ANALISA KASUS PT.. M
MONAGRO KIMIA DALAM PUTUSAN M
MAHKAMAH
AGUNG NOMOR. 547/B/P
B/PK/PJK/2013 BERDASARKAN HUKUM
M PERPAJAKAN
INDONESIA
Oleh
DADAN GUSTIANA
NIM 1111048000035
KO
KONSENTRASI HUKUM BISNIS
PR
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAK
AKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
U
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H / 2015 M
ANALISA KASUS PT. MONAGRO KIMIA DALAM PUTUSAI\I
MAHKAMAH AGTJNG NOMOR.
547 IBIPKTP
}ITTKUM PERPAJAKAN
JW2OI3 BERDASARKAI\I
INDOIYESIA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
0leh:
Dadan Gustiana
1111048000035
Pembimbing
I
H. Zoebir Laini. SH.
KONSENTRASI HT'KUM BISI\US ISLAM
PROGRAM STUDI ILMU HT]KT]M
FAKT]LTAS SYARIAH DAI\I HT]KTJM
TJIN SYARIX'
HIDAYATULLAH
JAKAR'TA
1436 rU2015
M
,;
PENGESAIIAN PAI\IITIA UJIA}I
Skripsi berjudul AITALISA KASUS PT. MONAGRO
KIMIA DALAM PUTUS$I
M.A..
NO. 547IBIPKIPICJIaO13 BERDASARKAI{ HT]KUM PERPAJAKAIi INDONESIA
telah diujikan dalarn sidang munaqasyah Fakuttas Syariatr dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jekartapada tanggal 15 September 2015. Skripsi ini telah diterinib sebagai salatr
satu syarat memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S-1) pada Program Studi Ilmu Hukum.
15 September 2015
PANITIA UJIAN
l.
Ketua
:
2.
Sekretaris
: Drs.
3.
Pembimbing
4.
Pembimbing II: Nur Habibi. SH.I. M.H.
NIP.197608172009121005
'
5. Penguji I
6.
Penguji II
Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat. S.H." M.H
NrP. I 9691 12r 199403 I00l
Abu Tamrin" S.H.. M.Hum.
NIP. 19650908 199503 1001
I
: H.
Zoebirlaini. SH
: Amrizal Siagian S. Hum.. M.Si.
: Fatrmi Muhammad Ahmadi.
NrP. 1974 I 2132003121002
lil
M.Si
( dm)
LEMBAR PERNYATAAI\
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1.
Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu
(Sl) di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku
ini
telah
saya
di UIN Syarif
.1r
Hidayatullah Jakarta.
3.
Jika di kemudian hari terbukti hasil karya ini plagiat, maka saya bersedia
menerima sanksi yangberlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, I 5 Septerrber 2015
Dadan Gustiana
lv
ABSTRAK
Dadan Gustiana. NIM 1111048000035. ANALISA KASUS PT. MONAGRO
KIMIA DALAM PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR. 547 / B / PK
/ PKJ / 2013 BERDASARKAN HUKUM PERPAJAKAN INDONESIA.
Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah dan
Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1425 H/2015 M. Isi : xii + 84 halaman
+ lampiran 24 halaman.
Sistem pemungutan pajak self assessment system memberi kepercayaan
kepada wajib pajak, untuk menghitung, melaporkan pajak yang terutang dalam
Surat Pemberitahuan (SPT), kemudian menyetor kewajiban perpajakannya.
Pemberian kepercayaan yang besar kepada wajib pajak sudah sewajarnya
diimbangi dengan instrumen pengawasan, untuk keperluan itu pegawai
pajak/fiskus diberi kewenangan untuk melakukan pemeriksaan pajak. Apabila
hasil pemeriksaan menunjukkan adanya perbedaan atau selisih, pegawai
pajak/fiskus berwenang mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang
berfungsi sebagai surat tagihan. Dalam praktek seringkali terjadi perbedaan
perhitungan antara pegawai pajak/fiskus dengan wajib pajak, inilah salah satu
sebab timbulnya sengketa pajak, diaman seperti kasus yang terjadi pada PT.
MONAGRO KIMIA. Dalam hal ini PT. MONAGRO KIMIA mengajukan
keberatan atas Surat Ketetapan Pajak dan keberatan ditolak, maka wajib pajak
dapat mengajukan banding. Sesuai dengan pasal 36 ayat (4) Undang-Undang
Pengadilan Pajak, wajib pajak diwajibkan membayar 50% (lima puluh persen)
dari utang pajaknya sebagai prasayarat sebelum mengajukan permohonan
banding. Persyaratan yang begitu berat dalam pengajuan banding dimaksudkan
agar lembaga banding tidak dijadikan sebagai alasan penundaan pembayaran
pajak. Akan tetapi apabila dilihat dari kepentingan wajib pajak ketentuan tersebut
tentunya sangat memberatkan. Disini wajib pajak atau PT. MONAGRO KIMIA
diberikan suatu akses untuk mencari keadilan tetapi di sisi lain ada persyaratan
yang memberatkan wajib pajak dalam pemenuhan haknya.
Kata Kunci: sengketa pajak, surat ketetapan pajak, hak wajib pajak.
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang Maha Melihat lagi Maha
Mendengar, atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehinga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan
kepada baginda Nabi Muhammad SAW.
Penyusunan skripsi ini adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Hukum (SH) pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penulisan skripsi ini banyak pihak yang telah
membantu baik materil maupun immateril, oleh karena itu penulis mengucapkan
terima kasih kepada:
1.
Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Drs H Asep Syarifuddin Hidayat SH MH., dan Drs Abu Thamrin SH
M.Hum., Ketua dan Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum.
3.
H. Zoebir Laini, SH., dan Nur Habibi, SH.I, M.H., selaku dosen pembimbing
skripsi yang telah banyak meluangkan waktu disela-sela kesibukan dalam
memberikan nasihat, kritik dan saran untuk membangun penulis dalam
penyusunan skripsi ini.
4.
Dedy Nursamsi SH., M.Hum., selaku dosen penasihat akademik yang telah
memberikan nasihat dan arahan selama penulis menimba ilmu.
5.
Bapak dan Ibu dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah ikhlas berbagi
ilmu pengetahuan dan pengalamanya kepada penulis.
6.
Staff Tata Usaha Universitas Islam Negeri Jakarta selaku yang telah memberi
kemudahan dalam penyusunan skripsi ini.
7.
Ucapan terimakasih yang tak terhingga atas pengorbanan kedua orang tuaku
ayah dan ibu tercinta Dr. Ahdi Heryadi dan Supiyah, yang telah memberikan
segala dukungan dan dorongan baik materil maupun immateril serta doanya
sehingga penulis dapat menyelesaikan masa studi S1.
vi
8.
Adik Maspufah Dwi Heryani dan Muhammad Ihsan yang telah memberikan
dukungan untuk menyelesaikan studi S1.
9.
Seluruh keluarga besar Bentong Residence (BR), Ilyas Aghnini, Andrio,
Idham Katiasan, Rudi Hartono, Kurnia Aliftiorono, Rifki Alpiandi, Febyo
Hartanto, Syawal Ritonga, Lisanul Fikri, Nevo Amaba, Ian Nurdiansyah,
Bara Muhammad, Muhammad Iqbal, Angga Ariyana terima kasih atas
dukungan dan pengalaman yang telah diberikan selama kuliah di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
10. Seluruh teman-teman seperjuangan Program Studi Ilmu Hukum angkatan
2011, khususnya Ilyas, Kuarnialif, Syawal, dan lain-lain, terimakasih atas
segala bantuan dan dukungan yang diberikan selama ini.
11. Seluruh teman-teman seperjuangan Program Studi Ilmu Hukum angkatan
2011, terimakasih atas segala bantuan dan dukungan yang diberikan selama
ini.
12. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini,
yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Semoga Allah SWT
memberikan berkah dan karunia-Nya serta membalas kebaikan mereka.
Amin.
Demikian ini penulis ucapkan terimakasih dan mohon maaf yang sebesarbesarnya apabila terdapat kata-kata di dalam penulisan skripsi ini yang kurang
berkenan bagi pihak-pihak tertentu. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua
pihak, khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca.
Jakarta, 15 Septembert 2015
Penulis
Dadan Gustiana
vii
DAFTAR ISI
Halaman
Judul Skripsi........................................................................................................i
Lembar Pengesahan Pembimbing.....................................................................ii
Lembar Pengesahan Panitia...............................................................................iii
Lembar Pernyataan ............................................................................................iv
Abstrak.................................................................................................................v
Kata Pengantar ...................................................................................................vi
Daftar Isi ..............................................................................................................ix
Daftar Tabel.........................................................................................................xi
Daftar Gambar ....................................................................................................xii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah..............................................................1
B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah ...........................6
C. Tujuan dan Mafaat Penelitian .....................................................7
D. Tinjauan Terdahulu .....................................................................7
E. Kerangka Teoritis........................................................................8
F. Kerangka Konseptual ..................................................................12
G. Metode Penelitian........................................................................13
H. Sistematika Penulisan .................................................................17
BAB II
KEDUDUKAN PAJAK PENGHASILAN ORANG PRIBADI
DALAM PAJAK DI INDONESIA
A. Tinjauan Umum Perpajakan
1. Definisi Pajak ........................................................................19
2. Asas Pemungutan Pajak .........................................................21
3. Dasar Hukum Pemungutan Pajak...........................................22
4. Pengadilan Pajak ....................................................................23
5. Ketetapan Pajak dan Surat Pemberitahuan Pajak Tahunan....24
B. Pajak Penghasilan Pasal 21
1. Pembayaran Pajak Melalui Potongan Pihak Lain ..................27
2. Dasar Hukum Pajak Penghasilan ...........................................28
C. Hak serta Kewajiban
1. Wajib Pajak ............................................................................29
2. Upaya Hukum Wajib Pajak ....................................................35
3. Wewenang Aparat Pajak ........................................................37
BAB III
PUTUSAN HAKIM DALAM PERKARA SENGKETA PAJAK
PT. MONAGRO KIMIA
A. Posisi Kasus .................................................................................41
B. Putusan Hakim Pengadilan Pajak Nomor Put 38985 / PP /
M.IV / 10 / 2012...........................................................................44
C. Putusan Mahkamah Agung Nomor 547/B/PK/PJK/2013 ............48
BAB IV
ANALISA PPh 21 PADA KASUS SENGKETA PAJAK PT.
MONAGRO KIMIA
A. Kewajiban
Pembayar
PPh
21
Pegawai
Outsorcing
PT.
MONAGRO KIMIA Dalam Kasus Sengketa Pajak ..................59
B. Penyelesaian Kasus Putusan MA. Nomor. 574/BPJK/2013 .......66
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................74
B. Saran............................................................................................75
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................78
LAMPIRAN.........................................................................................................81
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1.1................................................................................................................42
Tabel 1.2................................................................................................................42
Tabel 1.3................................................................................................................50
Tabel 1.4................................................................................................................51
Tabel 1.5................................................................................................................53
Tabel 1.6................................................................................................................59
Tabel 1.7................................................................................................................61
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1...............................................................................................................45
Gambar 2...............................................................................................................46
Gambar 3...............................................................................................................54
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Didalam sektor ekonomi, kebijakan diantaranya diarahkan untuk
mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan, mengupayakan kehidupan yang
layak, mengembangkan perekonomian yang berorientasi global dan
menyehatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) melalui
meningkatn disiplin anggaran, pengurangan subsidi dan pinjaman luar negeri
secara betahap, peningkatan penerimaan pajak progresif yang adil dan jujur,
serta penghematan pengeluaran.1
Pajak telah menjadi komponen penting dalam penerimaan negara
bahkan sejak sebelum Indonesia merdeka. Pada jaman kolonial pungutan
pajak semata-mata dimaksudkan untuk memenuhi kepentingan pemerintahan
jajahan, misalnya pada jaman tanam paksa, pajak dipungut dalam bentuk
penyerahan tanah desa untuk ditanami tanaman ekspor yang dibutuhkan
sekurang-kurangnya dua puluh persen dari tanah desa. Kepala desa
bertanggung jawab untuk mengerahkan petani dalam melaksanakan
kewajiban tersebut bahkan ada pula yang diminta menyerahkan seperlima
hasil panennya kepada pemerintah sebagai pajak natural.
Dalam kemerdekaan pungutan pajak dijiwai oleh pancasila dan
Undang-undang Dasar tahun 1945 yang merupakan perwujudan kewajiban
1
Mardiasmo, Pepajakan Edisi Revisi 2011 Cetakan IV, (Jogyakarta : Andi, 2011), h. 21.
1
2
serta partisipasi anggota masayarakat dalam pembiayaan negara dan
pembangunan nasional untuk mencapai keadilan sosial dan kemakmuran
yang merata, baik materil maupun spiritual.2
Dalam pembangunan nasional, penerimaan negara menjadi komponen
yang sangat penting dan menentukan keberhasilan pembangunan yang
dilaksnakan. Sejak tahun 1974 sebagian besar pendapatan negara Indonesia
besumber dari sektor minyak bumi dan gas alam.3 Namun, mengingat sifat
dari sumber daya alam tersebut yang tidak dapat diperbarui, dan minyak bumi
dan gas alam yang tidak menentu, maka sebaiknya pemerintah mengubah
strategi dengan menjadikan pajak sebagai sumber pendapatan negara yang
utama.
Dalam pembiayaan negara, pajak memegang peranan yang sangat
penting. Sebagian besar penerimaan negara berasal dari penerimaan pajak
dalam negeri, yang bersumber dari Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan
Nilai, Pajak Bumi dan Bangunan, Pajak Ekspor dan pajak lainnya. Sampai
tahun 1967, sistem yang dipakai adalah sistem official assessment. Namun
dalam perkembangannya sistem tersebut ternyata tidak sesuai lagi dengan
tingkat sosial ekonomi masyarakat Indonesia, baik dari segi kegotongroyongan nasional maupun dari laju pembangunan nasional.
2
Abdul Jabar Yousoef, Kunci Surveyor Membidik Perkembangan Industri Domestik
Meningkatkan Penerimaan Pajak dan Royalti Cetakan Pertama, (Bandung : Elex Kompas
Gremedia, 2013), h 3
3
B. Boediono, Perpajakan Indonesia Cetakan I, (Jakarta : Diadit Media, 2006), h. 6
3
Untuk meningkatkan pendapatan negara dari sektor pajak sekaligus
meningkatkan peran aktif wajib pajak, maka pada tahun 1983 pemerintah
menciptakan sistem perpajakan yang baru dengan dikeluarkannya beberapa
peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, yaitu Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
Undang-Undang Nomor & tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, Undangundang nomor 8 tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan
Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Undang-Undang nomor 12
tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, dan Undang-Undang nomor
13 tahun 1985 tentang Bea Materai.
Adapun ciri dan corak sistem pemungutan pajak tersebut adalah :4
1. Pemungutan pajak merupakan perwujudan dari penganbdian dan peran
serta wajib pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan
kewajiban
perpajakan
yang
diperlukan
untuk
pembiayaan
dan
pembangunan nasional.
2. Tanggung jawab atas kewajiban pelaksaaan pemungutan pajak sebagai
pencerminan kewajiban di bidang perpajakan berada pada anggota
masyarakat wajib pajak sendiri, pemerintah dalam hal ini parat pajak
sesuai dengan fungsinya berkewajiban melakukan pembinaan, pelayanan
dan pengawasan terhadap pemenuhan kewajiban perpajakan berdasarkan
ketentuan yang telah digariskan dalam peraturan perundang-undangan
perpajakan,
4
Mardiasmo, Pepajakan, Edisi Revisi 2011, Cetakan Keenam, h. 13-14.
4
3. Anggota masyarakat wajib pajak diberi kepercayaan untuk dapat
melaksanakan kegotongroyongan nasional melalui sistem menghitung,
memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri pajak yang terutang
(self assessment).
Dimana sehingga melalui sistem ini dalam perpajakan diharapkan dapat
dilaksanakan dengan lebih rapi, terkendali, sederhana, dan mudah untuk
dipahami oleh anggota masyarakat wajib pajak.
Pajak penghasilan 21 merupakan salah satu pajak langsung yang
dipungut pemerintah pusat atau merupakan pajak negara yang berasal dari
pendapatan rakyat. Dari berbagai jenis pajak penghasilan yang ada, Pajak
Penghasilan (PPh) Pasal 21 merupakan salah satu pajak yang memberikan
masukan sangat besar bagi negara. Kebijakan pemerintah dalam mengatur
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 antara lain dengan dikeluarkannya UndangUndang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2009. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2008. Sebagaimana tentang petunjuk pelaksanaan
pemotongan, penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 21 sehubungan dengan
pekerjaan jasa dan kegiatan orang pribadi.
Peran sistem administrasi pajak sangat penting karena hasil dari
analisis digunakan oleh berbagai pihak baik intern maupun ekstern
perusahaan dalam pengambilan keputusan sehingga kondisi keuangan perlu
5
diketahui bagaimana sebenarnya, khususnya dalam hal ini Pajak Penghasilan
Pasal 21.
Namun dalam kenyatan selama ini, sebagian kebijakan pemerintah
ternyata masih kurang dipahami dan belum dapat dilakukan sepenuhnya oleh
masyarakat. Masih banyak wajib pajak yang kebingungan dalam pembayaran
terhadap pajak yang terutang serta pengisian terhadap sarana pembayaran
pajak. Wajib pajak sering datang ke Kantor Pelayanan Pajak tempat wajib
pajak terdaftar untuk melakukan pembayaran pajak Saat penyampaian
pelaporan pembayaran terhadap pajak terutang pajak penghasilan terjadi
perselisihan antara wajib pajak dengan pihak pemotong pajak serta dalam
pengadministrasian masih kurang memperhatikan sistem perpajakan yang
baru.
Oleh karena itu, penulis mencoba menganalisis kasus yang berkaitan
dengan sengketa pajak di Indonesia, yaitu kasus pajak kurang bayar PPh 21
PT. MONAGRO KIMIA. Pada Putusan MA Nomor 547/B/PK/PJK/2013, PT.
MONAGRO KIMIA adalah sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang
pupuk dan pangan ternak, dalam kegiatan usahanya tersebut mengalami
kekurangan pembayaran pajak pada tahun 2006.
Menurut pendapat Mahkamah Agung terdapat cukup alasan untuk
mengabulkan
permohonan
MONAGRO KIMIA
dari
Pemohon
Peninjauan
Kembali
PT.
tersebut dan membatalkan sementara Putusan
Pengadilan Pajak tertanggal 25 Juni 2012 Nomor Putusan : 38985 / PP / M.IV
/ 10 / 2012. Atas dasar Pasal 8 ayat (2A) Undang – Undang Nomor 6 Tahun
6
2009 tentang Ketentuan Umum Perpajakan, dimana pembetulan STP
mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, terhadap wajib pajak dikenai
sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) perbulan atas
jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak jatuh tempo pembayaran
sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1
(satu) bulan. Dalam putusan MA Nomor 547 / B / PK / PJK / 2013 terdapat
permasalahan yang muncul yaitu putusan MA menguatkan putusan dari
Pengadilan Pajak bahwasanya penetapan pajak kurang bayar PPh 21 PT.
MONAGRO KIMIA adanya indikasi kekurangan bayar PPh 21 pada tahun
2006.
B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah
1.
Pembatasan Masalah
Agar masalah yang akan penulis bahas tidak terlalu meluas sehingga dapat
mengakibatkan ketidak jelasan maka penulis membuat pembatasan
masalah yakni, membahas tentang praktik dalam perpajakan sebagai upaya
penerimaan pendapatan negara.
2. Perumusan Masalah
a. Siapa yang berkewajiban untuk membayar pajak Pajak Penghasilan
Pasal 21 Pegawai jika perusahaan menggunakan pegawai dari
perusahaan outsourcing ?
b. Bagaimana penyelesaian kasus Putusan MA. Nomor. 574 / B / PK /
PJK / 2013 ?
7
C. Tujuan dan Mafaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a.
Untuk mengetahui penerapan sistem pembayaran pajak dalam
masyarakat, khususnya masyarakat wajib pajak penghasilan orang
pribadi dalam negeri sesuai dengan PPh 21 apabila perusahaan
menggunakan jasa pegawai dari outsourcing.
b.
Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan
sistem pembayaran pajak dalam pajak penghasilan orang pribadi
dalam negeri.
2. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan baik secara
teoritis maupun praktisi, sebagai berikut
Secara Akdemisi : Secara teori penelitian ini dapat memperkaya
khasanah ilmu pengetahuan dalam Hukum Bisnis, agar penelitian ini dapat
menjadi tambahan referensi dan peningkatan wawasan akademi para
akademisi di bidang hukum, terutama berhubungan dengan pajak serta
mengingat peraturan perpajakan senantiasa yang mengalami perubahan
dari waktu ke waktu seiring dengan perubahan masayarakatnya.
Secara Praktisi: memberikan informasi bagi masyarakat luas
mengenai tentang bagaimana sistem tersebut untuk membawa ke arah tax
minded dan tax dicipline sehingga masyarakat menjadi penggerak
pembangunan yang dapat di andalkan.
D. Tinjauan Terdahulu
8
Review kajian terdahulu ini akan memaparkan beberapa penelitian
yang sudah dilakukan, baik yang berupa skripsi, tesis, ataupun penelitianpenelitian lainnya. Sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian ini, penulis
akan menyertakan beberapa hasil penelitian terdahulu sebagai perbandingan
tinjauan kajian materi yang akan dibahas, sebagai berikut:
Penelitian yang dilakukan oleh Ilham Taruna Bakti dari Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2011, yang berjudul
“Pengaruh Penerapan Sistem Self Assesment terhadap Optimalisasi
Penerimaan PPh Pasal 21 (Studi Kasus pada KPP Pratama Jakarta Timur)”
Penelitian tersebut menjelaskan secara mendasar tentang pengaruh sistem self
assement dalam masyarakat di utamakan adalah wajib pajak badan.
Buku dari Eceng, dkk. Yang berjudul “Etika Bisnis dalam
Perpajakan” penerbit Elex Jakarta tahun 2011. Pada buku tersebut diuraikan
bagaimana pendoman sistem pemungutan pajak, etika wajib pajak, serta teori
– teori dasar mengenai perpajakan. Sebagai perbandingan dan untuk
membedakan, secara khusus pada skripsi ini penulis menguraikan perihal
bagaimana kedudukan atau status hukum yang sebenarnya mengenai kasus
sengketa perpajakan.
