[go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu

Analisis Kemampuan Pemecahan Masalah Siswa jenijenisdan

2014, One Last Stand

Analisis (analysis) adalah sedangkan abilities atau ability .docx

ANALISA KASUS PT.. M MONAGRO KIMIA DALAM PUTUSAN M MAHKAMAH AGUNG NOMOR. 547/B/P B/PK/PJK/2013 BERDASARKAN HUKUM M PERPAJAKAN INDONESIA Oleh DADAN GUSTIANA NIM 1111048000035 KO KONSENTRASI HUKUM BISNIS PR PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAK AKULTAS SYARIAH DAN HUKUM U UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H / 2015 M ANALISA KASUS PT. MONAGRO KIMIA DALAM PUTUSAI\I MAHKAMAH AGTJNG NOMOR. 547 IBIPKTP }ITTKUM PERPAJAKAN JW2OI3 BERDASARKAI\I INDOIYESIA Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) 0leh: Dadan Gustiana 1111048000035 Pembimbing I H. Zoebir Laini. SH. KONSENTRASI HT'KUM BISI\US ISLAM PROGRAM STUDI ILMU HT]KT]M FAKT]LTAS SYARIAH DAI\I HT]KTJM TJIN SYARIX' HIDAYATULLAH JAKAR'TA 1436 rU2015 M ,; PENGESAIIAN PAI\IITIA UJIA}I Skripsi berjudul AITALISA KASUS PT. MONAGRO KIMIA DALAM PUTUS$I M.A.. NO. 547IBIPKIPICJIaO13 BERDASARKAI{ HT]KUM PERPAJAKAIi INDONESIA telah diujikan dalarn sidang munaqasyah Fakuttas Syariatr dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jekartapada tanggal 15 September 2015. Skripsi ini telah diterinib sebagai salatr satu syarat memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S-1) pada Program Studi Ilmu Hukum. 15 September 2015 PANITIA UJIAN l. Ketua : 2. Sekretaris : Drs. 3. Pembimbing 4. Pembimbing II: Nur Habibi. SH.I. M.H. NIP.197608172009121005 ' 5. Penguji I 6. Penguji II Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat. S.H." M.H NrP. I 9691 12r 199403 I00l Abu Tamrin" S.H.. M.Hum. NIP. 19650908 199503 1001 I : H. Zoebirlaini. SH : Amrizal Siagian S. Hum.. M.Si. : Fatrmi Muhammad Ahmadi. NrP. 1974 I 2132003121002 lil M.Si ( dm) LEMBAR PERNYATAAI\ Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (Sl) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku ini telah saya di UIN Syarif .1r Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti hasil karya ini plagiat, maka saya bersedia menerima sanksi yangberlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta, I 5 Septerrber 2015 Dadan Gustiana lv ABSTRAK Dadan Gustiana. NIM 1111048000035. ANALISA KASUS PT. MONAGRO KIMIA DALAM PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR. 547 / B / PK / PKJ / 2013 BERDASARKAN HUKUM PERPAJAKAN INDONESIA. Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1425 H/2015 M. Isi : xii + 84 halaman + lampiran 24 halaman. Sistem pemungutan pajak self assessment system memberi kepercayaan kepada wajib pajak, untuk menghitung, melaporkan pajak yang terutang dalam Surat Pemberitahuan (SPT), kemudian menyetor kewajiban perpajakannya. Pemberian kepercayaan yang besar kepada wajib pajak sudah sewajarnya diimbangi dengan instrumen pengawasan, untuk keperluan itu pegawai pajak/fiskus diberi kewenangan untuk melakukan pemeriksaan pajak. Apabila hasil pemeriksaan menunjukkan adanya perbedaan atau selisih, pegawai pajak/fiskus berwenang mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang berfungsi sebagai surat tagihan. Dalam praktek seringkali terjadi perbedaan perhitungan antara pegawai pajak/fiskus dengan wajib pajak, inilah salah satu sebab timbulnya sengketa pajak, diaman seperti kasus yang terjadi pada PT. MONAGRO KIMIA. Dalam hal ini PT. MONAGRO KIMIA mengajukan keberatan atas Surat Ketetapan Pajak dan keberatan ditolak, maka wajib pajak dapat mengajukan banding. Sesuai dengan pasal 36 ayat (4) Undang-Undang Pengadilan Pajak, wajib pajak diwajibkan membayar 50% (lima puluh persen) dari utang pajaknya sebagai prasayarat sebelum mengajukan permohonan banding. Persyaratan yang begitu berat dalam pengajuan banding dimaksudkan agar lembaga banding tidak dijadikan sebagai alasan penundaan pembayaran pajak. Akan tetapi apabila dilihat dari kepentingan wajib pajak ketentuan tersebut tentunya sangat memberatkan. Disini wajib pajak atau PT. MONAGRO KIMIA diberikan suatu akses untuk mencari keadilan tetapi di sisi lain ada persyaratan yang memberatkan wajib pajak dalam pemenuhan haknya. Kata Kunci: sengketa pajak, surat ketetapan pajak, hak wajib pajak. v KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT yang Maha Melihat lagi Maha Mendengar, atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehinga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW. Penyusunan skripsi ini adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH) pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penulisan skripsi ini banyak pihak yang telah membantu baik materil maupun immateril, oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Drs H Asep Syarifuddin Hidayat SH MH., dan Drs Abu Thamrin SH M.Hum., Ketua dan Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum. 3. H. Zoebir Laini, SH., dan Nur Habibi, SH.I, M.H., selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyak meluangkan waktu disela-sela kesibukan dalam memberikan nasihat, kritik dan saran untuk membangun penulis dalam penyusunan skripsi ini. 4. Dedy Nursamsi SH., M.Hum., selaku dosen penasihat akademik yang telah memberikan nasihat dan arahan selama penulis menimba ilmu. 5. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah ikhlas berbagi ilmu pengetahuan dan pengalamanya kepada penulis. 6. Staff Tata Usaha Universitas Islam Negeri Jakarta selaku yang telah memberi kemudahan dalam penyusunan skripsi ini. 7. Ucapan terimakasih yang tak terhingga atas pengorbanan kedua orang tuaku ayah dan ibu tercinta Dr. Ahdi Heryadi dan Supiyah, yang telah memberikan segala dukungan dan dorongan baik materil maupun immateril serta doanya sehingga penulis dapat menyelesaikan masa studi S1. vi 8. Adik Maspufah Dwi Heryani dan Muhammad Ihsan yang telah memberikan dukungan untuk menyelesaikan studi S1. 9. Seluruh keluarga besar Bentong Residence (BR), Ilyas Aghnini, Andrio, Idham Katiasan, Rudi Hartono, Kurnia Aliftiorono, Rifki Alpiandi, Febyo Hartanto, Syawal Ritonga, Lisanul Fikri, Nevo Amaba, Ian Nurdiansyah, Bara Muhammad, Muhammad Iqbal, Angga Ariyana terima kasih atas dukungan dan pengalaman yang telah diberikan selama kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 10. Seluruh teman-teman seperjuangan Program Studi Ilmu Hukum angkatan 2011, khususnya Ilyas, Kuarnialif, Syawal, dan lain-lain, terimakasih atas segala bantuan dan dukungan yang diberikan selama ini. 11. Seluruh teman-teman seperjuangan Program Studi Ilmu Hukum angkatan 2011, terimakasih atas segala bantuan dan dukungan yang diberikan selama ini. 12. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Semoga Allah SWT memberikan berkah dan karunia-Nya serta membalas kebaikan mereka. Amin. Demikian ini penulis ucapkan terimakasih dan mohon maaf yang sebesarbesarnya apabila terdapat kata-kata di dalam penulisan skripsi ini yang kurang berkenan bagi pihak-pihak tertentu. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca. Jakarta, 15 Septembert 2015 Penulis Dadan Gustiana vii DAFTAR ISI Halaman Judul Skripsi........................................................................................................i Lembar Pengesahan Pembimbing.....................................................................ii Lembar Pengesahan Panitia...............................................................................iii Lembar Pernyataan ............................................................................................iv Abstrak.................................................................................................................v Kata Pengantar ...................................................................................................vi Daftar Isi ..............................................................................................................ix Daftar Tabel.........................................................................................................xi Daftar Gambar ....................................................................................................xii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah..............................................................1 B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah ...........................6 C. Tujuan dan Mafaat Penelitian .....................................................7 D. Tinjauan Terdahulu .....................................................................7 E. Kerangka Teoritis........................................................................8 F. Kerangka Konseptual ..................................................................12 G. Metode Penelitian........................................................................13 H. Sistematika Penulisan .................................................................17 BAB II KEDUDUKAN PAJAK PENGHASILAN ORANG PRIBADI DALAM PAJAK DI INDONESIA A. Tinjauan Umum Perpajakan 1. Definisi Pajak ........................................................................19 2. Asas Pemungutan Pajak .........................................................21 3. Dasar Hukum Pemungutan Pajak...........................................22 4. Pengadilan Pajak ....................................................................23 5. Ketetapan Pajak dan Surat Pemberitahuan Pajak Tahunan....24 B. Pajak Penghasilan Pasal 21 1. Pembayaran Pajak Melalui Potongan Pihak Lain ..................27 2. Dasar Hukum Pajak Penghasilan ...........................................28 C. Hak serta Kewajiban 1. Wajib Pajak ............................................................................29 2. Upaya Hukum Wajib Pajak ....................................................35 3. Wewenang Aparat Pajak ........................................................37 BAB III PUTUSAN HAKIM DALAM PERKARA SENGKETA PAJAK PT. MONAGRO KIMIA A. Posisi Kasus .................................................................................41 B. Putusan Hakim Pengadilan Pajak Nomor Put 38985 / PP / M.IV / 10 / 2012...........................................................................44 C. Putusan Mahkamah Agung Nomor 547/B/PK/PJK/2013 ............48 BAB IV ANALISA PPh 21 PADA KASUS SENGKETA PAJAK PT. MONAGRO KIMIA A. Kewajiban Pembayar PPh 21 Pegawai Outsorcing PT. MONAGRO KIMIA Dalam Kasus Sengketa Pajak ..................59 B. Penyelesaian Kasus Putusan MA. Nomor. 574/BPJK/2013 .......66 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan .................................................................................74 B. Saran............................................................................................75 DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................78 LAMPIRAN.........................................................................................................81 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1.1................................................................................................................42 Tabel 1.2................................................................................................................42 Tabel 1.3................................................................................................................50 Tabel 1.4................................................................................................................51 Tabel 1.5................................................................................................................53 Tabel 1.6................................................................................................................59 Tabel 1.7................................................................................................................61 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1...............................................................................................................45 Gambar 2...............................................................................................................46 Gambar 3...............................................................................................................54 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Didalam sektor ekonomi, kebijakan diantaranya diarahkan untuk mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan, mengupayakan kehidupan yang layak, mengembangkan perekonomian yang berorientasi global dan menyehatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) melalui meningkatn disiplin anggaran, pengurangan subsidi dan pinjaman luar negeri secara betahap, peningkatan penerimaan pajak progresif yang adil dan jujur, serta penghematan pengeluaran.1 Pajak telah menjadi komponen penting dalam penerimaan negara bahkan sejak sebelum Indonesia merdeka. Pada jaman kolonial pungutan pajak semata-mata dimaksudkan untuk memenuhi kepentingan pemerintahan jajahan, misalnya pada jaman tanam paksa, pajak dipungut dalam bentuk penyerahan tanah desa untuk ditanami tanaman ekspor yang dibutuhkan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari tanah desa. Kepala desa bertanggung jawab untuk mengerahkan petani dalam melaksanakan kewajiban tersebut bahkan ada pula yang diminta menyerahkan seperlima hasil panennya kepada pemerintah sebagai pajak natural. Dalam kemerdekaan pungutan pajak dijiwai oleh pancasila dan Undang-undang Dasar tahun 1945 yang merupakan perwujudan kewajiban 1 Mardiasmo, Pepajakan Edisi Revisi 2011 Cetakan IV, (Jogyakarta : Andi, 2011), h. 21. 1 2 serta partisipasi anggota masayarakat dalam pembiayaan negara dan pembangunan nasional untuk mencapai keadilan sosial dan kemakmuran yang merata, baik materil maupun spiritual.2 Dalam pembangunan nasional, penerimaan negara menjadi komponen yang sangat penting dan menentukan keberhasilan pembangunan yang dilaksnakan. Sejak tahun 1974 sebagian besar pendapatan negara Indonesia besumber dari sektor minyak bumi dan gas alam.3 Namun, mengingat sifat dari sumber daya alam tersebut yang tidak dapat diperbarui, dan minyak bumi dan gas alam yang tidak menentu, maka sebaiknya pemerintah mengubah strategi dengan menjadikan pajak sebagai sumber pendapatan negara yang utama. Dalam pembiayaan negara, pajak memegang peranan yang sangat penting. Sebagian besar penerimaan negara berasal dari penerimaan pajak dalam negeri, yang bersumber dari Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Bumi dan Bangunan, Pajak Ekspor dan pajak lainnya. Sampai tahun 1967, sistem yang dipakai adalah sistem official assessment. Namun dalam perkembangannya sistem tersebut ternyata tidak sesuai lagi dengan tingkat sosial ekonomi masyarakat Indonesia, baik dari segi kegotongroyongan nasional maupun dari laju pembangunan nasional. 2 Abdul Jabar Yousoef, Kunci Surveyor Membidik Perkembangan Industri Domestik Meningkatkan Penerimaan Pajak dan Royalti Cetakan Pertama, (Bandung : Elex Kompas Gremedia, 2013), h 3 3 B. Boediono, Perpajakan Indonesia Cetakan I, (Jakarta : Diadit Media, 2006), h. 6 3 Untuk meningkatkan pendapatan negara dari sektor pajak sekaligus meningkatkan peran aktif wajib pajak, maka pada tahun 1983 pemerintah menciptakan sistem perpajakan yang baru dengan dikeluarkannya beberapa peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, yaitu Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Undang-Undang Nomor & tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, Undangundang nomor 8 tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Undang-Undang nomor 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, dan Undang-Undang nomor 13 tahun 1985 tentang Bea Materai. Adapun ciri dan corak sistem pemungutan pajak tersebut adalah :4 1. Pemungutan pajak merupakan perwujudan dari penganbdian dan peran serta wajib pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan yang diperlukan untuk pembiayaan dan pembangunan nasional. 2. Tanggung jawab atas kewajiban pelaksaaan pemungutan pajak sebagai pencerminan kewajiban di bidang perpajakan berada pada anggota masyarakat wajib pajak sendiri, pemerintah dalam hal ini parat pajak sesuai dengan fungsinya berkewajiban melakukan pembinaan, pelayanan dan pengawasan terhadap pemenuhan kewajiban perpajakan berdasarkan ketentuan yang telah digariskan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan, 4 Mardiasmo, Pepajakan, Edisi Revisi 2011, Cetakan Keenam, h. 13-14. 4 3. Anggota masyarakat wajib pajak diberi kepercayaan untuk dapat melaksanakan kegotongroyongan nasional melalui sistem menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri pajak yang terutang (self assessment). Dimana sehingga melalui sistem ini dalam perpajakan diharapkan dapat dilaksanakan dengan lebih rapi, terkendali, sederhana, dan mudah untuk dipahami oleh anggota masyarakat wajib pajak. Pajak penghasilan 21 merupakan salah satu pajak langsung yang dipungut pemerintah pusat atau merupakan pajak negara yang berasal dari pendapatan rakyat. Dari berbagai jenis pajak penghasilan yang ada, Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 merupakan salah satu pajak yang memberikan masukan sangat besar bagi negara. Kebijakan pemerintah dalam mengatur Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 antara lain dengan dikeluarkannya UndangUndang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008. Sebagaimana tentang petunjuk pelaksanaan pemotongan, penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 21 sehubungan dengan pekerjaan jasa dan kegiatan orang pribadi. Peran sistem administrasi pajak sangat penting karena hasil dari analisis digunakan oleh berbagai pihak baik intern maupun ekstern perusahaan dalam pengambilan keputusan sehingga kondisi keuangan perlu 5 diketahui bagaimana sebenarnya, khususnya dalam hal ini Pajak Penghasilan Pasal 21. Namun dalam kenyatan selama ini, sebagian kebijakan pemerintah ternyata masih kurang dipahami dan belum dapat dilakukan sepenuhnya oleh masyarakat. Masih banyak wajib pajak yang kebingungan dalam pembayaran terhadap pajak yang terutang serta pengisian terhadap sarana pembayaran pajak. Wajib pajak sering datang ke Kantor Pelayanan Pajak tempat wajib pajak terdaftar untuk melakukan pembayaran pajak Saat penyampaian pelaporan pembayaran terhadap pajak terutang pajak penghasilan terjadi perselisihan antara wajib pajak dengan pihak pemotong pajak serta dalam pengadministrasian masih kurang memperhatikan sistem perpajakan yang baru. Oleh karena itu, penulis mencoba menganalisis kasus yang berkaitan dengan sengketa pajak di Indonesia, yaitu kasus pajak kurang bayar PPh 21 PT. MONAGRO KIMIA. Pada Putusan MA Nomor 547/B/PK/PJK/2013, PT. MONAGRO KIMIA adalah sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang pupuk dan pangan ternak, dalam kegiatan usahanya tersebut mengalami kekurangan pembayaran pajak pada tahun 2006. Menurut pendapat Mahkamah Agung terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan MONAGRO KIMIA dari Pemohon Peninjauan Kembali PT. tersebut dan membatalkan sementara Putusan Pengadilan Pajak tertanggal 25 Juni 2012 Nomor Putusan : 38985 / PP / M.IV / 10 / 2012. Atas dasar Pasal 8 ayat (2A) Undang – Undang Nomor 6 Tahun 6 2009 tentang Ketentuan Umum Perpajakan, dimana pembetulan STP mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, terhadap wajib pajak dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) perbulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. Dalam putusan MA Nomor 547 / B / PK / PJK / 2013 terdapat permasalahan yang muncul yaitu putusan MA menguatkan putusan dari Pengadilan Pajak bahwasanya penetapan pajak kurang bayar PPh 21 PT. MONAGRO KIMIA adanya indikasi kekurangan bayar PPh 21 pada tahun 2006. B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Agar masalah yang akan penulis bahas tidak terlalu meluas sehingga dapat mengakibatkan ketidak jelasan maka penulis membuat pembatasan masalah yakni, membahas tentang praktik dalam perpajakan sebagai upaya penerimaan pendapatan negara. 