[go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu

KEMISKINAN

Seperti yang dipahami selama ini, persoalan kemiskinan telah sedemikian peliknya untuk diurai dan dipecahkan. Hal ini disebabkan adanya perbedaan pendapat dari makna kemiskinan, sehingga definisi dan pengukurannya tidak mudah dituntaskan dalam satu pengertian saja. Secara konseptual, perdebatan yang muncul selama ini mengambil tempat yang bisa dipetakan dalam dua sisi yang kerap bertabrakan, yakni memposisikan kemiskinan dalam aspek ekonomi semata dan yang memposisikan kemiskinan sebagai isu sosial.

KEMISKINAN PAPER UNTUK MEMENUHI TUGAS UTS Mata Kuliah Perekonomian Indonesia Yang dibina oleh Bapak Aji Purba Trapsila, SE.I., ME.I. Disusun Oleh : Ahmad Hikam Hidayaturrahman 135020300111038 JURUSAN AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2015 PENDAHULUAN Seperti yang dipahami selama ini, persoalan kemiskinan telah sedemikian peliknya untuk diurai dan dipecahkan. Hal ini disebabkan adanya perbedaan pendapat dari makna kemiskinan, sehingga definisi dan pengukurannya tidak mudah dituntaskan dalam satu pengertian saja. Secara konseptual, perdebatan yang muncul selama ini mengambil tempat yang bisa dipetakan dalam dua sisi yang kerap bertabrakan, yakni memposisikan kemiskinan dalam aspek ekonomi semata dan yang memposisikan kemiskinan sebagai isu sosial. Jika kemiskinan dianggap sebagai soal ekonomi, maka biasanya kemiskinan disederhanakan sebagai kekurangan pendapatan (per kapita) atau jumlah kalori yang dikonsumsi oleh individu. Sebaliknya, pendekatan sosial memandang kemiskinan merupakan keterbatasan individu untuk terlibat dalam partisipasi pembangunan, baik akibat ketidakcukupan ketrampilan / pendidikan maupun pengucilan sosial (social exclusion), sehingga membuat individu tersebut tidak mampu memperoleh kesejahteraan. Ketegangan dua pandangan itu sampai sekarang belum sepenuhnya bisa dicairkan, baik karena alasan sosiologis maupun teknik-ekonomis PEMBAHASAN Kemiskinan Jumlah orang miskin di Indonesia terus bertambah setiap tahun. Lepas dari kontroversi mengenai parameter untuk menghitung kemiskinan, terlihat bahwa jumlah orang miskin pada era Orde Baru sebenarnya terus menurun dari tahun ke tahun. Pada tahun 1976 ketika awal-awal pembangunan jumlah orang miskin mencapai 54,2 juta (40,08%), tahun 1987 menurun menjadi 30 juta (17,42%), dan pada tahun 1996 sebelum krisis tinggal 22,5 juta (11,3%). Tetapi, semenjak krisis sampai pertengahan 1998 jumlah orang misin mencapai 79,8 juta (BPS,1998). Jumlah penduduk miskin tersebut sebetulnya sempat turun pada tahun 2003-2005. Namun, pemerintah kembali membuat kebijakan yang fatal dengan menaikkan harga BBM secara berlebihan (sekitar 100%) pada bulan Oktober 2005 sehingga berdampak kepada peningkatan jumlah penduduk miskin. Tercatat pada bulan Maret 2006 penduduk miskin melonjak menjadi 39,05 juta, padahal bulan Februari 2005 ‘hanya’ sebesar 35,1 juta jiwa dan terakhir pada tahun 2009 sedikit menurun menjadi sebesar 32,53 juta jiwa (14,15%). Angka ini masih lebih kecil ketimbang perhitungan Bank Dunia yang mencatat penduduk miskin di Indonesia sekitar 100 juta jiwa (dengan patokan pendapatan kurang dari 2 dolar / hari). Selain itu, masih banyak penduduk yang pendapatannya hanya sedikit sekali diatas batas garis kemiskinan. Kelompok “nyaris miskin” ini sangat rawan terhadap perubahan-perubahan keadaan ekonomi seperti kenaikan harga komoditi-komoditi utama atau turunnya tingkat pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu masalah kemiskinan masih tetap perlu diperhatikan secara serius karena tujuan pembangunan Indonesia adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Sementara itu di dunia ilmiah masalah kemiskinan ini telah banyak ditelaah oleh para ilmuwan sosial dari latar belakang disiplin ilmu dengan menggunakan