[go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu
Jurnal Indragiri Penelitian Multidisiplin Vol. 3, No. 2, Mei 2023 ISSN: 2808-0432 Perkawinan Berbeda Agama Di Indonesia I Gede Krisna Andyka Pramana Putra1, Luh Merry Dyanthi2, Deli Bunga Saravistha3, Kadek Mery Herawati4 1,2,3,4 Fakultas Hukum, Universitas Mahendradatta, Indonesia krisnaandyka04@gmail.com1, merrydhyanthiunmar@gmail.com2, delisaravistha@gmail.com3, kadekmeryherawati@gmail.com4 Keywords: Perkawinan Beda Agama Indonesia Abstract In general, interfaith marriages can result in distinct legal issues for both the husband and wife and for outsiders or third parties, such as concerns regarding the inheritance rights of children born to interfaith couples. the legality of marriage, which will give husband and wife rights and responsibilities. The wife's entitlement to maintenance and joint assets is entirely contingent on the existence of a legally binding marriage and the likelihood that she will bear legal children. Naturally, a marriage has legal repercussions, and if it is interfaith, there will undoubtedly be a variety of issues. These issues affect the relationship between the husband and wife and, if they have children, their children. Both psychological and judicial consequences from a legal standpoint. Marriages between people of different religions are a fact of life that cannot be denied. In reality, many couples want to live together, but they cannot get married because their religions or beliefs are different. Abstrak Perkawinan beda agama pada umumnya dapat menimbulkan persoalan hukum tersendiri baik bagi suami istri maupun bagi orang luar atau pihak ketiga, seperti menyangkut hak waris anak yang lahir dari pasangan beda agama. Legalitas perkawinan yang akan memberikan hak dan tanggung jawab suami dan istri. Hak istri atas pemeliharaan dan harta bersama sepenuhnya bergantung pada adanya perkawinan yang mengikat secara hukum dan kemungkinan bahwa akan melahirkan anak yang sah. Perkawinan tentu memiliki akibat hukum, dan jika beda agama, niscaya akan timbul berbagai persoalan. Masalah-masalah ini mempengaruhi hubungan antara suami dan istri dan, jika mereka memiliki anak, anak-anak mereka. Kedua konsekuensi psikologis dan yudisial dari sudut pandang hukum. Pernikahan antara orang yang berbeda agama adalah fakta kehidupan yang tidak dapat disangkal. Kenyataannya, banyak pasangan yang ingin hidup bersama, tetapi mereka tidak dapat menikah karena agama atau kepercayaan mereka berbeda. Corresponding Author: I Gede Krisna Andyka Pramana Putra Fakultas Hukum Universitas Mahendradatta Email: krisnaandyka04@gmail.com 1. PENDAHULUAN Indonesia adalah negara hukum, sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945/UUD 1945 yang dengan kata lain mengamanatkan bahwa segala kehidupan berbangsa dan bernegara Journal homepage: https://ejournal.indrainstitute.id/index.php/jipm/index 63 Jurnal Indragiri Penelitian Multidisiplin ISSN: 2808-0432 baik bagi pemerintah maupun masyarakat harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan norma yang berlaku.1 Tentunya dalam sebuah negara sudah membuat peraturan untuk mengatur semua kebutuhan dalam kehidupan rakyatnya, termasuk juga perkawinan yang bertujuan untuk meneruskan keturunan dengan harapan negara demi masa depan yang lebih baik. Perkawinan adalah suatu perkara yang tegas dimana suatu hubungan antara dua orang, khususnya orang yang telah beranjak dewasa, ingin bersatu dan menjamin dalam suatu ikatan yang suci sebagai pasangan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan keturunan yang berlipat ganda. Indonesia terkenal dengan berbagai agama dan kepercayaannya, serta berbagai praktik budaya yang diwarisi dari nenek moyangnya. Jelas, masing-masing memiliki prinsip yang berbeda. Tidak mungkin memisahkan keyakinan agama masyarakat, pengetahuan tokoh agama, dan keragaman budaya perkawinan dari lingkungan di mana komunitas itu berada. Untuk menyelaraskan aturan hukum yang beraneka ragam tersebut, maka dibuatlah hukum perkawinan nasional yang merupakan landasan hukum serta aturan pokok dalam perkawinan di Indonesia yaitu Undang-Undang No.16 Tahun 2019 atas Perubahan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Yang dalam pasal (1) di tetapkan tentang pengertian perkawinan sebagai berikut: “Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami/isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”2. Dalam Undang-undang perkawinan di Indonesia, pernikahan beda agama masih belum diatur secara tegas; jika pun ada, aturan itu bersifat multitafsir. Ada yang menyatakan bahwa perkawinan beda agama termasuk perkawinan campuran dan ada pula yang menyatakan tidak ada peraturan yang mengatur pernikahan beda agama, sehingga ada yang berpandangan bahwa pernikahan beda agama diperkenankan selama tidak ada yang mengaturnya.3 Namun perkawinan beda agama ini sudah cukup banyak berlangsung walaupun memiliki pro dan kontra didalam pandangan masyarakat di Indonesia. Berdasarkan hal diatas, maka disini penulis mengangkat rumusan masalah yaitu Bagaimana pengaturan hukum perkawinan beda agama di Indonesia dan apa saja faktor yang menyebabkan terjadinya perkawinan beda agama serta apa akibat hukum dari perkawinan beda agama di Indonesia. Sehingga penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui faktor penyebab dan akibat dari perkawinan beda agama di Indonesia. 