[go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu

isi skripsi.docx

2018, Pemikiran Imam Ibnu Katsir dalam Menafsirkan Ayat-Ayat Mutasyabihat

Skripsi ini ditulis untuk meneliti sebab-sebab Allah menurunkan ayat-ayat mutasyabihat yang ada di dalam Alquran. Dari jaman ulama salaf dan khalaf mempunyai perbedaan dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat tersebut. Dalam hal ini peneliti mengambil satu tokoh untuk menjelaskan apa saja yang di butuhkan untuk memahami ayat-ayat mutasyabihat, yang terkhususnya mengenai pemikiran Imam Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat itu sendiri. Untuk mengetahui sejauh mana pandangan Ibnu Katsir tentang ayat tersebut. Peneliti merujuk kepada tafsir yang ditulis oleh Imam Ibnu Katsir yaitu tafsir AlQuran al-Adzim yang menjadi sumber utama dalam meneliti ayat-ayat mutasyabihat dalam penafsirannya. Bagaimana Ibnu Katsir menanggapi ayat mutasyabih tersebut dan menjabarkan kepada pembaca agar tidak salah memahami dalam pemahaman orang-orang yang membaca. Apakah sebab-sebab Allah menurunkan ayat-ayat mutasyabih yang ada di dalam Alquran, dan tujuan Allah dalam membagi ayat-ayat tersebut? Sehingga semua orang agar memikirkan apakah yang terkandung pada ayat-ayat mutasyabih itu, banyak sekali ayat mutasyabih yang ada di dalam Alquran. Penelitian ini di lakukan secara library research, yaitu penelitian kepustakaan. Data-data penelitian ini diperoleh berdasarkan telaah terhadap buku-buku berkaitan dengan masalah ini, terutama tafsir AlQuran al-Adzim karya Imam Ibnu Katsir sebagai sumber utama. Penelitian ini menggunakan teknik pengelolaan dan seterusnya mengumpulkan data serta membuat kesimpulan khusus. Hasil dari penelitian ini dapat dipahami bahwa, memahami ayat-ayat mutasyabihat itu juga mempunyai beberapa cara yaitu dengan menggunakan metode Tafiwid dan Takwil. Pada kedua metode ini mempunyai kontroversial yang terdapat dalam Alquran maupun pemahaman tokoh yang menuliskan tafsir tersebut. Juga mengetahui bagaimana akidah yang benar dan tidak salah dalam mahamami ayat Allah yang mempunyai makna yang dalam mengenai ayat-ayat mutasyabihat tersebut.

PEMIKIRAN IMAM IBNU KATSIR DALAM MENAFSIRKAN AYAT-AYAT MUTASYABIHAT SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag) Pada Program Ilmu Alquran dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Studi Islam Oleh HASBAN ARDIANSYAH RITONGA NIM : 43143004 FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI ISLAM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATRA UTARA MEDAN 2018 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Alquran pada hakikatnya memberikan petunjuk dalam persoalan akidah, syariah, dan akhlak, dengan meletakkan dasar-dasar mengenai persoalan persoalan tersebut. Allah SWT. menugaskan Rasulullah SAW.untuk memberikan keterangan yang lengkap mengenai dasar-dasar tersebut. Mempelajari Alquran adalah kewajiban bagi seluruh umat manusia, dikarenakan Allah SWT. menurunkan Alquran sebagai petunjuk bagi alam semesta. Alquran Al-Karim yang terdiri dari 114 surah dan susunannya ditentukan oleh Allah SWT. secara tawqifi, tidak menggunakan metode penyusunan buku-buku ilmiah yang ditulis oleh manusia. Di dalam Alquran tersimpul ayat-ayat yang menganjurkan untuk menggunakan akal pikiran dalam memahami ayat-ayat yang telah Allah firmankan kepada manusia Muhammad Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: PT. Mizan Pustaka), hlm. 47.. Alquran diturunkan dalam bahasa Arab, baik lafal maupun uslubnya kaya dengan kosa kata dan sarat makna. Kendatipun Alquran berbahasa Arab, tidak semua orang dapat memahaminya secara rinci. . Ahmad Bachmid, Sejarah Alquran Edisi Indonesia, Cet 1 (Jakarta: PT, Rehal Publika), hlm. 1. Alquran selain memiliki gaya bahasa yang indah juga sebagai pedoman umat Islam yang harus dipahami dengan benar. Sesuai dengan firman Allah SWT. dalam surah Al-Isra’ ayat 9. Artinya :Sesungguhnya Alquran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih Lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.(Qs. Al-Isra’9) Di dalam Alquran terdapat pembagian ayat yang dinamakan muhkam dan mutasyabih. Kedua ayat ini tidak terlepas dari perbedaan pendapat ulama. muhkam ialah berasal dari kata “Hakamtu Dabah wa Ahkamtu” yang artinya saya menahan binatang itu. Kata al-hukm berarti memutuskan antara dua hal atau perkara. Maka hakim adalah orang yang mencegah. Dalam penjelasan yang singkat muhkam adalah mengkukuhkan antara perkataan dengan memisahkan berita yang salah dengan yang benar. Sedangkan mutasyabih secara bahasa berarti “tasyabuh” yakni bila salah satu dari dua hal serupa dengan yang lain.“Shubhah” ialah keadaan salah satu dari yang lain. Pada definisi mutasyabih belum ditemukan makna yang pasti penjelasannya. . Manna’ Khalil Al-Qaatan, Mabahist Fii Ulumumil Quran terj, (CV, Literatur Nusannata, Cet 18, Thn 2015), hlm 304 Adapun awal adanya ayat yang merujuk kepada kedua ayat tersebut yang tak bisa dipisahkan yaitu dalam surah Ali-Imran ayat ke 7: Artinya : “Dialah yang menurunkan Alkitab (Alquran) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Alqur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami". Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. (QS. Ali Imran: 7). Pada dasarnya surah Ali-Imran ayat di atas adalah salah satu sumber para ulama Salaf dan Khalaf mengkaji bagaimana keberadaan ayat-ayat mutasyabihat apakah boleh atau tidak ditakwil. Alquran yang dikomunikasikan Allah SWT. kepada hambanya menggunakan bahasa Arab sebagai sarana untuk memahaminya. Hal itu karena sasaran pertamanya adalah masyarakat Arab. Di sisi lain, Alquran tidak dipahami sama dari waktu ke waktu. Sebaliknya, Alquran dipahami sesuai dengan perubahan zaman. Oleh sebab itu, tafsir berupaya untuk menjelaskan pesan pesan dari Allah yang tersimpan di dalam Alquran. Meskipun demikian, manusia tidak memiliki pemahaman yang sama. Hal itu disebabkan dalam hal muhkam dan mutasyabih. a. Alquran mamadukan antara makna yang sulit dan makna yang terperinci. Selain itu, Alquran sering kali mengubah istilah yang umum di gunakan pada masa Pra Islam menjadi istilah yang yang berbeda. b. Kalimat Alquran yang pendek tidak jarang memiliki makna yang luas serta dalam. c. Adanya kemungkinan beberapa arti. d.Ditemukannya beberapa penyingkatan yang membutuhkan penjelasan khusus. Oleh sebab itu, dibutuhkan penafsiran sehingga di temukan pemahaman makna yang benar . Samsurrohman, Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta: PT.AMZAH Cet 1 thn, 2014). hlm 24-25.. Dalam hal ini maka para ulama Shalaf As-shalih mengembalikan makna tersebut kepada Allah SWT.. Itu ditemukan kesamaran, baik pada lafal yang mufrad maupun lafal yang murakkab. Termasuk ayat-ayat yang terjadi kasamarannya dalam lafalnya ialah seperti ,, , dan sebagainya. Sebab huruf huruf itu samar maknanya bagi manusia. Oleh karena itu, banyak ulama yang hanya mengartikan hanya Allah yang mengetahui maksudnya. Imam Ibn Kasir dalam menafsirkan surah Thaha ayat 5 mengambil sikap bahwa ia tidak mentakwilkan ayat tersebut dengan penjelasan : Artinya;(yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah. yang bersemayam di atas 'Arsy. “Penafsiaran ayat semacam ini telah di kemukakan di dalam surah Al-A’raf ayat 54, sehingga tidak perlu diulangi lagi. Pandangan yang perlu diikuti dalam memahami ayat ini ialah pandangan ulama salaf yang sejalan dengan Kitab dan Sunnah, tanpa mempertanyakan keadaannya dalam bersemayam, tanpa mengubah, tanpa menyerupakan, tanpa mengingkari, tanpa membandingkan.” Dalam penafsiran surah Al-A’raf ayat 54 firman Allah SWT.. “ Kemudian Dia bersemayam di atas “Arasy.”Sehubungan dengan ini kami menempuh jalan shalaf As-shalih dan para imam kaum Muslimin lainnya baik yang dahulu maupun sekarang, jalan itu ialah membiarkan ayat tersebut tawaqquf tanpa mengadaptasikan, menyerupakan dan menangguhkan . Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Ringkasan Tafsir Ibn Katsir, jilid 2-3 (Jakarta:PT.GEMA INSANI 1999).hlm. 227-335.. Dilihat dari uraian di atas Imam Ibn Katsir memiliki padangan para ulama Shalaf As-shalih dalam mentafsirkan ayat tersebut serta ia menempuh jalan seperti apa yang dijelaskan oleh ulama terdahulu. Paling menariknya jika diteliti Imam Ibnu Katsir adalah seorang ulama Khalaf tetapi pemikirannya mengikuti ulama Shalaf As-Shalih dalam menafsirkan Alquran. Berdasarkan hal ini penulis mengangkat masalah tersebut menjadi karya ilmiah atau skripsi dengan judul” PEMIKIRAN TAFSIR IMAM IBNU KATSIR DALAM AYAT- AYAT MUTASYABIHAT B. Rumusan Masalah Adapun ruang lingkup pembahasan ini ialah: Apa yang dimaksud Ibnu Katsir dengan ayat mutasyabihat? Bagaimana penafsiran Imam Ibnu Katsir terhadap ayat-ayat mutasyabihat? Bagaimana metode Imam Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat? C. Batasan Istilah Untuk memberikan persamaan persepsi antara pembaca dan penulis serta menghindari dari kesalahpahaman dan kesengajaan diantara pokok- pokok permasalahan yang terkandung dalam penelitian tersebut, maka dibuatlah batasan dari istilah tersebut yaitu : 1. Tafsir adalah secara bahasa berasal dari kata al-fasru yaitu menyingkap sesuatu yang tertutup. Adapun secara istilah adalah, menjelaskan makna-makna Alquran Al-Karim . Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, Ushulu Fii Al-Tafsir , (Maktabah Islamiyah, 2001), hlm. 23.. 2. Mutasyabih adalah menyangkut sifat-sifat Allah, Perbuatan Allah, bagaimana dan kapan terjadinya, dan tempat Allah. Semua sifat yang demikian tidak dapat digambarkan secara konkrit karena kejadiannya belum pernah dipahami oleh siapapun. 3. Alquran adalah kalam Allah SWT. yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. yang lafalya mengandung mu’jizat, membacanya adalah mempunyai nilai ibadah, yang diturunkann secara mutawatir dan ditulis dengan mushaf mulai dari surah Al-Fatihah sampai surah An-Nas. . Rosihon Anwar, Ulumul Qur’an, (Bandung Pustaka Setia, 2008), hlm.34. 4. Dalam penafsiran ayat ayat mutasyabihat terkhusus kepada ayat-ayat Sifat. D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud Ibnu Katsir Tentang ayat mutasyabihat. 2. Untuk mengetahu bagaimana penafsiran Ibnu Katsir terhadap ayat-ayat mutasyabihat. 3. Untuk Mengetahui Bagaimana metode penafsiran Ibnu Katsir mengenai dalam menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat. Kegunaan penelitian ini adalah: 1. Untuk memberikan Khazanah ilmu pengetahuan dan wawasan ilmu bagi peminat tafsir. 