[go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu

Rancangan Penelitian

Kawasan Asia Tenggara masih menyimpan berbagai aspek kebudayaan yang menarik untuk dibahas. Kehidupan sehari-hari yang lekat dengan praktek-praktek tradisional masih berlangsung di beberapa wilayah. Meskipun pengaruh-pengaruh dari kebudayaan asing, agama, dan bahasa telah masuk, namun beberapa komunitas tradisional masih menjaga kebiasaan yang berlangsung turun-temurun selama beberapa generasi. Dalam hal ini, mengunyah sirih pinang (betel chewing tradition) adalah salah satu tradisi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat yang masih berlangsung hingga saat ini. Bukti-bukti tradisi mengunyah sirih pinang diperoleh dari data arkeologi, linguistik, dan sejarah. Apa yang dimaksud dengan tradisi mengunyah sirih pinang meliputi teknik dan cara penyiapan sirih pinang, peralatan, bahan-bahan, dan manfaat simbolis dan teknis. Namun demikian, penelitian yang akan dilakukan menitikberatkan pada peralatan sirih pinang (betel chewing pharapernalia) meliputi wadah sirih pinang, alu dan lesung, tempat kapur, pisau pemotong (kacip). Peralatan tersebut sangat bervariasi dari bentuk, bahan, dan pola hias dan bisa dianalisis dengan pendekatan arkeologi seni untuk mengetahui apakah benda-benda tersebut merupakan simbol identitas, gender, status sosial maupun aspek lain dalam kehidupan masyarakat. Secara umum gambaran tentang kehidupan masyarakat yang tinggal di Kawasan Asia Tenggara pada sejak awal abad masehi dapat kita ketahui dari sumber-sumber sejarah. Salah satunya diceritakan dengan baik oleh Anthony Reid (2014). Kawasan Asia Tenggara pada umumnya memiliki kesamaan kondisi geografis yakni kondisi iklim tropis dengan curah hujan yang cukup tinggi. Kondisi geografis seperti hutan dan air serta jumlah penduduk menentukan gaya hidup orang Asia Tenggara. Orang-orang di Asia Tenggara memilih untuk tinggal di rumah-rumah bertiang sebagai antisipasi banjir tahunan yang kemungkinan terjadi akibat meluapnya air sungai. Faktor keamanan dari binatang buas dan manusia juga menjadi faktor utama mengapa rumah-rumah mereka dibangun tinggi di atas tiang. Sebagian dari mereka tinggal di desa-desa di pedalaman maupun di pesisir pantai, kedua wilayah tersebut sama-sama kaya akan sumberdaya alam. Lebih lanjut lagi, Reid (2014) juga menyebutkan bahwa ciri khas lain orang Asia Tenggara adalah pola makan berupa beras dan ikan. Orang Asia Tenggara tidak banyak mengkonsumsi daging. Sebagai gantinya ikan kering yang menjadi teman utama minum arak dan teman makan nasi. Hasil-hasil pohon palem atau kelapa mewarnai sebagain besar rasa makanan di Asia Tenggara, begitu juga dengan gaya hidup penduduknya. Di beberapa

Rancangan Penelitian Peran Budaya Materi dalam Tradisi Mengunyah Sirih Pinang di Masyarakat Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur Latar Belakang Kawasan Asia Tenggara masih menyimpan berbagai aspek kebudayaan yang menarik untuk dibahas. Kehidupan sehari-hari yang lekat dengan praktek-praktek tradisional masih berlangsung di beberapa wilayah. Meskipun pengaruh-pengaruh dari kebudayaan asing, agama, dan bahasa telah masuk, namun beberapa komunitas tradisional masih menjaga kebiasaan yang berlangsung turun-temurun selama beberapa generasi. Dalam hal ini, mengunyah sirih pinang (betel chewing tradition) adalah salah satu tradisi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat yang masih berlangsung hingga saat ini. Bukti-bukti tradisi mengunyah sirih pinang diperoleh dari data arkeologi, linguistik, dan sejarah. Apa yang dimaksud dengan tradisi mengunyah sirih pinang meliputi teknik dan cara penyiapan sirih pinang, peralatan, bahan-bahan, dan manfaat simbolis dan teknis. Namun demikian, penelitian yang akan dilakukan menitikberatkan pada peralatan sirih pinang (betel chewing pharapernalia) meliputi wadah sirih pinang, alu dan lesung, tempat kapur, pisau pemotong (kacip). Peralatan tersebut sangat bervariasi dari bentuk, bahan, dan pola hias dan bisa dianalisis dengan pendekatan arkeologi seni untuk mengetahui apakah benda-benda tersebut merupakan simbol identitas, gender, status sosial maupun aspek lain dalam kehidupan masyarakat. Secara umum gambaran tentang kehidupan masyarakat yang tinggal di Kawasan Asia Tenggara pada sejak awal abad masehi dapat kita ketahui dari sumber-sumber sejarah. Salah satunya diceritakan dengan baik oleh Anthony Reid (2014). Kawasan Asia Tenggara pada umumnya memiliki kesamaan kondisi geografis yakni kondisi iklim tropis dengan curah hujan yang cukup tinggi. Kondisi geografis seperti hutan dan air serta jumlah penduduk menentukan gaya hidup orang Asia Tenggara. Orang-orang di Asia Tenggara memilih untuk tinggal di rumah-rumah bertiang sebagai antisipasi banjir tahunan yang kemungkinan terjadi akibat meluapnya air sungai. Faktor keamanan dari binatang buas dan manusia juga menjadi faktor utama mengapa rumah-rumah