2. METODE PENELITIAN Penulisan ini menggunakan pendekatan normatif, yang merupakan penelitian menggunakan bahan pustaka. Penelitian ini juga menggunakan bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum primer terdiri dari Undang-Undang No.16 Tahun 2019 atas Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Bahan hukum sekunder terdiri dari literatur-literatur yang berkaitan dengan Hukum Perkawinan. 3. PEMBAHASAN 3.1. Pengaturan hukum perkawinan beda agama di Indonesia Di dalam Pasal 1 Undang-Undang No.16 Tahun 2019 atas Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dikatakan bahwa “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa“.4 Pengertian perkawinan menurut Undang-Undang No.16 Tahun 2019 atas Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bukan hanya sekedar sebagai suatu perbuatan hukum saja, akan tetapi juga merupakan suatu perbuatan keagamaan, sehingga oleh karenanya sah atau tidaknya suatu perkawinan digantungkan sepenuhnya pada hukum masing-masing agama dan kepercayaan yang dianut oleh rakyat Indonesia.5 Kata sah berarti menurut hukum yang berlaku kala perkawinan itu dilaksanakan tidak menurut tata tertib hukum yang telah ditentukan maka perkawinan itu tidak sah. Jadi kalau tidak menurut aturan UndangUndang No.16 Tahun 2019 atas Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, 1 Saravistha, D.B., Widnyana, I.M.A. and Sancaya, I.W.W., 2021. Realita Budget Constraint Dan Trade-Off Sebagai Konsekuensi Bagi Pemerintah Daerah Bali Dalam Pengimplementasian Kebijakan Di Masa Pandemi Covid-19. VYAVAHARA DUTA, 16(2), pp.199-206. Lihat juga Saravistha, D. B. (2022). Urgensi Strategi Sosialisasi Nawacita sebagai Langkah Konkret Mewujudkan HAM versi Pancasila dalam Pemikiran Bung Karno. Jurnal Pancasila dan Bela Negara, 2(2) 2 Djaja S. Meliala, SH, MH, Himpunan peraturan perundang-undangan tentang Perkawinan, Nuansa Aulia, Bandung, 2008, hal 1. 3 Purwaharsanto pr, Perkawinan campuran Antar Agama menurut UU RI No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan: Sebuah Telaah Kritis Aktualita Media Cetak (Yogyakarta: tnp, 1992), 10 4 K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980, hlm 14 5 Abdurrahman dan Riduan Syahrani, Hukum Perkawinan, Bandung, 1978, hlm. 9. 64 Jurnal Indragiri Penelitian Multidisiplin ISSN: 2808-0432 berarti tidak sah menurut perundangan, kalau tidak menurut hukum agama berarti tidak sah menurut agama, begitu pula kalau tidak menurut tata tertib hukum adat tidak sah menurut hukum adat. Sahnya suatu perkawinan telah diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang No.16 Tahun 2019 atas Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menetapkan sebagi berikut :6 1. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing- masing agamanya dan kepercayaannya; 2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Lebih lanjut dalam penjelasannya disebutkan bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing–masing agama dan kepercayaannya itu. Hal ini sesuai dengan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi : 1. Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa ; 2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu. Dari ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 16 Tahun 1974 atas Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jelas bahwa Undang-Undang Perkawinan No. 16 Tahun 1974 atas Perubahan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 menentukan sah tidaknya suatu perkawinan berdasarkan hukum agama dan kepercayaan masing-masing pemeluknya. Kedua mempelai menandatangani akta nikah yang telah disiapkan oleh pencatat nikah setelah perkawinan dilangsungkan sesuai dengan tata cara agama dan kepercayaan masing-masing. Apabila seorang laki-laki dan perempuan yang berbeda agama menikah dengan menganut agama masing-masing, seperti laki-laki beragama Islam dan perempuan beragama Nasrani atau sebaliknya, maka hal ini disebut perkawinan beda agama. Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 menyatakan perkawinan menurut hukum islam yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqon gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.7 Menurut Pasal 4 perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum islam. Artinya perkawinan yang sah adalah perkawinan yang sesuai dengan kaidah hukum islam yang berlaku. Dalam Ordinansi Perkawinan Kristen Pasal 75 ayat (1) menyatakan bahwa perkawinan seorang laki-laki bukan Kristen dengan seorang wanita Kristen atas permohonan kedua suami-isteri dapat dilaksanakan dengan memperlakukan ketentuan-ketentuan ordonansi ini dan ketentuan-ketentuan peraturan penyelenggaraan Reglemen catatan sipil untuk orang-orang Indonesia-Kristen. Apabila perkawinan tidak dilaksanakan menurut hukum agamanya masing-masing berarti perkawinan itu tidak sah. Pengadilan yang dilakukan di Pengadilan atau di Kantor Catatan Sipil tanpa dilakukan terlebih dahulu menurut hukum agama tertentu berarti tidak sah. Perkawinan yang dilakukan oleh Hukum Adat atau oleh aliran kepercayaan yang bukan agama dan tidak dilakukan menurut tata cara agama yang diakui pemerintah berarti tidak sah. Dengan demikian, perkawinan yang sah menurut agama yaitu perkawinan yang dilakukan menurut tata cara yang berlaku dalam agama masing-masing.8 Sesuai dengan keyakinan Islam Indonesia, perkawinan sah jika dilakukan di rumah