[go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu
LEGALITAS CCTV SEBAGAI ALAT BUKTI HUKUM YANG SAH DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 PERSPEKTIF SYARIAT ISLAM PROPOSAL RISALAH Oleh: FAHMI ZAMZAMI NIM. 2150056 TAKHASUS FIKIH KEBANGSAAN MA’HAD ALY LIRBOYO KEDIRI 2023 LEGALITAS CCTV SEBAGAI ALAT BUKTI HUKUM YANG SAH DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 PERSPEKTIF SYARIAT ISLAM PROPOSAL RISALAH Proposal Risalah Ini Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Menyelesaikan Program Marhalah Tsaniyah pada Ma’had Aly Lirboyo Oleh: FAHMI ZAMZAMI NIM. 2150056 TAKHASUS FIKIH KEBANGSAAN MA’HAD ALY LIRBOYO KEDIRI 2023 ii PERSETUJUAN PROPOSAL Setelah melakukan bimbingan, arahan, dan koreksi terhadap penulisan proposal risalah yang berjudul: LEGALITAS CCTV SEBAGAI ALAT BUKTI HUKUM YANG SAH DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 PERSPEKTIF SYARIAT ISLAM Yang ditulis oleh: Nama : Fahmi Zamzami NIM : 2150056 Jenjang : Marhalah Tsaniyah Maka proposal risalah tersebut telah disetujui pada tangal 01 Agustus 2023 dan dapat diajukan kepada Ma’had Aly Lirboyo untuk diujikan. PEMBIMBING 1, PEMBIMBING 2, K. Anang Darunnaja Fatkhul Chodir, M.H.I iii DAFTAR ISI PERSETUJUAN PROPOSAL ................................................................................ ii DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1 B. Identifikasi dan Batasan Masalah ......................................................... 3 C. Rumusan Masalah ................................................................................ 4 D. Tujuan Penelitian.................................................................................. 4 E. Manfaat Penelitian................................................................................ 5 1. Manfaat Teoritis ............................................................................ 5 2. Manfaat Praktis .............................................................................. 5 F. Penelitian Terdahulu ............................................................................ 6 G. Definisi Operasional ........................................................................... 10 1. Legalitas ...................................................................................... 10 2. Alat Bukti CCTV......................................................................... 10 3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) ................................................... 10 4. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ............................ 11 5. Hukum Syariat Islam ................................................................... 11 H. Metode Penelitian ............................................................................... 12 1. Jenis dan Pendekatan Penelitian .................................................. 12 2. Sumber Data ................................................................................ 12 iv 3. Teknik Pengumpulan Data .......................................................... 13 4. Teknik Analisis Data ................................................................... 13 I. Sistematika Pembahasan Risalah ....................................................... 13 BAB II KAJIAN TEORI PEMBUKTIAN ........................................................... 15 A. Pembuktian Menurut Hukum Acara Pidana di Indonesia .................. 15 1. Alat Bukti .................................................................................... 15 2. Pembuktian .................................................................................. 15 3. Macam-Macam Pembuktian........................................................ 18 B. Pembuktian Menurut Hukum Acara Pidana Islam ............................. 20 1. Alat Bukti .................................................................................... 21 2. Dasar Hukum Pembuktian Hukum Islam .................................... 22 3. Alat-alat Bukti dalam Hukum Pidana Islam ................................ 24 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 37 LAMPIRAN .......................................................................................................... 42 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) memberikan dampak perubahan sistem penggunaan alat bukti dalam peradilan di Indonesia. Alat pembuktian hukum dengan menggunakan materiel bergeser menggunakan non-materiel (elektronik). Salah satu alat bukti elektronik dalam peradilan adalah CCTV (Closed Circuit Television) dengan menggunakan kamera video untuk menangkap atau merekam serta memantau kegiatan visual di suatu area. Penggunaan alat tersebut sebagai alat bukti menjadi menarik untuk dibahas berdasarkan asas-asas peradilan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan hukum syariat Islam. Penggunaan CCTV sebagai alat bukti diatur dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2) serta Pasal 44 UU ITE. Pasal tersebut menerangkan bahwa media tersebut dapat dianggap sebagai alat bukti jika berkaitan dengan keterangan saksi, surat, atau keterangan terdakwa. CCTV merupakan alat bukti elektronik serta menjadi salah satu sumber informasi atau dokumen elektronik yang dapat dijadikan sebagai alat bukti hukum yang sah menurut undang-undang di atas. Sesuai dengan fungsinya sebagai pembantu keterangan saksi dalam pembuktian suatu tindak 2 pidana. Dengan berbagai kemudahan dan keakuratan yang menjadikan penetapan dari alat tersebut sebagai alat bukti hukum.1 Udang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak menjelaskan penggunaan media elektronik sebagai alat bukti penetapan hukum. Kitab di atas merupakan kitab induk sistem peradilan di Indonesia, di dalamnya tertulis bahwa terdapat lima jenis alat bukti yang sah untuk menetapkan hukum. Akan tetapi tidak memuat peraturan mengenai CCTV sebagai alat bukti, maka secara tidak langsung penggunaan media tersebut tidak sah dijadikan alat bukti dalam penetapan hukum. Sebagaimana pernyataan di atas tertuang dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP tentang pengaturan lima jenis alat bukti yang sah.2 Tarik ulur sah atau tidaknya penggunaan CCTV sebagai alat bukti hukum yang tertuang pada UU ITE dan KUHAP perlu pengkajian lebih dalam menurut pandangan hukum syariat Islam. Syariat Islam mengatur jenis alat bukti yang bisa mengesahkan penetapan hukum sesuai dengan sumber hukum Islam di dalam berbagai kitab muktabar3. Kitab tersebut secara ringkas menyebutkan tujuh jenis alat bukti dalam hukum syariat Islam, yaitu iqror (pengakuan), syahadah (persaksian), yamin (sumpah penuntut), nukul (pengelakan), qosamah (sumpah terdakwa), keyakinan hakim, dan qorinah (petunjuk). Orientasi dari 1 M. Rifqi Adjomi, Penggunaan Rekaman Video Sebagai Alat Bukti Elektronik Tindak Pidana Perzinaan Menurut Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Hukum Pidana Islam, Skripsi Sarjana Hukum, UIN Syarif Hidayatullah. (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2020), 16. 