[go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu

HADITS-HADITS TERKAIT INVESTASI (MENABUNG

HADITS-HADITS TERKAIT INVESTASI (MENABUNG) Disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah: Tafsir Ayat dan Hadits Ekonomi Dosen Pengampu: Dede Rodin, M.Ag. Disusun Oleh: Ria Mariana Safitri (1605036036) Triana Setyaningsih (1605036037) Almaniatul Afriliyah (1605036038) S1 PERBANKAN SYARIAH FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM UINVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2017 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Investasi merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang sangat penting artinya baik bagi negara yang sedang berkembang maupun di negara yang sudah maju, Karena investasi menjadi alat untuk memperbanyak pengeluaran barang dan jasa yang akan datang dan pada saat yang bersamaan akan memperluas kesempatan kerja. Hal ini pula yang menjadikan tipe investor lebih baik dilihat dari kaca mata Islam. Sebab dengan menjadi investor hal itu akan lebih mendatangkan manfaat dari pada halnya sebagai seorang karyawan saja. Dengan menjadi investor ia dapat memberikan manfaat bagi dirinya juga bagi masyarakat di sekitarnya. Investasi berkaitan dengan pengeluaran dana pada saat sekarang dan manfaatnya baru akan diterima dimasa datang, maka investasi dihadapkan pada berbagai macam resiko. Paling tidak ada dua resiko yang akan dihadapi oleh seorang investor, yakni nilai riil dari uang yang akan diterima dimasa yang akan datang dan resiko mengenai ketidak pastian menerima uang dalam jumlah yang sesuai dengan yang diperkirakan akan diterima dimasa yang akan datang. Sebagai seorang muslim, tentunya kita harus memerhatikan hal-hal yang berkaitan dengan investasi jika dikaitkan dengan syariah Islam. Maka di makalah ini, kita akan membahas tentang investasi dalam pandangan syariah Islam. Rumusan Masalah Apa yang dimaksud dengan investasi? Bagaimana prinsip-prinsip investasi berdasarkan syariah? BAB II PEMBAHASAN Definisi Investasi Investasi, berasal dari kata  إستثمر   yang artinya membuahkan. Sedangkan dalam kamus lengkap bahasa Indonesia, investasi adalah penanaman modal dalam suatu usaha atau perusahaan dengan maksud mendapatkan keuntungan. Investasi secara istilah adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau badan hukum menyisihkan sebagian pendapatannya agar dapat dilakukan untuk melakukan suatu usaha dengan harapan pada suatu waktu tertentu akan mendapatkan hasil. Em Zul Fajri & Ratu Aprilia Senja, “Kamus Lengkap Bahasa Indonesia”, Difa Publisher. Atau investasi juga bisa berarti menunda pemanfaatan harta yang kita miliki pada saat ini, atau berarti menyimpan, mengelola dan mengembangkannya merupakan hal dianjurkan dalam Al-Qur’an, salahsatunya adalah dengan menabung. Dede Rodin, “ Tafsir Ayat Ekonomi” cet. 1, ( Semarang: CV. Karya Abadi Jaya, 2015 ), hlm. 175 Jadi, investasi syari’ah adalah usaha yang dilakukan seseorang dengan menanamkan modalnya pada suatu perusahaan atau bisnis yang sesuai dengan syari’ah dengan tujuan mendapatkan keuntungan profit dan keuntungan sosial. Prinsip-prinsip Investasi Berdasarkan Syariah Prinsip Maslahah Menurut Al-Ghazali, maslahah berarti sesuatu yang mendatangkan manfaat atau keuntungan dan menjauhkan mudharat (kerusakan) pada hakikatnya