E. Kerangka Teoritis
Kerangka teoritis adalah kerangka pemikiran yang menghubungkan
variable pemikiran yang satu dengan yang lain berdasarkan teori-teori yang
berkaitan dengan permasalahan yang di teliti dalam skripsi. Teori-teori ini
dapat berupa teori yang sudah teruji secara objektif maupun pengertian atau
9
definisi yang di ambil dari asumsi beberapa ahli, dengan demikian tidak
menimbulkan keraguan dalam penulisan yang berhubungan dengan penulisan
skripsi ini.
Pajak adalah iuran wajib rakyat kepada kas negara berdasarkan
undang-undang sehingga dapat dipaksakan dengan tidak mendapat balas jasa
secara langsung. Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma-norma hukum
untuk menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk
mencapai kesejahteraan umum negara.5 Selain definisi diatas, terdapat pula
definisi lainnya yang dikemukakan oleh :
A. Adriani, menurutnya pajak adalah iuran masyarakat kepada negara
(yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya
menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat
prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah
untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara
untuk menyelenggarakan pemerintahan.6
Rochmat Soemitro, pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara
berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat
jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang
digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Definisi tersebut kemudian
dikoreksinya yang berbunyi sebagai berikut: Pajak adalah peralihan kekayaan
5
Wirawan B. Ilyas dan Rudy Suhartono, Hukum Pajak Material 1 Seri Pajak
Penghasilan, Cetakan Pertama. (Jakarta : Salemba Humanika, 2011), h. 2.
6
h. 8.
Erly Suandy, Hukum Pajak Edisi 5, Cetakan Pertama.. (Jakarta : Salemba Empat, 2011),
10
dari pihak rakyat kepada Kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan
surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama
untuk membiayai public investment.7
Dimana sejak abad ke 18 muncul berbagai teori guna memberi dasarmenyatakan keadilan (justification) kepada hak negara untuk memungut
pajak dari rakyatnya. Adapun teori-teori tersebut adalah :
1. Teori Asuransi
Dalam teori ini mengatakan bahwa pajak diibaratkan sebagai
suatu premi asuransi yang harus dibayar oleh setiap orang karena
mendapatkan perlindungan atas hak-haknya dari pemerintah. Teori ini
tidak sesuai dengan kenyataan, dan juga tidak sesuai dengan sifat-sifat
pajak. Kelemahan dari teori ini adalah bahwa premi yang dibayarkan
oleh wajib pajak adalah sebagai imbalan dari perlindungan yang
diberikan kepadannya yang sebenarnya beretentangan dengan sifat
pajak. Justru dalam pajak, wajib pajak tidak langsung menenerima
suatu imbalan yang secarang langsung.
2. Teori Daya Pikul
Menurut teori ini setiap orang wajib membayar pajak sesuai
dengan daya pikul masing-masing. Menurut Prof. De Langen, daya
pikul adalah kekuatan seseorang untuk memeikul suatu beban dari apa
yang tersisa, setelah seluruh penghasilannya dikurangi dengan
7
Siti Resmi, Perpajakan Teori dan Kasus Edisi 8, Buku 1.(Jakarta : Salemba Empat,
2014) h. 15.
11
pegeluaran-pengeluaran yang mutlak untuk kehidupan primer diri
sendiri beserta keluarganya.
3. Teori Kepentingan
Menurut
W.H.
Van
Den
Berghe
(1837-1902)
negara
adalah groepsverband ( organisasi dari golongan ), yaitu hak negara
memungut pajak adalah atas dasar ajaran hak mutlak negara untuk
memajaki penduduknya, teori ini mengukur besarnya pajak sesuai
dengan besarnya kepentingan wajib pajak yang dilindungi. Jadi lebih
besar kepentingan yang dilindungi, maka besar pajak yang harus di
bayar.8
4. Teori Daya Beli
Mr.A. J. Caren Stuart Menurut teori ini pajak diibaratkan
sebagai pompa yang menyedot daya beli seseorang atau anggota
masyarakat, yang kemudian dikembalikan lagi kepada masyarakat. Jadi
sebenarnya uang yang berasal dari rakyat kembali lagi kepada rakyat
melalui saluran lain. Pajak pada hakikatnya tidak merugikan takyat.
Oleh sebab itu maka pemungutan pajak dapat dibenarkan.9
5. Teori Kewajiban Pajak Mutlak
Teori ini didasarkan pada Teori Organ (Orgaan Theorie) Otto
von Gierke (1841-1921) yang mengatakan bahwa negara itu merupakan
8
Thomas Sumarsan, Perpajakan Indonesia Pendoman Perpajakan Yang lengkap
Berdasarkan Undang-Undang Terbaru, (Jakarta: Indeks, 2010), h. 11.
9
P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta : Djembatan,
2009), h. 28.
12
satu keatuan, yang didalamnya setiap warga negara terkait di dalamnya.
Lembaga selaku organ mempunyai kekuasaan terhadap anggota
masyarakat yang mutlak, dan sebaikya anggota masyarakat mempunyai
kewajiban mutlak, antara lain pajak yang tidak dapat ditawarkan lagi.
Berdasarkan pemikiran demikian, maka pungutan pajak walaupun
membebani individu hal tersebut dapat dibenarkan.10
6. Teori Pembenanan Pajak Menurut Pancasila
Pancasila mengandung sifat kekeluargaan dan gotong royong.
Pajak adalah salah satu bentuk gotong royong yang di dalamnya
mengandung sifat kekeluargaan. Pembayaran pajak dalam rangka
pemikiran
ini
merupakan
suatu
yang
tidak
sukar
diberikan
pembenarannya. Pajak merupakan pengorbanan bersama untuk
kepentingan bersama tanpa mendapatkan imbalan.11
F. Kerangka Konseptual
a.
Pajak; Adalah perikatan yang timbul karena Undang-undang yang
mewajibkan seseorang yang memenuhi syarat yang di tentukan Undangundang (TATBESTAND) untuk membayar sejumlah uang kepada kas
Negara yang dapat di paksakan, tanpa mendapatkan suatu imbalan yang
secara langsung dapat ditunjuk, yang digunakan untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran negara rutin dan pembangunan dan yang di
10
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi,
(Jakarta : BIP, 2007), h. 13.
11
Abdul Azis Wahab, Teori dan Landasan Pendidikan Kewarganegaraan, (Bandung :
Alfabeta, 2012), h. 28.
13
gunakan sebagai alat pendorong, penghambat, pencegah, untuk mencapai
tujuan yang ada di luar bidang keuangan.12
b. Wajib Pajak; Adalah orang pribadi yang menurut peraturan perundangundangan
perpajakan
di
tentukan
untuk
melakukan
kewajiban
perpajakan, termasuk pungutan pajak atau pemotongan pajak tertentu.13
c.
Badan; Adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan
kesatuan baik yang melakukan usaha yang meliputi perseroan lainya,
badan usaha milik Negara atau daerah dengan nama dan dalam bentuk
apapun,
Firma,
Kongsi,
Koprasi,
Dana
Pensiun,
Persekutuan,
Perkumpulan, Yayasan, Organisasi Masa, Organisasi Sosial Politik, atau
Organisai yang sejenis, Lembaga, bentuk usaha tetap dan bentuk badan
lainya.14
G. Metode Penelitian
1. Jenis dan sifat penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian
hukum kepustakaan. Penelitian hukum normatif didefinisikan sebagai
penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat
dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Disebut
12
Bohari, Pengantar Hukum Pajak, Cetakan Pertama, (Jakarta : PT Raja Gravindo
Persada, 2004),h. 26.
13
Mardiasmo, Pepajakan Edisi Revisi 2011, Cetakan Keempat, h. 5
14
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 pasal 2 ayat (1).
14
juga
penelitian
hukum
doktrinal
yaitu
penelitian
hukum
yang
mempergunakan data sekunder.15 Alat pengumpulan data dalam penelitian
ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk
mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran
konseptual dan penelitian terdahulu yang berhubungan dengan objek
telaah penelitian ini yang dapat berupa peraturan perundang-undangan dan
karya ilmiah lainnya.16
2. Pendekatan Masalah
Dalam kaitannya dengan penelitian yuridis normatif, akan digunakan
beberapa pendekatan, yaitu: 17
a. Pendekatan Kasus (case approach)
Pendekatan Kasus (case approach) adalah pendekatan yang dilakukan
dengan cara menelaah suatu kasus yang telah menjadi putusan
pengadilan berkekuatan hukum tetap, dalam hal ini Putusan
Mahkamah Agung No. 547 / B / PK / PJK / 2013. Dalam
menggunakan pendekatan kasus yang perlu dipahami oleh peneliti
adalah ratio deciendi, yaitu alasan-alasan hukum yang digunakan oleh
hakim untuk sampai pada putusannya.18
b. Pendekatan Perundang-undangan (statute approach)
15
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 2010), h. 43.
16
Peter Mahmud Marzuki , Metodologi Penelitian Hukum, Cetakan Ketujuh, (Jakarta,
Kencana, 2011), h. 57
17 Johnny Ibrahim, Teori, Metode dan Penelitian Hukum Normatif, (Malang:
Bayumedia Publising, 2007), h.300
18 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2011), h.119.
15
Pendekatan Perundang-undangan (statute approach) adalah suatu
pendekatan yang dilakukan terhadap berbagai aturan hukum yang
berkaitan dengan perpajakan dan sengketa pajak seperti UndangUndang No. 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan, Undang-Undang No. 14 Tahu 2002 tentang Peradilan
Pajak, Undang-undang N. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan,
dan Undang-Undang No. 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak
Dengan Surat Paksa.
c. Pendekatan Konsep (conceptual approach)
Pendekatan
Konsep
(conceptual
approach)
digunakan
untuk
memahami konsep-konsep tentang : pengertian pajak, pengertian PPh
21, penhitungan pajak. Dengan didapatkan konsep yang jelas maka
diharapkan penormaan dalam aturan hukum ke depan tidak lagi terjadi
pemahaman yang ambigu.
3. Sumber Data
Data yang dipakai dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu
data yang tidak diperoleh dari sumber pertama yang bisa diperoleh dari
dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil penelitian, laporan, buku
harian, surat kabar, makalah, dan lain sebagainya. Data sekunder dalam
penelitian ini dapat dibagi atas 3 kelompok besar, yaitu :
a. Bahan hukum primer yang penulis peroleh dari beberapa peraturan
perundang-undangan perpajakan yang berlaku di Indonesia.
16
b. Bahan hukum sekunder diperoleh penulis dari buku-buku terkait
pembahasan hukum dan perpajakan, keterangan, kajian, analisis
tentang hukum positif seperti skripsi, makalah seminar,dll.
c. Bahan hukum tertier yang dipergunakan penulis sebagai bahan yang
mendukung, memberi penjelasan bagi bahan hukum sekunder seperti
Kamus Besar Indonesia, Kamus Bahasa Inggris, dan Kamus Hukum.
4. Teknik Pengumpulan Data dan Analisis Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) yakni upaya
untuk memperoleh data dari penelusuran berbagai sumber bacaan seperti
buku-buku yang berkaitan dengan perpajakan literatur kepustakaan,
peraturan perundang-undangan, negara, pendapat sarjana, surat kabar,
artikel, kamus dan juga berita yang penulis peroleh dari internet. yang
relevan dengan penelitian ini.
Metode yang digunakan dalam menganalisis data-data yang
terkumpul adalah analisis kualitatif. Maksud dari penggunaan metode
tersebut adalah memberikan gambaran terhadap permasalahan yang ada
dengan berdasarkan pendekatan yuridis normatif.
5. Metode Penulisan
Dalam penyusunan penelitian ini penulis menggunakan metode
penulisan sesuai dengan sistematika penulisan yang ada pada Buku
Pedoman Penulisan Skripsi, Fakultas Syari’ah dan Hukum, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, tahun 2012.
17
H. Sistematika Penulisan
Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh tentang isi skripsi,
maka penulis memberikan sistematikanya secara garis besar, sebagai berikut :
Bagian awal skripsi : sampul, lembar berlogo, halaman judul, persetujuan
pembimbing, pengesahan kelulusan, pernyataan, motto dan persembahan,
prakata, Abstract, daftar isi, serta daftar lampiran. Bagian isi skripsi terdiri
atas :
BAB I
Pendahuluan
Dalam bab ini diuraikan suatu gambaran yang memberikan
informasi yang sifatnya umum serta menyeluruh dan sistematis,
yang terdiri dari latar belakang masalah, perumusan, maksud serta
tujuan dan kegunaan dari penelitian ini.
BAB II
Tinjauan Umum
Dalam bab ini di uraikan tentang teori-teori yang menjadi
landasan pembahasan bab-bab selanjutnya, yang dibagi menjadi
dua bagian, bagian pertama adalah dasar-dasar tentang perpajakan
yang terdiri dari definisi pajak, dasar hukum pemungutan pajak,
asas-asas dari pemungutan pajak tersebut, pengelompokan pajak,
fungsi pajak, timbul serta hapusnya pajak, dan lain-lain.
Bagian kedua tentang kedudukan pajak penghasilan dalam
perpajakan di Indonesia yang terdiri dari dasar hukum pajak
penghasilan,
penghasilan
penggolongan
dan
asas
perpajakan
dalam
18
BAB III
Kedudukan Pajak Penghasilan Orang Pribadi Dalam Pajak
di Indonesia
Dalam bab ini di uraikan isi tentang bagaimana sistem pajak
penghasilan orang pribadi dalam negeri yang dikaitkan dengan
peraturan perundang-undangan yang relevan, yang terdiri dari hak
serta kewajiban pajak penghasilan orang pribadi dalam negeri,
wewenang dan kewajiban aparat pajak dan penghasilan orang
pribadi.
BAB IV
Analisa Kasus Sengketa Pajak PT. MONAGRO KIMIA
Putusan MA Nomor. 574/BPJK/2013
Dalam bab ini berisi pembahasan dan analisa data yang berusaha
dikumpulkan untuk mengkaji secara ilmiah terhadap data yang
telah dikumpul selama penelitian dilakukan, di mana pada bab ini
ditelaah dan dianalisa mengenai posisi kasus PT. MONAGRO
KIMIA analisis putusan Mahkamah Agung, dan analisis faktorfaktor
dari
Putusan
Mahakamah
Agung
Nomor.
574/BPJK/2013
BAB V
Penutup
Dalam bab ini akan di uraikan kesimpulan sebagai hasil akhir dari
Berisi kesimpulan dan saran bagian akhir skripsi, berisi daftar
pustaka dan lampiran-lampiran.
BAB II
KEDUDUKAN PAJAK PENGHASILAN ORANG PRIBADI DALAM PAJAK
DI INDONESIA
A
Tinjuan Umum Perpajakan
1.
Definisi Pajak
Melalui definisi pajak, dapat diketahui gambaran umum tentang pajak dan
unsur-unsur yang terdapat didalamnya, sehingga dengan adanya definisi tentang
pajak setidaknya akan diperoleh pemahaman awal tentang pajak itu sendiri.
Terdapat beberapa definisi pajak yang dikemukakan oleh para sarjan diantaranya
yang dikemukakan oleh Rochmat Soemitro, ialah “Pajak adalah peralihan
kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran
rutin dan “surlpus”-nya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber
utama untuk membiayai public ivestement.”1
S. I. Djajadiningrat mendefinisikan bahwa pajak sebagai suatu kewajiban
menyerahkan sebagian daripada kekayaan ke kas negara disebabkan suatu
keadaan, kejadian dan perbuatan yang memberi kedudukan tertentu, tetapi bukan
sebagai hukuman, menurut peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat
dipaksakan, tetapi tidak ada jasa timbal balik dari negara secara langsung, untuk
memelihara kesejahteraan umum.
1
Siti Resmi, Perpajakan Teori dan Kasus Edisi 8, Buku 1. (Jakarta : Salemba Empat, 2014),
h. 1.
19
20
Leroy Beaulieu mengatakan bahwa dalam bukunya yang berjudul “Traite
de la Science des Finances”, (1906) berbunyi : “L' impot et la contribution, soit
directe dissimulee, que la puissance publique exige des habitans ou des bies pur
sebvenir aux depenses du gouverment.”, (“Pajak adalah bantuan baik secara
langsung maupun tidak langsung, dalam hal ini dipaksakan oleh kekuasaan
publik dari penduduk atau dari barang untuk menutupi biaya pembelanjaan
pemerintah.”)2
Dalam definisi pajak yang dikemukakan oleh para ahli tersebut lima
unsur pajak, yaitu :
a. Suatu pemungutan yang dapat dipaksakan karena wewenang yang dimiliki
pemerintah.
b. Harus berdasarkan norma-norma atau undang-undang.
c. Merupakan iuran rakyat kepada pemerintah secara insidentil atau periodik.
Yang dimaksud dengan rakyat adalah perorangan maupun badan.
d. Prestasi pemerinah diberikan secara umum dan sulit untuk ditunjukan.
e. Untuk membiayai pengeluaran negara.3
Dari kelima unsur yang harus dipenuhi dalam pengertian pajak, dan
sesuai dengan perumusan serta fungsi dalam mencapai sasaran di bidang sosial
ekonomi. B. Boediono. Mendefinisikan pajak sebagai berikut, Pajak adalah iuran
rakyat kepada negara, bersarkan undang-undang yang dapat dipaksakan dengan
2
Siti Resmi, Perpajakan Teori dan Kasus Edisi 8, Buku 1, h. 1.
3
7-8.
Erly Suandy, Hukum Pajak Edisi 5, Cetakan Pertama, (Jakarta : Salemba Empat, 2011), h.
21
imbalan yang diberikan secara langsung (umum) oleh pemerintah, gunanya untuk
membiayai kebutuhan pemerintah, dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan
negara dan dapat digunakan sebagai sarana untuk mengatur di bidang sosial
ekonomi.4
Dari definisi di atas, maka definisi yang lebih tepat dalam
menggambarkan pajak adalah yang dikemukakan Rochmat Soemitro, dan
Boediono Karena telah memenui unsur-unsur pajak dan menegaskan bahwa
pajak memiliki fungi mengatur (regulerend), sementara definisi lainnya lebih
mentitik beratkan pajak pada fungsi pembiayaan (bugedtair), dan seolah-olah
pajak tersebut tidak akan kembali kepada masyarakat.
2.
Asas Pemungutan Pajak
Pada abad ke 18, Adam Smith (1723-1790) dalam bukunya An Inquiry
into the nature adn Cause of Wealth of Nations menyebutkan asas-asas
pemungutan pajak yang di sebut “ The Four Maxim’s”, yang terdiri dari :
a.
Asas Equality (asas keseimbangan dengan kemampuan atau asas
keadilan): Pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara harus sesuai
dengan kemampuan dan penghasilan wajib pajak. Negara tidak boleh
bertindak diskriminatif terhadap wajib pajak. Dalam keadaan yang sama
para wajib pajak harus dikenakan pajak yang sama pula, yang dilakukan
4
Erly Suandy, Hukum Pajak Edisi 5, Cetakan Pertama, (Jakarta : Salemba Empat, 2011), h. 7.
22
seimbang dengan kemampuannya yaitu seimbang dengan penghasilan
yang dinikmatina masing-masing dibawah perlindungan pemerintah.
b. Asas Certainty (asas kepastian hukum): Semua pungutan pajak harus
berdasarkan Undang - undang, sehingga bagi yang melanggar akan
dapat dikenai sanksi hukum, mulai dari subjeknya, besarnya pajak
dibayar, dan juga ketentuan mengenai waktu pembayarannya.
c. Asas Convinience of Payment (asas pemungutan pajak yang tepat
waktu atau asas kesenangan): Pajak harus dipungut pada saat yang tepat
bagi wajib pajak, misalnya disaat wajib pajak baru menerima
penghasilannya atau disaat wajib pajak menerima hadiah.
d. Asas Effeciency (asas efesien atau asas ekonomis): Biaya pemungutan
pajak diusahakan sehemat mungkin, jangan sampai terjadi biaya
pemungutan pajak melebihi dari hasil pemasukan pajaknya. 5
3.
Dasar Hukum Pemungutan Pajak
Dasar hukum pemungutan pajak terdapat dalam pasal 23 ayat (2)
Undang-undang dasar tahun 1945, yang berbunyi “Segala pajak untuk keperluan
negara berdasarkan Undang-Undang”. Selanjutnya dalam pasal 23 A Perubahan
Ketiga Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 bahwa pajak dan
pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan
5
Ida Zuraida dan L.Y. Hari Sih Advianto, Penagihan Pajak Pajak Pusat dan Pajak daerah.
(Jakarta : Global Indonesia. 2011), h. 16.
23
undang-undang. Dengan mengacu pada pasal tersebut, maka setiap pemungutan
pajak harus berdasarkan undang-undang, tidak boleh berdasarkan pada ketentuan
yang tingkatannya lebih rendah dari undang-undang.6
Selain pasal 23 ayat (2) UUD tahun 1945 dan pasal 23 A perubahan ke
tiga UUD Republik Indonesia tahun 1945, masih ada dua ketentuan yang harus
diperhatikan untuk sahnya pemungutan pajak, yakni : Pasal 16 ICW (Indische
Comptabilities Wet) menentukan bahwa penambahan atau pengurangan pajak
tidak mungkin berlaku sebelum hasil penambahan atau hasil perubahan undangundang pajak tersebut dimasukkan ke dalam APBN pada tahun yang
bersangkutan.
Sementara
itu,
didalam
pasal
17
ICW
(Indische
Comptabilities Wet) ditentukan bahwa sesuai penghapusan dan penganturan
pajak
harus
dilakukan
sesuai
dengan
undang-undang.
Pemberlakuan
mendasarkan pada pasal II aturan perlihan dari Undang-Undang Dasar 1945.7
4.
Pengadilan Pajak
Pengertian pengadilan pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan
Kekuasaan kehakiman di Indonesia bagi wajib pajak atau penanggung pajak
yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak. Dimana yang dimaksud sengketa
pajak adalah sengketa yang timbul dibidang perpajakan antara wajib pajak
dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang
6
7
Maria Farida Indrianti S, Ilmu Perundang-undangan 1, (Jakarta : Kansius, 2010), h. 4
Muhammad Rusjdi, KUP (Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan) Edisi Keempat,
(Jakata : Indeks, 2007), h. 8.
24
dapat diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan pajak. Itu termasuk
gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan undang-undang penagihan
dengan surat paksa.