2 Sudharmono. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. (Jakarta: Menteri/Sekretaris Negara Republik Indonesia. 1981). 3 Kitab yang terpandang dan terkenal serta sering terpakai oleh ulama Islam. (Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Offline Versi 1.1, 2010) 3 alat bukti menurut kitab muktabar untuk meyakinkan keputusan hakim dalam penetapan hukum. Ketika hakim memiliki keragauan dalam keputusannya, maka tidak sah penetapan sidang tersebut.4 Menurut hemat penulis, pembuktian perkara terdakwa terkait benar atau tidak merupakan bagian yang penting dalam persidangan. Pembuktian tersebut menyangkut hak asasi manusia dalam keputusan hukum. Ketika alat bukti kurang valid, maka tidak dibenarkan hasil keputusan hakim nantinya. Berdasarkan hukum peradilan Islam dan peradilan Indonesia yang menggunakan dasar UU ITE masih bertentangan dalam penggunaan alat bukti hukum khususnya alat bukti elektronik. Maka perlu adanya kajian yang bisa menjawab atas penggunaan CCTV sebagai alat bukti yang sah. Karena syariat Islam diturunkan untuk mengatur tatan kehidupan dan memberikan rasa keamanan, keadilan dan kesejahteraan umat manusia. Dari berbagai permasalahan di atas, penulis tertarik untuk mengkaji dalam risalah yang berjudul “Legalitas CCTV Sebagai Alat Bukti Hukum yang Sah dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Perspektif Syariat Islam” B. Identifikasi dan Batasan Masalah Sesuai dengan permasalahan di atas penulis ingin membangun kerangka konseptual penetapan hukum menggunakan media teknologi Closed Circuit Television (CCTC) sebagai alat bukti yang sah secara hukum sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi 4 Wahbah Zuḥaili, Al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989), juz VI, h. 789. 4 Elektronik (UU ITE). Penelitian ini akan dianalisis dengan aturan hukum yang bersumber dari kajian kepustakaan kitab muktabar, yang berisikan pendapat para ulama fukaha. Penelitian ini lebih terfokus terhadap keabsahan penggunaan berupa CCTV sebagai alat bukti penetapan hukum berdasarkan UU ITE serta KUHAP dengan menggunakan sudut pandang syariat Islam. C. Rumusan Masalah Untuk mencapai hasil maksimal, perlu adanya rumusan permasalahan yang akan dikaji berikutnya yaitu: 1. Bagaimana kontruksi penetapan hukum dengan menggunakan CCTV sebagai alat bukti dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) di Indonesia? 2. Bagaimana konsep penetapan hukum dengan menggunakan alat bukti dalam perspektif syariat Islam? 3. Bagaimana penetapan hukum dengan menggunakan CCTV sebagai alat bukti dalam UU ITE menurut perspektif syariat Islam? D. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian risalah ini adalah: 1. Mengetahui bagaimana kontruksi penetapan hukum dengan menggunakan CCTV sebagai alat bukti dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) di Indonesia. 2. Mengetahui bagaimana konsep penetapan hukum dengan menggunakan alat bukti dalam perspektif syariat Islam. 5 3. Mengetahui bagaimana penetapan hukum dengan menggunakan CCTV sebagai alat bukti dalam UU ITE menurut perspektif syariat Islam. E. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian berisikan konstribusi yang akan diberikan setelah merampungkan penelitian. Berupa kegunaan bersifat teoritis maupun praktis, adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis Harapan penelitian ini bisa memberikan sumbangan pemikiran terhadap kajian ilmu pengetahuan siyasah syari’ah5, khususnya berkaitan dengan CCTV sebagai alat bukti yang sah secara hukum dalam UU ITE dan KUHAP serta syariat Islam dalam persidangan di Indonesia. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan bisa mengetahui bagaimana korelasi pasalpasal dalam UU ITE dan KUHAP mengenai CCTV sebagai alat bukti yang sah secara hukum menurut pandangan syariat Islam dalam persidangan di Indonesia serta bisa dijadikan landasan bagi penegak hukum yang berlaku dan memperhatikan prinsip-prinsip hukum Islam demi kemaslahatan masyarakat. 5 Suatu istilah yang mengacu pada politik perundang-undangan dan pelaksanaannya (tatbiq), baik mengenai hokum pidana atau perdata, politik peradilan, politik ekonomi negara, politik militer, serta bagaimana hubungan internasional terjalin, juga berupa pengesahan dan pencabutan kebijakan. (Badan Penelitian dan Penyusunan Karya Ilmiah, Pedoman Penelitian dan Penyusunan Risalah Marhalah Tsaniyah Ma’had Aly Lirboyo Takhasus Fikih Kebangsaan (Kediri: Dar al-Mubtadiin, 2023), h. 2. 6 F. Penelitian Terdahulu 1. Disertasi yang ditulis oleh Sarwo Waskito dengan judul Hakikat Pengaturan Alat Bukti Elektronik Dalam Hukum Acara Pidana. Pembahasan penelitian tersebut menganggap alat bukti elektronik sebagai alat bukti dalam KUHAP dengan diberi bukti penguat. Sedangkan kajian penulis ini menganalisis keabsahan CCTV sebagai alat bukti sah dalam hukum menurut syariat Islam. 2. Disertasi yang ditulis oleh Surya Prahara dengan judul Kedudukan Alat Bukti Elektronik Dalam Perkara Pidana di Tengah Konvergensi Prinsip dan Kepastian Hukum. Pembahasan penelitian tersebut menunjukan alat bukti elektronik masih belum dianggap sebagai alat bukti dalam perundangundangan. Sedangkan kajian penulis ini menganalisis keabsahan CCTV sebagai alat bukti sah dalam hukum menurut syariat Islam. 3. Tesis yang ditulis oleh Samsul Fadli dengan judul Kekuatan Alat Bukti Elektronik CCTV (Closed Circuit Television) Dalam Praktek Peradilan Pidana. Pembahasan penelitian tersebut menganggap CCTV sebagai alat bukti elektronik menurut KUHAP dengan diberi bukti penguat. Sedangkan kajian penulis ini menganalisis keabsahan CCTV sebagai alat bukti sah dalam hukum menurut syariat Islam. 4. Tesis yang ditulis oleh Muh. Akbar Siriwa dengan judul Penerapan Alat Bukti Dalam Penyelesaian Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Makassar Perspektif Hukum Islam. Pembahasan penelitian tersebut menunjukkan alat bukti elektronik dapat dipakai sebagai alat bukti dalam 7 memutuskan suatu perkara. Sedangkan kajian penulis ini menganalisis keabsahan CCTV sebagai alat bukti sah dalam hukum menurut syariat Islam. 5. Skripsi yang ditulis oleh Muhamad Hilmi Farid dengan judul Kekuatan Alat Bukti Elektronik dalam Pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif. Penelitian yang penulis temukan bahwa CCTV adalah alat bukti namun bukanlah alat bukti yang berdiri sendiri tetapi ditentukan sendiri oleh hakim dengan ukuran yuridis, filosofis, dan sosiologis. Sedangkan kajian penulis ini menganalisis keabsahan CCTV sebagai alat bukti sah dalam hukum menurut syariat Islam. 