mempelai, masjid, atau kantor keagamaan dengan persetujuan kedua belah pihak yang dituangkan dalam akad nikah. Sebaliknya, bagi orang Kristen, pernikahan sah jika semua persyaratan dipenuhi dan upacara dilakukan di depan seorang imam dan dua orang saksi.Walaupun terdapat perbedaan dalam pengaturan menurut hukum agama masing-masing, akan tetapi semuanya memuat materi yang sama dalam suatu pengertian perkawinan. Setiap hukum agama memiliki aturan yang berbeda tentang bagaimana sesuatu harus dilakukan, tetapi dalam pengertian perkawinan, semuanya mengandung hal yang sama. Subyek antara laki-laki dan perempuan adalah contoh konten yang mengandung kesamaan tersebut; timbulnya suatu perikatan dan apabila pembatasan itu dilakukan menurut pengaturan atau pedoman yang berlaku dalam setiap keseluruhan perangkat undang-undang ini, maka ada penegasan perikatan itu. Sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, di Indonesia pernah ada suatu peraturan hukum antar golongan yang mengatur masalah perkawinan campuran. Peraturan yang dimaksud adalah peraturan yang dahulu dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda yang bernama Regeling op de Gemengde Huwelijken (GHR) atau Peraturan tentang Perkawinan Campuran sebagaimana dimuat dalam Staatsblad 1898 No. 158. Regeling Of de Gemengde Huwelijken (GHR) adalah suatu peraturan perkawinan yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda tentang perkawinan campuran yang termuat dalam Lembaran Negara Hindia Belanda Stb. 1898 No. 158. Pada pasal 1 GHR disebutkan perkawinan campuran adalah 6 Djaja S Meliala, Himpunan Peraturan PerundangUndangan tentang Perkawinan, Nuansa Aulia, Bandung, 2008, hlm., 1. 7 Djaja S Meliala, Himpunan Peraturan PerundangUndangan tentang Perkawinan, Nuansa Aulia, Bandung, 2008, hlm. 82. 8 Ibid., hlm. 75. 65 Jurnal Indragiri Penelitian Multidisiplin ISSN: 2808-0432 perkawinan antar orang-orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan. Kemudian dalam penjelasannya dikemukakan contoh perkawinan antara seorang WNI dengan seorang bangsa Belanda atau Eropa lainnya sekalipun telah menjadi WNI serta memeluk agama Islam. Begitu pula perkawinan antara seorang Indonesia dengan seorang Tionghoa atau bangsa Timur lainnya yang tidak memeluk agama Islam sekalipun telah menjadi WNI. Sementara itu, pasal 7 ayat (2) disebutkan bahwa “Perbedaan agama, bangsa, atau asal sama sekali bukanlah menjadi halangan untuk perkawinan”.9 Pada pasal 1 GHR dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Perkawinan Campuran adalah “Perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk kepada hukum yang berlainan”. Ada beberapa pendapat mengenai apakah GHR berlaku pula untuk perkawinan antar agama dan antar tempat yakni, pertama, kelompok yang berpendirian “luas” yang menganggap bahwa perkawinan campuran antar agama dan antar tempat termasuk di dalam GHR; kedua, kelompok yang berpendirian “sempit” yang menganggap bahwa perkawinan campuran antar agama dan antar tempat tidak termasuk di dalam GHR; dan ketiga, kelompok yang berpendirian “setengah luas setengah sempit” yang menganggap bahwa hanya perkawinan antar agama saja yang termasuk dalam GHR, sedangkan perkawinan antar tempat tidak termasuk di dalam GHR.10 Sudargo Gautama berpendapat bahwa istilah perkawinan campuran pada pasal 1 GHR berarti perbedaan perlakuan hukum atau hukum yang berlainan dan dapat disebabkan karena perbedaan kewarganegaraan, kependudukan dalam berbagai regio, golongan rakyat, tempat kediaman, dan agama sehingga dari situ pendirian yang luaslah yang banyak di dukung oleh para sarjana hukum.11 Namun semenjak dikeluarkannya Instruksi Presidium Kabinet No. 31/U/IN/12/1966, tidak ada lagi penggolongan penduduk kecuali dibedakan antara WNI dan WNA sehingga di Indonesia tidak mungkin lagi ada perkawinan campuran antar tempat dan antar golongan. Setelah berlakunya UndangUndang No. 1 Tahun 1974, maka pengaturan perkawinan beda agama menjadi cenderung terhalangi. Hal ini berdasarkan alasan yakni pertama, dengan mengingat kembali pada sejarah undang-undang perkawinan 1973, terutama perdebatan yang berkaitan dengan pasal 11 ayat (2) bahwa “perbedaan karena kebangsaan, suku bangsa, negara asal, tempat asal, agama, kepercayaan dan keturunan tidak merupakan penghalang perkawinan” dan kemudian mendapat perubahan, maka perkawinan beda agama tidak dimungkinkan (dilarang) di Indonesia. Kedua, ada beberapa pasal yang dapat dijadikan dasar dilarangnya perkawinan beda agama dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yaitu pasal 2 ayat (1) dan pasal 8 haruf (f). Dalam pasal 2 ayat (1) dinyatakan, “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Kemudian dalam penjelasannya dinyatakan “Dengan perumusan pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini”. Jika pasal ini diperhatikan dengan seksama, maka terlihat bahwa undang-undang menyerahkan kepada masing-masing agama, selain negara, untuk memutuskan bagaimana dan dalam keadaan apa suatu perkawinan harus dilangsungkan. Konsekuensinya, selain mengandalkan ketentuan Undang-Undang No.16 Tahun 2019 atas Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sah atau tidaknya suatu perkawinan, atau apakah calon mempelai memenuhi syarat. Hal ini juga diatur oleh hukum agama yang berlaku. Karena tidak sesuai dengan hukum agama yang diakui di Indonesia, perkawinan beda agama tidak didukung oleh agama