2. Perumusan Masalah a. Siapa yang berkewajiban untuk membayar pajak Pajak Penghasilan Pasal 21 Pegawai jika perusahaan menggunakan pegawai dari perusahaan outsourcing ? b. Bagaimana penyelesaian kasus Putusan MA. Nomor. 574 / B / PK / PJK / 2013 ? 7 C. Tujuan dan Mafaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian a. Untuk mengetahui penerapan sistem pembayaran pajak dalam masyarakat, khususnya masyarakat wajib pajak penghasilan orang pribadi dalam negeri sesuai dengan PPh 21 apabila perusahaan menggunakan jasa pegawai dari outsourcing. b. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan sistem pembayaran pajak dalam pajak penghasilan orang pribadi dalam negeri. 2. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan baik secara teoritis maupun praktisi, sebagai berikut Secara Akdemisi : Secara teori penelitian ini dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dalam Hukum Bisnis, agar penelitian ini dapat menjadi tambahan referensi dan peningkatan wawasan akademi para akademisi di bidang hukum, terutama berhubungan dengan pajak serta mengingat peraturan perpajakan senantiasa yang mengalami perubahan dari waktu ke waktu seiring dengan perubahan masayarakatnya. Secara Praktisi: memberikan informasi bagi masyarakat luas mengenai tentang bagaimana sistem tersebut untuk membawa ke arah tax minded dan tax dicipline sehingga masyarakat menjadi penggerak pembangunan yang dapat di andalkan. D. Tinjauan Terdahulu 8 Review kajian terdahulu ini akan memaparkan beberapa penelitian yang sudah dilakukan, baik yang berupa skripsi, tesis, ataupun penelitianpenelitian lainnya. Sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian ini, penulis akan menyertakan beberapa hasil penelitian terdahulu sebagai perbandingan tinjauan kajian materi yang akan dibahas, sebagai berikut: Penelitian yang dilakukan oleh Ilham Taruna Bakti dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2011, yang berjudul “Pengaruh Penerapan Sistem Self Assesment terhadap Optimalisasi Penerimaan PPh Pasal 21 (Studi Kasus pada KPP Pratama Jakarta Timur)” Penelitian tersebut menjelaskan secara mendasar tentang pengaruh sistem self assement dalam masyarakat di utamakan adalah wajib pajak badan. Buku dari Eceng, dkk. Yang berjudul “Etika Bisnis dalam Perpajakan” penerbit Elex Jakarta tahun 2011. Pada buku tersebut diuraikan bagaimana pendoman sistem pemungutan pajak, etika wajib pajak, serta teori – teori dasar mengenai perpajakan. Sebagai perbandingan dan untuk membedakan, secara khusus pada skripsi ini penulis menguraikan perihal bagaimana kedudukan atau status hukum yang sebenarnya mengenai kasus sengketa perpajakan. E. Kerangka Teoritis Kerangka teoritis adalah kerangka pemikiran yang menghubungkan variable pemikiran yang satu dengan yang lain berdasarkan teori-teori yang berkaitan dengan permasalahan yang di teliti dalam skripsi. Teori-teori ini dapat berupa teori yang sudah teruji secara objektif maupun pengertian atau 9 definisi yang di ambil dari asumsi beberapa ahli, dengan demikian tidak menimbulkan keraguan dalam penulisan yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini. Pajak adalah iuran wajib rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang sehingga dapat dipaksakan dengan tidak mendapat balas jasa secara langsung. Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma-norma hukum untuk menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum negara.5 Selain definisi diatas, terdapat pula definisi lainnya yang dikemukakan oleh : A. Adriani, menurutnya pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.6 Rochmat Soemitro, pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Definisi tersebut kemudian dikoreksinya yang berbunyi sebagai berikut: Pajak adalah peralihan kekayaan 5 Wirawan B. Ilyas dan Rudy Suhartono, Hukum Pajak Material 1 Seri Pajak Penghasilan, Cetakan Pertama. (Jakarta : Salemba Humanika, 2011), h. 2. 6 h. 8. Erly Suandy, Hukum Pajak Edisi 5, Cetakan Pertama.. (Jakarta : Salemba Empat, 2011), 10 dari pihak rakyat kepada Kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment.7 Dimana sejak abad ke 18 muncul berbagai teori guna memberi dasarmenyatakan keadilan (justification) kepada hak negara untuk memungut pajak dari rakyatnya. Adapun teori-teori tersebut adalah : 1. Teori Asuransi Dalam teori ini mengatakan bahwa pajak diibaratkan sebagai suatu premi asuransi yang harus dibayar oleh setiap orang karena mendapatkan perlindungan atas hak-haknya dari pemerintah. Teori ini tidak sesuai dengan kenyataan, dan juga tidak sesuai dengan sifat-sifat pajak. Kelemahan dari teori ini adalah bahwa premi yang dibayarkan oleh wajib pajak adalah sebagai imbalan dari perlindungan yang diberikan kepadannya yang sebenarnya beretentangan dengan sifat pajak. Justru dalam pajak, wajib pajak tidak langsung menenerima suatu imbalan yang secarang langsung. 2. Teori Daya Pikul Menurut teori ini setiap orang wajib membayar pajak sesuai dengan daya pikul masing-masing. Menurut Prof. De Langen, daya pikul adalah kekuatan seseorang untuk memeikul suatu beban dari apa yang tersisa, setelah seluruh penghasilannya dikurangi dengan 7 Siti Resmi, Perpajakan Teori dan Kasus Edisi 8, Buku 1.(Jakarta : Salemba Empat, 2014) h. 15. 11 pegeluaran-pengeluaran yang mutlak untuk kehidupan primer diri sendiri beserta keluarganya. 3. Teori Kepentingan Menurut W.H. Van Den Berghe (1837-1902) negara adalah groepsverband ( organisasi dari golongan ), yaitu hak negara memungut pajak adalah atas dasar ajaran hak mutlak negara untuk memajaki penduduknya, teori ini mengukur besarnya pajak sesuai dengan besarnya kepentingan wajib pajak yang dilindungi. Jadi lebih besar kepentingan yang dilindungi, maka besar pajak yang harus di bayar.8 4. Teori Daya Beli Mr.A. J. Caren Stuart Menurut teori ini pajak diibaratkan sebagai pompa yang menyedot daya beli seseorang atau anggota masyarakat, yang kemudian dikembalikan lagi kepada masyarakat. Jadi sebenarnya uang yang berasal dari rakyat kembali lagi kepada rakyat melalui saluran lain. Pajak pada hakikatnya tidak merugikan takyat. Oleh sebab itu maka pemungutan pajak dapat dibenarkan.9 5. Teori Kewajiban Pajak Mutlak Teori ini didasarkan pada Teori Organ (Orgaan Theorie) Otto von Gierke (1841-1921) yang mengatakan bahwa negara itu merupakan 8 Thomas Sumarsan, Perpajakan Indonesia Pendoman Perpajakan Yang lengkap Berdasarkan Undang-Undang Terbaru, (Jakarta: Indeks, 2010), h. 11. 9 P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta : Djembatan, 2009), h. 28. 12 satu keatuan, yang didalamnya setiap warga negara terkait di dalamnya. Lembaga selaku organ mempunyai kekuasaan terhadap anggota masyarakat yang mutlak, dan sebaikya anggota masyarakat mempunyai kewajiban mutlak, antara lain pajak yang tidak dapat ditawarkan lagi. Berdasarkan pemikiran demikian, maka pungutan pajak walaupun membebani individu hal tersebut dapat dibenarkan.10 6. Teori Pembenanan Pajak Menurut Pancasila Pancasila mengandung sifat kekeluargaan dan gotong royong. Pajak adalah salah satu bentuk gotong royong yang di dalamnya mengandung sifat kekeluargaan. Pembayaran pajak dalam rangka pemikiran ini merupakan suatu yang tidak sukar diberikan pembenarannya. Pajak merupakan pengorbanan bersama untuk kepentingan bersama tanpa mendapatkan imbalan.11 F. Kerangka Konseptual a. Pajak; Adalah perikatan yang timbul karena Undang-undang yang mewajibkan seseorang yang memenuhi syarat yang di tentukan Undangundang (TATBESTAND) untuk membayar sejumlah uang kepada kas Negara yang dapat di paksakan, tanpa mendapatkan suatu imbalan yang secara langsung dapat ditunjuk, yang digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara rutin dan pembangunan dan yang di 10 Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, (Jakarta : BIP, 2007), h. 13. 11 Abdul Azis Wahab, Teori dan Landasan Pendidikan Kewarganegaraan, (Bandung : Alfabeta, 2012), h. 28. 13 gunakan sebagai alat pendorong, penghambat, pencegah, untuk mencapai tujuan yang ada di luar bidang keuangan.12 b. Wajib Pajak; Adalah orang pribadi yang menurut peraturan perundangundangan perpajakan di tentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pungutan pajak atau pemotongan pajak tertentu.13 c. Badan; Adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha yang meliputi perseroan lainya, badan usaha milik Negara atau daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, Firma, Kongsi, Koprasi, Dana Pensiun, Persekutuan, Perkumpulan, Yayasan, Organisasi Masa, Organisasi Sosial Politik, atau Organisai yang sejenis, Lembaga, bentuk usaha tetap dan bentuk badan lainya.14 G. Metode Penelitian 1. Jenis dan sifat penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum kepustakaan. Penelitian hukum normatif didefinisikan sebagai penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Disebut 12 Bohari, Pengantar Hukum Pajak, Cetakan Pertama, (Jakarta : PT Raja Gravindo Persada, 2004),h. 26. 13 Mardiasmo, Pepajakan Edisi Revisi 2011, Cetakan Keempat, h. 5 14 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 pasal 2 ayat (1). 14 juga penelitian hukum doktrinal yaitu penelitian hukum yang mempergunakan data sekunder.15 Alat pengumpulan data dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian terdahulu yang berhubungan dengan objek telaah penelitian ini yang dapat berupa peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya.16 2. Pendekatan Masalah Dalam kaitannya dengan penelitian yuridis normatif, akan digunakan beberapa pendekatan, yaitu: 17 a. Pendekatan Kasus (case approach) Pendekatan Kasus (case approach) adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara menelaah suatu kasus yang telah menjadi putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, dalam hal ini Putusan Mahkamah Agung No. 547 / B / PK / PJK / 2013. Dalam menggunakan pendekatan kasus yang perlu dipahami oleh peneliti adalah ratio deciendi, yaitu alasan-alasan hukum yang digunakan oleh hakim untuk sampai pada putusannya.18 b. Pendekatan Perundang-undangan (statute approach) 15 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 2010), h. 43. 16 Peter Mahmud Marzuki , Metodologi Penelitian Hukum, Cetakan Ketujuh, (Jakarta, Kencana, 2011), h. 57 17 Johnny Ibrahim, Teori, Metode dan Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Publising, 2007), h.300 18 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2011), h.119. 15 Pendekatan Perundang-undangan (statute approach) adalah suatu pendekatan yang dilakukan terhadap berbagai aturan hukum yang berkaitan dengan perpajakan dan sengketa pajak seperti UndangUndang No. 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Undang-Undang No. 14 Tahu 2002 tentang Peradilan Pajak, Undang-undang N. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, dan Undang-Undang No. 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa. c. Pendekatan Konsep (conceptual approach) Pendekatan Konsep (conceptual approach) digunakan untuk memahami konsep-konsep tentang : pengertian pajak, pengertian PPh 21, penhitungan pajak. Dengan didapatkan konsep yang jelas maka diharapkan penormaan dalam aturan hukum ke depan tidak lagi terjadi pemahaman yang ambigu. 3. Sumber Data Data yang dipakai dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data yang tidak diperoleh dari sumber pertama yang bisa diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil penelitian, laporan, buku harian, surat kabar, makalah, dan lain sebagainya. Data sekunder dalam penelitian ini dapat dibagi atas 3 kelompok besar, yaitu : a. Bahan hukum primer yang penulis peroleh dari beberapa peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku di Indonesia. 16 b. Bahan hukum sekunder diperoleh penulis dari buku-buku terkait pembahasan hukum dan perpajakan, keterangan, kajian, analisis tentang hukum positif seperti skripsi, makalah seminar,dll. c. Bahan hukum tertier yang dipergunakan penulis sebagai bahan yang mendukung, memberi penjelasan bagi bahan hukum sekunder seperti Kamus Besar Indonesia, Kamus Bahasa Inggris, dan Kamus Hukum. 4. Teknik Pengumpulan Data dan Analisis Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) yakni upaya untuk memperoleh data dari penelusuran berbagai sumber bacaan seperti buku-buku yang berkaitan dengan perpajakan literatur kepustakaan, peraturan perundang-undangan, negara, pendapat sarjana, surat kabar, artikel, kamus dan juga berita yang penulis peroleh dari internet. yang relevan dengan penelitian ini. Metode yang digunakan dalam menganalisis data-data yang terkumpul adalah analisis kualitatif. Maksud dari penggunaan metode tersebut adalah memberikan gambaran terhadap permasalahan yang ada dengan berdasarkan pendekatan yuridis normatif. 5. Metode Penulisan Dalam penyusunan penelitian ini penulis menggunakan metode penulisan sesuai dengan sistematika penulisan yang ada pada Buku Pedoman Penulisan Skripsi, Fakultas Syari’ah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2012. 17 H. Sistematika Penulisan Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh tentang isi skripsi, maka penulis memberikan sistematikanya secara garis besar, sebagai berikut : Bagian awal skripsi : sampul, lembar berlogo, halaman judul, persetujuan pembimbing, pengesahan kelulusan, pernyataan, motto dan persembahan, prakata, Abstract, daftar isi, serta daftar lampiran. Bagian isi skripsi terdiri atas : BAB I Pendahuluan Dalam bab ini diuraikan suatu gambaran yang memberikan informasi yang sifatnya umum serta menyeluruh dan sistematis, yang terdiri dari latar belakang masalah, perumusan, maksud serta tujuan dan kegunaan dari penelitian ini. BAB II Tinjauan Umum Dalam bab ini di uraikan tentang teori-teori yang menjadi landasan pembahasan bab-bab selanjutnya, yang dibagi menjadi dua bagian, bagian pertama adalah dasar-dasar tentang perpajakan yang terdiri dari definisi pajak, dasar hukum pemungutan pajak, asas-asas dari pemungutan pajak tersebut, pengelompokan pajak, fungsi pajak, timbul serta hapusnya pajak, dan lain-lain. Bagian kedua tentang kedudukan pajak penghasilan dalam perpajakan di Indonesia yang terdiri dari dasar hukum pajak penghasilan, penghasilan penggolongan dan asas perpajakan dalam 18 BAB III Kedudukan Pajak Penghasilan Orang Pribadi Dalam Pajak di Indonesia Dalam bab ini di uraikan isi tentang bagaimana sistem pajak penghasilan orang pribadi dalam negeri yang dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang relevan, yang terdiri dari hak serta kewajiban pajak penghasilan orang pribadi dalam negeri, wewenang dan kewajiban aparat pajak dan penghasilan orang pribadi. BAB IV Analisa Kasus Sengketa Pajak PT. MONAGRO KIMIA Putusan MA Nomor. 574/BPJK/2013 Dalam bab ini berisi pembahasan dan analisa data yang berusaha dikumpulkan untuk mengkaji secara ilmiah terhadap data yang telah dikumpul selama penelitian dilakukan, di mana pada bab ini ditelaah dan dianalisa mengenai posisi kasus PT. MONAGRO KIMIA analisis putusan Mahkamah Agung, dan analisis faktorfaktor dari Putusan Mahakamah Agung Nomor. 574/BPJK/2013 BAB V Penutup Dalam bab ini akan di uraikan kesimpulan sebagai hasil akhir dari Berisi kesimpulan dan saran bagian akhir skripsi, berisi daftar pustaka dan lampiran-lampiran. BAB II KEDUDUKAN PAJAK PENGHASILAN ORANG PRIBADI DALAM PAJAK DI INDONESIA A Tinjuan Umum Perpajakan 1. Definisi Pajak Melalui definisi pajak, dapat diketahui gambaran umum tentang pajak dan unsur-unsur yang terdapat didalamnya, sehingga dengan adanya definisi tentang pajak setidaknya akan diperoleh pemahaman awal tentang pajak itu sendiri. Terdapat beberapa definisi pajak yang dikemukakan oleh para sarjan diantaranya yang dikemukakan oleh Rochmat Soemitro, ialah “Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan “surlpus”-nya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public ivestement.”1 S. I. Djajadiningrat mendefinisikan bahwa pajak sebagai suatu kewajiban menyerahkan sebagian daripada kekayaan ke kas negara disebabkan suatu keadaan, kejadian dan perbuatan yang memberi kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman, menurut peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa timbal balik dari negara secara langsung, untuk memelihara kesejahteraan umum. 1 Siti Resmi, Perpajakan Teori dan Kasus Edisi 8, Buku 1. (Jakarta : Salemba Empat, 2014), h. 1. 19 20 Leroy Beaulieu mengatakan bahwa dalam bukunya yang berjudul “Traite de la Science des Finances”, (1906) berbunyi : “L' impot et la contribution, soit directe dissimulee, que la puissance publique exige des habitans ou des bies pur sebvenir aux depenses du gouverment.”, (“Pajak adalah bantuan baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam hal ini dipaksakan oleh kekuasaan publik dari penduduk atau dari barang untuk menutupi biaya pembelanjaan pemerintah.”)2 Dalam definisi pajak yang dikemukakan oleh para ahli tersebut lima unsur pajak, yaitu : a. Suatu pemungutan yang dapat dipaksakan karena wewenang yang dimiliki pemerintah. b. Harus berdasarkan norma-norma atau undang-undang. c. Merupakan iuran rakyat kepada pemerintah secara insidentil atau periodik. Yang dimaksud dengan rakyat adalah perorangan maupun badan. d. Prestasi pemerinah diberikan secara umum dan sulit untuk ditunjukan. e. Untuk membiayai pengeluaran negara.3 Dari kelima unsur yang harus dipenuhi dalam pengertian pajak, dan sesuai dengan perumusan serta fungsi dalam mencapai sasaran di bidang sosial ekonomi. B. Boediono. Mendefinisikan pajak sebagai berikut, Pajak adalah iuran rakyat kepada negara, bersarkan undang-undang yang dapat dipaksakan dengan 2 Siti Resmi, Perpajakan Teori dan Kasus Edisi 8, Buku 1, h. 1. 3 7-8. Erly Suandy, Hukum Pajak Edisi 5, Cetakan Pertama, (Jakarta : Salemba Empat, 2011), h. 21 imbalan yang diberikan secara langsung (umum) oleh pemerintah, gunanya untuk membiayai kebutuhan pemerintah, dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara dan dapat digunakan sebagai sarana untuk mengatur di bidang sosial ekonomi.4 Dari definisi di atas, maka definisi yang lebih tepat dalam menggambarkan pajak adalah yang dikemukakan Rochmat Soemitro, dan Boediono Karena telah memenui unsur-unsur pajak dan menegaskan bahwa pajak memiliki fungi mengatur (regulerend), sementara definisi lainnya lebih mentitik beratkan pajak pada fungsi pembiayaan (bugedtair), dan seolah-olah pajak tersebut tidak akan kembali kepada masyarakat. 2. Asas Pemungutan Pajak Pada abad ke 18, Adam Smith (1723-1790) dalam bukunya An Inquiry into the nature adn Cause of Wealth of Nations menyebutkan asas-asas pemungutan pajak yang di sebut “ The Four Maxim’s”, yang terdiri dari : a. Asas Equality (asas keseimbangan dengan kemampuan atau asas keadilan): Pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara harus sesuai dengan kemampuan dan penghasilan wajib pajak. Negara tidak boleh bertindak diskriminatif terhadap wajib pajak. Dalam keadaan yang sama para wajib pajak harus dikenakan pajak yang sama pula, yang dilakukan 4 Erly Suandy, Hukum Pajak Edisi 5, Cetakan Pertama, (Jakarta : Salemba Empat, 2011), h. 7. 