[go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia merupakan makhluk yang diberi kewajiban oleh Allah SWT. berupa mencari dan mengumpulkan ilmu untuk bekal kehidupan di dunia dan akhirat. Dalam hal mencari ilmu Allah tidak hanya mengharuskan manusia untuk mencari ilmu akhirat saja. Tetapi Allah SWT. juga memerintahkan hambanya untuk mencari bekal kehidupan dunia yang semuanya akan di peroleh dengan ilmu pula.Oleh karena itu nabi saw menyebutkan dalam salah satu haditsnya yaitu : اعمل لدنياك كانك تعيش ابدا واعمل لاخرتك كانك تموت غذا.                                                         ( رواه ابن عساكر) "Berbuatlah kamu untuk duniamu seakan-akan Kau akan hidup selamanya dan berbuatlah kamu untuk akhiratmu seakan-akan kamu akan mati besok."(HR. Ibnu Asakir ) As Sayyid Ahmad Al Hasyimi,Mukhtarul Ahadits An Nabawiyyah Wal Hikam Al Muhammadiyyah,Toha Putra, Semarang, h. 25. Dari hadits di atas dapat disimpulkan bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki dua kehidupan yaitu kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Selanjutnya setelah manusia mendapatkan ilmu, manusia juga memiliki kewajiban untuk mengamalkan ilmu yang telah diperolehnya, karena Allah memperingatkan manusia yang memiliki ilmu tetapi tidak mengamalkan ilmunya. Rasulullah saw bersabda: اشد الناس عذابا يوم القيامة عالم لا ينفع الله بعلمه “Orang yang akan mendapatkan siksa paling berat dihari kiamat adalah orang yang berilmu yang tidak diberikan kemanfaatan oleh Allah atas ilmunya. Imam Al Ghozali, Syarah Ayuhal Walad, Al Hidayah, Surabaya, h. 3. Dalam hal mengamalkan ilmu yang dimiliki oleh setiap manusia tentunya memiliki metode yang berbeda-beda menyesuaikan dengan berbagai situasi pendidikan, baik itu bersifat formal maupun non formal. Salah satunya kegiatan pembelajaran yang tidak terlepas dari beberapa komponen pendidikan dan mesti disiapkan oleh tenaga kependidikan khususnya seorang guru yang merupakan ujung tombak berhasilnya suatu pendidikan. Selain itu, keberhasilan sebuah pendidikan tentu tidak akan terlepas dari apa yang disebut metode. Begitu pentingnya sebuah metode sehingga lebih penting dari materi atau bahan yang yang akan diajarkan. Pepatah mengatakan “cara atau metode itu lebih penting dari bahan”. Sebagus apapun materi yang akan kita ajarkan, kalau cara atau metodenya kurang tepat maka semua itu tidak akan bisa dicerna oleh peserta didik, sehingga tujuan yang sudah kita tetapkan akan sia-sia dan percuma. Kendala penggunaan metode yang tepat dalam mengajar banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor. Misalnya keterampilan guru belum memadai, kurangnya sarana dan prasarana, kondisi lingkungan pendidikan dan kebijakan lembaga pendidikan yang belum menguntungkan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar yang variatif. Apa yang ditemukan oleh Ahmad Tafsir (1992 : 131) mengenai kekurang tepatan penggunaan metode ini patut menjadi renungan. Beliau mengatakan pertama, banyak siswa tidak serius, main-main ketika mengikuti suatu meteri pelajaran, kedua gejala tersebut diikuti oleh masalah kedua yaitu tingkat penguasaan materi yang rendah, dan ketiga para siswa pada akhirnya akan menganggap remeh mata pelajaran tertentu.Kenyataan ini menunjukan betapa pentingnya metode dalam proses belajar mengajar. Tetapi betapapun baiknya suatu metode tetapi bila tidak diringi dengan kemampuan guru dalam menyampaikan maka metode tinggalah metode. Ini berarti faktor guru juga ikut menentukan dalam keberhasilan proses kegiatan belajar mengajar. Sepertinya kedua hal ini saling terkait. Metode yang baik tidak akan mencapai tujuan bila guru tidak lihai menyampaikannya. Begitu juga sebaliknya metode yang kurang baik dan konvensional akan berhasil dengan sukses, bila disampaikan oleh guru yang kharismatik dan berkepribadian, sehingga peserta didik mampu mengamalkan apa yang disampaikannya tersebut. Melihat realitas di atas penulis tertarik untuk mengkaji lebih jauh tentang Metode Pendidikan Agama Islam Dalam Wawasan Al-Qur’an. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka dalam makalah ini dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut : Apa pengertian metode? Apa pengertian Pendidikan Agama Islam? Bagaimana metode pendidikan agama Islam dalam Q.S. al-Ahzab (33): 21 dan al-Qashash (34): 78-81? Bagaimana metode pendidikan agama Islam dalam Q.S. Luqman (31): 13 dan Q.S. Yasin (36 ): 17? Bagaimana metode pendidikan agama Islam dalam Q.S. ar-Rahman (55): 13 dan an-Nahl (16) : 125? C. Tujuan Adapun tujuan penulisan makalah ini, adalah sebagai berikut: Untuk mengetahui pengertian metode. Untuk mengetahui pengertian Pendidikan Agama Islam. Untuk mengetahui dan memahami metode pendidikan agama Islam dalam Q.S. al-Ahzab (33): 21 dan al-Qashash (34): 78-81. Untuk mengetahui dan memahami metode pendidikan agama Islam dalam Q.S. Luqman (31): 13 dan Q.S. Yasin (36 ): 17. Untuk mengetahui dan memahami metode pendidikan agama Islam dalam Q.S. ar-Rahman (55): 13 dan an-Nahl (16) : 125. BAB II PEMBAHASAN Pengertian Metode Metode berasal dari kata yaitu meta yang artinya adalah melalui dan hodos yang berarti jalan atau cara. Dapat disimpulkan bahwa metode adalah suatu jalan atau cara yang dilalui untuk mencapai suatu tujuan. Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam , Cet-Kedua, CV Pustaka Setia, Bandung, 1999, h.  99.Dalam bahasa Arab kata metode diungkapkan dalam berbagai kata. Terkadang digunakan kata atthariqah, manhaj, dan alwashilah. Thariqah berarti jalan, ,manhaj berarti sistem, dan washilah berarti perantara atau mediator. Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2005, h. 144. Dengan demikian kata yang paling dekat dengan metode adalah kata thariqah. Sebagaimana dijelaskan pada awal paragraf secara bahasa metode adalah suatu jalan untuk mencapai suatu tujuan. Secara terminologi atau istilah, metode bisa membawa pada pengertian yang bermacam-macam, yaitu ada kognitifnya seperti tentang fakta-fakta sejarah, syarat-syarat sah shalat, ada juga aspek afektifnya seperti penghayatan pada nilai-nilai dan akhlak, dan ada juga aspek psikomotorik seperti praktek shalat, haji dan sebagainya. Abudin Nata, Ibid, h. 145. Lebih lanjut, menurut Arifin, ada tiga aspek nilai yang terkandung dalam tujuan pendidikan Islam yang hendak direalisasikan melalui metode, yaitu : pertama, membentuk peserta didik menjadi hamba Allah yang mengabdi kepadaNya semata. Kedua, bernilai edukatif yang mengacu kepada petunjuk Al-Qur’an dan Al-hadist. Ketiga, berkaitan dengan motivasi dan kedisiplinan sesuai dengan ajaran al-Qur’an yang disebut pahala dan siksaan. M. Arifin, Op Cit, h. 198. Dengan demikian pengetahuan tentang metode mengajar sangat diperlukan oleh para pendidik, sebab berhasil atau tidaknya siswa belajar sangat bergantung pada tepat atau tidaknya metode mengajar yang digunakan oleh guru. Jadi metode pembelajaran adalah ilmu yang mempelajari cara-cara untuk melakukan aktivitas yang tersistem dari sebuah lingkungan yang terdiri dari pendidik dan peserta didik untuk saling berinteraksi dalam melakukan suatu kegiatan sehingga proses belajar berjalan dengan baik dalam arti tujuan pengajaran tercapai. Pengertian Pendidikan Agama Islam Pendidikan berasal dari kata didik. Dengan diberi awalan pend dan akhiran kan, yang mengandung arti perbuatan, hal, dan cara. Pendidikan Agama dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah religion education yang diartikan sebagai suatu kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan orang beragama. Pendidikan agama tidak cukup hanya memberikan pengetahuan tentang agama saja, tetapi lebih ditekankan pada feeling attituted, personal ideals, aktivitas kepercayaan. Ramayulis, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Cet Ketiga, Kalam Mulia, Jakarta, 2001, h. 3. Pendidikan Islam menurut Muhammad Athiyah Al-Abrasyi adalah bahwa pendidikan islam mempersiapkan manusia supaya hidup dengan sempurna dan berbahagia, mencintai tanah air, tegap jasmaninya, sempurna budi pekertinya (akhlaknya), teratur pikirannya, halus perasaannya, mahir dalam pekerjaanya, manis tutur katanya, baik dengan lisan atau dengan tulisan. Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta:Kalam Mulia, 1998), h. 4 Dalam bahasa Arab, Istilah pendidikan dalam konteks islam pada umumnya mengacu kepada term al-terbiyah, al-ta’dib dan al-ta’lim. Dari ketiga istilah tersebut term yang populer digunakan dalam praktek pendidikan Islam adalah term al-tarbiyah. Sedangkan term al-ta’dib al-ta’lim jarang digunakan. Padahal kedua istilah tersebut telah digunakan sejak awal pertumbuhan pendidikan Islam. Ahmad Syalabi, Tarikh  al-Tarbiyah al-Islamiyat, (Kairo : al-Kasyaf,1945), h. 21-23 Kendatipun demikian, dalam hal-hal tertentu, ketiga term tersebut memiliki kesamaan makna. Namun secara esensial, setiap term memiliki perbedaan, baik secara tekstual maupun konstektual. Untuk itu, perlu dikemukakan uraian dan analisis argumentasi tersendiri dari beberapa pendapat para ahli pendidikan islam. Istilah al-Tarbiyah Penggunaan istilah al-Tarbiyah berasal dari kata rabb. Walaupun kata ini memiliki banyak arti akan tetapi pengertian dasarnya menunjukan makna tumbuh, berkembang, memelihara, merawat, mengatur, dan menjaga kelestarian atau eksistensinya. Ibn Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshary al-Qurthubiy, Tafsir Qurthuby, Juz 1, (Kairo : Dar  al-         Sya’biy. tt), h. 120 Dalam penjelasan lain, kata al-Tarbiyah berasal dari tiga kata, yaitu : Pertama, rabba-yarbu yang berarti bertambah, tumbuh dan berkembang (Q.S. Ar Ruum / 30:39). Kedua, rabiya-yarba yang berarti menjadi besar. Ketiga, rabba-yarubbu berarti memperbaiki, menguasai urusan, menuntun dan memelihara. Abdurrahman An-Nahlawi, Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam, (Bandung : CV. Diponegoro,1992), h. 31 Kata rabb sebagaimana yang terdapat dalam Q.S. Al-Fatihah 1:2  (alhamdu lil Allahi rabb al-alamin) mempunyai kandungan makna yang berkonotasi dengan istilah al-Tarbiyah. Sebab kata rabb (Tuhan) dan murabbi (pendidik) berasal dari akar kata yang sama. Berdasarkan hal ini, maka Allah adalah pendidik yang Maha Agung bagi seluruh alam semesta. Omar Muhammad Al-Thoumy  Al-Syaibani, Falasafah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,1979), h. 41 Uraian diatas, secara filosofis mengisyratkan bahwa proses pendidikan Islam adalah bersumber pada pendidikan yang diberikan Allah sebagai “pendidik” seluruh ciptaan-Nya, termasuk manusia. Dalam konteks yang luas, pengertian pendidikan Islam yang dikandung dalam term al-tarbiyah terdiri atas empat unsur pendekatan, yaitu: (1) memelihara dan menjaga fitrah anak didik menjelang dewasa (baligh). (2) mengembangkan selutuh potensi menuju kesempurnaan. (3) mengarahkan seluruh fitrah menuju kesempurnaan. (4) melaksanakan pendidikan secara bertahap. Abdurrahman An-Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metode, h. 32 Penggunaan term al-Tarbiyah untuk menunjuk makna pendidikan Islam dapat difahami dengan merujuk firman Allah yang artinya “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (Q.S. Al Israa’ 17-24) 2)      Istilah al-Ta’lim Istilah al-Ta’lim telah digunakan sejak periode awal pelaksanaan pendidikan Islam. Menurut para ahli, kata ini lebih universal dibanding dengan al-Tarbiyahmaupun al-ta’dib. Rasyid Ridha, misalnya mengartikan al-Ta’lim sebagai proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu. Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Hakim; Tafsir al-Manar, Juz VII, (Beirut : Dar al-Fikr, tt), h. 262 Argumentasinya didasarkan dengan mrujuk pada (Q.S. Al-Baqarah :151). Kalimat wa yu’allimu hum al-kitab wa al-hikmah dalam ayat tersebut menjelaskan tentang aktivitas Rasulullah mengajarkan tilawat al-Qur’an kepada kaum muslimin. Menurut  Abdul Fatah Jalal, apa yang dilakukan Rasul bukan hanya sekedar membuat Islam bisa membaca, melainkan membawa kaum muslimin kepada nilai pendidikan tazkiyah an-nafs (penyucian diri) dari segala kotoran, sehingga memungkinkannya menerima al-hikamah serta mempelajari segala yang bermanfaat untuk diketahui. Oleh karena itu, makna al-ta’lim tidak hanya terbatas pada pengetahuan yang lahiriyah akan tetapi mencangkup pengetahuan teoritis, mengulang secara lisan, pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan dalam kehidupan; perintah untuk melaksanakan pengetahuan dan pedoman untuk berperilaku. Abdul Fatah Jalal, Azaz-azaz Pendidikan Islam, Terj. Harry Noer Ali, (Bandung: CV. Diponegoro, 1988), h. 29-30 Kecendrungan Abdul Fatah jalal di atas, didasarkan pada argumentasi bahwa manusia pertama yang mendapat pengajaran langsung dari Allah adalah nabi Adam a.s. Hal ini secara eksplisit disinyalir dalam Q.S. Al-Baqarah 2:31. pada ayat tersebut dijelaskan , bahwa penggunaan kata ‘allama untuk memberikan pengajaran kepada Adam a.s memiliki nilai lebih yang sama sekali tidak dimiliki para malaikat. 3)      Istilah al-Ta’dib Menurut Al-Atas, istilah yang paling tepat untuk menunjukan pendidikan Islam adalah al-ta’dib. Muhammad Nuquib al-Attas, Konsep Pendidikan Islam, Terj. Haidar Bagir, (Bandung : Mizan, 1994), h. 60 Al-Ta’dib berarti pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamka kedalam diri manusia (peserta didik) tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan. Dengan pendekatan ini, pendidikan akan berfungsi sebagai pembimbing kearah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat dalam tatanan wujud dan kepribadiannya. Lebih lanjut ia ungkapan bahwa penggunaan Tarbiyah terlalu luas untuk mengungkap hakikat dan operasionalisasi pendidikan Islam. Sebab kata al-Tarbiyahyang memiliki arti pengasuhan, pemeliharaan, dan kasih sayang tidak hanya digunakan untuk melatih dan memelihara binatang atau makhluk Allah lainnya. Oleh karena itu, penggunaan istilah al-Tarbiyah tidak memiliki akar yang kuat dalam khazanah Bahasa Arab. Dengan demikian istilah al-Ta’dib merupakan term yang paling tepat dalam khazanah bahasa Arab karena mengandung arti ilmu, kearifan, keadilan, kebijaksanaan, pengajaran dan pengasuhan yang baik sehingga makna al-Tarbiyah dan al-Ta’lim sudah tercakup dalam term al-Ta’dib. Terlepas dari perdebatan makna dari ketiga term diatas secara terminology, para ahli pendidikan Islam. Diantara batasan yang sangat variatif tersebut adalah: Al-Syaibaniy ; mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah proses mengubah tingkah laku individu peserta didik pada kehidupan pribadi, masyarakat dan alam sekitarnya. Proses tersebut dilakukan dengan cara pendidikan dan pengajaran sebagai suatu aktivitas asasi dan profesi di antara sekian banyak profesi dalam masyarakat. Omar Muhammad Al-Syaibaniy, Falsafah Pendidikan Islam, h. 399 Muhammad Fadhil al-jamaly; mendefinisikan pendidikan islam sebagai upaya mengembangkan mendorong serta mengajak peserta didik hidup lebih dinamis dengan berdasarkan nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulia. Dengan proses tersebut diharapkan akan terbentuk pribadi peserta didik yang sempurna, baik yang berkaitan dengan potensi akal, perasaan maupun perbuatannya. Muhammad Fadhil Al-Jamaly, nahwa Tarbiyat Mukminat, ( al-syirkat al-Tunisiyat li al-Tauzi’ 1977), h. 3 Ahmad D. Marimba; mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan atau pemimpin secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik enuju terbentuknya kepribadiannya yang  utama (insan kamil) hmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung Al-Ma’arif 1989, h. 19 Ahmad Tafsir; mendefinisikan pendidikan islam sebagai bimbingan yang diberikan oeleh seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran islam. Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Ramaja Rosdakarya, 1992), h. 32 Dari batasan diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan islam adalah suatu sistem yang memungkinkan seseorang (peserta didik) dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan ideologi Islam. Melalui pendekatan ini, ia akan dapat dengan mudah membentuk kehidupan dirinya sendiri sesuai dengan nilai-nilai ajaran islam yang diyakininya. Namun menurut al-Attas (1980) dalam Hasan Langgulung, bahwa kata ta’dib yang lebih tepat digunakan dalam pendidikan agama Islam, karena tidak terlalu sempit sekedar mengajar saja, dan tidak terlalu luas sebagaimana kata terbiyah juga digunakan untuk hewan dan tumbuh-tumbuhan dengan pengertian memelihara. Armai Arief,Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, Ciputat Press, Jakarta, 2000,h. 87. Dalam perkembangan selanjutnya, bidang speliasisai dalam ilmu pengetahuan, kata adab dipakai untuk kesusastraan, dan tarbiyah digunakan dalam pendidikan Islam hingga populer sampai sekarang. Ramayulis, Op. Cit, h. 4. Dengan demikian, Pendidikan Agama Islam di sekolah diarahkan untuk meningkatkan keyakinan, pemahaman, penghayatan, dan pengamalan ajaran agama Islam. Nazarudin Rahman menjelaskan bahwa ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran PAI, yaitu sebagai berikut : Pendidikan Agama Islam (PAI) sebagai usaha sadar, yakni suatu kegiatan membimbing, pengajaran dan / atau latihan yang dilakukan secara berencana dan sadar atas tujuan yang hendak dicapai. Peserta didik harus disiapkan untuk mencapai tujuan Pendidikan Agama Islam. Pendidik atau Guru Agama Islam (GPAI) harus disiapkan untuk bisa menjalankan tugasnnya, yakni merencanakan bimbingan, pangajaran dan pelatihan. Kegiatan pembelajaran PAI diarahkan untuk meningkatkan keyakinan, pemahaman, penghayatan, dan pengamalan ajaran agama Islam Nazarudin Rahman, Op.Cit, h. 12. Sebagai salah satu komponen ilmu pendidikan Islam, metode pembelajaran PAI harus mengandung potensi yang bersifat mengarahkan materi pelajaran kepada tujuan pendidikan agama Islam yang hendak dicapai proses pembelajaran. Dalam konteks tujuan Pendidikan Agama Islam di sekolah umum, Departemen Pendidikan Nasional merumuskan sebagai berikut : Menumbuh kembangkan akidah melalui pemberian, pemupukan, dan pengembangan pengetahuan, penghayatan, pengamalan, pembiasaan, serta pengalaman peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi muslim yang terus berkembang keimanan dan ketakwaannya kepada Allah SWT. Mewujudkan manusia Indonesia yang taat beragama dan berakhlak mulia yaitu manusia berpengetahuan, rajin beribadah, cerdas, produktif, jujur, adil, berdisiplin, bertoleran (tasamuh), menjaga keharmonisan secara personal dan sosial serta mengembangkan budaya agama dalam komunitas sekolah Ibid, h. 17. Berangkat dari beberapa penjelasan tersebut, dapat dikemukan bahwa Pendidikan Agama Islam (PAI) adalah menumbuh kembangkan akidahnya melalui pemberian, pemupukan, dan pengembangan usaha sadar, yakni suatu kegiatan membimbing, pengajaran dan / atau latihan yang dilakukan GPAI secara berencana dan sadar dengan tujuan agar peserta didik bisa pengetahuan, penghayatan, pengamalan, pembiasaan, serta pengalaman peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi muslim yang terus berkembang keimanan dan ketakwaannya kepada Allah SWT yang pada akhirnya mewujudkan manusia Indonesia yang taat beragama dan berakhlak mulia. Agar hal di atas tercapai, maka GPAI dituntut mampu mengembangkan kemampuannya dalam pembelajaran PAI, disinilah pentingnya mempelajari metodologi pembelajaran PAI. Metode Pendidikan Agama Islam dalam Q.S. al-Ahzab (33): 21 dan al-Qashash (34): 78-81. Ayat dan terjemahannya Terjemahnya : “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”. (Q.S. al-Ahzab (33): 21) Analisa teori-teori studi tafsir Ulama tafsir mengaitkan turunnya ayat di atas secara khusus dengan peristiwa perang khandaq yang sangat memberatkan kaum muslimin pada saat itu. Nabi dan para sahabat benar-benar dalam keadaan susah dan lapar, sampai-sampai para sahabat mengganjal perutnya dengan batu demi menahan perihnya rasa lapar. Mereka pun berkeluh kesah kepada Nabi. Adapun Nabi beliau benar-benar beliau adalah suri teladan dalam hal kesabaran ketika itu. Nabi bahkan mengganjal perutnya dengan dua buah batu, namun justru paling gigih dan sabar. Kesabaran Nabi dan perjuangan beliau tanpa sedikitpun berkeluh kesah dalam kisah khandaq, diabadikan oleh ayat di atas sebagai bentuk suri teladan yang sepatutnya diikuti oleh ummatnya. Semesta bertasbih (Menggapai bersih hati dengan ridho Ilahi), keteladanan Uswatun Hasanah, diakses dikeluargaumarfauzi.blogspot.com/2013/01/uswatun-hasanah.html?m=1, pada hari kamis, 20 November 2014 di Bone. Analisa kosa kata Kecaman dikesankan oleh kata ( ) laqad kana artinya sungguh telah ada. Seakan-akan ayat itu menyatakan: “kamu telah melakukan aneka kedurhakaan, padahal sesungguhnya di tengah kamu semua ada Nabi Muhammad yang mestinya kamu teladani”. M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran, volume 10, Lentera Hati, Jakarta, 2002, h. 439. Kata () uswah atau iswah berarti teladan. Pakar tafsir, az-Zamarkhsyari, ketika menafsirkan ayat di atas mengemukakan dua kemungkinan dengan maksud keteladanan yang terdapat pada diri Rasul itu. Pertama, dalam arti kepribadian beliau secara totalitasnya adalah teladanan. Kedua, dalam arti terdapat dalam kepribadian beliau hal-hal yang patut diteladani. M. Quraish Shihab,Ibid, Kata () fi dalam firman-Nya: () fi Rasulillah berfungsi “mengangkat” dari diri Rasul satu sifat yang hendak diteladani, tetapi yang diangkatnya adalah Rasul SAW. sendiri dengan seluruh totalitas beliau. M. Quraish Shihab,Ibid, Kalimat ( ) liman kana yarju Allah wa al-yaum al-akhir/bagi orang-orang yang mengharap Allah dan Hari Kiamat berfungsi menjelaskan sifat orang-orang yang mestinya meneladani Rasul saw. Tafsir ayat Dalam Alquran kata teladan disamakan pada kata Uswah yang kemudian diberikan sifat dibelakangnya seperti sifat hasanah yang berarti baik.Sehingga dapat terungkapkan menjadi Uswatun Hasanah yang berarti teladan yang baik. Kata uswah dalam al-Qur’an diulang sebanyak enam kali dengan mengambil contoh Rasullullah SAW, Nabi Ibrahim dan kaum yang beriman teguh kepada Allah. Ayat ini juga menjelaskan tentang pujian yang diarahkan bagi orang-orang yang beriman terkait sikap mereka yang meneladani Nabi saw. Ayat tersebut juga menyatakan: Sesungguhnya telah ada bagi kamu pada diri Rasulullah, yakni Nabi Muhammad saw., suri teladan yang baik bagi kamu, yakni bagi orang yang senantiasa mengharap rahmat kasih sayang Allah dan kebahagiaan hari kiamat serta teladan bagi mereka yang berzikir mengingat kepada Allah dan menyebut-nyebut nama-Nya dengan banyak, baik dalam keadaan susah maupun senang. Dalam ayat tersebut, walaupun berbicara dalam konteks Perang Khandaq, ia mencakup kewajiban atau anjuran meneladani beliau walau di luar konteks tersebut. Ini karena Allah SWT. telah mempersiapkan tokoh agung ini untuk menjadi teladan bagi semua manusia. Yang Maha kuasa itu sendiri yang mendidik beliau. “Addabani Rabbi, fa ahsana ta’dibi” (Tuhanku mendidikku, maka sungguh baik hasil pendidikanku). Demikian sabda Rasul saw. Pakar tafsir dan hukum, al Qurthubi, mengemukakan bahwa dalam soal-soal agama, keteladanan itu merupakan kewajiban, tetapi dalam soal-soal keduniaan maka ia merupakan anjuran. Dalam soal keagamaan, beliau wajib diteladani selama tidak ada bukti yang menunjukkkan bahwa ia adalah anjuran. Sementara ulama berpendapat bahwa dalam persoalan-persoalan keduniaan, Rasul saw. Telah menyerahkan sepenuhnya kepada para pakar di bidangnya masing-masing. 