2. Untuk menjadikan panduan bagi mubalig agar mengetahui makna ayat-ayat mutasyabihat dengan pendekatan metode penafsiran Imam Ibnu Katsir. E. Metode Penelitian Metode penelitian sangat menentukan hasil yang ingin dicapai dalam sebuah tulisan. Maka untuk memperoleh bahan dan informasi yang akurat dalam pembahasan skripsi ini, digunakan metode dan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Jenis Pendekatan Adapun penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian pustaka (library reseach). b. Sumber Data Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian ini hadir dari sumber primer dan skunder yaitu: a. Sumber primer yaitu sesuai dengan penelitian, maka yang menjadi data utama adalah kitab tafsir Imam Ibnu Katsir yang berjudul Tafsir Alquran Al-Adzim. b. Sumber sekunder yaitu merupakan data penunjang atau pendukung yang bersumber dari berbagai literatur. 3. Langkah-langkah penelitian Karena dalam penelitian ini objek kajian berupa ayat-ayat Alquran yang tergelar dalam beberapa surah dan ayat kemudian terfokus kepada tokoh maka dalam penelitian ini penulis menggunakan studi pemikiran tokoh atau studi tokoh. F. Sistematika Pembahasan Sistematika pembahasan skeripsi ini disusun dalam lima bab, tiap tiap bab meliputi beberapa sub bab pembahasan, hal ini dilakukan dengan dimaksudkan agar pembahasannya lebih terarah dan sistematis dan terfokus pada masalah yang dibahas, sehingga lebih mudah memahami masalah yang dibahas. Sistematika pembahasan dimaksud sebagai berikut: BAB I : Pendahuluan, bab ini terdiri dari beberapa sub bahasan yaitu latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, batasan istilah, metode penelitian, dan sistematika pembahasan. BAB II : Biografi Imam Ibnu Katsir. Latar belakang kehidupanya, karya karyanya, serta latar belakang penulisan Tafsir Al-Quran Al-Azhim. BAB III : Kajian teoritik penafsiran ayat-ayat mutasyabihat, menyangkut pengertian ayat mutasyabihat, menurut ulama tafsir dan ulama kalam. Metode para ulama dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat. Menyangkut latar belakang pandangan ulama dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat.dan penafsiran ayat mutasyabih oleh ulama kalam. BAB IV : Penafisran ayat-ayat musyabihat dalam kitab tafsir Tafsir Al-Quran Al-Azhim yang dikarang oleh Imam Ibnu Katsir khususnya ayat-ayat sifat, dan analisis penulis terhadapat penafsiran Ibnu Katsir terhadap ayat-ayat mutasyabihat. BAB V : Penutup, dalam bab ini terdiri dari dua sub bab yang meliputi kesimpulan dan saran. BAB II BIOGRAFI IMAM IBNU KATSIR A. Latar belakang Kehidupan Imam Ibnu Katsir Nama lengkap Ibnu Katsir ialah, Abul Fidâ Imaduddin Ismail bin Syekh Abi Hafsh Syihabuddin Umar bin Katsir bin Da`i ibn Katsir bin Zarâ` al-Qursyi al-Damsyiqi. Ia dilahirkan di kampung Mijdal, daerah Bashrah sebelah Timur kota Damaskus, pada tahun 700 H. Ayahnya berasal dari Bashrah, sementara ibunya berasal dari Mijdal. Ayahnya bernama Syihabuddin Abu Hafsh Umar ibn Katsir. Ia adalah ulama yang faqih serta berpengaruh didaerahnya. Ia juga terkenal dengan ahli ceramah. Hal ini sebagaimana diungkapkan Ibnu Katsir dalam kitab tarikhnya (al-Bidâyah wa al-Nihâyah). Ayahnya lahir sekitar tahun 640 H, dan ia wafat pada bulan Jumadil ‘Ula 703 H. di daerah Mijdal, ketika Ibnu Katsir berusia tiga tahun, dan dikuburkan di sana . Abi Abdillah Sayid Bin Mukhtar Abu Sadi, Manahij Al-mufassirin Wa ‘Aqaidihim, (Maktabah, Daaru Ibnu Al-Jauzi. Misri Al-arabiyyah), hlm. 90. . Ibnu Katsir adalah anak yang paling kecil dikeluarganya. Hal ini sebagaimana yang ia utarakan; “anak yang laki-laki paling besar dikeluarganya, yang bernama Ismail, sedangkan yang paling kecil adalah saya “. Kakak laki-laki yang paling besar bernama Ismail dan yang paling kecil pun Ismail. Sosok ayah memang sangat berpengaruh dalam keluarga. Kebesaran serta tauladan ayahnyalah menjadikan pribadi Ibnu Katsir mampu menandingi kebesaran ayahnya, bahkan melebihi keluasan ilmu ayahnya. Ia dibesarkan dalam keluarga yang taat beragama, serta senantiasa menjunjung nilai-nilai keilmuan. Keluarga ini mampu melahirkan sosok anak saleh dan bersemangat dalam mencari mutiara-mutiara ilmu yang berharga dimanapun. Dengan modal usaha dan kerja keras Ibnu Katsir menjadi sosok ulama yang diperhitungkan dalam percaturan keilmuan. Dari kecil Ibnu Katsir mulai mencari ilmu. Semenjak ayahnya wafat kala itu Ibnu Katsir baru berumur tiga tahun, maka kakaknya bernama Abdul Wahab yang mendidik dan mengayomi Ibnu Katsir kecil. Ketika genap usia sebelas tahun, Ia selesai menghafalkan alquran. Pada tahun 707 H, Ibnu Katsir pindah ke Damaskus. Ia belajar kepada dua Grand Syekh Damaskus, yaitu Syekh Burhanuddin Ibrahim Abdurrahman al-Fazzari (w. 729) terkenal dengan Ibnu al-Farkah yang ahli dalam fiqh syafi’i. Selanjutnya ia belajar ilmu ushul fiqh kepada syekh Kamaluddin bin Qodi Syuhbah. Lalu ia berguru kepada Isa bin Muth’im, syekh Ahmad bin Abi Thalib al-Muammari (w. 730), Ibnu Asakir (w. 723), Ibn Syayrazi, Syekh Syamsuddin Al-dzhabi (w. 748), Syaikh Abu Musa al-Qurafi, Abu al-Fatah al-Dabusi, Syekh Ishaq bin al-Amidi (w. 725), Syekh Muhamad bin Zurad. Ia juga sempat ber-mulajamah kepada Syekh Jamaluddin Yusuf bin Zaki al-Mizi (w. 742), sampai ia mendapatkan pendamping hidupnya. Ia menikah dengan salah seorang putri Syekh al-Mizi. Syekh al-Mizi, adalah yang mengarang kitab “Tahdzîbu al-Kamâl” dan “Athrâfu al-Kutubi as-Sittah“. Begitu pula, Ibnu Katsir pernah berguru Shahih Muslim kepada Syekh Nazmuddin bin al-Asqalani. Selain guru-guru yang telah dipaparkan di atas, masih ada beberapa guru yang mempunyai pengaruh besar terhadap Ibnu Katsir; mereka adalah Ibnu Taymiyyah. Banyak sekali sikap Ibnu Katsir yang terwarnai dengan Ibnu Taymiyah, baik itu dalam berfatwa, cara berpikir juga dalam metode karya-karyanya.Hanya sedikit sekali fatwa beliau yang berbeda dengan Ibnu Taymiyyah. Sementara murid-muridnya tidak sedikit, diantaranya Syihabuddin bin Haji. Pengakuan yang jujur lahir dari muridnya, “Ibnu Katsir adalah ulama yang mengetahui matan hadits, serta takhrij rijalnya. Ia mengetahui yang Shahih dan Dhaif”. Guru-guru maupun sahabat beliau mengetahui, bahwa ia bukan saja ulama yang dalam bidang tafsir tetapi dalam bidangnya, juga hadis dan sejarah. Sejarawan sekaliber ad-Dzahabi, tidak ketinggalan memberikan sanjungan kepada Ibnu Katsir, “Ibnu Katsir adalah seorang mufti, muhaddis, juga ulama yang faqih dan dalam tafsir”. Tafsir Ibnu Katsir tidak perlu diperkenalkan lagi karena nyaris merupakan satu satunya tafsir yang ditunjukan oleh pengarangnya sebagai tafsir yang tidak dibaurkan dengan ilmu lain. Kitab ini hanya “tafsir untuk tafsir”. Apabila pun di dalam beberapa penjelasannya terkadang menuturkan kaidah-kaidah linguistik, ‘irab nahwu, atau tujuan aspek balaghah, maka hal itu sangat jarang dan semata mata untuk membantu pembaca memahami ayat. Dengan begitu, maksud utama dan terakhir dari tafsir ini adalah untuk di sajikan kehadapan pembaca sebagai tafsir yang mementingkan tafsirnya. . Ibid. Nasib Rifai Juz I, hlm. 18 Selama beliau hidup 74 tahun Allah SWT. memanggilnya pada bulan Sya’ban tahun 774 H, dan beliau dimakamkan diperkuburan Sufiyah dekat bersama gurunya Imam Ibnu Taymiyyah di Damaskus pada akhir umurnya, semoga Allah SWT. merahmati beliau seluas-luasnya .Abi Abdillah Sayid Bin Mukhtar Abu Sadi, Manahij Al-mufassirin Wa ‘Aqaidihim, (Maktabah, Dar al-Ibnu Al-Jauzi. Misri Al-arabiyyah), hlm.90.. B. Karya-Karya Imam Ibnu Katsir Telah diketahui bahwa Imam Ibnu adalah seorang yang cerdas dan pintar dalam keilmuannya, bukan hanya tafsir Al-Quran Al-Adzim saja yang karang, akan tetapi masih banyak lagi karya-karyanya yang belum kita ketahui. Al-Hafizd Ibn Hajar Menjelaskan, “ ia adalah seorang ahli hadis yang faqih. Karangannya tersebar luas di berbagai negeri. Adapun diantara karya tersebut ialah : Tafsîr al-Qur`an al-Azhîm ( akan dibahas dalam tulisan ini) Al-Bidâyah wa al-Nihâyah. Buku ini membahas tentang sejarah. Buku ini sering dijadikan rujukan para peneliti sejarah. Sumbernya begitu autentik. Karyanya ini berisikan berbagai tinjauan sejarah. Pertama, pemaparan tentang sejarah dan kisah Nabi-nabi beserta umatnya di masa lalu. Kisah ini ditopang dengan dalil-dalil yang kuat, baik itu dari al-Qur`an maupun al-Sunnah, juga pendapat-pendapat para mufassir, muhaddits dan sejarawan. Kedua, Ia menguraikan secara jelas mengenai bangsa Arab jaman jahiliyah, kemudian bangsa Arab ketika kedatangan Nabi Saw dan perjalanan dakwah Nabi Saw beserta para sahabatnya. Buku ini di akhiri dengan kisah Dazzal, juga ia ungkapkan mengenai tanda-tanda kiamat lainnya. 3. Al-Takmîl fî makrifati al_tsiqât wa al-dlu‟afâ` wa- al majâhil. Buku ini adalah rujukan dalam ilmu hadist serta untuk mengetahui jarh wa ta‟dil. karya ini adalah karya gabungan dua karya imam Dzahabi yaitu Tahdzîbu al-kamâl fî asmâ`i al rijâl dan Mîzân al i‟tidâl fî naqdi al-rijâl dengan tambahan dalam jarh wa ta‟dil. 4. Al-Hadyu wa al-Sunan fî Ahâdits al-Masânid wa al-Sunan atau yang mashur dengan istilah Jâmi‟ al-Masânid. Dalam kitab ini, Ibnu Katsir menggabungkan kitab musnad imam Ahmad (w.241), al-Bajjar (w.291), Abi Ya‟la (w.307) Ibn Abi Syaybah (w.297), bersama kitab yang enam. Kemudian Ia menyusunnya dengan bab per bab. 5. Al-Sîrah al-Nabawiyah. 6. Al-Musnad al-syaykhân (musnad Abu Bakar dan Umar). 7. Syamâil al-rasûl wa dalâilu nubuwwatihi wa fadlâilihi wa khashâ`isihi (di nukil dari kitab bidâyah wa nihâyah) 8. Ikhtishar al-Sîrah al-Nabawiyah. Di ambil dari bidâyah wa nihâyah terkhusus mengenai kisah bangsa Arab jaman jahiliyah dan jaman Islam serta sirah Nabi Saw. 9. Al-Ahâdîts al-tawhîd wa al-rad „alâ al-syirk. 10. Syarh Bukhari (tidak selesai) 11. Takhrîj ahâdîts muktashar ibn al-hâjib. 12. Takhrîj ahâdîts adillatu al-tanbîh fî fiqh al-syaafi‟i. 13. Muktashar kitab Bayhaqi (al-madkhal ilâ al-sunan) 14. Ikhtishar „ulûmu al-hadîts li ibn al-shalâh. 15. Kitâb al-simâ‟. 16. Kitâb al-ahkâm (tidak selesai hanya sampai bab haji saja) 17. Risâlah al-jihâd. 18. Thabâqât al-syafi‟iyyah. 19. Al-Kawâkib al-Dirâri (dinukil dari kitab bidâyah wa nihâyah) 20. Al-Ahkâm al-Kabîrah. 21. Manâqib al-syâfi‟i.. Ibnu Katsir adalah ulama Ahlu As-Sunnah wal Jama’ah dan mengikuti manhaj Shalaf As-salih dalam beragama, baik dalam aqidah, ibadah, maupun akhlak. Kesimpulan seperti itu dapat di buktikan melalui hasil karya-karyanya, termasuk di dalamnya kitab Tafsir al-Quran Al-Adzim. C. Sekilas Tentang Kitab Tafsir Alquran Al-Adzim. 