https://ejournal.sttgalileaindonesia.ac.id/index.php/ginosko
e-ISSN 2715-0798
Volume 1, No 2, Mei 2020 (107-117)
Kajian Praktis Penerapan Arti Persembahan: Persfektif Perjanjian Baru
Yoel Benyamin
Sekolah Tinggi Teologi Borneo Pontianak, Kalimantan Barat
yoelstii@gmail.com
Abstraksi: Offering is a form of reflection of faith in Christianity which is a form of self-sacrifice by
giving possessions to God. Offerings can be described as a reflection of the sacrificial model in the
Old Testament where a worshiper surrenders his possession to God. In the world of the New
Testament Jesus Christ is the fulfillment of an imperfect sacrifice in this Old Testament and He has
offered Himself once and for all as a sacrifice perfecting the previous sacrifice. Offering to God,
even though there are many variations in Christianity today, is meaningless if it does not come from
a heart that is willing to worship God. The demand for offerings in the Church cannot be limited to
one tenth or other types of offerings. According to the word of God, believers offer their whole lives
to God, because the person of the believer belongs to God.
Keywords: church; church growth; evangelism; Grace Bible Church
Abstrak: Persembahan adalah wujud refleksi keimanan dalam kekristenan yang merupakan bentuk
pengorbanan diri sendiri dengan memberikan harta milik kepunyaan bagi Allah. Persembahan dapat
digambarkan sebagai cerminan dari model korban dalam Perjanjian Lama yang mana seorang
pengibadah menyerahkan kepunyaannya kepada Allah. Dalam dunia Perjanjian Baru Yesus Kristus
adalah penggenapan dari korban yang belum sempurna dalam Perjanjian Lama ini dan Ia telah
mempersembahkan diriNya sekali untuk selamanya sebagai korban yang menyempurnakan korban
sebelumnya. Persembahan kepada Allah, sekalipun banyak ragamnya dalam kekristenan kini,
tidaklah bermakna bila tidak berasal dari hati yang ikhlas beribadah kepada Allah. Tuntutan memberi
persembahan dalam Gereja tidak dapat dibatasi dengan sepersepuluh saja atau jenis-jenis
persembahan lainnya. Berdasarkan firman Tuhan orang percaya mempersembahkan seluruh
hidupnya bagi Allah, karena pribadi orang percaya adalah milik Allah.
Kata kunci: New Testament; offering; sacrifice; tithe
PENDAHULUAN
Memberi persembahan adalah kewajiban rohani bagi orang Kristen terlepas dari
apapun denominasi gereja atau jenis persembahan yang diatur masing-masing. Semua jenis
persembahan ini bersumber dan berlandaskan secara teologis pada Alkitab dan disesuaikan
pada penerapannya pada setiap denominasi. Misalnya ada denominasi gereja yang mengajarkan persembahan persepuluhan bersifat wajib, sementara denominasi lainnya mengajarkan persembahan persepuluhan bersifat tidak wajib.1 Mencermati fenomena praktik
persembahan di gereja-gereja lokal yang ada, penulis tertarik mengamati dan meneliti
bagaimana ajaran Alkitab dan bagaimana harus melakukannya sesuai ajaran Perjanjian Baru.
Pemanfaatan ayat Alkitab secara corupt membuat banyak penyimpangan dalam menerap1
Alvian Apriano, “Tentukan Pilihan: Fungsi Implementatif Tawaran Pilihan Etis-Teologis Kristen Di
Dalam Konteks Dilema Moral,” EPIGRAPHE: Jurnal Teologi dan Pelayanan Kristiani 3, no. 2 (2019): 67.
Copyright© 2020, GINOSKO: Jurnal Teologi Praktika| 107
Kajian Praktis Penerapan Arti Persembahan: Persfektif Perjanjian Baru (Yoel Benyamin)
kannya. Sementara, masalah persembahan tidak dapat menjadi perdebatan yang pokok
dalam doktrin kekristenan, karena ini adalah ranah parktis.
Secara biblikal tindakan memberi persembahan sudah ada sejak masa Kain dan Habel
dalam kitab Kejadian bahkan sampai kitab Wahyu. Perkembangannya dari model persembahan korban yang tradisional sampai ke pola persembahan masa kini. Apa pun yang
diajarkan Alkitab tentang persembahan korban, prinsipnya adalah sama, bahwa pribadi yang
memberi persembahan secara iklas memberi dengan komitmen kepada Allah. Murni
Sitanggang menyatakan bahwa perpuluhan merupakan salah satu aspek penting dalam hal
memberi yang tak dapat diabaikan dalam kehidupan material segenap umat Tuhan, yang
sangat tertib pelaksanaannya di masa PL, dan merupakan sistem pengelolaan keuangan yang
ditetapkan oleh Allah sendiri.2 Kematian dan kebangkitan Yesus Kristus menghantar jemaat
Kristen pada pemahaman baru terhadap korban persembahan.