6. Skripsi yang ditulis oleh Zanna Afinatus Zahro dengan judul Analisis Kekuatan Hukum Bukti CCTV Sebagai Alat Bukti Perspektif Hukum Pidana Islam dan KUHAP Pasal 184. Dapat disimpulkan, bahwa alat bukti CCTV termasuk alat bukti yang sah dalam KUHAP, alat bukti CCTV bisa menjadi penguat atau pelengkap dalam persidangan sesuai dengan dasar hukum pada UU. No 11 Tahun 2008 jo UU. No 19 Tahun 2016 tentang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) dan juga Qanun Nomor 07 Tahun 2013 Tentang Hukum Acara Jinayat dalam hukum pidana Islam. Sedangkan kajian penulis ini menganalisis keabsahan CCTV sebagai alat bukti sah dalam hukum menurut syariat Islam. 7. Skripsi yang ditulis oleh Khafif Sirojuddin dengan judul Problematika Closed Circuit Television (CCTV) Sebagai Alat Bukti Menurut Pasal 184 KUHAP dan Hukum Islam. Disimpulkan bahwa CCTV dalam tinjauan 8 hukum Islam masuk dalam pendapat ahli, alat bukti qorinah (petunjuk), alat bukti al-iqror (kesaksian atau sumpah), serta alat bukti al-bayyinah (fakta kebenaran), media yang mengikat hakim, dijadikan alat bukti pelengkap dan tidak bisa berdiri sendiri, dijadikan bukti pokok dalam berbagai kasus dengan penguatan dari ahli telematika yang bersifat ad-daruriyah untuk kemaslahatan manusia dan keadilan. Sedangkan kajian penulis ini menganalisis keabsahan CCTV sebagai alat bukti sah dalam hukum menurut syariat Islam. 8. Skripsi ditulis oleh Sidiq Munadial Haque dengan judul Analisis Hukum Pidana Islam Terhadap Penggunaan Alat Bukti Rekaman Video CCTV (Studi Putusan Nomor 465/Pid.B/2019/PN Smg). Disimpuklkan bahwa penggunaan alat bukti rekaman video CCTV dalam Putusan Nomor 465/Pid.B/2019/PN Smg dapat dijadikan alat bukti hukum yang sah dan dalam penggunaannya digunakan sebagai alat bukti petunjuk oleh hakim di dukung dengan keterangan. Penggunaan alat bukti rekaman video CCTV di dalam hukum pidana Islam termasuk ke dalam kategori bayyinah yang bermakna segala sesuatu yang bisa menunjukkan kebenaran suatu peristiwa atau tindakan, dalam penggunaannya termasuk ke dalam alat bukti qorinah. Sedangkan kajian penulis ini menganalisis keabsahan CCTV sebagai alat bukti sah dalam hukum menurut syariat Islam. 9. Skripsi ditulis oleh M. Rifqi Adjomi dengan judul Penggunaan Rekaman Video Sebagai Alat Bukti Elektronik Tindak Pidana Perzinaan Menurut Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Hukum Pidana 9 Islam. Hasil penelitiannya mengatakan bahwa bukti elektronik berupa visualisasi gambar atau rekaman video bisa di jadikan sebagai alat bukti tindak pidana perzinaan dengan melihat bahwa data atau dokumen elektronik tersebut benar dan asli tanpa adanya rekayasa. dalam hukum islam pembuktian dengan menggunakan rekaman video tindak pidana perzinaan, dapat di kategorikan sebagai salah satu bentuk qorinah yaitu definisi dari alat bukti qorinah (petunjuk). Sedangkan dalam hukum positif klasifikasi mengenai alat bukti elektronik telah ditentukan muatannya dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menurut pasal 5 ayat (1). Kemudian dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana juga dirancangkan akan diakomodirnya pengaturan alat elektronik sebagai alat bukti dalam persidangan pidana menurut pasal 177 ayat (1) huruf c yaitu “Bukti Elektronik”. Sedangkan kajian penulis ini menganalisis keabsahan CCTV sebagai alat bukti sah dalam hukum menurut syariat Islam. 10.Skripsi ditulis oleh Henna Hazania dengan judul Legalitas Pembuktian Rekaman Video yang Diambil Secara Diam-Diam Sebagai Alat Bukti Tindak Pidana Pasca Putusan MK No. 20/PUU-XIV/2016. Rekaman video yang diambil secara diam-diam dapat digunakan alat bukti selama direkam oleh pihak yang terlibat langsung, tidak boleh diambil oleh pihak ketiga serta dapat dikatakan sah apabila telah terpenuhi kualifikasi-kualifikasinya. Sedangkan kajian penulis ini menganalisis keabsahan CCTV sebagai alat bukti sah dalam hukum menurut syariat Islam. 10 G. Definisi Operasional 1. Legalitas Legalitas yang dimaksud penulis dalam risalah ini adalah keabsahan hukum dari penggunaan CCTV sebagai alat bukti yang sah menurut hukum dalam peradilan di Indonesia menurut UU ITE dan KUHAP dengan sudut pandang syariat Islam. 2. Alat Bukti CCTV Alat bukti Closed Circuit Television (CCTV) dalam risalah ini adalah media perekaman dengan sistem pengawasan menggunakan kamera video untuk merekam dan memantau aktivitas di area tertentu., dengan fungsinya sebagai untuk alat bukti dalam peradilan di Indonesia.6 3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) UU ITE merupakan undang-undang pertama di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik sebagai produk legislasi yang sangat dibutuhkan dan telah menjadi pionir yang meletakkan dasar pengaturan di bidang pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik.7 Sesuai dengan penelitian, UU ITE terfokuskan tentang ketentuan dan 6 Khafif Sirojuddin, Problematika Closed Circuit Television (CCTV) Sebagai Alat Bukti Menurut Pasal 184 KUHAP dan Hukum Islam, Skripsi Sarjana Hukum Islam, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2012), 44. 7 Yasonna H. Laoly, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Jakarta: Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, 2008), 8. 11 definisi mengenai alat bukti elektronik yang mengatur penggunaan alat bukti secara hukum sah. 4. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Undang-undang dibuat untuk melaksanakan tata cara persidangan/peradilan dalam lingkungan peradilan umum pada semua tingkat peradilan di Indonesia.8 Dimana fokus penelitian ini kepada hukum tentang bagaimana pengaturan peradilan sesuai dengan alat bukti yang sah menurut UU ini. 5. Hukum Syariat Islam Hukum syariat menurut Jalaluddin al-Mahally adalah perkara yang metode pengambilan hukum dengan ijtihad, bisa diartikan juga sebagai khitob (ketetapan) Allah yang berhubungan dengan semua perbuatan orang mukalaf (terkena hukum syariat) dari segi orang yang diperintahkan.9 Sesuai pengertian tersebut, kajian ini berfokus terhadap metode pengambilan hukum sesuai dengan kaidah fikih para ulama fukaha (ahli fikih) bersumber dari kitab muktabar karangan ulama fikih. 8 Sudharmono, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Jakarta: Menteri/Sekretaris Negara Republik Indonesia, 1981), 5. 9 Jalaludin al-Mahali, Syarh Jalal ad-Din al-Mahali Li al-Waroqot (Kediri: Dar alMujtaba, 2019), 72. 12 H. Metode Penelitian Penulisan karya ilmiah pada dasarnya memerlukan data yang lengkap dan objektif. Serta mempunyai metode penelitian disesuaikan dengan suatu permasalahan yang dibahas untuk menyelesaikan karya ilmiah tersebut.10 1. Jenis dan Pendekatan Penelitian Jenis penelitian ini menggunakan penelitian pustaka, yaitu kajian berdasarkan referensi dari berbagai kitab muktabar dan buku. Dengan menggunakan pendekatan penelitian kualitatif, berdasarkan analisis data secara deskriptif dari berbagai sumber penelitian. Serta menggunakan metode penalaran induktif, menjelaskan permasalahan yang sifatnya khusus dengan kesimpulan bersifat umum. 2. Sumber Data Penulis menggunakan penelitisn kepustakaan dengan mengacu kepada literatur yang berkenaan dengan judul risalah. bersumber dari: a. Sumber Data Primer Berupa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), Undang-Undang Nomor 8 Tahun1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan Kitab Al-Fiqh al-Islami Wa Adilatuhu Li az-Zuhaili. b. Sumber Sekunder 10 Sidiq Munadial Haque, Analisis Hukum Pidana Islam Terhadap Penggunaan Alat Bukti Rekaman Video CCTV (Studi Putusan Nomor 465/Pid.B/2019/PN Smg), Skripsi Sarjana Ilmu Hukum Pidana Islam, UIN Ar-Raniry. (Banda Aceh: UIN Ar-Raniry, 2020), 10. 