1. Latar belakang penulisan Tafsir Alquran Al-adzim Imam Ibnu Katsir. Adapun penulisan kitab Tafsir AlQuran al-Adzim ialah. Ia mengatakan dalam kitabnya yaitu: الا اني أوتيت القران ومثله معه يعنى: السنة. السنة أيضا تنزل عليه الوهى,كما ينزل القران, الا انها لا تتلى كما يتلى القران والعرض أنك تطلب تفسير القرأن منه,فان لم تجد فمن السنة, واذا لم نجد التفسير فى القران ولا فى السنة, رجعنا فى ذلك الى اقول الصحابي. "Ketahuilah sesungguhnya aku menafsirkan Alquran dengan semisalnya yaitu Alquran. Sunnah juga diturunkan juga dengan wahyu, seperti Alquran. Jika penjelasan tersebut tidak didapati di dalam Alquran, maka dengan Sunnah karena Sunnah adalah serupa dengan wahyu. Sunnah juga dipakai dalam penafsiaran, jika penafsiran tersebut tidak didapati di dalam Sunnah. Tidak juga didapati di dalam Alquran, maka kami kembali kepada pendapat sahabat" . Abu Fida’ Isma’il bin Katsir. Tafsir Al-Quran Al-Adzim Jilid I ( Maktabah Dar al-Ghaddi Al-Jadid), hlm 4 . Tafsir Quran dengan perkataan sahabat. Ibnu Katsir berkata, jika kamu tidak mendapati tafsir dari suatu ayat dari Alquran dan Sunnah, maka jadikanlah para sahabat sebagai rujukannya, karena para sahabat adalah orang yang adil dan mereka sangat mengetahui kondisi serta keadaan turunnya wahyu. Ia menjadikan konsep ini berdasarkan beberapa riwayat, di antaranya atas perkataan Ibnu Mas’ud: “demi Allah tidak suatu ayat itu turun kecuali aku tahu bagi siapa ayat itu turun dan di mana turunnya. Dan jika ada seseorang yang lebih mengetahui dariku mengenai kitab Allah, pastilah aku akan mendatanginya“. Juga riwayat yang lain mengenai didoakannya Ibnu Abbas oleh Rasululllah saw, “ya Allah fahamkanlah Ibnu Abbas dalam agama serta ajarkanlah ta‟wil kepadanya“. Kita dapat melihat pada surat an-Naba ayat 31 beliau menukil perkataan Ibnu Abbas. Menafsirkan dengan perkataan tabi’in. Cara ini adalah cara yang paling akhir dalam cara menafsirkan Al-quran dalam metode bil-ma`tsur. Ibnu Katsir merujuk akan metode ini, karena banyak para ulama tafsir yang melakukannya, artinya, banyak ulama tabi’inyg dijadikan rujukan dalam tafsir. Seperti perkataan ibnu Ishaq yang telah menukil dari Mujahid, bahwa beliau memperlihatkan mushaf beberapa kali kepada Ibnu Abbas, dan ia menyetujuinya. Sufyan al-Tsauri berkata, “jika Mujahid menafsirkan ayat cukuplah ia bagimu”. Selain Mujahid, di antara ulama tabi’in adalah Sa‟id bin Jabir, Ikrimah, Atha bin Rabah, Hasan al-Bashri, Masruq bin al-Ajdi, Sa‟id bin Musayyab, Abu al-aliyah, Rabi‟ bin Anas, Qatadah, al-Dahhaak bin Muzaahim Radiyallahu anhum. Kita dapat melihat pada surat al-Baqarah ayat 47 beliau menukil perkataan Mujahid. Kecendrungan karya seseorang tidak akan bisa dilepaskan dari minat orang tersebut, kira-kira seperti itu jugalah Tafsir Ibnu Katsir. Sosok Ibnu Katsir yang condong kepada keabsahan turats telah ikut mewarnai karyanya. Begitu juga hal ini tidak bisa lepas dari kondisi jaman saat itu, kemajuan aliran pemikiran pada abad ke 7/8 H memang sudah kompleks. Artinya telah banyak aliran pemikiran yang telah ikut mewarnai karakter seseorang. Pemahaman yang orisinil untuk mempertahankan keauntetikan Alquran dan Sunnah terus dijaga. Inilah sebagian pewarnaan Ibnu Katsir dalam tafsirnya. Selain itu, kelompok-kelompok yang mengagungkan akal secara berlebihan dan thariqah sufiyah telah beredar luas saat itu. Islam telah berkembang pesat dan banyak agamawan yang masuk ke dalam Islam. Hal ini ikut pula mempengaruhi sekaligus mewarnai perkembangan wawasan pemikiran. Ibnu Katsir yang telah tersibghah dengan pola pikir gurunya (Ibnu Taymiyah) sangat terwarnai dalam metode karya-karyanya. Sehingga dengan jujur ia berkata, bahwa metode tafsir yang ia gunakan persis sealur dan sejalur dengan gurunnya Ibnu Taymiyyah. Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa tafsir ibnu katsir telah menjadi rujukan kategori tafsir bi Al-ma’tsur.. Latar belakang pendidikan Ibnu Katsir tentunya tidak bisa dipisahkan dari metodenya dalam meneliti karyanya. Menurut Imam Ibnu Katsir penafsiran Alquran itu lebih cocok menggunakan komponennya yang berasal dari Alquran itu sendiri serta Sunnah Rasulullah SAW. Hingga sahabat karena thobaqat ini lah yang paling memahami Alquran. Sehingga Syekh Muhammad Rasyid Ridha menjelaskan : “ Tafsir ini merupakan tafsir paling masyhur yang memberikan perhatian besar terhadap apa yang diriwayatkan dari para mufassir salaf dan menjelaskan makna makna ayat dan hukum-hukumnya serta menjauhi pembahasan i’rab dan cabang-cabang balaghah yang pada umumnya dibicarakan secara panjang lebar oleh kebanyakan mufassir, juga menjauhi pembicaraan yang melebar pada ilmu-ilmu lain yang tidak diperlukan dalam memahami Alquran secara umum atau memahami hukum dan nasihat-nasihatnya secara khusus” . Manna’ Khalil Al-Qaatan, Mabahist Fi al-Ulumu al-Quran term, (CV, Literatur Nusannata, cet 18,thn 2015), hlm 301. antara ciri khas atau keistimewaannya adalah, perhatiannya yang cukup besar terhadap apa yang mereka namakan “ tafsir Alquran dengan Alquran.” Dan sepanjang pengetahuan kami, tafsir ini merupakan tafsir yang paling banyak memuat atau memaparkan ayat-ayat yang bersesuai maknanya, kemudian diikuti dengan penafsiran ayat dengan hadis-hadis marfu’ yang ada relevansinya dengan ayat yang di tafsirkan, serta menjelaskan apa yang dijadikan hujjah dari ayat tersebut. Kemudian diikuti pula dengan atsar para sahabat dan pendapat tabiin dan ulama salaf. . Ibid ,hlm. 303. 2. Corak Tafsir Imam Ibnu Katsir Tafsir Imam Ibnu Katsir mengandung beberapa nuansa pemaparan. Hal ini karena Ibnu Katsir memiliki beberapa bidang keahlian yaitu sebagai mufassir, mu’arrikh, muhaddis, dan hafizd. Latar belakang keilmuannya itu terbawa dalam analisis mengenai ayat yang sedang ditafsirkan karena ketertarikannya terhadap masalah tertentu, yang kemudian mengkristal dan bisa dikatakan sebagai “kandungan” tafsir tersebut. Adapun coraknya. 1. Nuasa Fiqh Pada tafsir Ibnu Katsir dapat di temukan beberapa penafsiran terhadap ayat-ayat hukum yang di jelaskan secara luas dan panjang lebar, dengan dilakukan istinbath dan tarjih terhadap pendapat-pendapat tertentu. Dalam tarjih ia melakukan analisis terhadap dalil yang dipakai, dengan bersikap secara netral. Tindakan tersebut mengisyaratkan adanya kandungan corak fiqh pada tafsir ini. Maksudnya, suatu corak tafsir yang melalukan penafsiran terhadap ayat-ayat tasyri dan mengistinbathkan dari padanya hukum-hukum fiqh, serta mentarjihkan sebagian ijtihad atas sebagian yang lain . Nur Faizan Maswan, Kajian Deskriptif Tafsir Ibnu Katsir Membedah Khazanah Klasik, (Jogjakarta: CV. Menara Kudus ), hlm.67. . 2. Nuansa Ra’y Maksud nuansa ra’y disini ialah bahwa Ibnu Katsir dalam tafsirnya melakukan penafsiran Alquran dengan ijtihad. Ia memahami kalimat-kalimat Alquran dengan jalan memahami maknanya yang ditunjukkan oleh pengetahuan bahasa Arab dan pristiwa yang dicatat oleh ahli tafsir. Penggunaan ra’y dalam tafsir adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari. Pada tafsir-tafsir yang bercorak ra’y, peran dan kadar penggunaan akal sangat besar. Pada tafsir bi Al-ma’tsur seperti tafsir ini peran akal sangat kecil. Peran ra’y pada tafsir Ibnu Katsir, antara lain untuk meneliti sanad. Ini sangat penting bagi sebuah tafsir bi al-ma’stur, yang akhirnya membawa tafsir ini sebagai tafsir mahmud. Hal ini berkaitan dengan titik tekan penulisan tafsir masa muta’akhirin, yaitu pada penelitian sanad. . Ibid, hlm, 67. Tanpa hal itu, namun hanya tahammul wal ‘ada’ riwayat tafsir dari orang yang di atasnya untuk disampaikan kepada yang lebih bawah atau sekedar mentransfer tanpa melakukan kritik sanad dan matan, maka akan masuk sebagai tafsir yang mazmum karenanya, penggunaan ra’y dalam tafsir ini adalah sesuatu keniscayaan. . Nur Faizan Maswan Kajian Deskriptif Tafsir Ibnu Katsir Membedah Khazanah Klasik (Jogjakarta, CV. Menara Kudus), hlm.69. 3. Nuansa Kisah Pada tafsir Imam Ibnu Katsir tampak suatu usaha untuk menerangkan ayat-ayat yang bertutur tentang kisah, dan juga menambahkan pada keterangan tertentu kisah yang bersumber dari Ahli Kitab, yaitu Israiliyyat dan Nasraniyyat. Karena porsi keterangan ini cukup besar, dan tafsir ini juga bisa disebut dengan bernuansa kisah yaitu menerangkan kisah-kisah Alquran dengan porsi yang besar, dengan menambah kisah-kisah itu dari Israiliyyat dan Nasraniyyat. Sikap Ibnu Katsir dalam Israiliyat sama dengan gurunya Ibnu Taymiyyah, akan tetapi dia lebih tegas sikapnya dalam menghadapi masalah ini. Sebagaimana ulama yang lain, Ibnu Katsir mengklasifikasikan Israiliyat ke dalam tiga jenis. Pertama, riwayat yang shahih dan kita harus meyakininya. Pendeknya, riwayat Israiliyat tersebut sesuai dengan apa yang di ajarkan oleh syariat Islam. Kedua, riwayat yang bersebrangan dengan Islam, berarti kewajiban untuk ditolak, karena riwayat ini adalah riwayat dusta. Ketiga, riwayat yang tawaquf ditangguhkan. Hal ini menuntut sikap untuk tidak meyakini 100 % dan menolak 100%. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits, “kabarkanlah oleh kamu tentang bani Israil karena hal itu tidak mengapa bagi kamu“. Dan hadits lain, “janganlah kamu sekalian membenarkan mereka, juga jangan mendustakan mereka”. Untuk point pertama dan kedua Ibnu Katsir sepakat dengan ulama yang lain tapi untuk point ketiga Ibnu Katsir kurang sepakat dalam tatanan realitanya. hal ini bisa kita cermati, ketika beliau banyak mengedepankan tentang larangan periwatan Israiliyat yang Ia suguhkan dalam metode tafsirnya. Begitu pula, Ia banyak melontarkan kritik terhadap riwayat Israiliyat, karena riwayat ini kurang mempunyai faidah baik itu dalam permasalah keduniaan maupun problematika keagamaan. Lapangan kisah di dalam Alquran yang diambil Ibnu Katsrir ialah mencakup kisah-kisah : 1. Kisah para nabi dan umat 2. Kisah orang-orang masa lalu yang tidak jelas kenabiannya, dan 3. Kisah yang terjadi pada masa Rasulullah SAW . Ibid. .hlm.72.. Berkaitan dengan kisah ini, Ibnu Kaṡīr mengambil sumber penafsiran dan penjelasannya dari ayat-ayat lain (tafsir ayat dengan ayat), hadis dan juga dari penuturan ahli kitab yang berupa Isrāilliyyāt dan Naṣrāniyyat . Ahmad Zuhri, Risalah Tafsir, Berinteraksi dengan Alquran Versi Imam Al-Ghazali, (Bandung: Cita Pustaka, Cet 1 thn 2007).hlm.139. 