Jurnal Indragiri
Penelitian Multidisiplin
Vol. 3, No. 2, Mei 2023
ISSN: 2808-0432
Perkawinan Berbeda Agama Di Indonesia
I Gede Krisna Andyka Pramana Putra1, Luh Merry Dyanthi2, Deli Bunga Saravistha3, Kadek Mery
Herawati4
1,2,3,4
Fakultas Hukum, Universitas Mahendradatta, Indonesia
krisnaandyka04@gmail.com1, merrydhyanthiunmar@gmail.com2, delisaravistha@gmail.com3,
kadekmeryherawati@gmail.com4
Keywords:
Perkawinan
Beda Agama
Indonesia
Abstract
In general, interfaith marriages can result in distinct legal issues for
both the husband and wife and for outsiders or third parties, such as
concerns regarding the inheritance rights of children born to
interfaith couples. the legality of marriage, which will give husband
and wife rights and responsibilities. The wife's entitlement to
maintenance and joint assets is entirely contingent on the existence of
a legally binding marriage and the likelihood that she will bear legal
children. Naturally, a marriage has legal repercussions, and if it is
interfaith, there will undoubtedly be a variety of issues. These issues
affect the relationship between the husband and wife and, if they have
children, their children. Both psychological and judicial
consequences from a legal standpoint. Marriages between people of
different religions are a fact of life that cannot be denied. In reality,
many couples want to live together, but they cannot get married
because their religions or beliefs are different.
Abstrak
Perkawinan beda agama pada umumnya dapat menimbulkan
persoalan hukum tersendiri baik bagi suami istri maupun bagi orang
luar atau pihak ketiga, seperti menyangkut hak waris anak yang lahir
dari pasangan beda agama. Legalitas perkawinan yang akan
memberikan hak dan tanggung jawab suami dan istri. Hak istri atas
pemeliharaan dan harta bersama sepenuhnya bergantung pada adanya
perkawinan yang mengikat secara hukum dan kemungkinan bahwa
akan melahirkan anak yang sah. Perkawinan tentu memiliki akibat
hukum, dan jika beda agama, niscaya akan timbul berbagai
persoalan. Masalah-masalah ini mempengaruhi hubungan antara
suami dan istri dan, jika mereka memiliki anak, anak-anak mereka.
Kedua konsekuensi psikologis dan yudisial dari sudut pandang
hukum. Pernikahan antara orang yang berbeda agama adalah fakta
kehidupan yang tidak dapat disangkal. Kenyataannya, banyak
pasangan yang ingin hidup bersama, tetapi mereka tidak dapat
menikah karena agama atau kepercayaan mereka berbeda.
Corresponding Author:
I Gede Krisna Andyka Pramana Putra
Fakultas Hukum
Universitas Mahendradatta
Email: krisnaandyka04@gmail.com
1. PENDAHULUAN
Indonesia adalah negara hukum, sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang Dasar
1945/UUD 1945 yang dengan kata lain mengamanatkan bahwa segala kehidupan berbangsa dan bernegara
Journal homepage: https://ejournal.indrainstitute.id/index.php/jipm/index
63
Jurnal Indragiri Penelitian Multidisiplin
ISSN: 2808-0432
baik bagi pemerintah maupun masyarakat harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan norma
yang berlaku.1 Tentunya dalam sebuah negara sudah membuat peraturan untuk mengatur semua kebutuhan
dalam kehidupan rakyatnya, termasuk juga perkawinan yang bertujuan untuk meneruskan keturunan dengan
harapan negara demi masa depan yang lebih baik.
Perkawinan adalah suatu perkara yang tegas dimana suatu hubungan antara dua orang, khususnya
orang yang telah beranjak dewasa, ingin bersatu dan menjamin dalam suatu ikatan yang suci sebagai
pasangan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan keturunan yang berlipat ganda. Indonesia terkenal
dengan berbagai agama dan kepercayaannya, serta berbagai praktik budaya yang diwarisi dari nenek
moyangnya. Jelas, masing-masing memiliki prinsip yang berbeda. Tidak mungkin memisahkan keyakinan
agama masyarakat, pengetahuan tokoh agama, dan keragaman budaya perkawinan dari lingkungan di mana
komunitas itu berada. Untuk menyelaraskan aturan hukum yang beraneka ragam tersebut, maka dibuatlah
hukum perkawinan nasional yang merupakan landasan hukum serta aturan pokok dalam perkawinan di
Indonesia yaitu Undang-Undang No.16 Tahun 2019 atas Perubahan Undang-Undang No.1 Tahun 1974
tentang Perkawinan. Yang dalam pasal (1) di tetapkan tentang pengertian perkawinan sebagai berikut:
“Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami/isteri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa”2. Dalam Undang-undang perkawinan di Indonesia, pernikahan beda agama masih belum diatur
secara tegas; jika pun ada, aturan itu bersifat multitafsir. Ada yang menyatakan bahwa perkawinan beda
agama termasuk perkawinan campuran dan ada pula yang menyatakan tidak ada peraturan yang mengatur
pernikahan beda agama, sehingga ada yang berpandangan bahwa pernikahan beda agama diperkenankan
selama tidak ada yang mengaturnya.3 Namun perkawinan beda agama ini sudah cukup banyak berlangsung
walaupun memiliki pro dan kontra didalam pandangan masyarakat di Indonesia.
Berdasarkan hal diatas, maka disini penulis mengangkat rumusan masalah yaitu Bagaimana
pengaturan hukum perkawinan beda agama di Indonesia dan apa saja faktor yang menyebabkan terjadinya
perkawinan beda agama serta apa akibat hukum dari perkawinan beda agama di Indonesia. Sehingga
penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui faktor penyebab dan akibat dari perkawinan beda agama di
Indonesia.
2.
METODE PENELITIAN
Penulisan ini menggunakan pendekatan normatif, yang merupakan penelitian menggunakan bahan
pustaka. Penelitian ini juga menggunakan bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum primer terdiri
dari Undang-Undang No.16 Tahun 2019 atas Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Bahan hukum sekunder terdiri dari literatur-literatur yang berkaitan dengan Hukum Perkawinan.
