[go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu

LINGKARAN WINA 1

LINGKARAN WINA1 Oleh Wilopo I. PENDAHULUAN Filsafat merupakan sebuah disiplin ilmu yang terkait dengan perihal kebijaksanaan yang merupakan titik ideal dalam kehidupan manusia. Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasa diterima secara tidak kritis dan merupakan suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang sangat dijunjung tinggi. Filsafat juga merupakan suatu usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan yang artinya filsafat berusaha untuk mengkombinasikan bermacam-macam ilm dan pengetahuan tentang manusia sehingga menjadi pandangan yang konsisten tentang alam. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa filsafat merupakan suatu refleksi yang kritis dan rasional tentang pengalaman kehidupan manusia, karena filsafat berbeda dengan ilmu empiris lainnya. Perbedaan antara filsafat dengan dengan Ilmu empiris adalah tentang pengalaman. Empiris membicarakan tentang data-data yang diperoleh lewat observasi dengan mengadakan analisis tentang data-data empiris yaitu dengan pendekatan teori dan metodologi, yang mendatangkan atau menghasilkan temuan-temuan. Filsafat juga sebenarnya bertolak dari pengalaman dan data juga tapi tujuannya tidak hanya berhenti sampai pada data alami tapi dilakukan analisis lebih lanjut untuk mendapatkan pengetahuan dasar. Oleh karena itu filsafat tidak berhenti pada fenomena-fenomena atau data empiris karena tujuannya adalah untuk mendapatkan dasar-dasarnya atau unsure-unsur yang hakiki atau bicara tentang hakekatnya. Jadi, filsafat adalah untuk mendapatkan pengetahuan yang hakiki atau memperoleh hakekat, misalnya ilmu sosiologi akan membicarakan tentang hakikat dari masyarakat. Kelahiran pemikiran filsafat Barat diawali pada abad ke-6 sebelum masehi yang ditandai hilangnya mitos dan dongeng yang menjadi pembenaran terhadap setiap gejala alam. Manusia waktu itu mencari asal usul alam semesta melalui mitos dan dongeng. Namun pemikiran tersebut yang tidak didasarkan oleh control akal sehat, maka orang mulai mencari jawaban yang rasional tentang asal usul dan kejadian alam semesta. Ciri yang menonjol dari filsafat Yunani kuno adalah dengan 1 Disampaikan pada Kuliah Filsafat Ilmu Pengetahuan, Program Doktor Ilmu Administrasi, FISIP, UI, Jakarta, Oktober 2009 1|H a l ditunjukkannya pengamatan pada gejala kosmik dan fisik sebagai iktiar untuk mendapatkan gejala, seperti air (Thales, 640-550 SM), udara (Anaximenes, 588-524 SM) maupun angka-angka (Pythagoras, 580-500 SM). Perkembangan selanjutnya dengan munculnya gagasan tentang ada (Parmenides, 540-475 SM) yang merupakan cikal bakal munculnya filsafat metafisika , tentang pluralism dan monism dalam bidang epistomologi antara empirisme dan rasionalisme . Perkembangan filsafat selanjutnya semakin semarak dengan tampilnya filsuf Demokritos (460-370 SM) dengan konsep atomnya yang menjadi cikal bakal perkembangan ilmu fisika, kimia dan biologi. Filsuf Socrates (470-399 SM) tidak memberikan suatu ajaran yang sistematis tapi langsung menerapkan metode filsafat langsung dalam kehidupan sehari-hari dimana metode yang diuraikannya disebut dialetika. Yang berarti bercakap-cakap, yang kemudian diteruskan oleh muridnya Plato (428-348 SM) tentang tradisi dialog dalam bersfilsafat. Pemikiran filsafat Yunani mencapai puncak pada murid Plato yaitu Aristoteles (384 – 322 SM) dimana menurutnya tugas ilmu pengetahuan adalah mencari penyebab obyek yang diselidiki. Perkembangan filsafat terus berlanjut sampai pada Zaman pertengahan (6-16 M) dimana muncul para filsuf, seperti Thomas Aquinas. Selanjutnya berkembang sampai pada Zaman Renaisans (1416 M) yang memunculkan para Tokoh seperti Nicolaus Copernicus (1473-1543) dan Francis Bacon (1561-1626). Setelah itu perkembangannya dimatangkan dengan munculnya gerakan Aufklaerung pada abad 18, yang mana pengaruhnya bersama dengan Zaman Renaisans telah menyebabkan peradaban dan kebudayaan barat modern berkembang dengan pesat dan semakin bebas. Dari dasar inilah muncullah wacana filsafat yang menjadi topic dalam abad 17 yaitu persoalan epistemology yaitu tentang bagaimana manusia memperoleh pengetahuan dan dan apakah sarana yang paling memadai untuk mencapai pengetahuan yang benar, serta apa yang dimaksud dengan kebenaran itu sendiri. Pertanyaan-pertanyaan ini memunculkan dua aliran filsafat yang berbeda yaitu rasionalisme dan empirisme. Aliran rasionalisme berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang memadai dan dapat dipercaya adalah akal (rasio). Para tokoh dalam aliran ini sepert Descrates, Spinoza dan Leibniz. Sedangkan dan aliran empirisme mengatakan bahwa sumber pengetahuan yang memadai adalah pengalaman yang menyangkut dunia dan pengalaman probadi manusia. Filsuf Jerman yang bernama Immanuel Kant (1724-1804) menjembatani kedua pendapat ini dengan melahirkan aliran yang disebut Kritisime. Perkembangan selanjutnya, muncullah aliran filsafat positivisme oleh Auguste Comte (1798-1857), dimana inti filsafatnya adalah anti-metafisis. 