[go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu

prosiding

Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan “SEMINAR NASIONAL RISET PANGAN, OBAT-OBATAN, DAN LINGKUNGAN UNTUK KESEHATAN” PROSIDING Ketua: Dr. Sutanto, M.Si Editor: Prof. Dr. R. Ukun M.S. Soedjanaatmadja Prof. Dr. Unang Supriatman Dr. Tri Panji, MS Diselenggarakan Oleh : Program Studi Kimia FMIPA Universitas Pakuan Jurusan Kimia FMIPA Universitas Padjadjaran 12 November 2013 iii Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan “SEMINAR NASIONAL RISET PANGAN, OBAT-OBATAN, DAN LINGKUNGAN UNTUK KESEHATAN” PROSIDING ISBN : 978-602-14503-1-4 Tanggal Terbit : 12 November 2013 Editor : Dr. Sutanto, M.Si, Prof. Dr. R. Ukun M.S.Soedjanaatmadja, Prof. Dr. Unang Supriatman, Dr. Tri Panji, MS Diterbitkan oleh : FMIPA Universitas Pakuan Jalan Pakuan PO. BOX 452 Ciheuleut Bogor Telp./Fax. (0251) 8375547 v Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Kata Pengantar Assalamuala ikum warohmatullohiwabarakatuh Salam sejahtera bagi kita semua Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Alloh SWT atas ridho dan inayah-Nya sehingga prosiding seminar nasional kimia tahun 2013 ini dapat terselesaikan dengan baik. Prosiding Seminar ini merupakan hasil seminar nasional yang digagas dan atas kerja bersama program studi kimia FMIPA Universitas Pakuan, Bogor dengan jurusan Kimia FMIPA Universitas Padjajaran (UNPAD), Bandung dengan tema: Riset pangan, obat-obatan, dan lingkungan untuk kesehatan”, suatu tema yang luas tetapi focus yaitu menampung hasil-hasil riset berkaitan dengan kesehatan. Makalah yang dimuat dalam prosiding ini telah dibahas oleh para mitra bestari dengan demikian diharapkan dapat menjadi informasi ilmiah yang bermanfaat bagi dunia riset dan pendidikan umumnya. Selain daripada itu dengan terbitnya prosiding ini diharapkan dapat memperkaya dokumen ilmiah dari hasil riset di Indonesia. Secara khusus ucapan terimakasih kami sampaikan kepada para mitra bestari yang telah bersedia melakukan telaah karya ilmiah ini, yaitu Prof.Dr.R.Ukun M.S.Soedjanaatmadja, Prof. Dr. Unang Supratman, dan Dr. Tri Panji, semoga amal kebaikannya mendapat balasan yang berlipat ganda dari Alloh SWT. Dalam kesempatan ini pula, panitia mengucapkan terimakasih kepada perusahaan pendukung diantaranya : PT Berca Niaga Medica; PT Arico Sainsindo, PT Dwi Prima Rizky; PT. Antam; PT Ditek Jaya; Bank Mandiri Cabang Bogor; juga kepada para alumni dan ikatan alumni kimia FMIPA Unpak serta pihak lain yang tak dapat kami sebutkan satu-persatu. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Wabillahitaufwalhidayah, assalamu alaiukm wr.wb. Bogor, 12 November 2013 Editor vii Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Sambutan Ketua Pelaksana Dr. Sutanto, M.Si Assalamuala ikum warohmatullohiwabarakatuh Salam sejahtera bagi kita semua Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Alloh SWT atas ridho dan inayah-Nya seminar nasional kimia tahun 2013 ini dapat terselenggara dengan baik. Seminar ini digagasdan atas kerja bersama program studi kimia FMIPA Universitas Pakuan, Bogor dengan jurusan Kimia FMIPA Universitas Padjajaran, Bandung. Tema yang diangkat dalam seminar ini adalah: Riset pangan, obat-obatan, dan lingkungan untuk kesehatan”, suatu tema yang luas tetapi focus yaitu menampung hasil-hasil riset berkaitan dengan kesehatan. Seminar ini diikuti oleh lebih dari 60 pemakalah dari berbagai perguruan tinggi dan lembaga penelitian. Seperti: UNPAD, ITB, UNPAK, UNPAS, UBAYA, STTIF Bogor, UNAIR, Univ. Pancasila, Biotek-LIPI, Limnologi, BATAN, BPPT, Pusat penelitian Kimia-LIPI dan sebagainya. Banyaknya artikel yang dipresentasikan dalam seminar ini menunjukkan bahwa seminar ini benar menjadi ajang komunikasi ilmiah yang sangat bermanfaat. Terimakasih kepada seluruh ilmuwan yang bergabung dalam acara ini, semoga forum ilmiah ini membawa manfaat bagi kita semua. Dalam kesempatan ini pula, atas nama panitia seminar nasional kimia mengucapkan terimakasih perusahaan pendukung dana diantaranya : PT Berca Niaga Medica; PT Arico Sainsindo, PT Dwi Prima Rizky; PT. Antam; PT Ditek Jaya; Bank Mandiri Cabang Bogor; Rekan-rekan alumni dan ikatan alumni kimia FMIPA Unpak serta pihak lain yang tak dapat kami sebutkan satu-persatu. Terimakasih juga disampaikan kepada seluruh panitia, atas kerja kerasnya dan kerjasamanya dalam acara seminar ini semoga amal kebaikian yang telah diberikan mendapat balasan yang berlipat ganda dari Alloh SWT. Amin. Tiada gading yang tak retak, mohon maaf apabila dalam penyelenggaraan seminar ini terdapat kekurangan. Terimakasih. Selamat melaksanakan seminar. Wabillahitaufwalhidayah, assalamu alaiukm wr.wb. Bogor, 12 November 2013 Dr. Sutanto, M.Si ix Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Sambutan Dekan FMIPA Universitas Pakuan Dr. Prasetyorini, M.S., Dra. Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh Pada kesempatan yang baik ini, marilah kita panjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah swt., karena kita masih diberikan kesempatan, kekuatan, dan kesehatan untuk melanjutkan ibadah kita, karya kita, serta tugas dan pengabdian kita dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan negara yang tercinta melalui kegiatan Seminar Nasional ini. Kegiatan Seminar Nasional ini terselenggara atas kerjasama yang baik antara Program Studi Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pakuan dengan Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pajajaran. Seminar Nasional ini rencananya akan diselenggarakan selama 2 hari dengan mengusung tema ”Pangan, Obat-obatan dan Lingkungan”. Saya atas nama Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pakuan berharap semoga seminar ini dapat menjadi ajang komunikasi untuk saling berinteraksi bagi para dosen dan peneliti untuk mengembangkan ilmu-ilmu terkait yang dapat dimanfaatkan bagi masyarakat yang lebih luas dan kami juga berharap mudah-mudahan seminar ini juga bukan merupakan kerjasama terakhir yang baru dimulai dengan jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran. Melalui kesempatan ini saya mengucapkan terimakasih dan penghargaan kepada Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran Prof. Dr. Budi Nurani Ruchjana beserta rekan-rekan dosen dari Jurusan Kimia FMIPA-Universitas Padjadjaran. Mengakhiri sambutan ini, saya atas nama Pimpinan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pakuan beserta seluruh sivitas akademika dan karyawan menyampaikan ucapan selamat mengikuti Seminar Nasional ini semoga kegiatan ini menambah wawasan bapak dan ibu untuk meneruskan pengabdian bapak dan ibu sebagai ilmuwan professional dan semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu menyertai kita dan melimpahkan berkah, rahmat, dan hidayahNya kepada kita semua Terimakasih kepada semua pihak atas kerja kerasnya telah membantu terselenggaranya seminar ini mudah-mudahan kerja keras yang telah dilakukan akan mendapatkan balasan yang berlimpah dari Allah swt. Wabillahi taufik wal hidayah, wassalamualaikum wr wb Bogor, 12 November 2013 Dr. Prasetyorini, MS xi Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Sambutan Dekan Fmipa Universitas Padjadjaran Prof. Dr. Budi Nurani Ruchjana Assalamualaikum warohmatullahi wabarokaatuh Selamat pagi dan salam sejahtera Yang terhormat Bapak Rektor Universitas Pakuan, Ketua Yayasan Pakuan Siliwangi, Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Universitas Pakuan, para pembicara tamu, serta undangan sekalian. Pertama-tama, marilah kita panjatkan puji syukur ke hadirat ilahi karena atas perkenan-Nya kita diberi kesempatan untuk bertemu dan berkumpul pada Seminar Nasional ini. Kegiatan Seminar Nasional ini diselenggarakan atas kerjasama antara Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pakuan dengan Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran. Seminar yang akan dilaksanakan dalam dua hari ini mengangkat tema ”Pangan, Obat-obatan, dan Lingkungan”. Saya mengharapkan bahwa seminar ini dapat menjadi wadah bagi para peneliti untuk saling berinteraksi mengenai hasil penelitiannya dalam rangka untuk mengembangkan ilmu-ilmu terkait yang dapat dimanfaatkan bukan hanya bagi kalangan dosen dan peneliti kimia, melainkan juga bagi masyarakat dan para pelaku industri. Saya sangat berharap kegiatan seminar ini dapat dijadikan sarana untuk menjalin kerjasama dalam upaya memberdayakan dan melestarikan potensi kimiawi sumber alam hayati dan non hayati Indonesia. Saya menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada panitia penyelenggara atas segala usaha dan upaya yang telah dilakukan dan saya ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung suksesnya acara ini. Saya ucapkan selamat melaksanakan seminar nasional ini, semoga berjalan lancar dan sukses. Wassalamu’alaikum warohmatullahi wabarokaatuh Bogor, 12 November 2013 Prof. Dr. Budi Nurani R. xiii Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan PANITIA SEMINAR NASIONAL RISET PANGAN, OBAT-OBATAN, DAN LINGKUNGAN UNTUK KESEHATAN PANITIA PENGARAH Pelindung & Pembina • Dr. Bibin Rubini, M.Pd - Rektor UNPAK • Dr. Prasetyorini - Dekan FMIPA UNPAK • Prof. Dr. Budi Nurani R. M.S. - Dekan FMIPA UNPAD Penanggung Jawab • Drs. Husain Nashrianto, M.S - Kaprodi Kimia FMIPA UNPAK • Dr. Euis Julaeha - Ketua Jurusan Kimia FMIPA UNPAD PENGARAH SAINTIFIK Tim : : : Prof. Dr. R. Ukun M.S. Soedjanaatmadja Prof. Dr. Unang Supratman Dr. Tri Panji, MS PANITIA PELAKSANA 1. Ketua : 2. Sekretaris : dan Kesekretariatan : 3. Bendahara : 4. Publikasi dan Humas : : 5. Sie Dana dan Usaha : : : 6. Sie Acara : : 7. Sie Dokumentasi : : 8. Sie Konsumsi : : Dr. Sutanto, M.Si Dr. Diana Rakhmawaty Eddy Diana Widiastuti, M.Sc Ade Heri Mulyati, M.Si Dr. Dikdik Kurnia Yudhie Suchyadi, S.Si Dr. Anni Anggraeni Ani Iryani, M.Si Eka Herlina, M.Pd Judhi Rachmat, Ph.D Dr. Tati Herlina Tri Aminingsih, M.Si Dadang, M.Pd Farida Nuraini, M.Si Ardi Muharini, M.Si xv Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Waktu 07:00 – 08:00 08:00 – 08:10 08:10 – 08:50 08:50 – 09:20 09:20 – 09:30 09:30 – 10:00 10:00 – 10:30 JADWAL ACARA Hari/Tanggal: Kamis, 27 Juni 2013 Pembicara Kegiatan/Topik Registrasi ulang seluruh peserta Upacara Pembukaan Seminar Menyanyikan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya Dr. Sutanto Laporan Ketua Panitia Pelaksana Seminar Dr. Bibin Rubini, Sambutan Rektor UNPAK Bogor M.Pd/Mewakili (sekaligus membuka secara resmi Seminar) Pembicara Kunci (keynote Applications of Titanium Oxide-base speaker): Photocatalysts as the Green and Prof. Masakazu Anpo, Sustainable Science and Technology Vice President/Executive Director, Osaka Prefecture University Rehat pagi (Morning tea) Prof. Dr. H.O. Suprijana, Produksi 1,3 Dioleil-2-palmitoilgliserol M.Sc melalui reaksi enzimatik dari Palm Stearin dan aplikasinya dalam formulasi substitute Lemak Air Susu Ibu Dr. Gan Chee Sian Reliable Performance for Supporting High-Precision Drug Analysis in xvii Penanggungjawab/Moderator Sekretariat Panitia Himaska FMIPA UNPAK Dra. Ani Iryani, M.Si Dra. Ani Iryani, M.Si Prof. Dr. Unang Supratman Sekretariat Panitia Dr. Tri Panji, M.S Prof. Dr. R. Ukun M.S.S Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan 10:30 – 11:00 Venkatesha 11:00 – 12:00 Sesi Poster atau 2 (dua) orang pembicara tamu (dari sponsor) 12:00 – 13:00 13:00 – 14:00 14.00 – 15.00 15:00 – 15:30 15:30 – 16.30 16.30 – 17.30 17:30 – 17:35 18.30 - Selesai Biological Samples High Throughput Analysis of Emerging Prof. Dr. R. Ukun M.S.S Contaminants in Food and Environment 20 poster Juri Makan Siang dan Sholat Sesi Presentasi Paralel Sesi I Sesi Presentasi Pararel Sesi II Istirahat dan Sholat Sesi Presentasi Paralel Sesi III Sesi Presentasi Paralel Sesi IV Penutupan Gala Dinner xviii Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan PROGRAM PRESENTASI (Paralel) SESI I Ruangan I (Pangan) Moderator: Diana Widiastuti, M.Sc P-01 Aida Wulansari*, Andri Fadillah Martin, Deritha Elffy Rantau dan Tri Muji Ermayanti Perbanyakan Beberapa Aksesi Talas (Colocasia Esculenta L.) Diploid Secara Kultur Jaringan dan Konservasinya Mendukung Diversifikasi Pangan P-02 Sandi Darniadi*), Resa Setia A dan Nikmatul Hidayah Karakteristik Fisikokimia Dan Atribut Sensori Pangan Fungsional Snack Bar Ubi Jalar Hasil Uji Coba Skala Industri P-03 Livia R. Tanjung Kandungan Gizi Dan Nilai Ekonomis Pensi, Tutut Dan Cherax Dari Danau Maninjau P-04 Wahyunia,b, A.R. Ballesterc, E. Sudarmonowatib, R.J. Binod, A.G. Bovya Sesi Paralel I (13:00 – 14:00) Ruangan II (Obat-Obatan) Moderator: Dr. Euis Julaeha Ruangan III (Lingkungan) Moderator: Dr. Anni Anggraeni O-01 Ela Novianti1, Aswin Djoko Baskoro2 dan Loeki Enggarfitri2 Jenis Dan Perbedaan Ektoparasit Yang Ditemukan Pada Syrian Hamster (Mesocricetus Auratus) Dari Petshop Dan Pasar Hewan, Malang L-01 Eka Djatnika Nugraha, Eko Pudjadi, Dewi Kartikasari Polutan Senyawa Kimia dan Pengaruhnya Pada Proses Pembentukan Hujan di Kawasan Waduk Saguling O-02 Wahyu Widowati1, Hana Ratnawati1, Tati Herlina2, Angela Novanthia1 dan Yellianty Yellianty3 Potensi Teh Hijau Sebagai Antiagregasi Platelet Secara In Vitro Dengan Collagen Inducer O-03 Shabarni Gaffar, Siti Nur Inayah, Yeni Wahyuni Hartati Konstruksi Vektor Ekspresi Rekombinan yang Mengandung Protein Faktor Sekresi Pichia pastoris dan Kloning dalam Escherichia coli O-04 Lita Triratna dan Desriani Cloning Gen Penyandi Domain Flavin L-02 Yustinus Purwamargapratala1), Riani Permatasari2), Candra Irawan3) Uji Adsorpsi Titanium Dioksida Terhadap Kromium xix L-03 Elvi Yetti*, Roni Ridwan, Yopi, Dwi Susilaningsih, Nanik Rahmani, Wulansih Dwi Astuti, and Yantyati Widyastuti Quality of Fermented Feed Treated with Rice Straw from Lombok, NTB Local Recourses L-04 Sutanto, Ani Iryani Simulasi Hujan Asam dan Laeching ion dalam Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Evaluasi Kandungan Mikronutrient Pyridoxine (Vitamin B6) pada 32 Aksesi Buah Cabai (Capsicum spp.) Cellobiose Dehydrogenase untuk Aplikasi Biosensor Laktose tanah Pada Daerah hujan Asam di Wilayah Industri Cibinong –Citeureup Bogor PROGRAM PRESENTASI (Paralel) SESI II Ruangan I (Pangan) Moderator: Dra. Tri Aminingsih, M.Si P-05 Bambang Hariyanto, Indah Kurniasari Widia Puspantari dan Agus Tri Putranto Peluang Pengembangan Pangan Sagu Sebagai Makanan Sehat P-06 Ahmad Fathoni, N. Sri Hartati, Nur Kartika I Karakterisasi Tepung Ubi Kayu dan Mocaf sebagai Bahan Baku Makanan Sehat P-07 Zackiyah1, Florentina Maria Titin Supriyanti2, Gebi Dwiyanti3, Karima Huril Aini4 Pemanfaatan Fraksi Aktif Ekstrak Aseton Kulit Batang Nangka (Artocarpus Sesi Paralel II (14:00 – 15:00) Ruangan II (Obat-Obatan) Moderator: Dr. Tati Herlina O-05 Yeni Wahyuni Hartati*, Rini Surbakti, Nurul Auliany, Santhy Wyantuti, Shabarni Gaffar Studi Biosensor DNA dalam deteksi Urutan flagellin Salmonella typhi dari Amplikon PCR Sampel Darah O-06 Ayu Nirmala Sari Peran Propolis sebagai Antidiabetes pada Mencit (Mus musculus SW.) Jantan Berdasarkan Analisis Kadar Glukosa Darah, Kadar Insulin Plasma dan Densitas Reactive Oxygen Species (ROS) pada Pankreas O-07 Maria Goretti M. Purwanto*, Meiliawati, Ruth Chrisnasari Pengaruh pH, Suhu dan Konsentrasi Substrat Terhadap Produksi Konsentrat Asam Lemak Omega 3 Dari Limbah Minyak Ikan Melalui xx Ruangan III (Lingkungan) Moderator: Dr. Diana Rakhmawaty L-05 Isnaeni1, Rochmah Kurnijasanti2, Mega Ferdina Warsito1* Korelasi Profil Asam Lemak Metil Ester Streptomyces Spp. Dengan Sebaran Habitat Dan Kemotaksonomi L-06 Ani Iryani, Sutanto Simulasi peningkatan kadar NO3- , Cl- dan NH4 dalam air sumur akibat hujan asam di wilayah industri Citerueup Bogor L-07 Seagames Waluyo 1)2), Sustiprijatno 2), Suharsono 1)3) Optimasi antibiotic higromisin sebagai penunjang transformasi genetic tembakau Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Heterophyllus Lamk) Sebagai Bahan Aditif Alami Anti-Pencoklatan P-08 Ninik Setyowati & Ning Wikan Utami Potensi Tumbuhan Minor Penghasil Karbohidrat dan Protein Untuk Menunjang Program Kedaulatan Pangan Di Propinsi Banten Hidrolisis oleh Enzim Lipase dari Candida rugosa O-08 Lukita Devy, Sobir dan Dodo Rusnanda Sastra Analisis Keragaman Genetik Temulawak (Curcuma Xanthorrhiza Roxb.) Sebagai Dasar Perekayasaan Varietas Unggul L-08 Suyati, Nunung Nuraeni, Dewi Kartikasari, M.Thoyib Thamrin, Dyah Dwi Kusumawati Menentukan Intensitas TL dan PPTL pada Sampel SiO2 PROGRAM PRESENTASI (Paralel) SESI III Ruangan I (Pangan) Moderator: Ade Heri Mulyati, M.Si P-09 Farida Nuraeni , Tri Aminingsih, Mira Miranti Potensi Antioksidan Labu Kuning (cucurbita moschata) pada berbagai Pelarut P-10 Leny Heliawati1.2, Tri Mayanti2, Agus Kardinan3, Rukmiati Tjokronegoro2 Fitokimia dan aktivitas antibakteri dari ekstrak biji gewang (Corypha utan lamk) Sesi Paralel III (15:30 – 16:30) Ruangan II (Obat-Obatan) Moderator: Dr. Dikdik Kurnia O-09 Ade Heri Mulyati, Ratih Wulandari, Husain Nashrianto Potensi Antibakteri dan Identifikasi Komponen Senyawa Organik Ekstrak Metanol, Etil Asetat, dan Heksan dari Sirih Merah piper cf. fragile benth O-10 Anggriawan, I.M.B.1, Roswiem, A.P.1, Nurcholis, W.2 Potensi Ekstrak Air Dan Etanol Kulit Batang Kayu Manis Padang Dan Jawa (Cinnamomum burmannii Dan Cinnamomum verum) Terhadap Aktivitas Enzim α-Glukosidase xxi Ruangan III (Lingkungan) Moderator: Dr. Sutanto L-09 Diana Rakhmawaty Eddy*, Joice Caroles, E. Evy Ernawati Proses Fotokatalisis TiO2-SiO2 CFA (Coal Fly Ash) dalam Menurunkan Kadar Logam Kromium dari Air Sungai L-10 Tri Aminingsih, Tri Panji Produksi dan Isolasi Fikosianin dan Asam Lemak Tak Jenuh Majemuk dari Spirulina platensis yang Dibiakkan dalam Limbah Perkebunan Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan P-11 Sata Yoshida Srie Rahayu Reduksi Kadar Logam Berat dalam Kijing Taiwan anodonta woodiana agam menjadi Bahan Pangan Konsumsi yang Aman P-12 Hani Fitriani dan Pramesti Dwi Aryaningrum Respon Pertumbuhan Tunas In Vitro Talas Satoimo (Colocasia esculenta var. antiquorum) Pada Berbagai Jenis Pemadat Agar O-11 Tri Mayanti1, Dewi Suindrati1, Wawan Hermawan2, Dadan Sumiarsa1, dan Euis Julaeha1 Triterpen Onoceranoid Dari Ekstrak Etil Asetat Kulit Batang Pisitan (Lansium Domesticum Corr. Cv. Pisitan) dan Aktivitas Larvasidanya O-12 Sadiah Djajasoepena, Saadah Diana Rachman & Netti Vera N. Sembiring Studi Produksi Vco (Virgin Coconut Oil) Dengan Cara Fermentasi Menggunakan Neurospora Sitophila L-11 Ahmad ramadhan, Sutanto, ani Iryani Membandingkan Pereaksi Fenton dan kaporit dalam Menurunkan Chemical Oxygen Demand (COD) Limbah Larutan Penyapu Jenuh L-12 Antonio Kautsar S.Si1, Drs. Husain Nashrianto, M.Si1, Rudi Heryanto, M.Si2 Diferensiasi Asal Geografis Kunyit (Curcuma domestica Val.) Menggunakan Fotometer Portable dan Analisis Kemometrik PROGRAM PRESENTASI (Paralel) SESI IV Ruangan I (Pangan) Moderator: Dra. Eka Herlina, M.Pd P-13 Sandi Darniadi1)*), Winda Purwani2) dan Diny A. Sandrasari2) Evalusi Sifat Sensori Dan Fisikokimia Powder Minuman Instan Stroberi Yang Dibuat Dengan Metode Foam-Mat Drying Sesi Paralel IV (16:30 – 17:30) Ruangan II (Obat-Obatan) Moderator: Drs. Agus Taufik, M.Si. O-13 Euis Julaeha, Desak Made Malini, dan Astri Nuansari H Histologi Testis Dan Efididimis Mus Musculus Setelah Pemberian Senyawa Sterol Yang Diisolasi Dari Daun Clerodendron Serratum Terhadap Kualitas Sperma Secara In Vivo xxii Ruangan III (Lingkungan) Moderator: Dra. Ani Iryani, M.Si L-13 Topan Sopian, Husain Nashrianto, Ani Iryani Isolasi dan Identifikasi Alkaloid Pada Ekstrak daun Sirsak (Annona muricata L.) Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan P-14 Sri Wardatun, Sutanto, Dara Arum Pringgadani Uji Aktivitas Antioksidan dan Kandungan Tanin Total Daun Teh camellia sinensin kuntze dengan Perbedaan Ketinggian Lahan P-15 Ade Heri, Husain Nashrianti, Eka Rachmawati Kandungan Alfatoksin (B1, B2, G1 dan G2) pada Kacang Tanah (Arachis Hypogaea L) yang Beredar di Pasar Tradisional Daerah Jabotabek P-16 Diana Widiastuti1, Tomoko Maeda2, Naofumi Morita3 Application of Soft-type Graded Flours obtained by Polishing Wheat Grains for Breadmaking using enzymes as an improver P-17 Tri Muji Ermayanti*, Andri Fadillah Martin, Deritha Elffy Rantau Koleksi, Kultur Jaringan dan Evaluasi Produksi Umbi Tacca Leontopetaloides Tanaman Pangan Alternatif Sumber Karbohidrat O-14 L-14 1 Nur Miftahurrohmah1*, Catur Riani2, Agusta Samodra Putra, 2Sukrido 2 Kajian Reaksi Fermentasi Limbah Cair Tahu Debbie Sofie Retnoningrum Cibuntu dengan Saccharomyces cereviceae Spesifisitas Produk Siklodekstrin dari Enzim Untuk Pembuatan Bioetanol Siklodekstrin Glikosiltransferase (CGTASE) Bacillus sp. PT2B O-15 L-15 Tati Herlina, Albertina Johana Maeloa, Evy Ernawati, Solihudin, dan Iman R Pengaruh Silika Terhadap Derajat Didik Kurnia, Zalinar Udin, Unang PenggembunganMembran Pervaporasi Selulosa Supratman Senyawa 5,7-dihidrokdi-41-metoksiflavon dari Asetat Albasia Pada Pemisahan Etanol-Air Tumbuhan Akway (Drimys beccariana, Gibbs) Yang Beraktifitas Antikanker Payudara dan Antimalaria Secara In Vitro O-16 L-16 Leny Heliawati1., Tri Mayanti2, Agus Atiek Rostika Noviyanti, Muhamad Ali, Kardinan3, Rukmiati K Tjokronegoro2 Diana Rakhmawaty Eddy, dan IsmaNuraeni Aktivitas Sitotoksik dari Ekstrak buah gewang Eksfoliasi H2BaBi2Ti4O13 sebagai Katalis (Corypha utan lamk) Terhadap Sel Kanker Asam Padat Murin Leukimia P-388 0-17 L-17 Eko Harlah, A. Sri. Anni Anggraeni, Titin Sofyatin, Abdul Pembuatan Sabun Mandi Alami Dengan Mutalib, Husein H. Bahti Ekstrak Daun Jati Belanda (Guazuma Pembuatan Unsur Tanah Jarang Oksida Dari Ulmifolia Lamk) Mineral Monasit Hasil Samping Penambangan Timah Dan Ekstraksi Gadolinium Menggunakan Ligan Asam Dietilen Triamin Pentaasetat (Dtpa) xxiii Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan O-18 Ela Novianti, Nurlaili Ekawati, Ai Hertati dan Djadjat Tisnadjaja Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol Dari Angkak Terhadap Kadar Trigliserida dan Bobot Badan Dari Tikus Putih Jantan Hiperlipidemia xxiv Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Daftar Isi vii Kata Pengantar PEMBICARA KUNCI 1 Applications of Titanium Oxide-based Photocatalysts as the Green and Sustainable Science and Technology –Investigations of highly active photo-functional materials from molecular level to bulk semiconductor levelMasakazu ANPO* 3 Produksi 1,3 Dioleoil-2-Palmitoilgliserol Melalui Reaksi Enzimatik dari Palm Stearin Dan Aplikasinya Dalam Formulasi Substitut Lemak Air Susu Ibu O. Suprijana1,2, A. Zainudin1, Agus Safari1 5 Reliable performance for supporting high-precision drug analysis in biological samples Dr. Gan Che Sian 6 High Throughput Analysis of Emerging Contaminants in Food and Environment Venkatesha 7 Bidang Pangan Perbanyakan Beberapa Aksesi Talas (Colocasia esculenta L.) Diploid Secara Kultur Jaringan dan Konservasinya Mendukung Diversifikasi Pangan Aida Wulansari*, Andri Fadillah Martin, Deritha Elffy Rantau dan Tri Muji Ermayanti 11 Kandungan Gizi Dan Nilai Ekonomis Pensi, Tutut dan Cherax dari Danau Maninjau Livia R. Tanjung 21 Evaluasi Kandungan Mikronutrien Pyridoxine (Vitamin B6) pada 32 Aksesi Buah Cabai (Capsicum spp.) Wahyuni*1,2, Ana Rosa Ballester3, Enny Sudarmonowati2, Raoul J. Bino4, Arnaud G. Bovy1 31 xxv Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Peluang Pengembangan Pangan Sagu Sebagai Makanan Sehat Bambang Hariyanto*1, Indah Kurniasari2, Widya Puspantari3, dan Agus Tri Putranto4 39 Pemanfaatan Fraksi Aktif Ekstrak Aseton Kulit Batang Nangka (Artocarpus heterophyllus Lamk) Sebagai Aditif Alami AntiPencoklatan Zackiyah1*, Florentina M.T Supriyanti2, Gebi Dwiyanti3 dan Karima H. Aini4 47 Potensi Tumbuhan Minor Penghasil Karbohidrat dan Protein untuk Menunjang Program Kedaulatan Pangan di Propinsi Banten*) Ninik Setyowati 57 Potensi Antioksidan Labu Kuning (Cucurbita moschata) pada Berbagai Pelarut Farida Nuraeni1*, Tri Aminingsih2, dan Mira Miranti3 69 Respon Pertumbuhan Tunas In Vitro Talas Satoimo (Colocasia esculenta var. antiquorum) pada Berbagai Jenis Pemadat Agar Hani Fitriani*1 dan Pramesti D. Aryaningrum1 81 Uji Aktivitas Antioksidan dan Kandungan Tanin Total Daun Teh (Camellia sinensis Kuntze) dengan Perbedaan Ketinggian Lahan Sri Wardatun*1), Sutanto2), Dara A. Pringgadani3) 91 Kandungan Aflatoksin (B1, B2, G1 DAN G2) Pada Kacang Tanah (Arachis Hypogaea L) di Pasar Tradisional Daerah JABOTABEK Ade Heri Mulyati*, Husain Nasrianto, dan Eka Rachmawati 101 Koleksi, Kultur Jaringan dan Evaluasi Produksi Umbi Tacca Leontopetaloides Tanaman Pangan Alternatif Sumber Karbohidrat Tri Muji Ermayanti*, Andri Fadillah Martin, dan Deritha Elffy Rantau 113 Respon Pembentukan Tunas Majemuk Dan Variasi Ukuran Plantlet Talas Satoimo (Colocasia esculenta var.antiquorum) Pada Beberapa Konsentrasi 6-Benzylaminopurine (BAP) dan Indole-3-Acetic Acid (IAA) Pramesti Dwi Aryaningrum* dan N. Sri Hartati 123 Pengujian Berbagai Jarak Tanam 3 Aksesi Jagung Lokal Maros, Sulawesi Selatan Terhadap Pertumbuhan dan Produksinya Ninik Setyowati* dan Ning W. Utami 133 xxvi Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Bidang Obat Jenis dan Perbedaan Ektoparasit yang Ditemukan Pada Syrian Hamster (Mesocricetus auratus) dari Petshop dan Pasar Hewan, Malang Ela Novianti*1, Aswin Djoko Baskoro2, dan Loeki Enggarfitri2 149 Konstruksi Vektor Ekspresi Rekombinan Yang Mengandung Protein Faktor Sekresi Pichia pastoris dan Kloning Dalam Escherichia coli Shabarni Gaffar*, Siti N. Inayah dan Yeni W Hartati 159 Kloning Gen Penyandi Domain Flavin Cellobiose Dehydrogenase Untuk Aplikasi Biosensor Laktosa Lita Triratna*1 dan Desriani2 169 Peran Propolis Sebagai Antidiabetes Pada Mencit (Mus Musculus SW.) Jantan Berdasarkan Analisis Kadar Glukosa Darah Ayu N. Sari*1, Ramadhani E. Putra1 dan Ahmad Ridwan1 177 Pengaruh pH, Suhu dan Konsentrasi Substrat Terhadap Produksi Konsentrat Asam Lemak Omega 3 Dari Limbah Minyak Ikan Melalui Hidrolisis Oleh Enzim Lipase dari Candida Rugosa Maria Goretti M. Purwanto*, Meliawati, Ruth Chrisnasari 189 Analisis Keragaman Genetik Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Sebagai Dasar Perekayasaan Varietas Unggul Lukita Devy *, Sobir dan Dodo Rusnanda Sastra1 205 Potensi Antibakteri Dan Identifikasi Komponen Senyawa Organik Ekstrak Metanol, Etil Asetat, Dan Heksan Sirih Merah (Piper cf. Fragile Benth) Ade Heri Mulyati, Ratih Wulandari dan Husain Nashrianto 213 Potensi Ekstrak Air Dan Etanol Kulit Batang Kayu Manis Padang (Cinnamomum Burmannii) dan Jawa (Cinnamomum Verum) Terhadap Aktivitas Enzim Α-Glukosidase Made B. Anggriawan*1, Anna P. Roswiem1, dan Waras Nurcholis2 221 Triterpen Onoceranoid dari Ekstrak Etil Asetat Kulit Batang Pisitan (Lansium domesticum Corr. cv. pisitan) dan Aktivitas Larvasidanya Tri Mayanti1*, Dewi Suindrati1, Dadan Sumiarsa1, Wawan Hermawan2, Euis Julaeha1 dan Tri Mayanti1 235 xxvii Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Studi Produksi VCO (Virgin Coconut Oil) Dengan Cara Fermentasi Menggunakan Neurospora Sitophila Sadiah Djajasoepena, Saadah Diana Rachman & Netti Vera N. Sembiring 241 Spesifisitas Produk Siklodekstrin dari Enzim Siklodekstrin Glikosiltransferase (CGTase) Bacillus sp. PT2B Nur Miftahurrohmah1*, Catur Riani2, Debbie S. Retnoningrum2 253 Aktivitas Sitotoksik Dari Ekstrak Buah Gewang (Corypha Utan Lamk) Terhadap Sel Kanker Murin Leukimia P-388 Leny Heliawati*1.2, Tri Mayanti2, Agus Kardinan3, Roekmi-ati Tjokronegoro2 261 Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol dari Angkak Terhadap Kadar Trigliserida dan Bobot Badan dari Tikus Putih Jantan Hiperlipidemia Ela Novianti, Nurlaili Ekawati, Ai Hertati dan Djadjat Tisnadjaja 267 Bidang Lingkungan Polutan Senyawa Kimia Dan Pengaruhnya Pada Proses Pembentukan Hujan Di Kawasan Waduk Saguling Eka Djatnika Nugraha, Eko Pudjadi, Dewi Kartikasari 281 Uji Adsorpsi Titanium Dioksida Terhadap Kromium Yustinus Purwamargapratala1, Riani Permatasari2, dan Candra Irawan2 291 Simulasi Pelindian Fe Dan Ca Akibat Hujan Asam di Wilayah Industri Citeureup Bogor Sutanto*1 dan Ani Iryani2 301 Simulasi Peningkatan Konsentrasi NO3-, Cl-, dan Nh4+ Dalam Air Sumur Akibat Hujan Asam Di Wilayah Industri Citeureup Bogor Ani Iryani* dan Sutanto 311 Optimasi Antibiotik Higromisin Sebagai Penunjang Transformasi Genetik Tembakau Seagames Waluyo1&2, Sustiprijatno2* dan Suharsono1 321 Menentukan Intensitas Tl dan PPPTl Pada Sampel SiO2 Suyati, Nunung Nuraeni, Dewi Kartikasari, M.Thoyib Thamrin, dan Dyah Dwi Kusumawati 327 xxviii Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Penurunan Chemical Oxygen Demand (COD) Limbah Larutan Penyapu Jenuh Antara Dengan Pereaksi Fenton dan Kaporit Ahmad Ramadhan*, Sutanto, dan Ani Iryani 333 Diferensiasi Asal Geografis Kunyit (Curcuma Domestica Val.) Menggunakan Fotometer Portable Dan Analisis Kemometrik Antonio Kautsar , Husain Nashrianto, Rudi Heryanto 347 Isolasi dan Identifikasi Alkaloid Pada Ekstrak Daun Sirsak (Annona Muricata L.) Topan Sopian*, Husain Nashrianto, dan Ani Iryani 361 Kajian Reaksi Fermentasi Limbah Cair Tahu Cibuntu Dengan Saccharomyces Cereviseae Untuk Pembuatan Bioetanol Agusta Samodra Putra*1, Sukrido2, Meiliana Fitriani2 369 Poster Uji Adsorpsi Titanium Dioksida Terhadap Metil Orange Yustinus Purwamargapratala1, Diah Widiyaningsih2, Hanafi3 377 Koleksi Kultur In Vitro Ubi Kayu (Manihot Esculenta Crantz) Sebagai Material Perakitan Bibit Unggul N. Sri Hartati, Nurhamidar Rahman, Hani FItriani, dan Enny Sudarmonowati 389 Kualitas Air Pada Uji Pembesaran Larva Ikan Sidat (Anguilla Spp.) Dengan Sistem Pemeliharaan Yang Berbeda Tri Suryono1, Muhammad Badjoeri1 dan Hasan Fauzi1 399 Daya Hidup dan Pertumbuhan Kultur In Vitro Ubi Kayu (Manihot Esculanta) Genotip Ubi Kuning Hasil Radiasi Nurhamidar Rahman*1, Supatmi1, dan Hani Fitriani1 409 Potensi Skleroglukan Yang Disekresi Sclerotium Glucanicum Sebagai Faktor Prebiotik Bagi Pertumbuhan Beberapa Bakteri Lactobacillus Sp. Miratul Maghfiroh*1 dan Jayus2 415 Penapisan Fitokimia Dan Uji Toksisitas Daun Artocarpus Elasticus Salahuddin*, Megawati, Sofa Fajriah 425 Pengaruh Jenis dan Konsentrasi Bahan Penstabil Terhadap Sirup Lidah Buaya Hasnelly, Nana Sutisna Achyadi, dan Noventri Rukmaningrum 433 xxix Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Perbandingan Penggunaan Enzim Peroksidase dari Batang Sawi Hijau (Brassica Juncea) dan Enzim Horseradish Pada Sintesis Isoeugenol dan Uji Aktivitas Antioksidan Andini Sundowo* dan Yulia Anita 447 Ekstraksi, Partisi Serta Uji Aktivitas Antioksidan dari Daun Tanaman Artemissia Annua L Andini Sundowo* dan Yulia Anita 455 Penambahan Virgin Coconut Oil Dalam Sediaan Lactobacillus Menggunakan Teknik Spray Drying Titin Yulinery*dan Novik Nurhidayat Probiotik 463 Keragaman Kadar Lovastatin dan Pigmen Dalam Angkak Hasil Fermentasi Isolat Lokal Monascus Purpureus Titin Yulinery* 473 Seleksi Bacillus Spp. Terhadap Aktivitas Enzim Amilase Dalam Larutan Substrat Tepung Talas Sri Hartin Rahaju1 483 Aktivitas Inhibisi Α-Glukosidase Ekstrak Etil Asetat dan Heksan Dari Cinnamomum Burmannii dan Cinnamomum Verum Like Efriani*1, Sitaresmi Yuningtyas1, dan Waras Nurcholis2 491 Sintesis dan Uji Aktivitas Biologi Diamil Nikotinil Glutamat Ester Yulia Anita*1, M. Hanafi1, Puspa D Lotulung1, Any Kurnia2 497 Karakterisasi Tepung Ubi Kayu dan Mocaf Sebagai Bahan Baku Makanan Sehat Ahmad Fathoni*1, N. Sri Hartati1, Nur Kartika I.M2 505 Ucapan Terimakasih xxx Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan PEMBICARA KUNCI 1 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Applications of Titanium Oxide-based Photocatalysts as the Green and Sustainable Science and Technology –Investigations of highly active photo-functional materials from molecular level to bulk semiconductor level-Masakazu ANPO* Osaka Prefecture University 1-1 Gakuen-cho, Sakai, Osaka 599-8531, JAPAN E-mail: anpo@osakafu-u.ac.jp Environmentally harmonious, clean and safe scientific technologies and processes to address pollution and climatic change are the subject of much research and discussion. Photocatalysis, in which the abundant and clean energy of sunlight could be harnessed, would be a major advance in the development of sustainable, non-hazardous and economic technologies. Development of highly functional Ti oxide-based photocatalysts has been especially promising. However, unlike natural photosynthesis in green plants, they can make use of only 3-4% of solar light, necessitating the use of a UV light source. Recently, however, we have successfully developed unique and efficient Ti-oxide photocatalysts which enable the absorption of visible light of longer than 550 nm and operating as efficient and effective environmentally-friendly photocatalytic materials. The plenary lecture presents the results obtained in the following 3 different photocatalytic reaction systems: 1) TiO2 nano-powdered photocatalysts; 2) Highly dispersed Ti-oxide single site photocatalysts prepared within zeolite frameworks (Ti/zeolite), and 3) visible light-responsive TiO2 thin film photocatalysts for the decomposition of H2O with a separate evolution of H2 and O2 under sunlight irradiation. 3 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Design of Highly Active Titanium Oxide Photocatalysts UV absorption (1) highly efficient (2) visible light responsive (3) no binders (anchored or fixed) h VB h+ h (Ti4+- O2-) 200 300 400 Wavelength / nm 500 200 300 400 500 600 Wavelength / nm Conduction band charge transfer excited state 100 Transmittance / % photoluminescence intensity / a. u. absorption CB e- (Ti3+-O-)* O2band gap narrowing 200℃ 50 400℃ O2- O2- 600℃ 0 200 400 600 Ti4+ - 550 nm (Visible light) 800 Wavelength / nm visible light responsive TiO2 thin films 380 nm (UV light) isolated Ti-oxide single-site species + ground state Valence band Metal ion-implantation O2- O2- Ti4+ Ti4+ O2- O2Anion-doping rutile O2- 250~ 300nm 320 nm O2- O2- Ti-O N=4.2 R=1.83 O2- anatase semiconducting TiO2 particles Single site photocatalysts nano-clusters of Ti-oxides 4960 5000 Energy / eV 0 2 4 6 Distance / Å Fig. Relationship between the structures of various Ti oxide-based photocatalysts and their energy states 1) M. Anpo and P. V. Kamat, “Environmentally Benign Photocatalysts – Applications of Titanium Oxide-based Materials”, Springer, USA, (2011), and references therein. 4 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Produksi 1,3 Dioleoil-2-Palmitoilgliserol Melalui Reaksi Enzimatik Dari Palm Stearin Dan Aplikasinya Dalam Formulasi Substitut Lemak Air Susu Ibu O. Suprijana1,2, A. Zainudin1, Agus Safari1 1 Fakultas MIPA Universitas Padjadjaran 2 Sekolah Tinggi Farmasi Indonesia ABSTRAK Air susu ibu (ASI) mengandung sekitar 37gram/liter lemak yang asam lemak utamanya terdiri dari 20-25% asam palmitat (16:0) dan 30-35% asam oleat (18:1 n-9). Lebih dari 60% asam palmitat dari ASI berada pada posisi sn-2 dari rangka gliserolnya, sedangkan asam oleat dan linoleat (18:2 n-6) dominan teresterifikasi pada posisi sn-1,3. Sebaliknya, dalam lemak susu formula bayi, asam palmitat dominan teresterifikasi pada posisi sn-1,3 dan asam oleat dan linoleat pada posisi sn-2. Penelitian ini bertujuan untuk memproduksi triasilgliserol (TAG) terstruktur 1,3-dioleoil-2-palmitoilgliserol (OPO), melalui reaksi enzimatik dari tripalmitin (PPP) dengan etiloleat (EO) menggunakan lipase Rhyzomucor meihei (Lipozyme RMIM). OPO yang dihasilkan selanjutnya dapat digunakan sebagai substitut lemak ASI yang dapat digunakan dalam ingredien dalam susu formula bayi. Analisis komposisi asam lemak dilakukan dengan metode kromatografi gas-spektrometrimassa (KG-SM), dan asam lemak pada posisi sn-2 pada molekul triasilgliserol dianalisis dengan menggunakan lipase pankreas spesifik sn-2. Tahap selanjutnya adalah formulasi substitut lemak ASI yang dilakukan melalui blending OPO hasil produksi tahap pertama dengan minyak kelapa, sebagai sumber asam lemak rantai sedang (MCFA), dan minyak kedelai sebagai sumber asam lemak esensial (EFA), dengan perbandingan tertentu. Asam palmitat pada OPO yang dihasilkan sebanyak 70,82% yang 54,99% diantaranya berada pada posisi sn-2. Pada formulasi substitut lemak ASI (HMFS), melalui blending OPO hasil sintesis, minyak kedelai dan VCO dengan rasio berturut-turut 30 : 40 : 10 b/b, dihasilkan suatu produk dengan kandungan asam palmitat, oleat, laurat, stearat dan linoleat masingmasing 24,41%, 35,01% , 6,82%, 9,80% dan 4,60%. Komposisi asam lemak pada HMFS sudah mendekati komposisi asam lemak ASI kecuali kekurangan dalam hal asam lemak omega-3 (asam alfa-linolenat dan DHA). Kata Kunci: HMFS, ASI, 1,3-dioleoil-2-palmitoilgliserol, tripalmitin, palm stearin 5 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Reliable performance for supporting high-precision drug analysis in biological samples Dr. Gan Che Sian Analysis of drugs in biological samples often associates with the complexity and difficulties to differentiate the drug molecules from the sample matrix. The use of high resolution and high mass accuracy system such as LC-QTOF provides a powerful workflow with extended ability to carry out qualitative and quantitative analysis in single run. This topic will explore the use of LC-QTOF in drug analysis workflow. 6 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan High Throughput Analysis of Emerging Contaminants in Food and Environment Venkatesha ABSTRACT Emerging contaminants in food and environment are a major concern. Such contaminants or pollutants often find their way into our daily life either in drinking water or the food that we take. In order to detect these contaminants at trace level, LC-MS/MS is the key technique due to its high sensitivity, high specificity and high selectivity. This topic will discuss the use of LCMS/MS in detecting and quantifying emerging contaminants in food and environment. 7 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan BIDANG PANGAN 9 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Perbanyakan Beberapa Aksesi Talas (Colocasia esculenta L.) Diploid Secara Kultur Jaringan dan Konservasinya Mendukung Diversifikasi Pangan Aida Wulansari*, Andri Fadillah Martin, Deritha Elffy Rantau dan Tri Muji Ermayanti Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI Jalan Raya Bogor Km 46, Cibinong, 16911 *E-mail : aida_wulansari@yahoo.com ABSTRAK Diversifikasi pangan non beras perlu dikembangkan dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumber pangan lain seperti umbi-umbian. Talas (Colocasia esculenta) merupakan salah satu tanaman penghasil umbi yang telah banyak dikenal masyarakat. Keragaman talas di Indonesia yang begitu beragam merupakan potensi sumber pangan yang perlu dikembangkan. Beberapa aksesi talas diploid merupakan merupakan sumber karbohidrat yang telah banyak dimanfaatkan. Penyediaan bibit talas yang bermutu dan bebas penyakit merupakan salah satu faktor penting untuk mendukung program ketahanan pangan. Teknologi kultur jaringan berpotensi dalam penyediaan bibit bermutu dan bebas penyakit dalam jumlah banyak dan waktu yang singkat. Penelitian ini bertujuan untuk mengaplikasikan teknik kultur jaringan pada tiga aksesi talas diploid (mentega, bentul dan sutra) dalam rangka perbanyakan dan konservasi secara in vitro, melakukan konfirmasi ploidi dengan flowsitometri dan melakukan karakterisasi jumlah dan ukuran stomatanya. Hasil penelitian pada 4 MST menunjukkan bahwa media MS yang mengandung 2 mg/l BAP, 1 mg/l tiamin dan 2 mg/l adenin merupakan media terbaik untuk multiplikasi tunas in vitro pada ketiga aksesi talas. Laju multiplikasi tunas per bulan adalah 3.67 untuk talas mentega, 3.89 untuk talas bentul dan 4.00 untuk talas sutra. Konfirmasi dengan flowsitometer menunjukkan bahwa ketiga aksesi tanaman ini adalah diploid. Jumlah stomata per mm2 bentul daun epidermis atas adalah 193.86; epidermis bawah adalah 269.30. Jumlah stomata mentega daun epidermis atas adalah 85.96; epidermis bawah 156.14 dan sutra daun epidermis atas adalah 142.11; epidermis bawah 186.84. Ukuran stomata ketiga asesi ini juga bervariasi. Semua aksesi dikoleksi dan diteliti di Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI di Cibinong, Bogor. Kata kunci : multiplikasi tunas in vitro, stomata, tingkat ploidi Pengantar Ketahanan pangan merupakan salah satu faktor yang paling strategis bagi suatu bangsa, karena pangan termasuk kebutuhan pokok. Beras merupakan bahan pangan utama di Indonesia, namun produktivitasnya masih belum mampu memenuhi kebutuhan nasional. Program diversifikasi pangan non beras perlu dikembangkan agar ketahanan pangan dapat terlindungi. Indonesia memiliki beberapa komoditas pangan, yang dapat dikembangkan sebagai komoditas pangan nasional. Diversifikasi produksi 11 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan pangan ini bisa dilakukan melalui pengembangan pangan karbohidrat khas nusantara yang spesifik lokasi seperti sukun, talas, garut, sagu, jagung, ubi dan lain-lain. Tanaman talas telah lama dibudidayakan dan dimanfaatkan sebagai sumber makanan tambahan di Indonesia. Talas sangat potensial, karena memiliki keragaman jenis yang sangat besar. Jenis talas di Indonesia yang begitu beragam merupakan potensi sumber pangan yang perlu dikembangkan. Beberapa aksesi talas diploid merupakan sumber karbohidrat yang telah banyak dimanfaatkan. Penggunaannya sebagai bahan makanan dapat diarahkan untuk menunjang ketahanan pangan nasional melalui program diversifikasi pangan disamping peluangnya sebagai bahan baku industri yang menggunakan pati sebagai bahan dasarnya (Hartati etal.,2003). Umbi dan pelepah daunnya dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku obat maupun pembungkus, sedangkan daun, sisa umbi dan kulit umbinya dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak dan ikan secara langsung maupun setelah difermentasi. Talas juga dapat dimanfaatkan untuk keperluan industri, misalnya sebagai bahan baku kosmetik dan plastik (Setyowati etal., 2007). Penyediaan bibit talas yang bermutu dan bebas penyakit merupakan salah satu faktor penting dalam mendukung program ketahanan pangan. Teknologi kultur jaringan berpotensi dalam penyediaan bibit bermutu, seragam dan bebas penyakit dalam jumlah banyak dan waktu yang singkat. Manfaat lain dari penggunaan teknologi kultur jaringan atau teknik in vitro adalah konservasi atau penyimpanan in vitro plasma nutfah talas. Penggunaan teknik in vitro dalam penyimpanan plasma nutfah tanaman yang diperbanyak secara vegetatif sangat bermanfaat karena tanaman tersebut harus setiap tahun ditanam di kebun untuk mempertahankan koleksinya. Konservasi in vitro memungkinkan tanaman dapat disimpan dalam jangka waktu lama dan dapat diperbanyak secara cepat bila sewaktu-waktu diperlukan (Dewi, 2002). Penerapan teknik in vitro dalam konservasi plasma nutfah merupakan cara alternatif yang saling mendukung dengan strategi konservasi yang lainnya (in situ dan ex situ). Penelitian ini bertujuan untuk mengaplikasi teknik kultur jaringan pada tiga aksesi talas diploid (mentega, bentul dan sutra) dalam rangka perbanyakan dan konservasi secara in vitro, melakukan konfirmasi ploidi dengan flowsitometri dan melakukan karakterisasi jumlah dan ukuran stomatanya. Bahan dan Metode Kultur jaringan Eksplan yang digunakan adalah potongan bonggol dari tiga aksesi talas, yaitu mentega, bentul dan sutra. Bonggol talas dibersihkan dari sisa-sisa tanah dan dicuci dengan air mengalir, kemudian dikupas sampai bagian terdalam yang berwarna putih dan berukuran 3-5 cm. Potongan bonggol tersebut kemudian direndam larutan kloroks 30% sambil dikocok selama 60 menit. Setelah itu eksplan dibilas dengan akuades steril sebanyak tiga kali sampai getahnya hilang. Eksplan dikupas kembali sampai berukuran 1-2 cm. Eksplan tersebut kemudian ditanam pada media MS. Media perlakuan untuk multiplikasi atau penggandaan tunas merupakan media MS dengan konsentrasi BAP 1-2 mg/l seperti disajikan pada tabel 1. Penelitian disusun dalam rancangan acak lengkap. Setiap perlakuan diulang tiga kali dan setiap botol 12 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan terdiri atas tiga tunas tunggal. Pengamatan dilakukan setiap minggu dengan menghitung jumlah tunas yang terbentuk. Tabel 1. Media perlakuan untuk multiplikasi tunas pada talas mentega, bentul dan sutra. Konsentrasi BAP Kode media Thiamin 1 mg/l + Adenin 2 mg/l 1 mg/l 2 mg/l M0 M1 √ M1TA √ √ M2 √ M2TA √ √ Konfirmasi ploidi Konfirmasi ploidisasi dilakukan dengan menggunakan flowsitometer. Analisa ploidi dilakukan dengan menggunakan larutan Cystain UV- ploidy yang berisi buffer dan pewarna DNA. Potongan daun talas bentul, mentega dan sutra diberi label lalu disimpan di dalam plastik. Di antara daun diselipkan kertas tisu yang dibasahi dengan akuades. Potongan daun berukuran 0,5 cm2 diletakkan pada cawan petri dan ditetesi 1,5 ml buffer cystain UV-Ploidi dan dicacah dengan silet. Cacahan daun disaring dengan saringan 30 μm dan filtrat dimasukkan dalam tabung kuvet untuk analisa. Sampel dibaca pada panjang gelombang 440 nm dan kecepatan 1000 nuclei per detik. Jumlah DNA pada inti sel sampel kontrol tanaman diploid dikalibrasi pada channel 200. Tanaman diploid menunjukkan peak pada channel 200, triploid pada channel 300 dan tetraploid pada channel 400, dan tanaman mixoploid menunjukkan lebih dari 1 peak pada channel yang berbeda. Rata-rata kandungan DNA (mean) dan coefficient of variation (CV) dari tiaptiap sampel pada setiap peak diamati dan dibandingkan dengan tanaman kontrol, dan ditentukan tingkat ploidinya sesuai dengan kelipatan rata-rata jumlah kandungan DNA. Penghitungan jumlah dan ukuran stomata Sampel daun talas bentul, mentega dan sutra diambil dari tanaman yang ditanam pada kebun koleksi Puslit Bioteknologi di Cibinong. Sampel diambil pada pagi hari antara pukul 8-9 pada saat stomata dalam keadaan terbuka. Sampel epidermis diambil dari bagian permukaan atas dan permukaan bawah daun. Epidermis daun bagian ujung, tengah dan pangkal helai daun diamati masing-masing sebanyak 5 bidang pandang untuk penghitungan jumlah stomata per mm2.Sampel yang sama juga dipergunakan untuk pengukuran pajang dan lebar stomata. Penghitungan jumlah stomata daun talas dilakukan terhadap daun epidermis atas dan epidermis bawah dengan mikroskop cahaya perbesaran 400 kali. Ukuran stomata diukur menggunakan skala yang terdapat pada mikroskop dengan mengukur panjang (mulai dari ujung atas sampai ujung bawah panjang stomata termasuk sel penjaga) dan mengukur lebar stomata (dari lebar luar satu sel penjaga hingga lebar luar sel penjaga yang berseberangan dengan lebar stomata). Penghitungan jumlah stomata dikonversikan menjadi luas 1 mm2. Jumlah stomata epidermis atas dan bawah dihitung secara terpisah. Penghitungan ukuran stomata dilakukan sebanyak 20 stomata. Data 13 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan ukuran stomata epidermis atas dan bawah digabungkan lalu dirata-ratakan. Kisaran jumlah stomata dan ukuran stomata juga dicatat. Hasil dan Pembahasan Kultur jaringan Eksplan berupa potongan bonggol talas yang dikulturkan pada media MS tanpa penambahan zat pengatur tumbuh (ZPT) tampak mulai berkembang pada 1 MST. Pada tahap selanjutnya, eksplan yang tidak dipindahkan ke media yang mengandung ZPT akan menghasilkan tunas tunggal. Tunas tunggal yang disubkultur ke media MS yang dilengkapi dengan ZPT dari golongan sitokinin (BAP) akan menghasilkan tunas majemuk. Pengamatan selama 4 MST (tabel 2) terhadap pertambahan jumlah tunas majemuk menunjukkan bahwa media perlakuan yang mengandung BAP pada konsentrasi 1-2 mg/l dapat lebih meningkatkan proliferasi tunasbila dibandingkan dengan media tanpa BAP (media M0) yang hanya memiliki laju multiplikasi 1.56 pada ketiga aksesi talas.Laju multiplikasi tunas 4 MST dari ketiga aksesi pada tiap media perlakuan menunjukkan angka yang hampir sama. Talas mentega, bentul dan sutra tidak memperlihatkan respon yang beragam pada tiap media perlakuan. Tabel 2. Laju multiplikasi tunas 4 MST talas mentega, bentul dan sutra. Laju multiplikasi tunas 4 MST Media Mentega Bentul Sutra M0 1.56 b 1.56 b 1.56 b b b M1 2.11 1.78 1.89 bc a a M1TA 3.67 3.67 3.44 a b b M2 2.11 1.78 2.33 b a a M2TA 3.67 3.89 4.00 a Keterangan : Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%. Sitokinin merupakan ZPT yang berperan penting dalam pembelahan sel, memecah dormansi bakal tunas dari dominansi pucuk, membantu perkecambahan biji dan pembentukan kloroplas (Mok et al., 2000). Pada kultur jaringan, sitokinin seperti BAP sangat efektif dalam mendukung pembentukan dan penggandaan tunas in vitro.Penggunaan BAP untuk proliferasitunas telah terbukti berhasil antara lain pada iles-iles (Imelda et al., 2007), pisang barangan (Jafari et al., 2011) dan pisang asal Malaysia (Sipen & Davey, 2012) serta nanas (Al-Saif et al., 2011). Konsentrasi BAP yang optimum perlu diketahui, karena pada konsentrasi yang tinggi, BAP dapat bersifat mutagenik dan menghambat pertumbuhan tunas (George et al., 2008). Pada penelitian ini, penambahan BAP sampai 2 mg/l masih dapat meningkatkan jumlah tunas. Laju multiplikasi tunas pada media yang mengandung BAP dengan penambahan thiamin dan adenin mampu meningkatkan multiplikasi tunas hampir dua kali lipat (Gambar 1.). Respon tersebut ditunjukkan pada semua konsentrasi BAP. Penambahan thiamin dan adenin diduga mempengaruhi aktifitas zat pengatur tumbuh dari golongan sitokinin seperti BAP. Pada konsentrasi 2 mg/l BAP, penambahan thiamin dan adenin cenderung meningkatkan laju multiplikasi tunas, diduga BAP pada konsentrasi tersebut 14 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan masih optimal dalam meningkatkan jumlah tunas. Pada buncis (Phaseolus vulgaris L.), penambahan adenin pada media dengan konsentrasi BAP 5 mg/l masih dapat meningkatkan jumlah tunas yang terbentuk (Arias et al., 2010). Gambar 1. Pengaruh penambahan adenin dan thiamin terhadap jumlah tunas majemuk pada talas umur 4 MST. A. Media M0 B. Media M1 C. Media M1TA D. Media M2 E. Media M2TA Konfirmasi ploidi Konfirmasi tingkat ploidi telah dilakukan pada beberapa aksesi talas yang dimiliki oleh Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI (Lebot et al. 2004). Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa aksesi talas Bentul memiliki tingkat ploidi 2x atau diploid. Berdasarkan data ini maka talas Bentul dapat dijadikan standar diploid untuk mengkonfirmasi tingkat ploidi beberapa aksesi talas yang belum diketahui tingkat ploidinya. Kontrol tanaman diploid (Bentul) dikalibrasi pada channel 200 (Gambar 2.) Tanaman diploid menunjukkan peak pada channel 200, triploid pada channel 300 dan tetraploid pada channel 400. Hasil analisis dengan flowsitometer menunjukkan bahwa baik talas Mentega (Gambar 3) maupun talas Sutra (Gambar 4) termasuk tanaman diploid. Analisis flowsitometer selain berguna untuk menghitung kandungan DNA relatif secara cepat, juga berguna dalam mengkarakterisasi tipe tanaman yang true-totype (Ochatt, 2006). 15 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan File: talas 11 Date: 22-02-2013 Time: 09:50:24 Particles: 2969 Acq.-Time: 127 s partec CyFlow 100 RN1 80 counts 60 40 20 0 0 200 400 600 800 1000 FL1 - Region RN1 Gate <None> Ungated 2432 Count 2432 Count/ml - %Gated 81.91 Mean-x 176.69 CV-x% 7.64 Mean-y - CV-y% - Gambar 2. Grafik kandungan DNA-relatif dari analisis flowsitometer pada talas Bentul File: Talas 46 Date: 08-01-2013 Time: 10:36:15 Particles: 4109 Acq.-Time: 101 s partec CyFlow 100 RN1 80 counts 60 40 20 0 0 200 400 600 800 1000 FL1 - Region RN1 Gate <None> Ungated 2968 Count 2968 Count/ml - %Gated 72.23 Mean-x 187.85 CV-x% 9.57 Mean-y - CV-y% - Gambar 3. Grafik kandungan DNA-relatif dari analisis flowsitometer pada talas Mentega File: Talas 27 Date: 08-01-2013 Time: 10:14:34 Particles: 3863 Acq.-Time: 82 s partec CyFlow 100 RN1 80 counts 60 40 20 0 0 200 400 600 800 1000 FL1 - Region RN1 Gate <None> Ungated 2834 Count 2834 Count/ml - %Gated 73.36 Mean-x 206.05 CV-x% 7.69 Mean-y - CV-y% - Gambar 4. Grafik kandungan DNA-relatif dari analisis flowsitometer pada talas Sutra 16 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Penghitungan jumlah dan ukuran stomata Jumlah stomata pada ketiga aksesi yang berbeda yaitu Bentul, Mentega dan Sutra pada daun bagian epidermis atas sangat bervariasi. Talas Bentul mempunyai jumlah stomata terbanyak, Sutra lebih rendah dan Mentega paling rendah (Tabel 3). Jumlah stomata daun permukaan atas Bentul lebih dari dua kali jumlah stomata talas Mentega. Perbedaan yang jauh berbeda ini kemungkinan disebabkan oleh ukuran tebal lapisan lilin pada talas Bentul dan Mentega yang menutupi epidermis daun bawahnya. Pengamatan tebal lapisan lilin perlu dilakukan. Jumlah stomata pada bagian bawah daun lebih banyak dibandingkan dengan jumlah stomata bagian daun permukaan atas. Jumlah stomata permukaan bawah daun talas Bentul adalah 38,9% lebih banyak dibandingkan dengan permukaan atasnya, pada talas Sutra adalah 31,5% lebih banyak, sedangkan pada talas Mentega adalah 79,5% lebih banyak dibandingkan dengan jumlah stomata pada daun permukaan atasnya. Contoh sebaran stomata pada permukaan daun bagian bawah dari ketiga aksesi talas diploid tertera pada Gambar 5. Menurut Wang (1983) jumlah stomata pada talas relatif lebih sedikit apabila dibandingkan dengan tanaman lain yang masih satu genus. Wang (1983) mencatat bahwa kerapatan stomata pada epidermis atas hanya mencapai 50/mm2 sedangkan epidermis bawah mencapai 116/mm2. Tabel 3. Jumlah stomata (per mm2) epidermis atas dan bawah talas bentul, mentega dan sutra Aksesi Jumlah stomata per mm2 Epidermis atas Epidermis bawah Rata-rata Kisaran Rata-rata Kisaran Bentul 193,86 157,89-218,42 269,30 244,74-218,42 Mentega 85,96 76,32-92,11 156,14 152,63-157,89 Sutra 142,11 137,47-152,63 186,84 163,16-223,68 Gambar 5. Sebaran stomata daun bagian permukaan bawah dari talas bentul (kiri), mentega (tengah), sutra (kanan) Ukuran stomata daun talas ketiga aksesi diploid yaitu Bentul, Mentega dan Sutra tidak terlalu berbeda (Tabel 4.). Panjang stomata talas Bentul sama dengan talas Mentega dan sedikit berbeda dari talas Sutra, kisaran panjang stomata juga hampir sama. Hal ini sejalan dengan laporan Saadu et al. (2009) yang melaporkan bahwa panjang stomata pada talas berada pada kisaran 0,026 mm. Lebar stomata baik nilai rata-rata dan kisarannya juga tidak terlalu berbeda. Kisaran lebar stomata pada talas sutra lebih besar dibandingkan dengan kisaran lebar stomata talas bentul dan mentega. 17 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Tabel 4. Ukuran stomata (mm) epidermis atas dan bawah talas bentul, mentega dan sutra Aksesi Ukuran stomata (mm) Panjang Lebar Rata-rata Kisaran Rata-rata Kisaran Bentul 0,025 0,023-0,028 0,018 0,016-0,021 Mentega 0,025 0,022-0,028 0,020 0,016-0,022 Sutra 0,026 0,023-0,029 0,021 0,014-0,023 Kesimpulan Perbanyakan atau multiplikasi tunas in vitro pada ketiga aksesi talas (bentul, mentega dan sutra) memberikan hasil terbaik pada media M2TA yang mengandung 2 mg/l BAP, 1 mg/l tiamin dan 2 mg/l adenin. Konfirmasi dengan flowsitometer menunjukkan bahwa ketiga aksesi tanaman ini adalah diploid. Jumlah dan ukuran stomata ketiga aksesi ini juga bervariasi. Ucapan Terima Kasih Penelitian ini didanai oleh Program Kompetitif LIPI, Sub-Kegiatan Eksplorasi dan Pemanfaatan Terukur Sumber Daya Hayati (Darat dan Laut Indonesia) berjudul Manipulasi Sel Somatik : Induksi Poliploidi dan Fusi Protoplas untuk Meningkatkan Produktivitas Talas dan Garut. Ucapan terima kasih kepada Mulyana atas bantuannya dalam mempersiapkan bahan eksplan untuk teknik in vitro serta Erwin Al-Hafiizh, Rudiyanto dan Agus Arvani atas bantuannya dalam analisis flowsitometer dan stomata. Daftar Pustaka Al-Saif, A.M., A.B.M.S. Hossain, R.M. Taha. 2011. Effects of benzylaminopurine and naphthalene acetic acid on proliferation and shoot growth of pineapple (Ananas comosus L.Mer) in vitro. African Journal of Biotechnology 10 (27) : 5291-5295. Arias, A.M.G., J.M. Valverde, P.R. Fonseca & M.V. Melara. 2010. In vitro plant regeneration system for common bean (Phaseolus vulgaris L.) : effects of N6benzylaminopurine and adenine sulphate. Electronic Journal of Biotechnology 13(1). DOI: 10.225/vol.13-issue-fulltext-7 Dewi, N., 2002. Perbanyakan dan pelestarian plasma nutfah talas (Colocasia esculenta (L.) Schott) secara in vitro. Tesis. Program Pascasarjana IPB. Bogor. George, E.F., M.A. Hall & G.J.D. Klerk. 2008. Plant propagation by tissue culture 3rd edition. Vol.1. The Background. Springer. Dordrecht, Netherland. 205226. Hartati,N.S & T.K Prana. 2003. Analisis kadar pati dan serat kasar tepung beberapa kultivar talas (Colocasia esculenta (L.)Schoott). Jurnal Natur Indonesia. Vol. 6 (1) : 29-33. Imelda, M., A. Wulansari & Y.S. Poerba. 2007. Mikropropagasi tanaman iles-iles (Amorphophallus muelleri Blume). Berita Biologi 8 (4) : 271-277. 18 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Jafari, N., R.Y. Othman & N. Khalid. 2011. Effect of benzylaminopurine (BAP) pulsing on in vitro shoot multiplication of Musa acuminate (banana) cv. Berangan. African Journal of Biotechnology 10 (13) : 2446-2450. Lebot, V., Prana, M.S., Kreike, N., van Heck, H., Pardales, J., Okpul, T., Genuda, T., Thongjiem, M., Hue, H., Viet, N., and Yap, T.C. 2004. Characterisation of taro (Colocasia esculenta (L.) Schott) genetic resources in Southeast Asia and Oceania. Genetic Resources and Crop Evolution 51:381-392. Mok, M.C., R.C. Martin & D.W.S. Mok. 2000. Cytokinins : biosynthesis, metabolism and perception. In Vitro Cellular and Developmental BiologyPlant 36 (2) : 102-107. Ochatt, S.J. 2006. Flow cytometry – ploidy determination, cell cycle analysis, DNA content per nucleus. Medicago truncatulata handbook. Dijon, Unité de Génétique et Ecophysiologie des Légumineuses. Saadu, R.O., Abdulrahman, A.A. and Oladele, F.A. 2009. Stomatal complex types and transpiration rates in some tropical tuber species. African Journal of Plant Sciences 3(5): 107-112. ISSN 1996-0824. Setyowati, M., I.Hanarida & Sutoro. 2007. Karakterisasi umbi plasma nutfah tanaman talas (Colocasia esculenta (L.)Schoott). Buletin Plasma Nutfah 13 (2) : 49-55. Sipen, P. & M.R. Davey. 2012. Effects of N6-benzylaminopurine and indole acetic acid on in vitro shoot multiplication, nodule-like meristem proliferation and plent regeneration of Malaysian bananas (Musa spp.). Tropical Life Sciences Research 23 (2) : 67-80. Wang, Jaw-Kai. 1983. Taro – A review of Colocasia esculenta and It’s Potentials. University of Hawai Press. ISBN 0-8248-0841-X. pp 21-24. 19 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Kandungan Gizi Dan Nilai Ekonomis Pensi, Tutut dan Cherax dari Danau Maninjau Livia R. Tanjung Pusat Penelitian Limnologi – LIPI Jl. Raya Bogor Km. 46 Cibinong Science Center, Cibinong 16911 Email: livia.rossila@lipi.go.id ABSTRAK Berbagai jenis ikan endemik yang berasal dari Danau Maninjau di Kabupaten Agam, Sumatra Barat sudah sangat dikenal, di antaranya ikan Bada dan Rinuk. Selain ikan, sumberdaya perairan bernilai ekonomis tinggi yang sudah diperjualbelikan di pasar-pasar sekitar Danau Maninjau yaitu Kerang Pensi (Corbicula moltkiana dan Corbicula sumatrensis) dan lobster air tawar (Cherax quadricarinatus). Selain Pensi dan lobster, Keong Tutut (Filopaludina javanica dan Filopaludina sumatrensis) yang banyak ditemukan di danau ini tidak dijadikan sebagai salah satu sumber makanan bagi masyarakat setempat. Tulisan ini ditujukan untuk mengungkapkan informasi mengenai kandungan gizi dan nilai ekonomis ketiga komoditas tersebut. Untuk itu, dilakukan pengambilan sampel ketiga jenis komoditas tersebut dari Danau Maninjau pada bulan Oktober 2011. Selanjutnya, dilakukan analisis proksimat dan mineral untuk ketiganya. Hasilnya menunjukkan bahwa ketiga komoditas tersebut memiliki kandungan protein yang tinggi, berkisar dari 43,5% (Kerang Pensi) sampai 75,0% (Lobster Cherax) dari berat keringnya. Kandungan lemaknya cukup rendah (1,8-8% berat kering), sehingga kolesterolnya juga sangat rendah. Tutut dan Pensi mengandung ketiga jenis mineral yang diuji (Ca, Fe dan P) dan kandungan mineral Tutut lebih tinggi daripada Pensi, sedangkan Cherax memiliki kandungan fosfor tertinggi, walaupun tidak mengandung besi. Data mengenai nilai ekonomis ketiga komoditas ini diperoleh dari para pelaku bisnis terkait. Karena harganya yang mahal, Cherax bukanlah pilihan terbaik sebagai sumber makanan bergizi bagi masyarakat umum. Kandungan protein Tutut tidak sebanyak Cherax, tetapi kandungan mineral dan kolesterolnya menunjukkan bahwa Tutut memiliki nilai gizi yang lebih baik daripada Cherax. Pensi yang sangat populer di daerah Maninjau ternyata memiliki kandungan gizi yang lebih rendah daripada Tutut. Kata Kunci: Danau Maninjau, kandungan gizi, Keong Tutut, Kerang Pensi, Lobster Cherax, nilai ekonomis. Pengantar Kerang Pensi merupakan sejenis Moluska Bivalvia endemis Danau Maninjau yang termasuk ke dalam family Corbiculidae dan genus Corbicula (dari bahasa Latin corbis yang berarti keranjang). Kerang ini disukai sebagai makanan favorit dan menjadi salah satu sumber protein bagi penduduk sekitar danau, serta bernilai ekonomis karena sangat laku diperjualbelikan (Gambar 1a). Penduduk setempat biasanya memanen Pensi dengan cara mengambilnya langsung dari danau dengan menggunakan sekop dan jaring sebagai saringan. Selain di Danau Maninjau, kerang ini juga ditemukan di Danau 21 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Singkarak (Glaubrecht et al., 2003). Informasi mengenai populasi Pensi dari Danau Maninjau belum ada yang dipublikasikan. Dengan demikian, data dasar tentang Pensi perlu dikaji dalam upaya konservasi terutama mengenai kepadatan populasi dan pertumbuhannya. Danau Maninjau memiliki dua spesies Pensi, yaitu yang berwarna hitam (Corbicula moltkiana, Prime, 1878) dan kuning (Corbicula sumatrensis, Dunker, 1853), diperlihatkan pada Gambar 1b. Gambar 1. a. b. Pensi yang dijual di pasar sekitar Danau Maninjau. a. Kerang mentah yang masih bercangkang dan kerang yang sudah direbus, berwarna putih. b. Pensi berwarna kuning (C. sumatrensis) dan hitam (C. moltkiana) Pensi merupakan komoditas yang sangat dikenal masyarakat di daerah Danau Maninjau. Sebaliknya, keong Tutut tidak dianggap sebagai salah satu sumber makanan bagi penduduk Maninjau. Tutut adalah sejenis Moluska (Gambar 2) yang telah dikonsumsi di banyak daerah di Indonesia, seperti di berbagai daerah di Jawa Barat. Di daerah Payakumbuh (Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatra Barat) keong Tutut dikenal dengan nama Cipuk, yang berarti siput, dan merupakan salah satu makanan yang digemari. Keong yang ditemukan di Danau Maninjau adalah dari genus Filopaludina. Keong ini dikenal juga dengan nama Vivipara javanica dan Bellamya javanica. 22 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Gambar 2. Tutut dari Danau Maninjau (Filopaludina spp.) Selain Pensi dan Tutut, ada satu biota lagi yang sudah menjadi alternatif sebagai sumber protein bagi masyarakat di sekitar Danau Maninjau sejak tahun 2010, yaitu lobster air tawar (Cherax). Menurut informasi yang didapat dari masyarakat di sekitar Danau Maninjau, keberadaan Cherax tersebut di Danau Maninjau adalah karena diintroduksi secara sengaja untuk bisnis budidaya, dan Cherax yang terlepas menjadi penghuni Danau Maninjau. Menurut morfologinya, Cherax yang sekarang sudah hidup bebas tersebut, kemungkinan besar berasal dari dua daerah geografi yang berbeda. Cherax yang memiliki warna tubuh biru tua dan ujung capit berwarna merah (Gambar 3a.) dan dikenal juga dengan nama Red Claw Crayfish (Cherax quadricarinatus) ini diduga berasal dari Walkamin, Queensland, Australia, sedangkan Cherax yang berasal dari Papua, dicirikan dengan warna tubuh coklat tua kehitaman (Gambar 3b). A B. Gambar 3. A. Cherax quadricarinatus yang diduga berasal dari Walkamin, Qld, Australia (Sulawesty, 2010). B. Cherax quadricarinatus yang diduga berasal dari Papua. Bahan dan Metode Ketiga jenis komoditas penelitian diambil dari Danau Maninjau pada bulan Oktober 2011. Analisis kandungan nutrisi dikerjakan di Laboratorium Nutrisi Ikan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB, Bogor sesuai dengan prosedur dari Muchtadi (1989). Sebelum dianalisis, dari ketiga jenis sampel tersebut diambil dagingnya, kemudian dihitung persentase berat daging terhadap berat total individu. Selanjutnya, dilakukan analisis kandungan gizi yang terdapat dalam daging ketiga jenis sampel yang meliputi kadar proksimat, termasuk mineralnya dan kandungan asam lemak jenuh dan tak jenuh (LDL dan HDL). Penentuan kadar air dan 23 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan kadar abu menggunakan metode gravimetri. Analisis kandungan lemak menggunakan metode Folch, sedangkan kadar protein ditentukan dengan metode Kjeldahl. Untuk penentuan serat kasar dan analisis mineral digunakan metode Wet Ashing berdasarkan AOAC (2005). Semua analisis kandungan nutrisi dilakukan dengan dua kali pengulangan. Analisis Kadar Air Kuantitas air yang terkandung dalam sampel dihitung dengan memanaskan sampel yang ditaruh dalam cawan pada suhu 110oC. Apabila semua air sudah menguap, berat sampel akan berkurang sampai berat konstan. Persentase kadar air ditentukan berdasarkan banyaknya air yang menguap saat pemanasan, yaitu dengan cara mengukur selisih antara berat cawan akhir (setelah cawan yang berisi sampel dikeringkan dalam oven) dengan berat cawan awal (cawan kosong bebas air), dibandingkan dengan berat sampel. Analisis Serat Kasar dan Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen (BETN) Serat kasar adalah pengurangan sisa residu yang dikeringkan pada saat pembakaran setelah penguraian sampel dengan larutan H2SO4 1,25% dan NaOH 1,25%. Sedangkan BETN merupakan bagian dari karbohidrat setelah dikurangi serat kasar. BETN tidak dianalisis secara langsung tetapi melalui penghitungan dengan rumus: BETN = 100%  Kadar Air  Protein  Lemak  Abu  Serat Kasar  Analisis Kadar Lemak dengan Metode Folch Lemak total diekstraksi melalui prosedur pencampuran dengan kloroform dan metanol dengan rasio 2:1. Lemak diperoleh melalui filtrasi dan evaporasi bahan pelarut dengan menggunakan vacuum. Prosedur ekstraksi ini menghasilkan 95-99% lemak, tetapi gangliosida dan glikolipid kadang-kadang hilang pada saat pencucian kecuali dalam bentuk encer sehingga dapat ditahan dan ditemukan kembali. Analisis Kadar Protein dengan Metode Kjeldahl Metode Kjeldahl merupakan metode sederhana untuk menetapkan nitrogen total pada asam amino, protein dan senyawa yang mengandung nitrogen. Pertama-tama sampel didestruksi dengan asam sulfat dan dikatalisis dengan katalisator yang sesuai, sehingga akan menghasilkan amonium sulfat. Setelah pembebasan dengan alkali kuat, amonia yang terbentuk disuling uap secara kuantitatif ke dalam larutan penyerap, lalu dititrasi. Metode Kjeldahl digunakan untuk menganalisis kadar protein kasar dalam bahan makanan secara tidak langsung, karena yang dianalisis adalah kadar nitrogennya. Dengan mengalikan hasil analisis yang diperoleh dengan 6,25 akan diketahui kadar protein dalam bahan makanan. Angka 6,25 berasal dari angka konversi serum albumin yang biasanya mengandung 16% nitrogen. Kekurangan metode ini adalah purin, pirimidin, vitamin-vitamin, asam amino besar, keratin dan keratinin ikut teranalisis dan terukur sebagai nitrogen protein. Walaupun demikian, cara ini masih dianggap cukup teliti untuk mengukur kadar protein dalam bahan makanan. 24 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Analisis Kadar Abu Abu adalah zat organik sisa hasil pembakaran suatu bahan. Kadar abu berhubungan dengan kadar mineral. Mineral yang terdapat dalam suatu sampel dapat digolongkan ke dalam makro-mineral (Ca, Mg, K, Na) dan mikro-mineral (Zn, Mn, Fe,Co). Penentuan konstituen mineral dalam suatu sampel dibedakan menjadi dua tahap, yaitu penentuan abu secara total dan penentuan komponen/unsurnya. Pada penelitian ini penentuan kadar abu dilakukan melalui pemanasan pada suhu tinggi yang menggunakan tanur (oven elektrik) dan diset pada suhu 600ºC. Metode ini tidak merincikan komposisi zat-zat yang terdapat dalam sampel. Namun, penentuan kadar abu total sangat berguna bagi parameter nilai gizi bahan. Persentase kadar abu ditentukan oleh banyaknya abu yang tersisa setelah pembakaran dibandingkan dengan berat sampel. Analisis Kadar Kolesterol, Trigliserida, LDL dan HDL Sebanyak 2 g sampel daging dihaluskan dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi steril, lalu 10 ml dietil eter ditambahkan, kemudian dikocok dan dibiarkan selama 48 jam pada suhu kamar sampai seluruh eter menguap. Jaringan/sampel daging yg sudah diekstraksi dikeluarkan dari tabung dan ekstrak/endapan lemak yang menempel pada tabung dilarutkan dengan 1 ml buffer PBS pH 7,2. Larutan tersebut dihomogenisasi dan disentrifugasi selama 15 menit pada kecepatan 3000 rpm. Supernatan yang terbentuk dipindahkan ke dalam tabung eppendorf untuk dianalisis kadar kolesterol, trigliserida dan HDL/LDL dengan metode Enzymatic Cholesterol High Performance (CHOD-PAP Kit) pada = 500 nm. Analisis Mineral Untuk menganalisis kandungan mineral terlebih dahulu dilakukan pengabuan basah (Wet Ashing). Prosedurnya yaitu dengan menambahkan 5 ml HNO3 (p) pada 1 g sampel daging di dalam erlenmeyer 125 ml dan didiamkan selama 1 jam pada suhu ruang di ruang asam, lalu dipanaskan pada suhu rendah selama 4-6 jam dan dibiarkan semalam. Selanjutnya, ditambahkan 0,4 ml H2SO4 (p) dan dipanaskan selama 1 jam sampai larutan lebih pekat. Kemudian, ditambahkan 2-3 tetes larutan campuran HClO4:HNO3 (2:1). Pemanasan masih terus berlangsung sampai ada perubahan warna dari coklat menjadi kuning tua yang akhirnya menjadi kuning muda, dan biasanya memakan waktu 1 jam. Pemanasan masih tetap dilanjutkan selama 10-15 menit, kemudian sampel didinginkan dan ditambahkan 2 ml aquades dan 0,6 ml HCl (p). Larutan dipanaskan kembali selama 15 menit agar sampel larut, lalu dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml. Apabila ada endapan disaring dengan glass wool dan dilakukan juga penambahan bahan kimia untuk menghilangkan ion-ion pengganggu (Cl3La.7H2O). Akhirnya, hasil pengabuan basah digunakan untuk menganalisis kandungan berbagai jenis mineral dengan menggunakan spektrofotometer. Hasil dan Pembahasan Rata-rata persentase berat daging terhadap berat total masing-masing sampel diperlihatkan pada Tabel 1. Terlihat bahwa persentase daging (isi) Tutut mencapai 30% dari berat tubuh total, sedangkan persentase daging Pensi kurang dari setengahnya dan Cherax memiliki sekitar 27% daging dari berat tubuh total. 25 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Tabel 1. Rata-rata persentase berat daging terhadap berat total masing-masing sampel. Sampel Total Tubuh (g) Cangkang (g) Isi (g) Persentase Isi (%) Cherax 14.22 8.73 3.80 26.72 Pensi 3.99 2.60 0.58 14.54 Tutut 1.23 0.45 0.37 30.08 Hasil analisis kandungan proksimat yang meliputi kadar air, abu, protein, lemak dan karbohidrat (serat kasar dan BETN) ditampilkan pada Tabel 2, sedangkan kandungan mineral kalsium, fosfor dan besi disajikan pada Tabel 3. Kadar kolesterol, trigliserida, HDL dan LDL yang terdapat pada daging Pensi, Tutut dan Cherax dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 2. Kadar proksimat dalam berat basah dan berat kering (%) Berat Basah Berat Kering Sampel Air Abu Protein Lemak Cherax Pensi Tutut Cherax Pensi Tutut 81.01±0.08 79.31±0.25 72.50±0.21 0.00 0.00 0.00 1.16±0.11 1.92±0.06 9.60±0.12 6.07±0.51 9.29±0.16 34.88±0.16 14.25±0.04 9.00±0.34 12.18±0.44 75.04±0.56 43.47±1.10 44.29±1.24 1.52±0.38 3.39±0.01 1.81±0.07 8.00±1.98 3.39±0.01 1.81±0.07 Karbohidrat Serat BETN Kasar 0.00 2.07±0.36 0.00 6.39±0.16 0.00 3.92±0.41 0.00 10.90±1.93 0.00 43.86±1.27 0.00 19.03±1.48 Kandungan air Cherax dan Pensi relatif sama yaitu sekitar 80% dari berat tubuh (Tabel 2), sedangkan kandungan air Tutut paling rendah, yaitu sekitar 72%. Sebaliknya, dari berat basahnya kandungan abu Tutut tertinggi yaitu hampir 10%, sedangkan Cherax dan Pensi hanya mengandung abu 1% dan 2%. Kandungan protein Cherax adalah yang tertinggi, sekitar 14%, sedangkan yang terendah yaitu Pensi, hanya 9%. Kadar lemak tertinggi didapat dari Pensi (sekitar 3,4%), sedangkan terendah dari Cherax (sekitar 1,5%). Tutut mengandung kurang dari 2% lemak dan sekitar 12% protein. Moluska Bivalvia yang telah diketahui kandungan nutrisinya adalah Kerang Darah (Anadara granosa) dan Kerang Pisau (Solen spp.). Menurut Nurjanah et. al. (2005) Kerang Darah mengandung 74,4% air, 2,2% abu, 19,5% protein dan 2,5% lemak, sedangkan menurut Virjean (2011) Kerang Darah mengandung 77,8% air, 2,3% abu, 10,3% protein, 5,9% lemak dan 3,8% karbohidrat. Perbedaan ini dimungkinkan karena habitat, jenis kelamin, umur dan musim penangkapan yang berbeda. Dibandingkan dengan Kerang Darah, Pensi mengandung kadar abu dan protein yang lebih rendah. Selain itu, Nurjanah et al. (2012) juga menginformasikan bahwa Sotong (Sepia recurvirostra) mengandung 13.5% protein, 0.8% lemak dan 1.4% karbohidrat, sedangkan Kerang Pisau (Solen spp.) mengandung 9,8% protein, 0,3% lemak dan 4,9% karbohidrat (Nurjanah et al., 2008). Dengan demikian, Cherax mengandung protein dan lemak yang lebih tinggi daripada Sotong dan Kerang Pisau, sedangkan kandungan protein Tutut lebih rendah daripada Sotong, tetapi lebih tinggi daripada Kerang Pisau. 26 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Dalam berat kering ketiga jenis sampel terlihat bahwa Cherax mengandung protein dan lemak tertinggi, yaitu 75% dan 8%. Pensi dan Tutut mengandung kadar protein yang hampir sama yaitu 43,5% dan 44,3%, tetapi kandungan lemak Pensi lebih tinggi, yaitu 3,4% dibandingkan dengan Tutut yang hanya 1,8%. Pensi juga memiliki kandungan karbohidrat tertinggi, yaitu 43,9%. Menurut Nurjanah et al. (2008) Kerang Pisau (Solen spp.) mengandung 55,3% protein, 1,8% lemak dan 28% karbohidrat, sedangkan kerang air tawar (Corbicula fluminea) mengandung 57% protein, 7,2% lemak dan 21,3% karbohidrat (Chijimatsu et al., 2008). Maka, kandungan protein Pensi dari berat kering lebih rendah daripada kerang Pisau dan kerang air tawar, tetapi kandungan karbohidratnya lebih tinggi. Kadar protein dalam bahan pangan menentukan mutu bahan pangan tersebut. Nilai gizi suatu bahan pangan ditentukan bukan saja oleh kadar nutrien yang dikandungnya, tetapi juga oleh dapat tidaknya nutrien tersebut digunakan oleh tubuh (Muchtadi, 1989). Gambar 5 menunjukkan kadar protein, lemak dan karbohidrat (dalam bentuk BETN) yang terkandung dalam berat kering masing-masing sampel, dibandingkan dengan biota referensi. Gambar 5. Kadar protein, lemak dan karbohidrat masing-masing sampel dibandingkan dengan biota referensi. Terlihat bahwa ketiga jenis sampel memiliki kandungan protein yang tinggi dan kandungan lemak yang sangat rendah. Analisis kadar mineral memperlihatkan bahwa Tutut mengandung kalsium (3,62%) dan besi (0,59%) tertinggi, sedangkan Cherax mengandung kalsium dan besi yang sangat rendah (0,09% dan 0.82 ppm). Sebaliknya, Cherax mengandung fosfor tertinggi yaitu 0,17%, sedangkan kadar fosfor Pensi dan Tutut hampir sama (0,13%). Pensi mengandung 2,86% kalsium dan 0,08% besi (Table 3). 27 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Tabel 3. Hasil analisis kadar kalsium, besi dan fosfor masing-masing sampel Sampel Ca (ppm) Ca (%) Fe (ppm) Fe (%) P (ppm) Cherax 866 0.09 0.82 0.00 1672 Pensi 28557 2.86 742 0.08 1218 Tutut 36172 3.62 5864 0.59 1279 P (%) 0.17 0.13 0.13 Menurut Nurjanah et al.(2005) Kerang Darah segar mengandung 698 ppm kalsium dan 94 ppm besi, sedangkan Sotong, tergantung bagian tubuhnya, mengandung 186198 ppm kalsium, 4-7 ppm besi dan 439-570 ppm fosfor (Nurjanah et al., 2012). Dengan demikian, kandungan mineral yang diuji pada Pensi dan Tutut lebih tinggi daripada Kerang Darah dan Sotong. Tutut mengandung lebih tinggi kalsium dan besi daripada kerang laut dan tiram yang hanya mengandung 3,1% kalsium dan 0,32% besi, tetapi lebih kaya (19%) akan fosfor (Devira, 2009). Hasil analisis kandungan kolesterol (Tabel 4) menunjukkan bahwa Tutut mengandung kolesterol terendah (0,12 mg/g), dan Pensi tertinggi (0,878 mg/g). Demikian juga dengan kandungan LDL (asam lemak jenuh dan lemak trans) yang tidak terdeteksi pada Tutut, sedangkan Pensi mengandung LDL tertinggi (0,51 mg/g). Cherax memiliki kandungan trigliserida terendah (1,387 mg/g), sedangkan Tutut memiliki kandungan HDL (asam lemak tak jenuh) tertinggi (0,041 mg/g). Sebagai pembanding, Nurjanah et al. (2012) menginformasikan bahwa Sotong mengandung kolesterol yang lebih tinggi daripada Pensi (0,75-1,09 mg/g), Kandungan kolesterol Pensi mirip dengan tiram, kerang laut dan abalone (Devira, 2009; CholesterolinDiet.com, 2011), yaitu 0,85 mg/g. Kerang laut dan tiram mengandung asam lemak jenuh (1,49 mg/g) dan tak jenuh (2,11 mg/g) yang lebih tinggi daripada Pensi (Devira, 2009). Sotong dan Gurita mengandung kolesterol yang lebih tinggi daripada Cherax, Pensi dan Tutut, yaitu 1,23 mg/g dan 1,39 mg/g. Cumi-cumi mengandung kolesterol yang jauh lebih tinggi (1,8 mg/g) daripada ketiga sampel yang diuji (Okuzumi & Fujii, 2000). Tabel 4. Hasil analisis kolesterol, trigliserida, HDL dan LDL Sampel Total Kolesterol Trigliserida (mg/g) (mg/g) Cherax 0.393 1.387 Pensi 0.878 1.713 Tutut 0.120 1.578 HDL (mg/g) 0.036 0.025 0.041 LDL (mg/g) 0.08 0.51 0 Dengan demikian, ketiga jenis biota yang diuji memiliki kandungan gizi yang baik sebagai sumber protein, lemak dan mineral untuk konsumsi masyarakat. Kandungan proteinnya berkisar dari 9-14% berat basah atau dari 43,5-75% berat kering. Kandungan lemaknya cukup rendah (1,5-3,4% berat basah atau 1,8-8% berat kering), sehingga kolesterolnya juga sangat rendah. Tutut dan Pensi mengandung ketiga jenis mineral yang diuji (Ca, Fe dan P) dengan kandungan yang dimiliki Tutut lebih tinggi daripada Pensi, sedangkan Cherax memiliki kandungan fosfor tertinggi, walaupun tidak mengandung besi. Informasi mengenai nilai ekonomis Pensi dan Cherax diperoleh dari nelayan dan pedagang yang terlibat dalam bisnis ini di sekitar Danau Maninjau. Nelayan pencari Pensi menjual kerang mentah yang masih bercangkang kepada pedagang/pengumpul 28 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan dengan harga Rp 5.000/kg. Pensi umumnya dijual di pasar lokal di sekitar Danau Maninjau, tetapi ada juga yang dijual ke luar daerah, seperti Bukittinggi, Padang dan kota-kota lain di Sumatra Barat. Harga sebungkus Pensi (Gambar 6) yang siap dimakan adalah Rp 2.000. Harga ini bisa berubah menjadi Rp 5.000, bila pembeli terlihat sebagai pelancong. Gambar 6. Cemilan Pensi yang gurih dan kenyal (Winneke, 2011). Sejak tahun 2010, Cherax yang hidup bebas dan berkembang biak di danau sudah marak diperjualbelikan di pasar sekitar Danau Maninjau dengan harga Rp 25.000/kg. Harga ini jauh lebih murah dibandingkan apabila Cherax yang sama sudah dibawa ke Padang, sehingga harganya menjadi Rp 90.000/kg dan akan meningkat lagi menjadi Rp 150.000/kg apabila sudah mencapai Jabotabek, Jawa Barat (Setiawan, 2010) Kesimpulan Cherax sangat baik sebagai sumber bahan pangan karena kandungan protein dan fosfornya sangat tinggi. Namun, karena harga jualnya yang cukup tinggi, Cherax bukan menjadi pilihan terbaik sebagai sumber makanan bergizi tinggi bagi masyarakat pada umumnya. Kandungan protein pada Tutut tidak sebanyak Cherax, tetapi kandungan mineral dan kolesterolnya menunjukkan bahwa Tutut memiliki nilai gizi yang lebih baik daripada Cherax. Pensi yang sangat populer sebagai makanan yang digemari di daerah Maninjau ternyata memiliki kandungan gizi yang lebih rendah daripada Tutut. Ucapaan Terima Kasih Ucapan terima kasih disampaikan kepada Ibu Ristiyanti Marwoto dan Isnaningsih dari Pusat Penelitian Biologi – LIPI yang telah mengidentifikasi keong dan kerang dari Danau Maninjau untuk penelitian ini. Kegiatan penelitian ini didanai dari Kegiatan Tematik LIPI, Program DIPA 2011. 29 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Daftar Pustaka AOAC. 2005. Official Methods of Analysis of AOAC INTERNATIONAL,18th Edition, Maryland, USA. Chijimatsu, T., I. Tatsuguchi, K. Abe, H. Oda & S. Mochizuki. 2008. A Freshwater Clam (Corbicula fluminea) Extract Improves Cholesterol Metabolism in Rats Fed on a High-Cholesterol Diet. Biosci. Biotechnol. Biochem., 72(10): 25662571. CholesterolinDiet.com.2011. http://www.cholesterolindiet.com/?cholesterolin=abalone. The Cholesterol and Fat Database. Devira. 2009. http://devira123.wordpress.com/2009/12/02/kandungan-nutrisi-adakerang-laut-dan-tiram-mentah/ [2 Desember 2009]. Glaubrecht, M., T. von Rintelen & A. V. Korniushin. 2003. Toward A Systematic Revision of Brooding Freshwater Corbiculidae in Southeast Asia (Bivalvia, Veneroida): On Shell Morphology, Anatomy and Molecular Phylogenetics of Endemic Taxa from Islands in Indonesia. Malacologia, 45(1): 1-40. Muchtadi, D. 1989. Petunjuk Laboratorium Evaluasi Nilai Gizi Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Bogor, Institut Pertanian Bogor. Nurjanah, Zulhamsyah & Kustiyariyah. 2005. Kandungan Mineral dan Proksimat Kerang Darah (Anadara granosa) yang Diambil dari Kabupaten Boalemo Gorontalo. Bul Teknologi Hasil Perikanan. Vol. VIII (2): 15-24. Nurjanah, Kustiariyah & S. Rusyadi. 2008. Karakteristik Gizi dan Potensi Pengembangan Kerang Pisau (Solen spp.) di Perairan Kabupaten Pamekasan Madura. Jurnal Perikanan dan Kelautan. 13(1): 41-51. Nurjanah, A. M. Jacoeb, R. Nugraha, S. Sulastri, Nurzakiah & S. Karmila. 2012. Proximate, Nutrient and Mineral Composition of Cuttlefish (Sepia recurvirostra). Advance Journal of Food Science and Technology 4(4): 220224. Okuzumi, M. & T. Fujii. 2000. Nutritional and Functional Properties of Squid and Cuttlefish. Japan: National Cooperative Association of Squid Processors. Tokyo, Japan. Setiawan, C. 2010. www. lobsterairtawar.com. Bintaro Fish Center. Virjean, P. 2011. Karakteristik Kerang Darah (Anadara granosa). http://id.scribd .com/doc/82754525/jurnal-kerang-darah [24 Maret 2011] Winneke, O. 2011. Gurih-gurih Kenyal si Pensi. http://food.detik.com/read/ 2011/03/23/115804/ 1599389/482/gurih-gurih-kenyal-si-pensi. [23/03/2011] 30 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Evaluasi Kandungan Mikronutrien Pyridoxine (Vitamin B6) pada 32 Aksesi Buah Cabai (Capsicum spp.) Wahyuni*1,2, Ana Rosa Ballester3, Enny Sudarmonowati2, Raoul J. Bino4, Arnaud G. Bovy1 1 Wageningen UR Plant Breeding, 6708 PB Wageningen, The Netherlands 2 Research Center for Biotechnology, Indonesian Institute of Sciences, Jl. Raya Bogor KM.46, Cibinong, 16911 3 Instituto de Agroquímica y Tecnología de Alimentos. Consejo Superior de Investigaciones Científicas (IATA-CSIC). Avenida Agustín Escardino 7, 46980 Paterna (Valencia), Spain 4 Wageningen University, Laboratory of Plant Physiology, Arboretumlaan 4, 6703 BD Wageningen, The Netherlands *E-mail: wahyu004@gmail.com ABSTRAK Cabai adalah salah satu komoditas sayuran terpenting dan strategis di Indonesia maupun di dunia, selain kentang dan tomat. Buah cabai adalah konstituen utama dalam diet masyarakat yang digunakan sebagai pelengkap bahan utama makanan, bumbu makanan sehari-hari, serta sebagai bahan industri farmaka dan kosmetika. Buah cabai memiliki kandungan nutrisi yang penting untuk kesehatan tubuh, seperti vitamin C, E dan A, senyawa flavonoid, karotenoid dan kapsaisinoid. Senyawa-senyawa ini berfungsi sebagai antioksidan untuk melawan radikal bebas dan beberapa penyakit degeneratif. Selain itu, buah cabai dipercaya mengandung mikronutrien lain seperti pyridoxine (vitamin B6). Vitamin B6 berperan sebagai koenzim dalam metabolisme senyawa primer tubuh seperti asam amino, glikogen dan lipid. Namun data penelitian mengenai kandungan vitamin B6 pada buah cabai masih sangat kurang. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran secara ilmiah mengenai kandungan vitamin B6 pada buah cabai. Buah matang dari 32 jenis cabai dievaluasi kandungan pyridoxine dengan menggunakan HPLC sistem yang terhubung dengan detektor UV dan flourescence. Hasil menunjukkan bahwa kandungan vitamin B6 bervariasi di antara 32 jenis cabai. Konsentrasi vitamin ini berkisar dari level yang sangat rendah (tidak terdeteksi sistem detektor) hingga 0.013 mg/100 g berat basah buah pada Capsicum chinense RU 72-241. Sedangkan pada buah cabai yang berasal dari jenis komersial, seperti cabai merah keriting, cabai merah besar dan paprika, rata-rata kandungan vitamin B6 berkisar 0.004 mg/100 g berat basah buah. Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa buah cabai sangat potensial sebagai salah satu sumber vitamin B6 alami dan dapat berkontribusi dalam pemenuhan asupan mikronutrien tubuh jika dikonsumsi sehari-hari. Kata Kucni: buah cabai, kandungan nutrisi, vitamin B6 31 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Pengantar Cabai (Capsicum) adalah anggota Famili Solanaceae yang menjadi salah satu komoditas sayuran terpenting dan mempunyai peran ekonomi yang sangat strategis di Indonesia maupun di dunia, selain kentang dan tomat. Nilai produksi cabai di Indonesia merupakan yang ke empat di dunia, dengan nilai produksi mencapai 1,4 ribu ton pada tahun 2010 (FAO, 2012). Berdasarkan morfologi bunga, seperti bentuk kelopak dan jumlah serta letak bunga, genus Capsicum diklasifikasikan menjadi 25 spesies atau lebih (Barboza et al. 2005; Basu and De 2003). Lima di antara 25 spesies yaitu Capsicum annuum, Capsicum chinense, Capsicum frutescens, Capsicum baccatum dan Capsicum pubescens telah didomestikasi secara luas dan menghasilkan berbagai macam kultivar. Buah cabai merupakan salah satu sumber nutrisi yang sangat baik di antara jenis sayuran yang lain, terutama karena memiliki kandungan metabolit yang dapat menunjang kesehatan tubuh, seperti vitamin-vitamin (C, E dan A), senyawa flavonoid, karotenoid dan kapsaisinoid (Howard and Wildman 2007; Wahyuni et al. 2011; Wahyuni et al. 2013). Senyawa-senyawa ini sudah dibuktikan berfungsi sebagai antioksidan untuk melawan radikal bebas dan beberapa penyakit degeneratif, seperti kanker dan arterosklerosis (Padayatty et al. 2003; van Poppel & van den Berg, 1997). Selain itu, buah cabai mengandung mikronutrien yang lain seperti vitamin B6 (pyridoxine). Vitamin B6 merupakan nutrient yang esensial sebagai koenzim pada reaksi kimia yang terjadi di dalam tubuh. Selain itu vitamin ini membantu pembentukan heme pada sel darah merah dan berperan penting dalam metabolisme energi (Fitzpatrick et al. 2007). Kandungan beberapa nutrisi di atas, seperti vitamin C, E dan A bervariasi pada buah dari kultivar cabai yang berbeda (Hornero-Mendez et al., 2002; Osuna-Garcia et al., 1998; Topuz and Ozdemir, 2007). Variasi tersebut dapat dipengaruhi oleh genotipe, faktor lingkungan, tingkat kematangan buah (Conforti et al., 2007; Daood et al., 1996; Lee et al., 2005). Saat ini informasi yang lengkap mengenai kandungan vitamin B6 di plasma nutfah cabai masih sangat kurang. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran secara ilmiah mengenai kandungan vitamin B6 pada buah cabai dari 32 aksesi, yang terdiri dari kultivar hasil pemuliaan, landrace, dan kultivar liar. Aksesi cabai ini terpilih berdasarkan variasi asal daerah benih, karakteristik morfologi seperti bentuk, warna dan ukuran buah, serta tingkat kepedasan buah. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya variasi konsentrasi vitamin B6 di buah cabai dari 32 aksesi. Informasi ini dapat dijadikan sumber pengetahuan mengenai kultivar cabai dengan kandungan vitamin B6 yang tinggi yang dapat digunakan sebagai sumber genetik untuk perbaikan sifat kultivar melalui program pemuliaan tanaman. Bahan dan Metode Bahan Penelitian ini menggunakan 32 aksesi Capsicum yang berasal dari koleksi benih the Plant Research International (PRI) dan the Centre for Genetic Resources, the Netherlands (CGN). Dari keseluruhan aksesi, 17 aksesi adalah C. annuum, 9 aksesi adalah C. chinense, 4 aksesi dari C. baccatum dan 2 aksesi berasal dari C. frutescens. 32 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Ke 32 aksesi di pilih berdasarkan morfologi buah dan asal benih aksesi (Tabel 1 dan Gambar 1). Tanaman cabai dipelihara pada media rock wool di rumah kaca dengan kondisi lingkungan dan irigasi yang terkontrol. Penanaman di mulai sejak dari bulan Desember 2007 sampai bulan Juni 2008 di Wageningen, Belanda. Tanaman dirancang secara acak pada 2 blok. Masing-masing blok terdiri dari 32 aksesi cabai yang disusun dalam 1 plot per 4 tanaman. Sekitar 10 sampai 50 buah (tergantung ukuran buah) cabai yang berasal dari 2 tanaman per plot dari setiap aksesi dipanen pada bulan Juni 2008. Bagian perikarp buah dipisahkan dari plasenta dan bijinya, dibekukan langsung pada N2 cair, digerus dan disimpan pada suhu -80°C sampai akan dianalisis. Metode Ekstraksi vitamin B6 dilakukan dengan mencampurkan 500 mg perikarp buah beku yang telah digerus dengan 2 ml larutan pengekstrak dingin (5% asam meta-fosforik dan 1 mM diethylenetriaminepentaacetic acid; DTPA). Ekstrak tersebut kemudian divorteks, diinkubasi pada es selama 5 menit dan disonikasi selama 15 menit. Kemudian ekstrak dipresipitasi dengan mensentrifusnya pada kecepatan 2500 rpm selama 10 menit dan disaring dengan filter polytetrafluoroethylene (PTFE) 0.2 µm. Analisis dilakukan dengan sistem HPLC-PDA (Waters) menggunakan kolum YMCPro C18 (YMC Europe GmbH; 150 x 3.9 mm) dan dikondisikan pada suhu 30°C. Pyridoxine dipisahkan menggunakan gradient flow 50% asetonitril:50% buffer fosfat 50mM dengan kecepatan 1 ml/min. Pyridoxine terdeteksi setelah 9 menit pada gradient flow. Kolum kemudian dibilas dengan 100% asetonitril setelah 17 menit. Kuantifikasi pyridoxine dilakukan dengan membandingkan luas area puncak pada panjang gelombang 290 nm dengan kurva kalibrasi senyawa referens pyridoxine (Merck; Darmstad, Germany). Gambar 1. Variasi morfologi buah dari beberapa aksesi Capsicum 33 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Hasil dan Pembahasan Analisis kandungan pyridoxine (vitamin B6) pada perikarp buah 32 aksesi cabai menunjukkan adanya variasi konsentrasi vitamin B6 (Tabel 1). Konsentrasi pyridoxine berkisar dari level yang sangat rendah (tidak terdeteksi sistem detektor) hingga mencapai level tertinggi 0.013 mg/100 g berat basah buah pada Capsicum chinense RU 72-241. Level vitamin B6 yang sangat rendah dideteksi pada 14 aksesi (Tabel 1). Variasi konsentrasi vitamin ini tidak terkait dengan variasi morfologi buah ataupun asal negara aksesi cabai. Pada aksesi cabai komersial dengan tipe buah keriting, seperti pada C. annuum Jatilaba, Laris HS dan I2Tit Super, dan tipe buah paprika, seperti pada C. annuum Yolo Wonder, Keystone Resistant Giant, Bruinsma Wonder dan California Wonder, rata-rata kandungan vitamin B6 yang terdeteksi adalah sekitar 0.004 mg/100 g berat basah buah. Keseragaman pada kandungan vitamin B6 ini mungkin disebabkan karena aksesi komersial tersebut adalah aksesi yang merupakan hasil domestikasi, di mana sifat-sifat tertentu yang diinginkan akan dipertahankan dan sifat-sifat yang tidak diingikan terseleksi dan hilang selama proses pemuliaan tanaman. Dan hilangnya beberapa sifat pada suatu kultivar mengurangi variasi yang ada pada plasma nutfah cabai, termasuk variasi genetik yang mengatur proses biosintesis metabolit sekunder seperti pyridoxine (Djian-Caporilano et al. 2007). Jumlah asupan vitamin B6 yang direkomendasikan (RDI = recommended daily intake) untuk orang dewasa adalah 1,3 mg/hari (Food and Nutrition Board, IOM, 2012). Kandungan pyridoxine pada cabai komersial ataupun pada C. chinense RU 72-241 tidak mencukupi nilai RDI yang disarankan, namun nilai tersebut dapat tercukupi dari jenis buah dan sayuran lain yang dikonsumsi bersama dengan cabai setiap hari. Secara umum, kandungan vitamin B6 pada sayuran memang sangat kecil, seperti pada selada hijau dan bayam yang memiliki konsentrasi yang hampir sama dengan konsentrasi yang terdeteksi pada cabai, yaitu mencapai 0.008 – 0.0016 mg/100 g berat basah buah (Santos et al. 2012). Hal ini menunjukkan bahwa cabai sangat potensial sebagai sumber vitamin B6. Pada program pemuliaan tanaman, informasi mengenai aksesi cabai yang memiliki nutrisi tinggi, seperti vitamin B6, sangat berguna untuk perbaikan sifat dari kultivar cabai komersial yang telah ada. Perbaikan sifat dilakukan dengan persilangan antara kultivar komersial dengan kultivar kaya nutrisi, sehingga menghasilkan kultivar baru dengan kandungan nutrisi yang lebih baik. 34 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Tabel 1. Konsentrasi vitamin B6 pada 32 aksesi cabai No. Spesies 1 2 C. annuum C. chinense 3 C. chinense 4 5 6 7 C. annuum C. annuum C. annuum C. annuum 8 C. annuum 9 10 11 12 13 14 C. annuum C. annuum C. annuum C. annuum C. annuum C. annuum C. baccatum var. baccatum 15 16 C. chinense 17 C. chinense 18 C. chinense 19 20 21 C. annuum C. annuum C. annuum 22 C. annuum 23 C. annuum 24 25 26 27 28 29 C. chinense C. chinense C. chinense C. chinense C. frutescens C. frutescens C. baccatum var. pendulum C. baccatum var. pendulum C. baccatum var. pendulum 30 31 32 I2 Tit super I1 PI 281428 I1 PI 315023 (Mishme Black) Laris HS Jatilaba Bruinsma Wonder PBC 473 - none - cayenne PBC 535 - IR - 12x1cm cayenne Bisbas California Wonder 300 Keystone Resistant Giant Long Sweet Sweet Banana Yolo Wonder L Indonesia Surinam Warna buah matang merah merah Peru coklat 0 0 Indonesia Indonesia Netherlands SriLanka merah merah merah merah 0.0031 0.0038 0.0032 0.0049 0.0005 0.0001 0.0001 0.0004 SriLanka merah 0.0035 0.0010 Yemen USA USA Zambia USA USA kuning merah merah tua merah merah merah 0.0100 0.0018 0.0017 0.0036 0.0018 0.0037 0.0002 0.0004 0.0002 0.0003 0.0000 0.0017 No. 1553 Bolivia merah 0.0035 0.0001 Peru merah 0 0 USA coklat 0 0 Netherlands coklat 0 0 Jamaica Mexico USA merah merah coklat 0.0058 0.0057 0.0016 0.0018 0.0003 0.0009 Mexico merah 0 0 Mexico merah 0 0 n.d. Surinam Brazil Brazil Indonesia USA coklat tua merah salmon oranye merah merah 0.0052 0 0 0.0134 0 0 0.0031 0 0 0.0002 0 0 Chile merah 0 0 n.d. merah 0 0 Brazil merah 0 0 Nama aksesi Negara asal Miscucho colorado; PI 152225; 1SCA no.6 No.4661; PI 159236 No.4661 Selection; PI 159236 Selection AC 1979 CM 331; Criollos de Morelos Sweet Chocolate Chili Serrano; PI 281367; No. 999 Chili de Arbol; PI 281370; No. 1184 AC 2212 No.1720; PI 281426; 1GAA RU 72-194 RU 72-241 Lombok Tabasco Aji Blanco Christal; CAP 333 RU 72-51 Konsentrasi (mg/100 g berat basah buah) 0.0040 0 Standard deviasi 0.0007 0 n.d. : no data Kesimpulan Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa kandungan pyridoxine (vitamin B6) pada buah cabai bervariasi di antara 32 aksesi yang diuji. Konsentrasi vitamin B6 tertinggi adalah 0.013 mg/100 g berat basah buah pada aksesi C. chinense RU 72-241. Untuk selanjutnya, informasi yang diperoleh dari penelitian ini sangat berguna untuk program perakitan kultivar baru dengan target meningkatkan kandungan nutrisi pada buah cabai. 35 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Ucapan terima kasih Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada the Priority Programme of the Indonesia–Netherlands Koninklijke Nederlandse Akademie van Wetenschappen (SPIN KNAW) INDOSOL (05-PP-21) yang telah membiayai penelitian ini. Kami juga mengucapkan terim kasih kepada the Centre for Genetic Resources, the Netherlands (CGN) yang telah menyediakan benih untuk penelitian ini. Daftar Pustaka Barboza, G.E, Bianchetti, L.D.B & Lammers, T.G. 2005. Three new species of Capsicum (Solanaceae) and a key to the wild species from Brazil. Syst. Bot. 30 (4):863-871. Basu, S.K. & De, A.K. 2003. Capsicum: historical and botanical perspectives. In: De, A.K. (ed) Capsicum: The genus Capsicum, vol 33. Medicinal and aromatic plants - industrial profiles. Taylor & Francis, Ltd., London, pp 1-15. FAO. 2012. http://faostat.fao.org/site/567/DesktopDefault.aspx?PageID=567#ancor. Diakses 22 December 2011. Conforti, F., Statti, G.A. & Menichini, F. 2007. Chemical and biological variability of hot pepper fruits (Capsicum annuum var. acuminatum L.) in relation to maturity stage. Food Chem. 102 (4): 1096-1104. Daood, H.G., Vinkler, M., Markus, F., Hebshi, E.A. & Biacs, P.A. 1996. Antioxidant vitamin content of spice red pepper (paprika) as affected by technological and varietal factors. Food Chem. 55 (4): 365-372. Djian-Caporilano, C., Lefebvre, V., Sage-Daubeze, A.M. & Palloix, A. 2007. Capsicum. In: Singh RJ (ed) Genetic Resources, Chromosome Engineering, and Crop Improvement: Vegetable Crops, vol 3. CRC Press, Boca Raton, pp 185-243. Fitzpatrick, T.B., Amrhein, N., Kappes, B., Macheroux, P., Tews, I. & Raschle, T. 2007. Two independent routes of de novo vitamin B6 biosynthesis: Not that different after all. Biochem. J. 407: 1–13. Food and Nutrition Board, Institute of Medicine, National Academies. Dietary Reference Intakes (DRIs): Recommended Dietary Allowances and Adequate Intakes, Vitamins. http://iom.edu/Activities/Nutrition/SummaryDRIs/~/media/Files/Activity%20 Files/Nutrition/DRIs/RDA%20and%20AIs_Vitamin%20and%20Elements.pd f (diakses 1 Oktober 2012). Hornero-Mendez, D., Costa-Garcia, J. & Minguez-Mosquera, M.I. 2002. Characterization of carotenoid high-producing capsicum annuum cultivars selected for paprika production. J. Agric. Food Chem. 50 (20): 5711-5716. Howard, L.R. & Wildman, R.E.C. 2007. Antioxidant vitamin and phytochemical content of fresh and processed pepper fruit (Capsicum annuum). In: Wildman REC (ed) Handbook of Nutraceuticals and Functional Foods. 2nd edn. CRC Press, Boca Raton, pp 165-191. 36 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Lee, J.J., Crosby, K.M., Pike, L.M., Yoo, K.S. & Leskovar, D.I. 2005. Impact of genetic and environmental variation on development of flavonoids and carotenoids in pepper (Capsicum spp.). Sci. Hortic. 106 (3): 341-352. Osuna-Garcia, J.A., Wall, M.M. & Waddell, C.A. 1998. Endogenous levels of tocopherols and ascorbic acid during fruit ripening of New Mexican type chile (Capsicum annuum L.) cultivars. J. Agric. Food Chem. 46 (12): 50935096. Padayatty, S.J., Katz, A., Wang, Y., Eck, P., Kwon, O., Lee, J.-H., Chen, S., Corpe, C., Dutta, A., Dutta, S.K. & Levine, M. 2003. Vitamin C as an antioxidant: Evaluation of its role in disease prevention. J. Am. Coll. Nutr. 22 (1):18-35. Santos, J., Mendiola, J.A., Oliveira, M.B.P.P., Ibáñez, E. & Herrero, M. 2012. Sequential determination of fat- and water-soluble vitamins in green leafy vegetables during storage. J. Chromatogr. A. 1261 :179-188. doi:http://dx.doi.org/10.1016/j.chroma.2012. 04.067 Topuz, A. & Ozdemir, F. 2007. Assessment of carotenoids, capsaicinoids and ascorbic acid composition of some selected pepper cultivars (Capsicum annuum L.) grown in Turkey. J. Food Compos. Anal. 20 (7): 596-602. van Poppel, G. & den Berg, H. 1997. Vitamins and cancer. Cancer Letters. 114(12): 195-202. Wahyuni, Y., Ballester, A.R., Sudarmonowati, E., Bino, R.J. & Bovy, A.G. 2011. Metabolite biodiversity in pepper (Capsicum) fruits of thirty-two diverse accessions: Variation in health-related compounds and implications for breeding. Phytochemistry 72 (11-12):1358-1370. Wahyuni, Y., Ballester, A.R., Sudarmonowati, E., Bino, R.J. & Bovy, A.G. 2013. Secondary metabolites of Capsicum species and their importance in the human diet. J. Nat. Prod. 76 (4):783-793. 37 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Peluang Pengembangan Pangan Sagu Sebagai Makanan Sehat Bambang Hariyanto*1, Indah Kurniasari2, Widya Puspantari3, dan Agus Tri Putranto4 Peneliti dan Perekayasa Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Gedung BPPT II, Lantai 17 Jakarta Pusat *Email : bambanghar54@yahoo.com ABSTRAK Saat ini Indonesia menempati urutan ke 4 dunia dari jumlah pengidap penyakit diabetes. Selama ini makanan dari sagu yang secara tradisionil disebut “papeda” sudah terbiasa dikonsumsi oleh masyarakat Papua, Maluku dan daerah penghasil sagu lainnya. Data empiris menunjukkan hubungan masyarakat yang mengkonsumsi sagu dengan penyakit diabetes belum diperoleh namun secara empiris masyarakat Papua dan Maluku jarang yang mengidap diabetes. Tujuan penulisan makalah ini adalah melihat peluang pangan berbasis sagu yang dibuat makaroni yang memiliki IG rendah untuk para penderita diabetes. Metoda yang digunakan adalah membuat makaroni sagu dengan metoda ekstruder dan diuji IG ke panelis. Selanjutnya dilakukan analisa SWOT untuk melihat pengembangannya ke depan. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa IG macaroni sagu mencapai 28 dan nilai ini termasuk golongan IG rendah. Secara umum makanan berbasis sagu memiliki kisaran IG antara 28-85. Nilai IG dipengaruhi oleh proses pengolahannya. Peluang untuk membuat makanan sehat berbasis sagu sangat terbuka karena Indonesia memiliki potensi sagu yang besar. Hambatan yang dihadapi untuk membuat pangan kesehatan berbasis sagu terletak pada pasokan bahan baku sagu yang kontinyu dan kualitas yang standar. Kata Kunci : makanan sehat, peluang, pengembangan, pangan sagu Pengantar Perubahan gaya hidup dan pola konsumsi pangan masyarakat berdampak terhadap peningkatan penyakit degeneratif seperti diabetes, penyakit jantung, dan hipertensi. Diabetes merupakan satu dari empat penyakit tidak menular tertinggi yang berakibat pada kematian. Hasil riset kesehatan dasar tahun 2007 menunjukkan, diabetes merupakan penyebab kematian nomor enam dari seluruh kematian pada semua kelompok umur. Jika tidak ada upaya serius untuk mencegah, menangani, dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan penyakit ini, organisasi kesehatan dunia (WHO) memperkirakan jumlah penyandang diabetes di Indonesia akan melonjak drastis. Bila di tahun 2000 jumlah penyandangnya sekitar 8,4 juta, diprediksi akan mencapai 21,3 juta jiwa pada tahun 2030. Kondisi ini membuat Indonesia menduduki peringkat keempat setelah Amerika Serikat, Cina, dan India di antara negara-negara yang memiliki penyandang diabetes terbanyak, dengan populasi penduduk terbesar di dunia (Aditama TY, 2012). Jumlah penduduk Indonesia golongan menengah terus berkembang sejalan dengan pendapatan penduduk Indonesia yang meningkat. Seperti yang dilaporkan oleh 39 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Kordinator Menteri Perekonomian pendapatan penduduk Indonesia mencapai US $ 4000. Kondisi ini akan memicu tentang pola hidup serta pola makannya. Berbagai data menunjukkan bahwa semakin maju perekonomian suatu bangsa maka akan mempengaruhi pola hidup serta mempengaruhi pola makannya. Kondisi ini juga akan berlanjut dengan semakin banyaknya penyakit yang di derita oleh masyarakat terutama di perkotaan yang cenderung dengan kehidupan yang serba cepat dan instan. Termasuk di dalamnya juga penyakit yang berkembang. Dewasa ini penyakit yang berkembang meliputi penyakit jantung, darah tinggi dan penyakit gula. Berkembangnya pola makan cepat ditemui dengan semakin banyaknya restoran fas food atau restoran cepat saji mulai dari Mc Donald, Kentuky dan sebagainya di kotakota besar. Upaya terpenting dalam mencegah timbulnya komplikasi jangka panjang dari diabetes adalah dengan mempertahankan level glukosa dalam darah mendekati normal. Fokus utama dalam manajemen nutrisi untuk penderita diabetes ini adalah dengan mengontrol asupan makanan agar seimbang dengan level insulin dalam tubuh. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melalui pemanfaatan konsep indeks glikemik (IG), yang diperkenalkan oleh David Jenkins di tahun 1980-an. Penggunaan konsep ini dalam mengontrol asupan makanan bagi penderita diabetes telah dianjurkan oleh WHO dan asosiasi diabetes di Eropa, Australia, Afrika Selatan, dan Kanada (FAO, 1998 dan Nantel, 2003). Informasi IG pangan dapat membantu penderita diabetes dalam memilih makanan yang tidak menaikkan kadar gula darah secara drastis, sehingga kadar gula darah dapat dikontrol pada tingkat yang aman. Penggunaan IG makanan ini sangat luas dan tidak hanya ditujukan bagi para penderita diabetes saja. Pengenalan karbohidrat berdasarkan efeknya terhadap kadar glukosa darah dan respons insulin dapat digunakan sebagai acuan dalam menentukan jumlah dan jenis pangan sumber karbohidrat yang tepat untuk meningkatkan dan menjaga kesehatan. Informasi IG bermanfaat bagi semua individu. Pangan dengan IG rendah akan dicerna dan diubah menjadi glukosa secara bertahap dan perlahan-lahan, sehingga puncak kadar gula darah juga akan rendah dan fluktuasi peningkatan kadar gulanya relatif pendek. Hal ini sangat penting bagi para penderita diabetes dalam mengendalikan kadar gula darah. Sebaliknya, olahragawan yang hendak bertanding memerlukan pangan dengan IG tinggi agar pangan yang dikonsumsi segera dikonversi menjadi energi. Individu normal yang masih memerlukan tumbuh-kembang (misal anak-anak) sebaiknya mengonsumsi pangan IG sedang-tinggi. Pangan dengan IG rendah akan membantu mengendalikan rasa lapar, selera makan, dan kadar gula darah. Jadi, pangan dengan IG rendah dapat membantu mengurangi kelebihan berat badan. Pada tahun 1995, telah disusun daftar IG berbagai jenis makanan yang dikumpulkan dari berbagai hasil penelitian di dunia. Daftar ini kemudian direvisi di tahun 2002 sehingga memuat data IG dari 750 jenis makanan dan dipublikasikan oleh FosterPowell K, et al. (2002). Daftar IG ini telah digunakan sebagai referensi di berbagai tulisan ilmiah. Di Indonesia sendiri, daftar IG internasional ini belum banyak dimanfaatkan karena makanan yang banyak tersedia di Indonesia belum tercakup di dalam daftar tersebut. Penelitian mengenai IG pangan lokal khususnya makanan sumber karbohidrat di Indonesia masih sangat terbatas. Beberapa penelitian yang telah dilakukan di antaranya menguji IG untuk satu jenis bahan pangan dengan berbagai 40 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan varietas, seperti pengujian nilai IG beras dari berbagai varietas padi yang dilakukan oleh Indrasari, et al. (2008) dan Argasasmita (2008), atau penelitian mengenai pengaruh proses pengolahan terhadap IG makanan, seperti penelitian Riany YE (2006) yang menguji nilai IG berbagai produk olahan sagu, dan Amalia SN (2011) yang menguji pengaruh pengolahan jagung manis terhadap nilai IG. Tujuan penulisan makalah ini adalah melihat peluang pembuatan pangan sehat berbasis sagu yang memiliki IG rendah yang diperuntukkan untuk penderita diabetes. Bahan dan metoda Bahan Bahan yang digunakanan dalam penelitian ini adalah pati sagu yang dibuat macaroni. Pati sagu berasal dari pengrajin sagu di Bogor. Selanjutnya makaroni sagu tersebut dicobakan ke panelis dengan mengacu prosedur pengujian indeks glikemik. Pembuatan macaroni mengacu pada metoda ekstruder yaitu bahan dilakukan pregelatinasi terlebih dahulu dan selanjutnya di proses dengan peralatan ekstruder. Makaroni yang sudah terbentuk selanjutnya diujikan ke panelis. Metoda Penjaringan calon panelis dilakukan dengan cara sosialisasi verbal (pengumuman) meminta kesediaan calon menjadi subjek dalam penelitian. Panelis dimintai kesediaannya menjadi objek penelitian dan dilengkapi dengan surat pernyataan kesediaan dan inform consent. Setelah penelis untuk obyek penelitian yang memenuhi kriteria terkumpul sebanyak 10 orang, selanjutnya diberikan glukosa murni sebagai referensi dan produk olahan sebagai makanan uji. Prosedur penentuan IG pangan adalah sebagai berikut (Miller,et al., 1997): a. Sebanyak 50 g bahan referensi (glukosa murni) diberikan kepada panelis yang telah menjalani puasa penuh (kecuali air) selama satu malam (sekitar pukul 20.00 sampai pukul 08.00 pagi keesokan harinya). b. Selanjutnya dilakukan pengambilan sampel darah. Sampel darah yang diambil sebanyak 20 mL (finger prick capillary blood sampel method) pada menit ke-0, 15, 30, 45, 60, ke-90, dan ke-120 setelah pemberian pangan uji. Kadar glukosa darah diukur menggunakan glukometer. Caranya dengan menempelkan sampel darah yang telah diambil pada alat tersebut, kemudian alat tersebut dengan cepat akan mengukur dan memberikan hasilnya. c. Pada waktu yang berlainan, hal yang sama dilakukan dengan memberikan makanan uji yang akan ditentukan IG-nya (yang mengandung 50 gram available carbohydrate) kepada panelis. d. Nilai kadar glukosa darah yang diperoleh kemudian diplotkan menjadi sebuah grafik dengan sumbu x adalah waktu pengukuran dan sumbu y adalah kadar glukosa darah. Nilai IG kemudian dihitung dengan membandingkan luas daerah dibawah kurva antara pangan sampel (makaroni) dan pangan acuan. Nilai IG akhir adalah nilai rata-rata dari 10 orang relawan tersebut. 41 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Gambar 1. Kurva respons glukosa darah pada pengukuran indeks glikemik makanan: (a) bahan referensi (glukosa); (b) bahan makanan uji Rumus/perhitungan: IG = luas area di bawah kurva respons glukosa darah setelah mendapat makanan uji x 100 luas area di bawah kurva respons glukosa darah setelah mendapat glukosa murni Untuk melihat peluang pengembangannya pangan makaroni sagu tersebut dilakukan dengan metoda SWOT untuk melihat kekuatan, kelemahan, ancaman dan tantangan .Dari hasil analisa SWOT tersebut dilakukan analisis lebih lanjut Pertimbangan makanan dibuat makaroni adalah bahwa saat ini dan saat-saat mendatang makanan bentuk makaroni sangat populer di Indonesia. Hasil dan Pembahasan Ditinjau dari aspek pasar makanan makaroni sagu sebagai makanan sehat sangat besar karena banyak penderita dabetes yang menginginkan kadar gula darahnya ralatif stabil. Ditinjau dari aspek bahan baku Indonesia memiliki poteni sagu yang terluas di dunia dan sampai saat ini belum dimanfaatkan secara maksimal. Dilihat dari aspek teknologi pengembangan pangan makaroni sagu sebagai pangan sehat dapat di mulai dari skala kecil sampai skala besar. Prinsip pembuatan makaroni lebh kearah perlakukan pragelatinasi tehadap patisa guse belum diproses dengan ekstruder. Dalam perhitungan indeks glikemik pangan dibagi alam 3 golongan. Golongan indeks glikemik tinggi adalah pangan dengan nilai indeks glikemik diatas 70, sedangkan untuk pangan indeks gligemik sedang dengan nlai 56-69 dan indeks glikemik rendah dibawah 55. Untuk melihat gambaran nilai indeks glikemik pangan sagu olahan dan dibandingkan dengan IG pangan lain ditunjukkan pada Tabel 1. 42 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Tabel 1. Daftar jenis pangan sagu olahan dan pangan lainnya No Jenis Makanan Nama Makanan Indeks Glikemik 1 Sagu Olahan Sagu serut1) 85 Bagea1) 71 Sinoli1) 70 Papeda1) 63 Bubur sagu1) 53 Sagu lempeng1) 48 Mie sagu2) 28 Makaroni sagu3) 28 2 Sereal Nasi Merah4) 50 Nasi Putih4) 89 Oatmeal instant4) 83 Jagung rebus4) 60 Cornflakes4) 93 3 Pasta Makaroni4) 47 Spageti4) 58 Mie instan2) 47 4 Umbi Talas4) 54 Ubi4) 70 Wortel4) 35 5 Bakery Roti putih4) 71 Roti Hamberger4) 61 Cake pisang4) 55 6 Kacang-kacangan Kacang Tanah4) 7 Kedelai4) 15 Kacang Merah4) 29 Kacang Hitam4) 30 7 Buah-buahan Pisang4) 62 Anggur4) 59 Apel4) 39 Peach4) 42 Pear4) 38 Keterangan : Kriteria Tinggi Tinggi Tinggi Sedang Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Rendah Sedang Sedang Rendah Sedang Rendah Tinggi Sedang Sedang Rendah Rendah Rendah Rendah Sedang Sedang Rendah Rendah Rendah Riany, Y.E. 2006 Rimbawan dan Siagian A. 2004 Hariyanto dkk, 2013 Internet (http://www.glicemicindex.com) Berdasarkan Tabel diatas tampak bahwa bentuk pangan sagu olahan memiliki nilai IG yang bervariasi dari rendah, sedang dan tinggi. Dalam perhitungan indeks glikemik pangan dipengaruh oleh sifat bahan asal dan proses pengolahan yang dilakukan. Sebagai gambaran IG papeda sebesar 63, sedangkan macaroni sagu IG sebesar 28. Perbedaan nilai IG ini salah satunya dipengaruhi proses pengolahan yang berbeda. Bila bentuk pangan olahan sagu tersebut dipetakan dalam peta indek glikemik maka petanya ditunjukkan pada Gambar 2. 43 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Gambar 2. Peta bentuk pangan olahan sagu dan nilai indeks glikemik Bila dilihat dari sisi internal yang meliputi kekuatan dan kelemahan maka diperoleh bahwa a. Potensi sagu tersedia melimpah di Indonsia terutama di Papua dan Maluku b. Teknologi proses sudah dikuasai c. Pasar terbuka lebar dengan meningkatnya golongn menengah keatas d. Semakin sadarnya masyaraat tentang pangan sehat e. Merupakan prodok lokal Indonesia f. Tidak menimbulkan penyakit autis bagi yang mengkonsumsinya g. Jumlah penderita diabet yang terus meningkat Bila ditinjau dari aspek eksternal yang meliputi peluang dan ancaman adalah : a. Jaringan pasar yang belum terbentuk b. Tingkat pendidikan masyarakat yang masih rendah c. Pasokan bahan antara dalam hal ini pati sagu belum terjamin lancar d. Terdapat kesan bahwa bahan baku lokal selalu inferior e. Belum tersedia produk pangan sehat berbahan sagu yang dikenal di pasaran f. Kini masyarakat sudah terbiasa mengkonsumsi bahan pangan berbasis terigu g. Bahan terigu merupakan bahan yang diimpor Berdasarkan analisa kondisi internal dan eksternal maka dapat diambil strategi pengembangan sebaga berikut : a. Mengenalkan pangan sagu dalam bentuk yang lebih dapat diterima masyarakat misalnya mie atau makaroni b. Melakukan edukasi ke masyarakat tentang pangan sehat c. Melakukan sosialisasi bahwa pangan berbasis sagu dapat menyehatkan 44 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan d. e. f. g. Menyediakan bahan baku sagu di pasaran untuk diproses lebih lanjut Memberikan insentif bagi industry yang menggunakan sagu Membuat contoh produk pangan sehat dari sagu dan dikenalkan ke masyarakat Menggandeng industry pangan untuk membuat pangan sehat berbasis sagu dan dikenalkan ke masyarakat Namun dari semua itu konsistensi dan kuatnya komitmen dari pemerintah untuk mengimplementasikan diversifikasi pangan dalam penggunaan bahan pangan lokal menjadi keharusan dan perlu pengawalan. Selama ini terdapat kesan bahwa penggunaan pangan lokal yang memang secara agroklimat maupun secara sosial sudah sesuai dengan masyarakat Indonesia kurang dikembangkan. Oleh sebab itu perencanaan pangan lokal yang baik dan implementasi di lapangan secara serius dan dikawal maka pengembangan pangan lokal akan terwujud. Upaya-upaya penggalakan pangan lokal terus diupayakan agar ketergantungan terhadap pangan impor dapat dikurangi. Bila ketersediaan pangan lokal di pasaran dapat diwujudkan dan produk yang ditawarkan sesuai dengan selera serta adanya manfaat kesehatan terlihat maka pangan lokal seperti sagu tersebut akan dibutuhkan oleh masyarakat. Dengan demikian penggunaan bahan baku impor terigu sedikit demi sedikit dapat dikurangi. Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa: a. Makanan berbasis sagu memiliki kisaran IG antara 28-69 b. IG dipengaruhi oleh proses pengolahannya c. Peluang untuk membuat makanan sehat berbasis sagu sangat terbuka karena Indonesia memiliki potensi sagu yang besar d. Makanan berbentuk makaroni atau mie dari sagu memiliki IG rendah e. Hambatan yang dihadapi untuk membuat pangan kesehatan berbasis sagu terletak pada pasokan bahan baku sagu yang kontinyu dan kualitas yang standar. f. Untuk menggalakan bentuk pangan sagu sebagai pangan sehat maka perlu adanya konsistensi kebijakan dan adanya komitmen yang kuat dari pemerintah. Saran Sebagai saran maka perlu dikembangkan makanan sehat berbasis sagu dan dilengkapi dengan serat misalnya ditambah bekatul dan dibuat dalam bentuk yang instan. Untuk mendorong keunggulan pangan lokal maka informasi potensi sagu dan indek glikemik menjadi sangat penting 45 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Daftar Pustaka Aditama TY. 2012. Diabetes Jadi Ancaman Serius di Indonesia. http://health.kompas.com/read/2012/09/19/14071845/Diabetes.Jadi.Ancaman .Serius.di.Indonesia. diakses tanggal 9 November 2012. http://www.glycemicindex.com/ diakses tanggal 10 Juni 2013 Amalia SN, Rimbawan, Dewi M. 2011. Nilai indeks glikemik beberapa jenis pengolahan jagung manis. J. Gizi dan Pangan 6(1): 36-41. Argasasmita TU. 2008. Karakterisasi sifat fisikokimia dan indeks glikemik varietas beras beramilosa rendah dan tinggi. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor. El, S.N.1999. Determination of Glycemic Index for some breads. J. Food Chem. 67: 67-69. Food and Agriculture Organization of the United Nations/World Health Organization. Carbohydrates in human nutrition. Report of a Joint FAO/WHO expert consultation. FAO Food Nutr Pap. 1998;66:1-140. Foster-Powell K., Holt S.H.A., Brand-Miller J.C. 2002. International table of index and glycemic load values. Am J. Clin. Nutr. 76:5-56. Hariyanto, B, Indah K, Widia P. 2013. Laporan Pengukuran Indeks Glikemik Makaroni Sagu. Laporan Teknis (tidak dipublikasikan). Pusat Teknologi Agroindustri. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Jakarta Indrasari S.D., et.al. 2008. Nilai indeks glikemik beras beberapa varietas padi. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. 27(3): 127-134. Jenkins DJA,Wolever TMS, Jenkins AL, et al. The glycaemic response to carbohydrate foods. Lancet. 1984;2:388-391. Nantel G. Glycemic carbohydrate: an international perspective. Nutr Rev. 2003;61:S34-S39. Riany YE. 2006. Pengaruh pengolahan terhadap indeks glikemik pangan berbahan baku sagu (Metroxylon sp.). Skripsi. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor. Rimbawan dan Siagian.A. 2004. Indeks Glikemik Pangan. Penerbit Swadaya. Jakarta Tjokroprawiro, A. 2001. Diabetes mellitus: klasifikasi, diagnosis, dan terapi. Edisi ketiga. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 46 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Pemanfaatan Fraksi Aktif Ekstrak Aseton Kulit Batang Nangka (Artocarpus heterophyllus Lamk) Sebagai Aditif Alami Anti-Pencoklatan Zackiyah1*, Florentina M.T Supriyanti2, Gebi Dwiyanti3 dan Karima H. Aini4 1,2,3&4 Universitas Pendidikan Indonesia, Jl. Dr. Setiabudi No. 229 Bandung 40154 *Email: mzackiyah@yahoo.com ABSTRAK Penelitian ini bertujuan memanfaatkan fraksi aktif ekstrak aseton kulit batang nangka (Artocarpus heterophyllus Lamk) sebagai bahan aditif anti-pencoklatan. Reaksi pencoklatan enzimatis adalah suatu reaksi oksidasi senyawa fenolik menjadi kuinon yang dikatalisis oleh tirosinase (fenoloksidase) ditandai dengan terbentuknya pigmen coklat seperti halnya terjadi pada kentang setelah dikupas. Reaksi pencoklatan yang tak diinginkan dapat menurunkan kualitas pangan sehingga perlu upaya penambahan bahan aditif yang aman. Dari penelitian sebelumnya telah diketahui bahwa senyawa aktif anti-pencoklatan enzimatis yang terdapat dalam kulit batang nangka, merupakan senyawa flavonoid yang larut dalam aseton. Untuk meningkatkan efektifitas anti-pencoklatan tersebut, dilakukan pemurnian terhadap ekstrak aseton menggunakan kromatografi vakum cair (KVC) dan pengujian aktivitasnya dilakukan secara enzimatis menggunakan teknik spektrofotometri visible. Hasil pemisahan dengan KVC diperoleh delapan fraksi gabungan, fraksi kelima memiliki aktivitas inhibisi tertinggi, yaitu sekitar 98%, fraksi ini diaplikasikan sebagai anti-pencoklatan pada pembuatan tepung kentang. Aplikasi dilakukan terhadap 100 g kentang dengan variasi konsentrasi inhibitor 25, 50, 100, dan 150 mg/l sedangkan optimasi massa dilakukan terhadap 50, 75, 100, 125, dan 150 g kentang pada konsentrasi inhibitor optimum. Uji tingkat kecerahan tepung kentang dilakukan dengan kromameter. Hasil analisis menunnjukkan bahwa kondisi optimum diperoleh pada konsentrasi inhibitor 150 mg/l dan massa 75 g dapat menginhibisi 97% . Tingkat kecerahan tepung kentang meningkat dari L* 63,53, a* 1,40, dan b* 3,54 menjadi L* 65,38, a*1,19, dan b*2,42. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa fraksi aktif ekstrak aseton kulit batang A. heterophyllus Lamk lebih effektif digunakan sebagai bahan aditif makanan alami anti-pencoklatan pada pembuatan tepung kentang. Kata Kunci: anti-pencoklatan, Artocarpus heterophyllus Lamk, flavonoid, kentang. tepung Pengantar Tertuang dalam Undang-undang Republik Indonesia No. 18 tahun 2012 tentang pangan, diantaranya adalah bahwa pangan harus cukup tersedia dan aman untuk dikonsumsi. Dewasa ini banyak sekali penggunaan bahan aditif makanan yang berbahaya bagi kesehatan seperti halnya pada pembuatan tepung kentang sering 47 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan ditambahkan natriumbisulfit sebagai anti-pencoklatan, sementara natriumbisulfit dapat menggangu sistem pernafasan terutama bagi penderita asmatis (Vasile. 2010). Reaksi pencoklatan enzimatis terjadi karena oksidasi senyawa mono dan difenol menjadi kuinon yang dikatalisis oleh fenoloksidase (tirosinase) yang selanjutnya dapat berpolimerisasi membentuk pigmen coklat atau reaksi dengan asam amino atau protein menghasilkan warna coklat. Warna merupakan salah satu penentu mutu pangan (Purwiyanto. 2011), berdasarkan hal tersebut maka perlu dicari bahan aditif anti pencoklatan yang aman bagi kesehatan, diantaranya dari bahan alam tanaman A. heterophyllus Lamk. Penelitian terkait aktivitas inhibisi tirosinase kulit batang tanaman artocarpus sebelumnya telah dilakukan (Rustianingsih, 2007), yaitu uji aktivitas inhibisi tirosinase dari A. heterophyllus (nangka), A. altilis (sukun), dan A. communis (kluwih). Hasil yang diperoleh menunjukan bahwa A.heterophyllus Lamk memiliki aktivitas inhibisi tertinggi dibandingkan dengan tanaman artocarpus lainnya. Selanjutnya dilakukan isolasi inhibitor tirosinase dengan berbagai pelarut dan uji aktivitasnya (Zackiyah, et al, 2011a). Hasil penelitian menunjukan bahwa senyawa aktif anti-pencoklatan merupakan golongan senyawa flavonoid dan pelarut yang menunjukkan aktivitas inhibisi tertinggi adalah aseton. Aplikasi anti-pencoklatan ekstrak aseton terhadap tepung kentang telah dilakukan (Zackiyah, et al. 2011b), hasilnya menunjukan bahwa ekstrak aseton dapat menginhibisi hampir 100% pada konsentrasi ekstrak 0,07% (700 mg/l). Untuk meningkatkan efektifitas anti-pencoklatan, maka dilakukan fraksinasi terhadap ekstrak aseton tersebut. Bahan dan Metode Bahan Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah: serbuk halus kulit batang Artocarpus heterophyllus Lamk, serbuk Mg (merck), HCl pekat (Merck), aseton (Merck), etil asetat (Merck), n-heksan (Merck), dimetilsulfoksida, (DMSO, Sigma), lempeng Kromatografi Lapis Tipis silica gel 60 GF254 (sigma), silica gel 60, 37-70 mesh (Merck), larutan buffer fosfat pH 6,5, L-tirosin (Merck), tirosinase (Sigma), kentang dieng, dan akuades Metode Metode penelitian terdiri dari beberapa tahap, yaitu determinasi tanaman A. heterophyllus, untuk memastikan spesies tanaman tersebut, preparasi sampel, pemisahan fraksi aktif ekstrak aseton anti-pencoklatan (inhibitor tirosinase), dan aplikasi anti-pencoklatan pada pembuatan tepung kentang. Pemisahan fraksi aktif ekstrak aseton terdiri dari, ekstraksi, uji senyawa flavonoid, pemisahan fraksi aktif antipencoklatan dengan metode kromatografi vakum cair, dan uji aktivitas antipencoklatan. Preparasi sampel, kulit batang tanaman A. heterophyllus dibersihkan dan dikeringkan kemudian digiling sampai berbentuk serbuk dengan ukuran 60 mesh. Ekstraksi dilakukan dengan cara maserasi, menggunakan aseton. Ekstrak aseton dievaporasi sehingga didapatkan ekstrak kental. Uji kualitatif senyawa flavonoid 48 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan dilakukan dengan cara menambahkan satu milliliter aseton dan satu gram serbuk Mg satu, dan HCl pekat sebanyak 10 ml. Warna kuning sampai jingga yang dihasilkan menandakan adanya senyawa flavonoid di dalam ekstrak tersebut. Pemisahan fraksi aktif inhibitor tirosinase dilakukan dengan menggunakan kromatografi lempeng tipis (KLT) dan kromatografi vakum cair (KVC). KLT dilakukan untuk menentukan eluen yang cocok yang akan digunakan pada pemisahan dengan KVC. Eluen yang digunakan untuk KLT yaitu heksan : etil asetat (n-heksan 100 %, 9:1, 8:2, 7:3, 6:4, 5:5, 4:6, 3:7, 2:8, 1:9 dan etil asetat 100 %). Berdasarkan hasil KLT dengan menggunakan berbagai pelarut, maka eluen yang digunakan untuk KVC adalah yang menunjukkan pemisahan yang baik. Sebelum dilakukan KVC sampel diimpregnasi terlebih dahulu (sampel dengan silika impreg = 1:2). Fraksi-fraksi yang dihasilkan pada KVC kemudian dilakukan KLT kembali. Fraksi-fraksi yang memiliki pola yang sama digabungkan dan dilakukan uji anti-pencoklatan. Pengujian aktivitas anti-pencoklatan dilakukan dengan metode Miyazawa dan Tamura, (2007), yang telah dimodifikasi. Pada pengujian ini dibuat larutan blanko, kontrol dan sampel dengan komposisi sebagai berikutμ Blanko , 760 μl larutan buffer fosfat 0,1M (pH=6,5), 40 μl DMSO, dan 200 μl akuades. Kontrol, 660 μl larutan buffer fosfat 0,1M (pH=6,5), 40 μl DMSO, 200 μl L-Tirosin, dan 100 μl larutan tirosinase. Sampel , 660 μl larutan buffer fosfat 0,1M (pH=6,5), 40 μl larutan ekstrak sampel, 200 μl L-tirosin, dan 100 μl larutan tirosinase. Masing-masing larutan blanko, kontrol dan sampel dimasukkan ke dalam eppendorf microsentrifuge tube, untuk larutan tirosinase dimasukkan dalam eppendorf microsentrifuge tube yang lain, masing-masing diinkubasi selama 15 menit pada suhu 37oC. Setelah inkubasi, larutan tirosinase dimasukkan ke dalam larutan kontrol dan sampel kemudian masing-masing larutan blanko, kontrol dan sampel diinkubasi selama satu jam pada suhu 37oC. Aktivitas antipencoklatan ditentukan dengan mengukur absorbansi sisa hasil reaksi menggunakan teknik spektrofotometri Visible pada panjang gelombang 475 nm. Dari absorbansi yang diperoleh, dapat diketahui persen anti-pencoklatan menggunakan rumus sebagai berikut : % anti-pencoklatan = [(A-B)/A] x 100 % , dimana A adalah absorbansi larutan tanpa sampel (larutan buffer fosfat 0.1 M, larutan L-tirosin, DMSO dan larutan tirosinase) dan B adalah absorbansi dengan penambahan larutan fraksi aktif (larutan fraksi aktif, larutan buffer fosfat 0.1 M, larutan L-tirosin, DMSO, dan larutan tirosinase). Aplikasi anti-pencoklatan pada tepung kentang mengikuti metode Lee et al. (2001) yang dimodifikasi. Sebanyak 100 g kentang dicampurkan dengan 100 ml larutan fraksi aktif ekstrak aseton dengan variasi konsentrasi (25, 50, 100 dan 150 mg/l) kemudian diblender sehingga diperoleh campuran bubur kentang. Campuran dipisahkan antara crude dan filtratnya. Filtrat tersebut dibiarkan mengenap sehingga akan terpisah antara padatan dan supernatannya. Supernatan diinkubasi selama satu jam pada suhu 37oC lalu diuji aktivitas anti-pencoklatan dengan cara mengukur nilai absorbansinya menggunakan dengan teknik spektrometri visible pada panjang gelombang 475 nm. Uji Tingkat Kecerahan Tepung Kentang dilakukan dengan cara yang sama seperti di atas dengan variasi massa 50, 75, 100, 125, dan 150 g dicampurkan dengan 100 ml larutan fraksi aktif ekstrak aseton pada konsentrasi anti-pencoklatan optimum. Endapan hasil pengenapan dicuci dengan akuades, dikeringkan dan dihaluskan sehingga 49 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan diperoleh tepung kentang. Tepung kentang tersebut diuji tingkat kecerahannya menggunakan kromameter. Hasil dan Pembahasan Hasil Preparasi sampel Hasil determinasi tanaman adalah sebagai berikut: nama suku / familia : Moraceae, nama jenis / species :Artocarpus heterophyllus Lamk, sinonim :Artocarpus philippensis Lamk., Artocarpus brasiliensis Gomez, Artocarpus maxima Blanco, nama umum : Jackfruit (Inggris), nangka (Indonesia). Pada tahap ini dari tujuh kilogram kulit batang A. heterophyllus basah setelah dikeringkan dan digiling diperoleh serbuk kulit batang kering sebanyak 2,2 kg. Ekstraksi Kulit Batang A. heterophyllus Lamk Ekstraksi dilakukan dengan cara maserasi menggunakan aseton 2 kali 24 jam, Aseton bersifat polar sehingga mampu melarutkan senyawa organik yang polar terutama flavonoid yang berperan sebagai anti-pencoklatan akan terekstrak. Dari satu kilogram serbuk kulit batang hasil maserasi diperoleh ekstrak aseton kulit batang sebanyak 4650 mL, selanjutnya pelarut diuapkan menggunakan rotary vaccum evaporator diperoleh ekstrak sebesar 2,99%. Identifikasi Flavonoid secara Kualitatif Tanaman A. heterophyllus mengandung senyawa flavonoid yaitu senyawa artocarpanone yang berpotensi sebagai bioaktif inhibitor tirosinase, maka pada penelitian ini dilakukan identifikasi flavonoid secara kualitatif. Hasil identifikasi flavonoid terjadi perubahan warna dari warna coklat menjadi kuning. Pada dentifikasi flavonoid akan menunjukan warna merah sampai jingga, jika senyawa tersebut adalah flavon, menunjukan warna merah tua, jika senyawa tersebut adalah flavonol atau flavonon, sedangkan warna hijau sampai biru jika senyawa aglikon atau glikosida. Berdasarkan hasil diatas, dapat disimpulkan bahwa kulit batang tanaman A. heterophyllus yang diteliti mengandung flavon. Pemisahan Fraksi Aktif ekstrak aseton Pemisahan dilakukan untuk mendapatkan senyawa yang lebih murni yang mempunyai aktivitas inhibisi yang lebih tinggi sehingga anti-pencoklatan akan lebih efektif. Metode pemisahan dilakukan dengan kromatografi vakum cair (KVC). Pelarut yang cocok pada KVC dilakukan berdasarkan hasil kinerja kromatografi lempeng tipis (KLT). Pelarut yang digunakan pada KLT adalah heksan 100 %, heksan : etil asetat = 9:1, 8:2, 7:3, 6:4, 5:5, 4:6, 3:7, 2:8, 1:9 dan etil asetat 100 %. Pelarut yang digunakan adalah yang tingkat kepolarannya menaik sehingga senyawa-senyawa yang terdapat dalam fraksi dapat terpisah berdasarkan tingkat kepolarannya. Penggunaan pelarut heksan dan etil asetat sebagai eluen diharapkan harga Rf terletak antara 0,2-0,8 untuk memaksimalkan pemisahan. Fasa diam yang digunakan dalam analisis ini yaitu 50 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan lempeng silica gel GF. Penampakan noda bercak hasil elusi dilakukan dengan melihat dibawah sinar UV 254 nm. Berdasarkan pola KLT, pemisahan yang baik yaitu pada perbandingan heksan : etil asetat = 8:2, 7:3, 4:6, 2:8, dan etilasetat 100 %. Pemisahan menggunakan KVC pada perbandingan heksan : etil asetat = 8:2 dilakukan sebanyak empat kali, 7:3 dilakukan sebanyak empat kali, 4:6 dilakukan sebanyak tiga kali, 2:8 dilakukan sebanyak dua kali dan etil asetat 100 % dilakukan sebanyak dua kali, masing-masing digunakan 100 ml pelarut. Ekstrak aseton yang digunakan untuk KVC pertama sebanyak 10,152 g dan yang kedua sebanyak 9,634 g. Sebelum dilakukan pemisahan dengan KVC sampel terlebih dahulu diimpregnasi menggunakan pelarut aseton dan silika impreg, dengan perbandingan sampel : silika impreg = 1:2. Hal ini dilakukan agar sampel dapat terelusi dengan rata dalam kolom. Fasa diam yang digunakan untuk KVC yaitu silica gel GF254, sebanyak 100 g dalam kolom berdiameter 7 cm. Elusi diawali dengan eluen yang paling non-polar, pelarut ini akan membawa senyawa-senyawa yang kurang terikat pada adsorben (yang paling nonpolar). Sepanjang proses elusi, komposisi eluen dapat divariasi dengan jalan menambahkan secara gradien pelarut yang lebih polar. Dengan demikian, senyawa-senyawa akan terelusi ke luar kolom berdasarkan tingkat kepolarannya. Hasil KVC pertama dan kedua masing-masing diperoleh 15 fraksi. Fraksi hasil KVC dipisahkan dari pelarutnya dengan cara diuapkan dalam lemari asam. Setiap fraksi dianalisis dengan KLT menggunakan perbandingan eluen heksan : etil asetat = 3 : 7 untuk menggabungkan fraksi-fraksi yang mempunyai nilai Rf yang sama. Deteksi noda hasil KLT dilakukan dibawah sinar UV 254 nm. Kromatogram Fraksi hasil KVC pertama dan kedua digabungkan, kemudian dianalisis dengan KLT kembali menggunakan perbandingan eluen heksan : etil asetat = 3 : 7. Hal tesebut dilakukan untuk memastikan mendapat pola kromatogram yang sama antara fraksi hasil KVC pertama dan kedua. Hasil dari pola kromatogram fraksi KVC yang digabungkan berdasarkan nilai Rf yang sama, didapatkan 8 fraksi gabungan. Fraksi A (fraksi 1-3) sebanyak 4,335 g, fraksi B (fraksi 4-6) sebanyak 2,656 g, fraksi C (fraksi 7-8) sebanyak 1,834 g, fraksi D (fraksi 9) sebanyak 0,633 g, fraksi E (fraksi 10) sebanyak 1,854 g, fraksi F (fraksi 11-12) sebanyak 2,678 g, fraksi G (fraksi 13-14) sebanyak 1,156 g dan fraksi H (fraksi 15) sebanyak 1,285 g. Kedelapan fraksi tersebut dilakukan KLT kembali menggunakan perbandingan eluen diklorometan : methanol = 9 :1. Kromatogram hasil KLT dari delapan fraksi gabungan pada fraksi C, D, E diperkirakan sudah terjadi pemisahan yang baik. Oleh karena itu fraksi C, D, E selanjutnya dilakukan uji inhibisi untuk mengetahui fraksi mana yang memiliki persen aktivitas antipencoklatan terbaik. Uji Aktivitas anti-pencoklatan Fraksi Aktif Ekstrak Aseton Pengujian aktivitas anti-pencoklatan ini dilakukan untuk mengetahui aktivitas inhibisi reaksi tirosin-tirosinase dengan adanya inhibitor anti-pencoklatan, dalam hal ini inhibitor yang digunakan yaitu fraksi C, D dan E. Untuk mengetahui aktivitas antipencoklatan dilakukan pengukuran dengan teknik spektrofotometri visible pada panjang 51 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan gelombang 475 nm, metode ini berdasarkan pada penyerapan sinar tampak (visible) terhadap suatu larutan berwarna. Reaksi antara tirosin dan tirosinase ini menghasilkan senyawa dopakrom yang berwarna coklat, dimana reaksi ini optimum pada suhu 37oC, yaitu suhu optimum dari tirosinase. Kuantitas senyawa dopakrom yang dihasilkan dari reaksi ini dapat dilihat dari intensitas warnanya. Semakin tinggi intensitas warnanya maka semakin besar senyawa dopakrom yang dihasilkan, begitu pula sebaliknya. Penambahan inhibitor pada pengujian ini dimaksudkan untuk mengurangi senyawa dopakrom yang terbentuk, sehingga intensitas warna yang dihasilkan akan semakin rendah. Hasil uji aktivitas antipencoklatan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil uji aktivitas anti-pencoklatan fraksi C, D dan E pada konsentrasi 100 mg/l. No Sampel Aktivitas anti-pencoklatan (%) 1 Fraksi C 95,7 2 Fraksi D 87,7 3 Fraksi E 98,4 Dari Tabel 1 tersebut di atas bahwa fraksi E memiliki persen inhibisi tertinggi yaitu sebesar 98,4%. Hal ini menunjukan bahwa fraksi E mengandung senyawa antipencoklatan yang mempunyai aktivitas lebih tinggi jika dibandingkan dengan fraksi lainnya sehingga untuk aplikasi anti-pencoklatan pada pembuatan tepung kentang digunakan fraksi E. Uji aktivitas anti-pencoklatan fraksi E pada aplikasi pembuatan tepung kentang Proses pengujian dilakukan pada berbagai konsentrasi anti-pencoklatan fraksi E, yaitu 25, 50, 100, dan 150 mg/l dengan massa kentang yang digunakan 100 g. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui konsentrasi maksimum dari fraksi E yang dapat menghambat pencoklatan pada pembuatan tepung kentang. Data hasil pengujian aktivitas anti-pencoklatan untuk variasi konsentrasi fraksi E dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil uji aktivitas anti-pencoklatan variasi konsentrasi fraksi E pada 100 g kentang. No Fraksi E (mg/l) Aktivitas anti-pencoklatan (%) 1 0 (kontrol) 0 2 25 60,98 3 61,22 50 4 71,06 100 5 98,04 150 Dari data di atas dapat dilihat bahwa semakin besar konsentrasi fraksi E, maka semakin tinggi aktivitas anti-pencoklatannya. Hal ini menunjukan bahwa konsentrasi fraksi E sebesar 150 mg/l dapat menghambat pencoklatan paling tinggi pada 100 g tepung kentang, yaitu sebesar 98,40%. 