3. PEMBAHASAN
3.1. Pengaturan hukum perkawinan beda agama di Indonesia
Di dalam Pasal 1 Undang-Undang No.16 Tahun 2019 atas Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan dikatakan bahwa “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa“.4 Pengertian perkawinan menurut Undang-Undang No.16
Tahun 2019 atas Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bukan hanya sekedar
sebagai suatu perbuatan hukum saja, akan tetapi juga merupakan suatu perbuatan keagamaan, sehingga oleh
karenanya sah atau tidaknya suatu perkawinan digantungkan sepenuhnya pada hukum masing-masing agama
dan kepercayaan yang dianut oleh rakyat Indonesia.5
Kata sah berarti menurut hukum yang berlaku kala perkawinan itu dilaksanakan tidak menurut tata
tertib hukum yang telah ditentukan maka perkawinan itu tidak sah. Jadi kalau tidak menurut aturan UndangUndang No.16 Tahun 2019 atas Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
1
Saravistha, D.B., Widnyana, I.M.A. and Sancaya, I.W.W., 2021. Realita Budget Constraint Dan
Trade-Off Sebagai Konsekuensi Bagi Pemerintah Daerah Bali Dalam Pengimplementasian Kebijakan Di
Masa Pandemi Covid-19. VYAVAHARA DUTA, 16(2), pp.199-206.
Lihat juga Saravistha, D. B. (2022). Urgensi Strategi Sosialisasi Nawacita sebagai Langkah Konkret
Mewujudkan HAM versi Pancasila dalam Pemikiran Bung Karno. Jurnal Pancasila dan Bela Negara, 2(2)
2
Djaja S. Meliala, SH, MH, Himpunan peraturan perundang-undangan tentang Perkawinan, Nuansa
Aulia, Bandung, 2008, hal 1.
3
Purwaharsanto pr, Perkawinan campuran Antar Agama menurut UU RI No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan: Sebuah Telaah Kritis Aktualita Media Cetak (Yogyakarta: tnp, 1992), 10
4
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980, hlm 14
5
Abdurrahman dan Riduan Syahrani, Hukum Perkawinan, Bandung, 1978, hlm. 9.
64
Jurnal Indragiri Penelitian Multidisiplin
ISSN: 2808-0432
berarti tidak sah menurut perundangan, kalau tidak menurut hukum agama berarti tidak sah menurut agama,
begitu pula kalau tidak menurut tata tertib hukum adat tidak sah menurut hukum adat. Sahnya suatu
perkawinan telah diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang No.16 Tahun 2019 atas Perubahan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menetapkan sebagi berikut :6
1. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing- masing agamanya dan
kepercayaannya;
2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Lebih lanjut dalam penjelasannya disebutkan bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing–masing
agama dan kepercayaannya itu. Hal ini sesuai dengan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi :
1. Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa ;
2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan
beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu.
Dari ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 16 Tahun 1974 atas Perubahan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jelas bahwa Undang-Undang Perkawinan No. 16 Tahun 1974 atas
Perubahan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 menentukan sah tidaknya suatu perkawinan berdasarkan
hukum agama dan kepercayaan masing-masing pemeluknya. Kedua mempelai menandatangani akta nikah
yang telah disiapkan oleh pencatat nikah setelah perkawinan dilangsungkan sesuai dengan tata cara agama
dan kepercayaan masing-masing.
Apabila seorang laki-laki dan perempuan yang berbeda agama menikah dengan menganut agama
masing-masing, seperti laki-laki beragama Islam dan perempuan beragama Nasrani atau sebaliknya, maka hal
ini disebut perkawinan beda agama. Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 menyatakan perkawinan
menurut hukum islam yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqon gholiidhan untuk menaati perintah Allah
dan melaksanakannya merupakan ibadah.7 Menurut Pasal 4 perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut hukum islam. Artinya perkawinan yang sah adalah perkawinan yang sesuai dengan kaidah hukum
islam yang berlaku. Dalam Ordinansi Perkawinan Kristen Pasal 75 ayat (1) menyatakan bahwa perkawinan
seorang laki-laki bukan Kristen dengan seorang wanita Kristen atas permohonan kedua suami-isteri dapat
dilaksanakan dengan memperlakukan ketentuan-ketentuan ordonansi ini dan ketentuan-ketentuan peraturan
penyelenggaraan Reglemen catatan sipil untuk orang-orang Indonesia-Kristen. Apabila perkawinan tidak
dilaksanakan menurut hukum agamanya masing-masing berarti perkawinan itu tidak sah. Pengadilan yang
dilakukan di Pengadilan atau di Kantor Catatan Sipil tanpa dilakukan terlebih dahulu menurut hukum agama
tertentu berarti tidak sah. Perkawinan yang dilakukan oleh Hukum Adat atau oleh aliran kepercayaan yang
bukan agama dan tidak dilakukan menurut tata cara agama yang diakui pemerintah berarti tidak sah. Dengan
demikian, perkawinan yang sah menurut agama yaitu perkawinan yang dilakukan menurut tata cara yang
berlaku dalam agama masing-masing.8
Sesuai dengan keyakinan Islam Indonesia, perkawinan sah jika dilakukan di rumah mempelai, masjid,
atau kantor keagamaan dengan persetujuan kedua belah pihak yang dituangkan dalam akad nikah.
Sebaliknya, bagi orang Kristen, pernikahan sah jika semua persyaratan dipenuhi dan upacara dilakukan di
depan seorang imam dan dua orang saksi.Walaupun terdapat perbedaan dalam pengaturan menurut hukum
agama masing-masing, akan tetapi semuanya memuat materi yang sama dalam suatu pengertian perkawinan.