22 seimbang dengan kemampuannya yaitu seimbang dengan penghasilan yang dinikmatina masing-masing dibawah perlindungan pemerintah. b. Asas Certainty (asas kepastian hukum): Semua pungutan pajak harus berdasarkan Undang - undang, sehingga bagi yang melanggar akan dapat dikenai sanksi hukum, mulai dari subjeknya, besarnya pajak dibayar, dan juga ketentuan mengenai waktu pembayarannya. c. Asas Convinience of Payment (asas pemungutan pajak yang tepat waktu atau asas kesenangan): Pajak harus dipungut pada saat yang tepat bagi wajib pajak, misalnya disaat wajib pajak baru menerima penghasilannya atau disaat wajib pajak menerima hadiah. d. Asas Effeciency (asas efesien atau asas ekonomis): Biaya pemungutan pajak diusahakan sehemat mungkin, jangan sampai terjadi biaya pemungutan pajak melebihi dari hasil pemasukan pajaknya. 5 3. Dasar Hukum Pemungutan Pajak Dasar hukum pemungutan pajak terdapat dalam pasal 23 ayat (2) Undang-undang dasar tahun 1945, yang berbunyi “Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan Undang-Undang”. Selanjutnya dalam pasal 23 A Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan 5 Ida Zuraida dan L.Y. Hari Sih Advianto, Penagihan Pajak Pajak Pusat dan Pajak daerah. (Jakarta : Global Indonesia. 2011), h. 16. 23 undang-undang. Dengan mengacu pada pasal tersebut, maka setiap pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang, tidak boleh berdasarkan pada ketentuan yang tingkatannya lebih rendah dari undang-undang.6 Selain pasal 23 ayat (2) UUD tahun 1945 dan pasal 23 A perubahan ke tiga UUD Republik Indonesia tahun 1945, masih ada dua ketentuan yang harus diperhatikan untuk sahnya pemungutan pajak, yakni : Pasal 16 ICW (Indische Comptabilities Wet) menentukan bahwa penambahan atau pengurangan pajak tidak mungkin berlaku sebelum hasil penambahan atau hasil perubahan undangundang pajak tersebut dimasukkan ke dalam APBN pada tahun yang bersangkutan. Sementara itu, didalam pasal 17 ICW (Indische Comptabilities Wet) ditentukan bahwa sesuai penghapusan dan penganturan pajak harus dilakukan sesuai dengan undang-undang. Pemberlakuan mendasarkan pada pasal II aturan perlihan dari Undang-Undang Dasar 1945.7 4. Pengadilan Pajak Pengertian pengadilan pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan Kekuasaan kehakiman di Indonesia bagi wajib pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak. Dimana yang dimaksud sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dibidang perpajakan antara wajib pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang 6 7 Maria Farida Indrianti S, Ilmu Perundang-undangan 1, (Jakarta : Kansius, 2010), h. 4 Muhammad Rusjdi, KUP (Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan) Edisi Keempat, (Jakata : Indeks, 2007), h. 8. 24 dapat diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan pajak. Itu termasuk gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan undang-undang penagihan dengan surat paksa. Pengadilan pajak dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Susunan Pengadilan Pajak terdiri atas: Pimpinan, Hakim Anggota, Sekretaris, dan Panitera. Pimpinan Pengadilan Pajak sendiri terdiri dari seorang Ketua dan sebanyak-banyaknya 5 orang Wakil Ketua. Saat ini Sekretaris merangkap tugas Kepaniteraan sebagai Panitera. Pembinaan serta pengawasan umum terhadap Hakim Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung. Sedangkan pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan ditanggulangi oleh Kementerian Keuangan.8 Selain itu, ada UndangUndang Nomor 16 tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, secara tegas dinyatakan bahwa putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan pengadilan khusus di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.9 5. Ketetapan Pajak Prinsip self-assessment dalam pemenuhan kewajiban perpajakan adalah bahwa Wajib Pajak (WP) diwajibkan untuk menghitung, memperhitungkan, membayar sendiri, dan melaporkan pajak yang terutang sesuai ketentuan 8 Tjia Siauw Jan, Pengadilan Pajak : Upaya Kepastian Hukum dan Keadilan Bagi Wajib Pajak, Cetakan Pertama, (Bandung : Alumni 2013), h. 85. 9 Y. Sri Pudyatmoko, Pengadilan dan Penyelesaian Sengketa di Bidang Pajak, Edisi Revisi, Cetakan Pertama, (Jakarta : Gramedia 2009), h. 51. 25 perpajakan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam SPT tercantum dalam Pasal 3 ayat 1 UU KUP yang berbunyi sbb : “Setiap WP wajib mengisi SPT dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktur Jendral Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan.”. Sehingga penentuan besarnya pajak yang terutang dipercayakan pada wajib pajak sendiri melalui Surat Pemberitahuan (SPT) yang disampaikannya. Penerbitan suatu surat ketetapan pajak hanya terbatas kepada wajib pajak tertentu yang disebabkan oleh ketidakbenaran dalam pengisian SPT atau karena ditemukannya data fiskal yang tidak dilaporkan oleh wajib pajak. Dimana fungsi Ketetapan Pajak sebagai betrikut : a. Koreksi atas jumlah pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan (STP) Wajib Pajak, b. Sarana untuk mengenakan sanksi, c. Sarana untuk menagih pajak, d. Sarana untuk mengembalikan kelebihan pajak dalam hal lebih bayar, e. Sarana untuk memberitahukan jumlah pajak yang terutang. B Pajak Penghasilan Pasal 21 Pajak Penghasilan Pasal 21 atau PPh 21 adalah salah satu jenis pelunasan PPh dalam tahun berjalan, melaui pemotongan oleh pihak ketiga (yaitu pemberi 26 kerja atau bendaharawan pemerintah atau dana pensiun atau badan lain atau penyelenggara pemerintah) yang merupakan anjuran pajak yang boleh dikreditkan terhadap PPh yang terutang untuk tahun pajak bersangkutan, kecuali PPh yang bersifat final. PPh sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi, pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorium, tunjangan, dan pembayaran lain (PMK No.252/PMK.03/2008).10 dengan dasar hukum antara lain adalah : 1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang No. 16 Tahun 2009. 2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008. 3. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 541/KMK.04/2000 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 184/PMK.03/2007 tentang Penentuan Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran dan Penyeroran Pajak, Penentuan Tempat Pembayaran Pajak, dan Tata Cara Pembayaran, 10 180 Siti Resmi, Perpajakan Teori dan Kasus Edisi 8, Buku 1, (Jakarta : Salemba Empat, 2014), 27 Penyetoran dan Pelaporan Pajak, serta Tata Cara Pengangsuran dan Penundaan Pembayaran Pajak. 4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-254/PMK.03/2008 tentang Penetapan Bagian Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan dari Pegawai Harian dan Mingguan serta Pegawai Tidak Tetap Lainnya yang Tidak Dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan.11 1. Pembayaran Pajak Melalui Potongan Pihak Lain Pembayaran PPh terutang dilakukan oleh Wajib Pajak pada sarta penerimaan penghasilan melalui pemotongan atau pungutan pajak oleh pihak lain yang membayarkan penghasilan. Pihak lain yang mempunyai kewajiban memotong PPh. Pada saat memberikan penghasilan kepada Wajib Pajak tersebut berkedudukan sebagai pemotong pajak. Pemotong pajak sesuai ketentuan Pasal 1 UU Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), termasuk sebagai Wajib pajak, sehingga memepunyai hak dan kewajiban perpajakan. Pemotongan pajak yang tidak melakukan pemotongan pajak dikenakan sanksi adminstratif perpajakan menurut UU KUP, yaitu membayar pajak yang seharusnya dipotong ditambah dengan sanksi administrasi perpajakan. 11 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2009 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-57/PJ/2009 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21/26 28 Pemotong pajak harus memberikan bukti potong sebagai pembayaran pajak atau kredit pajak bagi Wajib Pajak yang dipotong. Pemotong pajak mempunyai kewajiban untuk membayarkan pajak yang telah dipotong tersebut ke kas negara melalui bank persepsi (bank yang ditunjuk menerima pembayaran pajak). Setelah melakukan pembayaran pajak, pemotong pajak wajib melaporkan bukti potong dan pembayaran pajak tersebut ke kantor pelayanan pajak tempat pemotong pajak terdaftar. Bukti potong yang dipergunakan oleh Wajib Pajak penerima penghasilan sebagai kredit pajak akan dikonfirmasi dengan pelaporan bukti potong oleh pemotongan pajak. Pembayaran pajak selekasnya pada saat diperolehnya penghasilan sesusai dengan asas ”pay as you earn”, yaitu bayarlah pada saat memperolah pengasilan.12 2. Dasar Hukum Pajak Penghasilan Pajak Penghasilan diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983, yang di ubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991, kemudian diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1994, kembali diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, dan terakhir di ubah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Undang-undang 12 Wirawan B. Ilyas dan Rudy Suhartono, Hukum Pajak Material 1 Seri Pajak Penghasilan, Cetakan Pertama, (Jakarta : Salemba Humanika, 2011), h. 119 29 Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008.13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009.14 C Hak Serta Kewajiban 1. Hak dan Kewajiban Wajib Pajak Undang-undang pajak yang berlaku di Indonesia mengatur hak dan kewajiban wajib pajak. Keberadaan wajib pajak orang pribadi dakan negeri adalah pendukung hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang berhubungan denga kedudukannya sebagai wajib pajak. Hak-hak dan keajiban-keawjiban yang timbul tentunya tidak dapat dilepaskan dari sistem yang berlaku. Karena sistem perpajakan yang di tetapkan di Indonesia adalah sistem self assessment berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, maka hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang timbul disesuiankan berdasrkan ketentuan tersebut. Hak-hak yang melekat pada wajib pajak orang pribadi dalam negeri pada dasarnya sama dengan hak-hak wajib pajak pada umumnya. Adapun hak-hak tersebut di antaranya ialah : 13 Undang-Undang PPh dan Peraturan Pelaksanaannya. KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK Direktorat Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat. 2013 Nomor: PJ.091/PPh/UU/001/2013-00 14 Mardiasmo, Pepajakan Edisi Revisi 2011 Cetakan VI, (Jogyakarta : Andi, 2011), h. 21 30 a. Hak Untuk Meghitung Pajak Sendiri Setiap wajib pajak berhak menghitung besarnya pajak ynag terutang setiap tahunnya yang berhak dilakukan dengan mengisi Surat Pemberitahuan (SPT). Perhintgan tersebut bersifat final kecuali apabila Kantor Pelayanan Pajak (KPP) memiliki data dan atas data tersebut dilakukan pemeriksaan terhadap keberatan pengisian data oleh wajib pajak.15 b. Hak Melakukan Pembetulan Surat Pemberitahuan (SPT) Dalam menghitung besarnya pajak terutang yang dilakukan sendiri, kesalahan mungkin saja timbul. Untuk itu berdasarkan pasal 8 Undangundang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan dan Tata Cara Umum Perpajakan, wajib pajak berhak melakukan pembetulan dengan menyampaikan peryataan tertulis selama Direktorat Jenderal Pajak belum melakuka pemeriksaan atau setelah dilakukan tindakan pemeriksaan tetapi belum dilakukan tindakan penyidikan 16 c. Hak Mengajukan Permohonan Restitusi dan Memperoleh Pembayaran Restitusi Setiap wajib pajak yang mengajukan perhitungan kelebihan pembayaran pajak berhak atas minta restitusi (pengembalian). Dalam pasal 17 B Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan dan Tata Cara Umum Perpajakan disebutkan bahwa apabila dalam 15 Mardiasmo, Pepajakan Edisi Revisi, Cetakan Keenam, (Yogyakarta : Andi, 2011), h. 157. 16 B. Boediono, Perpajakan Indonesia, (Jakarta : Diadit Media, 2001), h. 96. 31 waktu 12 bulan sejak permohonan restitusi diberikan, KPP tidak memberikan jawaban maka permohongan tersebut dikatakan terkabul. Tanggal diterimanya permohonan restitusi yang disertakan ada STP adalah tanggal ketika STP disampaikan. Wajib pajak yang permohongann restitusinya dikabulkan mendapat restitusi paling lambat satu bulan setelah jangka waktu 12 bulan tersebut berakhir dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar. Apabila SKPLB terlambat diterbitkannya maka wajib pajak di beri imbalan bunga sebesar 2% sebuan sejak berakhirnya jangka waktu tersebut sampai di terbitkan SKPLB.17 d. Hak Untuk Mengajukan Keberatan Wajib pajak dapat menilai bahwa hasil pemeriksaannya yang dilakukan oleh aparat pajak adalah tidak benar. Berdasarkan pasal 25 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan dan Tata Cara Umum Perpajakan, wajib pajak dapat mengajukan keberatan secara tertulis atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Lebih Bayar, Surat Ketetapan Pajak Nihil dan pemotonga atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasrkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Berdarasarkan pasal 26 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan dan Tata Cara Umum Perpajakan, wajib pajak 17 http://www.pajak.go.id/content/article/restitusi-pengembalian-pendahuluan-pajakkemudahan-administrasi-ataukah-loophole di akses tanggal 23 April 2015 32 berhak mengetahui atas jawaban setelah diajukannya keberatan paling lambat 12 bulan sejak keberatan diterima. Apabila KPP tidak memberikan keputusan, maka keberatan dianggap dikabulkan. 18 e. Hak Megajukan Permohonan Banding Apabila wajib pajak masih tidak puas atas keputusan Direktorat Jendral Pajak, maka berdasrkan pasal 27 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan dan Tata Cara Umum Perpajakan, wajib pajak dapat mengajukan permohonan banding yang dibuat secara tertulis dan ditujukan kepada badan peradilan pajak. Selain memiliki hak-hak yang telah disebutkan di atas, wajib pajak memiliki kewajiban-kewajiban yang harus di penuhi sehubungan dengan di terapkannya sistem self assessment,.19 yaitu sebagai berikut : a. Mendaftarkan Diri Sebagai Wajib Pajak Mendaftarkan diri sebagai wajib pajak adalah kewjiban awal bagi setiap subjek pajak yang telah memenuhi tatbestand, seseuai dengan ketentuan pasal 2 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan dan Tata Cara Umum Perpajakan. Pendaftaran dilaksanakan di KPP di tempat wajib pajak berdomisili, atau bertempat tinggal bagi wajib pajak orang pribadi. Mereka yang dikecualikan dari keawjiban untuk mendaftarkan diri adalah : 18 B. Boediono, Perpajakan Indonesia Cetakan I, h. 97. 19 Siti Resmi, Perpajakan Teori dan Kasus Edisi 8 Buku 1, h. 23. 33 1) Yang tidak mempunyai penghasilan lain selain penghasilan sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan dari satu pemberi kerja, 2) Yang mempunyai penghasilan neto tidak melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), 3) Wanita kawin (bersuami), meskipun wanita tersebut memiliki penghasilan sendiri, kecuali dalam perkawinannya di ikat dengan suatu perjanjian seperti pemisahan harta dan penghasilan, 4) Anak yang masih belum dewasa b. Mengambil, Mengisi dan Menyampaikan SPT Setiap wajib pajak menambil sendiri SPT, mengisi dengan benar, jelas, transparan, dan di tanda tangani dan selanjutnya disampaikan ke KPP dimana wajib pajak berdomisili atau dikirimkan melalui kantor pos, pengisian melalui web dirjen pajak atau dengan cara lain yang diatur dengan keputusan Direktur Jenderal Pajak. Ketentuan tersebut diatur dalam pasal 3 dan pasal 6 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan dan Tata Cara Umum Perpajakan.20 c. Melunasi Pajak Terutang Dalam mengisi SPT sekaligus mengisi menghintung besarnya pajak yang terutang terdapat kemungkinan kurang bayar, nihil atau lebih bayar. Apabila kurang bayar, maka wajib pajak harus melunasi kekuarangan tersebut paling lambat 1 (satu) bulan pajak atau bagian bulan pajak berakhir, atau sebelum 20 Mahirot Pahala Siahaan, Hukum Pajak Formal, (Yogyakarta: Graha Ilmu 2010), h. 55. 34 surat pemberitahuan itu disampaikan. Apabila memang terlambat Pembayaran atau penyetoran pajak sebagaimana dimaksud, yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak, dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. Hal tersebut diatur dalam pasal 9 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan dan Tata Cara Umum Perpajakan.21 d. Menyelenggarakan Pembukuan Berdasarkan pasal Pasal 14 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh), wajib pajak pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, wajib menyelenggarakan pembukuan kecuali bagi wajib pajak yang menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma penghitung Penghasilan Neto dengan menggunakan Keputusan Direktur Jendral Pajak No. KEP 536/PJ/2000, dan wajib pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas. e. Membantu Mempermudah Saat Pemeriksaan Ketentuan pasal 29 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, menyebutkan bahwa dalam pemeriksaan, wajib pajak harus membantu kelancarannya 21 Thomas Sumuran, Tax Review dan Strategi Perencanaan Pajak Cetakan I, (Jakarta : Indeks, 2013), h. 63. 35 dengan cara memberikan keterangan yang sebenar-benarnya, memperlihatkan pembukuan, memberi kesempatan kepada petuagas untuk memasuki ruangan tertentu yang berhubungan dengan pemeriksaan dan meniadakan kerahasiaan selama pemeriksaan tersebut berlangsung.22 2. Upaya Hukum Wajib Pajak a. Banding Banding yang diajukan ke Pengadilan Pajak ini merupakan upaya hukum lanjutan yang diajukan oleh wajib pajak atau penanggung pajak. Bandiang diajukan terhadap keputusan dari pejabat yang berwenang, misalnya berkaitan dengan keputusan atas upaya hukum keberatan. Akan tetapi harap dipahami di sini bahwa yang dinamakan upaya hukum banding (beroep) tidak sama persis dengan upaya hukum banding pada Peradilan Umum ataupun Peradilan Tata Usaha Negara. Banding diatur dalam Bab IV Bagian Kedua, yakni Pasal 35 sampai dengan Pasal 39 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002, dan diatur pula dengan Pasal 27 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007.23 b. Gugatan 22 23 Bohari, Pengantar Hukum Pajak, (Jakarta : PT Raja Gravindo Persada,2004), h. 78 Tjia Siauw Jan, Pengadilan Pajak : Upaya Kepastian Hukum dan Keadilan Bagi Wajib Pajak, Cetakan Pertama (Bandung : Alumni 2013), h. 97. 36 Dalam bidang pajak, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002, wajib pajak atau penanggung pajak dapat mengajukan gugatan. Gugatan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 butir 7 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 diberikan batasan sebagai upaya hukum yang dapat dilakukan oleh wajib pajak atau penanggung pajak terhadap pelaksanaan Penagihan Pajak atau terhadap keputusan hakim pajak yang dapat diajukan gugatan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.24 c. Peninjauan kembali Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985, ketentuan yang mengatur pemeriksaan terhadap upaya hukum peninjauan kembali diatur dalam Bagian Keempat tentang Pemeriksaan Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, yakni dari Pasal 66 sampai dengan Pasal 77. Pengajuan Permohonan peninjauan kembali dapat dilakukan baik oleh pihak penggugat atau pembanding, maupun oleh pihak tergugat atau terbanding. Untuk cara pengajuan permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh pihak tergugat atau terbanding, pihak Direktorat Jenderal Pajak telah mengeluarkan Surat Edaran tentang Tata Cara Penanganan Peninjauan Kembali atas Putusan pengadilan Pajak ke Mahkamah Agung tanggal 9 juni 2003. 