Pengadilan pajak dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Susunan Pengadilan Pajak terdiri atas:
Pimpinan, Hakim Anggota, Sekretaris, dan Panitera. Pimpinan Pengadilan Pajak
sendiri terdiri dari seorang Ketua dan sebanyak-banyaknya 5 orang Wakil Ketua.
Saat ini Sekretaris merangkap tugas Kepaniteraan sebagai Panitera. Pembinaan
serta pengawasan umum terhadap Hakim Pengadilan Pajak dilakukan oleh
Mahkamah Agung. Sedangkan pembinaan organisasi, administrasi, dan
keuangan ditanggulangi oleh Kementerian Keuangan.8 Selain itu, ada UndangUndang Nomor 16 tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, secara tegas
dinyatakan bahwa putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan pengadilan
khusus di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.9
5.
Ketetapan Pajak
Prinsip self-assessment dalam pemenuhan kewajiban perpajakan adalah
bahwa Wajib Pajak (WP) diwajibkan untuk menghitung, memperhitungkan,
membayar sendiri, dan melaporkan pajak yang terutang sesuai ketentuan
8
Tjia Siauw Jan, Pengadilan Pajak : Upaya Kepastian Hukum dan Keadilan Bagi Wajib
Pajak, Cetakan Pertama, (Bandung : Alumni 2013), h. 85.
9
Y. Sri Pudyatmoko, Pengadilan dan Penyelesaian Sengketa di Bidang Pajak, Edisi Revisi,
Cetakan Pertama, (Jakarta : Gramedia 2009), h. 51.
25
perpajakan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam
SPT tercantum dalam Pasal 3 ayat 1 UU KUP yang berbunyi sbb :
“Setiap WP wajib mengisi SPT dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa
Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang
Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktur Jendral
Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang
ditetapkan.”.
Sehingga penentuan besarnya pajak yang terutang dipercayakan pada
wajib pajak sendiri melalui Surat Pemberitahuan (SPT) yang disampaikannya.
Penerbitan suatu surat ketetapan pajak hanya terbatas kepada wajib pajak tertentu
yang disebabkan oleh ketidakbenaran dalam pengisian SPT atau karena
ditemukannya data fiskal yang tidak dilaporkan oleh wajib pajak. Dimana fungsi
Ketetapan Pajak sebagai betrikut :
a. Koreksi atas jumlah pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan
(STP) Wajib Pajak,
b. Sarana untuk mengenakan sanksi,
c. Sarana untuk menagih pajak,
d. Sarana untuk mengembalikan kelebihan pajak dalam hal lebih bayar,
e. Sarana untuk memberitahukan jumlah pajak yang terutang.
B
Pajak Penghasilan Pasal 21
Pajak Penghasilan Pasal 21 atau PPh 21 adalah salah satu jenis pelunasan
PPh dalam tahun berjalan, melaui pemotongan oleh pihak ketiga (yaitu pemberi
26
kerja atau bendaharawan pemerintah atau dana pensiun atau badan lain atau
penyelenggara pemerintah) yang merupakan anjuran pajak yang boleh
dikreditkan terhadap PPh yang terutang untuk tahun pajak bersangkutan, kecuali
PPh yang bersifat final.
PPh sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh
Wajib Pajak orang pribadi, pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorium,
tunjangan, dan pembayaran lain (PMK No.252/PMK.03/2008).10 dengan dasar
hukum antara lain adalah :
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang
No. 16 Tahun 2009.
2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun
2008.
3. Keputusan
Menteri
Keuangan
Republik
Indonesia
Nomor
541/KMK.04/2000 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 184/PMK.03/2007
tentang Penentuan Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran dan Penyeroran Pajak,
Penentuan Tempat Pembayaran Pajak, dan Tata Cara Pembayaran,
10
180
Siti Resmi, Perpajakan Teori dan Kasus Edisi 8, Buku 1, (Jakarta : Salemba Empat, 2014),
27
Penyetoran dan Pelaporan Pajak, serta Tata Cara Pengangsuran dan
Penundaan Pembayaran Pajak.
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-254/PMK.03/2008 tentang
Penetapan Bagian Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan dari Pegawai
Harian dan Mingguan serta Pegawai Tidak Tetap Lainnya yang Tidak
Dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan.11
1. Pembayaran Pajak Melalui Potongan Pihak Lain
Pembayaran PPh terutang dilakukan oleh Wajib Pajak pada sarta
penerimaan penghasilan melalui pemotongan atau pungutan pajak oleh pihak lain
yang membayarkan penghasilan. Pihak lain yang mempunyai kewajiban
memotong PPh. Pada saat memberikan penghasilan kepada Wajib Pajak tersebut
berkedudukan sebagai pemotong pajak.
Pemotong pajak sesuai ketentuan Pasal 1 UU Nomor 16 Tahun 2009
Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), termasuk
sebagai Wajib pajak, sehingga memepunyai hak dan kewajiban perpajakan.
Pemotongan pajak yang tidak melakukan pemotongan pajak dikenakan sanksi
adminstratif perpajakan menurut UU KUP, yaitu membayar pajak yang
seharusnya dipotong ditambah dengan sanksi administrasi perpajakan.
11
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2009 sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-57/PJ/2009 tentang Pedoman Teknis Tata Cara
Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21/26
28
Pemotong pajak harus memberikan bukti potong sebagai pembayaran
pajak atau kredit pajak bagi Wajib Pajak yang dipotong. Pemotong pajak
mempunyai kewajiban untuk membayarkan pajak yang telah dipotong tersebut
ke kas negara melalui bank persepsi (bank yang ditunjuk menerima pembayaran
pajak). Setelah melakukan pembayaran pajak, pemotong pajak wajib melaporkan
bukti potong dan pembayaran pajak tersebut ke kantor pelayanan pajak tempat
pemotong pajak terdaftar. Bukti potong yang dipergunakan oleh Wajib Pajak
penerima penghasilan sebagai kredit pajak akan dikonfirmasi dengan pelaporan
bukti potong oleh pemotongan pajak. Pembayaran pajak selekasnya pada saat
diperolehnya penghasilan sesusai dengan asas ”pay as you earn”, yaitu bayarlah
pada saat memperolah pengasilan.12
2. Dasar Hukum Pajak Penghasilan
Pajak Penghasilan diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983,
yang di ubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991, kemudian diubah
lagi dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1994, kembali diubah dengan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, dan terakhir di ubah Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan
Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Undang-undang
12
Wirawan B. Ilyas dan Rudy Suhartono, Hukum Pajak Material 1 Seri Pajak Penghasilan,
Cetakan Pertama, (Jakarta : Salemba Humanika, 2011), h. 119
29
Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008.13 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Undang
- Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009.14
C
Hak Serta Kewajiban
1. Hak dan Kewajiban Wajib Pajak
Undang-undang pajak yang berlaku di Indonesia mengatur hak dan
kewajiban wajib pajak. Keberadaan wajib pajak orang pribadi dakan negeri
adalah pendukung hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang berhubungan denga
kedudukannya sebagai wajib pajak. Hak-hak dan keajiban-keawjiban yang
timbul tentunya tidak dapat dilepaskan dari sistem yang berlaku. Karena sistem
perpajakan yang di tetapkan di Indonesia adalah sistem self assessment
berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009
Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, maka hak-hak dan
kewajiban-kewajiban yang timbul disesuiankan berdasrkan ketentuan tersebut.
Hak-hak yang melekat pada wajib pajak orang pribadi dalam negeri pada
dasarnya sama dengan hak-hak wajib pajak pada umumnya. Adapun hak-hak
tersebut di antaranya ialah :
13
Undang-Undang PPh dan Peraturan Pelaksanaannya. KEMENTERIAN KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK Direktorat Penyuluhan, Pelayanan,
dan Hubungan Masyarakat. 2013 Nomor: PJ.091/PPh/UU/001/2013-00
14
Mardiasmo, Pepajakan Edisi Revisi 2011 Cetakan VI, (Jogyakarta : Andi, 2011), h. 21
30
a. Hak Untuk Meghitung Pajak Sendiri
Setiap wajib pajak berhak menghitung besarnya pajak ynag terutang
setiap tahunnya yang berhak dilakukan dengan mengisi Surat Pemberitahuan
(SPT). Perhintgan tersebut bersifat final kecuali apabila Kantor Pelayanan
Pajak (KPP) memiliki data dan atas data tersebut dilakukan pemeriksaan
terhadap keberatan pengisian data oleh wajib pajak.15
b. Hak Melakukan Pembetulan Surat Pemberitahuan (SPT)
Dalam menghitung besarnya pajak terutang yang dilakukan sendiri,
kesalahan mungkin saja timbul. Untuk itu berdasarkan pasal 8 Undangundang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan dan
Tata Cara Umum Perpajakan, wajib pajak berhak melakukan pembetulan
dengan menyampaikan peryataan tertulis selama Direktorat Jenderal Pajak
belum melakuka pemeriksaan atau setelah dilakukan tindakan pemeriksaan
tetapi belum dilakukan tindakan penyidikan 16
c. Hak Mengajukan Permohonan Restitusi dan Memperoleh Pembayaran
Restitusi
Setiap
wajib
pajak
yang
mengajukan
perhitungan
kelebihan
pembayaran pajak berhak atas minta restitusi (pengembalian). Dalam pasal 17
B Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 tentang
Ketentuan dan Tata Cara Umum Perpajakan disebutkan bahwa apabila dalam
15
Mardiasmo, Pepajakan Edisi Revisi, Cetakan Keenam, (Yogyakarta : Andi, 2011), h. 157.
16
B. Boediono, Perpajakan Indonesia, (Jakarta : Diadit Media, 2001), h. 96.
31
waktu 12 bulan sejak permohonan restitusi diberikan, KPP tidak memberikan
jawaban maka permohongan tersebut dikatakan terkabul. Tanggal diterimanya
permohonan restitusi yang disertakan ada STP adalah tanggal ketika STP
disampaikan. Wajib pajak yang permohongann restitusinya dikabulkan
mendapat restitusi paling lambat satu bulan setelah jangka waktu 12 bulan
tersebut berakhir dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
Apabila SKPLB terlambat diterbitkannya maka wajib pajak di beri imbalan
bunga sebesar 2% sebuan sejak berakhirnya jangka waktu tersebut sampai di
terbitkan SKPLB.17
d. Hak Untuk Mengajukan Keberatan
Wajib pajak dapat menilai bahwa hasil pemeriksaannya yang
dilakukan oleh aparat pajak adalah tidak benar. Berdasarkan pasal 25
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 tentang
Ketentuan dan Tata Cara Umum Perpajakan, wajib pajak dapat mengajukan
keberatan secara tertulis atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Lebih Bayar,
Surat Ketetapan Pajak Nihil dan pemotonga atau pemungutan oleh pihak
ketiga berdasrkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Berdarasarkan pasal 26 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16
Tahun 2009 tentang Ketentuan dan Tata Cara Umum Perpajakan, wajib pajak
17
http://www.pajak.go.id/content/article/restitusi-pengembalian-pendahuluan-pajakkemudahan-administrasi-ataukah-loophole di akses tanggal 23 April 2015
32
berhak mengetahui atas jawaban setelah diajukannya keberatan paling lambat
12 bulan sejak keberatan diterima. Apabila KPP tidak memberikan
keputusan, maka keberatan dianggap dikabulkan. 18
e. Hak Megajukan Permohonan Banding
Apabila wajib pajak masih tidak puas atas keputusan Direktorat
Jendral Pajak, maka berdasrkan pasal 27 Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan dan Tata Cara Umum Perpajakan,
wajib pajak dapat mengajukan permohonan banding yang dibuat secara
tertulis dan ditujukan kepada badan peradilan pajak.
Selain memiliki hak-hak yang telah disebutkan di atas, wajib pajak
memiliki kewajiban-kewajiban yang harus di penuhi sehubungan dengan di
terapkannya sistem self assessment,.19 yaitu sebagai berikut :
a. Mendaftarkan Diri Sebagai Wajib Pajak
Mendaftarkan diri sebagai wajib pajak adalah kewjiban awal bagi setiap
subjek pajak yang telah memenuhi tatbestand, seseuai dengan ketentuan
pasal 2 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 tentang
Ketentuan dan Tata Cara Umum Perpajakan. Pendaftaran dilaksanakan di
KPP di tempat wajib pajak berdomisili, atau bertempat tinggal bagi wajib
pajak orang pribadi. Mereka yang dikecualikan dari keawjiban untuk
mendaftarkan diri adalah :
18
B. Boediono, Perpajakan Indonesia Cetakan I, h. 97.
19
Siti Resmi, Perpajakan Teori dan Kasus Edisi 8 Buku 1, h. 23.
33
1) Yang tidak mempunyai penghasilan lain selain penghasilan sehubungan
dengan pekerjaan atau jabatan dari satu pemberi kerja,
2) Yang mempunyai penghasilan neto tidak melebihi Penghasilan Tidak
Kena Pajak (PTKP),
3) Wanita kawin (bersuami), meskipun wanita tersebut memiliki
penghasilan sendiri, kecuali dalam perkawinannya di ikat dengan suatu
perjanjian seperti pemisahan harta dan penghasilan,
4) Anak yang masih belum dewasa
b. Mengambil, Mengisi dan Menyampaikan SPT
Setiap wajib pajak menambil sendiri SPT, mengisi dengan benar, jelas,
transparan, dan di tanda tangani dan selanjutnya disampaikan ke KPP
dimana wajib pajak berdomisili atau dikirimkan melalui kantor pos,
pengisian melalui web dirjen pajak atau dengan cara lain yang diatur dengan
keputusan Direktur Jenderal Pajak. Ketentuan tersebut diatur dalam pasal 3
dan pasal 6 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009
tentang Ketentuan dan Tata Cara Umum Perpajakan.20
c. Melunasi Pajak Terutang
Dalam mengisi SPT sekaligus mengisi menghintung besarnya pajak yang
terutang terdapat kemungkinan kurang bayar, nihil atau lebih bayar. Apabila
kurang bayar, maka wajib pajak harus melunasi kekuarangan tersebut paling
lambat 1 (satu) bulan pajak atau bagian bulan pajak berakhir, atau sebelum
20
Mahirot Pahala Siahaan, Hukum Pajak Formal, (Yogyakarta: Graha Ilmu 2010), h. 55.
34
surat
pemberitahuan
itu
disampaikan.
Apabila
memang
terlambat
Pembayaran atau penyetoran pajak sebagaimana dimaksud, yang dilakukan
setelah tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak, dikenai
sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang
dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal
pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. Hal
tersebut diatur dalam pasal 9 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16
Tahun 2009 tentang Ketentuan dan Tata Cara Umum Perpajakan.21
d. Menyelenggarakan Pembukuan
Berdasarkan pasal Pasal 14 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang
Pajak Penghasilan (PPh), wajib pajak pribadi yang melakukan kegiatan
usaha atau pekerjaan bebas, wajib menyelenggarakan pembukuan kecuali
bagi wajib pajak yang menghitung penghasilan neto dengan menggunakan
Norma penghitung Penghasilan Neto dengan menggunakan Keputusan
Direktur Jendral Pajak No. KEP 536/PJ/2000, dan wajib pajak orang pribadi
yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
e. Membantu Mempermudah Saat Pemeriksaan
Ketentuan pasal 29 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun
2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, menyebutkan
bahwa dalam pemeriksaan, wajib pajak harus membantu kelancarannya
21
Thomas Sumuran, Tax Review dan Strategi Perencanaan Pajak Cetakan I, (Jakarta :
Indeks, 2013), h. 63.
35
dengan
cara
memberikan
keterangan
yang
sebenar-benarnya,
memperlihatkan pembukuan, memberi kesempatan kepada petuagas untuk
memasuki ruangan tertentu yang berhubungan dengan pemeriksaan dan
meniadakan kerahasiaan selama pemeriksaan tersebut berlangsung.22
2. Upaya Hukum Wajib Pajak
a. Banding
Banding yang diajukan ke Pengadilan Pajak ini merupakan upaya
hukum lanjutan yang diajukan oleh wajib pajak atau penanggung pajak.
Bandiang diajukan terhadap keputusan dari pejabat yang berwenang,
misalnya berkaitan dengan keputusan atas upaya hukum keberatan. Akan
tetapi harap dipahami di sini bahwa yang dinamakan upaya hukum
banding (beroep) tidak sama persis dengan upaya hukum banding pada
Peradilan Umum ataupun Peradilan Tata Usaha Negara. Banding diatur
dalam Bab IV Bagian Kedua, yakni Pasal 35 sampai dengan Pasal 39
Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002, dan diatur pula dengan Pasal 27
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007.23
b. Gugatan
22
23
Bohari, Pengantar Hukum Pajak, (Jakarta : PT Raja Gravindo Persada,2004), h. 78
Tjia Siauw Jan, Pengadilan Pajak : Upaya Kepastian Hukum dan Keadilan Bagi Wajib
Pajak, Cetakan Pertama (Bandung : Alumni 2013), h. 97.
36
Dalam bidang pajak, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2002, wajib pajak atau penanggung pajak dapat
mengajukan gugatan. Gugatan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 butir 7
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 diberikan batasan sebagai upaya
hukum yang dapat dilakukan oleh wajib pajak atau penanggung pajak
terhadap pelaksanaan Penagihan Pajak atau terhadap keputusan hakim pajak
yang dapat diajukan gugatan berdasarkan peraturan perundang-undangan
perpajakan yang berlaku.24
c. Peninjauan kembali
Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985, ketentuan yang
mengatur pemeriksaan terhadap upaya hukum peninjauan kembali diatur
dalam Bagian Keempat tentang Pemeriksaan Peninjauan Kembali Putusan
Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, yakni dari Pasal
66 sampai dengan Pasal 77. Pengajuan Permohonan peninjauan kembali
dapat dilakukan baik oleh pihak penggugat atau pembanding, maupun oleh
pihak tergugat atau terbanding. Untuk cara pengajuan permohonan
peninjauan kembali yang diajukan oleh pihak tergugat atau terbanding, pihak
Direktorat Jenderal Pajak telah mengeluarkan Surat Edaran tentang Tata Cara
Penanganan Peninjauan Kembali atas Putusan pengadilan Pajak ke
Mahkamah Agung tanggal 9 juni 2003.
24
99.
Tjia Siauw Jan, Pengadilan Pajak : Upaya Kepastian Hukum dan Keadilan Bagi Wajib, h.
37
3. Wewenang dan Kewajiban Aparat Pajak (Fiskus)
Aparat pajak merupakan alat pemerintah dalam memungut pajak dan
masyarakat. Sesuai dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun
2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, wewenang aparat
pajak diantaranya adalah :
a. Melakukan Penyuluhan Kepada Wajib Pajak
Penyuluhan dilaksanakan dalam rangka pemenuhan kewajiban
perpajakannya. Perlu disadari bahwa peranan penyuluhan sesungguhnya
sangat fundamental. Optimalisasi peranan penyuluhan perpajakan adalah
bagian
dari
upaya
mencerdaskan
kehidupan
bangsa
sebagaimana
diamanatkan dalam pembukaan UUD 45 yaitu membangun suatu
masyarakat khususnya masyarakat wajib pajak yang cerdas, jujur, patriotik
dan benar-benar menyadari peranannya dalam pembangunan bangsa dan
negara. self assessment menghendaki peranan positif wajib pajak dalam
memenuhi kewajiban perpajakannya. Konsekuensinya dari sistem tersebut
adalah bahwa aparat pajak berkwajiban mendukung upaya-upaya bagi
lancarnya
kegiatan
wajib
pajak
melalui
penyuluhan-penyuluhan
perpajakan.25 Penelitian dan pemeriksaan yang dilakukan oleh aparat pajak
berdasarkan pasal 29 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang
Ketentuan dan Tata Cara Umum Perpajakan meliputi :
25
Wewenang Aparat Pajak :
artikel&id=681 di akses tanggal 23 April 2015
http://pandupajak.org/literasipajak.php?page=detail-
38
1) Verivikasi lapangan maupun di kantor
2) Pemeriksaan lapangan
Setelah penelitian dan pemeriksaan dilakukan maka langkah
selanjutnya adalah menindak lanjuti hasil verivikasi atau penelitian dengan
menerbitkan surat ketetapan pajak berdasarkan ketentuan dalam UndangUndang Nomor 16 tahun 2009 tentang Ketentuan dan Tata Cara Umum
Perpajakan sebagai realisasi dari sanksi administrasi berupa Surat tagihan
Pajak berdasarkan pasal 13, ayat 1. Surat Ketetapan Pajak Kurang bayar
berdasarkan pasal 15, Surat Ketetapan pajak Nihil Berdasarkan pasal 17A
dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar berdasarkan pasal 17. 26
b. Melakukan Penyidikan
Berdasarkan pasal 44 Undang-Undang Nomor 16 tahun 2009 tentang
Ketentuan dan Tata Cara Umum Perpajakan, Pejabat Pegawai Negeri Sipil di
lingkungan Direktorat Jendral pajak diberi wewenang tindak pidana di
Bidang perpajakan, sebagai mana dimaksud dalam Undang-undang Hukum
Pidana yang berlaku.
c. Melakukan Penagihan Pajak
Dalam pasal 18 Undang-undang Nomor 16 tahun 2009 tentang
Ketentuan dan Tata Cara Umum Perpajakan disebutkan
bahwa Surat
Tagihan pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat
26
B. Boediono, Perpajakan Indonesia, (Jakarta : Diadit Media, 2001), h. 108
39
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) dan Surat Keputusan
Pembetulan,
Surat
Keputusan
Keberatan,
putusan
banding
yang
menyebutkan pajak yang harus dibayar bertambah merupakan dasar dan
penagihan pajak.
Selain kewewenangan-kewenangan yang telah disebutkan diatas, aparat
pajak juga dibebani oleh kewajiban-kewajiban yang meliputi umum dan
kewajiban khusus.27 Kewajiban umum aparat dalam melayani kebutuhan wajib
pajak merupakan konsekuensi dari keberadaan hak-hak dan kewajiban-kewajiban
tersebut diantaranya adalah :
1) Melayani wajib pajak dalam pendaftaran sebagai wajib pajak ;
2) Melayani wajib pajak dalam mengambil dan menyampaikan SPT, termasuk
SPT PPh Tahunan dan PPh Masa;
3) Melayani wajib pajak dalam menyampaikan permohonan restitusi,
kompensasi, cicilan atas tunggakan pajak, dan mengajukan keberatan
termasuk menyampaikan banding;
4) Melayani wajib pajak dalam mengajukan pembetulan atas SPT yang telah
disampaikan;
5) Kewajiban
menerbitkan
surat-surat
keputusan
berkenaan
dengan
permohonan restitusi, permohonan keberatan, penerapan norma perhitungan
dan izin penggunaan pembukuan dengan bahasa asing.