13 Berupa skripsi, tesis, disertasi, kitab muktabar, jurnal, artikel, makalah, dokumen, dan berbagai referensi yang berhubungan dengan masalah alat bukti yang sah menurut hukum berupa CCTV. 3. Teknik Pengumpulan Data Penulis menggunakan penelitian kepustakaan yang mengacu pada referensi yang telah dibaca dan ditelaah secara akurat untuk memperoleh sumber informasi keabsahan penggunaan CCTV sebagai alat bukti sah secara hukum menurut UU ITE dan KUHAP menurut pandangan syariat Islam. 4. Teknik Analisis Data Penulis menggunakan teknik analisis naratif, dimana kajian risalah diawali dengan pemaparan latar belakang dasar penggunaan CCTV sebagai alat bukti yang sah dalam UU ITE dan KUHAP dengan sudut pandang syariat Islam. Kemudian dianalisis sehingga bisa menjawab permasalahan yang ada dengan dukungan data teori. I. Sistematika Pembahasan Risalah Penulisan risalah ini dibagi lima bab yang terdiri dari sub bab sebagai berikut: BAB I merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, penelitian terdahulu, definisi operasional, metode penelitian, dan sistematika pembahasan risalah. 14 BAB II menguraikan beberapa kajian teori masalah yang berkaitan dengan tinjauan umum tentang pembuktian menurut UU ITE, pembuktian menurut KUHAP, dan pembuktian menurut hukum syariat Islam. BAB III membahas tentang kebijakan penggunaan pembuktian elektronik menurut UU ITE, kebijakan penggunaan pembuktian elektronik menurut KUHAP, dan kebijakan penggunaan pembuktian elektronik menurut syariat Islam. BAB IV menganalisa dan membahas penggunaan CCTV sebagai alat bukti yang sah dalam UU ITE dan KUHAP dalam pandangan syariat Islam. BAB V merupakan pentutup dan kesimpulan dari permasalahan yang dianalisis sebelumnya beserta saran yang berguna untuk kemajuan ilmu pengetahuan dan masyarakat. 15 BAB II KAJIAN TEORI PEMBUKTIAN A. Pembuktian Menurut Hukum Acara Pidana di Indonesia 1. Alat Bukti Alat bukti adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan suatu perbuatan, dimana alat bukti tersebut dapat dipergunakan untuk bahan pembuktian sehingga bisa meyakinkan hakim atas kebenaran tindak pidana terdakwa. Sedangkan alat bukti yang sah adalah alat yang ada hubungan dengan suatu tindak pidana, dimana alat tersebut dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian, untuk keyakinan hakim atas kebenaran suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa.11 2. Pembuktian Pembuktian berasal dari kata bukti, bukti menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa, sedang pembuktian itu sendiri adalah prosesnya.12 Bisa diartikan proses untuk membuktikan kebenaran terdakwa di persidangan. Menurut pandangan ahli hukum R. Soebekti pembuktian adalah kegiatan meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil yang dikemukan dalam 11 Sidiq Munadial Haque, Analisis Hukum Pidana Islam Terhadap Penggunaan Alat Bukti Rekaman Video CCTV (Studi Putusan Nomor 465/Pid.B/2019/PN Smg), Skripsi Ilmu Hukum Pidana Islam, Fakultas Syari’ah dan Hukum. (Banda Aceh: UIN Ar-Raniry, 2020), 14. 12 Zanna Afinatus Zahro, Analisis Kekuatan Hukum Bukti CCTV Sebagai Alat Bukti Perspektif Hukum Pidana Islam dan KUHAP Pasal 184, Skripsi Sarjana Hukum, IAIN Jember. (Jember: IAIN Jember, 2021), 20. 16 suatu perkara di sidang pengadilan. Dalam perkara pidana hal yang dituju untuk memperoleh kebenaran materiel.13 Eddy O.S Hiariej mengemukakan bahwa pembuktian merupakan tindakan yang sangat penting dalam menyelesaikan suatu perkara hukum. Pembuktian merupakan inti dari persidangan suatu perkara di pengadilan. Karena berdasarkan pembuktian, hakim bisa mengambil putusan mengenai perkara tersebut.14 Pembuktian perkara pidana (hukum acara pidana) bertujuan untuk mencari kebenaran bersifat materiel, yaitu kebenaran sesungguhnya. Jadi hakim pidana dalam mencari kebenaran tersebut, maka peristiwanya harus terbukti (beyond reasonable doubt).15 Pembuktian merupakan salah satu unsur yang penting dalam hukum acara pidana. dimana akan menentukan terdakwa dihukum bersalah atau tidak di dalam persidangan. Pembuktian menurut Martiman Prodjohamidjojo adalah suatu peristiwa yang mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran, sehingga oleh akal dapat diterima kebenarannya. Dalam hukum acara pidana, pembuktian merupakan proses pencarian kebenaran materiel. Sedangkan KUHAP menetapkan tahapan dalam mencari kebenaran sejati melalui: a. Penyidikan. 13 Ibid. Ibid. 15 M. Rifqi Adjomi, Penggunaan Rekaman Video Sebagai Alat Bukti Elektronik Tindak Pidana Perzinaan Menurut Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Hukum Pidana Islam, Skripsi Sarjana Hukum, UIN Syarif Hidayatullah. (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2020), 15. 14 17 b. Penuntutan. c. Pemeriksaan di persidangan. d. Pelaksanaan, pengamatan, dan pengawasan16 Acara pembuktian merupakan salah satu prosedur dalam pelaksanaan hukum acara pidana secara keseluruhan yang diatur di dalam KUHAP. Disimpulkan, proses pembuktian hukum acara pidana merupakan usaha mendapatkan keterangan melalui alat bukti dan barang bukti sehingga meyakinkan hakim untuk melihat suatu tindak pidana yang didakwakan. Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana menyebutkan tentang kekuatan pembuktian dalam hukum acara pidana, yang berisikan “hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benarbenar terjadi dan bahwa terdakwahlah yang bersalah. melakukannya”.17 Berdasarkan ketentuan tersebut bahwa seorang hakim dalam memutuskan suatu perkara pidana harus berdasarkan minimal dua alat bukti yang sah Adapun alat bukti yang sah sebagaimana diatur didalam pasal 184 ayat (1) Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yakni sebagai berikut: a. Keterangan saksi. b. Keterangan ahli. 16 17 Ibid, h. 16 Tim Redaksi, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. 18 c. Surat. d. Petunjuk. e. Keterangan terdakwa. Kelima alat bukti tersebut memiliki kekuatan pembuktian yang sama dalam persidangan acara pidana. tidak ada pembedaan antar masing-masing alat bukti satu sama lain. Urutan sebagaimana yang diatur didalam pasal tersebut hanyalah urutan sebagaimana dalam pemeriksaan persidangan.18 3. Macam-Macam Pembuktian Bukti res upsa loquiter adalah fakta berbicara atas dirinya sendiri. Dan bukti res upsa loquiter ada tiga macam,19 yaitu: a. Barang hasil kejahatan dan penipuan. Jika suatu barang berada dalam kekuasaan seseorang lalu indikasi yang nyata menunujukkan barang tersebut hasil kejahatan atau penipuannya, maka pengakuan orang yang menguasainya sebagai barang miliknya tidak dapat diterima.20 b. Barang itu diketahui milik sah orang yang menguasainya. Jika diketahui sesuatu barang yang berada dalam kekuasaan seseorang sebagai miliknya yang sah, maka gugatan orang terhadapnya tidak diterima.21 c. Bukti Res Upsa Loquiter yang Mengandung Dua Kemungkinan. 