52 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Pengaruh massa terhadap aktivitas anti-pencoklatan pada pembuatan tepung kentang Hasil pengujian aktivitas anti-pencoklatan pada variasi konsentrasi fraksi E diperoleh bahwa aktivitas tertinggi pada konsentrasi 150 mg/l. Selanjutnya pengujian dilakukan pada berbagai variasi massa kentang yaitu pada 50, 75, 100, 125, dan 150 g dengan konsentrasi fraksi E 150 mg/l. Hasil uji aktivitas inhibisi tirosinase pada berbagai massa kentang ditunjukan pada Gambar 1 Gambar 1. Kurva hubungan aktivitas inhibisi tirosinase (anti-pencoklatan) dengan variasi massa kentang pada konsentrasi fraksi E 150 mg/l. Berdasarkan kurva diatas dapat terlihat bahwa kondisi optimum inhibitor tirosinane terletak pada massa kentang 75 g dengan persen inhibisi sebesar 96,56%. Sedangkan pada massa kentang 100, 125 dan 150 g, daya inhibisinya semakin menurun. Hal tersebut menunjukan bahwa semakin tinggi massa kentang pada konsentrasi inhibitor yang tetap maka semakin mudah terjadi reaksi antara senyawa fenolik dengan tirosinase sehingga semakin banyak senyawa kuinon yang terbentuk. Senyawa kuinon yang berwarna coklat ini yang terukur nilai absorbansinya pada teknik spektrofotometri visible pada panjang gelombang 475nm. Berdasarkan hasil pengujian tersebut diperoleh bahwa kondisi optimum inhibitor tirosinase terletak pada massa kentang 75 g dengan konsentrasi fraksi E 150 mg/l. Uji Tingkat Kecerahan Tepung Kentang Tahap akhir penelitian ini yaitu menentukan tingkat kecerahan dari tepung kentang dengan menggunakan kromameter. Penentuan tingkat kecerahan ini dilakukan untuk mengetahui kemampuan anti-pencoklatan dalam menginhibisi aktivitas enzim sehingga produk tepung kentang yang dihasilkan lebih cerah. Data yang diperoleh dari hasil analisis menggunakan kromameter yaitu berupa nilai L*, a* dan b*. Untuk memperoleh data tersebut maka dilakukan pembuatan tepung kentang pada konsentrasi fraksi E 150 mg/l dengan variasi massa kentang yang sesuai pada pengujian aktivitas- 53 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan antipencoklatan, yaitu 50, 75, 100, 125, dan 150 g dengan volume 100 ml. Adapun hasil uji tingkat kecerahan ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3. Nilai kecerahan tepung kentang pada berbagai variasi massa kentang dengan konsentrasi fraksi aktif ekstrak aseton (fraksi E) 150 mg/l. Massa kentang Nilai kecerahan No. (g) L* a* b* 1 kontrol 63,53 1,40 3,54 2 50 64,69 1,32 2,97 3 75 65,38 1,19 2,42 4 100 65,12 1,23 2,71 5 125 65,09 1,28 2,89 6 150 64,58 1,30 2,93 Tepung kentang yang paling cerah memiliki nilai L* a* dan b* yang optimum, yaitu nilai L* paling tinggi dan nilai a* dan b* yang paling kecil. Dari Tabel di atas dapat dilihat bahwa massa kentang berpengaruh terhadap nilai kecerahan tepung kentang pada fraksi E 150 mg/l. Tepung kentang tanpa penambahan fraksi E, nilai L* sebesar 63,53 serta nilai a* dan b* masing-masing 1,40 dan 3,54. Ini menunjukkan bahwa tingkat kecerahan tepung tersebut lebih rendah dibandingkan dengan tepung yang ditambah fraksi E. Hal ini disebabkan pada tepung tanpa penambahan fraksi E terjadi reaksi enzimatis antara tirosinase dengan senyawa fenolik yang ada pada kentang sehingga menimbulkan pencoklatan. Pada massa kentang 75 g mempunyai nilai kecerahan paling baik, yaitu L* 65,38, a* 1,19, dan b* 2,42, sedangkan pada massa di atas 75 g tingkat kecerahan menurun kembali, hal ini disebabkan masih ada senyawa fenolik sisa reaksi. Apabila dihubungkan dengan konsentrasi fraksi E yang paling optimum pada konsentrasi 150 ppm dengan massa kentang paling optimum pada 75 g dalam 100 ml larutan, maka didapatkan perbandingan konsentrasi fraksi E dengan massa kentang yang paling optimum yaitu 1 : 5000, dengan persen inhibisi sebesar 97,13% Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa : 1. Fraksi E merupakan fraksi aktif ekstrak aseton yang mempunyai aktivitas antipencoklatan optimum pada konsentrasi 150 mg/l dan massa kentang 75 g yang dapat meningkatkan nilai kecerahan tepung kentang dengan perbandingan antara konsentrasi fraksi E dengan massa kentang 1 : 5000. 2. Fraksi E lebih effektif sebagai bahan aditif anti-pencoklatan dibandingkan dengan ekstrak air dan ekstrak aseton. Saran 1. Perlu dilakukan pemurnian lebih lanjut hingga diperoleh senyawa anti-pencoklatan yang yang murni. 2. Perlu dilakukan optimasi waktu dan suhu inhibisi. 54 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Daftar Pustaka S.D. Marliana,. Venty, S & Suyono. 2005. Skrining Fotokimia dan Analisis Kromatografi Lapis Tipis Komponen Kimia Buah Labu Siam (Sechium edul Jacq.Swartz) dalam Ekstrak Etanol. Biofarmasi 3(1): 26-31. M.K. Lee., Y.K. Kim, N.Y. Kim & G.N. Kim. 2002. Prevention of Browning in Potato With a Heat-treated Onion Extract. Biosc. Biotechnol. Biochem. 66 (4), 856-858. Miyazawa, M & Tamura, N. 2007. Inhibitory compound of tyrosinase activity from the sprout of polygonum Hydropiper L. (benitade). Biology Pharmacheutical bulletin.30(3),595-597. Purwiyanto, H. 2011. Food quality: The wise choice. Food Review Indonesia. 6(11) : 18-23. Rustianingsih. 2007. Studi pemanfaatan senyawa bioaktif dari kulit batang nangkanangkaan (Artocarpus sp.) sebagai inhibitor tirosinase. Skripsi Sarjana FPMIPA UPI. Bandung: tidak diterbitkan. Vasile, M. 2010. Sulfites and foods, toxicity and hypersensitivity. Proceeding of international conference BIOATLAS Transilvania. University of Brasov. Romania. Zackiyah., Gebi, D & Rika, A. 2011. Isolasi dan uji aktivitas inhibitor tirosinase fraksi aseton kulit batang Artocarphus heterophyllus Lamk. Sains Dan Teknologi Kimia. 2 (1), 44-52. Zackiyah., Florentina Maria, T.S & Deki, T. 2011. Pemanfaatan ekstrak aseton kulit batang Artocarpus heterophyllus Lamk pada pembuatan tepung kentang. J.Si.Tek Kim. 2 (1), 17-22. 55 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Potensi Tumbuhan Minor Penghasil Karbohidrat Dan Protein Untuk Menunjang Program Kedaulatan Pangan Di Propinsi Banten*) Ninik Setyowati Pusat Penelitian Biologi-LIPI Jl. Raya Jakarta-Bogor Km 46, Cibinong 16911 Email. sety_wangi@yahoo.com ABSTRAK Penelitian tentang „potensi tumbuhan minor penghasil karbohidrat dan protein untuk menunjang program kedaulatan pangan’ telah dilakukan di Propinsi Banten. Penelitian dilakukan pada 2 kabupaten yaitu kabupaten Lebak dan kabupaten Pandeglang dengan metode survei, data primer dikumpulkan secara pengamatan langsung di lapangan, dan wawancara dengan masyarakat lokal. Data sekunder dikumpulkan secara penelusuran pustaka di perpustakaan dan penelusuran internet. Penelitian ini dilakukan pada 2 tahap yaitu pada tahap pertama dilakukan survei untuk mencari keberadaan tumbuhan minor yang dicari (ganyong, garut, gude dan kecipir). Tahap kedua adalah melakukan pendataan tentang lingkungan tempat tumbuhnya, dicatat tinggi tempat (TT) berapa m di atas permukaan laut, suhu lingkungan (ºC), kelembaban relative (%) dan intensitas cahaya (lux) saat penelitian, untuk selanjutnya ditabulasi. Dari hasil survei awal ditemukan tumbuhan ganyong, garut dan kecipir terdapat pada 7 desa yang termasuk dalam 5 kecamatan, sedangkan gude tidak ditemukan selama survey dilakukan. Selanjutnya 7 desa ini ditetapkan sebagai sampling lokasi penelitian yaitu desa Mekarsari (kecamatan Sajira, kabupaten Lebak), desa Beunying, Cilaja (kecamatan Majasari), desa Cianjur, Kadohejo (kecamatan Saketi), desa Koranji (kecamatan Pulosari) dan desa Mandalawangi (kecamatan Mandalawangi) dari kabupaten Pandeglang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa propinsi Banten berpotensi sebagai sumber tumbuhan minor penghasil karbohidrat dan protein seperti ganyong, garut dan kecipir, namun masyarakat belum memanfaatkan secara optimal, dan belum membudidayakannya. Ganyong dan garut banyak dijumpai tumbuh meliar di pinggir jalan, tebing dan di tegalan, di bawah pohon pisang, cengkeh, kopi, mlinjo. Kecipir hanya dijumpai di pekarangan dan hanya sebagian kecil masyarakat yang memanfaatkannya sebagai sayur. Tanaman ganyong dijumpai tumbuh pada ketinggian berkisar antara 68-390 m dpl, suhu 26 - 31 ºC, kelembaban 68 – 90 %, intensitas cahaya 1990 - 9800 Lux. Garut dijumpai pada ketinggian 68 - 351 m dpl, suhu 28 - 29 ºC, kelembaban 72-84 %, intensitas cahaya 1511 - 4070 Lux. Tanaman kecipir dijumpai pada ketinggian 68 m dpl, suhu 28 ºC, kelembaban 84 %, intensitas cahaya 4070 Lux. Melihat tumbuhan minor tersebut dapat tumbuh baik di wilayah Banten, namun masyarakat belum memanfaatkannya secara optimal, maka diperlukan adanya sosialisasi yang lebih intensif baik untuk penanaman dalam skala lebih luas juga pemanfaatannya sebagai bahan pangan alternatif, begitu juga tentang cara-cara 57 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan pengolahannya, sehingga akan dapat menambah penghasilan keluarga, dan dapat menunjang program kedaulatan pangan. Kata Kunci: potensi, tumbuhan minor, penghasil karbohidrat dan protein, kedaulatan pangan, Banten Pengantar Indonesia dikenal sebagai negara megadiversitas yang kaya akan flora yang dapat menghasilkan karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral, namun krisis pangan masih terjadi di Negara kita. Pemerintah harus mencukupi kebutuhan pokok pangan masyarakat dengan cara mengimpor. Hal ini dapat disebabkan karena masyarakat belum memanfaatkan sumber daya flora secara optimal sebagai sumber pangan, kebutuhan pokok yang terfokus pada satu komoditi, pertambahan jumlah penduduk yang semakin meningkat dan terjadinya konversi lahan pertanian secara besar-besaran, juga hampir punahnya kearifan lokal pangan. Hampir punahnya kearifan lokal pangan nasional tidak terlepas dari peran pemerintah Orde Baru. Penyeragaman pangan menjadi program nasional yang diterapkan diseluruh wilayah nusantara. Hal ini berdampak pada perubahan pola konsumsi masyarakat Indonesia. Akibatnya, keterbiasaan mengkonsumsi aneka pangan seperti singkong, jagung, sagu, ubi jalar, dan talas, hilang yang kemudian digantikan oleh beras sebagai bahan pangan utama. Ketergantungan pangan pada satu jenis (homogeny) dan membanjirnya pangan impor menjadikan Indonesia tamu di negeri sendiri. Penguatan pangan berbasis kearifan lokal perlu menjadi program nasional dengan mengedepankan pada diversifikasi pangan. Konsep diversifikasi pangan bukan merupakan hal yang baru, namun perlu kembali dibudayakan untuk mengantisipasi gejolak harga dan ketergantungan pada pangan impor (Handoyo, 2013). Pemerintah juga telah berupaya mensosialisasikan program diversifikasi pangan (Tabloid Sinar Tani, 2012). Pengembangan tumbuhan lokal yang belum tergali dari masing-masing daerah sangat perlu diangkat untuk ditingkatkan produktivitasnya dan variasi pemanfaatannya adalah salah satu cara keberhasilan program diversifikasi pangan. Propinsi Banten yang merupakan salah satu daerah penyangga ibukota diharapkan dapat menjadi mitra yang serasi dengan ibukota Jakarta, termasuk dalam meningkatkan pembangunan agribisnis. Banyak potensi agribisnis Banten yang perlu dikembangkan, termasuk pengembangan potensi tumbuhan minor yang terdapat di wilayah Banten, sehingga dapat dimanfaatkan secara optimal sebagai sumber pangan lokal. Pada penelitian ini dicoba untuk menggali beberapa tumbuhan minor yang berpotensi sebagai penghasil karbohidrat dan protein seperti garut, ganyong, kecipir dan gude. Dari hasil penelitian ini diharapkan masyarakat dapat mengembangkan tumbuhan minor tersebut untuk penanaman dalam skala lebih luas juga pemanfaatannya sebagai bahan pangan alternatif, yang merupakan bentuk nyata penerapan diversifikasi pangan sehingga akan dapat menambah penghasilan keluarga, dan dapat menunjang program kedaulatan pangan. Beberapa tumbuhan seperti Garut, Ganyong, Gembili, Talas dan Kacang Koro Pedang, telah mendapat prioritas dari DIT. BUKABI 2010 melalui Program 58 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Peningkatan Ketahanan Pangan untuk Peningkatan Produksi, Provitas dan Mutu Produk Pertanian sebagai pangan alternatif lokal (Anonim, 2010). Ganyong (Canna edulis), garut (Maranta arundinacea), kacang gude (Cajanus cajan) dan kecipir (Psophocarpus tetragonolobus) bukan merupakan tumbuhan asli Indonesia tetapi telah tersebar luas di Indonesia (Ong & Siemonsma, 1996; Villamayor & Jukema, 1996; Lingga, dkk, 1991; Djarwaningsih, 1993; Sunarti, 1993 dan Wawo & Wirdateti, 1993). Keempat jenis tumbuhan ini berpotensi sebagai sumber pangan penghasil karbohidrat dan protein namun belum dibudidayakan secara maksimal untuk menghasilkan produksi yang tinggi. Ganyong dan garut memiliki umbi yang mengandung karbohidrat yang cukup tinggi dan dapat diolah menjadi tepung. Tepung ganyong dan garut dapat dimakan setelah dimasak menjadi bubur atau diolah menjadi roti dan kue. Kacang gude dan kecipir menghasilkan biji yang kaya akan protein dan dapat diolah menjadi tempe, tahu, kecap dan tepung. Biji dari kedua jenis kacangkacangan ini dapat menjadi bahan substitusi untuk mengatasi kesulitan produksi kedele. Umbi ganyong dan garut mempunyai kandungan karbohidrat yang tinggi. Ganyong dapat dipanen pada umur 4 bulan setelah ditanam untuk direbus, namun apabila akan diambil patinya dipanen pada umur 8 bulan setelah ditanam karena umbinya telah membesar dan kandungan karbohidratnya juga bertambah. Produksi umbi diperkirakan rata-rata 45 - 50 ton per ha atau 4 – 10 ton tepung per ha (Ong & Siemonsma, 1996). Garut dipanen pada umur 10 – 12 bulan setelah ditanam ketika daunnya telah menguning. Hasil umbi antara 7 – 47 ton per ha dan jika dikonversi ke produksi tepung sekitar 2 – 8 ton per ha (Villamayor & Jukemi, 1996). Beberapa kegunaan lain dari ganyong dan garut adalah daun digunakan untuk bahan pembungkus, bijinya untuk obat, tepung umbi juga digunakan untuk obat, ekstrak umbinya untuk pakan ternak. Begitu pula dengan kedua jenis kacang-kacangan juga berpotensi sebagai obat. Umbi ganyong dan garut bervariasi dalam ukuran, berat umbi dan kandungan kimianya (Herman, dkk, 2007). Dari 100 g rimpang ganyong mengandung 22,6 g karbohidrat, 21 mg Ca, 70 mg P, 20 mg Fe, 0,1 mg vitamin B, 10 mg vitamin C (Ong & Siemonsma. 1996). Sedangkan rimpang garut mengandung 19,4-21,7 g pati, 0,6-1,3 g serat, dan 1,31,4 g abu (Villamayor & Jukema, 1996). Pada biji kecipir per 100 g mengandung protein 33 g, lemak 16 g, karbohidrat 32 g, serat 5 g dan abu 3 g. Nilai energi rata-rata 1.697 kJ/100 g, lebih baik dibandingkan dengan kedelai (Khan, T.N. 1993). Sedangkan biji Gude protein 14-30 g, lemak 1-9 g, karbohidrat 36-65,8 g, serat 5-9,4 g, abu 3,8 g. (van der Maesen, 1989). Bahan dan Metoda Penelitian dilakukan pada 2 kabupaten yaitu kabupaten Lebak dan kabupaten Pandeglang dengan metode survei, data primer dikumpulkan secara pengamatan langsung di lapangan, dan wawancara dengan masyarakat lokal. Data sekunder dikumpulkan secara penelusuran pustaka di perpustakaan dan penelusuran internet. Penelitian ini dilakukan pada 2 tahap yaitu pada tahap pertama dilakukan survei untuk mencari keberadaan tumbuhan minor yang dicari (ganyong, garut, gude dan kecipir). Tahap kedua adalah melakukan pendataan tentang lingkungan tempat tumbuhnya, dicatat tinggi tempat (TT) berapa m di atas permukaan laut, suhu lingkungan (ºC), kelembaban relative (%) dan intensitas cahaya (lux) saat penelitian, untuk selanjutnya 59 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan ditabulasi. Dari hasil survei awal ditemukan tumbuhan ganyong, garut dan kecipir terdapat pada 7 desa yang termasuk dalam 5 kecamatan, sedangkan gude tidak ditemukan selama survey dilakukan. Selanjutnya 7 desa ini ditetapkan sebagai sampling lokasi penelitian yaitu desa Mekarsari (kecamatan Sajira, kabupaten Lebak), desa Beunying, Cilaja (kecamatan Majasari), desa Cianjur, Kadohejo (kecamatan Saketi), desa Koranji (kecamatan Pulosari) dan desa Mandalawangi (kecamatan Mandalawangi) dari kabupaten Pandeglang. Tujuan penelitian adalah untuk menggali potensi tumbuhan minor penghasil karbohidrat dan protein untuk menunjang program kedaulatan pangan di wilayah Propinsi Banten. Bahan tanaman yang diperoleh seperti umbi ganyong, garut, dan biji kecipir dibawa untuk ditanam di kebun percobaan CSC sebagai tumbuhan koleksi dan bahan penelitian selanjutnya. Hasil dan Pembahasan Propinsi Banten Propinsi Banten merupakan salah satu daerah penyangga ibukota. Propinsi Banten ditetapkan berdasarkan undang-undang no 23 tahun 2000 menjadi propinsi tersendiri, yang sebelumnya wilayah ini menjadi satu dengan propinsi Jawa Barat. Propinsi Banten terletak di Pulau Jawa, disebelah barat berbatasan dengan selat Sunda dan Pulau Sumatera, sebelah utara Laut Jawa, sebelah timur DKI Jakarta dan Jawa Barat dan sebelah selatan terbentang Samudera Hindia/ Lautan Indonesia. Secara astronomis terletak antara 5-70 Lintang Selatan dan 1050 48’ Bujur Timur. Pembagian daerah administrasi Propinsi Banten meliputi Kabupaten Serang terdiri dari 24 kecamatan, Kabupaten Pandeglang (18 kecamatan), Kabupaten Lebak (19 kecamatan), Kota Tangerang (6 kecamatan) dan kota Cilegon (4 kecamatan). Gambar 1. Peta lokasi penelitian di propinsi Banten. 1.Kabupaten Pandeglang, 2.Kab. Lebak Penelitian dilakukan pada 2 kabupaten yaitu kabupaten Lebak dan kabupaten Pandeglang. Di kabupaten Lebak hanya ada satu kecamatan yaitu di desa Mekarsari yang terdapat tumbuhan minor yaitu ganyong. Sedangkan di kabupaten Pandeglang terdapat 4 kecamatan (Majasari, Saketi, Pulosari dan Mandalawangi) pada 6 desa yang 60 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan terdapat tumbuhan minor yang meliputi garut dan kecipir. Sedangkan gude (Cajanus cajan) tidak ditemukan pada survei ini. Perjalanan dari kota Bogor menuju Kabupaten Lebak memakan waktu kurang lebih 2 jam dengan mobil. Setelah melewati kabupaten Leuwiliyang, disepanjang jalan nampak perkebunan kelapa sawit yang cukup luas milik salah satu PTP, kebun karet dan jati namun tidak seberapa luas juga banyak dijumpai pohon jeunjing dan mlinjo (Gnetum gnemon). Mata pencaharian penduduknya adalah bertani, menanam padi. Berdasarkan pengamatan di lapangan, pada umumnya di pinggiran galengan sawah banyak ditanam tales dan pisang. Sama dengan kabupaten Lebak mata pencaharian penduduk di Kabupaten Pandeglang juga bertani, menanam padi dan berkebun. Berdasarkan pengamatan di lapangan, dijumpai berbagai tanaman seperti kopi, mlinjo, cengkeh, jati, pisang yang ditanam di kebun/ pekarangan sekitar rumah. Tanaman ganyong dan garut banyak dijumpai di pinggir jalan, pada umumnya di bawah pohon besar seperti pisang, kopi, jati. Sebagian besar masyarakat kurang mengenal tanaman ganyong, hanya sebagian kecil yang mengetahuinya dan menyebutnya dengan nama “ganyol” yang digunakan sebagai makanan selingan. Begitu juga dengan tanaman garut, kurang dikenal sebagai makanan. Garut dikenal dengan sebutan „tarigu’ atau „koneng leuweung’, ada yang memanfaatkan sebagai obat panas, dicampur dengan daun duku. Tanaman garut banyak tumbuh meliar di tegalan dibawah pohon cengkeh, kopi, jati. Kadang tanaman ganyong dan garut dijumpai tumbuh berdekatan, namun pada umumnya tumbuh merumpun sendiri. Kelompok tumbuhan ganyong jauh lebih banyak dibandingkan garut. Tanaman ganyong lebih menyukai habitat yang teduh dan lembab, sehingga sering dijumpai tanaman ganyong tumbuh di dekat galengan, parit dan lereng-lereng yang tanahnya gembur dan lembab. Kecipir terdapat di desa Pandeglang (kecamatan Pandeglang) dan desa Koranji (kecamatan Pulosari). Selama penelitian dilapangan tidak ditemukan tanaman gude. Hasil penelitian selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1, 2 dan gambar-gambar di bawah ini. Tabel 1. Data keadaan habitat tumbuhan minor di beberapa lokasi di propinsi Banten Jenis TT Suhu RH Intensitas Lokasi tumbuhan (m (ºC) (%) Cahaya Kecamatan Desa minor dpl) (lux) I.Kab. Lebak 1.Sajira 1.Mekarsari Ganyong 70,8 31 71 2490 merah keunguan II.Kab.Pandeglang 2.Majasari 2.Beunying Ganyong 156 28 68 7100 merah muda Ganyong 156 28 68 7100 hijau 3.Cilaja Garut 351 29 72 1511 3.Saketi 4.Cianjur Ganyong 390 26 90 1990 61 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan 5.Kadohejo 4.Pulosari 5.Mandalawangi 6.Koranji 7.Mandalawangi merah keunguan Ganyong merah muda Ganyong putih Ganyong hijau Ganyong hijau Garut Kecipir Kecipir 390 26 90 2990 390 26 90 1990 390 26 90 9800 68 28 84 4070 68 68 68 28 28 28 84 84 84 4070 4070 4070 Pada Table 1 menunjukkan data keadaan habitat tumbuhan minor di beberapa lokasi di propinsi Banten, yang meliputi tinggi tempat (TT) berapa meter di atas permukaan laut (m dpl), suhu lokasi tempat tumbuh tanaman, kelembaban relative (RH) dan intensitas cahaya saat pengamatan di lapangan. Ganyong (Canna edulis) Tumbuhan ganyong dijumpai tumbuh liar di beberapa lokasi yaitu di desa Mekarsari (kecamatan Sajira, kabupaten Lebak), sedangkan di kabupaten Pandeglang dijumpai di desa Beunying (kecamatan Majasari), desa Cianjur, desa Kadohejo (kecamatan Saketi) dan desa Koranji (kecamatan Pulosari) (Tabel 1). Dari hasil wawancara dengan perangkat kecamatan dan penduduk ternyata tidak ada masyarakat yang membudidayakan ganyong, tumbuhan minor ini hanya ditanam oleh sebagian penduduk di galengan sawah sebagai tanaman selingan. Di daerah ini ganyong disebut dengan nama ganyol. Pada umumnya ganyong tumbuh liar di pinggir jalan, kebun, dan pematang sawah. Di desa Koranji dijumpai tanaman ganyong dan garut tumbuh berdekatan di bawah pohon kopi, cengkeh, mlinjo, pisang. Dari hasil pengamatan, secara umum tanaman ganyong dijumpai tumbuh pada ketinggian berkisar antara 68-390 m dpl, suhu 26 - 31 ºC, kelembaban 68 – 90 %, intensitas cahaya 1990 - 9800 Lux. Di desa Mekarsari ditemukan ganyong merah keunguan pada ketinggian 70,8 m dpl, pada suhu 31 ºC, kelembaban 71 % dan intensitas cahaya 2490 lux. Di desa Beunying ditemukan 2 variasi yaitu ganyong merah muda dan ganyong hijau terletak pada ketinggian 156 m dpl, pada suhu 28 ºC, kelembaban 68 % dan intensitas cahaya 7100 lux. Di desa Cianjur ditemukan 3 variasi ganyong yaitu merah keunguan, merah muda dan putih terletak pada ketinggian 390 m dpl, pada suhu 26 ºC, kelembaban 90 % dan intensitas cahaya 1990-2990 lux. Di desa Kadohejo dan Koranji ditemukan variasi ganyong hijau terletak pada ketinggian 68-390 m dpl, pada suhu 26-28 ºC, kelembaban 84-90 % dan intensitas cahaya 4070-9800 lux (Tabel 1). 62 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Dari hasil penelitian dapat ditemukan 4 macam variasi ganyong (Tabel 2), yaitu: 1. Ganyong merah keunguan dengan ciri-ciri batang hijau keunguan, daun hijau tua (berwarna keunguan di bagian pinggir, bunga merah, berumbi merah keunguan (Gambar 2) 2. Ganyong merah muda dengan ciri-ciri batang merah, daun berwarna hijau dengan strip merah pada tepinya, buah merah, berumbi merah muda (Gambar 3) 3. Ganyong hijau dengan cirri-ciri batang hijau tua, daun berwarna hijau dengan strip putih pada tepinya, buah hijau, berumbi putih kehijauan (Gambar 4) 4. Ganyong putih dengan ciri-ciri batang hijau muda, daun berwarna hijau, berumbi putih (Gambar 5) Ganyong merah keunguan Gambar 2. Ganyong merah keunguan tumbuh liar di pinggirjalan (rumpun, daun, bunga dan umbi) Pada Gambar 2 diperlihatkan variasi ganyong merah keunguan (batang hijau keunguan, daun hijau tua berwarna keunguan di bagian pinggir, bunga merah, berumbi merah keunguan) dengan tinggi tanaman berkisar antara 130-150 cm, ditemukan pada 2 desa yaitu Mekarsari dan desa Cianjur. Di desa Mekarsari ganyong tumbuh liar di pinggir jalan di bawah pohon pisang, juga ditemukan di bawah naungan pohon jati (Tabel 2). Pertumbuhan tanaman terlihat subur dan menghasilkan umbi rimpang yang sehat. Artinya di wilayah ini sesuai untuk pertumbuhan ganyong. Ganyong merah muda Gambar 3. Ganyong merah muda (rumpun, daun, bunga, buah dan umbi) 63 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Pada Gambar 3 diperlihatkan variasi ganyong merah muda (batang merah, daun berwarna hijau dengan strip merah pada tepinya, buah merah, berumbi merah muda) dengan tinggi tanaman mencapai 250 cm, ditemukan pada 2 desa yaitu desa Beunying dan desa Cianjur. Ganyong ini juga tumbuh liar di pinggir jalan di bawah naungan pohon pisang di pinggir jalan (Tabel 2). Pertumbuhan tanaman terlihat subur dan menghasilkan umbi rimpang yang sehat. Artinya di wilayah ini sesuai untuk pertumbuhan ganyong. Ganyong hijau Gambar 4. Ganyong hijau (rumpun, kuncup bunga dan umbi) Pada Gambar 4 diperlihatkan variasi ganyong hijau (batang hijau tua, daun berwarna hijau dengan strip putih pada tepinya, buah hijau, berumbi putih kehijauan) dengan tinggi tanaman bervariasi antara 82-264 cm sesuai dengan umur tanaman, ditemukan pada 3 desa yaitu desa Beunying, desa Kadohejo dan desa Koranji. Ganyong ini juga ditemukan tumbuh liar di pinggir jalan di bawah naungan pohon pisang di pinggir jalan, juga tumbuh liar di kebun di bawah pohon kopi, cengkeh, mlinjo, pisang, rambutan, durian, kelapa dan duku (Tabel 2). Pengamatan pertumbuhan tanaman juga terlihat subur dan menghasilkan umbi rimpang yang sehat. Artinya di wilayah ini juga sesuai untuk pertumbuhan ganyong. Ganyong putih Pada gambar 5 diperlihatkan variasi ganyong putih (batang hijau muda, daun berwarna hijau, berumbi putih) ditemukan di desa Cianjur. Ganyong ini juga tumbuh liar di pinggir jalan di bawah naungan pohon pisang. Pertumbuhan tanaman ganyong putih ini juga terlihat subur dan menghasilkan umbi rimpang yang sehat. Artinya di wilayah ini sesuai untuk pertumbuhan ganyong (Gambar 5, Tabel 2). 64 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Gambar 5. Ganyong putih (cabutan, rumpun, umbi) Dengan diketahui adanya beberapa variasi tanaman ganyong ini sangat penting bagi penelitian selanjutnya yaitu untuk mencari kultivar-kultivar yang mampu berproduksi tinggi, atau penelitian untuk mempercepat masa panen ganyong, dan dapat menghasilkan karbohidrat yang tinggi. Tabel 2. Ciri-ciri fenotipe tumbuhan minor dan lingkungan tumbuhnya Jenis tumbuhan minor Ganyong merah keunguan Nama daerah setempat Ganyol Canna edulis Ganyong merah muda Ganyol Canna edulis Ganyong hijau Ganyol Canna edulis Ganyong putih Ganyol Canna edulis Garut Tarigu, koneng, leuweung Kecipir Maranta arundinacea Kecipir Nama botani Psopocarpus tetragonolobus Fenotipe Keterangan Tinggi tanaman 130-150 m Batang hijau keunguan Daun hijau tua (keunguan dipinggir) Bunga merah, umbi merah keunguan Tinggi tanaman 250 cm Batang merah Daun hijau (strip merah di pinggir) Buah merah Umbi merah muda Tinggi tanaman 82-264 cm Batang hijau tua Daun hijau (strip putih di pinggir) Buah hijau Umbi putih kehijauan Tumbuh di bawah naungan pohon jati Batang hijau muda Daun hijau Umbi putih Daun hijau Batang hijau Umbi putih Panjang polong: 15-25cm Warna biji: coklat tua Panjang polong: 20-30 cm Warna biji: coklat muda Tumbuh di bawah naungan pohon pisang, pinggir jalan Tumbuh di bawah naungan pohon pisang, pinggir jalan; juga di kebun di bawah pohon kopi, cengkeh, mlinjo, pisang, rambutan, durian, kelapa, duku. Tumbuh di bawah naungan pohon pisang pinggir jalan Tumbuh di bawah pohon cengkeh, kelapa, pisang, durian, di tegalan Ditanam di pekarangan penduduk Ditanam sebagai pagar di lapangan tenis Garut (Maranta arundinacea) Pada gambar 6 diperlihatkan tanaman garut yang tumbuh di bawah naungan pohon cengkeh, kelapa, pisang, durian, di tegalan. Tanaman garut yang disebut tarigu atau 65 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan koneng leuweung ditemukan hanya 1 variasi dengan cirri fenotipe daun hijau, batang hijau, umbi putih (Tabel 2) dijumpai pada ketinggian 68 - 351 m dpl, suhu 28 - 29 ºC, kelembaban 72-84 %, intensitas cahaya 1511 - 4070 Lux (Tabel 1). Tanaman garut dijumpai di 2 lokasi yaitu di desa Cilaja (Kecamatan Majasari), dan desa Koranji (Kecamatan Pulosari). Gambar 6. Garut yang tumbuh di bawah naungan, rumpun dan umbi garut Pertumbuhan tanaman garut ini terlihat subur dan menghasilkan umbi rimpang yang sehat. Artinya di wilayah ini sesuai untuk pertumbuhan garut. Kecipir (Psopocarpus tetragonolobus) Tanaman kecipir dijumpai pada ketinggian 68 m dpl, suhu 28 ºC, kelembaban 84 %, intensitas cahaya 4070 Lux. Berbeda dengan tanaman ganyong dan garut yang dijumpai tumbuh meliar, tanaman kecipir umumnya ditanam oleh sebagian kecil masyarakat namun tidak dibudidayakan dalam skala besar. Tanaman kecipir dijumpai sebagai tanaman pagar (dirambatkan pada pagar besi), seperti ditemukan di salah satu lapangan tenis di desa Mandalawangi (kecamatan Mandalawangi). Tanaman kecipir juga dijumpai di pekarangan rumah penduduk di desa Koranji (kecamatan Pulosari), polong mudanya dimanfaatkan sebagai sayur untuk kebutuhan keluarga dan biji kecipir yang tua oleh sebagian masyarakat digunakan sebagai pernak pernik untuk bahan ketrampilan anak sekolah. Gambar 8. Kecipir yang merambat, buah dan biji 66 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Dari hasil penelitian ke beberapa lokasi di wilayah Banten ternyata masyarakat belum/ tidak membudidayakan tumbuhan minor penghasil karbohidrat dan protein seperti ganyong, garut, kecipir dan gude. Ganyong dan garut banyak dijumpai tumbuh meliar di pinggir jalan tebing dan di tegalan, di bawah pohon pisang, cengkeh, kopi, mlinjo dan belum dimanfaatkan secara optimal sebagai pangan alternatif. Pada satu lokasi dapat dijumpai ganyong dan garut tumbuh berdekatan, juga ganyong merah dan hijau. Kecipir dijumpai hanya sebagian kecil masyarakat yang menanam dan terbatas digunakan sebagai sayur. Tumbuhan gude tidak ditemukan selama penelitian. Kesimpulan Hasil penelitian menunjukkan bahwa propinsi Banten berpotensi sebagai sumber tumbuhan minor penghasil karbohidrat dan protein seperti ganyong, garut dan kecipir, namun masyarakat belum memanfaatkan secara optimal, dan belum membudidayakannya. Ganyong dan garut banyak dijumpai tumbuh meliar di pinggir jalan, tebing dan di tegalan, di bawah pohon pisang, cengkeh, kopi, mlinjo. Kecipir hanya dijumpai di pekarangan dan hanya sebagian kecil masyarakat yang memanfaatkannya sebagai sayur. Tanaman ganyong dijumpai tumbuh pada ketinggian berkisar antara 68-390 m dpl, suhu 26 - 31 ºC, kelembaban 68 – 90 %, intensitas cahaya 1990 - 9800 Lux. Garut dijumpai pada ketinggian 68 - 351 m dpl, suhu 28 - 29 ºC, kelembaban 72-84 %, intensitas cahaya 1511 - 4070 Lux. Tanaman kecipir dijumpai pada ketinggian 68 m dpl, suhu 28 ºC, kelembaban 84 %, intensitas cahaya 4070 Lux. Melihat tumbuhan minor tersebut dapat tumbuh baik di wilayah Banten, namun masyarakat belum memanfaatkannya secara optimal, maka diperlukan adanya sosialisasi yang lebih intensif baik untuk penanaman dalam skala lebih luas juga pemanfaatannya sebagai bahan pangan alternatif, begitu juga tentang cara-cara pengolahannya, sehingga akan dapat menambah penghasilan keluarga, dan dapat menunjang program kedaulatan pangan. Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada Puslit Biologi LIPI, yang telah memberikan fasilitas untuk penelitian ini, kepada Ir. N.W. Utami PU. Sebagai KSK yang telah memberi kesempatan untuk survei penulisan makalah ini. Daftar Pustaka Anonim, 2010. Program dan Kegiatan Utama DIT. BUKABI 2010. 13 Agustus 2010. http://bukabi.wordpress.com/. Selasa, 20-11-2012. Djarwaningsih, T. 1993. Kacang gude. Dalam : Pendayagunaan Tanaman Kacang-kacangan pada lahan kritis. Seri Pengembangan Prosea 1. Bogor.Hal 21 – 23. Handoyo, F.W. 2013. Penguatan Diversifikasi Pangan Berbasis Kearifan Lokal. http://fwh89.blogspot.com/2013/06/penguatan-diversifikasi-panganberbasis.html, Selasa, 18-6-2013. 67 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Herman, M., M.Machmud, Sutoro, I.Mariska, Minantyorini, B. Soegiarto & K.Mulya, Lima Tahun Litbang Bioteknologi Dan Sumber Daya Genetik Pertanian di BB-Biogen. Bogor. 122 hal. Khan, T.N. 1993. Psophocarpus tetragonolobus. In PROSEA 8: Vegetables. Eds. (Siemonsma, J.S and Piluek, K.). pp. 229-233. Pudoc, Wageningen, The Netherlands. Lingga, P., J.J. Afriastini., B.Sarwono., R. Wudianto., F. Rahardi., W.H. Apriadji & P.C. Rahardja, 1991. Bertanam Ubi-ubian. Penebar Swadaya. Jakarta. 285 hal. Ong, H.C. & J.S. Siemonsma. 1996. Canna indica. In PROSEA 9: Plants yielding non-seed carbohydrates. Eds (Flach, M. & Rumawas, F.). pp. 63-66. Backhuys Publisher, Leiden, The Netherlands. Sunarti, S, 1993. Kacang uci. Dalam : Pendayagunaan Tanaman Kacang-kacangan pada lahan kritis. Seri Pengembangan Prosea 1. Bogor. Hal 27 – 29. Tabloid Sinar Tani. 2012. Mentan : Indonesia tak Perlu Impor Beras. http://tabloidsinartani.com/mentan-indonesia-tak-perlu-impor-beras.html. 1210-2012 van der Maesen, L.J.G. 1989. Cajanus cajan. In PROSEA 1: Pulses. Eds. (van der Maesen, L.J.G. & Somaatmadja, S.). pp. 39-42. Pudoc, Wageningen, The Netherlands Villamayor Jr., F.G. & J. Jukema. 1996. Maranta arundinacea. In PROSEA 9: Plants yielding non-seed carbohydrates. Eds. (Flach, M. & Rumawas, F.). pp. 113-116. Backhuys Publisher, Leiden, The Netherlands. Wawo, A.H & Wirdateti, 1993. Kecipir. Dalam : Pendayagunaan Tanaman Kacang-kacangan pada lahan kritis. Seri Pengembangan Prosea 1. Bogor. Hal 29 – 32. 68 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Potensi Antioksidan Labu Kuning (Cucurbita moschata) pada Berbagai Pelarut Farida Nuraeni1*, Tri Aminingsih2, dan Mira Miranti3 Fakultas MIPA Universitas Pakuan Bogor Jl. Pakuan P.O. Box 452 Bogor Email : nuraeni.farida@yahoo.com ABSTRAK Labu kuning (Cucurbita moschata) merupakan salah satu tanaman yang banyak tumbuh di Indonesia, yang penanaman,pembibitan maupun perawatannya tidak sulit serta dapat ditanam di daerah tropis maupun sub-tropis. Labu kuning merupakan bahan pangan yang kaya vitamin dan mineral yang meliputi beta karoten, vitamin B1, vitamin C, kalsium, fosfor, besi, kalium dan natrium. Beta karoten yang terkandung dalam labu kuning berfungsi sebagai antioksidan yang sangat bermanfaat untuk melindungi jaringan tubuh dari efek negatif radikal bebas. Penelitian meliputi kegiatan : (1) pengujian aktivitas antioksidan ekstrak tepung labu kuning dalam berbagai pelarut menggunakan metode DPPH ; (2) pembuatan tepung labu kuning dan analisis proksimat. Target yang akan dicapai dari hasil penelitian adalah memperoleh pelarut terbaik yang menghasilkan potensi antioksidan labu kuning paling tinggi. Nilai IC50 untuk ekstrak etanol , ekstrak etil asetat, ekstrak aseton, ekstrak metanol dan ekstrak heksana masing-masing adalah 101,724 µg/mL, 158,518 µg/mL, 257,061 µg/mL, 242,671 µg/mL dan 508,621 µg/mL. Aktivitas antioksidan dari mulai yang paling besar sampai terkecil adalah ekstrak etanol, ekstrak etil asetat, ekstrak metanol, ekstrak aseton dan ekstrak heksana. Kata Kunci : Antioksidan, Beta Karoten, DPPH Pengantar Penelitian tentang karakteristik dan potensi pemanfaatan komoditas pangan minor masih sangat sedikit dibandingkan komoditas pangan utama seperti padi dan kedelai. Labu kuning atau waluh (Cucurbita moschata) yang dalam bahasa Inggris dikenal sebagai pumpkin termasuk dalam komoditas pangan yang pemanfaatannya masih sangat terbatas (gklinis,2004). Labu kuning atau waluh merupakan salah satu bahan pangan lokal Indonesia yang mempunyai potensi gizi dan komponen bioaktif yang baik, namun belum termanfaatkan secara optimum, salah satu penyebabnya adalah keterbatasan pengetahuan masyarakat akan manfaat dari komoditas pangan tersebut. Labu kuning merupakan bahan pangan yang kaya vitamin dan mineral yang meliputi beta karoten, vitamin B1, vitamin C, kalsium, fosfor, besi, kalium dan natrium. Dari nilai gizinya, setiap 100g labu kuning mengandung 34 kal; 1,7 g protein, 0,5 g lemak, 0,8 mineral dan 45 mg kalsium (Shodikin, et al, 2009). Nutrisi yang dikandungnya menjadikan labu kuning berkhasiat meningkatkan kekebalan tubuh. Beta 69 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan karoten yang dikandung labu kuning berfungsi sebagai antioksidan yang berperan sebagai penangkal radikal bebas dan mencegah serangan jantung serta berbagai jenis kanker, terutama kanker prostat. Pengolahan produk setengah jadi merupakan salah satu cara pengawetan komoditas pangan yang berkadar air tinggi seperti umbi-umbian dan buah-buahan. Keuntungan lain dari pengolahan produk setengah jadi, sebagai bahan baku yang fleksibel untuk industri pengolahan lanjutan, aman dalam distribusi serta hemat ruang dan biaya penyimpanan. Teknologi pembuatan tepung merupakan salah satu proses alternatif produk setengah jadi yang dianjurkan karena lebih tahan disimpan, mudah dicampur (dibuat komposit), dibentuk, diperkaya zat gizi, dan lebih cepat dimasak sesuai tuntutan kehidupan modern yang serba praktis (Astawan, 2004). Bahan dan Metode Pembuatan Tepung Labu Kuning Labu kuning harus dipilih yang mengkal, yaitu buah sudah tua tetapi belum masak optimum. Setelah dikupas kulitnya, labu dibelah-belah dan dilakukan pemblansiran, yaitu perlakuan dengan uap panas selama 5-10 menit. Selanjutnya labu dirajang dengan ketebalan 0,1-0,3 cm yang hasilnya dinamakan sawut. Sawut dikeringkan dengan oven pada suhu 650C selama 8 jam sampai diperoleh kadar air sekitar 14 persen, selanjutnya digiling menjadi tepung. Penepungan sawut dilakukan dalam dua tahapan, yaitu penghancuran sawut untuk menghasilkan butiran kecil (lolos 20 mesh) dan penggilingan/penepungan menggunakan saringan Iebih halus (80 mesh). Tepung labu kuning dianalisis kadar air, karbohidrat, protein, lemak, serat kasar, betakaroten, vitamin C, kalsium, besi, natrium, kalium dan vitamin B. Analisis kadar air dengan metode gravimetri,analisis karbohidrat dengan metode Loofschrool, analisis protein (metode Kjeldahl) dan vitamin B dengan spektrofotometer, analisis lemak dengan soxkhlet, analisis serat kasar dengan gravimetri, analisis betakaroten dengan TLC (Thin Layer Chromathography) scaner, vitamin C dengan titrasi iodometri, analisis kalsium (metode titrasi kompleksometri), besi dengan AAS (Absorption Atomic Spectrophotometer), analisis natrium dan kalium dengan flamefotometer. Ekstraksi Tepung Labu Kuning Tepung labu kuning diekstraksi dengan beberapa pelarut yaitu etanol 96%, aseton, heksana, metanol dan etil asetat selama 5 jam pada suhu 50oC dengan sekali-kali diaduk. Filtrat didinginkan kemudian dilakukan penyaringan dengan vakum dan kertas saring kasar. Pelarut diuapkan dengan rotaryevaporator pada suhu 50oC sampai tidak ada pelarut yang menguap. Ekstraksi dilakukan sebanyak tiga kali ulangan dan semua filtrat dievaporasi sampai diperoleh ekstrak yang kental. 70 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Pengujian Aktivitas Antioksidan Tepung Labu Kuning dengan Metode DPPH (1,1-difenil-2-pikrilhidrazil) A. Aktivitas Antioksidan Total (Yen et al, 2003) Pengujian aktivitas antioksidan dari tepung labu kuning dilakukan dengan mereaksikan ekstrak labu kuning dalam berbagai pelarut (etanol, metanol, heksana, aseton dan etil asetat) dengan DPPH. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap satu faktor yaitu jenis pelarut dengan 3 kali ulangan. Data yang diperoleh meliputi aktivitas antioksidan total dan kapasitas penangkapan radikal bebas. Larutan DPPH (1,1-difenil-2-pikrilhidrazil) 1mM dibuat dengan menimbang 39,5 mg DPPH dilarutkan dalam metanol 100 mL dan disimpan dalam botol gelap untuk menghindari kerusakan karena cahaya. Sebagai larutan kontrol digunakan 1 mL DPPH 1mM dan dilarutkan dalam 5 mL metanol. Sebanyak 5 mg hasil ekstraksi tepung labu kuning dengan beberapa jenis pelarut dilarutkan ke dalam masing-masing pelarutnya sampai volume 5 mL sehingga diperoleh larutan dengan konsentrasi 1000 ppm (Larutan induk).Larutan induk ini kemudian diencerkan menjadi larutan dengan konsentrasi 20 ppm (A), 40 ppm (B), 60 ppm (C), 80 ppm (D), 100 ppm (E). Sebagai larutan pembanding digunakan larutan vitamin C konsentrasi 1000 ppm (Larutan induk). Larutan induk ini diencerkan menjadi konsentrasi 4 ppm (A), 8 ppm (B), 12 ppm (C), 16 pm (D), 20 ppm (E). Pengujian antioksidan dilakukan dengan menambahkan 1 mL larutan DPPH ke dalam tiap-tiap larutan A,B,C,D dan E kemudian ditera sampai volume 5 mL dengan metanol dan dihomogenkan. Mulut tabung ditutup dengan aluminium foil kemudian diinkubasi dalam penangas air 37oC selama 30 menit. Serapan dibaca pada panjang gelombang 515 nm dan digunakan untuk menghitung persen inhibisi menggunakan rumus berikut ini. Hambatan % = absorban kontrol – absorban sampel X 100% Absorban kontrol Nilai IC50 diperoleh dari perpotongan garis antara 50% daya inhibisi dengan sumbu konsentrasi (Menggunakan persamaan linear). Penentuan prosen penghambatan tersebut di atas dapat juga dilakukan dengan metode berikut ini. Ekstrak tepung labu kuning dilarutkan dalam pelarut yang sesuai dengan jenis pelarut yang digunakan untuk proses ekstraksi. Sebanyak 0,5 ml larutan ekstrak ditambah 2,5 ml emulsi asam linoleat ditambah 2 ml buffer fosfat 0,2M pH 7 kemudian diinkubasi 37o C selama 5 hari. (Emulsi asam linoleat = 0,2804 g asam linoleat ditambahkan 50 ml buffer fosfat dan 0,2804 g tween 20 ). Setiap 24 jam diambil 0,1 ml campuran reaksi ditambahkan 4,7 ml etanol 70%, 0,1 ml ammonium tiosianat dan 0,1 ml Feri klorida 0,02mM dalam HCl 3,5% kemudian diukur absorbansinya pada panjang gelombang 500 nm. (Bilangan peroksida diukur untuk mengetahui tingkat oksidasi dengan cara mengukur absorbansi). Persentase penghambatan ekstrak diukur setiap 24 jam dengan rumus berikut ini, % Penghambatan = 100-[ ( A1 /A0 x 100 ] 71 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan A0 = absorbansi blanko (tanpa penambahan ekstrak) A1 = absorbansi sample. B. Kapasitas Penangkapan Radikal Bebas (Kim, 2005) Larutan ekstrak tepung labu kuning dilarutkan dalam kloroform : methanol (2:1) dengan konsentrasi 25, 50,100,200, 400,800 dan 1000 ppm. Sebanyak 4 ml larutan ekstrak dari masing-masing konsentrasi ditambah 1 ml DPPH 0,2 mM dalam metanol kemudian direaksikan selama 30 menit dan di ukur absorbansinya pada panjang gelombang 517 nm. Kemampuan penangkapan radikal (%) = 100%-[ (Abs kontrol –Abs sampel ) X 100% Abs kontrol Penurunan absorbansi menunjukkan peningkatan kemampuan penangkapan radikal. Hasil dan Pembahasan Pembuatan Tepung Labu Kuning Labu kuning yang digunakan diperoleh dari kabupaten Bogor dipilih yang masih mengkal kira-kira sekitar 5 sampai 10 hari sebelum usia panen dan dideterminasi di Herbarium Bogoriense LIPI Bogor. Gambar 1. Labu Kuning Pembuatan tepung Labu kuning meliputi:  Pengupasan kulit dan pengecilan ukuran  Pemblansiran, yaitu perlakuan dengan uap panas selama 5-10 menit.  Penyawutan ( ketebalan 0,1-0,3 cm). Sawut dikeringkan dengan oven pada suhu 650C sampai diperoleh kadar air kurang dari 14 persen.  Penepungan sawut dilakukan dalam dua tahapan, yaitu penghancuran sawut untuk menghasilkan butiran kecil (lolos 20 mesh) dan penggilingan/penepungan menggunakan saringan Iebih halus (80 mesh).Rendemen tepung labu kuning yang diperoleh sebesar 9,62% tertera pada Tabel 2. 72 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Tabel 2. Rendemen tepung labu kuning Bobot Labu Kuning (g) Bobot Tepung (g) 100 9,6226 Rendemen (%) 9,62 Hasil pengujian proksimat tepung labu kuning tertera pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil Pengujian Proksimat Tepung Labu Kuning NO Komponen yang dianalisis Kadar Air 11,513 % 1 Abu 3,37 % 2 Lemak 1,99 % 3 Protein 10,938% 4 Pati 23,74 % 5 Serat Kasar 5,56 % 6 Beta karoten 0,76 % 7 Vitamin C 2,134 mg/g 8 Tiamin 0,408 ppm 9 Fe 0,682 ppm 10 Ca 0,0137 % 11 K 63 ppm 12 Na 8,89 ppm 13 Tujuan dilakukan penetuan kadar air adalah untuk memberikan batasan minimal atau rentang tentang besarnya kandungan air dalam suatu bahan (Depkes RI, 2000). Air yang masih ada dalam suatu sediaan contoh dalam kadar tertentu dapat menjadi media pertumbuhan bagi kapang dan jasad renik lainnya (Depkes RI, 1985). Untuk mendapatkan kadar air yang sesuai dilakukan dengan proses pengeringan untuk memperpanjang proses waktu simpan. Kadar air yang dihasilkan memenuhi persyaratan yang tercantum pada standar mutu tepung yaitu maksimalnya 12% (SNI, 1996). Penetapan kadar abu dilakukan untuk mengetahui banyaknya zat anorganik yang terkandung dalam tepung labu. Tingginya kadar abu pada bahan menunjukkan tingginya kandungan mineral. Hasil kadar abu tepung sebesar 3,37% . Tepung labu yang dihasilkan memiliki kandungan protein yang cukup tinggi sebesar 10,938 %, pati dan serat yang cukup tinggi masing-masing sebesar 23,37% dan 5,56%. Kandungan mineral yang paling banyak di dalam tepung labu adalah Ca sebesar 0,0137 %. Tepung labu mengandung Vitamin C dan β karoten masing-masing sebesar 2,134 mg/g dan 0,76%. Vitamin C dan β karoten diketahui memiliki aktivitas antioksidan. Menurut Murray (2003), berdasarkan mekanisme kerjanya, vitamin C, vitamin E, βkaroten, flavonoid, dan tanin merupakan antioksidan sekunder (antioksidan pemutus rantai) merupakan antioksidan yang bekerja dengan cara memotong reaksi oksidasi berantai dari radikal bebas, sehingga radikal bebas tidak akan bereaksi dengan komponen seluler. 73 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Ekstraksi Tepung Labu Kuning Hasil ekstraksi tepung labu kuning menggunakan lima macam pelarut yaitu etanol, etil asetat, aseton, metanol dan heksana berwarna kuning kecoklatan sampai coklat (Gambar 2). Gambar 2. Ekstrak tepung labu kuning dengan etanol, etil asetat,aseton, metanol dan heksana (Dari kiri ke kanan) Perbedaan rendemen ekstrak dipengaruhi oleh pelarut yang digunakan (Depkes RI,1986). Rendemen yang dihasilkan dari ekstrak etanol tepung labu kuning sebesar 15,38 %, rendemen dari ekstrak aseton dan etil asetat masing-masing 0,59% dan 0,46%, sedangkan rendemen dari ekstrak metanol dan heksana masing-masing 11,497% dan 0,29% (Tabel 4). Rendemen ekstrak tepung labu kuning yang relatif besar diperoleh dari hasil ekstraksi menggunakan etanol dan metanol, sedangkan yang diperoleh dari ekstraksi menggunakan aseton, etil asetat dan heksana sangat kecil yaitu kurang dari satu persen. Hal ini menunjukkan bahwa komponen di dalam tepung labu kuning yang lebih banyak terekstraksi ke dalam pelarut adalah senyawa polar dibandingkan senyawa non polar. Dari kelima jenis pelarut yang digunakan, rendemen ekstrak etanol paling besar yang menunjukkan bahwa senyawa polar paling banyak terekstraksi ke dalam etanol. Tabel 4. Rendemen ekstrak etanol, aseton,etil kuning Sampel Bobot tepung Pelarut (g) Tepung Etanol labu kuning 50 Aseton Etil asetat Metanol Heksana asetat,metanol dan heksana tepung Bobot ekstrak (g) 7,6910 0,2956 0,2322 5,7485 0,145 Labu Rendemen ( % ) 15,38 0,59 0,46 11,497 0,29 Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa ekstrak etanol memiliki rendemen yang paling tinggi, diduga komponen yang terekstrak adalah komponen polar seperti vitamin C. Sedangkan komponen yang bersifat non polar ataupun semi polar dari tepung labu cenderung terekstrak relatif sedikit. 74 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Aktivitas Antioksidan Ekstrak Tepung labu Kuning DPPH merupakan radikal sintetik yang larut dalam pelarut polar seperti metanol dan etanol. DPPH merupakan radikal stabil yang dapat diukur intensitasnya pada panjang gelombang 515 nm. Dari nilai absorbansi sampel dan kontrol bisa diketahui daya antioksidannya. Hasil pengukuran daya antioksidan ekstrak etanol, aseton, etilasetat, metanol dan heksana dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Daya antioksidan ekstrak etanol,aseton,etil kuning dengan metode DPPH Kadar Absorbansi ekstrak(µg/mL) Rata-rata* Sampel 20 1,999 40 1,562 60 1,412 80 1,275 Ekstrak Etanol 100 1,050 asetat,methanol dan heksana labu Hambatan (%) 0,547 22,288 29,751 36,567 47,761 IC50 (µg/mL) 101,724 Ekstrak Aseton 20 40 60 80 2,182 2,058 1,981 1,927 6,271 13,119 14,905 17,225 1,813 2,262 1,903 1,813 1,774 22,122 2,835 18,256 22,122 23,797 257,061 Ekstrak Etilasetat 100 20 40 60 80 100 20 40 60 80 100 20 40 60 80 100 1,605 1,878 1,842 1,760 1,684 1,555 2,008 1,965 1,960 1,905 1,831 31,056 6,5672 8,3582 12,4378 16,4179 22,6368 0,0995 2,2388 2,4876 5,2239 8,9055 158,518 Ekstrak metanol Ekstrak heksana 242,671 508,621 Dari hasil penentuan hambatan (%) untuk ekstrak etanol, aseton. etil asetat dapat ditentukan nilai IC50 berdasarkan grafik konsentrasi ekstrak (µg/ml) sebagai sumbu x terhadap hambatan (%) sebagai sumbu y. IC50 merupakan konsentrasi ekstrak yang mampu memberikan persen penangkapan radikal sebanyak 50% dibandingkan dengan kontrol melalui suatu persamaan garis regresi linier. Kurva hasil uji aktivitas antioksidan dari ekstraksi berbagai pelarut tertera pada Gambar 6 sampai Gambar 10. 75 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Gambar 3. Kurva hasil uji aktivitas antioksidan dari ekstrak etanol labu kuning Gambar 4. Kurva hasil uji aktivitas antioksidan dari ekstrak aseton labu kuning Gambar 5. Kurva hasil uji aktivitas antioksidan dari ekstrak etil asetat labu kuning 76 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Gambar 6. Kurva hasil uji aktivitas antioksidan dari ekstrak metanol labu kuning Gambar 9. Kurva hasil uji aktivitas antioksidan dari ekstrak heksana labu kuning Dari kurva hasil uji aktivitas antioksidan dari ekstrak etanol labu kuning (Gambar 6) diperoleh persamaan garis untuk ekstrak etanol yaitu y = 0,543x – 5,236, jika nilai y = 50 maka diperoleh nilai x sebesar 101,724.Persamaan garis untuk ekstrak aseton yaitu y = 0,179x + 3,986, jika nilai y = 50 maka diperoleh nilai x sebesar 257,061. Persamaan garis untuk ekstrak etilasetat yaitu y = 0,309x + 1,018, jika nilai y = 50 maka diperoleh nilai x sebesar 158,518. Persamaan garis untuk ekstrak metanol yaitu y = 0,201x + 1,223, jika nilai y = 50 maka diperoleh nilai x sebesar 242,671. Persamaan garis untuk ekstrak heksana yaitu y = 0,103x - 2,388, jika nilai y = 50 maka diperoleh nilai x sebesar 508,621. IC50 adalah konsentrasi larutan uji yang mampu menghambat 50% larutan radikal bebas 1,1-difenil-2-pikrilhidrazil (DPPH). Adanya perbedaan jenis pelarut menyebabkan nilai IC50 yang berbeda, yang berarti aktivitas antioksidan dari tiap ekstrak berbeda. IC50 ekstrak etanol , ekstrak etil asetat, ekstrak aseton, ekstrak methanol dan ekstrak heksana masing-masing adalah 101,724 µg/mL, 158,518 µg/mL, 77 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan 257,061 µg/mL, 242,671 µg/mL dan 508,621 µg/mL . Berdasarkan Blois, 1958 diketahui nilai IC50 kurang dari 200 µg/mL dikatakan mempunyai aktivitas antioksidan yang kuat, hal ini menunjukkan bahwa ekstrak etanol dan etil asetat yang memiliki aktivitas antioksidan yang kuat, dimana ekstrak etanol memiliki aktivitas antioksidan yang lebih kuat dibandingkan dengan ekstrak etil asetat. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa : 1. Hasil analisis proksimat terhadap tepung labu kuning yang meliputi kadar air, abu, lemak, protein, pati, serat kasar,beta karoten,vitamin C ,thiamin, Fe,Ca ,kalium dan natrium berturut turut sebesar 11,513%, 3,37%, 1,99%, 10,938%, 23,74%,5,56%,0,76 %, 2,134 mg/g, 0,408 ppm, 0,682 ppm, 0,0137 %,63 ppm, dan 8,89ppm. 2. Nilai IC50 untuk ekstrak etanol , ekstrak etil asetat, ekstrak aseton, ekstrak metanol dan ekstrak heksana masing-masing adalah 101,724 µg/mL, 158,518 µg/mL, 257,061 µg/mL, 242,671 µg/mL dan 508,621 µg/mL. Aktivitas antioksidan dari mulai yang paling besar sampai terkecil adalah ekstrak etanol, ekstrak etil asetat, ekstrak metanol, ekstrak aseton dan ekstrak heksana. Daftar Pustaka Abdul Rohman dan Sumantri. 2007. Analisis Makanan. UGM Press. Ali Shodikin. 2009. Teknologi Pengolahan Waluh. Universitas Negeri Semarang. Azizah A,H., Wee,K.C, Azizah O, dan Azizah M. 2009. Effect Boiling and Stir Frying on Total Phenolics, Carotenoids and Radical Scavenging Activity of Pumpkin Cucurbita moschato ).International Food Research Journal 16 : 4551. Depkes RI 2001. Komposisi Bahan Makanan. Depkes RI.Jakarta Dinna Sofia. 2005. Antioksidan. http:// www. Chem-is-try.org/antioksidan/radikal bebas. gKlinis@ Gizi.net. 2004. Labu Kuning Penawar Racun dan Cacing Pita Yang Kaya Antioksidan. Kim,O.S. 2005 . Radical Scavenging Capacity and Antioxidant Activity of the E Vitamer Fraction in Rice bran. J.Food Sci.70(3): 208-213 Klaui H dan Bauernfeind.1981. Carotenoids as Food Colour, Di dalam Bauernfeind JC.(ed). Carotenoids as Colorans and Vitamin A Precursor. London: AP Publ. Kumalaningsih S.2006. Antioksidan Alami. Trubus Agrisana. Surabaya. Linder MC. 1991. Nutritional Biochemistry and Metabolism with Clinical Applications. Ed ke-2. California : Pretice- Hall International Inc. Mandley,D.2000.Technology of Biscuits, Crackers and Cookies.CRC Press. Boca Raton, USA. Nishigaki TM dan Waspodo IS. 2007. Khasiat Buah Merah Sebuah Kajian di Jepang Jakarta : Cindy Printing. 78 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Sarastani D,Soewarno T.S,Tien M, Dedi F.2002. Aktivitas Antioksidan Ekstrak dan Fraksi Ekstrak Biji Atung . Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. XX(1) : 149-156 Yen, G.C: H.Y. Chen. 2003. Antioksidant Activity of Extracts from Du-zhong (Eucomia ulmoides) toward Various Lipid Peroxidation Models in Vitro. J. Agric.Food. 79 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Respon Pertumbuhan Tunas In Vitro Talas Satoimo (Colocasia esculenta var. antiquorum) pada Berbagai Jenis Pemadat Agar Hani Fitriani*1 dan Pramesti D. Aryaningrum1 1 Reseach Centre for Biotehnology, Indonesian Institute of Science Cibinong Sciene Centre, Jl. Raya Bogor KM 46, Cibinong 16911 Phone : 021-8754587, Fax : 021-8754588 *Email : h_fitriani@plasa.com ABSTRAK Talas (Colocasia esculenta L.Schott) sangat potensial untuk dikembangkan sebagai bahan pangan berbasis umbi-umbian, karena kaya akan karbohidrat, protein, vitamin C, thiamin, riboflavin dan niasin. Dengan demikian ketersediaan bibit talas satoimo dalam jumlah besar dan seragam sangat diperlukan untuk mendukung produktivitas yang tinggi. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui respon tanaman terhadap berbagai jenis pemadat agar meliputi perbanyakan dan pertumbuhan tunas in vitro. Metode penelitian ini terbagi ke dalam tiga tahap, yaitu inisiasi tunas pada media MS tanpa zat pengatur tumbuhan (zpt) dari eksplan umbi, perbanyakan tunas majemuk pada media MS yang mengandung hormon 1 mg/l BAP selama 2 minggu, dan tahap terakhir pemanjangan dan perakaran pada media MS yang mengandung 1 mg/L BAP dan 0,35 mg/L IAA selama 1 bulan. Tunas yang muncul ditransfer ke media perlakuan 1 mg/L BAP dan 0,35 mg/L IAA dengan berbagai jenis agar yaitu agar swallow, micro agar, dan gelrite. Parameter pertumbuhan yang diamati ialah tinggi tunas (cm), jumlah akar dan jumlah tunas yang terbentuk. Data hasil pengamatan dianalisis secara statistik dengan Uji Duncan. Hasil penelitian menunjukkan pertumbuhan in vitro talas satoimo sangat dipengaruhi oleh jenis pemadat agar. Micro agar memberikan pengaruh terbaik terhadap pertumbuhan in vitro talas satoimo dimana keseluruhan nilai ratarata untuk pertumbuhannya lebih tinggi dibanding jenis agar lainnya. Rata-rata tinggi tunas, jumlah akar dan jumlah tunas yang terbentuk pada micro agar masing-masing adalah 0,95 cm; 2,9 dan 3,5 pada taraf uji Anova P<0,05. Kata Kunci: agar swallow, beda agar, gelrite, micro agar, Talas satoimo Pengantar Bertambahnya jumlah penduduk berdampak pula terhadap peningkatan kebutuhan akan pangan, khususnya kebutuhan pangan karbohidrat. Namun fakta menunjukkan bahwa kemampuan pangan nasional semakin terbatas. Hal ini ditunjukkan dengan terjadinya alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian (perkebunan dan perumahan). Agar kebutuhan pangan nasional dapat terpenuhi maka perlu dilakukan upaya peningkatkan kuantitas dan kualitas produktivitasnya, serta melakukan usaha diversifikasi pangan menggunakan sumber daya pangan lokal. Salah satunya adalah mengoptimalkan penggunaan umbi talas sebagai sumber bahan pangan karbohidrat alternatif pengganti beras (Dinas Pertanian Kabupaten Sumedang, 2001) . 81 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Talas (Colocasia esculenta L.Schott) merupakan tanaman herba perenial yang termasuk dalam family Araceae C. esculenta yang dikelompokkan menjadi 2 varietas, yaitu C. esculenta var. esculenta (dasheen) dan C. esculenta var. antiquorum (eddoe). Talas dasheen memiliki umbi tengah yang besar, sedangkan talas eddoe atau sering disebut talas satoimo memiliki umbi tengah yang kecil dengan banyak anak umbi di sekitarnya. Beberapa sumber menyebutkan bahwa talas berasal dari daerah di Asia Selatan (India) atau Asia Tenggara (Malaysia), lalu menyebar ke Cina, Jepang, daerah Asia Tenggara lainnya, Kepulauan Pasifik, Afrika Barat, dan beberapa daerah di kawasan Caribia melalui migrasi penduduk (Onwueme, 1999). Menurut Purseglove (1992), talas eddoe terbentuk setelah mengalami perkembangan dan seleksi saat ditanam di Cina dan Jepang. Di Indonesia talas dapat dijumpai hampir di seluruh kepulauan dan tersebar dari tepi pantai sampai pegunungan, baik liar maupun budidaya. Talas sangat potensial untuk dikembangkan sebagai bahan pangan alternatif, karena kaya akan karbohidrat, protein, vitamin C, thiamin, riboflavin dan niasin (Niba, 2003). Selain itu talas juga dapat dijadikan sebagai bahan obat-obatan, substitusi tepung terigu/gandum dan pakan ternak (Dinas Pertanian Kabupaten Sumedang, 2001). Ekstrak dari akar talas dapat digunakan untuk obat tradisional reumatik dan jerawat, sedangkan ekstrak daunnya digunakan untuk menghentikan pendarahan karena luka, menetralisir racun ular dan obat pencahar (Thinh, 1997). Jenis talas satoimo saat ini sedang gencar dibudidayakan diberbagai daerah di Indonesia karena potensi pasar ekspor untuk talas ini sangat besar, terutama di negara Jepang yang setengah dari jumlah penduduknya mengkonsumsi talas satoimo sebagai makanan pokok (Pudjiatmoko, 2008). Namun sayangnya ketersediaan bibit talas satoimo masih sedikit dan perbanyakan bibit dari anakan perlu waktu cukup lama, serta pertumbuhan tanamannya yang tidak seragam. Oleh karena itu diperlukan teknologi perbanyakan bibit talas satoimo berkualitas dalam waktu relatif singkat, yaitu dengan cara teknik kultur jaringan. Media kultur merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan perbanyakan tanaman melalui teknik kultur jaringan (in vitro). Berbagai komposisi media kultur telah diformulasikan untuk mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang dikulturkan. Menurut Yusnita (2004), Media dasar dalam kultur jaringan umumnya menggunakan media Murashige dan Skoog (MS) yang merupakan media pertumbuhan dengan jenis agar yang diperkaya dengan berbagai senyawa organik, vitamin dan zat pengatur tumbuh (ZPT). Penambahan ZPT ke dalam media kultur jaringan berperan untuk mendukung pertumbuhan eksplan. Ada dua jenis ZPT yang digunakan dalam propagasi secara in vitro, yaitu auksin dan sitokinin. Auksin dapat merangsang pembentukan akar dan pembentukan kalus, sedangkan sitokinin berperan merangsang pembelahan sel dalam jaringan eksplan serta berpengaruh terhadap inisiasi atau pembentukan tunas (Wetherel, 1982). Bahan pemadat yang umum digunakan dalam media MS adalah agar Bacto, Oxoid, Gelrite atau Phytagel (Priadi et al., 2008). Bahan pemadat agar dalam media kultur sangat penting, karena dapat memelihara proses biokimia dan fisiologi dari jaringan tanaman maupun mikroorganisme yang dikulturkan (Maliro dan Lameck, 2004). Derajat keasaman (pH) untuk kepadatan bahan pemadat agar dalam media kultur yang optimum adalah berkisar antara 5,0 - 6,0 (Hartmann et al., 1990). 82 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Penelitaian ini bertujuan untuk mengetahui respon tanaman terhadap berbagai jenis agar dalam mendukung perbanyakan dan pertumbuhan tunas talas satoimo (Colocasia esculenta var. antiquorum) secara in vitro. Bahan dan Metode Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Genetika Molekuler Tanaman dan Modifikasi Jalur Biosintesa, Pusat Penelitian Bioteknologi, LIPI. Bahan Tanaman dan Pemadat Bagian talas yang digunakan sebagai eksplan adalah bagian umbinya dari tanaman berumur 6 minggu yang dipelihara di rumah kaca. Bahan tanaman yang digunakan diperoleh dari koleksi tanaman talas satoimo, SEAMEO BIOTROP. Umbi tersebut kemudian bagian permukaannya dibersihkan dengan sikat halus dan detergent cair untuk menghilangkan kotoran dari tanah yang menempel pada bagian kulit luar umbi lalu direndam dengan aquades steril (60 menit), direndam dalam clorox 1% selama 60 menit, dan terakhir direndam dalam 0,1% HgCl2 selama 1 menit. Pada tiap tahapan, eksplan dicuci beberapa kali menggunakan akuades steril hingga bersih (35 kali) yang dilakukan di dalam laminar air flow (LAF) dengan kondisi aseptik. Selanjutnya, eksplan dipotong-potong menjadi beberapa bagian lalu ditiriskan di atas tissue steril. Eksplan ditanam pada media MS tanpa ZPT kira-kira selama 1 bulan hingga muncul tunas. Inkubasi di ruang kultur dengan suhu ± 22ºC di bawah lampu flouresent. Pengamatan kultur dilakukan setiap 2 hari sekali untuk mengetahui waktu tunas muncul (inisiasi tunas) dan pengamatan kontaminasi kultur. Perbanyakan Tunas Majemuk Tunas yang tumbuh ditanam pada media perbanyakan. Media yang digunakan adalah media MS yang mengandung hormon 1 mg/L 6-Benzilamino Purin (BAP) dan 0,35 mg/L Indol 3-Acetic Acid (IAA). Uji Perlakuan Berbagai Jenis Agar Tunas majemuk yang dihasilkan dari media multiplikasi tersebut selanjutnya dijadikan sebagai eksplan untuk uji perlakuan berbagai jenis agar terhadap respon pembentukan dan pertumbuhan tunas talas satoimo secara in vitro hingga menjadi tanaman lengkap (plantlet). Media perlakuan adalah media yang sama untuk multiplikasi tunas yang ditambahkan jenis agar berbeda. Pengamatan uji perlakuan ini dilakukan secara visual setiap 2 hari sekali selama 2 minggu. Parameter yang diamati adalah jumlah tunas baru, tinggi tanaman dan jumlah akar. Jenis agar yang diuji adalah agar gelrite, swallow dan micro agar yang ditambahkan ke dalam media sehingga diperoleh kepadatan yang sesuai untuk kultur jaringan tanaman. 83 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Desain Percobaan Penelitian ini disusun berdasarkan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan perlakuan berbagai jenis agar yaitu agar swallow, gelrite dan micro agar. Setiap perlakuan diulang 3 kali, dan setiap perlakuan rata-rata terdiri atas 3 tanaman, sehingga terdapat 30 sampel. Parameter pengamatan kuantitatif meliputi jumlah tunas yang terbentuk, jumlah akar dan tinggi tanaman. Faktor pertama adalah jenis agar dan faktor kedua adalah parameter pertumbuhan (jumlah dan tinggi tunas serta jumlah akar). Jumlah tunas diamati setiap 2 hari, sedangkan tinggi tunas diamati setelah kultur berumur 2 minggu. Data dianalisis dengan Uji Duncan dan dilanjutkan dengan ANOVA menggunakan paket perangkat lunak statistik SPSS 16.0. Ringkasan rancangan percobaan tersebut disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Ringkasan kombinasi perlakuan faktorial pengaruh jenis bahan pemadat terhadap parameter pertumbuhan Perlakuan Faktor I Jenis agar (%) Agar Swallow Gelrite Micro agar Faktor II Jumlah tunas yang terbentuk Tinggi tunas Jumlah akar Hasil dan Pembahasan Daya Hidup dan Jumlah Tunas Tahap Inisiasi Kultur Seluruh eksplan yang disterilisasi mengalami kontaminasi bakteri dan jamur sejak 1 minggu setelah tanam (MST), namun demikian ada beberapa eksplan yang berhasil disterilkan dan tumbuh sehingga bisa digunakan untuk percobaan. Berdasarkan pengamatan sebagian besar kontaminasi disebabkan oleh cendawan dan bakteri. Persentase eksplan yang terkontaminasi selama pengamatan adalah sebesar 84,6% (Tabel 2). Selain kontaminasi, sekitar 12,8% eksplan mengalami browning yang menyebabkan kematian pada ekspan. Menurut Pierik (1987), browning disebabkan karena adanya aktivitas enzim seperti polifenol oksidase dari dalam eksplan yang terbentuk pada saat eksplan dilukai, sehingga kematian akibat pencoklatan lebih sulit diatasi daripada kontaminasi. Eksplan umbi talas satoimo yang disterilisasi tumbuh tunas pertama kali pada hari ke-11 (Gambar 1B). Selanjutnya tunas dipindahkan ke media MS yang mengandung 1 mg/L BAP. Pemindahan eksplan ke media yang mengandung BAP tersebut diharapkan dapat merangsang pembentukan tunas majemuk tunas baru (Gambar 1C). Persentase daya tumbuh eksplan umbi talas satoimo secara in vitro selama pengamatan (1-4 MST) adalah 5,1% yaitu dua eksplan. Dari kedua eksplan tersebut juga tumbuh tunas baru yang selanjutnya dimanfaatkan sebagai material induksi tunas majemuk yang diuji pada berbagai jenis agar. 84 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Tabel 2. Persentase tunas yang muncul dan kontaminasi inisiasi kultur talas satoimo Persentase Jumlah Persentase Persentase Jenis eksplan No. eksplan kontaminasi browning kontaminasi tumbuh bakteri dan 1 5 0 100 0 jamur 2 5 0 60 40 Sda 3 5 20 80 0 Sda 4 4 25 75 0 Sda 5 5 0 100 0 Sda 6 5 0 100 20 Sda 7 5 0 100 0 Sda 8 5 0 60 40 sda TOTAL 39 5,1 84,6 12,8 A B C Gambar 1. Insiasi kultur Talas Satoimo, A = Talas satoimo di polybag umur 4 minggu, B = kultur umbi yang bertunas pada media 1 mg/L BAP, C = tunas majemuk pada media MS + 1 mg/L BAP + 2 µM IAA. Pengaruh Agar Terhadap Jumlah Tunas, Tinggi Tunas dan Jumlah Akar Jumlah Tunas Berdasarkan analisis ANOVA, jumlah tunas sangat nyata dipengaruhi oleh jenis agar. Hasil percobaan ini menunjukkan bahwa penggunaan media dengan jenis agar yang berbeda menyebabkan respon yang berbeda terhadap pembentukan jumlah tunas talas satoimo. Media yang paling banyak menghasilkan tunas adalah micro agar yaitu hampir 4 tunas dan berbeda nyata (p<0,05) dibandingkan agar swallow dan gelrite yang jumlah tunasnya masing-masing 2 dan 1 tunas (Gambar 2.A-C). Penggunaan agar di pasaran seperti agar swallow telah digunakan pada perbanyakan tunas berbagai tanaman seperti pisang (Badan Litbang Pertanian, 2011) dan kencur (Seswita, et al. 2012) sedangkan gelrite untuk tanaman cabe (Alejo, 2005) tetapi untuk perbanyakan tunas talas satoimo micro agar memberikan kondisi optimum untuk perbanyakan tunas dibanding agar swallow. Pengaruh jenis agar terhadap kultur in vitro telah dilaporkan 85 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan oleh Sudarmonowati et al. (2009) dimana persentase pembentukan kalus friable embryogenic callus (FEC) pada ubi kayu dengan micro agar mencapai 100% dibandingkan jenis agar oxoid no.6 dan gelrite tidak terbentuk FEC sama sekali (0%). Berdasarkan pengamatan yang dilakukan secara visual terhadap morfologi pertumbuhan tunas pada media dengan agar gelrite menghasilkan tunas yang terbentuk berukuran lebih kecil dan pendek, daun kecil hingga sedang (Gambar 2). Akibat tunas yang pendek-pendek tersebut menyebabkan tunas sulit untuk disubkultur atau dipisahpisahkan. Tingkat pertumbuhan tunas pada gelrite juga lebih lambat dibanding 2 jenis agar lainnya. Tinggi Tunas Seperti halnya pada jumlah tunas, micro agar memberikan pengaruh yang lebih baik untuk media pertumbuhan talas satoimo karena menghasilkan nilai rata-rata tinggi tunas paling tinggi (0,95 cm) dan berbeda nyata (p<0,05) dibanding agar swallow (0,4 cm) maupun dengan gelrite (0,55 cm). Kandungan sejumlah mineral tambahan yang cukup signifikan dan matriks gel yang dihasilkan micro agar (Tabel 3) diduga meningkatkan ketersediaan unsur-unsur hara yang diperlukan sehingga pertumbuhan tanaman menjadi lebih baik. Menurut Basri (2004), gel pemadat mengandung sejumlah mineral yang dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman, dimana matriks gel yang dihasilkan dapat mengikat atau mengabsorbsi mineral seperti kalsium, besi dan seng. Scholten and Pierik (1997) menyatakan garam-garam Murashige and Skoog yang menjadi immobile pada gel dapat mencapai 30%. Pada konsentrasi tinggi dimana gel menjadi terlalu keras, sangat sedikit air yang tersedia dan difusi unsur hara ke dalam jaringan tanaman menjadi terganggu (Taji et al., 1997). Disamping itu, micro agar adalah pemadat yang memiliki kemurnian tinggi (Pierik, 1987) dibandingkan agar swallow. Beberapa peneliti (Scholten and Pierik, 1998), melaporkan bahwa perbedaan kemurnian/jenis agar menyebabkan variasi dalam respon pertumbuhan. Tabel 3. Kandungan mineral pada berbagai pemadat agar Properti Takaran Suhu gel pH Residu Ca Mg K P Na I Gel strength Sulphated ash Ash acid insoluble Agar Swallow Globe** 8 g/L 7 g/L 20oC 6-9 9,5% Kandungan Mineral (%) < 2000 ppm 7,56% 0,11% > 900 g/cm2 550 – 850 g/cm2 < 6% <0,5% Micro agar1 Gelrite2 2 - 4 g/L 25 - 27 oC low low 400 – 700 g/cm2 - Keterangan : 1. Duchefa Biochemie, 2. PhytoTechnology Laboratories 86 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Jumlah Akar Menurut Matjik (2005), akar merupakan organ tanaman yang berfungsi untuk menyerap nutrisi (unsur hara ) baik makro maupun mikro dari media tumbuh untuk kemudian digunakan dalam proses tumbuh dan berkembangnya tanaman. Jumlah akar memegang peranan yang sangat penting bagi pertumbuhan eksplan pada kultur in vitro. Jumlah akar yang semakin banyak bagus untuk penyerapan nutrisi dari media. Hasil analisis ANOVA pada Tabel 4 menunjukkan pengaruh nyata jenis agar terhadap pertumbuhan akar (Gambar 2). Rataan jumlah akar yang mampu dihasilkan micro agar adalah sebanyak 2,9 akar per eksplan, agar swallow 0,99 akar per eksplan dan gelrite 0,71 akar per eksplan. Artinya media tumbuh dengan micro agar memberikan hasil yang optimum bagi tanaman talas satoimo untuk tumbuh dengan baik karena kemampuan tanaman dalam menyerap unsur haranya lebih tinggi dibanding 2 jenis agar lainnya yaitu agar swallow dan gelrite. Tabel 4. Pengaruh bahan pemadat terhadap tinggi, jumlah akar dan jumlah tunas yang terbentuk Jenis agar Tinggi tunas (cm)* Jumlah akar* Jumlah tunas yang terbentuk* Micro agar 0,95 2,9 ± 0,9 a 3,5 ± 0,4 a ± 0,03 a Agar Swallow 0,55 ± 0,11 b 0,7 ± 0,5 b 2,0 ± 0,5 b Agar Gelrite 0,4 ± 0,12 b 0,4 ± 0,3 b 1,4 ± 0,4 b Standar Deviation 0,37 2,12 1,6 *Angka rerata ± standard error yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata berdasarkan uji wilayah berganda Duncan pada taraf kepercayaan 95%. B A 87 C Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan D E F akar akar akar Gambar 2. Tunas dan akar pada media dengan bahan pemadat micro agar (A dan D), gelrite (B dan E) dan agar swallow (C dan F). Kesimpulan Pada penelitian ini jenis agar yang yang paling baik digunakan sebagai bahan pemadat pada kultur jaringan talas satoimo adalah micro agar yang ditunjukkan oleh parameter pertumbuhan tanaman seperti tinggi dan jumlah tunas serta jumlah akar memliki nilai tertinggi dibandingkan 2 jenis agar lainnya. Penggunaan bahan pemadat media yang bersumber dari agar swallow masih merupakan pilihan mengingat agar untuk kultur jaringan seperti micro agar mempunyai karakteristik fisik yang lebih baik dari pada agar swallow. Ucapan Terimakasih Ucapan terimakasih disampaikan kepada Dr. N Sri Hartati yang banyak membantu dalam penulisan makalah ini. Daftar Pustaka Alejo, N.O. 2005. Capsaicin accumulation in Capsicum spp. Suspension culture. Plant Science 318: 327-334. Badan Litbang Pertanian. 2011. Prospek Teknik Kultur Jaringan untuk Pengadaan Bibit Pisang. Agroinovasi edisi 19-25 Oktober 2011. No.3427. Basri, 2004. Kultur Jaringan Tanaman. Tadulako Press. Palu. Seswita D., I. Marsika, E. Gati. 2012. Aplikasi Kultur Jaringan untuk Perbanyakan Klonal Tanaman Kencur. Warta Tumbuhan Obat Indonesia, Vol.3 No.2. Dinas Pertanian Kabupaten Sumedang. 2001. Umbi-Umbian (Tanaman Talas). http://tanamanpangan.deptan.go.id/doc-upload/talas.pdf. Diakses tanggal 30 Oktober 2012. Hartmann, H.T., D.E. Kester, dan F.T. Davies. 1990. Plant Propagation: Principles and Practices. 5th Edition. Prentice Hall Inc., Singapore. Maliro, M.F.A., dan G. Lameck. 2004. Potential of Cassava Flour as A Gelling Agent in Media for Plant Tissue Cultures. African Journal of Biotechnology 3 (4): 244-247. Matjik, N.A. 2005. Peranan kultur jaringan dalam perbaikan tanaman. Orasi Ilmiah Guru Besar IPB. FP IPB, Bogor. 88 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Niba, L.L. 2003. Processing Effects on Susceptibility of Starch to Digestion in Some Dietary Starch Sources. International Journal of Food Nutrition 5: 97109. Onwueme, I.C. 1999. Taro Cultivation in Asia and Pacific (FAO-RAP Publication No. 1999/16). Pierik, R. L. M. 1987. In vitro Culture of Higher Plants. Martinus Nijhoff Publ., Netherlands. 344pp. Priadi, D., H. Fitriani, dan E. Sudarmonowati. 2008. Pertumbuhan In Vitro Tunas Ubi Kayu (Manihot esculenta Crantz) pada Berbagai Bahan Pemadat Alternatif Pengganti Agar. Biodiversitas 9 (1): 9-12. Pudjiatmoko. 2008. Talas Jepang Satoimo. http://atanitokyo.blogspot.com/2008/04/talas-jepang-satoimo.html. Diakses tanggal 30 Oktober 2012. Purseglove, J. W. 1972. Tropical Crops, Monocotyledon. Longman, London. Scholten, H.J. and R.L.M. Pierik, 1997. Agar as a gelling agent: chemical and physical analysis. Biomedical and Life Sciences Plant Cell Reports. Vol. 17 No. 3. Sudarmonowati E., H. Fitriani, Supatmi, N. Ardiyanti. 2009. Factors Affecting Friable Embryogenic Callus in Several Plant Species. Journal of Biotechnology Research in Tropical Region 2 (2): 1979-9756. Taji, A., William A. Dodd and Richard R. Williams, 1997. Plant Tissue Culture Practice. 3th Ed. University of New England Printery Armidale, NSW, Australia. Thinh, N.T. 1997. Cryopreservation of Germplasm of Vegetatively Propagated Tropical Monocots by Vitrification. Doctoral Dissertation. Kobe University. Yusnita. 2004. Kultur Jaringan. Cara Memperbanyak Tanaman Secara Efisisen. Cetakan Ketiga. Agro Media Pustaka, Jakarta. Wetherel, D.F. 1982. Pengantar Propagasi Tanaman Secara In Vitro (Terjemahan). Avery Publishing Group, New Jersey. 89 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Uji Aktivitas Antioksidan dan Kandungan Tanin Total Daun Teh (Camellia sinensis Kuntze) dengan Perbedaan Ketinggian Lahan Sri Wardatun*1), Sutanto2), Dara A. Pringgadani3) 1,3) 2) Program Studi Farmasi FMIPA-UNPAK Program Studi Kimia FMIPA-UNPAK Email : umi.rafifa@yahoo.com ABSTRAK Teh merupakan salah satu minuman yang banyak dikonsumsi sehari-hari oleh masyarakat. Selain sebagai minuman menyegarkan teh hijau telah lama diyakini bermanfaat bagi kesehatan tubuh. Manfaat teh salah satunya adalah sebagai antioksidan. Komponen aktif dalam teh yang memberikan khasiat sebagai antioksidan adalah zat tanin yang cukup tinggi. Menurut literatur, ketinggian lahan akan mempengaruhi kandungan senyawa aktif dalam tanaman, sehingga untuk membuktikan pernyataan tersebut dilakukan penelitian mengenai aktivitas antioksidan dan kadar tanin total pada teh hijau dengan perbedaan ketinggian lahan. Teh yang digunakan dari ketiga tempat yang berbeda ketinggian lahan (Gunung Mas 800 – 1200 m dpl, Gambung 1.300 m dpl dan Rancabali 1.400 – 1.900m dpl). Metode ekstraksi yang digunakan adalah maserasi dengan pelarut akuabides yang suhu pelarutnya 500C dan 950C. Penentuan kadar tanin dengan reagen Folin-Ciocalteu, sedangkan pengujian aktivitas antikosidan menggunakan metode peredaman radikal bebas senyawa 1,1-difenil-2-pikrilhidrazil. Hasil penelitian menunjukkan ketinggian lahan tidak memiliki perbedaan yang signifikan terhadap kadar tanin dan aktivitas antioksidan, sedangkan Suhu pelarut akan berbanding lurus dengan kadar tanin terekstrak. Kata Kunci : antioksidan, tanin, teh Pengantar Sejak zaman dahulu teh merupakan salah satu minuman yang sangat populer di dunia. Di Indonesia teh banyak dikonsumsi sehari-hari oleh masyarakat. Selain sebagai minuman yang menyegarkan teh telah lama diyakini memiliki khasiat bagi kesehatan tubuh. Pada masyarakat pedesaan seduhan teh kental digunakan untuk pertolongan awal pada penderita diare, bahkan seduhan teh pada sebagian masyarakat diyakini bermanfaat sebagai obat kuat dan dapat membuat awet muda. Umumnya bagian tanaman yang digunakan adalah pucuk daun teh yang masih muda dari jenis teh Cammelia sinensis (Syukur, 2007).Tanaman teh dengan nama latin Camelia sinensis, pada umumnya tumbuh di daerah yang beriklim tropis dengan ketinggian antara 200 m - 2000 m di atas permukaan laut dengan cuaca 140C – 250C. Tanaman teh tersebut dibudidayakan secara luas dilebih dari 30 negara dan telah memberikan kontribusi yang tidak sedikit bagi perekonomian negara-negara tersebut (Fernandez et al., 2002). 91 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Negara-negara yang tercatat sebagai produsen teh terbesar di dunia diantaranya Cina, India, Srilanka, Jepang, Kenya, Bangladesh dan Indonesia (Kumar et al., 2005). Sejumlah penelitian baik secara epidemiologi maupun farmakologi menyatakan bahwa mengkonsumsi teh dapat menurunkan resiko terkena kanker,jantung koroner dan mencegah penuaan dini. Senyawa dalam teh yang berkhasiat untuk menurunkan resiko terkena kanker,jantung koroner, dan mencegah penuaan dini adalah senyawa antioksidan. Zat aktif pada teh yang dapat berfungsi sebagai antioksidan adalah Tanin. Tanin pada teh ini adalah antioksidan yang kekuatannya 100 kali lebih efektif dibandingkan vitamin C dan 25 kali lebih tinggi dibandingkan vitamin E (Anonimous, 2007). Menurut Chen (2005) faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya aktivitas antioksidan teh sangat dipengaruhi oleh kandungan senyawa kimia dalam teh tersebut. Jenis tanaman, jenis petikan, ketinggian kebun dan klon sangat mempengaruhi kandungan kimia tersebut. Berdasarkan kondisi tanah dan iklim lingkungannya, hampir 100% tanaman teh di Indonesia merupakan tanaman teh Cammelia sinensis varietas assamica. Varietas ini mempunyai kandungan tanin yang lebih tinggi dibandingkan dengan varietas sinensis yang dibudidayakan di Jepang, China dan Taiwan sehingga potensinya sebagai antioksidan lebih baik ( Williams et al., 2003). Menurut Sulistyono (1995) tinggi tempat berpengaruh terhadap suhu udara dan intensitas cahaya. Suhu dan intensitas cahaya akan semakin kecil dengan semakin tingginya tempat tumbuh Berkurangnya suhu dan intensitas cahaya dapat menghambat biosintesis tumbuhan dan kandungan senyawa dalam tumbuhan. Maka perlu dilakukan penelitian terhadap daun teh dengan perbedaan ketinggian lahan sebagai pembuktian bahwa ketinggian lahan akan mempengaruhi kandungan tanin pada teh dan untuk mengetahui jenis daun teh yang memiliki aktivitas tertinggi sebagai antioksidan. Dalam penelitian ini metode yang digunakan untuk menentukan kandungan tanin dalam daun teh adalah metode spektrofotometri UV-VIS karena mudah digunakan, cepat, akurat dan tidak ada komponen yang mengganggu reaksi. Untuk membuktikan bahwa ketinggian lahan dan perbedaan suhu maserasi dapat mempengaruhi kandungan tanin dan aktivitas antioksidan daun teh (Camellia sinensis Kuntze). Bahan dan Metode Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah simplisia daun teh hijau (Camellia sinensis Linn) yang berasal dari perkebunan teh PTPN VIII Gunung Mas Puncak Bogor, PPTK Gambung Ciwidey Bandung ketinggian dan PTPN XII Rancabali Ciwidey Bandung. Asam galat, asam klorida, etanol, metanol, DPPH, serbuk magnesium, asam klorida pekat, eter, asam asetat anhidrat, asam sulfat pekat, besi (III) klorida,akuabides, pereaksi Folin Ciocalteu 2N (Merck), Na2CO3 7,5%, pereaksi Mayer, dan pereaksi Bouchardat. Alat yang digunakan adalah timbangan analitik (ACIS), termometer, waterbath, spektrofotometer UV-VIS (GENESYS 10 UV) dan alat gelas lainnya. 92 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Metode Jenis penelitian merupakan penelitian eksperimental di laboratorium meliputi : Pengumpulan Bahan Daun teh yang digunakan adalah simplisia daun teh yang diambil dari pucuk sampai daun ke 3. Daun teh berasal dari perkebunan teh PTPN VIII Gunung Mas Puncak Bogor, PPTK Gambung Ciwidey Bandung dan PTPN XII Rancabali Ciwidey Bandung. Penentuan Kadar Air Simplisia Ditimbangmasing-masing simplisia daun teh ± 1 g, dimasukkan ke dalam alat penentu kadar air (Moisture Balance) selama 10 menit. Pembuatan Ekstrak 1. Sebanyak 50 g simplisia daun teh dimaserasi dengan 500 ml akuabides yang suhunya 500C selama 1 jam, kemudian disaring hingga dihasilkan ekstrak encer. Setiap ekstrak disimpan dalam botol coklat. 2. Sebanyak 50 g simplisia daun teh dimaserasi dengan 500 ml akuabides yang suhunya 950C selama 5 menit, kemudian disaring hingga dihasilkan ekstrak encer. Setiap ekstrak disimpan dalam botol coklat. Analisis Fitokimia Meliputi uji alkaloid, uji flavanoid, uji saponin, uji steroid- triterpenoid, uji tanin Penetapan Kadar Tanin Total Pada Ekstrak Teh a. Pembuatan larutan standar asam galat Ke dalam labu takar 50 ml dimasukkan 50 mg asam galat kemudian ditambahkan akuabides sampai 50 ml untuk mendapatkan larutan asam galat standar dengan konsentrasi 1000 mg/l (1000 ppm). Larutan asam galat standar harus selalu disiapkan dalam keadaan baru. Pembuatan larutan standar asam galat 20 ppm. Sebanyak 1 ml larutan standar asam galat 1000 ppm dipipet lalu dimasukkan dalam labu ukur 50 ml dan dilarutkan dengan akuabides sampai batas. b. Penentuan panjang gelombang ( ) maksimum Larutan standar asam galat 20 ppm dipipet 1 ml lalu ditambahkan 5 ml pereaksi Folin-Ciocalteu 0,1 N dan 4 ml larutan Na2CO3 7,5%. Larutan diinkubasi selama 30 menit pada suhu kamar, selanjutnya serapan diukur pada daerah 700 – 780 nm. Spektrum absropsi dibuat antara serapan dan panjang gelombang serta ditentukan panjang gelombang maksimum pada serapan maksimum. c. Penentuan waktu inkubasi optimum Larutan asam galat 20 ppm dipipet sebanyak 1 ml lalu ditambahkan 5 ml pereaksi Folin-Ciocalteu 0,1 N dan 4 ml Na2CO3 7,5%. Serapan diukur pada panjang gelombang 750 nm tiap 10, 20, 30, 40, 50 dan 60 menit, serta ditentukan waktu optimum (waktu inkubasi yang memberikan serapan cukup stabil). Penentuan dilakukan 3 kali pengulangan (triplo). d. Pembuatan kurva kalibrasi 93 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Larutan asam galat 1000 ppm dipipet masing-masing 0, 2 ml, 4 ml, 6 ml, 8 ml dan 10 ml dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml serta diencerkan dengan akuabides sehingga diperoleh konsentrasi larutan masing-masing 0, 20, 40, 60, 80, dan 100 ppm. Dari masing-masing konsentrasi dipipet 1 ml lalu ditambahkan 5 ml pereaksi Folin-Ciocalteu 0,1 N dan 4 ml Na2CO3 7,5% selanjutnya diinkubasi pada suhu kamar selama 50 menit. Serapan dicatat pada panjang gelombang 750 nm dan dibuat kurva kalibrasi antara serapan dan konsentrasi lalu dibuat persamaan garisnya. Penentuan dilakukan 3 kali pengulangan (triplo). e. Penetapan kadar tanin total Ekstrak daun teh dipipet sebanyak 1 ml, lalu dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml dan ditetapkan volumenya dengan akuabides, masing-masing larutan dipipet 1 ml lalu ditambahkan 5 ml pereaksi Folin-Ciocalteu 0,1 N dan 4 ml Na2CO3 7,5 % selanjutnya diinkubasi pada suhu kamar selama 50 menit. Serapan dicatat pada panjang 750 nm dan dihitung kadar tanin pada daun teh tersebut dengan menggunakan regresi linier dari kurva kalibrasi tanin standar. Kadar Tanin (ppm) Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Teh a. Persiapan Larutan Blanko Dipipet sejumlah 1,0 ml larutan DPPH 1mM ke dalam labu ukur 5 ml yang seluruh bagiannya telah ditutup dengan aluminium foil, ditambahkan metanol p.a sampai tanda batas, lalu dihomogenkan. b. Penentuan panjang gelombang ( ) maksimum Dipipet sejumlah 1,0 ml larutan DPPH 1mM ke dalam labu ukur 5 ml yang seluruh bagiannya telah ditutup dengan aluminium foil, ditambahkan metanol p.a sampai tanda batas, lalu dihomogenkan. Larutan diinkubasi selama 30 menit pada suhu kamar, selanjutnya serapan diukur pada daerah 500 – 530 nm. Penentuan dilakukan 3 kali pengulangan (triplo). c. Penentuan waktu inkubasi optimum Dipipet sejumlah 1,0 ml larutan DPPH 1 mM ke dalam labu ukur 5 ml yang seluruh bagiannya telah ditutup dengan aluminium foil, ditambahkan metanol p.a sampai tanda batas, lalu dihomogenkan. Serapan diukur pada panjang gelombang 518 nm tiap 10, 20, 30, 40, 50 dan 60 menit, serta ditentukan waktu optimum (waktu inkubasi yang memberikan serapan cukup stabil). Penentuan dilakukan 3 kali pengulangan (triplo). d. Persiapan larutan vitamin C (Kontrol positif) Ditimbang saksama kurang lebih 10 mg vitamin C lalu dilarutkan dalam metanol sampai 100 ml, sehingga diperoleh larutan dengan konsentrasi 100 μg/ml (larutan induk). Dipipet 0 µl , 150 µl, 300 µl, 450 µl , 600 µl dan 750 µl dari larutan induk 94 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan ke dalam labu ukur 5 ml, untuk mendapatkan konsentrasi 0, 3, 6, 9, 12, dan 15 μg/ml, kemudian ditambahkan 1 ml DPPH 1 mM dan metanol p.a sampai tanda batas, lalu dihomogenkan. Seluruh labu ukur ditutup dengan aluminium foil. e. Persiapan Larutan Uji Dipipet ekstrak uji yang telah diukur konsentrasinya (Tabel 1): Tabel 1. Persiapan larutan uji No Ekstrak Teh 1 2 3 4 5 6   Gunung Mas 950 C Rancabali 950 C Gambung 950 C Gunung Mas 500 C Rancabali 500 C Gambung 500 C Konsentrasi (μg/ml) Volume Ekstrak yang Dipipet (µl) 161,54 157,64 120,19 150,86 99,00 60,19 6.190 6.340 8.320 6.630 5.050 8.310 Larutan Uji Nomor 1, 2, 3 dan 4 Dimasukkan ke dalam labu ukur 10 ml, dilarutkan dalam metanol p.a sampai 10 ml sehingga diperoleh larutan dengan konsentrasi 100 μg/ml (larutan induk). Dipipet 0µl , 150 µl, 300 µ, 450 µl, 600 µl dan 750 µl dari larutan induk ke dalam labu ukur 5 ml, untuk mendapatkan konsentrasi 0, 3, 6, 9, 12, dan 15 μg/ml, kemudian ditambahkan 1 ml DPPH 1 mM dan metanol p.a sampai tanda batas, lalu dihomogenkan. Seluruh labu ukur ditutup dengan aluminium foil. Larutan Uji Nomor 5 dan 6 Dimasukkan ke dalam labu ukur 10 ml, dilarutkan dalam metanol p.a sampai 10 ml sehingga diperoleh larutan dengan konsentrasi 50 μg/ml (larutan induk). Dipipet 0 µl, 300 µl, 600 µl, 900 µ, 1.200 µl, dan 1.500 µl dari larutan induk ke dalam labu ukur 5 ml, untuk mendapatkan konsentrasi 0, 3, 6, 9, 12, dan 15 μg/ml, kemudian ditambahkan 1 ml DPPH 1 mM dan metanol p.a sampai tanda batas, lalu dihomogenkan. Seluruh labu ukur ditutup dengan aluminium foil. e. Uji Aktivitas Antioksidan Larutan blanko, larutan vitamin C (kontrol positif) dan larutan uji kemudian segera diinkubasi pada suhu kamar selama 50 menit. Serapan larutan diukur pada panjang gelombang 518 nm dengan spektrofotometer UV-Vis. Pengukuran persentase hambatan terhadap DPPH dapat dihitung dengan menggunakan rumus: Hambatan%= A.blanko–A.sampelx 100% A.blanko 95 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Hasil dan Pembahasan Bahan yang dikumpulkan untuk penelitian ini adalah simplisia daun teh (Camellia sinensis Kuntze) yang diambil dari 3 pucuk daun teratas. Simplisia teh berasal dari 3 tempat yang memiliki ketinggian berbeda. Tabel 2. Data Perkebunan Teh No Tempat 1 2 3 PTPN VIII Gunung Mas PPTK Gambung PTPN XII Rancabali Ketinggian Lahan ( m dpl) 800 – 1200 1.300 – 1.500 1.400 – 1.900 Pengujian kadar air simplisia dilakukan pada simplisia kering daun teh yang bertujuan untuk mengetahui jumlah air yang terkandung dalam suatu simplisia daun teh sehingga mutu simplisia dan ketahanan simplisia dalam penyimpanan dapat diketahui. Tabel 3. Data Kadar Air Simplisia No. Sampel Simplisia 1 PTPN VIII Gunung Mas 2 PTPN XII Rancabali 3 PPTK Gambung Rata-rata (%) 2,917 2,410 4,527 Menurut Ditjen POM (2000), kadar air simplisia yang berasal dari daun tidak lebih dari 5 %. Dari data hasil pengujian kadar air diatas diperoleh kadar air simplisia yang sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan, sehingga ketiga simplisia tersebut memiliki mutu yang baik dan dapat disimpan lebih lama di tempat yang kering karena kemungkinan tumbuhnya mikroba sangat kecil.Kadar air simplisia tertinggi ada pada simplisia yang berasal dari PPTK Gambung yaitu 4,527 % dan yang terendah ada pada simplisia yang berasal dari PTPN XII Rancabali yaitu 2,410 % hal ini mungkin terjadi karena waktu proses pengeringan simplisia PTPN XII Rancabali lebih lama dibandingkan dengan kedua simplisia yang lainnya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah maserasi pada simplisia daun teh dengan perbedaan suhu dan waktu maserasi, yaitu pada suhu 500C selama 1 jam dan suhu 950C selama 5 menit. Hal ini dilakukan untuk mengetahui kandungan tanin dan aktivitas antioksidan secara langsung seperti yang biasa dilakukan masyarakat dan juga diharapkan agar kandungan tanin yang terdapat dalam sampel tertarik lebih banyak ke dalam pelarutnya. Pelarut yang digunakan yaitu akuabides karena akuabides tidak banyak mengandung senyawa anorganik yang dapat mempengaruhi reaksi pewarnaan, selain itu tanin bersifat larut dalam air dan aplikasi masyarakat dalam penyeduhan teh dengan menggunakan air. Berdasarkan penelitian pada keenam ekstrak simplisia daun teh mengandung alkaloid, flavanoid, triterpenoid dan tanin serta tidak ada perbedaan kandungan golongan senyawa pada keenam ekstrak teh. Perbedaan hanya terlihat dari kepekatan warna yang dihasilkan, dimana ekstrak teh pada suhu 950 C warnanya lebih pekat 96 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan dibandingkan dengan ekstrak teh pada suhu 500C, hal ini mungkin disebabkan karena jumlah kandungan senyawa pada ekstrak teh pada suhu 950 C lebih banyak dibandingkan dengan ekstrak teh pada suhu 500C. Dari hasil percobaan pada keenam ekstrak simplisia daun teh dengan penambahan reagen FeCl3 terbentuk warna hijau, sehingga dapat disimpulkan pada keenam ekstrak terkandung tanin katekol. Berdasarkan hasil pengujian panjang gelombang maksimum antara 700 – 780 nm, didapatkan serapan cukup stabil dan mencapai titik puncaknya untuk standar asam galat adalah 750 nm dan waktu inkubasi optimum yang didapatkan yaitu 50 menit. Kurva kalibrasi ditentukan dengan pembuatan deret standar asam galat dengan konsentrasi 0, 20, 40, 60, 80 dan 100 ppm, lalu diinkubasi selama 50 menit dan diukur serapannya pada panjang gelombang 750 nm. Berdasarkan hasil pengamatan persamaan regresi yang didapatkan yaitu y = 0,0059x + 0,0039 dengan nila r = 0,9747. Dalam menentukan kadar tanin total keenam ekstrak ditetapkan menggunakan metode spektrofotometri UV-Vis, dimana keenam ekstrak tersebut direaksikan dengan menggunakan pereaksi Folin-Ciocalteu yang direduksi dalam suasana basa oleh Na2CO3 dan menghasilkan warna biru. Tabel 4. Kadar Tanin Total No. Sampel 1 2 3 4 5 6 Gunung Mas 500C Rancabali 500C Gambung 500C Gunung Mas 950C Rancabali 950C Gambung 950C Rata-rata Serapan 0,894 0,588 0,359 0,957 0,934 0,713 Kadar Tanin (%) 15,09 9,90 6,02 16,15 15,76 12,02 Dari data yang ditunjukkan oleh Tabel 4 dapat dilihat bahwa perbandingan kadar tanin total antara sampel yang berbeda ketinggian lahannya adalah Gunung Mas 950C > Rancabali 950C > Gambung 950C dan Gunung Mas 500C > Rancabali 500C > Gambung 500C dengan nilai kadar tanin total berturut-turut 16,15% >15,76 % >12,02 % dan 15,09 % > 9,90% >6,02 %, sedangkan perbandingan kadar tanin total antara sampel yang sama tetapi berbeda suhu adalah Gunung Mas 950C > Gunung Mas 500C, Rancabali 950C > Rancabali 500C, dan Gambung 950C > Gambung 500C dengan nilai kadar tanin total berturut-turut yaitu 16,15% > 15,09%, 15,76 % > 9,90% dan 12,02 % > 6,02%. Kandungan tanin total tertinggi berdasarkan perbedaan ketinggian lahan ada pada Gunung Mas 950C dan Gunung Mas 500C, dimana berdasarkan data yang didapatkan ketinggian lahan di PTPN VIII Gunung Mas lebih rendah dibandingkan dengan ketinggian lahan di PTPN XII Rancabali dan PPTK Gambung, tetapi PTPN VIII Gunung Mas memiliki intensitas curah hujan yang cukup tinggi dibandingkan dengan kedua tempat yang lainnya (Tabel 2). Tinggi rendahnya kandungan tanin sangat dipengaruhi oleh biosintesis tanaman tersebut, dimana proses pembentukan tanin terjadi di daun dengan glukosa sebagai bahan awalnya. Glukosa terbentuk melalui proses reaksi antara karbon dioksida dan air dengan bantuan sinar matahari. Proses biosintesis dipengaruhi oleh suhu dan intensitas cahaya, dimana suhu dan intensitas cahaya akan 97 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan semakin kecil dengan semakin tingginya tempat tumbuh sehingga berkurangnya suhu dan intensitas cahaya dapat menghambat biosintesis tumbuhan dan kandungan senyawa dalam tumbuhan (Sulistyono, 1995). Dari pernyataan tersebut, kandungan tanin total tertinggi ekstrak simplisia daun teh yang berasal dari PTPN VIII Gunung Mas dengan ketinggian yang lebih rendah dibandingkan kedua tempat lain kemungkinan terjadi karena suhu, intensitas cahaya dan curah hujan yang tinggi meningkatkan biosintesis tanaman teh sehingga kandungan senyawa tanin lebih tinggi dibandingkan dengan simplisia yang berasal dari PTPN XII Rancabali dan PPTK Gambung. Kandungan tanin total tertinggi berdasarkan perbedaan suhu ada pada ekstrak teh yang dimaserasi pada suhu pelarut 950C, hal ini terjadi kemungkinan karena pada suhu 950C senyawa tanin yang terkandung didalam simplisia teh lebih tertarik secara maksimal ke dalam pelarut karena salah satu faktor yang mempengaruhi kelarutan suatu zat yaitu suhu, dimana semakin tinggi suhu maka kelarutan akan semakin besar, sedangkan pada suhu 500C senyawa tanin kurang tertarik sempurna karena suhu yang kurang panas menyebabkan simplisia daun teh sangat kecil kelarutannya dalam pelarut. Berdasarkan hasil pengujian panjang gelombang maksimum antara 510– 530 nm, didapatkan serapan cukup maksimum yang mencapai titik puncaknya untuk 1,1-difenil2-pikrilhidrazil (DPPH) adalah 518 nm dan waktu inkubasi optimum yang didapatkan yaitu 50 menit. Aktivitas antioksidan menggambarkan kemampuan suatu senyawa yang mengandung antioksidan untuk menghambat laju reaksi pembentukan radikal bebas. Pengujian aktivitas antioksidan pada penelitian ini menggunakan metode peredaman terhadap radikal bebas 1,1-difenil-2-pikrilhidrazil. Pada pengujian ini dilakukan untuk mengetahui besarnya aktivitas antioksidan pada masing-masing ekstrak uji dalam meredam radikal bebas 1,1-difenil-2-pikrilhidrazil yang dapat dilihat dari nilai Inhibisi Concentration 50 (IC50). Nilai IC50 adalah besarnya konsentrasi antioksidan untuk menghambat radikal bebas sebesar 50%. Harga IC50 umum digunakan untuk menyatakan aktivitas antioksidan suatu senyawa dengan metode peredaman radikal bebas (Chow et.al., 2003). Tabel 5. Hasil uji aktivitas antioksidan No. Sampel 1 Vitamin C 2 Gunung Mas 500C 3 Rancabali 500C 4 Gambung 500C 5 Gunung Mas 950C 6 Rancabali 950C 7 Gambung 950C IC50 (μg/ml) 8,43 8,84 9,35 10,11 6,85 7,20 8,82 Pada prinsipnya uji aktivitas antioksidan dengan menggunakan 1,1-difenil-2 pikrilhidrazil (DPPH) adalah mereaksikan antioksidan yang terdapat didalam sampel ekstrak tanaman dengan 1,1-difenil-2-pikrilhidrazil (DPPH) sebagai radikal bebas sehingga terjadi perubahan warna pada struktur 1,1-difenil-2-pikrilhidrazil (DPPH) yang berwarna ungu menjadi 1,1-difenil-2-pikrilhidrazin (DPPHH) yang berwarna 98 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan kuning dan lebih stabil. Pada penelitian ketika penambahan 1 ml DPPH ke dalam larutan uji, terjadi perubahan warna DPPH yang berwarna ungu gelap menjadi warna ungu muda, merah jingga, kuning tua dan kuning muda. Perubahan warna yang terjadi tergantung dari tiap-tiap konsentrasi dan kemampuan larutan uji sebagai antioksidan untuk menghambat radikal bebas tersebut. Berdasarkan hasil, persentase hambatan radikal bebas yang mulai mencapai 50% ada pada konsentrasi 9 μg/ml dengan persentase hambatan sebesar 54,33% yang artinya bahwa vitamin C dapat aktif sebagai antioksidan dimulai pada konsentrasi 9 μg/ml, sedangkan pada konsentrasi 3 dan 6 μg/ml vitamin C tidak aktif sebagai antioksidan karena pada konsentrasi tersebut belum dapat menghambat 50% radikal bebas. Hasil larutan uji yang tercantum pada Tabel 5 menyatakan bahwa ekstrak teh Gunung Mas 500C (55,93%), Gunung Mas 950C (63,92%) dan Rancabali 950C (65,38%) memiliki kemampuan sebagai antioksidan yang sama dengan vitamin C dimulai pada konsentrasi 9 μg/ml, sedangkan ekstrak Rancabali 500C (59,18%), Gambung 500C (58,10%) dan Gambung 950C (64,44%) memiliki kemampuan aktif sebagai antioksidan dimulai pada konsentrasi 12 μg/ml. Berdasarkan data yang didapatkan nilai IC50 ekstrak teh Gunung Mas 500C< Rancabali 500C< Gambung 500C yaitu 8,84 < 9,35 < 10,11 dan Gunung Mas 950C< Rancabali 950C< Gambung 950C yaitu 6,85 < 7,20 < 8,82, dapat diartikan bahwa sampel Gunung Mas 500C dapat menghambat radikal bebas 50% pada konsentrasi 8,84 μg/ml, Rancabali 500C pada konsentrasi 9,35 μg/ml, Gambung 500C pada konsentrasi 10,11 μg/ml, Gunung Mas 950C pada konsentrasi 6,85 μg/ml, Rancabali 950C pada konsentrasi 7,20 μg/ml, dan Gambung 950C pada konsentrasi 8,82 μg/ml. Berdasarkan penelitian dan perhitungan data statistik dapat disimpulkan bahwa perbedaan ketinggian lahan dan suhu maserasi tidak berbeda nyata terhadap kadar tanin total dan aktivitas antioksidan karena pada seluruh data didapatkan nilai P > 0,05. Kesimpulan dan Saran Kesimpulan a. b. c. Hasil ekstraksi tanin menggunakan pelarut pada suhu 950C lebih baik dibandingkan ekstraksi tanin dengan pelarut pada suhu 500C, dimana kadar tanin total terbesar terdapat pada ekstrak teh asal Gunung Mas suhu 950C sebesar 16,15% dan kadar tanin total terendah terdapat pada ekstrak asal Gambung suhu 500C sebesar 6,02%. Nilai IC50 Vitamin C = 8,43 μg/ml, nilai IC50 ekstrak teh Gunung Mas 500C< Rancabali 500C< Gambung 500C yaitu 8,84 < 9,35 < 10,11 dan Gunung Mas 950C< Rancabali 950C< Gambung 950C yaitu 6,85 < 7,20 < 8,82 Berdasarkan penelitian dan perhitungan data statistik dapat disimpulkan bahwa perbedaan ketinggian lahan dan suhu maserasi tidak berbeda nyata terhadap kadar tanin total dan aktivitas antioksidan karena pada seluruh data didapatkan nilai P > 0,05. 99 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Saran a. Untuk mengetahui perbedaan yang nyata antara pengaruh ketinggian lahan dengan kadar tanin total dan aktivitas antioksidan sebaiknya menggunakan daun teh yang berasal dari ketinggian tempat dengan range yang berbeda jauh b. Ekstraksi teh dilakukan pada suhu 950C. c. Meneliti senyawa lain pada teh yang dapat berfungsi sebagai antioksidan. Daftar Pustaka Anonimous. 2007. Antioksidan sebagai Penangkal Penuaan. Dikutip dari: News Letter PT. Askes Chen H., 2005. Components and Antioxidant Activity of Polysaccharide Conjugate From Green Tea. Food Chemistry 90 (1-2):17 Chow S.T., WW Chaw and YC Chung. 2003. Antioxidant Activity and Safety of 50% ethanolic red bean extract (Phaceolus raditus L, Var Aurea). Journal of Food Science. 68(1):21-25 Fernandez P. L., Pablos F., Martin M. J. and Gonzales A. G., 2002. Study of Catechin and Xanthine Tea Profiles as Geographical Tracers. Journal Agric Food Chemical. 50(7): 1833-1839 Kumar A. G., Nair G. C., Reddy A. V. R. and Garg A. N., 2005. Availability of essential elements in Indie and US Tea Brands. Food Chemistry 89 (3):441 Sulistyono. 1995. Pengaruh Ketinggian Tempat Terhadap Pertumbuhan. Majalah Trubus. Jakarta : Trubus Agrisarana. Hal: 5- 6 Syukur, C., 2007. Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat Industri. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,13 (3).Hal: 28-31 Williams SN., Picwell G.V. and Quattrochin L. C., 2003. A combination of Tea (Camellia sinensis) Catechin is Required for Optimal Inhibition of Induced CYP1A Expression by Green Tea Extract. J Agric Food Chem. 51: 66276634 100 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Kandungan Aflatoksin (B1, B2, G1 DAN G2) Pada Kacang Tanah (Arachis Hypogaea L) di Pasar Tradisional Daerah JABOTABEK Ade Heri Mulyati*, Husain Nasrianto, Eka Rachmawati Program Studi Kimia FMIPA Universitas Pakuan Bogor. E-mail: adeherimulyati@yahoo.com ABSTRAK Parameter penting dalam penentuan kacang tanah yaitu aflatoksin (B1, B2. G1 dan G2), karena dapat menyebabkan kanker hati. Kacang tanah di pasar tradisional Jabotabek pada penyimpanan 1, 2, 3 dan 4 minggu dianalisis secara fisik yaitu butir rusak, butir belah, butir warna lain, butir keriput, kotoran dan diameter, dan secara kimia yaitu kadar air dan aflatoksin dengan metode KCKT. Hasil uji menunjukkan kandungan aflatoksin (B1, B2, G1 dan G2) yang memenuhi persyaratan standar BPOM tahun 2004, aflatoksin B1 kurang dari 20 ppb dan aflatoksin total kurang dari 35 ppb dan aflatoksin meningkat setelah penyimpanan 4 minggu. Kadar air, kadar butir rusak, kadar butir belah dan kadar butir keriput pada kacang tanah meningkat selama penyimpanan sedangkan kadar butir warna lain, kotoran dan diameter tidak mengalami perubahan. Butir kacang tanah dengan kadar air yang tinggi selama penyimpanan akan mengalami butir keriput dan butir rusak yang rentan terhadap infeksi Aspergillus flavus yang dapat meningkatkan kadar aflatoksin. Kata Kunci : Kacang Tanah,Aspergillus flavus, Aflatoksin, KCKT Pengantar Di Indonesia, kacang tanah merupakan jenis kacang-kacangan yang penting kedua setelah kedelai. Kacang tanah dapat dimanfaatkan secara luas, baik untuk diolah lebih lanjut atau dikonsumsi secara langsung. Hasil olahannya dapat berupa kacang goreng, kacang rebus, bumbu pecel, bumbu sate, dan berbagai macam kue. Kacang tanah juga dapat digunakan sebagai bahan pembuat minyak goreng dan ampas hasil minyaknya dapat dijadikan pakan ternak yang kaya akan protein. Penyimpanan kacang tanah sangat peka terhadap serangan jamur, hama, dan rayap. Tingkat kerusakan dalam penyimpanan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya yaitu cara penanganan pasca panen (pengeringan, perontokan, dan penyimpanan). Penanganan pasca panen tersebut sangat berpengaruh terhadap mutu awal kacang tanah seperti : kadar air, tingkat kerusakan, dan kematangan biji sebelum disimpan. Faktor lain adalah cara dan kondisi lingkungan, seperti suhu dan kelembaban, serta sirkulasi udara dalam ruang penyimpanan. Indonesia yang memiliki iklim tropis-basah, ternyata memberi peluang besar terhadap tumbuhsuburnya berbagai jenis kapang pada komoditi pertanian.Beberapa jenis kapang mampu memproduksi racun yang disebut mikotoksin dan racun yang secara khusus diproduksi oleh kapang Aspergillus flavus disebut aflatoksin. Substrat (bahan) yang paling baik bagi kapang yang memproduksi aflatoksin adalah produk yang berasal dari kacang tanah (Winarno, 2004). 101 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Kacang tanah (Arachis Hypogaea L.) merupakan tanaman yang berasal dari Amerika Selatan namun saat ini telah menyebar ke seluruh dunia yang beriklim tropis atau subtropis. Biji kacang tanah kaya akan nutrisi karena mengandung karbohidrat, protein dan lemak sehingga dapat menjadi subtrat yang baik bagi pertumbuhan kapang. Faktor-faktor yang mendukung pertumbuhan kapang antara lain kadar air dan kualitas biji-bijian yang dipengaruhi oleh cara pemanenan dan penanganan pascapanen. Kualitas kacang tanah ditentukan oleh Standar Nasional Indonesia (SNI) nomor 01-3921-1995. Tabel 1. Spesifikasi Persyaratan Mutu Kacang Tanah (Arachis Hypogaea L.) Persyaratan Mutu Jenis Uji Satuan I II Kadar air % Maks. 6 Maks. 7 Butir rusak % Maks. 0 Maks. 1 Butir belah % Maks. 1 Maks. 5 Butir warna lain % Maks. 0 Maks. 2 Butir keriput % Maks. 0 Maks. 2 Kotoran % Maks. 0 Maks. 0,5 Diameter mm Min. 8 Min. 7 Sumber : SNI 01-3921-1995 III Maks. 8 Maks. 2 Maks. 10 Maks. 3 Maks. 4 Maks. 3 Min. 6 Tabel 2. Spesifikasi Persyaratan Mutu Kacang Tanah (Arachis Hypogaea L.) Jenis Uji Satuan Persyaratan Mutu Aflatoksin B1 ppb Maks. 20 Aflatoksin total ppb Maks. 35 Sumber : BPOM RI tahun 2004 Aflatoksin diproduksi oleh kapang Aspergillus flavus, Aspergillus parasiticus atau Aspergillus monius, ketiga spesies kapang ini banyak terdapat pada bahan pangan seperti sereal, kacang-kacangan, rempah-rempahan, dan kopra maupun produk olahannya seperti bumbu pecel, kacang telur dan kacang atom. Kapang ini biasanya tumbuh di daerah yang beriklim tropis dan lembab. Saat ini telah diketahui paling sedikitnya 4 macam aflatoksin alamiah yang paling sering dijumpai dan bersifat toksin, yaitu aflatoksin B1, B2, G1 dan G2 berdasarkan penampakan fluoresensinya pada lempeng kromatografi lapis tipis dibawah sinar UV yang memberikan warna biru untuk B dan warna hijau untuk G (Winarno, 2008). Aflatoksin B1 merupakan karsinogen paling potensial yang banyak menyerang berbagai spesies termasuk primata, burung ikan, dan rodensia. Dalam dosis yang tinggi aflatoksin dapat menyebabkan efek akut. Aflatoksin juga dapat terakumulasi di otak dan mempunyai efek buruk terhadap paruparu, miokarbium dan ginjal. Efek kronik dan sub akut aflatoksin pada manusia yaitu penyakit hati seperti kanker hati, hepatitis kronik, penyakit kuning, sirosis hati. Aflatoksin dapat pula mengakibatkan gangguan penyerapan makanan, gangguan pencernaan akibat mengkonsumsi pangan yang terkontaminasi aflatoksin pada konsentrasi rendah secara terus menerus. Pemanasan hingga 250oC tidak efektif untuk menginaktifkan senyawa aflatoksin sehingga bahan pangan yang terkontaminasi aflatoksin biasanya tidak dapat dikonsumsi lagi. Kapang ini biasanya tumbuh pada penyimpanan yang tidak dipengaruhi faktor kelembaban (minimun 7%) dan 102 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan bertemperatur tinggi, daerah tropis merupakan tempat berkembangbiak paling ideal bagi kapang tersebut. Aspergillus flavus merupakan kapang saprofit, koloni yang sudah menghasilkan spora berwarna coklat kehijauan hingga kehitaman (Dwidjoseputro, 1989). Gambar 1. Koloni Aspergillus flavus (Sumber: Indrawati, 2006) Bila Aspergillus flavus telah memproduksi aflatoksin maka biji akan terasa pahit. Kandungan aflatoksin yang tinggi dikenali dari warna biji yang coklat dan rasa yang makin pahit. Infeksi Aspergillus flavus dan produksi aflatoksin pada biji-bijian atau kacang-kacangan melibatkan tiga faktor yaitu varietas tanaman kacang-kacangan yang peka, Aspergillus flavus yang ganas dan agresif, serta lingkungan yang kondusif bagi perkembangan dan produksi aflatoksin. Kondisi optimum untuk menghasilkan aflatoksin adalah pada suhu 25-30oC dengan kelembaban relatif 85% dan pertumbuhan jamur tersebut optimum pada kandungan air 15-30%. (Dwidjoseputro, 1989). Bahan dan Metode Bahan dan Alat Bahan yang digunakan yaitu kacang tanah yang diambil secara acak dari berbagai macam pasar tradisional di daerah Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi, masingmasing kota diambil dari 2 pasar dengan 2 sampel, Metanol (HPLC grade), Acetonitrile (HPLC grade), standar aflatoksin mix (B1, B2, G1, G2), aquabidest, TFA (triflouroacetic acid), NaCl p.a, Gas Nitrogen. Alat yang digunakan yaitu blender, timbangan analitik, botol timbang, oven, desikator, jangka sorong, kertas saring, filter microfiber, immunoaffinity column (Vicam), syringe plastik, vial amber 2 ml, vortex, milipore 45µm, ultrasonic, corong, kaca arloji, pipet serologi 10 ml dan 25 ml, gelas ukur, erlenmeyer 250 ml, piala gelas 100 ml, tabung sentrifuge 50 ml, pipet eppendorf 100 µL dan 1000 µL. Kolom C-18 Lichrospher (250 mm x 4.0 mm) dengan ukuran partikel 5m, HPLC (Agilent Technologies 1120) Compact LC Pump, Agilent Technologies 1200 Series Detector. Metode Sampling kacang tanah dilakukan di 2 (dua) pasar tradisional di Jabotabek. Masing – masing pasar diambil dua sampel @ 1000 gram pada awal penyimpanan, selanjutnya kacang tanah disimpan 1, 2, 3 dan 4 minggu. Analisis dilakukan secara fisik dan kimia. 103 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Analisis secara fisik yaitu butir rusak, butir belah, butir warna lain, butir keriput, kotoran dan diameter, (SNI 01-3921-1995), sedangkan analisis kimia yaitu pengujian kadar air (SNI 01-2891-1992) dan kadar aflatoksin (AOAC Official Method 991.31) . Analisis Kadar Aflatoksin (B1, B2, G1 dan G2) (AOAC Official Method 991.31) Kromatografi Cair Kinerja Tinggi Agilent Technologies 1120 Compact LC Pump, Agilent Technologies 1200 Series Detector, Fase GerakAcetonitrile:Metanol : Aquabidest (1:3:6), Laju alir 1,0 ml / menit, volume injeksi sebesar 20 µL, detektor fluorescense pada panjang gelombang eksitasi 365 nm dan panjang gelombang emisi 450 nm, menggunakan kolom Rp-18 Lichrospher dengan panjang 250 mm dan diameter 4.0 mm dengan ukuran partikel 5m. Preparasi Larutan Standar Standar campuran aflatoksin 250 ppb dibuat dengan cara memipet 50 µLstandar induk aflatoksin 5000 ppb, kemudian diencerkan dengan 950 µL acetonitrile dan dihomogenkan. Standar campuran aflatoksin 25 ppb dibuat dengan cara memipet 100 µL standar induk aflatoksin 250 ppb, kemudian diencerkan dengan 900 µL acetonitrile dan dihomogenkan. Deret standar aflatoksin 1 ppb ; 2 ppb ; 5 ppb ; 10 ppb ; 25 ppb ; 50 ppb ; dan 100 ppb di buat dengan cara seperti yang tertera pada Tabel 3.Kemudian masing-masing deret standar yang telah dibuat dimasukkan ke dalam vial amber, setelah dicampur larutan dikocok sampai homogen. Tabel 3. Pembuatan Deret Standar Aflatoksin Deret Standar Std 25 ppb Std 250 ppb (ppb) (µL) (µL) 1 40 2 80 5 200 10 400 25 100 50 200 100 400 Acetonitrile (µL) 960 920 800 600 900 800 600 Preparasi Sampel Ditimbang dengan teliti sebanyak 25 gram sampel kacang tanah dan ±5 gram serbuk NaCl dimasukkan ke dalam blender, ditambahkan 125 ml metanol 70%, diblender dengan kecepatan tinggi selama 2 menit. Larutan disaring dengan kertas saring.Dipipet 15 ml filtrat kemudian diencerkan dengan 30 ml aquabidest, kocok sampai homogen. 15 ml fitrat dilewatkan ke immunoaffinity column dengan kecepatan 1 tetes per detik, dilewatkan 10 ml aquabidest ke immunoaffinity column dengan kecepatan 2 tetes per detik. Setelah semua cairan turun, didorong dengan syringe hingga keluar udara dan dibuang cairan yang ditampung, dilewatkan 1 ml methanol ke immunoaffinity column, ditampung tetesan ke dalam vial amber. 104 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Derivatisasi Standar dan Sampel 1 ml standar atau sampel dalam metanol dalam vial amber diuapkan dengan gas nitrogen sampai kering. Setelah kering ditambahkan 100 µL TFA (tri fluoro acetic acid) dan divortex selama 30 detik, diinkubasi pada suhu ruang selama 15 menit (lindungi dari cahaya), ditambahkan 900 µL campuran acetonitril-aquabidest (1: 9), divortex selama 30 detik. Sampel diinjeksikan ke sistem kromatografi dan dihitung kadar aflatoksin dalam sampel. Hasil dan Pembahasan Kualitas kacang tanah yang beredar di pasar tradisional daerah Jabotabek selama 4 minggu penyimpanan, dianalisis kadar aflatoksin (B1, B2, G1 dan G2), dan parameter tambahan kadar air, butir rusak, butir belah, butir warna lain, butir keriput, kotoran dan diameter. Kadar Butir Rusak, Butir Belah, Butir Warna Lain, Butir Keriput, dan Kotoran Hasil analisis kadar butir rusak pada kacang tanah di pasar tradisional di daerah Jabotabek meningkat selama 4 minggu penyimpanan. Kadar butir rusak dan butir belah tertinggi terdapat di pasar A-2 sebesar 2,18% (Tabel 4) dan 18,53% (Tabel 5). Kadar butir warna lain dan kotoran tidak mengalami peningkatan yaitu 0% (Tabel 6). Kadar butir keriput tertinggi terdapat di pasar G-2 sebesar 23,60% (Tabel 7) sedangkan kadar kotoran tertinggi terdapat di pasar B-1sebesar 0.30% (Tabel 8). Tabel 4. Kadar Butir Rusak di Pasar Tradisional Daerah Jabotabek Kota Jakarta Bogor Tanggerang bekasi Pasar Ps. Minangkabau 1 Ps. Minangkabau 2 Ps. Rumput 1 Ps. Rumput 2 Ps. Bogor 1 Ps. Bogor 2 Ps. Anyar 1 Ps. Anyar 2 Ps. Kota Bumi 1 Ps. Kota Bumi 2 Ps. Jati Uwung 1 Ps. Jati Uwung 2 Ps. Tambun 1 Ps. Tambun 2 Ps. Kranji-1 Ps. Kranji-2 Butir Rusak Minggu Ke-0 0,94 1,99 1,54 1,86 0,48 0,40 1,43 1,06 0,72 0,43 0,29 1,28 1,16 1,19 0,56 0,41 105 Minggu Ke-1 0,94 1,99 1,54 1,86 0,48 0,40 1,43 1,06 0,73 0,43 0,29 1,28 1,16 1,19 0,56 0,41 Minggu Ke-2 1,12 2,00 1,55 2,04 0,53 0,57 1,60 1,06 0,73 0,51 0,46 1,28 1,33 1,36 0,56 0,58 Minggu Ke-3 1,12 2,14 1,69 2,04 0,53 0,57 1,60 1,20 0,87 0,52 0,46 1,34 1,33 1,36 0,72 0,58 Minggu Ke-4 1,13 2,18 1,77 2,05 0,70 0,61 1,60 1,25 0,91 0,68 0,50 1,50 1,38 1,41 0,73 0,66 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Tabel 5. Kadar Butir Belah di Pasar Tradisional Daerah Jabotabek Kota Jakarta Bogor Tanggerang bekasi Pasar Ps. Minangkabau 1 Ps. Minangkabau 2 Ps. Rumput 1 Ps. Rumput 2 Ps. Bogor 1 Ps. Bogor 2 Ps. Anyar 1 Ps. Anyar 2 Ps. Kota Bumi 1 Ps. Kota Bumi 2 Ps. Jati Uwung 1 Ps. Jati Uwung 2 Ps. Tambun 1 Ps. Tambun 2 Ps. Kranji-1 Ps. Kranji-2 Butir Belah (%) Minggu Minggu Ke-0 K-1 9,08 9,09 18,46 18,46 8,87 8,87 5,95 5,95 3,67 3,67 6,48 6,48 7,75 7,75 5,92 5,92 2,52 2,52 5,61 5,61 2,27 2,27 2,73 2,73 6,85 6,85 13,48 13,48 5,84 5,84 6,47 6,47 Minggu Ke-2 9,09 18,51 8,91 5,96 3,87 6,53 7,75 5,98 2,57 5,70 2,32 2,79 6,96 13,58 5,89 6,53 Minggu Ke3 9,53 18,52 8,92 6,05 3,88 6,54 7,88 6,06 2,65 5,78 2,41 2,88 6,96 13,58 5,89 6,53 Minggu Ke-4 9,54 18,53 8,92 6,05 3,89 6,54 7,88 6,07 2,65 5,78 2,42 2,88 6,96 13,60 5,92 6,58 Tabel 6. Kadar Butir Warna Lain di Pasar Tradisional Daerah Jabotabek Kota Jakarta Bogor Tanggerang bekasi Pasar Ps. Minangkabau 1 Ps. Minangkabau 2 Ps. Rumput 1 Ps. Rumput 2 Ps. Bogor 1 Ps. Bogor 2 Ps. Anyar 1 Ps. Anyar 2 Ps. Kota Bumi 1 Ps. Kota Bumi 2 Ps. Jati Uwung 1 Ps. Jati Uwung 2 Ps. Tambun 1 Ps. Tambun 2 Ps. Kranji-1 Ps. Kranji-2 Butir Warna Lain (%) Minggu Minggu Ke-0 Ke-1 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 Minggu Ke-2 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 Minggu Ke3 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 Minggu Ke-4 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 Minggu Ke3 11,38 19,01 12,58 10,32 10,18 14,47 14,02 18,06 10,47 12,81 18,95 10,99 20,67 Minggu Ke-4 11,38 19,01 12,58 10,32 10,18 14,47 14,02 18,06 10,47 12,81 18,95 10,99 20,67 Tabel 7. Kadar Butir Keriput di Pasar Tradisional Daerah Jabotabek Kota Jakarta Bogor Tanggerang bekasi Pasar Ps. Minangkabau 1 Ps. Minangkabau 2 Ps. Rumput 1 Ps. Rumput 2 Ps. Bogor 1 Ps. Bogor 2 Ps. Anyar 1 Ps. Anyar 2 Ps. Kota Bumi 1 Ps. Kota Bumi 2 Ps. Jati Uwung 1 Ps. Jati Uwung 2 Ps. Tambun 1 Butir Keriput (%) Minggu Minggu Ke-0 Ke-1 11,36 11,36 18,99 19,00 12,49 12,50 10,23 10,23 10,03 10,03 14,28 14,28 13,86 13,86 17,92 17,92 10,34 10,34 12,68 12,68 18,94 18,94 10,98 10,98 20,44 20,44 106 Minggu Ke-2 11,37 19,01 12,53 10,27 10,13 14,42 13,86 17,92 10,43 12,77 18,94 10,99 20,63 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Ps. Tambun 2 Ps. Kranji-1 Ps. Kranji-2 23,32 14,21 9,77 23,33 14,21 9,77 23,50 14,25 9,93 23,58 14,35 10,02 23,60 14,36 10,03 Minggu Ke3 0,00 0,00 0,30 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 Minggu Ke-4 0,00 0,00 0,30 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 Tabel 8. Kadar Kotoran di Pasar Tradisional Daerah Jabotabek Kota Jakarta Bogor Tanggerang bekasi Pasar Ps. Minangkabau 1 Ps. Minangkabau 2 Ps. Rumput 1 Ps. Rumput 2 Ps. Bogor 1 Ps. Bogor 2 Ps. Anyar 1 Ps. Anyar 2 Ps. Kota Bumi 1 Ps. Kota Bumi 2 Ps. Jati Uwung 1 Ps. Jati Uwung 2 Ps. Tambun 1 Ps. Tambun 2 Ps. Kranji-1 Ps. Kranji-2 Kotoran (%) Minggu Minggu Ke-0 Ke-1 0,00 0,00 0,00 0,00 0,30 0,30 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 Minggu Ke-2 0,00 0,00 0,30 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 Peningkatan kadar butir rusak, butir belah, butir keriput selama penyimpanan kemungkinan disebabkan oleh serangan serangga. Serangan serangga pada biji-bijian dapat menyebabkan kerusakan, sehingga cendawan dapat menyerang biji dengan lebih mudah.Selain itu serangga dapat membawa spora cendawan pada permukaan tubuhnya dan keberadaan serangga dapat meningkatkan suhu dan kelembaban sehingga cendawan dapat tumbuh dengan baik. Diantara mikroorganisme yang mengkoloni bijibijian, cendawan merupakan organisme yang paling toleran terhadap kadar air yang rendah dan paling berperan dalam penyebab kerusakan. Butir kacang tanah dengan kadar air yang tinggi akan mengakibatkan butir keriput dan butir rusak. Butir keriput dan biji rusak rentan terhadap infeksi Aspergillus flavus. Kadar Air Kadar air merupakan faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan Aspergillus flavus. Berdasarkan Tabel hasil analisis kadar air pada kacang tanah di pasar tradisional daerah Jabotabek meningkat selama 4 minggu penyimpanan. Kadar air tertinggi terdapat di pasar C-1 7,93% (Tabel 9). Kadar air kacang tanah dipengaruhi oleh suhu, kelembaban, aktivitas respirasi biji, serangga dan cendawan, faktor ketinggian diatas permukaan laut dan curah hujan di setiap kota.Kadar air kacang tanah di setiap kota selama empat minggu penyimpanan masih tergolong aman untuk disimpan. SNI 013921-1995 menetapkan bahwa kadar air biji kacang tanah yang aman untuk disimpan adalah 6-8%. 107 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Tabel 9. Kadar Air di Pasar Tradisional Daerah Jabotabek Kota Jakarta Bogor Tanggerang bekasi Pasar Ps. Minangkabau 1 Ps. Minangkabau 2 Ps. Rumput 1 Ps. Rumput 2 Ps. Bogor 1 Ps. Bogor 2 Ps. Anyar 1 Ps. Anyar 2 Ps. Kota Bumi 1 Ps. Kota Bumi 2 Ps. Jati Uwung 1 Ps. Jati Uwung 2 Ps. Tambun 1 Ps. Tambun 2 Ps. Kranji-1 Ps. Kranji-2 Kadar Air (%) Minggu Minggu Ke-0 Ke-1 7,30 7,31 7,00 7,02 7,15 7,16 7,40 7,40 7,92 7,92 7,78 7,79 7,79 7,79 7,76 7,79 7,27 7,29 7,88 7,90 7,46 7,48 7,07 7,11 6,74 6,76 6,37 6,39 6,57 6,62 6,61 6,64 Minggu Ke-2 7,32 7,03 7,17 7,41 7,92 7,81 7,82 7,80 7,30 7,91 7,49 7,12 6,77 6,40 6,63 6,66 Minggu Ke3 7.33 7,04 7,17 7,41 7,93 7,82 7,82 7,81 7,31 7,92 7,51 7,13 6,78 6,42 6,65 6,67 Minggu Ke-4 7,34 7,05 7,18 7,42 7,93 7,83 7,83 7,83 7,34 7,92 7,52 7,15 6,79 6,42 6,68 6,70 Kadar Aflatoksin Hasil analisis aflatoksin (B1, B2, G1 dan G2) pada kacang tanah di pasar tradisional daerah Jabotabek meningkat selama 4 minggu penyimpanan. Kandungan aflatoksin B1 tertinggi (6,03 ppb) (Tabel 10) terdapat di pasar E-2, aflatoksin B2 tertinggi (3,93 ppb) terdapat di pasar E-1, aflatoksin G1 tertinggi (0,33 ppb) terdapat di pasar G-1, sedangkan aflatoksin G2 tertinggi (0,52 ppb) terdapat di pasar B-1. 108 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Tabel 10. Kadar Aflatoksin (B1, B2, G1 dan G2) di Pasar Tradisional Daerah Jabotabek Kota Pasar 0 Jakarta Bogor Tanggerang Ps. Minangkabau1 Ps. Minangkabau2 Ps. Rumput 1 Ps. Rumput 2 Ps. Bogor 1 Ps. Bogor 2 Ps. Anyar 1 Ps. Anyar 2 Ps. Kota Bumi 1 Ps. Kota Bumi 2 Ps. Jati Uwung 1 Ps. Jati Uwung 2 B1 (minggu ke) 1 2 3 4 0 Kadar Aflatoksin (ppb) B2(minggu ke) G1(minggu ke) 1 2 3 4 0 1 2 3 - - - - - - - - 0 G2(minggu ke) 1 2 3 4 - - - - - 0,29 0,29 0,33 0,34 0,32 0,33 0,34 0,36 0,36 - - - - - - - - - - - - - - - 4,67 0,12 0,07 2,92 0,47 1,05 4,70 0,13 0,09 2,93 0,48 1,05 4,72 0,13 0,10 2,94 0,49 1,06 4,74 0,16 0,13 2,96 0,53 1,07 4,74 0,17 0,14 2,98 0,54 1,09 0,37 1,52 0,20 0,38 1,54 0,21 0,40 1,56 0,21 0,41 1,56 0,23 0,41 1,56 0,22 0,17 - 0,18 - 0,19 - 0,20 - 0,19 - 0,47 - 0,49 - 0,50 - 0,52 - 0,52 - 4,92 4,95 4,96 4,96 4,97 3,89 3,91 3,92 3,91 3,98 - - - - - - - - - - 5,97 5,97 5,98 5,99 6,03 1,13 1,14 1,14 1,14 1,14 - - - - - - - - - - 0,08 0,08 0,09 0,14 0,14 - - - - - - - - - - - - - - - - 0,08 0,09 0,09 0,11 - - - - - - - - - - - - - - - 109 - 4 - Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Dharmaputra et.al (1989) menyatakan bahwa laju infeksi Aspergillus flavus dan produksi aflatoksin sangat dipengaruhi oleh kadar air.Kadar air biji 15-20% sangat kondusif bagi Aspergillus flavusuntuk menghasilkan aflatoksin sedangkan kadar air biji seimbang pada kisaran 7-9%. Oleh karena itu untuk mencegah infeksi Aspergillus flavus, kacang tanah harus disimpan pada kadar air yang sangat rendah atau kadar air mutlak. Menurut Astanto Kusno (2004) infeksi Aspergillus flavus dan kontaminasi pada kacang tanah melibatkan tiga faktor yaitu varietas kacang tanah yang peka, Aspergillus flavus yang ganas dan agresif, serta lingkungan ang kondusif bagi pertumbuhan, perkembangan dan produksi aflatoksin. Varietas kacang tanah yang ditanam petani Indonesia umumnya adalah varietas lokal dan varietas unggul yang lama yang peka terhadap Aspergillus flavus. Musim tanam pada musim kemarau, suhu tanah yang tinggi pada periode kritis, dan kebiasaan petani untuk tidak segera menjemur polong setelah panen sangat kondusif bagi infeksi Aspergillus flavus. Kandungan aflatoksin (B1, B2, G1 dan G2) di pasar tradisional daerah Jabotabek tergolong rendah dan memenuhi persyaratan BPOM RI tahun 2004 yang menetapkan batas maksimum cemaran aflatoksin B1 dan total aflatoksin masing-masing adalah 20 ppb dan 35 ppb. Hal ini diduga karena cara penanganan pascapanennya (pengeringan dan pengupasan polong) dilakukan secara layak. Kesimpulan dan Saran Kesimpulan 1. Semua sampel kacang tanah yang beredar di pasar tradisional daerah Jabotabek memiliki kandungan aflatoksin (B1, B2, G1 dan G2) yang memenuhi persyaratan standar BPOM tahun 2004, kandungan aflatoksin B1 kurang dari 20 ppb dan aflatoksin total kurang dari 35 ppb dan kandungan aflatoksin meningkat selama 4 minggu penyimpanan. 2. Kadar air, kadar butir rusak, kadar butir belah dan kadar butir keriput kacang tanah meningkat selama penyimpanan sedangkan kadar butir warna lain, kotoran dan diameter tidak mengalami perubahan. Butir kacang tanah pada kadar air yang tinggi selama penyimpanan akan mengalami butir keriput dan butir rusak yang rentan terhadap infeksi Aspergillus flavus yang dapat memproduksi aflatoksin. Saran 1. Sebaiknya pemilihan sampel kacang tanah diusahakan memiliki jenis varietas yang sama. 2. Waktu penyimpanan dilakukan lebih lama agar terlihat pengaruh yang nyata terhadap produksi aflatoksin pada kacang tanah. 3. Selama penyimpanan suhu dan kelembaban relatif ruang simpan harus dicatat, karena selain kadar air, suhu dan kelembaban relatif pun dapat mempengaruhi produksi aflatoksin. 110 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Daftar Pustaka AOAC. 2005. Official Method 991.31. Aflatoxins In Corn, Raw Peanuts and Peanut Butter Immunoaffinity Column (Aflatest). Washington DC. Badan Standarisasi Nasional.Kacang Tanah. SNI-01-3921-1995. ICS 67.180.10 Dharmaputra OS, Tjitrosomo HSS, Susilo HH. 1991. Aspergillus flavus and aflatoxin in peanuts collected from three markets in Bogor, West Java, Indonesia. Didalam : Naewbanij JO, editor. Grain Postharvest Research and Development : Priorities for Nineteeth. Proceedings of the 12th ASEAN Seminar on Postharvest Technology : Surabaya, 29-31 Aug 1989. Hlm 110124. Dwidjoseputro.1989. Dasar-dasar Mikrobiologi.Jakarta : Jambatan Freeman, A.F.N.J Morris, dan R.K Willich 1995. Peanut Butter. USA : Departemen Agriculture. Gandjar, I. W. Sjamsuridzal, dan A. Oetari.2006. Mikologi Dasar dan Terapan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. N. Saleh, K.H. Hendroatmodjo, Heriyanto, A.Kasno, A.G. manshuri, dan A.Winarno (Penyunting). Risalah Seminar Nasional Prospek Pengembangan Agribisnis Kacang Tanah di Indonesia. Balai Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, 18-19 Desember 1995. 111 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Koleksi, Kultur Jaringan dan Evaluasi Produksi Umbi Tacca Leontopetaloides Tanaman Pangan Alternatif Sumber Karbohidrat Tri Muji Ermayanti*, Andri Fadillah Martin, Deritha Elffy Rantau Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI Jalan Raya Bogor Km 46, Cibinong, 16911 *E-mail : trimujiermayanti@gmail.com ABSTRAK Jumlah populasi yang setiap tahun makin tinggi menyebabkan persediaan bahan pangan utama seperti beras dan jagung juga dituntut meningkat tajam untuk mencukupi kebutuhan karbohidrat. Upaya pencarian sumber karbohidrat lainnya juga terus dilakukan. Tacca leontopetaloides merupakan tanaman yang potensial sebagai sumber pangan alternatif karena kandungan nutrisi pada umbinya mirip dengan kentang. Di Indonesia, tanaman ini tumbuh terbatas hanya pada beberapa daerah pesisir. Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan koleksi tanaman dari beberapa daerah di indonesia, melakukan perbanyakan dengan kultur jaringan dan melakukan evaluasi produksi umbi dari tanaman yang ditanam di lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa telah berhasil dikoleksi aksesi tanaman dari Jogyakarta dan sekitarnya, Sukabumi dan Karimunjawa. Kadar air, kadar abu, kadar serat dan protein umbi tanaman bervariasi tergantung tempat tumbuhnya. Media MS dengan penambahan 0,5 mg/l kinetin merupakan media terbaik untuk perbanyakan tunas secara kultur jaringan dibandingkan dengan media MS yang mengandung 0,5 mg/l BA atau MS tanpa penambahan zar pengatur tumbuh. Penambahan 0,1 mg/l kinetin dapat menghasilkan rata-rata tunas sebanyak 8,58 selama 16 minggu. Planlet hasil kultur jaringan berhasil diaklimatisasi dan ditanam di rumah kaca. Hasil penanaman di lapangan menunjukkan bahwa besarnya umbi yang dipergunakan sebagai benih mempengaruhi besarnya umbi yang dihasilkan setelah panen, sedangkan waktu panen juga bervariasi sesuai dengan besarnya umbi yang ditanam. Tanaman berbunga setelah 2 bulan dan umbi dapat dipanen menjelang tanaman berumur 4 bulan. Kata Kunci : koleksi, kultur jaringan, pangan alternatif, sumber karbohidrat, Tacca leontopetaloides Pengantar Kebutuhan pangan di Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk. Sampai dengan saat ini bahan pangan pokok terbesar adalah beras. Sebagai alternatif sumber karbohidrat terutama dari tanaman umbiumbian saat ini terus dikembangkan baik sebagai upaya substitusi beras maupun sebagai sumber pagan fungsional. Tacca leontopetaloides merupakan salah satu tanaman umbi yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber karbohidrat. Tanaman ini dikenal dengan nama daerah Kecondang diJawa Barat; dan disebut Mure di Yogyakarta 113 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan dan di Jawa Tengah.Nama umum tanaman ini antara lain Taka (Indonesia), Gapgap (Guam), Masoa (Samoa) dan Polynesian Arrowroot (Cook Island, Hawaii). Secara taksonomi, Tacca leontopetaloides termasuk kedalam keluarga Taccaceae terpisah dari kerluarga Dioscoreaceae (Caddick et al. 2002), di lapangan dapat tumbuh menyerupai Amorphophallus.Tacca Leontopetaloides (L.) Kuntze termasuk kingdom Plantae, subkingdom Tracheobionta, superdivisi Spermatophyta, divisi: Magnoliophyta, kelas Liliopsida, Monokotiledon, subkelas Liliidae, ordo Dioscoreales, famili Taccaceae dan genus Tacca J.R. & G. Forst(USDA National Plant Database. 2012). Selain di Indonesia, tanaman ini dapat dijumpai tumbuh di daerah Afrika bagian tropis, Asia selatan, Asia tenggara, Australia utara, Papua, Samoa dan Micronesia (Ubwa et al., 2011). Habitat taka adalah tepi pantai. Jarang dijumpai di lokasi yang sangat teduh dan di hutan primer, sering kali dijumpai di tipe vegetasi pantai dibawah ketinggian 200 m dpl namun kadang dapat tumbuh sampai ketinggian 1100 m dpl. Taka juga dapat tumbuh di padang rumput, padang alang-alang, savana. Di pantai, taka sering kali berasosiasi dengan jenis-jenis cemara, Pandanus, Scaveola, Barringtonia dan Eucalyptus. Bijinya dapat disebarkan oleh burung (Zosterops masii) atau melalui air laut (Flach, M. & Rumawas F., 1996). Taka merupakan salah satu jenis tanaman yang umbinya dikonsumsi sebagai bahan pangan alternatif. Tanaman ini mempunyai kandungan pati (amilosa dan amilopektin) yang mirip dengan kentang dan jagung (Kunle et al., 2003). Selain sebagai sumber pangan alternatif, umbi dan akar beberapa jenis Tacca seperti T. chantrieri, T. plantaginea, T. paxianadan T. subflabellatatelah diteliti mengandung senyawa taccalin dan taccalonolides yang berpotensi sebagai senyawa antikanker (Yokosuka et al. 2002; Muhlbauer et al. 2003; Risinger et al. 2010, Lei et al. 2011). Umbi taka juga dapat digunakan untuk mengobati diare dan disentri. Campuran umbi taka dengan air dan tanah liat dapat digunakan untuk menghentikan pendarahan pada usus (Ukpabi et al. 2009). Umbi taka mengandung 20-30% pati yang mudah diekstrak. Umbi taka mengandung air sebanyak 60,59%; kulit 2,5%; pati 30,6%; dan serat 6,3%. Umbi keringnya mengandung protein sebanyak 5,1%; ether 0,2%; karbohidrat 89,4%; selulosa 2,1%; serat 8,8%; abu 3,2%; Kalsium 0,27%; dan fosfor 0.2%. Asam amino utama yang terdapat antara lain arginin, asam glutamat, asam aspartat, leusin, lisin dan valin (Original : Root Crops, 2010). Hasil penelitian Ukpabi et al (2009) terhadap umbi segar dan umbi yang telah disimpan selama 4 bulan mengandung 28.25-29.00% bahan kering, 25,00-27,25% pati, 1,67 g/ml densitas, 40-43 mg/100 g asam askorbat. Berdasarkan berat keringnya, umbi mengandung 3,15-3,58% ekstrak kasar flavonoid, 1,1-1,5% protein, 2,70-2,73% abu, 0,28-0,68% serat, 0,08-0,10% lemak, 95,02-95,42% karbohidrat total. Umbi taka tidak dapat langsung dikonsumsi karena mengandung senyawa racun, namun dapat dihilangkan dengan merendam umbi ke dalam air tawar. Umbi tanaman ini dapat dijadikan tepung untuk kemudian diolah menjadi makanan yang siap dikonsumsi. Di Hawaii, tepung dari umbi taka dicampur dengan talas, sukun dan pandan untuk dijadikan puding. Di Filipina tepungnya sebagai bahan pembuat roti. Di Indonesia,produk olahan tepungnya dapat ditemukan di Kabupaten Garut, Jawa Barat. 114 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Mikropropagasi secara cepat pada tanaman T. leontopetaloides telah berhasil dilakukan oleh Martin et al. (2012b) dan juga diketahui bahwa tanaman T. leontopetaloides memiliki banyak kandungan antioksidan non-flavonoid (Martin et al. 2012a). Mikropropagasi pada tanaman taka dari spesies lain juga telah dilakukan pada tanaman T. Chantrieri (Charoensub et al. 2008) Adapuntujuan dari penelitian ini adalah melakukan koleksi tanaman dari beberapa daerah di Indonesia, melakukan perbanyakan dengan kultur jaringan dan melakukan evaluasi produksi umbi dari tanaman yang ditanam di lapangan. Bahan dan Metode Bahan Tanaman Tanaman taka dikoleksi dari berbagai kawasan hutan sekitar pantai di beberapa lokasi di Indonesia yaitu di Sukabumi, Yogyakarta (di Hutan Bambu Desa Palemahan, di Hutan Jati Desa Siung, di Gunung Batur Gunung Kidul dan di Pesisir Pantai Glagah Kulonprogo), Karimunjawa (di pulau Kumbang, dan di Pulau Nyamuk dan Pulau Katang. Bagian tanaman yang dikoleksi antara lain umbi, biji atau tanaman utuh sesuai dengan bagian tanaman yang ditemukan di lapangan. Hasil koleksi ditanam di rumah kaca Puslit Bioteknologi-LIPI di Cibinong. Sebagian bahan tanaman digunakan untuk eksplan dalam perbanyakan dengan kultur jaringan. Dari beberapa hasil koleksi umbi, kandungan kadar air, abu, sari, serat dan protein dari umbi taka segar dianalisis di Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik, Bogor. Kadar air, abu, sari dan serat dianalisis dengan cara gravimetri, sedangkan kadar protein ditentukan dengan cara titrasi. Kultur Jaringan Helai daun tanaman taka yang masih muda dari tanaman yang ditumbuhkan di dalam rumah kaca dijadikan eksplan untuk inisiasi kultur tunas. Eksplan daun dicuci dengan air yang diberi beberapa tetes detergen cair selama 10 menit, dibiarkan beberapa saat dalam air mengalir, kemudian direndam dalam larutan fungisida (Dithane) 3% selama 30 menit. Selanjutnya eksplan daun dicuci dengan air mengalir selama 30 menit. Eksplan daun kemudian direndam dalam alkohol 70% selama 1 menit, dibilas dengan akuades steril, direndam dalam larutan Na-hipoklorit 0,5% selama 10 menit. Eksplan daun kemudian dibilas dengan akuades steril sebanyak 3 kali dan dipotong dengan ukuran 1x1 cm lalu ditanam pada media MS dengan penambahan 0,5 mg/l BAP. Selanjutnya kalus yang tumbuh diregenerasikan menjadi tunas pada media yang sama. Pangkal tunas (bonggol) dipergunakan sebagai eksplan untuk perlakuan perbanyakan menggunakan media MS dengan penambahan 0,5 mg/l BAP, 0,5 mg/l kinetin maupun MS tanpa penambahan zat pengatur tumbuh. Setelah terbentuk planlet, dilakukan aklimatisasi pada media campuran tanah dan kompos. Planlet dikeluarkan dari botol kultur, akar dicuci dengan air hingga bersih dari media agar kemudian ditanam pada pot. Pot disungkup dan diletakkan pada tempat teduh. Setelah terbentuk daun baru, sungkup dibuka dan tanaman dipindahkan ke rumah kaca. Penanaman di Lapangan Penanaman dilakukan di lahan Kebun Plasma Nutfah Tumbuhan dan Hewan di Puslit Bioteknologi-LIPI di Cibinong-Bogor. Penanaman dilakukan pada bulan 115 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Desember 2012. Umbi yang dipergunakan adalah umbi hasil penanaman di rumah kaca, dikelompokkan menurut beratnya yaitu grade A (>80 gram), B (61-80 gram), C (41-60 gram), D (21-40 gram) dan E (<21 gram). Umbi disimpan pada suhu ruang dan setelah mulai muncul tunas ditanam di lapangan. Jarak tanam adalah 100 x 50 cm. Sebelum penanaman, lubang tanam diberi kompos. Setelah umur 4-5 bulan tanaman siap dipanen. Umbi hasil panen ditimbang berat basahnya. Hasil dan Pembahasan Koleksi Tanaman Distribusi tanaman taka secara rinci perlu ditelusur kembali karena tanaman ini merupakan jenis tanaman umbi minor yang tidak diperhatikan, namun demikian sebagian penduduk masih tetap mmanfaatkan umbinya sebagai bahan pangan. Di Kabupaten Garut (Jawa Barat) tanaman ini ditanam oleh sebagian penduduk dan umbinya dibuat tepung untuk dijadikan sebagai bahan baku pembuatan kue. Hasil koleksi yang dilakukan di kawasan pantai di Daerah Istimewa Yogyakarta, Kabupaten Sukabumi dan pulau Karimunjawa bahwa tanaman ini masih tumbuh dan berkembangbiak di beberapa kawasan pantai. Penduduk setempat menyebut tanaman ini dengan nama Kecondang. Di kawasan pulau Karimunjawa, tanaman masih cukup banyak ditemukan tumbuh liar di tepi pantai. Tanaman berhasil di koleksi di pulau Kumbang, pulau Nyamuk dan pulau Katang. Bagian tanaman yang dikoleksi berupa buah, umbi maupun tanaman utuh. Di Yogyakarta, tanaman ditemukan tumbuh di kawasan hutan di sekitar pantai antara lain di Hutan Bambu desa Palemahan, Hutan Jati di desa Siung, di Gunung Batur-Gunung Batur dan di pesisir pantai Glagah di Kulonprogo. Penyebaran dan populasi tanaman di lokasi-lokasi ini tidak sebanyak yang ditemukan di kepulauan Karimunjawa. Bahan tanaman yang dapat dikoleksi sama dengan bahan dari pulau Karimunjawa yaitu berupa buah, umbi dan tanaman utuh. Tanaman taka juga ditemukan tumbuh di kawasan pantai di Sukabumi, walaupun penyebarannya di lokasi ini sangat terbatas. Informasi dan studi pustaka tentang penyebaran tanaman ini masih tetap dilakukan untuk mengetahui secara lengkap penyebaran tanaman ini di Indonesia. Gambar 1 merupakan contoh bagian tanaman (buah) dan tanaman utuh yang di koleksi dari lapangan, juga lokasi tempat tumbuh di sekitar hutan bambu dan kawasan pantai di bawah naungan pohon-pohon tinggi. Satu tanaman ditemukan pada fase generatif dan tinggi tanaman hampir setara dengan tinggi tanaman dewasa. Umbi yang ditemukan mempunyai ukuran dan bobot yang bervariasi tergantung umur tanaman yang ditemukan tumbuh pada habitatnya. Semua tanaman yang ditemui merupakan tanaman liar yang belum didomestikasi oleh penduduk setempat. 