[go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu

Dilarang Mencintai Bunga Bunga

Analisis cerpen yang sangat religi, menyentuh, serta sarat makna kehidupan

DATA BUKU Judul buku : Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (kumpulan cerpen) Pengarang : Kuntowijoyo Penerbit : Pustaka Firdaus Tahun terbit : 1992 Jumlah cerpen : 10 cerpen Jumlah halaman : 202 halaman BAB I PENDAHULUAN Latar belakang masalah Menurut bentuk fiksinya, cerita pendek (disingkat menjadi cerpen) adalah cerita yang pendek.Tetapi dengan hanya melihat fiksinya yang pendek saja, orang belum dapat menetapkan sebuah cerita yang pendek adalah sebuah cerpen. Jakob Sumardjo dan Saini K.M, Apresiasi Kesusastraan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991), hlm 36 Cerita pendek juga memiliki ciri yang mendasar, yakni bersifat rekaan fiction.Cerpen bukan merupakan kejadian yang terjadi tidak dalam konteks sebenarnya, hanya rekaan atau imajinasi semata dari pengarangnya.Namun, cerpen juga muncul berdasarkan pengalaman atau pemikiran pengarang yang diperoleh dari kehidupan nyata.Dan hal tersebut yang banyak membuat orang cenderung membaca karangan naratif yang fiksi ini, karena mereka menganggap detail-detail dalam cerpen memang nyata terjadi dalam kehidupan, sehingga banyak orang yang mudah terhanyut menghayati ke dalam cerita cerpen tersebut. Dikemukakan Abrams dalam buku wahyudi siswanto bahwa empat pendekatan pada karya sastra yaitu pendekatan (1) mimetik yang menganggap karya sastra sebagai tiruan alam (kehidupan) (2) pendekatan pragmatik yang menganggap karya sastra itu adaah alat untuk mencapai tujuan tertentu; (3) pendekatan ekspresif, yang menganggap karya sastra sebagai ekspresi perasaa, pikiran, pengalaman penyair (sastrawan); dan (4) pendekatan objektif yang menganggap karya sastra sebagai suatu otonom, terlepas dari alam sekitarnya dan pengarang. Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT Grasindo, 2008) hlm 180 Rumusan masalah Bagaimana kehadiran unsur-unsur pembangun dalam cerpen ? Bagaimana perjalanan hidup Kuntowijiyo? Bagaimana analisis cerpen “Dilarang Mencintai Bunga-Bunga” dengan menggunakan pendekatan objektif? Tujuan masalah Dapat mengetahui unsur-unsur pembangun dalam cerpen. Dapat mengetahui riwayat hidup Kuntowijoyo. Dapat mengetahui analisis cerpen “Dilarang Mencintai Bunga-Bunga”. BAB II PEMBAHASAN Unsur Pembangun Cerpen Keutuhan atau kelengkapan sebuah cerpen dapat dilihat dari segi-segi unsur yang membentuknya.Adapun unsur-unsur itu adalah peristiwa cerita (alur atau plot), tokoh cerita (karakter), tema cerita, suasana cerita (mood and atmosfer cerita), latar cerita (setting), sudut pandangan cerita (point of view). Jakob Sumardjo dan Saini K.M, Apresiasi Kesusastraan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991), hlm 37Dan berdasarkan tuntutan ekonomis serta efek satu kesan pada pembacanya, maka biasanya penulis cerpen hanya mementingkan salah satu unsurnya saja dalam cerpennya, misalnya cerpen yang mementingkan unsur alur atau karakter saja. Dalam hal ini bukan berarti meniadakan unsur-unsur lain. Sebuah cerpen harus lengkap dan utuh, yang kemudian pengarang dapat memusatkan (fokus) pada satu unsurnya saja yang mendominasi cerpennya. Biografi Kuntowijoyo Kuntowijoyo lahir di Yogyakarta 18 September 1943.Kemudian menamatkan sarjana di FSB UGM tahun 1869, dan setelah itu beliau mengajar di universitas tersebut sebagai