18 M. Rifqi Adjomi, Penggunaan Rekaman Video Sebagai Alat Bukti Elektronik Tindak Pidana Perzinaan Menurut Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Hukum Pidana Islam, h. 19. 19 Ibid. 20 Ibid, h. 20. 21 Ibid. 19 Bukti res upsa loquiter ada yang mengandung dua kemungkinan, yaitu kemungkinan milik sah pihak yang menguasainya, dan kemungkinan penguasaannya itu dilakukan secara melawan hukum. Dalam hal yang demikian, maka gugatan dapat didengar berdasarkan bukti-bukti yang diajukan oleh penggugat. Dan jika tidak ada bukti lawan yang lebih kuat, maka barang itu ditetapkan milik penggugat, karena syariat tidak mengubah barang yang berada dalam kekuasaan seseorang yang diakui oleh adat dan oleh rasa hukum masyarakat setempat dinyatakan sebagai miliknya, untuk dinyatakan sebagai miliknya yang tidak sah. Muncullah suatu sistem yang bukan berdasarkan keyakinan Individu seorang hakim yang bebas menentukan putusan buat terdakwa. Teori ini disebut teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis. Dalam teori ini terdapat suatu sistem, dimana hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasarkan alat-alat bukti yang berlandaskan kepada peraturan pembuktian tertentu.22 Jadi dalam hal ini putusan hakim tersebut dijatuhkan dengan suatu motivasi. Sistem atau teori pembuktian ini disebut juga pembuktian bebas karena hakim bebas untuk menyebutkan alasan- 22 Ibid. 20 alasan keyakinannya. Sistem ini kemudian terpecah menjadi dua jurusan, antara lain: a. Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis. b. Sistem pembuktian yang logis berdasarkan Undang-Undang secara negatif. Kedua jurusan tersebut jelas dapat disimpulkan bahwa kekuasaan hakim telah dibatasi dengan suatu ketentuan tidak bebas seperti dalam sistem sebelumnya, sehingga tidak memberi kesempatan kepada terdakwa untuk membela hak asasinya sebagai tersangka. Dimana batasan-batasan tersebut dapat dibedakan, antara lain: 1. Batasan kekuasaan yang berpangkal tolak pada keyakinan yang berdasarkan alasan logis. 2. Batasan kekuasaan yang berpangkal tolak pada keyakinan berdasarkan kepada Undang-Undang.23 B. Pembuktian Menurut Hukum Acara Pidana Islam Pembuktian dalam hukum Islam, tidak berbeda dengan sistem dalam hukum barat. Hakim wajib diberi kesempatan untuk sampai kepada suatu kebenaran.24 23 Ibid, h. 21. Sidiq Munadial Haque, Analisis Hukum Pidana Islam Terhadap Penggunaan Alat Bukti Rekaman Video CCTV (Studi Putusan Nomor 465/Pid.B/2019/PN Smg), h. 28. 24 21 1. Alat Bukti Menurut Ibn Qosim al-`Ubadi alat bukti secara Bahasa dapat diartikan penguat yang berasal dari kata ‫( لوث‬lauts).25 Sedangkan menurut istilah syariat lauts merupakan petunjuk atas kebenaran tuduhan dari pendakwa.26 Alat bukti ini sekira bisa menimbulkan dugaan kuat (gholabat az-zon) mengenai suatu kasus tindak pidana.27 Penulis mencoba mengilhaqkan/meneliti alat bukti dengan konsep lauts. Sebab, syariat sendiri idak menjelaskan secara detail terkait definisi dari alat bukti. Hal ini memandang karena adanya titik temu (jami`) antara alat bukti dalam persidangan dan pengertian para ulama muktabar lauts. Titik temu tersebut berupa kesamaan posisi dari keduanya yang sama-sama sebagai penguat atas kebenaran yang dituduhkan. Menurut Imam Ibn Hajar al-Haitami dalam karangan beliau Tuhfat al-Muhtaj, peran dari alat bukti ketika terdakwa tindak pidana tidak diketahui dengan keterangan saksi, iqror (pengakuan), atau keyakinan seorang hakimk. Menurut beliau alat bukti yang sudah dianggap sah, 25 Ibrohim al-Baijuri, Hasyiyah al-Baijuri (Beirut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah, 2020), juz II, 419. 26 Ibn Qosim al-Ghozi, Fath al-Qorib (Beirut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah, 2020), juz II, 419. 27 Asy-Syirbini, Al-Iqna` Syarh Taqrib (Beirut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah, 2021), juz IV, 554. 22 dapat memperbolehkan seorang hakim untuk mengambil sebuah keputusan hukm.28 2. Dasar Hukum Pembuktian Hukum Islam Pihak yang berperkara di pengadilan agar dapat terpenuhi hakhaknya, maka pihak tersebut harus mampu membuktikan bahwa dirinya mempunyai hak atau berada pada posisi yang benar. Dalam pembuktiannya seseorang harus mampu mengajukan bukti-bukti yang otentik. Keharusan pembuktian ini didasarkan pada firman Allah: َ َْ ‫َ َْ ذ‬ ُ ْ َ ْ ُ ُ َ َ َ َ َ َ َ ْ ُ ْ َ ُ َ َ َ ُ َ َ ‫َ َ ُّ َ ذ‬ ‫ان ذ َوا‬ ِ ‫﴿ياأيها‬ ِ ‫اَّلين آمنوا شهادة بي ِنكم ِإذا حَض أحدكم الموت ِحني الو ِصي ِة اثن‬ ْ َ َْ ْ ُ ْ ْ َْ َُ ُ ْ ُ َْ َ ََ ْ َْ ْ ُ ْ َ َ ْ ُ ْ َ ْ ْ ُ ْ ‫آخ َران م ْن َغ‬ ‫َعد ٍل ِمنكم أو‬ ‫ت‬ ِ ِ ‫ْيكم ِإن أنتم َضبتم ِِف اْلر ِض فأصابتكم م ِصيبة المو‬ ِ ِ َ َ ُ َ َ َ َ ً َ َ ُ َْ َ ْ َ َ ْ َُْْ ‫ذ‬ ‫ون ُه َما م ْن َب ْعد ذ‬ َ ‫الص ََلة َفيُ ْقس‬ ‫َتي بِ ِه ث َمنا َول ْو َكن ذا ق ْرَب َوَل‬ ‫ش‬ ‫ن‬ ‫َل‬ ‫م‬ ‫ت‬ ‫ب‬ ‫ت‬ ‫ار‬ ‫ن‬ ‫إ‬ ‫اَّلل‬ ‫ب‬ ‫ان‬ ‫م‬ ‫َت ِبس‬ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ‫َ ُُْ َ َ ََ ذ‬ َ ‫اَّلل إنذا إ ًذا لَم َن ْالثم‬ ﴾‫ني‬ ِِ ِ ِ ِ ِ ‫نكتم شهادة‬ Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila salah seorang (di antara) kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan (agama) dengan kamu. Jika kamu dalam perjalanan di bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian, hendaklah kamu tahan kedua saksi itu setelah salat, agar keduanya bersumpah 28 Ibn Hajar al-Haitami, Tuhfat al-Muhtaj, (Beirut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah, 2017), juz IV, 88. 23 dengan nama Allah jika kamu ragu-ragu, “Demi Allah kami tidak akan mengambil keuntungan dengan sumpah ini, walaupun dia karib kerabat, dan kami tidak menyembunyikan kesaksian Allah; sesungguhnya jika demikian tentu kami termasuk orang-orang yang berdosa.” (Q.S. Al-Maidah (5): 106 Ayat di atas secara implisit mengandung makna bahwa bilamana seseorang sedang mendapatkan permasalahan atau sedang berperkara, maka para pihak harus mampu membuktikan hak-haknya dengan mengajukan saksi-saksi yang dipandang adil.29 Pembuktian dalam hukum Islam haruslah menghargai hak kesamaan dan keadilan, seperti sabda Nabi Muhammad SAW.: ‫ قىض رسول اهلل صل اهلل عليه وسلم أن اخلصمني‬:‫﴿عن عبد اهلل بن زبْي قال‬ )‫يقعدان بني يدي احلاكم﴾ (رواه امحد و ابو داود‬ Artinya: “Diriwayatkan dari sahabat Abdulloh bin Jabir, berkata: Rosulullah telah menetapkan bahwa dua orang yang bertikai haruslah dudu di hadapan hakim.” (H.R. Ahmad dan Abu Daud). Menurut asy-Syaukani dalam karangan beliau Nail al-Autor, penjelasan mengenai duduk di hadapan hakim adalah kedua belah pihak 29 Imam al-Ghazali, Ihya `Ulum ad-Din (Mekkah: Dar al-Kutub, 2021), juz II, 67. 24 mempunyai kesamaan derajat di mata hukum.30 Dalam proses pengajuan alat bukti berada pada pihak pendakwa, sedangkan pihak terdakwa juga mempunyai hak untuk mengajukan pembuktian yang wajib didengarkan dan dipertimbangkan oleh hakim. Sesuai dengan hadis Nabi Muhammad SAW.: ‫ إذ اتتقاىض إيلك‬:‫ قال رسول اهلل صل اهلل عليه وسلم‬:‫﴿عن يلع ريض اهلل عنه قال‬ ‫ قال يلع فمازلت‬،‫رجَلن فَل تقىض لألول حىت تسمع الكم الخر فسوق تدري كيف تقىض‬ )‫قاضيا بعد﴾ (رواه امحد و ابو داود و الَتمذي‬ Artinya: “Dari `Ali R.A. beliau berkata: Rosulullah SAW. Bersabda: “Apabila dua orang meminta keputusanmu, maka jangan kamu memutuskan kemenangan bagi pihak pertama sebelum kamu mendapatkan keterangan pihak kedua. Setelah itu kamu akan mengerti bagiamana cara memutuskannya.” Sayyidina `Ali berkata: “Aku senantiasa menjadi hakim sesudah itu”.” (H.R. Ahmad, Abu Daud, dan Tirmizi). 3. Alat-alat Bukti dalam Hukum Pidana Islam Di dalam Kitab Yaqut an-Nafis, terdapat lima macam alat bukti,yaitu a. dakwa, b. jawab, c. yamin (sumpah), 30 Muhammad bin `Ali Muhammad asy-Syaukani, Nail al-Autor (Bierut: Dar al-Fikr, 1983), 392. 25 d. nukul (penolakan sumpah), e. dan bayyinah (saksi). Pembagian alat bukti tersebut bagi pendakwa mendapatkan dakwa dan bayyinah saja. Sedangkan bagi terdakwa mendapatkan sisanya berupa jawab, yamin, dan nukul.31 Menurut Dr. Wahbah az-Zuhaili dalam perkataan awal beliau mengatakan macam alat bukti yang digunakan dalam hukum pidana Islam ada 9 (sembilan) macam, yaitu a. saksi, b. pengakuan, c. tanda-tanda, d. pendapat ahli, e. pengetahuan hakim, f. tulisan/surat, g. qosamah (sumpah) h. dan li’an (sumpah).32 Sedangkan beliau dalam kesimpulannya mengatakan bahkan alatalat bukti (hujjah) ada 7 (tujuh) macam, yaitu a. iqror (pengakuan), b. syahadah (kesaksian), c. yamin (sumpah), 31 Ibn Hajar al-Haitami, Yaqut an-Nafis (Beirut: Dar al-Minhaj, 2011), 699. Wahbah bin Mustofa az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989), juz VI, 777. 32 26 d. nukul (menolak sumpah), e. qosamah (bersumpah 50 kali), f. kitabah (alat bukti tulisan/surat), g. qorinah (bukti-bukti lainnya yang dapat dipergunakan).33 Perihal penjelasan alat bukti dalam hukum Islam, berikut ini penulis utarakan penjelasan berbagai macam alat bukti dalam hukum Islam menurut Wahbah az-Zuhaili. a. Iqror (Pengakuan) Menurut arti bahasa adalah penetapan, yaitu menetapkan dan mengakui sesuatu hak dengan tidak mengingkari, sedangkan menurut syarak adalah sesuatu pernyataan yang memberitahu tentang suatu kebenaran atau mengakui kebenaran tersebut. Pengakuan yaitu mengabarkan suatu hak kepada orang lain tanpa mengisbatkan atau menetapkannya,34 Menurut Muhammad Salam Madkur, pengakuan ialah: “Mengakui adanya hak orang lain yang ada pada diri pengaku itu sendiri dengan ucapan atau yang berstatus sebagai ucapan.”35 b. Syahadah (Saksi) Saksi atau kesaksian merupakan pernyataan yang pasti atau pembenaran yang disampaikan oleh seseorang dihadapan pengadilan mengenai suatu peristiwa hukum. Secara Bahasa 33 Ibid. h. 789. Ibrohim al-Bajuri, Hasyiyah Syaikh Ibrohim al-Bajuri (Beirut: Dar al-Kutub al`Ilmiyyah, 2017), juz II, 4. 35 Ibid. 34 27 mempunyai arti hadir, sedangkan menururt istilah berarti mengabarkannya seseorang dengan perkara yang haq untuk menunjukkan perkara tersebut dengan dasar yang jelas.36 Dasar hukumnya ada di Surat Al-Baqarah (2) ayat 282, Allah Berfirman: َََ ْ َ ٌ ُ ََ َْ ُ َ َ ُ َ َْ ْ َ ْ ُ َ ْ َْ َ ُ ْ َ ْ َ ‫ان‬ ِ ‫ني فرجل وامرأت‬ ِ ‫﴿واستش ِهدوا ش ِهيدي ِن ِمن ِرجا ِلكم ف ِإن لم يكونا رجل‬ ْ ُ ْ ُ َ ْ ِّ َ َ ُ َ ْ ‫ُّ َ َ ْ َ ذ‬ َ َ َ ﴾‫ِم ذم ْن ت ْرض ْون ِم َن الش َهدا ِء أن ت ِضل ِإحداه َما ف ُتذك َر ِإحداه َما اْلخ َرى‬ Artinya: “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orangorang lelaki (diantaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya.” Menurut Wahbah az-Zuḥaili Persaksian adalah suatu pemberitahuan (pernyataan) yang benar untuk membuktikan suatu kebenaran dengan lafal syahadat di depan pengadilan.37 Menurut syarak kesaksian adalah pemberitaan yang benar untuk menetapkan suatu hak dengan lafal kesaksian di depan sidang pengadilan. Definisi lain juga dapat dikemukakan dengan “pemberitaan akan hak seseorang atas orang lain, baik hak tersebut bagi Allah ataupun hak bagi manusia”. Pemberitaan yang 36 Ibn Hajar al-Haitami, Yaqut an-Nafis (Beirut: Dar al-Minhaj, 2011), 699. Wahbah Zuḥaili, Al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu (Damaskus: Dar Al-Fikri, 1989), juz VI, 388. 37 28 dimaksudkannya adalah pemberitaan yang berdasarkan keyakinan bukan perkiraan.38 Hukum kesaksian adalah wajib atas hakim yang memutuskan perkara sesuai dengan kehendak kesaksian, akan tetapi hukum memberikan kesaksian yaitu farḍu kifayah artinya jika sudah ada orang yang memberikan kesaksian minimal dua orang laki-laki maka untuk yang lain telah gugur kewajibannya untuk memberikan kesaksian. Tetapi menjadi farḍu ain jika hanya kedua saksi tersebut yang mengetahui suatu peristiwa dan juga hal ini bisa membuat para saksi itu dipaksa untuk hadir dalam persidangan jika mereka tidak mau.39 Meskipun hukum memberikan kesaksian itu wajib, akan tetapi tidak semua orang berhak memberikan kesaksian. Seseorang yang hendak memberikan kesaksian menurut Ibn Qosim al-Ghozi harus dapat memenuhi syarat dalam ia membawakan kesaksian dan syarat dalam ia menunaikan kesaksian.40 Syarat membawa kesaksian menurutnya ialah: 1) Saksi itu harus berakal sewaktu membawakan kesaksian 2) Saksi itu harus dapat melihat 38 Ibid. Ibid. h. 389. 40 Ibn Qosim al-Ghozi, Fath al-Qorib (Kediri: Maktabah Dar al-Mujtaba, t.t.), 660. 39 29 Ini pendapat sebagian fukaha tetapi menurut Imam Syafi’i melihat tidak menjadi syarat sahnya kesaksian. Sedangkan syarat menunaikan kesaksian secara umum ialah:41 1) Berakal 2) Dewasa 3) Merdeka 4) Adil 5) Tidak adanya paksaan 6) Disyaratkan saksi itu laki-laki jika tidak ada laki-laki maka perempuan boleh menjadi saksi, dengan ketentuan sebagaimana tercantum dalam Alquran yang berbunyi: “Pada dasarnya tidak dapat ditetapkan sesuatu yang disaksikan atau diceritakan (oleh saksi), kecuali berdasarkan keyakinan atau dugaan yang dipegang teguh oleh syarak sesuai dengan dasar tersebut”.42 c. Yamin (Sumpah) Yamin (sumpah) dapat diartikan dengan bersumpah dengan nama Allah di muka persidangan untuk menetapkan hak dan tindakan atau menafikan keduanya. Serta merupakan hujah dari terdakwa,43 karena sabda Nabi Muhammad SAW.: 41 Ibid, h. 661. Jalal al-Din as-Sayuti, Al-Asybah Wa al-Nadzair fi al-Furu’ (Mesir: Mustofa Muhamad, t.t.), h. 39. 43 Wahbah Zuḥaili, Al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989), juz VI, h. 782. 