Setiap hukum agama memiliki aturan yang berbeda tentang bagaimana sesuatu harus dilakukan, tetapi dalam
pengertian perkawinan, semuanya mengandung hal yang sama. Subyek antara laki-laki dan perempuan
adalah contoh konten yang mengandung kesamaan tersebut; timbulnya suatu perikatan dan apabila
pembatasan itu dilakukan menurut pengaturan atau pedoman yang berlaku dalam setiap keseluruhan
perangkat undang-undang ini, maka ada penegasan perikatan itu.
Sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, di Indonesia pernah ada suatu peraturan
hukum antar golongan yang mengatur masalah perkawinan campuran. Peraturan yang dimaksud adalah
peraturan yang dahulu dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda yang bernama Regeling op de
Gemengde Huwelijken (GHR) atau Peraturan tentang Perkawinan Campuran sebagaimana dimuat dalam
Staatsblad 1898 No. 158. Regeling Of de Gemengde Huwelijken (GHR) adalah suatu peraturan perkawinan
yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda tentang perkawinan campuran yang termuat dalam Lembaran
Negara Hindia Belanda Stb. 1898 No. 158. Pada pasal 1 GHR disebutkan perkawinan campuran adalah
6
Djaja S Meliala, Himpunan Peraturan PerundangUndangan tentang Perkawinan, Nuansa Aulia,
Bandung, 2008, hlm., 1.
7
Djaja S Meliala, Himpunan Peraturan PerundangUndangan tentang Perkawinan, Nuansa Aulia,
Bandung, 2008, hlm. 82.
8
Ibid., hlm. 75.
65
Jurnal Indragiri Penelitian Multidisiplin
ISSN: 2808-0432
perkawinan antar orang-orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan. Kemudian dalam
penjelasannya dikemukakan contoh perkawinan antara seorang WNI dengan seorang bangsa Belanda atau
Eropa lainnya sekalipun telah menjadi WNI serta memeluk agama Islam. Begitu pula perkawinan antara
seorang Indonesia dengan seorang Tionghoa atau bangsa Timur lainnya yang tidak memeluk agama Islam
sekalipun telah menjadi WNI. Sementara itu, pasal 7 ayat (2) disebutkan bahwa “Perbedaan agama, bangsa,
atau asal sama sekali bukanlah menjadi halangan untuk perkawinan”.9 Pada pasal 1 GHR dijelaskan bahwa
yang dimaksud dengan Perkawinan Campuran adalah “Perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia
tunduk kepada hukum yang berlainan”. Ada beberapa pendapat mengenai apakah GHR berlaku pula untuk
perkawinan antar agama dan antar tempat yakni, pertama, kelompok yang berpendirian “luas” yang
menganggap bahwa perkawinan campuran antar agama dan antar tempat termasuk di dalam GHR; kedua,
kelompok yang berpendirian “sempit” yang menganggap bahwa perkawinan campuran antar agama dan antar
tempat tidak termasuk di dalam GHR; dan ketiga, kelompok yang berpendirian “setengah luas setengah
sempit” yang menganggap bahwa hanya perkawinan antar agama saja yang termasuk dalam GHR, sedangkan
perkawinan antar tempat tidak termasuk di dalam GHR.10 Sudargo Gautama berpendapat bahwa istilah
perkawinan campuran pada pasal 1 GHR berarti perbedaan perlakuan hukum atau hukum yang berlainan dan
dapat disebabkan karena perbedaan kewarganegaraan, kependudukan dalam berbagai regio, golongan rakyat,
tempat kediaman, dan agama sehingga dari situ pendirian yang luaslah yang banyak di dukung oleh para
sarjana hukum.11 Namun semenjak dikeluarkannya Instruksi Presidium Kabinet No. 31/U/IN/12/1966, tidak
ada lagi penggolongan penduduk kecuali dibedakan antara WNI dan WNA sehingga di Indonesia tidak
mungkin lagi ada perkawinan campuran antar tempat dan antar golongan. Setelah berlakunya UndangUndang No. 1 Tahun 1974, maka pengaturan perkawinan beda agama menjadi cenderung terhalangi. Hal ini
berdasarkan alasan yakni pertama, dengan mengingat kembali pada sejarah undang-undang perkawinan
1973, terutama perdebatan yang berkaitan dengan pasal 11 ayat (2) bahwa “perbedaan karena kebangsaan,
suku bangsa, negara asal, tempat asal, agama, kepercayaan dan keturunan tidak merupakan penghalang
perkawinan” dan kemudian mendapat perubahan, maka perkawinan beda agama tidak dimungkinkan
(dilarang) di Indonesia. Kedua, ada beberapa pasal yang dapat dijadikan dasar dilarangnya perkawinan beda
agama dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yaitu pasal 2 ayat (1) dan pasal 8 haruf (f). Dalam pasal 2
ayat (1) dinyatakan, “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu”. Kemudian dalam penjelasannya dinyatakan “Dengan perumusan pasal 2 ayat (1)
ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan
Undang-Undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya
itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu
sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini”. Jika pasal ini
diperhatikan dengan seksama, maka terlihat bahwa undang-undang menyerahkan kepada masing-masing
agama, selain negara, untuk memutuskan bagaimana dan dalam keadaan apa suatu perkawinan harus
dilangsungkan. Konsekuensinya, selain mengandalkan ketentuan Undang-Undang No.16 Tahun 2019 atas
Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sah atau tidaknya suatu perkawinan,
atau apakah calon mempelai memenuhi syarat. Hal ini juga diatur oleh hukum agama yang berlaku. Karena
tidak sesuai dengan hukum agama yang diakui di Indonesia, perkawinan beda agama tidak didukung oleh
agama yang ada di Indonesia.
Argumentasi ini diperkuat oleh pasal 8 huruf (f) bahwa “perkawinan dilarang antara dua orang yang ;
mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin”. Selain Islam,
agama Katholik memandang bahwa perkawinan sebagai sakramen sehingga jika terjadi perkawinan beda
agama dan tidak dilakukan menurut hukum agama Katholik, maka perkawinan tersebut dianggap tidak sah.