mereka dibangun tinggi di atas tiang. Sebagian dari mereka tinggal di desa-desa di pedalaman maupun di pesisir pantai, kedua wilayah tersebut sama-sama kaya akan sumberdaya alam. Lebih lanjut lagi, Reid (2014) juga menyebutkan bahwa ciri khas lain orang Asia Tenggara adalah pola makan berupa beras dan ikan. Orang Asia Tenggara tidak banyak mengkonsumsi daging. Sebagai gantinya ikan kering yang menjadi teman utama minum arak dan teman makan nasi. Hasil-hasil pohon palem atau kelapa mewarnai sebagain besar rasa makanan di Asia Tenggara, begitu juga dengan gaya hidup penduduknya. Di beberapa daerah sagu menjadi sumber tepung utama. Di samping itu kelapa serta gula aren menghasilkan gula, arak, dan pinang. Tradisi mengunyah sirih pinang menjadi hal yang lazim dilakukan orang-orang Asia Tenggara yang bersifat simbolis maupun teknis. Mengunyah sirih pinang adalah makanan untuk beramah-tamah di dalam lingkungan masyarakat Asia Tenggara. Sirih pinang juga berguna untuk menenangkan otak dan sistem syaraf sentral. Selain itu, sirih dan pinang juga kerap digunakan sebagai pelengkap sesaji. Terkait dengan tradisi mengunyah sirih pinang di Asai Tenggara, banyak bukti sejarah yang mendukung keberadaan tradisi tersebut. Diantaranya adalah tradisi mengunyah sirih pinang yang sangat lekat dengan kehidupan sehari-hari orang Khmer (Kamboja). Dilingkup kerajaan, raja dan bangsawan sangat menikmati kegiatan mengunyah sirih pinang, dan bukti ini didapatkan dari catatan Cina. Pinggan atau nampan yang berisi sirih pinang adalah salah satu komponen penting dalam upacara penobatan raja. Tidak hanya dalam lingkup kerajaan, tradisi mengunyah sirih pinang sangat penting dalam kehidupan rakyat biasa dengan kaitannya dengan berbagai ritual dan upacara (Rooney, 1984). Mengunyah sirih pinang diketahui menjadi aktivitas yang sangat diminati karena kaitannya dengan kecantikan. Bibir merah adalah tanda kecantikan yang diinginkan perempuan di wilayah Asia Tenggara, seperti juga di banyak tempat lainnya di dunia. Sebuah lagu Burma (Myanmar) memuat lirik yang berbunyi “...bibir yang memerah karena cairan sirih pinang...”. Sehingga jauh sebelum penemuan lipstik, penampilan bibir merah didapatkan dari aktivitas mengunyah sirih pinang secara teratur. Seorang gadis muda dari Burma memerahkan bibir mereka untuk kesempatan “berdandan” yang disebut Khin Myo Chit. Seorang perempuan dari Suku pegunungan Akha, yang tinggal pada komunitas etnik minoritas di area pegunungan bagian Thailand utara, sangat membanggakan bibir memerah mereka karena mengunyah sirih pinang (Rooney, 1993). Selain itu, sepanjang sejarahnya, tradisi sirih pinang diketahui tidak hanya dinikmati oleh kalangan raja dan bangsawan, namun juga oleh orang-orang di pedesaan. Di Thailand dua sirih pinang ditempatkan pada tempat yang sama dengan patung Buddha di rumah-rumah pedesaan hingga saat ini. Daun sirih juga digunakan dalam ritual sebelum musim tanam padi di sawah dan sebelum panen untuk menjamin bahwa nanti akan didapatkan hasil panen yang melimpah. Sirih pinang ditawarkan kepada para biksu Buddha sebagai salah satu tindakan membuat permohonan. Sirih pinang biasa dikunyah setelah makan dan berdasarkan mitologi yang ada pada masyarakat disana, karakter seseorang bisa diketahui dari caranya memegang sirih pinang (Rooney, 1984). Di Indonesia, terminologi buah pinang disebutkan di sebuah naskah kronik Cina pada paruh pertama abad keenam masehi (Buku ke-54 di Sejarah Dinasti Liang). Kemungkinan kronik Cina tersebut adalah bukti sejarah tertua tentang sirih pinang di Indonesia. Kemudian, Antonio Galvao dalam catatannya pada abad ke-16 M menyebutkan bahwa, Raja Ternate menurut dugaan sangat menghargai orang-orang kerdil perempuan yang memiliki kaki pincang sejak masa kanak-kanak dan bertugas untuk membawa set peralatan mengunyah sirih pinang. Sementara itu, legenda lain menyebutkan tentang duel antara Hang Tuah dan Hang Jebat di Istana Sultan Malaka. Selama duel, Hang Tuah meminta “waktu rehat” untuk mengunyah sirih pinang. Hang Jebat mengamatinya berjalan ke tepi arena. Mata Hang Jebat terus terpaku pada keris sakti milik lawannya yang sedang lengah tersebut. Mengetahui kekuatan keris tersebut, dia bergegas merebut keris milik Hang Tuah. Hang Jebat menang dalam duel tersebut, bukan karena tindakan yang melibatkan kemampuan dan kekuatan, namun karena Hang Tuah berhenti untuk mengunyah sirih pinang. Sirih pinang mengukuhkan peran pentingnya dalam aspek sosial masyarakat karena hingga saat ini “meminang” adalah istilah yang hingga saat ini digunakan di bahasa Indonesia dan bahasa Melayu untuk meminta seseorang untuk menikah. Pinang muda adalah istilah eufimisme dari isyarat keberlanjutan hubungan antara sepasang kekasih. Bentuk ideal buah pinang yang mempunyai dua belah pinang yang sempurna mungkin menjadi alasan munculnya peribahasa Melayu, “Bagai pinang dibelah dua”, sebagai perumpaan segala sesuatu yang sama