LEGALITAS CCTV SEBAGAI ALAT BUKTI HUKUM YANG SAH
DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008
PERSPEKTIF SYARIAT ISLAM
PROPOSAL RISALAH
Oleh:
FAHMI ZAMZAMI
NIM. 2150056
TAKHASUS FIKIH KEBANGSAAN
MA’HAD ALY LIRBOYO KEDIRI
2023
LEGALITAS CCTV SEBAGAI ALAT BUKTI HUKUM YANG SAH
DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008
PERSPEKTIF SYARIAT ISLAM
PROPOSAL RISALAH
Proposal Risalah Ini Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Menyelesaikan Program Marhalah Tsaniyah pada Ma’had Aly Lirboyo
Oleh:
FAHMI ZAMZAMI
NIM. 2150056
TAKHASUS FIKIH KEBANGSAAN
MA’HAD ALY LIRBOYO KEDIRI
2023
ii
PERSETUJUAN PROPOSAL
Setelah melakukan bimbingan, arahan, dan koreksi terhadap penulisan
proposal risalah yang berjudul:
LEGALITAS CCTV SEBAGAI ALAT BUKTI HUKUM YANG SAH
DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008
PERSPEKTIF SYARIAT ISLAM
Yang ditulis oleh:
Nama
: Fahmi Zamzami
NIM
: 2150056
Jenjang
: Marhalah Tsaniyah
Maka proposal risalah tersebut telah disetujui pada tangal 01 Agustus 2023
dan dapat diajukan kepada Ma’had Aly Lirboyo untuk diujikan.
PEMBIMBING 1,
PEMBIMBING 2,
K. Anang Darunnaja
Fatkhul Chodir, M.H.I
iii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PROPOSAL ................................................................................ ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
A.
Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1
B.
Identifikasi dan Batasan Masalah ......................................................... 3
C.
Rumusan Masalah ................................................................................ 4
D.
Tujuan Penelitian.................................................................................. 4
E.
Manfaat Penelitian................................................................................ 5
1. Manfaat Teoritis ............................................................................ 5
2. Manfaat Praktis .............................................................................. 5
F.
Penelitian Terdahulu ............................................................................ 6
G.
Definisi Operasional ........................................................................... 10
1. Legalitas ...................................................................................... 10
2. Alat Bukti CCTV......................................................................... 10
3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik (UU ITE) ................................................... 10
4. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ............................ 11
5. Hukum Syariat Islam ................................................................... 11
H.
Metode Penelitian ............................................................................... 12
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian .................................................. 12
2. Sumber Data ................................................................................ 12
iv
3. Teknik Pengumpulan Data .......................................................... 13
4. Teknik Analisis Data ................................................................... 13
I.
Sistematika Pembahasan Risalah ....................................................... 13
BAB II KAJIAN TEORI PEMBUKTIAN ........................................................... 15
A.
Pembuktian Menurut Hukum Acara Pidana di Indonesia .................. 15
1. Alat Bukti .................................................................................... 15
2. Pembuktian .................................................................................. 15
3. Macam-Macam Pembuktian........................................................ 18
B.
Pembuktian Menurut Hukum Acara Pidana Islam ............................. 20
1. Alat Bukti .................................................................................... 21
2. Dasar Hukum Pembuktian Hukum Islam .................................... 22
3. Alat-alat Bukti dalam Hukum Pidana Islam ................................ 24
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 37
LAMPIRAN .......................................................................................................... 42
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) memberikan
dampak perubahan sistem penggunaan alat bukti dalam peradilan di Indonesia.
Alat pembuktian hukum dengan menggunakan materiel bergeser menggunakan
non-materiel (elektronik). Salah satu alat bukti elektronik dalam peradilan
adalah CCTV (Closed Circuit Television) dengan menggunakan kamera video
untuk menangkap atau merekam serta memantau kegiatan visual di suatu area.
Penggunaan alat tersebut sebagai alat bukti menjadi menarik untuk dibahas
berdasarkan asas-asas peradilan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan
hukum syariat Islam.
Penggunaan CCTV sebagai alat bukti diatur dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2)
serta Pasal 44 UU ITE. Pasal tersebut menerangkan bahwa media tersebut dapat
dianggap sebagai alat bukti jika berkaitan dengan keterangan saksi, surat, atau
keterangan terdakwa. CCTV merupakan alat bukti elektronik serta menjadi salah
satu sumber informasi atau dokumen elektronik yang dapat dijadikan sebagai
alat bukti hukum yang sah menurut undang-undang di atas. Sesuai dengan
fungsinya sebagai pembantu keterangan saksi dalam pembuktian suatu tindak
2
pidana. Dengan berbagai kemudahan dan keakuratan yang menjadikan
penetapan dari alat tersebut sebagai alat bukti hukum.1
Udang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak menjelaskan penggunaan media
elektronik sebagai alat bukti penetapan hukum. Kitab di atas merupakan kitab
induk sistem peradilan di Indonesia, di dalamnya tertulis bahwa terdapat lima
jenis alat bukti yang sah untuk menetapkan hukum. Akan tetapi tidak memuat
peraturan mengenai CCTV sebagai alat bukti, maka secara tidak langsung
penggunaan media tersebut tidak sah dijadikan alat bukti dalam penetapan
hukum. Sebagaimana pernyataan di atas tertuang dalam Pasal 184 ayat (1)
KUHAP tentang pengaturan lima jenis alat bukti yang sah.2
Tarik ulur sah atau tidaknya penggunaan CCTV sebagai alat bukti hukum
yang tertuang pada UU ITE dan KUHAP perlu pengkajian lebih dalam menurut
pandangan hukum syariat Islam. Syariat Islam mengatur jenis alat bukti yang
bisa mengesahkan penetapan hukum sesuai dengan sumber hukum Islam di
dalam berbagai kitab muktabar3. Kitab tersebut secara ringkas menyebutkan
tujuh jenis alat bukti dalam hukum syariat Islam, yaitu iqror (pengakuan),
syahadah (persaksian), yamin (sumpah penuntut), nukul (pengelakan), qosamah
(sumpah terdakwa), keyakinan hakim, dan qorinah (petunjuk). Orientasi dari
1
M. Rifqi Adjomi, Penggunaan Rekaman Video Sebagai Alat Bukti Elektronik Tindak
Pidana Perzinaan Menurut Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan
Hukum Pidana Islam, Skripsi Sarjana Hukum, UIN Syarif Hidayatullah. (Jakarta: UIN Syarif
Hidayatullah, 2020), 16.
2
Sudharmono. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. (Jakarta:
Menteri/Sekretaris Negara Republik Indonesia. 1981).
3
Kitab yang terpandang dan terkenal serta sering terpakai oleh ulama Islam. (Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia Offline Versi 1.1, 2010)
3
alat bukti menurut kitab muktabar untuk meyakinkan keputusan hakim dalam
penetapan hukum. Ketika hakim memiliki keragauan dalam keputusannya, maka
tidak sah penetapan sidang tersebut.4
Menurut hemat penulis, pembuktian perkara terdakwa terkait benar atau
tidak merupakan bagian yang penting dalam persidangan. Pembuktian tersebut
menyangkut hak asasi manusia dalam keputusan hukum. Ketika alat bukti
kurang valid, maka tidak dibenarkan hasil keputusan hakim nantinya.
Berdasarkan hukum peradilan Islam dan peradilan Indonesia yang
menggunakan dasar UU ITE masih bertentangan dalam penggunaan alat bukti
hukum khususnya alat bukti elektronik. Maka perlu adanya kajian yang bisa
menjawab atas penggunaan CCTV sebagai alat bukti yang sah. Karena syariat
Islam diturunkan untuk mengatur tatan kehidupan dan memberikan rasa
keamanan, keadilan dan kesejahteraan umat manusia. Dari berbagai
permasalahan di atas, penulis tertarik untuk mengkaji dalam risalah yang
berjudul “Legalitas CCTV Sebagai Alat Bukti Hukum yang Sah dalam
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Perspektif Syariat Islam”
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Sesuai dengan permasalahan di atas penulis ingin membangun kerangka
konseptual penetapan hukum menggunakan media teknologi Closed Circuit
Television (CCTC) sebagai alat bukti yang sah secara hukum sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
4
Wahbah Zuḥaili, Al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989), juz
VI, h. 789.