Sebagaimana diterangkan di atas, seluruh korban persembahan itu memuncak dan
menyatu di bawah pendamaian oleh Allah. Apa pun jenis-jenis persembahan lainnya terlihat
hanya punya arti di dalam pendamaian dari Allah. Pendamaian sebagai puncak dari seluruh
korban persembahan kemudian terpenuhi di dalam kematian Yesus Kristus di kayu salib.
Dia adalah korban satu-satunya untuk pendamaian, yang berlangsung hanya satu kali untuk
selama-lamanya. Imam Besar yang menjalankan korban ini adalah Yesus Kristus sendiri dan
domba yang dikorbankan untuk pendamaian itu adalah juga Yesus Kristus sendiri
(Bandingkan terutama pemberitaan dalam Ibrani 6 s/d 10). Bonar H. Lumbantobing berkata
bahwa, “Dengan kematian Tuhan Yesus, yaitu korban satu-satunya dan sekali untuk
selamanya, maka berakhirlah seluruh korban-korban persembahan dalam bentuk apa pun.
Korban sajian, korban ucapan syukur, persembahan perpuluhan, korban keselamatan dan
yang lain –lainnya berakhirlah sudah. Semuanya sudah terpenuhi di dalam korban Yesus
Kristus untuk pendamaian antara manusia yang berdosa di sepanjang abad dengan Allah
yang kekal.3
Tradisi apapun dalam ke-Yahudian, baik dulu maupun kini, tidak dapat diperkenankan
untuk dijalankan dan tidak mendapat legitimasi lagi secara hukum. Orang percaya masa kini
sudah merayakan pengorbanan Kristus tersebut melalui ibadah setiap hari minggu dalam
persekutuan dan perjamuan Tuhan. Ibadah kristiani pada masa kini adalah bentuk pengakuan legal-formal bahwa Kristus sudah menyelesaikan dan menggenapkan korban yang
dilakukan Israel secara tradisional di kayu salib. Bonar juga mengatakan: Pengakuan ini
kemudian dirayakan pada hari kebangkitan Tuhan Yesus, dimana jemaat selalu berkumpul,
yaitu pada hari Minggu. Jemaat yang berkumpul itu adalah jemaat yang percaya pada Allah
sebagaimana diberitakan dalam Perjanjian Lama, bahkan memegang dan mengakui Kitab
Suci yang kemudian jemaat tubuh Kristus sebut sebagai Perjanjian Lama, dan masih tetap
mengunjungi Bait Suci. Oleh karena itu, dalam perkumpulan-perkumpulan mereka, kebaktian Yahudi mempengaruhi.4
Murni H. Sitanggang, “Teologi Biblika Mengenai Perpuluhan,” Veritas : Jurnal Teologi dan Pelayanan
12, no. 1 (2011): 19–37.
3
Bonar H. Lumbantobing, http://www.hkbp.or.id/files/1.5.Teologi%20Persembahan.doc
4
Ibid.
2
Copyright© 2020, GINOSKO: Jurnal Teologi Praktika| 108
GINOSKO: Jurnal Teologi Praktika; Vol 1, No 2 (Mei 2020)
Bila membahas persembahan, maka ada beberapa pertanyaan yang dapat muncul,
misalnya, di manakah letak prinsip persembahan yang sudah mereka warisi dari keYahudian
melalui Perjanjian Lama dan bagaimana kelanjutannya? Jika diteliti persembahan apapun
dalam Perjanjian Lama memiliki berkaitan dengan ketiga hal, yakni: di mana Allah adalah
sumber persembahan, dan apa yang dari Allah kembali pada Allah, serta sambutan akan
persembahan sebagai penatalayan dalam wujud perjuangan keadilan. Penegasan arti dari
persembahan ini termanifestasi dalam kehidupan jemaat mula-mula dalam memaknai sebuah
pemberian kepada Allah. Dan jika melihat pada kehidupan Ananias dan Safira prinsip
memberi yang menekankan penghormatan pada Allah adalah yang utama. Tindakan mereka
tidak memberi seluruhnya bukanlah berarti Allah membutuhkan semua harta mereka, namun
dalam perbuatan mereka terlihat bagaimana cara mereka menghormati Allah melalui
pemberian harta yang dimiliki.