24 99. Tjia Siauw Jan, Pengadilan Pajak : Upaya Kepastian Hukum dan Keadilan Bagi Wajib, h. 37 3. Wewenang dan Kewajiban Aparat Pajak (Fiskus) Aparat pajak merupakan alat pemerintah dalam memungut pajak dan masyarakat. Sesuai dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, wewenang aparat pajak diantaranya adalah : a. Melakukan Penyuluhan Kepada Wajib Pajak Penyuluhan dilaksanakan dalam rangka pemenuhan kewajiban perpajakannya. Perlu disadari bahwa peranan penyuluhan sesungguhnya sangat fundamental. Optimalisasi peranan penyuluhan perpajakan adalah bagian dari upaya mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan UUD 45 yaitu membangun suatu masyarakat khususnya masyarakat wajib pajak yang cerdas, jujur, patriotik dan benar-benar menyadari peranannya dalam pembangunan bangsa dan negara. self assessment menghendaki peranan positif wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Konsekuensinya dari sistem tersebut adalah bahwa aparat pajak berkwajiban mendukung upaya-upaya bagi lancarnya kegiatan wajib pajak melalui penyuluhan-penyuluhan perpajakan.25 Penelitian dan pemeriksaan yang dilakukan oleh aparat pajak berdasarkan pasal 29 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan dan Tata Cara Umum Perpajakan meliputi : 25 Wewenang Aparat Pajak : artikel&id=681 di akses tanggal 23 April 2015 http://pandupajak.org/literasipajak.php?page=detail- 38 1) Verivikasi lapangan maupun di kantor 2) Pemeriksaan lapangan Setelah penelitian dan pemeriksaan dilakukan maka langkah selanjutnya adalah menindak lanjuti hasil verivikasi atau penelitian dengan menerbitkan surat ketetapan pajak berdasarkan ketentuan dalam UndangUndang Nomor 16 tahun 2009 tentang Ketentuan dan Tata Cara Umum Perpajakan sebagai realisasi dari sanksi administrasi berupa Surat tagihan Pajak berdasarkan pasal 13, ayat 1. Surat Ketetapan Pajak Kurang bayar berdasarkan pasal 15, Surat Ketetapan pajak Nihil Berdasarkan pasal 17A dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar berdasarkan pasal 17. 26 b. Melakukan Penyidikan Berdasarkan pasal 44 Undang-Undang Nomor 16 tahun 2009 tentang Ketentuan dan Tata Cara Umum Perpajakan, Pejabat Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jendral pajak diberi wewenang tindak pidana di Bidang perpajakan, sebagai mana dimaksud dalam Undang-undang Hukum Pidana yang berlaku. c. Melakukan Penagihan Pajak Dalam pasal 18 Undang-undang Nomor 16 tahun 2009 tentang Ketentuan dan Tata Cara Umum Perpajakan disebutkan bahwa Surat Tagihan pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat 26 B. Boediono, Perpajakan Indonesia, (Jakarta : Diadit Media, 2001), h. 108 39 Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, putusan banding yang menyebutkan pajak yang harus dibayar bertambah merupakan dasar dan penagihan pajak. Selain kewewenangan-kewenangan yang telah disebutkan diatas, aparat pajak juga dibebani oleh kewajiban-kewajiban yang meliputi umum dan kewajiban khusus.27 Kewajiban umum aparat dalam melayani kebutuhan wajib pajak merupakan konsekuensi dari keberadaan hak-hak dan kewajiban-kewajiban tersebut diantaranya adalah : 1) Melayani wajib pajak dalam pendaftaran sebagai wajib pajak ; 2) Melayani wajib pajak dalam mengambil dan menyampaikan SPT, termasuk SPT PPh Tahunan dan PPh Masa; 3) Melayani wajib pajak dalam menyampaikan permohonan restitusi, kompensasi, cicilan atas tunggakan pajak, dan mengajukan keberatan termasuk menyampaikan banding; 4) Melayani wajib pajak dalam mengajukan pembetulan atas SPT yang telah disampaikan; 5) Kewajiban menerbitkan surat-surat keputusan berkenaan dengan permohonan restitusi, permohonan keberatan, penerapan norma perhitungan dan izin penggunaan pembukuan dengan bahasa asing. 6) Melayani wajib pajak yang mengajukan permohonan penghapusan NPWP. 27 Mardiasmo, Pepajakan Edisi Revisi, Cetakan Keenam, (Yogyakarta : Andi, 2011), h. 147. 40 Kewajiban khusus bagi aparat pajak adalah untuk tidak memberitahukan kepada yang tidak berhak segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh wajib pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaan-nya untuk menjalankan peraturan perundang-undangan perpajakan (rahasia jabatan). Hal ini diatur dalam pasal 34 Undang-Undang Nomor 16 tahun 2009 tentang Ketentuan dan Tata Cara Umum Perpajakan.28 28 Penjelasan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 BAB III PUTUSAN HAKIM DALAM PERKARA SENGKETA PAJAK PT. MONAGRO KIMIA A. Posisi Kasus Adanya suatu kasus yang menyangkut sengketa pajak terjadi pada tahun 2007, dimana PT. MONAGRO KIMIA merupakan perusahaan asisng atau swasta, yang begerak dalam bidang pupuk dan pangan ternak, dalam kegiatan usahanya tersebut setelah mengkaji atau menghitung kembali pajaknya, merasa PT. MONAGRO KIMIA pembayaran pajak yang dilakukan tahun 2006 menunjukan posisi lebih bayar sebesar Rp 8,738,888,746. terbilang (Delapan Miliar Tujuh Ratus Tiga Puluh Delapan Juta Delapan Ratus Delapan Puluh Delapan Ribu Tujuh Ratus Empat Puluh Enam Rupiah). Dengan alasan terebut maka pihak PT. MONAGRO KIMIA mengajukan SPT Tahunan PPh Badan tersebut kepada Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing Satu (KPP PMA I) pada tanggal 13 Juli 2007 dan diterima oleh kantor KKP PMA I. Sebelumnya KPP PMA I menerbitkan Surat Perintah Pemeriksaan Pajak (SP3) No. PRINT-PSL- 330/WPJ.07/KP.02052007 tertanggal 30 Mei 2007 dengan tujuan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Tahun Pajak 2006 yang meliputi semua jenis pajak. Pada tanggal 11 Agustus 2008 hasil yang dilakukan oleh fiskus/pegawai pajak yang datang untuk memeriksa sebagaimana kepatuhan wajib pajak, menyatakan dengan surat Nomor: 00042/201/06/052/08 tanggal 11 Juli 2008. Bahwasanya PT. MONAGRO 41 42 KIMIA memiliki perbedaan atau selisih dalam penghitungan PPh 21nya pada tahun pajak 2006. Tabel 1.1 Hasil Keterangan Pajak Kurang Bayar PPh Pasal 21 PT MONAGRO KIMIA Nomor: 00042/201/06/052/08 tanggal 11 Juli 2008. Atas hasil tersebut PT. MONAGRO KIMIA tidak sependapat dengan hasil fiskus, bahwasanya oleh karena itu PT. MONAGRO KIMIA mengajukan upaya hukum pertama dalam sengketa pajak yaitu keberatan kepada KPP PMA I pada tanggal 3 September 2008 melalui surat permohongan Nomor : MK/Sep-08/57 tertanggal 3 September 2008. Dengan surat tersebut KPP PMA I menanggapi hal tersebut dengan menerbitkan Keputusan Terbanding Nomor: KEP-695/PJ.07/2009 tanggal 1 September 2009 tentang keberatan atas SKPKB PPh 21 Nomor: 00042/201/06/052/08 tanggal 11 Juli 2008, terbanding menolak atas tindakan keberatan tersebut. Dengan hasil : 43 Tabel 1.2 Hasil Keputusan Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing Nomor: KEP-695/PJ.07/2009 tanggal 1 September 2009 Bahwa perlu diketahui bahwa selama proses keberatan, peneliti telah mengirimkan undangan untuk diskusi dengan surat Nomor:S-3621/ PJ.0711/2009 tanggal 21 April 2009 yang PT. MONAGRO KIMIA terima pada tanggal 29 April 2009. Namun, dikarenakan keterlambatan pengiriman undangan tersebut, pihak dari PT. MONAGRO KIMIA tidak dapat menghadiri diskusi dengan peneliti / fiskus pajak. Hal tersebut pun telah sampaikan kepada Peneliti. Dimana selanjutnya, peneliti / fiskus dari KPP PMA I kembali mengirimkan undangan dengan surat Nomor: S-4575/PJ.0711/2009 tanggal 5 Juni 2009, yang terima pada tanggal 23 Juni 2009 oleh pihak yang terkait yaitu PT. MONAGRO KIMIA untuk dapat menghadiri undangan Peneliti tersebut. Namun undangan tersebut ternyata tidak untuk mendiskusikan materi keberatan dan setelahnya PT. MONAGRO KIMIA diminta untuk menandatangani Daftar Hasil Akhir Penelitian Keberatan tanpa adanya diskusi terlebih dahulu, hasil ini dinggap telah menyalahi aturan yang ada 44 oleh PT. MONAGRO KIMIA sebagaimana hukum tidak berjalan sesuai yang diharapkan. B. Putusan Hakim Pengadilan Pajak Nomor Put 38985 / PP / M.IV / 10 / 2012 Dalam hal ini PT. MONAGRO KIMIA melakukan upaya hukum seusai dengan pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yaitu dengan banding. Sesuai dengan pasal 36 ayat (4) Undang-Undang Pengadilan Pajak, sebelumnya wajib pajak diwajibkan membayar 50% (lima puluh persen) dari utang pajaknya sebagai prasayarat sebelum mengajukan permohonan banding. Hal ini dinyatakan bahwa PT. MONAGRO KIMIA sebagai Pemohon Banding. Dalam dalil-dalil alasan koreksi terbanding yang diajukan kepada pengadilan pajak, pada pokoknya mengajukan dalil-dalil gugatan sebagai berikut. Bahwa selisih tersebut diperhitungkan sebagai koreksi obyek pajak dan dialokasikan pada KPP PMA I Jakarta dan KPP Madya Tangerang. 45 Gambar 1.1 Alasan PT. MONAGRO KIMIA dalam Persidangan Pajak Berdasarkan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (“SPHP”) Nomor: PHP-PSL418/WPJ.07/WPJ.07/ KP.0205/2008 tanggal 30 Juni 2008 Disini pengadilan pajak menjawab hasil dari analisa tersebut dinyatakan tidak falid karena, terdapat objek pajak yang belum dilaporkan sebesar Rp 3.497.139.472 terbilang (Tiga Miliar Empat Ratus Sembilan Puluh Tujuh Juta Seratus Tiga Puluh Sembilan Ribu Empat Ratus Tujuh Puluh Dua Rupiah). Alasan Pemohon Banding / PT MONAGRO KIMIA, bahwasnya pihaknya mengajukan banding atas koreksi pada DPP PPh Pasal 21 sebesar Rp. 2,159,779,821 dengan alasan, berdasarkan SPHP, total koreksi Terbanding atas DPP PPh Pasal 21 adalah sebesar Rp. 3,497,139,472 yang dialokasikan ke masing-masing tempat kedudukan / KPP di mana perusahaan Pemohon Banding terdaftar yaitu KPP PMA I, KPP Madya Tangerang dan KPP Tebing Tinggi. Terbanding mengalokasikan besarnya DPP PPh Pasal 21 46 menurut Terbanding berdasarkan persentase DPP PPh Pasal 21 sebagaimana tercantum pada SPT Tahunan PPh Pasal 21 yang Pemohon Banding laporkan ke masing-masing KPP. Gambar 1.2 Alasan Pemeriksa / Fiskus dalam Persidangan Pajak Berdasarkan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (“SPHP”) Nomor: PHP-PSL418/WPJ.07/WPJ.07/ KP.0205/2008 tanggal 30 Juni 2008 Berdasarkan pendekatan tersebut, maka koreksi untuk kantor Jakarta adalah Rp. 2,159,779,821 terbilang (Dua Miliar Seratus Lima Puluh Sembilan Juta Tujuh Ratus Tujuh Puluh Sembilan Juta Delapan Ratus Dua Puluh Satu Rupiah), koreksi untuk kantor Tangerang adalah Rp. 1,337,359,651 tebillang (Satu Miliar Tiga Ratus Tiga Puluh Tujuh Juta Tiga Ratus Lima Puluh Sembilan Ribu Enam Ratus Lima Puluh Satu Rupiah) dan koreksi untuk kantor Tebing Tinggi dinyatakan nihil. Dikarenakan PT. MONAGRO KIMIA mengalokasikan besarnya DPP PPh Pasal 21 menurutnya berdasarkan sistem persentasi, maka Pemohon Banding tidak dapat mengetahui rincian DPP PPh Pasal 21 sebesar Rp. 47 11,066,054,192, Rp. 6,852,223,652, Rp. 89,804,543 yang dialokasikan Terbanding ke kantor Jakarta, kantor Tangerang dan kantor Tebing Tinggi. Bahwa alasan koreksi peneliti berdasarkan Daftar Hasil Akhir Penelitian Keberatan Nomor: BA-462/PJ.071/2009 tanggal 18 Juni 2009 PT. MONAGRO KIMIA tidak menyertakan bukti-bukti dan perhitungan equalisasi antara biaya-biaya yang dimungkinkan menjadi obyek PPh Pasal 21 di SPT PPh badan dengan SPT Tahunan PPh Pasal 21 dan tidak dapat membuktikan bahwa rincian biaya yang bukan merupakan obyek PPh Pasal 21 Tahun 2006 menurut PT. MONAGRO KIMIA, sebesar Rp 3,715,337,532 adalah obyek PPh Pasal 21 yang dikoreksi oleh Pemeriksa / Fiskus, sebagai berikut rincian dari pemeriksaan tersebut : Koreksi PPh Pasal 21 pada SPT PPh Badan : I. Pada HPP Direct Labor Less: Pay OVH-Astek Salaries & Wages Less: Pay OVH-Astek II. Pada Biaya Usaha : 4.798.499.621 (126.995.948) 1.156.861.604 (20.116.805) Salaries & Wages (selling) Add: Salaries & Wages Less: Pay OVH-Astek (allocated) 5,979,392,945 675,782,445 (93,797,867) Less: Pay OVH-Insurance Salaries & Wages (Gen & Adm) Less: Pay OVH-Astek Less: Pay OVH-Insurance Management Incentives : Stock Appreciation (SOP) Jumlah b. Objek PPh Pasal 21 pada SPT PPh Ps. 21: Pada KPP (2,114,004) 2,777,620,965 (75,812,815) (11,834,802) 960,240,664 1,990,356,385 8,906,274,371 5.808.248.472 9,249,236,867 2,950,597,049 18,008,082,388 48 Pada KPP Madya Tangerang Pada KPP Tebingtinggi Jumlah Selisih (a-b) 5,514,864,001 89,804,543 14,510,942,915 3,497,139,473 Koreksi menurut Daftar Hasil Akhir Penelitian Keberatan, alasan koreksi Peneliti / Fiskus berdasarkan Daftar Hasil Akhir Penelitian Keberatan Nomor: BA-462/PJ.071/2009 tanggal 18 Juni 2009. Dimana selisih yg terjadi sebesar Rp 3,715,337,532 adalah obyek PPh Pasal 21. PT. MONAGRO KIMIA tidak menyertakan bukti-bukti dan perhitungan equalisasi antara biaya-biaya yang dimungkinkan menjadi obyek PPh Pasal 21 di SPT PPh badan dengan SPT Tahunan PPh Pasal 21 serta tidak dapat membuktikan bahwa rincian biaya yang bukan merupakan obyek PPh Pasal 21 Tahun 2006 menurut Pemohon Banding sebesar Rp3,715,337,532 adalah obyek PPh Pasal 21 yang dikoreksi oleh Pemeriksa. Dengan hasil terebut bahwasanya hakim dalam pengadilan pajak menyatakan dan memutuskan dengan surat Nomor Put 38985 / PP / M.IV / 10 / 2012 untuk menolak koreksi pemohon banding (PT. MONAGRO KIMIA), karena dianggap tidak adanya bukti perhitungan objek PPh 21 yang dimasukan dan dialokasian kedalam pajak badan. C. Putusan Mahkamah Agung Nomor 547/B/PK/PJK/2013 Putusan MA Nomor 547/B/PK/PJK/2013 dimana Direktur Jendral Pajak, bekedudukan di Jalan Jendral Gatot Subroto No. 40-42 Jakarta, dalam hal ini memberi kuasa kepada : 49 1. Catur Rini Widosari, Direktur Keberatan dan banding Direktorat Jendral Pajak. 2. Budi Christiadi, Kasubid Peninjauan Kembali dan Evaluasim Direktorat Keberatan dan Banding. 3. Heru Marhanto Utomo, Kepala Seksi Peninjauan Kembali, Subdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding. 4. Sary Laviningrum, Penelaah Keberatan, Subdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding. Keempatnya berkedudukan di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 40-42 Jakarta. Melawan PT. MONAGRO KIMIA, beralamat di Wisma Pondok Indah 2 Lantai 6, Jl. Sultan Iskandar Muda Kav V-TA Pondok Indah, Jakarta 12310, yang menggunakan hakya sesuai dengan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan RI No. 6 Tahun 2009 Pasal 25. Dimana PT Monagro Kimia (selanjutnya disebut sebagai Pemohon Banding) telah menyampaikan SPT Tahunan PPh Badan Pembetulan ke-1 untuk Tahun Pajak 2006 yang menunjukkan posisi lebih bayar sebesar Rp. 8,738,888,746. SPT Tahunan PPh Badan tersebut diterima oleh Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing Satu (“KPP PMA I”) pada tanggal 13 Juli 2007. SPT Tahunan PPh Badan tersebut, KPP PMA I menerbitkan Surat Perintah Pemeriksaan Pajak (“SP3”) Nomor: PRINT-PSL-330 / WPJ.07 / KP.0205/2007 tertanggal 30 Mei 2007 dengan tujuan pemeriksaan adalah 50 untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Tahun Pajak 2006 yang meliputi semua jenis pajak. Sebagai hasil dari pemeriksaan tersebut, KPP PMA I menerbitkan surat ketetapan pajak atas semua jenis pajak. Salah satu dari ketetapan pajak tersebut adalah SKPKB PPh Pasal 21 Nomor: 00042 / 201 / 06 / 052 / 08 tanggal 11 Juli 2008. Berikut perincian atas pajak kurang bayar yang di layangkan KKP PMA I : Tabel 1.3 Surat Keterngan Pajak Kurang Bayar PPh Pasal 21 Nomor: 00042/201/06/052/08 tanggal 11 Juli 2008. Dengan kekurangan pembayaran pajak sebagaimana tercantum di SKPKB (Surat Keterangan Pajak Kurang Bayar) PPh Pasal 21 dengan tabel tesebut, Pemohon Banding telah melunasinya melalui Surat Setoran Pajak (“SSP”) ke Kas Negara degan cara mengangsur pada tanggal pada tanggal 11 Agustus 2008 sejumlah Rp. 684,290,573 dan pada tanggal 15 Oktober 2008 Rp.684,290,573, terbilang (Enam Ratus Delapan Puluh Empat Juta Dua Ratus Sembilan Puluh Ribu Lima Ratus Tujuh Puluh Tiga Rupiah). Setelah itu Pemohon Banding tidak setuju dengan hasil pemeriksaan sebagaimana tercantum di SKPKB PPh Pasal 21 Nomor: 00042 / 201 / 06 / 052 / 08 51 tanggal 11 Juli 2008 tersebut. Oleh karena itu, PT. MONAGRO KIMIA mengajukan keberatan ke KPP PMA I pada tanggal 3 September 2008 melalui surat permohonan Nomor: MK / Sep-08 / 57 tertanggal 3 September 2008 yang diterima oleh KPP PMA I pada hari yang sama. Sebagaimana tanggapan atas surat keberatan tersebut, Terbanding menerbitkan Keputusan Terbanding Nomor: KEP-695 / PJ.07 / 2009 tanggal 1 September 2009 tentang keberatan atas SKPKB PPh Pasal 21 Nomor: 00042 / 201 / 06 / 052 / 08 tanggal 11 Juli 2008, yang menolak keberatan Pemohon Banding. Berikut ini perincian tersebut : Tabel 1.4 Keputusan Terbanding Nomor: KEP-695/PJ.07/2009 tanggal 1 September 2009 tentang keberatan atas Surat Keterngan Pajak Kurang Bayar PPh Pasal 21 Nomor: 00042/201/06/052/08 tanggal 11 Juli 2008 Perlu diketahui bahwa selama proses keberatan, Peneliti (Fiskus) telah mengirimkan undangan untuk diskusi dengan surat Nomor: S-3621 / PJ.0711 / 2009 tanggal 21 April 2009 yang Pemohon Banding terima pada tanggal 29 April 2009. Namun, dikarenakan keterlambatan pengiriman undangan tersebut, Pemohon Banding tidak dapat menghadiri diskusi dengan Peneliti. Hal tersebut pun telah Pemohon Banding sampaikan kepada Peneliti. 52 selanjutnya, Peneliti kembali mengirimkan undangan dengan surat Nomor: S-4575 / PJ.0711 / 2009 tanggal 5 Juni 2009, yang Pemohon Banding terima pada tanggal 23 Juni 2009 dan Pemohon Banding dapat menghadiri undangan Peneliti (Fiskus) tersebut. Namun undangan tersebut ternyata tidak untuk mendiskusikan materi keberatan Pemohon Banding dan Pemohon Banding diminta untuk menandatangani Daftar Hasil Akhir Penelitian Keberatan tanpa adanya diskusi terlebih dahulu; Dasar Hukum yang sesuai dengan Pasal 27 Undang-Undang (“UU”) Nomor: 9 Tahun 1994 stdd. UU Nomor: 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum Perpajakan dan UU Nomor: 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, Pemohon Banding mengajukan banding atas keputusan Terbanding Nomor: KEP-695 / PJ.07 / 2009 tanggal 1 September 2009 tentang Keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar PPh Pasal 21 Nomor: 00042 / 201 / 06 / 052 / 08 tanggal 11 Juli 2008 Tahun Pajak 2006. Dimana PT. MONAGRO KIMIA mengajukan banding atas koreksi pada Dasar Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 (“DPP PPh Pasal 21”) sebesar Rp. 2,159,779,821 sebagaimana tercantum di SKPKB PPh Pasal 21 Nomor: 00042 / 201 / 06 / 052 / 08 tanggal 11 Juli 2008 Tahun Pajak 2006. Sebelumnya Pemohon Banding tidak dapat membuktikan sebagaimana rincian biaya yang bukan merupakan obyek PPh Pasal 21 Tahun 2006, menurut Pemohon Banding sebesar Rp. 3,715,337,532 adalah obyek PPh Pasal 21 yang dikoreksi oleh Pemeriksa; 53 Pihak PT. MONAGRO KIMIA mengajukan banding atas koreksi pada DPP PPh Pasal 21 sebesar Rp. 2,159,779,821 dengan alasan SPHP, total koreksi Terbanding atas DPP PPh Pasal 21 adalah sebesar Rp. 3,497,139,472 yang dialokasikan ke masing-masing tempat kedudukan / KPP di mana perusahaan Pemohon Banding terdaftar yaitu KPP PMA I, KPP Madya Tangerang dan KPP Tebing Tinggi. Terbanding mengalokasikan besarnya DPP PPh Pasal 21 menurut Terbanding berdasarkan persentase DPP PPh Pasal 21 sebagaimana tercantum pada SPT Tahunan PPh Pasal 21 yang Pemohon Banding laporkan ke masing-masing KPP / 052 / 08 tanggal 11 Juli 2008. Tabel 1.5 Keterngan Pajak Kurang Bayar PPh Pasal 21 Nomor: 00042/201/06/052/08 tanggal 11 Juli 2008. Alasan koreksi PT. MONAGRO KIMIA Terbanding berdasarkan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (“SPHP”) Nomor: PHP-PSL-418 / WPJ.07 / WPJ.07 / KP.0205 / 2008 tanggal 30 Juni 2008. Berdasarkan hasil perhitungan equalisasi, terdapat obyek pajak yang belum dilaporkan sebesar Rp.3,497,139,472. Argumentasi Pemohon Banding akan Pemohon Banding lakukan berdasarkan pendekatan nilai total DPP PPh Pasal 21. 54 Berikut ini equalisasi PPh Pasal 21 yang Pemohon Banding buat dengan menggunakan pendekatan nilai total tersebut: Gambar 1.3 Argumentasi Pembelaan Objek Pajak PT. Monagro Kimia \ 1. Pembayaran ke PT Adikarindo (Pemberi Jasa Outsourcing) pembayaran ke PT Adikarindo sebesar Rp.2,952,510,717 (Rp.2,717,850,181 + Rp. 55 234,660,536) merupakan pembayaran atas jasa penyalur tenaga kerja (outsourcing) dan Pemohon Banding telah memotong PPh Pasal 23 atas pembayaran tersebut. Dikarenakan tenaga kerja yang disalurkan merupakan karyawan PT Adikarindo sehingga Pemohon Banding tidak mempunyai kewajiban untuk memotong PPh Pasal 21 atas pembayaran gaji dan THR tersebut. 2. Housing subsidy Bahwa Pemohon Banding telah membuat koreksi fiskal di SPT Tahunan PPh Badan atas biaya housing subsidy sehingga biaya tersebut harus dikeluarkan dari rekonsiliasi PPh Pasal 21. 3. Salaries allocated bahwa salaries allocated merupakan biaya penyesuaian atas total pembayaran gaji yang Pemohon Banding lakukan sehingga harus diperhitungkan di rekonsiliasi PPh Pasal 21. 4. Jamsostek JKM dan JKK Bahwa Terbanding seharusnya memperhitungkan pembayaran Jamsostek untuk JKM dan JKK sebesar Rp. 67,552,848 (Rp. 58,600,812 + Rp. 8,952,036) di rekonsiliasi PPh Pasal 21 sehingga Pemohon Banding menambahkannya ke dalam rekonsiliasi PPh Pasal 21 dari penjelasan Pemohon Banding di atas, maka koreksi pada DPP PPh Pasal 21 sebesar Rp. 2,159,779,821 harus dibatalkan. Hasil dari kesimpulan tersebut berdasarkan hasil uji bukti materi dipersidangan diketahui sebagai berikut : Dari Objek PPh Pasal 21 cfm yang di periksa oleh pemeriksa sebesar Rp.18.008.082.387 Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon 56 Banding) menunjukkan Ledger terkait Direct Labour sebesar Rp.4.798.499.621 Salary Wages (Selling) sebesar Rp.5.979.392.945 Salary & Wages (Gen & Adm.) sebesar Rp.2.779.138.965 yang didalamnya terdapat beberapa akun Salary Third Party Contract sebesar Rp.2.717.850.181. Dari data/bukti/dokumen yang disampaikan Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding / PT. MONAGRO KIMIA) tersebut, sehingga akun-akun yang terkait sebesar Rp.2.717.850.181 merupakan pembayaran atas outsourcing penyediaan tenaga kerja kepada pihak ketiga, yaitu PT. Multi Global Adikarindo, yang menurut Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding)sudah dipotong PPh Pasal 23 baik di KPP PMA Satu maupun KPP Madya Tangerang. Didalam proses uji bukti dipersidangan tersebut, Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding / PT. MONAGRO KIMIA) tidak dapat menunjukkan asli kontrak/perjanjian outsourcing dengan PT. Multi Global Adikarindo beserta bukti/dokumen pembayarannya, Secara material, terdapat perbedaan rincian biaya yang bukan objek PPh Pasal 21 menurut Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) dengan koreksi Objek PPh Pasal 21 menurut Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) termasuk jumlah nominalnya. Setelah dinyatakan Pembuktian Termohon Peninjauan Kembali tidak dapat menunjukkan asli kontrak/perjanjian outsourcing dengan PT. Multi Global Adikar indo beserta bukti/dokumen pembayarannya, dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata; Buku ke Empat Tentang Pembuktian Dan 57 Daluwarsa; Bab II tentang Pembuktian Dengan Tulisan; Pasal 1888, menyatakan “Kekuatan pembuktian suatu bukti tulisan adalah pada akta aslinya.” Apabila akta yang asli itu ada, maka salinan-salinan serta ikhtisar-ikhtisar hanyalah dapat dipercaya, sekadar salinan-salinan serta ikhtisar-ikhtisar itu sesuai dengan aslinya, yang mana senantiasa dapat diperintahkan mempertunjukkannya. Berdasarkan fakta-fakta hukum (fundamentum petendi) tersebut di atas secara keseluruhan telah membuktikan secara jelas dan nyata-nyata bahwa Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah memutus perkara a quoterkait sengketa koreksi DPP PPh Pasal 21 sebesar Rp1.774.878.360 tidak berdasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak berdasarkan hasil penilaian pembuktian, sehingga pertimbangan dan amar putusan Majelis Hakim pada PT. MONAGRO KIMIA sengketa banding di Pengadilan Pajak nyata-nyata telah salah dan keliru serta tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (contra legem), khususnya dalam bidang perpajakan. Oleh karena itu maka Putusan Pengadilan Pajak Nomor: Put. 38985/PP/M.IV/10/2012 tanggal 28 Juni 2012 menyangkut sengketa koreksi DPP PPh Pasal 21 sebesar Rp1.774.878.360 Hakim Menyatakan bahwa, terhadap alasan-alasan peninjauan kembali tersebut, Mahkamah Agung berpendapat bahwasanya, alasan-alasan dari peninjauan kembali tersebut tidak dapat dibenarkan karena pertimbangan hukum dan putusan Pengadilan Pajak yang mengabulkan sebagian permohonan banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Direktur 58 Jenderal Pajak Nomor : KEP-695/PJ.07/2009 tanggal 1 September 2009 tentang Keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan Pasal 21 Tahun Pajak 2006. Nomor: 00042/201/06/052/08 tanggal 11 Juli 2008, atas nama Pemohon Banding sekarang Termohon Peninjauan Kembali / PT. MONAGRO KIMIA, sehingga jumlah PPh yang masih harus dibayar dihitung kembali menjadi Rp. 818.534.430 adalah sudah tepat dan benar. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas, maka permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali : Direktur Jenderal Pajak tersebut adalah tidak beralasan, sehingga harus ditolak. Menimbang, bahwa oleh karena Pemohon Peninjauan Kembali dipihak yang kalah, maka harus dihukum untuk membayar biaya perkara dalam peninjauan kembali yang besarnya sebagaimana tersebut dalam putusan ini. Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 dan Undang- Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak serta peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan Menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali DIREKTUR JENDERAL PAJAK tersebut. BAB IV ANALISA KASUS SENGKETA PAJAK PT. MONAGRO KIMIA PUTUSAN MA Nomor. 574/BPJK/2013 A. Kewajiban Pembayar PPh 21 Pegawai Outsorcing PT. MONAGRO KIMIA Dalam Kasus Sengketa Pajak Pekerja PT. MONAGRO KIMIA dalam kasus pajak Putusan Mahakamah Agung Nomor. 574/B/PK/PJK/2013 alasan PT. MONAGRO KIMIA menggunakan pekerja outsourcing. Outsourcing terbagi atas dua suku kata out dan sourcing. Sourcing berarti mengalihkan kerja, tanggung jawab dan keputusan kepada orang lain. Outsourcing dalam bahasa Indonesia berarti alih daya. Dalam dunia bisnis, outsourcing atau alih daya dapat diartikan sebagai penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan yang sifatnya non-core atau penunjang oleh suatu perusahaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh. Dasar hukum outsourcing adalah Undang-Undang No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 64 dengan isi “Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa Pekerja/Buruh yang dibuat secara tertulis. Berdasarkan ketentuan pasal di atas, outsourcing dibagi menjadi dua jenis: 1. Pemborongan pekerjaan 59 60 Yaitu pengalihan suatu pekerjaan kepada vendor outsourcing, dimana vendor bertanggung jawab sepenuhnya terhadap pekerjaan yang dialihkan beserta hal-hal yang bersifat teknis (pengaturan oerasional) maupun hal-hal yang bersifat non-teknis (administrasi kepegawaian). Pekerjaan yang dialihkan adalah pekerjaan yang bisa diukur volumenya, dan fee yang dikenakan oleh vendor adalah rupiah per satuan kerja (Rp/m2, Rp/kg, dsb.). Contoh: pemborongan pekerjaan cleaning service, jasa pembasmian hama, jasa katering, dsb. 2. Penyediaan jasa Pekerja/Buruh Yaitu pengalihan suatu posisi kepada vendor outsourcing, dimana vendor menempatkan karyawannya untuk mengisi posisi tersebut. Vendor hanya bertanggung jawab terhadap manajemen karyawan tersebut serta hal-hal yang bersifat non-teknis lainnya, sedangkan hal-hal teknis menjadi tanggung jawab perusahaan selaku pengguna dari karyawan vendor. Jadi kegiatan outsourcing adalah kegiatan penyediaan jasa pekerja / buruh, dimana pekerja / buruh dikontrak oleh perusahaan penyedia jasa dan ditempatkan pada perusahaan pengguna jasa. Karyawan outsourcing merupakan karyawan perusahaan penyedia jasa bukan karyawan perusahaan pengguna jasa, dan perusahaan penyedia jasa melakukan pembayaran secara langsung gaji, upah, honorarium, tunjangan dan sejenisnya kepada karyawan outsourcing-nya. Sesuai peraturan perundangan, karyawan outsourcing setidaknya memiliki hak sebagai berikut: 61 1. Upah minimum Sesuai dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor: PER-01/MEN/1999 Tentang Upah Minimum. 2. Upah kerja lembur Sesuai dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: KEP-102/MEN/VI/2004 Tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur. 3. Tunjangan Hari Raya (THR) Sesuai dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor: PER-04/MEN/1994 Tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja di Perusahaan. 4. Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) Sesuai dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor: KEP-150/MEN/1999 Tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja Bagi Tenaga Kerja Harian Lepas, Borongan dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Oleh karena itu, sesuai dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE-05 / PJ.53 / 2003, outsourcing tidak masuk kedalam jenis barang dan jasa yang tidak dikenakan PPN, sehingga wajib membayar PPN. Dasar pengenaan pajak adalah sebesar seluruh tagihan yang diminta oleh vendor outsourcing kepada perusahaan termasuk tagihan atas upah dan perjanjian dari sistem keuangan yang di perjanjikan sebelumnya (management fee). 62 Sesuai dengan Pasal 1 ayat 2 huruf k Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 244/PMK.03/2008, jasa penyedia tenaga kerja (outsourcing services) termasuk jasa lain yang dipotong Pajak Penghasilan sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto tidak termasuk PPN. Lebih lanjut dalam Surat Edaran Nomor: SE-53/PJ/2009 yang dimaksud dengan jumlah bruto adalah jumlah seluruh penghasilan tidak termasuk pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dibayarkan oleh penyedia tenaga kerja kepada tenaga kerja yang melakukan pekerjaan, berdasarkan kontrak dengan pengguna jasa.1 Pembayaran tersebut harus dapat dibuktikan dengan kontrak kerja dan daftar pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan sebagaimana dimaksud. Berdasarkan peraturan diatas, maka jumlah bruto yang dimaksud adalah jasa manajemen (management fee) dalam perusahaan penyedia jasa outsourcing tidak termasuk gaji karyawan. Contoh : Misalnya dalam kontrak yang diterbitkan oleh perusahaan penyedia jasa tenaga kerja (outsourcing services), menyebutkan upah karyawan Rp 10.000 dan manajemen fee Rp 1.000 maka penghitungan pajaknya sebagai berikut: Upah Karyawan : Rp 10.000 Manajemen Fee : Rp 1.000 Jumlah tagihan : Rp 11.000 PPN 10% dari tagihan : 1 (Rp 11.000 x 10%) = Rp 1.100 M.Nur Rianto Al Arif, dkk, Teori Mikroekonomi Suatu Perbandingan Ekonimi Islam dan Ekonomi Konvensional, Cetakan Pertama, (Jakarta : Kencana, 2010), h. 26. 63 PPh Pasal 23 yang harus dipotong 2% dari manajemen fee: (Rp 1.000 x 2%) = Rp 20 jadi jumlah yang dibayarkan setelah dipotong PPh Pasal 23: (Rp 11.000 + Rp 1.100 - Rp 20) = Rp 12.080 Pencatatannya adalah: Beban : Rp 11.000 PPN Masukan : Rp 1.100 Hutang PPh Pasal 23 : (Rp Kas Rp 12.080 : 20) Untuk Pajak (PPh Pasal 21) perihal karyawan outsourcing dipotong dan dilaporkan oleh Perusahaan penyedia outsourcing tersebut. Perusahaan sebagai pengguna jasa hanya memotong PPh Pasal 23 atas Fee yang ditagih oleh Perusahaan outsourcing Sedangkan PPN Masukan yang ditagih olehnya atas Tagihan Salary ditambah Fee. Seperti contoh diatas maka pembayaran perushaan pemakai jasa outsourcing wajib membayar sebesar RP.12.080 kepada pemberi jasa outsourcing setiap bulannya. Dalam kasus ini PT. MONAGRO KIMIA menjelaskan kedalam pembukuan perhitungan keuntungan (profit) dan perpajakannya dalam perhitungan sebulan, bahwasanya menggunakan pekerja outsourcing, dalam kasus pajak Putusan Mahakamah Agung Nomor. 574/B/PK/PJK/2013 dengan penjelasan sebagai berikut, : 1. Pembayaran ke PT Adikarindo sebesar Rp.2,952,510,717 (Rp.2,717,850,181 + Rp. 234,660,536) merupakan pembayaran atas jasa penyalur tenaga kerja (outsourcing) dan Pemohon Banding telah 64 memotong PPh Pasal 23 atas pembayaran tersebut. Dikarenakan tenaga kerja yang disalurkan merupakan karyawan PT Adikarindo sehingga Pemohon Banding tidak mempunyai kewajiban untuk memotong PPh Pasal 21 atas pembayaran gaji dan THR tersebut. 2. Housing subsidy Bahwa Pemohon Banding telah membuat koreksi fiskal di SPT Tahunan PPh Badan atas biaya housing subsidy sehingga biaya tersebut harus dikeluarkan dari rekonsiliasi PPh Pasal 21. 3. Salaries allocated bahwa salaries allocated merupakan biaya penyesuaian atas total pembayaran gaji yang Pemohon Banding lakukan sehingga harus diperhitungkan di rekonsiliasi PPh Pasal 21. 4. Jamsostek JKM dan JKK Bahwa Terbanding seharusnya memperhitungkan pembayaran Jamsostek untuk JKM dan JKK sebesar Rp. 67,552,848 (Rp. 58,600,812 + Rp. 8,952,036) di rekonsiliasi PPh Pasal 21. Dengan rincian gambar sebagai berikut : 65 Gambar 1.3 Argumentasi Pembelaan Objek Pajak PT. Monagro Kimia Sehingga Pihak PT. MONAGRO KIMIA menambahkannya ke dalam rekonsiliasi PPh Pasal 21, dari penjelasan PT. MONAGRO KIMIA di atas, maka koreksi pada DPP PPh Pasal 21 sebesar Rp. 2,159,779,821. Terbilang (Dua Miliar Seratus Lima Puluh Sembilan Juta Tujuh Ratus Tujuh Puluh Sembilan dan Delapan Ratus Dua Puluh Satu Rupiah) Masuk kedalam pembukuan sesuai perhitungan dengan undang-undang yang berlaku. 66 Akan tetapi alasan PT. MONAGRO KIMIA tersebut dinyatakan tidak benar dikarenakan bukti terkait kontrak kerja yang di adakan dalam sidang pengadilan pajak tidak disertakan dan alasan koreksi peneliti / fiskus berdasarkan Daftar Hasil Akhir Penelitian Keberatan Nomor: BA462/PJ.071/2009 tanggal 18 Juni 2009 Setelah dinyatakan pembuktian tersebut tidak dapat menunjukkan asli kontrak/perjanjian outsourcing dengan PT. Multi Global Adikar Indo beserta bukti/dokumen pembayarannya. Dalam kata lain PT. MONAGRO KIMIA tidak menyertakan bukti-bukti dan perhitungan equalisasi antara biaya-biaya yang dimungkinkan menjadi obyek PPh Pasal 21 di SPT PPh badan dengan SPT Tahunan PPh Pasal 21 dan tidak dapat membuktikan bahwa rincian biaya yang bukan merupakan obyek PPh Pasal 21 Tahun 2006 PT. MONAGRO KIMIA. B. Penyelesaian Kasus Putusan MA. Nomor. 574/B/PK/PJK/2013 Setelah PT. MONAGRO KIMIA menggunakan hak-haknya dalam sengketa pajak, pada akhirnya peninjauan kembali PT MONAGRO KIMIA dapat diselesaikan di Mahkamah Agung dan telah mendapatkan kekuatan hukum tetap dengan Kasus Putusan MA. Nomor. 574/B/PK/PJK/2013 dalam peninjauan kembali ini Mahkamah Agung menolak atas peninjauan kembali PT MONGRO KIMIA pada tanggal 24 Januari 2014. Menimbang alasan-alasan peninjauan kembali tersebut tidak dapat dibenarkan karena pertimbangan hukum dan putusan Pengadilan Pajak yang sebelumnya mengabulkan banding yang dilyangkan oleh pihak PT. 67 MONAGRO KIMIA terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-695/PJ.07/2009 tanggal 1 September 2009 tentang Keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan Pasal 21 Tahun Pajak 2006 Nomor: 00042/201/06/052/08 tertanggal 11 Juli 2008, atas nama Pemohon Banding (PT MOAGRO KIMIA) sekarang Termohon Peninjauan Kembali, sehingga jumlah PPh yang masih harus dibayar dihitung kembali menjadi Rp. 818.534.430 terbilang (Delapan Ratus Delapan Belas Juta Lima Ratus Tiga Puluh Empat Ribu Empat Ratus Tiga Puluh Rupiah), menurut penulis adalah sudah tepat dan benar dengan pertimbangan. Bahwa alasan koreksi / peneliti / fiskus obyek PPh Pasal 21 sebesar Rp. 1.774.878.360 terbilang (Satu Miliar Tujuh Ratus Juta Tujuh Puluh Empat Juta Delapan Ratus Tujuh Puluh Delapan Ribu dan Tiga Ratus Enam Puluh Rupiah) tidak dapat dibenarkan, serta hakim menimbang selama proses keberatan bahwasanya dengan, peneliti dari KPP PMA I kembali mengirimkan undangan dengan surat Nomor: S-4575/PJ.0711/2009 tanggal 5 Juni 2009, yang terima pada tanggal 23 Juni 2009 oleh pihak yang terkait yaitu PT. MONAGRO KIMIA untuk dapat menghadiri undangan Peneliti tersebut. Namun undangan tersebut ternyata tidak untuk mendiskusikan materi keberatan dan setelahnya PT. MONAGRO KIMIA diminta untuk menandatangani Daftar Hasil Akhir Penelitian Keberatan tanpa adanya diskusi terlebih dahulu, hasil ini dinggap telah menyalahi aturan yang ada 68 oleh PT. MONAGRO KIMIA sebagaimana hukum tidak berjalan sesuai yang diharapkan. Berdasarkan fakta-fakta hukum (fundamentum petendi) tersebut di atas secara keseluruhan telah membuktikan secara jelas dan nyata-nyata bahwa Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah memutus perkara a quoterkait sengketa koreksi DPP PPh Pasal 21 sebesar Rp1.774.878.360 tidak berdasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak berdasarkan hasil penilaian pembuktian, sehingga pertimbangan dan amar putusan Majelis Hakim pada Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) sengketa banding dipengadilan pajak dengan nyata-nyata telah salah dan keliru serta tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku (contra legem), khususnya dalam bidang perpajakan. Karena dominus litis2 yang terungkap dari bukti-bukti yang disampaikan Pemohon Banding (Termohon Peninjauan Kembali / PT. MONAGRO KIMIA) dalam persidangan dari sebagian bukti sebesar a quo3 telah diyakini kebenarannya oleh Mejelis Pengadilan Pajak, oleh karenanya koreksi Terbanding (Pemohon Peninjauan Kembali / PT. MONAGRO KIMIA) untuk sebagian sebesar dari alasan-alasan terkait degan penijauan kembali yang hinggal 11 butir tersebut a quo tidak dapat dipertahankan. Dari sini penulis sependapat dengan pertimbangan Hakim yang telah disebutkan di atas. Sebelumnya alasan peninjauan kembali ini berkaitan 2 Dalam kamus hukum berarti Hakim yang menentukan suatu perkara layak diperiksa atau tidak 3 Dalam kamus hukum berarti “tersebut”. Perkara a quo berarti perkara tersebut, perkara yang sedang diperselisihkan. 69 dengan ini merupakan hasil dari kesalahan hitung atau SPT Tahunan, mungkin terdapat kekeliriuan atau kesalahan dalam pengisian dari pihak PT. MONAGRO KIMIA dalam perihal pajak PPh 21, sistem penerapan dari sistem self assesment dari PT. MONAGRO KIMIA kurang tepat dalam menghitung besarnya pajak yang terkait dalam pengeluran pajak mereka. Bahwasanya apabila berdasarkan pembetulan SPT, ternyata terdapat kekurangan pembayaran pajak, maka terhadap Wajib Pajak dikenakan sanksi bunga berdasarkan Pasal 8 Ayat (2) dan Ayat (2a) Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan. Selanjutnya dimana fakta dari persidangan Mahkamah Agung menunjukkan bahwa sebagian besar Wajib Pajak masih enggan membayar pajak dengan benar, karena menggangap perhitungan sudah benar. Mereka akan selalu berusaha untuk mengelak dari pembayaran pajak. Oleh karena itu, dalam sistem self assessment ini keberadaan basis data perpajakan yang lengkap dan akurat sangat penting bagi Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Data ini akan digunakan untuk membuktikan bahwa penghitungan, penyetoran dan pelaporan pajak yang dilakukan sendiri oleh Wajib Pajak sudah benar. Apabila diketahui masih salah, maka data tersebut akan digunakan sebagai dasar tindakan koreksi. Selanjutnya dari segi pembuktian, Pihak pemohohon peninjauan kembali atau PT. MONAGRO KIMIA yang sebelumnya di saat banding atau pengadilan pajak tidak bisa menunjukan surat kontrak kerja / perjanjian outsourching dengan PT Mulyti Global Adikarindo beserta bukti 70 pembayarannya. Bahwa dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata; Buku ke Empat Tentang Pembuktian Dan Daluwarsa; Bab II tentang Pembuktian Dengan Tulisan; Pasal 1888, menyatakan: Kekuatan pembuktian suatu bukti tulisan adalah pada akta aslinya. Hakim Mahkamah Agung mengangap bahwasanya bukti yang di perlihatkan pada sidang sekarang mungkin barulah dibuat dalam jangka waktu setelah Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP695/PJ.07/2009 tanggal 1 September 2009 tentang Keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan Pasal 21 Tahun Pajak 2006 tersebut. Dengan kata lain PT. MONAGRO KIMIA tidak ingin merelakan sebagian hartanya untuk membayar pajak demi menjaga profit atau keuntungan semata, dan bahwasnya membayar pajak itu termasuk kedalam pembangunan negara, yang selanjutnya akan dinikmati oleh PT. MONAGRO KIMIA sendiri. Islam mengajarkan bahwa Allah SWT melarang hamba-Nya saling memakan harta sesamanya dengan jalan yang tidak dibenarkan. Dan pajak adalah merupakan dzakat dalam islam sama halnya dengan baitulmal pada zaman Rasulullah SAW, maka dari itu jagalah salah satu jalan tersbut agar terhindar dari yang batil untuk memakan harta sesamanya apabila dipungut tidak sesuai aturan, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat An-Nisa ayat 29: ً‫ِﻻ أَن ﺗَﻜُﻮنَ ﺗِ َٰﺠ َﺮة‬ ٓ ‫ٰ ٓﯾَﺄَﯾﱡﮭَﺎ ٱﻟﱠﺬِﯾﻦَ ءَا َﻣﻨُﻮ ْا َﻻ ﺗَ ۡﺄ ُﻛﻠُﻮٓ ْا أَﻣۡ َٰﻮﻟَﻜُﻢ ﺑَﯿۡ ﻨَﻜُﻢ ﺑِﭑﻟۡ َٰﺒ ِﻄ ِﻞ إ ﱠ‬ ٢ ٩ 71 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” [QS An-Nisa : 29] Adapun dalil secara khusus yang mengancam apabila pajak tidak dipungut dengan benar, karena pajak merupakan suatu kewajiban seperti halnya dzakat maka dari itu Rasulullah bersabda: ‫ﺲ ﻓِﻰ اﻟﻨﱠﺎ ِر‬ ِ ‫إِنﱠ ﺻَﺎﺣِﺐَ ا ْﻟ َﻤ ْﻜ‬ “Sesungguhnya pelaku atau pemungut pajak (diadzab) di neraka” [HR Ahmad 4/109, Abu Dawud kitab Al-Imarah : 7] Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak serta peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan, maka dari itu Bahwa alasan-alasan peninjauan kembali tersebut tidak dapat dibenarkan karena pertimbangan hukum. Maka sesuai dengan keputusan hakim Mahkamah Agung kembali menetapkan dan menguatkan putusan pengadilan jak sebelumnya, bahwa PT MONAGRO KIMIA dikenakan sanksi bunga / administrasi dalam pembayaran pajak berdasarkan Pasal 8 Ayat (2) dan Ayat (2a) dan pasal 18 72 Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan. “Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, merupakan dasar penagihan pajak” Selanjutnya dimana sanksi tersebut dapat diangsur sesuai dengan pasal 19 ayat (1) dan (2) “Apabila Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, serta Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, pada saat jatuh tempo pelunasan tidak atau kurang dibayar, atas jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar itu dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk seluruh masa, yang dihitung dari tanggal jatuh tempo sampai dengan tanggal pelunasan atau tanggal diterbitkannya Surat Tagihan Pajak, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.” “Dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan mengangsur atau menunda pembayaran pajak juga dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) perbulan dari jumlah pajak yang masih harus dibayar dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.” Dengan demikian, utusan pengadilan pajak adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh hakim sebagai akhir dari penyelesaian sengketa pajak 73 dan merupakan manifestasi dari kewenangannya. Sekalipun putusan merupakan manifestasi tanggung jawab hakim dalam memeriksa sengketa pajak. Putusan ditetapkan karena hasil penilaian pembuktian, berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, dan keyakinan hakim. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan diantaranya sebagai berikut: 1. Karyawan outsourcing merupakan karyawan perusahaan penyedia jasa bukan karyawan perusahaan pengguna jasa, dan perusahaan penyedia jasa melakukan pembayaran secara langsung gaji, upah, honorarium, tunjangan dan sejenisnya kepada karyawan outsourcing-nya. Untuk Pajak (PPh Pasal 21) perihal karyawan outsourcing dipotong dan dilaporkan oleh Perusahaan penyedia outsourcing tersebut. Perusahaan sebagai pengguna jasa hanya memotong PPh Pasal 23 atas gaji karyawan (Fee) yang ditagih oleh Perusahaan outsourcing Sedangkan PPN Masukan yang ditagih olehnya atas Tagihan Salary ditambah Fee. Pembayaran tersebut harus dapat dibuktikan dengan kontrak kerja dan daftar pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan sebagaimana dimaksud. 2. Bahwasanya apabila berdasarkan pembetulan SPT, ternyata terdapat kekurangan pembayaran pajak, maka terhadap Wajib Pajak dikenakan sanksi bunga berdasarkan Pasal 8 Ayat (2) dan Ayat (2a) Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan. Berdasarkan Pasal 8 Ayat (2a) UndangUndang KUP Nomor 6 Tahun 2009, pembetulan SPT Masa yang 74 75 mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, terhadap Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. Dalam Pengajuan Persyaratan di tingkat keberatan, pemenuhan persyaratan keberatan, wajib pajak hanya memperhatikan tenggang waktu yang ditentukan yakni 3 (tiga) bulan serta kelengkapan penyampaian atau isi surat keberatan tersebut. Walaupun keberatan tidak menunda tindakan penagihan, akan tetapi wajib pajak bisa menginformasikan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) setempat untuk mempertimbangkan pengajuan keberatan yang sedang diprosesnya. Dan wajib pajak tidak perlu untuk melunasi dahulu utang pajaknya. Di tingkat banding, persyaratan formal suatu sengketa untuk dapat diproses selain format surat banding yang diajukan, wajib pajak harus melaksanakan pelunasan pajak terutangnya sebesar 50% (lima puluh persen). Sebagaimana bahwa dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata; Buku ke Empat Tentang Pembuktian Dan Daluwarsa; Bab II tentang Pembuktian Dengan Tulisan; Pasal 1888, menyatakan: Kekuatan pembuktian suatu bukti tulisan adalah pada akta aslinya. B. Saran Pada akhir penulisan ini, penulis mengemukakan beberapa saran diantaranya sebagai berikut: 76 Solusi untuk mengurangi kesalahan dalam pengisian SPT terhadap para pelaku usaha / Wajib Pajak dan pemerintah untuk mengurangi kesalahankesalahan yang terjadi. : Untuk Pemerintah dan Kantor Pelayanan Pajak 1. Dengan melakukan sosialisasi peraturan perpajakan melalui forumforum penyuluhan, selebaran pamflet, papan pengumuman di KPP masing-masing daerah, maupun penjelasan langsung kepada Wajib Pajak pada saat melaporkan SPT masa ke KPP. 2. Memberi buku petunjuk untuk pengisian SPT Tahunan bersamaan dengan pengiriman SPT Tahunan kepada Wajib Pajak. 3. Upaya persuasif dengan memanggil Wajib Pajak untuk memperbaiki SPT Tahunannya disertai dengan pemberian penjelasan tata cara pengisian SPT Tahunan yang benar. 4. Terus meningkatkan kemampuan aparatur pajak dalam melaksanakan tugas membantu dan melayani Wajib Pajak untuk dapat menunaikan kewajibannya. 5. Upaya yang bersifat eksternal yaitu dengan cara berhubungan dengan dunia luar, baik wajib pajak maupun instansi-instansi yang terlibat 6. Sedikit upaya koordiansi internal, yang diwujudkan dalam bentuk Rapat Pembinaan (rapem). Rapat Pembinaan itu sendiri ada Rapat Pembinaan I dan Rapat Pembinaan II, Selain Rapat Pembinaan, ada juga yang disebut Pengawasan internal. 77 Untuk Wajib Pajak Sementara upaya yang harus dilakukan oleh Wajib Pajak adalah dengan berpartisipasi aktif untuk mengetahui segala macam perubahan atau peraturan yang baru/up to date. Hal ini bisa dilakukan dengan bertanya kepada pihak-pihak yang terkait, mencari, membaca, mendengarkan informasi terkait dengan perpajakan melalui berbagai media yang ada. 78 DAFTAR PUSTAKA A. BUKU Al Arif, M.Nur Rianto, dkk. Teori Mikroekonomi Suatu Perbandingan Ekonomi Islam dan Ekonomi Konvensional, Cetakan Pertama. Jakarta : Kencana, 2010 Asshiddiqie, Jimly. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi. Jakarta : BIP, 2007 B. Ilyas. Wirawan, dkk. Hukum Pajak Material 1 Seri Pajak Penghasilan, Cetakan Pertama. Jakarta : Salemba Humanika, 2011 Boediono. B. Perpajakan Indonesia, Cetakan Pertama. Jakarta : Diadit Media, 2001 Bohari, Pengantar Hukum Pajak. Jakarta : PT Raja Gravindo Persada, 2004 Eceng, dkk. Etika Bisnis dalam Perpajakan Edisi 1, Cetakan Ke-2. Jakarta : Universitas Terbuka, 2010 Indrianti S, Maria Farida. Ilmu Perundang-undangan 1. Jakarta : Kansius, 2010 Mardiasmo. Pepajakan Edisi Revisi 2011. Cetakan Keenam. Yogyakarta : Andi, 2011 Marzuki, Peter Mahmud. Metodologi Penelitian Hukum, Cetakan Ketujuh. Jakarta : Kencana, 2011 Pudyatmoko, Sri. Pengantar Hukum Pajak. Yogyakarta : Andi, 2012 ______________. Pengadilan dan Penyelesaian Sengketa di Bidang Pajak, Edisi Revisi, Cetakan Pertama. Jakarta : Gramedia 2009 Resmi, Siti. Perpajakan Teori dan Kasus Edisi 8 Buku 1, Cetakan Pertama. Jakarta : Salemba Empat, 2014 Rusjdi, Muhammad. KUP (Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan) Edisi Keempat, Cetakan Pertama. Jakata : Indeks, 2007 Siahaan, Mahirot Pahala. Hukum Pajak Formal. Cetakan Pertama, Yogyakarta: Graha Ilmu 2010 Siauw Jan, Tjia. Pengadilan Pajak : Upaya Kepastian Hukum dan Keadilan Bagi Wajib Pajak, Cetakan Pertama, (Bandung : Alumni 2013) Simanjuntak, P.N.H. Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, Jakarta : Djhembatan, 2009 Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-Press, 2010 79 Suandy, Erly. Hukum Pajak Edisi 5, Cetakan Pertama. Jakarta : Salemba Empat, 2011 ___________. Perpajakan; Dilengkapi dengan Latihan Soal. Cetakan Ketiga. Jakarta : Salemba Empat, 2008 Sumuran, Thomas. Tax Review dan Strategi Perencanaan Pajak. Jakarta : Indeks, 2013 _______________. Perpajakan Indonesia Pendoman Perpajakan Yang lengkap Berdasarkan Undang-Undang Terbaru, Cetakan Pertama. Jakarta: Indeks, 2010 Sutedi, Adrian. Hukum Keuangan Negara, Cetakan Keempat. Jakarta : Sinar Grafika, 2010 Tatang, Hasanudin. PPh Pemotongan/Pemungutan. Yogyakarta: Indie Book Corner, 2013 Wahab, Abdul Azis. Teori dan Landasan Pendidikan Kewarganegaraan, Cetakan Pertama. Bandung : Alfabeta, 2012 Yousoef, Abdul Jabar. Kunci Surveyor Membidik Perkembangan Industri Domestik Meningkatkan Penerimaan Pajak dan Royalti, Cetakan Pertama. Bandung : Elex Kompas Gremedia, 2013 Zuraida, Ida. dkk. Penagihan Pajak Pajak Pusat dan Pajak Daerah. Jakarta: Graha Ilmu, 2011 B. JURNAL, MAKALAH, LAPORAN Ikatan Akuntan Indoesia, Standar Akuntansi Keuangan Per Juli 2009. Jakarta : Salemba Empat, 2009 Kartasasmita, Hussien. Menggenjot Pajak Penghasilan Sebagai Langkah Atasi Defisit APBN 2011, (Berita Pajak, No. 1443/th XXXIII/15 Mei 2010) C. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 80 Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor: PER-01/MEN/1999 Tentang Upah Minimum Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: KEP-102/MEN/VI/2004 Tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor: PER-04/MEN/1994 Tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja di Perusahaan. Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor: KEP-150/MEN/1999 Tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja Bagi Tenaga Kerja Harian Lepas, Borongan dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 244/PMK.03/2008 Tentang Pembayaran Pajak Outsourching D. INTERNET ATAU WEBSITE http://www.pajak.go.id/content/article/restitusi-pengembalian-pendahuluan-pajakkemudahan-administrasi-ataukah-loophole. http://www.pajak.go.id/content/seri-kup-penetapan-dan-ketetapan-pajak. http://rumuslengkap.com/rumus-penting/tarif-pajak-penghasilan-pph-21-dan-contohperhitungannya/ m Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id PUTUSAN Nomor 547/B/PK/PJK/2013 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH AGUNG Memeriksa permohonan peninjauan kembali perkara pajak telah memutuskan sebagai berikut dalam perkara : DIREKTUR JENDERAL PAJAK, berkedudukan di Jalan Jenderal Gatot Subroto Nomor. 40-42 Jakarta, dalam hal ini memberi kuasa kepada : 1 CATUR RINI WIDOSARI, Direktur Keberatan dan Banding, Direktorat Jenderal Pajak. 2 BUDI CHRISTIADI, Kasubdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding. 3 HERU MARHANTO UTOMO, Kepala Seksi Peninjauan Kembali, Subdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding. 4 SARY LAVININGRUM, Penelaah Keberatan, Subdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding. Keempatnya berkedudukan di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 40-42 Jakarta, berdasarkan Surat Kuasa Khusus No. SKU-1709/PJ./2012 tanggal 25 Oktober 2012. Pemohon Peninjauan Kembali, dahulu Terbanding; melawan: PT. MONAGRO KIMIA, beralamat di Wisma Pondok Indah 2 Lantai 6, Jl. Sultan Iskandar Muda Kav V-TA Pondok Indah, Jakarta 12310, Alamat Keputusan : Gedung Sentra Mulia Lantai 7, Jl. HR Rasuna Said Kav X-6 No. 8, Jakarta Selatan. Termohon Peninjauan Kembali, dahulu Pemohon Banding; Mahkamah Agung tersebut. Membaca surat-surat yang bersangkutan. Menimbang, bahwa dari surat-surat yang bersangkutan ternyata Pemohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Terbanding telah mengajukan permohonan peninjauan kembali terhadap putusan Pengadilan Pajak tanggal 28 Juni 2012 No. Put. 38985/PP/M.IV/10/2012 yang telah berkekuatan hukum tetap, dalam Halaman 1 dari 24 halaman Putusan Nomor 547/B/PK/PJK/2013 Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Halaman 1 Telp : 021-384 3348 (ext.318) m Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id perkaranya melawan Termohon Peninjauan Kembali dahulu Pemohon Banding dengan posita perkara sebagai berikut : Latar Belakang Bahwa berikut ini latar belakang pengajuan banding atas Keputusan Terbanding Nomor: KEP-695/PJ.07/2009 tanggal 1 September 2009; Bahwa PT Monagro Kimia (selanjutnya disebut sebagai Pemohon Banding) telah menyampaikan SPT Tahunan PPh Badan Pembetulan ke-1 untuk Tahun Pajak 2006 yang menunjukkan posisi lebih bayar sebesar Rp8,738,888,746. SPT Tahunan PPh Badan tersebut diterima oleh Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing Satu (“KPP PMA I”) pada tanggal 13 Juli 2007; Bahwa atas SPT Tahunan PPh Badan tersebut, KPP PMA I menerbitkan Surat Perintah Pemeriksaan Pajak (“SP3”) Nomor: PRINT-PSL-330/WPJ.07/ KP.0205/2007 tertanggal 30 Mei 2007 dengan tujuan pemeriksaan adalah untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Tahun Pajak 2006 yang meliputi semua jenis pajak; Bahwa sebagai hasil dari pemeriksaan tersebut, KPP PMA I menerbitkan surat ketetapan pajak atas semua jenis pajak. Salah satu dari ketetapan pajak tersebut adalah SKPKB PPh Pasal 21 Nomor: 00042/201/06/052/08 tanggal 11 Juli 2008 dengan perincian sebagai berikut: gung In Bahwa atas kekurangan pembayaran pajak sebagaimana tercantum di SKPKB PPh Pasal 21 tersebut, Pemohon Banding telah melunasinya melalui Surat Setoran Pajak (“SSP”) ke Kas Negara pada tanggal pada tanggal 11 Agustus 2008 sejumlah Rp. 684,290,573 dan pada tanggal 15 Oktober 2008 Rp.684,290,573,00; Bahwa Pemohon Banding tidak setuju dengan hasil pemeriksaan sebagaimana tercantum di SKPKB PPh Pasal 21 Nomor: 00042/201/06/052/08 tanggal 11 Juli 2008 tersebut. Oleh karena itu, Pemohon Banding mengajukan keberatan ke KPP PMA I pada tanggal 3 September 2008 melalui surat permohonan Nomor: MK/Sep-08/57 tertanggal 3 September 2008 yang diterima oleh KPP PMA I pada hari yang sama; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Halaman 2 Telp : 021-384 3348 (ext.318) m Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Bahwa sebagai tanggapan atas surat keberatan tersebut, Terbanding menerbitkan Keputusan Terbanding Nomor: KEP-695/PJ.07/2009 tanggal 1 September 2009 tentang keberatan atas SKPKB PPh Pasal 21 Nomor: 00042/ 201/06/052/08 tanggal 11 Juli 2008, yang menolak keberatan Pemohon Banding. Berikut ini perincian keputusan Terbanding tersebut; gung Bahwa perlu diketahui bahwa selama proses keberatan, Peneliti telah mengirimkan undangan untuk diskusi dengan surat Nomor:S-3621/ PJ.0711/2009 tanggal 21 April 2009 yang Pemohon Banding terima pada tanggal 29 April 2009. Namun, dikarenakan keterlambatan pengiriman undangan tersebut, Pemohon Banding tidak dapat menghadiri diskusi dengan Peneliti. Hal tersebut pun telah Pemohon Banding sampaikan kepada Peneliti; Bahwa selanjutnya, Peneliti kembali mengirimkan undangan dengan surat Nomor: S-4575/PJ.0711/2009 tanggal 5 Juni 2009, yang Pemohon Banding terima pada tanggal 23 Juni 2009 dan Pemohon Banding dapat menghadiri undangan Peneliti tersebut. Namun undangan tersebut ternyata tidak untuk mendiskusikan materi keberatan Pemohon Banding dan Pemohon Banding diminta untuk menandatangani Daftar Hasil Akhir Penelitian Keberatan tanpa adanya diskusi terlebih dahulu; Dasar Hukum Bahwa sesuai dengan Pasal 27 Undang-Undang ( “UU”) Nomor: 9 Tahun 1994 stdd. UU Nomor: 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum Perpajakan dan UU Nomor: 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, Pemohon Banding mengajukan banding atas keputusan Terbanding Nomor: KEP-695/PJ.07/2009 tanggal 1 September 2009 tentang Keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar PPh Pasal 21 Nomor: 00042/201/06/052/08 tanggal 11 Juli 2008 Tahun Pajak 2006; Pokok Permasalahan Bahwa Pemohon Banding mengajukan banding atas koreksi pada Dasar Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 (“DPP PPh Pasal 21”) sebesar Rp. 2,159,779,821 sebagaimana tercantum di SKPKB PPh Pasal 21 Nomor: 00042/201/06/052/08 tanggal 11 Juli 2008; Halaman 3 dari 24 halaman Putusan Nomor 547/B/PK/PJK/2013 Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Halaman 3 Telp : 021-384 3348 (ext.318) m Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id gung Alasan koreksi Terbanding: 1. Alasan koreksi menurut Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan In Bahwa berikut ini alasan koreksi Terbanding berdasarkan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (“SPHP”) Nomor: PHP-PSL-418/WPJ.07/WPJ.07/ KP.0205/2008 tanggal 30 Juni 2008; gung Bahwa berdasarkan hasil perhitungan equalisasi, terdapat obyek pajak yang belum dilaporkan sebesar Rp.3,497,139,472. Perhitungan selengkapnya sebagai berikut: a. Koreksi PPh Pasal 21 pada SPT PPh Badan : I. pada HPP Direct Labor Less: Pay OVH-Astek Salaries & Wages Less: Pay OVH-Astek II.pada Biaya Usaha : Salaries & Wages (selling) Add: Salaries & Wages (allocated) Less: Pay OVH-Astek 4.798.499.621 (126.995.948) 1.156.861.604 (20.116.805) 5.808.248.472 5,979,392,945 675,782,445 (93,797,867) Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Halaman 4 Telp : 021-384 3348 (ext.318) m Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Less: Pay OVH-Insurance Salaries & Wages (Gen & Adm) Less: Pay OVH-Astek Less: Pay OVH-Insurance Management Incentives : Management Incentives Stock Appreciation (SOP) Jumlah b. Objek PPh Pasal 21 pada SPT PPh Ps. 21: Pada KPP PMA Satu Pada KPP Madya Tangerang Pada KPP Tebingtinggi Jumlah Selisih (a-b) (2,114,004) 2,777,620,965 (75,812,815) (11,834,802) 960,240,664 1,990,356,385 