dosen.Tahun 1973 beliau mendapat tugas belajar di Univertsitas Connectitut dan setahun kemudian memperoleh gelar M.A. Gelar Ph.d nya beliau peroleh di Universitas Columbia.Karya-karyanya beliau muncul di cerpen, artikel, dan novel muncul dalam majalah Sastra,Budaya Jaya, Horison, dan harian Kompas. Karya cerbungnya: “ Kereta Api yang berangkat pagi hari” dimuat dalam harian jihad (1966) ; sedang karya yang berjudul “ Chotbah di atas Bukit” di muat sebgai cerbung dalam harian Kompas yang kemudian diterbitkan oleh Pustaka Jaya pada tahun 1976. Karangan-karangannya mengenai berbagai persoalan budaya dan seni dihhimpun dalam satu buku budaya masyarakat oleh Tiara Wacana pada tahun 1987. Dua buah kumpulan puisi telah dihasilkannya, yakni: Suluk, Awang-Awung (budaya Jaya, 1975) dan Isyarat (Pustaka Jaya, 1976). Selain itu, beliau telah memperoleh hadiah berkali-kali: cerpenya “Dilarang Mencintai Bunga-Bunga” memperoleh hadiah pertama dari majalah Sastra(1968), dramanya “Rumput-rumput Danau Bento” mendapat hadiah harapan dari BPTNI (1968); dramanya yang lain “Tidak Ada Waktu Bagi Nyonya Fatma”, “Barda”, “Cartas”, dan “Topeng Kayu” (1973) memperoleh hadiah ke dua dari Dewan Kesenian Jakarta. Unsur-Unsur Instrinsik Pembangun Cerpen “Dilarang Mencintai Bunga-Bunga” 2.3.1 Tema Tema adalah ide sebuah cerita.Pengarang dalam menulis ceritanya bukan hanya sekedar hendak bercerita, tapi hendak mengatakan sesautu kepada pembacanya.Sesuatu yang hendak dikatakanya itu bisa suatu masalah kehidupan, pandangan hidupnya tentang kehidupan ini atau komentar terhadap kehidupan ini.Kejadian dan perbuatan tokoh cerita, semuanya didasari oleh ide pengarang tersebut. Sebuah cerpen selalu harus mengatakan sesatu, yaitu pendapat pengarang tentang hidup ini sehingga orang lain dapat mengeri hidup ini lebih baik. Dalam cerpen yang berhasil, tema justru tersirat dalam seluruh elemen.Pengarang mempergunakan dialog-dialog tokoh-tokohnya, jalan pikirannya, perasaanya, kejadian-kejadian, seting cerita untuk mempertegas atau menyarankan isi temanya.Seluruh unsur cerita menjadi mempunyai satu arti saja, satu tujuan.Dan yang mempersatukan segalanya itu adalah tema. Dalam cerpen “Dilarang mencintai Bunga-Bunga” karangan kuntowijoyo, tema yang ingin disajikan adalah pandangan penulis terhadap filosofi kehidupan. Hal itu tampak dalam kutipan cerpen menjelang akhir, yakni “ Malam hari aku pergi tidur dengan kenangan-kenangan di kepala. Kakek ketenangan jiwa-kebun bunga, ayah kerja – bengkel, ibu mengaji – masjid.Terasa aku harus memutuskan sesuatu.Sampai jauh malam baru akan tidur”. Kuntowijoyo, Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (kumpulan cerpen), (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1992), Hal 22Sehingga tampak penulis hendak menyampaikan pandangan filosofis dalam suatu kehidupan. 2.3.2. Alur (Plot) Merupakan jalan cerita yang menjadi roh dalam berdirinya suatu cerpen, karena kehadirannya begitu tersirat dan memberikan dinamika tersendiri kepada berdirinya cerpen. Dan di dalam alur tersebut di klasifiksikan untuk menjadi suatu cerita yang berwarna, dengan pentahapan alur klasik sebagai berikut: Pengenalan Timbulnya konflik Konflik memuncak Anti Klimak Peleraian atau penyelesaian Jakob Sumardjo dan Saini K.M, Apresiasi Kesusastraan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991), hlm 49 Dalam cerita pendek “Dilarang Mencintai Bunga-bunga” tahap alur pengenalan yakni