[go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu
paper cover icon
Apa Yang Bisa Didapat dari Nashar

Apa Yang Bisa Didapat dari Nashar

Wahyu Widyantono
Abstract
Yah, pertanyaan itulah yang terbit setelah mengunjungi pameran pelukis kontroversi, Nashar, kelahiran Sumatera Barat , 3 Oktober 1928, di Galeri Nasional. Jawabannya adalah banyak! Sampai sekarang, saya masih berpikir kalau saja bisa kembali ke tahun-tahun di masa pelukis ini hidup. Dengan gaya lukis yang subculture, dia seakan-akan dengan enaknya menggores kuas di kanvas dengan warna yang ‘seenak’ dia juga. Padahal gaya lukisan itu tidak populis di jamannya, bahkan sang guru, S.Sudjojono pernah bilang kalau dia tidak berbakat melukis tapi dengan tegas dimentahkannya dengan hasil karyanya. “Bila kau dikatakan tak memiliki bakat, kau harus menerobos tembok yang memisahkan yang berbakat dan tidak berbakat itu. Dengan begitu kau akan tahu, apakah kau memang tidak berbakat atau justru berbakat”. Dengan sangat teguh dia berkarya dengan menggunakan antitesis dari segala macam teori seni yang dia dapatkan, yaitu 3non, non konsep, non teknik, non obyek. Dia beranggapan bahwa seni itu harus merdeka 100%, tidak boleh ada campur tangan dari luar. Ini mengingatkan saya kepada grup musik legendaries, Pink Floyd. Dari nama grup ben saja sudah terlihat ‘nyeleneh’. Gabungan dari dua nama musisi aliran blues, Pink Anderson & Floyd Council. Warna music yang psikedelik sangat ‘in line’ dengan gejala warna dan bentuk dari karya-karya Nashar. Simak saja lagu-lagu seperti, Astronomy Domine, Interstellar Overdrive, Be Careful with that Axe, Eugene, sudah tentu Alan’s Psychedelic Breakfast. Karya Nashar yang berjudul “Di Dalam Ruangan” memperlihatkan bagaimana dia menggunakan warna-warna ‘lain’. Kemudian karya yang membuat saya merinding adalah yang berjudul, “Mengenang Munch”. Dari kejauhan saja orang pasti sudah mengenalnya. Seserius-seriusnya Nashar, saya sempat tertawa juga ketika menyimak lukisannya yang berjudul, “Orang-orang Desa di Kota”. Bagaimana dia menggoreskan kuasnya membentuk mimik muka orang-orang desa tersebut sangat kelihatan ndeso, walaupun tanpa hidung. Yang aneh adalah karya dia yang berjudul, “Sepatuku” (1958). Karya ini keluar dari jalur 3non. Ini juga memperlihatkan bahwa sang guru kemungkinan besarnya adalah salah. Apabila dikaitkan dengan fungsi, karya-karya Nashar yang ‘nabrak’ ini sangat kental dengan ekspresi. Cara pandang dia tentang alam, manusia, juga klenik, dengan gayanya sendiri , dia ekspresikan ke dalam kanvas sejadi-jadinya. Lihat saja karya figuratifnya, “Dua Perempuan” dan “Wanita di Kebun Biru” seakan berbicara tentang kesepian yang mendiami lubuk hatinya. Simak juga karya-karya lainnya yang inspiratif. “Welcome Back, Nashar”.

Wahyu Widyantono hasn't uploaded this paper.

Let Wahyu know you want this paper to be uploaded.

Ask for this paper to be uploaded.