2|H a l Perkembangan filsafat sejak awal sampai pada abad-abad modern telah meletakkan dasar dalam perkembangan filsafat ilmu pengetahuan. Filsafat Ilmu Pengetahuan merefleksikan tentang ilmu pengetahuan untuk mebicarakan tentang struktur ilmu pengetahuan atau unsure-unsur dan hakikat dari suatu ilmu pengetahuan. Filsafat ilmu pengetahuan lebih luas sekedar sejarah ilmu pengetahuan. Sejarah ilmu pengetahuan berguna untuk memahami proses penemuan berbagai macam hal dalam ilmu pengetahuan. Banyak ahli berpendapat bahwa beberapa problematika dalam filsafat ilmu pengetahuan tidak dapat dipahami secara memadai terpisah dari sejarah ilmu pengetahuan. Perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri terjadi pada saat revolusi ilmu pengetahuan pada abad 17, ketika terjadi penemuan-penemuan oleh beberapa ahli tentang teori-teorinya seperti, Newton dan Kepller. Pada abad ke-17 itu telah terjadi perubahan pemikiran yang sangat revolusioner dibandingkan dengan sebelumnya. Revolusi Budaya, sebagai salah satu contoh yang mendorong orang berpikir rasional dan empiris yang mengakibatkan perubaha cara orang berpikir. Revolusi ilmu pengetahuan telah membuat orang berpikir mekanistik yang sifatnya matematika, fisika dan astronomi. Revolusi ilmu pengetahuan juga memberikan dinamika dalam ilmu pengetahuan empiris, maka dengan adanya lompatan ini munculah ilmu pengetahuan. Sistem ilmu pengetahuan berkembang hingga sampai pada abad 19, dimana Auguste Comte memberikan sumbangan kreatif yang khas terhadap perkembangan sosiologi sebagai suatu sintesa antara dua perspektif yang saling bertentangan mengenai keteraturan sosial: positivisme dan organisme. Orang positivis percaya bahwa hukum-hukum alam yang mengadakan perubahan sosial dan politik untuk menyelaraskan institusi-institusi masyarakat dengan hukum-hukum itu. Hasilnya akan berupa suatu takhayul, kekuatan, kebodohan, paksaan, dan konflik akan dilenyapkan. Titik pandangan ini sangat mendasar dalam gagasan-gagasan Comte mengenai kemajuan yang mantap positivisme. Sumbangan pikiran penting lain yang diberikan Comte ialah pembagian sosiologi kedalam dua bagian besar: statika sosial (social statics) dan dinamika sosial (social dynamics). Statika mewakili stabilitas, sedangkan dinamaika mewakili perubahan. Dengan memakai analogi dari biologi, Comte menyatakan bahwa hubungan antara statika sosial dapat disamakan dengan hubungan antara anatomi dan fisiologi. Hal ini membuat Comte membagi ilmu pengetahuan menjadi tiga yaitu : Teologi yaitu pengetahuan yang didapat didasarkan pada Teologis (iman dan kepercayaan), Metafisis yaitu pengetahuan yang didasarkan pada akal budi (reasoning), spekulatif dan abstrak serta Positif yaitu ilmu pengetahuan didasarkan pada fakta yang didapat yang sifatnya empiris. 3|H a l Comte dapat dikatakan sebagai seorang tokoh bagi Ilmu pengetahuan yang positif, dimana Comte mendapat dukungan dari para ilmuwan pada saat itu, karena banyak dari mereka yang berpikir positif. Sejak saat itu positivism mendapat pengaruh yang sangat besar dalam ilmu pengetahuan dan pada awal abad 19, muncul kelompok berkumpul di Wina yang berorientasi positivisme untuk membicarakan tentang struktur ilmu pengetahuan tersebut, dimana kelompok ini lebih dikenal sebagai Lingkaran Wina (Wina Circle). II. SEJARAH PERKEMBANGAN Positivisme merupakan istilah yang digunakan pertama kali oleh Saint Simon (sekitar tahun 1825). Positivisme berakar pada empirisme karena kedekatan keduanya yang menekankan logika simbolik sebagai dasar. Prinsip filosofik tentang Positivisme dikembangkan pertama kali oleh empiris Inggris Francis Bacon. Dalam psikologi pendekatan positif erat dikaitkan dengan behaviorisme, dengan fokus pada observasi objektif sebagai dasar pembentukan hukum. Tesis Positivisme bahwa ilmu adalah satu-satunya pengetahuuan yang valid, dan fakta-fakta sajalah yang mungkin dapat menjadi obyek pengetahuan. Positivisme merupakan empirisme, yang dalam segi-segi tertentu sampai kepada kesimpulan logis ekstrim karena pengetahuan apa saja merupakan pengetahuan empiris dalam satu atau lain bentuk, maka tidak ada spekulasi dapat menjadi pengetahuan. Terdapat tiga tahap dalam perkembangan positivisme, yaitu: 1. Tempat utama dalam positivisme pertama diberikan pada Sosiologi, walaupun perhatiannya juga diberikan pada teori pengetahuan yang diungkapkan oleh Comte dan tentang Logika yang dikemukakan oleh Mill. Tokoh-tokohnya Auguste Comte, E. Littre, P. Laffitte, JS. Mill dan Spencer. 2. Munculnya tahap kedua dalam positivisme – empirio-positivisme – berawal pada tahun 1870-1890-an dan berpautan dengan Mach dan Avenarius. Keduanya meninggalkan pengetahuan formal tentang obyek-obyek nyata obyektif, yang merupakan suatu ciri positivisme awal. Dalam Machisme, masalah-masalah pengenalan ditafsirkan dari sudut pandang psikologisme ekstrim, yang bergabung dengan subyektivisme. 3. Perkembangan positivisme tahap terakhir berkaitan dengan lingkaran Wina dengan tokohtokohnya O.Neurath, Carnap, Schlick, Frank, dan lain-lain. Serta kelompok yang turut 4|H a l berpengaruh pada perkembangan tahap ketiga ini adalah Masyarakat Filsafat Ilmiah Berlin. Kedua kelompok ini menggabungkan sejumlah aliran seperti atomisme logis, positivisme logis, serta semantika. Pokok bahasan positivisme tahap ketiga ini diantaranya tentang bahasa, logika simbolis, struktur penyelidikan ilmiah dan lain-lain. Pendiri dan sekaligus tokoh terpenting dari aliran filsafat positivism adalah Auguste Comte (17981857). Filsafat Comte adalah anti-metafisis, ia hanya menerima fakta-fakta yang ditemukan secara positif-ilmiah, dan menjauhkan diri dari semua pertanyaan yang mengatasi bidang ilmu-ilmu positif. Semboyan Comte yang terkenal adalah savior pour prvoir (mengetahui supaya siap untuk bertindak), artinya manusia harus menyelidiki gejala-gejala dan hubungan-hubungan antara gejalagejala ini supaya ia dapat meramalkan apa yang akan terjadi. Filsafat positivism Comte disebut juga faham empirisisme-kritis, bahwa pengamatan dengan teori berjalan seiring. Bagi Comte pengamatan tidak mungkin dilakukan tanpa melakukan penafsiran atas dasar sebuah teori dan pengamatan juga tidak mungkin dilakukan secara terisolasi , dalam arti harus dikaitkan dengan suatu teori. Metode positif Auguste Comte juga menekankan pandangannya pada hubungan antara fakta yang satu dengan fakta yang lain. Baginya persoalan filsafat yang penting bukan pada masalah hakikat atau asal-mula pertama dan tujuan akhir gejalagejala, melainkan bagaimana hubungan antara gejala yang satu dengan gejala yang lain. Fisafat Comte terutama penting sebagai pencipta ilmu sosiologi. Kebanyakan konsep, prinsip dan metode yang sekarang dipakai dalam sosiologi, berasal dari Comte. Comte membagi