6) Melayani wajib pajak yang mengajukan permohonan penghapusan NPWP.
27
Mardiasmo, Pepajakan Edisi Revisi, Cetakan Keenam, (Yogyakarta : Andi, 2011), h. 147.
40
Kewajiban khusus bagi aparat pajak adalah untuk tidak memberitahukan
kepada yang tidak berhak segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan
kepadanya oleh wajib pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaan-nya untuk
menjalankan peraturan perundang-undangan perpajakan (rahasia jabatan). Hal ini
diatur dalam pasal 34 Undang-Undang Nomor 16 tahun 2009 tentang Ketentuan
dan Tata Cara Umum Perpajakan.28
28
Penjelasan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009
BAB III
PUTUSAN HAKIM DALAM PERKARA SENGKETA PAJAK PT.
MONAGRO KIMIA
A. Posisi Kasus
Adanya suatu kasus yang menyangkut sengketa pajak terjadi pada
tahun 2007, dimana PT. MONAGRO KIMIA merupakan perusahaan asisng
atau swasta, yang begerak dalam bidang pupuk dan pangan ternak, dalam
kegiatan usahanya tersebut setelah mengkaji atau menghitung kembali
pajaknya, merasa PT. MONAGRO KIMIA pembayaran pajak yang dilakukan
tahun 2006 menunjukan posisi lebih bayar sebesar Rp 8,738,888,746.
terbilang (Delapan Miliar Tujuh Ratus Tiga Puluh Delapan Juta Delapan
Ratus Delapan Puluh Delapan Ribu Tujuh Ratus Empat Puluh Enam Rupiah).
Dengan alasan terebut maka pihak PT. MONAGRO KIMIA
mengajukan SPT Tahunan PPh Badan tersebut kepada Kantor Pelayanan
Pajak Penanaman Modal Asing Satu (KPP PMA I) pada tanggal 13 Juli 2007
dan diterima oleh kantor KKP PMA I. Sebelumnya KPP PMA I menerbitkan
Surat
Perintah
Pemeriksaan
Pajak
(SP3)
No.
PRINT-PSL-
330/WPJ.07/KP.02052007 tertanggal 30 Mei 2007 dengan tujuan untuk
menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Tahun Pajak 2006 yang
meliputi semua jenis pajak. Pada tanggal 11 Agustus 2008 hasil yang
dilakukan oleh fiskus/pegawai pajak yang datang untuk memeriksa
sebagaimana kepatuhan wajib pajak, menyatakan dengan surat Nomor:
00042/201/06/052/08 tanggal 11 Juli 2008. Bahwasanya PT. MONAGRO
41
42
KIMIA memiliki perbedaan atau selisih dalam penghitungan PPh 21nya pada
tahun pajak 2006.
Tabel 1.1
Hasil Keterangan Pajak Kurang Bayar PPh Pasal 21 PT MONAGRO
KIMIA Nomor: 00042/201/06/052/08 tanggal 11 Juli 2008.
Atas hasil tersebut PT. MONAGRO KIMIA tidak sependapat dengan
hasil fiskus, bahwasanya oleh karena itu PT. MONAGRO KIMIA
mengajukan upaya hukum pertama dalam sengketa pajak yaitu keberatan
kepada KPP PMA I pada tanggal 3 September 2008 melalui surat
permohongan Nomor : MK/Sep-08/57 tertanggal 3 September 2008.
Dengan surat tersebut KPP PMA I menanggapi hal tersebut dengan
menerbitkan Keputusan Terbanding Nomor: KEP-695/PJ.07/2009 tanggal 1
September 2009 tentang keberatan atas SKPKB PPh 21 Nomor:
00042/201/06/052/08 tanggal 11 Juli 2008, terbanding menolak atas tindakan
keberatan tersebut. Dengan hasil :
43
Tabel 1.2
Hasil Keputusan Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing
Nomor: KEP-695/PJ.07/2009 tanggal 1 September 2009
Bahwa perlu diketahui bahwa selama proses keberatan, peneliti telah
mengirimkan undangan untuk diskusi dengan surat Nomor:S-3621/
PJ.0711/2009 tanggal 21 April 2009 yang PT. MONAGRO KIMIA terima
pada tanggal 29 April 2009. Namun, dikarenakan keterlambatan pengiriman
undangan tersebut, pihak dari PT. MONAGRO KIMIA tidak dapat
menghadiri diskusi dengan peneliti / fiskus pajak. Hal tersebut pun telah
sampaikan kepada Peneliti.
Dimana selanjutnya, peneliti / fiskus dari KPP PMA I kembali
mengirimkan undangan dengan surat Nomor: S-4575/PJ.0711/2009 tanggal
5 Juni 2009, yang terima pada tanggal 23 Juni 2009 oleh pihak yang terkait
yaitu PT. MONAGRO KIMIA untuk dapat menghadiri undangan Peneliti
tersebut. Namun undangan tersebut ternyata tidak untuk mendiskusikan
materi keberatan dan setelahnya PT. MONAGRO KIMIA diminta untuk
menandatangani Daftar Hasil Akhir Penelitian Keberatan tanpa adanya
diskusi terlebih dahulu, hasil ini dinggap telah menyalahi aturan yang ada
44
oleh PT. MONAGRO KIMIA sebagaimana hukum tidak berjalan sesuai yang
diharapkan.
B. Putusan Hakim Pengadilan Pajak Nomor Put 38985 / PP / M.IV / 10 /
2012
Dalam hal ini PT. MONAGRO KIMIA melakukan upaya hukum
seusai dengan pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan yaitu dengan banding. Sesuai dengan pasal 36 ayat (4)
Undang-Undang Pengadilan Pajak, sebelumnya wajib pajak diwajibkan
membayar 50% (lima puluh persen) dari utang pajaknya sebagai prasayarat
sebelum mengajukan permohonan banding. Hal ini dinyatakan bahwa PT.
MONAGRO KIMIA sebagai Pemohon Banding.
Dalam dalil-dalil alasan koreksi terbanding yang diajukan kepada
pengadilan pajak, pada pokoknya mengajukan dalil-dalil gugatan sebagai
berikut. Bahwa selisih tersebut diperhitungkan sebagai koreksi obyek pajak
dan dialokasikan pada KPP PMA I Jakarta dan KPP Madya Tangerang.
45
Gambar 1.1
Alasan PT. MONAGRO KIMIA dalam Persidangan Pajak Berdasarkan
Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (“SPHP”) Nomor: PHP-PSL418/WPJ.07/WPJ.07/ KP.0205/2008 tanggal 30 Juni 2008
Disini pengadilan pajak menjawab hasil dari analisa tersebut dinyatakan tidak
falid karena, terdapat objek pajak yang belum dilaporkan sebesar Rp
3.497.139.472 terbilang (Tiga Miliar Empat Ratus Sembilan Puluh Tujuh Juta
Seratus Tiga Puluh Sembilan Ribu Empat Ratus Tujuh Puluh Dua Rupiah).
Alasan Pemohon Banding / PT MONAGRO KIMIA, bahwasnya
pihaknya mengajukan banding atas koreksi pada DPP PPh Pasal 21 sebesar
Rp. 2,159,779,821 dengan alasan, berdasarkan SPHP, total koreksi
Terbanding atas DPP PPh Pasal 21 adalah sebesar Rp. 3,497,139,472 yang
dialokasikan ke masing-masing tempat kedudukan / KPP di mana perusahaan
Pemohon Banding terdaftar yaitu KPP PMA I, KPP Madya Tangerang dan
KPP Tebing Tinggi. Terbanding mengalokasikan besarnya DPP PPh Pasal 21
46
menurut Terbanding berdasarkan persentase DPP PPh Pasal 21 sebagaimana
tercantum pada SPT Tahunan PPh Pasal 21 yang Pemohon Banding
laporkan ke masing-masing KPP.
Gambar 1.2
Alasan Pemeriksa / Fiskus dalam Persidangan Pajak Berdasarkan Surat
Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (“SPHP”) Nomor: PHP-PSL418/WPJ.07/WPJ.07/ KP.0205/2008 tanggal 30 Juni 2008
Berdasarkan pendekatan tersebut, maka koreksi untuk kantor
Jakarta adalah Rp. 2,159,779,821 terbilang (Dua Miliar Seratus Lima Puluh
Sembilan Juta Tujuh Ratus Tujuh Puluh Sembilan Juta Delapan Ratus Dua
Puluh Satu Rupiah), koreksi untuk kantor Tangerang adalah Rp.
1,337,359,651 tebillang (Satu Miliar Tiga Ratus Tiga Puluh Tujuh Juta Tiga
Ratus Lima Puluh Sembilan Ribu Enam Ratus Lima Puluh Satu Rupiah) dan
koreksi untuk kantor Tebing Tinggi dinyatakan nihil.
Dikarenakan PT. MONAGRO KIMIA mengalokasikan besarnya DPP
PPh Pasal 21 menurutnya berdasarkan sistem persentasi, maka Pemohon
Banding tidak dapat mengetahui rincian DPP PPh Pasal 21 sebesar Rp.
47
11,066,054,192, Rp. 6,852,223,652, Rp. 89,804,543 yang dialokasikan
Terbanding ke kantor Jakarta, kantor Tangerang dan kantor Tebing Tinggi.
Bahwa alasan koreksi peneliti berdasarkan Daftar Hasil Akhir
Penelitian Keberatan Nomor: BA-462/PJ.071/2009 tanggal 18 Juni 2009 PT.
MONAGRO KIMIA tidak menyertakan bukti-bukti dan perhitungan
equalisasi antara biaya-biaya yang dimungkinkan menjadi obyek PPh Pasal
21 di SPT PPh badan dengan SPT Tahunan PPh Pasal 21 dan tidak dapat
membuktikan bahwa rincian biaya yang bukan merupakan obyek PPh Pasal
21 Tahun 2006 menurut PT. MONAGRO KIMIA, sebesar Rp 3,715,337,532
adalah obyek PPh Pasal 21 yang dikoreksi oleh Pemeriksa / Fiskus, sebagai
berikut rincian dari pemeriksaan tersebut :
Koreksi PPh Pasal 21 pada SPT PPh Badan :
I. Pada HPP
Direct Labor
Less: Pay OVH-Astek
Salaries & Wages
Less: Pay OVH-Astek
II. Pada Biaya Usaha :
4.798.499.621
(126.995.948)
1.156.861.604
(20.116.805)
Salaries & Wages (selling)
Add: Salaries & Wages
Less:
Pay OVH-Astek
(allocated)
5,979,392,945
675,782,445
(93,797,867)
Less: Pay OVH-Insurance
Salaries & Wages (Gen & Adm)
Less: Pay OVH-Astek
Less: Pay OVH-Insurance
Management
Incentives :
Stock Appreciation (SOP)
Jumlah
b. Objek PPh Pasal 21 pada
SPT PPh Ps. 21: Pada KPP
(2,114,004)
2,777,620,965
(75,812,815)
(11,834,802)
960,240,664
1,990,356,385
8,906,274,371
5.808.248.472
9,249,236,867
2,950,597,049
18,008,082,388
48
Pada KPP Madya Tangerang
Pada KPP Tebingtinggi
Jumlah
Selisih (a-b)
5,514,864,001
89,804,543
14,510,942,915
3,497,139,473
Koreksi menurut Daftar Hasil Akhir Penelitian Keberatan, alasan koreksi
Peneliti / Fiskus berdasarkan Daftar Hasil Akhir Penelitian Keberatan Nomor:
BA-462/PJ.071/2009 tanggal 18 Juni 2009. Dimana selisih yg terjadi sebesar
Rp 3,715,337,532 adalah obyek PPh Pasal 21.
PT. MONAGRO KIMIA tidak menyertakan bukti-bukti dan
perhitungan equalisasi antara biaya-biaya yang dimungkinkan menjadi obyek
PPh Pasal 21 di SPT PPh badan dengan SPT Tahunan PPh Pasal 21 serta
tidak dapat membuktikan bahwa rincian biaya yang bukan merupakan obyek
PPh
Pasal
21
Tahun
2006
menurut
Pemohon
Banding
sebesar
Rp3,715,337,532 adalah obyek PPh Pasal 21 yang dikoreksi oleh Pemeriksa.
Dengan hasil terebut bahwasanya hakim dalam pengadilan pajak menyatakan
dan memutuskan dengan surat Nomor Put 38985 / PP / M.IV / 10 / 2012
untuk menolak koreksi pemohon banding (PT. MONAGRO KIMIA), karena
dianggap tidak adanya bukti perhitungan objek PPh 21 yang dimasukan dan
dialokasian kedalam pajak badan.
C. Putusan Mahkamah Agung Nomor 547/B/PK/PJK/2013
Putusan MA Nomor 547/B/PK/PJK/2013 dimana Direktur Jendral
Pajak, bekedudukan di Jalan Jendral Gatot Subroto No. 40-42 Jakarta, dalam
hal ini memberi kuasa kepada :
49
1. Catur Rini Widosari, Direktur Keberatan dan banding Direktorat
Jendral Pajak.
2. Budi Christiadi, Kasubid Peninjauan Kembali dan Evaluasim
Direktorat Keberatan dan Banding.
3. Heru Marhanto Utomo, Kepala Seksi Peninjauan Kembali, Subdit
Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding.
4. Sary Laviningrum, Penelaah Keberatan, Subdit Peninjauan Kembali
dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding.
Keempatnya berkedudukan di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak
Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 40-42 Jakarta. Melawan PT. MONAGRO
KIMIA, beralamat di Wisma Pondok Indah 2 Lantai 6, Jl. Sultan Iskandar
Muda Kav V-TA Pondok Indah, Jakarta 12310, yang menggunakan hakya
sesuai dengan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
RI No. 6 Tahun 2009 Pasal 25.
Dimana PT Monagro Kimia (selanjutnya disebut sebagai Pemohon
Banding) telah menyampaikan SPT Tahunan PPh Badan Pembetulan ke-1
untuk Tahun Pajak 2006 yang menunjukkan posisi lebih bayar sebesar Rp.
8,738,888,746. SPT Tahunan PPh Badan tersebut diterima oleh Kantor
Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing Satu (“KPP PMA I”) pada tanggal
13 Juli 2007.
SPT Tahunan PPh Badan tersebut, KPP PMA I menerbitkan Surat
Perintah Pemeriksaan Pajak (“SP3”) Nomor: PRINT-PSL-330 / WPJ.07 /
KP.0205/2007 tertanggal 30 Mei 2007 dengan tujuan pemeriksaan adalah
50
untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Tahun Pajak
2006 yang meliputi semua jenis pajak.
Sebagai hasil dari pemeriksaan tersebut, KPP PMA I menerbitkan
surat ketetapan pajak atas semua jenis pajak. Salah satu dari ketetapan pajak
tersebut adalah SKPKB PPh Pasal 21 Nomor: 00042 / 201 / 06 / 052 / 08
tanggal 11 Juli 2008. Berikut perincian atas pajak kurang bayar yang di
layangkan KKP PMA I :
Tabel 1.3
Surat Keterngan Pajak Kurang Bayar PPh Pasal 21
Nomor: 00042/201/06/052/08 tanggal 11 Juli 2008.
Dengan kekurangan pembayaran pajak sebagaimana tercantum di
SKPKB (Surat Keterangan Pajak Kurang Bayar) PPh Pasal 21 dengan tabel
tesebut, Pemohon Banding telah melunasinya melalui Surat Setoran Pajak
(“SSP”) ke Kas Negara degan cara mengangsur pada tanggal pada tanggal 11
Agustus 2008 sejumlah Rp. 684,290,573 dan pada tanggal 15 Oktober 2008
Rp.684,290,573, terbilang (Enam Ratus Delapan Puluh Empat Juta Dua Ratus
Sembilan Puluh Ribu Lima Ratus Tujuh Puluh Tiga Rupiah). Setelah itu
Pemohon Banding tidak setuju dengan hasil pemeriksaan sebagaimana
tercantum di SKPKB PPh Pasal 21 Nomor: 00042 / 201 / 06 / 052 / 08
51
tanggal 11 Juli 2008 tersebut. Oleh karena itu, PT. MONAGRO KIMIA
mengajukan keberatan ke KPP PMA I pada tanggal 3 September 2008
melalui surat permohonan Nomor: MK / Sep-08 / 57 tertanggal 3 September
2008 yang diterima oleh KPP PMA I pada hari yang sama.
Sebagaimana tanggapan atas surat keberatan tersebut, Terbanding
menerbitkan Keputusan Terbanding Nomor: KEP-695 / PJ.07 / 2009 tanggal
1 September 2009 tentang keberatan atas SKPKB PPh Pasal 21 Nomor:
00042 / 201 / 06 / 052 / 08 tanggal 11 Juli 2008, yang menolak keberatan
Pemohon Banding. Berikut ini perincian tersebut :
Tabel 1.4
Keputusan Terbanding Nomor: KEP-695/PJ.07/2009 tanggal 1
September 2009 tentang keberatan atas Surat Keterngan Pajak Kurang
Bayar PPh Pasal 21 Nomor: 00042/201/06/052/08 tanggal 11 Juli 2008
Perlu diketahui bahwa selama proses keberatan, Peneliti (Fiskus) telah
mengirimkan undangan untuk diskusi dengan surat Nomor: S-3621 / PJ.0711
/ 2009 tanggal 21 April 2009 yang Pemohon Banding terima pada tanggal 29
April 2009. Namun, dikarenakan keterlambatan pengiriman undangan
tersebut, Pemohon Banding tidak dapat menghadiri diskusi dengan Peneliti.
Hal tersebut pun telah Pemohon Banding sampaikan kepada Peneliti.
52
selanjutnya, Peneliti kembali mengirimkan undangan dengan surat Nomor:
S-4575 / PJ.0711 / 2009 tanggal 5 Juni 2009, yang Pemohon Banding terima
pada tanggal 23 Juni 2009 dan Pemohon Banding dapat menghadiri undangan
Peneliti (Fiskus) tersebut. Namun undangan tersebut ternyata tidak untuk
mendiskusikan materi keberatan Pemohon Banding dan Pemohon Banding
diminta untuk menandatangani Daftar Hasil Akhir Penelitian Keberatan tanpa
adanya diskusi terlebih dahulu;
Dasar Hukum yang sesuai dengan Pasal 27 Undang-Undang (“UU”)
Nomor: 9 Tahun 1994 stdd. UU Nomor: 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan
Umum Perpajakan dan UU Nomor: 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak,
Pemohon Banding mengajukan banding atas keputusan Terbanding Nomor:
KEP-695 / PJ.07 / 2009 tanggal 1 September 2009 tentang Keberatan atas
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar PPh Pasal 21 Nomor: 00042 / 201 / 06 /
052 / 08 tanggal 11 Juli 2008 Tahun Pajak 2006.
Dimana PT. MONAGRO KIMIA mengajukan banding atas koreksi
pada Dasar Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 (“DPP PPh Pasal 21”)
sebesar Rp. 2,159,779,821 sebagaimana tercantum di SKPKB PPh Pasal 21
Nomor: 00042 / 201 / 06 / 052 / 08 tanggal 11 Juli 2008 Tahun Pajak 2006.
Sebelumnya Pemohon Banding tidak dapat membuktikan sebagaimana
rincian biaya yang bukan merupakan obyek PPh Pasal 21 Tahun 2006,
menurut Pemohon Banding sebesar Rp. 3,715,337,532 adalah obyek PPh
Pasal 21 yang dikoreksi oleh Pemeriksa;
53
Pihak PT. MONAGRO KIMIA mengajukan banding atas koreksi
pada DPP PPh Pasal 21 sebesar Rp. 2,159,779,821 dengan alasan SPHP, total
koreksi Terbanding atas DPP PPh Pasal 21 adalah sebesar Rp. 3,497,139,472
yang dialokasikan ke masing-masing tempat kedudukan / KPP di mana
perusahaan Pemohon Banding terdaftar yaitu KPP PMA I, KPP Madya
Tangerang dan KPP Tebing Tinggi. Terbanding mengalokasikan besarnya
DPP PPh Pasal 21 menurut Terbanding berdasarkan persentase DPP PPh
Pasal 21 sebagaimana tercantum pada SPT Tahunan PPh Pasal 21 yang
Pemohon Banding laporkan ke masing-masing KPP / 052 / 08 tanggal 11
Juli 2008.
Tabel 1.5
Keterngan Pajak Kurang Bayar PPh Pasal 21
Nomor: 00042/201/06/052/08 tanggal 11 Juli 2008.
Alasan koreksi PT. MONAGRO KIMIA Terbanding berdasarkan Surat
Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (“SPHP”) Nomor: PHP-PSL-418 / WPJ.07
/ WPJ.07 / KP.0205 / 2008 tanggal 30 Juni 2008. Berdasarkan
hasil
perhitungan equalisasi, terdapat obyek pajak yang belum dilaporkan
sebesar Rp.3,497,139,472. Argumentasi Pemohon Banding akan Pemohon
Banding lakukan berdasarkan pendekatan nilai total DPP PPh Pasal 21.
54
Berikut ini equalisasi PPh Pasal 21 yang Pemohon Banding buat dengan
menggunakan pendekatan nilai total tersebut:
Gambar 1.3
Argumentasi Pembelaan Objek Pajak PT. Monagro Kimia
\
1. Pembayaran ke PT Adikarindo (Pemberi Jasa Outsourcing) pembayaran
ke PT Adikarindo sebesar Rp.2,952,510,717 (Rp.2,717,850,181 + Rp.
55
234,660,536) merupakan pembayaran atas jasa penyalur tenaga kerja
(outsourcing) dan Pemohon Banding telah memotong PPh Pasal 23 atas
pembayaran tersebut. Dikarenakan
tenaga
kerja
yang
disalurkan
merupakan karyawan PT Adikarindo sehingga Pemohon Banding tidak
mempunyai kewajiban untuk memotong PPh Pasal 21 atas pembayaran
gaji dan THR tersebut.
2. Housing subsidy Bahwa Pemohon Banding telah membuat koreksi fiskal
di SPT Tahunan PPh Badan atas biaya housing subsidy sehingga biaya
tersebut harus dikeluarkan dari rekonsiliasi PPh Pasal 21.
3. Salaries allocated bahwa salaries allocated merupakan biaya penyesuaian
atas total pembayaran gaji yang Pemohon Banding lakukan sehingga
harus diperhitungkan di rekonsiliasi PPh Pasal 21.