Sedangkan agama Protestan lebih memberikan kelonggaran pada pasangan yang ingin melakukan
perkawinan beda agama. Walaupun pada prinsipnya agama Protestan menghendaki agar penganutnya kawin
dengan orang yang seagama, tetapi jika terjadi perkawinan beda agama maka gereja Protestan memberikan
kebebasan kepada penganutnya untuk memilih apakah hanya menikah di Kantor Catatan Sipil atau diberkati
di gereja atau mengikuti agama dari calon suami/istrinya. Sedangkan agama Hindu tidak mengenal
perkawinan beda agama dan pedande/pendeta akan menolak perkawinan tersebut. Sedangkan agama Budha
tidak melarang umatnya untuk melakukan perkawinan dengan penganut agama lain asal dilakukan menurut
9
FXS. Purwaharsanto Perkawinan Campuran Antar Agama menurut UU RI No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan: Sebuah Telaah Kritis, Aktualita Media Cetak, (Yogyakarta, 1992, hlm. 10-13).
10
Ibid
11
Budha. O.S Eoh, Perkawinan Antar Agama dalam Teori dan Praktek (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1996), hlm.118-125.
66
Jurnal Indragiri Penelitian Multidisiplin
ISSN: 2808-0432
tata cara agama Budha.12 Ketiga, merujuk kepada pasal 66 Undang-Undang No.16 Tahun 2019 atas
Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa “Untuk
perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-Undang ini,
maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (Burgelijks Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie
Chisten Indonesiers S. 1933 No 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemegnde Huwelijken
S. 1989 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam
Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku”. Dari ketentuan pasal 66 Undang-Undang No.16 Tahun 2019
atas Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, jelas bahwa ketentuan-ketentuan
GHR (STB. 1898/158) sebagaimana yang diungkapkan diawal juga tidak dapat diberlakukan lagi karena di
samping ketentuannya telah mendapat pengaturan dalam Undang-Undang No.16 Tahun 2019 atas Perubahan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, GHR juga mengandung asas yang bertentangan
dengan asas keseimbangan hukum antara suami istri sebagaimana yang dianut oleh Undang-Undang No.16
Tahun 2019 atas Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Selain itu, rumusan
mengenai perkawinan campuran dalam GHR berbeda dengan rumusan dalam pasal 57 Undang-Undang
No.16 Tahun 2019 atas Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi
“Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-Undang ini ialah perkawinan antara dua orang
yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu
pihak berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”. Rumusan di atas
hanya mencakup perkawinan antara warga negara Indonesia dan orang asing. Menurut Undang-Undang
No.16 Tahun 2019 atas Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan
antara warga negara Indonesia yang tunduk pada hukum yang berbeda, seperti perkawinan beda agama,
dikecualikan dari larangan perkawinan campuran. Kewajiban negara untuk menjaga hak-hak warga negara
lebih penting daripada perbedaan agama dalam memahami persoalan perkawinan beda agama. Adapun yang
dibicarakan menyangkut hubungan vertikal dalam hubungan antara negara dan penduduk, bukan persoalan
hubungan sederajat yang menyangkut hubungan antara penduduk yang berbeda agama, keyakinan dan
terjemahan yang berbeda. adalah masalah hukum, sedangkan interpretasi agama tentang pernikahan beda
agama adalah masalah teologi dan agama. Acuannya adalah hukum nasional Indonesia karena Indonesia
bukan negara agama. Meskipun hukum nasional, seperti Undang-Undang No.16 Tahun 2019 atas Perubahan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mendasarkan diri pada apa yang dikatakan
dengan hukum agama, namun cendrung lebih terikat pada dasar filosofi bangsa yang Bhineka Tunggal Ika.
Artinya, prinsip mengakui keragaman bangsa dan kemajemukan masyarakat haruslah menjadi dasar dari
pembentukan dan pembuatan suatu hukum maupun undang-undang yang bersifat nasional. Berkaitan dengan
perkawinan beda agama, maka pasal yang sering dijadikan rujukan bagi persoalan ini adalah pasal 2 ayat (1)
yang menyatakan bahwa “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaanya itu” dan ditegaskan lagi lewat Penjelasan pasal tersebut bahwa “Tidak ada
perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-Undang
Dasar 1945”.
Di Indonesia, perkawinan beda agama harus dilakukan sesuai dengan hukum perkawinan Indonesia.
Artinya perkawinan itu harus sah menurut hukum agama. Perlu dicatat bahwa jika calon suami dan istri
menganut agama yang sama, tidak akan ada masalah, tetapi jika mereka berbeda agama, akan ada masalah
hukum antar agama. Masalah ini tidak akan menjadi lebih rumit jika salah satu pihak bersedia untuk
memeluk agama lain atau mengikutinya, tetapi jika kedua belah pihak ingin mempertahankan keyakinan
mereka sendiri, masalah ini akan muncul. Namun dalam kenyataannya, sering terjadi pasangan dapat
menikah berdasarkan agama salah satu pihak, menikah, dan kemudian kembali ke keyakinan masing-masing
setelah pernikahan disahkan. Perkawinan beda agama masih menjadi masalah di Indonesia yang perlu
dibenahi secepatnya. Karena tidak ada aturan khusus mengenai legalitas perkawinan campuran, maka
perkawinan campuran sering terjadi. Hal ini dilakukan untuk memudahkan pasangan menikah berdasarkan
agama salah satu dari mereka, namun setelah pernikahan disahkan, mereka kembali ke keyakinan masingmasing. Ada juga pasangan yang menikah di negara lain hanya untuk diakui di Indonesia. Mengingat hal ini,
karena sulit untuk membunuh masalah perkawinan beda agama ini, untuk keyakinan yang sah lebih baik
mengambil tindakan sehubungan dengan keabsahan perkawinan beda agama ini.
3.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya perkawinan beda agama di Indonesia
Berkaitan dengan perkawinan beda agama menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, ternyata sangat menantang jika
12
O.S Eoh, Perkawinan Antar Agama dalam Teori dan Praktek Raja Grafindo Persada, Jakarta,
1996, hlm.118-125.