adalah memelihara tujuan syara’ dalam menetapkan hukum. Maslahah dalam konteks investasi yang dilakukan oleh seseorang hendaknya harus dapat manfaat bagi pihak-pihak yang melakukan transaksi dan juga harus dirasakan oleh masyarakat pada umumnya. Seperti dalam hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Muslim. حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ وَقُتَيْبَةُ يَعْنِي ابْنَ سَعِيدٍ وَابْنُ حُجْرٍ قَالُوا حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ هُوَ ابْنُ جَعْفَرٍ عَنْ الْعَلَاءِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ Telah menceritakan kepada kami [Yahya bin Ayyub] dan [Qutaibah] -yaitu Ibnu Sa'id- dan [Ibnu Hujr] mereka berkata; telah menceritakan kepada kami [Isma'il] -yaitu Ibnu Ja'far- dari [Al 'Ala'] dari [Ayahnya] dari [Abu Hurairah], bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Apabila salah seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah segala amalannya kecuali tiga perkara; sedekah jariyah, ilmu yang bermanfa'at baginya dan anak shalih yang selalu mendoakannya." (HR. Muslim Nomor 3084) Kaitannya hadits tersebut dengan investasi adalah pada kata “sedekah jariyah”. Sedekah jariyah merupakan suatu investasi akhirat yang mempunyai maslahah atau manfaat. Sedekah jariyah dilakukan di dunia dengan cara ikhlas bersedekah, dan manfaatnya akan diambil di akhirat kelak. Kemudian “ilmu yang bermanfaat” juga merupakan gambaran investasi. Karena jika kita mempelajari sebuah ilmu, secara tidak langsung kita juga berinvestasi untuk masa depan, yang manfaatnya bukan hanya di dunia, melainkan juga di akhirat. Prinsip Halal Dalam berinvestasi haruslah memerhatikan kehalalan dari suatu hal yang akan diinvestasikan, seperti dalam hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim: عَنْ أَبِي عَبْدِ اللهِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ، فَمَنِ اتَّقَى  الشُّبُهَاتِ فَقَدْ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ، كَالرَّاعِي يَرْعىَ حَوْلَ الْحِمَى يُوْشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيْهِ، أَلاَ وَإِنَّ  لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ أَلاَ وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ   مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ  أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ Telah menceritakan kepada kami [Abu Nu'aim] Telah menceritakan kepada kami [Zakaria] dari ['Amir] berkata; aku mendengar [An Nu'man bin Basyir] berkata; aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Yang halal sudah jelas dan yang haram juga sudah jelas. Namun diantara keduanya ada perkara syubhat (samar) yang tidak diketahui oleh banyak orang. Maka barangsiapa yang menjauhi diri dari yang syubhat berarti telah memelihara agamanya dan kehormatannya.” (HR. Bukhari Nomor 50 dan Muslim Nomor 2996) Berinvestasi harus dilakukan dengan cara yang halal dan meninggalkan segala yang haram. Dalam kaitan ini, M. Nadratuzzaman Husen dkk. M. Nadratuzzaman Husen dkk, “Gerakan 3 H. Ekonomi Syariah”, (Jakarta: PKES, 2007), hlm. 18-25 mengemukakan bahwa mencari rezeki (berinvestasi) dengan cara halal karena pertama, kehendak syar’i, Allah SWT dan Rasul-Nya telah memberikan bimbingan dalam mencari rezeki (berinvestasi) yaitu melakukan yang halal dan menjauhkan yang haram; kedua, di dalam halal mengandung