4
Elektronik (UU ITE). Penelitian ini akan dianalisis dengan aturan hukum yang
bersumber dari kajian kepustakaan kitab muktabar, yang berisikan pendapat para
ulama fukaha. Penelitian ini lebih terfokus terhadap keabsahan penggunaan
berupa CCTV sebagai alat bukti penetapan hukum berdasarkan UU ITE serta
KUHAP dengan menggunakan sudut pandang syariat Islam.
C. Rumusan Masalah
Untuk mencapai hasil maksimal, perlu adanya rumusan permasalahan
yang akan dikaji berikutnya yaitu:
1. Bagaimana kontruksi penetapan hukum dengan menggunakan CCTV
sebagai alat bukti dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) di Indonesia?
2. Bagaimana konsep penetapan hukum dengan menggunakan alat bukti dalam
perspektif syariat Islam?
3. Bagaimana penetapan hukum dengan menggunakan CCTV sebagai alat
bukti dalam UU ITE menurut perspektif syariat Islam?
D. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian risalah ini adalah:
1. Mengetahui bagaimana kontruksi penetapan hukum dengan menggunakan
CCTV sebagai alat bukti dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) di Indonesia.
2. Mengetahui bagaimana konsep penetapan hukum dengan menggunakan alat
bukti dalam perspektif syariat Islam.
5
3. Mengetahui bagaimana penetapan hukum dengan menggunakan CCTV
sebagai alat bukti dalam UU ITE menurut perspektif syariat Islam.
E. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian berisikan konstribusi yang akan diberikan setelah
merampungkan penelitian. Berupa kegunaan bersifat teoritis maupun praktis,
adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Harapan penelitian ini bisa memberikan sumbangan pemikiran
terhadap kajian ilmu pengetahuan siyasah syari’ah5, khususnya berkaitan
dengan CCTV sebagai alat bukti yang sah secara hukum dalam UU ITE
dan KUHAP serta syariat Islam dalam persidangan di Indonesia.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan bisa mengetahui bagaimana korelasi pasalpasal dalam UU ITE dan KUHAP mengenai CCTV sebagai alat bukti yang
sah secara hukum menurut pandangan syariat Islam dalam persidangan di
Indonesia serta bisa dijadikan landasan bagi penegak hukum yang berlaku
dan memperhatikan prinsip-prinsip hukum Islam demi kemaslahatan
masyarakat.
5
Suatu istilah yang mengacu pada politik perundang-undangan dan pelaksanaannya
(tatbiq), baik mengenai hokum pidana atau perdata, politik peradilan, politik ekonomi negara,
politik militer, serta bagaimana hubungan internasional terjalin, juga berupa pengesahan dan
pencabutan kebijakan. (Badan Penelitian dan Penyusunan Karya Ilmiah, Pedoman Penelitian
dan Penyusunan Risalah Marhalah Tsaniyah Ma’had Aly Lirboyo Takhasus Fikih Kebangsaan
(Kediri: Dar al-Mubtadiin, 2023), h. 2.
6
F. Penelitian Terdahulu
1. Disertasi yang ditulis oleh Sarwo Waskito dengan judul Hakikat Pengaturan
Alat Bukti Elektronik Dalam Hukum Acara Pidana. Pembahasan penelitian
tersebut menganggap alat bukti elektronik sebagai alat bukti dalam KUHAP
dengan diberi bukti penguat. Sedangkan kajian penulis ini menganalisis
keabsahan CCTV sebagai alat bukti sah dalam hukum menurut syariat
Islam.
2. Disertasi yang ditulis oleh Surya Prahara dengan judul Kedudukan Alat
Bukti Elektronik Dalam Perkara Pidana di Tengah Konvergensi Prinsip dan
Kepastian Hukum. Pembahasan penelitian tersebut menunjukan alat bukti
elektronik masih belum dianggap sebagai alat bukti dalam perundangundangan. Sedangkan kajian penulis ini menganalisis keabsahan CCTV
sebagai alat bukti sah dalam hukum menurut syariat Islam.
3. Tesis yang ditulis oleh Samsul Fadli dengan judul Kekuatan Alat Bukti
Elektronik CCTV (Closed Circuit Television) Dalam Praktek Peradilan
Pidana. Pembahasan penelitian tersebut menganggap CCTV sebagai alat
bukti elektronik menurut KUHAP dengan diberi bukti penguat. Sedangkan
kajian penulis ini menganalisis keabsahan CCTV sebagai alat bukti sah
dalam hukum menurut syariat Islam.
4. Tesis yang ditulis oleh Muh. Akbar Siriwa dengan judul Penerapan Alat
Bukti Dalam Penyelesaian Perkara Perceraian di Pengadilan Agama
Makassar Perspektif Hukum Islam. Pembahasan penelitian tersebut
menunjukkan alat bukti elektronik dapat dipakai sebagai alat bukti dalam
7
memutuskan suatu perkara. Sedangkan kajian penulis ini menganalisis
keabsahan CCTV sebagai alat bukti sah dalam hukum menurut syariat
Islam.
5. Skripsi yang ditulis oleh Muhamad Hilmi Farid dengan judul Kekuatan Alat
Bukti Elektronik dalam Pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif.
Penelitian yang penulis temukan bahwa CCTV adalah alat bukti namun
bukanlah alat bukti yang berdiri sendiri tetapi ditentukan sendiri oleh hakim
dengan ukuran yuridis, filosofis, dan sosiologis. Sedangkan kajian penulis
ini menganalisis keabsahan CCTV sebagai alat bukti sah dalam hukum
menurut syariat Islam.
6. Skripsi yang ditulis oleh Zanna Afinatus Zahro dengan judul Analisis
Kekuatan Hukum Bukti CCTV Sebagai Alat Bukti Perspektif Hukum
Pidana Islam dan KUHAP Pasal 184. Dapat disimpulkan, bahwa alat bukti
CCTV termasuk alat bukti yang sah dalam KUHAP, alat bukti CCTV bisa
menjadi penguat atau pelengkap dalam persidangan sesuai dengan dasar
hukum pada UU. No 11 Tahun 2008 jo UU. No 19 Tahun 2016 tentang ITE
(Informasi dan Transaksi Elektronik) dan juga Qanun Nomor 07 Tahun
2013 Tentang Hukum Acara Jinayat dalam hukum pidana Islam. Sedangkan
kajian penulis ini menganalisis keabsahan CCTV sebagai alat bukti sah
dalam hukum menurut syariat Islam.
7. Skripsi yang ditulis oleh Khafif Sirojuddin dengan judul Problematika
Closed Circuit Television (CCTV) Sebagai Alat Bukti Menurut Pasal 184
KUHAP dan Hukum Islam. Disimpulkan bahwa CCTV dalam tinjauan
8
hukum Islam masuk dalam pendapat ahli, alat bukti qorinah (petunjuk), alat
bukti al-iqror (kesaksian atau sumpah), serta alat bukti al-bayyinah (fakta
kebenaran), media yang mengikat hakim, dijadikan alat bukti pelengkap dan
tidak bisa berdiri sendiri, dijadikan bukti pokok dalam berbagai kasus
dengan penguatan dari ahli telematika yang bersifat ad-daruriyah untuk
kemaslahatan manusia dan keadilan. Sedangkan kajian penulis ini
menganalisis keabsahan CCTV sebagai alat bukti sah dalam hukum
menurut syariat Islam.
8. Skripsi ditulis oleh Sidiq Munadial Haque dengan judul Analisis Hukum
Pidana Islam Terhadap Penggunaan Alat Bukti Rekaman Video CCTV
(Studi Putusan Nomor 465/Pid.B/2019/PN Smg). Disimpuklkan bahwa
penggunaan alat bukti rekaman video CCTV dalam Putusan Nomor
465/Pid.B/2019/PN Smg dapat dijadikan alat bukti hukum yang sah dan
dalam penggunaannya digunakan sebagai alat bukti petunjuk oleh hakim di
dukung dengan keterangan. Penggunaan alat bukti rekaman video CCTV di
dalam hukum pidana Islam termasuk ke dalam kategori bayyinah yang
bermakna segala sesuatu yang bisa menunjukkan kebenaran suatu peristiwa
atau tindakan, dalam penggunaannya termasuk ke dalam alat bukti qorinah.
Sedangkan kajian penulis ini menganalisis keabsahan CCTV sebagai alat
bukti sah dalam hukum menurut syariat Islam.
