KEBEBASAN BERAGAMA
DWITHA FAJRI RAMADHANI
S1 Pendidikan Teknik Informatika Offering B
Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknik, Universitas Negeri Malang
Jalan Semarang 5 Malang 65145. (0341) 551312
info@um.ac.id , dwithafajri@gmail.com
Pendahuluan
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (UUD NRI 1945) menyebutkankan bahwa “Negara Indonesia adalah negara
ketentuan tersebut memiliki keterlibatan pada segala tindakan
hukum”
penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan harus didasarkan pada ketentuan
hukum yang berlaku. Pandangan terkait negara hukum menurut R. Soepomo
menyatakan bahwa Negara hukum adalah Negara yang tunduk pada hukum,
peraturan-peraturan hukum berlaku bagi segala badan dan alat-alat perlengkapan
Negara. [1] Negara hukum juga akan menjamin tertib hukum dalam masyarakat
yang artinya memberikan perlindungan hukum, dan hubungan timbal-balik antara
hukum dan kekuasaan. Indonesia adalah negara hukum yang menghendaki
perlindungan dan penegakan terhadap hak asasi manusia. Jaminan atas hak asasi
manusia merupakan hal yang wajib dipenuhi dalam suatu negara yang
berlandaskan hukum. Adanya ketentuan Undang-Undang Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) pasal 28A hingga pasal 28J merupakan
pembuktian upaya melindungi kepentingan rakyat dari tindakan-tindakan yang
mengancam hak asasi yang seharusnya mereka miliki. Indonesia merupakan
negara kebangsaan yang religius, kebebasan beragama di Indonesia merupakan
salah satu hak asasi manusia dalam memilih kepercayaan. Ketentuan kebebasan
beragama terdapat dalam pasal 28E Ayat (2) yang berbunyi “bahwa setiap orang
bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya” dimana dalam pasal
tersebut ditegaskan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini
kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. Begitu
pula dengan Sila Pertama Pancasila yang menekankan prinsip ke-Tuhanan yang
berkebudayaan dan berkeadaban. Namun yang terjadi jaminan terhadap hak
kebebasan beragama tersebut tidak lantas membuat kehidupan antar agama
menjadi damai dan rukun. Hal tersebut terbukti dengan masih banyaknya
pelanggaran maupun konflik karena perbedaan agama dan perbedaan cara
penerimaan serta pemahaman terhadap agama.
Kata Kunci: hak asasi manusia, kebebasan, agama.
[1]
7.
Fadjar, A. Mukhtie, 2005. Tipe Negara Hukum, Malang: Bayumedia Publishing,
Pembahasan
Terminologi Kebebasan Beragama Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia
Secara terminologi kebebasan beragama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
adalah :
Kebebasan /ke·be·bas·an/ (n) kemerdekaan; keadaan bebas.
Beragama /ber·a·ga·ma/ (v) 1 menganut (memeluk) agama; 2 mematuhi segala
ajaran agama; taat kepada agama.
Jadi, definisi kebebasan beragama adalah “Kebebasan untuk memilih, meyakini,
dan menganut agama”. [2]
Peran Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dalam Kebebasan Beragama
Bangsa Indonesia menegakkan sistem kenegaraan Pancasila dalam UUD
NRI 1945 sebagai aktualisasi filsafat hidup yang diamanatkan oleh pendiri negara.
Pancasila dipilih karena mengedepankan nilai-nilai moral yang universal. Pancasila
tidak mengunggulkan religius atau sekularilisme, individualisme atau
kolektivitisme, mayoritas ataupun minoritas. [3] Artinya, Pancasila merupakan jalan
tengah semua unsur perbedaan yang tidak pernah memihak kepada salah satu
kelompok, golongan, atau agama tertentu. Kehidupan berke-Tuhanan dan
beragama tertuang dalam sila pertama Pancasila yang berbunyi “Ketuhanan yang
Maha Esa” dapat dikatakan bahwa masyarakat Indonesia berhak memilih dan
memeluk agama yang diyakininya secara bebas. Kebebasan beragama merupakan
kebebasan konstitusional yang dimiliki oleh seluruh rakyat Indonesia. Hak asasi
manusia adalah hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat
universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan,
dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapa pun. [4] Dari definisi
tersebut dapat disimpulkan bahwa hak asasi manusia bersifat kodrat, tidak dapat
diganggu-gugat, dicabut maupun dipindahtangankan, dan hak asasi manusia
berfungsi sebagai jaminan moral dan legal. Jaminan kebebasan beragama yang
tertulis dalam UUD NRI 1945 :
Pasal 28E Ayat (1) UUD NRI 1945 menyatakan “Setiap orang bebas memeluk
agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran,
memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah
negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”.