yang ada di Indonesia. Argumentasi ini diperkuat oleh pasal 8 huruf (f) bahwa “perkawinan dilarang antara dua orang yang ; mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin”. Selain Islam, agama Katholik memandang bahwa perkawinan sebagai sakramen sehingga jika terjadi perkawinan beda agama dan tidak dilakukan menurut hukum agama Katholik, maka perkawinan tersebut dianggap tidak sah. Sedangkan agama Protestan lebih memberikan kelonggaran pada pasangan yang ingin melakukan perkawinan beda agama. Walaupun pada prinsipnya agama Protestan menghendaki agar penganutnya kawin dengan orang yang seagama, tetapi jika terjadi perkawinan beda agama maka gereja Protestan memberikan kebebasan kepada penganutnya untuk memilih apakah hanya menikah di Kantor Catatan Sipil atau diberkati di gereja atau mengikuti agama dari calon suami/istrinya. Sedangkan agama Hindu tidak mengenal perkawinan beda agama dan pedande/pendeta akan menolak perkawinan tersebut. Sedangkan agama Budha tidak melarang umatnya untuk melakukan perkawinan dengan penganut agama lain asal dilakukan menurut 9 FXS. Purwaharsanto Perkawinan Campuran Antar Agama menurut UU RI No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan: Sebuah Telaah Kritis, Aktualita Media Cetak, (Yogyakarta, 1992, hlm. 10-13). 10 Ibid 11 Budha. O.S Eoh, Perkawinan Antar Agama dalam Teori dan Praktek (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hlm.118-125. 66 Jurnal Indragiri Penelitian Multidisiplin ISSN: 2808-0432 tata cara agama Budha.12 Ketiga, merujuk kepada pasal 66 Undang-Undang No.16 Tahun 2019 atas Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa “Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-Undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijks Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Chisten Indonesiers S. 1933 No 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemegnde Huwelijken S. 1989 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku”. Dari ketentuan pasal 66 Undang-Undang No.16 Tahun 2019 atas Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, jelas bahwa ketentuan-ketentuan GHR (STB. 1898/158) sebagaimana yang diungkapkan diawal juga tidak dapat diberlakukan lagi karena di samping ketentuannya telah mendapat pengaturan dalam Undang-Undang No.16 Tahun 2019 atas Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, GHR juga mengandung asas yang bertentangan dengan asas keseimbangan hukum antara suami istri sebagaimana yang dianut oleh Undang-Undang No.16 Tahun 2019 atas Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Selain itu, rumusan mengenai perkawinan campuran dalam GHR berbeda dengan rumusan dalam pasal 57 Undang-Undang No.16 Tahun 2019 atas Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi “Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-Undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”. Rumusan di atas hanya mencakup perkawinan antara warga negara Indonesia dan orang asing. Menurut Undang-Undang No.16 Tahun 2019 atas Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan antara warga negara Indonesia yang tunduk pada hukum yang berbeda, seperti perkawinan beda agama, dikecualikan dari larangan perkawinan campuran. Kewajiban negara untuk menjaga hak-hak warga negara lebih penting daripada perbedaan agama dalam memahami persoalan perkawinan beda agama. Adapun yang dibicarakan menyangkut hubungan vertikal dalam hubungan antara negara dan penduduk, bukan persoalan hubungan sederajat yang menyangkut hubungan antara penduduk yang berbeda agama, keyakinan dan terjemahan yang berbeda. adalah masalah hukum, sedangkan interpretasi agama tentang pernikahan beda agama adalah masalah teologi dan agama. Acuannya adalah hukum nasional Indonesia karena Indonesia bukan negara agama. Meskipun hukum nasional, seperti Undang-Undang No.16 Tahun 2019 atas Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mendasarkan diri pada apa yang dikatakan dengan hukum agama, namun cendrung lebih terikat pada dasar filosofi bangsa yang Bhineka Tunggal Ika. Artinya, prinsip mengakui keragaman bangsa dan kemajemukan masyarakat haruslah menjadi dasar dari pembentukan dan pembuatan suatu hukum maupun undang-undang yang bersifat nasional. Berkaitan dengan perkawinan beda agama, maka pasal yang sering dijadikan rujukan bagi persoalan ini adalah pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu” dan ditegaskan lagi lewat Penjelasan pasal tersebut bahwa “Tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945”. Di Indonesia, perkawinan beda agama harus dilakukan sesuai dengan hukum perkawinan Indonesia. Artinya perkawinan itu harus sah menurut hukum agama. Perlu dicatat bahwa jika calon suami dan istri menganut agama yang sama, tidak akan ada masalah, tetapi jika mereka berbeda agama, akan ada masalah hukum antar agama. Masalah ini tidak akan menjadi lebih rumit jika salah satu pihak bersedia untuk memeluk agama lain atau mengikutinya, tetapi jika kedua belah pihak ingin mempertahankan keyakinan mereka sendiri, masalah ini akan muncul. Namun dalam kenyataannya, sering terjadi pasangan dapat menikah berdasarkan agama salah satu pihak, menikah, dan kemudian kembali ke keyakinan masing-masing setelah pernikahan disahkan. Perkawinan beda agama masih menjadi masalah di Indonesia yang perlu dibenahi secepatnya. Karena tidak ada aturan khusus mengenai legalitas perkawinan campuran, maka perkawinan campuran sering terjadi. Hal ini dilakukan untuk memudahkan pasangan menikah berdasarkan agama salah satu dari mereka, namun setelah pernikahan disahkan, mereka kembali ke keyakinan masingmasing. Ada juga pasangan yang menikah di negara lain hanya untuk diakui di Indonesia. Mengingat hal ini, karena sulit untuk membunuh masalah perkawinan beda agama ini, untuk keyakinan yang sah lebih baik mengambil tindakan sehubungan dengan keabsahan perkawinan beda agama ini. 3.