9. Skripsi ditulis oleh M. Rifqi Adjomi dengan judul Penggunaan Rekaman
Video Sebagai Alat Bukti Elektronik Tindak Pidana Perzinaan Menurut
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Hukum Pidana
9
Islam. Hasil penelitiannya mengatakan bahwa bukti elektronik berupa
visualisasi gambar atau rekaman video bisa di jadikan sebagai alat bukti
tindak pidana perzinaan dengan melihat bahwa data atau dokumen
elektronik tersebut benar dan asli tanpa adanya rekayasa. dalam hukum
islam pembuktian dengan menggunakan rekaman video tindak pidana
perzinaan, dapat di kategorikan sebagai salah satu bentuk qorinah yaitu
definisi dari alat bukti qorinah (petunjuk). Sedangkan dalam hukum positif
klasifikasi mengenai alat bukti elektronik telah ditentukan muatannya dalam
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik menurut pasal 5 ayat (1). Kemudian dalam Rancangan Kitab
Undang-Undang
Hukum
Acara
Pidana
juga
dirancangkan
akan
diakomodirnya pengaturan alat elektronik sebagai alat bukti dalam
persidangan pidana menurut pasal 177 ayat (1) huruf c yaitu “Bukti
Elektronik”. Sedangkan kajian penulis ini menganalisis keabsahan CCTV
sebagai alat bukti sah dalam hukum menurut syariat Islam.
10.Skripsi ditulis oleh Henna Hazania dengan judul Legalitas Pembuktian
Rekaman Video yang Diambil Secara Diam-Diam Sebagai Alat Bukti
Tindak Pidana Pasca Putusan MK No. 20/PUU-XIV/2016. Rekaman video
yang diambil secara diam-diam dapat digunakan alat bukti selama direkam
oleh pihak yang terlibat langsung, tidak boleh diambil oleh pihak ketiga
serta dapat dikatakan sah apabila telah terpenuhi kualifikasi-kualifikasinya.
Sedangkan kajian penulis ini menganalisis keabsahan CCTV sebagai alat
bukti sah dalam hukum menurut syariat Islam.
10
G. Definisi Operasional
1. Legalitas
Legalitas yang dimaksud penulis dalam risalah ini adalah keabsahan
hukum dari penggunaan CCTV sebagai alat bukti yang sah menurut
hukum dalam peradilan di Indonesia menurut UU ITE dan KUHAP
dengan sudut pandang syariat Islam.
2. Alat Bukti CCTV
Alat bukti Closed Circuit Television (CCTV) dalam risalah ini
adalah media perekaman dengan sistem pengawasan menggunakan
kamera video untuk merekam dan memantau aktivitas di area tertentu.,
dengan fungsinya sebagai untuk alat bukti dalam peradilan di Indonesia.6
3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE)
UU ITE merupakan undang-undang pertama di bidang Teknologi
Informasi dan Transaksi Elektronik sebagai produk legislasi yang sangat
dibutuhkan dan telah menjadi pionir yang meletakkan dasar pengaturan di
bidang pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik.7
Sesuai dengan penelitian, UU ITE terfokuskan tentang ketentuan dan
6
Khafif Sirojuddin, Problematika Closed Circuit Television (CCTV) Sebagai Alat Bukti
Menurut Pasal 184 KUHAP dan Hukum Islam, Skripsi Sarjana Hukum Islam, Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga (Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2012),
44.
7
Yasonna H. Laoly, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (Jakarta: Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia,
2008), 8.
11
definisi mengenai alat bukti elektronik yang mengatur penggunaan alat
bukti secara hukum sah.
4. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Undang-undang
dibuat
untuk
melaksanakan
tata
cara
persidangan/peradilan dalam lingkungan peradilan umum pada semua
tingkat peradilan di Indonesia.8 Dimana fokus penelitian ini kepada hukum
tentang bagaimana pengaturan peradilan sesuai dengan alat bukti yang sah
menurut UU ini.
5. Hukum Syariat Islam
Hukum syariat menurut Jalaluddin al-Mahally adalah perkara yang
metode pengambilan hukum dengan ijtihad, bisa diartikan juga sebagai
khitob (ketetapan) Allah yang berhubungan dengan semua perbuatan
orang mukalaf (terkena hukum syariat) dari segi orang yang
diperintahkan.9 Sesuai pengertian tersebut, kajian ini berfokus terhadap
metode pengambilan hukum sesuai dengan kaidah fikih para ulama fukaha
(ahli fikih) bersumber dari kitab muktabar karangan ulama fikih.
8
Sudharmono, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Jakarta:
Menteri/Sekretaris Negara Republik Indonesia, 1981), 5.
9
Jalaludin al-Mahali, Syarh Jalal ad-Din al-Mahali Li al-Waroqot (Kediri: Dar alMujtaba, 2019), 72.
12
H. Metode Penelitian
Penulisan karya ilmiah pada dasarnya memerlukan data yang lengkap dan
objektif. Serta mempunyai metode penelitian disesuaikan dengan suatu
permasalahan yang dibahas untuk menyelesaikan karya ilmiah tersebut.10
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Jenis penelitian ini menggunakan penelitian pustaka, yaitu kajian
berdasarkan referensi dari berbagai kitab muktabar dan buku. Dengan
menggunakan pendekatan penelitian kualitatif, berdasarkan analisis data
secara deskriptif dari berbagai sumber penelitian. Serta menggunakan
metode penalaran induktif, menjelaskan permasalahan yang sifatnya
khusus dengan kesimpulan bersifat umum.
2. Sumber Data
Penulis menggunakan penelitisn kepustakaan dengan mengacu
kepada literatur yang berkenaan dengan judul risalah. bersumber dari:
a. Sumber Data Primer
Berupa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE), Undang-Undang Nomor 8 Tahun1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan
Kitab Al-Fiqh al-Islami Wa Adilatuhu Li az-Zuhaili.
b. Sumber Sekunder
10
Sidiq Munadial Haque, Analisis Hukum Pidana Islam Terhadap Penggunaan Alat
Bukti Rekaman Video CCTV (Studi Putusan Nomor 465/Pid.B/2019/PN Smg), Skripsi Sarjana
Ilmu Hukum Pidana Islam, UIN Ar-Raniry. (Banda Aceh: UIN Ar-Raniry, 2020), 10.
13
Berupa skripsi, tesis, disertasi, kitab muktabar, jurnal, artikel, makalah,
dokumen, dan berbagai referensi yang berhubungan dengan masalah
alat bukti yang sah menurut hukum berupa CCTV.
3. Teknik Pengumpulan Data
Penulis menggunakan penelitian kepustakaan yang mengacu pada
referensi yang telah dibaca dan ditelaah secara akurat untuk memperoleh
sumber informasi keabsahan penggunaan CCTV sebagai alat bukti sah
secara hukum menurut UU ITE dan KUHAP menurut pandangan syariat
Islam.
4. Teknik Analisis Data
Penulis menggunakan teknik analisis naratif, dimana kajian risalah
diawali dengan pemaparan latar belakang dasar penggunaan CCTV
sebagai alat bukti yang sah dalam UU ITE dan KUHAP dengan sudut
pandang syariat Islam. Kemudian dianalisis sehingga bisa menjawab
permasalahan yang ada dengan dukungan data teori.
I. Sistematika Pembahasan Risalah
Penulisan risalah ini dibagi lima bab yang terdiri dari sub bab sebagai
berikut:
BAB I merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari latar belakang
masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, penelitian terdahulu, definisi operasional, metode penelitian,
dan sistematika pembahasan risalah.
14
BAB II menguraikan beberapa kajian teori masalah yang berkaitan dengan
tinjauan umum tentang pembuktian menurut UU ITE, pembuktian menurut
KUHAP, dan pembuktian menurut hukum syariat Islam.
BAB III membahas tentang kebijakan penggunaan pembuktian elektronik
menurut UU ITE, kebijakan penggunaan pembuktian elektronik menurut
KUHAP, dan kebijakan penggunaan pembuktian elektronik menurut syariat
Islam.
BAB IV menganalisa dan membahas penggunaan CCTV sebagai alat bukti
yang sah dalam UU ITE dan KUHAP dalam pandangan syariat Islam.
BAB V merupakan pentutup dan kesimpulan dari permasalahan yang
dianalisis sebelumnya beserta saran yang berguna untuk kemajuan ilmu
pengetahuan dan masyarakat.