persis atau sangat mirip. Di beberapa masyarakat mengkonsumsi buah pinang dan daun sirih pada akhir sebuah perkara hukum menandakan perdamaian. Daun pinang digunakan dalam upacara pernikahan dan melambangkan kesetiaan dan kesucian pernikahan dan cinta yang tanpa akhir. Untuk menentukan jenis kelamin bayi yang belum lahir maka seorang dukun beranak akan melemparkan sepotong kecil buah pinang ke lantai. Dukun beranak tersebut juga meludahkan sedikit adonan sirih pinang yang sudah dikunyah ke perut bayi yang baru lahir untuk melindunginya dari sakit. Seorang dukun beranak menerima sirih pinang sebagai bagian dari bayaran atas bantuannya selama proses persalinan seorang bayi. Selain itu, setelah melahirkan seorang ibu akan dilumuri atau diusapi dengan ramuan yang terbuat dari daun sirih. Karena diasosiasikan dengan keberanian maka, sirih pinang diberikan kepada anak-anak lelaki sebelum mereka disunat dengan tujuan agar mereka menjadi lebih berani setelah mengunyah sirih pinang (Rooney, 1984). Daun sirih adalah elemen penting dari ritual yang berkaitan dengan arwah-arwah, terutama ritual yang melibatkan medium atau perantara. Daun sirih dijadikan persembahan untuk memanggil atau mendatangkan arwah pelindung keluarga atau dewa-dewa sebelum perantara berhubungan langsung dengan arwah orang-orang mati dan menenangkan roh-roh laut dan angin. Penggunaan sirih dan pinang tidak hanya sebagai makanan namun juga sebagai obat, serta untuk tujuan magis dan simbolis. Dengan demikian tradisi ini adalah unsur yang penting untuk seni, upacara, dan interaksi sosial pada kehidupan sehari-hari (Rooney, 1984). Berdasarkan data sejarah, kata “betel” (bahasa Indonesia: sirih) pertama kali digunakan pada abad ke-16 M oleh orang Portugis. Menurut I.H.Burkill, penggunaan kata tersebut kemungkinan adalah transliterasi dari kata melayu yakni “vetila” (sejenis daun) yang dekat dengan kata “betel”. Sejak penggunaannya pertama kali, kata tersebut telah mengalami beragam penyebutan, mulai dari “bettele” hingga “betre” dari “betle” dan akhirnya menjadi “betel”. “Areca” mungkin diambil dari kata melayu yakni “adakka” (buah pinang) dari kata “adekaya”, yang merujuk pada benda yang sama (Rooney, 1993). Di satu sisi, terminologi paling luas yang merujuk pada “areca” (pinang) dan “betel” (sirih) ditemukan di Indonesia, yang kemudian diduga sebagai wilayah kemunculan kata tersebut pertama kali diucapkan. Di sisi lain, di India tidak ditemukan banyak kata yang merujuk pada kedua kata tersebut (areca dan betel) yang mengindikasikan kemungkinan tanaman yang ditemukan di wilayah tersebut ada pada periode waktu yang lebih kemudian. Lebih jauh lagi, “sireh”, adalah kata yang paling banyak digunakan untuk “betel” di wilayah-wilayah Melayu. Kata tersebut tidak diambil dari bahasa Sanksekerta. Sehingga menurut N.M.Penzer (dalam Rooney, 1993) tradisi mengunyah sirih pinang mungkin berkembang sendiri di wilayah-wilayah Melayu tanpa pengaruh dari India. Berdasarkan bukti-bukti linguistik, kemungkinan besar tradisi menguyah sirih pinang adalah tradisi lokal yang berkembang di Kepulauan Indonesia. Bahan-bahan adonan sirih pinang terdiri dari buah areca (buah pinang) dari pohon pinang, daun sirih, kapur, dan terkadang ditambahkan dengan biji adas atau cengkeh. Pohon areca atau pohon pinang adalah sebuah pohon yang tinggi, kokoh, dan langsing. Pohon pinang menghasilkan buah yang berwarna coklat keabu-abuan. Buah tumbuh menggerombol dengan bentuk buah bulat atau lonjong dan kulit yang berserabut. Daging buah pinang berwarna kuning oranye dibagian tengah. Daging buah pinang terdiri dari zat alkaloid, lemak, dan gula. Daging buah setelah dikupas diiris-iris, direbus, kemudian dikeringkan. Daun sirih didapatkan dari tanaman perdu yang mirip dengan tanaman merica. Dikenal dengan nama Piper betle (tanaman daun sirih). Daun sirih tersebut berwarna hijau gelap dan cukup tebal. Daun sirih mengandung zat yang disebut dengan phenols yang menguarkan aroma tajam dan rasa yang kuat. Kapur didapatkan dari kerang yang ditumbuk dan ditambahkan dengan alkali. Bubuk kapur ini dicampur dengan air sehingga membentuk pasta. Adapun cara untuk mempersiapkan adonan sirih pinang adalah sebagai berikut (Rooney, 1984): Pertama ambil satu lembar daun sirih. Kedua oleskan pasta kapur di bagian tengah daun. Ketiga tambahkan seiris pinang kering diatas daun sirih dan kapur. Seringkali ditambahkan pula rempah penambah rasa lainnya seperti, adas, cengkeh, atau bunga melati kering. Keempat daun sirih beserta isinya tadi digulung dan padatkan kemudian dimasukkan ke mulut untuk dikunyah secara perlahan-lahan. Secara geografis, penggunaan sirih pinang sangat luas, mulai dari garis pantai timur Afrika hingga Madagaskar di sebelah selatan, Melanesia hingga di Tikopia (di kepulauan Santa Cruz) di timur, Cina Selatan di utara dan Papua Nugini di selatan, termasuk juga anak benua India yakni Sri Lanka, dan seluruh kawasan asia