[go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu

FIQIH MUAMALAD

Resume FIQIH MU’AMALAT II Disusun oleh : Zammilia 1310110025 FAKULTAS SYARIAH D-III PERBANKAN SYARIAH UNIVERSITAS SERAMBI MEKKAH BANDA ACEH 2016 KATA PENGANTAR Pujisyukurkitapanjatkankehadirat Allah SWT yang telahmemberikankesehatan dan kesempatan kepada kami, sehingga dapatmenyelesaikanmakalahini.Salawatberiring salam kita sanjung sajikan kepangkuan Nabi Besar Muhammad SAW yang telah mengubah hidup umatnya menjadi lebih baik. Pada makalah ini terdapat penjelasan tentangpegadaian. Pada makalah ini saya akan membahas tentangpengertian pegadaian, kegiatan usaha pegadaian, pihak yang terlibat dalam perusahaan pegadaian dan fasilitas yang diberikan oleh perusahaan pegadaian. Selanjutnyaucapanterimakasih saya sampaikankepadadosen pengasuh mata kuliah yang telahmembimbingdalampembuatanmakalahini, sahabat-sahabat yang telahmembantudanpihak-pihaklainnya. Semogamakalahinibermanfaatbagikitasemuadan memberikanmanfaatuntukpeningkatankualitasanakbangsa. BAB I Mengenal Fikih Muamalah Maliyah. Muamalah Kata “muamalah” dalam etimologi bahasa Arab diambil dari kata (العمل) yang merupakan kata umum untuk semua perbuatan yang dikehendaki mukallaf. Kata “muamalah” dengan wazan (مُفَاعَلَة) dari kata (عامل) yang bermakna bergaul (التَّعَامُل). Adapun dalam terminologi ahli fikih dan ulama syariat, kata “muamalah” digunakan untuk sesuatu di luar ibadah, sehingga “muamalah” membahas hak-hak makhluk dan “ibadah” membahas hak-hak Allah. Namun, mereka berselisih dalam apa saja yang masuk dalam kategori muamalah tersebut dalam dua pendapat: Muamalah adalah pertukaran harta dan yang berhubungan dengannya, seperti al-bai’ (jual-beli), as-salam, al-ijaarah (sewa-menyewa), syarikat (perkongsian), ar-rahn (gadai), al-kafaalah, al-wakalah (perwakilan), dan sejenisnya. Inilah Mazhab Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hambaliyah. Muamalah mencakup semua hal yang berhubungan kepada maslahat manusia dengan selainnya, seperti perpindahan hak pemilikan dengan pembayaran atau tidak (gratis) dan dengan transaksi pembebasan budak, kemanfaatan, dan hubungan pasutri. Dengan demikian, muamalah mencakup fikih pernikahan, peradilan, amanah, dan warisan. Inilah mazhab al-Hanafiyah dan pendapat asy-Syathibi dari mazhab al-Malikiyah. Oleh karena itu sebagian ahli fikih membagi fikih menjadi empat kategori: Fikih Ibadah Fikih Muamalah Fikih Ankihat (nikah) Hukum-hukum kriminal dan peradilan. Yang menjadi topik pembahasan kita adalah “fikih muamalah” tentang pertukaran harta benda. Pengertian Harta (Maal) Setelah jelas bahwa pembahasan kita hanya membahas muamalah maliyah (harta), maka perlu kita perlu mengetahui pengertian al-maal dalam syariat Islam. Yang dimaksud dengan harta (al-maal) dalam pengertian syariat adalah: هُوَ كُلُّ عَيْنٍ مُبَاحَةُ النَّفْعِ بِلاَ حَاجَةٍ “Semua benda yang diperbolehkan kemanfaatannya bukan karena hajat.” Termasuk dalam definisi ini: emas, perak, gandum, kurma, garam, mobil, bejana, rumah, dan lain-lainnya. Yang dimaksud dengan kata (مباحة النفع) adalah benda tersebut memiliki manfaat, sehingga benda yang tidak memiliki manfaat tidak termasuk dalam definisi ini. Benda yang diharamkan pemanfaatannya, seperti alat-alat musik, juga tidak termasuk dalam definisi ini. Adapun maksud pernyataan (بلا حاجة) adalah kebolehannya bukan disebabkan kebutuhan dan darurat, sehingga mengeluarkan semua yang dibolehkan karena kebutuhan dan darurat, seperti bangkai yang diperbolehkan karena darurat atau kulit bangkai yang diperbolehkan pemanfaatannya karena kebutuhan. Demikian juga, anjing pemburu diperbolehkan karena hajat (kebutuhan) . Para ulama pun memakai kata harta benda (المال) untuk tiga hal, yaitu: Barang dagangan (الأعيان العروض), seperti mobil, rumah, bahan makanan, pakaian, dan selainnya. Jasa pemanfaatan (المنافع), seperti pemanfaatan menempati rumah, pemanfaatan jual-beli di satu toko, dan lain-lainnya. Benda (العين) yang dimaksudkan adalah emas dan perak dan yang menggantikan keduanya dari uang kertas. Walaupun sebagiannya memandang ini termasuk dalam barang dagangan. Sebagian ulama memasukkan mata uang termasuk dalam al-arudh. Ruang Lingkup Pembahasan Yang diinginkan dalam pembahasan kita di sini adalah muamalah maliyah yang mencakup dua hal, yaitu: Ahkam al-mu’awadhah (أحكام المعاوضات), yaitu muamalah yang digunakan untuk maksud adanya imbalan berupa keuntungan, usaha dan perdagangan, serta lainnya. Di dalamnya tercakup: jual-beli (البيع), sewa menyewa (الإجارة), hak pilih (الخيارات), syarikat (الشركات), dan transaksi yang berhubungan dengannya. Ahkam at-tabaru’at (أحكام التبرعات), yaitu muamalah yang bertujuan untuk berbuat baik dan memudahkan orang lain, seperti hadiah (الهبة), pemberian (العطية), Wakaf (الوقف), pembebasan budak (العتق) dan Wasiyat (الوصايا) serta yang lainnya. Dengan demikian, ruang lingkup pembahasan ini meliputi permasalahan: jual-beli (البيع), sewa menyewa (الإجارة), hak pilih (الخيارات), syarikat (الشركات), utang piutang (القرض), gadai (الرهن), jaminan (الضمان), al-hawalah (الحوالة), perjanjian damai (الصلح), masalah kebangkrutan (التفليس), perlombaan (السبق), ‘ariyah (العارية), al-ghashb (الغصب), asy-syuf’ah (الشفعة), al-ju’alah (الجعالة), laqathah (اللقطة), al-luqaith (اللقيط), wakaf (الوقف), pemberian/hadiah (الهبة), pemberian ketika sakit menjelang kematian (العطية), wakaf (الوقف), dan wasiat (الوصايا). Namun, sebelum membahas permasalahan muamalah maliyah ini, pengenalan kaidah-kaidah dasar muamalah maliyah sangat perlu dilakukan agar permasalahannya lebih jelas dan mudah. Kaidah-kaidah Dasar dalam Muamalah Maliyah Syekh Shalih bin Abdil ‘Aziz Alu Syekh (Menteri Urusan Wakaf, Dakwah, dan Bimbingan Islam Negara Arab Saudi) pernah memberikan petunjuk bahwa seseorang yang ingin meneliti dan membahas permasalahan-permasalahan kiwari dan perkara nawazil, di antaranya fikih Muamalah Maliyah, harus memahami hal-hal berikut ini: Memahami pendapat para ulama yang mereka sampaikan dalam kitab-kitab fikih dengan tepat hingga dapat membedakan gambaran permasalahan dengan benar. Mengetahui nash-nash yang menyampaikan masalah tersebut. Baik dalam qimar, maisir, gharar, riba, dan yang lainnya dari kejadian dan masalah yang beraneka ragam. Mengetahui bahasa Arab yang menjadi dasar istilah syar’i dalam mengungkapkan masalah-masalah tersebut. Mengetahui istilah–yang oleh ahli fikih disebut dengan–al jam’i wat tafriq, yaitu kaidah yang menyatukan banyak permasalahan dan perbedaan-perbadaan antara masalah-masalah tersebut. Memiliki dan menguasai ilmu maqashid syari’ah. Karenanya, sudah seharusnyalah seorang thalib ilmu (pelajar) menguasai dengan baik pokok-pokok dan kaidah satu permasalahan. Pengenalan terhadap kaidah-kaidah tersebut akan sangat memudahkan seseorang untuk menguasai fikih, sehingga dengan satu kaidah seseorang dapat menjawab dan menguasai banyak permasalahan. Contohnya: Kaidah “بَابُ الْعِبَادَاتِ الأَصْلُ فِيْهِ الْحَظَرُ وَالتَّوْقِيْفُ” (Masalah ibadah pada asalnya adalah dilarang dan bersandar kepada nash syariat). Mengenal kaidah-kaidah seperti ini dapat memberikan banyak faidah, di antaranya: Mencapai derajat tinggi dalam fikih, karena kaidah-kaidah ini dapat memudahkan seseorang mengenal masalah yang beraneka ragam dengan satu atau dua kaidah. Oleh karena itu, Syekh as-Sa’di rahimahullahu menyatakan, فَاحْرِصْ عَلَى فَهْمِكَ لِلْقَـوَاعِــدِ جَــامِـعَـةِ الْمَـسَائِـلِ الشَّوَارِدِ Semangatlah kemu dalam memahami kaidah-kaidah yang menyatukan masalah-masalah yang beragam Berada pada kaidah tersebut dan tidak melampauinya hingga ada dalil yang mengeluarkannya. Mengetahui bahwa yang dituntut menyampaikan dalil adalah orang yang mengeluarkan dari asal kaidah tersebut. Orang yang komitmen dengan kaidah akan mendapatkan ketenangan ketika memaparkan furu’ (cabang) fikih dalam bab-babnya dan dapat mencapai tingkatan tertinggi dalam ilmu. Syekh as-Sa’di rahimahullahu menyatakan: فَتَرْتَقِي فِي الْعِلْمِ خَـْيـرَ مُرْتَقَـى وَتَـقْـتَـفِيْ سُبـُلَ الَّذِيْ قَدْ وُفِّقَا Lalu mencapai tingkatan tertinggi dalam ilmu dan mengikuti jalan yang mendapatkan taufik. Oleh karena itu, marilah kita memotivasi diri kita masing-masing untuk memperhatikan kaidah dan ketentuan fikih dengan dalil-dalilnya, kemudian mengenal (hasil) yang keluar darinya berdasarkan dalil. Untuk mempelajari dan menelaah muamalah maliyah diperlukan pengetahuan yang cukup seputar kaidah dasar (الضوابط ) dalam muamalah, di antaranya: Asal dalam Muamalah Adalah Halal (الأَصْلُ فِي الْمُعَامَلاَتِ الْحِلُّ) Inilah pendapat jumhur (mayoritas) ulama, bahkan Ibnu Rajab rahimahullahmengatakan bahwa sebagian ulama menyampaikan ijma’ (kesepakatan) dalam hal ini. Namun, hikayat ijma’ ini tidak benar karena mazhab azh-Zhahiriyah menyelisihinya (tidak menyetujui kaidah ini). Pengertian Kaidah Pengertian kaidah ini adalah “kaidah dalam semua akad yang terjadi antara dua pihak adalah halal dan mubah secara umum”. Sehingga semua bentuk muamalah yang belum ada atau telah ada terdahulu, pada asalnya boleh, kecuali ada dalil yang shahih dan jelas melarangnya, sehingga keluar dari asalnya dengan dalil dan diberi hukum lain di luar hukum asal. Adapun bila tidak ada dalil yang melarangnya, maka ia berlaku sesuai asal, yaitu boleh dan mubah. Dasar Kaidah Dalil kaidah dasar ini adalah:Ayat-ayat yang menunjukkan perintah menunaikan akad transaksi dan perjanjian, seperti Firman Allah ‘Azza wa Jalla, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَوْفُواْ بِالْعُقُودِ “Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.” (Qs. al-Maidah: 1) Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, وَأَوْفُواْ بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْؤُولاً “Dan penuhilah janji. Sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertanggungan jawabnya.”(Qs. al-Isra`: 34) Kedua ayat ini berisi perintah menunaikan transaksi dan muamalah secara mutlak, baik bentuk dan lafalnya ada pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau belum ada. Oleh karen itu, hal ini menunjukkan bahwa asal dalam muamalah adalah halal. قُلْ تَعَالَوْاْ أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلاَّ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئاً وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً وَلاَ تَقْتُلُواْ أَوْلاَدَكُم مِّنْ إمْلاَقٍ نَّحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ وَلاَ تَقْرَبُواْ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَلاَ تَقْتُلُواْ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللّهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ “Katakanlah, ‘Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu-bapak, dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan–kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka–dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, serta janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.’ Demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami-(nya).” (Qs. al-An’am: 151) firman-Nya ‘Azza wa Jalla, قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُواْ بِاللّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَاناً وَأَن تَقُولُواْ عَلَى اللّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ “Katakanlah, ‘Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji (baik yang tampak atau yang tersembunyi), perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu, dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah sesuatu yang tidak kamu ketahui.” (Qs. al-A’raf: 33) Dalam ayat-ayat di atas, Allah membatasi hal-hal terlarang pada jenis dan sifat tertentu saja, sedangkan yang tidak diketahui ada pengharamannya, maka diberlakukan hukum halal, karena tidak boleh ada hukum untuk para mukallaf tanpa dasar dalil. Dalam ayat ini, Allah tidak memberikan syarat dalam perdagangan kecuali saling suka (taradhi). Ayat ini menunjukkan bahwa asal dalam muamalah adalah halal. Akad transaksi termasuk perbuatan dan aktivitas yang sudah menjadi adat kebiasaan. Manusia sudah biasa melakukannya dalam mendapatkan kebutuhan dunia mereka, maka asal hukumnya adalah boleh dan tidak dilarang. Sehingga dijadikan dasar sampai ada dalil yang mengharamkannya. Syariat tidak mengharamkan jenis akad kecuali hanya beberapa saja, maka tidak adanya dalil pengharaman menunjukkan ketidak-haramannya. Dalam keabsahan akad transaksi, tidak disyaratkan adanya izin khusus dari syariat. Ibnu Taimiyah rahimahullahu menyatakan, “Kaum muslimin apabila melakukan transaksi tertentu dan belum mengetahui keharaman dan kehalalannya, maka seluruh ahli fikih–yang aku ketahui–menghukumi keabsahannya, apabila mereka tidak meyakini keharamannya. Walaupun transaktor (orang yang bertransaksi –ed) tersebut belum mengetahui penghalalannya–baik dengan ijtihad atau taklid–, dan juga tidak ada seorang pun yang menyatakan bahwa akad transaksi tidaklah sah kecuali untuk orang yang meyakini bahwa syariat menghalalkannya. Seandainya izin khusus syariat menjadi syarat keabsahan transaksi, maka transaksinya tidak sah, kecuali setelah adanya izin kebolehannya.” Akad transaksi terkadang ada dengan mendadak tanpa diteliti secara seksama dalam nilainya. Oleh karena itu, keindahan syariat islam yang sempurna menjadikan akad berjangka waktu untuk kedua transaktor mencermati dan meneliti setiap orang mengetahui keadaan secara utuh. Di Antara Aplikasi Larangan Zalim dalam Muamalah: Al-ghisy (penipuan). An-najasy. An-najasy didefinisikan sebagai tambahan pada harga satu barang dagangan dari orang yang tidak ingin membelinya agar orang lain terjebak padanya. Seseorang yang tidak ingin membeli barang, datang dan meninggikan harga barang agar pembeli mengikutinya, lalu menyangka bahwa ia tidak meninggikan harta barang tersebut kecuali memang pantas, sehingga ia terpedaya dengannya. Jual-beli ini diharamkan karena berisi kezaliman. Dalilnya adalah hadits Ibnu Umar yang berbunyi, أَنَّ النَّبي صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ ₎₎ نَهَى عَنْ النَّجَش “Sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang an-najasy.” (Hr. al-Bukhari dan Muslim) Bahkan para ulama sepakat mengharamkannya. Jual-beli atas jual-beli saudaranya (بيع الرجل على بيع أخيه وشراؤه على شرائه) yang dilarang dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tas’ir (price-fixing), yaitu Intervensi otoritas dalam pengendalian dan pematokan harga (price-fixing). Hal ini dengan memaksa transaksi jual-beli dengan harga tertentu dan tidak boleh dilanggar. BAB II Riba Pengertian Secara Bahasa Kata “riba” berasal dari bahasa Arab, yang artinya “tambahan atau pertumbuhan”. Sebagaimana yang termaktub dalam al-Quran, makna secara istilah menurut terminologi ilmu fikih, para ulama mendefinisikannya dalam beberapa definisi, di antaranya: tambahan khusus yang dimiliki salah satu dari dua transaktor tanpa ada imbalan tertentu. Yang dimaksud dengan “tambahan” secara definitif adalah: Tambahan kuantitas dalam penjualan aset yang tidak boleh dilakukan dengan perbedaan kuantitas (tafadhul), yakni penjualan barang-barang riba fadhal: emas, perak, gandum, kurma, jewawut (gandum merah) dan garam, serta segala komiditi yang disetarakan dengan keenam komoditi tersebut. Kalau emas dijual atau ditukar dengan emas, kurma dengan kurma misalnya, harus sama kuantitasnya dan harus diserahterimakan secara langsung. Setiap tambahan atau kelebihan kuantitas pada salah satu komoditi yang ditukar atau keterlambatan penyerahannya, adalah riba yang diharamkan. Tambahan dalam utang yang harus dibayar karena tertunda pembayarannya, seperti bunga utang. Tambahan yang ditentukan dalam waktu penyerahan barang berkaitan dengan penjualan aset yang diharuskan adanya serah-terima langsung. Kalau emas dijual dengan perak, atau Junaih dengan Dollar misalnya, harus ada serah-terima secara langsung. Setiap penangguhan penyerahan salah satu dari dua barang yang dibarter, adalah riba yang diharamkan. Sedangkan ulama lain memberikan definisi: تَفَاضُلٌ فِيْ مُبَادَلَةٍ رِبَوِيٍ بِجِنْسِهِ وَتَأْخِيْرُ الْقَبْضِ فِيْمَا يَجِبُ فِيْهِ الْقَبْضُ Perbedaan dalam pertukaran ribawi dengan sejenisnya dan pengakhiran serah-terima pada sesuatu yang mengandung serah-terima. Jenis Riba Para ulama membagi riba mejadi dua, yaitu: Riba jahiliyah atau riba al-qard (utang), yaitu pertambahan dalam utang, sebagai imbalan tempo pembayaran (ta’khir), baik disyaratkan ketika jatuh tempo pembayaran atau di awal tempo pembayaran. Inilah riba yang pertama kali diharamkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya, الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُواْ إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَن جَاءهُ مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِ فَانتَهَىَ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُوْلَـئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), ‘Sesungguhnya jual-beli itu sama dengan riba,’ padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu berhenti (dari mengambil riba), maka baginya hasil riba yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan), dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba) adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (Qs. al-Baqarah: 275) Demikianlah, Allah dan Rasul-Nya mengharamkannya karena berisi kezaliman dan memakan harta orang lain dengan batil, karena tambahan yang diambil orang yang berpiutang dari yang berutang tanpa imbalan. Riba jual-beli. Yaitu riba yang terdapat pada penjualan komoditi riba fadhal. Komoditi riba fadhal yang disebutkan dalam nash ada enam: Emas, perak, gandum, kurma, garam dan jewawut. Demikianlah. Dan riba jual-beli ini terbagi dua, yaitu riba fadhal dan riba nasi`ah. Riba Fadhl Kata fadhl dalam bahasa Arab bermakna “tambahan”, sedangkan dalam terminologi ulama, maknanya adalah: “Tambahan pada salah satu dari dua barang ribawi yang sama jenis secara kontan. ” Ada pula yang mendefinisikan dengan: kelebihan pada salah satu dari dua komoditi yang ditukar dalam penjualan komoditi riba fadhl, atau tambahan pada salah satu alat pertukaran (komoditi) ribawi yang sama jenisnya. Hikmah Pengharaman Riba Fadhl Hikmah pengharaman riba fadhl tidak diketahui oleh banyak orang, karena secara zahir, jual-beli ini tidak mengandung manipulasi. Merupakan satu hal yang logis dan aksiomatik bahwa yang jelek tidak sama dengan yang bagus, yang baik tidak sama dengan yang buruk. Kalau satu sha’ kurma bagus dibeli dengan dua sha’ kurma jelek,–secara logika–tidak ada hal yang salah. Lalu, di mana letak hikmah dari pengharaman tersebut? Sebelum kita berupaya mencari hikmah tersebut melalui bebagai tulisan para ulama dalam persoalan ini, tidak lupa kita menyebutkan dasar fundamental yang bersifat permanen, yang tidak boleh kita lupakan dalam persoalan yang sudah rumit ini, yakni bahwa seorang muslim harus mengikuti perintah Allah Ta’ala, baik ia sudah mengetahui hikmah perintah itu maupun belum. Cukup bagi dirinya mengetahui bahwa perintah ini memang berasal dari Allah Yang Mahabijaksana lagi Maha Mengetahui, yang rahmat dan ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, yang segala firman-Nya pasti benar dan penuh keadilan. Kemungkinan penjelasan hikmah yang paling jelas tentang keharaman riba fadhl ini adalah sebagai upaya menutup jalan menuju perbuatan haram, karena riba fadhl ini seringkali menggiring kepada riba nasi`ah. Bahkan, juga bisa menimbulkan bibit-bibit berkembangnya budaya riba di tengah masyarakat, karena orang yang menjual sesuatu dengan sesuatu yang sejenis secara langsung dengan kelebihan pada salah satu yang ditukar, akan mendorongnya untuk menjualnya dengan pembayaran tertunda suatu saat kelak, bersama bunganya. Komoditi Ribawi Para ulama sepakat bahwa riba berlaku pada enam jenis harta yang ada dalam hadits-hadits Nabi, yaitu: emas, perak, kurma, asy-sya’ir (gandum), al-burr (gandum merah), dan garam. Oleh karena itu, emas tidak boleh ditukar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma dan garam dengan garam, kecuali dengan berat yang sama dan transaksi berlangsung secara kontan (cash) di majelis akad transaksi. Namun, mereka berselisih pendapat, apakah di sana ada illat (sebab pelarangan) yang menjadikannya menjadi komoditi ribawi Riba hanya berlaku pada enam komoditi tersebut dan tidak ada illat yang dapat dijadikan dasar dalam menganalogikan hukum pada keenam komoditi tersebut kepada selainnya. Inilah pendapat Mazhab az-Zahiriyah. Ada illat yang menjadikannya sebagai komoditi ribawi, sehingga dapat dianalogikan kepada selainnya. Inilah pendapat mayoritas ahli fikih. Pendapat yang rajih adalah pendapat mayoritas ahli fikih, karena syariat secara umum tidak mungkin membedakan antara hal-hal yang serupa. Mayoritas ahli fikih menyetarakan keenam komoditi itu dengan segala komoditi yang sama fungsinya (illat-nya). Namun kemudian, mereka berbeda pendapat dalam penentuan illat ribawi pada komoditi tersebut. Mazhab Hanafiyah memandang bahwa illat-nya adalah jenis dan ukuran, yaitu takaran dan timbangan. Ini juga riwayat yang masyhur dalam Mazhab Hambali. Mereka memandang bahwa illat pada emas dan perak adalah timbangan dan illat pada empat komoditi ribawi lainnya adalah takaran. Sehingga seluruh yang ditimbang dan ditakar adalah komoditi ribawi. Riba tidak ada pada komoditi yang tidak ditimbang dan ditakar. Dengan ini, menukar satu buah jeruk dengan