Pasal 28E Ayat (2) UUD NRI 1945 menyatakan “Setiap Orang berhak atas
kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan
hati nuraninya.”
Pasal 28I Ayat (1) UUD NRI 1945 menyatakan “Hak untuk hidup, hak untuk tidak
disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk
tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang
tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.”
[2]
Kamus Pusat Bahasa, 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesa Edisi Ketiga, Jakarta:
Pusat Bahasa, 18 dan 155.
[3]
Moh. Mahfud, “Pancasila dan UUD 1945 Sebagai Dasar Solusi Persoalan
Bangsa”, makalah ceramah umum Universitas Merdeka Malang, 2 Februari 2012.
[4]
El-Muhtaj, Maida, 2005. Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, Jakarta:
Kencana, 159.
Pasal 29 Ayat (2) UUD NRI 1945 menyatakan “Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
Selain itu kebebasan beragama juga tertulis di dalam UU :
Pasal 18 Undang-undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan
Internasional Hak-hak Sipil dan Politik menyatakan “Setiap orang berhak atas
kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk
menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik
secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum
atau tertutup, untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dalam kegiatan
ibadah, pentaatan, pengamalan, dan pengajaran”
Pasal 22 Ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM menyatakan “Setiap orang
bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu.”
Kata “setiap orang” berarti “semua orang”, tidak membedakan ras, suku, warga
negara mana, dan latar belakang primordial lainnya. [5] Maka dari itu ketentuan
jaminan kebebasan beragama memang ditujukan untuk melindungi hak asasi
manusia yang paling asasi, berlaku universal dan lintas batas teritorial, adat,
budaya, dan perbedaan sosial-politik lainnya.
Norma-norma Kebebasan Beragama
Zakiyudin Baidhawi mengungkapkan kebebasan beragama dalam dua
kategori, yaitu kebebasan beragama dan kebebasan berkepercayaan. [6]
Kebebasan beragama adalah perbedaan dan keragaman agama-agama yang
hidup bersama dan berdampingan seperti agama monoteistik, agama non
monoteistik, maupun agama lokal. Kebebasan agama yang dimaksud juga
merupakan kebebasan dalam menjalankan ritual-ritual, mengekspresikan nilainilai, maupun mengajarkan ajaran-ajaran dari ketiga jenis agama tersebut.
Golongan agama monoteistik antara lain Yahudi, Kristen, dan Islam. Golongan
agama non-monoteistik seperti Budha, Kong Hucu. Sementara animisme dan
dinamisme merupakan golongan agama lokal. Kebebasan berkepercayaan adalah
pengakuan hak, perlindungan, dan pemberian kesempatan yang sama bagi setiap
individu untuk memiliki pandangan hidup apa pun, baik pandangan hidup bercorak
keagamaaan maupun sekuler. Setiap orang berhak untuk memiliki pandangan
hidup humanis, sekuleris, ateis, kapitalis, sosialis, religius, neoliberalis, dan
sebagainya. Setiap individu pun berhak pula atas perlindungan dan akses untuk
mengekspresikan dan menyiarkan pandangan hidup mereka masing-masing.
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948, Kovenan Internasional tentang Hak
Sipil dan Politik 1966, dan Konvensi Eropa bagi Perlinduangan Hak Asasi Manusia
dan Kebebasan-kebebasan Dasar 1950 menyebutkan bahwa terdapat delapan
norma-norma inti yang menyusun hak asasi manusia dalam hal beragama dan
berkepercayaan [7] , antara lain : 1. Norma kebebasan internal menegaskan bahwa
setiap orang berhak dan bebas untuk memiliki, mengadopsi, mempertahankan,
atau mengubah agama dan kepercayaan mereka. Dalam hal ini, Negara
berkewajiban untuk mencegah upaya pemaksaan, manipulasi, dan
[5]
Fahmi, Agung Ali, 2011. Implementasi Jaminan Hukum HAM Atas Kebebasan
Beragama di Indonesia, Yogyakarta: Interpena, 57.