15
BAB II
KAJIAN TEORI PEMBUKTIAN
A. Pembuktian Menurut Hukum Acara Pidana di Indonesia
1. Alat Bukti
Alat bukti adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan suatu
perbuatan, dimana alat bukti tersebut dapat dipergunakan untuk bahan
pembuktian sehingga bisa meyakinkan hakim atas kebenaran tindak pidana
terdakwa. Sedangkan alat bukti yang sah adalah alat yang ada hubungan
dengan suatu tindak pidana, dimana alat tersebut dapat dipergunakan
sebagai bahan pembuktian, untuk keyakinan hakim atas kebenaran suatu
tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa.11
2. Pembuktian
Pembuktian berasal dari kata bukti, bukti menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia adalah sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu
peristiwa, sedang pembuktian itu sendiri adalah prosesnya.12 Bisa diartikan
proses untuk membuktikan kebenaran terdakwa di persidangan.
Menurut pandangan ahli hukum R. Soebekti pembuktian adalah
kegiatan meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil yang dikemukan dalam
11
Sidiq Munadial Haque, Analisis Hukum Pidana Islam Terhadap Penggunaan Alat
Bukti Rekaman Video CCTV (Studi Putusan Nomor 465/Pid.B/2019/PN Smg), Skripsi Ilmu
Hukum Pidana Islam, Fakultas Syari’ah dan Hukum. (Banda Aceh: UIN Ar-Raniry, 2020), 14.
12
Zanna Afinatus Zahro, Analisis Kekuatan Hukum Bukti CCTV Sebagai Alat Bukti
Perspektif Hukum Pidana Islam dan KUHAP Pasal 184, Skripsi Sarjana Hukum, IAIN Jember.
(Jember: IAIN Jember, 2021), 20.
16
suatu perkara di sidang pengadilan. Dalam perkara pidana hal yang dituju
untuk memperoleh kebenaran materiel.13
Eddy O.S Hiariej mengemukakan bahwa pembuktian merupakan
tindakan yang sangat penting dalam menyelesaikan suatu perkara hukum.
Pembuktian merupakan inti dari persidangan suatu perkara di pengadilan.
Karena berdasarkan pembuktian, hakim bisa mengambil putusan mengenai
perkara tersebut.14
Pembuktian perkara pidana (hukum acara pidana) bertujuan untuk
mencari kebenaran bersifat materiel, yaitu kebenaran sesungguhnya. Jadi
hakim pidana dalam mencari kebenaran tersebut, maka peristiwanya harus
terbukti (beyond reasonable doubt).15 Pembuktian merupakan salah satu
unsur yang penting dalam hukum acara pidana. dimana akan menentukan
terdakwa dihukum bersalah atau tidak di dalam persidangan.
Pembuktian menurut Martiman Prodjohamidjojo adalah suatu
peristiwa yang mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan
kebenaran, sehingga oleh akal dapat diterima kebenarannya. Dalam hukum
acara pidana, pembuktian merupakan proses pencarian kebenaran materiel.
Sedangkan KUHAP menetapkan tahapan dalam mencari kebenaran sejati
melalui:
a. Penyidikan.
13
Ibid.
Ibid.
15
M. Rifqi Adjomi, Penggunaan Rekaman Video Sebagai Alat Bukti Elektronik Tindak
Pidana Perzinaan Menurut Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan
Hukum Pidana Islam, Skripsi Sarjana Hukum, UIN Syarif Hidayatullah. (Jakarta: UIN Syarif
Hidayatullah, 2020), 15.
14
17
b. Penuntutan.
c. Pemeriksaan di persidangan.
d. Pelaksanaan, pengamatan, dan pengawasan16
Acara pembuktian merupakan salah satu prosedur dalam pelaksanaan
hukum acara pidana secara keseluruhan yang diatur di dalam KUHAP.
Disimpulkan, proses pembuktian hukum acara pidana merupakan usaha
mendapatkan keterangan melalui alat bukti dan barang bukti sehingga
meyakinkan hakim untuk melihat suatu tindak pidana yang didakwakan.
Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana menyebutkan tentang kekuatan pembuktian dalam hukum
acara pidana, yang berisikan “hakim tidak boleh menjatuhkan pidana
kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat
bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benarbenar terjadi dan bahwa terdakwahlah yang bersalah. melakukannya”.17
Berdasarkan ketentuan tersebut bahwa seorang hakim dalam memutuskan
suatu perkara pidana harus berdasarkan minimal dua alat bukti yang sah
Adapun alat bukti yang sah sebagaimana diatur didalam pasal 184
ayat (1) Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana, yakni sebagai berikut:
a. Keterangan saksi.
b. Keterangan ahli.
16
17
Ibid, h. 16
Tim Redaksi, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
18
c. Surat.
d. Petunjuk.
e. Keterangan terdakwa.
Kelima alat bukti tersebut memiliki kekuatan pembuktian yang sama
dalam persidangan acara pidana. tidak ada pembedaan antar masing-masing
alat bukti satu sama lain. Urutan sebagaimana yang diatur didalam pasal
tersebut hanyalah urutan sebagaimana dalam pemeriksaan persidangan.18
3. Macam-Macam Pembuktian
Bukti res upsa loquiter adalah fakta berbicara atas dirinya sendiri. Dan
bukti res upsa loquiter ada tiga macam,19 yaitu:
a. Barang hasil kejahatan dan penipuan.
Jika suatu barang berada dalam kekuasaan seseorang lalu
indikasi yang nyata menunujukkan barang tersebut hasil kejahatan
atau penipuannya, maka pengakuan orang yang menguasainya
sebagai barang miliknya tidak dapat diterima.20
b. Barang itu diketahui milik sah orang yang menguasainya.
Jika diketahui sesuatu barang yang berada dalam kekuasaan
seseorang sebagai miliknya yang sah, maka gugatan orang
terhadapnya tidak diterima.21
c. Bukti Res Upsa Loquiter yang Mengandung Dua Kemungkinan.
18
M. Rifqi Adjomi, Penggunaan Rekaman Video Sebagai Alat Bukti Elektronik Tindak
Pidana Perzinaan Menurut Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan
Hukum Pidana Islam, h. 19.
19
Ibid.
20
Ibid, h. 20.
21
Ibid.
19
Bukti res upsa loquiter ada yang mengandung dua
kemungkinan,
yaitu
kemungkinan
milik
sah
pihak
yang
menguasainya, dan kemungkinan penguasaannya itu dilakukan
secara melawan hukum. Dalam hal yang demikian, maka gugatan
dapat didengar berdasarkan bukti-bukti yang diajukan oleh
penggugat. Dan jika tidak ada bukti lawan yang lebih kuat, maka
barang itu ditetapkan milik penggugat, karena syariat tidak
mengubah barang yang berada dalam kekuasaan seseorang yang
diakui oleh adat dan oleh rasa hukum masyarakat setempat
dinyatakan sebagai miliknya, untuk dinyatakan sebagai miliknya
yang tidak sah.
Muncullah suatu sistem yang bukan berdasarkan keyakinan
Individu seorang hakim yang bebas menentukan putusan buat
terdakwa. Teori ini disebut teori pembuktian berdasarkan keyakinan
hakim atas alasan yang logis. Dalam teori ini terdapat suatu sistem,
dimana hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasarkan
alat-alat bukti yang berlandaskan kepada peraturan pembuktian
tertentu.22
Jadi dalam hal ini putusan hakim tersebut dijatuhkan dengan
suatu motivasi. Sistem atau teori pembuktian ini disebut juga
pembuktian bebas karena hakim bebas untuk menyebutkan alasan-
22
Ibid.
20
alasan keyakinannya. Sistem ini kemudian terpecah menjadi dua
jurusan, antara lain:
a. Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan
yang logis.
b. Sistem pembuktian yang logis berdasarkan Undang-Undang
secara negatif.
Kedua jurusan tersebut jelas dapat disimpulkan bahwa
kekuasaan hakim telah dibatasi dengan suatu ketentuan tidak bebas
seperti dalam sistem sebelumnya, sehingga tidak memberi
kesempatan kepada terdakwa untuk membela hak asasinya sebagai
tersangka. Dimana batasan-batasan tersebut dapat dibedakan, antara
lain:
1.
Batasan kekuasaan yang berpangkal tolak pada keyakinan
yang berdasarkan alasan logis.
2.
Batasan kekuasaan yang berpangkal tolak pada keyakinan
berdasarkan kepada Undang-Undang.23
B. Pembuktian Menurut Hukum Acara Pidana Islam
Pembuktian dalam hukum Islam, tidak berbeda dengan sistem dalam
hukum barat. Hakim wajib diberi kesempatan untuk sampai kepada suatu
kebenaran.24
23
Ibid, h. 21.
Sidiq Munadial Haque, Analisis Hukum Pidana Islam Terhadap Penggunaan Alat
Bukti Rekaman Video CCTV (Studi Putusan Nomor 465/Pid.B/2019/PN Smg), h. 28.