116 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Gambar 1. Lokasi dan bagian tanaman Tacca leontopetaloides yang di koleksi dari berbagai kawasan pantai di Indonesia Sebagian tanaman hasil koleksi ditanam di rumah kaca Puslit Bioteknologi-LIPI di Cibinong. Pertumbuhan tanaman di rumah kaca tidak mengalami kendala. Pada tanah bercampur kompos, tanaman dapat tumbuh normal, membentuk daun yang sehat dan dapat berbunga, membentuk buah dan umbi. Tanaman dapat dibiarkan mengalami dormansi hingga dapat mengalami siklus hidup berikutnya dan membentuk umbi kembali. Perawatan tanaman tidak diperlukan secara intensif karena tanaman ditumbuhkan pada lingkungan terkendali (rumah kaca). Sebagian umbi dilihat beberapa sifat kimianya. Tabel 1 merupakan hasil analisis kadar air, abu, sari dan serat. Hasil analisis terhadap umbi yang berasal dari berbagai daerah tidak banyak berbeda. Kadar air umbi dari Sukabumi paling rendah dibandingkan dengan kadar air umbi dari tanaman yang tumbuh pada habitat yang lainnya. Umbi dari tanaman asal Hutan Jati Yogyakarta mempunyai kadar air tertinggi. Umbi asal Hutan bambu mempunyai kadar abu tertinggi, sedangkan umbi dari tanaman taka yang tumbuh di Gunung Batur mempunyai kadar abu terendah. Umbi dari tanaman yang tumbuh di gunung Batur mengandung kadar sari tertinggi dibandingkan dengan kadar serat umbi tanaman yang tumbuh pada tempat lainnya. Kadar serat umbi yang tumbuh di Hutan bambu adalah tertinggi, dan terendah diperoleh pada umbi dari tanaman yang tumbuh di Kulonprogo. Kadar protein tertinggai diperoleh dari umbi tanaman yang tumbuh di Sukabumi dan terendah dari umbi tanaman yang tumbuh di Hutan Bambu. Kadar karbohidrat pada umbi taka bervariasi, Maulana (2012) melaporkan bahwa kadar karbohidrat pada umbi taka hanya mencapai 68,27% sedangkan pada laporan lain disebutkan bahwa umbi taka dapat memiliki kandungan karbohidrat mencapai 95,42% (Ukpabi et al. 2009). Dari hasil ini menunjukkan bahwa habitat tempat tumbuh mempengaruhi kandungan kimia dan kandungan nutrisi umbi. Umbi Taka juga diketahui mengandung vitamin C dengan kadar 40 – 43 mg/100g (Ukpabi et al. 2009) dan juga memiliki kandungan flavonoid pada umbinya (Martin et al. 2012a). Flavonoid pada umbi taka merupakan jenis flavonoid glikosida spesifik yang disebut dengan taccalin (3,5,7,4’-tetrahydroxy flavylium 3-xyloside) yang kemungkinan berperan dalam pengobatan dengan perut (Kay, 1987). Menurut Schuier et al. (2006), 117 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan flavylium aglycone yang terdapat dalam taccalin menghambat pembentukan cairan intestinal pada lambung sehingga dapat dijadikan obat dalam menangani diare. Analisis perlu dilengkapi lagi untuk mengetahui setiap komponen nutrisi dari umbi taka agar informasi yang lengkap dapat dipergunakan sebagai acuan untuk pengolahan dan pemanfaatan umbi sebagai bahan pangan. Tabel 1. Kadar air, abu, sari, serat dan protein umbi segara Tacca leontopetaloides hasil koleksi dari beberapa lokasi di Pulau Jawa. Lokasi koleksi Parameter Kulonprogo Hutan Hutan Sukabumi Gunung Bambu Jati Batur Kadar air (%) 67,70 72,19 79,62 62,21 70,74 Kadar abu (%) 0,56 0,64 0,52 0,65 0,42 Kadar abu tak larut dalam 0 0,11 0,09 0,11 0,04 asam (%) Kadar sari larut dalam air (%) 2,66 3,56 3,03 3,28 4,99 Kadar sari larut dalam alkohol 2,87 4,03 2,70 2,62 6,16 (%) Kadar serat (%) 0,91 1,40 1,01 1,07 1,02 Kadar protein (%) 4,51 3,12 5,54 6,40 4,80 Perbanyakan dengan Kultur Jaringan Perbanyakan tunas taka dengan teknik kultur jaringan sudah dilakukan dengan berbagai media (Martin et al., 2012b; Martin, et al., 2013). Dari seleksi media yang telah dilakukan dilaporkan bahwa media MS dengan penambahan BAP atau kinetin merupakan media yang perlu dievaluasi karena penambahan kedua jenis sitokinin ini menghasilkan pertunasan yang baik. Konsentrasi BAP dan kinetin sebanyak 0,5 mg/l merupakan media terbaik untuk respon pembentukan tunas (Martin et al., 2012b). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada dalam jangka waktu yang panjang, kinetin sebesar 0,5 mg/l merupakan media terbaik untuk perbanyakan tunas taka dibandingkan dengan media dengan penambahan 0,5 mg/l BAP atau tanpa penambahan sitokinin (BAP maupun kinetin) (Tabel 2). Hasil yang mirip juga dilaporkan oleh Bennet et al. (1994) dimana penggunaan kinetin pada kultur Eucalyptuslebih baik dibandingkan dengan penggunaan BAP. Penggunaan BAP secara terus menurus pada kultur Eucalyptus menyebabkan penghambatan pertumbuhan, sedangkan penggunaan kinetin justru meningkatkan multiplikasi tunas. Pada umur 3 minggu belum menampakkan perbedaan jumlah tunas majemuk yang terbentuk pada ketiga media, pada minggu ke 12 (3 bulan), pembentukan tunas majemuk mulai menampakkan perbedaan antara ketiga media yang dicobakan. Pada minggu ke-16 (umur sekitar bulan), pembentukan tunas majemuk tertinggi dicapai oleh media MS dengan penambahan 0,5 mg/l kinetin. Pada media ini pembentukan tunas sangat berbeda dibandingkan dengan pembentukan tunas pada media MS tanpa penambahan sitokinin maupun dengan penambahan 0,5 mg/l BAP. 118 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Tabel 2. Jumlah tunas majemuk T. leontopetaloides pada umur 3, 12 dan 16 minggu. Jumlah tunas minggu ke Media 3 12 16 MS tanpa zat pengatur tumbuh 3,13 4,80 6,60 MS + 0,5 mg/l kinetin 3,59 4,94 8,58 MS + 0,5 mg/l BAP 3,50 4,08 4,64 Gambar 2 menunjukkan gambaran jumlah tunas majemuk yang terbentuk hingga waktu yang cukup lama. Gambar 2A menunjukkan pembentukan tunas majemuk pada media MS tanpa penambahan zat pengatur tumbuh. Pada media ini jumlah tunas majemuk yang terbentuk sangat lambat, mencapai rata-rata 8,1 tunas pada minggu ke20 (sekitar 5 bulan). Pada sat ini media sudah tidak dapat mendukung pertumbuhan karena nutrisi telah habis. Gambar 2B menunjukkan bahwa pada minggu ke-16 pembentukan tunas majemuk lebih cepat sehingga pada saat ini diperlukan subkultur. Gambar 3 merupakan contoh pertumbuhan tunas taka pada media MS yang mengandung 0,5 mg/l kinetin. Setiap tunas dapat dipindahkan peda media baru untuk perbanyakan tahap selanjutnya. Gambar 4 merupakantanaman taka hasilaklimatisasidengankeberhasilandiatas 80%. Penambahan BAP tidak efektif untuk pembentukan tunas majemuk taka karena hingga minggu ke-23 hanya terbentuk ratarata tunas majemuk sebanyak 5,93 tunas (Gambar 2C). A B p p C p Gambar 2. Rata-rata jumlah tunas majemuk T. leontopetaloides selama 4-5 bulan pada media MS tanpa zat pengatur tumbuh (A), media MS dengan 0,5 mg/l kinetin (B), dan media MS dengan 0,5 mg/l BAP. 119 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Gambar 3. Multiplikasi tunas T. leontopetaloides pada media MS dengan 0,5 mg/l kinetin umur 3 minggu, 12 minggu dan 16 minggu. Gambar 4. TanamanTaccaleontopetaloideshasilaklimatisasi. Pertumbuhan di Lapangan Evaluasi pertubuhan dan produksi umbi di lapangan harus dilakukan secara intensif untuk mengetahui pola pertumbuhan dan produksi umbi taka. Hasil panen dalam penelitian ini menunjukkan bahwa grade bibit mempengaruhi grade umbi yang dipanen. Tabel 3 menampilkan hasil penelitian bahwa umbi bibit dengan ukuran besar (grade C, B dan A) menghasilkan umbi yang mempunyai rata-rata grade besar yaitu A (berat lebih dari 80 gram). Prosentase grade umbi hasil panen juga bervariasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua umbi bibit grade terbesar hingga terkecil dapat menghasilkan umbi grade terbesar (A). Hal ini menunjukkan bahwa dengan teknik budidaya yang baik dapat menghasilkan hasil panen yang maksimum. Rata-rata berat umbi hasil panen juga baik yaitu grade C, B dan A. Umbi bibit A-C memberikan hasil panen yang lebih konsisten dibandingkan dengan penggunaan umbi bibit dengan grade yang lebih rendah. 120 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Di alam, ukuran umbi yang ditemukan selama melakukan kegiatan koleksi juga bervariasi yang dikategorikan menjadi grade A hingga E dari urutan umbi ukuran terbesar. Budidaya tanaman taka belum banyak dilakukan sehingga belum banyak acuan yang dapat dijadikan pedoman penanaman yang standar. Tabel 3. Berat umbi hasil panen T. leontopetaloides berbagai grade. Grade umbi bibit Rata-rata Grade umbi hasil panen (%) berat umbi A B C D (gram) A (>80 gram) 94,91 (A) 33,34 33,33 0 33,33 B (61-80 gram) 90,29 (A) 50,00 16,67 0 16,67 C (41-60 gram) 80,74 (B) 50,00 25,00 0 25,00 D (21-40 gram) 49,13 (C) 16,67 0 33,33 16,67 E (<21 gram). 61,12 (B) 33,33 16,67 16,67 33,33 E 0 16,66 0 33,33 0 Kesimpulan dan Saran KoleksiTacca leontopetaloidestelah dilakukan di kawasan pantai di Yogyakarta, Sukabumi dan pulau Karimunjawa. Hasil koleksi telah ditanam di Kebun Plasma Nutfah Tumbuhan dan Hewan di Cibinong. Koleksi juga dilakukan secara in vitro (dengan kultur jaringan). Media MS dengan penambahan 0,5 mg/l kinetin merupakan media terbaik untuk pembentukan tunas majemuk. Ukuran umbi yang ditanam di lapangan mempengaruhi produksi umbi. Bibit umbi dengan ukuran besar menghasilkan umbi yang juga berukuran besar dalam waktu 4-5 bulan setelah tanam. Pemanfaatan umbi tanaman ini perlu dievaluasi untuk membuat produk-produk makanan sebagai substitusi makanan pokok maupun sebagai sumber pangan fungsional. Ucapan Terima Kasih Ucapan terima kasih ditujukan pada Evan Maulana, Rudiyanto, dan Lutvinda Ismanjani yang telah membantu dalam penelitian ini. Penelitian ini didanai oleh DIPA kegiatan prioritas LIPI tahun anggaran 2011-2013. Daftar Pustaka Bennet, I.J., McComb, J.A., Tonkin, C.M., McDavid, D.A.J. Alternating Cytokinins in Multiplication Media Stimulates in vitro Growth and Rooting of Eucalyptus globulus Labill. Annals of Botany 74 (1994) 53-58 Caddick, R.L., Wilkin, R.P., Rudall. P.J., Hedderson, T.A.J., & Chase, M.W. 2002. Yams reclassified : a Recircumscription of Dioscoreaceae and Dioscoreales. Taxon. 51: 103-114. Charoensub, R., D. Thiantong &S. Phansiri. 2008. Micropropagation of Bat Flower Plant, Tacca chantrieri Andre. Nat. Sci. 42:7-12 Flach, M. &F. Rumawas. (ed.). 1996. Prosea 9 : Plants Yielding non-seed carbohydrates. 156-159. http://www.proseanet.org/prohati2/browser.php?docsid=496 Kay, D.E. 1987. Root Crops. 2nd edn. In: Gooding E.G.B (Ed). Tropical Development and Research Institute London. Pp:380. ISBN: 085942009 Kunle, O.O., Y.E. Ibrahim, S. Shaba &Y. Kunle. 2003. Extraction, Physicochemical and Compaction Properties of Tacca Starch – a Potential Pharmaceutical Excipient 121 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Kunle, O.O., Y.E. Ibrahim, M.O. Emeje, S. Shaba, Y. Kunle. 2003. Extraction, Physicochemical and Compation Properties of Tacca Starch – a Potential Pharmaceutical Excipient. Starch/Starke. 55 : 319-325. Lei, I., W. Ni, X-R. Li, Y. Hua, P-L. Fang, L-M. Kong, L-L. Pan, Y. Li, C-X. Chen &H-Y. Liu. 2011. Taccasubosides A–D, Four New Steroidal Glycosides from Tacca subflabellata. Steroids. 76 (10-11) :1037–1042. Martin, A.F., A. Aviana, B.W. Hapsari, D.E. Rantau, dan T.M. Ermayanti. 2012a. Uji Fitokimia dan aktivitas antioksidan pada tanaman ex vitro dan in vitro Tacca leontopetaloides. Prosiding Seminar Nasional XXI Kimia dalam Industri dan Lingkungan 373-378. Martin, A.F., T.M. Ermayanti, B. W. Hapsari, & D.E. Rantau. 2012b. Rapid Micropropagation of Tacca leontopetaloides(L.) Kuntze. Proceedings The 5th Indonesia Biotechnology Conference an International. July 4th-7th 2012. Mataram. Indonesia 204-251 Maulana, E. 2012. Kombinasi Benzyl Amino Purine (BAP dan Dichlorophenoxy Acetic Acid (2,4-D) Terhadap Respon Tumbuh Kalus Tacca leontopetaloides dan Uji Kadar Karbohidrat Umbi Tacca leontopetaloides. Skripsi Sarjana Program Studi Kimia FMIPA Universitas Nusa Bangsa – Bogor. Muhlbauer, A.&S.S. Five. 2003. Novel Taccalonolides from the Roots of the Vietnamese Plant Tacca paxiana. Helvetica Chimica Acta Vol 86. 2065-2072. Original : Root Crops 15. 2010. http://www.appropedia.org/Original:Root_Crops_15 Risinger, A.R.&S.L. Mooberry. 2010. Taccalonolides: Novel Microtubule Stabilizers with Clinical Potential. Cancer Letter. 291 : 14-19. Schuier, M., H. Sies, B. Illek& H. Fisher. 2005. Cocoa related flavonoids inhibit CFTR mediated chloride transport across T84 human colon epithelia. J. Nutr. 135(10): 2320-2325. PMID: 16177189 Subejo. 2010. Perangkap Malthus: Pertarungan Ledakan Penduduk dan Pangan. http://subejo.staff. ugm.ac.id/ wp-content/malthus-penduduk-pangan.pdf Ukpabi, U.J., E. Ukenye & A.O., Olojede. 2009. Raw-Material Potential of Nigerian Wild Polynesian Arrowroot (Tacca leontopetaloides) Tubers and Starch. Journal of Food Technology 7(4) : 135-138. Ubwa, S.T., B.A. Anhwange & J.T. Chia. 2011. Chemical Analysis of Tacca leontopetaloides Peels. American Journal of Food Technology. 6 (10) : 932-938. USDA. United States Department of Agriculture, National Plant Database. 2012. http://plants.usda.gov/java/ClassificationServlet?source=profile&symbol=TALE2&di splay=31. Yokosuka, Y., Y. Mimaki &Y. Sashida. 2002. Spirostanol Saponins from the Rhizomes of Tacca chantrieri and Their Cytotoxic Activity. Phytochemistry. 61 : 73-78. 122 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Respon Pembentukan Tunas Majemuk Dan Variasi Ukuran Plantlet Talas Satoimo (Colocasia esculenta var.antiquorum) Pada Beberapa Konsentrasi 6-Benzylaminopurine (BAP) dan Indole-3-Acetic Acid (IAA) Pramesti Dwi Aryaningrum* dan N. Sri Hartati Pusat Penelitian Bioteknologi - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jl. Raya Bogor KM 46, Cibinong, Bogor 16911 Telp : 021-8754587, Fax : 021-8754588 * E-mail : am3_ninesix@yahoo.com ABSTRAK Talas satoimo (C.esculenta var.antiquorum) atau sering disebut dengan talas eddoe memiliki peranan cukup strategis sebagai sumber bahan pangan non beras, bahan baku industri (tepung talas) dan agroindustri untuk komoditi ekspor. Namun produksi talas satoimo masih belum mencukupi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri maupun pasar ekspor. Oleh karena itu, sangat penting dilakukannya upaya untuk menyediakan bibit talas satoimo dalam jumlah banyak dan seragam, berkualitas unggul, serta bebas hama penyakit, dalam kurun waktu yang relatif singkat. Perlakuan induksi tunas majemuk dalam penelitian ini menggunakan eksplan talas satoimo yang berasal dari tunas umbi talas yang dipelihara pada media tanah dalam polibag. Media yang digunakan adalah media MS tanpa zat pengatur tumbuh (ZPT) dan media yang mengandung beberapa konsentrasi BAP dan IAA. Parameter yang diamati adalah jumlah tunas, jumlah akar dan variasi ukuran plantlet in vitro, yang meliputi tinggi dan diameter tanaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan dalam pembentukan tunas majemuk dan variasi ukuran plantlet akibat penambahan zat pengatur tumbuh BAP dan IAA. Persentase pembentukan tunas majemuk terbesar diperoleh pada perlakuan 1 mg/L BAP dan 0,35 mg/L IAA, yaitu sebesar 100% dengan rata-rata jumlah tunas per eksplan adalah 8,25. Media 1,7 mg/L BAP dan 0,87 mg/L IAA menghasilkan plantlet kategori tinggi (> 4 cm) yang terbanyak dibandingkan dengan kedua perlakuan media lainnya, yaitu dengan rata-rata sebesar 3,9 dan kisaran tinggi plantlet adalah 4,3-10 cm. Sedangkan plantlet kategori pendek (≤ 4 cm) lebih banyak dihasilkan pada media dengan perlakuan 1 mg/L BAP dan 0,35 mg/L IAA. Akar plantlet pada media dengan penambahan kedua ZPT tersebut menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik dibanding dengan pada media MS tanpa ZPT. Kata kunci : 6-Benzylaminopurine (BAP), Indole-3-Acetic Acid (IAA), media MS, plantlet, talas satoimo (Colocasia esculenta var.antiquorum), tunas majemuk 123 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Pendahuluan Diversifikasi pangan dengan memanfaatkan produksi umbi-umbian sekarang ini sedang gencar dilakukan untuk mewujudkan ketahanan pangan. Umbi talas sebagai salah satu sumber bahan pangan alternatif pengganti beras memiliki kandungan karbohidrat berupa pati (17-28% amilosa dan sisanya adalah amilopektin), protein (asam amino esensial), beberapa mineral seperti kalsium, magnesium, seng, fosfor, zat besi dan rendah lemak (Onwueme, 1978; Oke, 1990). Jenis talas satoimo saat ini sedang banyak dibudidayakan di Indonesia, karena permintaan pasar ekspor dan kebutuhan industri penepungan umbi talas ini semakin meningkat. Umbi talas yang dikonversi menjadi bentuk tepung akan memudahkan dalam hal pengemasan, penyimpanan, dan pengiriman, serta akan mendorong berkembangnya industri berbahan dasar tepung sehingga dapat meningkatkan nilai jual komoditas talas (Hartati dan Prana, 2003; Maulina et al., 2012). Propagasi talas satoimo dengan metode konvensional menggunakan benih dari umbi (cormus) atau anakan umbi (cormel) menjadi penghambat utama dalam kultivasi skala besar, karena jumlah benih tidak mencukupi untuk propagasi masal, pertumbuhan tanaman yang cukup lama dan tidak seragam. Kultur in vitro merupakan metode pendekatan bioteknologi yang memiliki kelebihan dalam propagasi tanaman secara masal dalam waktu relatif singkat, pengembangan kultivar yang resisten terhadap penyakit, serta menghasilkan bibit talas satoimo yang seragam dan berkualitas unggul (Sarono, 1978; Prihatmanti dan Mattjik, 2004; Verma et al., 2010). Propagasi tanaman secara in vitro memerlukan zat pengatur tumbuh (ZPT) atau hormon tumbuh, baik auksin maupun sitokinin. Auksin berperan dalam mengatur pertumbuhan dan pemanjangan sel, sedangkan sitokinin berperanan dalam pembelahan sel dan morfogenesis. Pemanjangan sel, pembelahan sel, morfogenesis dan pengaturan pertumbuhan merupakan proses yang sangat penting dalam pembentukan tunas (Maryani & Zamroni, 2005). Penelitian tentang multiplikasi tunas in vitro dengan kombinasi hormon BAP dan IAA diantaranya telah berhasil dilakukan pada tanaman melon (Lidyawati et al., 2012) dan pada tanaman nanas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi hormon BAP dan IAA yang paling baik dalam pembentukan tunas majemuk dan plantlet talas satoimo (C. esculenta var. antiquorum) dalam kultur in vitro. Bahan dan Metode Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Genetika Molekuler Tanaman dan Modifikasi Jalur Biosintesa, Pusat Penelitian Bioteknologi, LIPI. A. Material Tanaman dan Media Perlakuan untuk Multiplikasi Tunas Bahan tanaman yang digunakan sebagai eksplan adalah tunas umbi talas yang diperoleh dari koleksi talas satoimo SEAMEO BIOTROP, yang ditanam pada media tanah dalam polibag dengan umur 4 minggu. Media perlakuan yang digunakan adalah media MS (Murashige dan Skoog, 1962) dengan sukrosa 3%, agar 8 gr/L, serta penambahan BAP dan IAA pada berbagai konsentrasi. Penelitian ini menggunakan 124 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan dan 6 ulangan. Media perlakuannya adalah sebagai berikut : 1. M0 = MS tanpa ZPT 2. M1 = MS + 1 mg/L BAP + 0,35 mg/L IAA 3. M2 = MS + 1,7 mg/L BAP + 0,87 mg/L IAA Parameter yang diamati adalah jumlah tunas, jumlah akar, tinggi plantlet dan diameter plantlet. Variasi tinggi plantlet yang dihasilkan oleh setiap perlakuan dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu kategori tinggi (> 4 cm) dan kategori pendek (≤ 4 cm). Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dan Analisis Varian, untuk mengetahui perbedaan rerata pengaruh antar perlakuan dilakukan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) taraf 5%. B. Analisis Isozim Pada penelitian ini dilakukan pula analisis isozim untuk mengetahui apakah ada variasi pola pita isozim diantara plantlet yang diuji akibat perlakuan dengan penambahan zat pengatur tumbuh. Penanda isozim banyak dipilih untuk analisis keragaman genetik karena mudah dalam pengerjaanya dan biaya yang dibutuhkan relatif murah. Bahan tanaman yang digunakan adalah daun dan petiol plantlet talas satoimo yang berasal dari kultur in vitro dan aklimatisasi dengan umur 2 bulan. Analisis isozim yang dilakukan menggunakan empat sistem enzim, yaitu Phospogluconic dehydrogenase (PGD), Shikimic dehydrogenase (SDH), Malate enzym (ME) dan Phospoglucomutase (PGM). Metode untuk ekstraksi enzim, elektroforesis dan pewarnaan gel mengikuti prosedur kerja Hartati dan Prana (1999). Hasil dan Pembahasan A. Multiplikasi Tunas dan Variasi Ukuran Plantlet Talas Satoimo (C. esculenta var. antiquorum) Hasil pengamatan jumlah tunas setelah dilakukan analisis dengan uji DMRT taraf 5% menunjukkan bahwa pemberian konsentrasi BAP dan IAA berpengaruh nyata terhadap pembentukan jumlah tunas majemuk. Jumlah tunas merupakan faktor terpenting dalam multiplikasi tanaman pada kultur jaringan. Semakin banyak tunas yang terbentuk, dapat dilakukan multiplikasi kultur untuk mendapatkan tunas-tunas baru dalam jumlah yang semakin banyak pula (Samanhudi, 2010). Tabel 1. Persentase multiplikasi tunas talas satoimo pada beberapa jenis media Media Perlakuan Eksplan Bertunas (%) Rata-rata Jumlah Tunas/Eksplan M0 88 3,37 ± 0,37 c M1 100 8,25 ± 0,68 a M2 96 5,37 ± 0,57 b Keterangan: Angka rerata ± standard error diikuti huruf yang sama menujukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT (P < 0,05). Data pada tabel 1 memperlihatkan bahwa persentase eksplan talas satoimo bertunas yang terbesar diperoleh pada media 1 mg/L BAP + 0,35 mg/L IAA (media M1), yaitu sebesar 100% dengan rata-rata jumlah tunas per eksplan adalah 8,25. Media M1 125 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan menghasilkan jumlah tunas majemuk paling banyak dibandingkan dengan kedua media perlakuan lainnya. Walaupun konsentrasi ZPT pada media M1 lebih rendah dibandingkan dengan konsentrasi ZPT pada media M2, namun kombinasi konsentrasi ZPT pada media M1 menunjukkan bahwa media tersebut secara efektif mampu meningkatkan kemampuan sel-sel berdiferensiasi dan membentuk tunas-tunas baru. Pada media tanpa penambahan ZPT eksplan masih memiliki kemampuan membentuk tunas karena adanya pengaruh sitokinin endogen yang terkandung dalam eksplan tersebut. Apabila dalam media kultur konsentrasi sitokinin lebih tinggi dibandingkan dengan auksin maka akan merangsang pembentukan dan multiplikasi tunas (Widiastoety et al., 1997). BAP merupakan ZPT yang sangat efektif dalam menginduksi proliferasi tunas in vitro pada berbagai jenis tanaman dibandingkan jenis sitokinin yang lain (George & Sherrington, 1984). BAP sudah terbukti efektif dalam merangsang proliferasi tunas in vitro berbagai tanaman buah seperti melon (Lidyawati et al., 2012), nanas (Indriani et al., 2013), buah naga (Hanizah et al., 2013), pir (Ishak, 2009) dan kiwi (Bustami, 2012). Peran sitokinin didalam memacu pembentukan tunas adalah dengan menekan dominansi apikal, sehingga merangsang pembentukan tunas-tunas aksilar. Gambar 1. Tunas majemuk dan akar talas satoimo pada berbagai jenis media. M0 (A dan D), M1 (B dan E), M2 (C dan F) 126 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Secara keseluruhan dari kombinasi yang ada, media MS dengan penambahan 1,7 mg/L BAP + 0,87 mg/L IAA menghasilkan jumlah akar terbanyak dibandingkan dua media perlakuan lainnya (Gambar 1.). Akan tetapi, konsentrasi IAA yang tinggi pada media M2 justru mengakibatkan jumlah tunas yang terbentuk lebih sedikit dibandingkan pada media M1, meskipun konsentrasi BAP pada media M2 lebih tinggi, yaitu 1,7 mg/L. Salah satu faktor yang mempengaruhi perbedaan pertumbuhan dan perkembangan eksplan adalah kadar hormon endogen pada eksplan. Masuknya zat pengatur tumbuh atau hormon eksogen akan mengubah keseimbangan hormon endogen dalam tanaman. Guna mendorong dan memacu pertumbuhan, hormon dalam tubuh tanaman harus berada pada jumlah dan keseimbangan tertentu. Hasil pengamatan tinggi, diameter dan jumlah akar setelah dilakukan analisis dengan uji DMRT taraf 5% menunjukkan bahwa pemberian konsentrasi BAP dan IAA secara keseluruhan berpengaruh tidak nyata terhadap pertumbuhan dan perkembangan plantlet talas satoimo dalam kultur in vitro dan setelah aklimatisasi di media tanah, kecuali pada diameter plantlet yang telah diaklimatisasi menunjukkan beda nyata (signifikan). Tabel 2. Rata-rata variasi ukuran plantlet talas satoimo media tanah umur 2 bulan Kultur In Vitro Media Kisaran Perlaku Diameter Jumlah Tinggi (cm) an (mm) Akar kultur in vitro dan aklimatisasi di Aklimatisasi Kisaran Jumlah Akar 9,86± 3,21± 1,14± M0 3,5± 0,72a 3,5± 0,25a 0,71± 0,19a 1,17a 0,33a 0,18a 6,71± 2,43± 1,04± M1 3,21± 0,67a 3,13± 0,32a 0,93± 0,24a 1,49a 0,29b 0,10a 7,93± 1,93± 1,14± M2 3,9± 0,62a 3,47± 0,36a 1,0± 0,21a 0,97a 0,12b 0,09a Keterangan: Angka rerata ± standard error diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menujukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT (P < 0,05). Tinggi (cm) Diamete r (mm) Pengamatan terhadap tinggi dan diameter tanaman menunjukkan adanya variasi baik pada kultur in vitro maupun pada media tanah (Gambar 2.). Tabel 2 memperlihatkan variasi ukuran plantlet talas satoimo pada kultur in vitro dan setelah di media aklimatisasi umur 2 bulan. Walaupun secara kuantitatif tidak berbeda nyata, tetapi secara kualitatif media M2 (1,7 mg/L BAP + 0,87 mg/L IAA) menunjukkan pengaruh yang baik terhadap tinggi plantlet. Plantlet pada media M2 menghasilkan plantlet kategori tinggi (> 4 cm) terbanyak, yaitu dengan rata-rata sebesar 3,9 dan tinggi plantlet berkisar antara 4,3-10 cm. Kemudian diikuti oleh media M0 (MS tanpa ZPT) dengan rata-rata sebesar 3,5 dan media M1 (1 mg/L BAP dan 0,35 mg/L IAA) sebesar 3,21. Dari nilai rata-rata tinggi plantlet pada setiap perlakuan, dapat diketahui bahwa media M1 lebih banyak menghasilkan plantlet kategori pendek (≤ 4 cm). Selanjutnya setelah plantlet diaklimatisasi selama 2 bulan, plantlet dengan kategori tinggi terbanyak ditunjukkan oleh perlakuan MS tanpa ZPT, yaitu sebesar 9,86. Kemungkinan hal ini disebabkan plantlet yang tumbuh pada media MS tanpa ZPT lebih cepat beradaptasi 127 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan dengan kondisi media tanah. Diameter plantlet talas satoimo baik pada kultur in vitro maupun aklimatisasi, keduanya sama-sama menunjukkan ukuran diameter yang terbesar terdapat pada perlakuan MS tanpa ZPT, yaitu sebesar 3,5 dan 3,21. Namun diameter plantlet yang diaklimatisasi menunjukkan beda nyata antara perlakuan MS tanpa ZPT dengan MS yang diberi ZPT. Akar plantlet in vitro yang terbentuk pada media dengan penambahan BAP dan IAA menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan pada media MS tanpa ZPT. Pembentukan akar pada kultur jaringan dapat terjadi langsung pada eksplan yang ditanam, baik dari jaringan maupun dari kalus, bila ke dalam media diberikan auksin yang mencukupi (Mattjik, 2005). Pertumbuhan akar terbanyak terjadi pada media M2 dengan konsentrasi IAA sebesar 0,87 mg/L. Hal serupa juga dilaporkan oleh Badriah et al. (1998) yang menggunakan NAA dalam konsentrasi yang relatif tinggi dapat meningkatkan jumlah akar. Gambar 2. Variasi ukuran tinggi dan diameter plantlet talas satoimo pada media aklimatisasi. (A-C) dan media kultur in vitro (D-F) Pola pertumbuhan tanaman merupakan hasil interaksi antara auksin dan sitokinin dengan perbandingan tertentu. Sitokinin diproduksi dari akar dan diangkut ke tajuk, sedangkan auksin dihasilkan di kuncup terminal kemudian diangkut ke bagian bawah tumbuhan (Karjadi & Buchory, 2007). Gunawan (1992) menyatakan bahwa interaksi antara hormon eksogen dan endogen menentukan arah perkembangan suatu kultur. 128 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan B. Analisis Isozim Plantlet Talas Satoimo Pada Media Perlakuan Penanda isozim dapat digunakan untuk analisis variasi genetik, karena dikendalikan oleh gen tunggal dan bersifat kodominan dalam pewarisannya. Metode isozim telah banyak dimanfaatkan oleh pemulia tanaman untuk mengidentifikasi varietas (Julisaniah, et al., 2008). Penggunaan sistem enzim PGD, SDH dan ME telah dilakukan sebelumnya oleh Hartati dkk (2001) untuk identifikasi sidik jari DNA beberapa kultivar talas Indonesia berdasarkan zimotip hasil analisis isozim. Gambar 3. Pola pita isozim talas satoimo yang diuji pada media perlakuan dengan penambahan ZPT menggunakan sistem enzim ME (A) dan PGD (B) Hasil analisis isozim menunjukkan dua sistem enzim, yaitu Malat enzim (ME) dan Phospogluconic dehydrogenase (PGD), teridentifikasi adanya pita isozim, sedangkan untuk sistem enzim Shikimic dehydrogenase (SDH) dan Phospoglucomutase (PGM) menunjukkan hasil negatf (tidak terbentuk pita isozim) (Gambar 3.). Pada enzim ME hanya terdapat satu pita, sedangkan pada enzim PGD terdapat dua pita isozim. Masingmasing dari kedua enzim tersebut memperlihatkan pola pita yang seragam, sehingga dapat diketahui bahwa kedua enzim tersebut hanya dikontrol oleh satu macam alel dan bersifat monomorfik. Berdasarkan hasil analisis isozim yang diperoleh diduga tidak terdapat variasi genetik diantara plantlet talas satoimo yang tumbuh pada media dengan ZPT ataupun tanpa ZPT. Walaupun demikian diperlukan uji lanjut misalnya menggunakan teknik analisis molekuler lain RAPD, AFLP maupun mikrosatelit untuk mengkonfirmasi variasi genetik. Kesimpulan 1. Pembentukan tunas majemuk dihasilkan pada media perlakuan dengan konsentrasi 1 mg/L BAP + 0,35 mg/L IAA, dengan rata-rata jumlah tunas per eksplan sebesar 8,25. 2. Plantlet kategori tinggi (> 4 cm) yang terbanyak dihasilkan pada media perlakuan dengan konsentrasi 1,7 mg/L BAP + 0,87 mg/L IAA, sedangkan plantlet kategori pendek (≤ 4 cm) lebih banyak dihasilkan pada media perlakuan 1 mg/L BAP + 0,35 mg/L IAA. 3. Pertumbuhan akar plantlet pada media MS dengan penambahan BAP dan IAA menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan pada media MS tanpa ZPT. 129 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Ucapan Terima Kasih Penelitian ini merupakan bagian dari kegiatan Kompetitif LIPI rekayasa genetika talas untuk ketahanan terhadap kekeringan tahun anggaran 2013. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Hani Fitriani, S.Si yang telah membantu dalam teknis penelitian dan analisis data serta sdr. Nawawi untuk pemeliharaan tanaman. Daftar Pustaka Badriah, D.S, Mathius N.T, dan Sutater T. 1998. Tanggap Dua Kultivar Gladiol Terhadap Zat Pengatur Tumbuh Pada Perbanyakan In Vitro. Jurnal Hortikultura 8 (2): 1048–1059. Bustami, M.U. 2012. Pengaruh Berbagai Komposisi Media Terhadap Petumbuhan Tanaman Kiwi (Actinidia deliciosa) Secara In Vitro. Program Studi Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian Universitas Tadulako, Palu. George, E.F,dan P.D. Sheringgton. 1984. Handbook of Plant Propagation by Tissue Culture. Eastern Press Ltd.,hal.709. Gunawan, L.W. 1992. Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan. Pusat Antar Universitas Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hanizah, R, I. Mahdi, dan S. Wulandari. 2013. Pengaruh 2,4-D dan BAP Terhadap Multiplikasi Tunas Eksplan Buah Naga (Hylocereus costaricensis) Melalui Teknik Kultur Jaringan Secara In Vitro. Program Studi Biologi. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Riau, Pekanbaru. Hartati, N.S, T.K. Prana, dan M.S. Prana. 2001. Comparative Study on Some Indonesian Taro (Colocasia esculenta (L.) Schott) Samples Using Morphological Characters, RAPD Markers and Isozyme Banding Patterns. Annales Bogorienses 7 (2): 65-73. Hartati, N.S, dan T.K. Prana. 1999. The Effect of Extracting Buffer Composition and Sample Preparation on Isozyme Pattern of Taro (Colocasia esculenta (L.) Schott). Annales Bogorienses 6 (1): 37-48. Hartati, N.S, dan T.K. Prana. 2003. Analisis Kadar Pati dan Serat Kasar Tepung Beberapa Kultivar Talas (Colocasia esculenta L.Schott). Jurnal Natur Indonesia 6: 29-33. Indriani, F, I. Mahdi, dan S. Wulandari. 2013. Pengaruh Indole Acetic Acid (IAA) dan Benzyl Amino Purin (BAP) Terhadap Multiplikasi Tunas Nanas Bogor (Ananas comosus (L.) Merr.) cv. Queen Pada Media Murashige Skoog (MS). Program Studi Biologi. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Riau, Pekanbaru. Ishak, 2009. Pertumbuhan Tanaman Pir (Pyrus pyrifolia L.) Varietas Sweet Pear Pada Berbagai Komposisi Media Secara In Vitro. Program Studi Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian Universitas Tadulako, Palu. Julisaniah, N.I, L.Sulistyowati, dan A.N. Sugiharto. 2008. Analisis Kekerabatan Mentimun (Cucumis sativus L.) Menggunakan Metode RAPD-PCR dan Isozim. Biodiversitas 9 (2): 99-102. 130 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Karjadi, A.K, dan Buchory A. 2007. Pengaruh NAA dan BAP terhadap Pertumbuhan Jaringan Meristem Bawang Putih Pada Media B5. Jurnal Hortikultura. 17 (3): 217-223. Lidyawati, N.N, Waeniati, Muslimin, dan I.N Suwastika. 2012. Perbanyakan Tanaman Melon (Cucumis melo L.) Secra In Vitro Pada Medium MS dengan Penambahan Indole Acetic Acid (IAA) dan Benzil Amino Purin (BAP). Jurnal Natural Science 1 (1): 43-52. Maryani, Y, dan Zamroni. 2005. Penggandaan Tunas Krisan Melalui Kultur Jaringan. Ilmu Pertanian 12 (1): 51-55. Mattjik, N.A. 2005. Peranan Kultur Jaringan dalam Perbaikan Tanaman. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor. Maulina, F.D.A, I.M. Lestari, dan D.S. Retnowati. 2012. Pengurangan Kadar Kalsium Oksalat Pada Umbi Talas Menggunakan NaHCO3 Sebagai Bahan Dasar Tepung. Jurnal Teknologi Kimia dan Industri 1 (1): 277-283. Murashige, T, dan Skoog F. 1962. A Revised Medium for Rapid Growth and BioAssay with Tobacco Tissue Culture. Physiol. Plant. 15: 473-497. Oke, O.L. 1990. Roots, Tubers, Plantains and Bananas in Human Nutrition. FAO Corporate Documentary Repository, Food and Agriculture Organization of the United Nations, Roma. Onwueme, I.C. 1978. The Tropical Tuber Crops. John Wiley and Sons, New York. Prihatmanti, D, dan N.A. Mattjik. 2004. Penggunaan ZPT NAA (Naphthalene Acetic Acid) dan BAP (6-Benzil Amino Purin) serta Air Kelapa untuk Menginduksi Organogenesis Tanaman Anthurium (Anthurium andraeanum Lin). Buletin Agronomi 32 (1): 20-25. Samanhudi. 2010. Kajian Konsentrasi BAP dan NAA Terhadap Multiplikasi Tanaman Artemisia annua L. Secara In Vitro. Berk.Penel.Hayati 4A: 109113. Sarono. 1978. Eksplorasi Plasma Nutfah Talas (Colocasia esculenta (L.) Schott) di Daerah Bogor dan Sekitarnya. Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, Jakarta. Verma, V.M, dan J.J. Cho. 2010. Plantlet Development Through Somatic Embryogenesis and Organogenesis in Plant Cell Cultures of Colocasia esculenta (L.) Schott. AsPac J. Mol. Biol. Biotechnol. 18 (1): 167-170. Widiastoety, D, S. Kusumo, dan Syafni. 1997. Pengaruh Tingkat Ketuaan Air Kelapa dan Jenis Kelapa Terhadap Pertumbuhan Plantlet Anggrek Dendrobium. Jurnal Hortikultura 7 (3): 768-772. 131 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Pengujian Berbagai Jarak Tanam 3 Aksesi Jagung Lokal Maros, Sulawesi Selatan Terhadap Pertumbuhan dan Produksinya Ninik Setyowati* dan Ning W. Utami Pusat Penelitian Biologi-LIPI Jl. Raya Jakarta-Bogor Km 46, Cibinong 16911 *E-mail: sety_wangi@yahoo.com ABSTRAK Penelitian tentang „pengujian berbagai jarak tanam 3 aksesi jagung lokal Maros, Sulawesi Selatan terhadap pertumbuhan dan produksinya’ telah dilakukan di kebun percobaan Puslit Biologi LIPI, Cibinong, pada bulan Mei - Agustus 2012. Percobaan menggunakan Rancangan Acak Kelompok yang disusun secara faktorial, 2 faktor dengan 4 kali ulangan, masing-masing ulangan 10 tanaman . Faktor pertama adalah aksesi jagung pulut terdiri dari 3 taraf yaitu A1= Pulut Snack, A2= Pulut Beras dan A3= Pulut Hibrida. Faktor kedua adalah jarak tanam terdiri dari 3 taraf yaitu JT1= 100x20 cm, JT2= 80x20 cm, JT3= 60x20 cm. Pengamatan pertumbuhan tanaman dilakukan setiap minggu sampai tanaman berbunga, dipanen setelah lebih dari 50% buah jagung siap panen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan tinggi tanaman meningkat seiring dengan bertambahnya umur tanaman. Sedangkan pertumbuhan jumlah daun terlihat maksimal pada umur 6 minggu, kemudian menurun, karena pengurangan jumlah daun yang mengering akibat proses penuaan tanaman. Perlakuan aksesi berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan vegetative jagung pulut. Aksesi A2 (Pulut Beras) paling cepat pertumbuhannya yaitu tinggi 116,35a cm, jumlah daun 11,52a helai, daripada aksesi A1 (Pulut Snack) yaitu tinggi 91,20b cm, 7,67c helai, dan Aksesi A3 (Pulut Hibrida) yaitu tinggi 111,96ab cm, jumlah daun 8,28b helai. Pada umur 7 MST terlihat semua aksesi sudah berbunga antara 70-90 %. Aksesi A1 (Pulut Snack) terlihat lebih cepat berbuah (90%) daripada A3 (Pulut Hibrida) 80%, dan aksesi A2 (Pulut Beras) 20%. Aksesi A2 (Pulut Beras) terlihat mempunyai produksi tertinggi dibandingkan aksesi A1 (Pulut Snack) dan A3 (Pulut Hibrida), namun mempunyai umur panen paling lama (12 minggu). Aksesi A1 (Pulut Snack) paling cepat panen (9 minggu), menyusul Aksesi A3 (Pulut Hibrida) 10 minggu. Secara umum perlakuan jarak tanam tidak berbeda nyata baik pada pertumbuhan maupun produksi jagung pulut, namun dapat disarankan untuk pemakaian jarak tanam rapat (60x20 cm), karena dapat meningkatkan produksi per luasan tertentu. Kata Kunci: Pengujian, jarak tanam, aksesi, jagung lokal, Maros, pertumbuhan, produksi 133 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Pengantar Di Indonesia, jagung merupakan bahan pangan pokok kedua setelah beras, dan banyak dikonsumsi terutama di pedesaan. Jagung banyak diproduksi dan dikonsumsi terutama di daerah marginal, karena mempunyai daya adaptasi yang luas (Widowati, 2012). Pada tahun 1966 konsumsi jagung hanya 26,2 kg per kapita per tahun dan meningkat menjadi 41,0 kg per kapita per tahun pada tahun 1999. Walaupun konsumsi jagung lebih rendah namun 14% dari produksi jagung digunakan untuk diversifikasi bahan pangan seperti industri tepung, minyak, dan juga untuk industri bahan pakan ternak (Pakpahan, 2007). Limbah tanaman jagung juga dapat digunakan sebagai pakan ternak. Sebagai tanaman tropik jagung dapat berproduksi tinggi jika dibudidayakan pada lingkungan yang sesuai, dengan menggunakan teknologi agronomi yang tepat. Tanaman jagung tumbuh baik pada daerah dataran rendah hingga dataran tinggi pada ketinggian sekitar 2200 m dpl, membutuhkan curah hujan sekitar 600 mm – 1200 mm per tahun dengan temperatur rata-rata antara 14-30 ºC. Jenis tanah yang sesuai untuk jagung adalah tanah alluvial atau tanah lempung yang subur dan bebas dari genangan air (Kartasapoetra, 1988). Kebanyakan petani menggunakan kultivar-kultivar lokal sebagai benih dalam pembudidayaan jagung. Dilaporkan bahwa tingkat hasil pertanian jagung pulut umumnya masih rendah sekitar 2-2,5 ton/ha dan tidak tahan terhadap penyakit „bulai’ (Anonim, 2012a). Meskipun produksi jagung lokal lebih rendah dari jagung hibrida namun memiliki keunggulan seperti rasanya lebih enak, tahan kering, tahan hama penyakit dan memiliki kelobot yang menutupi keseluruhan tongkol sehingga aman dalam penyimpanan setelah dipanen. Jagung pulut yang terdapat di Sulawesi Selatan memiliki keunggulan yaitu lebih empuk dan lembut dibanding jagung pulut dari daerah lain, kandungan amilopektin tinggi yakni lebih dari 80 persen yang menimbulkan sensasi lengket dan kenyal seperti ketan yang tidak ditemukan pada jagung jenis lain (Pabendon, 2010). Kawasan Nusantara Indonesia sangat kaya dengan kultivar-kultivar jagung lokal. Pembudidayaan jagung lokal juga membantu pelestarian keanekaragaman jagung di tanah air. Pengembangan jagung lokal sebagai sumber pangan dan pakan belum banyak informasi terutama dari kawasan timur Indonesia. Berdasarkan pemetaan MP3EI pengembangan pangan untuk ketahanan pangan nasional diarahkan di pulau Sulawesi dengan penekanan pada beberapa komoditi seperti padi, jagung, ubikayu dan kedelai. Propinsi Gorontalo (Sulawesi) pada 10 tahun terakhir dikenal sebagai kantong produksi jagung terbesar di Indonesia. Keberhasilan tersebut selain dipengaruhi oleh penggunaan teknologi agronomi yang tepat juga didukung kondisi lingkungan yang sesuai. Oleh karena itu melalui kegiatan ini dilakukan pengembangan jagung lokal di Sulawesi Selatan untuk mendukung daya saing dan ketahanan pangan dan pakan ternak. Sulawesi Selatan merupakan pusat penghasil jagung di Indonesia Timur yang perlu dipertahankan dan ditingkatkan produktivitasnya. Jarak tanam menentukan populasi, semakin rapat jarak tanamnya semakin banyak populasinya. Menurut Badan Pengendali Bimas (1997) pengaturan jarak tanam yang tepat dapat memperkecil persaingan antara tanaman dalam hal pengembalian unsur hara, air, sinar matahari dan ruang tumbuh tanaman. Selain itu jarak tanam yang tepat juga dapat menekan pertumbuhan gulma, sehingga persaingan tanaman dengan gulma dapat dihindari (Anonim, 2012b). 134 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Penggunaan teknologi agronomi yang tepat untuk menanam jagung lokal Sulawesi diharapkan dapat meningkatkan produksinya. Oleh karena itu jarak tanam harus diatur untuk mendapatkan populasi yang optimum sehingga diperoleh hasil yang maksimum (Febrina, 2012). Pada kesempatan ini dilakukan penelitian tentang pengujian berbagai jarak tanam 3 aksesi jagung lokal Maros, Sulawesi Selatan terhadap pertumbuhan dan produksinya. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh macam aksesi dan jarak tanam pada pertumbuhan dan produksinya. Bahan dan Metode Bahan Bahan penelitian berupa 3 macam benih jagung lokal yaitu Pulut Snack (Batara Punu), Pulut Beras (Batara Koasa) dan Pulut Hibrida (Faramita) berasal dari Maros, Sulawesi Selatan. Pupuk NPK (25:7:7) Mutiara warna abu-abu. Pupuk kandang kotoran ayam, sekam. Metoda Penelitian dilakukan di kebun percobaan Puslit Biologi LIPI, Cibinong, pada bulan Mei - Agustus 2012. Percobaan menggunakan Rancangan Acak Kelompok yang disusun secara faktorial, 2 faktor dengan 4 kali ulangan, masing-masing ulangan 10 contoh tanaman jagung. Faktor pertama adalah aksesi terdiri dari 3 taraf yaitu A1= Pulut Snack, A2= Pulut Beras dan A3= Pulut Hibrida. Faktor kedua adalah jarak tanam terdiri dari 3 taraf yaitu JT1= 100x20 cm, JT2= 80x20 cm, JT3= 60x20 cm. Pemupukan dilakukan 2 kali yaitu pada awal tanam 5 gr NPK/tanaman dan pada umur 4 minggu setelah tanam. Selain itu pada awal tanam juga diberikan pupuk kandang kotoran ayam yang sudah dicampur dengan sekam sebanyak 1 ons/ tanaman. Perawatan tanaman dilakukan dengan penyiraman tanaman setiap hari yaitu pada pagi hari, dan pembersihan gulma yang tumbuh. Pengamatan pertumbuhan tanaman dilakukan setiap minggu dimulai pada minggu ke-3 sampai tanaman berbunga, kemudian dipanen apabila 50% tanaman sudah berbuah maksimal. Parameter pengamatan pertumbuhan tanaman meliputi tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah bunga dan jumlah buah. Sedangkan pengamatan produksi tanaman meliputi Berat Basah Tajuk (BBT); Berat Basah Akar (BBA); Berat Tongkol+Klobot (BTK); Berat Tongkol Bersih (BTB); Panjang Tongkol+Klobot (PTK); Panjang Tongkol Bersih (PTB); Diameter Tongkol+Klobot (DTK); Diameter Tongkol Bersih (DTB); Berat Per 100 Biji Jagung (BBj). Hasil dan Pembahasan Pertumbuhan vegetative Hasil pengamatan pertumbuhan tanaman jagung pulut dari Sulawesi Selatan pada umur 3-7 minggu disajikan pada Gambar 1a (tinggi tanaman) dan 1b (jumlah daun). Rataan pertumbuhan tinggi tanaman meningkat seiring dengan bertambahnya umur tanaman. Sedangkan pada pertumbuhan jumlah daun terlihat bahwa pertambahan jumlah daun maksimal pada umur 6 minggu setelah tanam, kemudian terlihat menurun, hal ini disebabkan karena terjadi proses penuaan tanaman yang ditandai dengan mulai 135 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan mengeringnya daun bagian bawah tanaman kemudian terjadi pengguguran daun. Penguguran daun (absisi) adalah suatu proses lepasnya tangkai daun dari tanaman yang menyababkan daun gugur dan terjatuh. Proses ini di pengaruhi oleh banyak faktor baik faktor dari dalam maupun dari luar. Proses awal gugurnya daun di tandai dengan perubahan warna pada daun kemudian mengering dan akhirnya gugur. Penguguran daun ini biasanya terjadi pada daun yang sudah tua, terkena penyakit, atau untuk menghadapi kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan (kemarau dan musim dingin). Faktor yang mempengaruhi terjadinya pengguguran daun antara lain kehidupan dari sel tumbuhan, nutrisi tumbuhan, air dalam tumbuhan, dan hormon dalam tumbuhan (Yudiarta, 2011). Pengamatan pertumbuhan tanaman jagung dihentikan pada umur 7 minggu karena sebagian besar tanaman sudah terlihat berbunga (70-90%) dan 20-90% sudah berbuah. Tinggi tanaman Rataan pertumbuhan tinggi tanaman pada semua aksesi terlihat meningkat seiring dengan bertambahnya umur tanaman. Rataan tinggi tanaman pada umur 3 minggu berkisar antara 8,00-14,58 cm dan meningkat setiap minggu menjadi 13,68-20,68 cm; 26,66-43,96 cm; 60,03-94,35 cm dan 82,89-127,94 cm berturut-turut pada umur 4, 5, 6 dan 7 minggu setelah tanam. Grafik pertumbuhan tinggi tanaman disajikan pada Gambar 1a. Jumlah daun Rataan jumlah daun pada umur 3 minggu berkisar antara 4,98-6,88 helai dan meningkat setiap minggu menjadi 6,98-8,83 helai; 8,18-10,45 helai; 8,25-11,83 helai, berturut-turut pada umur 4, 5 dan 6 minggu setelah tanam. Pertambahan jumlah daun maksimal pada umur 6 minggu setelah tanam, selanjutnya tetap dan bahkan mengalami penurunan. Hal ini disebabkan karena terjadi proses penuaan tanaman yang ditandai dengan mengeringnya daun bagian bawah tanaman dan gugur. Grafik pertumbuhan jumlah daun disajikan pada Gambar 1b. Gambar 1a. Pertumbuhan tinggi 3 Aksesi jagung dg berbagai jarak tanam 136 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Gambar 1a. Pertumbuhan jumlah daun 3 Aksesi jagung dg berbagai jarak tanam Hasil analisa statistik pada umur 7 minggu setelah tanam (MST) menunjukkan bahwa perlakuan aksesi berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah buah, namun tidak berbeda nyata pada parameter jumlah bunga (Tabel 1). Ukuran tanaman tertinggi terlihat pada aksesi A2 Pulut beras (116,35a cm) berbeda nyata dengan aksesi A1 Pulut snack (91,20b cm), namun tidak berbeda nyata dengan Aksesi A3 Pulut hibrida (111,96ab cm). Jumlah daun paling banyak terlihat pada aksesi A2 Pulut beras (11,52a helai) berbeda nyata dengan aksesi A1 Pulut snack (7,67c helai), dan Aksesi A3 Pulut hibrida (8,28b helai). Tabel 1. Pengaruh perlakuan aksesi pada tinggi, jumlah daun, jumlah bunga dan jumlah buah jagung pulut pada umur 7 Minggu Setelah Tanam (MST) Perlakuan Tinggi tanaman Jumlah daun Jumlah Bunga Jumlah Buah Aksesi (cm) (helai) *) *) *) *) A1= Pulut Snack 91,20 b 7,67 c 9,25 a 9,75 a A2= Pulut Beras 116,35 a 11,52 a 7,83 a 2,00 b 8,28 b 7,75 a 8,42 a A3= Pulut Hibrida 111,96 ab *) Angka data yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 uji Duncan. Pada umur yang sama (7 minggu ST) aksesi A1 Pulut snack menghasilkan jumlah bunga cenderung lebih banyak dibandingkan 2 aksesi lainnya. Begitu juga jumlah buah juga paling banyak dihasilkan oleh aksesi A1 pulut snack (9,75a) tidak berbeda nyata dengan aksesi A3 pulut hibrida (8,42a), namun berbeda nyata dengan aksesi A2 pulut beras (2,00b) yang terlihat paling lambat berbuah dibandingkan aksesi yang lain. Penampilan tanaman jagung aksesi A1, A2 dan A3 dapat dilihat pada Gambar 2. Sesuai dengan rataan tinggi tanaman (Tabel 1), aksesi A1 memiliki ukuran tanaman paling pendek dibandingkan dengan A2 dan A3. Aksesi A1 (Pulut Snack) pertumbuhannya kurang bagus, banyak terserang penyakit ’bulai’, memiliki batang berwarna hijau dengan buah berukuran relatif kecil, berambut merah (Gambar 2, Tanaman A1). Dilaporkan bahwa jagung pulut tidak tahan penyakit bulai (Anonim, 137 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan 2012a). Aksesi A2 (Pulut Beras) pertumbuhannya paling bagus, ukuran tanaman paling tinggi, batang berwarna hijau dengan buah relatif besar dibandingkan A1 dan A3, berambut merah (Gambar 2 Tanaman A2). Aksesi A3 (Pulut Hibrida) ukuran tanaman sedang, batang berwarna merah, buah pada umumnya kemerahan dan berambut putih, namun ada beberapa yang berambut merah (Gambar 2 Tanaman A3). Gambar 2. Fenomena tanaman dan bagian-bagian tanaman jagung (batang, bunga dan buah) dari Aksesi A1 (Pulut Snack), Aksesi A2 (Pulut Beras) dan Aksesi A3 (Pulut Hibrida). Hasil pengamatan pertumbuhan vegetatif jagung pulut pada berbagai jarak tanam pada umur 7 Minggu Setelah Tanam (MST) disajikan pada Tabel 2. Perlakuan jarak 138 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan tanam paling rapat J3 (60x20 cm) nampak menghasilkan ukuran tanaman paling tinggi dibandingkan J1 (100x20 cm) dan J2 (80x20 cm), namun secara statistik tidak berbeda nyata. Jumlah daun relatif sama pada semua perlakuan jarak tanam. Begitu juga pada jumlah bunga dan jumlah buahnya tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf 0,05 uji Duncan. Tabel 2. Pengaruh perlakuan Jarak tanam pada tinggi, jumlah daun, jumlah bunga dan jumlah buah jagung pulut pada umur 7 Minggu Setelah Tanam (MST) Perlakuan Tinggi tanaman Jumlah daun Jumlah Bunga Jumlah Buah Jarak tanam (cm) (helai) *) *) *) *) J1= 100 x 20 cm 105,46 a 9,22 a 8,58 a 7,00 a J2= 80 x 20 cm 101,08 a 9,03 a 8,08 a 6,33 a J3= 60 x 20 cm 112,97 a 9,22 a 8,17 a 6,83 a *) Angka data yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 uji Duncan. Pada kombinasi perlakuan antara aksesi dan jarak tanam (Tabel 3) dapat dilihat bahwa aksesi A1 dan A3 cenderung menghasilkan ukuran tanaman relatif lebih tinggi jika ditanam pada jarak tanam lebih rapat (J3: 60x20 cm ), semakin jarang jarak tanam (J2: 80x20 dan J1: 100x20 cm) ukuran tanaman semakin pendek. Sebaliknya pada A2 akan menghasilkan ukuran tanaman paling tinggi pada jarak tanam yang lebih jarang (J1: 100x20 cm). Namun secara statistik perlakuan interaksi antara aksesi dan jarak tanam tidak berpengaruh nyata pada pertumbuhan tinggi tanaman menurut uji Duncan pada taraf 5%. Ukuran tanaman paling tinggi (127,94 cm) dan jumlah daun paling banyak (12,03) diperoleh pada kombinasi perlakuan A2J1. Dilaporkan oleh Dohi (1998) bahwa rata-rata pertambahan tinggi tanaman jagung tidak dipengaruhi oleh perbedaan varietas maupun kerapatan tanam, namun jumlah daun dipengaruhi secara nyata oleh faktor varietas. Pengamatan pertumbuhan vegetatif tanaman sampai dengan umur 7 minggu setelah tanam, karena tanaman sudah terlihat berbunga lebih dari 50%. Selanjutnya ditunggu sampai tanaman siap panen, sesuai dengan kebutuhan dan varitas jagung pulut yaitu untuk snack atau sebagai pengganti beras. Tabel 3. Pengaruh perlakuan interaksi Aksesi dan Jarak tanam pada tinggi daun, jumlah bunga dan buah jagung pulut ( 7 MST) Perlakuan Tinggi tanaman Jumlah daun Jumlah Bunga Aksesi dan (cm) (helai) Jarak Tanam *) *) *) A1 x J1 82.89 a 7.23 d 9.00 a A1 x J2 89.21 a 7.70 cd 8.75 a A1 x J3 101.50 a 8.10 c 10.00 a A2 x J1 127.94 a 12.03 a 8.75 a A2 x J2 107.03 a 11.15 b 7.00 a A2 x J3 114.08 a 11.38 ab 7.75 a 139 tanaman, jumlah Jumlah Buah *) 9.50 a 8.75 a 11.00 a 2.50 b 1.25 b 2.25 b Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan A3 x J1 105.55 a 8.40 c 8.00 a 9.00 a A3 x J2 107.00 a 8.25 c 8.50 a 9.00 a A3 x J3 123.33 a 8.18 c 6.75 a 7.25 a *) Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 0,05 Pada umur 9 minggu setelah tanam, Aksesi A1 (Pulut Snack) sudah terlihat lebih dari 50% buahnya besar-besar dan siap dipanen untuk konsumsi rebus. Sedangkan Aksesi A2 (Pulut Beras) dan Aksesi A3 (Pulut Hibrida) belum terlihat merata besarnya, sehingga ditunggu sampai lebih dari 50% siap dipanen. Pada umur 10 minggu baru dilakukan panen Aksesi A3 (Pulut Hibrida), sedangkan Aksesi A2 (Pulut Beras) baru siap dipanen pada umur 12 minggu setelah tanam. Produksi tanaman jagung Pada umur 9 minggu dilakukan panen pertama Aksesi A1 (Pulut Snack), kemudian pada umur 10 minggu dilakukan panen Aksesi A3 (Pulut Hibrida), dan Aksesi A2 (Pulut Beras) baru siap dipanen pada umur 12 minggu setelah tanam. Panen jagung dilakukan apabila sudah lebih dari 50% jagung sudah siap dipanen sesuai dengan keperuntukannya. Dari hasil penelitian ini terlihat Aksesi A1 Pulut Snack paling cepat panen (9 minggu), menyusul Aksesi A3 Pulut Hibrida (10 minggu), dan yang paling lambat panen Aksesi A2 Pulut Beras (12 minggu) setelah tanam. Hal demikian dapat dimengerti karena Aksesi A1 Pulut Snack dan Aksesi A3 Pulut Hibrida diperuntukkan sebagai jagung rebusan, dipanen pada waktu masih muda, namun sudah berisi. Sedangkan Aksesi A2 Pulut Beras diperuntukkan sebagai pengganti beras sehingga harus dipanen dalam kondisi jagung sudah kering. Hasil pengamatan produksi ditampilkan pada tabel 4, 5 dan 6. Tabel 4 memperlihatkan pengaruh perlakuan aksesi pada produksi jagung pulut Sulawesi Selatan. Aksesi A2 (Pulut Beras) terlihat mempunyai produksi tertinggi (BTB= 103,74 gr a ) dibandingkan A1 (Pulut Snack =37,55 gr c) dan A3 (Pulut Hibrida= 80,37 gr b), berbeda sangat nyata pada uji Duncans taraf 5% di semua parameter yang diamati. Namun A2 mempunyai umur panen yang paling lama (12 minggu) daripada Aksesi lainnya. Tabel 4. Pengaruh perlakuan aksesi pada produksi jagung pulut Sulawesi Selatan BB A BBT BTK BTB PTK PTB DTK DTB BBj Aksesi (gr) (gr) (gr) (gr) (cm) (cm) (cm) (cm) (gr) A1 A2 A3 73,10 c 240,33 a 103,95 b 9,69 c 41,3 4a 14,7 0b 62,06 c 154,8 7a 111,9 3b 37,55 c 103,74 a 80,37 b 19,55 b 24,52 a 23,65 a 10,32 b 13,22 a 13,73 a 3,19 c 4,48 a 3,93 b 2,74 c 3,91 a 3,52 b 14,47 c 31,91 a 20,94 b Keterangan: 1. BBT= Berat Basah Tajuk; BBA= Berat Basah Akar; BTK= Berat Tongkol+Klobot; BTB= Berat Tongkol Bersih; PTK= Panjang Tongkol+Klobot; PTB= Panjang Tongkol 140 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Bersih; DTK= Diameter Tongkol+Klobot; DTB= Diameter Tongkol Bersih; BBj= Berat Per 100 Biji Jagung. 2. Angka –angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 0.05. Karena aksesi A2 (Pulut Beras) hasil panennya diperuntukkan sebagai pengganti beras sehingga dipanen maksimal sampai biji jagung siap untuk dipipil dan bisa disimpan lama. Berbeda dengan Aksesi A1 (Pulut Snack), jagung dipanen masih agak muda yang siap untuk direbus sebagai penganan. Data selengkapnya terlihat pada Tabel 4. Tabel 5 memperlihatkan pengaruh perlakuan jarak tanam pada produksi jagung pulut Sulawesi Selatan. Berbeda dengan perlakuan aksesi, pada perlakuan jarak tanam tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada produksi jagung. Pada jarak tanam renggang (JT1= 100x20 cm) terlihat Berat Tongkol+Klobot paling tinggi (118,52 gram), namun Berat Tongkol Bersih nya pada perlakuan jarak tanam rapat cenderung lebih tinggi (75,42 gram). Hal demikian mungkin disebabkan karena berat klobot yang berbeda, artinya pemakaian jarak tanam renggang akan menghasilkan klobot yang lebih banyak. Tabel 5. Pengaruh perlakuan jarak tanam pada produksi jagung pulut Sulawesi Selatan Jarak BBT BBA BTK BTB PTK PTB DTK DTB BBj Tanam (gr) (gr) (gr) (gr) (cm) (cm) (cm) (cm) (gr) J1 J2 141,08 a 142,49 a 133,79 a 23,49 a 21,05 a 118,52 a 102,75 b 107,59 ab 73,98 a 72,27 a 75,42 a 22,81 a 22,49 a 22,42 a 12,41 a 11,88 a 12,98 a 3,89 a 3,41 a 3,78 a 3,32 a 23,85 a 20,59 a 22,88 a J3 21,18 a 3,92 a 3,45 a Keterangan: 1. BBT= Berat Basah Tajuk; BBA= Berat Basah Akar; BTK= Berat Tongkol+Klobot; BTB= Berat Tongkol Bersih; PTK= Panjang Tongkol+Klobot; PTB= Panjang Tongkol Bersih; DTK= Diameter Tongkol+Klobot; DTB= Diameter Tongkol Bersih; BBj= Berat Per 100 Biji Jagung 2. Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 0.05 Oleh karena itu secara umum dapat disarankan pemakaian jarak tanam rapat (60x20 cm), hal demikian akan dapat meningkatkan produksi jagung per satuan luasnya. Ada beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan jarak tanam jagung antara lain kondisi tanah, musim, dan varietas. Tabel 6. Pengaruh perlakuan interaksi Aksesi dan Jarak tanam pada produksi jagung pulut Sulawesi Selatan Aksesi A1 Jarak Tanam BBT (gr) J1 68,32de J2 64,40 e J3 86,58dce BBA (gr) 8,17 c 7,56 c 13,3 4c BTK (gr) BTB (gr) 51,66 d 31,16 d 65,98 d 36,50 d 68,55 d 45,00 d 141 PTK (cm) 18,56 b 20,09 b 20,02 b PTB (cm) 9,58 c 10,41 bc 10,97 bc DTK (cm) 2,93 d 3,27 d 3,36 d DTB (cm) 2,62 c 2,77 c 2,84 c BBj (gr) 14,3 8 cd 10,9 5d 18,0 8 bc Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan A2 A3 J1 246,85 a J2 257,55 a J3 216,60 b J1 108,10 c J2 105,55 c J3 98,20 dc 45,8 3a 41,7 1ab 36,4 8b 16,4 8c 13,8 8c 13,7 4c 171,14 a 137,04 b 156,43 ab 132,77 b 105,24 c 97,78 c 115,62a 87,38bc 108,22ab 75,17 c 92,92abc 73,04 c 25,86 a 23,97 a 23,72 a 24,00 a 23,43 a 23,52 a 13,73 a 12,15 ab 13,79 a 13,92 a 13,09 a 14,17 a 4,69 a 4,24 abc 4,51 ab 4,05 bc 3,83 c 3,91 c 4,14 a 3,54 ab 4,06 ab 3,47 b 3,64 ab 3,45 b 34,7 5a 29,7 0a 31,2 8a 22,4 3b 21,1 3b 19,2 8b Keterangan: 1. BBT= Berat Basah Tajuk; BBA= Berat Basah Akar; BTK= Berat Tongkol+Klobot; BTB= Berat Tongkol Bersih; PTK= Panjang Tongkol+Klobot; PTB= Panjang Tongkol Bersih; DTK= Diameter Tongkol+Klobot; DTB= Diameter Tongkol Bersih; BBj= Berat Per 100 Biji Jagung 2. Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 0.05. Hasil analisa statistik perlakuan interaksi aksesi dan jarak tanam pada produksi jagung ditampilkan pada tabel 6. Pada tabel tersebut terlihat bahwa kombinasi perlakuan aksesi 2 dengan jarak tanam renggang 100x80 cm (A2J1) menghasilkan bobot basah tongkol bersih tertinggi (115,62a gram) dibandingkan perlakuan lainnya, namun secara statistik tidak berbeda nyata dengan perlakuan jarak tanam rapat (A2J3). Sehingga perlakuan jarak tanam rapat pada aksesi A2 (Pulut Beras) secara statistik masih bisa dilakukan. Pada aksesi A3 (Pulut Hibrida), produksi berat tongkol bersih tertinggi (92,92abc gram) terlihat pada pemakaian jarak tanam sedang (J2= 80x20 cm) namun secara statistik juga tidak berbeda nyata dengan perlakuan jarak tanam J1 dan J3. Sehingga perlakuan jarak tanam rapat (J3) pada aksesi A3 secara statistik juga masih bisa dilakukan. Sedangkan pada aksesi A1 (Pulut Snack) dengan perlakuan jarak tanam rapat (J3) cenderung menghasilkan berat tongkol bersih paling tinggi (45,00d gram) daripada jarak tanam J1 dan J2, meskipun secara statistik juga tidak berbeda nyata. Oleh karena itu secara umum dapat disarankan pemakaian jarak tanam rapat (60x20 cm), untuk penanaman ketiga aksesi jagung tersebut. Penampilan buah jagung hasil panen Aksesi A1 (Pulut Snack), Aksesi A2 (Pulut Beras) dan Aksesi A3 (Pulut Hibrida) pada berbagai jarak tanam dapat dilihat pada Gambar 3a, 3b dan 3c berturut-turut sebagai berikut: 142 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Gambar 3a. Buah jagung aksesi A1 (Pulut Snack) pada berbagai jarak tanam Gambar 3b. Buah jagung aksesi A2 (Pulut Beras) pada berbagai jarak tanam Gambar 3c. Buah jagung aksesi A3 (Pulut Hibrida) pada berbagai jarak tanam Pada Gambar 3a memperlihatkan bahwa buah jagung aksesi A1 memiliki ukuran tongkol relatif lebih pendek dibandingkan aksesi A2 dan aksesi A3, terlihat bijinya tidak rapat (jarang/bogang), sehingga menghasilkan produksi paling rendah, pada semua 143 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan parameter panen (BTK= Berat Tongkol Bersih; PTK= Panjang Tongkol+Klobot; PTB= Panjang Tongkol Bersih; DTK= Diameter Tongkol+Klobot; DTB= Diameter Tongkol Bersih; BBj= Berat Per 100 Biji) memiliki angka terendah (Tabel 4 ). Sebaliknya pada A2 memiliki ukuran tongkol yang besar, relatif lebih panjang dan bijinya penuh/rapat (Gambar 3b) sehingga menghasilkan produksi yang paling tinggi dan berbeda nyata dengan A1 dan A3 (Tabel 4). Sedangkan Aksesi A3 Pulut Hibrida terlihat tongkolnya memiliki biji yang cukup rapat meskipun tidak serapat A2 dan juga tidak bogang/ompong (Gambar 3c) sehingga hasil produksi diantara Aksesi A1 dan aksesi A2. Pada penelitian ini perbedaan hasil produksi lebih disebabkan oleh perbedaan aksesi jagung pulut dan bukan karena perlakuan jarak tanam. Penelitian sebelumnya melaporkan bahwa pertumbuhan dan produksi jagung dipengaruhi oleh varietas (Anonim, 2012c; Dohi, 1998). Dilaporkan bahwa varietas hibrida menghasilkan jumlah daun dan produksi jagung rebus dengan kelobot dan tanpa kelobot yang paling tinggi, diikuti jagung Arjuna dan yang terendah dicapai jagung manis (Dohi, 1998). Selain dipengaruhi oleh varietas, produksi jagung juga dipengaruhi oleh teknik budidaya antara lain pemupukan, kesuburan tanah dan musim tanam (Wibisono, 2012). Beberapa faktor penting yang harus mendapat perhatian dalam teknik budidaya tanaman adalah air, suhu udara, media, cahaya dan ketersediaan hara mineral esensial bagi tanaman (Lakitan, 1995). Kesimpulan 1. Pertumbuhan tinggi tanaman meningkat seiring dengan bertambahnya umur tanaman. Sedangkan pertumbuhan jumlah daun terlihat maksimal pada umur 6 minggu, kemudian menurun, karena pengurangan jumlah daun yang mengering akibat proses penuaan tanaman. 2. Perlakuan aksesi berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan vegetativ jagung pulut. Aksesi A2 (Pulut beras) paling cepat pertumbuhannya (tinggi 116.35a cm, jumlah daun 11.52a helai), daripada aksesi A1 (Pulut snack) (tinggi 91.20b cm, 7.67c helai), dan Aksesi A3 (Pulut hibrida) (tinggi 111.96ab cm, jumlah daun 8.28b helai). 3. Pada umur 7 minggu ST terlihat semua aksesi sudah berbunga antara 70-90 %, aksesi A1 pulut snack lebih cepat berbuah (90%), A3 pulut hibrida (80%), sedangkan aksesi A2 pulut beras (20%). 4. Aksesi A2 (Pulut Beras) terlihat mempunyai produksi tertinggi dibandingkan aksesi A1 (Pulut Snack) dan A3 (Pulut Hibrida), namun mempunyai umur panen yang paling lama (12 minggu). 5. Aksesi A1 Pulut Snack paling cepat panen (9 minggu), menyusul Aksesi A3 Pulut Hibrida (10 minggu), dan yang paling lambat panen Aksesi A2 Pulut Beras (12 minggu) setelah tanam. 6. Perlakuan jarak tanam tidak berbeda nyata baik pada pertumbuhan maupun produksi jagung pulut, sehingga dapat disarankan untuk pemakaian jarak tanam rapat (60x20 cm), karena dapat meningkatkan produksi per luasan tertentu. 144 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada Puslit Biologi LIPI, yang telah memberikan fasilitas untuk penelitian ini, kepada ibu Dr. Nuril Hidayati, PU sebagai PI pada proyek PKPP ini, dan teman-teman teknisi yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian ini. Daftar Pustaka Anonim. 2012a. Mewujudkan Varietas Jagung Pulut Nasional. http://tabloidsinartani.com/ mewujudkan- varietas-jagung-pulut-nasional.html. (diakses 25 Oktober 2012). Anonim. 2012b. Pengaruh Jarak Tanam Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil Tanaman Jagung (Zea Mays L.) Kultivar Cp 1. http://iptekkonsultan.blogspot.com/p/pengaruh-jaraktanam-terhadap.html. (diakses 28 Oktober 2012). Anonim. 2012c. Budidaya Jagung Hibrida. Badan Pusat Informasi Jagung Gorontalo. http://bpij.gorontaloprov.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=23 1:budidaya-jagung-hibrida&catid=85:budidaya-jagung. Dohi, M. 1998. Pengaruh Varietas dan Kepadatan Awal Tanam Terhadap Produksi Jagung Rerbus dan Hijauan jagung Sebagai Makanan Ternak. http://repository.ipb.ac.id/ bitstream/handle/123456789/21478/1998mdo.pdf?sequence=2. (diakses 28 Oktober 2012). Febrina, L. 2012. Menentukan Jarak Tanam Pada Jagung. http://cybex.deptan.go.id/lokalita/ menentukan-jarak-tanam-pada-jagung. (diakses 25 Oktober 2012). Kartasapoetra, A. G. 1988. Jagung (Zea Mays) dalam Teknologi Budidaya Tanaman Pangan di daerah Tropik – Bina Aksara, Jakarta. Hal 90-104. Lakitan, B. 1995. Teori, Budidaya, dan Pasca Panen. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. 219 hal. Pakpahan, A. 2007. Freedom for farmers, Freedom for all PT Ideals Agro Abarar, Bogor. 331 pp. Pabendon, M.B. 2010. Peneliti: Sulsel Penghasil Jagung Pulut Terbaik. Antara. Sabtu, 04 September 2010 21:53 WITA Ekonomi. http://www.antarasulawesiselatan.com/berita/ 18928/peneliti--sulsel-penghasil-jagung-pulut-terbaik. (diakses 25 Oktober 2012). Wibisono, B.K. 2012. Jagung hibrida UNIB lampaui produksi nasional. Kamis, 4 Oktober 2012 07:52 WIB 1538 Views. http://www.antaranews.com/berita/336748/jagunghibrida-unib-lampaui-produksi-nasional (diakses 28 Oktober 2012). Widowati, S. 2012. Keunggulan Jagung QPM (Quality Protein Maize) dan Potensi Pemanfaatannya dalam Meningkatkan Status Gizi. Majalah Pangan 21(2): 171-184. Yudiarta, P. 2011. Pengguguran Daun (Absisi). http://putu-yudiarta.blogspot.com/2011 /06/penguguran-daun-absisi.html. Selasa, 16-4-2013 145 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan BIDANG OBAT 147 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Jenis dan Perbedaan Ektoparasit yang Ditemukan Pada Syrian Hamster (Mesocricetus auratus) dari Petshop dan Pasar Hewan, Malang Ela Novianti*1, Aswin Djoko Baskoro2 dan Loeki Enggarfitri2 1 Pusat Penelitian Bioteknologi – LIPI Jalan Raya Bogor KM.46, Cibinong¸Bogor, Indonesia 2 Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Jalan Veteran, Malang, Indonesia *E-mail : ela.novianti@gmail.com ABSTRAK Hamster merupakan salah satu hewan yang berperan sebagai pembawa ektoparasit maupun endoparasit kepada manusia. Tujuan penelitian adalah untuk mengidentifikasi jenis ektoparasit yang ditemukan pada Syrian Hamster (Mesocricetus auratus) yang dijual di Petshop dan Pasar Hewan, Malang. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif observasional. Dari masing-masing tempat penjualan diambil sepuluh hamster. Ektoparasit didapatkan dari hasil penyisiran dan pencucian hamster dalam suspensi sabun, kemudian diamati morfologinya di bawah mikroskop binokuler. Ektoparasit ditemukan pada 75% hamster yang diteliti. Ada 4 jenis ektoparasit yang ditemukan yaitu Dermatophagoides sp, Sarcoptes scabei, dan Demodex aureti serta Ixodidae. Ektoparasit dengan jumlah tertinggi adalah Dermatophagoides sp. Hamster yang berasal dari Pasar Hewan memiliki jumlah dan jenis ektoparasit yang lebih banyak dibandingkan dengan hamster yang berasal dari Petshop sehingga lebih berpotensi untuk menularkan penyakit zoonotik. Kata Kunci : ektoparasit, Mesocricetus auratus, pasar hewan, petshop Pengantar Hamster merupakan hewan peliharaan yang sangat popular. Salah satu jenis hamster yang sering dipelihara adalah Syrian Hamster (Mesocricetus auratus) (Taslim, 2005). Berbagai penyakit dapat ditemukan pada hamster tersebut, baik yang patogen terhadap hamster itu sendiri maupun yang dapat ditularkan kepada manusia (penyakit zoonotik) (Hannes, 1999). Penyakit zoonotik adalah penyakit-penyakit yang umumnya menyerang hewan, namun karena suatu sebab dapat juga menginfeksi manusia (Beaver & Jung, 1984; Murphy, 2005). Rodensia, termasuk didalamnya tikus dan hamster, dapat bertindak sebagai reservoar untuk penyakit zoonotik sedangkan vektornya adalah pinjal, kutu (mites), caplak (ticks), dan tungau yang merupakan parasit arthropoda (DepkesRI, 2012). Chen melaporkan bahwa Demodex aureti dan Demodex criceti merupakan ektoparasit terbanyak pada tubuh hamster (Chen, 1995). Demodex sp. dilaporkan dapat menyebabkan dermatitis pada manusia (Beaver & Jung, 1984; Achmadi, 2005; Fitri, 2005). Selain ditemukan pada berbagai jenis hamster, ektoparasit tersebut juga dapat ditemukan pada binatang pengerat lainnya (Cardoso & Franco, 2003). Karaer et al 149 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan melaporkan bahwa Syrian Hamster (Mesocricetus auratus) mudah terkena demodikosis yang disebabkan oleh Demodex sp dan potensial menularkannya pada manusia (Karaer et al., 2009). Di Indonesia, penelitian mengenai ektoparasit sudah banyak dilakukan, namun penelitian tersebut hanya terbatas pada hewan liar saja, misalnya penelitian Nurisa dan Ristiyanto yang menunjukkkan bahwa rodensia (tikus dan mencit) bertindak sebagai reservoar bagi enam macam penyakit zoonotik yang disebabkan oleh parasit, yaitu pes, scrub thyphus, leptospirosis, eosinophylic meningitis dan echinostomiasis (Nurisa & Ristiyanto, 2005). Selain itu, tikus, tupai dan kelelawar juga berperan sebagai inang perantara ektoparasit jenis caplak (ticks) dan kutu (mites) (Saim & Agustinus, 2004). Sarcoptes scabei juga merupakan ektoparasit yang banyak ditemukan pada hewan, baik hewan ternak maupun hewan peliharaan (Wardhana, Manurung & Iskandar, 2006). Namun demikian, persebaran penyakit zoonotik dan pertumbuhan populasi ektoparasit ternyata dipengaruhi oleh banyak aspek, diantaranya aspek sosial budaya, aspek ekologi dan yang paling dominan adalah aspek iklim dan cuaca (Natadisastra, 2011). Sebagian besar ektoparasit, terutama jenis ticks lebih banyak hidup dan berkembang di daerah tropis (Manelli et al., 1997; Estrada-Pena, 2001; Keeseon, 2003). Di Indonesia, penelitian mengenai ektoparasit pada hewan peliharaan, terutama pada hamster dan menyebabkan penyakit pada manusia jarang dilakukan. Oleh karena itu, penelitian mengenai ektoparasit yang ditemukan pada hamster perlu dilakukan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi jenis ektoparasit pada Syrian Hamster (Mesocricetus auratus). Fokus penelitian ini adalah mengidentifikasi jenis dan perbedaan ektoparasit yang ditemukan pada Syrian Hamster (Mesocricetus auratus) di Petshop dan Pasar Hewan, Malang. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan potensi hamster sebagai reservoar penyakit zoonotik secara lebih spesifik . Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat menambah kelengkapan informasi bagi masyarakat dan instansi terkait tentang penularan penyakit pada manusia melalui hamster serta cara penanggulangannya. Bahan dan Metode Bahan Bahan dan alat yang digunakan antara lain mikroskop binokuler, obyek glass, chloroform, alkohol 70%, kuas kecil, sikat, gelas, container volume ± 4 liter, kapas, sarung tangan, detergen, timbangan dan penggaris. Metode Penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2006 – Desember 2006. Pengamatan dan identifikasi ektoparasit dilakukan di Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, Malang. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif observasional. Sampel penelitian ini adalah Mesocricetus auratus dengan berat 85-130 gram dan berusia 3-4 bulan. Sampel diperoleh dengan menggunakan metode non probability sampling, yaitu quota sampling. Sampel diambil di dua tempat, yaitu : Petnation Petshop yang berada di Malang Town Square dan Pasar Hewan Splendid, Malang. Dari masing-masing tempat penjualan diambil 10 hamster. 150 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Masing-masing hamster dicatat berdasarkan daerah penjualan, berat dan panjang tubuhnya kemudian dilakukan penomoran. Ektoparasit diperoleh dengan cara merujuk pada metode yang digunakan oleh Saim (Saim & Agustinus, 2004). Sampel hamster dimasukkan ke dalam plastik yang diberi kapas berchloroform selama 3 menit atau lebih untuk mematikan hamster beserta ektoparasitnya. Hamster yang telah mati dimasukan ke dalam suspensi sabun kemudian tubuh hamster disikat. Semua ektoparasit yang tenggelam dalam dasar maupun yang terapung dikumpulkan dengan menggunakan kuas dan dimasukkan ke dalam gelas berisi alkohol 70% untuk masingmasing hamster. Ektoparasit yang didapatkan diamati di bawah mikroskop dengan pembesaran 100x dan 400x. Ektoparasit kemudian diidentifikasi sesuai ciri morfologi mengacu pada Atlas of Medical Parasitology dan Buku Ajar Parasitologi Arthropoda (Keeseon, 2003; Fitri, 2005). Data ini dicatat pada lembar kerja sesuai dengan nomor hamster mana ektoparasit tersebut diperoleh. Data deskriptif untuk mengetahui ektoparasit yang terdapat dalam tubuh hamster disajikan dengan menggunakan tabel frekuensi distribusi. Hasil dan Pembahasan Rodensia berperan sebagai inang perantara berbagai jenis ektoparasit (Jekti & Yuwono, 1990; Saim & Agustinus, 2004; Nurisa & Ristiyanto, 2005; DepkesRI, 2012). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 75% dari 20 hamster yang diteliti mengandung ektoparasit (Tabel 1). Hal ini mengindikasikan bahwa hamster juga berperan penting sebagai inang perantara ektoparasit dan berpotensi untuk menyebarkan penyakit zoonotik. Tabel 1. Distribusi frekuensi keberadaan ektoparasit pada hamster. Terinfeksi Ektoparasit Asal Hamster Jumlah Jumlah % Pasar Hewan 10 9 90 Petshop 10 6 60 Total 20 15 75 Terdapat empat jenis ektoparasit yang ditemukan pada hamster yang diteliti, yaitu mites (soft tick) jenis Dermatophagoides sp, Sarcoptes scabei, dan Demodex aureti serta hard tick dari famili Ixodidae yang secara visual dapat dilihat pada Gambar 1. (a) (b) 151 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan (c) (d) Gambar 1. Ektoparasit yang didapatkan pada tubuh hamster.(a). Dermatophagoides sp dewasa; (b) Sarcoptes scabei dewasa; (c) Demodex aureti dewasa; (d) Ixodidae sp dewasa Secara morfologis, Dermatophagoides sp (Gambar 1a) berbentuk bulat lonjong dengan jumlah kaki 8 buah. Dermatophagiodes sp berukuran sekitar 420 µm (sekitar 0,5 mm) panjang dan 250-320 µm lebar (Denmark, 2007). Sarcoptes scabei (Gambar 1b) berbentuk oval sampai bulat, pipih dorsoventral, translucent,dengan warna putih kecoklatan. Sarcoptes scabei jantan berukuran 200-250 mikron, sedangkan Sarcoptes scabei betina berukuran 330-450 mikron. Mulut Sarcoptes scabei terdiri dari chelicera bergigi, pedipalpus dan bibir yang berubah bentuk menjadi hypostome. Sarcoptes scabei memiliki empat pasang kaki, begitu pula bentuk dewasanya. Pada Sarcoptes scabei betina, kaki pertama dan kedua berakhir dengan sucker, kaki ketiga dan keempat berakhir dengan bristle. Pada Sarcoptes scabei jantan, kaki pertama, kedua dan keempat berakhir dengan sucker dan kaki ketiga berakhir dengan bristle (Prastowo & Sumartono, 1999). Demodex aureti (Gambar 1c) memiliki bentuk tubuh yang ramping dengan ukuran tubuh sangat kecil (150-200µm), berwarna putih, bentuknya hampir mirip belatung (cigar shape), dan memiliki empat pasang kaki bulat pendek pada bagian anterior tubuhnya (Hannes, 1999). Ixodidae sp (Gambar 1d) dikelompokkan sebagai caplak keras (hard ticks) karena memiliki skutum (perisai dari kitin dengan tekstur keras) yang melindungi sebagian besar dorsal tubuhnya. Bagian capitulum dan mulut Ixodidae sp terletak di permukaan bawah anterior dan dilengkapi gigi yang melengkung kebelakang yang berfungsi untuk menghisap darah dari tubuh inangnya (Keeseon, 2003) Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Dermatophagoides sp merupakan ektoparasit terbanyak yang didapatkan pada hamster (Tabel 2). Hal ini sesuai dengan pendapat Hannes yang menyatakan bahwa ektoparasit yang mungkin dapat ditemukan pada tubuh hamster adalah mites (soft tick), hard ticks, dan pinjal (flea) (Hannes, 1999). 152 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Tabel 2. Distribusi frekuensi jenis dan jumlah ektoparasit pada hamster berdasarkan tempat penjualan Asal Hamster Total Jenis Ektoparasit Pasar Hewan Petshop Jumlah % Jumlah % Jumlah % Dermatophagoides sp. 19 46,3 14 34,1 33 80,4 Sarcoptes scabei 4 9,7 0 4 9,7 Ixodidae 2 4,8 1 2,4 3 7,2 Demodex aureti 1 2,4 0 1 2,4 Total 36 63,2 15 36,5 41 100 Ditemukannya Dermatopaghoides sp. merupakan jenis mites terbanyak, yaitu 33 ekor (80,4%), dikarenakan spesies ini bersifat kosmopolitan (dapat hidup dimana saja) dan tidak bersifat spesies spesifik (tidak hanya ditemukan pada jenis hewan tertentu saja). Dermatophagiodes sp banyak ditemukan pada negara beriklim tropis. Lingkungan yang kotor, hangat, lembab dan terutama berdebu pada hamster merupakan tempat hidup yang sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan mites jenis ini (Rand, 1996; Chew, 2003; Keeseon, 2003; Hasanah, Anung & Hidayati, 2005). Pada binatang peliharaan, Dermatophagoides sp hidup di permukaan kulit tubuh. Makanan Dermatophagiodes sp adalah serpihan kulit (sel kulit mati) (Provet, 2006). Dermatophagiodes sp mengekskresikan butiran bulat (round fecal pellet) dengan ukuran sekitar 20 mikron dan mengandung protein yang dapat menimbulkan alergi. Karena berukuran sangat kecil, Dermatophagiodes sp mudah diterbangkan angin dan masuk ke saluran pernafasan. Ketika masuk ke saluran pernafasan, protein yang dihasilkan Dermatophagiodes sp akan menimbulkan sensitisasi sehingga akan dihasilkan zat anti alergi. Pada paparan kedua, alergen akan berikatan dengan zat anti alergi dan menghasilkan histamin yang akan beredar ke seluruh tubuh sehingga menimbulkan reaksi alergi di beberapa organ (Provet, 2006). Histamin menyebabkan peningkatan produksi mukus, timbulnya reaksi radang (inflamasi) dan edema otot-otot saluran pernafasan. Hal ini akan mencetuskan timbulnya batuk, sesak dan asma. Terapi yang digunakan adalah terapi simptomatik, sesuai dengan gejala yang timbul. Anti histamin merupakan terapi utama. Pada serangan asma, terapi diberikan sebagai reliever (mengatasi serangan) dan controller (mengontrol agar serangan tidak terjadi). Steroid dapat digunakan sebagai terapi akut (Provet, 2006). Sarcoptes scabei merupakan jenis mites terbanyak kedua yang ditemukan (9,7%). Seperti halnya Dermatophagoides sp, Sarcoptes scabei juga merupakan parasit yang kosmopolitan, dapat menyerang binatang apapun dan di usia berapapun. Sarcoptes scabei banyak ditemukan di lingkungan dengan populasi yang padat, hygiene rendah dan tempat-tempat dengan iklim tropis (Chosidow, 2000). Sarcoptes scabei bersifat obligat parasit yang mutlak memerlukan inang untuk berkembangbiak (Wardhana, Manurung & Iskandar, 2006). Pernyataan ini juga didukung oleh Brown dan CDC yang menyebutkan bahwa Sarcoptes scabei merupakan ektoparasit yang dapat hidup pada tubuh hamster (Brown, 1994; CDC, 2006). Sarcoptes scabei dapat menyebabkan penyakit skabies pada manusia. Mite ini mempunyai habitat di kulit, terutama di lipatan-lipatan kulit (sela jari, axilla, inguinal, 153 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan genitalia, dan lipatan belakang paha) bahkan seluruh tubuh. Penyakit skabies dapat ditularkan melalui kontak langsung maupun kontak tak langsung dengan Sarcoptes scabei (Chosidow, 2000; Wardhana, Manurung & Iskandar, 2006). Manusia yang pertama kali terinfeksi Sarcoptes scabei tidak akan memperlihatkan gejala berarti. Dalam 2-6 minggu kemudian, penderita mulai tersensitisasi hingga timbul gejala. Gejala klinis akibat infestasi Sarcoptes scabei akan menimbulkan ruam-ruam dan rasa gatal yang parah terutama pada malam hari atau setelah mandi. Hal ini disebabkan karena Sarcoptes scabei membuat terowongan pada stratum korneum kulit (23mm/hari) dengan sucker yang ada pada kedua kaki depannya, terutama pada waktu malam. Rasa gatal dan munculnya skin rash diduga akibat aktivitas dan sekret mites jenis ini. Terapi scabies menggunakan topikal Permetrin (5%), Benzil Benzoat Emultion (BBE) 20-25%, Crotamiton, Benzene Hexacloride (Lindane 1%), Ivermectrin oral dan sabun sulfur. Ivermectrin oral efektif untuk penderita immunocomromised (Brown, 1994). Demodex aureti sangat sedikit ditemukan pada hamster di penelitian ini (7,2%). Berbeda dengan penelitian yang dilakukan Chen yang menyatakan bahwa Demodex criceti dan Demodex aureti merupakan ektoparasit terbanyak yang ditemukan pada tubuh hamster. Dari penelitian yang dilakukannya ditemukan lebih dari 50% bentuk dewasa, 10% larva dan 20% nympha dari Demodex aureti sedangkan sisanya merupakan bentuk dewasa dari Demodex criceti pada tubuh hamster. (Chen, 1995). Perbedaan ini dapat disebabkan oleh teknis penelitian yang dilakukan. Karena habitat Demodex aureti adalah pada folikel rambut dan kelenjar sebacea maka pada proses penyisiran dan penyikatan yang dikerjakan pada penelitian ini daerah tersebut sulit untuk dijangkau sehingga Demodex aureti sukar ditemukan (Fauzia, 2005). Demodex aureti dapat menginfeksi manusia (demodikosis) dengan cara kontak langsung dengan hamster yang terinfeksi. Demodex aureti menyerang manusia di usia pertengahan dan atau dengan sistem imun tubuh yang buruk. Pada kondisi tersebut, populasi Demodex aureti akan meningkat. Jika keadaan ini terus berlanjut dan tidak mendapatkan terapi yang tepat, akan terjadi kerusakan jaringan kulit, menyebabkan inflamasi pada epidermis (skin rash), menebalnya kulit (hyperplasia) hingga timbulnya scar. Gejala lain adalah perbesaran pori folikel rambut sehingga terjadi kerontokan rambut dan bulu mata, timbulnya blefaritis dan acne, hingga terjadinya sindroma rosasea (Brown, 1994). Selain terapi dengan antiparasit dan meningkatkan imun tubuh, demodikosis juga dapat diterapi dengan seabucktorn oil (Hippophae rhamnoides). Bahan ini bekerja dengan cara mengurangi reaksi inflamasi yang terjadi pada kulit dan mencegah timbulnya sindroma rosasea (Murphy, 2006). Jenis ektoparasit terakhir yang ditemukan adalah hard ticks dari famili Ixodidae (2,4%). Habitat hard ticks jenis ini terutama di tanah rerumputan (Estrada-Pena, 2001). Adanya hard ticks pada tubuh hamster bisa disebabkan karena faktor alas kandang hamster yang digunakan terinfestasi oleh telur Ixodidae sp ataupun karena terbawanya Ixodidae sp dari sayuran yang menjadi sumber makanan bagi hamster maupun hewan lain yang berada di sekitarnya. Aves, mamalia dan rodensia merupakan inang bagi Ixodidae sp. Infestasi Ixodidae sp pada tubuh manusia dapat menyebabkan dermatitis dan anemia (Keeseon, 2003). 154 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Berdasarkan Tabel 2, hamster yang berasal dari Pasar Hewan lebih banyak mengandung ektoparasit (90%) dibandingkan dengan hamster yang berasal dari Petshop (60%). Hal ini dapat dihubungkan dengan tingkat kebersihan dari masing-masing lokasi penjualan tersebut. Standar kebersihan yang rendah turut mempengaruhi jumlah ektoparasit yang ditemukan pada hamster. Kandang yang kotor dapat menjadi sumber penyakit. Sistem ventilasi, pemasukan udara dan sinar matahari serta kebersihan makanan dan air juga berpengaruh terhadap kesehatan hamster (Jekti & Yuwono, 1990; Beriajaya, 2007). Bila dibandingkan dengan Petshop, kebersihan pada daerah Pasar Hewan dapat dikatakan lebih rendah. Kondisi lingkungannya kotor, lembab dan berdebu. Hamster yang berasal dari Pasar Hewan juga lebih banyak kontak dengan lingkungan luar dikarenakan diletakkannya kandang hamster yang akan dijual di daerah yang terbuka. Berdasarkan Tabel 2 juga diketahui bahwa terdapat perbedaan jenis ektoparasit yang ditemukan di Petshop dan Pasar Hewan. Pada hamster yang berasal dari Pasar Hewan ditemukan 4 jenis ektoparasit, sedangkan pada hamster yang berasal dari Petshop hanya ditemukan 2 jenis ektoparasit. Lebih bervariasinya jenis ektoparasit yang berasal dari Pasar Hewan bila dibandingkan dengan hamster yang berasal dari Petshop dapat dihubungkan dengan tingkat kebersihan Pasar Hewan yang rendah. Perlakuan dan perawatan yang didapatkan hamster juga mempengaruhi keragaman jenis ektoparasit yang ditemukan. Hamster yang berasal dari Petshop diberi perlakuan khusus dan dijaga kebersihan tempat tinggalnya. Tubuh hamster juga dirawat dan dibersihkan secara rutin. Hal ini menyebabkan sedikitnya jenis ektoparasit yang ditemukan pada hamster yang berasal dari Petshop. Kepadatan populasi hewan peliharaan juga berperan dalam penyebaran ektoparasit. Populasi yang padat akan meningkatkan faktor resiko terjangkitnya penyakit (Jekti & Yuwono, 1990). Populasi dalam satu kandang yang terlalu padat pada hamster yang dijual di Pasar Hewan dan kurangnya perawatan juga membuat hamster terpapar oleh kondisi yang tidak sehat sehingga ektoparasit akan mudah menjangkiti hamster. Populasi yang padat memungkinkan terdapatnya variasi keragaman jenis ektoparasitnya. Pengendalian ektoparasit menyangkut hidup bersih dan kesehatan lingkungan. Kesehatan lingkungan akan mengurangi populasi ektoparasit dan memutus siklus hidupnya, sehingga ektoparasit tersebut tidak dapat berkembang (Hollander et al., 2006). Berdasarkan pernyataan di atas maka dapat disimpulkan bahwa variasi ektoparasit yang ditemukan pada tubuh hamster dapat tergantung dari lokasi penjualan sampel penelitian. Lebih banyak dan bervariasinya jenis ektoparasit pada hamster yang dijual di Pasar Hewan mengindikasikan bahwa hamster yang dijual di Pasar Hewan lebih besar kemungkinannya membawa ektoparasit dan menularkannya pada manusia dibandingkan dengan hamster yang dijual di Petshop. Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Ektoparasit dapat ditemukan pada 75% hamster yang diteliti. Terdapat 4 jenis ektoparasit yang ditemukan yaitu Dermatophagoides sp, Sarcoptes scabei, dan Demodex aureti serta Ixodidae. Ektoparasit dengan jumlah tertinggi adalah 155 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Dermatophagoides sp. Hamster yang berasal dari Pasar Hewan memiliki jumlah dan jenis ektoparasit yang lebih banyak dibandingkan dengan hamster yang berasal dari Petshop sehingga lebih berpotensi untuk menularkan penyakit zoonotik. Saran Penelitian lanjutan mengenai dampak kesehatan yang ditimbulkan ektoparasit pada hamster bagi manusia perlu dilakukan. Selain itu, penelitian serupa dengan jumlah sampel yang lebih besar, pada area yang lebih luas dan dalam waktu yang lebih panjang juga perlu dilakukan, sehingga data yang diperoleh lebih banyak dan lebih akurat. Daftar Pustaka Achmadi, A. S. 2005. Awas Tertular Penyakit Satwa . Pustaka Utama. Jakarta. Beaver, P.C. and R.C. Jung. 1984. Clinical Parasitology, nineth edition. Lea and Febringer Inc. Philadelphia. Beriajaya. 2007. Peranan Vektor sebagai Penular Penyakit Zoonosis, Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis. (http://peternakan.litbang.deptan.go.id/fullteks/lokakarya/lkzo05-44.pdf, diakses tanggal 7 September 2006). Brown, H.W. 1994. Basic Clinical Parasitology. Appleton Century Croft. New York. Cardoso, M.J.L. and R.S.V.R. Franco. 2003. Demodicosis in Golden Hamster (Mesocricetus auratus) – First Case in Brazil. ARS VETERINARIA, Jaboticabal, SP, Vol. 19, nº 2, 126-128 CDC. 2006. Scabies Life Cycle.(http://www.dpd.cdc.gov/scabies/scabieslifecycle, diakses 10 September 2006). Chen,C.1995. Demodicosis in Syrian Hamster. Parassitologia.Mar;39(1):41-5. Chew,G. L. 2003. Distribution and determinants of mouse allergen exposure in lowincome New York City apartments. USA : Columbia Center for Children's Environmental Health. Chosidow,O. 2000. Scabies and Pediculosis. The Lancet Infectious Disease.Vol355, Issue9206, p818. Departemen Kesehatan RepubIik Indonesia. 2012. Pedoman Pengendalian Tikus. (http://www.depkes.go.id/downloads/Pengendalian%20tikus.pdf. Diakses tanggal 7 September 2006). Denmark, H.A. 2007. Dermatophagoides.spp. (Arachnida: Acari: Pyroglyphididae). Department of Entomology and Nematology: University of Florida. Estrada-Pena, A. 2001. Climate Warming and Changes in Habitat Suitability for Boophilus micropus (Acari : Ixodidae) in Central America. The Journal of Parasitology Vol.87 No.5: pp 978 – 987 Fauzia, N. 2005. Keragaman Ektoparasit pada Tikus yang Tertangkap di Kecamatan Gayamsari, Kota Semarang. Universitas Diponegoro. Semarang. Fitri, L.E. 2005. Parasitologi Arthropoda. Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya. Malang. Hannes,P. 1999. Dermatologic Disease. Journal of Medical Entomologi. Volume: 33, Issue: 4 p: 900-906. 156 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Hasanah, A., Anung dan Hidayati. 2005. Perilaku Pengelolaan Tempat Tinggal Berdasarkan Sumber Allergen Inhalan dalam Debu Rumah pada Masyarakat Perkotaan Jawa Timur. Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Malang. Malang. Hollander ,A. 1996. Exposure of laboratory animal workers to airborne rat and mouse urinary allergens. Clin Exp Allergy 27:617-626. Jekti, R.P, M.E.Sulaksono dan S.S.Yuwono. 1990. Kontaminasi dalam Pemeliharaan Hewan Percobaan secara Konvensional di Daerah Tropis. Pusat Penelitian Penyakit Menular Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia: Jakarta. Karaer, Z. 2009. Demodicosis in a Golden (Syrian) hamster (Mesocricetus auratus), Short Communication. Ankara Üniv Vet Fak Derg, 56, 227-229 Keeseon.2003. Atlas of Medical Parasitology: House Dust Mites. MedRIC. Korea. Manelli. 1997. Spatial Distribution and Seasonality of Ticks (Acarina : Ixodidae) in a Protected Area in Northern Apennines. Parassitologia 39 (1) : 41 - 5 Murphy, F. A. 2006. Emerging Infectious Diseases. Proc. Hawaiian Entomol. So ocn.41:53–56 Natadisastra, D. 2011. Buku Ajar Kesehatan Masyarakat. UI Press. Jakarta. Nurisa, I. dan Ristiyanto. 2005. Penyakit Bersumber Rodensia (Tikus dan Mencit) di Indonesia. Jurnal Ekologi Kesehatan Vol 4 No 3: 308 – 319 Prastowo, J. dan Sumartono. 1999. Kamus Parasiter. EGC. Jakarta. Provet. 2006. Zoonoses.(http://www.co.uk/health/disease.htm, diakses 15 September 2006). Rand, M.S. 1996. Zoonotic Diseases (http://research.uc-sb.edu/iacuc/iacuc.shtml, diakses 7 September 2006). Saim, A. dan Agustinus S. 2004. Keanekaragaman Fauna Parasit pada Mamalia Kecil di Kawasan Tesso – Nilo, Propinsi Riau. Jurnal Ekologi Kesehatan Vol 3 No 3: 123 – 127 Taslim,W. 2005. Sukses Memelihara Hamster. Jakarta: Argomedia Pustaka. Wardhana, A.H., J.Manurung. dan T.Iskandar. 2006. Scabies : Tantangan Penyakit Zoonosis Masa Kini dan Masa Datang. Wartazoa Vol.16 No.1: 40 – 52 157 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Konstruksi Vektor Ekspresi Rekombinan Yang Mengandung Protein Faktor Sekresi Pichia pastoris dan Kloning Dalam Escherichia coli Shabarni Gaffar*, Siti N. Inayah dan Yeni W Hartati Jurusan Kimia, FMIPA, Universitas Padjadjaran. Jl. Raya Bandung Sumedang Km 21, Jatinangor 453631 *E-mail: era2504@yahoo.com ABSTRAK Protein faktor sekresi Pichia pastoris (Sec4p) merupakan salah satu protein yang berperan untuk menargetkan protein-protein yang disekresikan ke luar sel. Sec4p sangat diperlukan pada inang ekspresi Pichia pastoris untuk menjamin bahwa semua protein rekombinan yang dirancang untuk ekspresi ekstraselular dikeluarkan dari sel. Overekspresi gen SEC4 dalam suatu inang ekspresi dapat meningkatkan sekresi protein rekombinan. Penelitian ini berhasil mengkonstruksi suatu vektor ekspresi rekombinan yang mengandung gen SEC4 dan mengkloningnya dalam Escherichia coli. Gen SEC4 diamplifikasi dari genom P. pastoris menggunakan metode PCR. Fragmen SEC4 dengan ukuran 615 pb diligasi ke vektor pJET1.2 menghasilkan plasmid rekombinan pJET1.2-SEC4 dan disubkloning dalam E. coli TOP10F’. Gen SEC4 dari plasmid pJET1.2-SEC4 yang telah dikarakterisasi, dipotong menggunakan enzim restriksi EcoR1. Fragmen SEC4 hasil pemotongan dengan enzim EcoR1 diligasi ke vektor pPIC3.5K menghasilkan vektor ekspresi rekombinan pPIC3.5K-SEC4 dan selanjutnya dikloning dalam E. coli TOP10F’. Hasil analisis restriksi dan penentuan urutan nukleotida gen SEC4 dalam plasmid pPIC3.5K-SEC4 hasil kloning menunjukkan bahwa vektor ekspresi yang mengandung gen SEC4 berhasil dikonstruksi dan gen SEC4 dengan ukuran 615 pb memiliki urutan nukleotida yang identik dengan urutan SEC4 P. pastoris di Genbank. Vektor ekspresi yang dihasilkan selanjutnya dapat diintroduksi ke dalam suatu inang P. pastoris, untuk menghasilkan sel inang yang dapat mensekresikan protein rekombinan dengan tingkat produksi tinggi. Kata kunci : faktor sekresi, gen SEC4, vektor ekspresi, Pichia pastoris Pengantar Ragi metilotropik P. pastoris semakin banyak digunakan sebagai inang untuk ekspresi protein rekombinan. P. pastoris lebih mudah dimodifikasi secara genetika dan dikulturkan dibandingkan dengan sel mamalia dan dapat ditumbuhkan hingga mencapai densitas sel yang tinggi (Cereghino & Cregg, 2000). Selain itu, karena P. pastoris merupakan eukariot maka cocok digunakan untuk memproduksi protein eukariot dengan folding yang tepat dan protein yang membutuhkan modifikasi pascatranslasi, sehingga protein rekombinan tersebut dapat berfungsi dengan baik (Daly & Hearn, 2005). Lebih dari 550 protein rekombinan yang berasal dari bakteri, ragi, protista, tumbuhan, invertebrata, manusia dan virus telah berhasil disintesis dan diproduksi dalam ragi ini (Lin-Cereghino et al., 2006, De Schutter et al., 2009). Teknologi ekspresi P. pastoris tersedia secara komersial semenjak beberapa tahun yang lalu. 159 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Produksi secara ekstraselular protein rekombinan menggunakan sistem ekspresi P.pastoris, umumnya lebih disukai karena memudahkan proses pemurnian sehingga menurunkan biaya produksi. Sekresi protein oleh suatu inang ekspresi memerlukan sejumlah protein yang berperan pada transportasi protein yang akan disekresikan dari retikulum endoplasma sampai ke membran sel (Cregg et al., 1993). Selain itu, tingkat sekresi protein asing juga dipengaruhi oleh jenis kodon yang digunakan dari gen yang diekspresikan; jumlah kopi gen; kekuatan promotor; sinyal translasi; jenis peptida sinyal; pemrosesan dan pelipatan protein dalam retikulum endoplasma dan badan Golgi; faktor lingkungan dalam sekresi ekstraseluler; serta hidrolisis protein oleh protease (Shi Hwei et al., 2005; Sreekrishna et al., 1997). Protein faktor sekresi ekstraselular adalah sekelompok protein yang berperan pada transportasi protein yang akan disekresikan dengan melibatkan organel sel. Secara garis besar, protein yang baru terbentuk akan melewati retikulum endoplasma (RE), kompleks Golgi, dan kemudian menuju membran plasma untuk selanjutnya disekresikan ke luar sel. Transportasi protein antar kompartemen di dalam sel juga dimediasi oleh suatu vesikel (Oliveira et al., 2010; Salminen & Novick, 1989). Berdasarkan analisis genetik protein yang terlibat pada jalur sekresi ragi, telah ditemukan dua puluh enam gen yang produknya diperlukan untuk transportasi protein dari retikulum endoplasma ke membran plasma. Sepuluh dari gen-gen tersebut mengatur peredaran vesikuler dari kompleks Golgi ke membran plasma pada tahap lanjut sekresi protein. Salah satu dari sepuluh gen ini adalah SEC4, yang mengode protein pengikat GTP yang berasosiasi dengan sisi sitoplasmik dari vesikel sekresi dan membran plasma. Protein Sec4 (Sec4p) diperlukan pada eksositosis konstitutif pada ragi dan mengalami siklus antara membran plasma dan vesikel sekresi. Siklus lokalisasi Sec4p dirangkai dengan siklus pengikatan dan hidrolisis GTP yang berfungsi untuk mengontrol peredaran vesikuler (Salminen & Novick, 1989). Peningkatan jumlah Sec4p dalam suatu inang ekspresi diketahui dapat meningkatkan sekresi protein asing. Shi-Hwei dan koleganya (2004) melaporkan overekspresi SEC4 Pichia pastoris dalam inang P. pastoris yang telah mengandung gen pengode glukoamilase, dapat meningkatkan sekresi glukoamilase sebanyak 2x lipat. Meskipun peran Sec4p pada sekresi protein di P. pastoris belum pernah dipelajari, namun urutan asam amino Sec4p dari P. pastoris mirip dengan urutan Sec4p ragi lain pada domain yang terlibat dalam pengikatan dan hidrolisis nukleotida. Penelitian tersebut membuktikan Sec4p memiliki kontribusi peran yang penting dalam proses produksi protein rekombinan, khususnya pada proses sekresi protein. Sec4p merupakan protein berukuran 24 kDA yang dikode gen SEC4 dari Saccharomyces cerevisiae. Protein ini termasuk ke dalam keluarga protein Rab dari protein pengikat GTP yang merupakan regulator penting pada semua aktivitas peredaran vesikuler. Sec4p berperan penting dalam tahap akhir sekresi protein, berfungsi untuk menargetkan vesikel sekretori ke membran plasma pada proses pascaGolgi dalam sekresi protein pada ragi (Walworth et al., 1989). Permasalahan yang sering timbul pada produksi protein rekombinan yang dirancang untuk disekresikan oleh inang P. pastoris adalah tingkat sekresinya masih rendah. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah ini adalah dengan menambah 160 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan konsentrasi Sec4p intraselular, sehingga jumlah protein rekombinan yang disekresikan bisa lebih banyak. Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini bermaksud untuk merancang suatu vektor ekspresi yang membawa gen SEC4 Pichia pastoris. Vektor ekspresi ini selanjutnya dapat masukkan ke dalam suatu inang yang dirancang untuk menyekresikan protein asing. Melalui penelitian ini diharapkan dapat dihasilkan vektor ekspresi yang mengandung gen SEC4 P. pastoris yang dapat digunakan untuk koekspresi SEC4 dalam inang P. pastoris yang telah mengandung gen asing. Koekspresi SEC4 diharapkan dapat meningkatkan level sekresi protein asing oleh P. pastoris. Bahan dan Metode Bahan Galur yang digunakan pada penelitian ini adalah Escherichia coli TOP10F’ (Invitrogen) yang digunakan sebagai inang untuk kloning. Vektor yang digunakan adalah pJet1.2 (Fermentas) dan pPIC3.5K (invitrogen). Enzim restriksi endonuklease EcoR1, Taq DNA polymerase, dan T4 DNA ligase dari Fermentas. Primer oligonukleotida untuk PCR (5’Sec4f dan 3’Sec4r) disintesis oleh Research Biolabs (Singapura). Kit isolasi DNA: GeneJET Gel Extraction Kit, GeneJET Plasmid Miniprep Kit dan Genomic DNA isolation Kit dari Fermentas. Marker DNA 1 kb dari Fermentas. Media pertumbuhan, E. coli TOP 10F’ dari Pronadisa dan Oxoid. Reagen reagen lain yang umum digunakan pada laboratorium biologi mulekul dari Sigma Aldrich dan Merck. Metode Amplifikasi SEC4 P. pastoris dan subkloning dalam E. coli. Gen SEC4 P. pastoris diamplifikasi dengan teknik PCR. Campuran reaksi PCR terdiri atas 1 μL hasil isolasi DNA genom P. pastoris; bufer PCR 1X; primer 5’Sec4f (5’-TTGAATTCATGGCATCAAGAGGCACATCA-3’) 0,4 μM; primer 3’Sec4r (5’TTGAATTCTC AACAACAAGACGATTTGGT-3’) 0,4 μM (urutan yang digarisbawahi merupakan urutan sisi pengenalan enzim restriksi EcoR1); dNTP 0,2 mM (Fermentas); MgCl2 2,5 mM; 1,25 U enzim Taq DNA polymerase (Fermentas) dan air bebas nuklease hingga 50 μL. Proses PCR dilakukan menggunakan mesin Mastercycler® 5330 (Eppendorf) sebanyak 30 siklus, dengan masing-masing siklus terdiri dari tahap-tahap denaturasi templat pada suhu 95oC selama 1 menit, tahap penempelan primer (annealing) pada suhu 51oC selama 1 menit, dan tahap pemanjangan primer pada suhu 72oC selama 1 menit. Hasil PCR dianalisis dengan elektroforesis gel agaros 1% (b/v), kemudian dimurnikan menggunakan GeneJET Gel Extraction Kit (Fermentas). Fragmen DNA hasil pemurnian, di analisis dengan elektroforesis agaros 1 %(b/v). Setelah dimurnikan, hasil PCR diligasi ke vektor pJet1.2 (Fermentas). Reaksi ligasi dilakukan dengan perbandingan molar antara vektor pJET1.2 dan insert gen SEC4 1:3. Campuran reaksi ligasi terdiri dari 10 μL buffer 2x reaksi; 5 μL purified SEC4 hasil PCR; 1 μL (0.05 pmol ends) vektor pJET1.2; 1 uL blunting enzyme, air bebas nuklease hingga 1λ μL; dan 1 μL T4 DNA ligase. Volume total reaksi ligasi adalah 20 μL. 161 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Campuran kemudian divortex dan disentrifugasi selama 3-5 detik. Campuran diinkubasi pada suhu 22C selama 15 menit. Vektor pJet1.2 yang telah membawa gen SEC4 (pJet1.2-SEC4) digunakan untuk mentransformasi E. coli TOP10F’. Pembuatan sel kompeten dilakukan mengikuti prosedur CaCl2 (Sambrook, et al., 1λ8λ). Sejumlah 5 μL DNA hasil ligasi ditambahkan ke dalam tabung yang berisi 50 μL sel kompeten, kemudian diinkubasi selama 30 menit pada suhu 4C, kemudian dilakukan heat shock pada suhu 42C selama 90 detik. Kemudian segera didinginkan di dalam es selama 10 menit. Campuran ini kemudian ditambahkan λ50 μL media LB cair dan diinkubasi pada suhu 37C selama 2 jam dengan laju pengocokan 150 rpm. Kemudian disentrifugasi pada 12000 rpm selama 30 detik. Sebanyak λ00 μL supernatan dibuang, pelet sel diresuspensi dengan supernatan sisa sebanyak 100 μL dan kemudian ditumbuhkan pada media LB padat yang telah mengandung Tetrasiklin 15 μg/mL dan Ampicillin 100 μg/mL, kemudian diinkubasi pada suhu 37C selama 16-18 jam. Koloni transforman E. coli yang tumbuh berwarna putih dikarakterisasi melalui isolasi plasmid rekombinan (Sambrook, et al., 1989), analisis restriksi menggunakan EcoR1, kemudian ditentukan urutan nukleotidanya. Urutan nukleotida gen SEC4 hasil isolasi dari E. coli TOP10F’ dengan konsentrasi DNA sekitar 100 ng/μL ditentukan dengan metode dideoksi Sanger (Dye Terminator) di Macrogene (Korea). Primer yang digunakan untuk sekuensing adalah pasangan primer pJetfor dan pJetref (primer universal untuk vektor pJet1.2). Hasil sekuensing di jajarkan menggunakan program Seqman pada program DNAStar. Kostruksi plasmid ekspresi pPIC3,5K-SEC4 dan kloning dalam E. coli Dua g DNA plasmid pJet1.2-SEC4 dan pPIC3.5K dipotong menggunakan enzim restriksi EcoR1 (Fermentas). Campuran reaksi mengandung 10 Unit enzim EcoR1 dan buffer restriksi, kemudian diinkubasi pada suhu 37C selama 1 jam. Pita fragmen DNA SEC4 (±650 pb) dan fragmen pPIC3.5K (9000 pb) di potong dari gel dan dimurnikan menggunakan GeneJET Extraction Kit (Fermentas) mengikuti prosedur. Gen SEC4 yang mengandung sisi restriksi EcoR1 pada ujung-ujungnya diligasi dengan vektor pPIC3.5K yang mengandung sisi restriksi enzim yang sama. Reaksi ligasi dilakukan dengan perbandingan molar antara vektor pPIC3.5K dan gen SEC4 1:5. Campuran reaksi ligasi terdiri dari 2 μL buffer 10x reaksi; 1.22 μL gen SEC4; 1 μL vektor pJET1.2; air bebas nuklease hingga 1λ μL; dan 1 μL T4 DNA ligase. Volume total reaksi ligasi adalah 20 μL. Campuran kemudian divortex dan disentrifugasi selama 3-5 detik. Campuran diinkubasi pada suhu 22C selama 1 jam. Campuran ligasi yaitu plasmid pPIC3.5K-SEC4 digunakan untuk mentransformasi E. coli TOP10F’ dengan metoda CaCl2 (Sambrook, et al. 1989). Transforman E. coli yang tumbuh merupakan E. coli yang telah mengandung plasmid rekombinan pPIC3.5K-SEC4. Plasmid rekombinan diisolasi dan dikarakterisasi melalui analisis restriksi menggunakan enzim EcoR1. Urutan nukleotida gen SEC4 dalam plasmid pPIC3.5K-SEC4 ditentukan menggunakan pasangan primer 5’AOX dan 3’AOX (Invitrogen). 162 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Hasil dan Pembahasan Amplifikasi SEC4 P. pastoris dan subkloning dalam E. coli. Amplifikasi gen SEC4 dengan teknik PCR menggunakan pasangan primer 5’Sec4f dan 3’Sec4r menghasilkan fragmen berukuran 615 pb (Gambar 1a) sesuai dengan panjang gen SEC4 P. pastoris di GenBank (nomor akses: XM_002492307.1). Selanjutnya gen SEC4 telah berhasil disubkloning menggunakan vektor pJet1.2 dalam E. coli (Gambar 1b). Sebanyak 104 koloni transforman E. coli telah diperoleh dan diremajakan untuk pencarian koloni yang mengandung plasmid rekombinan. Gambar 1. a. b. (a) Produk PCR gen SEC4. (lajur 1) marker 1 kb, (lajur 2) SEC4. (b) Koloni transforman E. coli [pJET1.2-SEC4]. Hasil isolasi plasmid dan karakterisasi dengan enzim EcoR1 diperoleh koloni yang positif mengandung gen SEC4 (Gambar 2). Hasil restriksi plasmid yang ditunjukkan pada Gambar 2 menunjukkan bahwa koloni 92 (lajur 6) positif mengandung plasmid pJET-SEC4, ditunjukkan dengan adanya pita pada daerah ~3000 bp yang sesuai dengan ukuran plasmid pJET1.2 dan pita pada daerah ~615 bp yang sesuai dengan ukuran gen SEC4. Koloni 64 dan 68 (lajur 3 dan 4) diduga mengandung vektor pJET1.2 yang mengalami re-ligasi, ditunjukkan dengan pita plasmid yang tidak terpotong oleh enzim EcoRI karena vektor pJET1.2 tidak memiliki sisi pengenal EcoRI. Namun, seharusnya koloni ini tidak tumbuh pada media seleksi karena vektor pJET1.2 yang tidak disisipi DNA sisipan akan mengekspresikan protein yang mematikan bagi transforman E. coli. Diduga hal ini terjadi karena adanya kontaminasi nuklease. Kontaminasi ini dapat merusak integritas dari gen mematikan dengan rusaknya ujung vektor pJET1.2 oleh aktivitas nuklease. Hasil restriksi koloni 21 dan 50 (lajur 2 dan 5) menghasilkan plasmid yang terpotong oleh enzim EcoRI, namun tidak menunjukkan pita spesifik pET1.2 maupun SEC4. Diduga hal ini terjadi karena proses restriksi yang kurang sempurna sehingga menghasilkan plasmid pJET-SEC4 linear, ditunjukkan dengan pita yang terletak diantara daerah ~3500 pb. 163 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Gambar 2. Hasil restriksi plasmid pJET1.2-SEC4 dengan enzim EcoRI. (lajur 1) marker 1 kb, (lajur 2) pJET-SEC4 koloni 21 cut/ EcoRI, (lajur 3) pJET-SEC4 koloni 64 cut/ EcoRI, (lajur 4) pJET-SEC4 koloni 68 cut/EcoRI, (lajur 5) pJET-SEC4 koloni 50 cut/ EcoRI, (lajur 6) pJET-SEC4 koloni 92 cut/EcoRI. Kostruksi plasmid ekspresi pPIC3,5K-SEC4 dan kloning dalam E. coli Gen SEC4 hasil subkloning dipotong dari plasmid pJet1.2-SEC4 menggunakan enzim EcoR1. Pemotongan plasmid ini dengan enzim EcoR1 menghasilkan dua pita DNA yaitu 3000 pb (vektor pJet1.2) dan 615 pb (gen SEC4). Sedangkan pemotongan plasmid pPIC3.5K dengan enzim EcoR1 menghasilkan satu pita dengan ukuran 9000 pb (Gambar 3). Gambar 3. Hasil restriks pJET1.2-SEC4 dan vektor pPICK3.5K dengan enzim EcoR1. (lajur 1) marker 1 kb, (lajur 2) pPICK3.5K cut/ EcoR1, (lajur 3) pJET1.2-SEC4 cut/ EcoR1. Fragmen 9000 pb (pPIC3.5K) dan 615 pb(SEC4) dipotong dari gel agaros, kemudian dimurnikan menggunakan GeneJet Gel Extraction Kit (Fermentas). Kedua fragmen DNA ini diligasi dengan perbandingan molar fragmen SEC4 : vektor pPIC3.5K = 5:1. Hasil ligasi kemudian dikloning dalam E. coli TOP10F’ dan diperoleh 104 transforman E. coli (Gambar 4). 164 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan a. b. Gambar 4. Koloni E. coli [pPIC3.5K-SEC4] yang diremajakan.(a) koloni 1-52, (b) koloni 53-104. Hasil penentuan urutan nukleotida gen SEC4 dalam plasmid rekombinan pJet1.2SEC4 menunjukkan bahwa gen SEC4 hasil subkloning homologi 100% dengan urutan gen SEC4 P. pastoris pada GenBank (nomor akses: XM_002492307.1) (Gambar 5). Penelitian ini merupakan penelitian pendahuluan untuk mendapatkan inang P. pastoris yang mengandung tambahan gen SEC4 yang diperlukan untuk memfasilitasi overekspresi protein rekombinan lain. Peningkatan jumlah protein Sec4p intraselular akan menjamin bahwa semua protein yang diekspresikan dikirim keluar sel. Ragi metilotropik P. pastoris sudah banyak digunakan untuk ekspresi protein rekombinan, terutama protein eukariot karena memiliki sistem modifikasi pasca translasi dan dapat mengekspresikan protein ekstraselular. Salah satu kendala ekspresi ekstraselular adalah kurangnya jumlah protein yang berperan pada transportasi ekstraselular, salah satunya adalah Sec4p. Konstruksi vektor ekspresi yang mengandung gen SEC4 diperlukan untuk menambah jumlah Sec4p yang dihasilkan oleh inang P. pastoris. Vektor ekspresi yang digunakan merupakan “suttle vector” yang dapat bereplikasi dalam inang bakteri maupun P. pastoris. Peta vektor rekombinan yang dikonstruksi diperlihatkan pada gambar 6. Transformasi pPIC3.5K-SEC4 ke dalam inang P. pastoris akan menyebabkan terjadinya integrasi gen SEC4 ke kromosom yang disebabkan oleh peristiwa rekombinasi homolog antara vektor dan genom, sehingga jumlah gen SEC4 yang terdapat pada genom akan bertambah. 165 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Gambar 5. Homologi urutan nukleotida SEC4 hasil subkloning dengan urutan SEC4 nomor NCBI. Warna merah menunjukkan tingkat homologi 100%. 166 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan pPIC3.5KSEC4 10500 pb Gambar 6. Peta vektor pPIC3.5K-SEC4 hasil konstruksi. Gen SEC4 diekspresikan di bawah kontrol promotor dan terminator AOX1. Promotor gen AOX1 paling umum digunakan pada ekspresi protein rekombinan menggunakan inang P. pastoris. Gen AOX1 mengode enzim alkohol oksidase, yang merupakan enzim kunci pada metabolisme metanol pada P. pastoris. Induksi ekspresi protein rekombinan dilakukan dengan penambahan metanol ke media pertumbuhan (Cereghino dan Cregg, 2000). Inang yang telah membawa tambahan gen SEC4 diharapkan dapat mengatasi masalah ekspresi dan sekresi protein asing dalam P. pastoris Kesimpulan Vektor ekspresi pPIC3.5K-SEC4 telah berhasil dikonstruksi, hasil penentuan urutan nukleotida gen SEC4 dalam vektor ekspresi menunjukkan homologi 100% dengan gen SEC4 P. pastoris pada GenBank (nomor akses: XM_002492307.1). Vektor ekspresi hasil konstruksi ini dapat diko-ekspresikan dalam inang P. pastoris yang telah memiliki gen asing, sehingga mengatasi permasalahan ekspresi dan sekresi protein rekombinan oleh P. pastoris. Ucapan Terimakasih Peneliti mengucapkan terima kasih pada Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Padjadjaran atas dana penelitian melalui program PUPT (Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi). Daftar Pustaka Cereghino, J. L. and Cregg, J. M. 2000. Heterologous protein expression in the methylotrophic yeast Pichia pastoris. FEMS Microbiol. Rev. 24: 45-66. Cregg, J.M., Vedvick, T.S., Raschke, W.C. 1993. Recent advances in the expression of foreign genes in Pichia pastoris. BioTechnology 11: 905–910. 167 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Daly, R. and Hearn, M.T.W. 2005. Expression of heterologous proteins in Pichia pastoris: a useful experimental tool in protein engineering and production. J. Mol. Recognit. 18: 119-138. De Schutter, K., Yao-Cheng L., Tiels, P., Van Hecke, A., Glinka, S., WeberLehmann, J., Rouze, P.,Van de Peer, Y., and Callewaert, N. 2009. Genome sequence of recombinant protein production host Pichia pastoris. Nature Biotechnology. 27 (6): 561-566. Invitrogen, A manual of methods for expresion of recombinant proteins in Pichia Pastoris, 2006. California. Lin-Cereghino, G.P., Godfrey, L., de la Cruz, B.J., Johnson, S., Khuongsathiene, S., Tolstorukov, I., Yan, M., Lin-Cereghino, J., Veenhuis, M., Subramani, S. and Cregg, J.M. 2006. Mxr1p, a key regulator of the methanol utilization pathway and peroxisomal genes in Pichia pastoris. Mol. Cel. Biol. 26: 883897. Oliveira, D.L., Nakayasu, E. S., Joffe, L. S., Guimara˜es, A. J., & Sobreira, T. J. P. 2010. Characterization of Yeast Extracellular Vesicles: Evidence for the Participation of Different Pathways of Cellular Traffic in Vesicle Biogenesis. PLoS ONE 5(6): e11113. Sambrook, J., Fritsch, E.F., and Maniatis, T.1989. Molecular cloning: A laboratory manual, vol 1,2,3,. Cold Spring Harbor Laboratory Press. New York. Salminen, A. & Novick, P. J. 1989. The Sec15 Protein Responds to the Function of the GTP Binding Protein, Sec4, to Control Vesicular Traffic in Yeast. The Journal of Cell Biology. 109:1023-1036. Sreekrishna, K., Brankamp, R.G, Kropp. K.E., Blankenship, D.T., Jiu-Tsair, T, Smith, P.L., Wierschke, J.D., Subramaniam, A. and Birkenberger L.A. 1997. Strategies for optimal synthesis and secretion of heterologous proteins in the methylotrophic yeast Pichia pastoris. Gene. 190: 55-62. Shi-Hwei, L., Wei-I, C., Chia-Chin, S. and Margaret Dah-Tsyr, C. 2005. Improved secretory production of glucoamylase in Pichia pastoris by combination of genetic manipulation. Biochem. Biophys. Res. Comm. 326: 817-824 Walworth, N. C., Goud, B., Alisa, K. K. & Novick, P. J. 1989. Mutational analysis of SEC4 suggests a cyclical mechanism for the regulation of vesicular traffic. The EMBO Journal. 8(6)1685 – 1693. 168 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Kloning Gen Penyandi Domain Flavin Cellobiose Dehydrogenase Untuk Aplikasi Biosensor Laktosa Lita Triratna*1 dan Desriani2 Pusat Penelitian Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jl. Raya Bogor Km. 46 Cibinong Kab. Bogor 16911, Tlp. 021-8754587; Fax. 021-8754588 Email: litatriratna@gmail.com ABSTRAK Sebanyak 60% dari total penduduk Indonesia dilaporkan menderita intoleransi terhadap laktosa. Hal ini dapat disebabkan oleh pengaruh genetik atau dikarenakan faktor infeksi seperti pada penyakit gastroentritis. Penggunaan biosensor laktosa akan sangat membantu penderita intoleransi laktosa dalam memilah makanan yang akan dikonsumsinya dengan cara mendeteksi kandungan laktosa secara mudah pada produk pangan yang tidak memiliki daftar kandungan bahan penyusunnya seperti pada kue-kue, panganan dan minuman tradisional Indonesia yang banyak dikonsumsi dan dijual bebas dipasaran. Enzim CDH dan domain flavin CDH dilaporkan berpotensi untuk diaplikasikan pada alat biosensor laktosa. Pada Penelitian ini dilakukan isolasi dan kloning domain flavin CDH dari fungi Trametes versicolor ke dalam vektor kloning pGEM-Teasy. Isolasi domain flavin CDH telah berhasil dilakukan dengan ukuran 1698 pasang basa. Penyimpanan material genetik domain flavin CDH merupakan suatu langkah awal untuk penyiapan biosensor laktosa yang akan dilakukan pada penelitian kedepannya. Kata Kunci: Biosensor laktosa, Cellobiose Dehydrogenase, domain flavin, intoleransi laktosa, Trametes versicolor. Pengantar Selama ini banyak ditemui kasus dimana seseorang mengalami gangguan pencernakan (maldigestion) laktosa, yaitu kondisi dimana laktosa tidak dicerna secara sempurna dalam usus halus kemudian masuk ke usus besar untuk difermentasikan oleh mikroflora kolon yang dapat menghasilkan gas. Kondisi ini dikenal sebagai Laktosa Intoleransi (LI), yaitu kondisi di mana seseorang tidak mampu mencerna laktosa (bentuk gula yang berasal dari susu). Laktosa intoleransi disebabkan oleh kurangnya atau tidak mampunya tubuh memproduksi laktase, ketidakmampuan ini disebabkan oleh faktor genetik, factor infeksi parasit, factor defisiensi besi juga karena penyakit gastroenteritis (penyakit mematikan nomor 3 di Indonesia) (DEPKES RI tahun 2005). Tercatat sebanyak 60% dari total penduduk Indonesia dilaporkan menderita intoleransi terhadap laktosa (Khomsan dalam MEDIA INDONESIA, 18 Maret 2004). Tidak hanya di Indonesia, frekuensi kejadian intoleransi laktosa juga terjadi pada ras Kaukasia meskipun lebih sedikit/jarang dibandingkan pada orang Asia, Afrika, Timur Tengah, dan beberapa Negara Mediterania. Kasus LI juga terjadi pada ras Aborigin Australia. Diketahui bahwa 5% dari ras Kaukasia dan 75% dari yang bukan ras Kaukasia yang tinggal di Australia mengalami intoleransi laktosa (Yusra Egayanti, 169 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan 2008). Lebih lanjut hampir 95% bangsa Asia, 10-15 % ras Kaukasia, 50% bangsa Mediterania dan 75% ras kulit hitam menderita Intoleransi terhadap Laktosa (Lactose Intolerance, LI) (http://mediasehat.com/serba03.php). Walaupun kondisi LI, seperti sakit perut, perut kembung dan diare, tidak terbilang berbahaya bagi kesehatan, namun kondisi ini cukup mengganggu si penderita. Oleh karena itu, penderita LI sebaiknya mampu memilah-milah makanan atau minuman yang akan dikonsumsi. Jika tingkat intoleransi penderita cukup tinggi, maka sebaiknya hindari konsumsi produk-produk yang mengandung laktosa. Penggunaan biosensor laktosa akan sangat membantu penderita intoleransi laktosa dalam memilah makanan yang akan dikonsumsinya dengan cara mendeteksi kandungan laktosa secara mudah pada produk pangan yang tidak memiliki daftar kandungan bahan penyusunnya seperti pada kue-kue, panganan dan minuman tradisional Indonesia yang banyak dikonsumsi dan dijual bebas dipasaran. Enzim CDH dan domain flavin CDH dilaporkan berpotensi untuk diaplikasikan pada alat biosensor laktosa (Stoica et al., 2006). Cellobiose dehydrogenase (CDH, EC 1.1.99.18) adalah enzim ekstrasellular yang mengoksidasi cellobiose (Glc-ß-1,4-Glc), lactose (Gal-ß-1,4-Glc) dan disakarida lainnya ataupun oligosakarida yang berikatan ß-1,4 pada posisi glukosa non reduksi, menghasilkan senyawa yang berhubungan dengan lakton(Henricson et al., 2000). CDH terdiri dari dua domain, heme dan flavin domain (Bao et al., 1993). Kemampuan transfer electron pada CDH yang dihasilkan oleh fungi (white rot fungi, brown rot fungi atau fungi patogen terhadap tanaman) ditentukan oleh efisiensi transfer electron internal diantara kedua domain ini. Stoica dkk (2006) melaporkan, CDH yang dihasilkan oleh Trametes villosa lebih efisien dalam melakukan transfer electron internalnya dibanding Phanerochaete chrysosporium. Berdasarkan sifat biokimianya, CDH memiliki bobot molekul berkisar antara 90-110kDa, 10-20% bobot molekul tersebut berasal dari hasil glikosilasi di area permukaannya. Titik isoelektrik poin nya berkisar 4.0. Nilai Km terhadap substrat cellobiose berkisar antara 10-200µM dan pH optimum berada pada kisaran 4-5. Temperatur optimumnya berkisar antara 30-55oC, tetapi bisa menjadi lebih tinggi. Stoica dkk (2006), telah mengaplikasikan CDH dari Trametes villosa dan Phanerochaete chrysosporium untuk biosensor laktosa, berdasarkan prinsip mediated electron transfer (MET) dan direct electron transfer (DET). Aplikasi biosensor laktosa digunakan untuk mengukur kandungan laktosa pada susu dan makanan-makanan turunan susu, ditujukan terutama untuk orang-orang yang menderita intoleransi laktosa. Dibandingkan metoda lain untuk menetapkan konsentrasi laktosa (spektroskopi infrared, polarimeteri, gravimetric, HPLC), deteksi laktosa menggunakan biosensor laktosa yang difasilitasi oleh enzim merupakan metoda yang lebih cepat dan mudah dalam pengoperasiannya. Pada kegiatan ini telah dilakukan penyimpanan material genetik Domain Flavin CDH sebagai salah satu langkah awal untuk penyiapan biosensor laktosa yang akan dilakukan pada penelitian kedepannya. kami melakukan isolasi dan kloning gen flavin domain cdh dari fungi T. versicolor ke dalam vektor kloning pGEM-Teasy dengan menggunakan Escherichia coli DH5α sebagai bakteri host. 170 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Bahan dan Metode Organisme Trametes versicolor yang diperoleh dari NBRC digunakan sebagai mikroba sumber gen cdh. Untuk Penyimpanan dan Peremajaan, Trametes versicolor ditumbuhkan pada media miring Potato Dextrose Agar (PDA), kemudian diinkubasi selama 6-7 hari pada suhu ruang dan disimpan pada suhu 4ᴼC. Untuk Isolasi RNA total, T.versicolor berumur 7 hari ini kemudian ditumbuhkan selama 4 hari secara aerob dengan menggunakan incubator shaker dan suhu ruang pada media selektif dengan komposisi 0.26 %(NH4)2HPO4; 0.115 KH2PO4; 0.2% 2.2dimethylsuccine acid; 0.1% Yeast extract; 0.1% Bacto Tryptone; 0.05% MgSO4.7H2O; 1% FeSO4.7H2O; 74% CaCl2.2H2O; 0.6% ZnSO4.7H2O; 0.5% MnSO4.4H2O; 0.1% CoCl2.6H2O; dan 2% Avicel. Selain itu, Fungi ini juga ditumbuhkan pada media YPD dengan komposisi 1 % Yeast Extract; 2% Bacto Tryptone; dan 2 % Glucosa. Escherichia coli DH5α digunakan sebagai host cloning flavin domain. E.coli DH5α ditumbuhkan pada media cair Luria Bertani (LB) yang mengandung antibiotic ampicilin dengan kondisi inkubasi temperature 37ᴼC 150 rpm selama 16 jam. Mupid DNA Electroforesis, 1% Gel Agarose dan buffer 1x TAE Untuk mengecek hasil Isolasi RNA, DNA, plasmid dan PCR digunakan mupid2plus submarine electrophoresis system Advance dengan kondisi 100 volt selama 25 menit. DNA dicek dengan menggunakan 1% agarose (Molecular Biology Grade, Invitrogen) serta buffer 1x TAE (Thermoscientific). Vector cloning Kloning Flavin domain cdh menggunakan Plasmid pGEM-Teasy dengan ukuran 3015 pasang basa dan resisten terhadap antibiotik Amphicilin (Gibco). Isolasi RNA total dan Polymerase Chain Reaction (PCR) Untuk isolasi RNA total T.versicolor ditumbuhkan pada media selektif dan atau media YPD selama 4 hari kemudian dipanen dan diambil pelletnya. Kedua Pellet T.versicolor ini selanjutnya diisolasi menggunakan PureLinkTMRNA Mini Kit (Invitrogen). Hasilnya adalah RNA total yang kemudian digunakan sebagai Template PCR untuk mendapat gen cdh utuh. Gen cdh telah diamplifikasi dengan menggunakan PCR dari T. versicolor menggunakan dua primer yaitu 5’gcat ….3’ dan 5’cagt….’3. RT PCR ini menggunakan Invitrogen SuperScriptTM III One Step RT PCR system with Platinum® Taq DNA Polymerase. 171 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Sequencing Hasil dari RT PCR kemudian di sequencing dengan menggunakan jasa sequencing Macrogen, Korea. Dengan menggunakan primer yang sama dengan yang digunakan RT-PCR. Kemudian hasil dari Macrogen di cek tingkat homologinya menggunakan BLAST (Basic Local Alignment Search Tool) pada NCBI. Sequencing dilakukan untuk memastikan bahwa hasil dari RT-PCR adalah benar gen cdh yang diinginkan. rePCR dan Purifikasi Gel Flavin domain dari cdh telah diamplifikasi dengan teknik rePCR dari template Gen cdh utuh hasil PCR. Digunakan 2 primer ( forward dan reverse) yang masing masing primer sudah di tambahkan dengan situs pemotongan enzim restriksi EcoRI dan NdeI. rePCR ini menggunakan ThermoScientific Dream Taq Green PCR Master Mix (2x). Hasil rePCR yang tidak spesifik akan menghasilkan beberapa pita gen, untuk itu maka perlu dilakukan purifikasi gel untuk mendapatkan flavin domain spesifik. Purifikasi gel ini menggunakan kit Invitrogen PureLink Gel Extraction. Kloning gen domain flavin cdh Domain flavin cdh yang sudah dipurifikasi kemudian diligasi ke vector cloning pGEM-Teasy dengan menggunakan T4DNA Ligase pada kondisi inkubasi 4 ᴼC overnight. Reaksi ligasi dilanjutkan dengan proses transformasi ke dalam E.coli DH5α secara heat shock, pada temperature 42ᴼC selama 45 detik. Hasil dan Pembahasan Hasil Isolasi RNA total dan Polymerase Chain Reaction (PCR) Gambar 1. Hasil RT PCR. 1: Menggunakan tamplate total RNA hasil isolasi dari T. versicolor yang ditumbuhkan pada media YPD; 2 : Menggunakan template total RNA hasil isolasi dari T. versicolor yang ditumbuhkan pada media minimal. M adalah marker 1 Kb DNA Ladder. 172 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Pada Gambar 1 terlihat bahwa total RNA yang diisolasi dari media YPD maupun media selektif dapat digunakan sebagai template RT-PCR untuk mengamplifikasi gen cdh dari T. versicolor. Meskipun dari gambar menunjukkan bahwa yang menggunakan media minimal hasilnya lebih tebal dibandingkan yang menggunakan media YPD. Selain itu, target gen cdh utuh sebesar 2318 pasang basa telah berhasil diamplifikasi. Hasil tersebut di tunjukkan dengan posisi pita antara pita marker 2000 pasang basa dengan 2500 pasang basa (panah biru). Sequencing Setelah dilakukan sequencing dan dilakukan pengecekan terhadap tingkat homologi dari gen cdh hasil RT-PCR. Tingkat homologi dengan gen cdh mRNA dari T.versicolor adalah 97%. Berarti gen cdh dari T. versicolor telah berhasil di isolasi yang selanjutnya akan digunakan untuk aplikasi biosensor laktosa (Data hasil sequencing tidak ditunjukkan). Re PCR dan purifikasi domain Flavin cdh Hasil dari rePCR merupakan domain flavin cdh yang ditunjukkan pada gambar 2. Sedangkan domain flavin cdh yang sudah murni ditunjukkan pada gambar 3. Gambar 2. Hasil rePCR. Dari Gambar 2 dapat dilihat bahwa domain flavin cdh dapat diamplifikasi dengan menggunakan templat complete cdh atau cdh utuh (sampel nomo1). Sedang domain flavin cdh tidak dapat diamplifikasi ketika menggunakan templat domain flavin cdh (sampel nomor 2 dan 3). 173 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan (A) (B) Gambar 3. (A) domain flavin cdh sebelum purifikasi gel. (B). domain Flavin cdh setelah purifikasi gel. Pada Gambar 3 dapat dilihat perbedaan antara sebelum purifikasi dengan setelah dilakukan purifikasi atau pemurnian. Sebelum pemurnian dilakukan, kita mendapatkan beberapa pita dengan ukuran yang berbeda. Setelah dilakukan purifikasi gel, maka kita mendapat secara spesifik domain flavin cdh yang kita ingin pada posisi 1698 pasang basa untuk kemudian diligasi pada vector cloning pGEM-Teasy dan ditransformasi ke dalam E. coli DH5α. Ligasi dan Transformasi Gambar 4. Hasil Transformasi Telah dilakukan pengecekan biru putih untuk mengetahui keberhasilan dari Ligasi. Koloni putih (ditunjukkan dengan tanda panah putih) menunjukkan bahwa ligasi domain falvin cdh berhasil diligasi pada pGEM-Teasy. Sedangkan koloni biru (ditunjukkan dengan panah biru) menunjukkan bahwa ligasi tidak berhasil. Pada penenlitian ini didapatkan 233 koloni putih dan 50 koloni biru. Tahap selanjutnya adalah peremajaan, seleksi PCR dan isolasi Plasmid (sedang dalam proses pengerjaan) 174 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Kesimpulan dan Saran Flavin Domain dari gen cdh sudah berhasil diligasi pGEM-Teasy dan ditransformasi ke dalam E.coli DH5α. Selanjutnya Penenlitian ini akan berlanjut pada proses ekspresi protein Flavin domain dengan menggunakan vector ekspresi dan bakteri yang memiliki kompetensi dalam ekspresi protein. Perlu dilakukan pemurnian transformant E.coli DH5α –PG-FLV sehingga terjaga kestabilan dari transformant. Daftar Pustaka Bao W, Usha SN, dan Renganathan V. 1993. Purification and characterizationof cellobiose dehydrogenase, a novel extracellular hemoflavoenzyme from the white rot fungus Phanerochaete chrysosporium. Arch Biochem Biophys ;300:705–13. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2005. Kesehatan Indonesia dalam Gambar Tahun 1996-2005. Pusat Data dan Informasi Tahun 2005. Jakarta. Egayanti Y. 2008. Kenali Intoleransi Laktosa Lebih Lanjut. InfoPOM Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia.Vol 9, No.1, Januari 2008. ISSN 1829-9334. Henriksson G, Zhang L, Li J, Ljungquist P, Reitberger T, Pettersson G, et al. 2000. Is cellobiose dehydrogenase from Phanerochaete chrysosporium a lignin degrading enzyme? Biochim Biophys Acta. 2000;1480:83–91. http://mediasehat.com/serba03.php MEDIA INDONESIA . 18 Maret 2004 . Alergi laktosa, konsumsi Indonesia masih rendah . http :/ wwwe .gizi .net/cgiiin/berita/fullnews .egi newsid1079595660,4225. Stoica, L., R. Ludwig, D. Haltrich, and L. Gorton. 2006. Third-generation biosensor for lactose based on newly discovered cellobiose dehydrogenase. Anal Chem. Jan 15; 78(2) : 393-8 175 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Peran Propolis Sebagai Antidiabetes Pada Mencit (Mus Musculus SW.) Jantan Berdasarkan Analisis Kadar Glukosa Darah Ayu N. Sari*1, Ramadhani E. Putra1 dan Ahmad Ridwan1 1 Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung Jalan Ganesha 10 Bandung 40132, Jawa Barat *E mail: ayunirmala02@yahoo.com ABSTRAK Diabetes mellitus (DM) adalah penyakit kronis yang ditandai dengan hiperglikemia untuk jangka waktu yang lama. Hiperglikemia terbukti dapat meningkatkan stress oksidatif akibat produksi reactive oxygen species (ROS) yang melebihi kemampuan pertahanan antioksidan alami sehingga menyebabkan defisiensi dan resistensi insulin. Pada penelitian ini dilihat potensi peran propolis dengan kandungan flavonoid tinggi sebagai antidiabetes. Sebanyak 55 ekor mencit (Mus musculus SW.) jantan dibagi menjadi 5 kelompok, yaitu kelompok KN (kontrol normal), P1, P2, P3 dan KDM (kontrol diabetes) yang diinduksi DM dengan pemberian dosis alloxan 200 mg/kg bb secara intraperitoneal. Larutan propolis 50, 100 dan 175 mg/kg bb diberikan kepada kelompok P1, P2 dan P3 sedangkan akuades diberikan kepada kelompok KN dan KDM secara oral gavage selama 21 hari. Kadar glukosa darah (KGD) diukur setiap 3 hari. Hasil perlakuan propolis menunjukkan KGD terendah pada kelompok P3 (130,0±30,92 mg/dL), diikuti P2 (154,6±48,18 mg/dL) dan P1 (218,8±129,48 mg/dL). Dari penelitian ini disimpulkan bahwa pemberian propolis dapat membantu pemulihan penyakit diabetes dengan menurunkan kadar glukosa darah. Kata Kunci : alloxan, diabetes mellitus, hiperglikemia, propolis, stress oksidatif, reactive oxygen species Pengantar Diabetes mellitus (DM) adalah penyakit kronis yang ditandai dengan meningkatnya kadar glukosa darah (KGD) di atas batas normal (hiperglikemia) dalam jangka waktu yang panjang (>126 mg/dL dalam kondisi puasa dari makanan, dan >200 mg/dL dalam kondisi setelah makan) (Wilson & Price, 1992; Can et al., 2004). Hiperglikemia dapat meningkatkan stres oksidatif akibat radikal bebas, reactive oxygen species (ROS) (Evans, et al., 2003; Robertson et al, 2003; Jee et al., 2005; Okutan et al., 2005). Kondisi hiperglikemia yang disertai dengan stress oksidatif dapat menyebabkan seseorang menderita penyakit diabetes mellitus (Mac Rury et al., 1993; Niskanen et al., 1995; Santini et al., 1997; Cederberg et al., 2001). Hal ini terjadi karena stress oksidatif menganggu transduksi sinyal insulin dan sekresi insulin dari sel-sel β pankreas yang menyebabkan terjadinya defisiensi insulin (Kaneto et al., 1999) serta menyebabkan terjadi penurunan sensifitas reseptor insulin (resistensi insulin) pada sel yang memiliki reseptor insulin (Houstin et al., 2006; Bonnard et al., 2008; Kumashiro et al., 2008; James, 2010). Stress oksidatif menyebabkan kerusakan oksidatif, perubahan struktural 177 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan dan fungsional pada sel sehingga menyebabkan berbagai komplikasi pada DM (Mercuri et al., 2000; West., 2000; Cam et al., 2003), seperti gangguan viskositas dan velositas darah yang dapat menyebabkan kerusakan jantung, otak, kaki, ginjal, mata dan saraf (Halliwel & Gutteridge, 1999; Auslander et al, 2002; Marjani, 2005; Nobecourt et al., 2005). Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolik yang menjadi masalah kesehatan utama dengan prevalensi yang terus meningkat di seluruh dunia dalam beberapa dekade terakhir (Rohilla & Ali, 2012). Estimasi prevalensi diabetes mellitus pada dewasa (usia 30-79 tahun) sebanyak 6,4% (285 juta orang) pada tahun 2010 dan akan meningkat menjadi 7,7% atau 439 juta orang pada 2030 (Shaw et al., 2010). Pada tahun 2020, jumlah penderita DM tipe 2 diperkirakan akan mencapai 250 juta orang di seluruh dunia (Shulman, 2000). Indonesia sendiri menempati urutan ke-9 dalam estimasi epidemiologi DM pada tahun 2010 dengan 7 juta kasus dan akan terus naik menjadi peringkat ke-5 pada tahun 2030 dengan 20 juta kasus (Shaw et al., 2010). Mengingat adanya kemungkinan peningkatan jumlah penderita dan banyaknya penyakit serta komplikasi yang mampu ditimbulkan, maka penyakit DM harus segera ditangani. Pada penelitian ini digunakan propolis yang di ekstraksi dari raw propolis dari sarang lebah Trigona sp. Propolis merupakan sumber antioksidan dengan kandungan flavonoid yang berfungsi untuk mengeliminir ROS dari tubuh dengan cara menangkap radikal hidroksil dan superoksida (Mani et al., 2006). Flavonoid mencegah terjadinya reaksi berantai superoksida menjadi hidrogen superoksida dengan cara mengikat superoksida (Halim, 2009). Bahan dan Metode Bahan Hewan uji yang digunakan adalah mencit (Mus musculus SW.) jantan (umur 8 minggu, berat badan 30-45 gram). Mencit ini merupakan hasil breeding pada kandang pemeliharaan hewan Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung. Mencit dipelihara di dalam kandang beralaskan sekam dengan periode penyinaran selama 12 jam gelap dan 12 jam terang dalam ruangan dengan suhu 24-28oC dan kelembaban 60-75%. Penggantian sekam dilakukan 2 kali seminggu. Pakan dan air minum diberikan setiap hari secara ad libitum untuk mempertahankan berat rata-rata mencit. Pakan yang diberikan berupa pelet CP 551 dalam bentuk pelet yang diproduksi oleh PT Charoen Pohkpand. Pada penelitian ini, dilakukan pengujian propolis dari lebah Trigona lokal sebagai bahan untuk membantu proses penyembuhan diabetes. Propolis ini diekstraksi dari raw propolis yang terdapat pada sarang lebah Trigona sp. yang diperoleh dari hutan Sulawesi. Metode Sebelum perlakuan, 5 kelompok mencit diaklimasi selama seminggu pada kandang kandang beralaskan sekam dengan periode penyinaran selama 12 jam gelap dan 12 jam terang, suhu 24-28oC dan kelembaban 60-75%. Penggantian sekam dilakukan 2 kali seminggu sementara pakan dan air minum diberikan setiap hari secara ad libitum. Pakan 178 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan yang diberikan berupa pakan anak babi (CP 551) dalam bentuk pelet yang diproduksi oleh PT Charoen Pohkpand. Uji Pendahuluan Penentuan Dosis Optimum Alloxan Uji pendahuluan dilakukan untuk mengetahui dosis optimum alloxan untuk menginduksi diabetes mellitus pada mencit secara intraperitoneal yang mampu bertahan diatas 200 mg/dL selama perlakuan. Dosis alloxan 150 mg/kg bb, 200 mg/kg bb dan 250 mg/kg diujikan kepada 15 ekor mencit yang dibagi menjadi 3 kelompok. Induksi Mencit Menjadi Diabetes Mellitus Proses induksi DM pada mencit dimulai dengan mengukur berat badan dan mengambil darah dari vena lateralis pada ekor untuk pengukuran kadar gula darah (KGD) awal. Dua jam berikutnya mencit disuntik larutan alloxan monohydrat dengan dosis 200 mg/kg berat berat badan secara intraperitoneal (ip) yang diperoleh dari hasil uji pendahuluan, mencit selanjutnya dikembalikan ke kandang. Pengukuran KGD selanjutnya dilakukan 7 hari setelah injeksi alloxan. Ektraksi Propolis Trigona lokal Ekstraksi propolis ini dilakukan dengan menggunakan metode maserasi yang dilakukan di Pusat Terapi dan Rumah Lebah Rahmi, Margaluyu. Proses ini bertujuan untuk mengubah raw propolis menjadi dalam bentuk crude dengan menggunakan pelarut propilen glycol. Proses ektsraksi propolis diawali dengan membersihkan raw propolis dari pengotor alami seperti lumpur atau potongan kayu dengan pinset. Kemudian propolis dipotong dengan pisau menjadi bagian-bagian kecil untuk mempermudah melarutkannya. Selanjutnya dilakukan maserasi 400 gram raw propolis dengan menggunakan 500 mL propilen glycol pada wadah tertutup dan diaduk setiap 2 kali sehari selama dua minggu. Ekstrak dipisahkan dengan residunya dengan sentrifugasi pada 1500g selama 5 menit. Filtrat yang telah tersaring kemudian dimasukkan ke dalam freeze drying untuk dihilangkan pelarutnya agar menjadi propolis dalam bentuk pasta. Penentuan Dosis dan Perlakuan Propolis Dosis propolis yang dipakai pada penelitian ini diperoleh dari hasil konversi dosis harian propolis yang digunakan oleh manusia ke dosis yang akan dipakai oleh mencit berdasarkan tabel perbandingan rasio permukaan tubuh beberapa spesies hewan yang digunakan pada laboratorium umum. Berdasarkan perhitungan konversi tersebut diperoleh dosis propolis yang akan dipakai, yaitu 50 mg/kg bb (P1), 100 mg/kg bb (P2) dan 175 mg/kg bb (P3) yang akan diberikan selama 21 hari perlakuan dengan cara oral gavage. Sedangkan untuk kelompok kontrol DM (KDM) dan kontrol normal (KN) diberikan akuades. 179 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Pengukuran Kadar Glukosa Darah Pengambilan sampel darah untuk pengukuran KGD dilakukan 7 hari setelah induksi DM. Sampel darah diambil dengan melukai vena lateralis pada ekor mencit, kemudian darah yang keluar diteteskan pada stripe yang sudah terpasang pada glucometer. Peningkatan KGD tersebut memenuhi kriteria diabetes mellitus dengan kisaran KGD 200-349 mg/dL (Alarcon et al., 2002). Oleh karena itu, mencit uji yang telah menderita DM selanjutnya diberi perlakuan dengan pemberian larutan propolis secara oral gavage dengan 3 dosis yang berbeda. Pemberian propolis dan akuades diberikan selama 21 hari, karena berdasarkan uji pendahuluan yang dilakukan menunjukkan bahwa KGD mencit yang diinjeksi alloxan 200 mg/dL secara intraperitoneal cenderung stabil >200 mg/dL selama 21 hari. Hasil dan Pembahasan Hasil Dosis Optimum Alloxan Uji pendahuluan yang dilakukan dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dosis optimum alloxan untuk menginduksi diabetes mellitus pada mencit secara intraperitoneal yang mampu bertahan diatas 200 mg/dL selama perlakuan. Ketiga dosis yang yang diberikan berhasil menaikkan KGD mencit lebih dari 200 mg/dL pada hari ke 7 setelah dilakukan injeksi alloxan. Kelompok mencit yang diinjeksi dengan dosis alloxan 150 mg/kg bb mengalami peningkatan KGD hingga hari ke-6 setelah dinyatakan diabetes mellitus, namun terjadi penurunan mulai hari ke-9 hingga akhir pengamatan dengan rata-rata KGD mencapai 192,6 mg/dL. Kelompok mencit yang diinjeksi dengan dosis alloxan 200 mg/kg bb memiliki kecendrungan KGD yang lebih stabil, yaitu tetap berada diatas 200 mg/dL selama 21 hari pengamatan. Sedangkan untuk kelompok mencit yang diinjeksi dosis alloxan 250 mg/kg bb mengalami kenaikan KGD yang sangat tinggi bila dibandingkan dengan 2 dosis lainnya, mencapai 600 mg/dL. Kadar glukosa darah yang terlalu tinggi menyebabkan mencit tidak dapat bertahan hidup lebih lama, sehingga 2 ekor mencit yang diujikan mati pada hari ke-6 dan ke-9. Terjadinya kenaikan KGD pada mencit hingga melebihi 200 mg/dL menunjukkan bahwa alloxan monohydrate yang diinjeksikan terbukti sebagai diabetogen yang efektif. 