keberkahan; ketiga, di dalam halal megandung manfaat dan maslahah yang agung bagi manusia; keempat, di dalam halal akan membawa pengaruh positif bagi perilaku manusia; kelima, pada halal melahirkan pribadi yang istiqamah yakni yang selalu berada dalam kebaikan, kesalehan, ketakwaan, keikhlasan, dan keadilan; keenam, pada halal akan membentuk pribadi yang zahid, wira’i, qana’ah, santun, dan suci dalam segala tindakan; dan ketujuh, pada halal akan melahirkan pribadi yang tasamuh, berani menegakkan keadilan dan membela yang benar. Oleh karena itu, pastikan bahwa produk atau jasa yang ditawarkan berbasis halal, jika masih ragu-ragu terhadap produk dan jasa yang akan digunakan sebagai instrument investasi, mak minta petunjuk kepada MUI atau para ahli hukum Islam yang terpercaya. Abdul Manan, “ Hukum Ekonomi Syariah: Dalam Perspektif Kewenangan Peradilan Agama”, edisi pertama, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), hlm. 184. Prinsip Terhindar dari Investasi yang Haram Investasi haram adalah segala perilaku (jasa) atau barang (efek, komoditas, dan barang) yang dilarang dalam syariat Islam, jika dikerjakan mendapat dosa dan jika ditinggalkan akan mendapat pahala. Investasi yang dilarang dalam al-Qur’an dan al-Hadits dibagi menjadi dua golongan. Pertama, haram karena zatnya (li dzatihi) dan kedua, haram karena bukan atau selain zatnya (li ghairihi). Haram li dzatihi adalah haram semenjak semula ditentukan syara’ bahwa hal itu haram. Keharaman dalam contoh ini adalah keharaman pada zat pekerjaan itu sendiri. Akibatnya melakukan suatu transaksi dengan sesuatu yang haram li dzatihi ini hukumnya batal dan tidak sah, tidak ada akibat hukumnya. Dari Ibnu ‘Umar r.a, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: لَعَنَ اللَّهُ الْخَمْرَ وَشَارِبَهَا وَسَاقِيَهَا وَبَائِعَهَا وَمُبْتَاعَهَا وَعَاصِرَهَا وَمُعْتَصِرَهَا وَحَامِلَهَا وَالْمَحْمُولَةَ إِلَيْهِ “Allah melaknat khamr, orang yang meminumnya, orang yang menuangkannya, penjualnya, pembelinya, orang yang memerasnya, orang yang mengambil hasil perasannya, orang yang mengantar dan orang yang meminta diantarkan.” (HR. Abu Daud, no. 3674 dan IbnuMajah no. 3380) Maksud dari hadist di atas adalah bahwa khamr pada asalnya, hukumnya adalah haram. Hal ini sesuai dengan ketentuan li dzatihi yaitu perbuatan itu sejak semula haram karena itu tidak dapat di jadikan sebab (alasan) untuk mengubah hukumnya bahkan perbuatan itu dianggap batal semenjak semula (dari awal). Akibatnya melakukan suatu transaksi seperti melakukan investasi ke perusahaan khamr dihukumi haram li dzatihi, hukumnya batal dan tidak ada akibat hukumnya. Sedangkan haram li ghairihi adalah haram yang dahulunya oleh syara’ hukumnya wajib atau sunnah atau mubah, karena ada sesuatu hal yang baru sehingga perbuatan itu diharamkan. Keharaman dalam contoh ini adalah keharaman suatu kegiatan yang yang objek dari kegiatan tersebut bukan merupakan benda-benda yang diharamkan karena zatnya, artinya benda-benda tersebut adalah benda yang dibolehkan (dihalalkan), akan tetapi benda tersebut menjadi diharamkan disebabkan adanya unsur tadlis, gharar, maysir, riba, dan terjadinya ikhtikaar dan an-Najasy. Berikut hadist Dari Auf bin Malik, Rasullullah SAW bersabda: عَنْ عَوْفِ بن مَالِكٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:”إِيَّاكَ وَالذُّنُوبَ الَّتِي لا تُغْفَرُ: الْغُلُولُ، فَمَنْ غَلَّ شَيْئًا أَتَى بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَآكِلُ الرِّبَا فَمَنْ أَكَلَ الرِّبَا بُعِثَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَجْنُونًا يَتَخَبَّطُ Dari Auf bin Malik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hati-hatilah dengan dengan dosa-dosa yang tidak akan diampuni. Ghulul (baca:korupsi), barang siapa yang mengambil harta melalui jalan khianat maka harta tersebut akan didatangkan pada hari Kiamat nanti. Demikian pula pemakan harta riba. Barang siapa yang memakan harta riba maka dia akan dibangkitkan pada hari Kiamat nanti dalam keadaan gila dan berjalan sempoyongan” (HR Thabrani) Maksud hadist di atas adalah pada dasarnya mengambil atau mencari harta boleh bahkan di wajibkan karena untuk memenuhi kebutuhan hidup asalkan dengan cara yang benar , bukan dengan cara yang khianat seperti transaksi dalam melakukan investasi tapi dengan adanya unsur penipuan seperti investasi bodong. Hal ini sangat dilarang karena mengambil harta disertai penipuan adalah hal yang sangat di benci Allah. Maka contoh investasi tersebut adalah investasi haram li ghairihi karena pada dasarnya melakukan investasi itu boleh tapi karena ada unsur penipuan dan menimbulkan madharat bagi orang lain hal tersebut menjadi haram. Haram Karena Tadlis Tadlis adalah sesuatu yang mengandung unsur penipuan. Tadlis dalam berinvestasi adalah menyampaikan sesuatu dalam transaksi bisnis dengan informasi yang diberikan tidak sesuai dengan fakta yang ada pada suatu bisnis tersebut. Berikut hadist mengenai haram karena tadlis: أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ بَيْعِ الثَّمَرِ حَتَّى يَبْدُوَ صَلاَحُه “Sesungguhnya Nabi saw. telah  melarang untuk menjual buah hingga mulai tampak kelayakannya”. (HR Muslim, an-Nasa’i, Ibn Majah dan Ahmad). Abu Azam Mujahid, “ Investasi Syariah dalam Tafsir Hadits”, (diakses tanggal 15 november 2017) http://abuazzammujahid.blogspot.co.id/2013/04/investasi-syariah-dalam-tafsir-hadits_3956.html?m=1 Hadist tersebut menjelaskan bahwa jual beli ijon sangat dilarang karena hal tersebut termasuk perbuatan tipu daya. Begitu juga perbuatan tipu daya dan curang dalam melakukan investasi sangat dilarang, karena setiap investasi yang didasari dengan tipu daya muslihat hukumnya haram. Investasi yang dilakukan oleh seorang muslim tidak boleh melakukan penipuan terhadap barang dan uang yang diinvestasikannya. Ia juga tidak dibenarkan melakukan manipulasi agar uang tersbut bisa diterima sesuai dengan harga barang sehingga menguntungkan salah satu pihak dan merugikan pihak lain. Manan, …, hlm. 186-199. Haram Karena Gharar Gharar lebih dikenal sebagai ketidakpastian atau sering disebut juga juhala. Gharar adalah sesuatu yang tidak diketahui ketika transaksi (aqad) dilaksanakan, sehingga mengakibatkan timbulnya suatu ketidakpastian. Maka dari itu transaksi yang mengandung unsur gharar hukumnya haram. Dengan dasar sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah yang berbunyi: نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli al-hashah dan jual beli gharar.” Almanhaj, “ jual Beli Gharar”, (Diakses tanggal 15 November 2017) https://almanhaj.or.id/2649-jual-beli-gharar.html Maksud hadits ini adalah adanya larangan tersebut menunjukan adanya