ketika tokoh Buyung mulai diusik perasaan yang begitu penasaran kepada rumah yang berada tepat di samping rumahnya yang didiami kakek tua seorang diri. Kutipan pada cerpen sebagai berikut “ kabarnya yang tinggal di rumah tua berpagar tembok tinggi ialah seorang kakek yang hidup sendiri. Rumah itu terletak di samping rumahku.Pagar tembok tinggi tinggi menutup rumahnya dari pandangan luar.Hanya ada satu pintu masuk dari muka, ditutup dengan anyaman bamboo yang rapat. Aku belum pernah melihat kakek itu… “. Kemudian pada tahap berikutnya tertera pada kutipan “…aku terkejut.Seorang lalki-laki tua dengan rambut putih dan piyama.Ia tersenyum padaku.”Kemudian maih dalam tahap yang sama dilanjutkan dengan kutipan “Jangan sedih, cucu. Hidup adalah permainan layang-layang.Setiap orang suka pada laying-layang.Setiap orang suka hidup.Tidak seorang pun lebih suka mati.Layang-layang bisa putus.Engkau bisa sedih.Engkau bisa sengsara. Tetapi engkau akan terus memainkan layang-layang. Tetapi engkau akan terus mengharap hidup. Katakanlah, hidup itu permainan.Tersenyumlah, cucu “. Kuntowijoyo, Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (kumpulan cerpen), (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1992), Hal 4Begitulah yang menjadikan timbulnya konflik, dikarenakan dengan ucapan kakek tersebut sembari memberikan seikat bunga kepada Buyung. Selanjutnya tahap puncak konflik atau klimaks dalam cerita tersurat pada kutipan ” “ Untuk apa Bungan ini, hehh”. Aku tidak tahu apa aku telah mencintai bunga di tanganku ini. Ayah meraih dan merenggutnya dari tanganku… “ . kemudian dilanjutkan pada kutipan “… laki-laki tidak perlu bunga Buyung. Kalau perempuan bolehlah.Tetapi engkau laki-laki”. “ayah melemparkan bunga itu. Aku menjerit. Ayah pergi. Ibu masih berdiri.Aku membungkuk, mengambil bunga itu, membawanya ke kamar.” Ibid hal 15Tampak sekali perasaan yang berkecamuk yang tengah dihadapi Buyung sebagai tokoh protagonist. Tahap alur berikutnya adalah anti klimaks, pada cerpen tersurat pada kutipan berikut “Ayo, buang jauh-jauh bunga-bunga itu, heh!” aku membungkuk, memunguti bunga-bunga itu.Dari mataku keluar air mata.Aku ingin menangis, bukan karena takut ayah. Tetapi bunga-bunga itu! Aku harus membuangnya jauh-jauh dengan tanganku! Bunga-bunga itu penuh di tanganku. “mana”. Aku mengulurkan padanya.Diremasnya bunga-bunga itu.Jantungku tersirap.Menahan untuk tenang.”Pada tahap tersebut menggambarkan perasaan Buyung yang tak terhingga hancurnya.Namun, pada tahap ini menjadi turunan setelah klimaks. Tahap final yaitu pada peleraian atau penyelesaian yang terdapat pada kutipan berikut, “Engkau mesti bekerja, sungai perlu jembatan.Tanur untuk besi perlu didirikan.Terowongan musti digali.Dam dibangun.Gedung didirikan.Sungai dialirkan.Tanah tandus musti disuburkan, mesti, mesti.Buyung.Lihat tanganmu”.Kutipan tersebut seakan membuat Buyung terbangun dari tidurnya atau menjadi tersadar karena hal yang telah dilakukannya selama ini sia-sia. 2.3.3 Tokoh dan Penokohan Tokoh yang terdapat pada cerpen “Dilarang Mencintai Bunga-Bunga” dimaksudkan untuk menyampaikan ide cerita yang hendak disampaikan penulis, yakni: Buyung, Ayah, Ibu, dan Kakek. Buyung pada cerpen tersebut diceritakan sebagai anak yang haus pengetahuan serta penuh dihinggapi rasa penasaran, yang menggambarkan watak penokohan pada cerpen tersebut, yaitu “… aku belum pernah melihat kakek itu. Setelah kucoba naik ke