[go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu
POLITIK HIJAU DI INDONESIA Ditulis Oleh: SAJIDA ILMU PEMERINTAHAN A-1 UNIVERSITAS BRAWIJAYA Frasa politik hijau mungkin kerap terdengar di sebagian kalangan akademisi, namun kurang begitu populer dikalangan masyarakat luas. Ketika mendengar “Politik Hijau” pertama kalinya, beberapa orang awam mungkin akan mengkaitkan frasa tersebut dengan partai politik dengan simbol berwarna hijau yang merupakan partai berbasis Islam. Namun, dalam pendefinisiannya, ternyata Politik Hijau secara ringkas merupakan ideologi politik yang mengedepankan pelestarian ekologi. Dalam buku Teologi dan Ekologi karya Celia Deane dan Drummond dijelaskan bahwa ideologi ini lahir sekitar tahun 1970-an dengan munculnya Green Party (Partai Hijau) dan Friends of the Earth (Sahabat Bumi). Di abad 21 ini, masalah lingkungan merupakan hal krusial yang terjadi di Indonesia, mulai dari rusaknya lingkungan alam di Papua oleh tambang emas PT Freeport, Kasus bencana lumpur lapindo yang berkutat pada alotnya pelunasan ganti rugi korban, dan opini bahwa ARB makin terkesan “cuek bebek” dan lebih memilih mengurus Munas Golkar, hingga yang kekinian dan jarang diketahui masyarakat luas mengenai masalah rakyat Indonesia yang membeli air bersih di negara sendiri. Mengenai kasus yang terakhir ini seperti disampaikan oleh Ibu Salma Safitri, seorang aktivis pejuang HAM yang juga menjadi Founder dari Omah Munir dalam forum diskusi di Omah Munir, beliau menyampaikan bahwa perusahaan air mineral nomor 1 di Indonesia itu telah mengeksploitasi air terbaik di negeri kita dan menjaga ketat hutan penghasil air terbaik itu.Padahal UUD 1945 telah mengamanatkan pengelolaan sumber daya alam Indonesia dalam pasal 33 ayat 3 yang berbunyi “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” , dan realitanya sumber daya alam Indonesia benar-benar dikuasai oleh negara hingga pemerintah melupakan kalimat setelahnya. Pembangunan di Indonesia oleh pemerintah kita juga terkesan berfokus pada pembangunan ekonomi, peningkatan pelayanan pendidikan dan kesehatan. Namun, masalah sumber daya alam seolah menjadi poin terakhir dalam urusan penyelenggaraan pemerintahan kita di negeri dengan sejuta sumber daya hayati ini. Dalam beberapa dekade terakhir ini, pemerintah yang memfokuskan pekerjaannya pada pembangunan di berbagai sektor ekonomi dan industri dengan membangun berbagai industri skala besar yang mampu menyerap banyak tenaga kerja seolah lupa bahwa dalam hal ini pemerintahan harus memakai dasar pembangunan berkelanjutan, bukan hanya sekadar pembangunan saja. Pembangunan berkelanjutan sendiri merupakan pembangunan secara kontinu namun tetap memperhatikan kelestarian lingkungan hidup agar dapat digunakan hingga generasi selanjutnya. Pembangunan ini juga menggunakan UU No.32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan sebagai acuan pembangunan di sektor Industri. Namun, di lapangan, UU ini sering diabaikan oleh para investor dengan jalan lobi-lobi politik dengan pemerintah daerah setempat. Pemerintah sebagai subjek yang memiliki peran dalam menguasai sumber daya alam di negara ini dianggap kurang serius menangani permasalahan akut mengenai lingkungan hidup ini. Pemerintah kini juga dianggap “kurang kerjaan” karena seperti yang bisa kita cermati di berbagai media massa, bahwa KMP dan KIH justru meributkan pengesahan perpu no 1 tahun 2014 mengenai pilkada yang terkesan membuang waktu, belum lagi soal perpecahaan internal di beberapa partai. Padahal, saat itu juga jutaan masyarakat Riau menggunakan masker agar bisa terlindung dari asap berbahaya, dan ratusan ribu anak terancam terkena ISPA. Indonesia sebagai salah satu penghasil minyak bumi terbesar di Indonesia, yang dulunya termasuk anggota OPEC, juga ditendang dari organisasi tersebut dengan fakta bahwa sumber minyak bumi di Indonesia yang ternyata berbendera asing, alias dimiliki oleh pihak asing, demi memenuhi kebutuhan Rakyat Indonesia. Hal ini menjadi bahasan yang terkuak saat ramainya pemberitaan kasus SKK Migas oleh Rudi Rubiandini. Pemerintah dengan program yang mengatas namakan “penghematan bahan bakar” menyuruh masyarakatnya mengikuti konversi penggunaan bahan bakar dari minyak tanah ke gas, yang artinya masyarakat disuruh berhemat untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar dari negara asing. Bagaimana bisa seorang pemilik tambang justru harus membeli minyak di tambangnya sendiri? Berbagai kasus mengenai kerusakan ekologi di Indonesia, memang tidak dapat lepas dari money politic yang terjadi didalamnya. Uang haram dimainkan oleh para Investor dengan pemerintah daerah setempat agar mendapatkan izin pendirian secara ringkas yang tidak melalui proses AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan), dan akhirnya rakyat lagi yang harus tercekik oleh dampak polusi dari industri yang tidak ramah lingkungan itu. Realitas kerusakan hayati seharusnya mampu menggerakkan partai politik untuk menyuarakan aspirasi dari rakyat mengenai pentingnya pelestarian ekologi. Partai politik yang salah satu fungsinya ialah sebagai sarana komunikasi masyarakat sangat berperan untuk melihat arah keberpihakan pembangunan terhadap lingkungan. Yang terjadi saat ini, partai politik yang ada, belum mampu menyuarakan suara rakyat akan bencana kerusakan lingkungan, bahkan beberapa anggota partai justru menjadi sponsor kerusakan lingkungan, misalnya berbagai pamflet berisi kampanye calon legislatif yang ditancapkan dengan paku di pohon. Berdasarkan pemaparan diatas, Indonesia memang membutuhkan pondasi politik hijau yang kuat dan dengan kehadiran partai politik hijau diharapkan mampu mengedepankan kelestarian lingkungan di Indonesia, yang tidak mudah terpengaruh oleh money politic yang menjadi penyebab utama kerusakan ekologi di Indonesia. Ideologi politik hijau ini diharapkan tidak hanya sekedar wacana saja, namun juga harus ada penanganan serius mengenai pelestarian ekologi. Berbagai gerakan “Go Green !” yang merupakan bentuk partisipasi dari masyarakat atas dasar keprihatinan terhap lingkungan harusnya mampu diikuti dan direspon baik oleh pemerintah kita dengan menjalankan betul UU no 32 tahun 2009, Sehingga tidak ada lagi, demonstrasi dari rakyat di setiap rencana pendirian Industri di daerah sekitarnya. Kerjasama antara partai politik hijau dengan Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) beserta masyarakat secara selaras diharapkan akan mampu mencegah bertambahnya kerusakan ekologi di Indonesia.