4. Jamsostek
JKM
dan
JKK
Bahwa
Terbanding
seharusnya
memperhitungkan pembayaran Jamsostek untuk JKM dan JKK sebesar
Rp. 67,552,848 (Rp. 58,600,812 + Rp. 8,952,036) di rekonsiliasi PPh
Pasal 21 sehingga Pemohon Banding menambahkannya ke dalam
rekonsiliasi PPh Pasal 21 dari penjelasan Pemohon Banding di atas, maka
koreksi pada DPP PPh Pasal 21 sebesar Rp. 2,159,779,821 harus
dibatalkan.
Hasil dari kesimpulan tersebut berdasarkan hasil uji bukti materi
dipersidangan diketahui sebagai berikut :
Dari Objek PPh Pasal 21 cfm yang di periksa oleh pemeriksa sebesar
Rp.18.008.082.387 Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon
56
Banding)
menunjukkan
Ledger
terkait
Direct
Labour
sebesar
Rp.4.798.499.621 Salary Wages (Selling) sebesar Rp.5.979.392.945 Salary &
Wages (Gen & Adm.) sebesar Rp.2.779.138.965 yang didalamnya terdapat
beberapa akun Salary Third Party Contract sebesar Rp.2.717.850.181.
Dari data/bukti/dokumen yang disampaikan Termohon Peninjauan
Kembali (semula Pemohon Banding / PT. MONAGRO KIMIA) tersebut,
sehingga akun-akun yang terkait sebesar Rp.2.717.850.181 merupakan
pembayaran atas outsourcing penyediaan tenaga kerja kepada pihak ketiga,
yaitu PT. Multi Global Adikarindo, yang menurut Termohon Peninjauan
Kembali (semula Pemohon Banding)sudah dipotong PPh Pasal 23 baik di
KPP PMA Satu maupun KPP Madya Tangerang.
Didalam
proses
uji
bukti
dipersidangan
tersebut, Termohon
Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding / PT. MONAGRO KIMIA)
tidak dapat menunjukkan asli kontrak/perjanjian outsourcing dengan PT.
Multi Global Adikarindo beserta bukti/dokumen pembayarannya, Secara
material, terdapat perbedaan rincian biaya yang bukan objek PPh Pasal 21
menurut Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) dengan
koreksi Objek PPh Pasal 21 menurut Pemohon Peninjauan Kembali (semula
Terbanding) termasuk jumlah nominalnya.
Setelah dinyatakan Pembuktian Termohon Peninjauan Kembali tidak
dapat menunjukkan asli kontrak/perjanjian outsourcing dengan PT. Multi
Global Adikar indo beserta bukti/dokumen pembayarannya, dalam Kitab
Undang-undang Hukum Perdata; Buku ke Empat Tentang Pembuktian Dan
57
Daluwarsa; Bab II tentang
Pembuktian Dengan Tulisan; Pasal 1888,
menyatakan “Kekuatan pembuktian suatu bukti tulisan adalah pada akta
aslinya.” Apabila akta yang asli itu ada, maka salinan-salinan serta
ikhtisar-ikhtisar hanyalah dapat dipercaya, sekadar salinan-salinan serta
ikhtisar-ikhtisar itu sesuai dengan aslinya, yang mana senantiasa dapat
diperintahkan mempertunjukkannya.
Berdasarkan fakta-fakta hukum (fundamentum petendi) tersebut di
atas secara keseluruhan telah membuktikan secara jelas dan nyata-nyata
bahwa Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah memutus perkara a quoterkait
sengketa koreksi DPP PPh Pasal 21 sebesar Rp1.774.878.360 tidak
berdasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
tidak berdasarkan hasil penilaian pembuktian, sehingga pertimbangan dan
amar putusan Majelis Hakim pada PT. MONAGRO KIMIA sengketa
banding di Pengadilan Pajak nyata-nyata telah salah dan keliru serta tidak
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (contra
legem), khususnya dalam bidang perpajakan. Oleh karena itu maka Putusan
Pengadilan Pajak Nomor: Put. 38985/PP/M.IV/10/2012 tanggal 28 Juni 2012
menyangkut sengketa koreksi DPP PPh Pasal 21 sebesar Rp1.774.878.360
Hakim Menyatakan bahwa, terhadap alasan-alasan peninjauan
kembali tersebut, Mahkamah Agung berpendapat bahwasanya, alasan-alasan
dari peninjauan kembali tersebut tidak dapat dibenarkan karena pertimbangan
hukum dan putusan Pengadilan Pajak yang mengabulkan sebagian
permohonan banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Direktur
58
Jenderal Pajak Nomor : KEP-695/PJ.07/2009 tanggal 1 September 2009
tentang Keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak
Penghasilan Pasal 21 Tahun Pajak 2006.
Nomor: 00042/201/06/052/08 tanggal 11 Juli 2008, atas nama
Pemohon Banding sekarang Termohon Peninjauan Kembali / PT.
MONAGRO KIMIA, sehingga jumlah PPh yang masih harus dibayar
dihitung kembali menjadi Rp. 818.534.430 adalah sudah tepat dan benar.
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas,
maka permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon
Peninjauan Kembali : Direktur Jenderal Pajak tersebut adalah tidak beralasan,
sehingga harus ditolak.
Menimbang, bahwa oleh karena Pemohon Peninjauan Kembali
dipihak yang kalah, maka harus dihukum untuk membayar biaya perkara
dalam peninjauan kembali yang besarnya sebagaimana tersebut dalam
putusan ini. Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor
5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 dan Undang- Undang Nomor 14
Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak serta peraturan perundang-undangan
lain yang bersangkutan Menolak permohonan peninjauan
kembali
dari
Pemohon Peninjauan Kembali DIREKTUR JENDERAL PAJAK tersebut.
BAB IV
ANALISA KASUS SENGKETA PAJAK PT. MONAGRO KIMIA PUTUSAN
MA Nomor. 574/BPJK/2013
A. Kewajiban Pembayar PPh 21 Pegawai Outsorcing PT. MONAGRO
KIMIA Dalam Kasus Sengketa Pajak
Pekerja PT. MONAGRO KIMIA dalam kasus pajak Putusan
Mahakamah Agung Nomor. 574/B/PK/PJK/2013 alasan PT. MONAGRO
KIMIA menggunakan pekerja outsourcing. Outsourcing terbagi atas dua
suku kata out dan sourcing. Sourcing berarti mengalihkan kerja, tanggung
jawab dan keputusan kepada orang lain. Outsourcing dalam bahasa Indonesia
berarti alih daya. Dalam dunia bisnis, outsourcing atau alih daya dapat
diartikan sebagai penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan yang sifatnya
non-core atau penunjang oleh suatu perusahaan kepada perusahaan lain
melalui
perjanjian
pemborongan
pekerjaan
atau
penyediaan
jasa
pekerja/buruh.
Dasar hukum outsourcing adalah Undang-Undang No.13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 64 dengan isi “Perusahaan dapat
menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya
melalui
perjanjian
pemborongan
pekerjaan
atau
penyediaan
jasa
Pekerja/Buruh yang dibuat secara tertulis. Berdasarkan ketentuan pasal di
atas, outsourcing dibagi menjadi dua jenis:
1.
Pemborongan pekerjaan
59
60
Yaitu pengalihan suatu pekerjaan kepada vendor outsourcing, dimana
vendor bertanggung jawab sepenuhnya terhadap pekerjaan yang
dialihkan beserta hal-hal yang bersifat teknis (pengaturan oerasional)
maupun hal-hal yang bersifat non-teknis (administrasi kepegawaian).
Pekerjaan yang dialihkan adalah pekerjaan yang bisa diukur volumenya,
dan fee yang dikenakan oleh vendor adalah rupiah per satuan kerja
(Rp/m2, Rp/kg, dsb.). Contoh: pemborongan pekerjaan cleaning service,
jasa pembasmian hama, jasa katering, dsb.
2. Penyediaan jasa Pekerja/Buruh
Yaitu pengalihan suatu posisi kepada vendor outsourcing, dimana vendor
menempatkan karyawannya untuk mengisi posisi tersebut. Vendor hanya
bertanggung jawab terhadap manajemen karyawan tersebut serta hal-hal
yang bersifat non-teknis lainnya, sedangkan hal-hal teknis menjadi
tanggung jawab perusahaan selaku pengguna dari karyawan vendor.
Jadi kegiatan outsourcing adalah kegiatan penyediaan jasa pekerja /
buruh, dimana pekerja / buruh dikontrak oleh perusahaan penyedia jasa dan
ditempatkan pada perusahaan pengguna jasa. Karyawan outsourcing
merupakan karyawan perusahaan penyedia jasa bukan karyawan perusahaan
pengguna jasa, dan perusahaan penyedia jasa melakukan pembayaran secara
langsung gaji, upah, honorarium, tunjangan dan sejenisnya kepada karyawan
outsourcing-nya.
Sesuai peraturan perundangan, karyawan outsourcing setidaknya
memiliki hak sebagai berikut:
61
1. Upah minimum
Sesuai dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia
Nomor: PER-01/MEN/1999 Tentang Upah Minimum.
2. Upah kerja lembur
Sesuai dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Republik Indonesia Nomor: KEP-102/MEN/VI/2004 Tentang Waktu
Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur.
3. Tunjangan Hari Raya (THR)
Sesuai dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia
Nomor: PER-04/MEN/1994 Tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan
Bagi Pekerja di Perusahaan.
4. Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek)
Sesuai dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia
Nomor: KEP-150/MEN/1999 Tentang Penyelenggaraan Program Jaminan
Sosial Tenaga Kerja Bagi Tenaga Kerja Harian Lepas, Borongan dan
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.
Oleh karena itu, sesuai dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor:
SE-05 / PJ.53 / 2003, outsourcing tidak masuk kedalam jenis barang dan jasa
yang tidak dikenakan PPN, sehingga wajib membayar PPN. Dasar pengenaan
pajak adalah sebesar seluruh tagihan yang diminta oleh vendor outsourcing
kepada perusahaan termasuk tagihan atas upah dan perjanjian dari sistem
keuangan yang di perjanjikan sebelumnya (management fee).
62
Sesuai dengan Pasal 1 ayat 2 huruf k Peraturan Menteri Keuangan
Nomor: 244/PMK.03/2008, jasa penyedia tenaga kerja (outsourcing services)
termasuk jasa lain yang dipotong Pajak Penghasilan sebesar 2% (dua persen)
dari jumlah bruto tidak termasuk PPN. Lebih lanjut dalam Surat Edaran
Nomor: SE-53/PJ/2009 yang dimaksud dengan jumlah bruto adalah jumlah
seluruh penghasilan tidak termasuk pembayaran gaji, upah, honorarium,
tunjangan dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan
pekerjaan yang dibayarkan oleh penyedia tenaga kerja kepada tenaga kerja
yang melakukan pekerjaan, berdasarkan kontrak dengan pengguna jasa.1
Pembayaran tersebut harus dapat dibuktikan dengan kontrak kerja
dan daftar pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran
lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan sebagaimana dimaksud.
Berdasarkan peraturan diatas, maka jumlah bruto yang dimaksud adalah jasa
manajemen (management fee) dalam perusahaan penyedia jasa outsourcing
tidak termasuk gaji karyawan. Contoh :
Misalnya dalam kontrak yang diterbitkan oleh perusahaan penyedia jasa
tenaga kerja (outsourcing services), menyebutkan upah karyawan Rp 10.000
dan manajemen fee Rp 1.000 maka penghitungan pajaknya sebagai berikut:
Upah Karyawan
:
Rp 10.000
Manajemen Fee
:
Rp 1.000
Jumlah tagihan
:
Rp 11.000
PPN 10% dari tagihan :
1
(Rp 11.000 x 10%) = Rp 1.100
M.Nur Rianto Al Arif, dkk, Teori Mikroekonomi Suatu Perbandingan Ekonimi Islam
dan Ekonomi Konvensional, Cetakan Pertama, (Jakarta : Kencana, 2010), h. 26.
63
PPh Pasal 23 yang harus dipotong 2% dari manajemen fee: (Rp 1.000 x 2%)
= Rp 20 jadi jumlah yang dibayarkan setelah dipotong PPh Pasal 23: (Rp
11.000 + Rp 1.100 - Rp 20) = Rp 12.080
Pencatatannya adalah:
Beban
:
Rp 11.000
PPN Masukan
:
Rp 1.100
Hutang PPh Pasal 23 :
(Rp
Kas
Rp 12.080
:
20)
Untuk Pajak (PPh Pasal 21) perihal karyawan outsourcing dipotong
dan dilaporkan oleh Perusahaan penyedia outsourcing tersebut. Perusahaan
sebagai pengguna jasa hanya memotong PPh Pasal 23 atas Fee yang ditagih
oleh Perusahaan outsourcing Sedangkan PPN Masukan yang ditagih olehnya
atas Tagihan Salary ditambah Fee. Seperti contoh diatas maka pembayaran
perushaan pemakai jasa outsourcing wajib membayar sebesar RP.12.080
kepada pemberi jasa outsourcing setiap bulannya.
Dalam kasus ini PT. MONAGRO KIMIA menjelaskan kedalam
pembukuan perhitungan keuntungan (profit) dan perpajakannya dalam
perhitungan sebulan, bahwasanya menggunakan pekerja outsourcing, dalam
kasus pajak Putusan Mahakamah Agung Nomor. 574/B/PK/PJK/2013 dengan
penjelasan sebagai berikut, :
1. Pembayaran
ke
PT
Adikarindo
sebesar
Rp.2,952,510,717
(Rp.2,717,850,181 + Rp. 234,660,536) merupakan pembayaran atas jasa
penyalur tenaga kerja (outsourcing) dan Pemohon Banding telah
64
memotong PPh Pasal 23 atas pembayaran tersebut. Dikarenakan tenaga
kerja yang disalurkan merupakan karyawan PT Adikarindo sehingga
Pemohon Banding tidak mempunyai kewajiban untuk memotong PPh
Pasal 21 atas pembayaran gaji dan THR tersebut.
2. Housing subsidy Bahwa Pemohon Banding telah membuat koreksi fiskal
di SPT Tahunan PPh Badan atas biaya housing subsidy sehingga biaya
tersebut harus dikeluarkan dari rekonsiliasi PPh Pasal 21.
3. Salaries allocated bahwa salaries allocated merupakan biaya penyesuaian
atas total pembayaran gaji yang Pemohon Banding lakukan sehingga
harus diperhitungkan di rekonsiliasi PPh Pasal 21.
4.
Jamsostek
JKM
dan
JKK
Bahwa
Terbanding
seharusnya
memperhitungkan pembayaran Jamsostek untuk JKM dan JKK sebesar
Rp. 67,552,848 (Rp. 58,600,812 + Rp. 8,952,036) di rekonsiliasi PPh
Pasal 21.
Dengan rincian gambar sebagai berikut :
65
Gambar 1.3
Argumentasi Pembelaan Objek Pajak PT. Monagro Kimia
Sehingga Pihak PT. MONAGRO KIMIA menambahkannya ke dalam
rekonsiliasi PPh Pasal 21, dari penjelasan PT. MONAGRO KIMIA di atas,
maka koreksi pada DPP PPh Pasal 21 sebesar Rp. 2,159,779,821. Terbilang
(Dua Miliar Seratus Lima Puluh Sembilan Juta Tujuh Ratus Tujuh Puluh
Sembilan dan Delapan Ratus Dua Puluh Satu Rupiah) Masuk kedalam
pembukuan sesuai perhitungan dengan undang-undang yang berlaku.
66
Akan tetapi alasan PT. MONAGRO KIMIA tersebut dinyatakan tidak
benar dikarenakan bukti terkait kontrak kerja yang di adakan dalam sidang
pengadilan pajak tidak disertakan dan alasan koreksi peneliti / fiskus
berdasarkan Daftar Hasil Akhir Penelitian Keberatan Nomor: BA462/PJ.071/2009 tanggal 18 Juni 2009 Setelah dinyatakan pembuktian
tersebut tidak dapat menunjukkan asli kontrak/perjanjian outsourcing dengan
PT. Multi Global Adikar Indo beserta bukti/dokumen pembayarannya. Dalam
kata lain PT. MONAGRO KIMIA tidak menyertakan bukti-bukti dan
perhitungan equalisasi antara biaya-biaya yang dimungkinkan menjadi obyek
PPh Pasal 21 di SPT PPh badan dengan SPT Tahunan PPh Pasal 21 dan tidak
dapat membuktikan bahwa rincian biaya yang bukan merupakan obyek PPh
Pasal 21 Tahun 2006 PT. MONAGRO KIMIA.
B. Penyelesaian Kasus Putusan MA. Nomor. 574/B/PK/PJK/2013
Setelah PT. MONAGRO KIMIA menggunakan hak-haknya dalam
sengketa pajak, pada akhirnya peninjauan kembali PT MONAGRO KIMIA
dapat diselesaikan di Mahkamah Agung dan telah mendapatkan kekuatan
hukum tetap dengan Kasus Putusan MA. Nomor. 574/B/PK/PJK/2013 dalam
peninjauan kembali ini Mahkamah Agung menolak atas peninjauan kembali
PT MONGRO KIMIA pada tanggal 24 Januari 2014.
Menimbang alasan-alasan peninjauan kembali tersebut tidak dapat
dibenarkan karena pertimbangan hukum dan putusan Pengadilan Pajak yang
sebelumnya mengabulkan banding yang dilyangkan oleh pihak PT.
67
MONAGRO KIMIA terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak. Keputusan
Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-695/PJ.07/2009 tanggal 1 September
2009 tentang Keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak
Penghasilan Pasal 21 Tahun Pajak 2006
Nomor: 00042/201/06/052/08
tertanggal 11 Juli 2008, atas nama Pemohon Banding (PT MOAGRO
KIMIA) sekarang Termohon Peninjauan Kembali, sehingga jumlah PPh yang
masih harus dibayar dihitung kembali menjadi Rp. 818.534.430 terbilang
(Delapan Ratus Delapan Belas Juta Lima Ratus Tiga Puluh Empat Ribu
Empat Ratus Tiga Puluh Rupiah), menurut penulis adalah sudah tepat dan
benar dengan pertimbangan.
Bahwa alasan koreksi / peneliti / fiskus obyek PPh Pasal 21 sebesar
Rp. 1.774.878.360 terbilang (Satu Miliar Tujuh Ratus Juta Tujuh Puluh
Empat Juta Delapan Ratus Tujuh Puluh Delapan Ribu dan Tiga Ratus Enam
Puluh Rupiah) tidak dapat dibenarkan, serta hakim menimbang selama proses
keberatan bahwasanya dengan, peneliti dari KPP PMA I kembali
mengirimkan undangan dengan surat Nomor: S-4575/PJ.0711/2009 tanggal 5
Juni 2009, yang terima pada tanggal 23 Juni 2009 oleh pihak yang terkait
yaitu PT. MONAGRO KIMIA untuk dapat menghadiri undangan Peneliti
tersebut. Namun undangan tersebut ternyata tidak untuk mendiskusikan
materi keberatan dan setelahnya PT. MONAGRO KIMIA diminta untuk
menandatangani Daftar Hasil Akhir Penelitian Keberatan tanpa adanya
diskusi terlebih dahulu, hasil ini dinggap telah menyalahi aturan yang ada
68
oleh PT. MONAGRO KIMIA sebagaimana hukum tidak berjalan sesuai yang
diharapkan.
Berdasarkan fakta-fakta hukum (fundamentum petendi) tersebut di
atas secara keseluruhan telah membuktikan secara jelas dan nyata-nyata
bahwa Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah memutus perkara a quoterkait
sengketa koreksi DPP PPh Pasal 21 sebesar Rp1.774.878.360 tidak
berdasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
tidak berdasarkan hasil penilaian pembuktian, sehingga pertimbangan dan
amar putusan Majelis Hakim pada Pemohon Peninjauan Kembali (semula
Terbanding) sengketa banding dipengadilan pajak dengan nyata-nyata telah
salah dan keliru serta tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku (contra legem), khususnya dalam bidang perpajakan.
Karena dominus litis2 yang terungkap dari bukti-bukti yang
disampaikan Pemohon Banding (Termohon Peninjauan Kembali / PT.
MONAGRO KIMIA) dalam persidangan dari sebagian bukti sebesar a quo3
telah diyakini kebenarannya oleh Mejelis Pengadilan Pajak, oleh karenanya
koreksi Terbanding (Pemohon Peninjauan Kembali / PT. MONAGRO
KIMIA) untuk sebagian sebesar dari alasan-alasan terkait degan penijauan
kembali yang hinggal 11 butir tersebut a quo tidak dapat dipertahankan.
Dari sini penulis sependapat dengan pertimbangan Hakim yang telah
disebutkan di atas. Sebelumnya alasan peninjauan kembali ini berkaitan
2
Dalam kamus hukum berarti Hakim yang menentukan suatu perkara layak diperiksa
atau tidak
3
Dalam kamus hukum berarti “tersebut”. Perkara a quo berarti perkara tersebut, perkara
yang sedang diperselisihkan.
69
dengan ini merupakan hasil dari kesalahan hitung atau SPT Tahunan,
mungkin terdapat kekeliriuan atau kesalahan dalam pengisian dari pihak PT.
MONAGRO KIMIA dalam perihal pajak PPh 21, sistem penerapan dari
sistem self assesment dari PT. MONAGRO KIMIA kurang tepat dalam
menghitung besarnya pajak yang terkait dalam pengeluran pajak mereka.
Bahwasanya apabila berdasarkan pembetulan SPT, ternyata terdapat
kekurangan pembayaran pajak, maka terhadap Wajib Pajak dikenakan sanksi
bunga berdasarkan Pasal 8 Ayat (2) dan Ayat (2a) Undang-Undang Ketentuan
Umum Perpajakan.
Selanjutnya dimana fakta dari persidangan Mahkamah Agung
menunjukkan bahwa sebagian besar Wajib Pajak masih enggan membayar
pajak dengan benar, karena menggangap perhitungan sudah benar. Mereka
akan selalu berusaha untuk mengelak dari pembayaran pajak. Oleh karena itu,
dalam sistem self assessment ini keberadaan basis data perpajakan yang
lengkap dan akurat sangat penting bagi Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Data ini akan digunakan untuk membuktikan bahwa penghitungan,
penyetoran dan pelaporan pajak yang dilakukan sendiri oleh Wajib Pajak
sudah benar. Apabila diketahui masih salah, maka data tersebut akan
digunakan sebagai dasar tindakan koreksi.