180 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Gambar 1. Rerata KGD Selama 21 Hari Pengamatan Pengkondisian Diabetes Mellitus Pada Hewan Uji Dosis optimum yang diperoleh dari uji pendahuluan digunakan untuk menginduksi DM pada mencit uji. Pada hari pertama (hari diinduksi DM), KGD mencit berada pada kisaran 123,4±9,47-141,8±15,86 mg/dL (Tabel 1). Angka tersebut menunjukkan bahwa KGD mencit termasuk ke dalam kategori normal (Alarcon et al., 2002). Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa KGD mencit pada kondisi sebelum DM tidak berbeda secara nyata. Pengukuran KGD pada hari dinyatakan DM (hari ke-0), menunjukkan peningkatan KGD pada mencit yang diinjeksi alloxan, yaitu pada kisaran 423,6±111,58-487,2±103,76 mg/dL. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa KGD mencit yang diinjeksi alloxan berbeda secara signifikan bila dibandingkan dengan kelompok kontrol normal (KN). Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1. dan Gambar 2. Tabel 1. Rerata KGD 55 Ekor Mencit (Mus musculus SW.) pada Kondisi Sebelum DM dan Setelah Induksi (Kondisi DM) Kelompok Hari Induksi (Sebelum DM) Hari ke-0 (Kondisi DM) P1 123,4±9,47 ͣ 474,8±54,8λᵇ P2 128,6±19,66 ͣ 487,2±103,76ᵇ P3 141,8±15,86 ͣ 45λ,4±128,65ᵇ KN 134,4±22,19 ͣ 133,6±16,47 ͣ KDM 129,2±21,46 ͣ 423,6±111,58ᵇ Keterangan: angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan perbedaan secara signifikan P<0,05. 181 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Gambar 2. Rerata KGD 55 Ekor Mencit (Mus musculus SW.) pada Kondisi Sebelum DM dan Setelah Induksi (Kondisi DM) Menurut Badole et al (2007), senyawa alloxan secara luas telah digunakan untuk membuat model hewan diabetes karena kemampuan membuat kerusakan pada sel β pankreas. Ketika alloxan diinjeksikan secara intraperitoneal, alloxan akan diserap oleh duodenum dan masuk ke dalam sistem peredaran darah. Alloxan bekerja pada lokasi yang sama atau berdampingan dengan glukosa, pada glukoreseptor sel β pankreas dengan cara bereaksi dengan gugus sulfihidril (-SH) (Wikanta et al., 2000). Alloxan menyebabkan kerusakan pada sel β pankreas yang disebabkan oleh oksidasi sulfihidril pada gugus –SH, melalui penghambatan kerja enzim glukokinase, mengganggu homeostatis kalsium dan membentuk ROS pada sel β pankreas (Rohilla & Ali, 2012). Aksi menyebabkan kerusakan pada pankreas diawali dengan uptake alloxan secara cepat oleh β sel dan pembentukan ROS. Pembentukan ROS didahului oleh reduksi alloxan yang menghasilkan asam dialurik yang dapat mengalami re-oksidasi menjadi alloxan dengan hasil sampingan berupa radikal superoksida (Szkudelski, 2001). Produksi ROS yang meningkat menyebabkan terjadinya stress oksidatif di dalam sel dan peningkatan konsentrasi ion kalsium di dalam sitoplasma yang berlangsung dengan cepat. Kondisi ini menyebabkan kerusakan DNA hingga nekrosis sel-sel β pankreas. Sel-sel β yang telah rusak tidak dapat memproduksi insulin (Szkudelski, 2001; Lenzen, 2007). Pada sel yang memiliki reseptor insulin, alloxan membentuk ROS di dalam sel sehingga menyebabkan terjadinya gangguan pada fosforilasi tirosin-kinase oleh insulin pada reseptor insulin. Kondisi ini menyebabkan terganggunya transduksi sinyal pada protein kinase B (PKB) untuk mengaktivasi translokasi GLUT-4 dari sitosol menuju transmembran agar dapat mengikat glukosa untuk dapat masuk ke dalam sel. Hal ini berakibat pada penurunan sensitifitas reseptor insulin (Evan et al., 2003). Kehadiran alloxan menghambat kerja dari enzim glukokinase. Apabila kerja dari enzim glukokinase terhambat, maka akan terjadi penurunan oksidasi glukosa dan pembentukan ATP, sehingga sekresi insulin ke dalam darah akan terhambat.Rerata KGD mencit sebelum diinjeksi alloxan adalah 131,48±17,907 mg/dL. Kisaran KGD ini termasuk kategori normal. Selanjutnya, tujuh hari setelah injeksi alloxan 200 mg/kg bb 182 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan secara intraperitoneal, dilakukan uji KGD mencit, hasilnya menunjukan bahwa terjadi peningkatan rerata KGD mencit menjadi 395,72±98,012 mg/dL. Gambar 3. Rerata KGD Mencit Setelah 21 Hari Perlakuan Hasil pengamatan KGD pada akhir perlakuan menunjukkan bahwa KGD mencit kelompok DM masih menempati posisi tertinggi yaitu sebesar 400±126,68 mg/dL. Selanjutnya kelompok P1 yang diberi perlakuan propolis 50 mg/kg bb memiliki rerata KGD 218,8±129,48 mg/dL. Jika dibandingkan dengan KGD sebelum diberi perlakuan propolis maka KGD mencit kelompok P1 memiliki kecenderungan menurun meskipun belum sampai pada kategori normal. Sedangkan untuk mencit pada kelompok P2 dan P3 yang masing-masing diberi perlakuan dosis 100 mg/kg bb dan 175 mg/kg bb mengalami penurunan KGD menjadi 154,6±48,18 mg/dL dan 130,0±30,92 mg/dL. Bahkan rerata KGD mencit kelompok P3 pada akhir perlakuan lebih kecil dibanding rerata KGD mencit kelompok KN yang diberi perlakuan akuades, sebesar 131,8±15,69 mg/dL. Tabel 2 Uji Statistik Tukey dan Duncan KGD Mencit Selama 21 Hari Perlakuan Kelompok Rerata KGD Mencit (mg/dL) Kelompok P1 (Propolis 50 mg/kg bb) 218,8±129,48b Kelompok P2 (Propolis 100 mg/kg bb) 154,6±48,18a Kelompok P3 (Propolis 175 mg/kg bb) 130,0±30,97a KN (Kontrol Normal) 131,8±15,69a KDM (Kontrol DM) 400,0±126,68c Keterangan: angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan perbedaan secara signifikan P<0,05. Penurunan KGD pada mencit yang diberi perlakuan propolis diduga berkaitan dengan kandungan flavonoid pada propolis yang berfungsi sebagai antioksidan (Burdock, 1998; Nijvedt et al., 2001; Sforcina & Bankova, 2011). Flavonoid membantu penurunan KGD dengan cara mengikat ROS, menghambat oksidasi xantine, menghambat oksidasi NADPH, dan melindungi antioksidan lipofilik. Flavonoid adalah 183 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan scavenger yang potensial untuk reactive species seperti superoksida, radikal peroksil dan peroksinitrit (Akhlaghi & Bandy, 2009). Ketika propolis diberikan kepada mencit, flavonoid akan dihantarakan menuju sel-sel tubuh, termasuk sel-sel β pulau Langerhans dan sel-sel yang memiliki reseptor insulin. Pada sel-sel β pulau Langerhans di pankreas, flavonoid mencegah terjadinya reaksi berantai pengubahan superoksida menjadi hidrogen peroksil dengan cara mengikat superoksida pada gugus OH, kemudian diantarkan ke peredaran darah untuk selanjutnya masuk ke dalam sistem eksresi dan dikeluarkan melalui urin dan keringat (Nijvedt et al.,, 2001). Pada sel yang memiliki reseptor insulin, pengikatan ROS pada gugus –OH flavonoid menyebabkan aktivasi fosforilasi tirosine-kinase oleh insulin pada reseptor insulin kembali normal. PKB dapat mengaktivasi GLUT-4 untuk mengikat glukosa dan membawanya ke dalam sel. Flavonoid menghentikan gangguan transduksi sinyal dalam pemindahan GLUT-4 menuju transmembran dan dapat mengembalikan sensifitas reseptor insulin (Evans et al., 2003). Terikatnya superoksida sebagai senyawa radikal bebas oleh gugus –OH dari flavonoid menyebabkan kerusakan sel-sel β pankreas dapat dihentikan, sehingga pankreas diduga mengalami proliferasi untuk membentuk sel-sel baru sehingga dapat memproduksi dan mensekresikan insulin. Kehadiran insulin dalam darah akan membantu menurunkan kadar glukosa darah. Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Berdasarkan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa propolis dengan kandungan flavonoid, membantu pemulihan kondisi mencit dari penyakit diabetes dengan menurunkan kadar glukosa darah. Bila semua dosis propolis dibandingkan, dosis P3 (175 mg/kg bb) merupakan dosis yang paling berpengaruh terhadap penurunan KGD. Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai identifikasi kandungan flavonoid yang berpengaruh terhadap penurunan KGD dan pengukuran kadar insulin plasma. Daftar Pustaka Akhlaghi, M., & Bandy, B. 2009. Mechanism of flavonoid protection againts myocardial oschemia-reperfusion injury. J. Biol. Mol. Cardio., 46, 309-317. Alarcon, F. J., Roman R., Flores, J. L., & Aguirre, F. 2002. Investigation on the hypoglicemic effect of extracts of four Mexican medicinal plant in normal and alloxan-induced diabetic mice. Phytotherapy Research, 16, 383-386. Auslander, W., Haire-Joshu, D., Houston, C., Rhee, C.W., & Williams, J. H. 2002. A controlled evaluation of staging dietary patterns to reduce the risk of diabetes. Diabetes Care, 25, 809-814. Badole, S. L., Patel, N. M., Thakurdesai, P. A., & Bodhankar, S. L. 2007. Interaction of aqucous extract of Pleurotus pulmonarius with glyburic in alloxan-induced diabetic mice. Diabetes Care, 21, 1-6. 184 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Bonnard. C., Durand. A., Peyrol. S. Chanseaume. E., Chauvin M. A., Mario. B., Vidal. H., & Rieusset. J. 2008. Mitochondrial dysfunvtion results from oxidative stress in the skeletal muscle of diet-induced insulin-resistence mice. J. Clin. Invest, 118, 789-800. Burdock, G.A. 1998. Review of the biological properties and toxicity of bee Propolis. Food and Chemical Toxicology, 36, 347-363. Cam, M., Yavuz, O., Guven, A., Ercan, F., & Sutundag, N. 2003. Protective effects of chronic melatonin treatment againts renal inury in streptozotocin-induced diabetic rats. J. Pineal Phys., 35, 212-220. Can, A., Nuriye., Ozov, N., Bolkent, S., & Yanardag, R. 2004. Effect of Aloe vera leaf and pulp extracts on the liver in type II diabetic rat models. Bio. Pharm. Bull. 27 (5), 694-698. Cederberg, J., Basu, S., & Eriksson, U. J. 2001. Increased rate of lipid peroxidation and protein carbonylation in experimental diabetic pregnancy. Diabetologia, 44, 766-774. Evans, J. L., Goldfine, I. D., Maddux, B. A. & Grodsky, G.M. 2003. Oxidative stress-activated signaling pathway mediators of insulin resistance and β cells disfuctions?. Diabetes, 52 (1), 1-8. Halim, R. R. S. 2007. Pengaruh Ekstrak Etanol Daun Muntingia calabura L. terhadap Kadar Glukosa Darah Mencit (Mus musculus L.) Swiss Webster Jantan Dewasa yang dikondisikan Diabetes Mellitus Tipe 2. Skripsi Sarjana Biologi ITB Halliwel, B., & Gutteridge. 1999. Free radical in biology and medicine. 3rd ed. Oxford Univ Press, New York. Houstin. N., Rosen. E. D., & Lander. E.S. 2006. Reactive oxygen species have a causal role in multiple forms of insulin resistance. Nature, 440, 944-948. James, D. E. 2010. The role of ROS in insulin resistence. Australian Physiological Society, 41, 187-189. Jee, S. H., Kim, H. J., & Lee, J. 2005. Obesity insulin resistance and cancer risk. Yonsei Med Journal, 46, 449-455. Kaneto, H., Fuji, J., Myint, T., Miyazawa, N., Islam, K.N., Kawasaki, Y., Suzuki, K., Nakamura, M., Tatsumi, H., Yamasaki, Y., & Taniguchi, N. 1996. Reducing sugars trigger oxidative modification and apoptosis in pancreatic β Cells by provoking oxidative stress through the glycation reaction. Biochemical Journal, 320, 855-863. Kaneto, H., Kajimoto, Y., Miyagawa, J., & Hori, M. 1999. Beneficial effects of antioxidants in diabetesμ possible protection of pancreatic β-cells againts glucose toxicity. Diabetes, 48, 2398-2406. Kumashiro. N., Tamura. Y., Uchida. T., Ogihara. T., Fujitani. Y., Hirose. T., Mochizuki. H., Kawamori. H., & Watada. H. 2008. Impact of oxidative stress and peroxixome proliferator-activated receptor coactivator-1α in hepatic insulin resistance. Diabetes, 57, 1083-2091. Mac Rury, S. M., Gordon, D., Wilson, R., Bradley, H., Gemmell, C. G., Paterson, J. R., Rumley, A. G., & MacCuish, A. C. 1993. A comparison of different 185 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan methods of assessing free radical activity in type 2 diabetes and peripheral vascular disease. Diabetic Medicine, 10, 331-335. Mani, F., Damasceno, H. C., Novelli, E. L., Martins, E. A., & Sforcina, J. M. 2006. Propolis: effect of different concentrations, extracts and intake periode. J. Enthopharmacol., 105 (2), 95-98. Marjani, A. 2005. Plasma lipid peroxidation zinc and erthrocyte Cu-Zn superoxide dismutase enzyme activity in patient with type 2 diabetes mellitus. Internet Endocrinol, 2 (1), 1647-1648. Mercuri, F., Quagliaro, L., & Ceriello, A. 2000. Oxidative stress evaluation in diabetes. Diabetes Technol. Ther., 2, 589-600. Nijvedt, R. J., Van, E. E., Boelens, P. G., & Van, L. P. A. M. 2001. Flavonoids: a review of probable mechanisms of action and potential applications. Diabetes, 74 (4), 418-425. Niskanen, L. K., Salonen, J. T., Nyyssonen, K., & Uusitupa, M. I. 1995. Plasma lipid peroxidation and hyperglycaemia: a connection through hyperinsulinaemia? Diabetic Medicine, 12, 802-808. Nobercourt, E., Jacqueminet, S., Hanset, B., Chantepie, S., Grimaldi, A., Chapman M. J., & Kontush, A. 2005. Defective antioxidative activity of small dense HDL particle in type 2 diabetes: relationship to elevated oxidative stress and hyperglicemia. Diabetologia, 48 (3), 529-538.Okutan, H., Ozcelik N, Yilmaz H. R., & Uz, E. 2005. Effect of caffeic acid phenethyl ester on lipid peroxidation and antioxidant enzymes in diabetic rat heart. Clin. Biochem., 38 (2), 192-196. Robertson, R. P., Harmon, J., Tran, P. O., Tanaka, Y., & Takahashi, H. 2003. Glucose toxycity in beta-cells, type 2 diabetes, good radical gone bad, and the gluthation connection. Diabetes, 52, 581-587. Rohilla, A., & Ali, S. 2012. Alloxan induced diabetes: mechanisms dan effects, Int Journal of Research in Pharmaceutical and Biomedical Science, 3, 819-822. Santini, S. A., Marra, G., Giardina, B., Cotroneo, P., Mordente, A., Martorana, G. E., Manto, A., & Ghirlanda, G. 1997. Defective plasma antioxidant defenses and enhanced susceptibility to lipid peroxidation in uncomplicated IDDM. Diabetes, 46, 1853-1858. Sforcina, J. M., & Bankova. V. S. 2011. Propolis: is there a potential for development of new drugs. Journal of Ethnopharmacol, 133, 253-260. Shaw, J. E., Saltiel, A. R., & Zimmet, P. Z. (2010) : Global estimates of the prevalence of 2010 anda 2030. Diabetes Research and Clinical Practice, 87: 4-14. Shulman, G. I. 2000. Cellular mechanism of insulin resistance. The Journal of Clinical Investigation, 106 (2), 19-26. Szkudelski, T. 2001. The Mechanism of alloxan and streptozotocin action β cells of the rat pancreas. Physiology, 50, 536-546. West, I. C. 2000. Radical and oxidative stress in diabetes. Diabetic Med., 17, 171180. 186 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Wikanta, T., Khaeroni & Lestari. 2000. Pengaruh pemberian natrium alginat terhadap penurunan kadar glukosa darah tikus. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, 8 (6),15-20. Wilson, L. M. & Price, S. A. 1992. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi Keempat. Alih bahasa: Peter Anugrah. Penerbit buku Kedokteran EGC. Jakarta. 187 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Pengaruh pH, Suhu dan Konsentrasi Substrat Terhadap Produksi Konsentrat Asam Lemak Omega 3 Dari Limbah Minyak Ikan Melalui Hidrolisis Oleh Enzim Lipase dari Candida Rugosa Maria Goretti M. Purwanto*, Meliawati, Ruth Chrisnasari Faculty of Biotechnology, University of Surabaya *Email : maria_gmp@staff.ubaya.ac.id ABSTRAK Limbah berupa minyak ikan banyak dihasilkan dari industri pengalengan ikan maupun pembuatan tepung ikan. Minyak ikan ini merupakan sumber asam lemak omega 3 yang potensial dan melimpah. Konsentrat Omega-3 banyak dimanfaatkan dalam bidang kesehatan. Pada penelitian ini dilakukan produksi konsentrat asam lemak omega 3 dari minyak ikan melalui hidrolisis oleh Candida rugosa lipase. Optimasi hidrolisis yang dilakukan meliputi variable pH buffer, suhu hidrolisis dan konsentrasi substrat. Dalam penelitian ini hidrolisis oleh enzim lipase dari Candida rugosa dibuktikan berlangsung paling baik pada sistem dengan pH 6,5; suhu 35ºC serta konsentrasi substrat 20% (b/v) yang ditunjukkan oleh bilangan asam yang tertinggi. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa hasil hidrolisis trigliserida (TAG) adalah berupa campuran digliserida (DAG), monogliserida (MAG) dan free fatty acid (FFA). Kata Kunci: limbah minyak ikan, Candida rugosa lipase, omega 3, EPA&DHA. Pengantar Indonesia merupakan negara perairan, dan memiliki berbagai kekayaan laut. Saat ini telah banyak berdiri industri pengolahan ikan di Indonesia, terutama di Bagan Siapi-api di Sumatera dan Muncar di Jawa Timur. Industri pengolahan ikan banyak menghasilkan produk samping berupa minyak ikan, yang merupakan salah satu sumber utama EPA (Eicosapentaenoic acid - 20:5) dan DHA (Docosahexaenoic acid - 22:6). Namun umumnya kadar EPA dan DHA dari minyak ikan ini awalnya masih cukup rendah. Dengan proses pengkonsentratan, maka kadar omega 3 PUFA dalam minyak ikan akan meningkat seiring berkurangnya kadar Saturated fatty acids (SFA) dan Monounsaturated fatty acids (MUFA). Berbagai metode dapat dimanfaatkan untuk pembuatan konsentrat omega 3 PUFA, antara lain kromatografi, destilasi, kristalisasi pada suhu rendah, ekstraksi cair superkritis, kristalisasi urea, dan hidrolisis dengan enzim lipase (Zuta et al., 2003; Shahidi et al., 1998; Shimada et al., 2001). Hidrolisis dengan enzim lipase memiliki beberapa kelebihan dibandingkan metode-metode lainnya, antara lain prosesnya tidak melibatkan pH ekstrim dan suhu tinggi yang dapat menyebabkan oksidasi dan merusak struktur alami omega 3 PUFA, serta regio-, stereo- dan spesifisitas substrat enzim lipase (Breivik et al., 1997). 189 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Beberapa enzim lipase tertentu dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan konsentrat omega 3 PUFA dalam bentuk gliserida, yang tidak dapat disintesis melalui reaksi kimia sederhana. Wanasundara et al. (1998), Tomoko et al. (2007) dan Sun et al. (2002) melaporkan bahwa enzim lipase dari Candida rugosa merupakan lipase yang paling efisien untuk produksi enzimatis omega 3 PUFA dalam minyak ikan. Enzim lipase dari Candida rugosa memiliki spesifisitas tinggi terhadap rantai asil, sehingga akan menghidrolisis SFA dan MUFA jauh lebih banyak dibandingkan omega 3 PUFA sendiri (Derya et al., 2010). Pada penelitian ini minyak ikan yang merupakan produk samping pabrik pembuatan tepung ikan di Muncar akan diolah menggunakan enzim lipase dari Candida rugosa menjadi konsentrat omega 3 PUFA. Dengan demikian diharapkan minyak ikan yang awalnya merupakan limbah pabrik dapat memiliki nilai ekonomis dan kandungan omega 3 PUFA yang lebih baik. Bahan dan Metode Bahan Enzim lipase Candida rugosa (Sigma Aldrich, 807 U/mg), getah pepaya, sampel minyak ikan, olive oil, aquades, NaOH, KOH, phenolphthalein, buffer fosfat, buffer tris HCl, heksana, HCl, Na2SO4 anhidrat, BF3-metanol, urea, etanol 96%, kloroform, metanol. Metode Kerja Ekstraksi Papain dari Getah Pepaya Ekstraksi papain dilakukan dengan menambahkan buffer fosfat pH 7 0,1 M sebanyak 10% (b/v). Campuran diinkubasi selama 1 jam dalam kondisi dingin (dalam ice bath) pada stirrer. Selanjutnya, campuran disentrifugasi pada kondisi 4.000 rpm, 4ºC, selama 15 menit. Supernatan diambil kemudian disimpan pada suhu 4ºC hingga digunakan untuk proses selanjutnya Treatment awal Substrat Minyak Ikan Treatment awal substrat dilakukan dengan cara menambahkan substrat dengan ekstrak enzim papain dari getah pepaya sebanyak 0,5% (b/b). Campuran diinkubasi pada suhu 55ºC selama 1 jam pada hotplate stirrer. Setelah itu, campuran dipisahkan dengan sentrifugasi pada 4000 rpm selama 15 menit. Fase minyak selanjutnya diambil dan dipanaskan hingga suhu 40ºC, kemudian ditambahkan bentonit sebanyak 4% (b/b). Inkubasi dilanjutkan selama 1 jam disertai dengan pemanasan dan pengadukan pada hotplate stirrer. Selanjutnya, campuran disentrifugasi pada 4.000 rpm selama 15 menit. Fase miyak diambil kemudian disimpan pada suhu 4ºC hingga digunakan untuk proses selanjutnya. Penelitian Pendahuluan (Penentuan Waktu Hidrolisis) Penelitian pendahuluan dilakukan dengan mencampurkan substrat hasil treatment awal dan 0,1 M buffer fosfat pH 7 dengan rasio substrat:buffer (gr/mL) = 1:2. Campuran kemudian dipanaskan hingga suhu 35ºC dengan hotplate stirrer. Setelah campuran mencapai suhu 35ºC, ditambahkan enzim lipase (200 U/gram minyak) untuk 190 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan menghidrolisis substrat. Dilakukan sampling secara berkala setiap 1 jam untuk dilakukan uji bilangan asam dan angka penyabunan. Inaktivasi enzim dilakukan dengan menambahkan 2,5 ml etanol 96% ke dalam campuran hidrolisis. Penelitian pendahuluan dilakukan hingga diperoleh waktu hidrolisis optimum berdasarkan bilangan asam. Hidrolisis Minyak Ikan dengan Lipase Candida rugosa dengan Variasi pH Proses hidrolisis dilakukan dengan mencampurkan 3 gram sampel minyak ikan hasil treatment awal dengan 6 ml 0,1 M buffer fosfat. Pada tahap hidrolisis ini buffer fosfat divariasikan dengan pH 6,5 ; 7 ; 7,5. Campuran kemudian dipanaskan hingga suhu 35ºC serta dihomogenkan dengan hotplate stirrer. Setelah campuran mencapai suhu yang ditentukan, ditambahkan enzim lipase (200 U/gram minyak) untuk menghidrolisis substrat. Hidrolisis dilakukan selama waktu hidrolisis terbaik hasil dari penelititan pendahuluan. Inaktivasi enzim dilakukan dengan menambahkan 2,5 ml etanol 96% ke dalam campuran hidrolisis. Dari fase minyak hasil hidrolisis, dilakukan uji bilangan asam. Percobaan dilakukan dengan tiga replikasi. Hidrolisis Minyak Ikan dengan Lipase Candida rugosa dengan Variasi Suhu Proses hidrolisis dilakukan dengan mencampurkan 3 gram substrat hasil treatment awal dengan 6 ml 0,1 M buffer fosfat pH terbaik hasil penelitian tahap sebelumnya. Campuran kemudian dipanaskan hingga suhu tertentu dengan hotplate stirrer. Pada percobaan ini suhu reaksi divariasikan pada suhu 30 ºC, 35ºC dan 40ºC. Setelah campuran mencapai suhu yang diinginkan, ditambahkan enzim lipase (200 U/gram minyak) untuk menghidrolisis substrat. Hidrolisis dilakukan selama waktu hidrolisis terbaik hasil dari penelititan pendahuluan. Inaktivasi enzim dilakukan dengan menambahkan 2,5 ml etanol 96% ke dalam campuran hidrolisis. Dari fase minyak hasil hidrolisis, dilakukan uji bilangan asam. Percobaan dilakukan dengan tiga replikasi. Hidrolisis Minyak Ikan dengan dengan Variasi Konsentrasi Substrat Pada tahap ini, substrat divariasikan dengan konsentrasi 10%, 20%, 30%, 40% dan 50% (b/v). Sebanyak masing-masing 1, 2, 3, 4, 5 gram substrat ditambahkan buffer fosfat pH terbaik hasil percobaan sebelumnya. Campuran kemudian dipanaskan hingga suhu terbaik yang telah diperoleh dari percobaan sebelumnya serta dihomogenkan dengan hotplate stirrer. Setelah campuran mencapai suhu yang ditentukan, ditambahkan enzim lipase (600 U) untuk menghidrolisis substrat. Reaksi hidrolisis dijalankan dalam volume campuran 10 mL. Hidrolisis dilakukan selama waktu hidrolisis terbaik hasil dari penelititan pendahuluan. Inaktivasi enzim dilakukan dengan menambahkan 2,5 ml etanol 96% ke dalam campuran hidrolisis. Dari fase minyak hasil hidrolisis, dilakukan uji bilangan asam. Percobaan dilakukan dengan tiga replikasi. 191 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Uji Bilangan Asam Campuran hasil hidrolisis disentrifugasi pada 4.000 rpm selama 15 menit untuk memisahkan fase minyak dan fase air. Sebanyak 2 gram minyak ditambahkan dengan 50 mL etanol 96% netral, kemudian dipanaskan hingga suhu 60ºC konstan selama 5 menit. Campuran ditunggu hingga suhunya agak turun, kemudian dititrasi dengan KOH 0,1 N menggunakan indikator phenolphthalein. Blanko yang digunakan adalah 50 mL etanol 96% netral dan diperlakukan sama dengan sampel. Bilangan asam ditentukan berdasarkan perhitungan: Uji Bilangan Penyabunan Campuran hasil hidrolisis disentrifugasi pada 4.000 rpm selama 15 menit untuk memisahkan fase minyak dan fase air. Sebanyak 2 gram minyak ditambahkan dengan 25 mL etanol 96% netral dan 25 mL KOH 0,1 N. Campuran dipanaskan pada suhu 60ºC selama 1 jam dengan metode refluks. Campuran ditambahkan dengan indikator phenolphthalein kemudian dititrasi dengan HCl 0,5 N hingga tidak berwarna. Blanko yang digunakan adalah campuran 25 mL etanol 96% netral dan 25 mL KOH 0,1 N. Selama uji, blanko diperlakukan sama dengan sampel. Bilangan penyabunan ditentukan berdasarkan perhitungan: Fraksinasi Lemak dengan Metode Thin Layer Chromatography Fraksinasi asam lemak dalam sampel hasil hidrolisis dilakukan pada lempeng silika gel, untuk memisahkan monoasilgliserida (MAG), diasilgliserida (DAG), triasilgliserida (TAG) dan asam lemak bebas (FFA). Sebanyak 10 µL sampel minyak ditotolkan pada lempeng TLC. Fase gerak yang digunakan yang digunakan adalah heksana, eter dan asam asetat dengan perbandingan 60:40:1. Visualisasi hasil TLC dilakukan dengan staining menggunakan uap iodin. Masing-masing fraksi asam lemak dikerik dan diderivatisasi untuk dianalisa dengan gas chromatography (GC). Hasil dan Pembahasan Karakterisasi Minyak Awal Tabel 1. Karakterisasi awal terhadap crude oil dan refine oil Sampel minyak Rerata Bilangan Asam Rerata Bilangan Penyabunan Tekstur Warna Crude oil 6,64 ± 0,32a 198,22 ± 2,92a Kental Coklat Refine oil 6,92 ± 0,43a 194,95 ± 2,92a Agak kental Kuning kecoklatan Bau Sangat amis Agak amis Catatan: Huruf superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya perbedaan signifikan (p<0,05). Uji statistik dilakukan dengan 2 sampel T-test. 192 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Penentuan Waktu Hidrolisis Tabel 2. Bilangan penyabunan pada berbagai waktu hidrolisis uji pendahuluan Bilangan Waktu Hidrolisis (Jam) Penyabunan 0 199,16 1 199,35 2 193,55 3 194,95 24 197,75 Tabel 3. Bilangan asam pada berbagai variasi waktu hidrolisis uji pendahuluan Waktu Hidrolisis (Jam) Bilangan Asam 2 15,99 4 22,44 6 27,49 8 32,14 10 36,09 12 38,15 14 40,33 16 43,20 18 42,64 20 42,62 22 47,12 23 47,97 24 47,69 Hidrolisis Substrat Minyak Ikan dengan Lipase Candida rugosa dengan Variasi pH Optimasi pH buffer yang ditambahkan dilakukan menggunakan buffer fosfat 0,1 N pada pH 6,5 ; 7 ; 7,5. Buffer dengan pH optimum ditentukan dari bilangan asam yang turut mengindikasikan tingkat hidrolisis enzim terhadap substrat. Tabel 4. Bilangan asam minyak hasil hidrolisis dengan variasi pH buffer Variasi pH Rerata Bilangan Asam Catatan: 6,5 62,83 ± 5,12a 7 48,71 ± 2,84b 7,5 20,94 ± 0,38c Huruf superskrip berbeda pada lajur yang sama menunjukkan adanya perbedaan signifikan (p<0,05). Uji statistik dilakukan dengan one way ANOVA Pada tabel dapat dilihat bahwa penambahan buffer fosfat pH 6,5 memberikan pengaruh yang optimal bagi tingkat hidrolisis lipase. Penambahan buffer fosfat dengan pH 7 dan 7,5 menyebabkan tingkat hidrolisis lipase, yang diwakili oleh bilangan asam, menurun secara signifikan. 193 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Hidrolisis Minyak Ikan dengan Lipase Candida rugosa dengan Variasi Suhu Telah dilakukan penelitian untuk menentukan suhu optimal lipase dari Candida rugosa untuk menghidrolisis minyak ikan. Tabel 5. Bilangan asam minyak hasil hidrolisis dengan variasi suhu hidrolisis Catatan: Variasi Suhu Rerata Bilangan Asam 30ºC 57,13 ± 0,32a 35ºC 59,47 ± 0,746b 40ºC 51,43 ± 0,162c Huruf superskrip berbeda pada lajur yang sama menunjukkan adanya perbedaan signifikan (p<0,05). Uji statistik dilakukan dengan one way ANOVA Dari hasil penelitian, tingkat hidrolisis substrat yang diindikasikan dengan bilangan asam meningkat hingga mencapai optimal pada suhu 35ºC dan menurun pada suhu 40ºC. Penurunan ini dapat disebabkan karena terjadinya denaturasi lipase. Hidrolisis Minyak Ikan dengan Variasi Konsentrasi Substrat Bilangan asam paling tinggi diperoleh pada konsentrasi substrat 10% (b/v). Hasil hidrolisis pada konsentrasi substrat 20% menunjukkan hasil statistik bilangan asam yang tidak berbeda signifikan dengan substrat 10%. Pada konsentrasi substrat 20%, rasio buffer terhadap minyak adalah 4:1 (b/b) (massa jenis minyak = 0.8420 gr/mL). Dari hasil penelitian ini, substrat dengan konsentrasi 20% (b/v) disarankan untuk aplikasi lebih lanjut karena prinsip efisiensi. Tabel 6. Bilangan asam minyak hasil hidrolisis dengan variasi massa substrat Rerata Bilangan Konsentrasi Substrat (b/v) Asam 10% 63,95 ± 1,13a 20% 61,34 ± 1,71a 30% 54,60 ± 1,71b 40% 50,49 ± 1,12b 50% 45,63 ± 2,82c Catatan: Huruf superskrip berbeda pada lajur yang sama menunjukkan adanya perbedaan signifikan (p<0,05). Uji statistik dilakukan dengan one way ANOVA Fraksinasi Lemak dengan Metode Thin Layer Chromatography Tabel 7. Hasil fraksinasi lemak dengan metode TLC Fraksi Retention Factor (Rf) MAG 0,08 DAG 0,33 FFA 0,57 TAG 0,88 194 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan TAG FFA DA MAG Gambar 1. Lempeng TLC setelah staining dengan uap iodin Keterangan: Kolom 1,2,3 = sampel; kolom 4 = standar FFA MAG = monoasilgliserol, DAG = diasilgliserol, TAG = triasilgliserol, FFA = free fatty acid. Pembahasan Bilangan asam menunjukkan jumlah asam lemak bebas yang terdapat dalam suatu sampel minyak, sedangkan bilangan penyabunan menunjukkan jumlah asam lemak bebas dan asam lemak yang dapat tersabunkan. Dari karakterisasi minyak awal, dapat disimpulkan bahwa crude oil dan refine oil memiliki bilangan asam dan bilangan penyabunan yang tidak berbeda signifikan. Hal ini disebabkan karena proses treatment awal yang dilakukan menggunakan protease dan bentonit, sehingga tidak mengubah bilangan asam dan bilangan penyabunan dalam minyak. Minyak ikan hasil samping pengolahan ikan mengandung berbagai senyawa, seperti asam-asam lemak, gliserol, gum, vitamin, protein, pigmen dan senyawa-senyawa lainnya. Protease, selain untuk mendegradasi protein-protein pengotor, juga dapat meningkatkan yield minyak (Dumay et al., 2006; Gbogouri et al., 2006; Santamaria et al., 2003). Menurut Betty et al. (2010), sekitar 80% dari total lipid dapat diisolasi dari limbah pengolahan ikan setelah hidrolisis enzimatis menggunakan protease. Pemanasan yang dilakukan selama hidrolisis dengan protease juga menyebabkan kekentalan minyak menurun, sehingga gum akan mudah terpisah dari minyak. Minyak hasil samping penepungan ikan berwarna coklat gelap. Intensitas warna dari minyak ikan dapat dikurangi dengan pemucatan (bleaching). Pada penelitian ini, pemucatan dilakukan dengan menambahkan bentonit ke dalam minyak. Bentonit berfungi sebagai adsorben yang dapat menyerap warna minyak, gum, resin, dan hasil degradasi minyak seperti peroksida. Proses fisika yang melibatkan oksidasi, reduksi atau adsorbsi membuat bagian-bagian berwarna lebih larut atau diserap sehingga mudah dihilangkan selama proses pemucatan. Proses kimia yang terjadi yaitu kemampuan mengubah bagian berwarna molekul minyak untuk menyerap cahaya, yaitu dengan 195 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan mengubah derajat ketidakjenuhan. Oleh karena itu, minyak ikan yang telah dimurnikan akan tampak lebih cerah warnanya (Yogaswara, 2008). Penentuan Waktu Hidrolisis Hidrolisis selama 22 jam dipilih sebagai waktu terbaik dengan bilangan asam lebih dari 6 kali minyak awal, dan setelah 22 jam hidrolisis, bilangan asam tidak meningkat secara drastis. 60 Bilangan Asam 50 40 30 20 10 0 0 4 8 12 16 20 24 Lama Hidrolisis (Jam) Gambar 2. Grafik bilangan asam terhadap berbagai waktu hidrolisis Cenderung stabilnya bilangan asam pada kondisi hidrolisis lebih dari 22 jam dapat disebabkan oleh akumulasi produk samping dan non-regiospesifisitas lipase Candida rugosa. Derya dan Xuebing (2011) menyebutkan pada kondisi hidrolisis dengan sistem batch, dimana tidak ada pemisahan produk samping, akumulasinya (dalam hal ini adalah asam lemak bebas) lama kelamaan dapat menghambat laju reaksi. Penelitian Shimada et al. (1994) juga melaporkan tanpa pemisahan asam lemak bebas dari media, tingkat hidrolisis tidak dapat meningkat meskipun dilakukan hidrolisis ulangan. Shimada et al. (1994) melaporkan hidrolisis minyak ikan tuna dengan lipase Candida rugosa dapat meningkatkan konsentrasi EPA dan DHA dari 38,5% menjadi 56,3%, dan meningkat hingga 65,5% pada hidrolisis ulangan setelah dilakukan pemisahan asam lemak bebas. Lipase Candida rugosa memiliki kemampuan untuk meningkatkan kadar baik EPA maupun DHA. Hal ini mengindikasikan kemampuan lipase Candida rugosa membedakan asam lemak jenuh (saturated fatty acid, SFA) dan asam lemak tak jenuh tunggal (monounsaturated fatty acid, MUFA) dari EPA dan DHA dalam minyak ikan (Betty et al., 2010). Lipase Candida rugosa dapat melakukan hidrolisis selektif terhadap SFA dan MUFA pada tingkat yang jauh lebih tinggi daripada hidrolisis omega 3. Mekanisme ini dipengaruhi oleh struktur dari asam-asam lemak tersebut. Konformasi molekuler ikatan rangkap karbon-karbon cis pada omega 3, terutama EPA dan DHA, menimbulkan halangan sterik dan menyebabkan pembengkokan pada rantai asam 196 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan lemak, sehingga membawa gugus metil terminal menjadi sangat dekat dengan ikatan ester. Halangan sterik yang timbul menyebabkan sisi aktif enzim tidak dapat mencapai ikatan ester asam lemak, sehingga melindungi EPA dan DHA dari hidrolisis oleh lipase. DHA, memiliki lebih banyak ikatan rangkap, sehingga lebih tahan terhadap hidrolisis daripada EPA (Okada dan Morrisey, 2007). Hidrolisis Substrat Minyak Ikan dengan Lipase Candida rugosa dengan Variasi pH Buffer Keasaman (pH) adalah salah satu faktor penting yang mempengaruhi aktivitas enzim pada suatu medium cair (Havva, 2009). Lipase hanya aktif secara kalalitik pada range pH tertentu, tergantung pada kondisi awal dan ionisasi residu-residu sisi aktif. Pada sisi aktif lipase terdapat residu basa, asam maupun netral, sehingga residu pada sisi katalitik hanya aktif pada suatu kondisi ionisasi tertentu (Banu, 2001). Perubahan pH buffer dalam media juga menghasilkan perubahan konformasi lipase yang disebabkan oleh perubahan tegangan dari “lid” yang menghalangi sisi aktif. Hal ini menyebabkan pH turut mengontrol akses substrat menuju sisi aktif (Benjamin dan Pandey, 1998). Buffer yang optimal untuk hidrolisis substrat pada penelitian ini adalah pH 6,5. Pada kondisi pH 7 dan 7,5 tingkat hidrolisis lipase, yang diwakili oleh bilangan asam, menurun secara signifikan. Penelitian ini turut membuktikan lipase Candida rugosa dapat melakukan hidrolisis optimal pada larutan pH netral. Gambar 3. Grafik bilangan asam pada hidrolisis dengan berbagai pH buffer (kondisi reaksi 35ºC, 22 jam inkubasi) Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Banu (2001) dan Aditi et al. (2012). Banu (2001) melaporkan lipase Candida rugosa mencapai aktivitas optimal pada pH 6,5 dan dapat mempertahankan aktivitasnya hingga 24 jam hidrolisis pada substrat olive oil. Di luar range pH 6,0–7,0 aktivitas lipase akan menurun, hingga akhirnya hilang pada pH 4,0 dan 9,0. Aditi et al. (2012) menambahkan, umunya residu asam amino pada sisi aktif lipase memiliki afinitas ikatan maksimum dengan substrat pada range pH 6,5-7.0. 197 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Catalytic triad dari lipase Candida rugosa tersusun atas Ser-209, His-449 dan Glu341 (Pawel et al., 1993), dimana histidin berperan sebagai akseptor proton dari Ser-209. Ketika His-449 dan Glu-341 sama-sama berada dalam kondisi terprotonasi, His-449 dan Glu-341 tidak dapat membantu Ser-209 dalam serangan nukelofiliknya terhadap karbon karbonil pada ester. Hal ini menyebabkan tidak dapat terbentuknya intermediet tetrahedral untuk delokalisasi muatan pada catalytic triad (Andrea et al., 2009). Pada kondisi yang terlalu basa, anion dalam konsentrasi tinggi menyebabkan lebih banyak ion hidronium yang berikatan dengan asam-asam amino pada permukaan enzim. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya protonasi His-449 dan Glu-341. Pada kondisi yang terlalu asam, His-449 juga dapat terprotonasi apabila pH media berada di bawah pKanya. Oleh karena itu diperlukan pH yang tepat untuk mengatur ionisasi dari sisi aktif lipase. Jayasundar et al. (2003) melaporkan bahwa pada pH netral, “lid” yang menghalangi catalytic triad terbuka lebih lebar daripada pada kondisi pH asam. Terbukanya “lid” ini akan mengekspos area hidrofobik lebih lebar, sehingga substrat dengan ukuran yang besar dan memiliki banyak rantai samping hidrofobik dapat menncapai sisi aktif dengan lebih mudah. Hidrolisis Substrat Minyak Ikan dengan Lipase Candida rugosa dengan Variasi Suhu Ketahanan suhu suatu enzim setidaknya dipengaruhi oleh dua faktor. Faktor pertama yang mempengaruhi adalah struktur primer dari enzim tersebut. kandungan asam amino hidrofobik yang tinggi pada enzim menghasilkan struktur yang kompak, sehingga tidak mudah terdenaturasi oleh perubahan kondisi lingkungan eksternal. Jembatan disulfida dan ikatan-ikatan lainnya menyebabkan enzim lebih resisten terhadap inaktivasi oleh panas dan denaturasi secara kimiawi. Faktor lainnya adalah komponen-komponen spesifik seperti polisakarida dan kation divalent, yang dapat membuat enzim lebih stabil. Dapat diamati bahwa tingkat hidrolisis oleh lipase meningkat dari suhu 30ºC dan mencapai optimal pada 35ºC. Kenaikan suhu memang dapat meningkatkan laju reaksi, selama enzim masih stabil. Kenaikan suhu juga dapat mengurangi viskositas serta meningkatkan difusi substrat menuju sisi aktif (Betty et al., 2010). Pada suhu 40ºC, terjadi penurunan bilangan asam yang signifikan jika dibandingkan dengan suhu 35ºC. Hal ini disebabkan mulai terjadinya denaturasi lipase oleh panas. Peningkatan suhu mempengaruhi laju dua proses independen, yaitu hidrolisis oleh lipase dan inaktivasi lipase (Maidina et al., 2008; Uhlig dan Linsmaier-Bednar, 1998). Seiring meningkatnya suhu, mobilitas molekul lipase juga meningkat. Pada titik tertentu, molekul lipase memperoleh energi yang cukup untuk memutuskan interaksi lemah yang mempertahankan struktur protein globular tetap utuh. Hal ini menyebabkan terjadinya inaktivasi lipase. 198 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Bilangan Asam 59 56 53 50 25 30 35 Suhu (ºC) 40 45 Gambar 4. Grafik bilangan asam pada berbagai suhu hidrolisis (kondisi reaksi buffer fosfat pH 6,5, 22 jam inkubasi) Beberapa penelitian melaporkan suhu optimal lipase dari Candida rugosa untuk melakukan hidrolisis adalah 35ºC (Aditi et al., 2012; Havva, et al., 2009). Sun et al. (2002) menyebutkan bahwa suhu 35ºC merupakan suhu optimum bagi lipase dari Candida rugosa untuk meningkatkan konsentrasi EPA dan DHA dalam minyak ikan. Penelitian Aditi et al. (2012) meneliti efek temperatur terhadap aktivitas lipase dari Candida rugosa pada suhu 25ºC-50ºC. Aktivitas lipase terus naik hingga mencapai suhu optimal 35ºC dan turun sejak suhu 40ºC. Penelitian Banu (2001) menunjukkan lipase dari Candida rugosa dapat stabil pada range 4ºC-37ºC. Hidrolisis Minyak Ikan dengan Lipase Candida rugosa dengan Variasi Konsentrasi Substrat Dari hasil penelitian tampak konsentrasi substrat 10% dan 20% adalah yang paling baik, seperti teramati pada gambar . Peningkatan konsentrasi di atas 20% menyebabkan tingkat hidrolisis, yang diwakili dengan bilangan asam, menurun secara signifikan. Melihat fakta bahwa semakin tinggi konsentrasi substrat dalam campuran, buffer yang ditambahkan semakin sedikit, menunjukkan adanya pengaruh dari jumlah buffer terhadap tingkat hidrolisis. Hal ini dapat disebabkan karena semakin banyak molekul air dalam campuran, area interfase yang tersedia juga semakin luas (Derya et al., 2010). Macrae (1983) menyebutkan bahwa adanya area interfase air-lipid ternyata dapat meningkatkan aktivitas hidrolitik dari lipase. 199 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Gambar 5. Grafik bilangan asam pada hidrolisis dengan berbagai konsentrasi substrat (kondisi reaksi 35ºC, buffer fosfat pH 6,5, 22 jam inkubasi) Fenomena peningkatan aktivitas lipase ini diperkirakan terjadi karena perubahan konformasi dari enzim. Menurut Schmid dan Verger (1998), pada umumnya lipase memiliki suatu struktur yang khas, yaitu adanya “lid” atau “flap” yang tersusun atas sekuens polipeptida. Pada kondisi tanpa adanya area interfase atau pelarut organik, lipase memiliki konformasi “tertutup” karena “lid” tersebut menghalangi akses substrat menuju catalytic triad, yang tersusun dari residu Serin-Histidin-Asam Glutamat. Lebih lanjut dijelaskan oleh Pawel et al. (1λλ3), “lid” pada lipase membentang pada posisi hampir tegak lurus dengan permukaan protein (Gambar 6) dan membentuk sebuah lekukan yang menghalangi catalytic triad (Gambar 7), dengan residu serin sisi aktif berada di bagian bawah lekukan tersebut. Area yang berada di sekitar serin sisi aktif ini bersifat lebih hidrofobik daripada area lain yang terekspos pada solven. Bagian dari “lid” yang mengarah ke sisi aktif adalah bagian hidrofobik, yang terutama tersusun oleh rantai samping alifatik. Sedangkan bagian “lid” yang arahnya menjauhi sisi aktif bersifat hidrofilik dan turut distabilkan oleh interaksi dengan permukaan protein. Pada kondisi reaksi dengan area interfase air-lipid yang luas, daerah hidrofobik dari polipeptida penghalang, yang sebelumnya tertimbun berdekatan dengan catalytic triad, menjadi terekspos dan membentuk celah sehingga menyebabkan konformasi enzim menjadi “terbuka”. Proses ini menyebabkan catalytic triad tidak lagi terhalangi sehingga dapat dicapai dengan lebih mudah oleh substrat. Konformasi lipase ini juga turut distabilkan oleh interaksi hidrofobik dengan lapisan lipid (Pawel et al., 1993). Aditi et al. (2012) telah melakukan optimasi konsentrasi substrat berupa minyak hati ikan cod dalam proses hidrolisis dengan lipase dari Candida rugosa. Aditi et al. melaporkan rasio air dan minyak 4:1 (b/b) adalah titik optimumnya. Dalam penelitiannya juga disebutkan bahwa molekul air memang dapat meningkatkan aktivitas lipase, namun molekul air yang berlebihan dapat menghambat substrat berikatan dengan enzim melalui inhibisi kompetitif. 200 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Sumber: Pawel et al. (1993) Gambar 6. Struktur lipase Candida rugosa pada kondisi sedikit area interfase. Tampak posisi rangkaian polipeptida terhadap keseluruhan struktur enzim. Catalityc triad ditujukkan dengan warna hijau. Sumber: Pawel et al. (1993) Gambar 7. Representasi Van der Waals dari lipase Candida rugosa pada kondisi sedikit area interfase. Residu serin pada catalytic triad (warna hijau) tampak pada bagian dasar lekukan. Dengan diperlukannya jumlah molekul air yang pas untuk reaksi, tidak terlalu sedikit dan tidak terlalu berlebihan, seharusnya dapat diperoleh hasil penelitian berbentuk kurva dan dicapai suatu titik puncak. Seperti telah disebutkan, titik optimum pada penelitian ini adalah pada konsentrasi substrat 10% (b/v). Namun, tidak tercapainya grafik berbentuk kurva menyisakan kemungkinan bahwa titik puncak sebenarnya berada pada konsentrasi substrat di bawah 10%. 201 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Fraksinasi Lemak dengan Metode Thin Layer Chromatography Lemak yang paling tidak polar akan bergerak paling cepat, karena cenderung lebih tidak berikatan dengan silika yang bersifat polar. Hasil separasi dapat divisualisasi dengan berbagai cara. Pada penelitian ini digunakan iodine staining. Iodin bereaksi dengan ikatan rangkap pada asam lemak, sehingga lemak yang mengandung ikatan rangkap akan tampak berwarna kuning kecoklatan. Pada gambar 1 teramati setiap sampel terfraksinasi menjadi 4 fraksi, yaitu MAG, DAG, FFA dan TAG. Sebagai catatan, fraksi DAG terdiri atas dua band berdekatan yang merupakan isomer 1,3-DAG dan 1,2-DAG. MAG, DAG dan TAG merupakan gliserida yang termasuk dalam golongan lipid netral, yaitu lipid yang bersifat non ionik dan non polar. Lipid netral tidak memiliki sisi bermuatan listrik, hanya memiliki sedikit gugus polar, serta banyak karbon dan hidrogen. TAG memiliki lebih banyak karbon dan hidrogen daripada MAG dan DAG, sehingga TAG bersifat paling non polar dan memiliki nilai Rf paling tinggi. FFA, atau asam lemak bebas, merupakan asam monokarboksilat yang berantai panjang dan tidak bercabang. FFA memiliki panjang rantai hidrokarbon yang bervariasi, tergantung jenis asam-asam lemak dalam fraksi FFA. Rantai hidrokarbon panjang inilah yang memberikan sifat non polar pada FFA. Pola separasi dari penelitian ini, dimana nilai Rf dari yang paling rendah ke paling tinggi adalah MAG-DAG-FFA-TAG, memiliki pola yang sama dengan beberapa penelitian lain (Soham et al., 2011; Santos et al., 2009; Shah et al., 2004). Betty et al. (2010) yang juga melakukan fraksinasi lemak pada minyak hasil hidrolisis menggunakan lipase, mendapatkan nilai Rf MAG = 0,12; DAG = 0,41 ; dan TAG = 0,74. Kesimpulan dan Saran Dapat disimpulkan bahwa hidrolisis oleh enzim lipase dari Candida rugosa berlangsung paling baik pada sistem dengan pH 6,5; suhu 35ºC serta konsentrasi substrat 20% (b/v) yang ditunjukkan oleh bilangan asam yang tertinggi. Perlu diteliti lebih lanjut akan kadar dan distribusi EPA dan DHA dalam minyak sebelum dan susudah hidrolisis untuk menggali informasi mengenai spesifitas hidrolisis lipase dari Candida rugosa. Daftar Pustaka Aditi Sharma, Satyendra P. Chaurasia, Ajay K. Dalai. 2012. Enzymatic Hydrolysis of Cod Liver Oil for The Fatty Acids Production. Elsevier http://dx.doi.org/10.1016/j.cattod.2012.05.006. Andrea Salis, Maura Monduzzi dan Barry W. Ninham. 2009. Hofmeister Effects in Enzymatics Activity, Colloid Stability and pH Measurements: Ion-dependent Speciticity of Intermolecular Forces. Italy: University of Caliagri, Monserratom Banu, Ozturk. 2001. Immobilization of Lipase from Candida rugosa on Hydrophobic and Hydrophilic Supports. Turkey: Department: Biotechnology and Bioengineering Major: Biotechnology. Benjamin, S. and Pandey, A. 1998. Candida rugosa Lipases: Molecular Biology and Versatility in Biotechnology. Yeast, 14, No. 12, 1069. 202 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Betty, Mbatia. 2010. Enzymatic oil extraction and positional analysis of Omega-3 fatty acids in Nile perch and salmon heads. Process Biochemistry 45 (2010) 815–819. Sweden: a Department of Biotechnology, Lund University, Box 124, SE-221 00 Lund. Betty Mbatia, Patrick Adlercreutz, Francis Mulaa dan Bo Mattiasson. 2010. Enzymatic Enrichment of Omega-3 Polyunsaturated Fatty Acids in Nile Perch (Lates niloticus) Viscera Oil. Process Biochemistry 45 (2010) 815– 819. Breivik H., Haraldsson G. G., Kristinsson B. 1997. Journal of the American Oil Chemists' Society. (1997)74: 1425–1429. Derya, Kahveci & Xuebing, Xu. 2011. Repeated Hydrolysis Process is Effective for Enrichment of Omega 3 Polyunsaturated Fatty Acids in Salmon Oil by Candida rugosa Lipase. Food Chemistry 129 (2011) 1552–1558. Denmark: Department of Molecular Biology, Aarhus University, Gustav Wieds Vej 10, 8000 Aarhus C. Derya, Kahveci. Mia, Falkeborg. Sandra, Gregersen and Xuebing, Xu. 2010. Upgrading of Farmed Salmon Oil Through Lipase-Catalyzed Hydrolys. The Open Biotechnology Journal, 2010, 4, 47-55. Denmark: Department of Molecular Biology, Aarhus University, Gustav Wieds Vej 10, 8000 Aarhus C. Dumay J., Donnay-Moreno C., Barnathan G., Jaouen P., Berge´ J. P. Process Biochemistry. (2006), 41: 2327–2332. Gbogouri G. A., Linder M., Fanni J., Parmentier M. European Journal of Lipid Science and Technology. (2006),108: 766-775. Havva Tutar, Elif Yilmaz, Erol Pehlivan dan Mustafa Yilmaz. 2009. Immobilization of Candida rugosa Lipase on Sporopellenin from Lycopodium clavatum. Journal of Biological Macromolecules 45, 315–320. Macrae A. R. 1983. Journal of the American Oil Chemists' Society. (1983), 60: 291–294. Maidina, A. B., Belova, A. B., Levashov, A. V. and Klyachko, N. L. 2008. Choice of Temperature for Safflower Oil Hydrolysis Catalyzed by Candida rugosa Lipase. Moscow University Chemistry Bulletin, 63, No. 2, 108. Okada, T., & Morrissey, M. T. 2007. Production of n-3 Polyunsaturated Fatty Acid Concentrate from Sardine Oil by Lipase-catalyzed Hydrolysis. Food Chemistry, 103, 1411–1419. Pawel, Grochulski, Yunge Li, Joseph D. Schragt, Francois Bouthillier, Penny Smith, David Harrison, Byron Rubin dan Miroslaw Cygler. 1993. Insights into Interfacial Activation from an Open Structure of Candida rugosa Lipase. Journal of Biological Chemistry Vol. 285, No. 17. Santamaria R. I., Soto C., Zuniga M. E., Chamy R., Lopez-Munguia A. Journal of the American Oil Chemists Society. (2003), 80: 33-36. Schmid D. Rolf dan Verger Robert. 1998. Lipases: Interfacial Enzymes with Attractive Applications. Andewandte Chemie, Volume 37, pp 1608-1633. Shahidi F.,Wanasundura U. N. 1998. Trends in Food Science & Technology. (1998)9: 230-240. 203 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Shimada Y., Watanabe Y., Sugihara A., Baba T., Ooguri T, Moriyama S., Terai T.,Tominaga Y. 2001. Journal of Bioscience and Bioengineering. (2001)92: 19-23. Shimada, Y., Maruyama, K., Okazaki, S., Nakamura, M., Sugihara, A., & Tominaga, Y. (1994). Enrichment of Polyunsaturated Fatty Acids with Geotrichum candidum Lipase. Journal of the American Oil Chemists Society, 71, 951–954. Sun, T., Pigott, G. M., Herwing, R. P. 2002. Lipase-assisted concentration of n-3 polyunsaturated fatty acids from viscera of farmed Atlantic salmon (Salmo salar L.). J. Food Sci. 2002,67, 130–136. Tomoko, O., Morrissey, M. T., 2007. Production of n-3 polyunsaturated fatty acid concentrate from sardine oil by lipasecatalyzed hydrolysis. Food Chem. 2007, 103, 1411–1419. Wanasundara, U. N., Shahidi, F. 1998. Lipase-assisted concentration of n-3 polyunsaturated fatty acids in acylglycerols from marine oils. J. Am. Oil Chem. Soc. 1998, 75, 945–951. Yogaswara, Ghema. 2008. Mikroenkapsulasi Minyak Ikan dari Hasil Samping Industri Penepungan Ikan Lemuru (Sardinella lemuru) dengan Metode Pengeringan Beku (Freeze Drying). Bogor: Program Studi Teknologi Hasil Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. Zuta C. P., Simpson B. K., Chan H. M., Phillips L. 2003. Journal of the American Oil Chemists Society. (2003)80: 933-93 204 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Analisis Keragaman Genetik Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Sebagai Dasar Perekayasaan Varietas Unggul Lukita Devy1*, Sobir2 dan Dodo Rusnanda Sastra1 1 Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Email: lukita.devy@bppt.go.id 1 Institut Pertanian Bogor ABSTRACT This study was conducted to determine genetic parameters of 14 temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) accessions in two locations (Serpong and Bogor) from December 2006 to August 2007. Genetic parameters are useful information for the engineering process of superior variety. The observed traits consist of vegetative, yield and secondary metabolite components. There are no differences among tested accessions based on the analysis of variance, except for two traits. Those are tillering number and leaf length/width ratio. The heritability of these traits were high (h2bs=73.7% and h2bs=61.8%, respectively). However, their genetic variabilities were narrow (  g < 2  2  g2 ). Therefore, the increase of genetic variability is needed. This could be achieved through exploration, mutagenesis, somaclonal variation and genetic transformation. Keywords: genetic parameters, temulawak, yield Pengantar Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan tanaman obat yang secara tradisional telah lama digunakan di Indonesia secara turun-temurun. Tanaman ini bermanfaat sebagai bahan obat, pangan fungsional maupun kosmetika. Penyebarannya meliputi Jawa, Bali dan Maluku (Wardini & Prakoso 1999) serta belum umum dibudidayakan di negara lain. Fraksi yang terdapat pada temulawak terbagi atas kurkuminoid, minyak atsiri dan pati. Kurkuminoid berfungsi sebagai anti inflamasi, anti kanker, anti bakteri, anti fungi, anti parasit, anti imunodefisiensi, anti virus (virus flu burung) dan anti oksidan (Chattopadhyay et al. 2004). Komponen minyak atsiri temulawak terdiri dari 5 senyawa mayor dan 8 senyawa minor (Agusta & Chairul 1996). Salah satu senyawa mayor tersebut adalah xanthorrhizol. Xanthorrhizol memiliki fungsi sebagai obat anti fungi spektrum luas, anti bakteri, anti metastasis sel tumor dan pencegah efek samping kemoterapi (Choi et al. 2004; Kim et al. 2005, Rukayadi et al. 2006). Sebagai produk industri, ekstrak temulawak berpotensi untuk perawatan gigi, jerawat dan ketombe 1 Badan Pengkajian dan lukita.devy@bppt.go.id 2 Institut Pertanian Bogor Penerapan Teknologi, 205 *Penulis untuk korespondensi, email: Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan (Hwang et al. 2008). Oleh karena itu temulawak sebagai tanaman yang sudah dibudidayakan sejak lama di Indonesia dengan berbagai khasiat farmakologis memiliki potensi untuk dijadikan tanaman obat unggulan khas Indonesia seperti halnya ginseng dari Korea. Permasalahan umum yang dihadapi dalam pengembangan temulawak adalah rendahnya tingkat produktivitas. Pada tahun 2003 produktivitas tanaman temulawak di Indonesia adalah 17.18 ton/ha (Deptan 2004) sedangkan potensi produktivitas temulawak mencapai 20 ton/ha (Wardini & Prakoso 1999) Pada umumnya nilai produktivitas yang rendah disebabkan oleh belum dilakukannya teknik budidaya anjuran dan penggunaan bibit yang sembarang sehingga meskipun temulawak telah tersebar di berbagai daerah namun sampai saat ini belum ada standardisasi bibit bermutu (Syukur et al. 2006). Oleh karena itu perbaikan mutu bibit perlu dilakukan. Perbaikan ini mencakup penggunaan varietas unggul yang tahan terhadap organisme pengganggu, toleran terhadap cekaman lingkungan serta mempunyai potensi hasil tinggi dengan mutu baik. Untuk mendapatkan varietas unggul maka perlu dilakukan kegiatan pemuliaan tanaman. Kegiatan ini dapat terlaksana jika tersedia keragaman genetik dalam suatu populasi yang akan diseleksi. Hal ini dan kemampuan mengidentifikasikannya merupakan kunci keberhasilan dalam pemuliaan tanaman (Welsh 1981). Pengkajian ini bertujuan untuk menduga parameter genetik karakter vegetatif, hasil, komponen hasil dan bahan aktif temulawak. Informasi yang diperoleh diharapkan dapat menunjang proses perekeyasaan pembentukan varietas unggul temulawak melalui proses pemuliaan. Metodologi Penelitian dilakukan pada bulan Desember 2006 hingga Agustus 2007. Percobaan disusun menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (Randomized Complete Block Design). Sebagai faktor pertama adalah lokasi penanaman yang terdiri dari dua taraf yaitu di Kebun Percobaan Puspiptek Serpong (70 m di atas permukaan laut-dpl-) dan di Kawasan Agromedika Hambaro Leuwiliang Bogor (400 m dpl). Sebagai faktor kedua adalah aksesi temulawak hasil eksplorasi tahun 2004. Aksesi-aksesi tersebut terdiri dari 14 taraf berdasarkan daerah asalnya yaitu T1 (Pagar Alam), T3 (Manna), T4 (Majenang), T5 (Cikijing), T6 (Ciporang), T7 (Majalengka), T8 (Citangtu), T9 (Sleman), T10 (Bantul), T11 (Gunung Kidul), T12 (Imogiri), T13 (Kalibawang), T14 (Pasir Gaok1) dan T16 (Pasir Gaok3). Percobaan dilakukan sebanyak 3 ulangan sehingga secara keseluruhan terdapat 84 satuan percobaan. Setiap 1 satuan percobaan terdiri dari 10 tanaman. Rimpang yang telah bertunas ditanam dengan jarak 70 cm x 60 cm. Pemberian pupuk kandang sebanyak 1 kg/lubang tanam dilakukan satu pekan sebelum penanaman. Pada saat tanam, diberikan 5 g SP-36/lubang tanam. Selanjutnya pada 1 Bulan Setelah Tanam (BST) diberikan 5 g Urea + 4 g KCl/lubang tanam. Kegiatan pemeliharaan yang dilakukan meliputi pencabutan gulma dan pembumbunan. Panen dilaksanakan pada 9 BST dengan cara menggali dan mengangkat rimpang secara keseluruhan. Rimpang tersebut dicuci dari tanah dan kotoran lalu dikeringanginkan. Kegiatan dalam 206 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan teknik budidaya temulawak ini mengacu pada Standard Operation Procedures (SOP) menurut Rahardjo dan Rostiana (2005) dengan sedikit modifikasi. Komponen pengamatan dalam penelitian ini mengacu pada deskriptor untuk temulawak menurut Ajijah et al. (2006) dan tambahan lain. Komponen vegetatif diamati pada 4 BST dan terdiri dari 8 karakter yaitu tinggi batang semu, diameter batang semu, jumlah anakan/rumpun, jumlah daun/batang, panjang daun, lebar daun, panjang tangkai daun serta rasio panjang/lebar daun (Rasio = panjang daun/lebar daun). Komponen hasil diamati pada saat panen dan terdiri dari 17 karakter yaitu bobot basah: rimpang total, rimpang primer, rimpang sekunder, rimpang tersier; bobot kering: rimpang total, rimpang primer, rimpang sekunder dan rimpang tersier; panjang: rimpang primer, rimpang sekunder, rimpang tersier; lebar: rimpang primer, rimpang sekunder dan rimpang tersier; jumlah: rimpang primer, rimpang sekunder, rimpang tersier. Komponen kandungan bahan aktif terdiri dari 4 karakter yaitu kadar kurkumin, kadar minyak atsiri, produksi minyak atsiri/rumpun dan produksi kurkumin/rumpun. Produksi bahan aktif merupakan perkalian antara kadar bahan aktif dengan bobot kering rimpang/rumpun. Kadar kurkumin diukur menggunakan GC-MS sedangkan kadar minyak atsiri menggunakan destilasi. Analisis kandungan bahan aktif dilakukan di Balai Pengembangan Tanaman Rempah dan Obat, Departemen Pertanian RI, Bogor. Pendugaan parameter genetik diturunkan dari analisis ragam (Tabel 1) menurut Annichiarico (2002). Analisis dapat dilakukan terhadap karakter yang memiliki kehomogenan ragam berdasarkan uji Bartlett (Gomez & Gomez 1984). Tabel 1. Analisis ragam percobaan antar lokasi di Hambaro dan Serpong Sumber Keragaman Db KT E (KT) F Hitung 2 2 2+ 2 Lokasi (L) l-1 M1 M1/M4  e + r gl + g gr l 2 2 Ulangan/Lokasi l (r-1) M2  e + g e 2 2 2 Aksesi (G) (g-1) M3 M3/M4  e + r gl + lr g 2 2 GxL (g-1) (l-1) M4 M4/M5  e + r gl Galat l (g-1) (r-1) M5 2e Keterangan: l=Jumlah lokasi; r=Jumlah ulangan; g=Jumlah aksesi; db=Derajat bebas, KT=Kuadrat tengah; E(KT)= Harapan kuadrat tengah. Pendugaan parameter genetik dilakukan terhadap: 2 2 2 M3  M4 4.  p =  g2  ( e2 / lr )  ( gl / l) 1.  g = lr 5. M4  M5 2  g2  g2 2.  gl = 2 = h  r bs 2 2 2 2 3.  e2 = M5 6. KKG = p  g2 x 7. KKP =  p2 x x100% 8.  x100% 207 2 g  g  ( e / lr )  ( gl / l ) = 2 (rl ) 2  M 32 M 22     db  2 db  2  gl   g Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Keterangan:  g2 : ragam genetik x : nilai rataan  2 g : standar deviasi ragam 2 genetik  gl : ragam genotipe x lokasi r : jumlah ulangan 2  e : ragam galat l : jumlah lingkungan (lokasi)  p2 : ragam fenotipe M3 : kuadrat tengah aksesi (genotipe) M2 : kuadrat tengah genotipe x hbs2 : heritabilitas arti luas lingkungan KKG : koefisien keragaman (G x L) genetik dbg : derajat bebas genotipe KKP : koefisien keragaman dbgl : derajat bebas G x L fenotipe    Pendugaan heritabilitas dilakukan dengan metode komponen ragam (Osborne & Paterson 1952, diacu dalam Adie 1992). Kriteria heritabilitas terbagi atas rendah: 0%-20%, sedang: 20%-50% dan tinggi >50% (Stansfield 1983, diacu dalam Zen 1995). Pendugaan standar deviasi dari ragam genetik yang digunakan adalah untuk beberapa lokasi dalam satu musim menurut Hallauer dan Miranda (1988). Parameter ini dapat digunakan untuk menentukan keragaman genetik. Jika ragam genetik lebih besar daripada dua kali standar deviasi ragam genetik (2g > 2  2g ) maka keragaman genetiknya luas sedangkan jika 2g < 2  2g maka keragaman genetiknya sempit (Anderson & Bancroft 1952, diacu dalam Ruchjaniningsih 2000). Pendugaan Koefisien Keragaman Genetik (KKG) dan Koefisien Keragaman Fenotipe (KKP) dilakukan menurut Poehlman dan Sleeper (1996). Hasil dan Pembahasan Analisis ragam berfungsi untuk mengetahui keragaman antar perlakuan yang diteliti dalam suatu percobaan. Untuk memenuhi asumsi awal dalam pengujian gabungan percobaan antar lokasi maka dilakukan uji kehomogenan ragam. Jika ragam antar lokasi bersifat homogen maka dilanjutkan dengan analisis ragam. Melalui analisis ragam, dapat diduga beberapa parameter pemuliaan diantaranya ragam genetik, ragam fenotipe dan heritabilitas. Hasil pengujian kehomogenan ragam menunjukkan bahwa tidak semua karakter yang diuji memiliki ragam homogen antar lokasi. Analisis ragam dilakukan hanya pada karakter-karakter yang memiliki ragam homogen. Hasil analisis ragam terhadap karakter pertumbuhan vegetatif beberapa aksesi temulawak di dua lokasi tidak menunjukkan interaksi antara lokasi dan aksesi. Perbedaan antar aksesi hanya ditunjukkan oleh karakter rasio panjang/lebar daun dan jumlah anakan/rumpun (Tabel 2). 208 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Tabel No 2. Rekapitulasi analisis ragam karakter pertumbuhan vegetatif beberapa aksesi temulawak di Hambaro dan Serpong Karakter Rasio panjang/lebar daun Tinggi tajuk Jumlah anakan/rumpun Diameter batang semu Kuadrat Tengah Aksesi (G) 0.03 104.30 1.74 0.22 Lokasi (L) * tn ** tn 0.35 9520.46 152.55 180.72 Uji Bartlett GxL tn * ** ** 0.01 189.04 0.42 0.29 tn tn tn tn 0.61 0.42 1.99 2.81 tn tn tn tn Keterangan: **μ berbeda nyata pada α=1%, *μ berbeda nyata pada α=5%, tnμ tidak berbeda nyata Kecenderungan serupa ditunjukkan oleh karakter hasil, komponen hasil dan bahan aktif. Tidak ada perbedaan respon antar aksesi untuk semua karakter yang diamati sedangkan interaksi antara lokasi dan aksesi hanya ditunjukkan oleh karakter bobot kering rimpang sekunder (Tabel 3). Pada karakter bahan aktif, interaksi antara lokasi dan aksesi hanya ditunjukkan oleh kadar kurkumin sedangkan antar aksesi tidak ada perbedaan (Tabel 4). Tidak adanya perbedaan respon antar aksesi pada hampir semua karakter yang diamati mengindikasikan bahwa keragaman genetik aksesi temulawak yang diuji cukup rendah. Tabel 3. No Rekapitulasi analisis ragam karakter hasil dan komponen hasil beberapa aksesi temulawak di Hambaro dan Serpong Karakter Bobot basah rimpang total (g) Bobot basah rimpang primer (g) Bobot basah rimpang sekunder (g) Bobot basah rimpang tersier (g) Bobot kering rimpang total (g) Bobot kering rimpang sekunder (g) Bobot kering rimpang tersier (g) Jumlah rimpang sekunder Panjang rimpang primer (cm) Panjang rimpang sekunder (cm) Jumlah rimpang tersier Lebar rimpang sekunder (cm) Lebar rimpang tersier (cm) Kuadrat Tengah Aksesi (G) Lokasi (L) 26992.80 9135.71 5899.11 973.02 2319.01 tn 394.13 46.03 6.77 0.50 0.47 23.41 0.25 0.23 tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn 2148051.84 2442808.14 30298.93 6909.34 42523.65 ** ** 10073.12 2.40 14.56 21.88 18.88 14.84 5.84 3.19 * tn ** * tn tn * ** tn tn tn 19976.29 7214.71 4115.02 1038.87 2576.26 tn 610.81 71.26 10.09 1.92 0.78 18.83 0.07 0.19 * Keterangan: **μ berbeda nyata pada α=1%, *μ berbeda nyata pada α=5%, tnμ tidak berbeda nyata 209 Uji Bartlett GxL tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn 0.90 2.14 0.33 0.60 0.72 tn 2.84 1.00 0.93 1.07 0.64 0.64 1.93 2.97 tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Tabel 4. Rekapitulasi analisis ragam karakter kandungan dan produksi bahan aktif beberapa aksesi temulawak di Hambaro dan Serpong No Kuadrat Tengah Karakter Aksesi (G) Kadar minyak atsiri (%) Kadar kurkumin (%) Produksi minyak atsiri/rumpun (g) Produksi kurkumin/rumpun (g) 0.45 0.07 5.75 0.59 Lokasi (L) tn 9.51 0.04 8.02 3.50 tn tn tn Uji Bartlett GxL * tn ** tn 0.61 0.06 6.31 0.60 tn * tn tn 0.90 0.43 0.40 0.49 Keterangan: **μ berbeda nyata pada α=1%, *μ berbeda nyata pada α=5%, tnμ tidak berbeda nyata Pendugaan parameter genetik bertujuan untuk mengetahui potensi genetik temulawak yang diuji. Pengujian hanya dilakukan terhadap karakter yang menunjukkan adanya keragaman antar aksesi berdasarkan analisis ragam. Pada percobaan ini, pengujian parameter genetik dilakukan terhadap karakter rasio panjang/lebar daun dan jumlah anakan/rumpun. Nilai heritabilitas kedua karakter ini termasuk tinggi (h2bs=61.8% dan 73.7%). Berdasarkan nilai KKG, terlihat bahwa keragaman genetik jumlah anakan/rumpun lebih besar daripada rasio panjang/lebar daun namun berdasarkan perbandingan antara ragam genetik dengan simpangan dari ragam genetik maka keragaman genetik kedua karakter ini termasuk sempit (Tabel 5). Selisih antara nilai KKP dan KKG pada kedua karakter tersebut cenderung kecil. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh lingkungan dapat diabaikan (Kalia & Sood 2004). Tabel 5. Parameter genetik karakter rasio panjang/lebar daun serta jumlah anakan/rumpun temulawak di Hambaro dan Serpong 2g ±  2g Nilai Kriteria 2p 2.87 ± 0.11 0.003 ± 0.002 sempit 0.005 h2bs Nilai (%) 61.8 3.16 ± 0.76 0.195 ± 0.109 sempit 0.264 73.7 Karakter Rataan ± Std RPL JMA Kriteria KKP (%) KKG (%) tinggi 2.45 1.93 tinggi 16.27 13.97 Keterangan: RPL= Rasio panjang/lebar daun, JMA= Jumlah anakan/rumpun, Std = Standar deviasi, 2g = Ragam genetik,  2g = Standar deviasi ragam genetik, 2p = Ragam fenotipe, h2bs = Heritabilitas arti luas, KKG = Koefisien keragaman genetik, KKP = Koefisien keragaman fenotipe. Berdasarkan hasil percobaan ini maka langkah pemuliaan temulawak yang dapat dilakukan di masa mendatang adalah menekankan pada peningkatan keragaman genetik. Untuk memenuhi hal tersebut maka perlu dicari sumber keragaman genetik baru. Keragaman genetik ini dapat diperoleh melalui introduksi varietas baru, persilangan atau mutasi (Bari et al. 2006). Kegiatan pemuliaan temulawak melalui persilangan cukup sulit untuk dilakukan karena tanaman ini belum pernah ditemukan menghasilkan buah atau biji. Hal ini disebabkan karena temulawak bersifat triploid dengan jumlah kromosom yang relatif besar (2n = 3x = 63) (Islam 2004). Sebagai alternatif, salah satu usaha yang dapat 210 tn tn tn tn Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan dilakukan dalam meningkatkan keragaman adalah dengan melakukan eksplorasi ke berbagai lokasi yang diduga memiliki keragaman hayati yang tinggi. Selain itu, peningkatan keragaman juga dapat dilakukan melalui induksi keragaman. Kegiatan ini mencakup mutasi, variasi somaklonal atau transformasi genetik. Pada mutasi buatan, induksi keragaman dapat dilakukan dengan menggunakan mutagen kimia maupun fisik. Kesimpulan Keragaman antar aksesi temulawak dalam percobaan ini cenderung rendah pada semua karakter yang diamati kecuali pada jumlah anakan/rumpun dan rasio panjang/lebar daun. Kedua karakter ini memiliki nilai heritabilitas yang tinggi namun keragaman genetik yang sempit. Hal ini menunjukkan bahwa keragaman genetik temulawak yang diuji relatif rendah dan untuk hampir semua karakter, proporsi keragaman lebih banyak dipengaruhi oleh lingkungan. Perekayasaan temulawak varietas unggul memerlukan keragaman genetik yang tinggi. Untuk meningkatkan keragaman genetik temulawak maka usaha yang dapat dilakukan adalah mencari sumber keragaman lain melalui eksplorasi yang lebih intensif. Selain itu juga dapat dilakukan induksi keragaman diantaranya melalui mutasi, variasi somaklonal atau transformasi genetik. Daftar Pustaka [Deptan] Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura Departemen Pertanian. 2004. Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Tanaman Obat. Jakarta: Deptan. Adie MM. 1992. Interaksi genotipe x lingkungan pada seleksi kedelai [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana IPB. Agusta A, Chairul. 1996. Analisis komponen kimia minyak atsiri dari rimpang temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.). Prosiding Simposium Penelitian Bahan Obat Alami VIII; Bogor, 24-25 Nov 1994. Perhipba & Balittro. hlm 643-647. Ajijah N, Setiyono RT, Fatimah S. 2006. Petunjuk pelaksanaan pengelolaan plasma nutfah temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.). Di dalam: Karmawati E et al., editor. Petunjuk Pelaksanaan Plasma Nutfah Tanaman Perkebunan. Bogor: Puslitbangbun. hlm 258-272. Anicchiarico P. 2002. Genotype x environment interactions: Challenges and opportunities for plant breeding and cultivar recommendations. Rome: FAO. Bari A, Musa S, Sjamsudin E. 2006. Pengantar pemuliaan tanaman. Bogor: Faperta IPB. Chattopadhyay I, Biswas K, Bandyopadhyay U, Banerjee RK. 2004. Tumeric and curcumin: Biological actions and medicinal applications. Curr Sci 87 (1):44–53. Choi M, Kim S, Cheng W, Hwang J, Park K. 2004. Xanthorrhizol, a natural sesquiterpenoid from Curcuma xanthorrhiza, has an anti-metastatic potential in experimental mouse lung metastasis model. Biochem Biophys Res Comm 326:1 abstrak [terhubung berkala]. http://www.sciencedirect.com/ science? [1 Sep 2008] Gomez KA, Gomez AA. 1984. Statistical procedures for agricultural research. New York: J Wiley. Hallauer AR, Miranda JB. 1988. Quantitative genetics in maize breeding. Iowa: Iowa Univ Pr. Hwang J, Rukayadi Y, Lee S, Cheng W, Park K. 2008. Industrial potential of Curcuma xanthorrhiza as antimicrobial and antiinflamatory agents [abstrak]. Di dalam: The 211 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan First International Symposium on Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.); Bogor, 27-29 Mei 2008. Bogor: Pusat Biofarmaka IPB. hlm 3. abstr no K-02. Islam A. 2004. Genetic diversity of the genus Curcuma in Bangladesh and further biotechnological approaches for in vitro regeneration and long term conservation of C.longa germplasm [Disertasi]. Germany: Univ of Hannover. Kalia P, Sood S. 2004. Genetic variation and association analyses for pod yield and another agronomic and quality characters in an Indian Himalayan collection of broad bean (Vicia faba L). SABRAO J Breed Gen 36(2): 55-61. Kim J et al. 2008. Antibacterial characteristics of Curcuma xanthorrhiza extract on Streptococcus mutans biofilm. J Microbiol 46 (2): 228-232 abstrak [terhubung berkala]. http://www.springerlink.com/content/640847122052x62n/ [1 Sep 2008]. Kim SH et al. 2005. Xanthorrhizol has a potential to attenuate the high dose cisplatininduced nephrotoxicity in mice. Food Chem Tox 43: 117-122. Poehlman JM, Sleeper DA. 1995. Breeding field crops. Iowa: Iowa Univ Pr. Rahardjo M, Rostiana O. 2005. Budidaya tanaman temulawak. Sirkuler Balittro 11: 24-30. Roy D. 2000. Plant Breeding: Analysis and exploitation of variation. New Delhi: Narosa. Ruchjaniningsih, Imran A, Thamrin M, Kanro MZ. 2000. Penampilan fenotipik dan beberapa parameter genetik delapan kultivar kacang tanah pada lahan sawah. Zuriat 11(1): 8-14. Rukayadi Y, Yong, Hwang J. 2006. In vitro anticandidal activity isolated from Curcuma xanthorrhiza Roxb. J Antimicrob Chem 57: 1231-1234. Singh RK, Chaudhary BD. 1979. Biometrical method in quantitative genetic analysis. New Delhi: Kalyani. Syukur et al. 2006. Petunjuk pelaksanaan pengelolaan plasma nutfah kunyit (Curcuma domestica Valh.). Di dalam: Karmawati E et al., editor. Petunjuk Pelaksanaan Plasma Nutfah Tanaman Perkebunan. Bogor: Puslitbangbun. hlm 156-173. Wardini TH, Prakoso B. 1999. Curcuma L. Di dalam: Padua LS de et al., editor. Plant Resources of South-East Asia 12 (1): Medicinal and Poisonous Plants 1. Bogor: PROSEA. hlm 210-219. Welsh JR. 1981. Fundamentals of plant genetics and breeding. New York: J Wiley. Zen S. 1996. Heritabilitas, korelasi genotipik dan fenotipik karakter padi gogo. Zuriat 6 (1): 25-32. 212 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Potensi Antibakteri Dan Identifikasi Komponen Senyawa Organik Ekstrak Metanol, Etil Asetat, Dan Heksan Sirih Merah (Piper cf. Fragile Benth) Ade Heri Mulyati, Ratih Wulandari dan Husain Nashrianto Program Studi Kimia FMIPA Universitas Pakuan Email: adeherimulyati@yahoo.com ABSTRAK Tanaman sirih merah (Piper cf. fragile Benth) dimaserasi menggunakan pelarut metanol, etil asetat dan heksan secara bertingkat, dipekatkan, diuji fitokimia dan diuji potensi aktivitas antibakterinya terhadap E.coli, S.aureus, B.substilis, dan P.aeruginosa. Analisis senyawa organik dengan GC-MS. Diperoleh rendemen ekstrak metanol 21,82%, etil asetat 7,97% dan heksana 2,59%. Uji fitokimia ekstrak metanol mengandung senyawa triterpenoid-steroid dan tanin, ekstrak etil asetat mengandung senyawa triterpenoid-steroid dan tanin, sedangkan ekstrak heksana mengandung senyawa triterpenoid-steroid, tanin dan alkaloid. Ekstrak metanol sirih merah mempunyai daya antibakteri terhadap bakteri S. aureus sebesar 29,7 mm, E. coli sebesar 27,3 mm, B.substillis sebesar 27,0 mm dan P.aeruginosa sebesar 12,8 mm. Identifikasi dengan GC-MS pada ekstrak metanol terdapat senyawa Caryophyllene, (+)-beta –funebrene, Germacrene-D, 2,6-Dimetil-3(methoxymethyl)-benzoquinone, Beta-Bisabolene, neophytadiene, Methyl Palmitate, Methyl Stearate, Stigmasterol. Ekstrak etil asetat diperoleh senyawa Sabinene, 4-Vinylphenol, Alpha –Copaene, Calarene, Zingiberene, Caryophyllene, Alpha-Humulene, Benzene, 1-(1,5dimethyl-4-hexenyl)-4-methyl, Germacrene D, alpha-Cedrene, beta-Sesquiphellandrene, beta-Bisabolene, Neophytadiene, Methyl Palmitate, Phytol. Ekstrak heksana diperoleh senyawa Sabinene, Limonene, Linalyl acetate, Calarene, Caryophyllene, Beta-Funebrene, Germacrene D, Beta-Bisabolene, 4-(1-Cyclohepten-1-yl)morpholine, Methyl palmitate, Stigmasterol. Kata Kunci : Sirih Merah, Maserasi, Fitokimia, Antibakteri, GC-MS Pengantar Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati. Tanaman yang tumbuh di Indonesia banyak yang sudah dimanfaatkan sebagai tanaman obat karena sudah terbukti secara empiris maupun ilmiah dan ada juga yang masih terus dikembangkan penelitiannya agar diketahui khasiatnya. Penggunaan tanaman obat lebih disukai karena memiliki efek samping yang lebih kecil dibanding dengan obat sintetik dan berharga relatif lebih murah. Tanaman sirih merupakan salah satu tanaman obat yang sudah dikenal sejak lama akan khasiatnya. Tanaman sirih merah yang mempunyai nama latin Piper cf. fragile Benth sebelumnya dimanfaatkan hanya sebagai tanaman hias karena penampilannya yang eksotik. Anggota Piperaceae itu baru diketahui beberapa tahun terakhir sebagai tanaman obat setelah diperkenalkan oleh Bambang Sudewo, produsen tanaman obat di 213 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Blunyahrejo. Sirih merah berkhasiat sebagai antikejang, antiseptik, analgetik, antiketombe, mengendalikan gula darah, lever, antidiare, meningkatkan daya tahan tubuh, dan meredakan nyeri, juga dipercaya mampu mengatasi radang paru, radang tenggorokan, radang gusi, hidung berdarah atau mimisan, dan batuk berdarah, akan tetapi kandungan sirih merah belum diteliti secara mendetail, begitu pula kaitan kandungan sirih merah terhadap khasiatnya (Sudewo, 2005) Salah satu khasiat sirih merah adalah sebagai antibakteri, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai daya hambat bakteri ekstrak sirih merah. Penelitian dilakukan terhadap bakteri-bakteri yang mewakili dalam pewarnaan Gram. Bakteri yang digunakan yaitu bakteri Staphylococcus aureus sebagai perwakilan bakteri Gram positif bentuk bulat, Escherichia coli perwakilan bakteri Gram negatif bentuk batang pendek, Bacillus substilis perwakilan bakteri Gram positif bentuk batang dan Pseudomonas aeruginosa perwakilan bakteri Gram negatif bentuk batang. Secara umum tanaman sirih merah memiliki kandungan kimia seperti alkaloid, flavonoid, tanin dan minyak atsiri. Komponen senyawa organik dari sirih merah belum diteliti secara detail, oleh karena itu dilakukan penelitian dengan menggunakan GC-MS untuk mengetahui kandungan senyawa organiknya dengan beberapa pelarut yaitu metanol, etil asetat dan heksana. Metanol merupakan pelarut polar, etil asetat pelarut semi polar, dan heksana pelarut non polar. Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui aktivitas antibakteri dari ekstrak sirih merah dengan menggunakan pelarut metanol, etil asetat dan heksana terhadap bakteri perwakilan gram negatif dan gram positif. 2. Mengetahui komponen senyawa organik dari ekstrak sirih merah yang diekstrak dengan pelarut metanol, etil asetat dan heksana dengan menggunakan alat GC-MS Bahan dan Metode Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sirih merah, metanol, etil asetat dan heksana yang diambil dari daerah Citeureup Bogor, HCl 2%, bismut nitrat, asam asetat glasial, KI, HgCl2, akuades, HCl 10%, NH4OH, CHCl3, serbuk seng, etanol absolut, HCl pekat, dietil eter, anhidrida asam asetat, H2SO4 pekat, FeCl3 1%, HCl 2N. bakteri S.aureus, bakteri E.coli, bakteri B.substilis, bakteri P.aeruginosa, Tryptic Soy Agar (TSA), NaCl, Kloramfenikol 30 g, akuades dan alkohol 70%. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah piala gelas, gelas ukur, corong, kertas saring, rotary evaporator, kotak timbang, desikator, tabung reaksi, gelas ukur, pipet tetes, neraca analitik, penangas air, pemusing, sengkelit (ose), pembakar spirtus, mikropipet, makropipet, cawan petri, vakum, inkubator, jangka sorong, GC/MS merck Aglient. 214 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Metode Pembuatan Simplisia Daun sirih merah yang digunakan diperoleh dari daerah Citeureup Bogor. Daun sirih merah yang digunakan adalah daun yang berumur lebih dari satu bulan. Daun sirih segar dibersihkan dari kotoran-kotoran yang menempel (sortasi basah), dicuci dengan air mengalir sampai bersih, kemudian ditiriskan untuk membebaskan daun dari sisa air cucian. Daun yang telah bersih dan bebas dari air cucian dikeringkan dalam oven pada temperatur 50 oC selama 24 jam, setelah kering lalu dihalushan dengan blender hingga membentuk serbuk. Disimpan dalam wadah bersih dan ditutup rapat. Ekstraksi Ekstraksi dilakukan secara bertingkat. Sejumlah 100 gram simplisia serbuk sirih merah diekstraksi dengan perbandingan pelarut 1:10 (b/v) (100 gram simplisia dilarutkan dalam 1000 ml pelarut). Pelarut yang digunakan yaitu metanol. Proses ekstraksi dilakukan selama 24 jam secara maserasi dengan pengadukan terus-menerus dan setelah 24 jam filtrat disaring. Filtrat yang didapat selanjutnya diuapkan atau dikentalkan dengan rotary evaporator, sehingga diperoleh ekstrak kental metanol dengan hasil rendemen yang dapat ditimbang dan dicatat. Ampas lalu dikeringkan. Ampas ditimbang dan dilakukan ekstraksi dengan pelarut etil asetat kemudian dengan pelarut heksana dengan perlakuan yang sama dengan ekstraksi menggunakan pelarut metanol, kemudian ditentukan kadar rendemennya. Ekstrak heksana lalu diuji fitokimia, diuji potensi antibakterinya, dan dianalisis senyawa kimianya menggunakan GC-MS. Pengujian Fitokimia Alkaloid Sebanyak 100 mg ekstrak sirih merah dari pelarut metanol, etil asetat dan heksana masing-masing ditambahkan 5 ml HCl 10% dan amonia encer hingga pH 8, kemudian diekstraksi dengan 20 ml kloroform, setelah itu kloroform dalam ekstrak diuapkan. Kemudian ekstrak dilarutkan dengan 2 ml HCl 2%. Larutan tersebut dibagi menjadi tiga tabung. Tabung pertama digunakan sebagai pembanding, tabung kedua ditambahkan pereaksi Mayer dan tabung ketiga ditambahkan pereaksi Dragendorff. Alkaloid ada bila terbentuk endapan berwarna jingga ketika ditambahkan pereaksi Dragendorff atau terbentuk endapan berwarna putih ketika ditambahkan pereaksi Mayer. Flavonoid Sebanyak 100 mg ekstrak sirih merah dari pelarut metanol, etil asetat dan heksana masing-masing dilarutkan dengan 100 ml air panas, kemudian dididihkan selama 5 menit lalu disaring. Sebanyak 5 ml filtrat ditambahkan 0,1 mg serbuk Mg, 1 ml HCl pekat dan 1 ml amil alkohol lalu dikocok kuat-kuat. Flavonoid ada bila terbentuk larutan berwarna merah, kuning atau jingga pada lapisan amil alkohol. Triterpenoid- steroid Sebanyak 100 mg ekstrak sirih merah dari pelarut metanol, etil asetat dan heksana masing-masing ditambahkan 25 ml dietil eter lalu dikocok. Lapisan dietil eter dipisahkan dan ditambahkan 2-3 tetes pereaksi Liebermann-Burchard. Triterpenoid ada bila terbentuk larutan berwarna biru dan steroid ada bila terbentuk larutan berwarna 215 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan hijau. Pereaksi Liebermann-Burchard dibuat dengan cara mencampurkan anhidrida asam asetat dan H2SO4 pekat (1:1). Tanin Sebanyak 100 mg ekstrak sirih merah dari pelarut metanol, etil asetat dan heksana masing-masing ditambahkan 2 ml akuades dan kemudian ditambahkan 2-3 tetes FeCl3 1%. Tanin ada bila terbentuk larutan berwarna biru tua atau hijau kehitaman. Saponin Sebanyak 100 mg ekstrak sirih merah dari pelarut metanol, etil asetat dan heksana masing-masing ditambahkan 10 ml akuades panas, didinginkan, dan dikocok kuat selama 10 menit. Saponin ada bila terbentuk busa yang mantap dan pada penambahan 1 tetes HCl 2N busa tetap stabil. Pengujian Aktivitas Antibakteri Uji daya hambat dilakukan dengan metode difusi sumur (Well) Kirby Bauer. Hasil uji daya hambat antibakteri didasarkan pada pengukuran diameter daerah hambat (DDH) pertumbuhan bakteri yang terbentuk di sekeliling lubang . Masing-masing ekstrak sirih merah dengan kadar 1g/ml, kloramfenikol (sebagai kontrol positif), akuades (sebagai kontrol negatif) ditetesi sebanyak 50μl dengan menggunakan pipet mikro kedalam media Tryptic Soy Agar (TSA) yang sudah dilubangi dengan vacum yang masing-masing telah diinokulasi bakteri uji E.coli, S.aureus, B.substillis, dan P.aeruginosa, kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37oC. Pengujian dilakukan dengan 3 kali pengulangan. Analisis Kandungan Senyawa Kimia Sampel ekstrak sirih merah dari pelarut metanol, etil asetat dan heksana masingmasing dianalisis dengan GC/MS merck Aglient untuk mengetahui senyawa organik yang terkandung di dalamnya. Sebanyak 1 ml ekstrak disaring menggunakan membran filter yang berdiameter pori 0,45 μm dan siap diinjeksikan. Volume filtrat yang diinjeksikan adalah 10 μl. Suhu injektor diset pada suhu 270 C. Helium sebagai gas pembawa diatur pada kecepatan tetap 10 ml/menit. Suhu kolom Inowax (p = 30 m, Ø = 0,25 mm) diprogram dari 80 C sampai 280 C dengan kecepatan kenaikan suhu 10 C/menit. Spektrum massa yang diperoleh kemudian diidentifikasi dengan cara membandingkannya dengan library Wiley7Nist05.L yang memuat 62.345 spektrum massa senyawa yang telah diketahui. Hasil dan Pembahasan Hasil Hasil penetapan kadar air terhadap simplisia sirih merah adalah sebesar 6,47%. Ekstrak metanol yang diperoleh sebesar 21,82%, ekstrak etil asetat yang diperoleh sebesar 7,97%, dan ekstrak heksana yang diperoleh sebesar 2,59%. 216 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Hasil uji fitokimia ekstrak metanol sirih merah dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil uji Fitokimia Ekstrak Sirih Merah Senyawa uji Alkaloid a. Dragendorf b. Mayer Flavonoid TriterpenoidSteroid Tanin Saponin Estándar Metanol Etil asetat heksan Endapan jingga Endapan putih Larutan merah/kuning/jingga - - + + - Larutan biru/hijau + + + + + + - - - Larutan biru tua/hijau kehitaman Terbentuk busa yang stabil Hasil pengujian DDH pada control negatif (akuades) menunjukkan hasil yang negatif sedangkan pada control positif (kloramfenikol) menunjukkan hasil yang positif ditunjukkan dengan adanya zona daya hambat. Hasil pengujian DDH ekstrak etil asetat dan heksana menunjukkan hasil yang negatif karena tidak menunjukkan zona daya hambat pada bakteri S.aureus, bakteri E.coli, bakteri B.substilis, dan bakteri P.aeruginosa, hal ini disebabkan karena zat aktif yang berfungsi sebagai antibakteri hanya sedikit jumlahnya. Ekstrak metanol menunjukkan zona daya hambat pada bakteri S.aureus, bakteri E.coli, bakteri B.substilis, dan bakteri P.aeruginosa, hasil pengukuran DDH ekstrak metanol sirih merah pada bakteri S.aureus adalah 19,5 mm, bakteri E.coli adalah 16,7 mm, bakteri B.substilis adalah 16,5 mm, sedangkan bakteri P.aeruginosa adalah 15,7 mm. Hasil uji aktivitas Antibakteri dapat dilihat pada Tabel 2, Tabel 2. Hasil Uji Aktivitas Antibakteri Bahan yang diuji Ulangan S.aureus Kloramfenikol 1 29,7 (kontrol positif) 2 29,8 3 29,6 Rata-rata 29,7 Akuades 1 (Kontrol negatif) 2 3 Rata-rata Ekstrak metanol 1 19,5 sirih merah 2 18,9 3 20,1 Rata-rata 19,5 Ekstrak etil 1 asetat sirih 2 - Diameter Daya Hambat (mm) E.coli B.substilis P.aeruginosa 27,1 26,9 13,1 27,5 27,1 12,7 27,3 27,0 12,6 27,3 27,0 12.8 17,3 16,4 15,9 16,7 16,2 15,1 16,2 16,9 16,2 16,7 16,5 15,7 - 217 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan merah Ekstrak heksana sirih merah 3 Rata-rata 1 2 3 Rata-rata - - - - Hasil identifikasi senyawa organik menggunakan GC/MS merck Aglient dan spektrum massa yang diperoleh diidentifikasi dengan cara membandingkannya dengan library Wiley7Nist05.L terhadap ekstrak metanol sirih merah dapat dilihat pada Tabel 3, ekstrak etil asetat sirih merah pada Tabel 4, sedangkan terhadap ekstrak heksana sirih merah pada Tabel 5. Tabel 3. Hasil Identifikasi Seyawa Organik Ekstrak Metanol Sirih Merah Waktu Retensi Golongan No Senyawa Kimia (menit) 1 8,968 Caryophyllene seskuiterpenoid 2 9,276 (+)-beta –funebrene seskuiterpenoid 3 9,717 Germacrene-D seskuiterpenoid 2,6-Dimetil-3-(methoxymethyl)Tropolon 4 10,525 benzoquinone 5 10,966 Beta-Bisabolene seskuiterpenoid 6 13,596 neophytadiene Diterpenoid 7 14,522 Methyl Palmitate Ester 8 16,447 Methyl Stearate Ester 9 19,327 Stigmasterol steroid Tabel 4. Hasil Identifikasi Seyawa Organik Ekstrak Etil Asetat Sirih Merah No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Waktu (menit) 3,117 6,159 8,365 8,498 8,615 8,968 9,409 9,614 9,717 9,967 10,143 10,393 10,981 13,596 14,507 16,344 Retensi Senyawa Kimia Golongan Sabinene 4-Vinylphenol Alpha -Copaene Calarene Zingiberene Caryophyllene Alpha-Humulene Benzene, 1-(1,5-dimethyl-4-hexenyl)-4-methyl Germacrene D alpha-Cedrene beta-Sesquiphellandrene monoterpenoid Fenol seskuiterpenoid seskuiterpenoid seskuiterpenoid seskuiterpenoid seskuiterpenoid seskuiterpenoid seskuiterpenoid seskuiterpenoid seskuiterpenoid beta-Bisabolene seskuiterpenoid Neophytadiene Methyl Palmitate Phytol Diterpenoid Ester Diterpenoid 218 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Tabel 5. Hasil Identifikasi Seyawa Organik Ekstrak Etil Asetat Sirih Merah Waktu Retensi No Senyawa Kimia Golongan (menit) 1 3,091 Sabinene monoterpenoid 2 3,767 Limonene Monoterpenoid 3 6,549 Linalyl acetate monoterpenoid 4 8,498 Calarene seskuiterpenoid 5 8,953 Caryophyllene seskuiterpenoid 6 9,276 Beta-Funebrene seskuiterpenoid 7 9,703 Germacrene D seskuiterpenoid 8 10,952 Beta-Bisabolene seskuiterpenoid 9 14,096 4-(1-Cyclohepten-1-yl)morpholine Alkaloid 10 14,493 Methyl palmitate Ester 11 19,327 Stigmasterol steroid Ketiga ekstrak sirih merah mengandungn senyawaan seskuiterpenoid. Seskuiterpenoid umumnya berfungsi sebagai senyawa antibakteri, antiinflamasi, dan insektisida. Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian terhadap ekstrak metanol, ekstrak etil asetat dan ekstrak heksana sirih merah, maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Ekstrak metanol memiliki Diameter Daya Hambat (DDH) terhadap: (1). S. aureus sebesar 29,7 mm (2). E. coli sebesar 27,3 mm (3). B.substillis sebesar 27,0 mm (4). P.aeruginosa sebesar 12,8 mm 2. Hasil identifikasi senyawa organik dengan GC/MS diketahui bahwa ekstrak metanol mengandung berbagai senyawa organik yang memiliki efek antibakteri seperti Caryophyllene, (+)-beta –funebrene, Germacrene-D, 2,6-Dimetil-3(methoxymethyl)-benzoquinone, Beta-Bisabolene, neophytadiene. Saran 1. Perlu dilakukan penelitian menggunakan kapang-kamir patogen seperti Aspergilus Niger dan Candida albicans 2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui senyawa yang paling kuat daya antibakterinya dengan cara pemisahan senyawasenyawa dengan metoda KLT dan diuji kembali aktivitas antibakterinya dan diidentifikasi senyawa organiknya dengan GC/MS. 219 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Daftar Pustaka DepKes RI. 1995. Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta: DirJen POM. DepKes RI. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta: DirJen POM. Hlm 1, 5, 10-11. Dwidjoseputro. 1990. Dasar-dasar Mikrobiologi. Edisi ke-11. Djambatan. Jakarta. Fessenden, R.J. dan Fessenden, J,S. 1983. Kimia Organik. Edisi ketiga. Jilid kedua. Erlangga. Jakarta. Gritter, R. J. Bobbit, J.M. dan Schwartting, A. E. 1991. Pengantar Kromatografi. Edisi kedua. Institut Teknologi Bandung. Bandung. Farina, I. S. 2008. Penelusuran Senyawa Aktif Dalam Ekstrak Daun Sirih Merah (Piper cf. fragile Benth.) [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Pakuan. Harborne, J.B. 1975. The Flavonoid. Edisi kesatu. Chapman and Hall. London. Harborne, J.B. 1987. Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. Institut Teknologi Bandung. Bandung. Hendayana., S. dkk. 1994. Kimia Analitik Instrumen. Edisi kesatu. IKIP Semarang. Semarang. Khopkar, S. M. 1990. Konsep Dasar Kimia Analitik. Universitas Indonesia Press. Jakarta. Lenny, S. 2006. Senyawa Flavonoida, Fenil Propanoida dan Alkaloida. USU Respository. Madigan, Michael T. and John M Martinko. 2006. Brock Biology of Microorganism. USA: Pearson Education Inc. Pelezar, M. J. Jr dan E. C. S. Chan. 1986. Dasar-dasar Mikrobiologi. Diterjemahkan oleh Hadioetomo, R. S. dkk. Jakarta: UI Press. Pelezar, M. J. Jr dan E. C. S. Chan. 1988. Dasar-dasar Mikrobiologi 2. Diterjemahkan oleh Hadioetomo, R. S. dkk. Jakarta: UI Press. Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Institut Teknologi Bandung. Bandung. Siswandono dan B. Soekardjo. 1995. Kimia Medisinal. Universitas Airlangga. Surabaya. Suradikusumah, E. 1989. Kimia Tumbuhan. Bogor: Pusat Antar Universitas Ilmu Hayati, Institut Pertanian Bogor. Syahrurahman, A. 1994. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran. Edisi Revisi. Binarupa Aksara. Jakarta.Drugs. Unido, Bukarest. 220 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Potensi Ekstrak Air Dan Etanol Kulit Batang Kayu Manis Padang (Cinnamomum Burmannii) dan Jawa (Cinnamomum Verum) Terhadap Aktivitas Enzim Α-Glukosidase Made B. Anggriawan*1, Anna P. Roswiem1, dan Waras Nurcholis2 1 Sekolah Tinggi Teknologi Industri dan Farmasi (STTIF) Bogor. Jl. Kumbang No. 23 Bogor 2 Departemen Biokimia, FMIPA, IPB Bogor. Jl. Agatis Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680 *Email : made.bayuanggriawan@yahoo.com ABSTRAK Penelitian mengenai uji aktivitas ekstrak air dan etanol 30%, 70%, serta 96% dari kulit batang kayu manis Padang dan Jawa (Cinnamomum burmannii dan Cinnamomum verum) terhadap enzim α-glukosidase secara in vitro telah dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk menguji aktivitas inhibisi ekstrak air dan etanol (30%, 70% dan 96%) dari kulit batang kayu manis Padang dan Jawa terhadap aktivitas enzim α-glukosidase (dengan akarbosa sebagai kontrol positif), identifikasi senyawa pada ekstrak-ekstrak yang mempunyai daya inhibisi tertinggi dengan GC-MS pyrolisis serta uji fitokimianya. Kulit batang kayu manis di ekstraksi dengan metode maserasi 3 kali 24 jam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak air dan etanol 30% kayu manis Padang serta ekstrak etanol 30% kayu manis Jawa mempunyai daya inhibisi berturut-turut sebesar 94.88%, 94.51%, dan 94.06% yang tidak berbeda nyata dengan daya inhibisi α-glukosidase dari akarbosa 1%. Hasil fitokimia menunjukkan kandungan flavonoid, tanin, dan senyawa fenolik pada ketiga ekstrak tersebut. Sedangkan hasil analisis kualitatif pada ketiga ekstrak dengan Py-GC-MS menunjukkan adanya senyawa fenolik-fenolik sederhana seperti pyrocatechol, catechol, guaiacol,dan hidroquinone yang di duga merupakan hasil penguraian senyawa golongan polifenol. Selain itu, pada ekstrak etanol 30% Cinnamomum verum terdeteksi adanya kandungan senyawa turunan triterpenoid yaitu methylsqualene dan Urs-12-en-28-al. Kata Kunci : Antidiabetes, Cinnamomum burmannii, Cinnamomum verum, Enzim αGlukosidase, Py-GC-MS. Pengantar Diabetes melitus saat ini telah menjadi epidemik dengan kejadian di seluruh dunia sekitar 5 % dari semua populasi (Jarald et al., 2008). Menurut WHO, prevalensi penyakit diabetes melitus akan tumbuh dari 171 juta pada tahun 2000 menjadi 366 juta di tahun 2030 (Cetto et al., 2007). Indonesia berada di urutan ke- 4 setelah India, China dan Amerika dengan jumlah penderita diabetes sebesar 8,4 juta orang dan diperkirakan akan terus meningkat hingga 21,3 juta orang di tahun 2030 (Depkes, 2010). Pengobatan diabetes melitus dapat dilakukan dengan pemberian insulin, obat hipoglikemik oral baik obat sintetis maupun obat herbal (Wadkar et al., 2007). Obatobat sintesis selain harganya mahal biasanya mempunyai efek samping yang merugikan 221 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan kesehatan. Sejak 1997, WHO merencanakan program hidup sehat melalui back to nature (Setiadi & Sarwono, 2007). Banyaknya penggunaan herbal alam sebagai obat menimbulkan keinginan banyak peneliti untuk menemukan obat antidiabetes dari bahan alam yang telah digunakan secara turun temurun. Kulit batang kayu manis dapat digunakan untuk menurunkan kadar gula dalam darah dan sebagai pengobatan diabetes tipe 2, dengan mengkonsumsi setengah sendok teh kayu manis perhari. Tanaman kayu manis merupakan tanaman yang sering dijumpai di daerah tropis, merupakan tanaman famili Lauraceae dengan jumlah spesies yang beragam. Tanaman kayu manis yang telah diteliti memiliki efek antidiabetes antara lain Cinnamomum zeylanicum (Cinnamomum verum), Cinnamomum burmannii dan Cinnamomum cassia. Ekstrak metanol dari Cinnamomum zeylanicum yang diperoleh dengan cara sokletasi selama 8 jam, diketahui memiliki aktivitas penghambatan terhadap enzim α-glukosidase sebesar 78,2% dengan kandungan kimia antara lain tanin, flavonoid, glikosida, terpenoid, kumarin dan antrakuinon (Shihabudeen et al., 2011). Penelitian mengenai Cinnamomum burmannii sebagai antidiabetes telah dilakukan oleh Apriani (2012) melalui fraksinasi ekstrak etanol 80% dengan petroleum eter, etil asetat, n-butanol dan air. Hasil pengujian terhadap enzim α-glukosidase menunjukkan IC50 terbaik yaitu pada fraksi n-butanol 1,168 µg/mL. Peneliti lain menyatakan bahwa serbuk Cinnamomum cassia mampu menghambat enzim α-glukosidase dalam berbagai konsentrasi. Hasil uji inhibisi menunjukkan aktivitas penghambatan bubuk kulit kayu manis sebesar 45,31% dengan nilai IC50 sebesar 55,02 ppm (Sarjono et al., 2010). Suatu penelitian juga telah menunjukkan bahwa bahan aktif dalam kayu manis yaitu sinamaldehida dapat menurunkan kadar glukosa plasma pada tikus diabetes (Ping et al., 2010). Selain itu kayu manis dapat mengontrol glukosa darah karena mengandung senyawa polimer tipe-A polifenol (Ziegenfuss et al., 2006 ; Anderson, 2008). Penelitian lain yang dilakukan Cao et al (2007) juga menyatakan dengan adanya senyawa golongan polifenol dalam ekstrak Cinnamomum sp dapat mencegah sekresi IR (Insulin Resisten), dan GLUT4 (Glucose Transporter-4) dalam adiposit 3T3-L1 sehingga menurunkan kadar gula dalam darah (Vaibhavi et al., 2010). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji aktivitas penghambatan ekstrak air dan etanol (30, 70, dan 96%) kulit batang kayu manis Jawa (Cinnamomum verum) dan kulit batang kayu manis Padang (Cinnamomum burmannii) terhadap enzim αglukosidase, serta mengidentifikasi senyawa yang terkandung dalam ekstrak tersebut yang memiliki daya inhibisi terhadap enzim α-glukosidase tertinggi. Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat bahwa ekstrak air dan etanol kulit batang kayu manis Jawa (Cinnamomum verum) dan kulit batang kayu manis Padang (Cinnamomum burmannii) dapat digunakan untuk pengobatan diabetes alternatif. 222 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Bahan dan Metode Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah bagian kulit batang dari Cinnamomum burmannii dan Cinnamomum verum yang berasal dari kebun percobaan Pusat Studi Biofarmaka LPPM IPB daerah Cikabayan, Bogor. Akuades, etanol 30%, 70%, dan 96%, NaOH 10%, metanol, HCl Pekat, amil alkohol, serbuk magnesium (Mg), larutan FeCl3 1 %, enzim α-glukosidase berasal dari Bacilus stearothermophilus (Sigma G 3651-250UN), p-nitrofenil α-D-glukopiranosida (pNPG) (Sigma N 13375G), tablet Glucobay® (Akarbosa) (Bayer, Jakarta-Indonesia), HCl 2 N, dimetilsulfoksida (DMSO), larutan Na2CO3, serum bovin albumin (SBA), bufer fosfat pH 7, reagen Molisch, H2SO4 pekat, dan CuSO4 0.1%. Alat-alat yang digunakan adalah tanur (VULCAN, 3-550PD), penguap putar (rotary evaporator) (BUCHI, R-250, Switzerland), perangkat instrumen microplate reader (Epoch Microplate Spectrophotometer), microplate (Thermo Scientific NUNC), micropipet (Thermo Scientific), gas helium, kolom kapiler tipe RTX-5MS (60 m), detektor FID, dan Pyrolysis Gas Chromatography – Mass Spectrophotometer (SHIMADZU GCMS-QP2010, Tokyo). Metode Preparasi Simplisia Kulit batang kayu manis Padang (C.burmannii) yang telah berusia 8 tahun dan kulit batang kayu manis Jawa (C.verum) yang berusia 15 tahun di ambil dari kebun LPPM IPB daerah Cikabayan, Bogor. Selanjutnya kedua sampel di determinasi di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) untuk memastikan keabsahan sampel yang akan di uji (hasil determinasi tidak dilampirkan). Kedua sampel di cuci dan dibersihkan dari pengotor yang mungkin melekat pada sampel. Selanjutnya sampel dirajang dan dikeringkan di bawah sinar matahari sehingga diperoleh simplisia kering. Pengeringan dilakukan selama 1 minggu di bawah sinar matahari. Untuk mempercepat proses pengeringan, maka dilakukan pengeringan dengan oven selama 24 jam. Pengeringan ini bertujuan untuk mencegah pertumbuhan jamur serta untuk memperpanjang daya simpan simplisia. Selain itu bertujuan untuk mempermudah proses pemekatan setelah proses ekstraksi, karena dengan kandungan air yang tinggi akan mempengaruhi proses ekstraksi. Setelah kulit batang C.burmannii dan C.verum kering, maka dilakukan penggilingan sampai membentuk serbuk berukuran 60 mesh. Penentuan Kadar Air (AOAC, 1995) Penentuan kadar air sampel sebelum ekstraksi dilakukan untuk memberikan batasan minimal atau rentang tentang besarnya kandungan air dalam bahan, dimana nilai maksimal atau rentang yang diperbolehkan terkait dengan kemurnian dan kontaminasi (Ditjen POM, 2000). Penentuan kadar air juga berhubungan dengan daya simpan simplisia, sehingga jika melebihi batas yang ditentukan akan sangat mempengaruhi waktu kadaluarsa (self life) dari simplisia tersebut. 223 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Penentuan Kadar Abu (AOAC, 1995) Penentuan kadar abu simplisia bertujuan untuk mengetahui kandungan mineral dalam simplisia uji. Ekstraksi Sebanyak 25 gram simplisia yang telah dikeringkan dimaserasi dengan pelarut air, etanol 30%, 70% dan 96% masing – masing sebanyak 250 mL selama 1 hari pada suhu kamar di dalam maserator. Rendaman disaring menggunakan kertas saring halus dan filtratnya disimpan. Residu direndam kembali dalam pelarut yang sama selama 24 jam dan dilakukan sebanyak 3 kali 24 jam. Filtrat yang diperoleh dijadikan 1 kemudian dipekatkan dengan penguap putar sehingga diperoleh ekstrak kasar air, etanol 30%, 70%, dan 96%. Ekstrak yang telah dipekatkan selanjutnya diuji aktivitas inhibisinya terhadap enzim α-glukosidase dan untuk ekstrak dengan daya inhibisi tertinggi diidentifikasi kandungan senyawa aktifnya dengan uji fitokimia (metode Harborne (1987) yang dimodifikasi) dan analisis Py-GC-MS. Uji Inhibisi α-Glukosidase Uji in vitro ekstrak kulit batang kayu manis Jawa dan kayu manis padang terhadap aktivitas enzim α-glukosidase dilakukan dengan cara menyiapkan larutan enzim terlebih dahulu, yakni dibuat dengan melarutkan 1 mg α-glukosidase dalam larutan bufer fosfat (pH 7) 0.01 M yang mengandung 200 mg serum bovin albumin. Sebelum digunakan sebanyak 1 ml larutan enzim tersebut diencerkan 25 kali dengan bufer fosfat (pH 7). Kedua sampel yang akan diuji dalam masing-masing ekstrak, dilarutkan dalam pelarut dimetil sulfoksida (DMSO) dengan konsentrasi 1, 1.5, dan 2% (b/v). Campuran pereaksi terdiri dari 25 µl p-nitrofenil α-D-glukopiranosida (p-NPG) 0.5 mM sebagai substrat (yang telah dilarutkan dalam bufer fosfat (pH 7) 0.1 M , 50 µl larutan bufer fosfat (pH 7) 0.1 M, dan 10 µl larutan sampel dalam dimetil sulfoksida (DMSO) konsentrasi 1, 1.5, dan 2% (b/v). Setelah itu ditambahkan 25 µl larutan enzim αglukosidase, kemudian campuran diinkubasi pada suhu 37oC selama 30 menit. Reaksi enzim dihentikan dengan penambahan 100 µl sodium karbonat (Na2CO3) 0.2 M. Absorbans dari p-nitrofenol yang merupakan hasil hidrolisis enzimatis dari substrat pNPG diukur dengan microplate reader pada panjang gelombang maksimum ( ) 410 nm (Sancheti et al., 2009). Selain sampel uji, juga disiapkan campuran ekstrak tanpa direaksikan dengan enzim (So) yang digunakan sebagai koreksi terhadap absorban ekstrak. Untuk kontrol negatif (C) merupakan campuran tanpa ekstrak/sampel uji. Kontrol positif dibuat dengan melarutkan tablet akarbosa (Glucobay®) dalam bufer fosfat (pH 7) dan HCl 2 N dengan konsentrasi larutan standar yang digunakan sama dengan konsentrasi 1% (b/v). Larutan ini kemudian disentrifuse, supernatant dimasukkan ke dalam campuran pereaksi seperti pada sampel uji (10 µl). Hasil reaksi tersebut diukur dengan spektrofotometer ultraviolet pada panjang gelombang 410 nm. Data kontrol positif ini digunakan sebagai pembanding dengan sampel yang diuji. Setiap pengujian diulang sebanyak 2 kali. 224 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Masing-masing sampel uji dihitung persen inhibisinya dengan menggunakan persamaan sebagai berikut : % Inhibisi = Keterangan : C = Absorban campuran tanpa ekstrak; So = Absorban campuran tanpa enzim namun dengan ekstrak; S1 = Absorban campuran dengan enzim dan ekstrak. Data hasil pengujian aktivitas enzim α-glukosidase menggunakan rancangan percobaan yaitu rancangan acak lengkap (RAL) yang selanjutnya dianalisis dengan ANOVA, beda nyata ditindak lanjuti dengan uji Duncan. Hidrolisis pNPG oleh enzim α-glukosidase terlihat pada Gambar 2. Gambar 2. Hidrolisis pNPG oleh enzim α-glukosidase (Purwatresna, 2012) Uji Fitokimia Uji fitokimia dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya komponen-komponen bioaktif yang terdapat pada sampel uji. Uji fitokimia difokuskan pada pengujian flavonoid, tanin, fenolik hidrokuinon, karbohidrat, dan protein. Uji fitokimia tanin, fenolik hidrokuinon dengan metode Harborne (1987) yang dimodifikasi; uji karbohidrat dengan uji Molisch dan uji protein dengan uji Biuret. Identifikasi Senyawa Dengan Gas Chromatography – Mass Spectrophotometry (GCMS) Sampel ekstrak dengan daya inhibisi tertinggi selanjutnya dianalisis dengan Pyrolysis Gas Chromatography - Mass Spectrofotometer (Py-GC-MS) untuk mengetahui senyawa organik yang terkandung di dalamnya. Sebanyak 20 mg ekstrak dimasukkan ke dalam ruang kuarsa dalam pirolisis unit yang kemudian dipanaskan dalam lingkungan bebas oksigen pada suhu 400oC. Suhu injektor/injet adalah 280oC dan suhu interface 280oC. Kolom yang digunakan adalah kolom kapiler tipe Rtx-5MS dengan panjang 60 m, diameter 0,25 mm dan film 0,25 mmID, yang berisi 5% Dipenyl dan 95% Methyl Polysiloxane. Suhu oven diset pada suhu awal 50oC selama 6 menit, kemudian meningkat hingga suhu 280oC dengan laju kenaikan suhu 10oC/menit dan akhirnya dibiarkan pada suhu 280oC selama 21 menit. Helium sebagai gas pembawa (carries gas)/fase gerak diset pada kecepatan tetap 20 mL/menit. Spektrometri massa diset dengan Temperature Ion Source 200oC, Energy 70 ev dan Setting Mass Range (BM) antara 40 sampai dengan 600 m/z. 225 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Hasil dan Pembahasan Penentuan Kadar Air Dan Abu Kadar air rerata yang diperoleh dari serbuk kulit batang kayu manis Padang (C.burmannii) adalah 5.15% dan kadar air rerata untuk kulit batang kayu manis Jawa (C.verum) adalah 6.10%. Nilai rerata yang diperoleh artinya bahwa dalam 100 gram kayu manis Padang dan Jawa terdapat 5.145 gram dan 6.099 gram air. Hal ini menunjukkan bahwa simplisia kulit batang kayu manis Padang dan Jawa dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama. Menurut Rismunandar dan Farry (2001) kadar air dari C.burmannii dan C.verum secara berturut-turut adalah 10.50% dan 12.20%. Perbedaan yang signifikan dapat diakibatkan karena perbedaan lamanya proses pengeringan, dapat juga dikarenakan perbedaan umur dari tanaman tersebut. Penentuan kadar air berhubungan dengan daya simpan simplisia, sehingga jika melebihi batas yang ditentukan akan sangat mempengaruhi waktu kadaluarsa (self life) dari simplisia tersebut. Kadar air yang dipersyaratkan dalam simplisia adalah kurang dari 10%. Dengan adanya kadar air yang tinggi dapat mengakibatkan tumbuhnya jamur ataupun mikroorganisme lain dalam simplisia sehingga dapat mempengaruhi daya simpannya. Penentuan kadar abu bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya mineral dalam simplisia. Kandungan mineral dalam penelitian ini ditentukan karena obat antidiabetik oral maupun suplemen untuk penderita diabetes yang beredar dipasaran ada yang mengandung mineral seperti : kromium (Cr), magnesium (Mg), dan natrium (Na). Suplemen untuk penderita diabetes yang mengandung kromium, magnesium dan natrium dapat meningkatkan sensitifitas reseptor insulin (Campbell and Richard, 2012). Anderson (2008) menyatakan kandungan kromium dalam kayu manis dapat meningkatkan sensitifitas reseptor insulin sehingga dapat mengontrol kadar gula dalam darah. Nilai rerata kadar abu kulit batang kayu manis Padang yang diperoleh pada penelitian ini adalah 1.79%, sedangkan nilai rerata kadar abu kulit batang kayu manis Jawa adalah 3.94%. Rismunandar dan Farry (2001) menyatakan kadar abu untuk simplisia C.burmannii dan C.verum berturut-turut adalah 2.20% dan 3.42%. Nilai kadar abu yang diperoleh sedikit berbeda yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain lamanya proses tanur, ada tidaknya kandungan mineral dalam tanah tempat tumbuhnya kayu manis, atau pada saat pengarangan tidak sempurna. Nilai kadar abu dan kadar air dari kulit batang kayu manis Padang dan Jawa dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Nilai kadar air dan kadar abu simplisia kulit batang kayu manis Padang dan Jawa Kayu manis Kadar air (%) Kadar abu (%) 5.15 ± 0.09 1.79 ± 0.01 Padang 6.10 ± 0.22 3.94 ± 0.00 Jawa Ekstraksi Simplisia Kulit Batang Kayu Manis Padang Dan Jawa Dengan Air Dan Etanol (30%, 70%, Dan 96%) Ekstrak yang diperoleh dari proses penguapan pelarut adalah berbentuk serbuk/ekstrak kering baik dari kulit batang kayu manis Padang maupunpun Jawa. Nilai rerata rendemen untuk masing-masing ekstrak dari kedua simplisia disajikan dalam gambar 1. Pada ekstrak kayu manis Padang semakin tinggi konsentrasi etanol semakin banyak zat yang terekstraksi yaitu 29.25% untuk ekstrak etanol 96%, tetapi pada ekstrak 226 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan kayu manis Jawa rendemen tertinggi diperoleh pada ekstrak etanol 70% yaitu 16.28%. Perbedaan rendemen ekstrak air dan etanol karena memang terdapat perbedaan sifat air dan etanol. Etanol selain bersifat polar, juga bersifat semi polar sehingga mampu menarik senyawa yang bersifat semi polar. Rendemen ekstrak etanol yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan rendemen ekstrak air menunjukkan bahwa metabolit sekunder pada kulit batang kayu manis Padang dan Jawa lebih banyak yang bersifat semipolar dibandingkan senyawa polar. 35 % Rendemen 30 27,53 29,25 25 ekstrak air 20 16,28 14,08 15 ekstrak etanol 70% 10 5 ekstrak etanol 30% 6,82 8,01 5,16 ekstrak etanol 96% 3,64 0 Kayu manis Padang Kayu manis Jawa Gambar 1. Persentase rerata rendemen ekstrak air dan etanol (30%, 70% dan 96%) kulit batang kayu manis Padang dan Jawa Inhibisi Enzim α-Glukosidase Oleh Ekstrak Air Dan Etanol Kayu Manis Padang Dan Jawa Uji daya inhibisi enzim α-glukosidase dilakukan terhadap ekstrak air dan etanol (30%,70%, dan 96%) kulit batang kayu manis Padang (C.burmannii) dan kayu manis Jawa (C.verum). Masing-masing ekstrak dibuat 3 konsentrasi yang berbeda yaitu 1%, 1.5%, dan 2%. Tujuan dibuatnya 3 konsentrasi yang berbeda adalah untuk mengetahui efektifitas inhibisi dari masing-masing ekstrak, serta untuk mengetahui perbedaan aktivitas inhibisi ekstrak terhadap glucobay (akarbosa) 1% yang merupakan kontrol positif. Larutan yang digunakan sebagai kontrol negatif adalah DMSO yang juga digunakan sebagai pelarut ekstrak. Pengukuran daya inhibisi berdasarkan absorbansi p-nitrofenol yang dihasilkan dari hidrolisis substrat (p-nitrofenil α-D-glukopiranosida) menjadi p-nitrofenol (berwarna kuning) dan D-glukosa oleh enzim α-glukosidase. Intensitas warna kuning p-nitrofenol yang dihasilkan akan mempengaruhi nilai absorbansi yang diperoleh. Semakin besar aktivitas inhibisi ekstrak maka jumlah p-nitrofenol yang dihasilkan semakin sedikit sehingga intensitas warna kuning akan berkurang. Hasil penelitian menunjukkan ekstrak air dan etanol C.burmannii dan C.verum mampu menghambat aktivitas enzim α-glukosidase. Dari gambar 3 di atas terlihat bahwa ekstrak air kayu manis Padang 1.5%, ekstrak etanol 30% kayu manis Padang 227 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan 1.5%, dan ekstrak etanol 30% kayu manis Jawa 2% memiliki daya inhibisi aktivitas enzim α-glukosidase tertinggi, berturut-turut sebesar 94.51%, 94.88%, dan 94.06%. Daya inhibisi tersebut tidak berbeda nyata dengan daya inhibisi terhadap enzim αglukosidase dari glukobay (akarbosa) 1% yaitu 100.03%. Daya inhibisi C.burmannii dan C.verum pada masing-masing ekstrak tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Hal tersebut disebabkan karena hasil uji fitokimia (tabel 2) dari masing-masing ekstrak mengandung metabolit sekunder yang sama. Gambar 3. Aktivitas inhibisi ekstrak air dan etanol kulit batang C.burmannii dan C.cassia : B1 Air = Ekstrak air C.burmannii, B2 30 = Ekstrak etanol 30% C.burmannii, B3 70 = Ekstrak etanol 70% C.burmannii, B4 96 = Ekstrak etanol 96% C.burmannii, C1 Air = Ekstrak air C.verum, C2 30 = Ekstrak etanol 30% C.verum, C3 70 = Ekstrak etanol 70% C.verum, C4 96 = Ekstrak etanol 96% C.verum, dan GB = Glucobay 1%. Huruf yang sama pada persen inhibisi menyatakan tidak berbeda nyata pada P ≤ 0.05, n=2 Hasil Analisis Fitokimia dan GC-MS Analisis senyawa fitokimia merupakan uji pendahuluan yang bersifat kualitatif dan bertujuan untuk mengetahui kandungan metabolit primer/sekunder yang terdapat dalam sampel. Hasil uji fitokimia dari ekstrak dengan daya inhibisi tertinggi terlihat pada tabel 2. Hasil pengujian menunjukkan bahwa pada semua ekstrak uji mengandung flavonoid, senyawa fenolik, tanin, dan karbohidrat. Dari hasil fitokimia yang sama pada setiap ekstrak uji inilah yang menyebabkan daya inhibisi masing-masing ekstrak kayu manis tidak berbeda nyata. Sedangkan untuk pengujian protein menunjukkan bahwa hanya ekstrak etanol 30% C.verum yang mengandung protein, kemungkinan dengan adanya protein ini akan membentuk kompleks dengan senyawa fenol dan meningkatkan daya inhibisinya terhadap enzim α-glukosidase. 228 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Pengujian karbohidrat bertujuan untuk menentukan ada tidaknya karbohidrat dalam ekstrak kayu manis, di mana karbohidrat yang berikatan dengan senyawa fenol membentuk glikosida (gula bukan pereduksi) sehingga walaupun ada kandungan gula pada kayu manis tersebut, penderita diabetes yang mengkonsumsi ekstrak kayu manis tersebut tidak akan meningkatkan kadar gula darahnya. Uji protein bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya protein yang berikatan dengan senyawa fenol, karena dengan adanya ikatan kompleks tersebut dapat mempengaruhi atau meningkatkan inhibisi terhadap enzim α-glukosidase (Harborne, 1987). Tabel 2. Hasil pengujian fitokimia terhadap ekstrak dengan daya inhibisi terbaik C.burmannii dan C.verum Uji fitokimia Ekstrak air Ekstrak etanol 30% Ekstrak etanol C.burmannii C.burmannii 30% C.verum Flavonoid ++ +++ +++ Senyawa Fenolik ++ ++ +++ Tanin +++ +++ +++ Karbohidrat + + ++ Protein + Keterangan : (-): negatif, (+): Positif lemah, (+ +): positif kuat, (+ + +): positif sangat kuat Pengujian fitokimia yang telah dilakukan Shibudeen et al. (2011) ekstrak metanol kayu manis (C.zeylanicum/C.verum) mengandung tanin, flavonoid, glikosida, terpenoid, kumarin dan antrakuinon. Apriani (2012) menyatakan fraksi n-butanol dari ekstrak etanol 80% C.burmannii menunjukkan daya inhibisi tertinggi, secara fitokimia mengandung flavonoid, glikosida, dan tanin. Sedangkan fraksi air dari ekstrak etanol 80% C.burmannii menunjukkan adanya glikosida, flavonoid, tanin, dan saponin. Hal ini memperkuat dugaan senyawa fenol/polifenol sangat berpengaruh terhadap aktivitas penghambatan α-glukosidase. Ziegenfuss et al. (2006) dan Anderson (2008) melakukan pengujian secara in vivo terhadap ekstrak air kayu manis. Hasil pengujian menunjukkan polimer tipe-A polifenol merupakan senyawa yang efektif menurunkan kadar glukosa dalam darah. Namun hasil identifikasi senyawa pada ekstrak air dan etanol-etanol menunjukkan adanya senyawasenyawa fenol sederhana dan turunannya, seperti fenol, cathecol, pyrocathecol, guaiacol, dan hidrokuinon. Senyawa fenol-fenol sederhana tersebut diduga merupakan hasil penguraian (pirolisis) dari senyawa polifenol, karena identifikasi senyawasenyawa tersebut menggunakan metode Py-GC-MS. Dengan demikian diduga kuat bahwa senyawa dari ekstrak di atas yang mempunyai aktivitas antidiabetes adalah senyawa polifenol. Selain itu pada semua ekstrak uji juga terdeteksi adanya senyawa turunan karbohidrat yaitu Levoglucosan (1,6-anhidro-beta-D-glukopiranosa). Senyawa karbohidrat tersebut diduga membentuk senyawa glikosida dengan senyawa fenolik atau polifenol di atas. Sehingga dapat dipahami bahwa aktivitas antidiabetes dari senyawa-senyawa aktif pada ekstrak-ekstrak tersebut memiliki mekanisme penghambatan yang mirip dengan akarbosa. Hal itu terbukti dari tidak adanya perbedaan yang nyata dari aktivitas inhibisi enzim α-glukosidase dari ekstrak-ekstrak di atas dengan akarbosa. Selain itu hasil identifikasi GC-MS pirolisis (Py-GC-MS) dari 229 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan ekstrak etanol 30% C.cassia, teridentifikasi adanya turunan triterpen pentasiklik αamirin (Urs-12-en-28-al) dan suatu triterpenoid yaitu metil skualen. Hasil tersebut sesuai dengan hasil penelitian Atchibri (2010) yang menyatakan bahwa terpenoid dari ekstrak Phaseolus vulgaris mempunyai aktivitas sebagai antidiabetes. Senyawa yang diduga sebagai agen antidiabetes disajikan pada tabel 3, 4, dan 5. Tabel 3. Data hasil GC-MS ekstrak etanol 30% C.burmannii yang yang diduga sebagai agen antidiabetes No.Peak Konsentrasi Nama senyawa (%) 7 1.96 Phenol (CAS) Izal 9 3.44 Phenol, 2-methoxy- (CAS)/ Guaiacol 10 0.53 2-Methoxy-4-methylphenol 12 30.16 1,2-Benzenediol (CAS)/ Pyrocatechol 14 0.33 3-Methoxy-pyrocatechol 15 0.56 Phenol, 4-ethyl-2-methoxy- (CAS)/ p-Ethylguaiacol 16 2.14 1.4-Benzenediol (CAS)/ Hydroquinone 17 9.78 4-methyl-Catechol 18 0.48 Phenol, 4-ethenyl-2-methoxy19 1.10 Phenol, 2,6-dimethoxy- (CAS)/ 2,6Dimethoxyphenol 20 0.23 1,4-Benzenediol, 2-methoxy (CAS)/Hydroquinone, 2-methoxy21 2.86 1,6-Anhydro-Beta-D-Glucopyranose (Levoglucosan) menunjukkan senyawa Golongan Senyawa Fenolik sederhana Fenolik sederhana Fenolik sederhana Fenolik sederhana Fenolik sederhana Fenolik sederhana Fenolik sederhana Fenolik sederhana Fenolik sederhana Fenolik sederhana Fenolik sederhana Turunan karbohidrat Tabel 4. Hasil Analisis GC-MS Ekstrak etanol 30% C.verum yang menunjukkan senyawa yang diduga sebagai agen antidiabetes No. peak Konsentrasi (%) Nama senyawa Golongan Senyawa 7 2.00 Phenol (CAS) Izal Fenolik sederhana 8 0.57 Phenol, 4-methyl- (CAS)/p-Cresol Fenolik sederhana 9 4.60 Phenol, 2-methoxy- Fenolik sederhana (CAS)/Guaiacol 10 17.28 1,2-Benzenediol Fenolik sederhana (CAS)/Pyrocatechol 11 1.20 Phenol, 4-ethyl-2-methoxy- Fenolik sederhana (CAS)/p-Ethylguaiacol 12 1.11 1.4-Benzenediol Fenolik sederhana (CAS)/Hydroquinone 13 5.59 4-methyl-Catechol Fenolik sederhana 14 2.02 Phenol, 2,6-dimethoxy- Fenolik sederhana (CAS)/2,6-Dimethoxyphenol 15 1.52 1,6-Anhydro-Beta-DTurunan karbohidrat Glucopyranose (Levoglucosan) 16 0.77 Phenol, 3,4,5-trimethoxy- (CAS)/ Fenolik sederhana 230 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan 17 18 19 20 21 2.49 5.55 9.56 2.62 6.21 Antiarol 11-methylsqualene 11-methylsqualene 11-methylsqualene Urs-12-en-28-al Urs-12-en-28-al Turunan Triterpenoid Turunan Triterpenoid Turunan Triterpenoid Turunan Triterpenoid Turunan Triterpenoid Tabel 5. Data hasil GC-MS ekstrak air C.burmannii yang menunjukkan senyawa yang diduga sebagai agen antidiabetes No. peak Konsentrasi (%) Nama senyawa Golongan Senyawa 5 3.42 Phenol (CAS) Izal Fenolik sederhana 6 1.75 Phenol, 4-methyl- (CAS)/p-Cresol Fenolik sederhana 7 5.19 Phenol, 2-methoxy- Fenolik sederhana (CAS)/Guaiacol 8 41.07 1,2-Benzenediol Fenolik sederhana (CAS)/Pyrocatechol 9 3.84 1.4-Benzenediol (CAS)/ Fenolik sederhana Hydroquinone 10 15.94 4-methyl-Catechol Fenolik sederhana 11 1.65 Phenol, 2,6-dimethoxy- (CAS)/2,6- Fenolik sederhana Dimethoxyphenol 12 10.51 1,6-Anhydro-Beta-DTurunan karbohidrat Glucopyranose (Levoglucosan) Konsentrasi tertinggi pada ketiga ekstrak yang dianalisis Py-GC-MS menunjukkan senyawa 1,2-Benzenediol (CAS)/Pyrocatechol yang merupakan senyawa turunan Cathecol. Senyawa turunan cathecol lain yang terdapat dalam ekstrak etanol 30% C.burmannii yaitu 4-methyl-catechol dan 3-methoxy-pyrocatechol, sedangkan pada ekstrak air C.burmannii dan etanol 30% C.verum hanya terindentifikasi 4-methylcatechol. Kesimpulan dan Saran Ekstrak air dan etanol (30%, 70%, dan 96%) kayu manis Padang (Cinnamomum burmannii) dan kayu manis Jawa (Cinnamomum verum) memiliki aktivitas penghambatan terhadap enzim α-glukosidase. Aktivitas penghambatan tertinggi terhadap enzim α-glukosidase adalah pada ekstrak etanol 30% C.burmannii konsentrasi 1.5%, ekstrak air C.burmannii konsentrasi 1.5% dan ekstrak etanol 30% C.verum konsentrasi 2% dengan daya inhibisi berturut-turut adalah 94.88%, 94.51% dan 94.06%. Ekstrak tersebut memiliki daya penghambatan tidak berbeda nyata dengan kontrol positif yaitu Glucobay (akarbosa) 1% sebesar 100.03%. Hasil fitokimia ketiga ekstrak tersebut menunjukkan adanya kandungan flavonoid, senyawa fenolik dan tanin, ketiga senyawa tersebut memperkuat dugaan adanya senyawa polimer tipe-A polifenol yang berkhasiat sebagai antidiabetes. Sedangkan hasil analisis kualitatif dengan Py-GCMS pada ketiga ekstrak dengan inhibisi tertinggi menunjukkan adanya senyawa fenolikfenolik sederhana seperti pyrocatechol, catechol, guaiacol, dan hidrokuinon yang diduga kuat merupakan hasil penguraian senyawa golongan polifenol. Pada ekstrak 231 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan etanol 30% Cinnamomum verum terdeteksi adanya kandungan senyawa turunan triterpenoid (metil skualen dan Urs-12-en-28-al) yang diduga mempunyai aktivitas sebagai antidiabetes. Untuk menunjang data penelitian ini, hendaknya dilakukan penelitian lebih lanjut dengan penentuan IC50 dan penentuan mekanisme inhibisi dari ekstrak air dan etanol kayu manis Padang dan Jawa terhadap enzim α-glukosidase. Perlu dilakukan penentuan kandungan mineral dari kayu manis Padang dan Jawa. Isolasi (pemurnian), karakterisasi, dan pengujian in vitro serta in vivo senyawa aktif pada kayu manis Padang dan Jawa juga perlu dilakukan, sehingga tanaman tersebut dapat lebih dikembangkan sebagai obat alternatif untuk diabetes. Daftar Pustaka Anderson, R.A. 2008. Chromium and polyphenols from cinnamon improve insulin sensitivity. Proceedings of the Nutrition Society 67(1): 48–53. Apriani R. 2012. Uji Penghambatan Aktivitas α-Glukosidase dan Identifikasi Golongan Senyawa Dari Fraksi Yang Aktif Pada Ekstrak Kulit Batang Cinnamomum burmannii (Nees & T.Nees) Blume [Skripsi]. Depok : FMIPA Universitas Indonesia. (AOAC) Assosiation of Offcial Analytical Chemist. 1995. Official Methods of Analysis of AOAC International. Washington DC: AOAC International. Atchibri A.L., K.D. Brou, T.H. Kouakou, Y.J, Kouadio, & D. Gnakri. 2010. Screening for antidiabetic activity and phytochemical constituents of common bean (Phaseolus vulgaris L.) seeds. J Med Plant Res 4:1757-1761. Campbell, A.P. & S.B. Richard. 2012. Joslin Diabetes Deskbook, 2nd Ed, Excerpt #16: Vitamins Minerals and Supplements. Sumber : http://www.diabetesincontrol.com/articles/85-clinical-gems/13625-joslindiabetes-desk book-2nd-ed-excerpt-16-vitamins-minerals-and-supplements [25 April 2013; 16.30 WIB]. Cetto, A.A., J.B. Jimenez, & R.C. Vazquez. 2007. Alfa-Glycosidase Iinhibiting Activity of Some Mexican Plants Used in The treatment of type 2 diabetes. Journal of Ethnopharmacology. 116: 27–32. Corwin. E. J. 2009. Buku Saku Patofisiologi Edisi Revisi Ke-3. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. DepKes RI. 2010. Diabetes Melitus Dapat Dicegah. http://www.depkes.go.id /index.php/berita/press-release/1314-diabetes-melitus-dapat-dicegah.html. [30 Agustus 2011]. Ditjen POM. 2000. Metode Analisis PPOM. Jakarta : Departemen Kesehatan RI. Gaspersz V. 1991. Metode Perancangan Percobaan. Bandung : Armico. Harborne, J.B. 1987. Metode Fitokimia. Terjemahan Dari Phytochemical Methods oleh Kosasih Padmawinata dan Iwang Soediro. Bandung: Penerbit ITB. Jarald, E., S.B. Joshi, & D.C. Chain. 2008. Diabetes and Herbal Medicines. Iranian Journal Of Pharmacology & Therapeutics. 7 (1) : 97-106. Meena V., N.S. Satya, S.V.S. Prakash, & S. Avanigadda. 2012. A Review on Pharmacological Activities and Clinical effects of Cinnamon Species. 232 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Research Journal of Pharmaceutical, Biological and Chemical Sciences. 3 (1):653-663. Ping, H., G. Zhang, & G. Ren. 2010. Antidiabetic effects of cinnamon oil in diabetic KK-Ay mice. Food and Chemical Toxicology. 48:2344–2349. Purwatresna E. 2012. Aktivitas Antidiabetes Ekstrak Air dan Etanol Daun Sirsak Secara In Vitro Melalui Inhibisi Enzim α-Glukosidase [Skripsi]. Bogor : FMIPA Institut Pertanian Bogor. Sahputra, F.M. 2008. Potensi Ekstrak Kulit dan Daging Buah Salak sebagai Antidiabetes [Skripsi]. Bogor : FMIPA Institut Pertanian Bogor. Sancheti S., S. Sancheti, & S.Y. Seo. 2009. Chaenomeles Sinensis μ A Potent α-and β-Glucosidase Inhibitor. American Journal of Pharmacology and Toxicology 4 (1): 8-11. Sarjono P.R., I. Ngadiwiyana, & A.P. Nor Basyid. 2010. Aktivitas Bubuk Kayu Manis (Cinnamomum Cassia) Sebagai Inhibitor Alfa-Glukosidase. http:// ejournal.undip.ac.id/index.php/sm /article/view/3016. [27 Desember 2012]. Setiadi & Sarwono. 2007. Tanaman Obat Keluarga. Jakarta: Samindra Utama. Shihabudeen M.S., D.H. Priscilla, & K. Thirumurugan. 2011. Cinnamon extract inhibits a glucosidase activity and dampens postprandial glucose excursion in diabetic rats. Nutrition & Metabolism. 8 : 46-56. http://www.nutritionand metabolism.com/content/8/1/46. [18 Februari 2013]. Steel R.E.D. & J.H. Torrie. 1989. Prinsip dan Prosedur Statistika. Bambang Sumantri penerjemah. Jakarta : PT Gramedia. Vaibhavi J., R. Patel, P. Khatri, N. Pahuja, S. Garg, A. Pandey, & S. Sharma. 2010. Cinnamon: A Pharmacological Review. Journal of Advanced Scientific Research. 1(2); 19-23 Wadkar, K.A., C.S Magdum, S.S. Patil, & N.S. Naikwade. 2007. Anti-diabetic Potential And Indian Medical Plants. Journal of Herbal Medicine and Toxicology 2 (1) 45-50. WHO. 1999. Monographs on Selected Medicinal Plants Volume 1. Geneva: World Health Organization. Ziegenfuss, T. N., E. Jennifer, W.M. Ronald, L. Jamie, & A.A Richard. 2006. Effects of a Water-Soluble Cinnamon Extract on Body Composition and Features of the Metabolic Syndrome in Pre-Diabetic Men and Women. Journal of the International Society of Sports Nutrition. 3(2): 45-53. 233 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Triterpen Onoceranoid dari Ekstrak Etil Asetat Kulit Batang Pisitan (Lansium domesticum Corr. cv. pisitan) dan Aktivitas Larvasidanya Tri Mayanti1*, Dewi Suindrati1, Dadan Sumiarsa1, Wawan Hermawan2, Euis Julaeha1 dan Tri Mayanti1 1 Jurusan Kimia FMIPA Unpad, Jl. Raya Sumedang Km 21 Jatinangor-Bandung Indonesia 2 Jurusan Biologi FMIPA Unpad Jl. Raya Sumedang Km 21 Jatinangor-Bandung Indonesia Email : trimayanti@unpad.ac.id; t.mayanti@yahoo.co.id ABSTRAK Lansium domesticum Correa merupakan tumbuhan suku Meliaceae yang dikenal menghasilkan zat-zat bermanfaat untuk pengendalian serangga dan obat-obatan. Tumbuhan ini terdapat hampir di seluruh propinsi di Indonesia. L. domesticum Corr. varietas duku dan kokosan diketahui memiliki berbagai macam senyawa metabolit sekunder diantaranya adalah kelompok triterpen onoceranoid serta memiliki berbagai macam aktivitas yaitu antifeedant, larvasida, antimalaria, dan sitotoksik. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh isolat dan struktur senyawa triterpenoid dari ekstrak etil asetat kulit batang pisitan (L.domesticum Corr. cv. pisitan) serta aktivitas larvasidanya terhadap larva Aedes aegypti. Tahap isolasi dimulai dengan maserasi kulit batang pisitan dengan metanol yang dilanjutkan dengan partisi ekstrak metanol dengan pelarut n-heksana dan etil asetat. Ekstrak etil asetat kemudian dipisahkan dan dimurnikan dengan teknik kromatografi kolom. Isolat murni yang diperoleh, selanjutnya dikarakterisasi dengan menggunakan spektroskopi masa, spektroskopi inframerah, 1H-NMR, 13C-NMR, dan 2D NMR. Struktur kimia isolat ditetapkan berdasarkan data-data spektroskopi dan dengan perbandingan data-data spektra yang telah diperoleh sebelumnya. Senyawa hasil isolasi diidentifikasi sebagai asam lansiolat. Uji aktivitas larvasida isolat terhadap larva Ae. aegypti menunjukkan persen kematian larva sebesar 90% setelah 48 jam pengamatan pada kosentrasi larutan uji 1%. Kata Kunci : asam lansiolat, Lansium domesticum Corr, larvasida, pisitan Pengantar L. domesticum merupakan tumbuhan suku Meliaceae yang dikenal menghasilkan zat-zat bermanfaat untuk pengendalian serangga maupun bahan pengobatan. Tumbuhan ini tersebar hampir di seluruh propinsi di Indonesia. Sebagian besar tanaman Meliaceae mengandung senyawa terpenoid pada bagian daun, batang, buah, dan biji (Mayanti, 2009). Kandungan senyawa yang berhasil diisolasi dari L. domesticum Corr adalah kelompok triterpen onoceranoid, lansiosida, domesticulid, dukunolid, sikloartanoid, dan kokosanolid. Kelompok triterpen onoceranoid yang telah diisolasi dari berbagai bagian tumbuhan L. domesticum, diantaranya adalah asam lansat dari kulit buah duku (Kiang 235 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan et al., 1967), asam lansiolat dari daun duku (Nishizawa et al., 1989), dan enam senyawa triterpen onoceranoid dari kulit batang duku yang diberi nama iso-onoceratrien, onoceradiendion, 3-keto-22-hidroksionoceradien, asam lansiolat dan asam lansiolat A yang menunjukkan aktivitas antifeedant terhadap Sitophilus oryzae (Omar et al., 2005). Asam lansiolat berhasil diisolasi kembali dari kulit duku dengan dua senyawa triterpen onoceranoid lainnya yaitu 3β-hidroksionocera-8(26),14-dien-21-on dan 21αhidroksionocera 8(26), 14-dien-3-on (Tanaka et al., 2002). Pada varietas kokosan kelompok senyawa triterpen onoceranoid berhasil diisolasi dari kulit batang kokosan yang diberi nama 8,14-secogammacera-7,14-dien-3,21-dion dan 8,14-secogammacera7-en-14-hidroksi-3,21-dion yang menunjukkan aktivitas antifeedant (Mayanti et al., 2009). Belum adanya publikasi mengenai kandungan senyawa dari varietas pisitan menjadikan usaha untuk menggali potensi senyawa-senyawa triterpen onoceranoid dari varietas ini perlu untuk dilakukan. Selain itu pengujian aktivitas larvasida dari L.domesticum Corr cv. pisitan menjadi suatu hal yang menarik karena umumnya L. domesticum merupakan tumbuhan yang dikenal memiliki aktivitas antifeedant. Bahan dan Metode Bahan. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah kulit batang pisitan (L. domesticum Corr. cv. pisitan) yang diperoleh dari daerah Bogor, Jawa Barat (Determinasi di Laboratorium Anatomi Tumbuhan Jurusan Biologi FMIPA Unpad), methanol, etil asetat, n-heksan, silica gel G60. Alat. Pengukuran Spektrum IR dilakukan dengan lempeng KBr menggunakan alat FTIR Shimadzu 8400. Spektra NMR (H-NMR, C-NMR, 2D-NMR) diukur dengan spektrometer merk JEOL tipe ECA 500 dengan medan magnet 500MHz dan 125 MHz. Spektroskopi masa dilakukan dengan spektroskopi HRTOFMS JEOL JMS-700 dan Synapt 62 spektrometer Uji Aktivitas. Larutan uji berupa larutan fraksi etil asetat 1%, larutan isolat murni 1%, dan larutan kontrol yang tidak diberi perlakuan masing- masing dimasukan 10 ekor larva nyamuk Ae. aegypti. Pengamatan dilakukan setelah 24 jam dan 48 jam. Ekstraksi dan Isolasi. Serbuk kulit batang L.domesticum Corr. cv. pisitan diekstraksi menggunakan teknik maserasi dengan pelarut metanol. Ekstrak metanol (26 g) dipartisi dengan n-heksana kemudian fasa air dipartisi kembali dengan etil asetat. Ekstrak etil asetat (18,94 g) dipisahkan kandungan senyawa kimianya dengan teknik kromatografi vakum cair dengan fasa diam silika gel 60 (n-heksana, etil asetat, metanol; 10%) sehingga diperoleh 17 fraksi. Fraksi ke-enam dan ke-tujuh digabungkan dan dipisahkan kembali dengan kromatografi vakum cair. Fraksi yang mengandung komponen utama dipisahkan dengan kromatografi kolom terbuka dengan fasa diam silika gel 60 dengan perbandingan pelarut bergradien (n-heksana: etil asetat, 10%) kemudian fraksi yang mengandung senyawa target dimurnikan dengan kromatografi kolom terbuka dengan fasa diam silika gel 60 dengan perbandingan pelarut klorofom: metanol (9,5 : 0,5) sehingga dihasilkan 15 mg isolat murni. Isolat dikarakterisasi dan ditentukan strukturnya dengan metode spektroskopi UV, IR, NMR dan MS. 236 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Hasil dan Pembahasan Sebanyak 15 mg isolat berupa kristal tidak berwarna telah berhasil diperoleh dari kulit batang pisitan (L. domesticum Corr. cv. pisitan ) . Berdasarkan analisis spektroskopi IR, H-NMR, 13C-NMR, dan 13C-NMR DEPT 135° (Tabel 1) diperoleh rumus molekul dari asam lansiolat adalah C30H48O3, dugaan rumus molekul ini kemudian diperkuat hasil pengukuran spektroskopi masa TOF-MS (m/z 457,3426 [M+H]+). Spektrum inframerah menunjukkan adanya regang OH (√max 3468,01 cm-1 ), C=C (√max 1660,71 cm-1 ), C=O (√max 1710,00 cm-1), dan gem dimetil (√max 1381,03cm-1 ). Spektrum 1H-NMR menunjukkan adanya enam sinyal singlet dari gugus metil (δH 0,67; 0,76; 0,9; 0,81; 1,77 dan 1,73 ppm) yang merupakan proton sp3. Terdapat pula sinyal pada δH 4,50 dan 4,83 ppm (masing-masing 1H); 4,70 dan 4,82 ppm (masingmasing 1H) serta 5,36 ppm (1H) yang berasal dari proton sp2 dan terdapat sinyal pada δH 3,26 ppm yang berasal dari karbon teroksigenasi. Spektrum 13C-NMR menunjukkan adanya 30 sinyal karbon. Dua puluh tiga karbon sp3 terdiri atas enam karbon metil, sembilan karbon metilen, lima karbon metin (satu karbon metin teroksigenasi pada δc 79,4 ppm), dan tiga karbon kuartener. Tujuh karbon sp2 terdiri atas dua karbon sp2 metilen (δc 106,λ dan 114,1 ppm), satu karbon sp2 metin (δc 121,8 ppm), dan empat karbon sp2 kuartener (δc 136,1 ppm, 147,8 ppm, 148,4 ppm, dan satu karbon karbonil δc = 178,0 ppm yang karakteristik untuk gugus karboksilat). Posisi gugus fungsi pada isolate ditunjukkan dengan korelasi HMBC. Gugus olefin pada C8 ditunjukkan melalui korelasi sebanyak tiga ikatan antara H-26 (δH 4,5 & 4,83 ppm ) dengan C-λ (δC 58,5 ppm) dan C-7 (δC 38,2 ppm) sedangkan posisi olefin pada C-22 (δC 147,8 ppm) ditunjukkan dengan korelasi sebanyak tiga ikatan antara H-2λ (δH 4,70 & 4,82 ppm) terhadap C-17 (δC 49,2 ppm) dan H-29 terhadap C-30 (δC 23,1 ppm). Analisis spektrum H-H COSY menunjukkan korelasi antara H-1/H-2, H-5/H-6, H-6/H-7, H-11/H-12, H19/H-20 dan H-13/H-17 (Gambar 1). 21 CO2H 20 29 12 19 25 11 13 1 2 3 17 30 14 27 4 7 16 15 6 23 22 28 8 HO 18 26 9 24 H H H H-H COSY C HMBC Gambar 1. Struktur Asam Lansioalat dan Analisis HMBC serta H-H COSY Berdasarkan data-data spektroskopi (Tabel 1) dan dengan perbandingan data-data spektra yang telah diperoleh sebelumnya, senyawa hasil isolasi diidentifikasi sebagai asam lansiolat. Larutan ekstrak etil asetat hasil partisi dan asam lansiolat 1% diuji aktivitas larvasidanya terhadap larva nyamuk A.aegypti instar ke-III . Dari data yang dihasilkan (Tabel 2) menunjukkan bahwa asam lansiolat memiliki kemampuaan sebagai agen larvasida, larva yang diberi perlakuan mengalami kematian hingga 90% pada larutan asam lansiolat 1%. 237 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Tabel 1. Data hasil analisis spektroskopi H-NMR, C-NMR, HMQC, HMBC dan H–H COSY 13 C NMR 1HNMR HMBC H-H Posisi (δC, ppm) (δH,Integral, multisipitas,J) (H vs C) COSY 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 37,1 29,6 79,4 39,2 54,6 27,9 38,2 148,4 58,5 38,7 26,1 24,1 48,4 136,1 121.8 27,4 49,2 39,5 32,6 28,9 178,0 147,8 28,4 15,6 14,7 106,9 23,0 16,4 114 23,1 1,81 (2H, m) 1,24 (2H, m) 3,26 (1H, dd, 3,9Hz) 1,08 (1H, m) 1,39 (2H, m) 1,98 & 2,37 (2H, m) 1,56 (1H,m) 1,09 (2H, m) 1,36 (2H, m) 1,85 (1H,m) 5,36 (1H,brs) 1,62 (2H,m) 2,19(1H, m) 1,64(2H,m) 2,43 (2H, m) 0,98 (3H,s) 0,76 (3H,s) 0,67 (3H,s) 4,5 & 4,83 (masing-masing 1H,s) 1,73 (3H,s) 0,81 (3H,s) 4,70 & 4,82 (masing-masing 1H,s) 1,77 (3H,s) C-24 C-4 C-8 C-23 C-12 & C-25 C-13 & C-19 C-9 C-27 C-27 C-29 C-3,C-4,C-5, C-3,C-4,C-5 C-1,C-9,C-10 C-7,C-9 C-13,C-14, C-15 C-17,C-18 C-17,C-30 C-17, C-22,C-29 2 1 6 7 6 11 12 17 27 13 20 19 Tabel 2. Jumlah A. aegypti yang hidup setelah diberi perlakuan selama 1 dan 2 hari. A.aegypti Hidup A.aegypti Hidup Sampel Total A.aegypti Hari Ke-1 Hari Ke-1 Kontrol 10 10 10 Ekstrak EA 10 4 1 Isolat murni 10 3 1 Kesimpulan Asam lansiolat telah berhasil diisolasi dari kulit batang pisitan (L.domesticum Corr. cv. pisitan) dan memiliki aktivitas larvasida terhadap larva nyamuk A aegypti dengan presentase kematian larva 90% dengan waktu pengamatan 48 jam. 238 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Daftar Pustaka Kiang, A.K., E. L. Tan., F.Y. Lim., K. Habaguchi., K. Nakanishi., L. Fachan & G. Ourisson. 1967. Lansic Acid, a Bicyclic Triterpene. Tetrahedron Letters.37, 3571-3574. Mayanti,T. 2009. Kandungan Kimia dan Bioaktivitas Duku.Unpad Press. Bandung. Mayanti, T., U. Supratman, M.R. Mukhtar, K. Awang & S.W. Ng. 2009. Kokosanolide from the Seed of Lansium domesticum Corr. Acta Crystallographica. E.65. 750. Nishizawa, M., Y. Nademoto., S. Sastrapradja., M. Shiro and Y. Hayashi. 1988. Dukunolide D, E & F: New Tetranortriterpenoids from the Seeds of Lansium domesticum. Phytochemistry. Pergamon Journal Ltd. Great Britain. 27(1): 237-39. Omar, S., M. Marcotte, P. Fields, P. E. Sanchez, L. Poveda, R. Matta, A. Jimenez, T. Durst, J. Zhang, S. Mac Kinnon, D. Leaman, J. T. Arnason, & B. J. R. Philogene. 2005. Antifeedant Activities of Terpenoids Isolated from Tropical Rutales. Journal of Stored Products Research Tanaka,T., Masami,I., Haruhiro,F., Emi,O., Takashi,K.,Thaworn,K., Masahiko,H. & Kanki,K.2002. New Onoceranoid Triterpene Constituent from Lansium domesticum.Journal Natural Product.65.1709-1711. 