4. Nuansa Qiraat Keberadaan Ibnu Kaṡīr sebagai ahli qiraat, ikut memperkaya nuansa tafsirnya. Yakni menerangkan riwayat-riwayat alquran dan qiraat-qiraat yang diterima dari ahli-ahli qiraat terpercaya. Dalam penyampaiannya, Ibnu Kaṡīr selalu bertolak pada qiraah sab‘ah dan Jumhur Ulama, baru kemudian qiraah-qiraah yang berkembang dan dipegangi sebagian ulama dan qiraah syaẓẓah. Contoh qiraah pada ayat 5 surat al-fātiḥah. إياك نعبد وإياك نستعين Terhadap yang membaca (iyyāka), tanpa tasydid pada huruf ya’ nya, yaitu yang dibaca ‘Amr ibn Fayyād, Ibnu Kaṡīr berkomentar bahwa bacaan ini adalah syaẓ dan tertolak, karena (iyā) artinya sinar matahari. Pada mulanya buku ini ditulis dengan sepuluh jilid, tapi kemudian dicetak dengan empat jilid dengan jilidan yang sangat tebal. Pada terbitan Daarul Jiil, Beirut, tahun 1991, kalasifikasinya seperti berikut : 1. Jilid I, dari surat al-Fatihah sampai surat an-Nisaa. Tebal : 552 halaman 2. Jilid II, dari surat al-Maidah sampai surat an-Nahl. Tebal : 573 halaman 3. Jilid III, dari surat al-Israa samapai surat Yaasiin. Tebal : 558 halaman 4. Jilid IV, dari surat as-Shaafat sampai surat an-Naas. Tebal :580 halaman 2 BAB III PENAFSIRAN AYAT-AYAT MUTASYABIHAT MENURUT PANDANGAN ULAMA A. Ayat- Ayat Mutasyabihat Di dalam Alquran. Sebelum membahas bagaimana pandangan Imam Ibnu Katsir menggenai ayat-ayat mutasyabihat, penulis merasa perlu untuk menguraikan defenisi yang menyangkut tentang permasalahan Ayat mutasyabihat yang telah menjadi topik pembahasan dari kalangan ulama tafsir, baik dari makna mutasyabihat itu sendiri ataupun dari Ayat tersebut. Setiap generasi melakukan penelitian yang mengakibatkan kemunculan ilmu-ilmu baru yang belum terjadi pada masa sebelumnya. Ketika ingin menjelaskan mutasyabihat haruslah mengetahui penjelasan dari makna tersebut dan juga mempunyai keterkaitan dengan penjelasan muhkam yang keduanya saling bergandengan dan tidak bisa terpisahkan antara satu dengan yang lain. 1. Defenisi muhkam dan mutasyabih Imam Ibnu Katsir menjelaskan pengertian dari muhkam dan mutasyabih di dalam kitabnya tafsir Alquran Al-adzim yaitu: يخبر تعالى أن في القران ايات محكمات هن أم الكتاب, اي: بينات واضحات الدلالة, لا الباس فيها على أحد من الناس,ومنه ايات أخر فيها اشتباه في الدلالة على كثير من الناس او بعضهم, فمن رد ما اشتبه عليه الى الواضح منه وحكم محكمه على متشابه عنده, فقد اهتدى, ومن عكس انعكس .Ibid, Tafsir Alquran Al-adzim.hlm.321. Artinya: Allah SWT. memberitakan bahwa di dalam Alquran terdapat ayat-ayat muhkam, yang semuanya merupakan Ummul Kitab, yakni terang dan jelas pengertiannya, tiada seorang pun yang mempunyai pemahaman keliru tentangnya. Bagian yang lain dari kandungan Alquran adalah ayat-ayat mutasyabih pengertiannya bagi kebanyakan orang atau sebagian dari mereka. Maka barang siapa yang mengembalikan hal yang yang mutasyabih kepada dalil yang jelas dari Alquran, serta memutuskan dengan ayat yang muhkam maka sesungguhnya dia mendapat petunjuk. Barang siapa yang terbalik , yakni memutuskan yang mutasyabih atas muhkan maka terbaliklah dia. وأخر متشابهات اي: تحمل دلالتها موافقة المحكم, وقد تحمل شيأ اخر من حيث اللفظ والتركيب, لا من حيث المراد. وقد اختلفوا فى المحكم والمتشبابه . Ibid. Tafsir Alquran Al-azdim.hlm.322. Artinya: Dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat. Yakni ayat-ayat yang pengertiannya terkadang mirip dengan ayat-ayat yang muhkam dan terkadang mirip dengan pengertian lainnya bila ditinjau dari segi lafaz dan susunannya, tetapi tidak dari segi makna yang dimaksud. Maka berbeda pendapat mengenai mukam dan mutasyabih. Imam al-Alusi dalam kitab tafsir Ruh al-Ma’ani membuat defenisi tentang ayat muhkam dan mutasyabihat yaitu: muhkam adalah Ayat yang terang maknanya, jelas dalalahnya terpelihara dari adanya kemungkinan terjadi pemalingan makna dan penyerupaan dengan yang lain. mutasyabihat yaitu ayat yang mungkin diartikan kepada beberapa makna, tidak bisa membedakan sebahagian dengan sebahagian lain, untuk menghasilkan makna yang dimaksud tidak bisa didapat tanpa adanya penelitian yang lebih dalam. Ketidak jelasan makna Ayat terkadang karena banyaknya pengertian suatu ayat atau penjelasannya terlalu umum . Syihabuddin Sayid Mahmud al-Alusi, Ruhul Ma’ani,. Jild II. (Libanon. Dar al-Fikri, Cet.I, 2003 M/1423 H), hlm. 99.. Menurut istilah, para ulama mempunyai perbedaan pendapat tentang pengertian muhkam dan mutasyabih, dari pendapat ulama kalam hingga pendapat ulama tafsir dan ulama fiqh. Hal tersebut dapat dilihat sebagai berikut. Muhkam ialah lafal yang tidak bisa ditakwilkan kecuali satu arah atau dari satu segi saja. Sedangkan lafal mutasyabih adalah artinya dapat ditakwilkan dalam beberapa arah/segi, karena masih sama. Misalnya, seperti masalah surga, neraka, dan sebagainya . Ibid, Syamsurohman.hlm. 34. . Muhkam ialah lafal yang berdiri sendiri atau jelas dengan sendirinya dengan tanpa membutuhkan keterangan lain. Sedangkan lafal mutasyabih adalah yang membutuhkan penjelasan artian maksudnya, karena adanya bermacam-macam pentakwilan terhadap lafal tersebut. Muhkam adalah lafal yang menunjukkan jelasnya petunjuk, dan tidak dinasakh (dihapus hukumnya). Sedangkan mutasyabih adalah lafal yang sama maksud petunjuknya, sehingga tidak terjangkau oleh akal pikiran manusia atau pun tidak tercantum dalam dalil-dalil nash. Sebab, lafal mutasyabih itu termasuk hal-hal yang diketahui oleh Allah saja. Ikrimah dan Qatadah mengatakan bahwa muhkam ialah lafal yang isi maknanya dapat diamalkan, karena sudah jelas dan tegas. Seperti umumnya lafal Alquran. Sedangkan mutasyabih adalah lafal yang isi makna nya tidak perlu diamalkan, melainkan cukup di imani saja. Imam Ath-Thibi mengatakan, bahwa lafal muhkam ialah maknanya telah jelas. Sehingga tidak mengakibatkan kesulitan arti. Sebab, lafal yang muhkam itu diambil dari lafal ihkam (Ma’khuudzul Ihkaami) yang berarti bagus dan baik. Sedangkan lafal mutasyabih ialah sebaliknya, yakni yang sulit untuk dipahami, sehingga mengakibatkan kesulitan dalam memahaminya. . Abdul Djalal H.A, Ulumul Quran, (Surabaya: Cet III. thn 2008), hlm. 257. Dari beberapa defenisi di atas, jika semua defenisi muhkam tersebut dirangkum, maka pengertia muhkam ialah lafal yang artinya dapat diketahui dengan jelas dan kuat secara berdiri sendiri, dan pengertiannya sangat mudah untuk dipahami dan masuk pada akal sehingga dapat diamalkan. Sedangkan pengertian mutasyabih ialah lafal Alquran yang artinya samar, sehingga tidak dapat dijangkau oleh akal manusia karena bisa ditakwilkan macam-macam sehingga tidak dapat berdiri sendiri karena susunan tartibnya kurang tepat sehingga menimbulkan kesulitan disebabkan penunjukan artinya tidak kuat, sehingga cukup diyakini keberadaannya saja dan tidak perlu di amalkan . Ibid, Djalal H.A, hlm. 258 . B. Metode Para Ulama Memahami Ayat-ayat Mutasyabih Pada umumnya para ulama memulai pembahasan mutasyabih dengan merujuk pada surah Ali-Imran ayat 7 yaitu: Artinya: Dia-lah yang menurunkan Alkitab (Alquran) kepada kamu. diantara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Alquran dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari takwilnya, Padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal . Q.S. Ali Imran ayat 7.. Dalam pembahasan ini ulama Salaf dan Khalaf mempunyai metode tersendiri untuk memahami ayat mutasyabih. Seperti ulama Ahlu sunnah Waljama’ah memahamkan ayat mutasyabih menjadi dua yaitu tafwid, yakni tidak membahas maknanya sama sekali. Ini dilakukan oleh mayoritas ulama Salaf. Walaupun ada juga ulama Salaf yang melakukan takwil, cara ini disebut cara Salaf. 1. Pengertian Tafwid Tafwid adalah membaca ayat mutasyabihat sebagaimana lafal bahasa Arabnya, tetapi tidak memahami dan membahas makna lahirnya serta tidak pula memahami lahir terjemahannya. Kita beriman dan meyakini bahwa ayat mutasyabihat ini adalah dari sisi Allah SWT. sebagaimana disebut dalam QS Ali-Imran ayat 7. Kita meyakini bahwa Allah tidak serupa dengan makhluk. Disini kita memulai dengan tanzih yaitu mensucikan Allah dari menyerupai makhluk. Hal ini diserahkan sepenuhnya kepada Allah semata, sebab hanya Allah Yang Maha Mengetahui maknanya. 2. Pengertian Takwil Takwil, yakni jika membahas maknanya. Ini dilakukan oleh mayoritas ulama Khalaf. Walaupun ada juga ulama Khalaf yang melakukan tafwid, cara ini disebut cara Khalaf. Melakukan takwil adalah membaca ayat mutasyabihat sebagaimana lafal bahasa Arabnya, tetapi tidak memahami dan membahas makna lahirnya. Kita beriman dan meyakini bahwa ayat mutasyabihat ini adalah dari sisi Allah SWT., sebagaimana disebut dalam QS Ali Imran ayat 7. Kita meyakini bahwa Allah tidak serupa dengan makhluk, Disini kita memulai dengan tanzih yaitu mensucikan Allah dari menyerupai makhluk, kemudian kita membahas maknanya dengan mengalihkan dari membahas ayat mutasyabihat kepada membahas ayat muhkamat yang pasti maknanya yang berkaitan dengan ayat mutasyabihat itu. Mengapa mesti kita alihkan kepada ayat muhkamat? Adalah agar kita meninggalkan hal yang syubhat dan berpegang kepada yang pasti, sebagaimana hadis Rasulullah SAWyang menyebutkan: أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَبَانَ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ إِدْرِيسَ، قَالَ: أَنْبَأَنَا شُعْبَةُ، عَنْ بُرَيْدِ بْنِ أَبِي مَرْيَمَ، عَنْ أَبِي الْحَوْرَاءِ السَّعْديِّ، قَالَ: قُلْتُ لِلْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: مَا حَفِظْتَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَالَ: حَفِظْتُ مِنْهُ: «دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ . Imam An-Nasai, Sunan An-Nasai, juz 8, Maktabah As-Syamilah, hlm, 327. Mengkabarkan kepada kami Muhammad bin Aban, dia berkata” menceritakan kepada kami Abdullah bin Idris, dia berkata”bapak kami Syu’bah”. Dari Barid bin Abi Maryam, dari Abi Haura’ As-Sa’di, dia berkata, kepada Hasan bin Ali R.A.” Apa yang kamu jaga dari Rasulullah SAW? Dia berkata” aku telah menjaga darinya “tinggalkanlah apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu.” Ayat muhkamat adalah jelas maknanya dan sudah pasti benar, maka kalau kita katakan bahwa ayat mutasyabihat itu diantaranya berarti seperti yang disebut dalam ayat muhkamat, adalah tidak akan bertentangan dengan Alquran dan Sunnah. Dalam ayat muhkam terkandung pokok Agama dan menerangkan perkara yang bekaitan dengan ayat mutasyabihat. Tetapi walaupun begitu tetap menyerahkan makna sebenarnya kepada Allah SWT. sebab hanya Allah Yang Maha mengetahui maknanya yang pasti . https://pemudade.wordpress.com/2015/11/21/bagaimana-aswaja-memahami-ayat-ayat-mutasyabihat. Di akses hari Minggu, jam 12.00 Wib.. Dengan cara inilah para ulama untuk memahami ayat-ayat mutasyabih, menggunakan tafwid dan takwil. Adapun alasan menggunakan tafwid ialah dikarenakan tidak memahami dan membahas makna lahirnya. Kita beriman dan meyakini bahwa Ayat mutasyabihat ini adalah dari sisi Allah SWT. dan tidak perlu kita ketahui hanya Allah yang mengetahui apa yang dimaksudkan. Sedangkan takwil para ulama Khalaf berkata “kita beriman dan meyakini bahwa ayat mutasyabihat ini adalah dari sisi Allah SWT. sebagaimana disebut dalam QS Ali-Imran ayat 7. Kita meyakini bahwa Allah tidak serupa dengan makhluk Disini kita memulai dengan tanzih yaitu