dua buah jeruk diperbolehkan. Mazhab Malikiyah memandang bahwa illat dalam emas dan perak adalah nilainya (ats-tsamniyah), sedangkan dalam bahan makanan, illat-nya adalah makanan pokok yang dapat disimpan (muddakhar), yaitu menjadi makanan pokok orang dan dapat disimpan dalam waktu yang lama. Mazhab Syafi’iyah memandang bahwa illat pada emas dan perak adalah jenis barang berharga dan pada selainnya adalah makanan, yaitu yang sengaja dijadikan makanan manusia secara umum. Ini juga merupakan riwayat kedua dalam Mazhab Hambali. Riwayat lain dalam Mazhab Hambali adalah bahwa illat selain emas dan perak adalah jenis makanan yang ditakar atau ditimbang. Akan tetapi, terdapat pembahasan yang tidak termasuk dalam perbedaan pendapat tersebut, yakni bahwa illat ribawi yang jelas dari pengharaman emas dan perak adalah pada nilai tukarnya. Apapun yang memiliki nilai tukar, seperti emas dan perak, maka alasan fungsional sebagai riba fadhl juga terdapat padanya. Oleh sebab itu, berbagai jenis mata uang modern disetarakan dengan emas dan perak, sehingga semua hukum riba fadhal diberlakukan pada uang-uang tersebut. Riba Nasi`ah Riba Nasi`ah Nash-nash pengharaman riba mencakup semua jenis riba yang telah dijelaskan di atas. Dengan demikian, jelaslah keberadaan riba dalam muamalah menjadi sebab pengharamannya dan larangannya secara syar’i. Namun, menghukumi banyak keadaan sebagai muamalah ribawi atau bukan, memerlukan penelitian dan kehati-hatian. Ibnu katsir rahimahullahu memberikan peringatan dalam hal ini, “Bab (pembahasan) Riba termasuk pembahasan yang paling rumit bagi banyak ulama.” BAB III Fikir Transaksi Jual Beli Pengertian Jual beli Jual beli atau perdagangan dalam istilah fiqh disebut al-ba’I  yang menurut etimologi berarti menjual atau mengganti. Wahbah al-Zuhaily mengartikan secara bahasa dengan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Kata al-Ba.i dalam Arab terkadang digunakan untuk pengertian lawannya, yaitu kata al-Syira (beli).Dengan demikian, kata al-ba’I berarti jual, tetapi sekalius juga berarti beli. Secara terminologi, terdapat beberapa definisi jual beli yang masing definisi sama. Sebagian ulama lain memberi pengertian : Ulama Sayyid Sabiq Ia mendefinisikan bahwa jual beli ialah pertukaran harta dengan harta atas dasar saling merelakan atau memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan. Dalam definisi tersebut harta dan, milik, dengan ganti dan dapat dibenarkan.Yang dimaksud harta harta dalam definisi diatas yaitu segala yang dimiliki dan bermanfaat, maka dikecualikan yang bukan milik dan tidak bermanfaat.Yang dimaksud dengan ganti agar dapat dibedakan dengan hibah (pemberian), sedangkan yang dimaksud dapat dibenarkan (ma’dzun fih) agar dapat dibedakan dengan jual beli yang terlarang. Ulama hanafiyah        Iamendefinisikan bahwa jual beli adalah saling tukar harta dengan harta lain melalui Cara yang khusus. Yang dimaksud ulama hanafiyah dengan kata-kata tersebut adalah melalui ijab qabul, atau juga boleh melalui saling memberikan barang dan harga dari penjual dan pembeli Ulama Ibn Qudamah Menurutnya jual beli adalah saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan milik dan pemilikan.Dalam definisi ini ditekankan kata milik dan pemilikan, karena ada juga tukar menukar harta yang sifatnya tidak haus dimiliki seperti sewa menyewa. Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa jual beli ialah suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara ridha di antara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan syara’ dan disepakati.Inti dari beberapa pengertian tersebut mempunyai kesamaan dan mengandunghal-hal antara lain : Jual beli dilakukan oleh 2 orang (2 sisi) yang saling melakukan tukar menukar. Tukar menukar tersebut atas suatu barang atau sesuatu yang dihukumi seperti barang, yakni kemanfaatan dari kedua belah pihak. Sesuatu yang tidak berupa barang/harta atau yang dihukumi sepertinya tidak sah untuk diperjualbelikan. Tukar menukar tersebut hukumnya tetap berlaku, yakni kedua belah pihak memilikisesuatu yang diserahkan kepadanya dengan adanya ketetapan jual beli dengan kepemilikan abadi. Dasar hukum jual beli Jual beli sebagai sarana tolong menolong antara sesama umat manusia mempunyai landasan yang kuat dalam al-quran dan sunah Rasulullah saw. Terdapat beberapa ayat al-quran dan sunah Rasulullah saw, yang berbicara tentang jual beli, antara lain : Al-Quran Allah berfirman Surah Al-Baqarah ayat 275 “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” Allah berfirman Surah Al-Baqarah ayat 198 “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu” Allah berfirmanSurah An-Nisa ayat 29 “…kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu… Sunah Rasulullah saw Hadist yang diriwayatkan oleh Rifa’ah ibn Rafi’ : “Rasulullah saw, ditanya salah seorang sahabat mengenai pekerjaan apa yang paling baik. Rasulullah sawa, menjawab usaha tangan manusia sendiri dan setiap jual beli yang diberkati (H.R Al-Bazzar dan Al-Hakim). Hukum jual beli Dari kandungan ayat-ayat Al-quran dan sabda-sabda Rasul di atas, para ulama fiqh mengatakan bahwa hukum asal dari jual beli yaitu mubah (boleh).Akan tetapi, pada situasi-situasi tertentu.Menurut Imam al-Syathibi (w. 790 h), pakar fiqh Maliki, hukumnya boleh berubah menjadi wajib.Imam al-Syathibi memberi contoh ketika terjadi praktik ihtikar (penimbunan barang sehingga stok hilang dari pasar dan harga melonjak naik).Apabila seorang melakukan ihtikar dan mengakibatkan melonjaknya harga barang yang ditimbun dan disimpan itu, maka menurutnya, pihak pemerintah boleh memaksa pedagang untuk menjual barangnya itu sesuai dengan harga sebelum terjadinya pelonjakan harga.Dalam hal ini menurutnya, pedagang itu wajib menjual barangnya sesuai dengan ketentuan pemerintah. Hal ini sama prinsipnya dengan al-Syathibi bahwa yang mubah itu apabila ditinggalkan secara total , maka hukumnya boleh menjadi wajib. Apabila sekelompok pedagang besar melakukan boikot tidak mau menjual beras lagi, pihak pemerintah boleh memaksa mereka untuk berdagang beras dan pedagang ini wajib melaksanakannya .demikian pula, pada kondisi-kondisi lainnya. Rukun dan syarat jual beli Jual beli mempunyai rukun dan syarat yang harus dipenuhi, sehingga jual beli itu dpat dikatakan sah oleh syara’.Dalam menentukan rukun jual beli terdapat perbedaan pendapat ulama Hanafiyah dengan jumhur ulama. Rukun jual beli menurut ulama Hanafiyah hanya satu, yaitu ijab qabul, ijab adalah ungkapan membeli dari pembeli, dan  qabul adalah ungkapan menjual dari penjual. Menurut mereka, yang menjadi rukun dalam jual beli itu hanyalah kerelaan (ridha) kedua belah pihak untuk melakukan transaksi jual beli.Akan tetapi, karena unsur kerelaan itu merupakan unsur hati yang sulit untuk diindra sehingga tidak kelihatan, maka diperlukan indikasi yang menunjukkan kerelaan itu dari kedua belah pihak. Indikasi yang menunjukkan kerelaan kedua belah pihak yang melakukan transaksi jual beli menurut mereka boleh tergambar dalam ijab dan qabul, atau melalui cara saling memberikan barang dan harga barang. Akan tetapi jumhur ulama menyatakan bahwa rukun jual beli itu ada empat, yaitu : Ada orang yang berakad (penjual dan pembeli). Ada sighat (lafal ijab qabul). Ada barang yang dibeli (ma’qud alaih) Ada nilai tukar pengganti barang. Menurut ulama Hanafiyah, orang yang berakad, barang yang dibeli, dan nilai tukar barang termasuk kedalam syarat-syarat jual beli, bukan rukun jual beli. Adapun syarat-syarat jual beli sesuai dengan rukun jual beli yang dikemukakan jumhur ulama diatas sebagai berikut : Syarat-syarat orang yang berakad Para ulama fiqh sepakat bahwa orang yang melakukan akad jual beli itu harus memenuhi syarat, yaitu : Berakal sehat, oleh sebab itu seorang penjual dan pembeli harus memiliki akal yang sehat agar dapat meakukan transaksi jual beli dengan keadaan sadar. Jual beli yang dilakukan anak kecil yang belum berakal dan orang gila, hukumnya tidak sah. Atas dasar suka sama suka, yaitu kehendak sendiri dan tidak dipaksa pihak manapun. Yang melakukan akad itu adalah orang yang berbeda, maksudnya seorang tidak dapat bertindak dalam waktu yang bersamaan sebagai penjual sekaligus sebagai pembeli. Syarat yang terkait dalam ijab qabul Orang yang mengucapkannya telah baligh dan berakal. Qabul sesuai dengan ijab. Apabila antara ijab dan qabul tidak sesuai maka jual beli tidak sah. Ijab dan qabul dilakukan dalam satu majelis. Maksudnya kedua belah pihak yang melakukan jual beli hadir dan membicarakan topic yang sama. Syarat-syarat barang yang diperjualbelikan Syarat-syarat yang terkait dengan barang yang diperjualbelikan sebagai berikut : Suci, dalam islam tidak sah melakukan transaksi jual beli barang najis, seperti bangkai, babi, anjing, dan sebagainya. Barang yang diperjualbelikan merupakan milik sendiri atau diberi kuasa orang lain yang memilikinya. Barang yang diperjualbelikan ada manfaatnya. Contoh barang yang tidak bermanfaat adalah lalat, nyamauk, dan sebagainya. Barang-barang seperti ini tidak sah diperjualbelikan. Akan tetapi, jika dikemudian hari barang ini bermanfaat akibat perkembangan tekhnologi atau yang lainnya, maka barang-barang itu sah diperjualbelikan. Barang yang diperjualbelikan jelas dan dapat dikuasai. Barang yang diperjualbelikan dapat diketahui kadarnya, jenisnya, sifat, dan harganya. Boleh diserahkan saat akad berlangsung . Syarat-syarat nilai tukar (harga barang) Nilai tukar barang yang dijull (untuk zaman sekarang adalah uang) tukar ini para ulama fiqh membedakan al-tsaman dengan al-si’r.Menurut mereka, al-tsaman adalah harga pasar yang berlaku di tengah-tengah masyarakat secara actual, sedangkan al-si’r adalah modal barang yang seharusnya diterima para pedagang sebelum dijual ke konsumen (pemakai).Dengan demikian, harga barang itu ada dua, yaitu harga antar pedagang dan harga antar pedagang dan konsumen (harga dipasar). Syarat-syarat nilai tukar (harga barang) yaitu : Harga yang disepakati kedua belah pihak harus jelas jumlahnya. Boleh diserahkan pada waktu akad, sekalipun secara hukumseperti pembayaran dengan cek dan kartu kredit. Apabila harga barang itu dibayar kemudian (berutang) maka pembayarannya harus jelas. Apabila jual beli itu dilakukan dengan saling mempertukarkan barang maka barang yang dijadikan nilai tukar bukan barang yang diharamkan oleh syara’, seperti babi, dan khamar, karena kedua jenis benda ini tidak bernilai menurut syara’. Macam-macam jual beli Jual beli dapat ditinjau dari berbragai segi, yaitu: Ditinjau dari segi bendanya dapat dibedakan menjadi: Jual beli benda yang kelihatan, yaitu jual beli yang pada waktu akad, barangnya ada di hadapan penjual dan pembeli. Jual beli salam, atau bisa juga disebut dengan pesanan. Dalam jual beli ini harus disebutkan sifat-sifat barang dan harga harus dipegang ditempat akad berlangsung. Jual beli benda yang tidak ada,  Jual beli seperti ini tidak diperbolehkan dalam agama Islam. Ditinjau dari segi pelaku atau subjek jual beli: Dengan lisan,  akad yang dilakukan dengan lisan atau perkataan. Bagi orang bisu dapat diganti dengan isyarat. Dengan perantara, misalnya dengan tulisan atau surat menyurat. Jual beli ini dilakukan oleh penjual dan pembeli, tidak dalam satu majlis akad, dan ini dibolehkan menurut syara’. Jual beli dengan perbuatan, yaitu mengambil dan memberikan barang tanpa ijab kabul. Misalnya seseorang mengambil mie instan yang sudah bertuliskan label harganya. Menurut sebagian ulama syafiiyah hal ini dilarang karena ijab kabul adalah rukun dan syarat jual beli, namun sebagian syafiiyah lainnya seperti Imam Nawawi membolehkannya. Dinjau dari segi hukumnya Jual beli dinyatakan sah atau tidak sah bergantung pada pemenuhan syarat dan rukun jual beli yang telah dijelaskan di atas. Dari sudut pandang ini, jumhur ulama membaginya menjadi dua, yaitu: Shahih, yaitu jual beli yang memenuhi syarat dan rukunnya. Ghairu Shahih, yaitu jual beli yang tidak memenuhi salah satu syarat dan rukunnya. Sedangkan fuqaha atau ulama Hanafiyah membedakan jual beli menjadi tiga, yaitu: Shahih, yaitu jual beli yang memenuhi syarat dan rukunnya Bathil, adalah jual beli yang tidak memenuhi rukun dan syarat jual beli, dan ini tidak diperkenankan oleh syara’. Misalnya: Jual beli atas barang yang tidak ada ( bai’ al-ma’dum ), seperti jual beli janin di dalam perut ibu dan jual beli buah yang tidak tampak. Jual beli barang yang zatnya haram dan najis, seperti babi, bangkai dan khamar. Jual beli bersyarat, yaitu jual beli yang ijab kabulnya dikaitkan dengan syarat-syarat tertentu yang tidak ada kaitannya dengan jual beli. Jual beli yang menimbulkan kemudharatan, seperti jual beli patung, salib atau buku-buku bacaan porno. Segala bentuk jual beli yang mengakibatkan penganiayaan hukumnya haram, seperti menjual anak binatang yang masih bergantung pada induknya. Fasid yaitu jual beli yang secara prinsip tidak bertentangan dengan syara’ namun terdapat sifat-sifat tertentu yang menghalangi keabsahannya. Misalnya : jual beli barang yang wujudnya ada, namun tidak dihadirkan ketika berlangsungnya akad. Jual beli dengan menghadang dagangan di luar kota atau pasar, yaitu menguasai barang sebelum sampai ke pasar agar dapat membelinya dengan harga murah Membeli barang dengan memborong untuk ditimbun, kemudian akan dijual ketika harga naik karena kelangkaan barang tersebut. Jual beli barang rampasan atau curian. Menawar barang yang sedang ditawar orang lain. Manfaat dan Hikmah Jual Beli Manfaat jual beli : Manfaat jual beli banyak sekali, antara lain : Jual beli dapat menata struktur kehidupan ekonomi masyarakat yang menghargai hak milik orang lain. Penjual dan pembeli dapat memenuhi kebutuhannya atas dasar kerelaan atau suka sama suka. Masing-masing pihak merasa puas. Penjual melepas barang dagangannya dengan ikhls dan menerima uang, sedangkan pembeli memberikan uang dan menerima barang dagangan dengan puas pula. Dengan demikian, jual beli juga mampu mendorong untuk saling bantu antara keduanya dalam kebutuhan sehari-hari. Dapat menjauhkan diri dari memakan atau memiliki barang yang haram. Penjual dan pembeli mendapat rahmat dari Allah swt. Menumbuhkan ketentraman dan kebahagiaan. Hikmah jual beli Hikmah jual beli dalam garis besarnya sebagai berikut : Allah swt mensyariatkan jual beli sebagai pemberian keluangan dan keleluasaan kepada hamba-hamba-Nya, karena semua manusia secara pribadi mempunyai kebutuhan berupa sandang, pangan, dan papan.Kebutuhan seperti ini tak pernah putus selama manusia masih hidup. Tak seorang pun dapat memenuhi hajat hidupnya sendiri, karena itu manusia di tuntut berhubungan satu sama lainnya. Dalam hubungan ini, taka da satu hal pun yang lebih sempurna daripada saling tukar, dimana seorang memberikan apa yang ia miliki untuk kemudian ia memperoleh sesuatu yang berguna dari orang lain sesuai dengan kebutuhannya masing-masing. BAB IV Hak Memilih (Khiyar) PENGERTIAN KHIYAR Secara bahasa, khiyar artinya: Memilih, menyisihkan, dan menyaring. Secara umum artinya adalah menentukan yang terbaik dari dua hal (atau lebih) untuk dijadikan orientasi. Sedangkan menurut istilah ulama fiqih, khiyar artinya: Hak yang dimiliki orang yang melakukan perjanjian usaha untuk memilih antara dua hal yang disukainya, meneruskan perjanjian tersebut atau membatalkannya. HIKMAH DISYARIATKANNYA KHIYAR Khiyar ini sangat penting dalam transaksi untuk menjaga kepentingan, kemaslahatan dan kerelaan kedua belah pihak yang melakukan kontrak serta melindungi mereka dari bahaya yang mungkin menimbulkan kerugian bagi mereka. Dengan demikian khiyar disyariatkan oleh Islam untuk memenuhi kepentingan yang timbul dari transaksi bisnis dalam kehidupan manusia. Hikmah-hikmah yang mengharuskan melakukan khiyar, dapat disimpulkan sebagaimana berikut: Untuk membuktikan dan mempertegas adanya kerelaan dari pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian. Supaya pihak penjual dan pembeli merasa puas dalam urusan jual beli. Untuk menghindarkan terjadinya penipuan dalam urusan jual beli Untuk menjamin kesempurnaan dan kejujuran bagi pihak penjual dan pembeli. MACAM-MACAM KHIYAR (HAK PILIH)  Khiyar dalam akad jual beli itu banyak sekali macamnya. Menurut ulama Hanafiyah jumlah khiyar ada 17 macam. Ulama Malikiyah membagi khiyar menjadi dua bagian yaitu khiyar at-tarawwi (melihat, meneliti), yakni khiyar secara mutlak dan khiyar naqishah (kurang), yakni apabila terdapat kekurangan atau aib pada barang yang dijual. Ulama Syafi’iyah berpendap bahwa khiyar terbagi dua; Pertama, khiyar at-tasyahhi, yakni khiyar yang menyebabkan pembeli memperlamakan transaksi sesuai dengan seleranya terhadap barang, baik dalam majlis maupun syarat. Kedua, khiyar naqhisah yang disebabkan adanya perbedaan dalam lafazh atau adanya kesalahan dalam pembuatan atau pergantian. Sedangkan ulama Hanabilah berpendapat khiyar itu ada delapan macam, yaitu; Khiyar Masjlis, Khiyar Syarat, Khiyar Ghubn, Khiyar Tadlis, Khiyar Aib, Khiyar Takhbir Bitsaman, Khiyar bisababi takhaluf, Khiyar ru’yah. Namun untuk kajian kita kali ini hanya akan dibahas dua macam khiyar, yaitu khiyar majlis dan khiyar syarat. Sedangkan macam-macam khiyar lainnya akan kita bahas pada edisi mendatang, insya Allah. Khiyar Majlis (Hak Pilih di Lokasi Perjanjian) Yang dimaksud dengan khiyar majlis adalah hak pilih bagi pihak-pihak yang melakukan perjanjian untuk membatalkan perjanjian atau melanjutkannya selama belum beranjak dari lokasi perjanjian. Khiyar majlis ini sah menjadi milik si penjual dan si pembeli semenjak dilangsungkannya akad jual beli hingga mereka berpisah, selama mereka berdua tidak mengadakan kesepakatan untuk tidak ada khiyar, atau kesepakatan untuk menggugurkan hak khiyar setelah dilangsungkannya akad jual beli atau seorang di antara keduanya menggugurkan hak khiyar-nya, sehingga hanya seorang yang memiliki hak khiyar. Khiyar ini terbatas hanya pada akad-akad yang diselenggarakan oleh dua pihak seperti akad muawazhot (tukar menukar seperti jual beli) dan ijaroh (persewaan). Landasan dasar disyariatkannya khiyar ini adalah hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda, “Apabila ada dua orang melakukan transaksi jual beli, maka masing-masing dari mereka (mempunyai) hak khiyar, selama mereka belum berpisah dan mereka masih berkumpul atau salah satu pihak memberikan hak khiyarnya kepada pihak yang lain. Namun jika salah satu pihak memberikan hak khiyar kepada yang lain lalu terjadi jual beli, maka jadilah jual beli itu, dan jika mereka telah berpisah sesudah terjadi jual beli itu, sedang salah seorang di antara mereka tidak (meninggalkan) jual belinya, maka jual beli telah terjadi (juga).” Dan haram meninggalkan majlis (tempat berlangsungnya akad/perjanjian) kalau khawatir dibatalkan. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا إِلاَّ أَنْ تَكُونَ صَفْقَةَ خِيَارٍ وَلاَ يَحِلُّ لَهُ أَنْ يُفَارِقَ صَاحِبَهُ خَشْيَةَ أَنْ يَسْتَقِيلَهُ “Pembeli dan penjual (mempunyai) hak khiyar selama mereka belum berpisah, kecuali jual beli dengan akad khiyar, maka seorang di antara mereka tidak boleh meninggalkan rekannya karena khawatir dibatalkan.” Khiyar Syarat (hak pilih berdasarkan persyaratan)  Yaitu kedua orang yang sedang melakukan transaksi jual beli mengadakan kesepakatan menentukan syarat, atau salah satu di antara keduanya menentukan hak khiyar sampai waktu tertentu, maka ini dibolehkan meskipun rentang waktu berlakunya hak khiyar tersebut cukup lama. Dasar disyariatkannya hak pilih ini adalah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا أَوْ يَخْتَارَا “Sesungguhnya dua orang yang melakukan jual beli mempunyai hak khiyar dalam jual belinya selama mereka belum berpisah, atau jual belinya dengan akad khiyar.” Dari sisi lain, terkadang memang amat dibutuhkan adanya hak pilih semacam ini, ketika pengalaman berniaga kurang dan perlu bermusyawarah dengan orang lain, atau karena alasan lainnya. Kemudian para ulama berbeda pendapat berkenaan dengan masa tenggang memutuskan pilihan tersebut. Ada di antara ulama yang membatasi hanya tiga hari saja. Ada juga yang menyatakan boleh lebih dari itu, tergantung kebutuhan. Hak pilih ini juga bisa dimiliki oleh selain pihak-pihak yang sedang terikat dalam perjanjian menurut mayoritas ulama demi merealisasikan hikmah yang sama dari disyariatkannya persyaratan hak pilih bagi pihak-pihak yang terikat tersebut. Pendapat ini ditentang oleh Zufar dan Imam Asy-Syafi’i dalam salah satu pendapat beliau. Namun pendapat mayoritas ulama dalam persoalan ini lebih tepat. Hak pilih persyaratan masuk dalam berbagai perjanjian permanen yang bisa dibatalkan. Adapun akad nikah, thalaq (perceraian), khulu’ (gugatan cerai dari istri) dan sejenisnya tidak menerima hak pilih yang satu ini, karena semua akad tersebut secara asal tidak bisa dibatalkan. Demikian pula hak pilih ini (khiyar syarat) tidak berlaku pada akad atau perjanjian yang tidak permanen seperti akad mudharabah (bagi hasil) dan akad syarikah (kontrak kerjasama dalam usaha). Demikian penjelasan singkat tentang khiyar majlis dan khiyar syarat. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Amin. BAB V Salam dan Istishna’ As-Salam Pengertian Bai’ As-Salam Secara bahasa, salam (سلم) adalah  al-i'tha' (الإعطاء) dan at-taslif  (التسليف). Keduanya  bermakna pemberian. Ungkapan aslama ats tsauba lil al-khayyath bermakna: dia telah menyerahkan baju kepada penjahit. Sedangkan  secara  istilah  syariah,  akad  salam didefinisikan oleh para fuqaha secara umumnya: (بيع موصوف في الذمة ببدل يعطى عاجلا). Jual-beli  barang yang disebutkan sifatnya dalam tanggungan dengan imbalan pembayaran) yang dilakukan saat itu juga. Penduduk Hijaz mengungkapkan akad pemesanan barang dengan istilah salam, sedangkan penduduk Irak menyebutnya Salaf. Jual beli salam adalah suatu benda yang disebutkan sifatnya dalam tanggungan atau memberi uang didepan secara tunai, barangnya diserahkan kemudian/ untuk waktu yang ditentukan. Menurut ulama syafi’iyyah akad salam boleh ditangguhkan hingga waktu tertentu dan juga boleh diserahkan secara tunai. Secara lebih rinci salam didefenisikan dengan bentuk jual beli dengan pembayaran dimuka dan penyerahan barang di kemudian hari (advanced payment atauforward buying atau future sale) dengan harga, spesifikasi, jumlah, kualitas, tanggal dan tempat penyerahan yang jelas, serta disepakati sebelumnya dalam perjanjian. Fuqaha menamakan jual beli ini dengan “penjualan Butuh” (Bai’ Al-Muhawij). Sebab ini adalah penjualan yang barangnya tidak ada, dan didorong oleh adanya kebutuhan mendesak pada  masing-masing penjual dan pembeli. Pemilik modal membutuhkan untuk membeli barang, sedangkan pemilik barang butuh kepada uang dari harga barang. Berdasarkan ketentuan-ketentuannya, penjual bisa mendapatkan pembiayaan terhadap penjualan produk sebelum produk tersebut benar-benar tersedia. Dasar Hukum As-Salam Landasan syariah transaksi bai’ as-Salam terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadist. Al-Quran “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalahtidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya” (QS. Al-Baqarah : 282) Dan utang secara umum meliputi utang-piutang dalam jual beli salam,dan utang-piutang dalam jual beli lainnya. Ibnu Abbas telah menafsirkan tentang utang-piutang dalam jual beli salam. Dalam kaitan ayat di atas Ibnu Abbas menjelaskan keterkaitan ayat tersebut dengan transaksi bai’ as-Salam, hal ini tampak jelas dari ungkapan beliau: “Saya bersaksi bahwa salam (salaf) yang dijamin untuk jangka waktu tertentu telah dihalalkan oleh Allah pada kitab-Nya dan diizinkan-Nya.” Ia lalu membaca ayat tersebut. Al-Hadist عَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ: قَدِمَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم اَلْمَدِينَةَ, وَهُمْ يُسْلِفُونَ فِي اَلثِّمَارِ اَلسَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ, فَقَالَ: ( مَنْ أَسْلَفَ فِي تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ, وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ, إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ )  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. وَلِلْبُخَارِيِّ: مَنْ أَسْلَفَ فِي شَيْءٍ Ibnu Abbas berkata: Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam datang ke Madinah dan penduduknya biasa meminjamkan buahnya untuk masa setahun dan dua tahun. Lalu beliau bersabda: "Barangsiapa meminjamkan buah maka hendaknya ia meminjamkannya dalam takaran, timbangan, dan masa tertentu." Abdullah bin Abu Mujalid r.a. berkata, Abdullah bin Syadad bin Haad pernah berbeda pendapat dengan Abu Burdah tentang salaf. Lalu mereka utus saya kepada Ibnu Abi Aufa.Lantas saya tanyakan kepadabya perihal iti.Jawabnya.‘Sesungguhnya pada masa Rasulullah Saw., pada masa Abu Bakar, pada masa Umar, kami pernah mensalafkan gandum, sya’ir, buah anggur, dan kurma. Dan saya pernah pula bertanya kepada Ibnu Abza, jawabnya pun seperti itu juga.(Bukhari). Ijma’ Mengutip dari perkataan Ibnu Mundzir yang mengatakan bahwa, semua ahli ilmu (ulama) telah sepakat bahwa jual beli salam diperbolehkan, karena terdapat kebutuhan dan keperluan untuk memudahkan urusan manusia. Dari berbagai landasan di atas, jelaslah bahwa akad salamdiperbolehkan sebagai kegiatan bemuamalah sesama manusia. Rukun dan Syarat Mu’qidain: Muslam (pembeli) adalah pihak yang membutuhkan dan memesan barang. Muslam ilaih (penjual) adalah pihak yang memasok barang pesanan. Cakap bertindak hukum ( baligh dan berakal sehat). Muhtar ( tidak dibawah tekanan/paksaan). Modal atau uang. Ada pula yang menyebut harga (tsaman). Jelas dan terukur Disetujui kedua pihak Diserahkan tunai/cash ketika akad berlangsung Muslan fiih adalah barang yang dijual belikan (obyek transaksi) Dinyatakan jelas jenisnya Jelas sifat-sifatnya Jelas ukurannya Jelas batas waktunya Tempat penyerahan dinyatakan secara jelas Shigat adalah ijab dan qabul. harus diungkapkan dengan jelas, sejalan, dan tidak terpisah oleh hal-hal yang dapat memalingkan keduanya dari maksud akad. Syarat Sah Salam pembayaran dilakukan di majelis akad sebelum akad disepakati, mengingat kesepakatan dua pihak sama dengan perpisahan. Alasannya, andaikan pembayaran salam ditangguhkan,terjadilah transaksi yang mirip dengan jual beli utang dan piutang, jikaharga berada dalam tanggungan. Disamping itu akad salam mengandung gharar. pihak pemesan secara khusus berhak menentukan tempat penyerahan barang pesanan, jika dia membayar ongkos kirim barang. Jika tidak maka pemesan tidak berhak menentukan tempat penyerahan. Apabila penerima pesanan harus menyerahkan barang itu di suatu tempat yang tidak layak dijadikan sebagai tempat penyerahan. misalnya gurun sahara,, atau  layak dijadikan tempat penyerahan barang tetapi perlu biaya pengangkutan, akad salam hukumnya tidak sah. Syarat Muslam Fiih (barang pesanan) Ada empat syarat yang harus dipenuhi dalam barang pesanan, yaitu sebagai berikut: Barang pesanan harus jelas jenis, bentuk, kadar, dan sifatnya. Ia dapat diukur dengan karakteristik tertentu yang membedakannya dengan barang lain dan tentu  mempunyai fungsi yang berbeda pula seperti beras tipe 101, gandum,jagung putih, jagung kuning dan jenis barang lainnya. Barang seperti lukisan berharga dan barang-barang langka tidak dapat dijadikan barang jual beli salam.  Penyebutan karakteristik tersebut sangat perlu dilakukan untuk menghindari ketidakjelasan barang pesanan barang pesanan dapat diketahui kadarnya baik berdasarkan takaran, timbangan, hitungan perbiji, atau ukuran panjang dengan satuan yang dapat diketahui. Disyaratkan menggunakan timbangan dalam pemesanan buah-buahan yang tidak dapat diukur dengan takaran. barang pesanan harus berupa utang (sesuatu yang menjadi tanggungan). barang pesanan dapat diserahkan begitu jatuh tempo penyerahan. Barang yang sulit diserahkan tidak boleh diperjual belikan, karena itu dilarang alam akad salam.[18] Hal-hal lain yang terkait dengan transaksi salam dapat diuraikan sebagai berikut: Ketentuan Pembiayaan Bai as-Salam sesuai dengan Fatwa No.05/1 DSN-MUI/IV/2000 Tanggal 1 April 2000. Ketentuan Pembayaran Uang Kas: Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa  uang, barang, atau manfaat; Dilakukan saat kontrak disepakati (inadvance); dan Pembayaran tidak boleh dalam bentuk ibra’ (pembebasan utang). contoh pembeli mengatakan kepada petani (penjual) “Saya beli padi Anda sebanyak 1 ton dengan harga Rp 10 juta yang pembayarannya/uangnya adalah Anda saya bebaskan membayar utang Anda yang dahulu (sebesar Rp 2 juta)”. Pada kasus ini petani memang memiliki utang yang belum terbayar kepada pembeli, sebelum terjadinya akad salam tersebut. Ketentuan Barang: Harus jelas ciri-cirinya/spesifikasi dan dapat diakui sebagai utang; Penyerahan dilakukan kemudian; Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan ber- dasarkan kesepakatan; Pembeli tidak boleh menjual barang sebelum barang tersebut diterimanya (qabadh). Ini prinsip dasar jual beli; dan Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan. Penyerahan Barang sebelum Tepat Waktu: Penjual wajib menyerahkan barang tepat waktu dengan kualitas dan kuantitas yang disepakati; Bila penjual menyerahkan barang, dengan kualitas yang lebih tinggi, penjual tidak boleh meminta tambahan harga; Jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas lebih rendah, dan pembeli rela menerimanya, maka pembeli tidak boleh meminta pengurangan harga (diskon); dan Penjual dapat menyerahkan barang lebih cepat dari waktu yang disepakati dengan syarat: kualitas dan jumlah barang sesuai dengan kesepakatan dan tidak boleh menuntut tambahan harga. Jika semua/sebagian barang tidak tersedia tepat pada waktu penyerahan atau kualitasnya lebih rendah dan pembeli tidak rela menerimanya, maka pembeli memiliki dua pilihan: Membatalkan kontrak dan meminta kembali uang. Menunggu sampai barang tersedia. Pembatalan kontrak boleh dilakukan selama tidak merugikan kedua belah pihak, dan jika terjadi di antara kedua belah pihak, maka persoalannya diselesaikan melalui pengadilan agama sesuai dengan UU No. 3/2006 setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. Para pihak dapat juga memilih BASYARNAS (Badan Arbitrase Syariah Nasional) dalam penyelesaian sengketa.Tetapi jika lembaga ini yang dipilih dan disepakati sejak awal, maka tertutuplah peranan pengadilan agama. Menentukan Waktu Penyerahan Barang Tentang periode minimum pengiriman, para fuqaha memiliki pendapat berikut: Hanafi menetapkan periode penyerahan barang pada satu bulan. Untuk beberapa penundaan,selambat-lambatnya adalah tiga hari. Tapi, jika penjual meninggal dunia sebelum penundaan berlalu, salam mencapai kematangan. Dalam Ketentuan Umum tentang Akad, pasal 89 menyebutkan “Jika penjual meninggal dan jatuh pailit setelah menerima pembayaran tetapibelum menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli,barang tersebut dianggap barang titipan kepunyaan pembeli yang ada di tangan penjual.  Menurut Syafi’i salam dapat segera dan tertunda. Menurut Malik, penundaan tidak boleh kurang dari 15 hari. Contoh kasus Seorang petani memiliki 2 hektar sawah mengajukan pembiayaan ke bank sebesar Rp 5.000.000,00. Penghasilan yang didapat dari sawah biasanya berjumlah 4 ton dan beras dijual dengan harga Rp 2.000,00 per kg. ia akan menyerahkan beras 3 bulan lagi. Bagaimana perhitungannya? Bank akan mendapatkan beras Rp 5juta dibagi Rp 2.000,00 per kg = 2.5 ton. Setelah melalui negoisasi bank menjual kembali pada pihak ke 3 dengan harga Rp 2.400,00 per kg yang berarti total dana yang kembali sebesar Rp 6juta. Sehingga bank mendapat keungtungan 20%. Salam Paralel Salam paralel yaitu melaksanakan dua transaksi bai’ as-Salam antara bank dengan nasabah, dan antara bank dengan pemasok (supplier) atau pihak ketiga lainnya secara simultan. Dewan Pengawas Syariah Rajhi Banking & Investment Corporation telah menetapkan fatwa yang membolehkan praktek salam paralel dengan syarat pelaksanaan transaksi salam kedua tidak tergantung pelaksanaan akad salam yang pertama. Beberapa ulama kontemporer melarang transaksi salam paralel terutama jika perdagangan dan transaksi semacam itu dilakukan secara terus-menerus. Hal demikian diduga akan menjurus kepada riba. Ketentuan Umum Pembatalan kontrak Pembatalan kontrak dengan pengembalian uang pembelian, menurut jumhur ulama, dimungkinkan dalam kontrak salam. Pembatalan penuh pengiriman muslam fihi dapat dilakukan sebagai ganti pembayaran kembali seluruh modal salam yang telah dibayarkan. Demikian juga pembatalan sebagian penyerahan barang dapat dilakukan dengan mengembalikan sebagian modal. Penverahan muslam fihi sebelum atau pada waktunva. Muslam ilaih harus menyerahkan muslam fihi tepat pada waktunya dengan kualitas dan kuantitas sesuai kesepakatan.Jika muslam ilaih menyerahkan muslam fihi dengan kualitas yang lebih tinggi, muslam harus menerimanya dengan syarat bahwa muslam ilaih tidak meminta harga yang lebih tinggi sebagai ganti kualitas yang lebih baik tersebut. Jika muslam ilaih mengantar muslam fihi dengan kualitas lebih rendah, pembeli mempunyai pilihan untuk menolak atau menerimanya.Para ulama berbeda pendapat tentang boleh tidaknya muslam ilaih menyerahkanmuslam fihi yang berbeda dari yang telah disepakati. Muslam ilaih dapat menyerahkan muslam fihi lebih cepat dari yang telah disepakati, dengan beberapa syarat: Kualitas dan kuantitas muslam fihi telah disepakati. Kualitas dan kuantitas muslam fihi tidak lebih tinggi dari kesepakatan. Kualitas dan kuantitas muslam fihi tidak lebih rendah dari kesepakatan. Jika semua atau sebagian muslam fihi tidak tersedia pada waktu penyerahan, muslam mempunyai dua pilihan. Pertama, membatalkan kontrak dan meminta kembali uangnya. Kedua, menunggu sampaimuslam fihi tersedia. Perbedaan Bai’ as Salam dengan Ijon Banyak orang yang menyamakan bai’ as salam dengan ijon Padahal, terdapat perbedaan besar di antara keduanya. Dalamijon, barang yang dibeli tidak diukur atau ditimbang secara jelas dan spesifik.Demikian juga penetapan harga beli, sangat tergantung kepada keputusan sepihak si tengkulak yang sering kali sangat dominan dan menekan petani yang posisinya lebih lemah. Sedangkan transaksi bai 'as salam mengharuskan adanya 2 hal : Pengukuran dan spesifikasi barang yang jelas. Hal ini tercermin dari hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas. "Barangsiapa melakukan transaksi salaf (salam), maka hendaklah ia melakukan dengan takaran yang jelas, timbangan yang jelas, untuk jangka waktu yang jelas pula." Adanya keridhaan yang utuh antara kedua belah pihak. Hal ini terutama dalam penyepakati harga. Allah berfirman: "Kecuali denganjalanperniagaanyang berlaku dengan suka sama suka di antara kalian." (Q.S. An Nisa: 29). Untuk memastikan adanya harga yang “fair” ini pemerintah diwajibkan melakukan pengawasan dan pembinaan. Contoh Ijon: Pembeli membeli beras yang saat itu masih belum dipanen sebanyak satu hektar, dan diantar pada saat panen. Contoh Bai’ as Salam: Pembeli membeli padi sebanyak satu ton padi dari petani yang diantar pada waktu panen. Pada contoh ijon terdapat spekulasi yang akan merugikan salah satu pihak. Jika pembeli memperkirakan hasil panen sebanyak lima ton dan membayar seharga itu, sedangkan kenyataannya menghasilkan tujuh ton, maka petani merugi. Ia tidak bisa menikmati duaton kelebihannya. Tetapi sebaliknya, jika hasilnya hanya tiga ton maka pembeli yang merugi karena telah membayar seharga lima ton. Pada contoh bai' as salam, petani hanya menjual sebagian dari produknya. Kalau terjadi gagal panen, ia hanya wajib menyediakan padi sebanyak yang dapat dipenuhinya. Aplikasi dalam Perbankan Bai’ as salam biasanya dipergunakan pada pembiayaan bagi petani dengan jangka waktu yang relatif pendek, yaitu 2-6 bulan. Karena yang dibeli oleh bank adalah barang seperti padi, jagung, dan cabai dan bank tidak bemiat untuk menjadikan barang-barang tersebut sebagai simpanan atau inventory, maka dilakukan akadbai’as salam kepada pembeli kedua, misalnya kepada Bulog, pedagang pasar induk, dan grosir. Inilah yang dalam perbankan Islam dikenal sebagai salam paralel. Bai ’ as salam juga dapat diaplikasikan pada pembiayaan barang industri, misalnya produk garmen (pakaian jadi) yang ukuran barang tersebut sudah dikenal umum. Caranya, saat nasabah mengajukan pembiayaan untuk pembuatan garmen, bank mereferensikan penggunaan produk tersebut.Hal itu berarti bahwa bank memesan dari pembuat garmen tersebut dan membayamya pada waktu pengikatan kontrak.Bank kemudian mencari pembeli kedua.Pembeli tersebut bisa saja rekanan yang telah direkomendasikan oleh produsen garmen tersebut Bila garmen itu telah selesai diproduksi, produk tersebut diantarkan kepada rekanan tersebut.Rekanan kemudian membayar kepada bank, baik secara mengangsur maupun tunai. Risiko dan Manfaat Berdasarkan sifatnya yang paralel, bai'as salam mengandung risiko berdasarkan sifatnya yang simultan,salam paralel memiliki beberapa manfaat dan risiko yang harus diantisipasi oleh bank syariah, di antaranya: Default. Jika pemasok tidak bisa mendatangkan barang yang dipesan karena lalai atau menipu. Maka, bank tidak bias memenuhi barang yang diminta oleh  pembeli. Tak terjual, bank tidak bisa mencari pembeli dari barang salam. Hal terjadi jika pemasok mengantarkan barang yang tidak sesuai dengan kesepakatan saat kontrak. Harga, harga barang ketika diantar lebih rendah dari harga yang disepakati dengan penjual saat kontrak. Manfaat bai’as salam adalah selisih harga yang didapat dari nasabah dengan harga jual kepada pembeli. AL-ISTISHNA’ Pengertian Al-Istishna’ Berasal dari kata ﺻﻧﻊ (shana’a) yang artinya membuat kemudian ditambah huruf alif, sindan ta’ menjadi ﺍ ﺴﺗﺻﻧﻊ (istashna’a) yang berarti meminta dibuatkan sesuatu. Istishna’ atau pemesanan secara bahasa artinya: meminta di buatkan. Menurut terminologi ilmu fiqih artinya: perjanjian terhadap barang jualan yang berada dalam kepemilikan penjual dengan syarat di buatkan oleh penjual, atau meminta di buatkan secara khusus sementara bahan bakunya dari pihak penjual. Secara istilah ialah akad  jual beli antara pemesan dengan penerima pesanan atas sebuah barang dengan spesifikasi tertentu. Menurut pandangan ulama : Mazhab Hanafi عقد على مبيع في الذمة شرط فيه العمل Sebuah akad untuk sesuatu yang tertanggung dengan syarat mengerjakaannya. Sehingga bila seseorang berkata kepada orang lain yang punya keahlian dalam membuat sesuatu,"Buatkan untuk aku sesuatu dengan harga sekian dirham", dan orang itu menerimanya, maka akad istishna' telah terjadi dalam pandangan mazhab ini. Mazhab Hambali بيع سلعة ليست عنده على وجه غير السلم Maknanya adalah jual-beli barang yang tidak (belum) dimilikinya yang tidak termasuk akad salam. Dalam hal ini akad istishna' mereka samakan dengan jual-beli dengan pembuatan (بيع بالصنعة). Mazhab Al-Malikiyah dan Asy-Syafi'iyah الشيء المسلم للغير من الصناعات Suatu barang yang diserahkan kepada orang lain dengan cara membuatnya. Contoh Istishna’ : Seseorang memesan sepatu berbahan kulit ke tukang sepatu dengan harga x rupiah,untuk pembayaran bisa dilakukan secara cash,cicilan,atau ditangguhkan sampai suatu waktu pada masa yang akan datang. Contohnya seseorang pergi ke salah satu tukang, misalnya tukang kayu, tukang besi atau tukang jahit. Lalu mengatakan; “Tolong buatkan untuk saya barang anu sejumlah sekian.” Syarat sahnya perjanjian pemesananan ini adalah bahwa bahan baku harus berasal dari si tukang. Kalau berasal dari pihak pemesan atau pihak lain, tidak disebut pemesanan, tetapi menyewa tukang. Transaksi Bai’ al-istishna’ merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang. Dalam kontrak ini, pembuat barang menerima pesanan dari pembeli. Pembuat barang lalu berusaha melalui orang lain untuk membuat atau membeli barang menurut spesifikasi yang telah di sepakati dan menjualnya kepada pembeli akhir. Kedua belah pihak bersepakat atsa harga serta sistem pembayaran di lakukan di muka, melalui cicilan atau di tangguhkan sampai suatu waktu pada masa yang akan datang. Menurut Ulama fuqaha, bai’ al-istishna’ merupakan suatu jenis khusus dari bai’ as-salam. Biasanya jenis ini di pergunakan di bidang manufaktur dan konstruksi. Dengan demikian ketentuan bai’ al-istishna, mengikuti ketentuan dan aturan bai’ as-salam. Dasar Hukum Istishna’ Hukum transaksi bai’ istishna’ terdapat dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits. Al-Qur’an وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبا     Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. (Qs. Al Baqarah: 275) Berdasarkan ayat ini dan lainnya para ulama' menyatakan bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah halal, kecuali yang nyata-nyata diharamkan dalam dalil yang kuat dan shahih. Al-hadits عَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه أَنَّ نَبِىَّ اللَّهِ ص كَانَ أَرَادَ أَنْ يَكْتُبَ إِلَى الْعَجَمِ فَقِيلَ لَهُ إِنَّ الْعَجَمَ لاَ يَقْبَلُونَ إِلاَّ كِتَابًا عَلَيْهِ خَاتِمٌ. فَاصْطَنَعَ خَاتَمًا مِنْ فِضَّةٍ.