[go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu
BAB I PARTAI POLITIK: POLITIK ALIRAN DAN KONDISI ELECTORAL 1 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH KOMPETENSI Dalam bab ini mahasiswa diharapkan dapat menggambarkan dan memahami konteks sosial, budaya, dan politik masyarakat di tingkat lokal. Dalam konteks sosial, mahasiswa diharapkan mampu menggambarkan dan memahami realitas sosial baik dari sisi pendidikan, ekonomi maupun relasi sosial yang terjadi dalam masyarakat. Lebih jauh mahasiswa diharapkan dapat memahi peran masyarakat sesuai dengan kondisi sosial masing-masing. Dalam konteks budaya, mahasiswa diharapkan dapat menggambarkan dan memahami norma, adat, dan kebiasaan masyarakat di tingkat lokal. Selanjutnya, dengan memahami budaya masyarakat, mahasiswa mampu memahami dinamika kehidupan khas masyarakat di tingkat lokal. Dalam konteks politik, mahasiswa dihapkan dapat menggambarkan dan memahami realitas politik di tingkat lokal baik itu pola afiliasi maupun perilaku politik yang terjadi dalam setiap pemilu. 2 BAB I PARTAI POLITIK: POLITIK ALIRAN DAN KONDISI ELECTORAL PETA politik di Indonesia sulit dilepas dari pertarungan kelompok Islam versus nasionalis. Polarisasi Islam-nasionalis ini biasanya merujuk pada politik aliran yang diteoritisasi Clifford Geertz pada 1950-an. Inti dari teori ini adalah adanya kesamaan ideologis yang ditransformasikan ke dalam pola integrasi sosial yang komprehensif mengikuti asumsi politik aliran, kelompok abangan yang diidentifikasi sebagai penganut muslim kurang taat cenderung memilih partai nasionalis. Sedangkan kelompok santri dipercaya akan menyalurkan suaranya pada partai Islam. Warga NU lebih nyaman mencoblos partai yang dekat dengan NU. Sebaliknya, pendukung Muhammadiyah dan organisasi modernis lain cenderung memilih partai yang berlatar belakang Islam modernis. A. Politik Aliran Politik aliran merupakan istilah umum yang dipakai ketika merujuk pada term “political cleavages”, walau sebenarnya agak kurang tepat namun karena ketiadaan padanan kata yang serupa, politik aliran dipakai untuk memberi arti pada term political cleavages tersebut. Sejak pertama kali konsep politik aliran ini dikemukakan oleh penemunya yaitu Cliford Geertz, walau dengan beragam kritik, sampai sekarang politik aliran terus menjadi alat utama dalam studi politik Indonesia. Dalam rangka menjelaskan kesinambungan politik aliran ini, hal pertama yang menjadi persoalan adalah bagaimana kita mendefinisikan dan menjelaskan politik aliran secara jernih. Geertz memberi pemahaman secara inplisit pada pola politik aliran 3 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH sebagai bentuk pentranlasian pembilahan socio-religy yaitu: santri— abangan—priyayi kedalam bentuk institusi politik berupa partai politik Islam dan Nasionalis. Oleh karena itu juga menjadi penting bagaimana kita menjelaskan karakter partai Islam dan partai Nasionalis: asal usulnya ideologi, isu-isu apa yang diperjuangkannya serta siapa basis kelompoknya. Sejak pemilu demokratis pertama yang dilaksanakan tahun 1955 para ilmuan menganggap bahwa politik aliran tetap menjadi faktor utama yang mempengaruhi perilaku politik pemilih, dan berlangsung sampai pada pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997 dibawah rezim represif Orde Baru. Melangkah ke paruh ketiga politik Indonesia (Orde Reformasi) kekuatan politik aliran masih dianggap punya pengaruh terhadap perilaku politik di Indonesia, namun sudah mulai terjadi polemik antara mereka yang mendukung dan yang membantah. Sebagai contoh kasus, kutub yang tetap mendukung politik aliran direpresentasikan Dwight King (2003), dalam bukunya, “Half-Hearted Reform, Electoral Institutions and th Struggle fo Democracy in Indonesia, dan Anis Baswedan (2004), dalam tulisannya yang berjudul “Sirkulasi Suara Dalam Pemilu 2004”. Sementara kutub yang berlawanan direpsentasikan William Liddle dan Saiful Mujani dalam karyanya “Leadership, Party and Religion: Explaining Voting Behavior in Indonesia”. King (2003) menyajikan sebuah diskusi yang menarik, dengan menggunakan analisis statistik berupa teknik analisis bivariate dan multiple regression untuk membandingkan hasil pemilu 1955 dan pemilu 1999. Data yang digunakan adalah data agregat nasional hasil pemilu, dan data geografis yang diuji dengan indikator-indikator seperti urbanisasi, akitivitas pemerintah, keislaman, angka melek hurup, faktor ketidak merataan (inequality), dan program pembangunan. Kesimpulan yang dihasilkan adalah “adanya keberlanjutan politik aliran seperti fenomena pemilu 1955 Orde Lama ke pemilu 1999 Orde Reformasi.” Begitu juga dengan Baswedan (2004), dengan mengadopsi metodanya King berusaha membandingkan pola dukungan pemilih pada pemilu 1999 dan 2004. Baswedan menemukan adanya korelasi signifikan antara dukungan untuk partai Islam di setiap Kota dan Kabupaten selama dua pemilu. Secara sama, partai Nasionalis dan Kristen mendapat dukungkan kuat di daerah daerah yang merupakan basis dukungan PDI-P. Kesimpulan yang dikemukakan 4 PARTAI POLITIK: POLITIK ALIRAN DAN KONDISI ELEKTORAL adalah “pada tingkat masyarakat masih ditemukan pola politik berbasis aliran, perubahan politik lintas aliran tidak ditemukan dalam pemilu 2004.” Hasil yang berbeda dengan apa yang ditemukan King dan Baswedan, Liddle dan Mujani justru menemukan bahwa pengaruh orienasi keberagamaan atau aliran (pelaksanaan keberagamaan seorang muslim), pada suara hasil pemilu tahun 1999 dan 2004 sangat terbatas. Justru Liddle dan Mujani menemukan bahwa faktor kepemimpinan menjadi faktor signifikan yang mempengaruhi perilaku politik pemilih. Hal ini dijelaskan oleh Liddle dan Mujani sebagai dampak dari berkembangnya media massa khususnya televisi sampai ke pelosok-pelosok daerah. Temuan ini berusaha mematahkan pandangan umum yang selama ini berkembang dalam mengkaji Indonesia dari mulai Geertz 1950an sampai dengan King dan Baswedan. Apakah temuan Liddle dan Mujani ini akan menjadi sebuah paradigma baru dalam menjelaskan perilaku politik Indonesia, akan sangat bergantung pada seberapa besar dukungan dari masyarakat, khususnya masyarakat akademis sebagaimana yang dikemukakan Khun. 1. Aliran Geertz Jika partai politik menginginkan dirinya relevan secara sosial, dan secara demikian bisa membangun basis sosialnya, maka partai harus mengaitkan dirinya dengan cleavages yang ada. Secara umum cleavages bisa bersumber dari agama, etnik, bahasa, budaya, maupun geografis. Di Indonesia, tidak seperti di negara Barat, dimana cleavage berdasar kelas tidak begitu berpengaruh, justru cleavage agamalah (aliran) yang paling dominan dibanding dengan cleavages yang lain.1 1 Kajian mengenai hubungan anatra cleavage dan partai politik banyak dilakukan oleh para ilmuwan politik, seperti Seymour Lipset dan Stein Rokkan, Bartolini, dan Sartori. Seymour Lipset dan Stein Rokkan meyakini bahwa partai politik memainkan peran signifikan dalam terbentuknya political cleavages. Karena mereka menganggap bahwa perbedaan struktur sosial tidak serta merta ditranslasi menjadi perbedaan politik yang signifikan. Mobilisasi oleh partaipartai politik justru merupakan bagian yang amat penting dalam transformasi struktur sosial yang berbeda menjadi mengeras dan mendorong terbentuknya political cleavages. Studi Bartolini yang lebih kontemporer, misalnya, menunjukkan bahwa ketika sebuah cleavage (kelas, agama, atau etnik misalnya) menjadi terorganisasi, maka cleavage ini akan menjelma menjadi kekuatan politik yang otonom dan berpengaruh. Studi klasik Sartori juga menunjukkan bahwa partai politik (kiri) bukanlah ‘akibat’ dari eksistensi kelas ekonomi. Sebaliknya, partai politik lah yang mengeraskan perbedaan kelas, melalui proses sosialisasi politik yang membentuk kesadaran kelas. 5 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH Pengaruh kelas terhadap perilaku politik tidak signifikan karena di Indonesia tidak mengenal stratifikasi kelas berdasarkan pada status sosial ekonomi, dan persepsi kelas secara subjektif tidak dikenal dalam masyarakat desa, khususnya dalam istilah Marxis. Jika dipahami, konteks kelas dalam masyarakat Jawa, mungkin dapat dijelaskan dalam kerangka birokrasi, bukan dalam kontek Marxis.2 Orang-orang hanya mengenal dua pembeda mengenai individu dalam masyarakat yaitu wong cilik (orang kecil) dan wong gedhe (orang besar), yaitu orangorang yang berkerja di birokrasi atau priyayi. Oleh karena itu, istilah seperti “kiri,” “liberal,” tidak dipahami dalam istilah tata bahasa di Indonesia.3 Melalui pendekatan Budaya, Clifford Geertz (1960) dalam penelitiannya di Mojokuto Jawa Timur, menyusun kategorisasi masyarakat kedalam trikotomi yaitu Santri, Priyayi, dan Abangan. Penelitian jenis antropologi yang dilakukan Geertz di Mojokuto mulai Mei 1953 sampai September 19544 ini menghasilkan konstruksi nalar Jawa yang sangat berpengaruh bagi perkembangan sosial, politik, dan budaya di Indonesia. Trikotomi Agama Jawa itulah yang sampai sekarang terus disebut-sebut dalam wacana sosial, politik, dan budaya di Indonesia dan menjadikannya referensi induk atas upaya ilmuwan sosial di belakangnya yang membedah tentang Jawa. Kekuatan utama Geertz mengungkap fenomena Agama Jawa adalah kemampuan mendeskripsikan secara detail ketiga varian tersebut dan menyusun ulang dalam konklusi hubungan konflik dan integrasi yang logis dan utuh atas ketiga varian tersebut. 2 Lihat Afan Gaffar, Javanese Voters, A Case Study of Election Under s Hegemonic Party System, Jogjakarta: Gadjah Mada University Press, 1992. Hlm. 9. 3 Hilang nya istilah kiri bisa ditelusuri kebelakang ketika massa Soekarno dan Soeharto. Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai partai ‘kiri’ hilang di Indonesia setelah dihancurkannya pada tahun 1965. Juga dengan ditekannya Partai Sosialis Indonesia (PSI) oleh Sukarno dan juga Suharto. Dampak dari hilangnya elemen kiri ini, partai dengan ideologi yang programatik menjadi tidak ada Karena itu, attachment agama atau attachment yang bersifat primordial lain menjadi lebih dominan. Literatur mengenai sistem politik yang mapan, terutama di Eropa, selalu menampakan spektrum ideologis partai-partai politik yang konsisten: kiri-tengah-kanan. ‘Kiri’ berarti mendukung peran negara yang dominan dalam ekonomi dan kesejahteraan (bersifat sosialistik, belum tentu sinonim dengan komunis), ‘tengah’ adalah moderat, dan ‘kanan’ adalah kelompok liberal yang berusaha mengeliminir peran negara (singkatnya tidak setuju subsidi dan pajak yang tinggi misalnya) dan berusaha mengembalikan kapital lewat aktifitas masyarakat (pasar). 4 Pengamatan Geertz tentang Mojokuto terkait profesi penduduk setempat, penggolongan penduduk menurut pandangan masyarakat Mojokuto berdasarkan kepercayaan, preferensi 6 PARTAI POLITIK: POLITIK ALIRAN DAN KONDISI ELEKTORAL Hasil perenungan Geertz sampai pada kesimpulan bahwa santri adalah kelompok muslim yang taat dalam menjalankan perintah agama. Bagi santri pada tahun 1950-an, taat terhadap agama berarti mengupayakan agar Islam menjadi landasan atau asas bagi pengelompokan politik, seperti parpol dan negara. Karena itu, mereka mendirikan parpol berasas Islam, dan pada tahun 1950-an mereka juga mengupayakan agar Indonesia berasaskan Islam. Sebaliknya, Abangan adalah kelompok Muslim yang tidak taat menjalankan kewajiban agama Islam, apalagi memperjuangkan agar negara berasaskan Islam. Bagi Kelompok Abangan, Islam tidak penting dalam kehidupan sosialpolitik. Dengan demikian tidak heran apabila kemudian kelompok Abangan lebih terbuka terhadap ideologi politik lain yang dominan di dunia pada waktu itu, yakni komunisme. Sementara Priyayi adalah kelompok Muslim yang secara kultural dekat dengan Abangan, namun yang membedakan mereka adalah dari cara berperilaku yang lebih halus dan datang dari pegawai pemerintah. Dikotomi yang terjadi antara Santri (tradisional) dan Abangan, dalam prakteknya keseharian tidaklah ekstrim, karena ada titik temu etnis dan pandangan politik, dan ditemukannya tiga inti struktur sosial yakni desa, pasar dan birokrasi pemerintah yang mencerminkan tiga tipe kebudayaan: Abangan, Santri dan Priyayi. Struktur sosial desa biasanya diasosiasikan kepada para petani, pengrajin dan buruh kecil— yang penuh dengan tradisi animisme seperti upacara slametan, kepercayaan terhadap makhluk halus, tradisi pengobatan, sihir dan magis menunjuk kepada seluruh tradisi keagamaan Abangan. Sementara pasar terlepas dari penguasaan etnis Cina yang tidak menjadi pengamatan Geertz— diasosiasikan kepada petani kaya dan pedagang besar dari kelompok Islam berdasarkan kondisi historis dan sosial di mana agama Timur Tengah berkembang melalui perdagangan, dan kenyataan yang menguasai ekonomi Mojokuto. Mereka itulah yang memunculkan subvarian keagamaan Santri. Terakhir adalah subvarian Priyayi. Varian ini menunjuk pada elemen Hinduisme lanjutan dari tradisi Keraton Hindu-Jawa. Sebagaimana halnya Keraton (simbol pemerintahan birokratis), maka Priyayi lebih menekankan pada kekuatan sopan santun yang halus, seni tinggi, dan mistisisme intuitif dan potensi sosialnya yang memenuhi kebutuhan kolonial Belanda untuk mengisi birokrasi pemerintahannya. Metode kerja yang dipakai Geertz dalam pengumpulan data-data selama penelitiannya di Mojokuto, kota kecil di Jawa Timur, adalah penguasaan bahasa lokal, pemanfaatan banyak informan lokal, pembagian tugas dengan tim peneliti lain, pendalaman topik-topik tertentu yang membutuhkan detail, dan pengumpulan data-data statistik. Dan bagian terbesarnya digunakan untuk kegiatan observasi-partisipatif. Prinsip kerjanya berdasarkan proposisi bahwa ahli etnografi itu mampu mencari jalan keluar dari datanya, untuk membuat dirinya sendiri jelas agar para pembaca dapat melihat sendiri bagaimana tampaknya fakta-fakta itu, dan dengan demikian bisa menilai kesimpulan dan generalisasi ahli etnografi itu sesuai dengan persepsi aktualnya sendiri (hal. 9). Meskipun Jawa adalah Jawa yang stereotip penunjukannya jelas, namun perhatian Geertz mengungkap adanya varian agama Jawa lebih kepada adanya kompleksitas masyarakat Jawa. 7 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH diantara kedua kutub tersebut. Baik Santri maupun Abangan, keduaduanya adalah Islam, sehingga dalam kehidupan praktis keagamaan ada momen dan aktivitas yang mempersatukan mereka terutama pada kelompok Santri Islam Tradisional (warga Nahdliyin).5 ===================================================== Ortodoks Ortodoks Modern Tradisional Sinkretis ____________________________________________________________ Santri Abangan Sumber: Karl D. Jackson, Kewibawaan Tradisional, Islam, Dan Pemberontakan, Kasus Darul Islam Jawa Barat, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990. Lebih Jauh Karl D. Jacktion (1978) menempatkan varian Santri kedalam dikotomi Modernis dan Tradisionalis ortodok, dan varian lainnya ditempatkan sebagai sinkretis. Dalam hal ini kelompok Modernis secara politik direpresentasikan oleh Masyumi, PMI (Partai Muslimin Indonesia), dan Muhammadiyah, sementara Tradisionalis ortodok direpresentasikan oleh Nahdatul Ulama.6 Format politik aliran sebagai mana dikemukakan Geertz, bisa ditelusuri ketika ia mendiskusikan hubungan antara agama dan politik dengan santri jawa di mojokuto sebagai berikut: 5 Peneliti melakukan observasi kedalam masyarakat yang merepresentasikan dari kelompok Abangan dan Santri. Dari hasil observasi menunjukkan bahwa baik mereka yang Abangan maupun yang Santri pada acara ritual keagamaan seperi acara tahlilan, yasinan, kajatan, acara kematian mereka bersatu. Apalagi dalam acara kematian, baik yang Abangan maupun yang Santri melakukan kerja sama dan sebenarnya masyarakat Abangan secara tidak langsung dalam acara-acara seperti kematian dan perkawinan mau tidak mau harus bekerja sama dengan yang Santri untuk mengurus upacaranya. Yang membedakan mereka adalah pada pelaksanaan ajaran Islam seperti shalat, puasa atau naik haji. Bagi yang Abangan, umumnya mereka tidak menjalankan shalat dan puasa dalam bulan Ramadhan, apalagi melakukan ibadah Haji. NU mampu menciptakan mekanisme inklusi sosial yang smooth. Orang Abangan masuk dalam komunitas Santri secara halus tanpa harus melepas identitasnya semula. Sebab pada praktiknya di desadesa, mereka hampir tidak pernah mempermasalahkan secara vulgar apakah sholat lima waktu atau tidak; puasa penuh di bulan ramadhan atau tidak. Meski hampir selalu ada ceramah agama di dalam forum tahlilan, namun tidak dalam seruan yang keras. 6 Karl D. Jackson, Kewibawaan Tradisional, Islam, Dan Pemberontakan, Kasus Darul Islam Jawa Barat, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990. 8 PARTAI POLITIK: POLITIK ALIRAN DAN KONDISI ELEKTORAL He went on to talk about the ideology and said that Islam means slamet (well being). Thus Islam means to wish in the heart intensely so as to reach slamet. He said (the Islamic Leader): ‘if we want a slamet life we must go by the Islamic ideology which is based on the Koran and Hadist. To do this.... we struggle in three arenas in the home, in society, and in politics. Politics concerns with how we will be able to group the state. This must be done both by revolt by election. And if be done not by revolt but by election. And if the state police, the civil service, the national radio, the national news paper...and obviously this will be much faster than merely struggling in the home. The change one person can make in twenty years of effort in the home can be made one year through politics”.7 Dengan demikian sangat dipahami apabila orang santri melihat hubungan antara agama dan politik bagaikan hubungan manis dan gula seperti Kyai Besar Isya Anshari kemukakan.8 Alasan bahwa Islam merupakan petunjuk yang lengkap bagi dunia modern; ini meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Bagi seorang santri untuk menjalankan Islam secara lengkap mereka harus juga mendukung organisasi sosial politik yang dapat mendukung nilai-nilai Islam dalam masyarakat. Dalam pandangan tersebut diatas kita dapat melihat bahwa faktor relogio-kultural dapat menjadi dasar identifikasi untuk seseorang dengan partai politik tertentu. Santri akan mengidentifikasi mereka dengan partai politik yang merefleksikan nilai-nilai ajaran agama, atau paling tidak dengan sebuah partai yang memperjuangkan pelaksanaan nilai-nilai keislaman dalam masyarakat, sementara abangan akan cenderung mengidentifikasikan diri dengan partai politik yang punya pandangan sekuler dan paling tidak menunjukkan budaya abangan atau merefleksikan non-Islam/orientasi politik nonsantri. 7 Clifford Geertz, The Religion of Java ( Glencoe, Illiones: The Free Press,1960), p. 368. Alan Samson, Religious Beleifs and Political Action in Indonesia Islamic Modernism, in R. William Liddle, ed., Political Participation in Modern Indonesia (Yale University Southeast Asia Studies, Monograph Series, 1973). 8 9 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH 2. Potret Aliran Di Tengah Masyarakat Malang Di tinjau dari segi keberagamaan, khususnya pemeluk Islam, masyarakat Kota dan Kabupaten Malang terbagi ke dalam dua kelompok besar yaitu kelompok masyarakat yang tingkat keberagamaannya minimal (Abangan), dan masyarakat dengan tingkat keberagamaan yang taat (Santri). Lebih jauh, dalam kelompok masyarakat Santri terbagi lagi ke dalam dua kelompok yaitu Santri Modernis dan Santri Tradisional. Santri Modernis9 biasanya diidentikan dengan Muhammadiyah, sementara Santri Tradisional diidentikan dengan NU. Sebagaimana umumnya Daerah di wilayah Provinsi Jawa Timur, Malang memiliki banyak pondok pesantren, mulai dari yang tradisional sampai pesantren modern.10 Pesantren tidak hanya tempat untuk melakukan transfer ilmu keagamaan, namun juga sekaligus mewariskan kultur kepada Santri dan masyarakat dilingkungan pesantren itu. Dalam kultur pesantren, kyai merupakan tokoh sentral sekaligus figure kharismatik yang segala perkataan dan perbuatan menjadi contoh dan panutan masyarakat. Legitimasi religius yang dimiliki oleh sosok kyai, secara sosial sangat penting dalam menjamin ketertiban dalam masyarakat, namun karena sifat kepemimpinannya yang patron-client sangat sulit untuk menumbuhkan kehidupan demokratik yang menjamin adanya independensi dari Pemilih. Walaupun kultur masyarakat Santri kelihatan semarak, namun sisi lain masyarakat Kota dan Kabupaten Malang masih banyak sekali perilaku abangan. Bahkan dalam realitasnya, antara mereka yang tergolong Santri dibanding dengan Abangan, secara kuantitatif masih sedikit lebih banyak masyarakat yang teridentifikasi sebagai abangan. 9 Terkait dengan Santri Modernis di Kota dan Kabupaten Malang, yang paling menojol adalah Muhammadiyah, Al-Irsyad, dan Hijbutahrir, sementara Persis tidak begitu menonojol. Namun dalam aktivitas politik Hijbutahrir tidak berperan aktif. Hijbutahrir berpendapat bahwa politik sekarang tidak cocok dengan syariat Islam, karena bagi mereka konsep khilafah paling sesuai dengan Islam. Hasil wawancara dengan salah satu anggota Hijbutahrir pada bulan Desember 2008, di rumahnya di Taman Embong Anyar I Kabupaten Malang. 10 Yang dimaksud dengan pesantren tradisional adalah pesantren yang dalam pengelolaannya sangat sederhana baik dari segi bangunan fisik maupun teknik pengajarannya. Umumnya pesantren tradisional ini sangat mengandalkan pada kyai dalam pengelolaan pesantren, sementara pesantren modern sudah baik dalam sarana dan prasarana maupun dalam sistem pengajaran, akan tetapi kultur pesantren masih melekat. Sebagai contoh Pesantren modern Al-hikam yang ada di Jengger Ayam Lowok Kota Malang yang didirikan oleh Ketua Umum PB NU, KH. Hasyim Mujadi. 10 PARTAI POLITIK: POLITIK ALIRAN DAN KONDISI ELEKTORAL Bukti nyata dari besarnya kaum Abangan ini, ketika pemilu, mayoritas dari masyarakat memilih partai Nasionalis, khususnya PDIP dalam pemilu 1999 maupun 2004. Sementara, kalau dilihat dari sisi kultur, Santri yang banyak di temui di Kota dan Kabupaten Malang adalah Santri Tradisional yang umumnya berafiliasi dengan partai-partai yang punya kedekatan secara sosiologis maupun historis dengan organisasi Islam Tradisional yaitu NU. 11 Selain punya banyak varian dalam perilaku keberagamaan, masyarakat Kota dan Kabupaten Malang juga punya keragamaan dalam etnis, seperti Arab, Cina, Madura, Sunda, Bugis Makasar, termasuk etnis utamanya yaitu Jawa. Walaupun pluralitas etnis di Kota dan Kabupaten Malang tergolong tinggi, namun konflik horizontal yang melibatkan etnis boleh dibilang jarang terjadi.12 Walaupun demikian, masih terdapat sekat-sekat yang membatasi komunikasi sosial dan politik antar etnis ini, sehingga perlu adanya pengembangan wacana multi-kulturalisme di Kota dan Kabupaten Malang.13 Disamping mempunyai tingkat keragaman sosial, ekonomi, budaya, suku/ras, dan agama yang tinggi, Malang juga mempunyai letak geografis yang upayas bagi pertahanan dan keamanan serta faktor historis politis yang penting khususnya masa Orde Lama. Oleh 11 Pada pemilu 1999 dan 2004 umumnya kelompok Santri Tradisional di Kota dan Kabupaten Malang berafiliasi dengan Partai Kebangkitab Bangsa. Hal ini bisa dibuktikan dari kemenangan signifikan PKB dibanding dengan partai-partai lain yang punya kedekatan dengan NU. 12 Menurut hasil observasi penulis, selama tinggal di Malang, etnis pendatang yang paling dominan adalah etnis Madura. Kelompok etnis ini tidak hanya berhasil masuk dan sukses di dunia perdagangan, namun juga di bidang politik, birokrasi, dan pendidikan. Di bidang pendidikan misalnya di Unibraw, pimpinan tertingginya, hampir tidak pernah diganti oleh orang selain dari etnis madura, di birokrasi pemerintahan, pada tahun 2002 sampai dengan 2008, dan di Kabupaten Malang Wakil Bupati peride 2005-2010 yang sekaligus sebangai Ketua DPD Golkar termasuk etnis Madura. Menurut saya, yang menjadikan etnis Madura bisa diterima di Kota dan Kabupaten Malang, walaupun ada resistensi secara laten akibat perilaku yang sedikit agresif, dikarenakan adanya kesamaan agama dan kesamaan kultur yaitu kultur pesantren yang sangat menghargai kyai. 13 Wacana multikulturalisme, khsusunya mulai pasca reformasi sebenarnya sudah banyak dilakukan baik oleh generasi muda NU maupun Muhammadiyah. Generasi NU dalam pengembangan Multikulturalisme ini dilakukan dengan membuat sekolah demokrasi, sementara generasi muda Muhammadiyah banyak dilakukan di Kampus-kampus dengan menyelenggarakan berbagai seminar dan diskusi yang melibatkan berbagai tokoh dari beragam agama. Hasil observasi terhadap generasi muda NU yang dimotori aktivis PMI dan pemuda Muhammadiyah di Kota dan Kabupaten Malang. 11 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH karena itu Kota dan Kabupaten Malang menjadi tolak ukur keamanan dan ketertiban baik di tingkat regional Jawa Timur maupun Nasional. Kondisi tersebut membawa Malang menjadi tempat bagi lokasi penempatan kekuatan militer dan pemusatan latihan.14 3. Fondasi Sosial Budaya Yang Menopang Berkembangnya Politik Aliran di Malang Kota dan Kabupaten Malang merupakan bagian dari wilayah provinsi Jawa Timur. Berdasarkan karakter budaya yang dimilikinya, provinsi Jawa Timur dapat dibagi menjadi 10 wilayah kebudayaan, yaitu tlatah kebudayaan besar ada empat; Jawa Mataraman, Arek, Madura kepulauan, Pandalungan. Sementara tlatah yang kecil terdiri atas Jawa Ponoragan, Samin (sedulur Sikep), Tengger, Osing (Using), dan Madura Kangenan (Ayu Sutarto, 2004).15 Masing-masing kelompok etnik tersebut memiliki identitas masing-masing, disamping keunggulan atau kelebihan baik yang terkait dengan produk maupun kinerja kulturalnya. Tlatah kebudayaan Jawa Mataraman berada di sebelah barat. Wilayahnya paling luas, membentang dari perbatasan Provinsi Jawa Tengah hingga kabupaten Kediri. Wilayah ini mendapat pengaruh kuat dari kerajaan Mataram, baik pada masa Hindu-Budha maupun era kesultanan Mataram Islam yang berpusat di Yogyakarta dan Surakarta. Karena itu wilayah ini mempunyai kemiripan dengan budaya masyarakat Yogyakarta dan Surakarta. Wilayah Budaya Mataraman dibagi lagi menjadi Mataraman Kulon, Mataraman Wetan, dan Mataraman Pesisir. Pembagian ini didasarkan pada jejak sejarah dan budaya lokal yang berkembang. Ciri yang paling mudah untuk mengenali ketiga wilayah Mataraman ini bisa dikenali melalui bahasa yang dipergunakan. Dari segi kedekatan budaya dengan Jawa 14 Beberapa instalasi militer yang ada di Kota dan Kabupaten Malang, antara lain Korem 083 Baladhika Jaya, Kodim Kota, Kodim Kabupaten, Ajudan Jenderal Kodam, Resimen Induk Milliter Kodam V Brawijaya, Hukum Kodam Brawijaya, Dodik Bela Negara Kodam Brawijaya, Bataliyon Pembekalan dan Angkutan Divisi 2 Kostrad, Bataliyon Infanteri 512/QY, Perhubungan Kodam V Brawijaya, Bataliyon Altileri Medan I, Divisi Infanteri 2 Kostrad. Bataliyon Kavaleri Serbu, Bataliyon Infanteri 502 Kostrad, Brgadir Infanteri 18 Kostrad. Hasil Observasi selama penelitian ini dilaksanakan di Kota dan Kabupaten Malang. 15 Untuk lebih lengkapnya lihat Ayu Sutarto, Sekilas Tentang Masyarakat Pandalungan, http// catalogue.nla.gov.au 12 PARTAI POLITIK: POLITIK ALIRAN DAN KONDISI ELEKTORAL Tengah, Mataraman Kulon lebih kuat. Bahasa jawa yang dipergunakan lebih halus jika dibanding dengan bahasa Jawa Mataraman Wetan, yang wilayahnya bekas Keresidenan Madiun. Samping Timur Mataraman merupakan tlatah budaya Arek. Sisi Timur Kali Brantas menjadi batas antara wilayah Mataraman dan Arek. Tlatah budaya Arek membentang dari utara ke Selatan, dari Surabaya hingga Malang. Setelah industrialisasi masuk, menjadi tempat tujuan bagi pendatang yang menjadikannya daerah ini sebagai tempat peleburan budaya di Jatim. Meski luas wilayahnya hanya 17% dari keseluruhan luas Jatim, hampir 49% aktivitas ekonomi Jatim ada di wilayah arek. Dengan demikian budaya Arek ini merupakan sentuhan dari aneka kultur baik lokal maupun asing, dan membentuklah komunitas Arek. Masyarakat yang berkultur Arek ini terkenal dengan semangat juang tinggi, mempunyai solidaritas kuat, terbuka terhadap perubahan, mau mendengarkan saran orang lain, dan mempunyai tekad dalam menyelesaikan segala persoalan melalui cara yok opo enake, ( baca: solusi agar sama-sama senang). Komunitas budaya terbesar ke tiga adalah Madura.16 Wilayahnya adalah Madura. Karakteristik kultur warganya pun berbeda dengan masyarakat di tlatah Mataraman. Menurut Kuntowijoyo (2002), keunikan Madura adalah bentukan ekologis tegal yang khas, yang berbeda dari ekologis sawah di Jawa. Pola pemukiman terpencar, tidak memiliki solidaritas desa, sehingga membentuk ciri hubungan sosial terpusat pada individual, dengan keluarga inti sebagai dasarnya. Karakteristik lingkungan dan budaya inilah yang membuat banyak orang madura berimigrasi ke daerah lain, terutama Jawa Timur bagian Timur. Oleh karena itu dari Jawa Timur bagian timur ini bisa dikatakan sebagai tanah tumpah darah kedua orang Madura Pulau. Lingkungan bermukim orang Madura yang berdampingan dengan orang Jawa, kawasannya disebut Pandalungan. Menurut Prawiroatmojo (1985), kata pandalungan berasal dari kata dasar “dhalung” artinya periuk besar. Wadah bertemunya budaya sawah dengan budaya tegal atau budaya Jawa dengan budaya Madura, yang membentuk budaya 16 Orang-orang Madura dikenal sebagai pekerja keras, tekun, dan ulet sehingga menarik perhatian Pemerintah Kolonial Belanda (Sutjipto, 1983; Kusnadi, 2001) dalam Ayu Sutarto, Sekilas Tentang Masyarakat Pandalungan, http//catalogue.nla.gov.au 13 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH Pandalungan. Hasilnya, masyarakat yang berciri agraris-egaliter, bekerja keras, agresif, ekspansif, dan memiliki solidaritas yang tinggi, tetapi masih menempatkan pemimpin agama Islam sebagai tokoh sentral. Daerahnya meliputi Pasuruan, Probolinggo, Situbondo, Bondowoso, Lumajang, dan Jember.17 Sementara wilayah di ujung Timur, yaitu Banyuwangi. Daerah ini merupakan pertemuan tiga budaya yaitu Jawa, Madura, dan Osing. Budaya Osing merupakan warisan kebudayaan Kerajaan Blambangan (abad ke-12) merupakan sentuhan dari budaya Jawa Kuno dan Bali. Orang-orang Osing dikenal sebagai petani rajin dan seniman andal. Tari Gandrung merupakan simbol dari budaya Osing. Komunitas budaya lainnya adalah Tengger dan Samin. Orang Tengger tinggal di dataran tinggi Tengger dekat gunung Bromo. Mereka mepertahankan adat istiadat Hindunya, sedangkan orang samin tinggal di daerah Bojonegoro yang berbatasan dengan Jawa Tengah. Dalam peta budaya masyarakat Malang masuk dalam wilayah “Mataraman” akan tetapi secara kultural lebih banyak dan dekat dengan budaya “Arek”. Menurut sejarah kerajaan, Malang masuk dalam daerah kekuasaan Kerajaan Mataram. 18 Oleh karena itu 17 Dalam konsteks geopolitik dan geokultural, masyarakat pandalungan merupakan bagian dari masyarakat tapal kuda. Masyarakat tapal kuda adalah masyarakat yang bertempat tinggal di daerah tapal kuda, yakni suatu kawasan di Provinsi Jawa Timur yang membentuk lekukan mirip ladam atau kasut besi kaki kuda. Kawasan ini memiliki karakteristik tertentu dan telah lama menjadi kantong pendukung Islam kultural dan kaum abangan. Pendukung Islam kultural dimotori oleh para kyai dan ulama, sementara kaum abangan dimotori oleh tokoh-tokoh politik dan tokoh-tokoh yang tegabung dalam aliran kepercayaan. Secara garis besar ciri-ciri masyarakat pandalungan adalah sebagai berikut: 1). Sebagian besar agraris tradisional, berada dipertengahan jalan antara masyarakat tradisional dan masyarakat industri; dan tradisi dan mitos mengambil tempat yang dominan dalam kesehariannya. 2). Sebagian besar masih terkungkung tradisi lisan tahap pertama (primary orality) dengan ciri-ciri suka mengobrol, ngerasani (membicarakan aib orang lain), takut menyimpang dari pikiran dan pendapat yang berlaku umum. 3). Terbuka terhadap perubahan dan mudah beradaptasi. 4). Ekspresif, transparan, tidak suka memendam perasaan atau berbasa basi. 5). Paternalistik: keputusan bertindaknya mengikuti keputusan yang diambil oleh para tokoh yang dijadikan panutan. 6). Ikatan keluarga sangat solid sehingga penyelesaian masalah seringkali dilakukan dengan cara keroyokan. 7). Sedikit keras dan temparamental. Lihat Ayu Sutarto, Ibid. 18 Oleh karena itu ketika membicarakan budaya arek tidak lepas dari kebudayaan mataraman, karena kerajaan Mataram juga memberikan kontribusi. Di antaranya, munculnya ragam bahasa bertingkat karena munculnya raja-raja baru yang mendorong posisi mereka yang berbeda dari rakyat jelata -terlepas dari dampak baik atau buruk. Hal itulah yang memunculkan perdebatan sekaligus ambiguitas berbahasa dalam wilayah budaya Arek. Mataram berhasil menaklukkan Surabaya pada 1625 Masehi, setelah 30.000 orang Surabaya dihadapkan kepada 70.000 tentara 14 PARTAI POLITIK: POLITIK ALIRAN DAN KONDISI ELEKTORAL masyarakat Malang memiliki produk kebudayaan yang tidak jauh berbeda dari komunitas Jawa yang tinggal di Surakarta dan Yogyakarta yang juga merupakan daerah kekuasaan Kerajaan Mataram. Masyarakat Jawa Mataraman ini pada umumnya masyarakat yang tinggal di wilayah Kabupaten Ngawi, Kabupaten dan Kota Madiun, Kabupaten Pacitan, Kabupaten Magetan, Kabupaten dan Kota Kediri, Kabupaten Nganjuk, Kabupaten Tulungagung, Kabupaten dan Kota Blitar, Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Tuban, Kabupaten Lamongan, dan Kabupaten Bojonegoro. Dilihat dari pola kehidupan sehari-harinya masyarakat Malang mempunyai sebagaimana pola kehidupan seperti orang Jawa pada umumnya. Pola bahasa Jawa yang digunakan, meskipun tidak sehalus masyarakat Surakarta dan Yogyakarta, mendekati kehalusan dengan masyarakat Jawa yang terpengaruh kerajaan Mataram di Yogyakarta. Begitu pula pola cocok tanam dan sistem sosial yang dianut sebagaimana pola masyarakat Surakarta dan Yogyakarta. Pola cocok tanam dan pola hidup di pedalaman Jawa Timur, di sebagian besar, memberi warna budaya Mataraman tersendiri bagi masyarakat ini. Sedangkan selera berkesenian masyarakat ini sama dengan selera berkesenian masyarakat Jawa pada umumnya. Dalam masyarakat Jawa Mataraman ini banyak jenis kesenian seperti ketoprak, wayang purwa, campur sari, tayub, wayang orang, dan berbagai tari yang berkait dengan keraton seperti tari Bedoyo Keraton. Sementara, sebagai masyarakat yang mempunyai kultur areknya, masyarakat Malang dikenal mempunyai semangat juang tinggi, terbuka terhadap perubahan, dan mudah beradaptasi. Komunitas Arek juga dikenal sebagai komunitas yang berperilaku bandha nekat.19 Malang juga merupakan kota tujuan Mataram. Di situlah awal hegemoni Kerajaan Mataran dengan segala konsekuensi budayanya dimulai. Pembukaan lahan untuk permukiman maupun untuk penanaman pohon yang bisa diperdagangkan merupakan awal terbentuknya kampung. Pada era kolonialis Belanda, kampung terbentuk sebagai manifestasi segregasi kelompok etnik agar mudah dikendalikan. Untuk lebih jelasnya lihat Autur Abdillah, Perjalanan Panjang Budaya Arek, Jawa Pos, Selasa, 30 Oktober 2007. 19 Perilaku bandha nekat ini disatu sisi bisa mendorong munculnya perilaku patriotik, tetapi di sisi lain juga menimbulkan sikap destruktif. Semenjak adanya kompetisi sepak bila Nasional (Liga Indonesia), perilaku bonek sangat bisa ditemui pada saat laga sepak bola yang melibatkan kesebelasan AREMA. Para suporter Arema dalam mendukung tim kesayangannya sangat tinggi, namun juga kerap menimbulkan masalah karena sering terjadi tawuran bahkan tindakan destruktif. Hasil observasi pada pendukung kesebelasan Arema, ketika melakukan pertandingan di stadion Gajayana Kota Malang, pada tahun 2004-2007. 15 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH dari daerah lain seperti Gresik, Mojokerto, Jombang, Sidoarjo, Blitar, Probolinggo, Jember, dan sebagainya. Melihat kenyataan tersebut di atas, Kerajaan Majapahit dan Mataram menjadi penting dalam membicarakan masyarakat Malang yang mempunyai kultur “arek”. Kerajaan Majapahit memberikan kontribusi pada tiga hal: Pertama, bahasa tunggal yang tidak memiliki tingkatan dalam berbahasa yang digunakan dalam wilayah budaya Arek. Kedua, pola kekuasaan yang dipimpin atau diserahkan pada warga lokal. Ketiga, wilayah budaya Arek merupakan jangkar bagi Majapahit untuk menguasai wilayah lainnya di Jawa Timur dan sekitarnya. Kerajaan Mataram juga memberikan kontribusi, seperti munculnya ragam bahasa bertingkat karena munculnya raja-raja baru yang mendorong posisi mereka yang berbeda dari rakyat jelata, terlepas dari dampak baik atau buruk.20 Dalam peta wilayah budaya Jawa Timur, budaya Arek terletak di sisi timur Kali Brantas. Dengan demikian, budaya Arek meliputi Surabaya, Sidoarjo, Gresik, Mojokerto, Jombang, Malang, termasuk Kediri dan Blitar yang dibatasi oleh Pare ke timur. Meski tidak bersifat matematis, kedelapan wilayah tersebut—aliran Kali Brantas ke timur— menentukan lahirnya budaya Arek. Surabaya dan Malang dianggap sebagai pusat pusat budaya Arek, kedua wilayah tersebut memiliki beberapa kesamaan. Pada masa pemerintahan kolonial, Belanda memperlakukan konstruksi arsitekturnya secara sama dalam beberapa hal, misalnya bentuk-bentuk bangunan dan nama daerah.21 Posisi Kota dan Kabupaten Malang menjadi pintu gerbang bagi arus informasi, pendidikan, perdagangan dari luar Malang, hal ini menyebabkan masyarakat Kota dan Kabupaten Malang relatif terbuka dan heterogen. Yang menarik komunitas Arek ini dengan sikap keterbukaaannya itu bisa menerima berbagai model dan jenis kesenian apa pun yang masuk ke wilayah ini. Berbagai kesenian Tradisional hingga modern cepat berkembang di wilayah ini. Kesenian Tradisional (rakyat) yang banyak berkembang di sini adalah Ludruk, Srimulat, wayang purwa Jawa Timuran (Wayang Jek Dong), wayang Potehi (pengaruh kesenian Cina), Tayub, tari jaranan, dan berbagai kesenian 20 21 Kompas, 21 Juli 2008. Ayu Sutarto, Sekilas Tentang Masyarakat Pandalungan, http//catalogue.nla.gov.au 16 PARTAI POLITIK: POLITIK ALIRAN DAN KONDISI ELEKTORAL bercoral Islam seperti dibaan, terbangan, dan sebagainya. Sementara kesenian modern berbagai gaya, corak, dan paradigma berkembang pesat di Kota dan Kabupaten Malang. Seni rupa bergaya realisme, naturalisme, surialisme, ekspresionisme, pointilisme, dadaisme, dan instalasi berkembang pesat di wilayah ini. Begitu pula model teater, tari, musik, dan sastra kontemporer sangat pesat perkembangannya di wilayah Arek ini. Sikap keterbukaan, egalitarian,22 dan solidaritas tinggi itu mendorong berbagai kesenian macam apa pun bisa berkembang di Kota dan Kabupaten Malang sebagai wadah budaya Arek.23 Di sisi lain, agama Islam menjadi nilai dasar sosial yang penting di Kota dan Kabupaten Malang. Dimana dalam struktur sosial masyarakat Kota dan Kabupaten Malang, kyai ditempatkan menjadi aktor penting sekali dalam kehidupan masyarakat. Sistem pendidikan pesantren dan tradisi pendidikan pesantren, seperti sorogan dalam pelajaran di pesantren menempatkan kyai menjadi agen penting dari kehidupan sosial sosio-ekonomi masyarakat Kota dan Kabupaten Malang. Oleh karena itu tidak heran apabila kesenian yang berkembang di wilayah Kota dan Kabupaten Malang banyak diwarnai nilainilai Islam. Mulai dari tari Zafin, Sandur, Dibaan, dan sebagainya. Karena kyai dan pesantren ditempatkan sebagai posisi upayas dalam sistem sosial masyarakat Kota dan Kabupaten Malang, maka kyai dan pesantren seringkali menjadi agen penting dalam masyarakat. Bahkan dalam banyak hal kyai dan pesantrennya, secara kultural, bisa pula sebagai agen pembaharuan dalam masyarakat Kota dan Kabupaten Malang. Oleh karena itu banyak sastra modern yang dipengaruhi sastra Timur Tengah berkembang di sekitar pesantren dan kyai ini. Para penyair modern dan sajak-sajak modernnya berkembang di sekitar komunitas Santri ini. 22 Ketika ditelusuri lebih jauh, budaya arek yang melatar belakangi budaya di kawasan Kota dan Kabupaten Malang lahir dari perpaduan berbagai aliran budaya: Hindu, Budha, Islam, Mataraman, Kristen, dan Kolonial. Perpaduan budaya tersebut, menurut Ratna Indraswati Ibrahim, cerpenis Malang, membuat orang Malang lebih egaliter, terbuka, toleransi, dan memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Keterbukaan sikap masyarakat arek semakin terlihat setelah Kota Malang berkembang menjadi kota pendidikan, pariwisata, peristirahatan, dan militer. www.siwah.com 23 Kompas, 21 Juli 2008. 17 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH Dengan demikian tidaklah mengherankan apabila pola hubungan sosial politik masyarakat Malang mempunyai corak yang dilandasi magis-religius, hal ini menjadikan wajah politik di wilayah Kota dan Kabupaten Malang secara keseluruhan dapat di identikan dengan langgam kekuasaan yang cenderung Tradisional, meskipun terjadi transformasi kekuasaan yang berulang akan tetapi mentalitas kultur kekuasaan masih dalam frame kekuasaan hamba–kawula. Kekuasaan yang seharusnya dilihat sebagai relasi antar manusia selalu dipandang sebagai hak/nasib adi kodrati sehingga memunculkan banyak paradoks kekuasaan yang banyak mengadopsi struktur pemerintahan modern, yang oleh Weber dilukiskan sebagai neo-patrimonial.24 Banyak fenomena pemimpin yang mengklaim memiliki hubungan genetis dengan raja – raja kuno, pemakaian gelar – gelar kuno juga banyak di lakukan untuk mendapatkan legitimasi kosmologis. Meskipun tidak sekental masyarakat “tapal kuda “ masyarakat Kota dan Kabupaten Malang juga meletakkan para pemimpin agama dan tokoh sebagai pemilik kekuasaan sosial secara informal. Mayoritas penduduk Kota dan Kabupaten Malang secara riil beragama Islam. Ke-Islaman mereka terbagi ke dalam dua kelompok, pertama adalah kelompok Islam nominal dan kedua Islam yang taat, atau meminjam istilah Geertz (1960) sebagai Islam Abangan dan Islam Santri. Walau kedua kelompok ini sama-sama Islam namun dikarena kultur keberagamaannya berbeda maka dalam afiliasi politiknya pun tidak sama. Kelompok Islam Santri memilih partai Islam, sementara kelompok Islam Abangan memilih partai Nasionalis. Dengan kata lain, realitas aktualisasi aspirasi politik umat Islam Malang pada tataran empirik memperlihatkan sosok fenomena keberagaman kultur. 24 Konsep neo-patriomonial merujuk pada realitas politik sebuah negara yang telah mengalami tansformasi dalam bidang infra-struktur politik dari yang tradisional ke modern. Perkembangan innfra struktur politik modern yang dipergunakan dalam kehidupan politik belum diikuti dengan lunturnya budaya politik tradisional yang melingkupinya. Antara infra struktur politik modern yang dipakai (seperti partai politik, birokrasi) dan budaya politik tradisional berjalan seiring. Unsur yang menonjol dari beberapa rezim otoriter yang mampu mempertahankan stabilitas adalah bertahannya unsur-unsur tradisional yang tampak diwarisi dari masyarakat politik massa penjajahan. Proses modernisasi ekonomi, sosial, budaya, dan politik telah membawa perubahan mendasar dalam masyarakat tradisional. Akan tetapi, diakui secara luas bahwa unsur-unsur modern dari masyarakat yang sedang berkembang tidak selalu menggantikan elemen-elemen tradisional, dan memang gaya pikir dan perilaku tradisional tetap mempengaruhi bekerjanya institusi-institusi sistem tersebut. 18 PARTAI POLITIK: POLITIK ALIRAN DAN KONDISI ELEKTORAL Sepanjang perjalanan sejarah perkembangan partai-partai politik dan pengalaman pelaksanaan pemilihan umum (pemilu), realitas ekspresi penyaluran aspirasi politik umat Islam tidak terkosentrasi ke dalam satu wadah tunggal partai Islam, akan tetapi menyebar secara bervariasi ke berbagai saluran partai politik yang ada di panggung arena politik nasional. Dilihat dari segi pendidikan, masyarakat Kota dan Kabupaten Malang yang berpendidikan dan yang kurang berpendidikan prosentasenya kurang berimbang. Masyarakat yang terdidik adalah masyarakat yang berada di kawasan sekitar Kota Malang, sedangkan masyarakat yang berada di pinggiran umumnya kurang mengetahui tentang apa tujuan serta visi dan misi partai yang dipilihnya terkesan seperti mereka sekedar ikut- ikutan. Kyai dan tokoh masyarakat masih menjadi simpul pengendali terhadap pilihan politik masyarakat. Kondisi ini merupakan bagian dari ciri khas dari kultur masyarakat Jawa yang patrimonial dengan pola sosial patron-clien.25 Maraknya kultur patrimonial dalam masyarakat Malang telah berimplikasi pada kehidupan politik yang cenderung sentralistik karena kurang ada ruang dari masyarakat untuk mengekspresikan politiknya secara bebas. Kyai atau ulama-ulama sebagai Patron yang dihormati dan sekaligus menjadi panutan dalam kehidupan spiritualnya, merupakan bentuk pengejawantahan nilai-nilai penting dalam kehidupan pesantren. Hal ini secara tidak langsung diwariskan secara turun temurun, dari generasi ke generasi yang terus diperkuat oleh berbagai macam ritual yang sekaligus sebagai pembeda dari kelompok lain. Mulai dari acara tahlilan, yasinan, dibaan, maupun acara khusus seperti wali-wali (ziarah ke makam wali-wali), istighosa dan khususiya (doa bersama), ataupun kunjungan tetap tiap bulannya ke pesantren tertentu sekedar sowan (baca : bertamu) pada kyai-nya menjadi tradisi yang melembaga dari kerajaan kyai. Dilihat dari sisi politik, kondisi ini merupakan lahan yang 25 Hubungan patron-client yang banyak terdapat di beberapa Negara Asia lainnya dan Amerika Latin yang sangat menitik beratkan aspek material. Sebab dalam sistem bapakisme ini pada prinsipnya “bapak” atau “patron” menanggung pemenuhan kebutuhan sosial, material, spiritual, dan pelepasan pemenuhan kebutuhan emosional untuk para “anak buah” atau client. Faktor utama yang menentukan dalam “bapakisme” adalah hutang budi yang menimbulkan sikap hormat yang begitu tinggi dari “anak buah” kepada “bapak”. Dalam hubungan seperti ini maka “anak buah” tidak akan pernah mau menentang “bapak” sekalipun jelas diketahui bahwa “bapak” tidak benar. 19 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH potensial bagi partai politik untuk menjadikannya sebagai basis pendukung partai. Oleh karena itu sering kali menjadikan kyai dan para ulama dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu sebagai alat untuk menggiring massanya ke partai politik tertentu. Hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa pola afiliasi politik seperti apa yang di kemukakan Geertz, dimana pemilih Santri memilih partai Islam, pemilih Abangan memilih partai Nasionalis, dan pemilih priyayi memilih Golkar masih tampak. Golongan masyarakat Abangan di Malang cukup banyak, walaupun Malang ini terkenal dengan masyarakat yang Islamnya cukup besar. PDI-P memiliki pendukung yang cukup banyak yang dibuktikan dengan suara PDIP hasil pemilu 1999 dan 2004 yang signifikan dan hampir merata di setiap daerah (Kabupaten Malang, Kota Malang). Di Daerah Kabupaten Malang PDI-P meraih 510.450 suara (38,47%) pada pemilu 1999 dan 357.008 suara (28,97%) pada pemilu 2004.26 Dengan demikian, walau kultur pesantren cukup kuat mempengaruhi kehidupan masyarakat Malang, namun tidak serta merta menjadikan Malang sebagai basis partai Islam. Karakteristik Masyarakat Malang yang heterogen dengan kultur arek yang keras dan egalitarian telah menjadi tembok tebal bagi sebagian warga Malang dalam menahan pengaruh politik Islam yang datang dari kultur pesantren.27 Oleh karena itu, walaupun mereka dalam kehidupan kesehariannya mereka bersatu padu dalam menjalankan ritual yang bercirikan Islam Tradisional seperti tahlilan, yasinan ataupun yang lainnya, namun dalam hal aspirasi politik 26 Hasil pemilu 2004, walaupun PDIP tetap menempati posisi pertama dalam perolehan suara, namun mengalami penurunan yang cukup besar. Data KPUD Kota dan Kabupaten Malang hasil Pemilu 2004, dan data hasil pemilu 1999. 27 Oleh karena itu menurut Hotman Siahaan, di wilayah budaya arek, kekuatan lebih egalitarian. Ia menunjuk kenyataan menarik hasil pemilu di Jatim dalam lima pemilu sejak tahun 1971. Hasil yang diperoleh PPP dan Golkar naik turun, tapi PDI menunjukkan garis turun tapi menunjukkan garis terus naik. Pada pemilu 1971, PDI hanya memperoleh 5,83% dan turun menjadi 5,11% pada pemilu 1977, kemudian naik menjadi 6,58% (1982), dan 7,99% (1987) lalu melejit menjadi 15,97 persen (1992). Hasil yang diperoleh PPP pada pemilu 1971 sebanyak 39,25%, kemudian turun menjadi 36,05 persen (1977), lalu naik sedikit menjad 36,64 persen (1982), lalu turun drastis hanya meraih 20,56 persen (1987) karena ada penggembosan oleh NU. Kemudian naik lagi menjadi 25,21 persen (1992). Golkar meraih kemenangan besar pada pemilu 1987 sebesar 71,45 persen, tapi turun drastis pada pemilu 1992 menjadi 58,82 persen. Hasil pada pemilu sebelumnya adalah 54,92 persen (pemilu 1971), 58,84 persen (1977), 56,78 persen (1982). www.hamline.edu. 20 PARTAI POLITIK: POLITIK ALIRAN DAN KONDISI ELEKTORAL mereka berbeda. Dalam sisi ritualitas keagamaan, masyarakat Kota dan Kabupaten Malang, dipermukaan memperlihatkan ciri-ciri masyarakat Islam, khususnya Islam Tradisional. Akan tetapi, dalam realitas politik mereka cenderung mengidentifikasikan dirinya ke partai Nasionalis, khususnya pada pemilu 1999 dan 2004 mereka berafiliasi ke PDIP. 28 Dalam lingkup yang lebih luas, kondisi tersebut dapat dijelaskan bahwa perilaku pemilih di Indonesia masih belum berubah dari pola yang berkembang sejak Pemilu 1955. Masyarakat tetap menyalurkan aspirasi politiknya dengan basis ideologi, sedangkan kelompok masyarakat yang rasional hanya hanya sedikit. Kondisi tersebut menyebabkan berbagai konsep, visi, dan platform yang ditawarkan menjadi tidak punya arti. Pada pemilu legislatif 5 April 2004, sejumlah partai memperebutkan suara dari kelompok masyarakat pemilih yang sama, seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Partai Golkar yang memperebutkan kaum Nasionalis, Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Keadilan Sejahtera (PK Sejahtera) mencari suara kaum Islam modern, dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) memperebutkan suara kelompok Islam Tradisional. Hal ini dikuatkan oleh pandangan Ichlasul Amal (2004), bahwa hasil pemilu legislatif menunjukkan dengan jelas asal-muasal suara yang diperoleh empat besar partai pemenang pemilu, Golkar, PDI-P, PKB, dan PPP. Keempat partai itu mendulang suara dari kelompok Islam dan Nasionalis. Masyarakat masih mencoblos partai berdasarkan aliran, budaya, dan agama. Di Jawa Timur, termasuk wilayah Kota dan Kabupaten Malang, ciri sosial dan budaya berpengaruh terhadap pola afiliasi politik. Masyarakat Tlatah Mataraman dari sejak 1955 hingga 2004 selalu loyal kepada partai yang Nasionalis. Orang Mataraman tidak suka yang mencolok, misalnya Islam yang terlalu Islam, karena mereka anggap tidak Nasionalis. (Kompas, 21 Juli 2008). Sebaliknya, mayoritas tlatah Madura dan Pandalungan lebih loyal kepada partai yang berbasis massa Islam Tradisional, NU (Orla), PPP (Orba), Partai Kebangkitan Bangsa (Orde Reformasi). Daerah dengan kultur Madura dan Pandalungan menempatkan Ulama dan Kyai dalam stratifikasi 28 Kenyataan seperti ini tidak salah apabila Malang dikatakan sebagai daerah “semangka”, yaitu daerah yang dipermukaannya hijau (Islam), namun di dalamnya merah (Nasionalis). 21 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH sosial tertinggi dan masih sekaligus menjadi panutan yang pengaruhnya ikut merembes ranah politik. Dalam pemilu 1999 dimenangi oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang “merah”, dan lima tahun kemudian, dalam pemilu 2004 PKB yang “hijau” unggul.29 B. Profil Umum Partai Politik Yang Lolos Treshold Pada pemilu 1999 ada sekita 48 partai politik yang ikut berkompetisi dalam pemilu, namun hanya ada enam partai yang lolos electoral threshold 2,5% yaitu PDIP, Golkar, PPP, PKB, PAN, dan PBB. Pada Pemilu 2004, jumlah partai yang ikut pemilu menurun drastris menjadi setengahnya (24 partai), dari keenam partai incumbent hanya PBB yang tidak bisa lolos threshold 3% namun ada 2 partai yang baru masuk yaitu PKS dan Demokrat. Pada pemilu 2009, partai politik mengalami peningkatan kembali menjadi 38 partai politik yang ikut kompetisi. Dari ke 38 partai ini, ada 9 partai politik yang lolos parliamentary threshold 2,5%, 7 partai incumbent dan 2 partai baru yaitu Gerindra dan Hanura. 1. Partai Demokrat Demokrat merupakan partai baru dalam perpolitikan Indonesia. Partai ini didirikan pada tahun 2001 oleh Soesilo Bambang Yudhoyono untuk memfasilitasi pencalonannya sebagai presiden. Sebagaimana aturan yang dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum, bahwa untuk menjadi calon presiden harus didukung oleh partai politik, oleh karena itu SBY mendirikan partai politik sendiri, dari pada masuk dalam partai politik yang sudah ada. SBY merupakan figure militer yang dikenal reformis yang mendorong diakhirinya keterlibatan militer dalam politik. Pada masa pemerintahan Megawati, SBY diangkat menjadi Menteri Pertambangan dan Energi, dan pada masa Pemerintahan Gusdur menjadi Menteri Politik dan Keamanan (1999-2001). SBY termasuk seorang nasionalis, baik dalam karir politik maupun militer, oleh karena itu Demokrat juga secara umum merupakan partai yang tidak berbasis agama. Namun dalam hal pandangan ideologi, Demokrat nampaknya ingin memberi ruang bagi semua golongan agar bisa diakomodir. Oleh karena itu, Demokrat memper29 Lebih jelasnya lihat hasil rekapitulasi pemilu 1999 dan 2004 Provinsi Jatim, www.kpu.go.id 22 PARTAI POLITIK: POLITIK ALIRAN DAN KONDISI ELEKTORAL kenalkan ideologinya dengan label “nasionalis-religius”. Walaupun SBY berasal dan punya kultur Jawa, namun dukungan terhadap Demokrat menyebar hampir diseluruh provinsi. Banyak dari kader dan aktifis Demokrat yang berasal dari Golkar. Kinerja electoral Demokrat sejak didirikan dan ikut pemilu pertama kali 2004 sampai pada pemilu 2009 menunjukkan tren yang meningkat. Pada pemilu 2004 perolehan suara Demokrat sebesar 7,4% dan pada pemilu 2009 meningkat menjadi 20,8%. 2. Partai Golkar Golkar merupakan mesin politik rezim Orde Baru, sebagai saluran komunikasi dan kontrol antara pemerintah dan rakyat, dan juga sebagai sarana distribusi patronase dan pengembangan sumber daya. Golkar menjadi partai politik yang perolehan suaranya selalu menjadi mayoritas tertinggi dalam setiap lima tahun pemilu yang dilaksanakan pada masa pemerintahan Soeharto. Jatuhnya rezim Seoharto pada tahun 1998 menimbulkan krisis dalam internal Golkar. Banyak pemimpin teras partai keluar dari Golkar dan mendirikan partai sendiri seperti Hartono (Partai Karya Peduli Bangsa, PKPB), Edi Sudrajat (Partai Keadilan dan Persatuan, PKP), dan Golkar harus menerima kenyataan perolehan suaranya pada pemilu 1999 dan 2004 hanya se-pertiga dari perolehan suara ketika masa rezim Orde Baru. Walaupun demikian, hal ini merupakan prestasi, mengingat gugatan dan tantangan yang besar melanda partai ini menjelang reformasi. Hal yang menjadi keuntungan dari Golkar untuk tetap bertahan adalah kekuatan jaringan organisasinya yang besar dan dengan reputasi sebagai partai yang dapat memberikan keuntungan kongkrit bagi rakyat. Golkar merupakan partai Nasionalis, dalam artian bahwa partai ini tidak mendasarkan diri pada agama tertentu. Akan tetapi sejumlah elemen Islam nampak sangat menonjol terutama dikalangan elitnya yang berlatar belakang HMI. Beberapa pimpinan Golkar merupakan tokoh yang berlatar belakang pensiunan militer dan partai ini menekankan dukungannya pada tolerasi agama dan inklusif. Secara ideologis Golkar dapat dikatakan sebagai partai yang berideologi pembangunan, menekankan pada kesuksesan pembangunan sosial dan ekonomi. Golkar mendapat dukungan yang tersebar diseluruh 23 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH provinsi, namun yang paling banyak pendukunganya datang dari provinsi luar Jawa, terutama wilayah timur. Beberapa tokohnya seperti Jusuf Kalla yang merupakan wakil Presiden periode 2004-2009 dan Agung Laksono Mantan Ketua DPR merupakan tokoh populer di Golkar yang berlatar luar Jawa bagian Timur. 3. PDIP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), merupakan partai yang punya akar historis panjang. Partai ini punya ikatan dengan Partai Nasionalis Indonesia (PNI) yang didirikan oleh Soekarno, Presiden pertama Republik Indonesia. Selama pemerintahan Soeharto, PDI mulai dari tahun 1970an sampai pertengahan 1990an partai ini menjadi salah satu pilar demokrasi yang selalu ikut pemilu dengan dua partai lainnya Golkar dan PPP, sebagai partai yang dilegalkan untuk ikut pemilu. Namun ketika kepemimpinan PDI dipegang oleh Megawati yang merupakan anak pertama dari Soekarno, pemerintah mulai resisten dengan PDI, dan pada tahun 1996, Megawati diberhentikan dengan paksa dari Ketua Umum PDI melalui kudeta, yang terkenal dengan “kuda tuli”. Seiring dengan jatuhnya pemerintahan Soeharto, Pendukung Megawati mendirikan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan pada pemilu 1999 menjadi partai terbesar dengan memenangan 33,7% suara. Perolehan suara terbesar yang diperoleh PDIP tidak bisa menghantarkan Megawati sebagai Presiden, dan baru bisa menjadi Presiden setelah Gusdur di impeach akibat kasus korupsi. Namun kinerja pemerintahan Megawati tidak menunjukkan progress yang baik, berbagai kebijakannya dianggap bertolak belakang dengan kepentingan wong cilik, oleh karena itu pada pemilu 2004 performa partai ini mengalami penurunan dan harus menelan kekalahan dengan perolehan suara 19% dikalahkan oleh Golkar dengan 21%. Dan pada pemilu 2009 PDIP turun lagi perolehan suaranya menjadi 16,03%. PDIP merupakan kelanjutan dari PNI yang didirikan oleh Soekarno yang merupakan partai dengan basis ideologi nasionalis. Pandangan politik PDIP menekankan pada tiga hal: menjaga persatuan dan integritas Indonesia dari ancaman dalam dan luar negeri; toleransi beragama dan kultur yang terbuka; berupaya 24 PARTAI POLITIK: POLITIK ALIRAN DAN KONDISI ELEKTORAL memperjuangkan kepentingan masyarakat umum. Namun demikian, semua itu tidak secara jelas ditunjukkan dalam berbagai kebijakan, akan tetapi hanya bisa dilihat dari berbagai respon terhadap isu sensitif yang muncul dari waktu ke waktu. Salah satu kebijakan kontroversial yaitu Undang-Undang anti pronografi, yang dikeluarkan tahuan 2008, dalam posisi ini PDIP menentang. PDIP menerima dukungan dari hampir semua provinsi, akan tetapi paling populer berada di Jawa dan Bali. Kekuatan utama PDIP ada di figur Megawati, oleh karena itu dalam pemilihan Ketua Umum selalu terpilih, walau menjelang pemilu 2009 sudah ada faksi yang menghendaki adanya perubahan kepemimpinan. Setelah SBY, mungkin Megawati merupakan tokoh yang paling populer dalam perpolitikan Indonesia, namun track record ketika Megawati menjadi Presiden dan lemahnya gagasan dan kemampuan intelegensi serta kurangnya generasi muda yang dipersiapkan untuk menjadi pemimpin teras PDIP telah mereduksi performa partai. Oleh karena itu berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan citra PDIP, namun dengan tetap mempertahankan Megawati sebagai Ketua Umum. 4. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Partai Keadilan Sejahtera merupakan partai Islam yang telah banyak menarik perhatian karena peningkatan spektakuler dalam perolehan suara. Pada pemilu 1999, partai ini maju dengan nama Partai Keadilan (PK), namun partai ini hanya mendapatkan 1,7% suara, namun pada pemilu berikutnya (2004) bisa meningkatkan perolehan suaranya hampir 4 kali lipat menjadi 7,3%, dan pada pemilu 2009 menjadi 7,9%. Partai ini dipimpin oleh kader-kader yang penuh semangat dan berlatar berpendidikan tinggi yang berasal dari kader-kader organisasi mahasiswa Islam. Partai ini sukses mempergunakan organisasi dan teknik kampanye yang diperkenalkan demokrasi Barat. Hal ini mendorong partai Islam lain untuk melakukan upaya serupa dengan merubah upaya kampanye yang lebih modern. Banyak yang memprediksikan bahwa partai ini akan menjadi salah satu kekuatan partai Islam di Indonesia. Walaupun dengan berbagai upaya pembaruan dari PKS, namun partai ini tetap merupakan Partai Islam seperti partai yang telah lahir 25 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH sebelum pemerintahan Soeharto. PKS diidentikan dengan partai Islam Modernis yang merupakan citra dari partai Masyumi yang lahir pada tahun 1950an. Akan tetapi PKS juga telah berupaya untuk melakukan perbaikan citra sebagai partai Islam. Sedikit banyak kesuksesan yang diraih pada pemilu 2004 berasal dari kampanye untuk memenangkan pemilih terdidik perkotaan dengan melontarkan isu korupsi dan pemerintahan bersih. PKS banyak mendapat serangan dari lawan politiknya, yang dianggap punya agenda tersembunyi, untuk menerapkan syariat Islam dibalik citra toleran dan partai inklusif. Besarnya tantangan yang dihadapi dalam menggalang pemilih Islam, PKS berusaha untuk mengembangkan basis konstituennya. Oleh karena itu, pada pemilu 2009, partai ini tidak lagi kelihatan sangat hijau karena mengendorkan kampanye yang berbasis kepentingan Islam, bahkan dalam beberapa kasus tertentu menjadikan caleg dari agama lain seperti di Papua. Menjelang pemilu 2009, PKS juga membuat isu kontroversial dengan mendukung mantan Presiden Soeharto sebagai pahlawan Nasional. Pimpinan teras PKS tidak ada yang popoler sebagai mana partaipartai papan tengah atas lain, partai ini sangat menekankan pada kinerja organisasi sebagai kekuatan dengan sistem kaderisasi yang baik dan solid. Satu tokoh paling populuer adalah Hidayat Nurwahid, karena pernah menjadi Ketua MPR. 5. Partai Amanat Nasional (PAN) Partai Amanat Nasional didirikan oleh Amin Rais, seorang tokoh reformasi dan paling berjasa dalam melakukan perubahan kepemimpinan Orde Baru 1998. Amin Rais merupakan akademisi, dosen jurusan Hubungan Internasional UGM, dan juga mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, sebagai organisasi Islam terbesar kedua setelah NU di Indonesia. Walaupun Amin Rais berlatar belakang Islam Modernis, namun partai ini tidak di design untuk menjadi partai Islam. PAN berusaha menjangkau seluruh elemen masyarakat, khususnya kelompok menengah perkotaan. PAN pada pemilu 1999, kinerja electoralnya cukup menjanjikan dengan perolehan suara 7,1%. Pada pemilu 2004 kinerja electoral PAN terus mengalami penurunan, walaupun dari sisi perolehan kursi bertambah. Pada masa kepemimpinan Soetrisno Bachir, PAN berusaha menghapus citra PAN 26 PARTAI POLITIK: POLITIK ALIRAN DAN KONDISI ELEKTORAL sebagai partainya Muhammadiyah. Oleh karena itu banyak dari kalangan kader yang berlatar belakang Muhammadiyah merasa kecewa dan mendirikan partai baru yang bernama Partai Matahari Bangsa (PMB). Menjelang pencalon presiden 2009, terjadi polemik diinternal PAN, yang berakibat pada pergantian kepemimpinan dari Soetrisno ke Hatta Rajasa yang sekarang menjadi Menko Perekonomian. 6. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Partai Kebangkitan Bangsa didirikan oleh mantan Presiden Abdurahman Wahid (yang lebih dikenal dengan Gusdur) tahun 1998. Walau didirikan setelah kejatuhan Soeharto, partai ini sebenarnya punya ikatan historis dan sosiologis dengan partai yang didirikan tahun 1950an yaitu Partai Nahdhotul Ulama sebagai representasi dari kelompok Islam tradisional. Basis pendukung utama PKB merupakan kelanjutan pendukung NU yang tersebar diseluruh Jawa Timur, utamanya di wilayah tapal kuda. Walaupun punya pendukung dari kelompok Islam, PKB cenderung lebih di design sebagai partai non Islam dengan asas Pancasila. Sebagaimana pendirinya yang sangat konsen dengan pluralisme beragama, partai ini pun menekankan pentingnya keragaman budaya dan agama. Walaupun PKB punya dukungan kuat di Jawa dan berhasil mendapatkan suara yang mengesankan pada pemilu 1999, namun partai ini terus mengalami penurunan kinerja electoralnya akibat konflik internal partai yang melibatkan Gusdur sebagai pendiri partai dengan para ketua umumnya, dan terus berlanjut sampai menjelang wafatnya Gusdur. Perpecahan terjadi mulai dari diberhentikannya Matori Abdul Jalil, Alwi Sihab, Saefullah Yusuf, sampai Muhaimin Iskandar yang merupakan keponakan Gusdur sendiri. Konflik Gusdur dengan Muhaimin sampai berlanjut di pengadilan, dan Gusdur dinyatakan kalah. Pada pemilu 2009 terjadi penggembosan oleh Gusdur dan putrinya Yeni Wahid yang mengakibatkan PKB kehilangan suara signifikan dengan perolehan suara 4,6%. 7. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Partai Persatuan Pembangunan didirikan pada tahun 1973, setelah Orde Baru membuat kebijakan fusi partai. Pada pemerintahan 27 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH Orde Baru dibawah Soeharto, hanya ada tiga partai yang boleh ikut pemilu yaitu Golkar, PDI, dan PPP. Sebagian pemimpinnya berlatar belakang Islam Tradisional NU, dan yang lain berasal Islam Modernis Muhammadiyah. Setelah Orde Baru bubar, sebagian konstituennya banyak yang beralih ke partai lain, utamanya partai yang punya hubungan historis dengan NU seperti PKB. PPP berusaha menunjukkan karakter sebagai partai Islam dengan mempertahankan simbol ka’bah sebagai lambang partai, mendorong dan mendukung diberlakukannya piagam Jakarta. Partai ini pada pemilu 1999 cukup populer dengan posisi ke tiga dalam perolehan suara dan menjadikan Hamzah Haz sebagai wakil Presiden mendampingi Megawati. Namun kinerja partai ini terus mengalami kemunduran pada pemilu-pemilu berikutnya. Setelah Hamzah Haz, kepemimpinan PPP di pegang oleh Suryadarma Ali, yang menjadi menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah. 8. Partai Bulan Bintang (PBB) Partai Bulan Bintang merupakan partai Islam Modernis lain selain PKS dan PAN. Partai ini punya hubungan historis dengan Partai Masyumi, hal ini bisa dilacak dari para pendiri partai yang merupakan keturunan dari para tokoh Masyumi seperti Ahmad Sumargono, Yusril Ihza Mahendra. Oleh karena itu basis pendukungan PBB banyak datang dari pemilih di luar Jawa sebagaimana Masyumi tahun 1955. Pada pemilu 1999 PBB menjadi salah satu partai yang lolos electoral threshold 2,5%, namun pada pemilu 2004 partai ini dinyatakan tidak lolos karena tidak memenuhi perolehan suara minimum 3% sebagaimana ketentuan baru threshold walau suaranya mengalami peningkatan. PBB sangat kental dengan ideologi Islam, sebagaimana yang terbaca dalam platformnya yang menjadikan Islam sebagai asas partai. 9. Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Partai Gerindra didirikan oleh Prabowo tahun 2008 sebagai sarana pencalonannya menjadi Presiden. Parbowo merupakan figur yang terkenal dan kuat ketika Orde Baru, sebagai mantan Danjen Kopasus dan menantu dari Penguasa Orde Baru Soeharto. Namun demikian, Prabowo banyak dikaitkan dengan berbagai kasus HAM yang membuatnya tidak popoler dalam pemilihan Presiden, ketika 28 PARTAI POLITIK: POLITIK ALIRAN DAN KONDISI ELEKTORAL mendampingi Megawati pada pemilu 2009. Kinerja electoral Gerindra tidak se bagus pendahulunya Demokrat, partai ini pada pemilu 2009 hanya memperoleh suara 3,0%. Menjelang pemilu 2009, Gerindra sangat banyak melakukan kampanye lewat media televisi dengan mengusung isu kemandirian ekonomi yang banyak menyerang kebijakan SBY yang dianggap terlalu liberal dalam visi ekonominya. 10. Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) Partai Hati Nurani Rakyat merupakan partai lain yang didirkan oleh mantan jenderal semasa Orde Baru. Partai ini didirikan oleh Wiranto yang juga didirikan dalam rangka mendukung pencalonan sebagai presiden. Wiranto pernah menjabat sebagai Panglima ABRI, dan Menteri Pertahanan semasa Presiden Soeharto dan Gusdur, Wiranto merupakan rival dari Prabowo ketika menjelang berakhirnya pemerintahan Soeharto, dan juga punya bayang-bayang kasus HAM. Wiranto tidak punya dukungan finansial kuat sebagaimana Prabowo, akan tetapi mempunyai jaringan luas serta koneksi dengan para pensiunan dan para petinggi TNI. Dalam kampanyenya lebih mengutamakan pemakaian caleg lokal yang potensial dari pada mempergunakan media massa. Oleh karena itu, dalam pemilu 2009 partai ini, walaupun lolos Parliamentary Threshold, namun kinerja electoralnya paling buncit dengan perolehan suara 3,8%. C. Pembilahan Politik Berbasis Aliran dan Kondisi Electoral 1. Fragmentasi Politik Berbasis Aliran Guna memetakan fragmentasi politik aliran, pertama-tama perlu dikemukakan beberapa pemikiran yang telah dikemukakan oleh para tokoh politik maupun akademisi mengenai kategorisasi politik di Indonesia. Dari kalangan politisi, Soekarno (1964) memetakan ideologi partai politik ke dalam Nasionalis-Agama-Komunis (Nasakom), dimana kelompok Nasionalis diwakili oleh PNI, Agama oleh Masyumi dan NU sedangkan Komunis direpresentasi oleh PKI. Dari kalangan akademisi, Feith dan Castles (1970) menyodorkan pembagian yang lebih kompleks untuk Sungai Budaya tahun 1950an, yaitu, Nasionalisme radikal (PNI), Tradisionalisme Jawa (PNI-PKINU), Islam (NU, Masyumi), sosialisme demokratis (PNI-Masyumi) dan komunisme (PKI). Mencoba mengikuti Feith dan Castles, Dhakidae 29 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH (1999) membagi masyarakat ke dalam empat kelompok, yaitu kelompok Nasionalis (PDI-P), Pembangunan (Golkar), Agama (PBB) dan Sosialisme (PRD). Sedangkan Suryadinata (2002) mengkristalkan kembali pemikiran dan aliran politik yang ada ke dalam dua kategori besar, yaitu, Pancasila dan Islam Politik (Political Islam). Formulasi Feith (1970) yang mengungkap lima kutub aliran. Yaitu, Islam, Nasionalisme radikal, sosialisme, komunisme, dan Tradisionalisme Jawa. Tumbuhnya kelima aliran itu dipengaruhi oleh dua sumber utama, yakni: khasanah Barat (modern) dan domestik (Hindu-Buddha dan Islam). Dari situlah mengejawantah heterogenitas partai. Feith melihat kelima aliran itu saling terkait (cross-cutting). Nasionalisme radikal dengan representasi PNI terkait dengan NU; Islam dengan representasi Masyumi bersama NU; Tradisionalisme Jawa dengan representasi Partindo terkait PNI dan NU; sedangkan sosialisme demokrat dengan representasi PSI terkait Masyumi dan PNI. Kecuali aliran komunisme yang diwakili PKI menjadi kutub terpisah sendiri. Pola penggolongan Feith tersebut tampaknya mendobrak kesemerawutan pandangan ideologi yang kaku.30 Sebenarnya kategorisasi politik berbasis aliran seperti model Geertz, Feith, dan Soekarno itu sudah banyak mendapatkan kritik karena dianggap hanya mewakili potret masyarakat Jawa dan sejak keruntuhan Orde Baru, model itu dianggap sudah tertinggal dari perkembangan politik kontemporer. Meski demikian, teori politik aliran bagaimanapun masih tetap dipakai sebagai kerangka perspektif dalam memahami basis pembilahan orientasi politik atau pengelompokan religio-sosial, serta hubungan sistem kepercayaan dan realitas politik. Begitupun dalam pembahasan disini, penulis akan mempergunakan penglompokan politik model Geertz yaitu Islam vs Nasionalis sebagai alat analisis. 30 Feith membagi tipologi parpol di Indonesia atas dasar ideologi politik. Paling kiri dianut Partai Komunis Indonesia, agak ke tengah (komunis Nasionalis) Partai Murba, ke kanan (sosial demokrat) Partai Sosialis Indonesia (PSI), di tengah ada Nasionalisme kerakyatan Partai Nasional Indonesia (PNI), agak ke kanan ada partai-partai Islam modern (Masyumi dan Persis), Tradisional (NU), dan yang bertipe solidarity maker bercampur traders (PSII). Ada juga partai-partai Nasionalis kecil, seperti PIR (Partai Persatuan Indonesia Raya), Parindra (Partai Indonesia Raya), PNI-Merdeka, SKI (Sarekat Kerakyatan Indonesia), Partai Buruh dan lainnya. Dua partai beraliran Kristen, Parkindo dan Partai Katholik, tidak dikategorikan partai agama, karena Kristianitas dan Nasionalisme berbaur hanya untuk menunjukkan eksistensi kaum minoritas. 30 PARTAI POLITIK: POLITIK ALIRAN DAN KONDISI ELEKTORAL 1.1. Partai Politik Islam31: Asal Usul, Isu, dan Basis Kelompok Pemilih Kalau kita menengok ke belakang, sejarah berdirinya partai politik Islam di inspirasi oleh adanya keinginan untuk membentuk wadah politik tunggal untuk perjuangan ummat Islam pasca kemerdekaan 1945. Sesuai dengan manifestasi politik pemerintah yang ditandatangani oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta bulan November 1945 semua golongan ummat Islam sepakat untuk membentuk suatu wadah politik tunggal yang bernama MASYUMI (Moh. Sjafaat Mintaredja, 1971). Partai Politik Masyumi ini didukungan oleh organisasi-organisasi Islam besar seperti NU, Muhammadiyah, dan PSII. Akan tetapi kebersamaan ketiga ormas Islam ini mengalami perpecahan dalam mendukung Masyumi pada tahun 1948 dengan dibentuknya kembali Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dibawah pimpinan Arudji Kartawinata, Abikoesno Tjokrosoejoso dan lain-lain. Kemudian pada tahun 1953 disusul dengan keluarnya Nahdlatul Ulama (NU) dan menjadi partai politik sendiri. Sampai pemilu 1955 praktis basis kelompok pendukung Masyumi yang secara formal mendukung adalah Muhammadiyah. Walapun pada akhirnya, Muhammadiyah harus menyatakan diri mundur dari keanggotaan istimewa Masyumi sebelum partai ini dibubarkan pada tahun 1960.32 Isu yang muncul dari partai Islam sering berhubungan dengan upaya pembentukan negara Islam dan pelaksanaan syariat. Dalam periode pasca pemilu 1955, pertarungan ideologis di arena pemilu juga terjadi di arena parlemen ketika bersidang untuk menentukan dasar Negara. Kelompok Islam mengajukan Islam sebagai Dasar Negara, sementara Kelompok Nasionalis mengajukan Pancasila sebagai Dasar Negara. Guna menunjukkan kedekatan ideologis dengan kelompok Muslim, partai-partai Islam mendesain lambang partai dengan simbol-simbol yang mencirikan nilai-nilai keislaman. Dalam Pemilu 1955, secara Nasional, Partai Masyumi (Majelis 31 Yang dimaksud dengan parpol Islam dalam penelitian ini adalah parpol yang secara formal mencantumkan Islam sebagai asas partai dan parpol yang secara sosiologis punya kaitan dengan Islam seperti PAN dan PKB. 32 Untuk lebih jelasnya bisa dilihat, Moh. Sjfaat Mintaredja, Masyarakat Islam dan Politik di Indonesia, Jakarta, Permata Jakarta, 1971. 31 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH Syuro Muslimin Indonesia) menempati peringkat kedua dalam perolehan suara pemilih (20,9%) dan NU (Nahdatul Ulama) menduduki urutan ketiga dengan perolehan suara pemilih (16,68%). Kedua partai ini dikenal sebagai partai politik berbasis Islam yang menonjol diantara partai-partai Islam yang ada di panggung politik nasional pada masanya. Partai-partai berbasis Islam lainnya seperti PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia), PERTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah), AKUI (Aksi Kemenangan Umat Islam) dan PPTI (Partai Persatuan Tharekat Indonesia) jauh terpuruk dipapan bawah dan meraih suara sangat sedikit. Keempat partai Islam tersebut adalah partai-partai kecil yang dalam percaturan politik dipentas nasional tidak memiliki peranan dan suara yang signifikan dan posisi mereka berada diarena pinggiran saja. Masa Demokrasi Terpimpin, kekuatan politik Islam mengalami kemunduran yang salah satunya disebabkan karena dibubarkannya Partai Masyumi akibat menolak mendungkan ideologi Nasakom. Dengan memudarnya kekuatan politik Islam, menyebabkan partaipartai Islam menjadi terpinggirkan dari arena kekuasaan. Setelah masa demokrasi terpimpin berakhir, dan Orde Baru tampil memegang kendali kekuasaan, umat Islam mempunyai harapan besar kembali Masyumi. Harapan itu berubah menjadi kekecewaan karena “Rezim Orde Baru tidak memperbolehkan Masyumi tampil kembali sebagai partai politik. Sebagai gantinya, rezim Orde Baru mengizinkan berdirinya Parmusi”. Itu pun dengan catatan, tokoh-tokoh eks-Masyumi dilarang terlibat dalam kepengurusan partai. Hal itu menunjukkan adanya niat awal untuk memarginalkan peran politik Islam. Ternyata proses marginalisasi yang dilakukan rezim Orde Baru terhadap Islam politik terus berlanjut, yaitu dengan mengeluarkan deideologisasi. Dalam kebijaksanaan ini, partai-partai politik tidak diperbolehkan menggunakan asas lain selain asas Pancasila. Akibat kebijaksanaan itu maka partai-partai politik tidak mempunyai pilihan lain. PPP terpaksa menanggalkan asas Islam dan menggantinya dengan asas Pancasila. Pemerintah Orde Baru mengiring Islam untuk menjadi agama yang hanya mengurusi ibadah dan soal-soal kemasyarakatan dan menanggalkah yang bersifat politik praktis. Hal ini ditunjukan dengan besarnya dukungan rezim Orde Baru dalam kegiatan umat Islam yang berhubungan dengan masalah ibadah dan 32 PARTAI POLITIK: POLITIK ALIRAN DAN KONDISI ELEKTORAL kemasyarakatan, tetapi yang berkaitan dengan politik rezmim Orde Baru membatasinya, bahkan melarangnya. Memasuki era reformasi sistem kenegaraan Indonesia mengalami perubahan yang mendasar, yaitu dari sistem politik otoriter dengan supremasi militer menjadi sistem politik demokrasi. Salah satu ciri dari sistem politik demokrasi adalah kebebasan untuk membentuk partai politik. Oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila pasca Orde Baru partai politik tumbuh bak jamur di musim hujan, tidak hanya partai-partai yang berbasi Islam, tetapi juga partai-partai berbasis Nasionalis. Dengan beragamnya partai politik yang muncul dan berkembang di era reformasi, ada kecenderungan partai-partai tersebut menghadirkan ruh politik yang berkembang pada massa Orde Lama yaitu politik aliran. Walaupun demikian, diantara elit-elit partai yang tergiur untuk mengembalikan romantisme politik masa lalu, masih ada sebagian elit yang tidak merasa perlu untuk menghadirkan politik aliran sebagaimana pernah ada. Di antara elit-elit tersebut, sebutlah Amin Rais dan Abdurahman Wahid atau Gus Dur. Amin Rais membidani lahirnya Partai Amanat Nasional, sementara Gus Dur mendorong lahirnya Partai Kebangkitan Bangsa. Kedua partai ini walaupun secara riil kekuatan massa pendukung ada dalam segmen pemilih Islam namun keduanya tidak mencantum kan Islam sebagai dasar Partai, melainkan Pancasila. Dan pada kenyaataannya terbukti bahwa pada pemilu 1999 maupun 2004 baik PAN maupun PKB sebagian besar suaranya diperoleh dari basis sosiologis masing-masing. PAN dari kelompok Islam Modernis, seperti Muhammadiyah dan Ormas Islam Modernis lainnya, sementara PKB berasal Kelompok Islam Tradisional yaitu NU. Karena banyaknya partai politik yang mengatasnamakan Islam, atau pun partai politik yang berebut massa Islam. Pada akhrinya partai politik Islam tidak ada satu pun yang mempunyai suara signifikan pada pemilu 1999, termasuk PAN dan PKB. Bahkan pada pemilu 2004 kedua partai politik ini mengalami kemunduran dalam hal jumlah suara. Hal yang menarik dalam pemilu 2004 ini adalah munculnya Partai Keadilan Sejahtera yang pada pemilu 1999 bernama Partai Keadilan. PKS mengalami peningkatan suara yang signifikan. PKS, berbeda dengan PAN dan PKB yang menyatakan dirinya sebagai partai 33 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH terbuka, dengan tidak menjadikan Islam sebagai dasar ideologi partai, PKS secara formal jelas mencantumkan Islam sebagai dasar ideologi partai. Partai Islam yang ikut pemilu 1999 terdiri dari partai yang secara eksplisit dan formal menyatakan diri sebagai partai Islam atau partai yang didasarkan atas asas Islam, termasuk juga di sini adalah partai politik yang mempunyai akar sosiologis berdirinya partai. Dalam pemilu 1999, yang secara formal menyatakan diri sebagai partai Islam adalah PPP, PBB, PK, PUI, PSII, PSII 1905, PNU, PKU, Partai Politik Islam Masyumi, Partai Masyumi Baru, KAMI, PP, dan yang secara sosiologis masuk kedam partai Islam adalah PAN dan PKB. Sementara partai-partai Islam yang secara sosiologis berakar dalam organisasi sosial keagamaan Islam seperti NU dan Muhammadiyah adalah PKB dan PAN. PKB adalah partai yang didirikan oleh para elite NU di bawah kepemimpinan Abdurrahman Wahid. Walaupun secara formal NU tidak menyatakan PKB sebagai partai NU, namun di bawah kepengu-rusan Gus Dur, sebagian besar elite dan pengurus NU mendukung dan duduk dalam kepengurusan PKB. Pada pemilu 2004 partai Islam, terdiri dari Partai Bulan Bintang, Partai Persatuan Pembangunan, partai Keadilan Sejahtera, dan partai Bintang Reformasi, PAN dan PKB. Sementara itu PAN didirikan oleh sejumlah aktivis dan intelektual dengan latar belakang keagamaan lebih beragam. Karena itu sejak awal partai ini mengklaim dirinya sebagai partai terbuka yang punya komitmen terhadap pluralisme keagamaan. Tapi kepemimpinan Amien Rais dan sejumlah figur di jajaran elite PAN membuat partai ini secara sosiologis cukup mudah diidentikan dengan umat Islam yang berafiliasi dengan ormas Islam terbesar kedua, yakni Muhammadiyah. Karena itu cukup beralasan kalau partai ini secara sosiologis juga dimasukkan ke dalam kategori partai Islam. Partai Islam yang ikut kontes dalam pemilu 2004 berjumlah 7 partai, terdiri dari Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional, Partai Bintang Reformasi, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Bulan Bintang. Memasuki pemilu 2004, terjadi semacam restorasi, di mana partai-partai yang semula dikenal “hijau” mulai mencoba untuk menampilkan wajah Nasionalis dengan mereduksi isu-isu penegakan 34 PARTAI POLITIK: POLITIK ALIRAN DAN KONDISI ELEKTORAL Syariat Islam dan Negara Islam dalam kampanyenya, sebagaimana dilakukan PKS. Ketika masih bernama Partai Keadilan (PK), dengan mengusung isu Islam partai ini tidak mendapatkan suara yang signifikan dalam pemilu 1999. Di Parlemen hanya memperoleh 7 kursi. Namun setelah melakukan pembenahan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di mana isu yang diluncurkan lebih riil dan menjadi dambaan masyarakat, seperti penegakan keadilan dan pemberantasan korupsi dengan semboyan “bersih dan peduli”, PKS yang pada pemilu 1999 hanya menadapat 7 kursi, pada pemilu 2004 menjadi 45 kursi. Hasil Pemilu Legislatif 2004, dari 24 partai yang ikut menjadi kontestan pemilu, sebanyak 17 partai politik mendapat kursi di DPR RI. Dari tujuh partai Islam yang berlaga pada pemilu kali ini, tiga partai mengalami penurunan dukungan suara (PPP, PKB dan PAN) dan dari tiga partai politik lainnya meningkat, yakni PKS, PBB, dan partai persatuan Nahdatul Ummah Indonesia (PPNUI). Satu partai lagi adalah pendatang baru, yaitu Partai Bintang Reformasi (PBR). Pada pemilu 2004, partai Islam Modernis diwakili oleh PAN yang inklusif, sementara yang Konservatif diwakili oleh PBB yang eksklusif. Di sisi lain partai Islam Tradisionalis diwakili oleh PKB yang inklusif dan PNU yang eksklusif. Perkembangan selanjutnya, nampak ada kecenderungan partai-partai Islam membuka diri ke segmen massa yang lebih lebih luas, sebagai contoh PKS yang sudah membuka diri kepada luar yang bukan dari kalangan Santri. Pada pemilu 2009, yang dapat terdeteksi sebagai partai Islam umumnya merupakan partai yang sudah pernah ikut dan berganti nama, atau partai Islam yang lulus threshold. Diantara partai-partai Islam yang ikut pemilu 2009 antra lain PBB, PKS, PAN, dan partai baru PMB merupakan partai berbasis Islam modernis, sementara yang mewakili partai Islam tradisional adalah PKB, PPP, dan PKNU yang merupakan partai lama dengan baju baru ( the old wine in the new bottle). 1.2. Partai Nasionalis: Asal Usul, Isu, dan Basis Kelompok Pemilih Partai politik berbasis ideologi Nasionalis, pada masa Orde Baru identik dengan PNI. Sementara PNI pada masa Orde Lama merupakan representasi dari kelompok priyayi, sementara PKI menjadi representasi kelompok abangan. PNI atau Partai Nasional Indonesia merupa-kan partai politik tertua di Indonesia. Partai ini didirikan 35 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH pada 4 Juli 1927 dengan nama Perserikatan Nasional Indonesia dengan ketuanya pada saat itu adalah Dr. Tjipto Mangunkusumo, Mr. Sartono, Mr Iskaq Tjokrohadisuryo dan Mr Sunaryo. Bung Karno merupakan simbol dari partai Nasionalis ini. Dalam perjalanan politiknya Soekarno banyak mengalami benturan – benturan dengan kalangan Islam, dimana polemik yang paling tajam adalah seputar dasar negara dengan tokoh paling terkemuka kalangan Islam saat itu, Mr. Mohammad Natsir. Partai Nasionalis Indonesia (PNI) cukup mendapat sambutan, hal ini dibuktikan dengan hasil pemilu 1955 yang meraih suara signifikan dibanding dengan partai-partai lainnya. Dari empat besar perolehan suara pada pemilu 1955 PNI mendapatkan 22,3% suara, Masyumi 20,9% suara, NU 18,4% suara, dan PKI mendapat 16,4% suara. Dengan melihat kekuatan empat besar partai pemenang pemilu menunjukkan adanya kekuatan yang seimbang antara partai Islam berbanding dengan partai Nasionalis plus Komunis, dengan rasio 39,3% berbanding 38,7%, dengan selisih hanya 0,6%. Sementara peroleh kursi di Parlemen, PNI mendapat 57 kursi, Masyumi 57 kursi, NU 45 kursi, dan PKI mendapat 39 kursi. Memasuki periode Orde Baru, pemerintah berusaha menyederhanakan Partai Politik. Seperti pemerintahan sebelumnya, banyaknya Partai Politik dianggap tidak menjamin adanya stabilitas politik dan dianggap mengganggu program pembangunan. Usaha pemerintah ini baru terealisasi pada tahun 1973, partai yang diperbolehkan tumbuh hanya berjumlah tiga yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), GOLKAR dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Dalam pengelompokan ini ada partai yang merasa tidak pas masuk kedalam kelompok spiritual yaitu Partai katolik dan Parkindo, akhirnya mereka memutuskan untuk bergabung dengan kelompok Nasionalis.33 Akhirnya pada tanggal 4 Maret 1970 terbentuk kelompok 33 Situasi pada saat itu tidak memberikan pilihan lain bagi parpol kecuali mempusikan diri. Kelompok Nasionalis yang disebut kelompok Demokrasi Pembangunan menjadi Partai Demokrasi Indonesia pada tanggal 10 januari 1973. Sedangkan kelompok persatuan menjadi Partai Persatuan Pembangunan. Sejak saat itu Indonesia mempunyai sistem tiga partai, yaitu: Partai Persatuan Pembangunan, Partai Demokrasi Indonesia, dan partai Golongan Karya. Walaupun dalam komunikasi politiknya Golkar tidak mau menyebutkan dirinya sebagai partai politik, dalam setiap pemilu yang dilaksanakan pada masa Orde Baru selalu mencantumkan dirinya hanya Golkar tanpa di embel-embeli dengan partai. 36 PARTAI POLITIK: POLITIK ALIRAN DAN KONDISI ELEKTORAL Nasionalis yang merupakan gabungan dari PNI, IPKI, Murba, Parkindo, dan Partai katolik. Selanjutnya pada tanggal 14 Maret Tahun 1970 terbentuk kelompok spiritual yang terdiri dari NU, Parmusi, PSII, dan Perti. Penyederhanaan (baca: penciutan) baru tuntas pada tahun 1972. Partai-partai Islam seperti NU, Parmusi, Perti, dan PSII dilebur menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sedangkan Partai Katolik, Parkindo, IPKI, PNI, dan Murba menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Dengan demikian, organisasi politik yang mengikuti pemilu tahun 1977 tinggal tiga. Bersamaan dengan itu, akar partai di tingkat desa dan kecamatan diputus, dan hanya diizinkan sampai daerah tingkat Kota atau Kabupaten (floating mass). Pada pemilu 2004, partai Nasionalis berjumlah 16 partai yang terdiri dari Partai Sarikat Indonesia, Partai Golkar, Partai Karya Peduli Bangsa, Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia, Partai Patriot Pancasila, Partai Demokrat, Partai Persatuan Daerah, Partai Merdeka, Partai Indonesia Baru, Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan. PDIP, PNBK, Partai Pelopor, PNI Marhaenisme, Partai Penegak Demokrasi Indonesia, Partai Buruh Sosial Demokrat. Partai-partai tersebut berorientasi Nasionalis lintas agama, dan masing-masing berasas Pancasila. Dilihat dari sosiologi elite partaipartai ini sangat pluralistik dilihat dari kategori Islam versus nonIslam. Secara historis, PDI-P adalah pelanjut Partai Nasional Indonesia (PNI) yang hampir identik dengan figur Bung Karno. Sementara itu, Partai Golkar dan PKP adalah partai yang hadir dari elite Orde Baru, terutama kelompok militer dan birokrasi, yang pada masa Orde Baru telah berhasil membebaskan partai-partai politik dari afiliasinya dengan kelompok keagamaan tertentu, setidaknya secara formal. Dengan demikian sebanarnya kalau kita kaji genologi dari partai-partai yang tumbuh dan berkembang di era multipartai sekarang ini, kebanyakan merupakan turunan dari partai-partai sebelumnya (era Orde Baru). Baik partai Golkar, maupun, sebagai partai Nasionalis yang pada masa Orde Baru merupakan fusi dari beberapa partai politik, pada akhirnya harus terjadi pembelahan sel politik dan berkembang menjadi partai baru. Adapun Golkar walaupun bukan merupakan gabungan dari beberapa partai, namun karena berdiri atas dukungan banyak ormas kekaryaan, maka tidak bisa dihindari terjadinya disintegrasi politik dalam partai. 37 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH Partai politik yang berideologi Nasionalis, dalam pemilu 2009 menunjukkan adanya perkembangan. Selain PDIP, Golkar, dan Partai Demokrat, ada dua partai Nasionalis baru yang cukup mendapat apresiasi dari pemilih yaitu partai Hanura dan Partai Gerindra. Partai Hanura merupakan partai yang didirikan oleh Wiranto seorang pensiunan jenderal yang pernah jadi Menkopolkam era pemerintahan Gus Dur. Di sisi lain Partai Gerindra didirikan oleh Prabowo Subianto, yang juga seorang pensiunan jenderal. 2. Kondisi Umum Electoral dan Politik Aliran Dari 48 partai politik pada pemilu 1999, tercatat ada 10 partai politik yang secara formal berasaskan Islam.34 Sementara yang lainnya berasaskan Pancasila dan dua partai yang berasaskan gabungan antara Pancasila dan Islam. Pada Pemilu 2004 hanya diikuti oleh 24 partai politik, 9 partai yang terkategorikan partai Islam, 14 partai Nasionalis, dan 1 partai Kristen (PDS) Kategorisasi ideologis, khususnya Islam, yang didasarkan pada asas partai yang secara formal tercantum dalam AD/ART tidak akan mampu mendalami secara substantif dari partai politik yang bersangkutan. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa walaupun ada partai yang secara formal mencantumkan asas selain Islam, namun dalam praktiknya basis massa mereka adalah pemilih Islam. Di sisi lain, figur-figur elit partai dilihat dari latar belakang keagamaannya termasuk tokoh-tokoh yang tidak diragukan lagi keberpihakannya terhadap Islam. Sebagai contoh PAN yang didirikan oleh Amin Rais yang punya latar belakang sebagai Pimpinan Pusat Muhammadiyah, termasuk PKB, ada Gus Dur yang merupakan tokoh Islam mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Nahdlotul Ulama. Begitupun ada beberapa partai yang dibangun, walaupun tidak mengatasnamakan partai Islam, tapi konstituen yang dibidiknya adalah konstituen Islam. Kalau dianalisis dari asal usul partai serta basis pemilih, yang mendukung partai-partai peserta pemilu 1999, 2004, 2009 masih sejalan dengan politik aliran,35 sebagaimana yang berkembang pada 34 Secara formal berasas Islam artinya partai tersebut mencantumkan Islam secara formal sebagai asas partai dalam AD dan ART nya. 35 Konsep politik berdasarkan pola aliran menjadi menonjol, tatkala kehidupan politik dalam masyarakat bukan didasarkan pada ideologi politik belaka, melainkan antar hubungan organisasi- 38 PARTAI POLITIK: POLITIK ALIRAN DAN KONDISI ELEKTORAL pemilu 1955.36 PDIP yang merupakan representasi dari pemilih Abangan sebagai kelanjutan dari PNI, PKB dan PPP kelanjutan dari partai tradisionalis NU yang merupakan representasi dari pemilih Santri Tradisional, PAN, PBB dan PK kelanjutan dari partai mordernis Masyumi representasi dari pemilih santri Modernis, sementara Partai Golkar merupakan representasi dari pemilih Priyayi.37 Pada pemilu 1955 priyayi merupakan kelompok pemilih yang mendukung PNI. Jika kita bandingkan dengan partai-partai peserta pemilu 1955, dimana PNI dan PKI mewakili kelompok Nasionalis dengan basis pemilih Abangan. PNI mendapat dukungan terbesar dari Abangan kelas menengah atas dan birokrat (priyayi), sementara PKI kelompok Abangan kelas bawah. Di sisi lain Masyumi dan NU yang mewakili kelompok partai Islam, Masyumi merupakan basis bagi pemilih Santri Modernis dan NU merupakan basis pemilih Santri Tradisional. Dengan demikian tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa partai politik pada pemilu 1999, 2004, 2009 pasca reformasi ada ada keterkaitan dengan partai politik pemilu 1955. Namun demikian, ada perbedaan dalam persaingan politik yang dirasakan cukup penting untuk dikemukakan. Pada pemilu 1955 Masyumi dan NU sebagai partai pemenang empat besar yang mewakili segmen pemilih Santri. Di tingkat legislatif (DPR dan Konstituante) kedua partai ini berjuang untuk menggolkan syariat Islam atau negara organisasi sosial dengan kehidupan dari suatu sistem sosial yang kompleks (dari suatu infrastruktur sosial dan kebudayaan di pedesaan dan perkotaan). Karena itu terbentuk suatu aliran politik yang terformulasikan melalui istilah-istilah yang lebih bersifat ideologis. Sebenarnya perumusan tentang aliran politik di Indonesia telah dinyatakan di dalam pemikiran Soekarno tentang rumpun ideologi utama di Indonesia (Nasionalisme, Islam, dan marksisme). Namun klasifikasi tiga kelompok itu dianggap masih mengandung banyak kesulitan. Sebab tiap-tiap kategori sifatnya masih terlalu heterogen. Contohnya, perbedaan yang tajam antara kaum komunis dengan kaum sosialis, kelompok-kelompok yang radikal dan keningratan di kalangan Nasionalis, di samping pengaruh dari kehidupan subkultur terhadap kehidupan politik di kalangan Islam. 36 Perbandingan pemilu 1955 dan pemilu 1999 dibahas oleh King (2003). Dalam pembahasan tersebut King berkesimpulan bahwa pemilu 1999 dan 1955 mempunyai kemiripan, dimana partai-partai politik yang ikut pentas pada pemilu 1999 masih bercorak aliran karena masih merepresentasikan cleavages agama sama dengan pemilu 1955. untuk lebih jelasnya lihat Dwight Y. King, 124-126. 37 Patut disampaikan, walaupun PKB dan PAN dalam paltform partai tidak mencantumkan asas Islam, namun dari kacamata sosiologis dan historis kedua partai ini bisa dikategorikan partai Islam karena mempunyai kedekatan dengan pemilih Islam. PKB didirikan oleh Gus Dur yang merupakan mantan Ketua Umum PB NU dan sekaligus cucu pendiri NU yaitu KH. Hasyim Asyari, sementara Amin Rais merupakan mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah. 39 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH Islam, dan mereka setuju dengan Piagam Jakarta. Di sisi lain PNI dan PKI yang merupakan representasi dari kaum Abangan yang Nasionalis, dan ditingkat legislatif tidak berkehendak untuk menjadikan negara Islam, dan berjuang agar Pancasila dipertahankan sebagai Dasar negara.38 Pada pemilu 1999, 2004, 2009 pertarungan politik yang berpusat pada pembentukan jati diri negara dalam hal ideologi tidaklah menjadi tema persaingan partai politik. Persaingan antara partai Islam dan Nasionalis lebih fokus pada bagaimana mengisi negara Republik Indonesia ini dari perspektif ideologisnya masingmasing. Partai Islam berusaha agar Syariat Islam itu dapat teraktualisasi dalam kehidupan atau dalam hukum formal, seperti hukum waris atau ekonomi Islam.39 Lebih jauh, pada pemilu 1955 spektrum ideologi kiri dan kanan masih jelas. Kutub terkiri dari garis idologi partai ditempati oleh PKI. Sementara pada pemilu pasca reformasi kutub kiri menghilang, yang ada hanya partai-partai yang berideologi tengah kanan. Lebih jauh, sistem kepartaian yang dihasilkan dari pemilu yang dilaksanakan di Indonesia bisa dilacak sebagai berikut: Pada tahun 1955, Indonesia mempunyai model sistem kepartaian yang terpolarisasi dari hasil pemilu demokratis pertama sejak Indonesia memproklamirkan diri sebagai negara merdeka Tahun 1945. Sistem kepartaian selanjutnya adalah sistem tiga partai yang dihasilkan dari pemilu yang dilaksanakan secara berturut-turut Tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, dengan suasana kehidupan demokrasi yang sedikit banyak terkurangi akibat intervensi dari rezim otoriter Orde Baru. Setelah terjadi reformasi politik 1988, sistem kepartaian yang dihasilkan kembali terfragmentasi walau tidak menunjukkan adanya polarisasi ideologis yang akut sebagaiman hasil pemilu 1955. Pemilu demokratis pasca Orde Baru dilaksanakan Tahun 1999, 2004 dan 2009. Kembalinya pemilu demokratis, sedikit banyak punya dampak 38 Pertarungan ideology di tingkat legislative pasca pemilu 1955 lihat Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, Ithaca London: Cornell Univeristy Press, 1962. 39 Argument ini saya kemukakan karena pada pemilu 1999, walaupun partai-partai memberi label sebagai Nasionalis atau Islam, namun secara ril isu-isu yang dimunculkan tidaklah terlalu ekstrim. Walaupun demikian, lompatan ideology terjadi pada PPP yang lebih mengarah ke kanan, sementara PKS lebih mengarah ke tengah. Lihat, Kuskridho Ambardhi, Mengungkap Politik Kartel, Jakarta: PT Gramedia, 2009. hal 239. 40 PARTAI POLITIK: POLITIK ALIRAN DAN KONDISI ELEKTORAL pada sistem kepartaian, dan sistem politik secara keseluruhan. Pemilu yang dilaksanakan secara reguler, bagi negara yang tengah menjalani pendalaman kehidupan demokrasi, punya pemahaman yang sangat besar tidak hanya suksesnya penyelengggaraan pemilu namun juga seberapa besar pemilu tersebut dapat meningkatkan kinerja sistem politik secara keseluruhan. Proporsi suara yang diperoleh masing-masing partai politik dalam setiap pemilu yang dilaksanakan adalah sebagai berikut: Pemilu 1955, secara nasional partai yang meraih suara signifikan dibanding dengan partai-partai lainnya adalah PNI dengan 22,3% suara, Masyumi 20,9% suara, NU 18,4% suara, dan PKI mendapat 16,4% suara. Dengan melihat kekuatan empat besar partai pemenang pemilu menunjukkan adanya kekuatan yang seimbang antara partai Islam berbanding dengan partai Nasionalis plus Komunis, dengan rasio 39,3% berbanding 38,7%, dengan selisih hanya 0,6%. Sementara peroleh kursi di Parlemen, PNI mendapat 57 kursi, Masyumi 57 kursi, NU 45 kursi, dan PKI mendapat 39 kursi. Dari komposisi politik di Parlemen yang terpolarisi secara ideologis berakibat pada pola kerja Parlemen yang tidak sehat akibat ekstrimnya perbedaan perspektif untuk menentukan dan menggolkan satu keputusan. Hal yang paling menonjol adalah perdebatan dan perselisihan yang menjurus pada dua blok yang sama-sama kuat yaitu blok Nasionalis plus Komunis dengan blok Islam. Sumber utama perdebatan dan perselisihan diantara kedua blok itu berkaitan dengan penentuan dasar negara. Kubu Islam menghendaki agar Islam menjadi dasar negara, sementara kubu Nasionalis tidak menghendakinya. Kenyataan ini berakhir dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959,40 untuk kembali ke UUD’45 dan membubarkan Parlemen dan Konstituante. Sementara hasil pemilu 1955 di Jatim menunjukkan konfigurasi kekuatan politik sebagai berikut: dari enam wilayah keresidenan di Jatim (sementara data hasil pemilu di Karesidenan Malang tidak ada), 40 Dekrit Presiden dikeluarkan atas dukungan TNI yang tidak senang dengan keadaan di Parlemen yang terlalu banyak perselisihan dan pertentangan Ideolgi. Hal-hal yang terkait dengan persoalan peran TNI pada masa kemerdekaan, bisa dilihat dalam bukunya Harold Crouch, Army and Pilitic in Indonesia. 41 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH partai Nasionalis unggul dibanding dengan partai Islam. Di Karesidenan Basuki, Partai NU mendapat dukungan suara 699.000 suara, Masyumi 150.000, PNI 380.000, dan PKI 232.000. Di Karesidenan Madura, Partai NU mendapatkan dukungan suara 59.000, Masyumi 134.000, PNI 88.000, dan PKI 3.000. Di Karesidenan Surabaya, Partai NU mendapat dukungan suara 431.000, Masyumi 117.000, PNI 265.000, dan PKI 231.000. Di Karesidenan Kediri, Partai NU mendapat dukungan suara 366.000 suara, Masyumi 155.000, PNI 455.000, dan PKI 457.000. Kemudian di karesidenan Madiun, Partai NU mendapat dukungan suara 92.000, Masyumi 137.000, PNI 254.000, dan PKI 447.000. Di Karesidenan Bojonegoro, Partai NU mendapat dukungan suara 131.000, Masyumi 300.000, PNI 155.000, PNI 455.000, dan PKI 289.000. Hasil pemilu 1955 di Jawa Timur menunjukkan bahwa: di wilayah Karesidenan Kediri dan Madiun, PKI unggul dibanding dengan ketiga partai lainnya. Sementara Partai NU unggul mutlak di karesidenan Basuki, dan partai Islam Modernis Masyumi hanya unggul di Karesidenan Bojonegoro. Walaupun demikian selisih suara antara Masyumi dan PKI tidak terlalu jauh dengan perbandingan 300.000 suara untuk Masyumi dan 289.000 suara untuk PKI. Total suara pada pemilu 1955 di Jatim sebesar 9.030.960, dengan akumulasi suara yang diperoleh Partai NU dan Masyumi adalah 4.480.289 suara atau 49,61 persen. Sementara gabungan suara PNI dan PKI yaitu 4.550.671 suara atau 50,39 persen. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pemilu di Jatim Partai Nasionalis unggul tipis dibanding dengan Partai Islam dengan selisih suara 0,39 persen. Kondisi umum hasil perolehan suara baik tingkat Nasional maupun Jawa timur tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Karesidenan Malang, khususnya untuk Kabupaten Malang. Pemenang pemilu di Kabupaten Malang adalah PNI, yang menang dengan perolehan suara cukup signifikan yaitu 20,6 persen. Namun berbeda dengan perolehan yang berskala Nasional di mana peringkat kedua pemenang pemilu 1955 diduduki oleh Masyumi dan peringkat ketiga adalah NU, di Kabupaten Malang peringkat kedua diduduki oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) yang memperoleh suara 19,8 persen., dan NU berada diperingkat ketiga dengan perolehan suara 12,7 persen, sementara partai Islam Masyumi hanya berada di posisi ke 42 PARTAI POLITIK: POLITIK ALIRAN DAN KONDISI ELEKTORAL empat dengan perolehan suara 6,8 persen.41 Hasil pemilu-pemilu berikutnya, sistem kepartaian di negeri kita baik 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, menunjukkan adanya kestabilan, namun kualitas demokrasinya banyak dipertanyakan karena pelaksanaan pemilu tidak berjalan dengan jujur dan adil. Pemerintah Orde Baru tidak memberikan ruang gerak bagi partai politik (PPP dan PDI) untuk meraih dukungan pemilih, sebaliknya Golkar yang merupakan partai pendukung pemerintah mendapat berbagai kemudahan dan fasilitas. Oleh karena itu pemilu di bawah rezim Orde Baru yang authoritarian,42 telah menempatkan Golkar sebagai pemenang mayoritas. Sementara dua partai lainnya (PPP dan PDI) hanya sebagai partai pendamping yang tidak boleh besar namun juga tidak boleh mati. Kemenangan Golkar dalam setiap pemilu masa Orde Baru tidak lepas dari proses rekayasa pemerintah untuk mengekploitasi suara pada setiap pemilu seperti dilakukannya fusi partai, membuat massa mengambang (floating mass), dan penetapan azas tunggal Pancasila (monolitik). Disamping itu trauma politik (peristiwa G.30.S/PKI) pada tahun 1965, juga dijadikan senjata oleh rezim Orde Baru untuk melakukan intimidasi kepada masyarakat sehingga banyak masyarakat khususnya di pedesaan memilih Golkar karena takut dicurigai sebagai anggota atau simpatisan PKI.43 Sementara dua partai lain (PPP dan PDI) tidak diberi kebebasan untuk melakukan manuver politik, karena gerak langkahnya selalu diawasi dan dikendalikan oleh pemerintah. Oleh karena itu, bagi PPP 41 Soewignyo, 1962, dalam Asfar, 2005 Sejalan dengan pergerakan politik Indonesia pasca tahun 1957 ke arah otoritarianisme, banyak para sarjana mencoba untuk membuat model bangunan sistem politik Soekarno maupun Soeharto. Fokus perhatian mereka diarahkan pada konflik elit dan budaya politik. Berbagai istilah yang dipergunakan oleh mereka, namun semuanya punya makna sama yang menerangkan sebuah fenomena otoritarian. Mareka memberikan karakter pada rezim Soeharto, dan sebagian lagi pada rezim Soekarno, sebagai “Neo-Patrimonial Regime” (Wilner, 1966; Anderson, 1972; Crouch, 1979); “Repressive-Developmentalist Regime” (Feith, 1979); “Bureucratic Polity” (Jackson, 1978); “Personal Rule” (Liddle, 1985); “Tecnocratic State” (Dougall, 1989); “Beamtenstaat” (Benda, 1966; McVey, 1982); “State Corporatism” (Mas’oed, 1989). 43 Dwingt Y. King, menyebut demokrasi era Orde Baru sebagai “semidemocracy” atau “pseusedo democracy”, yaitu sebuah demokrasi yang mempunyai banyak partai, pemilu, dan institusi demokrasi lain, akan tetapi dalam kenyataannya partai penguasa menentukan keikutsertaaan partai dan pemilu. Lebih jelasnya lihat, Dwight Y. King, Half-Hearted Reform, Electoral Institution And The Struggle For Democracy In Indonesia, USA: Praeger Publisher, 2003. 42 43 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH agar bisa survive hanya bisa mengandalkan sentimen keagamaan (khususnya pemilih Islam), karena PPP merupakan satu-satunya partai Islam. Begitu pun PDI tidak lebih hanya mengandalkan kharisma Bung Karno sebagai pendiri PNI, itu pun selalu direkayasa agar keluarga Soekarno tidak terlibat dalam pimpinan PDI. Dengan demikian partai ini (PDI) menjadi partai yang paling “tertindas” di masa Orde Baru, dan ini menjadi berkah tertunda (blessing indisguise) karena masyarakat yang merasa tertindas oleh kebijakan Orde Baru menjadi pendukung bagi PDI-P pada pemilu 1999.44 Bagi PPP yang cenderung berharap dari pemilih Islam, khususnya kalangan Islam tradisional (waga NU) mengalami kesulitan, karena Pemerintah dan Golkar juga melakukan ekspansi besar-besaran ke dalam pemilih Islam dengan berbagai cara. Pemerintah berupaya memisahkan PPP dari basis pemilihnya dengan cara mengintervensi setiap pergantian pucuk pimpinan PPP adalah orang yang kooperatif dan tidak punya legitimasi kuat di kalangan NU.45 3. Kondisi Electoral Dalam Kultur Politik Aliran Pasca Orde Baru 3.1. Kabupaten Malang: Potret Politik Aliran Berbasis Masyarakat Agraris Kabupaten Malang merupakan Daerah dengan luas wilayah terbesar di Kota dan Kabupaten Malang, dengan jumlah Kecamatan 44 Pemilu 1999 merupakan pemilu pertama pasca reformasi, dan menjadi pemilu paling demokratis kedua stelah pemilu 1955. Menurut Data KPU, PDIP merupakan partai tertinggi dalam peroleh suara yaitu sebesar 33,7%, diikuti Partai Golkar sebesar 22,4%, PKB sebesar 12,6%, PPP sebesar 10,7%, dan PAN sebesar 7,1%. Kalau dibandingkan dengan perolehan suara hasil tahun 1997 era Orde Baru, mendapatkan suara paling kecil yaitu sebesar 3,1%, PPP sebesar 22,4%, dan Golkar sebesar 76,5%. Sumber: Lembaga Pemilihan Umum (LPU) dalam Dwight Y. King, Half-Hearted Reform, Electoral Institution And The Struggle For Democracy In Indonesia, USA: Praeger Publisher, 2003, hal. 32 tabel 2.3. 45 Pucuk pimpinan PPP dalam beberapa periode dipimpin oleh Idham Chalid yang merupakan pimpinan puncak NU, namun secara geografis dia bukanlah kelahiran Jawa karena dia lahir di Setui, Kalimantan Selatan pada tahun 1921. Setelah itu PPP dipimpin oleh Jaelani Naro, Hasan Materium yang keduanya orang Sumatra. Sampai pada akhirnya terjadi upaya penggembosan kepada PPP yang dilakukan oleh tokoh-tokoh NU, khususnya pada tahun 1987. Menurut Bruinessen, pengaruh penggembosan NU atas perolehan suara PPP dalam pemilu ternyata dramatis. Pada tiga pemilu sebelumnya, suara PPP tetap kurang lebih stabil. Pada pemilu 1971 keempat Partai Islam memperoleh 27,1% (dua pertiga di antaranya untuk NU), pada tahun 1977 pun ada pertambahan tipis menjadi 27,8%, dan pada tahun 1982 turun sedikit. Akan tetapi, pada tahun 1987, perolehan suara PPP menurun menjadi 16%. Martin van Bruinessen, NU: Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Wacana baru. Yogyakarta : LKIS, 1994. 44 PARTAI POLITIK: POLITIK ALIRAN DAN KONDISI ELEKTORAL sebanyak 33 Kecamatan. Dengan demikian untuk menyesuaikan jumlah pemilih dengan jumlah anggota Dewan Perwakilah Daerah Kabupaten Malang, maka KPUD menetapkan dapil-dapil dengan penggabungan beberapa Kecamatan dalam satu dapil, dengan keseluruhan berjumlah 7 Daerah Pemilihan. 46 Berdasarkan ketetapan KPUD Provinsi Jatim, untuk Kabupaten Malang, Daerah Pemilihan Malang (dapil) 1 meliputi: Kecamatan Bululawang, Gondanglegi, Pagelaran, Tajinan dan Kepanjen. Daerah Pemilihan Malang 2 meliputi: Kecamatan Lawang, Pakis dan Singosari. Daerah Pemilihan 3 meliputi: Kecamatan Jabung, Poncokusumo, Tumpang dan Wajak. Daerah Pemlihan 4 meliputi: Kecamatan Ampelgading, Dampit, Tirtoyudo dan Turen. Daerah Pemilihan 5 meliputi: Kecamatan Bantur, Donomulyo, Gedangan, Pagak dan Sumbermanjing Wetan. Daerah Pemilihan 6 meliputi: Kecamatan Kalipere, Kromengan, Ngajum, Pakisaji, Sumberpucung dan Wonosari. Daerah Pemilihan 7 meliputi: Kecamatan Dau, Karangploso, Kesambon, Pujon, Ngantang dan Wagir.47 3.1.1. Kinerja Electoral Partai Politik Dari hasil perolehan suara yang dikeluarkan KPU Kabupaten Malang, Dapil 4 merupakan hasil perolehan suara PDIP terbesar, hal ini menujukan adanya dukungan kuat dari pemilih terhadap PDIP. Dapil 4 terdiri dari Kecamatan Ampelgading, Dampit, Tirtoyudo dan Turen. Secara keseluruhan dari keempat wilayah tersebut PDIP mendapatkan suara sebanyak 81.364 pemilih. Perolehan suara terbesar PDIP berikutnya ada di dapil enam yang meliputi Kecamatan Kalipere, Kromengan, Ngajum, Pakisaji, Sumberpucung dan Wonosari dengan jumlah suara sebesar 69.226 pemilih. Sementara dapil satu, dua, tiga, lima dan tujuh perolehan suara PDIP relatif tidak jauh berbeda di antara kisaran 4 ribu dan lima ribuan suara. Walaupun demikian, perolehan suara di kelima dapil tersebut masih di atas rata-rata perolehan suara partai lain kecuali PKB yang menguasai dapil satu, 46 Jumlah Daerah Pemilihan (DP) yang ada di Kabupaten Malang berdasarkan Rakernis yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum Provonsi Jawa Timur pada hari rabu tangggal 1 oktober 2003 sebanyak 7 daerah pemilihan dengan alokasi kursi 6 (enam) hingga 7 (tujuh) setiap Daerah Pemilihan (DP). 47 Sumber: KPUD Kabupaten Malang 45 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH dua dan tiga.48 Peringkat kedua peroleh suara terbesar di Kabupaten Malang pada Pemilu 2004 ditempati oleh Partai Kebangkitan Bangsa. Selisih suara antara PDIP dan PKB hanya sekitar 35.626 atau sikitar 2,6% dari total suara pemilih yang sah. Kantung-kantung suara PKB ada di lima dapil yaitu dapil satu, dua, tiga, empat dan lima. Perolehan suara di kelima dapil tersebut hampir merata, kecuali di dapil enam dan tujuh yaitu masing-masing 36.182 dan 31.225 suara pemilih. Alasan kenapa di kedua dapil tersebut PKB lemah, karena dalam dapil enam merupakan wilayah agak maju dan masyarakatnya pun banyak yang secara ekonomi mapan, sehingga pemilih sedikit punya rasionalitas dan independensi dalam menentukan pilihan politiknya. Dapil 6 terdiri dari Kecamatan Kalipare, Kromengan, Ngajum, Pakisaji, Sumberpucung dan Wonosari dengan jumlah suara sebesar 69.226 pemilih. Dari data yang ada menunjukkan bahwa dapil enam merupakan wilayah abu-abu yang pilihan politiknya tersebar ke hampir semua partai politik. Sementara rendahnya suara yang diperoleh PKB di dapil tujuh, karena dapil ini merupakan basis massa yang terbesar dari PDIP. Dapil tujuh terdiri dari Kecamatan Dau, Karangploso, Kesambon, Pujon, Ngantang dan Wagir, wilayah ini merupakan wilayah paling pinggir di Kabupaten Malang dan secara ekonomi tergolong menengah ke bawah.49 Secara nasional pada pemilu 2004 partai Golkar mengalami kenaikan, namun kasus di wilayah Kabupaten Malang justru partai Golkar mengalami penurunan dari 18,32% pada pemilu 1999 menjadi 16, 84% pada pemilu 2004. Dengan demikian ada sekitar 1,48% Golkar kehilangan suaranya. Basis suara Golkar ada di wilayah dapil tujuh dan empat, dan paling tinggi ada di dapil tujuh yang meliputi Kecamatan Dau, Karangploso, Kesambon, Pujon, Ngantang dan Wagir. Di wilayah ini Partai Golkar mendapatkan suara sebesar 45.685 pemilih. Daerah ini merupakan daerah yang secara ekonomi maju akibat kebijakan Orde Baru yang mendorong untuk pengembangan budi daya sapi perah dengan dibentuknya koperasi susu yang sangat membantu perekonomian warga didaerah tersebut. Sementara dapil 48 49 Data hasil rekapitulasi pemilu KPUD Kabupaten Malang tahun 2004. Ibid. 46 PARTAI POLITIK: POLITIK ALIRAN DAN KONDISI ELEKTORAL empat yang meliputi Kecamatan Ampelgading, Dampit, Tirtoyudo dan Turen perolehan suara Partai Golkar sebesar 37.562 pemilih.50 Sementara Demokrat yang merupakan pendatang baru, justru mengalahkan partai-partai lama yang lulus electoral threshold seperti PPP dan PAN. Partai Demokrat memperoleh total suara dalam pemilu 2004 di Kabupaten Malang sebesar 7,8%. Untuk dapil tertentu seperti dapil dua yang terdiri dari wilayah Kecamatan Lawang, Pakis dan Singosari Partai Demokrat mendapatkan 29.184 suara pemilih. Sementara dapil satu, tiga, empat, enam dan tujuh perolehan suara Partai Demokrat relatif hampir sama yaitu sekitar 14 dan 15 ribuan. Paling rendah Partai Demokrat memperoleh suara di wilayah dapil lima yaitu wilayah Kecamatan Bantur, Donomulyo, Gedangan, Pagak dan Sumbermanjing Wetan. Perolehan suara Partai Demokrat di wilayah ini hanya sekitar 6.246 suara pemilih.51 Partai Islam atau yang punya basis pemilih kalangan Islam, di wilayah Kabupaten Malang, selain PKB, hanya PPP yang cukup mendapatkan apresiasi dari pemilihnya. Partai ini mendapatkan suara sekitar 59.748 suara pemilih atau sekitar 4,5% dari total suara sah pemilu 2004 di Kabupaten Malang. Perolehan suara ini mengalahkan dua partai Islam lainnya seperti PKS dan PAN. Bahkan di Kabupaten Malang karena suara PAN sangat kecil, partai ini tidak mendapat wakil satu pun yang duduk di DPRD. Bahkan PAN harus tertinggal dari PKS dalam perolehan suara, padahal dalam pemilu 1999 suara PAN jauh melebihi suara PKS (yang masih bernama Partai Keadilan) yaitu 38.891 (PAN) dan 5.261 (PK). Dengan demikian bisa diasumsikan bahwa banyak pemilih PAN pada pemilu 1999 yang yang berpindah ke PKS pada pemilu 2004. Perpindahan pilihan politik dari PAN ke PKS sangat cair, hal ini dikarenakan basis massa di kedua partai ini sama, yaitu masa pemilih Islam Modernis. Walaupun demikian, kedua partai ini dalam AD/ART-nya punya asas yang berbeda, PKS mencantumkan asas Islam dan PAN asas Pancasila. Perbedaan ini juga yang menyebabkan sebagian kalangan pemilih Islam dari PAN, khususnya yang 50 51 Ibid. Ibid. 47 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH konservatif, menyebrang ke PKS.52 3.1.2. Pola Partisipasi Dalam Pemilu Dari jumlah penduduk Kabupaten Malang sebanyak 2.338.689 jiwa, jumlah orang yang mempunyai hak pilih dalam pemilihan umum legislatif yang diselenggarakan pada tanggal 5 April 2004 lalu sebanyak 1.693.181 jiwa. Jumlah pemilih tersebut tersebar dalam 33 Kecamatan. Dilihat dari segi jumlah penduduk, Kecamatan Singosari merupakan wilayah yang paling padat penduduknya dengan jumlah pemilih sebesar 10.330, disusul Kecamatan Dampit 84.387 pemilih, dan Pakisaji 81.008 pemilih. Adapun jumlah pemilih yang paling kecil ada di Kecamatan Pagak dengan 33.153 pemilih, Kecamatan Kromengan dengan 28.860 pemilih, dan Kasembon dengan 21.193 pemilih.53 Besarnya jumlah pemilih yang ada di masing-masing Kecamatan akan menentukan jumlah kursi yang diperebutkan di masing-masing daerah pemilih. Adapun Dapil merupakan gabungan dari beberapa Kecamatan yang ada di Kabupaten Malang. Dari hasil data yang diperoleh dari KPUD, angka non partisipan Kabupaten Malang lebih rendah dari Kota Malang. Jumlah angka non partisipan 334.189 pemilih yang diperoleh dari Jumlah pemilih dikurangi dengan jumlah pemilih yang mempergunakan hak suara yaitu 1.693.181 dikurangi 1.358.992, maka jumlah non partisipan yang ada di Kabupaten Malang kalau diprosentasekan yaitu sekitar 27,34 persen.54 Dari seluruh Kecamatan yang ada, angka nonpartisipan tertinggi ada di Kecamatan Donomulyo yaitu 28,70%. Sementara yang terendah adalah 11,93 yang ada di Kecamatan Wagir. Patut di ketahui, jumlah nonpartisan yang ada di Kabupaten 52 Pada pemilu 1999, perolehan suara PAN di Kota dan Kabupaten Malang lebih besar dari PK, namun pada pemilu 2004 yang terjadi sebaliknya, dimana suara PKS lebih besar dari pada PAN. Ada beberapa alasan kenapa konstituen PAN beralih ke PKS: pertama, PKS dianggap lebih jelas secara ideologis dibanding dengan PAN; kedua, kader PKS lebih dapat dipercaya ketimbang kader PAN. Dengan simbol bersih dan peduli, dan sedikitnya kasus korupsi yang melibatkan kader PKS telah menjadi nilai tambah sendiri dari pemilih. Ketiga, dalam strategi untuk meraih simpati pemilih, PKS lebih bisa diterima lewat program sosial yang dilaksanakan sepanjang tahun, tidak hanya mendekati pemilu saja. Hasil observasi di Kota dan Kabupaten Malang, dan hasil wawancara dengan beberapa aktivis PAN pada bulan Agustus 2008. 53 Sumber: KPUD Kabupaten Malang periode 2004-2009 54 Hasil rekapitulasi pemilu 2004 KPUD Kabupaten Malang. 48 PARTAI POLITIK: POLITIK ALIRAN DAN KONDISI ELEKTORAL Malang, tidak hanya disebabkan oleh ketidakhadiran mereka dalam pencoblosan, namun juga akibat dari kesalahan teknis yang dilakukan oleh pemilih sendiri. Banyak dari mereka yang pada saat pemilu 2004 terjadi kesalahan atau kekeliruan akibat pemilih mencoblos partai dengan caleg yang tidak sama (antara partai dan caleg yang dicoblos berbeda).55 Rendahnya angka nonpartisan yang ada di Kabupaten Malang, lebih diakibatkan oleh pemahaman sebagian besar pemilih terhadap Pemilu. Umumnya mereka menganggap pemilu sebagai sebuah kewajiban, sehingga harus datang ke TPS. Di samping itu, dorongan mereka untuk mendatangi TPS, karena adanya faktor sosial, terutama himbauan kyai yang kadang mendukung partai tertentu.56 3. 2. Kota Malang: Potret Politik Aliran Masyarakat Urban Kota Malang merupakan Kota kedua terbesar di Kota dan Kabupaten Malang dengan jumlah pemilih mencapai 603,29. Wilayah ini terbagi dalam 5 Kecalamtan, yaitu Kecamatan Kedung Kandang, Klojen, Sukun, Blimbing, dan Lowokwaru. Karena wilayah kecamatan hanya ada 5, maka pembagian dapil didasarkan pada wilayah sehingga jumlah kecamatan sama dengan jumlah dapil. 3.2.1. Kinerja Electoral Partai Politik Berdasarkan hasil rekapitulasi KPUD Kota Malang, delapan besar peringkat perolehan suara tertinggi pada pemilu 2004 di Kota Malang secara berturut-turut PDIP, PKB, Partai Golkar, Partai Demokrat, PKS, PAN, PPP, PDS, dan PBB. Dilihat dari sisi geopolitik, yang merupakan basis pemilih dari PDIP dengan perolehan suara di atas 20 ribu berada di Kecamatan Sukun dengan total suara sebesar 32.072 pemilih, disusul Kecamantan Blimbing dengan suara 22.983 pemilih, dan Kecamatan Lowokwaru dengan suara 21.5633 pemilih. Bagi PKB yang menempati peringkat kedua, basis massanya ada 55 Hasil observasi penulis di beberapa TPS, khusunya di wilayah Dusun Caru Desa Pendem, Kecamatan Junrejo, pada saat penghitungan suara di TPS. 56 Selain tersebut di atas, hasil wawancara dengan Tono, 45 tahun, di Ampel Dento Kabupaten Malang, rendahnya angka non partisan karena masyarakat masih menganggap bahwa pemilu itu merupakan kewajiban. Oleh karena itu banyak masyarakat yang datang ke TPS untuk menyalurkan aspirasinya. 49 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH disekitar Kecamatan Kedungkandang dengan suara sebesar 21.268 pemilih, disusul oleh Kecamatan Sukun dan Kecamatan Blimbing yang memperoleh suara masing-masing sebesar suara 15.178 pemilih dan 14.14.527 pemilih.57 Sementara wilayah yang merupakan basis pemilih Partai Golkar berada di Kecamatan Sukun dengan peroleh suara sebesar 12.597 pemilih disusul oleh Kecamatan Kedungkandang sebesar 10.722 suara pemilih dan Kecamatan Lowokwaru dengan perolehan suara sebesar 9.442 pemilih. Untuk peringkat keempat perolehan suara terbesar partai politik di Kota Malang ditempati oleh Partai Demokrat. Partai ini merupakan partai pendatang baru yang mengubah peta politik secara Nasional. Para pendukung Partai Demokrat berada disekitar Kecamatan Blimbing dengan total perolehan suara sebesar 16.843 pemilih, disusul Kecamatan Lowokwaru dengan total suara sebesar 13.194 pemilih dan Kecamatan Sukun sebesar 12.269 pemilih.58 Peringkat ke lima dan keenam yaitu PKS dan PAN dukungan pemilih pada kedua partai ini cukup berimbang disetiap Kecamatan, kecuali dukungan pemilih yang ada di Kecamatan Lowokwaru dimana pemilih pendukung PKS lebih besar dibanding dengan PAN. Dari hasil peroleh suara KPUD Kota Malang menunjukkan bahwa perolehan suara untuk PKS sebesar 10.300 pemilih, sementara untuk PAN sebesar 7.156 suara pemilih. Dengan demikian ada selisih sekitar 3.144 suara pemilih.59 Perolehan suara PKS dan PAN untuk wilayah-wilayah lainnya, baik itu Kecamatan Kedungkandang, Sukun, Klojen, maupun Blimbing jumlah perolehan suara kedua partai itu relatif seimbang, walaupun ada selisih namun tidak melebihi jumlah ribuan. Hal ini menunjukkan bahwa kedua partai ini mempunyai pendukung yang relatif seimbang. 3.2.2. Pola Partisipasi Dalam Pemilu Dari data yang ada tingkat partisipasi politik masyarakat dalam pemilu legislatif tahun 2004 di empat kecamatan bisa diketahui 57 Hasil rekapitulasi pemilu 2004 KPUD Kota Malang. Ibid. 59 Ibid. 58 50 PARTAI POLITIK: POLITIK ALIRAN DAN KONDISI ELEKTORAL sebagai berikut: Kecamatan Lowokwaru 86.349 dari total 141.727 pemilih (60,93%), Sukun 95.062 dari total 127.080 pemilih (74,80%), Kedungkandang 87.541 dari total 117.608 pemilih (74,43%), Blimbing 91.750 dari total 123.488 pemilih (74,29%) dan Klojen 63.733 dari total 93.129 pemilih (68,44%). Secara keseluruhan, rata-rata partisipasi dalam pemilu di Kota Malang adalah 424.435 dari total pemilih 603.029 pemilih (70,38%).60 Sebaliknya, jika diketahui tentang data tingkat partisipasi dalam voting masyarakat kota pada pemilu legislatif tahun 2004 maka data tentang non-voting juga bisa diketahui, berikut ini tingkat pemilih golput di Kota Malang : Kecamatan Kedungkandang sebesar 25,57%, kecamatan Sukun 25,20%, Kecamatan Blimbing 25,71%, kecamatan klojen 31,56% dan Kecamatan Lowokwaru 39,07%. Secara akumulatif non-voting di Kota Malang sebesar 29,62%.61 Surat suara yang rusak atau tidak dicoblos saat pemilu di Kota Malang sangat besar. Wilayah yang mempunyai pemilih dengan tingkat pendidikan yang cukup besar ini menunjukkan punya potensi non partisipan dalam pemilu cukup besar. Salah satu alasan mereka tidak mau ikut dalam aktivitas pemilu adalah ketidak percayaan mereka kepada partai. Hal ini bisa dipahami karena mereka relatif lebih banyak menerima informasi dan sangat sadar akan pilihan yang mereka lakukan. Dengan kinerja partai politik yang tidak memuaskan termasuk para anggota dewan telah melegitimasi mereka untuk tidak memilih.62 Berbagai kebijakan kontroversial ini terjadi pada masa sebelum pemilu 2004. Oleh karena itu pada pemilu 2004, Kota Malang menunjukkan adanya trend naiknya angka nonpartisipan pemilih dalam pemilu. Dari data yang ada di KPUD Kota Malang, tercatat 29,62 persen surat suara yang rusak termasuk golput di Kota Malang. Data itu didapat dari jumlah pemilih di Kota Malang dikurangi jumlah 60 Ibid. Ibid. 62 Patut diketahui, di Kota Malang banyak sekali kebijakan-kebijkan yang dalam pandangan pemilih kurang populer, seperti melanggar RUTRW Kota Malang yang dianggap hanya untuk memenuhi kepentingan pemilik modal sehingga merusak dan menghabiskan lahan yang diperuntukan konservasi hutan kota. Salah satu kebijakan yang cukup mendapat atensi masyarakat adalah dibangunnya MATOS (Malang Town Square) yang menurut para pemerhati lingkungan lahan yang dipakai merupakan area pendidikan. 61 51 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH pencoblos partai yaitu 603.029 dikurangi 424.435, maka jumlah orang yang golput adalah 178.594 pemilih.63 Dari data statistik, 5 daerah pemilhan, mulai dari DP 1 sampai DP 5 sama-sama menyumbang secara rata jumlah pemilih yang surat suaranya tidak sah atau pun golput. DP Kedungkandang menjadi basis pemilih Tradisional menempati urutan terendah dalam hal golput yaitu sebanyak 30.067 orang. Sementara pemilih yang golput paling tinggi berada di DP Lowok Waru yang berjumlah 55.375 orang, daerah pemilihan ini banyak orang-orang terpelajar dan paham politik.64 Tingginya angka Golput pada pemilu 2004 yang mencapai 29,62 persen atau 178.594 dari total suara pemilih, di Kota Malang itu disebabkan pemilih tidak datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS). Ada sebagian masyarakat yang merasa tidak mempunyai manfaat secara langsung yang mereka rasakan, mereka lebih memilih tinggal di rumah dari pada pergi ke TPS untuk mencoblos. Kondisi ini dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi masyarakat dan kepercayaan masyarakat pada partai politik. Sebagaimana juga hasil kajian Asfar (2004), mengenai non-voting menunjukkan bahwa di negara kita perilaku tidak memilih ini merupakan sikap protes terhadap pemerintah, partai yang sedang berkuasa atau partai politik dan lembagalembaga demokrasi lainnya. 65 Semakin berkurangnya kepercayaan publik pada partai menjadi titik balik dari euforia demokrasi tahun 1998. Terbukanya keran kebebasan politik setelah rezim Soeharto berganti, reformasi membuka kebebasan politik rakyat untuk menyatakan pendapat, antara lain dengan mendirikan parpol. Pemilu 1999, 2004, dan 2009 yang diikuti banyak partai, 48, 24, dan 38 parpol, menunjukkan kebebasan politik itu sudah diraih rakyat. 63 Hasil rekapitulasi pemilu 2004 KPUD Kota Malang. Daerah Lowok Waru umumnya banyak dihuni oleh masyarakat yang menengah ke atas, dengan pekerjaan sebagai PNS, yang berada di area pemukiman perumahan. Mereka yang tidak mendatangi pemilu umumnya di TPS yang berada di sekitar perumahan dan sekitar kos-kosan. Hasil observasi, dan data hasil rekapitulasi, ibid. 65 Perilaku tidak memilih di Kota dan Kabupaten Malang juga menunjukkan pada dua bentuk, antara lain: Pertama, orang tidak menghadiri tempat memilih; kedua, pemilih menghadiri tempat suara tapi tidak menggunakan hak pilihnya secara benar, seperti merusak kartu suara. Menipisnya kepercayaan masyarakat terhadap kiprah partai politik menjadi kecenderungan yang mengarah pada delegitimasi parpol. Tidak hanya pemerintah, publik pun menyetujui dikuranginya peran parpol dalam pemilu, meskipun disertai sejumlah kekhawatiran. 64 52 BAB II SISTEM KEPARTAIAN DAN SISTEM PEMILU 53 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH KOMPETENSI Dalam bab ini pertama, mahasiswa diharapkan dapat memahami konsep dan definisi sistem kepartaian dan pemilu di Indonesia. Setelah memahami konsep dan definisi tersebut, lantas mahasiswa diharapkan dapat memahami hubungan kausalitas antara sistem pemilu dan sistem kepartaian yang terjadi. Kedua, mahasiswa diharapkan memahami bekerjanya sistem pemilu baik itu closed list mapun open list dan dampaknya pada perolehan suara partai. Selain itu, mahasiswa diharapkan dapat memahami bekerjanya partai politik dalam merespon realitas masyarakat dan kondisi hasil pemilu yang terjadi baik itu dalam tataran platform maupun program, baik sebelum maupun saat kampanye pemilu 54 BAB II SISTEM KEPARTAIAN DAN SISTEM PEMILU DALAM rangka memperbaiki sistem demokrasi pasca reformasi, partai dan pemilu sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang pemilu dan partai politik dilakukan penataan ulang. Menghadapi pemilu tahun 2004, maka diberlakukan undangundang baru yaitu Undang-Undang Nomor 31 tahun 2002 tentang Partai Politik dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum. Dalam Pasal 2 UU No.31 Tahun 2002 disebutkan bahwa: (1) Partai politik didirikan dan dibentuk oleh sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) orang warga negara Republik Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun dengan akta notaris. (2) Akta notaris sebagaimana dimaksud pada ayat 1 harus memuat anggaran dasar dan anggaran rumah tangga disertai kepengurusan tingkat nasional. (3) Partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat 1 harus didaftarkan pada Departemen Kehakiman dengan syarat: a. memiliki akta notaris pendirian partai politik yang sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya; b. mempunyai kepengurusan sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen) dari jumlah propinsi, 50% (lima puluh persen) dari jumlah kabupaten/kota pada setiap propinsi yang bersangkutan, dan 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah kecamatan pada setiap kabupaten/kota yang bersangkutan; c. memiliki nama, lambang, dan tanda gambar yang tidak mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhan dengan nama, 55 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH lambang, dan tanda gambar partai politik lain; dan d. mempunyai kantor tetap. Dari ketentuan tersebut dapat dilihat bahwa pendirian partai politik harus memperhatikan kepentingan masyarakat luas, dan keberadaannya harus sesuai dengan prosedur hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu partai politik yang dibentuk harus mempunyai visi dan misi yang jelas, demi untuk kesejahteraan masyarakat. Selanjutnya dalam Pasal 7 UU No.12 Tahun 2003 disebutkan bahwa: (1) Partai politik dapat menjadi peserta Pemilu apabila memenuhi syarat: a. diakui keberadaannya sesuai dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik; b. memiliki pengurus lengkap sekurang-kurangnya di 2/3 (dua pertiga) dari seluruh jumlah propinsi; c. memiliki pengurus lengkap sekurang-kurangnya di 2/3 (dua pertiga) dari jumlah kabupaten/kota di propinsi sebagaimana dimaksud dalam huruf b; d. memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau sekurang-kurangnya 1/1000 (seperseribu) dari jumlah penduduk pada setiap kepengurusan partai politik sebagaimana dimaksud dalam huruf c yang dibuktikan dengan kartu tanda anggota partai politik; e. pengurus sebagaimana dimaksud dalam huruf b dan huruf c harus mempunyai kantor tetap; f. mengajukan nama dan tanda gambar partai politik kepada KPU. (2) Partai politik yang telah terdaftar, tetapi tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat menjadi peserta Pemilu. (3) KPU menetapkan tata cara penelitian dan melaksanakan penelitian keabsahan syarat-syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Penetapan tata cara penelitian, pelaksanaan penelitian, dan penetapan keabsahan kelengkapan syarat-syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh KPU dan bersifat final. Selanjutnya, dalam hal sisten pemilu, pemilu tahun 1999 yang menggunakan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999, telah 56 SISTEM KEPARTAIAN DAN SISTEM PEMILU memperlihatkan semangat yang kuat untuk meningkatkan kualitas kadar keterwakilan rakyat dalam rekrutmen keanggotaan lembaga legislatif dan upaya menciptakan hubungan yang kukuh antara daerah yang diwakili dengan wakilnya dalam lembaga legislatif (Pasal 41 ayat 5 dan ayat 6 a). Dalam perspektif parlementologi, rumusan tersebut merupakan proses adopsi elemen-elemen positif sistem distrik ke dalam sistem pemilu yang dianut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 yakni sistem proporsional berimbang berdasarkan stelsel daftar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (7) undang-undang tersebut (Ganjar Rasuna, 2001) Sementara pemilu tahun 2004 sistem yang dipilih adalah sistem proporsional terbuka, sebagaimana yang dituangkan dalam Pasal 6 UU No.12 Tahun 2003, yaitu: (1) Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Propinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan sistem proporsional dengan daftar calon terbuka. (2) Pemilu untuk memilih anggota DPD dilaksanakan dengan sistem distrik berwakil banyak Menghadapi pemilu 2009, pemerintah ((Eksekutif dan Legislatif) mengeluarkan aturan main baru yaitu Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif, Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilu Presiden, dan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 tantang Penyelenggaraan Pemilu. Salah satu pasal krusial terkait UU No. 10 / 2008 adalah adanya pemberlakuan Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) 30 %. Selanjutnya terkait dengan BPP 30 % ini dianulir oleh Mahkamah Konstitusi. Berkenaan dengan realitas kepartaian Malang Raya di era multipartai, baik dari sisi tipologi maupun sistem kepartaian, maka dapat kita kategorikan sebagai berikut: dilihat dari sistem kepartaian, partai politik Indonesia baik pada pemilu 1999, 2004, maupun 2009 dengan jumlah partai politik yang memperoleh kursi signifikan ada enam, maka sistem kepartaiannya tergolong moderate pluralism; secara tipologis, partai-partai yang berkembang baik pemilu 1999 maupun 2004 kalau dilihat dari sisi sumber dukungannya, maka umumnya partai didukung oleh pemilih dengan basis ideologi, dimana agama, khususnya pemilih Islam, menjadi menjadi basis material dalam 57 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH dukungan partai. Oleh karena itu, partai-partai di era multipartai dapat dikatakan tergolong ke dalam tipe atau jenis partai sektarian. Setelah melihat aturan main yang berlaku baik terkait sistem kepartaian maupun sistem pemilu, perlu kiranya dieksplorasi bagaimana realitas sistem kepartaian dan sistem pemilu serta dampaknya terhadap upaya dan pola hubungan partai dan pemilih di Malang Raya. Tujuan dikemukakan pembahasan ini adalah memberi gambaran tentang kondisi kepartaian yang berkembang di era multipartai. Hal ini penting dikemukakan untuk bisa memberi penjelasan dan pemahaman atas situasi dan kondisi kepartaian yang terjadi saat ini di Malang Raya. Berhubungan dengan tujuan tersebut, pembahasan ini diawali dengan sistem kepartaian dan sistem pemilu di Malang Raya, kemudian dilanjutkan dengan pembahasan mengenai sitem kepartaian, sistem pemilu dan upaya partai. A. Sistem Kepartaian dan Sistem Pemilu 1. Sistem Kepartaian Konfigurasi perolehan suara partai-partai politik pemilu 1999 di Malang Raya menunjukkan suatu pluralisme moderat. Partai-partai 6 besar seperti PDI Perjuangan, PKB, Golkar, PAN, PPP, dan PK kalau dipilah-pilah ternyata masih memiliki visi yang hampir tidak jauh berbeda. Golkar dan PDI Perjuangan, walaupun di tingkat grassroot sering terjadi gesekan, namun sesungguhnya kedua partai tersebut dalam hal platform memiliki banyak persamaan. Begitu juga dengan PKB, PAN, PPP, PK yang sama-sama mempunyai dukungan pemilih berbasiskan Islam, sehingga relatif bisa saling mendekat. Walau demikian jurang pemisah selalu ada terutama antara partai berbasis pemilih Islam Modernis dengan partai berbasis pemilih Islam Tradisional. Dengan demikian, koalisi antara ke-6 partai tersebut sering dilakukan baik untuk kepentingan pilkada maupun dalam memutuskan kebijakan di dewan.1 1 Di Malang Raya, koalisi untuk kepentingan pilkada sampai tahun 2008 sering dilakukan diantara tiga partai besar pemenang pemilu sperti PDIP, PKB, dan Golkar. Dalam prakteknya koalisi terjadi antara PDIP dan PKB, PDIP dan Golkar, namun jarang terjadi koalisi antara Golkar dan PKB. Dalam rangka memenangkan perebutan kekuasaan di eksekutif, mau tidak mau haru melibatkan PDIP karena konsistensi dukungan pemilihnya cukup tinggi disamping secara kuantitas merupakan pemilih mayoritas. Oleh karena itu sampai penelitian ini dilakukan, semua 58 SISTEM KEPARTAIAN DAN SISTEM PEMILU Hasil pemilu 1999 di Malang Raya menunjukkan politik aliran tetap pegang peranan. Kemenangan partai yang secara historis dan sosiologis punya kedekatan dengan Islam seperti PKB, PAN, serta Partai Nasionalis seperti PDIP dan Golkar bisa menjadi bukti kuat akan keberadaan politik aliran ini. Walau demikian, partai politik pada pemilu 1999 yang dibangun dengan format sistem kepartaian yang plural, namun dalam hal ideologi menunjukkan kecenderungan moderat2. Perolehan kursi di tingkat dewan, masih menunjukan adanya dominasi dari tiga aliran pokok, seperti PDIP mewakili Abangan, PKB dan PPP mewakili Islam Tradisional, PAN dan PK mewakili Islam Modernis, sementara Golkar mewakili Priyayi. Persentase suara masing-masing partai di Dewan hasil pemilu 1999, PDI Perjuangan, menjadi pemenang mayoritas dengan menguasai 36 % suara di tingkat Dewan, sementara PKB partai berbasis kelompok tradisional Islam menempati peringkat 2 dengan menguasai 27 % suara. Golkar, menguasai 18 %, dan PAN partai yang berbasiskan modernis Islam menguasai 6 % suara. PPP partai berbasis Islam kelanjutan era Orde Baru menguasai 2,2 % dan suara. Partai Keadilan, partai Islam modernis baru dan memiliki tipikal kelompok Ikhwanul Muslimin memperoleh suara 1,1 %. Partai-partai yang tergolong besar adalah PDI Perjuangan, Golkar, PKB, dan dan memiliki garis ideologi yang cukup “moderat”. Di sisi lain PPP, PKB, PAN dan PK, yang punya kedekatan secara historis dan sosiologis dengan pemilih Islam. Dengan demikian, kalau dilihat dari konsteks ideologi sesama partai Islam akan sangat mudah untuk berkoalisi, namun karena perbedaan kultur terutama PPP, PKB yang tradisional dan PAN, PK yang Modernis dalam kenyataannya agak sulit, sebagai contoh koalisi untuk pemenangan pilkada. Bagi PDI Perjuangan dan Golkar, memiliki platform ideologi yang tidak terlalu berbeda, sehingga kendala koalisi keduanya hanyalah “permusuhan” historis selama era Orde Baru. Perolehan suara pemilu 2004 tidak jauh berbeda dengan hasil pemilu 1999, namun sudah menunjukan adanya pengkaburan dalam Kepala Daera baik itu Kota Malang, Kabupaten Malang, maupun Kota Batu merupakan Kepala Daerah yang diusung oleh PDIP. 2 Berkenaan dengan ideology partai-partai politik secara lengkap bisa dilihat dalam “PartaiPartai Politik Indonesia, Ideologi dan Program 2004-2009”, Kompas, PT Media Kompas Nusantara, 2004. 