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya perkawinan beda agama di Indonesia Berkaitan dengan perkawinan beda agama menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, ternyata sangat menantang jika 12 O.S Eoh, Perkawinan Antar Agama dalam Teori dan Praktek Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hlm.118-125. 67 Jurnal Indragiri Penelitian Multidisiplin ISSN: 2808-0432 masing-masing pasangan tetap menjalankan agama atau kepercayaannya masing-masing dalam perjalanan hidupnya dalam sebuah pernikahan dan mencari pengakuan legalitasnya. Mengingat keragaman masyarakat Indonesia, tidak mengherankan jika banyak orang memilih menikah dengan orang yang berbeda keyakinan. Maraknya perkawinan beda agama di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor dan dorongan yang tidak dapat dipisahkan dari hal lainnya. Terjadinya perkawinan beda agama dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya unsur primer adalah hubungan kehidupan sehari-hari dalam aktivitas masyarakat. Padahal, Indonesia adalah masyarakat yang beragam suku dan agama. Kita tidak pernah terkekang oleh isu-isu sosial dalam interaksi sosial seharihari. Hal ini berdampak signifikan bagi kehidupan sosial masyarakat Indonesia karena masyarakat terlalu dekat satu sama lain dan tidak melihat perbedaan agamanya sehingga menimbulkan perasaan cinta yang tidak dapat dihindari. Perkawinan beda agama dapat dipengaruhi oleh kurangnya pendidikan agama, karena banyak orang tua yang tidak atau jarang mengajarkan agama kepada anaknya sejak dini, hal ini menyebabkan banyak anak ketika dewasa tidak mempersoalkan agama yang dianutnya atau memahaminya. Sehingga dalam kehidupan sehari-hari, tidak masalah apakah pasangan menikah atau tidak jika mereka berbeda agama. Orang tua juga merupakan faktor yang sangat penting. karena tidak mungkin memisahkan pasangan yang berbeda agama dari orang tuanya. Karena orang tua mereka juga memiliki pasangan yang berbeda agama, banyak pasangan yang menikah. Mungkin bagi mereka itu bukan masalah jika mereka menikah dengan keyakinan berbeda karena itu tergantung pada pengalaman orang tua mereka. Tentu saja, dalam pernikahan beda agama di masa depan, kehidupan harmonis orang tua akan menjadi teladan bagi anak-anak mereka. Dalam perkawinan beda agama, terdapat kebebasan memilih pasangan yang berdampak signifikan. Wajar jika kita hidup di era modern yang bertolak belakang dengan era Siti Nurbaya, ketika para orang tua masih mencari pasangan untuk anaknya. Di era modern, individu dapat dengan bebas memilih pasangan berdasarkan preferensi mereka. Dengan kesempatan memilih pasangan ini, tidak bisa dipungkiri banyak yang memilih pasangan dari berbagai agama karena itu tergantung pada perasaan cinta. Jika cinta adalah hal mendasar dalam hubungan antara pria dan wanita, sangat diharapkan untuk pemikiran yang hati-hati dalam suatu hubungan. Dengan memperluasnya pergaulan anak muda Indonesia dengan anak muda dari luar negeri, adanya perbedaan bangsa, budaya, agama, dan latar belakang, serta globalisasi juga menjadi penyebab utama perkawinan beda agama. Ini kurang lebih merupakan bagian dari kekuatan pendorong atau latar belakang perkawinan beda agama. Mirisnya, anak muda tampaknya tidak lagi memiliki masalah menikah dengan pasangan asing atau orang yang berbeda agama karena gengsi yang terkait dengan mencari pasangan "bule". Faktor-faktor tersebut sangat dekat dengan kehidupan sosial kita yang beragam di Indonesia dan kehidupan kita sehari-hari. Jika kita tidak memperhatikan apa yang telah diajarkan tentang masalah agama, faktor ini bisa saja terjadi. 3.3. Akibat dari adanya perkawinan beda agama di Indonesia Perkawinan tentu memiliki akibat hukum, dan jika beda agama, niscaya akan timbul berbagai persoalan. Masalah-masalah ini mempengaruhi hubungan antara suami dan istri dan anak-anak mereka jika mereka memiliki anak. Hasil hukum di sini dipisahkan menjadi dua bagian, yaitu menurut sudut pandang mental dan menurut sudut pandang yuridis. Menurut perspektif psikologis yang disajikan disini, perkawinan beda agama dapat mengakibatkan bubarnya rumah tangga. Awalnya, ketika mereka masih berpacaran, perbedaan itu dianggap tidak penting dan bisa diatasi melalui cinta. Namun, seiring berjalannya waktu, menjadi jelas bahwa perbedaan ini dapat membantu membangun keluarga yang kuat. Pertimbangkan ini: jika seorang suami Muslim dapat menemani pasangan dan anak-anaknya naik haji, tidak diragukan lagi itu adalah saat yang membahagiakan. Namun, betapa menyedihkan saat istri dan anak-anaknya suka pergi ke kapel, atau ke biara. Akibatnya, ketidaksepakatan atas keyakinan agama pada akhirnya akan menyebabkan keluarga yang pernah saling mencintai menjadi berantakan. Karena suami adalah kepala rumah tangga dan menjadi pemimpin bagi istri dan anak-anaknya, maka kebahagiaan seorang istri beragama Nasrani atau Budha