[6]
Baidhawi, Zakiyuddin, 2005. Kredo Kebebasan Beragama, Jakarta: PSAP, 3.
[7]
Tore Lindholm, 2010. Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan : Seberapa
Jauh? Yogyakarta: Kanisius, 21.
indoktrinasi dari kelompok agama maupun kelompok swasta lain terhadap
kebebasan internal individu dalam soal beragama dan berkepercayaan. 2. Norma
kebebasan eksternal menegaskan bahwa setiap orang berhak memanifestasikan
agama dan kepercayaannya ke dalam bentuk ajaran, praktik, ibadah dan ketaatan,
baik secara individu, atau dalam komunitas bersama-sama penganut lainnya,
dalam wilayah pribadi maupun publik. Artinya kebebasan eksternal menjamin
setiap pemeluk agama atau kepercayaan untuk menjalankan keyakinannya itu
dalam berbagai bentuk manifestasi. 3. Norma tanpa paksaan menegaskan bahwa
tidak seorang pun di muka bumi ini harus tunduk pada paksaan, tekanan,
intimidasi, represi yang akan mengganggu atau menghalangi kebebasannya untuk
memiliki atau mengadopsi suatu agama atau kepercayaan yang didasarkan atas
pilihan masing-masing. Negara bertanggungjawab untuk mengatasi setiap upaya
pemaksaan dan intimidasi oleh perorangan maupun kelompok kepada individu
untuk menganut atau tidak menganut, mengamalkan atau tidak mengamalkan
agama atau kepercayaan tertentu adalah tidak dibenarkan. 4. Norma tanpa
diskriminasi menegaskan bahwa negara diwajibkan menghargai, menjamin, dan
memastikan bahwa setiap warga negara yang menghuni wilayahnya mendapatkan
hak kebebasannya untuk mengamalkan agama dan kepercayaan mereka masingmasing tanpa membeda-bedakan dengan alasan dan tujuan apapun, seperti ras,
warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, perbedaan pandangan politik, asal usul
kebangsaan, strata ekonomi, status sosial, atau yang lain. 5. Norma hak-hak orang
tua dan wali menegaskan bahwa negara harus menghargai kebebasan para orang
tua dan para wali yang sah secara hukum, untuk memastikan pendidikan agama
dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan-keyakinan mereka
sendiri, dan harus memberikan perlindungan atas hak-hak setiap anak untuk bebas
beragama atau berkepercayaan sesuai dengan kemampuan-kemampuan mereka
sendiri. Setiap orang tua atau wali diperkenankan memilihkan dan menentukan
pendidikan agama untuk anak-anaknya, membesarkan anak dengan ajaran-ajaran
moral menurut keyakinannya, dengan syarat tidak memaksa mereka untuk
menjalankan agama dan kepercayaan orang tua melampaui batas kemampuan si
anak. 6. Norma kebebasan berkumpul dan memperoleh status hukum menegaskan
bahwa setiap komunitas agama dan kepercayaan memiliki kebebasan untuk
mengorganisir diri dan mengekspresikan hak-hak dan kepentingan mereka sebagai
sebuah komunitas. Oleh karena itu, kewajiban negara untuk memberi peluang
yang sama bagi para penganut agama dan kepercayaan untuk membentuk
organisasi, perkumpulan, asosiasi, atau institusi lain sebagai sarana untuk
mewadahi ekspresi dari hak-hak beragama atau berkepercayaan itu. Negara juga
berkewajiban untuk memberi perlindungan hukum dan jaminan keamanan
terhadap organisasi atau asosiasi atau institusi keagamaan/kepercayaan yang ada
agar dapat tumbuh dan berkembang secara baik dan wajar, termasuk melindungi
mereka dari penyerangan dan intimidasi kelompok-kelompok lain yang berbeda