59 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH politik aliran yang dibuktikan dari banyak pemilih yang melakukan swing votes, terutama pemilih PDIP dan PKB. Oleh karena itu jumlah kursi yang diperoleh PDIP dan PKB di Malang Raya mengalami penurunan yang cukup drastis walaupun masih tetap menjadi mayoritas. Pemilu 2004 di Malang Raya memperebutkan 115 kursi di Dewan, dengan perincian Kabupaten Malang 45 kursi, Kota Malang 45 kursi, dan Kota Batu 25 kursi. Di Malang Raya PDIP keluar sebagai pemenang dengan mengantungi perolehan 101.732 suara atau 25,84 % total suara pemilih dengan menguasai 12 kursi atau 26 % di Dewan di Kota Malang, 357.008 atau 28,97 % dengan menguasai 17 kursi atau 37,7 % di Dewan Kabupaten Malang, 3.299 atau 16 % dengan menguasai 5 kursi atau 20 % di Dewan Kota Batu. PKB keluar sebagai pemenang kedua dengan mengantungi perolehan 68.321 suara atau 17,36 % total suara pemilih dengan menguasai 8 kursi atau 20 % di Dewan di Kota Malang, 316.665 atau 25,72 % dengan menguasai 13 kursi atau 32,5 % di Dewan Kabupaten Malang, 4.209 atau 12,6 % dengan menguasai 4 kursi atau 16 % di Dewan Kota Batu. Golkar keluar sebagai pemenang ketiga dengan mengantungi perolehan 48.612 suara atau 12,35 % total suara pemilih dengan menguasai 5 kursi atau 11,11 % di Dewan di Kota Malang, 205.505 atau 16,68 % dengan menguasai 7 kursi atau 15,55 % di Dewan Kabupaten Malang, 7.70 atau 23,4 % dengan menguasai 5 kursi atau 20 % di Dewan Kota Batu. Sementara Partai Demokrat keluar sebagai pemenang keempat dengan mengantungi perolehan 57.278 suara atau 14,55 % total suara pemilih dengan menguasai 7 kursi atau 15,15 % di Dewan di Kota Malang, 95.670 atau 7,76 % dengan menguasai 6 kursi atau 13,33 % di Dewan Kabupaten Malang, 4.517 atau 13,8 % dengan menguasai 4 kursi atau 16% di Dewan Kota Batu. Pada Pemilu 2004 hampir semua partai besar mengalami penuruan suara dari pemilu 1999. Golkar, PDI Perjuangan, PKB mengalami penurunan perolehan suara. Oleh karena itu, secara otomatis mengalami penuruan kursi, kecuali PKB walau mengalami penurunan suara namun mengalami kenaikan kursi dari 12 kursi pada pemilu 1999 menjadi 13 kursi pada pemilu 2004 di Kabupaten Malang. Partai Demokrat, partai yang mengandalkan figur Presiden Susilo Bambang Yudhoyono langsung memperoleh 14,55 % suara dengan total perolehan 7 kursi di Dewan Kota Malang, 7,76 % dengan 60 SISTEM KEPARTAIAN DAN SISTEM PEMILU perolehan 6 kursi di Dewan Kabupten Malang, dan 13,8 % dengan perolehan 4 kursi di Dewan Kota Batu. PKS (dulu PK) mengalami mengalami kenaikan jumlah suara yang cukup signifikan dari 0,79 % menjadi 7,16% di Kota Malang. Pada pemilu 1999 PKS hanya memperoleh 1 kursi, pada pemilu 2004 bertambah empat kursi menjadi 5 kursi. Di sisi lain, PAN di Kota Malang mengalami penurunan jumlah suara, dari 10,53 % di pemilu 1999 menjadi 6,77% di pemilu 2004. Meskipun demikian, kursi PAN di Dewan mereka bertambah dari 4 di pemilu sebelumnya menjadi 5 di pemilu 2004. Pola sistem kepartaian yang terjadi pada pemilu 2004 masih menyerupai Pluralisme Moderat layaknya seperti tampak di pemilu 1999. Partai-partai relatif besar seperti Golkar, PDI Perjuanan, PKB, dan PAN ditambah Partai Demokrat dan PKS masih menguasai kursi yang cukup besar di parlemen. Tidak ada partai yang mampu menjadi mayoritas secara mudah. Mereka harus saling berkoalisi. Partai yang menjadi partner pertama didasarkan kedekatan garis ideologis, baru kemudian faktor-faktor pragmatis seperti kemenangan suara untuk, pencalonan dalam pilkada, kebijakan tertentu dan lain sebagainya. Pada pemilu 2009, peta politik agak berubah menjadi lebih terpolarisasi. Dari data menunjukan bahwa perolehan kursi partai di Dewan tidak lagi terkonsentrasi pada beberapa partai saja, melainkan sudah menunjukan ada penyebaran. PDIP, PKB, dan Golkar yang merupakan simbolisasi dari politik aliran tidak lagi menjadi partai dengan perolehan kursi terbesar, pada pemilu 2009 dominasi ketiga partai ini tidak terjadi. Beberapa partai muncul ke permukaan seperti Partai Demokrat, PKS, PAN dan beberapa partai lain seperti Partai Gerinda dan Partai Hanura, bahkan Partai Demokrat bisa menghentikan dominasi PDIP di Kota Malang yang pada pemilu 1999 dan 2004 menjadi pemenang pemilu di Malang Raya. Partai Demokrat di Kota Malang yang pada pemilu 2004 memperoleh kursi 7 kursi kalah 5 kursi dari PDIP yang memperoleh 12 kursi, pada pemilu 2009 Demokrat memperoleh 12 kursi sementara PDIP 9 kursi. Dengan demikian, pola komunikasi dan pola koalisi di Dewan periode 2009-2012 di Malang Raya relatif lebih banyak ketimbang pada pemilu 1999 dan 2004. Walaupun hasil kursi di Dewan masih menunjukkan kesamaan dengan hasil pemilu sebelumnya yaitu pluralisme moderat dengan empat sampai enam partai dominan. 61 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH 2. Sistem Pemilu Setelah reformasi digulirkan pada tahun 1998, Indonesia sudah menjalankan tiga kali pemilihan umum, yakni: Pemilu 1999, Pemilu 2004, Pemilu 2009. Pada Pemilu 1999, puluhan partai politik bermunculan meskipun hanya 48 partai politik yang dapat ikut pemilu. Dimana sistem yang dipergunakan pada seluruh pemilu masa Orde Baru sampai Pemilu 1999 adalah sistem proporsional dengan daftar tertutup (PR Closed List). Persoalan yang paling menonjol di lapangan terkait dengan sistem pemilu closed list ini adalah konflik dalam penentuan calon dan stambus accord (suara sisa). Pemilu 2004, berdasarkan UU No. 12 / 2003 menggunakan sistem proporsional dengan daftar terbuka (PR Open List). Akan tetapi, karena penetapan calon terpilih masih dibatasi dengan perolehan suara sebesar Bilangan Pembagi Pemilih (BPP), maka dalam kenyataannya di Malang Raya, sistem ini hampir sama dengan daftar tertutup karena tidak ada yang memperoleh suara memenuhi BPP sekalipun calon dari partai besar. Seluruh anggota DPRD Malang Raya yang terpilih, lolos karena posisinya pada nomor urut atas (nomor jadi) dalam daftar calon. Data KPU (2004), secara Nasional calon anggota Dewan Pusat yang memperoleh suara memenuhi BPP adalah calon dari PKS, Hidayat Nur Wahid dengan perolehan suara 262.019 dari dapil DKI II dan calon dari Partai Golkar, Saleh Djasit dengan perolehan suara 195.348 dari dapil Riau. Dalam Pemilu 2004 yang diikuti 24 partai politik, banyak hal baru yang diperkenalkan selain pemilihan anggota legislatif (DPR/ DPRD), yaitu sistem pemilihan presiden langsung dan pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Dalam pemilu legislatif DPR/DPRD digunakan sistem proportional list atau open list system dimana pemilih wajib mencoblos tanda gambar partai atau tanda gambar dan nama calon legislatif.3 Sistem pemilu yang digunakan untuk memilih anggota DPD adalah simple majority dengan multimember constituency (berwakil banyak). 3 Walaupun dalam pemilu 2004 sistem pemilu menggunakan proporsional daftar terbuka, namun caleg yang lolos menjadi anggota Dewan secara langsung harus melampaui Bilangan Pembagi Pemilih (BPP). Sementara apabila caleg tidak sampai pada BPP, maka yang akan lolos menjadi anggota Dewan adalah calon yang berada pada nomor urut di atasnya. 62 SISTEM KEPARTAIAN DAN SISTEM PEMILU Pemilihan presiden dalam Pemilu 2004 dilakukan secara langsung. Sistem pemilu yang digunakan adalah two round system, dimana putaran pertama menggunakan sistem plurality-majority dan putaran kedua menggunakan sistem run-off majority. Sistem yang serupa juga digunakan dalam pemilihan kepala daerah, yang membedakan adalah putaran kedua dilaksanakan jika tidak pasangan calon yang menang lebih dari 25 persen. Sementara itu, penyelenggara Pemilu 2004 tidak lagi dilakukan oleh KPU yang beranggotakan wakil-wakil partai politik seperti yang dilakukan pada pemilu 1999 melainkan oleh KPU yang beranggotakan individu nonpartisan yang dipilih oleh DPR. Berkaca pada kinerja sistem pemilu dan tipe pemilihan yang digunakan pada Pemilu 2004, ternyata masih banyak permasalahan yang perlu direspon agar misi dari pemilu menjadi sempurna. Untuk melakukan variasi-variasi ini tentunya perlu ada pemahaman yang komprehensif tentang sistem pemilu dan tipe-tipe pemilihan, mana yang sesuai dengan kondisi sosial dan georgrafis Indonesia dan mana yang tidak. Memasuki pemilu 2009, banyak kritikan dan masukan yang terkait dengan persoalan BPP. Banyak calon yang keberatan karena dianggap menghianati amanat dari pemilih bagi calon yang mereka dukung. Lebih jauh, bagi caleg yang ingin jadi memalui mekanisme BPP dianggap sebagai hal yang tidak mungkin. Sistem proporsional daftar terbuka hanya realistis di atas kertas atau aturan main, namun di lapangan dengan adanya mekanisme BPP menjadi hal yang tidak realistis. Atas dasar pertimbangan di lapangan, banyak dorongan dan masukan untuk menjadikan atau menjalankan sistem proporsional dengan daftar terbuka murni (majority) pada pemilu 2009. Namun perdebatan di Parlemen sangat alot antara mereka yang setuju dengan yang tidak setuju, namun pada intinya bermuara pada eksistensi partai politik. Hasil keputusan di Parlemen, untuk pemilu 2009 disepakati dengan BPP 30%. Terkait dengan persoalan BPP 30 %, kalangan yang merasa dirugikan, khususnya para caleg yang ditempatkan pada nomor urut bawah, mengajukan permohonan peninjauan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Atas pengajuan permohonan caleg PDIP (yang merasa dirugikan oleh nomor urut) ke MK terkait BPP 30 % dalam sistem proporsional 63 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH daftar terbuka ini, maka menjelang pemilu, MK mengabulkan gugatan tersebut. Maka pada pemilu 2009 diberlakukan sistem pemilu proporsional dengan daftar terbuka secara penuh.4 Dibalik dikabulkannya guguatan ke MK mengenai BPP, ada nuansa kekhawatiran dari partai-partai politik yang menganggap ada partai lain yang sudah secara tidak langsung menerapkan sistem suara terbanyak. Dalam hal ini, jauh sebelum pemilu 2009 dilaksa-nakan, ada sinyalemen bahwa PAN sebenarnya telah menerapkan aturan open list secara penuh. Kondisi ini teresonansi ke partai-partai lain untuk memberlakukan hal serupa, karena dianggap kalau tidak menjalan upaya seperti PAN, maka akan mempengaruhi semangat calon dalam partainya mengendur. Sebagaima diketahui, caleg PAN menjadi lebih heterogen karena banyak tokoh populer baik dari kalangan politisi, akademisi, bisnismen, maupun artis. B. Sistem Kepartaian, Sistem Pemilu, dan Upaya Partai 1. Sistem Kepartaian dan Upaya Partai Pada awal reformasi, semua partai belum punya keberanian politik untuk membangun partai yang keluar dari pakem ideologis. Oleh karena itu mereka berlomba-lomba memanfaatkan basis material pemilih yang sejalan dengan politik aliran yaitu Islam dan Nasionalis. Dengan demikian, partai-partai yang ada hampir dipastikan mengembangkan tipe partai Massa. Dalam bersaing di pemilu, partaipartai berusaha mengemas ideologi dengan sebaik-baiknya. Walaupun Partai Golkar sebagai partai kader yang dalam aliran Gerrtz, pemilihnya masuk dalam kategori priyayi, namun secara kultur priyayi itu lebih condong ke Nasionalis.5 4 Akibat putusan MK yang mengubah system pemilu dari closed list proportional representation menjadi open list proportional representation, menurut Bayu Dardias mengakibatkan beberapa hal: Pertama berubahnya perilaku politik caleg dari yang semula berkmapanye untuk partai menjadi berkampanye untuk diri sendiri. Kedua, lemahnya control partai terhadap kadernya. Anggota DPR akan lebih memperhatikan aspirasi konstituen yang memilihnya daripada instruksi partai sehingga fungsi fraksi di DPR melemah. Ketiga, munculnya free rider dalam politik Indonesia yang bisa dilihat dari banyaknya public figures terpilih tampa melalui kaderisasi partai yang ketat. Keempat, makin menyebarnya veto politik, sehingga semakin sulit untuk melakukan reformasi akibat harus bernegosiasi dengan semua pemegang veto. Kelima, terancamnya desain representasi perempuan. Bayu Dardias, Pemilu dan Putusan Hukum, Kadaulatan Rakyat, 30 Juli 2009. 5 Perbedaan antara Abangan dan Priyayi hanyalah terletak pada etiket Jawa. Priyayi tegolong 64 SISTEM KEPARTAIAN DAN SISTEM PEMILU Realitas hasil pemilihan umum baik 1999 maupun 2004 telah menyadarkan para elit politik bahwa membangun partai berbasis ideologi tidak serta-merta mendapat dukungan pemilih karena harus bersaing keras di antara sesama partai baik itu yang Islam maupun yang Nasionalis. Bagi partai-partai yang sudah lama dan mengakar pada masyarakat, dilihat dari tokoh maupun historis partai, maka partai tersebut tidak mengalami hambatan yang berarti dalam bersaing di pemilu, seperti PDIP yang merupakan kelanjutan PDI (masa Orba) dengan figur Megawatinya, Golkar yang merupakan simbol kekuasaan Orde Baru, PPP bagian dari historis partai Islam. Kalau pun ada partai yang berbasis ideologi Islam yang bisa survive seperti PKB dan PAN, tidak lain karena partai ini ditopang oleh dua kekuatan ormas keagamaan yang besar. PKB oleh ormas NU yang disimbolisasi oleh adanya Gus Dur, sementara PAN oleh ormas Muhammadiyah yang dapat dengan dilihat dari keberadaannya Amin Rais. Guna mensiasati kerasnya persaingan di era multipartai, banyak partai yang berusaha mendesain partainya ke arah yang lebih moderat dilihat dari sisi ideologi. Partai berusaha untuk segere melepas sedikit demi sedikit label ideologis yang menempelnya. Pada akhirnya mereka menuju kepada partai catchall, dengan cara mengambil semua segmen pemilih, tidak dibatasi oleh hambatan ideologis, tujuan utamanya untuk memenangkan pemilu dan meraih kekuasaan. Lebih jauh, guna melengkapi perubahan baju partai dari yang pekat ke arah yang abuabu, partai-partai politik berusaha untuk bersikap realistis dalam perjuangan mempertahankan eksistensi partai dengan cara melakukan upaya yang praktis pragmatis baik dalam pendekatan kepada masyarakat maupun dalam melakukan koalisi dalam parlemen. 1.1. Sistem Kepartaian dan Kemasan Ideologi Partai Sebagaimana telah dikemukakan bahwa partai-partai berusaha untuk tetap survive dengan melakukan langkah baik itu melalui perubahan desain ideologi, perluasan segmen pemilih, maupun punya kultur berbahasa yang stratified berdasarkan stratifikasi social, sementara Abangan tidak. Namun baik Abangan maupun Priyayi dalam hal beragama hampir mirip, dimana keduanya beragama secara minimal dan punya kepercayaan yang bersumber dari ajaran Hindu seperti animisme dan dinamisme. 65 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH langkah praktis pragmatis. Dalam pemilu 1999 dan 2004, partai politik belum punya pengalaman riil dalam berhubungan dengan pemilih. Oleh karena itu, salah satu langkah bijak yang diambil adalah dengan mendasarkan diri pada realitas politik yang pernah ada. Ideologi menjadi salah satu komponen utama dalam upaya menggaet simpatisan pemilih dalam pemilu. Hal ini juga diakibatkan karena basis material yang lain seperti kelas, belum berkembang di negara kita. Oleh karena itu basis material yang bersumber dari primordialisme lebih nyata dan lebih realitis untuk dijadikan sebagai pondasi pembangunan partai politik. Oleh karena itu tidak salah apabila kebangkitan partai-partai politik pasca reformasi sering disebut kalangan pengamat tertentu sebagai bangkitnya “politik aliran”, yang tentunya terkait dengan tipologi Santri, Abangan, priyayi dalam masyarakat Jawa sebagai mana dirumuskan Clifford Geertz pada tahun 1950-an. Meningkatnya ketegangan antara parpol-parpol Islam ditambah lagi dengan seruan MUI dan ormas-ormas Islam untuk tidak memilih parpol lain (PDI-P) yang banyak menampilkan caleg non-Muslim seakan-akan memperkuat asumsi tentang kembalinya politik aliran ke kancah politik Nasional (Azymardi Azra, 2002). Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), PKNU, Partai Damai Sejahtera (PDS) adalah beberapa contoh partai yang sangat berkaitan erat dengan Agama. PPP, PKS mereka nyata-nyata memproklamirkan bahwa mereka adalah partai agama. Dengan tujuan meyedot massa dari golongan yang fanatik agama, atau dengan kata lain orang yang lebih sreg atau cocok dengan segala sesuatu yang berbau agama. Dengan harapan orang tersebut akan memililih partai yang ada embel-embel atau simbol agama, karena dianggap mewakili kepentingan mereka yang beragama, khususnya Islam. Dari 48 partai politik pada pemilu 1999 tercatat ada 10 partai politik yang secara formal berasaskan Islam. Sementara yang lainnya berasaskan Pancasila dan dua partai yang berasaskan gabungan antara Pancasila dan Islam. Kategorisasi ideologis yang didasarkan pada asas partai yang secara formal tercantum dalam AD/ART tidak akan mampu mendalami secara substantif dari partai politik yang bersangkutan. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa walaupun 66 SISTEM KEPARTAIAN DAN SISTEM PEMILU ada partai yang secara formal mencantumkan asas selain Islam, namun dalam praktiknya basis massa mereka adalah pemilih Islam. Di sisi lain, figur-figur elit partai dilihat dari latar belakang keagamaannya termasuk tokoh-tokoh yang tidak diragukan lagi keberpihakannya terhadap Islam. Sebagai contoh PAN yang didirikan oleh Amin Rais yang punya latar belakang sebagai Pimpinan Pusat Muhammadiyah, termasuk PKB, ada Gus Dur yang merupakan tokoh Islam mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Nahdlotul Ulama. Begitupun ada beberapa partai yang dibangun, walaupun tidak mengatasnamakan partai Islam, tapi konstituen yang dibidiknya adalah konstituen Islam. Di sisi lain, Komaruddin Hidayat dan M. Yudhie Haryono (2004) mencatat pembilahan ideologi partai politik ke dalam enam kelompok, yaitu Islam Tradisionalis, Islam Modern, Nasionalis, Sosial Demokrat, Marhaenisme, dan Kristen. Apa yang dikemukakan oleh Hidayat dan Haryono merupakan gambaran ideologi partai politik sebagaimana yang dipaparkan dalam visi, misi, serta platform partai politik. Walaupun demikian apa yang dikemukakan dalam platform partai tidak selamanya merupakan cerminan dan ideologi partai politik. Banyak partai politik yang tidak selaras antara asas partai dengan realitas pemilih dan platform serta program-program partai. Lebih jauh, tingkah laku elit politik, kadang tidak mencerminkan ideologi dari partai yang diusungnya. Sementara penulis mengkategorisasikan basis ideologi partai sebagai berikut: Islam, Nasionalis Sekuler, Nasionalis Religius, dan Kristen. Secara umum basis massa partai berhaluan Islam berasal dari pemilih Santri baik modernis maupun tradisional, basis massa partai berhaluan Nasionalis berasal dari pemilih Abangan, basis massa pemilu partai berhaluan Nasionalis Religius berasal dari pemilih santri, Abangan, kristiani dan lain-lain, sementara partai yang berhaluan Kristen berasal dari pemilih Kristen. Pemilu Tahun 2004 yang diikuti oleh 24 partai, berdasarkan orientasi politik dan ideologi, partai politik yang dapat dikategorikan sebagai partai Islam yaitu Partai Bintang Reformasi, Partai Persatuan Pembangunan, 6 Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia, Partai 6 Keputusan PPP untuk kembali kepada Islam sebagai asas partai pada tahun 1998 lalu, merupakan titik balik bagi partai ini dalam mengapresiasikan diri sebagai partai politik Islam. 67 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH Keadilan Sejahtera,7 Partai Bulan Bintang, Partai Sarikat Indonesia. Bagi pemilih Santri sangat tidak mungkin untuk memilih Partai yang berhaluan Nasionalis Sekuler. Hal ini didasarkan pada bedanya orientasi politik mereka, dan dalam kehidupan keseharian baik pemilih Abangan maupun Santri yang walaupun ada partautan secara kultural, khususnya dalam ritual, namun masing-masing sudah membangun identifikasi politiknya sendiri. Partai Nasionalis Sekuler yaitu, PDI-P, PNBK, Partai Pelopor, PNI Marhaenisme. Basis pemilih Partai tersebut banyak datang dari akalangan Abangan. Walaupun PDIP berusaha untuk menggaet pemilih Santri dengan memunculkan wadah bagi berkumpulnya pemilih Islam seperti Jamah Muslimin (Jamus) dan sekarang Baitul Muslimin (Bamus), namun upaya ini tidak banyak mendapatkan hasil karena para pemilih santri punya hambatan spikologis untuk memilih Langkah ini diambil setelah sepuluh tahun lebih rezim Orde Baru melucuti atribut ke Islamanya melalui penerapan asas tunggal Pancasila kepada seluruh partai politik. Kembalinya PPP ke khittah 1973 menandai tekad partai berlambang Ka’bah ini melepaskan diri dari dilema ideologi. Menghadapi pemilihan umum 2004 lalu PPP tetap mengedepankan prinsip istiqomah dalam melakukan tugasnya sebagai partai politik yang berasaskan Islam. 7 Partai Keadilan Sejahtera yang singkat PK Sejahtera merupakan partai berasaskan Islam yang pendiriannya terkait dengan pertumbuhan aktifitas dakwah Islam semenjak awal tahun delapan puluhan. Partai dengan lambing dua bulan sabit ini juga merupakan kelanjutan dari Partai Keadilan yang didirikan pada 20 Juli 1998. Awal tahun delapan puluhan gerakan-gerakan keislaman yang mengambil masjid-masjid sebagai basis operasional dan strukturnya, terutama masjid kampus, mulai bersemi. Gerakan dakwah ini merebak dari tahun ke tahun mewarnai suasana keislaman di kampus-kampus dan masyarakat umum. Bahkan, menjalar pula kekalangan pelajar dan mahasiswa di luar negeri, baik Eropa, Amerika maupun Timur Tengah. Gejolaknya muncul dalam bentuk pemikiran keislaman dalam berbagai bidang dan juga praktik pengalaman sehari-hari. Persaudaraan (ukhuah) yang dibangun di antara mereka menjadi sebuah alternatif cara hidup di tengah-tengah masyarakat yang cenderung semakin individualistik. Gerakan dakwah ini semakin membesar dan mengental, dan jaringan mereka pun semakin luas. Mereka juga berupaya membangun ruh ke-Islaman melalui media tabligh, seminar, aktivitas sosial, ekonomi dan juga pendidikan, meskipun saat itu berada dalam bayang-bayang kekuasaan Orde Baru yang demikian ketat mengawasi aktivitas keagamaan. Lengsernya Soeharto pada 21 Mei 1998 dirasakan membuka iklim kebebasan yang semakin luas. Musyawarah kemudian dilakukan oleh para aktivitas dakwah Islam, yang melahirkan kesimpulan perlunya iklim yang berkembang untuk dimanfaatkan semaksimal mungkin bagi upaya peralihan cita-cita mereka, yaitu apa yang mereka maksudkan sebagai upaya mewujudkan bangsa negara Indonesia yang diridhoi oleh Allah SWT. Pendirian partai politik yang berorientasi pada ajaran Islam perlu dilakukan guna mencapai tujuan dakwah Islam dengan cara-cara demokratis yang bisa diterima banyak orang. Maka mereka pun sepakat untuk membentuk sebuah partai politik. Atas dasar beberapa hal yang melatar belakangi sejarah berdirinya Partai Keadilan, maka dipandang wajar jika para fungsionaris partai ini adalah mereka yang tergolong muda dan kalangan intelektual kampus. Partai Keadilan secara resmi didirikan 68 SISTEM KEPARTAIAN DAN SISTEM PEMILU PDIP yang nota bene banyak dihuni oleh kelompok Abangan. Partai Nasionalis Religius yaitu Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional, Partai Golkar, 8 Partai Penegak Demokrasi Indonesia, Partai Karya Peduli Bangsa, Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia, Partai Patriot Pancasila, Partai Demokrat, Partai Persatuan Daerah, Partai Merdeka. Partai Indonesia Baru, Partai Buruh Sosial Demokrat, Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan. Bagi partai yang berhaluan Nasionalis Religius, segmen pemilihnya datang dari berbagai elemen. Baik kalangan Santri, Abangan, maupun kelompok beragama lain dapat masuk menjadi bagian dari pemilih Partai Nasionalis Religius. Khususnya Partai Golkar yang dalam pemiliu 2004 menjadi pemenang, basis dukungan pemilihnya banyak yang datang dari kalangan Santri maupun Abangan. Partai Kristen yaitu Partai Damai Sejahtera. Basis dukungan partai Kristen sangat eksklusif, yaitu hanya pemilih yang berlatar keagamaan Kristen. Dapat dipastikan bahwa mereka yang Islam tidak akan memilih partai yang memang berasal dari kalangan Kristiani. Bahkan mereka yang abangan pun, kalau harus memilih sangat sukar bagi mereka untuk menjadi bagian dari pendukung partai berhaluan Kristen, karena walaupun mereka abangan tapi mereka masih menyebut dirinya sebagai orang Islam. Oleh karena itu maka, Kristen menjadi bagian ideologi tersendiri dari pentas politik kepartaian di Indonesia. Sementara agama-agama lain, tidak membangun identitas politik sendiri karena secara kuantitas pemeluk tidaklah signifikan. Banyak pemilih dari pemeluk agama selain Islam dan Kristen menjadi pendukung partai yang bersifat Nasionalis Religius. Keberadaan pada tanggal 20 Juli 1998. Islam menjadi asas dari partai baru ini. Tercatat lebih dari 50 pendiri partai ini, di antaranya adalah Hidayat Nur Wahid, Lutfi Hasan Ishaaq, Salim Segaf Aljufri, Nur Mahmudi Ismail yang kemudian menjadi menjadi Presiden Partai Keadilan, sedangkan Hidayat Nur Wahid menjadi Ketua Majelis Pertimbangan Partai. Partai ini dideklarasikan pada tanggal 9 Agustus 1998 di Masjid AL-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta, dengan dihadiri sekitar 50.000 massa. Menurut beberapa sumber, partai ini merupakan partai yang punya jaringan internasional, khususnya dengan partai Ikhwanul Muslimin yang ada di Mesir. 8 Partai Golkar merupakan kelanjutan dari Golkar yang pada era Orde Baru selalu mendominasi kursi legeslatif. Setelah rezim Orde Baru tumbang, berbagai tekanan dari berbagai kelompok masyarakat yang anti Orde Baru terus menimpa Golkar, dari aksi demonstrasi sampai gugatan di pengadilan. Akan tetapi partai ini ternyata mampu meraih suara 22,44 persen atau menduduki urutan kedua pada pemilu 1999. Bahkan, di provinsi-provinsi di luar Jawa, partai ini mampu meraih suara terabanyak 69 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH pemilih selain Islam dan Kristen sangat sulit dideteksi kemana pilihan politiknya berlabuh, akan tetapi yang jelas mereka sangat sulit untuk memilih partai Islam atau pun partai Kristen seperti PDS. Berdasar kenyataan tersebut, penulis berupaya untuk mengelompokan ideologi partai politik, khususnya partai politik perserta pemilu 2004, ke dalam empat kategori, yaitu partai yang berideologi Islam, Partai yang berideologi Nasionalis Sekuler, Partai yang berideologi Nasionalis Religius, serta partai yang berideologi Kristen. Walau pada pemilu 1999 dan 2004, partai-partai Islam berupaya keras berjualan dengan berbagai iklan yang menjanjikan seperti Syariat Islam, namun fakta hasil pemilu menunjukan bahwa masyarakat sudah tidak lagi begitu terpengaruh dengan ide Syariat Islam. Hal ini dibuktikan dari hasil perolehan suara dalam pemilu untuk partai-partai Islam yang getol meng-isu-kan Syariat Islam, seperti PPP, yang tidak mendapat suara besar. PKB yang nota bene sebagai partai yang berasas Nasionalis (Pancasila) dan tidak meng-gunakan isu Syariat Islam justru banyak didukung oleh pemilih Islam, khususnya Santri Tradisionalis yang cenderung umumnya sering terpengaruh oleh isu Syariat Islam. Data Lapangan menunjukan bahwa perolehan hasil suara pemilu 2004, Partai Nasionalis seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menempati posisi teratas perolehan suara di Malang Raya dengan perincian sebagai berikut: Kota Malang 101.732, Kabupaten Malang 357.008, dan Kota Batu 3.299. Sementara partai agama, khususnya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), menempati posisi ke dua, dengan perincian Kota Malang 68.321, Kabupaten Malang 316.665, dan Kota Batu 4.209. Di Malang Raya PDI-P pada pemilu 1999 dengan mengemas isu “perjuangan wong cilik” memperoleh suara hampir 40 % dengan perincian: 41,22% di Kota Malang, 38,47% di Kabupaten Malang.9 Oleh karena itu tidak salah apabila ada pendapat yang mengatakan 9 Dengan realitas seperti itu, tampaknya sulit bagi partai Islam untuk mendapatkan popular support. Jika mereka memasang isu-isu umum, maka kekuatan politik Nasionalis akan menggilasnya. Tetapi jika mereka menggemakan isu-isu parokial seperti penerapan Syari’at Islam, dukungan politiknya menjadi sempit. Pendeknya, perjalanan partai-partai Islam akan selalu berada pada situasi dilematis tersebut. 70 SISTEM KEPARTAIAN DAN SISTEM PEMILU bahwa Islamnya masyarakat ternyata tidak berhubungan lurus dengan kemenangan Islam sebagai gerakan politik (Islam Politik). Sejauh ini tampaknya rakyat lebih merasa tenteram dipayungi oleh gerakan politik Nasionalis daripada Islam. Oleh karena itu, menurut wakil ketua PPP, Chozin (Jawa Pos, 2007), “Partai-partai Islam saat ini dituntut untuk lebih nyata berbuat dengan program pemberdayaan masyarakat, dengan hanya mengedepankan ayat-ayat Alqur’an dan simbolisasi Islam tidak memadai lagi dike depankan parpol-parpol berasas Islam.” lebih lanjut ia mengatakan bahwa Otoritas negara tidak bisa dihadapkan dengan keyakinan masyarakat. Sebab, relasi agama dan negara telah selesai dengan menempatkan NKRI sebagai kesepakatan nasional, bukan negara agama. NKRI juga bukan negara sekuler, tapi negara yang berketuhanan yang Maha Esa.” Walau demikian karena masyarakat Malang Raya sangat lekat dengan nuansa keislamanya, khususnya Islam Tradisional, ditambah lagi karakteristik masyarakat Malang Raya yang beragam karena banyaknya pendatang dari kawasan timur jawa seperti jember, madura, serta kawasan timur Indonesia yang secara sosial sangat mematuhi perkataan dan perilaku pemimpin dalam hal ini pemimpin agama (kyai). Maka, kekuatan politik Islam masih tampak. Hal ini bisa dibuktikan dengan perolehan suara PKB sebagai partai yang dilahirkan dari rumah NU. PKB mendapatkan suara sebesar 19,60 % di Kota Malang, 20,36 % di Kabupaten Malang. 1.2. Sistem Kepartaian dan Upaya Membangun Partai Catchall Dengan banyaknya partai politik yang bersaing, baik dalam pemilu 1999 (48 papol), pemilu 2004 (24 parpol), maupun pemilu 2009 (38 parpol) partai politik kesulitan untuk mendapatkan suara yang hanya mengandalkan segmen massa politik yang terbatas. Banyak partai politik pada pemilu 1999 harus gulung tikar akibat kurangnya dukungan untuk memenuhi electoral threshold. Begitupun nasib partai politik yang lulus electoral threshold, dengan segmen pemilih yang sempit, mengalami penurunan jumlah dukungan pemilih akibat ketidakmampuannya dalam meraih dan mempertahankan 71 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH simpati pemilih. Kondisi ini telah mendorong partai-partai untuk memperluas segmen massa pemilihnya baik secara langsung maupun tidak langsung. Demi memperoleh suara yang lebih besar dalam pemilu, ada kecenderungan partai-partai melakukan pencairan basis ideologi mereka, dengan cara merubah sifat organisasi yang ekslusif menjadi inklusif. Partai Nasionalis maupun Partai Islam, terus berusaha melakukan pembenahan agar dapat tetap survive. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan membenahi platform ideologisnya mereka masing-masing. PDIP sangat relevan sebagai partai massa karena banyak pendukung setia (Marhaenis, Soekarnois, Nasionalis, dan mungkin kelompok populis), dan secara teoritik sudah berada pada jalur partai massa sejak berdirinya. Namun kenyataan pemilu 2004 telah mendorong elit-elit partai PDIP untuk mengaburkan partai massa (I Ketut Putra Erawan, 2008). Di sisi lain, kelompok Islam Tradisionalis melakukan sohpistikasi dalam pendekatan dengan kelompok Abangan. Partai-partai yang semula dikenal “hijau” mulai mencoba untuk menampilkan wajah Nasionalis dengan mereduksi isu-isu penegakan Syariat Islam dan Negara Islam dalam kampanyenya, sebagaimana dilakukan oleh PPP dan PKS. Ketika masih bernama Partai Keadilan (PK), dengan mengusung isu Islam partai ini tidak mendapatkan suara yang signifikan dalam pemilu 1999, di Parlemen hanya memperoleh 7 kursi. Namun setelah melakukan pembenahan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di mana isu yang diluncurkan lebih riil dan menjadi dambaan masyarakat, seperti penegakan keadilan dan pemberantasan korupsi dengan semboyan “bersih dan peduli”, PKS yang pada pemilu 1999 hanya mendapat 7 kursi, pada pemilu 2004 menjadi 45 kursi. Namun sebaliknya dengan PPP, meskipun sudah memperbaharui isu syariat Islam dan Negara Islam dan menggantinya dengan “mendukung” Pancasila, tetap saja stagnan dengan 58 kursi. PBB yang tetap ngotot dengan Syariat Islam juga melorot, dari 13 kursi dalam pemilu 1999 menjadi 11 kursi dalam pemilu 2004. PDI-P yang unggul dengan 153 kursi dalam pemilu 1999, juga melorot hanya memperoleh 109 kursi di pemilu 2004. Perubahan ini menurut Riswanda Imawan (2004), membuka kemungkinan bagi partai untuk melakukan reposisi dan redefinisi fungsi mereka yang semakin jelas dan efektif dalam dinamika politik. 72 SISTEM KEPARTAIAN DAN SISTEM PEMILU Partai tidak sekedar befungsi sebagai pencari legitimasi (perspektif partai elit) atau menyalurkan aspirasi massa (perspektif partai massa). Perubahan ini terjadi karena masuknya perspektif perilaku rasional ke dalam wacana perdebatan ilmiah mengenai peran dan fungsi partai politik. Murni Ideologi: Berbagai Isme— Komunisme, Lebiralisme, Sosialisme Diktator Massa Catchall Kader Murni Kepentingan: Kekuasaan, Keamanan, Pendapatan, Kehor matan, dll. Proto Sumber: Mark N. Hagovian, Regimes, Movements, and Ideologies, A Comparative Introduction To Political Science, New York and London, Logman Inc., 1978. Dalam pandangan Riswanda, terbentuknya catchall party di era multipartai, merupakan kelanjutan politik era Orde Baru yang menolak ideologi kiri-kanan, sehingga kedua spektrum ideologi harus hilang. Hilangnya ideologi ini menurutnya justru akan menghancurkan negara seperti yang terjadi di negara-negara sosialis. Untuk melukiskan kondisi tersebut, Riswanda mengutif pernyataan Bell, ‘bahwa bangkrutnya negara-negara sosialis adalah akibat kosongnya pemahaman dikotomi “kiri-kanan” dalam perspektif ideologi politik. Ia berpendapat bahwa bila kubu tengah terbentuk karena penolakan terhadap kubu “kiri atau kanan”, maka format catch-all party itu sendiri merupakan refleksi dari kehadiran satu ideologi baru. Tanpa ideologi terbuka kemungkinan politik mengarah kepada pragmatisme dan oportunisme yang sangat akut. Logika produsenkonsumen yang merupakan pondasi pasar ekonomi menjadi dasar dalam kebijakan partai, yang menurut Riswanda logika ini mengandaikan bahwa segala pergulatan politik bergantung pada kreatifitas elit dalam mengiring massa politik untuk larut ke dalam jualan politik yang ditawarkan. Selanjutnya ia mengatakan bahwa bila kalkulasi elitis ini terjadi dalam sitem politik di mana personifikasi institusi masih 73 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH berlaku, maka format catch-all party berpotensi melahirkan oligarki dalam tubuh partai itu sendiri. Dan ini bertentangan dengan jati diri dari partai politik sebagai pilar demokrasi.10 Kenyataan tersebut di atas dipengaruhi oleh adanya perkembangan aspirasi politik masyarakat yang membangun kesadaran dari para pelaku politik untuk berpikir bagaimana bisa merangkul berbagai kepentingan yang ada. Apalagi hal ini didukung oleh keyataan bahwa kegagalan partai politik dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan yang berkembang merupakan penyebab utama matinya sebuah partai politik. Dengan demikian banyak partai yang aktif dalam menjaring aspirasi yang berkembang, dan hal ini telah melahirkan format baru dalam partai politik yang dikenal dengan catch-all party.11 Posisinya berada di antara kutub dikotomi partai elit dan partai massa. Menurut Riswanda, format ini mengagungkan pragmatisme dan rasionalitas sebagai pilar penyangga sistem politik yang demokratis. Dengan prinsip pragmatisme dan rasionalitas ini dimungkinkan bagi masyarakat untuk berpikir tentang “politik tanpa alur” (politics without cliches), tidak menjadi tawanan ideologi, sehingga masyarakat mampu menyikapi berbagai masalah tanpa prakonsepsi, tanpa distorsi idologis, dan tanpa kekakuan bersikap partisan. Dalam rangka merealisasikan ambisi parpol membangun partai catchall, beragam cara dilakukan, tidak hanya oleh partai yang punya segmentasi pemilih Santri (Islam) namun juga partai yang punya segmentasi pemilih Abangan (Nasionalis). Untuk merambah massa berideologi berbeda, beberapa partai Islam dan Nasionalis mencoba mengubah citra diri. PDI-P membentuk Baitul Muslimin untuk 10 Untuk lebih jelasnya lihat, Riswanda Imawan, Partai Politik Di Indonesia: Pergulatan Setengah Hati Mencari Jati Diri, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Politik pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 4 September 2004. 11 Dasar pertimbangan utama kenapa partai politik tergoda untuk membangun catchall party adalah keinginan untuk memenangkan pemilu. Baik catchall party yang berbasis partai massa maupun partai kader sama-sama punya pandangan bahwa untuk memenangkan pemilu harus menangkap semua atau berbagai kelompok kepentingan. Hal ini dilakukan dengan cara memperlunak ideologi mereka agar dapat masuk ke dalam berbagai kelompok. Semua catchall party menjanjikan kondisi yang lebih baik bagi pengusaha, upah dan jaminan sosial yang lebih baik bagi pekerja, harga terjangkau dan dukungan pada petani, jaminan hari tua, bantuan terhadap pengusaha kecil, pedidikan dan lapangan kerja yang lebih baik bagi pemuda, dan sebagainya. Lebih jelasnya, lihat Mark N. Hagopian, Regimes, Movements, and Ideologies, A Comparative Introduction to Political Science, New York and London, Logman Inc., 1978. 74 SISTEM KEPARTAIAN DAN SISTEM PEMILU merebut simpati generasi muda Islam. PAN kian bergeser ke arah Nasionalis, sementara PBR mengawinkan Islam dan sosialisme. Begitu pun PPP dan PKS berupaya melunakan isu syariat Islam-nya, dan hanya PBB yang secara konsisten mengampanyekan Syariat Islam. Semua pergeseran itu akan membawa konsekuensi politik para pendukung Tradisionalnya. Hal ini didukung oleh hasil temuan lapangan, dimana segmentasi pemilih pada pemilu 2009 sudah mengalami perluasan, karena hampir semua partai telah keluar dari basis tradisionalnya baik secara terang-terangan maupun tersembunyi. 1.3. Sistem Kepartaian dan Pragmatisme Partai Banyaknya partai pada setiap pemilu membawa dampak tidak baik pada perilaku partai politik. Akibat sudahnya partai politik baru untuk bersaing dengan partai mapan, partai baru berusaha dengan segala cara untuk mendapatkan simpati dari pemilih, termasuk dengan cara praktis pragmatis berupa pembelian suara. Kondisi ini mendorong partai mapan untuk mengimbangi cara yang dilakukan partai baru agar konstituennya tidak lari ke partai lain. Perilaku praktis pragmatis tidak hanya ketika pemilu, juga terjadi pasca pemilu, terutama dalam memperebutkan kekuasaan. Sebagaimana kita pahami bahwa sistem kepartaian yang terpolarisasi ekstrim susah untuk terjadi koalisi di antara partai politik (marginal turnover) dalam membangun pemerintahan, khususnya dalam sistem parlementer. Sementara dalam sistem Pluralisme Moderat, proses koalisi agak mudah karena tidak terlalu banyak partai yang bermain sehingga peta koalisi bisa diminamilisir. Dalam sistem presidensial, kepala pemerintahan atau presiden, tidak ditentukan lewat koalisi langsung oleh anggota parlemen terpilih, dimana pemegang suara mayoritas umumnya berhak untuk mendapat jatah Perdana Menteri. Kepala negara atau presiden, dalam sistem presidensial harus melewati pemilihan langsung. Oleh karena itu, koalisi yang dibuat, sebangun dengan sistem parlementer namun dengan hasil akhir ada di tangan pemilih (rakyat). Hasil pemilu baik 1999, 2004, maupun 2009 menunjukan bahwa perwakilan di Parlemen masih tergolong pluralisme moderat, dimana PDIP, Golkar, dan PKB (hasil pemilu 1999 dan 2004) merupakan partai dominan dan dapat dengan mudah untuk mendorong kader masing75 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH masing dalam persaingan pilkada, namun mereka lebih memilih aman dengan cara berbagi kekuasaan di antara mereka. Walau pada awal koalisi (untuk mengusung calon Presiden maupun Kepala Daerah) dasar pertimbangan awal adalah kedekatan ideologi, namun dasar utama lebih banyak pada sisi pragmatis. Adakalanya partai yang sangat berseberangan secara ideologis, karena kepentingan untuk mengusung calon (kasus pilkada), bisa berkoalisi dan bekerja sama dalam mengusung calon kepala Daerah.12 Dampak koalisi yang dibangun atas dasar pragmatisme, pemerintahan yang terbangun menjadi tidak jelas dalam arah kebijakannya. Bahkan kesulitan yang sering terjadi dalam mengelola pemerintahan bisa dilihat baik di pusat maupun di Daerah. Di Pusat, Pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono begitu pun Bupati maupun Wali Kota di Daerah Malang Raya sering mengalami kesulitan dalam mencapai kata mufakat dalam masalah penyelesaian berbagai persoalan. Koalisi yang dibangun hanya dalam kontek berbagi kekuasaan, namun tidak linier dengan dukungan partai dalam persoalan arah kebijakan politik pemerintah yang akan di jalankan. Lebih lanjut, dampak dari koalisi pragmatis ini, di tingkat parlemen banyak melahirkan lobi dan transaksi yang cenderung bersifat material dalam menggolkan satu kebijakan. Hal ini telah mendorong lahirnya genetik parlemen lama yang penuh dengan perilaku korup. Walaupun demikian, akibat sitem pemerintahan Presidensil yang tidak punya ruang untuk melakukan mosi tidak percaya pada pemerintah, maka posisi pemerintah, seberapa parahpun hancurnya bangunan koalisi tidak punya dampak serius pada posisinya sebagai Kepala Pemerintahan baik di Pusat maupun di Daerah. Dilihat dari spektrum ideologis yang ada di DPRD Malang Raya sekarang ini, maka partai-partai yang punya potensi tinggi untuk membangun koalisi adalah partai politik yang berideologi Nasionalis Religius. Sebagai catatan, pembuktian apakah partai ini Nasionalis Sekuler atau Nasionalis Religius, kalau dilihat dari platform partai 12 Kasus dalam pilkada Jatim, dalam mengusung calon gubernur pasangan calon KhopipahMujiono, untuk memenuhi syarat minimal pencalonan harus menyatukan koalisi yang secara ideologis berseberangan yaitu PPP dan PDS. Dimana PPP secara ideologis menyatakan diri sebagai partai Islam seperti yang dicantumkan dalam asas partai, sementara PDS merupakan partai yang lahir dari kalangan Nasrani walaupun secara asas menggunakan Pancasila. 76 SISTEM KEPARTAIAN DAN SISTEM PEMILU sangat sulit. Namun partai Nasionalis Religius bisa dilihat dari komposisi dukungan atau basis pemilih yang dibidiknya dan tentu dengan sosiologis dan historis dari partai tersebut. Melihat dari konfigurasi ideologis yang ada, maka partai yang termasuk berideologi Nasionalis Religius dengan dukungan pemilih yang cukup signifikan adalah Partai Golkar, Partai Demokrat, dan termasuk juga PAN dan PKB yang punya kedekatan secara historis dan sosiologis dengan Islam. Sementara dua kutub yang ekstrim, yang secara ideologis tidak mungkin dipertemukan, walaupun secara pragmatis bisa ketemu, adalah PDIP dengan ideologi Nasionalisnya pada satu kutub, PKS, PPP, dan PBB yang berideologi Islam pada kutub lainnya. Dalam berkoalisi, partai tidak mau berisiko dengan mencalonkan sendiri Bupati atau Wakil Bupati. Bagi mereka yang penting dapat masuk dalam pemerintahan. Upayanya yaitu dengan memasang kader di masing-masing calon (Golkar), dan berkoalisi dengan calon yang bisa dipastikan menang. Padahal dengan hanya batas minimal 20 % suara suara sah atau kursi di parlemen, minimal ada empat calon yang bisa maju dalam setiap pilkada. Baik PDIP, PKB, maupun Golkar sebenarnya bisa mengusung calon Bupati atau Wali Kota sendiri, namun karena pertimbangan kekuasaan, mereka rela untuk bekerja sama. Dengan demikian kalau dilihat dari peta kolasisi, maka pemerintahan di Malang Raya hanya di kuasai oleh tiga partai saja yaitu PDIP, PKB, dan Golkar. 2. Sistem Pemilu dan Upaya Partai Perubahan sistem pemilu yang terjadi tidak hanya berdampak pada sistem internal partai politik, namun juga berdampak pada pola upaya partai dalam meraih simpati pemilih untuk memenangkan pemilu. Dari pemilu ke pemilu menunjukan adanya perubahan dinamis upaya partai seiring dengan sistem pemilu yang diberlakukan. Hal yang paling mencolok perubahan upaya partai berkenaan dengan adanya perubahan sistem pemilu ini terkait sekitar pola rekrutmen calon anggota legislative (caleg), penempatan caleg dalam daerah pemilihan (dapil), serta basis massa yang dibidik. 2.1. Sistem Pemilu dan Rekruitmen calon Pola rekrutmen yang terjadi pada awal pemilu yang berlang77 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH sung tahun 1999 menunjukan adanya peran dominan dari pimpinan teras partai, baik di pusat atau pun di daerah, dalam menentukan calon anggota legislative. Dalam pemilu dengan sistem proporsional daftar tertutup (proportional closed list), saham suara dari pemilu mutlak menjadi hak prerogratif partai kepada siapa suara pemilih itu akan diberikan. Kondisi ini melahirkan adanya penyakit kekuasaan berupa oligarkisme di tubuh partai, dimana pengambilan keputusan terpusat hanya pada segelintir elit partai dan akan berusaha terus menerus untuk dipertahankannya. Dalam kondisi seperti itu banyak dari kader partai yang menunjukan kesetiaannya, khususnya pada pimpinan partai, agar bisa menjadi nominasi dalam pencalegan atau pun hanya sekedar menjadi pengurus partai. Lebih jauh, karena berharganya kekuasaan struktural partai, maka perebutan kekuasaan di tubuh partai sangat kompetitif, kalau tidak dikatakan kasar. Kasus perebuatan kuasaan di tubuh partai, hampir tejadi pada semua kepengurusan partai di Malang Raya. Kasus yang paling menonjol adalah perebutan pimpinan partai di tubuh PAN Kota Malang yang melahirkan dualisme kepemimpimpinan yaitu antara kepemimpinan Darul Komar dan Kepemimpinan Prof, Kaprawi, SH., dan tidak bisa secara cepat diselesaikan walaupun sudah ada campur tangan dari pengurus pusat PAN. Hasil focus group discussion dengan beberapa pengurus partai, terungkap bahwa dalam penentuan calon anggota legislatif, unsur kedekatan dengan pimpinan partai menjadi dominan. Lebih jauh, bagi kader yang ingin dicalonkan akan selalu memberikan konstribusi sejumlah uang kepada partai dengan alasan untuk pemenangan pemilu. Dapil-dapil yang menjadi lumbung suara partai, menjadi perebutan dan sekaligus menjadi dapil dengan harga yang besar untuk menjadi caleg. Pada pemilu 2004, kondisi tersebut tidak banyak berubah, walaupun sudah ada perubahan dalam sistem pemilu yaitu proposional daftar daftar tetutup (propotional closed list) menuju proposional daftar terbuka (proportional open list). Pemilih boleh mencoblos partai, caleg, atau kedua-duanya, dengan ketentuan suara partai akan menjadi suara nomor urut tertinggi. Sistem ini tidak serta merta para caleg memberikan garansi untuk dapat lolos menjadi anggota legislatif, karena caleg harus bisa memenuhi Bilangan Pembagi Pemilih (BPP). Hal ini sangat sulit mengingat peran partai masih dominan dalam 78 SISTEM KEPARTAIAN DAN SISTEM PEMILU kampanye, disamping masih diperbolehkannya mencoblos partai yang justru banyak disuarakan oleh partai saat kampanye. Kasus di Malang Raya tidak ada satupun dari para caleg yang bisa lolos lewat BPP. Bahkan untuk tingkat pusat, hanya calon dari PKS yaitu Hidayat Nurwahid dan calon dari Partai Golkar yaitu Saleh Djasit yang bisa lolos dengan melewati BPP. Oleh karena itu, dalam pemilu 2004 para caleg yang terdaftar di masing-masing partai, nomor urut paling atas hampir pasti diisi oleh pimpinan teras partai. Memasuki pemilu 2009, sistem pemilu berubah lagi menjadi sistem proporsional daftar terbuka (proportional open list) murni (tanpa BPP). Sistem ini telah mendorong terjadinya perubahan upaya partai dalam memenangkan pemilu. Partai tidak lagi dominan dalam baik dalam penentuan caleg, maupun dalam pemenangan pemilu. Sistem kompetisi terbuka antar caleg di dalam internal partai, mendorong gairah caleg untuk berjuang dengan segala cara agar dapat memperoleh suara tertinggi di dalam partai agar lolos menjadi anggota legislatif. Kondisi ini mendorong persaingan keras di antara para caleg internal partai, tidak lagi dengan calon di luar partainya. Dengan sistem baru, partai tidak hanya memasangkan calegcaleg yang punya kualifikasi kepopuleran, jaringan, dan sumber daya keuangan dari internal partai. Akan tetapi partai berusaha mencari tokoh-tokoh populer yang punya tingkat akseptabilitas dan electabilitas tinggi dari eksternal partai untuk di pasang dalam nomor urut caleg. Keadaan ini telah melahirkan perilaku pragmatis dari kader partai, maupun partai dalam memperebutkan kekuasaan. Para kader yang kecewa dengan partainya, mereka dengan enteng masuk ke partai lain tanpa ada beban historis, sosiologis, maupun spikologis. Di Malang Raya seperti yang penulis temukan, banyak kader Golkar maupun kader PDIP yang pindah haluan ke Partai Demokrat, begitupan sebaliknya dari Partai Demokrat banyak juga pindah ke partai lain. Sebagai contoh, Subur Triono anggota Dewan Kota Malang yang pada pemilu 2004 di usung oleh Partai Demokrat, karena kasus Pilakada dia diberhentikan, dan dengan mudah diterima menjadi caleg dari PAN. Termasuk juga Ishom dan Andre Prana, Ishom yang merupakan anggota Dewan Kota Batu peride 2004-2009 dari PSI, meloncat ke PAN, sementara Andre Prana Anggota Dewan dari Partai Demokrat pindah ke Partai Barisan Nasional (Barnas). 79 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH Kasus lain yang terjadi di Kota Batu, tokoh-tokoh lokal yang dianggap punya massa menjadi bidikan utama partai politik untuk menjadi caleg dari partai tertentu. Hasil observasi penulis menunjukan bahwa banyak dari keluarga perangkat desa, ataupun pemerintah yang menjadi calon dari partai politik tertentu. Dari dapil Junrejo Kota Batu, caleg yang berasal dari keluarga perangkat desa adalah Siti Nurjanah yang merupakan istri dari Kepala Desa Pendem, dia dicalonkan dalam nomor urut satu dari PNBK, Nurjayanti Istri sekretaris desa yang dicalonkan Partai Hanura pada nomor urut dua. Dari kedua calon tersebut, salah satu calon berhasil mendapatkan suara yang cukup signifikan, untuk ukuran BPP Kota Batu dengan jumlah pemilih sekitar 130.000 pemilih, karena mendapatkan suara, dengan perkiraan BPP sebesar 3000-an suara. Sementara calon yang merupakan anggota keluarga dari birokrasi, juga berhasil lolos menjadi anggota Dewan yaitu Syaodah Isteri Mantan Camat Junrejo melalui Partai Indonesia Baru (PIB) dan Endang Istri Mantan Wali Kota Batu Alm. Imam Kabul dari PDIP dari dapil Batu. Pada umumnya partai politik peserta pemilu 2009 di Malang Raya menerima pendaftaran untuk caleg dari kader non partai, akan tetapi untuk masuk menjadi caleg dari partai-partai besar seperti PDIP, P. Golkar, maupun P. Demokrat sangat susah. Partai-partai yang paling banyak menerima caleg dari luar kader partai sendiri adalah partai-partai baru dan partai-partai yang pada pemilu 2004 kurang mendapatkan suara signifikan dan tidak mempunyai basis pengkaderan serta basis massa yang jelas. Sebagaimana hasil dari Focus Group Discussion yang penulis lakukan dengan beberapa pengurus partai politik ditemukan bahwa pada pemilu 2009, sebagian partai politik sudah secara terbuka membuka ruang bagi calon dari luar kader untuk menjadi caleg dari partai mereka. Dengan demikian, sistem pemilu proporsional daftar terbuka secara murni telah merubah peta politik di Malang Raya secara keseluruhan. Banyak caleg yang direkrut oleh partai yang bukan dari kadernya dengan pertimbangan caleg tersebut akan menguntung partai bersangkutan. Beberapa pertimbangan kenapa seseorang dapat direkrut, walaupun bukan kader partai, yaitu pertama karena punya modal sosial; dan kedua karena punya modal ekonomi. Modal sosial terkait dengan banyaknya pengikut yang seseorang 80 SISTEM KEPARTAIAN DAN SISTEM PEMILU miliki karena posisinya, baik sebagai tokoh agama, tokoh politik, maupun tokoh masyarakat lainnya. Modal ekonomi terkait dengan kekayaan yang dia miliki, biasanya mereka adalah seorang pengusaha atau orang yang punya kekayaan cukup untuk mendanai kampanye pemenangan pemilu. 2.2. Sistem Pemilu dan Penentuan Dapil Caleg Sudah menjadi semacam peraturan tidak tertulis dalam partai bahwa daerah-daerah yang menjadi lumbung partai, para calegnya selalu diisi oleh pimpinan teras partai. Bahkan banyak pemilih yang tidak mengenal sama sekali calon yang akan mewakilinya. Kondisi marak dan jamak terjadi pada pemilu 1999 dan 2004 yang menempatkan partai dalam posisi dominan dalam pemenangan pemilu maupun penentuan caleg. Keadaan ini membuat banyak Pimpinan Daerah atau Cabang partai yang kecewa karena tidak punya kesempatan untuk menjadi caleg dengan nomor urut jadi. Hal ini berdampak pada kurang bergairahnya Daerah atau Cabang partai dalam memenangkan pemilu. Akan tetapi, karena tingkat persaingan dalam internal partai rendah dan perolehan kursi bersifat urut kacang (kalau tidak ada yang mendapat BPP), maka calon-calon yang berada pada nomor urut jadi banyak bekerjasama dan membantu secara finansial calon dengan nomor urut di bawahnya. Hal ini diasumsikan bahwa semakin banyak caleg yang mendapatkan suara, maka kepastian caleg untuk lolos menjadi anggota Dewan semakin tinggi. Lain pemilu 1999 dan 2004, lain lagi pemilu 2009. Dengan sistem proporsional daftar terbuka (proportional open list) para pejabat teras partai harus berjuang keras untuk bisa bersaing dengan caleg lainnya dalam satu partai. Oleh karena itu bagi partai-partai menengah ke bawah, penempatan calon menjadi sangat krusial karena terkait dengan tingkat akseptabilitas calon di daerah pemilihan. Bagi caleg Kabupaten dan Kota, hampir dipastikan akan menempati dapil sesuai dengan asas domisili karena dianggap lebih dikenal dengan calon lain. Mengingat persaingan yang cukup keras di dapil masingmasing, partai politik tidak sembarangan dalam menurunkan caleg di dapil tertentu kalau memang caleg tersebut tidak dikenal oleh masyarakat setempat. Dengan demikian, banyak calon-calon dari partai yang di tempatkan dalam dapil yang berdomisili dari dipil caleg 81 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH yang bersangkutan. Walaupun demikian, ada juga caleg yang keluar dari dapil dimana mereka berada, dengan pertimbangan tingkat persaingannya lebih rendah, seperti tidak ada calon incumbent, atau terjadi konflik atau ada dua atau lebih calon yang sama dalam satu daerah sehingga di pindah ke dapil lain. Sementara bagi caleg yang datang dari luar partai biasanya ditempatkan di dapil yang dalam pemilu sebelumnya tidak mendapatkan kursi dan biasanya ditempatkan dalam urutan bawah. Heterogennya calon yang berada dalam satu partai telah berdampak pada pilihan segmen massa. Baik partai Nasionalis maupun partai Islam sudah tidak lagi membedakan basis konstituen mereka, karena yang jadi pertimbangan dalam pileg 2009 adalah latar belakang dari calon yang bersangkutan. Pencalon yang tidak mempertimbangkan asas domisili, lebih menonjol untuk caleg Provinsi dan Pusat. Sebagai contoh, caleg DPR RI dari PDIP, Prof. Dr. Gayus Lumbuun menjadi caleg di dapil Malang Raya yang bukan berasal dari Malang Raya. Dalam hasil pemilu menunjukan bahwa kekuatan Gayus Lumbuun, dengan kapasitas pribadi dan kepopulerannya tidak begitu banyak berperan. Hal ini berbeda dengan Sri Rahayu, yang merupakan tokoh lokal Malang Raya yang relatif tidak begitu populer di pentas Nasional mampu meraup suara yang signifikan. Kasus pencalegan yang relatif tidak mempertimbakan asas domisili ini lebih banyak dari caleg PDIP dan PKS, hal ini disebabkan karena pemilih PDIP dan PKS lebih fanatis dan lebih ideologis ketimbang partai partai lain. Calon dari partai-partai besar yang bukan berasal dari kader lebih banyak berasal dari segmen pengusaha. Sebagai contoh caleg dari PDIP yang berada dapil Kedungkandang merupakan caleg yang berlatar belakang pengusaha, jelasnya pengusaha rokok. Alasan utama yang terungkap dari hasil FGD dengan beberapa pengurus partai adalah kemampuan ekonomi caleg. Dari data di lapangan menunjukan bahwa caleg PDIP yang bernama Drs. H. Nurrudin Huda (Soleh) yang berlatar belakang pengusaha ini menjadi caleg dengan prosentase perolehan suara paling besar dan mendekati Bilangan Pembagi Pemilih (BPP), yaitu sekitar 80% dari BPP. Dalam rangka meng-cross-check kebenaran data, penulis mencari informan yang dianggap mengetahui yaitu anggota KPUD Kabupaten dan salah 82 SISTEM KEPARTAIAN DAN SISTEM PEMILU seorang caleg, informasi yang diperoleh menunjukan bahwa caleg PDIP dari pengusaha dapat memperoleh suara sangat signifikan tidak hanya karena alasan ekonomi, melainkan juga jaringan usaha juga. Perusahaan rokok kretek yang dimiliki Soleh itu ternyata melibatkan tenaga kerja ribuan orang, belum termasuk pengecer-pengecernya. Dengan demikian, bagi partai politik yang besar seperti PDIP, kalau tidak punya modal ekonomi dan sosial yang besar akan sangat sudah menjadi caleg kalau tidak lewat kaderisasi. 2.3. Sistem Pemilu dan Segmen Pemilih Yang Dibidik Pada awal masa reformasi, euporia politik yang begitu besar telah membangun kesadaran politik para elit untuk segera membentuk partai politik. Basis massa yang paling realistis ditengah ketiadaan basis material baru adalah digunakannya perangkat primordialisme sehingga menyerupai situasi perpolitikan pada era menjelang pemilu 1955. Spektrum politik aliran di antara partai politik yang dibangun sangat pekat terasa. Oleh karena itu setiap ormas yang bersinggungan terkait ideologi tertentu mengalami dampak luar biasa dalam dinamika internalnya terkait dengan keterlibatannya dalam politik praktis. Dalam ormas keagamaan ada dua ormas yang sangat terguncang dengan munculnya politik aliran ini, yaitu Muhammadiyah dan NU. Muhammadiyah menjadi penyokong utama basis massa pemilih PAN, sementara NU menjadi basis utama pemilih PKB. Kasus yang terjadi di Malang Raya, tidak bisa dinafikan akan keberadaan politik aliran, khususnya di tingkat elit partai, menjadi modal utama dalam upaya menggarap basis ideologis untuk pemenangan pemilu 1999. Kentalnya nuansa politik aliran bisa tercermin dalam kepengurusan partai, caleg yang diusung, serta segmen pemilih yang digarap baik partai yang mengatasnamakan diri sebagai partai Islam maupun partai yang mengatasnamakan diri sebagai partai Nasionalis. PKB berjuang mengamankan basis pemilih NU yang merupakan basis pemilih Santri Tradisional, PAN berjuang mengamankan pemilih Muhammadiyah yang dianggap mewakili Santri Mordenis, PDIP berjuang mengamankan basis pemilih Abangan yang merupakan representasi pemilih Nasionalis yang pro wong cilik. Sementara Golkar yang merupakan representasi dari pemilih Priyayi berupaya mengamankan pemilih keluarga PNS yang menjadi basis 83 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH pemilih utama Golkar pada masa Orde Baru. Memasuki pemilu 2004, sedikit terjadi perubahan dalam peta basis masa pemilih. Pengalaman pemilu 1999 dijadikan sebagai barometer dalam membangun upaya bagi pemenangan pemilu 2004. Partai-partai Islam yang pada pemilu 1999 cenderung fanatik dengan basis pemilih tradisionalnya, mulai mengembangkan basis massa di luar segmen pemilih tradisionalnya. Salah satu barometer yang bisa dijadikan indikator adalah isyu politik yang dibangun masing-masing partai. Pada pemilu 1999, PPP, PBB, PKS, sangat getol menyuarakan syariat Islam dalam rangka meraih simpati pemilih. Pada pemilu 1999, hasilnya bagi PKB cukup memuaskan karena menjadi terbanyak kedua setelah PDIP, dan yang ketiga dipegang Golkar. Artinya dalam pemilu 1999, di Malang Raya pemilu 1999 masih mencermikan situasi politik aliran seperti yang dikemukakan Geertz (1960) yaitu Santri-AbanganPriyayi. Dalam pemilu 2004 walaupun politik aliran masih mewarnai, namun terjadi pergeseran yang tampak dari penururan suara PDIP, PKB, PAN maupun Golkar sebagai representasi politik aliran. Munculnya partai papan tengah baru sepeti PKS dan Partai Demokrat menjadi indikasi adanya kecenderungan sebagian pemilih sudah meninggalkan identifikasi dirinya bedasarkan varian keagamaan. Gejala semakin ditinggalkannya basis aliran politik oleh partai, lebih terang dalam pemilu 2009. Partai lebih mengedepankan pendekatan ekonomi daripada ideologis ketika memutuskan untuk meraih simpati pemilih. Partai lebih berpikir praktis pragmatis dalam membangun upayanya, dimana program jangka pendek yang bersifat karikatif dan berbiaya tinggi lebih menonjol ketimbang pendekatan yang bersifat ideologis. Oleh karena itu, basis massa yang digarap menjadi lebih lebar karena tidak ada hambatan ideologis. Program karikatif seperti batuan sosial seperti kesehatan, pembangunan sarana ibadah, dan lingkungan, bisa diterima oleh semua kalangan. Oleh karena itu, PKS yang merupakan partai Islam modernis, segmen massa yang di bidik pada pemilu 2009 tidak melulu kelompok massa Santri Modernis namun juga melebar ke segmen pemilih Satri Tradisional dan Abangan dengan lewat berbagai program sosialnya. Dan hasilnya pada pemilu 2009 PKS mengalami kenaikan signifikan dibanding dengan partai-partai Islam lainnya. 84 BAB III MEMAHAMI ARTI PENTING PARTAI BAGI PEMILIH 85 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH KOMPETENSI Dalam bab ini mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan apa makna pilihan partai bagi masyarakat baik dari sisi ideologis, sosial kemasyarakatan, dan ekonomi. Selanjutnya mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan bagaimana respon partai terkait dengan pemaknaan masyarakat terhadap pilihan partai politik tersebut. Lebih jauh, mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan bagaiama dampak yang terjadi dari pemahaman masyarakat terhadap partai politik terhadap kinerja partai politik. Terakhir, mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan tentang pola hubungan partai dan pemilih yang didasarkan pada pemaknaan pemilih pada partai politik. 