adalah pergi ke gereja atau klenteng untuk berdoa bersama suami dan anak-anaknya, sedangkan kebahagiaan seorang ayah Muslim menjadi imam shalat berjamaah bersama istrinya. Selain itu, jika kedua pasangan beragama Islam, suasana puasa menjadi perekat batin kehidupan keluarga selama Ramadhan. Namun, keinginan itu sulit dipenuhi ketika pasangannya memiliki agama yang berbeda. Kemudian lagi, pasangannya, yang seorang Kristen akan merasakan hal yang sama, bahwa sangat menyenangkan untuk menghormati di kapel bersebelahan dengan istrinya dan merayakan Natal bersama, namun itu semua hanya mimpi. Dalam hal ini juga ada seorang ibu yang puas jika anak-anaknya menganut agamanya. Mereka bingung harus percaya kepada siapa. Apalagi jika menyangkut anak-anak yang akan memasuki fase pembentukan dan perkembangan kepribadian di mana nilai-nilai agama sangat penting. Wajar jika agama berbahaya bagi anak jika menjadi sumber konflik. Sebenarnya, sebagai orang tua, Anda ingin anak Anda mengikuti agama yang dianut oleh kedua orang tuanya, tetapi sulit untuk mengambil keputusan ketika orang tua Anda memiliki pandangan yang berlawanan. 68 Jurnal Indragiri Penelitian Multidisiplin ISSN: 2808-0432 Alangkah indahnya jika seorang anak laki-laki dari ayah seorang muslim mengikuti jejak ayahnya dan membacakan surat Yasin kepadanya ketika dia meninggal agar dia bisa beristirahat di surga. sebaliknya sesuai dengan keinginan ibu. Dalam situasi ini anak akan berada dalam posisi yang benar-benar salah, di mana anak harus membuat orang tuanya ceria dan juga tidak menganggap orang tuanya harus bertengkar tentang pengaruh sehingga mereka berdua lupa alasan untuk menjadi keluarga bahagia karena kontras dalam keyakinan yang ada dalam keluarga. Anak-anak juga diharapkan untuk menghubungkan orang tua sebagai pasangan, yang dapat menyebabkan ketidaksepakatan dan hubungan yang tegang ketika orang tua memiliki kepercayaan yang berbeda. Namun, anak juga berhak memilih agamanya tanpa paksaan orang tua. karena agama ibarat pakaian yang bisa dipakai seumur hidup. Mengingat kehidupan keluarga, jiwa yang ketat, kepercayaan, dan adat istiadat terus ditambahkan pada setiap individu yang ketat. Di dunia yang sempurna, ritual yang ketat harus diperhatikan dan dilakukan sepanjang kehidupan keluarga. Misalnya, penggunaan ritual atau salat berjamaah oleh keluarga Muslim. Jika dilakukan bersama-sama oleh seluruh keluarga, semua itu akan terlihat dan terasa megah. Seusai shalat berjamaah, seorang bapak yang juga seorang imam berbicara tentang budaya dan bertukar pengalaman untuk memberi makna hidup. Sulit untuk menciptakan lingkungan yang begitu indah dan religius ketika pasangan menganut agama yang berbeda, dan kegembiraan menjadi sebuah keluarga berkurang. Akibatnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa perkawinan beda agama dirundung masalah psikologis yang mengancam kesejahteraan dan keharmonisan rumah tangga. Dengan akibat yang terjadi, jelas banyak hubungan antaragama yang putus. Namun, bukan berarti pernikahan dengan tingkat kekakuan yang sama tidak akan bermasalah hanya bagaimana mereka menanggapi perbedaan iklim keluarga sepenuhnya tergantung pada kedua pasangan yang akan menikah. Apabila perkawinan terus menimbulkan masalah demi masalah yang tidak dapat diselesaikan dan tidak ditemukan penyelesaian bagi kedua belah pihak, maka akibat perceraian dalam perkawinan beda agama termasuk dalam akibat hukum perkawinan beda agama dari segi hukum. Dari sudut pandang hukum, legitimasi hubungan antaragama ditinjau dari potensi dampak hukumnya. Menurut Undang-Undang No.16 Tahun 2019 atas Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sahnya suatu perkawinan harus sesuai dengan agama dan kepercayaan yang diatur dalam pasal 2 ayat (1). Berkenaan dengan pasal ini, sangat mungkin dapat diuraikan bahwa peraturan perkawinan menyesuaikan pilihannya dengan pelajaran agama mereka masing-masing. Undang-Undang No.16 Tahun 2019 atas Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengakui sahnya perkawinan beda agama jika diperbolehkan secara agama. Namun, pada kenyataannya untuk setiap agama sangat sulit untuk mengizinkan hubungan antar agama kecuali jika salah satu pasangan pindah agama untuk mengikuti salah satu kaki tangannya. Dan, yang mengejutkan, itu bisa menjadi penyimpangan yang ketat. Apalagi dengan isu situasi dengan anak muda yang dikandungnya. Undang-undang mengatakan bahwa anak-anak yang lahir dari pasangan yang berbeda agama adalah sah selama agama tersebut menghalalkan perkawinan beda agama dan mencatatnya di kantor pencatatan perkawinan. Karena anak yang sah menurut ketentuan Undang-Undang No.16 Tahun 2019 atas Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 42 ialah anak yang lahir dari perkawinan yang sah berdasarkan pasal 2 ayat (2). Selain itu, perkawinan beda agama juga akan berimplikasi secara hukum terkait masalah waris. Misalnya, seorang istri yang beragama Islam dan istri serta anak-anaknya nonMuslim, maka tentu menjadi penghalang bagi umat Islam untuk mendapatkan atau memperoleh warisannya. Perceraian tentu akan menimbulkan hak dan kewajiban bagi suami istri serta anak-anaknya, jika ada. Perceraian dalam perkawinan beda agama juga sangat sulit, seperti yang terjadi antara istri Katolik yang menikah dengan suami Muslim. Contoh yang valid: Seorang pria Muslim menikah dengan seorang wanita