67
Jurnal Indragiri Penelitian Multidisiplin
ISSN: 2808-0432
masing-masing pasangan tetap menjalankan agama atau kepercayaannya masing-masing dalam perjalanan
hidupnya dalam sebuah pernikahan dan mencari pengakuan legalitasnya. Mengingat keragaman masyarakat
Indonesia, tidak mengherankan jika banyak orang memilih menikah dengan orang yang berbeda keyakinan.
Maraknya perkawinan beda agama di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor dan dorongan yang tidak
dapat dipisahkan dari hal lainnya.
Terjadinya perkawinan beda agama dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya unsur primer
adalah hubungan kehidupan sehari-hari dalam aktivitas masyarakat. Padahal, Indonesia adalah masyarakat
yang beragam suku dan agama. Kita tidak pernah terkekang oleh isu-isu sosial dalam interaksi sosial seharihari. Hal ini berdampak signifikan bagi kehidupan sosial masyarakat Indonesia karena masyarakat terlalu
dekat satu sama lain dan tidak melihat perbedaan agamanya sehingga menimbulkan perasaan cinta yang tidak
dapat dihindari. Perkawinan beda agama dapat dipengaruhi oleh kurangnya pendidikan agama, karena
banyak orang tua yang tidak atau jarang mengajarkan agama kepada anaknya sejak dini, hal ini menyebabkan
banyak anak ketika dewasa tidak mempersoalkan agama yang dianutnya atau memahaminya. Sehingga
dalam kehidupan sehari-hari, tidak masalah apakah pasangan menikah atau tidak jika mereka berbeda agama.
Orang tua juga merupakan faktor yang sangat penting. karena tidak mungkin memisahkan pasangan yang
berbeda agama dari orang tuanya. Karena orang tua mereka juga memiliki pasangan yang berbeda agama,
banyak pasangan yang menikah. Mungkin bagi mereka itu bukan masalah jika mereka menikah dengan
keyakinan berbeda karena itu tergantung pada pengalaman orang tua mereka. Tentu saja, dalam pernikahan
beda agama di masa depan, kehidupan harmonis orang tua akan menjadi teladan bagi anak-anak mereka.
Dalam perkawinan beda agama, terdapat kebebasan memilih pasangan yang berdampak signifikan. Wajar
jika kita hidup di era modern yang bertolak belakang dengan era Siti Nurbaya, ketika para orang tua masih
mencari pasangan untuk anaknya. Di era modern, individu dapat dengan bebas memilih pasangan
berdasarkan preferensi mereka. Dengan kesempatan memilih pasangan ini, tidak bisa dipungkiri banyak yang
memilih pasangan dari berbagai agama karena itu tergantung pada perasaan cinta. Jika cinta adalah hal
mendasar dalam hubungan antara pria dan wanita, sangat diharapkan untuk pemikiran yang hati-hati dalam
suatu hubungan. Dengan memperluasnya pergaulan anak muda Indonesia dengan anak muda dari luar negeri,
adanya perbedaan bangsa, budaya, agama, dan latar belakang, serta globalisasi juga menjadi penyebab utama
perkawinan beda agama. Ini kurang lebih merupakan bagian dari kekuatan pendorong atau latar belakang
perkawinan beda agama. Mirisnya, anak muda tampaknya tidak lagi memiliki masalah menikah dengan
pasangan asing atau orang yang berbeda agama karena gengsi yang terkait dengan mencari pasangan "bule".
Faktor-faktor tersebut sangat dekat dengan kehidupan sosial kita yang beragam di Indonesia dan kehidupan
kita sehari-hari. Jika kita tidak memperhatikan apa yang telah diajarkan tentang masalah agama, faktor ini
bisa saja terjadi.
3.3. Akibat dari adanya perkawinan beda agama di Indonesia
Perkawinan tentu memiliki akibat hukum, dan jika beda agama, niscaya akan timbul berbagai
persoalan. Masalah-masalah ini mempengaruhi hubungan antara suami dan istri dan anak-anak mereka jika
mereka memiliki anak. Hasil hukum di sini dipisahkan menjadi dua bagian, yaitu menurut sudut pandang
mental dan menurut sudut pandang yuridis. Menurut perspektif psikologis yang disajikan disini, perkawinan
beda agama dapat mengakibatkan bubarnya rumah tangga. Awalnya, ketika mereka masih berpacaran,
perbedaan itu dianggap tidak penting dan bisa diatasi melalui cinta. Namun, seiring berjalannya waktu,
menjadi jelas bahwa perbedaan ini dapat membantu membangun keluarga yang kuat. Pertimbangkan ini: jika
seorang suami Muslim dapat menemani pasangan dan anak-anaknya naik haji, tidak diragukan lagi itu adalah
saat yang membahagiakan. Namun, betapa menyedihkan saat istri dan anak-anaknya suka pergi ke kapel,
atau ke biara. Akibatnya, ketidaksepakatan atas keyakinan agama pada akhirnya akan menyebabkan keluarga
yang pernah saling mencintai menjadi berantakan. Karena suami adalah kepala rumah tangga dan menjadi
pemimpin bagi istri dan anak-anaknya, maka kebahagiaan seorang istri beragama Nasrani atau Budha adalah
pergi ke gereja atau klenteng untuk berdoa bersama suami dan anak-anaknya, sedangkan kebahagiaan
seorang ayah Muslim menjadi imam shalat berjamaah bersama istrinya. Selain itu, jika kedua pasangan
beragama Islam, suasana puasa menjadi perekat batin kehidupan keluarga selama Ramadhan. Namun,
keinginan itu sulit dipenuhi ketika pasangannya memiliki agama yang berbeda. Kemudian lagi, pasangannya,
yang seorang Kristen akan merasakan hal yang sama, bahwa sangat menyenangkan untuk menghormati di
kapel bersebelahan dengan istrinya dan merayakan Natal bersama, namun itu semua hanya mimpi. Dalam hal
ini juga ada seorang ibu yang puas jika anak-anaknya menganut agamanya. Mereka bingung harus percaya
kepada siapa. Apalagi jika menyangkut anak-anak yang akan memasuki fase pembentukan dan
perkembangan kepribadian di mana nilai-nilai agama sangat penting. Wajar jika agama berbahaya bagi anak
jika menjadi sumber konflik. Sebenarnya, sebagai orang tua, Anda ingin anak Anda mengikuti agama yang
dianut oleh kedua orang tuanya, tetapi sulit untuk mengambil keputusan ketika orang tua Anda memiliki
pandangan yang berlawanan.