berbagai konsep dan ukuran untuk menandai berbagai aspek permasalahan tersebut. Sosiolog maupun ekonom telah banyak menulis tentang kemiskinan, tetapi istilah seperti “standar hidup”, “pendapatan”, dan “distribusi pendapatan” lebih sering digunakan dalam ilmu ekonomi, sedangkan istilah “kelas”,”stratifikasi”, dan “marginalitas” digunakan oleh para sosiolog (Hardiman & Midgley, 1982). Bagi yang memperhatikan konsep masalah-masalah kebijakan sosial secara lebih luas biasanya lebih memperhatikan konsep “tingkat hidup”, yakni tidak hanya menekankan tingkat pendapatan saja tetapi juga masalah pendidikan, perumahan, kesehatan, dan kondisi-kondisi sosial lainnya dari masyarakat. Namun demikian, sampai saat ini belum ada definisi-definisi yang baku dan bisa diterima secara umum dari berbagai macam istilah tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa masalah kemiskinan itu sangat kompleks dan pemecahannya tidak mudah. Menurut para ahli (antara lain Andre Bayo Ala, 1981), kemiskinan itu bersifat multi dimensional. Artinya, karena kebutuhan manusia itu bermacam-macam, maka kemiskinan pun memiliki banyak aspek. Dilihat dari kebijakan umum, maka kemiskinan meliputi aspek primer yang berupa miskin akan aset, organisasi sosial politik, dan pengetahuan serta keterampilan; dan aspek sekunder yang berupa miskin akan jaringan sosial, sumber-sumber keuangan dan informasi. Dimensi-dimensi kemiskinan tersebut termanifestasikan dalam bentuk kekurangan gizi, air, perumahan yang sehat, perawatan kesehatan yang kurang baik, dan tingkat pendidikan yang rendah. Selain itu, dimensi dimensi kemiskinan salaing berkaitan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini berarti bahwa kemajuan dan atau kemunduran pada salah satu aspek dapat mempengaruhi kemajuan atau kemunduran pada aspek lainnya. Dan aspek lainnya dari kemiskinan ini adalah bahwa yang miskin itu adalah manusianya, baik secara individual maupun kolektif. Oleh karena itu, masalah kemiskinan ini masih tetap relevan dan penting untuk dikaji dan diupayakan penanggulangannya, kalau tujuan pembangunan nasional yang adil dan merata serta terbentukknya manusia Indonesia seutuhnya ingin dicapai. Penyebab Kemisikinan Para pembuat kebijakan pembangunan selalu berupaya agar alokasi sumberdaya dapat dinikmati oleh sebagian besar anggota masyarakat. Namun demikian, karena ciri dan keadaan masyarakat amat beragam dan ditambah pula dengan tingkat kemajuan ekonomi Negara yang bersangkutan yang masih lemah, maka kebijakan nasional umumnya diarahkan untuk memecahkan permasalahan jangka pendek. Sehingga kebijakan pemerintah belum berhasil memecahkan persoalan ekonomi di tingkat bawah (Swapna Mukhopodhay, 1985). Selain itu, kebijakan dalam negeri seringkali tidak terlepas dengan keadaan yang ada di luar negeri yang secara tidak langsung mempengaruhi kebijakan antara lain dari segi pendanaan pembangunan (Fredericks, 1985). Dalam konteks ekonomi Indonesia, harus diakui bahwa penyebab utama dari munculnya kemiskinan adalah malpraktik pembangunan akibat formulasi kebijakan ekonomi (sosial dan politik) yang salah. Kebijakan-kebijakan ekonomi yang diproduksi oleh pemerintah sejak dulu cenderung mendahulukan kepentingan pemilik modal dan sektor industri / jasa ketimbang pelaku ekonomi skala kecil dan sektor pertanian. Bahkan, kerapkali pelaku ekonomi kecil, yang banyak digeluti masyarakat, seperti sektor informal, banyak digusur untuk digantikan kegiatan ekonomi yang lebih modern, seperti pembuatan pabrik, pusat perbelanjaan, dan sentra-sentra perdagangan / industri. Pola semacam ini terjadi setiap tahun sehingga ruang bagi pelaku ekonomi skala kecil untuk mengerjakan kegiatan ekonomi makin sempit. Hal itu juga bisa dilihat dari keberadaan pasar tradisional yang kian lama makin terpinggir karena digusur oleh kepentingan ekonomi yang