5). Intisari dan manfaat yang diperoleh Salah satu intisari yang dibahas dalam ayat tersebut adalah keteladanan Rasulullah baik dalam hal ucapan, perbuatan, maupun taqrir Nabi saw. Imam al-Qarafi merupakan ulama yang pertama menegaskan pemilahan-pemilahan terperinci menyangkut ucapan atau sikap Nabi Muhammad saw. Menurutnya, junjungan kita Muhammad saw., dapat berperan sebagai Rasul karena ucapan dan sikapnya pasti benar karena itu bersumber langsung dari Allah SWT. Atau merupakan penjelasan tentang maksud Allah. Mufti, dianggap sebagai mufti karena fatwa-fatwa beliau berdasar pada pemahaman atas teks-teks keagamaan, di mana beliau diberi wewenang oleh Allah untuk menjelaskannya (QS. An-Nahl : 44), fatwa beliau berlaku umum bagi semua umat manusia. Adapun kedudukan beliau sebagai Hakim yang agung atau pemimpin masyarakat dan dapat juga sebagai seorang manusia yang memiliki kekhususan yang membedakan beliau dengan manusia yang lain. Hukum yang ditetapkan dan diputuskan oleh beliau secara formal pasti benar dan memberikan petunjuk-petunjuk kemasyaraatan sesuai dengan kondisi dan tuntutan masyarakat. M. Quraish Shihab, Ibid, h. 442. Dalam hal keteladan pada suatu pembelajaran metode uswah tidak dibatasi hanya dalam konteks pribadi atau kondisi sosial budaya masyarakat. Hal ini meliputi segala sesuatu yang indikatornya mendekatkan diri kepada Allah SWT. Termasuk peningkatan intelektual demi mengembangkan manusia yang cerdas secara intelektual, emosional dan spiritual. Oleh karena itu manusia diberi potensi oleh Allah SWT. berupa akal, akal ini harus terus diasa dan diberdayakan dengan cara belajar dan berkarya. Dengan belajar manusia bisa mendapatkan ilmu dan wawasan yang baru, dengan ilmu manusia dapat berkarya untuk kehidupan yang lebih baik. Nabi Muhammad saw. Bersabda yang artinya: “Dari Anas ibn Malik r.a. Rasulullah saw. Bersabda, Menuntut ilmu pengetahuan itu wajib bagi setiap muslim.” (Diriwayatkan oleh Ahmad Ibnu Majah). Materi pendidikan yang disampaikan dalam ayat dan kalimat kalimat menyentuh hati yang mengarahkan manusia kepada ide yang dikehendakinya berkaitan dengan metode panutan atau suri teladan dari subyek pendidikan (pendidik). Hal ini terhimpun dalam diri Rasulullah Saw. Ketika mendengar ajaran-ajaran Alquran yang terlihat dengan nyata adalah penjelmaan ajarannya terdapat pada diri beliau yang selanjutnya mendorong manusia (anak didik) untuk menyakini keistimewaan dan mencontohi pelaksanaannya. Atas dasar ayat ini pula seorang pendidik dituntut agar memiliki kompetensi kepribadian yang mencerminkan profesinya sebagai seorang yang patut dicontoh dan diteladani baik bagi peserta didik maupun masyarakat. Hal ini juga tertuang dalam UUD No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pada pasal 10 bahwa selain kompetensi pedagogik, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional, seorang pendidik khususnya guru dituntut untuk memiliki kompetensi kepribadian. Q.S. Al-Qashash (28): 78-81. 1) Ayat dan terjemahannya Terjemahnya: 78. Karun berkata: "Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku". dan Apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka. 79. Maka keluarlah Karun kepada kaumnya dalam kemegahannya[1139]. berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia: "Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Karun; Sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar". 80. berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu: "Kecelakaan yang besarlah bagimu, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan tidak diperoleh pahala itu, kecuali oleh orang- orang yang sabar". 81. Maka Kami benamkanlah Karun beserta rumahnya ke dalam bumi.Maka tidak ada baginya suatu golonganpun yang menolongnya terhadap azab Allah.dan Tiadalah ia Termasuk orang-orang (yang dapat) membela (dirinya). [1139] Menurut mufassir: Karun ke luar dalam satu iring-iringan yang lengkap dengan pengawal, hamba sahaya dan inang pengasuh untuk memperlihatkan kemegahannya kepada kaumnya. 2) Analisa kosa kata Kata () utituhu berbentuk pasif. Qarun enggan menyebut siapa yang memberi atau yang berjasa atau bahkan yang menjadi perantara dan sebab perolehannya. Kata ( ) min pada firman-Nya: ( ) min qablihi dipahami oleh al-Biqa’i sebagai isyarat waktu yang relatif dekat. Atas dasar itu, ulama tersebut memahami umat yang dibinasakan Allah yang dimaksud dalam ayat ini adalah sekelompok orang yang belum lama dibinasakan Allah, dalam hal ini yang terdekat adalah Fir’aun. Pada potongan ayat ( ) wa la yus’alu ‘an dzunubihim al-mujrimun mengisyaratkan jelasnya dosa-dosa para pendurhaka yang telah mendarah daging kedurhakaan pada kepribadian mereka (Qarun). Kata ( ) zinatihi yang diambil dari kata ( ) zinah, yakni perhiasan, yakni segala yang dinilai indah dan baik oleh seseorang. Boleh jadi sesuatu itu buruk dalam pandangan anda, tetapi jika dipandang indah oleh orang lain, ketika itu ia adalah hiasan bagi orang lain, bukan bagi anda. Sekian banyak amal buruk yang diperindah oleh setan sehingga dinilai indah oleh pendurhaka. M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran, volume 9, Lentera Hati, Jakarta, 2002, h. 669. Selanjutnya pada potongan ayat ( ) fa kharaja ‘ala qaumihi fi zinatihi yang artinya maka keluarlah ia kepada kaumnya dalam kemegahannya mengesankan keangkuhan yang sangat besar. Kesan ini pertama, diperoleh dari penggunaan kata ( ) ‘ala yang ada pada dasarnya di atas, yang maksudnya adalah kepada. Tetapi di sini digunakan kata tersebut untuk mengisyaratkan betapa dia merasa diri berada “di atas” orang banyak. Kedua, dari penggunaan kata ( ) fi zinatihi yang artinya dalam kemegahannya. Ini mengesankan bahwa, walaupun dia keluar, dia diliputi oleh kemegahan. Kiri dan kanan, muka dan belakangnya, serta atas bawahnya. M. Quraish Shihab,ibid, h. 672. Kata ( ) wailakum dipahami oleh banyak ulama sebagai kata yang menunjukkan keheranan. Ibid,Kata ( ) yulaqqaha diambil dari kata (aqiya) yang berarti bertemu. Sebahagian ulama memahaminya dalam arti pahala, pahala yang dijanjikan yang tidak diperoleh kecuali oranng-orang yang sabar. Ada juga yang memahaminya sebagai nasehat bahwa nasehat itu tidak akan diterima kecuali oleh orang-orang sabar untuk tetap dalam ketaatan. Ibid, 3) Tafsir ayat Dari nasehat disampaikan ayat tersebut menggambarkan sikap Qarun yanng lupa diri dan angkuh. Sementara para ulama berpendapat bahwa penggalan ayat tersebut melukiskan sekelumit dari keluasan ilmu Allah SWT. Manusia yang marah dan bermaksud menjatuhkan hukuman terhadap seseorang yang seringkali menanyai yang bersangkutan dan mengecam sebab sikap buruknya. Yang ditanyai tidak luput dari hukuman bila berhasil meyakinkan yang marah tentang kebenaran dan kewajaran dirinya. Hal ini melukiskan ketidakberlakuan kebiasaan itu terhadap Allah yang Maha mengetahui, lebih-lebih karena kedurhakaan yang bersangkutan sudah demikian jelas. M. Quraish Shihab, ibid, h. 670. Ayat di atas juga berarti bahwa siksa Allah di dunia ini kepada pendurhaka jatuh begitu mendadak dan tanpa pendahuluan. Ini karena tidak ada pemberitahuan kehadirannya, tidak adapula tuntunan pertanggungjawaban sebelum jatuhnya. Memang ada nasehat, bahkan peringatan dari orang-orang yang beriman atau nasehat dari orang-orang yang memiliki pengetahuan, tetapi karena mereka mengabaikannya, maka siksa itu datang secara tiba-tiba. Ada juga yang menilainya sebagai komentar Allah SWT. Sebagai pengganjaran kepada hamba-hambanya. Itulah penggalan kisah Qarun yang ditenggelamkan di Mesir, tepatnya di kota Fayyum sekitar 60 km dari Kairo, dikenal dengan suatu tempat yang dinamai Buhairat Qarun yakni danau Qarun. M. Quraish Shihab, Ibid, h.674. 