masyarakat atas statika sosial dan dinamika sosial . Statika social adalah teori tentang susunan masyarakat, sedangkan dinamika social adalah teori tentang perkembangan dan kemajuan. Sosiologi ini sekaligus suatu filsafat sejarah , karena Comte memberikan tempat kepada fakta-fakta individual sejarah dalam suatu teori umum, sehingga terjadi sintesis yang menerangkan fakta-fakta tersebut. Fakta-fakta itu dapat bersifat politik, yuridis, ilmiah, tetapi juga falsafi, religious atau cultural. Istilah positivisme dipopulerkan oleh August Comte dalam sebuah karyanya “Cours de Philosophic Positive" sebanyak enam jilid. Dari Comte inilah orang banyak mengenal tentang positivisme secara luas. Positivisme berakar pada empirisme." Prinsip filosofis tentang positivisme dikembangkan pertama kali oleh empirist Inggris Francis Bacon (sekitar 1600). Di samping itu juga bersama-sama John Locke dan David Hume, kelompok positivis Prancis (Auguste Comte), kelompok logikal positivis dan kelompok Wina serta aliran-aliran fisika analisis dari Inggris sangat concern terhadap tradisi empiris. Sesungguhnya positivisme tidak dapat dipisahkan dengan empirisme. Oleh karena 5|H a l itu tidak salah bila Hector Hawton menyebut positivisme tersebut bersinonim dengan empirisme ilmiah. Tesis positivisme adalah bahwa ilmu adalah satu-satunya pengetahuan yang valid, dan faktafakta sajalah yang mungkin dapat menjadi obyek pengetahuan. Dengan demikian positivisme menolak keberadaan segala kekuatan atau subyek di belakang fakta, menolak segala penggunaan metode di luar yang digunakan untuk menelaah fakta. Atas kesuksesan teknologi industry abad ke-18 positivisme mengembangkan pemikiran tentang ilmu universal bagi kehidupan manusia, sehingga berkembang etika, politik, dan juga agama sebagai disiplin ilmu. Tentu menjadi etika, politik dan agama yang positivistik. Dalam perkembangan filsafat, ada tiga bentuk positivisme, yaitu positivisme sosial, positivisme evolusioner, dan positivisme kritis. Ketiga aliran itu kemudian berkembang lebih lanjut menjadi positivisime modern, yang dibagi kepada dua aliran besar, yaitu positivisme linguistik dan positivisme fungsional. Selain itu juga berkembang aliran positivisme logik (logical positivisme) yang dikenal dengan neopositivisme. 1. Positivisme Sosial Posivisme sosial merupakan penjabaran lebih jauh dari kebutuhan masyarakat dan sejarah. August Comte dan John Stuart Mill merupakan tokoh-tokoh utama positisme sosial. Sedangkan para perintisnya adalah Saint Simon dan para penults sosialistik dan utilitarian; yang karyanya Juga dekat dengan tokoh besar dalam ekonomi: Thomas Malthus dan David Ricardo. a. Filsafat Positivistik August Comte August Comte (1798-1875) terkenal dengan penjenjangan sejarah alam piker manusia, yaitu: teologi, metafisik dan positif. Pertama,tahap teologis. Disini , peristiwa-peristiwa dalam alam dijelaskan dengan istilah-istilah kehendak atau tingkah dewa-dewi. Kedua, tahap metafisik. Disini, peristiwa-peristiwa tersebut dijelaskan melalui hukum-hukum umum tentang alam. Dan ketiga, tahap positif. Disini, peristiwa-peristiwa tersebut dijelaskan secara ilmiah. Pada jenjang teologi, manusia memandang bahwa segala sesuatu itu hidup dengan kemauan dan kehidupan seperti dirinya. Jenjang teologi ini dibagi lagi kepada tiga tahap, yaitu: pertama tahap animisme atau fetishisme, yang memandang bahwa setiap benda itu memiliki kemauannya sendiri, kedua tahap polytheisme yang memandang sejumlah dewa menampilkan kemauannya pada sejumlah obyek; dan ketiga tahap monotheisms yang memandang bahwa ada satu Tuhan yang menampilkan kemauannya pada beragam obyek. Pada jenjang alam fikir metafisik 6|H a l abstraksi kemauan pribadi berubah menjadi abstraksi tentang sebab dan kekuatan alam semesta. Dan pada jenjang positif, yakni yang terakhir dan tertinggi, alam fikir manusia mengadakan pencarian pada ilmu absolut, mencari kemauan terakhir atau sebab pertama. Ilmu pengetahuan positif model Comte adalah rasionalisme Descartes dan ilmu pengetahuan alam seperti yang dikembangkan oleh Galileo Galilei, Isaac Newton dan Francis Bacon. Comte menyebutkan ada enam ilmu pokok yaitu: matematika, astronomi, fisika, kimia, biologi dan sosiologi. Comte adalah tokoh aliran positivisme yang paling terkenal. Kamu positivis percaya bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam dimana metode-metode penelitian empiris dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukum sosial memasyarakatan. Aliran ini tentunya mendapat pengaruh dari kaum empiris dan mereka sangat optimis dengan kemajuan dari revolusi Perancis. Pendiri filsafat positivis yang sesungguhnya adalah Henry de Saint Simon yang menjadi guru sekaligus teman diskusi Comte. Menurut Simon untuk memahami sejarah orang harus mencari hubungan sebab akibat, hukum-hukum yang menguasai proses perubahan. Mengikuti pandangan 3 tahap dari Turgot, Simon juga merumuskan 3 tahap perkembangan masyarakat yaitu tahap Teologis, (periode feodalisme), tahap metafisis (periode absolutisme dan tahap positif yang mendasari masyarakat industri. Comte menuangkan gagasan positivisnya dalam bukunya the Course of Positivie Philosoph, yang merupakan sebuah ensiklopedi mengenai evolusi filosofis dari semua ilmu dan merupakan suatu pernyataan yang sistematis yang semuanya itu tewujud dalam tahap akhir perkembangan. Perkembangan ini diletakkan dalam hubungan statika dan dinamika, dimana statika yang dimaksud adalah kaitan organis antara gejala-gejala ( diinspirasi dari de Bonald), sedangkan dinamika adalah urutan gejala-gejala (diinspirasi dari filsafat sehjarah Condorcet). Bagi Comte untuk menciptakan masyarakat yang adil, diperlukan metode positif yang kepastiannya tidak dapat digugat. Metode positif ini mempunyai 4 ciri, yaitu : 1. Metode ini diarahkan pada fakta-fakta 2. Metode ini diarahkan pada perbaikan terus meneurs dari syarat-syarat hidup 3. Metode ini berusaha ke arah kepastian 4. Metode ini berusaha ke arah kecermatan. 