[go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu

Hukum Progresif

TUGAS HUKUM DAN MASYARAKAT 3 KONSEP HUKUM PROGESIF VERSI PROF. DR. SATJIPTO RAHARDJO, SH Oleh: INUGRAHA AL AZIZ PURYASANDRA 8111412180 ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2014 PENDAHULUAN Indonesia adalah Negara Hukum demikian tertuang dalam dasar konstitusi kita yaitu Pasal 3 ayat 1 UUD 19451. Sampai saat ini Indonesia masih menganut sistem Civil Law yang merupakan sistem hukum dari eropa continental2. Oleh karena itu Indonesia menggunakan huku positif yang aturanya tertulis, tetapi tidak kaku semua tertulis. Indonesia juga mentolelitr aturan-aturan tidak tertulis seperti hukum adat3. Oleh karena itu uncul beberapa gagasangagasan mengenai sistem huku baru salah sayunya yaitu hukum Progresif. Gagasan hukum progresif muncul disebabkan oleh kegalauan menghadapi kinerja hukum yang banyak gagal untuk menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa ini. Terutama sejak bergulirnya era reformasi, yang ditandai oleh ambruknya kekuasaan Presiden Suharto yang otoriter selama berpuluh-puluh tahun itu, harapan rakyat terhadap hukum sebagai sang juru penolong makin melambung tinggi. Supremasi hukum sudah dianggap sebagai panacea, obat mujarab bagi semua persoalan. Harapan tersebut sangat membebani hukum untuk mencapai hasil sebagaimana diharapkan. Di lain pihak berbagai polling dan survai malah menunjukkan, bahwa cukup banyak prestasi yang tidak memuaskan. Ini menyebabkan kesenjangan yang melebar antara harapan dan kenyataan, sehingga menuai kekecewaan. Mungkin baik untuk memulai risalah ini dengan membicarakan moral hukum progresif. Kandungan moral ini adalah kepedulian yang tidak kunjung berhenti, mengenai bagaimana mendorong hukum untuk memberikan yang lebih baik dan lebih baik lagi kepada bangsanya. Salah satu perwujudan moral tersebut adalah pada waktu dibicarakan tentang hukum progresif sebagai kesinambungan antara merobohkan dan membangun4 Moral hukum progresif ingin mendorong agar cara kita berhukum tidak pernah mengenal waktu untuk berhenti, melainkan selalu ingin melakukan sesuatu menuju kepada keadaan yang lebih baik. Kandungan moral yang demikian itu disebabkan oleh penerimaan paradigma manusia di atas paradigma aturan (rule). Sejarah hukum menjadi saksi tentang bagaimana, dari waktu ke waktu, dari abad ke abad, manusia bergulat dengan dan membangun tatanan kehidupannya. Ada satu tragedi di situ, yaitu tentang keinginannya untuk membangun satu tatanan, tetapi pada waktu yang sama tatanan itu dirombaknya kembali, karena manusia merasa tidak betah tinggal di situ. 1 Pasal 3 ayat 1 UUD 1945 Oleh B Arief sudharta dalam bahan study filsafat hukum ( 1998) 3 Dasar Hukum Pasal 5 (3) sub B UU darurat No 1 th 1951 4 Jurnal Hukum Progresif Volume 2, Nomor 1/April 2006 2 Amandir-mengamandir Undang-Undang Dasar mungkin merupakan contoh yang baik mengenai tragedi tersebut. Bangsa Indonesia membuat Undang-Undang Dasar dengan tujuan agar kehidupannya lebih mapan untuk waktu yang abadi. Dalam waktu berpuluh-puluh tahun, lebih dari setengah abad, memang ia berhasil mewujudkan mimpinya itu, tetapi tidak lebih lama daripada itu. Kompromi antara menjaga kelestarian dan perubahan dilakukan dengan membuat amandemen-amandemen. Pada masa awal reformasi, di penghujung tahun 90-an, pemerintahan Habibie mencapai rekor produksi perundang-undangan dalam masa transisi yang pendek. Apabila dikaitkan pada reformasi, maka pada waktu itu, problem-problem dalam reformasi seolah-olah telah dijawab dengan memroduksi undang-undang atau dapat juga dikatakan, bahwa reformasi hukum dilakukan dengan memproduksi undang-undang secara masal. Tetapi jawaban yang demikian itu tidak menyelesaikan masalah, karena ia tidak bergeming sesudah “digelontor” dengan sejumlah besar undang-undang baru. Kesimpulan yang dapat ditarik adalah, bahwa terdapat kesalahan dalam cara bangsa ini berhukum. Konklusi tersebut mendorong kita untuk melihat