239 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Studi Produksi VCO (Virgin Coconut Oil) Dengan Cara Fermentasi Menggunakan Neurospora Sitophila Sadiah Djajasoepena, Saadah Diana Rachman & Netti Vera N. Sembiring Laboratorium Biokimia, Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran Jalan Singaperbangsa No.2 Bandung 40133, Indonesia Email: sadiah@unpad.ac.id ABSTRAK Untuk meningkatkan nilai tambah dari komoditas kelapa, diupayakan proses pengolahan kelapa lebih lanjut yaitu melalui pengembangan produk utama berupa minyak kelapa, tanpa melalui pemanasan dan penambahan bahan kimia yang disebut sebagai minyak kelapa murni atau virgin coconut oil (VCO). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui proses produksi VCO dengan cara fermentasi menggunakan Neurospora sitophila. Metode yang digunakan adalah proses fermentasi dengan variasi volume inokulum yang ditambahkan ke dalam krim dan dilanjutkan dengan analisis karakteristik identitas, kualitas dan analisis komposisi asam lemak dengan GC-MS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa inokulum dengan variasi 20% terhadap krim menghasilkan kuantitas VCO terbanyak, yaitu 207 mL dari 1 kg kelapa parut. Kualitas VCO terbaik didapatkan dari variasi inokulum 10% terhadap krim, yang memiliki karakteristik identitas dan kualitas sebagai berikut:; densitas 0,9197 g/mL; kadar air 0,16 %; bilangan iod 6,86 g I2/100 g minyak; bilangan penyabunan 253,88 mg KOH/g minyak; bilangan asam 0,11 mg KOH/g minyak; asam lemak bebas 0,04 %; dan bilangan peroksida 0,95 meq/kg minyak. VCO dengan variasi inokulum 10% terhadap krim ini memiliki komposisi asam laurat terbesar yaitu 48,06%. Karakteristik identitas, kualitas, dan komposisi asam lemak VCO yang dihasilkan dengan cara fermentasi menggunakan N. sitophila memenuhi standar APCC. Kata Kunci : Fermentasi, VCO, Neurospora sitophila, Asam laurat Pengantar Produk kelapa di Indonesia umumnya dipasarkan dalam bentuk primer atau belum diolah lebih lanjut, sehingga menyebabkan kerugian di pihak petani. Oleh karena itu, untuk meningkatkan nilai tambah dari komoditas ini secara maksimal, diupayakan suatu perbaikan proses dan metode pengolahan kelapa yang lebih lanjut melalui pengembangan produk utama berupa minyak kelapa; pengembangan produk turunan berupa produk-produk oleokimia dan pengembangan produk samping berupa sabut, air kelapa, tempurung, dan ampas kelapa (Wahdini, 2005). Kelapa memiliki nilai ekonomi yang tinggi dibandingkan dengan tanaman lain dari famili yang sama seperti kelapa sawit, kurma, dan nipah. Hal ini dikarenakan hampir seluruh bagian dari tanaman kelapa dapat memberikan manfaat bagi kehidupan manusia (Price, 2004). 241 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Minyak kelapa merupakan salah satu bahan pangan yang banyak digunakan di industri pangan, kosmetika, dan farmasi. Banyak penelitian terbaru yang berhasil membuktikan bahwa minyak kelapa dapat meningkatkan metabolisme tubuh dan menanggulangi beragam penyakit. Asam laurat (jumlah karbonnya 12) adalah asam lemak jenuh rantai sedang yang paling banyak terkandung dalam minyak kelapa, yaitu sekitar 45-55% yang sifatnya tidak membahayakan kesehatan. Asam laurat dari minyak kelapa disinyalir memiliki aktivitas sebagai antibakteri, antijamur, dan antivirus (Walters, 2003). Virgin Coconut Oil (VCO) merupakan minyak kelapa murni yang dihasilkan dari buah kelapa tua yang segar, bukan terbuat dari kopra seperti minyak kelapa yang banyak dikenal (Alamsyah, 2005). VCO dibuat dari buah kelapa segar tanpa pemanasan dan bahan kimia. Selain itu VCO tidak melalui tahap pemurnian, pemucatan, dan penghilangan aroma (Sutarmi & Rezaline, 2005). Proses yang tidak melibatkan pemanasan selain dapat menghasilkan Medium Chain Tryglyceride (MCT) dapat pula menjamin keberadaan vitamin E, antioksidan, dan enzim-enzim yang terkandung dalam buah kelapa, menurut Suhirman pada tahun 2004 (dalam Rahmawati, 2009). VCO mengandung MCT yang dapat meningkatkan daya tahan tubuh terhadap penyakit dan mempercepat penyembuhan serta tidak mendorong terjadinya kegemukan atau obesitas (Alamsyah, 2005). Proses pembuatan minyak kelapa secara fermentasi melibatkan mikroba (Rosenthal et al., 1996). Mikroba dengan berbagai aktivitas enzim yang dimilikinya, seperti protease, amilase atau enzim lainnya dapat berperan dalam menghidrolisis substrat yang berupa protein, karbohidrat atau lemak yang terikat dalam emulsi santan. Dalam proses pembuatan minyak kelapa secara fermentasi, mikroba yang digunakan akan merombak substrat dengan memutus rantai protein, karbohidrat maupun bahan lain yang terkandung di dalam emulsi santan. Pada prinsipnya, mikroba dengan aktivitas yang dimilikinya akan dapat menyebabkan emulsi santan menjadi tidak stabil sehingga terjadi pemisahan antara fase minyak, blondo, dan air (Rindengan & Novarianto, 2005). Dalam penelitian yang akan dilakukan, bahan baku yang digunakan untuk membuat VCO adalah kelapa tua yang masih segar (non-kopra) serta Neurospora sitophila sebagai jamur penghasil enzim lipase dan protease yang aktif selama proses fermentasi. N sitophila sendiri biasa digunakan dalam fermentasi makanan yaitu oncom merah dan dianggap tidak berbahaya (Astawan, 2009). Diharapkan perlakuan ini akan menghasilkan VCO yang berkualitas dan memiliki kandungan asam lemak yang sesuai standar mutu. Minyak Kelapa murni Minyak kelapa murni (Virgin Coconut Oil, VCO) adalah minyak yang berasal dari buah kelapa tua segar yang diolah pada suhu rendah (<60C) tanpa proses pemutihan dan hidrogenasi (Gani, 2005). Selain itu VCO tidak melalui tahap pemurnian, pemucatan, dan penghilangan aroma (Sutarmi & Rezaline, 2005). Istilah “virgin” digunakan untuk membedakan bahwa minyak yang dihasilkan berbeda dengan minyak konvensional yang diolah dari bahan baku kelapa segar tanpa proses penyulingan. VCO merupakan minyak kelapa yang diperoleh lewat pemanasan minimal atau tanpa pemanasan prosesnya lebih rendah dan proses pemurnian kimiawi 242 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan serta tanpa mengubah sifat fisik dan kimia, hanya melalui perlakuan mekanis dan pemakaian panas yang rendah (Rahmawati, 2009). VCO merupakan minyak kelapa murni yang tahan terhadap panas, cahaya, oksigen dan proses degradasi, karena struktur kimianya tidak mengandung ikatan ganda. Karakterisasi lain dari VCO adalah memiliki warna jernih, beraroma lembut dan rasanya gurih. Selain itu, VCO mengandung asam-asam lemak jenuh tinggi yang menjadikannya tidak mudah tengik (Setiaji & Prayugo, 2006). Pada umumnya asam lemak dalam VCO merupakan asam lemak rantai sedang. Adanya kandungan jenis asam lemak inilah yang menjadikan VCO memiliki sifat yang khas dan berkhasiat (Fife, 2005). MCFA merupakan sumber energi yang siap pakai dan mudah diserap oleh tubuh, yang berbeda dengan asam lemak rantai panjang yang terlebih dahulu ditimbun sebagai lemak sebelum dipergunakan (Gani dkk., 2005). VCO juga mengandung zat antioksidan sehingga menurunkan kebutuhan akan vitamin E. Mengkonsumsi VCO dapat mengaktifkan hormon-hormon antipenuaan, mencegah serangan jantung, pikun, kegemukan, kanker dan penyakit lain yang berhubungan dengan penuaan dini (Alamsyah, 2005). Secara fisik, VCO harus berwarna jernih. Hal ini menandakan bahwa di dalamnya tidak tercampur oleh bahan dan kotoran lain. Apabila di dalamnya masih terdapat kandung air, biasanya akan ada gumpalan berwarna putih. Keberadaan air ini akan mempercepat proses ketengikan. Selain itu, gumpalan tersebut kemungkinan juga merupakan komponen blondo yang tidak tersaring seluruhnya. Kontaminan seperti ini secara langsung akan berpengaruh terhadap kualitas VCO (Setiaji & Prayugo, 2006). Prinsip Pembuatan VCO VCO dapat dibuat dengan beberapa cara yaitu dengan cara tradisional, pemanasan bertahap, enzimatis, pengasaman, sentrifugasi, dan pancingan (Setiaji & Prayugo, 2006). Berdasarkan proses pengolahannya, minyak kelapa terbagi dalam dua kategori utama, yaitu : a. b. Minyak kelapa biasa (Refined, Bleached and Deodorized oil / RBD) Minyak kelapa murni (Virgin Coconut Oil / VCO) Perbedaan antara keduanya terletak pada proses pengolahannya. RBD oil terbuat dari kelapa kopra (kelapa yang dikeringkan), dan proses pengolahannya meliputi pemurnian (refining), pemucatan (bleaching), deodorisasi, serta melibatkan pemanasan dan penggunaan bahan kimia, sedangkan VCO terbuat dari kelapa segar (non-kopra) dan dalam pengolahannya tidak dilakukan pemanasan serta penggunaan bahan kimia (Naily, 2006). Proses pembuatan VCO yang tidak menggunakan pemanasan yang tinggi bukan hanya menghasilkan lemak berantai sedang tetapi juga dapat mempertahankan keberadaan vitamin E dan enzim-enzim yang terkandung dalam daging buah kelapa. VCO yang dibuat dari kelapa segar berwarna putih ketika memadat dan jernih seperti air ketika berbentuk cair. Salah satu perbedaan utama antara VCO dan minyak kelapa hasil pemurnian (RBD oil) adalah dalam hal bau (scent) dan rasa (taste). Semua produk VCO mempunyai bau dan rasa kelapa segar (Alamsyah, 2005). 243 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Proses pembuatan minyak kelapa secara fermentasi melibatkan mikroba (Rosenthal et al., 1996). Mikroba dengan berbagai aktivitas enzim yang dimilikinya, seperti protease, amilase atau enzim lainnya dapat berperan dalam menghidrolisis substrat yang berupa protein, karbohidrat atau lemak yang terikat dalam emulsi santan. Dalam proses pembuatan minyak kelapa secara fermentasi, mikroba yang digunakan akan merombak substrat dengan memutus rantai protein, karbohidrat maupun bahan lain yang terkandung di dalam emulsi santan. Pada prinsipnya, mikroba dengan aktivitas yang dimilikinya akan dapat menyebabkan emulsi santan menjadi tidak stabil sehingga terjadi pemisahan antara fase minyak, blondo dan air (Rindengan & Novarianto, 2005). Proses pembuatan minyak kelapa secara fermentasi mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan cara tradisional, antara lain dapat menghemat tenaga kerja serta bahan bakar sampai 70% dan produk yang dihasilkan mempunyai kualitas yang jauh lebih baik dibandingkan dengan produk yang dibuat secara tradisional. Minyak kelapa murni mengandung kadar air yang rendah yaitu sekitar 0,03%, kandungan asam lemak bebasnya juga rendah sekitar 0,02%, tidak berwarna (bening), tahan disimpan sampai 70 hari tanpa mengalami perubahan warna, aroma maupun cita rasanya (Naiola, 2008). Selain beberapa kelebihan yang dimilikinya, proses pembuatan minyak kelapa secara fermentasi juga mempunyai beberapa kelemahan; salah satu di antaranya menurut Rindengan dan Novarianto (2005) terdapat pada tahap pemisahan antara fase minyak, protein (blondo) dan air. Neurospora sitophila N. sitophila termasuk dalam kelompok kapang (jamur berbentuk filamen). Sebelum diketahui perkembangbiakan secara seksualnya, jamur oncom masuk ke dalam kelompok Deuteromycota dengan nama Monilia sitophila, tetapi setelah diketahui fase seksualnya, yaitu dengan pembentukan askus, maka jamur oncom masuk ke dalam golongan Ascomycota dan namanya diganti menjadi N. sitophila. (Mudarwan, 2011). N. sitophila dikenal sebagai kapang oncom merah yang memiliki konidia berwarna jingga (oranye) dan tumbuh di atas permukaan substrat. Kapang ini tumbuh baik pada kelembaban tinggi dan suhu pertumbuhannya sekitar 20-30C pada kondisi aerobik (Sihombing, 1994). N. sitophila merupakan spesies yang umum dijumpai pada makanan (Fardiaz, 1992). Dalam kehidupan sehari-hari kapang Neurospora telah memegang peranan penting terutama dalam pengolahan makanan fermentasi. Kapang Neurospora telah dimanfaatkan untuk membuat oncom yang sangat populer bagi masyarakat Jawa Barat. Di Brazil, Neurospora telah digunakan dalam proses pengolahan singkong menjadi minuman fermentasi (Mudarwan, 2011). Penambahan mikroba biasa dilakukan dalam proses pembuatan makanan dan minuman dengan cara fermentasi. Pengertian fermentasi sendiri adalah proses untuk menghasilkan berbagai produk dengan perantara atau dengan melibatkan mikroorganisme (Naily, 2006). Kapang oncom dapat mengeluarkan enzim lipase dan protease yang aktif selama proses fermentasi dan memegang peranan penting dalam penguraian pati menjadi gula, penguraian bahan-bahan dinding sel kacang, dan penguraian lemak, serta pembentukan sedikit alkohol dan berbagai ester yang berbau sedap dan harum (Astawan, 2009). 244 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Bahan dan Metode Bahan dan Alat Bahan-bahan kimia yang digunakan adalah akuades, amilum Merck (p.a.), asam asetat glasial Merck (p.a.), asam klorida Merck (p.a.), asam oksalat dihidrat Merck (p.a.), asam sulfat 97% Merck (p.a.), BF3 Merck (p.a.), brom Merck (p.a.), etanol 95% Brataco Chemika, iodium Merck (p.a.), fenolftalein Merck (p.a.), kalium hidroksida Merck (p.a.), kalium iodat Merck (p.a.), kalium iodida Merck (p.a.), kalium sulfat Merck (p.a.), kloroform Mallinckrodt Chemicals (p.a.), kupri sulfat Merck (p.a.), metil biru Merck (p.a.), metil merah Merck (p.a.), n-heksana Brataco Chemika, natrium hidroksida Merck (p.a.), natrium klorida Merck (p.a.), natrium tiosulfat Merck (p.a.), PDA Merck (p.a.). biakan murni N. sitophila (Laboratorium Mikrobiologi Sekolah Tinggi Ilmu Hayati ITB), PDA. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah GC-MS Shimadzu, alat Soxhlet, alat distilasi Kjeldahl, desikator, kertas saring, ose, mixer, neraca analitis, oven, hot plate, shaker, autoclave, penangas air, inkubator, kondensor, piknometer, wadah plastik transparan, termometer dan peralatan gelas lainnya yang umum digunakan di laboratorium. Metode Penelitian Penentuan kadar lemak dalam kelapa parut dengan metode Soxhlet, (Apriyantono dkk., 1989). Penentuan kadar protein dalam kelapa parut dengan metode Kjeldahl. (Apriyantono dkk., 1989). Peremajaan-biakan (Naily, 2006). Pembuatan kurva pertumbuhan (Kuswandana, 2008). Pembuatan inokulum (Kuswandana, 2008). Pembuatan VCO (Naily, 2006). Analisis karakteristik identitas VCO. Penentuan Densitas (Sudarmadji dkk., 1996). Penentuan kadar air (Sudarmadji dkk., 1996). Penentuan bilangan iod (pereaksi Hanus) (Ketaren, 1986). Penentuan bilangan penyabunan (Sudarmadji dkk., 1996). Penentuan bilangan asam (Sudarmadji dkk., 1996). Analisis Karakteristik Kualitas VCO. Warna VCO diamati secara kualitatif. Asam lemak bebas (Sudarmadji dkk., 1996). Bilangan peroksida (Sudarmadji dkk., 1996). Analisis Komposisi Asam Lemak VCO Christie (1993). Hasil dan Pembahasan Kurva Pertumbuhan Pada penelitian ini, kurva pertumbuhan dari N. sitophila dibuat berdasarkan metode berat kering. Kurva pertumbuhan ini diperlukan untuk mengetahui waktu pertumbuhan optimal dari N. sitophila. Dari kurva pertumbuhan ini akan diperoleh data fase lag (adaptasi), fase logaritmik, fase stasioner, serta fase kematian dari pertumbuhan N. sitophila. Metode ini dilakukan dengan cara menghitung berat miselia dari N. sitophila. Berat miselia dari N. sitophila diamati setiap 12 jam sampai hari ke-10. Diharapkan dengan waktu pengamatan selama 10 hari dan waktu sampling setiap 12 jam, setiap fase pertumbuhan dari N. sitophila dapat diamati. Spora dari biakan N. sitophila yang berumur 5 hari dibuat suspensi dengan menambahkan 5 mL larutan natrium klorida 0,85%. Larutan natrium klorida 0,85% 245 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan merupakan larutan isotonis, yaitu larutan yang memiliki konsentrasi yang sama dengan konsentrasi cairan di dalam sel spora sehingga dapat mencegah terjadinya lisis sel spora. Kondisi larutan natrium klorida ini juga harus steril untuk mencegah terjadinya kontaminasi dari larutan pada suspensi spora. Kultur N. sitophila yang digunakan telah dikondisikan pada media air kelapa, yaitu pada media kurva pertumbuhan dan media inokulum semuanya menggunakan media air kelapa. Nutrien-nutrien yang terkandung dalam air kelapa terutama karbohidrat, protein, dan lemak dapat memenuhi kebutuhan nutrisi bagi pertumbuhan N. sitophila. Sel yang ditempatkan dalam medium dan lingkungan pertumbuhan yang sama seperti medium dan lingkungan sebelumnya mungkin tidak memerlukan waktu adaptasi (Fardiaz, 1992). Atas dasar inilah diharapkan pemilihan air kelapa sebagai media kurva pertumbuhan dan media inokulum dapat mempercepat fase adaptasi dari N. sitophila pada saat proses fermentasi krim santan kelapa berlangsung, mengingat komposisi buah kelapa yang hampir sama dengan air kelapa (Alamsyah, 2005). Pada kurva pertumbuhan N. sitophila, fase adaptasi berlangsung selama 36 jam. Fase eksponensial berlangsung setelah jam ke-36 hingga jam ke-132. Setelah melewati jam ke-132, pertumbuhan memasuki fase stasioner hingga jam ke-192. Setelah jam ke192, N. sitophila mulai memasuki fase kematian, dimana mulai terjadi penurunan berat miselia secara kontinyu hingga jam ke-240 (akhir pengamatan). Dari kurva pertumbuhan tersebut ditunjukkan bahwa setelah melewati fase eksponensial banyaknya sel hidup cenderung menurun. Ini mengindikasikan terjadinya lisis pada sel yang menyebabkan massa sel menurun. Keadaan ini mengarah pada pembentukan medium kompleks dari produk-produk lisis, dan seringkali terbentuk metabolit sekunder yang semula tidak ada atau tidak berfungsi dalam sel. Atas dasar itulah, pada penelitian ini penanaman inokulum dilakukan selama 84 jam sebelum diinokulasikan ke dalam medium fermentasi. Pada penelitian ini fermentasi berlangsung selama 48 jam. Diharapkan dengan waktu penanaman inokulum selama 84 jam proses fermentasi berakhir sebelum memasuki fase stasioner. Jika fermentasi masih berlangsung pada fase stasioner dikhawatirkan terbentuk metabolit sekunder yang akan mempengaruhi kualitas dari hasil fermentasi. Pembuatan VCO Pembuatan VCO dilakukan dengan variasi penambahan volume inokulum terhadap krim santan sebesar 10% ( 60 mL + 600 mL), 15% (90 mL + 600 mL), dan 20% (120 mL + 600 mL). Pada penelitian ini digunakan kelapa parut sebanyak 3 kg dan disantankan dengan 6 liter air secara bertahap, didapatkan volume santan sebanyak 7,5 liter yang terdiri dari 1875 mL krim dan 5625 mL skim. Krim santan yang diperoleh dibagi menjadi tiga variasi sehingga untuk setiap variasi digunakan 600 mL krim. Prinsip pembuatan VCO secara fermentasi menggunakan N. sitophila ini adalah memecah emulsi dalam krim santan yang terbentuk oleh air, protein, dan minyak dengan memanfaatkan kerja enzim protease yang dihasilkan oleh N. sitophila. Dalam emulsi tersebut, protein akan membungkus butir-butir minyak dengan suatu lapisan tipis sehingga butir-butir minyak tidak akan bisa bergabung, demikian juga dengan air. Emulsi tersebut tidak akan pernah pecah karena masih ada tegangan muka protein-air 246 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan yang lebih kecil dari protein-minyak. Minyak kelapa (VCO) baru bisa keluar bila ikatan emulsi tersebut dirusak (Setiaji & Prayugo, 2006). Proses fermentasi krim santan berlangsung selama 48 jam. Pemisahan terlihat dari adanya minyak, blondo dan air. Pengambilan VCO dilakukan sampai jam ke-48, walaupun jika diperhatikan di dalam blondo masih terdapat minyak. Namun, menurut Alamsyah pada metode fermentasi, semakin lama inkubasi akan meningkatkan asam lemak bebasnya, sehingga dikhawatirkan kualitasnya akan menurun. Kuantitas VCO terbanyak dihasilkan pada variasi inokulum 20% terhadap krim, karena semakin banyak jumlah inokulum yang ditambahkan maka lebih efektif dalam memecah emulsi dalam krim santan, sehingga menghasilkan kuantitas VCO yang lebih banyak. Analisis Karakteristik Identitas dan Kualitas VCO (Ketaren, 1986). VCO yang dihasilkan dari setiap variasi dianalisis lebih lanjut untuk mengetahui apakah karakteristik identitasnya memenuhi standar mutu VCO yang telah ada. Analisis karakteristik identitas VCO yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi densitas, kadar air, bilangan iod (pereaksi Hanus), bilangan penyabunan, dan bilangan asam. Tabel 1. Data analisis VCO hasil fermentasi menggunakan N. sitophila dengan penambahan inokulum terhadap krim. Karakteristik 10% Identitas Densitas (g/mL) Kadar Air (%) Bilangan iod (g I2/100 g minyak) Bilangan penyabunan (mg KOH/g minyak) Bilangan asam (mg KOH/g minyak) Kualitas Warna Asam Lemak Bebas (%) Bilangan Peroksida (meq/kg minyak) Variasi inokulum 15% variasi 20% 0,9197 0,160,01 6,860,60 253,880,52 0,9197 0,170,04 7,070,32 254,400,32 0,9198 0,200 7,360,29 254,581,58 0,110,00 0,110,00 0,170,00 Jernih 0,040 0,950,00 Jernih 0,040 0,950,00 jernih 0,060,03 0,950 Pada Tabel 1. menunjukkan bahwa densitas VCO untuk semua variasi hampir sama yaitu 0,919 g/mL, hal ini menunjukkan bahwa nilai densitas tidak mengalami banyak perubahan dengan adanya perbedaan perlakuan dalam penambahan volume inokulum. Secara keseluruhan densitas dari VCO yang dihasilkan memenuhi standar mutu APCC (0,915-0,920 g/mL). Tingginya kadar air dapat mengakibatkan kerusakan pada minyak, yaitu menyebabkan reaksi hidrolisis yang dapat menghasilkan bau tengik pada minyak. Berdasarkan Tabel 4.1 nilai kadar air semua VCO yang dihasilkan berkisar antara 0,16 hingga 0,20 %. Nilai kadar air ini masih di bawah 0,5%, sehingga secara keseluruhan kadar air VCO yang dihasilkan memenuhi standar mutu APCC. Diharapkan dengan nilai kadar air yang masih memenuhi standar mutu APCC, VCO yang dihasilkan tidak mudah menjadi tengik. 247 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Bilangan iod digunakan untuk menentukan derajat ketidakjenuhan dan ketengikan pada minyak. Bilangan iod yang besar menunjukkan jumlah ikatan rangkap asam lemaknya semakin banyak atau dapat dikatakan kandungan asam lemak tidak jenuhnya tinggi (Ketaren, 1986). Pada Tabel menunjukkan bahwa bilangan iod dari VCO yang dihasilkan memenuhi standar mutu APCC berkisar antara 4,1-11. Bilangan iod dari VCO dengan inokulum 10 % sebesar 6,86 ini menunjukkan bahwa jumlah ikatan rangkap yang ada dalam asam lemak tidak jenuh pada minyak, hanya sedikit yang bereaksi dengan iod atau senyawa iod. Sehingga dapat dikatakan bahwa kandungan asam lemak tidak jenuh di dalam minyak ini jumlahnya sedikit. Selain itu, minyak ini tergolong baik karena mengandung asam lemak jenuh dalam jumlah besar dan derajat ketengikannya rendah. Besar kecilnya nilai bilangan penyabunan tergantung pada panjang pendeknya rantai karbon asam lemak atau berat molekul dari lemak tersebut. Minyak yang disusun oleh asam lemak berantai karbon pendek berarti mempunyai berat molekul relatif kecil, akan mempunyai bilangan penyabunan yang besar dan minyak dengan berat molekul besar mempunyai bilangan penyabunan relatif kecil (Sudarmadji dkk., 1996). Nilai bilangan penyabunan dari VCO yang dihasilkan berkisar dari 253,88-254,58. Nilai ini memenuhi standar mutu yang ditetapkan oleh APCC yaitu 250-260. Penentuan bilangan penyabunan menggunakan larutan kalium hidroksida alkoholis. Alkohol yang ada dalam kalium hidroksida ini berfungsi untuk melarutkan asam lemak hasil hidrolisis agar mempermudah reaksi dengan basa sehingga terbentuk sabun (Sudarmadji dkk., 1996). Bilangan asam pada VCO berhubungan dengan kandungan asam lemak bebasnya. Semakin tinggi bilangan asam maka kualitasnya akan semakin rendah. Bilangan asam yang rendah dapat terjadi karena minyak lebih banyak mengandung asam lemak jenuh yang lebih tahan terhadap kerusakan akibat proses oksidasi dibandingkan dengan asam lemak tidak jenuh dan juga karena minyak belum lama disimpan sehingga belum banyak terkontaminasi oleh lingkungan sekitar. Dari hasil penelitian, didapat nilai bilangan asam 0,11 – 0,17. Menurut standar mutu APCC nilai bilangan asam maksimal yaitu 0,5, sehingga VCO yang dihasilkan memenuhi standar mutu yang ada. Analisis karakteristik kualitas VCO meliputi pengamatan warna, kadar asam lemak bebas dan bilangan peroksida. VCO yang dihasilkan dari proses fermentasi oleh N. sitophila ini memiliki warna yang jernih seperti air. Hal ini disebabkan karena pada proses fermentasi ini tidak melibatkan proses pemanasan. Suhu pemanasan yang tinggi akan mengekstraksi zat warna yang terdapat dalam kelapa, terutama zat karoten yang menyebabkan warna kuning pada minyak kelapa (Ketaren, 1986). Asam lemak bebas erat kaitannya dengan bilangan asam, semakin tinggi bilangan asam, semakin tinggi pula asam lemak bebas yang dihasilkan. Asam lemak bebas dapat berasal dari hirdolisis minyak baik oleh air atau udara ataupun karena proses pengolahan yang kurang baik (Alamsyah, 2005). Nilai kadar asam lemak bebas dari VCO yang dihasilkan dari proses fermentasi oleh N. sitophila ini berkisar dari 0,04% sampai 0,06%. Secara keseluruhan kadar asam lemak bebas dari VCO yang dihasilkan memenuhi standar mutu APCC (  0,5%). 248 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Bilangan peroksida digunakan untuk menentukan derajat kerusakan pada minyak atau lemak. Kerusakan lemak atau minyak yang utama adalah karena reaksi oksidasi dan hidrolitik, baik enzimatik maupun non-enzimatik. Bilangan peroksida berguna untuk menguji ketengikan minyak dengan mengukur senyawa-senyawa hasil oksidasi seperti peroksida, asam lemak, aldehid dan keton. Bau tengik terutama disebabkan oleh aldehid dan keton. (Sudarmadji dkk., 1996). Pada Tabel 1. menunjukkan bahwa nilai bilangan peroksida dari VCO yang dihasilkan dari berbagai variasi inokulum relatif sama yaitu 0,95. Nilai ini memenuhi standar mutu APCC (  3 meq/kg minyak). Nilai bilangan peroksida ini menunjukkan bahwa VCO yang dihasilkan memiliki kualitas yang baik dan dapat bertahan lama tanpa menjadi tengik (tidak mudah teroksidasi), karena dibuat tanpa proses pemanasan. Menurut Setiaji dan Prayugo (2006), proses pemanasan di atas suhu 80C dapat menyebabkan kandungan antioksidan menguap dan hampir semua jenis protein mengalami denaturasi. Oleh karena itu, minyak kelapa yang diproses melalui pemanasan akan mudah teroksidasi sehingga menyebabkan ketengikan. Nilai bilangan peroksida yang rendah menunjukkan bahwa VCO hasil fermentasi tahan terhadap ketengikan karena jumlah peroksida yang terbentuk dari oksigen dan asam lemak tidak jenuh sedikit (Ketaren, 1986). Analisis Komposisi Asam Lemak VCO Christie (1993) Analisis komposisi asam lemak VCO dilakukan dengan GC-MS. VCO sebelum dianalisis dengan GC-MS, terlebih dahulu diderivatisasi menjadi ester asam lemak yang bersifat lebih volatil. Pada penelitian ini dilakukan derivatisasi metil ester asam lemak menggunakan hidrogen klorida metanolik. Christie (1993) menyatakan bahwa metode hidrogen klorida metanolik merupakan metode terbaik untuk derivatisasi asam lemak secara umum. Sampel yang digunakan merupakan VCO dengan variasi inokulum 10% karena VCO ini mempunyai karakterisrik identitas dan kualitas yang lebih bagus dibandingkan dengan variasi 15% dan 20%. Berikut ini merupakan spektrum hasil GC-MS dari derivat VCO dengan variasi inokulum 10% krim hasil fermentasi menggunakan N. sitophila. 249 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Gambar Spektrum hasil GC-MS dari derivat VCO hasil fermentasi menggunakan N. Sitophila dengan variasi inokulum 10% terhadap krim menggunakan kolom DB 17 panjang 30 m pd suhu terprogram 100oC – 260oC dengan kenaikan 10oC/menit. Dari kromatogram yang dihasilkan terdapat tujuh macam asam lemak yang terkandung dalam VCO hasil produksi yang dianalisis, yaitu asam kaprilat (C8:0), asam kaprat (C10:0), asam laurat (C12:0), asam miristat (C14:0), asam palmitat (C16:0), asam oleat (C18:1 -9) dan asam linoleat (C18:2 -6). Data komposisi asam lemak VCO secara fermentasi menggunakan N. sitophila dengan variasi inokulum 10 % terhadap krim, menunjukkan bahwa kandungan VCO yang dianalisis terdiri dari asam lemak jenuh sebesar 91,79% dengan kandungan tertinggi yaitu asam laurat sebesar 48,06% dan asam lemak tak jenuh sebesar 8,21%. Kesimpulan Dari hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut : 1. Semakin tinggi penambahan volume inokulum terhadap krim maka jumlah VCO yang dihasilkan dengan cara fermentasi menggunakan N. sitophila semakin banyak. 2. Karakteristik identitas dan kualitas VCO yang dihasilkan dengan cara fermentasi menggunakan N. sitophila memenuhi standar APCC. 250 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan 3. Komposisi asam lemak VCO yang dihasilkan dengan cara fermentasi menggunakan N. sitophila, dengan variasi inokulum 10% terhadap krim menghasilkan asam laurat terbesar yaitu 48,06%. Daftar Pustaka Alamsyah, A.N. 2005. Virgin Coconut Oil: Minyak Penakluk Aneka Penyakit Agromedia Pustaka. Jakarta. Apriyantono, A., Fardiaz, D., Puspitasari, N.L., Sedarnawati & Budianto, S. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Astawan, M. 2009. Sehat dengan Hidangan kacang dan Biji-bijian. Penebar Swadaya. Jakarta Christie, W. W. 1993. Preparation of ester derivatives of fatty acids for chromatographic analysis. Advances in Lipid Methodology. 2: 69-111. Fardiaz, S.1992. Mikrobiologi Pangan 1. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Fife, B. 2005. Coconut Oil Miracle. Diterjemahkan oleh Annisa Rahmalia. Bhuana Ilmu Populer. Jakarta. Gani, Z., Harinawati, Y. & Dede. 2005. Bebas Segala Penyakit dengan VCO. Puspam Swara. Jakarta. Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. UI-Press. Jakarta. Kuswandana, F. 2008. Pembuatan Minyak Kelapa Murni (Virgin Coconut Oil) Secara Fermentasi dengan Bantuan Rhizopus sp. Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran. Bandung. Mudarwan. 2011. Jamur Oncom. http://mudarwan.wordpress.com/ diakses pada 22/09/2011. Naily, W. 2006. Produksi Minyak Kelapa Murni (Virgin Coconut Oil) dengan Cara Fermentasi Menggunakan Rhizopus oligosporus. Skripsi. Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran. Bandung. Naiola, E. 2008. Pembuatan starter untuk ekstraksi minyak kelapa murni menggunakan mikroba amilolitik. Berita Biologi. 9 (1), 31-38. Price, M. 2004. Terapi Minyak Kelapa. Prestasi Pustaka Publisher. Jakarta. Rahmawati, N.A. 2009. Produksi Minyak Kelapa Murni (VCO) dengan Metode Enzimatis Menggunakan Ekstrak Bonggol Buah Nanas. Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran. Bandung. Rindengan, B. & Novarianto, H. 2005. Virgin Coconut Oil: Pembuatan dan Pemanfaatan Minyak Kelapa Murni. Penebar Swadaya. Jakarta. Rosenthal, A., Pyle, D.L. & Niranjan, K. 1996. Aqueous and enzymatic processes for edible oil extraction. Enzyme and Microbial Technology. 19(6), 402-420. Setiaji, B & Prayugo, S. 2006. Membuat VCO Berkualitas Tinggi. Penebar Swadaya Jakarta. Sudarmadji, S., Haryono, B& Suhardi. 1996. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian . Liberty. Yogyakarta. 251 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Sutarmi & Rezaline, H. 2005. Takl ukkan Penyakit dengan VCO. Penebar Swadaya. Jakarta. Wahdini, Z. 2005. Optimasi Agitasi Pembuatan Minyak Kelapa Hasil Fermentasi Rhizopus oligosporus yang Mengandung Isoflavon. Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung. Bandung Walters, D.R. 2003. Lauric acid exhibits antifungal activity agains plant pathogenic fungi. J.Phytopathol. 151, 228-230. 252 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Spesifisitas Produk Siklodekstrin dari Enzim Siklodekstrin Glikosiltransferase (CGTase) Bacillus sp. PT2B Nur Miftahurrohmah1*, Catur Riani2, Debbie S. Retnoningrum2 1 Fakultas Farmasi, Universitas Pancasila, Jln. Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan. 2 Sekolah Farmasi, Institut Teknologi Bandung, Jln. Ganeca No. 10, Bandung. * Email: fz28306@yahoo.com ABSTRAK Siklodekstrin glikosiltransferase (CGTase, EC No. 2.4.1.19) merupakan suatu enzim industrial penting yang mengkonversi pati menjadi siklodekstrin (CD). Enzim ini diproduksi secara ekstraseluler oleh mikroba yang umumnya berasal dari genus Bacillus. CD banyak digunakan dalam industri farmasi, kosmetik, kimia, makanan dan proteksi lingkungan karena dapat membentuk kompleks dengan senyawa-senyawa hidrofob dan mengubah sifat fisikokimianya. Berdasarkan jenis CD dominan yang dihasilkannya, CGTase dibedakan menjadi CGTase-α, β dan yang masing-masing menghasilkan CD- α, β dan sebagai produk utamanya. Pada penelitian sebelumnya, telah diperoleh isolat bakteri lokal yang dinamakn Bacillus sp. PT2B sebagai penghasil CGTase. Enzim CGTase PT2B diketahui memiliki bobot molekul 60 kDa, suhu optimum 60oC dan pH optimum 8. Pada penelitian ini akan dilakukan analisis spesifisitas produk CGTase Bacillus sp. PT2B untuk mengetahui jenis CD dominan yang dihasilkan serta pengaruh gelatinasi substrat pati dapat larut terhadap jumlah CD yang dihasilkan. Enzim direaksikan dengan substrat pati dapat larut selama 24 jam pada suhu dan pH optimumnya. Jenis dan jumlah produk CD yang dihasilkan dianalisis menggunakan KCKT detektor indeks refraksi, fase gerak asetonitril air 70:30 dan kecepatan alir 1 ml/menit. Hasil menunjukkan bahwa produk CD yang dihasilkan CGTase Bacillus sp. PT2B adalah CD- β dan dengan perbandingan 84μ16 (4,58μ0,8λ µg/µl) menggunakan substrat pati dapat larut 1% (b/v) tergelatinasi dan 100:0 (0,29:0 µg/µl) menggunakan substrat pati dapat larut 1% b/v tidak tergelatinasi. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa CGTase dari Bacillus sp.PT2B adalah CGTase-β dan substrat pati dapat larut tergelatinasi menghasilkan jumlah CD lebih banyak daripada yang tidak tergelatinasi. Kata Kunci: Bacillus sp. PT2B, pati dapat larut, siklodekstrin, siklodekstrin glikosiltransferase (CGTase),spesifisitas produk. Pengantar Siklodekstrin glikosiltransferase (CGTase, EC 2. 4. 1. 19) merupakan enzim yang mengkatalisis reaksi transglikosilasi dan hidrolisis pati menjadi senyawa oligosakarida siklik yaitu siklodekstrin (CD). Enzim CGTase dihasilkan secara ekstrasel oleh beberapa bakteri dan archaea serta Actinomycetes (Endo dkk, 2002). Berdasarkan 253 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan produk siklisasi dominan yang dihasilkan, CGTase diklasifikasikan menjadi tiga jenis yaitu CGTase-α, β dan (Qi dan Zimmermann, 2005). Terdapat tiga jenis utama CD yaitu CD-α, β dan yang masing-masing terdiri dari 6, 7 dan 8 unit glukosa. Ketiga jenis CD ini biasanya dihasilkan dalam bentuk campuran yang komposisinya bergantung pada sumber mikroba penghasil CGTase serta kondisi reaksi (Kelly dkk, 2009). CD memiliki struktur khas dengan bentuk tiga dimensi menyerupai donat yang bagian tengahnya bersifat relatif hidrofob dan luarnya hidrofil. Struktur yang demikian menjadikan CD mampu menangkap senyawa asing hidrofob dan mengubah sifat fisikokimianya. Oleh karena itu, CD banyak dimanfaatkan dalam formulasi produk farmasi untuk meningkatkan kelarutan, meningkatkan ketersedian hayati, stabilitas, mengurangi volatilitas serta menutupi rasa dan bau yang kurang baik. Selain itu, CD juga dimanfaatkan dalam industri kosmetik, makanan, kimia dan penanganan masalah lingkungan (Szejtli, 2004). Aplikasi yang luas dari CD memicu munculnya penelitian-penelitian untuk memperoleh mikroba penghasil CGTase. Bagian dalam hidrofob CD-α CD-β CD-γ Bagian luar hidrofil (i) (ii) Gambar 1. Struktur kimia CD-α, β dan (i) serta ilustrasi molekul CD (ii) (Van der Veen dkk, 2000). A = Diameter eksternal; B = Diameter internal. Pada tahun 2010, di Laboratorium Bioteknologi Sekolah Farmasi ITB telah diperoleh isolat dari sampel lingkungan lokal yang menghasilkan enzim CGTase menggunakan media Horikoshi sebagai media skrining. Isolat tersebut dinamakan PT2B yang teridentifikasi termasuk dalam genus Bacillus berdasarkan analisis 16S rDNA nya (Sagita, 2011). Pada penelitian sebelumnya telah berhasil dilakukan produksi, pemurnian sebagian dan karakterisasi enzim yang meliputi penentuan suhu dan pH optimum serta suhu dan pH stabilita CGTase PT2B. Enzim CGTase PT2B optimum pada suhu 60°C dan pH 8 (Miftahurrohmah, 2012). Pada penelitian ini dilakukan karakterisasi enzim CGTase PT2B untuk menentukan spesifisitas produk CD yang dihasilkan, sehingga dapat diketahui jenis CGTase PT2B. Selain CD dominan yang dihasilkan, pada penelitian ini juga dianalisis pengaruh gelatinasi pati terhadap jumlah CD yang dihasilkan. Bahan dan Metode Bahan Bahan-bahan yang digunakan untuk penelitian ini meliputi: media Horikoshi tanpa indikator warna {1% (b/v) pati dapat larut/pati dapat larut (Merck), 0,5% (b/v) pepton (Oxoid), 0,5% (b/v) yeast extract (Oxoid), 0,02% (b/v) MgSO4.7H2O (Merck), 0,1% (b/v) K2HPO4, 1% (b/v) Na2CO3} (Park dkk, 1989); amonium sulfat (Merck); dapar 254 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Tris-Cl; HCl; NaOH; air suling; air dua kali penyulingan; air deion dan asetonitril (JT Baker). Mikroba yang digunakan dalam penelitian ini adalah isolat Bacillus sp. PT2B dari Laboratorium Bioteknologi Sekolah Farmasi Institut Teknologi Bandung. Alat Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi inkubator (Leoueux, Paris), inkubator goyang (GSL), autoklaf (OMRON Corporation), laminar air flow cabinet (Microflow), mikropipet (Eppendorf), tip mikropipet (Axygen), oven (LTE, Ltd.), sentrifuga (Sorvall, Legend Micro 17 centrifuge), sentrifuga (Mikro200R zentrifugen Hettich), sentrifuga (Allegra® X-15R), tabung mikrosentrifuga 1,5 mL dan 200 μL (Eppendorf), membran dialisis cut off 2 kDa, Nanosep® cut off 10 kDa, timbangan elektrik (Sartorius BP3105), vorteks (Barnstead, Thermolyne), magnetic stirrer, spektrofotometer sinar tampak (Beckman), pH meter, mikroskop cahaya (Olympus), kromatografi cair kinerja tinggi dengan detektor indeks refraksi (Hitachi D-2000 RIDetector L-2490, Pump HT A L-2130, Jepang) dan kolom KCKT (Waters Spherisorb® NH2 Column, 5 µm, 4,6 x 250 mm, Irlandia). Metode Produksi dan Isolasi CGTase yang Dimurnikan secara Parsial Isolat Bacillus sp. PT2B diinkubasi dalam media Horikoshi cair tanpa indikator warna selama semalam pada suhu 37 °C (biakan induk). Biakan induk disub-kultur ke media Horikoshi cair segar hingga OD660 awal 0,1 dan diinkubasi dalam inkubator goyang pada 37 °C selama 48 jam. Kultur disentrifuga pada 4 °C, 4973,7 g selama 15 menit untuk mendapatkan supernatan. Supernatan yang diperoleh dipekatkan dengan freeze dryer hingga volumenya berkurang menjadi ¼ volume awal. Ke dalam konsentrat supernatan ditambahkan garam amonium sulfat hingga mencapai 76,9 % saturasi pada 4 °C. Campuran tersebut kemudian disentrifuga pada 4 °C, 4973,7 g selama 15 menit. Presipitat yang diperoleh diresuspensi dengan dapar Tris-Cl 15 mM pH 8,0 (+ 3 kali bobot presipitat). Selanjutnya, larutan protein tersebut didialisis menggunakan membran dialisis cut off 2 kDa dan larutan dapar Tris-Cl 3 mM pH 8,0. Dialisis dilakukan selama semalam dengan tiga kali penggantian dapar. Dialisat dipekatkan dengan Nanosep® cut off 10 kDa dan sentrifugasi pada 4 °C, 13.304,3 g selama 10 menit. Fraksi yang diperoleh dari hasil pemekatan dengan Nanosep® ini selanjutnya dinamakan enzim CGTase yang dimurnikan secara parsial. Uji Spesifisitas Produk Siklisasi Sebanyak masing-masing 50 µl enzim CGTase PT2B yang dimurnikan secara parsial (setara dengan 0,035 UA) diinkubasi pada suhu 60 °C selama 24 jam bersama dengan pati dapat larut dengan beberapa konsentrasi dan kondisi: 1% (b/v) dan 10% (b/v) tanpa pregelatinasi serta 1% (b/v) dengan pregelatinasi, dalam 1 ml dapar Tris-Cl 50 mM pH 8,0. Pregelatinasi pati dilakukan dengan memanaskan larutan pati pada suhu 80 °C selama 15 menit sebelum direaksikan dengan enzim. Reaksi enzimatik dihentikan dengan penambahan 100 µl HCl 1,2 N. Rasio produk siklisasi dianalisis menggunakan alat KCKT dengan detektor indeks refraksi dan kolom NH2 (Waters® Spherisorb NH2 Column, 5 µm, 4,6 x 250 mm). Fase gerak yang digunakan adalah asetonitiril : air 255 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan (70:30) dengan laju alir 1,0 ml per menit (Rahman dkk, 2006). Sebagai pembanding digunakan larutan standard CD-α, β, . Hasil dan Pembahasan Siklodekstrin glikosiltransferase (CGTase) memiliki nama sistematik 1,4-α-Dglukan 4-α-D-(1,4-α-glikosil)-transferase (EC 2.4.1.19), termasuk dalam superfamili αamilase, famili hidrolase glikosida 13 (GH 13) yang mengakatalisis reaksi transglikosilasi dan hidrolisis pati menjadi senyawa oligosakarida siklik berupa CD-α, β dan . Reaksi ini terjadi dengan memotong ikatan α-1,4-glikosidik yang terdapat di dalam molekul polisakarida (Qi dan Zimmerman, 2005). Jenis CGTase dibedakan berdasarkan spesifisitas produk CD dominan yang dihasilkannya. Analisis produk siklisasi yang dihasilkan dapat dianalisis menggunakan spektrofotometer VIS maupun dengan KCKT. Analisis dengan spetrofotometer VIS didasarkan pada kemampuan CD untuk membentuk kompleks inklusi dengan zat warna yang mengakibatkan perubahan absrobansi zat warna tersebut pada panjang gelombang tertentu (CD-α dengan metil jingga pada 505 nm; CD-β dengan fenolftalin pada 550 nm; CD- dengan hijau bromokresol pada 630 nm). Pada metode spektrofotometri, selain memerlukan zat warna yang berbeda untuk deteksi CD, metode ini juga sangat dipengaruhi oleh kondisi reaksi seperti kekuatan ionik, pH serta kemungkinan adanya senyawa lain yang mampu berikatan dengan zat warna yang digunakan (Makela dkk, 1987; Qi dan Zimmermann, 2005). Oleh karena itu, dalam penelitian ini dipilih metode KCKT untuk menganalisis produk siklisasi yang dihasilkan. Untuk menentukan spesifistas produk siklisasi dari CGTase PT2B digunakan KCKT dengan detektor indeks refraksi. Detektor berbasis indeks refraksi merupakan detektor universal yang mampu mendeteksi senyawa gula. Kromatogram hasil analisis produk siklisasi dengan KCKT dan rasio produk siklisasi yang dihasilkan ditunjukkan pada Gambar 2 dan Tabel 1. Dari Gambar 2 dan Tabel 1, terlihat bahwa CGTase yang dimurnikan secara parsial dari isolat PT2B menghasilkan CD-β sebagai produk yang paling dominan setelah 24 jam inkubasi pada suhu dan pH optimumnya. Selain CD-β juga dihasilkan CD- dalam jumlah kecil, sementara CD-α tidak terdeteksi. Profil spesifisitas produk siklisasi yang dihasikan oleh CGTase PT2B di mana CD-β lebih dominan daripada CD- dan tidak ada CD-α yang terdeteksi adalah mirip dengan profil yang dihasilkan oleh CGTase dari Bacillus TS1-1 (Rahman dkk, 2006) dan Bacillus G1 (Ong dkk, 2008). Perbandingan sifat/karakter enzim CGTase dari beberapa isolat Bacillus yang memiliki kedekatan spesies dengan PT2B ditampilkan dalam Tabel 2. Tabel 1. Produk siklisasi CGTase yang dimurnikan secara parsial dari Bacillus sp. PT2B. Substrat Rasio produk siklisasi (CD-α μ β μ ) Pati dapat larut 1% (b/v) tergelatinasi 0 : 84 :16 (0 : 4,58 : 0,89 µg/µl) Pati dapat larut 1% (b/v) tidak tergelatinasi 0:1:0 (0 : 0,29 : 0 µg/µl) Pati dapat larut 10% (b/v) tidak tergelatinasi 0 : 85 : 15 (0 : 2,77 : 0,48 µg/µl) 256 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan 40 30 20 10 0 d (d) c (c) b (b) a (a) -10 -20 Intensitas (mV) -30 -40 -50 -60 -70 -80 -90 -100 -110 -120 -130 CD-aCDbCD-g -140 -150 0 5 10 15 20 25 30 Retention Time (min) a) CD - Vial 1 Inj 1 STANDARD001 - Channel 1 Waktu retensi (menit) Gambar 2. Multichromatogram display hasil reaksi siklisasi enzim CGTase yang dimurnikan secara parsial dari Bacillus sp. PT2B. (a) Standard CD-α, β dan (1:5:5 µg/µl); (b) Substrat pati dapat larut 1% (b/v) tergelatinasi; (c) Substrat pati dapat larut 1% (b/v) tidak tergelatinasi; (d) Substrat pati dapat larut 10% (b/v) tidak tergelatinasi. 257 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Tabel 2. Perbandingan profil CGTase dari beberapa spesies Bacillus. Sumber BM Topt Tstab Rasio pHopt pHstab CGTase (kDa) (°C) (°C) CD-α μ β μ PT2B 82 60 54,99 7-9 7-10 0 : 84 : 16 Bacillus 75 60 60 6 5-10 0 : 90 : 10 sp. G1 Bacillus 75 60 70 6 7-9 0 : 86 : 14 sp. TS-1 Bacillus 74,14 53 6 sp. 17-1 Bacillus 78,66 37 10(7)* 0,5 : 91,1 : sp. NR58,4 UPM Bacillus 45 7 0,0132 : BK-1 0,1402 : 0,0012 Keterangan : * : CGTase rekombinannya. - : Tidak ada data. Pustaka Penelitian ini Ong dkk, 2008 Rahman dkk, 2006 Kaneko dkk, 1989 Ramli dkk, 2010 dan 2011 Yunianto 2000 dkk, Berdasarkan data pada Tabel 1, CGTase yang dimurnikan secara parsial dari PT2B menghasilkan CD-β μ CD- dengan rasio 84μ16 dari substrat pati dapat larut 1% (b/v) tergelatinasi, sedangkan CD- tidak terdeteksi pada penggunaan substrat pati dapat larut 1% (b/v) tidak tergelatinasi. Rasio yang hampir sama dihasilkan dari substrat pati dapat larut 10% (b/v) yang tidak dipregelatinasi, yaitu 85:15. Dengan demikian, perlakuan terhadap substrat berupa pregelatinasi (dipanaskan pada suhu 80 °C selama 15 menit) sebelum direaksikan dengan enzim tidak memberikan pengaruh yang berarti terhadap rasio produk siklisasi yang dihasilkan. Meskipun demikian, perlakuan pregelatinasi terhadap substrat sebelum direaksikan dengan enzim sangat berpengaruh terhadap jumlah CD yang dihasilkan. Dengan menggunakan substrat pati dapat larut 1% (b/v) tanpa perlakuan pregelatinasi, CD-β yang dihasilkan oleh CGTase dari PT2B adalah 0,29 µg/µl dan jumlah CD-β yang dihasilkan meningkat menjadi 4,58 µg/µl dengan substrat pati dapat larut 1% (b/v) tergelatinasi. Jumlah ini masih jauh lebih banyak dibandingkan dengan produk CD-β yang dihasilkan dari substrat berupa pati dapat larut 10% (b/v) yang tidak tergelatinasi (2,77 µg/µl) . Efek perlakuan terhadap substrat berupa pregelatinasi dalam meningkatkan produksi CD diantaranya dilaporkan pada CGTase dari Bacillus agaradhaerens KSU-A11 (Ibrahim dkk, 2011). Pati kentang (pati dapat larut) yang tidak dipregelatinasi merupakan struktur kristalin yang kompak sehingga sulit diuraikan oleh enzim-enzim pendegradasi pati karena lemahnya interaksi antara enzim dengan granul-granul pati. Proses gelatinisasi mengakibatkan struktur kristalin pati rusak akibat pemanasan dalam lingkungan air. Pati yang tergelatinasi mengembang secara ireversibel sehingga menciptakan luas permukaan yang lebih besar untuk berinteraksi dengan enzim (Tester dkk, 2004; Ibrahim dkk, 2011). 258 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Kesimpulan dan Saran Enzim CGTase dari Bacillus sp. PT2B menghasilkan produk siklisasi berupa CD-β yang dominan dibandingkan dengan CD- dengan rasio CD-βμCD- sebesar 1μ0 (0,2λμ0 µg/µl) menggunakan substrat pati dapat larut 1% (b/v) tidak tergelatinasi, 84:16 (4,58:0,89 µg/µl) menggunakan substrat pati dapat larut 1% (b/v) tergelatinasi dan 85:15 (2,77:0,48 µg/µl) menggunakan substrat pati dapat larut 10% (b/v) tidak tergelatinasi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa CGTase PT2B merupakan CGTase-β. Penggunaan susbtrat pati dapat larut tergelatinasi dan tidak tergelatinasi tidak memberikan pengaruh berarti terhadap jenis produk CD dominan yang dihasilkan namun sangat berpengaruh terhadap jumlah CD-β yang dihasilkan. CD-β dihasilkan dalam jumlah yang lebih banyak dengan menggunakan substrat pati dapat larut yang tergelatinasi. Untuk penelitian lanjutan disarankan menggunakan beberapa macam substrat pati untuk mengetahui jenis pati terbaik yang dapat menghasilkan CD-β dalam jumlah yang maksimal. Daftar Pustaka Endo, T., Zheng, M. dan Zimmermann, W. (2002) : Enzymatic synthesis and analysis of large-ring cyclodextrins, Australian Journal of Chemistry, 55, 3948. Ibrahim, A.S.S., El-Tayeb, M.A., Elbadawi, Y.B. dan Al-Salamah, A.A. (2011). Effects of substrates and reaction conditions on production of cyclodextrins using cyclodextrin glucanotransferase from newly isolated Bacillus agaradhaerens KSU-A11, Electronic Journal of Biotechnology, 14(5). Kaneko, T., Song, K.B., Hamamoto, T., Kudo, T. dan Horikoshi, K. (1989) : Construction of a chimeric series of Bacillus cyclomaltodextrin glucanotransferase and analysis of the thermal stabilities and pH optima of the enzyme. Journal of General Microbiology, 135, 3447-3457. Kelly, R.M., Dijkhuizen, L. dan Leemhuis, H. (2009) : The evolution of cyclodextrin glucanotransferase product specificity, Applied Microbiology and Biotechnolgy, 84, 119–133. Makela, M., Korpela, T. dan Laakso, S. (1987) : Colorimetric determination of βcyclodextrin: two assay modifications based on molecular complexation of phenolphthalein, Journal of Biochemistry and Biophysical Methods, 14, 8592. Miftahurrohmah, N. (2012) : Karakterisasi Enzimatik Siklodekstrin Glikosiltransferase yang Dimurnikan Sebagian dari Bacillus sp. LT1B dan PT2B Asli Indonesia [tesis], Bandung: Institut Teknologi Bandung. Ong, R.I., Goh, K.M., Mahadi, N.M., Hassan, O., Rahman, R.N.Z.R.A. dan Illias, R.M. (2008) : Cloning, extracellular expression and characterization of a predominant β-CGTase from Bacillus sp. G1 in E.coli, Journal of Indian Microbiology and Biotechnology, 35, 1705-1714. Park, C.S., Kwan, H.P. dan Seung, H.K. (1989) : A rapid screening method for alkaline β-cyclodextrin glucanotransferase using phenolftalein-methyl 259 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan orange-containing-solid medium, Agricultural Biology and Chemistry, 53, 1167-1169. Rahman, K., Illias, R.M., Hassan, O., Mahmood, N.A.N., Rashid, N.A.A. (2006) : Molecular cloning of a cyclodextrin glucanotransferase gene for alkalophilic Bacillus sp. TS1-1 and characterization of the recombinant enzyme, Enzyme and Microbial Technology, 39, 74-84. Ramli, N., Suraini, A.A., Hassan, M.A., Alitheen, N. dan Kamaruddin K. (2010) : Potential cyclodextrin glycosyltransferase producer from locally isolated bacteria, African Journal of Biotechnology, 9, 7317-7321. Sagita, D. (2011) : Isolat Indonesia LT1B dan PT2B Penghasil Siklodekstrin Glukanotransferase (CGTase): Karakterisasi Spesies, Urutan Gen cgtase dan Profil Enzim, Tesis Magister, Sekolah Farmasi Institut Teknologi Bandung. Szejtli, J. (2004) : Past, present, and future of cyclodextrin research, Pure and Applied Chemistry, 76(10), 1825-1845. Tester, R.F., Karkalas, J. dan Qi, X. (2004) : Starch–composition, fine structure and architecture, Journal of Cereal Science, 39(2), 151-165. Van der Veen, B.A., Uitdehaag, J.C.M., Djikstra, B.W. dan Dijkhuizen, L. (2000) : Engineering of cyclodextrin glycsyltransferase reaction and product specificity, Biochimica et Biophysica Acta, 1543, 336-360. Yunianto, P., Rahayu, K. dan Wahyuntari, B. (2000) : Pengaruh pH dan suhu terhadap produksi b-siklodekstrin glikosiltrasferase (b-CGTase) oleh Bacillus sp. BK-1, Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia, 2, 27-31. 260 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Aktivitas Sitotoksik Dari Ekstrak Buah Gewang (Corypha Utan Lamk) Terhadap Sel Kanker Murin Leukimia P-388 Leny Heliawati*1.2, Tri Mayanti2, Agus Kardinan3, Roekmi-ati Tjokronegoro2 1 Universitas Pakuan, Bogor 2 Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung 3 Balai Penelitian Obat dan Aromatik, Bogor Email : leny_heliawati@yahoo.com ABSTRAK Buah gewang (Corypha Utan lamk) secara tradisional oleh masyarakat Timor Nusa Tenggara Timur biasa digunakan untuk meracuni ikan. Data empiris ini mengindikasikan adanya senyawa toksik dalam buah gewang. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui aktivitas sitotoksik ekstrak buah gewang terhadap sel kanker Murin Leukimia P-388. Metode penelitian diawali dengan maserasi biji dan daging buah gewang menggunakan pelarut methanol .Ekstrak metanol yang diperoleh diuji toksisitasnya menggunakan BSLT (Brine Shrimp Lethality Test). Ekstrak metanol dengan toksisitas tertinggi kemudian diuji aktivitas antikankernya terhadap sel Murin Leukimia P-388. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak metanol biji gewang dengan toksisitas tertinggi memberikan nilai LC50 =97 ppm dan uji sitotoksik terhadap sel Murin Leukimia P-388 memberikan nilai IC50 = 15,6 ppm. Kata Kunci : Corypha utan Lamk, sel Murin Leukimia P-388, BSLT, ekstraksi. Pengantar Gewang (Corypha utan Lamk) adalah sejenis tanaman palem yang tumbuh liar di savana Nusa Tenggara Timur (NTT). Buah gewang biasa digunakan untuk meracuni ikan oleh masyarakat Nusa Tenggara Timur. Pemanfaatan tradisional ini menunjukkan adanya sifat toksik pada buah gewang sehingga menarik untuk diteliti lebih lanjut. Tujuan penelitian ini.adalah untuk mengetahui adanya aktivitas toksik dari buah gewang terhadap larva udang Artemia salina dan aktivitas sitotoksiknya terhadap sel murin leukimia P- 388 sehingga dapat diketahui potensinya sebagai antikanker. Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) merupakan salah satu metode skrining untuk menentukan aktivitas toksik suatu ekstrak ataupun senyawa. Metode BSLT juga sering digunakan untuk bioassay dalam usaha mengisolasi senyawa toksik tersebut dari ekstrak. Metode ini seringkali dimaknai lebih dari sekedar uji toksisitas. Bila bahan yang diuji memberikan efek toksik terhadap larva udang, maka hal ini merupakan indikasi awal dari efek farmakologi yang terkandung dalam bahan tersebut. Menurut Meyer et al.(1982)1, beberapa penelitian menunjukkan bahwa A. salina memiliki korelasi positif terhadap ekstrak yang bersifat bioaktif, juga banyak digunakan dalam 261 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan berbagai analisis biosistim seperti analisis terhadap residu pestisida, mikotoksin, polusi, senyawa turunan morfin, dan karsinogenik dari phorbol ester. Penelitian Carballo dkk menunjukkan adanya hubungan yang konsisten antara toksisitas dan letalitas Brine shrimp pada ekstrak tanaman. Metode BSLT dapat dipercaya untuk menguji aktivitas farmakologis dari bahan-bahan alami. Apabila suatu ekstrak tanaman bersifat toksik menurut harga LC50 dengan metode BSLT, maka tanaman tersebut dapat dikembangkan sebagai obat anti kanker. Namun, bila tidak bersifat toksik maka tanaman tersebut dapat diteliti kembali untuk mengetahui khasiat lainnya dengan menggunakan hewan coba lain yang lebih besar dari larva Artemia salina seperti mencit dan tikus secara in vivo (Carballo et al., 2002)2. Sel murin Leukemia P-388 merupakan salah satu jenis sel tumor yang dijadikan sebagai salah satu uji protokol sitotoksik oleh lembaga NCI (National Cancer Institute) Amerika. Hasil pengujian menggunakan sel ini seringkali dijadikan dasar pada uji-uji sejenis, lebih lanjut dalam rangka mendapatkan senyawa model atau kandidat obat kanker (Hoetettman and Hamburger, 1991). Berdasarkan Alley (1998) ekstrak dinyatakan aktif sitotoksik apabila memiliki nilai IC50 < 20 ppm. Bahan dan Metode Bahan Bahan tumbuhan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bagian buah gewang yang diperoleh daerah Buat So’e Kabupaten Timor Tengah Selatan, propinsi Nusa Tenggara Timur, sel Murin P-388, DMSO, PBS (Phosphate Buffer Solution), pereaksi MTT [3-(4,5-dimeitltiazo-2-il-)-2,5-difenil tetrazolium bromida], FBS (Fetal Bovine Serum), untuk BSLT : garam laut, larva udang A. Salina Metode Pengambilan Sampel dan Ekstraksi Pengambilan sampel buah Gewang dilakukan di Daerah Buat, Soe Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Sebanyak 3,9 kg buah Gewang segar dipotong kemudian dipisahkan antara biji dan daging buahnya. Biji dan daging buahnya dihancurkan dengan menggunakan mesin penggiling dan dimaserasi dengan menggunakan masing-masing 4 dan 3 liter pelarut metanol. Maserasi dilakukan selama 3 hari. Setelah 3 hari maserat dipisahkan dari ampas dengan cara penyaringan. Maserat dipekatkan dengan menggunakan rotary evaporator dengan tekanan vakum pada suhu ± 40°C sehingga diperoleh ekstrak pekat metanol. Uji aktifitas toksik terhadap larva A. Salina Prinsip kerja uji sifat toksik terhadap larva udang A. Salina sebagai berikut : sampel dipersiapkan dengan berbagai konsentrasi mulai konsentrasi 1000 sampai 15.725 ppm, menggunakan system triplo. Larva udang dimasukkan sampel tersebut dan dibiarkan selama 24 jam. Jumlah rata-rata larva udang yang mati kemudian dibandingkan dengan jumlah rata-rata total awal larva udang yang dijadikan sampel dan dihitung menggunakan “Bliss metode” (Meyer, 1λ82) Uji aktifitas sitotoksik terhadap sel Murin leukimia P-388 262 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Prinsip kerja pengukuran sifat sitotoksik terhadap sel kanker murin leukimia P-388 adalah sebagai berikut:aktivitas senyawa-senyawa dan artonin E (senyawa pembanding) dinyatakan dengan penentuan IC50 yaitu konsentrasi sampel atau pembanding yang di butuhkan untuk menginhibisi 50% sel tumor murin leukimia P-388 melalui pewarnaan pereaksi MTT, yang diamati dengan microplate reader pada 540 nm. Uji dilakukan dengan cara menambahkan berbagai konsentrasi senyawa dan artonin E pada sel tumor P-388.Setelah di inkubasi selama 48 jam , kedalam sampel ditambahkan pereaksi warna .Kemudian diinkubasi kembali selama 4 jam.Jumlah sel tumor yg terinhibisi oleh sampel di hitung serapan nya dengan menggunakan microplate reader pada panjang gelombang 540 nm setelah penambahan pereaksi stop solution..Nilai IC50 dapat dihitung melelui ekstrapolasi garis 50% serapan control positif pada kurva serapan terhadap konsentrasi sampel diatas kertas semilogaritma Hasil dan Pembahasan Buah tumbuhan Corypha utan Lamk yang didapat dari daerah Bu’at So’e Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur dihancurkan dengan mesin penggiling dan diperoleh sebanyak 3,9 kg. Biji dan daging buahnya dipisahkan dan dimaserasi secara terpisah. Massa biji 1,3 kg sedangkan buah 2,6 kg. Pemotongan sampel dilakukan agar dapat memperbesar luas permukaan dan memecah dinding sel sampel sehingga senyawa-senyawa kimia yang terkandung di dalamnya dapat terekstraksi secara maksimal. Sampel yang telah dihancurkan kemudian diekstraksi dengan cara maserasi dengan pelarut metanol selama 3x24 jam pada suhu ruang. Pengekstraksian dilakukan untuk memaksimalkan ekstraksi sampel karena dengan jangka waktu tersebut filtrat metanol sudah berkurang warnanya, artinya pelarut maksimal dalam mengambil senyawasenyawa dalam sampel. Penggunaan metanol dalam proses maserasi dikarenakan metanol dapat melarutkan senyawa-senyawa polar dan nonpolar sehingga sangat baik untuk mengekstrak kandungan metabolit sekunder dalam tanaman (Cordell, 1981)4. Adapun pemilihan teknik maserasi sebagai metode ekstraksi dikarenakan senyawa-senyawa yang akan diisolasi belum diketahui karakteristik senyawanya, sehingga penggunaan ekstraksi bersuhu tinggi seperti sokletasi dihindari untuk mencegah terdekomposisi atau rusaknya senyawa-senyawa yang tidak tahan panas. Namun, maserasi memiliki kekurangan, yaitu prosesnya memerlukan waktu yang cukup lama dan pelarut yang lebih banyak bila dibandingkan dengan metode sokletasi. Maserat kemudian disaring dan dipekatkan menggunakan rotatory evaporator pada tekanan rendah dan suhu 40ºC sehingga diperoleh ekstrak pekat metanol biji dan buah. Teknik penguapan pelarut dengan evaporator ini dilakukan untuk mendapatkan ekstrak n-heksana, etil asetat, dan metanol pekat dengan cepat dan efisien. Evaporator dilengkapi pompa vakum atau aspirator, sehingga tekanan dalam sistem menjadi rendah. Pada tekanan yang rendah, titik didih suatu senyawa menjadi lebih rendah, sehingga waktu yang dibutuhkan untuk menguapkan pelarut menjadi lebih cepat. Penggunaan suhu 40ºC bertujuan untuk mencegah dekomposisi senyawa yang terkandung dalam ekstrak. Hasil ekstraksi buahgewang seperti tertera dalam Tabel 1 263 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Table 1 Hasil ekstraksi dari buah gewang Sampel (kg) Biji (1,3) Daging buah (2,6) Massa Ekstrak Metanol (g) 21,99 261,51 Bhrine Shrimp Lethality Test (BSLT) Metode BSLT ini digunakan untuk memantau adanya aktivitas toksik dari suatu ekstrak tanaman. Larva udang (A. salina) merupakan hewan avertebrata yang sangat sensitif dengan lingkungan sekitarnya, sehingga sangat cocok sebagai hewan uji aktivitas toksik . Selain itu, permukaan kulit A. salina yang sangat tipis sehingga mudah dimasuki oleh zat-zat tertentu. Senyawa yang bersifat toksik akan masuk ke dalam tubuh A. salina melalui kulitnya, karena kulitnya yang begitu halus dan berfungsi sebagai alat pernapasannya. Sebagai panduan untuk tahapan selanjutnya, maka dilakukan uji toksisitas terhadap ekstrak metanol biji gewang dan daging buah gewang sehingga diketahui ekstrak mana yang mengandung senyawa aktif yang bersifat toksik. Aktivitas toksik diukur dengan metode BSLT. Bioindikator yang digunakan adalah A. salina. Metode BSLT dipilih sebagai pemandu bioaktivitas karena metodenya cepat, sederhana dan efektif (Steven, 1993)6. Selain itu juga, pada penelusuran literatur didapatkan informasi tentang korelasi aktivitas toksik terhadap larva udang (A. salina) dengan aktivitas antikanker (Babajide et al., 2008)7. Ekstrak metanol, dibuat dengan konsentrasi 15,725; 31,25; 62,5; 125; 250; 500; 1000 ppm untuk uji toksisitas. Pelarutnya diuapkan hingga kering kemudian dimasukkan larva udang yang sudah berumur 24 jam sebanyak 15 ekor. Setelah itu dimasukkan larutan pemeliharaan sampai 2 ml. Larutan uji dibiarkan selama 24 jam, kemudian dihitung jumlah larva udang yang mati dan dihitung persentase mortalitasnya dari setiap ekstrak. Hasil penelitian toksisitas dalam berbagai ektraks dari biji dan buah gewang diperlihatkan dalam Tabel 2 dan 3. Tabel 2. Presentasi kematian larva udang ekstrak biji gewang Sampel MeOH biji buah MeOH daging buah 1000 20 86,67 500 40 60 Persentasi kematian larva udang 250 125 62,5 31,25 20 0 33,3 0 33.3 40 40 40 15,725 26,67 20 Tabel 3. Nilai LC50 dari biji dan daging buah gewang Ekstrak Metanol Biji gewang Ekstrak Metanol Daging buah gewang Nilai LC50 Nilai LC50 97. ppm 341.002 ppm Berdasarkan analisis hasil uji toksisitas terhadap ekstrak metanol menunjukkan bahwa ekstrak methanol biji gewang paling toksik dengan nilai LC50 sebesar 97 ppm. 264 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Uji sitotoksik sel murin leukimia P-388 Sel murin leukimia P-388 merupakan salah satu jenis sel tumor yang di jadikan sebagai salah satu uji protocol sitotoksik oleh lembaga NCI (National Cancer Institute) Amerika . Hasil pengujian menggunakan sel ini sering kali di jadikan dasar pada uji-uji sejenis ,lebih lanjut dalam rangka mendapatkan senyawa model atau kandidat obat kanker (Hoetettman and Hamburger,1991) Sebagai panduan untuk tahapan selanjutnya maka dilakukan uji sitoksitas terhadap ekstrak methanol biji gewang yang mempunyai sifat toksik yang tinggi dengan LC50=97 ppm. Hasil penelitian sitotoksik pada ekstrak methanol biji gewang diperlihatkan dalam tabel 4 dan gambar 1 Tabel 4. Serapan Nilai OD terhadap konsentrasi Kosentrasi sampel ppm 100 30 10 3 1 0,3 0,1 Serapan 0,033 0,004 0,153 0,151 0,169 0,299 0,449 Gambar 1. Kurva serapan terhadap konsentrasi ekstrak metanol Berdasarkan analisis hasil uji sitotoksik, ekstrak metanol biji gewas menunjukan nilai IC50 =15,6 ppm Kesimpulan Eksrak metanol biji gewang menunjukkan toksiksitas yang tinggi dengan nilai LC50 sebesar 97.ppm dan sitotoksik terhadap sel murin leukimia P-388 dengan nilai IC 50 sebesar 15.6 ppm 265 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Daftar Pustaka Alley, M. C., Scudiero,D. A., Monks,A., Hursey, M. L., Czerwinski, M.J., Fine, D. L., Abbott, B. J., Mayo, J. G., Shoemaker, R. H., and Boyd., M. R. 1988. Feasibility of drug screening with panels of tumor cell lines using a microculturetetrazolium assay. Cancer Research 48: 589-601. Babajide, O.J., Babajide, O.O., Daramola, A.O., & Mabusela, W.T. 2008. Flavonols sand an oxychromonol from Piliostigma reticulatum. Phytochemistry, 69, 2245-2250 Carballo JL, Hernandez-Inda ZL, Perez P, Garcia-Gravaloz MD. 2002. Comparison between two brine shrimp assays to detect in vitro cytotoxicity in marine natural products. BMC Biotechnology, 2:1472-6570. Cordell, G.A. 1981. Introduction to Alkaloid A Biogenetic Approach. Jhon Willey and Sons, Inc. New York. 890-907. Finney, D.J. 1971. Probit Analysis. 3rd edition. Cambridge University Press. Hostettman, K . 1991, Assay of bioactivity. Methode in plant biochemsitry, series editor P. M. Dey, J. B. hardorne, Vol 6, Academic Press, London. Meyer, B.N., N.R. Ferrighni, J.E. Putnam, L.B. Jacobson, D.E. Nichols and J.L McLaughlin, 1982. Brine Shrimp: A Convenient General Bioassay for Active Plant Constituent. Planta Medica. 45 : 31-34. Steven, M.C. 1993. Bioactive Natural Product : Detection, isolation, anti Structural Determination, CRC Press. 266 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol dari Angkak Terhadap Kadar Trigliserida dan Bobot Badan dari Tikus Putih Jantan Hiperlipidemia Ela Novianti, Nurlaili Ekawati, Ai Hertati dan Djadjat Tisnadjaja Laboratorium Biofarmasetika Pusat Penelitian Bioteknologi – LIPI Jalan Raya Bogor KM.46, Cibinong 16911 E-mail : ela.novianti@gmail.com ABSTRAK Salah satu kelainan pada hiperlipidemia adalah kelainan metabolime trigliserida, oleh karena itu diagnosis hiperlipidemia dapat ditegakkan berdasarkan pada peningkatan kadar trigliserida dalam darah. Angkak memiliki kandungan senyawa monakolin K yang memiliki struktur dan khasiat yang serupa dengan lovastatin yaitu suatu senyawa aktif yang banyak digunakan dalam obat hipolipidemik. Dalam penelitian ini telah dipelajari pengaruh pemberian ekstrak etanol dari angkak selama 8 minggu terhadap kadar trigliserida dari tikus putih jantan galur Sprague Dawley yang telah diinduksi pakan tinggi kolesterol. Tikus dikelompokkan kedalam lima kelompok perlakuan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pemberian ekstrak dengan dosis 10 mg/kg berat badan memberikan penurunan kadar trigliserida sebesar 23,30% dan pemberian dosis lebih besar yaitu 20 mg/kg berat badan tidak diikuti dengan penurunan kadar trigliserida yang lebih tinggi, dimana penurunan yang terjadi hanya sebesar 19,65%. Tingkat penurunan ini sama seperti yang teramati pada perlakuan dengan pemberian simvastatin 10 mg, dimana kadar trigliserida mengalami penurunan sebesar 20,02%. Ekstrak etanol angkak tidak menurunkan bobot badan dan selera makan tikus Sprague Dawley selama penelitian. Kata Kunci : angkak, bobot badan, ekstrak etanol, monakolin K, trigliserida. Pengantar Hiperlipidemia adalah peningkatan kadar kolesterol total, trigliserida, LDL (Low Density Lipoprotein) dan penurunan HDL (High Density Lipoprotein) dalam darah yang disebabkan karena adanya kelainan metabolisme lipid (Hutter, et al., 2004; Grundy et al., 2005). Peningkatan kadar lipid dalam sirkulasi darah tersebut bisa menimbulkan gangguan kesehatan jangka panjang. Kondisi hiperlipidemia yang berkelanjutan dapat memicu terbentuknya aterosklerosis yang menjadi dasar meningkatnya insiden penyakit kardiovaskuler. Jika aterosklerosis ini terjadi di pembuluh darah arteri yang memasok oksigen ke jantung, maka hal ini dapat menyebabkan penyakit jantung koroner, dan jika pada pembuluh darah yang ke otak akan menyebabkan stroke. Penelitian Interheart tahun 2004 seperti yang dikutip oleh Bull & Morrel (2007) pada 52 negara menunjukkan bahwa hampir 50% serangan jantung dikaitkan dengan kadar lipid darah yang abnormal. Orang dengan kadar kolesterol yang abnormal, tiga kali lebih mudah mendapat serangan jantung dan 267 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan penyakit kardiovaskuler lain dibandingkan mereka yang memiliki kadar kolesterol normal. Kelainan metabolisme pada hiperlipidemia salah satunya adalah kelainan metabolime trigliserida, oleh karena itu diagnosis hiperlipidemia dapat ditegakkan berdasarkan pada peningkatan kadar trigliserida dalam darah. Trigliserid atau triasilgliserol terdiri atas 3 asam lemak yang teresterifikasi pada gugus hidroksil dari molekol gliserol. Sintesis trigliserid berlangsung dalam sitoplasma. Kadar trigliserid darah normal pada manusia adalah kurang dari 160 mg/dl. Beberapa faktor yang mempengaruhi kadar trigliserida di dalam darah adalah kegemukan, makanan berlemak, glukosa dan alkohol. Kadar trigliserida yang tinggi dapat juga terjadi karena adanya kelainan genetik, pertambahan usia, kurang olahraga dan faktor stres (Goldstein et al., 1973; Mayes et al., 1990; Kasim dkk, 2006, Soeharto, 2004; Tisnadjaja 2006). Telah dilaporkan bahwa kadar trigliserida yang tinggi dalam darah merupakan salah satu faktor resiko penyakit jantung koroner (Assman, 1993; Lacoste et al., 1995; Clause et al., 2000; Grundy et al., 2005; Santoso & Setiawan, 2005). Hipertrigliserida menyebabkan sekitar 18 % penyakit serebrovaskular dan sekitar 56 % penyakit jantung iskemik di seluruh dunia (Kreisberg & Oberman, 2003). Hal tersebut membuktikan bahwa kondisi peningkatan kadar lipid merupakan masalah kesehatan yang serius dan dibutuhkan penanganan yang tepat bagi penderitanya. Penatalaksanaan hiperlipidemia yaitu dengan pengontrolan diet dan pemberian obat hipolipidemik. Namun, pemberian obat hipolipidemik mempunyai efikasi yang terbatas dan kadang menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan (Kreisberg et al., 2003). Pengobatan hiperlipidemia juga membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang tidak sedikit apalagi untuk pasien yang kadar lipidnya jauh lebih tinggi dari normal maka pengobatannya pun harus dibarengi dengan perubahan pola hidup, khususnya pola makan. Sedangkan, bagi sebagian besar orang hal ini sangat sulit dilakukan (Cicero dkk, 2005, Tisnadjaja, 2006). Karena itu, diperlukan alternatif terapi bagi penderita hiperlipidemia. Penggunaan bahan alam sebagai obat tradisional telah diterima secara luas oleh masyarakat hampir di seluruh negara di dunia. Alasan inilah yang menyebabkan meningkatnya ketertarikan penggunaan bahan alam untuk menangani hiperlipidemia. Angkak adalah produk fermentasi yang di Cina secara tradisional banyak dimanfaatkan sebagai obat atau bahan baku obat karena kandungan senyawa monakolin K yang memiliki struktur dan khasiat yang serupa dengan lovastatin suatu senyawa aktif yang banyak digunakan dalam obat hipolipidemik (Palo, 1960; Hesseltine, 1965; Ma et al., 2000, 2004;Tisnadjaja dkk, 2004; Chen & Hu, 2005). Senyawa ini merupakan inhibitor kompetitif bagi enzim 3-hydroxymethyl-glutaryl Coenzyme A reductase (HMG CoA reduktase), yaitu enzim yang mengontrol jalur biosintesis lipid (Brown dan Goldstein, 1991; Yang & Mousa, 2012). Heber et al. (1999) menyatakan bahwa lovastatin dapat menurunkan kadar kolesterol darah sebesar 11-32% dan kadar trigliserida sebesar 12-19%. Beberapa studi pre klinik maupun klinik tentang angkak sebagai terapi hiperlipidemia telah banyak dilakukan. Pemberian angkak selama 21 hari pada tikus yang diberi diet tinggi kolesterol yang dilakukan Kasim dkk (2006) berhasil menurunkan kadar kolesterol total hingga 20,78%. Penelitian yang dilakukan Li et al. 268 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan (1998) menggunakan kelinci yang dibuat hiperlipidemia secara endogen maupun eksogen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian angkak menyebabkan penurunan kadar kolesterol serum dan trigliserida serta menghambat terbentuknya aterosklerosis. Wei et al. (2003) melaporkan bahwa pemberian angkak terhadap kelinci yang diberi diet tinggi lemak selama 200 hari menurunkan kadar kolesterol totalnya di dalam darah sebesar 25-40%. Dalam penelitian tersebut diketahui bahwa kadar trigliserida juga mengalami penurunan secara signifikan. Sementara itu, uji klinis pada manusia menunjukkan adanya penurunan kolesterol total sebesar 13 – 26 %, LDL 21 – 33 % dan trigliserida 13 – 34 % setelah pemberian angkak (Wang et al., 1997; Heber et al., 1999; Qin et al.,1999; Rippe et al., 1999; Keithley et al., 2002). Studi yang dilakukan di UCLA dan dipublikasikan dalam American Journal of Clinical Nutrition menemukan bahwa pemberian 2400mg angkak per hari pada manusia dapat menurunkan kolesterol, trigliserida dan kolesterol LDL sesudah 8 minggu (Anon, 2004). Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji efek hipolipidemia angkak yaitu efek penurun kadar trigliserida darah dari tikus putih jantan percobaan galur Sprague Dawley. Selain itu akan dipelajari juga pengaruh ekstrak etanol angkak terhadap bobot badan hewan uji. Bahan dan Metode Bahan Penelitian menggunakan Kapang M. purpureus koleksi Puslit Bioteknologi LIPI, beras putih, tepung beras, potassium dihydrogen fosfat, sodium nitrat, magnesium sulfat, MSG, kalsium klorida, Na asetat, glukosa, simvastatin, pakan tikus standard, suspensi otak sapi dan PTU (Propil Tio Urasil). Hewan uji menggunakan 25 ekor tikus putih jantan galur Sprague Dawley. Kadar trigliserida darah diukur menggunakan Accutrend GCT. Metode Produksi Angkak (Beras Merah Hasil Fermentasi) Bahan penelitian berupa beras merah hasil fermentasi diproduksi melalui proses fermentasi fasa padat dengan menggunakan beras sebagai media atau sumber karbon utama. Dalam proses fermentasi ini digunakan kapang Monascus purpureus yang merupakan koleksi Puslit Bioteknologi-LIPI. Sementara pengembangan inokulum dan fermentasi fasa cair dilakukan dengan menggunakan media yang mengandung tepung beras (5%), potassium dihydrogen fosfat (0,25%), sodium nitrat (0,15%), magnesium sulfat (0,1%), MSG (0,1%), kalsium klorida (0,001%) dan keasaman atau pH diatur pada nilai 6,2 (Tisnadjaja, 2003; Tisnadjaja dkk, 2005). Media yang digunakan untuk proses fermentasi fasa padat adalah beras yang sebelumnya direndam di dalam larutan yang mengandung 2% Na asetat dan 0,3% glukosa dimana perbandingan antara beras dan larutan perendam adalah 1:1. Setelah direndam, beras yang akan digunakan sebagai media tersebut ditiriskan sampai tidak ada air yang menetes dan dimasukkan ke dalam botol fermentasi masing-masing sebanyak 100 g dan kemudian di sterilisasi dengan cara pengukusan selama 2 jam (Tisnadjaja, 2003). 269 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Fermentasi fasa cair atau submerged yang digunakan untuk mengembangkan inokulum, dilakukan dengan menggunakan Erlenmeyer ukuran 250 ml yang diisi dengan media sebanyak 50 ml. Inkubasi dilakukan pada rotary shaker dengan kecepatan putaran 100 rpm pada suhu ruang selama 7 hari.Sementara proses fermentasi fasa padat, dengan media utama beras, dilakukan dengan menggunakan botol jam sebagai reaktor dan inkubasi (kecuali dinyatakan lain) dilakukan selama 14 hari pada suhu ruang. Ekstraksi Ekstraksi dilakukan dengan metode refluks menggunakan pelarut etanol 75% selama 3 jam, dimana perbandingan antara bahan yang diekstraksi dengan pelarut adalah 1 : 3 (Tisnadjaja & Irawan, 2006). Ulangan dilakukan sebanyak tiga kali. Hasil ekstraksi dipekatkan dengan menggunakan vakum evaporator hingga diperoleh ekstrak kental, dan dilanjutkan dengan pengeringan didalam lemari pengering dengan suhu 50 o C. Induksi Hiperlipidemia Hewan Uji Induksi hiperlipidemia pada tikus dilakukan dengan pemberian pakan tinggi kolesterol dan propil tiourasil (PTU) 0,01% selama 2 minggu (KKI Phyto Medica, 1993). Pakan tinggi kolesterol menggunakan suspensi otak sapi dosis otak sapi 100g/150ml air (Tisnadjaja dkk, 2011). Otak diberikan secara cekok sebanyak 3 ml/ekor tikus. Uji Farmakologi Tikus diadaptasikan selama dua minggu terhadap makanan dan lingkungannya sebelum dilakukan uji farmakologi. Makanan hewan uji diberikan sebanyak 20g/ekor/hari dan air minum diberikan secara ad libitum. Tikus diletakkan dalam kandang berukuran 30 X 20 X 20 cm. Pengujian dilakukan menggunakan tikus putih jantan galur Sprague Dawley berumur 2 – 3 bulan dengan berat badan rata-rata 200 – 250 g. Tikus yang telah dibuat hiperlipidemia diberi bahan uji secara oral selama 8 minggu. Sementara pengukuran kadar trigliserida darah dilakukan pada minggu ke 0, minggu ke 1, minggu ke 2, minggu ke 4 dan minggu ke 8. Tikus dikelompokkan kedalam lima kelompok perlakuan yang masing-masing terdiri dari 5 ekor tikus. Kelompok A sebagai kontrol positif diberi perlakuan pengobatan dengan simvastatin 10mg/kg bobot badan setelah sebelumnya diinduksi hiperlipidemia, kelompok B yaitu kelompok yang diinduksi hiperlipidemia namun tidak diobati dan hanya dicekok CMC sebagai kontrol negatif, kelompok C dan D yaitu kelompok yang diinduksi kemudian diberi perlakuan dengan ekstrak etanol angkak masing-masing dengan dosis 10 mg dan 20 mg, dan kelompok E yaitu kelompok yang tidak diberi perlakuan, baik induksi maupun pengobatan, sebagai kontrol normal. 270 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Pengambilan dan Pengukuran Trigliserida Darah Sebelum pengambilan sampel darah, tikus dipuasakan terlebih dahulu selama 12 jam. Darah tikus diambil dengan cara memotong ekor tikus kira-kira 5 mm dari bagian ujung ekor. Ujung ekor sebelum dan sesudahnya dibersihkan dengan alkohol 70%. Darah diambil sebanyak ± 5 ml. Pengukuran trigliserida dilakukan menggunakan metode enzimatis dengan Accutrend GCT. Hasil dan Pembahasan Pengaruh pemberian ekstrak angkak terhadap kadar trigliserida Dalam penelitian ini digunakan ekstrak etanol angkak dengan dua variasi dosis yaitu 10 mg/kg berat badan dan 20 mg/kg berat badan. Sementara parameter lipid yang diukur adalah kadar trigliserida. Pada pengamatan pengaruh perlakuan terhadap perubahan kadar trigliserida (Tabel 1) terlihat bahwa dengan pemberian ekstrak dengan dosis 10 mg/kg berat badan memberikan penurunan kadar trigliserida sebesar 23,30%. Pemberian dosis lebih besar yaitu 20 mg/kg berat badan tidak diikuti dengan penurunan kadar trigliserida yang lebih tinggi, dimana penurunan yang terjadi hanya sebesar 19,65%. Tingkat penurunan ini sama seperti yang teramati pada perlakuan dengan pemberian simvastatin 10 mg, dimana kadar trigliserida mengalami penurunan sebesar 20,02%. Triglserida merupakan bagian yang selalu ada pada semua bentuk lipoprotein termasuk pada LDL kolesterol dan HDL kolesterol. Oleh karena itu sangat dimungkinkan bahwa pemberian dosis ekstrak angkak yang lebih tinggi tidak diikuti dengan penurunan kadar trigliserida yang lebih besar. Hal ini bisa terjadi karena penurunan LDL kolesterol yang diakibatkan oleh pemberian ekstrak angkak pada kondisi tertentu menyebabkan peningkatan kadar HDL kolesterol, sehingga kadar trigliserida tidak terlihat berubah secara nyata. Hasil analisis variansi (Tabel 2) menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata antara perlakuan terhadap nilai trigliserida. Ini berarti bahwa perbedaan dosis perlakuan tidak memberikan perbedaan nyata pada penurunan kadar trigliserida. Tabel 1. Hasil pengukuran trigliserida hewan uji. Kelompok Trigliserida (mg/dL) (Perlakuan) Minggu ke0 1 2 4 A (Simvas 10 mg) 155,8 117 128,6 157,6 B (Tidak diobati) 135,2 135,4 125 143,2 C (Dosis 10 mg) 145,2 147,8 165,2 144,6 D (Dosis 20 mg) 141,2 124,6 153,8 147,4 E (Normal) 144,6 105 127 106 271 6 110,4 111,4 112,2 117,6 102,6 8 124,6 130,2 134,8 131 138,2 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Tabel 2. Hasil analisis variansi trigliserida hewan uji Sumber variasi dk JK KT F P Kelompok 4 7283,6 1820,9 2,34 0,059 Minggu Ke5 19023,0 3804,6 4,89 0 Kelompok*Minggu ke20 14891,7 744,6 0,96 0,519 Galat 120 93426,0 778,5 Total 149 134624,3 H0 = Tidak terdapat perbedaan nyata antara perlakuan tiap kelompok maupun waktu pengamatan terhadap nilai trigliserida H1 = Terdapat perbedaan nyata antara perlakuan tiap kelompok maupun waktu pengamatan terhadap nilai trigliserida Diketahui nilai F0,05(4,120) = 2,45 dan F0,05(5,120) = 2,29. Hal ini berarti nilai F hitung < F tabel maka H0 diterima, yang berarti tidak terdapat perbedaan nyata antara perlakuan tiap kelompok terhadap nilai trigliserida hewan uji. Namun terdapat perbedaan nyata antar waktu pengamatan terhadap nilai trigliserida karena nilai F hitung lebih besar dari F Table Pada kelompok C dan D yang diberi ekstrak angkak terjadi penurunan kadar trigliserida. Hal ini disebabkan karena angkak mengandung senyawa monakolin K yang memiliki struktur dan khasiat yang serupa dengan lovastatin. Obat hipolipidemik golongan statin yang mengandung senyawa penghambat HMG-koA reduktase bekerja dengan jalan menghambat 3-hydroxy-3-methylglutaryl koenzim A yaitu enzim yang mengontrol sintesa kolesterol. Hal ini mengakibatkan peningkatan kualitas reseptor LDL pada sel hepatosit sehingga mempercepat pembersihan lipid dari dalam plasma. Selain terjadi peningkatan pembersihan LDL dari dalam darah dengan adanya peningkatan jumlah reseptor, statin juga mengurangi produksi dan mengubah pembersihan LDL oleh sel hepar sehingga menyebabkan penurunan kadar trigliserida (Sargowo, 2011). Menurut Grundy (1988), mekanisme penurunan kadar trigliserida oleh statin dimulai ketika inhibitor tersebut mereduksi konsentrasi kolesterol di dalam hepatosit dan meningkatkan kinerja LDL-reseptor. Reseptor tersebut juga berhubungan erat dengan komponen-komponen VLDL, sehingga trigliserida akan ikut tereduksi. 272 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Angkak juga mengandung plant sterol: h-sitosterol, campesterol, stigmasterol, saponin dan sapogenin; isoflavone dan isoflavone glycoside; selenium dan zinc (Ma et al., 2000; Wang et al., 1997; Heber et al., 1999). Beberapa penelitian melaporkan bahwa efek hipolipidemik angkak bukan hanya disebabkan oleh senyawa monakolin, namun sinergi dari semua komponen yang terkandung didalamnya. Senyawa-senyawa tersebut mencegah penyerapan lipid dan meningkatkan pembersihan lipid dari sirkulasi (Li et al., 1998; Ma et al., 2000;Wang et al., 1997; Heber et al., 1999; Keithley et al., 2002). Pengaruh pemberian ekstrak angkak terhadap bobot badan Perkembangan bobot badan tikus selama 8 minggu masa penelitian dapat dilihat di tabel 3 dan gambar 2. Pada penelitian ini pola makan tikus juga diperhatikan dengan cara mengumpulkan sisa pakan yang tidak dimakan oleh tikus setiap hari. Sisa pakan itu kemudian dibuat rerata dan didapatlah hasil seperti pada tabel 5 dan gambar 3 seperti di bawah. Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa bobot badan tikus untuk semua kelompok perlakuan mengalami peningkatan. Hardiningsih et al. (2004), menyatakan bahwa pemberian pakan hiperkolesterolemia dapat meningkatkan bobot badan tikus Wistar. Tikus normal (kelompok E) selama masa penelitian mengalami kenaikan bobot sebesar 33,50%. Kenaikan bobot pada kelompok ini sejalan dengan pertambahan usia tikus. Kelompok C, yang diberi ekstrak angkak dosis 10 mg/kg berat badan setelah diinduksi pakan tinggi kolesterol mengalami kenaikan bobot badan sebesar 38,70%, lebih besar dibandingkan dengan kelompok D yang dosis ekstrak angkaknya lebih tinggi, yakni 20 mg/kg berat badan. Tikus pada kelompok D mengalami kenaikan bobot badan 35,09% mendekati kenaikan bobot tikus pada kelompok normal. Dengan demikian, pemberian ekstrak angkak baik dosis 10 dan 20 mg/kg berat badan memberikan kenaikan bobot badan dan konsumsi yang tidak berbeda dengan tikus normal. Ekstrak angkak tidak menurunkan bobot badan dan selera makan tikus Sprague Dawley selama penelitian. Bobot badan tikus yang diberi ekstrak angkak mengalami kenaikan atau pertumbuhan. Adanya kenaikan bobot badan selama penelitian pada tikus dan jumlah konsumsi pakan yang sama menandakan kondisi tikus dalam keadaan sehat. Tabel 3. Hasil pengukuran bobot badan hewan uji. Kelompok Bobot badan (g) (Perlakuan) Minggu ke0 1 2 4 A (Simvas 10 mg) 184 206 212 236 B (Tidak diobati) 196 212 228 252 C (Dosis 10 mg) 190 202 224 260 D (Dosis 20 mg) 196 206 228 256 E (Normal) 198 216 226 256 273 6 248 292 282 278 276 8 294 268 310 302 298 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Tabel 4. Hasil analisis variansi bobot badan hewan uji Sumber variasi dk JK KT Kelompok 4 9376,0 2344,0 Minggu Ke5 195773,3 39154,7 Kelompok*Minggu ke20 5000,0 250,0 Galat 120 86080,0 717,3 Total 149 296229,3 F 3,27 54,58 0,35 P 0,014 0 0,996 H0 = Tidak terdapat perbedaan nyata antara perlakuan tiap kelompok maupun waktu pengamatan terhadap bobot badan H1 = Terdapat perbedaan nyata antara perlakuan tiap kelompok maupun waktu pengamatan terhadap bobot badan Diketahui nilai F0,05(4,120) = 2,45 dan F0,05(5,120) = 2,29. Hal ini berarti nilai F hitung > F tabel maka H0 ditolak, yang berarti terdapat perbedaan nyata antara perlakuan tiap kelompok terhadap nilai bobot badan maupun waktu pengamatan hewan uji. Sedangkan pada kelompok B, yaitu kelompok yang diinduksi hiperlipidemia namun tidak diobati dan hanya dicekok CMC memperlihatkan kenaikan bobot badan yang lebih rendah dibandingkan dengan kelompok C dan D yang diberi ekstrak angkak. Hal ini disebabkan karena tikus pada kelompok ini mengurangi konsumsi pakannya yang dibuktikan dengan bertambahnya sisa pakan. Dapat dilihat dalam grafik 3, seiring dengan pertumbuhan tikus dari minggu ke minggu, sisa pakan yang dihasilkan pun semakin sedikit. Akan tetapi, pada kelompok B sisa pakan lebih banyak dibandingkan dengan keempat kelompok lainnya. Hal ini mengindikasikan kondisi tikus yang hiperlipidemi mempengaruhi bobot badan dan selera makan tikus Sprague Dawley selama penelitian. 274 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Tabel 5. Sisa Pakan (Selama masa Perlakuan). Kelompok A B C D E I 4.14 6.24 5.19 4.15 4.89 II 3.98 5.75 3.82 3.42 3.68 Minggu KeIV 4.23 4.89 1.77 2.15 3.40 VI 3.06 4.39 1.53 2.32 2.50 VIII 1.38 2.47 1.11 0.98 1.74 Gambar 3. Hubungan antara sisa pakan hewan uji terhadap waktu perlakuan. Kesimpulan Pemberian ekstrak etanol angkak dosis 10 mg/kg berat badan dapat menurunkan kadar trigliserida tikus wistar galur Sprague dawley sebesar 23,30%, namun pemberian dosis lebih tinggi (20 mg/kg berat badan tidak diikuti dengan penurunan kadar trigliserida yang lebih besar. Ekstrak angkak tidak menurunkan bobot badan dan selera makan tikus Sprague Dawley selama penelitian. Angkak dapat digunakan sebagai terapi hiperlipidemia. Daftar Pustaka Anonymous. 2004. Herbal Methods for High Cholesterol. www.tips4betterlife.com/herbs/cure-highcholesterol.html [18 Juni 2013]. Assman G. 1993. Lipid metabolism disorder and coronary heart disease, edisi ke-2. Munich: MMV Medizin Verlag: 71-89. Brown, M.S. and J.L. Goldstein. 1991. Drugs Used in The Treatment of Hiperlipoproteinemia. Pharmacological Basis of Therapeutics. 8thedition. Mc.Graw Hill Book. New York. Bull, E. dan Morell, J., 2007. Kolesterol. Erlangga. Jakarta, hal. 26-28, 45-46. Chen, Fusheng & Xiaoqing Hu. 2005. Study on red fermented rice with high concentration of monacolin K and low concentration of citrinin. International Journal of Food Microbiology 103, 331– 337. Cicero, A.F.G., M. Brancaleoni, L.Laghi, F. Donati and M. Mino. 2005. Antihyperlipidemic effect of a Monascus purpureus brand dietary supplement 275 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan on lrge sample of subjects ot low risk for cardiovascular disease : A pilot study, Complementary Therapies in Medicine vol 1, 273-278. Clause, Luley., Gunnar Ronquist, Wolfgang Reutter, Valerie Paal, HansDetchlev, Sabine Westphal, et al. 2000. Point of Care Testing of Triglycerides, Evaluation of the Accutrend Triglycerides System. Clinical Chemistry. 46: 287-291. Goldstein, Joseph L, William R Hazzard, Helmut G Schrott, Edwin L Bierman, Arno G Motulsky. 1973. Hyperlipidemia in Coronary Heart Disease. J Clin Invest. 52(7): 1533-43. Grundy, S.M. 1988. HMG-CoA reductase inhibitors for treatment of hypercholesterolaemia. N.Engl.J.Med., 319: 24 – 32. Grundy, Scott M. , Gloria L. Vega, Zhong Yuan, Wendy P. Battisti, William E. Brady, Joanne Palmisano. 2005. Effectiveness and tolerability of simvastatin plus fenofibrate for combined hyperlipidemia (the SAFARI trial) . American Journal of Cardiology Volume 95, Issue 4 , Pages 462-468. Hardiningsih, R. R.N.R. Napitupulu, T. Yulinery, E.Triana, E. Kasim, dan N. Nurhidayat. 2004. Pengaruh pemberian pakan hiperkolesterolemia terhadap bobot badan tikus putih wistar yang diberi bakteri asam laktat. Seminar Pertemuan Ilmiah Tahunan Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia. Semarang, 27-28 Agustus 2004. Heber, D., Yip, I., Ashley, J.M., Elashoff, D.A., Elashoff, R.M., Go, V.L., 1999. Cholesterol-lowering effects of a proprietary Chinese red-yeast-rice dietary supplement. American Journal of Clinical Nutrition 69 (2), 231–236. Hesseltine, C.W. 1965. A millennium of fungi, food, and fermentation. Mycologia 57: 149-197. Hutter, Carolyn M. Mellisa A Austin, Steve E Humphries. 2004. Familial Hypercholesterolemia, Peripheral Arterial Disease and Stroke: a Huge Minireview. American Journal of Epidemiology. 160(5): 430-435. Journoud , Me´lanie & Peter J.H. Jones. 2004. Mini review: Red yeast rice: a new hypolipidemic drug. Life Sciences 74, 2675–2683. Kasim, E., Y. Kurniawati dan N. Nuridayat. 2006. Pemanfaatan Isolat Lokal Monascus purpureus untuk Menurunkan Kolesterol Darah pada Tikus Putih Galur Sprague-Dawley. Biodiversitas Journal of Biology Diversity, Volume 7, Nomor 2, 123-126. Keithley, J.K., Swanson, B., Sha, B.E., Zeller, J.M., Kessler, H.A., Smith, K.Y., 2002. A pilot study of the safety and efficacy of cholestin in treating HIVrelated dyslipidemia. Nutrition 18 (2), 201–204. Kreisberg, Robert A, Albert Oberman. 2003, Medical Management of Hyperlipidemia/Dyslipidemia. The Journal of Clinical Endocrinology and Metabolism. 88(6): 2445-61. Lacoste, Lucie., Jules Y.T. Lam, Joseph Hung, Glaci Letchacovski, Charles B. Solymoss. David Waters. 1995. Hyperlipidemia and Coronary Disease Correction of the Increased Thrombogenic Potential With Cholesterol Reduction. American Heart Association Journals,; 92: 3172-3177 276 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Li , Changling. , Yan Zhu, Yinye Wang, Jia-Shi Zhu, Joseph Chang, David Kritchevsky. 1998. Monascus Purpureus-fermented Rice (Red Yeast Rice) : a Natural Food Product that Lowers Blood Cholesterol in Animal Model of Hypercholesterolemia. NuhitionResearch. Vol. 18, No. 1. pp. 71-81 Ma, J., Y. Li, Q. Ye, J. Li, Y. Hua, D. Ju, D. Zhang, R. Cooper, and M. Chang. 2000. Constituents of red yeast rice, a traditional chinese food and medicine. Journal of Agricultur, Food & Chemistry 48: 5220-5225. Mayes PA, Granner DK, Rodwell VW, Martin DW. 1990. Biokimia Harper Edisi keduapuluh. EGC. Jakarta: 216-285 Palo, M.A. 1960. A study on angkak and its production. The Philippines Journal of Science 89: 1-22. Qin, S., Zhang, W., Qi, P., Zhao, M., Dong, Z., Li, Y., Xu, X., Fang, X., Fu, L., Zhu, J.-S., Chang, J., 1999. Elderly patients with primary hyperlipidemia benefited from treatment with a monascus purpureus rice preparation: a placebo-controlled, double-blind clinical trial. The 39th Annual Conference on Cardiovascular Disease Epidemiology and Prevention, Poster presentations (P89), Orlando, Florida, USA, March 24–27. Circulation, vol. 99(8), pp. 1123. Rippe, J., Bonovich, K., Colfer, H., Davidson, M., Dujovne, C., Fried, D., Greenspan, M., King, S., Karlsberg, R., LaForce, C., Litt, M., McGhee, J.R., 1999. A multicenter, self-controlled study of cholestin in subjects with elevated cholesterol. The 39th Annual Conference on Cardiovascular Disease Epidemiology and Prevention, Poster presentations (P88), Orlando, Florida, USA, March 24–27. Circulation, vol. 99(8), pp. 1123. Santoso,M & T. Setiawan. 2005. Penyakit Jantung Koroner. Cermin Dunia Kedokteran. 147:6-9. Sargowo, Djanggan. 2011. Obat-obat yang digunakan dalam terapi dislipidemia. Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya. Malang. Soeharto,I. 2004. Serangan Jantung dan Stroke, Hubungannya dengan Lemak dan Kolesterol. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Tisnadjaja, D. 2003. Pengaruh Penambahan Glukosa dan Sodium asetat pada Proses Produksi Bahan Penurun Kolesterol Monascus Powder. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Proses Kimia VI, FT UI. Depok. Tisnadjaja, D. 2006. Bebas Kolesterol dan Demam Berdarah dengan Angkak. Penebar Swadaya. Jakarta. Tisnadjaja, D., Suyanto, A. Hertati & N. Ekawati. 2005. Pengaruh PenambahanMonosodium Glutamat pada Proses Produksi Lovastatin dengan Menggunakan Galur Kapang Monascus purpureus TISTR 3090 dan Galur Mutan S 35. Nusa Kimia. Jurnal Ilmu-ilmu Kimia, Vol 5 No.1. Tisnadjaja, D. & H. Irawan. 2006. Pengaruh Penggunaan Etanol dan Kloroform pada Proses Pemisahan Senyawa Aktif Lovastatin dari Angkak. Nusa Kimia. Jurnal Ilmu-ilmu Kimia Vol 6 No.2. Velayutham Pon, Anand Babu, Dongmin Liu. 2008. Green Tea Catechins and Cardiovascular Health: An Update. Curr Med Chem15(18);1840-1850. 277 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Wang, J., Lu, Z., Chi, J., Wang, W., Su, M., Kou, W., Yu, P., Y’u, L., Chen, L., Zhu, J.-S., Chang, J., 1997. Multicenter clinical trial of the serum lipidlowering effects of a monascus purpureus (red yeast) rice preparation from traditional Chinese medicine. Current Therapeutic Research 58 (12), 964– 978. Wei Weia,d., Changling Lia, Yinye Wanga, Huaide Sua, Jiashi Zhub, David Kritchevskyc. 2003. Hypolipidemic and anti-atherogenic effects of long-term Cholestin (Monascus purpureus-fermented rice, red yeast rice) in cholesterol fed rabbits. Journal of Nutritional Biochemistry 14, 314–318 Yang,Clinton W &Shaker A. Mousa. 2012. The effect of red yeast rice (Monascus purpureus) in dyslipidemia and other disorders. Complementary Therapies in Medicine 20, 466—474 278 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan BIDANG LINGKUNGAN 279 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Polutan Senyawa Kimia Dan Pengaruhnya Pada Proses Pembentukan Hujan Di Kawasan Waduk Saguling Eka Djatnika Nugraha, Eko Pudjadi, Dewi Kartikasari PTKMR-BATAN Jl. Lebak Bulus Raya No 49 Jakarta 12440 Email : eka.dj.n@batan.go.id ABSTRAK Telah dilakukan pengukuran senyawa-senyawa kimia di kawasan Waduk Saguling, Jawa Barat. Pengukuran ini dilakukan untuk mengetahui profil harian senyawa kimia di daerah tersebut. Profil ini sangat erat kaitannya dengan proses pembentukan hujan di awan. Konsentrasi senyawa-senyawa kimia diukur secara langsung menggunakan gas monitor yang dipasang pada ketinggian 1,5 m dari permukaan tanah. Selanjutnya hasil pengukuran dianalisis menggunakan software Wolfsense untuk mendapatkan konsentrasi senyawa kimianya. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa konsentrasi tinggi senyawa NH3, H2S dan CO terjadi pada siang hingga sore hari. Senyawa NO2, CO2, O2 dan total VOC relatif berfluktuasi dalam stabil sedangkan konsentrasi ozon cenderung berkurang pada sore hari. Secara umum senyawa-senyawa kimia tersebut memiliki konsentrasi dalam rentang konsentrasi alamiah. Dengan demikian, potensi pembentukan hujan di daerah ini cukup besar karena terangkatnya senyawa-senyawa kimia ini sebagai penyuplai inti kondensasi awan tidak mempengaruhi proses yang berlangsung di awan. Kata Kunci : aerosol, polutan, hujan Pendahuluan Istilah aerosol digunakan untuk menyebut partikel-partikel halus yang tersebar di atmosfir Bumi dalam ukuran yang berbeda-beda, pada kisaran 0.001 micrometer hingga 100 micrometer (1 micrometer = satu per sejuta meter). Meningkatnya jumlah aerosol yang dilepas ke atmosfir (misalnya partikel-partikel sulfat, komponen organik instabil, karbon, dsb.) akibat emisi alamiah dan antropogenik (istilah yang mengacu pada aktifitas buatan manusia) telah mengurangi intensitas radiasi matahari yang sampai ke permukaan bumi dalam ukuran 0.5 hingga 2 W/m2. Satuan radiasi itu menyiratkan bahwa pada permukaan bumi seluas 1 m2, intensitas cahaya matahari mengalami hambatan/terhalang aerosol di atmosfir sebesar 0,5 hingga 2 Watt. (Ruzer, 2005). Kompleksitas aerosol di atmosfir ini juga menjadi semakin tinggi akibat emisi gasgas efek rumah kaca yang menyebabkan terjadinya efek pemanasan global, sehingga angka ini juga mengalami berbagai kompensasi. Sifat aerosol yang sangat dinamis karena senantiasa bergerak dan berubah di atmosfir, baik secara fisis maupun kimiawi menyebabkan para ahli mengalami kesulitan dalam mengukur besaran radiasi ini. Padahal kemampuan untuk memprediksi perubahan cuaca akibat perubahan aerosol ini 281 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan memerlukan tidak hanya pengetahuan mengenai emisinya saja, melainkan perpindahan dan reaksinya yang sangat kompleks di atmosfir (Andrews. 1972). Partikel-partikel aerosol menghamburkan (atau memantulkan) dan menyerap radiasi sinar matahari. Sifat menyerap radiasi mengakibatkan memanasnya lapisan atmosfir yang mengandung aerosol, sementara sifat menghambur radiasi (scattering) menyebabkan redistribusi (penyebaran kembali) radiasi, termasuk membaliknya radiasi matahari itu ke arah luar bumi (luar angkasa). Efek radiasi langsung aerosol tergantung pada sifat fisis yang disebut sebagai single scattering albedo (SSA). SSA didefinisikan sebagai perbandingan antara radiasi yang dihambur dengan yang diserap oleh partikelpartikel aerosol . Di atmosfir, partikel-partikel berukuran 0.1 – 1 micrometer merupakan partikel yang paling efektif menghambur radiasi, sehingga sangat penting peranannya dalam mengatur cuaca global. Ada 3 parameter fisis yang sangat penting dalam mengukur sifat radiatif aerosol, yakni: distribusi ukuran (size distribution), indeks refraktif dan kepadatan (densitas). (Lestari. 2009) Ukuran partikel aerosol yang sangat halus berkisar antara 1 nm ( 1 nanometer = satu per satu milyar meter) (disebut partikel ultra-halus) terbentuk melalui proses-proses konversi gas ke partikel di atmosfir. Begitu partikel-partikel terbentuk, mereka bisa berkumpul dalam gugus-gugus (clusters) dalam ukuran yang lebih besar (antara 50-100 nm) sehingga bisa mempengaruhi secara langsung bujet radiasi. Asap (haze) dan kabut (smog) yang sering terlihat meliputi kota-kota besar diakibatkan efek radiasi aerosol ini. (Environmental Health Criteria 188. 1997). Berdasarkan asal terbentuknya aerosol dibagi menjadi dua, yaitu: A. Aerosol Alami 1. Aerosol Alami dari Vulkanik, berasal dari letusan gunung berapi. Aerosol vulkanik sebagian besar berupa gas sulfur dioksida (SO2) yang dilepaskan ke atmosfir. Disamping itu material debu lainnya hasil letusan gunung berapi juga merupakan jenis aerosol ini. Gas reaktif seperti SO2 ini diketahui dapat berubah menjadi H2SO4/H2O langsung melalui konversi gas ke partikel serta reaksi heterogen dengan uap air pada ketinggian tertentu. 2. Aerosol dari biogenik, berasal dari tumbuh-tumbuhan berupa komponen organik tidak stabil (VOC: volatile organic compounds). Sifat emisi jenis ini sangat sulit diketahui mengingat beragamnya vegetasi, bahkan pada area yang dikatakan homogen sekalipun seperti hutan tropis (lebih dari 5000 spesies tumbuhan per 10,000 km2). Dimethyl sulfide (DMS) merupakan spesies VOC utama yang dilepaskan phytoplankton di lautan dan berperan penting dalam siklus sulfur di atmosfir. (Wikipedia. 2013) B. Aerosol antropogenik (akibat aktifitas manusia); gas-gas yang dilepaskan akibat penggunaan bahan bakar fosil, kebakaran hutan mengakibatkan hujan asam yang mengakibatkan fertilisasi pada vegetasi dan kerusakan pantai di berbagai belahan bumi. (Arismunandar. Saito, 1991) Udara merupakan komponen yang sangat vital bagi kelangsungan hidup semua mahluk hidup. Selain untuk bernafas karena terdapat oksigen, udara juga memiliki senyawa-senyawa lainnya yang berfungsi sebagai bahan pembuat hujan. Udara 282 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan merupakan campuran berbagai macam gas dan partikel yang menyelimuti bumi dengan komposisi tertentu. Udara ada yang mengandung uap air atau disebut udara lembab (basah) dan ada udara yang sama sekali tidak mengandung uap air atau udara kering. Komposisi udara kering yang menyelimuti bumi seperti yang ditampilkan pada Tabel 1 (Fardiaz. 1992) Tabel 1. Komposisi Udara Kering N2 O2 Volume (%) 78,09 20,95 Berat (%) 75,53 23,14 Ar 0,93 1,28 CO2 0,03 0,05 Berat Molekul 28,97 1,293 Kg/m3 Pembentukan Hujan Proses hujan diawali dari penguapan air yang ada di daratan maupun lautan. Akibat adanya perbedaan tekanan, uap air dan partikel-partikel lainnya yang ada di udara terangkat ke atas sehingga mengalami pendinginan dan terbentuklah awan. Selanjutnya awan ini mengalami proses kondensasi dan membentuk tetes-tetes hujan. Proses pembentukan hujan dimulai dari pembentukan awan. Berdasarkan suhu di dalam awan dan perbedaannya dengan suhu lingkungan atmosfer maka awan dibedakan ke dalam awan dingin dan awan hangat7. Awan dingin adalah awan yang bagian awan atau seluruh bagian awan berada pada lingkungan atmosfer dengan suhu < 0°C. Pada awan ini hujan dimulai dari adanya kristal-kristal es yang berkembang dan membesar. Proses membesarnya kristal es ini dapat melalui dua cara yaitu melalui deposit uap air atau air kelewat dingin (supercooled water) secara langsung pada kristal es atau melalui penggabungan menjadi butiran es. Keberadaan kristal es ini sangat penting dalam pembentukan hujan pada awan dingin, sehingga proses pembentukan hujan pada awan dingin sering disebut sebagai proses pembentukan kristal es. (Wikipedia. 2013) Awan hangat adalah awan yang bagian awan atau seluruh bagian awan berada pada lingkungan atmosfer dengan suhu > 0°C. Sumber utama inti kondensasi awan adalah partikel-partikel garam yang berasal dari percikan gelombang air laut. Bersama-sama dengan partikel-partikel udara lainnya, partikel-partikel tersebut terangkat ke atas oleh gerak angin. Selanjutnya partikel tersebut mengalami pendinginan dan terjadilah proses kondensasi membentuk awan. Pada awan ini hanya terdapat dua macam fase yaitu cairan (tetes awan, cloud droplet) dan gas (uap air) [6]. Proses dimulai dari kondensasi partikel kelumit (trace particle) yang berfungsi sebagai inti kondensasi efektif dan membentuk tetes awan. Ada berbagai macam ukuran inti kondensasi yang menyebabkan ukuran tetes awan juga bervariasi yang berkisar antara 5- 20 m8. Inti kondensasi yang besar menghasilkan tetes awan yang besar pula. Setelah pembesaran tetes awan melalui tahap kondensasi berhenti, proses hujan dimulai melalui proses tumbukan dan penggabungan antar tetes awan yang berukuran berbeda sehingga menimbulkan perbedaan kecepatan turun. Proses tumbukan (collision) terjadi karena adanya perbedaan ukuran tetes-tetes awan sehingga kecepatannya berbeda-beda. Sedangkan proses penggabungan (coalescence) terjadi apabila tetes awan besar berfungsi sebagai kolektor dan melalui dinamika di dalam awan, tetes besar ini 283 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan mengumpulkan jutaan tetes air lain yang lebih kecil dalam lintasan geraknya. (Farida. 2004) Hubungan gas polutan dengan pembentukan hujan Para ilmuwan fisika awan menyimpulkan bahwa aerosol dari udara yang terpolusi memiliki peranan yang signifikan dalam mengurangi curah hujan. Selain dari ukuran partikel, mereka menyimpulkan pula penurunan proses terbentuknya hujan dari segi kualitas aerosol udaranya. Konsentrasi gas-gas SO2, NO2 dan NO di udara memiliki pengaruh terhadap pembentukan tetes awan (cloud droplet). Gambar 1 menunjukkan hubungan SO2, NO2 dan total ionik dengan konsentrasi LWC (liquid water content). Adanya kenaikan konsentrasi SO2 dan NO2 memberi pengaruh pada penurunan konsentrasi LWC. Sebaliknya, pada saat konsentrasi SO2 dan NO2 sedang minimum (jam 24.00), konsentrasi LWC menjadi maksimum. Hubungan terbalik ini juga dapat diamati pada grafik kadar total ionik. Kadar total ionik yang digambarkan dalam diagram batang menunjukkan pola yang berkebalikan dengan konsentrasi LWC dalam rentang waktu antara jam 16.00 sampai jam 04.00 hari berikutnya. (Baltensperger , Wieprecht., 1995) Sedangkan Borrys, dkk. (2003) telah menunjukkan bahwa penambahan aerosol anthropogenik sebesar 1 g/m3 pada latar udara yang bersih dapat mengurangi laju turunnya salju orografik hingga mencapai 50%. Pengurangan laju precipitasi ini makin besar pada awan yang lebih dangkal dengan puncak awan hangat, bahkan satelit observasi menggambarkan bahwa polutan dapat menggagalkan awan menjadi hujan pada temperatur awan yang lebih besar dari -10oC pada puncaknya. (Borrys., 2003) Gambar 1. Pengukuran konsentrasi SO2, NO2 dan kadar total ionik di udara menunjukkan pengaruhnya pada LWC. 284 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Metoda Penelitian Pada pemantauan ini digunakan alat toxic gas monitor T501 dan T503 yang ditempatkan pada ketingian 1,5 meter diatas tanah dengan beberapa waktu pengukuran dengan rentang waktu rata-rata 2 jam dan instrumen pembacaan langsung dengan program Gray wolfsense. Parameter yang diukur antara lain O2, NO2, NH3, SO2, H2S, CO, Total VOC, CO2, dan O3. Alat ini menggunakan detektor fotoionisasi. Cara kerja peralatan ini adalah kontaminan terionisasikan oleh radiasi UV. Aliran listrik yang dihasilkan lalu terdeteksi oleh detektor dan kemudian aliran listrik ini sebanding dengan jumlah ion. Gambar 2. Pengukuran senyawa kimia di waduk saguling dan pengaruhnya terhadap pembentukan hujan. Hasil dan Pembahasan Dari hasil pemantauan pada tanggal 30 September – 1 Oktober 2009, hasil yang didapatkan adalah sebagai berikut: Tabel 2 Data Pengamatan NO2 waktu O2 % ppm NH3 ppm H2S ppm CO ppm TVOC ppb CO2 ppm 08.00 10.00 11.00 13.00 15.00 17.00 20,75 21,05 21 20,3 20,3 20,9 0,04 0,075 0,065 0,045 0,03 0,045 0 0 0 0,4 1,2 0,2 0,35 0,05 0,15 0,95 0,85 0,15 0 0,65 0,25 6,75 6,45 0 495 338 347,5 365 309 365,5 363 408 369 361 393,5 341 20,71667 0,05 0,3 0,4167 2,35 370 372,5833 285 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Gambar 3. Grafik Pengamatan Secara umum profil gas polutan di daerah Waduk Saguling masih memiliki rentang alami. Hal tersebut mengindikasikan bahwa keadaan udara di daerah tersebut masih bersih dan belum tercemar oleh aerosol antropogenik. Profil Senyawa Kimia (O2, NH3,CO,CO2,H2S, Total VOC) Gambar 4. Grafik Konsentrasi O2 di Waduk Saguling Dari hasil grafik pengamatan terlihat bahwa penyebaran gas O2 (Gambar 4) di Waduk saguling masih stabil dan dalam rentang alam yakni pada konsentrasi 20,5% 21% . Kondisi lingkungan yang masih memiliki banyak pepohonan penyuplai O2 hasil dari fotosintesis merupakan penyebab Penyebaran gas O2 di daerah waduk Saguling masih dalam rentang alam. 286 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Profil gas NO2 menunjukan penyebaran yang fluktuatif dari waktu ke waktu, hal ini dapat disebakan karena sumber gas NO2 berasal dari aktifitas manusia (memasak, membakar tanaman parasit di ladang, memberi pupuk di ladang, dll) terkonsentrasi pada jam 08.00 sampai dengan jam 10.00 dan jam 15.00-16.00 sehingga pada jam berikutnya profil penyebaran gas NO2 mengalami penurunan. Profil gas NO2 selengkapnya pada Gambar 5. Gambar 5. Grafik Konsentrasi NO2 di Waduk Saguling Gas NH3 dan H2S di lingkungan sangat erat kaitannya dengan aktifitas manusia seperti berternak, buang air besar, buang air kecil, pemberian pupuk urea dll. Pada Gambar 6 dan Gambar 7 terlihat bahwa konsentrasi gas NH3 dan H2S mengalami kecenderungan meningkat pada jam 11.00 sampai dengan jam 17.00. hal ini disebabkan oleh gas – gas NH3 dan H2S hasil aktifitas manusia dan hewan mengalami proses penyebaran yang berlangsung lambat karena berjarak jauh dari waduk Saguling. Disekitar waduk saguling terdapat peternakan Sapi dan Ayam sehingga sedikit banyak memiliki andil dalam penyuplai gas NH3 dan H2S di daerah saguling. Gambar 6. Grafik Konsentrasi NH3 di Waduk Saguling 287 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Gambar 7. Grafik Konsentrasi H2S di Waduk Saguling Pada profil gas CO dan CO2 pada Gambar 8 dan Gambar 9 terlihat bahwa penyebaran gas CO dan CO2 terdapat peningkatan pada jam 10.00. Hal ini disebabkan pada jam 10.00-17.00 banyak aktifitas kendaraan bermotor dan aktifitas manusia lainnya seperti pembakaran lahan, pembakaran sampah dll. Sedangkan profil Total VOC cenderung stabil yang berasal dari aktifitas tumbuhan dan plankton yang ada di danau (Gambar 10). Gambar 8. Grafik Konsentrasi CO di Waduk Saguling 288 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Gambar 9. Grafik Konsentrasi CO2 di Waduk Saguling Gambar 10. Grafik Konsentrasi Total VOC di Waduk Saguling Konsentrasi gas hasil pengukuran di Waduk Saguling menunjukan masih dalam rentang alamiah dan dapat dikatakan masih belum terpolusi hal ini dapat dilihat dari Gambar 2 sehingga suplai gas untuk aerosol di awan masih bersih. Kesimpulan Konsentrasi gas hasil pengukuran menunjukan masih dalam rentang alamiah dan dapat dikatakan masih belum terpolusi sehingga suplai gas untuk aerosol di awan masih bersih. Oleh sebab itu proses pembentukan hujan di wilayah Waduk Saguling dan sekitarnya berlangsung dengan baik secara alami 289 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Daftar Pustaka Andrews, W.A. 1972. Environmental Pollution. Prentice Hall, Inc., New Jersey Arismunandar, w dan H. Saito, 1991. Penyegaran udara. Pradnya Paramitha. Jakarta Baltensperger , Wieprecht., 1995; Environmental Pollution. Canfield Press, New York Borrys, A, 2003. Precipitation effect of clouds process. Prentice Hall, Inc., New Jersey Environmental Health Criteria 188. 1997. Nitrogen Oxides (second edition).WHO.Geneva Farida. 2004. Pencemaran udara dan permasalahannya. IPB Fardiaz, S. 1992. Polusi air dan udara. Kanisius. Yogyakarta Giddings, J.S. 1973. Chemistry, Man and Environmental Change. Canfield Press, New York Lestari, F. 2009 . Bahaya kimia; Sampling dan pengukuran kontaminan kimia di udara. Jakarta Ruzer, H., 2005 (ed.) Aerosols Handbook: Measurenment, Dosimetri and health effect. CRC Wikipedia. 2013. Sulfur dioksida, hidrogen sulfida, carbon monoksida. Dikutip dari http://wikipedia.org. 5 Mei 2013 Wikipedia. 2013. Proses terbentuknya hujan. Dikutip dari http://wikipedia.org. 5 Mei 2013. 290 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Uji Adsorpsi Titanium Dioksida Terhadap Kromium Yustinus Purwamargapratala1, Riani Permatasari2, Candra Irawan2 1 Badan Tenaga Nuklir Nasional, Serpong 2 Akademi Kimia Analisis Bogor Email : pratala_yustinus@yahoo.com ABSTRAK Kromium merupakan salah satu logam berat yang terkandung dalam limbah cair, khususnya yang berasal dari industri tekstil. Kandungan logam ini dalam limbah cair dapat dihilangkan dengan berbagai adsorben, antara lain dengan serbuk titanium dioksida. Penelitian ini untuk mengetahui kemampuan titanium dioksida sebagai pengadsorpsi kromium. Analisis dilakukan dengan menggunakan metode spektrofotometri sinar tampak. Uji konfirmasi dilakukan menggunakan spektrofotometer serapan atom (SSA), energy dispersive spectroscopy (EDS), dan scanning electron microscopy (SEM). Adsorpsi titanium dioksida pada rentang konsentrasi kromium 2-8 mg/L secara spektrofotometri sinar tampak didapatkan nilai koefisien korelasi sebesar 0,9995, dengan kondisi adsorpsi optimum waktu adsorpsi 20 menit, laju pengadukan 30 rpm. Kapasitas adsorpsi maksimum titanium dioksida terhadap kromium 21,19 mg/g. Konfirmasi dengan EDS dan SEM menunjukkan terjadinya adsorpsi titanium dioksida terhadap kromium. Kata kunci : adsorpsi, titanium dioksida, kromium Pengantar Dalam lingkungan hidup, kromium ditemukan dalam bentuk kromium logam, bivalen, trivalen, dan heksavalen. Kromium logam memilki massa jenis (20o C) sebesar 650 g/cm3, titik leleh sebesar 1903o C, titik didih sebesar 2642o C, dan tergolong logam yang mengkilap, keras serta tahan karat sehingga sering digunakan sebagai pelindung logam lain. Logam kromium larut dalam asam klorida encer atau pekat. Jika tidak terkena udara, akan terbentuk ion-ion kromium (II) atau kromium bivalen. Kromium bivalen termasuk senyawa pereduksi kuat. Dengan adanya oksigen dari atmosfer maka kromium sebagian atau seluruhnya menjadi teroksidasi ke dalam trivalen. Dalam bentuk heksavalen, kromium terdapat sebagai CrO2- dan Cr2O72-, sedangkan bentuk trivalen terdapat sebagai Cr3+, [Cr(OH)]2+, [Cr(OH)2]+, dan [Cr(OH)4]-(BRAMANDITA, 2009) Menurut HUDAYA (2011), kromium termasuk logam berat B3 dan digolongkan sebagai karsinogenik terhadap manusia oleh United States Enviromental Protection Agency (USEPA), tingkat daya racun kromium dipengaruhi oleh keadaan ion valensinya. Ion kromium (VI) sangat beracun, lebih beracun dari pada ion kromium (III) yaitu sekitar 100 kalinya, sehingga untuk mengolah limbah krom maka kromium (VI) harus direduksi terlebih dahulu menjadi kromium (III), selain itu juga berdampak negatif pada kesehatan dan lingkungan, menyebabkan reaksi alergi dan asma, karsinogenik dan mutagenik. Masalah kesehatan lain yang disebabkan oleh kromium 291 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan (VI) adalah kulit ruam, sakit perut dan bisul, masalah pernapasan, sistem kekebalan lemah dan ginjal. Secara sederhana logam berat menimbulkan kematian pada beberapa jenis biota perairan maka keberadaan logam berat di lingkungan harus selalu di pantau. Efek yang sangat berbahaya dari kromium heksavalen menyebabkan pemerintah memasukkan kromium heksavalen dalam kriteria nilai baku mutu air. (BRAMANDITA, 2009). Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 82 tahun 2001, air golongan A, B, dan C hanya boleh mengandung kromium heksavalen maksimum 0,05 ppm. Sedangkan air golongan D hanya boleh mengandung maksimum 0,1 ppm (SUGIHARTO, 2005). Mengingat bahaya yang ditimbulkannya, maka perlu dilakukan penanganan khusus terhadap limbah kromium (VI) tersebut. Teknologi konvensional telah banyak dilakukan untuk mengolah limbah kromium (VI), beberapa upaya pengolahan limbah kromium (VI) yang telah dilakukan seperti reduksi kimia, ion exchange, adsorpsi dengan batu bara atau karbon aktif dan reduksi dengan bantuan bakteri, tetapi metode tersebut masih memiliki beberapa kelemahan, diantaranya efisiensi pengolahan limbah yang rendah, pemakaian energi dan bahan kimia yang cukup tinggi, serta proses pengolahan limbah yang dilakukan tersebut ternyata masih menghasilkan residu berbahaya. (SLAMET et al, 2003) Titanium dioksida, titanium (IV) oksida atau titania merupakan salah satu oksida logam transisi yang bersifat semikonduktor dan telah diteliti secara luas dan digunakan pada berbagai aplikasi teknologi terkini, antara lain sebagai adsorben. Kebanyakan zat pengadsorpsi atau adsorben adalah bahan-bahan yang sangat berpori. Adsorpsi berlangsung terutama pada dinding pori atau pada letak tertentu dalam pertikel itu. Pemisahan terjadi karena perbedaan bobot molekul pada permukaan itu lebih erat daripada molekul-molekul lain. (McCABE, 1999). Faktor-faktor yang mempengaruhi adsorpsi anatara lain waktu kontak, karakteristik adsorben, luas permukaan, kelarutan adsorbat, ukuran molekul adsorbat, pH, dan temperatur (BROUGHTON, 1981) Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kemampuan Titanium dioksida sebagai pengadsorpsi logam kromium, pada kondisi optimum waktu adsorpsi, jumlah adsorben, laju pengadukan. Bahan, Alat, dan Metode Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam percobaan ini antara lain titanium oksida produk MERCK dan bahan uji kalium dikromat. Sedangkan peralatan yang digunakan antara lain spektrofotometer UV-Visible PERKIN ELMER LAMDA 25, Analytical Scanning Electron Microscopy JEOL JSM-6510LA, spektrofotometer serapan atom, pH Meter Fisher Scientific, magnetic stirring, neraca analitik, Sentrifuge Hetrich EBA 20, dan shaker 292 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Metode Preparasi dilakukan dengan membuat larutan deret standar kalium dikromat konsentrasi (2, 4, 6, 8) mg/l, dan pengujian dilakukan terhadap variasi jumlah adsorben 0.025-0,150 gram, konsentrasi , waktu adsorpsi 10-40 menit, dan laju pengadukan. Pengukuran dilakukan menggunakan spketrofotometer ultraviolet-sinar tampak pada panjang gelombang 540,2 nm. Dilakukan pula uji konfirmasi titanium oksida sebagai adsorben menggunakan spektrofotometer serapan atom (SSA) dan uji karakterisasi energy dispersive (EDS). Hasil dan Pembahasan Uji linieritas dilakukan untuk pengaruh konsentrasi analit terhadap nilai intensitasnya. Lineritas untuk suatu metode dapat diterima apabila koefsien korelasi yang dihasilkan >0,99 (MILLER dan MILLER, 2001). Gambar 1. Kurva Kalibrasi Kromium Dari hasil pengujian linieritas terhadap standar kromium dengan menggunakan metode Spektrofotometri sinar tampak seperti diperlihatkan pada Gambar 1 didapatkan persamaan garis Absorbansi = 0,4257 (Konsentrasi Kromium) + 0,5247 dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,9995 sehingga memenuhi syarat rentang keberterimaan. Percobaan yang dilakukan menggunakan serbuk titanium dioksida sebagai adsorben 0,1 gram dengan larutan kromium dengan konsentrasi 6 mg/l yang diuji dengan variasi waktu adsorpsi selama 10-40 menit diperlihatkan pada Gambar 2. 293 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Gambar 2. Pengaruh Waktu Adsorpsi Terhadap Kapasitas Adsorpsi Gambar 2 memperlihatkan bahwa waktu adsorpsi optimal pada kapasitas adsorpsi titanium dioksida terhadap kromium adalah 20 menit. Penurunan kapasitas adsorpsi pada penambahan kemungkinan terjadi karena kejenuhan dari serbuk Titanium dioksida yang digunakan sehingga kromium yang teradsorpsi semakin sedikit. Pada pengujian variasi jumlah adsorben digunakan kromium 6 mg/l dengan variasi jumlah adsorben 0,025-0,150 gram dengan waktu pengadukan selama 20 menit. Diketahui bahwa pengaruh jumlah adsorben terhadap efisiensi adsorpsi diperlihatkan pada Gambar 3. Gambar 3. Pengaruh Jumlah Adsorben Terhadap Efisiensi Adsorpsi Dari Gambar 3. diketahui bahwa semakin banyak jumlah adsorben yang digunakan akan memperbesar nilai % efisiensi adsorpsi, disebabkan jumlah kromium yang teradsorpsi akan semakin besar pula. Pada jumlah adsorben 0,15 gram didapatkan nilai efisiensi tertinggi yaitu 21,19 %. Hal ini yang mendasari digunakannya jumlah adsorben sebanyak 0,15 gram pada pengukuran selanjutnya. Pengaruh laju pengadukan terhadap kapasitas adsorpsi diperlihatkan pada gambar 4. Kapasitas adsorpsi maksimum sebesar 1,8393 mg/g didapat saat laju pengadukan yang digunakan sebesar 30 rpm. 294 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Gambar 4. Pengaruh Laju Pengadukan dan Kapasitas Adsorpsi Pada uji variasi konsentrasi digunakan larutan uji kromium yang divariasi konsentrasi (2-10) mg/l dengan jumlah adsorben 0,15 gram, waktu pengadukan 20 menit, dan laju pengadukan 30 rpm, hasil pengukuran diperlihatkan pada Gambar 5. Gambar 5. Grafik Perbandingan Konsentrasi Kromium Dengan Kapasitas Adsorpsi Dari Gambar 5 diketahui adanya kenaikan konsentrasi larutan dan konsentrasi filtrat kromium dengan jumlah adsorben yang tetap, tetapi perbandingan antara kedua konsentrasi tersebut tidak proporsional sehingga menyebabkan kapasitas adsorpsi mengalami kenaikan sampai pada konsentrasi kromium 6 mg/l. Pada konsentrasi 8 mg/l dan 10 mg/l terjadi penurunan nilai kapasitas adsorpsi karena jumlah kromium yang terserap semakin besar, yaitu lebih dari setengah nilai konsentrasi sebelum adsorpsi. Sedangkan pengaruh konsentrasi kromium terhadap efisiensi adsorpsi diperlihatkan pada Gambar 6. Dari Gambar 6 diketahui terjadi penurunan nilai efisiensi adsorpsi pada konsentrasi 4-10 mg/l. Hal ini menunjukkan bahwa adsorpsi titanium dioksida terhadap kromium akan sangat efisien sampai konsentrasi kromium 4 mg/l dan akan mengalami penurunan pada konsentrasi yang lebih tinggi. 295 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Gambar 6. Grafik Perbandingan Konsentrasi Kromium Terhadap Efisiensi Adsorpsi Penentuan persamaan isotermis adsorpsi Freundlich diperoleh dengan mencari nilai konsentrasi adsorbat pada kesetimbangan (Ce) dan banyaknya zat yang terserap setiap satuan berat adsorben atau kapasitas adsorpsi (qe), kemudian dihitung nilai log Ce dan log qe sehingga dapat dialurkan pada grafik persamaan isotermis adsorpsi Freundlich seperti diperlihatkan pada Gambar 7. Gambar 7. Grafik Isotermis Adsorpsi Freundlich Penentuan persamaan isotermis adsorpsi Freundlich dapat diketahui dengan cara melihat nilai korelasi yang dihasilkan. Dari hasil perhitungan pada Lampiran 6 dan Gambar 7 didapatkan nilai korelasi sebesar 1, sehingga adsorpsi Cr (VI) dengan adsorben Titanium dioksida mengikuti persamaan isotermis adsorpsi Freundlich, ion Cr6+ teradsorpsi pada permukaan Titanium dioksida yang memiliki pusat-pusat aktif yang heterogen membentuk lapisan jamak (multilayer). Konfirmasi Titanium dioksida sebagai adsorben secara spektrofotometri serapan atom menggunakan sampel pada keadaan optimum diperlihatkan pada tabel 1. 296 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Tabel 1. Hasil Uji Konfirmasi Titanium Dioksida Sebagai Adsorben Kromium Secara Spektrofotometri Serapan Atom (SSA) Sampel Tipe Sampel 1 Jumlah Adsorben (g) 0,1501 C0 (mg/l) 6,000 C1 Kapasitas Adsorpsi (mg/ (mg/g) 0,476 3,6802 Tabel 1. menunjukkan bahwa terjadi penurunan yang signifikan terhadap konsentrasi kromium di larutan sampel. Hal ini memperlihatkan bahwa hasil pengukuran menggunakan ultra violet - sinar tampak dan spektrofotometer serapan atom menunjukkan bahwa titanium dioksida sangat efektif digunakan sebagai adsorben kromium. Uji konfirmasi juga dilakukan menggunakan scanning electron microscopy (SEM) untuk mengamati morfologi bahan seperti ditunjukkan pada Gambar 8. dan energy dispersive spectroscopy (EDS) untuk mengamati komposisi sampel ditunjukkkan pada Gambar 9. Gambar 8. Morfologi titanium dioksida mengadsorpsi kromiu 297 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan (a) (b) Gambar 9. Spektrum EDS a. Titanium dioksida, 298 b. Kromium dan Titanium dioksida Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Gambar 8. menunjukkan morfologi titanium dioksida yang mengadsorpsi kromium pada bagian permukaannya. Sedangkan spektrum Gambar 9. pada tingkat energi 4,508 keV menunjukkan adanya unsur Ti, pada tingkat energi 0,525 keV menunjukkan adanya unsur O, dan pada tingkat energi 5,411 keV adanya unsur Cr. Kesimpulan Adsorpsi titanium dioksida pada rentang konsentrasi kromium 2-8 mg/L secara spektrofotometri sinar tampak didapatkan nilai koefisien korelasi sebesar 0,9995, dengan kondisi adsorpsi optimum waktu adsorpsi 20 menit, laju pengadukan 30 rpm. Kapasitas adsorpsi maksimum titanium dioksida terhadap kromium 21,19 mg/g. Konfirmasi dengan secara spektrofotometri serapan atom (SSA), energy dispersive spectroscopy (EDS), dan scanning electron microscopy (SEM) menunjukkan terjadinya adsorpsi titanium dioksida terhadap kromium. Daftar Pustaka BRAMANDITA, ANDRE. 2009. Removal of Hexavalent Chromium with Scrap Iron Filling. Skripsi. Jurusan Kimia FMIPA IPB, Bogor. BROUGHTON, C. W, 1981. Principles of Liquid-Phase Adsorption. Proceedings Application of Adsorption to WasteWater treatment. International Conference on Application of Adsorption Wastewater Treatment. Boston. HUDAYA, TEDI, SUSIANA PRASETYO, ALVINA MARSHA, dan EVELINE PARAMITA. 2011. The Treatment Of Chromium Hexavalent From Electroplating Wastewater By UV/Titanium dioksida Photocatalysis. Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia “Kejuangan”, Yogyakarta. MC CABE, WARREN L., JULIAN C. SMITH, PETER HARRIOT. 1999. Operasi Teknik Kimia II. Diterjemahkan oleh Ir. E. Jasjfi, M. Sc. Erlangga. Jakarta. MILLER, J. C. dan J. N. MILLER. 2001. Statistika Untuk Kimia Analitik. Penerbit ITB. Bandung. SLAMET, RIYADI SYAKUR dan WAHYU DANUMULYO. 2003. Pengolahan Limbah Logam Berat Chromium (VI) Dengan Fotokatalis Titanium dioksida. Makara, Teknologi. 7:1. SUGIHARTO. 2005. Dasar-dasar pengolahan air limbah. UI-PRESS. Jakarta. 299 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Simulasi Pelindian Fe Dan Ca Akibat Hujan Asam Di Wilayah Industri Citeureup Bogor Sutanto*1 dan Ani Iryani 2 Jurusan kimia FMIPA Universitas Pakuan, Jl. Pakuan, Bogor 16144, Indonesia E-mail: sutanto_psl@yahoo.co.id ABSTRAK Wilayah industri Cibinong-Citeureup Bogor telah mengalami hujan asam intensitas tinggi (pH<5,0). Hujan asam dapat melarutkan logam dalam tanah (pelindian=leaching) sehingga meningkatkan kadar logam dalam air sumur. Telah dilakukan percobaan simulasi pengaruh keasaman air hujan buatan terhadap kadar logam Fe dan Ca dalam air lindi. Tujuan penelitian ini untuk memperlajari hubungan antara keasaman air hujan dengan kadar kedua logam tersebut dalam air lindi sebagai representasi air sumur. Percobaan simulasi dilakukan pada kolom pelindi paralon PVCdiameter 3 inchi, tinggi 130 cm. Kolom diisi tanah dari daerah Citeureup Bogor dengan teknik ”undisturb”. Kolom dimasukkan ke dalam tanah perlahan hingga kedalaman mencapai setinggi kolom. Dalam laboratorium kolom dialiri air hujan buatan dengan pH bervariasi: 4,5; 4,0; dan 3,5 dari bawah keatas (ascending). Air yang keluar dari kolom (air lindi) disampling pada liter ke 5, 10, 15, dan 20. Masing-masing dianalisis kadar Fe dan Ca. Kadar Fe ditentukan dengan metoda ofenantrolin secara spektrofotometri UV-VIS, dan Ca ditentukan dengan cara titrasi kompleks EDTA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh keasaman air hujan buatan sangat kuat terhadap kadar logam Fe dan Ca dalam air lindi, masing-masing r2 = 1 dan r2 = 0,94. Pelindian logam akibat asam mengikuti persamaan tingkat pertama dengan tetapan reaksi, k= -2,1439 untuk Fe , dan k= -0,2546 untuk Ca. Kata kunci : hujan asam, pelindian, leaching, simulasi,Fe, Ca Pengantar Daerah Citeureup dan Cibinong Kabupaten Bogor merupakan wilayah industri, padat transportasi, dan berdebu dengan jumlah industri mencapai 2.944 buah Kepadatan penduduk di daerah ini rata-rata 4.131 jiwa/km2. Penduduk di wilayah ini yang memanfaatkan air sumur sebagai sumber air minum mencapai 75,63% (BPS,. 2008). Studi kasus hujan asam di wilayah industri Citeureup Bogor menunjukkan bahwa hujan asam terjadi dengan intensitas tinggi yaitu pH 4,7 terkonsentrasi pada daerah sekitar pusat industri dengan radius beberapa km. Intensitas hujan asam semakin menurun dengan semakin jauh jarak dari pusat hujan asam sampai radius 10 km dan kembali normal (pH > 5,6) pada jarak > 20 km (Sutanto et.al., 2002). Diperkirakan hujan asam di wilayah ini akan terus berlangsung dan semakin meningkat intensitasnya dan akan berdampak pada tercucinya (leaching) mineral-mineral dalam tanah dan masuk kedalam air sumur penduduk. 301 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Hujan asam memiliki pH air hujan kurang dari 5,6 (Menz dan Hans, 2004) dan (Manahan, 2005). Hujan asam yang masuk ke tanah dapat menyebabkan pelindian (leaching) logam Fe dan Ca sehingga masuk kedalam sumur. Logam Fe dalam tanah dapat berbentuk sebagai senyawa Fe2O3 (hematite), FeOOH (geotit), dan Fe5(O4H3)3 (ferihidrit). Logam Fe dapat ditranslokasikan dari dekomposisi mineral menjadi bentuk ion Fe3+, Fe(OH)2+, dan Fe(OH)4- (Tan. 1982). Ketergantungan kelarutan Fe terhadap asam berbanding lurus. Pada pH 7 kelarutan Fe < 0,001 mg/L dan pada pH 3 kelarutan Fe > 2mg/L (Weiner, 2000). Selain itu kelarutan Fe juga tergantung kepada adanya oksidan (Le-ming et al., 2007), suhu dan ukuran partikel (Petrakakis et al., 2007). Nwoye et al. (2009) menggunakan persamaan % Fe = e-2.042 (lnT) untuk memprediksi % leaching Fe dengan T adalah suhu (oC). Dalam tanah Ca dapat berbentuk sebagai CaO atau CaCO3. Dengan adanya air hujan yang mengandung karbon dioksida CaCO3 akan larut menghasilkan Ca2+ dan HCO3-. Berdasarkan nilai tetapan kesetimbangan kelarutan karbon dioksida dalam air dan diagram distribusi ketergantungan pH maka jumlah CO2 semakin banyak apabila pH air rendah < 5,0 (Weiner, 2000). Bila air hujan semakin asam maka reaksi pelepasan Ca akan semakin kuat. Selain tingkat keasaman larutan, pelindian logam dari dalam tanah juga tergantung kepada rasio jumlah pelarut terhadap jumlah padatan dalam larutan atau rasio volume cairan dalam liter terhadap berat padatan dalam kg (L/S) (Sloot et al., 2003). Kadar logam dalam air lindi tak lagi berubah setelah dicapai L/S minmal 10. Dalam kenyataan di lapangan rasio ini diwakili oleh curah hujan atau musim. Pada musim kering bukan saja nilai L/S yang dipengaruhi tetapi juga keasaman air sumur. Pada sumur terbuka pH air sumur dalam lebih rendah dari pada musim hujan (Efe et al., 2005). Pemelitian ini bertujuan untuk: (1) melihat pengaruh tingkat keasaman terhadap pelindian logam Fe dan Ca. (2) Mencari hubungan matematik antara tingkat keasaman air hujan buatan dengan perubahan kadar Fe dan Ca dalam air lindi pada tanah dari wilayah industri Citeureup Bogor. Metoda Penelitian Alat dan Bahan Peralatan yang digunakan meliputi peralatan botol/jerigen sampling kapasitas 1 liter, tandon air hujan buatan (ember plastik), kolom leaching dan statif, pH meter (LUTRON), spektrofotometer UV-VIS (Thermo Scientific, seri Genesis 10uv), neraca analitik, penangas air, buret, dan glassware lainnya,. Bahan-bahan yang digunakan adalah: asam sulfat (pa) Merk, asam nitrat (pa) Merk, kertas pH Universal, EDTA, ZnCl2, Mureksid, EBT, larutan buffer (pH 4, 7 dan 10), hidroksilamin HCl, amonium hidroksida, kalsium karbonat, aquadest dll. Metoda Penelitian simulasi pengaruh pH air hujan terhadap kadar Fe dan Ca dilakukan menggunakan kolom pelindi. Air hujan buatan pada berbn agai pH dialirkan ke dalam kolom, dan kadar Fe dan Ca dalam air lindi diamati. Kolom pelindi dibuat dari paralon  3 inchi tinggi 130 cm. Kolom diisi dengan tanah di wilayah penelitian dengan. Pengisian kolom dengan tanah dilakukan dengan 302 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan metoda undisturb: kolom dimasukkan kedalam tanah perlahan dengan dipandu alat potong tanah sehingga tanah mengisi kolom tanpa ada kerusakan struktur tanah. Kolom selanjutnya dibawa ke laboratorium dan dialiri air hujan buatan (air hujan yang ditampung dan dikondisikan dengan asam sulfat) dengan berbagai pH, berturut-turut air hujan: pH 4,5; 4,0; dan 3,50 dengan metoda askending. Air hujan buatan dengan pH tertentu dialirkan ken dalam kolom dan air yang keluar dari kolom (air lindi) disampling dan dianalisis kadar Fe dan Ca pada liter ke 5, 10, 15, dan 20. Rancangan alat dan setting diperlihatkan pada Gambar 1. Data hasil pengukuran di plot untuk melihat kecenderungan perubahan kadar Fe dan Ca air lindi akibat perubahan pH air hujan buatan dan dicari kadar Fe air lindi pada liter ke 50 (rasio L/S =10) demikian juga untuk setiap pH air hujan buatan lainnya yang disimulasikan. Selanjutnya kadar Fe dan Ca air lindi pada rasio L/S masing-masing diplot terhadap pH air hujan buatan untuk melihat kecenderungan perubahan kadar Fe air lindi akibat perubahan pH air hujan buatan, serta untuk menentukan hubungan matematik antara tingkat keasaman dengan peningkatan kadar Fe dan Ca air lindi Pembuatan larutan (hujan buatan) Larutan air hujan buatan dibuat dari air suling dengan penambahan asam nitrat sehingga mencapai pH 4,5; 4,0; dan 3,0 masing-masig dalam volume 30 liter Penetapan Kadar Besi (APHA, 315.B) Sampel air lindi dipekatkan 5 kali dengan cara pemanasan. Penetapan kadar besi dilakukan dengan metoda o-fenantrolin dengan alat spektrofotometer. Ion besi dalam sample dibuat bermuatan 2 dengan hidroksilamin HCl, kemudian pada kondisi larutan pH 2 direaksikan dengan larutan o-fenantrolin. Warna merah intensif diukur serapannya pada panjang gelombang 510 nm. Konsentrasi (mg/L) Fe diperoleh dari absorban sampel dengan perhitungan yang diadasarkan garis regresi kurva standar. Penetapan Kadar Kalsium (APHA, 311 C.) Sampel air lindi dipekatkan 5 kali dengan cara pemanasan Penetapan kadar kalsium dilakukan dengan metoda titrimetri, titrasi kompleksometri triplo. Sebagai penitar digunakan larutan standart EDTA pada kondisi larutan pH 10 menggunakan indikator visual Eriokrom Black T. Titik akhir titrasi dicapai saat warna biru indikator muncul. 303 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Gambar 1. Sekema alat percobaan pelindian Hasil dan Pembahasan Rata-rata kadar Fe dan Ca air lindi pada berbagai pH air hujan buatan disajikan pada Tabel 1. Pada tabel nampak bahwa kadar Fe maupun Ca semakin menurun dengan semakin bertambahnya rasio L/S. Untuk dapat diperbandingkan kadar Fe dan Ca pada berbagai pH perlu dicari rasio L/S = 10. Pada rasio ini kadar logam dalam air lindi sudah stabil, artinya semakin bertambah besar rasio L/S konsentrasi logam relatif sama atau tidak terpengaruh. Tabel 1. Rata-rata Kadar Fe dan Ca air lindi L/S rasio 1 2 3 4 [Fe] (mg/l) pH 4,50 0,0471 0,0188 0,0203 0,0234 [Ca] (mg/l) pH 4,00 pH 3,50 pH 4,50 pH 4,00 pH 3,50 0,1122 0,0626 0,0587 0,0601 0,1783 0,1493 0,1148 18,4988 17,4923 14,9043 14,5650 18,0990 18,1400 16,1400 15,1270 18,6450 19,6690 16,2490 16,5310 Keterangan: - missing data Untuk mendapatkan konsentrasi logam pada rasio L/S = 10, setiap data diplot terhadap rasio L/S sehingga ditemukan Persamaan garis yang dapat digunakan untuk menghitung konsentrasi logam. Gambar 2. memperlihatkan plot antara kadar Fe (mg/L) terhadap rasio L/S. Kurva A (pH air hujan buatan = 4,5) memperlihatkan kurva logaritmis dengan nilai R2 = 0,65, r=0,68. Kadar Fe menurun dengan semakin bertambahnya rasio L/S mengikuti Persamaan: [Fe]al = 0,0178 Ln (L/S) + 0,0416. Kurva B (pH air hujan buatan =4,0) mengikuti Persamaan : [Fe]al = 0,1145 e -0,1935 (L/S) dengan nilai R2 = 0,64, r = 0,80 dan kurva C (pH air hujan buatan = 3,5) mengikuti persamaan: [Fe] al = 0,2033 e – 0,1445(L/S) dengan nilai R2 = 0,9939, r = 0,99. Nilai R2 disebut koefisien diterminasi yang 304 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan menjelaskan seberapa jauh perubahan kadar logam Fe dapat dijelaskan oleh perubahan L/S. Koefisien regresi linier, r menjelaskan hubungan antara kadar logam dengan L/S. Dari nilai koefisien diterminasi dan korelasi nampak bahwa semakin kecil pH air hujan buatan semakin kuat berpengaruh terhadap pelindian logam Fe. Nilai koefisien korelasi meningkat dari 0,65 menjadi 0,80 dan 0,99. Hal ini sesuai dengan reaksi pelepasan logam bahwa semakin asam proses pelepasan semakin kuat (Weiner, 2000) berdasarkan reaksi sebagai berikut (Manahan, 2005): Fe2O3 + 6H+  2Fe3+ + 3H2O Semakin banyak ion H+ kondisi semakin asam dan semakin banyak Fe3+ terlindi. Gambar 3 memperlihatkan plot antara rata-rata kadar Ca (mg/L) dalam air lindi terhadap rasio L/S. Penurunan kadar Ca terhadap rasio L/S mengikuti persamaan eksponensial (non linier). Hal ini sesuai dengan percobaan Sloot et al. (2003) bahwa pengaruh kadar logam dalam air lindi menurun secara logaritmis dengan semakin besar rasio L/S mengikuti persamaan order pertama. Pola penurunan kadar Ca terhadap L/S sesuai dengan pola penurunan kadar Fe dalam air lindi, yaitu menurun mengikuti reaksi orde pertama, namun kuantiítas Ca jauh lebih besar. Fe terleaching berada pada kisaran konsentrasi 0,02- 0,2 mg/l, sedangkan Ca terleaching berada pada kisaran konsentrasi antara 14,5 sampai 19,67 mg/l. Hal ini berarti kelarutan logam Ca jauh lebih besar dibandingkan kelarutan logam Fe pada kondisi yang sama Gambar 2. Kurva perubahan konsentrasi Fe air lindi terhadap rasio L/S dan pH air hujan buatan. Keasaman air hujan (pH) A=4,5 ; B=4,0; dan C=3,5 305 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Rata-rata [Ca] air leaching (mg/L) 22,0000 -0,0574(L/S) C: [Ca] = 19,316e R2 = 0,9074 20,0000 -0,0672(L/S) B: [Ca] = 19,82e R2 = 0,8799 18,0000 A B 16,0000 C 14,0000 -0,0877(L/S) A: [Ca] = 20,273e R2 = 0,9237 12,0000 10,0000 0 1 2 3 4 5 Rasio L/S Gambar 3. Kurva Perubahan Konsentrasi Ca air leaching terhadap rasio L/S dan pH air hujan buatan. Keasaman air hujan (pH) A=4,5 ; B=4,0; dan C=3,5 Tingginya kelarutan Ca dalam tanah disebabkan selain pengaruh asam semakin juga disebabkan adanya peranan gas CO2 berdasarkan reaksi (Manahan, 2005): CaCO3 (s) + CO2 + H2O  Ca2+ + 2 HCO3- , dan reaksi akibat asam CaCO3 (s) + H+  Ca2+ + HCO3- Reaksi tersebut akan bergerak kekanan bilamana jumlah CO2 terlarut dalam air tanah semakin banyak. Tabel 2. Kadar Fe dan Ca pada L/S = 10 pH [Ca] mg/l [Fe] mg/l 4,5 4 3,5 8,4342 10,1218 10,8801 0,0006 0,0165 0,0479 Perubahan Kadar Fe dan Ca akibat keasaman air hujan buatan Untuk dapat melihat perbandingan besarnya perubahan konsentrasi Ca dan Fe dalam air lindi pada berbagai pH air hujan, faktor lain yang mempengaruhi perlu disamakan. Percobaan ini dilakukan pada tanah yang sama, dan suhu ruang, sehingga faktor sifat tanah dan suhu sama. Untuk menghilangkan faktor L/S dilakukan perhitungan kadar Fe pada rasio L/S =10. Pada rasio ini konsentrasi logam dalam air leaching sudah relatif stabil, artinya konsentrasi logam dalam air lindi tidak berubah dengan semakin bertambah besar rasio L/S. Perhitungan kadar Fe dan Ca pada L/S = 10 menggunakan persamaan pada Gambar 2 dan 3 diperoleh data sperti disajikan pada Tabel 2. 