Selanjutnya dari segi pembuktian, Pihak pemohohon peninjauan
kembali atau PT. MONAGRO KIMIA yang sebelumnya di saat banding atau
pengadilan pajak tidak bisa menunjukan surat kontrak kerja / perjanjian
outsourching
dengan
PT
Mulyti
Global
Adikarindo
beserta
bukti
70
pembayarannya. Bahwa dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata; Buku
ke Empat Tentang Pembuktian Dan Daluwarsa; Bab II tentang Pembuktian
Dengan Tulisan; Pasal 1888, menyatakan: Kekuatan pembuktian suatu bukti
tulisan adalah pada akta aslinya.
Hakim Mahkamah Agung mengangap bahwasanya bukti yang di
perlihatkan pada sidang sekarang mungkin barulah dibuat dalam jangka
waktu setelah Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP695/PJ.07/2009 tanggal 1 September 2009 tentang Keberatan atas Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan Pasal 21 Tahun Pajak 2006
tersebut. Dengan kata lain PT. MONAGRO KIMIA tidak ingin merelakan
sebagian hartanya untuk membayar pajak demi menjaga profit atau
keuntungan semata, dan bahwasnya membayar pajak itu termasuk kedalam
pembangunan negara, yang selanjutnya akan dinikmati oleh PT. MONAGRO
KIMIA sendiri.
Islam mengajarkan bahwa Allah SWT melarang hamba-Nya saling
memakan harta sesamanya dengan jalan yang tidak dibenarkan. Dan pajak
adalah merupakan dzakat dalam islam sama halnya dengan baitulmal pada
zaman Rasulullah SAW, maka dari itu jagalah salah satu jalan tersbut agar
terhindar dari yang batil untuk memakan harta sesamanya apabila dipungut
tidak sesuai aturan, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat An-Nisa ayat
29:
ًِﻻ أَن ﺗَﻜُﻮنَ ﺗِ َٰﺠ َﺮة
ٓ ٰ ٓﯾَﺄَﯾﱡﮭَﺎ ٱﻟﱠﺬِﯾﻦَ ءَا َﻣﻨُﻮ ْا َﻻ ﺗَ ۡﺄ ُﻛﻠُﻮٓ ْا أَﻣۡ َٰﻮﻟَﻜُﻢ ﺑَﯿۡ ﻨَﻜُﻢ ﺑِﭑﻟۡ َٰﺒ ِﻄ ِﻞ إ ﱠ
٢ ٩
71
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu
membunuh
dirimu;
Sesungguhnya
Allah
adalah
Maha
Penyayang
kepadamu.” [QS An-Nisa : 29]
Adapun dalil secara khusus yang mengancam apabila pajak tidak dipungut
dengan benar, karena pajak merupakan suatu kewajiban seperti halnya dzakat
maka dari itu Rasulullah bersabda:
ﺲ ﻓِﻰ اﻟﻨﱠﺎ ِر
ِ إِنﱠ ﺻَﺎﺣِﺐَ ا ْﻟ َﻤ ْﻜ
“Sesungguhnya pelaku atau pemungut pajak (diadzab) di neraka”
[HR Ahmad 4/109, Abu Dawud kitab Al-Imarah : 7]
Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2009 dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang
Pengadilan
Pajak
serta
peraturan
perundang-undangan
lain
yang
bersangkutan, maka dari itu Bahwa alasan-alasan peninjauan kembali tersebut
tidak dapat dibenarkan karena pertimbangan hukum.
Maka sesuai dengan keputusan hakim Mahkamah Agung kembali
menetapkan dan menguatkan putusan pengadilan jak sebelumnya, bahwa PT
MONAGRO KIMIA dikenakan sanksi bunga / administrasi dalam
pembayaran pajak berdasarkan Pasal 8 Ayat (2) dan Ayat (2a) dan pasal 18
72
Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan. “Surat Tagihan Pajak, Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan,
Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan
jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, merupakan dasar
penagihan pajak”
Selanjutnya dimana sanksi tersebut dapat diangsur sesuai dengan
pasal 19 ayat (1) dan (2) “Apabila Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, serta Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding atau Putusan
Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus
dibayar bertambah, pada saat jatuh tempo pelunasan tidak atau kurang
dibayar, atas jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar itu dikenai sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk seluruh
masa, yang dihitung dari tanggal jatuh tempo sampai dengan tanggal
pelunasan atau tanggal diterbitkannya Surat Tagihan Pajak, dan bagian dari
bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.”
“Dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan mengangsur atau menunda
pembayaran pajak juga dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2%
(dua persen) perbulan dari jumlah pajak yang masih harus dibayar dan bagian
dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.”
Dengan demikian, utusan pengadilan pajak adalah perbuatan hukum
yang dilakukan oleh hakim sebagai akhir dari penyelesaian sengketa pajak
73
dan merupakan manifestasi dari kewenangannya. Sekalipun putusan
merupakan manifestasi tanggung jawab hakim dalam memeriksa sengketa
pajak. Putusan ditetapkan karena hasil penilaian pembuktian, berdasarkan
peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, dan keyakinan
hakim.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan
uraian
yang
telah
dikemukakan
pada
bab-bab
sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan diantaranya sebagai berikut:
1. Karyawan outsourcing merupakan karyawan perusahaan penyedia jasa
bukan karyawan perusahaan pengguna jasa, dan perusahaan penyedia jasa
melakukan pembayaran secara langsung gaji, upah, honorarium,
tunjangan dan sejenisnya kepada karyawan outsourcing-nya. Untuk Pajak
(PPh Pasal 21) perihal karyawan outsourcing dipotong dan dilaporkan
oleh Perusahaan penyedia outsourcing tersebut. Perusahaan sebagai
pengguna jasa hanya memotong PPh Pasal 23 atas gaji karyawan (Fee)
yang ditagih oleh Perusahaan outsourcing Sedangkan PPN Masukan yang
ditagih olehnya atas Tagihan Salary ditambah Fee. Pembayaran tersebut
harus dapat dibuktikan dengan kontrak kerja dan daftar pembayaran gaji,
upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain sebagai imbalan
sehubungan dengan pekerjaan sebagaimana dimaksud.
2. Bahwasanya apabila berdasarkan pembetulan SPT, ternyata terdapat
kekurangan pembayaran pajak, maka terhadap Wajib Pajak dikenakan
sanksi bunga berdasarkan Pasal 8 Ayat (2) dan Ayat (2a) Undang-Undang
Ketentuan Umum Perpajakan. Berdasarkan Pasal 8 Ayat (2a) UndangUndang KUP Nomor 6 Tahun 2009, pembetulan SPT Masa yang
74
75
mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, terhadap Wajib Pajak
dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per
bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak jatuh tempo
pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan
dihitung penuh 1 (satu) bulan. Dalam Pengajuan Persyaratan di tingkat
keberatan, pemenuhan persyaratan keberatan, wajib pajak hanya
memperhatikan tenggang waktu yang ditentukan yakni 3 (tiga) bulan serta
kelengkapan penyampaian atau isi surat keberatan tersebut. Walaupun
keberatan tidak menunda tindakan penagihan, akan tetapi wajib pajak bisa
menginformasikan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) setempat untuk
mempertimbangkan pengajuan keberatan yang sedang diprosesnya. Dan
wajib pajak tidak perlu untuk melunasi dahulu utang pajaknya. Di tingkat
banding, persyaratan formal suatu sengketa untuk dapat diproses selain
format surat banding yang diajukan, wajib pajak harus melaksanakan
pelunasan pajak terutangnya sebesar 50% (lima puluh persen).
Sebagaimana bahwa dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata; Buku
ke Empat Tentang Pembuktian Dan Daluwarsa; Bab II tentang
Pembuktian Dengan Tulisan; Pasal 1888, menyatakan: Kekuatan
pembuktian suatu bukti tulisan adalah pada akta aslinya.
B. Saran
Pada akhir penulisan ini, penulis mengemukakan beberapa saran diantaranya
sebagai berikut:
76
Solusi untuk mengurangi kesalahan dalam pengisian SPT terhadap para
pelaku usaha / Wajib Pajak dan pemerintah untuk mengurangi kesalahankesalahan yang terjadi. :
Untuk Pemerintah dan Kantor Pelayanan Pajak
1. Dengan melakukan sosialisasi peraturan perpajakan melalui forumforum penyuluhan, selebaran pamflet, papan pengumuman di KPP
masing-masing daerah, maupun penjelasan langsung kepada Wajib
Pajak pada saat melaporkan SPT masa ke KPP.
2. Memberi buku petunjuk untuk pengisian SPT Tahunan bersamaan
dengan pengiriman SPT Tahunan kepada Wajib Pajak.
3. Upaya persuasif dengan memanggil Wajib Pajak untuk memperbaiki
SPT Tahunannya disertai dengan pemberian penjelasan tata cara
pengisian SPT Tahunan yang benar.
4. Terus meningkatkan kemampuan aparatur pajak dalam melaksanakan
tugas membantu dan melayani Wajib Pajak untuk dapat menunaikan
kewajibannya.
5. Upaya yang bersifat eksternal yaitu dengan cara berhubungan dengan
dunia luar, baik wajib pajak maupun instansi-instansi yang terlibat
6. Sedikit upaya koordiansi internal, yang diwujudkan dalam bentuk
Rapat Pembinaan (rapem). Rapat Pembinaan itu sendiri ada Rapat
Pembinaan I dan Rapat Pembinaan II, Selain Rapat Pembinaan, ada
juga yang disebut Pengawasan internal.
77
Untuk Wajib Pajak
Sementara upaya yang harus dilakukan oleh Wajib Pajak
adalah dengan berpartisipasi aktif untuk mengetahui segala macam
perubahan atau peraturan yang baru/up to date. Hal ini bisa dilakukan
dengan bertanya kepada pihak-pihak yang terkait, mencari, membaca,
mendengarkan informasi terkait dengan perpajakan melalui berbagai
media yang ada.
78
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Al Arif, M.Nur Rianto, dkk. Teori Mikroekonomi Suatu Perbandingan Ekonomi
Islam dan Ekonomi Konvensional, Cetakan Pertama. Jakarta : Kencana, 2010
Asshiddiqie, Jimly. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi.
Jakarta : BIP, 2007
B. Ilyas. Wirawan, dkk. Hukum Pajak Material 1 Seri Pajak Penghasilan, Cetakan
Pertama. Jakarta : Salemba Humanika, 2011
Boediono. B. Perpajakan Indonesia, Cetakan Pertama. Jakarta : Diadit Media, 2001
Bohari, Pengantar Hukum Pajak. Jakarta : PT Raja Gravindo Persada, 2004
Eceng, dkk. Etika Bisnis dalam Perpajakan Edisi 1, Cetakan Ke-2. Jakarta :
Universitas Terbuka, 2010
Indrianti S, Maria Farida. Ilmu Perundang-undangan 1. Jakarta : Kansius, 2010
Mardiasmo. Pepajakan Edisi Revisi 2011. Cetakan Keenam. Yogyakarta : Andi,
2011
Marzuki, Peter Mahmud. Metodologi Penelitian Hukum, Cetakan Ketujuh. Jakarta :
Kencana, 2011
Pudyatmoko, Sri. Pengantar Hukum Pajak. Yogyakarta : Andi, 2012
______________. Pengadilan dan Penyelesaian Sengketa di Bidang Pajak, Edisi
Revisi, Cetakan Pertama. Jakarta : Gramedia 2009
Resmi, Siti. Perpajakan Teori dan Kasus Edisi 8 Buku 1, Cetakan Pertama. Jakarta :
Salemba Empat, 2014
Rusjdi, Muhammad. KUP (Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan) Edisi
Keempat, Cetakan Pertama. Jakata : Indeks, 2007
Siahaan, Mahirot Pahala. Hukum Pajak Formal. Cetakan Pertama, Yogyakarta:
Graha Ilmu 2010
Siauw Jan, Tjia. Pengadilan Pajak : Upaya Kepastian Hukum dan Keadilan Bagi Wajib
Pajak, Cetakan Pertama, (Bandung : Alumni 2013)
Simanjuntak, P.N.H. Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, Jakarta : Djhembatan,
2009
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-Press, 2010
79
Suandy, Erly. Hukum Pajak Edisi 5, Cetakan Pertama. Jakarta : Salemba Empat,
2011
___________. Perpajakan; Dilengkapi dengan Latihan Soal. Cetakan Ketiga. Jakarta
: Salemba Empat, 2008
Sumuran, Thomas. Tax Review dan Strategi Perencanaan Pajak. Jakarta : Indeks,
2013
_______________. Perpajakan Indonesia Pendoman Perpajakan Yang lengkap
Berdasarkan Undang-Undang Terbaru, Cetakan Pertama. Jakarta: Indeks,
2010
Sutedi, Adrian. Hukum Keuangan Negara, Cetakan Keempat. Jakarta : Sinar
Grafika, 2010
Tatang, Hasanudin. PPh Pemotongan/Pemungutan. Yogyakarta: Indie Book Corner,
2013
Wahab, Abdul Azis. Teori dan Landasan Pendidikan Kewarganegaraan, Cetakan
Pertama. Bandung : Alfabeta, 2012
Yousoef, Abdul Jabar. Kunci Surveyor Membidik Perkembangan Industri Domestik
Meningkatkan Penerimaan Pajak dan Royalti, Cetakan Pertama. Bandung :
Elex Kompas Gremedia, 2013
Zuraida, Ida. dkk. Penagihan Pajak Pajak Pusat dan Pajak Daerah. Jakarta: Graha
Ilmu, 2011
B. JURNAL, MAKALAH, LAPORAN
Ikatan Akuntan Indoesia, Standar Akuntansi Keuangan Per Juli 2009. Jakarta :
Salemba Empat, 2009
Kartasasmita, Hussien. Menggenjot Pajak Penghasilan Sebagai Langkah Atasi
Defisit APBN 2011, (Berita Pajak, No. 1443/th XXXIII/15 Mei 2010)
C. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan
kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 dan Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan Republik Indonesia Nomor 16 Tahun
2009
80
Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor: PER-01/MEN/1999
Tentang Upah Minimum
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor:
KEP-102/MEN/VI/2004 Tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja
Lembur.
Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor: PER-04/MEN/1994
Tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja di Perusahaan.
Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor: KEP-150/MEN/1999
Tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja Bagi
Tenaga Kerja Harian Lepas, Borongan dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 244/PMK.03/2008 Tentang Pembayaran Pajak
Outsourching
D. INTERNET ATAU WEBSITE
http://www.pajak.go.id/content/article/restitusi-pengembalian-pendahuluan-pajakkemudahan-administrasi-ataukah-loophole.
http://www.pajak.go.id/content/seri-kup-penetapan-dan-ketetapan-pajak.
http://rumuslengkap.com/rumus-penting/tarif-pajak-penghasilan-pph-21-dan-contohperhitungannya/
m
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
putusan.mahkamahagung.go.id
PUTUSAN
Nomor 547/B/PK/PJK/2013
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH
AGUNG
Memeriksa permohonan peninjauan kembali perkara pajak telah memutuskan sebagai
berikut dalam perkara :
DIREKTUR JENDERAL PAJAK, berkedudukan di Jalan Jenderal Gatot
Subroto Nomor. 40-42 Jakarta, dalam hal ini memberi kuasa kepada :
1
CATUR RINI WIDOSARI, Direktur Keberatan dan Banding,
Direktorat Jenderal Pajak.
2
BUDI CHRISTIADI, Kasubdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi,
Direktorat Keberatan dan Banding.
3
HERU
MARHANTO
UTOMO,
Kepala
Seksi
Peninjauan
Kembali, Subdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat
Keberatan dan Banding.
4
SARY LAVININGRUM, Penelaah Keberatan, Subdit Peninjauan
Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding.
Keempatnya berkedudukan di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak Jalan
Jenderal Gatot Subroto No. 40-42 Jakarta, berdasarkan Surat Kuasa Khusus
No. SKU-1709/PJ./2012 tanggal 25 Oktober 2012.
Pemohon Peninjauan Kembali, dahulu Terbanding;
melawan:
PT. MONAGRO KIMIA, beralamat di Wisma Pondok Indah 2 Lantai 6,
Jl. Sultan Iskandar Muda Kav V-TA Pondok Indah, Jakarta 12310, Alamat
Keputusan : Gedung Sentra Mulia Lantai 7, Jl. HR Rasuna Said Kav X-6
No. 8, Jakarta Selatan.
Termohon Peninjauan Kembali, dahulu Pemohon Banding;
Mahkamah Agung tersebut.
Membaca surat-surat yang bersangkutan.
Menimbang, bahwa dari surat-surat yang bersangkutan ternyata Pemohon
Peninjauan Kembali dahulu sebagai Terbanding telah mengajukan permohonan
peninjauan kembali terhadap putusan Pengadilan Pajak tanggal
28 Juni 2012
No. Put. 38985/PP/M.IV/10/2012 yang telah berkekuatan hukum tetap, dalam
Halaman 1 dari 24 halaman Putusan Nomor 547/B/PK/PJK/2013
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Halaman 1
Telp : 021-384 3348 (ext.318)
m
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
putusan.mahkamahagung.go.id
perkaranya melawan Termohon Peninjauan Kembali dahulu Pemohon Banding dengan
posita perkara sebagai berikut :
Latar Belakang
Bahwa berikut ini latar belakang pengajuan banding atas Keputusan Terbanding Nomor:
KEP-695/PJ.07/2009 tanggal 1 September 2009;
Bahwa PT Monagro Kimia (selanjutnya disebut sebagai Pemohon Banding) telah
menyampaikan SPT Tahunan PPh Badan Pembetulan ke-1 untuk Tahun Pajak 2006
yang menunjukkan posisi lebih bayar sebesar Rp8,738,888,746. SPT Tahunan PPh
Badan tersebut diterima oleh Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing Satu
(“KPP PMA I”) pada tanggal 13 Juli 2007;
Bahwa atas SPT Tahunan PPh Badan tersebut, KPP PMA I menerbitkan Surat Perintah
Pemeriksaan Pajak (“SP3”) Nomor: PRINT-PSL-330/WPJ.07/ KP.0205/2007 tertanggal
30 Mei 2007 dengan tujuan pemeriksaan adalah untuk menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan Tahun Pajak 2006 yang meliputi semua jenis pajak;
Bahwa sebagai hasil dari pemeriksaan tersebut, KPP PMA I menerbitkan surat
ketetapan pajak atas semua jenis pajak. Salah satu dari ketetapan pajak tersebut adalah
SKPKB PPh Pasal 21 Nomor:
00042/201/06/052/08 tanggal 11 Juli 2008 dengan
perincian sebagai berikut:
gung
In
Bahwa atas kekurangan pembayaran pajak sebagaimana tercantum di SKPKB PPh Pasal
21 tersebut, Pemohon Banding telah melunasinya melalui Surat Setoran Pajak (“SSP”)
ke Kas Negara pada tanggal pada tanggal 11 Agustus 2008 sejumlah Rp. 684,290,573
dan pada tanggal 15 Oktober 2008 Rp.684,290,573,00;
Bahwa Pemohon Banding tidak setuju dengan hasil pemeriksaan sebagaimana
tercantum di SKPKB PPh Pasal 21 Nomor: 00042/201/06/052/08 tanggal
11 Juli
2008 tersebut. Oleh karena itu, Pemohon Banding mengajukan keberatan ke KPP PMA
I pada tanggal 3 September 2008 melalui surat permohonan Nomor: MK/Sep-08/57
tertanggal 3 September 2008 yang diterima oleh KPP PMA I pada hari yang sama;
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Halaman 2
Telp : 021-384 3348 (ext.318)
m
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
putusan.mahkamahagung.go.id
Bahwa sebagai tanggapan atas surat keberatan tersebut, Terbanding menerbitkan
Keputusan Terbanding Nomor: KEP-695/PJ.07/2009 tanggal 1 September 2009 tentang
keberatan atas SKPKB PPh Pasal 21 Nomor: 00042/ 201/06/052/08 tanggal 11 Juli
2008, yang menolak keberatan Pemohon Banding. Berikut ini perincian keputusan
Terbanding tersebut;
gung
Bahwa perlu diketahui bahwa selama proses keberatan, Peneliti telah mengirimkan
undangan untuk diskusi dengan surat Nomor:S-3621/ PJ.0711/2009 tanggal 21 April
2009 yang Pemohon Banding terima pada tanggal 29 April 2009. Namun, dikarenakan
keterlambatan pengiriman undangan tersebut, Pemohon Banding tidak dapat menghadiri
diskusi dengan Peneliti. Hal tersebut pun telah Pemohon Banding sampaikan kepada
Peneliti;
Bahwa selanjutnya, Peneliti kembali mengirimkan undangan dengan surat Nomor:
S-4575/PJ.0711/2009 tanggal 5 Juni 2009, yang Pemohon Banding terima pada tanggal