mensucikan Allah dari menyerupai makhluk, kemudian kita membahas maknanya dengan mengalihkan dari membahas ayat mutasyabihat kepada membahas ayat muhkamat yang pasti maknanya yang berkaitan dengan ayat mutasyabihat”. Dua cara ini di perbolehkan dalam memahami ayat-ayat mutasyabih. C. Implikasi Metode Terhadap Penafsiran Ayat Mutasyabihat Sebagaimana terjadi pada perbedaan pendapat tentang pengertian mutasyabih dalam artian yang khusus, dalam perbedaan pendapat tidak bisa dihindari. Sebagian ulama mengatakan, bahwa arti dan ayat-ayat mutasyabih tidak dapat di ketahui oleh manusia, sebagaimana yang lain dapat mengetahuinya. Dalam ayat ke 7 pada surat Ali-Imran: Artinya: Dia-lah yang menurunkan Alkitab (Alquran) kepada kamu. diantara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamat, Itulah pokok-pokok isi Alqur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari takwilnya, Padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal . Alquran dan terjemah, Kitab Suci Al-quran Departemen Agama Republik Indonesia, ( Bandung: PT. Gema Risalah Press 1992), hlm.76. . Dalam ayat ini para ulama memperselisihkannya adalah kalimat War Rasikhuuna fil ‘Ilmi itu diathafkan (disambungkan) dengan lafal Allah yang sebelumnya, sedangkan kalimat Yaquluna Amanna Bihi itu menjadi hal dari Al-Rasikkhuuna ataukah kalimat Wa al-Raasikhuna fil ‘Ilmi menjadi mubtada’. Adapun beberapa pendapat mengenai hal ini yaitu: Imam Mujahid dan sahabat-sahabatnya serta Imam Nawawi memilih pendapat pertama, yakni bahwa kalimat Al-Rasikhuuna fil ‘Ilmi itu diathafkan kepada lafal Allah. Pendapat itu berasal dari riwayat Imam Ibnu ‘Abbas sebagai berikut: Hadis riwayat Ibnu Munzdir dari Mujahid dari Ibnu ‘Abbas R.A menggenai firman Allah: وما يعلمم تأويله الا الله والراسخون فىى العلم انا ممن أعلم تأويله “Ibnu ‘Abbas berkata: saya termasuk orang yang mengetahui takwilnya. . Ibid. hlm, 245.” Hadis riwayat Abu Hatim dari Adh-Dhahak yang berkata: الراسخون فى العلم يعلمون تأويله ولو لم يعلموا تأويله لم يعلموا ناسخه من منسوخه ولا حلاله من حرامه ولا محكمه من متشابهه “Orang-orang yang mendalam ilmunya mengetahui takwilnya. Sebab, jika mereka tidak mengetahui takwilnya, tentu mereka tidak mengerti mana yang nasikh dari yang mansukh, dan tidak menegetahui yang halal dari yang haram serta mana yang muhkam dari yang mutasyabih. . Ibid. hlm,246 ” Imam Nawawi mengatakan, bahwa pendapat itu yang lebih jelas dan sahih. Sebab, adalah tidak mungkin Allah akan menyingkap dan mengkhitab hambanya dengan sesuatu yang tidak ada jalan untuk mengetahuinya. b). Kebanyakan sahabat, tabiin dan tabi’tabiin serta orang-orang setelah mereka, memilih pendapat yang kedua. Yakni, bahwa kalimat Wa al-Rasasikhuna fil ‘Ilmi itu menjadi mubtada’, sedangkan khabar adalah kalimat Yaquluna Amanna bihi. Dan riwayat lainnya, dalil yang mendasari pendapat kedua ini ialah sebagai berikut: - Riwayat Abdu. Al-Razzaq dalam tafisrnya dan riwayat Al-Hakim dalam Mustadraknya, berasal dari ibnu Abbas R.A, bahwa ia membacanya: والرسخون فى العلم يقولون أمنا به Bacaannya itu menunjukkan bahwa kalimat : War Rasikhuna fil ‘Ilmi Yaquluna menjadi predikat. - Ayat 7 surah Ali Imran mencela orang-orang yang mencari ayat-ayat mutasyabihat dan menyifati mereka dengan condong kepada kesesatan dan mencari cari fitnah. Dan dalam ayat itu ayat Allah SWT. memuji mereka urusan-urusaran yang samar itu kepada kepada Allah SWT. dengan firman Allah: والرسخون فى العلم يقولون أمنا به كل من عند ربنا Artinya: Orang-orang yang mendalam ilmunya mereka berkata “kami beriman kepada Allah dari sisi tuhan kami” Hadis riwayat Al-Bukhari dan Muslim dan lain-lain dari Aisyah. Dia mengatakan bahwa Rasulullah SAW. setelah membaca ayat 7 surat Ali-Imran itu, beliau bersabda: فاذا رأيت الذين يبتغون ما تشابه منه فأولئك الذين سمواالله فاحذرهم Artinya: “Maka kalau kamu melihat mereka yang mencari hal-hal yang samar itu, maka mereka itulah yang dinamai Allah, maka hindarilah mereka itu” Jadi orang-orang yang condong dalam kesesatan mengambil sebagian ayat-ayat mutasyabih ini sebagai sarana untuk mencela Kitabullah serta membuat fitnah bagi manusia. Mereka mentakwilkannya dengan tidak sesuai dengann pentakwilan yang Allah kehendaki, maka mereka itu ialah orang-orang yang sesat menyesatkan. Adapun orang yang kokoh ilmunya, mereka beriman bahwa apa yang terdapat dalam Kitabullah adalah benar. Tidak ada perselisihan dan pertentangan di dalamnya, karena Alquran itu datang dari sisi Allah. Artinya: “ Maka Apakah mereka tidak memperhatikan AlQuran? kalau kiranya AlQuran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya”. Adapun terhadap ayat-ayat yang mutasyabih, mereka mengembalikan kepada ayat-ayat mutasyabih agar seluruh menjadi muhkamat. Penjelasan ini sependapat dengan Imam Nawawi yang menurut nya. Allah tidak akan menghijab untuk mengetahui makna-makna yang terdapat di dalam Alquran. . Muhammad Shalih Utsaimin. Kaidah-Kaidah Menafsirkan Al-quran Terj (PUSTAKA ARRAYYAN, Cet I. Tahun. 2008), hlm. 92 D. Penafsiran Ayat-Ayat Mutasyabih Menurut Ulama Kalam Berkaitan dengan ayat-ayat mutasyabih para ulama kalam berbeda pendapat dalam menanggapinya. Sebagian diantara mereka ada yang menafsirkan dengan cara mentakwilkannya kepada pemahaman lain, ada juga yang sama sekali tidak menafsirkannya, melainkan memberlakukan makna ayat sebagimana tertulis, dan ada juga yang tidak menafsirkannya tapi dengan mengkonsekuensi pernyataan ayat tidaklah seperti apa yang ada dalam benak manusia karena tidak ada satupun yang menyamainya . Jalaluddin As-Syuyuthi, Al-Itqan Fii Ulum Al-quran, (Suria: Muassasah Ar-Risalah An-Nasyirun. Cet I. Thn 2008), hlm, 539.. Perbedaan pendapat di atas melatar belakangi oleh berbagai hal, sebagian besar diantaranya adalah aliran kalam dalam Islam. Contohnya Ahlusunnah wal Jama’ah, dari golongan ini mereka berusaha menafsirkan ayat dengan mentakwilkannya dengan tujuan menghilangkan keraguan akan adanya persamaaan Allah dengan makhluknya. Sedangkan menurut ulama Salaf sebagaimana yang sudah dijelaskankan oleh Imam Ibnu Taimiyyah bahwa ayat-ayat mutasyabih tidak ditakwilkan kepada pemahaman lain, ayat diberlakukan sebagaimana adanya, namun tidak boleh diartikan bahwa Allah sama dengan makhluk. Lain halnya dengan paham mutasyabih, golongan ini sama sekali tidak mentakwilkan atau memberi penjelasan lain, menurut mereka Allah seperti apa yang telah disebutkan dalam ayat. Bahkan mereka melarang membuat arti lain pada ayat-ayat mutasyabih yang berhubungan dengan sifat-sifat Allah. Dalam ayat disebutkan bahwa Allah menciptakan dengan kedua tangan-Nya berarti Allah punya kedua tangan yang dipergunakan untuk menciptakan. Dalam suatu ayat yang disebutkan bahwa Allah melihat berarti Allah mempunyai indra penglihatan dan seterusnya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari penafsiran dari berbagai aliran pada ayat di bawah ini : Surah Thaha ayat 5: Artinya : (Yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah. yang bersemayam di atas 'Arsy. b. Surah Al-Fath ayat 10 : Artinya : Tangan Allah di atas tangan mereka. c. Surah Ar-Rahman ayat 27: Artinya : Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan. d. Surah Hud ayat 37: Artinya:. dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu Kami, dan janganlah kamu bicarakan dengan aku tentang orang-orang yang zalim itu; Sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan. e. Surah Al-An’am ayat 3: Artinya:”Dan Dialah Allah (yang disembah), baik di langit maupun di bumi; Dia mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu lahirkan dan mengetahui (pula) apa yang kamu usahakan.” f. Surah Al-Hadid ayat 4: Artinya:”Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: kemudian Dia bersemayam di atas ´arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya. Dan Dia bersama kamu di mama saja kamu berada. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan” a. Pandangan Ulama Salaf Pada ayat-ayat di atas terdapat potongan-potongan ayat yang menggambarkan bahwa Allah punya sifat sama dengan dengan sifat Makhluknya. Yaitu kalimat “istawa” yang berarti “bersemayam”. Selanjutnya “wajhullah” yang berarti “wajh Allah” pada ayat ini seolah-olah Allah mempunyai wajah seperti wajah manusia biasa. Yang menjadi perbedaan adalah bahwa wajah Allah kekal sedangkan wajah manusia akan binasa. Selanjutnya kalimat “litusna ‘ala ‘aini” artinya “ menjadikan di atas mata Allah” yang berarti Allah itu punya mata. Selanjutnya kalimat “ wa huwallahu fisamawati wa al-ardhi” yang berarti Allah bahwa Allah “ Allah itu berada di langit dan di bumi”. Selanjutnya kata “fi janbillah” yang berarti “disisi Allah”, pada ayat ini menggambarkan seolah-olah Allah punya badan dan ada sesuatu di samping Allah. Selanjutnya kalimat “ma’a”, pada dasarnya makna kata “ma’a” adalah Allah “li al-ijtima’ wa al-isytirak” yaitu untuk menyatakan berkumpul dan bergabung. Maksud ayat seolah-olah menunjukkan bahwa Allah berkumpul dan bergabung dengan manusia. Dari uraian di atas sepintas menggambarkan ada kesamaan Allah dengan makhluknya dari segi sifat. Maka untuk menanggapi ayat seperti ini ulama dari berbagai kalangan berbeda pendapat. Di bawah ini penulis akan menjelaskan perbedaan pendapat dari bebagai kalangan, yaitu paham mutasyabihah, ahlu sunnah dan manhaj Salaf yang di ajarkan oleh Imam Ibn Taimiyyah. a). Kalimat “istiwa’” pada surat Thaaha ayat 5 di atas menurut aliran mutasyabih menjelaskan bahwa Allah duduk bersela mantap serupa duduknya manusia di atas tunggangan, karena arti “ istiwa’” dalam bahasa Arab adalah “duduk” bersela/bersemayam” menurut aliran Ahlusunnah kalimat istiwa’ ditakwilkan, takwilnya adalah istaula yang berarti “menguasai”. Sedangkan menurut aliran Imam Ibnu Taimiyyah tidak boleh ditakwilkan. Allah duduk bersela di Arsy tetapi duduknya tidak serupa dengan duduknya makhluknya. Pernyataan ini dapat di pahami dari perkataan beliau yaitu : اجراء ايات الصفات وأحديث الصفات على ظاهره مع نفي الكيفة والتشبيه عنها . Ibnu Taimiyyah, Al-Fatawa Al-Kabir. Jil V (Beirut, Libanon : Daar Al-Kutub Ilmyah, Cet.I, 1987 M), hlm. 473. “Memperlakukan/mengartikan ayat-ayat dan hadis yang berkaitan dengan Tuhan menurut lahirnya (sebagai tertulis), dengan catatan meniadakan bentuk dan keserupaan dengan makhluknya.” Dalam hal ini Imam Ibnu Hanbal, menjawab tentang permasalahan “ Istiwa” beliau mengatakan : استوى على العرش كيف شاء وكما شاء بلا حد ولا صفة يبلغها واصف Artinya: “ Istiwa’ di atas arsy terserah Allah dan bagaimana dia kehendaki dengan tiada batas dan tiada seorang pun yang sanggup menyipatinya. . Rosihon Anwar, Ilmu Kalam. (Bandung: CV.Pustaka