306 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Gambar 4. Pola perubahan kadar logam dalam air lindi pada L/S 10 akibat perubahan pH air hujan buatan hasil simulasi dengan kolom pelindian, (a) pola perubahan Fe, dan (b) pola perubahan Ca Hasil plot kadar Fe dan Ca dalam air lindi terhadap pH air hujan buatan pada rasio L/S = 10 diperlihatkan pada Gambar 4. Gambar 4. memperlihatkan pola perubahan kadar Fe(a), dan pola perubahan kadar Ca (b) dalam air lindi akibat pH air hujan buatan. Keduanya menunjukkan hubungan terbalik, semakin besar pH air hujan kadar logam semakin kecil. Dengan kata lain semakin kecil pH (semakin tinggi tingkat keasaman air hujan) semakin banyak logam yang terlindi. Hal ini sesuai dengan Wiener (2000), dan percobaan Liao et al.(2007). Pelindian logam Fe akibat asam mengikuti persamaan: [Fe]al = 88,169e-2,1439(pH), dengan nilai koefisien diterminasi R2 = 1. Persamaan kelarutan akibat pH ini adalah persamaan tingkat pertaman yang dapat ditulis: [Fe] pH = [Fe]pHo e -2,1439 (pH), dengan kelarutan Fe pada pH = 0 mencapai 88,169 mg/L, dan konstanta laju pelindian akibat pH sebesar, k= -2,1439. Nilai koefisien diterminasi R2 = 1 menyatakan bahwa kelarutan Fe sangat kuat dipengaruhi oleh pH. Dari persamaan ini dapat dihitung dan dinyatakan bahwa pada pH air hujan 4,5, kelarutan Fe sebesar 0,006 mg/l dan meningkat menjadi 0,05 mg/l pada pH 3,5. Selanjutnya dapat diperhitungkan kelarutan Fe pada pH 2 akan menjadi 1,210 mg/l. Menurut Weiner (2000), kelarutan Fe pada pH 2 > 2 mg/l. Perbedaan ini dapat disebabkan karena beberapa faktor berpengaruh, terutama dalam hal ini laju alir. Pada percobaan pelindian ini laju alir tak dapat dikontrol, dan jauh lebih lambat dari yang diharapkan. Kecepatan alir air hujan diharapkan sama atau mendekati laju infiltrasi di lapangan lebih kurang 1,5 cm/detik. Dengan laju sebesar ini, berpadanan dengan waktu tinggal air lindi dalam kolom sekitar 86,6 detik. Pada kenyataannya kolom mampat karena mungkin terbentuk partikel halus yang menutup pori-pori tanah sehingga aliran tertahan, sehingga untuk mengalirkan air hujan buatan dan mendapatkan air lindi 5 liter memerlukan waktu 5 hari (seharusnya 1 jam 20 menit), dan untuk mendapatkan air lindi 20 liter memerlukan waktu hampir 1 bulan. Laju alir yang lambat akan memperlambat proses pelindian. 307 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Pelindian Ca akibat hujan asam buatan mengikuti persamaan [Ca]al = 27,019 e-0,2546 dengan nilai koefisien diterminasi R2= 0,9413. Persamaan ini merupakan persamaan tingkat pertama dengan konstanta reaksi k = -0,2546. Pengaruh pH terhadap kelarutan Ca sangat kuat . Meskipun kelarutan Ca dalam tanah juga dipengaruhi oleh adanya CO2 atau karbonat, namun kelarutan Ca terutama ditentukan pH (Tiruta et al., 2004). (pH) Kesimpulan Dari hasil percobaan dapat disimpulkan bahwa kelarutan Fe dan Ca dari dalam tanah sangat dipengaruhi oleh tingkat keasaman air hujan buatan. Pengaruh keasaman terhadap kelarutan Fe sangat kuat ( r = 1), dan juga berpengaruh kuat terhadap kelarutan Ca ( r = 0,94). Hubungan matematik antara tingkat keasaman dan kelarutan Fe mengikuti persamaan tingkat pertama dengan tetapan k sebesar -2,1439, dan kelarutan Ca mengikuti persamaan tingkat pertama dengan tetapan k sebesar -0,2546. Daftar Pustaka [APHA]. 2005. Standart Methods For the Examination of Water and Waste Water, 14ed. APHA. Washington D.C. 2005. [BPS]. 2008. Biro Pusat Statistik. Kabupaten Bogor dalam Angka. BPS Kab. Bogor. Efe SI, Ogban FE, Horsfall M Jnr, Akporhonor EE. 2005. Seasonal Variations of Physico-chemical Characteristics in Water Resources Quality in Western Niger Delta Region, Nigeria. J. Appl.Sci. Environ. Mgt. Vol 9(I) 191-195. Le-ming OU, Rong-quan HE, Qi-ming F, 2007. Influence factors of pyrite leaching in germ-free system. J.Cent.South Univ. Technol (2007)01-0028-04. Liao B, Guo Z, Zeng Q, Probst A, Probst J L. 2007. Effects of Acid Rain on Competitive Releases of Cd, Cu, and Zn from Two Natural Soils and Two Contaminated Soils in Hunan, China. Water, Air and Soil Pollution: Vol. 7, No 1-3 (2007) , pp. 151-161. Manahan S. 2005. Environment Chemistry, Lewis Publ. Boca Raton. Menz FC dan Hans SM, 2004, Acid rain in Europe and the United States: an update. Environmental Scince & Policy. Vol.7: 253-265. Nwoye CI, Gideon CO, Udockchuku M, Stanley I, Chinedu CN, 2009. Model form Calculating the Concentration of Leached Iron Relative to the Final Solution Temperature during Sulphuric Acid Leaching of Iron Oxide Ore. New York Scince Journal, 2009, 2(3), ISSN 1554-0200. Petrakakis Y, Mylona E, Georgantas D, Geigoropoulou H. 2007. Leaching of Lead From Clinoptilolite at Acidic Conditions. Global Nest Journal, Vol 9. N0.3, pp 207-213. Sutanto, Ani I, Yusnira, 2002, Profil hujan asam di wilayah industri CiteureupCibinong Bogor, Ekologia, vol 2 no.2, 1-6. Tan KH. 1982. Dasar-dasar Kimia Tanah. Gadjah Mada Univesity Press. Yogyakarta. Tiruta BL, Apichat I, Radu B. 2004. Long-term prediction of leaching behavior of pollutans from solidified wastes. Advances in Environment Research 8 (2004) 697-711. 308 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan van der Sloot, van Zomeren A, Seignette P, Comans RNJ, van Zomeren A, Dijkstra JJ, Meeussen H, Hjelmar KDSO. 2003. Evaluation of environmental aspects of alternative material using an integrated approach assisted by a database/expert system. Advances in Waste Management and Recycling, September 2003, Dundee .Weiner ER. 2000. Applications of Environmental Chemistry. Lewis Publisher, CRC Press. Boca Raton. 309 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Simulasi Peningkatan Konsentrasi No3-, Cl-, Dan Nh4+ Dalam Air Sumur Akibat Hujan Asam Di Wilayah Industri Citeureup Bogor Ani Iryani* dan Sutanto Program Studi Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Pakuan Jalan Pakuan, Ciheuleut, Bogor 16144. E-mail: ani_iryani62@yahoo.co.id ABSTRAK Telah terjadi hujan asam di wilayah industri Cibinong-Citeureup-Gunung Putri Kabupaten Bogor. Hujan asam di wilayah industri Citeureup Bogor mengandung sejumlah polutan yang dapat meresap kedalam tanah dan masuk ke sumur, sehingga mempengaruhi kualitas air sumur. Telah dilakukan percobaan simulasi untuk mempelajari pengaruh konsentrasi ion NO3-, NH4+ dan Cl- dalam air hujan buatan terhadap konsentrasi ion-ion tersebut dalam air lindi sebagai representasi air sumur. Percobaan dilakukan pada kolom pelindi paralon PVC diameter 3 inchi, tinggi 130 cm. Kolom diisi tanah dari Citeureup Bogor dengan teknik ”undisturb”. Kolom dimasukkan ke dalam tanah perlahan hingga kedalaman mencapai setinggi kolom. Di laboratorium, kolom dialiri 3 katagori air hujan buatan A; B; dan C, masing-masing mengandung ketiga ion tersebut. Konsentrasi nitrat air hujan buatan bervariasi: 10; 20; dan 30 mg/l; konsentrasi klorida: 13,5; 18; dan 23,00 mg/l; konsentrasi amonium: 2,0; 4,0; dan 6,0 mg/l. Air hujan buatan dialirkan dari bawah keatas (ascending). Air yang keluar dari kolom (air lindi) disampling pada liter ke 5, 10, 15, dan 20. Masing-masing diukur konsentrasi ketiga ion tersebut. [NO3-] ditentukan dengan metoda brucin-sulfat; [NH4+] dengan metoda indofenol biru secara spektrofotometri UV-VIS, dan Cl- ditentukan dengan titrasi argentometri cara Mohr. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan konsentrasi nitrat dalam air hujan dengan konsentrasi nitrat dalam air lindi sangat kuat,mengikuti persamaan: [NO3-]air lindi = 0,9499e0,1285[NO3-]air hujan dengan r = 0,80. Hubungan konsentrasi amonium dalam air hujan dengan konsentrasi amonium dalam air lindi sangat kuat,mengikuti persamaan [NH4+]air lindi = 1.342e0.293[NH4+]air hujan dengan r = 0,98, sedangkan hubungan klorida sangat lemah,mengikuti persamaan: [Cl-] air lindi = 4.847ln([Cl-] air hujan) + 4.052 dengan r = 0.069. Kata kunci: simulasi, hujan asam, kolom pelindi, nitrat, ammonium, klorida, industri Pengantar Daerah Citeureup Kabupaten Bogor merupakan salah satu wilayah industri, padat transportasi dan berdebu. Studi kasus hujan asam di wilayah ini menunjukkan telah terjadi hujan asam intensitas tinggi mencapai pH 4,7 pada tahun 2001(Sutanto et al, 2002), dan mencapai rata-rata 4,40 pada tahun 2009 (Sutanto, 2011). Hujan asam diwilayah ini mengandung nitrat (NO3-) dan sulfat (SO4=) masing-masing mencapai 311 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan 3,330 mg/l dan 3,580 mg/l pada tahun 2001 (Iryani, 2002) dan meningkat menjadi 5,284 mg/l dan 3,547 mg/l pada tahun 2009 (Sutanto, 2011). Air sumur di wilayah ini mengandung nitrat rata-rata 6,19 mg/l (Iryani, 2002). Tingginya konsentrasi nitrat dalam air sumur disebabkan kandungan nitrat dalam air hujan. Efe et al.(2005) mempelajari kandungan nitrat dalam air sumur dan mendapatkan bahwa konsentrasi nitrat dalam air sumur dipengaruhi oleh musim, dalam hal ini curah hujan, demikian juga hasil penelitian Harbele et al. (2009). Keberadaan nitrat dalam air sumur sebagai air minum sangat berbahaya bila dikonsumsi terutama pada anak-anak, karena dapat menyebabkan penyakit methemoglobin yaitu timbul sianosis pada bayi yang dikenal sebagai “baby-blues” (Luk dan Au-Yeung, 2002). Ion ammonium dapat berada dalam air hujan karena pelepasan gas ammonia ke atmosfir dan larut dalam air hujan. Gas ammonia dapat berasal dari emisi industri seperti industri batu batere, industri pupuk urea dan pupuk ammonium sulfat, dan dapat juga berasal dari proses pembusukan sampah organik yang mengandung protein. Ion klorida berada dalam air hujan berasal dari pelepasan klorida dari air laut, dan juga dapat berasal dari pelepasan klor akibat pembakaran senyawa yang mengandung klor, seperti polivinil klorida dan lainnya. Hasil pemantauan kualitas air hujan di daerah Serpong dan Jakarta menunjukkan bahwa dalam air hujan dapat mengandung ion ammonium hingga 17,4 mol/l dan ion klorida hingga 15,6 mol/l (Eanet, 2009). Hujan asam umumnya mengandung banyak ion-ion yang jika air hujan ini jatuh ketanah akan meresap kedalam tanah dan akhirnya dapat masuk kedalam sumur, sehingga berpengaruh terhadap kualitas air sumur. Jika hujan asam berlangsung terus menerus dalam kurun waktu yang lama, dikhawatirkan konsentrasi ion-ion polutan dalam air sumur akan semakin tinggi dan membahayakan jika dikonsumsi penduduk. Selain konsentrasi ion dalam sumur dipengaruhi oleh kandungan ion dalam air hujan, akumulasi ion terlindi juga tergantung kepada rasio jumlah air lindi terhadap jumlah padatan (isi kolom) atau rasio volume cairan dalam liter terhadap berat padatan dalam kg (L/S). Konsentrasi polutan dalam air lindi tak lagi berubah setelah dicapai rasio L/S minmal 10 (van der Sloot et al., 2003). Penelitian ini mempelajari hubungan antara konsentrasi polutan ion NO3-, NH4+ dan Cl dalam air hujan dengan konsentrasi polutan dalam air sumur melalui percobaan /eksperimental simulasi kolom pelindi. Hubungan antara konsentrasi ion dalam air hujan buatan dan dalam air lindi sebagai representasi air sumur diperhitungkan pada nilai rasio L/S = 10. Bahan dan Metode Bahan Bahan kimia Merk: HNO3 (pa) HCl (pa); NH4Cl (pa); brucin; H2SO4 (pa); AgNO3 (pa); aquabidest; fenol; natrium nitropusid, alkalin sitrat, NaOH, K2CrO4 (pa), NaOCl ). Alat Peralatan gelas; buret mikro; Erlenmeyer; gelas piala, statif, pipet volumetric, pipet tetes; gelas ukur dan sebagainya. Instrumen analisis: pHmeter (LUTRON); Spektrofotometer UV-VIS (Thermo Scientific, seri Genesis 10uiv), dan peralatan percobaan kolom pelindi. 312 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Metoda Metode penelitian terdiri dari pengambilan sampel tanah dan pembuatan kolom,, pembuatan air hujan asam, pelaksanaan pelindian, pengambilan sampel air lindi, analisis contoh dan pengolahan data. Sampel tanah diambil dari daerah yang mengalami hujan asam, sedemikian rupa diusahakan agar struktur tanah tidak berubah. Tanah tersebut kemudian dimasukkan ke dalam kolom yang terbuat dari paralon yang berdiameter 3 inci dan sepanjang 130 cm. Selanjutnya kolom dirakit seperti diperlihatkan pada Gambar 1. Air hujan yang telah ditampung dikondisikan pada berbagai konsentrasi nitrat yaitu 10 ppm, 20 ppm dan 30 ppm. Kandungan ammonium 2 ; 4; dan 6 ppm; kandungan klorida: 13,5; 18; dan 23 ppm. Semakin besar kandungan ion-ion yang dilarutkan dalam air hujan, diasumsikan air hujan semakin asam, sehingga air hujan buatan dikondisikan, yaitu pH 4,5; pH 4,0; pH 3,5. Air hujan asam buatan ini kemudian dialirkan melalui dasar kolom tanah yang telah dibuat, dan keluar dari atas kolom sebagai air lindi. Pengambilan sample air lindi dilakukan pada volume air ke 5, 10, 15, dan 20 liter yang berpadanan dengan rasio L/S masing-masing: 1; 2; 3; dan 4. Percobaan kolom pelindi dilakukan sebanyak 2 ulangan dan tiga taraf konsentrasi ion air hujan buatan, dengan tanah kolom berasal dari wilayah hujan asam Citeureup Kabupaten Bogor. Kemudian sampel air lindi masing-masing dianalisis konsentrasi NO3-, NH4+ dan Cl-. Data hasil analisis dialurkan untuk mendapatkan konsentrasi ion pada L/S 10 menggunakan persamaan garis hasil pengaluran antara konsentrasi ion terhadap rasio L/S. hubungan antara konsentrasi ion dalam air hujan buatan terhadap konsentrasi ion dalam air lindi. Gambar 1. Skema alat percobaan pelindian 313 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Pembuatan Air Hujan Buatan Disiapkan 50 liter air suling dalam wadah plastik, kemudian dibuat air hujan buatan A; B; dan C, masing-masing mengandung ion NO3-, NH4+ dan Cl-. Konsentrasi nitrat dibuat variasi: 10; 20; dan 30 mg/l; konsentrasi klorida: 13,5; 18; dan 23,00 mg/l; dan konsentrasi amonium: 2,0; 4,0; dan 6,0 mg/l Penetapan Konsentrasi Nitrat, NO3- (APHA, 419 D) Penetapan konsentrasi nitrat berdasarkan pada reaksi antara nitrat dengan bruisin sulfat dalam suasana asam menghasilkan warna kuning yang digunakan untuk penilaian kolorimetri pada nitrat. Intensitas warna diukur pada panjang gelombang 410 nm menggunakan Spektrofotometer UV-VIS. Perhtungan konsentrasi dilakukan berdasarkan persamaan kurva deret standar. Penetapan Konsentrasi Klorida, Cl- (APHA, 410 B) Penetapan konsentrasi klorida dilakukan dengan metoda titrasi argentometri cara Morh dengan indicator K2CrO4 0,1 M, dalam suasana larutan dibuat netral. Titrasi dilakukan triplo. Penetapan Konsentrasi Amonium, NH4+ (APHA, ) Penetapan konsentrasi NH4+ dilakukan metoda indofenol biru. Dalam suasana basa ammonia bereaksi dengan natrium hipoklorit membentuk senyawa monjokloramin. Dengan adanya fenol dan hipoklorit berlesbih menghasilkan warna biru dengan serapan maksium pada 640 nm. Intensitas warna biru diukur menggunakan Spektrofotometer UV-VIS. Perhtungan konsentrasi dilakukan berdasarkan persamaan kurva deret standar. Pengolahan Data Hasil analisis setiap parameter uji dialurkan terhadap rasio L/S sehingga diperoleh persamaan garis. Dengan persamaan garis ini dihitung kuantitas setiap parameter pada rasio L/S 10. Hasil perhitungan ini untuk setiap parameter dan setiap kondisi/Konsentrasi ion dalam air hujan buatan. Dengan mengalurkan antara hasil perhitungan ion dalam air lindi pada L/S 10 terhadap konsentrasi ion dalam air hujan buatan dapat diperoleh suatu persamaan yang menghubungkan keduanya. Hasil Dan Pembahasan Sampel tanah untuk kolom pelindi diambil dari daerah Citeureup Kabupaten Bogor yang sering mengalami hujan asam, yaitu daerah Sanja dan daerah Gunung Putri. Daerah tersebut dianggap cukup representatif terhadap dua jenis tanah yang terdapat di sebagian besar wilayah Citeureup Kabupaten Bogor. Di daerah tersebut dekat dengan industri dan pasar yang berkontribusi dalam terjadinya hujan asam. Daerah tersebut bukan daerah pertanian, jauh dari tumpukan sampah, bukan merupakan tanah yang diberi pupuk, serta jauh dari kemungkinan sumber nitrat yang lain. Sampel tanah yang diambil di daerah Desa Sanja merupakan jenis tanah alluvial coklat kekuningan dengan struktur halus dan drainase sedang, dan sampel tanah yang 314 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan diambil di daerah Gunung Putri merupakan jenis tanah latosol merah dengan struktur halus dan drainase sedang. Parameter Nitrat, NO3Simulasi dengan kolom pelindi dengan variasi input nitrat air hujan buatan 10; 20; dan 30 mg/l diperoleh data konsentrasi nitrat pada berbagai rasio L/S dan disajikan dalam bentuk grafik seperti terlihat pada Gambar 2. Konsentrasi nitrat dalam air lindi mula-mula rendah dan semakin meningkat dengan bertambahnya rasio L/S. Peningkatan konsentrasi nitrat dalam air lindi untuk input nitrat 10 dan 20 mg/l tidak jauh berbeda sebagaimana diperlihatkan kurva A dan kurva B, namun pada input nitrat 30 mg/l memperlihatkan peningkatan konsentrasi nitrat dalam air lindi yang jauh lebih tinggi, sebagaimana diperlihatkan kurva C. Peningkatan konsentrasi nitrat yang rendah (kurva A dan B) menunjukkan bahwa tanah di wilayah penelitian memiliki kemampuan menjerap ion nitrat yang cukup baik sampai pada batas input nitrat 20 mg/l. Peningkatan yang tajam konsentrasi nitrat dalam air lindi (kurva C) menunjukkan bahwa pada input nitrat 30 mg/l, tanah telah mendekati jenuh sehingga daya jerapnya terhadap nitrat rendah. Gambar 2. Pola perubahan konsentrasi nitrat dalam air lindi pada berbagai input nitra dalam air hujan buatan (Input nitrat, A 10 mg/l; B 20 mg/l dan C 30 mg/l) terhadap rasio L/S. Pada input konsentrasi nitrat 10 mg/l dalam air hujan (kurva A) mengikuti persamaan [NO3-] = 1,4749e0.0279(L) dan hasil perhitungan pada L/S = 10, Konsentrasi nitrat dalam air lindi sebesar 5,951 ppm. Dengan cara yang sama, kurva B mengikuti persamaan [NO3-] = 1,4679e0,0207(L) dengan konsentrasi nitrat sebesar 4,132 mg/l, dan pada input konsentrasi nitrat 20 ppm didapatkan persamaan [NO3-] = 1,3344e0,0813(L) dengan konsentrasi nitrat pada L/S = 10 sebesar 77,749 ppm. Hasil pengaluran 315 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan kkonsentrasi input nitrat terhadap Konsentrasi air lindi diperoleh kurva hubungan antara keduanya seperti diperlihatkan pada Gambar 3. Kurva hubungan antar keduanya tidak 0,1285[NO3 ]air hujan  linier tetapi logaritmik mengikuti persamaan [NO3 ]air leaching  0,9499e dengan koefisien korelasi , r = 0,80. ฀ Gambar 3. Kurva hubungan antara konsentrasi input ion nitrat dalam air hujan terhadap konsentrasi nitrat dalam air lindi. Parameter Amonium, NH4+ Simulasi dengan kolom pelindi dengan variasi input amonium air hujan buatan 2,0; 4,0; dan 6,0 mg/l diperoleh data konsentrasi amonium pada berbagai rasio L/S dan disajikan dalam bentuk grafik seperti terlihat pada Gambar 4. Kurva A dengan input ammonium 2,0 mg/l pola perubahan menurun. Hal ini dimungkinkan sebagian ion ammonium terjerap oleh tanah. Pada input ammonium yang lebih tinggi, kurva B dan C cenderung naik menuju konsentrasi input masing-masing, hal ini menunjukkan bahwa tanah sudah tidak mampu lagi menjerap ion amonium. Kurva A mengikuti persamaan:[NH4+]air lindi = -0.33ln[NH4+]air hujan) + 3.838, dengan koefisien korelasi, r = 0.93; kurva B mengikuti persamaan: [NH4+]air lindi = 0.212ln[NH4+]air hujan) + 3.081 dengan r = 0.73; dan kurva C mengikuti persamaan: [NH4+]air lindi = 5.096e0.009[NH4+]a hujan dengan r = 0.78. Hasil perhitungan dengan masingmasing persamaan ini pada rasio L/S 10 diperoileh konsentrasi ammonium pada air lindi: 2.545; 3.910; dan 8.236 mg/l. Selanjutnya konsentrasi amonium dalam air lindi dialurkan terhadap konsentrasi input air hujan diperoleh kurva seperti diperlihatkan pada Gambar 5. 316 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Gambar 4. Pola perubahan konsentrasi amonium pada berbagai rasio L/S. kurva A: input amonium 2 mg/l; B input amonium 4 mg/l, dan C input amonium 6 mg/l Gambar 5. Kurva hubungan antara Konsentrasi ion ammonium dalam air hujan buatan terhadap Konsentrasi ion ammonium dalam air lindi. Hubungan antara konsentrasi ion amonium dalam air hujan buatan dengan air lindi sebagai representasi air sumur mengikuti persamaan [NH4+]air lindi = 1.342e0.293air hujan dengan koefisien korelasi r = 0.98. Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi ion amonium dalam air hujan sangat kuat berpengaruh terhadap konsentrasi ion amonium dalam air sumur. Ion ini sedikit sekali mengalami penjerapan dalam tanah. Parameter Klorida, ClSimulasi dengan kolom pelindi dengan variasi input klorida ([Cl-]) dalam air hujan buatan 13,5; 18; dan 23,00 mg/l diperoleh data konsentrasi amonium pada berbagai rasio 317 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan L/S dan disajikan dalam bentuk grafik seperti terlihat pada Gambar 6. Kurva A dengan input klorida 13,5mg/l pola perubahan menurun. Hal ini dimungkinkan sebagian ion klorida terjerap oleh tanah. Pada input klorida yang lebih tinggi, kurva B dan C cenderung naik menuju konsentrasi input masing-masing, hal ini menunjukkan bahwa tanah sudah tidak mampu lagi menjerap ion klorida. Gambar 6. Kurva pola perubahan konsentrasi klorida (Cl-) pada berbagai konsentrasi input klorida dalam air hujan buatan terhadap rasio L/S. Kurva A= konsentrasi input klorida 13,5 mg/l, B= 18 mg/l; dan C = 23,00 mg/l Pada input konsentrasi klorida 13,5 mg/l , kurva A cenderung meningkat perlahan, sama halnya dengan kurva C. Semakin banyak air hujan yang dialirkan, semakin besar konsentrasi ion klorida dalam air lindi. Kurva B cenderung menurun, suatu keadaan anomali ini mungkin disebabkan karena kolomnya yang mampat. Kurva A: mengikuti persamaan: [Cl-] air lindi = 1.746ln([Cl-] air hujan) + 15.81, dengan R² = 0.97, dan kuva B mengikuti persamaan: : [Cl-] air lindi = -2.19ln([Cl-] air hujan) + 18.51 dengan R² = 0.755, dan kurva C mengikuti persamaan: : [Cl-] air lindi = 0.428ln([Cl-] air hujan) + 21.06, dengan R² = 0.305. Hasil perhitungan konsentrasi ion klorida pada L/S 10 diperoleh masing-masing: 318 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Gambar 7. Kurva hubungan antara konsentrasi ion klorida dalam air hujan buatan dengan konsentrasi ion klorida dalam air lindi. Gambar 7 memperlihatkan kurva hubungan antara konsentrasi ion klorida dalam air hujan (input) dengan konsentrasi ion klorida dalam air lindi. Kurva ini mengikuti persamaan [Cl-] air lindi = 4.847ln([Cl-] air hujan) + 4.052 dengan nilai koefesian R² = 0.069. Persamaan ini memperlihatkan bahwa hubungan antara konsentrasi ion klorida input air hujan dengan air lindi sangat lemah dan bahkan tidak mencerminkan hubungan sama sekali. Hal ini dimungkinkan ion klorida banyak terserap dalam tanah, dan kemungkinan ion klorida yang keluar bersama air lindi berasal dari dalam tanah itu semdiri. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian simulasi kolom pelindi untuk ketiga ion dapat disimpulkan sebagai berikut: Semakin tinggi konsentrasi nitrat yang terlarut dalam air hujan asam, semakin tinggi pula kandungan nitrat yang terlepaskan dan terakumulasi dalam air sumur. Hubungan konsentrasi nitrat dalam air hujan dengan konsentrasi nitrat dalam air lindi sangat kuat,mengikuti persamaan: [NO3-]air lindi = 0,9499e0,1285[NO3-]air hujan dengan nilai koefisien korelasi r = 0,80 Semakin tinggi konsentrasi ammonium dalam air hujan menyebabkan semakin tinggi konsentrasi ammonium dalam air sumur. Hubungan konsentrasi nitrat dalam air hujan dengan konsentrasi nitrat dalam air lindi sangat kuat,mengikuti persamaan [NH4+]air lindi = 1.342e0.293air hujan r = 0,98 Semakin tinggi konsentrasi klorida dalam air hujan menyebabkan semakin tinggi konsentrasi klorida dalam air sumur. Hubungan konsentrasi klorida dalam air hujan dengan konsentrasi klorida dalam air lindi sangat lemah,mengikuti persamaan: [Cl-] air lindi = 4.847ln([Cl-] air hujan) + 4.052 dengan nilai koefesian r = 0.069 319 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Ucapan Terimakasih Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada: Fitri Chaerunisa dan Supriyadi Lubis, dan rekan-rekan laboratorium kimia FMIPA Universitas Pakuan yang telah membantu penelitian ini. Daftar Pustaka [APHA]. 2005. Standart Methods For the Examination of Water and Waste Water, 14ed. APHA. Washington D.C. 2005. Efe SI, Ogban FE, Horsfall M Jnr, Akporhonor EE. 2005. Seasonal Variations of Physico-chemical Characteristics in Water Resources Quality in Western Niger Delta Region, Nigeria. J. Appl.Sci. Environ. Mgt. Vol 9(I) 191-195. Harbele J, Helena K, Pavel S, Jan K. 2009. The Change of Soil Mineral Nitrogen Observe on Farm between Autum ang Spring ang Modelled with a Simple Leaching Equation, Soil & Water Res 4:159-167. Iryani A. 2002. Pengaruh pencemaran udara terhadap kualitas air sumur penduduk (studi kasus air sumur penduduk wilayah industri Cibinong-Citeureup kab. Bogor Jawa Barat) . Tesis. UI. Jakarta. Luk, G. K. dan W. C. Au-Yeung,. 2002. Experimental Investigation on The Chemical Reduction of Nitrate From Ground Water (6). Departement of Civil Engineering. Ryerson Polytechnic University. Canada. 441-453. Sutanto, Ani I, Yusnira, 2002, Profil hujan asam di wilayah industri CiteureupCibinong Bogor, Ekologia, vol 2 no.2, 1-6. Sutanto, 2011, Hujan Asam dan Perubahan Kualitas Air Sumur di Wilayah Industri (studi kasus di Wilayah industry Cibinong-Citeureup Kabupaten Bogor), Disertasi, Institut Pdertanian Bogor, Bogor. van der Sloot, van Zomeren A, Seignette P, Comans RNJ, van Zomeren A, Dijkstra JJ, Meeussen H, Hjelmar KDSO. 2003. Evaluation of environmental aspects of alternative material using an integrated approach assisted by a database/expert system. Advances in Waste Management and Recycling, September 2003, Dundee 320 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Optimasi Antibiotik Higromisin Sebagai Penunjang Transformasi Genetik Tembakau Seagames Waluyo1,2, Sustiprijatno2* dan Suharsono1 Program Studi Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor, Jl. Kamper Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680, 2 Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Jl. Tentara Pelajar 3A, Bogor 16111 E-mail: susti11@yahoo.com 1 ABSTRAK Seleksi eksplan merupakan tahapan penting untuk mendapatkan tanaman transgenik. Tujuan penelitian adalah mengetahui konsentrasi optimum untuk seleksi eksplan daun tembakau. Potongan daun tembakau digunakan sebagai eksplan. Perlakuan 0, 20 mg/l, 30 mg/l dan 50 mg/l higromisin diguakan untuk mendapatkan konsentrasi terendah eksplan tembakau non transgenik yang sensitif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 20 mg/L higromisin dapat membunuh eksplan non transforman. Konsentrasi 20 mg/l higromsin mampu membedakan antara eksplan transgenik dan non transgenik. Kata kunci: Agrobacterium thumefaciens, higromisin dan tembakau cv samsun Pengantar Agrobacterium thumefaciens merupakan bakteri yang umum digunakan dalam transformasi genetik tanaman. Seleksi antibiotik merupakan faktor penting untuk mendapatkan tanaman transgenik To (Miki & McHugh, 2004). Agen seleksi dapat menggunakan antibiotik seperti higromisin, kanamisin dan neomisin. Antibiotik ini dipilih disesuaikan dengan informasi dari gen selective marker dalam T-DNA (Hiei & Komari, 2008). Gen penanda seleksi mengindentifikasi sel transgenik secara langsung dengan cara mematikan sel non transgenik putatif. Kemampuan sel transgenik untuk memproduksi protein tertentu sehingga sel menjadi tahan terhadap antibiotik tersebut (Aragao & Brasileiro, 2002). Tumbuhan mempunyai sifat totipoteinsi sel sehingga setiap sel tanaman mampu membentuk individu baru (Quiroz-Figueroa et al., 2006). Potongan daun (Jones, 1996), (Su et al., 2012) dan suspesi sel (An, 1985) (Mayo et al., 2006) merupakan eksplan yang digunakan untuk transformasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi media untuk regenerasi dan konsentrasi optimum antibiotik higromisin untuk menyeleksi eksplan N. tabaccum sebagai pendukung dalam kegiatan transformasi. 321 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Bahan dan Metode Bahan Tanaman tembakau samsun yang diperoleh dari Prof. Dr. Ir Suharsono, DEA (PsBioteknologi, IPB) digunakan sebagai tanaman yang ditransformasi. Agrobacterium tumefaciens LBA 4404 yang membawa pCambia1300int-BtCspB diperoleh dari Dr. Tri Joko santoso, MSi digunakan sebagai perantara transformasi genetik tembakau. Primer UbiFμ 5’-TGA TGA TGT GGT CTG GTT GG-3’ dan NosTRμ 5’- CTG TAA TGC ATG ACG TTA TTT ATG A-3’ digunakan untuk menganalisis integrasi gen BtCspB dalam kalus putatif transgenik. Metode Optimasi media seleksi higromisin Benih tembakau cv samsun direndam dengan larutan NaOCl 5% selama 1 menit kemudian dibilas 3 kali dengan ddH2O steril. Benih ditanam pada media Murasihige & Skoog, 1962. Benih ditempatkan di ruang gelap selama 1 minggu dan 2,5 bulan diruang terang pada suhu 30ºC. Eksplan ditanam pada media MS (1 mg/l BAP dan 0,1 mg/l IAA) yang mengandung antibiotik 20, 30 dan 50 mg/l higromisin. Kontrol digunakan eksplan dimedia tanpa mengandung antibiotik higromisin. Hasil optimasi antibiotik higromisin kemudian dikonformasi menggunakan eksplan yang di inokulasi dengan Agrobacterium tumefaciens LBA4404 pCambia1300int::BtCspB. Eksplan diinokulasi dengan suspensi A. tumefaciens (OD6000,5) selama 20-30 menit. Eksplan ditumbuhkan pada media kokultivasi (MS 1 mg/l BAP, 0,1 mg/l IAA dan 300 µM asetosiringone) selama 3 hari diruang gelap. Eksplan diseleksi pada 20 mg/l higromisin pada media MS 1 mg/l BAP dan 0,1 mg/l IAA yang merupakan induksi tunas selama 3 minggu. Analisis molekular dengan PCR (Polymerase chain reaction) DNA genomik tembakau di isolasi menggunakan metode Wang et al., (1993). Analisis PCR dilkukan dengan mengampfikasi gen Csp yang berukuran 387 pb. Komposisi PCR terdiri atas 100 ng DNA tembakau, 1x buffer PCR, 10 mM dNTP mix, 25 pmol setiap primer UbiP dan NosTR, dan 1 unit Taq polymerase (Generay Biotech, USA) ditambahkan ddH2O hingga volume total reaksi 20 µl. PCR dilakukan di dalam mesin thermal cycle (MJ Research Tetrad) dengan program PCR terdiri atas denaturasi 94°C selama 30 detik, penempelan 63°C selama 15 detik, pemanjangan 72°C selama 30 detik dengan 25 siklus. Hasil PCR dimigrasikan ke 1% agarose dalam larutan 1xTAE selama 30 menit dengan divisualisasi EtBR (Ethidium bromida) dan diamati dibawah lampu UV. Hasil dan Pembahasan Optimasi higromisin eksplan tembakau cv samsun Eksplan ditanaman pada media berbagai konsentrasi 0, 20, 30 dan 50 mg/l higromisin. Pada pengamatan minggu ke-2 dengan media MS mengandung 20 dan 30 mg/l higromisin 5 eksplan (atau 25%) dan 7 (atau 35%) mengalami kematian. Konsentrasi 50 mg/l higromisin, 12 eksplan (atau 60%) megalami kematian. Semua potongan daun menunjukkan kematian semua pada berbagai konsentrasi pada minggu ke-3. Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi 20/l higromisin merupakan konsentrasi terrendah yang mampu mematikan eksplan potongan daun selama 3 minggu. 322 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Eksplan pada media higromisin megalami kemtian yang ditadai eksplan berwarna coklat pada minggu ke-3. Konsentrasi 20 mg/l higromisin menunjukkan eksplan masih mampu merespon media yang ditunjukkan eksplan bengkak. Konsentrasi 30 dan 50 mg/l higrimisin eksplan mengalami kematian langsung (Gambar 2). (a) (b) (c) (d) Gambar 1. Resistensi eksplan non trasforman pada media higromisin. a= eksplan ditanam di 0 mg/l higromisin (kotrol); b= eksplan ditanam di 20 mg/L higromisin; c= eksplan ditanam di 30 mg/L higromisin dan d= eksplan ditanam di 50 mg/L higromisin Pada 20 mg/l higromisin juga digunakan oleh (Yasin, 2009), di tanaman tembakau, Andrographis paniculata (Tangopo et al., 2012). Konsentrasi 20 mg/L higromisin lebih rendah jika dibandingkan dengan Anggarito (2012) yang menyeleksi kalus tembakau 30 mg/L higromisin dan Bhatti & He (2009) yang menggunakan 50 mg/L higromisin untuk menyeleksi tembakau. Konsentrasi 20 mg/l higromisin digunakan untuk menyeleksi eksplan daun yang diinokulasi dengan A. thumefaciens yang membawa plasmid pCambia1300int-BtCspB. Plasmid pCambia1300int-BtCspB membawa gen hpt sebagai gen seleksi dan gen BtCspB yang menyandikan protein RNA-chaperone. Gen hpt mempuyai ketahanan terhadap antibiotik higromisin yang bersifat beracun bagi tanaman. Dari 80 eksplan terdapat 42 (atau 52,5%) menunjukkan resistensi pada 20 mg/l higromisin. Eksplan non transforman tanpa inokulasi menunjukkan kematian 100 persen. Eksplan ditumbuhkan pada media seleksi sekaligus media regenerasi dengan menggunakan media MS, 1 mg/l BAP + 0,1 mg/l iAA dan 20 mg/l higromisin. Pada minggu ke-3 perbedaan jelas antara kalus yang resisten dan rentan (gambar 2). Hal ini menunjukkan bahwa dengan 20 mg/l higromisin mampu membedakan antara eksplan transgenik putatif dengan non-transgenik putatif. Analisis molekular dengan PCR Hasil amplifikasi PCR menunjukkan dari 4 kalus independen yang diambil secara acak menunjukkan keberadaan amplifikasi yang berukuran 387 pb. Hasil amplifikasi pada 4 kalus independen sesuai dengan amplifikasi pada plasmid yang berukuran 387 pb (Gambar 2). Kalus nontransforman tidak menunjukkan keberadaan pita. Gen hpt difusikan dengan gen BtCspB sehingga kalus yang tumbuh pada media seleksi juga membawa gen BtCspB. 323 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan M Nt P 1 2 3 4 (a) (b) Gambar 2. Ketahanan eksplan pada meda seleksi (20 mg/l higromisin). a. Eksplan di inokulasi berumur 3 minggu; c. PCR kalus putatif transgenik. M= marker 1 kb; A= air (kontrol negatif); P= plasmid pCambia1300int::BtCspB; Nt= kalus tembakau non transforman;1-4= kalus putatif transgenik. Keberhasilan ini perlu ditunjang dengan regenerasi menjadi tanaman sempurna. Kombiasi ZPT (Zat pengatur tumbuh) MS dengan 1 mg/l BAP dan 0,1 IAA mampu menginduksi tunas. Anggarito (2012), Bhatti & He (2009), dan (Yasin 2009) menggunakan ZPT dengan sitokinin tinggi dan auksin rendah sebagai media regenerasi dari kalus putatif transgenik. Kesimpulan Konsentrasi 20 mg/L higromisin merupakan konsentrsi terendah bagi tembakau non transgenik dan pada konsentrasi yang sama mampu menyeleksi kalus putatif transgenik. Ucapan trimakasih Ucapan trimakasih disampaikan pada Dr. Sustiprijatno MSc yang telah mendanai penelitian ini dan Prof. Dr. Suharsono dan Dr. Tri joko santoso MSi yang memberikan material genetik biji tembakau cv. Samsun dan A.thumefaciens membawa pCambia1300int-BtCspB. Daftar Pustaka An, G. 1985. High efficiency transformation of cultured tobacco cell. Plant Physiol 79: 568-570. Aragao, J.L.A & A.C.M. Brasileiro. 2002. Positive, negative and marker-free strategies for transgenic plant selection. Braz. J. Plant Physiol 14 (1): 1-10. Batti, K.H & C H.E., 2009. Agrobacterium mediated tobacco transformation with rice fae gene and segregation analysis of T1 generation. Pak. J. Bot 41(1): 403-412. Hiei. Y & T. Komari. 2008. Agrobacterium-mediated transformation of rice using immature embryos or calli induced from mature seed. Nature Protocols 3(5):824-834. 324 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Jones H. 1996. Plant gene transfer and expression protocols. Methods in Molecular Biology 49: 39-48. Mayo K.J., B.J Gonzalez., & H.S Mason. 2006. Genetik transformation of tobacco NT1 cell with Agrobacterium tumefaciens. Nature protocol 1(3): 1105-1111. Miki B & S. McHugh. 2004. Selectable marker genes in transgenic plants: applications. alternatives and biosafety. J. Biotechnology 107:193-232. Murashige, T, & F. Skoog. 1962. A revised medium for rapid growth and bioassays with tobacco tissue cultures. Plant Physiology 15: 473-497 Quiros-Fiqueroa FR, Rojas-Herrera., Galaz-Avalos & Loyola-Vargas. 2006. Embryo production through somatic embryogenesis can be used to study cell differentiation in plants. Plant Cell Tiss. Org. Cult 86: 285-301 Su G., S. Park., S. Lee & N. Murai. 2012. Low co-cultivation temperature at 20˚c resulted in the reproducible maximum increase in both the fresh weight yield and stable expression of gus activity after Agrobacterium tumefaciensmediated transformation of tobacco leaf disks. American Journal Plant Sciences 3:537-545. Tangapo A., E. Marwani & Dwivani. 2012. Transformasi dan Ekspresi Transien Gen Pelapor Gus pada Andrographis paniculata (Burm.F.) Wallich Ex Ness. Jur. Bioslogos 2(1):10-19. Yasin. N. 2009. Transformasi Genetik Nicotiana benthamiana dengan gen CP untuk mendapatkan ketahanan tanaman terhadap peanut stripe virus. Biospecies 2(2): 31-37. 325 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Menentukan Intensitas Tl Dan PPPTl Pada Sampel SiO2 Suyati, Nunung Nuraeni, Dewi Kartikasari, M.Thoyib Thamrin, Dyah Dwi Kusumawati Pusat Teknologi Keselamatan dan Metrologi Radiasi – BATAN Jl. Lebak Bulus Raya No. 49, Jakarta 12440 Email : dewikartikasari@batan.go.id / suyati.batan@gmail.com ABSTRAK Telah dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh penyinaran ultra violet (UV) terhadap hasil bacaan intensitas TL dan PPTL pada sampel serbuk silikon dioksida (SiO2). Dosimeter SiO2 disinari dengan radiasi gamma dengan dosis 5, 10, 15, 20 dan 25 kGy. Serbuk silikon dioksida sebanyak 10 mg, selanjutnya diletakkan pada planset aluminium foil yang selanjutnya intensitas TL nya dibaca dengan menggunakan alat baca TLD Reader 2000A dan 2000B. Setelah proses pembacaan TL, SiO2 kemudian disinari menggunakan UV dengan panjang gelombang 254 nm dan 366 nm. Serbuk SiO2 dibaca kembali untuk mengukur intensitas PPTL nya. Serbuk silikon dioksida dapat memberikan tanggapan yang berbeda untuk setiap penerimaan dosis yang berbeda, sedang untuk pembacaan tanggapan yang memanfaatkan PTTL yang dibangkitjkan melalui sinar UV dengan panjang gelombang 366 nm cukup baik, semakin lama waktu penyinaran semakin besar pula tanggapan PPTL nya. Kata kunci: SiO2, Ultra Violet, Thermoluminance Pendahuluan Radiasi pengion dosis tinggi sering dimanfaatkan dalam berbagai kegiatan industri. Ada beberapa jenis radiasi pengion yang dapat digunakan untuk kepentingan irradiasi dalam industri yaitu, sinar gamma yang dipancarkan oleh bahan radioaktif seperti Cs137, Co-60, dan sinar-X yang dibangkitkan oleh pesawat, serta berkas elektron cepat (sinar beta) yang diproduksi oleh mesin pembangkit elektron [1]. Untuk keperluan dosimetri radiasi dosis tinggi dapat digunakan berbagai jenis dosimeter, salah satu dosimeter radiasi ini memanfaatkan fenomena termoluminesensi, yang dikenal dengan nama Thermoluminensi Detektor lebih populer disingkat TLD. Jenis dosimeter lain yang digunakan serbuk Silikon Dioksida (SiO2). Dari beberapa penelitian diketahui bahwa serbuk SiO2 ternyata memberikan dapat digunakan juga sebagai dosimeter gamma dosis tinggi, baik pemanfaatan tersebut melaluipemanfaatan fenomena thermoluminisensi (TL) maupun photo transfer thermoluminisensi PTTL [2]. Salah satu keuntungannya yaitu kepekaan tidak sensitif terhadap radiasi gamma dosis rendah sehingga dosimeter ini kurang baik digunakan sebagai dosimeter pemantau terhadap radiasi lingkungan. Pancaran cahaya TL didefinisikan sebagai pancaran cahaya dari benda padat dengan struktur kristal sebagai akibat proses eksitasi yang disebabkan oleh radiasi pengion. Fenomena TL dapat terjadi karena adanya kerusakan kisi-kisi pada kristal. Pada daerah sekitar terjadinya kerusakan itu sering kali terbentuk pusat muatan listrik. Pada muatan yang cukup kuat dan mampu mengikat ion yang tertarik kepadanya disebut perangkap, 327 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan sedang kemampuan perangkap dalam mengikat ion disebut kedalaman perangkat [2,3]. Banyak perangkap yang tidak stabil secara termik sehingga akan melepaskan tangkapannya pada suhu kamar. Pada perangkap yang stabil elektron maupun lubang akan terperangkap sampai memperoleh energi yang cukup untuk keluar melepaskan diri dari ikatan perangkap tersebut. Cara yang paling umum untuk melepaskan elektron dan lubang dari perangkap adalah dengan memberi pemanasan dari luar [2]. Pemanasan dari luar ternyata hanya mampu melepaskan elektron dan lubang dari perangkap yang tidak terlalu kuat. Ada kalanya elektron dan lubang terikat oleh pusat muatan yang sangat kuat (perangkap yang sangat dalam) dan belum terlepas karena tidak terpengaruh oleh pemanasan pertama tadi [3]. Dengan demikian masih ada informasi lain yang tersimpan di dalam dosimeter tersebut. Informasi ini hanya dapat dikeluarkan dengan adanya pemanasan yang berikutnya yaitu menggunakan sinar ultra ungu (UV), metoda ini disebut Regenerasi Termoluminisensi atau dikenal sebagai metoda Phototransfer Thermoluminescence (PTTL) [3,4]. Makalah ini akan membahas mengenai intensitas TL dan PTTL pada serbuk SiO2 yang diradiasi dengan berbagai variasi dosis dan energi UV. Metoda Penelitian Mengingat SiO2 ini banyak mengandung uap air, maka perlu dilakukan pengeringan uap air tersebut dengan pemanasan 30oC selama 1 jam dengan menggunakan oven. Kemudian serbuk tersebut diannealing dengan temperatur 500oC selama 1 jam dengan menggunakan furnace hal ini untuk mengembalikan elektron-elektron yang ada dalam keadaan dasar. Serbuk SiO2 sebanyak 100 mgr dimasukkan kedalam kapsul gelatin berbentuk silinder dan dimasukkan ke dalam kapsul plexiglas dengan ketebalan dindingnya 3 mm. Penyinaran serbuk SiO2 dilakukan menggunakan Irradiation Gamma Chamber 4000A,yang di dalamnya terdapat sumber gamma Co-60 dengan aktivitas 6210504 Ci dengan laju dosis sebesar 4,67 kGy/jam pada tanggal/waktu dilakukannya penelitian ini. Serbuk tersebut diradiasi dengan variasi dosis 5, 10, 15, 20 dan 25 kGy. Pembacaan respon dilakukan dengan menggunakan alat baca TL Harshaw 2000A dan 2000B. Selanjutnya serbuk SiO2 yang telah dibaca pada alat baca TL Harshaw 2000A dan 2000B, dengan mengaliri nitrogen kering 20 psi. Kemudian untuk mengetahui TL dan PTTL SiO2 tersebut disinari kembali dengan radiasi elektromagnetik berupa sinar ultra ungu (UV) 254 nm dan 366 nm selama 30 menit, hal ini bertujuan untuk menggali kembali informasi TL yang masih ada. Setelah penyinaran, serbuk SiO2 dibaca kembali dengan alat baca TL dengan cara serbuk SiO2 yang telah disinari dengan ultra ungu disiapkan pada palnset alumium foil berdiameter 8 mm dengan ketebalan 0,1 mm. Kemudian serbuk tersebut diratakan pada planset dengan cara menambahkan 3 tetes larutan aceton pure analis dan dikeringkan pada suhu kamar. Pembacaan dilakukan dengan alat baca TLD Reader 2000A dan 2000B buatan Harshaw dengan kondisi pembacaan yaitu T1: 100oC dan T2 : 200oC dengan waktu pembacaan selama 30 detik dan selama pembacaan dialiri dengan gas Nitrogenm kering (N2) 328 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Hasil dan Pembahasan Data hasil pembacaan intensitas TL serbuk SiO2 yang diiradiasi dengan sumber gamma disajikan pada Tabel 1. Dari hasil pembacaan intensitas TL terlihat bahwa SiO2 mampu membedakan nilai dosis radiasi yang diterimanya. Kemampuan membedakan nilai dosis radiasi ini terlihat dari intensitas TL yang berbeda dengan pemberian dosis yang berbeda pula. Dari hasil pembacaan ini diperoleh nilai selektivitas SiO2 terhadap radiasi gamma sebesar 2,652 ± 0,748 nC/kGy. Tabel 1. Intensitas TL pada sampel SiO2 yang diradiasi dengan Co-60 No. 1 2 3 4 5 Dosis (kGy) 5 10 15 20 25 Intensitas TL (nC) 17,69 ± 2,24 24,04 ± 2,13 40,97 ± 7,18 30,83 ± 6,42 76,15 ± 12,19 Dari data pada Tabel 1 dapat dibuat grafik sehingga didapat persamaan garis y = 2,474x + 0.832 dengan y adalah intensitas TL serbuk SiO2 dan x adalah dosis radiasi yang diberikan pada serbuk SiO2 dengan koefisien korelasi R2 sebesar 0,720. Gambar 1. Hasil bacaan intensitas TL Untuk mengetahui bacaan intensitas Phototransfer Thermoluminisensi dapat dilihat pada Tabel 2. 329 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Tabel 2. Hasil bacaan intensitas PTTL pada sampel SiO2 yang diiradiasi dengan berbagai variasi dosis dan energi UV No Dosis kGy 1 2 3 4 5 5 10 15 20 25 Intensitas PTTL (nC) UV 254 nm 2,253 ± 0,504 1,679 ± 0,318 1,921 ± 0,254 1,282 ± 0,112 2,535 ± 0,488 UV 366 nm 1,274 ± 0,543 1,922 ± 0,241 1,635 ± 0,242 1,705 ± 0,279 2,126 ± 0,311 Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa ada penyimpangan data dari bacaan intensitas PTTL pada penyinaran 15 kGy memberikan data yang lebih tinggi dibandingkan dengan penyinaran dosis 20 kGy. Hal ini disebabkan beberapa hal yang mungkin menyebabkan terjadinya penyimpangan data tersebut antara lain : Homogenitas diameter dan kepekaan serbuk SiO2 terhadap Gamma Permukaan planset aluminium foil untuk pembacaan sampel yang tidak rata dengan permukaan sistim pemanas alat baca Kurang teliti dalam penyimpanan sampel sehingga berat sampel pada masingmasing planset tidak tepat 10 mg. Gambar 2. Bacaan intensitas TL dan PPTL Kesimpulan Serbuk SiO2 yang digunakan dalam penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai dosimeter gamma dosis tinggi untuk keperluan industri. Serbuk SiO2 ini dapat memberikan tanggapan yang berbeda untuk setiap penerimaan dosis yang berbeda. Pembacaan tanggapan yang memanfaatkan PTTL yang dibangkitkan melalui sinar UV dengan panjang gelombang 366 nm hasilnya cukup baik, semakin lama waktu penyinaran dengan UV semakin besar pula tanggapan PTTL nya. 330 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Daftar Pustaka IAEA, Manual of Food Irradiation Dosimetri (technical Report Series 178), IAEA, Vietnam (1977). Thamrin, M. Thoyib dan Akhadi, Mukhlis “Regenarasi photo transfer thermoluminisensi pada dosimeter Prosiding Pertemuan dan Presentasi Ilmiah PPNY-BATAN Yogyakarta (1999) Akhadi, M, Thamrin, M. Thoyib dan Kusumawati, D. D, Serapan diri intensitas TL dan PTTL pada dosimeter pasir kwarsa SiO2, Fathoni, M dan Durrani SA, TL and PTTL Characteristics on quartz irradiated with Au heavy, Gsi Report 92-1m Darm Stadt, Germany (1991) Thamrin, M. Thoyib, Studi awal Pemanfaatan Serbuk SiO2 untuk dosimeter industri, Prosiding Pertemuan dan Presentasi Ilmiah PPNY-BATAN Yogyakarta Juli (1995) 331 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Penurunan Chemical Oxygen Demand (COD) Limbah Larutan Penyapu Jenuh Antara Dengan Pereaksi Fenton Dan Kaporit *Ahmad Ramadhan, Sutanto, Ani Iryani 1 Jurusan Kimia, FMIPA Universitas Pakuan Bogor Jln. Pakuan PO Box 452 Bogor 16143, Jawa Barat *aramadhan6796@gmail.com ; sutanto_psl@yahoo.co.id ; ani_iryani62@yahoo.co.id ABSTRAK Limbah larutan penyapu jenuh adalah limbah yang berasal dari proses pelarutan tinta dan daur ulang yang terus menerus sehingga jenuh dan tidak dapat digunakan kembali. Limbah ini harus diolah terlebih dahulu sebelum dibuang ke lingkungan karena bersifat basa, berbusa, dan mengandung COD yang tinggi. Pereaksi fenton dan kaporit merupakan bahan yang memiliki sifat oksidator. Radikal hidroksil yang dihasilkan dari perekasi fenton dan ion hipoklorit yang dihasilkan dari kaporit dapat mengoksidasi zat-zat organik dalam limbah tersebut sehingga dapat menurunkan nilai COD. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi optimum pereaksi fenton dan kaporit untuk menurunkan COD dan efektivitas keduanya dalam menurunkan COD limbah larutan penyapu jenuh. Metode penelitian yang dilakukan terdiri dari pengujian karakteristik limbah, perlakuan terhadap limbah, serta analisis data. Pengujian karakteristik limbah meliputi pengukuran pH, total padatan, dan COD. Perlakuan terhadap limbah yaitu menggunakan pereaksi fenton dan kaporit pada kondisi optimum masing-masing pereaksi. Penentuan kondisi optimum pereaksi fenton menurunkan COD meliputi pH, waktu kontak, konsentrasi FeSO4, dan konsentrasi H2O2. Penentuan kondisi optimum kaporit menurunkan COD meliputi pH, waktu kontak, dan konsentrasi kaporit. Hasil penelitian menunjukkan kondisi optimum pereaksi fenton untuk menurunkan COD limbah larutan penyapu jenuh yaitu pada pH 3, waktu kontak 90 menit, konsentrasi katalis FeSO4 1:10 dengan H2O2, dan dosis H2O2 2000 mg/L akan dapat menurunkan COD sebesar 46,41%. Kondisi optimum kaporit untuk menurunkan COD limbah larutan penyapu jenuh yaitu pada pH 7, waktu kontak 60 menit, dan dosis kaporit 4000 mg/L akan dapat menurunkan COD sebesar 17,34%. Kata kunci : Limbah, COD, pereaksi fenton, kaporit, oksidasi Pendahuluan Percetakan adalah sebuah proses industri untuk memproduksi secara massal tulisan dan gambar terutama dengan tinta di atas kertas menggunakan sebuah mesin cetak. Perkembangan teknologi dan pasar grafika yang terus berubah cepat menjadikan para pelaku industri percetakan tertuntut harus dapat menyesuaikannya. Perkembangan industri yang semakin pesat dan peraturan mengenai limbah industri yang semakin ketat 333 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan serta tuntutan untuk mewujudkan pembangunan yang berwawasan lingkungan, maka teknologi pengolahan limbah yang efektif dan efisien menjadi sangat penting. Pada proses pencetakan, tinta pada pelat cetak yang berasal dari rol tinta disapu dengan rol penyapu menggunakan larutan penyapu yaitu suatu larutan yang digunakan untuk membersihkan rol penyapu pada proses cetak yang menggunakan sistem “water wiping” (Djidas et al., 1988). Kandungan larutan penyapu adalah natrium hidroksida, sulfonated castor oil (SCO) dan soft water. Larutan penyapu yang telah bercampur dengan tinta kemudian dilakukan proses daur ulang untuk memisahkan antara tinta dan larutan penyapu. Hasil proses daur ulang ini berupa larutan penyapu yang jernih dan dapat digunakan kembali untuk membersihkan silinder penyapu pada proses cetak. Proses daur ulang yang terus menerus menyebabkan larutan penyapu menjadi jenuh yang ditandai dengan larutan berwarna coklat dan kurang bersihnya hasil penyapuan tinta pada silinder penyapu (Mulyani, 2008). Limbah larutan penyapu jenuh adalah limbah yang berasal dari proses pelarutan tinta dan daur ulang yang terus menerus sehingga jenuh dan tidak dapat digunakan kembali. Limbah ini harus diolah terlebih dahulu sebelum dibuang ke lingkungan karena bersifat basa (mengandung NaOH sebagai penghancur yang melarutkan bahan pengikat (varnish) dari tinta cetak sehingga tinta larut (Wiratno, 2009)), berbusa (mengandung SCO sebagai penurun tegangan permukaan sehingga tinta tidak menempel pada pelat yang merupakan hasil proses sulfonasi (substitusi gugus sulfonil (-SO3OH) pada gugus OH asam risinoleat) dari minyak jarak (Wiratno, 2009)), dan COD tinggi (terlarut kandungan bahan tinta seperti Plastiscizer, wax, anti set off, pengencer (reducer), anti oksidan, dan dryer (Eldred, 2001) yang umumnya merupakan senyawa organik berantai panjang). Limbah dengan nilai COD yang tinggi sangat berbahaya bagi lingkungan karena dapat menurunkan kandungan oksigen terlarut dalam air. Salah satu cara menurunkan COD dalam limbah adalah dengan proses oksidasi (Tchobanoglous, et al., 2003). Beberapa jenis zat pengoksidasi yang dikenal seperti ozon (O3), H2O2, permanganat (MnO4-), klorin (Cl2), hipoklorit (OCl-), dan dikromat (Cr2O72-) (Tchobanoglous, et al,. 2003). Percobaan yang dilakukan menggunakan kalsium hipoklorit (kaporit) karena bahan ini mempunyai kemampuan sebagai oksidator, murah, mudah didapat, dan mekanisme kerja kaporit mengoksidasi zat organik berdasarkan reaksi reduksi standar dari ion hipoklorit (Tchobanoglous, et al., 2003), serta menggunakan pereaksi fenton yang merupakan campuran H2O2 dan katalis FeSO4 untuk menurunkan COD karena bahan ini dapat menghasilkan radikal hidroksil yang mempunyai kemampuan oksidator (Industrial Wastewater, 2007), mekanisme kerja radikal hidroksil berbeda dengan oksidator lain yaitu tidak berdasarkan reaksi reduksi standar dari H2O2, dan reaksi berjalan cepat karena adanya katalis. Perbedaan mekanisme untuk mengoksidasikan zat organik ini yang akan dibahas hasilnya terhadap efektivitas keduanya dalam menurunkan COD limbah larutan penyapu jenuh. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi optimum dan membandingkan antara pereaksi fenton dan kaporit dalam menurunkan COD limbah larutan penyapu jenuh. Hipotesis dari penelitian ini pereaksi fenton lebih efektif daripada kaporit dalam menurunkan COD limbah larutan penyapu jenuh. 334 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Metoda Penelitian Bahan Alat dan bahan yang digunakan adalah digestion vessel bertutup ulir, pemanas dengan lubang penyangga tabung, mikroburet, pengaduk magnetik, pH meter (Fisher Scientific, Inggris), spektrofotometer UV-VIS (HACH DR2800, Jerman), limbah larutan penyapu, H2O2, Ca(OCl)2 (Tjiwi Kimia), H2SO4 (MERCK), AgSO4 (MERCK), AgNO3 (MERCK), K2CrO4 (MERCK), K2Cr2O7 (MERCK), HgSO4 (MERCK), FeSO4 (MERCK), dan C8H5KO4 (MERCK). Metode Metode penelitian yang dilakukan terdiri dari pengujian karakteristik contoh limbah yang meliputi pH, suhu, total padatan, dan chemical oxygen demand (COD), serta perlakuan terhadap contoh limbah yaitu menggunakan pereaksi fenton dengan variasi pH, waktu pengadukan, dosis H2O2 dan dosis FeSO4 yang optimum serta menggunakan kaporit dengan variasi pH, waktu pengadukan dan dosis kaporit yang optimum. Penentuan Kondisi Optimum Pereaksi Fenton (Industrial waste water, 2007) Penentuan pH Optimum Dimasukkan 200 ml limbah ke dalam piala gelas. Diaduk limbah tersebut menggunakan pengaduk magnetik, kemudian atur pH larutan hingga pH 2 dengan menambahkan H2SO4. Ditambahkan 100 ppm FeSO4 dan 500 ppm H2O2 ke dalam larutan. Larutan diaduk selama 120 menit, setelah selesai diamkan larutan selama 5 menit. Diambil larutan bagian atas (hingga tinggal bagian endapan) dan diatur pH nya agar diperoleh pH = 7. Diperiksa nilai COD nya dengan metode spektrofotometri. Dilakukan cara kerja yang sama, tetapi pH larutan diatur hingga pH 3, 4, 5, dan 6. Penentuan Waktu Pengadukan Optimum Dimasukkan 200 ml limbah ke dalam piala gelas. Diaduk limbah tersebut menggunakan pengaduk magnetik, kemudian atur pH hingga pH optimum dengan menambahkan H2SO4. Ditambahkan 100 ppm FeSO4 dan 500 ppm H2O2 ke dalam larutan. Larutan diaduk selama 30 menit. Setelah selesai, diamkan larutan selama 5 menit. Diambil larutan bagian atas (hingga tinggal bagian endapan) dan diatur pH nya agar diperoleh pH = 7. Diperiksa nilai COD nya dengan metode spektrofotometri. Dilakukan cara kerja yang sama, tetapi lama waktu pengadukan selama 60, 90, 120, dan 150 menit. Penentuan Dosis Optimum FeSO4 Dimasukkan 200 ml limbah ke dalam piala gelas. Diaduk limbah tersebut menggunakan pengaduk magnetik, kemudian atur pH hingga pH optimum dengan menambahkan H2SO4. Ditambahkan 100 ppm FeSO4 dan 500 ppm H2O2 ke dalam larutan. Larutan diaduk selama waktu pengadukan optimum. Setelah selesai, diamkan larutan selama 5 menit. Diambil larutan bagian atas (hingga tinggal bagian endapan) dan diatur pH nya agar diperoleh pH = 7. Diperiksa nilai COD nya dengan metode 335 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan spektrofotometri. Dilakukan cara kerja yang sama, tetapi dosis FeSO4 sebanyak 62,5 ppm, 50 ppm, 25 ppm, dan 10 ppm. Penentuan Dosis Optimum H2O2 Dimasukkan 200 ml limbah ke dalam piala gelas. Diaduk limbah tersebut menggunakan pengaduk magnetik, kemudian atur pH hingga pH optimum dengan menambahkan H2SO4. Ditambahkan FeSO4 sesuai dengan dosis optimumnya dan 500 ppm H2O2 ke dalam larutan. Larutan diaduk selama waktu pengadukan optimum. Setelah selesai, diamkan larutan selama 5 menit. Diambil larutan bagian atas (hingga tinggal bagian endapan) dan diatur pH nya agar diperoleh pH = 7. Diperiksa nilai COD nya dengan metode spektrofotometri. Dilakukan cara kerja yang sama, tetapi dosis H2O2 sebanyak 1000 ppm, 2000 ppm, 4000 ppm, dan 8000 ppm. Penentuan Kondisi Optimum Kaporit (Tchobanoglous, et al., 2003) Penentuan pH Optimum Dimasukkan 200 ml limbah ke dalam piala gelas. Diaduk limbah tersebut menggunakan pengaduk magnetik, kemudian atur pH larutan hingga pH 6 dengan menambahkan H2SO4. Ditambahkan 500 ppm kaporit 10% ke dalam larutan. Larutan diaduk selama 120 menit, setelah selesai diamkan larutan selama 5 menit. Diperiksa nilai COD nya dengan metode spektrofotometri. Dilakukan cara kerja yang sama, tetapi pH larutan diatur hingga pH 7, 8, 9, dan 10. Penentuan Waktu Pengadukan Optimum Dimasukkan 200 ml limbah ke dalam piala gelas. Diaduk limbah tersebut menggunakan pengaduk magnetik, kemudian atur pH hingga pH optimum dengan menambahkan H2SO4. Ditambahkan 500 ppm kaporit 10% ke dalam larutan. Larutan diaduk selama 30 menit. Setelah selesai, diamkan larutan selama 5 menit. Diperiksa nilai COD nya dengan metode spektrofotometri. Dilakukan cara kerja yang sama, tetapi lama waktu pengadukan selama 60, 90, 120, dan 150 menit. Penentuan Dosis Optimum Kaporit Dimasukkan 200 ml limbah ke dalam piala gelas. Diaduk limbah tersebut menggunakan pengaduk magnetik, kemudian atur pH hingga pH optimum dengan menambahkan H2SO4. Ditambahkan 500 ppm kaporit 10% ke dalam larutan. Larutan diaduk selama waktu pengadukan optimum. Setelah selesai, diamkan larutan selama 5 menit. Diperiksa nilai COD nya dengan metode spektrofotometri. Dilakukan cara kerja yang sama, tetapi konsentrasi kaporit sebanyak 1000 ppm, 2000 ppm, 4000 ppm, dan 8000 ppm. Pengukuran pH (SNI 06-6989.11 – 2004) pHmeter dikalibrasi mengguna- kan buffer standar pH 4 dan 7. Dituangkan limbah ke dalam piala gelas 250 ml. Dicelupkan elektroda pHmeter ke dalam larutan limbah. Ditunggu sampai pembacaan nilai pH stabil yang terlihat pada layar pHmeter Fisher Scientific terdapat tulisan “STABLE”. Dicatat pH dan suhu limbah. 336 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Pengukuran Total Padatan (SNI 06-6989.26-2005) Dipipet 5 ml contoh limbah ke dalam botol timbang yang telah diketahui bobot kosongnya. Dipanaskan ke dalam oven pada suhu 105oC selama 1 jam. Didinginkan ke dalam eksikator dan ditimbang hingga mendapatkan bobot tetap. Total padatan (%) = Keterangan : B = Bobot botol timbang + contoh setelah pengeringan A = Bobot botol timbang kosong Penetapan Chemical Oxygen Demand (COD) dengan Refluks Tertutup Secara Spektrofotometri (SNI 06-6989.2 – 2009) Pembuatan Kurva Deret Standar Penetapan COD Digerus perlahan kalium hidrogen phtalat (KHP), lalu keringkan sampai berat konstan pada suhu 110oC. Larutkan 425 mg KHP ke dalam air bebas organik dan tepatkan sampai 1000 ml. Buat deret standar sesuai dengan kebutuhan dengan konsentrasi yang berbeda. Dipipet maing-masing deret standar 2,5 ml, digestion solution 1,5 ml, dan 3,5 ml pereaksi asam sulfat ke dalam digestion vessel. Ditutup tabung tersebut dan dikocok kuat perlahan sampai homogen. Diletakkan tabung pada pemanas pada suhu 150oC selama 2 jam. Didinginkan perlahan-lahan contoh uji yang sudah direfluks sampai suhu ruang. Diukur absorbansi standar dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis panjang gelombang 600 nm. Dibuat kurva standar hubungan konsentrasi dan absorbansi standar. Pengukuran Nilai COD Dipipet limbah 2,5 ml, digestion solution 1,5 ml, dan 3,5 ml pereaksi asam sulfat ke dalam digestion vessel. Ditutup tabung tersebut dan dikocok kuat perlahan sampai homogen. Diletakkan tabung pada pemanas pada suhu 150oC selama 2 jam. Didinginkan perlahan-lahan contoh uji yang sudah direfluks sampai suhu ruang. Saat pendinginan tutup contoh uji dibuka untuk mencegah adanya tekanan gas. Diukur absorbansi contoh dengan menggunakan spektrofotometer UV-VIS panjang gelombang 600 nm. Dilakukan hal yang sama pada air bebas organik sebagai blanko. COD (mg O2/L) = Keterangan : Fp = faktor pengenceran Abscontoh = absorbansi contoh Penetapan Kadar Klorida dengan Metode Argentometri (SNI 06-6989.13-2009) Dipipet 10 ml contoh diencerkan dalam labu ukur 100 ml hingga tanda tera. Dipipet 10 ml larutan uji ke dalam Erlenmeyer 250 ml dan tambahkan air demin hingga 100 ml. Ditambahkan indikator 1 ml K2CrO4. Dititar dengan larutan AgNO3 0,01N hingga titik 337 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan akhir yaitu terbentuk warna kuning kemerahan. Dicatat volume larutan AgNO3 yang dibutuhkan (A ml). Kadar klorida (mg/L)= Keterangan : Fp = faktor pengenceran A = ml penitar AgNO3 N = normalitas larutan AgNO3 V = volume contoh uji Penetapan Kadar Besi dengan Metode Spektrofotometri Serapan Atom (SSA) (SNI 06-6989.4-2009) Pembuatan kurva deret standar penetapan kadar besi (Fe) Dipipet 10 ml larutan standar Fe 1000 mg/L ke dalam labu ukur 100 ml. Dibuat deret standar dengan konsentrasi berbeda dan diencerkan di dalam labu ukur 100 ml dengan menggunakan air demin hingga tanda tera. Diukur nilai absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometer serapan atom pada panjang gelombang 248,3 nm. Pengukuran kadar besi Dipipet 50 ml contoh ke dalam piala gelas 250 ml. Ditambahkan 5 ml HNO3 pekat. Dipanaskan hingga sisa volume 15 hingga 20 ml. Disaring dan pindahkan ke dalam labu ukur 100 ml. Diencerkan dengan menggunakan air demin hingga tanda tera. Diperiksa absorbansi contoh dengan menggunakan spektrofotometer serapan atom pada panjang gelombang 248,3 nm. Dihitung konsentrasi besi dalam contoh. Kadar besi (Fe) = Keterangan : Fp = faktor pengenceran Abscontoh = absorbansi contoh Analisis Data . Penentuan konsentrasi optimum penurunan COD yang diperoleh dari penelitian ini dibuat grafik hubungan antara kondisi pH dengan penurunan nilai COD, grafik hubungan waktu pengadukan dengan penurunan nilai COD, dan grafik hubungan antara konsentrasi (pereaksi fenton dan kaporit) dengan penurunan nilai COD. Selain itu dilakukan perbandingan hasil analisis pH, total padatan, COD, dan hasil samping proses terhadap contoh sebelum dan sesudah perlakuan penurunan COD dengan pereaksi fenton dan kaporit. 338 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Hasil Dan Pembahasan Hasil Kondisi Optimum Pereaksi Fenton Kurva hubungan penurunan COD yang terjadi terhadap perubahan nilai pH seperti yang disajikan pada Gambar 1. Gambar 1. Kurva hubungan kondisi ph versus penurunan COD Berdasarkan Gambar 1 menunjukkan kondisi pH optimum pereaksi fenton menurunkan COD terjadi pada pH 3 yaitu penurunan COD sebesar 1904 mg/L. Pada pH ini pembentukan radikal hidroksil maksimum sehingga dapat menurunkan COD yang tertinggi. H2O2 + Fe2+ Fe3+ + OH- + OH. Pada pH di bawah 3 pembentukan radikal hidroksil kurang maksimal karena pH yang terlalu asam sehingga kemungkinan ion besi kurang maksimal mengkatalisis pembentukan radikal hidroksil, sedangkan pada pH di atas 3, penurunan COD lebih rendah karena sebagian ion besi mengendap sehingga sebagian H2O2 tidak stabil dan mengurai menjadi oksigen dan air maka kemampuan oksidasinya berkurang (Industrial Wastewater, 2007). H2O2 H2O + ½O2 Kurva hubungan penurunan COD yang terjadi terhadap waktu kontak seperti yang disajikan pada Gambar 2. 339 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Gambar 2. Kurva hubungan waktu kontak versus penurunan COD Berdasarkan Gambar 2 dapat diketahui bahwa penurunan COD maksimum sebesar 1935 mg/L dengan waktu kontak optimum 90 menit. Mekanisme kerja suatu radikal bebas terdiri dari tahap inisiasi (reaksi saat ikatan terlemah pada reaktan atau pada salah satu dari reaktan-reaktan putus untuk menghasilkan radikal bebas), tahap propagasi (radikal bebas menyerang reaktan menghasilkan molekul produk dan spesies reaktif yang lain. Radikal bebas yang baru ini bereaksi lebih lanjut dan membentuk lagi radikal bebas yang semula, yang sekali lagi menyerang molekul reaktan. Dengan jalan ini produk dan pembawa rantai terbentuk secara kontinyu), dan tahap terminasi (reaksi yang mengubah radikal bebas menjadi radikal bebas yang stabil dan tidak reaktif sehingga reaksi berakhir) (Purnomo, 1999). Hal ini menunjukkan tahap radikal hidroksil untuk mengoksidasi zat organik membutuhkan waktu yang cukup lama karena kompleksnya zat organik dalam limbah dan mekanisme reaksi yang bertahap. Waktu kontak di bawah 90 menit mengakibatan terdapat tahap reaksi yang belum sempurna sehingga penurunan COD kurang maksimal. Kurva hubungan penurunan COD yang terjadi terhadap dosis penambahan FeSO4 seperti yang disajikan pada Gambar 3. Gambar 3. Kurva hubungan dosis FeSO4 versus penurunan COD 340 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Berdasarkan Gambar 3 dapat diketahui bahwa penurunan COD maksimum sebesar 1854 mg/L dengan dosis optimum penambahan FeSO4 sebesar 1:10 dengan H2O2. Hal ini menunjukkan komposisi antara katalis besi dan H2O2 seimbang sehingga pembentukan radikal hidroksil maksimum maka terjadi penurunan COD yang tertnggi. Perbandingan katalis besi dengan H2O2 yang lebih rendah menyebabkan kurang maksimalnya pembentukan radikal hidroksil karena sebagian H2O2 tidak stabil dan mengurai menjadi oksigen dan air maka kemampuan oksidasinya berkurang (Industrial Wastewater, 2007). H2O2 H2O + ½O2 Kurva hubungan penurunan COD yang terjadi terhadap dosis penambahan H2O2 seperti yang disajikan pada Gambar 4. Gambar 4. Kurva hubungan dosis H2O2 Versus penurunan COD Berdasarkan Gambar 4 dapat diketahui bahwa penurunan COD maksimum sebesar 4463 mg/L dengan dosis optimum penambahan H2O2 sebesar 2000 mg/L. Hal ini kemungkinan disebabkan masih terdapat bahan organik yang hanya dioksidasikan menjadi senyawa keton, aldehida, dan alkohol. Senyawa-senyawa tersebut masih menghasilkan nilai COD saat penetapan nilai COD. CaHbOc + 3OH. (Zat organik) CaHbOc. + H2O (Radikal zat organik) CaHbOc. + H2O (Radikal zat organik) Campuran produk (alkohol,keton, CO2,H2O) Sumber : (Fessenden, 1982) Selain itu, kemungkinan dikarenakan kandungan zat organik yang terlarut dalam limbah larutan penyapu jenuh yang berupa resin fenolik (bahan baku varnish) yang sulit untuk dioksidasikan oleh pereaksi fenton. Monomer dari resin fenolik yaitu senyawa fenol dan formaldehida. Senyawa fenol dapat bertahan dengan oksidasi karena 341 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan pembentukan suatu gugus karbonil akan mengakibatkan dikorbankannya penstabilan aromatik. Selain itu juga, senyawa fenol memiliki energi resonansi. Energi resonansi ialah energi yang hilang (kestabilan yang diperoleh) dengan adanya delokalisasi penuh elektron-elektron dalam sistem pi. Besaran ini merupakan ukuran tambahan kestabilan sistem aromatik (Fessenden, 1982). Kondisi Optimum Kaporit Kurva hubungan penurunan COD yang terjadi terhadap variasi kondisi pH seperti yang disajikan pada Gambar 5. Gambar 5. Kurva hubungan kondisi pH dan penurunan COD Berdasarkan Gambar 5 dapat diketahui bahwa penurunan COD maksimum sebesar 660 mg/L dengan kondisi pH optimum pada pH 7. Hal ini sesuai dengan reaksi reduksi standar dari ion hipoklorit sebagai berikut : OCl- + H2O + 2eCl -+ 2OH- Eo = +0,90V Berdasarkan reaksi tersebut reduksi ion hipoklorit terjadi pada pH netral yang ditandai adanya molekul air (H2O) pada sisi kiri reaksi. Bila pH terlalu basa maka reaksi akan berbalik kembali ke arah kiri sehingga kemampuan oksidasi menjadi kurang maksimal. Kurva hubungan penurunan COD yang terjadi terhadap variasi waktu kontak seperti yang disajikan pada Gambar 6. 342 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Gambar 6. Kurva hubungan waktu kontak versus penurunan COD Berdasarkan Gambar 6 dapat diketahui bahwa penurunan COD maksimum sebesar 634 mg/L dengan waktu kontak optimum 60 menit. Waktu kontak ini lebih cepat dibandingkan dengan pereaksi fenton karena reaksi pembentukan ion hipoklorit lebih mudah dan mekanisme ion hipoklorit mengoksidasikan zat organik lebih sederhana. Ca2+ + OH¯ + HOCl Ca(OCl)2+ H2O HOCl Zat organik + OCl- H+ + OCl¯ Senyawa antara Senyawa sederhana (contoh : H2O, CO2) + ClSelama proses oksidasi, ion hipoklorit akan direduksi sampai menjadi ion klorida (Tchobanoglous et al. 2003). Waktu kontak di bawah 60 menit menyebabkan reaksi oksidasi belum sempurna sehingga penurunan COD kurang maksimal. Kurva hubungan penurunan COD yang terjadi terhadap variasi dosis penambahan kaporit seperti yang disajikan pada Gambar 7. 343 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Gambar 7. Kurva hubungan dosis kaporit versus penurunan COD Berdasarkan Gambar 7 dapat diketahui bahwa penurunan COD maksimum sebesar 1479 mg/L dengan dosis penambahan kaporit optimum sebesar 4000 mg/L. Nilai penurunan dengan menggunakan kaporit lebih rendah daripada menggunakan pereaksi fenton karena kekuatan oksidasi ion hipoklorit yang dihasilkan dari kaporit lebih rendah yaitu 1,07 dibandingkan dengan kekuatan radikal hidroksil yaitu 2,06 dengan standar oksidator Cl2 yaitu 1 (Industrial Wastewater, 2007) sehingga lebih banyak terdapat bahan organik yang hanya dioksidasikan menjadi senyawa keton, aldehida, dan alkohol. Senyawa-senyawa tersebut masih menghasilkan nilai COD saat penetapan nilai COD (Fessenden, 1982). Perbandingan Hasil Sebelum dan Sesudah Perlakuan Tabel 1. Perbandingan hasil sebelum dan sesudah perlakuan Sebelum Setelah dengan No Parameter Uji Perlakuan Pereaksi Fenton 1 Ph 10,13 7,20 2 Total padatan (%) 1,62 1,80 3 COD (mg/L) 8979 4812 Kadar besi 4 ND 6,909 (mg/L) Kadar klorida 5 173 (mg/L) Setelah dengan Kaporit 8,05 1,51 7422 1885 Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat hasil samping berupa besi tidak terlalu banyak setelah perlakuan dengan perekasi fenton yaitu sebesar 6,909 mg/L karena ion ferri hasil reaksi pereaksi fenton dapat bersifat sebagai koagulan sehingga mengendap dan terpisah saat penyaringan dan dapat mengurangi hasil samping ion besi. 344 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Fe3+ + 3H2O Fe(OH)3 + 3H+ Hasil samping berupa ion klorida setelah perlakuan dengan kaporit sangat tinggi yaitu terjadi kenaikan sebesar 1712 mg/L. Hal ini menunjukkan perlu ada perlakuan tambahan untuk mengurangi jumlah ion klorida pada hasil akhir limbah. Perubahan yang sangat siginifikan terjadi pada penurunan COD menggunakan pereaksi fenton yaitu 4812 mg/L (46,41%), sedangkan dengan menggunakan kaporit sebesar 7421 mg/L (17,34%). Hal ini menunjukkan pereaksi fenton daya oksidasinya lebih baik daripada kaporit. Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa; 1. Kondisi optimum pereaksi fenton untuk menurunkan COD limbah larutan penyapu jenuh yaitu pada pH 3, waktu pengadukan 90 menit, konsentrasi katalis FeSO4 1:10 dengan H2O2, dan dosis H2O2 2000 mg/L dapat menurunkan COD sebesar 46,41%. 2. Kondisi optimum kaporit untuk menurunkan COD di dalam limbah larutan penyapu jenuh yaitu pada pH 7, waktu pengadukan 60 menit, dan dosis kaporit 4000 mg/L dapat menurunkan COD sebesar 17,34%. 3. Pereaksi fenton lebih efektif untuk menurunkan COD limbah larutan penyapu jenuh daripada kaporit. Saran Berdasarkan hasil penelitian untuk menurunkan COD lebih lanjut diperlukan adanya perlakuan tambahan seperti dengan metoda flokulasi atau perlu dicari metode lain seperti pengolahan secara anaerob menggunakan bakteri (lumpur aktif). Daftar Pustaka SNI. 2009. Air dan Air Limbah – 06.6989 Bagian 2: Cara Uji Kebutuhan Oksigen Kimia (Chemical Oxygen Demand / COD) dengan Refluks Tertutup Secara Spektrofotometri. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional. SNI. 2009. Air dan Air Limbah – 06.6989 Bagian 4: Cara Uji Besi (Fe) secara Spektrofotometri Serapan Atom (SSA). Badan Standarisasi Nasional. Jakarta. SNI. 2004. Air dan Air Limbah – 06.6989 Bagian 11: Cara Uji Cara Uji Derajat Keasaman (pH) dengan menggunakan pHmeter. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta. SNI. 2009. Air dan Air Limbah – 06.6989 Bagian 14: Cara Uji Klorida (Cl-) dengan Metode Argentometri. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta. SNI. 2005. Air dan Air Limbah – 06.689 Bagian 26: Cara Uji Kadar Padatan Total Secara Gravimetri . Badan Standarisasi Nasional. Jakarta. Djidas, L. P. and N. Thomas H. D. 1988. Sheetfed Offset Press Operating. Graphic Art Technical Foundation. Pittsburgh. 345 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Eldred, Dr. N. R. 2001. What The Printer Should Know About Ink. Graphic Art Technical Foundation. Pittsburgh. Industrial Wastewater. 2007. http://h2o2.com/industrial/fentons-reagent.aspx? pid=143&name=General-Chemistry-of-Fenton-s-Reagent Mulyani, R. 2008. Peningkatan Kualitas Proses Pengolahan Laritan Pembersih Daur Ulang dengan Metode Design of Experiment (Studi Kasus PT. XY). Depok. Purnomo, E. 1999. Penghilangan Warna Limbah Proses Pencelupan Pabrik Tekstil dengan Menggunakan Metode Oksidasi Fenton. Depok. Tchobanoglous, G, Franklin L. B., and H. David S. 2003. Waste Water Engineering Treatment and Reuse. Mc. Graw Hill Companies, Inc. New York. Wiratno, E. 2009. Analisa Kelayakan Investasi Pembuatan Sulfonated Castor Oil di Perum Peruri. Karawang. 346 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Diferensiasi Asal Geografis Kunyit (Curcuma Domestica Val.) Menggunakan Fotometer Portable Dan Analisis Kemometrik Antonio Kautsar , Husain Nashrianto, Rudi Heryanto 1. Jurusan Kimia – FMIPA UNPAK Bogor Jl. Pakuan PO BOX 452 Bogor, Jawa Barat 2. Pusat Studi Biofarmaka – LPPM IPB Bogor Jl. Taman Kencana No.03 Bogor 16128, Jawa Barat ABSTRAK Kunyit (Curcuma Domestica Val.) merupakan salah satu tanaman obat yang banyak tumbuh dan digunakan sebagai obat di Indonesia. Obat bermutu membutuhkan kunyit yang bermutu untuk kunyit tergantung pada komposisi kimianya. Keragaman komponen kimia kunyit dapat ditentukan dengan menggunakan metode spektroskopi. Penelitian ini bertujuan untuk mendiferensiasikan asal geografis kunyit yang berasal dari Karanganyar, Ngawi, dan Wonogiri sebagai informasi dan kendali mutu dengan menggunakan alat fotometer portable dan metode kemometrik. Metode penelitian yang dilakukan terdiri dari analisis kadar kurkuminoid, uji aktivitas antioksidan DPPH, pembuatan pellet kunyit, pencirian sumber sinar, prosedur penggunaan fotometer portable, metode deteksi sinar, pengumpulan dan pengolahan data. Pengukuran sampel dengan fotometer portable diperoleh data berupa reflektans data unit (mV) yang selanjutnya diolah dengan menggunakan metode pengenalan pola kemometrik, PCA dan PLSDA. Hasil penelitian menunjukkan Kunyit ( Curcuma Domestica Val. ) yang berbeda daerah memiliki keragaman kandungan senyawa aktif. Kandungan kurkumin dan aktivitas antioksidan terkecil didapat pada kunyit asal Ngawi sebesar 3.28 % dan 75.10 µg/ml. Sedangkan untuk daerah Karanganyar dan Wonogiri memiliki kandungan kurkumin sebesar 3.88 %dan 3.99 % dengan aktivitas antioksidan sebesar 61.77 µg/ml dan 62.59 µg/ml. Analisa PCA menggunakan dua PC pertama yaitu PC 1 = 92% dan PC 2 = 8%. Untuk Analisa PLSDA diperoleh 3 model data yaitu model Karanganyar, model Ngawi dan model Wonogiri. Pada masing – masing model diperoleh R2 yang mendekati 1 dan, RMSEP dan RMSEC yang mendekati 0. Kata kunci : fotometer portable, kemometrik, kunyit, LED, PCA Pengantar Indonesia sebagai negara tropis yang dikenal dengan julukan the second mega biodiversity, memiliki berbagai jenis tanaman yang diketahui secara empirik berpotensi sebagai tanaman obat. Pada masa sekarang ini tanaman obat telah dimanfaatkan secara luas oleh masyarakat sebagai solusi alternatif dalam mengatasi masalah kesehatan yang dihadapi. Penggunaan tanaman obat yang semakin berkembang memerlukan adanya jaminan terhadap mutu dan keamanannya. Mutu tanaman obat dapat dilihat dari kandungan senyawa aktif kimia yang dimiliki. Menurut Singh et al. 2010, keragaman komposisi senyawa aktif kimia dipengaruhi oleh kondisi tanah dan lingkungan sehingga 347 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan dapat mempengaruhi mutu suatu sediaan obat bahan alam. Untuk itu diperlukan kendali mutu dan diferensiasi asal geografis tanaman obat tersebut. Pada umumnya metode analisis yang biasa digunakan untuk pencirian tanaman obat adalah kromatografi. Dengan metode ini akan didapatkan suatu kromatogram sidik jari yang dapat menampilkan semua kandungan senyawa kimia yang menjadi karakteristik tanaman obat (Liang et al. 2008). Dengan melihat kromatogram sidik jari ini, kita dapat mengetahui mutu suatu tanaman obat. Walaupun metode ini memiliki kelebihan dalam hal akurasi, tetapi masih terdapat kelemahan dalam hal waktu, preparasi sampel, dan jumlah bahan kimia yang digunakan (Mao & Xu 2006). Pada penelitian ini digunakan metode spektroskopi. Prinsip dari spektroskopi adalah melihat perubahan komposisi kimia suatu bahan yang dapat mengakibatkan perubahan sifat optik (absorbansi, transmisi, dan refleksi) dari suatu bahan (Stuth et al. 2003). Umumnya alat yang digunakan untuk aplikasi metode spektroskopi adalah FTIR. Akan tetapi alat ini cukup mahal dan sulit dalam pengoperasiannya. Alternatif alat yang digunakan pada penelitian ini adalah fotometer portable. Fotometer portable menggunakan sumber cahaya berupa light emitting diode (LED) dan detektor photo diode array (PDA). Kelebihan dari alat ini adalah pengoperasiannya yang lebih sederhana, non-destruktif terhadap bahan, meminimalkan penggunaan bahan kimia, murah, ringan, dan mudah dibawa. Data yang dihasilkan dari alat fotometer portable selanjutnya dikombinasikan dengan metode kemometrik, yaitu principle component analysis (PCA) dan partial least square discriminant analysis (PLSDA). PCA digunakan untuk melakukan pengenalan pola sehingga kita dapat mengelompokan tanaman berdasarkan keragaman asal geografis sampel tersebut. Sedangkan PLSDA digunakan untuk membangun model prediksi dari asal geografis sampel. Gambar 1. Skema fotometer portable. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan diferensiasi asal geografis kunyit (Curcuma domestica Val.) yang berasal dari daerah Ngawi, Wonogiri, dan Karanganyar 348 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan sebagai informasi dan kendali mutu dengan menggunakan fotometer portable dan metode kemometrik. Sehingga informasi dan klasifikasi mengenai asal tanam geografis sehingga mutu sediaan obat dapat terjaga. Metoda penelitian Bahan dan alat Bahan-bahan yang digunakanaadalah kunyit yang berasal dari Ngawi, Wonogiri, dan Karanganyar, asam borat (Merck), asam oksalat (Merck), standard kurkuminoid (Sigma), DPPH (Aldrich Chemical), Etanol (Merck). Alat-alat yang digunakan adalah fotometer portable, lampu LED ( LED UV, LED biru ungu, LED putih, LED biru, LED hijau, LED hijau kuning, LED orange, dan LED IR ), spektrofotometer UV-Vis (Hitachi U-2800, Jepang), mikroplate reader (Biotek Epoch), mikroplate (Nunc, Denmark), alat pembuat pellet (Shimadzu, Jepang), labu takar 25 ml (Iwaki Pyrex, Jepang), labu takar 250 ml (Iwaki Pyrex, Jepang), pipet volumetrik 1 ml (Iwaki Pyrex, Jepang) dan neraca analitik (Sartorius BSA224S, Jerman). Perangkat lunak yang digunakan adalah Unscrambler 9.7, dan Minitab 15. Metode Penetapan Kadar Kurkuminoid Sampel ditimbang dengan seksama, kemudian dimasukkan ke dalam gelas piala 250 ml. Ditambahkan aseton, diaduk hingga rata kemudian disaring. Filtrat ditampung dalam labu terukur 250 ml ditambah aseton melalui kertas saring hingga tanda batas. Diambil 1 ml dimasukkan ke dalam labu terukur 25 ml, ditambahkan 50 mg asam borat dan 50 mg asam oksalat dan dibiarkan selam 30 menit. Larutan ini diukur menggunakan spektrofotometer sinar tampak dengan panjang gelombang sebesar 491 nm. Kadar kurkuminoid dihitung dalam % b/b dengan membandingkan kurva baku. Uji Aktivitas Antioksidan Uji aktivitas antioksidan yang digunakan adalah uji penangkapan radikal bebas 2,2difenil-1-pikrilhidrazil (DPPH). Sampel dilarutkan di dalam etanol hingga diperoleh konsentrasi 12,5; 25; 50; 100; dan 200 μg/mL. Alikuot sampel dan 100 μL larutan DPPH (11,8 mg DPPH dalam 100 mL etanol) ditambahkan ke masing-masing sumur 96- well plate. Setelah 30 menit, diukur absorbansnya pada 517 nm. Nilai IC50 diperoleh dengan cara menghitung menurut rumus y = a + b lnx. Harga y yang dimasukkan adalah 50, untuk menyatakan inhibisi sejumlah 50% setelah masa inkubasi 30 menit. Nilai a dan b diperoleh dengan perhitungan menggunakan rumus regresi linier berdasarkan data dari konsentrasi yang digunakan. Harga x yang diperoleh merupakan konsentrasi larutan yang menyebabkan inhibisi terhadap 50% radikal bebas. 349 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Pembuatan Pellet Kunyit Serbuk kunyit ditimbang sebanyak 350 mg, lalu serbuk dimasukkan ke dalam alat pembuat pelet. Tekanan diatur hingga mencapai 80 kN, dan diberikan selama 2 menit. Pelet kunyit lalu dikeluarkan dari alat. Pencirian Sumber Sinar Sumber sinar yang akan digunakan ( LED UV, LED biru ungu, LED putih, LED biru, LED hijau, LED hijau kuning, LED orange, dan LED IR ) dicirikan terlebih dahulu. Sumber sinar tersebut dinyalakan dan sinar yang keluar diukur panjang gelombangnya menggunakan spektrometer USB 2000. Prosedur Penggunaan Fotometer portable Fotometer portable dinyalakan dengan menekan tombol power, lalu intensitas awal fotometer ditentukan dengan meletakkan sumber cahaya pada area berwarna putih sebagai kontrol. Sumber cahaya diletakkan tegak lurus (90°) dengan permukaan kertas standar warna. Diperiksa perbedaan intensitas sinar pada area berwarna putih. Apabila tidak terdapat perbedaan, maka nilai intensitas awal dinaikkan. Intensitas yang sudah ditetapkan akan digunakan untuk pengukuran setiap sampel dengan sumber sinar yang sama. Setiap mengakhiri pengukuran, sumber cahaya dimatikan dan dinyalakan kembali sebelum mengukur warna standar lainnya. Nilai yang tertera pada fotometer dicatat setelah angka yang tertera tidak menunjukkan perubahan. Langkah tersebut diulangi dengan menggunakan kombinasi sumber lampu yang berbeda-beda. Lampu yang digunakan adalah LED UV, LED biru ungu, LED putih, LED biru, LED hijau, LED hijau kuning, LED orange, dan LED IR , Metode Deteksi Sinar Permukaan pelet kunyit selanjutnya disinari dengan sumber sinar yang divariasikan. Pelet kunyit yang digunakan berbeda asal tanamnya dan diukur sebanyak 15 kali ulangan. Sinar radiasi ini kemudian ditangkap oleh detektor PDA dan intensitasnya diubah menjadi perbedaan tegangan listrik. Perbedaan tegangan listrik yang dihasilkan ini dideteksi oleh voltmeter dan dicatat angkanya. Pengumpulan dan Pengolahan Data Pengumpulan data dilakukan dengan mengukur intensitas sinar yang dihasilkan dari sampel serbuk rimpang kunyit (pellet kunyit) berbeda asal tanam dengan menggunakan masing – masing sumber sinar lampu LED yang memiliki panjang gelombang yang berbeda-beda. Data yang dihasilkan dimasukkan ke dalam skema data yang kemudian dimasukkan ke dalam program Microsoft Excel 2007 dan dianalisis menggunakan metode multivariat dengan perangkat lunak The Unscrambler 9.7. 350 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Hasil dan Pembahasan Hasil Penetapan Kadar Kurkuminoid Analisis kadar kurkuminoid dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer UVVis pada panjang gelombang 491 nm. Panjang gelombang ini merupakan panjang gelombang maksimum yang diserap oleh kurkuminoid. Gambar 2. Kandungan kurkuminoid. Berdasarkan Gambar 2 dapat diketahui bahwa rimpang kunyit pada daerah asal wonogiri memiliki kandungan kurkuminoid tertinggi dibanding asal daerah Karanganyar dan Ngawi. Aktivitas Antioksidan Kunyit Aktivitas antioksidan diukur dengan melihat kemampuan ekstrak rimpang dalam menghambat aktivitas radikal bebas DPPH (1,1-difenil-2-pikrilhidrazil). DPPH adalah radikal bebas yang stabil dalam larutan berair atau larutan dalam etanol serta memiliki serapan yang kuat pada panjang gelombang 517 nm dalam bentuk teroksidasi (Masuda et al. 1999). DPPH mampu menerima elektron atau radikal hidrogen dari senyawa lain sehingga membentuk molekul diamagnetik yang stabil. Aktivitas antioksidan dari sampel dinyatakan dengan nilai IC50, yaitu konsentrasi sampel yang dibutuhkan untuk menghambat 50% aktivitas DPPH .Makin rendah nilai IC50 suatu bahan, makin tinggi aktivitas antioksidannya. 351 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Gambar 3. Kandungan aktivitas antioksidan. Berdasarkan Gambar 3 uji aktivitas antioksidan terhadap ekstrak rimpang yang mempunyai kadar kurkuminoid tertentu menunjukkan bahwa rimpang kunyit yang berasal dari Ngawi memiliki IC50 sebesar 75.10 µg/ml, sementara daerah Karanganyar dan Wonogiri berturut-turut memiliki IC50 sebesar 61.77 dan 62.59 µg/ml. Hal ini berarti rimpang kunyit yang berasal dari daerah Ngawi memiliki aktivitas antioksidan yang paling rendah. Vitamin C sebagai kontrol positif memiliki IC50 yang lebih rendah, yaitu sebesar 5.74 µg/ml. Korelasi Kandungan Kurkuminoid dan Aktivitas antioksidan Gambar 4. Korelasi kandungan kurkuminoid ( ) dan aktivitas antioksidan ( ). 352 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Berdasarkan Gambar 4, kadar kurkuminoid dan aktivitas antioksidan rimpang kunyit didapatkan bahwa aktivitas antioksidan berkorelasi dengan kandungan kurkuminoidnya. Semakin tinggi kadar kurkuminoid maka semakin tinggi aktivitas antioksidannya. Tetapi pada aktivitas antioksidan kunyit asal Wonogiri memiliki aktivitas yang lebih rendah dibandingkan asal Karanganyar meskipun memiliki kadar kurkuminoid yang besar, hal ini dimungkinkan karena sifat kurkuminoid yang sensitif terhadap cahaya dan mudah terdegradasi sehingga kemungkinan mempengaruhi terhadap aktivitas antioksidannya.. Namun berdasarkan uji statistik ANOVA perbedaan nilai aktivitas daerah Karanganyar dan Wonogiri tidak berbeda nyata dimana nilai P diatas 5%. Pencirian Sumber Sinar Pencirian sumber sinar dilakukan menggunakan spektrometer USB2000. Sumber sinar yang dicirikan adalah LED UV, LED biru ungu, LED putih, LED biru, LED hijau, LED hijau kuning, LED orange, dan LED IR. Hasil pencirian sumber sinar bertujuan mengetahui nilai panjang gelombang yang dominan dari lampu LED yang digunakan sehingga untuk acuan penelitian selanjutnya. Tabel 1. Hasil pencirian panjang gelombang. lampu LED Panjang gelombang maksimal (nm) intensitas tertinggi (counts) UV 409,29 3877,26 Biru ungu 453,60 3874,20 Biru 473,18 3873,93 Putih 462,68 3680,97 Hijau 518,02 3720,98 Hijau kuning 571,68 3870,09 Orange 625,74 3876,62 IR 986,62 3847,92 Analisis rimpang kunyit menggunakan fotometer portable Hasil pengukuran dengan fotometer portable berupa intensitas radiasi yang ditangkap oleh PDA dan nilainya diubah menjadi nilai tegangan. Berdasarkan gambar 5, spektrum yang diperoleh memiliki pola yang sama untuk rimpang kunyit daerah Karanganyar, Ngawi, dan Wonogiri. Hal ini dikarenakan senyawa yang terkandung pada rimpang kunyit untuk setiap daerah sama. Perbedaan antara tiap daerah terlihat dari intensitas voltase yang dimiliki. Rimpang kunyit daerah Ngawi pada panjang gelombang 400 – 600 nm memiliki nilai voltase yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lainnya. Nilai voltase yang tinggi menunjukkan sinar yang direfleksikan oleh rimpang kunyit juga tinggi. Hal ini 353 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan dikarenakan kandungan senyawa aktif kimia pada kunyit daerah Ngawi paling rendah dibanding daerah lainnya pada panjang gelombang tersebut. Dengan demikian, intensitas sinar radiasi yang direfleksikan semakin tinggi juga karena sinar yang tidak diserap direfleksikan oleh bahan. Gambar 5. Spektrum pengukuran kunyit Karanganyar ( ) , Ngawi ( ) , dan Wonogiri ( ). Sifat refleksi dari kunyit pada panjang gelombang 620 – 980 nm menunjukkan pola refleksi yang berbeda, yaitu kunyit asal daerah Wonogiri memiliki nilai voltase yang tinggi. Hal ini dimungkinkan karena interaksi sinar radiasi yang terjadi pada lampu LED pada panjang gelombang tersebut tidak sampai terserap oleh bahan. Menurut Stuth et al.2003, pada proses refleksi, jika tidak ada sinar radiasi yang diserap oleh bahan maka sinar radiasi yang datang hanya berinteraksi dengan permukaan dari bahan tanpa adanya sinar yang berpenetrasi kedalam bahan. Oleh karena itu, pada proses refleksi ini yang diperhatikan adalah sifat fisik bahan yang dapat menjelaskan aspek kimia bahan. Karena perbedaan intensitas yang dihasilkan sangat kecil, diperlukan teknik pengenalan pola secara kemometrik untuk mengelompokkan rimpang kunyit berdasarkan asal daerahnya. Differensiasi Kunyit Menggunakan Analisis PCA Analisis PCA merupakan salah satu teknik kemometrik yang dapat digunakan untuk mengekstrak informasi dari data yang didapatkan sehingga kita dapat melakukan pengenalan pola untuk mengelompokkan tanaman kunyit berdasarkan asal daerahnya. Hal ini dikarenakan kerumitan data spektrum yang didapatkan dan juga banyaknya 354 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan kemiripan dari spektrum yang dihasilkan. Dengan menggunakan PCA data yang berukuran besar ini selanjutnya direduksi menjadi komponen utama atau principle component (PC) yang dapat mewakili struktur dan varians dalam data (Miller & Miller 2000). Analisis PCA dilakukan dengan cara mencari 7 buah PC yang pertama dari data matriks. PC 1 memiliki nilai varians terbesar yaitu sebesar 92%, selanjutnya diikuti oleh PC 2 dengan nilai varians sebesar 8 %, Sedangkan PC 3 sampai PC 7 hanya menggambarkan 0.1% varians dalam data. Nilai dari PC 1 yang terbesar karena PC 1 dibuat dengan memaksimalkan varians dalam data. PC selanjutnya dibuat dengan memaksimalkan residual atau varians yang tertinggal dalam data setelah menghitung PC 1 (Brereton 2003). Sehingga seluruh PC dapat menjelaskan varians dari data dengan total 100%. Gambar 6. Proporsi varians PC. Berdasarkan nilai proporsi varians pada Gambar 6 maka score plot dibuat menggunakan nilai PC 1 dan PC 2. PC 1 dan PC 2 dapat mewakili varians sebesar 100% (PC 1 = 92% dan PC 2 = 8%). Menurut Brereton 2003, score plot dengan menggunakan dua buah PC yang pertama biasanya paling berguna karena kedua PC ini menggambarkan varians yang terbesar dari data. Hal ini mengindikasikan bahwa hanya dengan dua PC pertama sudah dapat dibuat model PCA yang baik. 355 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Gambar 7. Score plot antara PC 1dan PC 2. Hasil didapat score plot antara PC 1 dan PC 2 pada gambar 7 yang menunjukkan bahwa sampel kunyit daerah Karanganyar, Ngawi, dan Wonogiri sudah dapat terpisah dan dikelompokkan dengan baik. Pengelompokkan kunyit dengan asal daerah yang sama berada saling berdekatan karena kemiripan sifat dan komposisi kimia yang dimilikinya. Kunyit asal daerah Karanganyar terlihat mengelompok pada daerah kuadran 4, sampel kunyit asal daerah Ngawi terletak diantara kuadran 1 dan 3. Sedangkan kunyit asal daerah Wonogiri terletak pada kuadran 2. Pembentukan Model Rimpang Kunyit Menggunakan Analisis Diskriminan Kuadrat Terkecil Parsial (PLSDA) PLSDA merupakan salah satu teknik kemometrik yang digunakan untuk pengenalan pola. Pada penelitian ini, analisis PLSDA dilakukan dengan menggunakan 2 buah matriks, yaitu matriks X dan matriks Y. Matriks X berisi data asli yang berasal dari hasil pengukuran sampel rimpang kunyit Sedangkan matriks Y merupakan matriks respon untuk tiap daerah sampel rimpang kunyit. Kebaikan suatu model dengan menggunakan metode PLSDA dapat dilihat dari nilai koefisien determinasi (R2), galat kalibrasi akar rerata kuadrat (RMSEC) dan galat prediksi akar rerata kuadrat (RMSEP). 356 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Tabel 2. Kriteria kebaikan model PLSDA. Kalibrasi Sampel ( daerah ) R2 Karanganyar 0.99 Ngawi 0.99 Wonogiri 0.99 RMSEC 0.03 0.008 0.03 Prediksi R2 0.99 0.99 0.99 RMSEP 0.04 0.009 0.04 Nilai R2 mengindikasikan mutu data antara konsentrasi nyata dan konsentrasi dugaan. Nilai R2 yang mendekati 1 menunjukkan bahwa antara konsentrasi nyata dan dugaan memiliki nilai yang sangat dekat serta memiliki galat yang kecil. Nilai RMSEC merupakan galat yang dihasilkan dari set kalibrasi. Kebaikan suatu model dapat dilihat nilai R2 mendekati 1 dan nilai galat sangat kecil atau mendekati 0 (Brereton 2003). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa model yang dibangun sebelumnya dapat memprediksi sampel yang diujikan dan mengklasifikasikan ke dalam daerah Karanganyar, Ngawi, dan Wonogiri. Tabel 3. Data prediksi sampel kunyit dengan model PLSDA Karanganyar, Ngawi dan Wonogiri. Model PLSDA Sampel Karanganyar Ngawi Karanganyar Wonogiri Nagrak Sukabumi Karanganyar Ngawi Ngawi Wonogiri Nagrak Sukabumi Ulangan 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 357 Nilai prediksi 0.983 0.983 0.980 -0.014 0.052 -0.031 -0.026 -0.024 0.096 1.648 1.668 1.614 1.514 1.497 1.514 -0.003 -0.003 0.001 0.986 0.986 1.008 -0.011 0.011 -0.003 -0.912 -0.889 -0.869 -0.849 -0.844 Nilai referensi 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Karanganyar Ngawi Wonogiri Wonogiri Nagrak Sukabumi 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 -0.849 0.019 0.019 0.069 0.028 -0.038 0.023 1.037 1.013 0.906 0.265 0.222 0.255 0.335 0.347 0.335 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 0 0 0 0 0 0 Nilai referensi adalah nilai yang digunakan sebagai respon untuk membangun model. Nilai prediksi yang mendekati nilai referensi menunjukkan bahwa daerah sampel prediksi sama dengan model yang digunakan. Berdasarkan Tabel 3 terlihat bahwa nilai prediksi sampel yang diprediksi masing – masing berasal dari daerah Karanganyar, Ngawi, dan Wonogiri pada model PLSDA rimpang kunyit yang telah dibuat sebelumnya untuk masing – masing daerah Karanganyar, Ngawi, dan Wonogiri mendekati nilai referensi yang digunakan, yaitu 1. Hal ini menunjukkan bahwa sampel yang diprediksi mempunyai nilai prediksi yang sama dengan nilai referensi masing – masing daerah yang diprediksi pada saat diregresikan dengan model PLSDA rimpang kunyit masing – masing daerah. Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa Kunyit ( Curcuma Domestica Val. ) yang berbeda daerah memiliki keragaman kandungan senyawa aktif. Alat fotometer portable yang dikombinasikan dengan analisis kemometrik berupa teknik pengenalan pola dapat mendiferensiasikan kunyit asal daerah Karanganyar, Ngawi dan Wonogiri. Analisa PCA menggunakan dua PC pertama yaitu PC 1 = 92% dan PC 2 = 8%. Untuk Analisa PLSDA diperoleh 3 model data yaitu model Karanganyar, model Ngawi dan model Wonogiri. Pada masing – masing model diperoleh R2 yang mendekati 1 dan, RMSEP dan RMSEC yang mendekati 0. Kandungan kurkumin dan aktivitas antioksidan terkecil didapat pada kunyit asal Ngawi sebesar 3.28 % dan 75.10 µg/ml. Sedangkan untuk daerah Karanganyar dan Wonogiri memiliki kandungan kurkumin sebesar 3.88 dan 3.99 % dengan aktivitas antioksidan sebesar 61.77 dan 62.59 µg/ml. Saran Berdasarkan hasil penelitian perlu dilakukan validasi antara pengukuran fotometer dengan instrument lain yang umum digunakan untuk mengetahui secara spesifik diferensiasi geografis terhadap rimpang kunyit dan perlu dilakukan penyeragaman 358 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan ukuran partikel (mesh) serbuk kunyit sebelum dijadikan pellet untuk mendapatkan hasil yang lebih baik dalam proses penyinaran menggunakan fotometer portable. Daftar Pustaka Brereton RG. 2003. Chemometrics: Data Analysis for The Laboratory and Chemical Plant. Bristol: Wiley. Liang Xin-Mao, Yu Jin, Yan-ping Wang, Gao-wa Jin, Qing Fu, Yuan-sheng Xiao. 2008. Qualitative and quantitative analysis in quality control of traditional Chinese medicines. J.Chroma. 026:2033-2044 Lohninger H. 2004. Multivariate calibration. [terhubung berkala]. http://www.vias.org/tmdatanaleng/cc_multivaritae.html [20 Februari 2010] Mao J, Xu J. 2006. Discrimination of herbal medicines by molecular spectroscopy and chemical pattern recognition. Spectrochim Acta A 65: 497–500. Masuda T, Isobe J, Jitoe A, Nakatani N. 1992. Antioxidative curcuminoide from rhizomes of Curcuma xanthorrhiza. Phytochemistry 31(10): 3645-3647.. Menn N. 2004. Practical Optics. New York: Elsevier. . Sidik, Moelyono MW, Mutadi A.1995. Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.). Jakarta: Phyto Medika. Singh SK, Jha SK, Chaudhary, Yadava RDS, Rai SB. 2010. Quality control of herbal medicines by using spectroscopic techniques and multivariate statistical analysis. Pharmaceut Biol 48:134-141. Skoog DA, Donald MW, F James Holler, Stanley RC. 2004. Fundamentals of Analytical Chemistry. Ed ke-8. Canada: Brooks Cole. Stuth J, Jama A, Tolleson D. 2003. Direct and indirect means of predicting forage quality. Field Crops Research 84:45-56. 359 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Isolasi dan Identifikasi Alkaloid Pada Ekstrak Daun Sirsak (Annona Muricata L.) *Topan Sopian, Husain Nashrianto, Ani Iryani Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pakuan, Bogor ABSTRAK Sirsak dapat dimanfaatkan sebagai tanaman obat karena didalamnya terkandung senyawa alkaloid. Sirsak merupakan salah satu tanaman yang memiliki kandungan alkaloid yaitu aziridine, metilpirazol, pirazol, pirimidin dan indolozin. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi senyawa Alkaloid fenolik dan non fenolik dari ekstrak daun sirsak. Daun sirsak yang sudah dikeringkan dan dihaluskan, dimaserasi dengan menggunakan heksan dan metanol dan dipekatkan dengan menggunakan rotary evaporator. Lalu didapatkan ekstrak kental kemudian ditambahkan asam sitrat dan eter, fraksi asamnya ditambahkan amoniak dan kloroform. Fraksi kloroform dan fraksi basanya digabungkan lalu dicuci dengan aquades, dikeringkan dengan MgSO4 menghasilkan alkaloid total. Alkaloid total dilarutkan dalam kloroform kemudian diekstraksi dengan larutan NaOH. Fraksi kloroform adalah fraksi alkaloid non fenolik. Fraksi basanya diasamkan dengan NH4Cl sampai pH 8-9. Endapan yang terbentuk dilarutkan dalam kloroform, kedua fraksi digabungkan, lalu dicuci dengan air sampai air cucian bersifat netral terhadap kertas lakmus, kemudian dikeringkan dengan MgSO4 selanjutnya diuapkan pada tekanan rendah menghasilkan fraksi alkaloid fenolik. Ekstrak serbuk alkaloid fenolik dan non fenolik digunakan untuk identifikasi senyawa organik dengan menggunakan LC-MS dan FTIR. Hasil isolasi alkaloid dari ekstrak daun sirsak setelah dianalisis dengan menggunakan Spektrofotometer FTIR memiliki alkaloid fenolik dan non fenolik. Alkaloid fenolik setelah diidentifikasi dengan menggunakan LC-MS diduga mengandung senyawa 2-amino-2heksadesilpropana-1,3-diol dan 2-[2-(4-Hidrosifenil)-4-fenil-1H-imidazol-5-il]-9H-fluoren9-one. Dan alkaloid non fenolik setelah diidentifikasi dengan menggunakan LC-MS diduga mengandung 3-Etil-N-(2-piridinilmetil)-3H-[1,2,3]triazolo[4,5-d]pirimidin-7-amina dan NHeksadecil-1-oktadekanamina. Keywords : Soursop, Alkaloid, Ekstraktion, isolation, phenolic, FTIR and LC-MS Pendahuluan Manusia seringkali menggunakan ekstrak akar, kulit kayu, daun, buah, bunga dan biji-bijian sebagai obat. Penggunaan tumbuhan dengan maksud pengobatan tidak mesti berdasarkan ketakhayulan atau khayalan. Banyak tumbuhan mengandung senyawa yang berdampak faali yang nyata. Zat-zat aktif dalam banyak bahan tumbuhan ini diisolasi dan diketahui berupa senyawa nitrogen heterosiklik. Salah satu tanaman itu adalah sirsak (Annona muricata L.). Banyak senyawa nitrogen dalam tumbuhan mengandung atom nitrogen basa dan karena itu dapat diekstrak dari dalam bahan tumbuhan itu dengan asam encer. Senyawa ini disebut alkaloid yang artinya “mirip sekali.” Alkaloid ialah senyawa yang mengandung nitrogen yang bersifat basa dari tumbuhan atau hewan, umumnya 361 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan memiliki struktur yang rumit dan bersifat farmakologi (Faali) yang nyata (Harold, 2003) Pada saat ini banyak penyakit sulit disembuhkan dengan obat modern dan memerlukan biaya yang cukup tinggi, pengobatan dengan bahan-bahan alami bisa menjadi alternatif penyembuhan yang tidak kalah manjur. Apalagi saat ini banyak tumbuhan obat tradisional sudah diuji secara klinik untuk mengetahui komposisi, kandungan, dan efek farmakologinya. Dibandingkan obat-obatan dokter, pengobatan dengan bahan tumbuhan ini relatif aman dan tidak berefek samping yang membahayakan (Jaka Sulaksana, 2004). Penelitian ini bertujuan untuk mengisolasi dan mengidentifikasi berbagai senyawa alkaloid dari ekstrak daun sirsak (Annona muricata L.) dengan menggunakan LC- MS dan FT-IR. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan mengekstraksi daun sirsak dengan menggunkan heksan, metanol, Asam sitrat, Eter, Amoniak, NaOH, NH4Cl, Kloroform dan Magnesium sulfat. Ekstrak alkaloid fenolik dan non fenoliknya dianalisis menggunakan spektrofotometer FTIR dan LC-MS. Pembuatan Simplisia Daun sirsak yang digunakan diperoleh dari daerah Kecamatan Cibeber Kabupaten Cianjur. Daun sirsak yang digunakan adalah daun yang tidak terlalu tua dan juga tidak terlalu muda. Daun sirsak segar dibersihkan dari kotoran-kotoran yang menempel (sortasi basah), dicuci dengan air mengalir sampai bersih, kemudian ditiriskan untuk membebaskan daun dari sisa air cucian. Daun yang telah bersih dan bebas dari air cucian dikeringkan dalam udara tanpa terkena sinar matahari selama tiga hari, setelah kering lalu dihaluskan dan disimpan dalam wadah bersih dan ditutup rapat. Pembuatan Ekstrak Alkaloid Total 500 gram Serbuk daun sirsak dimaserasi dengan n-heksan 1 liter selama 3x24 jam, residu yang diperoleh dimaserasi kembali dengan metanol dengan perbandingan pelarut 1:10 (b/v). Selanjutnya ekstrak metanol dipekatkan dengan menggunakan rotary evaporator. Didapatkan hasil residu eksktrak metanol. Ekstrak metanol ditambahkan dengan larutan asam sitrat 5%. Didapat Fraksi asam, lalu di cuci dengan eter sampai lapisan itu menjadi tidak berwarna. Lapisan asam dibasakan dengan amoniak sampai pH 8-9. Endapan yang terbentuk disaring lalu ditambahkan kloroform. Didapat fraksi kloroform, kemudian dicuci dengan air. Selanjutnya larutan kloroform dikeringkan dengan MgSO4 anhidrat dan diuapkan sampai tekanan rendah hingga kering. Akhirnya diperoleh alkaloid total. Pemisahan Alkaloid Fenolik dan Non Fenolik Alkaloid total dilarutkan dalam kloroform kemudian ditambahkan dengan larutan NaOH 5%. Fraksi basanya diasamkan dengan NH4Cl sampai pH 8-9. Endapan yang terbentuk dilarutkan dengan kloroform, kedua fraksi digabungkan, lalu dicuci dengan 362 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan air sampai air cucian bersifat netral terhadap kertas lakmus, kemudian dikeringkan dengan MgSO4 anhidrat, selanjutnya diuapkan pada tekanan rendah menghasilkan fraksi alkaloid fenolik, fraksi kloroform adalah fraksi alkaloid non fenolik. Uji Fitokimia Ke dalam tabung reaksi dimasukkan 2 mL pereaksi Dragendorff lalu dimasukkan 1 mL ekstrak kloroform. Diamati endapan yang terbentuk. Hal serupa juga dilakukan dengan menggantikan jenis pereaksi Mayer dan Wagner, Jika terdapat endapan putih dengan pereaksi mayer, endapan merah dengan jingga dengan pereaksi Dragendorf dan endapan coklat dengan pereaksi Wagner, maka terdapat alkaloid dalam ekstrak tersebut. Penetapan Kadar Air Simplisia Penetapan kadar air simplisia dilakukan dengan metode gravimetri. Ditimbang 1 g simplisia ke dalam kotak timbang yang sebelumnya sudah diketahui bobot kosongnya. Dipanaskan di dalam oven bersuhu 105C selama 2 jam, didinginkan dalam eksikator dan ditimbang hingga mencapai bobot tetap. (Penentuan dilakukan triplo). Kadar air (%) = Bobot awal–Bobot akhir x100% Bobot awal Penghitungan Kadar Rendemen Ekstrak Kadar rendemen ekstrak dihitung untuk mengetahui seberapa besar ekstrak yang dihasilkan dari proses ekstraksi dari masing masing pelarut. Kadar rendemen ekstrak (%) = Bobot hasil ekstrak x100% Bobot simplisia Uji Pendahuluan Uji pendahuluan dilakukan untuk menentukan massa molekul alkaloid fenolik dan non fenolik. Disiapkan larutan standar 1 ppm. Masing-masing standar disuntikkan ke dalam sistem LC-MS. Ditentukan parameter standar pada sistem diantaranya ionization mode ES +, desolvation temp 300 0C, source temp 110 0C, cone 38 volt. Peak dengan puncak paling tinggi menunjukkan zat yang dimaksud dan dapat diketahui massa (MS Scan) dan massa pecahan (Daughter Scan). Metode Analisis LC-MS Masing - masing 10 mg Sampel alkaloid fenolik dan non fenolik dilarutkan 100 μL kloroform kemudian disentrifus lalu ditambahkan λ00 μL metanol dan dipisahkan dengan sentrifus lalu diambil cairanya. kemudian diuapkan pada suhu 400C dibawah aliran gas nitrogen. kemudian disuntikkan sebanyak 5 μL ke dalam sistem LC-MS/MS. 363 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Kondisi HPLC meliputi kecepatan alir 0,3 mL/min, fase gerak asam format 0,1 % dalam air dan asetonitril, guard kolom Acquity UPLC BEH C18 1.7μL, 2.1x50 mm. Kondisi MS disesuaikan dengan kondisi yang diperoleh pada saat uji pendahuluan. Analisis Spektrofotometri Infra Merah ( FTIR ) Sampel sebagai lempeng dalam Kalium Bromida kering, lempeng tersebut dibuat dengan jalan menggerus cuplikan kira- kira 1% KBr dan ditekan sekitar 8 ton sehingga diperoleh sebuah lempeng transparan. Sinar inframerah yang melalui lempeng tersebut menunjukkan harga - harga bilangan gelombang yang tercatat dalam spektrumnya. Untuk sampel cairan dioleskan pada plat KBr dan untuk sampel padatan atau serbuk digerus kan pada plat KBr. Bila sampel mengandung pelarut organik maka setelah sampel dioleskan pada plat KBr diletakan dibawah lampu pijar untuk menghilangkan pelarut organik, sehingga yang tertinggal hanya pelarut organiknya saja. Plat yang mengandung sampel ditempatkan pada alat FTIR dan tunggu sampai spektrum IR muncul. Hasil Dan Pembahasan Hasil Ekstraksi Penetapan kadar air dilakukan terlebih dahulu pada daun sirsak yang sudah kering sebelum dilakukan ekstraksi. Kadar air daun sirsak tidak boleh lebih dari 10% untuk menghindari tumbuhnya mikroba dan jamur. Kadar air serbuk simplisia daun sirsak diperoleh 4,54%. Kadar air didapatkan dengan menghitung selisih bobot sebelum dan sesudah pemanasan sampel daun sirsak dapat. Pada proses ekstraksi menggunakan metode maserasi, hasil ekstraksi daun sirsak dipekatkan dengan menggunakan rotary evaporator. Penentuan rendemen bertujuan untuk mengetahui perbandingan hasil ekstrak terhadap simplisia. Berdasarkan nilai rendemen dapat diketahui jumlah ekstrak dari simplisia pada berat tertentu. Dari hasil ekstraksi daun sirsak diperoleh ekstrak alkaloid total sebesar 10,59 gram dan hasil rendemennya sebesar 2,12 %. Hasil Uji Fitokimia Uji fitokimia bertujuan untuk mengetahui jenis senyawa yang ada dalam ekstrak daun sirsak. Uji ini dilakukan terhadap ekstrak metanol daun sirsak, diantaranya adalah senyawa alkaloid. Hasil uji senyawa alkaloid dapat dilihat Tabel 4. Hasil Uji Fitokimia Alkaloid Ekstrak Daun Sirsak. Tabel 1. Hasil Uji Fitokimia Alkaloid Ekstrak Daun Sirsak. No 1 2 3 Uji Fitokimia Pereaksi Dragendroft Pereaksi Mayers Pereaksi Wagner Indikasi Adanya Senyawa Uji Terbentuk endapan warna orange Terbentuk endapan warna putih Terbentuk endapan warna coklat Hasil Pengamatan + + + Dari hasil uji fitokimia dapat diketahui bahwa dalam ekstrak metanol daun sirsak terkandung senyawa alkaloid. Alkaloid merupakan suatu golongan senyawa organik 364 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan yang terbanyak ditemukan di alam dan memiliki banyak fungsi yang bersifat fisiologis sehingga digunakan secara luas dalam bidang pengobatan. Hasil Identifikasi Senyawa Alkaloid Menggunakan LC-MS Hasil identifikasi senyawa alkaloid menggunakan LC-MS terhadap ekstrak alkaloid Fenolik dan alkaloid non fenolik daun sirsak dapat dilihat pada Tabel 2. dan Tabel 3. Masing-masing standar disuntikkan ke dalam sistem LC-MS/MS. Ditentukan parameter standar pada sistem diantaranya ionization mode ES +, desolvation temp 300 0C, source temp 110 0C, cone 38 volt. Peak dengan puncak paling tinggi menunjukkan zat yang dimaksud dan dapat diketahui massa (MS Scan) dan massa pecahan (Daughter Scan). Tabel 2. Hasil Identifikasi Senyawa Organik Ekstrak Alkaloid Fenolik No WR*(menit) Senyawa Kimia 1 4,626 2-amino-2heksadesilpropana- 316,32 1,3-diol 2 4,519 BM** 2-[2-(4-Hidrosikfenil)4-fenil-1H-imidazol5-il]-9H-fluoren-9-one Rumus molekul 415,14 Rumus Molekul C19H42NO2 C28H19N2O Tabel 3. Hasil Identifikasi Senyawa Organik Ekstrak Alkaloid Non Fenolik N o 1 WR*(menit) 4,887 Senyawa Kimia 3-Etil-N-(2piridinilmetil)3H[1,2,3]triazolo[ 4,5d]pirimidin-7amina BM** 256,13 365 Rumus molekul Rumus Moleku l C12H14 N7 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan 2 6,297 N-Heksadecil1oktadekanamin a 494,56 H3C NH CH 3 C34H72 N Hasil analisis identifikasi senyawa organik dengan LC-MS diketahui bahwa dalam ekstrak alkaloid fenolik mengandung beberapa senyawaan diantaranya adalah: 2-amino2-heksadesilpropana-1,3-diol dan 2-[2-(4-Hidrosikfenil)-4-fenil-1H-imidazol-5-yl]- 9Hfluoren-9-on. Alkaloidnya adalah alkaloid imidazol dan amina. Hasil analisis identifikasi senyawa organik dengan LC-MS diketahui bahwa dalam ekstrak alkaloid non fenolik mengandung beberapa senyawaan diantaranya adalah: 3Etil-N-(2-piridinilmetil)-3H-[1,2,3]triazolo[4,5-d]pirimidin-7-amina dan N-Heksadecil1-oktadekanamina. Alkaloidnya adalah alkaloid pirimidin dan amina. Pada hasil identifikasi alkaloid fenolik dan non fenolik dengan menggunakan LCMS didapat persentasi yang cukup besar antara 99,9 – 100% senyawa tersebut terdapat dalam sampel alkaloid fenolik dan non fenolik. Analisis FTIR Alkaloid Fenolik Pada gambar 9 menunjukkan hasil analisis FTIR alkaloid fenolik. Adanya sebuah serapan dalam daerah gugus fungsi sebuah spektrum infra merah merupakan petunjuk bahwa beberapa gugus fungsi tertentu terdapat dalam cuplikan. Frekuensi rentang O-H alkohol, fenol ( ikatan H ) menghasilkan puncak serapan besar di daerah 2000 sampai dengan 3600 cm-1. Sebuah gugus hidroksi bebas mengambarkan puncak tajam disekitar 3600 cm-1 dan puncak lebar yang massanya terlihat adalah akibat interaksi ikatan hidrogen antara gugus hidroksi dari beberapa molekul alkohol. Pada panjang gelombang 1123,54 cm-1 terdapat ikatan N-H stretching untuk senyawa Alkil Amina, pada panjang gelombang 1400 cm-1 terdapat ikatan C-N stretching untuk senyawa aril sekunder amina dan pada panjang gelombang 2500 cm-1 gugus terdapat ikatan C-H untuk senyawa aromatik. 366 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Gambar 1. Spektrum FTIR Alkaloid Fenolik Analisis FTIR Alkaloid Non Fenolik Pada gambar 2. Menunjukkan hasil analisis FTIR alkaloid non fenolik. Adanya sebuah serapan dalam daerah gugus fungsi sebuah spektrum infra merah merupakan petunjuk bahwa beberapa gugus fungsi tertentu terdapat dalam cuplikan. Frekuensi rentang C-H untuk ikatan alkana menghasilkan puncak serapan besar di daerah 2850 2960 cm-1. Sebuah Ikatan N-H stretching terdapat pada puncak resapan sekitar 3200 – 3600 cm-1. Ini menunjukan didalam sampel alkaloid non fenolik terdapat senyawa alkaloid, karena senyawa alkaloid mengandung ikatan N-H. Pada daerah resapan 2271,41 cm-1 terdapat ikatan senyawa overtune C-H aromatik, daerah resapan 1377,23 cm-1 terdapat ikatan C-N stretching untuk senyawa Amina tersier dan pada daerah resapan 752,60 cm-1 terdapat ikatan C-H untuk senyawa Piridin. Gambar 2. Spektrum FTIR Alkaloid Non Fenolik 367 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Berdasarkan dari hasil penelitian maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut 1. Pada sampel alkaloid fenolik diduga terdapat senyawa; 2-amino-2heksadesilpropana-1,3-diol dan 2-[2-(4-Hidrosifenil)-4-fenil-1H-imidazol-5-il]9H-fluoren-9-on. 2. Pada sampel alkaloid non fenolik diduga terdapat senyawa; 3-Etil-N-(2piridinilmetil)-3H-[1,2,3]triazolo[4,5-d]pirimidin-7-amina dan N-Heksadecil-1oktadekanamina. Saran 1. Penelitian ini harus dilakukan pemurnian kembali agar diperoleh hasil alkaloid fenolik dan non fenolik yang lebih murni dan diidentifikasi dengan menggunakan KLT, NMR, UV dan MS. 2. Perlu diuji secara klinik untuk mengetahui efek farmakologinya bagi kesehatan. Daftar Pustaka Ansel, H. C.1989. Pengantar bentuk Sediaan Farmasi Edisi keempat. UI press, Jakarta. Hal 605-607 Day, R.A dan Underwood. 1994. Analisis Kimia Kuantitatif. Edisi 6. Jakarta: Erlangga. Department Kesehatan Republik Indonesia. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan. Jakarta. Hal 7-39 Harborne, J.B. (1987). Metode Fitokimia, Penuntun Cara Modern Menganalisa Tumbuhan. Terjemahan K.Padmawinata. Edisi II. ITB Press. Bandung: Halaman 76 Hart, Harold. 2003. Kimia Organik : suatu kuliah singkat. Edisi 11. Jakarta: Erlangga Hendayana, S,. 1994. Kimia Analitik Instrumen. Jakarta : UI Press Khopkar, S.M. 2007. Konsep Dasar kimia Analitik. Diterjemahkan oleh A. Saptorahardjo. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia Mulja, Muhammad dan Suharman. 1995. Analisis Instrumental. Surabaya : Airlangga Unversity Press Rohman, A. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Ronny. 2007. Penentuan Kandungan Minyak Mineral Dalam Sampel Minyak. Semarang : Universitas Diponegoro Sovia Lenny. 2006. Senyawa Flavonoida, Fenil Propanoida, Alkaloida. USU Repository Stuart, Barbara. 2004. Infrared Spectroscopy : Fundamentals and Applications. John Wiley and Sons, Ltd Suhanda. 2001. Spektroskopi Massa. Bandung : UPI Bandun 368 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Kajian Reaksi Fermentasi Limbah Cair Tahu Cibuntu Dengan Saccharomyces Cereviseae Untuk Pembuatan Bioetanol Agusta Samodra Putra*1, Sukrido2, Meiliana Fitriani2 1 Pusat Penelitian Kimia-LIPI Jl. Cisitu-Sangkuriang, Bandung 40315 2 Universitas Jenderal Achmad Yani, Cimahi 40573 Email: chemguzta@gmail.com ABSTRAK Limbah cair tahu hasil pencucian terakhir sentra produksi tahu Cibuntu pada saat proses pencetakan tahu dapat dikembangkan manfaatnya menjadi bioetanol dengan cara mengolah limbah tersebut secara hidrolisis dan fermentasi menjadi glukosa yang diteruskan menjadi etanol. Fermentasi secara anaerob menggunakan Saccharomyces cereviceae dilakukan selama 32 jam pada suhu 300C dan setiap 2 jam sekali, cairan fermentasi diambil untuk dianalisis kadar etanolnya dengan metode spektrofotometri menggunakan spektrofotometer UV-VIS U-2800. Persentase etanol terbanyak yang terbentuk sebesar 30,18% diperoleh pada 32 jam. Kata kunci: bioetanol, fermentasi Pendahuluan Cibuntu merupakan daerah yang dikenal masyarakat Bandung sebagai sentra industri pembuatan tahu. Selama ini, tingkat permintaan pada tahu Cibuntu cukup tinggi di masyarakat, karena pada umumnya, masyarakat menyukai makanan dengan harga yang cukup terjangkau dengan protein yang tinggi. Salah satu kawasan pemasok makanan di daerah Bandung, yaitu Cikutra, setiap harinya memesan berkilo-kilo tahu Cibuntu untuk membuat olahan jajanan khas Bandung. Namun ternyata, keharuman reputasi tahu Cibuntu ini ternyata tidak seharum lingkungan tempat olahan kedelai ini dibuat (Sintawardhani, 2010). Limbah cair tahu ini dapat mengganggu lingkungan karena masih mengandung bahan organik, seperti protein mencapai 40-60 %, karbohidrat 25-50 % dan lemak 10 %. Karakteristik pencemarannya dapat meliputi temperatur, warna, bau, kekeruhan, Biochemical Oxygen Demand (BOD), Chemical Oxygen Demand (COD), dan pH (Richana, 2009). Meskipun demikian, jumlah limbah yang fantastis ini dapat diolah menjadi bioetanol dengan jalan fermentasi menggunakan mikroorganisme, salah satunya adalah Saccharomyces cereviceae, karena dalam limbah cair tahu ini masih mengandung kandungan zat organik yang cukup tinggi dan mempunyai pH yang mendekati pH optimal proses fermentasi, sehingga berpotensi sebagai bahan baku bioetanol (Astuti et al, 2007). Limbah cair pada proses produksi tahu berasal dari proses perendaman, pencucian kedelai, pencucian peralatan proses produksi tahu, penyaringan dan 369 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan pengepresan/pencetakan tahu. Sebagian besar limbah cair yang dihasilkan oleh industri pembuatan tahu adalah cairan kental yang terpisah dari gumpalan tahu yang disebut dengan air dadih (whey). Cairan ini mengandung kadar protein yang tinggi dan dapat segera terurai. Limbah ini sering dibuang secara langsung tanpa pengolahan terlebih dahulu sehingga menghasilkan bau busuk dan mencemari lingkungan (Kaswinarni, 2007). Mikroorganisme yang biasa digunakan dalam produksi etanol adalah dari jenis Khamir. Khamir yang sering digunakan dalam produksi etanol adalah dari spesies Saccharomyces cerevisiae. Jenis khamir ini sering digunakan karena dapat memproduksi etanol dalam konsentrasi tinggi. Khamir dapat toleran terhadap alkohol yang cukup tinggi (12-18% v/v), tahan terhadap kadar gula yang tinggi dan tetap aktif melakukan fermentasi pada suhu 4-32oC (Purwani et al, 2007). Suatu reaksi agar berlangsung lebih cepat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah temperatur dan pH. Pada penelitian ini, ingin mengetahui kinetika reaksi yang terjadi pada fermentasi bioetanol, dengan beberapa parameter kinetika tersebut dibuat tetap yaitu, temperature 30 C dan pH proses fermentasi dijaga pada pH 4. Sehingga dapat diketahui persentasi hasil reaksi yang merepresentasikan cepat lambatnya reaksi tersebut berlangsung. Kinetika reaksi ini menjadi dasar penting untuk mendapatkan bioetanol dalam jumlah maksimum. Metode Penelitian Bahan (sub bab ditulis cetak miring dengan huruf besar di awal kata, berjarak 1 spasi dari judul bab) Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian kali ini, antara lain limbah cair tahu Cibuntu, Potato Dextrose Broth (Sigma Aldrich), Natrium agar (Sigma Aldrich), Saccharomyces cereviseae, NaCl (Merck), Etanol 99,8 % (Merck), HCl 3 % (Merck), H2SO4 pekat (Merck), KI 20 % (Merck), NaS2O3 0,1 N dan 0,005 N (Merck), Amilum 0,2 % (Merck), larutan Luff Schoorl, NaOH 30 % (Merck), larutan Shaffer-Somogyi, K2C2O4 (Merck), K2Cr2O7 (Merck), HclO4 65 % (Merck), Aquadest. Alat-alat yang digunakan pada penelitian kali ini, antara lain alat-alat gelas laboratorium (Pyrex), jarum inokulasi, pipet mikro 1 ml, pembakar spiritus, kapas bebas lemak, autoklaf, inkubator, incubator shaker, laminar air flow, spektrofotometer UV-Vis U-2800 (Shimadzu). Metode Pada penelitian ini, prosedur penelitian yang digunakan yaitu tahap pengambilan sampel, tahap menyiapkan medium, peremajaan khamir Saccharomyces cereviceae, pembuatan starter fermentasi, optimasi mikroba ke dalam limbah cair tahu, tahap pembibitan (seeding), pengukuran kadar karbohidrat dan glukosa dalam limbah cair tahu, proses hidrolisa karbohidrat, proses pengukuran kadar glukosa setelah hidrolisa, proses fermentasi glukosa dan tahap analisa bioetanol. 370 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Hasil dan Pembahasan Tahap Optimasi Pertumbuhan S. Cereviseae dalam Limbah Cair Tahu. Dari data yang telah diperoleh pada tahap optimasi, penambahan dan pertumbuhan jumlah sel mikroba dapat digambarkan dalam bentuk kurva pertumbuhan sebagai berikut: Gambar 1. Kurva Pertumbuhan Khamir S. Cereviseae untuk 100 % Limbah Cair tahu Kurva pertumbuhan suatu mikroba merupakan gambaran dari fase pertumbuhan secara bertahap sejak awal hingga berhenti mengadakan aktivitas. Dari data yang telah diperoleh, pada 0 jam sampai 8 jam menandakan terjadinya fase lag. Pada fase lag, terjadi proses aklimatisasi. Aklimatisasi merupakan proses pengadaptasian mikroba yang telah dikembangbiakan terhadap lingkungan yang baru. Selama fase lag, perubahan bentuk dan pertumbuhan jumlah mikroba tidak terlihat secara jelas karena sedang terjadi penyesuaian untuk suatu aktivitas di dalam lingkungan yang baru. Setelah mikroba dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru, maka mikroba tersebut mulai mengadakan perubahan bentuk dan meningkatkan jumlah individu (sel) sehingga kurva meningkat dengan tajam (menanjak). Konsentrasi sel mengalami peningkatan mulai dari 8 jam sampai 32 jam. Keadaan ini merupakan fase dimana mikroba mengadakan perubahan bentuk dan meningkatkan jumlah individu (sel) sehingga dapat dilihat pada kurva pertumbuhan yang meningkat tajam. Fase ini disebut sebagai fase log atau fase eksponensial atau logaritmik. Pada fase logaritmik laju pertumbuhan sel mencapai maksimum. Fase ini harus diimbangi dengan banyak faktor, antara lain faktor biologis, yaitu bentuk dan sifat mikroba terhadap lingkungan yang ada serta faktor non-biologis yaitu kandungan nutrien di dalam media, suhu, kadar oksigen, pH dan sebagainya. Dengan pertumbuhan sel yang mantap, maka laju pertumbuhan spesifik, komposisi sel tetap, sedangkan komposisi 371 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan kimiawi media biakan berubah akibat terjadinya sintesis produk dan penggunaan substrat. Menjelang 48 jam saat substrat atau persenyawaan tertentu yang diperlukan pertumbuhan dalam media biakan mulai mendekati habis dan terjadi penumpukan produk-produk penghambat, maka terjadi penurunan laju pertumbuhan. Keadaan ini disebut sebagai fase stasioner, fase saat ketika konsentrasi biomassa mencapai maksimal. Pertumbuhan berhenti dan menyebabkan terjadinya modifikasi struktur biokomiawi sel. Fase ini merupakan fase saat mikroba yang mampu bertahan hidup, kemudian beberapa mikroba sudah tidak melakukan pertumbuhan lagi. Setelah melewati tahap minimum, kemudian pada 52 jam sampai 56 jam, mikroba mengalami penurunan yang ditandai oleh berkurangnya jumlah sel hidup dalam media akibat terjadinya kematian (mortalitas). Fase ini disebut sebagai fase kematian. Faktorfaktor yang yang dapat menyebabkan terjadinya fase kematian sehingga mengakibatkan berhentinya pertumbuhan mikroba antara lain: 1. Penyusutan konsentrasi nutrisi yang dibutuhkan dalam pertumbuhan mikroba karena habis terkonsumsi. 2. Terbentuknya produk akhir metabolisme yang menghambat pertumbuhan mikroba karena terjadinya inhibisi dan represi. Tujuan dari optimalisasi petumbuhan mikroba dalam limbah cair tahu ini adalah untuk mendapatkan grafik pertumbuhan mikroba pada jam yang optimal. Berdasarkan data grafik pertumbuhan tersebut, Saccharomyces cereviceae mampu mengadakan pertumbuhan dari 8 jam dan meningkatkan jumlah sel dengan baik sampai 32 jam. Data grafik pertumbuhan Saccharomyces cereviceae ini akan dipergunakan sebagai acuan untuk proses fermentasi bioetanol. Tahap Analisa Persentase Bioetanol yang Dihasilkan dari Proses Hidrolisa dan Fermentasi Tahap pengukuran kadar etanol adalah menggunakan metode spektrofotometri. Pemilihan metode ini karena analisisnya cepat untuk penentuan etanol dalam sampel yang tersedia dalam jumlah yang sangat kecil dan / atau ditingkat beralkohol rendah. Prinsip metode ini adalah kemampuan penentuan spektrofotometri dari jumlah dikromat yang dikonsumsi. Kromium (VI), dalam asam perklorat, bereaksi secara kuantitatif dengan etanol untuk membentuk kromium (III) dan asam asetat. Reaksi selesai dalam waktu sekitar 15-20 menit pada suhu kamar dan kromium (VI) yang dikonsumsi dapat ditentukan dengan mengukur absorbansinya pada panjang gelombang 267 nm. 372 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Gambar 2. Hubungan antara Bioetanol yang Dihasilkan dari Limbah Cair Tahu dengan Waktu Dari grafik tersebut terlihat perolehan etanol mengalami kenaikan seiring bertambahnya waktu. Persentase etanol terbanyak yang terbentuk sebesar 30,18% diperoleh pada 32 jam. Dengan melihat grafik, maka tingkat dari reaksi (orde reaksi) pembentukan etanol melalui proses fermentasi ini dapat ditentukan. Tingkat reaksi atau orde reaksi menunjukkan hubungan antara perubahan konsentrasi pereaksi dengan perubahan laju reaksi. Kelinieran pada grafik dapat dilihat dari koefisien korelasi atau R2. Koefisien korelasi atau R2 dari grafik pengamatan adalah 0,998 atau ≈ 1. Nilai R2 mendekati 1 hal ini berarti bahwa, reaksi fermentasi etanol berorde satu. Produksi bioetanol dari substrat gula oleh khamir Saccharomyces cereviceae hanya melibatkan satu fase pertumbuhan dan produksi, pada fase tersebut glukosa diubah secara simultan menjadi biomassa, etanol dan CO2. Harga k rata-rata dalam reaksi fermentasi etanol ini adalah 7,79 10-7 s-1 . Pada reaksi orde satu, laju reaksi berbanding lurus dengan konsentrasi pereaksi, hal ini telah dibuktikan melalui grafik di atas. Kesimpulan dan Saran Berdasarkan hasil pengamatan dari penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa : 1. Limbah cair tahu memiliki potensi dan dapat digunakan sebagai bahan baku produksi bioetanol. Melalui proses fermentasi glukosa menggunakan khamir Saccharomyces cereviceae pada kondisi anaerob. 2. Kinetika reaksi fermentasi bioetanol dari limbah cair tahu mengikuti orde reaksi satu. Hal ini ditunjukkan dengan koefisien korelasi atau R2 dalam pengamatan 0,λ88 atau ≈ 1. Dimana laju reaksi berbanding lurus dengan konsentrasi pereaksi. Pada reaksi fermentasi yang berlangsung secara anaerob, orde reaksi ditentukan oleh glukosa. 373 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan 3. Pengukuran kadar etanol pada proses fermentasi dapat ditentukan dengan menggunakan metode spektrofotometri. Kadar etanol yang dihasilkan pada penelitian ini sebanyak 30,18%. Dengan laju reaksi pembentukan etanol sebesar 1,86 10-6 mg/mL.s-1. Dan konstanta laju reaksi rata-rata berdasarkan percobaan adalah 7,79 10-7 s-1 . Disarankan untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai produksi bioetanol dari limbah cair tahu, tetapi dengan sumber limbah produksi tahu yang berbeda, misalnya limbah cair pada saat pemasakan, penyaringan atau penggumpalan tahu. Sehingga perolehan karbohidrat untuk menghasilkan glukosa sebagai substrat fermentasi dapat meningkat. Kemudian, etanol yang dihasilkan dilakukan pengukuran juga menggunakan metode Gas Chromatrography (GC), sehingga dapat diketahui validasi oleh metode spektrofotometrinya. Selain itu, perhatikan pula faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan Saccharomyces cereviceae. Daftar Pustaka Astuti, A.D., Wisaksono, W. dan Nurwini, A.R., 2007. Pengolahan Air Limbah Tahu Menggunakan Bioreaktor Anaerob-Aerob Bermedia Karbon Aktif Dengan Variasi Waktu Tunggal. Jurnal Teknologi Lingkungan, 4(2), 30-35 Kaswinarni, F., 2007. Kajian Teknis Pengolahan Limbah Padat dan Cair Industri Tahu. Jurnal Ilmu Lingkungan, Program Studi Ilmu Lingkungan, Universitas Diponegoro Semarang. Purwani, Aunur Rofiq Mulyarto, dan Nur Hidayat., 2007. Simulasi Model Produksi Etanol dari Molase oleh Saccharomyces cereviceae pada Kultur Batch. Jurnal Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Brawijaya Malang. Richana, N., 2009. Fermentasi, Pengembangan Produk dan Teknologi Proses. Jurnal Bioetanol, Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Sintawardani, N., 13 Februari 2010. Energi Tidur Siap Dibangkitkan di Kota Bandung. Pikiran Rakyat, Halaman 2. 374 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan Dan Lingkungan Untuk Kesehatan POSTER 375 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Uji Adsorpsi Titanium Dioksida Terhadap Metil Orange Yustinus Purwamargapratala1, Diah Widiyaningsih2, Hanafi3 Badan Tenaga Nuklir Nasional, Serpong 1) Akademi Kimia Analis Bogor 2),3) Email : pratala_yustinus@yahoo.com ABSTRAK Metil orange merupakan salah satu pewarna tekstil yang bersifat toksik dan sebagai sumber pencemar lingkungan. Titanium oksida dapat berfungsi sebagai adsorben pencemar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui unjuk kerja adsorpsi titanium oksida terhadap metil orange. Pada penelitian ini dilakukan penentuan kondisi optimum adsorpsi seperti pH, waktu adsorpsi, efektivitas adsorpsi titanium dioksida, rasio massa adsorben terhadap adsorbat, pH, waktu adsorpsi, dan laju pengadukan. Analisis dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer ultraviolet-tampak dengan panjang gelombang maksimum metil orange pada 466,4 nm. Pengamatan juga dilakukan menggunakan Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FTIR) dan Scanning Electron Microscopy (SEM). Hasil analisis spektrofotometer ultraviolet-tampak LAMDA25 pada rentang 2-10 ppm metil orange dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,9997. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kondisi optimum proses adsorpsi adalah pH 1, waktu adsorpsi 10 menit, laju pengadukan 50 rpm, didapatkan nilai efisiensi 53,37 % dan kapasitas adsorpsi 4,8939 mg/g Konfirmasi identitas dengan FTIR dan hasil analisis SEM menunjukkan adanya adsorpsi terhadap metil orange. Kata Kunci : adsorpsi, titanium dioksida, metil orange Pengantar Salah satu limbah industri tekstil adalah limbah pewarna yang tidak terserap sempurna. Apabila pembuangan air limbah ini kurang tepat, maka akan mengakibatkan pencemaran lingkungan. Pewarna sintetik, padatan tersuspensi dan zat organik terlarut merupakan bahan berbahaya yang sering ditemukan dalam limbah tekstil. Selain adanya warna yang tidak diinginkan dari limbah tekstil, beberapa pewarna dapat terdegradasi dan menghasilkan produk karsinogenik dan beracun. Selain itu limbah yang berwarna berpotensi mengurangi masuknya cahaya matahari dan mencegah fotosintesis. Hal ini akan berakibat menurunnya kualitas perairan disekitar indusrti, dan makhluk hidup yang tinggal di dalamnya akan mati karena kekurangan O2 atau terkontaminasi oleh bahan beracun (WIDJAJANTI, et al, 2011.). Zat warna yang digunakan diindustri tekstil umumnya terdiri dari kelompok senyawa azo. Dominasi zat warna jenis ini di pasaran mencapai setengah dari zat warna komersial yang diperdagangkan. Dari segi strukturnya, senyawa azo sangat bervariasi hingga diketahui sedikitnya terdapat 300 jenis (ARIANTO,et al,2011.). Salah satu zat warna yang mempunyai gugus azo adalah metil orange. Struktur molekul metil orange dapat dilihat pada Gambar 1. 377 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Gambar 1. Struktur Molekul Metil Orange Zat warna indikator metil orange merupakan zat warna anionik atau sering disebut dengan zat warna asam, yang sangat berguna sebagai larutan indikator asam bagi kepentingan analitik di berbagai laboratorium kimia. Zat warna metil orange secara perlahan akan mencemari lingkungan sekitar laboratorium karena metil orange yang bersifat toksik (WIDHI dan WORO,2003). Dalam dunia industri, metil orange digunakan sebagai zat pewarna tekstil, sementara itu di laboratorium metil orange digunakan sebagai indikator pada titrasi basa lemah dengan asam kuat, di mana trayek pH metil orange berada di antara pH 3,1 (berwarna merah) sampai dengan pH 4,4 (berwarna orange-kuning) (DHAMAYANTI,et al,2005). Metil orange merupakan salah satu jenis senyawaan zat warna azo yang berwarna orange dan jika dilarutkan ke dalam air akan berwarna merah-kuning. Metil orange merupakan salah satu pencemar organik yang bersifat non biodegradable karena mengandung gugus azo. Metil orange mempunyasi sistem kromofor gugus azo (-N=N-) yang berikatan dengan gugus aromatik dan gugus sulfonat (WIDJAJANTI, et al, 2011.). Limbah industri teksti berasal dari buangan pemasakan serat dan ukuran pabrik yang memiliki sifat-sifat umum alkali tinggi, pewarnaan, BOD, temperature tinggi, dan suspense padatan tinggi. Cara pengolahannya adalah dengan penetralan, pengendapan zat kimia, perlakuan biologi aerasi atau filtrasi (SUGIHARTO, 2005). Penanganan limbah ini bisa dilakukan dengan berbagai cara diantaranya filtrasi, flokulasi, penghilangan warna (decoloring), dan adsorpsi Freundlich. Namun cara yang paling mudah diterapkan adalah cara adsorpsi Freundlich (WIDJAJANTI, et al, 2011). Dalam penanganan limbah industri tekstil selain menggunakan adsorben biasanya menggunakan bahan semikonduktor. Di antara bahan semikonduktor tersebut, Titanium dioksida merupakan bahan yang paling banyak digunakan dalam proses fotodegradasi. Kemampuan Titanium dioksida sebagai fotokatalis akan meningkat pada distribusi yang merata pada padatan. Hal ini disebabkan oleh peningkatan efektifitas semikonduktor suatu padatan pada ukuran partikel yang kecil atau dalam skala nanometer (UTUBIRA, et al, 2006). Menurut penelitian WIDJAJANTI (2011), variabel bebas yang digunakan untuk mengadsorpsi metil orange (MO) atau bisa disebut juga dengan metil jingga adalah pH, waktu adsorpsi dan konsentrasi pewarna dan konsentrasi pewarna ditentukan menggunakan spektrofotometer sinar tampak pada panjang gelombang 462,5 nm. 378 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Menurut penelitian HERALDY (2012) dapat dianalisis dengan spektrofotometer uvvis pada panjang gelombang 512 nm. Sedangkan menurut penelitian WIDHI (2003) adsorpsi metil orange dapat dianalisis dengan spektroskopi uv-vis pada panjang gelombang 460 nm. Diantara beberapa logam fotokatalis, oksida titanium dilaporkan memiliki aktivitas yang cukup besar dan efektif, selain murah dan non toksik. Dalam reaksi fotokatalis, titanium dioksida dalam bentuk kristal anatase sebagai komponen aktif sedangkan dalam bentuk rutile kurang menunjukkan aktifitasnya. Titanium dioksida dengan bentuk kristal anatase dan rutile jika dikenai suatu sinar UV dengan < 385 nm untuk anatase dan = 405 nm untuk rutile, akan menghasilkan spesies oksidator pada permukaannya. + Titanium dioksida merupakan spesies oksidator kuat yang ditunjukkan H pada permukaannya. Oleh karenanya titanium dioksida mampu mengoksidasi spesies kimia yang mempunyai potensi redoks yang lebih kecil. Pengurangan ukuran kristal berguna - + untuk menekan rekombinasi fotoeksitasi electron (e ) dan lubang (H ). Beberapa faktor akan mempengaruhi aktivitas fotokatalist titanium dioksida, salah satu yang terpenting adalah bentuk kristalnya. Untuk kepentingan pengolahan limbah, dispersi titanium dioksida pada pengemban berpori (mesoporous material) memberikan keuntungan lebih khususnya secara ekonomis. Aktivitas titanium dioksida – montmorillonit dapat dimanfaatkan untuk fotodegradasi zat warna dan pada fotodegradasi senyawa organik dari limbah cair industri tekstil (FATIMAH dan KARNA,2005.). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kemampuan titanium dioksida sebagai pengadsorpsi metil orange pada kondisi optimum waktu adsorpsi, jumlah adsorben, laju pengadukan. Bahan, Alat, dan Metode Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam percobaan ini antara lain titanium oksida produk MERCK dan bahan uji kalium dikromat. Sedangkan peralatan yang digunakan antara lain spektrofotometer UV-Visible PERKIN ELMER LAMDA 25, Analytical Scanning Electron Microscopy JEOL JSM-6510LA, spektrofotometer serapan atom, pH Meter Fisher Scientific, magnetic stirring, neraca analitik, Sentrifuge Hetrich EBA 20, dan shaker Metode Preparasi dilakukan dengan membuat larutan induk metil orange 1000 ppm, larutan induk metil orange 100 ppm, dan larutan deret standar metil orange dengan konsentrasi 2,4,6,8,dan 10 ppm. Pengukuran sampel dilakukan dengan menetapkan kadar metil orange pada beberapa variasi, kemudian diukur secara spektrofotometer pada panjang gelombang 446,4 nm. Variasi yang dilakukan antara lain variasi jumlah adsorben, pH, waktu adsorpsi, dan kecepatan pengadukan. Masing-masing variasi diukur konsentrasinya sehingga diketahui nilai effisiensinya dan kapasitas adsorspsi dari titanium dioksida. Selain itu dilakukan juga uji pendukung seperti, konfirmasi identitas menggunakan 379 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan FTIR dan karakterisasi metil orange yang terjerap pada titanium dioksida menggunakan SEM. Hasil dan Pembahasan Efektivitas titanium dioksida dapat diketahui melalui nilai effisiensi yang dihasilkan. Sedangkan kapasitas adsorpsi dilihat untuk mengetahui banyaknya metil orange yang diserap oleh banyaknya jumlah titanium dioksida yang digunakan. Pembuatan kurva linieritas metil orange dilakukan untuk membuktikan adanya hubungan linier antara konsentrasi analit dengan respon alat, yaitu dengan mengukur absorbansi larutan deret standar metil orange pada konsentrasi 2,4,6,8, dan 10 ppm menggunakan spektrofotometer UV-vis pada panjang gelombang 466,4 nm. Kurva linieritas dapat ditunjukkan pada Gambar 2. Gambar 2. Kurva Linieritas Metil Orange. Berdasarkan hasil pengukuran kalibrasi metil orange berada pada rentang (0-10) ppm dengan absorbansi 0-0,7753 diketahui koefisien korelasi sebesar 0,9998 menunjukkan bahwa metode ini dapat dilakukan untuk analisis sampel selanjutnya. Pengaruh variasi jumlah titanium dioksida pada rentang (0,025-0,150) gram terhadap efektivitas dan kapasitas adsorpsi metil orange konsentrasi 6 ppm diperlihatkan pada Gambar 3 dan Gambar 4. 380 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Gambar 3 a. Pengaruh Jumlah Adsorben Terhadap Efektivitas Adsorpsi. Gambar 3 b. Pengaruh Jumlah Titanium Dioksida Terhadap Kapasitas Adsorpsi. Gambar 3. memperlihatkan grafik dari nilai efektivitas dan kapasitas adsorpsi terhadap variasi jumlah adsorben titanium dioksida. Dari gambar tersebut diketahui perbedaan jumlah adsorben yang optimum antara nilai efektivitas dan kapasitas adsorpsi. Nilai efektivitas dipilih pada saat jumlah adsorben yang optimum sebesar 0,075 gram, sedangkan pada kapasitas adsorpsi jumlah adsorben yang optimum sebesar 0,025 gram. Semakin besar jumlah adsorben yang digunakan maka nilai kapasitas adsorpsi yang dihasilkan akan semakin kecil. Berdasarkan nilai effisiensi maka diketahui perbandingan antara jumlah adsorben dengan zat warna metil orange sebesar 0,075 gram:100 mL. Sedangkan berdasarkan kapasitas adsorpsi, perbandingan rasionya 381 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan adalah 0,025 gram:100 mL. Pada percobaan ini jumlah adsorben optimum yang digunakan adalah berdasarkan nilai efektivitas optimum karena daya serap yang dihasilkan sudah cukup stabil. Pengamatan pengaruh pH dilakukan pada rentang pH 1-10 dengan jumlah titanium dioksida 0,075 gram, dengan konsentrasi zat warna metil orange sebesar 6 ppm. Hasil pengukuran menggunakan spektrofotmeter UV-vis ditunjukkan pada Gambar 4 a dan 4 b. Gambar 4 a. Pengaruh pH Metil Orange Terhadap Efektivitas Adsorpsi Metil Orange Oleh Titanium Dioksida Gambar 4 b. Pengaruh pH Metil Orange Terhadap Kapasitas Adsorpsi Metil Orange Oleh Titanium Dioksida 382 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Berdasarkan grafik tersebut semakin besar pH maka memiliki kecenderungan efektivitas dan kapasitas adsorpsinya menurun. Penelitian sebelumnya menunjukan bahwa permukaan sorben mengalami protonasi di pH rendah dan terdeprotonasi di pH tinggi. Reaksi protonasi dan deprotonasi SOH dapat dinyatakan oleh persamaan berikut: Pada pH rendah: SOH + H+ SOH2+ Pada pH tinggi: SOH + O¯ SO¯ + H2O (WIDJAJANTI, 2011) Dalam percobaan ini pH yang memiliki nilai efektivitas dan kapasitas adsorpsi tertinggi terjadi pada pH 1, artinya permukaan titanium dioksida mengalami reaksi protonasi atau permukaan titanium dioksida memiliki situs aktif SOH2+. Menurut SEPTINA (2007), titanium dioksida merupakan spesies oksidator kuat yang + ditunjukkan H pada permukaannya. Variasi waktu adsorpsi dilakukan pada rentang waktu 5-30 menit dengan kondisi jumlah titanium dioksida 0,075 gram, pH 1 dan konsentrasi metil orange 6 ppm. Hasil pengukuran kadar metil orange menggunakan spektofotometer UV-visdiperlihatkan pada Gambar 5. Gambar 5 a. Pengaruh Waktu Pengadukan Terhadap Efektivitas Adsorpsi 383 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Gambar 5 b. Pengaruh Waktu Pengadukan Terhadap Kapasitas Adsorpsi. Grafik nilai efektivitas dan kapasitas adsorpsi memperlihatkan bahwa semakin lama waktu adsorpsi maka akan mengalami penurunan nilai efektivitas dan kapasitas adsorpsi. Waktu adsorpsi yang optimum adalah pada menit ke-10, karena pada menit tersebut relatif stabil dalam proses penyerapan metil orange. Sedangkan jika semakin lama waktu kontak atau waktu adsorpsi maka titanium dioksida akan melepaskan kembali partikel metil orange. Jika dibandingkan dengan adsorben lain dengan objek yang sama yaitu metil orange, waktu adsorpsi ini termasuk lebih cepat dibandingkan waktu adsorpsi zeolit menyerap metil orange. Hal tersebut dikarenakan titanium dioksida juga memiliki kemampuan sebagai fotokatalis, maka waktu untuk adsorpsi tidak terlalu lama. Variasi kecepatan pengadukan dilakukan pada rentang 20-50rpm dengan kondisi jumlah titanium dioksida sebesar 0,075 gram, pH 1, waktu yang digunakan selama 10 menit dan konsentrasi metil orange yang digunakan sebesar 6 ppm. Diperoleh hasil pengukuran metil orange menggunakan spektrofotmeter Uv-vis yang ditunjukkan pada Gambar 6. 384 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Gambar 6 a. Pengaruh Laju Pengadukan Terhadap Efektivitas Adsorpsi Gambar 6 b. Pengaruh Laju Pengadukan Terhadap Kapasitas Adsorpsi Hasil dari variasi kecepatan pengadukan tidak jauh berbeda seperti pada variasi waktu adsorpsi. Pada kecepatan pengadukan awal, yaitu 20 rpm memiliki nilai efektivitas dan kapasitas adsorpsi yang cukup besar akan tetapi pada saat kecepatan pengadukan diubah menjadi 30 rpm nilainya mengalami penurunan. Namun pada kecepatan pengadukan 40 rpm dan 50 rpm nilainya mengalami peningkatan secara bertahap. Pada kecepatan pengadukan 20 rpm proses adsorpsinya belum stabil maka pada saat kecepatan pengadukan ditambah mengalami penurunan. Jadi, dapat disimpulkan kecepatan pengadukan yang memiliki nilai efektivitas dan kapasitas adsorpsi pada kecepatan pengadukan di atas 50 rpm karena semakin besar kecepatan pengadukan menghasilkan nilai effisiensi dan kapasitas adsorpsi cenderung bertambah. 385 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Gambar 7. Hasil Analisis Sampel Dengan FTIR. Karakterisasi gugus fungsional secara kualitatif menggunakan spektrofotometer FTIR dan hasilnya disajikan pada Gambar 7. Untuk spektra titanium dioksida-metil orange terlihat bahwa serapan pada bilangan gelombang 3385,95 cm-1 karakteristik untuk rentangan O-H regang dari H2O karena menggunakan pelarut air. (UTUBIRA,2006). Serapan pada bilangan gelombang 1646,84 cm-1 seperti pada literatur pita absorbsi pada rentang 1640 cm-1 merupakan vibrasi dari -N=N- (dari garam diazo). (WIDJAJANTI, et al , 2011). Sedangkan serapan pada bilangan gelombang 582,65 cm-1, spektra yang dihasilkan khas monosubstitusi benzena. Morfologi titanium dioksida yang mengadsorpsi metil orange ditunjukkan denga hasil uji SEM seperti pada Gambar 8. Gambar tersebut memperlihatkan pori-pori yang terdapat pada titanium dioksida yang menjerap zat warna metil orange. Gambar 8. Morfologi Titanium Dioksida Yang Mengadsorpsi Metil Orange 386 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Kesimpulan Hasil analisis spektrofotometer ultraviolet-tampak LAMDA25 pada rentang 2-10 ppm metil orange dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,9997. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kondisi optimum proses adsorpsi adalah pH 1, waktu adsorpsi 10 menit, laju pengadukan 50 rpm, didapatkan nilai efisiensi 53,37 % dan kapasitas adsorpsi 4,8939 mg/g Konfirmasi identitas dengan FTIR dan hasil analisis SEM menunjukkan adanya proses adsorpsi terhadap metil orange. Daftar Pustaka ARIANTO, FAJAR., AGUS SUBAGIO, dan IIS NURHASANAH. 2011. SintesisNanokomposit Titanium dioksida-Carbon Nanotubes MenggunakanMetode Sol-Gel untuk Fotodegradasi ZatWarnaAzo Orange 3R. Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi vol DHAMAYANTI, YUNI., KARNA WIJAYA dan IQMAL TAHIR. 2005. Fotodegredasi Zat Warna Methyl Orange Menggunakan Fe2O3Montmorillonit dan Sinar Ultraviolet, hlm.22-29. Proseding Seminar Nasional DIES ke 50 FMIPA UGM. FATIMAH, IS. dan KARNA WIJAYA. 2005. Sintesis Titanium dioksida/ZEOLIT Sebagai Fotokatalis Pada Pengolahan Limbah Cair Industri Tapioka Secara Adsorpsi-Fotodegradasi. Jurnal TEKNOIN vol 10: 257-267. HERALDY, EDDY, et al. 2012. Studi Pendahuluan Pemanfaatan Limbah Desalinasi Untuk Pembuatan Mg/Al Hydrotalcite-Like Sebagai Adsorben Methyl Orange. Jurnal Bumi Lestari vol 12: 16-23. SUGIHARTO. 2005. Dasar-dasar pengolahan air limbah. UI-PRESS. Jakarta. UTUBIRA, YESLIA., KARNA WIJAYA, TRIYONO, dan EKO SUGIHARTO. 2006. Preparasi dan Karakterisasi Titanium dioksida-Zeolit Serta Pengujiannya pada Degradasi Limbah Industri Tekstil secara Fotokatalitik. Indo. J. Chem vol 3: 231 – 237. WIDHI MAHATMANTI, F. dan WORO SUMARNI.2003. Kajian Termodinamika Penyerapan Zat Warna Indikator Metil Oranye (MO) dalam Larutan Air Oleh Adsorben Kitosan. JSKA vol VI: 1-19. WIDJAJANTI, ENDANG., REGINA TUTIK P., dan M.PRANJOTO UTOMO. 2011. Pola Adsorpsi Zeolit Terhadap Pewarna Azo Metil Merah dan Metil Jingga, hlm. 115-122. Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA, Fakultas MIPA, Universitas N 387 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Koleksi Kultur In Vitro Ubi Kayu (Manihot Esculenta Crantz) Sebagai Material Perakitan Bibit Unggul N. Sri Hartati, Nurhamidar Rahman, Hani FItriani, Enny Sudarmonowati Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Jl Raya Bogor Km 46 Cibinong 16911 Email: Hartati12@yahoo.com ABSTRAK Penyediaan bibit ubi kayu unggul sangat diperlukan untuk memenuhi produksi ubi kayu nasional sebagai bahan pangan maupun bahan baku industri. Teknik kultur in vitro dapat diaplikasikan untuk propagasi bibit ubi kayu unggul maupun untuk penyediaan material tanaman guna pemuliaan lebih lanjut. Pada penelitian ini telah dilakukan pengembangan koleksi kultur in vitro 10 genotip ubi kayu unggul (Apuy, Iding, Kristal Merah, Mentega 1, Mentega 2, Manggu, Roti, dan Ubi Kuning) dan varitas unggul nasional (Adira 1 dan Adira 4). Optimasi metoda sterilisasi meliputi jenis dan variasi waktu perendaman dalam sterilan serta sumber eksplan (asal koleksi lapang dan rumah kaca) juga dilakukan untuk memperoleh metoda sterilisasi yang optimum. Jenis ubi kayu yang paling responsif pada sterilisasi eksplan dalam hal rendahnya tingkat kontaminasi eksplan (30%) maupun persentase eksplan membentuk tunas (70%) adalah Iding jika dibandingkan dengan jenis ubi kayu lainnya. Melalui optimasi metoda sterilisasi eksplan beberapa jenis ubi kayu, saat ini telah diperoleh koleksi kultur in vitro delapan jenis ubi kayu tersebut yang dapat digunakan sebagai material untuk perbaikan sifat lebih lanjut seperti induksi varian in vitro dan irradiasi sinar gamma yang telah dilakukan diantaranya terhadap genotip Roti. Irradiasi sinar gamma genotip Roti telah dilakukan dengan dosis 5, 10 dan 15 Gray (Gy) dimana pada dosis 10 Gy prosentase tingkat hidup eksplan adalah yang tertinggi (40%). Varian in vitro Roti yang terjadi karena penggunaan zat pengatur tumbuh (ZPT) 6-Benzylaminopurine (BAP) menghasilkan fenotipik tanaman yang berbeda dengan asalnya. Kata Kunci: Ubi Kayu (Manihot esculenta Crantz), kultur in vitro, 6-Benzylaminopurine (BAP), irradiasi sinar gamma Pengantar Perbaikan mutu genetik tanaman dapat dilakukan melalui berbagai cara baik secara konvensional maupun non konvensional seperti seleksi in vitro, induksi mutasi dengan sinar gamma. Teknologi mutakhir yaitu rekayasa gentika saat ini telah banyak diaplikasikan untuk menghasilkan bibit tanaman unggul meiputi keunggulan dalam hal produksi, nutrisi serta ketahanan terhadap cekaman biotik dan abiotik. Metoda perbaikan mutu tanaman secara non konvensional dapat dimanfaatkan dengan beberapa keuntungan diantaranya dapat mengatasi hambatan kompatibilitas seluler, menyingkat waktu yang dibutuhkan terutama untuk tanaman yang memiliki siklus hidup panjang. Selain itu pada teknologi rekayasa genetika sumber gen untuk perbaikan genetik dapat berasal dari spesies tanaman lain bahkan berasal dari organism lain. Sebagian besar metoda pemuliaan tanaman non konvensional memanfaatkan teknik kultur jaringan baik 389 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan dalam seleksi maupun pemeliharaan tanaman. Dengan demikian teknologi dan koleksi kultur in vitro sebagai cara dan bahan memegang peranan penting dalam pemuliaan non konvensional. Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) sudah sejak lama menjadi komoditas penting baik untuk pangan maupun untuk industri berbahan baku pati. Saat ini produksi ubi kayu secara nasional belum mencukupi kebutuhan konsumsi dalam negeri maupun komoditas ekspor. Penyediaan bibit ubi kayu unggul dalam hal produksi maupun ketahanan terhadap hama penyakit maupun stress abiotik. Ubi kayu menjadi salah satu sumber pangan penting bukan hanya di Indonesia tetapi juga di dunia. Lebih dari 500 juta penduduk dunia di negara-negara berkembang banyak menanam ubi kayu di lahan sempit sebagai sumber pangan (Roca et al,1992). Menurut Nweke et al. (2002), ubi kayu merupakan bahan pangan pokok terpenting kedua di Afrika, dimana banyak petani berpenghasilan rendah menanam ubi kayu ini di lahan marjinal dengan biaya murah dan dapat menghidupi lebih dari 300 juta orang di daerah tersebut. Singkong (ubikayu) merupakan tanaman pangan non beras yang memiliki kandungan gizi yang baik. Kandungan karbohidrat ubi kayu sebesar 34.7 gram/100g dan mengandung protein 1.2 gram/100g (Soetanto, 2008). Permasalahan utama yang dihadapi dalam pengembangan agroindusti pangan nonberas seperti ubikayu salah satu diantaranya adalah ketersediaan bahan baku pangan lokal yang tidak kontinyu sehingga tidak dapat menjamin keberlanjutan industri pengolahannya seperti pengolahan menjadi tepung cassava (Suryana, 2009). Dengan semakin berkembangnya industri pengolahan ubi kayu sekarang ini, menuntut penyediaan bahan baku ubi kayu dalam jumlah yang besar dan memenuhi kualitas yang ditetapkan. Sehingga para petani sebagai produsen bahan baku industri membutuhkan banyak bibit yang berkualitas untuk dapat memenuhi permintaan industri. Strategi untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan menggunakan teknologi modern yang dapat menunjang ketersediaan dan kontinuitas produksinya. Pembudidayaan ubi kayu melalui teknik in vitro memberikan peluang untuk melakukan perbanyakan secara masal. Keberhasilan perbanyakan secara in vitro ini akan bermanfaat untuk menunjang kegiatan penelitian perbaikan tanaman. Selain itu juga bermanfaat bagi penyediaan bibit tanaman untuk para petani ubi kayu dan pengusaha bibit tanaman. Pada penelitian ini telah dilakukan percobaan mengenai pengembangan bibit ubi kayu melalui penyediaan koleksi in vitro, induksi varian tanaman melalui seleksi in vitro menggunakan zat pengatur tumbuh (ZPT) serta radiasi tunas in vitro dengan sinar gamma. Kalus embriogenik merupakan material yang ideal untuk propagasi tanaman maupun untuk bahan transformasi genetik. Keberhasilan regenerasi melalui embriogenesis somatik dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain formulasi media (sumber nitrogen dan gula serta zat pengatur tumbuh) yang berbeda pada setiap tahap perkembangan embrio somatik serta jenis eksplan yang digunakan (Purnamaningsih, 2002). Penggunaan eksplan yang bersifat meristematik umumnya memberikan keberhasilan pembentukan embrio somatik yang lebih tinggi. Eksplan yang digunakan dapat berupa aksis embrio zigotik muda dan dewasa, kotiledon, mata tunas, epikotil maupun hipokotil (Purnamaningsih, 2002).Selama embriogenesis single sel berkembang menjadi organisme multiseluler fungsional. Pada ubi kayu, induksi embriogénesis telah 390 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan dilakukan terhadap beberapa genotip ubi kayu diantaranya Iding, Gebang, Roti dan Adira 4 (Sudarmonowati et al., 2012). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui metoda optimum untuk sterilisasi beberapa genotip ubi kayu terpilih yang memiliki keunggulan baik dalam hal komposisi nutrisi maupun produksinya, upaya perbaikan mutu genetik melalui induksi varian in vitro dan radiasi. Bahan dan Metode Bahan Bahan tanaman yang digunakan untuk percobaan induksi tunas aksiler bersakl dari stek ubi kayu yang ditumbuhkan di baki plastik maupun yang berasal dari lapang (Kebun Plasma Nutfah – Puslit Bioteknologi LIPI). Metode Induksi tunas aksiler ubi kayu Delapan jenis ubi kayu yang digunakan sebagai bahan percobaan yaitu Adira 4, Iding, Kristal Merah, Manggu dan Mentega 1, Mentega 2, Roti dan Ubi Kuning yang telah diidentifikasi memiliki potensi yang sangat baik. Bahan tanaman yang digunakan sebagai eksplan yaitu ruas batang muda atau cabang sepanjang 12-15 cm dengan jumlah buku 2-4 dan dilakukan sterilisasi permukaan. Eksplan dicuci dengan deterjen di atas air mengalir selama kurang lebih 1 jam. Pembilasan dilakukan dengan menggunakan air aquades steril sebanyak 2 kali. Setelah itu eksplan direndam dalam larutan dithane 4 % lalu di shaker selama 1.5 jam. Tahapan selanjutnya adalah eksplan di rendam sambil di kocok dalam larutan Clorox 5% selama 7 menit dan dibilas sebanyak 5 kali dengan aquadest, setelah pembilasan selanjutnya eksplan di rendam sambil di kocok dengan menggunakan Alkohol 70% dengan memvariasikan waktu perendaman yaitu selama 7 menit (Metoda A) dan selama 10 menit (Metoda B) dan dibilas dengan aquadest sebanyak 6 kali. Semua tahapan sterilisasi setelah perendaman dengan benlate dilakukan didalam Laminar Air Flow. Eksplan ditanam dalam media MS tanpa zat pengatur tumbuh. Induksi kalus embriogenik dan regenerasi embrio somatik Induksi kalus embriogenik dilakukan dengan mengkultur eksplan berupa leaf lobe ubi kayu genotip Apuy pada beberapa jenis dan konsentrasi hormon yaitu: media MS yang mengandung berbagai konsentrasi zat pengatur tumbuh picloram (5 -20 mg/L), CuSO4 (5-10 µM) dan glutamine (1-3 mM) yang dikombinasikan yang dikultur selama 2-4 minggu dalam keadaan gelap. Selanjutnya dilakukan induksi pembentukan embrio somatik dengan mengsubkultur kalus embriogenik yang pada media MS dan ½ MS dengan menurunkan konsentrasi glutamin. Regenerasi embriosomatik dilakukan pada media MS yang mengandung giberellic acid (GA3) atau yang dikombinasikan dengan zeatin. Induksi mutasi dengan radiasi sinar gamma Radiasi sinar gamma dilakukan terhadap eksplan tunas in vitro ubi kayu umur 10 minggu., tiap variasi dosis digunakan 3 ulangan masing-masing 3 eksplan sehingga 391 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan jumlah. Dosis yang digunakan adalah 0, 5, 10, 15, 20, 30, 40, 50 Gray (Gy). Pertumbuhan eksplan setelah radiasi seperti daya hidup, karakter morfologi eksplan, tinggi, jumlah daun, dan jumlah akar dari eksplan hasil radiasi diamati setiap minggu selama 2 bulan. Induski varian in vitro Eksplan ubi kayu yang ditanam pada media MS (Murashige & Skoog, 1962) tanpa zat pengatur tumbuh selama 4 – 6 minggu hingga bertunas (tinggi tunas 4 – 7 cm). Selanjutnya tunas in vitro tersebut ditanam pada media MS yang mengandung 0.5 mg/l BAP. Eksplan yang tumbuh pada media MS+0.5 mg/l BAP selanjutnya diperbanyak dengan cara memotong-motong ruas batang. Lama kultur pada media BAP adalah 2 bulan. Kultur tunas pada media BAP dilakukan selama 2 minggu – 3 bulan. Selanjutnya planlet diaklimatisasi pada media tanah: pasir: kompos (1:1:1). Setelah tanaman berumur 3 bulan dipindahkan ke lapang dan diamati pertumbuhannya. Hasil dan Pembahasan Induksi tunas aksiler ubi kayu Inisiasi kultur in vitro beberapa genotip ubi kayu telah dilakukan untuk memperoleh tunas aksiler ubi kayu. Jenis atau genotip ubi kayu yang digunakan memiliki keunggulan yaitu daya hasil tinggi (Adira IV, Manggu dan Kristal Merah), tinggi amilosa (Iding) dan tinggi beta karoten (Mentega 1, Mentega 2) dan genotip Roti yang banyak disukai karena rasanya yang enak. Pada percobaan sterilisasi permukaan terhadap eksplan untuk memperoleh tunas in vitro dilakakukan variasi lama perendaman dalam alkohol 70% yaitu 7 menit dan 10 menit. Secara umum tunas aksiler kelima jenis ubi kayu tersebut tumbuh pada hari ke 3 hingga hari ke 5 (Gambar 1.) Pada pengamatan minggu ke 1 hingga minggu ke 7 diketahui tingkat kontaminasi eksplan berkisar antar 30% (Iding) - 100% (Manggu), sedangkan persentase eksplan membentuk tunas adalah 5% (Mentega 1) - 70% (Iding). Perbandingan metoda sterilisasi berupa lamanya perendaman dalam alkohol yang dilakukan terhadap dua genotip yaitu Iding dan Mentega menunjukkan bahwa metoda B (waktu perendaman dalam alkohol lebih lama dibanding metoda B) menyebabkan persentase eksplan membentuk tunas yang lebih sedikit bahkan 0% (pada Mentega 2) walaupun tingkat kontaminasinya 0% (Tabel 1.). Metoda A lebih efektif dalam hal persentase eksplan membentuk tunas. Namun demikian untuk genotip Manggu masih perlu dilakukan optimisasi metoda sterilisasi untuk memperoleh tunas in vitro. Selanjutnya tunas in vitro yang tumbuh dipelihara untuk multiplikasi (Gambar 2.). 392 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Tabel 1. Persentase eksplan bertunas dan tingkat kontaminasi kultur in vitro beberapa genotip ubi kayu. No Jenis/genotip Metoda Jumlah Persentase Persentase eksplan sterilisasi eksplan kontaminasi bertunas (%) (%) 1 Adira IV A 74 66.2 33.78 2 Iding A 20 30 70 B 20 95 5 3 Mentega 1 A 21 95 5 B 16 0 0 4 Manggu A 20 100 10 5 Kristal Merah B 32 93.75 6.25 6 Apuy A 30 81.39 15 7 Roti A 34 64.44 20 8 Mentega 2 A 40 60.4 25 9 Adira 1 A 32 52 27 10 Ubi Kuning A 18 50 50 Gambar 1. Inisiasi kultur in vitro genotip Iding (A) , Kristal Merah (B) dan Mentega (C). 393 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Gambar 2. Kultur tunas in vitro beberapa genotip ubi kayu, Adira IV (A), Apuy (B), Roti (C). Induksi kalus embriogenik dan regenerasi embrio somatik Hasil yang diperoleh pada percobaan induksi kalus embriogenik adalah kalus primary somatic embryo (PSE) fase nodular yang selanjutnya dapat digunakan untuk induksi SSE yang umumnya lebih mudah jika digunakan sebagai material untuk induksi FEC. Berdasarkan pengamatan pada minggu ketiga, media yang paling sesuai untuk mendapatkan PSE ubi kayu Apuy adalah media PSEA yang ditandai dengan terbentuknya kalus embriogenik fase nodular (Tabel 2.). Kalus ini kemudian disubkultur 394 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan ke media berikutnya yaitu media 1/2GDT. Media ini dimaksudkan untuk mendapatkan Secondary Somatic Embryo (SSE) sebelum akhirnya mendapatkan Friable Embryogenic Callus (FEC). Media PSEA merupakan media yang paling sesuai untuk pembentukan kalus karena pada media ini 94.1 hingga 100% eksplan dengan semua variasi ukuran dapat membentuk Kalus. Media ini juga paling sesuai untuk pembentukan PSE dengan efisiensi tertinggi diperoleh dengan menggunakan ukuran eksplan 1 – 3 mm (87,5 – 100% ) dibandingkan pada eksplan dengan ukuran 3 – 5 mm dan >5 mm. PSE terbentuk ketika eksplan sekitar 2 – 3 minggu pada media PSEA (Gambar 3). Pada minggu keenam diperoleh kalus SSE yang bervariasi tahapan dan jenisnya berupa compact embryo (CE), berupa single embryo (SE) dan kotiledon. Proporsi terbesar jenis SSE adalah kotiledon (81.8%)dan pada Adira 4 adalah single embrio (83.34%) (Gamabr 3). Kalus embriogenik tahapan PSE maupun SSE dapat digunakan untuk percobaan lebih lanjut misalnya proliferasi maupun untuk keperluan transformasi genetik. Pada percobaan regenerasi kalus SSE genotip Roti pada media regenerasi yang mengandung BAP dan tanpa BAP, somatic embrio menunjukkan perubahan. Kotiledon pada media yang mengandung BAP, lebih cepat berkembang dibanding pada media tanpa hormone (MS + arang aktif) (Gambar 10.). Hal ini terjadi karena zat pengatur tumbuh kelompok sitokinin dapat memacu pertumbuhan dan pembentukan kuncup daun. Tabel 2. Persentase efisiensi Induksi primary somatic embryo (PSE) Apuy pada tiga jenis media dan ukuran leaf lobe berbeda. Ukuran leaf lobe, prosentase kalus dan kalus embriogenik yang terbentuk Genotip/Jenis 1-3 mm 3-5 mm >5 mm media kalus Kalus kalus Kalus kalus Kalus embriogen embriogenik embriogen ik ik PSE A 100 63.66 100 77.27 100 66.66 M4+10 0 0 0 0 0 0 CUSO4+10 pic M4+5 CUSO4+ 0 0 0 0 0 0 10pic Gambar 3. Induksi PSE (A) dan SSE, compact embryo (B) dan single embryo (C). 395 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Induksi Varian in vitro genotip Roti Penambahan BAP sebanyak 0.5 mg/l pada media MS memberikan pengaruh terhadap peningkatan jumlah tunas (1.2±0.45) dibanding pada media MS tanpa BAP (2.2±0.45). Selain itu Roti yang merupakan ubi kayu hasil varian somaklonal menunjukkan perbedaan morfologi dibanding tanaman kontrol baik ketika masih berupa kultur in vitro maupun setelah ditransfer ke lapang (Gambar 4 dan 5) yang terlihat jelas pada warna petiol, tulang daun dan batang. Adanya variasi diharapkan akan terjadi pula perubahan sifat yang lebih baik. Gambar 4. Induksi varian in vitro genotip Roti. Kultur in vitro pada media MS + 0.5 mg/l BAP (A), aklimatisasi planlet varian in vitro (B) dan bibit ubi kayu varain in vitro umur 2 bulan yang siap di transfer ke lapang. Gambar 5. Variasi warna pucuk dan petiol genotip Roti varian in vitro (A) dan kontrol (B). 396 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Induksi mutasi genotip Roti dengan radiasi sinar gamma Radiasi sinar gamma memberikan pengaruh terhadap daya hisup eksplan dan karakter planlet seperti tinggi dan jumlah daun.. Radiasi pada dosis 5 – 10 Gy masih terdapat planlet yang hidup (20 -40%). Akan tetapi pada dosis 15 – 50 Gy semua tanaman mengalami nekrosis (layu) dan mati. Dosis 5 Gy menyebabkan kisaran tinggi planlet dan jumlah daun yang lebih tinggi dibanding kontrol (Tabel 3). Adanya perbedaan tinggi planlet pada tanaman hasil radiasi diharapkan mengindikasikan adanya perubahan (mutasi) dan diharapkan sifatnya menjadi lebih baik. Selain perrubahan kisaran tinggi, jumlah daun dan jumlah akar, pada sebagian kecil planlet yang diradiasi dengan dosis 5 Gy ukuran ruas bukunya menjadi lebih pendek (Gambar 6.). Tabel 3. Daya hidup dan karakter morfologi planlet in vitro hasil radiasi 2 bulan setelah radiasi.. Dosis (Gy) Persentase tanaman Tinggi Jumlah daun Jumlah akar yang hidup (%) (cm) Kontrol (0) 100 1.5 – 3 1–4 6 – 15 5 40 2–6 1–4 3-6 10 25 2–4 1-2 1–5 15 0 20 0 30 0 40 0 50 0 - Kontrol Gambar 6. Kultur in vitro genotip Roti hasil radiasi dosis 5 Gy. 397 Radiasi Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Kesimpulan dan saran Perbedaan metoda sterilisasi berupa perbedaan lamanya perendaman dalam alcohol 70% menyebabkan perbedaan persentase eksplan steril dan eksplan membentuk tunas. Koleksi kultur in vitro sepuluh jenis/genotip ubi kayu sanagt bermanfaat untuk digunakan sebagai bahan propagasi bibit unggul secara cepat dan untuk bahan pemuliaan dengan metoda lain. Induksi varian terhadap kultur invtro baik dengan menggunakan ZPT konsentrasi tertentu maupun radiasi sinar gamma dengan dosis tertentu dapat menyebabkan perubahan morfologi tanaman dan diaharapkan terjadi pula perubahan sifat agronomi yang lebih baik. Daftar Pustaka Nweke, FI., Spencer, SCD., Lynam, KJ. 2002. The Cassava Transformation. Africa Best Kept Secret. Michigan State University Press, East Lansing:Michigan. 273p. Pierik, R. L. M. 1987. In vitro Culture of Higher Plants. Martinus Nijhoff Publ., Netherlands. 344 p. Purnamaningsih R. 2002. “Regenerasi Tanaman melalui Embriogenesis Somatik dan Beberapa Gen yang mengendalikannya”. Buletin AgroBio 5(2)μ 51-58. Roca,WM., Henry G., Angel F., Sarria R. 1992. Biotechnology Research Applied to Cassava Improvement at The International Center of Tropical Agriculture (CIAT). Soetanto, N.E. 2008. Tepung Kasava dan Olahannya. Kanisius:Yogyakarta. Suryana, A. 2009. Dukungan kebijakan pengembangan industri tepung cassava. Prosiding Lokakarya Nasional: Akselerasi Industrialisasi Tepung Cassava untuk Memperkokoh Ketahanan Pangan Nasional. BULOG dan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Jakarta. 398 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Kualitas Air Pada Uji Pembesaran Larva Ikan Sidat (Anguilla Spp.) Dengan Sistem Pemeliharaan Yang Berbeda Tri Suryono1, Muhammad Badjoeri1 dan Hasan Fauzi1 1 Pusat Penelitian Limnologi-LIPI Jln. Raya Jakarta-Bogor Km. 46, Cibinong, Bogor. 16911 Email: mbadjoeri@yahoo.com ABSTRAK Ikan sidat (Anguilla spp.) merupakan ikan bernilai ekonomis penting. Beberapa Negara seperti Jepang, Korea dan Negara-negara di Eropa merupakan pangsa pasar ikan sidat yang potensial. Penyebaran ikan ini di Indonesia sangat luas, salah satunya perairan Danau Poso Sulawesi Tengah. Stok ikan sidat memiliki keterbatasan karena belum dapat dikembangbiakkan dengan sistem budidaya, sehingga ketersediaannya sangat tergantung dari alam. Sampai saat ini aktivitas perikanan terhadap ikan sidat adalah kegiatan pembesaran sampai ukuran bernilai ekonomis. Penelitian dilakukan dari Mei-September 2012 di Pusat Penelitian Limnologi LIPI. Tujuan penelitian untuk mengetahui kondisi kualitas air pada sistem pemeliharaan yang sesuai untuk pembesaran larva ikan sidat. Pembesaran larva sidat menggunakan dua sistem pemeliharaan, yaitu sistem bak air diam (kubus) dan bak air mengalir (raceway) dengan 3 ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa parameter konduktivitas (p=0,047), Nitrit (p=0,004), Suhu (p=0,046), Pospat (p=0,049) serta Total Pospat (p=0,032) menunjukkan perbedaan nyata pada dua system pemeliharaan tersebut. Hasil analisis PCA menunjukkan pertumbuhan berat (W) dan panjang (L) larva sidat dipengaruhi oleh konsentrasi DO, Suhu, TP, PO4 dan NH4. Rata-rata pertumbuhan panjang larva sidat pada bak air diam 65,59 % (3,19 cm) sedangkan pada bak air mengalir 65,92 % (3,25 cm). Rata-rata pertumbuhan berat larva sidat pada bak air diam 384,49 % (0,756 gr), sedangkan pada bak air mengalir 412,72 % (0,796 gr). Hasil ini menunjukkan bahwa bak uji air mengalir lebih baik untuk pemeliharaan atau pembesaran larva ikan sidat. Kata Kunci: Kualitas air, ikan Sidat (Anguilla spp.), pertumbuhan dan bak uji Pengantar Sidat (Anguilla spp.) merupakan jenis ikan yang mempunyai siklus hidup bersifat katadromus, yaitu berada di perairan darat dari mulai fase larva hingga mencapai dewasa dan akan beruaya (bermigrasi) ke perairan laut untuk memijah, sehingga ikan sidat memerlukan wilayah perairan yang sangat khusus. Sulawesi Tengah, khususnya wilayah Poso memiliki potensi ikan sidat yang cukup tinggi didukung Teluk Tomini yang cukup dalam serta keberadaan perairan darat yang luas, yaitu Danau Poso dan Sungai Poso (Tesch 2003 dan McKinnon 2006). Beruayanya ikan sidat berhubungan dengan musim dan umumnya diawal musim hujan. Intensitas ruaya juga dipengaruhi oleh faktor arus sungai dan kondisi gelap-terang bulan. Sidat termasuk ikan karnivora dan bersifat nocturnal (aktif pada malam hari), makanan alaminya berupa udang dan 399 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan kepiting (Crustacea), Cacing dan larva chironomide dan kerang-kerangan (molusca) (Lukman, 2012). Di beberapa negara, perikanan sidat merupakan aktivitas penting dan ikan sidat adalah komoditas perikanan komersial, diantaranya Jepang, yang mana harga jual dan tingkat konsumsi komoditas ini cukup tinggi (Affandi & Suhenda, 2003). Selain Jepang, pangsa pasar sidat di luar negeri yang cukup terbuka, adalah Cina, Taiwan, Jerman, Belanda, Perancis dan Denmark. Tingkat konsumsi sidat di negeri Jepang mencapai 100.000 ton/tahun sedangkan Taiwan 52.000 ton/tahun (Restu, 2006a). Pengembangan sektor perikanan sidat di Indonesia memiliki peluang cukup besar sehingga kebijakan pemerintah kedepan dapat dipertimbangkan menjadi prioritas, baik perikanan tangkap untuk ukuran dewasa, penangkapan larva untuk ekspor, dan pengembangan budidayanya. Kebutuhan sidat bagi konsumen luar negeri cukup besar, selain dalam ukuran dewasa (silver eel), tetapi juga larvanya (yellow eel/glass eel). Negara Jepang dan Korea Selatan membutuhkan larva sidat yang cukup besar. Kegagalan budidaya sidat di Jepang, diantaranya adalah karena ketidakberhasilan pemeliharaan larva (Tabeta, 2003). Kebutuhan larva untuk budidaya di Jepang mencapai 220 ton/tahun, dan untuk memenuhinya diantaranya diimpor dari Indonesia. Potensi Indonesia untuk pengembangan budidaya sidat cukup besar, selain memiliki potensi larva yang melimpah untuk kebutuhan benihnya, juga didukung ketersediaan lahan yang luas dan memenuhi syarat, bahan baku pakan yang tersedia dalam jumlah besar, dan didukung oleh kondisi iklim yang sesuai (Restu, 2006b). Perairan Poso salah satu perairan yang memiliki potensi besar dalam menunjang pengembangan perikanan sidat di Indonesia untuk masa yang akan datang. Estimasi produksi sidat hasil tangkapan pada tahun 1970-an mencapai 22 – 54 ton/tahun, yang didasarkan pada jumlah alat tangkap yang terpasang di Sungai Poso yang mencapai 20 – 25 unit dan dari hasil tangkapan per alat per malam (Sarnita, 1973). Sidat-sidat yang tertangkap adalah sidat yang beruaya ke laut, hal ini karena alat tangkap yang digunakan yaitu berupa perangkap “Waya Masapi” yang diarahkan ke hulu sungai (Sutardjo & Machfudz, 1974). Berdasarkan data tahun 1990-1995, produksi rata-rata sidat di perairan ini, pada puncak musim penangkapan yaitu antara bulan Januari – Juni (Musim hujan) berkisar antara 1,75 – 9,83 ton/bulan, atau rata-rata 5,50 ton/bulan atau mencapai 41,5 ton/tahun, pada tahun 1998 produksinya turun menjadi 30,5 ton dan pada tahun 2006 produksinya hanya mencapai 9,1 ton (Laporan Dinas Perikanan DT II Poso; Tidak dipublikasikan). Berdasarkan data-data di atas tampak adanya kecenderungan penurunan produksi sidat dari Perairan Poso. Hal ini tampaknya terkait dengan penangkapan sidat yang tidak memperhatikan aspek kelestarian, pada sisi lain perubahan-perubahan habitat baik pada alur ruaya maupun di habitat-habitat pembesarannya terus terjadi. Penangkapan ikan sidat dewasa, meskipun tidak secara aktif namun salah satu teknik yang diterapkan, yaitu penggunaan alat tangkap ”Waya Masapih” di outlet Danau Poso dapat mengancam kelangsungan regenerasi sidat, karena sidat ditangkap adalah yang akan memijah ke laut. Alat tangkap tersebut terpasang hampir menutupi sungai di muka Danau Poso, sehingga jumlah sidat dewasa yang menghilir ke laut akan sangat terbatasi. Sementara itu penangkapan larva sidat yang memasuki Muara Sungai Poso tampak berlangsung intensif (Muchsin, 2002), meskipun penangkapan tersebut umumnya hanya untuk 400 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan kebutuhan konsumsi masyarakat setempat. Dengan demikian penangkapan sidat dewasa di outlet Danau Poso dan penangkapan larva di muara Sungai Poso, pada saatnya nanti akan menjadi aktivitas perikanan yang saling merugikan. Hal ini karena keberlangsungan perikanan larva tergantung pada sidat besar yang menjadi calon indukan yang memijah, demikian sebaliknya kelimpahan sidat dewasa akan tergantung pada ketersediaan larva. Selama ini, konsumen sidat dari luar negeri menyukai impor sidat dari Indonesia dalam berukuran larva (benih) dibanding ukuran dewasa (konsumsi), karena lebih murah dan lebih mudah transportasinya. Kondisi ini jika berlangsung terus menerus akan mengancam produktivitas dan kelestarian ikan sidat di alam. Pembesaran (pendederan) larva sidat merupakan salah satu tahapan budidaya perikanan sidat, yaitu upaya pemeliharaan larva sidat dari fase glass eel menjadi fase elver (benih). Pengetahuan dan informasi ilmiah tentang pembesaran larva sidat relatif sedikit, sehingga pasokan larva untuk budidaya sidat harus diambil langsung dari alam dengan kualitas larva yang beragam. Teknik pembesaran larva sidat masih belum banyak dikuasai karena banyak kendala dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, khususnya kondisi kualitas air budidaya. Oleh karna itu perlu dilakukan penelitian uji pembesaran larva sidat dan faktor fisika-kimia air yang mempengaruhinya. Penelitian bertujuan untuk mengetahui kondisi kualitas air pada sistem pemeliharaan yang sesuai untuk pembesaran larva ikan sidat. Bahan dan Metode Bahan Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorium dengan menggunakan bak uji berbentuk persegi empat berukuran 1 m x 1m x 0,8 m terbuat dari terpal plastik, sedangkan bak yang lain berupa kolam yang beralir (raceway) terbuat fiberglass (Gambar 1). Bibit ikan sidat (larva) berukuran rata-rata 4-5 cm dengan berat berkisar antara 0,1 – 0,2 gram (Gambar 2) yang didapatkan dari Danau Poso, Sulawesi Tengah. Tiap bak uji dibuat 3 buah sebagai ulangan. Sampel kualitas air diambil secara kontinyu setiap 1 minggu sekali. Pengamatan pertumbuhan larva sidat dilakukan dengan dengan mengukur pertambahan panjang dan berat larva sebanyak 30 ekor yang diambil secara random setiap 1 bulan sekali. Larva sidat diberi pakan berupa larva Chironomid beku, secara ad-libitum setiap hari pada pagi dan sore. Bak pembesaran sistem air diam Bak pembesaran sistem air mengalir (raceway) Gambar 1. Sistem pemeliharaan larva sidat untuk uji pembesaran 401 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Gambar 2. Larva ikan sidat (Anguilla marmorata) dari perairan Danau Poso] Metode Parameter fisika-kimia kualitas air yang diamati meliputi pH, suhu, padatan terlarut total (TDS, total dissolve solid)), konduktivitas, oksigen terlarut (DO, Disolved oxygen), ammonium, nitrit, nitrat, nitrogen total (TN), pospat total (TP), pospat (PO4), dan total bahan organic (TOM, total organic matter). Alat dan metode yang digunakan diperlihatkan pada Tabel 1. Tabel 1. Parameter fisika-kimia air yang diamati dan metode yang digunakan No Parameter fisika-kimia air Satuan Alat dan metode 1 pH o 2 Suhu C Eutech cyberson PC 300 3 Konduktivitas µS/cm 4 Padatan terlarut total, TDS mg/l 5 Oksigen terlarut (DO) mg/l Hanna HI 9146 6 Nitogen total (TN) mg/l 7 Nitrit (NO2) mg/l 8 Nitrat (NO3) mg/l Spektrofotometer Shimadzu, spectrofotometri 9 Ammonium (NH4) mg/l 10 Pospat total (TP) mg/l 11 Pospat (PO4) mg/l 12 Bahan organik total (TOM) mg/l Titrimetri Hasil dan Pembahasan Hasil pengmatan kualitas air pada setiap bak uji larva sidat (Tabel 1) menunjukkan kualitas fisika-kimia air pemeliharaan sidat menunjukkan masih dalam batas toleransi untuk kehidupan ikan dan biota akuatik umumnya. Konsentrasi oksigen terlarut dalam air antara bak uji air diam dan air mengalir hampir sama kisarannya, kondisi ini sesuai dengan kebutuhan ikan sidat, dimana ikan sidat mampu hidup dalam kondisi minim oksigen terlarut (hypoxia). Larva sidat mampu bernafas selama 30 menit hanya dengan oksigen yang tersimpan dalam darahnya tanpa mengambil oksigen dari luar. Konsentrasi oksigen terlarut rata-rata > 4 mg/l menunjukkan kondisi yang dapat ditolerir oleh sebagian besar biota akuatik (ikan), apabila konsentrasi oksigen terlarut dalam perairan kurang dari 2 mg/l dapat mengakibatkan kematian pada ikan (UNESCO,WHO, & UNEP, 1992). 402 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Tabel 1. Hasil analisis beberapa parameter kualitas air dan kondisi pertumbuhan larva sidat pada dua bak uji yang berbeda. Nilai konduktivitas merupakan gambaran kemampuan air dalam meneruskan aliran listrik yang ditunjukkan dengan adanya garam mineral yang terkandung dalam air. Hasil pengukuran kisaran nilai konduktivitas 1182,7 - 1723,6 µS/cm (bak air diam) dan 872,53 -v1270,9 µS/cm. Menurut Boyd, 1988 Kondisi tersebut masih dalam kisaran perairan alami (20 - 1500 µS/cm), semakin tinggi nilai konduktivitas di perairan menunjukkan adanya bahan pencemar yang masuk. Suhu yang sesuai untuk pemeliharaan larva ikan sidat pada suhu 20 - 29 oC, sehingga kondisi suhu air bak uji masih dalam kisaran toleransi dan baik untuk pertumbuhan. Kondisi suhu yang tinggi lebih dari 30 oC maupun kurang dari 10 oC dapat mempengaruhi sensivitas larva sidat yaitu dapat menghilangkan lendir (mucous) pada tubuh sidat dimana keberadaan lendir tersebut mengandung zat anti bakteri salah satunya kelompok bakteri protease seperti Cathepsins L dan B. (Sidat kita, 2013). Kisaran rata-rata nilai TDS dari hasil pengukuran bak uji air diam adalah 336,8 510,16 mg/l dan bak air mengalir rata-rata berkisar 260,01 - 473,8 mg/l. Nilai TDS dalam perairan biasanya akibat adanya pelapukan batuan, limpasan dari tanah maupun pengaruh aktivitas antropogenik, hasil pengukuran nilai TDS berasal dari pelapukan subtract sedimen yang berupa tanah yang ditambahkan dalam kolam pecobaan. Kisaran 403 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan nilai TDS yang diperoleh menurut Mc Neely et al., (1979) juga berkaitan erat dengan tingkat salinitas air yang digunakan yaitu agak payau (moderately saline). Nilai pH hasil pengukuran baik bak uji air diam maupun air mengalir kondisinya hampir sama yaitu rata-rata 5, sedangkan dari beberapa literature untuk pertumbuhan yang optimal larva sidat kondisi pH air harus berkisar 7 - 8 dan sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai pH dengan kisaran antara 7 - 8,5 (Novotny dan Olem, 1994). Kondisi pH 5 dari hasil pengukuran menunjukkan perairan tersebut alkalinitasnya rendah sedangkan konsentrasi gas karbondioksida bebas meningkat (MacKereth et al., 1989). Kondisi ini disebabkan oleh aktivitas metabolisme mikroba dalam air dan pertukaran gas dipermukaan air. Konsentrasi NO2 diperairan sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup biota akuatik. Nitrit diperairan alami biasanya ditemukan dalam jumlah sangat sedikit karena sifatnya tidak stabil terhadap keberadaan oksigen terlarut. Sumber utama nitrit dalam perairan adalah limbah hasil kegiatan antropogenik. Konsentrasi nitrit di perairan alami berkisar antara 0,001 - 0,06 mg/l (Canadian Council of Resource and Environment Minister, 1987). Konsentrasi nitrit lebih dari 0,05 mg/l dapat bersifat toksik bagi organisme akuatik yang sensitive (Moore, 1991). Rata-rata konsentrasi nitrit pada bak uji air diam 0,04 - 0,1 mg/l dan pada bak uji air mengalir berkisar 0,02 - 0,03 mg/l. konsentrasi hasil analisis lebih tinggi dari ketentuan yang ditolerir perairan alami tetapi hal ini tidak membuat larva sidat mati karena sifat ikan sidat yang lebih tahan terhadap kondisi perairan dengan konsentrasi oksigen minim. Konsentrasi nitrit pada bak air diam lebih tinggi dari pada bak air mengalir hal ini disebabkan nitrit yang terkandung pada air bak mengalir teroksidasi menjadi nitrat oleh oksigen yang masuk ke dalam air. Nitrat merupakan bentuk utama nitrogen di perairan alami dan merupakan nutrient utama bagi pertumbuhan mikro algae, nitrat sangat mudah larut dalam air karena tidak stabil sifatnya dan tidak bersifat toksik. Konsentrasi nitrat di perairan alami biasanya kurang dari 0,1 mg/l. konsentrasi nitrat lebih dari 5 mg/l menunjukkan adanya pencemaran dari aktivitas antropogenik. Hasil analisis nitrat pada bak uji air diam ratarata konsentrasi antara 2,91 - 3,75 mg/l lebih tinggi dari konsentrasi hasil analisis pada bak air mengalir (1,84 - 2,9 mg/l) hal ini pada kolam air mengalir terdapat proses oksidasi menjadi ammonia. Konsentrasi ammonium merupakan sumber utama nitrogen di perairan selain nitrat tetapi lebih banyak diserap oleh tumbuhan. Konsentrasi ammonium hasil analisis pada bak air diam rata-rata berkisar 2,34 – 3,32 mg/l, sedangkan pada bak air mengalir lebih rendah yaitu berkisar antara 0,99 – 1,44 mg/l karena adanya proses oksidasi oksigen yang terdifusi ke dalam air. Menurut Sawyer dan McCarty (1978) konsentrasi ammonium pada dasar kolam biasanya lebih tinggi dari permukaan dan pada perairan yang minim oksigen (anoksik). TN dalam perairan bersifat larut dan merupakan jumlah dari konsentrasi nitrogen anorganik dan nitrogen organik yang berupa partikulat yang tidak larut dalam air (Mackereth et al., 1989). Hasil analisis konsentrasi TN di bak air diam (7,42 - 8,17 mg/l) lebih tinggi daripada konsentrasi TN bak air mengalir (3,69 - 5,9 mg/l). Ortofosfat merupakan senyawa anorganik dari fosfor yang bisa ditemukan di alam dan mudah larut dalam air, sehingga mudah dimanfaatkan oleh algae akuatik (Jeffries & Mills, 1996). Sedangkan TP merupakan gambaran jumlah total fosfor baik 404 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan yangpartikulat maupun yang terlarut, organic maupun anorganik sehingga kedua parameter tersebut digunakan untuk penilaian perairan yang memiliki kadar bahan organic tinggi (Mackereth et al., 1989). Konsentrasi fosfat dan TP dari dua perlakuan bak uji berturut-turut 0,18 - 0,19 mg/l (bak air diam) dan 0,06 - 0,1 mg/l (bak air mengalir), sedangkan konsentrasi TP pada bak air diam rata-rata berkisar 0,21 – 0,22 mg/l dan pada bak air mengalir 0,08 - 0,13 mg/l menunjukkan air bak uji sudah cenderung eutrofik (Wetzel, 1975). Total organic matter (TOM) merupakan indicator pemakaian oksigen terlarut dalam air untuk mengoksidasi bahan organic yang terlarut dalam air. Semakin tinggi konsentrasi TOM maka semakin tinggi konsentrasi bahan organic (pencemar) yang ada dalam air. Hasil analisi konsentrasi TOM dari bak air diam rata-rata konsentrasinya 6,74 - 7,46 mg/l sedangkan pada bak air mengalir konsentrasinya rata-rata berkisat 6,31 7,14 mg/l. lebih kecilnya konsentrasi TOM di bak air mengalir menunjukkan bahwa akibat difusi oksigen dipermukaan membantu proses dekomposisi organic yang ada dalam perairan berjalan lebih baik. Berdasarkan parameter kualitas perairan tersebut setelah dilakukan uji t guna menentukan pengaruhnya dalam hal perbedaan perlakuan bak uji (air diam dan air mengalir) menunjukkan hanya beberapa parameter yang menunjukkan perbedaan antara lain konduktivitas (p=0,047); nitrit (p=0,0035); TN (p=0,045); PO4 (p=0,049) dan TP (p=0,032), sedangkan parameter yang lain tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dari kedua perlakuan bak uji. Hasil analisis PCA dengan software MVSP V.3.1. seperti ditunjukkan gambar 3. Terhadap seluruh parameter yang dianalisis menunjukkan bahwa parameter pertumbuhan larva sidat yang ditunjukkan symbol L (panjang) dan W (berat) sangat dipengaruhi oleh keberadaan konsentrasi TP, PO4 dan NH4, sedangkan DO, suhu dan pH berbanding terbalik pengaruhnya untuk beberapa bak uji baik air diam maupun air mengalir. Gambar 3. Grafik analisis PCA dari seluruh parameter. 405 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Gambar 2. Grafik PCA dari parameter kunci yang menunjukkan beda nyata dua perlakuan. Hasil analisis PCA terhadap parameter kunci yang menunjukkan adanya perbedaan nyata antara dua perlakuan bak uji dengan air diam maupun mengalir seperti ditunjukkan pada gambar 2. Pertumbuhan larva sidat (L dan W) sangat dipengaruhi oleh keberadaan fosfat (o-PO4) maupun total fosfor (TP), sedangkan nitrit, TN dan konduktivitas berpengaruh secara nyata dalam membedakan dua perlakuan tersebut tetapi kecil. Perbedaan yang ditunjukkan oleh parameter TP maupun fosfat dari dua perlakuan bak uji yang paling nyata adalah pengaruh pergerakan air di bak air mengalir mempengaruhi pengadukan yang mengakibatkan unsure fosfor (PO4 dan TP) tetap terlarut di kolom air dan sulit mengendap dibaningkan dengan bak air diam. Selain itu aliran yang terjadi pada bak air mengalir mengakibatkan lebih meratanya difusi oksigen dari udara sehingga dapat mengoksidasi beberapa parameter akibatnya rata-rata konsentrasi beberapa parameter di bak air mengaklir lebih rendah. Rata-rata pertumbuhan panjang larva sidat pada bak air diam 65,59 % (3,19 cm) sedangkan pada bak air mengalir 65,92 % (3,25 cm). Rata-rata pertumbuhan berat larva sidat pada bak air diam 384,49 % (0,756 gr), sedangkan pada bak air mengalir 412,72 % (0,796 gr). Hasil ini menunjukkan bahwa bak uji air mengalir lebih baik untuk pemeliharaan atau pembesaran larva ikan sidat. Hal ini diduga karena kondisi kualitas air yang lebih baik pada bak pemeliharaan sistem air mengalir. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis terhadap beberapa parameter menunjukkan adanya perbedaan nyata khususnya TP dan PO4 dalam pengaruhnya terhadap pertumbuhan larva sidat, dimana kedua parameter ini dapat membantu pertumbuhan mikroalga yang dapat dimanfaatkan oleh larva sidat sebagai pakan alami. Pertumbuhan larva sidat dengan sistem pemeliharaan air mengalir lebih baik dibanding pada sistem air diam. 406 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Daftar Pustaka APHA 1995. Standard methods for the examination of water and wastewater. 19th Edition. American Public Health Association/ American Water Work Association/Water Environment Federation Washington. Dc. USA: 1100 pp. Boyd CE. 1988. Water Quality in Warmwater Fish Ponds. Fourth Printing. Auburn University Agricultural Experiment Station. Alabama, USA. 359 p. Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air: Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Kanisius, Yogyakarta. 258 p. Goldman CR & Horne AJ. 1983. Limnology. Mc Graw Hill International Book Company. New York. 464 p. Lukman, 2012. Konsep Pengelolaan Perikanan Sidat di Perairan Poso Sulwesi Tengah. Timbangan Ilmiah. Pusat Penelitian Limnologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Bogor. 48 hal. Mackereth FJH, Heron J, & Talling JF. 1989. Water Analysis. Fresh Water Biological Assosiation, Cumbria, UK. 120p. McNeely RN, Nelmanis VP, & Dwyer L. 1979. Water quality source book. A guide to water quality parameter. Inland Waters Directorate. Water Quality Branch. Ottawa. Canada: 89 p. Mc. Kinnon LJ., 2006. A review of eel biology : knowledge and gaps. EPA Victoria and Audentes Investments Pty. Ltd. Moore JW. 1991. Inorganic Contaminants of Surface Water. Springer-Verlag, New York. 334 p. Sidat kita, 2013. Hal yang mempengaruhi kolam sidat. http://sidatkita.blogspot.com/2011/06/hal-yang-mempengaruhi-kolam-sidat. 2/11/2013 10:14 AM. Sidat kita, 2013. Cara budidaya sidat yang baik. http://sidatkita.blogspot.com/2011/07/carabudidaya-sidat-yang-baik.html. 2/11/2013 10:17 AM Tesch FW. 2003., The Eel. 3rd Ed., Blackwell Publishing Company, 407 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Daya Hidup dan Pertumbuhan Kultur In Vitro Ubi Kayu (Manihot Esculanta) Genotip Ubi Kuning Hasil Radiasi Nurhamidar Rahman*1, Supatmi1, dan Hani Fitriani1 1 Pusat Penelitian Bioteknologi - LIPI Cibinong Science Centre, Jl. Raya Bogor KM 46, Cibinong 16911 Phone: +62 218754587, Fax: +62 218754587 Email: nurhamidarr@yahoo.com ABSTRAK Ubi Kuning merupakan salah satu genotipe ubi kayu yang memiliki kadar beta karoten tinggi yang dapat dimanfaatkan untuk mengatasi kekurangan vitamin A terutama bagi masyarakat yang tinggal di daerah marginal. Oleh karena itu, diperlukan ketersediaan bibit dalam jumlah banyak, seragam dan dalam waktu yang relatif singkat. Induksi mutasi melalui irradiasi dapat dimanfaatkan untuk mencapai tujuan tersebut. Kegiatan penelitian ini dilakukan dalam rangka untuk mendapatkan kandidat varian unggul ubi kayu hasil radiasi yang diharapkan akan memiliki daya hasil dan kadar beta karoten tinggi. Metode yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut dibagi ke dalam 2 tahap yaitu (1) sterilisasi eksplan dan induksi tunas in vitro dan (2) Irradiasi sinar Gamma (Co-60) yang menggunakan 5 variasi dosis, yaitu : 0, 5, 10, 15, 20 Gray (Gy). Parameter pertumbuhan yang diamati meliputi tinggi, jumlah daun, jumlah nodus dan jumlah akar. Berdasarkan hasil analisis Duncan diperoleh bahwa eksplan yang diradiasi dengan dosis 10 Gy memberikan respon terbaik dalam hal pertumbuhan seperti rata-rata tinggi tanaman yang sama dengan tanaman kontrolnya, yaitu mencapai 2,3 cm. Rata-rata jumlah daun, nodus dan akar terbanyak dari kontrol juga terdapat pada dosis 10 Gy masing-masing sebesar 2,3; 2,7 dan 2. Kata Kunci : Ubi Kuning in vitro, radiasi sinar Gamma Pendahuluan Ketela pohon (Manihot esculenta) merupakan tanaman pangan yang berbentuk perdu dengan nama lain ubi kayu, singkong atau kaspe. Ubi kayu berasal dari Brazil kemudian menyebar ke Afrika dan Asia termasuk ke Indonesia pada tahun 1852. Di Indonesia ubi kayu menjadi bahan pangan pokok ketiga setelah beras dan jagung dengan sentra produksi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Lampung (Anonim, 2000) dengan produksi rata-rata nasional di tingkat petani termasuk rendah yaitu 12 ton/ha sementara potensinya dapat mencapai 30 – 40 ton/ha (Iriani dkk,2007). Rendahnya produksi disebabkan oleh banyak faktor antara lain penyakit pada ubi kayu yang dapat menurunkan produksi 50 – 90 persen dan pada serangan berat menyebabkan tanaman mati (Restrepo, Vadier, 1997). Fassehaie, et al. (1999) menyatakan bahwa pengendalian dapat dilakukan menggunakan varietas tahan penyakit. Sementara itu ubi kayu dapat diperbanyak dari tunas hasil kultur jaringan. (Sudarmonowati, et al., 2002) dan untuk memperoleh varietas tahan penyakit ataupun sifat unggul lainnya secara in vitro tunas dapat diperlakukan dengan mutagen fisik yang 409 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan bersifat radiasi pengion seperti radiasi sinar gamma, sinar beta, sinar X (Ahlowalia, 1997, IAEA, 1997; Van Harten, 1998). Sinar Gamma yang berasal dari Cobalt-60 paling banyak dipakai karena mudah diaplikasikan dan menghasilkan frekuensi mutasi yang tinggi (Rosi Nur Apriyanti, 2007). Radiasi dapat menginduksi terjadinya mutasi karena sel yang teradiasi akan dibebani oleh tenaga kinetik yang tinggi, sehingga dapat mempengaruhi atau mengubah reaksi kimia sel tanaman yang pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya perubahan susunan kromosom tanaman (Poespodarsono, 1988) oleh karena sinar gamma adalah energi bukan materi sangat menembus dan dapat menyebabkan kerusakan pada sel binatang dan tumbuhan. Planlet yang memiliki daya hidup dan respon pertumbuhan yang baik diharapkan merupakan kandidat varian unggul ubi kayu hasil radiasi contoh pada tanaman umbi yaitu ubi kayu sedangkan pada tanaman hortikulura yaitu pisang, cabai, bawang merah dan bawang putih. Tujuan penelitian ini adalah untuk daya hidup dan pertumbuhan tunas ubi kuning in vitro yang diperlakukan dengan radiasi sinar gamma. Metoda Penelitian Bahan Tanaman Sumber eksplan yang di gunakan berasal dari Kebun Koleksi plasma nutfahUbi kayu Puslit Bioteknologi LIPI. Eksplan yang digunakan adalah tanaman ubi kayu (Ubi Kuning) yang ditumbuhkan di polibag dan dipelihara di rumah kaca sebanyak 36 eksplan, dan tanaman dari lapang sebanyak 10 eksplan. Setelah diperoleh kultur in vitro steril maka tahapan selanjutnya yang dilakukan adalah perlakuan radiasi. Sterilisasi eksplan dan induksi tunas in vitro Sumber eksplan yang diambil dari lapang di sterilisasi terlebih dahulu. Tahapan sterlisasi adalah pertama-tama eksplan dipotong sepanjang 12-15 cm ( 3-5 tunas) lalu dicuci dengan deterjen di bawah air mengalir selama kurang lebih 1 jam. Pembilasan dilakukan dengan menggunakan aquades steril sebanyak 2 kali. Setelah itu direndam dithane 4 % dan di shaker selama 1.5 jam. Tahapan selanjutnya dilakukan di dalam air Laminar flow yaitu eksplan di rendam sambil di kocok terlebih dahulu menggunakan Clorox 5 % selama 3 menit dan dibilas sebanyak 6 kali, dengan aquadest steril selanjutnya eksplan di rendam sambil di kocok dengan menggunakan Alkohol 70 % selama 3 menit dan dibilas sebanyak 6 kali dengan aquades steril. Induksi tunas dilakukan pada media MS tanpa zat pengatur tumbuh. Irradiasi sinar Gamma Radiasi dilakukan setelah eksplan berumur 8 minggu setelah tanam. Radiasi yang dilakukan dengan menggunakan Iradiasi Gamma (Co-60), tiap variasi dosis digunakan 3 ulangan masing-masing 1 eksplan sehingga jumlah eksplan yang digunakan sebanyak 15 eksplan. Adapun dosis yang digunakan untuk eksplan yang diradiasi ada 5 variasi dosis yaitu : 0, 5, 10, 15, 20 Gray (Gy). Pertumbuhan eksplan setelah radiasi seperti daya hidup, karakter morfologi eksplan, tinggi, jumlah daun, dan jumlah akar dari eksplan hasil radiasi diamati setiap minggu selama 2 bulan. Pertumbuhan LD50 410 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan didasarkan pada data daya hidup eksplan setelah 21 bulan pertumbuhan di ruang kultur (Tangpong et al., 2009) Hasil Dan Pembahasan Pengamatan terhadap daya hidup eksplan Ubi Kuning pada 2 bulan setelah radiasi didapatkan bahwa prosentase daya hidup terendah adalah eksplan yang di radiasi dengan dosis 20 Gy sebesar 33 %, yang ditandai dengan karakter eksplan yang menguning dan mati pada minggu kedua hingga ketiga lalu diikuti eksplan yang di radiasi dengan dosis dengan dosis 15 Gy sebesar 67 %, yang ditandai dengan karakter eksplan berbentuk roset hijau kekuningan (Tabel 1 dan Gambar 1a-1e). Sedangkan pada dosis 10 Gy daya hidup eksplan adalah 100% dengan karakter eksplan yang terlihat hijau segar. Pada perlakuan kontrol terlihat bahwa morfologi tanaman yang hijau kekuningan dan pada minggu ketiga eksplan ada yang mengalami kontaminasi. Selain itu pada dosis yang lebih rendah yaitu 5 Gy ada yang mengalami kontaminasi bakteri pada minggu ketiga. Tabel 1. Daya Hidup eksplan Ubi Kuning in vitro pada umur 2 bulan setelah iradiasi Dosis Eksplan yang Karakter eksplan (Warna) Jarak antar nodus hidup (%) 0 100 hijau kekuningan Sedang 5 100 Hijau Sedang 10 100 Hijau Sedang 15 67 Hijau kekuningan Sangat pendek (Roset) 20 33 Kurus Sangat pendek Gambar 1. Morfologi Ubi Kuning in vitro umur 2 bulan setelah radiasi a. Kontrol; b. Dosis 5 Gy; c. Dosis 10 Gy; d. Dosis 15 Gy; e. Dosis 20 Gy. Untuk mengetahui hubungan antara dosis radiasi dan daya hidup eksplan Ubi Kuning hasil radiasi maka dilakukan analisis korelasi antara kedua parameter tersebut. 411 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Penentuan LD50 didasarkan pada data daya hidup eksplan setelah 2 bulan di ruang kultur (Tangpong et al, 2009). Grafik eksponensial yang terbentuk lalu ditarik garis tegak lurus sumbu xy untuk mendapatkan titik pertemuan kedua sumbu [y = 50% (LD50)] (Gambar 2). Dari grafik terlihat bahwa hasil uji dosis LD50 Ubi Kuning in vitro setelah diradiasi selama 2 bulan didapatkan bahwa eksplan mengalami daya hidup yang lebih tinggi diatas 50% pada range dosis 0–17.5 Gy. Sedangkan persentasi eksplan yang mati lebih dari 50% ada pada dosis > 17.5 Gy. Hal ini menunjukkan bahwa tunas Ubi Kuning in vitro memiliki daya hidup yang tinggi diatas 50% jika diradiasi pada range dosis 0-17.5 Gy sedangkan lebih dari itu kemungkinan akan mati. Gambar 2. Hubungan antara dosis radiasi dan daya hidup eksplan ubi kuning in vitro pada umur 2 bulan setelah radiasi. Selain dari daya hidupnya, pengaruh radiasi dapat dilihat lebih jauh berdasarkan tingkat mutasi yang dihasilkan, meskipun mutasi yang diharapkan adalah mutasi yang menimbulkan karakter yang lebih baik dari kontrol. Dari hasil pengamatan morfologi eksplan setelah 2 bulan diruang kultur terlihat bahwa dosis 15 Gy dan 20 Gy mengalami perubahan fenotifik yang ditandai dengan pertumbuhan eksplan yang kerdil pada dosis 15 Gy dan batang berwarna merah namun kurus mengering pada eksplan dengan dosis 20 Gy jika dibandingkan dengan kontrol (Tabel 2). Dari pengamatan morfologi eksplan yang mengalami mutasi disimpulkan bahwa meskipun eksplan dengan dosis 15 dan 20 Gy masih tetap bertahan hidup namun mutasi yang dihasilkan tidak sesuai yang diharapkan yaitu pertumbuhan yang kerdil dan batang yang kecoklatan dan mengering. 412 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Tabel 2. Rata-rata eksplan Ubi Kuning hasil radiasi in vitro yang mengalami mutasi. Dosis Jumlah Eksplan Kerdil Petiol Merah 0 3 5 3 10 3 15 3 0,33 20 3 0,33 Pertumbuhan eksplan Ubi Kuning pasca radiasi yang meliputi tinggi, jumlah daun, jumlah nodus dan jumlah akar hasil radiasi in vitro juga diamati setelah 2 bulan di ruang kultur (Tabel 3). Hasil analisis uji Duncan didapatkan bahwa tinggi tanaman yang tertinggi adalah eksplan dengan dosis 10 Gy (23 ± 0.6) meskipun relatif sama dengan eksplan kontrol (23 ± 0.8) Sedangkan tinggi tanaman yang terendah diperoleh pada eksplan dengan dosis 20 Gy. Untuk jumlah daun didapatkan bahwa daun terbanyak diperoleh pada eksplan dengan dosis 20 Gy lalu diikuti 10 dan 15 Gy. Sedangkan jumlah nodus terbanyak diperoleh pada eksplan dengan dosis 10 Gy. Untuk jumlah akar terbanyak diperoleh pada dosis perlakuan (10) Gy. Pengaruh radiasi dapat terlihat dari daya hidupnya, frekuensi mutasi dan pertumbuhannya. Namun pengaruh radiasi yang diharapkan adalah terjadinya mutasi yang bagus dan diharapkan lebih baik dari kontrol. Dalam hal ini pertumbuhan tinggi tanaman yang baik, jumlah daun, nodus dan akar yang banyak. Berdasarkan hasil analisis uji Duncan dan semua parameter pertumbuhan yang di amati dapat disimpulkan bahwa eksplan dengan dosis 10 Gy memberikan respon pertumbuhan terbaik dibandingkan dengan kontrol. Tabel 3. Rata-rata ± standard error tinggi, jumlah daun, jumlah nodus dan jumlah akar Ubi Kuning hasil radiasi in vitro setelah 2 bulan di ruang kultur. Parameter Tinggi (ns) Jumlah Daun (ns) Jumlah Nodus (ns) Jumlah Akar (*) Dosis 0 5 10 15 20 0 5 10 15 20 0 5 10 15 20 0 5 10 15 20 Rata-rata ± standar error 2.3 ± 0.8 1.8 ± 0.3 2.3 ± 0.6 1.3 ± 0.3 1.0 ± 0.0 0.5 ± 0.6 0.5 ± 0.6 2.3 ± 1.4 1.6 ± 1.7 3.0 ± 0.0 2.0 ± 0.0 1.0 ± 0.0 2.7 ± 1.2 0.7 ± 0.7 2.0 ± 0.0 1.0 ± 0.0 0.0 ± 0.0 2.0 ± 0.5 0.0 ± 0.0 1.0 ± 0.0 413 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Kesimpulan Radiasi dilakukan setelah eksplan berumur 8 minggu setelah tanam. Radiasi yang dilakukan dengan menggunakan radiasi Gamma (Co-60), tiap variasi dosis digunakan 3 ulangan masing-masing 1 eksplan sehingga jumlah eksplan yang digunakan sebanyak 15 eksplan. Adapun dosis yang digunakan untuk eksplan yang diradiasi ada 5 variasi dosis yaitu : 0, 5, 10, 15, 20 Gy. Data kuantitatif berupa tinggi, jumlah daun, jumlah nodus dan jumlah akar dianalisa dengan menggunakan uji ANOVA yang dilanjutkan dengan uji Duncan dengan taraf kepercayaan 95%. Berdasarkan hasil analisis uji Duncan dan semua parameter pertumbuhan yang di amati dapat disimpulkan bahwa eksplan dengan dosis 10 Gy memberikan respon terbaik dalam peningkatan pertumbuhan dibandingkan dengan kontrol. Ucapan Terimakasih Ucapan terimakasih disampaikan kepada Dr. N Sri Hartati yang banyak membantu dalam penulisan makalah ini. Daftar Pustaka Ahlowalia. BS.1997. Improvement of Horticultural Plants Throgh in Vitro Culture and Induce Mutation. In A . Altman and M,Ziv (Eds). In Vitro Culture and Breeding. achtaHort. p. 545-549. Anonim,2009: Ketela Pohon. http//www.ristek.go.id. Tanggal 29 Pebruari 2009. Pukul 09.00. Fassehaie, A, Widra, Rudolph. 1999. Development of A New Semiselective Medium. The American Phytopathological Society. Vol. 89 No. 19. IAEA 1997. Manual on Mutation Viability and Population Structure. Acta Agric.Cand. IV. p. 601-632. Iriani, Sularno, Anwar. 2007. Pengaruh Jarak Tanam dan Penggunaan Bahan Organik Terhadap Pertumbuhan Ubi Kayu. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur. Poespodarsono S. 1998. Dasar-Dasar Ilmu Pemuliaan Tanaman. PAU IPB dan LSI-IPB. 168 hal Restrepo, S., Verdier. 1997. Geographycal Differentiation of The Population of Xanthomonas axonopodis pv. Manihotis In Columbia. Applied and Enviromental Microbiology. 63 : 4427-4434. Rosy Nur Apriyanti. 2007. Gamma Ditembakkan, Abnormal Didapat. Batan. Jakarta. Sudarmonowati, E.,Retna Hartati dan Taryana 2002. Produksi tunas. Regenerasi dan evaluasi Hasil Ubikayu (Manihot esculanta) Indonesia Asal Kultur Jaringan di Lapang. Pusat Penelitian Bioteknologi, LIPI, Cibinong. Tangpong, P., Taychasinpitak, T., Jompuk, C., Jompuk, P. 2009. Effects of Acute and Chronic Gamma Irradiations on In vitro Culture of Anubis congensis N.E Brown. Kasetsart J (Nat Sci) 43:449-457. Van Harten, A.M. 1998. Mutation Breeding. Theory and Practical Applications. Cambridge University Press. 414 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Potensi Skleroglukan Yang Disekresi Sclerotium Glucanicum Sebagai Faktor Prebiotik Bagi Pertumbuhan Beberapa BakteriLactobacillus Sp. Miratul Maghfiroh*1 dan Jayus2 1 Pusat Penelitian Limnologi, LIPI Jalan Raya Bogor Jakarta km. 46, Cibinong Jawa Barat 16911 2 Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Jember Jalan Kalimantan, Kampus Tegal Boto, Jember, Jawa Timur 68121 Email : miratul@limnologi.lipi.go.id ABSTRAK Manusia modern lebih cenderung untuk memandang pangan bukan hanya dapat memberikan nilai gizi namun juga memberikan peran fungsional bagi kesehatan. Konsep pangan fungsional muncul dan menjadi isu penting dalam bidang teknologi pangan. Pertumbuhan pasar prebiotik yang terus meningkat, membuka kesempatan bagi ahli teknologi pangan untuk senantiasa mencari sumber-sumber prebiotik baru yang dapat bermanfaat meningkatkan status kesehatan manusia. Senyawa β-glukan memiliki potensi untuk bertindak sebagai prebiotik. Salah satu angota grup β-glukan adalah skleroglukan. informasi mengenai potensi sekleroglukan sebagai prebiotik terbatas sehingga memerlukan penelitian lebih lanjut. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengevaluasi potensi prebiotik skleroglukan melalui pengamatan kecepatan pertumbuhan beberapa bakteri Lactobacillus sp. yang dtumbuhkan di dalam media dengan penambahan skleroglukan. Pengamatan terhadap total jumlah Lactobacillus sp. dan pengukuran pH dikontrol pada jam-jam tertentu selama 24 jam dengan suhu inkubasi pada 36o-37oC. Parameter yang dimonitor yaitu total jumlah bakteri, pH, dan kecepatan pertumbuhan spesifik. Penambahan skleroglukan dengan variasi konsentrasi 4% dan 8% ke dalam media pertumbuhan memberikan efek yang berbeda/bervariasi pada bakteri yang diujikan. Penambahan 4% skleroglukan dapat meningkatkan kecepatan pertumbuhan spesifik yang nyata pada bakteri L. casei dan L. plantarum (α=0,05). Mekanisme represi katabolit karbon diduga teraktifasi ketika skleroglukan 8% ditambahkan ke dalam media yang berakibat pada penurunan kecepatan pertumbuhan spesifik. Kata Kunci : Lactobacillus sp., skleroglukan, Sclerotium glucanicum, prebiotik. Pengantar Saat ini, permintaan konsumen terhadap pangan menjadi lebih kompleks. Perkembangan teknologi dan peradaban manusia membuka era baru konsep pangan fungsional. Manusia modern lebih cenderung untuk memandang pangan bukan hanya dapat memberikan nilai gizi namun juga memberikan peran fungsional bagi kesehatan. Konsep pangan fungsional muncul dan menjadi isu penting dalam bidang teknologi pangan. Permintaan konsumen terhadap pangan fungsional direspon positif oleh produsen. Fakta yang terjadi, pasar makanan dan minuman fungsional di Amerika 415 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Serikat, Eropa dan Asia Pasifik dapat meraih keuntungan $72,3 milyar dan diperkirakan akan naik per tahun sebesar 5,7 % antara tahun 2007 hingga 2012 (Datamonitor Newswire, 2008). Aplikasi prebiotik (dengan cara ditambahkan pada produk pangan) lebih luas apabila dibandingkan dengan probiotik. Prebiotik didefinisikan sebagai komponen pangan yang tidak dapat dicerna, memberikan pengaruh positif (bermanfaat) bagi inang (subyek yang mengkonsumsi) dengan memacu pertumbuhan dan/atau aktifitas dari satu atau sejumlah tertentu bakteri di usus besar secara selektif serta memperbaiki status kesehatan inang (Collin & Gibson, 1999). Sedangkan, definisi terbaru mengenai prebiotik adalah komponen pangan difermentasi secara selektif dalam tubuh yang memungkinkan perubahan spesifik baik dalam komposisi dan/atau aktifitas mikrobiota dalam pencernaan yang dapat memberikan manfaat kesehatan bagi inangnya (Gibson et al. dalam FAO, 2007). Prebiotik adalah komponen pangan non-viable (tak-hidup) yang dapat meningkatkan kualitas kesehatan pencernaan, sehingga prebiotik dapat ditambahkan ke dalam berbagai macam produk pangan secara mudah. Hal ini berbeda dengan probiotik yang tidak dapat langsung ditambahkan ke dalam berbagai produk pangan, mengingat probiotik merupakan kultur mikroorganisme hidup (living microorganisms) sehingga ketahanan dan viabilitasnya dalam suatu produk perlu dipelihara (Venter, 2007). Kelebihan prebiotik ini menyebabkan produk-produk pangan dengan penambahan prebiotik lebih beragam dan mudah dijumpai di pasar. Pada tahun 2007, jumlah produk makanan prebiotik terlisensi sebanyak lebih dari 400 macam dan lebih dari 20 perusahaan memproduksi oligosakarida dan serat sebagai prebiotik. Pasar prebiotik di Eropa telah meraih keuntungan €87 juta dan diperkirakan akan naik menjadi €17λ,7 juta pada tahun 2010 (FAO, 2007). Pertumbuhan pasar prebiotik yang terus meningkat, membuka kesempatan bagi ahli teknologi pangan untuk senantiasa mencari sumber-sumber prebiotik baru yang dapat bermanfaat meningkatkan status kesehatan manusia. Senyawa β-glukan memiliki potensi untuk bertindak sebagai prebiotik (Gorbach dan Goldin, 2006; Snart dkk, 2006). Polisakarida ini secara luas dihasilkan oleh beberapa kapang dan yeast secara ekstraselular dan dapat diekstrak dari biji sereal, barley dan gandum (Clarke in Jayus, 2003). Salah satu angota grup β-glukan adalah skleroglukan. Skleroglukan merupakan senyawa spesifik β-glukan dengan konformasi β (1→3)(1→6) dan disekresi oleh kapang berfilamen, Sclerotium glucanicum. Kapang ini seringkali dikenal sebagai patogen pada tanaman dan bersifat parasit (Survase dkk., 2006). Penggunaan skleroglukan pertama kali diterapkan di bidang industri perminyakan. Sifat fisik dengan viskositas yang baik menjadikan senyawa ini sebagai stabilizer yang mantap. Seiring dengan kemajuan teknologi, penggunaan skleroglukan mulai beragam seperti stabilizer untuk pangan, agen gelasi, dan sebagai koagulan (Survase dkk., 2006). Namun demikian, informasi mengenai potensi sekleroglukan sebagai prebiotik terbatas sehingga memerlukan penelitian lebih lanjut. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengevaluasi potensi prebiotik skleroglukan melalui pengamatan kecepatan pertumbuhan beberapa bakteri Lactobacillus sp. yang dtumbuhkan di dalam media dengan penambahan skleroglukan. 416 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Metode Produksi skleroglukan Sclerotium glucanicum (La Trobe University, Bendigo-Australia) ditumbuhkan pada media MEA (Malt Extract Agar, Difco, USA) dan diinkubasi selama satu minggu dengan suhu inkubasi 27o-28oC. Suspensi sebanyak 10 mL berisi Sclerotium glucanicum yang telah berumur satu minggu diinokulasi secara aseptis ke dalam 200 mL media cair. Kang dkk. (2000) mendeskripsikan komposisi media pertumbuhan Sclerotium glucanicum sebagai berikut. Sukrosa 30.0 g/L, (NH4)2SO4 1.0 g/L, KH2PO4.7H2O 1.0 g/L, MgSO4.7H2O 0.50 g/L, FeSO4.7H2O 0.01 g/L, KCl 0.5 g/L, ekstrak yeast 1.0 g/L. Media cair berisi inokulum kapang dijaga untuk teraduk selama inkubasi. Pengaduk berputar (rotary shaker) distabilkan pada kecepatan 100 rpm selama proses fermentasi kultur berlangsung. Suhu inkubasi diatur pada 27o-28oC (suhu ruang) selama 6 hari. Filtrat kultur didapatkan dengan metode filterisasi. Kertas saring steril dengan ukuran pori 0.45 µm (Whatman International, Kent, UK) digunakan untuk memisahkan biomassa kapang dengan filtrat. Gula reduksi yang terlarut dalam filtrat dieliminasi dengan teknik dialisis. Hasil akhir filtrat ini yang ditambahkan ke dalam media pertumbuhan Lactobacillus sp. untuk eksperimen secara ex vivo. Eksperimen secara ex vivo Ependorf berisi media pertumbuhan dengan maksimum volum 1 mL digunakan pada eksperimen secara ex vivo. Media pertumbuhan terdiri dari skleroglukan (b/v) 0%, 4%, dan 8%, MRS Broth (de Man-Rogosa-Sharpe broth, Difco, USA) 70% (v/v), starter Lactobacillus sp. 10% (w/v ; ± 102-103 µg/mL) dan aquadest steril ditambahkan hingga volum akhir mencapai 1 mL. Enam macam probiotik Lactobacillus sp. yang diujicobakan dalam eksperimen ini yaitu Lactobacillus lactis FNCL 0086, Lactobacillus casei FNCL 0090, Lactobacillus rhamnosus FNCC 0052, Lactobacillus acidophilus FNCC 0051, Lactobacillus plantarum FNCC 0123, Lactobacillus bulgaricus FNCC 0041. Pengamatan terhadap total jumlah Lactobacillus sp. dan pengukuran pH dikontrol pada jam-jam tertentu yaitu setiap 0 jam, ½ jam, 1 jam, 2 jam, 3 jam, 4 jam, 6 jam, 9 jam, 18 jam dan 24 jam dengan suhu inkubasi pada 36o-37oC. Ulangan perlakuan sebanyak dua kali. Penghitungan total jumlah Lactobacillus sp. ditentukan dengan metode spektrofotometri pada panjang gelombang 625 nm (Kaplan and Hutkins, 2000). Kurva standar untuk setiap bakteri Lactobacillus sp. yang diujikan, dibuat dengan memplotkan nilai OD (optical density) sebagai ordinat (Y) dan total Lactobacillus sp. (µg/mL) sebagai absis (X). Pengukuran pH menggunakan pH meter (Jen Way 3320, Germany). Analisis Data Eksperimen Kecepatan pertumbuhan spesifik (µ) (Widdel, 2007) untuk bakteri yang diujikan dihitung sebagai berikut. … (µg/mL/jam) 417 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Variable X didapatkan dari total bakteri pada awal (X1) dan akhir (X2) fase eksponensial sedangkan t adalah waktu yang dibutuhkan dari total bakteri pada X1 hingga ke X2. Data kecepatan pertumbuhan spesifik yang didapatkan dari eksperimen ini dianalisis secara statistik melalui uji one way anova (α = 0.05) untuk mendapatkan informasi adanya beda antar kelompok data. Selanjutnya, apabila diketahui terdapat beda pada kelompok data tersebut, pengujian dilanjutkan dengan posthoc Duncan (α = 0.05) untuk menentukan kelompok data mana saja kah yang berbeda. Analisis statistik diselesaikan dengan bantuan SPSS® 16.0 software for Windows™. Data total jumlah bakteri dan perubahan pH selama masa inkubasi dipresentasikan dalam bentuk grafik dan dibahas secara deskriptif. Pembahasan Total Jumlah Bakteri Lactobacillus sp. Pertumbuhan mikrooganisme dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Modifikasi dan rekayasa terhadap faktor-faktor pertumbuhan dapat mengakibatkan perubahan terhadap pertumbuhan mikroorganisme. Penambahan senyawa skleroglukan pada media pertumbuhan bakteri diharapkan dapat memacu pertumbuhan bakteri probiotik terpilih, Lactobacillus sp. Total bakteri L. lactis semakin meningkat seiring dengan lama masa inkubasi dan relatif konstan setelah masa stasioner tercapai (Gambar 1 (b)). Keadaan ini berlaku untuk semua sampel L. lactis dengan penambahan maupun tanpa penambahan senyawa skleroglukan dalam media pertumbuhannya. 1 jam pertama masa inkubasi adalah fase lag (fase adaptasi) bagi L. lactis sehingga perubahan total bakteri pada 1 jam pertama inkubasi dibandingkan total inokulum awal, relatif kecil. Fase logaritmik dimulai setelah 2 jam masa inkubasi tercapai. Keadaan ini berlangsung hingga masuk pada masa inkubasi 6 jam. Pada fase ini, pertumbuhan L. lactis meningkat secara progresif. Pada masa inkubasi 6 jam, total bakteri terbanyak ditemui pada sampel media broth dengan penambahan skleroglukan 8% yaitu 5,3λ1E+03 μg/mL sedangkan total bakteri L. lactis kontrol (tanpa penambahan skleroglukan) 4,227E+03 μg/mL. Nilai total bakteri kontrol juga lebih kecil apabila dibandingkan dengan nilai total bakteri yang dicapai L. lactis pada media yang ditambahkan skleroglukan sebanyak 4% yaitu 4,617E+03 μg/mL. Peningkatan total bakteri juga dialami oleh L. casei dengan penambahan skleroglukan terlarut 8% pada 6 jam inkubasi sebanyak 6,638E+02 μg/mL, lebih besar daripada total bakteri kontrol 6,0λ7E+02 μg/mL (Gambar 1 (a)). Gambar 1 (e) menunjukkan bahwa pertumbuhan L. rhamnosus lebih lambat apabila dibandingkan dengan grafik pertumbuhan L. lactis dan L.casei. Pertumbuhan L. lactis dan L. casei dapat naik hingga mendekati siklus 1 log, tetapi pertumbuhan L.rhamnosus , walaupun meningkat, tidak mampu mencapai siklus 1 log. Keadaan ini diduga berkaitan dengan fisiologis L. rhamnosus. Selama 6 jam masa inkubasi, total bakteri yang dicapai oleh L. rhamnosus dengan penambahan skleroglukan pada media broth untuk semua variasi pengambilan, lebih banyak daripada total bakteri kontrol, yaitu 1,523E+03; 1,566E+03 μg/mL (berurutan untuk penambahan skleroglukan 4%, 8%). Sedangkan total bakteri kontrol 1,457E+03 μg/mL. 418 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Grafik pertumbuhan L. plantarum (Gambar 1 (c)) menerangkan bahwa pada akhir fase logaritmik (9 jam inkubasi), nilai total bakteri kontrol lebih kecil daripada total bakteri dengan penambahan skleroglukan untuk semua variasi volum. Pertumbuhan L. acidophilus meningkat selama fase logaritmik pada sampel dengan penambahan skleroglukan 8%, apabila dibandingkan dengan pertumbuhan L. acidophilus kontrol (Gambar 1 (d)). Pertumbuhan L. bulgaricus relatif dapat dipacu dengan penambahan skleroglukan 4% selama 24 jam masa inkubasi. Hal ini dapat diterangkan dengan mengamati garis total bakteri kontrol (warna biru tua) yang terletak paling bawah, dibandingkan dengan garis total bakteri sampel dengan penambahan 4% skleroglukan (Gambar 1 (f)). (a) (c) (e) (b) (d) (f) Gambar 1. Total Jumlah Bakteri (a) L. casei, (b) L. lactis, (c) L. plantarum, (d) L. acidophilus, (e) L. rhamnosus, (f) L. bulgaricus, pada konsentrasi penambahan skleroglukan yang berbeda selama 24 jam masa inkubasi. Perubahan pH Selama Inkubasi Perubahan pH merupakan parameter penting untuk diamati ketika pertumbuhan bakteri asam laktat berlangsung. L. casei, L. lactis, L. plantarum, L. acidophilus, L. rhamnosus, L. bulgaricus termasuk dalam golongan bakteri asam laktat (BAL) homofermentatif (Holzapfel dkk., 2001) sehingga fermentasi bakteri ini akan 419 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan menghasilkan produk akhir asam laktat, umumnya 85% atau lebih apabila jenis sakarida yang difermentasi adalah glukosa (Buchanan and Gibbons, 1974). Oleh karena itu, adanya perubahan pH media yang semakin menurun selama masa inkubasi, menunjukkan bahwa semua bakteri yang diuji, memetabolisme substrat yang ditambahkan sehingga terbentuk metabolit berupa asam. Produk akhir berupa asam yang terakumulasi menyebabkan pH media semakin menurun. (a) (b) (c) (d) (e) (f) Gambar 2. Profil pH media pertumbuhan (a) L. casei, (b) L. lactis, (c) L. plantarum, (d) L. acidophilus, (e) L. rhamnosus, (f) L. bulgaricus, pada konsentrasi penambahan skleroglukan yang berbeda. 420 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan pH awal media pertumbuhan bakteri yang diuji, terukur sebesar 5.0-6.0. Setelah 24 jam masa inkubasi, kisaran pH turun pada level 3.8-4.9 (Gambar 2). Media pertumbuhan L. casei memperlihatkan nilai pH terendah dibandingkan dengan media BAL lainnya pada akhir masa inkubasi. Kecepatan Pertumbuhan Spesifik (µ) Penambahan skleroglukan sebesar 4% dan 8% (b/v) ke dalam media broth pertumbuhan Lactobacillus sp. memberikan efek yang bervariasi pada nilai kecepatan pertumbuhan spesifik (µ). Tabel 1 memberikan informasi nilai kecepatan pertumbuhan spesifik bagi keenam bakteri probiotik golongan lactobacilli yang diujikan. Tabel. 1 Kecepatan Pertumbuhan Spesifik Beberapa Bakteri Lactobacillus sp. (Kecepatan Pertumbuhan ± SD) (µg/mL/jam) Kelompok Lactobacillus 0% skleroglukan 4% skleroglukan 8% skleroglukan L. casei (0.301±0.011)a (0.395±0.022)b (0.329±0.003)a a a L. lactis (0.303±0.021) (0.322±0.008) (0.367±0.034)a a b L. plantarum (0.176±0.009) (0.205±0.001) (0.179±0.001)a a a L. acidophilus (0.169±0.014) (0.208±0.046) (0.175±0.011)a a a L. rhamnosus (0.143±0.029) (0.163±0.029) (0.134±0.014)a a a L. bulgaricus (0.132±0.000) (0.135±0.009) (0.118±0.001)a Pengujian secara statistik dilakukan per-kelompok bakteri masing-masing secara terpisah. Abjad yang berbeda dalam satu kelompok bakteri yang sama, berarti berbeda secara statistik pada α=0.05 melalui posthoc Duncan. Nilai tertinggi kecepatan pertumbuhan terdeteksi pada (0.395±0.022) µg/mL/jam untuk bakteri L. casei dengan penambahan skleroglukan 4% (b/v) dalam media pertumbuhannya. Sedangkan kecepatan pertumbuhan terendah (0.118±0.001) µg/mL/jam ditemui pada bakteri L. bulgaricus dengan penambahan skleroglukan 8% (b/v). Menurut uji posthoc Duncan ternyata dapat diperoleh informasi bahwa penambahan skleroglukan dengan konsentrasi 4% (b/v) pada bakteri L. casei dan L. plantarum menunjukkan perbedaan peningkatan kecepatan pertumbuhan spesifik secara signifikan (α=0.05). Pada L. casei, meskipun penambahan 4% skleroglukan dapat meningkatkan kecepatan pertumbuhannya dibandingkan dengan kontrol, namun penambahan skleroglukan dengan persentase konsentrasi dua kali lipat menyebabkan nilai kecepatan pertumbuhan L. casei tidak lebih tinggi daripada kecepatan pertumbuhan bakteri ini pada media 4% skleroglukan. Hal serupa juga dapat diamati dari kecepatan pertumbuhan L. plantarum dan L. acidophilus. Sedangkan pada bakteri L. rhamnosus dan L. bulgaricus, penambahan 8% skleroglukan ke dalam media broth pertumbuhan dapat memberikan efek penurunan nilai kecepatan pertumbuhan spesifik dibandingkan dengan perlakuan kontrol. Mekanisme represi katabolit diduga terjadi dan berpengaruh pada metabolisme skleroglukan oleh Lactobacillus sp. dan memberikan efek terhadap kecepatan pertumbuhan spesifik bakteri. Deutscher (2008) menyatakan bahwa adanya mekanisme represi katabolit menyebabkan adanya penghambatan dalam metabolisme sumber 421 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan karbon. Mekanisme ini dilakukan oleh bakteri untuk beradaptasi dengan lingkungan dimana terdapat lebih dari satu macam karbohidrat. Barrangou dkk (2006) melakukan studi pada L. acidophilus dan menemukan bahwa represi katabolit karbon pada bakteri ini meregulasi enzim-enzim yang terlibat dalam metabolism mono-, di- dan polisakarida pada substrat glikolisis. Adanya penambahan 8% skleroglukan pada media diduga mengakibatkan beberapa bakteri Lactobacillus sp. yang diuji, mengaktifasi mekanisme represi katabolit karbon dan berpengaruh pada penurunan kecepatan pertumbuhan spesifik. Kesimpulan Keenam bakteri Lactobacillus sp. yang diuji, dapat tumbuh dalam media pertumbuhan yang ditambah dengan skleroglukan hasil sekresi kapang Sclerotium glucanicum. Metabolisme skleroglukan ditandai dengan adanya penurunan pH media pada akhir masa inkubasi. Penambahan skleroglukan dengan variasi konsentrasi 4% dan 8% ke dalam media pertumbuhan memberikan efek yang berbeda/bervariasi pada bakteri yang diujikan. Penambahan 4% skleroglukan dapat meningkatkan kecepatan pertumbuhan spesifik yang nyata pada bakteri L. casei dan L. plantarum. Mekanisme represi katabolit karbon diduga teraktifasi ketika skleroglukan 8% ditambahkan ke dalam media yang berakibat pada penurunan kecepatan pertumbuhan spesifik. Daftar Pustaka Barrangou, R., Peril M. Andrea., Duong, T., Conners, S.B., Kelly, R.M., Klaenhammer, Todd R. 2006. Global Analysis of Carbohydrate Utilization by Lactobacillus acidophilus Using cDNA microarrays. National Academy of Sciences. Vol. 103/10. p.3816-3821. Buchanan and Gibbons. 1λ74. Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology. Eight Edition. Baltimore : Williams & Wilkins Company. Collin, M. D. & R. Gibson, G. 1999. Probiotics, Prebiotics and Synbiotics: Approaches For Modulating The Microbial Ecology Of The Gut. American Journal of Clinical Nutrition. Vol. 69, No. 5. Datamonitor Newswire. 2008. Healthy Growth In Functional Food Market Despite Drop In Consumer Trust. http://www.flex-newsfood.com/pages/14565/Functional/healthy-growth-functional-food-marketdespite-drop-cons umer-trust.html. Deutscher, Josef D. 2008. The Mechanisms of Carbon Catabolite Repression in Bacteria. Current Opinion in Microbiology 11 (2): p.87–93. FAO (Food And Agriculture Organization). 2007. FAO Technical Meeting On Prebiotics. http://www.fao.org/ag/agn/agns/files/Prebiotics_Tech_Meeting_ Report.pdf. Holzapfel, W.H., Haberer, P., Geisen, R., Bĵőkroth & Schilinger, U. 2001. Taxonomy and Improtant Features of Probiotic Microorganisms in Food and Nutrition. Am J Clin Nutr 2001;73(suppl):365S–73S. Jayus. 2003. Properties of The β-Glucanases From Acremonium sp. IMI 383086 and Factors Affecting Their Production. Not Published. Thesis. Bendigo : La Trobe University Australia. 422 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Snart, J., Bibiloni, R., Grayson, T., Lay, C., Zhang, H., Allison, G.E., Laverdiere, J.K., Temelli, F., Vasanthan, T., Bell, R., Tannock, G.W. 2006. Supplementation of The Diet with High-Viscosity Beta Glucan Results in Enrichment for Lactobacilli in The Rat Cecum. Appl. Environ. Microbiology. 72 (3): p.1925-31. Survase, S.A., Saudagar, P.S., Bajaj, I.B., Singhal, R.S. 2006. Scleroglucan : Fermentative Production, Downsteram Processing and Applications. Food Technol. Biotechnol. 45(2) p.107-118. Venter, C. 2007. Prebiotics : An Update. Journal of Family Ecology and Consumer Sciences, Vol 35, 2007. http://www.up.ac.za/academic/acadorgs/ saafecs/vol35/venter.pdf Widdel, F. 2007. Theory and Measurement of Bacterial Growth. Grundpraktikum Mikrobiologie Universität Bremen. 423 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Penapisan Fitokimia Dan Uji Toksisitas Daun Artocarpus Elasticus Salahuddin*, Megawati, Sofa Fajriah Pusat Penelitian Kimia-LIPI, Kawasan Puspiptek Serpong Tangerang 15314 Email: Uddin_Net@yahoo.co.id ABSTRAK Telah dilakukan uji penapisan fitokimia dan uji toksisitas dengan metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) terhadap ekstrak metanol, fraksi metanol, fraksi heksan, fraksi etil asetat, fraksi butanol dan fraksi air dari daun Artocarpus elasticus. Kedua jenis uji ini dilakukan untuk mengetahui jenis kandungan golongan senyawa kimia dan sifat toksik dari ekstrak metanol dan fraksi-fraksinya. Dari hasil pengujian diketahui bahwa semua fraksi mengandung senyawa golongan terpenoid, tanin, dan kuinon, golongan flavonoid hanya terkandung pada fraksi etil asetat, butanol dan air, sedangkan golongan alkaloid negatif pada semua fraksi. Hasil uji BSLT menunjukkan bahwa fraksi butanol dan air tidak bersifat toksik dengan nilai LC50 > 1000 ppm, sedangkan fraksi metanol, heksan dan etil asetat bersifat cukup toksik dengan masing-masing nilai LC50 berturut-turut 238.23, 302.69, dan 796.16 ppm. Kata Kunci : Artocarpus elasticus, toksisitas, LC50, BSLT Pengantar Genus Artocarpus merupakan salah satu genus utama Moraceae. Tumbuhan spesies Artocarpus tersebar secara meluas di daerah tropis dan subtropis (Nomura, 1998). Sebanyak 23 spesies tumbuhan genus ini telah ditemukan di kawasan hutan tropis indonesia (Heyne, 1987). Dari berbagai hasil penelitian mengenai kandungan kimia pada tumbuhan Artocarpus, telah dilaporkan kandungan senyawa-senyawa fenolik yang meliputi: calkon, flavonoid, santon, stilben, dan jenis adduct Diels-Alder (Erwin, 2010). Beberapa spesies tumbuhan Artocarpus telah dikenal oleh masyarakat sebagai obat tradisional dan mempunyai potensi sangat besar untuk mendapatkan senyawa kimia dengan aktivitas biologi menarik yang dapat dikembangkan sebagai obat (Erwin, 2010). Salah satu spesies Artocarpus yang sudah digunakan masyarakat sebagai obat adalah Artocarpus elasticus. A. elasticus merupakan tanaman yang mempunyai nama lokal umum Benda. Daun, buah, dan kulit batang A. elasticus mengandung saponin dan polifenol, di samping itu daun dan buahnya juga mengandung flavonoid. Kulit Batang A. elasticus berkhasiat sebagai obat sakit perut dan getahnya sebagai obat sakit mencret (http://www.warintek.ristek.go. Id//4.009.pdf). Beberapa penelitian yang telah dilakukan terhadap A. elasticus diantaranya telah berhasil mengisolasi beberapa senyawa antara lain senyawa artoindonesianin E1, artocarpin, cycloartocarpin, cudraflavones A, cudraflavones C (Iqbal, 2001), 425 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan sikloartelastoxanton, artelastoheterol, sikloartobiloxanton, artonol (Kai et al, 2009), artelastin, artelastokromen, artelastisin, artokarpesin, artelastini, artelastofuran, siklocommunin (Anake et al, 1998). Diantara beberapa senyawa yang berhasil diisolasi dari tumbuhan A. elasticus, khususnya golongan flavonoid, beberapa diantaranya mempunyai aktivitas biologi sebagai antikanker (artoindonesianin E1), antioksidan (siklo-artelastoxanton, artelastoheterol, sikloartobiloxanton, artonol). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kandungan golongan senyawa tanaman daun A. elasticus dengan metode uji penapisan fitokimia, yang merupakan salah satu pendekatan dalam penelitian tumbuhan obat untuk mendeteksi kandungan senyawa berdasarkan golongan. Pengujian toksisitas dilakukan dengan metode BSLT (Brine Shrimp Lethality Test), yang merupakan metode screening awal dalam pengamatan toksisitas suatu ekstrak atau senyawa melalui pengamatan tingkat kematian larva udang Artemia salina Leach dibandingkan terhadap konsentrasi ekstrak dan/atau senyawa suatu tanaman. Metode pengujian toksisitas (BSLT) ini merupakan metode yang dapat dipercaya, tidak mahal dan relatif mudah dilakukan. Bahan dan Metode Penelitian Bahan Bahan tanaman yang digunakan pada penelitian ini yaitu daun Artocarpus elasticus yang diperoleh dari Hutan Mekongga, Sulawesi Tenggara, pada bulan Maret 2012, voucher spesimen disimpan di Herbarium Bogoriense, Pusat Penelitian Biologi, LIPI. Bahan uji yang digunakan dalam penelitian ini yaitu aquades, pereaksi Bouchardat, pereaksi Mayer, pereaksi Dragendorf, eter, asam sulfat, asam klorida, natrium hidroksida, FeCl3 1%, dan lain sebagainya. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu tabung reaksi, pipet, cawan penguap, peralatan gelas, hot plate, corong, microplate dan pipet Effendorf. Metode Penapisan Fitokimia Alkaloid (DepKes RI, 1995 dan Farnsworth, 1966) Larutan uji: 500 mg ekstrak ditambahkan 1 ml HCl 2N dan 9 ml air kemudian dipanaskan di penangas air selama 2 menit, didinginkan dan disaring sehingga diperoleh filtrat. Pereaksi Bouchardat Pereaksi: 2 g iodium P dan 4 g KI P dilarutkan dalam 100,0 ml aquades prosedur: 1 ml filtrat ditambahkan 2 tetes pereaksi Bouchardat. Jika terbentuk endapan coklat sampai hitam maka mengandung alkaloid. Pereaksi Mayer Pereaksi : campuran larutan raksa (II) klorida P (1,358 g HgCl2 dalam 60 ml akudes) dengan larutan kalium iodida P (5 g kalium iodida P dalam 10 ml akuades) dicukupkan volumenya dengan akuades hingga 100,0 ml. Prosedur: 1 ml filtrat ditambahkan 2 tetes Pereaksi Mayer. Jika terbentuk endapan menggumpal putih atau kuning yang larut dalam metanol maka positif mengandung alkaloid. 426 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Pereaksi Dragendorf Pereaksi : campuran larutan bismuth nitrat P (8 g bismuth nitrat P dalam 20 ml asam nitrat) dan larutan iodida P (27,2 g kalium iodida P dalam 50,0 ml akuades) yang didiamkan hingga memisah sempurna. Larutan jernih diambil dan dicukupkan volumenya dengan aqua dest. hingga 100,0 ml. Prosedur: 1 ml filtrat ditambahkan 2 tetes Pereaksi Dragendorf. Jika terbentuk endapan jingga coklat maka mengandung alkaloid. Serbuk mengandung alkaloid jika sekurang-kurangnya terbentuk endapan dengan dua golongan larutan percobaan yang digunakan. Terpenoid (Farnswoth, 1966) 10 mg ekstrak ditambahkan 5 ml eter dan diuapkan di dalam cawan penguap. Residu ditambahkan 2 tetes asam asetat anhidrat dan 1 tetes asam sulfat pekat. Ekstrak mengandung sterol atau terpen apabila terbentuk warna merah-hijau atau violet-biru. Flavonoid (DepKes RI, 1995) Beberapa mg ekstrak ditambahkan 4 ml etanol P hingga ekstrak larut. 2 ml larutan ditambahkan 0,5 gram serbuk seng P dan 2 ml HCl 2N, didiamkan selama 1 menit. Kemudian ditambahkan 10 tetes HCl pekat P. Jika terbentuk warna merah intensif dalam waktu 2-5 menit menunjukkan adanya flavonoid (glikosida-3flavonol) 2 ml larutan ditambahkan 0,1 gram serbuk magnesium P dan 10 tetes HCl pekat P. Jika terbentuk warna merah jingga sampai merah ungu (positif flavonoid) atau kuning jingga (flavon, kalkon dan auron) Ekstrak dilarutkan dalam aseton P kemudian sedikit serbuk halus asam borat P dan serbuk asam oksalat P, dipanaskan hati-hati dan dihindari pemansan berlebihan. Sisa dicampur dengan 10 ml eter. Diamati dibawah sinar UV 366 nm, jika larutan berflurosensi kuning intensif menunjukkan adanya flavonoid. Tanin (Farnsworth, 1966) Beberapa mg ekstrak kental ditambahkan 15 ml air panas. Kemudian dipanaskan hingga mendidih selama 5 menit. Lalu ditambahkan beberapa tetes FeCl3 1 % menghasilkan hijau violet. Saponin (Harbone, 1987) 500 mg ekstrak dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan 10 ml air panas, dinginkan dan kocok kuat-kuat selama 10 detik. Terbentuk buih yang mantap setinggi 1 hingga 10 cm selama tidak kurang dari 10 menit. Pada penambahan 1 tetes HCl 2N buih tidak hilang. Kuinon dan Antrakuinon (DepKes RI, 1995) Beberapa mg ekstrak kental ditambahkan 10 ml air panas. Kemudian dipanaskan hingga mendidih selama 5 menit. Filtrat disaring. Ke dalam 5 ml filtrat ditambahkan beberapa tetes larutan NaOH 1 N, terbentuk warna merah mengindikasikan positif kuinon. 427 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan BSLT Uji toksisitas metode BSLT digunakan untuk mempelajari toksisitas umum sampel dengan menggunakan telur udang (Artemia salina Leach). Dua wadah disiapkan untuk pembenihan udang dan larva. Dalam satu wadah ditempatkan lampu bersuhu hangat di pembenihan, sementara di wadah lain yang diisikan air laut tidak diberikan. Ke dalam air laut dimasukan ± 50-100 mg udang telur untuk penetasan, lalu diinkubasi selama 48 jam. Ekstrak yang akan diuji dibuat dalam konsentrasi 10, 100 , 500 dan 1000 ppm dalam air laut. Jika sampel tidak larut, tambahkan 10 mL DMSO. Prosedur: Sekitar 100 mL air laut yang mengandung 10-11 larva udang dimasukkan ke dalam wadah uji. Kemudian ditambahkan larutan sampel yang akan diuji 100 mL masing-masing dengan konsentrasi 10, 100, 500 dan 1000 ppm. Masing-masing konsentrasi dilakukan tiga kali pengulangan (triplo). Larutan diaduk sampai homogen. Untuk mengontrol dilakukan dengan menambahkan 10 mL DMSO. Larutan yang tersisa dibiarkan selama 24 jam, kemudian dihitung jumlah larva mati dan hidup di setiap lubang. Jumlah mati nomor larva menjumlahkan larva mati yang mati dalam setiap konsentrasi (3 lubang), dengan cara yang sama untuk menghitung jumlah larva hidup didasarkan pada larva hidup disetiap konsentrasi. Akumulasi perhitungan bilangan mati dilakukan dengan cara sebagai berikut: akumulasi mati 10 ppm = jumlah kematian pada konsentrasi tersebut, akumulasi mati 100 ppm konsentrasi = jumlah yang mati pada 10 ppm + jumlah kematian pada 100 ppm konsentrasi, akumulasi mati untuk konsentrasi 500 ppm = jumlah yang mati pada 10 ppm + nomor mati pada konsentrasi 100 ppm + nomor mati pada konsentrasi 500 ppm. Akumulasi jumlah mati dihitung sampai dengan 1000 ppm. Perhitungan akumulasi hidup masing-masing konsentrasi dilakukan dengan cara sebagai berikut: akumulasi hidup sampai 1000 ppm = jumlah yang hidup pada 1000 ppm, akumulasi hidup untuk konsentrasi 500 ppm = jumlah yang hidup pada 1000 ppm + jumlah yang hidup pada konsentrasi 500 ppm, akumulasi hidup untuk konsentrasi 100 ppm = jumlah yang hidup pada 1000 ppm + angka hidup pada konsentrasi 500 ppm + jumlah yang hidup pada konsentrasi 100 ppm. Akumulasi jumlah hidup dihitung sampai 10 ppm. Selanjutnya, kematian dihitung dengan akumulasi mati dibagi dengan akumulasi hidup dan mati (total) dikalikan dengan 100%. Grafik dibuat dengan konsentrasi log sebagai sumbu x terhadap mortalitas sebagai sumbu y. Nilai LC50 adalah konsentrasi zat yang menyebabkan kematian 50% diperoleh dengan menggunakan persamaan regresi linier y = a + bx. Sebuah zat aktif atau beracun untuk mengatakan ketika nilai LC50 <1000 ppm untuk ekstrak dan <30 ppm untuk senyawa murni (Pimenta et al, 2003) . Hasil dan Pembahasan Penapisan fitokimia dilakukan terhadap terhadap ekstrak metanol, fraksi metanol, fraksi heksan, fraksi etil asetat, fraksi butanol dan fraksi air dari daun Artocarpus elasticus untuk mengidentifikasi golongan senyawa kimia yang terkandung di dalam daun tersebut. Dari data hasil penapisan fitokimia (Tabel 1.) dapat dilihat bahwa daun A. elasticus tidak mengandung senyawa golongan alkaloid, sedangkan senyawa golongan terpenoid, tanin dan kuinon menunjukkan hasil positif pada semua fraksi. 428 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Tabel 1. Hasil uji penapisan fitokimia dari daun Artocarpus elasticus. Fraksi No. Golongan senyawa Metanol Air Etil Asetat 1 Alkaloid (-) (-) (-) 2 Flavonoid (-) (+) (+) 3 Terpenoid (+) (+) (+) 4 Tanin (+) (+) (+) 5 Saponin (+) (+) (-) Kuinon & Antrakuinon 6 (+) (+) (+) * (-) = negatif; (+) = positif Butanol (-) (+) (+) (+) (+) Heksan (-) (-) (+) (+) (+) (+) (Sumber : http://species.wikimedia.org/wiki/Artocarpus_elasticus) Gambar 1. Daun Artocarpus elasticus Uji toksisitas dilakukan terhadap Artemia salina dengan metode BSLT (Brine Shrimp Lethality Test). Metode BSLT merupakan uji biologis pendahuluan yang sangat sederhana untuk analisis dalam berbagai penelitian, seperti residu pestisida, toksin, polutan air, senyawa obat, karsinogenesis dan senyawa aktif dalam ekstrak tanaman dan sering dipakai sebagai panduan atau petunjuk dalam usaha untuk isolasi senyawa toksik dari ekstrak. Digunakan Artemia Salina karena mudah didapat, murah, prosesnya cepat yaitu 1 x 24 jam, mudah dikembangbiakkan dan mudah mati. Uji BSLT dilakukan pada konsentrasi yang berbeda-beda dan dilakukan pada vial uji. Hasil akan terlihat dalam jangka waktu 1 x 24 jam, dilihat dari jumlah banyaknya larva udang yang mati dari tiap-tiap konsentrasi. 429 (+) Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Tabel 2. Hasil uji BSLT dari daun Artocarpus elasticus. (K), Akumulasi Akumulasi No Sampel ppm mati hidup 1 F. Metanol 10 20 70 100 23 60 500 33 33 1000 50 13 2 F. Heksan 10 3 74 100 12 47 500 27 26 1000 46 11 3 F. Etil asetat 10 1 88 100 3 59 500 15 31 1000 32 13 4 F. Butanol 10 3 107 100 6 80 500 8 53 1000 13 25 5 F. Air 10 2 113 100 4 85 500 5 57 1000 7 28 Mortalitas LC-50 22,222 27,711 50,000 79,365 3,896 20,339 50,943 80,702 1,124 4,839 32,609 71,111 2,727 6,977 13,115 34,211 1,739 4,494 8,065 20,000 238,23 302,69 796,16 >1000 >1000 Dalam metode BSLT, tingkat toksisitas dinyatakan dengan nilai LC50 (Lethal Concentration 50%) yaitu konsentrasi senyawa yang memberikan tingkat mortalitas sebesar 50%. Senyawa aktif sebagai antikanker bila memberikan harga mortalitas yang tinggi atau mempunyai nilai LC50 ≤ 1000 ppm. Hasil uji toksisitas menunjukkan bahwa fraksi air dan fraksi butanol tidak mempunyai efek toksik karena nilai LC50 > 1000 ppm, fraksi heksan LC50 302,69 ppm, fraksi metanol LC50 238, 23 ppm, dan fraksi etil asetat memiliki LC50 796,16 ppm. Kesimpulan Dari hasil penapisan fitokimia terhadap lima fraksi yaitu fraksi metanol, fraksi heksan, fraksi etil asetat, fraksi butanol, dan fraksi air dari daun Artocapus elasticus menunjukkan hasil positif pada golongan terpen, tanin, dan kuinon. Sementara itu, semua fraksi menunjukkan hasil yang negatif pada golongan alkaloid. Berdasarkan hasil uji hayati pendahuluan dengan metode BSLT diketahui bahwa fraksi metanol memiliki sifat toksik yang lebih tinggi dari fraksi lainnya yaitu dengan LC50 238.23 ppm, fraksi heksan LC50 302.69 ppm, fraksi etil asetat LC50 796.16 ppm, sedangkan fraksi air dan fraksi butanol tidak toksik dengan LC50 > 1000 ppm. Ucapan Terima Kasih Penelitian ini didanai oleh “proyek Kegiatan Kompetitif Obat LIPI” dan dari Fogarty International Center, the Office of Dietary Supplements, the National Science 430 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Foundation and Department of Energy dengan Grant Number U01TW008160. Kegiatan ini disupport oleh USDA Agricultural Food Research Initiative of the National Institute of Food and Agriculture, USDA, Grant #35621-04750. Daftar Pustaka Anake, K., H.M. Cidade, M.J.T. Gonzalez, C.M. Afonso, A.M.S. Silva, & W. Herz. 1998. Further prenylflavonoids from Artocarpus elasticus. Phytochemistry. 47(5). 875-8. DepKes RI. 1995. Materia Medika Indonesia. DepKes RI. Jakarta. Erwin. 2010. Jurnal Kimia Mulawarman. Kimia F-MIPA Unmul. 8 (1) Farnsworth, N.R. 1966. Biological and Phytochemical Screening of Plants. Journal of Pharmaceutical Sciences. Volume 55. Nomor 3 Harbone, J.B. 1987. Metode Fitokimia : Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. Terbitan kedua. ITB Bandung. Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid II, Dept. Kehutanan, 668-683 http://www.warintek.ristek.go. Id//4.009.pdf diakses tanggal 15 juni 2013 Kai, W.L., H.L. Chiung, Y.T. Huang, H.K.Horng, & L.W Bai. 2009. Antioxidant prenylflavonoids from Artocarpus communis and Artocarpus elasticus. Food Chemistry. 115. 558–562 Megawati, A Darmawan, S. Fajriah, & L. Meiliawati. 2012. Phytochemistry, toxicity and antioxidant activities of Kalanchoe Pinnata (lam.)pers. leavea extracts. Jurnal Bahan Alam Indonesia. Vol 8 No 1. ISSN 1412-2855. 46-49 Megawati, & M. Angelina. 2012. Skrining toksisitas dan uji aktivitas antioksidan senyawa turunan flavonol isolat dari fraksi etilasetat daun Brucea javanica Merril. Jurnal Bahan Alam Indonesia. Vol 8 No 1. ISSN 1412-2855. 50-53 Mustapha, I., et al. 2001. An oxepinoflavone from Artocarpus elasticus with cytotoxic activity against P-388 cells. Arch. Pharm. Res. 32(2). 191-194. Nomura, T., Y. Hano, & M. Aida. 1998. Heterocycles. 47 (2). 1179-1205 Pimenta, L.P.S., G. B. Pinto, J. A. Takahashi, L. G. F. e Silva1, & M. A. D. Boaventura. 2003. Biological screening of Annonaceous Brazilian Medicinal Plants using Artemia salina (Brine Shrimp Test). Phytomedicine.10: 209–212, 431 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Pengaruh Jenis dan Konsentrasi Bahan Penstabil Terhadap Sirup Lidah Buaya Hasnelly, Nana Sutisna Achyadi, Noventri Rukmaningrum ABSTRACT The purpose of this research is determining the effect of stabilizer type, stabilize concentrat and interactions both of them to aloe vera syrup. The benefits of this research is to provide a variety in processing of aloe vera’s and to improve utilization aloe vera. Experimental design used was a 3x3 factorial with 3 replications in a randomized block design. The first factor is the type of stabilizer consisting of n1 (tapioca), n2 (pectin), and n3 (agar-agar). The second factor is the concentration of the stabilizer consistat of r1 (0.5%), r2 (0.75%) and r3 (1%). The results of data analysis showing that stabilizer type influencing the total sugar content, the levels of total dissolved solids (TSS), and aloe vera syrup viscosity test. Stabilizing consentrat influencing the total sugar content, the levels of total dissolved solids (TSS), and aloe vera syrup viscosity. The influence of interaction between stabilizer type and stabilizer concentrate, levels of total dissolved solids (TSS), and aloe vera syrup viscosity test. Stabilizer type, stabilizer concentrate and interactions both of them having no effect to color, flavor, taste, and consistency of aloe vera syrup. Pengantar Lidah buaya dikenal sebagai tanaman yang memiliki banyak khasiat. Tanaman ini tergolong ke dalam suku Liliaceae. Pemanfaatan lidah buaya semakin lama semakin berkembang. Lidah buaya terlebih dahulu dikenal sebagai obat penyubur rambut, penyembuh luka, perawatan kulit, bahan baku industri farmasi dan kosmetika, serta bahan makanan dan minuman kesehatan. Orang-orang kini banyak memanfaatkan lidah buaya untuk pengobatan selain karena mudah didapat juga obat-obatan dengan bahan lidah buaya tidak menggunakan bahan pengawet kimia (Kamala, 2008). Lidah buaya didalamnya terdapat banyak kandungan zat gizi yang diperlukan tubuh dengan lengkap, diantaranya yaitu vitamin A, B, B2, B3, B12, C, E, choline, inositol, dan asam folat. Lidah buaya juga terdapat mineral makro dan mikro yaitu kalsium (Ca), magnesium (Mg), potassium (K), sodium (Na), besi (Fe), zinc (Zn), dan kromiun (Cr). Selain itu dalam lidah buaya juga terdapat berbagai macam enzim diantaranya amilase, katalase, carboxypeptidase, bradykinase. Beberapa unsur vitamin dan mineral tersebut dapat berfungsi sebagai pembentuk antioksidan alami (Kamala, 2008). Dewasa ini lidah buaya menjadi salah satu komiditas pertanian yang mempunyai peluang sangat besar untuk dikembangkan di Indonesia sebagai usaha agribisnis. Produksi lidah buaya pada tahun 2008 sebesar 2.903 ton, tahun 2009 sebesar 5.884 ton (BPS, 2010). Kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi minuman yang menyehatkan cenderung semakin meningkat. Hal ini ditunjukkan dengan bermunculannya beragam produk minuman menyehatkan seperti minuman isotonik, teh hijau dan teh hitam. 433 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Hadirnya beragam produk minuman tersebut disebabkan karena penerimaan pasar terhadap produk menyehatkan yang makin meningkat. SNI (1994), sirup adalah produk minuman yang diperoleh dengan mencampur gula dan sari buah dengan atau tanpa bagian yang dapat dimakan dari satu jenis buah-buahan atau lebih dan dalam penggunaannya diencerkan dengan air, dengan kandungan gula minimal 65%. Bahan pengental adalah bahan tambahan makanan yang dapat membantu terbentuknya atau memantapkan sistem dispersi yang homogen pada makanan, sehingga membentuk kekentalan tertentu (Essautier, 1984). Seorang pengamat makanan kesehatan (suplemen), dr. Freddy Wilmana, Sp.FK, dari sekitar 200 jenis tanaman lidah buaya, yang baik digunakan untuk pengobatan adalah jenis Aloevera Barbadensis miller. Lidah buaya jenis ini mengandung 72 zat yang dibutuhkan oleh tubuh (Anonim, 2009). Tranggono (1989), penggunaan penstabil biasanya adalah untuk memperbaiki kekentalan atau viskositas, tekstur, bentuk makanan. Gum arab dalam industri pangan biasanya digunakan sebagai pengikat aroma, penstabil, dan pengemulsi. Pektin biasanya digunakan sebagai pembentuk gel dan penstabil. Pektin yang ditambahkan dalam industri minuman dapat dilakukan dengan konsentrasi antara 0,05% - 1%. Pembuatan konsentrat minuman jeruk dilakukan penambahan pektin dengan konsentrasi antara 0,1-0,2%. Minuman sari buah dan sirup buah dilakukan penambahan pektin dengan konsentrasi antara 0,05 - 0,1% (Pedersen, 1980). Nelson (1980), pektin bersifat asam dengan nilai pH 2,7-3. Agar-agar merupakan bahan penstabil yang diekstrak dari ganggang merah, konsentrasi 1,5% akan membentuk gel yang kaku bila didinginkan pada suhu 3239oC dan tidak mencair pada suhu kurang dari 85oC, kekentalannya tidak tergantung pH, tetapi relatif stabil pada pH 4,5-9,0 (Glicksman, 1982). Pati tapioka dalam industri pangan digunakan sebagai bahan pengikat maupun sebagai bahan pengental. Pati tapioka mempunyai amilopektin tinggi, tidak mudah menggumpal, daya lekatnya tinggi, tidak mudah pecah, atau rusak dan mempunyai suhu gelatinasasi relatif rendah. Pati Tapioka mempunyai sifat mudah mengembang (swelling) dalam air panas. Selain itu, pati tapioka mempunyai kadar amilosa sebesar 17%-23% dan suhu gelatinisasi berkisar 52-64°C (Ifandro,2011). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh jenis dan konsentrasi bahan penstabil terhadap sirup lidah buaya serta interaksi keduanya. Bahan, Alat dan Metode Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan April 2012 hingga selesai di Laboratorium Penelitian Jurusan Teknologi Pangan, Fakultas Teknik, Universitas Pasundan Bandung, Jl. Dr. Setiabudi No. 193. Bahan dan Alat Penelitian Bahan-bahan yang Digunakan Bahan baku utama yang digunakan dalam pembuatan minuman sirup lidah buaya ini adalah lidah buaya organik dengan varietas Aloevera Barbadensis miller. Bahan 434 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan penunjang yang digunakan adalah gula (sukrosa), tapioka, pektin, agar-agar, air, dan bahan-bahan kimia lainnya yang digunakan untuk analisis bahan baku dan produk seperti aquades, Na-thiosulfat, H2SO4 6N, HCl 9N, amilum, KI, dan larutan I2. Alat-alat yang Digunakan Alat-alat yang digunakan dalam pembuatan minuman sirup buah stroberi ini adalah pisau, panci, blender, pengaduk, kompor, botol dan tutup yang sudah sterilkan, corong, thermometer, dan baskom. Metode Penelitian Metode penelitian yang akan dilakukan meliputi penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan dilakukan untuk membuat kondisi optimal pada penelitian utama yaitu penentuan perbandingan air dengan lidah buaya serta analisis kadar gula total pada bahan baku dan pengukuran pH. Perbandingan air dan lidah buaya yang digunakan adalah 1:1; 1:1.5; dan 1:2. Analisis respon dilakukan secara organoleptik dengan metode uji hedonik terhadap 15 panelis, yang dinilai paling baik oleh panelis, kemudian penilaian dilakukan terhadap warna, rasa, aroma, kekentalan. Penelitian Utama Penelitian utama ini merupakan kelanjutan dari penelitian pendahuluan yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh jenis penstabil dan konsentrasi penstabil serta interaksi keduanya terhadap karakteristik sirup lidah buaya. Penelitian utama ini terdiri dari rancangan perlakuan, rancangan percobaan, rancangan analisis, dan rancangan respon. Rancangan Perlakuan Rancangan perlakuan pada penelitian utama ini terdiri dari dua faktor, yaitu jenis penstabil (N) dan konsentrasi penstabil (R). 1. Jenis Penstabil (N) terdiri dari tiga jenis, yaitu : n1 = Pati tapioka n2 = Pektin n3 = Agar-agar 2. Konsentrasi Penstabil (R) terdiri dari tiga taraf, yaitu : r1 = 0,50% b/v r2 = 0,75% b/v r3 = 1,00% b/v Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pola faktorial (3 x 3) dalam Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 3 kali pengulangan. Adapun variabel yang digunakan adalah jenis penstabil (N) sebanyak 3 taraf dan konsentrasi penstabil (R) sebanyak 3 taraf. 435 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Rancangan Analisis 1. Berdasarkan rancangan percobaan di atas dapat dibuat analisis variasi (ANAVA) untuk mendapatkan kesimpulan mengenai pengaruh perlakuan, dimana analisis variasi) Jika f hitung ≥ f tabel pada taraf 5%, maka perlakuan jenis penstabil dan konsentrasi penstabil serta interaksinya berpengaruh terhadap sirup lidah buaya yang dihasilkan, dengan demikian hipotesis diterima, kemudian akan dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan untuk mengetahui perbedaan sampel. 2. Jika f hitung < f tabel pada taraf 5%, maka perlakuan jenis penstabil dan konsentrasi penstabil serta interaksinya tidak berpengaruh terhadap sirup lidah buaya yang dihasilkan, dengan demikian hipotesis penelitian ditolak. Rancangan Respon Rancangan respon yang dilakukan untuk menentukan optimasi dari perlakuanperlakuan meliputi : 1. Respon Kimia Analisis kimia yang dilakukan terhadap sirup lidah buaya, yaitu analisa gula dengan metode Luff Schoorl (AOAC, 1995). 2. Respon Fisik Analisis fisik yang dilakukan terhadap sirup lidah buaya, yaitu uji Viskositas (Baedhowie M, 1983) dan pengukuran Total Soluble Solute (TSS) dengan menggunakan alat handrefractometer (Baedhowie M, 1983). 3. Respon Organoleptik Uji organoleptik yang dilakukan menggunakan metode hedonik dengan menggunakan 15 orang panelis di setiap perlakuannya. Tujuan percobaan uji hedonik adalah untuk menentukan tingkat kesukaan panelis terhadap sifat organoleptik dalam suatu produk pangan, dengan prinsip percobaan uji hedonik adalah berdasarkan penilaian panelis terhadap sifat organoleptik dengan penganalisaan tingkat mutu hedonik (skala mutu) terhadap kesan yang didapat terhadap sampel-sampel yang disajikan pada panelis, meliputi warna, aroma, kekentalan dan rasa dari produk sirup lidah buaya. 436 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Gambar 1. Diagram Alir Penelitian Pendahuluan Pembuatan Sirup Lidah Buaya 437 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Gambar 2. Diagram Alir Penelitian Utama Pembuatan Sirup Lidah Buaya 438 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Hasil Dan Pembahasan Hasil dan Pembahasan Penelitian Pendahuluan Analisa Bahan Baku Hasil analisis kadar sukrosa dan pH lidah buaya pada lampiran 3 dapat dilihat pada Tabel 1. Analisis Kadar Kadar sukrosa 10,49 % pH 5 Tabel 1. Hasil Analisis Bahan Baku Lidah Buaya Analisis bahan baku ini dilakukan untuk mengetahui secara pasti berapa besar kandungan kadar sukrosa pada lidah buaya tersebut sehingga akan didapatkan perubahan kandungan kadar sukrosa setelah menjadi sirup lidah buaya. Analisis pH dilakukan untuk mengetahui kandungan pH dari lidah buaya tersebut. Penentuan Perbandingan Air dengan Lidah Buaya Hasil perhitungan Anava (Analisisa Variansi) pada lampiran 3 menunjukan bahwa perbandingan air dengan lidah buaya tidak berpengaruh terhadap warna, rasa, aroma, dan kekentalan Sirup Lidah Buaya. Warna yang dihasilkan setiap perlakuan sama sehingga tidak terjadi perbedaan yang berarti, sedangkan rasa yang dihasilkan juga sama. Aroma sirup lidah buaya tidak mengeluarkan aroma yang khas sehingga setiap perlakuan yang ada memiliki aroma yang sama, sedangkan kekentalan sirup memiliki konsentrasi yang sama sehingga dalam penelitian utama digunakan perbandingan antara air dengan lidah buaya yaitu 1:1 karena paling efisien dalam penggunaan bahan baku. Hasil dan Pembahasan Penelitian Utama Respon Kimia Analisis Kadar Sukrosa Sirup pada pembuatannya menggunakan gula pasir (sukrosa) dilarutkan dalam air dan dipanaskan, sebagian sukrosa akan terurai menjadi glukosa dan fruktosa, yang disebut gula invert. Gula invert ini tidak dapat berbentuk kristal karena kelarutan fruktosa dan glukosa sangat besar. Semakin tingginya suhu semakin tinggi juga persentase gula invert yang dapat dibentuk (Winarno, 1992). Hasil perhitungan ANAVA pada lampiran 4, menunjukkan bahwa jenis penstabil (N) dan konsentrasi penstabil (R) serta interaksi antara jenis penstabil dan konsentrasi penstabil (NR) berpengaruh nyata terhadap kadar gula total Sirup Lidah Buaya. Pengaruh interaksi antara jenis penstabil dan konsentrasi penstabil (NR) terhadap kadar gula total sirup lidah buaya dapat dilihat pada Tabel 1 : 439 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Tabel 2. Pengaruh Interaksi antara Jenis Penstabil dan Konsentrasi Penstabil (NR) terhadap Kadar Sukrosa Sirup Lidah Buaya Jenis Penstabil (N) Pati Tapioka (n1) Pektin (n2) Agar-agar (n3) 0,5 % (r1) B 68,28 b A 62,55 a C 72,29 b Konsentrasi Penstabil (R) 0,75 % (r2) 1 % (r3) A B 67,08 66,25 ab a A A 65,49 62,62 b a A A 65,50 64,18 a a Keterangan : Setiap huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata pada taraf 5%. Huruf kecil dibaca horizontal dan huruf besar dibaca vertikal Data tabel 2, menunjukan bahwa kadar sukrosapada jenis penstabil yang sama dan konsentrasil penstabil yang berubah (horizontal) pada Pati tapioka (n1) terjadi perbedaan yang nyata. Pektin (n2) terjadi perbedaan yang nyata. Agar-agar (n3) tidak terjadi perbedaan yang nyata. Pektin adalah senyawa yang dengan gula dapat membentuk gel. Koswara (2010), pektin merupakan turunan dari gula yang biasa terdapat pada tanaman jumlahnya kecil di banding karbohidrat lain. Pektin di bentuk oleh satuan-satuan gula dan asam galakturonat yang lebih banyak dari pada gula sederhananya.. Pati tapioka berpengaruh terhadap kadar gula total karena mengandung polisakarida. Pati banyak digunakan sebagai pengental. Agar-agar sebenarnya adalah karbohidrat dengan berat molekul tinggi yang mengisi dinding sel rumput laut. Agar-agar mengandung karbohidrat yaitu merupakan polisakarida yang dapat menghasilkan larutan yang sangat kental dan merupakan pembentuk gel yang paling kuat karena pembentukan gel sudah dapat teramati pada konsentrasi rendah yaitu 0,04% (FAO 2003). Respon Fisika Analisis Kadar Total Padatan Terlarut (TSS) Total padatan terlarut menunjukkan konsentrasi padatan sirup yang sebagian besar adalah gula (sukrosa), biasanya ditampilkan dalam bentuk oBrix (N.Potter, 1973).. Nilai °Brix yang ditentukan melalui refraktometer sangat tergantung pada nilai indeks refraksi, Indeks refraksi bervariasi nilainya berdasarkan temperatur larutan, panjang gelombang sinar refraktometer dan jumlah padatan yang terlarut. Hasil perhitungan ANAVA pada lampiran 4, menunjukkan bahwa jenis penstabil (N) dan konsentrasi penstabil (R) serta interaksi antara jenis penstabil dan konsentrasi penstabil (NR) berpengaruh nyata terhadap kadar total padatan terlarut (TSS) Sirup Lidah Buaya. Pengaruh interaksi antara jenis penstabil dan konsentrasi penstabil (NR) terhadap kadar total padatan terlarut (TSS) sirup lidah buaya dapat dilihat pada Tabel 3 : 440 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Tabel 3. Pengaruh Interaksi antara Jenis Penstabil dan Konsentrasi Penstabil (NR) terhadap Kadar Total Tadatan Terlarut (TSS) Sirup Lidah Buaya Jenis Penstabil (N) Pati tapioka (n1) Pektin (n2) Agar-agar (n3) 0,5 % (r1) A 63,84 c A 63,16 c A 62,81 c Konsentrasi Penstabil (R) 0,75 % (r2) C 58,15 a BC 57,14 a A 53,13 a 1 % (r3) C 61,49 b BC 60,84 b A 56,14 b Keterangan : Setiap huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata pada taraf 5%. Huruf kecil dibaca horizontal dan huruf besar dibaca vertikal Data tabel 2, menunjukan bahwa kadar total padatan terlarut pada jenis penstabil yang sama dan konsentrasil penstabil yang berubah (horizontal) pada Pati tapioka (n1) terjadi perbedaan yang nyata. Pektin (n2) terjadi perbedaan yang nyata. Agar-agar (n3) terjadi perbedaan yang nyata. Adanya tapioka, agar-agar, dan pektin maka gel terbentuk semakin cepat dan kuat, karena masing-masing hidrokoloid mempunyai kemampuan membentuk gel. Gel yang kokoh akan mengikat air dengan kuat sehingga nilai total padatan tertalut tinggi. Gel yang baik dapat diperoleh dengan pemanasan yang tepat. Mekanisme pembentukan gel adalah pektin merupakan koloid yang bermuatan negatif, bila dipanaskan senyawa ini akan berubah menjadi senyawa pektin yang larut dan senyawa pektat. Tinggi rendahnya nilai total padatan terlarut juga disebabkan terjadinya kesetimbangan antara rasa manis dari gula dengan jumlah kandungan asam yang terdapat pada lidah buaya yang digunakan pada pembuatan sirup. Uji Viskositas Stabilitas minuman diperoleh apabila semua partikel yang terdapat pada bahan terdispersi merata di dalam cairan. Hasil perhitungan ANAVA pada lampiran 4, menunjukkan bahwa jenis penstabil (N) dan konsentrasi penstabil (R) serta interaksi antara jenis penstabil dan konsentrasi penstabil (NR) berpengaruh nyata terhadap viskositas Sirup Lidah Buaya. Pengaruh interaksi antara jenis penstabil dan konsentrasi penstabil (NR) berpengaruh nyata terhadap Viskositas sirup lidah buaya dapat dilihat pada Tabel 4 : 441 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Tabel 4. Pengaruh Jenis Penstabil (N) terhadap Viskositas Sirup Lidah Buaya Jenis Penstabil (N) Pati tapioka (n1) Pektin (n2) Agar-agar (n3) 0,5 % (r1) A 1,77 a B 5,90 a C 8,17 a Konsentrasi Penstabil (R) 0,75 % (r2) A 1,87 a B 6,00 a C 8,67 a 1 % (r3) A 2,13 a B 5,67 a C 10,33 b Keterangan : Setiap huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata pada taraf 5%. Huruf kecil dibaca horizontal dan huruf besar dibaca vertikal Data tabel 4, menunjukkan bahwa jenis penstabil terhadap viskositas sirup lidah buaya untuk jenis penstabil pati tapioka (n1) dan pektin (n2) tidak terjadi perbedaan yang nyata. Agar-agar (n3) terjadi perbedaan nyata. Sifat dari agar-agar yang akan membentuk gel pada suhu kamar dan mudah menyerap air maka agar-agar merupakan pembentuk gel sangat kuat, karena pembentukan gel sudah dapat teramati pada konsentrasi 0,04%. Gel agar-agar bersifat reversible terhadap suhu, peningkatan konsentrasi agar-agar akan meningkatkan kekuatan dan kekerasan gel. Pembentukan gel dari pektin dengan derajat metilasi tinggi dipengaruhi juga oleh konsentrasi pektin, persentase gula, dan pH. Makin besar konsentrasi pektin, makin keras gel yang terbentuk. Konsentrasi 1% telah menghasilkan kekerasan yang cukup baik. Pektin mempunyai sifat dapat larut dalam air tetapi apabila dicampur dengan gula dan asam akan membentuk gel, karena pektin adalah koloid yang reversible. Respon Organoleptik Warna Warna merupakan suatu sifat bahan yang dianggap berasal dari penyebaran spektrum sinar, begitu juga sifat kilap dari bahan dipengaruhi oleh sinar terutama sinar pantul. Timbulnya warna dibatasi oleh faktor terdapatnya sumber sinar, pengaruh tersebut terlihat apabila suatu bahan dilihat ditempat yang suram dan ditempat yang gelap akan memberikan perbedaan yang menyolok (Kartika, dkk., 1988). Hasil perhitungan ANAVA pada lampiran 4 menunjukkan bahwa jenis penstabil (N), konsentrasi penstabil (R), serta interaksi jenis penstabil dan konsentrasi penstabil (NR) tidak berpengaruh terhadap warna Sirup Lidah Buaya. Uji organoleptik sifatnya subjektif dimana panelis diminta memberikan penilaian terhadap warna sampel sirup lidah buaya berdasarkan kesukaannya. Warna yang ditimbulkan oleh sirup lidah buaya adalah warna putih kebeningan karena bahan baku lidah buaya memiliki warna yang bening serta jenis bahan penstabil yang ditambahkan pada sirup tidak memiliki perubahan yang berarti. Jenis penstabil yang ditambahkan yaitu tapioka, pektin, dan agar-agar mempunyai warna yang sama, sehingga pada saat ditambahkan hasilnya memiliki warna sirup yang sama. 442 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Rasa Rasa merupakan faktor yang cukup penting dari suatu produk makanan selain penampakan dan warna. Umumnya bahan pangan tidak hanya terdiri dari salah satu rasa saja, akan tetapi merupakan gabungan dari berbagai macam rasa yang terpadu sehingga akan menimbulkan cita rasa makanan yang utuh dan padu (Kartika, dkk., 1988). Hasil perhitungan ANAVA pada lampiran 4 menunjukkan bahwa jenis penstabil (N), konsentrasi penstabil (R), serta interaksi jenis penstabil dan konsentrasi penstabil (NR) tidak berpengaruh terhadap rasa Sirup Lidah Buaya. Rasa yang ditimbulkan oleh sirup lidah buaya hanya rasa manis yang ditimbulkan oleh gula karena bahan baku lidah buaya memiliki rasa yang netral serta jenis bahan penstabil yang ditambahkan pada sirup tidak memberikan rasa. Hal ini disebabkan karena selain agar-agar, tapioka, dan pektin yang ditambahkan pada sirup lidah buaya mempunyai rasa yang netral, juga konsentrasi penambahan penstabil yang sedikit menyebabkan yang ditambahkan tidak mengubah rasa dasar dari sirup lidah buaya. Aroma Aroma didefinisikan sebagai suatu yang dapat diamati dengan indera pembau. Penilaian terhadap aroma dipengaruhi oleh faktor psikis dan fisiologis yang menimbulkan pendapat berlainan (Winarno, 1997). Hasil perhitungan ANAVA pada lampiran 4 menunjukkan bahwa jenis penstabil (N), konsentrasi penstabil (R), serta interaksi jenis penstabil dan konsentrasi penstabil (NR) tidak berpengaruh terhadap aroma Sirup Lidah Buaya. Aroma yang ditimbulkan oleh sirup lidah buaya tidak menimbulkan aroma yang khusus karena bahan baku lidah buaya tidak memiliki aroma yang khas. Jenis bahan penstabil seperti agar-agar, tapioka, dan pektin yang ditambahkan pada sirup lidah buaya mempunyai aroma yang netral, juga konsentrasi penambahan penstabil yang sedikit menyebabkan yang ditambahkan tidak mengubah aroma dasar dari sirup lidah buaya. Kekentalan Kekentalan sirup dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain perbandingan jumlah gula, sari buah dan air perlu diperhatikan agar diperoleh produk akhir dengan kekentalan yang diinginkan. Glukosa dan fruktosa juga memberikan rasa berisi karena dapat memperbaiki kekentalan (Lutony, 1993). Hasil perhitungan ANAVA pada lampiran 4 menunjukkan bahwa jenis penstabil (N), konsentrasi penstabil (R), serta interaksi jenis penstabil dan konsentrasi penstabil (NR) tidak berpengaruh terhadap kekentalan Sirup Lidah Buaya. Uji organoleptik sifatnya subjektif dimana panelis diminta memberikan penilaian terhadap kekentalan sampel sirup lidah buaya berdasarkan kesukaannya. Kekentalan yang dihasilkan produk sirup lidah buaya hampir seragam meskipun dengan perbedaan konsentrasi bahan penstabil yang ditambahkan cenderung tidak mempengaruhi kekentalan dari sirup lidah buaya. 443 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Setelah dilakukan percobaan dan penelitian pengaruk jenis dan konsentrasi bahan penstabil terhadap sirup lidah buaya, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Jenis bahan penstabil berpengaruh nyata terhadap kadar sukrosa, total padatan terlarut, dan viskositas sirup lidah buaya, kecuali terhadap respon organoleptik. 2. Konsentrasi bahan penstabil berpengaruh nyata terhadap total padatan terlarut, dan viskositas sirup lidah buaya, kecuali terhadap kadar sukrosa dan respon organoleptik. 3. Interaksi antara jenis dan konsentrasi bahan penstabil berpengaruh nyata terhadap total padatan terlarut dan viskositas sirup lidah buaya, kecuali terhadap kadar sukrosa dan respon organoleptik. Saran Berdasarkan hasil evaluasi terhadap penelitian yang telah dilakukan, saransaran yang dapat diberikan : 1. Perlu dilakukan penelitian mengenai daya tahan simpan sehingga diperoleh batas waktu kadaluarsa pada produk sirup lidah buaya. 2. Perlu dilakukan penelitian mengenai metode pembersihan lidah buaya yang tepat untuk pembuatan sirup lidah buaya. Daftar Pustaka Anonim, (2009), Jenis Tanaman Lidah Buaya,(http://kamissore.blogspot.com), (akses 24-2-2012). Association Official Analytical Chemists, (1995), Official Methods Of Analysis Of The association Of Official Analytical Chemists, 14th ed, AOAC, Inc. Arlington, Virginia. Badan Pusat Statistik, (2010), Produksi Lidah Buaya. Jakarta Baedhowie, M., dan Sri P., (1983), Petunjuk Praktek Pengawasan Mutu Hasil Pertanian I, Penerbit Departement Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan. Buckle, K.A., Edwards R.A., Fleet G.H., Woottom M. Penterjemah Hari Purnomo dan Adiono, (1987), Ilmu Pangan, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta. deMan,M. J., (1997), Kimia Makanan, Edisi ke daua, Penerbit ITB, Bandung. Essautier, B., (1984), Biotechnologies et Agent Texturants, Biofuture. Fadhilah, S. R., (2008), Analisa Sikap Konsumen Terhadap Minuman Lidah Buaya (Aloe vera) KAVERA (Kasus Deepok, Jawa Barat), Fakultas Pertanian, IPB, Bogor. Gasperz, T. E., (1995), Teknik Analisis Dalam Penelitian Percobaan, Cetakan Kedua, Penerbit TARSITO, Bandung. Glicksman, M., (1982), Food Hidrocolloids, Academic Press, New York Iriani, N.I., (2010), Lidah Buaya, (www.irma.blogspot.com), (akses 26-11-2011). Meyer, L. H., (1978), Food Chemistry, The AVI Publishing Co., Inc., Westport, Connecticut. 444 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Mori, B., ( 2008), Aloe vera, (www.blogspot.com), (akses 26-11-2011). Pedersen, J.K., (1980) Pektin, dalam : CRC Handbook of Water-Soluble Gums and Resins, McGraw-Hill Book Company, New York. Satuhu, S.i, (1994), Penanganan dan Pengolahan Buah, Penerbit Penebar Swadaya, Jakarta. Soekarto, S. T., (1985), Penilaian Organoleptik, Bhatara Karya Aksara, Jakarta. Standar Industri Indonesia, SII. 0153, (1977), Syarat Mutu Sirup, Jakarta. Standar Nasional Indonesia, SNI 01-2984-1994, (1994), Syarat Mutu Sirup, Jakarta. Standar Nasional Indonesia, (1992), Sirup, Pusat Standarisasi Indonesia, Departemen Perindustrian Republik Indonesia, Jakarta. Standar Nasional Indonesia, SNI 10-3140-1992, (1992), Syarat Mutu Sukrosa (Gula Pasir), Jakarta. Sudarmadji, S., 2007, Analisis Bahan Makanan dan Pertanian, Penerbit Liberty Yogyakarta Wijoyo, M. P., 2008, Rahasia Budi Daya Dan Ekonomi Stroberi, Penerbit Bee Media Indonesia, Jakarta. Tranggono, (1990), Bahan Tambahan Makanan dan Minuman, PAU Pangan dan Gizi, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. WardhWinarno, F. G, dan Srikandi F., (1980), Pengantar Teknologi Pangan, PT. Gramedia, Jakarta. Winarno, F. G, (1997), Kimia Pangan Dan Gizi, Penerbit PT. Gramedia, Jakarta 445 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Perbandingan Penggunaan Enzim Peroksidase dari Batang Sawi Hijau (Brassica Juncea) dan Enzim Horseradish Pada Sintesis Isoeugenol dan Uji Aktivitas Antioksidan Andini Sundowo* dan Yulia Anita Pusat Penelitian Kimia LIPI, Kawasan PUSPIPTEK Serpong, Tangerang Selatan Email : andinis@yahoo.com ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan sintesis isoeugenol dengan menggunakan katalis enzim peroksidase yang berasal dari batang sawi hijau (Brassica juncea) dan enzim horseradish. Enzim peroksidase merupakan kelompok enzim oksidoreduktase yang mampu mengkatalisis reaksi oksidasi oleh hidrogen peroksida. Hasil dari sintesis isoeugenol ini kemudian diuji aktivitas antioksidannya dengan menggunakan metoda DPPH (2,2-diphenyl1-picrilhydrazil) dibandingkan dengan quercetin sebagai standar. Dari pengujian antioksidan diperoleh nilai IC50 masing-masing sebesar 55,99 µg/mL untuk sintesis menggunakan enzim peroksidase dari sawi hijau dan 41,25 µg/mL untuk sintesis menggunakan enzim peroksidase komersil. Kata Kunci : sintesis isoeugenol, enzim peroksidase, Pengantar Polimer fenolik terbentuk dari reaksi kopling oksidatif yang dihasilkan dari oksidasi fenol oleh peroksidase dengan substrat H2O2.( Cristina, et al, 2010). Beberapa senyawa fenolik yang sering dijumpai dan bermanfaat antara lain eugenol, isoeugenol , katekin, cinnamaldehida dan lain-lain. Isoeugenol digunakan pada parfum, sabun, detergen, penyegar udara dan kosmetik (Kadoma, et al, 2007) Senyawa fenolik mempunyai struktur yang khas, yaitu memiliki satu atau lebih gugus hidroksil yang terikat pada satu atau lebih cincin aromatik benzena, sehingga senyawa ini juga memiliki sifat yang khas, yaitu dapat teroksidasi. Kemampuannya membentuk radikal fenoksi yang stabil pada proses oksidasi menyebabkan senyawa ini banyak digunakan sebagai antioksidan (Dewi, 2010). Peroksidase dapat dianggap sebagai enzim bifungsional yang dapat mengoksidasi berbagai substrat terhadap H2O2 dan dapat menghasilkan spesies oksigen reaktif. Tanaman peroksidase berpartisipasi dalam berbagai proses fisiologis termasuk perpindahan hidrogen peroksida, oksidasi senyawa beracun, biosintesis dinding sel ( lignin dan suberin), biosintesisetilen dan respon pertahanan terhadap tekanan lain. (Saleh, et al, 2011). Peroksidase sebagai enzim yang mengkatalis reaksi oksidasi oleh hidrogen peroksida dari sejumlah substrat yang merupakan donor hidrogen, salah satu contoh donor hidrogen adalah isoeugenol. Peroksidase adalah enzim yang mengkatalis reaksi oksidasi oleh hidrogen peroksida dari sejumlah substrat yang merupakan donor 447 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan hidrogen seperti anilin, pirogalol, fenol, asam askorbat dan lainnya. Enzim peroksidase mengkatalisis senyawa fenolik, sedangkan H2O2 berfungsi untuk menginisiasi biosintesis beberapa metabolisme sekunder yang diperlukan pada proses pertumbuhan dan diferensiasi (Uyama, 2002). Enzim peroksidase sebagai katalis yang bersifat selektif terhadap polimerisasi fenolik dan proses reaksi enzimatik ini kerap kali merupakan suatu proses reaksi yang ramah lingkungan dibandingkan dengan penggunaan katalis kimia (Shin, 2004) Proses reaksi ini menggunakan enzim peroksidase sebagai biokatalis dan tanaman yang telah diketahui banyak mengandung enzim peroksidase adalah tanaman horseradish (Yulia, 2004). Horseradish merupakan tanaman yang dibudidayakan di daerah-daerah di dunia, bagian yang digunakan adalah akarnya. Tanaman ini kaya akan peroksidase. Produksi peroksidase dari akar horseradish relatif besar karena digunakan sebagai enzim komersil (Nigel, 2004) Uji antioksidan dilakukan dengan menggunakan metode “DPPH free scavenging activity” menggunakan DPPH (1,1-diphenyl-2-pikrilhidrazil) yang merupakan radikal bebas, yang jika direaksikan dengan sampel yang mengandung antioksidan maka akan terjadi reaksi penangkapan hidrogen dari antioksidan oleh radikal bebas DPPH (ungu) yang kemudian berubah menjadi 1,1-difenil-2pikrilhidrazin (kuning). (Yen, 1995) Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan penggunaan enzim peroksidase yang berasal dari batang sawi hijau dan enzim horseradish murni sebagai katalis reaksi kopling senyawa fenolik isoeugenol. Tanaman sawi hijau memiliki aktivitas yang cukup potensial dalam pembentukan senyawa polimer. Material dan Metoda Alat Bahan : Spektrofotometer, hotplate stirrer dan alat-alat gelas. : Enzim peroksidase dari batang sawi hijau, enzim horseradish, isoeugenol, H2O2 5%, HCl 5%, buffer posphat pH 7, etil asetat, DPPH (1,1-diphenyl-2pikrilhidrazil) dan metanol. Sintesis isoeugenol dengan katalis enzim peroksidase dari batang sawi hijau Sebanyak 20 mL enzim peroksidase yang mempunyai aktivitas spesifik sebesar 3.4 U/mg direaksikan dengan 2 mL isoeugenol dan ditambahkan 1 mL H2O2 5% setetes demi setetes, ketiganya direaksikan selama 2 jam pada suhu dingin, kemudian ditambahkan larutan HCl 5% sampai pH 2. Setelah reaksi selesai, hasil reaksi dipindahkan ke dalam corong pisah dan diekstraksi dengan etil asetat. Fase etil asetat dipisahkan dari fase air sehingga diperoleh fase etil asetat yang berwarna coklat. Fase etil asetat dihilangkan airnya dengan menambahkan MgSO4 anhidrat.dan dipekatkan dengan rotary evaporator. Sintesis isoeugenol dengan katalis enzim horseradish Sebanyak 1,3 mg enzim horseradish dilarutkan dengan 10 mL buffer posphat pH 7 dan ditambahkan 1 mL H2O2 5% setetes demi setetes, ketiganya direaksikan selama 2 jam pada suhu dingin, kemudian ditambahkan larutan HCl 5% sampai pH 2. Setelah 448 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan reaksi selesai, hasil reaksi dipindahkan ke dalam corong pisah dan diekstraksi dengan etil asetat. Fase etil asetat dipisahkan dari fase air sehingga diperoleh fase etil asetat yang berwarna coklat. Fase etil asetat dihilangkan airnya dengan menambahkan MgSO4 anhidrat.dan dipekatkan dengan rotary evaporator. Uji Antioksidan Sampel sebanyak 4 mg dilarutkan dalam 4 ml metanol untuk mendapatkan 1.000 mg / mL sebagai larutan stok. Kemudian sampel diencerkan dengan metanol untuk mendapatkan konsentrasi masing-masing sebesar 10, 40, 200 dan 1000 mg / mL untuk ekstrak dan 10, 20, 50, 100, dan 200 mg / mL untuk senyawa murni. Masingmasing ditambahkan DPPH sebanyak 500 mL dan diinkubasi pada suhu 37ºC selama 30 menit. Kemudian diukur absorbansinya pada 515 nm. Uji kontrol positif menggunakan quercetin dan asam askorbat (Vit C). Aktivitas antioksidan dihitung sebagai persentase inhibisi terhadap DPPH ( persentase “scavenging effect”) dengan persamaan: [1 - (B / A)] x 100%, A adalah absorbansi blanko dan B adalah absorbansi sampel. Nilai IC50 menunjukkan konsentrasi sampel yang diperlukan untuk memberikan % inhibisi sebesar 50%. Hasil dan Pembahasan Isoeugenol merupakan senyawa fenolik yang mampu menyumbangkan proton dari gugus fenolnya jika direaksikan dengan larutan H2O2 yang bertindak sebagai akseptor proton. Enzim peroksidase dalam penelitian ini digunakan sebagai biokatalis untuk reaksi polimerisasi senyawa fenolik. Pada penelitian ini digunakan substrat isoeugenol sebagai senyawa fenolik yang bertindak sebagai donor hidrogen dan H2O2 sebagai substrat akseptor hidrogen. Satu unit enzim peroksidase mampu menguraikan 1 mol peroksida permenit pada suhu 25oC dan pada pH 7, penelitian ini menggunakan isoeugenol sebagai donor hidrogen. (Yulia 2012). Enzim peroksidase dari sawi hijau berbentuk cairan dan sedangkan enzim horseradish murni berbentuk padatan. Reaksi dilakukan pada kondisi dingin untuk menjaga kondisi enzim supaya tidak rusak karena adanya kenaikkan suhu. Penambahan HCl bertujuan untuk menghentikan reaksi dan membuat kondisi asam. Reaksi menghasilkan cairan berwarna kuning dan setelah dipekatkan dengan rotary evaporator berwarna kuning kecoklatan. Untuk reaksi dengan enzim sawi hijau diperoleh sebesar 1,1374 g dan 1,8059 untuk reaksi dengan enzim horseradish murni. Proses reaksi dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1. Proses reaksi isoeugenol dengan enzim peroksidase 449 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Senyawa isoeugenol yang mempunyai gugus fenolik telah dikenal bersifat antioksidan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui aktivitas antioksidan hasil reaksi isoeugenol dengan menggunakan enzim dari batang sawi hijau, enzim horseradish murni dan substratnya yaitu isoeugenol dibandingkan dengan quercetin sebagai standar. Metoda DPPH dipilih karena merupakan metoda yang sederhana, mudah, cepat dan peka serta hanya memerlukan sedikit sampel. (Hanani, 2005) Uji antioksidan dilakukan dengan menggunakan metode “DPPH free scavenging activity” menggunakan DPPH (1,1-diphenyl-2-pikrilhidrazil) yang merupakan radikal bebas, yang jika direaksikan dengan sampel yang mengandung antioksidan maka akan terjadi reaksi penangkapan hidrogen dari antioksidan oleh radikal bebas DPPH (ungu) yang kemudian berubah menjadi 1,1-diphenyl-2pikrilhidrazin (kuning). (Yen, 1995) Reaksi DPPH dengan senyawa yang mengandungantioksidan dapat dilihat pada Gambar 2. Aktivitas antioksidan merupakan kemampuan suatu senyawa atau ekstrak untuk menghambat reaksi oksidasi yang dapat dinyatakan dengan persen peredaman. Parameter yang digunakan untuk menunjukan aktivitas antioksidan adalah Inhibition Concentration (IC50) yaitu konsentrasi suatu zat antioksidan yang dapat menyebabkan 50% DPPH kehilangan karakter radikal atau konsentrasi suatu zat antioksidan yang memberikan % penghambatan sebesar 50%. (Asnah Marzuki, dkk, 2012) H N-N(C6H5)2 N-N(C6H5)2 NO2 O2N NO2 O2N + AH NO2 + A NO2 1,1-diphenyl-2-pikrilhidrazil 1,1-diphenyl-2-pikrilhidrazin Gambar 2. Reaksi DPPH dengan senyawa antioksidan Uji aktivitas antioksidan dengan metoda DPPH ini dilakukan dengan menggunakan 4 konsentrasi dan diukur serapan absorbansinya pada panjang gelombang 515 nm. Pengujian menggunakan quercetin sebagai standar. Hasil uji antioksidan reaksi isoeugenol dengan enzim peroksidasi dapat dilihat paga Tabel 1. 