7|H a l Metode positif juga mempunyai sarana-sarana bantu yaitu pengamatan, perbandingan, eksperimen dan metode historis. Tiga yang pertama itu biasa dilakukan dalam ilmu-ilmu alam, tetapi metode historis khusus berlaku bagi masyarakat yaitu untuk mengungkapkan hukum-hukum yang menguasai perkambangan gagasan-gagasan. b. Positivisme Jeremy Bentham dan John Stuart Mill Jeremy Bentham (1748-1832) dan John Stuart Mill (1806-1873) adalah dua orang tokoh yang memberikan landasan positivisme. Menurut keduanya ilmu yang valid adalah ilmu yang dilandaskan pada fakta. Etik tradisional vang dilandaskan pada moral, diganti dengan etik yang dilandaskan pada motif perilaku, pada kepatuhan manusia terhadap aturan. Sebagat seorang utilitarian Mill menolak kekuasaan absolute dari agama. Mill berpendapat bahwa kebebasan manusia itu bagaikan a sacred fortress (benteng suci) yang aman dari penyusupan otoritas apapun. Wawasan yang menjadi marak pada, akhir abad 20 ini. Sistem positivis dipergunakan Mill untuk segala ilmu, baik logika, psikologi maupun etika. 2. Positivisme Evolusioner Positivisme evolusioner berangkat dari fisika dan biologi. Digunakan doktrin evolusi biologik. a. Herbert Spencer Konsep evolusi Spencer diilhami konsep evolusi biologi. Dalam konsepnya, evolusi merupakan proses dari sederhana ke kompleks, Pengetahuan manusia menurut Spencer terbatas pada kawasan fenomena. Agama yang otentik mengunakan kawasan yang penuh misteri, yang tak diketahui, yang tak terbatas, hal mana yang fenomena tunduk kepada misteri. Sebagai perintis sosiologi, Spencer berpendapat bahwa sosiologi merupakan disiplin umu teoritik yang mendeskripsikan perkembangan masyarakat manusia. Pandangan tersebut diterima oleh sosiolog positivistik seperti Emile Durkheim, Spencer, dan selanjutnya positivist lainnya menerima penafsiran evolusi yang bersifat hal dan abstrak yang materialistik ataupun kesadaran yang spritualistik. b. Haeckel Agama sering melihat materi dan ruh sebagai dua yang dualistik. Haeckel memandang bahwa hal dan kesadaran itu menampilkan sifat yang berbeda, tetapi mengenai substansinva yang satu, monistik. Berbeda dengan Lombrosso yang berpendapat bahwa perilaku kriminal itu bersifat positivistik biologik deterministik. 8|H a l 3. Positivisme Kritis Yang termasuk tokoh-tokoh positivisme kritis adalah Ernst Mach, Richard Avenarius, Karl Pearson dan Joseph Petzoldt. a. Ernst Mach dan Richard Avenarius Richard Avenarius dan Ernst Mach, dua tokoh yang dianggap sebagai pelopor kaum neopositivisme, mencoba memberikan fundamen bagi kepastian filsafat dengan derajat kepastian yang sama dengan ilmu pasti. Caranya adalah dengan menggunakan metode matematik yang dikombinasikan dengan eksperimen. Penggunaan proposisi matematik ini dapat menjauhkan filsafat dari segala suasana perasaan, subyektivitas dan metafisika (Beerling, 1994: 96). Di akhir abad 19 positivisme menampilkan bentuk yang lebih kritis dalam beberapa karya Mach dan Avenarius, yang lebih dikenal dengan empiriocritistme. Bagi keduanya fakta adalah satu-satunva unsur untuk membangun realitas. Realitas baginya adalah sejumlah rangkaian hubungan beragam hal indrawi yang relative stabil. Unsur indrawi itu bisa berupa fisik dan bisa pula psikis. Dengan demikian sesuatu itu adalah serangkaian relasi indrawi, dan pemikiran kita adalah persepsi kita atau representasi dari sesuatu itu. b. Pearson Konsep hukum menurut positivisme klasik merupakan relasi konstan sejumlah fakta, sedangkan menurut Kad Pearson merupakan suatu deskripsi tentang dunia luar, bukan persepsi. Sementara Mach memandang hukum sebagai preskripsi tentang fenomena yang diharapkan. c. Petzoldt Segaris dengan Marc, Joseph Petzoldt mengajukan konsep law of univocal determanition sebagai pengganti prinsip kausalitas. Menurut Petzoldt hukum ini memungkinkan orang memilih kondisi mana yang diperhatikan lebih efektif terhadap determinasi suatu fenomena. Pearsen menyimpulkan hukum ilmiah adalah hukum yang hanya memberi efek logis dan tidak perlu sampai kepada efek fisik." 4. Positivisme Linguistik Yang mula-mula mengembangkan positivisme linguistik pada awal abad 20 adalah de Saussure. Dia mengaplikasikan sistem logika yang menggunakan bahasa sebagai sistem logika untuk pengembangan ilmu. Sistem logika bahasa ini disebut sebagai second order of logic yang pada era sekarang dikenal dengan positivisme linguistik. 9|H a l 5. Positivisme Fungsional Positivisme fungsional yang merupakan positivisme modem, masih tetap menggunakan paradigma kuatitaif matematik yang diasumsikan isomorphic dengan ilmu pengetahuan alam. Disebut positivisme fungsional karena ia mengadopsi analogi biologik dan analogi mekanik dalam menelaah manusia. Sistem biologik dan sistem mekanik dipakai untuk memahami prilaku manusia. 6. Positivisme Logik (Neopositivisme) Positivisme modern dikembangkan oleh filosof abad 20 dan dikenal sebagai positivistik logik. Yang memberi nama positivisme logik adalah A.E. Blumberg dan Herbert Feigel pada tahun 1932. Nama lain dari empirisme logik adalah neopositivisme. Tradisi kelompok Wina yang empiristik mengembangkan terus diskusinya. Moritz Schlik dan Rudolph Camap ikut bergabung pula, dan mereka menjadi tokoh sentralnya. Perlu dicatat di sini bahwa kelompok Wina ini minoritas di Eropa; yang dominan adalah tradisi Jerman yang menganut idealism Kant. Positivisme Logis (disebut juga sebagai empirisme logis, empirisme rasional, dan juga neopositivisme) adalah sebuah filsafat yang berasal dari Lingkaran Wina pada tahun 1920-an. Positivisme Logis berpendapat bahwa filsafat harus mengikuti rigoritas yang sama dengan sains. Filsafat harus dapat memberikan kriteria yang ketat untuk menetapkan apakah sebuah pernyataan adalah benar, salah atau tidak memiliki arti sama sekali. Lingkaran Wina (Vienna Circle) adalah tonggak monumen