keyakinan. 7. Norma pembatasan kebebasan eksternal yang diperkenankan
menegaskan bahwa kebebasan untuk memanifestasikan atau mengekspresikan
agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat tunduk pada pembatasanpembatasan yang ditentukan oleh hukum dan diperlukan dalam rangka melindungi
keselamatan umum, tatanan, kesehatan, moral, atau hak-hak fundamental orang
lain. Pembatasan-pembatasan yang dibuat bertujuan untuk menjaga lima hal,
yaitu : menjaga keselamatan publik, menjaga tatanan publik, menjaga kesehatan
publik, menjaga moral, dan menjaga hak dan kebebasan orang lain. Untuk itu
pembatasan terhadap kebebasan beragama atau berkeyakinan diperkenankan
hanya dalam rangka melindungi kebebasan beragama/ berkepercayaan itu sendiri
dan hak-hak asasi manusia yang lain. 8. Norma nonderogability (tidak dapat
dihilangkan) menegaskan bahwa negara sama sekali dilarang mengurangi hak
untuk bebas beragama atau berkepercayaan bahkan dalam situasi darurat
sekalipun. Dalam kondisi dan situasi bagaimanapun, hak orang dan kelompok
untuk beragama dan berkeyakinan harus tetap dijunjung tinggi. Hak beragama
dan berkepercayaan adalah hak yang dilekatkan oleh Tuhan pada diri setiap
individu sejak dia terlahir di dunia, bukan hak yang diberikan negara kepada
seorang warga negara. Namun demikian, pembatasan dan pengurangan terhadap
hak beragama dan berkeyakinan tetap dibenarkan dalam rangka menjaga
keselamatan masyarakat, melindungi tatanan masyarakat, menjaga kesehatan
masyarakat, menjaga moral, dan menjaga hak dan kebebasan orang lain.
Kasus Pelanggaran Kebebasan Beragama
Antisipasi kemungkinan menguatnya fundamentalisme agama dalam
Pancasila sila pertama yang menekankan prinsip ke-Tuhanan yang berkebudayaan
dan berkeadaban, yang jauh-jauh hari sudah dinyatakan oleh Bung Karno
“Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat
menyembah Tuhannya dengan cara leluasa. Segenap rakyat hendaknya berTuhan
secara kebudayaan, yakni tiadanya egoisme agama .... Ketuhanan yang berbudi
pekerti luhur, Ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain”. Namun
Penegakkan hak kebebasan beragama yang dijamin oleh Pancasila dan UndangUndang Negara Republik Indonesia 1945 nyatanya masih belum memuaskan.
Terbukti dengan masih banyaknya kasus pelanggaran akan hak kebebasan
beragama di dalam masyarakat pada beberapa tahun terakhir. Berdasarkan
laporan The Wahid Institute, sepanjang tahun 2015 tercatat 190 peristiwa
pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan dengan 249 jumlah tindakan.
Sedangkan tahun sebelumnya merekam 158 peristiwa serta 187 tindakan, yang
artinya persentase 2015 meningkat 23 persen. Jawa barat menjadi daerah dengan
jumlah pelanggaran terbanyak. Sedangkan, Aceh dan Jakarta di posisi kedua dan
ketiga. Kelompok intoleran dan kelompok beragama yang fundamentalis adalah
pelaku paling banyak yang melakukan pelanggaran hak kebebasan beragama.
Bentuk pelanggaran kebebasan beragama yang marak terjadi seperti :
Penyerangan terhadap kelompok beragama lain, pelarangan beribadat, pelarangan
pembangunan tempat ibadat, perusakan tempat ibadat, dan intimidasi terhadap
kelompok beragama lain. Contoh kasus pelanggaran kebebasan beragama : 1.