قَالَ:كَأَنِّى أَنْظُرُ إِلَى بَيَاضِهِ فِى يَدِهِ. رواه مسلم Dari Anas RA bahwa Nabi SAW hendak menuliskan surat kepada raja non-Arab, lalu dikabarkan kepada beliau bahwa raja-raja non-Arab tidak sudi menerima surat yang tidak distempel. Maka beliau pun memesan agar ia dibuatkan cincin stempel dari bahan perak. Anas menisahkan: Seakan-akan sekarang ini aku dapat menyaksikan kemilau putih di tangan beliau." (HR. Muslim) Perbuatan nabi ini menjadi bukti nyata bahwa akad istishna' adalah akad yang dibolehkan. Mengingat Bai’ Al-Istishna merupakan lanjutan dari Bai’ as-salam maka secara umum dasar hukum yang berlaku pada Bai’ as-salam juga berlaku pada Bai’ al-Istishna’.Sungguhpun demikian para ulama membahas lebih lanjut “keabsahan” Bai’ al-Istishna’ dengan penjelasan berikut. Menurut Mazhab Hanafi, bai’ al-istishna’termasuk akad yang di larang karena bertentangan dengan semangat bai’secara qiyas. Mereka mendasarkan kepada argumentasi bahwa pokok kontrak penjual harus ada dan dimiliki oleh penjual, Sedangkan dalam Istishna’, pokok kontrak itu belum ada atau tidak di miliki penjual. Meskipun demikian, Mazhab Hanafi Menyetujui kontrak Istishna’ atas dasar Istihsan karena alasan-alasan berikut ini. Masyarakat telah mempraktekkan bai’ al-Istishna’ secara luas dan terus menerus tanpa ada keberatan sama sekali. Hal demikian menjadikan bai’ al-istishna sebagai kasus ijma’ atau konsensus umum. Di dalam Syariah di mungkinkan adanya penyimpangan terhadap qiyas berdasarkan ijma’ ulama. Keberadaan bai’ al-istishna’ di dasarkan atas kebutuhan masyarakat. Banyak orang seringkali memerlukan barang yang tidak tersedia di pasar sehingga mereka cenderung untuk melakukan kontrak agar orang lain membuatkan barang untuk mereka. Bai’ al-istishna’ sesuai dengan aturan umum mengenai kebolehan kontrak selama tidak bertentangan dengan nash atau aturan syariah. Sebagian Fuqaha kontemporer berpendapat bahwa bai’ al-istishna’ adalah sah atas dasar qiyas dan aturan umum syariah karena itu memang jual beli biasa dan si penjual akan mampu mengadakan barang tersebut pada saat penyerahan. Demikian juga terjadinya kemungkinan perselisihan atas jenis dan kualitas suatu barang dapat di minimalkan dengan pencantuman spesifikasi dan ukuran-ukuran serta bahan material pembuatan barang tersebut. Rukun dan Syarat Istishna Pelaksanaan bai’ al-istishna’ harus memenuhi sejumlah rukun berikut ini. Penjual/Pembuat Barang Sighat Di samping segenap rukun harus terpenuhi, bai’ al-istishna’ juga mengharuskan tercukupinya segenap syarat pada masing-masing rukun. Di bawah ini akan di uraikan di antara dua rukun terpenting, yaitu modal dan barang. Modal Transaksi Bai al-istishna’ Modal Harus di ketahui. Penerimaan pembayaran salam. Al-muslam fiihi (Barang) Harus spesifik dan dapat di akui sebagai utang Harus bisa di identifikasi secara jelas Penyerahan barang di lakukan di kemudian hari Kebanyakan ulama mensyaratkan penyerahan barang harus di tunda pada suatu waktu kemudian, tetapi mazhab syafi’i membolehkan penyerahan segera. Boleh menentukan tanggal waktu di masa yang akan datang untuk penyrahan barang. Tempat penyerahan. Penggantian muslam fiihi dengan barang lain. Istishna’ Pararel Dalam sebuah kontrak bai’ al-istishna’, bisa saja pembeli mengizinkan pembuat menggunakan subkontrakator untuk melaksanakan kontrak tersebut. Dengan demikian, pembuat dapat membuat kontrak istishna’ kedua untuk memenuhi kewajibannya kepada kontrak pertama. Kontrak baru ini di kenal sebagai istishna’ pararel. Istishna’ pararel dapat di lakukan dengan syarat : akad kedua antara bank dan subkontraktor terpisah dari akad pertama antara bank dan pembeli akhir akad kedua di lakukan setelah akad pertama sah. Ada beberapa konsekuensi saat bank Islam menggunakan kontrak pararel. Diantaranya sebagai berikut. Bank Islam sebagai pembuat kontrak pertama tetap merupakan satu-satunya pihak yang bertanggung jawab terhadap pelaksaaan kewajibannya. Istishna’ pararel atau subkontrak untuk sementara harus di anggap tidak ada. Dengan demikian sebagai shani’ pada kontrak pertama, bank tetap bertanggung jawab atas setiap kesalahan, kelalaian atau pelanggaran kontrak yang berasal dari kontrak pararel. Penerima subkontrak pembuatan pada istishna’ pararel bertanggung jawab terhadap Bank Islam sebagai pemesan. Dia tidak mempunyai hubungan hukum secara langsung dengan nasabah pada kontrak pertama akad. Bai’ al-istishna’ kedua merupakan kontrak pararel, tetapi bukan merupakan bagian atau syarat untuk kontrak pertama. Dengan demikian kedua kontraktersebut tidak memunyai kaitan hukum sama sekali. Bank sebagai shani’ atau pihak yang siap untuk membuat atau mengadakan barang, bertanggungjawab kepada nasabah atas pelaksanaan subkontraktor dan jaminan yang timbul darinya. Kewjiban inilah yang membenarkankeabsahan istishna’ pararel, juga menjadi dasar bahwa bank boleh memungut keuntungan kalau ada. Contoh Kasus Sebuah perusahaan konveksi meminta pembiayaan untuk pembuatan kostum tim sepakbola sebesar Rp 20juta. Produksi ini akan dibayar oleh pemesannya dua bulan yang akan datang. Harga sepasang kostum biasanya Rp 4.000,00, sedangkan perusahaan itu bisa menjual pada bank dengan harga Rp 38.000,00. Berapa keuntungan yang didapatkan bank? Dalam kasus ini, produsen tidak ingin diketahui modal pokok pembuatan kostum. Ia hanya ingin memberikan untung sebesar Rp 2.000,00 per kostum atau sekitar Rp 1juta (Rp 20juta/Rp 38.000,00 X Rp 2.000,00) atau 5% dari modal. Bank bisa menawar lebih lanjut agar kostum itu lebih murah dan dijual kepada pembeli dengan harga pasar. Perbedaan antara Salam dan Istishna’ Menurut jumhur fuqaha, jual beli istisna’ itu sama dengan salam, yakni jual beli sesuatu yang belum ada pada saat akad berlangsung (bay’ al-ma’dum). Menurut fuqaha Hanafiah, ada dua perbedaan penting antara salam dengan istisna’, yaitu: Cara pembayaran dalam salam harus di lakukan pada saat akad berlangsung, sedangkan dalam istisna’ dapat di lakukan pada saat akad berlangsung, bisa di angsur atau bisa di kemudian hari. Salam mengikat para pihak yang mengadakan akad sejak semula, sedangkan istisna’ menjadi pengikat untuk melindungi produsen sehingga tidak di tinggalkan begitu saja oleh konsumen yang tidak bertanggungjawab. Tim Pengembangan Perbankan Syariah Insitut Bankir Indonesia mendefinisikan istisna’ sebagai akad antara pemesan dengan pembuat barang untuk suatu pekerjaan tertentu dalam tanggungan atau jual beli suatu barang yang baru akan di buat oleh pembuat barang. Dalam istisna’, bahan baku dan pekerjaan penggarapannya menjadi kewajiban pembuat barang. Jika bahan baku di sediakan oleh pemesan, maka akad tersebut berubah menjadi ijarah. SUBJEK SALAM ISTISHNA ATURAN DAN KETERANGAN Pokok Kontrak Muslam Fiihi Mashnu’ Barang di tangguhkan dengan spesifikasi. Harga Di bayar saat kontrak Bisa saat kontrak, bisa di angsur, bisa dikemudian hari Cara penyelesaian pembayaran merupakan perbedaan utama antara salam dan istishna’. Sifat Kontrak Mengikat secara asli (thabi’i) Mengikat secara ikutan (taba’i) Salam mengikat semua pihak sejak semula, sedangkan istishna’ menjadi pengikat untuk melindungi produsen sehingga tidak di tinggalkan begitu saja oleh konsumen secara tidak bertanggung jawab. Kontrak Pararel Salam Pararel Istishna’ Pararel Baik salam pararel maupun istishna’ pararel sah asalkan kedua kontrak secara hukum adalah terpisah. BAB VII Transaksi Ijarah Pengertian Ijarah Ijarah adalah akad penyaluran dana untuk pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa (ujrah), antara perusahaan pembiayaan sebagai pemberi sewa (mu’ajjir) dengan penyewa (musta’jir) tanpa didikuti pengalihan kepemilikan barang itu sendiri. Ijarah adalah akad antara bank (mu’ajjir) dengan nasabah (mutta’jir) untuk menyewa suatu barang/objek sewa milik bank dan bank mendapat imbalan jasa atas barang yang disewanya, dan diakhiri dengan pembelian obyek sewa oleh nasabah. Landasan syariah akad ini adalah fatwa DSN-MUI No.09 /DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan Ijarah. Dasar Hukum Ijarah Al- Qur’an “Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”.(QS.al-Baqarah:233) Al-Hadits “Berikanlah upah kepada orang yang kamu pekerjakan sebelum kering keringat mereka”.(HR. Abu Ya’la, Ibnu Majah, at-Thabrani dan Tirmidzi) Rukun Ijarah Mu’jar(orang/barang yang disewa) Musta’jir (orang yang menyewa) Sighat (ijab dan qabul) Upah dan manfaat. Syarat Ijarah Kedua orang yang berakad harus baligh dan berakal Menyatakan kerelaannya untuk melakukan akad ijarah Manfaat yang menjadi objek ijarah harus diketahui secara sempurna Objek ijarah boleh diserahkan dan dipergunakan secara langsung dan tidak bercacat Objek ijarah sesuatu yang dihalalkan oleh syara’ dan merupakan sesuatu yang bisa disewakan Yang disewakan itu bukan suatu kewajiban bagi penyewa Upah/sewa dalam akad harus jelas, tertentu dan sesuatu yang bernilai harta. Sifat dan Hukum Akad Ijarah Para ulama Fiqh berbeda pendapat tentang sifat akad ijarah, apakah bersifat mengikat kedua belah pihak atau tidak. Ulama Hanafiah berpendirian bahwa akad ijarah bersifat mengikat, tetapi boleh dibatalkan secara sepihak apabila terdapat uzur dari salah satu pihak yang berakad, seperti contohnya salah satu pihak wafat atau kehilangan kecakapan bertindak hukum. Apabila salah seorang yang berakad meninggal dunia, akad ijarah batal karena manfaat tidak boleh diwariskan. Akan tetapi, jumhur ulama mengatakan bahwa akad ijarah itu bersifat mengikat, kecuali ada cacat atau barang itu tidak boleh dimanfaatkan. Apabila seorang yang berakad meninggal dunia, manfaat dari akad ijarah boleh diwariskan karena termasuk harta dan kematian salah seorang pihak yang berakad tidak membatalkan akad ijarah. Berakhirnya Akad Ijarah objek hilang atau musnah, tenggang waktu yang disepakati dalam akad ijarah telah berakhir, menurut ulama Hanafiyah, wafatnya seorang yang berakad. menurut ulama Hanafiyah, apabila ada uzur dari salah satu pihak seperti rumah yang disewakan disita Negara karena terkait utang yang banyak, maka akad ijarah batal. Akan tetapi, menurut jumhur ulama uzur yang boleh membatalkan akad ijarah hanyalah apabila obyeknya cacat atau manfaat yang dituju dalam akad itu hilang, seperti kebakaran dan dilanda banjir. Aplikasi Ijarah di Lembaga Keuangan Syariah Bank-bank Islam yang mengoperasikan produk ijarah, dapat melakukanleasing, baik dalam bentuk operting lease maupun financial lease. Akan tetapi, pada umumnya bank-bank tersebut lebih banyak menggunakan Ijarah Muntahiya bit-Tamlik, karena lebih sederhana dari sisi pembukuan. Selain itu, bank pun tidak direpotkan untuk mengurus pemeliharaan aset, baik pada saat leasing maupun sesudahnya. BAB VIII Musyarakah PENGERTIAN Al Musyarakah (partnership) adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan konstribusi dana (atau amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Al Musyarakah termasuk kedalam akad tijarah (for profit transaction). DASAR HUKUM (LANDASAN SYARIAH) AL QUR’AN Daud berkata: "Sesungguhnya Dia telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. dan Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan Amat sedikitlah mereka ini". dan Daud mengetahui bahwa Kami mengujinya; Maka ia meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud dan bertaubat. AL HADIST Dari abu hurairah, Rasulullah bersabda: “sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla berfirman, ‘Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah satunya tidak menghianati yang lainya” (H.R. Abu Dawud no. 2936, Dala kitab Al-Buyu dan Hakim) IJMA Ibnu Qudama dalam kitabnya Al-Mughni berkata, “kaum muslimin telah berkonsensur terhadap legitimasi masyarakat secara global walaupun terdapat perbedaan pendapat dalam beberapa elemen darinya.” RUKUN DAN SYARAT RUKUN Rukun merupakan sesuatu yang wajib dilakukan dalam suatu transaksi (necessary condition), begitu pula pada transaksi yang terjadi pada kerja sama bagi hasil al-Musyarakah. Pada umumnya, rukun dalam muamalah iqtishadiyah(muamalah dalam bidang ekonomi) ada tiga yaitu : Pelaku, bisa berupa penjual dan pembeli (dalam kad jual beli), penyewa-pemberi sewa (dalam akad sewa-menyewa), dan dalam hal ini pemberi modal-pelaksana usaha (dalam akad al-Musyarakah) Objek, dari semua akad diatas dapat berupa uang, barang atau jasa. Tanpa objek transaksi, mustahil transakasi akan tercipta. Ijab-kabul, adalah adanya kesepakatan antara kedua belah pihak yang bertransakasi. SYARAT Syarat adalah sesuatu yang keberadaanya melengkapi rukun (sufficient condition). Bila rukun dipenuhi tetapi syarat tidak dipenuhi, rukun menjadi tidak lengkap sehingga transaksi tersebut menjadi fasid (rusak). Demikian menurut mazhab hanafi. Seperti syarat berikut: Perserikatan itu merupakan transaksi yang boleh diwakilkan. Artinya, salah satu pihak jika bertindak secara hukum terhadap objek perserikatan itu dengan izin pihak lain, dianggab sebagai seluruh wakil pihak yang berserikat.\Barang dan jasa harus halal sehingga transaksi atas barang dan jasa yang haram menjadi batal demi hukum syariah. Presentase pembagian keuntungan untuk masin-masing pihak yang berserikat dijelaskan ketika berlangsungnya akad. Keuntungan itu diambil dari hasil laba harta perserikatan, bukan dari harta lain. Modal, harga barang dan jasa harus jelas. Tempat penyerahan (delivery) harus jelas karena akan berdampak pada biaya transportasi. Barang yang ditransaksikan harus sepenuhnya dalam kepemilikan. Tidak boleh menjual sesuatu yang belum dimiliki atau dikuasai seperti yang terjadi pada transaksi short sale dalam pasar modal. KETENTUAN-KETENTUAN YANG TERKAIT Ketentuan umum pembiayaan Musyarakah adalah sebagai berikut: Semua modal disatukan untuk dijadikan modal proyek musyarakah dan dikelola bersama-sama. Setiap pemilik modal berhak turut serta dalam menentukan kebijakan usaha yang dijalankan oleh pelaksana proyek. Pemilik modal dipercaya untuk menjalankan proyek muyarakah. Biaya yang timbul dalam pelaksanaan proyek dan jangka waktu proyek harus diketahui bersama. Keuntungan dibagi sesuai porsi kesepakatan sedangkan kerugian dibagi sesuai dengan konstribusi modal. Proyek yang dijalankan harus disebutkan dalam akad. Setelah proyek selesai nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati untuk Bank. BERAKHIRNYA Berakhirnya kerja sama bagi hasil al-Musyarakah apabila dalam transaksi tersebut terdapat kemungkinan, menjadi haram atau akadnya yang tidak sah, serta pemilik modal atau pelaksana usaha yang melakukan tindakan  seperti factor-faktor berikut ini: Ta’alluq terjadi bila kita dihadapkan pada dua akad yang saling dikaitkan, maka berlakunya akad 1 tergantung akad 2. Contohnya A menjual barang X seharga Rp. 120 juta secara cicilan kepada B, dengan syarat bahwa B harus kembali menjual barang X tersebut kepada A secara tunai seharga Rp. 100 juta. Dalam terminology fiqih, kasus diatas disebut bai’al’inah.dan hal ini haram untuk dilakukan. Two in one, adalah kondisi dimana suatu transaksi diwadahi oleh dua akad sekaligus, sehingga terjadi ketidakpastian (gharar) mengenai akad mana yang harus digunakan (berlaku). Dalam terminology fiqih, kejadian ini disebutshafqatain fi al-shafqah. Two in one terjadi apabila, objek sama, pelaku sama, dan jangka waktu sama. Menggabungkan dana proyek dengan harta pribadi. Menjalankan proyek musyarakah dengan pihak lain tanpa izin pemilik modal lainnya. Memberi pinjaman kepada pihak lain. Setiap pemilik modal dapat mengalihkan penyertaan atau digantikan oleh pihak lain. Salah satu pihak menarik diri dari perserikatan, krena menurut pakar fiqh, akad perserikatan itu tidak bersikat mengikat, dalam artian tidak boleh dibatalkan. Salah satu pihak yang berserikat meninggal dunia. Salah satu pihak yang berserikat menjadi tidak cakap hukum (seperti gila yang sulit disembuhkan). Salah satu pihak murtad (keluar dari agama Islam) dan melarikan diri ke negeri yang berperang dengan negeri muslim; karena orang seperti ini dianggap telah wafat. MACAM-MACAM AL MUSYARAKAH Musyarakah kepemilikan Tercipta karena warisan, wasiat atau kondisi lainya yang mengakibatkan pemilik satu dimiliki oleh dua orang atau lebih. Dalam musyarakah ini, kepemilikan dua orang atau lebih dalam sebuah aset nyata dan berbagi pula dari keuntungan yang dihasilkan aset tersebut. musyarakah akad Tercipta karena adanya kesepakatan dua orang atau lebih setuju bahwa tiap orang dari mereka memberikan modal musyarakah dan sepakat berbagi keuntungan dan kerugian. Al muyarakah ini terdapat lima macam, yaitu: Syirkah al inan yaitu para pihak yang mencampurkan modal yang tidak sama misalnya Rp. X dicampur dengan Rp. Y. Sehingga keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan nisbah. Sedangkan, kerugian dibagi berdasarkan besarnya proporsi modal yang ditanamkan dalam syirka tersebut. Syirkah mufawadha yaitu para pihak yang mencampurkan modal yang sama, misalnya Rp. X dicampur dengan Rp. X.  Sehingga keuntungan serta kerugian yang dibagi masing-masing pihak jumlahnya sama. Syirka al-A’maal/ Abdan yaitu para pihak yang mencampurkan modal yang sama tetapi berupa jasa misalnya dua orang arsitek yang menggarap sebuah proyek maka, keuntungan dibagi menurut nisbah yang disepakati oleh pihak-pihak yang berserikat. Sedangkan kerugian, kedua belah pihak sama-sama menanggung yaitu dalam bentuk hilangnya segala jasa yang telah dikonstribusikan. Syirkah Wuju yaitu kontrak dua orang ataua lebih yang memiliki reputasi dan prestise baik serta ahli dalam bisnis, mereka membeli barang secara kredit dari satu perusahaan dan menjual barang tersebut secara tunai. Jenis al-musyarakah ini tidak memerlukan modal karena pembelian secara kredit berdasarkan jaminan tersebut. Karenanya, kontrak ini pun lazim disebut musyarakah piutang. Keuntungan dibagi berdasararkan keputusan nisbah masing-masing pihak. Sedangkan kerugian, hanya pemilik modal saja yang menanggung kerugian financial yang terjadi. Pihak yang menyumbangkan reputasi/nama baik, tidak perlu menanggung kerugian financial, karena tidak mnyumbangkan modal financial apapun. Namun demikian, pada dasarnya ia tetap menanggung kerugian pula., yakni jatuhnya reputasi/nama baik. Syirkah mudharabah yaitu yirkah yang apabila terjadi keuntungan maka dibagi hasil sesuai nisbah yang disepakati kedua belah pihak yaitu pemilik modal serta pelaku usaha. Namun, apabila rugi maka akan terjadi perbedaan yaitu penyandang modal (shahib al-maal) = berupa kerugian financial, sedangkan pihak yang meengkonstribusi jasa (mudharib) = berupa hilangnya waktu dan usaha yang selama ini sudah ian kerahkan tanpa mendapatkan imbalan apapun. Biasanya pembahasan  syirkah mudharabah akan mendapatkan tersendiri secara lebih terperinnci menurut para ulama. APLIKASI DALAM PERBANKAN Pembiayaan Proyek Al- Musyarakah biasanya diaplikasikan untuk pembiayaan proyek di mana nasabah dan bank sama – sama menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut. Setelah proyek itu selesai, nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah di sepakati untuk Bank. Modal Ventura Pada lembaga keuangan khusus yang dibolehkan melakukan investasi dalam kepemilikan perusahaan, al- musyarakah di terapkan dalam skema modal ventura. Penanaman modal dilakukan jangka waktu tertentu dan setelah dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati untuk Bank. BAB IX MUDHARABAH ( Kerjasama Bagi Hasil ) Pengertian Salah satu bentuk kerjasama anatara pemilik modal dengan seseorang, yang pakar dalam berdagang, di dalam fiqh islam disebut dengan mudharobah, yang oleh ulama fiqh Hijaz menyebutnya dengan qiradh. Secara termonologi, para ulama fiqh mendefinisikan mudharobah atau qiradh dengan . Pemilik modal menyerahkan modalnya kepada pekerja (pedagang) untuk diperdagangkan, sedangkan keuntungan dagang itu menjadi milik bersama dan dibagi menurut kesepakatan bersama. Apabila terjadi kerugian dalam perdagangan itu, kerugian ini ditanggung sepenuhnya oleh pemilik modal. Definisinya ini menunjukan bahwa yang diserahkan kepada pekerja (pakar dagang) itu adalah berbentuk modal, bukan manfaat seperti penyewaan rumah. Hukum Mudharobah dan dasar hukumnya Akad mudharobah dibolehkan dalam islam, karena bertujuan untuk saling membantu antara pemilik modal dengan seorang pakar dalam memutarkan uang. Banyak di antara pemilik modal yang tidak pakar dalam mengelola dan memproduktifkan uangnya, sementara banyak pula para pakar di bidang perdagangan yang tidak memiliki modal untuk berdagang. Atas dasar saling menolong dalam pengelolaan modal itu, Islam memberikan kesempatan untuk saling bekerja sama antara pemilik modal dengan seseorang yang terampil dalam mengelola dan memproduktifkan modal itu. Alasan yang dikemukakan para ulama fiqh tentang keboleh-an bentuk kerja sama ini adalah firman Allah dalam surat al-Muzzammil, 73: 20 yang berbunyi: …dan sebagian mereka berjalan di buki mencari karunia Allah… Kedua ayat di atas, secara umum mengandung kebolehan akad mudharabah, yang secara bekerja sama mencari rezeki yang ditebarkan Allah di atas bumi. Kemudian sabda Rasulullah SAW dijumpai sebuah riwayat dalam kasus mudharabah yang dilakukan oleh ‘Abbas ibn ‘Abd al-Muthalib yang artinya: Tuhan kami ‘Abbas ibn ‘Abd al-Muthalib jika menyerahkan hartanya (kepada seseorang yang pakar dalam perdagangan) melalui akad mudharobah, dia mengemukakan syarat bahwa harta itu jangan diperdagangkan melalui lautan, juga jangan menempuh lembah-lembah, dan tidak boleh diberikan hewan ternak yang sakit tidak dapat bergerak/berjalan. Jika (ketiga) hal itu dilakukan, maka pengelola modal dikenai ganti rugi. Kemudian syarat yang dikemukakan ‘Abbas ibn ‘Abd al-Muthalib ini sampai kepada Rasulullah SAW, dan Rasul membolehkannya. (HR ath-Thabrani). Rukun dan Syarat mudharabah Terdapat perbedaan pandangan ulama Hanafiyah jumhur ulama dalam menetapkan rukun akad mudharabah. Ulama Hanafiyah, menyatakan  bahwa rukun mudharabah adalah ijab dan qobul. Sedangkan menurut jumhur ulama ada tiga, yaitu : Orang yang berakad ( shahibul maal dan pengelola ) Modal, pekerjaan, dan keuntungan Shigat ( ijab qabul) Adapun syarat – syarat mudharabah, sesuai dengan rukun yang dikemukakan jumhur ulama di atas adalah: Yang terkait dengan orang yang melakukan akad, harus orang yang mengerti hukum dan cakap diangkat sebagai wakil, karena pada satu sisi posisi orang yang akan mengelola modal adalah wakil dari pemilik modal. Itulah sebabnya, syarat – syarat seorang wakil juga berlaku bagi pengelola modal dalam akad mudharabah. Yang terkait dengan modal, disyaratkan: berbentuk uang, jelas jumlahnya, tunai, diserahkan sepenuhnya kepada pedagang/pengelola modal. Oleh sebab itu, jika modal itu berbentuk barang, menurut ulama fiqh tidak dibolehkan, karena sulit untuk menentukan keuntungannya. Demikian halnya juga dengan utang, tidak boleh dijadikan modal mudharabah. Akan tetapi, jika modal itu berupa wadi’ah (titipan) pemilik modal pada pedagang, boleh dijadikan modal mudharabah. Apabila modal itu tetap dipegang sebagiannya oleh pemilik modal, dalam artian tidak diserahkan seluruhnya, menurut ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah, akad mudharabah tidak sah. Akan tetapi, ulama Hanabilah menyatakan boleh saja sebagian modal itu berada di tangan pemilik modal, asal tidak menganggu kelancaran usaha itu. Yang terkait dengan keuntungan, disyaratkan bahwa pembagian keuntungan harus jelas dan bagian masing – masing diambilkan dari keuntungan dagang itu, seperti setengah, sepertiga, atau seperempat. Aqpabila pembagian keuntungan tidak jelas, menurut ulama Hanafiyah, akad itu fasid (rusak). Demikian juga halnya apabila pemilik modal mensyaratkan bahwa kerugian ditanggung bersama, menurut ulama Hanafiyah, syarat seperti ini batal dan kerugiaan tetap ditanggung sendiri oleh pemilik modal. Atas dasar syarat – syarat di atas, ulama Hanafiyah membagi bentukbakad mudharabah kepada dua bentuk, yaitu mudharabah shahihah ( mudharabah yang sah ) dan mudharabah fasidah ( mudharabah yang rusak ). Jika mudharabah yang dilakukan itu jatuh kepada fasid, menurut ulama Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, pekerja hanya berhak menerima upah kerja sesuai dengan upah yang berlaku dikalangan pedagang di daerah itu, sedangkan seluruh keuntungan menjadi milik pemilik modal. Ulama Malikiyah menyatakan bahwa dalam mudharabah fasidah, status pekerja tetap seperti dalam mudharabah shahihah, dalam artian bahwa ia tetap mendapatkan bagian keuntungan. Macam-macam Mudharabah Dilihat dari segi transaksi yang dilakukan pemilik modal dengan pekerja, para ulama fikih membagi akad mudharabahkepada dua bentuk, yaitu mudharabah muthlaqah (penyerahan modal secara mutlak, tanpa syarat dan batasan) dan mudharabah muqqayadah (penyerahan modal dengan syarat dan batasan tertentu). Dalam mudharabah muthlaqah, pekerja diberi kebebasan untuk mengelola modal itu selama profitable. Sedangkan, dalam mudharabah muqayyadah, pekerja mengikuti ketentuan-ketentuan yang diajukan oleh pemilik modal. Misalnya, pemberi modal menentukan barang dagangan, lokasi bisnis dan suppliernya. Jika suatu akad mudharabah telah memenuhi rukun dan syaratnya, maka mempunyai akibat sebagai berikut : Modal ditangan pekerja berstatus amanah, dan posisinya sama dengan posisi seorang wakil dalam jual beli. Pekerja berhak atas bagian keuntungan yang dihasilkan. Apabila akad ini berbentuk mudharabah muthlaqah, pekerja bebas mengelola modal selama profitable. Jika kerja sama itu menghasilkan keuntungan, maka pemilik modal mendapatkan keuntungan an modalnya, tetapi jika tidak menghasilkan keuntungan, pemilik modal tidak mendapatkan apa-apa. BAB X Wakala PENGERTIAN Wakalah menurut bahasa ada beberapa makna, antara lain, hifzh(menjaga), tafwidh (menyerahkan, mendelegasikan dan memberikan mandat) dan  i’timad (bersandar). Wakalah menurut istilah adalah permintaan seseorang kepada orang lain agar menjadi wakilnya dalam sesuatu yang bisa diwakili. Pengertian mewakilkan bukan berarti seorang wakil dapat bertindak semaunya, akan tetapi si wakil berbuat sesuai dengan yang diinginkan oleh orang yang memberi kewenangan tersebut. Akan tetapi kalau orang yang mewakilkan tersebut tidak memberi batasan atau aturan-aturan tertentu, maka menurut Abu Hanifah si penerima wakil dapat berlaku sesuai dengan yang diinginkan dan dia diberikan kebebasan untuk melakukan sesuatu. Jika perwakilan tersebut bersifat terikat, maka wakil berkewajiban mengikuti apa saja yang telah ditentukan oleh orang yang mewakilkan, ia tidak boleh menyalahinya. Menurut Madzhab Imam Syafi’i, apabila yang mewakili menyalahi aturan yang telah disepakati ketika akad, penyimpangan tersebut dapat merugikan pihak yang mewakilkan, maka tindakan tersebut batal. DASAR HUKUM WAKALAH Menurut agama Islam, seseorang boleh mendelegasikan suatu         tindakan tertentu kepada orang lain dimana orang lain itu bertindak atas        nama pemberi kuasa atau yang mewakilkan sepanjang hal-hal yang            dikuasakan itu boleh didelegasikan oleh agama. Dalil yang dipakai untuk    menunjukkan kebolehan itu, antara lain : Al-Qur’an “jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang[1] (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Baqarah 283). Al-Hadits Banyak hadits yang dapat dijadikan landasan keabsahan Wakalah, diantaranya: “Bahwasanya Rasulullah mewakilkan kepada Abu Rafi’ dan seorang Anshar untuk mewakilkannya mengawini Maimunah binti Al Harits”. HR. Malik dalam al-Muwaththa’) “Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”(HR Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf). Dalam kehidupan sehari-hari, Rosulullah telah mewakilkan kepada orang lain untuk berbagai urusan. Diantaranya adalah membayar hutang, mewakilkan penetapan had dan membayarnya, mewakilkan pengurusan unta, membagi kandang hewan, dan lain-lain. Ijma’ Para ulama pun bersepakat dengan ijma’ atas diperbolehkannyaWakalah. Mereka bahkan ada yang cenderung mensunahkannya dengan alasan bahwa hal tersebut termasuk jenis ta’awun atau tolong-menolong atas dasar kebaikan dan taqwa. Tolong-menolong diserukan oleh Al-Qur’an dan disunahkan oleh Rasulullah. Allah berfirman : “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya. (QS Al-Maidah:2) Dan Rasulullah pun bersabda “Dan Allah menolong hamba selama hamba menolong saudaranya”. RUKUN DAN SYARAT WAKALAH Rukun wakalah adalah sebagai berikut : Muwakil (Pemberi kuasa) Wakil (Penerima kuasa) Muwakkal fih (Sesuatu yang diwakilkan) Sighat (Lafaz mewakilkan) Sedangkan syarat – syarat wakalah adalah : Bagi pemberi kuasa, ia adalah pemilik barang atau di bawah kekuasaannya dan dapat bertindak pada harta tersebut. Jika yang memberi kuasa bukan pemilik, wakalah tersebut batal. Bagi penerima kuasa, ia adalah orang yang berakal. Bila seorang wakil itu idiot, gila atau belum dewasa, maka perwakilan tersebut batal. Syarat – syarat sesuatu yang diwakilkan adalah : Sesuatu yang bisa diwakilkan. Seperti, jual beli, gadai, pinjam meminjam dan sewa. Diketahui dengan jelas, maka batal mewakilkan sesuatu yang masih samar. Seperti, seorang berkata : “Aku jadikan engkau sebagai wakilku untuk mengawinkan salah seorang anakku.” MACAM-MACAM WAKALAH Wakalah terbagi menjadi, muthlaq dan muqayyad. Wakalah muqayyad adalah wakalah dimana muwakil membatasi tindakan wakil dan menentukan cara melaksanakan tindakan tersebut. Misalnya, “Aku wakilkan padamu untuk menjual rumahku ini dengan harga sekian”. Wakalah muthlaq adalah wakalah yang terbebas dari setiap batasan. Misalnya, “Aku wakilkan padamu untuk menjual rumahku”. Maka wakil dapat menjualnya dengan harga layak dan tidak terbatas dengan harga tertentu. MEWAKILKAN UNTUK JUAL BELI Seseorang mewakilkan orang lain untuk menjual sesuatu tanpa adanya ikatan harga tertentu, pembayarannya tunai atau berangsur, di kampung atau di kota, maka wakil tidak boleh menjualnya dengan seenaknya saja. Dia harus menjual dengan harga pada umumnya sehingga dapat dihindari ghubun (kecurangan), kecuali penjualan tersebut diridhai oleh yang mewakilkan. Jika perwakilan bersifat terikat, wakil berkewajiban mengikuti apa saja yang telah ditentukan oleh orang yang mewakilkan. Ia tidak boleh menyalahinya, Bila dalam persyaratan ditentukan bahwa benda itu harus dijual dengan harga Rp 10.000,00 maka harus dijual dengan harga Rp 10.000,00. Bila yang mewakili menyalahi aturan – aturan yang telah disepakati ketika akad, penyimpangan tersebut dapat merugikan pihak yang memberi kuasa, maka perbuatan tersebut bathil menurut pandangan madzhab Syafi’i. Menurut  Hanafi tindakan itu tergantung pada kerelaan orang yang mewakilkan, jika yang mewakilkan membolehkannya maka menjadi sah, bila tidak, maka menjadi batal.  BERAKHIRNYA AKAD WAKALAH Akad perwakilan berakhir dengan hal – hal berikut ini : Kematian atau kegilaan salah satu dari dua orang yang berakad. Diantara syarat – syarat perwakilan adalah kehidupan dan keberadaan akal. Apabila terjadi kematian atau kegilaan maka perwakilan telah kehilangan sesuatu yang menentukan kesahannya. Diselesaikan pekerjaan yang dituju dalam perwakilan. Apabila pekerjaan yang dituju telah selesai maka perwakilan tidak lagi berarti. Pemecatan wakil oleh muwakil, meskipun wakil tidak mengetahuinya. Sementara menurut madzhab Hanafi, wakil harus mengetahui pemecatan. Sebelum dia mengetahui pemecatan, tindakan – tindakannya sama dengan tindakan – tindakannya sebelum pemecatan dalam semua hukum. Pengunduran diri wakil. Keluarnya muwakkal fih dari kepemilikan muwakil APLIKASI WAKALAH DALAM INSTITUSI KEUANGAN    Akad Wakalah dapat diaplikasikan ke dalam berbagai bidang, termasuk dalam bidang ekonomi, terutama dalam institusi keuangan: Transfer uang Proses transfer uang ini adalah proses yang menggunakan konsep akad Wakalah, dimana prosesnya diawali dengan adanya permintaan nasabah sebagai muwakkil terhadap bank sebagai wakiluntuk melakukan perintah/permintaan kepada bank untuk mentransfer sejumlah uang kepada rekening orang lain, kemudian bank mendebet rekening nasabah (Jika transfer dari rekening ke rekening), dan proses yang terakhir yaitu dimana bank mengkreditkan sejumlah dana kepada rekening tujuan. Berikut adalah beberapa contoh proses dalam transfer uang ini : Transfer uang melalui cabang suatu bank Dalam proses ini, muwakkil memberikan uangnya secara tunai kepada bank yang merupakan wakil, namun bank tidak memberikannya secara langsung kepada nasabah yang dikirim. Tetapi bank mengirimkannya kepada rekening nasabah yang dituju tersebut. Transfer melalui ATM Kemudian ada juga proses transfer uang dimana pendelegasian untuk mengirimkan uang, tidak secara langsung uangnya diberikan dari muwakkil kepada bank sebagai wakil. Dalam model ini, muwakkilmeminta bank untuk mendebet rekening tabungannya, dan kemudian meminta bank untuk menambahkan di rekening nasabah yang dituju sebesar pengurangan pada rekeningnya sendiri. Yang sangat sering terjadi saat ini adalah proses yang kedua ini, dimana nasabah bisa melakukan transfer sendiri melalui mesin ATM. Letter Of Credit Import Syariah  Akad untuk transaksi Letter of Credit Import Syariah ini menggunakan akad wakalah bil ujrah. Hal ini sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 34/DSN-MUI/IX/2002. AkadWakalah bil Ujrah ini memiliki definisi dimana nasabah memberikan kuasa kepada bank dengan imbalan pemberian ujrah atau fee. Namun ada beberapa modifikasi dalam akad ini sesuai dengan situasi yang terjadi. Akad wakalah bil Ujrah dengan ketentuan: Importir harus memiliki dana pada bank sebesar harga pembayaran barang yang diimpor. Importir dan Bank melakukan akad wakalah bil Ujrah untuk pengurusan dokumen-dokumen transaksi impor. Besar ujrah harus disepakati diawal dan dinyatakan dalam bentuk nominal, bukan dalam bentuk prosentase. Letter Of Credit Eksport Syariah Akad untuk transaksi Letter of Credit Eksport Syariah ini menggunakan akad wakalah. Hal ini sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 35/DSN-MUI/IX/2002. Akad wakalah ini memiliki definisi dimana bank menerbitkan surat pernyataan akan membayar kepada eksportir untuk memfasilitasi perdagangan eksport. Namun ada beberapa modifikasi dalam akad ini sesuai dengan sutuasi yang terjadi. Akad wakalah bil ujrah dengan ketentuan : Bank melakukan pengurusan dokumen-dokumen ekspor. Bank melakukan penagihan (collection) kepada bank penerbit L/C  (issuing bank), selanjutnya dibayarkan kepada eksportir setelah dikurangi ujrah. Besar ujrah harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk nominal, bukan dalam presentase. BAB XI GADA Pengertian Rahn Menurut bahasa, gadai/ ar-rahn (الرهن) berarti al-stubut dan al-habs yaitu penetapan dan penahanan. Ada pula yang menjelaskan bahwa rahn (الرهن) adalah terkurung atau terjerat. Menurut istilah syara’, yang dimaksut dengan rahn adalah: Akad yang objeknya menahan harga terhadap sesuatu hak yang mungkin    diperoleh bayaran dengan sempurna darinya. Menjadikan suatu benda berharga dalam pandangan syara’ sebagai jaminan hutangselama ada dua kemungkinan, untuk mengembalikan uang itu atau mengambil sebagian benda itu. Gadai adalah suatu barang yang dijadikan peneguhan atau penguat kepercayaan dalam hutang-piutang. Gadai ialah menjadikan suatu benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan hutang, dengan adanya benda yang menjadi tanggungan itu seluruh atau sebagian hutang dapat diterima. Ulama fiqih berbeda pendapat dalam mendefinisikan rahn : Menurut ulama Syafi’iyah: Menjadikan suatu benda sebagai jaminan hutang yang dapat dijadikan pembayar ketika berhalangan dalam membayar hutang. Menurut ulama Hanabilah : Harta yang dijadikan jaminan hutang sebagai pembayar harga (nilai) hutang ketika yang berutang berhalangan (tidak mampu membayar) hutangnya kepada pemberi pinjaman. Sifat Rahn Secara umum rahn dikatagorikan sebagai akad yang bersifat derma sebab apa yang diberikan penggadai (rahin) kepada penerima gadai (murtahin) tidak ditukar dengan sesuatu. Yang diberikan murathin kepada rahn adalah uang. Bukan penukar atas barang yang digadaikan. Rahn juga termasuk akad yang bersifat ‘ainiyah, yaitu dikatakan sempurna apabila sudah menyerahkan benda yang dijadikan akad, seperti hibah, pinjam meminajam, titipan dan qirad. Dasar  Hukum Rahn Sebagai referensi atau landasan hukum pinjam-meminjam dengan jaminan  (brog) adalah firman Allah Swt. وَإِن كُنتُمْ عَلَىٰ سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ ۖ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَه وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ ۗ وَلَا تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ ۚ وَمَن يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آثِمٌ قَلْبُهُ ۗ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ ُ “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah secara tidak tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang ( oleh berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya ( Al-Baqarah 283).” Syaikh Muhammad Ali as-sayis berpendapat, bahwa ayat Al-Qur’an tersebut adalah petunjuk untuk menerapkan prinsip kehati-hatian bila seseorang hendak melakukan transaksi utang-piutang yang memakai jangka waktu dengan orang lain, dengan cara menjaminkan sebuah barang kepada orang yang berpiutang rahn (الرهن). Diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari, Nasai, dan Ibnu Majah dari Anas r.a berkata: عَنْ أَنَسٍ – رضى الله عنه – قال : لَقَدْ رَهَنَ النَّبِىُّ – صل الله عليه وسلم – دِرْعًا لَهُ بِالْمَدِينَةِ عِنْدَ يَهُودِىٍّ وَأَخَذَ مِنْهُ شَعِيرًا ، ى  “ Rasullah Saw, telah meruguhkan baju besi beliau kepada seorang Yahudi di Madinah, sewaktu beliau menghutang syair (gandum) dari orang Yahudi itu untuk keluarga itu untuk keluarga beliau”. (HR. Ahmad, Bukhari, Nasai, dan Ibnu Majah). Dari hadist tersebut dapat dipahami bahwa bermualah dibenarkan juga dengan non-muslim dan harus ada jaminan sebagai pegangan, sehingga tidak ada ke khawatiran bagi yang memberi  piutang. Para ulama’ semua berpendapat, bahwa perjanjian gadai hukumnya mubah (boleh). Dan itu termuat dalam DNS Nomor: 25/DSN-MUI/III/2002, Namun ada yag berpegang pada zahir ayat, yaitu gadai hanya diperbolehkan dalam keadaan berpergian saja, seperti paham yang di anut oleh Madhab Zahiri, Mujahid dan al-Dhahak. Sedangkan jumhur (kebanyakan ulama) membolehkan gadai, baik dalam keadaan berpergian maupun tidak, seperti yang pernah dilakukan oleh Rasulullah di Madinah, seperti telah disebutkan dalam hadist di atas.  Rukun dan Syarat Gadai Gadai atau pinjaman dengan jaminan suatu benda memiliki beberapa rukun, antara lain yaitu: Akad dan ijab Kabul Aqid, yaitu orang yang menggadaikan (rahin) dan yang menerima gadai (murtahin). Adapun syarat yang berakad adalah ahli tasyarruf, yaitu mampu membelanjakan harta dan dalam hal ini memahami persoalan-persoalan yang berkaitan dengan gadai. Menurut ulama Syafi’iyah ahliyah adalah orang yang telah sah untuk jual beli, yakni berakal dam mumyyis, tetapi tidak disyaratkan harus baligh. Barang yang dijadikan jaminan (borg), syarat pada benda uyang dijadikan jaminan ialah keadaan barang itu tiddak rusak sebelum janji utang harus dibayar. Rosul bersabda: “Setiap barang yang boleh diperjual belikan boleh dijadikan barang gadai” Ada hutang, disyaratkan keadaan hutang telah tetap. Menurut ulam Hanafiyah mensyaratkan marhun, antara lain: Dapat diperjual belikan Bermanfaat Jelas Milik rahin Bisa diserahkan Tidak bersatu dengan harta lain Dipegang oleh rahin Harta yang tetap atau dapat dipindahkan. Menurut Sayyid Sabiq bahwa gadai itu baru dianggap sah apabila memenuhi empat syarat, yaitu: Orangnya sudah dewasa. Berpikiran sehat. Barang yang akan digadaikan sudah ada pada saat terjadi akad gadai dan barang gadaian itu  dapat diserahkan/diserahkan kepada penggadai. Barang atau benda yang dapat dijadikan jaminan itu dapat berupa emas, berlian dan benda bergerak lainnya dan dapat pula surat-surat berharga ( surat tanah atau surat rumah). Pengambilan Manfaat Barang Gadai Dalam pengambilan manfaat barang-barang yang digadaikan para ulama’ berbeda pendapat, diantara jumhur fuqaha dan ahmad. Jumhur fuqoha berpendapat bahwa murtahin tidak boleh mengambil suatu manfaat barang-barang gadaian tersebut, sekalipun rahin mengizinkannya, karena hal ini termasuk kepada utang yang terdapat menarik manfaat, sehingga bila dimanfaatkan termasuk riba. Rasul bersbada: “Setiap orang yang menarik manfaat adalah termasuk riba” ( riwayat Harits bin Abi Usamah). Menurut Imam Ahmad, Ishak, al-Laits, dan al-Hasan, jika barang gadaian berupa kendaraan yang dapat dipergunakan atau binatang ternak yang dapat diambil susunya, maka penerima gadai dapat mengambil manfaat dari kedua benda tersebut disesuaikan dengan biaya pemeliharaan yang dikeluarkan selama kendaraaan atau binatang itu ada padanyaJika dia dibiayai oleh pemiliknya, maka pemilik uang tetap tidak boleh menggunakan barang gadai tersebut. Rasul bersabda: الظَّهْرُ يُرْكَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَب ُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِى يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ نَفَقَتُهُ “ Binatang tunggangan boleh ditunggangi karena pembiyayaannya apabila digadaikan, binatang boleh diambil susunya untuk diminum karena pembiyayaannya, bila digadaikan bagi orang yang memegang dan meminumnya wajib memberikan biaya”. Pengambilan manfaat pada benda-benda gadai tersebut ditekankan pada biaya atau tenaga untuk pemeliharaan sehingga bagi yang memegang barang-barang gadai punya kewajiban tambahan. Pemegang barang gadai berkewajiban memberikan makanan bila barang gadaian itu adalah hewan. Harus membelikan bensin bila pemegang barang gadaian berupa kendaraan. Jadi yang di bolehkan disini adalah adanya upaya pemeliharaan terhadap barang gadaian yang ada pada dirinya. Pandangan Ulama Mengenai Rukun gadai Rukun gadai menurut Abd al-Rahman al-Jaziri ada tiga yaitu Aqid, Maqud alaih (yang diakadkan), Shighat (akad gadai). Ibnu Rusyd dalam kitabnya menjabarkan secara detil mengnai rukun gadai beserta pendapat para imam madzhab. Ia mengatakan rukun gadai terdiri dari tiga bagian: Pertama: Orang yang menggadaikan Tidak ada perselsihan bahwa di antara sifat-sifat orang yang menggadaikan adalah mahjur alaih dan dikenal sebagai biasa melunasi hutang. Washi (orang yang dipesan untuk mengurus wasiat) boleh menggadaikan untuk kepentingan orang yang berada dalam kekuasaanya manakala tindakan tersebut untuk melunasi hutang dan memang diperlukan, pendapat ini dikemukakan oleh imam Malik. Menurut Syafi’i, washi dibolehkan menggadaikan karena ada kepentingan yang jelas. Menurut Malik, budak mukatab (budak yang berupaya memerdekakan dirinya dengan cara mencicil) dan orang yang diberi izin boleh menggadaikan. Menurut Sahnun, jika seseorang menerima gadai karena harta yang dihutangkan maka hal itu tidak boleh, maka dalam hal ini Syafi’i juga mengemukakan pendapat yang sama. Malik dan Syafi’i sependapat bahwa orang bangkruttidak boleh menggadaikan, namun Abu Hanifah membolehkan bersamaan dengan itu tidak ada pendapat yang tegas dari Malik berkenaan dengan orang yang habis hartanya karena hutang, apakah ia boleh menggadaikan? Dalam arti, apakah perbuatannya itu mengikat atau tidak? Menurut pendapat Malik yang terkenal ia tidak boleh menggadaikan, yakni sebelum ia menjadi bangkrut. Kedua: Akad gadai Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa transaksi gadai itu bisa sah dengan memenuhi tiga syarat. Pertama, harus berupa barang, karena hutang tidak bisa digadaikan. Kedua, kepemilikan barang yang digadaikan tidak terhalang, seperti mushaf. Malik membolehkan penggadaikan mushaf, tetapi penerima gadai dilarang membacanya. Perselisihan dalam hal ini berpangkal pada jual beli. Ketiga, barang yang digadaikan bisa dijual manakala pelunasan hutang itu sudah jatuh tempo. Menurut imam Malik menggadaikan barang yang tidak boleh dijual, itu boleh, seperti tanaman tani dan buah-buahan yang belum layak dipetik. Jika sudah layak dipetik, maka menurut Malik boleh dijual untuk melunasi hutang yang sudah jatuh tempo. Tentang penggadaian buah yang belum layak dipanen, dari Syafi’i ada dua pendapat, boleh menggadaikan, dan jika masa hutang sudah jatuh tempo, maka buah tersebut bisa dijual dengan syarat dipetik. Menurut Abu Hamid, pendapat yang paling benar adalah yang membolehkan. Bagi Malik menggadaikan barang yang belum jelas nilainya seperti dinar dan dirham yang sudah dicetak, itu boleh. Menurut Malik