Pada banyak gereja model-model persembahan tergantung kebijakan masing-masing
denominasi dalam menafsirkan dan mempraktekkan teks kitab suci.5 Murray mengatakan
bahwa “persepuluhan yang dilakukan zaman sekarang di banyak gereja bertumpu pada
hermeneutik (penafsiran) yang tidak memadai. Selanjutnya Murray bertanya lebih lanjut,
apakah kita bisa memastikan bahwa kita tidak menafsirkan satu aspek ajaran Alkitab secara
harafiah, sedangkan mengabaikan yang lain? Ia menekankan bahwa seperti halnya Tahun
Yobel, persepuluhan tidak dapat dikeluarkan dari konteks sosial, ekonomi, dan keagamaan
atau dari komponen ketentuan lainnya dari ketetapan Musa yang berkaitan dengan
persepuluhan tanpa membiarkan artinya.”6 Secara praktis orang percaya dapat menetapkan
pemberian jenis persembahan berdasarkan kebutuhan lokal. Dengan demikian gereja tubuh
Kristus dapat melihat bahwa persembahan-persembahan lain tidak disebut, walau pun tidak
pernah ditolak. Sebab Yesus Kristus tidak pernah menolak korban persembahan, tetapi
mengembalikan pelaksanaan korban persembahan itu pada motivasi yang sebenarnya seperti
dalam Perjanjian Lama.
Seperti yang disebutkan di atas, jemaat perdana (mula-mula) memahami bahwa
seluruh korban persembahan telah berakhir di dalam Yesus Kristus, sehingga persembahan
apa pun yang selama ini dikenal oleh umat, telah disempurnakan di dalam korban oleh
Yesus Kristus sekali untuk selamanya.7 Hal tersebut dirayakan dalam kebaktian-kebaktian
jemaat perdana tersebut. Ketika kitab-kitab dan surat-surat yang kemudian menjadi
Perjanjian Baru perlahan-lahan ditulis dan dikumpulkan serta beredar di jemaat, maka di
dalamnya termaksudlah keyakinan jemaat perdana tadi baik di dalam ucapan Tuhan Yesus,
mau pun dalam tulisan para Rasul.
Apriano, “Tentukan Pilihan: Fungsi Implementatif Tawaran Pilihan Etis-Teologis Kristen Di Dalam
Konteks Dilema Moral.” Band: Ayub Widhi Rumekso, “Evaluasi Terhadap Tata Ibadah Kontekstual Gereja
Kristen Jawa,” KURIOS (Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen) 5, no. 1 (2019): 74–93.
6
Steven Teo, 12-13
7
Harls Evan Siahaan, “Karakteristik Pentakostalisme Menurut Kisah Para Rasul,” Dunamis: Jurnal
Teologi dan Pendidikan Kristiani 2, no. 1 (2017): 12–28. Band: Sonny Eli Zaluchu, “Eksegesis Kisah Para
Rasul 2:42-47 Untuk Merumuskan Ciri Kehidupan Rohani Jemaat Mula-Mula Di Yerusalem,” EPIGRAPHE:
Jurnal Teologi dan Pelayanan Kristiani 2, no. 2 (2018): 72–82, accessed April 1, 2020,
http://www.stttorsina.ac.id/jurnal/index.php/epigraphe.
5
Copyright© 2020, GINOSKO: Jurnal Teologi Praktika| 109
Kajian Praktis Penerapan Arti Persembahan: Persfektif Perjanjian Baru (Yoel Benyamin)
Di dalam Kitab-kitab Injil, Tuhan Yesus tidak pernah mengutuk korban persembahan
Yahudi. Khotbah Tuhan Yesus malah menunjukkan bahwa mezbah dan korban persembahan adalah bagian yang sah dari penyembahan akan Allah (Mat. 5:23 dab; 23:18dab).
Memang Yesus Kristus mengecam sikap kaum Farisi, agar mengingat bahwa yang Allah
kehendaki adalah belaskasihan, bukan korban (Mat. 9:13; 12:7), namun ini bukan berarti
penolakan terhadap persembahan. Bait Suci juga memang dinilai oleh Tuhan Yesus (seperti
dalam Mat. 12:6; 26:61; bnd dengan 27:40; Yoh. 2:19; 4:21) namun itu menunjukkan bahwa
korban persembahan itu adalah bersifat sekunder dan akan lenyap juga, karena korban
persembahan itu bagian dari masa yang akan segera berlalu ini. Di dalam Yesus Krituslah
terwujud kebenaran sehingga korban persembahan berakhir.8 Steven Teo mengatakan
bahwa, Perpuluhan hampir tidak disebut-sebut dalam Perjanjian Baru. Tuhan Yesus hanya
menyingungnya ketika Ia mengecam perilaku munafik kaum Farisi (Matius 23:23 dan Lukas
11:42, 18:12).