Sejati, thn. 2012). hlm. 137. Dalam memahami ayat ini Imam Ibnu Hanbal lebih menyukai pendekatan lafzi dibandingkan pendekatan takwil. Dari pernyataan beliau di atas, tampaknya Imam Ibn Hanbal bersikap menyerahkan (tafwidh) kepada Allah dan Rasulnya, dan mensucikannya dari keserupaan dengan makhluk. Ia sama sekali tidak mentakwilkan pengertiam lahirnya. Pendapat ini jika kita lihat mempunyai kesamaan dengan pendapat Imam Ibnu Taimiyyah. Sedangkan pendapat kaum mutaakhirin telah menambah apa yang menjadi pendapat kaum Salaf yaitu dengan melakukan takwil. Kaum Salaf tidak melakikan takwil dan tidak juga mentasybih sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Malik bin Anas (w,197 H) الاستواء معلوم, وكيفية مجحولة, والايمان به واجب, والسؤال عنده بدعة Artinya: “Kata al-istiwa’ itu telah maklum diketahui, caranya itulah majul (tidak diketahui kaifiatnya). Iman terhadapnya adalah wajib, memperbincangkannya adalah bid’ah .Salihun A. Nasir, Pemikiran Kalam, sejarah ajaran,dan perkembanganya, (Jakarta: PT.Rajawali Pers. Thn, 2010).hlm 226. ” b). Kalimat “yadullah” pada surah al-Fath ayat 10 di atas menurut aliran mutasyabih bahwa Allah mempunyai tangan yang kekal. Sedangkan Aliran Ahlusunnah Waljama’ah berpendapat bahwa “yadun” disini ialah pertolongan dari Allah dan kuasa Allah yang tidak mempunyai batas dibandingkan dengan kuasa apapun. Adapun “yadun” menurut ulama shalaf disini ialah “tangan” akan tetapi jangan di katakan bahwa “tangan”nya Allah itu serupa dengan “tangan” manusia yang mempunyai bentuk yang sama seperti makhluk. Pendapat ini serupa yang pernah d riwayatkan oleh Imam Hanabi. c). Kalimat “wajhullah” pada surah Ar-Rahman ayat 27 di atas menurut aliran mutasyabih bahwa Allah mempunyai “Wajah” yang menerangkan bersifat kekal abadi. Sedangkan menurut aliran Ahlusunnah Waljama’ah “wajhun” ialah “zat” Allah. Ayat di atas merangkan tentang “zat” Allah yang kekal, seluruh makhluk hidup yang ada di dunia akan mati kecuali hanya Allah yang kekal. Hal ini disebutkan oleh Syekh Muhammad Nashir As-Sa’di dalam tafsirnya. . Abdul Ar-Rahman Bin Nashir Al-Sa’di, Taisiru Al-Karim Al-Rahman. ( Cet I, Dar Al-Asraka Al-Mujtami’, thn 2005 .), hlm.976. Lain halnya dengan pendapat Imam Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa Allah mempunyai “wajah” akan tetapi berbeda dengan wajah manusia. ia mengatakan yaitu. اما الكلام فى الجسم وجوهر ونفيهما او اثبتهما, فبدعة ليس لها أصل في كتاب الله ولا سنة رسوله تكلم أحد من الائمة والسلف بذلك نفيا ولا اثبتا.انتهى Artinya :“Adapun pembicaraan tentang jism dan jawhar serta menafikan dan penetapanya merupakan kebid’ahan yang tidak memiliki asal dari Kitab Allah dan sunnahRasulnya serta tidak pernah dibicarakan oleh seorang pun dari para Imam-Imam Salaf dengan menafikan atau menetapkan. Inilah alasan Ibnu Taimiyyah mengatakan tiada persamaan antara “wajah” Allah dengan makhluk. . http://kembalikefitrah.blogspot.com, di askes pada hari senin, jam 10.00 WIB. Karena tiada persamaan antara Allah dengan yang ada di semesta ini. d). Kalimat “‘a’Yun” pada surah Hud ayat 37 berbentuk jama’ yang “’ainun” yang artinya “mata” jika kita lihat dalam teks ayat pengertian dari ”a’yun” menurut kalangan mutasyabih Allah mempunyai “mata” sedangkan menurut Aliran Ahlusunnah Waljama’ah menafsirkan “a’yun” dengan “bashar” yaitu penggawasan Allah SWT. kepada seluruh makhluk yang ada di dunia. Sedangkan menurut syekh Imam Ibnu Taimiyyah “mata” Allah berbeda dengan makhluk,tidak bisa disamakan antara Allah dengan makhluk. e). Kalimat “yadun” pada surah Shad ayat 75 di atas menurut aliran mutasyabih bahwa Allah mempunyai tangan yang kekal. Sedangkan Aliran Ahlusunnah Wal jama’ah berpendapat bahwa “yadun” disini ialah pertolongan dari Allah dan kuasa Allah yang tidak mempunyai batas dibandingkan dengan kuasa apapun. Adapun “Yadun” menurut ulama shalaf disini ialah “tangan” akan tetapi jangan di katakan bahwa “tangan”nya Allah itu serupa dengan “tangan” manusia yang mempunyai bentuk yang sama seperti makhluk. Pendapat ini serupa yang pernah diriwayatkan oleh Imam Hanabi. b. Pandangan Ulama Khalaf Imam Abu Bakar Muhammad bin al-Hasan bin Faurak al-Ashbahani wafat 406 H. Beliau mengatakan dalam kitabnya yaitu: ان معنى قوله صلى الله عليه وسلم "اين الله استعلام لمنزلته وقدره عندها وفي قلبه . Imam Abu Bakar bin al-Hasan bin al-Faurak al-Ashbahani, Musykil Al-Hadist Wa Bayanuhu.(Beirut : Al-Alamah Al-Kutub).hlm,159. Artinya :Sesungguhnya makna pertanyaan Rasulullah Saw, “Allah dimana?. Itu adalah pertanyaan tentang kedudukan dan kekuasaan Allah SWT. menurut hamba sahaya perempuan itu. Yang di tanyakan adalah kedudukan adalah kedudukan dan kekuasaan Allah SWT.. Bukan tempat Allah. Sedangkan Imam al-Baji berpendapat : قوله: للجرية أين الله؟ فقالت فى السماء لعلها تريد وصفه باالعلو وبذالك يوصف كل من شأنه العلو فيقال مكان فلان في السماء بمعنى علو حاله وفعته وشرفه Artinya: Ucapan Rasulullah SAWkepada hamba sahaya perempuan “ Dimana Allah?” hamba itu menjawab,”Di langit”. Yang ia maksudkan ialah sifat agung Allah. Oleh sebab itu semua yang agung selalu disebut,”Tempat si anu di langit”, maksudnya ialah ia agung, tinggi dan mulia . Imam al-Baji, Al-Muntaqa Syarh Al-Muattha, Juz. IV, hlm,101.. Ayat ini mengkiaskan dan menjelaskan tentang kekuasaan Allah meliputi langit dan bumi, dan Allah adalah tuhan bagi langit dan bumi. Dalam menanggapi ayat di atas Imam Ibnu Taimiyyah sepakat dengan aliran Ahlusunnah Waljama’ah. Ia mencontohkan kalimat “si fulan di syam dan Irak”. Ia mengatakan itu menunjukkan kepemimmpinan si fulan di Syam dan Irak . Al-Maktabah Al-Syamilah al-Misdar al-Tsani. Kitab Imam Ibnu Taimiyyah. . a. Kalimat “Wa huwa ma’kum Ainama kuntum” pada surah Al-Hadid ayat 4 di atas menggambarkan bahwa Allah SWT. selalu memperhatikan hambanya. Dalam kalangan mutasyabihat mereka beranggapan bahwa Allah bercampur dengan manusia layaknya seorang manusia bergaul dengan manusia . Saleh., Skripsi Analisis ayat-ayat Mutasyabihat dalam Pandangan Al-Zamakhsyari .( Riau, Cet Uin Suska).hlm.36. Sedangkan menurut kalangan Ahlusunnah Waljama’ah, Allah selalu mengintai hambanya dan mendengar apa yang semua yang dilakukan oleh hamba. Allah tidak mengantuk, tidak tidur, dan tidak pernah merasa lelah melindungi dan membimbing hambanya yang ada di jagat semesta ini . Asep Usman Ismail. Pengembangan Diri Menjadi Pribadi Mulia.( Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. Cet I, thn. 2011).hlm.35.. Imam Ibnu Taimiyyah sependapat dengan kalangan teologi Ahlusnnah Waljama’ah. b. Ayat “Wa huwallahu fi al-Samawati wal al-ardh” dalam surah Al-An’am ayat 3 menggambarkan bahwa Allah SWT. berada di langit dan di bumi, dari pengertian ini aliran mutasyabih beranggapan bahwa Allah mempunyai tempat dan dan wujud. Sedangkan aliran Ahlusunnah Waljama’ah mengatakan bahwasanya semua yang ada di langit dan di bumi itu semua kepunyaan Allah . Abdul Somad, 37 Masalah Populer. (Riau,: CV.Tafaqquh, thn.2010).hlm,85. , dan dalam penguasaan Allah SWT. yang tidak ada yang bisa mengimbangi-Nya. BAB IV PENAFSIRAN AYAT-AYAT MUTASYABIHAT MENURUT IBNU KATSIR A. Penafsiran Terhadap Ayat Mutasyabih Berkenaan Dengan Sifat Allah. Pada sub bab ini akan diuraikan bagaimana Imam Ibnu Katsir menafsirkan ayat-ayat mutasyabih. Menurut Imam Ibnu Katsir, setiap penafsirannya merujuk kepada ayat-ayat dan hadis Rasulullah SAW. menjelaskan penafsiran tersebut. Dalam pembahasan ayat-ayat mutasyabih Imam Ibnu Katsir selalu merujuk kepada ulama salaf. Hal inilah yang di kembangkan oleh Imam Ibnu Katsir yang selalu mantap dalam penafsirannya untuk selalu mengikuti ulama salaf. Paling penting ialah manafisrkan Alquran dengan metode ulama Salaf as-Shalih. Para ulama Salaf as-Shalih sangat mempopulerkan cara menafsirkan seperti demikian . Abu Umar Basyir, Al-Ashraniyun Baina Maza’im at-Tajdid wa Mayadin at-Tagrib, term. ( Jakarta: Maktabah Al-kausar. Cet II, thn.2016), hlm.38.. Adapun penjelasan dari Imam Ibnu Katsir mengenai ayat-ayat mutasyabih yang mengenai sifat Allah yaitu: 1.) Surah Ar-Rahman ayat 27 lafal ( Wajh Al- Rabbik) Ia menafsirkan bahwa kata (wajh) mempunyai arti semakna dengan ayat Allah dalam surah Al-Qashas ayat 88 yaitu: Artinya: “Tiap-tiap sesuatu Binasa, Kecuali Allah”. Melalui ayat ini Allah SWT. menerangkan sifat (Zat)nya Allah yang Mahamulia, bahwa Dia adalah Tuhan yang mempunyai keagungan yang sangat agung yang tidak ada siapa pun yang bisa menandingi-Nya. Dengan kata lain, dapat disebutkan bahwa Allah adalah Tuhan yang harus di-Agungkan dan tidak boleh durhaka kepadanya. 2). Surah Al-Fath ayat 10 lafazh (Yad) Ibnu Katsir menafsirkan kata (yad) yaitu (pertolongan/kuasa) dalam penjelasan penafsiran ini Ibnu Katsir menjelaskan (tangan) dengan mengebalikan penafsirannya kepada surah At-Taubah ayat 111 yaitu : Artinya: “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan AlQuran. dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan Itulah kemenangan yang besar . QS. At-Taubah ayat 111”. Dalam penafsirannya, Allah akan menolong dan menjamin orang-orang yang Mukmin yang selalu berada dijalan Allah dan bertakwa kepada-Nya. Dari makna yang terdapat dalam kalimat (yadullah fauqa aidihim) menunjukkan kebesaran Allah dan pertolongan Allah kepada siapa pun yang berada dijalan Allah, serta berjihad dijalan-Nya dalam menegakkan agama yang diridai oleh Allah SWT. . Ibid. Jilid II.hlm, 366. Imam al-Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Qutaibah, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Amr, dari Jabir R.A. yang menceritakan. “ Kami di Hudaibiyah berjumlah seribu empat ratus orang”. Imam Muslim meriwayatkan hadis ini melalui Sufyan Ibnu Uyaynah dengan sanad yang sama. Imam al-Bukhari dan Imam Muslim menetenggahkannya pula melalui hadis al-A’masy, dari Sham Ibnu Abdu al-Jad, dari Jabir R.A, yang mengatakan. ( Kami pada hari itu baiat Ridwan berjumlah seribu empat ratus orang. Dan beliau SAWmeletakkan tangannya di air itu, maka terpancarlah air dari sela-sela jari jemarinya sehingga mereka semua kenyang minum darinya.” Dari penjelasan hadis ini dapat di kaitkan dengan (tangan) Allah ialah kekuasaan dan pertolongan dari-Nya, sehingga ketika peperangan Hudaibiyah pasukan Muslim bisa bertahan dalam berperang. Demikian juga mu’jizat Rasulullah SAW. sebagai pertolongan untuk pasukan sehingga mereka tidak kehausan dan melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya dalam berjihad dijalan Allah SWT.. 3). surah Shad ayat 75 lafaz (Khalaqtu bi dayya) Kata (yad) sering di ungkapkan bagi seorang yang banyak aktivitasnya. Jika kita buat dalam ungkapan lain seperti “ dia mengerjakan dengan kedua