4) Intisari dan manfaat yang diperoleh Intisari yang dapat diambil dalam penjelasan ayat diatas, bahwa Allah SWT menyampaikan ajaran dan peringatannya melalui kisah dialami oleh Qarun sebagai pendusta dan mengingkari ilmu yang telah diperolehnya sehingga mendapat siksa yang sangat pedih yaitu ditenggelamkan oleh Allah SWT. kecuali orang-orang yang dianugrahi ilmu dan amal shaleh yang disertai dengan kesabaran. Setelah dengan bangganya Qarun mengakui bahwa kekayaan yang diperolehnya adalah berkat kerja keras dan usahanya sendiri. Sehingga muncul kekaguman orang-orang sekitarnya terhadap kekayaan yang dimilkinya, tiba-tiba gempa menelan Karun dan kekayaanya. Orang-orang yang tadinya kagum menyadari bahwa orang yang durhaka tidak akan pernah memperoleh keberuntungan yang langgeng. Kisah ini tidak segan-segan menceritakan kelemahan-kelemahan manusia sehingga peserta didik khususnya diajak menggunakan daya nalarnya dalam memahami dan mengambil pelajaran dari kisah tersebut.salah satu Pelajaran yang terkandung dalam kisah tersebut adalah mengingatkan menusia agar jangan lupa bersyukur kepada Allah, jangan lupa diri, takabbur, sombang dan seterusnya, karena itu semua hal yang tidak disukai oleh Allah. Kisah atau cerita sebagai metode pendidikan ternyata mempunyai daya tarik yang menyentuh perasaan. Islam menyadari akan adanya sifat alamiah manusia yang menyukai cerita dan menyadari pengaruh besar terhadap perasaan. Oleh karena itu Islam mengeksploitasi cerita itu untuk dijadikan salah satu tekhnik pendidikan. Islam mengunakan berbagai jenis cerita sejarah factual yang menampilkan suatu contoh kehidupan manusia yang dimaksudkan agar kehidupan manusia bisa seperti pelaku yang ditampilkan contoh tersebut (jika kisah itu baik). Cerita drama yang melukiskan fakta yang sebenarnya tetapi bisa diterapkan kapan dan disaat apapun. Dengan demikian, metode pembelajaran yang tergambar dari rangkaian ayat-ayat di atas adalah metode kisah yaitu materi yang disajikan melalui kisah dan cerita yang benar-benar terjadi maupun hanya kisah simbolik yang dapat menunjang keberhasilan dan tercapainya tujuan pembelajaran. Salah satu tujuan dari metode ini adalah mengarahkan manusia khususnya peserta didik mengambil suatu pembelajaran dari kesalahan yang dilakukan oleh seorang pendusta. Diharapkan dari kesalahan tersebut kita tidak akan mengulangi dan menjadi penerus seorang pendurhaka. Metode Pendidikan Agama Islam dalam Q.S. Luqman (31): 13 dan Q.S. Yasin (36 ): 17 Q.S. Luqman (31): 13 Ayat dan terjemahannya Terjemahnya: “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar". Analisa teori-teori studi tafsir Abdillah mengatakan ayat ini diturunkan berkenaan dengan nasihat Rasulullah kepada para sahabat tentang wasiat luqman kepada anaknya.Saat turun QS.Al-An’am (6):82. Para sahabat keberatan.Mereka menghadap Rasulullah dan bertanya. “wahai Rasul, siapa diantara kami yang dapat membersikan keimanan dari kedzaliman?” “apa kalian telah mendengar wasiat luqman kepada anaknya. ‘Anakku, janganlah kamu menyekutukan Allah, karena itu adalah kedzaliman yang sangat besar’. “bersabda” (HR. Bukhari). Departemen Agama RI, Al-Qur’an Tafsir per kata, Kalim, Banten, 2011, h. 413. Analisa kosa kata Kata ( ) ya’izhuhu diambil dari kta (wa’zh) yaitu nasehat menyangkut berbagai kebajikan dengan cara menyentuh hati. Kata ini juga mengisyaratkan bahwa nasihat itu dilakukan kapan saja dan sampai kapanpun, sebagaimana dipahami dari bentuk kata kerja masa kini dan yang akan datang pada kata ( ) ya’izhuhu. M. Quraish Shihab, Op.Cit, h. 298. Kata () bunayya adalah patron yang menggambarkan kemungilan. Asalnya adalah ibni dari kata ibn yakni anak laki-laki. Pemangilan tersebut mengisyaratkan kasih sayang. Mendidik itu hendaknya didasari oleh rasa kasih sayang terhadap peserta didik. Ibid, Tafsir ayat Ayat tersebut melukiskan pengamalan hikmah oleh Luqman yang jiwanya telah dipenuhi dengan hikmah sehingga seluruh ucapannya itu adalah hikmah begitupula pelestariannya kepada anaknya. Ingatlah wahai Rasul yang mulia tentang nasihat lukman terhadap anaknya, dia adalah paling lembutnya manusia terhadap anaknya, dan paling senangnya manusia ketika dia diperintah untuk menyembah hanya kepada Allah. Dan dia melarang anaknya untuk berbuat syirik terhadap Allah, dia menjelaskan bahwasanya syirik itu termasuk kedzaliman yang sangat besar. Adapun yang dimaksud dengan dzalim ialah menaruh sesuatu tidak pada tempatnya. Dan yang dimaksud besar ialah karena menyamakan antara sesuatu yang tidak bisa memberi nikmat kecuali dari Nya, yakni Allah s.w.t. dan sesuatu yang tidak bisa memberi nikmat ialah patung dan berhala. Inipun mencerminkan kesyukuran beliau atas anugrah itu, kepada Nabi Muhammad atau siapa saja yang diperintahkan untuk merenungkan anugrah Allah kepada Luqman dan mengingat serta mengingatkan orang lain. Selanjutnya, Luqman melarang anaknya dari berbuat syirik, sedikitpun lahir dan batin, persekutuan yang jelas maupun yang tersembunyi. Dia memberikan alasan atas larangan tersebut bahwa kemusyrikan itu adalah kazaliman yang sangat besar yaitu penempatan sesuatu yang sangat agung pada tempat yang sangat buruk. Pernyataan Luqman tentang hakikat ini diperkuat dengan dua tekanan.Pertama, mengawalinya dengan larangan berbuat syirik dan alasannya. Kedua, dengan huruf inna “sesungguhnya” dan huruf la “benar-benar”. Suatu riwayat bahwa Suwayd ibn ash-Shamit suatu ketika datang ke Mekah. Ia adalah seorang yang cukup terhormat di kalangan masyarakatnya. Lalu Rasulullah mengajaknya memeluk agama Islam. Suwayd berkata kepada Rasulullah, “Mungkin apa yang ada padamu itu sama dengan apa yang ada padaku”. Rasulullah berkata, “ apa yang ada padamu?” Ia menjawab, “Kumpulan Hikmah Luqman”. Kemudian, Rasulullah berkata, “Tunjukkanlah padaku”. Suwayd pun menunjukkannya, lalu Rasulullah berkata, “sungguh perkataan yang amat baik!” tetapi apa yang ada padaku lebih baik dari itu. Itulah Alquran yang diturunkan Allah kepadaku untuk menjadi petunjuk dan cahaya. Intisari dan manfaat yang diperoleh Dari kisah yang tertuang dalam ayat di atas tampak jelas bahwa ajaran Islam dalam Alquran amat memperhatikan pembinaan generasi muda melalui metode nasehat. Pembinaan tersebut dilakukan melalui kegiatan pendidikan yang dimulai dari rumah tangga atau pendidikan keluarga. Yang selanjutnya dilanjutkan oleh sekolah denga biaya ditanggung keluarga. Hal yang perlu kita tiru dari kisah luqman dalam mendidik anak diantaranya ialah: Menanamkan keimanan