lain. Ukuran Kemiskinan Kemiskinan mempunyai pengertian yang luas dan memang tidak mudah mengukurnya. Ukuran kemiskinan yang umum digunakan yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut adalah mereka yang berada dibawah garis kemiskinan (apabila yang digunakan adalah pendekatan moneter). Sedangkan kemiskinan relatif merupakan kondisi dimana sebagian kelompok masyarakat memperoleh tingkat kesejahteraan (pendapatan) di bawah kelompok masyarakat yang lain. Oleh karena itu, konsep kemiskinan relatif dekat dengan istilah ketimpangan pendapatan. Biasanya, program-program penganan kemiskinan dikonsentrasikan untuk mengangkat masyarakat yang tergolong ke dalam kemiskinan absolut. Indikator Kemiskinan Indonesia dalam menentukan standar kemiskinan penduduknya diantaranya mengacu pada standar berikut (BPS,2010) : Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang Jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan. Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplester. Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan rumah tangga lain. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik. Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah. Hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun. Hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik. Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: petani dengan luas lahan 0,5 ha,buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp. 600.000 per bulan. Pendidikan tertinggi kepala kepala rumah tangga: tidak sekolah/tidak tamat SD/hanya SD. Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai Rp. 500.000, seperti: sepeda motor (kredit/non kredit), emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya Kelemahan Kebijakan dalam Mengurangi Kemiskinan Sebetulnya telah banyak kebijakan yang diluncurkan oleh pemerintah untuk mengatasi kemiskinan, namun secara umum masih terdapat banyak kelemahan dari kebijakan kemiskinan tersebut. Jika dipetakan, kelemahan itu dapat dijelaskan sebagai berikut: Kebijakan kemiskinan dilakukan secara seragam (gemeral) tanpa mengaitkan dengan konteks sosial. Ekonomi, dan budaya di setiap wilayah (komunitas). Akibatnya, kebijakan sering tidak relevan di suatu tempat (komunitas) walaupun di tempat (komunitas) lain program itu berhasil. Definisi dan pengukuran kemiskinan lebih banayk dipasok dari pihak luar (external imposed) dan memakai parameter yang terlalu ekonomis (moneter). Implikasinya, konsep penanganan kemiskinan mengalami bias sasaran dan mereduksi hakikat dari kemiskinan itu sendiri. Penanganan program kemiskinan mengalami birokratisasi yang terlampau dalam, sehingga banyak yang gagal akibat belitan prosedur yang terlampau panjang. Kebijakan kemiskinan sering diboncengi dengan motif politik yang sangat kental, sehingga tidak memiliki makna bagi penguatan sosial ekonomi kelompok miskin. Kebijakan kemiskinan kurang mempertimbangkan aspek ekonomi kelembagaan sebagai prinsip yang harus dikedapankan, sehingga sebagian kebijakan tidak berhasil karena aturan main yang didesain tidak sesuai dengan kebutuhan. KESIMPULAN masalah kemiskinan masih tetap perlu diperhatikan secara serius karena tujuan pembangunan Indonesia adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. penyebab utama dari munculnya kemiskinan adalah malpraktik pembangunan akibat formulasi kebijakan ekonomi (sosial dan politik) yang salah. program-program penganan kemiskinan dikonsentrasikan untuk mengangkat masyarakat yang tergolong ke dalam kemiskinan absolut Secara umum masih terdapat banyak kelemahan dari kebijakan mengurangi kemiskinan. DAFTAR PUSTAKA Biro Pusat Statistik, http://www.bps.go.id, 2010 Arsyad, Lincolin, Ekonomi Pembangunan, STIE, Yogyakarta, 2004. Erani Yustika, Ahmad, Perekonomian Indonesia : Satu Dekade Pascakrisis Ekonomi, BPFE-UNIBRAW, Malang, 2007