Katolik. Pernikahan pertama adalah pernikahan Islam yang direstui oleh pangeran dan tidak terdaftar di kantor KUA. Pernikahan kedua adalah pernikahan Katolik yang diberkati oleh pendeta dan dicatatkan di kantor catatan sipil. Surat nikah masih berlaku. Pertanyaannya, bagaimana sahnya proses perpisahan kedua pasangan tersebut di atas karena hubungan beda agama. Tentunya Undang-Undang No.16 Tahun 2019 atas Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengatur secara khusus tentang perkawinan yang berbeda agama. UndangUndang No.16 Tahun 2019 atas Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disini hanya berpatokan pada pasal 2 ayat (1) yaitu sahnya suatu perkawinan diatur menurut keyakinan agamanya masing – masing. Selain itu, jika sebuah pernikahan berakhir dengan perceraian di negeri ini, maka agama suami akan menjadi topik perbincangan pertama. Menurut penciptanya, jika dalam Islam terjadi perkawinan tanpa dicatatkan di kantor pencatatan perkawinan atau KUA, maka pada saat itu perkawinan tersebut dianggap perkawinan yang tidak tercatat. Selain itu, perkawinan sah yang belum dicatatkan tidak diatur dan tidak berhak atas pengakuan atau perlindungan hukum. Maka yang akan digunakan dalam kasus perpisahan dalam hubungan beda agama di sini adalah sebagai perkawinan substantif, khususnya perkawinan katolik. atau perkawinan berdasarkan agama istri dalam rangka perkawinan yang sah. karena perkawinan tersebut dicatat dalam pencatatan perkawinan di Kantor Catatan Sipil berdasarkan pasal 2 ayat 2 Undang-Undang 69 Jurnal Indragiri Penelitian Multidisiplin ISSN: 2808-0432 No.16 Tahun 2019 atas Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan mempunyai alat bukti sah yang sah berupa akta perkawinan dan diakui oleh agama dan negara. Bagaimanapun, bagi umat Katolik pernikahan adalah pemahaman yang suci dan hanya terjadi sekali di bulan biru, sehingga perpisahan benar-benar tabu oleh umat Katolik. Perceraian itu sah kecuali mendapat izin dari pejabat yang berwenang, uskup, dan juga harus melalui proses hukum. Oleh karena itu, perceraian yang sah dan dianggap sah adalah perceraian yang diakibatkan oleh perkawinan yang sah. Akibatnya, pernikahan beda agama yang sah berakhir dengan perceraian berdasarkan kompleksitas para pihak yang terlibat. 4. KESIMPULAN DAN SARAN/REKOMENDASI 4.1 Kesimpulan 1. 2. Menurut Undang-Undang No.16 Tahun 2019 atas Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam dan Ordonansi Perkawinan Kristen Indonesia, perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilaksanakan sesuai dengan hukum dan aturan agama masing-masing. Masing-masing agama menitikberatkan untuk melangsungkan perkawinan yang seagama. Perkawinan beda agama yang dilaksanakan salah satu pihak dapat melakukan perpindahan agama, namun ini dapat berarti penyelundupan hukum, karena yang terjadi adalah hanya menyiasati secara hukum ketentuan dalam Undang-Undang No.16 Tahun 2019 atas Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Namun setelah perkawinan berlangsung masing-masing pihak kembali memeluk agamanya masing-masing. Cara ini sangat tidak disarankan. Perkawinan berbeda agama mungkin saja dapat dilangsungkan di Kantor Catatan Sipil. Sebagai dasar hukumnya adalah yurisprudensi putusan Mahkamah Agung Reg No 1400 K/Pdt/1986. Dalam putusan itu, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan antara kedua mempelai yang berbeda agama Islam dan Kristen. Namun secara agama perkawinan tersebut tidaklah sah. Faktor-faktor yang dapat mendorong hubungan antaragama antara lain, Dampak aktivitas publik yang biasa di mata publik, Minimnya pendidikan tentang agama, Yayasan orang tua, Kesempatan untuk memilih kaki tangan, dan memperluas hubungan sosial antara pemuda Indonesia dan anak-anak muda dari Luar Negeri. Psikologis dan aspek hukum akibat hukum perkawinan beda agama di Indonesia dikaji. Kemerosotan keluarga puluhan tahun dan munculnya perbedaan sudut pandang membuat semakin sulit untuk membangun rumah tangga yang bahagia karena sifat ketidaksepakatan yang terputus-putus. Penyakit mental seorang anak akibat kebingungan tentang agama mana yang harus diikuti akibat persaingan orang tua untuk mendapatkan pengaruh. Selain itu, akibat hukum perkawinan beda agama ditinjau dari segi yuridis, khususnya status anak dalam perkawinan beda agama dan sah tidaknya perkawinan beda agama. Begitu pula warisan perkawinan beda agama tidak dapat diterima oleh ahli waris karena perbedaan hubungan agama, serta perceraian yang terjadi akibat perselisihan rumah tangga. 4.2 Saran/Rekomendasi 1. Pencatatan perkawinan merupakan salah satu hak warga negara yang perlu dijunjung tinggi dan dilaksanakan. Premis mendasar dari pencatatan perkawinan adalah bahwa selain merupakan bagian dari kegiatan ritual dalam semua agama, perkawinan harus dipandang sebagai suatu perikatan yang berdimensi yuridis dan sosiologis. Akibatnya, dalam pelaksanaannya harus memperhatikan aspek legalitas yuridis formal. Oleh karena itu, materi dalam Undang-Undang No.16 Tahun 2019 atas Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan KHI harus disegarkan dengan tujuan akhir kemajuan, sehingga dapat memberikan jawaban atas persoalan-persoalan yang muncul di mata masyarakat, baik secara formal maupun materiil. 