24
21
1. Alat Bukti
Menurut Ibn Qosim al-`Ubadi alat bukti secara Bahasa dapat
diartikan penguat yang berasal dari kata ( لوثlauts).25 Sedangkan
menurut istilah syariat lauts merupakan petunjuk atas kebenaran tuduhan
dari pendakwa.26 Alat bukti ini sekira bisa menimbulkan dugaan kuat
(gholabat az-zon) mengenai suatu kasus tindak pidana.27
Penulis mencoba mengilhaqkan/meneliti alat bukti dengan konsep
lauts. Sebab, syariat sendiri idak menjelaskan secara detail terkait
definisi dari alat bukti. Hal ini memandang karena adanya titik temu
(jami`) antara alat bukti dalam persidangan dan pengertian para ulama
muktabar lauts. Titik temu tersebut berupa kesamaan posisi dari
keduanya yang sama-sama sebagai penguat atas kebenaran yang
dituduhkan.
Menurut Imam Ibn Hajar al-Haitami dalam karangan beliau Tuhfat
al-Muhtaj, peran dari alat bukti ketika terdakwa tindak pidana tidak
diketahui dengan keterangan saksi, iqror (pengakuan), atau keyakinan
seorang hakimk. Menurut beliau alat bukti yang sudah dianggap sah,
25
Ibrohim al-Baijuri, Hasyiyah al-Baijuri (Beirut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah, 2020),
juz II, 419.
26
Ibn Qosim al-Ghozi, Fath al-Qorib (Beirut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah, 2020), juz II,
419.
27
Asy-Syirbini, Al-Iqna` Syarh Taqrib (Beirut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah, 2021), juz
IV, 554.
22
dapat memperbolehkan seorang hakim untuk mengambil sebuah
keputusan hukm.28
2. Dasar Hukum Pembuktian Hukum Islam
Pihak yang berperkara di pengadilan agar dapat terpenuhi hakhaknya, maka pihak tersebut harus mampu membuktikan bahwa dirinya
mempunyai hak atau berada pada posisi yang benar. Dalam
pembuktiannya seseorang harus mampu mengajukan bukti-bukti yang
otentik. Keharusan pembuktian ini didasarkan pada firman Allah:
َ َْ َ َْ ذ
ُ ْ َ ْ ُ ُ َ َ َ َ َ َ َ ْ ُ ْ َ ُ َ َ َ ُ َ َ َ َ ُّ َ ذ
ان ذ َوا
ِ ﴿ياأيها
ِ اَّلين آمنوا شهادة بي ِنكم ِإذا حَض أحدكم الموت ِحني الو ِصي ِة اثن
ْ
َ َْ ْ ُ ْ
ْ َْ َُ ُ ْ ُ َْ َ ََ ْ َْ
ْ ُ ْ َ َ ْ ُ ْ َ ْ ْ ُ ْ آخ َران م ْن َغ
َعد ٍل ِمنكم أو
ت
ِ
ِ ْيكم ِإن أنتم َضبتم ِِف اْلر ِض فأصابتكم م ِصيبة المو
ِ
ِ
َ َ ُ َ َ َ َ ً َ
َ ُ َْ
َ ْ َ َ ْ َُْْ
ذ
ون ُه َما م ْن َب ْعد ذ
َ الص ََلة َفيُ ْقس
َتي بِ ِه ث َمنا َول ْو َكن ذا ق ْرَب َوَل
ش
ن
َل
م
ت
ب
ت
ار
ن
إ
اَّلل
ب
ان
م
َت ِبس
ِ
ِ
ِ
ِ
ِ
ِ
ِ
ِ
ِ
ِ
َ ُُْ َ َ ََ ذ
َ اَّلل إنذا إ ًذا لَم َن ْالثم
﴾ني
ِِ
ِ ِ ِ ِ نكتم شهادة
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila salah seorang (di
antara) kamu menghadapi kematian, sedang dia akan
berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua
orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang
berlainan (agama) dengan kamu. Jika kamu dalam perjalanan
di bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian, hendaklah kamu
tahan kedua saksi itu setelah salat, agar keduanya bersumpah
28
Ibn Hajar al-Haitami, Tuhfat al-Muhtaj, (Beirut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah, 2017),
juz IV, 88.
23
dengan nama Allah jika kamu ragu-ragu, “Demi Allah kami
tidak akan mengambil keuntungan dengan sumpah ini,
walaupun dia karib kerabat, dan kami tidak menyembunyikan
kesaksian Allah; sesungguhnya jika demikian tentu kami
termasuk orang-orang yang berdosa.” (Q.S. Al-Maidah (5):
106
Ayat di atas secara implisit mengandung makna bahwa bilamana
seseorang sedang mendapatkan permasalahan atau sedang berperkara,
maka para pihak harus mampu membuktikan hak-haknya dengan
mengajukan saksi-saksi yang dipandang adil.29
Pembuktian dalam hukum Islam haruslah menghargai hak
kesamaan dan keadilan, seperti sabda Nabi Muhammad SAW.:
قىض رسول اهلل صل اهلل عليه وسلم أن اخلصمني:﴿عن عبد اهلل بن زبْي قال
)يقعدان بني يدي احلاكم﴾ (رواه امحد و ابو داود
Artinya: “Diriwayatkan dari sahabat Abdulloh bin Jabir, berkata:
Rosulullah telah menetapkan bahwa dua orang yang bertikai
haruslah dudu di hadapan hakim.” (H.R. Ahmad dan Abu
Daud).
Menurut asy-Syaukani dalam karangan beliau Nail al-Autor,
penjelasan mengenai duduk di hadapan hakim adalah kedua belah pihak
29
Imam al-Ghazali, Ihya `Ulum ad-Din (Mekkah: Dar al-Kutub, 2021), juz II, 67.
24
mempunyai kesamaan derajat di mata hukum.30 Dalam proses
pengajuan alat bukti berada pada pihak pendakwa, sedangkan pihak
terdakwa juga mempunyai hak untuk mengajukan pembuktian yang
wajib didengarkan dan dipertimbangkan oleh hakim. Sesuai dengan
hadis Nabi Muhammad SAW.:
إذ اتتقاىض إيلك: قال رسول اهلل صل اهلل عليه وسلم:﴿عن يلع ريض اهلل عنه قال
قال يلع فمازلت،رجَلن فَل تقىض لألول حىت تسمع الكم الخر فسوق تدري كيف تقىض
)قاضيا بعد﴾ (رواه امحد و ابو داود و الَتمذي
Artinya: “Dari `Ali R.A. beliau berkata: Rosulullah SAW. Bersabda:
“Apabila dua orang meminta keputusanmu, maka jangan
kamu memutuskan kemenangan bagi pihak pertama sebelum
kamu mendapatkan keterangan pihak kedua. Setelah itu
kamu akan mengerti bagiamana cara memutuskannya.”
Sayyidina `Ali berkata: “Aku senantiasa menjadi hakim
sesudah itu”.” (H.R. Ahmad, Abu Daud, dan Tirmizi).
3. Alat-alat Bukti dalam Hukum Pidana Islam
Di dalam Kitab Yaqut an-Nafis, terdapat lima macam alat bukti,yaitu
a. dakwa,
b. jawab,
c. yamin (sumpah),
30
Muhammad bin `Ali Muhammad asy-Syaukani, Nail al-Autor (Bierut: Dar al-Fikr,
1983), 392.
25
d. nukul (penolakan sumpah),
e. dan bayyinah (saksi).
Pembagian alat bukti tersebut bagi pendakwa mendapatkan dakwa dan
bayyinah saja. Sedangkan bagi terdakwa mendapatkan sisanya berupa
jawab, yamin, dan nukul.31
Menurut Dr. Wahbah az-Zuhaili dalam perkataan awal beliau
mengatakan macam alat bukti yang digunakan dalam hukum pidana Islam
ada 9 (sembilan) macam, yaitu
a. saksi,
b. pengakuan,
c. tanda-tanda,
d. pendapat ahli,
e. pengetahuan hakim,
f. tulisan/surat,
g. qosamah (sumpah)
h. dan li’an (sumpah).32
Sedangkan beliau dalam kesimpulannya mengatakan bahkan alatalat bukti (hujjah) ada 7 (tujuh) macam, yaitu
a. iqror (pengakuan),
b. syahadah (kesaksian),
c. yamin (sumpah),
31
Ibn Hajar al-Haitami, Yaqut an-Nafis (Beirut: Dar al-Minhaj, 2011), 699.
