinggi; Pembahasan ini selain salah satu aktualisasi Tri Darma Perguruan Tinggi yaitu pendidikan/pengajaran, pengabdian dan yang terakir dalam bentuk penelitian, juga merupakan salah satu karya yang sangat penting untuk menjadi rujukan dan pedoman khusunya dalam psikologi Islam untuk meningkatkan partispasi dalam melaksanakan pembangunan dan perubahan khususnya di bidang agama. 6. Semoga dalam menjalani kehidupan dunia kita semua mampu menjadi insan yang beriman, taat dan patuh atas setiap perintah Allah Swt, sehingga bila ia seorang Mahasiswa, Masyarakat, Pemerintah ataupun Dosen/Guru menjadi orang-orang beriman, sungguh dunia akan terasa damai dan tentram, bila semua kita telah benar-benar beriman tidak ada lagi kedhaliman, pembunuhan, penganiayaan, korupsi, kolusi ataupun nepotisme yang sekarang telah merajalela dalam hati masyarakat muslim. 103 DAFTAR PUSTAKA Al-Quran Al-Karim Abd. al-Rahman al-Nahlawi. Prinsip-Prinsip Dan Metode Pendidikan Islam. Bandung: Diponegoro, 1989. Abdul Hamid al-Bilali. Fiqh al-Dakwah fi Ingkar al-Munkar. Kuwait: Dar alDakwah. 1989. Abd. Al-Lathif Muhammad. al-‘Abd, al-Insan fi Fikr Ikhwan al-Shafa’. Cairo: Maktabah al-Anjalu al-Mishriyat. tt. Adullah Nashih Ulwan. Tarbiyah al-Uulad Fi al-Islam. Dar al-Salam. jilid I. Abdul Baqi Muhammad Fuad. al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadz al-Quran alKarim. Cairo: Dar Al-Kutub al-Misyriyah. tt. Abu Ammar & Abu Fatihah Al-Adnani. Mizanul Muslim. Solo: Cordova Mediatama. 2009. Ahmad Warson al-Munawir. Kamus al-Munawir, Surabaya: Pustaka Progresif. 1997. Ahmad Mukhrij Aji. Memaknai Peringatan www.radarbogor.com, 07 September 2009. Nuzulul Quran, Ahmad bin Muhammad al-Muqri’ al-Fayumi. Al-Misbul Munir. tt. Al-Ghazali. Ihya Ulumuddin. Semarang: Usaha Keluarga. tt. Al-Raghib al-Afsan. Mu’jam al-Faadh Al-Quran. Beirut: Dar al-Fikr. tt. Ali al-Jarisyah. al-hiwar wa al-Munadzarah. al-Munawarah: Dar al-Wifa. 1989. Ahmad Thib Raya & Siti Musda Mulia. Menyelami Seluk Beluk Ibadah Dalam Islam. Bogor: Kencana. 2003. Arifin. Ilmu Pendidikan Islam:Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner. Jakarta: Bumi Aksara. 1991. Chairani. Penafsiran Ilmiah Al-Quran Terhadap Ayat Kejadian Manusia. Cet. I. Banda Aceh: IAIN Ar-Raniry. 2004. 104 Chalijah Hasan. Deminsi-Deminsi Psikologi Pendidikan. Surabaya: Al-Ikhlas. 1994 Hamka. Tafsir Al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas. 1988. Hasanuddin. Hukum Dakwah. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya. 1996. http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2012/02/07/semangat-itu/ Ibnu Mandzur. Lisanul Arab. Jld.12. Beirut: Dar Fikr. 1990. Ibnu Katsir. Labaabut Tafsir Min Ibnu Katsir. Terj. M. Abdul Ghoffar, Abu Ihsan. Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i. 2000. Ibnu Qayyim al-Jauziyah. al-Ruh. Jalaluddin Rahmad. Etika Komunikasi Perspektif Religi. Makalah Seminar, Jakarta: Perpustakaan Nasional. 18 Mei 1996. Kahar Masyur. Pokok-Pokok Ulumul Quran. Cet. I, Jakarta: Rineka Cipta. 1992. M. Quraish Shihab. Menyingkap Tabir Ilahi;Asma al-Husna Dalam Perspektif AlQuran. Cet. I, Jakarta: Lentera Hati. 1998. Tafsir al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati. 2005. Wawasan Al-Quran. Bandung: Mizan. 1996. Manna’ al-Qathtan. Pengantar Studi Ilmu Al-Quran. Cet. II, Jakarta: Pustaka AlKautsar. 2007. Martin Handoko. Motivasi Daya Penggerak Tingkah Laku. Yokyakarta: Kanisius. 1995. Muhammad Athiyah, al-Abrasy,. Ruh al-Tarbiyat wa al-Ta’lim. Kairo: Isa al-Bahi al-Nalabi. tt. Mustaqim, Abdul Wahib,. Psikologi Pendidikan. Rineka Cipta: Semarang. 1990. Moh. As’ad. Psikologi Industri. Liberty: Yokyakarta. 1998. Omar Mohammd al-Toumy al-Syaibani. Falsafah Pendidikan Islam. Terj. Langgulung. Jakarta: Bulan Bintang. 1979. Pusat Bahasa, KBBI. Jakarta,. 2008. 105 Sayyid Muhammad Thanthawi. Adab al-Khiwar fi Islam. Mesir: Dar alNahddhah. Terj. Zuhaeri Misrawi, Zamroni Kamal. Cet. I. Jakarta: Azam, 2001, pada kata pengantar. Shahih Abd. Al-Aziz. al-Tarbiyah al-Haditsah Maddatu, Tathiqatuha al-Amaliyah. Kairo: Dar al-M’arif. 1119 H. Mabadi’uba, Sudirman, A.M. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Rajawali Persada. 1990. Soemanto, Wasty. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT. Bina Aksara. 1987. Winardi. Manajemen Prilaku Organisasi. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. 1992. World Assembly of Muslim Youth (WAMY), Fi Ushulil Hiwar. Mesir: Maktabah Wahbah Cairo, Terj. Abdus Salam, Muhil Dhafir. Etika Diskusi. Cet. II. Jakarta: Era Inter Media. 2001. Yaumil Agoes. Peranan Keluarga Dalam Pembinaan SDM. Jakarta: Pustaka Antara. 1993. Yusuf Al-Qaradhawi. Ibadah Dalam Islam. Jakarta: Akbar. 2005. Zakiah Daradjad. Metode Khusus Pengajaran Agama Islam. Jakarta: Bumi Aksara. 1995. 106