68
Jurnal Indragiri Penelitian Multidisiplin
ISSN: 2808-0432
Alangkah indahnya jika seorang anak laki-laki dari ayah seorang muslim mengikuti jejak ayahnya
dan membacakan surat Yasin kepadanya ketika dia meninggal agar dia bisa beristirahat di surga. sebaliknya
sesuai dengan keinginan ibu. Dalam situasi ini anak akan berada dalam posisi yang benar-benar salah, di
mana anak harus membuat orang tuanya ceria dan juga tidak menganggap orang tuanya harus bertengkar
tentang pengaruh sehingga mereka berdua lupa alasan untuk menjadi keluarga bahagia karena kontras dalam
keyakinan yang ada dalam keluarga. Anak-anak juga diharapkan untuk menghubungkan orang tua sebagai
pasangan, yang dapat menyebabkan ketidaksepakatan dan hubungan yang tegang ketika orang tua memiliki
kepercayaan yang berbeda. Namun, anak juga berhak memilih agamanya tanpa paksaan orang tua. karena
agama ibarat pakaian yang bisa dipakai seumur hidup. Mengingat kehidupan keluarga, jiwa yang ketat,
kepercayaan, dan adat istiadat terus ditambahkan pada setiap individu yang ketat. Di dunia yang sempurna,
ritual yang ketat harus diperhatikan dan dilakukan sepanjang kehidupan keluarga. Misalnya, penggunaan
ritual atau salat berjamaah oleh keluarga Muslim. Jika dilakukan bersama-sama oleh seluruh keluarga, semua
itu akan terlihat dan terasa megah. Seusai shalat berjamaah, seorang bapak yang juga seorang imam berbicara
tentang budaya dan bertukar pengalaman untuk memberi makna hidup. Sulit untuk menciptakan lingkungan
yang begitu indah dan religius ketika pasangan menganut agama yang berbeda, dan kegembiraan menjadi
sebuah keluarga berkurang. Akibatnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa perkawinan beda agama dirundung
masalah psikologis yang mengancam kesejahteraan dan keharmonisan rumah tangga. Dengan akibat yang
terjadi, jelas banyak hubungan antaragama yang putus. Namun, bukan berarti pernikahan dengan tingkat
kekakuan yang sama tidak akan bermasalah hanya bagaimana mereka menanggapi perbedaan iklim keluarga
sepenuhnya tergantung pada kedua pasangan yang akan menikah. Apabila perkawinan terus menimbulkan
masalah demi masalah yang tidak dapat diselesaikan dan tidak ditemukan penyelesaian bagi kedua belah
pihak, maka akibat perceraian dalam perkawinan beda agama termasuk dalam akibat hukum perkawinan
beda agama dari segi hukum. Dari sudut pandang hukum, legitimasi hubungan antaragama ditinjau dari
potensi dampak hukumnya.
Menurut Undang-Undang No.16 Tahun 2019 atas Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, sahnya suatu perkawinan harus sesuai dengan agama dan kepercayaan yang diatur
dalam pasal 2 ayat (1). Berkenaan dengan pasal ini, sangat mungkin dapat diuraikan bahwa peraturan
perkawinan menyesuaikan pilihannya dengan pelajaran agama mereka masing-masing. Undang-Undang
No.16 Tahun 2019 atas Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengakui
sahnya perkawinan beda agama jika diperbolehkan secara agama. Namun, pada kenyataannya untuk setiap
agama sangat sulit untuk mengizinkan hubungan antar agama kecuali jika salah satu pasangan pindah agama
untuk mengikuti salah satu kaki tangannya. Dan, yang mengejutkan, itu bisa menjadi penyimpangan yang
ketat. Apalagi dengan isu situasi dengan anak muda yang dikandungnya. Undang-undang mengatakan bahwa
anak-anak yang lahir dari pasangan yang berbeda agama adalah sah selama agama tersebut menghalalkan
perkawinan beda agama dan mencatatnya di kantor pencatatan perkawinan.
Karena anak yang sah menurut ketentuan Undang-Undang No.16 Tahun 2019 atas Perubahan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 42 ialah anak yang lahir dari perkawinan
yang sah berdasarkan pasal 2 ayat (2). Selain itu, perkawinan beda agama juga akan berimplikasi secara
hukum terkait masalah waris. Misalnya, seorang istri yang beragama Islam dan istri serta anak-anaknya nonMuslim, maka tentu menjadi penghalang bagi umat Islam untuk mendapatkan atau memperoleh warisannya.
Perceraian tentu akan menimbulkan hak dan kewajiban bagi suami istri serta anak-anaknya, jika ada.
Perceraian dalam perkawinan beda agama juga sangat sulit, seperti yang terjadi antara istri Katolik yang
menikah dengan suami Muslim. Contoh yang valid: Seorang pria Muslim menikah dengan seorang wanita
Katolik. Pernikahan pertama adalah pernikahan Islam yang direstui oleh pangeran dan tidak terdaftar di
kantor KUA. Pernikahan kedua adalah pernikahan Katolik yang diberkati oleh pendeta dan dicatatkan di
kantor catatan sipil. Surat nikah masih berlaku. Pertanyaannya, bagaimana sahnya proses perpisahan kedua
pasangan tersebut di atas karena hubungan beda agama.