Kasus para penganut syiah mendapatkan tekanan untuk menghentikan segala
aktifitas keagamaannya karena bertentangan dengan paham mayoritas agama
setempat (daerah Sampang) hal itu dianggap sebagai tindakan penodaan terhadap
pemurnian agama dan berpotensi mengganggu ketertiban dan keamanan dalam
kehidupan bermasyarakat. Alasan tersebut dijadikan para tokoh masyarakat untuk
menghentikan segala ritual keagamaannya yang berujung pada aksi kekerasan
berupa pembakaran dan pengusiran terhadap warga syiah dari kampung
halamannya. [8] 2. 27 Juli 2015 terjadi Aksi pembakaran terhadap komplek masjid
dan pertokoan milik umat muslim pada saat melaksanakan shalat idul fitri di
Tolikara, Papua. 3. Dan diketahui pemberitaan baru, pada tanggal 27 September
2016 pernyataan gubernur Jakarta yang di anggap menistakan agama dalam
pidato Pilgub DKI 2017 di Kepulauan Seribu yang menyinggung Surat Al-Maidah
[8]
Redaksi, 2012. Laporan Investigasi dan Pemantauan Kasus Syiah Sampang.
Kontras Surabaya.
ayat 51 "Jadi jangan percaya sama orang, kan bisa aja dalam hati kecil bapak ibu
enggak pilih saya. Dibohongin pakai surat Al Maidah ayat 51, macam-macam itu.
Itu hak bapak ibu.” Ujar Gubernur Jakarta tersebut. 4. Dan lain-lain.
Tindak Pidana Terhadap Agama dan Kehidupan Beragama
Kebebasan beragama merupakan anugerah Tuhan yang diberikan kepada
setiap individu sejak dia terlahir ke dunia. Setiap bentuk penghapusan terhadap
kebebasan beragama pada dasarnya merupakan bentuk pelanggaran dan
pencideraan terhadap kodrat manusia. Pelanggaran terhadap kebebasan
seseorang untuk berkeyakinan dan beribadah merupakan tindakan yang tidak
dibenarkan oleh hukum. Hukum tersebut tertulis pada RUU KUHP.
Pasal 342
Setiap orang yang di muka umum menyatakan perasaan atau melakukan
perbuatan yang bersifat penghinaan terhadap agama yang dianut di Indonesia,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling
banyak Kategori III.
Pasal 343
Setiap orang yang dimuka umum menghina keagungan Tuhan, firman dan sifatNya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling
banyak Kategori IV.
Pasal 344
Setiap orang yang di muka umum mengejek, menodai, atau merendahkan agama,
Rasull, Nabi, Kitab Suci, ajaran agama, atau ibadah keagamaan, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Kategori IV.
Pasal 345
(1) Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan
atau gambar, sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan suatu
rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 342 atau Pasal 344, dengan maksud agar isi tulisan,
gambar, atau rekaman tersebut diketahui atau lebih ditahui oleh umum, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau denda paling banyak
Kategori IV.
(2) Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan
perbuatan tersebut dalam menjalankan profesinya dan pada waktu itu belum lewat
2 (dua) tahun sejak adanya putusan pemidanaan yang telah memperoleh kekuatan
hokum tetap karena melakukan tindak pidana yang sama, maka dapat dijatuhi
pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk menjalankan profesi tersebut.
Pasal 346
Setiap orang yang di muka umum menghasut dalam bentuk apapun dengan
maksud meniadakan keyakinan terhadap agama yang dianut di Indonesia,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling
banyak Kategori IV.
Pasal 347
(1) Setiap orang yang mengganggu, merintangi, atau dengan melawan hukum
membubarkan dengan cara kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap jamaah
yang sedang menjalankan ibadah, upacara keagamaan, atau pertemuan
keagamaan, dipidana dengan pidana penjara paling paling lama 3 (tiga) tahun
atau denda paling banyak Kategori IV.
(2) Setiap orang yang membuat gaduh di dekat bangunan tempat untuk
menjalankan ibadah pada waktu ibadah sedang berlangsung, dipidana dengan
pidana denda paling banyak Kategori II.
Pasal 348
Setiap orang yang di muka umum mengejek orang yang sedang menjalankan
ibadah atau mengejak petugas agama yang sedang melakukan tugasnya, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak
Kategori III.
Pasal 349
Setiap orang yang menodai atau secara melawan hukum merusak atau membakar
bangunan tempat beribadah atau benda yang dipakai untuk beribadah, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak
Kategori IV.