Wahbah bin Mustofa az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989),
juz VI, 777.
32
26
d. nukul (menolak sumpah),
e. qosamah (bersumpah 50 kali),
f. kitabah (alat bukti tulisan/surat),
g. qorinah (bukti-bukti lainnya yang dapat dipergunakan).33
Perihal penjelasan alat bukti dalam hukum Islam, berikut ini penulis
utarakan penjelasan berbagai macam alat bukti dalam hukum Islam
menurut Wahbah az-Zuhaili.
a. Iqror (Pengakuan)
Menurut arti bahasa adalah penetapan, yaitu menetapkan dan
mengakui sesuatu hak dengan tidak mengingkari, sedangkan
menurut syarak adalah sesuatu pernyataan yang memberitahu
tentang suatu kebenaran atau mengakui kebenaran tersebut.
Pengakuan yaitu mengabarkan suatu hak kepada orang lain tanpa
mengisbatkan atau menetapkannya,34 Menurut Muhammad Salam
Madkur, pengakuan ialah:
“Mengakui adanya hak orang lain yang ada pada diri pengaku itu
sendiri dengan ucapan atau yang berstatus sebagai ucapan.”35
b. Syahadah (Saksi)
Saksi atau kesaksian merupakan pernyataan yang pasti atau
pembenaran
yang
disampaikan
oleh
seseorang
dihadapan
pengadilan mengenai suatu peristiwa hukum. Secara Bahasa
33
Ibid. h. 789.
Ibrohim al-Bajuri, Hasyiyah Syaikh Ibrohim al-Bajuri (Beirut: Dar al-Kutub al`Ilmiyyah, 2017), juz II, 4.
35
Ibid.
34
27
mempunyai arti hadir, sedangkan menururt istilah berarti
mengabarkannya seseorang dengan perkara yang haq untuk
menunjukkan perkara tersebut dengan dasar yang jelas.36 Dasar
hukumnya ada di Surat Al-Baqarah (2) ayat 282, Allah Berfirman:
َََ ْ َ ٌ ُ ََ َْ ُ َ َ ُ َ َْ ْ َ ْ ُ َ ْ
َْ َ ُ ْ َ ْ َ
ان
ِ ني فرجل وامرأت
ِ ﴿واستش ِهدوا ش ِهيدي ِن ِمن ِرجا ِلكم ف ِإن لم يكونا رجل
ْ ُ ْ ُ َ ْ ِّ َ َ ُ َ ْ ُّ َ َ ْ َ ذ
َ َ َ
﴾ِم ذم ْن ت ْرض ْون ِم َن الش َهدا ِء أن ت ِضل ِإحداه َما ف ُتذك َر ِإحداه َما اْلخ َرى
Artinya: “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari
orangorang lelaki (diantaramu). Jika tak ada dua orang
lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang
perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridai, supaya jika
seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya.”
Menurut Wahbah az-Zuḥaili Persaksian adalah suatu
pemberitahuan (pernyataan) yang benar untuk membuktikan suatu
kebenaran dengan lafal syahadat di depan pengadilan.37
Menurut syarak kesaksian adalah pemberitaan yang benar
untuk menetapkan suatu hak dengan lafal kesaksian di depan sidang
pengadilan. Definisi lain juga dapat dikemukakan dengan
“pemberitaan akan hak seseorang atas orang lain, baik hak tersebut
bagi Allah ataupun hak bagi manusia”. Pemberitaan yang
36
Ibn Hajar al-Haitami, Yaqut an-Nafis (Beirut: Dar al-Minhaj, 2011), 699.
Wahbah Zuḥaili, Al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu (Damaskus: Dar Al-Fikri, 1989),
juz VI, 388.
37
28
dimaksudkannya adalah pemberitaan yang berdasarkan keyakinan
bukan perkiraan.38
Hukum kesaksian adalah wajib atas hakim yang memutuskan
perkara sesuai dengan kehendak kesaksian, akan tetapi hukum
memberikan kesaksian yaitu farḍu kifayah artinya jika sudah ada
orang yang memberikan kesaksian minimal dua orang laki-laki maka
untuk yang lain telah gugur kewajibannya untuk memberikan
kesaksian. Tetapi menjadi farḍu ain jika hanya kedua saksi tersebut
yang mengetahui suatu peristiwa dan juga hal ini bisa membuat para
saksi itu dipaksa untuk hadir dalam persidangan jika mereka tidak
mau.39
Meskipun hukum memberikan kesaksian itu wajib, akan tetapi
tidak semua orang berhak memberikan kesaksian. Seseorang yang
hendak memberikan kesaksian menurut Ibn Qosim al-Ghozi harus
dapat memenuhi syarat dalam ia membawakan kesaksian dan syarat
dalam ia menunaikan kesaksian.40
Syarat membawa kesaksian menurutnya ialah:
1) Saksi itu harus berakal sewaktu membawakan kesaksian
2) Saksi itu harus dapat melihat
38
Ibid.
Ibid. h. 389.
40
Ibn Qosim al-Ghozi, Fath al-Qorib (Kediri: Maktabah Dar al-Mujtaba, t.t.), 660.
39
29
Ini pendapat sebagian fukaha tetapi menurut Imam Syafi’i
melihat tidak menjadi syarat sahnya kesaksian. Sedangkan syarat
menunaikan kesaksian secara umum ialah:41
1) Berakal
2) Dewasa
3) Merdeka
4) Adil
5) Tidak adanya paksaan
6) Disyaratkan saksi itu laki-laki jika tidak ada laki-laki
maka perempuan boleh menjadi saksi, dengan ketentuan
sebagaimana tercantum dalam Alquran yang berbunyi:
“Pada dasarnya tidak dapat ditetapkan sesuatu yang disaksikan
atau diceritakan (oleh saksi), kecuali berdasarkan keyakinan atau
dugaan yang dipegang teguh oleh syarak sesuai dengan dasar
tersebut”.42
c. Yamin (Sumpah)
Yamin (sumpah) dapat diartikan dengan bersumpah dengan
nama Allah di muka persidangan untuk menetapkan hak dan
tindakan atau menafikan keduanya. Serta merupakan hujah dari
terdakwa,43 karena sabda Nabi Muhammad SAW.:
41
Ibid, h. 661.
Jalal al-Din as-Sayuti, Al-Asybah Wa al-Nadzair fi al-Furu’ (Mesir: Mustofa
Muhamad, t.t.), h. 39.
43
Wahbah Zuḥaili, Al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989), juz
VI, h. 782.
42
30
)﴿وايلمني ىلع املديع عليه﴾ (رواه ابليهيق
“Sumpah itu ditujukan untuk terdakwa” (HR. Baihaqi).
Dalam hukum islam sumpah lebih dikenal dengan sebutan
yamin. Lebih dari itu, makna sumpah (yamin) mengandung unsur
ilahiah, karena didalamnya mempunyai keterkaitan atas apa yang
telah diucapkannya dengan penuh pertanggungjawaban. Untuk itu
perlunya sumpah adalah sebagai penguat dari apa yang diucapkan
sehingga dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.44
Menurut, ahli fikih sumpah ialah suatu pernyataan yang
khidmat yang diberikan atau diucapkan dengan nama Allah, bahwa
ucapannya itu benar dengan mengingat sifat Maha Kuasa-Nya Allah
dan percaya siapa yang memberi keterangan yang tidak benar akan
memperoleh siksa-Nya. Yang disumpah dalam hal ini adalah orang
yang mendakwa (mudda’i) atau dalam hukum positif jaksa penuntut
umum, kemudian orang yang didakwa (mudda’i `alaih) atau
terdakwa, dan para saksi. Dan disyaratkan yang disumpah itu adalah
orang yang berakal, baligh, islam, mengenai hal-hal yang baik dan
atas kemauan sendiri. Sumpah ini tidak sah dilakukan terkecuali
dengan nama Allah. Hal ini telah ditunjuki oleh beberapa hadits.45
d. Qosamah (Sumpah 50 kali)
44
45
Ibid.
Ibid. h. 783.
31
Menurut etimologi, qosamah mengandung arti lima puluh (50)
kali sumpahan. Sendangkan menurut terminologi bisa diartikan
suatu nama dari sumpah-sumpah yang diperuntukkan bagi orang
yang mendakwa dalam kasus pembunuhan.46
Namun qosamah bisa menjadi suatu hujah dan pendakwaan.