2. Dengan penjelasan perkawinan beda agama diatas, diharapkan masyarakat umum, dan calon pasangan khususnya, dapat menghindari perkawinan beda agama sedini mungkin dan meningkatkan pengetahuan agamanya untuk menghindari keinginan menikah dengan orang yang berbeda agama. karena peraturan perkawinan negara Indonesia belum memuat standar yang tegas dan tegas di tingkat dasar. Akibatnya, perkawinan beda agama hanya cenderung menimbulkan kerugian. REFERENSI Abbit, J. T. (2011). An Investigation of the Relationship between Self-Efficacy Beliefs about Technology Integration and Technological Pedagogical Content Knowledge (TPACK) among Preservice Teachers. Journal of Digital Learning in Teacher Education, 27(4), 134–143. Afif, S. (2010). Manajemen Pembelajaran Full Day School (Studi Kasus di TK Ashabul Kahfi Malang). FIP UNM Malang. 70 Jurnal Indragiri Penelitian Multidisiplin ISSN: 2808-0432 Abdurrahman SH & Syahrani Riduan SH, Masalah – masalah Hukum Perkawinan di Indonesia, Alumni, Bandung, 1978. Anwar Moch. H, Dasar – dasar Hukum Islam Dalam Menetapkan Keputusan di Pengadilan Agama, CV. Diponegoro, Bandung, 1991. Abdurrahman dan Riduan Syahrani, Hukum Perkawinan, Bandung, 1978, hlm. 9. Bustami, Y., & Corebima, A. (2017). The Effect of JiRQA Learning Strategy on Critical Thinking Skills of Multiethnic Students in Higher Education, Indonesia. International Journal of Humanities Social Sciences and Education (IJHSSE), 4(3), 13–22. Budha. O.S Eoh, Perkawinan Antar Agama dalam Teori dan Praktek (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hlm.118-125. Duran, M., & Dökme, İ. (2016). The effect of the inquiry-based learning approach on student’s criticalthinking skills. Eurasia Journal of Mathematics, Science & Technology Education, 12(12), 2887– 2908. Djaja S. Meliala, SH, MH, Himpunan peraturan perundang-undangan tentang Perkawinan, Nuansa Aulia, Bandung, 2008, hal 1. Djaja S Meliala, Himpunan Peraturan PerundangUndangan tentang Perkawinan, Nuansa Aulia, Bandung, 2008, hlm. 82. El Islami, R. A. Z., Nahadi, N., & Permanasari, A. (2015). Hubungan Literasi Sains dan Kepercayaan Diri Siswa pada Konsep Asam Basa. Jurnal Penelitian dan Pembelajaran IPA, 1(1), 16–25. FXS. Purwaharsanto Perkawinan Campuran Antar Agama menurut UU RI No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan: Sebuah Telaah Kritis, Aktualita Media Cetak, (Yogyakarta, 1992, hlm. 10-13). Hartini, S., Firdausi, S., Misbah, M., & Sulaeman, N. F. (2018). The Development of Physics Teaching Materials Based on Local Wisdom to Train Saraba Kawa Character. Jurnal Pendidikan IPA Indonesia, 7(2), 130–137. Juhji, J. (2016). Peningkatan keterampilan proses sains siswa melalui pendekatan inkuiri terbimbing. Jurnal Penelitian dan Pembelajaran IPA, 2(1), 58–70. Juhji, J., & Nuangchalerm, P. (2020). Interaction between scientific attitudes and of students towards technological pedagogical content knowledge. Journal for the Education of Gifted Young Scientists, 8(1), 1–16. Koehler, M. J., Mishra, P., Kereluik, K., Shin, T. S., & Graham, C. R. (2014). The Technological Pedagogical Content Knowledge Framework. In J. M. Spector, M. D. Merrill, J. Elen, & M. J. Bishop (Eds.), Handbook of Research on Educational Communications and Technology (pp. 101–111). Springer New York. https://doi.org/10.1007/978-1-4614-3185-5_9 K.Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980, hlm 14 Meliala S. Djaja SH., MH, Himpunan Peraturan Perundang – undangan tentang Perkawinan, Nuansa Aulia, Bandung, 2008. O.S Eoh, Perkawinan Antar Agama dalam Teori dan Praktek Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hlm.118125. Purwaharsanto pr, Perkawinan campuran Antar Agama menurut UU RI No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan: Sebuah Telaah Kritis Aktualita Media Cetak (Yogyakarta: tnp, 1992), 10 Prodjodikoro, R Wirjono., Hukum Waris Di indonesia, Penerbit Sumur, Bandung, 1983. Purwaharsanto, F.X.S., Perkawinan Campuran Antar Agama menurut UU RI No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan: Sebuah Telaah Kritis, Aktualita Media Cetak, Yogyakarta, 1992. Purwanto, Hak Mewaris Anak Yang Lahir Dari Perkawinan Beda Agama, Thesis Program Study Magister Kenotariatan, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang,, 2008. Rusli dan Tama, R., Perkawinan Antar Agama dan Masalahnya, Pionir Jaya, Bandung, 1986. Saravistha, D.B., Widnyana, I.M.A. and Sancaya, I.W.W., 2021. Realita Budget Constraint Dan Trade-Off Sebagai Konsekuensi Bagi Pemerintah Daerah Bali Dalam Pengimplementasian Kebijakan Di Masa Pandemi Covid-19. VYAVAHARA DUTA, 16(2), pp.199-206. Saleh Wantjik K. SH, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Cetakan ke-4, Jakarta, 1976. Undang – undang Peradilan Agama UU No. 50 Tahun 2009 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), Graha Pustaka, Yogyakarta. Yuan, H., Kunaviktikul, W., Klunklin, A., & Williams, B. A. (2008). Improvement of nursing students’ critical thinking skills through problem-based learning in the People’s Republic of China: A quasiexperimental study. Nursing & Health Sciences, 10(1), 70–76. https://doi.org/10.1111/j.14422018.2007.00373.x Yunu, Jarwo., Aspek Perkawinan Beda Agama Di Indonesia, CV. Insani, Jakarta, 2005. Peraturan Perundang-undangan : 71 Jurnal Indragiri Penelitian Multidisiplin ISSN: 2808-0432 Undang-Undang Negara Republik Indonesia tahun 1945 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 ats Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 72