sejarah bagi para filsuf yang ingin membentuk 'unified science', yang mempunyai program untuk menjadikan metode-metode yang berlaku dalam ilmu pasti-alam sebagai metode pendekatan dan penelitian ilmu-ilmu kemanusiaan, termasuk di dalamnya filsafat. Gerakan para filsuf dalam Lingkaran Wina ini disebut oleh sejarah pemikiran sebagai Positivisme-Logik. Meskipun aliran ini mendapat tantangan luas dari berbagai kalangan, tapi gaung pemikiran yang dilontarkan oleh aliran positivisme logik masih terasa hingga saat sekarang ini. Perkembangan filsafat ilmu, berawal di sekitar abad 19, diperkenalkan oleh sekelompok ahli ilmu pengetahuan alam yang berasal dari Universitas Wina. Kemudian filsafat ilmu dijadikan mata ajaran di universitas tersebut. Para ahli tersebut tergabung dalam kelompok diskusi ilmiah yang dikenal sebagai lingkaran Wina (Wina circle). Kelompok Wina menginginkan adanya unsur pemersatu dalam ilmu pengetahuan. Dan unsur pemersatu tersebut harus beracuan pada bahasa ilmiah dan cara kerja ilmiah yang pasti dan logis. Dan pemersatu tersebut adalah filsafat ilmu. 10 | H a l Lingkaran Wina adalah suatu kelompok yang terdiri dari sarjana-sarjana ilmu-ilmu pasti dan alam di Wina, ibukota Austria. Kelompok ini didirikan oelh Moritz Schlick pada tahun 1924, namun pertemuan-pertemuannya sudah berlangsung sejak tahun 1922, dan berlangsung terus menerus sampai tahun 1938. Anggota-anggotanya antara lain: Moritz Schlick (1882-1936), Hans Hahn (1880-1934), Otto Neurath (1882-1945), Hans Reichenbach (1891-1955), dan Victor Kraft (18801975) Tokoh-tokoh yang menganut paham positivisme logis ini antara lain Moritz Schlick, Rudolf Carnap, Otto Neurath, dan A.J. Ayer. Karl Popper, meski awalnya tergabung dalam kelompok Lingkaran Wina, adalah salah satu kritikus utama terhadap pendekatan neo-positivis ini. Secara umum, para penganut paham positivisme memiliki minat kuat terhadap sains dan mempunyai sikap skeptis terhadap ilmu agama dan hal-hal yang berbau metafisika. Mereka meyakini bahwa semua ilmu pengetahuan haruslah berdasarkan inferensi logis yang berdasarkan fakta yang jelas. Sehingga, penganut paham ini mendukung teori-teori paham realisme, materialisme, naturalisme filsafat dan empirisme. III. ASAL DAN GAGASAN POSITIVISME LOGIS Para anggota Lingkaan Wina ini mendapat pengaruh dari tiga arah. Pertama, dari empirisme dan positivism, terutama Hume, Mill, dan Ernst Mach (1838-1916). Kedua, dari metodologi ilmu empiris yang dikembangkan oleh para ilmuwan semenjak abad ke-19, misalnya: Helmholz, Mach, Poencare, Duhem, Boltzmann, dan Einsten. Ketiga, perkembangan logika simbolik dan analisa logis yang dikembangkan terutama oleh Frege, Whitehead dan Russell, serta Wittgenstein. Salah satu gerakan ini adalah ingin memperbaharui positivisme klasik ciptaan Comte, sekaligus memperbaiki kekurangan-kekurangan. Secara umum, para penganut paham positivisme memiliki minat kuat terhadap sains dan mempunyai sikap skeptis terhadap ilmu agama dan hal-hal yang berbau metafisika. Mereka meyakini bahwa semua ilmu pengetahuan haruslah berdasarkan inferensi logis yang berdasarkan 11 | H a l fakta yang jelas. Sehingga, penganut paham ini mendukung teori-teori paham realisme,2 materialisme3 naturalisme filsafat dan empirisme4. Salah satu teori Positivisme Logis yang paling dikenal antara lain teori tentang makna yang dapat dibuktikan, yang menyatakan bahwa sebuah pernyataan dapat disebut sebagai bermakna jika dan hanya jika pernyataan tersebut dapat diverifikasi secara empiris. Konsekuensi dari pendapat ini adalah, semua bentuk diskursus yang tidak dapat dibuktikan secara empiris, termasuk di antaranya adalah etika5 dan masalah keindahan, tidak memiliki makna apa-apa, sehingga tergolong ke dalam bidang metafisika6. Secara garis besar mereka berpendapat bahwa hanya ada satu sumber pengalaman saja, yaitu pengalaman. Yang dimaksud adalah pengalaman yang mengenal data-data inderawi. Positivisme logis adalah aliran pemikiran dalam filsafat yang membatasi pikirannya pada segala hal yang dapat dibuktikan dengan pengamatan atau pada analisis definisi dan relasi antara istilahistilah. Fungsi analisis ini mengurangi metafisika dan meneliti struktur logis pengetahuan ilmiah. Tujuan dari pembahasan ini adalah menentukan isi konsep-konsep dan pernyataan-pernyataan ilmiah yang dapat diverifikasi secara empiris. Tujuan akhir dari penelitian yang dilakukan pada positivisme logis ini adalah untuk mengorganisasikan kembali pengetahuan ilmiah di dalam suatu sistem yang dikenal dengan 2 Realisme adalah aliran yang berpacu pada pandangan konkret, jadi "ada" menurut pandangan realisme adalah "ada" yang bersifat konkret. aliran ini mempunyai hubungan dengan aliran materialistik, dimana pandangan ini juga mempunyai pandangan bahwa segala sesuatu yang ada itu adalah bersifat konkret. 3 Materialisme adalah paham dalam filsafat yang menyatakan bahwa hal yang dapat dikatakan benar-benar ada adalah materi. Pada dasarnya semua hal terdiri atas materi dan semua fenomena adalah hasil interaksi material. Materi adalah satu-satunya substansi. Sebagai teori materialisme termasuk paham ontologi monistik. Materialisme berbeda dengan teori ontologis yang didasarkan pada dualisme atau pluralisme. Dalam memberikan penjelasan tunggal tentang realitas, materialisme berseberangan dengan idealisme 4 Empirisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang menyatakan bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman manusia. Empirisme menolak anggapan bahwa manusia telah membawa fitrah pengetahuan dalam dirinya ketika dilahirkan. Empirisme lahir di Inggris dengan tiga eksponennya adalah David Hume, George Berkeley dan John Locke 5 Etika (Yunani Kuno: "ethikos", berarti "timbul dari kebiasaan") adalah cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas. Etika mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab. Etika terbagi menjadi tiga bagian utama: meta-etika (studi konsep etika), etika normatif (studi penentuan nilai etika), dan etika terapan (studi penggunaan nilai-nilai etika). 