86 BAB III MEMAHAMI ARTI PENTING PARTAI BAGI PEMILIH PEMAHAMAN adalah gambaran dan pemahaman seseorang tentang sesuatu yang bersifat subjektif. Karena bersifat subjektif, maka gambaran atau pemahaman seseorang mengenai sesuatu tersebut akan berbeda satu sama lain bergantung kepada pengetahuan, pengalaman, keyakinan serta kondisi sosial budaya masing-masing. Kalau dikaitkan dengan “pemahaman partai”, maka dapat diartikan sebagai gambaran dan pemahaman seseorang mengenai partai sesuai dengan pengetahuan, pengalaman, keyakinan serta kondisi sosial budaya dimana orang tersebut berada. Terkait dengan penelitian yang dilakukan, pembahasan dalam bab ini akan menjawab pertanyaan “apa pemahaman partai bagi pemilih?’. Guna menjawab pertanyaan penelitian di atas, maka perlu terlebih dahulu memahami dan mengetahui kondisi sosial ekonomi, bahasa, kebiasaan, budaya, keyakinan sosial-religi, serta perilaku keberagamaan seseorang, kelompok, atau warga setempat. Dengan memahami kondisi sosial ekonomi serta budaya warga setempat akan sangat berguna untuk memahami pandangan dan pemahaman subjektif tentang partai, walaupun orang yang bersangkutan tidak menyatakannya secara langsung. Sebagai contoh, perilaku pendukung PKB yang rela untuk datang ke tempat kampanye walau dengan biaya sendiri dan bahkan berani mati untuk membela PKB, bukan berarti partai yang baik sehingga diperhatikan konstituennya. Namun bisa dipahami sebagai ketaatan beragama. Bagi kalangan Nahdhilyin 87 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH PKB diidentikan dengan Islam, dan Islam dalam kelompok Santri Tradisional adalah NU. Dalam kelompok masyarakat santri Tradisional, stratifikasi serta status sosial sangat ditentukan oleh perilaku keberagamaan. Kalau dikaitkan dengan dukungan kepada PKB yang sangat besar bisa jadi merupakan sebuah kebanggaan karena sudah mendukung NU yang berarti mendukung Islam. Dengan demikian perilaku membela PKB dianggap sebagai perilaku membela agama. Hal ini menjadi kebanggaan bagi kalangan Santri Tradisional karena akan mendapatkan penghargaan serta meningkatkan status sosial di mata kelompoknya. Selengkapnya dalam bab ini akan diuraikan beberapa pemahaman subyektif dari pemilih mengenai partai politik baik itu terkait dengan pemahaman ideologis yang bersumber dari politik aliran, pemahaman sosial kemasyarakatan, dan pemahaman ekonomi. Pembahasan berikutnya mengenai pemahaman partai dan keterkaitannya dengan hubungan partai dan pemilih dari pemilu ke pemilu (pemilu 1999, 2004, 2009). Selanjutnya penting juga untuk dibahas mengenai dampak dari Pemahamanan partai pada kinerja partai. Terakhir dibahas keterkaitan pemahaman partai dengan upaya yang dijalankan oleh partai dalam meraih simpati massa untuk pemenangan setiap pemilu. A. Cara Pemilih Memahami Partai Banyak hal yang bisa ditangkap dari hasil penelitian yang penulis lakukan menyangkut pemahamanan pemilih pada partai politik, namun secara garis besar ada beberapa fenomena yang ada dapat diambil sebagai benang merah terkait dengan Pemahamanan partai ini. Beberapa fenomena yang muncul di lapangan, penulis mengelompokan ke dalam tiga bagian, yaitu pemahaman ideologis, pemahaman sosial kemasyarakatan, dan pemahaman ekonomi. Pemahaman ideologis partai adalah pemahaman yang muncul dari sebuah keyakinan seseorang mengenai partai yang berbasis perilaku beberagamaan seperti yang dikemukakan Geertz yaitu Santri Modernis, Santri Tradisional, dan Abangan. Varian pemahaman ideologi yang ada dalam masyarakat pemilih terbagi ke dalam empat hal Pemahamanan partai, yaitu Perjuangan Islam, Pengejawantahan Keislaman, Pembelaan Wong cilik, dan Perlawanan Pada Ideologi Penguasa. 88 MEMAHAMI ARTI PENTING PARTAI BAGI PEMILIH Pemahaman sosial kemasyarakatan partai adalah pemahaman partai yang tumbuh dari hasil interaksi sehari-hari di antara sesama dalam satu komunitas yang dilandasi oleh norma, adat dan kebiasaan. Varian dari pemahaman Sosial Kemasyarakatan terdiri dari solidaritas sosial, Kepatuhan kepada Pemimpin, dan Budaya. Sementara varian pemahaman ekonomi partai adalah pemahaman yang berkembang akibat kondisi sosial, ekonomi, geografi, dan demografi yang tidak baik. Varian dari pemahaman ekonomi partai ini terdiri dari bantuan pembangunan, dan pemberian uang tunai. 1. Partai Sebagai Simbolisasi Ideologi Ideologi politik merupakan sebuah himpunan ide dan prinsip yang menjelaskan bagaimana seharusnya masyarakat bekerja, dan menawarkan ketertiban (order) masyarakat tertentu, termasuk menawarkan bagaimana mengatur kekuasaan dan bagaimana seharusnya dilaksanakan. Sebagai mana yang dikemukakan oleh Anthony Downs (1957), “Political ideology is a believe system that explains and justifies a preferred political order for society, either existing or proposed, and offer a strategy (processes, institutional arrangements, programs) for it attainment. It is a ‘verbal image of the good society and the chief means of constructing such society’.” Kalau dikaitkan dengan Pemahamanan seseorang terhadap partai politik, pemahaman ideology dari partai bisa berarti bahwa partai politik harus punya gagasan yang dituangkan dalam visi, misi, dan platform serta ditunjukan dari perilaku elitnya untuk memperjuangkan dan merealisasikan gagasan tersebut dalam kenyataan. Dalam khasanah perpolitikan di Indonesia, ideologi politik yang bersumber dari politik aliran, sudah cukup lama mempengaruhi kehidupan politik kepartaian. Sebagaimana yang dikemukakan Geertz, pola aliran politik (social cleavages) yang berkembang di Indonesia meliputi Santri-Abangan-Priyayi. Dalam politik, pola aliran itu telah melahirkan dua kutub ideologis yaitu Islam dan Nasionalis. Kedua kutub ideologis ini punya pendukung sangat luas dalam masyarakat Indonesia, terutama di Jawa. Dalam kaitannya dengan pemahaman ideologis partai di Indonesia, maka partai politik harus punya gagasan yang dituangkan dalam visi, misi, dan platform serta ditunjukan dari perilaku elitnya untuk memperjuangkan dan merealisasikan “Islam”, “Nasionalis” dalam kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. 89 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH 1.1. Upaya Memperjuangkan Islam Di kalangan Santri Modernis berkembang pemahaman akan pentingnya partai. Partai politik diperlukan sebagai sarana untuk mendapatkan kekuasaan, dengan alasan bahwa agama dalam perkembangannya tidak lepas dari pengaruh orang-orang berkuasa. Di sisi lain mereka berpandangan bahwa dengan kekuasaan yang dimiliki atau didukung oleh penguasa, perkembangan agama akan mengalami kemajuan karena kekuasaan ikut membentengi dan menyokong perkembangan agama. Anggapan tersebut tidak lepas dari pengaruh perkembangan Islam pada jaman Nabi Muhammad, dimana pada jaman Rasulullah dan para sahabat, perkembangan Islam tidak lepas dari pengaruh kekuasaan. Islam dan kekuasaan sejalan dan seiring dalam sejarah perkembangan Islam, bahkan naik turunnya perkembangannya Islam pun tidak lepas dari akibat perebutan pengaruh dan kekuasaan dikalangan intern umat Islam sendiri, dan hal ini mendorong terjadinya polarisasi dalam Islam seperti adanya Sunni dan Syiah. Menurut beberapa aktivis Muhammadiyah Kabupaten Malang, pengaruh kekuasaan dalam perkembangan agama tidak hanya dalam Islam, akan tetapi terjadi juga dikalangan pemeluk Kristen. Pada saat kekaisaran Romawi Kristen yang mengembangkan ajaran Trinitas bisa berkembang pesat karena didukung oleh penguasa Romawi pada saat itu. Sedang konsep Kristen yang mengembangkan ajaran ketuhanan yang bersifat tunggal tidak bisa berkembang karena mendapat hambatan dari penguasa. Adanya partai politik yang berbasis Islam di Indonesia bagi kalangan Santri Modernis sangat dibutuhkan dalam rangka membentengi Islam dari pengaruh serta serangan yang akan menghancurkan Islam dari luar (non Islam). Mereka meyakini dengan adanya partai politik Islam, maka Islam akan punya kekuatan karena didukung oleh mereka yang duduk dipemerintahan. Oleh karena itu, menurut pandangan pemilih Islam, partai harus mampu menjadi garda terdepan dalam memperjuangkan Islam di negeri ini. Agar dapat memperjuangkan Islam, maka orang-orang yang duduk di Dewan yang merupakan wakil dari partai Islam harus memahami dan menghayati nilainilai keislaman yang dituangkan dalam perilaku kesehariannya. Karena punya padangan positif mengenai keberadaan partai Islam, dan merasa perlu adanya partai Islam, umumnya pemilih dari 90 MEMAHAMI ARTI PENTING PARTAI BAGI PEMILIH kalangan Santri Modernis ini sangat aktif berpartisipasi dalam kegiatan politik. Minimal mereka akan mendatangi bilik suara untuk memberikan suaranya kepada partai yang menurut mereka bisa memperjuangkan Islam. Oleh karena sikap aktifnya dalam politik, pemilih kalangan Santri Modernis ini sangat kritis terhadap partai maupun wakil rakyat yang duduk di Dewan apabila tidak sejalan dengan apa yang menjadi pandangannya. Apabila ada partai Islam yang dalam perjalanannya tidak bisa diharapkan dalam memperjuangkan Islam, umumnya pemilih Santri Modernis (terutama yang Konservatif) mengalihkan suaranya kepartai lain yang lebih getol memperjuangkan Islam. Dalam kasus yang terjadi di Malang Raya, banyak pemilih Santri Modernis mengalihkan pilihan politiknya dari PAN ke PKS karena PKS lebih bisa diharapkan dalam memperjuangkan Islam ketimbang PAN. Dan dalam hal ini PKS yang menyebutkan dirinya sebagai partai da’wah mencantum Islam sebagai asas partai. Hal ini berbeda dengan PAN yang tidak mencantumkan Islam sebagai dasar partai, yaitu Pancasila. PKS sebagai partai Islam dan mencatumkan Islam secara formal bisa dipahami karena PKS lahir dari kelompok massa keagamaan yang bergerak dalam bidang da’wah yang dikenal dengan “Tarbiyah”. Di sisi lain PAN yang dimotori Amin Rais, berdiri atas keinginan untuk memperbaiki kondisi bangsa yang hancur akibat krisis ekonomi dan membangun sistem politik yang telah rusak oleh penguasa Orde Baru. Oleh karena itu, PAN dan Amin Rais dalam setiap kampanye selalu membawa isu reformasi. Dengan latar belakangan tersebut, PAN menganggap kurang pas apabila hanya membidik segmen pemilih Islam saja, karena PAN ingin berkiprah untuk kepentingan bangsa, maka PAN harus menjadi partai plural yang mampu menjembatani semua kepentingan masyarakat. Hal yang menarik dari pandangan kelompok Santri Modernis adalah sikapnya terhadap negara Islam. Bagi mereka, apa yang diperjuangkan partai Islam tidak selalu harus mengusung isu negara Islam, namun yang lebih penting adalah bagaimana syariat Islam bisa berkembang dan dijalankan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, Muhammadiyah yang merupakan representasi dari kelompok Islam Modernis tidak mendukung untuk mencantumkan Piagam Jakarta dalam Pancasila. Salah satu alasan 91 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH kenapa tidak harus secara formal mencantumkan syariat Islam dalam Dasar Negara, penulis mengutif dari hasil wawancara dengan salah satu mantan Pimpinan Daerah Muhammadiyah di Kabupaten Malang sebagai berikut: “.... Islam harus dipatuhi dan diakui oleh seluruh warga negara yang tidak hanya Islam. Karena pada jaman Rasulullah, mereka yang beragama non Islam, seperti Yahudi juga apabila melanggar hukum seperti mencuri, maka mereka diperlakukan dan dihukum berdasarkan Islam. Kalau Piagam Jakarta dicantumkan dalam Pancasila, dimana syariat Islam hanya diperuntukan bagi orang-orang Islam dihawatirkan akan merugikan perjuangan dakwah Islam sendiri. Sebagai contoh, apabila ada orang Islam yang mencuri, karena tahu kalau mencuri itu hukumannya dalam Islam itu dipotong tangan, maka mereka akan mengaku bukan Islam agar hukumannya tidak potong tangan.” Oleh karena itu menurut kalangan Santri Modernis, kalau partai yang berbasis Islam ingin mendapat perhatian serta dukungan dari kalangan umat Islam, maka partai Islam harus sungguh-sungguh memperjuangkan Islam. Menurut mereka partai-partai Islam yang ada sekarang tidak sunggung-sungguh memperjuankan Islam karena hanya melulu mengejar kekuasaan. Hal ini dilihat dari kinerja partai yang mengatas namakan partai Islam yang cenderung hanya sebagai merek dagang atau label saja. Kenyataannya memang pada saat ini partai Islam hanya namanya saja, karena tidak ada yang bisa membedakan secara kongkrit dimata masyarakat. Partai Islam dan non Islam hampir sama saja, dalam keadaan tertentu partai sekuler lebih banyak perhatian pada masyarakat Islam, sementara di sisi lain partai yang mengatasnamakan Islam tidak atau jarang memperjuangkan kepentingan orang-orang Islam. Bahkan gagasan dari PDIP yang notabene sebagai partainya orang Abangan ketika menggagas dibentuknya Baitul Muslimin sebagian kalangan kelompok pemilih Santri Modernis yang Liberal cukup apresiatif. Dengan pertimbangan bahwa partai hanya sebagai alat perjuangan Islam, maka dengan didirikannya Baitul Muslimin ini sebagian kelompok Santri Modernis menyambutnya dengan turut 92 MEMAHAMI ARTI PENTING PARTAI BAGI PEMILIH terlibat dalam kepengurusan. Walaupun demikian, dikarenakan Baitul Muslimin ini lahir di rumah kelompok Abangan, ada sebagian dari Santri Modernis, terutama yang Konservatif bersikap skeptis dan bahkan menjadi perdebatan di kalangan Santri Modernis. Sehingga dalam kalangan Santri Modernis terbentuk dua kutub atara mereka yang cenderung mendukung dan mereka yang tidak mendukung, termasuk ada juga yang Moderat. Sebagai contoh, Santri Modernis yang ada di Lowokwaru dengan Kedungkandang, kalau Lowokwaru bisa lebih menerima baitul Muslimin, yang juga rasional dalam rangka menjalankan dakwah. Di sisi lain Kedungkandang yang cenderung melakukan pendekatan emosional tidak bisa menerimanya, sehingga dua tempat itu komunitas punya karakteristik Santri Modernis berbeda. Perbedaan pandangan terhadap Baitul Muslimin ini didasari perbedaan latar belakang status sosial dan ekonomi Santri tersebut. Santri yang ada di daerah Lowokwaru itu adalah birokrat, akademisi yang hidupnya sudah tertata dengan baik. Kehidupan mereka selama satu bulan sudah tertata dengan baik. Disamping itu kalau dilihat dari segi pendidikan, Santri di wilayah ini mempunyai tingkat pendidi-kan yang cukup tinggi. Sementara Kedungkandang mereka umumnya bermata pencaharian sebagai pedagang karena mereka tinggal dekat pasar, kehidupan mereka cukup dinamis dengan mobilitas cukup tinggi terkait dengan aktivitas di bidang perdangan, namun untuk urusan agama mereka cenderung lebih fanatik. 1.2. Implementasi Ajaran Keislaman Kehidupan kalangan Santri Tradisional di Malang Raya sangat disiplin menjalankan berbagai aktivitas yang berhubungan dengan ritual keagamaan. Kegiatan keagamaan tersebut melekat dengan kehidupan sosial masyarakat secara keseluruhan yang berimpitan dengan nilai budaya lokal, khususnya budaya Jawa. Bagi Santri Tradisional, apa yang mereka lakukan disadarinya sebagai bagian dari implementasi keberagamaan mereka termasuk dalam berpolitik atau memilih partai. Mereka lebih paham sesuatu yang tersurat dari pada yang tersirat, lebih senang dengan hal yang kongkrit/permukaan daripada substansi. Dengan demikian bagi kalangan Santri Tradisionalis, lambang, simbol menjadi hal yang sangat penting dalam kehidupan Santri Tradisional. Seorang Santri Tradisional akan sangat 93 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH mudah dibedakan dengan mereka yang bukan Santri. Cara berpakaian Santri Tradisional sangat khas, dimana sarung, baju koko, peci, sorban menjadi ciri khas dari Santri Tradisional. Namun hal yang paling umum, mereka yang tergolong Santri Tradisional, adalah pemakaian sarung dalam kehidupan keseharian mereka. Dari hasil penelitian menunjukan bahwa orang memilih PPP masa Orba karena merupakan partai Islam dan ada gambar ka’bah yang menjadi simbolnya. Oleh karena itu banyak pemilih Tradisional memilih PPP walaupun banyak tekanan dari aparat maupun pemerintah. Banyak dari masyarakat yang rela dan setia untuk mendukung PPP karena mereka menganggap dengan memilih PPP berarti sudah bisa menjalankan dan membela Islam. Apalagi dalam gambar PPP ada ka’bah nya yang merupakan simbolisasi dari Islam. Melihat kenyataan ini pemerintah Orba merasa perlu untuk melakukan rekayasa, sehingga pemerintah meminta lambang ka’bah diganti.1 Pada pemilu 1999 dan 2004, walaupun PPP masih ada, namun para pemilih di Malang Raya yang berbasis Islam Tradisional mengalihkan pilihan politiknya ke PKB. Alasan yang muncul kenapa mereka tidak memilih PPP dikarenakan pimpinan PKB merupakan tokoh dan sekaligus pimpinan teras NU yang mempunyai garis keturunan langsung dari K.H. Hasyim Ashari yaitu Abdurahman Wahid atau yang di kenal dengan Gus Dur. Padahal PKB yang dideklarasikan oleh Gus Dur ini bukan merupakan partai Islam, karena dalam AD ART nya tidak mencantum Islam sebagai asas tapi Pancasila. Namun bagi pemilih Santri Tradisional itu tidak penting, karena yang mereka lihat bukan substansi dari partai itu melainkan siapa yang duduk dalam kepengurusan partai itu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa 1 Ketika jaman Orde Baru banyak pemilih Santri Tradisional memilih PPP dengan alasan bahwa partai ini merupakan satu-satunya partai Islam. Apalagi ketika PPP di pimpin oleh Idham Cholid yang nota bene sebagai pemimpin ormas Islam Tradisional Nahdlatul Ulama (NU). Banyak para kader NU yang berjuang habis-habisan untuk mengkampanyekan dan memenangkan PPP dalam setiap pemilu yang dilaksanakan. Dorongan kuat dari pemilih Tradisional untuk membela PPP didasarkan pada keyakinan bahwa membela PPP sama dengan membela Islam, karena PPP merupakan partai Islam yang disimbolisasikan dari pemimpin teras partai yang merupakan tokoh-tokoh Islam khususnya NU. Dalam memperjuangkan PPP mereka tanpa pamrih, setiap kegiatan yang mereka lakukan untuk mengkampanyekan PPP tanpa bantuan apapun mereka jalan, bahkan untuk mendukung dan memenangkan PPP banyak pendukungnya yang rela urunan sendiri, bahkan mereka berani mati untuk membela PPP. 94 MEMAHAMI ARTI PENTING PARTAI BAGI PEMILIH dikalangan pemilih Santri Tradisional, tolak ukur untuk menentukan pilihan politik partai tidak pada platform partai melainkan pada siapa tokoh yang duduk di partai itu. Hal ini merupakan bagian dari tradisi di kalangan NU yang menjadikan pemimpin agama (dalam hal ini ulama/kyai) sebagai panutan, tidak hanya untuk urusan keagamaan dan kehidupan sosial, namun juga untuk urusan politik ulama menjadi referensi dalam menentukan pilihan politik mereka. Hasil wawancara yang dilakukan dengan salah seorang Santri Tradisional, Muslimin seorang partisan PKB dan aktivis NU, menuturkan sebagai berikut: “Saya dulu ketika jaman pak Harto milih PPP, saya sering ikut kampanye. Jaman dulu sekitar tahun 1977 PPP dan Golkar kan rame, saya waktu itu berani berjuang untuk PPP, istilahnya berani mati lah. Setelah selesai jaman Pak Harto, muncul PKB, saya sekarang milih PKB. Walaupun di PKB tidak pernah ada bantuan apapun, untuk kepentingan PKB kami sama temanteman rela mengeluarkan biaya sendiri. Ketika kampanye PKB, saya datang secara sukarela tanpa dibayar atau uang bensin sekalipun. Saya kan NU, keluarga saya juga sama. Jadi untuk warga NU, kalau untuk membela agama walaupun nyawa sekalipun akan dikorbankan. Oleh karena itu karena PKB itu didirikan oleh NU, maka saya rela berkorban untuk PKB. Di PKB kan pimpinannya orang NU, seperti Gusdur. Jadi kami sebagai orang NU harus mendukung PKB, karena orang NU itu kan harus patuh sama pimpinan. Jadi tidak ada masalah walaupun harus berkorban untuk PKB, karena PKB adalah NU dan NU adalah PKB. Kampanye PKB biasanya dilakukan dengan cara pengajian, kami datang sama teman-teman bukan untuk melihat kampanye tapi ikut pengajian itu. Pokonya orang NU itu kalau untuk kepentingan agama tidak perhitungan. Ya...tadi… matipun rela, sehingga kalau ada yang berani menjelek-jelekan agama...pasti semua akan membela.” Dari apa yang dikemukakan di atas terlihat jelas bahwa tingkat fanatisme mereka pada partai sangat tinggi. Karena dalam pandangan 95 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH mereka memilih partai adalah juga pengejawantahan Keislaman, maka hal ini berpengaruh pada kondisi spikologis mereka yang tidak bisa menerima partai lain dengan tingkat kecurigaan yang tinggi pada pemilih lain. Kondisi ini menyimpan potensi konflik yang tinggi dengan pemilih lain ketika terjadi benturan antara sesama masyarakat yang berbeda, terutama ketika saat kampanye terbuka. Bahkan banyak dari pemilih Tradisional menganggap bahwa mereka yang tidak memilih partai yang sama dengan mereka tidak baik keislamannya, sehingga cenderung dijauhi oleh kelompoknya. Di sisi lain, banyak pemilih Santri Tradisional enggan meninggalkan partai pilihannya karena alasan merasa tidak tenang. Mereka merasa apabila tidak memilih partai yang sesuai dengan kelompoknya, keislaman dia menjadi berkurang. Oleh karena itu mereka akan sangat bangga apabila memiliki kaos yang berlambangkan partai, khususnya partai PKB yang logonya mirip dengan logo Nahdatul Ulama dengan bintang sembilannya. Implikasi dari kebanggaan akan keislaman mereka yang ditranslasikan dalam pimilihan partai. Para pemilih dan pendukung PKB di Malang Raya sebagai mana penulis teliti, ada sikap-sikap heroik yang muncul dari para pendukung PKB. Bahkan anggapan mereka membela PKB disamakan dengan membela agama. Dengan demikian mereka akan rela datang ke tempat-tempat kampanye yang diadakan PKB sejauh apapun dan dengan biaya sendiri. 1.3. Membela Kelompok Terpinggirkan Pemilih Abangan memandang bahwa PDIP merupakan partai pembela wong cilik, sementara simbol wong cilik yang mereka lihat adalah Megawati sebagai pimpinan partai. Kenapa Megawati yang dijadikan simbol, menurut salah seorang pemilih simpatisan PDIP, alasannya karena “Megawati sudah lama terjun di politik dan sudah lama berjuang untuk PDI.” Sebagian pemilih menyatakan bahwa Megawati menjadi figure di PDIP sekarang sangat diperuhi oleh kharisma Bung Karno, Megawati yang merupakan putri Bung Karno dianggap mewarisi ajaran dari ayahnya. Ajaran Bung Karno, mengenai Marhaenisme, merupakan cita-cita politik yang harus diperjuangkan. Sementara marhaenisme sendiri merupakan simbol politik yang merujuk pada sebuah masyarakat kelas bawah atau apa yang disebut dengan “wong cilik”. Oleh karena itu Bung Karno dengan partainya 96 MEMAHAMI ARTI PENTING PARTAI BAGI PEMILIH yaitu PNI pada masa Orla dianggap sebagai partainya wong cilik. Pada saat Orde Baru, PDI, walaupun tidak selamanya Megawati jadi pimpinan di partai namun keluarga Soekarno tetap dipakai sebagai vote getter karena pimpinan teras PDI pada saat itu menyadari betul bahwa ruh partai ini adalah keluarga Soekarno. Aguk, salah satu simpatisan PDIP menyampaikan kepada penulis terkait dengan pilihan masyarakat terhadap partai berlambang kepala banteng sebagai berikut: “Para pemilih yang mencoblos PDI-P lebih banyak dipengaruhi oleh figur Pak Karno, sedangkan Megawati sendiri tidak begitu dijadikan figure, dia diterima karena sudah berjuang cukup lama. Oleh karena itu ketika Megawati menjadi presiden dianggap tidak menjalankan komitmennya untuk memperbaiki wong cilik, maka pada saat pemilu presiden banyak dari pemilih PDIP tidak mencoblos Megawati.“ Sementara banteng yang menjadi gambar dalam partai PDIP, bagi kalangan pemilih Abangan dianggap sebagai simbol perjuangan dari kalangan orang kecil. Oleh karena itu, simbol banteng ini tidak hanya dijadikan simbol partai tetapi juga dipakai dalam setiap kegiatan yang pada intinya menunjukan identitas kelompok marginal. Dalam bidang kesenian yang berasal dari kalangan Abangan, salah satu acara yang sering ditampilkan dalam setiap acara tujuh belas agustusan adalah bantengan.2 Karena para pemilih Abangan memahamani partai sebagai pembela wong cilik, maka partai yang menjadi representasi dari mereka apabila mendapat perlakukan tidak adil dari penguasa akan segera mendapat reaksi dengan membangun ikatan solidaritas yang lebih kuat untuk mendukung partainya. Hal ini terbukti dengan menang mutlaknya PDIP pada pemilu 1999, karena pada saat Orde Baru, Megawati yang menjadi pemimpin partai di “kuyo-kuyo” oleh pemerintah. 2 Dari hasil pengamatan penulis ketika menyaksikan acara tujuh belasan, tradisi kesenian bantengan ini menjadi suguhan utama dari kalangan masyarakat Abangan yang umumnya kelompok marginal. Dalam iring-iringan karnaval, barisan terdepan diisi oleh orang-orang yang membawa prototife kerbau yang terdiri dari kepala kerbau yang terbuat dari kerdus dengan kain hitam dibagian badannya dan dibelakangnya ada semacam ekor. Setelah itu dibelakang orang-orang yang berpakaian dan berdandan layaknya petani, buruh, atau apapun yang menurut mereka merepresentasikan kaum marginal. 97 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH Lebih lanjut, karena partai dipemahamani sebagai pembelaan kelompok kelas yang dimarginalkan, hal ini berujung pada tingkat fanatisme yang sangat besar dari para simpatisan partai, khususnya PDIP. Mereka merasa bahwa membela partai sama dengan membela nasibnya dan membela kelompoknya yang sama-sama wong cilik. Citra PDIP sebagai partainya orang kecil, dan orang kecil itu selalu identik dengan petani, buruh kasar, pedagang kaki lima yang umumnya hanya mengandalkan tenaga, maka dalam setiap kampanye yang melibatkan massa, sebagian masyarakat merasa takut. Perilaku massa PDIP apabila berkampanye, khususnya ketika ada kompoi, dari mereka menunjukan adanya ekspresi yang tidak terkendali. Seolah-olah mereka ingin melampiaskan segala tekanan yang mereka rasakan akibat berbagai persoalan hidup. Berkenaan dengan latar belakang spikologis pemilih Abangan yang umumnya kelompok marginal, ekspresi kekecewaan maupun ekspresi dukungan selalu diwujudkan dalam bentuk dan tidakan cenderung destruktif dan anarkis, jauh dari sikap dan tindakan santun dan bersahabat. Pembakaran kaos dan atribut partai, perusakan gedung dan simbol partai, ataupun bentuk dukungan cap jempol darah merupakan bagian dari ekspresi umum yang dipertontonkan oleh kalangan Abangan. Oleh karena itu bagi mereka, visi-misi serta platform partai sama sekali tidak hirau, kalau tidak dikatakan tidak paham. Bagi mereka tindakan rill yang bersifat praktis-pragamatis lebih bisa diterima. Orasi pimpinan partai yang berkualitas tidak mereka butuhkan, yang mereka butuhkan pidato bersemangat yang penuh propaganda, dan tidak kalah pentingnya adalah hiburan rakyat seperti dangdutan lebih mereka senangi. Hasil temuan dilapangan, yang menarik adalah proses identifikasi diri mereka sebagai wong cilik tidak hanya dalam kontek pekerjaan atau pun keadaan sosial ekonomi, namun juga dari tingkat keberagamaan mereka. Bagi kelompok Abangan yang dinamakan wong cilik disamping bekerja sebagai buruh kasar atau secara ekonomi tergolong bawah, namun yang paling penting perilaku kesehariannya yang cenderung menjauh dari Langgar atau Mesjid, dan tidak taat dalam menjalankan syariat Islam. Walaupun mereka sama-sama secara ekonomi termasuk miskin, namun apabila taat beragama tidak mereka masukan dalam kelompok Abangan. Pada umumnya mereka yang 98 MEMAHAMI ARTI PENTING PARTAI BAGI PEMILIH masuk dalam kelompok Abangan ini adalah wong cilik yang berprofesi sebagai buruh, baik itu buruh pabrik, baruh bangunan, buruh tani yang relatif tidak mempunyai waktu cukup untuk menjalankan shalat, dan karena pekerjaannya yang berat mereka tidak bisa berpuasa. Ketakberdayaan dalam menjalankan keagamaan inilah yang sebenarnya memicu tumbuhnya perilaku keberagamaan yang minimal dari kelompok Abangan. Perilaku keberagamaan minimal yang awalnya disebabkan karena ketakberdayaan, berubah menjadi kebiasaan dan pada akhirnya menjadi budaya dan identitas atau karakter dari kelompok masyarakat tersebut. Sementara di sisi lain ada sebagian wong cilik, seperti buruh tani atau petani dan pedagang kecil mengidentikan diri sebagai wong cilik tidak dalam konotasi kelompok Abangan. Mereka lebih cenderung masuk dalam kelompok Santri, karena perilaku keberagamaan yang lebih baik. Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa keberadaan wong cilik ini terbagi ke dalam dua kelompok yaitu ada wong cilik Abangan dan ada wong cilik Santri. 1.4. Perlawanan Pada Ideologi penguasa Ideologi marhaenis merupakan varian dari ideologi sosialis. Ruh yang terbangun dalam kelompok sosialis ini adalah pembebasan dan perlawanan pada penindasan, maka ciri khas dari partai-partai yang dibangun atas pondasi ideologis sosialis ini cenderung punya semangat atau spirit kepartaian yang tinggi dari para kader-kadernya. Sebagaimana halnya yang terjadi di negara kita, PDIP yang merupakan partai sosialis dengan ideologi “marhaenisme”-nya para kader dan pengikutnya sangat militan dengan spirit kepartaian yang tinggi. Bagi pemilih dan simpatisan PDIP, partai ini merupakan simbol perjuangan dan perlawan mereka pada kemapanan yang telah menempatkan mereka pada posisi marginal. Oleh karena itu, banyak kaum buruh memilih PDIP karena merasa ada justifikasi sebagai kelompok marginal untuk melawan pengusaha atau pemerintah, khususnya perjuangan mereka dalam mendapatkan upah buruh yang layak. Karena PDIP menjadi simbol perlawanan wong cilik pada penguasa, maka pada saat Orde Baru banyak buruh, petani, maupun pedagang kaki lima yang menjadi korban dari penertiban aparat keamanan. Di sisi lain PDI pada saat itu, ketika dipimpin oleh 99 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH Megawati, selalu mendapat tekanan dari penguasa. Bahkan sempat menjadi drama politik ketika Soeryadi mengambil alih kepemimpin dan terjadi dualisme kepemimpinan. Peristiwa pengambilalihan kantor PDI secara paksa ini terkenal dengan peristiwa “kudatuli” (Kudeta Satu Juli). Setelah lepas dari cengkraman rezim Orde Baru, banyak dari pemilih yang merasa nasibnya sama, serta merta mendukung PDIP sebagai simbol kemenangan dalam perjuangan melawan penguasa Orde Baru, dan akhirnya mengantarkan PDIP sebagai pemenang pemilu 1999 dengan kemenangan mutlak. Bagi sebagian kalangan pemilih PDIP, menganggap bahwa pemimpin yang baik adalah pemimpin yang dapat berbaur dengan masyarakat dan tidak membuat kebijakan yang merugikan mereka. Kasus di Kota Malang, dukungan kelompok Abangan pada Peni Soeparto yang menjabat sebagai Wali Kota Malang sangat besar. Hal ini terbukti ketika Peni maju lagi sebagai calon dalam pilkada di Kota Malang pada bulan Juni 2008, dimana Peni memenangkan pilkada dengan perolehan suara mutlak yaitu sekitar 40%. Dilihat dari karakteristik pribadi peni memang menurut beberapa sumber sangat dekat dengan kelompok Abangan, terutama pemudanya. Dari hasil wawancara dengan simpatisan PDIP, khususnya terkait dengan pelayanan pemerintah yang diberikan, mereka menunjukkan sikap yang apati dan cenderung menunjukan sikap sinis pada pemerintah. Satu hal yang bisa ditangkap dari apa yang dikemukakan oleh para simpatisan PDIP ini adalah kesusahan yang mereka rasakan sekarang ini akibat ulah pemerintah. Ukuran bagi mereka, adalah harga kebutuhan pokok yang langsung mereka bisa rasakan. Yang mereka persalahkan tidak hanya pemerintah, namun juga pada anggota dewan yang mereka anggap tidak peduli. Dengan demikian, persoalan mereka mendukung partai bukan karena mereka akan mendorong seseorang untuk duduk di dewan, tapi lebih karena dukungan mereka kepada partai sebagai simbol persatuan di antara mereka dalam memperjuangkan nasib. Oleh karena itu, umumnya para simpatisan PDIP jarang yang kenal dengan anggota dewannya, yang mereka tahu adalah partai dan pengurus partai, sehingga mereka sering berhubungan dengan pengurus partai yang biasanya sebagi pinpinan Ranting, atau pimpinan Cabang partai. Adapun mereka yang datang mau minta 100 MEMAHAMI ARTI PENTING PARTAI BAGI PEMILIH dukungan, secara pribadi untuk menjadi anggota dewan, mereka sangat transaksional. Bagi mereka mendukung orang, berarti orang itu akan dinaikan derajatnya. Oleh karena itu, karena akan menaikan derajatnya, orang itu harus membayar atau memberi konpensasi kepada yang mendukungnya. Sikap ini tidak hanya ditunjukan pada partai diluar PDIP, tapi juga kepada semua calon yang dari partai manapun yang minta dukungan, termasuk dari PDIP. 2. Pemahaman Sosial Kemasyarakatan 2.1. Wujud Solidaritas Sosial Kehidupan sosial di Malang Raya, unsur kekerabatan masih cukup menonjol. Sikap guyub dan rukun cukup kental mewarnai kehidupan sehari-hari masyarakat. Perilaku kehidupan masyarakat, khususnya di pedesaan, jarang ditandai dengan adanya kejutankejutan. Pola kehidupan mereka sepertinya sudah teratur dengan konsep sosial yang mereka pahami dan tetap dipertahankan dari generasi ke generasi. Ketika ada kajatan besar baik itu yang berkaitan upacara keagamaan maupun upacara nasional, mereka bersatu padu satu sama lain dengan pembagian peran yang permanen. Hal yang paling menonjol dari semua yang dilakukan oleh masyarakat adalah kesadaran akan kebersamaan yang dilandasi oleh stratifikasi sosial yang sudah terlembagakan. Dalam kegiatan lima tahunan (Pemilu), yang oleh masyarakat sering dinamakan sebagai kajatan besar nasional, nampak jelas masing-masing bagian dari masyarakat berperan aktif sesuai dengan porsi masing-masing. Sebelum pemilu dilaksanakan, biasanya masyarakat sudah punya patokan dalam menentukan pilihan partai politik yang akan mereka pilih. Kekeluargaan, pertemanan, maupun hubungan sosial kemasyarakatan biasanya menjadi penentu pilihan partai politik yang mereka pilih. Sehingga ada kecenderungan bahwa pilihan masyarakat pada partai politik dalam setiap pemilu seperti perilaku “ikut-ikutan” dengan pilihan sodara, teman atau lingkungan masyarakat lain karena takut dianggap bukan merupakan bagian dari kelompok masyarakat yang bersangkutan. Salah seorang warga di Kota Batu, Muslim (30), menyampaikan bahwa dalam pemilu 1999 dan 2004 masyarakat tidak mempertimbangkan siapa yang menjadi wakil-wakil mereka yang akan duduk 101 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH di DPR. Mereka memilih partai Islam tidak lebih karena takut tidak disebut seorang Muslim atau takut dikucilkan oleh kelompoknya. Dengan demikian, pilihan partai politik Islam tidak menjamin mereka sadar bahwa hal itu merupakan konsekuensi dari pemahaman keberagamaan mereka. Pemilih yang pada pemilu baik 1999 maupun 2004 mencoblos partai Islam cenderung ikut ikutan saja, takut mereka tidak disebut Islam atau dikucilkan oleh kelompok. Para pemilih tidak bisa membedakan mana wakil-wakil yang duduk di DPR itu yang merupakan wakil Partai Islam atau bukan, karena mereka sama sama suka korupsi. Padalah dalam ajaran Islam sangat memperhatikan sikap dan perilaku amanah, tidak boleh berbuat merugikan orang lain. Faktor keluarga dalam pilihan partai juga sangat kental. Sebagai mana penuturan salah seoarang warga yang menjadi pemilih PDIP pada pemilu 2004, - Saya memilih PDI-P karena disini umumnya PDIP, “sodara saya Sony sebagai kader PDI yang mengkoordinir agar mencoblos PDI. Kalau ada acara kampanye orang-orang yang akan ikut diberi uang transport dan mereka yang punya sepeda motor dikasih uang bensin.” Begitupun juga kasus pemilih Partai Golkar. Mereka yang memilih Golkar disebabkan pengaruh keluarga, walaupun sekarang mereka sudah tidak menjadi pegawai negeri sipil, namun banyak keluarga yang sudah tersosialisasi cukup lama dengan Golkar pada akhirnya semua keturunannya banyak yang memilih Golkar dalam pemilu. Kita ketahui bahwa pada jaman Orde Baru mereka yang punya jabatan di pemerintahan secara inplisit diwajibkan untuk memenangkan Golkar, bahkan banyak tekanan dari aparat kepada masyarakat pada saat itu untuk mencoblos Golkar. Disamping itu ABRI di desa dengan memelalui babinsa, juga melakukan tekanan tekanan sehingga babinsa menjadi alat pressure pada masyarakat. Lebih jauh dapat dikemukakan bahwa sebagian masyarakat sangat concern akan pentingnya kebersamaan dalam lingkungan mereka. Mereka sadar bahwa kebersamaan merupakan bagian dari pengamanan sosial bagi mereka, ketakberdayaan secara individu dalam melangsungkan kehidupan mereka telah menjadi bagian yang diyakini dalam alam bawah sadar mereka. Oleh karena itu, mereka cenderung akan mengikuti pola umum dalam masyarakat karena 102 MEMAHAMI ARTI PENTING PARTAI BAGI PEMILIH mereka sangat bergantung dengan masyarakat yang lain. Dengan demikian, banyak dari anggota masyarakat berupaya mendapatkan peran dilingkungannya dalam membina dan membangun lingkungannya. Biasanya mereka yang punya peran menonjol dalam masyarakat, secara langsung maupun tidak masyarakat akan patuh pada mereka yang telah punya andil dalam membangun lingkungannya. Dalam hal aktivitas dalam bidang lingkungan dan kemasyarakatan, baik kelompok Santri maupun Abangan tidak terpisahkan. Bahkan dalam hal ritual keagamaan yang sering dilakukan oleh kelompok Santri Tradisional, sebagian Abangan juga ikut serta. Perbedaan antara Abangan dan Santri dalam kehidupan masyarakat hanya akan dapat dilihat dalam kaitannya dengan urusan pelaksanaan rukun Islam, terutama puasa di bulan Ramadhan dan Shalat lima waktu. Kelompok Abangan jarang atau tidak pernah menjalankan Shalat lima waktu, dan tidak berpuasa ketika bulan Ramadhan tiba. Sementara kelompok Santri sangat khusu dalam menjalankan Shalat maupun puasa di bulan Ramadhan. Berkaitan dengan aktivitas kemasyarakatan, banyak dari tokoh masyarakat yang sudah dikenal menjadi kepanjangan tangan dari elit politik dari partai tertentu, walaupun mereka secara pribadi jarang yang aktif dalam partai. Hal yang penting adalah manfaat yang akan diterima oleh masyarakat dari apa yang mereka lakukan sebagai bagian dari pengabdian mereka kepada masyarakat dan lingkungannya. Oleh karena itu, setiap warga yang menjadi aktivis atau pun kepanjangan dari partai politik tertentu, tidak lebih peran mereka hanya mencari sesuatu yang bisa diberikan kepada masyarakat. Tidak jarang mereka yang punya hubungan dengan partai tertentu menjadi media bagi partai untuk membagikan kaos, uang bensin pada saat kampanye, ataupun yang berkaitan dengan bantuan bagi pemba-ngunan lingkungan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kebersamaan, tidak mau berbeda dengan yang lain, merupakan jaminan sosial bagi lingkungan dan masyarakat. Oleh karena itu, partai politik yang ingin mendapatkan simpati dari masyarakat, mau tidak mau, harus melakukan interaksi langsung ke dalam masyarakat. Sugiono, seorang warga menyatakan, “pentingnya tokoh partai politik untuk turun 103 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH dalam kegiatan kemasyarakatan kalau ingin terpilih, di daerah sini ada calon dari Golkar tapi tidak dipilih karena jarang ikut dalam kegiatan masyarakat.” Secara sama juga dikemukakan oleh Wahid, “Yang penting bagi partai adalah melakukan pendekatan kepada masyarakat secara langsung, bisa dengan kunjungan, ikut kegiatan warga atau sekedar membantu pada yang dibutuhkan oleh warga kampung. Kegiatan itu lebih efektif dibanding dengan kampanye yang dilakukan di lapangan dengan berbagai janji-janji atau pun membacakan visi misi. Bagi warga visi misi tidak dibutuhkan, karena warga membutuhkan yang kongkritkongkrit aja. Kalau pengurus parpol sudah turun kemasyarakat tidak perlu berkampanye.” 2. 2. Kepatuhan Pada Pemimpin Dalam masyarakat Desa Jawa, tipe kepemimpinan dimiliki baik oleh pemimpin yang mempunyai posisi dalam birokrasi formal sebagai kepala desa, dan pemipimpin diluar birokrasi, khususnya pemimpin spritual. Dalam kasus ini, Sartono Kartodidjo berpendapat bahwa, “diluar pejabat pemerintahan terdapat juga pemimpin alami yang berkuasa seperti kyai3 lokal, haji, guru, dukun (Sartono Kartodirdjo 1972). Para pemimpin tersebut mempunyai atribut tertentu seperti jimat yang memberikan perlindungan dari bahaya, mempunyai ilmu kedigjayaan, ilmu pengetahuan, ilmu keselamatan, yang memberi kekuasaan sebagai manusia lebih. Tipe kepemimpinan ini dapat membentuk perilaku politik dalam negara berkembang seperti Indonesia. Berdasarkan hasil temuan di lapangan, petunjuk yang datang dari tokoh atau kyai punya pengaruh kuat untuk menggiring masyarakat memilih partai tertentu. Kenyataan ini disadari betul oleh banyak tokoh politik. Oleh karena itu ketika menjelang pemilu banyak tokoh Parpol melakukan kunjungan kepesantren-pesantren untuk mendapatkan dukungan dari kyai. Namun menurut salah seorang warga, kedatangan para tokoh politik ke pesantren-pesantren itu tidak akan 3 Anderson menyebutkan bahwa dalam komunitas Islam, orang yang mempunyai status tertinggi adalah mereka yang berpengetahuan tinggi mengenai hukum agama dan mereka yang mengajarkan ajaran Islama. Lihat Benedict R. O’G. Anderson Culture and Politics in Indonesia (Ithaca and London: Cornell University Press, 1990) terutama Hlm. 61. 104 MEMAHAMI ARTI PENTING PARTAI BAGI PEMILIH efektif kalau dilakukan hanya pas menjelang pemilu. Begitu juga dengan nada yang sama, rohim mengatakan, “memberi dana tapi hanya ketika pemilu, partai seharusnya melakukan silaturohim kekyai harus kontinue tidak sebatas pada pemilu. Kalau ini dilakukan akan mengutungkan partai itu dalam masa mendatang.” Dalam satu kesempatan penulis mencoba ikut salah satu tokoh politik pergi ke pesantren untuk menemui sang kyai yang ada di Kota Batu. Kebetulan pada saat itu ada acara pengajian yang dihadiri oleh banyak jamaah. Dari hasil pantauan penulis, jumlah jamaah yang datang ada ratusan orang. Setelah sekian lama, acara pengajian itu selesai dan dilanjutkan dengan acara makan bersama. Giliran pulang, kyai itu menunggu di pintu keluar, dan para jamaah itu pamitan pada kyai satu persatu sambil menciumi tangan sang kyai bolak balik. Dari fenomena itu, penulis bisa menyimpulkan bahwa para jamaah tersebut mempunyai tingkat kepatuhan yang tinggi pada kyai itu. Dari hasil pemilu 2004, menunjukan bahwa daerah itu sangat fanatik dengan partai Islam khususnya PKB. 2.3. Personifikasi Budaya Berkaitan dengan pilihan politik seseorang dalam masyarakat, tampaknya pilihan politik itu dalam Masyarakat Malang Raya sudah menjadi bagian dari perilaku masyarakat. Artinya, partai politik tertentu akan dipilih secara bersama-sama oleh semua anggota masyarakat yang mempunyai norma dan kebudayaan yang sama. Oleh karena itu dalam kalangan Santri Tradisional, yang mempunyai tradisi keagamaan sendiri, setiap anggotanya akan memilih partai yang sama. Anggota masyarakat yang suka tahlilan, yasinan dan kegiatan keagamaan lain banyak yang memilih PKB. Akan tetapi kalau PDI-P dan Golkar berupaya untuk meraih simpati dengan cara memberi bantuan sumbangan bisa saja mereka memilih Golkar atau PDI, kecuali PAN para pemilih PKB agak sulit karena PAN oleh masyarakat yang umumnya Nahdilyin menganggap PAN identik dengan Muhammadiyah yang mempunyai tradisi atau norma-norma yang berbeda. Norma-norma yang berkembang dalam satu kelompok masyarakat, juga difungsikan sebagai filter terhadap norma-norma lain yang dianggap berbeda atau bertentangan. Dalam hal ini kelompok 105 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH Nahdilyin yang mempunyai norma-norma berbeda akan menolak pengaruh yang datang dari kelompok masyarakat Muhammadiyah. Makanya tidaklah mengherankan apabila warga Nahdilyin di tingkat grassroot menganggap Muhammadiyah sebagai “agama baru”, atau “Islam murni” yang secara praktik keagamaan banyak yang tidak bisa diterima oleh warga NU di tingkat grassroot. Warga NU sering melakukan tahlilan, kajatan dan berbagai ritual lain yang umumnya melibatkan tokoh agama lokal yaitu Kyai. Sementara orang Muhammadiyah tidak mengenal tahlilan, yasinan, dan berbagai kajatan lainnya, padahal dalam kontek masyarakat NU kegiatan-kegiatan itu tidak melulu urusan keagamaan tetapi juga sudah menjadi bagian dari kehidupan sosial, dimana kyai sebagai pemimpinnya. Dan umumnya para kyai yang menjadi tokoh agama di tingkat grassroot adalah mereka yang mempunyai kedekatan dengan tokoh-tokoh PKB atau sekaligus mereka juga menjadi pengurus PKB pimpinan Gus Dur. Salah seorang warga yang penulis wawancarai menuturkan bahwa PAN sulit untuk mendapat simpati dari anggota masyarakat. Hal ini dikarenakan PAN dianggap sebagai partainya Muhammadiyah yang tidak ada tahlilan seperti di NU. Kalau partai lain menurutnya masih bisa seperti PDI atau Golkar, karena menurut mereka orang PDI dan orang Golkar masih suka ikut kegiatan sosial keagamaan. 3. Pemahaman Ekonomi 3.1. Pemberian Uang Tunai Salah satu simpatisan PDIP, Sony, menyampaikan pada menulis bahwa umumnya mereka yang sudah didukung untuk menjadi anggota dewan, mereka lupa janji-janjinya sebelum jadi. Oleh karena itu menurut dia, sekarang masyarakat sudah pintar, mereka tidak akan memilih kalau tidak ada uangnya. Lanjutnya, hal yang penting bahwa pembagian itu harus rata, tidak boleh ada yang tidak kebagian. “Coba aja mas, saya ini dari dulu ya gini-gini aja. Ada pemilu ataupun tidak ada pemilu nasib saya tetap tidak berubah. Kalau gitu...ya...mendingan apa yang bisa didapatkan sekarang, ke depan kan kita tidak tahu...paling...mereka yang kita dukung lupa.” Disisi lain, sebagian pemilih yang kelihatan Santri dan pendukung dari partai-partai Islam, menyampaikan kepada penulis “bahwa partai itu identik dengan figur seseorang, dimana partai itu 106 MEMAHAMI ARTI PENTING PARTAI BAGI PEMILIH dianggap baik apa bila sering memberi bantuan.” Pandangan ini sejalan dengan apa yang sering disosialisasikan dalam setiap pengajian ataupun khotbah jum’at dilingkungan komunitas Islam Tradisional bahwa seorang Muslim harus sering bersodakoh. Dalam Islam juga diajarkan bahwa kita sebagai pemeluk Islam harus memperhatikan masyarakat miskin. Karena setelah menjalankan ibadah, sholat mendoakan fakir miskin ajaran Islam itu sangat berpihak pada masyarakat bawah seperti kelompok duafa, mustadafin. Karena seringnya disosialisasikan kepada masyarakat, nilai-nilai ini juga menjadi bagian dari barometer masyarakat untuk menilai baik buruknya seorang calon atau partai politik. Karena pandangan mereka yang sudah jelek pada partai politik, sebagian pemilih cenderung menjadi apatis dan sinis pada partai. Sikap sinis dan apatis ini, secara tidak sadar telah menumbuhkan perilaku parktis-pragmatis, karena banyaknya calon dan partai yang meminta jasa dukungan pada pemilih. Sebagaimana diungkapkan salah seorang warga kepada penulis, berikut: “Saya tidak peduli dengan partai, karena partai sendiri tidak akan memperhatikan saya. Partai hanya akan mencari suara saja agar calon yang berasal dari partai tersebut bisa jadi. Oleh karena itu saya tidak mau milih kalau tidak ada imbalannya. Umumnya setelah pemilu, mereka yang terpilih lupa dengan warga yang memilihnya, makanya sebelumnya kita harus mendapat manfaat dulu. Soal nanti lain lagi. Pokoknya untung dulu.. Pokok..e.. ono duwite..milih...” Kenyataannya, justru banyak wakil-wakil dari partai Islam yang melakukan korupsi, memperkaya diri sendiri dan melupakan masyarakat yang memilihnya. Dengan demikian walaupun money politics kenyataannya berkembang dalam masyarakat, dimana pemberian itu tidak hanya uang tetapi sembako, biaya pembangunan dan lain-lain. Walaupun demikian ada sebagian pemilih yang walaupun mereka diberi uang belum tentu memilih calon atau partai yang memberi uang. Masyarakat miskin memang tidak menganggap politik uang sebagai hal buruk. Justru mereka memang menantikan jatah uang itu, bahkan ada yang tidak mau memilih kalau tidak mendapatkan 107 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH uang. Memang demokrasinya menjadi seperti pasar, ada yang membayar, maka akan diberi suara. Sebagian elite juga menganggap pemberian uang dalam politik juga sebagai hal yang biasa, bahkan seperti keharusan yang wajar dilakukan. Memang ini bertentangan dengan ide demokrasi di Barat. 3.2. Bantuan Pembangunan Dalam rangka membina dan menjaga konstituennya agar tidak lari ke partai lain, para kader partai selalu berusaha melakukan pendekatan-pendekatan yang continue dengan konstituen mereka. Termasuk memberikan sumbangan untuk kepentingan warga dan lingkungan dimana basis partai itu berada. Oleh karena itu banyak partai yang berusaha membantu kebutuhan warga, baik bantuan untuk pembangunan maupun untuk kegiatan. Setiap bantuan ke warga selalu diberikan lewat kader yang sudah punya hubungan dengan anggota dewan dari partai tersebut. Walaupun demikian, menurut hasil temuan lapangan, tidak semua partai yang suka memberikan bantuan kepada warga maupun bantuan untuk lingkungan. Seperti warga yang memilih PKB ataupun PPP umumnya mereka tidak banyak perhatian dari partainya. Sebagai contoh kasus, daerah Caru, Pendem, Kota Batu, menurut informasi yang penulis dapatkan dari masyarakat, warga disekitar itu umumnya pendukung kuat PKB. Ketika penulis tanyakan apa ada perhatian dari partai untuk kepentingan lingkungan atau pembangunan lain, umumnya mereka menjawab tidak ada. Lantas saya tanyakan bagaimana untuk kepentingan pembangunan pesantren, atau Mesjid? Mereka hanya menjawab, kurang paham, tapi mereka menyatakan sering melihat banyak mobil yang mengunjungi ke pondok. Kenyataan tersebut juga terjadi ditempat lain, tepatnya di Daerah Lowokwaru, Kota Malang, ketika penulis melakukan wawancara dengan salah satu tokoh masyarakat yang kebetulan menjadi Ketua RT di sana, Supriyanto, menyampaikan bahwa yang getol memberi bantuan untuk kepentingan lingkungan di sini ada PDIP, Golkar, P Demokrat, sementara PKB maupun PPP jarang sekali. “Jarang sekali menerima bantuan dari para wakil mereka yang duduk di dewan tidak seperti warga lain yang yang memilih partai PDI-P, Golkar, PAN, Demokrat maupun partai lain. 108 MEMAHAMI ARTI PENTING PARTAI BAGI PEMILIH Umumnya partai dari PKB-PPP lebih memperhatikan tokoh agamanya dari pada warganya. Bantuan yang diberikan biasanya hanya diperuntukan untuk kepentingan pembangunan pesantren, sekolah, Mesjid, maupun organisasi yang sifatnya mendukung bagi pengembangan keagamaan. Bantuan yang diberikan Golkar, PDI-P, Demokrat, maupun PAN umumnya langsung bisa dirasakan oleh warga. Sebagai contoh perwakilan PAN dari dapil sisni H. Fujianto melakukan bantuan berupa Votisasi (tempat sampah) kesemua warga yang ada di pinggir jalan.” Selain memberi bantuan langsung bagi kepentingan warga, banyak para wakil di wilayah Lowokwaru ini memperjuangkan kepentingan warganya dengan cara menyalurkannya lewat APBD. Bahkan sepertinya para anggota Dewan bersaing agar mereka mendapatkan tempat di hati masyarakat dengan cara memperjuangkan berbagai program pembangunan yang ada di masyarakat agar bisa mendapat simpati dari warga yang diperjuangkan. Kenyataan tersebut di atas, secara tidak sadar merubah pandangan subyektif dari warga terhadap partai. Partai yang sering memberi bantuan dianggap partai yang baik, sementara partai yang jarang memberi bantuan dianggap partai yang jelek. Partai selalu dipemahami dengan sumber bantuan untuk pembangunan, dan hal ini sangat terasa dalam kehidupan politik sekarang, khususnya yang terjadi di akar rumput. Menurut, warga yang sempat penulis wawancarai, agar para pemilih tetap memilih partai tersebut, maka partai dan pemilih itu harus ada ikatan bathin. Ikatan batin itu diwujudkan dalam bentuk bantuan kongkrit kepada masyarakat seperti pembangunan Mushola, Gorong-gorong, saluran air agar masyarakat tahu dan ingat bahwa partai ini telah menyumbang ini dan itu pada lingkungan. B. Pemahaman Partai dan Kinerja Partai Politik Realitas yang terjadi pada tingkatan pemilih secara langsung maupun tidak langsung berdampak pada kinerja partai politik maupun anggota Dewan. Hasil temuan di Malang Raya, apa yang terjadi di tingkatan partai politik (pengurs partai maupun anggota Dewan), memperlihatkan adanya kesenjangan antara idealitas yang seharusnya dilakukan oleh partai dengan kenyataan di lapangan. 109 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH Pemaham dan pemahamanan ideologi oleh pemilih bukannya ditindaklanjuti dengan melakukan pendidikan politik, namun lebih banyak direspon dengan doktrinasi politik yang kadang menimbulkan sikap fanatisme besar kepada partai, utamanya dari kalangan partai yang berbasis Islam. Sementara pemahaman sosial kemasyarakat dan ekonomi, lebih banyak ditindak lanjuti dengan berbagai program yang sifatnya karikatif dan berbiaya tinggi. Kenyataan tersebut di atas tidak lepas dari kenyataan bahwa bekerjanya partai politik dalam sistem politik yang belum banyak beranjak dari fungsi praktis jangka pendek sebagai alat meraih kekuasaan. Kondisi ini sebagaimana dikemukakan mantan Ketua Umum DPP Partai Golkar Akbar Tandjung terhadap Partai Golkar era kepemimpinan Jusuf Kalla pada saat Ujian Terbuka Program Doktor UGM, awal September 2007. Menurut Akbar Tandjung, “Terpilihnya Wakil Presiden Jusuf Kalla sebagai ketua umum pada tahun 2004 menunjukkan, Partai Golkar masih dipenuhi orang yang sangat berorientasi pada kekuasaan”. Fenomena yang dikemukakan Akbar Tandjung bisa mewakili watak parpol Indonesia secara umum. Lebih jauh, partai menjadi alat negosiasi dengan penguasa untuk mencapai kompensasi politik ketimbang benar-benar memperjuangkan aspirasi konstituen. Di sisi lain, fungsi mendasar sebuah parpol, sebagai sarana artikulasi, agregasi, lebih-lebih sarana pendidikan politik yang sehat bagi masyarakat sepertinya kian jauh dari harapan. Ketidakmampuan parpol dalam mengorganisasikan diri, meredam konflik internal, dan menumbuhkan militansi positif, pada saat yang sama agaknya telah menumpulkan kemampuan mereka dalam menerjemahkan kehendak politik publik dan memberi pendidikan politik yang sehat kepada masyarakat. Wadah organisasi yang demokratis, sehat, dan bersih belum banyak tercermin pada partai politik yang mapan maupun beberapa partai yang baru. Ketidakmampuan menyerap aspirasi publik itu rupanya terus berlanjut saat parpol menjalankan fungsi agregasi politik mereka sebagai wakil rakyat di lembaga legislatif. Disamping itu konflik internal, perekrutan keanggotaan dan kaderisasi yang tidak lancar serta ketergantungan pada sosok elit partai menghiasi intenal partai. 110 MEMAHAMI ARTI PENTING PARTAI BAGI PEMILIH 1. Pemahaman Partai dan Pendidikan Politik Salah satu peran dari partai politik yang banyak dilupakan adalah pendidikan politik. Kebanyakan partai-partai yang ada lebih menekankan pada solidaritas serta konsistensi dari pemilih terhadap partai mereka masing-masing, tanpa menyentuh sisi pencerahan bagi konstituen. Hal ini sebagai wujud dari upaya partai politik dalam mengamankan basis konstituennya agar tidak lari ke partai lain. Ketakutan dari partai politik untuk melakukan pendidikan politik pada masyarakat disebabkan oleh karena partai yang dibangun adalah partai yang tumbuh dalam pondasi sektarian. Partai politik di negara kita cenderung memupuk dan memperkuat identitas konstituen mereka masing-masing baik mereka yang berhaluan Nasionalis maupun Islam. Memasuki pemilu 2009, banyak partai politik yang sudah berusaha memberikan pendidikan politik pada masyarakat dengan cara memberikan gambaran tentang peran dan fungsi partai politik. Hal ini dilakukan oleh partai politik yang umunya partai politik yang merasa tidak punya basis massa yang jelas, dan ketakutan dengan realitas pemilih yang sudah sangat transaksional dalam berhubungan dengan partai politik. Adapun partai-partai besar lebih banyak disibukkan dengan program-program yang menggambarkan kepedulian kepada basis mereka dengan cara yang jauh dari mendidik. Partai yang berbasis Islam banyak melakukan program yang lebih berorientasi pada aktivitas atau kegiatan yang relevan dengan kelompok keagamaan seperti pengajian, tahlilan, istigosahan, yang banyak dilakukan oleh kalangan Santri Tradisional. Di sisi lain, partai politik yang berbasis Nasionalis untuk mendekatkan diri dengan konstituennya lebih condong untuk membuat program yang sifatnya menghibur dengan dalih untuk menyenangkan masyarakat yang menurut mereka lebih banyak dari kalangan wong cilik. Kesadaran akan hak dan kewajiban warga maupun partai politik tidak banyak disentuh. Menurut hasil wawan-cara dengan salah seorang ketua RT yang di lingkungannya banyak konstituen dari PDIP menyatakan bahwa kegiatan partai yang sering dilakukan hanyalah kegiatan hiburan terutama pada saat merayakan hari besar Nasional seperti peringatan kemerdakaan tanggal 17 Agustus. 111 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH Kondisi tersebut tidak lepas dari realitas pemilih yang masih berbasis primordialitas dan juga partai juga dibangun dalam pondasi sektarian. Dalam kondisi seperti ini sangat sulit melakukan komunikasi politik pada konstituennya dengan bersandar pada platform partai yang lebih rasional dan kongkrit sebagai wujud dari tanggung jawab partai terhadap masyarakat. Komunikasi yang dibangun oleh partai politik, dari hasil temuan dilapangan menunjukan sebagai berikut: Pertama, para tokoh partai politik yang bernaung dalam partai berhaluan Nasionalis jarang bekomunikasi langsung dengan konstiuennya dalam bahasa verbal. Mereka lebih banyak menyatu dan melebur dengan konstituennya sambil mendukung pola perilaku dan budaya yang merupakan ciri khas dari kelompok Abangan yang selalu identik dengan pesta rakyat. Pesta rakyat ini biasanya diisi dengan berbagai kegiatan dan atraksi yang merupakan ciri khas kelompok Nasionalis (Abangan) yang umumnya berasal dari kalangan masyarakat kecil (wong cilik). Kedua, bagi partai Islam atau partai yang punya kedekatan dengan pemilih Islam, logika dan bahasa agama lebih banyak ditonjolkan oleh partai politik. Begitu pun media yang dipergunakan tidak jarang mengunakan simbol-simbol agama seperti Masjid, Langgar maupun kegiatan ritual keagamaan dari mulai tahlilan, pengajian, maupun khajatan dan lain-lain. Komunikasi yang dibangun pun hanya komunikasi satu arah, karena tujuan komunikasi yang mereka lakukan bukan untuk pendidikan politik tapi untuk memperjelas identitas politik serta memperkokoh kekuasaan elit politik yang umumnya merangkap sebagai tokoh agama. Partai Politik yang seharusnya melakukan apa yang idealnya dikerjakan sebuah partai yang sehat, yaitu pendidikan politik bagi para kadernya untuk menyiapkan dan mencetak calon pemimpin partai serta bermanfaat bagi masyarakat. Apabila hal ini terus terjadi, politisi yang dihasilkan parpol adalah mereka yang tidak memberikan empati kepada masyarakat. Sebenarnya keberhasilan partai politik terletak pada konsistensi dan komitmen Parpol terhadap mekanisme pendidikan politik. Melalui pendidikan politik yang sehat diharapkan terbentuk loyalitas serta militansi kader calon figur pemimpin eksekutif, legislatif dan diimbangi oleh loyalitas kepada visi, misi dan program partai sesuai dengan aturan dan mekanisme yang demokratis. Parpol harus sesuai mekanisme kaderisasi internal partai 112 MEMAHAMI ARTI PENTING PARTAI BAGI PEMILIH dengan apa yang menjadi harapan masyarakat. Sukar dinafikan rendahnya kesadaran partai politik melakukan pendidikan politik ini telah mempengaruhi kualitas demokrasi yang dihasilkan. Banyaknya konflik dalam pemilu baik secara vertikal maupun horizaontal yang disertai dengan tindakan anarkisme adalah bukti masih rendahnya pendidikan politik masyarakat kita. Bahkan rendahnya kualitas pendidikan politik masyarakat ini sengaja dibiarkan, agar elite partai mudah memobilisasi dukungan untuk kepentingannya. 2. Pemahaman Partai dan Agregasi Kepentingan Selama ini agregasi politik banyak diwakili langsung oleh para anggota legislatif, mereka bertindak sebagai “wali” bukan “delegasi”. Praktik demikian akan baik apabila para anggota dewan benar-benar tahu dan merasakan apa yang dinginkan masyarakat. Namun pada kenyataannya banyak anggota dewan yang mengatasnakaman rakyat, akan tetapi kebijakannya justru lebih condong untuk kepentingannya sendiri atau lebih jauh untuk kepentingan partainya. Sebagai contoh. PDI-P yang banyak disebut sebagai partai Nasionalis, dalam prakteknya tidak diterjemahkan dalam wujud kongkrit seperti Nasionalisme ekonomi, politik, dan budaya. Demikian pula partai Islam dan partai modern seperti Partai Golkar. Sebagai organisasi politik, partai merepresentasikan berbagai aspirasi, kepentingan, dan ideologi yang ada dalam masyarakat. Melalui partai, semua aspirasi, kepentingan, dan ideologi diagregasikan menjadi sebuah kebijakan publik. Ketidakjelasan sikap parpol terhadap pemerintah barangkali merefleksikan ketidakkonsistenan partai menjaga haluan perjuangannya. Semangat perjuangan yang biasanya lekat dengan ideologi yang dibawa bisa saja berubah, tergantung kepentingan yang ditawarkan. Sebagian besar responden yang diwawancarai menganggap parpol telah berpaling dari ideologi dan konstituennya. Tingkat kekritisan parpol, khususnya di Malang Raya, dalam mengevaluasi kebijakan-kebijakan pemerintah melemah, terbukti dari lolosnya proyek pembangunan Malang Town Square Garden (Matos) yang menjadi konstroversi dalam masyarakat Kota Malang karena menempati lahan hijau (area resapan air hujan). Hal ini menunjukan 113 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH bahwa sikap partai-partai besar—terutama yang terkooptasi oleh pemerintah—yang lebih banyak mengambil posisi sebagai mitra pemerintah. Perjalanan parpol di Malang Raya yang lebih banyak diwarnai dengan persaingan untuk mendapatkan kekuasaan. Masih sedikit—bahkan hampir tak ada—partai yang mau menempatkan dirinya sebagai agregator kepentingan masyarakat. Partai-partai politik tampaknya berdiri hanya dengan satu tujuan, yaitu “kekuasaan”. Kegairahan dalam mengartikulasikan kepentingan masyarakat nyaris tak tampak. Implikasi lebih jauh dari kondisi tersebut, para kader politik baik yang ada di legislatif maupun yang ada di eksekutif banyak yang terlibat korupsi. Dewan Perwakilan Rakyat berperilaku korup. Para anggota Dewan seperti berlomba untuk menguras keuangan negara, sementara rakyat hanya jadi penonton dan kadang berlaku sinis karena mereka berlaku mewah sementara rakyat harus hidup melarat. 