dan Syafi’i, kepemilikan penggadai atas barang yang digadaikan tidak menjadi syarat gadai. Bahkan keduanya membolehkan barang gadaian itu berstatus pinjaman. Para fuqaha sepakat bahwa di antara syarat gadai adalah ikrar penggadaian bahwa barang gadaian harus berada di tangan penerima gadaian. Kemudian mereka berselisih pendapat apabila penerima gadai menerima barang tersebut dengan cara merampas, kemudian orang yang dirampas barangnya itu menyatakan barang tersebut sebagai barang gadai an yang ada di tangannya. Dalam hal ini imam Malik membolehkan pemindahan barang yang dirampas itu dari tanggungan ghashab menjadi tanggungan gadai. Orang yang dirampas barangnya itu menganggap barangnya tersebut sebagai barang gadai di tangan perampas, sebelum ia menerima barang itu. Berbeda dengan Malik, maka menurut Syafi’i, tidak boleh, bahkan barang itu tetap berada dalam tanggungan ghashab, kecuali jika orang yang dirampas menerima kembali barangnya. Dalam kaitan ini pula fuqaha pun berselisih pendapat tentang penggadaian bagian barang dari milik bersama. Menurut Abu Hanifah tidak boleh, tetapi menurut Malik dan Syafi’i boleh. Ketiga: Barang yang digadaikan Aturan pokok dalam madzhab Maliki bahwa gadai itu dapat dilakukan untuk semua barang yang berharga dan dapat diperjual belikan kecuali jual beli mata uang itu harus tunai. Karena itu, sharf tidak bisa menjadi transaksi gadai. Begitu pula modal salam, meski pun menurut Malik, lebih ringan dibanding sharf. Sekelompok fuqaha zahiri berpendapat bahwa akad gadai hanya berlaku pada barang pesanan. Demikian itu karena ayat yang berkenaan dengan gadai itu menjelaskan posisi utang piutang barang dagangan, dan menurut mereka, itu transaksi pesanan. Menurut madzhab Maliki dibolehkan mengambil gadai pada salam hutang, ghashab harga barang-barang konsumsi, denda tindak kriminal pada harta benda, serta pada tindak penganiayaan secara sengaja yang tidak ada qishashnya, seperti al-Ma’mumah dan al-Jaifah. Gadai juga dibolehkan pada barang pinjaman yang diboleh tanggungan dan tidak dibolehkan pada barang pinjaman yang tidak di bawah tanggungan. Gadai juga di bolehkan pada sewa menyewa. Dibolehkan pula pada upah jasa sesudah bekerja, bukan sebelumnya. Demikian pula gadai bisa diadakan pada mas kawin tetapi tidak boleh pada hudud, qishash atau proses kemerdekaan budak. Dalam hubungan ini menurut pendapat ulama Syafi’iyah, barang yang digadaikan itu memiliki tiga syarat. Pertama, berupa hutang karena barang hutangan itu tidak dapat digadaikan. Kedua, menjadi tetap, karena sebelum tetap tidak dapat digadaikan, seperti jika seseorang menerima gadai dengan imbalan sesuatu dengan yang dipinjamnya. Tetapi Malik membolehkan hal ini. Ketiga, barang yang digadaikan tidak sedang dalam proses pembayaran yang akan terjadi, baik wajib atau tidak seperti gadai dalam kitabah. Pendapat ini mirip dengan madzab Maliki. Perbedaan dan Persamaan Gadai Syariah dan Gadai Konvesonal   pengertian  Pegadaian Syari’ah Gadai dalam fiqh gadai (rahn) adalah prjanjian suatu barang sebagai tanggungan hutang, atau menjadikan suatu benda bernilai menutrut pandangan syara sebagai tanggungan pinjaman, sehingga dengan adanya tanggungan utang ini seluruh atau sebagian utang dapat diterima. Pegadaian Konvensional Pegadaian Konvensional (Umum) adalah suatu  hak yang diperbolehkan seseorang yang mempunyai pitutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang yang berutang atau oleh orang lain atas nama orang yang mempunyai utang, dan yang memberikan kekuasaan kepada orang yang berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang yang berpiutang lainnya, dengan pengecualian biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelematankanya setelah barang itu digadaikan. Persamaan Gadai Konvensional dengan Gadai Syariah Persamaan gadai konvensional dengan gadai syariah adalah seperti berikut: Hak gadai berlaku atas pinjaman uang; Adanya agunan (barang jaminan) sebagai jaminan utang; Barang yang digadaikan di tanggung pemberi gadai; Apabila batas waktu pinjaman uang telah habis , barang yang di gadaikan bole di jual atau di lelang Perbedaan gadai syariah dengan gadai konvensiaonal Perbedaan gadai syariah dengan gadai konvensional adalah sebagai berikut: Gadai syariah dilakukan secara suka rela tanpa mecari keuntungan, seadangakn gadai konvensional dilakukan dengan prinsip tolong- menolong tetapi juga menarik keuntungan. Hak gadai syariah berlaku pada seluruh harta (beda bergerak dan benda tidak bergerak) Gadai syariah dilaksanakan melakukan suatu lembaga, sedangkan gadai konvensional dilaksanakan melalui suatu lembaga (perum pegadaian) Perlakuan Bunga dan Riba dalam Perjanjian Gadai Aktivitas perjanjian gadai yang selama ini telah berlaku, yang pada dasranya adalah perjanjian utang-piutang, dimungkinkan terjadi riba yang dilarang oleh syara’. Riba terjadi apabila dalam perjanjian gadai ditemukan bahwa harus memberikan tambahan sejumlah uang atau prosentase tertentu dari pokok utang, pada waktu membayar utang atau pada waktu lain yang telah ditentukan oleh murtahin ( مرتحن ). Hal ini lebih sering disebut bunga gadai dan perbuatan yang dilarang syara’. Karena itu aktivitas perjajian gadai dalam Islam tidak membenarkan adanya praktik pemungutan bunga karena larangan syara’, dan pihak yang terbebani, yaitu pihak penggadai akan merasa dianiaya dan tertekan, karena selain harus mengembalikan utangnya, dia juga masih berkewajiban untuk membayar bunganya. Kondisi saat ini, gadai sudah menjadi lembaga keuangan formal yang telah diakui oleh pemerintah. Mengenai fungsi dari penggadaian tersebut tentu sudah bersifat komersil. Artinya pegadaian harus memperoleh pendapatan guna menggantikan biaya-biaya yang telah dikeluarkan, sehingga pegadaian mewajibkan menambahkan sejumlah uang tertentu kepada nasabah sebagai imbalan jasa. Minimal biaya itu dapat menutupi biaya operasional gadai. Gadai yang ada saat ini, dalam praktiknya menunjukkan adanya beberapa hal yang dipandang memberatkan dan mengarahkan kepada suatu persoalan riba, yang dilarang oleh syara’ menurut A.A. Basyir.  Mengenai riba itu, Afzalurahman dalam Muhammad Skholikhul Hadi, memberikan pedoman bhwa yang dikatakan riba, di dalamnya terdapat tiga unsur berikut : Kelebihan dari pokok pinjaman Kelebihan pembayaran itu sebagai imbalan tempo pembayaran; Sejumlah tambahan itu di syaratkan dalam transaksi Kesimpulan Rahn adalah “Menjadikan suatu benda sebagai jaminan hutang yang dapat dijadikan pembayar ketika berhalangan dalam membayar hutang”, Rahn termasuk akad yang bersifat ‘ainiyah, yaitu dikatakan sempurna apabila sudah menyerahkan benda yang dijadikan akad, seperti hibah, pinjam meminajam, titipan dan qirad. Dalam dasar hukum gadai, ada dalil-dalil yang melandasi di perbolehkannya gadai yang bersal dari Al-Qur’an dan hadis.  Rukun gadai yaitu akad dan ijab Kabul, akid, barang yang di jadikan jaminan (borg). Syarat gadai Orangnya sudah dewasa, berpikiran sehat, barang yang akan digadaikan sudah ada pada saat terjadi akad, barang yang dapat dijadikan jaminan. Pengambilan manfaat pada barang-barang gadai seperti hewan dan kendaraan ditekankan pada biaya atau tenaga untuk pemeliharaan sehingga bagi yang memegang barang-barang gadai seperti diatas punya kewajiban tambahan. Menurut pendapat ulama Syafi’iyah, barang yang digadaikan itu memiliki tiga syarat. Pertama, berupa hutang karena barang hutangan itu tidak dapat digadaikan. Kedua, menjadi tetap, karena sebelum tetap tidak dapat digadaikan, seperti jika seseorang menerima gadai dengan imbalan sesuatu dengan yang dipinjamnya. Tetapi Malik membolehkan hal ini. Ketiga, barang yang digadaikan tidak sedang dalam proses pembayaran yang akan terjadi, baik wajib atau tidak seperti gadai dalam kitabah. Pendapat ini mirip dengan madzab Maliki. Perbedaan rahn dengan gadai yaitu gadai syariah dilakukan secara suka rela tanpa mecari keuntungan, seadangakn gadai konvensional dilakukan dengan prinsip tolong- menolong tetapi juga menarik keuntungan. Dan persamaan rahn dengan gadai yaitu adanya agunan (barang jaminan) sebagai jaminan utang. BAB XII ASURANSI Asuransi adalah sebuah akad yang mengharuskan perusahaan asuransi (muammin) untuk memberikan kepada nasabah/klien-nya (muamman) sejumlah harta sebagai konsekuensi dari pada akad itu, baik itu berbentuk imbalan, Gaji atau ganti rugi barang dalam bentuk apapun ketika terjadi bencana maupun kecelakaan atau terbuktinya sebuah bahaya sebagaimana tertera dalam akad (transaksi), sebagai imbalan uang (premi) yang dibayarkan secara rutin dan berkala atau secara kontan dari klien/nasabah tersebut (muamman) kepada perusahaan asuransi (muammin) di saat hidupnya. Berdasarkan definisi di atas dapat dikatakan bahwa asuransi merupakan salah satu cara pembayaran ganti rugi kepada pihak yang mengalami musibah, yang dananya diambil dari iuran premi seluruh peserta asuransi. Ada beberapa unsur dalam asuransi, yaitu: tertanggung, yaitu anda atau badan hukum yang memiliki atau berkepentingan atas harta benda. Dan penanggung, dalam hal ini Perusahaan Asuransi, merupakan pihak yang menerima premi asuransi dari tertanggung dan menanggung risiko atas kerugian/musibah yang menimpa harta benda yang diasuransikan. Konsep dasar asuransi yang dibenarkan syariah adalah tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan (al birri wat taqwa). Konsep tersebut sebagai landasan yang diterapkan dalam setiap perjanjian transaksi bisnis dalam wujud tolong menolong (akad takafuli) yang menjadikan semua peserta sebagai keluarga besar yang saling menanggung satu sama lain di dalam menghadapi resiko, yang kita kenal sebagai sharing of risk, sebagaimana firman Allah SWT yang memerintahkan kepada kita untuktaawun (tolong menolong) yang berbentuk al birri wat taqwa (kebaikan dan ketakwaan) dan melarang taawun dalam bentuk al itsmi wal udwan(dosa dan permusuhan). Adapun manfaat dari asuransi adalah sebagai berikut: Tumbuhnya rasa persaudaraan dan rasa sepenanggungan di antara anggota. Implementasi dari anjuran Rasulullah SAW agar umat Islam salimg tolong menolong. Jauh dari bentuk-bentuk muamalah yang dilarang syariat. Secara umum dapat memberikan perlindungan-perlindungan dari resiko kerugian yang diderita satu pihak. Juga meningkatkan efesiensi, karena tidak perlu secara khusus mengadakan pengamanan dan pengawasan untuk memberikan perlindungan yang memakan banyak tenaga, waktu, dan biaya. Pemerataan biaya, yaitu cukup hanya dengan mengeluarkan biaya yang jumlahnya tertentu, dan tidak perlu mengganti/ membayar sendiri kerugian yang timbul yang jumlahnya tidak tertentu dan tidak pasti. Sebagai tabungan, karena jumlah yang dibayar pada pihak asuransi akan dikembalikan saat terjadi peristiwa atau berhentinya akad. Menutup Loss of corning power seseorang atau badan usaha pada saat ia tidak dapat berfungsi(bekerja).Perbandingan antara asuransi syariah dan asuransi konvensional. Hukum Asuransi Para ulama dan cendekiawan muslim terbagi kepada empat pandangan dalam berijtihad menentukan hukum asuransi: Mengharamkan asuransi dalam segala macam dan bentuknya sekarang ini termasuk asuransi jiwa. Kelompok ini didukung oleh Sayid Sabiq, Abdullah al-Qalqili Mufti Yordania, Muhammad Yusuf Qardhawi dan Muhammad Bakhit al-Muthi’. Alasan-alasan yang mereka gunakan adalah: Asuransi pada hakikatnya sama atau serupa dengan judi Mengandung unsur tidak jelas dan tidak pasti (uncertainty) Mengandung unsur riba/rente Mengandung unsur eksploitasi, karena pemegang polis kalau tidak bisa melanjutkan pembayaran preminya, bisa hilang atau dikurangi uang premi yang telah dibayarkan. Premi-premi yang telah dibayarkan oleh para pemegang polis diputar dalam praktek riba (kredit bunga) Asuransi termasuk akad sharfi, yaitu jual beli atau tukar menukar mata uang yang tidak dengan tunai (cash and cary) Hidup dan mati manusia dijadikan obyek bisnis, yang berarti mendahului takdir Tuhan Yang Maha Kuasa). Membolehkan semua asuransi yang dalam prakteknya sekarang ini. Pendapat kedua ini didukung oleh Abdul Wahab Khallaf, Mustafa Ahmad Zarqa, Guru Besar Hukum Islam pada Fakultas Syariah Universitas Syiria, Muhammad Yusuf Musa, Guru Besar Hukum Islam pada Universitas Cairo Mesir, dan Abdurrahman Isa, pengarang al-Muamalah al-Haditsahh wa Ahkamuha. Adapun alasan mereka membolehkan asuransi adalah: Tidak ada nash al-Quran dan Hadits yang melarang asuransi. Ada kesepakatan/kerelaan kedua belah pihak. Saling menguntungkan kedua belah pihak. Mengandung kepentingan umum (maslahat ‘amah), sebab premi-premi yang terkumpul bisa diinvestasikan untuk proyek-proyek yang produktif dan untuk pembangunan  Asuransi termasuk akad mudharabah, artinya akad kerja sama bagi hasil antara pemegang polis (pemilik modal) dengan pihak perusahaan asuransi yang memutar modal atas dasar profit and loss sharing. Asuransi termasuk koperasi (syirkah ta’awuniyah) Diqiyaskan (analogi) dengan sistem pensiun, seperti Taspen. Membolehkan asuransi yang bersifat sosial dan mengharamkan asuransi yang semata-mata bersifat komersial. Pendapat ketiga ini didukung oleh Muhammad Abu Zahrah, Guru Besar Hukum Islam pada Universitas Cairo Mesir. Menganggap syubhat. Karena tidak ada dalil-dalil syar’i yang secara jelas mengharamkan atau pun menghalalkan asuransi. Dari keempat hukum asuransi di atas, ada beberapa faktor yang mempengaruhi asuransi dipandang sebagai hukum mubah karena segala unsur atau transaksi dalam asuransi sesuai dengan syariah. Sistem asuransi inilah yang disebut dengan asuransi syaria’h. Suatu asuransi diperbolehkan secara syar’i, jika tidak menyimpang dari prinsip-prinsip dan aturan-aturan syariat Islam. Untuk itu dalam muamalah tersebut harus memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut: Asuransi syariah harus dibangun atas dasar taawun (kerja sama ), tolong menolong, saling menjamin, tidak berorentasi bisnis atau keuntungan materi semata. Allah SWT berfirman,” Dan saling tolong menolonglah dalam kebaikan dan ketaqwaan dan jangan saling tolong menolong dalam dosa dan permusuhan.” Asuransi syariah tidak bersifat mu’awadhoh, tetapi tabarru’ atau mudhorobah. Sumbangan (tabarru’) sama dengan hibah (pemberian), oleh karena itu haram hukumnya ditarik kembali. Kalau terjadi peristiwa, maka diselesaikan menurut syariat. Setiap anggota yang menyetor uangnya menurut jumlah yang telah ditentukan, harus disertai dengan niat membantu demi menegakan prinsip ukhuwah. Kemudian dari uang yang terkumpul itu diambilah sejumlah uang guna membantu orang yang sangat memerlukan. Tidak dibenarkan seseorang menyetorkan sejumlah kecil uangnya dengan tujuan supaya ia mendapat imbalan yang berlipat bila terkena suatu musibah. Akan tetepi ia diberi uang jamaah sebagai ganti atas kerugian itu menurut izin yang diberikan oleh jamaah. Apabila uang itu akan dikembangkan, maka harus dijalankan menurut aturan syar’i. Perbedaan Asuransi Syariah dengan Asuransi Konvensional Beberapa perbedaan asuransi syariah dengan asuransi konvensional, di antaranya adalah sebagai berikut: Akad (Perjanjian) Setiap perjanjian transaksi bisnis di antara pihak-pihak yang melakukannya harus jelas secara hukum ataupun non-hukum untuk mempermudah jalannya kegiatan bisnis tersebut saat ini dan masa mendatang. Akad dalam praktek muamalah menjadi dasar yang menentukan sah atau tidaknya suatu kegiatan transaksi secara syariah. Hal tersebut menjadi sangat menentukan di dalam praktek asuransi syariah. Akad antara perusahaan dengan peserta harus jelas, menggunakan akad jual beli (tadabuli) atau tolong menolong (takaful). Akad pada asuransi konvensional didasarkan pada akad tadabuli atau perjanjian jual beli. Syarat sahnya suatu perjanjian jual beli didasarkan atas adanya penjual, pembeli, harga, dan barang yang diperjual-belikan. Sementara itu di dalam perjanjian yang diterapkan dalam asuransi konvensional hanya memenuhi persyaratan adanya penjual, pembeli dan barang yang diperjual-belikan. Sedangkan untuk harga tidak dapat dijelaskan secara kuantitas, berapa besar premi yang harus dibayarkan oleh peserta asuransi utnuk mendapatkan sejumlah uang pertanggungan. Karena hanya Allah yang tahu kapan kita meninggal. Perusahaan akan membayarkan uang pertanggunggan sesuai dengan perjanjian, akan tetapi jumlah premi yang akan disetorkan oleh peserta tidak jelas tergantung usia. Jika peserta dipanjangkan usia maka perusahaan akan untung namun apabila peserta baru sekali membayar ditakdirkan meninggal maka perusahaan akan rugi. Dengan demikian menurut pandangan syariah terjadi cacat karena ketidakjelasan (gharar) dalam hal berapa besar yang akan dibayarkan oleh pemegang polis (pada produksaving) atau berapa besar yang akan diterima pemegang polis (pada produk non-saving). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, seorang ulama salaf ternama dalam kitabnya Majmu Fatwa menyatakan bahwa akad dalam Islam dibangun atas dasar mewujudkan keadilan dan menjauhkan penganiayaan. Harta seorang muslim yang lain tidak halal, kecuali dipindahkan haknya kepada yang disukainya. Keadilan dapat diketahui dengan akalnya, seperti pembeli wajib menyatakan harganya dan penjual menyerahkan barang jualannya kepada pembeli. Dilarang menipu, berkhianat, dan jika berhutang harus dilunasi. Gharar (Ketidakjelasan) Definisi gharar menurut Madzhab Syafii adalah apa-apa yang akibatnya tersembunyi dalam pandangan manusia dan akibat yang paling ditakuti. Gharar/ketidakjelasan itu terjadi pada asuransi konvensional, dikarenakan tidak adanya batas waktu pembayaran premi yang didasarkan atas usia tertanggung, sementara kita sepakat bahwa usia seseorang berada di tangan Yang Mahakuasa. Jika baru sekali seorang tertanggung membayar premi ditakdirkan meninggal, perusahaan akan rugi sementara pihak tertanggung merasa untung secara materi. Jika tertanggung dipanjangkan usianya, perusahaan akan untung dan tertanggung merasa rugi secarafinancial. Dengan kata lain kedua belah pihak tidak mengetahui seberapa lama masing-masing pihak menjalankan transaksi tersebut. Ketidakjelasan jangka waktu pembayaran dan jumlah pembayaran mengakibatkan ketidaklengkapan suatu rukun akad, yang kita kenal sebagai gharar. Para ulama berpendapat bahwa perjanjian jual beli/akad tadabuli tersebut cacat secara hukum. Pada asuransi syariah akad tadabuli diganti dengan akad takafuli, yaitu suatu niat tolong-menolong sesama peserta apabila ada yang ditakdirkan mendapat musibah. Mekanisme ini oleh para ulama dianggap paling selamat, karena kita menghindari larangan Allah dalam praktik muamalahyang gharar. Pada akad asuransi konvensional dana peserta menjadi milik perusahaan asuransi (transfer of fund). Sedangkan dalam asuransi syariah, dana yang terkumpul adalah milik peserta (shahibul mal) dan perusahaan asuransi syariah (mudharib) tidak bisa mengklaim menjadi milik perusahaan. Tabarru dan Tabungan Tabarru berasal dari kata tabarraa-yatabarra-tabarrawan, yang artinya sumbangan atau derma. Orang yang menyumbang disebut mutabarri(dermawan). Niat bertabbaru bermaksud memberikan dana kebajikan secara ikhlas untuk tujuan saling membantu satu sama lain sesama peserta asuransi syariah, ketika di antaranya ada yang mendapat musibah. Oleh karena itu dana tabarru disimpan dalam rekening khusus. Apabila ada yang tertimpa musibah, dana klaim yang diberikan adalah dari rekening tabarru yang sudah diniatkan oleh sesama peserta untuk saling menolong. Menyisihkan harta untuk tujuan membantu orang yang terkena musibah sangat dianjurkan dalam agama Islam, dan akan mendapat balasan yang sangat besar di hadapan Allah, sebagaimana digambarkan dalam hadist Nabi SAW,"Barang siapa memenuhi hajat saudaranya maka Allah akan memenuhi hajatnya."(HR Bukhari Muslim dan Abu Daud). Untuk produk asuransi jiwa syariah yang mengandung unsur saving maka dana yang dititipkan oleh peserta (premi) selain terdiri dari unsur danatabarru terdapat pula unsur dana tabungan yang digunakan sebagai dana investasi oleh perusahaan. Sementara investasi pada asuransi kerugian syariah menggunakan dana tabarru karena tidak ada unsur saving. Hasil dari investasi akan dibagikan kepada peserta sesuai dengan akad awal. Jika peserta mengundurkan diri maka dana tabungan beserta hasilnya akan dikembalikan kepada peserta secara penuh. Maisir (Judi) Allah SWT berfirman dalam surat al-Maidah ayat 90, "Hai orang-orang yang beriman sesungguhnya khamar, maisir, berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji, termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapatkan keberuntungan." Prof. Mustafa Ahmad Zarqa berkata bahwa dalam asuransi konvensional terdapat unsur gharar yang pada gilirannya menimbulkan qimar. Sedangkan al qimar sama dengan al maisir. Muhammad Fadli Yusuf menjelaskan unsur maisir dalam asuransi konvensional karena adanya unsur gharar, terutama dalam kasus asuransi jiwa. Apabila pemegang polis asuransi jiwa meninggal dunia sebelum periode akhir polis asuransinya dan telah membayar preminya sebagian, maka ahli waris akan menerima sejumlah uang tertentu. Pemegang polis tidak mengetahui dari mana dan bagaimana cara perusahaan asuransi konvensional membayarkan uang pertanggungannya. Hal ini dipandang karena keuntungan yang diperoleh berasal dari keberanian mengambil risiko oleh perusahaan yang bersangkutan. Muhammad Fadli Yusuf mengatakan, tetapi apabila pemegang polis mengambil asuransi itu tidak dapat disebut judi. Yang boleh disebut judi jika perusahaan asuransi mengandalkan banyak/sedikitnya klaim yang dibayar. Sebab keuntungan perusahaan asuransi sangat dipengaruhi oleh banyak /sedikitnya klaim yang dibayarkannya. Riba Dalam hal riba, semua asuransi konvensional menginvestasikan dananya dengan bunga, yang berarti selalu melibatkan diri dalam riba. Hal demikian juga dilakukan saat perhitungan kepada peserta, dilakukan dengan menghitung keuntungan di depan. Investasi asuransi konvensional mengacu pada peraturan pemerintah yaitu investasi wajib dilakukan pada jenis investasi yang aman dan menguntungkan serta memiliki likuiditas yang sesuai dengan kewajiban yang harus dipenuhi. Begitu pula dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 424/KMK.6/2003 Tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Semua jenis investasi yang diatur dalam peraturan pemerintah dan KMK dilakukan berdasarkan sistem bunga. Asuransi syariah menyimpan dananya di bank yang berdasarkan syariat Islam dengan sistem mudharabah. Untuk berbagai bentuk investasi lainnya didasarkan atas petunjuk Dewan Pengawas Syariah. Allah SWT berfirman: يا ايها الذين أمنوا لاتأكلوا الربا أضعافا مضاعفا واتقوا الله لعلكم تفلحون "Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu memakan riba yang memang riba itu bersifat berlipat ganda dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapatkan keberuntungan." (QS. Ali Imran:130) Kemudian diperkuat dengan Hadist, "Rasulullah mengutuk pemakaian riba, pemberi makan riba, penulisnya dan saksinya seraya bersabda kepada mereka semua sama."