kepada anak sejak dini untuk selalu iman kepada Allah, dan melarang untuk menyekutukanNya. Selalu bersyukur kepada Allah atas segala nikmatNya. Selalu bersyukur kepada kedua orang tua atas kasih sayangnya. Mentaati kedua orang tua selagi tidak melanggar peraturan agama Islam. Tidak melawan kedua orang tua ketika mereka memaksa untuk menyekutukan Allah, akan tetapi tetap memperlakukan mereka dengan baik. Akan tetapi didalam mendidik perlu ada beberapa unsur untuk bisa menjadikan anak itu menjalankan apa yang diperintahkan orang tua.Menurut Abbudin nata ada enam komponen di dalam mendidik anak, yaitu: Komponen pendidik yang didalam hal ini adalah orang tua khususnya luqman (ayah) sebagai kepala keluarga. Komponen anak didik (murid) dalam hal ini adalah anaknya luqman sendiri. Komponen lingkungan dimana kegiatan pendidik tersebut berlangsung yang dalam hal ini adalah lingkungan keluarga. Komponen materi (kurikulum) pendidikan yang dalam ayat-ayat tersebut mencakup materi pendidikan tentang keimanan atau akidah yang kokoh. Antara lain dengan menjauhi perbuatan syirik, akhlak mulia antara lain memuliakan kedua orang tua, mendirikan shalat, memerintah peruatan baik dan menjauhi perbuatan munkar, bersikap tabah dan tidak menyombongkan diri dan bersikap rendah hati. Komponan hubungan, pendekatan dalam proses belajar mengajar yang dalam hal ini mengembangkan pola hubungan yang demokratis menghargai pendapat orang lain, manusiawi, berorientasi kepada kebenaran ilmiah, dan profesional. Komponen metode, yang dalam hal ini dengan ceramah (mauidzah) dan perintah. Abuddin Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, Rajawali Pers,Jakarta 2009, h. 203-204. Q.S. Yasin (36 ): 17 Ayat dan terjemahan Terjemahnya: “Dan kewajiban Kami tidak lain hanyalah menyampaikan (perintah Allah) dengan jelas". (Q.S. Yasin (36 ): 17) 2) Analisa kosa kata Dan tidaklah kewajiban kami : Kecuali : Menyampaikan (perintah Allah) : Dengan jelas : 3) Tafsir ayat Rasulullah saw. tidak memiliki wewenang untuk memberi hidayah (petunjuk) kepada sesama makhluk (berupa hidayah taufiq), tetapi yang menjadi tugas mereka hanyalah menyampaikan risalah saja. “Dan kewajiban kami hanyalah menyampaikan dengan jelas”. Maksudnya tugas kami (Rasul) hanyalah menyampaikan kepadamu apa yang kami bawa. Jika kamu taat, maka bagimu kebahagiaan dunia dan akhirat. Jika kamu durhaka atau menentangnya, maka bagimu kesengsaraan. Sehubungan dengan hal tersebut perhatikanlah ayat di bawah ini “Mereka berkata, ‘Kalian tidak lain hanyalah manusia seperti kami juga. Kalian menghendaki untuk menghalang-halangi (membelokkan) kami dari apa yang selalu disembah nenek moyang kami, karena itu datangkanlah kepada kami bukti nyata, Rasul-rasul mereka berkata kepada mereka, ‘Kami tidak lain hanyalah manusia seperti kalian, akan tetapi Allah memberikan karunia kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya”(QS Ibrahim 10-11) “Demikianlah tidak seorang Rasul-pun yang datang kepada mereka, melainkan mereka mengatakan, ‘Ia adalah seorang tukang sihir atau orang gila” (Adz Dzariyat: 52). Intisari dan manfaat yang diperoleh Menurut penulis ayat di atas adalah rangkaian dari kandungan QS. An-Nahl (16) ayat 125 dimana dalam ayat tersebut Rasulullah diberi amanah untuk menyampaikan pelajaran kepada manusia kemudian dalam ayat ke 17 dari QS. Yasin menyatakan tugas seorang Rasul dalam menyampaikan amanah tersebut disampaikan dengan jelas. Dalam hal ini menyampaikan wahyu dari Allah SWT. Dimulai dari proses komunikasi secara diam-diam atau bisik-bisik karena takut katahuan oleh kaum kafir Quraysi karena baru dilantik menjadi Rasul di Gua Hira. Setelah itu Allah berfirman dalam QS. Al- Mudatsir ayat 2: “Bangunlah, lalu berilah peringatan”! Metode penyampaian secara bisik-bisik atau sembunyi ini berubah setelah Rasulullah saw. Isra’Mi’raj dan yang pertama disampaikan adalah pamannya Abu Lahab yang menerima ajaran beliau dengan hati yang lapang. Sejak itulah Rasulullah menyampaikan risalahnya secara terang-terangan walaupun pada masa itu pendidikan belum begitu berkembang seperti era kekinian. Ketika itu umat manusia masih berfokus pada penyebaran Islam. Alquran dan hadis nabi menjadi pedoman umat Islam pada waktu itu. Ilmu pendidikan bersumber langsung dari Rasulullah saw. melalui wahyu dari malaikat Jibril, terutama ilmu-ilmu agama yang berkaitan dengan peribadatan dan ketauhidan. Ayat-ayat Alquran ditulis dan dihafal setelah mendengar dari Rasulullah saw. Dari ayat diatas penulis juga dapat mengambil suatu pemahaman bahwa Disinilah perlunya kita membedakan, antara Sampainya Hujjah dan Memahami Hujjah. Dalam al Qur’an, kebanyakan kaum kuffar dan munafikun, tidak mau memahami hujjah Allah, sementara Hujjah telah sampai pada mereka. (Q.S Al Furqan: 44). Jadi dalam hal ini bahwa Tegaknya Hujjah adalah satu persoalan, dan Memahami Hujjah itu merupakan persoalan lain lagi. Sehingga mereka diadzab karena telah sampainya Hujjah, namun mereka tak mau memahaminya dan enggan mendengarkannya, mereka seperti binatang dan bahkan lebih sesat dari binatang.Sebailknya kaum Khawarij, mereka itu diperangi (pada zaman khalifah Ali RA), karena mereka menolak hujjah dan menyimpang, padahal mereka termasuk orang- orang yang cerdas dan memahami hujjah. Dan yang dimaksud dengan memahami hujjah itu tidak harus seperti pemahaman Abu Bakar Ra. Pokoknya apabila hujjah telah sampai, dan pada mereka tidak ada alasan (keudzuran) yang di benarkan oleh syariat, maka dia kafir apabila menolak hujjah dan menjadi durhaka. Begitu pula pada orang-orang kafir telah Tegak Hujjah al Qur’an dan Risalah kenabian, namun mereka memilih “membisu dan tuli, enggan mendengar dan apalagi menaati utusan”, QS Al Isra’ : 46 dan Al Anfal: 22. Metode Pendidikan Agama Islam dalam Q.S. ar-Rahman (55): 13 dan an-Nahl (16) : 125 Ayat dan terjemahannya Terjemahnya: “Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?”.(Q.S. ar-Rahman (55): 13). 2) Analisa teori-teori studi tafsir Munasabah (korelasi) Korelasi antara ayat 13-15 yaitu menguatkan pendapat mayoritas ulama akan maksud yang berbentuk dual, ada yang berpendapat bahwa ia ditujukan kepada laki-laki dan perempuan atau mukmin dan kafir. Ada juga yang berpendapat bahwa bentuk dual itu adalah pengulangan kalimat itu dua kali. Namun pada ayat 14 -15 secara tegas menyebut kedua jenis makhluk yang dimaksud dual yaitu manusia dan jin. Dalam satu riwayat dinyatakan bahwa Nabi Muhammad saw. Menegur sahabat-sahabatnya yang terdiam saja ketika dibacakan ayat “fa bi ayyi ala i Rabbikuma tukadzdziban” kepada mereka. Beliau memuji jin yang menyambut setiap seruan dengan berkata: “Tidak satupun nikmat-Mu wahai Tuhan kami yang kami ingkari. Maka segala puji bagi-Mu” (HR. At-Tirmidzi). M. Quraish Shihab, Op.Cit, h. 288. Dalam firman Allah: "Maka, nikmat Rabb-mu manakah yang kamu dustakan?" menurut penafsiran para Mujahid dan beberapa ulama lainnya Maksudnya, nikmat Rabb kalian yang manakah wahai sekalian manusia dan jin yang kalian dustakan?. Hal itu pula yang ditunjukkan oleh susunan ayat setelahnya. Dengan kata lain, nikmat-nikmat sudah sangat jelas bagi kalian, sedang kalian bergelimang dengannya tanpa dapat mengingkari dan mendustakannya. Maka, kita katakan sebagaimana yang dikatakan oleh bangsa Jin yang beriman "Ya Allah, tiada suatu pun dari naikmat-nikmat-Mu ya Rab kami yang kami dustakan. Hanya bagimulah segala puji." Tafsir Dalam Ilmu Islam, diakses di http://islam-tafsir.blogspot.com/2009/10/tafsir-qs-ar-rahman.html< pada hari kamis tanggal 13 November di jl. Andi macca Amirullah Sengkang. Azbabunnuzul Allah menantang manusia dan jin atas nikmat yang mereka dustakan. Yaitu kekafiran mereka terhadap Allah SWT. Karena telah mempersekutukan tuhan-tuhan mereka dengan Allah SWT. Dalam peribadatan adalah bukti tentang kekafiran mereka terhadap tuhan mereka, karena nikmat itu harus disyukuri, sedangkan syukur artinya menyembah yang memberi nikmat-nikmat kepada mereka. 