3. Pemahaman partai dan Rekruitmen Politik Ichlasul Amal (1988), ideologi dan kepentingan merupakan basis sosiologis yang selalu menggerakkan parpol pada usaha-usaha untuk memperoleh kekuasaan. Pemanfaatan partai politik (parpol) sebagai kendaraan untuk mencapai kekuasaan sebenarnya merupakan hal wajar dalam kehidupan politik. Parpol dan kekuasaan seolah identik satu sama lain karena melalui partai politik suksesi kepemimpinan politik yang absah dilakukan. Di sisi lain, Mark N Hagopian (1978), menyebutkan bahwa parpol merupakan suatu kelompok yang mengajukan calon-calon bagi jabatan publik untuk dipilih oleh rakyat sehingga dapat mengontrol atau mempengaruhi tindakan-tindakan pemerintah. Oleh karena itu, salah satu proses politik yang penting bagi partai politik adalah rekruitmen politik. Proses ini sangat menentukan bagi kelangsungan aktivitas partai politik dan kualitas demokrasi. Proses rekrutmen yang dilakukan partai politik menjadi titik permulaan yang harus dilakukan partai politik terutama dalam proses pengkaderan anggotanya maupun promosi elite politik baru. Namun bagi sebagian besar partai politik di Indonesia, termasuk juga di Malang Raya, masalah tersebut tidaklah begitu diperhatikan. Kebanyakan partai politik hanya berorientasi bagaimana mendapat 114 MEMAHAMI ARTI PENTING PARTAI BAGI PEMILIH kekuasaan secara cepat dengan biaya murah sehingga mengabaikan rekrutmen politik ini. Rekrutmen politik adalah sebagai fungsi mengambil individu dalam masyarakat untuk dididik, dilatih sehingga memiliki keahlian dan peran khusus dalam sistem politik. Diharapkan dari proses rekrutmen ini individu yang dididik dan dilatih tersebut memiliki pengetahuan, nilai, harapan dan kepedulian politik yang berguna bagi konsolidasi demokrasi. Sebenarnya rekrutmen politik ini sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari aktifitas partai politik di manapun berada. Sayangnya hasil temuan di lapangan, fungsi ini baru dapat berjalan ketika pemilu akan diadakan. Lemahnya fungsi rekrutmen politik ini sebenarnya sudah dapat dijumpai terutama sejak verifikasi partai politik dilakukan oleh KPU. Rekrutmen politik yang baik seharusnya dimulai dengan pendidikan politik yang dilakukan secara berkesinambungan oleh partai politik. Namun banyak partai politik tidak melakukannya karena berbagai kendala. Misalnya masalah keuangan yang memang menjadi masalah besar dalam perkembangan partai politik di Indonesia. Selain itu, tidak jelasnya ideologi partai politik berdampak pula pada visi, misi dan program yang partai politik tersebut. Sukar dinafikan bahwa partai politik yang ada belum memiliki tanggung jawab untuk mencerdaskan masyarakatnya berpolitik. Bahkan partai politik tidak dapat melaksanakan rencana upayasnya seperti rekruitmen anggota secara berkesinambungan, pembinaan kader secara konsisten serta pengembangan kader ke tahap pembentukan elite politik. Ini semua merupakan bukti belum maksimalnya fungsi partai politik di negeri ini. Rendahnya kualitas pendidikan politik masyarakat juga dapat dilihat dari kesulitan partai politik menyusun daftar calon keanggotaan legislatif yang diajukan setiap pemilu. Tidak berjalannya pendidikan politik berdampak pada kualitas wakil rakyat yang diajukan partai politik. Paling tidak dari tiga pemilu sebelumnya dapat diambil pelajaran siapa yang dipilih dan bagaimana mekanisme mereka dipilih untuk duduk sebagai wakil rakyat di parlemen masih belum jelas. Kurangnya kader partai dan menguatnya politik kekerabatan berdampak pada proses penentuan calon anggota legislatif ini. Celakanya, dengan munculnya partai baru dalam setiap pemilu membawa dampak pada kualitas wakil rakyat yang akan diajukan partai politik, 115 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH karena banyak calon yang diajukan tidak punya treck record yang jelas. Penjaringan calon-calon yang akan diajukan dalam pemilu jauh dari demokrasi karena penjaringan dilakukan di dalam mekanisme formal internal partai. Penjaringan di internal partai ini sarat dengan intervensi kepentingan personal dan kelompok sehingga sangat bergantung pada kedekatan personal dan hubungan baik dengan pimpinan teras parpol. Banyak calon yang terdaftar dalam urutan jadi (pada pemilu 1999 dan 2004) merupakan orang-orang yang punya hubungan dengan petinggi partai politik, atau merupakan orang yang didesakan dari kelompok organisasi tertentu yang dianggap basis konstituen mereka, termasuk juga adanya unsur uang dalam pencalonan. Walaupun dalam lingkungan internal masing-masing partai ada aturan main untuk menseleksi calon dengan berbagai kriteria, namun dalam kenyataannya aturan tersebut kadang diabaikan atau dimanipulasi. Sebagai kekecualian, rekrutmen calon yang ada di Partai Keadilan Sejahtera (PKS), proses pencalegan sangat ketat karena penjaringannya dimulai dari tingkat bawah dengan aturan yang ketat. Kondisi tersebut merupakan bias dari perilaku elit partai politik yang terjadi masa Orde Baru yang sarat dengan nepotisme. Masa Orde Baru, proses rekruitmen sarat dengan restu, surat sakti, nepotisme dan intervensi pemerintah. Partai politik bukan untuk menjaring kandidat anggota legislatif yang dapat menyuarakan aspirasi rakyat, namun hanya akan dijadikan sebagai legitimator bagi kebijakan rezim. Dengan demikian tidak dibutuhkan orang-orang yang punya idealis dan kemampuan yang baik, cukup dengan hanya sikap kooperatif dengan penguasa saja. Di sisi lain, ada hal yang cukup penting untuk dijadikan argumen dari rendahnya kinerja partai politik pasca Orde Baru adalah tingginya ketergantungan pada tokoh partai. Sebagai contoh, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ada Megawati, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ada Gus Dur, Partai Amanat Nasional (PAN) ada Amin Rais, dan Partai Demokrat ada Soesilo Bambang Yudhoyono. Berdasar hasil temuan di lapangan, kemandegan proses kaderisasi di dalam partai politik ini telah menimbulkan kekecewaan dalam masyarakat. Kekecewaan ini diwujudkan dengan banyak kader partai yang beralih ke partai lain karena dalam partainya merasa 116 MEMAHAMI ARTI PENTING PARTAI BAGI PEMILIH tidak ada kejelasan dalam proses karderisasi yang dijalankan. Oleh karena itu banyak harapan yang muncul dari masyarakat, agar ada kejelasan dalam proses kaderisasi agar tidak terjadi konflik internal yang sering terjadi dalam proses pencalegan maupun dalam nominasi untuk menjadi calon kepala daerah dari partai. Keberhasilan partai politik dalam melakukan proses rekrutmen politik yang bisa menghasilkan kader-kader muda yang handal akan dengan sendirinya menghapuskan kekecewaan publik. Selanjutnya, wajah-wajah baru akan muncul dan siap untuk menggantikan posisi generasi lama. C. Pemahaman Partai Dan Upaya Partai Politik 1. Pemahaman Partai dan Upaya Partai Islam Ideologi yang sempit, figur politik, program karikatif lebih mengena dan dapat diterima ketimbang platform, program serta orientasi parpol yang sifatnya substansial. Oleh karena itu partai politik yang punya saham ideologis di masyarakat, punya figur yang kuat, serta kemampuan ekonomi yang memadai akan dapat tetap eksis dalam setiap pemilu. Sebaliknya, partai politik yang hanya mengandalkan jaringan organisasi, tanpa didukung massa ideologis yang jelas, figur yang kharismatis, dan dukungan dana yang cukup akan cepat hilang dari peredaran. Menyadari pentingnya ideologi dalam membangun partai politik di negara kita, maka dengan adanya kelonggaran asas pada organisasi politik, maka banyak partai politik yang mendeklarasikan diri sebagai partai yang berasas Islam. Pada pemilu 1999 tercatat ada sekitar 114 partai yang secara tegas mencantumkan Islam sebagai asas maupun yang secara sosiologis termasuk partai Islam yaitu PAN dan PKB yang berasas Pancasila. Hal ini juga dapat dikatakan sebagai wujud dari euphoria politik di kalangan umat Islam, yang telah kurang lebih 32 tahun merasa ditekan oleh sebuah rezim otoriter di bawah Orde Baru dengan Soeharto sebagai penguasanya. Dari 114 partai Islam yang terdaftar, hanya ada 14 partai yang jadi peserta Pemilu 1999, baik berasas maupun historis-sosiologis Islam. Hasil pemilu menunjukan hanya ada empat partai Islam yang dapat memenuhi batas minimal perolehan suara (electoral treshold) sehingga dapat mendudukkan wakilnya di DPR Pusat yaitu PPP, PBB, PAN, 117 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH dan PKB. Sementara partai-partai Islam lainnya tidak bisa memenuhi batas minimal perolehan suara.4 Memasuki Pemilu 2004, ada 8 partai Islam atau Partai Islam yang akan turut bertanding dengan partai-partai non-Islam, baik secara asas maupun secara konstituen. Ketidak mampuan partai Islam untuk survive ini, salah satunya karena lemahnya upaya yang dilakukan dalam meraih simpati massa, mereka cenderung hanya mengandalkan sentimen ideologis tanpa melakukan rekayasa politik yang lebih fleksibel. Dalam tataran pemilih, sebagian besar pemilih Islam sudah tidak lagi otomatis aspek ideologis (politik aliran) menjadi penentu afiliasi politik mereka tanpa adanya nilai plus partai berupa ketokohan figur dan kekuatan ekonomi partai. Upaya umum yang dipakai partai Islam dalam pemilu 1999 maupun 2004, hanyal mengoptimalkan basis tradisional mereka dengan membidik pemilih berbasis Islam. Mereka secara langsung maupun tidak langsung mempergunakan atribut Islam dalam desain partai, pola kampanye, pola rekruitmen, maupun dalam melakukan transaksi politik pada pemilihnya.5 Namun hasil yang diperoleh partaipartai Islam jauh dari harapan, karena ternyata tidak ada satupun Partai Islam yang mendapatkan suara signifikan seperti Masyumi dan NU pada pemilu 1955. Bahkan pada pemilu 2004 partai-partai Islam yang lulus electoral threshold mengalami penurunan suara. Pada pemilu 2004 partai yang secara sosiologis maupun historis punya kedekatan dengan Islam yaitu PAN dan PKB, kedua partai 4 Kalau kita menengok ke belakang, sejarah berdirinya partai politik Islam di inspirasi oleh adanya keinginan untuk membentuk wadah politik tunggal untuk perjuangan ummat Islam pasca kemerdekaan 1945. Sesuai dengan manifestasi politik pemerintah yang ditandatangani oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta bulan November 1945 semua golongan ummat Islam sepakat untuk membentuk suatu wadah politik tunggal yang bernama MASYUMI (Moh. Sjafaat Mintaredja, 1971). Partai Politik Masyumi ini didukungan oleh organisasi-organisasi Islam besar seperti NU, Muhammadiyah, dan PSII. Akan tetapi kebersamaan ketiga ormas Islam ini mengalami perpecahan dalam mendukung Masyumi pada tahun 1948 dengan dibentuknya kembali Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dibawah pimpinan Arudji Kartawinata, Abikoesno Tjokrosoejoso dan lain-lain. Kemudian pada tahun 1953 disusul dengan keluarnya Nahdlatul Ulama (NU) dan menjadi partai politik sendiri. Dan akhirnya, sebagai benteng terakhir, Muhammadiyah menyatakan diri untuk tidak lagi menjadi anggota istimewa dari Masyumi sebelum partai ini dibubarkan pada tahun 1960. 5 Fenomena terseretnya gerbong agama dalam politik adalah fenomena Islam seacara umum. Dengan doktrin agama dan negara, gagasan Islam politik mendapatkan legitimasi teologis dan historis. 118 MEMAHAMI ARTI PENTING PARTAI BAGI PEMILIH politik ini mengalami kemunduran dalam hal jumlah suara. Hal yang menarik dalam pemilu 2004 ini adalah munculnya Partai Keadilan Sejahtera yang pada pemilu 1999 bernama Partai Keadilan. PKS mengalami peningkatan suara yang signifikan. PKS, berbeda dengan PAN dan PKB yang menyatakan dirinya sebagai partai terbuka, dengan tidak menjadikan Islam sebagai dasar ideologi partai, PKS secara formal jelas mencantumkan Islam sebagai dasar ideologi partai. Kemunculan PKS sebagai partai papan tengah baru tidak lepas dari turunnya suara PAN pada pemilu 2004. Banyak pemilih yang pada pemilu 1999 mencoblos PAN, mengalihkan pilihan politiknya pada PKS karena dianggap lebih menjanjikan dalam perjuangan nilai-nilai keislaman. Hal yang patut di perhitungkan adalah kemenangan PKS sebagai Partai yang mencantukam secara tegas Islam sebagai asas partai yang dalam pemilu 2004 mengalami perolehan suara. Walaupun PKS tetap teguh dengan asas Islam dan menjadikannya sebagai partai da’wah, namun upaya yang dikembangkan tidak hanya mengandalkan sisi ideologis. PKS yang didukung oleh kaum muda kampus yang militan, disamping mengadakan kaderisasi dan rekruitmen secara massif dari kampus ke kampus, dan dari mesjid ke mesjid dengan media pendidikan agama, juga melakukan berbagai upaya yang simpatik berupa program sosial. Secara tidak langsung, apa yang dilakukan oleh PKS dengan upaya pendekatan sosial, juga telah merespon pemahaman yang berkembang pada partai politik dari pemilih yang tidak hanya pada aspek ideologis. Pemahaman sosial kemasyarakan dan pemahaman ekonomi yang ada pada masyarakat telah tertangkap oleh PKS, dengan demikian tidaklah mengherankan apabila PKS pada pemilu 2004 mendapatkan suara yang signifikan yaitu sebesar 7,5 %. Walaupun demikian, perolehan suara PKS sebagai representasi dari Islam Modernis masih kalah dari PKB yang mendapat suara 10,57 % dan PPP 8,15 %, yang merupakan representasi dari Islam Tradisional. Sementara partai lain, seperti PKB, maupun PPP, pada umumnya jarang mengadakan program sosial, yang ada adalah pengajian yang mendatangkan tokoh atau penceramah dari luar daerah yang sudah terkenal. Namun ada, satu dua orang warga yang menyampaikan bahwa PKB pernah mengadakan acara dangdutan, khususnya pada ada kampanye terbuka. Mereka menyebutkan bahwa dia juga pernah 119 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH datang ke acara kampanye itu dengan menyewa mobil, namun kedatangan saya ke sana bukan untuk melihat dangdutan namun untuk mendengarkan ceramah, karena di sana hanya ada dangdutan, kami beserta rombongan pulang lagi. Lantas saya tanyakan apa dapat bantuan dana untuk bensin?, mereka menyampaikan bahwa untuk datang ke acara kampanye PKB tidak ada dana dari partai, kami semua biayai sendiri. Lantas dia menyebutkan dengan nada rendah, “Yang saya tahu Golkar dan PDI sangat loyal dengan kegiatan dan dana, beda dengan PKB dimana kalau ada kegiatan kampanye jarang ada bantuan dana, ini juga atas himbauan kyai sehingga kami mau pergi secara sukarela mengikuti kampanye walau pake dana sendiri.” Dengan melihat kenyataan tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa upaya politik yang dilakukan partai berbasis Islam tidak layak lagi kalau hanya dengan mengadalkan kekuatan ideologis. Hal ini dapat dibuktikan dengan penurunan suara partai Islam jika dibanding dengan kekuatan Islam pada masa Orde lama. Disamping itu juga menjadi petujuk bahwa apa yang dilakukan oleh Orde Baru, dengan berbagai regulasinya, telah berdampak pada keberadaan politik Islam sekarang ini. Hal ini diperkuat oleh pernyataan R. William Liddle yang yang menyatakan bahwa dengan berkembangnya gerakan Islam kultural pada masa Orde Baru, kekuatan Islam politik tidak akan muncul lagi. Selanjutnya ia menyatakan bahwa kelompok skripturalisme (kelompok Islam formalistic) tidak akan berkembang, hal ini karena ada tiga hambatan yang akan dihadapi, yaitu : (1) komunitas Abangan, yang meski semakin sedikit namun masih tetap; (2) Santri Tradisionalis yang tetap akomadisionis, dan (3) kalangan Modernis sendiri. Oleh karena itu banyak partai Islam pada pemilu 2009 merubah stateginya dengan cara lebih moderat dalam perjuangan ideologi, disamping itu dikembangkan upaya lain terutama pendekatan sosial ekonomi dalam bentuk program yang lebih kongkrit dan dapat dirasakan langsung oleh masyarakat seperti bakti sosial, bantuan pembangunan lingkungan dan lain-lain. 3. Pemahaman Partai dan Upaya Partai Nasionalis Partai Nasionalis di era multipartai baik 1999 maupun 2004, terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu partai Nasionalis Sekuler dan Partai Nasionalis Religius. Pada pemilu 2004 yang termasuk Partai 120 MEMAHAMI ARTI PENTING PARTAI BAGI PEMILIH Nasionalis Sekuler yaitu, PDI-P, PNBK, Partai Pelopor, PNI Marhaenisme, Partai Buruh Sosial Demokrat. Sementara yang termasuk Partai Nasionalis Religius yaitu Partai Golkar, Partai Penegak Demokrasi Indonesia, Partai Karya Peduli Bangsa, Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia, Partai Patriot Pancasila, Partai Demokrat, Partai Persatuan Daerah, Partai Merdeka, Partai Indonesia Baru, Partai Sarikat Indonesia, Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan. Dalam pemilu pasca reformasi, upaya politik yang dilakukan pada pemilu 1999 dan 2004 oleh partai Nasionalis masih berkutat pada ideologis yang dibuktikan dari masih dominannya tampilan sosok Megawati dan Soekarno dalam kampanye PDIP di setiap pemilu. Sementara partai Nasionalis lainnya, tidak lepas juga dengan menonjolkan ajaran marhaenisme dari Soekarno seperti dalam partai PNI Marhaen dan partai Pelopor. Akan tetapi, walaupun Partai Nasionalis cenderung mempertahankan upaya yang bernuansa ideologis, namun apa yang terjadi dilapangan tidak hanya semata mengandalkan ideologis. Sudah jamak bahwa partai Nasionalis, termasuk PDIP, sebagai representasi dari kelompok marginal dalam meraih simpati pemilih juga mempergunakan pendekatan sosial ekonomi. Dalam rangka meraih simpati dari kelompok Abangan, yang umumnya berasal dari kalangan masyarakat kecil (wong cilik), kegiatan hiburan rakyat menjadi salah satu daya tarik tersendiri. Bahkan hampir di setiap tempat di Malang Raya, pada saat menjelang pemilu, berdasar hasil pengamatan penulis sering diadakan hiburan rakyat. Panggung hiburan rakyat yang diadakan, selalu dijubeli oleh pengunjung baik itu laki maupun perempuan, namun umumnya kalangan kaum muda. Panggung hiburan itu bukan hanya untuk represing atau melepas kejenuhan bekerja, namun bagi muda-mudi sering dijadikan ajang untuk mencari dan mendapatkan pasangan. Memahami kondisi dari konstituennya yang haus akan hiburan, maka PDIP sebagai partai yang banyak pendukung dan simpatisannya di Malang Raya, acara hiburan rakyat sepertinya menjadi program pokok dalam setiap kampanye yang harus dilaksanakan oleh PDIP. Menurut penuturuan salah seorang warga yang sempat penulis wawancarai, mengungkap, “..disini hampir satu kelurahan banyak yang mencoblos PDI-P karena partai ini royal dalam memberikan 121 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH bantuan kepada masyarakat. Dan mereka yang mencoblos PDI-P umumnya berasal dari kalangan wong cilik. Setiap ada kegiatan di sini PDI-P, terutama yang terkait dengan hiburan warga, selalu berusaha dilalukan dengan meriah untuk menyenangkan warga.” Dalam mendapatkan simpati dari warganya, PDI-P cenderung melakukan kegiatan hiburan yang sifatnya hura-hura seperti mengadakan kegiatan dangdutan. Tujuan utamanya untuk menyenangkan warga yang umumnya berasal dari kelompok marginal. Maka tidaklah heran apabila pada saat acara-acara rakyat tersebut banyak penonton yang mabuk-mabukan, karena memang sudah jadi kebiasaan khususnya bagi komunitas pendukung PDI-P. Bahkan hasil penuturan salah seorang warga menyebutkan bahwa “untuk menyenangkan pendukungnya, dibelakang panggung itu sudah disediakan minuman keras. Kalau bapak tidak percaya...nanti kalau ada kegiatan dangdutan akan saya undang biar tahu sendiri..” Dengan demikian tidaklah mengherankan apabila pada pemilu 1999 dan 2004, PDIP masih menjadi mayoritas dalam perolehan suara di Malang Raya, walaupun PDIP pada pemilu 2004 mengalami kehilangan suara yang cukup besar. Pada pemilu 2009, berbagai regulasi membatasi kreatifitas PDIP untuk menggalang suara pemilih yang telah terbukti fanatis. Perubahan sistem pemilu dari proposinal tertutu ke proporsinal terbuka, aturan yang tidak memperbolehkan kampanye “konvoi”, serta dibatasinya kampanye diruang terbuka telah sedikit mengikis rasa fanatisme pemilih kepada PDIP. Oleh karena itu, hasil suara pada pemilu 2009 menunjukan bahwa dominasi PDIP sudah terhenti. Khusus di Kota Malang PDIP kalah dalam perolehan suara dan kursi dari Partai Demokrat. D. Pemahaman Partai Dan Pola Hubungan Partai dan Pemilih 1. Pemahaman Partai dan Aliran Pemilu tahun 1999 pemahaman ideologis cukup kental mempengaruhi perilaku politik masyarakat. Politik aliran menunjukkan indikasi masih berjalan dalam menentukan pilihah partai, pemilih Abangan memberikan suaranya ke partai Nasionalis dan Santri ke partai Islam. Secara sosiologis mereka yang masuk dalam kelompok Abangan adalah Petani dan buruh. Pada pemilu 1999 di Malang Raya 122 MEMAHAMI ARTI PENTING PARTAI BAGI PEMILIH kedua segmen pemilih lebih dekat dengan PDI Perjuangan ketimbang PRD atau PBN (Partai Buruh Nasional), sehingga langgam perpolitikan Tanah Air masih didominasi warna politik aliran ala Clifford Geertz. Kaum petani dan buruh lebih mengindentifikasi dirinya sebagai abangan (vis-à-vis priyayi dan/atau santri) ketimbang memakai kesadaran kelas sebagai kaum tertindas seperti yang diperjuangkan PRD. Lebih jauh pada pemilu 1999 variabel sociological cleavages berupa latar belakang etnisitas, agama, ras, pendidikan, stratifikasi sosial dan bahasa, juga lebih dominan daripada variabel rational choice yang menunjuk pada kritisisme pemilih dalam menimbang programprogram partai. Seperti kemenangan Megawati dan PDI perjuangan kecenderungan terletak pada variabel sosiologis. Kalau kita bandingkan dengan Partai Amanat Nasional sendiri yang lebih menjual program (rational choice), walaupun sudah diperkuat dengan keberadaan Amin Rais sebagai tokoh reformasi, tidak mendapat sam-butan pemilih dengan baik, karena secara sosiologis dalam masyarakat pemahaman ideologis lebih menonjol ketimbang preferensi yang bersifat rasional. Karena pola afiliasi politik yang terjadi pada massa Orde baru hanya bersifat artifisial, maka ketika muncul perubahan politik, pola afiliasi politik yang bersifat laten berupa politik aliran yang menjadi pemahaman subjektif pemilih secara instrinsik menunjukan mereka yang Santri tetap memilih partai Islam, sementara mereka yang Abangan tetap memilih partai Nasionalis. Namun demikian, bagi sebagian kalangan pemilih yang berasal dari keluarga yang telah menikmati kebijakan Orde Baru tetap setia memilih Golkar, khususnya dari keluarga PNS, TNI dan sebagaian masyarakat umum yang diuntungkan oleh kebijakan Orde Baru. Walaupun demikian, akibat terjadinya rekayasa politik rezim Orde Baru, ada sedikit pergeseran dari pemilih terkait dengan Pemahamanan mereka pada partai politik. Ketika pemilih mepemahamani partai Islam tidak hanya dilihat dari asas atau Platform partai, tetapi juga dari tokoh dan sejarah berdirinya partai tersebut. Sebagai contoh, Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Kebangkitan Bangsa, walaupun keduanya tidak berasaskan Islam, yakni berasas Pancasila, namun tetap basis massanya adalah dari Islam Santri. Dimana pemilih PKB merupakan pemilih dari kalangan Santri Tradisional, sementara PAN berasal dari pemilih 123 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH Santri yang tergolong Modernis. Artinya, ada perubahan cara pandang pemilih dalam melihat partai Islam. Mereka melihat partai Islam tidak hanya pada platform partai politik, namun lebih pada simbolisme seperti kader atau pemimpin yang duduk di partai termasuk historis pembentukan partai tersebut. Pada pemilu di era multipartai Tahun 1999 secara nasional sebagian besar pemilih memberikan suaranya pada PDI Perjuangan, sehingga PDIP mendominasi perolehan suara dengan jumlah 35.689.073 suara (33,74 persen) dari 48 peserta partai pemilu. Partai Golkar yang pada saat Orde Baru selalu menjadi pilihan politik pemilih hanya mampu meraup suara sekitar 22,46 %. Sementara partai-partai Islam atau yang punya hubungannya dengan pemilih Islam Santri kalau digabungkan semuanya mendapat sekitar 40 % lebih suara. Pada pemilu 1955, Masyumi dan NU yang pada saat itu merupakan partai Islam memperoleh sekitar 40 % suara. Dengan demikian asumsi yang mengatakan bahwa pemilu 1999 merupakan kelanjutan dari pemilu 1955 bisa dibenarkan.6 Sebagaimana dikemu-kakan Baswedan (2004) dalam artikelnya yang berjudul “Political Islam in Indonesia: present and future trajectory” dalam jurnal Asian Survey (vol. 44/5, 2004). Menurut Anies dalam pemilu 1955, partai-partai Islam (Masyumi, Nahdlatul Ulama dan lain-lain) menguasai 40 persen suara, sementara pada pemilu 1999, partai-partai Islam (Anies menyebutnya sebagai Islam-friendly) secara total menguasai 50 persen suara. Dengan demikian, menurut hemat penulis, pemilu 1999 dan 2004 pasca orde baru yang terjadi bukan signifikansi politik aliran melemah seperti yang banyak dibicarakan oleh sebagian pengamat 6 Pada Tahun 1955 dan pemilu Tahun1999 ada perbedaan komposisi partai politik, dimana pada pemilu 1955 ada partai “kiri” yang mapan seperti PKI dan PSI, sementara pada pemilu 1999, partai ‘kiri’ yang mapan boleh dibilang absen sama sekali, setelah dihancurkannya Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1965 dan juga dengan ditekannya Partai Sosialis Indonesia (PSI) oleh Sukarno dan juga Suharto. Lantas kemanakah larinya suara dari partai yang berhaluan “kiri” ini? Kalau dilihat dari hasil perolehan suara, jelas bahwa larinya suara dari partai yang berhaluan kiri ini sebagian besar ke PDIP dan sebagian lagi ke Golkar dan partai lainnya. PDIP yang merupakan kelanjutan sejarah PNI pada pemilu 1955, dimana PNI dalam pemilu 1955 memperoleh suara 22,32 %. Kalau melihat hasil perolehan suara PNI pada pemilu 1955, maka sejatinya perolehan suara PDIP itu berada pada kisaran 20 %. Artinya dalam PDIP ada limpahan suara yang oleh Riwandan (2004) dikatan sebagai Swing Votes, dengan demikian suara PDIP dalam pemilu 1999 bukan merupakan suara riil. 124 MEMAHAMI ARTI PENTING PARTAI BAGI PEMILIH politik Indonesia, melainkan karena terjadi perubahan orientasi cara pandang terhadap apa yang dinamakan partai politik. Dalam pemilu 1999, Malang Raya dari beberapa partai Islam atau yang mempunyai hubungannya dengan pemilih Islam, yaitu PKB, PPP, PAN, PK, PBB, dan yang lainnya, PKB mempunyai dukungan pemilih paling besar. Partai Kebangkitan Bangsa menempati urutan kedua tersebesar setelah PDIP yaitu 29, 57 % untuk Kabupaten Malang, 19,60 % untuk Kota Malang, padahal secara nasional jumlah pemilih yang memberikan suaranya ke PKB ini pada tahun 1999 hanya 12,62 %. Hal ini bisa dipahami karena wilayah Jawa Timur, khususnya Malang Raya merupakan basis dari Partai NU yang pada pemilu 1955 merupakan pemenang kedua setelah Masyumi. Sementara dukungan pemilih pada partai Islam lainnya tidaklah signifikan, kecuali untuk PAN yang punya basis pemilih golongan Islam Modernis mendapat 10, 53 % di Kota Malang. 2. Pemahaman Partai dan Identifikasi Politik Identifikasi diri seseorang terhadap kelompok, organisasi, atau partai bukan terjadi secara tiba-tiba. Proses identifikasi terjadi secara kontinyu dan membutuhkan waktu yang panjang lewat sosialisasi yang terus menerus. Seberapa besar tingkat identifikasi seseorang terhadap kelompok, organisasi, atau partai sangat bergantung kepada berapa lama seseorang terlibat atau berada di dalamnya, serta berapa intens komunikasi yang terjalin. Oleh karena itu bagi mereka yang sudah tua, karena sudah lama mengalami proses sosialisasi, maka tingkat identifikasi dirinya akan tinggi dibanding dengan mereka yang masih muda. Dengan demikian, orang-orang muda akan relatif lebih mudah keluar atau pindah dan bergabung dengan kelompok, organisasi, atau partai baru ketimbang orang yang sudah tua. Hasil temuan di lapangan, banyak partai politik baik yang berorientasi Islam maupun Nasionalis, terutama partai baru, yang merekrut pemuda untuk menjadi kader atau hanya sekedar untuk kepentingan kampanye. Lebih jauh di Malang Raya, keberadaan Partai Golkar yang masih survive, berdasar hasil wawancara dengan tokoh masyarakat di Dusu Caru, Desa Pendem, Kecamatan Junrejo Kota Batu, dan juga diperkuat dengan hasil FGD dengan beberapa tokoh masyarakat, menunjukan bahwa Partai Golkar tetap bertahan 125 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH karena banyak didukung oleh golongan tua. Sebaliknya Partai Demokrat banyak di dukung oleh kalangan orang-orang muda dan juga ibu-ibu. 2.1.1. Identifikasi Politik Kelompok Santri Pola Identifikasi dari kelompok Santri, dalam hal ini kelompok Santri Tradisional, umumnya berafiliasi dengan partai-partai yang punya ikatan historis dengan NU. Sementara kelompok Santri Modernis umumnya memilih partai politik Islam yang punyai ikatan historis dengan ormas Modernis, seperti Muhammadiyah. Namun demikian, dari hasil pengamatan di lapangan, kategori partai Islam bagi pemilih tidak hanya berdasar pada platform partai. Para pemilih mengkategorikan apakah itu partai Islam atau bukan juga ditentukan oleh tokoh yang ada di dalam partai tersebut. Dalam kasus kemenangan relatif PAN pada pemilu 1999, terhadap partai-partai Muslim Modernis lain seperti PBB, PK, Partai Masyumi, sebagian besar dapat dijelaskan dengan kehadiran Amien Rais sebagai tokoh nasional di pucuk kepemimpinan partai tersebut yang merupakan tokoh Islam Modernis. Begitupun keunggulan pengumpulan suara oleh PKB dibanding partai-partai NU yang lain seperti PNU, dan Partai Suni, dan bahkan PPP sendiri, merupakan hasil dari ketokohan Gus Dur di partai tersebut. Walaupun PAN dan PKB keduanya tidak mencantumkan Islam sebagai asas tetap menjadi partai pilihan kaum Modernis dan Tradisional. Oleh karena itu tidaklah heran apabila PKB yang dianggap sebagai partainya NU banyak mendapat dukungan di wilayah Malang Raya, begitu juga dengan PAN dianggap sebagai partainya warga Muhammadiyah. Secara teoritis hal ini bisa dijelaskan dengan peran group benefit dalam identifikasi diri seseorang terhadap partai tertentu. Keterwakilan kelompok dalam partai politik bisa dilihat dari platform partai atau figur dalam partai yang berasal dari kelompok mereka. Merujuk pada apa yang dikemukakan Geertz (1960), gorup benefit yang ada di Indonesia selalu bersumber pada tiga aliran yaitu Santri-AbanganPriyayi. Dalam kontek politik Santri identik dengan partai Islam, sementara Abangan dan priyai identik dengan partai Nasionalis. Dalam pemilu pasca reformasi, kalau dipetakan, maka Partai Islam diwakili oleh PKB dan PPP yang Tradisional, PAN, PBB, PKS yang Modernis. 126 MEMAHAMI ARTI PENTING PARTAI BAGI PEMILIH Di sisi lain PDIP , P. Demokrat dan P. Golkar mewakili partai yang berbasis Nasionalis. Pada tahun 1999 dan 2004, pemahaman ideologis terhadap partai cukup tinggi. Dengan demikian partai-partai yang punya hubungan yang jelas secara ideologis aliran organisasi, maka tingkat identifikasi diri dengan partai tersebut cukup tinggi. Hal ini bisa dibuktikan dari peroleh suara partai di Malang Raya yang tidak lepas dari adanya keterikatan dengan tiga belahan kelompok yaitu PDIP representasi Pemilih Abangan, PKB representasi pemilih Santri Tradisional, PAN representasi pemilih Santri Modernis, dan P. Golkar serta P. Demokrat yang merupakan representasi dari pemilih Priyayi. Proses identifikasi politik di kalangan pemilih Santri sangat dipengaruhi dengan identifikasi dengan kelompoknya. Hasil temuan dilapangan, pemilih Santri Tradisional sangat tinggi resistensinya terhadap PAN yang dianggap punya hubungan dengan kelompok Santri Modernis, dalam hal ini Muhammadiyah. Kondisi ini telah berjalan lama karena proses sosialisasi dari kalangan elit Santri tradisional bahwa Islam yang benar adalah Islam Ahlu Sunnah Wal Jamaah. Dan menurut mereka satu-satunya yang menjalankan sunnah adalah mereka yang di asosiasikan dengan berbagai ritual keagaman, seperti selamatan kematian, istigoshan, yasinan, dan lain-lain. Sementara Muhammadiyah yang tidak menjalankannya dianggap bukan kelompok Ahlu Sunnah Wal Jamaah. Bahkan di kalangan grassroot Nadhilyin, Muhammadiyah dianggap sebagai Agama baru. Dengan demikian, image Muhammadiyah dikalangan warga Nahdilyin, terutama yang tinggal di pedesaan tidak baik, karena mereka menganggap Muhammadiyah sebagai agama baru tersebut. Oleh karena itu, jangankan masuk menjadi anggota PAN yang dianggap sebagai partai Muhammadiyah, ada orang ataupun warga yang dianggap simpatisan Muhammadiyah saja mereka sangat antipati sehingga tidak jarang simpatisan Muhammadiyah yang diisolir dalam kehidupan sosial di lingkungannya. Bahkan sering terjadi benturan di tingkat grassroot antara warga Muhammadiyah dan warga NU. Perbedaan atau khilafiah sering menjadi penyulut ketegangan antara NU dan Muhammadiyah, seperti khunut dalam shalat, tahlilan bagi yang meninggal, ataupun ritual lain telah menjadi barometer dari perbedaan warga Muhammadiyah dengan NU di tingkat grassroot. 127 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH Di sisi lain bagi partai politik yang dilahirkan oleh NU, berbagai ritual keagamaan yang dilakukan oleh warga dijadikan sebagai sarana untuk melakukan sosialisasi dan sekaligus jastifikasi bahwa partai politiknya merupakan bagian integral dari NU. Hasil proses sosialisasi yang dilakukan baik oleh tokoh struktural maupun kultural NU telah melahirkan sikap antipati dari warga Nahdilyin terhadap Muhammadiyah dan sekaligus kepada PAN yang dianggap partainya Muhammadiyah. Hasil dari FGD yang dilakukan, diperoleh satu kesimpulan bahwa bagi Warga Nahdilyin, dari pada harus memilih PAN mereka lebih baik memilih PDIP atau pun Golkar. Mereka menganggap dengan memilih Golkar maupun PDIP tidak mempunyai konsekuensi sosial dalam masyarakat ketimbang harus memilih PAN. Sementara di sisi lain, PAN yang diharapkan mendapat dukungan dari warga Muhammadiyah tidaklah gampang. Banyak warga Muhammadiyah yang garis keras tidak menyukai PAN karena dianggap tidak jelas ideologinya. PAN yang berasas Pancasila tidak melabelkan partai Islami yang menjadi idaman sebagian warga Muhammadiyah yang konservatif. Oleh karena itu banyak dari warga Muhammadiyah yang memilih partai yang secara jelas berasaskan Islam seperti PKS, PBB, Partai Masyumi. Disamping itu animo yang berkembang dikalangan warga Muhammadiyah sendiri, bahwa warga Muhammadiyah yang terlibat di PAN itu lebih banyak mewakili perorangan. Mereka yang duduk di legislatif yang diharapkan mampu membawa aspirasi Muhammadiyah ternyata tidak begitu memberikan banyak pengaruh terhadap perkembangan Muhammadiyah. Lebih jauh, warga Muhammadiyah, khususnya perorangan yang ada di Legislatif dalam perjalanannya mereka menjadi wakil rakyat terkesan tidak punya citra positif di kalangan warga Muhammadiyah. Hal ini berbeda dengan warga Muhammadiyah yang menjadi wakil dari PKS. Dari hasil wawancara dengan salah seorang warga Muhammadiyah yang aktif dalam kepemudaan menuturkan, sebagai berikut: Secara organisasi waktu itu secara tertulis pimpinan PKS yang berasal dari Muhammadiyah membuat surat pernyataan pengunduran diri dari organisasi kepengurusan kepemudaan Muhammadiyah tetapi dalam beberapa item kepemudaan 128 MEMAHAMI ARTI PENTING PARTAI BAGI PEMILIH Muhammadiyah lebih banyak terikat di bandingkan dengan pimpinan pemuda yang sekarang menjabat tapi aktif di PAN yang tidak mau menandatangani surat pernyataan pengunduran diri tetapi tidak aktif. Sehingga terkesan komando sampai akhir periode tidak ada kegiatan kemudian beberapa kali diminta untuk mengadakan kegiatan juga jarang muncul. 2.1.2. Identifikasi Politik Kelompok Abangan Pembelahan sosial yang dikemukakan oleh Geertz yaitu Santri, Abangan menjadi dasar masyarakat dalam mengidentifikasikan dirinya dengan partai politik tertentu. Kelompok Abangan mengidentifikasikan dirinya dengan partai-partai yang berhaluan Nasionalis, sementara kelompok Santri mengidentifikasikan dirinya dengan partai-partai yang berhaluan Islam. Kelompok Abangan pola pengidentifikasian dirinya mengarah pada PDIP, terutama dalam pemilu 1999 dan 2004. Walau demikian, ada sebagian dari mereka yang dalam perilakunya menunjukan ciri dari Abangan namun dalam afiliasi politiknya tidak ke PDIP, namun dia lebih memilih partai Nasionalis lainnya seperti Golkar dan Demokrat. Tingkat identifikasi politik masyarakat Abangan di Malang Raya terhadap PDIP yang cukup besar, hal ini bisa ditunjukan dari besarnya perolehan suara PDIP baik pada pemilu 1999 maupun 2004. Jika dibandingkan antara golongan pemilih Abangan dengan pemilih Santri, secara kuantitatif pemilih Abangan lebih besar, walaupun Malang ini terkenal juga dengan masyarakat Islami. Karena besarnya masyarakat Abangan ini, maka PDI-P Malang Raya memiliki pendukung cukup banyak yang dibuktikan dengan pilihan politik pemilih pada PDIP ketika pemilu 1999 dan 2004. Kemenangan PDIP di Malang Raya hampir merata di setiap daerah (Kabupaten Malang, Kota Malang, dan Kota Batu). Sementara tingkat identifikasi politik masyarakat Malang Raya ke partai Nasionalis lainnya tidak begitu besar. Partai-partai yang tidak memperoleh apresiasi umumnya partai tersebut tidak punya legitimasi yang jelas untuk menjustifikasikan diri sebagai partainya kelompok Abangan sesuai pakem politik aliran, disampaing lemahnya upaya yang dijalankan dalam meraih simpati pemilih. 129 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH Pada pemilu 2009, pola identifikasi politik pemilih kepada PDIP mengalami perubahan signifikan. Peroleh suara partai-partai pada pemilu 1999 dan 2004 yang menempatkan tiga besar perolehan suara di Malang Raya, yaitu PDIP, PKB, dan Golkar, dengan suara mayoritas ada di tangan PDIP. Pada pemilu 2009 PDIP mengalami penurunan suara seiring dengan bertambahnya partai politik yang mendapat suara signifikan dan bahkan Partai Demokrat mengalahkan perolehan suara PDIP di Kota Malang. 3. Pemahaman Partai dan Rasional Ekonomi Pemilih Dalam pemilu 1999, pola hubungan partai dan pemilih lebih menunjukan pada upaya partai melihat realitas masyarakat yang sudah mulai ada pergeseran pemahaman partai dari ideologis ke pemahaman ekonomi. Dalam kenyataan di lapangan, masyarakat miskin tidak menganggap politik uang sebagai hal buruk. Mereka memang menantikan jatah uang itu, bahkan ada yang tidak mau memilih kalau tidak mendapatkan uang. Sebagian elite juga menganggap pemberian uang dalam politik juga sebagai hal yang biasa, bahkan seperti keharusan yang wajar dilakukan. Oleh karena itu dalam rangka memenangkan pemilu, disamping partai-patai menjaga konstituennya agar tidak lari ke partai lain, juga melakukan pendekatan ke basis massa lain. Para kader partai berusaha melakukan pendekatan yang continue dengan konstituen mereka, disamping melakukan pendekatan pada basis massa lain agar bisa mendukung pencalonan mereka. Cara yang jamak dilakukan dalam pemilu 2004 adalah memberikan sumbangan untuk kepentingan warga dan lingkungan. Oleh karena itu banyak partai yang berusaha membantu kebutuhan warga, baik bantuan untuk pembangunan maupun untuk kegiatan. Kalau pada pemilu sebelumnya, bantuan ke warga diberikan lewat partai kepada kader, namun pada pemilu 2009 bantuan banyak berasal dari caleg sendiri atau lewat tim sukses caleg tersebut yang sudah punya ikatan dengan caleg dari partai tersebut. Bagi caleg incumbent, selain memberi bantuan langsung bagi kepentingan warga pada saat pemilu, juga telah lama melakukan bantuan untuk kepentingan warganya dengan cara menyalurkannya lewat APBD. Sebagai contoh anggota Dewan di wilayah Lowokwaru 130 MEMAHAMI ARTI PENTING PARTAI BAGI PEMILIH Kota Malang, para anggota Dewan bersaing agar mereka mendapatkan tempat di hati masyarakat dengan cara memperjuangkan berbagai program pembangunan yang ada di masyarakat agar bisa mendapat simpati dari warga yang diperjuangkan. Dalam kenyataannya, partai yang sering memberikan bantuan, seperti Fujianto caleg dari PAN terpilih kembali pada pemilu 2009. Kenyataan tersebut di atas, secara langsung menunjukan bahwa pandangan subyektif dari warga terhadap partai. Partai yang sering memberi bantuan dianggap partai yang baik, sementara partai yang jarang memberi bantuan dianggap partai yang jelek. Partai selalu dipemahamani dengan bantuan yang bersifat material, dan hal ini sangat terasa dalam kehidupan politik sekarang, khususnya yang terjadi di akar rumput. Kondisi tersebut juga didorong oleh perubahan sistem pemilu dari proporsional daftar tertutup dengan BPP (2004) menjadi proporsional daftar murni (2009). Persaingan di antara caleg menjadi semakin keras, dengan demikian berbagai cara dilakukan oleh caleg untuk memenangkan kompetisi dalam pemilu, termasuk mempergunakan celah dalam masyarakat yang cenderung menonjolkan pemahaman ekonomi terhadap partai dengan melakukan transaksi politik atau pembelian suara lewat berbagai bantuan atau pemberian uang tunai. Rasionalitas ekonomi yang berkembang pada pemilih di Malang Raya bukannya rasionalitas seperti yang ada di negara maju. Di negara maju rasionalitas dimaksudkan untuk menunjukan pada pemilih yang dalam menentukan pilihan politiknya didasarkan pada preferensi kebijkan partai, dan mereka akan memilih partai yang dianggap akan lebih menguntungkan mereka atau sesuai dengan kebutuhan mereka. Dengan demikian, pemilu dianggap sebagap pasar, dan partai politik dianggap sebagai pedagang yang menjajakan produknya berupa rencana-rencana yang akan dijalankan kalau terpilih. Di Malang Raya, rasionalitas ekonomi lebih berorientasi pada kepentingan ekonomi jangka pendek dan bisa dirasakan secara langsung oleh masyarakat dari partai atau caleg. Dengan demikian, kalau di negara maju hak pilih dibelanjakan kepada partai untuk membeli rencanarencana yang sesuai dengan pemilih, sementara di Malang Raya partai membeli hak pilih dengan sejumlah uang, bantuan sosial dan pembangunan lingkungan. 131 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH 132 BAB IV UPAYA PARTAI POLITIK DALAM PEMENANGAN PEMILU 133 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH KOMPETENSI Dalam bab ini mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan strategi partai politik dalam merespom realitas politik masyarakat baik itu dari sisi ideologi maupun sosial kemasyarakatan. Selanjutnya mahasiswa diaharapkan dapat menjelaskan terkait peran figur yang ada dalam partai politik. Kita ketahui bahwa dalam masyarakat di tingkat lokal, budaya partron-client sangat kental dan mempengaruhi pola afiliasi politik masyarakat pada partai politik. Lebih jauh mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan mengenai strategi partai politik yang diterapkan dengan pola hubungan yang terjadi dalam setiap pemilu di tingkat lokal. 134 BAB IV UPAYA PARTAI POLITIK DALAM MEMENANGKAN PEMILU TERKAIT dengan adanya perubahan dalam pemahamanan partai politik oleh pemilih, dalam bab ini mengkaji persoalan yang berhubungan dengan upaya partai politik dalam meraih simpati pemilih agar mendukung atau memilih partai ketika pemilu dilaksanakan. Pertanyaan yang akan dijawab dalam bab ini adalah “bagaimana upaya partai politik dalam meraih simpati di tengah perubahan Pemahamanan partai oleh pemilih?”. Berhubungan dengan hal tersebut, dalam bab ini penulis menguraikan bagaimana upaya partai di tengah Pemahamanan partai politik yang ada, dan perubahan dalam sistem pemilu di era multipartai. Sub pokok bahasan pertama terkait dengan upaya dari partai politik dalam meraih simpati massa, apakah upaya yang dilakukan sejalan dengan Pemahamanan partai oleh pemilih. Selanjutanya, dibahas mengenai peran figur dan hubungannya dengan stategi partai. Terakhir dibahas mengenai pola hubungan pemilih dalam kaitannya dengan adanya perubahan dalam sistem pemilu di era multi partai. A. Upaya Partai Politik Upaya merupakan pola keputusan atau tindakan yang melibatkan lebih dari sekedar perencanaan seperangkat tindakan, juga melibatkan kesadaran bahwa upaya yang berhasil justru muncul dari dalam organisasi. Namun dalam praktiknya, upaya pada kebanyakan organisasi merupakan kombinasi dari apa yang direncanakan dan apa yang terjadi. Oleh karena itu tidak semua rencana upaya dapat 135 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH diimplementasikan, karena adakalanya upaya yang dikehendaki (intended strategy tidak dapat dijalankan sepenuhnya (unrealized strategy) (Mintzberg, 1985). Berkenaan dengan upaya partai dalam memenangkan pemilu, hal yang perlu diperhitungkan dan diantisipasi ketika menyusun rencana upaya adalah kondisi yang terjadi dalam lingkungan masyarakat, termasuk Pemahamanan subjektif mengenai partai politik. Kondisi yang terjadi di negara dunia ketiga berbeda dengan di negara maju dalam berdemokrasi. Sebagai contoh dalam berpartisipasi politik, di negara dunia ketiga, patron-client merupakan instrumen utama partisipasi politik, khususnya yang membawa masyarakat untuk melakukan kontak dengan pejabat politik. Dalam hal ini lebih merupakan sebuah hubungan tanggung jawab dan pelayanan antara atasan dan bawahan. Kurangnya sumberdaya yang mereka miliki, dimana bawahan (client) memberikan kesetiaan sebaliknya atasan (patron) memberikan perlindungan dan keamanan. Patron biasanya seorang tuan tanah, pemimpin etnis, pengusaha, atau politisi. Lebih jauh, pemilu di dalam negara berkembang yang menggunakan sistem kompetisi, objek kompetisi bukanlah program dan platform partai yang berbasis ideologi, namun umumnya berupa “pemberian tertentu” (specfic reward) (Hague, dkk., 1992). Suara ditukar dengan sejumlah keuntungan tertentu yang diberikan kepada individu, kelompok masyarakat atau komunitas (ibid). Di sisi lain ada sebuah problem, seperti yang dikemukakan Erich Fromm (dalam Engel dan Waltzer, 1971), dalam karyanya “Escape from Freedom”, “bahwa masyarakat banyak yang kelihatannya dewasa, namun dalam berpolitik bersifat ke kanak-kanakan dalam arti mundur dari pilihan yang berat dan tanggung jawab sebagai konsekuensi dari kebebasan yang dimilikinya. Oleh karena itu mereka akan mencari perlindungan kepada seorang figur kharismatis yang dapat memberi arahan kepada kehidupan mereka, dan menyelamatkan dari kesusahan dan ketidak menentuan yang mereka rasakan.” 1. Penguatan Ideologi Partai Ideologi dan nilai-nilai merupakan pondasi hubungan partai politik dengan konstituen. Disamping itu ada tiga pilar yang dapat membangun partai, yaitu sumber daya manusia, prosedur dan 136 UAPAYA PARTAI DALAM PEMENANGAN PEMILU mekanisme internal partai, dan sumber daya finansial. Partai harus membangun ideologi sebagai landasan pemikiran dan program partai. Kalau ada ideologi dan nilai-nilai yang jelas, partai dapat mengidentifikasi kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki kurang lebih satu kesamaan dengan ideologi yang mau dikembangkan partai, kemudian pengembangan program dapat dijalankan. Ideologi dan nilai-nilai dihadapkan pada semua masalah untuk mengembangkan tawaran solusi atas masalah-masalah, baik masalah ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Berbagai program dan kegiatan yang akan direalisasikan perlu direncanakan dan dipersiapkan dengan baik agar tidak terjadi kekacauan dalam pelaksanaannya. Hal ini merujuk pada apa yang sering dikemukakan oleh para elit politik, dimana secara konseptual apa yang mereka kemukakan sangat bagus, namun dalam tahap implementasi tidak sebaik gagasan dan konsep yang dikemukakan. Kelemahan yang terjadi, banyak pada tataran implementasi di lapangan, yang menyebabkan banyak masyarakat kecewa karena menganggap tidak sesuai dengan janji yang disampaikan. Pengelolaan hubungan dengan masyarakat menjadi penting bagi keberlangsungan dan survival partai politik. Oleh karena itu dibutuhkan hubungan dan komunikasi dengan masyarakat yang konsisten dan dua arah, sebab pemilih akan merasa lebih akrab dan terikat pada partai dan akan memberikan kontribusi kepadanya. Maka dari itu, partai politik harus berusaha membangun hubungan dengan konstituen yang stabil dan berjangka panjang. Hubungan jangka panjang dengan konstituen dapat dicapai dan dikelola dengan cara mengembangkan pemahaman ideologi dan nilai-nilai dasar partai, termasuk membangun (infra-) struktur partai. Perkembangan aspirasi politik masyarakat telah membangun kesadaran dari para pelaku politik untuk berpikir bagaimana bisa merangkul berbagai kepentingan yang ada. Menurut LaPalombara dan Weiner (1966), kegagalan partai politik dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan yang berkembang merupakan penyebab utama matinya sebuah partai politik. Oleh karena itu partai harus aktif dalam menjaring aspirasi yang berkembang, dan hal ini telah melahirkan format baru dalam partai politik yang dikenal dengan catch-all party. Posisinya berada di antara kutub dikotomi partai elit dan partai massa. 137 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH Menurut Riswanda, format ini meng-agung-kan pragmatisme dan rasionalitas sebagai pilar penyangga sistem politik yang demokratis. Dengan prinsip pragmatisme dan rasionalitas ini dimungkinkan bagi masyarakat untuk berpikir tentang “politik tanpa alur” (politics without cliches), tidak menjadi tawanan ideologi, sehingga masyarakat mampu menyikapi berbagai masalah tanpa prakonsepsi, tanpa distorsi idologis, dan tanpa kekakuan bersikap partisan. Dalam kenyataannya juga, parpol lebih tertarik untuk melakukan pembangunan partai lewat jalan instan dengan perhitungan praktis pragmatis yaitu dengan cara merekrut kader dari figur-figur yang populer di kalangan masyarakat, ketimbang membangun ideologis partai. Hal ini dianggap obat mujarab bagi partai meraih suara dibanding dengan melakukan pembangunan partai lewat pengokohan ideologi sebagai brading dari partai tersebut. Padahal dalam jangka panjang memperkuat ideologi partai sebenarnya lebih menguntungkan jika dibanding dengan merekrut figur-figur terkenal yang sifatnya short term. Walau demikian, perilaku partai politik yang melakukan pengrekrutan kader-kader populer sangat bisa dipahami. Partai politik dituntut dengan cepat membesarkan partai agar dapat melewati threshold yang menjadi momok partai-partai baru yang belum punya akar kuat dalam masyarakat. Selain itu, mengembangkan partai dengan memperkuat ideologi partai walaupun dalam jangka panjang menguntungkan, namun hal ini memerlukan waktu yang lama. Temuan dilapangan menunjukan bahwa partai politik berusaha untuk meraih suara pemilih dengan cara merekrut tokoh-tokoh masyarakat yang dianggap memiliki massa. Tokoh agama, tokoh partai, maupun tokoh masyarakat menjadi bahan rebutan partai politik untuk bisa menjadi bagian dari parpol mereka. Sebagai contoh, banyak calon anggota legislatif dari partai-partai pada pemilu 2004 yang awalnya merupakan kader dari partai politik lain, khususnya dari Partai Demokrat yang banyak berasal dari tokoh Golkar dan PDIP. Begitupun calon dari partai-partai Islam, khususnya PKB banyak tokoh agama yang menjadi calon anggota legislatif ataupun menjabat sebagai pimpinan teras partai. Dengan adanya partai baru memang mempengaruhi partai politik yang ada, khususnya partai Golkar. Hal ini dikarenakan rekruitmen kader-kader dari partai yang baru mengambil 138 UAPAYA PARTAI DALAM PEMENANGAN PEMILU kader yang ada yang sudah jadi. Saya kira yang membuat partai baru itu adalah orang-orang pintar sebab yang direkrut adalah orang-orang yang sudah jadi, yang jadi andalan dari partaipartai seperti Golkar, PDI-P dan lain-lain. Dari fakta itu ada kecenderungan berkurangnya jumlah kader maupun maupun pemilih. Akan tetapi pemilih-pemilih, kader-kader yang tidak konsisten itu sifatnya hanya sementara, ketika mereka dihadapkan pada pemilu berikutya mereka akan terpanggil kembali untuk mendukung partai Golkar. (Hasil wawancara dengan tokoh Golkar). Padahal penguatan ideologi partai politik (ideologisasi) itu penting, menurut Eep Saefulloh Fatah (Kompas, 2008), penguatan ideologi partai merupakan upaya dari partai politik dalam menanamkan dan memperkuat identitas partai. Hal ini mengandung pengertian sebagai berikut: pertama, identitas partai yang pada mulanya masih rapuh diperkuat dengan mematangkan orientasi politik dan platform kebijakan. Kedua, pemahaman identitas partai (ideologi, pemahaman identitas, atau platform) yang pada mulanya hanya menjadi gejala di kalangan elite partai diperluas sebagai gejala pada anggota, pendukung, dan simpatisan. Ketiga, partai menegaskan pemosisian (positioning), diferensiasi (pembeda pokok yang dimiliki vis a vis partai lain) dan branding (penegasan merek atau simbolisasi partai). Terkait dengan program yang berhubungan dengan penguatan ideologi, secara umum partai-partai politik masih tidak beranjak dari pendidikan dan latihan kader. Lebih lanjut Eep mengungkapkan bahwa ideologisasi partai dapat dilakukan antara lain melalui pembakuan mekanisme perekrutan politik serta kaderisasi dan regenerasi kepemimpinan. Berkaitan dengan penentuan calon anggota legislatif, ideologisasi ditandai dengan mengemukanya nama politisi partai yang membina diri dari bawah bersama partai serta membentuk kualifikasinya di tengah calon konstituen mereka. Dalam membangun partai lewat ideologisasi partai, dibutuhkan ketekunan partai dan politisi dalam memupuk dan menyuburkan modal politik mereka dari waktu ke waktu. Disamping itu perlu membangun hubungan pertukaran jangka panjang dan bukan sekedar transaksi jangka pendek dengan konstituen. 139 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH Secara teknis, upaya membangun hubungan pertukaran jangka panjang ini, juga telah dilakukan oleh partai-partai di Jepang khususnya kader-kader LDP (Liberal Democratic Party). Hampir setiap anggota legislatif atau calon anggota legislatif di Jepang mempunyai “koenkai” sebagai basis dukungan yang sifatnya sangat personal, dan ini sangat efektif dengan model sistem pemilu distrik yang diterapkan di Jepang. Koenkai secara harfiah dapat dikatakan sebagai kelompok pendukung. Tidak ada aturan tertulis baik dalam konstitusi Jepang maupun peraturan-peraturan dalam sistem kepartaian di Jepang yang menjelaskan tentang keberadaan Koenkai. Organisasi tersebut timbul karena kebutuhan setiap masyarakat Jepang pada umumnya, khususnya di desa-desa terlihat dalam kegiatan Koenkai. Koenkai merupakan suatu organisasi dimana dalam organisasi ini mempunyai ketua, sekretaris, bendahara dan seksi-seksi lainnya. Orang-orang yang ditunjuk dalam kepengurusan ini biasanya adalah orang-orang kepercayaan para caleg. Fungsi Koenkai merupakan organisasi yang bertujuan untuk memenangkan caleg dalam pemilu di Jepang. Untuk itu para pengurus Koenkai berusaha mencari anggota baru secara berantai dengan cara pendekatan yang halus. Dengan berbagai macam upaya pengurus Koenkai berusaha mencari simpati para anggotanya, misalnya dengan memperhatikan kebutuhan para anggotanya. Tugas Koenkai selain mencari masa baru dengan berbagai cara, juga berusaha mengumpulkan dana untuk kepentingan Koenkai maupun untuk kepentingan dalam kampanye pemilu. Para pengurus Koenkai berusaha mengetahui kebutuhan para anggotanya, dan kebutuhan tersebut harus dilaporkan pada anggota legislatif yang menjadi pemilik koenkai tersebut. Dari hasil temuan di lapangan juga ditemukan adanya keinginan dari pemilih untuk memperkuat dan memperjelas basis ideologi partai. Kejelasan ideologi partai politik dianggap memberikan kepastian bagi pemilih, terutama bagi oleh pemilih Santri Modernis. Selama ini ada kegamangan dari partai-partai yang cenderung menuju ke pusat/ tengah dalam ranah ideologi dengan alasan untuk dapat menjangkau konstituen yang lebih luas dan fleksibel. Akan tetapi bagi sebagian pemilih hal ini dirasakan membingungkan, karena pemilih tidak mempunyai keyakinan dan ketenangan ketika memutuskan partai apa yang harus menjadi pilihannya. Sebagai contoh adalah konstituen 140 UAPAYA PARTAI DALAM PEMENANGAN PEMILU yang berlatar belakang Muhammadiyah, di satu sisi PAN merupakan partai bentukan tokoh-tokoh Muhammadiyah, namun di sisi lain partai ini tidak mencantumkan Islam sebagai dasar ideologis partai. Oleh karena itu, sebagian warga Muhammadiyah menjadi gamang, terutama mereka yang Fundamental, dalam menen-tukan pilihan politik kepada PAN. Hal ini dibuktikan dengan ada sebagian kelompok pemilih dari warga Muhammadiyah yang merasa lebih pas dengan PKS atau PBB karena dianggap secara ideologi lebih jelas, dimana PKS maupun PBB Islam secara formal menjadi dasar ideologi partai. Sebagaimana dikemukakan Sekretaris DPC PAN Kota Malang. “.... sebagian besar warga Muhammadiyah itu menginginkan partai yang eksklusif dengan nilai-nilai Islam dan butuh waktu panjang untuk memahamkan bahwa partai pluralis yang mengakomodasi berbagai komponen masyarakat seperti orang Kristen dan lain-lain itu butuh waktu yang banyak, contoh kongkrit di Kota Malang. Ada mainstream dalam kemuhammadiyahan bahwa warga Muhammadiyah itu pada suatu titik bagaimana nilai-nilai Islam itu terpatri dalam diri. Sehingga dalam menyalurkan aspirasi politik bagi warga Muhammadiyah yang tidak masuk ke kancah politik sepertinya ada kecocokan dengan PKS, terdapat nilai-nilai yang melekat dalam visi dan misi partai itulah yang membuat orang-orang Muhammadiyah itu dekat dengan PKS.” Berkenaan dengan upaya penguatan ideologi hampir semua partai politik tidak punya agenda yang jelas, kecuali PKS yang memang melakukan pengkaderan dari bawah lewat aktivitas keagamaan yang dinamakan “tarbiah”. Hal ini berkaitan dengan keinginan partai politik untuk menjangkau massa konstituen yang lebih luas. Berkenaan dengan hal ini, Abdurohim sebagai Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Batu menyampaikan sebagai berikut: Dalam perkembangannya partai politik kita sudah mengalami degradasi moral, tidak berani mengusun visi dan misi. Kalau partai yang berbasis Islam ingin maju dan mendapat perhatian serta dukungan dari kalangan umat Islam, maka partai Islam harus sungguh-sungguh memper-juangkan Islam. Partai Islam yang ada sekarang hanya partai Islam yang melulu mengejar kekuasaan. 141 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH Akan tetapi menurut Abdurohim, partai juga tidak boleh terjebak dengan ideologi. Artinya partai tidak hanya jualan ideologi saja kepada masyarakat tanpa ada upaya kongkrit untuk menyelesaikan persoalan riil yang dihadapi masyarakat. Pandangan umum dalam masyarakat Malang Raya menunjukan bahwa walaupun penguatan ideologi itu penting terutama berkaitan dengan proses kaderisasi partai, namun ada hal yang mereka tidak setuju dengan praktek yang dijalankan partai sekarang ini yang berkaitan dengan penggunaan agama sebagai justifikasi partai politik. Sebagian besar responden yang diwawancarai menganggap partai Islam sekarang ini cuma formalitas saja karena dalam prakteknya antara partai Islam dan partai non-Islam sama saja. Partai Islam yang bagus tidak hanya menjual ideologi – justru harus memperjuangkan kepentingan riil kebutuhan masyarakat, karena masyarakat tidak memikirkan ideologi. Pada saai ini para pemilih melihat partai Islam hanya namanya saja, karena tidak ada yang bisa membedakan secara kongkrit dimata masyarakat. Partai Islam dan non Islam hampir sama saja, baik visi maupun misi tidak bisa secara tegas dibedakan, dalam keadaan tertentu partai sekuler lebih banyak perhatian pada masyarakat Islam, sementara di sisi lain partai yang mengatasnamakan Islam tidak atau jarang memperjuangkan kepentingan orang-orang Islam. (Hasil wawancara dengan fungsionaris Muhammadiyah). Apalagi dalam kenyataannya, justru banyak wakil wakil dari partai Islam yang melakukan korupsi, memperkaya diri sendiri dan melupakan masyarakat yang memilihnya. Hal ini menjadi ironis bagi sebagian masyarakat golongan menengah ke atas yang selalu disuguhi oleh ayat-ayat yang menyerukan kebaikan dan kebenaran, namun disisi lain di media cetak maupun elektronik banyak disuguhi dengan perilaku yang bertolak belakang dengan apa yang sering mereka dengar disetiap pertemuan-pertemuan yang mendatangkan tokohtokoh yang sering berbicara kebaikan moral. Menurut Abdurohim (Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Batu), salah seorang tokoh agama menyampaikan bahwa “dalam Islam juga diajarkan kepada kita, sebagai pemeluk Islam harus memperhatikan masyarakat miskin. 142 UAPAYA PARTAI DALAM PEMENANGAN PEMILU Karena setelah menjalankan ibadah, sholat mendoakan fakir miskin ajaran Islam itu sangat berpihak pada masyarakat bawah seperti kelompok duafa, mustadafin. Namun dalam prakteknya banyak kalangan umat Islam, termasuk mereka yang duduk di legislatif, kurang peduli dengan hal itu.” Walaupun demikian ada sebagian masyarakat yang kurang peduli dengan pemberitaan mengenai citra negatif dari anggota legislatif dari partai mereka, karena yang penting bagi mereka bukan kinerja dalam menjalankan peran dan fungsi partai yang dipentingkan. Bagi mereka calon anggota dewan atau anggota dewan yang penting punya kedekatan dengan mereka dan mereka punya karakteristik perilaku sosial yang sama dengan mereka. Tidak bisa berbuat apa-apa ketika duduk jadi anggota dewan bukan kesalahan dimata masyarakat kecil, yang menjadi masalah apabila mereka tidak bisa menjadi bagian dari mereka. Oleh karena itu bagi masyarakat Abangan, calon yang akan duduk di legislatif harus punya budaya Abangan, begitu pun calon dari partai Islam harus mempunyai karakteristik keislaman, atau kepekaan sosio-religiusitas. Hal yang paling menarik, masyarakat Malang Raya punya identifikasi kuat terhadap partai yang mereka pilih. Garis idologis yang dikemukakan Geertz (1960) yang jelas kelihatan dalam alur kehidupan politik masyarakat. Walaupun mereka banyak yang juga tahu dan tidak senang dengan perilaku anggota dewan yang suka melupakan janji-janjinya, namun mereka tetap berpegang pada partai yang telah dipilihnya. Begitupun dalam soal berkomunikasi dengan anggota dewan dari parpol lain, menurut hasil pengamatan penulis, mereka tidak merasa sreg kalau yang diajak komunikasinya itu adalah mereka yang berlatar belakang berbeda. Hal ini sejalan dengan hasil pelitian perilaku pemilih di pedesaan Jawa oleh Afan Gaffar (1992), orientasi sosio-religious mempunyai korelasi terhadap perilaku pemilih PPP, Golkar dan PDI. Santri cenderung memilih partai Islam dan kaum Abangan memilih partai yang tidak membela dan memajukan Islam. Keberhasilan partai dalam mempertahankan massa lewat pendekatan ideologi bisa dibuktikan dari tetap bertahannya para pemilih mendukung partai politik mereka baik yang berasal dari segmen pemilih Santri, Abangan, maupun Piyayi. Konsistensi pemilih 143 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH terhadap partai politik yang punya basis massa jelas banyak dikemukakan oleh para pimpinan politik terutama pada pemilu 1999 dan 2004, sebagaimana yang dikemukakan oleh Suhadi, mantan Pimpinan Daerah Golkar Kabupaten Malang. “Tingkat konsistensi pemilih Golkar relatif stabil, hal ini dikarenakan sistem kaderisasi yang ada di Golkar. Sebagai contoh ada kader tingkat madya kita tingkatkan. Jadi orangorang yang jadi kader Golkar itu ada kelebihannya, setelah masuk Golkar orang tidak tambah “goblok” tapi tambah pintar. Kalau pengusaha diakan akan lebih meningkat dalam usahanya, sebagai contoh kalau dulu punya sepeda motor satu setelah di Golkar meningkat jadi dua atau tiga dan sebagainya. Karena di Golkar dalam doktrin-doktrin yang juga berpikir ekonomi, ada yang berpikir masa depan, ada yang berpikir bertaqwa kepada Tuhan YME, sampai ada yang mengatur bagaimana perjalanan umroh dan lain sebagainya. Disamping itu, kita melakukan urunan untuk bangunan sekolah, urunan untuk mesjid dan lain-lain. Itulah yang menyebabkan adanya militasi dari pemilih Golkar, bahkan di luar jawa luar biasa (2006). “ Dalam rangka penguatan ideologi partai, partai-partai politik di Malang Raya berusaha membuat program-program yang terkait dengan ideologi. Partai politik berusahan menguatkan ideologi partai dari mulai tingkat kader, simpatisan, sampai partisan. Pada tingkatan kader partai politik melakukannya dengan program kaderisasi, pada tingkatan simpatisan dilakukan dengan pelatihan, dan pada tingkat simpatisan dilakukan dengan sosialisasi. 2. Pendekatan Sosial dan Ekonomi Berdasarkan hasil temuan di lapangan, aspek sosial ekonomi dan kemasyarakatan menjadi bagian terpenting dalam komunitas masyarakat di pendesaan. Tidak hanya dalam kehidupan keseharian dalam berkomunikasi dan berinteraksi antara sesama mereka, namun juga telah menjadi indikator serta tolak ukur bagi kehidupan politik. Komunitas masyarakat yang ada di Malang Raya yang terkenal dengan budaya arek juga telah menjadi ciri khas karakteristik masyarakat. Kehidupan rutin yang mewarnai aktivitas masyarakat pedesaan tidak 144 UAPAYA PARTAI DALAM PEMENANGAN PEMILU lepas dari aktivitas ritual keagamaan seperti pengajian, tahlilan, khajatan, yasinan dan lain-lain bagi kelompok Santri, sementara bagi sebagian kelompok Abangan khajatan menjadi ciri khas mereka, ditambah dengan berbagai aktivitas kesenian yang merupakan ciri khas Abangan seperti jaranan (kuda lumping) dan Bantengan. Namun di sisi lain, karena masyarakat pedesaan di Malang Raya secara ekonomi kurang, maka dorongan untuk mendapatkan sesuatu yang bernilai ekonomi juga menjadi daya tarik bagi mereka. Walaupun dalam masyarakat di Malang Raya kerukunan, kebersamaan masih menjadi bagian dari tata nilai yang mereka anggap baik, namun dalam prakteknya aspek ekonomi sedikit demi sedikit telah mengikisnya. Dalam acara-acara ataupun kegiatan-kegiatan yang sifatnya sosial, khususnya tentang kegiatan pembangunan di lingkungan yang membutuhkan kerja bersama (gotong royong), tidak semuanya sadar untuk ikut karena dianggap tidak ada uangnya. Akan tetapi kalau ada kegiatan yang sifatnya mendapatkan imbalan, masyarakat banyak yang rebutan dan bahkan menjadi bahan pertentangan di antara mereka. Kondisi ini saya lihat lebih banyak berasal dari kelompok masyarakat Abangan, khususnya kaum muda Abangan. Sementara dalam kalangan Santri, aktivitas yang mereka lakukan sering berkaitan dengan Mesjid atau Langgar. Kelompok Santri ini, apabila sudah menjadi bagian dari komununitas yang bergelut dalam bidang keagamaan, seperti pengajian rutin, maupun acara-acara lain seperti mendoa’kan arwah leluhur yang sering dibacakan setiap kamis dan jum’at pagi, menunjukan ada keengganan untuk terjun ke dalam kegiatan yang terkait dengan lingkungan seperti kerja bakti. Menurut hasil pengamatan, aktivitas keagamaan yang mereka lakukan, juga tidak lepas dari aspek-aspek ekonomi. Dalam acara pengajian rutin yang dilaksanakan setiap jum’at, warga sekitar Mesjid atau Langgar selalu memberikan makanan dan minuman “jajanan” untuk mereka yang mengaji. Dan acara mendoa’kan arwah leluhur, ternyata setiap keluarga yang akan minta dibacakan ditarik sejumlah uang. Untuk satu orang yang telah meninggal dipungut dua ribu rupiah dan selebihnya seribu rupiah. Artinya, apa yang dilakukan oleh masyarakat sebenarnya baik sosial maupun agama selalu ada motif ekonomi dibalik apa yang mereka kerjakan. 