23 Juni 2009 dan Pemohon Banding dapat menghadiri undangan Peneliti tersebut.
Namun undangan tersebut ternyata tidak untuk mendiskusikan materi keberatan
Pemohon Banding dan Pemohon Banding diminta untuk menandatangani Daftar Hasil
Akhir Penelitian Keberatan tanpa adanya diskusi terlebih dahulu;
Dasar Hukum
Bahwa sesuai dengan Pasal 27 Undang-Undang ( “UU”) Nomor: 9 Tahun 1994 stdd. UU
Nomor: 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum Perpajakan dan UU Nomor: 14
Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, Pemohon Banding mengajukan banding atas
keputusan Terbanding Nomor: KEP-695/PJ.07/2009 tanggal 1 September 2009 tentang
Keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar PPh Pasal 21 Nomor:
00042/201/06/052/08 tanggal 11 Juli 2008 Tahun Pajak 2006;
Pokok Permasalahan
Bahwa Pemohon Banding mengajukan banding atas koreksi pada Dasar Pengenaan
Pajak
Penghasilan
Pasal
21
(“DPP
PPh
Pasal
21”)
sebesar
Rp. 2,159,779,821 sebagaimana tercantum di SKPKB PPh Pasal 21 Nomor:
00042/201/06/052/08 tanggal 11 Juli 2008;
Halaman 3 dari 24 halaman Putusan Nomor 547/B/PK/PJK/2013
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Halaman 3
Telp : 021-384 3348 (ext.318)
m
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
putusan.mahkamahagung.go.id
gung
Alasan koreksi Terbanding:
1. Alasan koreksi menurut Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan
In
Bahwa berikut ini alasan koreksi Terbanding berdasarkan Surat Pemberitahuan Hasil
Pemeriksaan (“SPHP”) Nomor: PHP-PSL-418/WPJ.07/WPJ.07/ KP.0205/2008 tanggal
30 Juni 2008;
gung
Bahwa berdasarkan hasil perhitungan equalisasi, terdapat obyek pajak yang belum
dilaporkan sebesar Rp.3,497,139,472. Perhitungan selengkapnya sebagai berikut:
a. Koreksi PPh Pasal 21 pada SPT PPh Badan :
I. pada HPP
Direct Labor
Less: Pay OVH-Astek
Salaries & Wages
Less: Pay OVH-Astek
II.pada Biaya Usaha :
Salaries & Wages (selling)
Add: Salaries & Wages (allocated)
Less: Pay OVH-Astek
4.798.499.621
(126.995.948)
1.156.861.604
(20.116.805)
5.808.248.472
5,979,392,945
675,782,445
(93,797,867)
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Halaman 4
Telp : 021-384 3348 (ext.318)
m
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
putusan.mahkamahagung.go.id
Less: Pay OVH-Insurance
Salaries & Wages (Gen & Adm)
Less: Pay OVH-Astek
Less: Pay OVH-Insurance
Management Incentives :
Management Incentives
Stock Appreciation (SOP)
Jumlah
b. Objek PPh Pasal 21 pada SPT PPh Ps. 21:
Pada KPP PMA Satu
Pada KPP Madya Tangerang
Pada KPP Tebingtinggi
Jumlah
Selisih (a-b)
(2,114,004)
2,777,620,965
(75,812,815)
(11,834,802)
960,240,664
1,990,356,385
9,249,236,867
2,950,597,049
18,008,082,388
8,906,274,371
5,514,864,001
89,804,543
14,510,942,915
3,497,139,473
Bahwa selisih tersebut diperhitungkan sebagai koreksi obyek pajak dan dialokasikan
pada KPP PMA I Jakarta dan KPP Madya Tangerang;
2. Alasan koreksi menurut Daftar Hasil Akhir Penelitian Keberatan
Bahwa berikut ini alasan koreksi Terbanding berdasarkan Daftar Hasil Akhir Penelitian
Keberatan Nomor: BA-462/PJ.071/2009 tanggal 18 Juni 2009;
Bahwa Pemohon Banding tidak menyertakan bukti-bukti dan perhitungan equalisasi
antara biaya-biaya yang dimungkinkan menjadi obyek PPh Pasal 21 di SPT PPh badan
dengan SPT Tahunan PPh Pasal 21;
Bahwa Pemohon Banding tidak dapat membuktikan bahwa rincian biaya yang bukan
merupakan obyek PPh Pasal 21 Tahun 2006 menurut Pemohon Banding sebesar Rp
3,715,337,532 adalah obyek PPh Pasal 21 yang dikoreksi oleh Pemeriksa;
Alasan Pemohon Banding:
Bahwa Pemohon Banding mengajukan banding atas koreksi pada DPP PPh Pasal 21
sebesar Rp. 2,159,779,821 dengan alasan sebagai berikut:
Bahwa berdasarkan SPHP, total koreksi Terbanding atas DPP PPh Pasal 21 adalah
sebesar Rp. 3,497,139,472 yang dialokasikan ke masing-masing tempat kedudukan /
KPP di mana perusahaan Pemohon Banding terdaftar yaitu KPP PMA I, KPP Madya
Tangerang dan KPP Tebing Tinggi. Terbanding mengalokasikan besarnya DPP PPh
Pasal 21 menurut Terbanding berdasarkan persentase DPP PPh Pasal 21 sebagaimana
tercantum pada SPT Tahunan PPh Pasal 21 yang Pemohon Banding laporkan ke
masing-masing KPP.
Halaman 5 dari 24 halaman Putusan Nomor 547/B/PK/PJK/2013
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Halaman 5
Telp : 021-384 3348 (ext.318)
m
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
putusan.mahkamahagung.go.id
Berdasarkan pendekatan tersebut, maka koreksi untuk kantor Jakarta adalah Rp.
2,159,779,821, koreksi untuk kantor Tangerang adalah Rp. 1,337,359,651 dan koreksi
untuk kantor Tebing Tinggi adalah nihil;
gung
Catatan: Sampai saat surat ini Pemohon Banding buat, hanya KPP PMA I yang
menerbitkan
SKPKB
PPh
Pasal
21
atas
koreksi
sebesar
Rp. 2,159,779,821 tersebut.
Bahwa dikarenakan Terbanding mengalokasikan besarnya DPP PPh Pasal 21 menurut
Terbanding berdasarkan sistem persentasi, maka Pemohon Banding tidak dapat
mengetahui rincian DPP PPh Pasal 21 sebesar Rp. 11,066,054,192, Rp. 6,852,223,652,
Rp. 89,804,543 yang dialokasikan Terbanding ke kantor Jakarta, kantor Tangerang dan
kantor Tebing Tinggi. Dengan demikian, maka argumentasi Pemohon Banding akan
Pemohon Banding lakukan berdasarkan pendekatan nilai total DPP PPh Pasal 21;
Bahwa berikut ini equalisasi PPh Pasal 21 yang Pemohon Banding buat dengan
menggunakan pendekatan nilai total tersebut;
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Halaman 6
Telp : 021-384 3348 (ext.318)
m
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
putusan.mahkamahagung.go.id
gung
In
Penjelasan:
•
Pembayaran ke PT Adikarindo
Republik
Bahwa pembayaran ke PT Adikarindo sebesar Rp.2,952,510,717 (Rp.2,717,850,181 +
Rp. 234,660,536) merupakan pembayaran atas jasa penyalur tenaga kerja (outsourcing)
dan Pemohon Banding telah memotong PPh Pasal 23 atas pembayaran tersebut.
Dikarenakan tenaga kerja yang disalurkan merupakan karyawan PT Adikarindo
sehingga Pemohon Banding tidak mempunyai kewajiban untuk memotong PPh Pasal 21
atas pembayaran gaji dan THR tersebut.
•
Housing subsidy
Bahwa Pemohon Banding telah membuat koreksi fiskal di SPT Tahunan PPh Badan
atas biaya housing subsidy sehingga biaya tersebut harus dikeluarkan dari rekonsiliasi
PPh Pasal 21;
•
Salaries allocated
bahwa salaries allocated merupakan biaya penyesuaian atas total pembayaran gaji yang
Pemohon Banding lakukan sehingga harus diperhitungkan di rekonsiliasi PPh Pasal 21;
•
Jamsostek JKM dan JKK
Bahwa Terbanding seharusnya memperhitungkan pembayaran Jamsostek untuk JKM
dan JKK sebesar Rp. 67,552,848 (Rp. 58,600,812 + Rp. 8,952,036) di rekonsiliasi PPh
Pasal 21 sehingga Pemohon Banding menambahkannya ke dalam rekonsiliasi PPh Pasal
21;
Halaman 7 dari 24 halaman Putusan Nomor 547/B/PK/PJK/2013
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Halaman 7
Telp : 021-384 3348 (ext.318)
m
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
putusan.mahkamahagung.go.id
Bahwa berdasarkan penjelasan Pemohon Banding di atas, maka koreksi pada DPP PPh
Pasal 21 sebesar Rp. 2,159,779,821 harus dibatalkan;
Menimbang, bahwa amar putusan Pengadilan Pajak tanggal 28 Juni 2012
No. Put. 38985/PP/M.IV/10/2012 yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut adalah
sebagai berikut :
Mengabulkan sebagian permohonan banding Pemohon Banding terhadap Keputusan
Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-695/PJ.07/2009 tanggal
1 September 2009
tentang Keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan Pasal 21
Tahun Pajak 2006 Nomor: 00042/201/06/052/08 tanggal 11 Juli 2008, atas nama : PT.
Monagro Kimia, NPWP : 01.061.671.2-052.000, Alamat korespondensi : Wisma
Pondok Indah 2 Lantai 6, Jl. Sultan Iskandar Muda Kav V-TA Pondok Indah, Jakarta
12310, Alamat Keputusan : Gedung Sentra Mulia Lantai 7, Jl. HR Rasuna Said Kav X-6
No. 8, Jakarta Selatan, dan pajaknya dihitung kembali menjadi sebagai berikut :
Pengenaan Rp
Dasar
9.291.175.832,00
Pajak…………………….
Pajak Penghasilan Pasal 21 yang
terutang…
Rp
2.117.170.945,00
Kredit Pajak
…………………………….….
Rp
1.515.307.393,00
Pajak yang tidak/kurang dibayar .
…………
Rp
601.863.552,00
Sanksi Administrasi :
- Bunga
Pasal 13
Rp
(2)
216.670.878,00
KUP
………………..
Jumlah PPh yang masih harus dibayar Rp
…….
818.534.430,00
Menimbang, bahwa sesudah putusan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap yaitu Putusan Pengadilan Pajak tanggal 28 Juni 2012 No. Put. 38985/PP/
M.IV/10/2012 diberitahukan kepada Pemohon Peninjauan Kembali pada tanggal 13
Agustus 2012, kemudian terhadapnya oleh Pemohon Peninjauan Kembali dengan
perantaraan kuasanya, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 25 Oktober 2012,
diajukan permohonan peninjauan kembali secara tertulis di Kepaniteraan Pengadilan
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Halaman 8
Telp : 021-384 3348 (ext.318)
m
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
putusan.mahkamahagung.go.id
Pajak pada tanggal 05 November 2012, dengan disertai alasan-alasannya yang diterima
di Kepaniteraan Pengadilan Pajak tersebut pada tanggal 05 November 2012.
Menimbang, bahwa tentang permohonan peninjauan kembali tersebut telah
diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama pada tanggal
26
Desember 2012, kemudian terhadapnya oleh pihak lawannya telah diajukan jawaban
yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak tanggal 08 Februari 2013.
Menimbang, bahwa permohonan peninjauan kembali a quo beserta alasanalasanya telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama, diajukan dalam
tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2009, juncto Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak,
maka permohonan peninjauan kembali tersebut secara formal dapat diterima;
ALASAN PENINJAUAN KEMBALI
Menimbang, bahwa Pemohon Peninjauan Kembali telah mengajukan alasan
peninjauan kembali yang pada pokoknya berbunyi sebagai berikut :
Tentang Koreksi Obyek Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 sebesar Rp.1.774.878.360,00
yang tidak dipertahankan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak.
1 Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) sangat keberatan
dengan pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Pajak, yang antara lain berbunyi
sebagai berikut :
Halaman 26 alinea ke-3
“Bahwa berdasarkan pemeriksaan Majelis atas berkas banding dan bukti serta
dokumen-dokumen yang disampaikan dalam persidangan, beserta keterangan dari
Pemohon Banding dan Terbanding, Majelis berpendapat atas koreksi obyek PPh
Pasal 21 sebesar Rp. 2.159.779.821,00, sebesar Rp. 1.774.878.360,00 tidak dapat
dipertahankan
dan
sebesar
Rp.
384.901.461,00
(Rp. 2.159.779.821,00
-
Rp.1.774.878.360,00) tetap dipertahankan;
2.
Bahwa Pasal 76 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak
(selanjutnya disebut dengan Undang-Undang Pengadilan Pajak)menyebutkan
bahwa “Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta
penilaian pembuktian dan untuk sahnya pembuktian diperlukan paling sedikit 2
(dua) alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1).”
Halaman 9 dari 24 halaman Putusan Nomor 547/B/PK/PJK/2013
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Halaman 9
Telp : 021-384 3348 (ext.318)
m
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
putusan.mahkamahagung.go.id
Kemudian dalam memori penjelasan pasal 76 alinea 1 dan 2 menyebutkan bahwa
“Pasal ini memuat ketentuan dalam rangka menentukan kebenaran materiil, sesuai
dengan asas yang dianut dalam Undang-undang perpajakan.
Oleh karena itu, Hakim berupaya untuk menentukan apa yang harus dibuktikan,
beban pembuktian, penilaian yang adil bagi para pihak dan sahnya bukti dari fakta
yang terungkap dalam persidangan, tidak terbatas pada fakta dan hal-hal yang
diajukan oleh para pihak.”
3.
Bahwa Pasal 78 Undang-Undang Pengadilan Pajak menyebutkan bahwa “Putusan
Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan
peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan
keyakinan hakim.”
Kemudian dalam memori penjelasan pasal 78 menyebutkan bahwa “Keyakinan
Hakim didasarkan pada penilaian pembuktian dan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan perpajakan.”
4.
Bahwa Pasal 21 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2000 (selanjutnya disebut dengan Undang-UndangPPh) menyatakan :
Ayat (1)
“Pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak atas penghasilan sehubungan
denganpekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang
diterima ataudiperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, wajib dilakukan
oleh :
a. Pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan
pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang
dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai;
b. Bendaharawan pemerintah yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan,
dan pembayaran lain, sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan;
c. Dana pensiun atau badan lain yang membayarkan uang pensiun dan
pembayaran laindengan nama apapun dalam rangka pensiun;
d. Badan
yang
membayar
honorarium
atau
pembayaran
lain
sebagai
imbalansehubungan dengan jasa termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan
pekerjaan bebas;
e. Penyelenggara kegiatan yang melakukan pembayaran sehubungan dengan
pelaksanaan suatu kegiatan.”
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Halaman 10
Telp : 021-384 3348 (ext.318)
m
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
putusan.mahkamahagung.go.id
Ayat (8)
Petunjuk mengenai pelaksanaan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak
ataspenghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan diatur dengan
KeputusanDirektur Jenderal Pajak."
5.
Bahwa Pasal 5 Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor 545/PJ/2000 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan
Pasal 21 sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi,
menyatakan :
Ayat 1
“Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah :
a. Penghasilan yang diterima atau diperoleh secara teratur berupa gaji, uang
pensiun bulanan, upah, honorarium (termasuk honorarium anggota dewan
komisaris atau anggota dewanpengawas), premi bulanan, uang lembur, uang
sokongan, uang tunggu,uang ganti rugi,tunjangan isteri, tunjangan anak,
tunjangan kemahalan, tunjangan jabatan, tunjangan khusus,tunjangan transpot,
tunjangan pajak, tunjangan iuran pensiun, tunjangan pendidikan anak,bea
siswa, premi asuransi yang dibayar pemberi kerja, dan penghasilan teratur
lainnyadengan nama apapun;
b. Penghasilan yang diterima atau diperoleh secara tidak teratur berupa jasa
produksi, tantiem, gratifikasi, tunjangan cuti, tunjangan hari raya, tunjangan
tahun baru, bonus, premi tahunan,dan penghasilan sejenis lainnya yang sifatnya
tidak tetap;
c. Upah harian, upah mingguan, upah satuan, dan upah borongan;
d. Uang tebusan pensiun, uang pesangon, uang Tabungan Hari Tua atau Jaminan
Hari Tua, danpembayaran lain sejenis;
e. Honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam
bentuk apapun,komisi, bea siswa, dan pembayaran lain sebagai imbalan
sehubungan dengan pekerjaan, jasa,dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib
Pajak dalam negeri, terdiri dari:…
f. Gaji, gaji kehormatan, dan tunjangan-tunjangan lain yang terkait dengan gaji
yang diterima oleh Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil serta uang pensiun
dan tunjangan-tunjangan lain yang sifatnya terkait dengan uang pensiun yang
diterima oleh pensiunan termasuk janda ataududa dan atau anak-anaknya”.
Ayat (2)
Halaman 11 dari 24 halaman Putusan Nomor 547/B/PK/PJK/2013
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Halaman 11
Telp : 021-384 3348 (ext.318)
m
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
putusan.mahkamahagung.go.id
“Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
termasuk pula penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya dengan
nama apapun yang diberikan olehbukan Wajib Pajak atau Wajib Pajak yang
dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final dan yang dikenakan Pajak
Penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus (deemed profit)”.
6.
Bahwa Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2007 (selanjutnya disebut dengan Undang-Undang KUP) menyatakan:
Pasal 26A
“Wajib Pajak yang mengungkapkan pembukuan, catatan, data, informasi, atau
keterangan lain dalam proses keberatan yang tidak diberikan pada saat
pemeriksaan, selain data dan informasi yang pada saat pemeriksaan belum
diperoleh Wajib Pajak dari pihak ketiga, pembukuan, catatan, data, informasi, atau
keterangan lain dimaksud tidak dipertimbangkan dalam penyelesaian keberatannya.
Pasal 28
1 Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas dan Wajib Pajak badan di Indonesia, wajib menyelenggarakan
pembukuan.
(3) Pembukuan
atau
pencatatan
tersebut
harus
diselenggarakan
dengan
memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha
yang sebenarnya.
Pasal 29 ayat (1)
"Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji
kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka
melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ".
Pasal 29 ayat (3) hurufa
"Wajib Pajak yang diperiksa wajib memperlihatkan dan atau meminjamkan buku
atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan
dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak,
atau objek yang terutang pajak".
Pasal 13 ayat (1) huruf a
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Halaman 12
Telp : 021-384 3348 (ext.318)
m
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
putusan.mahkamahagung.go.id
“Dalam jangka waktu sepuluh tahun sesudah saat terutangnya pajak, atau
berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal
Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang dalam hal-hal sebagai
berikut :
Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang
tidak atau kurang dibayar;
Penjelasan Pasal 13 ayat (1), antara lain menyatakan :
“…Pembuktian atas uraian penghitungan yang dijadikan dasar penghitungan secara
jabatan oleh Direktur Jenderal Pajak diletakkan pada Wajib Pajak.Sebagai contoh
diberikan antara lain :
1
Pembukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 tidak lengkap,
sehingga penghitungan rugi laba atau peredaran tidak jelas;
2. Dokumen-dokumen pembukuan tidak lengkap sehingga angka-angka dalam
pembukuan tidak dapat diuji;
3. Dari rangkaian pemeriksaan dan/atau fakta-fakta yang diketahui
besar dugaan
disembunyikannya dokumen atau data pendukung lain di suatu tempat tertentu,
sehingga dari sikap demikian jelas Wajib Pajak telah tidak menunjukkan itikad
baiknya untuk membantu kelancaran jalannya pemeriksaan.Beban pembuktian
tersebut berlaku juga bagi ketetapan yang diterbitkan berdasarkan ketentuan ayat
(1) huruf b.
7.
Bahwa Peraturan Pemerintah Republik Indonesia 80 Tahun 2007 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan Berdasarkan Undang-Undang Nomor
6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Sebagaimana
Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2007 (selanjutnya disebut Peraturan Pemerintah Nomor: 80 Tahun 2007),
menyatakan:
Pasal 1
”Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :
Angka 3. : Undang-Undang adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.”
Pasal 36 ayat (2) huruf f
”Terhadap hak dan kewajiban perpajakan yang berkaitan dengan :
Halaman 13 dari 24 halaman Putusan Nomor 547/B/PK/PJK/2013
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Halaman 13
Telp : 021-384 3348 (ext.318)
m
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
putusan.mahkamahagung.go.id
f. Proses penyelesaian keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dan Pasal
26A Undang-Undang untuk pengajuan keberatan yang diterima setelah tanggal
31 Desember 2007;
berlaku ketentuan berdasarkan Undang-Undang;”
8.
Bahwa Pasal 10 Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 194/PMK.03/2007 tentang
Tata Cara Pengajuan Dan Penyelesaian Keberatan (selanjutnya disebut PMK Nomor
: 194/PMK.03/2007), menyatakan :
”Pembukuan, catatan, data, informasi atau keterangan lain yang tidak diberikan
pada saat pemeriksaan tidak dipertimbangkan dalam penyelesaian keberatan,
kecuali pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain tersebut berada di
pihak ketiga dan belum diperoleh Wajib Pajak pada saat pemeriksaan;
9.
Bahwa Kitab Undang-undang Hukum Perdata:
Buku ke Empat Tentang Pembuktian Dan Daluwarsa.
Bab II tentang Pembuktian Dengan Tulisan.
Pasal 1888
Kekuatan pembuktian suatu bukti tulisan adalah pada akta aslinya.
Apabila akta yang asli itu ada, maka salinan-salinan serta ikhtisar-ikhtisar hanyalah
dapat dipercaya, sekadar salinan-salinan serta ikhtisar-ikhtisar itu sesuai dengan
aslinya, yang mana senantiasa dapat diperintahkan mempertunjukkannya
10. Bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku dan
berdasarkan hasil pemeriksaan sengketa banding di Pengadilan Pajak sebagaimana
yang telah dituangkan dalam Putusan Pengadilan Pajak Nomor: Put.38985/PP/
M.IV/10/2012 tanggal 28 Juni 2012serta fakta-fakta yang telah dapat diketahui
secara jelas dan nyata-nyata terungkap pada persidangan, disimpulkan sebagai
berikut:
10.1. Bahwa sengketa koreksi Obyek Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 sebesar
Rp.1.774.878.360,00 yang menjadi sengketa dalam memori peninjauan
kembali ini adalah merupakan bagian dari koreksiObjek PPh Pasal 21 sebesar
Rp.2.159.779.821,00;
10.2. Bahwa dalam Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put.38985/PP/M.IV/
10/2012 tanggal 28 Juni 2012 ini, Majelis Hakim menetapkan bahwa atas
koreksi obyek PPh Pasal 21 sebesar Rp.2.159.779.821,00 tersebut, koreksi
sebesar Rp.1.774.878.360,00 tidak dapat dipertahankan, sedangkan koreksi
sebesar Rp.384.901.461,00 tetap dipertahankan;
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Halaman 14
Telp : 021-384 3348 (ext.318)
m
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
putusan.mahkamahagung.go.id
10.3. Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) melakukan
koreksiobjek PPh Pasal 21 sebesar Rp.2.159.779.821,00 berdasarkan hasil
perhitungan sebagai berikut :
Uraian
Nilai (Rp.)
Objek PPh Pasal 21 cfm. SPT Badan
Objek PPh Pasal 21 cfm SPT
Koreksi Objek PPh Pasal 21
18.008.082.387
14.510.942.915
3.497.139.472
Indo
Pengalokasian koreksi di pusat dan cabang
Nilai (Rp.)