pengharaman, sebagaimana menunjukkan kerusakan, yaitu rusaknya sebuah transaksi. Hal ini disebabakan dua hal, pertama, adanya jahalah (ketidakjelasan barang), kedua, adanya unsur penipuan. Maka dari itu dalam melakukan investasi harus cermat dan harus menghindari perbuatan gharar karena perbuatan tersebut disamping merugikan diri sendiri, juga merugikan orang lain. Haram Karena Maysir Maysir secara etimologi bermakna mudah. Maysir merupakan bentuk objek yang diartikan sebagai tempat untuk memudahkan sesuatu. Maysir juga diistilahkan dengan kata qimar yang diartikan sebagai setiap bentuk permainan yang mengandung unsur pertaruhan (judi). Allah sangat melarang praktik maysir, seperti dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Shahih al-Bukhari: مَنْ قَالَ لِصَاحِبِهِ : تَعَال أُقَامِرُكَ فَلْيَتَصَدَّقْ ”Barangsiapa yang menyatakan kepada saudaranya, ‘Mari, aku bertaruh denganmu,’ maka hendaklah dia bersedekah”. (HR. Bukhari dan Muslim). Hafiz Ashraf, “ Larangan Al-maysir(Perjudian), (Diakses tanggal 15 November 2017) http://hafizashraf.blogspot.co.id/2013/09/al-maisir-perjudian-adalah-dilarang_3.html?m=1 Dalam hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan ajakan bertaruh baik dalam pertaruhan atau muamalah sebagai sebab membayar kafarat dengan sedekah, Ini menunjukkan keharaman pertaruhan. Demikian juga, sudah ada ijma’ tentang keharamannya. Para pakar hukum Islam sepakat bahwa akad investasi yang didasarkan pada judi dan taruhan termasuk akad yang tidak dibenarkan dalam syariat Islam. Sebab akad tersebut merupakan akad mulzim bagi kedua pihak, merupakan mu’awadhah maliyah. Termasuk akad mu’awadhah, karena masing-masing orang yang berjudi dan bertaruh, apabila memperoleh kemenangan maka uang yang diambilnya sebagai pengganti dari kemungkinan ia kalah. Dan jika ia mengalami kekalahan, maka uang yang diberikannya sebagai penganti dari kemungkinan ia menang. Kemungkinan kalah dan menang ini adalah asas pokok dari perjanjian (akad) tersebut. Haram Karena Riba Riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Para pakar hukum Islam membagi jenis riba kepada dua kelompok, yaitu riba utang piutang dan riba jual beli. Riba utang piutang dibagi lagi menjadi dua jenis, yaitu riba qardh dan jahiliyah. Adapun kelompok riba jual beli dibagi menjadi dua jenis, yaitu riba fadhl dan riba nasiah. Dalam kitab fiqh disebutkan bahwa barang ribawi ada enam macam, yaitu emas, perak, garam, tepung, gandum, dan kurma (sebagai makanan pokok), sedangkan uang dikategorikan sebagai emas dan perak. Syariat Islam mengharapkan kepada kaum muslimin agar berhati-hati dalam menginvestasikan keenam jenis barang ini agar tetap halal dan jauh dari riba. Manan, …, hlm. 196. Seperti hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Darimi. حَدَّثَنَا حَجَّاجُ بْنُ مِنْهَالٍ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ أَخْبَرَنَا عَلِيُّ بْنُ زَيْدٍ عَنْ أَبِي حُرَّةَ الرَّقَاشِيِّ عَنْ عَمِّهِ قَالَ كُنْتُ آخِذًا بِزِمَامِ نَاقَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي أَوْسَطِ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ أَذُودُ النَّاسَ عَنْهُ فَقَالَ أَلَا إِنَّ كُلَّ رِبًا فِي الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ أَلَا وَإِنَّ اللَّهَ قَدْ قَضَى أَنَّ أَوَّلَ رِبًا يُوضَعُ رِبَا عَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ لَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ Telah menceritakan kepada kami [Hajjaj bin Minhal] telah menceritakan kepada kami [Hammad bin Salamah] telah mengabarkan kepada kami [Ali bin Zaid] dari [Abu Hurrah Ar Raqasyi] dari [pamannya], ia berkata; "Aku memegang tali kekang unta Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pada pertengahan hari-hari Tasyriq, aku memerintahkan orang-orang supaya menjauh darinya. Kemudian beliau bersabda: "Sesungguhnya seluruh riba pada masa jahiliyah telah dibatalkan, ketahuilah sesungguhnya Allah telah memutuskan bahwa riba pertama yang dibatalkan adalah riba Abbas bin Abdul Muththalib, yaitu bagi kalian modal harta kalian, kalian tidak menzhalimi dan tidak dizhalimi." (HR. Darimi Nomor 2422) Maksud dari kata “bagi kalian modal harta kalian, kalian tidak menzhalimi dan tidak dizhalimi” adalah bahwa apabila kita berinvestasi atau menanamkan modal apapun itu, kita tidak boleh menzalimi harta kita yang awalnya halal namun terzalimi karena tercampur dengan harta riba yang kita tetapkan. Makna “dizhalimi” berlaku bagi orang yang kita investasikan, jangan sampai mereka merasa terzalimi karena riba yang diterapkan di investasi. Terhindar dari Ikhtikar dan an-Najasy Ikhtikar berasal dari bahasa Arab yang artinya dzalim atau aniaya. Dalam bisnis konvensional disebut monopoli yaitu mengumpulkan atau menahan barang-barang yang beredar di pasar dengan tujuan untuk bertindak sesuka hatinya dalam peredaran barang terebut atau menguasai penawaran dan permintaan sesuatu barang dengan tujuan untuk mengatur keuntungan yang berlebihan. حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ بْنِ قَعْنَبٍ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ - يَعْنِى ابْنَ بِلاَلٍ - عَنْ يَحْيَى - وَهُوَ ابْنُ سَعِيدٍ - قَالَ كَانَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ يُحَدِّثُ أَنَّ مَعْمَرًا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنِ احْتَكَرَ فَهُوَ خَاطِئٌ ». فَقِيلَ لِسَعِيدٍ فَإِنَّكَ تَحْتَكِرُ قَالَ سَعِيدٌ إِنَّ مَعْمَرًا الَّذِى كَانَ يُحَدِّثُ هَذَا الْحَدِيثَ كَانَ يَحْتَكِر (رواه مسلم) Di ceritakan dari Abdullah bin Maslamah bin Qa’nab, diceritakan dari Sulaiman bin Bilal, dari Yahya bin Sa’id berkata; Sa’id bin Musayyab menceritakan bahwa sesungguhnya Ma’mar berkata; Rasulullah saw pernah bersabda : Barang siapa yang melakukan praktek ihtikar (monopoli) maka dia adalah seseorang yang berdosa. Kemudian dikatakan kepada Sa’id, maka sesungguhnya kamu telah melakukan ihtikar, Sa’id berkata; sesungguhnya Ma’mar yang meriwayatkan hadits ini ia juga melakukan ihtikar". (HR. Muslim) Penaka diri, “ Hadist Tentang Ikhtikar”, (Diakses tanggal 15 November 2017) http://penakadiri.blogspot.co.id/2013/01/hadits-tentang-ihtikar.html?m=1 Hadist ini menjelaskan bahwa, berdasarkan keterangan dalam kitab Badrul Munir, mengutip yang disampaikan oleh Abu Mas’ud Al-Dimasyqi dari riwayat Ibnu Musayyab menyebutkan, bahwa yang dilakukan oleh Sa’id adalah melakukan penahanan atas barang berupa minyak. Sedangkan menurut Tirmidzi, Sa’id bin Musayyab hanya melakukan penahanan atas beberapa komoditas yakni minyak, biji gandum dan sejenisnya saja. Sedangkan menurut Abu Daud yang dilakukan Sa’id adalah melakukan praktek ihtikar atas biji kurma, benang dan rempah-rempah. Sedangkan