Ketika bebarengan denga laus ()لوث, yaitu suatu indikasi yang
menetapkan atau menguatkan kebenaran pendakwa di hadapan
hakim. Seseorang yang telah memiliki laus dan mendakwa, makai a
akan diberi hak qosamah untuk menyukseskan tuduhannya dengan
lima puluh (50) kali sumpahan.47
e. Nukul (Penolakan Sumpah)
Penolakan
sumpah
berarti
pengakuan
dari
terdakwa.
Merupakan alat bukti digunakan penggugat untuk memperkuat
gugatannya dengan bukti lain agar gugatannya dapat mengena
kepada pihak yang lain. Di kalangan ulama masih terdapat
perbedaan pendapat penolakan sumpah digunakan sebagai alat
bukti. Mazhab Hanafi dan Imam Ahmad menyatakan bahwa
penolakan sumpah merupakan salah satu alat bukti yang dapat
digunakan sebagai dasar putusan, penolakan itu bilamana telah
mencapai tiga kali.48
46
Sulaiman bin Muhammad al-Bujairimi, Bujairomi `Ala Khotib (Beirut: Dar al-Kutub
al-`Ilmiyyah, 2021), juz II, 553.
47
Ibid.
48
Ibn Hajar al-Haitami, Yaqut an-Nafis (Beirut: Dar al-Minhaj, 2011), 701.
32
Dalam Madzhab Al Syafi’i dan Imam Malik, penolakan
sumpah tidak dapat dipakai sebagai alat bukti tetapi jika penggugat
menolak bersumpah maka sumpah dikembalikan kepada penggugat
dan jika pengguat bersumpah maka dimenangkan. Sedangkan Ibnu
Qayyim berpendapat bahwa penolakan sumpah dapat dijadikan
sebagai alat bukti dan dasar untuk memutuskan perkara. Alat bukti
penolakan sumpah sebagai alat bukti masih diperselisihkan di
kalangan para ulama, apakah termasuk alat bukti atau tidak.49
f. Kitabah (Alat Bukti Tulisan/Surat)
Para fukaha berselisih pendapat tentang penggunaan alat bukti
tulisan/surat terhadap masalah-masalah pidana. Sebagian di antara
mereka berpendapat penggunaan alat bukti tersebut tidak sah.
Karena alat bukti tlisan/surat penuh dengan unsur syubhat yakni
kemungkinan besar tidak terdapat kebenaran. Oleh karena itu, alat
bukti ini dipandang kurang asli.50
Bagi fukaha yang memperbolehkan menggunakan alat bukti
tulisan,surat, mereka membatasinya dengan hal-hal tertentu saja.
Yakni dalam urusan harta dan takzir, kesaksian atas tulisan/surat
saksi yang telah wafat atau jauh dan tidak diketahui tempatnya dan
kesaksiannya.51
49
Ibid.
Ibid, h. 894.
51
Wahbah Zuḥaili, Al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989), juz
VI, h. 792.
50
33
Pada masa sekarang ini bayyinah khattiyah (bukti tertulis)
adalah bukti otentik yang dianggap paling penting untuk
membuktikan kebenaran dakwaan. kalangan fukaha berpendapat
bahwa membuat bukti tertulis, demikian pula mengadakan saksi,
adalah hal yang sangat dianjurkan bukan diwajibkan. Ringkasnya,
para fukaha tidak menjadikan bukti tertulis sebagai salah satu alat
bukti yang pokok.52
g. Qorinah (Persangkaan/Petunjuk-petunjuk)
Qorinah menurut bahasa artinya pertanda yang menunjukkan
atas suatu yang dicari. Sedangkan menurut istilah ialah hal-hal yang
mempunyai hubungan sedemikian rupa terhadap sesuatu yang samar
sehingga memberikan petunjuk.53
Menurut Wahbah Az-Zuḥaili qorinah adalah setiap tanda
(petunjuk) yang jelas menyertai sesuatu yang samar, sehingga tanda
tersebut menujukkan kepadanya.54
Berdasarkan definisi di atas, qorinah adalah suatu tanda yang
dapat menimbulkan keyakinan. Sedangkan tanda-tanda yang tidak
dapat menimbulkan keyakinan tidak dapat disebut qorinah.
Qorinah diperlukan biasanya jika pelaku menghilangkan jejak
dan terdapat petunjuk. Dan harus menunjukkan dua kejelasan,
52
Ibid.
. Wahbah Zuḥaili, Al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989),
juz VII, h. 5802.
54
Ibid.
53
34
namun jika sudah ada dalil maka had tidak boleh dilakukan pada
qorinah tersebut55:
1) Harus ditemukan perkara yang jelas, dan bisa
membuktikan hukum,
2) Ada hubungannya antara perkara yang sudah jelas dan
yang masih samar.
Qorinah dibagi menjadi tiga untuk mempertimbangkan
keputusan hakim, yaitu qorinah qot`i, qorinah murojih, dan qorinah
marjuh.56
1) Qorinah seperti dalil mustaqil (dalail tersendiri),
dimana tidak membutuhkan terhadap dalil lain dan
sudah jelas. Disebut dengan qorinah qot`iyah
dikarenakan sudah sangat jelas untuk menentukan
hukum. Contohnya: jikalau ada seseorang keluar dari
rumah membawa pisau berlumuran darah dengan
keadaan bingung dan takut serta saat itu ditemukan
mayat di dalamnya, maka dengan jelas qorinahnya
menunjukkan lekaki tersebut pembunuhnya.
2) Qorinah yang dalilnya dianggap masih kuat dibawah
level qorinah di atas dikarenakan masih mempunyai
55
Muhammad bin Abi Bakr bin Ayub bin Sa'd Syams ad-Din ibn Qoyyimal-Jauziyyah,
At-Toriq al-Hukmiyyah (Maktabah asy-Syamilah: Maktabah Dar al-Bayan, 2010), 85
56
Wahbah Zuḥaili, Al-Mu`tamad Fi al-Fiqh asy-Syafi`i (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989),
juz V, h. 574.
35
sisi yang kuat. Contohnya terhadap kasus barang
temuan.
3) Qorinah dengan level terendah, jikalau tidak ada dalil
yang kuat di dalamnya untuk menjelaskan, hanya
sebatas kemamangan. Maka untuk memutuskan
hukum masih belum bisa menggunakan qorinah ini.
Seperti nukul yang disertai syahadah.57
Bagi mazhab Syafi’i penggunaan alat bukti qorinah ini seperti
halnya pendapat mazhab Ḥanafi yang tidak boleh diterapkan dalam
hal had dan qishash. Namun dalam hal qosamah menurut mazhab
Syafi’i dipandang sebagai qorinah yang tidak meyakinkan oleh
karenanya mewajibkan diat. Berbeda halnya dengan pendapat ulama
Malikiyah dan ulama Hanabilah yang berpendapat bahwa alat bukti
qorinah dapat diterapkan dalam segala permasalahan baik dalam
bidang had, qishash maupun dalam bidang lainnya.58
Qorinah qathi’ah (yang meyakinkan), dalam contoh kasus
apabila seseorang keluar dari sesuatu rumah kosong dalam keadaan
takut dan gentar, sedang ditangannya ada pisau yang berlumuran
darah, kemudian masuklah ke dalam rumah itu seseorang yang lain,
lalu melihat suatu jenazah dari orang yang mati terbunuh, maka
57
Ibid. juz V, h. 575.
Wahbah Zuḥaili, Al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989), juz
VI, h. 645.
58
36
sedikitpun tidak lagi diragukan, bahwa pembunuhnya adalah orang
yang memegang pisau tadi. 59
59
Wahbah Zuḥaili, Al-Mu`tamad Fi al-Fiqh asy-Syafi`i (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989),
juz V, h. 574.
37
DAFTAR PUSTAKA
`Abidin, M. A.-`. (2010, November 16). Hasyiah ibn `Abidin. Maktabah asySyamilah, V(2). Damaskus, Beirut, Lebanon: Dar al-Fikr.
`Audah, `. a.-Q. (2010, November 16.). At-Tasyri` al-Janai al-Islami Muqorina' Bi
al-Qonun al-Wad`i. Maktabah asy-Syamilah. Dar al-Kitab al-`Alamiyyah.
ad-Din, A. a.-`. (2010, November 16). Ghoza' al-Albab Fi Syarh Manzumah alAdab. Maktabah asy-SYamilah. Mesir: Muasasah Qurtubah.
Adjomi, M. R. (2020). Skripsi: Penggunaa Rekaman Video Sebagai Alat Bukti
Elektronik Tindak Pidana Perzinaan Menurut Rancangan Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana dan Hukum Pidanan Islam. Jakarta:
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayataullah.