6 Metafisika (Bahasa Yunani: με ά (meta) = "setelah atau di balik", ύ α (phúsika) = "hal-hal di alam") adalah cabang filsafat yang mempelajari penjelasan asal atau hakekat objek (fisik) di dunia. Metafisika adalah studi keberadaan atau realitas. Metafisika mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah sumber dari suatu realitas? Apakah Tuhan ada? Apa tempat manusia di dalam semesta? 12 | H a l ”kesatuan ilmu” yang juga akan menghilangkan perbedaan-perbedaan antara ilmu-ilmu yang terpisah. Logika dan matematika dianggap sebagai ilmu-ilmu formal. Kesatuan ilmu pengetahuan, berdasarkan pendapat Neurath, oleh Camap disebut dengan " fisikalisme" (psysicalism). Istilah ini diciptakan oleh Carnap dalam suatu artikel yang berjudul "Die psysikalische Sprache als Universalprache der Wissenschaft" terbit pada tahun 1931. Fisikalisme bermaksud menyangkal setiap perbedaan prinsipil antara ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan kultural. Karena semua ucapan empiris dapat diungkapkan dalam bahasa fisika, tidak ada ilmu pengetahuan kultural (geistewissenschaften) yang berbeda dari ilmu pengetahuan alam. Semua ilmu pengetahuan sama-sama bersifat "nsis" dan justru itulah memungkinkan kesatuan di antaranya. Positivisme berusaha menjelaskan pengetahuan ilmiah berkenaan dengan tiga komponen yaitu bahasa teoritis, bahasa observasional dan kaidah-kaidah korespondensi yang mengakaitkan keduanya. Tekanan positivistik menggarisbawahi penegasannya bahwa hanya bahasa observasional yang menyatakan informasi faktual, sementara pernyataan-pernyataan dalam bahasa teoritis tidak mempunyai arti faktual sampai pernyataan-pernyataan itu diterjemahkan ke dalam bahasa observasional dengan kaidah-kaidah korespondensi. IV. PENGAJARAN UTAMA POSITIVISME LOGIS Tugas pertama bagi logika positivisme adalah mendefinisikan apa yang menjadi tuntutan dalam penyusunan suatu ilmu pengetahuan. Hasilnya adalah untuk menganalisis bentuk logika dari suatu pernyataan. Pernyataan yang tidak hanya analitis (sebagai contoh: definisi) atau sintetis (pernyataan yang merupakan bukti dari fakta) yang digolongkan sebagai nyata secara kognitif (cognitively significant) atau bermakna. Semua pernyataan lain tidak nyata secara kognitif bila: tidak bermakna, bersifat metafisik, dan tidak ilmiah. Analisis filosofi yang menggunakan pernyataan seperti itu mungkin sebagai ekspresi sikap emosi, atau sikap umum mengenai kehidupan, atau nilai moral, tetapi tidak dapat dinyatakan sebagai ilmu pengetahuan. Untuk menjalankan program ini, para pengikut logika positivisme membutuhkan kriteria yang obyektif yang dapat membedakan antara pernyataan sintetis yang tidak bermakna. Salah satu pemikiran awal untuk menjawabnya adalah mengemukakan prinsip dapat diverifikasi 13 | H a l (verifiability): pernyataan hanya bermakna bila dapat diverifikasi. Sayangnya, pernyataan dalam bentuk universal (seperti: semua burung gagak berwarna hitam), yang sering digunakan dalam ilmu pengetahuan ternyata tidak dapat diverifikasi. Kriteria lainnya adalah dapat ditolak (falsifiability), sedangkan Ayer berpendapat harus dapat diverifikasi meskipun lemah, Carnap menambahkan dapat diubah bentuknya (translatability) ke dalam bahasa empiris dan dapat dikonfirmasi (confirmability). Tetapi, tidak ada satupun dari kriteria tersebut yang mampu membenarkan dalam memutuskan suatu persoalan. Dilema lain adalah adanya terminologi teori dalam pernyataan yang dibuat oleh ilmuwan. Beberapa ilmuwan positivis mengikuti Mach dalam mendesak untuk menghilangkan kriteria tersebut dalam dunia ilmiah, tetapi beberapa ilmuwan lain memegang teguh pernyataan tersebut. Program akhir dari para ilmuwan positivis adalah menggabungkan tesis dalam ilmu pengetahuan, yaitu semua ilmu pengetahuan dapat memanfaatkan metode yang sama. Ada enam program pengajaran utama dalam logika empirisme. Program pertama adalah menyatukan tesis ilmu pengetahuan. Tiga program berikutnya adalah berhubungan dengan struktur dan tafsir terhadap teori. Model hipotetik-deduktif (hypothetical-deductive) dari struktur teori menyatakan bahwa setiap ilmu pengetahuan mempergunakan teori, yang dinyatakan dalam bentuk formal seperti aksioma, struktur dari hipotetik-deduktif seperti itu tidak mempunyai arti empiris sampai beberapa elemennya (biasanya kesimpulan teori atau prediksi dari teori) diberi interpretasi empiris melalui penggunaan aturan yang sesuai. Tidak semua pernyataan mempunyai interpretasi empiris. Yang hanya mengandung terminologi teoritis, pada khususnya, tidak dapat diinterpretasikan. Apakah pernyataan seperti itu tidak bermakna? Tidak semuanya, sesuai dengan tesis yang dapat diuji secara langsung (indirect testability thesis) pernyataan seperti itu mendapat nilai nyata kognitif secara tidak langsung jika teori yang menyertainya dapat memperkuat. Akhirnya, memperhatikan pernyataan tentang batas dan pengkajian teori, logika empiris membentuk konfirmationisme (confirmationism) sebagai kriteria utama dalam penafsiran teori. Teori mempunyai arti ilmiah jika dapat diuji. Pengujian segera dapat mengesahkan atau membatalkan suatu teori. Penerimaan suatu teori tergantung dari derajat pengesahannya. Derajat pengesahan diukur dari: 1. suatu kuantitas dan ketelitian dari hasil pengujian yang mendukung, 2. ketelitian prosedur observasi dan pengukuran, 3. bermacam-macam bukti yang mendukung, dan bahkan 4. situasi uji yang mendukung hipotesis. 