tangannya”. Seperti seseorang yang mengerjakan sebuah ladang yang sangat luas, ketika mengerjakan ia tidak mendapat bantuan dari pihak lain untuk menyelesaikannya. Apakah ia mengerjakan dengan tangan. Dalam teks ayat jika di artikan secara harfiyah kata (yadun) pasti maknanya adalah tangan. Akan tetapi Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini dengan kekuasaan yang dimana pada ayat ini, Allah akan menciptakan manusia. Akan tetapi ketika Adam telah diciptakan Allah memerintahkan semua makhluknya seperti Malaikat, Jin. Malaikat telah mematuhi perintah Allah agar sujud kepada Adam. maka Allah berfirman “ Wahai Iblis apakah yang menghalangi sujud kepada dengan apa yang aku ciptakan dengan tanganku.?” Maka hal ini menunjukkan (yadayya) ialah kuasa Allah قدرة(Qudrah) Allah SWT. . Ibid. Abu al-Fida’. Jilid IV.hlm, 39.. B. Penafsiran Terhadap Ayat Mutasyabih Berkenaan Af’al Allah Adapun penafsiran Imam Ibnu Katsir mengenai ayat mutasyabih yang berkenaaan dengan af’al Allah akan dibahas sebagai berikut : 1). Surah Hud ayat 37 lafal ( Bi a’yunina) Dalam penafsiran Ibnu Katsir yang dimaksud dengan (a’yunina) ialah حفظ (pengawasan) Allah kepada Nabi Nuh A.S. Pengawasan Allah sangat luas. Dalam membuat bahtera yang besar yang selalu di dalam pengawasan Allah SWT.. Jika dilihat dalam teks ayat makna harfiyah yang terdapat pada kalimat (a’yunina) adalah mata. Apakah mungkin Allah mempunyai mata seperti makhluk.? Maka dari itu beliau menafsirkan ayat ini dengan penjagaan atau dengan pengawasan . Ibid. Jilid II.hlm,415.. C. Penafsiran Terhadap Ayat Mutasyabih Berkenaan dengan Tempat Allah. Adapun dalam surah Al-An-‘am ayat 3 juga termasuk dalam ayat mutasyabihat, dimaknakan dengan pemahaman biasa maka akan mendapati kesalahan dalam memahami ayat tersebut. Imam Ibnu Katsir menafsirkan ayat tersebut yaitu : 1). Surah Thaha ayat 5 lafal (‘ala al-‘arsyi istiwa) Artinya: (yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah. yang bersemayam di atas 'Arsy. Ibnu katsir telah menjelaskan bahwa pada ayat ini telah di jelaskan oleh ayat yang terdahulu yaitu pada surah Al-a’raf. Ia mengatakan bahwa: “Mengenai pembahasan makna (istiwa) telah di sebutkan didalam surat Al-a’raf, sehingga tidak perlu lagi di ulangi lagi dalam surat ini. Dan pemahaman yang lebih aman dalam mengartikan makna lafal (istiwa) yang menurut lafal asalnya ialah bersemayam. Adalah menurut ulama salaf, yaitu memberlakukan makna hal yang seperti ini dari Kitab Allah dan sunnah Rasul SAW. Dengan pengertian yang tidak di barengi dengan penggambaran, dan tidak di selewengkan, dan tidak di serupakan, dan bahkan tidak pula di misalkan . Ibid, . Jilid IV.hlm.131..” Dalam penafsiran Ibnu Katsir ia menguatkan dan merujuk dari pemahaman ulama salaf dan kembali kepada ayat sebelumnya. Pada Surah Al- A’raf ayat 54 yaitu: Artinya: Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha suci Allah, Tuhan semesta alam. Firman-Nya ثم استوا على العرش)) tsumma istawa ‘ala al-‘arsy menjadi bahasan para ulama, ada yang enggan menafsirkannya, “Hanya Allah SWT, yang mengetahui maknanya” demikian ungkapan pada ulama-ulama Salaf (Abad I-II-III H). Kata ( استوى) istawa’ dikenal sebagai bahasa kaifiat/caranya tidak diketahui, memercayainya adalah wajib, dan menanyakannya adalah bid’ah. Demikian ucapan Imam Malik . Ibid, M.Quraisy Shihab,hlm.222. ketika makna tersebut ditanyakan kepadanya. Ulama-ulama sesudah abad ke III berupaya menjelaskan maknanya dengan mengalihkan makna kata istwa’ dari makna dasarnya , yaitu bersemayam menjadi berkuasa dan dengan demikian penggalan ayat ini bagian menegaskan tentang kekuasaan Allah SWT, dalam mengatur dan mengendalikan alama raya, tetapi tentu saja hal tersebut sesuai dengan kebesaran dan kesucian-Nya dari segala sifat kekurangan atau kemakhlukan. Imam Thabathaba’i mengutip pandangan dari Imam Ar-Raghib Al-Isfahani yang mengatakan antara lain bahwa kata (عرش) ‘arsy, yang dari segi bahasa adalah tempat duduk raja/ singgasana, kadang-kadang juga dipahami dalam artian kekuasaan. Kata ini pada mulanya berarti sesuatu yang beratap. Tempat duduk penguasa yang dinamai ‘Arsy karena tingginya tempat itu dibandingkan dengan tempat yang lain. Yang jelas pada hakikat makna kata tersebut pada ayat ini tidak diketahui manusia. Adapun yang terlintas dalam benak orang-orang awan tentang artinya, Allah SWT Mahasuci dari pengertian itu. Tetapi perlu dicatatat bahwa Allah yang duduk di ‘Arsy yang tertinggi dia mengetahui dan mengatur secara terperinci apa yang ada di bawah kekuasaan dan pengaturan. Allah yang menciptakan dan dia pula yang mengatur segala sesuatu. . Muhammad Quraisy Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan,Kesan, dan Keserasian Alquran,: (Ciputat, Cet.I, Volume IV, thn 2009).hlm 140. 2). Surah Al-An’am ayat 3 lafaz (Fi al-samawati wa fi al-ard) Di dalam kitab Tafsir Quran al-Adzhim di katakan dalam lafal fi al-samawati wa ard beliau menyebutkan penjabaran bahwa Allah عالم(mengetahui) segala sesuatu rahasia yang ada di langit dan di bumi. 3). Surah Al-Hadid ayat 4 lafaz (Hua ma’akum) Lafazh (ma’a) dalam surat Al-Hadid ayat 4 Ibnu Katsir manafsirkan bahwa kata (ma’a) adalah قريب(pengawasan) yakni Allah mengawasi hamba-hambanya dimana pun mereka berada, baik di daratan atau pun di lautan, baik malam atau pun siang hari, baik di dalam rumah maupun di dalam hutan sekali pun. Jika kita memahami Allah bersama kita maka tidak mungkin Allah bertempat. Karena ditinjau dari penafsiran Ibnu Katsir Allah mengintai semua makhluk di dalam pengawasan-Nya, bukan berarti bersatu dengan hamba. Penjelasan Ibnu Katsir sangat detail menjelaskan maksud dan tujuan ayat ke empat dari surah Al-Hadid tersebut . Ibid. Jilid IV.hlm, 278. . D. Analisis Penafsiran Ibnu Katsir Terhadap Ayat Mutasyabih Dalam Tasir AlQuran Al-Adzim. 1. Inti Pemikiran Ibnu Katsir Sosok Ibnu Katsir yang condong kepada keabsahan turats telah ikut mewarnai karyanya. Begitu juga hal ini tidak bisa lepas dari kondisi jaman saat itu, pergerakan aliran pemikiran pada abad ke 7/8 H memang sudah kompleks. Artinya telah banyak aliran pemikiran yang telah ikut mewarnai karakter seseorang. Pemahaman yang orisinil untuk mempertahankan keauntetikan Alquran dan Sunnah terus dijaga. Inilah sebagian pewarnaan Ibnu Katsir dalam tafsirnya. Selain itu, kelompok-kelompok yang mengagungkan akal secara berlebihan dan thariqat Sufiah telah beredar luas kala itu. Islam telah berkembang pesat dan banyak agamawan yang masuk ke dalam Islam. Mempengaruhi sekaligus mewarnai perkembangan wawasan pemikiran. Ibnu Katsir yang telah tersibghah dengan pola pikir gurunya (Ibnu Taymiyah) sangat terwarnai dalam metode karya-karyanya. Sehingga dengan jujur Ia berkata, bahwa metode tafsir yang ia gunakan persis sealur dan sejalur dengan gurunnya Ibnu Taymiyyah. Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa tafsir Ibnu Katsir telah menjadi rujukan kategori tafsir bi al-ma’tsur. 2. Analisis Mengenai Ayat Mutasyabih Sebagaimana yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, bahwa Ibnu Katsir sedikit pun tidak menggunakan pentakwilan. Menurut penulis Ibnu Katsir terlebih dahulu menggunakan teks ayat dibandingkan memalingkan makna ayat tersebut. Dalam hal penafsiran ia lebih cendrung banyak menggunakan penafsiran dengan merujuk kepada ayat-ayat Alquran yang cocok dengan penafsiran tersebut, serta Hadis Rasulullah SAW. dijadikan pengertian dari penafsiranya. Dalam kalangan ulama salaf berpendapat bahwa lebih baik berdiam diri dan tidak perlu ditakwilkan karena Allah lebih mengetahui maksud dan tujuan nya. Lain halnya dengan ulama khalaf yang hadir sesudah salaf, mereka lebih mentakwilkan dari pada tidak sama sekali. Dari pemahaman penulis Ibnu Katsir selalu menggunakan Hadis dalam tiap-tiap penafsirannya, maka jika dibaca dalam penafsirannya ayat-ayat mutasyabih ia juga mengikut kepada ulama salaf. Pada surah Thaha ayat 5, pengertian lahir ayat menerangkan bahwa Allah bersemayam di atas ‘Arsy. Kata istiwa’ (bersemayam) yang dinisbathkan kepada Allah. Penafsiran Ibnu Katsir menyerahkan penafsiran tersebut kepada penafsiran yang telah di tafsirkan ulama salaf. Jika kita tinjau dari bahasa istawa dan arsy Allah bersemayam atau duduk di atas Arsy, berarti makna ini menunjukkan Allah serupa dengan makhluk. Padahal jika kita telusuri Allah tidak sama dengan makhluk. Ada beberapa ulama yang menolak, salah satunya ialah syekh Abdu al-Qadir Jabbar ia berpendapat bahwa ada dua alasan yang harus diketahui kebahasaan dan kelogisan. Kata istiwa’ menuru bahasa mengandung beberapa pengertian “ duduk” yang ditemukan oleh konteksnya dalam kalimat yakni, “ penguasaan atas wilayah” dalam penjabaran di ayat lain yang ditafsirkan oleh Ibnu Katsir kata dari “kursi” dalam surah Al-Baqarah ayat 225 mengatakan bahwa kursi ialah kekuasaan Allah dan sama halnya dengan Arsy. Kata “wajh” yang di nisbatkan kepada Allah, ditafsirkan oleh Ibnu Katsir dengan “zat” Allah. Dasar makna yang ada terdapat pada ayat ini “zat” Allah tidak akan mati dan kekal abadi untuk selamanya. Namun tidak hanya “wajh” saja yang ditafsirkan oleh Ibnu Katsir dengan “zat” akan tetapi ia mengartikannya dengan “keridoan”, seperti kara “wajh” pada surah Al-Ra’du (walladzina shobaru ibtighaa wajhi rabbihim) menjelaskan bahwa kata “wajah” ialah keridoan dari Allah. Dan adapun Imam Ibnu Katsir banyak menggukan pendekatan kebahasaan dalam menafsirkan ayat-ayat mutasyabih. Kata “wajh” yang di nisbatkan kepada Allah SWT. di dalam Alquran sangatlah banyak . Kata wajah di dalam Alquran yang berkaitan dengan sifat yaitu : surat al-Baqoroh ayat 115 dan 272, al-Ra’du ayat 38-39, al-Rahman ayat 28, al-Insan ayat 9, dan al-Lail ayat 20. Muhammad Fuad al-baqi. Hlm.912. Jika kita lihat satupun tidak ada yang tafsirkan Ibnu Katsir dengan “muka” makna harfiyah dari ayat itu adalah “muka” akan tetapi Ibnu Katsir tidak mungki menafsirkan Allah mempunyai “muka” yang sama halnya dengan makhluk. Penulis melihat bahwa ia menggunakan perubah kata agar para pembaca tidak salah dalam memahami ayat tersebut. Tidak mungkin Ibnu Katsir mentasybihkan Allah dengan sesuatu apapun. Menurut Al-Razi ia menafsirkan ayat tersebut serupa dengan penafsiran Ibnu Katsir, menafsirkan kata “wajhun” dengan keridoan Allah. Selanjutnya kata ‘ain . Ibid Muhammad Fuad.hlm.629. pada surah Hud ayat 37 Ibnu Katsir tidak mengartikan secara harfiyah jika ditafsirkan dengan kata harfiahnya maka maknanya ialah mata. Tetapi Ibnu Katsir mengartikan maksud ayat ini dengan menggunakan makna pengawasan/penjagaan Allah. Dengan kata lain Ibnu Katsir menafsirkan ‘ain sebagai penjagaan