42 30 )‫﴿وايلمني ىلع املديع عليه﴾ (رواه ابليهيق‬ “Sumpah itu ditujukan untuk terdakwa” (HR. Baihaqi). Dalam hukum islam sumpah lebih dikenal dengan sebutan yamin. Lebih dari itu, makna sumpah (yamin) mengandung unsur ilahiah, karena didalamnya mempunyai keterkaitan atas apa yang telah diucapkannya dengan penuh pertanggungjawaban. Untuk itu perlunya sumpah adalah sebagai penguat dari apa yang diucapkan sehingga dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.44 Menurut, ahli fikih sumpah ialah suatu pernyataan yang khidmat yang diberikan atau diucapkan dengan nama Allah, bahwa ucapannya itu benar dengan mengingat sifat Maha Kuasa-Nya Allah dan percaya siapa yang memberi keterangan yang tidak benar akan memperoleh siksa-Nya. Yang disumpah dalam hal ini adalah orang yang mendakwa (mudda’i) atau dalam hukum positif jaksa penuntut umum, kemudian orang yang didakwa (mudda’i `alaih) atau terdakwa, dan para saksi. Dan disyaratkan yang disumpah itu adalah orang yang berakal, baligh, islam, mengenai hal-hal yang baik dan atas kemauan sendiri. Sumpah ini tidak sah dilakukan terkecuali dengan nama Allah. Hal ini telah ditunjuki oleh beberapa hadits.45 d. Qosamah (Sumpah 50 kali) 44 45 Ibid. Ibid. h. 783. 31 Menurut etimologi, qosamah mengandung arti lima puluh (50) kali sumpahan. Sendangkan menurut terminologi bisa diartikan suatu nama dari sumpah-sumpah yang diperuntukkan bagi orang yang mendakwa dalam kasus pembunuhan.46 Namun qosamah bisa menjadi suatu hujah dan pendakwaan. Ketika bebarengan denga laus (‫)لوث‬, yaitu suatu indikasi yang menetapkan atau menguatkan kebenaran pendakwa di hadapan hakim. Seseorang yang telah memiliki laus dan mendakwa, makai a akan diberi hak qosamah untuk menyukseskan tuduhannya dengan lima puluh (50) kali sumpahan.47 e. Nukul (Penolakan Sumpah) Penolakan sumpah berarti pengakuan dari terdakwa. Merupakan alat bukti digunakan penggugat untuk memperkuat gugatannya dengan bukti lain agar gugatannya dapat mengena kepada pihak yang lain. Di kalangan ulama masih terdapat perbedaan pendapat penolakan sumpah digunakan sebagai alat bukti. Mazhab Hanafi dan Imam Ahmad menyatakan bahwa penolakan sumpah merupakan salah satu alat bukti yang dapat digunakan sebagai dasar putusan, penolakan itu bilamana telah mencapai tiga kali.48 46 Sulaiman bin Muhammad al-Bujairimi, Bujairomi `Ala Khotib (Beirut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah, 2021), juz II, 553. 47 Ibid. 48 Ibn Hajar al-Haitami, Yaqut an-Nafis (Beirut: Dar al-Minhaj, 2011), 701. 32 Dalam Madzhab Al Syafi’i dan Imam Malik, penolakan sumpah tidak dapat dipakai sebagai alat bukti tetapi jika penggugat menolak bersumpah maka sumpah dikembalikan kepada penggugat dan jika pengguat bersumpah maka dimenangkan. Sedangkan Ibnu Qayyim berpendapat bahwa penolakan sumpah dapat dijadikan sebagai alat bukti dan dasar untuk memutuskan perkara. Alat bukti penolakan sumpah sebagai alat bukti masih diperselisihkan di kalangan para ulama, apakah termasuk alat bukti atau tidak.49 f. Kitabah (Alat Bukti Tulisan/Surat) Para fukaha berselisih pendapat tentang penggunaan alat bukti tulisan/surat terhadap masalah-masalah pidana. Sebagian di antara mereka berpendapat penggunaan alat bukti tersebut tidak sah. Karena alat bukti tlisan/surat penuh dengan unsur syubhat yakni kemungkinan besar tidak terdapat kebenaran. Oleh karena itu, alat bukti ini dipandang kurang asli.50 Bagi fukaha yang memperbolehkan menggunakan alat bukti tulisan,surat, mereka membatasinya dengan hal-hal tertentu saja. Yakni dalam urusan harta dan takzir, kesaksian atas tulisan/surat saksi yang telah wafat atau jauh dan tidak diketahui tempatnya dan kesaksiannya.51 49 Ibid. Ibid, h. 894. 51 Wahbah Zuḥaili, Al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989), juz VI, h. 792. 50 33 Pada masa sekarang ini bayyinah khattiyah (bukti tertulis) adalah bukti otentik yang dianggap paling penting untuk membuktikan kebenaran dakwaan. kalangan fukaha berpendapat bahwa membuat bukti tertulis, demikian pula mengadakan saksi, adalah hal yang sangat dianjurkan bukan diwajibkan. Ringkasnya, para fukaha tidak menjadikan bukti tertulis sebagai salah satu alat bukti yang pokok.52 g. Qorinah (Persangkaan/Petunjuk-petunjuk) Qorinah menurut bahasa artinya pertanda yang menunjukkan atas suatu yang dicari. Sedangkan menurut istilah ialah hal-hal yang mempunyai hubungan sedemikian rupa terhadap sesuatu yang samar sehingga memberikan petunjuk.53 Menurut Wahbah Az-Zuḥaili qorinah adalah setiap tanda (petunjuk) yang jelas menyertai sesuatu yang samar, sehingga tanda tersebut menujukkan kepadanya.54 Berdasarkan definisi di atas, qorinah adalah suatu tanda yang dapat menimbulkan keyakinan. Sedangkan tanda-tanda yang tidak dapat menimbulkan keyakinan tidak dapat disebut qorinah. Qorinah diperlukan biasanya jika pelaku menghilangkan jejak dan terdapat petunjuk. Dan harus menunjukkan dua kejelasan, 52 Ibid. . Wahbah Zuḥaili, Al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989), juz VII, h. 5802. 54 Ibid. 53 34 namun jika sudah ada dalil maka had tidak boleh dilakukan pada qorinah tersebut55: 1) Harus ditemukan perkara yang jelas, dan bisa membuktikan hukum, 2) Ada hubungannya antara perkara yang sudah jelas dan yang masih samar. Qorinah dibagi menjadi tiga untuk mempertimbangkan keputusan hakim, yaitu qorinah qot`i, qorinah murojih, dan qorinah marjuh.56 1) Qorinah seperti dalil mustaqil (dalail tersendiri), dimana tidak membutuhkan terhadap dalil lain dan sudah jelas. Disebut dengan qorinah qot`iyah dikarenakan sudah sangat jelas untuk menentukan hukum. Contohnya: jikalau ada seseorang keluar dari rumah membawa pisau berlumuran darah dengan keadaan bingung dan takut serta saat itu ditemukan mayat di dalamnya, maka dengan jelas qorinahnya menunjukkan lekaki tersebut pembunuhnya. 2) Qorinah yang dalilnya dianggap masih kuat dibawah level qorinah di atas dikarenakan masih mempunyai 55 Muhammad bin Abi Bakr bin Ayub bin Sa'd Syams ad-Din ibn Qoyyimal-Jauziyyah, At-Toriq al-Hukmiyyah (Maktabah asy-Syamilah: Maktabah Dar al-Bayan, 2010), 85 56 Wahbah Zuḥaili, Al-Mu`tamad Fi al-Fiqh asy-Syafi`i (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989), juz V, h. 574. 35 sisi yang kuat. Contohnya terhadap kasus barang temuan. 3) Qorinah dengan level terendah, jikalau tidak ada dalil yang kuat di dalamnya untuk menjelaskan, hanya sebatas kemamangan. Maka untuk memutuskan hukum masih belum bisa menggunakan qorinah ini. Seperti nukul yang disertai syahadah.57 Bagi mazhab Syafi’i penggunaan alat bukti qorinah ini seperti halnya pendapat mazhab Ḥanafi yang tidak boleh diterapkan dalam hal had dan qishash. Namun dalam hal qosamah menurut mazhab Syafi’i dipandang sebagai qorinah yang tidak meyakinkan oleh karenanya mewajibkan diat. Berbeda halnya dengan pendapat ulama Malikiyah dan ulama Hanabilah yang berpendapat bahwa alat bukti qorinah dapat diterapkan dalam segala permasalahan baik dalam bidang had, qishash maupun dalam bidang lainnya.58 Qorinah qathi’ah (yang meyakinkan), dalam contoh kasus apabila seseorang keluar dari sesuatu rumah kosong dalam keadaan takut dan gentar, sedang ditangannya ada pisau yang berlumuran darah, kemudian masuklah ke dalam rumah itu seseorang yang lain, lalu melihat suatu jenazah dari orang yang mati terbunuh, maka 57 Ibid. juz V, h. 575. Wahbah Zuḥaili, Al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989), juz VI, h. 645. 