3) Analisa kosa kata Kata (آلَاء ) ala adalah bentuk jamak dari kata ilyi atau alyi yakni nikmat. Penggunaan kata ini karena anugrah dan nikmat itu merupakan hal-hal yang sanngat khusus yang hanya dianugerahkan oleh yang Maha agung. Kata itu mengesankan sinar dan kecemerlangan (at-tala’lu) dan dengan melihatnya terasa adanya kebajikan dan doa. 4) Tafsir ayat Ayat di atas diulang sebanyak 31 kali dalam surat ini. Setiap diulang, pertanyaan itu merangsang kesan yang berlainan sesuai dengan konteksnya dengan ayat sebelumnya. Diantaranya untuk memperkuat tentang adanya nikmat dan memperingatkannya. Dari itu sambil dia menyebut satu persatu dari nikmat-nikmat tersebut dia memisahkannya dengan kata-kata memperingati dan memperkuat tentang nikmat-nikmat tersebut. Seakan-akan Allah SWT. Berkata, “Bukankah Aku menciptakan manusia, mengajarnya pandai berbicara, Aku jadiakan matahari dan bulan beredar menurut perhitungan, Aku jadikan bermacam-macam kayu-kayuan, Aku jadikan aneka ragam buah-buahan, baik di dusun-dusun maupun di bandar-bandar untuk mereka yang beriman dan kafir kepada Ku, terkadang Aku menyiraminya dengan air hujan, adakalanya dengan air sungai dan alur-alur, apakah kamu hai manusia dan jin mengingkari yang demikian itu? Kitab, Tafsir Ar-Rahman, diakses di http://islam-kitab.blogspot.com/2010/06/tafsir-ar-rahman.html?m=1 pada hari Rabu tanggal 19 November di Bone. 5) Intisari dan manfaat yang diperoleh Tanya jawab merupakan salah satu metode yang menggunakan basis anak didik menjadi pusat pembelajaran. Metode ini bisa dimodif sesuai dengan pelajaran yang akan disampaikan. Bisa anak didik yang bertanya dan guru yang menjawab atau bisa anak didik yang menjawab pertanyaan dari gurunya. Di dalam al-Qur’an hal ini juga digunakan oleh Allah agar manusia berfikir. Pertanyaan-pertanyaan itu mampu memancing stimulus yang ada. Adapun contoh yang paling jelas dari metode pendidikan Qur’an terdapat didalam surat Ar-Rahman. Disini Allah SWT mengingatkan kepada kita akan nikmat dan bukti kekuasaan-Nya, dimulai dari manusia dan kemampuannya dalam mendidik, hingga sampai kepada matahari, bulan, bintang, pepohonan, buah-buahan, langit dan bumi. Pada setiap ayat atau beberapa ayat dengan kalimat bertanya itu, manusia berhadapan dengan indera, naluri, suara hati dan perasaan. Dia tidak akan dapat mengingkari apa yang di inderanya dan diterima oleh akal serta hatinya. QS. An-Nahl (16) ayat 125 Ayat dan terjemahannya Terjemahannya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah[845] dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl (16) ayat 125) [845] Hikmah: ialah Perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil. 2) Analisa teori-teori studi tafsir Dalam rangkaian sejarah turunnya ayat ini, Al-Qurthubi mengatakan bahwa ayat ini turun di Makkah ketika adanya perintah kepada Rasulullah saw. untuk melakukan muhadanah dengan pihak Quraisyi. Akan tetapi Ibn Katsir tidak menjelaskan adanya riwayat yang menjadi sebab turunnya ayat tersebut. Abu Al-Fida Ibn Umar Ibn Katsir, Tafsir Al-Quran Al-Adzin, Tahqik Samy Bin Muhammad Salama, Dar At-Thoyyibah Linasyri Wa Tauji, Madinah, 1420 H, h. 613. Walaupun demikian, ayat ini tetap berlaku umum untuk sasaran dakwah dan untuk mendidik siapa saja, muslim ataupun kafir, dan tidak hanya berlaku khusus sesuai dengan asbabunnuzul. Sebab ungkapan yang ada memberikan pengertian umum. Ini berdasarkan kaidah ushul yang berbunyi: “Yang menjadi patokan adalah keumunan ungkapan, bukan kekhususan sebab.” 3) Analisa kosa kata Kata ( ) ud’u yang artinya seruhlah tidak disebutkan siapa objek (maf’ul bih)-nya. Ini adalah uslub (gaya pengungkapan) bahasa arab yang memberikan pengertian umum (li at-ta’mim). Dari siapa yang berdakwah, ayat ini juga berlaku umum. Meski ayat ini adalah perintah Allah SWT kepada Rasulullah saw. perintah ini juga berlaku untuk umat Islam. Sebagaimana kaidah dalam ushul fiqih: “Perintah Allah kepada Rasulullah, perintah ini juga berlaku untuk umat Islam, selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya.” As-sharkhasy, Ushul As Sharkhasy, Mawaqi’u ya’sub, tt, t-tp, h. 164. Kata ( ) al-mau’izhah diambil dari kata wa’azha yanng berarti nasehat. Mau’izhah adalah uraian yang menyentuh hati yang mengantar kepada kebaikan. M. Quraish Shihab, Op.Cit., h. 775. Kata () jadilhum diambil dari kata jidal yang bermakna diskusi atau bukti-bukti yang mematahkan alasan atau dalih mitra diskusi dan menjadikannya tidak dapat bertahan, baik yang dipaparkan itu diterima oleh semua orang maupun hanya oleh mitra bicara. 4) Tafsir ayat Dalam bukunya, Tafsir Al-Misbah Quraish Shihab menafsirkan. Wahai nabi Muhammad seruhlah,, yakni lanjutkan usahamu untuk menyeru semua yang engkau sanggup seru, kepada jalan yang ditunjukkan Tuhanmu, yakni ajaran Islam, dengan hikmah dan pengajaran yang baik dan bantahlah mereka, yakni siapapun yang menolak atau meragukan ajaran Islam, dengan cara yang terbaik. Itulah tiga cara berdakwah yang hendaknya engkau tempuh menghadapi manusia yang beraneka ragam peringkat dan kecenderungannya, jangan hiraukan cemoohan, atau tuduhan-tuduhan yang tidak berdasar kaum musyrikin, dan serahkan urusanmu dan urusan mereka kepada Allah, karena sesungguhnya Tuhanmu yang selalu membimbing dan berbuat baik kepadamu. Dia-lah yang lebih mengetahui dari siapapun yang menduga tahu tentang siapa yang bejat jiwanya sehingga tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah saja yang lebih mengetahui orang-orang yang sehat jiwanya sehingga mendapatkan petunjuk. M. Quraish Shihab, Ibid, h. 774. Agar tidak terjadi salah persepsi mengkontekstualisasikan makna yang tersirat dalam QS. An-nahl ayat 125dalam konteks pendidikan, maka menjadi penting untuk memahami dan mempertemukan dakwah dan pendidikan berdasarkan defenisinya. Dakwah dan pendidikan terdapat kesamaan dalam masing-masing komponen. Sehingga metode yang menjadi sarana dakwahini juga dapat diterapkan dalam dunia pendidikan. Kesamaan tersebut yang pertama, adanya subjek. Dalam konteks dakwah disebut da’i, sedangkan dalam konteks pendidikan disebut pendidik atau guru. Kemudian kedua adanya objek, dalam konteks dakwah disebut mad’usedangkan dalam perspektif pendidikan disebut peserta didik/siswa. Kemudian komponen ketigaadalah adanya materi, hanaya saja materi dakwah lebih terfokus pada ilmu agama. Sedangkan materi pendidikan lebih luas dari itu, tidak hanya menyangkut ilmu agama saja, melainkan juga ilmu-ilmu yang lain, seperti ekonomi, kewarganegaraan, fisika dan lain sebagainya. Adapun komponen keempat, yaitu adanya tujuan yang hendak dicapai. Yaitu perubahan ke arah yang positif (perubahan jasmani maupun rohani) terhadap objek (mad’u atau peserta didik) sasarannya, melalui transformasi ilmu pengetahuan dan nilai-nilai atau ajaran-ajaran yang disampaikan melalui aktifitas dan prosesnya masing-masing sehingga objek tersebut menjadi manusia yang lebih baik dan sempurna serta beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT. 5) Intisari dan manfaat yang diperoleh Pada dasarnya ayat ini mengandung