kembali kepada cara-cara yang dilakukan dalam mewujudkan negara hukum. Negara hukum adalah sebuah bingkai (framework)5 besar yang memuat prinsip-prinsip yang menuntun cara bangsa untuk menata (organize) serta menyalurkan proses-proses dalam masyarakat, sehingga tercapai tujuan sosial, politik, ekonomi dan lain-lain dalam bernegara tersebut. Ada hal yang kurang benar dalam cara kita berhukum, sehingga dengan cara yang selama ini dijalankan masyarakat menilai hukum tidak bekerja dengan baik. 5 Satjipto Rahardjo dan hukum progresif: Urgensi dan kritik (2011) PEBAHASAN Istilah hukum progresif, diperkenalkan oleh Satjipto Rahardjo6, yang dilandasi asumsi dasar bahwa hukum adalah untuk manusia. Satjipto Rahardjo merasa prihatin dengan rendahnya kontribusi ilmu hukum dalam mencerahkan bangsa Indonesia, dalam mengatasi krisis, termasuk krisis dalam bidang hukum itu sendiri. Adapun pengertian hukum progresif, adalah mengubah secara cepat, melakukan pembalikan yang mendasar dalam teori dan praksis hukum, serta melakukan berbagai terobosan. Pembebasan tersebut di dasarkan pada prinsip bahwa hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya dan hukum itu tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas yaitu untuk harga diri manusia, kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemuliaan manusia. Gagasan hukum progresif lahir di tengah-tengah kegalauan sebagaimana diuraikan di atas, dan karena itu lebih sarat dengan keinginan untuk bertindak daripada suatu kontemplasi abstrak. Namun demikian, karena ia dilontarkan dan berasal dari komunitas akademik, maka pemikiran-nyapun perlu bersifat komprehensif dan di sini pemikiran teoritispun tak dapat ditinggalkan. Hukum progresif mengajak bangsa ini untuk meninjau kembali (review) cara-cara berhukum di masa lalu. Cara berhukum merupakan perpaduan dari berbagai faktor sebagai unsur, antara lain, misi hukum, paradigma yang digunakan, pengetahuan hukum, perundang-undangan, penggunaan teori-teori tertentu, sampai kepada hal-hal yang bersifat keperilakuan dan psikologis, sebaigaimana yang dimaksud dalam sebuah kajian dimaksud seperti tekad dan kepedulian (commitment), keberanian (dare), determinasi, empati serta perasaan(compassion). Pada asas dasar yang formal, maka perundang-undangan dan sekalian kelengkapan untuk menjalankannya (enforce) segera menyedot perhatian kita. Sejak Indonesia adalah sebuah negara hukum, maka konstitusi dan perundang-undangan menjadi landasan untuk bertindak. Sekalipun demikian, kendati sama-sama mendasarkan pada hukum, belum tentu sekalian orang juga sama dalam memaknai hukum atau undang-undang itu. Perbedaan dalam memaknai hukum berlanjut pada cara berhukum. Salah satu cara berhukum yang sangat merisaukan gagasan hukum progresif adalah yang secara mutlak berpegangan pada kata-kata atau kalimat dalam teks hukum. Cara yang demikian itu merupakan hal yang banyak dilazimkan di kalangan komunitas hukum, yaitu yang disebut sebagai menjaga kepastian hukum. Hukum adalah teks itu dan tetap seperti itu sebelum diubah oleh legislatif. Cara berhukum tersebut hanya melihat sistem hukum sebagai mesin besar perundang-undangan yang harus dijalankan. Di sini penegakan hukum sudah menjadi masinal, ibarat menjalankan 6 Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta: Kompas, 2007) teknologi “tekan tombol”. Para penegak hukum, seperti jaksa, hakim, sudah menjadi sekrupsekrup belaka dari mesin yang besar itu. Lebih daripada itu, maka gaya berhukum dengan tradisi civil law tersebut cenderung kuat untuk menerima hukum sebagai skema yang final (finite scheme), bukan sebagai panduan yang progresif, berbeda dengan common law yang bertumpu pada pengadilan. Hukum adalah sesuatu yang sudah selesai dibuat oleh legislatif7 dan bukan sesuatu yang setiap kali dibuat (oleh pengadilan). Dengan cara berhukum seperti itu menjadi tidak mudah bagi hukum untuk mengikuti dinamika kehidupan. Cara ini saya namakan sebagai cara berhukum yang