Penjelasan
Pasal 343
Menghina Ke-Agungan Tuhan, Firman, dan sifat-Nya, merupakan penghinaan
secara tidak langsung terhadap umat yang menghormati Ke-Agungan Tuhan,
Firman, dan sifat-Nya, dan akan dapat menimbulkan keresahan dalam kelompok
umat yang bersangkutan. Di samping mencela perbuatan penghinaan tersebut,
Pasal ini bertujuan pula untuk mencegah terjadinya keresahan dan benturan dalam
dan di antara kelompok masyarakat.
Pasal 344
Mengejek, menodai atau merendahkan Agama, Rasul, Nabi, Kitab Suci, Ajaran,
dan Ibadah Keagamaan harus dianggap sebagai perbuatan yang dapat merusak
kerukunan hidup beragama dalam masyarakat Indonesia, dan karena itu harus
dilarang dan diancam pidana.
Pasal 345 (Cukup Jelas.)
Pasal 346
Penghasutan dilakukan dalam bentuk apapun, dengan tujuan agar pemeluk agama
yang dianut di Indonesia menjadi tidak beragama.
Pasal 347
Perbuatan yang diatur dalam ketentuan Pasal ini diancam pidana lebih berat
daripada perbuatan yang diatur dalam ketentuan Pasal 342, karena secara
langsung dapat menimbulkan benturan dalam dan di antara kelompok masyarakat.
Pasal 348
Seseorang atau umat yang sedang menjalankan ibadah atau seorang petugas
agama yang sedang melakukan tugasnya harus dihormati. Karena itu, perbuatan
mengejek atau mengolok-olok hal tersebut patut dipidana karena melanggar asas
hidup bermasyarakat yang menghormati kebebasan memeluk agama dan
kebebasan dalam menjalankan ibadah, di samping dapat menimbulkan benturan
dalam dan di antara kelompok masyarakat.
Pasal 349
Merusak, membakar, atau menodai (mengotori) bangunan atau benda ibadah
merupakan perbuatan yang tercela, karena sangat menyakiti hati umat yang
bersangkutan, oleh karena itu patut dipidana. Untuk dapat dipidana berdasarkan
ketentuan dalam pasal ini, perbuatan tersebut harus dilakukan dengan melawan
hukum. Perusakan dan pembakaran harus dilakukan melawan hukum.
Penutup
Kebebasan beragama masyarakat telah terjamin oleh Pancasila, UndangUndang Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945). Namun meskipun telah
terjamin, pelaksanaan kebebasan beragama masih belum memuaskan, terbukti
dengan masih banyak nya kasus pelanggaran hak kebebasan beragama serta
konflik antar umat beragama. Setiap bentuk penghapusan terhadap kebebasan
beragama merupakan bentuk pelanggaran dan pencideraan terhadap kodrat
manusia. Pelanggaran terhadap kebebasan seseorang untuk berkeyakinan dan
beribadah merupakan tindakan yang tidak dibenarkan oleh hukum. Dan hukum
tertulis tersebut diatur dalam RUU KUHP BAB VII tentang Tindak Pidana Terhadap
Agama Dan Kehidupan Beragama.
Daftar Pustaka
Fadjar, A. Mukhtie, 2005. Tipe Negara Hukum, Malang: Bayumedia Publishing. hlm
7.
Kamus Pusat Bahasa, 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Jakarta:
Pusat Bahasa. hlm 18 dan 155.
Moh. Mahfud, “Pancasila dan UUD 1945 Sebagai Dasar Solusi Persoalan Bangsa”,
makalah ceramah umum Universitas Merdeka Malang, 2 Februari 2012.
El-Muhtaj, Maida, 2005. Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, Jakarta:
Kencana. hlm 159.
Fahmi, Agung Ali. 2011. Implementasi Jaminan Hukum HAM Atas Kebebasan
Beragama di Indonesia. Yogyakarta: Interpena. hlm 57.
Baidhawi, Zakiyuddin. 2005. Kredo Kebebasan Beragama. Jakarta: PSAP. hlm 3
Tore Lindholm, 2010. Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan : Seberapa Jauh?
Yogyakarta: Kanisius. hlm 21.
Redaksi. 2012. Laporan Investigasi dan Pemantauan Kasus Syiah Sampang.
Kontras Surabaya.