Tentunya Undang-Undang No.16 Tahun 2019 atas Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan tidak mengatur secara khusus tentang perkawinan yang berbeda agama. UndangUndang No.16 Tahun 2019 atas Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disini
hanya berpatokan pada pasal 2 ayat (1) yaitu sahnya suatu perkawinan diatur menurut keyakinan agamanya
masing – masing. Selain itu, jika sebuah pernikahan berakhir dengan perceraian di negeri ini, maka agama
suami akan menjadi topik perbincangan pertama. Menurut penciptanya, jika dalam Islam terjadi perkawinan
tanpa dicatatkan di kantor pencatatan perkawinan atau KUA, maka pada saat itu perkawinan tersebut
dianggap perkawinan yang tidak tercatat. Selain itu, perkawinan sah yang belum dicatatkan tidak diatur dan
tidak berhak atas pengakuan atau perlindungan hukum. Maka yang akan digunakan dalam kasus perpisahan
dalam hubungan beda agama di sini adalah sebagai perkawinan substantif, khususnya perkawinan katolik.
atau perkawinan berdasarkan agama istri dalam rangka perkawinan yang sah. karena perkawinan tersebut
dicatat dalam pencatatan perkawinan di Kantor Catatan Sipil berdasarkan pasal 2 ayat 2 Undang-Undang
69
Jurnal Indragiri Penelitian Multidisiplin
ISSN: 2808-0432
No.16 Tahun 2019 atas Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
mempunyai alat bukti sah yang sah berupa akta perkawinan dan diakui oleh agama dan negara.
Bagaimanapun, bagi umat Katolik pernikahan adalah pemahaman yang suci dan hanya terjadi sekali di bulan
biru, sehingga perpisahan benar-benar tabu oleh umat Katolik. Perceraian itu sah kecuali mendapat izin dari
pejabat yang berwenang, uskup, dan juga harus melalui proses hukum. Oleh karena itu, perceraian yang sah
dan dianggap sah adalah perceraian yang diakibatkan oleh perkawinan yang sah. Akibatnya, pernikahan beda
agama yang sah berakhir dengan perceraian berdasarkan kompleksitas para pihak yang terlibat.
4.
KESIMPULAN DAN SARAN/REKOMENDASI
4.1 Kesimpulan
1.
2.
Menurut Undang-Undang No.16 Tahun 2019 atas Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam dan Ordonansi Perkawinan Kristen Indonesia, perkawinan
yang sah adalah perkawinan yang dilaksanakan sesuai dengan hukum dan aturan agama masing-masing.
Masing-masing agama menitikberatkan untuk melangsungkan perkawinan yang seagama. Perkawinan
beda agama yang dilaksanakan salah satu pihak dapat melakukan perpindahan agama, namun ini dapat
berarti penyelundupan hukum, karena yang terjadi adalah hanya menyiasati secara hukum ketentuan
dalam Undang-Undang No.16 Tahun 2019 atas Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan. Namun setelah perkawinan berlangsung masing-masing pihak kembali memeluk
agamanya masing-masing. Cara ini sangat tidak disarankan. Perkawinan berbeda agama mungkin saja
dapat dilangsungkan di Kantor Catatan Sipil. Sebagai dasar hukumnya adalah yurisprudensi putusan
Mahkamah Agung Reg No 1400 K/Pdt/1986. Dalam putusan itu, Mahkamah Agung mengabulkan
permohonan antara kedua mempelai yang berbeda agama Islam dan Kristen. Namun secara agama
perkawinan tersebut tidaklah sah.
Faktor-faktor yang dapat mendorong hubungan antaragama antara lain, Dampak aktivitas publik yang
biasa di mata publik, Minimnya pendidikan tentang agama, Yayasan orang tua, Kesempatan untuk
memilih kaki tangan, dan memperluas hubungan sosial antara pemuda Indonesia dan anak-anak muda
dari Luar Negeri. Psikologis dan aspek hukum akibat hukum perkawinan beda agama di Indonesia
dikaji. Kemerosotan keluarga puluhan tahun dan munculnya perbedaan sudut pandang membuat semakin
sulit untuk membangun rumah tangga yang bahagia karena sifat ketidaksepakatan yang terputus-putus.
Penyakit mental seorang anak akibat kebingungan tentang agama mana yang harus diikuti akibat
persaingan orang tua untuk mendapatkan pengaruh. Selain itu, akibat hukum perkawinan beda agama
ditinjau dari segi yuridis, khususnya status anak dalam perkawinan beda agama dan sah tidaknya
perkawinan beda agama. Begitu pula warisan perkawinan beda agama tidak dapat diterima oleh ahli
waris karena perbedaan hubungan agama, serta perceraian yang terjadi akibat perselisihan rumah tangga.
4.2 Saran/Rekomendasi
1. Pencatatan perkawinan merupakan salah satu hak warga negara yang perlu dijunjung tinggi dan
dilaksanakan. Premis mendasar dari pencatatan perkawinan adalah bahwa selain merupakan bagian dari
kegiatan ritual dalam semua agama, perkawinan harus dipandang sebagai suatu perikatan yang
berdimensi yuridis dan sosiologis. Akibatnya, dalam pelaksanaannya harus memperhatikan aspek
legalitas yuridis formal. Oleh karena itu, materi dalam Undang-Undang No.16 Tahun 2019 atas
Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan KHI harus disegarkan dengan
tujuan akhir kemajuan, sehingga dapat memberikan jawaban atas persoalan-persoalan yang muncul di
mata masyarakat, baik secara formal maupun materiil.
2. Dengan penjelasan perkawinan beda agama diatas, diharapkan masyarakat umum, dan calon pasangan
khususnya, dapat menghindari perkawinan beda agama sedini mungkin dan meningkatkan pengetahuan
agamanya untuk menghindari keinginan menikah dengan orang yang berbeda agama. karena peraturan
perkawinan negara Indonesia belum memuat standar yang tegas dan tegas di tingkat dasar. Akibatnya,
perkawinan beda agama hanya cenderung menimbulkan kerugian.