pagar tembok, melalui pohon kates di pekaranganku, terbentang lah sebuah pemandangan: sebuah rumah Jawa, bersih seperti baru saja disapu, dan alangkah banyak bunga-bunga ditanam! “ Ibid, hal 2 Ayah diceritakan sebagai presentatif tokoh laki-laki yang kasar, serta keras kemauannya. Namun, ia juga penyayang yang tampak pada kutipan “… Ia menampar pipiku keras. Mengguncang tubuhku. Ku lihat wajah hitam bergemuk itu memanarkan kesegaran. Aku menyaksikan seorang laki-laki perkasa. Menciumi aku. Ia adalah ayahku.” Ibid, hal 22 Kakek, pada diceritakan sebagai tokoh baik hati, ramah, penyayang anak dilukiskan oleh tokoh Buyung serta dialog kakek, yaitu : “… ia berdiri dibawah dekat tempat ku di atas ku, tersenyum. Ia seorang yang ramah, baik hati, penyayang anak.” Ibu, pada cerpen tersebut digambarkan sebagai sosok baik serta penyayang, “tentu saja kau boleh saja memelihara bunga. Bagus sekali bunga mu itu. Itu berwarna violet. Bunga ini anggrek namanya. Aku suka bunga. Kuambil vas, engkau boleh mengisinya dengan air…” Selain itu, juga pembagian karakter tokoh juga dibedakan peran tokoh protagonist, antagonis, serta tirtagonis. Protagonist adalah tokoh utama atau tokoh sentral yang dicerikan paling dominan dalam cerpen tersebut ialah Buyung atau aku, kemudian tokoh antagonis adalah tokoh yang menghalangi tujuan dari tokoh utama dan begitu bertentangan dari tokoh utama atau dengan kata lain pemikiran tpkoh ini sangat mempengaruih pemikiran tokoh protagonist, yang digambarkan sebagai sosok ayah dan kakek. Yang terakhir yakni tokoh tirtagonis adalah tokoh yang netra atau berperan sebagai penengah dalam konflik yang dihadapi tokoh sentral, yang diperankan oleh ibu. 2.3.4 Latar Cerita Latar cerita atau disebut juga setting.Dalam fiksi bukan hanya sekedar background, artinya hanya bukan menunjukan tempat kejadian dan kapan terjadinya.Sebuah cerpen atau novel memang harus terjadi di suatu tempat dan dalam suatu waktu.Harus ada tempat dan ruang kejadian. Jakob Sumardjo dan Saini K.M, Apresiasi Kesusastraan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991), hlm 75Meliputi latar tempat, waktu dan suasana. Latar tempat Pada kejadian, pada kutipan “…Setelah kucoba naik ke pagar tembok, melalui pohon kates di pekaranganku, terbentang lah sebuah pemandangan: sebuah rumah Jawa, “. Sehingga bisa disempulkan kejadian berlangsung berada di Jawa. Latar waktu Terdapat pada kejadian “… tidak pernah seharian penuh aku di rumah, ibuku menyuruh aku pergi sekolah pagi, dan sore hari harus mengaji”. Hal tersebut menampakan kejadian waktu yang dialami tokoh utama. Latar suasana Terdapat pada kutipan “ayah melemparkan bunga itu. Aku menjerit. Ayah pergi. Ibu masih berdiri. Aku membungkuk, mengambil bunga itu, membawanya ke kamar.” Tampak sekali perasaan yang berkecamuk yang tengah dihadapi Buyung. Sudut pandang (point of view) Pada dasarnya adalah visi pengarang, artinya sudut pandang yang diambil pengarang untuk melihat suatu kejadian cerita.Pada cerpen “Dilarang mencintai Bunga-Bunga” ditampilkan sudut pandang orang pertama pelaku utama dengan cuplikan “aku”.Terbukti pada kutipan “aku ditinggalkannya, berdiri dekat pagar itu.Ketakutan mendesak-desak. Aku lari pontang-panting ke rumah… “. Kuntowijoyo, Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (kumpulan cerpen), (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1992), Hal 2 Amanat Merupakan pesan tersirat yang baik, hendak dititipkan penulis melalui kutipan dialog atau ide cerita dari penuturan tokoh.Pada cerpen “Dilarang Mencintai Bunga-Bunga” adalah semua orang memiliki presepsinya tersendiri mengenai kehidupan, sehingga harus bertanggung jawab pada kehidupan kita.Dan kehidupan dunia musti diselaraskan dengan bekal kehidupan untuk di akherat. 