Adjomi, M. R. (2020). Skripsi: Penggunaa Rekaman Video Sebagai Alat Bukti
Elektronik Tindak Pidana Perzinaan Menurut Rancangan Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana dan Hukum Pidanan Islam. Jakarta:
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayataullah.
al-Hanafi, Z. a.-D. (2010, November 16). Al-Bahr ar-Roiq Syarh Kanz ad-Daqoiq.
Maktabah asy-Syamilah. Beirut, Lebanon: Dar al-Ma`rifat.
al-Jauziyyah, M. b.-D. (2010, November 16). At-Toriq al-Hukmiyyah. Maktabah
asy-Syamilah. Maktabah Dar al-Bayan.
al-Mawardi, `. b.-B.-B. (2010, November 16). Al Ahkam as-Sulthoniyah. Maktabah
asy-Syamilah, I. Kairo, Mesir: Dar al-Hadits.
38
al-Qolyubi, A. S., & `Amiroh, A. a.-B. (2010, November 16). Hasyiata Qolyubi Wa
`Amiroh. Maktabah asy-Syamilah, IV. Damaskus, Beirut, Lebanon: Dar alFikr.
an-Nawawi, M. a.-D. (2010, November 16). Al-Majmu`a Syarh al-Muhazzab:
Syaharoh al-`Unawain. Maktabah asy-Syamilah.
as-Suyuti, J. a.-D. (t.thn.). Al-Asybah Wa al-Nazoir fi al-Furu'. Mesir: Musthafa
Muhammad.
Ba`lawi, `. a.-R. (2010, November 16). Bughyat al-Mustarsyidin. Maktabah asySyamilah, I. Beirut, Lebanon.
Cahyadi, F., & Utami, H. (2021). Jurnal: Legalitas Pemeriksaan Sidag Perkara
Pidana Melalui Media Teleconference di Masa Pandemi Covid-19. VeJ,
7(2), 481-505. doi:10.25123/vej.v7i2.4243
Fajriana, N. (2018). Jurnal: Teleconference dalam Pemeriksaan Perkara Pidana di
Pengadila. Badamai Law Journal, 3(1), 60-79.
Farhun, I. b. (2010, November 16). Tabsirot al-Hikam Fi Usul al-Aqdiyah Wa
Manahij al-Ahkam. Maktabah asy-Syamilah.
Fukaha, T. (2010, November 16). Al-Mausu`ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah.
Maktabah asy-Syamilah. Kuwait: Wazaroh al-Auqof Wa asy-Syaun alIslamiyyah.
Ghazali, I. (2021). Ihya `Ulumuddin (67 ed., Vol. II). Mekkah: Dar al-Kutub.
Habib, `. b. (2010, November 16). Al-Hawi al-Kabir Fi Fiqh Mazhab al-imam asySyafi'i Wahua Syarh Mukhtasor al-Muzni. Maktabah asy-Syamilah, XVI(1).
Damaskus, Beirut, Lebanon: Dar al-Kitab al-`Alamiyah.
39
Hanafi, Fitri, M., & Anshori, F. (2021). Jurnal: Eksistensi Persidangan Online di
Tengah Pandemi Covid-19 dalam Perkara Pidana di Indonesia. Al 'Adl:
Jurnal Hukum, 13(2), 320-341. doi:2477-0124
Haque, S. M. (2020). Skripsi: Analisis Hukum Pidana Islam Terhadap Penggunaan
Alat
Bukti
Rekaman
Video
CCTV
(Studi
Putusan
Nomor
465/Pid.B/2019/PN Smg). Banda Aceh: Universitas Islam Negeri ArRaniry.
Harizona, D. (2018, Juni). Jurnal: Kekuatan Bukti Elektronik Sebagai Bukti di
Pengadilan Menurut Hukum Acara Pidana dan Hukum Islam (Penggunaan
Rekaman Gambar Closed Circuit Television). Jurnal Intelektualita:
Keislaman, Sosial, dan Sains, 7(1), 81-98. doi:2303-2952
Hazania, H. (2022). Skripsi: Legalitas Pembuktian Rekaman Video yang Diambil
Secara Diam-Diam Sebagai Alat Bukti TIndak Pidana Pasca Putusan MK
No. 20/PUU-XIV/2016. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah.
Ibrohim, H. b. (2010, November 16). Qurrot al-`Ain Bifatawa `Ulama al-Haromain.
Maktabah asy-Syamilah(1). Al-Maktabah at-Tijariyah.
Mansur, S. b. (2010, November 16). Syarah Minhaj at-Tulab al-Ma`ruf Bihasyiati
al-Jamal. Maktabah asy Syamilah, V. Damaskus, Beirut, Lebanon: Dar alFikr.
Mustofa, W. b. (2011, Desember 2). Al-Fiqh al-Islami Wa Adilatuhu Li az-Zuhaili.
Maktabah asy-Syamilah, VIII(12). Damaskus, Beirut, Lebanon: Dar al-Fikr.
40
Nabila, A.-H. (2022). Skripsi: Pengeyampingan Hak Perlindungan Hukum Bagi
Terdakwa dalam Persidangan Melalui Telekonferensi di Masa Pandemi
Covid-19. Banda Aceh: Universitas Islam Negeri Ar-Raniry.
Naftali, R., & Ibrahim, A. (2021). Jurnal: Proses Pembuktian Perkara Pidana dalam
Persidangan yang Dilakukan Secara Online. Jurnal Esensi Hukum, 3(2),
144-157. doi:2761-2982
Nawawi, Y. b. (2010, November 16). Roudoh at-Tolibin Wa `Umdah al-Muftin.
Maktabah asy-Syamilah, XI. Damaskus, Beirut, Lebanon: Al-Maktabah alIslamiyyah.
Putra, A., & Astuti, L. (2022). Jurnal: Keabsahan Pembuktian Perkara Pidana pada
Persidangan Onlne Selama Masa Pandemi Covid-19. Media of Law and
Sharia, 3(3), 185-204. doi:2716-2192
Ramiyanto. (2017). Jurnal: Bukti Elektronik Sebagai Alat Bukti yang Sah Dalam
Hukum Acara Pidana. Jurnal Hukum dan Peradilan, 6(3), 463-484.
doi:10.25216/JHP.6.3.2017.463-486
Ramiyanto. (2017). Jurnal: Bukti Elektronik Sebagai Alat Bukti yang Sah Dalam
Hukum Acara Pidana. Jurnal Hukum dan Peradilan, 6(3), 463-484.
doi:10.25216/JHP.6.3.2017.463-486
Romadon, M. Q. (2022). Tesis Pandangan Wahbah Az-Zuhaili Tentang Akad Nikah
Melalui Telekonferensi Beserta Prospeknya dalam Pengembangan Hukum
Keluarga Islam di Indonesia. Jember: Universitas Islam Negeri Kiai Haji
Achmad Siddiq Jember.
Sahl, S. a.-D.-S. (2010, November 16). Al-Mabsut. Maktabah asy-Syamilah.
41
Siriwa, M. A. (2014). Tesis: Penerapan Alat Bukti dalam Penyelesaian Perkara
Perceraian di Pengadilan Agama Makassar Perspektif Hukum Islam.
Makassar: Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.
Sirojuddin, K. (2012). Skripsi: Problematika Closed Circuit Television (CCTV)
Sebagai Alat Bukti Menurut Pasal 184 KUHAP dan Hukum Islam.
Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.
Sudharmono. (1981). Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Jakarta:
Menteri/Sekretaris Negara Republik Indonesia.
Syamsudin, A. (t.thn.). Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor ...
Tahun ... Tentang Hukum Acara Pidana. Jakarta: Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia.
Yusuf, I. b. (2010, November 16). Al-Muhazzab fi Fiqh al-Imam asy-Syafi'i.
Maktabah asy-Syamilah, III. Damaskus, Beirut, Lebanon: Dar al-Kitab al`Alamiyah.
Zahro, Z. A. (2021). Skripsi: Analisis Kekuakatan Hukum Bukti CCTV Sebagai Alat
Bukti Perspektif Hukum Pidana Islam dan KUHAP Pasal 184. Jember:
Institut Agama Islam Negeri Jember.
Zakaria, M. (t.thn.). Peradilan Dalam Politik Islam (Al Qadhaiyyah Fis Siyasah
Assyar'iyyah). Pekanbaru: Pengadilan Agama Pekanbaru.
42
LAMPIRAN