KPP PMA Satu (pusat)
KPP Madya Tangerang (cabang)
Jumlah Koreksi
2.159.779.822
1.337.359.651
3.497.139.472
10.4. Bahwa pada saat pemeriksaan, Termohon Peninjauan Kembali (semula
Pemohon Banding) tidak dapat menyerahkan bukti dan perhitungan yang
dapat menunjukan jumlah objek PPh Pasal 21 menurut Termohon Peninjauan
Kembali (semula Pemohon Banding) sendiri. Adapun terhadap rincian biaya
yang bukan objek PPh Pasal 21 Tahun 2006 yang menurut Termohon
Peninjauan
Kembali
(semula
Pemohon
Banding)
Rp.3.715.337.532,00,Termohon Peninjauan Kembali
adalah
(semula
sebesar
Pemohon
Banding)juga tidak dapat membuktikan bahwa biaya tersebut bukan
merupakan objek PPh Pasal 21, karena dimungkinkan Termohon Peninjauan
Kembali (semula Pemohon Banding) mengambil sumber dokumen yang
berbeda dengan sumber dokumen yang menjadi dasar koreksiPemohon
Peninjauan Kembali (semula Terbanding).
10.5. Bahwa Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) kemudian
mengajukan
keberatan
atas
koreksi
objek
PPh
Pasal
21
sebesar
Rp.2.159.779.821,00 tersebut dan telah diputus dengan Surat Keputusan
Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-695/PJ.07/2009 tanggal 01 September
2009 dengan keputusan menolak
permohonan keberatan Termohon
Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) dengan alasan sebagai
berikut :
a Bahwa sampai dengan selesainya proses keberatan dan Laporan Penelitian
keberatan dibuat,Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding)
tidak dapat menunjukan perhitungan ekualisasi antara biaya menjadi objek PPh
Halaman 15 dari 24 halaman Putusan Nomor 547/B/PK/PJK/2013
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Halaman 15
Telp : 021-384 3348 (ext.318)
m
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
putusan.mahkamahagung.go.id
Pasal 21 di SPT PPh Badan dengan SPT Tahunan PPh Pasal 21 beserta bukti
pendukungnya;
b Bahwa Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) juga tidak
dapat menunjukan bukti potong PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 23 terkait koreksi
PPh Pasal 21 tersebut;
c. Bahwa Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) tidak
dapat membuktikan bahwa rincian biaya yang menurut Termohon
Peninjauan
Kembali
(semula
Pemohon
Banding)
sebesar
Rp.3.715.337.532,00 bukan merupakan objek PPh Pasal 21 Tahun 2006
adalah objek PPh Pasal 21 yang dikoreksi oleh Pemeriksa. Bahwa terdapat
perbedaan rincian biaya yang bukan objek PPh pasal 21 menurut
Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) dengan
koreksi objek PPh Pasal 21 menurut Pemeriksa termasuk jumlah
nominalnya, dengan demikian dimungkinkan Termohon Peninjauan
Kembali (semula Pemohon Banding) mengambil sumber dokumen yang
berbeda dengan sumber dokumen koreksi Objek PPh Pasal 21;
d. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 26A ayat (4) Undang-Undang KUP
menyatakan :
“Wajib Pajak yang mengungkapkan pembukuan, catatan, data, informasi
atau keterangan lain dalam proses keberatan yang tidak diberikan pada saat
pemeriksaan, selain data dan informasi yang pada saat pemeriksaan belum
diperoleh Wajib Pajak dari pihak ketiga, pembukuan, catatan, data,
informasi atau keterangan lain dimaksud tidak dipertimbangkan dalam
penyelesaian keberatan”
dan diketahui bahwa saat pemeriksaan Termohon Peninjauan Kembali
(semula Pemohon Banding) tidak menyerahkan bukti dan dokumen
pendukung serta perhitunganyang dapat menunjukan jumlah objek PPh
Pasal 21 sesungguhnya, maka tidak cukup alasan untuk menerima
keberatan Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding)
sehinggakoreksi objek PPh Pasal 21 yang telah ditetapkan berdasarkan
hasil pemeriksaan yaitu sebesar Rp.2.159.779.822,00 tetap dipertahankan.
11. Bahwa terkait dengan amar pertimbangannya Majelis Hakim Pengadilan Pajak
yang menyatakan bahwa :
Halaman 26 Alinea ke-1 dan ke-2
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Halaman 16
Telp : 021-384 3348 (ext.318)
m
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
putusan.mahkamahagung.go.id
Bahwa berdasarkan hasil uji bukti yang dilaporkan dalam persidangan, diketahui
bahwa
dalam
Ledger
yang
terkait
dengan
Direct
Labour
sebesar
Rp.4.798.499.621,00 Salary Wages (Selling) sebesar Rp.5.979.392.945,00 dan
Salary & Wages (Gen & Adm) sebesar Rp.2.779.138.965,00 didalamnya terdapat
beberapa akun Salary Third Party Contract sebesar Rp.2.719.850.181,00 yang
merupakan pembayaran atas invoicing penyediaan tenaga kerja kepada pihak
ketiga, yaitu PT.Multi Global Adikarindo, dimana atas pembayaran tersebut sudah
dipotong PPh Pasal 23 dan dilaporkan dalam SPT Masa PPh Pasal 23 di Kantor
Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing Satu sebesar Rp.1.774.878.360,00;
Bahwa berdasarkan pemeriksaan Majelis terhadap koreksi Terbanding sebesar
Rp.2.159.779.821,00 yang diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak
Penghasilan Pasal 21 Tahun Pajak 2006 Nomor: 00042/201/06/052/08 tanggal 11
Juli 2008 yang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing
Satu, terbukti sebesar Rp.1.774.878.360,00 merupakan objek PPh Pasal 23 dan
sisanya sebesar Rp.384.901.461,00 Pemohon Banding menyatakan menerima
koreksi Terbanding;
Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) berpendapat amar
pertimbangan Majelis Hakim tersebut tidak sesuai dengan fakta pembuktian dan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlakuoleh karena :
a Bahwa berdasarkan hasil uji bukti materi di persidangan diketahui hal-hal
sebagai berikut :
1
Bahwa
dari
Objek
PPh
Pasal
21
cfm
Pemeriksa
sebesar
Rp.18.008.082.387,00, Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon
Banding) menunjukkan Ledger terkait
Rp.4.798.499.621,00,
Rp.5.979.392.945,00,
Salary
Direct Labour sebesar
Wages
(Selling)
Salary & Wages (Gen &
sebesar
Adm.) sebesar
Rp.2.779.138.965,00 yang didalamnya terdapat beberapa akun Salary
Third Party Contract sebesar Rp.2.717.850.181,00;
2 Bahwa berdasarkan data/bukti/dokumen yang disampaikan Termohon
Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) tersebut, akun-akun
yang terkait sebesar Rp.2.717.850.181,00 merupakan pembayaran atas
outsourcing penyediaan tenaga kerja kepada pihak ketiga, yaitu PT.
Multi Global Adikarindo, yang menurut Termohon Peninjauan Kembali
(semula Pemohon Banding)sudah dipotong PPh Pasal 23 baik di KPP
PMA Satu maupun KPP Madya Tangerang;
Halaman 17 dari 24 halaman Putusan Nomor 547/B/PK/PJK/2013
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Halaman 17
Telp : 021-384 3348 (ext.318)
m
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
putusan.mahkamahagung.go.id
3 Bahwa dalam proses uji bukti di persidangan tersebut, Termohon
Peninjauan
Kembali
(semula
Pemohon
menunjukkan asli kontrak/ perjanjian
Banding)tidak
dapat
outsourcing dengan PT Multi
Global Adikarindo beserta bukti/ dokumen pembayarannya;
4 Bahwa secara material,
terdapat perbedaan rincian biaya yang bukan
objek PPh Pasal 21 menurut Termohon Peninjauan Kembali (semula
Pemohon Banding) dengan koreksi Objek PPh Pasal 21 menurut
Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) termasuk jumlah
nominalnya;
b
Bahwa berdasarkan hasil uji bukti tersebut, maka dapat disimpulkan hal-hal
sebagai berikut :
Bahwa nyata-nyata Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding)
tidak dapat menunjukkanasli kontrak/perjanjian outsourcing dengan PT Multi
Global Adikarindo beserta bukti/dokumen pembayarannya;
Bahwa dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata; Buku ke Empat Tentang
Pembuktian Dan Daluwarsa; Bab II tentang Pembuktian Dengan Tulisan; Pasal
1888, menyatakan :Kekuatan pembuktian suatu bukti tulisan adalah pada akta
aslinya.Apabila akta yang asli itu ada, maka salinan-salinan serta ikhtisarikhtisar hanyalah dapat dipercaya, sekadar salinan-salinan serta ikhtisar-ikhtisar
itu sesuai dengan aslinya, yang mana senantiasa dapat diperintahkan
mempertunjukkannya;
Berdasarkan hal tersebut Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding)
tidak dapat meyakini kebenaran transaksi tersebut;
Bahwa nyata-nyata secara material,
terdapat perbedaan rincian biaya yang
bukan objek PPh Pasal 21 menurut Termohon Peninjauan Kembali (semula
Pemohon Banding) dengan koreksi Objek PPh Pasal 21 menurut Pemohon
Peninjauan Kembali (semula Terbanding) termasuk jumlah nominalnya;
Bahwa berdasarkan Pasal 78 Undang-undang Pengadilan Pajak pun telah
ditegaskan bahwa :”Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil
penilaian
pembuktian,
dan
berdasarkan
peraturan
perundang-undangan
perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan Hakim”
Bahwa berdasarkan hal tersebut, maka amar pertimbangan Majelis Hakim
tersebut telah bertentangan dan tidak sesuai dengan Pasal 78 Undang-Undang
Pengadilan Pajak, Pasal 21 Undang-Undang PPh, dan Kitab Undang-undang
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Halaman 18
Telp : 021-384 3348 (ext.318)
m
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
putusan.mahkamahagung.go.id
Hukum Perdata; Buku ke Empat Tentang Pembuktian Dan Daluwarsa; Bab II
tentang Pembuktian Dengan Tulisan; Pasal 1888.
c Bahwa jika seandainyapun Majelis Hakim tetap dengan putusannya berdasarkan
hasil uji bukti atas perintah Majelis Hakim di persidangan sebagaimana
penjelasan huruf a dan b tersebut diatas, namun faktanya Termohon Peninjauan
Kembali (semula Pemohon Banding)tidak memberikan bukti-bukti berupa data/
dokumen tersebut saat pemeriksaan maupun keberatan;
Bahwa Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) mengajukan
keberatan dengan surat Nomor:MK/Sep-08/57 tanggal
3 September 2008
yang diterima KPP Penanaman Modal Asing (Pemohon Peninjauan Kembali/
semula Terbanding) dengan LPAD (Lembar Pengawasan Arus Dokumen)
Nomor: PEM:005178\052\ sep\2008 tanggal 3 September 2008, dengan
demikian
Termohon
Peninjauan
Kembali
(semula
Pemohon
Banding)
mengajukan keberatan setelah tanggal 31 Desember 2007.
Bahwa Pasal 36 ayat (2) huruf f Peraturan Pemerintah Nomor: 80 Tahun 2007
menyatakan :”Terhadap hak dan kewajiban perpajakan yang berkaitan dengan
proses penyelesaian keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dan Pasal
26A Undang-Undang untuk pengajuan keberatan yang diterima setelah tanggal
31 Desember 2007 berlaku ketentuan berdasarkan Undang-Undang;”
Berdasarkan hal tersebut, oleh karena surat keberatan Termohon Peninjauan
Kembali (semula Pemohon Banding)diterima oleh Pemohon Peninjauan
Kembali/semula Terbanding tanggal 3 September 2008,yang berarti adalah
sesudah tanggal 31 Desember 2007, maka sesuai dengan ketentuan pasal 36 ayat
(2) huruf f Peraturan Pemerintah Nomor: 80 Tahun 2007 tersebut, maka tata cara
penyelesaiannya adalah menggunakan ketentuan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 (Undang-Undang
KUP 2007);
Bahwa mengacu pada ketentuan Pasal 26A ayat (4) Undang-Undang KUP 2007
juncto Pasal 36 ayat (2) huruf f Peraturan PemerintahNomor 80 Tahun 2007
junctoPasal 10 PMK Nomor : 194/PMK.03/2007, maka terhadap data telah
diminta pada proses pemeriksaan, namun data tersebut tidak diberikan oleh
Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding)pada proses
pemeriksaan,
maka
pada
proses
keberatan
data
tersebut
tidak
dapat
dipertimbangkan, sehingga keputusan menolak permohonan keberatan Termohon
Halaman 19 dari 24 halaman Putusan Nomor 547/B/PK/PJK/2013
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Halaman 19
Telp : 021-384 3348 (ext.318)
m
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
putusan.mahkamahagung.go.id
Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) dan tetap mempertahankan
koreksi objek PPh Pasal 21 sebesar Rp.2.159.779.821,00adalah telah sesuai
dengan ketentuan peraturan perpajakan yang berlaku;
Bahwa berdasarkan hal tersebut, maka bukti/dokumen yang diberikan pada
persidangan banding, sepatutnyalah tidak dapat dipertimbangkan pula oleh
Majelis Hakim Pengadilan Pajak.
Bahwa sebagai bahan pertimbangan dalam memutus sengketa, Pemohon
Peninjauan Kembali (semula Terbanding) sampaikan aspek yuridis dalam sistem
hukum di Indonesia, yang seharusnya menjadi basis atau dasar dalam penegakan
hukum, sebagai berikut :
Logemann dalam Buku Pengantar dalam Hukum Indonesia Edisi 3 oleh Ernst
Utrecht, Balai Buku Indonesia, 1956, pada halaman 1414 menyatakan bahwa
“men mag de norm waaraan men gebonden is niet willekeurig uitleggen, doch
alleen de juiste uitleg mag gelden”, dimana dapat diartikan bahwa orang tidak
boleh menafsirkan secara sewenang-wenang kaidah yang mengikat, hanya
penafsiran yang sesuai dengan maksud pembuat undang-undang menjadi tafsiran
yang tepat.
Maka dalam memeriksa dan mengadili dan memutuskan suatu perkara yang
dihadapkan kepada hakim, seorang hakim terikat kepada ketentuan yang tertuang
dalam hukum acara (formele recht) dari pengadilan.Sebagai hukum dan hak
asasi, hakim dibatasi menafsirkan atau melakukan konstruksi terhadap hukum
acara. Hal demikian dikarenakan fungsi dari hukum acara (formele recht,
adjective law) adalah untuk mempertahankan hukum materiil (materiele recht,
substantive law);
Bahwa dalam sistem perpajakan di Indonesia, Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 merupakan
hukum formal atau hukum acara (formele recht, adjective law)yang mengatur
tata cara pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak.
Bahwa secara formal, aturan mengenai tidak dapat digunakannya data pada
proses keberatan yang tidak diberikan pada saat pemeriksaan telah jelas
aturannya dalam Pasal 26A ayat (4) Undang-Undang KUP 2007, aturan ini
mengikat fiskus dalam melaksanakan tugasnya namun Majelis Hakim telah
mengabaikan hal tersebut dengan alasan azas material.
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Halaman 20
Telp : 021-384 3348 (ext.318)
m
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
putusan.mahkamahagung.go.id
Bahwa Pengadilan Pajak dalam posisinya sebagai badan yang sesuai dengan
sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia harus mampu menciptakan keadilan
dan kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa pajak, maka seharusnya
Majelis Hakim juga mempertimbangkan adanya kepastian hukum dengan
memutuskan sengketa berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan;
Bahwa meskipun Majelis Hakim memiliki kewenangan untuk menentukan
kekuatan pembuktian dan alat bukti yang digunakan, akan tetapi dalam sengketa
ini Majelis Hakim nyata-nyata mengabaikan ketentuan yuridis formal terkait
penyelesaian keberatan berdasarkan ketentuan perundang-undangan perpajakan.
Dengan demikian Putusan Majelis yang tidak mempertahankan koreksi atas
sengketa a quo tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 76 dan Pasal 78 UndangUndang Pengadilan Pajak;
Bahwa dengan demikian maka nyata-nyata Majelis Hakim telah tidak cermat
dalam memutus sengketa karena tidak mempertimbangkan alasan Pemohon
Peninjauan kembali (semula Terbanding) dalam pengambilan keputusan
keberatan serta amar pertimbangan Majelis Hakim tersebut tidak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku yaitu Pasal 4
Undang-Undang PPN, Pasal 26A ayat (4) Undang-Undang KUP 2007 juncto
Pasal 36 ayat (2) huruf f Peraturan Pemerintah Nomor : 80 Tahun 2007 juncto
Pasal 10 PMK Nomor: 194/PMK.03/2007.
11. Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum (fundamentum petendi) tersebut di atas
secara keseluruhan telah membuktikan secara jelas dan nyata-nyata bahwa Majelis
Hakim Pengadilan Pajak telah memutus perkara a quoterkait sengketa koreksi DPP
PPh Pasal 21 sebesar Rp1.774.878.360,00tidak berdasarkan pada ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak berdasarkan hasil penilaian
pembuktian, sehingga pertimbangan dan amar putusan Majelis Hakim pada
Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) sengketa banding di
Pengadilan Pajak nyata-nyata telah salah dan keliru serta tidak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (contra legem), khususnya
dalam bidang perpajakan. Oleh karena itu maka Putusan Pengadilan Pajak Nomor:
Put. 38985/PP/M.IV/10/2012 tanggal 28 Juni 2012 menyangkut sengketa koreksi
DPP PPh Pasal 21 sebesar Rp1.774.878.360,00 harus dibatalkan.
Bahwa dengan demikian, putusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak Nomor: Put.38985/
PP/M.IV/10/2012 tanggal 28 Juni 2012 yang menyatakan :
Halaman 21 dari 24 halaman Putusan Nomor 547/B/PK/PJK/2013
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Halaman 21
Telp : 021-384 3348 (ext.318)
m
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
putusan.mahkamahagung.go.id
-
Mengabulkan sebagian permohonan banding Pemohon Banding terhadap Keputusan
Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-695/PJ.07/2009 tanggal 1 September 2009
tentang Keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan Pasal
21 Tahun Pajak 2006 Nomor: 00042/201/06/052/08 tanggal 11 Juli 2008, atas nama :
PT. Monagro Kimia, NPWP: 01.061.671.2-052.000, Alamat korespondensi : Wisma
Pondok Indah 2 Lantai 6, Jl. Sultan Iskandar Muda Kav V-TA Pondok Indah, Jakarta
12310, Alamat Keputusan : Gedung Sentra Mulia Lantai 7, Jl. HR Rasuna Said Kav
X-6 No. 8, Jakarta Selatan, dan pajaknya dihitung kembali menjadisesuai
perhitungan di atas;
adalah tidak benar serta telah nyata-nyata bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
PERTIMBANGAN HUKUM
Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan peninjauan kembali
tersebut,
Mahkamah Agung berpendapat :
Bahwa alasan-alasan peninjauan kembali tersebut tidak dapat dibenarkan
karena pertimbangan hukum dan putusan Pengadilan Pajak yang mengabulkan sebagian
permohonan banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak
Nomor : KEP-695/PJ.07/2009 tanggal
1 September 2009 tentang Keberatan atas
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan Pasal 21 Tahun Pajak 2006
Nomor: 00042/201/06/052/08 tanggal 11 Juli 2008, atas nama Pemohon Banding
sekarang Termohon Peninjauan Kembali, sehingga jumlah PPh yang masih harus
dibayar dihitung kembali menjadi Rp. 818.534.430,00 adalah sudah tepat dan benar
dengan pertimbangan :
• Bahwa alasan koreksi obyek PPh Pasal21 sebesar Rp. 1.774.878.360,00 tidak dapat
dibenarkan karena dominus litis yang terungkap dari bukti-bukti yang disampaikan
Pemohon Banding (Termohon Peninjauan Kembali) dalam persidangan dari
sebagian bukti sebesar a quo telah diyakini kebenarannya oleh Mejelis Pengadilan
Pajak, oleh karenanya koreksi Terbanding (Pemohon Peninjauan Kembali) untuk
sebagian sebesar a quo tidak dapat dipertahankan.
Bahwa dengan demikian tidak terdapat Putusan Pengadilan Pajak yang
nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
sebagaimana dimaksud Pasal 91 huruf e Undang-Undang Nomor. 14 Tahun 2002.
Menimbang,
bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut
diatas, maka permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Halaman 22
Telp : 021-384 3348 (ext.318)
m
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
putusan.mahkamahagung.go.id
Kembali : Direktur Jenderal Pajak tersebut adalah tidak beralasan, sehingga harus
ditolak.
Menimbang, bahwa oleh karena Pemohon Peninjauan Kembali dipihak yang
kalah, maka harus dihukum untuk membayar biaya perkara dalam peninjauan kembali
yang besarnya sebagaimana tersebut dalam amar putusan ini.
Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor
14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 dan UndangUndang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak serta peraturan perundangundangan lain yang bersangkutan .
MENGADILI,
Menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan
Kembali : DIREKTUR JENDERAL PAJAK tersebut.
Menghukum Pemohon Peninjauan Kembali untuk membayar biaya perkara
dalam Peninjauan Kembali ini sebesar Rp2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu Rupiah).
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung
pada hari : Jumat, tanggal 24 Januari 2014 oleh Widayatno Sastrohardjono, S.H., M.Sc.
Ketua Muda Pembinaan Mahkamah Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah
Agung sebagai Ketua Majelis, Dr. Irfan Fachruddin, S.H., C.N., dan Dr. H. M. Hary
Djatmiko, S.H., M.S. Hakim-Hakim Agung sebagai Anggota,
dan
diucapkan dalam
sidang terbuka untuk umum
pada hari itu juga oleh Ketua Majelis beserta Hakim-Hakim Anggota dan dibantu oleh
Lucas Prakoso, S.H., M.Hum. Panitera Pengganti dengan tidak dihadiri oleh para pihak.
Anggota Majelis:
Ttd.
Dr. Irfan Fachruddin, S.H., C.N.
Ttd.
Dr. H. M. Hary Djatmiko, S.H., M.S.
Ketua Majelis,
Ttd.
Widayatno Sastrohardjono, SH. MSc.
Panitera Pengganti :
Ttd.
Lucas Prakoso, SH. MHum.
Biaya-biaya :
1. Meterai ………................................ Rp.
6.000,2. Redaksi ……..................................... Rp.
5.000,3. Administrasi Peninjauan Kembali ..…Rp. 2.489.000,Jumlah
Rp. 2.500.000,Halaman 23 dari 24 halaman Putusan Nomor 547/B/PK/PJK/2013
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Halaman 23
Telp : 021-384 3348 (ext.318)
m
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
putusan.mahkamahagung.go.id
Untuk Salinan
Mahkamah Agung RI
a.n. Panitera
Panitera Muda Tata Usaha Negara
A S H A D I, SH
Nip. 220000754
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Halaman 24
Telp : 021-384 3348 (ext.318)