menurut Ibnu Abdul Bar beliau menuturkan bahwa Sa’id dan Ma’mar keduanya melakukan ihtikar atas minyak saja. Dan mereka berdua beranggapan yang dimaksudkan dalam hadits tersebut adalah melakukan penahanan atas barang-barang yang menjadi kebutuhan pokok saja, bukan komoditas lain seperti minyak, biji kurma, rempah-rempah serta komoditas lain yang bukan merupakan kebutuhan pokok. Hal inilah yang menjadi alasan kenapa investasi tidak boleh ada unsur ikhtikar karena kemadharatan yang di timbulkan lebih banyak dibandingkan manfaatnya. Adapun yang dimaksud dengan Najasy adalah mempermainkan harga yaitu pihak pembeli menawar dalam suatu pembelian dengan maksud agar orang lain menawar lebih tinggi. Investasi yang dilakukan dengan cara an-najasy di larang dalam syariat Islam, sebab cara bertransaksi seperti ini akan mendatangkan madharat, yakni kepada pihak pembeli. Seperti hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Malik. قَالَ مَالِك عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ النَّجْشِ قَالَ مَالِك وَالنَّجْشُ أَنْ تُعْطِيَهُ بِسِلْعَتِهِ أَكْثَرَ مِنْ ثَمَنِهَا وَلَيْسَ فِي نَفْسِكَ اشْتِرَاؤُهَا فَيَقْتَدِي بِكَ غَيْرُكَ Malik berkata; dari [Nafi'] dari [Abdullah bin Umar] berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang berjualan dengan cara najasy." Malik berkata; "Najasy ialah engkau beli barang dagangannya dengan harga yang lebih tinggi, tidak dengan niat untuk membelinya; hingga orang-orang mengikutimu." (HR. Malik Nomor 1190) BAB III KESIMPULAN Islam tidak melarang umat muslim untuk berinvestasi tapi menganjurkannya berinvestasi untuk mensejahterakan keluarganya tetapi dengan cara dan sesuai aturan-aturan islam.Ada banyak jenis investasi, jika ingin berinvestasi dipasar modal sebaiknya teliti memilihinya ada tidaknya unsur-unsur haram. Karena jika salah dalam memilih berinvestasi akan fatal akibatnya. Dalam berinvestasi ada beberapa prinsip yang harus di penuhi antara lain prinsip halal, prinsip maslahah dan prinsip terhindar dari investasi yang haram. Prinsip terhindar dari investasi yg haram sendiri ada beberapa macam antara lain: Haram karena tadlis Haram karena gharar Haram karena maysir Haram karena riba Haram karena ikhtikar dan an-najasy DAFTAR PUSTAKA Buku Fajri, Em Zul, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Difa Publisher. Husen, M. Nadratuzzaman, 2007, Gerakan 3 H. Ekonomi Syariah, Jakarta: PKES. Manan, Abdul, 2012, Hukum Ekonomi Syariah: Dalam Perspektif Kemenangan Peradilan Agama, Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Rodin, Dede, 2015, Tafsir Ayat Ekonomi, cet. 1, Semarang: CV. Karya Abadi Jaya. Artikel Almanhaj, “ Jual Beli Gharar”, https://almanhaj.or.id/2649-jual-beli-gharar.html, diakses tanggal 15 November 2017. Hafiz Ashraf, “ Larangan Al-maysir(Perjudian)”, http://hafizashraf.blogspot.co.id/2013/09/al-maisir-perjudian-adalah-dilarang_3.html?m=1, diakses tanggal 15 November 2017. Mujahid, Abu Azam, “ Investasi Syariah dalam Tafsir Hadits”, http://abuazzammujahid.blogspot.co.id/2013/04/investasi-syariah-dalam-tafsir-hadits_3956.html?m=1, diakses tanggal 15 november 2017. Penaka diri, “ Hadist Tentang Ikhtikar”, http://penakadiri.blogspot.co.id/2013/01/hadits-tentang-ihtikar.html?m=1, diakses tanggal 15 November 2017. Hadits-hadits Terkait Investasi (Menabung) 16