58 36 sedikitpun tidak lagi diragukan, bahwa pembunuhnya adalah orang yang memegang pisau tadi. 59 59 Wahbah Zuḥaili, Al-Mu`tamad Fi al-Fiqh asy-Syafi`i (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989), juz V, h. 574. 37 DAFTAR PUSTAKA `Abidin, M. A.-`. (2010, November 16). Hasyiah ibn `Abidin. Maktabah asySyamilah, V(2). Damaskus, Beirut, Lebanon: Dar al-Fikr. `Audah, `. a.-Q. (2010, November 16.). At-Tasyri` al-Janai al-Islami Muqorina' Bi al-Qonun al-Wad`i. Maktabah asy-Syamilah. Dar al-Kitab al-`Alamiyyah. ad-Din, A. a.-`. (2010, November 16). Ghoza' al-Albab Fi Syarh Manzumah alAdab. Maktabah asy-SYamilah. Mesir: Muasasah Qurtubah. Adjomi, M. R. (2020). Skripsi: Penggunaa Rekaman Video Sebagai Alat Bukti Elektronik Tindak Pidana Perzinaan Menurut Rancangan Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana dan Hukum Pidanan Islam. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayataullah. Adjomi, M. R. (2020). Skripsi: Penggunaa Rekaman Video Sebagai Alat Bukti Elektronik Tindak Pidana Perzinaan Menurut Rancangan Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana dan Hukum Pidanan Islam. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayataullah. al-Hanafi, Z. a.-D. (2010, November 16). Al-Bahr ar-Roiq Syarh Kanz ad-Daqoiq. Maktabah asy-Syamilah. Beirut, Lebanon: Dar al-Ma`rifat. al-Jauziyyah, M. b.-D. (2010, November 16). At-Toriq al-Hukmiyyah. Maktabah asy-Syamilah. Maktabah Dar al-Bayan. al-Mawardi, `. b.-B.-B. (2010, November 16). Al Ahkam as-Sulthoniyah. Maktabah asy-Syamilah, I. Kairo, Mesir: Dar al-Hadits. 38 al-Qolyubi, A. S., & `Amiroh, A. a.-B. (2010, November 16). Hasyiata Qolyubi Wa `Amiroh. Maktabah asy-Syamilah, IV. Damaskus, Beirut, Lebanon: Dar alFikr. an-Nawawi, M. a.-D. (2010, November 16). Al-Majmu`a Syarh al-Muhazzab: Syaharoh al-`Unawain. Maktabah asy-Syamilah. as-Suyuti, J. a.-D. (t.thn.). Al-Asybah Wa al-Nazoir fi al-Furu'. Mesir: Musthafa Muhammad. Ba`lawi, `. a.-R. (2010, November 16). Bughyat al-Mustarsyidin. Maktabah asySyamilah, I. Beirut, Lebanon. Cahyadi, F., & Utami, H. (2021). Jurnal: Legalitas Pemeriksaan Sidag Perkara Pidana Melalui Media Teleconference di Masa Pandemi Covid-19. VeJ, 7(2), 481-505. doi:10.25123/vej.v7i2.4243 Fajriana, N. (2018). Jurnal: Teleconference dalam Pemeriksaan Perkara Pidana di Pengadila. Badamai Law Journal, 3(1), 60-79. Farhun, I. b. (2010, November 16). Tabsirot al-Hikam Fi Usul al-Aqdiyah Wa Manahij al-Ahkam. Maktabah asy-Syamilah. Fukaha, T. (2010, November 16). Al-Mausu`ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah. Maktabah asy-Syamilah. Kuwait: Wazaroh al-Auqof Wa asy-Syaun alIslamiyyah. Ghazali, I. (2021). Ihya `Ulumuddin (67 ed., Vol. II). Mekkah: Dar al-Kutub. Habib, `. b. (2010, November 16). Al-Hawi al-Kabir Fi Fiqh Mazhab al-imam asySyafi'i Wahua Syarh Mukhtasor al-Muzni. Maktabah asy-Syamilah, XVI(1). Damaskus, Beirut, Lebanon: Dar al-Kitab al-`Alamiyah. 39 Hanafi, Fitri, M., & Anshori, F. (2021). Jurnal: Eksistensi Persidangan Online di Tengah Pandemi Covid-19 dalam Perkara Pidana di Indonesia. Al 'Adl: Jurnal Hukum, 13(2), 320-341. doi:2477-0124 Haque, S. M. (2020). Skripsi: Analisis Hukum Pidana Islam Terhadap Penggunaan Alat Bukti Rekaman Video CCTV (Studi Putusan Nomor 465/Pid.B/2019/PN Smg). Banda Aceh: Universitas Islam Negeri ArRaniry. Harizona, D. (2018, Juni). Jurnal: Kekuatan Bukti Elektronik Sebagai Bukti di Pengadilan Menurut Hukum Acara Pidana dan Hukum Islam (Penggunaan Rekaman Gambar Closed Circuit Television). Jurnal Intelektualita: Keislaman, Sosial, dan Sains, 7(1), 81-98. doi:2303-2952 Hazania, H. (2022). Skripsi: Legalitas Pembuktian Rekaman Video yang Diambil Secara Diam-Diam Sebagai Alat Bukti TIndak Pidana Pasca Putusan MK No. 20/PUU-XIV/2016. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Ibrohim, H. b. (2010, November 16). Qurrot al-`Ain Bifatawa `Ulama al-Haromain. Maktabah asy-Syamilah(1). Al-Maktabah at-Tijariyah. Mansur, S. b. (2010, November 16). Syarah Minhaj at-Tulab al-Ma`ruf Bihasyiati al-Jamal. Maktabah asy Syamilah, V. Damaskus, Beirut, Lebanon: Dar alFikr. Mustofa, W. b. (2011, Desember 2). Al-Fiqh al-Islami Wa Adilatuhu Li az-Zuhaili. Maktabah asy-Syamilah, VIII(12). Damaskus, Beirut, Lebanon: Dar al-Fikr. 40 Nabila, A.-H. (2022). Skripsi: Pengeyampingan Hak Perlindungan Hukum Bagi Terdakwa dalam Persidangan Melalui Telekonferensi di Masa Pandemi Covid-19. Banda Aceh: Universitas Islam Negeri Ar-Raniry. Naftali, R., & Ibrahim, A. (2021). Jurnal: Proses Pembuktian Perkara Pidana dalam Persidangan yang Dilakukan Secara Online. Jurnal Esensi Hukum, 3(2), 144-157. doi:2761-2982 Nawawi, Y. b. (2010, November 16). Roudoh at-Tolibin Wa `Umdah al-Muftin. Maktabah asy-Syamilah, XI. Damaskus, Beirut, Lebanon: Al-Maktabah alIslamiyyah. Putra, A., & Astuti, L. (2022). Jurnal: Keabsahan Pembuktian Perkara Pidana pada Persidangan Onlne Selama Masa Pandemi Covid-19. Media of Law and Sharia, 3(3), 185-204. doi:2716-2192 Ramiyanto. (2017). Jurnal: Bukti Elektronik Sebagai Alat Bukti yang Sah Dalam Hukum Acara Pidana. Jurnal Hukum dan Peradilan, 6(3), 463-484. doi:10.25216/JHP.6.3.2017.463-486 Ramiyanto. (2017). Jurnal: Bukti Elektronik Sebagai Alat Bukti yang Sah Dalam Hukum Acara Pidana. Jurnal Hukum dan Peradilan, 6(3), 463-484. doi:10.25216/JHP.6.3.2017.463-486 Romadon, M. Q. (2022). Tesis Pandangan Wahbah Az-Zuhaili Tentang Akad Nikah Melalui Telekonferensi Beserta Prospeknya dalam Pengembangan Hukum Keluarga Islam di Indonesia. Jember: Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq Jember. Sahl, S. a.-D.-S. (2010, November 16). Al-Mabsut. Maktabah asy-Syamilah. 41 Siriwa, M. A. (2014). Tesis: Penerapan Alat Bukti dalam Penyelesaian Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Makassar Perspektif Hukum Islam. Makassar: Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar. Sirojuddin, K. (2012). Skripsi: Problematika Closed Circuit Television (CCTV) Sebagai Alat Bukti Menurut Pasal 184 KUHAP dan Hukum Islam. Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. Sudharmono. (1981). Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Jakarta: Menteri/Sekretaris Negara Republik Indonesia. Syamsudin, A. (t.thn.). Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor ... Tahun ... Tentang Hukum Acara Pidana. Jakarta: Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Yusuf, I. b. (2010, November 16). Al-Muhazzab fi Fiqh al-Imam asy-Syafi'i. Maktabah asy-Syamilah, III. Damaskus, Beirut, Lebanon: Dar al-Kitab al`Alamiyah. Zahro, Z. A. (2021). Skripsi: Analisis Kekuakatan Hukum Bukti CCTV Sebagai Alat Bukti Perspektif Hukum Pidana Islam dan KUHAP Pasal 184. Jember: Institut Agama Islam Negeri Jember. Zakaria, M. (t.thn.). Peradilan Dalam Politik Islam (Al Qadhaiyyah Fis Siyasah Assyar'iyyah). Pekanbaru: Pengadilan Agama Pekanbaru. 42 LAMPIRAN