yang ketat dari Allah SWT. Ibnu Katsir menerangkan: بأعيننا (أي بمرأمنا) Artinya: (Bia’yunina yaitu adalah penjagaan kami). Kata selanjutnya adalah yad jika di maknakan dengan terjemahan biasa maka arti yang terdapat di dalamnya adalah tangan. Tetapi dalam penafsiran Ibnu Katsir memaknai yadun itu dengan kekuasaan, pertolongan, hal ini bisa dilihat jika yadun di maknai dengan tangan maka akan rusaklah akidah sesorang. Di dalam penafsiran Ibnu Katsir mengenai ayat-ayat mutasyabih ini, ia tidak mengatakan bahwa yadun ialah tangan seperti makna harfiyahnya. Sedangkan yadun yang berbentuk mustanna pada kalimat lima khalaqtu bi yadayya, Allah menciptakan segala sesuatu itu dengan sendiri dan tidak ada bantuan dari siapapun. Adapun yadun yang berbentuk jama’ sama maknanya dengan kekuasaan. Pada kalimat min ma aidiina menunjukkan kepada manusia untuk mengetahui bahwa Allah tidak perlu makhluk lain dalam menciptakan sesuatu. Demikian ayat selanjutnya “wa hua Allah fi al-samawati wa fil al-ard”. Dikatakan dalam lafal fi al-samawati wa ard ia menyebutkan penjabaran bahwa Allah mengetahui segala sesuatu rahasia yang ada di langit dan di bumi. Bukan Allah bertempat di langit dan berada di bumi. Apapun perkara yang ada didua tempat ini maka Allah telah mengetahuinya karena Allah mempunyai sifat “al-Alim” mengetahui apa saja yang dilakukan oleh hamba-hambanya. Telah jelas dalam penafsiran Ibnu katsir tentang ayat ini, tidak mengatakan Allah berada di langit dan di bumi. Lafal (ma’a) dalam surah Al-Hadid ayat 4 ini Ibnu Katsir manafsirkan bahwa kata (ma’a) adalah (pengawasan) yakni Allah mengawasi hamba-hambanya dimana pun mereka berada, baik di daratan atau pun di lautan, baik malam atau pun siang hari, baik di dalam rumah maupun di dalam hutan sekali pun. Jika memahami dengan Allah bersama kita maka tidak mungkin Allah bertempat. Karena ditinjau dari penafsiran Ibnu Katsir Allah mengintai semua makhluk di dalam pengawasannya, bukan berarti bersatu dengan hamba. Penjelasan Ibnu Katsir sangat detail menjelaskan maksud dan tujuan ayat ke empat dari surah Al-Hadid tersebut . Op.cit. Jilid IV.hlm, 278 . 3. Persamaan Dan Perbedaan Dalam Penafsiran Ibnu Katsir dengan Ulama Kalam. Penulis melihat dalam hal penafsiran Imam Ibnu Katsir mempunyai persamaan dan perbedaan dalam membahas ayat mutasyabih di dalam Alquran. Dalam pandangan ulama kalam, memahami ayat tersebut dengan benar, agar tiada pemahaman yang salah tentang hal itu. Di antara ayat-ayat mutasyabihat yang tidak boleh diambil secara lahirnya adalah firman Allah SWT.. Seperti surah Thaha ayat 5. Ayat ini tidak boleh ditafsirkan bawa Allah duduk (jalasa) atau bersemayam atau berada di atas 'Arsy dengan jarak atau bersentuhan dengannya. Dengan memahami kalimat kalimat-kalimat Alquran dengan jalan memahami maknanya yang di tunjukkan oleh pengetahuan bahasa Arab dan pristiwa yang di catat oleh ahli mufassir. Penggunaan ra’y dalam tafsir adalah sesuatu yang tidak dapat di hindari. Pada tafsir-tafsir yang bercorak ra’y, peran dan kadar penggunaan akal sangat besat. Pada tafsir bi al-ma’tsur seperti tafsir ini peran akal sangat kecil. Peran ra’y pada tafsir Ibnu Katsir, antara lain untuk meneliti sanad. Ini sangat penting bagi sebuah tafsir bi al-ma’stur, yang akhirnya membawa tafsir ini sebagai tafsir mahmud. Hal ini. Juga tidak boleh dikatakan bahwa Allah duduk tidak seperti duduk manusia atau bersemayam, tidak seperti bersemayamnya makhluk, karena duduk dan bersemayam termasuk sifat khusus benda sebagaimana yang dikatakan oleh al Hafizh al Bayhaqi (W. 458 H), al-Imam al-Mujtahid Taqiyyuddin as-Subki (W. 756 H) dan al Hafizh Ibnu Hajar (W. 852 H) dan lainnya. Kemudian kata istawa sendiri dalam bahasa . Tengku Zulkarnain, Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah (Jakarta, 9 Juni 2003).hlm 39 ”. Sedangkan Ibnu Katsir Mengembalikan semuanya kepada pemahaman ulama salaf yang telah mengetahui maksud ayat tersbut, hingga ia menjelaskan bahwa jalan ulama salaf itu lebih baik dan lebih selamat untuk di jadikan pedoman hidup. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dalam pemaparan di atas telah di ketahui ada beberapa kesimpulan yang bisa kita ambil yaitu : 1. Di dalam Alquran memiliki dua bagian Ayat yaitu muhkam dan mutasyabih. Adapun menurut ulama ayat-ayat muhkam adalah ayat yang tidak membutuhkan penjelasan panjang di dalamnya, karena telah di ketahui maksud dan tujuannya. Sedangkan mutasyabih ayat yang tidak di ketahui makna dan tujuannya yang menurut ulama mempunyai perbedaan pandangan dalam mendefinisikan kebolehan mentakwilkan atau penafsirannya secara harfiyah. Adapun beberapa ulama mengembalikan maksudnya kepada Allah SWT.. 2. Adapun pandangan ulama mengenai tafsir Alquran al-Azhim ini banyak mendapat pujian dari ulama-ulama tafsir seperti Rasyid Ridho. Dalam penafsiran Ibnu Katsir adalah penafsiran yang terbaik dikarenakan memakai manhaj penafsiran ulama salaf, dalam penafsirannya ada ciri khas darinya yaitu bernuansa fiqh, ra’y dan qisshah. Tafsir ini juga menggunakan metodologi penafsiran tahlili yang penjelasannya tuntas dari awal surat al-Fatihah sampai surat an-Nas. 3. Dalam penafsiran Ibnu Katsir mengenai ayat-ayat yang berkenaan tentang sifat, beliau memang tidak menggunakan takwil, akan tetapi beliau memiliki metode dalam menjelaskan penafsiran ayat tersebut dengan cara mengkaitkan satu dengan yang lain, dan Hadis Rasulullah SAW, serta meninjau bahasa tersebut karena melihat banyaknya kekayaan bahasa yang terkandung di dalam Alquran itu sendiri. 4. Imam Ibnu Katsir dalam menjelaskan ayat-ayat mutasyabih seperti kaliamat istiwa’ala al-arsy, dengan “ kedudukan” dan menjelaskan tentang “wajh” beliau menjelaskan dalam tafsirnya dengan “zat, keridaan”. Sedangkan yadun di dalam bentuk mufrad di maksudkan untuk “milik” berbentuk mustanna “tanpa pelantaran” dengan tiada bantuan siapapun. Sedangkan yang berbentuk jamak Ibnu Katsir menafsirkan dengan “kekuasaan” Allah. Adapun makna dari kalimat “’a’yun” adalah “penjagaan dan pengawasan”. Dan kalimat “Allah fi al-samaawati wa al-ard” menjelaskan “Allah yang mengetahui segala sesuatu di langit dan di bumu”. Wahua ma’akum di tafsirkan dengan Allah mengawasi makhluknya dimana pun kita berada. 5. Metode yang digunakan Imam Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat, ia banyak menggunakan kaidah tafsir bi al-ma’tsur. Penafsiran yang baik serta tidak melenceng dalam menafsirkan ayat-ayat mutasyabih, serta dia tidak banyak mengunakan ra’y dan lebih mengutamakan pemahaman dari Alquran itu sendiri serta menggunakan riwayat yang Sahih dari Rasulullah SAW. B. Saran Penulis telah menuliskan saran kepada diri penulis khususnya kepada orang yang membaca tulisan ini yaitu : 1. Sebenarnya kajian ini adalah sangat sederhana, akan tetapi kajian ini penting untuk dikaji bagi mahasiswa Islam dan bagi orang Muslim yang hendak mempelajari tafsir. Dan kajian ini semoga menjadi sumbangsih pikiran dan sebagai pembanding terhadap tulisan-tulisan yang telah ada. 2. Fakultas Ushuluddin dan Studi Islam terkhususnya pada jurusan Ilmua Alquran dan Tafsir haruslah lebih menggalakkan pembelajaran tafsir sehingga berkembang para pemikir-pemikir tafsir yang mempunyai keilmuan yang mampu dalam terjun dimasyarakat. Serta kepada pengajar dibidang tafsir hendaklah bila berhadapat dengan suatu ayat mutasyabihat hendaklah lebih memahi ayat dan tinjauan bahasa sehingga mengetahui makna dan tujuan ayat tersebut. 3. Kepada calon-calon serjana Muslim selanjutnya, tetaplah teguh kepada Alquran dan memegang teguh Sunnahnya, dan tetaplah menuntut ilmu yang diridai oleh Allah, dan selalu istiqamah dijalan Allah. Maka akan menjadi orang yang beruntung. Amin ya Rabbal Alamin. Tidak ada kata yang terindah yang bisa dikatakan penulis kecuali doa kepada Allah SWT., semoga tulisan ini bermanfaat bagi pribadi penulis dan terkhususnya kepada pembaca pada umumnya. DAFTAR PUSTAKA Referensi Buku Al-Quran Nil Karim A-Nasir Salihun, Pemikiran Kalam, sejarah ajaran,dan perkembangannya (Jakarta, PT.Rajawali Pers. Thn, 2010) Al-‘Utsaimin Muhammad bin Shalih, Ushul Al-Fi Al-Tafsir. (Maktabah: Islamiyah, 2001). Al-Faurak al-Ashbahani, Abu Bakar bin al-Hasan bin, Musykil Al-Hadist Wa Bayanuhu (Beirut: Al-Alamah Al-Kutub). Alquran dan terjemah, Kitab Suci Al-quran Departemen Agama Republik Indonesia. (Bandung: PT. Gema Risalah Press 1992). Anwar Rosihon, Ilmu Kalam. (Bandung, CV.Pustaka Sejati, thn. 2012). Ar-Rahman Abdul Bin Nashir Al-Sa’di, Taisiru Al-Karim Al-Rahman.(Cet I, Dar Al-Asraka Al-Mujtami’.Thn 2005). Asep Usman Ismail. Pengembangan Diri Menjadi Pribadi Mulia ( Jakarta. PT.Elex Media Komputindo. Cet I, thn. 2011). As-Syuyuthi Jalaluddin, Al-Itqan Fi Al-Ulum Alquran (Suria: Muassasah Ar-Risalah An-Nasyirun. Cet I. Thn 2008). Bachmid Ahmad, Sejarah Alquran Edisi Indonesia Cet I (Jakarta : PT, Rehal Publika). Djalal Abdul H.A, Ulumul Quran (Surabaya, Cet III.thn 2008). Isma’il bin Katsir, Abu Fida’, Tafsir AlQuran Al-adzim Jilid I (Maktabah: Dar al-Ghaddi Al-jadid). Khalil Al-Qaatan Manna’, Mabahist Fii Ulumumil Quran termjemah (CV, Literatur Nusannata, cet 18, Thn 2015). Maswan Faizan Nur, Kajian Deskriptif Tafsir Ibnu Katsir Membedah Khazanah Klasik (Jogjakarta, CV. Menara Kudus). Muhammad Shihab Quraish, Membumikan AlQuran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. (Bandung: PT. Mizan Pustaka) Mukhtar Sadi ,Abdillah Abi Sayid Bin Abu, Manahij Al-mufassirin Wa ‘Aqaidihim (Maktabah: Dar Al-Ibnu Al-Jauzi. Misri Al-arabiyyah). Nasib Muhammad Ar-Rifa’i , Ringkasan Tafsir Ibn Katsir jilid 2-3, (Jakarta, PT.GEMA INSANI 1999). Rosihon Anwar, Ulumul Qur’an (Bandung Pustaka Setia, 2008). Saleh, Skripsi Analisis ayat-ayat Mutasyabihat dalam Pandangan Al-Zamakhsyari ( Riau, Cet Uin Suska). Samsurrohman, Pengantar Ilmu Tafsir (Jakarta: PT.AMZAH Cet 1 thn,2014). Shalih Muhammad Utsaimin, Kaidah-Kaidah Menafsirkan Alquran Terjemah” (PUSTAKA ARRAYYAN, Cet I. Tahun. 2008). Somad Abdul, 37 Masalah Populer. (Riau, CV.Tafaqquh,thn. 2010). Syihabuddin Sayid Mahmud al-Alusi, Ruhul Ma’ani . Jild II. (Libanon. Daar al-Fikri, Cet.I, 2003 M/1423 H). Umar Basyir, Abu, Al-Ashraniyun Baina Maza’im at-Tajdid wa Mayadin at-Tagrib, terjemah. (Jakarta: Maktabah Al-kausar. Cet II, thn.2016). Webside: http://kembalikefitrah.blogspot.com, di askes pada hari senin tanggal 12 juni, jam 10.00 WIB https://pemudade.wordpress.com/2015/11/21/bagaimana_aswaja_memahami_ayat-ayat_mutasyabihat. Di akses hari Minggu,Tanggal 23 Juni tahun 2018, jam 12.00 Wib. 3. Sofware Al-Quran In Word versi 3.0.4..2013-2014 Maktabah Syamilah versi 3,64 60