9,249,236,867 2,950,597,049 18,008,082,388 8,906,274,371 5,514,864,001 89,804,543 14,510,942,915 3,497,139,473 Bahwa selisih tersebut diperhitungkan sebagai koreksi obyek pajak dan dialokasikan pada KPP PMA I Jakarta dan KPP Madya Tangerang; 2. Alasan koreksi menurut Daftar Hasil Akhir Penelitian Keberatan Bahwa berikut ini alasan koreksi Terbanding berdasarkan Daftar Hasil Akhir Penelitian Keberatan Nomor: BA-462/PJ.071/2009 tanggal 18 Juni 2009; Bahwa Pemohon Banding tidak menyertakan bukti-bukti dan perhitungan equalisasi antara biaya-biaya yang dimungkinkan menjadi obyek PPh Pasal 21 di SPT PPh badan dengan SPT Tahunan PPh Pasal 21; Bahwa Pemohon Banding tidak dapat membuktikan bahwa rincian biaya yang bukan merupakan obyek PPh Pasal 21 Tahun 2006 menurut Pemohon Banding sebesar Rp 3,715,337,532 adalah obyek PPh Pasal 21 yang dikoreksi oleh Pemeriksa; Alasan Pemohon Banding: Bahwa Pemohon Banding mengajukan banding atas koreksi pada DPP PPh Pasal 21 sebesar Rp. 2,159,779,821 dengan alasan sebagai berikut: Bahwa berdasarkan SPHP, total koreksi Terbanding atas DPP PPh Pasal 21 adalah sebesar Rp. 3,497,139,472 yang dialokasikan ke masing-masing tempat kedudukan / KPP di mana perusahaan Pemohon Banding terdaftar yaitu KPP PMA I, KPP Madya Tangerang dan KPP Tebing Tinggi. Terbanding mengalokasikan besarnya DPP PPh Pasal 21 menurut Terbanding berdasarkan persentase DPP PPh Pasal 21 sebagaimana tercantum pada SPT Tahunan PPh Pasal 21 yang Pemohon Banding laporkan ke masing-masing KPP. Halaman 5 dari 24 halaman Putusan Nomor 547/B/PK/PJK/2013 Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Halaman 5 Telp : 021-384 3348 (ext.318) m Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Berdasarkan pendekatan tersebut, maka koreksi untuk kantor Jakarta adalah Rp. 2,159,779,821, koreksi untuk kantor Tangerang adalah Rp. 1,337,359,651 dan koreksi untuk kantor Tebing Tinggi adalah nihil; gung Catatan: Sampai saat surat ini Pemohon Banding buat, hanya KPP PMA I yang menerbitkan SKPKB PPh Pasal 21 atas koreksi sebesar Rp. 2,159,779,821 tersebut. Bahwa dikarenakan Terbanding mengalokasikan besarnya DPP PPh Pasal 21 menurut Terbanding berdasarkan sistem persentasi, maka Pemohon Banding tidak dapat mengetahui rincian DPP PPh Pasal 21 sebesar Rp. 11,066,054,192, Rp. 6,852,223,652, Rp. 89,804,543 yang dialokasikan Terbanding ke kantor Jakarta, kantor Tangerang dan kantor Tebing Tinggi. Dengan demikian, maka argumentasi Pemohon Banding akan Pemohon Banding lakukan berdasarkan pendekatan nilai total DPP PPh Pasal 21; Bahwa berikut ini equalisasi PPh Pasal 21 yang Pemohon Banding buat dengan menggunakan pendekatan nilai total tersebut; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Halaman 6 Telp : 021-384 3348 (ext.318) m Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id gung In Penjelasan: • Pembayaran ke PT Adikarindo Republik Bahwa pembayaran ke PT Adikarindo sebesar Rp.2,952,510,717 (Rp.2,717,850,181 + Rp. 234,660,536) merupakan pembayaran atas jasa penyalur tenaga kerja (outsourcing) dan Pemohon Banding telah memotong PPh Pasal 23 atas pembayaran tersebut. Dikarenakan tenaga kerja yang disalurkan merupakan karyawan PT Adikarindo sehingga Pemohon Banding tidak mempunyai kewajiban untuk memotong PPh Pasal 21 atas pembayaran gaji dan THR tersebut. • Housing subsidy Bahwa Pemohon Banding telah membuat koreksi fiskal di SPT Tahunan PPh Badan atas biaya housing subsidy sehingga biaya tersebut harus dikeluarkan dari rekonsiliasi PPh Pasal 21; • Salaries allocated bahwa salaries allocated merupakan biaya penyesuaian atas total pembayaran gaji yang Pemohon Banding lakukan sehingga harus diperhitungkan di rekonsiliasi PPh Pasal 21; • Jamsostek JKM dan JKK Bahwa Terbanding seharusnya memperhitungkan pembayaran Jamsostek untuk JKM dan JKK sebesar Rp. 67,552,848 (Rp. 58,600,812 + Rp. 8,952,036) di rekonsiliasi PPh Pasal 21 sehingga Pemohon Banding menambahkannya ke dalam rekonsiliasi PPh Pasal 21; Halaman 7 dari 24 halaman Putusan Nomor 547/B/PK/PJK/2013 Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Halaman 7 Telp : 021-384 3348 (ext.318) m Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Bahwa berdasarkan penjelasan Pemohon Banding di atas, maka koreksi pada DPP PPh Pasal 21 sebesar Rp. 2,159,779,821 harus dibatalkan; Menimbang, bahwa amar putusan Pengadilan Pajak tanggal 28 Juni 2012 No. Put. 38985/PP/M.IV/10/2012 yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut adalah sebagai berikut : Mengabulkan sebagian permohonan banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-695/PJ.07/2009 tanggal 1 September 2009 tentang Keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan Pasal 21 Tahun Pajak 2006 Nomor: 00042/201/06/052/08 tanggal 11 Juli 2008, atas nama : PT. Monagro Kimia, NPWP : 01.061.671.2-052.000, Alamat korespondensi : Wisma Pondok Indah 2 Lantai 6, Jl. Sultan Iskandar Muda Kav V-TA Pondok Indah, Jakarta 12310, Alamat Keputusan : Gedung Sentra Mulia Lantai 7, Jl. HR Rasuna Said Kav X-6 No. 8, Jakarta Selatan, dan pajaknya dihitung kembali menjadi sebagai berikut : Pengenaan Rp Dasar 9.291.175.832,00 Pajak……………………. Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang… Rp 2.117.170.945,00 Kredit Pajak …………………………….…. Rp 1.515.307.393,00 Pajak yang tidak/kurang dibayar . ………… Rp 601.863.552,00 Sanksi Administrasi : - Bunga Pasal 13 Rp (2) 216.670.878,00 KUP ……………….. Jumlah PPh yang masih harus dibayar Rp ……. 818.534.430,00 Menimbang, bahwa sesudah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yaitu Putusan Pengadilan Pajak tanggal 28 Juni 2012 No. Put. 38985/PP/ M.IV/10/2012 diberitahukan kepada Pemohon Peninjauan Kembali pada tanggal 13 Agustus 2012, kemudian terhadapnya oleh Pemohon Peninjauan Kembali dengan perantaraan kuasanya, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 25 Oktober 2012, diajukan permohonan peninjauan kembali secara tertulis di Kepaniteraan Pengadilan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Halaman 8 Telp : 021-384 3348 (ext.318) m Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Pajak pada tanggal 05 November 2012, dengan disertai alasan-alasannya yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak tersebut pada tanggal 05 November 2012. Menimbang, bahwa tentang permohonan peninjauan kembali tersebut telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama pada tanggal 26 Desember 2012, kemudian terhadapnya oleh pihak lawannya telah diajukan jawaban yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak tanggal 08 Februari 2013. Menimbang, bahwa permohonan peninjauan kembali a quo beserta alasanalasanya telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama, diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, juncto Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, maka permohonan peninjauan kembali tersebut secara formal dapat diterima; ALASAN PENINJAUAN KEMBALI Menimbang, bahwa Pemohon Peninjauan Kembali telah mengajukan alasan peninjauan kembali yang pada pokoknya berbunyi sebagai berikut : Tentang Koreksi Obyek Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 sebesar Rp.1.774.878.360,00 yang tidak dipertahankan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak. 1 Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) sangat keberatan dengan pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Pajak, yang antara lain berbunyi sebagai berikut : Halaman 26 alinea ke-3 “Bahwa berdasarkan pemeriksaan Majelis atas berkas banding dan bukti serta dokumen-dokumen yang disampaikan dalam persidangan, beserta keterangan dari Pemohon Banding dan Terbanding, Majelis berpendapat atas koreksi obyek PPh Pasal 21 sebesar Rp. 2.159.779.821,00, sebesar Rp. 1.774.878.360,00 tidak dapat dipertahankan dan sebesar Rp. 384.901.461,00 (Rp. 2.159.779.821,00 - Rp.1.774.878.360,00) tetap dipertahankan; 2. Bahwa Pasal 76 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (selanjutnya disebut dengan Undang-Undang Pengadilan Pajak)menyebutkan bahwa “Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian dan untuk sahnya pembuktian diperlukan paling sedikit 2 (dua) alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1).” Halaman 9 dari 24 halaman Putusan Nomor 547/B/PK/PJK/2013 Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Halaman 9 Telp : 021-384 3348 (ext.318) m Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Kemudian dalam memori penjelasan pasal 76 alinea 1 dan 2 menyebutkan bahwa “Pasal ini memuat ketentuan dalam rangka menentukan kebenaran materiil, sesuai dengan asas yang dianut dalam Undang-undang perpajakan. Oleh karena itu, Hakim berupaya untuk menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian, penilaian yang adil bagi para pihak dan sahnya bukti dari fakta yang terungkap dalam persidangan, tidak terbatas pada fakta dan hal-hal yang diajukan oleh para pihak.” 3. Bahwa Pasal 78 Undang-Undang Pengadilan Pajak menyebutkan bahwa “Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan hakim.” Kemudian dalam memori penjelasan pasal 78 menyebutkan bahwa “Keyakinan Hakim didasarkan pada penilaian pembuktian dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan.” 4. Bahwa Pasal 21 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 (selanjutnya disebut dengan Undang-UndangPPh) menyatakan : Ayat (1) “Pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak atas penghasilan sehubungan denganpekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima ataudiperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, wajib dilakukan oleh : a. Pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai; b. Bendaharawan pemerintah yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain, sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan; c. Dana pensiun atau badan lain yang membayarkan uang pensiun dan pembayaran laindengan nama apapun dalam rangka pensiun; d. Badan yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalansehubungan dengan jasa termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas; e. Penyelenggara kegiatan yang melakukan pembayaran sehubungan dengan pelaksanaan suatu kegiatan.” Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Halaman 10 Telp : 021-384 3348 (ext.318) m Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Ayat (8) Petunjuk mengenai pelaksanaan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak ataspenghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan diatur dengan KeputusanDirektur Jenderal Pajak." 5. Bahwa Pasal 5 Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor 545/PJ/2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi, menyatakan : Ayat 1 “Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah : a. Penghasilan yang diterima atau diperoleh secara teratur berupa gaji, uang pensiun bulanan, upah, honorarium (termasuk honorarium anggota dewan komisaris atau anggota dewanpengawas), premi bulanan, uang lembur, uang sokongan, uang tunggu,uang ganti rugi,tunjangan isteri, tunjangan anak, tunjangan kemahalan, tunjangan jabatan, tunjangan khusus,tunjangan transpot, tunjangan pajak, tunjangan iuran pensiun, tunjangan pendidikan anak,bea siswa, premi asuransi yang dibayar pemberi kerja, dan penghasilan teratur lainnyadengan nama apapun; b. Penghasilan yang diterima atau diperoleh secara tidak teratur berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, tunjangan cuti, tunjangan hari raya, tunjangan tahun baru, bonus, premi tahunan,dan penghasilan sejenis lainnya yang sifatnya tidak tetap; c. Upah harian, upah mingguan, upah satuan, dan upah borongan; d. Uang tebusan pensiun, uang pesangon, uang Tabungan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua, danpembayaran lain sejenis; e. Honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun,komisi, bea siswa, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa,dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dalam negeri, terdiri dari:… f. Gaji, gaji kehormatan, dan tunjangan-tunjangan lain yang terkait dengan gaji yang diterima oleh Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil serta uang pensiun dan tunjangan-tunjangan lain yang sifatnya terkait dengan uang pensiun yang diterima oleh pensiunan termasuk janda ataududa dan atau anak-anaknya”. Ayat (2) Halaman 11 dari 24 halaman Putusan Nomor 547/B/PK/PJK/2013 Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Halaman 11 Telp : 021-384 3348 (ext.318) m Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id “Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) termasuk pula penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya dengan nama apapun yang diberikan olehbukan Wajib Pajak atau Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final dan yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus (deemed profit)”. 6. Bahwa Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 (selanjutnya disebut dengan Undang-Undang KUP) menyatakan: Pasal 26A “Wajib Pajak yang mengungkapkan pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain dalam proses keberatan yang tidak diberikan pada saat pemeriksaan, selain data dan informasi yang pada saat pemeriksaan belum diperoleh Wajib Pajak dari pihak ketiga, pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain dimaksud tidak dipertimbangkan dalam penyelesaian keberatannya. Pasal 28 1 Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan di Indonesia, wajib menyelenggarakan pembukuan. (3) Pembukuan atau pencatatan tersebut harus diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya. Pasal 29 ayat (1) "Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ". Pasal 29 ayat (3) hurufa "Wajib Pajak yang diperiksa wajib memperlihatkan dan atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak". Pasal 13 ayat (1) huruf a Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Halaman 12 Telp : 021-384 3348 (ext.318) m Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id “Dalam jangka waktu sepuluh tahun sesudah saat terutangnya pajak, atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang dalam hal-hal sebagai berikut : Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar; Penjelasan Pasal 13 ayat (1), antara lain menyatakan : “…Pembuktian atas uraian penghitungan yang dijadikan dasar penghitungan secara jabatan oleh Direktur Jenderal Pajak diletakkan pada Wajib Pajak.Sebagai contoh diberikan antara lain : 1 Pembukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 tidak lengkap, sehingga penghitungan rugi laba atau peredaran tidak jelas; 2. Dokumen-dokumen pembukuan tidak lengkap sehingga angka-angka dalam pembukuan tidak dapat diuji; 3. Dari rangkaian pemeriksaan dan/atau fakta-fakta yang diketahui besar dugaan disembunyikannya dokumen atau data pendukung lain di suatu tempat tertentu, sehingga dari sikap demikian jelas Wajib Pajak telah tidak menunjukkan itikad baiknya untuk membantu kelancaran jalannya pemeriksaan.Beban pembuktian tersebut berlaku juga bagi ketetapan yang diterbitkan berdasarkan ketentuan ayat (1) huruf b. 7. Bahwa Peraturan Pemerintah Republik Indonesia 80 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 (selanjutnya disebut Peraturan Pemerintah Nomor: 80 Tahun 2007), menyatakan: Pasal 1 ”Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan : Angka 3. : Undang-Undang adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.” Pasal 36 ayat (2) huruf f ”Terhadap hak dan kewajiban perpajakan yang berkaitan dengan : Halaman 13 dari 24 halaman Putusan Nomor 547/B/PK/PJK/2013 Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Halaman 13 Telp : 021-384 3348 (ext.318) m Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id f. Proses penyelesaian keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dan Pasal 26A Undang-Undang untuk pengajuan keberatan yang diterima setelah tanggal 31 Desember 2007; berlaku ketentuan berdasarkan Undang-Undang;” 8. Bahwa Pasal 10 Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 194/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Pengajuan Dan Penyelesaian Keberatan (selanjutnya disebut PMK Nomor : 194/PMK.03/2007), menyatakan : ”Pembukuan, catatan, data, informasi atau keterangan lain yang tidak diberikan pada saat pemeriksaan tidak dipertimbangkan dalam penyelesaian keberatan, kecuali pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain tersebut berada di pihak ketiga dan belum diperoleh Wajib Pajak pada saat pemeriksaan; 9. Bahwa Kitab Undang-undang Hukum Perdata: Buku ke Empat Tentang Pembuktian Dan Daluwarsa. Bab II tentang Pembuktian Dengan Tulisan. Pasal 1888 Kekuatan pembuktian suatu bukti tulisan adalah pada akta aslinya. Apabila akta yang asli itu ada, maka salinan-salinan serta ikhtisar-ikhtisar hanyalah dapat dipercaya, sekadar salinan-salinan serta ikhtisar-ikhtisar itu sesuai dengan aslinya, yang mana senantiasa dapat diperintahkan mempertunjukkannya 10. Bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku dan berdasarkan hasil pemeriksaan sengketa banding di Pengadilan Pajak sebagaimana yang telah dituangkan dalam Putusan Pengadilan Pajak Nomor: Put.38985/PP/ M.IV/10/2012 tanggal 28 Juni 2012serta fakta-fakta yang telah dapat diketahui secara jelas dan nyata-nyata terungkap pada persidangan, disimpulkan sebagai berikut: 10.1. Bahwa sengketa koreksi Obyek Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 sebesar Rp.1.774.878.360,00 yang menjadi sengketa dalam memori peninjauan kembali ini adalah merupakan bagian dari koreksiObjek PPh Pasal 21 sebesar Rp.2.159.779.821,00; 10.2. Bahwa dalam Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put.38985/PP/M.IV/ 10/2012 tanggal 28 Juni 2012 ini, Majelis Hakim menetapkan bahwa atas koreksi obyek PPh Pasal 21 sebesar Rp.2.159.779.821,00 tersebut, koreksi sebesar Rp.1.774.878.360,00 tidak dapat dipertahankan, sedangkan koreksi sebesar Rp.384.901.461,00 tetap dipertahankan; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Halaman 14 Telp : 021-384 3348 (ext.318) m Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id 10.3. Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) melakukan koreksiobjek PPh Pasal 21 sebesar Rp.2.159.779.821,00 berdasarkan hasil perhitungan sebagai berikut : Uraian Nilai (Rp.) Objek PPh Pasal 21 cfm. SPT Badan Objek PPh Pasal 21 cfm SPT Koreksi Objek PPh Pasal 21 18.008.082.387 14.510.942.915 3.497.139.472 Indo Pengalokasian koreksi di pusat dan cabang Nilai (Rp.) KPP PMA Satu (pusat) KPP Madya Tangerang (cabang) Jumlah Koreksi 2.159.779.822 1.337.359.651 3.497.139.472 10.4. Bahwa pada saat pemeriksaan, Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) tidak dapat menyerahkan bukti dan perhitungan yang dapat menunjukan jumlah objek PPh Pasal 21 menurut Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) sendiri. Adapun terhadap rincian biaya yang bukan objek PPh Pasal 21 Tahun 2006 yang menurut Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) Rp.3.715.337.532,00,Termohon Peninjauan Kembali adalah (semula sebesar Pemohon Banding)juga tidak dapat membuktikan bahwa biaya tersebut bukan merupakan objek PPh Pasal 21, karena dimungkinkan Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) mengambil sumber dokumen yang berbeda dengan sumber dokumen yang menjadi dasar koreksiPemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding). 