2.4 Synopsis cerita “Dilarang mencintai bunga-bunga” Cerpen dilarang mencintai bunga-bunga mengisahkan suatu keluarga yang baru pindah ke kota, dan memiliki seorang anak laki-laki bernama Buyung. Dan mereka pun tinggal sebagaimana mestinya warga kotatinggal. Setiap pagi Buyung bersekolah, kemudian di sore hari ia pergi mengaji. Dan ayahnya tetap sibuk dengan pekerjaannya sehingga kurang umtuk bermasyarakat. Dan ibunya sebgaimana ibu-ibu rumahtangga yang lain. Kemudian didorong sikap penasaran yang teramat Buyung bersikeras untuk mengintip rumah misterius yang berada di samping rumahnya, yang konon didiami oleh kakek tua yang hidup seorang diri di rumah tersebut. Pada kesempatan pertama ia hanya mendapati kebun bunga-bunga yang terhampar luas di halaman rumah kakek itu, namun tidak mendapati kakek tersebut. Kemudian di sore hari ketika laying-layang Buyung terputus, tanpa disadari Buyung ternyata sang kekek sudah berada di belakangnya dan memberikan seikat bunga untuk Buyung. Dan mulai sejak itu Buyung sering datang mengunjungi sang kakak tanpa sembunyi-sembunyi, mereka pun bersahabat. Hati Buyung merasa tentram dan damai bila telah mendapati bunga-bunga yang ada di kamarnya, namun kesukaaannya terhadap bunga-bunga itu ditentang oleh sang ayah, yang lebih suka anaknya itu bermain di luar rumah sebagai mana mestinya seorang anak laki-laki. Hati Buyung remuk redam perasaan yang berkecamuk yang membelunggunya bila ayahnya datang menemuinya dan bunga-bunga itu, namun sang ibu tetap menjadi penenang dan pelindung Buyung ketika hatinya sedang berkecamuk. Kemudian sebelum berangkat ke sekolah Buyung berkesempatan untuk menemui sang kakek sahabatnya, kakek itu sedang mencari hidup sempurna melalui bunga. Dan setelah itu ia juga bertanya kepada sang ayah, kemudian ayahnya menjawab mencari kehidupan yang sempurna melalui kerja.Dan ayah Buyung mengatakan bahwa “Engkau mesti bekerja, sungai perlu jembatan.Tanur untuk besi perlu didirikan.Terowongan musti digali.Dam dibangun.Gedung didirikan.Sungai dialirkan.Tanah tandus musti disuburkan, mesti, mesti.Buyung.Lihat tanganmu”.Karena perkataan tersebut menlecutkan semangat kerja Buyung yang tidak lagi memikirkan bunga-bunga. BAB III KESIMPULAN Menganalisis sastra atau mengkritik sastra (cerpen) itu adalah usaha menangkap makna dn memberi makna pada teks karya sastra (cerpen) (Culler, 1997: VIII). Studi sastra bersifat semiotic adalah usaha untuk menganalisis sastra sebagai suatu sistem tanda-tanda apa yang memungkinkan karya sastra mempunyai arti. Pada cerpen tersebut dikisahkan seorang anak kecil yang tengah mencari pengertian menikmati hidup secara filosofis, karena itu ia teramat penasaran pada hal yang baru ia temuinya. Tanpa peduli aral yang melintang.Perlu disikapi kehidupan memiliki hakekat yang nyata. BAB IV DAFTAR PUSTAKA Kuntowijoyo, Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (kumpulan cerpen), Jakarta: Pustaka Firdaus, 1992. Siswanto, Wahyudi. 2008. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo. Sumardjo, Jacob dan Saini K.M. 1991. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.