450 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Tabel 1. Hasil uji antioksidan reaksi isoeugenol dengan enzim peroksidase Konsentrasi No. Nama Sampel % Inhibisi (µg/mL) Quercetin 40 90.68 30 86.37 1 20 78.19 10 49.38 Isoeugenol 100 90.65 60 77.36 2 30 60.23 10 48.81 Hasil reaksi 100 92.83 isoeugenol dengan 60 89.10 3 enzim horseradish 30 84.32 murni 10 57.53 Hasil reaksi 100 93.98 isoeugenol dengan 60 88.79 4 enzim sawi hijau 30 75.70 10 40.71 IC50 (µg/mL) 10.97 14.71 55.99 41.25 Dari data yang diperoleh menunjukkan hasil reaksi baik yang menggunakan enzim peroksidase dari sawi hijau maupun enzim horseradish murni mempunyai aktivitas antioksidan yang cukup kuat yaitu mempunyai nilai IC50 < 100 µg/mL walaupun masih lebih besar dari standar quercetin yang mempunyai nilai IC50 sebesar 10.47 µg/mL. Dalam hal ini quercetin berfungsi sebagai standar positif karena mempunyai nilai IC50 lebih kecil dibandingkan dengan sampel yang diuji. Suatu sampel dikatakan aktif sebagai antioksidan apabila mempunyai nilai IC50 < 200 µg/mL. Semakin kecil nilai IC50 suatu sampel atau senyawa menunjukkan semakin besar atau kuat kemampuan menangkap radikal bebas dari sampel atau senyawa tersebut. Gambar 3. Grafik uji antioksidan reaksi isoeugenol dengan enzim peroksida 451 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Dari Gambar 3 terlihat bahwa nilai % inhibisi untuk masing-masing konsentrasi berbeda. Pada konsentrasi 10 µg/mL, 30 µg/mL dan 60 µg/mL reaksi yang menggunakan enzim horseradish murni mempunyai nilai inhibisi terbesar yaitu sebesar 57.53 % , 84.32 % dan 89.10 %. Sedangkan pada konsentrasi 100 µg/mL inhibisi terbesar diperoleh pada reaksi yang menggunakan enzim sawi hijau yaitu sebesar 93.98 %. Kesimpulan Hasil reaksi yang menggunakan enzim peroksidase dari sawi hijau mempunyai nilai IC50 sebesar 41.25 µg/mL, lebih kecil dibandingkan dengan reaksi yang menggunakan enzim horseradish murni yang mempunyai nilai IC50 sebesar 55.99 µg/mL. Dengan demikian penggunaan enzim perosidase dari sawi hijau akan lebih menguntungkan karena lebih murah dibandingkan dengan enzim horseradish murni. Perlu dilakukan pemurnian enzim dari sawi hijau untuk meningkatkan aktivitas enzim maupun aktivitas biologi dari hasil reaksi isoeugenol. Daftar Pustaka Asnah, M dkk. 2012. Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etil Asetat Kayu Batang Banyuru Sulawesi (Pterospermum Celebicum Miq.) Dengan Metode Penangkapan Radikal Bebas DPPH (2,2-Diphenyl-1-Picryl-Hydrazyl). Majalah farmasi dan farmakologi, Vol. 16,3 : 147-150 Cristina, N.; Candice, G.; Stephanie, B.; Bruno, D.; Sergio, R. 2010. Laccasemediated oxidation of phenolic derivatives. Journal of Molecular Catalysis B: Enzymatic. 65: 52–57. Dewi Elvi. 2010. Sintesis Senyawa Dimer Eugenol dan Isoeugenol yang Dikatalisis oleh Enzim Peroksidase Dari Tumbuhan Horseradish Serta Uji Aktivitas Antioksidan. Tesis. Jurusan Kimia. Universitas Indonesia. Hanani, E. Dkk. 2005. Identifikasi Senyawa Antioksidan Dalam Spons Callyspongia Sp Dari Kepulauan Seribu. Majalah Ilmu Kefarmasian. Vol. II. 3: 127-133 Kadoma, Y . Et.al. 2007. Radical-scavenging Activity of the Reaction Products of Isoeugenol with Thiol, Thiophenol, Mercaptothiszoline or Mercaptomethylimidazole Using the Induction Period Method. Molecules, 12, 1836-1844. Nigel C. Veitch. 2004. Horseradish peroxidase : a modern view of c;lassic enzyme.. Phytochemistry. 65 :249-259 Saleh A Mohamed, et al. 2011. Characterisation of an anionic peroxidase from horseradish cv. Balady. Food Chemistry. 128 : 725-730 Shin-Cheng Tzeng, Yeuk-Chuen Liu. 2004. Peroxidase-catalyzed synthesis of neolignan and itsanti-inflammatory activity. Journal of Molecular Catalysis B: Enzymati. 32: 7–13. Uyama, H and Kobayashi, S. 2002. Enzyme-catalyzed polymerization to functional polymers. Journal of Molecular Catalysis B: Enzymatic. 19-20: 117-127. 452 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Yen, G.C dan H. Y. Chen. 1995. Antioxidant Activity of Various Tea Extracts in Relation to Their Antimutagenicity. J. Agric. Food. Chem. 27-32 Yulia Anita. 2004. Produksi Senyawa Bioaktif dari reaksi Guaiakol dengan Enzim Perroksidase dan Uji aktivitas Alelopati. Skripsi. Jurusan Kimia,. Universitas Indonesia. Yulia Anita. 2012. Laporan Akhir Tahunan. Disain dan biotransformasi Dimer Eugenol dan Turunannya Terhadap Reseptor Estrogen Sebagai Obat Kanker Payudara. 453 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Ekstraksi, Partisi Serta Uji Aktivitas Antioksidan dari Daun Tanaman Artemissia Annua L Andini Sundowo* dan Yulia Anita Pusat Penelitian Kimia LIPI, Kawasan PUSPIPTEK Serpong, Tangerang Selatan Email : andinis@yahoo.com ABSTRAK Telah dilakukan ekstraksi, partisi dan uji antioksidan dari daun Artemissia annua L yang berasal dari hasil budidaya di Indonesia. Daun Artemissia annua L diekstraksi dengan metoda maserasi menggunakan etanol sebagai pelarut, ekstrak yang diperoleh kemudian dipartisi dengan pelarut heksan-air dan etil asetat-air. Ekstrak dan fraksi-fraksi diuji aktivitas antioksidannya dengan menggunakan metoda DPPH (2,2-diphenyl-1-picrilhydrazil). Diperoleh nilai antioksidan yang ditunjukkan dengan IC50 masing-masing sebesar 181,68 µg/mL untuk ekstrak etanol, > 200 µg/mL untuk fraksi heksan, 228,77 µg/mL untuk fraksi etil asetat dan 176,93 µg/mL untuk fraksi air. Kata kunci : Artemissia annua L, antioksidan, DPPH Pengantar Artemisia annua L merupakan tanaman asli Cina yang dikenal dengan nama quinghao. Tanaman obat ini dapat digunakan sebagai obat demam dan malaria.(Thomas, et al. 2011) Tanaman ini tumbuh di bagian utara propinsi Chahar dan Suiyan, tumbuh di ketinggian 1000-1500 m di atas permukaan laut (Rita Baraldi, et al, 2008). Tumbuh liar di beberapa daerah di Eropa dan Amerika bagian Utara. (Bhakuni, et al, 2001). Beberapa kandungan senyawa dalam tanaman Artemisia annua berpotensi sebagai antimalaria, antioksidan dan antikanker. (Jorge. F. S. Ferreira, et al. 2010) Meskipun artemisia berasal dari daerah sub tropis, tetapi dapat dikembangkan di daerah tropis, melalui pemuliaan (seleksi adaptasi dan hibridisasi). Beberapa negara di daerah tropis seperti Malaysia, Brazil, Vietnam, Madagaskar, dan Sub Sahara Afrika telah membudidayakan artemisia dan menghasilkan artemisinin yang cukup tinggi yaitu 0,5 - 1,5%. Kandungan bahan aktif penting artemisia adalah artemisinin yang tergolong dalam senyawa terpenoid. Senyawa artemisinin yang tinggi terutama terdapat pada jaringan bagian atas tanaman (daun dan bunga). (Sistem Informasi Tanaman Obat Fakultas Farmasi Universitas Airlangga 2011 ). Senyawa aktif artemisinin sangat efektif mengatasi penyakit malaria. Kasus malaria di Indonesia sangat tinggi sehingga pengembangan budidaya tanaman artemisia di Indonesia sangat penting. ( Gusmaini dan Hera. 2007). Tanaman Artemisia annua dapat dilihat pada Gambar 1. 455 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Gambar 1. Tanaman Artemisia annua (http://wisplants.uwsp.edu) Aktivitas antioksidan yang dimiliki oleh senyawa metabolit sekunder tanaman sangat penting karena dapat berfungsi sebagai penagkap radikal bebas yang dapat melindungi dari penyakit kardiovaskuler, oksidasi lipoprotein densitas rendah (LDL) dan beberapa penyakit kanker lainnya. (Irma dan Achmad, 2009) Uji antioksidan dilakukan dengan menggunakan metode “DPPH free scavenging activity” menggunakan DPPH (1,1-diphenyl-2-pikrilhidrazil) yang merupakan radikal bebas, yang jika direaksikan dengan sampel yang mengandung antioksidan maka akan terjadi reaksi penangkapan hidrogen dari antioksidan oleh radikal bebas DPPH (ungu) yang kemudian berubah menjadi 1,1-difenil-2pikrilhidrazin (kuning). (Yen dan Chen, 1995) Tujuan dari penelitian ini adalah ekstraksi dan partisi daun Artemisi annua yang berasal dari bududaya di Indonesia yaitu di daerah Cipanas Puncak dan uji aktivitas antioksidannya dengan menggunakan metoda DPPH. Material dan Metoda Material tanaman Daun Artemisia annua yang digunakan merupakan tanaman Artemisia annua yang di budidayakan di daerah Cipanas Puncak. Bagian daun dipisahkan dari batangnya kemudian dikeringkan menggunakan oven 50 ºC dan dihaluskan dengan blender. Ekstraksi dan partisi Ekstraksi Sebanyak 2 kg daun Artemisia annua yang telah dihaluskan diekstraksi dengan 10 L Etanol 95 % dengan metoda maserasi. Maserasi dilakukan sebanyak 3 kali ulangan sampai filtrat tidak berwarna. Filtrat dikumpulkan dan kemudian dipekatkan dengan rotary evaporator pada suhu 45 ºC sehingga diperoleh ekstrak etanol pekat. Partisi Ekstrak etanol pekat sebanyak 100 g dipartisi secara gradien dengan pelarut heksana :air (1:1) dan etil asetat : air (1:1). Partisi dilakukan sebanyak 3 kali ulangan sampai filtrate tidak berwarna. Filtrat heksan dan etil asetat masing-masing dikumpulkan dan 456 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan dipekatkan dengan rotary evaporator pada suhu 45 ºC sehingga diperoleh fraksi heksan, fraksi etil asetat. Residu dari partisi etil asetat dipekatkan dengan rotary evaporator pada suhu 50 ºC dan merupakan fraksi air. Skema kerja ekstraksi dan partisi daun Artemisi annua dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar. 2. Skema kerja ekstraksi dan partisi daun Artemisi annua Uji Antioksidan Uji antioksidan dilakukan dengan menggunakan metode “DPPH free scavenging activity” (Yen & Chen 1λλ5) menggunakan DPPH (1,1-diphenyl-2-pikrilhidrazil) yang merupakan radikal bebas, yang jika direaksikan dengan sampel yang mengandung antioksidan maka akan terjadi reaksi penangkapan hidrogen dari antioksidan oleh radikal bebas DPPH (ungu) yang kemudian berubah menjadi 1,1-difenil-2pikrilhidrazin (kuning). Sampel sebanyak 4 mg dilarutkan dalam 4 ml metanol untuk mendapatkan 1.000 mg / mL sebagai larutan stok. Kemudian sampel diencerkan dengan metanol untuk mendapatkan konsentrasi masing-masing sebesar 10, 40, 200 dan 1000 mg / mL untuk ekstrak dan 10, 20, 50, 100, dan 200 mg / mL untuk senyawa murni. Masing-masing ditambahkan DPPH sebanyak 500 mL dan diinkubasi pada suhu 37ºC selama 30 menit. Kemudian diukur absorbansinya pada 515 nm. Uji kontrol positif menggunakan quercetin dan asam askorbat (Vit C). Aktivitas antioksidan dihitung sebagai persentase inhibisi terhadap DPPH ( persentase “scavenging effect”) dengan 457 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan persamaan: [1 - (B / A)] x 100%, A adalah absorbansi blanko dan B adalah absorbansi sampel. Nilai IC50 menunjukkan konsentrasi sampel yang diperlukan untuk memberikan % inhibisi sebesar 50%. Hasil dan Pembahasan Ekstraksi pada penelitian ini menggunakan metoda maserasi, metoda ini mudah dilakukan dan cukup murah karena menggunakan alat-alat yang sederhana.(Regina, dkk, 2008). Pelarut yang digunakan adalah etanol karena pelarut ini dapat melarutkan hampir semua senyawa organik yang terdapat pada sampel. Maserasi dilakukan sebanyak 3 kali ulangan sampai filtrat etanol tidak berwarna. Filtrat yang diperoleh disatukan kemudian dipekatkan dengan menggunakan rotary evaporator pada suhu 40 ºC. Diperoleh ekstrak etanol pekat sebanyak 200 g. Sebanyak 100 g ekstrak etanol dipartisi dengan menggunakan pelarut heksan-air (1:1). Fase heksan dikumpulkan sampai filtrat heksan tidak berwarna kemudian dipekatkan, diperoleh fraksi heksan sebanyak 28,65 g. Residu dipartisi dengan pelarut etil asetat-air (1:1). Fase etil asetat dikumpulkan sampai filtrat etil asetat tidak berwarna kemudian dipekatkan, diperoleh fraksi etil asetat sebanyak 10,41 g. Residu dari fase etil asetat merupakan fraksi air diperoleh sebanyak 60,94 g. Hasil ekstrak dan partisi dari daun Artemisia annua dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil ekstrak dan partisi dari daun Artemisia annua No. 1 2 3 4 Nama sampel Ekstrak Etanol Fraksi Heksan Fraksi etil asetat Fraksi air Berat (gram) 200 28.65 10.41 60.94 Rendemen (%) 10 28.65 10.41 60.94 Metoda DPPH dipilih karena merupakan metoda yang sederhana, mudah, cepat dan peka serta hanya memerlukan sedikit sampel. (Hanani, dkk, 2005) Uji antioksidan dilakukan dengan menggunakan metode “DPPH free scavenging activity” menggunakan DPPH (1,1-diphenyl-2-pikrilhidrazil) yang merupakan radikal bebas, yang jika direaksikan dengan sampel yang mengandung antioksidan maka akan terjadi reaksi penangkapan hidrogen dari antioksidan oleh radikal bebas DPPH (ungu) yang kemudian berubah menjadi 1,1-diphenyl-2-pikrilhidrazin (kuning). (Yen dan Chen, 1995) Reaksi DPPH dengan senyawa yang mengandung antioksidan dapat dilihat pada Gambar 3. 458 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan H N-N(C6H5)2 O2N N-N(C6H5)2 NO2 O2N NO2 + AH + A NO2 NO2 Gambar 3. Reaksi DPPH dengan senyawa antioksidan Aktivitas antioksidan merupakan kemampuan suatu senyawa atau ekstrak untuk menghambat reaksi oksidasi yang dapat dinyatakan dengan persen peredaman. Parameter yang digunakan untuk menunjukan aktivitas antioksidan adalah Inhibition Concentration (IC50) yaitu konsentrasi suatu zat antioksidan yang dapat menyebabkan 50% DPPH kehilangan karakter radikal atau konsentrasi suatu zat antioksidan yang memberikan % penghambatan sebesar 50%. (Asnah, dkk, 2012) Uji aktivitas antioksidan dengan metoda DPPH ini dilakukan dengan menggunakan 3 konsentrasi dan diukur serapan absorbansinya pada panjang gelombang 515 nm. Pengujian menggunakan quercetin sebagai standar. Hasil uji antioksidan tanaman Artemisia annua dapat dilihat paga Tabel 2 dan Gambar 4. Tabel 2. Hasil Uji Antioksidan tanaman Artemisia annua Konsentrasi No. Nama Sampel (µg/mL) 40 30 1 Quercetin 20 10 200 3 Ekstrak Etanol 100 50 200 4 Fraksi Etil asetat 100 50 200 5 Fraksi Air 100 50 % Inhibisi IC50 (µg/mL) 90,68 86,37 78,19 49,38 55.98 25.32 6.61 41.72 23.01 6.38 55.31 31.55 4.75 10.97 181.68 228.77 176.93 Dari data yang diperoleh menunjukkan ekstrak etanol dan fraksi air masih berpotensi sebagai antioksidan karena mempunyai nilai IC50 < 200 µg/mL. Sementara aktivitas antioksidan untuk fraksi etil asetat tidak begitu berpotensi karena nilai IC50nya > 200 µg/mL. Pada fraksi heksan aktivitas antioksidannya tidak ditampilkan karena nilai IC50 yang diperoleh > 500 µg/mL, dengan demikian fraksi heksan tidak berpotensi sebagai 459 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan antioksidan. Quercetin berfungsi sebagai standar positif karena mempunyai nilai IC50 sebesar 10.97 µg/mL lebih kecil dibandingkan dengan sampel yang diuji artinya quercetin sebagai standar mempunyai aktivitas antioksidan yang lebih tinggi. Rendahnya aktivitas antioksidan bisa disebabkan karena sampel masih berupa ekstrak dan fraksi kasar, belum diperoleh senyawa murni yang kemungkinan mempunyai aktivitas antioksidan yang lebih tinggi. Gambar 4. Grafik antioksidan ekstrak dan fraksi tanaman Artemisia annua Suatu sampel dikatakan aktif sebagai antioksidan apabila mempunyai nilai IC50 < 200 µg/mL. Semakin kecil nilai IC50 suatu sampel atau senyawa menunjukkan semakin besar atau kuat kemampuan menangkap radikal bebas dari sampel atau senyawa tersebut. Adanya perbedaan nilai IC50 dapat disebabkan karena perbedaan pelarut dan metoda ekstraksi yang digunakan. (Ahmad dan Nina, 2006) Kesimpulan Dari hasil penelitian daun tanaman Artemissia annua diperoleh berat ekstrak etanol, fraksi heksan, fraksi etil asetat dan fraksi air masing-masing sebanyak 200 g, 28.65 g, 10.41 g dan 60.94 g. Perolehan rendemen masing-masing sebesar 20%, 28.65%, 10.41%dan 60.94%. Nilai IC50 ekstrak etanol, fraksi etil asetat dan fraksi air masing-masing sebesar 181.68, 228.77 dan 176.93 µg/mL. Untuk meningkatkan aktivitas antioksidannya perlu dilakukan pemurnian lebih lanjut sehingga diperoleh senyawa murni yang aktif. 460 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Daftar Pustaka Ahmad. D dan Nina A. 2006. Isolasi dan Identifikasi Senyawa Aktif Antioksidan dari ekstrak Air Daun benalu (Dendrophtheo pentandra L. Miq) yang Tumbuh pada Cemara (Casuari sp). Widyariset 9 (3) : 43-51. Asnah, M dkk. 2012. Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etil Asetat Kayu Batang Banyuru Sulawesi (Pterospermum Celebicum Miq.) Dengan Metode Penangkapan Radikal Bebas DPPH (2,2-Diphenyl-1-Picryl-Hydrazyl). Majalah farmasi dan farmakologi, Vol. 16,3 : 147-150 Gusmaini dan Hera Nurhayati. 2007. Potensi Pengembangan Budidaya Artemisia annua L di Indonesia. Perspektif Vol. 6. No. 2 : 57-67 Hanani, E. Dkk. 2005. Identifikasi Senyawa Antioksidan Dalam Spons Callyspongia Sp Dari Kepulauan Seribu. Majalah Ilmu Kefarmasian. Vol. II. 3: 127-133 http://wisplants.uwsp.edu Irma Kresnawaty dan Achmad Zainuddin. 2009. Aktivitas antioksidan dan antibakteri deari derivate metal ekstrak etanol daun gambir (Uncaria gambir). Jurnal Littri 15 (4) : 145-151 Jorge F. S. Ferreira, et al. 2010. Flavonoids from Artemisia annua L. as Antioxidants and Their Potential Synergism with artemisinin against Malaria and Cancer. Molecules 15 : 3135-3170 Regina Andayani, dkk. 2008. Penentuan aktivitas Antioksidan, Kadar Fenolat Total dan Likopen pada Buah Tomat ( Solanum lycopersicum L). Jurnal sains dan Teknologi Farmasi. 13 (10) Rita Baraldi, et al. 2008. Distribution of artemisinin and bioactive flavonoids from Artemisia annua L. during plant growth. Biochemical Systematics and Ecology 36. 340-348 R. S. Bhakuni, et al. 2001. Secondary metabolites of Artemisia annua and their biological activity. Current Science Vol. 80. No.1. 35-48 Thomas Efferth, et al. 2011. Cytotoxic activity of secondary metabolites derived from Artemisia annua L towards cancer cells in comparison to its designated active constituent artemisinin. Phytomedicine 18 : 959-969 Sistem Informasi Tanaman Obat. 2011. Fakultas Farmasi Universitas Airlangga. Surabaya Yen, G.C dan H. Y. Chen. 1995. Antioxidant Activity of Various Tea Extracts in Relation to Their Antimutagenicity. J. Agric. Food. Chem. 27-32 461 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Penambahan Virgin Coconut Oil Dalam Sediaan Probiotik Lactobacillus Menggunakan Teknik Spray Drying Titin Yulinery*dan Novik Nurhidayat Puslit Biologi- LIPI Jl.Raya Bogor Jakarta km 46 Cibinong *Penulis untuk korespondensi, Email: tyulinery@yahoo.co.id ABSTRAK Probiotik Lactobacillus plantarum Mar8 merupakan bakteri hidup non patogen yang bila diasup sebagai suplemen dapat menguntungkan kesehatan, diantaranya menurunkan jumlah bakteri patogen. Salah satu alternatif untuk pengawetan kultur tersebut adalah dengan pengeringan namun viabilitasnya kurang optimal akibat adanya penguapan air sehingga terjadi kekeringan pada sel. Untuk itu dilakukan penelitian penambahan Virgin Coconut Oil (VCO) sebagai pelindung dengan berbagai konsentrasi yakni 0,5%, 1%, 2% dan 3%. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui konsentrasi VCO yang optimal sebagai penyalut dan pelindung L.plantarum sehingga menghasilkan viabilitas yang tinggi dan daya terima yang baik dalam masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rendemen hasil enkapsulasi dengan penyalut dekstrin dan penambahan 2% VCO memberikan hasil yang tertinggi yakni seberat 20,425 g (51,06%). Sedangkan viabilitas setelah enkapsulasi yang relatif lebih baik dari semua konsentrasi VCO yaitu pada penambahan VCO 1% dengan nilai log rata-rata sebesar 9,645 CFU/g. Pada penyimpanan suhu 4oC selama 2 minggu masih dapat memenuhi syarat minimum probiotik yakni 106CFU/g. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan minyak VCO dapat digunakan sebagai bahan penyalut untuk melindungi probiotik Lactobacillus plantarum Mar8 serta memberikan informasi kepada pelaku industri bahwa pembuatan serbuk Lactobacilus dapat dilakukan dengan metoda spray-drying dan dengan penambahan VCO sebagai tambahan bahan penyalut. Kata kunci: Lactobacillus plantarum, VCO, spray dryer. Pengantar Penyembuhan penyakit melalui konsumsi makanan tertentu untuk mengembalikan pertahanan alami tubuh dengan efek samping yang lebih sedikit dibandingkan obat selalu dikembangkan untuk kesehatan bagi semua kelompok umur (Reid, 2002). Oleh karena itu penelitian dan pengembangan pangan fungsional seperti probiotik saat ini merupakan hal yang penting dari industri makanan (Guarner dan Schaafsma,1998). Minat konsumen dalam produk probiotik meningkat dengan pesat karena beberapa manfaat untuk kesehatan (Prado et al., 2008). Probiotik mewakili lebih dari 65% dari pasar makanan fungsional (Agrawal, 2005). Memperkaya makanan dengan probiotik tidak hanya meningkatkan kesehatan juga keragaman dalam pilihan makanan. Spesies mikroba yang umum digunakan sebagai probiotik adalah Lactobacillus, Bifidobacteria, Enterococcus, Saccharomyces, dan Lactococcus (Gibson, 2000). 463 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Probiotik sudah dikenal secara luas seperti di India disebut dengan Dahi (Lactobacillus strains), di Nigeria Kindrimo, nono dan Warankasi (jenis keju dengan Lactococcus dan Lactobacillus strains), dan Amasi (susu fermentasi dengan Lactococcus sp.) di Zimbabwe (Ukeyima et al., 2010). Secara umum probiotik yang banyak beredar di pasaran dalam bentuk cair yang dikemas dalam botol, bentuk sediaan ini kurang stabil, tidak tahan lama dan juga tidak praktis jika akan dibawa, oleh karena itu diupayakan menggunakan teknik mikroenkapsulasi yang diharapkan bakteri probiotik bisa terlindungi dan dalam bentuk sediaan serbuk. Pada awalnya, mikroenkapsulasi digunakan untuk menutupi rasa bahan makanan dan untuk konversi cairan ke padatan dan juga dalam pemisahan fisik sel yang sensitif dari lingkungan eksternal yang merugikan (Sultana et al, 2000; Weinbreck et al, 2010). Dengan enkapsulasi dapat melindungi mikroorganisme yang sensitif terhadap lingkungan (Krasaekoopt et al., 2003). Aplikasi ini dapat digunakan untuk produk makanan atau bahan bahan dalam makanan kesehatan seperti probiotik dengan cara pengeringan semprot, pengeringan beku,dengan bahan pelindungnya Caalginat, karagenan, gum arab, pati, dektrin dll. Banyak kasus terhadap fungsional probiotik karena kualitas yang kurang dalam standar sediaan probiotik makanan dan juga kurangnya studi klinik (Azcarate-Peril et al, 2009;. Hamilton-Miller dan Shah, 2002; Klaenhammer, 2000; Timmerman et al,2004). Tujuan dari mikroenkapsulasi tidak hanya perlindungan melalui penghalang fisik tetapi juga pelepasan yang terkontrol dari fungsi probiotik itu sendiri yang efektif mencapai usus(Picot dan Lacroix, 2004). Probiotik harus tahan terhadap lingkungan asam dan garam empedu (Burgain et al., 2011). Teknik mikroenkapsulasi dilakukan menggunakan spray drying atau pengeringan semprot. dengan menggunakan bahan penyalut dekstrin. Namun ternyata, enkapsulasi tersebut memiliki viabilitas yang kurang optimal. Hal ini disebabkan karena adanya penguapan air sehingga terjadi kekeringan pada sel yang mengakibatkan kematian bakteri probiotik tersebut. Untuk menghindari hal tersebut, maka enkapsulasi dilakukan dengan menggunakan tambahan minyak VCO (Virgin Coconut Oil), yang diharapkan dapat melindungi dan menyalut bakteri dari pengaruh lingkungan luar sehingga dapat membantu mengurangi penguapan serta meningkatkan viabilitas. Virgin Coconut Oil atau minyak kelapa murni terbuat dari daging kelapa segar. Prosesnya semua dilakukan dalam suhu relatif rendah. Daging buah diperas santannya. Santan ini diproses lebih lanjut melalui pemanasan dengan suhu relatif rendah, fermentasi, pendinginan, penambahan enzim, tekanan mekanis atau sentrifugasi. Hasilnya berupa minyak kelapa murni yang rasanya lembut dan bau khas kelapa yang unik. Dalam keadaan beku VCO berwarna putih murni dan dalam keadaan cair tidak berwarna atau bening. VCO mengandung 92% asam lemak jenuh rantai karbon sedang (MCFA) dan tidak berikatan ganda, sehingga sangat stabil, tahan panas, radiasi dan oksidasi. VCO memiliki ciri khas yaitu mengandung asam laurat. Asam laurat ini diduga memiliki kemampuan untuk menghancurkan membran dari virus dan bakteri yang berbahan dasar lemak seperti virus pada demam berdarah. VCO dianggap berkualitas apabila memiliki kadar asam laurat antara 43-53%, terbebas dari logam berat, kandungan air maksimal 0,25-0,05% dan tidak keruh. 464 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Riset dan uji klinis telah membuktikan keampuhan dan khasiat VCO. Beberapa manfaat dari VCO antara lain : Membunuh virus, bakteri, jamur dan parasit penyebab penyakit infeksi lainnya, membantu melindungi tubuh dan mengurangi resiko terserang berbagai penyakit kanker atau tumor, mendukung fungsi sistem kekebalan tubuh, memperbaiki sistem pencernaan dan penyerapan nutrisi, serta masih banyak lagi yang lainnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui viabilitas L. plantarum dalam sediaan oralit dengan penambahan VCO (Virgin Coconut Oil) pada suhu ruang. Bahan dan Metode Preparasi kultur Lactobacillus plantarum Mar 8 Lactobacillus plantarum Mar8 diremajakan menggunakan media GYT (Glucose Yeast Tryptone dengan komposisi dalam 1 liter yaitu bacto agar 20 g, glukosa (merck) 10 g , yeast ekstrak (Difco) 10 g, trypton (Pronadisa) 5g, beef ekstrak (Difco) 2g , Naasetat.H2O (Merck) 1,4g, tween 80 (Merck) 0,5g, CaCO3 (Merck) 0,075 g/mL, dan salt solution 5 mL (komposisi salt solution: MgSO4.7H2O(Merck) 0,1g; MnSO4.4H2O (Merck) 0,1g; FeSO4.7H2O (Merck) 0,1g; NaCl (Merck) 0,1g; dilarutkan dalam akuades sebanyak 50 mL), lalu diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37oC. Diambil 1 ose kultur lalu ditanam secara aseptik pada media GYT broth 100 ml dan diinkubasi dalam inkubator selama 48 jam pada suhu 37oC (kultur induk) Preparasi Sampel untuk enkapsulasi Diambil sebanyak 10 mL L.plantarum dari kultur induk kemudian diinokulasi secara aseptik ke dalam media GYT Broth 100 ml, lalu diinkubasi selama 48 jam pada suhu 37oC. Setelah diinkubasi disentrifugasi pada kecepatan 10.000 rpm selama 10 menit sehingga terpisah antara L. plantarum dengan media GYT Broth. Kemudian pelet dicuci dengan akuades steril dan disentrifugasi kembali. Pelet dari L. plantarum secara aseptik ditambahkan ke dalam larutan dekstrin 10% dan juga penambahan VCO (Virgin coconut oil) dengan berbagai konsentrasi yaitu 0,5%, 1%, 2% dan 3%. Sebanyak 5 mL dari sampel disimpan dalam eppendorf untuk keperluan uji viabilitas tahap 1. Sisa sampel dienkapsulasi dengan spray-dryer pada suhu inlet 125oC sampai diperoleh masa berbentuk serbuk. Hasil proses enkapsulasi tiap sampel disimpan dalam plastik yang tahan panas dan kemudian di tutup dengan menggunakan zipper hot, sehingga hasil enkapsulasi diharapkan tetap steril dan tidak berhubungan dengan udara luar. Hasil enkapsulasi probiotik Lactobacillus, lalu diuji viabilitasnya dengan cara ditanam segera setelah enkapsulasi. Sisa enkapsulasi disimpan pada suhu 4oC dan didiamkan selama 2 minggu untuk uji viabilitas tahap selanjutnya. Pengujian viabilitas hasil enkapsulasi Untuk analisis viabilitas tahap 1 dilakukan sebelum enkapsulasi. Untuk analisis viabilitas tahap 2 dilakukan segera setelah enkapsulasi. Untuk analisis viabilitas tahap 3 dilakukan setelah enkapsulasi dan disimpan selama 2 minggu pada suhu 4oC. Analisis viabilitas sebelum enkapsulasi (tahap 1). Diambil sebanyak 100 µl. Masingmasing dibuat pengenceran secara seri sampai 10-7 dengan larutan NaCl fisiologis 465 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan (0,85%) dan dihomogenkan. Setelah itu dipipet sebanyak 100 μL dimasukkan ke dalam cawan petri steril yang sudah berisi media GYT padat + CaCO3. Kemudian inkubasi selama 48 jam pada suhu 37oC. Lalu dihitung koloni yang tumbuh (Cfu/mL) Untuk analisis viabilitas segera setelah enkapsulasi dan dua minggu setelah enkapsulasi, Diambil sebanyak 0,1 g serbuk hasil spray-dryer. Masing-masing dibuat pengenceran secara seri sampai 10-7 dengan larutan NaCl fisiologis (0,85%) dan dihomogenkan. Setelah itu sebanyak 100 μL dimasukkan ke dalam cawan petri steril yang sudah berisi media GYP padat + CaCO3. Lalu dihomogenkan dengan menggunakan segitiga penyebar steril. Kemudian diinkubasi selama 48 jam pada suhu 37oC dan dihitung koloni yang tumbuh (Cfu/mL) Analisis Data Data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan Statistical Package For The Social Sciences (SPSS) For Window v.10.0 untuk mengetahui adanya perbedaan dari tiap perlakuan. Untuk mengetahui jumlah bakteri asam laktat (CFU) per gram (mL) dari hasil analisis viabilitas L.plantarum Mar 8 yang telah dienkapsulasi dapat menggunakan rumus sebagai berikut : ∑ Bakteri (CFU) per gram (mL) Keterangan : ∑ bakteri (CFU) per gram = Jumlah bakteri dalam 1 gram ∑ koloni = Koloni yang terbentuk pada proses pemupukan Faktor Pengenceran = Banyaknya pengenceran yang dipakai pada saat pemupukan Volume Pemupukan = Jumlah volume sampel yang dipipet pada saat penanaman tode Hasil dan Pembahasan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dengan metode spray drying dapat dihasilkan rendemen yang berbeda-beda (Gambar 1). Hasil enkapsulasi dari 40 gram dekstrin diperoleh rendemen pada perlakuan tanpa penambahan VCO sebesar 12,260 gram, pada penambahan VCO 0,5% sebesar 18,334 gram, VCO 1% sebesar 16,240 gram, VCO 2% sebesar 20,425 gram, VCO 3% sebesar 15,759 gram. Rendemen yang dihasilkan pada penelitian ini dilakukan dengan metode spray drying. Perbedaan hasil rendemen ini disebabkan oleh konsentrasi suspensi yang berbeda-beda akibat penambahan VCO sehingga pada waktu dienkapsulasi menjadi lengket dan akhirnya banyak rendemen yang tertinggal dan menempel pada alat spray dryer, di samping itu adanya sebagian suspensi yang tidak terkena kontak panas sehingga masih ada yang keluar dalam bentuk cairan. Hal ini juga menyebabkan berkurangnya jumlah rendemen enkapsulasi yang dihasilkan. Metode spray drying dapat dilindungi bahan makanan dari penguapan, oksidasi, dan reaksi kimia (Rosenberg et al, 1990). Pada konsentrasi VCO 2% memiliki nilai yang paling tinggi dibanding konsentrasi lainnya. Hal ini disebabkan sewaktu proses spray drying berlangsung cairan yang 466 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan terbuang tidak terlalu banyak, kemudian rendemen yang menempel pada alat spray dryer masih dapat diambil dengan bantuan manual. Gambar 1. Rendemen hasil enkapsulasi L.plantarum dengan penyalut dekstrin dan VCO Hasil Analisa Viabilitas L.plantarum Mar 8 Pada Gambar 2. Dapat dilihat Analisis viabilitas L.plantarum Mar 8 dengan penambahan berbagai konsentrasi VCO sebelum enkapsulasi dan setelah dienkapsulasi. Viabilitas dilakukan untuk mengetahui jumlah sel yang masih dapat hidup biasanya diperkirakan sebagai ukuran konsentrasi sel (Brooks et al, 2001). L. plantarum Mar8 yang dienkapsulasi menggunakan penyalut dekstrin 10% memiliki viabilaitas yang lebih baik dibanding tanpa menggunakan penyalut (data tidak ditampilkan) Pada Gambar 2 terlihat bahwa L.plantarum Mar 8 mengalami penurunan viabilitas pada saat setelah enkapsulasi. Hal ini dapat terjadi oleh beberapa faktor diantaranya pada proses spray drying menggunakan suhu hingga 130⁰C sehingga menyebabkan sebagian L. plantarum Mar 8 yang tidak tersalut oleh dektrin dan VCO tidak dapat bertahan hidup (mati) karena L. plantarum Mar 8 merupakan bakteri mesofil yaitu bakteri yang dapat bertahan hidup sampai suhu 45oC (Costilow 1981). Akan tetapi pada masing-masing konsentrasi VCO yang berbeda tidak ditemukan perbedaan yang berarti, namun terlihat pada gambar 2, bahwa pada konsentrasi VCO 1% memiliki nilai viabilitas yang lebih baik dibanding pada konsentrasi lainnya saat setelah enkapsulasi yaitu sebesar 9,65 CFU/gr. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan minyak VCO dengan konsentrasi 1% ke dalam penyalut dektrin dapat meningkatkan viabilitas L. plantarum Mar8 setelah proses enkapsulasi dibandingkan dengan konsentrasi lainnya. Untuk mengetahui perbedaan nilai viabilitas tiap perlakuan, analisis statistik dengan SPSS (dengan taraf kepercayaan (α)=0,05 maka perlakuan konsentrasi memberikan 467 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan pengaruh yang berbeda nyata terhadap jumlah koloni sebelum enkapsulasi. Hasil uji Duncan(taraf 5%) menunjukkan bahwa semua perlakuan konsentrasi VCO memberikan pengaruh yang berbeda nyata dibandingkan dengan kontrol terhadap jumlah koloni. Hasil statistik juga menunjukkan perlakuan konsentrasi VCO memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap jumlah koloni setelah enkapsulasi pada rendemen, dan dengan uji Duncan (taraf 5%) menunjukkan semua perlakuan konsentrasi VCO berbeda nyata dibandingkan kontrol terhadap jumlah koloni kecuali konsentrasi 0,5%. Gambar 2. Viabilitas L plantarum selama proses enkapsulasi Hasil penyimpanan pada suhu 4oC Setelah dilakukan analisis viabilitas sebelum dan setelah enkapsulasi, kemudian dilakukan analisis viabilitas pada penyimpanan suhu 4⁰C selama dua minggu. Pada gambar 3. terlihat bahwa pada semua konsentrasi, L.plantarum Mar 8 tetap dapat hidup pada suhu 4oC, karena pada suhu tersebut memang merupakan suhu yang paling cocok untuk penyimpanan L.plantarum Mar 8. Sedangkan pada penambahan VCO semua konsentrasi terlihat adanya pertumbuhan L.plantarum Mar 8. Penyimpanan pada suhu 4⁰C semua konsentrasi VCO yaitu kontrol, 0,5%, 1%, 2% dan 3% masih dapat memenuhi syarat minimum probiotik (10⁶ CFU/gr). Pada gambar 3 terlihat perbandingan tiap-tiap konsentrasi terhadap persen(%) kontrol. Hal ini dimaksudkan untuk melihat pengaruh penambahan VCO terhadap proses enkapsulasi dimulai dari setelah enkapsulasi sampai kepada perlakuan suhu selama dua minggu. Secara statistik perlakuan konsentrasi memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap jumlah koloni minggu ke 2 pada suhu 4oC dengan rendemen. Zamora et al (2006) menunjukkan bahwa kultur kering bakteri asam laktat yang disimpan pada suhu dingin (4oC) mempunyai viabilitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan kultur kering yang disimpan pada suhu kamar. Selanjutnya Semyonov et al. (2010) mengatakan bahwa mikroenkapsulasi secara luas dimanfaatkan untuk meningkatkan umur simpan dan mempertahankan probiotik sifat kesehatan 468 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Hasil uji Duncan dengan taraf 5% menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi VCO 2% dan 3% memberikan pengaruh yang berbeda nyata dibandingkan dengan kontrol terhadap jumlah koloni pada minggu ke 2. Gambar 3. Viabilitas L plantarum selama penyimpanan 4oC Kesimpulan Hasil penelitian menunjukkan bahwa rendemen hasil enkapsulasi dengan penyalut dekstrin dan penambahan 2% VCO memberikan hasil yang tertinggi yakni seberat 20,425 g (51,06%). Sedangkan viabilitas setelah enkapsulasi yang relatif lebih baik dari semua konsentrasi VCO yaitu pada penambahan VCO 1% dengan nilai log rata-rata sebesar 9,645 CFU/g. Pada penyimpanan suhu 4oC selama 2 minggu masih dapat memenuhi syarat minimum probiotik yakni 106CFU/g. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan minyak VCO dapat digunakan sebagai bahan penyalut untuk melindungi probiotik Lactobacillus plantarum Mar8 serta memberikan informasi kepada pelaku industri bahwa pembuatan serbuk Lactobacilus dapat dilakukan dengan metoda spraydrying dan dengan penambahan VCO sebagai tambahan bahan penyalut 469 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Daftar pustaka Agrawal R. 2005. Probiotics: An emerging food supplement with health benefits. Food Biotechnology 19:227-246 Azcarate-Peril MA, Tallon R, Klaenhammer TR. 2009. Temporal gene expression and probiotic attributes of Lactobacillus acidophilus during growth in milk. Journal of Dairy Science 92:870-886 based microcapsules and survival in simulated gastrointestinal conditions and in yoghurt. International Dairy Journal 14:505-515. Brooks F, Geo, Butel S, Janet dan Morse A, Stephen. 2001. Mikrobiologi Kedokteran Edisi Pertama. Penerjemah dan Editor : bagian Mikrobiologi Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Erlangga. Salemba Medika: Jakarta Burgain J, Gaiani C, Linder M, Scher J. 2011. Encapsulation of probiotic living cells: From laboratory scale to industrial applications. Journal of Food Engineering 104:467-483 Costilow RN. 1981. Manual of Methods for General Bacteriology. American Society for Microbiology Washington DC. Gibson G. 2000. Introduction. Dalam: G. Gibson dan F. Angus (Editors). LFRA Ingredients Handbook: Prebiotics and Probiotics. LFRA Limited. Randalls Road, Leather Shead, England. Guarner F, Schaafsma GJ. 1998. Probiotics. International Journal of Food Microbiology 39:237-238. Hamilton-Miller JMT, Shah S. 2002. Deficiencies in microbiological quality and labelling of probiotic supplements. International Journal of Food Microbiology 72:175-176. Klaenhammer TR. 2000. Probiotic bacteria: Today and tomorrow. Journal of Nutrition 130:415S-416S Krasaekoopt W, Bhandari B, Deeth H. 2003. Evaluation of encapsulation techniques of probiotics for yoghurt. International Dairy Journal 13:3-13.119 Picot A, Lacroix C. 2004. Encapsulation of bifidobacteria in whey protein based microcapsules and survival in simulated gastrointestinal conditions and in yoghurt. International Dairy Journal 14:505-515. Prado FC, Parada JL, Pandey A, Soccol CR. 2008. Trends in non-dairy probiotic beverages. Food Research International 41:111-123. Reid G. 2002. The Role of Cranberry and Probiotics in Intestinal and Urogenital Tract Health. Critical Reviews in Food Science and Nutrition 42:293 -300 Rosenberg M, Kopelman IJ, and Talmon Y. 1985. A scanning electron microscopy study of microencapsulation of volatile materials. Journal of Agricultural and Food Chemistry. 38: 1288-1294. Semyonov D, Ramon O, Kaplun Z, Levin-Brener L, Gurevich N, Shimoni E. 2010. Microencapsulation of Lactobacillus paracaseiby spray freeze drying. Food Research International 43:193-202. Sultana K, Godward G, Reynolds N, Arumugaswamy R, Peiris P, Kailasapathy K. 2000. Encapsulation of probiotic bacteria with alginate-starch and evaluation 470 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan of survival in simulated gastrointestinal conditions and in yoghurt. International Journal of Food Microbiology 62:47-55. Timmerman HM, Koning CJM, Mulder L, Rombouts FM, Beynen AC. 2004. Monostrain, multistrain and multispecies probiotics--A comparison of functionality and efficacy. International Journal of Food Microbiology 96:219-233 Ukeyima MT, Enujiugha VN and Sanni TA. 2010. Current applications of probiotic foods in Africa,AfricanJournal of Biotechnology; 9(4):197 Weinbreck F., Bodnár I., Marco ML. 2010. Can encapsulation lengthen the shelflife of probiotic bacteria in dry products? International Journal of Food Microbiology 136:364-367. Zamora LM, Carretero C, Parés D. 2006. ComparativeSurvival Rates of Lactic Acid Bacteria Isolated from Blood, Following Spray-drying and Freeze-drying. Food Science and Technology International:77-84. 471 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Keragaman Kadar Lovastatin dan Pigmen Dalam Angkak Hasil Fermentasi Isolat Lokal Monascus Purpureus Titin Yulinery* Puslit Biologi- LIPI Jl.Raya Bogor Jakarta km 46 Cibinong *Penulis untuk korespondensi, E-mail: tyulinery@yahoo.co.id ABSTRAK Angkak merupakan sumber lovastatin dan dapat digunakan untuk kepentingan medis. Setiap angkak memiliki kandungan lovastatin yang berbeda beda, demikian juga dengan pigmen yang dihasilkannya, karena adanya variasi kandunganlovastatin tersebut, perlu dilakukan pengukuran kadar lovastatin dalam angkak sehingga dapat diketahui besarnya manfaat angkak bagi kepentingan medis. Penelitian ini bertujuan menentukan kadar lovastatin dan pigmen dalam angkak yang dihasilkan melalui fermentasi beras dengan menggunakan kapang Monascus purpureus. Tujuh isolat lokal yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia dianalisa kadar lovastatin dengan menggunakan metode KCKT dan analisis pigmen menggunakan metode spektrofotometri UV-tampak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat keragaman kadar lovastatin dari berbagai isolat Monascus purpureus. Kadar lovastatin tertinggi dihasilkan oleh isolat SR yang berasal dari Samarinda yaitu sebesar 1,59 mg/l; kadar pigmen merah tertinggi dihasilkan oleh isolat SR (Samarinda) dan BPA (Balikpapan) dan kadar pigmen kuning tertinggi juga dihasilkan oleh isolat SR. Kadar pigmen diduga memiliki korelasi positif terhadap kadar lovastatin dalam angkak, sehingga semakin pekat warna angkak menunjukkan kadar lovastatin yang semakin tinggi. Kata Kunci: Angkak, Monascus purpureus, lovastatin, pigmen. Pengantar Berbagai macam penelitian terus dilakukan untuk mendapatkan senyawa aktif yang berkhasiat sebagai obat. Senyawa aktif obat dapat diperoleh dengan metode fermentasi (Erdogrul &Azirak(2004). Banyak mikroorganisme yang menghasilkan metabolit sekunder pada saat fermentasi, salah satunya Monascus purpureus yang menghasilkan metabolit sekunder berupa senyawa aktif lovastatin (Ma et al., 2000) Angkak atau beras merah adalah produk fermentasi menggunakan kapang Monascus sp.Angkak merupakan sumber lovastatin dan dapat digunakan untuk kepentingan medis. Beras angkak yang diproduksi oleh Monascus purpureus dalam farmakope Cina kuno telah didokumentasikan sejak Dinasti Ming (1368 -1644) dalam mengatasi masalah kesehatan lambung(pencernaan, diare) dan revitalisasi darah. Angkak dalam bentuk bubuk disebutnya sebagai ZhiTai dan ketika diekstraksi dengan alkohol disebut XueZhiKang. Penelitian yang dilakukan Ye et al. (2007) menyimpulkan bahwa terapi penurun lemak dengan xuezhikang relatif aman dan efektif untuk pencegahan penyakit jantung koroner pada lansia. Selanjutnya Zhao et al (2007) menyatakan bahwa terapi penurun 473 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan lipid tersebut telah terbukti mengurangi komplikasi makrovaskuler diabetes tipe 2. Peneliti lain Kou et al. (1997) membandingkan antara xuezhikang dengan simvastatin (Zocor) terhadap 108 pasien, namun tidak ada perbedaan signifikan yang ditemukan antara kedua kelompok dalam kolesterol total, LDL, HDL maupun trigliserida, sedangkan efek samping Zocor lebih banyak dibandingkan Xuezhikang. Hsieh & Tai (2003), berhasil membuktikan bahwa penambahan seduhan angkak dapat menurunkan tekanan darah pada tikus Sprague Dawley (SD) yang diinjeksi dengan fruktosa. Berbagai jenis isolat Monascus purpureus ditemukan di Indonesia. Kasim et al.,(2005) mengungkapkan keragaman dan keunikan spesies jenis ini yang berlimpah di Indonesia. Studi fisiologi pertumbuhan dan sintesis metabolit sekunder dari isolat-isolat kapang tersebut telah mengungkapkan potensi produksi bahan bioaktif lovastatin sebesar 0,2-0,9%. Angkak menghasilkan beberapa pigmen. Lee et al.,(2001), komponen pigmen yang dihasilkan oleh kapang ini adalah rubropunktatin (merah), monaskorubin (merah), monaskin (kuning), ankaflavin (kuning), rubropunktamin (ungu), dan monaskorubramin (ungu). Di Jepang angkak juga disebut dengan Koji, Ang-Khak, Beni-Koji, Red-Koji, dan di Eropah disebut Rotschimmelreis atau Red Mould (di USA) (Bakosova et al. 2001). Pigmen yang berasal dari angkak digunakan sebagai pewarna dan pengawet makanan. Banyak jenis pewarna sintetis berbahaya bagi kesehatan manusia, oleh karena itu diperlukan pencarian sumber pewarna alternatif untuk pewarna makanan alami yang berasal dari mikroba. Pewarna makanan yang berasal dari mikroba relatif tinggi stabilitasnya terhadap pH dan suhu (Pastrana et al., 1995) Lee et al.,(2001)menyampaikan bahwa pembentukan pigmen ini dipengaruhi konsentrasi glukosa dan etanol. Konsentrasi etanol di atas 4% (w/w) akan menghambat pembentukan pigmen pada beras. Intensitas pigmen merah yang dihasilkan kapang Monascus sp tergantung pada nutrisi dan kondisi lingkungannya. Pigmen bisa mengindikasikan banyaknya lovastatin yang diproduksi. Prekursor pigmen lovastatin dan citrinin adalah tetraketida (Hajjaj et al, 2000; Stocking & Williams, 2003). Tetraketida selanjutnya disintesis menjadi pigmen dan lovastatin (Stocking dan Williams, 2003). Reaksi dengan asam amino menghasilkan pigmen merah, monascorubramine dan rubropunctamine yang larut dalam air (Dikshit & Tallapragada, 2011) Beras angkak sebagai suplemen herbal sebaiknya tidak digunakan jika mempunyai sifat alergi atau memiliki riwayat penyakit hati. Beberapa suplemen herbal harus dibeli dari sumber yang dapat dipercaya untuk meminimalkan resiko kontaminasi. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kadar lovastatin dan pigmen dalam angkak yang dihasilkan melalui fermentasi beras dengan menggunakan beberapa isolat kapang Monascus purpureus. Bahan dan Metode Persiapan isolat Monascus purpureus Isolat yang digunakan pada penelitian ini merupakan isolat-isolat lokal yang berasal dari berbagai daerah yakni: 2 isolat dari Medan (isolat TP, TOS), 3 isolat dari Berastagi 474 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan (TA, SSA. SPS2) dan 1 isolat berasal dari Samarinda yakni isolat SR dan terakhir isolat BPA berasal dari Balikpapan. Masing-masing isolat diremajakan dalam media Malt Extract Agar miring kemudian diinkubasi pada suhu 30oC, sampai seluruh permukaan media tertutupi oleh pertumbuhan kapang Monascus purpureus. Fermentasi beras menggunakan isolat Monascus purpureus Fermentasi ini dilakukan untuk memproduksi angkak, Substrat yang digunakan adalah beras IR42. Sebanyak 25 g beras dicuci bersih, lalu direndam dengan air selama 18 jam dan ditiriskan. Beras yang telah ditiriskan di sterilisasi dengan otoklaf pada suhu 121oC selama 20 menit. Beras didinginkan, kemudian diinokulasi dengan isolat M purpureus . Campuran ini diaduk dengan rata menggunakan sendok steril, lalu diinkubasi pada suhu 30oC selama 10-14 hari. Setelah selesai inkubasi, angkak dikeringkan dengan oven pada suhu 50oC sampai kering. Lama pengeringan 24 jam. Angkak yang telah kering, dihaluskan dengan blender untuk bahan kering. Serbuk angkak yang telah jadi disimpan dalam wadah steril untuk kemudian dilakukan analisis kadar lovastatin, kadar pigmen merah dan pigmen kuning. Analisis kadar Lovastatin Kadar lovastatin ditentukan dengan metode KCKT. Instrumen yang digunakan adalah KCKT Shimadzu LC20AB dengan detector UV dan kolom C8. Kadar lovastatin diukur pada panjang gelombang 235nm dengan suhu kontak kolom 45oC. Fase gerak yang digunakanadalah asetonitril dan H3PO4 0,1% dengan perbandingan 65:35 Bubuk angkak ditimbang sebanyak 1 g, kemudia di tambah dengan 2 ml asetonitril dan 0,1 ml H3PO4 0,1%. Campuran tersebut diinkubasi pada suhu ruang selama 30 menit, kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama10 menit. Supernatan diambil, lalu dikeringkan dengan freeze dryer. Ekstrak kering tersebut dilarutkan kembali dengan 1 ml fase gerak. Larutan disaring menggunakan kertas saring dengan ukuran 0,45 l, kemudian diinjeksikan pada kolom KCKT dengan volume injeksi 20 l dan laju alir fase gerak 1ml/menit. Analisa kadar pigmen Kadar pigmen dari angkak ditentukan dengan menggunakan spektrofotometer UV tampak. Serbuk angkak ditimbang sebanyak 0,05 g, kemudian pigmen diekstrak menggunakan 10 ml methanol dan dilakukan pengocokan selama 24 jam. Ekstrak yang dihasilkan disaring, kemudian filtratnya diencerkan dengan faktor pengencaran sebesar 25. Kadar pigmen dalam larutan tersebut diukur dengan spektrofotometer UV Shimadzu Pharmaspec 1700 pada panjang gelombang 390 nm untuk mengukur pigmen kuning dan 500 nm untuk mengukur pigmen merah. Hasil dan Pembahasan Analisis kadar lovastatin dapat dilakukan dengan menggunakan KCKT dengan proses pemisahan fase terbalik. Sampel angkak diekstrak dengan campuran pelarut asetonitril dan H3PO4 0,1% karena lovastatin termasuk senyawa polar dan tidak larut 475 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan dalam air maka untuk mengekstraknya diperlukan pelarut yang bersifat polar seperti asetonitril. Scoot (2012) mengatakan asetonitril pada dasarnya adalah pelarut polar yang larut dengan air tetapi memiliki dispersif yang cukup (hidrofobik) untuk mengelusi zat dari kolom kromatografi cair. Untuk memaksimalkan jumlah lovastatin yang terekstrak dalam sampel angkak diperlukan inkubasi 30 menit dalam suhu ruang. Sampel perlu dikering bekukan dengan freeze drying tujuannya adalah untuk menstabilkan lovastatin serta menghilangkan pengotor-pengotor dengan bobot molekul yang rendah dan mudah menguap bersama dengan pelarut. Metode KCKT dipilih untuk mengukur kadar lovastatin karena lovastatin merupakan senyawa yang termolabil. Metode KCKT lebih sensitif, presisi dan akurasi yang lebih baik serta limit deteksi yang lebih rendah serta mudah digunakan jika dibandingkan dengan metode lain seperti metode elektroforesis kapiler (Rajh et al., 2003; Orkoula et al., 2004) Pemisahan lovastatin menggunakan suhu kolom 45oC, hal ini dilakukan agar supaya proses pemisahan berlangsung lebih cepat sehingga dapat mempersingkat waktu retensi. Harvey (2000) dalam penelitiannya mengatakan bahwa pada pemisahan fese terbalik, senyawa paling polar hanya tertahan dalam waktusingkat pada fase stasioner dan zat yang terlarut pertama yang terelusi dari kolom. Hasil pengukuran lovastatin yang memiliki konsentrasi 1000 mg/l memberikan waktu retensi sebesar 8,429 menit dan luas area sebesar 36542910. Kadar lovastatin diperoleh dengan membandingkan luas area sampel dan luas area standar. Hasil penelitian pengukuran lovastatin menunjukkan bahwa semua isolat M. purpureus yang digunakan mampu menghasilkan lovastatin. Pada Tabel 1. dapat dilihat hasil analisis kadar lovastatin dari ke tujuh isolat Monascus purpureus yang sangat bervariasi antara 436,28-1.588,11 mg/l dengan bobot lovastatin 0,44-1,59 mg/g angkak. Kadar lovastatin tertinggi dihasilkan oleh isolat SR (dari Samarinda) yakni 1588,1 mg/l sedangkan kadar lovastatin terendah dihasilkan oleh isolat SPS2 (dari Berastagi) yakni 436,28 mg/l. Hal ini menunjukkan keragaman angkak dari beberapa isolat Monascus yang digunakan dan masing-masing isolat mempunyai kemampuan yang berbeda beda dalam menghasilkan lovastatin. Kadar lovastatinnya ini lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian Lopez et al.,(2004) yang mengemukakan bahwa kadar lovastatin yang dihasilkan oleh A. tereus bervariasi dari 47,2 mg/l − 202.8mg/l. Selanjutnya Kasim et al (2005) membuktikan 19 isolat M. purpureus dapat menghasilkan lovastatin dengan kadar yang bervariasi. Kadar lovastatin tertinggi dihasilkan oleh isolat JmbA yakni sebesar 0,92%, sedangkan yang terendah dihasilkan oleh isolat MlgA yaitu sebesar 0,05%. Demikian juga dengan bobot lovastatin dalam angkak tersebut (Gambar 1). Bobot lovastatin yang tertinggi dihasilkan oleh isolat SR yakni 1,59 mg/g angkak dan bobot lovastatin terendah dihasilkan oleh SPS2 yakni 0,44 mg/g angkak. 476 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Tabel 1. Hasil pengukuran kadar lovastatin angkak. Isolat Kadar lovastatin (mg/l) TP 826.25 TOS 477.6 TA 701.63 SSA 670.60 SR 1588.11 SPS2 436.28 BPA 1071.73 Bobot lovastatin (mg/g angkak) 0.83 0.48 0.70 0.67 1.59 0.46 1.07 Gambar 1. Kadar lovastatin(mg/l) angkak dari masing-masing isolat M.purpureus Isolat M. purpureus mengandung bermacam-macam pigmen terutama mengandung pigmen merah dan kuning. Menurut Erdogrul dan Azirak (2004) Monascus sp. memproduksi pgmen-pigmen, antara lain pigmen jingga (Monascorubin dan Rubropunctatin) pigmen kuning (Monascin dan Ankaflavin dan pigmen merah (Monacorbramin dan Rubropunctamin). Ekstraksi pigmen merah dan kuning M purpureus dari sampel angkak dilakukan dengan menggunakan methanol. Ekstrak pigmen yang dihasilkan lalu diencerkan menggunakan metanol dengan faktor pengenceran sebesar 25. Hal ini dilakukan karena ekstrak yang dihasilkan terlalu pekat sehingga alat tidak terbaca oleh detector. Selama diekstrak dilakukan pengocokan selama 24 jam. Pengocokan ini bertujuan memaksimalkan jumlah pigmen yang terekstrak. Selanjutnya dilakukan pengukuran kadar pigmen merah dan kuning tersebut dengan menggunakan spektrofotometer UV tampak dengan panjang gelombang yang berada pada kisaran daerah sinar tampak. Pigmen kuning diukur pada panjang gelombang 390 nm, sedangkan pigmen merah diukur pada panjang gelombang 500 nm sesuai yang dilakukan oleh Yulinery dan Nurhidayat (2012) Tabel 2. Hasil pengukuran kadar pigmen merah dan kuning angkak. Isolat Kadar pigmen merah Kadar pigmen kuning ( =3λ0 nm) ( =500 nm) TP 0.0755 0.1270 TOS 0.0500 0.0835 477 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan TA SSA SR SPS2 BPA 0.0550 0.0740 0.2230 0.0630 0.2230 0.1145 0.2990 0.1135 0.1135 0.1175 Gambar 2. Kadar pigmen merah ( =3λ0 nm) dari beberapa isolat M.purpureus Gambar 3. Kadar pigmen kuning ( =500 nm) dari beberapa isolat M.purpureus Rata-rata absorban pigmen kuning tertinggi dihasilkan oleh isolat SR yaitu sebesar 0,29990; sedangkan rata-rata absorban pigmen kuning terendah dihasilkan oleh isolat TA, yaitu sebesar 0,0835. Rata-rata absorban pigmen merah tertinggi dihasilkan oleh isolate SR dan BPA, yaitu sebesar 0,2230; sedangkan rata-rata absorban pigmen kuning terendah dihasilkan oleh isolat TOS yaitu sebesar 0,0500 (Tabel 2) Berdasarkan hasil pada Gambar 2 dan 3, setiap isolat M purpureus memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam memproduksi pigmen, baik pigmen kuning maupun pigmen merah. Produksi pigmen tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan, antara lain kelembaban, oksigen/aerasi, pH, suhu, dan kualitas inokulum (Timotius, 2004). 478 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Pengukuran absorban pigmen kuning dan pigmen merah angkak dapat menjadi indikator penentuan kadar pigmen-pigmen tersebut. Hal ini didasarkan pada hukum Lambert-Beer yang menunjukkan hubungan linier antara absorban dan konsentrasi (Harvey, 2000). Berdasarkan hubungan tersebut dapat diketahui bahwa isolat SR memiliki kadar pigmen kuning tertinggi; isolat SR dan BPA memiliki kadar pigmen merah tertinggi; dan isolat TA dan TOS masing-masing memiliki kadar pigmen kuning dan pigmen merah terendah. Hubungan linier antara kadar pigmen dan kadar lovastatin dapat diduga melalui uji korelasi. Korelasi antara dua peubah tersebut dapat dilihat dari nilai koefisien korelasi (p). Nilai pyang mendekati1 atau -1 menunjukkan terdapat korelasi antara kedua peubah, sedangkan nilai p yang mendekati 0 menunjukkan tidak terdapat korelasi antara kedua peubah. Korelasi antara dua peubah dapat juga dilihat dari nilai peluang nyata (p-value). Jika lebih kecil dari taraf nyata, maka terdapat korelasi yang nyata antara kedua peubah tersebut (Mattjik & Sumertajaya, 2006). Uji korelasi antara kadar pigmen kuning dan kadar lovastatin menghasilkan nilai p sebesar 0,863 dan p-value sebesar 0,012; sedangkan kadar pigmen merah dan kadar lovastatin menghasilkan nilai p sebesar 0,882 dan p value sebesar 0,009. Hasil tersebut menunjukkan bahwa terdapat korelasi atau hubungan linier yang positif antara kadar pigmen, baik pigmen kuning maupun merah dan kadar lovastatin. Berdasarkan uji korelasi tersebut , peningkatan kadar pigmen sebanding dengan peningkatan kadar lovastatin. Hal tersebut diduga dapat menjadi indikator bagi konsumen dalam memilih angkak. Angkak yang memiliki warna pekat menunjukkan kadar lovastatin yang tinggi. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa terdapat keragaman dari kadar lovastatin,kadar pimen merah dan kuning dari beberapa isolat M.purpureus. Kadar lovastatin tertinggi dihasilkan oleh isolat SR, yaitu sebesar 1.588,11 mg/l; kadar pigmen kuning tertinggi dihasilkan oleh isolate SR dan kadar pigmen merah tertinggi dihasilkan oleh isolate SR dan BPA. Kadar pigmen diduga memiliki korelasi positif terhadap kadar lovastatin dalam angkak, sehingga semakin pekat warna angkak menunjukkan kadar lovastatin yang semakin tinggi. Penggunaan angkak untuk konsumen sebaiknya memilih warna merah yang pekat, sehingga memiliki manfaat yang lebih besar untuk kepentingan medis. Ucapan terima kasih Terima kasih kami sampaikan kepada Bapak Dr.Novik Nurhidayat yang telah memberikan ide dan bimbingannya selama penelitian berlangsung. Selanjutnya kepada Ibu Dra.Ernawati Kasim,MSc dan Ratih Handayani yang terlibat dalam penelitian ini. 479 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Daftar Pustaka Bakosova, A., Mate, D., Laciakova, A., Pipova, M. 2001. Utilization of Monascus purpureus in the production of foods of animal origin. Bull. Vet. Inst. Pulawy, 45: 111-116. Dikshit R and P Tallapragada. 2011. Monascus purpureus: A potential source for natural pigment production J. Microbiol. Biotech. Res. Vol. 1(4):164-174 Erdogrul O and S Azirak. 2004. “Riview of The Studies on The Red Yeast Rice (M purpureus )”. Turkish Electronic Journal of Biotechnology. Vol.2μ37-49 Hajjaj H, A Klaebe, G Goma, PJ Blanc, E Barbier and J Francois. 2000. Medium Chain Fatty Acids affect citrinin production in the filamentous fungus monascus ruber. Appl. Environ. Microbiol. Vol. 66(3):1120-1125. Harvey D.2000. Modern Analytical Chemistry. USA: McGraw-Hill. Hsieh PS and YH Tai. 2003. Aquaeous Extract of Monascus purpureus M9011 Prevents and Reverses Fructose-Induced Hypertension in Rats, Journal of Agricultural and Food Chemistry. Vo.l51:3945-3950 Kasim E, S Astuti, dan N Nurhidayat. 2005. Karakterisasi pigmen dan kadar lovastatin beberapa isolat Monascus purpureus. Biodiversitas 6 (4): 245-247. Kou W, Z Lu, J Guo. 1997. Effect of xuezhikang on the treatment of primary hyperlipidemia. Zhonghua Nei Ke Za Zhi. Vol. 36(8):529-31. Lee BK, NH Park, HY Piao, and WJ Chung. 2001. Production of Red Pigments by Monascus purpureusin Submerged Culture Biotechnol. Bioprocess Eng.Vol. 6: 34134 ́opez C , JÁ ́erez , JMF Sevilla , FGA Ferńandez , EM Grimaand, Y Chisti. 2004. Fermentation optimization for the production of lovastatin byAspergillus terreus: use ofresponse surface methodology. J Chem Technol Biotechnol Vol.79:1119–1126 Ma J, Y Li, Q Ye, J Li, Y Hua, D Ju, D Zhang, R Cooper and M Chang. 2000. “Constituents of Red Yeast Rice, a Traditional Chinese Food and Medicine.” J.Agric.Food Chem. Vol.48: 5220 – 5225. Maattjik AA, Sumertajaya IM. 2006. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab Jilid 1, Ed ke-2. Bogor:IPB Press. Orkoula MG, Kontoyannis CG, Markopoulou CK, Koundourellis JE. 2004. Development of mothodologist based on HPLC and raman spectroscopy for monitoring the stability of lovastatin in solid state in the presence of gallic acid. Pharmaceutical and Biomedical Analysis 35:1011-1016. Pastrana, L, PC Blanc, MO Santerre, O Loret and G Goma. 1995. Production of red pigments by production of foods of animal origin. Bull. Vet. Inst. Pulawy. 45: 111116 Rajh SJ, Kreft S, Strukelj B, Vrecer F. 2003. Comparison of CE and HPLC methods for determining lovastatin and its oxidation products after exposure to an oxidative atmosphere. CCACAA 76(3):263-268 Scott RPW. 2012. Principles and Practice of Chromatography (Chrom-Ed Book Series) [Kindle Edition] Reese-Scott Partnership pub. p.140 Stocking EM & RM Williams. 2003. Chemistry and Biology of Biosynthetic Diels-Alder Reactions. Angew. Chem. Vol.42:3078-3115 Timotius KH. 2004. Produksi pigmen angkak oleh Monascus. Jurnal Teknologi dan Industri PanganVol.15(1):79-85 Yulinery T dan N Nurhidayat. 2012. Analisa Kandungan Lovastatin, Pigmen dan Citrinin Pada Fermentasi Beras IR-42 Dengan Mutan Monascus purpureus. Berita Biologi. Vol.11(1):121-131. 480 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Ye P, ZL Lu, BM Du, Z Chen, YF Wu, XH Yu, YC Zhao. 2007. Effect of xuezhikang on cardiovascular events and mortality in elderly patients with a history of myocardial infarction: a subgroup analysis of elderly subjects from the China Coronary Secondary Prevention Study.J Am Geriatr Soc. Vol. 55(7):1015-22. Zhao SP, ZL Lu, BM Du, Z Chen, YF Wu, XH Yu, YC Zhao, L Liu, HJ Ye, ZH Wu.2007.Xuezhikang, an extract of cholestin, reduces cardiovascular events in type 2 diabetes patients with coronary heart disease. J Cardiovasc Pharmacol. Vol. 49(2):814. 481 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Seleksi Bacillus Spp. Terhadap Aktivitas Enzim Amilase Dalam Larutan Substrat Tepung Talas Sri Hartin Rahaju1 Pusat Penelitian Biologi - LIPI Jl. Raya Jakarta-Bogor km 46, Cibinong Email : hartinrm@yahoo.co.id 1 ABSTRAK Indonesia selain berlimpah dengan bahan baku tepung juga kaya dengan sumber daya mikroba, namun pemanfaatannya belum maksimal. Oleh karena itu pengujian ini ditujukan untuk memperoleh Bacillus spp yang berpotensi dan informasinya tentang aktivitas enzim amilase dalam larutan substrat tepung talas untuk menentukan konstanta michaelis menten (Km) dan kecepatan maximum (Vmaks) dari Bacillus sp. terseleksi. Pengujian dilakukan bertahap yaitu peremajaan bakteri, tahap propagasi bakteri, produksi enzim, penyeleksian bakteri, dan penentuan Vmaks dan Km bakteri terseleksi. Bakteri yang diseleksi yaitu Bacillus sp. CW-1, Bacillus sp. SW-2, B. laterosporus, B. cereus, B. stearo, B. circulans, B. badius A, B. panthotericus. Uji aktivitasnya menggunakan substrat tepung dapat larut, tepung talas dan isolat dengan aktivitas tertinggi ditentukan Vmaks dan Km-nya berdasarkan metode Linewearver-Burk menggunakan data aktivitas enzim pada beberapa variasi konsentrasi substrat (0.25%; 0.5%; 1%; 2%; 3%; 4%; dan 5%) dan waktu inkubasi (10 menit, 20 menit, 30 menit dan 40 menit). Dari hasil seleksi diperoleh bakteri B. panthotenticus yang memiliki aktivitas amilase yang paling baik. Nilai Vmaks terbaik pada waktu inkubasi 10 menit, nilai Km terendah diperoleh pada waktu inkubasi 30 menit. Berdasarkan hasil uji waktu inkubasi yang memperoleh hasil degradasi yang terbaik yaitu pada waktu inkubasi 10 menit karena waktu inkubasi lebih cepat dan laju degradasi substrat lebih tinggi. Kata kunci: Bacillus sp., enzim amilase, substrat tepung talas dan waktu inkubasi Pengantar Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki bahan baku tepung berlimpah seperti ubi kayu, ubi jalar, sagu, jagung, talas, pisang, dan lain-lain. Tepung digunakan sebagai bahan dasar industri makanan, juga untuk keperluan farmasi, tekstil, lem, serta keperluan industri bioteknologi (monosodium glutamat, dekstrosa dll). Glukosa, fruktosa merupakan turunan dari tepung jagung, tapioka, gandum, padi, kentang, dan sagu. Pengembangan tepung menjadi produk biologis melalui proses fermentasi telah banyak dilakukan, namun enzim yang digunakannya sebagian besar masih import. Dalam proses fermentasi tepung diperlukan enzim amilase dari mikroba yang berpotensi mampu menghidrolisis tepung menjadi gula. Beberapa kegunaan amilase adalah sebagai suplemen dalam aktivitas diastatik (Whitaker, 1972), menyempurnakan dalam mencerna beberapa bahan makanan ternak sehingga membuat makanan lebih berguna (Rutten dan Daugulis, 1987). Kegunaan lain adalah sebagai bahan mentah 483 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan untuk membantu pencernaan makanan (Pamatong, 1991), degradasi tepung dalam proses pembuatan tekstil (Bajpai dan Bajpai, 1987) dan memperbaiki tekstur roti (Lowry et al., 1951). Telah diketahui dari beberapa penelitian terdahulu bahwa sebagian besar bakteri genus Bacillus spp. merupakan genus yang memiliki aktivitas amilolitik dan ada pula genus lain yang memiliki aktivitas amilolitik. Holt (1977) melaporkan, lebih dari 142 jenis bakteri mampu menggunakan tepung sebagai sumber karbon dan energi. Bakteribakteri tersebut akan mengeluarkan enzim-enzim untuk mendegradasi substratnya dan produknya akan digunakan untuk metabolismenya. Dalam mendegradasi substrat amilum, bakteri amilolitik mengeluarkan enzim amilolitik yang menghasilkan produk akhir berupa glukosa, maltose, maltotriosa, maltotetraosa, dan maltoheksosa (Nigam & Singh, 1995). Speses-spesies Bacillus spp. sangat beragam, namun secara filogenik [berdasarkan sekuens gen (tRNA)] memiliki kesamaan dalam cirri-ciri morfologi, fisiologi dan ekologi. Bacillus spp. yaitu bakteri berbentuk batang yang merupakan gram positif yang mampu membentuk endospora (Nigam & Singh, 1995). Standar aktivitas enzim telah ditetapkan oleh Komisi Enzim Internasional yaitu jumlah substrat (µM) yang diubah menjadi produk per menit pada kondisi lingkungan tertentu. Maka digunakan metode pengukuran jumlah produk atau gugus peroduksi yang dibentuk (Robyt, 1984), reagen yang digunakan yaitu reagen asam 3,5dinitrosalisilat adalah reagen yang sangat baik dan relative mudah dalam memberikan hasil kualitatif jumlah gugus pereduksi yang dihasilkan dari reaksi hidrolisis tepung oleh enzim amilase. Indonesia selain berlimpah dengan bahan baku tepung juga kaya dengan sumber daya mikroba, namun pemanfaatannya belum maksimal. Oleh karena itu pengujian ini ditujukan untuk memperoleh Bacillus spp yang berpotensi dan informasinya tentang aktivitas enzim amilase dalam larutan substrat tepung talas untuk menentukan konstanta michaelis menten (Km) dan kecepatan maximum (Vmaks) dari Bacillus sp. terseleksi. Bahan dan Metoda Dalam penelitian ini dilakukan pekerjaan bertahap yaitu peremajaan bakteri, tahap propagasi bakteri, produksi enzim, penyeleksian bakteri, dan penentuan Vmaks dan Km bakteri terseleksi. Bakteri yang diseleksi terdiri dari 8 (delapan) isolat yang berasal dari beberapa daerah yaitu Bacillus sp. CW-1 (Ciseeng, Bogor), Bacillus sp. SW-2 (Serpong, Tangerang), B. laterosporus (Lombok), B. cereus (Bogor), B. stearo (Lombok), B. circulans (Lombok), B. badius A (Lombok), B. panthotenticus (Lombok). Dilakukan peremajaan bakteri-bakteri yang akan diseleksi dalam media LB (agar, tripton, NaCl, ekstrak khamir, tepung dapat larut, tepung talas dan aquades) agar miring steril dan diinkubasi dalam inkubator pada suhu 370C selama 48 jam. Setelah tumbuh dari setiap bakteri tersebut diambil 1 ose ditumbuhkan dalam petri berisi media padat LB ditambah Soluble Starch 1% selama 48 jam pada suhu kamar dan diuji amilum dengan meneteskan larutan jodium dan terlihat zona beningnya. Selanjutnya dari setiap bakteri tersebut diambil 2 ose ditumbuhkan dalam media LB cair (50 ml) kemudian dishaker 150 rpm selama 24 jam pada suhu kamar. 484 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Produksi enzim dilakukan setelah kultur media propagasi memiliki rapat optis 0.5 pada 600 nm, kemudian kultur tersebut ditumbuhkan/fermentasi dalam 50 ml media LB cair-tepung talas secara aseptik dan di dishaker 150 rpm selama 48 jam pada suhu kamar. Selanjutnya 8 bakteri tersebut disentrifus dengan kecepatan 12.000 rpm selama 15 menit, supernatant disimpan dan dianggap sebagai enzim (crude enzyme). Kemudian dari ke 8 isolat tersebut diuji aktivitasnya dengan menggunakan substrat tepung dapat larut. Substrat 0.25 ml (2% tepung dapat larut dalam 0.05 M buffer fosfat pH 7.0) dan 0.25 ml buffer fosfat dimasukkan kedalam tabung reaksi, diinkubasi dalam penangas air suhu 400C selama 5 menit, kemudian ditambah 0.5 ml enzim dan diinkubasi lagi dalam penangas air suhu 400C selama 10 menit, kemudian ditambah 1 ml reagen DNS (dinitrosalycilic acid) lalu divorteks dan disimpan di air mendidih selama 5 menit. Setelah dingin larutan diencerkan 10 kali dengan aquades dan diukur rapatan optisnya (OD) dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 540 nm. Isolat yang memiliki OD tinggi yaitu isolat yang memiliki aktivitas tertinggi dan akan dipilih untuk ditentukan Vmaks dan Km-nya. Satu unit aktivitas enzim didefinisikan sebagai jumlah enzim yang melepaskan 1 µmol gula pereduksi/menit setara dengan 1 µmol glukosa/menit (Bernfeld, 1955 dan Lehninger, 1982). Penentuan Vmaks dan Km dilakukan berdasarkan metode Linewearver-Burk menggunakan data aktivitas enzim pada beberapa variasi konsentrasi substrat (0.25%; 0.5%; 1%; 2%; 3%; 4%; dan 5%) dan waktu inkubasi (10 menit, 20 menit, 30 menit dan 40 menit). Hasil dan Pembahasan Kedelapan jenis bakteri Bacillus spp. tumbuh subur di media padat yang mengandung pati 1% sebagai sumber karbon dan energi. Selain dapat tumbuh dengan baik, bakteri Bacillus spp. tersebut juga dapat memecah pati menjadi senyawa yang lebih sederhana sehingga di sekitar bakteri Bacillus spp. tersebut terlihat zona bening karena di atas permukaan media tersebut ditetesi larutan jodium. Zona bening terlihat karena area tersebut sudah tidak mengandung tepung. Sebelumnya dilakukan peremajaan bakteri ditujukan untuk bakteri yang baru dan muda yang berada pada fase eksponential. Bakteri pada umumnya akan memproduksi enzim dalam jumlah yang optimal dalam fase eksponential atau akhir fase eksponential. Pada fase eksponensial, sel telah beradaptasi dengan lingkungannya yang baru. Sel akan tumbuh dengan cepat, sehingga massa sel dan jumlah sel akan bertambah secara eksponensial terhadap waktu, terjadi balance growth yaitu semua komponen dalam sel tumbuh dengan kecepatan yang sama. Komposisi sebuah sel mendekati konstan. Pada balance growth, laju pertumbuhan spesifik akan sama baik ditentukan secara massa sel ataupun jumlah sel. Konsentrasi nutrien pada fase ini besar, maka laju pertumbuhan tidak dipengaruhi oleh konsentrasi nutrien. Laju pertumbuhan pada fase eksponensial mengikuti persamaan diferensial (Shuler and Kargi, 1992). Pengukuran rapatan optis didasarkan pada hamburan cahaya monokromatis oleh bakteri Bacillus spp. (bakteri) dimana sel memiliki ukuran yang tetap maka hamburan cahaya sebanding dengan jumlah bakteri. Dalam beberapa penelitian dinyatakan bahwa aktivitas enzim amilase bertambah selaras dengan bertambahnya pertumbuhan sel (Robyt, 1984). Oleh karenanya rapat optis semua isolat disamakan menjadi 0.5 setara dengan 108 bakteri ketika akan difermentasikan pada media. 485 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Substrat pati talas pada tahap fermentasi akan menginduksi sintesis enzim amilase (Fogarty, 1983) dimana pati talas berperan sebagai induser bagi bakteri untuk mensekresikan enzim amilase, selain itu pati talas yang mengandung kalsium akan meningkatkan produksi enzim amilase oleh bakteri (Muchtadi dkk., 1992). Karena bakteri mengeluarkan enzim amilase untuk mendegradasi tepung menjadi senyawasenyawa sederhana yang akan digunakan untuk aktivitas metabolismenya (Colby, 1985). Amilase merupakan enzim ekstraseluler, dan pada tahap fermentasi enzim tersebut bekerja diluar sel dan terdapat dalam media fermentasi. Pemisahan enzim amilase dikerjakan dengan cara sentrifugasi pada 12.000 rpm, dan enzim berada dalam supernatan sehingga dianggap sebagai enzim kasar (crude enzyme). Enzim dari masing-masing isolat diproduksi dan ditentukan aktivitasnya dengan menggunakan substrat tepung dapat larut. Pati dapat larut digunakan agar larutan tidak berbentuk koloid/keruh sehingga tidak mengganggu pembentukan senyawa berwarna dan pengukurannya secara spektrofotometri (Whitaker, 1994). Aktivitas enzim yaitu jumlah enzim yang melepaskan 1 µmol gula pereduksi /menit atau setara dengan 1 µmol glukosa/menit (Bernfeld, 1955). Setelah dilakukan seleksi beberapa bakteri Bacillus spp. maka diperoleh Bacillus yang memiliki aktivitas enzim yang paling baik adalah B. panthotenticus yaitu 0.6554 (Grafik 1), berarti bahwa enzim amilase yang disekresikan oleh B. panthotenticus memiliki daya amilolitik yang paling baik dan mampu menghasilkan glukosa sebesar 0.6554 µmol setiap menit dari tiap volume (ml) substrat. Oleh karenya B. panthotenticus merupakan bakteri yang terseleksi dan dipilih untuk digunakan pada penelitian berikutnya, yaitu penentuan nilai Vmaks dan Km enzim. Grafik 1. Diagram seleksi beberapa Bacillus spp. terhadap aktivitas enzim amilase Penetuan parameter kinetika enzim yaitu penentuan nilai Km, adalah afinitas enzim yang bereaksi dengan substrat dan mengetahui nilai Vmaks, yaitu laju perpecahan substrat oleh enzim (Bergneyer, 1983). Penelitian dilakukan dengan konsentrasi substrat 486 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan pada berbagai variasi waktu inkubasi (Grafik 2), bahwa pada waktu inkubasi yang sama dan perlakuan konsentrasi substrak semakin besar diperoleh enzim amilase semakin besar pula. Pada konsentrasi yang rendah, aktivitas enzim yang terukur juga rendah. Hal ini karena pada kondisi itu tidak semua enzim amilase tidak berada dalam kompleks enzim–substrat (ES)yang kemudian menghasilkan produk berupa glukosa yang terukur. Ada sebagian enzim tidak bereaksi karena sedikitnya substrat, dalam hal ini substrat berperan sebagai pereaksi pembatas ( Lehninger, 1982 dan Primrose, 1987). K1 k3 E+S ES E+P K2 Kecepatan reaksi (aktivitas) meningkat ketika konsentrasi substrat bertambah, dikarenakan seluruh enzim terjenuhi oleh substrat. Pada kondisi ini semua enzim amilase bebas E akan berubah menjadi bentuk ES. Kompleks ES terus menerus terbentuk dan dengan cepat terurai menghasilkan produk (P) glukos dan enzim amilase bebas E. Pada konsentrasi substrat yang cukup tinggi, enzim bebas E segera berikatan dengan molekul S yang lain. Pada keadaan ini tercapai suatu keadaan seimbang dengan enzim amilase yang senantiasa jenuh oleh subtract dan tercapai kecepatan maksimum (Vmaks). Aktivitas enzim dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya konsentrasi substrat, pH, suhu, dan inhibitor/penghambat (Campbell, 1987). Enzim adalah katalisator biologis, karena suatu katalisator merupakan suatu senyawa yang mempercepat laju reaksi kimia. Hampir semua reaksi kimia yang penting bagi kehidupan akan berlangsung sangat lambat tanpa adanya katalisator yang sesuai. Dikatakan pula bahwa mekanisme kerja enzim berlangsung dalam dua tahap. Banyak enzim menggunakan lebih dari satu substrat tetapi untuk memahami prinsip dasar kerja enzim dengan mudah dengan memperhatikan reaksi enzim dengan satu substrat seperti berikut (Primrose, 1987), segera setelah enzim bergabung dengan substratnya, akan bebas kembali. 487 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Grafik 2. Diagram aktivitas enzim amilase dari B. panthotenticus. Terjadi hubungan regresi linier posisif nyata antara penambahan substrat dengan aktivitas enzim yang berarti semakin tinggi subtrat yang didegratasi akan semakin tinggi pula aktivitas enzim yang diperoleh (Grafik 2). Namun semakin lama waktu inkubasi aktivitas enzim amilase menjadi turun yang terbaik lama inkubasi 10 menit terlihat pada garis regresi linier. Menurut Miller (1959), dalam reaksi enzimatik tersebut glukosa yang terukur dapat berkurang karena glukosa teroksidasi oleh oksigen terlarut menjadi asam uronat, Proses oksidasi glukosa juga dipengaruhi oleh lamanya inkubasi. Maka kecilnya nilai aktivitas ini tidak menunjukkan rendahnya daya amilolitik enzim karena glukosa produk bereaksi lebih lanjut menjadi asam uronat sehingga glukosa yang terukur menjadi rendah. Berdasarkan beberapa variasi waktu inkubasi (Grafik 3), diperoleh Vmaks terbaik yaitu pada waktu inkubasi 10 menit, yaitu 0.4825 Unit, berarti kecepatan maksimum enzim dalam merubah substrat menjadi produk yaitu 0.4825 µmol/menit. Semakin tinggi nilai Vmaks akan semakin baik karena akan semakin banyak pati terdegradasi menjadi produk dalam waktu yang sama. Oleh karenanya enzim yang memiliki nilai Vmaks yang besar akan menghasilkan jumlah produk yang lebih banyak dalam satuan waktu dan jumlah substrat yang sama. Semakin kecil nilai Km suatu enzim akan semakin baik, karena nilai Km yang rendah menunjukkan tingginya afinitas enzim terhadap substrat, sehingga semakin rendah konsentrasi enzim yang diperlukan untuk mencapai kecepatan reaksi maksimum (Fogarty, 1983). Nilai Km menunjukkan banyaknya enzim yang diperlukan untuk menghidrolisis 1 ml substrat. Dalam praktiknya, enzim yang yang memiliki nilai Km 488 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan yang kecil lebih sedikit dibutuhkan dari pada enzim yang memiliki nilai Km yang besar untuk merubah substrat menjadi produk dalam satuan waktu dan jumlah substrat yang sama. Bila ditinjau pada Grafik 3, nilai Km yang terkecil adalah pada waktu inkubasi 30 menit sebesar 1.0832. Nilai ini sebenarnya tidak setara dengan nilai Vmaks-nya yang kecil dibandingkan dengan nilai Vmaks pada waktu inkubasi yang lain sehingga tidak bisa dihubungkan secara langsung karena nilai Vmaks-nya tidak menunjukkan laju amilolitik yang sebenarnya (hubungan regresi linier-nya tidak menunjukkan beda nyata/ R2= 0.674 dan 0.156). Nilai Km waktu inkubasi 10 menit sebesar 1.7991, merupakan nilai Km tertinggi, namun bila dibandingkan dengan efisiensi waktu inkubasi dan nilai Vmaks-nya yang menunjukkan efektifitas degradasi pati, maka degradasi pati yang optimal pada wakti inkubasi 10 menit. Grafik 3. Diagram hasil uji Vmaks dan Km enzim amilase pada B. panthotenticus Nilai Vmaks dan Km ditentukan dari aktivitas enzimnya. Untuk enzim yang sama (amilase), nilai-nilai tersebut bervariasi tergantung mikroba penghasilnya, kondisi fermentasi, serta faktor eksternal lain. Pada penelitian yang telah dilakukan pada inkubasi suhu ruang, semua bakteri uji menunjukkan aktivitas enzim yang berbeda (Grafik 1). Pada kondisi inkubasi suhu ruang ini, bakteri B. panthotericus memiliki nilai aktivitas enzim yang paling baik. Kesimpulan Dari hasil seleksi diperoleh bakteri B. panthotenticus yang memiliki aktivitas amilase yang paling baik. Nilai Vmaks terbaik pada waktu inkubasi 10 menit, nilai Km terendah diperoleh pada waktu inkubasi 30 menit. Berdasarkan hasil uji waktu inkubasi yang memperoleh hasil degradasi yang terbaik yaitu pada waktu inkubasi 10 menit karena waktu inkubasi lebih cepat dan laju degradasi substrat lebih tinggi. Daftar Pustaka 489 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Bergneyer, HU. 1983. Methodes of Enzymatic Analysis. Third Edition Vol. I: Fundamental. Florida:Venag Chemie. Bernfeld, P. 1λ55. Amilase α and β. Di dalam SP Colowick & NO Kaplan (Penyunting). Methode in Enzymology. New York: Academic. Campbel and Reece. 2002. Biologi Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga. Colby, DS. 1985. Ringkasan Biokimia Harper. Terjemahan Adjie Dharma. Jakarta: EGC. Fogarty, 1983. Dasar-dasar Biokimia Jilid 1. Terjemehan Maggy Thenawidjaja. Jakarta: Erlangga. Holt, J.G. 1977. The Shorter Bergeys Manual Determinative Bacteriology. 8th edition. Baltimore: The Williams and Wilkins Co. Lehninger, Al. 1982. Dasar-dasar Biokimia. Jakarta: Erlangga. Lowry, O.H., N. Rosenbrough, N. Farm, and R. Randall. 1951. Protein measurement with the Folin-Phenol reagent. Journal of Biological Chemistry 193: 265-275. Nigam, P. & D. Singh, 1995. Enzym and Microbial System Involved in Starch Processing. Enzy. Microbio. Tech. 17: 770-778. Miller, Gl. 1959. Use of Dinytrosalicylic Acid Reagent for Determination of Reducing Sugar. Anal. Chem. 31: 760-763. Pamatong, F.U. 1991. Enzymatic Production of Maltodextrin from Cassava Starch. [M.Sc.-Thesis]. Chiang Mai: University of Chiang Mai. Primrose. 1987. Modern Biotechnology. London: Blackwell Scientific Publications. Robyt, JF. 1984. Enzym in Hidrolysis and synthesis of Starch. Di dalam RL, Whistler, JN, Bemiller & EF, Paschall (Penyunting). Starch: Chemistry and Technology, Second Edition. Orlando: Academic. Rutten, R. and A.J. Daugulis. 1λ87. Continuous production of α-amylase by Bacillus myloliquefaciens in a two-stage fermentor. Biotechnology Letters 9: 505-510. Shuler M.L., and F. Kargi. 1992. Bioprocess Engineering Basic Concepts, PrenticeHall International Inc., New Jersey. Whitaker, J.R. 1972. Principles of Enzymology for the Food Sciences . New York: Marcell Dekker, Inc. 490 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Aktivitas Inhibisi Α-Glukosidase Ekstrak Etil Asetat dan Heksan Dari Cinnamomum Burmannii dan Cinnamomum Verum Like Efriani*1, Sitaresmi Yuningtyas1, dan Waras Nurcholis2 Sekolah Tinggi Teknologi Inustri dan Farmasi (STTIF) Bogor. Jl. Kumbang No. 23 Bogor 2 Departemen Biokimia, FMIPA, IPB Bogor. Jl. Agatis Kampus IPB Dramaga, Bogor 16680 *Email : like.efriani@yahoo.com 1 ABSTRAK Diabetes Melitus merupakan penyakit kronis yang ditandai dengan peningkatan kadar gula dalam darah. Penggunaan obat-obatan sintesis sebagai antidiabetes masih tergolong sangat mahal maka sebagai alternatif pengobatan digunakan tanaman yang relatif murah dan mudah didapat oleh masyarakat, salah satunya yaitu tanaman kayu manis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui daya inhibisi ekstrak etil asetat, heksan, dan etil asetat : heksan (1:1) kulit batang kayu manis (Cinnamomum burmannii dan Cinnamomum verum) dengan konsentrasi 0.375% terhadap aktivitas enzim α-glukosidase dan dibandingkan dengan akarbosa 0.375%. Selain itu penelitian ini menentukan komposisi fitokimia dalam ekstrak tersebut. Kulit batang kayu manis Cinnamomum burmannii dan Cinnamomum verum diekstraksi dengan metode maserasi. Ekstrak yang diperoleh diuji daya inhibisinya terhadap α-glukosidase secara in vitro dan ditentukan komponen fitokimianya. Ekstrak dengan daya inhibisi terbaik adalah ekstrak etil asetat Cinnamomum burmannii dan Cinnamomum verum dengan nilai inhibisi berturut-turut sebesar 88.08% dan 77.53% yang tidak berbeda nyata dengan akarbosa. Berdasarkan hasil uji fitokimia senyawa yang terkandung di dalam ekstrak etil asetat Cinnamomum burmannii adalah flavonoid, tanin, saponin, hidrokuinon dan triterpenoid. Sedangkan senyawa yang terkandung didalam ekstrak etil asetat Cinnamomum verum adalah flavonoid, tanin, saponin, hidrokuinon, steroid dan triterpenoid. Kata kunci : Antidiabetes, Cinnammomum burmannii, Cinnammomum verum, αglukosidase. Pengantar Penyakit Diabetes Melitus (DM) yang juga dikenal dengan penyakit kencing manis atau penyakit gula darah adalah golongan penyakit kronis yang ditandai dengan peningkatan kadar gula dalam darah (hiperglikemia) sebagai akibat adanya gangguan sistem metabolisme dalam tubuh, di mana organ pankreas tidak mampu memproduksi hormon insulin sesuai kebutuhan tubuh. Rata-rata 1,5-2,0% dari seluruh penduduk dunia menderita penyakit diabetes yang bersifat menurun. Penyebab penyakit DM tergantung pada jenis diabetes yang diderita. Ada 2 jenis diabetes yang umum terjadi dan diderita banyak orang yaitu diabetes tipe I dan diabetes tipe II. Perbedaannya adalah diabetes tipe I disebabkan oleh masalah fungsi organ pankreas tidak dapat 491 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan menghasilkan insulin, sedangkan diabetes tipe II disebabkan oleh masalah jumlah insulin yang kurang bukan karena pankreas tidak bisa berfungsi dengan baik (Bailey & Day, 2003). Indonesia merupakan daerah tropis yang kaya akan tanaman dan banyak sekali tanaman yang dipercaya memiliki khasiat sebagai tanaman obat yang berkhasiat sebagai antidiabetes. Salah satu tanaman yang memiliki khasiat sebagai antidiabetes adalah kayu manis (Sarjono et al., 2010). Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Apriani (2012) bahwa kayu manis dari spesies C.burmannii memiliki efek penghambatan enzim α-glukosidase dari fraksi ekstrak n-butanol dengan nilai IC50 sebesar 1,168 μg/mL. Nilai IC50 dari ekstrak etil asetat, air dan petroleum eter berturutturut sebesar 1λ,23λ μg/mL, 24,244 μg/mL, dan 6λ,717 μg/mL yang dapat digunakan sebagai antidiabetes. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui daya hambat ekstrak etil asetat, heksan, dan etil asetat:heksan (1:1) kulit batang kayu manis (C.burmannii dan C.verum) terhadap aktivitas enzim α-glukosidase dan dibandingkan dengan akarbosa yang akan digunakan sebagai kontrol positif. Selain itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui komponen fitokimia dari ekstrak yang memiliki daya inhibisi yang terbaik. Bahan dan Metode Bahan Bahan yang digunakan adalah adalah kulit batang kayu manis Padang (Cinnamomum burmannii) berumur 7 tahun dan kuit batang Kayu manis Jawa (Cinnamomum verum) berumur 15 tahun yang berasal dari perkebunan Biofarmaka IPB Dramaga Cikabayan Bogor- Jawa Barat kemudian dideterminasi di Herbarium Bogoriense Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi LIPI Cibinong Bogor-Jawa Barat. Bahan kimia yang digunakan adalah etil asetat, heksan, asam asetat anhidrat, H2SO4 pekat, pereaksi Lieberman-Buchard, kloroform, pereaksi Meyer, Wagner dan Dragendorf, amil alkohol, HCl pekat, H2SO4 2 M, eter , serbuk magnesium (Mg), larutan FeCl3 1 %, α-glukosidase (Sigma G 3651-250UN), p-nitrofenil α-Dglukopiranosida (pNPG) (Sigma N 1337-5G), tablet Glucobay (Akarbosa) (Bayer, Jakarta-Indonesia), HCl 2 N, Dimetilsulfoksida (DMSO), Larutan Na2CO3, Serum Bovin Albumin (SBA), dan buffer fosfat pH 7. Alat yang digunakan adalah penguap putar (BUCHI, R-250, Switzerland), perangkat instrumen microplate reader (Epoch Microplate Spectrophotometer), microplate (Thermo Scientific NUNC) dan pipet mikro (Thermo Scientific). Metode Penyiapan Bahan Kulit batang kayu manis disortasi basah dan dilakukan perajangan. Hasil perajangan dikeringkan dibawah paparan sinar matahari dan ditutup dengan kain. Setelah sampel kering dilanjutkan uji kadar air dan kadar abu. Bila kadar airnya sudah dibawah 10% maka sampel dapat dihaluskan dengan blender dan disaring dengan ukuran 60 mesh hingga diperoleh simplisia kulit kayu manis berbentuk serbuk. 492 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Ekstraksi Simplisia kulit batang C.burmannii dan C.verum masing-masing sebanyak 25 gram dimaserasi dengan etil asetat, heksan dan etil asetat : heksan (1:1) masing-masing sebanyak 250 mL selama 24 jam pada suhu kamar. Rendaman disaring menggunakan kertas saring halus dan filtratnya disimpan. Residu direndam kembali dalam pelarut yang sama selama 24 jam hingga diperoleh filtrat yang tidak berwarna. Filtrat yang diperoleh dijadikan satu kemudian dipekatkan dengan penguap putar (rotavapor) (pada suhu 50°C) sehingga diperoleh ekstrak kering. Uji Inhibisi α-Glukosidase (Sancheti S et al., 2009) Campuran reaksi terdiri 50 µL 0.1 M buffer fosfat (pH 7.0), 25 µl 0.5 mM pNPG (terlarut dalam 0.1 M buffer fosfat, pH 7.0), 10 µl sampel uji (Sampel yang diuji dilarutkan dalam DMSO dengan konsentrasi konsentrasi 0.375% b/v) dan 25 µL αglukosidase. Campuran reaksi kemudian diinkubasi pada suhu 37°C selama 30 menit. Kemudian, reaksi enzim dihentikan dengan penambahan 100 µl Na2CO3 0.2 M. Hidrolisis enzimatik substrat p-nitrofenol yang dihasilkan dibaca absorbansinya dengan microplate reader pada panjang gelombang 410 nm. Kontrol positif digunakan Akarbosa 0.375% b/v. Sampel dan kontrol positif dilakukan dua kali ulangan (duplo). Data kontrol positif digunakan sebagai pembanding dengan sampel yang diuji. Persen inhibisi dapat dihitung dengan persamaan S : absorbansi sampel (S1-S0) S1 : absorbansi sampel dengan penambahan enzim S0 : absorbansi sampel tanpa enzim C : absorbansi larutan kontrol (DMSO), tanpa sampel (blanko). Uji fitokimia Uji fitokimia meliputi uji flavonoid, uji saponin, uji tanin, uji steroid/triterpenoid dan uji alkaloid. Pengujian meliputi uji flavonoid, alkalod, tanin, saponin, hidrokuinon, triterpenoid dan steroid. Metode uji ini berdasarkan Harborne (1987). Analisis Data Data penelitian ini dianalisis secara statistik menggunakan ANOVA yaitu RAL (Rancangan Acak Lengkap) satu faktor dengan dua kali ulangan pada tingkat kepercayaan λ5% dan taraf α 0.05 dan kemudian dilanjutkan dengan uji Duncan. Hasil dan Pembahasan Kadar Air dan Kadar Abu C. burmanii dan C. verum Penentuan kadar air berguna unuk menyatakan kandungan zat dalam tumbuhan sebagai persen bahan kering dan untuk mengetahui ketahanan suatu bahan dalam penyimpanan. Kadar air yang baik adalah kurang dari 10%. Kadar air yang diperoleh untuk sampel C.burmannii sebesar 6.06% dan untuk sampel C.verum sebesar 5.15%. Penetuan kadar abu digunakan sebagai standar mutu dan karakteristik dari tanaman 493 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan tersebut dan untuk mengetahui mineral total yang ada pada sampel (Anderson, 2008). Rata-rata kadar abu yang diperoleh dari sampel C.burmannii 1.79% dan C.verum sebesar 3.94%. Hasil Ekstraksi Metode ekstraksi yang digunakan adalah maserasi. Penggunaan metode maserasi sangat menguntungkan dalam isolasi senyawa bahan alam karena dengan perendaman sampel tumbuhan akan terjadi kontak sampel dan pelarut cukup lama. Dengan terdistribusinya pelarut organik yang terus menerus kedalam sel tumbuhan mengakibatkan perbedaan tekanan antara di dalam dan di luar sel sehingga pemecahan dinding dan membran sel serta metabolit sekunder yang berada di sitoplasma akan terlarut dalam pelarut organik. Hasil rendemen ekstrak pada spesies C.burmanni memiliki hasil tertinggi pada pelarut etil asetat dengan randemen sebesar 3.11%. Pada spesies C.verum juga memiliki nilai rendemen tertinggi pada pelarut etil asetat sebesar 1.09%. Hasil rendemen ekstrak dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Rendemen ekstrak C.burmanni dan C.verum. Sampel Pelarut Rendemen ekstrak (%) Etil asetat 3.11b ± 0.822 C.burmannii Heksan 0.43a ± 0.074 Etil asetat:heksan (1:1) 0.75a ± 0.017 Etil asetat 1.09a ± 0.640 C.verum Heksan 0.07a ± 0.025 Etil asetat:heksan (1:1) 1.04a ± 0.912 Keterangan : Huruf yang berbeda pada kolom rendemen ekstrak menunjukan nilai beda nyata (α<0,05). Daya Inhibisi α-Glukosidase Daya inhibisi α-glukosidase oleh ekstrak etil asetat, heksan, dan etil asetat : heksan (1:1) C.burmannii konsentrasi 0.375% secara berturut-turut adalah 88.08%, 50.34%, dan 77.54%. Sedangkan daya inhibisi α-glukosidase oleh ekstrak etil asetat, heksan, dan etil asetat : heksan (1:1) C.verum 0.375% secara berturut-turut adalah 77.53%, 3.30%, 48.25%. Untuk kontrol positif yaitu menggunakan akarbosa 0.375% memiliki nilai inhibisi sebesar 99.07%. Data dapat dilihat pada Tabel 2. Berdasarkan analisis data yang diperoleh ternyata aktivitas inhibisi α-Glukosidase oleh akarbosa 0.375% setara dengan daya inhibisi dari ekstrak etil asetat C.burmannii 0.375%, ekstrak etil asetat : heksan C.burmannii 0.375% serta ekstrak etil asetat C.verum 0.375%. Tingginya persentase inhibisi ekstrak etil asetat C.burmannii dan C.verum disebabkan kandungan senyawa metabolit sekunder yang dapat menginhibisi α-glukosidase yaitu flavonoid dan triterpenoid lebih tertarik ke pelarut etil asetat yang bersifat lebih polar dibandingkan dengan heksan. 494 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Tabel 2.Daya inhibisi aktivitas α-glukosidase dari ekstrak C. burmannii dan C. verum. Sampel Pelarut % Inhibisi Etil asetat 88.08c ± 14.211 C.burmannii Heksan 50.34b ± 15.155 Etil asetat : Heksan 77.54c ± 10.632 Etil asetat 77.53c ± 5.129 C.verum Heksan -3.30a ± 5.641 Etil asetat : Heksan 48.25b ± 9.900 99.07c ± 0.220 Akarbosa Keterangan : Huruf yang berbeda pada kolom % inhibisi menunjukan nilai beda nyata pada α<0.05. Uji Fitokimia Berdasarkan hasil inhibisi terbaik α-glukosidase oleh ekstrak etil asetat C.burmannii dan ekstrak etil asetat C.verum maka dilakukan pengujian fitokimia terhadap ekstrak tersebut. Hasil uji fitokimia dapat dilihat pada Tabel 3. Berdasarkan hasil uji fitokimia senyawa yang terkandung di dalam ekstrak etil asetat C. burmannii adalah flavonoid, tanin, saponin, hidrokuinon dan triterpenoid. Sedangkan senyawa yang terkandung didalam ekstrak etil asetat C. verum adalah flavonoid, tanin, saponin, hidrokuinon, steroid, dan triterpenoid. Menurut Zhao et. al. (2009), senyawa fitokimia yang diketahui memiliki peran sebagai antidiabetes diantaranya flavonoid, alkaloid, dan triterpenoid. Flavonoid pada sampel C.burmannii lebih banyak dibandingkan dari C.verum hal ini mempengaruhi inhibisi α-glukosidase sehingga persentase inhibisi C.burmannii lebih tinggi dibandingkan dengan C.verum. Tabel 4. Hasil uji fitokimia. C.burmannii Alkaloid  Mayer  Wagner  Dragendrof Falvonoid +++ Tanin ++ Saponin + Hidrokuinon +++ Steroid Triterpenoid ++ Keterangan : (+): sedikit; (++): sedang; (+++): banyak C.verum ++ ++ +++ ++ + ++ Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Daya inhibisi α-glukosidase oleh ekstrak etil asetat 0.375% C.burmannii dan C.verum berturut-turut sebesar 88.08% dan 77.53%. Hal ini tidak berbeda nyata dengan aktivitas inhibisi α-glukosidase oleh akarbosa sebesar 99.07%. Pada ekstrak yang di uji inhibisi terbaik yang dilanjutkan dengan uji fitokimia menunjukkan ekstrak C.burmannii etil asetat mengandung tanin, flavonoid, hidrokuinon, saponin, 495 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan triterpenoid. Sedangkan ekstrak C.verum mengandung tanin, flavonoid, hidrokuinon, saponin, triterpenoid, steroid. Saran Perlu dilakukan purifikasi ekstrak dari fraksi etil asetat sehingga diperoleh senyawa aktif yang berperan sebagai antidiabetes dan juga uji in vivo menggunakan hewan percobaan. Daftar pustaka Anderson, R.A. 2008. Chromium an polyphenols from cinnamomum improve insulin sensitivy. Proceeding of the anautrition Society 67 : 48 - 53. Apriani, Riza. 2012. Uji Penghambatan Aktivitas α-glukosidase Dan Identifikasi Golongan Senyawa Dari Fraksi Yang Aktif Pada Ekstrak Kulit Batang Cinnammum burmanni ( Ness & T.Ness) Blume. Depok. Universitas Indonesia. Bailey, C.J & C. Day. 2003. Antidiabetic drugs. Br J Cardiol. 10 : 126-36. Harborne, J.B. 1987. Metode Fitokimia. Ter. Dari Phytochemical Methods oleh Kosasih Padmawinata dan Iwang Soediro. Bandung. Penerbit ITB. Harjadi, W. 1993. Ilmu Kimia Analitik Dasar. Jakarta: Gramedia. Sancheti, S., Sandesh,. Sancheti,. Seo, Sung Yum. 2009. Chaenometes Sinensis A Potent α and β- Glucosidase Inhibitor. America Journal of Pharmacology and Toxicology. 4(1) : 8-11. Sarjono P.R., Ismiyarta., Ngadiwiyana, & Prasetya, N.B.A. 2010. Aktivitas Bubuk Kayu manis (Cinnamomum cassia) Sebagai Inhibitor Alfa-Glukosidase. http://ejournal.undip.ac.id /index.php/sm/article/view/3016. [27 Desember 2012] 496 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Sintesis dan Uji Aktivitas Biologi Diamil Nikotinil Glutamat Ester Yulia Anita*1, M. Hanafi1, Puspa D Lotulung1, Any Kurnia2 1 Pusat Penelitian Kimia, Serpong, LIPI 2 Jurusan Kimia, Departemen FMIPA-UI *myname_yulia@yahoo.com ABSTRAK Sintesis Diamil nikotinil glutamat ester, merupakan turunan dari senyawa analog UK3A. UK-3A telah diketahui mampu menghambat pertumbuhan bakteri dan sel kanker. Oleh karena itu, senyawa turunan UK-3A disintesis, dengan tujuan mempunyai aktivitas yang lebih atau sama aktifnya dengan senyawa utama,UK-3A. Sintesis Diamil Nikotinil Glutamat di sintesis melaui 2 tahap yaitu reaksi esterfikasi antara L-Glutamat dengan n-pentanol dan p-TSOH sebagai katalis. Tahap Selanjutnya, reaksi amidasi, dari hasil esterifikasi direaksikan dengan asam 2-hidroksinikotinat menggunakan DCC/DMAP. Hasil sintesis esterifikasi dan amidasi menghasilkan rendemen yang cukup tinggi masing-masing 90,58% dan 71,57%. Hasil uji toksisitas terhadap larva udang Artemia Salina L. menunjukkan LC50 180,2 ppm dan uji sitotoksisitas terhadap sel Murine Leukemia P-388 menunjukkan aktivitas IC50 sebesar 47 µg/mL. Uji aktivitas antikanker Diamil nikotinil glutamat mempunyai aktivitas antikanker yang lebih rendah dibandingkan senyawa UK-3A yaitu 38 µg/mL. Kata Kunci : Amidasi, Artemia Salina L., esterifikasi, sel Murine Leukemia P-388, UK-3A Pendahuluan Senyawa antibiotika baru berhasil diisolasi dari miselium Streptomyces sp. 517-02, yaitu UK-2A sebagai komponen utama dan UK-3A sebagai komponen minor (Ueki et al. 1996). Senyawa antibiotika UK-3A menunjukkan aktivitas yang tinggi terhadap sel kanker, jamur dan mikroba, sehingga berpotensi untuk dijadikan sebagai obat antifungi, antibakteri dan antikanker (Hanafi, 1995). Senyawa antibiotika UK-3A juga telah terbukti dapat menghambat pertumbuhan sel kanker murine leukemia P388, dengan nilai IC50 sebesar 38 µg/mL (Ueki, et al. 1997b). Pada Penelitian Hanafi tahun 1995 dilaporkan bahwa struktur senyawa UK-3A (Gambar 1) memiliki gugus-gugus aktif yang menunjukkan aktivitas penghambatan yang tinggi terhadap sel kanker seperti hidroksi (OH), amida (CONH) dan gugus dilakton. 497 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan OH O O N O HN O O O O Gambar 1. Struktur molekul senyawa UK-3A. Senyawa UK-3A adalah senyawa yang aktif namun sulit untuk diisolasi karena jumlah rendemen kecil dan juga membutuhkan waktu dan tenaga yang ekstra, oleh karena itu senyawa analog UK-3A dapat di sintesis tanpa menghilangkan gugus-gugus aktif yang berperan penting dalam meningkatkan aktivitasnya. Teknik sintesis dapat dilakukan diantaranya dengan mengubah gugus dilkaton yang bersifat lipofilik dengan gugus rantai panjang (alkil) yang juga mempunyai sifat lipofilik sehingga menjadi rantai terbuka yang lebih mudah di sintesis. Penggantian gugus alkil diharapkan dapat menunjukkan data aktivitas yang aktif senyawa analog UK-3A (Hanafi , 1997 ; Ueki, et al., 1997). Penelitian ini bertujuan untuk menemukan senyawa antikanker baru dengan aktivitas yang tinggi, mengingat penyakit kanker telah semakin meluas dan menjadi penyakit yang mendunia serta kanker merupakan salah satu penyebeb kematian yang paling sering dan kasus penderita semakin bertambah (Marlupi 2007). Kebutuhan obat dapat dipenuhi dari berbagai sumber di antaranya hasil sintesis kimia, semisintetik, tumbuhtumbuhan dan hewan. Bahan alami telah banyak digunakan secara empirik untuk pengobatan. Bahan alami untuk obat ini mulai dikembangkan dengan cara isolasi dan selanjutnya di buat melalui sintesis. Penemuan obat baru dengan cara mengembangkan struktur senyawa induk yang sudah diketahui aktivitasnya, lebih disukai karena lebih cepat dan ekonomis. Penelitian dalam penemuan obat baru dalam waktu relatif singkat dan mungkin dapat dilakukan adalah membuat senyawa analog atau modifikasi struktur molekul yang lebih sederhana tetapi mempunyai aktivitas lebih besar atau mendekati aktivitas senyawa aslinya yang sudah diketahui aktivitasnya. (Siswandono & Soekardjo, 1995). Total sintesis terhadap senyawa UK-3A telah berhasil dilakukan oleh Hanafi et al. Namun diperlukan rute yang cukup rumit dan panjang dan memerlukan biaya yang besar. Sintesis senyawa analog UK-3A dilakukan melalui modifikasi molekul, dengan tujuan untuk mendapatkan senyawa baru yang memiliki aktivitas yang setara atau mungkin lebih tinggi, toksisitas/efek samping lebih rendah, selektif dan stabil. Penelitian ini dilakukan untuk mensintesis senyawa analog UK-3A yaitu senyawa diamil nikotinil glutamat ester, senyawa ini diharapkan memiliki aktivitas antikanker 498 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan yang setara atau mungkin lebih tinggi dari senyawa UK-3A sehingga dapat diperoleh senyawa baru yang berpotensi sebagai obat antikanker. Metode Penelitian Alat :Labu bulat, magnetic stirrer, gelas ukur, alat destilasi, kolom kromatografi, hot plate stirrer, spektrofotometer FT-IR, dan spektrometer NMR Bahan : metilenklorida, n-heksana, metanol, etil asetat, benzena dan piridin, Lglutamat, amil alkohol, asam 2-hidroksinikotinat, asam p-toluenasulfonat, N,N-dimetilaminopiridin (DMAP), disikloheksilkarboimida (DCC) Metode Sintesis: a. Esterifikasi : Sintesis senyawa diamil glutamat ester Sintesis senyawa diamil glutamat ester yaitu dengan mereaksikan 15 mmol asam L-glutamat dan 75 mmol amil alkohol dan ditambahkan asam ptoluensulfonat monohidrat dan pelarut benzena. Reaksi esterfikasi dilakukan selama 24 jam, produk yang dihasilkan selanjutnya diidentifikasi dengan spektrofotometer FT-IR dan NMR. b. Amidasi : Sintesis senyawa diamil nikotinil glutamat ester Sintesis senyawa diamil nikotinil glutamat ester dilakukan dengan mereaksikan 2,48 mmol diamil glutmat ester dengan 6 mmol 2-hidroksinikotinat kemudian ditambahkan katalis 6 mmol DCC dan 1,2 mmol DMAP dengan palarut piridin. Campuran direfluk selama 48 jam pada suhu 550C. Produk yang terbentuk di murnikan dengan menggunakan kromatografi kolom, senyawa murni hasil kolom selanjutnya diidentifikasi dengan spektrofotometer FT-IR dan NMR. NH 2 NH 2 HO OH O + C5H11OH p-TsOH C5 H 11 O OC5 H 11 O O O + HO O DCC/DMAP N OC 5H 11 OH O piridin, 55o C O O OH N OC5 H 11 Bagan 1. Sintesis Diamil nikotinil glutamat ester 499 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Metode Uji aktivitas biologi Uji toksisitas Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) Telur udang Artemia salina L dimasukkan ke dalam kotak yang berisi air laut dan di tutupi dengan sebagian aluminium foil lalu dibiarkan selama 24 jam sehingga semua telur akan menetas menjadi larva. Kemudian larva yang telah berumur 1 hari di ambil sebanyak 10 – 15 ekor dan ditempatkan di dalam vial pengujian yang telah diisi dengan 100 µL larutan sampel dan dibiarkan selama 24 jam pada tempat yang cukup cahaya dan udara. Pengamatan terhadap jumlah larva yang mati di lakukan setelah 24 jam dan pengujian sampel dilakukan triplo (secara bersamaan). Blanko untuk uji BSLT ini juga dilakukan dengan cara yang sama dengan sampel tetapi tanpa penambahan air laut. Data yang diperoleh menggunakan analisis regresi linier dengan cara membuat grafik hubungan antara presentase kematian dengan konsentrasi sampel. Nilai LC50 ditentukan dengan cara mengalurkan data pada grafik (Chozin, et al. 1997). Uji aktivitas antikanker secara in vitro terhadap sel murine leukemia P-388 Sel kanker Murine leukemia P-388 dengan pertumbuhan pada fase logaritma, dilarutkan dalam tabung kultur dengan jumlah sel sekitar 3 x 103 sel/mL dalam media RPMI 1640. Sel diinokulasikan dalam microplate 96 lubang dasar rata, dikultivasi dalam inkubator CO2 selama 24 jam untuk menumbuhkan sel. Hari kedua dilakukan penambahan sampel yang dilarutkan dalam pelarut DMSO dan pengenceran sampel yang dilarutkan juga dengan pelarut DMSO. Pengenceran sampel dilakukan dengan menambahkan PBS (Phosphoric buffer solution) pH (7,30 – 7,65). Sampel dengan konsentrasi yang beragam ditambahkan ke dalam sel dalam microplate mixer dan simpan kembali dalam inkubator CO2. Sel di inkubasi selama 48 jam, kemudian ditambahkan reagen MTT [3-(4,5-dimetil thiazol-2-il)-2,5-difenil tetrazolium bromida] dan dikocok menggunakan microplate mixer. Inkubasi dilanjutkan selama 4 jam, kemudian ditambahkan stop solution (SDS) dan dikocok dengan baik tanpa meninggalkan busa yang mengganggu dalam pengamatan. Inkubasi dilanjutkan kembali selama 24 jam. Pengukuran optical density (OD) dilakukan dengan microplate reader 24 jam setelah penambahan stop solution. Nilai IC50 dilihat dari grafik hubungan antara senyawa bahan uji. Apabila dilihat dibawah mikroskop, sel hidup berbentuk bulat dengan warna biru, sedangkan sel mati berbentuk tidak teratur. IC50 merupakan konsentrasi yang diperlukan untuk penghambatan pertumbuhan sel sebesar 50%. Uji aktivitas antikanker ini dilakukan dengan tiga kali ulangan (Sahidin et al.,2005) Pembahasan Senyawa antikanker yang disintesis pada penelitian ini adalah senyawa diamil nikotinil glutamat ester, sintesis senyawa ini dilakukan dengan dua tahap yaitu esterifikasi dan amidasi. Reaksi esterifikasi antara asam L-glutamat dan amil alkohol dan menggunakan katalias asam kuat yaitu asam p-toluensulfonat meghasilkan suatu produk ester. Produk ester yang masih campuran dimurnikan lebih lanjut dengan kromatografi kolom menghasilkan senyawa ester murni dan di KLT (kromatografi lapis tipis) mempunyai nilai Rf yang berbeda dengan senyawa utamanya. Senyawa ester murni dengan nilai Rf 0,75 sedangkan asam L-glutamat dengan nilai Rf 0. Senyawa 500 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan ester murni berupa cairan kental berwarna kuning ini diharapkan adalah senyawa diamil glutamat ester yang mempunyai rendemen sebesar 90,58%. Ester yg terbentuk diidentifikasi menggunakan spektrofotometer FT-IR dan spektrofotometer NMR. Hasil analisis menggunakan FT-IR pada spektrum senyawa diamil glutamat ester muncul pita serapan pada gelombang, = 1735 cm-1 yang merupakan ikatan karbonil ester (C=O) dan diperkuat dengan pita serapan pada bilangan gelombang, = 1205 cm-1 yang merupakan ikatan COOR ester. Adanya pita serapan pada bilangan gelombang, = 2965-2860 cm-1 menunjukkan ikatan C-H alifatik. Dari data spektra FT-IR dapat diambil kesimpulan bahwa reaksi esterifikasi telah terbentuk. Pengukuran senyawa dengan spektrometer 1H dan 13C- NMR di dalam pelarut CDCl3 menggunakan standar TMS. Pada pergeseran δ = 0,63 dan 0,67 ppm menunjukkan adanya 3 buah proton dari gugus metil (t, 2 x 3H, 2xCH3), dan sinyal pada δ = 1,06 ppm menunjukkan adanya 8 buah proton yang berasal dari 4 buah gugus metilen (m,8H,CH2). Sinyal pada δ = 1,32 ppm merupakan pergeseran kimia dari 4 buah proton dari gugus metilen yang bertetangga dengan 2 gugus metilen lainnya (m,4H, CH2). Sedangkan sinyal pada δ = 3,75 ppm (m, 4H,OCH2) merupakan pergeseran kimia dari 4 buah proton dari gugus metilen yang bertetangga dengan sebuah gugus metilen lainnya, dan muncul downfield karena berdekatan dengan atom oksigen. Jika dilihat jumlah proton-proton tersebut adalah 22 proton hal ini sesuai dengan jumlah proton yang terdapat diamil gluatamat ester (2 X C5H11). Analisis spektrum 13C NMR senyawa diamil glutamat ester pada sinyal δ = 171,λ3 dan 172,24 ppm merupakan pergeseran kimia dari atom karbon gugus karbonil ester. Hasil analisa FT-IR dan NMR menunjukkan bahwa produk ester telah terbentuk yaitu diamil glutamat ester. Reaksi selanjutnya adalah amidasi yaitu antara diamil glutamat ester dan 2-hidroksinikotinat dengan menggunakan aktivator DCC dan katalis DMAP. Gugus amida terbentuk karena gugus asam pada 2-hidroksinikotinat diaktivasi menggunakan aktivator DCC dan katalis DMAP sehingga mudah bereaksi dengan senyawa diamil glutamat ester. Pemurnian senyawa hasil reaksi dilakukan dengan menggunakan kromatografi kolom, produk amidasi diperoleh rendemen sebesar 71,57 % Diamil Nikotinil Glutamat ester. Pada spektrum FT-IR dapat diketahui bahwa pita serapan pada = 3215 cm-1 yang merupakan gugus amida sekunder dan serapan pada bilangan gelombang = 1685 cm-1 yang merupakan gugus C=O amida. Pada spektroskopi 1H dan 13C NMR menunjukkan adanya gugus amida yaitu muncul pada pergeseran δ = 10,13 ppm dengan 1 proton ( d,1H, NH) dan δ = 7,58 – 8,55 ppm menunjukkan adanya 3 proton aromatik yang berasal dari cincin piridin dari 2 asamhidroksinikotinat. Sedangkan pada 13C NMR adanya gugus amida yang di tunjukkan pada pergeseran kimia δ = 163,88 ppm dan δ = 107,61 -145,47 ppm muncul sinyalsinyal yang merupakan karbon dari aromatik. Dari data tersebut menunjukkan telah berhasil disintesis produk amidasi berupa Diamil Nikotinil Glutamat ester. Senyawa analog UK-3A, diamil nikotinil glutamat ester, di uji aktivitas biologi dengan uji Brine Shrimp Lethality Test untuk mengetahui efek toksisitas dan uji sitotoksisitas terhadap sel Murine Leukemia P-388. 501 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Uji Aktivitas Biologi. Uji Brine Shrimp Lethality Test Uji ini dilakukan untuk mengetahui efek toksisitas senyawa yang dinyatakan dalan LC50. Perhitungan nilai LC50 melalui kurva regresi linier dengan memplotkan % kematian udang terhadap log konsentrasi dari masing-masing senyawa uji sehingga diperoleh konsentrasi yang menyebabkan kematian 50 % larva udang Artemia salina L. Hasil uji toksisitas terhadap larva udang Artemia salina L. menunjukkan nilai LC50 180,2 ppm. Senyawa Diamil Nikotinil Glutamat ester menunjukkan toksisitas yang rendah , karena berdsasarkan literatur suatu senyawa mempunyai efek toksisitas yang signifikan jika nilai LC50 ≤ 30 ppm. Gambar . Grafik uji BSLT senyawa diamil nikotinil glutamat ester Uji sitotoksisitas terhadap sel Murine Leukemia P-388 Uji sitotoksisitas terhadap sel Murine Leukemia P-388 menunjukkan aktivitas IC50 sebesar 47 µg/mL. Uji aktivitas antikanker Diamil Nikotinil Glutamat ester mempunyai aktivitas yang lebih rendah dibandingkan dengan aktivitas antikanker senyawa UK-3A yaitu 38 µg/mL. Hal ini mungkin dikarenakan rantai pendek (alkil) pada gugus ester, perlu di sintesis untuk gugus ester yang lebih panjang rantai alkil seperti heptil dan oktil. Kesimpulan Diamil Nikotinil Glutamat ester, yang merupakan analog UK-3A, telah berhasil disintesis melalui 2 tahapan yaitu esterifikasi dan amidasi. Hasil rendemen senyawa analog UK-3A cukup tinggi yaitu 71,57% Uji sitotoksisitas terhadap sel Murine Leukemia P-388 menunjukkan aktivitas IC50 sebesar 47 µg/mL. Perlu disintesis senyawa analog UK-3A lainnya dengan rantai alkil yang lebih panjang seperti heptil maupun oktil. 502 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Daftar Pustaka Chozin,A., et al. 1997. Uji Brine Shrimp dan analisis kandungan kimia fraksi ekstrak etanol 95 % daun suren, Toona sureni (BI) Merr. Prosiding simposium penelitian Bahan Obat Alami VIII, Puslitbang farmasi Balitbangkes, Jurusan Farmasi-FMIPA, ITB, Bandung. Hanafi, M. 1995. Studies of novel antibiotic metabolites from Streptomyces sp. 51702. Department of Chemistry, Faculty of Science, Osaka City University. Marlupi, U.D. 2007. Sintesis senyawa analog UK-3A dan uji aktivitas secara in vitro terhadap sel kanker murine Leukemia P-388, tesis, kimia, Institute Pertanian Bogor, Bogor. Sahidin, Hakim, EH. et al. 2005. Cytotoxic properties of oligostilbenoids from the tree barks of hopea dryobalanoides. 60c: 723. Shimano,et al. 1998. Total synthesis of the antifungal dilactones UK-2A and UK3A : The determination of their relative and absolute configuration, analog synthesis and antifungal activities, Tetrahedron. 54 : 12745-12774. Siswandono,Soekarjo.1995. Kimia Medisinal, Airlangga Surabaya. Ueki, M.; et al. 1997b. The Mode of action of UK-2A and UK-3A novel antifungal from Streptomyces sp. 517-02. J Antibiotic. 50 (12): 1052-1057 Ueki, M.; et al. 1997a. UK-3A, A novel antifungal antibiotics from Streptomyces sp. 517-02 fermentation, isolation, structure elucidation and biological properties.J. Antibiotic., 50 (7): 551-555 Ueki, M.; et al. 1996a. UK-3A, A novel antifungal antibiotics from Streptomyces sp. 517-02 fermentation, isolation, and biological properties.J. Antibiotic., 49: 639-644 Ueki, M.; et al. 1996. UK-2A, B, C, and D novel antifungal antibiotics from streptomyces sp. 517-02, structure elucidation. J. Antibiotic. 49: 1226-1231 503 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Karakterisasi Tepung Ubi Kayu dan Mocaf Sebagai Bahan Baku Makanan Sehat Ahmad Fathoni*1, N. Sri Hartati 1, Nur Kartika I.M2 1 Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI Jl. Raya Bogor KM. 46 Cibinong 2 Balai Besar Pengembangan Teknologi Tepat Guna-LIPI Jl. KS Tubun No. 5 Subang e-mail: ahmad.fathoni@lipi.go.id; ahmad.fathoni1737@gmail.com ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui beberapa karakter tepung ubi kayu termodifikasi (modified cassava flour atau mocaf) dan tepung ubi kayu non- fermentasi. Material ubi kayu yang digunakan merupakan jenis ubi kayu unggul hasil penelitian ubi kayu, Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI yaitu genotip Mentega 2 dan varietas unggul nasional, Adira 1. Proses penepungan ubi kayu dilakukan di Laboratorium, Balai Besar Pengembangan Teknologi Tepat Guna (B2PTTG) LIPI, Subang dan hasil kerjasama dengan mitra industri mocaf, PT. Multi Usaha Wisesa (MUW), Gunung Putri, Bogor. Beberapa karakter tepung yang diamati antara lain; visualisasi warna, karakter struktur permukaan bahan menggunakan alat scanning electron microscope (SEM), ukuran granula, uji lugol dan swelling power tepung. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan warna antara tepung ubi kayu dan mocaf, dimana tepung ubi kayu yang dihasilkan tanpa proses fermentasi berwana kekuningan dan warna produk tepung hasil fermentasi berwarna putih. Dari hasil analisis struktur permukaan bahan menggunakan SEM diperoleh adanya perbedaan yang cukup nyata pada struktur kedua bahan. Pengamatan karakter lainnya seperti ukuran granula, uji lugol dan swelling power pada tepung ubi kayu dan mocaf juga menunjukkan variasi antara keduanya. Teknologi proses fermentasi atau mocaf ini mampu meningkatkan daya saing produk dan nilai ekonominya. Selain itu juga tepung ubi kayu dan mocaf sangat bagus digunakan sebagai bahan baku pangan fungsional karena keunggulan yang dimilikinya seperti gluten free dan indeks glikemik yang rendah. Kata Kunci: fermentasi, mocaf, pangan fungsional,scanning electron microscope (SEM), tepung ubi kayu, Pengantar Ubikayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan salah satu komoditi pangan non beras yang sangat potensial baik dimanfaatkan secara langsung maupun digunakan sebagai bahan baku berbagai industri di Indonesia seperti industri bioetanol, industri makanan olahan hingga industri farmasi. Meskipun memiliki potensi yang besar, pemanfaatan ubi kayu segar sebagai bahan pangan memiliki banyak keterbatasan terkait masa simpan dan aplikasi penggunaannya. Untuk mengatasi masalah tersebut, diperlukan pengolahan lebih lanjut terhadap ubi kayu segar salah satunya menjadi tepung. Ubi kayu dalam bentuk tepung ini memiliki beberapa keunggulan diantaranya; memiliki masa simpan yang lebih lama karena berbentuk serbuk dan kering, kemudian 505 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan memiliki aplikasi penggunaan yang lebih luas yaitu dapat digunakan sebagai bahan baku utama atau campuran dalam berbagai makanan olahan berbasis ubi kayu. Pada umumnya, pengolahan tepung ubi kayu dilakukan menggunakan metode sawut. Namun, tepung ubi kayu hasil pengolahan dengan metode ini masih memiliki kelemahan yaitu karakter adonan yang dihasilkan memiliki elastisitas yang rendah. Berbagai upaya telah dilakukan oleh para peneliti untuk memperoleh karakter tepung ubi kayu yang lebih baik antara lain menggunakan teknologi fermentasi (Beni et al. 2009). Pengembangan teknologi pengolahan tepung ubi kayu secara fermentasi antara lain telah dilaporkan oleh Subagio (2008), dalam bentuk mocaf/mocal (modified cassava flour). Prinsip dari teknologi mocaf/mocal ini yaitu melakukan modifikasi struktur sel terutama pati pada ubi kayu secara enzimatis menggunakan bakteri asam laktat (BAL). Pati merupakan komponen terbesar pada tepung dan sifat fisik maupun kimia pati akan berpengaruh terhadap kualitas produk olahan yang dihasilkan. Sifat fisiko kimia seperti kadar air, kadar gula dan pati, kadar amilosa, swelling power dan karakteristik pasta merupakan hal penting yang menentukan sifat produk (WirekoManu et al., 2011). Jika pati dipanaskan bersama air, granula pati akan mengembang sehingga volumenya bertambah. Perubahan yang diakibatkan daya mengembang pati berhubungan dengan daya mengembang (swelling power) dengan karakter spesifik produk olahan pati (Sasaki & Matsuki, 1998). Pada proses fermentasi oleh BAL, pati mengalami reaksi liberasi dan hidrolisis sehingga mampu menghasilkan karakter tepung ubi kayu yang lebih baik. Menurut Subagio (2008), tepung hasil fermentasi yang dihasilkan dapat digunakan untuk membuat aneka produk pangan antara lain kue lapis maupun produk bihun. Saat ini, aplikasi penggunaan tepung ubi kayu sebagai bahan baku makanan olahan mulai popular di masyarakat seperti untuk produk cake, mie kering, brownies dan bubur yang terbuat dari tepung ubi kayu termodifikasi. Untuk mengetahui lebih detail mengenai perbedaan karakter antara tepung ubi kayu non-fermentasi dan tepung ubi kayu fermentasi akan didiskusikan dalam paper ini. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan karakterisasi terhadap tepung ubi kayu yang sudah dimodifikasi menggunakan teknologi fermentasi di Industri dan tepung ubi kayu non-fermentasi sebagai data pembanding. Beberapa karakter tepung yang diamati antara lain; visualisasi warna, karakter struktur permukaan bahan menggunakan alat scanning electron microscope (SEM), ukuran granula, uji lugol dan swelling power tepung. Bahan dan Metode Tempat penelitian Penelitian ini (penepungan ubi kayu) dilakukan di dua lokasi yang berbeda yaitu Laboratorium PPP dan Unit Pengolahan Sari Buah, Balai Besar Pengembangan Teknologi Tepat Guna (B2PTTG)-LIPI, Subang dan PT. Multi Usaha Wisesa (MUW), Gunung Putri, Bogor sebagai mitra kerja. Bahan Bahan umbi segar yang digunakan pada proses penepungan ini adalah ubi kayu unggul hasil penelitian Pusat Penelitian (Puslit) Bioteknologi-LIPI yaitu genotip 506 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Mentega 2 dan varietas unggul nasional yaitu Adira 1. Kedua jenis ubi kayu tersebut diperoleh dari kebun koleksi plasma nutfah Puslit Bioteknologi-LIPI. Bahan kimia yang digunakan selama proses penepungan antara lain; Natrium bisulfit sebagai bahan antioksidan untuk perendaman pada proses penepungan non-fermentasi dan starter BIMO-CF untuk proses fermentasi. Metode Tepung ubi kayu adalah bentuk hasil pengolahan bahan umbi segar dengan proses penggilingan atau penepungan. Tepung ubi kayu non-fermentasi, diperoleh melalui tahapan pengupasan kulit, pencucian, pengecilan ukuran, blanching (70ºC) selama 10 menit, pembuatan chip/sawut, perendaman bahan anti-oksidan; natrium bisulfit 0.3% selama 30 menit, pengeringan menggunakan cabinet dryer pada suhu 50ºC selama 22 jam, penggilingan, pengayakan 60 mesh. Sedangkan pada pembuatan tepung ubi kayu melalui proses fermentasi, secara umum proses penepungannya hampir sama dengan proses penepungan yang ada (seperti tersebut di atas), hanya berbeda pada beberapa tahap proses penepungan. Selain tidak melalui proses blanching, proses perendaman dilakukan dalam bak fermentasi yang mengandung BAL, starter Bimo-CF untuk proses fermentasi. Setelah itu, pengeringan sawut dilakukan dalam bed dryer selama 10 jam sebelum proses penggilingan dan pengayakan. Setelah tepung ubi kayu diperoleh, kemudian dilakukan analisa terhadap beberapa karakteristik fisik (visualisasi warna dengan kamera, struktur permukaan menggunakan SEM) dan karakteristik fungsional (uji lugol, kondisi mikroskopis granula tepung dan daya mengembang tepung atau swelling power. Visualisasi warna Warna tepung dibedakan melalui visual gambar yang diambil menggunakan kamera DSLR merk Nikon D5100 DX AF-S NIKKOR 18-55 mm VR, setting ISO 800. Scanning electron microscope (SEM) Kondisi struktur permukaan granula tepung diamati dengan metode Scanning electron microscope (SEM) menggunakan Hitachi Tabletop Microscope TM3000. Granula tepung Bentuk dan ukuran granula tepung diamati menggunakan mikroskop “Leica DFC 310 FX” pada perbesaran 400x. Sampel tepung disiapkan pada glass slide secukupnya lalu ditetesi larutan lugol sebanyak 1 tetes dan diamati. Uji lugol Uji lugol dilakukan dengan melarutkan 0.1 gram tepung ke dalam 5 ml air dan larutan ditetesi larutan lugol sebanyak 3-5 tetes. Kemudian diamati perubahan warna yang terjadi. 507 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Swelling power tepung Pada percobaan ini, Swelling power (SP) ditentukan dengan cara mencampurkan 0.064 gram tepung ubi kayu dengan 1 ml larutan 1% AgNO3 dalam eppendorf tube yang sudah ditimbang terlebih dahulu. Selanjutnya dipanaskan dalam water bath dengan suhu 80-85°C selama 10 menit. Tabung didinginkan dalam air biasa/dingin dan disentrifuse pada 5000 rpm selama 4 menit. Supernatan dibuang dan selanjutnya swelling power dihitung berdasarkan berat sedimen (g/g) (Sasaki & Matsuki, 1998). Hasil dan Pembahasan 1. Visualisasi Warna Pada penelitian ini, jenis ubi kayu yang digunakan adalah Genotip unggul, Mentega 2 dan Varietas unggul,Adira 1 dimana keduanya memiliki karakter umbi berwarna kuning karena kandungan beta-karoten yang tinggi dalam umbi. Hasil pengamatan secara visual pada warna tepung menunjukkan tepung hasil fermentasi lebih putih dibandingkan dengan tepung non-fermentasi dan diproses menggunakan bahan antioksidan, natrium bisulfit 0.3% (Gambar 1). Gambar 1. Visualisasi warna tepung ubi kayu terfermentasi menggunakan starter BIMOCF (A) dan tepung ubi kayu biasa. Pembuatan tepung ubi kayu biasa dilakukan dengan penambahan natrium bisulfit yang bertujuan untuk mencegah terjadinya pencoklatan yang diakibatkan oleh reaksi enzimatis senyawa polifenol (reaksi antara polifenolase dengan oksigen dari udara) dalam umbi selama proses berlangsung. Selain itu, penggunaan bahan anti-oksidan ini untuk menjaga kandungan nutrisi terutama beta-karoten yang peka terhadap udara dan cahaya. Pada proses fermetasi, warna tepung lebih putih, hal ini diduga BAL yang digunakan dalam proses fermentasi mampu menghasilkan enzim yang memiliki aktivitas untuk mendegradasi senyawa yang dapat menimbulkan warna coklat dan protein pada produk sehingga tepung yang dihasilkan menjadi lebih putih dibandingkan dengan tepung ubi kayu biasa. Menurut Sobawale (2007), kadar protein ubi kayu yang menyebabkan warna kecoklatan saat pengeringan berkurang secara nyata selama proses fermentasi. Wahjuningsih (2011) melaporkan bahwa BAL memiliki sifat proteolitik 508 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan yang dapat menguraikan senyawa protein dalam umbi yang memberikan warna coklat pada proses pengeringan pada suhu 60ºC (dalam keadaan panas) selama 18 jam sehingga tepung yang dihasilkan menjadi lebih putih. Selain dapat mencegah reaksi pencoklatan secara enzimatis, proses fermentasi juga dapat menghambat reaksi pencoklatan non-enzimatis (maillard), dimana maillard terjadi jika gula pereduksi bereaksi dengan senyawa-senyawa yang memiliki gugus NH2 (protein, asam amino, peptide dan ammonium). Reaksi ini terjadi pada saat bahan pangan mengalami pemanasan dan atau reaksi dehidrasi (Fardiaz, 1992). 2. Granula Tepung Pengamatan mikroskopis granula tepung merupakan pengamatan kondisi granula tepung menggunakan mikroskop yang dilakukan pada perbesaran 400x. Hasil pengamatan kondisi granula tepung atau pati dapat menjelaskan apakah tepung atau pati telah mengalami proses pengembangan atau pembengkakan, ataukah amilosa sudah mengalami proses difusi dan keluar dari granula pati (amylose leaching), sehingga seluruh molekul amilosa telah keluar dari granula pati dan terperangkap dalam matriks amilopektin (pati telah tergelatinisasi sempurna) (Muchtadi et al. 1988), Hasil pengamatan kondisi mikroskopis granula tepung menunjukkan bahwa tepung ubi kayu fermentasi dan tepung ubi kayu non-fermentasi memiliki kondisi mikroskopis granula yang hampir sama dari segi bentuk dengan ukuran granula yang bervariasi. Bentuk granula kedua jenis tepung pada perbesaran 400x memiliki bentuk bulat dengan ukuran granula bervariasi (Gambar 2). Dari hasil analisa ukuran granula tepung menggunakan software aplikasi dari mikroskop Leica DFC 310 FX diperoleh ukuran diameter rata-rata granula tepung hasil fermentasi lebih kecil (11.55 µm) dibandingkan tepung non-fermentasi (14.19 µm). Gambar mikroskopis granula juga memperlihatkan pada tepung dengan fermentasi (Gambar 2.(A)) terjadi pemecahan pada granula tepung (terllihat tidak utuh seperti yang ditunjukkan oleh tanda panah). Gambar 2. Bentuk dan ukuran granula tepung ubi kayu terfermentasi (A) dan tepung ubi kayu non-fermentasi (B). 3. Scanning electron microscope (SEM) Analisa karakteristik permukaan granula tepung lebih lanjut dilakukan menggunakan SEM pada perbesaran obyek mencapai 2000x. Pada pengujian ini dapat diketahui lebih jelas apakah granula tepung mengalami perubahan karakter fisik pada 509 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan permukaan granula setelah mengalami proses fermentasi. Gambar micrograph tepung fermentasi menunjukkan telah terjadi pemecahan granula tepung dimana struktur permukaan granula menjadi bentuk yang tidak teratur atau pecah (Gambar 3. (A)). Zubaidah, E., dan N. Irawati (2012) melaporkan bahwa degradasi pati dapat menyebabkan permukaan granula pati mengalami erosi dan mengakibatkan permukaan menjadi besar. Selama fermentasi BAL dan kapang menghasilkan enzim amilolitik dan selulase yang dapat memecah dinding sel ubi kayu., sehingga granula pati menjadi terbuka dan secara mikroskopis terlihat granula pati membengkak. Menurut Subagio, dkk (2006), selama proses fermentasi berlangsung, BAL menghasilkan enzim amilase yang kemudian menghidrolisis pati ubi kayu dan mengakibatkan permukaan granula pati berlubang atau tidak utuh lagi. Gambar 3. Scanning electron photograph granula tepung ubi kayu terfermentasi (A) dan tepung ubi kayu non-fermentasi (B). Prawira (2009) juga menjelaskan bahwa proses fermentasi mampu merusak jaringan sel ubi kayu dan menjadikan bahan menjadi lunak. Fermentasi juga menyebabkan liberasi granula pati sehingga tepung yang dihasilkan memiliki bentuk yang tidak teratur. Jadi, proses fermentasi pada ubi kayu menggunakan starter ini menyebabkan perubahan pada karakteristik fisik yang nyata yaitu pada permukaan granula tepung seperti pada gambar 3. 4. Uji Lugol Uji lugol merupakan salah satu metode yang sederhana untuk mengetahui kandungan amilum pada sampel (tepung). Selain itu juga dapat digunakan untuk menguji apakah amilum pada bahan sudah mengalami degradasi menghasilkan senyawa turunan yang lebih sederhana. Menurut Kearsley and Dziedzic (1995), senyawa pati apabila bereaksi dengan Iod akan membentuk warna biru, tetapi senyawa turunan hasil hidrolisis pati seperti dekstrin akan menghasilkan warna ungu kemerahan jika bereaksi dengan Iod karena memiliki rantai polimer yang lebih sederhana. Hasil pengujian dengan larutan lugol menunjukkan bahwa tepung ubi kayu yang diproses menggunakan metode fermentasi dan tanpa proses fermentasi masing-masing membentuk warna biru tua dan biru muda (Gambar 4). 510 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Gambar 4. Pembentukan warna biru hasil reaksi menggunakan larutan lugol pada tepung hasil fermentasi (A) dan tepung non-fermentasi (B). Tidak terbentuknya warna ungu kemerahan pada kedua sampel diduga bahwa selama proses fermentasi tidak dihasilkan produk turunan pati seperti dekstrin. Sebaliknya, pada tepung hasil fermentasi diduga terjadi peningkatkan kadar amilosa yang ditunjukkan oleh hasil uji lugol, dimana tepung terfermentasi memiliki warna biru lebih tua dibandingkan tepung non-fermentasi. Peningkatan kadar amilosa ini dapat disebabkan oleh aktivitas enzim dari BAL yang menghidrolisis cabang rantai amilopektin sehingga menghasilkan rantai lurus senyawa amilosa. Kenaikan jumlah amilosa dikarenakan oleh terjadinya pemutusan rantai cabang amilopektin dan menghasilkan rantai lurus amilosa sehingga jumlah amilosa pada tepung hasil fermentasi akan meningkat (Zubaidah, E., dan N. Irawati, 2012). 5. Daya Mengembang atau Swelling power (SP) Swelling power menunjukkan kemampuan suatu bahan untuk mengembang saat dipanaskan. Kekuatan atau daya mengembang pada tepung menggambarkan kemampuan pati berinteraksi dengan air. Pemanasan pati dalam air panas dapat menyebabkan granula pati mengembang dengan cepat dan ikatan molekuler hidrogen akan terlepas dan air yang akan berikatan dengan air. Proses pemanasan tepung akan menyebabkan granula tepung semakin membengkak karena penyerapan air semakin banyak. Kemudian air yang masuk ke dalam granula terperangkap pada susunan molekul penyusun pati (Zubaidah, E., dan N. Irawati, 2012) Hasil penelitian menunjukkan bahwa tepung yang diproses menggunakan BAL (fermentasi) memiliki daya mengembang (swelling power) yang lebih tinggi (8.13 ± 0.71) dibandingkan dengan tepung non-fermentasi (8.02 ± 0.04). Peningkatan daya mengembang pada tepung terfermentasi dapat disebabkan karena adanya BAL yang menghasilkan enzim dengan aktivitas tinggi untuk proses pemecahan granula pati ubi kayu. Proses pemecahan pati tersebut dapat menyebabkan rasio starch damage yang lebih tinggi sehingga granula pati lebih permeable dan penetrasi air ke dalam granula menjadi lebih mudah dan pada saat pati dipanaskan tepung akan mudah mengembang. Hal ini sesuai dengan hasil analisa menggunakan SEM, dimana struktur granula tepung setelah difermentasi pecah dan tidak beraturan sehingga memudahkan 511 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan molekul air berinteraksi dengan granula tepung dan lebih mudah mengalami pengembangan. Karakter daya mengembang tepung ubi kayu ini sangat penting dalam aplikasinya sebagai bahan baku dari berbagai jenis makanan olahan seperti cake, cookies, brownies, kue kukus. Tepung ubi kayu sebagai pangan fungsional selain untuk mendukung ketahanan pangan nasional, jenis produk ini juga dikenal sebagai makanan sehat karena memiliki karakteristik gluten free yang sangat cocok untuk penderita autis dan indeks glikemik (GI) yang rendah (46) dibandingkan tepung lainnya seperti terigu (70) membuat tepung ubi kayu sangat bagus untuk penderita diabetes (http://tribune.com.ng/index.php/agriculture/42744-cassava-bread-is-good-fordiabetics-nsn-president). Kesimpulan Dari hasil pengujian beberapa karakteristik tepung ubi kayu hasil fermentasi dan tepung non-fermentasi diperoleh kesimpulan sebagai berikut; tepung terfermentasi atau mocaf memiliki karakteristik lebih baik seperti warna tepung lebih putih. Struktur permukaan hasil analisa menggunakan SEM juga menunjukkan terjadinya perubahan fisik granula tepung dimana granula pecah dan berbentuk tidak beraturan yang membuat tepung mocaf lunak strukturnya dan memiliki swelling power yang lebih tinggi. Ucapan Terima Kasih Penelitian ini didanai oleh DIPA PN Pusat novasi-LIPI tahun 2012. Penulis mengucapkan terima kasih kepada teknisi Laboratorium B2PTTG-LIPI, Subang dan PT. Multi Usaha Wisesa, Bogor atas kontribusinya dalam penepungan ubi kayu. Daftar Pustaka Beni, H., N. Kalsum & Surfiana. 2009. Karakterisasi Tepung Ubi Kayu Modifikasi Yang Diproses Menggunakan Metode Pragelatinisasi Parsial. Jurnal Teknologi Industri dan Hasil Pertanian Vol. 14 No. 2: 148-159. Fardiaz, S. 1992. Analisis Mikrobiologi Pangan. PAU Pangan dan Gizi. IPB. Bogor. (http://tribune.com.ng/index.php/agriculture/42744-cassava-bread-is-good-fordiabetics-nsn-president). Kearsley, MW, Dziedzic. 1995. Handbook of Starch Hydrolysis Product and Their Derivatives. Blackie Academic & Professional, Glasgow. Muchtadi, T.R., Purwiyatno, Ahza A.A. 1988. Teknologi Pemasakan Ekstrusi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Prawira, M. Iqbal. 2009. Karakteristik Tepung Sorgum Coklat (Shorghumbicolor L. Moench) Hasil Fermentasi dengan Metode Tempe dan Ampok. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang. Sasaki, T., and Matsuki, J. 1998. Effect of wheat starch structure on swelling power. Cereal Chemistry, 75, 525-529. Sobawale , AO, Olurin, T.O. and Oyewole,O.B. 2007. Effect of lactic acid bacteria starter culture fermentasion of cassava on chemical and sensory characteristics of fufu flour. University of Agriculture, Nigeria. 512 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Subagio, A. 2008. Proses Produksi Mocal.http://tepungmocal.ning.com. Subagio. 2006. Ubi Kayu Substitusi Berbagai Tepung-tepungan. Vol 1-Edisi 3 Food Review (April, 2006): hal 18-22. Wahjuningsih, S.B, Cahyani Nani dan Ika Febriana, 2011. Pemanfaatan Limbah Air Rendaman Ubi Kayu Sebagai Biang Alami Pada Fermentasi Tepung Mokal. Laporan Penelitian Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Semarang Wireko-Manu, F.D., W.O. Ellis, I. Oduro, R. Asiedu, and B. Maziya-Dixon. 2011. Physicochemical and Pasting Characteristics of Water Yam (D. alata) in Comparison with Pona (D. rotundata) from Ghana. Europen Journal of Food Research and Review. 1 (3): 149-158. Zubaidah, E., dan N. Irawati. 2012. Pengaruh Penambahan Kultur (Asergillus niger L. Plantarum) Dan Lama Fermentasi Terhadap Karakteristik Mocaf. Teknologi Hasil Pertanian, FTP UB. 513 Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan Ucapan Terima Kasih Panitia mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya atas konstribusi dalam Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-obatan, dan Lingkungan untuk Kesehatan, sehingga terselenggara sesuai dengan rencana kepada : 1. Rektor Universitas Pakuan 2. Dekan FMIPA Universitas Pakuan 3. Dekan FMIPA Universitas Padjajaran 4. Ketua Program Studi Kimia FMIPA Universitas Pakuan 5. Ketua Jurusan Kimia FMIPA Universitas Padjajaran 6. PT. Berca Niaga Medika 7. PT. Dwi Prima Rezeki 8. Bank Mandiri 9. PT. Antam Tbk. 10. PT. Arico Sainsindo 11. Ikatan Alumni Kimia FMIPA Universitas Pakuan Serta kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Semoga kontribusi yang telah diberikan dapat menjadi inspirasi untuk mengembangkan apa yang sudah dicapai dari kegiatan ini. 515