10.5. Bahwa Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) kemudian mengajukan keberatan atas koreksi objek PPh Pasal 21 sebesar Rp.2.159.779.821,00 tersebut dan telah diputus dengan Surat Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-695/PJ.07/2009 tanggal 01 September 2009 dengan keputusan menolak permohonan keberatan Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) dengan alasan sebagai berikut : a Bahwa sampai dengan selesainya proses keberatan dan Laporan Penelitian keberatan dibuat,Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) tidak dapat menunjukan perhitungan ekualisasi antara biaya menjadi objek PPh Halaman 15 dari 24 halaman Putusan Nomor 547/B/PK/PJK/2013 Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Halaman 15 Telp : 021-384 3348 (ext.318) m Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Pasal 21 di SPT PPh Badan dengan SPT Tahunan PPh Pasal 21 beserta bukti pendukungnya; b Bahwa Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) juga tidak dapat menunjukan bukti potong PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 23 terkait koreksi PPh Pasal 21 tersebut; c. Bahwa Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) tidak dapat membuktikan bahwa rincian biaya yang menurut Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) sebesar Rp.3.715.337.532,00 bukan merupakan objek PPh Pasal 21 Tahun 2006 adalah objek PPh Pasal 21 yang dikoreksi oleh Pemeriksa. Bahwa terdapat perbedaan rincian biaya yang bukan objek PPh pasal 21 menurut Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) dengan koreksi objek PPh Pasal 21 menurut Pemeriksa termasuk jumlah nominalnya, dengan demikian dimungkinkan Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) mengambil sumber dokumen yang berbeda dengan sumber dokumen koreksi Objek PPh Pasal 21; d. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 26A ayat (4) Undang-Undang KUP menyatakan : “Wajib Pajak yang mengungkapkan pembukuan, catatan, data, informasi atau keterangan lain dalam proses keberatan yang tidak diberikan pada saat pemeriksaan, selain data dan informasi yang pada saat pemeriksaan belum diperoleh Wajib Pajak dari pihak ketiga, pembukuan, catatan, data, informasi atau keterangan lain dimaksud tidak dipertimbangkan dalam penyelesaian keberatan” dan diketahui bahwa saat pemeriksaan Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) tidak menyerahkan bukti dan dokumen pendukung serta perhitunganyang dapat menunjukan jumlah objek PPh Pasal 21 sesungguhnya, maka tidak cukup alasan untuk menerima keberatan Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) sehinggakoreksi objek PPh Pasal 21 yang telah ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan yaitu sebesar Rp.2.159.779.822,00 tetap dipertahankan. 11. Bahwa terkait dengan amar pertimbangannya Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang menyatakan bahwa : Halaman 26 Alinea ke-1 dan ke-2 Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Halaman 16 Telp : 021-384 3348 (ext.318) m Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Bahwa berdasarkan hasil uji bukti yang dilaporkan dalam persidangan, diketahui bahwa dalam Ledger yang terkait dengan Direct Labour sebesar Rp.4.798.499.621,00 Salary Wages (Selling) sebesar Rp.5.979.392.945,00 dan Salary & Wages (Gen & Adm) sebesar Rp.2.779.138.965,00 didalamnya terdapat beberapa akun Salary Third Party Contract sebesar Rp.2.719.850.181,00 yang merupakan pembayaran atas invoicing penyediaan tenaga kerja kepada pihak ketiga, yaitu PT.Multi Global Adikarindo, dimana atas pembayaran tersebut sudah dipotong PPh Pasal 23 dan dilaporkan dalam SPT Masa PPh Pasal 23 di Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing Satu sebesar Rp.1.774.878.360,00; Bahwa berdasarkan pemeriksaan Majelis terhadap koreksi Terbanding sebesar Rp.2.159.779.821,00 yang diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan Pasal 21 Tahun Pajak 2006 Nomor: 00042/201/06/052/08 tanggal 11 Juli 2008 yang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing Satu, terbukti sebesar Rp.1.774.878.360,00 merupakan objek PPh Pasal 23 dan sisanya sebesar Rp.384.901.461,00 Pemohon Banding menyatakan menerima koreksi Terbanding; Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) berpendapat amar pertimbangan Majelis Hakim tersebut tidak sesuai dengan fakta pembuktian dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlakuoleh karena : a Bahwa berdasarkan hasil uji bukti materi di persidangan diketahui hal-hal sebagai berikut : 1 Bahwa dari Objek PPh Pasal 21 cfm Pemeriksa sebesar Rp.18.008.082.387,00, Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) menunjukkan Ledger terkait Rp.4.798.499.621,00, Rp.5.979.392.945,00, Salary Direct Labour sebesar Wages (Selling) Salary & Wages (Gen & sebesar Adm.) sebesar Rp.2.779.138.965,00 yang didalamnya terdapat beberapa akun Salary Third Party Contract sebesar Rp.2.717.850.181,00; 2 Bahwa berdasarkan data/bukti/dokumen yang disampaikan Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) tersebut, akun-akun yang terkait sebesar Rp.2.717.850.181,00 merupakan pembayaran atas outsourcing penyediaan tenaga kerja kepada pihak ketiga, yaitu PT. Multi Global Adikarindo, yang menurut Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding)sudah dipotong PPh Pasal 23 baik di KPP PMA Satu maupun KPP Madya Tangerang; Halaman 17 dari 24 halaman Putusan Nomor 547/B/PK/PJK/2013 Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Halaman 17 Telp : 021-384 3348 (ext.318) m Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id 3 Bahwa dalam proses uji bukti di persidangan tersebut, Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon menunjukkan asli kontrak/ perjanjian Banding)tidak dapat outsourcing dengan PT Multi Global Adikarindo beserta bukti/ dokumen pembayarannya; 4 Bahwa secara material, terdapat perbedaan rincian biaya yang bukan objek PPh Pasal 21 menurut Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) dengan koreksi Objek PPh Pasal 21 menurut Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) termasuk jumlah nominalnya; b Bahwa berdasarkan hasil uji bukti tersebut, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut : Bahwa nyata-nyata Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) tidak dapat menunjukkanasli kontrak/perjanjian outsourcing dengan PT Multi Global Adikarindo beserta bukti/dokumen pembayarannya; Bahwa dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata; Buku ke Empat Tentang Pembuktian Dan Daluwarsa; Bab II tentang Pembuktian Dengan Tulisan; Pasal 1888, menyatakan :Kekuatan pembuktian suatu bukti tulisan adalah pada akta aslinya.Apabila akta yang asli itu ada, maka salinan-salinan serta ikhtisarikhtisar hanyalah dapat dipercaya, sekadar salinan-salinan serta ikhtisar-ikhtisar itu sesuai dengan aslinya, yang mana senantiasa dapat diperintahkan mempertunjukkannya; Berdasarkan hal tersebut Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) tidak dapat meyakini kebenaran transaksi tersebut; Bahwa nyata-nyata secara material, terdapat perbedaan rincian biaya yang bukan objek PPh Pasal 21 menurut Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) dengan koreksi Objek PPh Pasal 21 menurut Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) termasuk jumlah nominalnya; Bahwa berdasarkan Pasal 78 Undang-undang Pengadilan Pajak pun telah ditegaskan bahwa :”Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan Hakim” Bahwa berdasarkan hal tersebut, maka amar pertimbangan Majelis Hakim tersebut telah bertentangan dan tidak sesuai dengan Pasal 78 Undang-Undang Pengadilan Pajak, Pasal 21 Undang-Undang PPh, dan Kitab Undang-undang Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Halaman 18 Telp : 021-384 3348 (ext.318) m Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Hukum Perdata; Buku ke Empat Tentang Pembuktian Dan Daluwarsa; Bab II tentang Pembuktian Dengan Tulisan; Pasal 1888. c Bahwa jika seandainyapun Majelis Hakim tetap dengan putusannya berdasarkan hasil uji bukti atas perintah Majelis Hakim di persidangan sebagaimana penjelasan huruf a dan b tersebut diatas, namun faktanya Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding)tidak memberikan bukti-bukti berupa data/ dokumen tersebut saat pemeriksaan maupun keberatan; Bahwa Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) mengajukan keberatan dengan surat Nomor:MK/Sep-08/57 tanggal 3 September 2008 yang diterima KPP Penanaman Modal Asing (Pemohon Peninjauan Kembali/ semula Terbanding) dengan LPAD (Lembar Pengawasan Arus Dokumen) Nomor: PEM:005178\052\ sep\2008 tanggal 3 September 2008, dengan demikian Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) mengajukan keberatan setelah tanggal 31 Desember 2007. Bahwa Pasal 36 ayat (2) huruf f Peraturan Pemerintah Nomor: 80 Tahun 2007 menyatakan :”Terhadap hak dan kewajiban perpajakan yang berkaitan dengan proses penyelesaian keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dan Pasal 26A Undang-Undang untuk pengajuan keberatan yang diterima setelah tanggal 31 Desember 2007 berlaku ketentuan berdasarkan Undang-Undang;” Berdasarkan hal tersebut, oleh karena surat keberatan Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding)diterima oleh Pemohon Peninjauan Kembali/semula Terbanding tanggal 3 September 2008,yang berarti adalah sesudah tanggal 31 Desember 2007, maka sesuai dengan ketentuan pasal 36 ayat (2) huruf f Peraturan Pemerintah Nomor: 80 Tahun 2007 tersebut, maka tata cara penyelesaiannya adalah menggunakan ketentuan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 (Undang-Undang KUP 2007); Bahwa mengacu pada ketentuan Pasal 26A ayat (4) Undang-Undang KUP 2007 juncto Pasal 36 ayat (2) huruf f Peraturan PemerintahNomor 80 Tahun 2007 junctoPasal 10 PMK Nomor : 194/PMK.03/2007, maka terhadap data telah diminta pada proses pemeriksaan, namun data tersebut tidak diberikan oleh Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding)pada proses pemeriksaan, maka pada proses keberatan data tersebut tidak dapat dipertimbangkan, sehingga keputusan menolak permohonan keberatan Termohon Halaman 19 dari 24 halaman Putusan Nomor 547/B/PK/PJK/2013 Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Halaman 19 Telp : 021-384 3348 (ext.318) m Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) dan tetap mempertahankan koreksi objek PPh Pasal 21 sebesar Rp.2.159.779.821,00adalah telah sesuai dengan ketentuan peraturan perpajakan yang berlaku; Bahwa berdasarkan hal tersebut, maka bukti/dokumen yang diberikan pada persidangan banding, sepatutnyalah tidak dapat dipertimbangkan pula oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Bahwa sebagai bahan pertimbangan dalam memutus sengketa, Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) sampaikan aspek yuridis dalam sistem hukum di Indonesia, yang seharusnya menjadi basis atau dasar dalam penegakan hukum, sebagai berikut : Logemann dalam Buku Pengantar dalam Hukum Indonesia Edisi 3 oleh Ernst Utrecht, Balai Buku Indonesia, 1956, pada halaman 1414 menyatakan bahwa “men mag de norm waaraan men gebonden is niet willekeurig uitleggen, doch alleen de juiste uitleg mag gelden”, dimana dapat diartikan bahwa orang tidak boleh menafsirkan secara sewenang-wenang kaidah yang mengikat, hanya penafsiran yang sesuai dengan maksud pembuat undang-undang menjadi tafsiran yang tepat. Maka dalam memeriksa dan mengadili dan memutuskan suatu perkara yang dihadapkan kepada hakim, seorang hakim terikat kepada ketentuan yang tertuang dalam hukum acara (formele recht) dari pengadilan.Sebagai hukum dan hak asasi, hakim dibatasi menafsirkan atau melakukan konstruksi terhadap hukum acara. Hal demikian dikarenakan fungsi dari hukum acara (formele recht, adjective law) adalah untuk mempertahankan hukum materiil (materiele recht, substantive law); Bahwa dalam sistem perpajakan di Indonesia, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 merupakan hukum formal atau hukum acara (formele recht, adjective law)yang mengatur tata cara pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak. Bahwa secara formal, aturan mengenai tidak dapat digunakannya data pada proses keberatan yang tidak diberikan pada saat pemeriksaan telah jelas aturannya dalam Pasal 26A ayat (4) Undang-Undang KUP 2007, aturan ini mengikat fiskus dalam melaksanakan tugasnya namun Majelis Hakim telah mengabaikan hal tersebut dengan alasan azas material. Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Halaman 20 Telp : 021-384 3348 (ext.318) m Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Bahwa Pengadilan Pajak dalam posisinya sebagai badan yang sesuai dengan sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia harus mampu menciptakan keadilan dan kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa pajak, maka seharusnya Majelis Hakim juga mempertimbangkan adanya kepastian hukum dengan memutuskan sengketa berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan; Bahwa meskipun Majelis Hakim memiliki kewenangan untuk menentukan kekuatan pembuktian dan alat bukti yang digunakan, akan tetapi dalam sengketa ini Majelis Hakim nyata-nyata mengabaikan ketentuan yuridis formal terkait penyelesaian keberatan berdasarkan ketentuan perundang-undangan perpajakan. Dengan demikian Putusan Majelis yang tidak mempertahankan koreksi atas sengketa a quo tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 76 dan Pasal 78 UndangUndang Pengadilan Pajak; Bahwa dengan demikian maka nyata-nyata Majelis Hakim telah tidak cermat dalam memutus sengketa karena tidak mempertimbangkan alasan Pemohon Peninjauan kembali (semula Terbanding) dalam pengambilan keputusan keberatan serta amar pertimbangan Majelis Hakim tersebut tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku yaitu Pasal 4 Undang-Undang PPN, Pasal 26A ayat (4) Undang-Undang KUP 2007 juncto Pasal 36 ayat (2) huruf f Peraturan Pemerintah Nomor : 80 Tahun 2007 juncto Pasal 10 PMK Nomor: 194/PMK.03/2007. 11. Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum (fundamentum petendi) tersebut di atas secara keseluruhan telah membuktikan secara jelas dan nyata-nyata bahwa Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah memutus perkara a quoterkait sengketa koreksi DPP PPh Pasal 21 sebesar Rp1.774.878.360,00tidak berdasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak berdasarkan hasil penilaian pembuktian, sehingga pertimbangan dan amar putusan Majelis Hakim pada Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) sengketa banding di Pengadilan Pajak nyata-nyata telah salah dan keliru serta tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (contra legem), khususnya dalam bidang perpajakan. Oleh karena itu maka Putusan Pengadilan Pajak Nomor: Put. 38985/PP/M.IV/10/2012 tanggal 28 Juni 2012 menyangkut sengketa koreksi DPP PPh Pasal 21 sebesar Rp1.774.878.360,00 harus dibatalkan. Bahwa dengan demikian, putusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak Nomor: Put.38985/ PP/M.IV/10/2012 tanggal 28 Juni 2012 yang menyatakan : Halaman 21 dari 24 halaman Putusan Nomor 547/B/PK/PJK/2013 Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Halaman 21 Telp : 021-384 3348 (ext.318) m Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id - Mengabulkan sebagian permohonan banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-695/PJ.07/2009 tanggal 1 September 2009 tentang Keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan Pasal 21 Tahun Pajak 2006 Nomor: 00042/201/06/052/08 tanggal 11 Juli 2008, atas nama : PT. Monagro Kimia, NPWP: 01.061.671.2-052.000, Alamat korespondensi : Wisma Pondok Indah 2 Lantai 6, Jl. Sultan Iskandar Muda Kav V-TA Pondok Indah, Jakarta 12310, Alamat Keputusan : Gedung Sentra Mulia Lantai 7, Jl. HR Rasuna Said Kav X-6 No. 8, Jakarta Selatan, dan pajaknya dihitung kembali menjadisesuai perhitungan di atas; adalah tidak benar serta telah nyata-nyata bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. PERTIMBANGAN HUKUM Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan peninjauan kembali tersebut, Mahkamah Agung berpendapat : Bahwa alasan-alasan peninjauan kembali tersebut tidak dapat dibenarkan karena pertimbangan hukum dan putusan Pengadilan Pajak yang mengabulkan sebagian permohonan banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-695/PJ.07/2009 tanggal 1 September 2009 tentang Keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan Pasal 21 Tahun Pajak 2006 Nomor: 00042/201/06/052/08 tanggal 11 Juli 2008, atas nama Pemohon Banding sekarang Termohon Peninjauan Kembali, sehingga jumlah PPh yang masih harus dibayar dihitung kembali menjadi Rp. 818.534.430,00 adalah sudah tepat dan benar dengan pertimbangan : • Bahwa alasan koreksi obyek PPh Pasal21 sebesar Rp. 1.774.878.360,00 tidak dapat dibenarkan karena dominus litis yang terungkap dari bukti-bukti yang disampaikan Pemohon Banding (Termohon Peninjauan Kembali) dalam persidangan dari sebagian bukti sebesar a quo telah diyakini kebenarannya oleh Mejelis Pengadilan Pajak, oleh karenanya koreksi Terbanding (Pemohon Peninjauan Kembali) untuk sebagian sebesar a quo tidak dapat dipertahankan. Bahwa dengan demikian tidak terdapat Putusan Pengadilan Pajak yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana dimaksud Pasal 91 huruf e Undang-Undang Nomor. 14 Tahun 2002. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas, maka permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Halaman 22 Telp : 021-384 3348 (ext.318) m Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Kembali : Direktur Jenderal Pajak tersebut adalah tidak beralasan, sehingga harus ditolak. Menimbang, bahwa oleh karena Pemohon Peninjauan Kembali dipihak yang kalah, maka harus dihukum untuk membayar biaya perkara dalam peninjauan kembali yang besarnya sebagaimana tersebut dalam amar putusan ini. Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 dan UndangUndang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak serta peraturan perundangundangan lain yang bersangkutan . MENGADILI, Menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali : DIREKTUR JENDERAL PAJAK tersebut. Menghukum Pemohon Peninjauan Kembali untuk membayar biaya perkara dalam Peninjauan Kembali ini sebesar Rp2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu Rupiah). Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari : Jumat, tanggal 24 Januari 2014 oleh Widayatno Sastrohardjono, S.H., M.Sc. Ketua Muda Pembinaan Mahkamah Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, Dr. Irfan Fachruddin, S.H., C.N., dan Dr. H. M. Hary Djatmiko, S.H., M.S. Hakim-Hakim Agung sebagai Anggota, dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis beserta Hakim-Hakim Anggota dan dibantu oleh Lucas Prakoso, S.H., M.Hum. Panitera Pengganti dengan tidak dihadiri oleh para pihak. Anggota Majelis: Ttd. Dr. Irfan Fachruddin, S.H., C.N. Ttd. Dr. H. M. Hary Djatmiko, S.H., M.S. Ketua Majelis, Ttd. Widayatno Sastrohardjono, SH. MSc. Panitera Pengganti : Ttd. Lucas Prakoso, SH. MHum. Biaya-biaya : 1. Meterai ………................................ Rp. 6.000,2. Redaksi ……..................................... Rp. 5.000,3. Administrasi Peninjauan Kembali ..…Rp. 2.489.000,Jumlah Rp. 2.500.000,Halaman 23 dari 24 halaman Putusan Nomor 547/B/PK/PJK/2013 Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Halaman 23 Telp : 021-384 3348 (ext.318) m Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Untuk Salinan Mahkamah Agung RI a.n. Panitera Panitera Muda Tata Usaha Negara A S H A D I, SH Nip. 220000754 Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Halaman 24 Telp : 021-384 3348 (ext.318)