14 | H a l Kriteria non-empiris tambahan dalam penafsiran (seperti: kesederhanaan, kebagusan, bermanfaat, berlaku umum, dapat dikembangkan) perlu diungkapkan jika teori yang dipilih belum mempunyai dasar empiris. Dua pengajaran terakhir dari logika empirisme membahas logika dari penjelasan ilmiah. Semua penjelasan dalam ilmu pengetahuan harus dinyatakan dalam bentuk bukti deduktif. Kalimat penjelas terdiri atas kelompok kalimat, beberapa diantaranya menyatakan kondisi awal dan salah satunya berisi pernyataan umum atau hukum statistik. Deduktif-nomologis (deductivenomological) mencakup model suatu hukum dalam penjelasan ilmiah. Sebagai tambahan penganut logika empiris percaya tentang tesis simetri; penjelasan dan prediksi merupakan hal yang simetri secara struktur, perbedaannya hanya dalam hal waktu. Pada penjelasan, fenomena yang dijelaskan telah terjadi, sedangkan dalam prediksi, fenomena tersebut belum terjadi. V. CIRI-CIRI POSITIVISME Beberapa ciri-ciri dari positivisme yang terpenting di antaranya adalah sebagai berikut: 1. Penekanan pada metode ilmiah. Metode ilmiah adalah satu-satunya sumber pengetahuan yang benar tentang realitas. Telah ada upaya-upaya untuk membangun sebuah sistem yang menyatukan seluruh sains di bawah satu metodologi logis, matematis dan eksperiensial. 2. Positivisme mendasarkan sesuatu pengetahuan atas prinsip verifikasi, sebuah kriteria untuk menentukan bahwa sebuah pemyataan meniiliki makna kognitif. Sebuah pernyataan dikatakan bermakna Jika dapat diverifikasi secara empiris. Segala pengetahuan haruslah sampai pada tingkat positif, barulah ia dapat memiliki makna kognitif. 3. Filsafat dalam pandangan positivisme hanyalah sebagai analisis dan penjelasan makna dengan menggunakan logika dan metode ilmiah. Karena matematika dan logika sangat diperlukan untuk menganalisa pemyataan-pemyataan yang bermakna. 4. Bahasa filsafat mereka bangun dalam sebuah bahasa yang artifisial dan sempuma secara formal untuk filsafat, sehingga memperoleh efisiensi, ketelitian, kelengkapan seperti yang dimiliki sains-sains fisika. 5. Ciri positivisme yang cukup radikal adalah penolakan terhadap metafisika. Mereka menolak metafisika disebabkan hal-hal yang metafisika tersebut tidak dapat diverifikasi secara empiris dan bukan merupakan tautologi yang bermanfaat. Sesungguhnya tidak ada cara untuk menentukan kebenaran atau kesalahannya dengan merujuk pada pengalaman. 6. Penolakan positivisme yang sedemikian rupa terhadap metafisika ini juga mempengaruhi pandangan mereka terhadap agama dan ctika. Bentuk agama yang tertinggi dalam 15 | H a l evolusinya adalah agama kemanusiaan (religion of humanity) agama yang tiada merujuk pada Tuhan. Sedangkan etika bagi mereka adalah bentuk dari pernyataan emosi manusia yang mendiskripsikan sikap penolakan atau pencrimaan terhadap sesuatu, yang semuanya tidak ada standamya dan hubungannya dengan suatu yang transcnden. Beberapa pandangan positivisme logis dapat diuraikan antara lain sebagai berikut: 1. Hanya ada satu sumber pengalaman, yaitu pengalaman. Yang dimaksud ialah mengenal data-data inderawi 2. Berangkat dari pengalaman, dikembangkan metode induksi dalam menyusun suatu ilmu penegetahuan melalui siklus empiris, yaitu observasi, hukum-hukum empiris, teori, dan hipotesa. 3. Selain pengalaman, diakui pula adanya dalil-dalil logika dan matematika yang tidak dihasilkan lewat pengalaman. Dalil-dalil itu hanya memuat serentetan tautologi – subjek- predikat- saja, yang berguna untuk mengolah data pengalaman (inderawi) menjadi satu keseluruhan yang meliputi segala data. 4. Memiliki minat besar untuk mencari garis batas atau damarkasi antara pernyataan yang bermakna (meanigful) dan yang tidak bermakna (meaningless). Oleh karena itu, filsafat tradisional haruslah ditolak karena ungkapan-ungkapannya melampaui pengalaman. 5. Ilmu pengetahuan dipandang sebagai logika. Konsekuensinya, Ilmu harus disusun berdasarkan logika formal, sebagaimana halnya yang dilakukan Aristoteles. 6. Tidak ada konteks penemuan (context of discovery) . Yang ada hanya konteks pengujian dan pembenaran (context of justification). VI. KRITIK POSITIVISME LOGIS Para pengkritik Positivisme Logis berpendapat bahwa landasan dasar yang digunakan oleh Positivisme Logis sendiri tidak dinyatakan dalam bentuk yang konsisten. Misalnya, prinsip tentang teori tentang makna yang dapat dibuktikan seperti yang dinyatakan di atas itu sendiri tidak dapat dibuktikan secara empiris. Masalah lain yang muncul adalah dalam hal pembuktian teori. Masalah yang dinyatakan dalam bentuk eksistensi positif (misalnya: ada burung berwarna hitam) atau dalam bentuk universal negatif (misalnya: tidak semua burung berwarna hitam) mungkin akan mudah dibuktikan kebenarannya, namun masalah yang dinyatakan sebaliknya, yaitu dalam bentuk eksistensi negatif (misalnya: tidak ada burung yang berwarna hitam) atau universal positif 16 | H a l (misalnya: semua burung berwarna hitam) akan sulit atau bahkan tidak mungkin dibuktikan. Karl Popper, salah satu kritikus Positivisme Logis yang terkenal, menulis buku berjudul Logik der Forschung (Logika Penemuan Ilmiah) pada tahun 1934. Di buku ini dia menyajikan alternatif dari teori syarat pembuktian makna, yaitu dengan membuat pernyataan ilmiah dalam bentuk yang dapat dipersangkalkan (falsifiability). Pertama, topik yang dibahas Popper bukanlah tentang membedakan antara pernyataan yang bermakna dan yang tidak, namun untuk membedakan antara pernyataan yang ilmiah dari pernyataan yang bersifat metafisik. Menurutnya, pernyataan metafisik tidaklah harus tidak bermakna apa-apa, dan sebuah pernyataan yang bersifat metafisik pada satu masa, karena pada saat tersebut belum ditemukan metode penyangkalannya, belum tentu akan selamanya bersifat metafisik. Sebagai contoh, psikoanalisis pada jaman itu tidak memiliki metode penyangkalannya, sehingga tidak dapat digolongkan sebagai ilmiah, namun jika suatu saat nanti berkembang menjadi sesuatu yang dapat dibuktikan melalui penyangkalan, maka akan dapat digolongkan sebagai ilmiah. Dalam bidang ilmu sosiologi, antropologi, dan bidang ilmu sosial lainnya, istilah positivisme sangat berkaitan erat dengan istilah naturalisme dan dapat dirunut asalnya ke pemikiran Auguste Comte pada