(HR Muslim) Dana Hangus Ketidakadilan yang terjadi pada asuransi konvensional ketika seorang peserta karena suatu sebab tertentu terpaksa mengundurkan diri sebelum masa reversing period. Sementara ia telah beberapa kali membayar premi atau telah membayar sejumlah uang premi. Karena kondisi tersebut maka dana yang telah dibayarkan tersebut menjadi hangus. Demikian juga pada asuransi non-saving atau asuransi kerugian jika habis masa kontrak dan tidak terjadi klaim, maka premi yang dibayarkan akan hangus dan menjadi milik perusahaan. Kebijakan dana hangus yang diterapkan oleh asuransi konvensional akan menimbulkan ketidakadilan dan merugikan peserta asuransi terutama bagi mereka yang tidak mampu melanjutkan karena suatu hal. Di satu sisi peserta tidak punya dana untuk melanjutkan, sedangkan jika ia tidak melanjutkan dana yang sudah masuk akan hangus. Kondisi ini mengakibatkan posisi yang dizalimi. Prinsip muamalah melarang kita saling menzalimi, laa dharaa wala dhirara ( tidak ada yang merugikan dan dirugikan). Asuransi syariah dalam mekanismenya tidak mengenal dana hangus, karena nilai tunai telah diberlakukan sejak awal peserta masuk asuransi. Bagi peserta yang baru masuk karena satu dan lain hal mengundurkan diri maka dana/premi yang sebelumnya dimasukkan dapat diambil kembali kecuali sebagian kecil dana yang diniatkan sebagai dana tabarru (dana kebajikan). Hal yang sama berlaku pula pada asuransi kerugian. Jika selama dan selesai masa kontrak tidak terjadi klaim, maka asuransi syariah akan membagikan sebagian dana/premi tersebut dengan pola bagi hasil 60:40 atau 70:30 sesuai kesepakatan di awal perjanjian (akad). Jadi premi yang dibayarkan pada awal tahun masih dapat dikembalikan sebagian ke peserta (tidak hangus). Jumlahnya sangat tergantung dari hasil investasinya. Konsep Taawun Dalam Asuransi Syariah Sebagian para ahli syariah menyamakan sistem asuransi syariah dengan sistem aqilah pada zaman Rasulullah SAW. Dr. Satria Effendi M.Zein dalam makalahnya mendefinisikan takaful dengan at takmin, at taawun atau at takaful (asuransi bersifat tolong menolong), yang dikelola oleh suatu badan, dan terjadi kesepakatan dari anggota untuk bersama-sama memikul suatu kerugian atau penderitaan yang mungkin terjadi pada anggotanya. Untuk kepentingan itu masing-masing anggota membayar iuran berkala (premi). Dana yang terkumpul akan terus dikembangkan, sehingga hasilnya dapat dipergunakan untuk kepentingan di atas, bukan untuk kepentingan badan pengelola (asuransi syariah). Dengan demikian badan tersebut tidak dengan sengaja mengeruk keuntungan untuk dirinya sendiri. Disini sifat yang paling menonjol adalah tolong-menolong seperti yang diajarkan Islam. Dewan Pengawas Syariah Pada asuransi syariah seluruh aktivitas kegiatannya diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang merupakan bagian dari Dewan Syariah Nasional (DSN), baik dari segi operational perusahaan, investasi maupun SDM. Kedudukan DPS dalam Struktur oraganisasi perusahaan setara dengan dewan komisaris. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan perbedaan asuransi syariah dan konvensional sebagai berikut: Adanya Dewan Pengawas Syariah dalam perusahaan asuransi syariah merupakan suatu keharusan. Dewan ini berperan dalam mengawasi manajemen, produk serta kebijakan investasi supaya senantiasa sejalan dengan syariat Islam. Adapun dalam asuransi konvensional, maka hal itu tidak mendapat perhatian. Prinsip akad asuransi syariah adalah takafuli (tolong-menolong). Yaitu nasabah yang satu menolong nasabah yang lain yang tengah mengalami kesulitan. Sedangkan akad asuransi konvensional bersifat tadabuli (jual-beli antara nasabah dengan perusahaan). Dana yang terkumpul dari nasabah perusahaan asuransi syariah (premi) diinvestasikan berdasarkan syariah dengan sistem bagi hasil (mudharobah). Sedangkan pada asuransi konvensional, investasi dana dilakukan pada sembarang sektor dengan sistem bunga. Premi yang terkumpul diperlakukan tetap sebagai dana milik nasabah. Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya. Sedangkan pada asuransi konvensional, premi menjadi milik perusahaan dan perusahaan-lah yang memiliki otoritas penuh untuk menetapkan kebijakan pengelolaan dana tersebut. Untuk kepentingan pembayaran klaim nasabah, dana diambil dari rekening tabarru (dana sosial) seluruh peserta yang sudah diikhlaskan untuk keperluan tolong-menolong bila ada peserta yang terkena musibah. Sedangkan dalam asuransi konvensional, dana pembayaran klaim diambil dari rekening milik perusahaan. Keuntungan investasi dibagi dua antara nasabah selaku pemilik dana dengan perusahaan selaku pengelola, dengan prinsip bagi hasil. Sedangkan dalam asuransi konvensional, keuntungan sepenuhnya menjadi milik perusahaan. Jika tak ada klaim, nasabah tak memperoleh apa-apa. BAB XIII Sukuk Pengertian Obligasi Terdapat beberapa definisi mengenai obligasi. Obligasi atau bond, adalah surat utang jangka panjang yang dikeluarkan oleh peminjam, dengan kewajiban untuk membayar kepada bond holder (pemegang obligasi) sejumlah bunga tetap yang telah ditetapkan sebelumnya. Obligasi syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarka prisip syariah yang di keluarkan oleh emiten untuk membayar pendapatan pada investor beupa bagi hasil / margin / fee serta membayar kembali dana investasi pada saat jatuh tempo. ( Ketentuan umum fatwa dewan syariah nasional nomor 59/dsr-mui/v/2007 tentang obligasi syariah mudharobah konversi ). Sukuk (Obligasi Syari’ah) Sukuk berasal dari bahasa Arab yaitu sak (tunggal) dan sukuk (jamak) yang memiliki arti mirip dengan sertifikat atau note. Dalam pemahaman praktisnya, sukuk merupakan bukti (claim) kepemilikan. Sementara itu, menurut fatwa Majelis Ulama Indonesia No 32/DSN-MUI/IX/2002 sukuk adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan emiten kepada pemegang obligasi syariah. Sedangkan menurut Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI) berpendapat lain mengenai arti sukuk. Menurut organisasi tersebut, sukuk adalah sebagai sertifikat dari suatu nilai yang direpresentasikan setelah penutupan pendaftaran, bukti terima nilai sertifikat, dan menggunakannya sesuai rencana. Sama halnya dengan bagian dan kepemilikan atas aset yang jelas, barang, atau jasa, atau modal dari suatu proyek tertentu atau modal dari suatu aktivitas inventasi tertentu. Pada prinsipnya sukuk mirip seperti obligasi konvensional dengan perbedaan pokok antara lain berupa penggunaan konsep imbalan dan bagi hasil sebagai pengganti bunga, adanya suatu transaksi pendukung (underlying transaction) berupa sejumlah tertentu asset yang menjadi dasar penerbitan sukuk dan adanya akad atau perjanjian antara para pihak yang disusun berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Selain itu, sukuk juga harus distruktur secara syariah agara instrument keuangan ini aman dan terbebas dari riba, gharar dan maysir. Sukuk bukan merupakan utang berbunga tetap, tetapi lebih merupakan penertaan dana (investasi) yang didasarkan pada prinsip bagi hasil jika menggunakan akad mudharabah dan musyarakah. Transaksinya bukan akad hutang piutang melainkan penyertaan. Dasar Hukum Sukuk (Obligasi Syariah) Al-Qur’an Adapun dalil yang berkenaan dengan kebolehan Sukuk (obligasi syariah) penyusun sarikan dari Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional. Berikut dalil-dalilnya: Firman Allah SWT, QS. Al-Ma’idah [5]:1: يَاْاَيُّهَااَّلَّذِيْنَ ءَامَنُوْا اَوْفُوْا بِاْلعُقُوْدِ Artinya : “Hai orang – orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu” Hadits Hadis Nabi SAW yang digunakan sebagai dalil dasar sukuk ini ialah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Amar bin ‘Auf, عن عمرو بن عوف المزاني قال رسول الله ص م : الصّلْح جائز بين الْمسلمين الا صلْحا حرّم حلالا أَو أَحلّ حراما والْمسلمون علَى شروطهِم إلا شرطا حرّم حلالا أو أحلّ حراما (رواه امام الترمذى) Artinya : “Perjanjian boleh dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” Qaidah Fikih: Terdapat tiga kaidah yang digunakan, yaitu : Pada dasarnya semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”; “Kesulitan dapat menarik kemudahan”; “Sesuatu yang berlaku berdasarkan adat/ kebiasaan sama dengan sesuatu yang berlaku berdasarkan syara (selama tidak bertentangan dengan syariah).” Pendapat Ulama’ Dengan mempertimbangkan beberapa dalil diatas, akhirnya dikeluarkanlah Fatwa dewan syari`ah Nasional No. 32/DSN-MUI/IX/2002, tentang Sukuk (Obligasi syari`ah) adalah surat berharga berjangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikelurkan emitten kepada pemegang obligasi syariah, tersebut berupa bagi hasil/margin/fee, serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.” Karakteristik dan istilah sukuk merupakan pengganti dari istilah sebelumnya yang memggunakan istilah bond, dimana istilah bond mempunyai makna loan (hutang), dengan menambahkan Islamic maka kontradiktif maknanya karena biasanya yang mendasari mekanisme hutang (loan) adalah interest, sedangkan dalan Islam interest tersebut termasuk riba yang diharamkan. Untuk itu sejak tahun 2007 istilah bond ditukar dengan istilah Sukuk sebagaimana disebutkan dalam peraturanm di Bapepam LK. Abu Hanifa dan muridnya Abu Yusuf memberikan pandangan bahwa penjualan sesuatu/properti yang belum diterima oleh si penjual namun sudah jelas keberadaan fisiknya (dapat dicek keberadaannya) adalah diperbolehkan. Maka dari sinilah pondasi instrument bernama sukuk di abad modern ini bermula. Karakteristik dan Macam Sukuk (Obligasi Syariah) Karakteristik Sukuk  Terdapat beberapa karakteristik mengenai sukuk, karakteristik tersebut adalah : Merupakan bukti kepemilikan suatu aset berwujud atau hak manfaat, Pendapatan berupa imbalan (kupon), marjin, dan bagi hasil, sesuai jenis aqad yang digunakan, Terbebas dari unsur riba, gharar, dan maisir; Penerbitannya melalui Special Purpose Vehicle (SPV), Memerlukan underlying asset; dan, Penggunaan proceds (hasil jual) harus sesuai prinsip syariah. Macam-macam Sukuk (Obligasi Syariah) Sukuk Ijarah Adalah suatu sertifikat yang memuat nama pemiliknya (investor) dan melambangkan kepemilikan terhadap aset yang bertujuan untuk disewakan, atau kepemilikikan manfaat dan kepemilikan jasa sesuai jumlah efek yang dibeli denagn harapan mendapatkan keuntungan dari hasil sewa  yang berhasil direalisasikan berdasar transaksi ijarah. Ketentuan akad ijarah sebagai berikut: Objeknya dapat berupa barang (harta fisik yang bergerak, tak bergerah, harta perdagangan) maupun berupa jasa Manfaat dari objek dan nilai manfaat tersebut diketahui dan disepakati oleh kedua belah piahak. Ruang lingkup dan jangka waktu pemakaiannya harus dinyatakan secara spesifik. Penyewa harus membagi hasil manfaat yang diperolehnya dalam bentuk imbalan atau sewa/upah Pemakaian manfaat harus menjaga objek agar manfaat yang diberikan oleh objek tetap terjaga Pembeli sewa haruslah pemilik mutlak. Secara teknis, obligasi ijarah dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: Investor dapat bertindak sebagai penyewa , sedangkan emiten dapat bertindak sebagai wakil investor. Setelah investor memperoleh hak sewa, maka investor menyewakan kembali objek sewa tersebut kepada emiten. Obligasi syariah musyarakah Adalah obligasi syariah yang diterbitkan berdasarkan perjanjian atau akad musyarakah di mana dua pihak atau lebih bekerja sama menggabungkan modal untuk pembangunan proyek baru, mengembangkan proyek baru, mengembangkan proyek yang telah ada atau membiayai kgiatan usaha. Obligasi syariah istishna’ Adalah obligasi syariah yang diterbitkan berdasarkan perjanjian atau akad istishna’ di mana para pihak menyepakati jual beli dalam rangka pembiayaan suatu proyek/barang. Obligasi Syariah mudarabah Yaitu sukuk yang diterbitkan berdasarkan perjanjian atau akad mudarabah yang merupakan satu bentuk kerjasama, yang satu pihak menyediakan modal (rabb al-mal) dan pihak lain menyediakan tenaga dan keahlian (mudarib), keuntungan dari kerjasama tersebut akan dibagi berdasarkan perbandingan yang telah disetujui sebelumnya. Kerugian yang timbul akan ditanggung sepenuhnya oleh pihak penyedia modal. Pihak-pihak yang Terlibat dalam Penerbitan Sukuk Adapun pihak-pihak yang terlibat dalam penerbitan sukuk adalah : Obligor, adalah pihak yang bertanggung jawab atas pembayaran imbalan dan nilai nominal sukuk sampai dengan sukuk jatuh tempo. Special Purpose Vehicle (SPV), adalah badan hukum yang didirikan khusus untuk penerbitan sukuk dengan fungsi: a. sebagai penerbit sukuk; b. menjadicounterpart (rekan/teman imbangan) dalam transaksi pengalihan aset; c. bertindak sebagai wali amanat (trustee) untuk mewakili kepentingan investor. Investor, adalah pemegang sukuk yang memiliki hak atas imbalan, margin, dan nilai nominal sukuk sesuai partisipasi masing-masing. Didalam obligasi syariah terdapat beberapa pokok ketentuan obligasi syariah, yakni: ketentuan umum dan ketentuan khusus: Ketentuan umum  Obligasi yang tidak dibenarkan menurut syariah yaitu obligasi yang bersifat utang dengan kjewajiban membayar berdasarkan bunga . Obligasi yang dibenarkan menurut syariah yaitu obligasi yang berdasarkan prinsi-prinsip syariah. Ketentuan khusus Akad yang dapat digunakan dalam penerbitan obligasi syariah anatara lain: mudharobah (muqaradhoh)/qiradh musyarokah murabahah salam istishna ijarah jenis usaha yang dilakukan emiten (mudharib) tidak boleh bertentangan denga syariah. Pendapatan (hasil) investasi yang dibagikan emiten kepada pemegang obigasi syariah mudharabah (shahibul mal) harus bersih dari unsur non halal. Pendapatan (hasil) yang diperoleh pemegang obligasi syariah sesuai akad yang digunakan. Pemindahan kepemilikan obligasi syariah mengikuti akad-akad yang digunakan. Pihak-Pihak Dalam Penerbitan Obligasi Dalam mekanisme penerbitan obligasi, terdapat beberapa pihak yang terlibat sebagai actor utama terwujudnya pelaksanaan kegiatan transaksi jual beli, untuk itu perlumelihat beberapa pihak ysng terlibat dan bagaimana perannya. Para aktor utama tersebuut adalah sebagai berikut: Emiten Pengertian emiten (issuer) adalah pihak yang menerbitkan atau mengeluarkan obigasi dengan tujuan untuk mendapatkan dana dan yang dapat bertindak sebagai emiten adalah perusahaan, BUMD, BUMN, pemerintah daerah, misalnya Pemerintah Daerah Provinsi Papua Barat, Negara misalnya Republik Indonesia, badan-badan internasional misalnya World Bank, IFC, ATAU badan ekonomi khusus, misalnya Badan Otonomi Pulau Batam. Secara sederhana emiten dapat disebut juga sebagai pihak yang membutuhkan dana. Emiten menjual obligasi agar ia mendapatkan dana, dengan cara berhutang kepada pembeli obligasi. Namun demikian, tidak berarti emiten adalah “orang miskin”, tetapai sebaliknya emiten adalah “orang kaya” yang tidak memiliki money is cash sehingga untuk keperluan yang mendesak ia harus berutang. Penjamin Emisi Penjamin emisi (underwriter) adalah perusahaan yang menjamin penjualan obligasi. Pada dasarnya penjamin obligasi merupakan mediator antara emiten dengan pemodal. Apabila obligasi tidak terjual maka emisi bertanggung jawab untuk membeli semua sisa obligasi, sesuai dengan perjanjian penjamin emisi yang sudah disepakati. Kehadiran penjamin emisi akan memudahkan proses penarikan dana, dan pembayaran obligasi kepada emiten lebih pasti karena tidak tergantung pada laku atau tidaknya obligasi di bursa efek.  Dalam kegiatan underwriting, dikenal beberapa jenis dan cara penjamin emisi, sebagai berikut: Kesanggupan penuh (Full Commitment underwriting) Full commitment atau sering juga disebut  full commitment underwriting, yaitu suatu perjanjian penjamin emisi efek di mana pemnjamin emisi mengikat diri untuk menawarkan efek kepada masyarakat dan pembeli sisa efek yang tidak laku terjual. Kesanggupan Terbaik (Best effort commitment) Dalam komitmen ini, penjamin emisi efek akan berusaha semaksimal mungkin menjual efek-efek emiten. Apabila efek yang belum habis terjual penjamin emisi efek tidak wajib membelinya, dan oleh karena itu mereka  hanya membayar semua efek yang berhasil terjual dan mengembalikan sisanya kepada emiten. Kesanggupan siaga ( Standby commitment) Dalam komitmen ini, penjamin emisi efek berusaha menawarkan efek semaksimalnya kepada investor. Kemudian apabila ada sisa yang belum terjual sampai batas waktu penawaran yang telah ditetapkan, maka penjamin emisi efek menyanggupi membeli sisa efek tersebut denganharga  tertentu sesuai dengan perjanjian yang besarnya di bawah harga penawaran pada pasar perdana. Kesanggupan semua atau tidak sama sekali ( All or none commitment) Komitmen ini menyatakan bahwa apabila efek yang ditawarkan ternyata sebagian tidak terjual, maka penjualan efek tersebut dibatalkan sama sekali. Artinya, bagian efek yang telah laku dipesan oleh investor akan dibatalkan penjualannya dan semua sisa efek dikembalikan kepada emiten. Wali Amanat (trustee) Wali amanat merupakan pihak yang ditunjuk oleh emiten untuk mewakili kepentingan investor (para pemegang obligasi). Wali amanat adalah kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh bank umum untuk mewakili kepentingan pemegang surat berharga berdasarkan perjanjian antara bank umum dengan emiten surat berharga yang bersangkutan. Sedangkan yang dapat bertindak sebagai wali amanat adalah bank, lembaga keuangan bukan bank, atau lembaga lain yang mendapat persetujuan dari BAPEPAM (Badan Pengawas Pasar Modal). Beberapa kegiatan yang berkaitan dengan tugas wali amanat adalah sebagai berikut: Menganalisis kemampuan dan kredibilitas emiten apakah secara operasionalperusahaan (emiten) mempunyai kesanggupan menghasilkan dan membayar obligasi beserta bunganya. Menilai kekayaan emiten yang akan dijadikan jaminan wali amanat harus   mengetahui dengan pasti apakah kekayaan emiten yang menjadi jaminan setara atau memadai disbanding nilai obligasi yang diterbitkan. Melakukan pengawasan terhadap kekayaan emiten. Apabila harta yang menjadi jaminan tadi dialihkan pemanfaatannya atau pemilikannya haruslah sepengetahuan wali amanat. Mamantau dan mengikuti perkembangan secara terus menerus terhadap perkembangan perusahaan  emiten dan memberikan nasihat serta masukan kepada emiten. Melakukan pengawasan dan pemantauan terhadap pembayaran bunga dan pinjaman pokok obligasi yang menjadi hak pemodal, tepat pada waktunya. Berperan sebagai pemimpin dalam Rapat Umum Pemegang Obligasi (RUPO). Wali amanat memberikan manfaat yang cukup besar kepada pemegang obligasi. Adapun manfat tersebut adalah: Pemantauan Seksama Wali amanat dapat melakukan pemantauan secara terus-menerus dan seksama. Sumber Dana Wali amanat dapat mengecek apakah emiten dari waktu ke waktu selama jangka waktu obligasi telah memenuhi kewajiaban-kewajiban, pernyataan-pernyataan dan larangan-larangan yang diatur di dalam perjanjian perwaliamatan dan peraturan perundang-undangan. Sentralisasi Upaya Penegakan Hukum Sulit dibayangkan apabila terdapat 1000 pemegang obligasi yang 200 diantaranya, masing-masing mengajukan gugatan. Gugatan tersebut tidak hanya dilakukan di Indonesia, tetapi di luar negeri karena tidak ada larangan bagi orang asing untuk memiliki obligasi. Hal yang terjadi adalah adanya multy jurisdiction dispute. Dengan adanya wali amanat maka proses tersebut dapat disederhanakan. Fungsi Negosiasi Dalam hal negosiasi, wali amanat mempunyai peranan yang sangat sentral. Selain mempertemkan pemegang obligasi dengan emiten, wali amanat juga memiliki peranan dalam menyampaikan usulan-usulan layaknya seorang mediator. Selain sebagai mediator, walia mananat juga berperan sebagai negosiator. Wali amanat harus aktif terutama dalam menghadapi situasi sulit, antara lain ketika emiten melakukan default atau kelalaian. Pembayaran Pro Rata Dalam hal ini wali amanat