Tenggara. Salah satu spesies dari buah pinang yang ditemukan di Asia Tenggara adalah Areca catechu. Pohon pinang dapat tumbuh dari sebuah biji. Pohon pinang tidak membutuhkan banyak perawatan dan hanya membutuhkan atmosfer atau udara yang lembab, iklim hangat yang terus menerus, dan tanah yang basah. Bagaimanapun, pohon pinang lebih bagus tumbuh di daerah pesisir dibandingkan di daerah pedalaman. Sumatera, Jawa Barat, Kalimantan, Semenanjung Malaya,Thailand bagian selatan, Burma bagian selatan, dan Filipina adalah area utama di Asia Tenggara untuk pertanian Areca catechu. Tumbuhan palem mencapai kematangan dalam waktu 1-2 tahun dan setelah 5-6 tahun tumbuhan itu mulai berbuah, memproduksi sekitar 200-800 buah per tahun hingga masa 20 tahun (Rooney, 1993). Seperti yang sekilas telah disinggung di atas, mengunyah sirih pinang memiliki beragam manfaat. Mengunyah sirih pinang berfungsi sebagai stimulan halus dan menimbulkan sensani yang menyenangkan atau menimbulkan sensasi menenangkan dan menyenangkan. Daun sirih mempunyai manfaat untuk memperkuat gigi dan gusi, meskipun bahan lainnya yakni kapur berbahaya untuk gigi dan bisa menyebabkan gigi keropos (Rooney, 1993). Di satu sisi, daun sirih dipercaya bisa menyembuhkan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan “panas” seperti sakit kepala dan demam. Di sisi lain, buah pinang ketika dicampur untuk tradisi sirih pinang, menghasilkan zat alkaloid dan tannin. Zat alkaloid (arecoline) bermanfaat untuk meredakan kegugupan, sehingga orang yang mengunyah sirih pinang merasa rileks. Alkaloid diketahui juga mengaktifkan kelenjar sekresi, meningkatkan kinerja otot halus, meningkatkan produksi air liur dan rasa haus, namun mengurangi rasa lapar atau mengurangi selera makan. Mengunyah sirih pinang menyebabkan warna merah pada air liur, gigi, dan feses. Alkaloid pada buah pinang juga mempengaruhi unsur nitrogen pada pola makan dan menetralkan asam lambung dan berfungsi sebagai zat yang menciutkan atau mempersempit saluran lambung (Rooney, 1995). Buah pinang ternyata tidak hanya memiliki manfaat untuk tubuh manusia namun juga untuk tubuh hewan. Buah pinang digunakan secara luas untuk pengobatan hewan, umumnya untuk melepasakan cacing parasit. Serat atau daging buah pinang digunakan untuk meredakan rasa sakit pada perut manusia. Sebagai astringent, buah pinang memperkuat lapisan membran mucous di perut. Di wilayah Melayu, buah muda dari spesies pinang Areca catechu dipercaya sangat efektif untuk aborsi pada perempuan hamil. Akar dari pohon pinang diolah untuk menjadi obat disentri. Daun sirih (piper betle) mengandung zat phenols yang berkontribusi dalam memberikan aroma yang segar dan rasa yang tajam (Rooney, 1995). Mengunyah sirih pinang dalam waku berlama-lama sejak lama dipercaya memperkuat dan membuat gusi sehat. Hal itu juga nampaknya mencegah keausan gigi selama gigi tersebut tetap dibersihkan. Alasan dari dampak positif dari mengunyah sirih pinang untuk gigi mungkin adalah kandungan fluoride dan efek antibakteri yang terkandung dalam daun sirih. Survei yang dilakukan di Papua Nugini dan di Jawa Timur menunjukkan bahwa gigi berlubang lebih jarang terjadi pada orang yang mengunyah sirih pinang. Penyakit gusi malah sering ditemukan karena iritasi sebagai efek samping dari kapur. Sisa-sisa sirih pinang yang dibiarkan menyelip diantara gigi bisa menyebabkan gigi renggang dan membuat sisa makanan yang mengandung bakteri perusak gigi bersarang di sana. Dengan demikian gigi menjadi rapuh dan apabila orang melanjutkan untuk mengunyah sirih pinang akan memudahkan gigi lepas. Kapur menggerus gisi dan menyebabkannya menjadi hitam, dan ketika dikunyah membuat dentin juga menjadi hitam (Rooney, 1995). Bukti paling awal dari tradisi sirih pinang secara arkeologis berasal dari temuan di Spirit Cave, Thailand barat laut, dimana terdapat sisa-sisa Areca catechu yang telah diketahui pertanggalannya berasal dari 10.000 SM (Gorman, 1970 dalam Rooney, 1993). Temuan serupa terdapat di beberapa situs di Thailand, termasuk Ban Chiang, yang memiliki pertanggalan 3600 SM hingga 200-300 M (White, 1982 dalam Rooney, 1993). Spesies liar dari buah/biji pinang ditemukan di Malaysia dan bukti-bukti linguistik mendukung bukti arkeologi yang ditemukan di wilayah tersebut. Rangka manusia yang ditemukan disana menunjukkan bukti aktivitas mengunyah sirih pinang, memiliki pertanggalan 3000 SM. Temuan serupa juga ditemukan di Duyong Cave, Filipina (Bellwood, 1979 dalam Rooney, 1993). Semua temuan sisa-sisa tumbuhan tersebut didapatkan dari tanaman yang ditanam dengan sengaja. Tidak ditemukannya beberapa spesies liar di wilayah yang sama mengindikasikan bahwa tanaman tersebut mungkin berasal dari tempat lain. Dibandingkan dengan temuan-temuan arkeologi di wilayah Asia Tenggara, temuan arkeologi di India tentang sirih pinang berasal dari awal abad masehi, masa yang jauh lebih kemudian dibandingkan dengan Asia Tenggara. Nilai penting dari tradisi mengunyah sirih pinang di Asia Tenggara terlihat dari tinggalan budaya materi yang tersebar luas dan bervariasi. Beberapa wadah keramik stoneware di Kamboja diketahui ternyata berfungsi sebagai wadah kapur, salah satu bahan adonan sirih pinang. Keramik ini mempunyai bentuk yang unik yakni berbentuk binatang. Berbentuk gajah atau kelinci, dan yang berwarna coklat biasanya lebih lazim ditemukan dibandingkan dengan yang berwarna hijau. Keramik wadah kapur diproduksi pada pertengahan abad ke-11 M dan awal abad ke-12 M. Produksi keramik sebagai wadah kapur (lime container) terkait dengan tradisi mengunyah kapur sirih atau sirih pinang dimana kapur adalah salah satu bahannya. Wadah keramik dengan jejak kapur didalamnya juga ditemukan di wilayah Thailand timur laut menjadi salah satu bukti bahwa praktek mengunyah sirih pinang tersebut diterima dengan luas oleh orang-orang Khmer pada paruh terakhir abad ke 11 M (Rooney, 1984). Wadah sirih pinang, entah itu berupa kotak, nampan, atau keranjang adalah komponen paling penting dari peralatan dasar tradisi mengunyah sirih pinang. Wadah untuk bahan-bahan bisa terdiri dari beberapa kompartemen atau wadah terpisah dengan tutup yang terbuat dari material berbeda-beda. Wadah ini sangat bervariasi dalam hal bentuk dan ukuran. Selain wadah sirih yang berbentuk geometris terdapat pula wadah sirih yang berbentuk menyerupai bulan sabit dan berbentuk menyerupai segitiga untuk diletakkan di pinggang agar lebih mudah dibawa ketika bepergian. Sebagai contoh di Khmer, kotak untuk menyimpan bahan-bahan sirih pinang milik raja dan jajarannya tidak diragukan lagi terbuat dari bahan-bahan yang berkualitas seperti emas, perak, dan perunggu. Sementara kotak yang dipakai oleh orang biasa mungkin terbuat dari kayu seperti yang sering kita temui pada masa sekarang. Bahan-bahan untuk mengunyah sirih pinang semuanya bisa digunakan secara bersama-sama. Orang-orang biasanya saling berbagi bahan-bahan tersebut kecuali kapur, karena kapur tersebut disimpan di tempat yang berbeda. Mungkin karena kapur mamiliki sifat aphrodisiac (untuk membangkitkan gairah seksual) atau karena kebutuhan untuk menggunakan kapur hanya sedikit (Rooney, 1984). Kemudian ada pisau yang digunakan pada wilayah dimana bagian lembut buah pinang yang belum dikupas bisa dimakan, namun pemotong yang seperti gunting (kacip) digunakan pada wilayah ketika orang lebih memilih mengkonsumsi buah pinang kering. Peralatan lainnya adalah sebuah spatula untuk mengambil pasta kapur dari wadahnya kemudian mengoleskannya pada permukaan daun sirih atau memulaskannya pada pipi, tempat peludahan, dan lumpang-alu untuk menghancurkan buah pinang agar bisa dikunyah oleh orang-orang yang sudah tidak memiliki gigi (Rooney, 1993). Bahan-bahan peralatan sirih pinang sangat beragam, mulai dari bahan alami hingga bahan logam. Bahan alami umum digunakan pada wilayah kepulauan. Material tersebut cukup tahan lama, tahan air, dan ringan. Misalnya saja, wadah kapur yang terbuat dari labu di Timor, kemudian ada yang terbuat dari batok kelapa di Flores, dan dari tanduk yang diukir di Sulawesi Tenggara. Tanduk kerbau atau kelapa juga seringkali digunakan sebagai spatula. Orang-orang Ifugao di Filipia membuat kotak wadah kapur dari tulang manusia dan menghiasinya dengan gambar-gambar adegan yang menceritakan kematian pemilik tulang tersebut. Tanduk rusa digunakan di Burma sebagai alat pemecah buah pinang dengan cara mendorong buah pinang melalui sisi lebar menuju sisi sempit dari tanduk tersebut hingga pecah menjadi bagian kecil-kecil. Alang-alang dan serat dari tumbuhan di hutan hujan tropis lainnya dianyam menjadi wadah-wadah tahan lama untuk membawa perlengkapan sirih pinang dan didekorasi dengan keahlian tingkat tinggi. Wadah atau keranjang ini sangat ringan sehingga mudah dibawa kemana saja. Wadah sirih pinang tersebut biasanya dibawa oleh para perempuan ketika mereka pergi ke sawah. Di Kalimantan Barat, orang-orang membuat anyaman dari daun pandan dan ditambahkan tali sebagai wadah sirih pinang (Rooney, 1993). Asal mula dari tradisi mengunyah sirih pinang belum diketahui. Penelitian untuk mencari sumber sangat rumit dengan melihat fakta bahwa ada tiga bahan yang digunakan (buah pinang, daun sirih, dan kapur) . Kesulitan lainnya adalah menentukan apakah biji dari buah pinang yang digunakan berasal dari wilayah setempat atau didatangkan dari tempat lain. Meskipun telah diajukan sejak beberapa waktu bahwa mengunyah sirih pinang adalah sebuah tradisi yang berasal dari india, namun data terbaru dari arekologi dan linguistik meragukan teori tersebut, sementara ini hanya data linguistik yang mendukung data tersebut. Kurangnya penelitian tentang tradisi mengunyah sirih pinang pada abad ke-20 membatasai penilaian terhadap perannya pada masa kini. Banyak orang percaya bahwa penggunaannya mengalami penurunan di Asia Tenggara karena pengaruh barat dalam gaya hidup sehari-hari. Sebuah kajian tentang kebiasaan di wilayah-wilayah Melayu antara tahun 1940-1964 menyimpulkan bahwa selain beras, sirih adalah item yang sangat penting untuk penggunaan sehari-hari dalam kehidupan masyarakat yang tinggal di pedesaan. Meski demikian, tradisi mengunyah sirih pinang telah mengalami penurunan dalam hal kepentingan dalam kehidupan sehari-hari dan juga faktor ekonomi juga telah menghilang. Lebih jauh lagi ada bukti pada wilayah-wilayah yang mendapat pengaruh kuat dari misionaris, seperti Filipina dan Papua Nugini, menunjukkan penuruan yang signifikan dalam pelaksanaan tradisi sirih pinang. Di Thailand kebiasaan ini menghilang ketika pemerintah menerbitkan undang-undang pada tahun 1945 melarang tradisi sirih pinang dan mendeklarasikan bahwa hal tersebut “tidak seperti orang barat (Eropa)” dan dianggap “tidak beradab”. Peraturan tersebut serta merta menghentikan kebiasaan mengunyah sirih pinang (Rooney, 1993). Meskipun tradisi mengunyah sirih memiliki peran penting pada kebudayaan tradisional masyarakat. Kebiasaan ini sudah mulai ditinggalkan. Mengunyah sirih pinang dianggap sebagai hal yang tidak praktis, jorok, dan kotor. Mungkin karena ketika seseorang mengunyah sirih pinang maka dia harus sering meludah, sementara ludah tersebut berwarna merah dan ketika terkena benda, akan meninggalkan bercak yang sulit dihilangkan. Seperti yang terjadi di Timor, banyak orang kemudian beralih dari mengunyah sirih pinang menjadi menghisap rokok karena dianggap lebih praktis dan lebih bersih. Oleh sebab itu penelitian tentang mengunyah sirih pinang sangat penting untuk dilakukan karena kemungkinan besar tradisi tersebut bisa menghilang dalam waktu lebih cepat dari yang kita perkirakan (Reid, 1985). Penelitian ini akan dilakukan di masyarakat Sumba Barat dimana masih terdapat kampung-kampung tradisional. Masyarakat yang tinggal di kampung-kampung tradisional masih melakukan aktivitas mengunyah sirih pinang. Pada masyarakat tradisional Sumba Barat, sirih pinang merupakan simbol keramah-tamahan dan niat baik. Lebih jauh lagi peralatan sirih pinang yang dipakai di Sumba Barat kemungkinan memiliki nilai seni dan memiliki makna identitas atau gender yang harus dibuktikan dengan melakukan analisis terhadap gaya seni yang ada pada peralatan sirih pinang tersebut. Berikut ini adalah hasil observasi sementara peralatan sirih pinang yang digunakan salah satu keluarga di Kampung Wanokaka, Sumba Barat. Keterangan dari kiri ke kanan: a. Kapu pa mama: kapur sirih, Tau we kapu: tempat kapur dari bambu dengan tutup kayu b. Winno, Kapu: pinang, kapur, Koulaka: wadah sirih pinang yang telah dikunyah terbuat dari anyaman serat bambu c. Kaleku: dompet yang biasa dibawa para wanita untuk membawa sirih pinang terbuat dari anyaman d. Alu bai mama dan Ngoumama: penumbuk dan wadah untuk menumbuk sirih pinang, wadah kecil terbuat dari tanduk kerbau, sementara penumbuk terbuat besi atau tanduk kerbau Asal usul tradisi mengunyah sirih pinang hingga kini belum diketahui. Meskipun teori bahwa asal tradisi ini dari India telah sejak lama dipaparkan namun bukti linguistik dan bukti arkeologis yang ditemukan meragukan teori tersebut. Kemungkinan tradisi mengunyah sirih pinang mulai dikenal di Asia Tenggara karena dibawa oleh para pedagang dan pelayar. Bukti paling awal dari tradisi sirih pinang secara arkeologis berasal dari Spirit Cave di Thailand barat laut dimana terdapat sisa-sisa Areca catechu (spesies biji pinang) yang di dating berasal dari 10.000 BC (Gorman, 1970). Temuan serupa terdapat di beberapa situs di Thailand, termasuk Ban Chiang, yang memiliki pertanggalan 3600 BC hingga 200-300 M (White, 1982). Semua temuan bagaimanapun didapatkan dari tanaman yang sengaja ditanam, absennya beberapa spesies liar di wilayah yang sama mengindikasikan bahwa tanaman tersebut mungkin berasal dari tempat lain. Spesies liar dari buah/biji pinang ditemukan di malaysia dan bukti-bukti linguistik mendukung bukti arkeologi yang ditemukan di wilayah tersebut. rangka manusia yang ditemukan disana menunjukkan bukti aktivitas mengunyah sirih pinang, didating pada 3000 BC, dan juga ditemukan di Duyong Cave, Filipina (Bellwood, 1979). Rumusan Masalah Tradisi sirih pinang meliputi teknik dan cara penyiapan sirih pinang termasuk juga peralatan yang digunakan. Peralatan tersebut sangat bervariasi dari bentuk, bahan, dan pola hias. Pendekatan arkeologi seni diterapkan untuk menganalisis bahan, bentuk, dan pola hias. Berdasarkan uraian latar belakang penelitian di atas maka, terbentuk pertanyaan tentang: Bagaimana persepsi masyarakat Sumba Barat terhadap tradisi mengunyah sirih pinang berdasarkan bahan dan bentuk budaya materi yang hingga saat ini masih digunakan? Landasan Teori Arkeologi pascapembaharuan menekankan fungsi seni sebagai komunikasi. Bahwa gaya seni dapat berfungsi sebagai media sosial, menunjukkan identitas, agensi, atau untuk mencapai tujuan-tujuan sosial. Laura Ahern (dalam Hoskins, 2006) menganggap bahwa agensi tidak terbatas pada manusia namun juga benda-benda. Selanjutnya benda-benda tersebut dianggap memiliki identitas. Sistem pertukaran tradisional telah memberikan gambaran yang cukup mendalam tentang bagaiaman objek dapat diberikan gender, nama, sejarah dan fungsi ritual. Dalam kerangka pikir ini benda-benda dapat dikatakan memiliki biografi sebagaimana mereka telah mengalami serangkaian proses transformasi. Benda-benda mengalami perubahan fungsi dan sifat mulai dari sebagai hadiah hingga menjadi komoditas. Bisa juga benda-benda sangat lekat dengan pemiliknya hingga tidak bisa dipisahkan dari sesorang, dan seseorang juga bisa dikatakan dapat menanamkan berbagai aspek biografi dirinya sendiri sebagai pemiliki dalam benda-benda tersebut. Benda-benda yang dimiliki seseorang apalagi yang memiliki makna khusus akan menjadi refleksi identitas pemilikinya. Proposisi atau pendapat yang menyatakan bahwa benda-benda mempunyai kehidupan sosial muncul dari kenyataan bahwa benda-benda tertentu sangat penting dan “selalu bergerak” dan dalam hal ini mengalami berbagai tahapan kontekstualisasi. Menurut Appadurai (1986 dalam Hoskins, 2006), benda mengalami proses komodifikasi dan dekomodifikasi. Apa yang dimaksud dengan komodifikasi adalah tahapan perubahan yang dilakukan sesorang terhdap benda, sehingga benda tersebut mempunyai fungsi tertentu sementara dekomodifikasi dapat diartikan bahwa seseorang dengan sengaja melepaskan fungsi atau identitas yang dimiliki sebuah benda. Orang tersebut bisa saja memberikan identitas baru kepada benda atau menghilangkan identitas tanpa menggantinya. Pemberian identitas akan sangat tergantung pada persepsi orang atau komunitas. Bahkan ketika istilah komoditas hanya merupakan salah satu contoh identitas yang mungkin dimiliki oleh sebuah benda. Misalnya saja benda-benda seperti talisman, benda seni, benda-benda warisan orang tua dari nenek moyang atau leluhur, benda-benda ritual, memento. Seni telah sejak lama diteliti sebagai kode visual komunikasi, dan estetika pribumi adalah elemen penting. Gell (dalam Hoskins, 2006) menyatakan bahwa pendekatan biografi dalam studi objek sebagai pendekatan antropologi yang sangat khusus, karena sudut pandang yang dipakai oleh antropolog dari agensi sosial berusaha untuk meniru perspektif agen itu sendiri. Sebagai kontras sejarah atau sosiologi dapat dideskripsi sebagai supra-biografi dan sosial serta psikologi kognitif dianggap sebagai infra-biografi. Antropologi fokus pada tindakan dalam konteks kehidupan maka dalam kasus khusus kehidupan tersebut melibatkan siklus kehidupan dan agen individu. Gaya seni yang direfleksikan dalam budaya materi berperan penting dalam mengkaitkan kajian sejarah dan memori. Objek menyediakan lebih banyak aspek mnemonic atau ingatan yang melekat didalamnya. Ide-ide untuk membangun arsip personal melalui foto, benda-benda memento, dan jejak mnemonic lainnya membangkitkan kesadaran baru terhadap sejarah (Tilley dan Rowlands, 2006). Pendekatan antropologi telah banyak digunakan untuk kajian budaya materi. Antropolog sejak lama berdebat tentang benda-benda dalam kondisi tertentu telah menjadi dan bertindak sebagaimana manusia; benda dikatakan dapat memiliki kepribadian, menunjukkan kemauan, dan menerima lokasi-lokasi tertentu dan menolak yang lainnya, dan dengan demikian memiliki agensi. Seringkali atribut agensi dikaitkan dengan proses memanusiakan benda yang seolah-olah memiliki kehidupan sosial seperti manusia dan oleh demikian pantas apabila memilki biografi. Gell memaparkan teori yang muncul dari perspektif fenomenologi. Dalam refleksi yang lebih awal Gell mengatakan bahwa pemikiran magis dipancing keluar oleh gambaran tentang hal-hal yang tidak bisa diwujudkan, namun tindakan ritual tetap bisa mewujudkannya. Teknologi dan objek membuat kita terpukau dan menantang nalar dan perasaan kita adalah efek yang paling kuat pada imajinasi kita. Di dalam sebuah lingkungan domestik dan private objek-objek seperti alat pintal (spindle), tas sirih pinang, dan rompi tenun digunakan sebagai pelengkap pemakaman yang menunjukkan kaitan antara orang dan objek yang mungkin kurang sakral namun sama intimnya dengan pelengkap kematian yang lain. Benda-benda sehari-hari meski terlihat tidak bermakna personal pada kenyataannya memiliki adpek biografi yang juga penting. Webb Keane (dalam Hoskins, 2006) menganalisis proses pertukaran yang terjadi di suku Anakalang, Sumba. Dia melihat bagaimana kata-kata dan benda-benda ditanamkan pada nilai sosial dimana kedua hal tersebut terlibat dalam transaksi, memperkenalkan dimensi ekonomi hingga peristiwa narasi. Jadi deskripsi verbal adalah bagian dari sistem ekonomi yang kompleks ketika benda tidak selalu terlihat seperti yang seharusnya. Dia berpendapat bahwa agensi tidak selalu berada dalam individu tertentu secara biologis, namun agensi terletak pada konteks upacara formal sehingga agensi mengasumsikan bahwa seseorang hadir dan momen temporal dimana agensi tersebut bertindak. Dia menyajikan teori tentang kemampuan sebuah objek, tentang perwujudan benda yang melintasi budaya dan dengan kata lain fokus pada hal-hal lain diluar seni itu sendiri. Objek yang biasanya diperlakukan sebagai hasil kerajinan manusia biasa dan bukan sebagai karya seni (seperti kain dan tas pinang), membutuhkan antusiasme penelitian yang sama. Baik objek sehari-hari maupun benda seni sama-sama adalah budaya materi dan melekat pada aspek tertentu kehidupan manusia. Pendekatan ilmu antropologi untuk interpretasi budaya materi diterapkan dalam kajian arkeologi pasca pembaharuan. Arkeolog menjadi semakin memperhatikan konteks yang bersifat partikularistik. Salah satu pendekatan yang disebutkan dalam bab ini yakni fenomenologi dianggap mampu memberikan penjelasan yang lebih mendalam dalam kajian arkeologi, khususnya yang melibatkan objek atau budaya materi yang sifatnya spiritual, estetik, dan artistik. Konteks ruang dan waktu tetap diperhatikan sebagaimana kajian arkeologi pada umumnya, namun arkeolog tidak lagi harus menemukan sesuatu yang general tapi lebih fokus untuk menganalisis dan menjelaskan unsur-unsur dalam fenomena yang terjadi. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mengumpulkan data sebagai berikut: Mencari data terkait dengan pengetahuan masyarakat kampung tradisional (Tarung, Wanokaka, dan Bodo Ede) terhadap asal usul tradisi mengunyah sirih pinang. Mencari tahu apakah ada peralatan sirih pinang yang tertua berdasarkan pertanggalan objek yang dilakukan secara relatif dengan mengandalkan memori pemiliknya. Mengetahui apa saja ritual atau upacara yang melibatkan tradisi sirih pinang yang masih berlangsung hingga saat ini. Ragam tipe dari peralatan sirih pinang untuk melihat variasi dan alasan-alasan dibalik variasi tersebut. Budaya materi yang memiliki gaya seni untuk menunjukkan fenomena sosial seperti status, kekerabatan, identitas, dan gender. Metode Penelitian Perekaman data dengan kamera dan gambar sketsa untuk detil dekorasi atau ragam hias Desktop study (kajian pustaka) dilakukan untuk mengumpulkan data tentang masyarakat tradisional di Sumba Barat. Selain itu, kajian pustaka juga dilakukan untuk mencari data pembanding berupa ragam tradisi mengunyah sirih pinang yang tersebar di wilayah Asia Tenggara. Observasi dilakukan untuk mendapatkan data terbaru tentang peralatan mengunyah sirih pinang di Sumba Barat. Satuan unit analisis adalah bahan, ukiran, dan bentuk dari peralatan sirih pinang. Wawancara mendalam dengan struktur terbuka dilakukan untuk mengetahui cerita tentang peralatan sirih pinang di masyarakat Sumba Barat. Pertanyaan dalam esai Kopytoff (dalam Hoskins, 2006) menjadi pedoman untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang benda-benda selayaknya kita mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk manusia. Formulasi pertanyaan 5W+1H (what, who, when, where, why dan how). Analisis gaya seni yang melibatkan bahan, dekorasi, teknik ukiran, warna, dan bentuk. Wilayah Penelitian Lokasi penelitian di Sumba Barat dilakukan di tiga kampung tradisional yakni Kampung Tarung, Kampung Wanokaka, dan Kampung Bodo Ede, secara administrasi ketiganya termasuk dalam wilayah Kecamatan Loli, Kabupaten Waikabubak. Ketiga kampung tradisional tersebut merupakan kampung yang dihuni oleh Etnik Loli. Kampung Tarung dan Kampung Bodo Ede merupakan kampung tradisional yang aksesnya relatif mudah. Jarak kedua kampung tersebut dari pusat kota Waikabubak kurang lebih 2 km dan dapat ditempuh dengan sepeda motor dalam waktu sekitar 15-20 menit. Sementara untuk sampai di Kampung Wanokaka dibutuhkan waktu sekitar 45 menit dari pusat kota Waikabubak. Perjalanan untuk sampai di Waikabubak dapat ditempuh dengan kendaraan umum yang banyak tersedia baik dari pelabuhan Waikelo di Sumba Barat Daya dan bandara Tambolaka di Sumba Barat, serta pelabuhan Waingapu di Sumba Timur dan bandara Waingapu di Sumba Timur. Referensi: Reid, Anthony.2014.Asia Tenggara dalam Kurun Niaga.Gramedia: Jakarta. Reid, Anthony.1985.From Betel-Chewing to Tobacco-Smoking in Indonesia dalam The Journal of Asian Studies, Vol. 44, No. 3 (May, 1985), pp. 529-547. Published by: Association for Asian Studies Rooney, Dawn F.1995.Betel Chewing in South-East Asia. This paper was prepared for the Centre National de la Recherche Scientifique (CNRS) in Lyon France, August 1995. Rooney, Dawn F.1993. Images of Asia: Betel Chewing Traditions in South-East Asia. Oxford University Press, Walton Street, Oxford ox2 6DP. Rooney, Dawn F.1984.Khmer Ceramics.Oxford University Press, Oxford: New York. Rowlands, Michael dan Tilley, Christopher.2006.Monuments and Memorials dalam Handbook of Material Culture.Sage: United Kingdom. Hoskins, Janet.2006.Agency, Biography and Objects dalam Handbook of Material Culture.Sage: United Kingdom. 14