asas-asa metode dakwah yang berkaitan langsung dengan metode pendidikan Islam, termasuk petunjuk-petunjuk tentang cara mengambil dan menentukan sikap terhadap lawan-lawan Islam. Dalam ayat tersebut, Allah memerintahkan kepada Rasulnya bersama umatnya supaya menyeruh atau mengajari manusia untuk mengikuti syari’at Islam yang telah disyariatkan melalui penyampaian wahyu Alquran. Adapun cara atau metode yang ditunjukkan oleh Allah dalam melaksanakan perintah itu adalah sebagai berikut: Melaksanakan dengan cara bijaksana, yang di dalam Alquran disyaratkan dengan kata “Al-Hikmah” yakni perkataan yang tegas dan jelas disertai dengan argumentasi yang jelas dan akurat sehingga batas pemisah antara hak dan bathil menjadi jelas. Melaksanakan dengan cara Mau’Izah Al hasanah, yakni perkataan-perkataan yang mengandung petunjuk dan peringatan-peringatan yang menyejukkan jiwa dan menggugah perasaan. Dengan cara Mau’izah Al-hasanah tersebut, diharapkan dapat menarik perhatian dan simpatik orang lain yang menjadi objek seruan (peserta didik). Dengan demikian, mereka akan termotivasi dan mengikuti ajaran yang disampaikan berdasarkan kesadaran dan keinsyafaannya sendiri. Kata Jadal atau jidal menunjuk pada pengertian perdebatan. Tafsir jalalain menjelaskan jidal adalah perdebatan terbaik, seperti menyeru manusia kepada jalan Allah dengan ayat-ayat-Nya dan menyeru manusia kepada hujjah. As-Suyuti, Tafsir Al-Jalalain, et, al, h. 226. Dengan kata lain jika dalam melaksanakan seruan itu memerlukan cara dialogis, tukar pikiran atau debat terbuka, maka hendaklah dilakukan dengan cara yang lebih baik (unggul), yakni rasional, objektif, konseptual, deskriptif, dan i’tikad yang tinggi. BAB III PENUTUP KESIMPULAN Dari beberapa uraian yang telah penulis uraikan, yang dapat penulis simpulkan diantaranya yaitu : Metode pembelajaran adalah ilmu yang mempelajari cara-cara untuk melakukan aktivitas yang tersistem dari sebuah lingkungan yang terdiri dari pendidik dan peserta didik untuk saling berinteraksi dalam melakukan suatu kegiatan sehingga proses belajar berjalan dengan baik dalam arti tujuan pengajaran tercapai. Pendidikan Agama Islam (PAI) adalah menumbuh kembangkan akidahnya melalui pemberian, pemupukan, dan pengembangan usaha sadar, yakni suatu kegiatan membimbing, pengajaran dan / atau latihan yang dilakukan guru secara berencana dan sadar dengan tujuan agar peserta didik memiliki pengetahuan, penghayatan, pengamalan, pembiasaan, serta pengalaman peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi muslim yang terus berkembang keimanan dan ketakwaannya kepada Allah SWT yang pada akhirnya mewujudkan manusia Indonesia yang taat beragama dan berakhlak mulia. Metode pendidikan agama Islam yang terkandung dalam Q.S. al-Ahzab (33): 21 adalah metode keteladanan yang terdapat dalam diri Rasulullah Saw. Hal in sesuai dengan apa yang terkandung pada UUD Guru dan Dosen No.14 tahun 2005 pada pasal 10, bahwa seorang pendidik harus memiliki kompetensi kepribadian. Sedangkan menurut Q.S. al-Qashash (34): 78-81 yaitu Metode pendidikan agama Islam yang terkandung pada ayat tersebut adalah Metode kisah atau cerita yang mempunyai daya tarik yang menyentuh perasaan. Islam mengeksploitasi cerita itu untuk dijadikan salah satu tehnik pendidikan yang dapat mengajarkan manusia khususnya peserta didik untuk belajar dari kesalahan orang-orang yang terdahulu. Metode pembelajaran agama Islam yang terkandung dalam Q.S. Luqman (31): 13 adalah Metode ceramah melalui nasehat yang dilakukan oleh seorang ayah terhadap anaknya seperti yang dicerminkan oleh Luqman. Metode ini juga hendaknya diterapkan oleh para orang tua maupun tenaga pendidik demi terwujudnya generasi muda yang berakhlakul karimah. Sedangkan dalam Q.S. Yasin (36 ): 17 Metode pendidikan agama Islam yang terkandung pada ayat tersebut adalah metode ceramah yang hendaknya dimiliki oleh seorang guru dalam rangka menyampaikan pelajaran secara benar dan jelas. Metode pendidikan agama Islam yang terkandung dalam Q.S. ar-Rahman (55): 13 adalah Metode tanya jawab, ayat tersebut menyeruh manusia untuk berpikir dan memancing stimulus untuk memikirkan nikmat akan kemahabesaran Tuhan. Sedangkan dalam Q.S. an-Nahl (16) : 125, Metode pendidikan agama Islam yang terkandung pada ayat tersebut adalah Metode Hikmah, yaitu mengindikasikan adanya tanggungjawab pendidik, dengan pengetahuan yang dalam akal budi yang mulia, perkataan yang tepat dan benar serta sikap yang proporsional sehingga pembinaan karakter peserta didik dan kewibawaan pendidik tetap terjaga. Al-Mau’izah (pelajaran yang baik), yaitu bentuk pendidikan yang memberikan nasehat dan peringatan yang benar, perkataan yang lemah lembut, penuh dengan keikhlasan, menenteramkan dan menggetarkan jiwa peserta didik untuk terdorong melakukan aktivitas dengan baik. Mujadalah yang berarti perdebatan yang baik yaitu penyampaian materi pembelajaran melalui diskusi atau perdebatan, bertukar pikiran dengan menggunakan cara yang terbaik, sopan santun, saling menghormati dan menghargai serta tidak arogan dengan menggunakan akal sehat yang membawa kita untuk berpikir mencari kebenaran. DAFTAR PUSTAKA Ahmad As Sayyid Al Hasyimi,2000, Mukhtarul Ahadits An Nabawiyyah Wal Hikam Al Muhammadiyyah, Semarang: Toha Putra. Al Ghozali Imam, 2002, Syarah Ayuhal Walad, Surabaya: Al Hidayah Al-Attas Muhammad Nuquib,1994, Konsep Pendidikan Islam, Terj. Haidar Bagir, Bandung : Mizan Al-Jamaly Muhammad Fadhil, 1997, nahwa Tarbiyat Mukminat, al-syirkat al-Tunisiyat li al-Tauzi’. Al-Qurthubiy Ibn Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshary, 1998, Tafsir Qurthuby, Juz 1, Kairo : Dar  al- Sya’biy. Al-Syaibani Omar Muhammad Al-Thoumy, 1979 , Falasafah Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang An-Nahlawi Abdurrahman, 1992, Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam, Bandung : CV. Diponegoro. Arief Armai, 2000, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Press. Departemen Agama RI, 2011, Al-Qur’an Tafsir per kata, Banten: Kalim. Ibn Katsir Abu Al-Fida Ibn Umar, 1420 H, Tafsir Al-Quran Al-Adzin, Tahqik Samy Bin Muhammad Salama, Madinah : Dar At-Thoyyibah Linasyri Wa Tauji. Jalal Abdul Fatah, 1988, Azaz-azaz Pendidikan Islam, Terj. Harry Noer Ali, Bandung: CV. Diponegoro Marimba Ahmad D,1989, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung : Al-Ma’arif. Nata Abuddin, 2009, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, Jakarta: Rajawali Pers. Nata Abudin, 2005, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Gaya Media Pratama. Ramayulis, 1998, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta:Kalam Mulia. Ramayulis, 2001, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Cet Ketiga, Jakarta : Kalam Mulia. Ridha Muhammad Rasyid, 1992, Tafsir al-Qur’an al-Hakim; Tafsir al-Manar, Juz VII, Beirut : Dar al-Fikr, tt. Shihab M. Quraish, 2002, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran, volume 9, Jakarta: Lentera Hati. Shihab M. Quraish,2002, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran, volume 10, Jakarta: Lentera Hati. Syalabi Ahmad, 1994, Tarikh  al-Tarbiyah al-Islamiyat, Kairo : al-Kasyaf. Tafsir Ahmad, 1992, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: Ramaja Rosdakarya. Tafsir Dalam Ilmu Islam, diakses di http://islam-tafsir.blogspot.com/2009/10/tafsir-qs-ar-rahman.html< pada hari kamis tanggal 13 November di jl. Andi macca Amirullah Sengkang. Uhbiyati Nur, 1999, Ilmu Pendidikan Islam , Cet-Kedua, Bandung : CV Pustaka Setia. 36