mem-pertahankan status quo8. Hukum progresif ingin mengajak masyarakat untuk memahami betapa keliru menerima hukum sebagai suatu status quo, sebagai institut yang secara mutlak harus diabadikan. Pemahaman seperti itu akan mengatakan, bahwa hukum yang ada harus diterapkan “at all cost”. Hukum adalah suatu skema dan suatu skema yang final (finite scheme). Tidak ada cara berhukum yang lain, titik. Hukum progresif mengajak masyarakat untuk melihat kekeliruan tersebut sebagai faktor penting yang menyebabkan kinerja hukum menjadi buruk. Cara berhukum yang status-quo sentries, lazim bergandengan dengan alam pikiran positivistik-analitis. Di sini orang lebih membaca undangundang sebagai mengeja undang-undang, daripada membacanya secara bermakna. Memang, untuk menjadi sekrup dari mesin hukum yang baik, maka menjalankan hukum secara bermakna dapat menjadi penghalang. Mengikuti saja apa yang telah ditulis dianggap sebagai cara berhukum yang benar, sedang mencoba menggali makna dari apa yang tertulis akan menyebabkan jalannya mesin menjadi tersendat-sendat. Secara lebih sederhana hukum progresif adalah hukum yang melakukan pembebasan, baik dalam cara berpikir maupun bertindak dalam hukum, sehingga mampu membiarkan hukum itu mengalir saja untuk menuntaskan tugasnya mengabdi kepada manusia dan kemanusiaan. Jadi tidak ada rekayasan atau keberpihakan dalam menegakkan hukum. Sebab menurutnya, hukum bertujuan untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi semua rakyat. Satjipto Rahardjo mencoba menyoroti kondisi di atas ke dalam situasi ilmu-ilmu sosial, termasuk ilmu hukum, meski tidak sedramatis dalam ilmu fisika, tetapi pada dasarnya tejadi perubahan yang fenomenal mengenai hukum yang di rumuskannya dengan kalimat dari yang sederhana menjadi rumit dan dari yang terkotak-kotak menjadi satu kesatuan. Inilah yang disebutnya sebagai pandangan holistik dalam ilmu (hukum). Pandangan holistik tersebut memberikan kesadaran visioner bahwa sesuatu dalam tatanan tertentu memiliki bagian yang saling berkaitan baik dengan bagian lainnya atau dengan keseluruhannya. 7 (geleerd recht, van den Bergh, 1980) ). Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum; Pencarian, Pembebasan dan Pencerahan, (Surakarta: Muhammadiyah Press University, 2004) 8 Hukum progresif bermakna hukum yang peduli terhadap kemanusiaan sehingga bukan sebatas dogmatis belaka. Secara spesifik hukum progresif antara lain bisa disebut sebagai hukum yang pro rakyat dan hukum yang berkeadilan. Konsep hukum progresif adalah hukum tidak ada untuk kepentingannya sendiri, melainkan untuk suatu tujuan yang berada di luar dirinya. Oleh karena itu, hukum progresif meninggalkan tradisi analytical jurisprudence atau rechtsdogmatie9. Aliran-aliran tersebut hanya melihat ke dalam hukum dan membicarakan serta melakukan analisis ke dalam, khususnya hukum sebagai suatu bangunan peraturan yang dinilai sebagai sistematis dan logis. Hukum progresif bersifat responsif yang mana dalam responsif ini hukum akan selalu dikaitkan pada tujuan-tujuan di luar narasi tekstual hukum itu sendiri . Kehadiran hukum dikaitkan pada tujuan sosialnya, maka hukum progresif juga dekat dengan sociological jurisprudence dari Roscoe Pound. Hukum progresif juga mengundang kritik terhadap sistem hukum yang liberal, karena hukum Indonesia pun turut mewarisi sistem tersebut. Satu moment perubahan yang monumental terjadi pada saat hukum pra modern menjadi modern. Disebut demikian karena hukum modern bergeser dari tempatnya sebagai institusi pencari keadilan menjadi institusi publik yang birokratis. Hukum yang mengikuti kehadiran hukum modern harus menjalani suatu perombakan total untuk disusun kembali menjadi institusi yang rasional dan birokratis. Akibatnya hanya peraturan yang dibuat oleh legislatiflah yang sah yang disebut sebagai hukum. Progresifisme hukum mengajarkan bahwa hukum bukan raja, tetapi alat untuk menjabarkan dasar kemanusiaan yang berfungsi memberikan rahmat kepada dunia dan manusia10. Asumsi yang mendasari progresifisme hukum adalah pertama hukum ada untuk manusia dan tidak untuk dirinya sendiri, kedua hukum selalu berada pada status law in the making dan tidak bersifat final, ketiga hukum adalah institusi yang bermoral kemanusiaan. Berdasar asumsi-asumsi di atas maka kriteria hukum progresif adalah: 1. Mempunyai tujuan besar berupa kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. 