abad ke-19. Comte berpendapat, positivisme adalah cara pandang dalam memahami dunia dengan berdasarkan sains. Penganut paham positivisme meyakini bahwa hanya ada sedikit perbedaan (jika ada) antara ilmu sosial dan ilmu alam, karena masyarakat dan kehidupan sosial berjalan berdasarkan aturan-aturan, demikian juga alam. Penolakan positivisme terhadap sumber-sumber pengetahuan yang nonempirik di sini sesesungguhnya dapat mengakibatkan kemiskinan sumber pengetahuan, mengakibatkan reduksi atas kebenaran. Padahal kebenaran suatu pengetahuan bukan hanya empirik, namun juga terkait dengan rasionalistik, intuitif bahkan otoritas— kesaksian orang lain. Di antara sumber-sumber pengetahuan yang bermacam-macam itu saling melengkapi dan tidak bertentangan dalam usahanya mencapai kebanaran. VII. PENUTUP Filsafat merupakan sebuah disiplin ilmu yang terkait dengan perihal kebijaksanaan yang merupakan titik ideal dalam kehidupan manusia jadi filsafat merupakan suatu refleksi yang kritis dan rasional tentang pengalaman kehidupan manusia, karena filsafat berbeda dengan ilmu empiris lainnya. Perkembangan filsafat sejak awal sampai pada abad-abad modern telah meletakkan dasar dalam perkembangan filsafat ilmu pengetahuan. 17 | H a l Pemikiran filsafat Barat diawali pada abad ke-6 sebelum masehi yang ditandai hilangnya mitos dan dongeng yang menjadi pembenaran terhadap setiap gejala alam yang terus berlanjut Zaman pertengahan (6-16 M) dan selanjutnya berkembang sampai pada Zaman Renaisans dan dalam abad 17 muncul persoalan epistemology yang memunculkan dua pandangan berbeda yaitu rasionalisme dan empirisme, dimana akhirnya muncul pandangan kritisisme yang menjembatani kedua pendangan yang berbeda tersebut. Pada abad 17 inilah dapat dikatakan sebagai Revolusi ilmu Pengetahuan dengan dengan cara berpikir yang mekanistik (matematika, fisika dan astronomi). Perkembangan selanjutnya, muncullah aliran filsafat yang positivisme yang inti filsafatnya adalah anti-metafisis. Tesis positivisme adalah bahwa ilmu adalah satu-satunya pengetahuan yang valid, dan fakta-fakta sajalah yang mungkin dapat menjadi obyek pengetahuan. Dengan demikian positivisme menolak keberadaan segala kekuatan atau subyek di belakang fakta, menolak segala penggunaan metode di luar yang digunakan untuk menelaah fakta. Selanjtnya Ilmu pengetahuan yang positivisme memberikan pengaruh yang sangat besar dalam ilmu pengetahuan terlebih pada awal abad 19, muncul kelompok berkumpul di Wina yang berorientasi positivisme untuk membicarakan tentang struktur ilmu pengetahuan tersebut, dimana kelompok ini lebih dikenal sebagai Lingkaran Wina (Wina Circle). Positivisme modern dikembangkan oleh filosof abad 20 dan dikenal sebagai positivisme logis. Positivisme Logis (disebut juga sebagai empirisme logis, empirisme rasional, dan juga neopositivisme) adalah sebuah filsafat yang berasal dari Lingkaran Wina pada tahun 1920-an. Positivisme Logis berpendapat bahwa filsafat harus mengikuti rigoritas yang sama dengan sains. Filsafat harus dapat memberikan kriteria yang ketat untuk menetapkan apakah sebuah pernyataan adalah benar, salah atau tidak memiliki arti sama sekali. Lingkaran Wina (Vienna Circle) adalah tonggak monumen sejarah bagi para filsuf yang ingin membentuk 'unified science', yang mempunyai program untuk menjadikan metode-metode yang berlaku dalam ilmu pasti-alam sebagai metode pendekatan dan penelitian ilmu-ilmu kemanusiaan, termasuk di dalamnya filsafat. Secara umum, para penganut paham positivisme memiliki minat kuat terhadap sains dan mempunyai sikap skeptis terhadap ilmu agama dan hal-hal yang berbau metafisika. Mereka meyakini bahwa semua ilmu pengetahuan haruslah berdasarkan inferensi logis yang berdasarkan fakta yang jelas. 18 | H a l Sehingga, penganut paham ini mendukung teori-teori paham realisme, materialisme, naturalisme filsafat dan empirisme. Secara umum, para penganut paham positivisme memiliki minat kuat terhadap sains dan mempunyai sikap skeptis terhadap ilmu agama dan hal-hal yang berbau metafisika. Mereka meyakini bahwa semua ilmu pengetahuan haruslah berdasarkan inferensi logis yang berdasarkan fakta yang jelas. Sehingga, penganut paham ini mendukung teori-teori paham realisme, materialisme, naturalisme filsafat dan empirisme. Salah satu teori Positivisme Logis yang paling dikenal antara lain teori tentang makna yang dapat dibuktikan, yang menyatakan bahwa sebuah pernyataan dapat disebut sebagai bermakna jika dan hanya jika pernyataan tersebut dapat diverifikasi secara empiris. Konsekuensi dari pendapat ini adalah, semua bentuk diskursus yang tidak dapat dibuktikan secara empiris, termasuk di antaranya adalah etika dan masalah keindahan, tidak memiliki makna apa-apa, sehingga tergolong ke dalam bidang metafisika. Secara garis besar mereka berpendapat bahwa hanya ada satu sumber pengalaman saja, yaitu pengalaman. Yang dimaksud adalah pengalaman yang mengenal data-data inderawi. Positivisme logis adalah aliran pemikiran dalam filsafat yang membatasi pikirannya pada segala hal yang dapat dibuktikan dengan pengamatan atau pada analisis definisi dan relasi antara istilahistilah. Para pengkritik Positivisme Logis berpendapat bahwa landasan dasar yang digunakan oleh Positivisme Logis sendiri tidak dinyatakan dalam bentuk yang konsisten. Sumber Bacaan 1. 2. 3. 4. 5. ABDUL HAKIM, Epistemologi Positivistik dalam Kajian Historis dan Metodologis, limn Ushtiluddin, Vol. 5. No.l, Januari-Juni 2006, hal. 72-84 http://id.wikipedia.org/wiki/Positivisme_logis Mustansyir. R. ; Munir, M., Filsafat Ilmu, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008. Verhaak, C.; Iman Haartini, R.; Filsafat Ilmu Pengetahuan, Grmaedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995 Wattimena, R.A.A; Filsafat dan Sains Sebuah Pengantar, Grasindo, Jakarta, 2008 Wibowo Arief, Positivisme dan Perkembangannya, http://staff.blog.ui.ac.id/arif51 19 | H a l