REFERENSI
Abbit, J. T. (2011). An Investigation of the Relationship between Self-Efficacy Beliefs about Technology
Integration and Technological Pedagogical Content Knowledge (TPACK) among Preservice Teachers.
Journal of Digital Learning in Teacher Education, 27(4), 134–143.
Afif, S. (2010). Manajemen Pembelajaran Full Day School (Studi Kasus di TK Ashabul Kahfi Malang). FIP
UNM Malang.
70
Jurnal Indragiri Penelitian Multidisiplin
ISSN: 2808-0432
Abdurrahman SH & Syahrani Riduan SH, Masalah – masalah Hukum Perkawinan di Indonesia, Alumni,
Bandung, 1978.
Anwar Moch. H, Dasar – dasar Hukum Islam Dalam Menetapkan Keputusan di Pengadilan Agama, CV.
Diponegoro, Bandung, 1991.
Abdurrahman dan Riduan Syahrani, Hukum Perkawinan, Bandung, 1978, hlm. 9.
Bustami, Y., & Corebima, A. (2017). The Effect of JiRQA Learning Strategy on Critical Thinking Skills of
Multiethnic Students in Higher Education, Indonesia. International Journal of Humanities Social
Sciences and Education (IJHSSE), 4(3), 13–22.
Budha. O.S Eoh, Perkawinan Antar Agama dalam Teori dan Praktek (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996),
hlm.118-125.
Duran, M., & Dökme, İ. (2016). The effect of the inquiry-based learning approach on student’s criticalthinking skills. Eurasia Journal of Mathematics, Science & Technology Education, 12(12), 2887–
2908.
Djaja S. Meliala, SH, MH, Himpunan peraturan perundang-undangan tentang Perkawinan, Nuansa Aulia,
Bandung, 2008, hal 1.
Djaja S Meliala, Himpunan Peraturan PerundangUndangan tentang Perkawinan, Nuansa Aulia, Bandung,
2008, hlm. 82.
El Islami, R. A. Z., Nahadi, N., & Permanasari, A. (2015). Hubungan Literasi Sains dan Kepercayaan Diri
Siswa pada Konsep Asam Basa. Jurnal Penelitian dan Pembelajaran IPA, 1(1), 16–25.
FXS. Purwaharsanto Perkawinan Campuran Antar Agama menurut UU RI No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan: Sebuah Telaah Kritis, Aktualita Media Cetak, (Yogyakarta, 1992, hlm. 10-13).
Hartini, S., Firdausi, S., Misbah, M., & Sulaeman, N. F. (2018). The Development of Physics Teaching
Materials Based on Local Wisdom to Train Saraba Kawa Character. Jurnal Pendidikan IPA Indonesia,
7(2), 130–137.
Juhji, J. (2016). Peningkatan keterampilan proses sains siswa melalui pendekatan inkuiri terbimbing. Jurnal
Penelitian dan Pembelajaran IPA, 2(1), 58–70.
Juhji, J., & Nuangchalerm, P. (2020). Interaction between scientific attitudes and of students towards
technological pedagogical content knowledge. Journal for the Education of Gifted Young Scientists,
8(1), 1–16.
Koehler, M. J., Mishra, P., Kereluik, K., Shin, T. S., & Graham, C. R. (2014). The Technological
Pedagogical Content Knowledge Framework. In J. M. Spector, M. D. Merrill, J. Elen, & M. J. Bishop
(Eds.), Handbook of Research on Educational Communications and Technology (pp. 101–111).
Springer New York. https://doi.org/10.1007/978-1-4614-3185-5_9
K.Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980, hlm 14
Meliala S. Djaja SH., MH, Himpunan Peraturan Perundang – undangan tentang Perkawinan, Nuansa Aulia,
Bandung, 2008.
O.S Eoh, Perkawinan Antar Agama dalam Teori dan Praktek Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hlm.118125.
Purwaharsanto pr, Perkawinan campuran Antar Agama menurut UU RI No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan: Sebuah Telaah Kritis Aktualita Media Cetak (Yogyakarta: tnp, 1992), 10
Prodjodikoro, R Wirjono., Hukum Waris Di indonesia, Penerbit Sumur, Bandung, 1983.
Purwaharsanto, F.X.S., Perkawinan Campuran Antar Agama menurut UU RI No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan: Sebuah Telaah Kritis, Aktualita Media Cetak, Yogyakarta, 1992.
Purwanto, Hak Mewaris Anak Yang Lahir Dari Perkawinan Beda Agama, Thesis Program Study Magister
Kenotariatan, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang,, 2008.
Rusli dan Tama, R., Perkawinan Antar Agama dan Masalahnya, Pionir Jaya, Bandung, 1986.
Saravistha, D.B., Widnyana, I.M.A. and Sancaya, I.W.W., 2021. Realita Budget Constraint Dan Trade-Off
Sebagai Konsekuensi Bagi Pemerintah Daerah Bali Dalam Pengimplementasian Kebijakan Di Masa
Pandemi Covid-19. VYAVAHARA DUTA, 16(2), pp.199-206.
Saleh Wantjik K. SH, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Cetakan ke-4, Jakarta, 1976.
Undang – undang Peradilan Agama UU No. 50 Tahun 2009 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), Graha
Pustaka, Yogyakarta.
Yuan, H., Kunaviktikul, W., Klunklin, A., & Williams, B. A. (2008). Improvement of nursing students’
critical thinking skills through problem-based learning in the People’s Republic of China: A quasiexperimental study. Nursing & Health Sciences, 10(1), 70–76. https://doi.org/10.1111/j.14422018.2007.00373.x
Yunu, Jarwo., Aspek Perkawinan Beda Agama Di Indonesia, CV. Insani, Jakarta, 2005.
Peraturan Perundang-undangan :
71
Jurnal Indragiri Penelitian Multidisiplin
ISSN: 2808-0432
Undang-Undang Negara Republik Indonesia tahun 1945
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 ats Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan
72