2. Memuat kandungan moral kemanusiaan yang sangat kuat. 3. Hukum progresif adalah hukum yang membebaskan meliputi dimensi yang amat luas yang tidak hanya bergerak pada ranah praktik melainkan juga teori. 4. Bersifat kritis dan fungsional. 9 Novita Dewi Masyitoh, Mengkritisi Analytical Jurisprudence Versus Sosiological Jurisprudence Dalam Perkembangan Hukum Indonesia, (Al-Ahkam, XX, Edisi II Oktober 2009) 10 Achmad Roestandi, Responsi Filsafat Hukum, (Bandung: Armico, 1992) Prof. Satjipto Raharjo, S.H., yang menyatakan pemikiran hukum perlu kembali pada filosofis dasarnya, yaitu hukum untuk manusia. Dengan filosofis tersebut, maka manusia menjadi penentu dan titik orientasi hukum. Hukum bertugas melayani manusia, bukan sebaliknya. Oleh karena itu, hukum itu bukan merupakan institusi yang lepas dari kepentingan manusia. Mutu hukum ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi pada kesejahteraan manusia. Ini menyebabkan hukum progresif menganut “ideologi” : Hukum yang pro-keadilan dan Hukum yang Pro-rakyat. Dalam logika itulah revitalisasi hukum dilakukan setiap kali. Bagi hukum progresif, proses perubahan tidak lagi berpusat pada peraturan, tetapi pada kreativitas pelaku hukum mengaktualisasikan hukum dalam ruang dan waktu yang tepat. Para pelaku hukum progresif dapat melakukan perubahan dengan melakukan pemaknaan yang kreatif terhadap peraturan yang ada, tanpa harus menunggu perubahan peraturan (changing the law). Peraturan buruk tidak harus menjadi penghalang bagi para pelaku hukum progresif untuk menghadikarkan keadilan untuk rakyat dan pencari keadilan, karena mereka dapat melakukan interprestasi secara baru setiap kali terhadap suatu peraturan. Untuk itu agar hukum dirasakan manfaatnya, maka dibutuhkan jasa pelaku hukum yang kreatif menterjemahkan hukum itu dalam kepentingan-kepentingan sosial yang memang harus dilayaninya. Berdasarkan teori ini keadilan tidak bisa secara langsung ditemukan lewat proses logis formal. Keadilan justru diperoleh lewat institusi, karenanya, argument-argumen logis formal “dicari” sesudah keadilan ditemukan untuk membingkai secara yuridis-formal keputusan yang diyakini adil tersebut. Oleh karena itu konsep hukum progresif, hukum tidak mengabdi bagi dirinya sendiri, melainkan untuk tujuan yang berada di luar dirinya. Dalam masalah penegakan hukum, terdapat 2 (dua) macam tipe penegakan hukum progresif : 1. Dimensi dan faktor manusia pelaku dalam penegakan hukum progresif. Idealnya, mereka terdiri dari generasi baru profesional hukum yang memiliki visi dan filsafat yang mendasari penegakan hukum progresif. 2. Kebutuhan akan semacam kebangunan di kalangan akademisi, intelektual dan ilmuan serta teoritisi hukum Indonesia. DAFTAR PUSTAKA BUKU Achmad Roestandi, 1992, Responsi Filsafat Hukum, Bandung: Armico. Satjipto Rahardjo, 2007, Membedah Hukum Progresif, Jakarta: Kompas. Satjipto Rahardjo ,2004, Ilmu Hukum; Pencarian, Pembebasan dan Pencerahan, Surakarta: Muhammadiyah Press University. Novita Dewi Masyitoh, 2009, Mengkritisi Analytical Jurisprudence Versus Sosiological Jurisprudence Dalam Perkembangan Hukum Indonesia, Jakarta: Al-Ahkam JURNAL Jurnal Hukum Progresif Volume 2, Nomor 1/April 2006 B Arief sudharta dalam bahan study filsafat hukum Volume 3, Nomor 5 Juni ( 1998) Satjipto Rahardjo dan hukum progresif: Urgensi dan kritik Volume 2 Nomor 1 February (2011) UUD dan PERUNDANGAN Pasal 3 ayat 1 UUD 1945 Pasal 5 (3) sub B UU darurat No 1 th 1951 Pasal 5 UU no 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman