[go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu
MA’RIŻATULLÁH: MENERATAS JALAN MENUJU ALLÁH PENDAHULUAN Ma’rifatulláh ūfī, merupakan konsep yang lebih populer dikalangan kaum meski tidak menutup kemungkinan banyak pengertian yang dikonsepkan oleh berbagai bidang keilmuan Islam di masing-masing disiplin. Baik filsafat, kalam, fiqh, adī , tafsir, maupun tasawuf. Dalam khazanah keislaman terdapat istilah ma’rifatulláh, yang secara harfiah memiliki pengertian, mengenal Alláh SWT. Puncak ilmu adalah mengenal Alláh (ma’rifatulláh). Ma’rifatulláh atau mengenal Alláh adalah subjek utama yang mesti disempurnakan oleh seorang muslim. Ma’rifatulláh bukanlah mengenali zat Alláh, karena hal ini tidak mungkin terjangkau oleh kapasitas manusia yang terbatas. Sebab bagaimana mungkin manusia yang terbatas ini mengenali sesuatu yang tidak terbatas?. Menurut Ibn Al Qayyim : Ma’rifatulláh yang dimaksudkan oleh ahlul ma'rifah (orangorang yang mengenali Alláh) adalah ilmu yang membuat seseorang melakukan apa yang menjadi kewajiban bagi dirinya dan konsekuensi pengenalannya”. Ma’rifatulláh tidak dimaknai dengan arti harfiah semata, namun ma'riaftullah dimaknai dengan pengenalan terhadap jalan yang mengantarkan manusia dekat dengan Alláh, mengenalkan rintangan dan gangguan yang ada dalam perjalanan mendekatkan diri kepada Alláh. Ma’rifatulláh artinya mengenal Alláh, baik zat-Nya, sifat-Nya maupun asm '-Nya. Modul ini menjelaskan tentang pengertian dari berbagai aspek yang berhubungan denga ma’rifatulláh dari sudut pandang berbagai disiplin ilmu keislaman untuk menuju ke arah mengenal, mencintai, dan mendapat riďa Alláh bagi seorang muslim, dengan arti yang dapat dialami dengan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akherat. Setelah mempelajari modul ini, secara khusus Anda diharapkan dapat: 1. Menjelaskan makna ma’rifatulláh secara teoretis untuk kaum muslimin 2. Menjelaskan makna ma’rifatulláh dalam pengertian kaum kalam 3. Menjelaskan makna ma’rifatulláh menurut para ūfī dengan pengalaman batinnya 4. Menjelaskan makna ma’rifatulláh dari berbagai jalan dengan tujuan menuju riḍ a Alláh semata. Untuk membantu Anda mencapai tujuan tersebut, modul ini diorganisasikan menjadi empat Kegiatan Belajar (KB), sebai berikut: KB 1: Pengertian dan Metodologi marifatullah ma’rifatullàh (ma’rifaħ Allàh) KB 2: Urgensi ciri-ciri dalam ma’rifatulláh KB 3: Jalan menuju ma’rifatulláh KB 4: Hasil dari ma’rifatulláh Untuk membantu Anda dalam mempelajari BBM ini, ada baiknya diperhatikan beberapa petunjuk belajar berikut ini: 1. Bacalah dengan cermat bagian pendahuluan ini sampai anda memahami secara tuntas tentang apa, untuk apa, dan bagaimana mempelajari bahan belajar ini. 2. Baca sepintas bagian demi bagian dan temukan kata-kata kunci dari kata-kata yang dianggap baru. Carilah dan baca pengertian kata-kata kunci itu dalam kamus yang Anda miliki. 3. Tangkaplah pengertian demi pengertian melalui pemahaman sendiri dan tukar pikiran dengan mahasiswa lain atau dengan tutor Anda. 4. Untuk memperluas wawasan, baca dan pelajari sumber-sumber lain yang relevan. Anda dapat menemukan bacaan dari berbagai sumber, termasuk dari internet. 5. Mantapkan pemahaman Anda dengan mengerjakan latihan dan melalui kegiatan diskusi dalam kegiatan tutorial dengan mahasiswa lainnya atau teman sejawat. 6. Jangan dilewatkan untuk mencoba menjawab soal-soal yang dituliskan pada setiap akhir kegiatan belajar. Hal ini berguna untuk mengetahui apakah Anda sudah memahami dengan benar kandungan bahan belajar ini. Selamat belajar ! KEGIATAN BELAJAR 1 PENGERTIAN DAN METODOLOGI MA’RIFATULLÀH (Ma’rifaħ Allàh) PENGANTAR Secara teoretis, ma’rifatulláh bisa dicapai dari berbagai bidang studi keilmuan, misalnya ilmu filsafat, ilmu ushuluddin (teologi), ilmu akhlak, ilmu syara' (fiqh), dan ilmu ta awwuf . Jadi, sebenarnya ma’rifatulláh bukan monopoli para para ūfī. Di kalangan ūfī, ma’rifatulláh adalah puncak pencapaian ikir kepada Alláh yang memberi pengaruh besar kepada jiwa seseorang dan tercermin pada ke salehan-kesalehan hidupnya. Orang yang ber ikir akan merasakan nikmatnya ikir sehingga hidupnya tidak lagi mau berpaling dari Alláh atau membelakangi tuntunan-Nya. Kalau para ahli ta awwuf mengaku memperoleh ma’rifatulláh melalui pengetahuan batinnya, maka para ahli filsafat berpendapat bahwa ma’rifatulláh itu dapat diperoleh dengan pengetahuan akalnya. Para ahli tauhid berpendapat bahwa ma’rifatulláh itu dapat diperoleh dengan keimanan-ketauhidan yang murni kepada Alláh. Sedangkan menurut para ahli akhlak, ma’rifatulláh itu dapat dicapai dengan amal shaleh. Menurut para ahli syara', ma’rifatulláh dapat dicapai dengan menjalankan syariat yang benar. Bila demikian halnya, ma’rifatulláh yang paling komplit adalah ma’rifatulláh yang dapat dicapai melalui semua pengetahuan yang ada, baik pengetahuan akal, maupun pengetahuan batin, kemurnian iman-tauhid, kebaikan akhlak dan melalui syariat yang benar. Sebab orang yang mengenal Alláh dengan akalnya pasti membuat keyakinannya kepada Alláh amat kokoh dan bisa dibuktikan secara rasional serta tidak dapat dipatahkan oleh keunggulan ilmu pengetahuan apa pun di muka bumi ini. Bila ia kemudian mengenal Alláh dengan batinnya, maka bertambah mantap dan kuatlah pengenalannya karena apa yang selama ini diyakini kebenarannya oleh akalnya dapat dirasakan kebenarannya oleh batinnya. Hatinya merasakan kenikmatan dan kelezatan yang tak terlukiskan karena merasa sangat dekat dengan Alláh, bahkan merasakan seakan-akan tidak ada tabir antara dirinya dengan Alláh. Apalagi bila ma’rifatulláh juga dicapai dengan akhlak, tauhid dan syariat yang ūfīyah menempuh beberapa cara untuk benar. Para ulama ta awwuf dan kaum mecapai tingkat tertinggi dalam ūfīyah, atau ma’rifatulláh. A. Pengetahuan tentang Tuhan Mengetahui atau mengenal Tuhan bagi orang yang beragama merupakan suatu kepercayaan yang mutlak sebagai fondasi dari pilar iman (rukn al-īmān) yang pertama. Pada umumnya para penganut agama tidak banyak yang menggali secara keilmuan dan pengalaman hidupnya untuk lebih mengenal Tuhannya. Manusia hanya merasa cukup untuk percaya dan beriman berdasarkan warisan keturunan orang beragama sesuai dengan agama yang dimiliki kedua orang tua yang bersangkutan. Keimanan seperti ini terus menerus terjadi di dunia ini. Sehingga keimanan seseorang tergantung kepada kepercayaan turunan nenek moyangnya. Pada saat orang mencari alternatif metode mengenal Tuhannya, dianggap keluar dari kebiasaan yang dapat digolongkan sebagai status quo. Padahal dalam pencarian untuk mengenal Tuhan, telah muncul berbagai teori. Untuk mengawali hal ini dikemukakan di sini bahwa dalam tasawwuf ū al-Nūn alMiśri yang dipandang oleh ulama sebagai Bapak faham ma’rifaħ, ada tiga pengetahuan tentang Tuhan: Pengetahuan Awam : Tuhan satu dengan perantaraan ucapan Syahadat (syahādaħ).. Pengetahuan Ulama : Tuhan satu menurut logika akal. Pengetahuan ūfī : Tuhan satu dengan perantaraan hati sanubari (qalb). Dari ketiga pengetahuan tersebut yang paling populer adalah yang pertama paham bertuhan satu berdasarkan pengucapan syahadat. Syahadat adalah pilar pertama dari rukun Islam dengan bunyi dua kalimat syahadat (syahādatain), kesaksian kepada ketuhanan dan kerasulan Muhammad SAW. Orang dianggap cukup untuk beriman formal dengan mengucapkan dua kalimat atau karena keturunan berislam dari nenek moyangnya. Sedangkan untuk mengenal Tuhan dan mencapai keridaan-Nya ini tidak terbatas dilakukan oleh orang tertentu saja, akan tetapi oleh siapapun dalam tingkatan manapun, termasuk kaum awam sekalipun. Kerena itu di bawah ini disampaikan berbagai metodologi untuk mencapainya. B. Metodologi Ma’rifatulláh Seperti dijelaskan di atas, metodologi mengenal Tuhan itu antara lain dengan pengetahuan syahadat, logika, dan qalb. Tampaknya relevan jika menggunakan konsep yang digunakan ūfī tersebut diharmoniskan dengan temuan konsep dalam kitab Syara ŝalasaħ ŝalasaħ al-U ūl yang ditulis oleh Syaikhul Islam, Mu ammad bn ’Abd alWahh b dengan pensyarah Syaikh Muhammad bn mengenal Alláh li Al-'U aimin, disebutkan bahwa yang tertinggi hanya dapat dilakukan melalui hati (qalb). Konsekuensinya adalah keharusan penerimaan terhadap setiap syariah yang ditetapkan oleh-Nya dengan sebenar-benar ketaatan dan kepatuhan sehingga seorang Muslim senantiasa menjadikan Al-Qur n yang diwahyukan kepada Rasulullah SAW dan assunnah sebagai penentu segala hukum. Ketika seorang hamba berusaha untuk mengenali Tuhannya, ia harus berupaya memahami apa yang tersirat pada ayat-ayat Al-Qur n dan sunnah Rasulullah SAW berkenaan dengan ma’rifatulláh. Selain itu, dengan memperhatikan proses-proses yang terjadi pada alam sekitar, setiap manusia tentunya harus mengakui bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini telah ada yang mengatur. "Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Alláh) bagi orang-orang yang yakin, dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tiada memperhatikan?" (QS alriy t [51]: 20-21). Berpedoman pada kitab Syara alāsaħ al-U ūl itu terdapat beberapa sebab yang memungkinkan seorang hamba mengenali Rabb-nya, dalam tiga tingkatan: Pertama, ia memperhatikan seluruh fenomena alam semesta serta memikirkan hal ihwal yang berlaku pada setiap makhluk. Dengan mengamati fenomena yang terjadi pada alam semesta ini, manusia hendaknya dapat menginsyafi bahwasanya terdapat kekuasaan yang menciptakan dan mengatur segala aktivitasnya. Peristiwa kelahiran, kematian, pergantian siang dan malam adalah hal-hal yang di luar batas kemampuan manusia dan makhluk lainnya untuk mengendalikannya. Tidak ada satu makhlukpun yang dapat mencegah tumbuhnya benih pada rahim manusia, hewan, maupun pembuahan pada tumbuhan. Segala daya upaya yang dikerahkan oleh makhluk takkan kuasa mencegah kelahiran dan kematian serta pergantian siang dan malam. "Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang telah Alláh turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Alláh) bagi kaum yang memikirkan." (QS al-Baqaraħ [2]: 164). Kedua, ia berusaha memahami ayat-ayat syar`iyah berupa wahyu yang diamanahkan kepada para rasul alayhissalām. Ayat-ayat syar'iyaħ yang dimaksud tentulah ayat-ayat yang ada dalam Al-Qur n dan sunnah Nabi SAW yang mengandung seluruh pelajaran mengenai kehidupan manusia di alam dunia dan akhirat. Jika manusia berpedoman dan mampu mengambil ilmu serta hikmah yang terkandung di dalam ayat-ayat tersebut melalui pemahaman, penghayatan dan pengamalan, niscaya ia akan mampu mengenali Rabb-nya. Sebab dengan pemahaman, penghayatan dan pengamalanlah, seseorang dapat merasakan kesempurnaan pelajaran yang terkandung dalam ayat-ayat tersebut bagi kemaslahatan hidup. Jika kemaslahatan hidup tercapai maka terbukalah hijab antara manusia sebagai makhluk dan Alláh SWT sebagai Sang Khaliq. Manusia akan menyadari dan membuktikan sendiri bahwa sesungguhnya ayat-ayat Al-Qur n adalah wahyu yang diamanahkan kepada Rasulullah SAW yang sumbernya dari Alláh Azza Wa Jalla dan tak mungkin kitab ini dikarang oleh manusia, mengingat betapa sempurna ajaran yang dikandung di dalamnya. "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Alláh dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Alláh (Al-Qurān) dan Rasul (as-Sunnah), jika kamu benarbenar beriman kepada Alláh dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya.'' (QS an-Nisā' [4]: 59). Ketiga, ma'rifah yang dikaruniakan langsung oleh Alláh SWT ke dalam qalb orang yang beriman. Dalam pengertian syar’ī, iman adalah meyakini dengan hati, mengucapkan dengan lisan lalu mengamalkannya dengan anggota badan. Yang diyakini, diucapkan, diamalkan oleh orang yang beriman semata-mata hanya peribadatan yang diambil dari perintah dalam kitabullah Al-Qur n dan sunnah Nabi SAW saja. Orang yang beriman hanya akan mengikuti apa-apa yang diperintahkan Alláh dan RasulNya serta menjauhi segala larangan-Nya, sehingga dengan begitu qolbu menjadi bersih dari kotoran-kotoran dan hal tercela. Ketika qalbu-nya telah bersih dari segala hama kotoran, maka dalam ’ib daħnya --baik yang bersifat mahdhah ataupun ghayr mahdhah-seorang yang beriman akan merasa selalu ditatap oleh Rabb-nya. Bahkan, ia seakan-akan melihat Rabb-nya itu dengan mata kepalanya sendiri. Mengenai hal tersebut, Rasulullah SAW telah bersabda, "Hendaklah kamu ber’ib daħ kepada Alláh seakan-akan kamu melihat-Nya. Jika kamu tidak bisa melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu." (HR Muslim). Teori Mu ammad bn ’Abd al-Wahh b selaras dengan tingkatan yang dikategorikan alMişrī ini di atasnya. Yang pada puncaknya metodologi teratas ada pada qalb itu. Untuk mencapai ma’rifatulláh ini setiap penuntut ūfīyah menempuh jalan yang tidak sama. Ma’rifatulláh adalah tingkat telah mencapai tariqat al-haqiqah. Akan tetapi tidak berarti tariqat menuju ma’rifatulláh itu harus secara khusus, lalu menempatkan diri hanya dalam ’ib daħ batiniyah belaka. Akan tetapi untuk mencapai tingkat tariqat ma’rifatulláh itu, para penuntut dapat juga mencapai melalui berguru langsung dengan para syaikh yang mursyid. Para syaikh yang mursyid, biasanya suka memberi pelajaran dan pendidikan kepada masyarakat untuk memberi petunjuk kaifiyat ’ibādaħ dan tau īd Ulūhiyaħ yang bersih dan uswaħ asanaħ Nabi SAW. Landasan utama kesempurnaan setiap individu ataupun suatu komunitas terletak pada kualitas ma'rifat (pengetahuan) dan pola fikir mereka. Kesempurnaan tersebut tidak mungkin terealisasi secara utuh tanpa didukung kualitas pengetahuan yang tinggi. Metodologi semacam ini disebut menjadi cara yang digunakan kaum ṭ arīqat al-haqīqaħ yang kita kenal kemudian menjadi kelompok atau ma hab Tarekat. Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi ilmu dan pengetahuan. Pesan Islam tentang pentingnya peningkatan intelektual dan keilmuan akan banyak kita dapati di berbagai rujukan tradisional yang tidak terhitung jumlahnya. Sebagai contoh, adī yang berbunyi,: "Tafakur sesaat lebih utama dibanding ’ibādaħ tiga puluh tahun. "Sedemikian tinggi nilai ma'rifat di mata Islam, sehingga ia dikategorikan sebagai paling mulianya ’ib daħ, yang jika dibandingkan dengan ’ib daħ sekian puluh tahun lamanya dan tanpa didasari ilmu dan ma'rifat, maka ia jauh lebih baik dari pada ’ib daħ tersebut. Alláh swt dalam Al-Qur n menjelaskan bahwa salah satu fungsi diutusnya rasul adalah untuk meningkatkan kualitas keilmuan dan pola fikir manusia, " ......dan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah ." (Q.S. Al-Jumū’ah : 2). Dalam pandangan Islam, kualitas sebuah perbuatan bisa diukur dari tingkat ma'rifat si pelakunya. Jika pelaku tidak melandasi perbuatannya dengan pengetahuan atau ma'rifat, perbuatannya itu tidak bernilai sama sekali. Dengan kata lain, tingkat kualitas suatu tindakan ditentukan sesuai dengan derajat ma'rifat pelakunya. Semakin tinggi derajat ma'rifat seseorang, semakin tinggi pula kualitas perbuatannya, meskipun perbuatan itu secara lahiriah nampak remeh, sebagaimana yang ditegaskan dalam riwayat "Tidurnya orang alim adalah ’ibādaħ." Tentu saja, ma’rifat ini sama sekali tidak bertentangan dengan ayat yang mengatakan, "? Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Alláh ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu ?" (Q.S. Al-Hujurat : 13) karena kalau ditelusuri lebih dalam lagi kita akan ketahui bahwa ketakwaan diperoleh berkat amal saleh dan amal saleh sendiri tidak akan lahir kecuali dari sumber keimanan, sedangkan keimanan ini mustahil dicapai tanpa landasannya, yaitu ma'rifat. Ringkasnya, ketakwaan tidak mungkin didapati kecuali dengan ilmu dan ma'rifat. Di samping itu, kemuliaan manusia yang dinilai dengan ketakwaannya, juga dinilai dengan sumber ketakwaannya tersebut; yaitu ma'rifat. Maka, betapa besar perhatian dan penekanan ajaran Islam terhadap nilai ilmu dan ma'rifat, sebagaimana yang ditegaskan firman Alláh swt dalam adī qudsi berikut ini: "Aku ibarat harta yang terpendam, maka Aku senang untuk diketahui. Oleh karena itu, Kuciptakan makhluk agar diriku diketahui" (Bi ār al-Anwār). Penciptaan makhluk yang ada di alam semesta ini, khususnya manusia yang memiliki berbagai potensi, adalah untuk ber-ma'rifat kepada Alláh yang merupakan tujuan utama penciptaan. Imam Ja'far diq a.s. dengan menukil riwayat dari kakek beliau, Imam Ali Zainal ’ bidīn a.s. menafsirkan kata "al-’ibādaħ" yang tercantum dalam ayat "Tidaklah Kucipta-kan jin dan manusia kecuali untuk ber’ibādaħ kepada-Ku" (Q.S Al- ujur t : 13), bersabda, "Wahai para manusia! Sesung-guhnya Alláh swt tidak menciptakan hamba-hamba-Nya kecuali untuk mengenal (ber-ma'rifat) kepada-Nya" (Bi ār al-Anwār ). Jelas, dilihat dari sisi definisi, ’ib daħ berbeda dengan ma'rifat. Namun, jika kita lihat hubungan keduanya, maka kita akan dapat menilai eratnya hubungan itu, karena bagaimana mungkin kita akan ber’ib daħ kepada Zat yang tidak kita kenal, dan mungkinkah kita merasa sudah mengenal Zat Mahasempurna, yang selayaknya disembah dan harus kita tuju untuk kesempurnaan jiwa kita, sementara kita tidak melakukan ’ib daħ kepada-Nya, padahal kita tahu bahwa kesempurnaan jiwa mustahil dicapai tanpa ’ib daħ. Imam Ali a.s. dalam Nahj al-Balāgaħ membuka khutbah pertamanya dengan ucapan, "Awal agama adalah mengenal-Nya." Maka, awal yang harus diraih seorang hamba dalam ber-ma'rifat adalah pengetahuan tentang penciptanya yang melahirkan suatu keyakinan. Ia tidak akan mencapai suatu keyakinan tanpa pengetahuan. Lawan ma'rifat adalah taqlid. Kata ini berarti mengikuti ucapan seseorang tanpa landasan argumen. Maka, taqlid tidak dikategorikan sebagai ilmu. Ia sama sekali tidak akan meniscayakan keyakinan. Sehubungan dengan ma’rifatulláh dalam pandangan Islam, khususnya mazhab Ahlul Bayt, setiap manusia harus meyakini keberadaan Alláh swt dengan berbagai konsekuensi ketuhanan-Nya, karena keyakinan tidak mungkin muncul tanpa landasan ilmu dan argumen. Oleh karena itu, Islam melarang taqlid dalam masalah ini. Tentu saja, manusia tidak mungkin ber-ma'rifat dan mengenal Zat Alláh SWT haqqu ma'rifatih (secara utuh dan sempurna), sebagaimana yang dibuktikan oleh akal. Karena, bagaimana mungkin sesuatu yang terbatas (makhluk) dapat mengetahui dan menjangkau zat yang tidak terbatas (al-Khaliq) dari berbagai sisi-Nya. Oleh sebab itu, rasul sebagai makhluk yang paling sempurna pernah bersabda dalam penggalan munajatnya, "Wahai Tu-hanku, diriku takkan pernah mengetahui-Mu sebagaimana mestinya." LATIHAN Petunjuk: Jawablah pertanyaan di bawah ini secara jelas dan tepat! 1. Jelaskan pengertian ma’rifatulláh yang dapat dicapai manusia secara teoretis ? 2. Sebutkan tiga tingkatan pengetahuan tentang Tuhan dengan menjelaskannya dari sudut pandang Muhammad Abd al-Wahhab dengan Al-Misri? 3. Sebutkan perbedaan ilmu dengan ma’rifaħ dalam pandangan kaum ūfī ? 4. Jelaskan pandangan ma’rifatulláh dalam paham qalb, dan rū ūfī dengan mengaitkan sirr, serta aql. ! 5. Mengapa ma’rifatulláh menjadi halal di kalangan kaum syariat menurut alGazali? Rambu-rambu jawaban Untuk menjawab soal latihan secara lengkap, Anda dapat mengacu pada uraian materi Pengertian dan Metodologi marifatullah ma’rifatullàh (ma’rifaħ Allàh). 1. Ma’rifatulláh secara teoretis bisa dicapai dari berbagai bidang studi keilmuan, misalnya ilmu filsafat, ilmu ushuluddin (teologi), ilmu akhlak, ilmu syara' (fiqh), dan ilmu ta awwuf . Pendeknya dapat dilakukan melalui keimanan akal, syariat, dan batin. 2. Dalam tasawwuf ū al-Nūn al-Miśri ada tiga pengetahuan tentang Tuhan: Pengetahuan Awam : Tuhan satu dengan perantaraan ucapan Syahadat (syahādaħ)., Pengetahuan Ulama : Tuhan satu menurut logika akal, dan Pengetahuan ūfī : Tuhan satu dengan perantaraan hati sanubari (qalb). Sedang menurut Muhammad bn Abd al-Wahhab mengenal Tuhan itu dengan memperhatikan fenomena alam, memahami ayat-ayat syar'iyah dengan akal, dan qalb menerima ma’rifah. 3. Pengetahuan melalui syahadat dan akal adalah ilmu, sedang ma’rifaħ dapat dicapai dengan qalb, hati sanubari yang diberikan Tuhan hingga hatinya penuh dengan cahaya. 4. Menurut al-Gazali: Ma’rifaħ dengan arti mengetahui rahasia Alláh dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada, dicapai melalui qalb dari Alláh secara langsung. Tidak menyeleweng dari Islam dan dapat diterima oleh al-Gazali. RANGKUMAN Konsep ma’rifatulláh secara teoretis bisa dicapai dari berbagai bidang studi keilmuan, misalnya ilmu filsafat, ilmu ushuluddin (teologi), ilmu akhlak, ilmu syara' (fiqh), dan ilmu ta awwuf . Pendeknya dapat dilakukan melalui keimanan akal, syariat, dan batin. Tingkatan tasawwuf menurut ū al-Nūn al-Miśri ada tiga pengetahuan tentang Tuhan: (1) Pengetahuan Awam : Tuhan satu dengan perantaraan ucapan Syahadat (syahādaħ)., (2) Pengetahuan Ulama : Tuhan satu menurut logika akal, dan (3) Pengetahuan ūfī : Tuhan satu dengan perantaraan hati sanubari (qalb). Sedang menurut Muhammad bn Abd al-Wahhab mengenal Tuhan itu dengan memperhatikan fenomena alam, memahami ayat-ayat syar'iyah dengan akal, dan qalb menerima ma’rifah. Pengetahuan melalui syahadat dan akal adalah ilmu, sedang ma’rifaħ dapat dicapai dengan qalb, hati sanubari yang diberikan Tuhan hingga hatinya penuh dengan cahaya. Menurut al-Gazali: Ma’rifaħ dengan arti mengetahui rahasia Alláh dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada, dicapai melalui qalb dari Alláh secara langsung. Tidak menyeleweng dari Islam dan dapat diterima oleh alGazali. TES FORMATIF 1 Petunjuk: Pilihlah salah satu jawaban yang dianggap paling tepat ! 1. Ma’rifatulláh merupakan konsep kaum ūfī dan berbagai bidang keilmuan Islam di masing-masing disiplin ilmu untuk: a. melaksanakan ajaran Islam b. mengetahui zat Alláh c. mendekatkan diri kepada Alláh d. mengenal Alláh 2. Ma’rifatulláh merupakan konsep Ibn Qayyim untuk mendekati Alláh dengan: a. melaksanakan ajaran Islam b. mengetahui zat Alláh, Asma-Nya, dan Sifat-Nya c. mendekatkan diri kepada Alláh untuk ber’ib daħ d. mengenal Alláh untuk menghindari siksaan-Nya 3. Ma’rifatulláh didapatkan oleh ahli tasawwuf melalui: a. pengetahuan hati sanubari, qalb b. pengetahuan akal fikiran yang sehat c. pengetahuan keimanan mengenal Alláh d. pengetahuan menjalankan syariat Alláh 4. Ma’rifatulláh didapatkan oleh ahli filsafat melalui: a. pengetahuan hati sanubari, qalb b. pengetahuan akal fikiran yang sehat c. pengetahuan keimanan mengenal Alláh d. pengetahuan menjalankan syariat Alláh 5. Ma’rifatulláh didapatkan oleh ahli syara' melalui: a. pengetahuan hati sanubari, qalb b. pengetahuan akal fikiran yang sehat c. pengetahuan keimanan mengenal Alláh d. pengetahuan menjalankan syariat Alláh 6. Ma’rifatulláh adalah dasar pertama dari pilar agama: a. Rukun iman b. Rukun Islam c. Rukun Salat d. Rukun Iman dan Islam 7. Ma’rifatulláh adalah Tuhan satu dengan perantaraan ucapan Syahadat (syahādaħ)..merupakan: a. Pengetahuan Awam b. Pengetahuan Ulama c. Pengetahuan ūfī d. Pengetahuan Umat Islam 8. Ma’rifatulláh adalah Tuhan satu dengan perantaraan hati sanubari (qalb) merupakan: a. Pengetahuan Awam b. Pengetahuan Ulama c. Pengetahuan ūfī d. Pengetahuan Umat Islam 9. Ma’rifatulláh adalah Tuhan satu dengan perantaraan logika akal merupakan: a. Pengetahuan Awam b. Pengetahuan Ulama c. Pengetahuan ūfī d. Pengetahuan Umat Islam 10. Menurut al-Gazali dengan ma’rifaħ ini dalam tasawwuf halal bagi kaum syariat karena: a. Diterima sebagai pengetahuan yang lazim terjadi b. Diterima oleh ilmu pengetahuan Ulama c. Sunni sesuai dengan Pengetahuan ūfī d. Pengetahuan Umat Islam pada umumnya menerima BALIKAN DAN TINDAK LANJUT Cocokkanlah hasil jawaban Anda dengan kunci jawaban Tes Formatif 1 yang ada pada bagian belakang modul ini. Hitunglah jawaban Anda yang benar, kemudian gunakan rumus di bawah ini untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi kegiatan belajar 1. Rumus: Jumlah Jawaban Anda yang benar 10 Tingkat Penguasaan = X 100% Arti Tingkat Penguasaan: 90% - 100% = Baik Sekali 80% - 89% = Baik 70% - 79% = Cukup - 69% = Kurang Kalau Anda mencapai tingkat penguasaan 80% ke atas, anda dapat meneruskan dengan kegiatan belajar 2, Bagus ! Akan tetapi apabila tingkat penguasaan Anda masih di bawah 80%, Anda harus mengulang kegiatan belajar 1, terutama bagian yang belum Anda kuasai. KEGIATAN BELAJAR 2 URGENSI DAN CIRI-CIRI MA’RIFATULLÁH PENGANTAR Dalam berbagai bidang studi keilmuan ma’rifatulláh adalah jiwa untuk tujuan mencapai kebahagiaan manusia dari dalam ilmu filsafat, ilmu ushuluddin (teologi), ilmu akhlak, ilmu syara' (fiqh), dan ilmu ta awwuf . Urgensinya,Ma’rifatulláh bukanlah hanya bagi para ūfī. Di kalangan para ūfī, memang ma’rifatulláh adalah puncak pencapaian ikir kepada Alláh yang memberi pengaruh besar kepada jiwa seseorang dan tercermin pada ke salehan-kesalehan hidupnya. Namun orang yang ber ikir akan merasakan nikmatnya ikir sehingga hidupnya tidak lagi mau berpaling dari Alláh atau membelakangi tuntunan-Nya tidak selalu dari dari faham tasawwuf. Kalau para ahli ta awwuf mengaku memperoleh ma’rifatulláh melalui pengetahuan batinnya, maka para ahli filsafat berpendapat bahwa ma’rifatulláh itu dapat diperoleh dengan pengetahuan akalnya. Para ahli tauhid berpendapat bahwa ma’rifatulláh itu dapat diperoleh dengan keimanan-ketauhidan yang murni kepada Alláh. Sedangkan menurut para ahli akhlak, ma’rifatulláh itu dapat dicapai dengan amal shaleh. Menurut para ahli syara', ma’rifatulláh dapat dicapai dengan menjalankan syariat yang benar. Bila demikian halnya, ma’rifatulláh yang paling komplit adalah ma’rifatulláh yang dapat dicapai melalui semua pengetahuan yang ada, baik pengetahuan akal, maupun pengetahuan batin, kemurnian iman-tauhid, kebaikan akhlak dan melalui syariat yang benar. Sebab orang yang mengenal Alláh dengan akalnya pasti membuat keyakinannya kepada Alláh amat kokoh dan bisa dibuktikan secara rasional serta tidak dapat dipatahkan oleh keunggulan ilmu pengetahuan apa pun di muka bumi ini. Bila ia kemudian mengenal Alláh dengan batinnya, maka bertambah mantap dan kuatlah pengenalannya karena apa yang selama ini diyakini kebenarannya oleh akalnya dapat dirasakan kebenarannya oleh batinnya. A. Pandangan Kaum Ṣ ūfī Ma’rifaħ Alláh dalam faham ūfī sebenarnya berarti mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan. Orang-orang ūfī mengatakan: "Kalau mata yang terdapat dalam hati sanubari manusia terbuka, mata kepala akan tertutup, dan ketika itu yang dilihat hanyalah Alláh. Ma’rifaħ adalah cermin, kalau seorang ’ārif melihat pada cermin yang akan dilihatnya hanyalah Alláh. Yang dilihat orang’ārif baik sewaktu tidur maupun sewaktu bangun hanya Alláh. Sekiranya ma’rifaħ mengambil bentuk materi, semua orang yang melihat padanya akan mati karena tidak tahan melihat kecantikan serta keindahannya...dan semua cahaya akan menjadi gelap di samping cahaya keindahan yang gilang gemilang. Seperti pandangan al-Miśri yang memandang urgensi ma’rifaħ sebagai alat untuk menuju pada pengetahuan tentang Tuhan : Orang Awam menuju ke arah pengesaan Tuhan dengan perantaraan ucapan Syahadat berupa fenomena alam jagat raya yang nyata. Meningkat kepada pengetahuan intelektual mengenal Tuhan satu disertai argumentargumen rasional menggunakan logika akalnya. Pada tingkatan pengetahuan seperti ini, baik dari fenomena alam syahadaħ-nya maupun sampai kepada dalil aqli rasional ini disebut ilmu. Petualangan para pencari ilmu ini di dunia akademis, sekolah, kuliah dan mendapatkan pengetahuan tentang Tuhan dengan gelar maupun non gelar dan berkeahlian, yang mereka peroleh adalah ilmu pengetahuan (sciences). Kaum ūfī memandang ketidakcukupan tentang pengetahuan Tuhan satu ini hana dengan ilmu pengetahuan. Pengalaman,pengetahuan, dan kontemplasi batin yang digunakan dengan segenap latihan ikir yang disebut riyāďaħ diamalkan dengan perantaraan hati sanubari (qalb)¸ maka pncak keberhasilan hubungan dan pengenalan seoranf ūfī dengan Alláh di sini baru disebut dengan ma’rifaħ. Barulah pada puncak pendakian tinggi hati sanbari, qalb ini yang dinamakan ma’rifatullāh. Dari sini jelas perbedaan antara ilmu dan ma’rifaħ itu tampak. Maka dalam bahasa yang lain ilmu itu dapat disebut sebagai kognisi sedang ma’rifaħ tidak dapat dikatakan demikian, karena metode perolehannya tidak cukup dengan menggunakan fenomena alam dan akal belaka. Urgensi penggunaan dan pengalaman qalb menjadi sangat sentral setelah ilmu pengetahuan. Pengetahuan dalam arti satu dan dua, belum merupakan pengetahuan hakiki tentang Tuhan. Keduanya disebut ilmu bukan ma’rifaħ. Pengetahuan dalam arti ke tiga ini lah yang merupakan pengetahuan hakiki tentang-Nya dan pengetahuan inilah yang disebut ma’rifaħ. Hal ini hanya terdapat dalam paham kaum ūfī, yang sanggup melihat Tuhan dengan hati sanubari (qalb) mereka. Pengetahuan serupa ini hanya diberikan Tuhan kepada kaum ūfī. Ma’rifaħ dimasukkan Tuhan ke dalam hati seorang ūfī, sehingga hatinya penuh dengan cahaya. Zū al-Nūn al-Miśri lagi memiliki konsep ma’rifaħ dengan ungkapan : " ’araftu rabbī bi rabbī wa lau lā rabbī lamā ’araftu rabbī". "aku mengetahui Tuhan dengan Tuhan dan sekiranya tidak karena Tuhan aku tidak akan tahu Tuhan". Ini menggambarkan bahwa ma’rifaħ tidak diperoleh begitu saja, tetapi adalah pemberian Tuhan, a direct knowledge of God base on revelation. Ma’rifaħ bukanlah hasil pemikiran manusia tetapi bergantung kepada kehendak dan rahmat Tuhan melalui hati sanubarinya, qalb. Ma’rifaħ adalah pemberian Tuhan kepada ūfī yang sanggup menerimanya. Alat untuk memperoleh ma’rifaħ oleh kaum ūfī disebur sirr. Menurut al-Qusyairi ada tiga alat dalam tubuh manusia yang dipergunakan ūfī dalam hubungan mereka dengan Tuhan. Qalb untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan, Rū untuk mencintai Tuhan dan Sirr untuk melihat Tuhan. Sirr lebih halus dari rū dan qalb . Qalb tidak sama dengan jantung atau heart dalam bahasa Inggris, karena qalb selain dari alat untuk merasa adalah juga untuk berfikir. Perbedaan qalb dengan aql, ialah bahwa ’aql tak bisa memperoleh pengetahuan yang sebenarnya tentang Tuhan, sedang qalb bisa mengetahui hakekat dari segala yang ada, dan jika dilimpahi cahaya Tuhan, bisa mengetahui rahasia-rahasia Tuhan. Kelihatannya sirr bertempat di rū dan rū bertempat di qalb dan sirr timbul dan dapat menerima illuminasi dari Alláh kalau qalb dan rū telah suci sesuci-sucinya dan kosong sekosong- kosongnya, tidak berisi apapun. Di waktu itulah Tuhan menurunkan cahaya-Nya kepada sang ūfī dan yang dilihat oleh ūfī itupun hanyalah Alláh. Di sini sampailah ia ke tingkat ma’rifaħ. Memperoleh ma’rifaħ Makin banyak seorang merupakan proses yang bersifat kontiniu. ūfī memperoleh ma’rifaħ dari Tuhan, makin banyak yang diketahuinya tentang rahasia-rahasia Tuhan dan ia pun makin dekat kepada Tuhan. Tetapi memperoleh ma’rifaħ yang penuh tentang Tuhan, tidak mungkin karena manusia bersifat finit, sedang Tuhan bersifat infinit. Sebagai kata al-Junaid: " Cangkir teh tak akan bisa menampung segelas air yang ada di laut." Ma’rifaħ yang seperti ini diakui oleh Ahli Sunnah dan Jamaah karena ma’rifaħ ini diterima oleh al-Gazali. Menurutnya dengan ma’rifaħ ini tasawwuf menjadi halal bagi kaum syariat, sesudah kaum ulama memandangnya sebagai hal yang menyeleweng dari Islam, yaitu tasawwuf sebagai yang diajarkan al-Bistami dan Al- all j tentang ittihad dan hulul. Bagi al-żaz lī ma’rifaħ ialah mengetahui rahasia Alláh dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada: Bahwa yang mempunyai ma’rifaħ tentang Tuhan menurut al-Gazali adalah ’ārif. B. Urgensi Ma’rifatulláh Ma’rifatulláh adalah puncak kesadaran yang akan menentukan perjalanan hidup manusia selanjutnya. Karena ma’rifatulláh akan menjelaskan tujuan hidup manusia yang sesungguhnya. Ketiadaan ma’rifatulláh membuat banyak orang hidup tanpa tujuan yang jelas, bahkan menjalani hidupnya sebagaimana makhluk hidup lain (binatang). (QS.47:12). Ma’rifatulláh adalah asas (landasan) perjalanan rū iyyaħ (spiritual) manusia secara keseluruhan. Seorang yang mengenali Alláh akan merasakan kehidupan yang lapang. Ia hidup dalam rentangan panjang antara bersyukur dan bersabar. Sabda Nabi : Amat mengherankan urusan seorang mukmin itu, dan tidak terdapat pada siapapun selain mukmin, jika ditimpa musibah ia bersabar, dan jika diberi karunia ia bersyukur” (HR.Muslim) Orang yang mengenali Alláh akan selalu berusaha dan bekerja untuk mendapatkan ridha Alláh, tidak untuk memuaskan nafsu dan keinginan syahwatnya. Dari Ma’rifatulláh inilah manusia terdorong untuk mengenali para nabi dan rasul, untuk mempelajari cara terbaik mendekatkan diri kepada Alláh. Karena para Nabi dan Rasul-lah orang-orang yang diakui sangat mengenal dan dekat dengan Alláh. Dari Ma’rifatulláh ini manusia akan mengenali kehidupan di luar alam materi, seperti Malaikat, jin dan ruh. Dari Ma’rifatulláh inilah manusia mengetahui perjalanan hidupnya, dan bahkan akhir dari kehidupan ini menuju kepada kehidupan Barzakh (alam kubur) dan dilanjutkan kehidupan akherat bertemu dengan Alláh. C. Ciri-ciri dalam Ma’rifatulláh Seseorang dianggap ma’rifatulláh (mengenal Alláh) jika ia telah mengenali: a. Asma' (nama) Alláh b. sifat Alláh dan c. af'al (perbuatan) Alláh, yang terlihat dalam ciptaan dan tersebar dalam kehidupan alam ini. Kemudian dengan bekal pengetahuan itu, ia menunjukkan : a. sikap idq (benar) dalam ber -mu'amalah (bekerja) dengan Alláh, b. ikhlas dengan niat dan tujuan hidup hanya karena Alláh, c. pembersihan diri dari akhlak-akhlak tercela dan kotoran-kotoran jiwa yang membuatnya bertentangan dengan kehendak Alláh SWT d. sabar/menerima pemberlakuan hukum/aturan Alláh atas dirinya e. berda'wah/ mengajak orang lain mengikuti kebenaran agamanya membersihkan da'wahnya itu dari pengaruh perasaan, logika dan subyektifitas siapapun. Ia hanya menyerukan ajaran agama seperti yang pernah diajarkan Rasulullah SAW. Figur teladan dalam ma’rifatulláh ini adalah Rasulullah SAW. Dialah orang yang paling utama dalam mengenali Alláh SWT. Sabda Nabi : “Sayalah orang yang paling mengenal Alláh dan yang paling takut kepada-Nya”. HR Al Bukahriy dan Muslim. Hadits ini Nabi ucapkan sebagai jawaban dari pernyataan tiga orang yang ingin mendekatkan diri kepada Alláh dengan keinginan dan perasaannya sendiri. Tingkatan berikutnya, setelah Nabi adalah ulama amilun ( ulama yang mengamalkan ilmunya). Firman Alláh : “Sesungguhnya yang takut kepada Alláh di antara hambahamba-Nya, hanyalah ulama” (QS. 35:28). Orang yang mengenali Alláh dengan benar adalah orang yang mampu mewarnai dirinya dengan segala macam bentuk ’ib daħ. Kita akan mendapatinya sebagai orang yang rajin shalat, pada saat lain kita dapati ia senantiasa berzikir, tilawah, pengajar, mujahid, pelayan masyarkat, dermawan, dst. Tidak ada ruang dan waktu ’ib daħ kepada Alláh, kecuali dia ada di sana. Dan tidak ada ruang dan waktu larangan Alláh kecuali ia menjauhinya. Ada sebagian ulama yang mengatakan : “Duduk di sisi orang yang mengenali Alláh akan mengajak kita kepada enam hal dan berpaling dari enam hal, yaitu : dari ragu menjadi yakin, dari riya menjadi ikhlash, dari ghaflah (lalai) menjadi ingat, dari cinta dunia menjadi cinta akhirat, dari sombong menjadi tawaḍ u’ (randah hati), dari buruk hati menjadi nasehat”. D. Sarana Ma’rifatulláh Sarana yang mengantarkan seseorang pada ma’rifatulláh adalah : 1. Akal sehat Akal sehat yang merenungkan ciptaan Alláh. Banyak sekali ayat-ayat Al Qur'an yang menjelaskan pengaruh perenungan makhluk (ciptaan) terhadap pengenalan al-Khāliq (pencipta) seperti firman Alláh : Katakanlah “ Perhatikanlah apa yang ada di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Alláh dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman. (QS 10:101 atau QS 3: 190-191). Sabda Nabi : “Berfikirlah tentang ciptaan Alláh dan janganlah kamu berfikir tentang Alláh, karena kamu tidak akan mampu” (HR. Abu Nu'aim). 2. Para Rasul Para Rasul yang membawa kitab-kitab yang berisi penjelasan sejelas-jelasnya tentang ma’rifatulláh dan konsekuensi-konsekuensinya. Mereka inilah yang diakui sebagai orang yang paling mengenali Alláh. Firman Alláh: “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan ) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan..” QS. 57:25 3. Asm ` dan Sifat Alláh Mengenali asma (nama) dan sifat Alláh disertai dengan perenungan makna dan pengaruhnya bagi kehidupan ini menjadi sarana untuk mengenali Alláh. Cara inilah yang telah Alláh gunakan untuk memperkenalkan diri kepada makhluk-Nya. Dengan asma dan sifat ini terbuka jendela bagi manusia untuk mengenali Alláh lebih dekat lagi. Asma dan sifat Alláh akan menggerakkan dan membuka hati manusia untuk menyaksikan dengan seksama pancaran cahaya Alláh. Firman Alláh: “Katakanlah : Serulah Alláh atau serulah Ar Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asma' al husna (nama-nama yang terbaik) (QS. 17:110). Asma' al husna inilah yang Alláh perintahkan pada kita untuk menggunakannya dalam berdoa. Firman Alláh : “Hanya milik Alláh asma al husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma al husna itu…” (QS. 7:180). Inilah sarana efektif yang Alláh ajarkan kepada umat manusia untuk mengenali Alláh SWT (ma’rifatulláh). Dan ma’rifatulláh ini tidak akan realistis sebelum seseorang mampu menegakkan tiga tingkatan tauhid, yaitu : tauhid rububiyyah, tauhid asma dan sifat. Kedua tauhid ini sering disebut dengan tauhid al-ma’rifaħ wa al-i bat (mengenal dan menetapkan) kemudian tauhid yang ketiga yaitu tauhid uluhiyyah yang merupakan tauhid thalab (perintah) yang harus dilakukan. LATIHAN Petunjuk: Jawablah pertanyaan di bawah ini secara jelas dan tepat! 1. Jelaskan pengertian ma’rifatulláh menurut kaum ūfī ? 2. Sebutkan perbedaan ilmu dan ma’rifaħ ? 3. Bagaimana proses mendapatkan ma’rifaħ dalam pandangan kaum ūfī ? 4. Jelaskan bagaimana ma’rifatulláh itu hanya dapat diketahui dari Tuhan sendiri. ! 5. Jelaskan urgensi dari ma’rifatulláh. ! Rambu-rambu jawaban Untuk menjawab soal latihan secara lengkap, Anda dapat mengacu pada uraian materi urgensi ma’rifatullàh (ma’rifaħ Allàh). 1. Ma’rifatulláh Ma’rifatulláh hanya bisa dicapai dari ilmu ta awwuf . dengan perantaraan hati sanubari (qalb). bukan dengan ilmu melainkan dengan ma’rifaħ . 2. Ilmu diperoleh dari fenomena alam, memahami ayat-ayat syar'iyah dengan akal, dan qalb menerima ma’rifah dengan alat rū dan sirr. 3. Pengetahuan melalui syahadat dan akal adalah ilmu, sedang ma’rifaħ dapat dicapai dengan qalb, hati sanubari yang diberikan Tuhan hingga hatinya penuh dengan cahaya. 4. Melalui ilmu tidak akan sampai kepada ma’rifaħ, bila berlatih zikir, mendekati Alláh dengan qalb menggunakan alat rū dansirr, kepadanya Alláh akan menyambutnya dengan limpahan cahaya-Nya dan membuka rahasia-Nya untuk dekat dan melihat-Nya. 5. Urgensi ma’rifatulláh adalah mendapatkan rida Alláh, mendekatkan diri kepadaNya, dapat mengenali kehidupan di luar alam materi, dan menuju kepada kehidupan barzah yang puncaknya pada kehidupan akherat bertemu Alláh. RANGKUMAN Ma’rifatulláh hanya bisa dicapai dari ilmu ta awwuf . dengan perantaraan hati sanubari (qalb). bukan dengan ilmu melainkan dengan ma’rifaħ. Ilmu didapatkan dengan perantaraan syahadat dan logika akal, sedang ma’rifaħ diperoleh melalui qalb, hati sanubari dengan alat yang dinamakan sirr untuk melihat-Nya dan dengan rūh untuk mmencintai-Nya. Urgensi ma’rifatulláh adalah mendapatkan rida Alláh, mendekatkan diri kepadaNya, dapat mengenali kehidupan di luar alam materi, dan menuju kepada kehidupan barzah yang puncaknya pada kehidupan akherat bertemu Alláh. TES FORMATIF 2 Petunjuk: Pilihlah salah satu jawaban yang dianggap paling tepat ! 1. Ma’rifatulláh merupakan pandangan keilmuan Islam ūfī tentang melihat Alláh dari dekat, dengan apakah mereka melihat Alláh: a. Mata kepala sendiri b. Kata akal sehat manusia c. Mata hati sanubari, qalb. d. Mata kepala tertutup 2. Ma’rifatulláh berarti seseorang a. Yang dilihat hanyalah Alláh ūfī, ’ārif bila melihat cermin dirinya maka: b. Yang dilihat zat Alláh, Asma-Nya, dan Sifat-Nya c. Berarti mendekatkan diri kepada Alláh untuk ber’ib daħ d. Melihat Alláh dengan mengidentikkan dirinya untuk menghindari siksaan-Nya 3. Pengetahuan dalam arti ucapan syahadat dan akal tentang Tuhan disebut: a. pengetahuan syariaħ Alláh b. pengetahuan akal fikiran yang sehat bagi Islam c. pengetahuan keimanan yang dinamai ma’rifaħ d. pengetahuan menjalankan syariat Alláh 4. Ma’rifatulláh adalah konsep mengenal Alláh bagi orang ūfī melalui: a. pengetahuan hati sanubari, qalb b. pengetahuan akal fikiran yang sehat c. pengetahuan keimanan dari Tuhan itu sendiri d. pengetahuan menjalankan syariat Alláh 5. alat yang digunakan kaum ūfī untuk Ma’rifatulláh adalah disebut: a. hati sanubari, qalb b. rū c. sirr d. ketiga-tiganya, butir a, b, dan c. 6. Dalam ma’rifatulláh adalah qalb berfungsi untuk: e. Mengetahui Rukun Iman f. Mengenal Rukun Islam g. Mengetahui sifat-sifat Tuhan h. Melihat Tuhan 7. Dalam ma’rifatulláh, Tuhan dapat dilihat dengan: a. Mata Kepala b. Akal c. Ruh d. Sirr 8. Menggunakan rū dalam konsep ma’rifatulláh untuk: a. Mencintai Alláh b. Melihat Alláh c. Mendekati Alláh d. Mengimani Alláh 9. Ciri ma’rifatulláh adalah mengenal Tuhan satu dengan perantaraan logika akal, qalb, rū dan sirr dianggap cukup bila telah mengenali: a. Pengetahuan Asma, Sifat, dan Af'al Alláh b. Pengetahuan Tasawuf c. Pengetahuan Ilmu Kalam d. Pengetahuan Umat Islam 10. Sarana yang menghantarkan pada ma’rifatulláh adalah : a. Ilmu Pengetahuan Islam yang luas b. Pengalaman ’ib daħ c. Banyak membaca Al-Qur n d. Akal Sehat, Para Rasul, dan Sifat serta Asma Alláh BALIKAN DAN TINDAK LANJUT Cocokkanlah hasil jawaban Anda dengan kunci jawaban Tes Formatif 2 yang ada pada bagian belakang modul ini. Hitunglah jawaban Anda yang benar, kemudian gunakan rumus di bawah ini untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi kegiatan belajar 2. Rumus: Jumlah Jawaban Anda yang benar 10 Tingkat Penguasaan = Arti Tingkat Penguasaan: 90% - 100% = Baik Sekali 80% - 89% = Baik 70% - 79% = Cukup - 69% = Kurang X 100% Kalau Anda mencapai tingkat penguasaan 80% ke atas, anda dapat meneruskan dengan kegiatan belajar 2, Bagus ! Akan tetapi apabila tingkat penguasaan Anda masih di bawah 80%, Anda harus mengulang kegiatan belajar 1, terutama bagian yang belum Anda kuasai. KEGIATAN BELAJAR 3 JALAN MENUJU MA’RIFATULLÁH PENGANTAR Para ulama ta awwuf dan kaum tarekat menempuh beberapa cara untuk mecapai tingkat tertinggi dalam penuntut ūfī yaitu ma’rifatulláh. Untuk mencapai ma’rifatulláh ini setiap ūfī menempuh jalan yang tidak sama. Ma’rifatulláh adalah tingkatan yang telah mencapai tariqat al-haqiqah. Tariqat yang berarti jalan atau metode dalam ilmu tasawwuf sering dipakai sebagai istilah metode menuju kepada kebenaran menuju Tuhan. Maka dari sinilah lahir nama mazhab spiritual atau pelatiha-pelatihan menuju kepada Tuhan disebut dengan Tarekat. Akan tetapi tidak berarti tariqat menuju ma’rifatulláh itu harus secara khusus, lalu menempatkan diri hanya dalam ’ib daħ batiniyah belaka. Akan tetapi untuk mencapai tingkat tariqat ma’rifatulláh itu, para penuntut dapat juga mencapai melalui berguru langsung dengan para syaikh yang mursyid. Para syaikh yang mursyid, biasanya suka memberi pelajaran dan pendidikan kepada masyarakat untuk memberi petunjuk kaifiyat ’ibādaħ dan tauhid Uluhiyah yang bersih dan uswah hasanah Nabi SAW. Imam al-Ghazaly berkata: "Barangsiapa berilmu dan beramal serta mengajarkan ilmunya, maka ia termasuk orang yang mendapat predikat orang mulla di kerajaan langit. Ia telah berma'rifat kepada Alláh. Ia adalah ibarat matahari yang menyinari dirinya sendiri, atau laksana minyak misik yang harum yang menyebarkan keharuman disekitarnya, sedangkan ia sendiri berada dalam keharuman". Ketika seorang guru (da'i) sedang asyik mengajarkan ia berada dalam suasana yang agung dan suci. Oleh karena itu seorang da'i atau guru yang sedang mengajar Al Islam, hendaklah selalu menjaga kesucian dan adab-adabnya. Ada pula yang menempuh jalan zikrullah dengan mewiridkan zikir-zikir yang ma'tsur atau amalan yang bernilai ’ib daħ, seperti membaca Al-Qur'an, bertahmid, tasbih dan tahlil. Cara ini dijalankan oleh penuntut ilmu mutajarridah (konsentrasi diri untuk semata-mata ber’ib daħ), termasuk jalan yang ditempuh oleh orang-orang saleh. Cara lain lagi yang ditempuh ialah dengan menghidmatkan diri kepada ulama Fiqh, atau ulama ta awwuf atau ulama Islam umumnya. Cara berguru, belajar dan mengajar seperti ini sangat penting dan lebih utama dari shalat sunnat. Karena perbuatan atau amal seperti itu termasuk maslahah mursalah (kepentingan umum), karena juga bernilai ’ib daħ. Sayyid Abdul Qadir Jailany RA, berkata: "Saya tidak akan mencapai ma’rifatulláh dengan hanya qiyamullail, atau berpuasa sepanjang hari. Akan tetapi sampainya saya kepada ma’rifatulláh, adalah juga dengan amalan maslahah mursalah, seperti bermurah hati dan menyantuni semua orang, tasamuh dan tawadlu'. Ada juga yang ber’ib daħ untuk membantu dan menggembirakan orang lain. Termasuk berusaha mencari nafkah, seperti mencari kayu bakar di hutan, lalu dijual dan hasilnya disedekahkan bagi kepentingan umum. Cara-cara seperti ini merupakan ’ib daħ, selain banyak manfaatnya, juga akan mencapai ma’rifatulláh karena akan memperoleh do'anya masyarakat umum dan kaum dhu'afa". Peran seperti ini dalam organisasi zikir dan doa kemudian menjadi aliran tertentu yang disebut tarekat. A. Taqarrub ilā Alláh (mendekati Tuhan) Untuk berada dekat kepada Alláh, Tuhan alam seluruhnya, seorang muslim harus menempuh jalan yang panjang. Teori tasawwuf memberikan jalan yang disebut dengan maqāmāt dalam istilah Arab. Orang lain dalam istilah Inggris sering menyebutnya dengan stations atau stages. Beberapa ahli memberikan susunan angka yang berbedabeda dalam hal penentuan jalan yang harus ditempuh ūfī ini. Berikut disampaikan pendapatnya : 1. Abu Bakr Muhammad al-Kalabadi dalam bukunya “al-Ta’arruf li mazhab ahl alta awwuf ” menguraikan 11 tingkatan: taubaħ, zuhd, şabr, faqr, tawaďu’, taqwã, tawakkal, riďā, ubb, dan maifaħ. 2. Abū Naşr al-Sarr j al- ūsī dalam kitab ”al-Luma’ menyebutnya dengan tujuh tingkatan: taubaħ, wara’, zuhd, faqr, şabr, tawakkal, dan riďā. mid al-Gazali dalam I yā` ’ulūm al-dīn, menggambarkan delapan tingkat 3. Abū yaitu: taubaħ, şabr, faqr, zuhd, tawakkal, ubb, ma’rifaħ, dan riďā. 4. Abū al-Q sim ’Abd al-Karīm al-Qusyairī, membuat maq m t sebanyak enam tingkat yaitu: taubaħ, wara’, zuhd, tawakkal, şabr, dan riďā. namun yang biasa dia sebut hanyalah taubaħ, zuhd, tawakkal, şabr, dan riďā. Jalan menuju Alláh yang dikonsepkan dalam pengamalan tasawwuf di atas maqamat itu ada yang dinamakan fana wa al-baqa, itti ad, selain yang tinggi seperti yang ada pada tingkatan yang sama seperti di atas adalah ubb dan ma’rifaħ. Selain istilah maqamat itu ada juga yang dikenal dalam khazanah tasawwuf adalah āl. yang berarti keadaan mental, seperti perasaan senang, sedih, takut dan sebagainya. Namun yang sering disebut dalam khazanah ini adalah: khauf, tawaďu’, ā’aħ, khlaş, ins (kedekatan hati), wujd (perasaan senang), dan syukr. āl ini berbeda sekali dengan maqāmāt, bukan diperoleh atas usaha manusia, tetapi dihasilkan sebagai pemberian anugerah dan rahmat dari Tuhan. Ini berlainan juga dengan maqam , āl bersifat sementara, datang dan pergi. Dapat saja ia muncul atau menghilang sewaktu-waktu dari seorang ūfī dalam perjalanannya menuju kedekatan ke arah Tuhan. Memang jalan yang ditempuh seorang ūfī tidaklah mudah, jalannya penuh lika-liu licin dan terjal, sulit dilalui untuk menjalani dari satu maqam ke maqam lainnya. Usaha yang dilakukan ūfī sangatlah sungguh-sungguh berat dan dalam waktu yang lama bahkan dapat saja bertahun-tahun menempuh perjalanan satu maqam ke maqam berikutnya. Sebagi gambaran maqamat yang dimaksudkan di atas dapat diuraikan secara singkat berikut ini: 1. al-zuhd: merupakan maqam terpenting bagi seorang calon ūfī, artinya keadaan meninggalkan dunia dan hidup kebendaan. Sebelum menjadi ūfī, seorang calon harus terlebih dahulu menjadi zāhid atau ascetic dalam istilah Inggrisnya. Baru setelah menjadi zāhid ini,ia dapat meningkat menjadi ūfī. Dalam keadaan ini dapat disebut hidup dalam kesederhanaan seperti yang dicontohkan oleh Rasul dan para sahabatnya. 2. al-taubaħ: tobat, yang dimaksudkan ūfī ialah tobat yang sebenar- benarnya, tobat yang tidak akan membawa kepada dosa lagi. Terkadang tobat itu tidak dapat dicapai dengan sekali saja. Al-Kisah bahwa seorang ūfī sampai tujuh puluh kali tobat, baru mencapai tingkat yang sebenarnya. Tobat yang sebenarnya dalam paham ūfīsme ialah lupa pada segala hal kecuali Tuhan. Orang yang bertobat adalah orang yang cinta kepada Alláh, ia senantiasa mengadakan kontemplasi kepada-Nya. 3. al-wara’; kata ini mengandung arti menjauhi hal-hal yangtidak baik dan dalam pengertian ūfī,wara’ adalah meninggalkan segala yang didalamnya terdapat syubhat, keraguan tentang halalnya sesuatu. 4. al-faqr, tidak meminta lebih daripada apa yang telah ada pada diri kita. Tidak meminta rizki kecuali hanya untuk dapat menjalankan kewajibankewajiban. Tidak meminta, sungguhpun tak ada pada diri kita, kalau diberi boleh diterima. Tidak meminta tetapi tidak menolak. 5. al-şabr, sabar dalam menjalankan perintah-perintah Alláh, dalam menjauhi segala larangann-Nya dan dalam menerima segala cobaan yang ditimpakan-Nya kepada kita. Menunggu datangnya pertolongan dari Alláh. Sabar menderita kesabaran, Tidak menunggu-nunggu datangnya pertolongan. 6. al-tawakkal, menyerah kepada kada dan putusan dari Alláh. Selamanya berada dalam keadaan tenteram, jika mendapat pemberian berterima kasih, jika tidak mendapat pemberian apa-apa bersikap sabar dan menyerah kepada kada dan kadar Tuhan. Tidak memikirkan hari esok, cukup dengan apa yang ada pada hari ini. Tidak mau makan, karena ada orang lain yang lebih membutuhkan pada makanan dari dirinya. Percaya akan janji Alláh. Menyerah kepada Alláh dengan Alláh dan karena Alláh. Bersikap sebagai telah mati. 7. al-riďā, kerelaan, tidak berusaha, tidak menentang kada dan kadar Alláh. Menerima kada dan kadar dengan hati senang. Mengeluarkan perasaan benci dari hati sehingga yang tinggal di dalamnya hanya perasaan senang dan gembira. Merasa senang menerima malapetaka sebagaimana merasa senang menerima ni’mat. Tidak meminta surga dari Alláh dan tidak meminta dijauhkan dari neraka. Tidak berusaha sebelum turunnya kada dan kadar, tidak merasa pahit dan sakit sesudah turunnya kada dan kadar, malahan perasaan cinta bergelora di waktu turunnya cobaan-cobaan. 8. al-ma abbaħ, adalah cinta dan yang dimaksudkan adalah cinta kepada Alláh. Pengertian yang diberikan kepada ma abbaħ ini antara lain: i. memeluk kepatuhan pada Tuhan dan membenci sikap melawan pada-Nya. ii. Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi. iii. Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari diri yang dikasihi yaitu Tuhan. ūfī yang termasyhur dalam konsep ma abbaħ ini Rabī’aħ al-’Adawiyaħ dari Basrah di Irak. Teori cinta yang paling poluler dikonsepkannya dalam bentuk puisi: “Aku mencintai dengan dua cinta Cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu Cinta karena diriku Adalah keadaanku senantiasa mengingat-Mu Cinta karena diri-Mu Adalah keadaan-Mu mengungkapkan tabir hingga Engkau kulihat Baik untuk ini mapun untuk itu pujian bukanlah bagiku”. LATIHAN Petunjuk: Jawablah pertanyaan di bawah ini secara jelas dan tepat! 1. Jelaskan pengertian arīqah dalam tasawwuf untuk mendapatkan ma’rifatulláh? 2. Sebutkan jalan menuju tuhan dengan taqarrub dalam bentuk maqamāt ? 3. Sebutkan keadaan mental pada saat seorang ūfī mendapatkan ma’rifaħ yang berbeda dengan maqāmat ? 4. Jelaskan pandangan ma’rifatulláh dalam paham qalb, dan rū . Serta aql. ! ūfī dengan mengaitkan sirr, Rambu-rambu jawaban Untuk menjawab soal latihan secara lengkap, Anda dapat mengacu pada uraian materi Pengertian dan Metodologi marifatullah ma’rifatullàh (ma’rifaħ Allàh). 1. Tariqat berarti jalan atau metode dalam ilmu tasawwuf sering dipakai sebagai istilah metode menuju kepada kebenaran menuju Tuhan. 2. Mendekati Alláh dengan bentuk maqāmat adalah seperti: taubaħ, zuhd, şabr, faqr, tawaďu’, taqwã, tawakkal, riďā, ubb, dan maifaħ. 3. Keadaan mental selain istilah maqamat itu adalah āl. yang berarti, seperti perasaan senang, sedih, takut dan sebagainya. Namun yang sering disebut dalam khazanah ini adalah: khauf, tawaďu’, ā’aħ, khlaş, ins (kedekatan hati), wujd (perasaan senang), dan syukr. RANGKUMAN Tariqat berarti jalan atau metode dalam ilmu tasawwuf sering dipakai sebagai istilah metode menuju kepada kebenaran menuju Tuhan. Metode menuju Tuhan dimulai dengan mendekati Alláh dengan bentuk maqāmat. Tahap-taham yang dilakukan dalam ūfī adalah seperti: taubaħ, zuhd, şabr, faqr, tawaďu’, taqwã, tawakkal, riďā, ubb, dan maifaħ. Keadaan mental selain istilah maqamat itu adalah āl. yang berarti, seperti perasaan senang, sedih, takut dan sebagainya. Namun yang sering disebut dalam khazanah ini adalah: khauf, tawaďu’, ā’aħ, khlaş, ins (kedekatan hati), wujd (perasaan senang), dan syukr. TES FORMATIF 3 Petunjuk: Pilihlah salah satu jawaban yang dianggap paling tepat ! 1. Tarekat ( arīqaħ) adalah juga disebut sebagai kelompok mazhab muslim selain dari makna harfiah bahasa Arab berupa: a. Jalan menuju Tuhan b. Syariat agama Alláh c. petunjuk kepada Alláh d. Metode 2. Tarekat ( arīqaħ) adalah juga disebut sebagai kelompok mazhab suatu faham dalam Islam yang mengorganisasikan: a. Latihan berzikir menuju Alláh b. Kelompok Tasawwuf c. mursyid d. Syaikh 3. Tarekat ( arīqaħ) dan tasawwuf sering dinilai sebagai penyimpangan dalam syariah Islamiyah, karena: a. Merupakan kelengkapan seorang muslim untuk mendapatkan keridaan Alláh b. Ma’rifatulláh tidak dianggap sebagai syariah yang nyata c. Tidak difahaminya konsep ma’rifatulláh dalam hukum syariah d. Sangat bertolak belakang dengan Al-Qur n dan Al- adī 4. Tarekat ( arīqaħ) adalah jalan menuju ma’rifatulláh dengan cara-cara: a. Memperbanyak Qiyamul lail b. Memperbanyak Salat Sunnat c. Memperbanyak ’ib daħ kepada Alláh d. Melatih diri (riyāďah) zikir mengingat Alláh dengan petunjuk Mursyid 5. Jalan menuju ma’rifatulláh tidak akan sampai kecuali dengan a. Memperbanyak Qiyamul lail dan Salat Sunnat b. Berakhlak Mulia dengan murah hati, menyantuni orang, rendah hati dan tasamuh. c. Memperbanyak ’ib daħ kepada Alláh d. Melatih diri (riyāďah) zikir mengingat Alláh dengan petunjuk Mursyid 6. Maqamat, dalam tasawwuf adalah jalan yang harus dilalui seorang lain: a. sabar, tawakkal, fakir, miskin, suka, cita. b. wara, zuhd, ma’rifat, cinta, tobat c. sedih, bahagia, sengsara, bahaya d. tobat, tawakkal, cinta, kerelaan, dosa 7. Yang disebut tokoh tasawwuf adalah: a. Al-Gazali, Al-Syafi’i, dan Adul Qadir Jaelani b. Al-Kalabadi, Al-Kindi, Al-Farabi ūfī berupa antara c. Al-Qusairi, Al-Tusi, Al-Gazali d. Ihya Ulum al-Din, Al-Luma’, Abu Hamid 8. Maqam terpenting dalam menuju Ma’rifatulláh adalah: a. Maqam Nabi Muhammad b. Maqam Nabi Ibrahim c. Maqam al-Zuhd d. Seluruh maqam dalam a, b, dan c. 9. Faham ūfī Lupa akan segala sesuatu kecuali kepada Alláh adalah: a. Maqam yang ada dalam tasawuf, tawakal b. Tobat yang sebenarnya c. Ketidaksadaran manusia dalam mengingat Alláh d. Sabar dalam menjalankan perintah Alláh 10. Cinta kepada Alláh merupakan termasuk tingkat maqam ma’rifatulláh: a. Mengosongkan hati dari segala-gaana kecuali dari diri yang dikasihi (Alla). b. Dengan dua cinta dari Rabi’ah al-Adawiyah c. Merasa senang menerima malapetaka dari Alláh d. Tidak meminta surga dan tidak meminta dijauhkan dari neraka BALIKAN DAN TINDAK LANJUT Cocokkanlah hasil jawaban Anda dengan kunci jawaban Tes Formatif 1 yang ada pada bagian belakang modul ini. Hitunglah jawaban Anda yang benar, kemudian gunakan rumus di bawah ini untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi kegiatan belajar 1. Rumus: Jumlah Jawaban Anda yang benar 10 Tingkat Penguasaan = Arti Tingkat Penguasaan: 90% - 100% = Baik Sekali 80% - 89% Baik = X 100% 70% - 79% = Cukup - 69% = Kurang Kalau Anda mencapai tingkat penguasaan 80% ke atas, anda dapat meneruskan dengan kegiatan belajar 4, Bagus ! Akan tetapi apabila tingkat penguasaan Anda masih di bawah 80%, Anda harus mengulang kegiatan belajar 3, terutama bagian yang belum Anda kuasai. KEGIATAN BELAJAR 4 HASIL DARI MA’RIFATULLÁH PENGANTAR Seorang ahli ’ib daħ akan optimis dalam hidupnya. Ia optimis bahwa Alláh akan menolong dan mengarahkan hidupnya Semua yang ada di alam ini mutlak ada dalam kekuasaan Alláh. Ketika melihat fenomena alam, idealnya kita bisa ingat kepada Alláh. Puncak ilmu adalah mengenal Alláh (ma’rifatulláh). Kita dikatakan sukses dalam belajar bila dengan belajar itu kita semakin mengenal Alláh. Jadi percuma saja sekolah tinggi, luas pengetahuan, gelar prestisius, bila semua itu tidak menjadikan kita makin mengenal Alláh Mengenal Alláh adalah aset terbesar. Mengenal Alláh akan membuahkan akhlak mulia. Betapa tidak, dengan mengenal Alláh kita akan merasa ditatap, didengar, dan diperhatikan selalu. Inilah kenikmatan hidup sebenarnya. Bila demikian, hidup pun jadi terarah, tenang, ringan, dan bahagia. Sebaliknya, saat kita tidak mengenal Alláh, hidup kita akan sengsara, terjerumus pada maksiat, tidak tenang dalam hidup, dan sebagainya Ciri orang yang ma'rifat adalah laa khaufun 'alaihim wa lahum yahzanuun. Ia tidak takut dan sedih dengan urusan duniawi. Karena itu, kualitas ma'rifat kita dapat diukur. Bila kita selalu cemas dan takut kehilangan dunia, itu tandanya kita belum ma'rifat. Sebab, orang yang ma'rifat itu susah senangnya tidak diukur dari ada tidaknya dunia. Susah dan senangnya diukur dari dekat tidaknya ia dengan Alláh. Maka, kita harus mulai bertanya bagaimana agar setiap aktivitas bisa membuat kita semakin kenal, dekat dan taat kepada Alláh. Ciri orang ma'rifat adalah paling tidak dapat diukur dengan: a. menjaga kualitas ’ibādaħ. Terjaganya ’ib daħ akan mendatangkan tujuh keuntungan hidup. hidup selalu berada di jalan yang benar (on the right track). Untuk berada dekat kepada Alláh, Tuhan alam seluruhnya, seorang muslim harus menempuh jalan yang panjang. Jalan yang dilalui itu adalah mengalami dan menjalani maqamat taubaħ, zuhd, şabr, faqr, tawaďu’, taqwã, tawakkal, riďā, ubb, dan ma’rifaħ. yang dikonsepkan dalam pengamalan tasawwuf dan selanjutnya di atas maqamat itu untuk memperbaiki mutu ke ūfīannya ini ada yang dinamakan fana wa al-baqa, itti ad, selain yang tinggi seperti yang ada pada tingkatan yang sama seperti di atas adalah ubb dan ma’rifaħ. Jika selanjutnya mqamat ini dapat diamalkan secara benar, sudah dapat dipastikan akan menjaga kualitas ’ib daħ seorang muslim dan menjelmakan akhlak mulianya di dalam seluruh kehidupannya. a. memiliki kekuatan menghadapi cobaan hidup. Kekuatan tersebut lahir dari terjaganya keimanan. Merupakan cerminan dari maqamat seperti al-şabr, sabar dalam menjalankan perintah-perintah Alláh, dalam menjauhi segala larangann-Nya dan dalam menerima segala cobaan yang ditimpakan-Nya kepada kita. Dengan menunggu datangnya pertolongan dari Alláh. Sabar dalam menderita kesabaran, Tidak menunggu-nunggu datangnya pertolongan. Seanjutnya maqam al-tawakkal, menyerah kepada kada dan putusan dari Alláh. Selamanya berada dalam keadaan tenteram, jika mendapat pemberian berterima kasih, jika tidak mendapat pemberian apa-apa bersikap sabar dan menyerah kepada kada dan kadar Tuhan. b. Alláh akan mengaruniakan ketenangan dalam hidup. Dalam maqam al-riďā, kerelaan, tidak berusaha, tidak menentang kada dan kadar Alláh. Menerima kada dan kadar dengan hati senang. Mengeluarkan perasaan benci dari hati sehingga yang tinggal di dalamnya hanya perasaan senang dan gembira. Merasa senang menerima malapetaka sebagaimana merasa senang menerima ni’mat. Tidak meminta surga dari Alláh dan tidak meminta dijauhkan dari neraka. Tidak berusaha sebelum turunnya kada dan kadar, tidak merasa pahit dan sakit sesudah turunnya kada dan kadar, malahan perasaan cinta bergelora di waktu turunnya cobaan-cobaan. Tentu akan menghasilkan ketenangan hidup yang bahagia dalam nilai-nilai keilmuan yang luhur. Termasuk jika terjadi fenomena dalam kehidupan, bila terjadi kenaikan kebutuhan hidup seperti tentang itu – ini mahal harganya. Ketenangan tidak bisa dibeli dan ia pun tidak bisa dicuri. Apa pun yang kita miliki, tidak akan pernah ternikmati bila kita selalu resah gelisah. c. Selalu optimis. Ia optimis karena Alláh akan menolong dan mengarahkan kehidupannya. Sikap optimis akan menggerakkan seseorang untuk berbuat. Optimis akan melahirkan harapan. Tidak berarti kekuatan fisik, kekayaan, gelar atau jabatan bila kita tidak memiliki harapan. Keseluruhan itu dapat dorongan dari konsep cinta ma abbaħ ini Rabī’aħ al-’Adawiyaħ dari Basrah di Irak. Kekuatan dahsyat akan muncul dari cinta pada tingkat tinggi di hadapan Alláh ini, di tengah-tengah hidup kemanusiaan. Semuanya akan melahirkan optimisme yang tidak dapat diabaikan untuk meraih masa depan. Dengan konsep cinta tidak ada yang dapat menghalangi dengan penghalang dan benteng apapun. Karenanya cinta membuat masa depan lebih cerah indah dan berprospek jauh maju ke depan. d. Memiliki kendali dalam hidupnya, bagaikan rem pakem dalam kendaraan. Setiap kali akan melakukan maksiat, Alláh SWT akan memberi peringatan agar ia tidak terjerumus. Seorang ahli ’ib daħ akan memiliki kemampuan untuk bertobat. Dimunculkan konsep maqam taubat yang dimaksudkan ūfī dari ūfī ialah tobat yang sebenar-benarnya, tobat yang tidak akan membawa kepada dosa lagi. Terkadang tobat itu tidak dapat dicapai dengan sekali saja. Al-Kisah bahwa seorang ūfī sampai tujuh puluh kali tobat, baru mencapai tingkat yang sebenarnya. Tobat yang sebenarnya dalam paham ūfīsme ialah lupa pada segala hal kecuali Tuhan. Orang yang bertobat adalah orang yang cinta kepada Alláh, ia senantiasa mengadakan kontemplasi kepada-Nya. Taubat adalah kemudi yang mengarahkan kesuksesan manusia menuju ketercapaiannya di hadapan kemahaindahan-Nya dengan mulus dan lurus. e. Selalu ada dalam bimbingan dan pertolongan Alláh. Bila pada poin pertama Alláh sudah menunjukkan jalan yang tepat, maka pada poin ini kita akan dituntun untuk melewati jalan tersebut, seorang ahli ’ib daħ akan memiliki kekuatan ruhiyah, tak heran bila kata-katanya bertenaga, penuh hikmah, berwibawa dan setiap keputusan yang diambilnya selalu tepat. Jika cinta, dibimbing dengan maqam alwara’; kata ini mengandung arti menjauhi hal-hal yangtidak baik dan dalam pengertian ūfī,wara’ adalah meninggalkan segala yang didalamnya terdapat syubhat, keraguan tentang halalnya sesuatu. Adalah bimbingan Alláh akan selalu menyertaidengan nilai-nilai luhur umat manusia, Maka di mana saja orang yang mengenal Alláh ('arif billah) atau ahli ma'rifat itu berada, ia selalu memberi manfaat kepada orang lain. Di tengah-tengah keluarga, ia menjadi anggota keluarga yang baik. Bila menjadi kepala keluarga, ia menjadi kepala keluarga yang baik, Bila berada di tengah-tengah masyarakat ia selalu memberi manfaat kepada rnasyarakat, membantu orang-orang dhuafa, membela orang-orang yang teraniaya. Bila ia menjadi pemimpin, ia gunakan kepemimpinan-nya untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Bila menjadi patner siapa pun, ia selalu mengingatkan dan meluruskan yang bengkok. la lakukan itu semua dengan penuh keikhlasan dan kecintaan, karena di situlah sebenarnya terdapat kasih sayang dan keberkahan Alláh. Dengan demikian, ma’rifatulláh bukanlah seperti yang dipahami sebagian orang bahwa ahli makrifat itu memiliki "indera keenam", bisa melihat yang "gaib", bisa menghilang, bisa terbang, tidak mempan dibacok, dan berbagai keanehan lainnya. Ma’rifatulláh bukanlah monopoli siapa-siapa. Setiap orang mampu mencapainya asalkan ikhlas niatnya, bersungguh-sungguh mendekatkan diri kepada Alláh. Sebab Alláh telah berfirman, "Barangsiapa bersungguh-sungguh berjuang di jalan Kami, pasti Kami tunjukkan jalannya." LATIHAN Petunjuk: Jawablah pertanyaan di bawah ini secara jelas dan tepat! 1. Ma’rifatulláh yang bagaimanakah yang dikatakan sukses ? 2. Apa yang disebut keadaan mental seorang ūfī atau āl itu ? 3. Maqāmat yang bagaimanakah yang dapat menunjang tercapainya Ma’rifatulláh ? Rambu-rambu jawaban Untuk menjawab soal latihan secara lengkap, Anda dapat mengacu pada uraian materi hasil dari ma’rifatulláh . 1. Ma’rifatulláh dapat dikatakan sukses bila seseorang muslim mendekatkan diri kepada untuk menjaga keimanan kepada Alláh dengan buah hakikat hidup dengan memiliki kekuatan menghadapi cobaan hidup 2. Ahli tasawwuf memandang keberhasilan hidup ada dalam ketenangan al kebahagiaan disamping dapat mengalami maqam şabr dalam artian menderita kesabaran, tidak menunggu-nunggu datangnya pertolongan Alláh. 3. Ma’rifatulláh dapat dilukiskan dengan maqamat seperti: a. kefakiran seseorang karena maknanya tidak meminta lebih dari apa yang telah ada pada kita b. Tobat adalah Ma’rifatulláh yang sebenarnya walaupun bertahun-tahun dilakukan seorang ūfī c. dan Cinta kepada Alláh adalah buah hasil usaha atas Ma’rifatulláh dikonsepkan Rabī’ah Al-Adawiyah dan sebagainya. RANGKUMAN 1. Ma’rifatulláh yang berhasil sukses adalah taqarrub ilã Alláh, mendekatkan diri kepada Alláh untuk menjaga keimanan kepada-Nya. Ditandai dengan membuahkan sukses hakikat hidup dalam memiliki kekuatan menghadapi cobaan hidup, mendapat karunia ketenangan dalam hidup, selalu optimis, memiliki kendali dalam hidup, dan selalu ada dalam bimbingan dan pertolongan Alláh. 2. Ahli tasawwuf memandang keberhasilan hidup ada dalam ketenangan adalah disebut al yang tercermin dalam bukti-bukti keadaan mental seperti kebahagiaan disamping dapat mengalami maqam şabr dalam artian menderita kesabaran, tidak menunggununggu datangnya pertolongan Alláh. 3. Ma’rifatulláh tercermin dengan terlaksanakannya perjalanan hidup yang ditempuhnya dengan maqamat seperti :kefakiran seseorang karena maknanya tidak meminta lebih dari apa yang telah ada pada kita; Tobat adalah Ma’rifatulláh yang sebenarnya walaupun bertahun-tahun dilakukan seorang buah hasil usaha atas Ma’rifatulláh ūfī; dan Cinta kepada Alláh adalah dikonsepkan Rabī’ah Al-Adawiyah dan sebagainya. TES FORMATIF 4 Petunjuk: Pilihlah salah satu jawaban yang dianggap paling tepat ! 1. Ma’rifatulláh dapat dikatakan sukses bila seseorang muslim : a. melaksanakan ajaran Islam b. mengetahui zat Alláh c. mendekatkan diri kepada Alláh d. dapat menjaga kualitas ’ib daħnya dengan akhlak mulia 2. Ma’rifatulláh merupakan konsep untuk menjaga keimanan kepada Alláh dengan buah hakikat hidup: a. melaksanakan ajaran Islam b. mengetahui zat Alláh, Asma-Nya, dan Sifat-Nya c. memiliki kekuatan menghadapi cobaan hidup d. mengenal Alláh untuk menghindari siksaan-Nya 3. Ahli tasawwuf memandang keberhasilan hidup ada dalam ketenangan melalui: a. Maqam sabar b. Hal kebahagiaan c. Tidak meminta rizki kecuali hanya untuk dapat menjalankan kewajiban hidup d. masuk surga atas doa yang dikabulkannya 4. Ma’rifatulláh didapatkan setelah mengalami maqam sabar yang berarti: a. Sabar menderita kesabaran, tidak menunggu-nunggu datangnya pertolongan b. menjauhi segala larangan dan menjalankan perintah Alláh c. Menunggu datangnya pertolongan Alláh d. Ditempeleng pipi yang kiri menyerahkan pipi kanan 5. Ma’rifatulláh dapat dilukiskan dengan kefakiran seseorang karena maknanya; a. hampir kefakiran itu mendekatkan kepada kekufuran b. tidakmeminta lebih dari apa yang telah ada pada kita c. meminta rizki untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban hidup d. menunggu pemberian dari rizki Alláh 6. Maqamat adalah Ma’rifatulláh melalui pendekatan tingkatan usaha seorang ūfī antara lain berupa : a. Sabar terhadap cobaan kemiskinan dan kekayaan b. Tobat yang sebenarnya walaupun bertahun-tahun c. Rida dimasukkan ke neraka d. Zuhd yang tidak berusaha mentang kada kadar 7. Cinta kepada Alláh adalah buah hasil usaha atas Ma’rifatulláh dikonsepkan oleh ūfī: a. Al-Qusairi b. Al-Gazali c. Al-Kalabadi d. Al-Adawiyah 8. Ma’rifatulláh merupakan hasil hidup beragama seorang muslim dalam bentuk: a. Susesnya mengalami hidup dalam maqamat ūfī menuju Alláh b. Rida c. Hal d. tobat 9. Cinta dalam teori Rabiah adalah : a. hanya cinta kepada Alláh dan cinta kepada dirinya sendiri b. cinta dua kepada Alláh dan makhluk c. cinta kepada Alláh saja tanpa alasan d. cinta kepada Alláh dan nabi Muhammad 10. Orang yang berhasil dalam faham tasawwuf adalah yang mendapatkan ma’rifatulláh dengan: a. Tobat yang tidak kembali lagi berdosa b. Menyerah kepada kada dan keputusan dari Alláh c. Tidak meminta surga dan tidak meminta dijauhkan dari neraka d. Ketiga-tiganya dalam a, b, dan c. BALIKAN DAN TINDAK LANJUT Cocokkanlah hasil jawaban Anda dengan kunci jawaban Tes Formatif 1 yang ada pada bagian belakang modul ini. Hitunglah jawaban Anda yang benar, kemudian gunakan rumus di bawah ini untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi kegiatan belajar 1. Rumus: Jumlah Jawaban Anda yang benar 10 Tingkat Penguasaan = X 100% Arti Tingkat Penguasaan: 90% - 100% = Baik Sekali 80% - 89% = Baik 70% - 79% = Cukup - 69% = Kurang Kalau Anda mencapai tingkat penguasaan 80% ke atas, anda dapat meneruskan dengan kegiatan belajar 4, Bagus ! Akan tetapi apabila tingkat penguasaan Anda masih di bawah 80%, Anda harus mengulang kegiatan belajar 3, terutama bagian yang belum Anda kuasai. DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Hawash. 1980. Perkembangan Ilmu Tasawuf dan tokoh-tokohnya di Nusantara. Surabaya: Al-Ikhlas. żaz lī, Abū H mid Mu ammad bn Mu mmad al-, 1939. I yā ’ulūm al-dīn. Al-Q hirah: Muş afã al-b bī al- alabī. Ja’far, M.K.I. 1970. al-Ta awwuf . Al-Q hirah: D r al-Kutub al-J mi’aħ. Kalabadī, A.M. Al-1960. Al-Ta awwuf li mażhab Ahl al-Ta awwuf . Al-Q hirah: ’īsã al-b bī al- alabī. Ma mūd, A.Q. 1966. Al-Falsafaħ al-Ta awwuf iyaħ fī al-Islām. Al-Q hirah: D r al-Fikr al-’Arabī. Nasution, Harun,1978.Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang. Qusyairī, A.Q. 1966, Al-Risālaħ al-Qusyairiyaħ, Al-Q hirah: Mu ammad ’Alī Şabī . ūsī, A.N.S. al-. 1960. Al-Luma’. Al-Q hirah: D r al-Kutub al- adī aħ. KUNCI JAWABAN TES FORMATIF 1 1. d-mengenal Alláh 2. b-mengetahui zat Alláh, Asma-Nya, dan Sifat-Nya 3. a-pengetahuan hati sanubari, qalb 4. b-pengetahuan akal fikiran yang sehat 5. d-pengetahuan menjalankan syariat Alláh 6. a-Rukun iman 7. a-Pengetahuan Awam 8. c-Pengetahuan ūfī 9. b-Pengetahuan Ulama 10. c-Sunni sesuai dengan Pengetahuan ūfī TES FORMATIF 2 1. c-Mata hati sanubari, qalb. 2. a-Yang dilihat hanyalah Alláh 3. a-pengetahuan syariaħ Alláh 4. c-pengetahuan keimanan dari Tuhan itu sendiri 5. d- ketiga-tiganya, butir a, b, dan c. 6. d-Melihat Tuhan 7. d-Sirr 8. a-Mencintai Alláh 9. b-Pengetahuan Tasawuf 10. d- Akal Sehat, Para Rasul, dan Sifat serta Asma Alláh TES FORMATIF 3 1. d-Metode 2. a-Latihan berzikir menuju Alláh 3. c-tidak difahaminya konsep ma’rifatulláh dalam hukum syariah 4. d-Melatih diri (riyāďah) zikir mengingat Alláh dengan petunjuk Mursyid 5. d-Melatih diri (riyāďah) zikir mengingat Alláh dengan petunjuk Mursyid 6. b-wara, zuhd, ma’rifat, cinta, tobat 7. c-Al-Qusairi, Al-Tusi, Al-Gazali 8. c-Maqam al-Zuhd 9. b-Tobat yang sebenarnya 10. b-Dengan dua cinta dari Rabi’ah al-Adawiyah TES FORMATIF 4 1. b- mengetahui zat Alláh 2. c- memiliki kekuatan menghadapi cobaan hidup 3. c- Tidak meminta rizki kecuali hanya untuk dapat menjalankan kewajiban hidup 4. a- Sabar menderita kesabaran, tidak menunggu-nunggu datangnya pertolongan 5. b- tidakmeminta lebih dari apa yang telah ada pada kita 6. b- Tobat yang sebenarnya walaupun bertahun-tahun 7. d-Al-Adawiyah 8. b- Rida 9. a-hanya cinta kepada Alláh dan cinta kepada dirinya sendiri 10. d-Tobat yang tidak kembali lagi berdosa, menyerah kepada kada dan keputusan dari Alláh, tidak meminta surga dan tidak meminta dijauhkan dari neraka.