145 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH Kondisi di atas berimplikasi pada aktivitas di luar yaitu politik. Setiap kegiatan yang akan melibatkan warga, maka jangan harap akan berhasil atau didukung apabila tidak ada nilai ekonominya. Baik itu kegiatan kampanye, maupun pemilu masyarakat memandang tidak ada gunanya jika tidak ada reward ekonomi bagi mereka. Oleh karena itu jangan harap ada calon yang akan dipilih apabila calon itu tidak dikenal secara dekat oleh masyarakat walaupun calon itu punya kapabilitas dan kredibilitas baik tanpa adanya pendekatan sosial dan ekonomi kepada masyarakat. Disamping itu, jangan harap ada calon yang dipilih oleh kelompok yang secara ideologis berbeda. Bagi masyarakat Abangan sangat sulit untuk menerima seorang Santri menjadi calon dari partai Abangan. Begitupun bagi kalangan Santri sangat sulit menerima calon dari kelompok Abangan untuk menjadi calon dari partai Islam. Kenyataan pada pemilu 1999 dan 2004 masih adanya calon yang punya kapabilatas dan kredibilitas baik dan secara kultur berbeda dengan kultur partainya, tidak lain dan tidak bukan karena masih dipakainya nomor urut dalam sistem pemilu. Manyarakat tidak melihat orang yang akan duduk di parlemen atau calon anggota legislatifnya, namun hanya melihat pada partai yang akan mereka coblos. Pada pemilu 1999 dan 2004 banyak calon yang sebenarnya tidak jelas asal-usul serta treck record-nya namun karena euporia masyarakat akan perubahan, lantas masih adanya keyakinan bahwa pemilu itu diwajibkan seperti jaman Orde baru, maka partisipasi masyarakat dalam pemilu cukup tinggi. Namun ke depan, apabila partai politik tidak melakukan pendekatan khusus berupa penguatan ideologis, maupun pendekatan bersifat sosial ekonomi jangan harap partai tersebut akan mendapatkan suara yang signifikan. Begitupun partisipasi pemilih, apabila partai tidak mampu meyakinkan konstituennya, walupun mereka tetap mengidentifikasikan dirinya sebagai partai tersebut, tapi dukungan yang mereka berikan belum tentu menjadi suara karena bisa saja mereka akan menghanguskan suaranya dengan cara tidak mendatangi bilik suara. Berdasarkan hasil temuan di lapangan, partai-partai yang sukses meraih suara yang signifikan tidak lepas dari konsekuensi ideologis dan sosial ekonomi. Walaupun ada hal lain yang menurut hemat penulis, keluar dari alur itu berkenaan dengan partai yang 146 UAPAYA PARTAI DALAM PEMENANGAN PEMILU memperoleh suara karena figur, seperti Partai Demokrat dengan figur Soesilo Bambang Yudhoyono yang sekarang jadi Presiden. Walaupun sebenarnya di antara masing-masing partai yang besar selalu ada figurnya seperti Gus Dur di PKB, Amin Rais di PAN, Megawati di PDIP, namun itu semua berkaitan dengan simbol personal ideologis yang diusung dan masyarakat menjadikannya dia sebagai representasi /simbolisasi dari ideologi atau kelompok mereka. Partai Keadilan Sejahtera yang pada pemilu 2004 telah mengejutkan kontelasi politik nasional, ternyata keberhasilan mereka tidak lepas dari dijalankannya kedua hal tersebut yaitu penguatan ideologis dan pendekatan sosial ekonomi. PKS yang didukung kalangan intelektual muda di kampus-kampus, khususnya di kampus negeri seperti Unibraw, Universitas Negeri Malang, STAIN Malang tidak putus melakukan kaderisasi dengan Tarbiyahnya sebagai dasar penguatan ideologi. Disamping itu, kegiatan-kegiatan lain yang sifatnya sosial dan ekonomi juga mereka jalankan. Banyak kaderkader PKS turun ke desa-desa hanya untuk memberikan bantuan berupa pengobatan gratis ataupun bantuan sembako. Banyak masyarakat yang terkesan kepada PKS karena aktivitas sosialnya yang dilakukan oleh kader-kadernya. Tidak jarang, jika terjadi bencana di suatu desa, para kader PKS menjadi kelompok yang pertama dalam memberikan bantuan tanpa memakai atribut partai. Ketika mereka tahu bahwa yang melakukan pengobatan gratis, yang melakukan bantuan sembako adalah kader-kader dari PKS, warga yang dibantu serta merta dalam pemilu memberikan dukungannya kepada PKS. Salah seorang aktivis politik dari PAN, menuturkan kepada penulis berkenaan dengan alasan kenapa PKS banyak mendapat simpati dan dukungan. Secara intensif mereka memang terus mengadakan kegiatan-kegiatan baik yang bersifat formal ataupun informal, beberapa kali juga didatangi oleh teman teman PKS untuk mengadakan kegiatan pengobatan massal di tempat saya. Mereka juga tahu betul tentang saya meskipun sudah tidak menjabat kepengurusan PAN dan DPC tetapi beberapa kali datang ke rumah diminta untuk dijadikan tempat pembagian sembako, pengobatan gratis dan itu pun dilakukan setelah 147 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH pemilu dilaksanakan. Justru sebelum pemilu mereka menjaga jarak. Dalam arti bagi mereka yang aktif di partai mungkin hanya pendekatan-pendekatan secara struktural dan aktif intensif pada pertemuan-pertemuan saja. Bagi yang memilih Golkar, banyak di antara mereka yang telah menikamti keuntungan dari Golkar seperti pembangunan infrastruktur jalan, listrik, air minum, koperasi dan lain lain. Oleh karena itu untuk wilayah-wilayah yang secara ekonomi berkembang seperti di daerah Pujon yang mempunyai koperasi untuk petani, khususnya koperasi susu sapi sangat fanatik mendukung Golkar. Disamping itu memang para anggota dewan dan petinggi partai di Golkar mempunyai kelebihan sumber daya manusianya. Hal ini telah menjadi kelebihan dari Golkar untuk mendapatkan suara cukup signifikan dalam setiap pemilu. Di sisi lain, akibat monopolitisasi partai politik yang mengharuskan PNS memilih Golkar juga telah berdampak pada dukungan pemilih pasca Orde baru. Sebagian besar keturunan dari orang tua yang bekerja sebagai PNS, dalam setiap pemilu pasca reformasi memberikan pilihan politiknya pada Golkar. Dengan upaya sekasur, sedapur, sesumur sangat efektif menggalang massa di akar rumput untuk kesuksesan Golkar dalam memenangkan pemilu. Salah satu petikan hasil wawancara penulis dengan warga di Kota Batu mengenai alasan-alasan kenapa masyarakat memilih partai politik, sebagai berikut: Saya secara pribadi tidak memilih Golkar. Mereka yang memilih Golkar disebabkan pengaruh keluarga, walaupun sekarang mereka tidak menjabat pegawai negeri sipil, namun banyak keluarga yang sudah tersosialisasi cukup lama dengan Golkar pada akhirnya semua keuturunannya banyak yang memilih Golkar dalam pemilu. Kita ketahui bahwa pada jaman Orde Baru mereka yang punya jabatan di pemerintahan secara eksplisit diwajibkan untuk memenangkan Golkar, bahkan banyak tekanan-tekanan dari aparat kepada masyarakat pada saat itu untuk mencoblos Golkar. Disamping itu ABRI didesa dengan memelalui babinsa, juga melakukan tekanan tekanan sehingga babinsa menjadi alat pressure pada masyarakat. 148 UAPAYA PARTAI DALAM PEMENANGAN PEMILU Orang memilih PPP masa Orba karena merupakan partai Islam dan ada gambar ka’bah yang menjadi simbolnya. Oleh karena itu banyak pemilih Tradisional memilih PPP walaupun banyak tekanan dari aparat maupun pemerintah. Banyak dari masyarakat yang rela dan setia untuk mendukung PPP karena mereka menganggap dengan memilih PPP berarti sudah bisa menjalankan dan membela Islam. Apalagi dalam gambar PPP ada ka’bah nya yang merupakan simbolisasi dari Islam. Melihat kenyataan ini pemerintah merasa perlu untuk melakukan rekayasa, sehingga pemerintah meminta diganti, dan berhasil karena PPP bisa di acak-acak. Keuntungan Golkar punya sumber daya manusia yang bagus, dari etika orang Golkar beda dengan orang-orang PDI. Konsep Golkar adalah sumur dapur, kasur yang sampai sekarang masih ada. Untuk PNS yang milih Golkar umumnya orang-orang lama, PNS baru tidak lagi terikat oleh Golkar dan bebas memilih partai-partai lain. Kemenangan Golkar pada pemilu 2004 tidak hanya disebabkan oleh warisan Golkar pada masa Orde baru, akan tetapi juga dikarenakan Golkar melakukan berbagai langkah agar partai berlambang pohon beringin ini tetap eksis dalam masyarakat. Disamping melakukan kaderisasi rutin dalam rangka penguatan ideologi partai bagi para kadernya, juga melakukan pendekan sosial dan ekonomi pada masyarakat. Kegiatan ini menurut salah seorang mantan ketua DPD Golkar yang sekarang ini menjabat sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daera Kota Batu, Mashuri dilakukan secara rutin oleh setiap anggota dewan di masing-masing daerah pemilihannya. Dalam melakukan kegiatan sosial tersebut didanai oleh individuindividu anggota dewan dari dapil masing-masing, termasuk dia sendiri melakukan hal tersebut untuk dapilnya yang ada di Bumiaji. Mashuri kegiatan membantu lingkungan seperti pembangunan Langgar, Mesjid, perbaikan jalan, gorong-gorong atau pun yang lainnya, Mashuri menamakannya sebagai “shodakoh sosial”. Secara lengkap penulis mengutif hasil petikan wawancara dengan mantan Ketua DPD Golkar, sebagai berikut: 149 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH Manusia sebagai kader politik Golkar agar sesuai dengan yang kita harapkan ada cara atau model yang dilakukan agar masyarakat tetap mendukung partai yaitu salah satunya melalui kontrak politik untuk memperjuangkan mengenai hal-hal yang diinginkan warga. Sebagai contoh bagi masyarakat yang kampungnya kumuh, partai berjuang untuk menjadikan kampung itu lebih baik agar masyarakat disekitar itu mempunyai semangat untuk mendukung partai. Disamping itu, partai Golkar melakukan sosialisasi doktrin-doktrin politik lewat dialog agar mereka mempunyai pandangan yang sama dalam negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), agar menjadi masyarakat yang punya moral kader bangsa, yang titik beratnya membela bangsa dan negara, UUD’45. Program-program Golkar yang dilakukan kepada masyarakat selama ini, antara lain: Melakukan pendidikan dan latihan kepada masyarakat; melakukan pendekatan-pendekatan secara manusiawi; pendekatan-pendekatan dengan memper-juangkan pembangunan kepada komunitas yang mereka tempati; memberikan bantuan, khususnya bantuan finansial kepada mereka. Sebagai contoh kami telah memberikan bantuan kepada komunitas yang ada di wilayah pak Kirun (orang yang sering mendapat bantuan untuk warga), berupa bantuan semen, pasir, batu merah sebagai perangsang agar mereka mau melaksanakan pembangunan di kampung-kampung. Dana untuk memberikan bantuan langsung kepada warga didapat dari fraksi-fraksi, dimana wakil-wakil yang duduk di fraksi harus memberikan sebagian rizkinya untuk kepentingan lingkungan atau yang lebih halusnya uang yang mereka dapat sebagian dishodakohkan kepada dapil-dapil mereka masingmasing. Seperti saya pribadi, sebagai kader partai banyak membantu kampung-kampung, daerah-daerah yang merupakan dapil saya. Sebagai contoh di Desa Torongrejo ada pak Kirun yang merupakan kader Golkar, saya melalui dia banyak membantu baik berupa semen, pasir, batu merah, dan lain-lain untuk kepentingan kampung, RT-RT, RW-RW, yang sifatnya kecil-kecil seperti 10 sampai 20 sak semen dan dimana-mana ada. 150 UAPAYA PARTAI DALAM PEMENANGAN PEMILU Selain melalui kegiatan yang bersifat fisik, kader Golkar juga melakukan komunikasi sosial kepada seluruh elemen masyarakat. Partai Golkar secara nasional punya ikrar “manabakti” yang salah satu ikrarnya adalah kasih sayang berwatak setia kawan. Oleh karena itu Partai Golkar tidak mau menghujat pihak lawan maupun kawan. Karena punya sifat setia kawan, apa itu orang sini ataupun orang bukan sini kalau perlu dibantu kita akan bantu. Disini ada 25 wakil saya kira semua sama, semua ingin memperjuangkan dapil masing-masing. Bagi Golkar tidak hanya memperjuangkan dapil-dapil wakil Golkar tapi menyeluruh. Cuma tulang punggungnya adalah kader-kader Golkar yang ada di daerah tersebut. Dalam masyarakat masih ada kelompokkelompok yang membina hubungan dengan wakil-wakilnya, karena masing-masing partai tidak mau kehilangan konstituennya. Mereka tetap membina hubungan dengan konstieuennya. Berkurangnya suara partai, selain adanya partai baru, juga karena adanya pemilih yang tidak konsisten akibat dari kesalahan kader-kader partai yang tidak mau memperhatikan dapildapilnya, atau mereka tidak mau memberikan sodakohnya kepada dapil mereka. Berbeda dengan kasus PKS dan Golkar, PKB pada pemilu 2004 mengalami penurunan jumlah suara yang cukup besar. Menurut hemat penulis, disamping PKB yang sering dilanda konflik, menurunnya suara PKB diakibatkan oleh perilaku elit partai yang hanya mengutamakan pendekatan keagamaan, sementara lalai dalam memberikan kontribusi sosial ekonomi pada konstituennya. Hasil temuan lapangan menunjukan bahwa PKB lebih sering berhubungan dengan tokoh agama secara langsung ketimbang turun kepada masyarakat. Para tokoh agama seperti kyai, Ulama, maupun ustadz banyak yang menjadi mendiator antara tokoh politik dengan masyarakat, atau menjadi juru kampanye bagi PKB. Tampaknya sudah menjadi kewajiban moral bagi sebagian tokoh agama untuk mendukung PKB, walau ada juga nilai ekonomi yang didapatkan dari para tokoh politik atau partai. Umumnya para tokoh politik datang ke pondok pesantren untuk bersilaturahmi dengan pimpinan 151 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH pondok, mereka datang tidak dengan tangan hampa. Biasanya tokoh partai politik datang minimum memberikan amplop kepada kyai dengan alasan untuk membantu aktivitas pondok. Akan tetapi tidak jarang, juga berbagai pondok ataupun madrasah yang umumnya dipunyai oleh kyai, ulama atau ustadz mendapatkan bantuan pembangunan dari pemerintah karena perjuangan dari anggota dewan yang didukungnya. Dengan demikian, para tokoh politik yang ingin berhubungan dengan masyarakat, khususnya kalangan Santri Tradisional, selalu melalui kyai-nya. Dan apabila tokoh politik itu tidak dapat memberikan konstribusi yang bersifat ekonomi, walaupun kedatangan mereka diterima, namun tidak menjadi dukungan rill dalam pemilu. Sementara di sisi lain masyarakat tidak pernah merasakan kebaikan yang diberikan oleh para anggota dewan dari PKB, dan di sisi lain mereka tahu bahwa para tokoh agama itu mendapatkan sesuatu dari para calon, maka pada akhirnya sedikit demi sedikit banyak dari pemilih kalangan Santri itu melakukan perlawanan dengan tidak datang ke bilik suara atau memilih banyak partai, dan paling ekstrim mereka mengalihkan pilihan politiknya ke partai lain. Tidak sedikit dari kalangan Santri Tradisional ini dalam pemilu 2004 memilih partai Islam selain PKB, yaitu ke PKS, Golkar, atau bahkan Demokrat. Hal yang paling sulit bagi kalangan Santri Tradisional untuk mengalihkan pilihan politiknya ke PAN. Berdasarkan hasil temuan lapangan alasan utama sulitnya pemilih Santri Tradisional mendukung PAN adalah dikotomisasi kelompok keagamaan antara NU dan Muhammadiyah, disamping secara sosial dan kultural berbeda dalam kehidupan keseharian di masyarakat. Pertentangan antara NU dan Muhammadiyah di tingkat grass root juga dipelihara oleh elit Santri Tradisional untuk memperkokoh solidaritas dan kekompakan kelompok. Pengaruh yang datang dari kelompok Santri Modernis dianggap akan mengancam eksistensi tokoh agama khususnya kyai di masyarakat. Selama ini, tetap berdirinya wibawa kyai di mata masyarakat karena masih adanya ritual keagamaan yang menjadi bagian dari kehidupan masyarakat, dan akan selalu melibatkan kyai. Dengan demikian, mau tidak mau, masyarakat akan membutuhkan kyai dari mulai kelahiran, perkawianan, sampai kematian. Oleh karena itu, eksistensi ritual keagamaan ini telah melembaga dan 152 UAPAYA PARTAI DALAM PEMENANGAN PEMILU sekaligus menjadi indikator sosial bagi masyarakat untuk menentukan status sosial ekonomi. Banyak yang mereka tidak mampu untuk melakukan khajatan dalam memperingati hari kematian keluarganya, terpaksa mereka mengada-ada dengan cara pinjam tetangga karena takut dikatakan tidak mampu. Mereka sebenarnya tidak mengerti betul bahwa apa yang dilakukan oleh mereka adalah bagian dari kewajiban Islam. Satu jawaban yang sempat terlintas dari warga yang penulis wawancarai, malu kalau tidak melakukan khajatan, takut dikatakan tidakmampu. Bagi PDIP yang pada pemilu 2004 mengalai penurunan suara yang sangat tajam, pada dasarnya hampir sama aktivitasnya dalam melakukan pendekatan sosial ekonomi kepada masyarakat. Bahkan PDIP dalam setiap pemilu cukup royal dalam “menjamu” pemilihnya dalam setiap kesempatan kampanye. Berbagai bantuan kepada warga juga diberikan, termasuk untuk kepentingan-kepentingan sosial seperti bantuan perbaikan jalan, jembatan, gorong-gorong seperti yang ada di dusun caru Kota Batu. Di dusun ampeldento Kecamatan Karangploso Kabupaten Malang yang sempat penulis survey, PDIP memberikan bantuan berupa pembuatan sumur bor untuk keperluan warga yang membutuhkan air bersih. Sementara kegagalan PDIP mempertahankan hasil pemilu 1999, menurut salah seorang warga, Aguk yang berprofesi sebagai tukang ojek, yang juga merupakan simpatisan PDIP menyatakan bahwa kekalahan PDIP pada pemilu 2004 akibat dari kebijakan Megawati yang ketika menjabat sebagai presiden tidak memperhatikan wong cilik. Pada saat Megawati menjadi Presiden, di kota-kota, khususnya di Jakarta banyak terjadi penggusuran lahan maupun penertiban pedagang kaki lima yang nota bene adalah kebanyakan pendukung PDIP. Pada akhirnya, sebagian pemilih yang mencoblos PDIP pada Pemilu 1999 mengalihkan suaranya ke partai lain, terutama partai baru yang menurut mereka punya harapan untuk perubahan. Hasil survey di Malang Raya yang pernah dilakukan dilakukan penulis sebelum tulisan ini dibuat, pemilih dari PDIP banyak mengalihkan suaranya ke Partai Demokrat dan sebagian lagi ke partai lain. Walaupun demikian, sebenarnya suara PDIP menurut banyak pemerhati politik, suara pada pemilu 2004 itu merupakan suara rill dari PDIP. Sementara suara pada pemilu 1999 merupakan suara yang 153 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH datang dari pemilih yang melakukan Swing Votes. Dan pada pemilu 2004 pemilih Swing Votes PDIP itu kembali lagi ke partainya semula atau mengalihkan pilihan politiknya ke partai lain. Kalau dilihat dari data yang ada, pada saat ini konstituen PDIP masih yang terbanyak. Pada pemilu 2004, Kabupaten Malang dan Kota Malang tetap masih dikuasi oleh PDIP. Sementara Kota Batu, selisih suara antara Golkar yang memenangkan pemilu tidak jauh selisihnya dengan PDIP. Keberhasilan PDIP mendominasi suara pada setiap pemilu di Malang Raya tidak lepas dari kuatnya kelompok Abangan di Malang Raya. Walaupun Malang Raya terkenal dengan masyarakat religius, karena banyaknya pesantren dan pendidikan agama, namun sebenarnya sebagian besar masyarakatnya punya kedekatan secara historis dengan Abangan. Oleh karena itu, sebagian masyarakat Malang Raya walaupun mereka ikut aktivitas ritual keagamaan yang sering dilakukan oleh kelompok Santri Tradisional, namun pilihan politiknya tetap pada partai politik Abangan yaitu PDIP. Tidak mengherankan apabila di Jawa Timur banyak Kepala Daerah yang (Bupati/Walikota) yang berasal dari partai PDIP. Walaupun demikian, ada ciri khas yang secara gari besar membedakan setiap wilayah yang ada di Malang Raya yang membedakan antara satu daerah dengan daerah lainya. Sebagai contoh Kecamatan Lawang, Singosari dan Pakis. Lawang mayoritas masyarakatnya mempunyai rasa Nasionalisme yang tinggi, dan pendidikan mereka cukup. Singosari, masyarakatnya religius, umat Muslimnya sangat besar, jadi untuk wilayah ini banyak pondok-pondok pesantren, sekolah atau madrasah Islam dan kegiatannya pun banyak terkait dengan keagamaan seperti pengajian. Sedangkan untuk Pakis, masyarakatnya religius dan Nasionalis, namun masyarakatnya mudah terpecah belah. Di luar alur identifikasi kepartaian dari kelompok Abangan terhadap PDIP, keberhasilan PDIP mendominasi suara dalam Pemilu, juga karena dilakukannya pendekatan pada masyarakat. Salah seorang tokoh PDIP, yang juga mantan Ketua DPRD Kota Malang menyebutkan bahwa PDIP punya concern yang besar dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin. Walaupun demikian ia mengakui bahwa tidak semua program kepada masyarakat itu 154 UAPAYA PARTAI DALAM PEMENANGAN PEMILU dapat direalisasikan dengan baik. Beberapa program kerja yang jadi prioritas PDIP, Sri Rahayu mengungkapkan sebagai berikut: “Meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya masyarakat miskin melalui perbaikan di sektor ekonomi dengan mendirikan koperasi, memberdayakan pedagang kecil dan usaha-usaha lain yang diinginkan oleh masyarakat. Disamping itu kami juga punya misi lain yaitu: Memberantas korupsi, memperbaiki pendidikan khususnya di wilayah Kota Malang, menciptakan pemerintahan yang bersih, transparan dan profesional, pemerataan pembangunan di segala bidang, melakukan survey pada masyarakat, memberikan bantuan di bidang kesehatan, ekonomi, sosial, dan keamanan.” Selanjutanya menurut, Sri Rahayu, kegagalan PDIP pada pemilu 2004 banyak diakibatkan oleh tidak ditepatinya janji-jani partai yang disampaikan saat kampanye 1999. Oleh karena itu, menurutnya, sekarang PDIP sudah mulai menyusun agenda bagi peningkatan kehidupan ekonomi, khususnya masyarakat miskin. Beberapa agenda yang dibuat PDIP merupakan hasil serapan dari aspirasi masyarakat dan akan diupayakan lewat berbagai keputusan dan kebijakan yang ada dalam mekanisme di dewan agar sinergi dengan kebijakan eksekutif. Untuk Partai Demokrat, walaupun selama ini dikenal dengan partainya SBY, karena menjadi daya tarik utama dalam partai ini, akan tetapi menurut penuturan Eko Budi Prasetyo, sebagai anggota Dewan Kabupaten Malang dari partai Demokrat, juga telah melakukan berbagai pendekatan pada masyarakat. Menyadari bahwa partai Demokrat belum mempunyai basis massa yang jelas, partai ini berusaha untuk meraih semua segmen masyarakat baik yang Abangan maupun Santri. Oleh karena itu partai demokrat menyebutkan dirinya sebagai partai “Nasionalis-Religius”. berupaya untuk mengidentifikasi kondisi sosial masyarakat yang memang sudah dilakukan oleh partaipartai lain. Termasuk Pada saat seorang wakil rakyat duduk di dewan, mereka harus lentur dan fleksibel, termasuk saya boleh bicara fanatic tapi hanya boleh di kelompok, tapi kalau kita sudah keluar ke masyarakat harus lentur, harus bisa diterima oleh kawan-kawan politik. Misalnya kalau kita bicara dengan tukang ojek, tidak 155 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH pantes kalau kita ngomong masalah isu politik sekarang, yang pasti terjun ke masyarakat. Tunjukan bukti ke masyarakat ditanya apapun harus tau, jangan menghindar. Saya juga mencoba fleksibel tidak membeda-bedakan warna baju, warna kulit, kita harus bisa memberikan bantuan, solusi, ada pemikiranpemikiran yang bisa memecahkan masalah, tidak hanya materi yang diandalkan. Karena masyarakat tidak butuh kader yang mementingkan materi, percuma kalau banyak uang tapi tidak bisa mengerti permasalahm yang terjadi, karena disitulah yang bisa tergali yang sebenarnya, dan pada saat sekarang terus saya terapkan. B. Upaya Dan Peran Figur Kedekatan secara emosional terhadap pemimpin, tokoh, atau figur nasional dari partai politik tertentu dalam pemilu era multipartai pasca reformasi cukup menonjol dalam kesuksesan partai meraih suara. Tokoh-tokoh nasional yang relatif dikenal luas secara nasional adalah variabel yang relatif independen untuk menarik massa agar memilih partai di mana sang tokoh merupakan pimpinan di partai tersebut. Orang memilih Golkar, PDI-P, PKB, PAN, PPP, PBB, dan lain-lain bukan karena daya tarik partai-partai itu sendiri, tapi lebih karena ada tokoh-tokoh nasional terlibat di pucuk kepemimpinan partai. Pada pemilu 1999, Habibie yang merupakan putra Sulawesi telah medorong perolehan suara Golkar di Sulawesi dibanding dari daerah- daerah lain, termasuk dari Jawa. Keunggulan PDI-P atas partai-partai lain yang punya kesamaan historis dan sosiologis seperti PDI Budi Hardjono, PNI Supeni, PNI Marhaen, dan lain-lain juga karena karena ketokohan Megawati sebagai Putri Soekarno. Selain itu, ia merupakan tokoh yang sangat tidak diuntungkan sepanjang sejarah politik Orde Baru yang secara nasional mendapat ekspos cukup besar dari media massa. Kemenangan PAN relatif terhadap partai-partai Muslim modernis lain seperti PBB, PK, Partai Masyumi, sebagian besar dapat dijelaskan dengan kehadiran Amien Rais sebagai tokoh nasional di pucuk kepemimpinan partai tersebut. Keunggulan pengumpulan suara PKB dibanding partai-partai NU yang lain seperti PNU, PKU, dan Partai Suni, dan bahkan PPP 156 UAPAYA PARTAI DALAM PEMENANGAN PEMILU sendiri, merupakan hasil dari ketokohan Gus Dur di partai tersebut, bukan karena faktor ke-NU-an itu sendiri. Sebab kalau ke-NU-an itu sendiri yang dominan, maka partai-partai NU yang lain juga akan mendapat suara yang cukup hingga PKB tidak keluar sebagai partai NU yang besarnya mencolok dibanding partai-partai NU yang lain. Kasus pemilu 2004, besarnya perolehan suara Partai Demokrat juga berkat dari figur Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), sebagai figur yang berlatar belakang militer dan juga punya hubungan dengan Sarwo Edi sebagai mertua, yang pernah berjasa dalam penumpasan gerakan 30.S/PKI. Bahkan dengan perolehan suara 7 % telah menghantarkan SBY menjadi Presiden terpilih langsung pertama pada pilpres 2004. Karena Partai Demokrat sangat diwarnai oleh popularitas SBY, maka citra Partai Demokrat, naik dan turunnya sejalan dengan naiknya citra SBY. Hal ini sangat disadari oleh para kader Partai Demokrat di Malang Raya, dimana saat tahun 2004 orang terbius oleh yang namanya SBY (Susilo Bambang Yudhoyono). Untuk mempertahankan suara yang diperolehnya, para kader Partai Demokrat berusaha mensosialisasikan siapa itu SBY, dan keberhasilan-keberhasilan pemerintah yang merupakan nilai positif bagi Presiden SBY, dengan harapan punya imbasan pada citra Partai Demokrat. Isu yang pertama karena itu ditahun 2004 SBY adalah capres sehingga dari kader saya punya kewajiban untuk mensosialisasikan siapa itu SBY yang penting adalah SBY orang jawa timur asli dari pacitan, dan suatu kebanggaan tentu jika pemimpin kita berasal dari Jawa Timur. Kemudian alasan yang kedua SBY adalah berasal dari unsur ABRI, seorang TNI adalah seorang ksatria. Saya berusaha menjaga image citra masyarakat, saya berusaha mengkritisi karena saya yakin masyarakat tidak berharap janji-janji tapi butuh realita, walaupun kecil tapi terwujud, itu yang merupakan kebanggaan bagi masyarakat (Subur Triono, 2004). Mengingat besarnya peranan figur populaer dalam meningkatkan perolehan suara partai, maka pada pemilu selanjutanya (2009), banyak partai yang juga mengandalkan figur populer untuk mendongkrak suara dalam pemilu. Banyak figur-figur terkenal baik dari kalangan akademisi, artis, olahragawan direkrut oleh partai menjadi 157 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH anggota dan bahkan menjadi caleg dari partai bersangkutan. Di PDIP ada Diyah Pitaloka, dari kalangan artis; Miing tokoh komedi. Di Partai Demokrat ada Komar yang berasal dari tokoh komedian, Aji Massa’id dan Agnelia Sondah dari kalangan artis. Di Golkar ada Indra J. Piliang dari akademisi; Icuk Sugiarto dari kalangan olahragawan; Tantowi Yahya dari kalangan presenter. Di PAN ada Wanda Hamidah, Primus, dan Ikang Fauji dari kalangan artis; Eko Patrio, Mandra dari kalangan komedian dan lain lain. Bahkan PAN karena banyaknya caleg dari kalangan artis, maka PAN singkatannya di plesetkan dengan partai artis nasional. Realitas di lapangan, caleg-caleg yang ikut dalam pemilu 2009 cukup mendapat apresiasi dari pemilih. Bahkan dengan adanya caleg artis dalam satu partai, dapil dimana mereka di tempatkan dapat mengangkat perolehan suara di dapil tersebut yang otomatis mengangkat caleg Provinsi dan caleg Kota / Kabupaten. Contoh kasus daerah pemilihn Madiun, Nganjuk, Ponorogo, dan Magetan yang merupakan dapil caleg pusat Eko Patrio dapat mengangkat caleg Kota / Kabupaten yang pada pemilu lalu tidak ada yang lolos. Oleh karena itu, di tengah persaingan yang ketat dalam pemilu 2009, PAN masih bisa bersaing di papan tengah dengan perolehan suara sekitar 6 % secara Nasional. Di tingkat provinsi, figur-figur populer umumnya berasal dari kelompok sektarian. Khusus di Provinsi Jawa Timur, banyak calegcaleg yang populer dari kalangan agamawan dicalonkan menjadi caleg, khususnya dari kelompok Santri Tradisional. Tokoh struktural maupun tokoh kulutural NU banyak yang direkrut untuk menjadi caleg partai, utamanya partai yang punya kesamaan secara sosiologis dengan NU seperti PKB, PPP, PKNU. Sementara untuk tingkat Kota dan Kabupaten, khususnya di Malang Raya, figur-figur yang jadi andalan dalam perolehan suara disamping figur populer dari segmen masyarakat, juga figur pengusaha yang dianggap punya modal ekonomi. Tokoh-tokoh masyarakat dari kalangan kyai, mantan Kepala Desa, istri perangkat Desa, keluarga dari birokrat seperti Camat banyak yang mencalonkan diri sebagai caleg, dan terbukti banyak yang berhasil lolos menjadi anggota Dewan. Caleg-caleg berasal dari tokoh masyarakat, umumnya mereka menjadi caleg dari partai-partai baru atau dibarukan yang 158 UAPAYA PARTAI DALAM PEMENANGAN PEMILU ikut pemilu 2009 seperti PIB, PKNU, Hanura, Gerinda dan lain-lain. Sebagai contoh di Kota Batu, Saudah istri mantan Camat Junrejo lolos menjadi anggota Dewan dari Partai Indonesia Baru (PIB), Nur Jayanti istri Carik Desa Pendem lolos menjadi anggota Dewan dari Partai Hanura. Pola kepemimpinan kharismatik, serta budaya paternalis di kalangan masyarakat Indonesia, khususnya Jawa, bisa menjelaskan variasi ketokohan tersebut. Dalam konteks politik di Tanah Air sejarah tokoh pada umumnya ternyata lebih panjang dari pada sejarah partai itu sendiri. Kekuatan partai politik di Tanah Air kemudian akan banyak ditentukan sejauh mana partai-partai tersebut mampu melakukan rekrutmen terhadap tokoh-tokoh yang populer di mata massa pemilih. Kemampuan elite partai untuk membangun citra yang positif terhadap tokoh partai dan kemampuan untuk mensosialisasikan citra yang positif ini secara massif lewat media massa merupakan poin krusial bagi perkembangan dan kekuatan partai di masa yang akan datang. Dari sini partai politik akan semakin terlembaga, yang pada gilirannya akan menjadi kekuatan yang relatif otonom untuk menarik masa pemilih. Akan tetapi secara umum penulis memperkirakan ketokohan tetap merupakan faktor krusial, dan setidaknya dalam jangka pendek dan menengah ketokohan akan menjadi tulang punggung untuk menarik massa pemilih di Malang Raya, khususnya bagi partai yang tidak basis pemilih tradisional yang jelas. C. Upaya Partai Politik Dan Pola Hubungan 1. Upaya Partai Politik dan Pilihan Basis Massa Upaya yang dikembangkan partai politik dengan menekankan pada Ideologis telah melahirkan pola hubungan yang bersumber pada basis massa masing-masing, Partai Islam menjalin hubungan dengan Kelompok Santri dan Partai Nasionalis berhubungan dengan Kelompok Abangan. Pola hubungan berbasis massa pemilih dicirikan dengan adanya ikatan yang kuat antara partai dengan konstituennya. Bahkan karena kedekatan partai dengan konstituennya yang sangat kuat, maka pilihan politik mereka sangat fanatik. Pada saat kampanye, bentuk fanatisme pemilih terhadap partai telah mengakibatkan banyak terjadi bentrokan antara pendukung partai. Tidak jarang di 159 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH antara para pendukung partai berkelahi hanya karena saling ejek di antara sesama pendukung partai seperti yang terjadi pada pemilu 1999 dan 2004. Dalam rangka meningkatkan dan mempertahankan dukungan terhadap partai, banyak cara yang dilakukan baik yang dilakukan oleh Partai Nasionalis maupun Partai Islam. Partai Islam, dalam rangka memperkuat dukungan pemilihnya, cara yang sering dilakukan adalah dengan menanamkan donktrin-doktrin partai yang berasal dari ayat-ayat suci. Bahkan dalam kampanyenya pun, partai Islam seperti PKB, PPP, maupun yang lain di setting seperti acara pengajian. Para pendukung yang datang pun banyak berasal dari kalangan yang secara sosiologis sama, artinya kalau yang melakukan kampanye PKB atau PPP, maka partisipan kampanye yang datang adalah mereka yang berasal dari kelompok santri Tradisional atau NU. Salah satu bukti bahwa tingkat fanatisme dari pemilih Santri Tradisional tinggi adalah kerelaan mereka untuk mengikuti setiap acara kampanye yang dilakukan oleh partai yang punya hubungan historis dan sosiologis dengan NU, terutama PKB. Biasanya pemilih tradisional PKB bersedia datang ke tempat kampanye dengan biaya sendiri, salah satu alasan mengapa dia mau datang adalah untuk mendengarkan ceramah agama. Dalam tradisi di kalangan partai yang berbasis pemilih Santri Tradisional, kampanye biasanya di seting sesuai dengan kultur mereka. Acara pengajian, Istighosah, tahlilan, maupun kegiatan ritual keagamaan kadang dijadikan sebagai media kampanye. Khusus pada acara kampanye akbar biasanya mendatangkan juru kampanye dari tingkat Nasional, dan Gus Dur menjadi “ikon” sekaligus daya tarik bagi jamaah NU. Kedatangan Gus Dur menjadi ajang dari pertemuan para pengikut setia dari kelompok Nahdilyin. Kedatangan mereka ke acara kampanye juga biasanya atas instruksi dari kyai lokal yang membina kehidupan sosial-religi yang sangat instens di lakukan. Di sisi lain, bagi Partai Nasionalis, kampanye yang dilakukan pada pemilu 1999 banyak melakukan kampanye terbuka dengan mendatangkan juru kampanye yang punya ikatan keluarga dengan mantan Presiden Soekarno. Lepas dari banyaknya partai yang mengatasnamakan pelanjut dari ideologi marhaen yang jadi ikon 160 UAPAYA PARTAI DALAM PEMENANGAN PEMILU ideologis dari Partai Nasionalis, PDIP menjadi satu-satunya partai yang paling banyak mendapatkan saham politik dari PNI (parpol peserta pemilu 1955). Megawati yang merupakan anak sulung dari Soekarno, dan menjadi Ketua Umum PDIP, tidak bisa dipungkiri telah menjadi representasi dari PDIP sebagai penerus ideologi marhaen yang banyak mendapat dukungan dari kalangan wong cilik. Dalam rangka mempertegas akan keberpihakan pada wong cilik, PDIP selalu mencitrakan diri sebagai pembela wong cilik, terutama pada massa Orde Baru. Sebagai konsekuensi dari keberpihakannya pada wong cilik ini, PDI massa Orde Baru, dalam kepemimpin selalu menjadi target pemerintah untuk dilemahkan. Oleh karena itu kejatuhan pemerintahan Orde Baru menjadi momentum baru bagi PDIP sebagai partai yang mengatasnamakan diri sebagai partainya wong cilik dalam rangka meneguhkan jati dirinya sebagai partai Nasionalis. Dengan mengemas ideologi dalam upaya pemenangan pemilu pada pemilu 1999, telah menempatkan PDIP sebagai partai yang paling besar mendapatkan simpati dari pemilih. Di Malang Raya, PDIP mendominasi perolehan suara dengan jumlah 162.818 suara (41,22 persen) di Kota Malang, 510.450 suara (38,47 %) di Kabupaten Malang. Partai Golkar yang pada saat Orde Baru selalu menjadi pilihan politik pemilih hanya mampu meraup suara sekitar 16,04 % di Kota Malang dan 18,32 % di Kabupaten Malang. Dengan perolehan suara tersebut, PDIP menempatkan diri sebagai peringkat pertama di Malang Raya. Di sisi lain, Partai Kebangkitan Bangsa yang merupakan partai yang berbasis pemilih Santri menempati urutan kedua tersebesar setelah PDIP yaitu 19,60 % untuk Kota Malang dan 29, 57 % untuk Kabupaten Malang, padahal secara nasional jumlah pemilih yang memberikan suaranya ke PKB ini pada tahun 1999 hanya 12,62 %. Hal ini bisa dipahami karena wilayah Jawa Timur, khususnya Malang Raya merupakan basis dari Partai NU yang pada pemilu 1955 merupakan pemenang kedua setelah Masyumi. Sementara dukungan pemilih pada partai Islam lainnya tidaklah signifikan, kecuali untuk PAN yang punya basis pemilih golongan Islam Modernis mendapat 10, 53 % di Kota Malang. 161 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH Sebagaimana hasil temuan dilapangan yang menunjukan adanya alur yang sama dengan aliran politiknya Geertz, dimana pemilih Santri memilih partai Islam, pemilih Abangan memilih partai Nasionalis. Masyarakat Abangan di Malang Raya yang cukup besar menunjukan identitas dirinya dengan memilih partai PDIP, begitupun mereka yang Santri menunjukan identitas ke-Santrian dengan memilih partai Islam. Jika dibandingkan antara golongan pemilih Abangan dengan pemilih Santri, secara kuantitatif pemilih Abangan lebih besar, walaupun Malang ini terkenal juga dengan masyarakat Islami. Karena besarnya masyarakat Abangan ini, maka PDI-P Malang Raya memiliki pendukung cukup banyak yang dibuktikan dengan pilihan politik pemilih pada PDIP ketika pemilu 1999. Kemenangan PDIP di Malang Raya hampir merata di setiap daerah (Kabupaten Malang, Kota Malang, dan Kota Batu). Dengan demikian, akibat dalam pemilu 1999 lebih menekankan pada ideologi, maka pilihan basis massa masing-masing sejalan dengan politik aliran. Partai Nasionalis, seperti PDIP, menggarap pemilih Abangan, dan Golkar menggarap pemilih Priyayi. Sementara Partai Islam, atau yang punya hubungan sosiologis dan historis dengan pemilih Islam menggarap pemilih Santri. PKB, PPP menggarap pemilih Santri Tradisional, dan PAN, PBB menggarap Santri Modernis. 2. Upaya Partai Politik dan Program Partai Pemilu 2004 adalah pemilu kedua dalam masa transisi demokrasi. Pada pemilu ini partai politik masih mengikuti alur budaya politik aliran, begitupun para pemilihnya masih terjebak pada dasar pilihan yang bersifat sektarian. Akan tetapi, stategi pemenangan pemilu yang menekankan pada ideologis dari partai politik telah mengalami sedikit pengembangan dengan dilakukannya stategi melalui pendekatan yang berpola transaksional. Walau pemilu legislatif 2004 ini perilaku politik masyarakat masih tidak berubah dan tetap sektarian, namun ikatan mereka sudah berkembang yaitu tidak hanya ideologis namun juga sudah ada transaksi politik. Pola hubungan ideologis pada pemilu 2004 masih terlihat dalam kampanye partai yang masih mengusung simbol-simbol partai terutama figur historis partai yang berideologi Nasionalis. Dalam pemenangan pemilu, elit partai dan caleg berusaha merebut segmen 162 UAPAYA PARTAI DALAM PEMENANGAN PEMILU pemilih masyarakat bawah dengan pendekatan perilaku Abangan yang menjadi ciri khas sebagai besar masyarakat Malang Raya. Acara hiburan atau panggung rakyat yang diadakan selalu menampilkan citra kelas bawah seperti kesenian kuda lumping bantengan, atau mengadakan dangdutan. Walaupun demikian, pada aras pusat, starategi perluasan segmen pemilih juga dilakukan, yaitu dengan melakukan pendekatan kepada tokoh-tokoh santri tradisionalis yang cukup berpengaruh. Kondisi ini diharapkan terjadinya pelunakan gap ideologis antara Santri dan Abangan di tingkat grassroot, agar Santri tingkat identifikasi kesantriannya lemah dapat bergabung secar politik ke PDIP yang Nasionalis. Pola hubungan transaksional pada pemilu 2004 berlanjut pada pemilu 2009, dan bahkan lebih massif. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya bantuan partai kepada masyarakat baik itu untuk pembangunan prasarana sosial, keagamaan maupun lingkungan. Hasil observasi penulis, PDIP banyak sekali memberikan bantuan kepada masyarakat seperti pembuatan sumur bor untuk kepentingan air bersih masyarakat, bantuan untuk plengsengan saluran air dan lain-lain. PKB banyak memberikan bantuan untuk sarana dan prasarana keagamaan seperti bantuan pembangunan mesjid, langgar, pesantren. Golkar dan PKS lebih terpolarisasi dalam memberikan bantuan, mereka disamping memberikan bantuan berupa sarana dan prasarana sosial dan lingkungan, juga prasarana keagamaan. Khusus bagi PKS, pemberian atau bantuan sosial juga direalisasikan dalam bentuak pengobatan gratis dan bantuan sosial lainnya seperti bantuan penanggulangan bencana alam yang sering terjadi Malang Raya baik itu berupa longsong, banjir dan lain sebagainya. Hasil lapangan menunjukan bahwa pemilih Abangan tetap mendominasi. Dalam pemilu 2004, walaupun terjadi pergeseran pilihan politik pemilih dimana PDIP yang pada pemilu 1999 mendapatkan dukungan pemilih sebesar 33,76 % secara nasional, turun menjadi 19,58 %, tetapi secara keseluruhan masih menunjukan dominasinya di Malang Raya. Untuk wilayah Malang Raya, PDIP memperoleh 28,97% untuk Kabupaten Malang, 25,84 % Kota Malang, dan 19,88 % untuk Kota Batu. Sementara urutan kedua diduduki oleh PKB dengan perolah suara 25,72 % untuk Kabupaten Malang, 17,36 % Kota Malang, dan 13,19 % untuk Kota Batu. Sementara 163 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH Golkar yang banyak disebut mendapat dukungan dari golongan aliran budaya ketiga yang oleh Geertz disebut priyayi, di Malang Raya menempati posisi ketiga untuk perolehan suara Kabupaten dan Kota Malang dengan dengan dukungan pemilih sebesar 16,68 % dan 17,36 %. Akan tetapi, Golkar mampu menjadi nomor satu untuk wilayah Kota Batu yang notabene sebagai daerah baru hasil pecahan dari Kabupaten Malang. Di Kota Batu, Golkar mendapat dukungan pemilih sebesar 20,62 %, diikuti oleh PDIP dan PKB yaitu 19,88 % dan 13,19 %. 3. Upaya Partai Politik dan Voting Dalam rangka meraih simpati pemilih masing-masing partai politik berusaha membuat upaya yang diharapkan dapat memperoleh suara yang signifikan dalam setiap pemilu. Dari pemilu ke pemilu upaya partai-partai menunjukan kesamaan yaitu melalui tiga pendekatan, yaitu ideologi, sosial kemasyarakatan, dan ekonomi. Akan tetapi dari pemilu ke pemilu penekanan dari ketiga pendekatan tersebut berbeda-beda sesuai dengan situasi dan kondisi baik yang terikait aturan pemilu maupun Pemahamanan partai yang berkembang dalam masyarakat. Lebih jauh, intensitas pendekatan yang dilakukan serta bentuk dan jenis program juga berbeda-beda sesuai dengan keadaan dan kemampuan partai politik. Oleh karena hubungan sosial kemasyarakatan seperti yang dilakukan PDIP, PKB, dan Golkar. Dengan mengutamakan pendekatan Ideologi dan sosial kemasyarakatan, baik PDIP maupun PKB mampun memperoleh suara yang besar karena didukung oleh basis massa yang jelas. PDIP sebagai partai yang merepresentasikan kelompok abangan banyak didukung oleh kelompok masyarakat marginal yang mengatasnamakan wong cilik. PKB sebagai representasi dari pemilih Santri Tradisional banyak mendapatkan dukungannya dari kaum nahdilyin. Sementara Partai Golkar, sebagai partai warisan Orde Baru menjadi repserentasi dari pemilih priyayi yang didukung oleh kelompok birokrat atau Pegawai Negeri Sipil. Di sisi lain Partai Amanat Nasional (PAN), yang merupakan representasi dari kelompok Santri Modernis banyak mendapat dukungan dari warga Muhammadiyah, Al-Irsyad, Persis dan kelompok ormas keagamaan modernis lainnya. Salah satu daya tarik utama 164 UAPAYA PARTAI DALAM PEMENANGAN PEMILU dari adalah sosok Amin Rais yang dikenal sebagai tokoh reformis dan dikenal luas di kalangan mahasiswa dan akademisi. Dengan demikian pada saat pemilu 1999, PAN ini juga banyak didukung oleh kalangan pemilih muda, terutama mahasiswa yang pada saat itu bersama-sama menggulingkan pemerintahan Orde Baru. Hampir segaris dengan PAN, PBB yang juga menjadi representasi dari pemilih modernis banyak didukung oleh kalangan masyarakat yang punya hubungan historis dengan Masyumi. Di Malang Raya PBB tidak banyak pendukungnya, karena memang wilayah ini bukan basis dari Santri Modernis, dan walaupun ada sudah habis diambil oleh PAN. Sementara PPP yang merupakan partai Islam hasil fusi masa Orde Baru, walaupun mengatasnamakan partai yang merepresentasikan Santri Tradisional, namun di Malang Raya pendukungnya sangat sedikit. Sementara partai-partai lainnya, tidak mendapatkan banyak suara yang dihasilkan dari warisan ideologis. Mereka umumnya banyak mendapatkan suara karena hasil kerja melalui pendekatan sosial kemasyarakatan maupun pendekatan ekonomi. Pemilu 2004 merupakan pemilu ke 2 pasca reformasi. Berbagai pengalaman dan pengetahuan yang didapat dari pemilu 1999 telah menjadi pelajaran bagi partai-partai berikutnya pada pemilu 2004. Bagi partai-partai yang memperoleh dukungan cukup besar, menatap pemilu 2004 dengan penuh percaya diri, sehingga banyak elit politik dari partai yang lupa kewajiban kepada konstituennya. Dengan hanya menekankan pendekatan yang pernah dilakukan seperti pada masa pemilu 1999 seperti yang dilakukan oleh partai PDIP, PKB, maka pada pemilu 2004 di Malang Raya kedua partai tersebut kehilangan suara yang signifikan terutama PDIP. Hampir semua partai politik yang lulus electoral threshold mengalami penurunan suara dengan kadar yang berbeda-beda, dan hanya partai Partai Golkar bertahan, bahkan secara Nasional meningkat walaupun tidak signifikan. Kemenangan Partai Golkar tidak lepas dari kerja keras dalam konsolidasi partai yang dimotori oleh Akbar Tanjung. Pada saat partai-partai lain yang lulus electoral threshold terlena dengan kemenangan, justru Partai Golkar berjuang keras dengan menggunakan pendekatan yang tidak hanya menekankan pada idelogi namun sudah mengunakan pendekatan sosial kemayarakat dan ekonomi. Dengan pengalaman selama Orde Baru, bagi Partai 165 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH Golkar tidaklah sulit untuk melakukan berbagai pendekatan kepada masyarakat. Sebagaimana yang dikemukakan Ketua DPRD Kota Batu, Mantan Ketua DPD Golkar, bahwa Partai Golkar untuk memenangkan pemilu 2004 melakukan berbagai pendekatan seperti memperjuangkan pembangunan pada komunitas yang mereka tempati; memberikan bantuan, khususnya bantuan finansial, bantuan semen, pasir, batu merah sebagai perangsang agar mereka mau melaksanakan pembangunan di kampung-kampung. Sementara dana yang dipergunakan untuk membina konstituen didapat dari dari fraksifraksi, karena menurut Mashuri, di Partai Golkar ada semacam konvensi bahwa wakil-wakil yang duduk di fraksi harus memberikan sebagian rizkinya untuk kepentingan lingkungan atau dishodakohkan kepada dapil-dapil mereka masing-masing. Keberhasilan yang cukup spektakuler pada pemilu 2004 diperoleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat. PKS pada pemilu 1999 masih bernama Partai Keadilan (PK), PK pada pemilu 1999 tidak lolos electoral threshold sehingga harus berganti nama. Kemenangan PKS pada pemilu 2004 tidak lepas dari upaya partai yang dijalankan. PKS disamping terus melakukan kaderisasi lewat tabiyah, yang banyak bergerak dikalangan muda kampus, juga dengan atraktif melakukan berbagai pendekatan sosial kepada masyarakat yang dikemas dalam bentuk bakti sosial (baksos). Gerakan konsisten yang dilakukan kader PKS, lama kelamaan mendapatkan simpati, tidak hanya dari kalangan pemilih modernis, namun juga banyak dari kalangan tradisional dan Abangan yang tersentuh oleh pendekatan sosialnya. Sementara kemampuan Partai Demokrat menyedot simpati pemilih tidak lepas dari peran SBY sebagai pendiri partai yang merupaka figur sentral. Latar belakang SBY datang dari kalangan tentara ditambah dengan sosok penampilan dan kepribadian yang dianggap santun telah menarik perhatian pemilih dan memberikan pilihannya pada Partai Demokrat pada pemilu 2004. Sementara partai-partai lain tidak begitu menonjol, disamping tidak punya basis massa yang jelas serta figur partai, juga tidak banyak mempunyai sumberdaya finansial maupun sumber daya manusia. Dari data yang ada menunjukan bahwa hasil pemilu 2004 telah terjadi perubahan komposisi kekuatan politik di Dewan, dimana yang 166 UAPAYA PARTAI DALAM PEMENANGAN PEMILU pada pemilu 1999 dikuasai oleh hanya tiga partai yaitu PDIP, PKB, dan Golkar. Komposisi partai di Dewan hasil pemilu 2004 telah melahirkan dua kekuatan baru yaitu PKS dan Partai Demokrat, sehingga pola sistem kepartaian yang pluralisme sederhana dengan tiga kekuatan partai berubah menjadi pluralisme moderat dengan lima kekuatan partai. Pemilu yang paling menarik di era pasca reformasi adalah pemilu 2009. Dengan sistem pemilu baru yang menerapkan rejim suara terbanyak bagi calon yang lolos ke Dewan telah mempengaruhi upaya dalam meraih simpati pemilih. Pada pemilu 2009, peran partai menjadi minimal, dan peran caleg menjadi menonjol, oleh karena itu pendekatan ideologi mengalami kekaburan dengan adanya caleg-celeg yang berasal dari luar basis pendukung partai. Pendekatan yang dilakukan para caleg lebih menintikberatkan pada pendekatan ekonomi dan sosial kemasyarakan. Hal ini didorong oleh tingginya kompetisi yang terjadi antara sesama caleg di tingkat partai. Masingmasing caleg dengan menggunakan jaringan sosial masing-masing menyalurkan berbagai bantuan baik untuk pembangunan jalan, Mushala, Masjid, bantuan sembako, dan bahkan uang tunai. Hasil pemilu yang terjadi menunjukan bahwa sebaran perolehan suara sangat berbeda dengan pemilu sebelumnya. Bahkan partaipartai yang punya basis massa yang jelas seperti PDIP, dan PKB harus menerima kenyataan bahwa mereka telah banyak ditinggalkan oleh kosntituennya. Bahkan perolehan suara PKB di Kota Batu mengalami penurunan yang sangat tajam, sehingga PKB yang pada pemilu 2004 mendapatkan 4 kursi, pada pemilu 2009 tidak dapat satu kursi pun. Perolehan suara di Kota Malang pada pemilu 2009, Partai Demokrat memenangkan persaingan dalam pemilu dengan perolehan suara 83.065, dan disusul oleh PDIP dengan perolehan suara 71.370. Pada pemilu 2004, wilayah Kota Malang ini menjadi basis utama dari PDIP, dan mengantarkan kadernya menjadi Walikota dalam pilkada 2008. Menurut salah seorang informan, yang pernah menuturkan kepada penulis, kemenangan Partai Demokrat tidak hanya melulu karena faktor figur SBY yang menjadi Presiden, namun juga adanya intervensi dari partai. Di Kota Malang banyak Ketua RT yang dijanjikan bantuan 500.000,- per Kepala Keluarga dengan alasan untuk perayaan 17 Agustus. Namun bantuan itu akan dicairkan 167 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH setelah pemilu dan menjelang akan dilaksanakan perayaan tujuh belasan, dan itu berarti akan ada implikasi pada pemenangan pilpres dari calon Partai Demokrat. Sementara transaksi yang dilakukan dari caleg partai lain, banyak dilakukan dengan pemberian bantuan pembangunan yang umumnya sudah berjalan lama terutama yang dilakukan oleh calon incumbent. Paling menonjol, transaksi yang dilakukan berupa pemberian uang. Berbeda dengan di Kota Malang, Kabupaten Malang yang merupakan bagian penduduk terbesar di Malang Raya masih banyak yang setia pilihan politiknya dengan PDIP. Masyarakat di Kabupaten Malang umumnya adalah petani dan dengan tingkat pendidikan yang umumnya relatif lebih rendah dibanding dengan Kota. 168 BAB V POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH 169 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH KOMPETENSI Dalam bab ini diharapkan mahasiswa dapat menjelaskan kondisi sosial budaya masyarakat dan pemaknaan partai pada partai politik serta bagaimana pola hubungan partai dan pemilih yang terjadi. Selanjutnya mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan kaitan antara sistem kepartaian, pemilu, strategi partai, serta pola hubungan antara pemilih dan partai politik yang berkembang. Selanjutnya mehasiswa diharapkan dapat memahami basis massa masing-masing partai politik baik itu partai Islam maupun Nasionalis. Apakah partai-partai tersebut masih setia dengan basis massanya masing-masing atau sudah mengalami perubahan. Lebih jauh, mahasiwa diharapkan dapat menjelaskan apakah terjadi perubahan pola hubungan yang terjadi dari pemilu ke pemilu. 170 BAB V POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH DALAM perspektif rasional, mekanisme hubungan partai politik dengan masyarakat merupakan hubungan yang bersifat simbiosis mutualisme, dimana partai politik membutuhkan suara pemilih dalam pemilu dan sebaliknya pemilih membutuhkan partai guna memperjuangkan apa yang menjadi kepentingan mereka. Maka dari itu, partai politik terpaksa harus memperhatikan keinginan para pemilih sebelum mengambil keputusan mengenai program dan kebijakan partai, sebaliknya pemilih harus dapat menentukan partai mana yang mempunyai platform jelas dan sekaligus dapat memperjuangkannya. Dengan demikian, politisi harus mencari informasi tentang kesulitan dan masalah yang sedang dihadapi masyarakat serta kepentingan dan preferensi pemilih. Kemudian partai dapat menawarkan suatu program politik yang menjadi isu dalam masyarakat. Oleh karena itu dalam kompetisi multi-partai, dibutuhkan partai politik yang responsive terhadap apa yang menjadi agenda masyarakat di tingkat grassroot. Dengan demikian, hubungan partai dan pemilih di era multi partai perlu membangun hubungan eksklusif agar partai dapat memaksimalkan hasil di dalam pemilu. Pertanyaan penelitian yang akan dijawab dalam bab ini adalah “bagaimana hubungan partai dan pemilih di Malang Raya?”. Guna keperluan tersebut, penulis akan menguraikan bagaimana hubungan partai dan pemilih yang terjadi baik pada pemilu 1999, 2004, maupun 2009. Selanjutnya dibahas mengenai “faktor sosial budaya, Pemahamanan, dan pola hubungan”, serta “sitem kepartaian dan pemilu, upaya partai, dan pola hubungan.” 171 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH A. Hubungan Partai dan Pemilih Setiap kali bangsa Indonesia melaksanakan pemilu, termasuk pemilu pasca reformasi, aliran selalu mewarnai pola hubungan partai dan pemilih. Sebagaimana halnya pemilu multipartai 1955, pemilu 1999 juga punya warna ideologis yang berbasis aliran. Hasil pemilu pertama pasca reformasi, tampak jelas bagaimana aliran menjadi benang merah afiliasi politik masyarakat kepada partai politik. Memasuki pemilu 2004, akibat adanya perubahan dalam sistem kepartaian dan pemilu, dan perluasan Pemahamanan partai oleh pemilih, pola hubungan yang berbasis aliran sedikit mengalami perubahan. Hasil pemilu 1999 yang cukup kental dengan warna ideologis, pada pemilu 2004 hasil pemilu agak mencair sebagaimana dibuktikan dari penurunan perolehan suara partai-partai yang merepresentasikan ideologi seperti PDIP, PKB, PAN. Pada pemilu 2009, sistem pemilu dengan daftar terbuka murni lebih mendorong partai untuk melupakan label ideologis karena peran caleg lebih dominan dalam upaya meraih suara. Hasil perolehan suara pemilu 2009 menunjukan adanya perubahan yang cukup signifikan terkait pola hubungan yang berbasis aliran. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada pemilu 1999 pola hubungan berbasis aliran masih terkonstruksi, sementara pada pemilu 2004 konstruksi politik politik aliran mengalami penurunan. Berbeda dengan pemilu 1999 dan 2004, pada pemilu 2009, konstruksi pola hubungan partai dan pemilih berbasis aliran sudah sangat melemah, kalau tidak dikatakan hilang. 1. Konstruksi Politik Aliran Masih Jelas Setelah UU no.2 Tahun 1999 disahkan maka mulailah kancah baru dalam dunia politik di Indonesia. Reformasi politik pasca Orde Baru memberikan kesempatan bagi lahir dan tumbuhnya 148 Partai politik, ternyata hanya 48 partai politik yang berhak ikut pemilihan umum (Pemilu) 7 Juni 1999. Dari 48 partai politik yang ikut pemilu di Kota Malang dan Kabupaten Malang ternyata hanya ada beberapa partai yang mempunyai hak representatif di DPRD. Pada pemilu 1999 menunjukan bahwa PDI-P meraih 162.818 suara atau 41,32 % dengan perolehan kursi 15 kursi. PKB dengan 77.429 suara atau 19,65 %, mendapatkan 12 kursi. Golkar memperoleh 172 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH suara 63.363 atau 16.08 % sehingga mendapatkan 7 kursi. PPP dengan 11.080 suara atau 2.81 % mendapatkan 3 kursi. PAN meraih 41.582 suara atau 10,55 %, mendapatkan 2 kursi. Sementara di Kabupaten Malang, PDI-P meraih 510.450 suara atau 38,46 % dengan perolehan kursi 17 kursi. PKB dengan 392.472 suara atau 29,57 %, mendapatkan 12 kursi. Golkar memperoleh suara 243.110 atau 18,32 % sehingga mendapatkan 9 kursi. PPP dengan 45.939 suara atau 3,46 % mendapatkan 1 kursi. PAN meraih 38.891 suara atau 2,931 %, mendapatkan 1 kursi. Dari data tersebut menujukan bahwa perolehan suara partai yang signifikan masih sejalan dengan politik aliran. PDIP yang merupakan representasi dari pemilih Abangan, PKB dan PPP yang merupakan representasi dari pemilih Santri Tradisional, PAN dan PK representasi dari pemilih santri Modernis, sementara Golkar merupakan representasi dari pemilih Priyayi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada pemilu 1999 nuansa ideologis masih kental mewarnai perpolitikan di Malang Raya, sebagaimana halnya dalam pemilu 1955. Patut disampaikan, walaupun PKB dan PAN dalam paltform partai tidak mencantumkan asas Islam, namun dari kacamata sosiologis dan historis kedua partai ini bisa dikategorikan partai Islam karena mempunyai kedekatan dengan pemilih Islam. PKB didirikan oleh Gus Dur yang merupakan mantan Ketua Umum PP NU dan sekaligus cucu pendiri NU yaitu KH. Hasyim Asyari, sementara Amin Rais merupakan mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah. Hal yang menarik, walaupun Malang terkenal dengan kehidupan masyarakat yang Islami, namun dalam afiliasi politik masyarakatnya lebih banyak ke partai Nasionalis. Sebagaimana hasil perolehan suara dalam pemilu, PDIP yang merupakan representasi dari partai Nasionalis mendapatkan 41,32 % di Kota Malang dan 38,46 % di Kabupaten Malang, sementara PKB yang merupakan representasi dari partai Islam mendapatkan 19,65 % di Kota Malang dan 29,57 % di Kabupaten Malang. Kedua partai ini, pada pemilu 1999 merupakan partai yang mempunyai pemilih dengan tingkat fanatisme yang tinggi. Pemilih di akar rumput, khususnya yang menamakan diri sebagai wong cilik, tingkat identifikasi dirinya kepada PDIP sangat tinggi. Simbol-simbol partai seperti gambar Bung Karno, Megawati menjadi 173 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH hiasan di rumah-rumah mereka. Begitu pula dengan gambar kepala banteng dengan moncong putih, pada saat menjelang dan sesudah pemilu 1999, hampir jamak bagi mereka yang mengatasnamakan wong cilik memakai kaos bergambar kepala banteng dengan moncong putih. Bagi pemilih PKB yang umumnya merupakan kelompok santri tradisional, memilih partai ini seakan-akan sudah menjadi kewajiban, Oleh karena itu banyak di antara mereka yang rela untuk menghadiri acara-acara kampanye yang diadakan oleh PKB dengan biaya sendiri. Simbol-simbol yang menjadi ciri khas dari organisasi NU yaitu bola dunia yang dikelilingi bintang sembilan menjadi menu wajib warga Nahdiliyin dalam menghiasi rumahnya, baik dalam bentuk kalender maupun poster. Begitupun dalam setiap acara keagamaan yang dilakukan, selalu menjadi ajang sosialisasi dari para elit PKB untuk menegaskan bahwa apabila mengaku NU harus memilih PKB. Hampir semua kekuatan NU, baik itu kyai dengan pesantren nya, guru agama dengan sekolahnya banyak yang terlibat dalam mensosialisasikan dan sekaligus mengkampanyekan untuk kemenangan PKB. Dengan demikian tidak lah mengherankan apabila PKB dalam pemilu 1999 mendapat suara yang signifikan, walaupun ada partai lain yang juga lahir dari rahim NU seperti PNU dan PKU. Secara mengejutkan, Partai Golkar yang merupakan reinkarnasi dari Golkar masa Orde Baru, masih tetap mendapatkan suara yang signifikan yaitu 63,363 suara atau 16.08 % untuk Kota Malang dan 243.110 atau 18,32 % untuk Kabupaten Malang. Dukungan terhadap Golkar yang cukup konsisten datang dari keluarga Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau dari masyarakat yang secara ekonomi maju karena perhatian pemerintah pada massa Orde Baru. Dalam perspektif aliran, pemilih Golkar ini merupakan kelompok priyayi, walaupun dalam realitasnya tidak semua pemilih Golkar itu datang dari keluarga yang berlatar belakang PNS. Kalau melihat perolehan suara yang kurang dari 20 % di Malang Raya, jelas ada penurunan yang signifikan dibanding dengan suara masa pemilu Orde Baru yang rata-rata di atas 60 %. 2. Konstruksi Politik Aliran Mengalami Kekaburan Pada pemilu 2004 politik aliran masih mewarnai perilaku politik di Malang Raya. Sebagaimana dikemukan Pratikno (2004),” perilaku pemilih di Indonesia masih belum berubah dari pola yang berkembang 174 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH sejak Pemilu 1955. Masyarakat tetap menyalurkan aspirasi politiknya dengan basis ideologi, sedangkan kelompok masyarakat yang rasional hanya sekitar 20 persen.” Dalam situasi tersebut, berbagai konsep, visi, dan platform yang ditawarkan partai menjadi tidak begitu dihiraukan. Masyarakat lebih menghargai asal-usul partai dan berbagai program kongkrit yang bersifat karikatif yang dilakukan seperti bantuan sosial dan pembangunan atau pun pemberian uang. Kondisi di lapangan menunjukan bahwa partai politik dan pemilih tidak lagi semata-mata mengandalkan identitas ideologis, partai sudah berusaha bergeser ke arah yang lebih tengah. Partai Islam berusaha menghaluskan isu-isu ideologisnya dengan cara tidak telalu lagi getol menyuarakan syariat Islam, sementara partai Nasionalis sudah berusaha mendekat kepada segmen-segmen pemilih Islam. Di sisi lain pemilih sudah berusaha melepaskan diri dari keterikatan dengan partai (civic disangegament) dan sudah berusaha realistis dalam menjalin komunikasi dengan partai. Dampak dari kondisi tersebut adalah pola hubungan partai dan pemilih tidak lagi sepenuhnya menggambarkan aliran politik (partially constructed). Dari hasil perolehan suara pada pemilu 2004, menunjukan bahwa politik aliran sudah mulai mengalami pemudaran. Warna ideologis yang berkembang baik itu Nasionalis yang merah, maupun Islam yang hijau tidak lagi sepekat pemilu 1999. Hal ini bisa dibuktikan dari penurunan suara yang dialami oleh PDIP, PKB, PAN maupun Golkar di Kabupaten dan Kota Malang. Penurunan suara partai berimplikasi pada penurunan kursi di DPRD dari pemilu 1999 ke pemilu 2004. Hasil pemilu 2004 di Kota Malang menunjukan sebagai berikut: PDIP dari 15 kursi turun dua menjadi 12 pada, PKB dari 12 kursi turun empat menjadi 8 dan Golkar dari 7 kursi turun dua menjadi 5. Sementara di Kabupaten Malang, PDIP dari 17 kursi turun 2 menjadi 15, Golkar dari 9 turun dua menjadi 7. Seiring dengan penurunan suara yang dialami PDIP, PKB, dan Golkar, ada partai yang memperoleh suara pantastis pada pemilu 2004 yaitu PKS dan Partai Demokrat. Parta Demokrat yang baru ikut pemilu tahun 2004 langsung menempati urutan keempat dengan perolehan suara 14,55 % dan 7,76 % untuk Kota dan Kabupaten Malang, sementara PKS mendapatkan suara sebesar 7,16 % dan 3,05 % untuk Kota dan Kabupaten. 175 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH Memudarnya politik aliran bisa dilihat dari tingginya swing votes yang ada di Malang Raya. Swing votes yang paling besar berasal dari PDIP yaitu sebesar 15,38 % dan 9,50 % suara dari Kota dan Kabupaten Malang. Menurunnya suara PDIP, menurut hasil Focus Group Discussion, akibat dari kebijakan pemerintahan Megawati yang tidak pro wong cilik, dan hal ini telah menurunkan tingkat identifikasi pemilihnya pada PDIP. Selanjutnya tingkat swing votes, PKB dengan 2,24 % dan 3,85 %, Golkar 1,49 % dan 1,64%, PAN 3,76 dan 0,32 % untuk Kota dan Kabupaten Malang. Swing votes dari PDIP dan Golkar banyak yang masuk ke Partai Demokrat yang memperoleh suara 12,35 % Kota Malang dan 7,76 % Kabupaten Malang. Hal ini dikarenakan Partai Demokrat merupakan partai yang pluralis berasas Nasionalis Religius. Sementara swing votes dari PKB dan PAN banyak masuk ke PKS sebagai partai yang berasas Islam dengan tingkat militansi kader yang tinggi dan didukung dengan program partai yang sangat menyentuh kehidupan masyarakat berupa program bantuan sosial. Terkait dengan pemilu legislatif 5 April 2004, Pratikno menyatakan bahwa sejumlah partai memperebutkan suara dari kelompok masyarakat pemilih yang sama, seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Partai Golkar yang memperebutkan kaum Nasionalis, Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Keadilan Sejahtera (PK Sejahtera) mencari suara kaum Islam modernis, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) memperebutkan suara kelompok Islam tradisional. Sejalan dengan Pratikno, Ichlasul Amal menyampaikan bahwa hasil pemilu legislatif menunjukkan dengan jelas asal-muasal suara yang diperoleh empat besar partai pemenang pemilu, Golkar, PDI-P, PKB, dan PPP. Keempat partai itu mendulang suara dari kelompok Islam dan Nasionalis. Masyarakat masih mencoblos partai berdasarkan aliran, budaya, dan agama. 3. Konstruksi Politik Aliran Berubah Pengembangan pemahaman partai dan perubahan dalam sistem pemilu telah menggeser konstruksi politik aliran yang sudah sekian lama mewarnai perpolitikan di negara kita. Perubahan dari memilih partai menjadi memilih calon pada pemilu legislatif 2009 176 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH sedikit banyak telah menegasikan keberadaan aliran politik. Para kader partai bisa pindah ke partai manapun yang dia suka dan bisa menerimanya menjadi caleg, tanpa hirau dengan identitas ideologis dan historis. Begitupun partai bisa menerima setiap orang yang akan menjadi caleg dari partai yang bersangkutan, senyampang dianggap punya potensi baik ekonomi maupun politik, tidak menghiraukan latar belakang caleg yang akan diterima. Pada tingkatan pemilih, pada pemilu 2009 dasar pertimbangan latar belakang atau ideologi partai tidak lagi menonjol, justru yang dominan adalah, apakah calon itu mempunyai kedekatan secara sosial atau pribadi!, dan apakan calon itu bisa memberikan konstribusi secara ekonomi kepada mereka!. Dengan demikian tingkat identifikasi diri kepada partai pada pemilu 2009 sudah sangat rendah dibanding dengan pemilu 1999 dan 2004. Kondisi tersebut telah menyebabkan konstruksi politik aliran dalam pola hubungan partai dan pemilih berbasis aliran semakin mengalami kekaburan.1 Dari data menunjukan bahwa perolehan kursi partai di DPRD tidak lagi terkonsentrasi pada beberapa partai saja, melainkan sudah menunjukan ada penyebaran. PDIP, PKB, dan Golkar yang merupakan sibolisasi dari politik aliran tidak lagi menjadi partai dengan perolehan kursi terbesar, pada pemilu 2009 dominasi ketiga partai ini tidak terjadi. Beberapa partai muncul ke permukaan seperti Partai Demokrat, PKS, PAN dan beberapa partai lain, bahkan Partai Demokrat bisa menghentikan dominasi PDIP di Kota Malang yang pada pemilu 1999 dan 2004 menjadi pemenangan pemilu di Malang Raya. Partai Demokrat di Kota Malang yang pada pemilu 2004 memperoleh kursi 7 kursi kalah 5 kursi dari PDIP yang memperoleh 12 kursi, pada pemilu 2009 Demokrat memperoleh 12 kursi sementara PDIP 9 kursi. Kondisi hasil perolehan suara partai yang tidak konsisten dari satu pemilu ke pemilu atau yang disebut dengan ketidakstabilan electoral merupakan petunjuk menurunnya identifikasi pemilih terhadap partai, yang secara otomatis meningkatnya swing votes. 1 Yang dimaksud dengan kekaburan politik aliran adalah perubahan peta afiliasi politik masyarakat yang diakibatkan oleh bergesernya basis pertimbangan pemilih dalam menentukan pilihan partai politik. Pada pemilu 1955 dan pemilu 1999, dasar pertimbangan pemilih dalam menentukan pilihan partai politik adalah ideology, pada pemilu 2004 sedikit bergeser kea rah transaksional, dan pada pemilu 2009 semakin transaksional. 177 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH Dalam pemilu 1999 di Malang Raya perolehan suara partai-partai papan tengah ke atas seperti PDIP, Golkar, PKB, PPP, PAN, PBB dalam pemilu 2004 mengalami penurunan dan memunculkan partai baru yang masuk ke papan tengah yaitu PKS dan Demokrat, dan bahkan pada pemilu 2009 Partai Demokrat menjadi partai papan atas mengalahkan PDIP, khususnya di Kota Malang.2 Penurunan tingkat identifikasi pemilih kepada partai tertentu di Malang Raya bisa diindikasikan oleh menurunnya kebanggaan pemilih pada simbol-simbol partai. Kalau dalam pemilu 1999 dan 2004 banyak pemilih yang memakai kaos merah dengan gambar partai seperti gambar banteng sebagai simbol PDIP, atau baju hijau dengan gambar bola dunia yang dikelilingi sembilan bintang yang merupakan simbol PKB. Mereka sangat fanatik dengan kaos bergambar partai PDIP dan PKB tersebut, dan tidak akan berani secara terangterangan memakai kaos bergambar partai lain. Menjelang pemilu 2009, fenomena pemakaian kaos bergambar partai tertentu secara fanatik sudah tidak nampak. Pemilih tidak lagi sungkan atau raguragu untuk memakai kaos yang bergambar lain partai yang tidak sealiran baik dari kalangan Abangan maupun kalangan Santri Tradisionalis. Sebagai contoh dari hasil temuan di lapangan, banyak pemilih yang berasal dari kelompok Abangan maupun Santri tradisional yang dalam keadaan tertentu memakai kaos PAN. B. Faktor Sosial Budaya, Pemahamanan, dan Pola Hubungan Pola hubungan partai dan pemilih sangat berkaitan dengan situasi dan kondisi masyarakat dimana partai dan pemilih itu berada. Kondisi masyarakat Indonesia yang secara kultural terbelah ke dalam 2 Kemenangan Partai Demokrat di Malang Raya tidak lepas dari popularitas SBY, serta kebijakan popular Pemerintahnya pada saat-saat menjelang pemilu. Kebijakan Bantuan Langsng Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin, pemberian beras bagi masyarakat miskin, penurunan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) menjadi daya dorong kuat bagi pemilih kalangan menengah ke bawah untuk memilih Partai Demokrat. Sementara kebijakan peningkatan kesejahteraan Pegawai Negeri Sipil, seperti menaikan gaji bulanan, dan pemberian gaji ke 13 telah menodorong sebagian PNS Sipil maupun militer (akitif maupun pensiunan) mengalihkan dukungannya ke Partai Demokrat. Khusus untuk kalangan Guru, daya tarik ke partai Demokrat lebih banyak dikarenakan oleh kebijakan sertifikasi. Dukungan pemilih ke Partai Demokrat sangat ditentukan oleh faktor SBY dan kebijakan yang pro rakyat, oleh karena itu dukungan ini sangat cair dan bisa berubah seiring dengan perubahan popularitas SBY dan kebijakan pemerintah. 178 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH santri, abangan dan priyayi, maka partai politik berusaha merespon keberadaan sosio kultural masyarakat dengan cara mengembangkan partai yang bernuansa ideologis yaitu Santri dan partai Islam, Abangan dan Partai Nasionalis. Sementara kehidupan umum di negara ketiga, dengan sistem sosial yang diwarnai oleh kekerabatan dan pola hubungan sosial yang bersifat paguyuban, maka jaringan partai politik lebih banyak dititik beratkan pada jaringan sosial seperti keluarga dan komunitas sektarian bukan pada program-program yang rasional. Lebih jauh, himpitan ekonomi akibat krisis telah melahirkan kemiskinan yang masif ditengah masyarakat. Kondisi ini mendorong partai untuk memanfaatkan keberadaan masyarakat guna kepentingan partai politiknya dengan cara memberikan bantuan kepada masyarakat yang bersifat material. 1. Pemahamanan dan Pola Hubungan dalam Dimensi Ideologis Karl D. Jackson (1978) yang menempatkan varian Santri ke dalam dikotomi Modernis dan Tradisionalis ortodok, dan varian lainnya ditempatkan sebagai sinkretis. Dengan mendasarkan analisisinya pada hasil pemilu 1955, Jackson menunjukan bahwa kelompok Modernis direpresentasikan oleh Masyumi, PMI (Partai Muslimin Indonesia), dan Muhammadiyah, sementara Tradisionalis ortodok direpresentasikan oleh Nahdatul Ulama (Jackson dan Lucian W. Pye, 1978). Guna mempertegas hasil temuannya, ia menggambarkan aliran ini dalam bentuk hubungan antara varian keagamaan dan afiliasi politik pemilih. Muhammadiyah Masyumi Ortodoks PSII Ortodoks Modern Tradisional Santri NU PNI PKI Kaum Sinkretis Abangan Sumber: Karl D. Jackson, Kewibawaan Tradisional, Islam, Dan Pemberontakan, Kasus Darul Islam Jawa Barat, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990. 179 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH Hasil observasi yang dilakukan menunjukan bahwa komitmen pemilih abangan dalam memilih partai Nasionalis dan pemilih Santri dalam memilih partai Islam makin menunjukan ketidakkonsistenan. Hal ini juga didukung oleh hasil survey3 yang dilakukan penulis terhadap 241 (dua ratus empat puluh satu) orang pemilih, dengan 112 orang pemilih Santri dan dan 129 orang pemilih abangan menunjukan bahwa baik pemilih abangan maupun pemilih Santri dalam memilih sudah mengalami pergeseran. Santri tidak punya lagi kecenderungan kuat memilih Partai Islam, begitu pun Abangan tidak lagi punya kecenderungan kuat memilih Partai Nasionalis. Walaupun ada kecenderungan politik aliran masih berjalan dimana pemilih Santri akan memilih Partai Islam dan pemilih Abangan akan memilih partai Nasionalis, namun tampak kecenderungan ini semakin memudar. Pemilih Santri cenderung sudah sangat cair dalam pilihan politiknya, terutama di kalangan Santri Modernis. Santri Modernis pilihan politik antara partai Islam dan Nasionalis, perbandingannya adalah 56:44, sementara Santri Tradisionalis pilihan politik antara Partai Islam dan Nasionalis 58:42. Di sisi lain pemilih Abangan, cenderung agak lebih konsisten pilihan politiknya terhadap partai Nasionalis, dengan perbandingan 79:21. Oleh karena itu bisa dipahami bahwa di Malang Raya, kekuatan partai politik Nasionalis, khususnya PDIP paling besar pada pemilu 1999 dan 2004 dibanding dengan partai-partai lainnya. Dalam pemilu 1999, sebagai justifikasi masih adanya warna politik aliran, bisa dikemukakan bahwa organisasi massa solidaritas yang dikemukakan Geertz menunjukan afiliasinya pada partai politik tertentu. Muhammadiyah sebagai organisasi keagamaan yang modernis walaupun secara formal tidak menjadi bagian pendukung 3 Dalam menentukan responden, untuk menentukan bahwa mereka adalah betul-betul pemilih Santri maupun pemilih Abangan, dilakukan dengan cara menentukan karakteristik Santri dan Abangan, dan dilakukan secara acak. Pemilih Santri merupakan kelompok Islam yang taat sehingga responden yang dipilih adalah mereka yang baru keluar dari Mesjid setelah menjalankan Shalat. Sementara bagi responden Abangan yang merupakan pemeluk Islam nominal, dipilih dari mereka yang tengah bekerja pada saat di survey atau mereka yang a da di pinggir jalan yang menunjukan ciri-ciri kelompok Abangan. Para supir, tukan becak, atau pun orang-orang yang bertato menjadi target dalam survey yang dilakukan terhadap kelompok Abangan. Dengan pertanyaan, pada pemilu 2004 Bapak/Ibu/ Saudara memilih partai Islam atau Partai Nasionalis? 180 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH partai (PAN), namun kelahiran PAN mau tidak mau akan selalu dikaitkan dengan Muhammadiyah dikarenakan Amin Rais sebagai pendiri PAN merupakan mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah. Apa lagi di tingkat kepengurusan baik Wilayah maupun Daerah, sebagian besar mereka adalah orang-orang yang merupakan aktivis Muhammadiyah. Artinya ada benang merah yang menghubungankan antara Muhammadiyah sebagai organisasi massa keagamaan yang Modernis dengan PAN sebagai partai politik. Di sisi lain, Nahdlotul Ulama (NU) yang menjadi representasi dari organisasi massa keagamaan Tradisional, harus merelakan diri apabila diklaim sebagai ormas pendorong lahirnya partai politik, dalam hal ini PKB. Kelahiran PKB sebagai partai politik tidak lepas dari karyanya Gus Dur atau Abdurahman Wahid sebagai cucu pendiri NU yang sekaligus mantan Ketua Umum PB NU, dan juga sebagai mantan Presiden. Dengan adanya Gus Dur, PKB sepertinya dianggap sah mempergunakan basis pemilih NU yang cukup besar khsusunya di Jawa Timur. Oleh karena itu mau tidak mau, suka tidak suka, baik PAN atau pun PKB, walaupun tidak secara formal mencantumkan Islam sebagai asas partai, keduanya baik secara sosiologis maupun historis merupakan partai Islam. Alasan sosiologis yang sangat jelas tergambar dari para elit partai maupun konstituennya, serta historis dari kelahiran partai-partai itu. Lebih jauh, bagi kelompok yang disebut dengan Abangan, walaupun dalam hal organisasi tidak bisa di lihat secara jelas sebagaimana pada kelompok Santri baik yang Tradisional maupun Modern, namun kelompok masyarakat yang dibedakan dari perilaku keberagamaannya yang minimalis (Islam Nominal) mempunyai hubungan yang kuat dengan partai Nasionalis. Pada pemilu 1999 dan 2004 pemilih abangan ini sebagian besar afiliasi politiknya masih pada PDIP yang merupakan partai politik yang berhaluan Nasionalis. Dengan demikian, sesuai dengan kerja dari politik aliran bahwa kelompok santri yang taat beragama akan mengidentifikasi dengan partai politik yang sama yaitu Islam, sementara abangan akan mengidentifikasi dengan partai yang bukan agama yaitu Nasionalis. Pada pemilu 2009, bangunan politik aliran ini sudah mengalami perubahan yang besar seiring dengan terjadinya perluasaan Pemahamanan partai oleh pemilih. Pemahaman ideologis yang mewarnai Pemahamanan oleh pemilih 181 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH telah terkalahkan oleh pemahaman lain, yaitu pemahaman ekonomi. Dalam pemilu 1999 dan 2004 para pemilih Santri masih setia kepada partai-partai Islam atau yang secara sosiologis dan historis dengan Islam seperti PKB, PPP, PAN, PKS dan PBB, walaupun ada sebagian yang memilih Partai Nasionalis Religius, seperti Golkar dan Demokrat. Secara khusus PKB, PPP, PPNU merupakan partai politik yang menjadi afiliasi bagi kalangan Santri Tradisional, dan PAN, PKS dan PBB merupakan partai politik yang menjadi afiliasi bagi kalangan Santri Modernis. Sementara Partai Golkar dan Partai Demokrat merupakan partai tempat penyaluran aspirasi dari sebagian kalangan Muslim baik yang Tradisional maupun Modernis. Sebagai mana telah dikemukakan, afiliasi politik pemilih Abangan punya kecenderungan besar pemilu 1999 dan 2004 tertuju pada PDIP, di samping Partai Nasionalis yang lain seperti Golkar, Demokrat, dan partai lain. Dalam kelompok pemilih Abangan PDIP merupakan pilihan politik yang mayoritas, sehingga di Malang Raya pada pemilu 1999 dan 2004 PDIP menjadi partai politik yang mempunyai suara signifikan. Bahkan dalam pemilu 1999, PDIP di Malang Raya melebihi perolehan PDIP secara Nasional. Secara nasional PDIP mendapat 33,76%sementara di Malang Raya berdasar wilayah berturut-turut mendapat 39,66% di Kabupaten Malang, dan 41,22% di Kota Malang. Konsfigurasi politik pada pemilu 1999 dan 2004 di Malang Raya menunjukan bahwa politik aliran yang dikemukakan Clifford Geertz (1960) tetap eksis, sekalipun dengan pelbagai variasinya dan perkembangan yang baru. Kenyataan ini bisa dilihat dari besarnya dukungan masyarakat pada partai-partai berlabel keagamaan Islam dan partaipartai berlabel Nasionalis, termasuk menjelang Pemilu 2009. Walaupun pada pemilu 1999, tidak semua partai-partai berlabel Islam mendapat banyak suara, kecuali empat partai saja, yakni PBB, PAN yang mewakili pilihan Santri Modernis dan PKB PPP, yang mewakili pilihan Santri Tradisional. Dan di sisi lain partai politik berhaluan Nasionalis yang di wakili PDIP menjadi pilihan politik bagi kalangan Abangan, dan Partai Golkar mewakili pemilih Priyayi. Partai Golkar sebagai partai Nasionalis berwajah catchall party, sehingga sedikit banyak menanggalkan ideologinya, sehingga banyak konstituennya datang dari kalangan Santri dan Abangan. Dengan 182 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH demikian ada spektrum afiliasi politik yang bergeser keluar baik dari kelompok Santri maupun Abangan (outlayer). Dari hasil obeservasi dilapangan menunjukan bahwa kelompok Santri Modernis yang moderat, cenderung berafiliasi dengan Partai Golkar, begitupun sebagian kelompok Santri Tradisional. Sementara, dari kelompok abangan yang cenderung bergeser adalah punya historis dengan Orde Baru. Kebijakan rezim Orde Baru yang melakukan berbagai rekayasa untuk menghancurkan pengaruh politik aliran dalam kepartaian.4 PKS, PBB, PAN PPP PKB Ortodoks Ortodoks Modern Tradisional Santri PDIP Kaum Sinkretis Abangan Kecenderungan afiliasi politik pemilih tersebut, didukung oleh hasil survey yang dilakukan penulis. Tidak ada satu pun partai politik yang memperoleh suara signifikan pada pemilu 2004, baik itu Partai Nasionalis maupun Islam yang mendapatkan dukungan murni pemilih tradisionalnya. Hampir semua partai mendapatkan dukungan baik dari pemilih Santri maupun pemilih Abangan, walaupun dukungan politik Pemilih Santri dan Pemilih Abangan terhadap masingmasing partai politik berbeda-beda. Data menunjukan bahwa komposisi pemilih Abangan dan Santri yang hampir seimbang adalah Golkar dengan perbandingan Santri 44% dan Abangan 56%. Hal ini menunjukan bahwa Golkar merupakan pemilih yang paling heterogen dalam artian basis pemilihnya. Walaupun Golkar termasuk ke dalam partai Nasionalis dengan asas Pancasila, akan tetapi konstituennya banyak juga dari kalangan 4 Pada jaman Orde Baru, kedua kutub (Santri dan Abangan) digiring baik secara halus maupun kekerasan oleh kekuatan Orde Baru untuk memilih Golkar sebagai pilihan politik mereka. Baik pemilih Abangan maupun pemilih Santri, sebagian besar tidak punya pilihan lain kecuali mencoblos Golkar untuk mencari aman baik secara ekonomi, politik, maupun sosial. Dengan berjalannya waktu, pilihan politik terhadap Golkar ini menjadi hal biasa baik dikalangan Santri maupun Abangan, dan tidak heran apabila setelah berakhirnya kekuasaan Soeharto, banyak pemilih Santri maupun Abangan yang tidak merubah pilihan politiknya. 183 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH Santri. Pemilih Santri Golkar lebih banyak datang dari kalangan Santri yang termasuk kategori Modernis, khususnya yang moderat. Sementara pemilih Abangan berasal dari kelompok Abangan yang tingkat keabangannya lemah. Di sisi lain, pemilih PDIP banyak datang dari kalangan pemilih Abangan yaitu sebesar 72%, yang menurut Afan Gaffar merupakan Abangan yang tingkat keabangannya kuat (strong Abangan). Hal ini tidaklah mengherankan karena PDIP sangat kental dengan aroma Nasionalis-nya. Dukungan dari kalangan Santri terhadap PDIP sebesar 28%, yang umumnya berasal dari kalangan pemilih Tradisional dan tergolong Santri Lemah (week Santri). Kondisi PDIP ini hampir mirip dengan Partai Demokrat. Partai Demokrat mendapat suara paling banyak dari kalangan pemilih Abangan yaitu sekitar 68%, semenara pemilih Santri 32%. Sementara PKB, keadaannya terbalik kalau dibandingkan dengan PDIP. PKB lebih banyak pemilihnya datang dari kalangan Santri yang terkategorikan Santri Tradisional yaitu 61%, sementara pemilih dari kelompok Abangan sebesar 39%. Bagi pemilih PAN dan PKS, walaupun sama-sama mayoritas pemilihnya datang dari kalangan Santri, namun PKS mendapatkan pemilih Santri yang paling besar. PKS mendapat 87% pemilih dari kalangan Santri dan 13% datang dari pemilih Abangan, sementara PAN hanya mendapat 65% dari kalangan pemilih Santri dan 35% datang dari kalangan pemilih Abangan. Pemilih Santri PAN banyak datang dari kelompok Santri Modernis yang tergolong reformis, sementara PKS banyak datang dari kelompok Santri Modernis yang tergolong Konservatif. Dengan demikian bisa dikatakan, bahwa pemilih masih terikat dengan “pakem” aliran dalam menentukan pilihan politiknya walaupun dengan tingkat identifikasi dirinya yang sudah semakin melemah. Dengan demikian, walaupun telah mengalami sedikit perubahan, namun secara garis besar dapat dikatakan bahwa aliran politik masih tetap eksis dalam pemilu era multipartai ini, khususnya dalam pemilu 1999 dan 2004. Pemilih Santri masih berkecenderungan memilih partai politik yang Islam, sementra pemilih Abangan masih punya kecenderungan memilih partai yang Nasionalis. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa pemilu 1999 di Malang Raya keyakinan sosio-religi yang bersumber aliran seperti yang dikemukakan Geertz, masih 184 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH menjadi bagian yang mewarnai kehidupan politik masyarakat. Pada pemilu 2004 pola aliran sudah mulai berkurang walaupun masih kelihatan, dan pada pemilu 2009 pola politik berdasarkan aliran sudah hampir habis karena terkalahkan dengan pola politik transaksional. 2. Pemahamanan dan Pola Hubungan dalam Dimensi Sosial Budaya Perbedaan yang cukup menonjol antara kelompok Santri Modern dan Santri tradisional adalah tradisi dalam melakukan sosialisasi dan tranfer keilmuan. Di kalangan Santri Modern, sosialisasi dan transfer keilmuan lebih banyak dilakukan lewat buku-buku teks, sehingga dikenal dengan budaya baca. Bagi kelompok Santri Tradisional, transfer keilmuan lebih banyak dilakukan lewat kyai, sehingga lebih dikenal dengan budaya lisan. Perbedaan dalam proses sosialisasi dan transfer keilmuan di antara kedua kelompok ini telah berbengaruh pada kultur serta perilaku keberagamaan masing-masing. Transfer keilmuan lewat buku dalam kelompok Santri Modernis telah melahirkan sikap dan perilaku independen yang tidak taklid pada seseorang. Di sisi lain, budaya lisan yang telah dikembangkan dalam tradisi pesantren, telah membangun hubungan kuat antara kyai dan santri termasuk masyarakat yang memposisikan kyai sebagai patron. Dengan demikian posisi kyai menjadi dominan dan sentral dalam kehidupan kelompok Santri Tradisional, sebaliknya santri dan masyarakat berada pada posisi dependen. Lebih jauh, perbedaan antara kelompok Santri Modernis dan Tradisional juga pada agen sosialisasi. Di Malang Raya, keluarga, sekolah formal, organisasi menjadi agen yang paling menonjol dalam proses sosialisasi nilai-nilai dan doktrin di kalangan kelompok Modernis. Bagi kelompok Tradisional, pesantren, Langgar atau Mesjid, acara pengajian, yasinan, tahlilan lebih berperan dalam proses sosialisasi berbagai doktrin serta adat dan kebiasaan yang melingkupi kehidupan kelompok masyarakat Islam Tradisional. Proses sosialisasi yang terjadi dalam masyarakat Abangan dimulai dari keluarga, kelompok permainan, dan lingkungan masyarakat. Keluarga Abangan, dengan berbagai upacara yang dilakukan, perilaku kehidupan anggota keluarga terutama ayah, telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari proses asimilasi perilaku anak dalam keluarga tersebut. Aktivitas kesenian yang digemari oleh kaum 185 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH Abangan, jaranan, dan sejak dini sudah disosialisasikan kepada anakanak mereka. Berbagai alat peraga yang sering dimainkan dalam kesenian jaranan juga menjadi alat permainan anak-anak Abangan sejak kecil, seperti kuda-kudaan, cambuk, bahkan perilaku kalap yang sering dipertontokan dalam pertunjukan jaranan. Begitu juga dengan apa yang disebut bantengan, kesenian ini selalu dipertontonkan dalam masyarakat Abangan terutama menjelang peringatan hari besar Nasional. Hal ini secara sadar atau tidak, masyarakat Abangan telah mempunyai gambaran sendiri tentang kehidupan sosial maupun kehidupan politik dengan simbol-simbol dalam setiap aktivitas yang dilakukan dalam masyarakatnya. Simbol perjuangan mereka dalam melawan penguasa yang sering menindas kaum golongan kecil (wong cilik) mereka ilustrasikan dalam sebuah aktivitas kesenian yang disebut bantengan. Dalam kesenian itu wong cilik disimbolkan dengan kerbow/banteng, sementara penguasa disimbolkan dengan harimau. Keseniaan ini menjadi totonan yang menarik dari kalangan Abangan karena dirasakan mewakili kesadaran dan kenyataan kolektif mereka akibat tekanan dan himpitan ekonomi yang mereka alami setiap hari. Acara kesenian bantengan ini digelar selalu bertepatan dengan acara tujuh belasan, sebagai bagian dari peringatan kemenangan masyarakat melawan penjajah. Dan mereka yang mengidentifikasikan dirinya sebagai wong cilik, merasakan bahwa bagi mereka kenyataan nasib yang selalu tidak berubah, salah satunya diakibatkan oleh adanya regulasi dan kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada mereka. Maka dari itulah, pemahaman PDI perjuangan yang mengusung simbol kepala banteng, dengan embel-embel perjuangan memberikan napas baru yang menyalurkan energi bagi kelompok Abangan untuk membangun solidaritas kelompok seperjuangan dengan sama-sama mendukung partai yang dipimpin Megawati. 2.1. Pola Hubungan Politik Pemilih Santri Masyarakat Malang Raya dikenal dengan masyarakat yang berbasis NU, namun hal itu lebih merupakan corak dari kehidupan masyarakat yang Islami, seperti menjadikan kyai atau ulama-ulama sebagai Patron yang dihormati sekaligus menjadi panutan dalam kehidupan spiritualnya. Kondisi ini secara tidak langsung diwariskan 186 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH turun temurun, dari generasi ke generasi mengikuti kebiasaan menjadikan kyai ataupun ulama-ulama tertentu sebagai panutan. Berbagai acara yang mempunyai keterkaitan dengan kehidupan beragama Santri Tradisionalis, seperti ziarah ke makam para wali, istighosah, ataupun kunjungan tetap tiap bulannya kepada kyai-nya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan Santri Tradisionalis. Pada saat pemilu, seorang kyai menjadi figur sentral dalam menentukan arah kemana masyarakat akan memilih partai politik. Kecenderungan umum pemilu pemilu 1999 dan 2004, para kyai di Malang Raya mengidentikikasikan dirinya dengan partai Islam, khususnya PKB, walaupun ada sebagian kecil yang menyebrang ke PPP, PPNU atau ke partai Islam lainnya. Karena pilihan politik kaum Santri Tradisionalis itu tidak independen (ketergantungan pada kyai), maka ada kecenderungan pilihan politiknya tidak sepenuhnya seragam. Hal ini sangat tergantung pada kyai lokal yang menjadi panutan dimana mereka tinggal. Menurut pengamatan penulis, para kyai lokal, atas dorongan kepentingannya baik itu pembangunan, maupun eksistensi diri, maka ada yang melakukan pengalihan politik dari alur kebanyakan. Di Malang Raya umumnya, para kyai lokal menyalurkan aspirasi politiknya ke PKB yang kepemimpinannya ada Gus Dur. Namun ada sebagian ulama atau kyai yang tidak mendukung PKB, tetapi mendukung partai Islam lain seperti PPP, PPNU atas dasar kepentingan dan kedekatan pribadi dengan pimpinan partai tersebut. Bahkan ada sebagian dari kyai yang memberi dukungan pada Golkar, baik secara langsung atau pun sembunyi-sembunyi, karena kedekatan dengan elit politik yang ada di Partai Golkar. Oleh karena itu, penyebaran pilihan politik Santri di Malang Raya, cukup tersebar walaupun tidak merata. Sebagian besar memilih PKB dan sebagian lagi memilih partai Islam lain dan partai Nasionalis seperti Golkar. Di sisi lain, para pemilih Islam Modernis menjatuhkan pilihan politiknya sebagian besar kepada PAN, khususnya di wilayah perkotaan. Hal ini bisa dilihat dari perolehan suaran PAN pada pemilu 1999 dan 2004 yaitu masing-masing 10,53 % dan 6,77 %. Namun demikian, ada juga yang memberikan suaranya kepada PKS, dan PPP. Bahkan bagi warga Muhammadiyah yang Konservatif, ada kecenderungan mereka memilih PKS karena secara ideologis mereka 187 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH merasa pas dengan apa yang diperjuangkan oleh PKS. Sebagai partai da’wah, dengan ajaran yang secara garis besar tidak ada perbedaan dengan ajaran yang dianut oleh Muhammadiyah. Dengan demikian, banyak aktivis PKS yang berasal dari Muhammadiyah. Berdasarkan hasil temuan di lapangan menunjukan bahwa dukungan pemilih Islam Tradisional terhadap PKB di Jawa Timur, khususnya di Malang Raya sangat besar. Dukungan besar dari warga Nahdilyin di Malang Raya ini tidak lepas dari sosialisasi yang dilakukan lewat jalur NU kultural yang ada di berbagai pelosok. Lewat kyai lokal, PKB mengadakan sosialisasi informasi, isu dan gagasan politik melalui berbagai aktivitas keagamaan dari mulai pengajian, tahlilan, istighosah dan lain sebagainya. Kegiatan ini menjadi salah satu hal yang penting dalam mendulang suara, karena pesan yang tersirat adalah “apabila mengaku warga nahdilyin, maka PKB harus menjadi pilihan politiknya”. Dengan demikian, banyak dari warga Nahdilyin yang sangat fanatik dengan pilihan politiknya. Mereka tidak merasa nyaman dan aman secara sosial apabila memilih partai politik selain partai yang dilahirkan oleh NU ini. Disamping itu juga, PKB memperkokoh diri sebagai bagian dari partai NU dengan menggandeng PMII untuk kemahasiswaannya, Fatayat untuk para pemudinya, dan IPNU (Ikatan Pelajar Nahdatul Ulama), termasuk juga Ansor dan Banser. Hasil perolehan suara PKB di Malang Raya pada Pemilu 1999 dan 2004. Keberpihakan massa Santri Tradisional kepada partai Islam yang mempunyai tokoh dari masing-masing kelompok, bisa dijelaskan dalam perspektif budaya masyarakat Jawa. Budaya patron-clien yang berkembang tidak bisa begitu saja lepas dari pijakan masyarakat untuk menentukan pilihan politik, dimana tokoh-tokoh itu merupakan simbolisasi dari ideologi yang mereka perjuangkan. Di PKB, Gus Dur yang nota bene sebagai cucu dari pendiri NU, K.H. Hasyim Asyari, selalu mendapat dukungan dari warga Nadhliyin karena budaya NU yang paternalistis yang patuh pada guru, kyai atau menghormati keluarga dari gurunya. Para kyai yang mempunyai tradisi menghormati dan mematuhi pada guru menjadi benang merah yang menjembatani kepentingan politik PKB dengan warga Nahdilyin. Para kyai di Malang Raya yang menjadi panutan dalam masyarakat, sebagian besar menjadi bagian dari pendukung PKB, walaupun demikian ada sebagian lagi yang 188 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH mendukung PPP, PPNU. Para kyai dan pemimpin pondok yang keluar dari jalur politik PKB umumnya mereka yang dulu menjadi aktivis PPP atau mereka yang berseberangan dengan Gus Dur seperti Ketua PBNU, K.H. Hasyim Muzadi. Lebih jauh, walaupun masyarakat Malang Raya secara kultural berbeda dengan kultur masyarakat Jawa Timur pada umumnya, khususnya wilayah kultur padalungan, namun pola budaya paternalis yang memberikan stratifikasi tertinggi pada kyai berkembang. Kondisi sosial demikian berimplikasi pada pola hubungan sosial dan pola komunikasi yang terjadi dalam masyarakat. Kyai menjadi sosok panutan dan tauladan dalam setiap gerak dan langkahnya. Oleh karena itu apa yang menjadi ucapan dan tindakan kyai menjadi contoh dan pegangan masyarakat, tidak hanya dalam urusan sosial, namun juga masuk ke dalam ranah politik. Fenomena kepatuhan kepada kyai bukan hanya fenomena lokal, akan tetapi boleh dikatakan pola umum yang terjadi di masyarakat Jawa, dan Indonesia pada umumnya. Sebagai contoh hasil penelitiannya Karl D. Jackson di Jawa Barat mengenai kewibawaan Tradisional. Hasil temuan di lapangan, di lingkungan yang kental dengan suasana keagamaan Santri, khususnya Santri Tradisionalis, peran ulama atau kyai sangat menonjol. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa di dalam masyarakat Santri, berbagai ritual yang mereka lakukan selalu berhubungan dengan peran ulama atau kyai baik itu ritual kematian, kelahiran, maupun perkawinan. Bahkan, hampir setiap saat seorang ulama itu, dari mulai pagi sampai malam, selalu terlibat dengan kehidupan masyarakat dari mulai menjadi imam shalat, guru ngaji, pemberi ceramah, khotbah jum’at, pemimpim do’a, pemimpin tahlil dan lain-lain. Dengan demikian posisi ulama atau kyai di masyarakat Santri sangat sentral. Peran sentral kyai di dalam masyarakat telah membuat kyai menjadi orang yang ditaati dan dipatuhi oleh masyarakat tidak hanya dalam kehidupan sehari-hari secara sosial, namun juga secara politik. 2.2. Pola Hubungan Politik Pemilih Abangan Kelompok Abangan banyak membina hubungan dengan elitelit partai politik yang berasal dari Partai Nasionalis. Bahkan dalam kehidupan sosialnya, para kader politik di tingkat lokal mempunyai 189 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH peran besar dalam membangun solidaritas kelompok Abangan ini. Kader politik di tingkat lokal ini menjadi media penyalur aspirasi dari masyarakat Abangan kepada para tokoh politik yang lebih tinggi. Dilihat dari aspek demografi, kelompok Abangan di Malang Raya, banyak mendiami wilayah-wilayah pinggiran atau sebuah perkampungan kota yang padat. Kalau dipedesaan umumnya mereka bermatapencaharian sebagai petani atau buruh tani, buruh bangunan atau kerjaan yang sifatnya insidental. Sementara mereka yang ada di perkotaan bekerja sebagai tukang parkir, tukang becak, pedagang kaki lima atau pekerjaan lain yang menunjukan bahwa mereka adalah kalangan wong cilik. Dengan melihat karakter Abangan, walaupun pola patrimonial ini merupakan gejala umum dalam masyarakat jawa, namun tokoh panutan antara Santri dan Abangan ini berbeda. Kelompok Abangan, mereka yang menjadi panutan biasanya disamping tokoh politik lokal, juga aparat desa baik dari mulai Kepala Desa, Kepala Dusun, RW, RT. Dari pengamatan, banyak dari aparat desa, ketika pemilu tokoh formal ini sering didatangi oleh elit politik terutama dari Partai Nasionalis, untuk memberikan dukungan. Dan kenyataan di lapangan menunjukan bahwa sebagian besar mereka yang menjadi RT atau RW umumnya mereka yang berlatar belakang Abangan, sementara yang Santri cenderung lebih banyak mengurus kegiatan dan aktivitas di Langgar atau Mesjid. Pola hubungan yang dibangun di lingkungan kelompok Abangan lebih banyak mempergunakan aktivitas kehidupan sosial masyarakat yang lebih dicirikan dengan pola kehidupan “guyub”. Tokoh masyarakat yang biasanya menjadi inspirator dan mobilisator masyarakat dalam kehidupan sosial, baik itu dalam kegiatan gotong royong untuk pembangunan lingkungan, bersih desa, maupun acaraacara yang melibatkan masyarakat seperti peringatan hari besar nasional, menjadi panutan dari masyarakat. Posisi tokoh yang aktif dalam kehidupan sosial dan kemasyarakatan biasanya sekaligus menjadi tokoh formal baik itu sebagai RT, RW, atau Kepala Desa. 3. Pemahamanan dan Pola Hubungan Dalam Dimensi Ekonomi Di Malang Raya yang sebagian besar masyarakatnya berada dalam strata ekonomi menengah ke bawah, pemilu sering dijadikan 190 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH sebagai ajang transaksi bagi pemilih untuk mendapatkan imbalan sejumlah uang dari partai atau calon anggota legislatif. Apalagi pemilu pasca reformasi yang tengah ditempa krisis ekonomi, masyarakat akan sangat mudah tergoda dengan rayuan yang bersifat material, walaupun harus mengorbankan idealismenya. Dengan demikian kehidupan politik praktis di Malang Raya, peran uang menjadi tidak terbantahkan. Fungsi uang menjadi dominan dan berperan upayas seperti “darah” yang mensuplai energi bagi berjalannya mesin politik. Bahkan boleh dikatakan partai politik tidak bisa hidup tanpa uang, seperti ungkapan yang mengatakan “money is the mother’s milk of politics”. Dan realitas yang terjadi, di era kepartaian di Malang Raya banyak partai yang terjebak dalam pola politik praktis pragmatis agar dapat survive dari pemilu ke pemilu. Suasana kehidupan politik yang penuh dengan nuansa ekonomi, akan dapat dilihat dari program dan starategi partai serta perilaku politik pemilihnya. Partai dan caleg lebih tertarik untuk membuat program karikatif dan berbiaya tinggi dari pada menekankan pada aspek ideologi partai yang sifatnya jangka panjang. Sikap pemilih lebih pragmatis dalam mendukung dan memberikan suaranya kepada partai. Pemilih akan memilih partai tertentu dengan syarat mendapatkan imbalan berupa barang atau uang. Dengan demikian, pola hubungan partai dan pemilih lebih menunjukan pola transaksional. Di Malang Raya pada pemilu 1999 pola transaksional itu sudah terjadi, namun lebih terfokus dalam lingkup partai dengan konstituennya, dan biasanya berupa bantuan sosial. Dalam pemilu 2004, pola transaksional ini sudah mulai merambah, tidak hanya antara konstituen dengan partainya namun juga dengan partai lain. Bentuk imbalan dengan partai lain sudah lebih spesifik yaitu pemberian barang dan uang kepada individu pemilih. Pada pemilu 2009, pola hubungan partai dan pemilih menjadi pola hubungan yang benar-benar transaksional. Banyak caleg yang harus menghabiskan uang ratusan juta, dan bahkan ada yang sampai milyaran hanya untuk dapat dipilih dalam pemilu 2009 yang sudah menggunakan sistem pemilu terbuka murni. Menurut beberapa informan yang sempat penulis wawancarai, dalam pemilu 2009 setiap calon yang jadi minimun menghabiskan uang lima puluh juta untuk tingkat Kabupaten dan Kota di Malang 191 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH Raya. Di Kota Batu, caleg yang jadi menurut informasi, menghabiskan uang antara antara 150 juta sampai 400 juta. Uang yang dibagikan pada pemilih ada yang 20 ribu, 25 ribu, 50 ribu, sampai 100 ribu. Biaya yang lebih besar lagi tidak hanya untuk membeli suara pada pemilih, tapi biaya yang dikeluarkan oleh caleg guna membiayai tim sukses dan saksi. Seperti halnya Kota Batu, Kabupaten dan Kota Malang tidak jauh berbeda dalam persoalan politik transaksional. Bahkan biaya untuk memenangkan pemilu di Kota dan Kabupaten Malang relatif lebih besar ketimbang Kota Batu karena jumlah BPP yang lebih banyak dan jangkauan wilayah yang lebih luas. Walaupun demikian, sikap atau perilaku transaksional tidak hanya berkembang di era pemilu 2009, namun juga terjadi pada era pemilu sebelumnya. Pada era pemilu 1999 pola perilaku transaksional hanya berkembang dalam basis mereka masing-masing, dari konstituen kepada partai bersangkutan. Dalam pemilu 2004, perilaku transaksional mulai berkembang, tidak hanya pada satu partai politik yang menjadi identifikasi politiknya, namun juga telah sedikit berkembang ke partai lain walaupun dalam keadaan terbatas. Dalam pemilu 2009 perilaku transaksional sudah tidak lagi teratur, semua partai bisa dan melakukan transaksi kepada pemilih. Semua segmen masyarakat sudah menjadi tempat pemasaran politik bagi semua caleg partai, dan para pemilih sudah terbiasa dengan produk-produk partai baru. Maka dalam pemilu 2009 menjadi ajang transaksi politik yang dilakukan oleh hampir semua partai politik lewat para caleg yang punya jaringan sosial dan bebas menentukan kendaran partai mana yang mereka pilih atau dapat. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam pemilu 2009 partai dan ideologi partai tidak lagi merupakan penentu utama dalam pemilu. Sehingga pemilu 2009 dapat dikatakan sebagai pemilu transaksional, seiring dengan kaburnya aliran politik. C. Sitem Kepartaian dan Pemilu, Upaya Partai, dan Pola Hubungan Perubahan sistem kepartaian dan sistem pemilu pasca reformasi telah melahirkan dinamika baru dalam hubungan partai dan pemilih. Sistem multipartai telah mendorong tumbuhnya beragam partai politik baik itu yang barhaluan Islam maupun Nasionalis dengan beragam variannya. Sistem pemilu (1999 proporsional daftar tertutup, 2004 proporsional daftar terbuka dengan BPP, 2009 proporsional 192 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH daftar terbuka murni), telah meningkatkan kompetisi di antara partai politik sehingga partai politik berupaya melakukan perubahan upaya dari pemilu ke pemilu seiring dengan pengalaman yang diperoleh dari pemilu sebelumnya. Dalam menyikapi pemilu multipartai, pada pemilu 1999, partai politik melakukan upaya dengan berupaya menggalang massa dari kelompok tradisionalnya masing-masing baik itu partai yang berhaluan Islam maupun Nasionalis. Pemilu 2004, telah banyak mereduksi hasil perolehan suara partai-partai besar pada pemilu 1999. Hal ini mendorong partai politik yang lolos electoral threshold 3% berupaya merevisi upayanya dengan sedikit bergeser ke tengah untuk mendapatkan ruang gerak yang lebih luas. Sementara pada pemilu 2009, arah pendulum ideologis dalam persaingan perebutan pemilih hampir tidak tampak, kalau tidak dikatakan hilang. Hampir semua partai politik berupaya mendapatkan simpati dari semua segmen pemilih sehingga partai-partai politik lebih condong ke catchall party. Sementara dalam menyikapi sistem pemilu, baik pemilu 1999, 2004, maupun 2009, partai-partai punya pola upaya yang berbeda. Pemilu 1999 dengan proporsional daftar tertutup, partai politik lebih memilih untuk mengoptimalisasi ideologi partai melalui pencitraan partai. Pemilu 2004 dengan proporsional daftar terbuka (BPP), untuk memenangkan pemilu partai tidak bisa hanya mengandalkan ideologis semata. Oleh karena itu partai-partai berupaya mengembangkan upayanya dengan membuat program yang lebih kongkrit berupa program bantuan sosial, dan pendekatan yang lebih intens kepada tokoh-tokoh, disamping memperbaiki pola rekruitmen dan penempatan caleg dalam dapil. Pemilu 2009 dengan proporsional daftar terbuka murni (tanpa BPP), pendekatan kepada tokoh-tokoh lokal semakin kental dan dilakukan oleh masing-masing caleg. Bahkan pendekatan caleg sampai pada tingkat pemilih langsung (dor to dor), dengan mempergunakan baik modal sosial maupun ekonomi. 1. Upaya dan Pola Hubungan di Era Multipartai Sistem multipartai telah mendorong elit partai untuk kreatif mengemas partai agar tetap survive dari pemilu ke pemilu. Pada pemilu pertama pasca reformasi, partai masih menekankan pada ideologis untuk meraih simpati pemilih. Akan tetapi dalam pemilu 2004 dan 193 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH 2009, setelah melihat realitas hasil suara partai, maka partai-partai berusaha untuk mengembangkan dan memperluas segmen pemilihnya. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan mengaburkan identitas ideologisnya pada pemilu 2004, dan pada pemilu 2009, partai berusaha mengubah wajahnya dengan membangun catchall party. 1.1. Mengutamakan Basis Massa Tradisional Pemilu 1999, yang merupakan pemilu dengan warna ideologis yang pekat telah mendorong partai politik untuk menunjukan identitas mereka secara terbuka. Partai Islam berupaya mengusung identitas ideologisnya dengan mengkampanyekan Syariat Islam, dan pendekatan kepada tokoh-tokoh agama. Di lain pihak, partai Nasionalis berupaya memekatkan merahnya, dengan berbagai isyu kerakyatan dan pembelaan wong cilik. Hal ini berarti partai politik ingin menggalang dan memanfaatkan dengan sebesar-besarnya pemilih tradisional mereka. Pada saat kampanye pemilu 1999, identitas politik masingmasing partai menampakan diri dengan jelas. Bendera, baju, poster maupun berbagai atribut kampanye yang lain membanjiri seluruh pelosok di Malang Raya, tak terkecuali media massa baik cetak mapun elektronik. Contoh kasus, ketika tiba giliran kampanye PDI di Daerah Malang Raya, hampir semua jalan di penuhi lautan manusia yang memakai atribut serba merah. Acara hiburan yang sering mengiringi kampanye partai berhaluan Nasionalis ini adalah dangdutan, dan selalu menampilkan artis-artis baik lokal maupun nasional. Orasi yang disampaikan tidak lepas dari isu perjuangan perbaikan nasib wong cilik, yang nampak seperti mengeksploitasi nasib dari kelas bawah. Dalam rangka mempertegas dan melegitimasi jargon untuk memperjuangkan nasib wong cilik ini, hampir setiap pelosok di Malang Raya dibuat posko-posko perjuangan yang khas dengan cat merah dan gambar banteng moncong putih dengan photo Megawati beserta Mantan Presiden Soekarno. Kampanye yang paling populer dilakukan pada saat pemilu 1999 adalah kampanye dengan model rapat umum. Kampanye dengan model rapat umum adalah kampanye dengan cara pengumpulan massa yang dihadiri oleh masyarakat secara luas dan diselenggarakan oleh salah satu partai politik di ruangan atau tempat terbuka yang 194 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH ditentukan berdasarkan kesepakatan bersama antara partai politik dengan penyelenggara Pemilu, dengan menggunakan metode komunikasinya secara dialogis maupun monologis. Dengan kampanye model rapat umum, partai politik akan dapat mengetahui seberapa besar kekuatan partainya menjelang pemilu dilaksanakan. Kampanye model inilah yang menjadi andalan partai politik, sebagai yang dikemukakan oleh pimpinan parpol DPC PDIP Kabupaten Malang Boimin Nur Suhandri, “Rapat umum adalah jenis kampanye yang disukai oleh masyarakat tidak hanya di Kabupaten Malang, tetapi hampir di setiap kabupaten di seluruh Indonesia oleh karenanya PDIP juga tidak mau menyia-nyiakan kesepantan ini. Kemarin, pada waktu kampanye PDIP beberapa kali melakukan kampanye tebuka ini”. (wawancara, Desember 2004).” Penegasan senada juga disam-paikan oleh ketua DPD Partai Golkar Kabupaten Malang Muhammad Suhadi BE “Kampanye rapat umum adalah kampanye sangat baik bagi partai politik untuk melakukan sosialisasi program yang akan dilaksanakan karena dalam kampanye rapat umum biasanya dihadiri oleh banyak warga. Dengan kata lain bahwa kampanye rapat umum memang disukai oleh masyarakat tidak terkecuali masyarakat Kabupaten Malang”. (Desember 2004). Model kampanye yang dilakukan pada pemilu 1999 yang menekankan pada rapat umum ternyata sangat efektif dalam rangka nggalang suara dari basis massa tradisional partai. Hal ini ini sebagaimana dikatakan oleh ketua DPC Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Kabupaten Malang Boimin Nur Suhandri bahwa “dengan model kampanye yang dilakukan telah mampu memberikan konstribusi kepada partai politik dalam menempatkan wakil-wakil mereka untuk duduk di lembaga legislatif.” Hal ini bisa dibuktikan dengan perolehan kursi PDIP hasil pemilu 1999 yang mendapatkan 15 wakil di parlemen (DPRD). Begitu juga apa yang dikemukakan ketua DPD Partai Golkar Kabupaten Malang, Muhammad Suhadi BE. “Tentu ini semua hasil (perolehan jumlah kursi) merupakan hasil dari kampanye yang kita selenggarakan selama masa kampanye. Jadi sangat erat sekali hubungannya antara kampanye dengan perolehan suara partai, dan ini tidak berlaku hanya untuk partai Golkar saja tetapi untuk semua partai yang ikut dalam pemilihan umum ini”. (Desember 2004). 195 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH Berbeda dengan Partai Golkar dan PDIP, walaupun sama-sama mengelar rapat umum, namun rapat umum yang digelar PKB lebih banyak dikemas dalam bentuk pengajian atau istighosahan. Jumlah massa yang datang dalam rapat umum yang digelar PKB akan sangat banyak apabila tokoh NU, Gus Dur datang dan memberikan pengajian. Dalam pemilu 1999 PKB, hanya fokus pada kekuatan Santri tradisional yang terkenal fanatik dengan Islam, yang disimbolisasikan dengan kepatuhan pada kyai. Gusdur sebagai motor penggerak, yang merupakan representasi dari pendiri NU menjadi daya magnetis utama dalam menyatukan suara NU ke wadah PKB. Setiap kali diadakan kampanye terbuka oleh PKB, hampir pasti selalu dibanjiri oleh massa Nahdiliyin yang secara sukarela datang untuk mendengarkan orasi politik dari tokoh-tokoh politik PKB. Dalam setiap orasi selalu dibumbui dengan ajakan-ajakan untuk membela Islam yang pada akhirnya disangkut pautkan dengan membela partai. Kehidupan kelompok Nahdliyin yang tidak lepas dari ritual keagamaan, nampak gayung bersambut dengan kepentingan politik. Oleh karenanya saat massa kampanye, aktivitas keagamaan kerap kali diadakan, khususnya istighosah yang selalu dibanjiri jamaah, walaupun di dalamnya selalu disisipkan baik langsung maupun tidak langsung untuk menyalurkan pilihan politiknya ke PKB. 1.2. Merambah Ke Luar Basis Massa Tradisional Kegagalan beberapa partai yang berwarna hijau dalam pentas pemilu 1999 telah menyadarkan mereka untuk merubah upaya dalam meraih simpati pemilih guna memenangkan pemilu. Partai Islam yang pada pemilu 1999 banyak terjebak dalam kubangan ideologis yang fanatik dengan memproklamirkan sebagai partai Islam dan mengusung ideologi Islam. Namun pada pemilu 2004 isu memperjuangkan Syariat Islam tidak lagi begitu menggebu-gebu, seperti PPP yang selalu menawarkan dan menyuarakan untuk diberlakukannya syariat Islam mulai mengendurkan isu ini dan berupaya lebih realistis. Begitupun PK, yang sudah berganti nama dengan PKS tidaklah segarang pemilu 1999. Pada Pemilu 2004 PKS menampilkan dirinya sebagai partai Islam yang akomodatif. PKS yang merupakan partai Islam berbasis massa Modernis, pada pemilu 2004 mulai menggarap segmen pemilih Santri tradisional 196 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH walaupun tetap menggalang kekuatan dari massa berbasis Santri Modernis. Dengan upaya yang lebih luwes dan lebih akomodatif telah mengangkat citra PKS di mata pemilih konstituen Islam Santri. Lebih jauh PKS dalam pemilu 2004 tampak lebih agresif merambah segmen pemilih yang potensial sehingga kadang terjadi pergesekan dengan sesama partai Islam yang merasa konstituennya terancam dengan gerak PKS yang dilakukan oleh kader-kader muda yang militan. Sebagai partai dakwah, PKS berupaya menguasai simbol-simbol keagamaan seperti mesjid, langgar/mushala, sekolah Islam. Para kader PKS bergerak dalam pembinaan keagamaan di mesjid-mesjid kampus seperti di STAIN, UNIBRAW, UM, UMM. Kader PKS tidak hanya bergerak di mesjid kampus, namun juga di kampung-kampung dengan cara membina anak-anak sekolah dalam hal agama mulai dari belajar bahasa arab, membaca Alquran, ataupun sekedar memberi pengetahuan agama. Dengan melihat gerak langkah partai-partai pada pemilu 2004, ada kecenderungan partai bergerak menuju ke tengah, dalam artian mereka merubah performa ideologis mereka lebih menuju ke arah moderat. Salah satu tujuan utama partai-partai ini merubah posisi ideologisnya adalah untuk mengejar segmen pemilih yang lebih variatif guna merebut suara sebanyak-banyaknya guna kepentingan kekuasaan. Model kampanye yang paling disukai pada pemilu 2004 tidak jauh dengan pemilu 1999, dimana rapat umum masih menjadi pilihan utama. Akan tetapi, walaupun parpol pada pemilu 2004 lebih menyukai penyelenggaraan kampanye rapat umum tetapi bukan berarti jenis kampanye yang lain tidak dilasanakan. Guna mengakses basis massa yang lebih luas, maka model kampanye yang dilakukan harus bisa menjangkau khalayak yang lebih luas juga. Oleh karena itu model kampanye dengan mempergunakan media cetak dan media elektronik. Penyelenggaraan kampanye melalui media cetak dan media elektronik di Kabupaten Malang dilakukan dengan pemasangan iklan atau dalam bentuk talk show. Sarana media cetak yang dipergunakan untuk memasang iklan seperti Jawa Pos (Radar Malang) dan Malang Pos. Sementara itu sarana media elektronik yang digunakan di Kabupaten Malang adalah menggunakan jasa layanan radio. Menurut Keputusan KPU No. 701 tahun 2003 dalam pasal 15 197 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH dikatakan bahwa “bentuk kampanye penyebaran melalui media cetak dan madia elektronik adalah dengan promosi. Promosi yang dimaksud terdiri dari iklan, talkshow, wawancara, diskusi, kolom dan bentukbentuk lain yang dikenal dimedia cetak dan madia elektronik.” Terkait dengan penggunaan sarana media massa, baik cetak maupun elektronik, pimpinan Partai di Kabupaten Malang mengemukakan: “Penyelenggaraan kampanye melalui media cetak maupun media elektronik memang dilakukan oleh beberapa partai di Kabupaten Malang termasuk di antaranya adalah partai kami, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Kami melakukan kegiatan kampanye dengan mengadakan pemasangan iklan dibeberap media cetak yang ada di Kabupeten Malang separti Malang Post dan Radar Malang. Sementara itu untuk media elektronik seprti radio-radio yang ada di sini kami juga melakukan hal yang sama”. (Ketua DPC PDIP) 1.3. Mencairkan Basis Massa Melonjaknya perolehan suara Partai Demokrat dan PKS memberikan shock therapy bagi partai papan atas, tengah maupun bawah. Apalagi partai-partai yang pada pemilu 1999 mendapatkan suara yang signifikan mengalami penurunan suaranya dalam pemilu 2004 karena ditinggalkan sebagian pemilih. Guna mengantisipasi pemilu 2009, banyak partai yang sudah mempersiapkan diri sejak awal dengan membangun jaringan dan pendekatan intensif kepada tokohtokoh lokal maupun nasional. Kondisi ini mendorong partai politik, tidak lagi terfokus pada basis massa tradisionalnya. Partai-partai berjuang merambah segmen pemilih lain dengan tujuan utama memenangkan pemilu. Realitas politik kepartaian seperti ini membuat partai politik berubah wujud menjadi catchall party. Di Malang Raya, tokoh yang paling banyak dikunjungi oleh elit politik adalah Hasyim Muzadi yang merupakan Ketua Umum PB NU, yang berdomisili di cengger ayam, Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang. Tidak hanya itu, hampir semua pondok pesantren yang dianggap punya pengikut yang banyak seperti pesantren di Singosari dan Bululawang menjadi tempat jugjugan dari elit-elit politik. Tokoh atau caleg partai yang mendatangi ke pesantren atau pun tokoh 198 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH masyarakat lain, tidak hanya datang dari satu partai yang berideologi Islam. Akan tetapi hampir semua partai, dari beragam ideologi kecuali Kristen. Perilaku elit politik yang begitu agresif telah membuat pusatpusat yang menjadi simbolisasi moral dijadikan sebagai tempat mencari keberuntungan dan sekaligus perjudian politik. Guna menguatkan tekad dan kesungguhan mereka untuk dapat meraih dukungan, tidak jarang elit partai ataupun caleg yang akan bersaing membuat janjijanji surga disamping bantuan kongkrit untuk alasan pengembangan pesantren atau bantuan pembangunan sekedarnya. Menyikapi perubahan yang terjadi, partai politik berusaha membuka diri untuk menerima seluruh segmen masyarakat. Hal ini harus dilakukan oleh partai politik setelah melihat kenyataan perolehan suara pada pemilu 2004. Sebagimana yang dikemukakan Sirmaji, Ketua DPD PDIP, “PDI Perjuangan mendeklarasikan diri sebagai partai terbuka berarti harus membuka diri untuk masuknya semua elemen masyarakat dari segala atribut. Dengan demikian maka terbuka pula untuk melakukan komunikasi, berinteraksi untuk sinergi untuk bidang-bidang tertentu. Memang harus begitu jika mau jadi partai terbuka. Sebagai partai terbuka dalam merekrut keanggotaan tentu tidak membedakan akan membeda-bedakan secara diskriptif (2006).” Lebih jauh, perubahan sistem pemilu yang lebih berpihak kepada calon telah mendorong caleg untuk melakukan ekspansi pemilih diluar basis tradisional partai. Dengan demikian, ideologi partai menjadi tidak menonjol, yang terjadi justru kapasitas individu caleg yang berpengaruh. Dengan adanya perubahan dari memilih partai ke memlih caleg, keterikatan pemilih dengan partai menjadi lemah karena yang ada hanyalah hubungan dengan caleg. Pemilih tidak lagi memikirkan latar belakang partai dari caleg, bagi pemilih, yang penting adalah kepentingan mereka dapat terpenuhi, terutama ekonomi. Oleh karena itu, pada pemilu 2009, para caleg yang diusung baik oleh Partai Islam maupun Partai Nasionalis, tidak lagi mempermasalahkan segmen pemilih, dan begitu juga sebaliknya pemilih. 199 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH 2. Upaya Partai dan Pola Hubungan Di Era Sistem Pemilu Proporsional Melihat kenyataan yang terjadi dalam masyarakat terkait dengan Pemahamanan partai oleh pemilih serta realitas sistem multipartai dengan sistem pemilu proporasional daftar terbuka, maka partai berusaha untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan yang berubah. Upaya di lingkungan partai politik mengalami perubahan dari pemilu ke pemilu, sehingga berpengaruh pada pola hubungan partai dan pemilih. Pada pemilu multipartai 1999 dengan sistem pemilu proporsional daftar tertutup telah menempatkan partai pada posisi upayas dalam pemenangan pemilu, oleh karenanya identitas ideologis partai menjadi menonjol sehingga pola hubungan yang terjadi lebih bersifat ideologis. Pada pemilu multipartai 2004 dengan sistem pemilu proporsional daftar terbuka dengan BPP, partai politik sedikit merubah upayanya dengan tidak hanya menekankan pada identitas ideologis namun sudah mengarah pada transaksi politik sehingga pola hubungan partai dan pemilih sedikit lebih transaksional. Pada pemilu multipartai 2009 dengan sistem pemilu proporsional terbuka murni, peran partai dalam pemenangan pemilu semakin berkurang. Pemenangan partai lebih banyak ditentukan oleh caleg masingmasing partai. Kondisi ini telah berdampak pada upaya partai yang cenderung lebih mengutamakan upaya transaksional, kondisi ini berpengaruh pada pola hubungan partai dan pemilih, dimana pola hubungannya menjadi sangat transaksional. 2.1. Pemilu 1999: Ideologis Sistem pemilu proporsional telah menempatkan elit partai pada posisi dominan dalam menentukan arah dan kebijakan partai, baik itu dalam kebijakan internal kepengurusan maupun penentuan caleg yang akan maju dalam pemilu. Hal yang berpengaruh terhadap kondisi ini adalah besarnya peran partai dalam pemenangan pemilu. Artinya saham politik yang ada merupakan hak milik tunggal partai politik, yang biasanya direpresentasikan dalam figur partai dan elit sekitarnya. Oleh karena itu tidak salah apabila mengentalnya oligarki di tubuh partai, sehingga sangat sulit terjadinya mobilitas vertikal dalam partai akibat tebalnya tembok oligarki partai. 200 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH Dalam pemilu 1999, kasus PDIP, figur Megawati benar-benar menjadi daya magnetis utama pemenangan suara di Malang Raya. Oleh karena itu berkembanglah kelompok-kelompok yang mengatasnamakan pro-mega yang disingkat promeg. Harapan utama dari dukungan massa di Malang Raya yang tinggi ke PDIP, selain karena unsur psikologis kehancuran Orde Baru, juga dorongan kuat simpatisan PDIP untuk menjadikan Megawati sebagai Presiden. Begitu halnya dengan PKB yang dianggap representasi pemilih Santri Tradisional. Hampir seluruh kekuatan penyokong tegaknya NU di Malang Raya ikut “cawe-cawe” dalam pemilu guna mendukung pemenangan PKB. Situasi ini didorong oleh adanya figur PKB yaitu Gus Dur yang menjadi perekat dan sekaligus menjadi kebanggaan warga Nahdiliyin. Dalam situasi pemilu yang seperti ini, hubungan partai dengan pemilih sangat kuat, identifikasi diri mereka kepada partai sangat tinggi yang dibuktikan dengan kebanggaan pada simbol-simbol partai baik dalam kaos yang mereka pakai sehari-hari maupun gambargambar partai dan tokoh partai yang menghiasi rumah-rumah mereka. Oleh karena itu ideologi sebagai penghubung partai dan pemilih akan sangat sukar untuk di putus, kecuali apabila ideologi hancur. Artinya representasi ormas yang menjadi basis ideologi seperti NU dan Muhammadiyah apabila tidak mendukung partai politik atau berhenti mendukung, maka keberadaan partai tersebut akan segera ditinggal-kan oleh konstituennya. Sebagai contoh pada pemilu 2004, banyak dari pemilih yang punya afiliasi dengan Muhammadiyah memindahkan pilihan politiknya dari PAN (pada pemilu 1999) ke PKS. Menurut hasil wawancara dengan salah seorang warga Muhammadiyah dan juga aktif di PAN menyampaikan alasan-alasan kenapa banyak warga Muhammadiyah yang memilih PKS. Pertama secara ideologi warga Muhammadiyah merasa lebih pas dengan PKS. PKS yang menyatakan diri sebagai partai yang berasas Islam dianggap lebih jelas dalam perjuangan ideologinya, dibandingkan dengan PAN yang berasaskan Pancasila. Bagi warga Muhammadiyah yang dianggap “konservatif”, PKS lebih bisa diterima. Kedua, dilihat dari ajaran yang dikembangkan dalam da’wahnya PKS lewat gerakan Tarbiyah-nya senapas dengan ajaran yang dikembangkan oleh Muhammadiyah. Dengan demikian, kalau 201 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH diibaratkan rumah, warga Muhammadiyah merasa nyaman tinggal di rumah PKS karena merasa tidak asing. Karena banyak aktifis Muhammadiyah yang jadi pengurus PAN, maka sempat terjadi persoalan hubungan antara Muhammadiyah secara organisasi dengan PKS. Salah satu isu yang muncul adalah banyaknya amal usaha Muhammadiyah yang berpindah tangah ke PKS. Isu ini sangat efektif menghambat laju peralihan suara warga Muhammadiyah ke PKS yang dibuktikan dalam pemilu 2009, banyak warga Muhammadiyah yang kembali memilih PAN. Sebenarnya kemunculan Partai Keadilan pada pemilu 1999 tidak menjadi ancaman terhadap Partai Amanat Nasional (PAN). Oleh karena itu keikutsertaan sebagian warga Muhammadiyah kepada Partai Keadilan (PK) tidak berdampak besar pada hubungan antar sesama anggota Muhammadiyah. Akan tetapi, setelah pemilu 2004, dengan berkembangnya massa Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dilihat dari perolehan suara yang mencapai 7,2 % membuat hubungan dengan anggota Muhammadiyah, khususnya yang menjadi aktivis PAN menjadi kurang mesra. Dan dalam prakteknya PKS tidak hanya bergerak dalam bidang politik ansih, namun juga bergerak dalam bidang da’wah yang wilayahnya bergesekan dengan aktivitas da’wah Muhammadiyah. Apalagi ada beberapa kasus perebutan amal usaha yang awalnya dimiliki oleh Persyarikatan Muhammadiyah, namun karena pengurusnya merangkap menjadi anggota PKS dan lebih inten dengan PKS, maka kepemilikannya dialihkan kepada PKS.5 Akhirnya Muhammadiyah secara organisatoris merasa terancam dengan aktivitas PKS, sehingga terjadi beberapa gesekan akibat banyak dari warga Muhammadiyah masuk menjadi anggota PKS yang nota bene dalam setiap kegitan yang dilakukan termasuk da’wah. Sementara hubungan Muhammadiyah dengan PBB tidak banyak persoalan, karena memang PBB disamping perolehan suaranya kecil baik dalam pemilu 1999 maupun 2004, juga tidak ada aktivitas yang bersinggungan dengan aktivitas yang dilakukan Muhammadiyah. Dengan demikian, PBB bagi Muhammadiyah 5 Partai Keadikan Sejahtera (PKS), disamping sebagai partai politik, juga bergerak dalam bidang sosial dengan dibentuknya Yayasan yang bisa memiliki sekolah, rumah sakit, maupun tempat ibadah. 202 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH maupun PAN sama-sama tidak menganggap PBB menjadi ancaman. Dalam aktivitas keseharian, khususnya untuk kegiatan keagamaan, warga Muhammadiyah yang merupakan aktivis atau pendukung PBB tidak banyak persoalan dengan warga Muhammadiyah lainnya. Lain lagi dengan warga Muhammadiyah yang menjadi aktivis PKS, sedikit banyak terjadi pergesekan dengan warga Muhammadiyah lainnya akibat aktivitas keagamaan mereka lebih inten dengan aktivitas keagamaan yang dijalankan oleh PKS sendiri. Di sisi lain, yang menjadi pendukung dan simpatisan PBB adalah mereka yang mempunyai historis atau garis keturunan orang tua yang pernah menjadi pendukung dari Masyumi. Maka tidaklah heran kalau PBB ini menganggap dirinya sebagai manifestasi dari Masyumi pada massa Orde Lama. Dengan menggunakan pola SantriAbangan, kita dapat melihat kehadiran partai-partai Islam yang ada pada Pemilu 1999 dan 2004. Pada Pemilu 1999, di Malang Raya jelas sekali partai-partai Islam masih mendapatkan simpati dari pemilih. Hal ini mengindikasikan bahwa hubungan partai dan pemilih ternyata masih berpola ideologis. 2.2. Pemilu 2004: Antara Ideologis dan Transaksional Adanya perubahan dalam sistem proporsional, dari daftar tertutup ke daftar terbuka dengan BPP, juga membawa perubahan upaya partai dalam pemenangan pemilu khususnya terkait dengan pencalegan. Walaupun sistem lama masih berjalan, dimana partai masih punya peran cukup besar dalam menentukan pencalegan, namun karakteristik calon sudah mulai dipertimbangkan. Tidak selamanya caleg yang diusung adalah caleg yang punya kedekatan atau berada dalam lingkaran elit partai. Kebijakan partai dalam pencalegan sudah mulai melirik pada calon-calon potensial yang dapat meraih suara, seperti tokoh dari kalangan akademisi, ormas, maupun artis. Mereka diberikan pintu masuk untuk menjadi caleg dari partai bersangkutan, walaupun tetap nomor-nomor jadi masih ada di tangan caleg yang berasal dari kalangan elit partai. Harapan dibukanya kran pencalegan dari kalangan luar partai yang potensial adalah adanya peningkatan suara partai, utamanya partai-partai baru dan partai-partai yang dalam pemilu 1999 belum mencapai target perolehan suara. Calon yang datang dari luar partai yang potensial, 203 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH lebih banyak didudukan dalam caleg partai pusat dengan harapan dapat mengangkat celeg yang ada di daerah. Di Malang Raya, menunjukan adanya penguatan dari kaderkader lokal yang potensial untuk dapat bersaing di daerahnya. Partai tidak lagi semena-mena menentukan calon pada dapil tertentu tanpa mempertimbangkan tingkat akseptabilitas internal dan tingkat elektabiltas calon yang akan jadi caleg. Dampak dari sistem terbuka ini, pada pemilu 2004 adanya kecenderungan berkembangnya parsaingan antara caleg partai satu dengan caleg dari partai lainnya. Sementara calon-calon dalam satu partai ada kecenderungan untuk bekerja sama, dimana caleg yang berada pada nomor urut jadi berupaya mendorong caleg yang ada di nomor urut bawah untuk bekerja sama memenangkan partai di dapilnya masing-masing. Oleh karena itu jaringan partai dan hubungan sosial yang telah terjalin antara partai dan masyarakat pada pemilu sebelumnya terus dimanfaatkan dan dioptimalkan. Hal ini dilakukan untuk memblok adanya intervensi atau masuknya caleg dari partai lain yang ingin meraih suara dari basis pemilih yang sudah memberikan suaranya kepada partai pada pemilu 1999. Kalau pemilu 1999 partai politik masih mengikuti alur budaya politik aliran, begitupun para pemilihnya terjebak pada dasar pilihan yang bersifat sektarian. Pada pemilu berikutnya (2004), walaupun secara umum pemilu masih mengikuti pola aliran, namun sedikit sudah ada perkembangan. Pemahaman ideologis yang bersumber pada aliran dalam menentukan pilihan politik oleh pemilih, sudah mulai berkembang dengan pemahaman sosial kemasyarakatan dan pemahaman ekonomi walaupun belum massif. Pemilih pada pemilu 2004 masih merasa adanya keterikatan dengan partai tertentu yang dibuktikan dengan masih banyaknya pemilih yang punya hubungan dengan elit partai. Akan tetapi, karena pada pelaksanaan pemilu, sudah mulai diperkenalkan ada pilihan calon, maka keberadaan calon juga dilihat dari pandangan sosial kemasyarakatannya. Tidak jarang, ada calon yang berada pada nomor urut atas, namun tidak banyak yang memilih karena secara sosial tidak dikenal dan tidak pernah berinteraksi dengan pemilih. Walaupun demikian, karena adanya serangan dari partai lain, yang berusaha menggarap basis massa di luar segmen pemilihnya, maka 204 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH ada perilaku baru dari pemilih yang menonjol yaitu perilaku transaksional. Hasil lapangan menunjukan walaupun partai Abangan tetap mendominasi dalam pemilu 2004, namun sudah terjadi pergeseran pilihan politik pemilih. PDIP yang pada pemilu 1999 mendapatkan dukungan pemilih sebesar 33,76 % secara nasional, turun menjadi 19,58 %, walau secara keseluruhan masih menunjukan dominasinya di Malang Raya. Untuk wilayah Malang Raya, PDIP memperoleh 28,97% untuk Kabupaten Malang, 25,84 % Kota Malang, dan 19,88 % untuk Kota Batu. Sementara urutan kedua diduduki oleh PKB dengan perolah suara 25,72 % untuk Kabupaten Malang, 17,36 % Kota Malang, dan 13,19 % untuk Kota Batu. Sementara Golkar yang banyak disebut sebagai representasi dari kelompok priyayi, di Malang Raya menempati posisi ketiga untuk perolehan suara Kabupaten dan Kota Malang dengan dengan dukungan pemilih sebesar 16,68 % dan 17,36 %. Akan tetapi, Golkar mampu menjadi nomor satu untuk wilayah Kota Batu yang notabene sebagai daerah baru hasil pecahan dari Kabupaten Malang. Di Kota Batu, Golkar mendapat dukungan pemilih sebesar 20,62 %, diikuti oleh PDIP dan PKB yaitu 19,88 % dan 13,19 %. 2.3. Pemilu 2009: Transaksional Kalau pada dua pemilu sebelumnya upaya partai masih menekankan pada ideologis dengan peran partai cukup dominan, pada pemilu 2009 peran partai dalam pemenangan pemilu agak berkurang karena yang banyak bergerak di lapangan adalah caleg partai. Hal ini dipengaruhi oleh sistem pemilu yang sudah memakai open list secara murni, dimana caleg yang akan lolos ke DPRD tidak lagi harus melewati BPP melainkan dengan suara mayoritas. Kondisi ini mendorong para caleg untuk mengerahkan semua potensi yang dimilikinya, baik potensi sosial kemasyarakatan maupun potensi ekonomi. Berbekal jaringang sosial dan kemampuan ekonomi yang dimiliki, caleg berusaha untuk memenangkan persaingan dengan caleg dari sesama partai agar dapat lolos. Melihat kondisi tersebut, upaya kampanye partai lebih banyak dititik beratkan pada calon anggota legislatif. Persaingan di antara caleg sesama partai tampak lebih sengit ketimbang dengan caleg dari 205 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH partai lain. Kondisi ini mendorong masing-masing caleg untuk berusaha keras memenangkan persaingan dengan segala cara, termasuk dengan membeli suara. Lebih jauh dalam rangka memenangkan persaingan dalam pemilu, masing-masing caleg berusaha mengoptimalkan jaringan mereka baik itu jaringan keluarga, jangan organisasi, jaringan pertemanan. Kerasnya persaingan di internal partai, membuat caleg berusaha dengan segala cara untuk memenangkan persaingan, termasuk dengan melakukan pembelian suara. Baik calon tingkat Pusat, Provinsi, maupun Daerah semua bekerja keras meraih simpati pemilih. Dalam rangka mempermudah proses sosialisasi caleg, biasanya partai pusat mencari patner caleg dari daerah baik itu caleg provinsi maupun caleg Kota/Kabupaten. Berbagai aktivitas yang dilakukan mulai dari mengumpulkan kelompok pedagang, pemuda, petani, nelayan, keagamaan. Salah satu hal yang tidak pernah lupa, setiap ketemu dengan kelompok tersebut pasti ada transaksi berupa bantuan bagi kelompok. Bagi kelompok pedagang memberikan bantuan untuk pembentukan koperasi, bagi pemuda membentuk kelompok olah raga, kesenian dengan plus bantuan untuk peralatan, bagi kelompok keagamaan memberikan bantuan untuk fasilitas keagamaan. Dengan demikian, dalam pemengan pemilu di tingkat internal partai dalam pemilu 2009 terjadi blok-blok yang berporos pada caleg di tingkat pusat. Kerja sama yang dilakukan antra caleg pusat, provinsi, dan kota/kabupaten antara lain dalam bentuk penyebaran brosur, pasilitasi pertemuan dengan warga di tingkat dapil, pengamanan perolehan suara dalam pemilu dalam bentuk rekrutmen saksi. Pola transaksi yang dilakukan, seperti yang penulis temukan dilapangan, masing-masing caleg berbeda satu dengan yang lainnya bergantung dari tingkatan mana mereka menjadi caleg. Caleg pusat lebih banyak melakukan transaksi kepada masyarakat secara berkelompok baik kelompok besar (ribuan) maupun menengah (ratusan), dengan pertimbangan luas jangkauan wilayah dan besarnya suara yang harus mereka peroleh. Untuk caleg provinsi pola transaksi lebih banyak dilakukan kepada kelompok menengah dan kecil (puluhan), sementara untuk tingkat Kota/Kabupaten transaksi banyak dilakukan kepada kelompok kecil. Untuk caleg tingkat Kota dan Kabupaten transaksi politik tidak hanya dilakukan kepada kelompok masyarakat 206 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH yang ada di kampung-kampung dengan skala puluhan, namun juga dilakukan transaksi secara individual. Bahkan dari hasil oberservasi yang dilakukan, caleg-caleg di tingkat paling bawah ini lebih banyak melakukan transaksi politik dengan individu pemilih dalam memenangkan persaingan antar sesama caleg di internal maupun luar partai. Dalam rangka mengikat pemilih agar mereka tetap mendukung dan memberikan suaranya pada saat pemilu, para caleg biasanya memberikan batuan sosial kepada kelompok, organisasi, tempat ibadah maupun sarana sosial lainnya. Dalam rangka mengoptimalkan perolehan suara, para caleg menggarap langsung pemilih secara individual dengan upaya dor to dor. Pembagian stiker, poster maupun artribuat kampanye lain seperti kalender dan tata cara pencoblosan langsung diberikan ke rumah-rumah. Lebih ekstrim lagi, dalam rangka kepastian suara, para pemilih sudah dibeli suaranya dengan uang nominal dari mulai Rp. 20.000,-, 25.000,-, 50.000,- dan bahkan sampai 100.000,-. Pemberian uang dilakukan dengan sangat rapih dan sistematis lewat tim sukses lokal yang sudah punya kedekatan secara khusus dengan pemilih di tempat yang bersangkutan. Uang diberikan biasanya satu atau dua hari menjelang akan dilaksanakan atau hari “h” pemilihan. Sedikit berbeda dengan daerah perkotaan, khususnya di Kabupaten Malang yang pendudukanya mayoritas tinggal di pedesaan, bentuk transaksi tidak hanya dalam bentuk uang tunai. Bentuk transaksi yang dilakukan para caleg terhadap pemilih bisa berupa bantuan keagamaan, fasilitas sosial, sembako, dan juga uang. Namun hal yang agak menonjol dibanding dengan perkotaan, segmen pemilih yang relatif lebih homogen di Kabupaten Malang. Oleh karena itu, pola transaksi yang dilakukan juga dipengaruhi oleh pola hubungan sosial kemasyarakatan, dimana caleg yang akan melakukan transaksi harus menggandeng tokoh lokal yang berasal dari segmen masyarakat masing-masing. Jenis bantuannya pun berbeda, bagi kelompok keagamaan bantuan yang diberikan kepada masyarakat secara individu berupa kerudung bagi perempuan, atau membagikan sembako. Sementara bagi masyarakat yang dikoordinasi oleh tokoh formal atau pun tokoh masyarakat lain, bisa berupa bantuan pembangunan atau pun uang tunai. 207 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH Dari hasil analisis menunjukan bahwa masyarakat yang paling transaksional secara kualitatif justru lebih banyak di wilayah perkotaan. Sementara di tingkat pedesaan, walaupun mereka berperilaku transaksional, namun tidak seaktif dan seatraktif seperti pemilih yang ada di perkotaan. Di perkotaan, pemilih aktif dalam mencari caleg yang bisa memberikan kostribusi pada mereka baik secara kelompok maupun individual. Sebaliknya di pedesaan, justru partai yang lebih aktif mencari kelompok maupun individu yang mau melakukan transaksi untuk pemenangan pemilu. 208 BAB VI PENUTUP 209 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH 210 BAB VI PENUTUP PROSES demokratisasi pasca kejatuhan rezim Orde Baru cukup pesat, salah satunya ditandai dengan adanya transformasi dalam sistem kepartaian dan pemilu, serta meningkatnya partisipasi politik. Sistem kepartaian berkembang dari limitasi menjadi multipartai, sementara pemilu dilakukan oleh lembaga independen yang bernama Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang menjamin proses pemilu berjalan dengan jujur, adil, dan transfaran. Partisipasi masyarakat dalam politik pun meningkat yang ditandai dengan besarnya minat masyarakat untuk mendirikan partai, sekaligus aktif dalam berbagai aktivitas politik, termasuk mereka yang ikut melakukan mobilisasi politik. Pemilu pada masa Orde Baru hanya diikuti oleh dua partai politik (yaitu, PPP dan PDI) dan satu Golkar, sebaliknya pada pemilu era reformasi diikuti oleh banyak partai (multipartai). Pada pemilu 1999 diikuti oleh 48 partai politik, dan pada pemilu 2004 diikuti oleh 24 partai, sementara pemilu 2009 diikuti oleh 38 partai, dengan enam partai lokal yang ada di Provinsi Nangru Aceh Darussalam. Lahirnya partai politik di era multipartai, lebih banyak mengadopsi basis massa yang berlatar primordialisme (aliran) yang secara jamak dipakai partai politik pada pemilu 1955 Orde Lama. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa kondisi keparpolan pasca reformasi lebih merupakan sistem kepartaian 1955 jilid dua, dengan situasi dan kondisi berbeda. Hal ini telah mendorong adanya dinamika politik kepartaian yang jauh berbeda dengan ketika masa rezim Orde Baru yang monolitik. Sementara dalam sistem pemilu, proporsional dengan daftar tertutup (1999) terus mengalami perubahan dan perbaikan dari mulai proporsional dengan daftar terbuka plus Bilangan Pembagi Pemilih 211 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH (2004), sampai pada proporsional dengan daftar terbuka tanpa BPP (2009). Berubahnya sistem kepartaian dan pemilu, belum diikuti oleh peningkatan kualitas berpolitik baik dari kalangan elit parpol maupun pemilih. Partai politik belum mampu medesain dirinya secara utuh antara ideologi, platform, dan sekaligus implementasinya. Tidak jarang antara ideologi, platform, dan pelaksanaannya dalam tindakan politik (orientasi pada kebijakan) tidak konsisten, atau bahkan tidak konsekuen. Sementara pemilih, belum menunjukan perilaku politik yang rasional dan dewasa, karena masih diwarnai perilaku transaksional, patronase politik, dan ideologis. Ideologi yang sempit, figur politik, program karikatif lebih mengena dan dapat diterima ketimbang platform, program serta orientasi parpol yang sifatnya substansial. Oleh karena itu partai politik yang punya saham ideologis di masyarakat, punya figur yang kuat, serta kemampuan ekonomi yang memadai akan tetap survive dalam setiap pemilu. Sebaliknya, partai politik yang hanya mengandalkan jaringan organisasi, tanpa didukung massa ideologis yang jelas, figur yang kharismatis, dan dukungan dana yang cukup akan cepat hilang dari peredaran. Kondisi tersebut juga mendorong munculnya beragam fenomena yang menghiasi kepolitikan Indonesia pasca reformasi, seperti maraknya korupsi di lingkungan Dewan, tidak berjalannya sistem organisasi partai, konflik internal partai, kekerasan politik, pembakaran atribut, perusakan kantor partai politik, sampai pada deklarasi untuk secara berjamaah meninggalkan partai politik tertentu. Fenomena tersebut menunjukan kondisi politik yang tidak sehat. Elit parpol yang duduk di dewan merasa tidak punya ikatan dengan pemilih, sehingga mereka bisa berbuat apapun, sekalipun merugikan rakyat. Di sisi lain, rakyat merasa di bohongi dengan janji-janji manis pada saat kampanye, sehingga ketika melihat perilaku elit yang korup dengan gaya hidup mewah, mereka menjadi sinis dan sekaligus apatis. Kondisi tersebut di atas berimplikasi pada beberapa hal, antara lain: pertama, Banyak partai yang memperoleh suara signifikan pada pemilu 1999 namun akhirnya mengalami kemunduran pada pemilu 2004, begitu juga pemilu 2009. Transformasi dalam masyarakat baik sosial maupun politik, mengakibatkan terjadinya perubahan dalam kepentingan yang berakibat pada berubahnya pola afiliasi politik 212 PENUTUP seiring dengan berubahnya pola kepetingan tersebut. Hal ini disebabkan oleh terjadinya pemudaran ikatan pemilih (de-alignment) pada partai politik, yang ditandai dengan perilaku swing voters. Kedua, terbentuknya pola afiliasi politik baru baik itu yang bersifat natural maupun artifisial yang dibuktikan dengan tumbuhnya partai-partai baru yang mendapat suara signifikan dalam pemilu 2004 dan 2009 seperti Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Gerindera, dan Partai Hanura. Akibat kondisi spikologis massa yang kecewa dengan perilaku elit dan kondisi politik yang tidak berpengaruh pada nasib mereka, muncul fenomena yang menarik, khususnya dalam perilaku voting. Banyak pemilih yang tidak mau datang ke tempat pemungutan suara ketika pemilu dilaksanakan, tingginya swing votes, banyak pemilih yang tidak merasa punya ikatan dengan partai (nonpartisan). Hal tersebut secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi pemahaman, pandangan, dan sekaligus Pemahamanan pemilih pada partai politik. Oleh karena itu partai politik, pasca reformasi, tidak lagi dipemahamani secara ideologis, namun juga sudah berkembang menjadi pemahaman sosial kemasyarakatan dan pemahaman ekonomi. Selanjutnya dengan adanya perubahan sistem kepartaian dan sistem pemilu dan adanya perluasan pemahaman partai oleh pemilih pasca reformasi telah berdampak pada pola hubungan partai dan pemilih. Beberapa fenomena yang berkembang terkait dengan perso\alan hubungan partai dan pemilih di era multipartai : pertama, lemahnya pemahaman ideologi dan sistem nilai partai, hal ini berimplikasi pada hilangnya perbedaan substansial antara partai satu dengan partai lainnya dalam membangun paltform dan program partai. Padahal ketika ideologi menjadi suatu sistem nilai, seharusnya punya dampak pada paltform dan program dalam menyelesaikan persoalan bangsa. Efek dari lemahnya ideologi ini membuat partai menjadi pragmatis dalam menghadapai setiap pemilu, sehingga berdampak pada sikap pragmatisme pemilih yang cenderung menjadi suka memilih figur, kedekatan, atau yang banyak uang dan sumbangannya. Kedua, hubungan partai dengan pemilih sudah terjebak pada pola hubungan jual-beli/transaksional. Untuk mendapatkan suara dalam pemilu, parpol/caleg membeli suara pemilih lewat uang, 213 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH sembako, kaos, pembangunan mesjid, pembangunan jalan dan lainlain. Hal ini dilestarikan oleh hubungan anggota dewan dengan konstituennya, yang terhanyut dalam pola politik sejenis pasca Pemilu. Kondisi ini berakibat pada hilangnya peran substansial anggota Dewan sebagai pembuat keputusan politik yang merupakan terjemahan dari aspirasi dan kepentingan pemilih. Anggota Dewan menjadi terpola untuk memberikan bantuan dan sumbangan yang bersifat karitatif dan berbiaya tinggi. Ketiga, belum terbangunnya suatu kelompok kepentingan dan infrastrukturnya yang solid, dimana parpol menjadi ujung tombak penyaluran aspirasi dan agregasi kepentingan. Keadaan ini membuat partai politik tidak mengetahui suara itu berasal dari kelompok mana, karena infrastrukturnya belum terbangun. Padahal suara dalam Pemilu sendiri merupakan konsekuensi logis dari suatu kesepakatan atau komitmen yang dibangun bersama dalam komunitas, dimana parpol menjadi ujung tombaknya. Keempat, parpol menggunakan pemilih untuk kepentingan jangka pendek, dimana parpol memakai pemilih sebagai objek pendulang suara dalam Pemilu, alat legitimasi, alat mobilisasi, tatkala instrument partai membutuhkan untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan. Pemilih diposisikan sebagai sub-ordinat untuk memenuhi keinginan dan kepentingan politik partai. Realitas di atas dapat disimpulkan bahwa baik di tingkat supra maupun infra struktur politik telah terjadi perubahan, antara lain: Pertama, pada tingkatan pemilih terjadi perluasan dalam memahami partai politik. Pemilih tidak lagi mepemahamani partai dalam kontek ideologi, namun sudah berkembang pada Pemahamanan sosial kemasyarakatan dan ekonomi. Hal ini ditandai dengan dasar pilihan masyarakat pada partai politik yang tidak hanya karena Islam atau Nasionalis, namun juga karena pertimbangan kedekatan sosial dan imbalan ekonomi. Kedua, pada tingkatan partai politik mengalami kehilangan orientasi yang mengakibatkan rendahnya kinerja, dan diperparah oleh berkembang perilaku praktis pragmatis dalam meraih suara guna mengejar kepentingan jangka pendek berupa lolos threshold. Hal ini ditandai dengan lemahnya perhatian pada program kaderisasi guna penguatan ideologi dalam tubuh kader, dan lebih menonjolkan program yang bersifat karikatif dan berbiaya tinggi. Ketiga, makin tidak terkonstruksinya politik aliran dalam pemilu. 214 PENUTUP Konstruksi politik aliran yang telah sekian lama menghiasi politik Indonesia, dalam perpolitikan era reformasi warna aliran dari pemilu ke pemilu makin melemah. Perluasan Pemahaman Partai Pada pemilu 2004, pemilih yang meninggalkan partai politiknya, bukan karena semata alasan ideologis, namun juga karena didorongan alasan pragmatis. Akibat kondisi ekonomi dan sinisme politik masyarakat pada partai dan elit-nya menuntun mereka berperilaku pragmatis, mereka akan menjatuhkan pilihan pada parpol mana pun yang mampu memberikan keuntungan bagi kehidupan mereka. Sementara pemilih yang masih setia dengan pilihan politiknya, dimana yang Santri masih memilih partai Islam dan yang Abangan masih memilih Partai Nasionalis, tetap mewarnai kehidupan politik, walaupun dengan kadar yang telah berkurang. Pilihan partai politik masyarakat tidak hanya berpemahaman ideologi dalam arti pilihan sejalan dengan aliran politik, namun ada pemahaman lain seperti kesejahteraan ekonomi. Masyarakat memilih partai karena ada konstribusi secara ekonomi yang diperoleh dari partai atau caleg yang berbentuk uang, sembako, maupun bantuan pembangunan. Selain kedua hal Pemahamanan tersebut, juga tersirat pemahaman lain sebagai manifestasi dari kultur masyarakat desa yaitu kultur paguyuban yang menjadi dasar dalam kehidupan sosial masyarakat. Ikatan keluarga, kelompok, maupun komunitas sangat berpengaruh pada pilihan politik masyarakat. Oleh karena itu, partai politik yang menjadi pilihan dalam satu komunitas sosial di satu kampung atau desa akan menjadi pilihan individu anggota kelompok sosial tersebut sebagai wujud dari solidaritas kelompok. Secara garis besar, Pemahamanan pemilih pada partai politik mencakup pemahaman ideologis, pemahaman sosial, dan pemahaman ekonomi. Varian pemahaman ideologi yang ada dalam masyarakat pemilih terbagi ke dalam empat hal Pemahamanan partai, yaitu alat Perjuangan Islam, Pengejawantahan Keislaman, Pembelaan Wong cilik, dan Perlawanan Pada Ideologi Penguasa. Pemahaman sosial terdiri dari Solidaritas Sosial, Kepatuhan kepada Pemimpin, dan Budaya. Sementara varian pemahaman ekonomi terdiri dari Pemberian Uang Tunai, Bantuan Pembangunan. 215 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH Berdasar pada Pemahamanan yang berkembang, pemilih di Malang Raya, dalam menentukan pilihan politiknya sangat di tentukan oleh tiga faktor, yaitu ideologis, sosial kemasyarakatan, dan ekonomi. Ketiga faktor tersebut saling memperkuat pemilih untuk menentukan pilihan politiknya, namun yang paling dominan adalah foktor ekonomi, khususnya pada kalangan pemilih yang berstatus ekonomi menengah ke bawah yang umumnya dari kalangan Abangan dan Santri Tradisional. Partai Mengejar Kepentingan Jangka Pendek Kenyataan bahwa masyarakat pemilih, walaupun afilasi politik berdasar aliran masih eksis (ideologis), namun keberadaannya makin lama semakin terkikis. Di sisi lain, adanya tuntutan untuk memenuhi electoral threshod (1999) atau parliamentary threshod (2004) agar tidak tergusur dalam pentas politik pemilu berikutnya. Hal tersebut menjadi penyebab utama partai politik berperilaku praktis-pragmatis, disamping dorongan dari perubahan dalam sistem pemilu. Dengan demikian ada kecenderungan dikotomi Islam vs Nasionalis, tidak lagi kaku karena baik partai Islam maupun Nasionalis sama-sama membidik pemilih Santri maupun Abangan. Banyak cara yang dilakukan partai politik untuk meraih suara agar terhindar dari ambang batas (threshold). Salah satu caranya adalah dengan berusaha melakukan pendekatan kepada pemilih yang sejalan dengan perkembangan Pemahamanan partai sebagai jalan instan bagi partai untuk mendapatkan dukungan suara dari pemilih, terutama pemahaman ekonomi partai. Walaupun partai politik merasakan perlunya penguatan ideologis untuk meraih keuntungan jangka panjang, namun hal ini memerlukan waktu lama. Oleh karena itu hampir semua partai politik, dengan kadar berbeda berusaha melakukan pendekatan dengan cara praktis, termasuk mengaburkan identitas ideologisnya untuk memenuhi target jangka pendek, yaitu mengejar batas minimum perolehan suara. Fenomena berkembangnya partai politik yang berperilaku praktis pragmatis serta mengaburkan identitas ideologis untuk mengambil spektrum pemilih yang lebih heterogen (catch all party), dalam jangka panjang justru akan merugikan partai itu sendiri. Hal yang penting bagi partai politik sebenarnya bukan merekayasa 216 PENUTUP identitas ideologis ke arah abu-abu, melainkan kejelasan platform partai yang ditrasformasikan ke dalam bentuk program-program partai yang lebih jelas dan kongkrit. Kenyataan yang terjadi sekarang ini adalah inskonsistensi partai politik dalam memperjuangkan aspirasi rakyat. Partai politik yang bernuansa ideologis, tidak harus kehilangan kemampuannya dalam membangun partai yang bersifat programatik. Lebih jauh, partai politik yang berfungsi sebagai agregasi dan artikulasi kepentingan, tidak lagi menawarkan platform dan program partai yang penuh kualitas sebagai produk politik yang akan dijual. Sebaliknya, partai politik lebih banyak terjebak pada kepentingan jangka pendek saat pemilu, berbagai program yang ditawarkan hanya bersifat karikatif dan tidak mendidik. Kalau dilihat dari perspektif rasional sebenarnya masyarakat akan berusaha untuk mencari produk partai politik yang akan meningkatkan keuntungan yang sebesarbesarnya kepada mereka. Akan tetapi karena rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat pada partai politik, masyarakat lebih cenderung mengabaikan produk politik partai yang sifatnya substantif, berupa tawaran program yang berkualitas, dan lebih memilih produk partai yang sifatnya karikatif. Pola hubungan partai dengan konstituen sudah terjebak pada pola transaksional, sehingga untuk mendapatkan suara dalam pemilu, parpol membeli konstituen lewat uang, sembako, kaos, pembangunan Mesjid, pembangunan jalan dan lain-lain. Hal ini dilestarikan oleh hubungan anggota dewan dengan konstituennya, yang terhanyut dalam pola politik sejenis pasca Pemilu. Anggota dewan terjebak untuk memberikan bantuan dan sumbangan yang bersifat karitatif dan berbiaya tinggi. Hal ini ditenggarai juga sebagai sebuah ketakutan dari pimpinan partai politik akan kehilangan dukungan konstituennya sebagaimana yang dikemukakan Feith (1974), “...party leaders were afraid that their members would desert them if not given sufficient reward...” Pola Aliran Semakin Tidak Terkonstruksi Dalam pemilu 1999, beberapa partai yang dianggap mempunyai hubungannya dengan pemilih Islam, yaitu PKB, PPP, PAN, PKS, PBB, cukup mendapat dukungan dari pemilih dan PKB mempunyai dukungan pemilih paling besar. Di Malang Raya Partai Kebangkitan 217 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH Bangsa menempati urutan kedua terbesar setelah PDIP yaitu 29,57 % untuk Kabupaten Malang, 19,60 % untuk Kota Malang. Sementara dukungan pemilih pada partai Islam lainnya tidaklah signifikan, kecuali untuk PAN yang punya basis pemilih golongan Islam Modernis mendapat 10, 53 % di Kota Malang. Sementara di Daerah Kabupaten Malang pemilih memberikan suaranya kepada PDI-P sebanyak 510.450 pemilih (38,47%) pada pemilu 1999 dan 357.008 pemilih (28,97%) pada pemilu 2004. Kondisi ini, bagi kalangan elit politik dianggap sebagai kenyataan ideologis yang mungkin disamakan dengan hasil pemilu 1955 dimana partai Islam memperoleh sekitar 40 % suara secara keseluruhan dan partai Nasionalis mendapat 60%, dimana PNI menjadi partai mayoritas nomor satu. Dalam pemilu 2004, hasil perolehan suara menunjukan bahwa suara partai-partai besar mengalami penurunan drastis. PDIP kehilangan 14% suaranya secara nasional dan harus kalah dari Partai Golkar. Namun demikian, dominasi PDIP di Malang Raya masih tetap. Di Kabupaten Malang, PDI-P meraih 28,97 persen suara, Partai Golkar 16,68 persen suara, dan PKB 25,72 persen suara. Di Kota Malang PDIP meraih 25,84 persen suara, PKB 17,36 persen suara, dan Partai Golkar mendapat 14,55 persen suara. Sementara di Kota Batu PDIP memperoleh 18,97 persen suara, PKB, 12,59 persen suara, dan Partai Golkar mendapat 19,67 persen suara. Bgitu juga dengan Partai Amanat Nasional (PAN), yang mampu memperoleh suara signifikan pada Pemilu 1999 harus merelakan sebagian konstituennya lari ke partai Lain. Hal ini menurut hasil analisis data yang diperoleh dari KPUD menunjukan bahwa penurunan suara PAN ini diikuti dengan kenaikan suara PKS. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa sebagian konstituen PAN beralih ke PKS. Fenomena penurunan suara partai pada pemilu 2004, merupakan penjelasan dari keberadaan swing votes. Akibat pemilih tidak punya loyalitas ideologis dengan partai, maka pemilih dapat dengan mudah memindahkan dukungan politiknya ke partai lain yang dapat memenuhi harapan mereka. Lebih jauh, berkembangnya fenomena swing votes, tidak hanya berpengaruh pada proses pengkaburan politik aliran, namun juga berdampak pada munculnya kekuatan baru pada peta politik kepartaian di Indonesia. Oleh karena itu banyak partai Islam yang kehilangan pegangan politik sehingga mereka tidak 218 PENUTUP punya keberanian yang cukup untuk mentranlasikan ideologi politiknya secara transfaran kepada publik. Demikian sebaliknya, partai Nasionalis tidak punya keyakinan untuk tetap setia mempertahankan basis tradisionalnya tanpa melakukan ekspansi ke luar. Dengan demikian memasuki pemilu 2004, akibat adanya perubahan dalam sistem kepartaian dan pemilu, dan perluasan Pemahamanan partai oleh pemilih, pola hubungan yang berbasis aliran sedikit mengalami perubahan. Hasil pemilu 1999 yang cukup kental dengan warna ideologis, pada pemilu 2004 hasil pemilu lebih mencair sebagaimana dibuktikan dari penurunan perolehan suara partai-partai yang merepresentasikan ideologi seperti PDIP, PKB, PAN, dan Golkar. Pada pemilu 2009, sistem pemilu dengan daftar terbuka murni lebih mendorong partai untuk melupakan label ideologis karena peran caleg lebih dominan dalam upaya meraih suara. Hasil perolehan suara pemilu 2009 menunjukan adanya perubahan yang cukup signifikan terkait pola hubungan yang berbasis aliran. Dari hasil perolehan suara dan kursi di DPRD bahwa pada pemilu 1999 pola hubungan berbasis aliran masih terkonstruksi, sementara pada pemilu 2004 konstruksi politik politik aliran mengalami penurunan. Berbeda dengan pemilu 1999 dan 2004, pada pemilu 2009, konstruksi pola hubungan partai dan pemilih berbasis aliran sudah sangat melemah, kalau tidak dikatakan hilang. Pada pemilu 1999, PDIP yang menjadi representasi dari pemilih Abangan, PKB dan PPP yang menjadi representasi dari pemilih Santri Tradisional, PAN dan PK representasi dari pemilih santri Modernis, sementara Golkar menjadi representasi dari pemilih Priyayi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada pemilu 1999 nuansa ideologis masih kental mewarnai perpolitikan di Malang Raya. Sementara dari hasil perolehan suara pada pemilu 2004, menunjukan bahwa politik aliran sudah mulai mengalami pemudaran. Warna ideologis yang berkembang baik itu Nasionalis yang merah, maupun Islam yang hijau tidak lagi sepekat pemilu 1999. Hal ini bisa dibuktikan dari penurunan suara dialami oleh PDIP, PKB, PAN maupun Golkar di Kabupaten dan Kota Malang. PDIP, PKB, dan Golkar yang merupakan simbolisasi dari politik aliran tidak lagi menjadi partai dengan perolehan kursi terbesar, pada 219 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH pemilu 2009 dominasi ketiga partai ini tidak terjadi. Beberapa partai muncul ke permukaan seperti Partai Demokrat, PKS, PAN dan beberapa partai lain, bahkan Partai Demokrat bisa menghentikan dominasi PDIP di Kota Malang yang pada pemilu 1999 dan 2004 menjadi pemenangan pemilu di Malang Raya. Partai Demokrat di Kota Malang yang pada pemilu 2004 memperoleh kursi 7 kursi kalah 5 kursi dari PDIP yang memperoleh 12 kursi, pada pemilu 2009 Demokrat memperoleh 12 kursi sementara PDIP 9 kursi. Implikasi Teoritis Dikotomi aliran politik yang dikemukakan Geertz (1960) yaitu Santri dan Abangan, dalam kehidupan politik, ditransformasikan menjadi ideologi partai berhaluan Islam dan Nasionalis. Santri yang dikonsepsikan Geertz sebagai kelompok masyarakat yang taat dalam menjalankan ajaran Islam terbagi ke dalam dua varian yaitu kelompok santri modernis dan kelompok santri tradisional (Jackson, 1984). Kedua varian santri ini, terutama santri yang mempunyai identifikasi kesantrian yang kuat (Afan Gaffar, 1992), pilihan politik terhadap partai sangat kental dengan nuansa ideologis, mereka cenderung akan memilih partai Islam. Walaupun demikian, karena ada perbedaan pemahaman serta kultur keagamaan dari kedua varian santri ini telah melahirkan perilaku politik yang berbeda walaupun dasarnya sama yaitu ideologi Islam. Begitupun mereka yang Abangan, dasar pertimbangan ideologis dalam memilih partai politik cukup kental. Pemilih abangan umumnya memilih partai yang berhaluan Nasionalis, yang juga sering dikonsepsikan sebagai partai Sekuler. Dalam tataran praksis, kosep aliran pada awal pemilu pasca reformasi masih menunjukan relevansinya, khususnya di Jawa Timur. Kecenderungan pilihan politik kelompok Santri ke partai Islam dan Abangan ke Partai Nasionalis berjalan sebagaimana terlihat dari hasil pemilu baik 1999. Fakta ini dapat dijelaskan dengan konsep identifikasi diri, yang merupakan hasil dari proses panjang sosialisasi dari mulai keluarga, kelompok, maupun lingkungan (Hyman, 1959). Persoalan yang terjadi pada pemilu pasca 1999, dimana partai-partai yang memperoleh suara cukup besar dalam pemilu 1999 mengalami penurunan suara pada pemilu 2004 dan 2009, hal ini berarti bahwa identifikasi diri pemilih terhadap partai mengalami penurunan. 220 PENUTUP Pemilu 2009 peran partai tidak begitu menonjol, dan peran identifikasi kepartaian menurun atau menjadi kurang signifikan dalam mempengaruhi prilaku voting. Kondisi tersebut salah satunya disebabkan oleh karena lemahnya komitmen ideologis partai yang tersurat dalam platform partai dan sekaligus menjadi agenda politik partai untuk diperjuangkan. Lemahnya pemahaman ideologi dalam partai berdampak pada model solusi persoalan bangsa yang relatif seragam dan tidak ada korelasinya dengan ideologi yang diperjuangkan. Program penyelesaian terhadap persoalan bangsa, hampir tidak menunjukan adanya perbedaan yang substansial antara partai satu dengan yang lainnya. Ketika ideologi menjadi suatu sistem nilai partai, cara berpikir dan bertindak dalam menyelesaikan persoalan menjadi ciri khas dari parpol yang membedakannya dengan partai lain. Sebagai mana yang dikemukakan oleh Anthony Downs (1957), bahwa ideologi politik merupakan himpunan ide dan prinsip yang menjelaskan bagaimana seharusnya masyarakat bekerja, dan menawarkan ketertiban (order) masyarakat tertentu termasuk menawarkan bagaimana mengatur kekuasaan dan bagaimana seharusnya dilaksanakan. Lemahnya ideologi partai berkorelasi pada perilaku politik partai yang cenderung praktis-pragmatis dalam mensikapi semua persoalan bangsa. Ideologi sebagai the right of conduct dan juga berperan untuk mengkritisi ide, gagasan serta program dari partai yang berlainan ideologi menjadi mandul. Tidak mengherankan bahwa akhirnya konstituen menjadi lebih pragmatis juga dan punya kecenderungan memilih figur, kedekatan, atau yang banyak uang dan sumbangannya. Hal ini merupakan ciri dari fenomena yang oleh Nugent (2003) disebut sebagai defisit demokrasi, karena para pemilih lebih suka figur dari pada kemampuan kandidat yang berfokus pada muatan politik. Perilaku pragmatis tersebut bisa dipemahamani sebagai ketidakpercayaan pada partai politik. Hal itu mendorong masyarakat untuk berperilaku nonpartisan, disamping mendorong terjadinya swing voters, yaitu berpindahnya pilihan partai politik dari satu partai dalam pemilu ke partai lain dalam pemilu berikutnya. Apabila hal ini berlangsung terus, maka identifikasi diri pemilih terhadap partai akan mengalami kehancuran. Secara teoritik, kondisi ini dijelaskan oleh Harrop sebagai proses dealignmen, yaitu suatu proses memudarnya 221 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH identifikasi kepartaian dari seseorang kepada partai yang telah lama diikutinya atau sebagai “the wakening of party loyalities.” Memudaranya dukungan terhadap partai akan berarti hilangnya suara partai yang bersangkutan. Hal tersebut akan mendorong tumbuhnya partai baru, atau meningkatnya kekuatan partai baru sebagai akibat dari bergesernya identifikasi diri partai dari pemilih. Di dalam negara-negara demokrasi liberal, termasuk Indonesia, penomena memudarnya dukungan atau menurunnya identifikasi partai akan menyebabkan berpindahnya pemilih ke partai lain atau/ dan terbentuknya partai baru sebagai wadah baru untuk menyampaikan aspirasinya. Sebagaimana yang terjadi pada pemilu 1999 dan 2004, dimana sebagian massa PDIP, PKB, PAN harus hilang dan memunculkan partai politik baru yaitu Partai Demokrat, sementara PKS pada pemilu 2004, Partai Gerindera dan Partai Hanura pada pemilu 2009. Kenyataan tersebut berimplikasi pada eksistensi, pola-pola aliran seperti model Geertz. Pola hubungan partai dan pemilih di Indonesia pada saat pemilu yang jelas menggambarkan pola aliran, pasca reformasi hubungan partai dan pemilih berbasis aliran ini mengalami kekaburan. Hal ini berarti bahwa perilaku politik pasca reformasi tidak lagi bisa dijelaskan dengan hanya memakai konsep politik alirannya Geertz. Walaupun begitu, konsep aliran politik ini akan tetap menjadi kekuatan laten yang akan tetap mewarnai perpolitikan di negara kita. Dengan demikian walaupun konsep aliran masih berperan dalam menjelaskan perilaku politik Indonesia, namun konsep aliran ini harus ada penyesuain dengan realitas politik yang berkembang. Catatan Ke Depan Berdasar hasil yang diperoleh dari penelitian lapangan yang penulis lakukan di Malang Raya, ada beberapa fenomena yang kurang mendukung bagi tumbuh dan berkembangnya demokrasi. Oleh karena itu penulis merumuskan beberapa saran perbaikan sistem ke depan agar proses demokrasi dapat berjalan baik di Indonesia. Adapun saran-saran yang penulis ajukan sebagai berikut: Pertama, tampilan ideologis menjadi hal yang sangat penting bagi suatu partai politik, sebagai suatu platform yang menjadi basis perjuangan politiknya di legislatif dan pemerintahan. Sebab ideologi 222 PENUTUP partai dianggap sebagai sistem kepercayaan yang menciptakan pola tingkah laku politik yang penuh pemahaman sebagai pilihan-pilihan moral dan filosofis yang relatif koheren dan berpengaruh untuk membangun hubungan individu dengan masyarakat. Juga sebagai prinsip moral yang menjadi dasar pemakaian kekuasaan, selain sangat membantu partai untuk memahami sebagian determinan pendapat umum serta merumuskan kepentingan-kepentingan dan pilihanpilihan politik yang akan diperjuangkan bagi rakyat. Dengan demikian, menjadi penting adanya kejelasan idelogi dalam partai karena posisi partai akan menjadi jelas dalam ranah penyusunan agenda dan perumusan kebijakan publik. Hal ini juga sekaligus melaksanakan fungsi melayani masyarakat akan referensi yang mereka butuhkan, disamping dapat mendekatkan aktor atau elit partai melalui adanya ikatan kesamaan norma di antara mereka dan masyarakat. Kedua, belum adanya peraturan partai yang mengatur, mengelaborasi dan mendesain pola mengenai bagaimana membangun hubungan dengan pemilih. Hubungan dengan pemilih menjadi bersifat individu dan tidak sistemik. Agar dapat menjamin kontinuitas dukungan pemilih kepada partai, maka partai harus merancang, membangun tradisi dan melembagakan pola hubungan dengan pemilih dalam suatu peraturan partai yang komprehensif. Ketiga, komunikasi parpol dengan pemilih pada umumnya masih satu arah, yaitu dari parpol kepada pemilih, sehingga desain program parpol tidak mencerminkan harapan dan kebutuhan konstituen yang diwakilinya. Oleh karena itu perlu adanya komunikasi timbal balik antara partai dengan pemilih sehingga desain partai menjadi selaras dengan harapan dan aspirasi dari pemilihnya. Keempat, sistem multipartai yang berlaku sekarang ini telah melahirkan kualitas dan kinerja parlemen yang tidak baik dan tidak efisien. Oleh karena itu sistem kepartaian perlu lebih disederhanakan untuk mendorong Parlemen bekerja efektif. Parliamentary threshold 2,5 % yang telah diberlakukan pada pemilu 2009 telah memangkas partai ikut serta di Parlemen menjadi hanya 9 partai. Pada pemilu ke depan, parliamentary threshold perlu di tingkatkan sampai di atas 5 % agar keberadaan partai di Parlemen lebih sederhana. Dalam rangka menjamin keselarasan, parliamentary threshold, tidak hanya 223 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH diberlakukan di tingkat pusat, namun juga perlu dilaksanakan di tingkat Daerah (Provinsi, Kota / Kabupaten). Kelima, sistem pemilu dengan menggunakan proporsional daftar terbuka telah mendorong kompetisi yang tidak sehat baik di internal partai maupun dengan luar partai. Dalam rangka memenangkan persaingan, caleg yang diusung partai melakukan segala cara termasuk melakukan character assasination terhadap kompetitor, dan juga melakukan pembelian suara kepada pemilih. Disamping itu, anggota yang dihasilkan dengan sistem daftar terbuka ini justru telah melahirkan kualitas anggota dewan yang tidak bertambah baik. Agar kondisi ini tidak terus berlanjut, maka perlu adanya peraturan yang dapat menjamin terjadinya kompetisi yang lebih sehat. Disamping itu perlu adanya syarat kapasitas, dan akseptabilitas terhadap calon anggota dewan, selain verifikasi adaministratif yang dilaksanakan oleh KPU. Keenam, pasca reformasi masyarakat terlalu banyak disuguhi dengan pemilu baik legislatif, presiden, gubernur, bupati dan walikota. Kondisi ini telah mengakibatkan pemilih mengalami kejenuhan dalam mengikuti pemilu, sehingga menciptakan rendahnya partisipasi dalam setiap pemilu. Lebih jauh, pemilu dijadikan sebagai ajang cari keuntungan secara ekonomi dari calon yang membutuhkan suara mereka. Oleh karena itu perlu adanya upaya untuk membatasi pelaksanaan pemilu dengan cara menyatukan pelaksanaan pemilu, misal pemilu legislatif dilaksanakan berbarengan dengan pemilu presiden, pemilihan Kepala Daerah dilaksanakan secara serentak di seluruh wilayah Indonesia. 224 DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Taufik ed. (1983) Agama dan perubahan Sosial. Jakarta : Rajawali Press. Alfian (1989) Muhammadiyah: The Political Behavior of a Muslim Modernist Organisation Under Dutch Colonialism. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. —————, (1973) Analisa Hasil Pemilihan Umum 1971, LIPI, Jakarta. —————, dan Nazaruddin Syamsuddin, (1988) Masa Depan Kehidupan Politik Indonesia, Rajawali Press: Jakarta. —————, 1990, Masalah dan Prospek Pembangunan Politik Indonesia, Kumpulan Karangan, Jakarta: PT. Gramedia Ali, Fachry (1994) How State Comes to the People?: the Acehnese and the New Order State. A Paper presented at the Indonesian Study group, Research School of Pacific and Asian Studies, ANU, Canberra, 8 June 1994. ————— (1994) Keharusan Demokratisasi dalam Islam di Indonesia. A paper presented at a seminar held in LIPI by Majelis Sinergi Kalam, ICMI, Jakarta. —————, (1996) Pengaruh Aliran Dalam politik Indonesia, unpublished paper. Alford, Roberth R., (1963) Party and Society, Rand McNally and Company, Chicago. Almond, Gabriel and Sidney Verba, (1963) The Civic Culture. New Jersey: Prenceton Univerity Press, ————— (1966) Comparative Politics, A Developmental Approach. Boston: Little, Brown and Company. Amal, Ichlasul, Dr., (1988) Teori-Teori Mutakhir Partai Politik. Yogyakarta: Tiara Wacana. Amstutz, R., Mark, (1982) An Intorduction to Political Science, The Management of Conflict. USA: Foreman and Company. Anderson, Benedict R. O’G., (1990) The Idea of Power in Javanese Power, dalam Benedict R. O’G. Anderson Culture and Politics in Indonesia. Ithaca and London: Cornell University Press. ———, (1990) Language and Power, Exploring Political Cultures in Indonesia. Ithaca and London: Cornell University Press. Andrews, Mac, Collin, dan Mohtar Mas’ud. (1990) “Perbandingan 225 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH Sistem Politik”. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Antony Black, (2006) Pemikiran Politik Islam, Terj. Abdullah Ali, Cet, I, Jakarta. Anderson, B. and Kahin, Andrey (1982) Interpreting Indonesian Politics: Thirteen Contribution to the Debate. Ithaca : Cornell Modern Indonesian Project. Arifin, Imron (1993) Kepemimpinan Kyai: Kasus Pondok Pesantren Tebuireng. Malang : Kalimasahada Press. As’ad, M.Z. Widjaja (1991) Elit Agama dan Massa Pemilih dalam Perspektif Budaya Politik. Unpublished MA thesis. Yogyakarta: Gadjahmada University. Azra, Azyumardi, (2002) Reposisi Hubungan Agama dan Negara, Jakarta: Penerbit Buku Kompas. —————, dkk. (2004) Pergulatan Partai Politik Di Indonesia, Jakarta: PT. RajaGrafindo. Barness, Douglas F. (1978) “Charisma and Religious Leadership: An Historical Analysis”, Journal of the Scientific Study of Religion, 17(1): 1–18. Barton, Greg and Fealy, Greg ed. (1996, forthcoming) Nahdlatul Ulama, Traditional Islam and Modernity in Indonesia. Centre of Southeast Asian Studies, Monash University. Bernard Lewis, (2002) Islam Liberalisme Demokrasi, Terj. Mu’im A Sirry, Cit. I. Jakarta: Para Madina, Berelson, Bernard R., et.al, (1954) Voting, University of Chicago Press, Chicago. Binder, Leonard (1959) “Islamic Tradition and Politics: The Kyai and the Alim”, Comparative Study in Society and History, (2): 250–256. ————, et al. (1971) Crises and Sequences in Political Development, New Jersey: Princeton University Press. Boboy, Max, SH., (1994) DPR RI Dalam Perspektif Sejarah dan Tata Negara, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, Bogdan, Robert dan Steven J. Taylor, (1992) Pengantar metoda penelitian kualitatif: Suatu Pendekatan Fenomenologis Terhadap Ilmu-ilmu Sosial, (Diterj. Arief Furchan) Surabaya: Usaha Nasional. Bone and Ranny, (1980) Politics and Voters, Mc. Graw-Hill inc.Illiones. Bourchier and Legge John (editor). (1994) Democracy In Indonesia 1950 and 1990s. Australia: Aristoc press Pty. 226 DAFTAR PUSTAKA Bogdan, R.C. And Taylor, (1992) Introduction to Qualitative Research Methods: A Phenomenological Approach to The Social Sciencies. New York: John Wiley & Sons. Brannen, Julia. (1993) Mixing Methods: Qualitative and Quantitative Research. USA:Ashgate Publishing Company. Bruinessen, Martin van 1994 NU: Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Wacana baru. Yogyakarta : LKIS. —————, (1992) Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia. Bandung : Mizan. —————, (1995) Kitab Kuning, Pesantren dan tarekat: Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia. Bandung : Mizan. Budiarjo, Miriam, (1992) Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia. Bulkin, Farchan, (1983) State and Society: Indonesian Politics Under the New Order (1966-1978). Ph.D. Diss. University of Wahsington, Seattle. Campbell, Angus, Gerald Gurin, and Warren Miller, (1954) The Voter Decides, Evanston: Row, Peterson and Co. ———, et al., (1960) The American Voter. New York: John Wiley and Sons. ———,, et al., (1966) Election and the Political Order, John Willey and and Sons, New York. Clifford Geertz, (1986) Mojokuto, Dinamika Sosial Sebuah Kota di Jawa. Jakarta: Pustaka Grafitipers. Crouch, Harold. 1978. Patrimonialism and Military Rule In Indonesia. World Politics Vol. 31, No. 4, USA. ________, (1994) Democratic Prospects in Indonesia, in David Bourchier & John Legge (eds.) Democracy in Indonesia, 1950s and 1990s, Clayton, Victoria: Center of Southeast Asian Studies, Monash University, (Monash Papers on Southeast Asia No. 31). Cumming, Milton, (1956) Congressmen and the Electorate, The Free Press. Czudnowski, Moshe, M. (1976) Comparing Political Behavior, London: Sage Publication Inc, New York. Dahl, Robert, (1956) A Preface to Democracy Theory. Chicago: University of Chicago Press. Deliar Noer, (2006) Partai Islam di Pentas Nasional, Cet. I, Bandung: Mizan. 227 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH Dhofier, Zamakhsyari, (1980) The Pesantren Tradition: A Study of the Role of the Kyai in the Maintenance of the Traditional Ideology of Islam in Java. Ph.D. Thesis, ANU, Canberra . Dhofier, Zamakhsyari, (1982) Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta : LP3ES. Dankwart, A., Rustow, Transition to Democracy. To Ward To Dynamic Model, Comparative Politics Vol. 2. No. 3: 337-363. Deutch, Karl, W. (1961) “Social Mobilization and Political Development”. American: Science Review, LV. Dhakidae, Daniel, (1999) “Partai-Partai Politik Indonesia: Ideologi, Strategi dan Program”. Dalam Tim Penelitian Litbang Kompas (editor). Edisi Pemilihan Umum. Jakarta: Litbang Kompas. Diamond, Larry, (2003) Developing Democracy, Toward Consolidation, terjemahan. Yogyakarta: IRE Press. ————, (1966) Political Opposition in Western Democracies. New Haven: Yale University Press. Dalton, Russel J., (1988) Citizen Politics in Western Democracies: Public Opinion and Political Parties in the United States. Great Britain, Chatam House, West Germany, and France, Chatam, NJ. Denver, David,. 1989 Election and Voting Behavior in Britain. London: Philip Allan Published. Dhakidae, Daniel, (1981) Partai Politik Dan Sistem Kepartaian Di Indonesia, Dalam Prisma 12 Des., LP3S. Dreyer, C., Edward and Rosenbaum, A., Walter, (1976) Political Opinion and behavior, Essay and Studies (Third Edition), Wadsworth Publishing Company, Inc. California. Down, Anthony, (1957) An Economic Theory of Democracy, Harver and Brothers. Drijarkara, N., (1978) Percikan Filsafat, Jakarta: Pembangunan Jaya. Easton, David, (1953) The Political System. Yew York: Alfred A Knopt Echols, J.M. and Shadily, Hassan (1975) An English Indonesian Dictionary. Ithaca, London : Cornell University Press. Effendy, Bahtiar (1998) Islam dan Negara:Tranformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina. Emerson, D.K., (1978) The Bureaucracy in Political Context: Weakness in Strength”. In Jackson, Karl D and Pye, Lucian ed., Political Power and Communication in Indonesia. Los Angeles : University 228 DAFTAR PUSTAKA California Press. Emmerson, Donald K., (1976) Indonesia’s Elite: Political Cultural and Cultural Politics, Ithaca: Cornell Univeersity Press. Eriyanto, (1999) Metodologi Polling, Memberdayakan Suara Rakyat, Bandung, PT Rosdakarya Offset Bandung. Eulau, Heinz, (1965) The Behavior Persuation in Politics, New York: Random House, New York. Fajar, Mukti, (2008) Partai Politik Dalam Perkembangan Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Malang: In-TRANS Publishing. Farrel, M. David, Comparing Electoral Syatem, London: MacMillan Press Ltd., 1997. Farganis, James, (2000) Reading In Social Theory, The Clasic Tradition to Post-Modernism, USA:The McGraw-Hill Companies, Inc. Fathoni, Khoerul and Zen, Muhammad (1992) NU Pasca Khittah: Prospek Ukhuwwah dengan Muhammadiyah. Yogyakarta : Media Widya Mandala. Feith, H., (1970) “Introduction”. In Feith and Castle, Lance ed. Indonesian Political Thinking, 1945–1965. Ithaca : Cornell University Press. ————, (1978) The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, Ithaca and London: Cornell University Press. ————, (1957) Indonesian Elections of 1955, Modern Indonesia Project Southeast Asia Program, Ithac, New York:Cornell niversity. Fisher, Michael M.J., (1980) Iran: From Religious Dispute to Revolution. Cambridge : Harvard University Press. Flaniagan, H. W., (1968) Political Behaviro of the American Electorate, Boston: Allyn and Bacon. Fox, James J., (1991) “Ziarah Visits to the Tombs of the Wali, the Founders of Islam on Java”. In Ricklefs, M.C. Islam in the Indonesian Context. Clayton, Victoria : Centre for Southeast Asian Studies, Monash University. Fox, James J. and Dirjosanjoto, P., (1989) “The Memories of Village Santri from Jombang in East Java”. In May, R.J. and O’Mallay, William J. ed. Observing Change in Asia. Bathurst : Crawford House Press. Friedrich, Carl J. 1961 “Political Leadership and the Problem of the Charismatic Power”, The Journal of Politics, No. 1 February: 3–24. 229 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH Finer, E., S. (1970) Comparative Government, An Introduction to the Study of Politics. New York: Allen Lane The Penguin Press. _________, (1985) Comparative Government. New Zealand: Penguin Books. Finkle L., Jason and Rachard W. Gable, (1971) Political Development and Social Change (second edition), John Wiley & Sons, Inc. Canada. Flanagan, Scoot, C. et.al., (1991) The Japanese Voters. New York: Yale University Press. Free, Lioyd A. and Hadley Cantril, (1968) The Political Beliefs of Americans. New York: Simon and Schuster. Gaffar, Afan, (1992) Javanese Voters, A Case Study of Election Under Party a Hegemonic Party System. Yogyakarta Gadjah Mada University Press. Geertz, Clifford, (1960) The Religion of Java. Glencoe : The Free Press. ————— Clifford, (1959) “The Javanese Kyai: The Changing Role of a Cultural Broker”, Comparative Studies in Society and History, (2): 250–256. —————, Clifford, (1965) The Social History of an Indonesian Town. Cambridge, Massachusets : MIT Press. —————, Clifford, (1981) Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa, Jakarta: Pustaka Jaya Gellner, Ernest, (1969) Saints of the Atlas. London : Weidenfeld and Nicolson. Gilsenen, Michael, (1973) Saint and Sufi in Modern Egypt: An Essay in the Sociology of Religion. Oxford Monograph on Social Anthropology. Greenstein, Fred J., (1969) Personality and Politics. Chicago: Markham Publishing. Haidar, M Ali 1994 Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fikih dalam Politik. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Hammond, J.L., (1979) The Politics of Benevolence: Revival Religion and American Voting Behaviour. Norwood : Ablex Publishing Corporation. Haryanto, (1984) Partai Politik Suatu Tinjauan Umum. Yogyakarta: Liberty. Hague, Rod, Martin Harrop and Shaun Breslin. 1992. Political Science, A comparative Introduction. Great Britain: The Macmillan Press LTD. 230 DAFTAR PUSTAKA Harrop, M. And William L.M., (1987) Election and Voters, London: The McMillan Press. Hefner, Robert W., (1987) “Islamizing Java?: Religion and Politics in Rural East Java”, The Journal of Asian Studies, 46(3): 533–553. Heijer, Johannes den, (1992) A Guide to Arabic Transliteration: Comparative Transliteration Tables and a List of Selected Arabic Terms Related to Islamic Studies. Jakarta : INIS. Heywood, Adrew , (2000) Key Concepts In Politics:London, MacMillan Press LTD Hill, Michael, (1973) A Sociology of Religion. Hampshire : Avebury. Hidayat, Komarudin dan Yudhie Latif, (2004) Manuver Politik Ulama. Yogyakarta: Jalasutra. Huntington, Samuel P., (1983) Tertib Politik di Negara Yang Sedang Berkembang. Cetakan I dan II, Jakarta: CV. Rajawali . ________, (1991) The Third Wave, Democratization in The Late Twentieth Century. Norman and London: University of Oklahoma Press. ________, (1995) “Gelombang Demokratisasi Ketiga”. terjemahan, Jakarta: PT. Intermasa. Husserl, Edmund, (1965) Phenomenology and the Crisis of Philosophy, New York: Harper & Row, Publishers, Inc. ——————, (1970) The Crisis of European Sciences and Transcendental Phenomenology (Translated by: David Carr), Evanston: Nortwestern University Press. ——————, (1976) Ideas, General Introduction to Pure Phenomenology, (translated by: W.R. Boyce Gibson), London: Routledge & Kegan Paul. Hyman, Herbert H., (1969) Political Socialization. Yogyakarta: Collier Mcamillan Canada, Ltd. Imawan, Risranda, 2004, Partai Politik Di Indonesia: Pergulatan Hati Mencari Jati Diri, Pidato Pengukuhan Guru Besar,Yogyakarta, UGM Jackson, Karl D., (1973) Traditional Authority, Islam and Rebellion. Berkeley : University of California Press. ————, dan Lucian, W. Pye, (1978) Political Power and Communication in Indonesia, London, University of Californis Press. Jenkins, D., (1984) Suharto and His General: Indonesian Military Politics 1975–1983. Cornell Modern Indonesian Project. 231 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH ——————, (1978) Political Power and Communication in Indonesia. London: University of California Press. ——————, (1980) Traditional Authority, Islam and Rebellion. Berkeley: University of California Press. Jaros, Dean (1974) Explaining the Political Behavior of Individual: Group or Social Factors, Dean jaros, Political Behavior, Choices and Perpective, St Martin’s Press, New York. Jenning, M. Kent and L. Harmon Zeigler, eds., (1966) The Electoral Prosess, Prentice-Hall, Englewood Cliffs, N.J. J.C Wahlke, dkk, The Legislative System, New York, 1962 dalam Prof. Dr. A. Dalam Hoogerwerf, Ilmu Pemerintahan. Jakarta: Erlangga, 1983. Kartodirdjo, Sartono, (1973) Protest Movement in Rural Java: A Study of Agrarian Unrest in the Nineteenth and Early Twentieth Century, Kuala Lumpur : Oxford University Press. Kazhim, M. dan Alfian Hamzah, (1999) Lima Partai Dalam Timbangan, Bandung: Pustaka Hidayah. Key, Jr., V.O., (1958) Politics, Parties, and Pressure Groups, New York: Vail-Ballou Press. —————, (1966) The Responsible Electorate, Belknap Press of Harvard University Press, Cambrige, Mass. Kompas, 2004, Partai-Partai Politik Indonesia, Ideologi dan Program, Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Kristiadi, Joseph, (1994) Pemilihan Umum dan Pemilih, Desertasi Doktor Di Universitas Gadjah Mada. Lane, Robert E., (1959) Political Life, The Free Press, New York. Langton, Kenneth P., (1969) Political Socialization. New York: Oxford University Press. Lazarsfeld, Paul, Berbard Berelso, and Hazel Gaudet, (1944) The People Choice. New York: Columbia University Press. —————, (1962) Political Ideology. New York: The Free Press. —————, (1969) Political Thinking and Consciousness. Chicago: Markham Publishing. Lev, S. D., (1966) The Transition to Guide Democracy: Indonesian Politcs, 1957-1959, Monograph Series, Modern Indonesian Project, New York: Cornell University. 232 DAFTAR PUSTAKA Liddle, W.R., (1978) Participation and the Political Parties. In Jackson, Karl D and Pye, Lucian ed. Political Power and Communication in Indonesia. Berkeley : University of California Press. —————, (1978) The 1977 Indonesia Election anf New Orde Legitimasy, Southeast Asian Affair (Singapura: Institute for Southeast Asia Affair Asia Studies, 1978.a) —————,(1974) “Power, Participation and The Political Party in Indonesia”, Center for International Studies, MIT,. —————, 1992. “Sungai Budaya. Tempo. 12 April. Lipset, Saymore M., (1960) Political Man, Garden City, N.Y.:Doubleday and Company, ———— and Stein Rokkan, (1967) Party System and Voter Alignments: Cross National Perspectives. New York: The Free Press. Liddle, William, R., (1994) Soeharto’s Indonesia: Personal Rule and Political Institutions. Leirissa, RZ.. PRRI Permesta. Jakarta: Grafiti .Pers. Mackenzie, W J M, (1978) Political Indentity. New York: As. Martin’s Press. Mackie, J.A.C., (1990) “Property and power in Indonesia”, dalam Richard Tanter dan Kenneth Young, The Politics of Middle Calss Indonesia, Clayton: Center of Southeast Asian Sutdies, Monash University. Mas’oed, Mohtar, (1989) Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966 - 1971. Jakarta: LP3ES. Mintadireja, S., M., (1971) Masyarakat Islam dan Politik Indonesia, Djakarta: Permata Djakarta. Mochtar, Hilmy, (1989) Dinamika Nahdlatul Ulama: Suatu Study tentang Elite Kekuatan Politik Islam di Jombang Jawa Timur. Unpublished MA thesis, Gadjahmada University, Yogyakarta . Moelang, Lexy, J. (1991) Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Muhaimin, Yahya, dan Andrews, Mac Colin. (1985) Masalah-Masalah Pembangunan Politik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Mujani, Saeful, (2007) Muslim Demokrat, Islam, Budaya Demokrasi, Dan Partisipasi Politik Indonesia Pasca Demokrasi, Jakarta: PT Gramdia Pustaka Utama. 233 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH Mulkan, M. A. (1988) Perubahan Perilaku Politik dan Polarisasi Ummat Islam, Dalam Prespektif Sosiologis, Jakarta: CV. Rajawali. Neill Nugent, (2003) The government and Politics of the European Union, Edisi ke-5, Hampshire: Palgrave MacMillan Nimo, Dan, (1970) The Political Persuades, Tokyo: Prentice-Hall. Nurjaman, Asep, (1998) Kepolitikan Orde Baru Dalam Prespektif Struktural Dan Kultural, Malang: UMM Press. O’Donnel, Gulilermo, (1978) Reflection on the Paterns of Change in the Bureaucratic Autnoritarian State”, Latin American Research Review, 8. Palma, Di., (1990) To Craft Democracies, An Essay on Democratic Transitions Berkeley. Los Angelo Pomper, Gerald, (1966) Politics: Essay and Reading, USA: Rinehart and Winston, Inc. —————, (1975) Voter’s Choice: Varieties of American Electoral Behavior. New York: Dodd, Med Company. Pool, Ithiel de Sola, Robert Abelson, and Samuel Popkin, (1964) Candidates, Issues, and Strategies. Cambrige: The M.I.T. Press.. Ramage, E. Douglas, (1995) Democracy, Islam and the Ideology of Tolerance. London and New York: Routledge. Ranney, Austin, (1962) Essay on the Behavioral Studi of Politics. Urbana: University of Illiois Press. Ricklefs, M. C., (1981) A History of Modern Indonesia. London: Macmillan. Ritzer, George, (1985) Sosiologi, Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Saduran. Alimandan. Jakarta: CV. Raja Wali. Rose, Ricard dan Ian Mc. Allister, (1990) The Loyalities of Voters: A Life Time Learning Model, Sage, London and Newburry Park, CA. Rush, M. And Phillip A., (1986) Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta: CV. Rajawali. Samuel, And Joan M. Nelson, (1976) No Easy Choice: Political Participation In Developing Countries, Harvad University Press, USA. Samson, Allan A. (1978) Conception of Politics, Power, and Ideology in Contemporary Indonesian Islam. In Jackson, Karl D and 234 DAFTAR PUSTAKA Pye,Lucian ed. Political Power and Communication in Indonesia. Berkeley : University of California Press. Sartori, Geovanni, (1959) Parties and Party System, A Framework fo analisys. New York: Cambridge University Press. Smith, D.E. (1971) Religion, Politics, and Social Change in the Third World. New York: Free Press. Suhardjo, Achmad 1991 Kemerosotan Perolehan Suara PPP Pada Pemilu 1987, Studi Kasus di Kabupaten Jombang. Unpublished MA Thesis, Gadjahmada University, Yogyakarta . Sukamto, (1992) Kepemimpinan Kiai dan Kelembagaan Pondok Pesantren. Unpublished MA Thesis, Gadjahmada University, Yogyakarta . Sundhaussen, (1978) “The Military: Structure, Procedures and Effects on Indonesian Society”. In Jackson, Karl D. and Pye, Lucian ed., Political Power and Communication in Indonesia. Berkeley : University of California Press. Sherman, Arnold, K. dan Aliza Kolker, (1987) The Social Bases of Politics. California: Division of Worswath. Shin, Hwan, Yoon. 1989. Desmitisfying the Capitalist State: Political Patronage, Bureaucratic Interests, and Capitalists-In-Formation in Soeharto’s Indonesia. A Dissertation. Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi, (1989) Metode Penelitian Survey. Jakarta: LP3ES. Silalahi, Harry Tjan, (1977) The 1977 General Election: The Result and The Role of Traditional Authority Relations in Modern Indonesian Society, Indonesian Quarterly, Vol. V, No. 3. Siregar, A. (penyunting), (1985) Pemikiran Politik dan Perubahan Sosial, Seri Pemikiran Politik 1, Jakarta: CV. Akademi Pressindo. Surakhmad, Winarno, (1989) Pengantar Penelitian-Penelitian Ilmiah, Dasar Metode Teknik. Bandung: TARSITO. Surbakti, Ramlan, (1992) Memahami Ilmu Politik. Indonesia: Gramedia Widya Sarana. Sulistyo, Hermawan, (2000) Palu Arit Di Ladang Tebu: Sejarah Pembantaian Massal yang Terlupakan (1965-1966). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Soemargono, Soejono, (1988) Filsafat Abad 20, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana. 235 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH Syamsuddin, D. (editor). (1990) Muhammadiyah Kini dan Esok, Jakarta: Pustaka Panjimas. Thohari, Hajriyanto Y., (2002) Kepemimpinan Nasinal, Antara Primodialisme dan Akuntabilitas, dalam Maruto MD dan Anwari WMK, (editor), Reformasi Politik dan Kekuatan Masyarakat, Kendala dan Peluang Menuju Demokrasi, Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta. Thomson, John B., (1981) Critical Hermeneutics, A Study in the thoug of Paul Ricoeur and Jurgen Habermas, New York: Cambridge University Press. Viorina, Morris F. (1978) Restrospective Voting in American National Election. Edward Brother Inc. Ward, K.E. (1974) The 1971 Election in Indonesia: An East Java Case Study. Monash Paper on Southeast Asia No. 2. Melbourne : Centre of Southeast Asian Studies, Monash University. Weber, Max, (1976) The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. London : Allen & Unwin. Wilson, Bryan, (1983) Religion in Sociological Perspective. New York : Oxford University Press. Willner, Ann Ruth, (1984) The Spellbinders: Charismatics Political leadership. Yale: Yale university Press. Woshinsky, A., Oliver H., (1995). Culture and Politicas, Introduction to Mass and Elite Political behavior, Prentice Hall, Englewood Cliffs, New Jersey. Sumber Lain: KPUD Kabupaten Malang, Rekapitulasi Hasil pemilu 1999 dan 2004. KPUD Kota Malang, Rekapitulasi Hasil pemilu 1999 dan 2004. KPUD Kota Batu, Rekapitulasi Hasil pemilu 1999 dan 2004. Kompas, 2004, 2005, 2006, 2007, 2008. Jawa Pos 2004, 2005, 2006, 2007, 2008 Undang-Undang RI No. 31 Tahun 2002 Tentang Partai Politik Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD, DPRD. Undang-Undang No. 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 236 INDEX Index A Abangan 4, 6, 7, 8, 10, 11, 18, 20, 39, 40, 59, 66, 67, 68, 69, 72, 74, 83, 84, 88, 89, 93, 97, 98, 99, 112, 120, 122, 123, 129, 143, 145, 146, 154, 159, 162, 163, 166, 173, 179, 180, 182, 183, 184, 185, 186, 190, 216, 219, 220 Abdurahman Wahid 33, 34, 94, 181 Abikoesno Tjokrosoejoso 31 ABRI 102, 148 Afan Gaffar 143, 184, 220 Agnelia Sondah 158 Agung Laksono 24 Ahmad Sumargono 28 Akbar Tandjung 110 Akbar Tanjung 165 Al-Irsyad 164 Alwi Sihab 27 Amien Rais Amin Rais 26, 33, 38, 65, 116, 126, 147, 165, 173, 181 Ampelgading 45, 47 Andre Prana 79 Anis Baswedan 4 Anthony Downs 89, 221 Arab 11 Arek 12, 13, 14, 15, 16, 17 Arudji Kartawinata 31 Authoritarian 43 Ayu Sutarto 12 Azymardi Azra 66 B Bali 14 Bamus 68 Bantur 45, 47 Banyuwangi 14 Baswedan 5 Bedoyo Keraton 15 Bell 73 Blambangan 14 Blessing indisguise 44 Blimbing 49, 50, 51 Blitar 15, 16 Boimin Nur Suhandri 195 Bojonegoro 14, 15, 42 Bondowoso 14 Bromo 14 Budi Hardjono 156 Bugis Makasar 11 Bululawang 45 C Castles 29 Catchall party 73, 74, 137, 193, 194, 198, 216 Character assasination 224 Chozin 71 Cina 11, 16 civic disangegament 175 Clifford Geertz 3, 6, 66, 123, 182 Closed list 62 D Dampit 45, 47, 48 Darul Islam 179 Darul Komar 78 Dau 45, 46 Demokra 22 Demokrat 22, 29, 37, 38, 47, 49, 50, 60, 61, 77, 79, 80, 84, 108, 109, 116, 121, 122, 126, 127, 129, 138, 147, 152, 153, 155, 157, 158, 166, 167, 175, 177, 178, 184, 213, 220, 222 Dhakidae 29 Dibaan 17, 19 Diyah Pitaloka 158 Donomulyo 45, 47, 48 Drs. H. Nurrudin Huda 82 Dwight King 4 E Edi Sudrajat 23 Eep Saefulloh Fatah 139 237 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH Eko Patrio 158 Electabilitas 79 Electoral threshold 47, 71, 165, 166, 193, 216 Endang 80 Erich Fromm 136 Hasyim Muzadi 198 Hatta Rajasa 27 Hidayat Nur Wahid 62 Hidayat Nurwahid 26, 79 HMI 23 I F Fatayat 188 Feith 29, 30, 217 Floating mass 43 G Gedangan 45, 47 Geertz 5, 7, 8, 18, 20, 30, 84, 88, 89, 126, 129, 143, 162, 180, 184, 220, 222 Gerinda Gerindera 22, 28, 29, 38, 159, 213, 222 Gerrtz 64 GOLKAR 36 Golkar 20, 21, 22, 23, 24, 28, 30, 37, 38, 39, 43, 46, 47, 49, 50, 58, 59, 60, 61, 64, 65, 69, 77, 79, 80, 83, 84, 95, 102, 104, 105, 108, 109, 110, 120, 121, 123, 124, 125, 127, 128, 129, 130, 138, 139, 143, 144,148, 149, 150, 151, 152, 156, 158, 161, 163, 164, 165, 166, 167, 172, 173, 174, 175, 176, 177, 178, 182, 183, 184, 187, 195, 196, 205, 211, 218, 219 Gondanglegi 45 Grassroot 171 Gresik 16 Gus Dur 24, 27, 29, 33, 38, 67, 94, 106, 116, 126, 147, 157, 160, 173, 181, 187, 188, 196, 201 H H. Fujianto 109 Habibie 156 Hague 136 Hamba–kawula 18 Hamzah Haz 28 Hanura 22, 29, 38, 80, 159, 213, 222 Harrop 221 Hartono 23 I Ketut Putra Erawan 72 Ichlasul Amal 114 Icuk Sugiarto 158 Ikang Fauji 158 incumbent 82, 130, 168 Indra J. Piliang 158 IPKI 37 IPNU 188 Ishom 79 Iskaq Tjokrohadisuryo 36 Isya Anshari 9 J Jabung 45 Jakarta 28 Jamus 68 Jawa 13, 14, 15 Jawa Pos 197 Jember 14, 16 Jepang 140 Jombang 16 Junrejo 80, 125 Jusuf Kalla 24, 110 K K.H. Hasyim Ashari 94 K.H. Hasyim Asyari 188 K.H. Hasyim Muzadi 189 Kali Brantas 13, 16 Kalipare 46 Kalipere 45 KAMI 34 Karangploso 45, 46 Karl D. Jackson 8, 179, 189 Kasembon 48 Kediri 15, 16, 42 Kedungkandang 50, 51, 93 238 INDEX Kepanjen 45 Kesambon 45, 46 KH. Hasyim Asyari 173 Klojen 49, 50 Komunis 29, 36, 41 Komunisme 29, 30 Komaruddin Hidayat 67 Konservatif 93, 187, 201 Kopasus 28 Kristen 4, 67, 69, 70, 90, 199 Kromengan 45, 46, 48 Kuda tuli 24 Kuntowijoyo 13 Kyai 17, 19, 20, 21, 71, 104, 105, 106, 120, 152, 160, 187, 188, 189 L Lamongan 15 Lawang 45, 154 Liddle 5 Lowok Waru 52 Lowokwaru 49, 50, 51, 93, 109, 198 Lumajang 14 M M. Yudhie Haryono 67 Madiun 15, 42, 158 Madura 11, 12, 13, 14, 21, 42 Magetan 15, 158 Magis-religius 18 Majapahit 16 Malang Pos 197 Marginal turnover 75 Marhaen 156 Marhaenis 72 Marhaenisme 67, 68, 121 Mark N Hagopian 114 Marxis 6 MASYUMI 31 Masyumi 8, 26, 28, 29, 30, 31, 32, 34, 36, 39, 41, 42, 118, 124, 126, 128, 156, 161, 165, 179, 203 Mataram 14, 15, 16 Mataraman 12, 13, 14, 15, 21 Matori Abdul Jalil 27 Megawati 22, 24, 25, 28, 29, 96, 97, 100, 116, 123, 147, 161, 173, 186, 194, 201 Miing 158 Mintzberg 136 Moderat 75, 93 moderate pluralism 57 Modernis 3, 8, 10, 26, 28, 33, 35, 39, 42, 47, 58, 59, 67, 84, 88, 90, 91, 92, 93, 120, 124, 125, 126, 127, 140, 161, 162, 165, 173, 179, 180, 182, 183, 184, 197, 218 Mohammad Hatta 31 Mohammad Natsir 36 Mojokerto 16 Monolitik 43 Mordenis 83 Muhaimin Iskandar 27 Muhammadiyah 3, 10, 26, 27, 28, 31, 34, 38, 65, 83, 90, 91, 92, 105, 106, 126, 127, 128, 129, 141, 142, 152, 164, 173, 179, 181, 187, 188, 201, 202, 203 MUI 66 Mujani 5 Multimember constituency 62 Murba 37 N Nabi Muhammad 90 Nangru Aceh Darussalam 211 Nasakom 29, 32 Nasionalis 4, 11, 18, 20, 21, 29, 30, 31, 34, 35, 36, 37, 38, 40, 41, 42, 64, 67, 68, 69, 70, 72, 74, 75, 76, 77, 83, 89, 111, 112, 120, 122, 123, 125, 126, 154, 159, 160, 161, 162, 173, 176, 181, 183, 192, 193, 194, 199, 215, 216, 218, 219 Nasionalis-Religius 23, 155 Nasionalisme radikal 29, 30 Neo-patrimonial 18 Ngajum 45, 46 Nganjuk 15, 158 Ngantang 45, 46 Ngawi 15 239 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH NKRI 71, 150 NU 3, 10, 11, 21, 26, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 36, 37, 39, 41, 42, 44, 65, 71, 83, 88, 94, 95, 106, 118, 124, 125, 126, 127, 128, 156, 157, 158, 160, 161, 174, 181, 186, 188, 196, 198, 201 Nugent 221 Nurjayanti 80 O Oligarki 200 Open list system 62 Ortodok 179 P Pacitan 15 Pagak 45, 47, 48 Pagelaran 45 Pakis 45 Pakisaji 45, 46, 48 PAN 21, 22, 26, 28, 33, 34, 35, 38, 39, 47, 49, 50, 58, 59, 61, 64, 65, 66, 67, 75, 77, 78, 79, 83, 84, 91, 105, 106, 109, 116, 117, 118, 119, 123, 125, 126, 127, 128, 129, 131, 147, 156, 158, 161, 165, 172, 175, 176, 177, 178, 181, 182, 187, 201, 202, 203, 217, 218, 219, 220, 222 Pancasila 30, 33, 38, 40, 47, 66, 70, 91, 92, 94, 117, 183, 201 Pandalungan 12, 13, 14, 21 Pare 16 Parkindo 36, 37 Parliamentary threshod 216, 223 Parmusi 32, 37 Partially constructed 175 Partindo 30 Pasuruan 14 patrimonial 19 Patron 19 Patron-clien 19 PBB 22, 28, 30, 34, 35, 39, 49, 72, 75, 77, 84, 117, 125, 126, 128, 156, 165, 178, 182, 203, 217 PBN 123 PBR 35, 75 PDI 28, 36, 43, 44, 58, 143, 211 PDIP 4, 11, 20,, 21, 22, 24, 25, 30, 38, 39, 45, 46, 49, 59, 60, 61, 65, 66, 68, 69, 70, 72, 74, 75, 77, 79, 80, 82, 83, 84, 92, 96, 97, 98, 99, 101, 102, 105, 106, 108, 109, 111, 113, 116, 121, 122, 124, 125, 127, 128, 129, 130, 138, 147, 153, 154, 155, 156, 158, 161, 163, 164, 165, 167, 168, 172, 173, 176, 177, 178, 184, 195, 196, 198, 199, 201, 205, 218, 219, 220, 222 PDS 49, 66, 70 Pendem 80, 125 Persis 164 PERTI 32 Perti 37 Pesantren 17, 19, 20, 104, 105, 108 Piagam Jakarta 40, 91, 92 PIB 80 PK 34, 125, 126 PK Sejahtera 21 PKB 21, 22, 27, 28, 33, 34, 35, 38, 39, 45, 46, 47, 49, 58, 59, 60, 61, 65, 67, 70, 71, 75, 77, 83, 84, 87, 88, 94, 95, 96, 105, 108, 109, 116, 117, 118, 119, 120, 125, 126, 127, 130, 138, 147, 151, 152, 156, 157, 158, 160, 162, 164, 165, 167, 172, 173, 174, 175, 176, 177, 178, 181, 182, 184, 187, 188, 189, 196, 205, 217, 218, 219, 222 PKI 29, 30, 36, 39, 40, 41, 42, 43, 157 PKNU 35, 66, 158, 159 PKP 23, 37 PKPB 23 PKS 22, 25, 26, 28, 33, 34, 35, 47, 50, 61, 62, 66, 72, 75, 77, 79, 82, 84, 91, 116, 119, 126, 128, 141, 147, 151, 152, 163, 166, 167, 175, 177, 178, 182, 184, 187, 188, 196, 197, 201, 202, 203, 217, 218, 220 PKU 34, 174 Pluralisme 58, 61, 75 Plurality-majority 63 240 INDEX PMI 179 PMII 188 PNBK 37, 68, 80, 121 PNI 24, 29, 30, 35, 36, 37, 39, 40, 41, 42, 97, 161, 218 PNU 34, 35, 174 Poncokusumo 45 Ponoragan 12 Ponorogo 158 Populis 72 Potehi 16 PPNU 182, 187, 189 PPNUI 35 PPP 21, 22, 24, 28, 32, 34, 35, 36, 37, 39, 43, 44, 47, 49, 58, 59, 65, 66, 70, 71, 72, 75, 77, 84, 94, 95, 108, 109, 117, 119, 125, 126, 143, 149, 156, 158, 160, 162, 165, 173, 178, 182, 187, 189, 196, 211, 217, 219 PPTI 32 Prabowo 28, 29 Prabowo Subianto 38 Pratikno 176 Prawiroatmojo 13 PRD 30, 123 Primordialisme 211 Primus 158 Priyayi 4, 6, 7, 20, 39, 59, 64, 66, 84, 89, 126, 143, 162, 179, 182, 219 Probolinggo 14, 16 Prof, Kaprawi, SH 78 Prof. Dr. Gayus Lumbuun 82 Proportional list 62 Proportional open list 78, 81 Propotional closed list 78 PSI 30 PSII 31, 34, 37 PSII 1905 34 PUI 34 Pujon 45, 46 R R. William Liddle 120 Religio-sosial 30 Religius 67, 69, 70, 76, 77, 120, 176 Riau 62 Riswanda Imawan 72, 73, 74, 138 Romawi 90 Run-off majority 63 S Saefullah Yusuf 27 Saiful Mujani 4 Saleh Djasit 62, 79 Samin 12, 14 Sandur 17 Santri 4, 6, 7, 8, 10, 11, 17, 18, 20, 39, 66, 67, 68, 69, 74, 83, 84, 88, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 99, 103, 105, 111, 120, 122, 123, 126, 127, 129, 140, 145, 146, 152, 159, 160, 163, 164, 165, 179, 180, 181, 182, 183, 184, 185, 187, 189, 190, 197, 201, 203, 215, 216, 219, 220 Sartono 36 Sartono Kartodidjo 104 SBY 22, 23, 25, 29, 155, 157, 166, 167 Sekuler 67, 68, 70, 76, 120, 121 Shock therapy 198 Sidoarjo 16 Simple majority 62 Singosari 45, 47, 154 Siti Nurjanah 80 Situbondo 14 Social cleavages 89 Soeharto 23, 24, 26, 28, 29, 117 Soekarno 24, 29, 30, 36, 97, 156, 160, 161, 194 Soekarnois 72 Soeryadi 100 Soetrisno Bachir 26 Soleh 83 Sosial Demokrat 67 Sosialisme 30 Sosialisme 30, 75 Sosialisme demokratis 29 Sosio-religi 184 Sri Rahayu 82, 155 241 POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH Srimulat 16 Stambus accord 62 Strong Abangan 184 Subur Triono 79, 157 Suhadi 144 Sukun 49, 50, 51 Sulawesi 156 Sumbermanjing Wetan 45, 47 Sumberpucung 45, 46 Sunaryo 36 Sunda 11 Suni 126 Sunni 90 Supeni 156 Surabaya 16, 42 Surakarta 12, 15 Suryadarma Ali 28 Suryadinata 30 Swing votes 60, 177, 218, 213 Syaodah 80 Syiah 90 Tradisionalis 8, 67, 72, 120, 179, 187, 189 Tradisionalisme Jawa 29, 30 Trenggalek 15 Tuban, 15 Tulungagung 15 Tumpang 45 Turen 45, 47 Two round system 63 U UGM 26 V Vote getter 97 W T Tajinan 45 Talk show 197 Tantowi Yahya 158 Tengger 12, 14 Tirtoyudo 45, 47 Tjipto Mangunkusumo 36 Tradisiona 152 Tradisional 10, 18, 20, 21, 28, 39, 44, 52, 67, 71, 83, 88, 93, 94, 95, 96, 105, 107, 111, 119, 123, 126, 127, 149, 152, 160, 164, 165, 173, 181, 182, 183, 185, 188, 189, 201, 216, 219 Wagir 45, 46, 48 Wajak 45 Wanda Hamidah 158 Weber 18 Weiner 137 William Liddle 4 Wiranto 29, 38 Wonosari 45, 46 Y Yogyakarta 12, 15 Yusril Ihza Mahendra 28 Z Zafin 17 242