terpaksa melakukan eksekusi terhadap asset emiten, maka wali amanat harus dapat mendistribusikan penghasilan yang diterimanya secara pro rata kepada masing-masing pemegang obligasi. Penanggung Jasa penanggung (guarantor) diperlukan apabila suatu pihak (perusahaan, Negara, dan pemerintah daerah) menerbitkan obligasi. Tujuannya adalah untuk menjamin pelunasan seluruh pinjaman pokok beserta bunga, apabila ternyata dikemudian hari emiten tidak mampu membayar atau wanprestasi. Biasanya jasa pertanggungan ini dilaksankan oleh bank atau lembaga Investor (masyarakat pemodal)   Investor merupakan aktor utama yang berperan di dalam kegiatan pasar modal. Investor sebagai pihak yang menginvestasikan dananya di pasar modal, dengan cara membeli efek yang bersifat utang ( obligasi) maupun efek yang bersifat ekuitas. Investor yang terlibat dalam pasar modal Indonesia adalah investor domestik dan asing, perorangan dan institusi yang mempunyai karakteristik masing-masing.keuangan bukan bank yang mempunyai reputasi dangat baik. Lembaga Kliring Lembaga ini berfungsi menyelesaikan semua hak-hak dan kewajiban yang timbul dari transaksi di bursa efek. Lembaga kliring dapat juga bertindak sebagai agen pembayaran atas transaksi jual beli obligasi. Umumnya yang ditunjuk sebagai lembaga kliring adalah bank. Bank berfungsi bertugas mmbayar bunga dan pinjaman pokok atas obligasi, namun keterlibatan hanya setelah obligasi masuk di bursa efek atau di pasar sekunder. Akuntan Publik Akuntan publik merupakan profesi penunjang pasar modal yang berfungsi memeriksa kondisi keuangan emiten serta memberikan pendapatnya tentang kelayaka emiten dalam menerbitkan obligasi. Apabila emiten adalah perseroan, maka penilaian akuntan publik atas kesehatan perusahaan selama dua tahun berturut-turut adalah factor yang sangat mentukan atas boleh tidaknya perseroan tersebut melakukan penjualan obligasi di bursa efek. Bursa Efek   Bursa efek adalah pihak yang menyelenggarakan dan  menyediakan system dan/atau sarana untuk mempertemukan penawaran jual-beli efek kepada pihak-pihak lain dengan tujuan memperdagangkan efek di antara mereka. Berdasarkan pembagian segmentasi perdagangan dengan Bursa efek Jakarta (BEJ), Bursa efek Surabaya lebih banyak memperdagangkan obligasi, saham juga diperdagangkan namun tidak banyak. Profesi Penunjang Pasar Modal  Profesi Penunjang Pasar Modal terdiri dari: Akuntan Publik Akuntan Publik merupakan profesi penunjang pasar modal yang berfungsi memeriksa kondisi keuangan emiten serta memberikan  pendapatnya tentang kelayakan emiten dalam memberikan obligasi. Di samping itu, akuntan juga berperan dalam mendorong perusahaan untuk memenuhi prinsip-prinsip goo corporate governance, khususnya mengenai keterbukaan dan transparansi. Konsultan Hukum Konsultan hokum yang ditunjuk oleh emiten berperan sebagai legal drafter and advisor. Penilai Penilai adalah pihak yang menerbitkan dan menandatangani laporan penilai. Laporan Penilai adalah pendapat atas nilai wajar aktiva yang disusun  berdasarkan pemeriksaan menurut keahlian dari penilai. Notaris Dalam rangka meningkatkan fungsi kenotarisan di pasar modal, notaris diharapkan dapat meningkatkan kualitas jasa pelayanannya antara lain dalam proses emisi efek dan penyusunan kontrak-kontrak penting di bidang pasar modal. Tugas pokok notaris adalah ; membuat berita acara RUPS, membuat konsep akta perubahan anggaran dasar, dan menyiapkan perjanjian dalam rangka emisi efek. Agen pembayaran Agen Pembayaran bertugas membayar bunga obligasi yang biasanya dilakukan setiap dua kali setahun dan pelunasan pada saat jatuh tempo. Agen penjual Agen ini umumnya dilakukan oleh perusahaan efek dengan tugas; meayani investor yang akan memesan saham, melaksanakan pengembalian uang pesanan (refund) kepada investor, menyerahkan sertifikat efek kepada pemesan. Prosedur Emisi Obligasi Emisi obligasi adalah penerbitan dan penjualan obligasi kepada masyarakat pemodal yang berminat melakukan investasi jangka panjang. Dengan melakukan penjualan obligasi maka emiten bermaksud mendapatkan dana tambahan dan di lain pihak bagi para pemodal, dengan membeli obligasi berate ia melakukan investasi jangka panjang. Pada dasarnya penerbitan dan menjual obligasi di Bursa Efek mengikuti prosedur sebagai berikut: Apabila emiten adalah sebuah perseroan terbatas, maka harus diadakan Rapat Umum Para Pemegang Saham (RUPS) yang menyetujui penerbitan obligasi tersebut. Setelah mendapatkan dasar peneguhan dalam bentuk hasil RUPS untuk obligasi perusahaan), maka calon emiten mengajukan pernyataan maksud ( letter of intent)kapada Bapepam tentang keinginan untuk menerbitkan obligasi dan menjual melalui bursa efek. Apabila Bapepam memeberi persetujuan atas rencana emisi tersebut, emiten segara menunjuk beberapa lembaga dan profesi penunjang pasar modal. Lembaga dan Profesi Penunjang yang telah ditunjuk tersebut mulai bekerja berdasarkan suatu perjanjian dengan rencana penerbitan obligasi. Tahapan berikutnya adalah tugas penjamin emisi (underwriter) untuk menyampaikan pernyataaan pendaftaran emisi obligasi kepada ketua Bapepam, yang dilampiri dengan beberapa dokumen seperti: Rencana prospektus Laporan keuangan, Akta perjanjian perwaliamanatan, Akta penanggungan yang ditanda tangani bersama dengan guarantor, serta dokumen-dokumen lain yang dibuat dalam rangka emisi obligasi. Setelah dokumen-dokumen tersebut diteliti dan diperiksa oleh Bapepam dan dinyatakan memenuhi syarat, kemudian Bapepam mengadakan final hearing (dengar pendapat akhir) dengan semua lembaga dan profesi penunjang yang terlibat dalam rencana penerbitan obligasi. Dari hasil final hearing ini, Bapepam atas nama Menteri Keuangan RI, kemudian mengeluarkan Surat Izin Emisi. Tahap selanjutnya adalah penjualan obligasi di pasar perdana, yang kemudian diikuti dengan penjualan di pasar sekunder. Mekanisme Penjualan Obligasi di Pasar Perdana Mekanisme transaksi jual beli obligasi di pasar perdana dapat dijelaskan sebagai berikut: Pasar perdana atau primary market adalah pasar yang memperdagangkan obligasi yang baru dikeluarkan emiten. Harga obligasi yang dipasarkan di pasar perdana adalah pasar nominal sesuai dengan yang tertulisdalam surat obligsi. Di pasar perdana ini, penawaran obligasi dilakukan oleh underwriter dibantu oleh age penjual. Mereka menyebarkan prospectus, melayani pemesanan, membagikan formulir pemesanan, melakukan penjatahan dan pengembalian uang pesanan kepada para pemesan atau calon pembeli. Para pemesan atau calon pembeli menyerahkan formulir pesanan yang telah diisi kepada underwriter atau agen penjual. Emiten bersama-sama dengan underwriter melakukan penjatahan obligasi. Dalam hal terjadi kelebihan pesanan, maka biasanya keutusan untuk pemerintah, yaitu dengan cara mengurangi pesanan pihak-pihak yang mengajukan lebih dari satu pesanan. Setelah menerima pemberitahuan entang penjatahan obligasi, maka pihak-pihak yang memesan obligasi bersangkutan harus segera melakukan pembayaran dengan menyerahkan uang tunai, cek atau giro, baik dalam mata uang rupiah maupun mata uang asing sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam perspektus. Pembayaran tersebut melalui underwriter atau agen penjual, dengan menyerahka bukti tanda terima pesanana obligasi. Mekanisme Penjualan Obligasi di Pasar Sekunder Pengertian pasar sekunder (secondary market) adalah penjualan obligasi yang dilakuakan oleh emiten setelah selesainya periode penjualan saham melalui pasar perdana. Dengan berakhirnya periode pemasaran obligasi melalui pasar perdana maka tugas underwriter adalah menyampaikan laporan kepada Bapepam tentang jumlah obligasi yang terjual dan yang belum terjual. Laporan tersebut dilakukan bersamaan dengan dilakukannya pencatatan (listing) obligasi tersebut di bursa efek, dan membayar biaya listing. Sistem transaksi di pasar sekunder pada awalnya dikenal ada dua macam, yaitu (i) system kol (coll  system), dan (ii) system terus-menerus (continuous trading system). Call system tidak diberlakukan lagi di bursa efek Indonesia sejak tahun 1980, karena system ini tidak efisien. Dalam system ini, para perantara jual beli (broker) berlomba-lomba mengangkat tangan sambil menyebut kurs (harga) yang ditawarkan. Petugas bursa memperhatikan dan mencatat kurs yang ditawarkan oleh broker dan juga mencatat kode dari masing-masing broker. Transaksi terjadi apabila ada kesepakatan mengenai kurs yang ditawarkan dan yang dbeli. Sejak tahun 1980 hingga 1995, Bursa Efek Indonesia sudah memberlakukan system terus menerus (continuous trading system). Dalam sisitem terus menerus, para broker menuliskan kurs untuk amanat-amanat yang mereka terima dalam setiap slip order yang tersedia, lalu memyerakan kepada petugas bursa. Petugas tersebut kemudian menuliskan pada kurs yang di minta dank kode keanggotaan broker di papan tulis. Apabila terjadi transaksi, maka perdagangan dilanjutkan lagi dan berlangsung seperti itu secara terus-menerus (continuous). Proses Transaksi di Pasar Sekunder Sebelum dapat melakukan transaksi, investor harus menjadi nasabah di salah satu perusahaan efek. Selanjutnya investor tersebut harus mendepositkan sejumlah uang tertentu sebagai jaminan bahwa nasabah tersebut layak melakukan jual beli saham. Proses perdagangan atau transaksi saham dan obligasi di pasar sekunder diawali dengan order (pesanan) untuk harga tertentu.26/39h Perdagangan saham di BEI harus menggunakan satuan perdagangan (round lot) efek atau kelipatannya, yaitu 500 (lima ratus) efek. Pesanan jual atau beli oleh para investor dari berbagai perusahaan sekuritas akan bertemu di lantai bursa. Setelah terjadi pertemuan (match) antar order tersebut, maka proses selanjutnya adalah proses terjadinya transaksi.Mekanisme matching umumnya berdasarkan kriteria prioritas harga kemudian waktu. BAB XIV Zakat Infak Dan Shadaqah (ZIS) Pengertian Zakat, Infaq, dan Shadaqah Zakat Kata “zakat” secara terminologis berarti “suci”, “berkembang” dan “barokah”. Menurut fiqh islam zakat bearti harta yang wajib dikeluarkan dari kekayaan orang-orang kaya untuk disampaikan kepada mereka yang berhak menerimanya, dengan aturan-aturan yang telah ditentukan dalam syara’. Sedangkan arti zakat dalam islam sebagian harta yang wajib diberikan kepada orang-orang yang tertentu, dengan syarat-syarat yang tertentu pula.Secara teknis, zakat berarti menyucikan harta milik seseorang dengan cara pendistribusian-oleh kaum kaya sebagiannya kepada kaum miskin sebagai hak mereka, dengan pembayaran zakat, maka seseorang memperoleh penyucian hati dan dirinya serta melakukan tindakan yang benar dan memproleh rahmat selain hartanya selaen hartanya akan bertambah. Sayid Sabiq dalam bukunya “Fiqih Sunnah” menuliskan bahwa zakat adalah nama untuk hak Allah swt, yang dikeluarkan oleh seseorang kepada kaum fakir. Disebut zakat karena ada harapan berkah di dalamnya, penyucian jiwa, dan mengembangkannya dengan kebaikan. Zakat di dalam Al-qur’an dan hadits terkadang disebut dengan shadaqah sebagaimana firman Allah dalam Q.S. At-Taubah : 103 “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan  mereka...” Maksudnya adalah mengambil sebagian harta dari kaum mukmin, dengan zakat tertentu yaitu zakat yang diwajibkan atau zakat yang tidak tertentu, yaitu sedekah sunnah. Infaq Pengertian Infaq berasal dari kata nafaqa yang berarti telah lewat,berlalu, habis, mengeluarkan isi, menghabiskan miliknya, atau belanja. Infakjuga di artikan harta yang dikeluarkan oleh seseorang atau badan usaha di luar zakat untuk kemaslahatan umum. Menurut istilahnya, infaq berarti : إِخْرَاجُ الْمَالِ الطَّيِّبِ فِيْ الطَّاعَاتِ وَالْمُبَاحَاتِ “Mengeluarkan harta yang thayib (baik) dalam ketaatan atau hal-hal yang dibolehkan”. Infaq juga di artikan pengeluaran sukarela yang di lakukan seseorang, setiap kali ia memperoleh rizki, sebanyak yang ia kehendakinya. Selanjutnya yang dimaksud dengan mengeluarkan atau membelanjakan harta. Tentunya, hal ini berbeda dari pemahaman-pemahaman masyarakat terhadap pengertian infaq. Hal ini dikarenakan pengertian infaq secara etimologi yang berasal dari kata Arab masih sangatlah umum, apakah yang dimaksud mengeluarkan atau membelanjakan harta dalam hal kepeluan diri sendiri atau untuk kepentingan umum. Membelanjakan Harta Al-Anfal ayat 63 :  لَوۡ اَنۡفَقۡتَ مَا فِى الۡاَرۡضِ جَمِيۡعًا مَّاۤ اَلَّفۡتَ بَيۡنَ قُلُوۡبِهِمۡ وَلٰـكِنَّ اللّٰهَ اَلَّفَ بَيۡنَهُمۡ‌ؕ                        Artinya : “Walaupun kamu membelanjakan semua yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka”. Oleh karena itu, infaq dalam arti membelanjakan harta bukan untuk keperluan diri sendiri, akan tetapi untuk keperluan bersama. Memberi Nafkah Kata infaq ini juga berlaku ketika seorang suami membiayai belanja keluarga atau rumah tangganya. Dan istilah baku dalam bahasa Indonesia sering disebut dengan nafkah. Kata nafkah tidak lain adalah bentukan dari kata infaq. Dan hal ini juga disebutkan di dalam Al-Quran Surat An-Nisa ayat 34 : اَلرِّجَالُ قَوَّامُوۡنَ عَلَى النِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعۡضَهُمۡ عَلٰى بَعۡضٍ وَّبِمَاۤ اَنۡفَقُوۡا مِنۡ اَمۡوَالِهِمۡ ؕ Artinya : Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain, dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Shadaqah Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Mas’ud Al-Badri berkata,  Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya seorang muslim itu apabila memberikan nafkah kepada keluarganya dan dia mengharapkan pahala darinya, maka nafkahnya itu sebagai sedekah”. Sedekah dalam bahasa Arab disebut shadaqoh berarti suatu pemberian yang diberikan oleh seorang muslim kepada orang lain secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu. Juga berarti suatu pemberian yang diberikan oleh seseorang sebagai kebajikan yang mengharap ridho Allah SWT dan pahala semata. Sedekah dalam pengertian di atas oleh para fuqaha (ahli fikih) disebuh sadaqah at-tatawwu'(sedekah secara spontan dan sukarela). Shadaqah juga di artikan: مَاتُعْطَى عَلَى وَجْهِ التَّقَرُّبِ إِلَى اللهِ تَعَالَى “Sesuatu yang diberikan untuk mendekatkan diri kepada Allah ta’ala”. Perbedaan antara Zakat, Infaq dan Shadaqah Perbedaan berdasarkan hukumnya  Zakat didalam Al-quran dan hadits terkadang disebut dengan shadaqah. Lafaznya berbeda namun memiliki makna yang sama. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. At-Taubah : 60.   “Sesungguhnya shadaqah (zakat-zakat) itu adalah hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, amil-amil zakat…” Sebagian ulama fiqih mengatakan bahwa shadaqah wajib dinamakan zakat, sedangkan shadaqah sunnah dinamakan infaq atau disebut shadaqah. Sebagian lain mengatakan bahwa infaq wajib dinamakan zakat, sedangkan infaq sunnah dinamakan shadaqah. Zakat merupakan salah satu rukun islam, penyebutannya di dalam Al-quran pun selalu beriringan dengan shalat. Sehingga zakat memiliki kedudukan yang sama dengan shalat. Zakat menjadi wajib sesuai ketentuan sebagai berikut : Milik sempurna. Berkembang. Sampai nishabnya. Melebihi kebutuhan pokok. Tidak terjadi zakat ganda. Cukup haulnya (genap setahun). Bebas dari hutang. Sedangkan sedekah tidak memiliki syarat-syarat tertentu tapisepenuhnya tergantung keinginan yang menyumbang dan sangat dianjurkan untuk menumbuhkan jiwa sosial seseorang. Infak ada yang wajib dan ada yang sunnah contoh yang wajib adalah suami memberi nafkah kepada isteri. Untuk yang sunnah sama dengan shadaqah. Perbedaan berdasarkan material yang diberikan Zakat menggunakan harta benda seperti ketentuan yang diatur oleh syara’. Para ulama sepakat bahwa harta yang wajib dizakakti adalah setiap harta benda yang memiliki nilai ekonomi dan potensial untuk berkembang. Berikut adalah harta yang wajib dizakati : Zakat mata uang emas dan perak. Zakat piutang. Zakat cek dan giro. Zakat perhiasan. Zakat perdagangan. Zakat tanaman dan buahan. Zakat uapah sewa rumah. Zakat madu. Zakat hewan. Zakat harta rikaz dan barang tambang. Zakat hasil laut. Untuk zakat fitrah pembayarannya menggunakan bahan makanan yang biasa dikonsumsi sebagai makanan pokok. Akan tetapi diperbolehkan juga membayar dengan uang. Seperti yang dilakukan pada masa khalifah Umar bin Khattab.             Sementara sedekah dan infak tidak hanya dengan harta sebab semua kebaikan  seperti amal, inspirasi, motivasi bahkan senyuman termasuk sedekah. Seperti disebutkan dalam hadits berikut. لاَتَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوْفِ شَيْئًا وَلَوْ اَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ “Janganlah kamu menyepelekan kebaikan sedikitpun walaupun kamu bertemu saudaramu dengan wajah sumringah” (H.R. Muslim). Perbedaan berdasarkan subjek dan penerimanya   Para ulama sepakat bahwa yang diwajibkan berzakat adalah Muslim, dewasa, berakal sehat, merdeka serta memilki harta yang sudah mencapai nishab dan memenuhi haul. Berdasarkan Al-quran surah At-Taubah ayat 60, adapun yang berhak menerima zakat adalah Fakir, Miskin, Amil, Muallaf, Riqab (budak belian, di indonesia tidak ada), Gharim, Sabilillah, Ibnusabil. Sedekah diperbolehkan kepada siapa saja, sama halnya dengan infak akan tetapi leibh diutamakan kepada keluarga atau kerabat dekat. Perbedaan berdasarkan waktu pelaksanaanya Zakat memiliki waktu tertentu sesuai yang terlah ditentukan syara’, yaitu nishabnya mencapai 1 tahun dan untuk zakat fitrah batas waktunya sampai sebelum orang melaksanakan shalat  ied. Sedekah dan infak tidak memiliki ketentuan waktu khusus. Perbedaan berdasarkan cara pengumpulan dan tata penyerahannya Zakat disunnahkan menggunakan ijab Kabul dan diserahkan kepada amil ataupun lembaga pengelola zakat. Sedangkan sedekah dan infak tidak memerlukan ijab kabul dan lebih afdhal dengan bahasa yang halus untuk menjaga perasaan si penerima. Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits.             “seseorang menyedekahkan sesuatu lalu ia menyembunyikannya sampai tangan kirinya tidak tahu apa yang disedekahkan oeleh tangan kanannya”. (H.R. Bukhari-Muslim). DAFTAR PUSTAKA Referensi: 1. Al Hawafiz Al Tijariyah At Taswiqiyyah Wa Ahkamuha Fil Fiqh Al Islami, Syekh Kholid bin Abdillah Al Mushlih, cetakan pertama tahun 1420 H Dar Ibnul Jauzi. 2. Muamalah Al Maliyah Al Mu’ashorah,–diambil dari pelajaran Syekh Khalid bin ‘Ali Al Musyaiqih, dalam Daurah Al Ilmiyah di Masjid Ar Rajihi di kota Buraidah tahun 1424 H –-yang ditranskrip. 3. Syarhul Mumti’ ‘Ala Zaad Al Mustaqni’, Syekh Ibnu Utsaimin, tahqiq DR. Khalid Al Musyaiqih dan Sulaimin Abu Khail, cetakan kedua tahun 1414 H, Muassasatu Aasaam. 4. Al Majmu’ Syarhul Muhadzab, imam Nawawi dengan penyempurnaan Muhammad Najieb Al Muthi’I, cetakan tahun 1419H, Dar Ihyaa Al Turats Al ‘Arabi, Beirut. 5. Bahjah Qulub Al Abrar Wa Qurratu ‘Uyuuni Al Akhyaar Fi Syarhi Jawaami’ Al Akhbaar,Abdurrahman bin Naashir Al Sa’di, tahqiq Asyraf Abdul Maqshud, cetakan kedua tahun 1992 M, Dar Al jail. 6. Al Waajiz Fi Fiqhu Sunnah Wa Kitab Al ‘Aziz, Abdul’adzim badawi, cetakan pertama tahun 1416 H, Dar Ibnu Rajab. 7. Mukhtashar Al Fatawa Al Mishriyah, Ibnu Taimiyah, Tahqiq Abdulmajid Sulaim, Dar AL Kutub Al Ilmiyah. 8. Al Fiqhu Al Muyassar –bag. Fiqih Muamalah- karya Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Al Thayar, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Al Muthliq dan Dr. Muhammad bin Ibrahim Alimusaa. Cetakan pertama tahun 1425 H. 9. Al Mughni karya Ibnu Qudamah, tahqiq Abdullah bin Abdulmuhsin Al Turki, cetakan kedua tahun 1412H, penerbit Hajr. 10. Al Syarh Al Mumti’ ’Ala Zaad Al Mustaqni’ karya Ibnu Utsaimin tahqiq. 11. Al Bunuk Al Islamiyah Baina An Nadzoriyat Wa Tathbiq, karya Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Al Thayaar, cetakan kedua tahun 1414 H, Muassasah Al Jurais, Riyaadh, KSA. 12. Al Ribaa Wa Muamalah Al Mashrafiyah Fi Nazhari Al Syariat Al Islamiyah, Dr. Umar bin Abdilaziz Al Mutrik, Muraja’ah Syekh Bakar bin Abdillah Abu Zaid, cetakan ketiga tahun 1418H, Dar Al ‘Ashimah, Riyadh KSA. 13. Taisir Al Fiqh Al Jaami’ Liikhtiyaaraat Al Fiqhiyah Lisyekhul Islam Ibnu Taimiyah, Dr. Ahmad Muwaafie, cetakan kedua tahun 1416 H, Dar Ibnul Jauzi, KSA. 14. Fatawa lajnah Daimah Lil Buhuts Al Ilmiyah Wal Ifta, disusun Ahmad Al Duwaisy, cetakan pertama tahun 1419 H, Dar Al ‘Ashimah, KSA. 15. Majmu’ Fatawa Syekhul Islam Ibnu Taimiyah. 16. Al Fatawa Al Kubra. 17. Maqaashid Al Syari’ah Al Islamiyah Wa ‘Alaqatuha Bil Adillah Al Syar’iyah. Dr. Muhammad bin Sa’ad Alyubi, cetakan pertama tahun 1418H, Darl Hijrah, KSA. 18. Ma’alim Ushul Fiqh ‘Inda Ahlussunnah Wal Jama’ah, Dr. Muhammad bin Husein bin Hasan Al Jizaani, cetakan kedua tahun 1419H, Dar Ibnul Jauzi, KSA. 19. Al Muwafaqaat Fi Ushul Al Syariat, Abu Ishaaq Al Syathibi, Tahqiq Abdullah Darraaz, Darul Kutub Al Ilmiyah, Baerut. 20. Irwa’ Al Ghalil Fi Takhrij Ahaadits Manar Al Sabil karya Syekh Muhammad Nashiruddin Al Albani, cetakan kedua tahun 1405 H. Al maktab Islami, Beirut. 21. Kitab Maa La Yasa’u Al Taajir Jahlulu, karya Prof. Dr. Abdullah Al Mushlih dan Prof. Dr. Shalah Al Shawi yang diterjemahkan dalam edisi bahasa Indonesia oleh Abu Umar Basyir dengan judul Fiqh Ekonomi Keuangan Islam, penerbit Darul Haq, Jakarta. 22. Mausu’ah Al Qadhaayaa Al Fiqhiyah Al Mu’asharah wa Al Iqtishad Al Islami, Prof. Dr. Ali Ahmad As-Salusi, cetakan ke 7, tahun 2002 M, Maktabah Daar al-Qur`aan. 23. Syarhu Shahih Muslim, An Nawawi, dan lain-lain.