Sementara itu Yamowa’ Abate’e menulis dalam buku Mengungkapkan Misteri
Persepuluhan bahwa, Persepuluhan dalam Perjanjian Baru khususnya dalam kitab Injil
hanya disinggung dua kali oleh Tuhan Yesus Kristus, yaitu dalam Matius 23:32 dan Lukas
11:42. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa, Memang kitab Ibrani juga menyingung persepuluhan, tetapi berdasarkan konteksnya kitab ini membandingkan keimamatan Melkisedek dan
Kristus. Penulis kitab ini tidak menekankan tentang persepuluhan, tetapi kebesaran keimamatan Kristus.9 Oleh karena itu, ajaran Tuhan Yesus selanjutnya bukan lagi tentang
persembahan dalam rangka Perjanjian Lama lagi, tetapi persembahan dalam zaman yang
baru ini yang disebut zaman kasih karunia. Kebebasan dalam memberi persembahan menjadi ciri dari zaman baru ini, karena persembahan itu mengacu pada apa yang Yesus Kristus
korbankan sebagaimana dirayakan dalam Perjamuan Tuhan. Jemaat bebas untuk memberi
seperti janda miskin yang memberikan seluruhnya (Mark. 12:44) tergantung pada kebebasan
yang diberikan oleh Yesus Kristus.
Walau pun secara singkat, namun sudah dapat ditunjukkan bahwa pemberitaan ini
mengembalikan pada inti pemberitaan Perjanjian Lama tentang penatalayanan dari umat
yang memberikan korban persembahan dibawah naungan korban utama yaitu pendamaian.
Saat ini di dalam Yesus Kristus, penatalayanan itu diulang kembali. Oleh karena itu prinsipprinsip persembahan dalam zaman kasih karunia ini serta penatalayanan umat percaya
seperti yang diterangkan di atas, ditunjukkan secara konkrit dalam kebaktian jemaat Kristen.
Bentuknya menjadi sangat baru dan konkrit serta transformatif.
Persembahan harus dimaknai sebagai ekspresi rasa hormat dan kerinduan untuk memuliakan Tuhan. Injil Matius 2:11 mengatakan “Maka masuklah mereka ke dalam rumah itu
dan melihat Anak itu bersama Maria, ibu-Nya, lalu sujud menyembah Dia. Merekapun
membuka tempat harta bendanya dan mempersembahkan persembahan kepada-Nya, yaitu
emas, kemenyan dan mur.” Dalam ayat ini tidak disebutkan satuan dari barang yang
dipersembahkan. Artinya, penulis tidak tahu jumlah yang mereka persembahkan: Apakah
Susanto Dwiraharjo, “Persembahan Yang Hidup Sebagai Buah Dari Pembenaran Oleh Iman Menurut
Roma 12:1-2,” PRUDENTIA: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani 1, no. 1 (2018): 1–6.
9
Yamowa’ Abate’e, Mengungkapkan Misteri Persepuluhan, 97
8
Copyright© 2020, GINOSKO: Jurnal Teologi Praktika| 110
GINOSKO: Jurnal Teologi Praktika; Vol 1, No 2 (Mei 2020)
sepersepuluh dari yang mereka miliki atau seperlimapuluh? Penulis hanya bisa menduga
bahwa mereka ingin memberikan yang terbaik yang mereka miliki untuk Tuhannya. Tuhan
Yesus agaknya tidak mengutamakan persembahan dalam arti uang atau benda, tetapi yang
jauh lebih penting adalah kesediaan seseorang untuk bertobat. Perhatikan Injil Matius 9:13
“Jadi pergilah dan pelajarilah arti firman ini: Yang Kukehendaki ialah belas kasihan
dan bukan persembahan, karena Aku datang bukan untuk memanggil orang benar,
melainkan orang berdosa.” Bukan jumlah atau banyak-sedikitnya persembahan yang
dikehendaki oleh Tuhan Yesus, melainkan bobot pengorbanan yang mendasari persembahan
yang diberikan.
Pengertian demikian bisa dibaca dalam Injil Markus 12: 41-44, secara jumlah pasti
amat sedikit yang diberikan oleh janda itu, tetapi secara prosentase dibandingkan dengan
harta yang dimiliki, nilainya bisa lebih dari 100% (“..ia memberi dari kekurangannya…”).
Sebaliknya persembahan dari orang kaya, secara jumlah pasti lebih besar, tetapi secara
prosentase dari harta milik mereka, pastilah tidak lebih dari 1/10 (“…mereka memberi dari
kelimpahannya….”). Janda miskin memberi persembahan dengan bobot pengorbanan yang
amat besar, sementara orang kaya memberi persembahan dengan ringan saja -tanpa beban
dan pengorbanan- karena memang hanya diambilkan sebagian kecil (sangat kecil?) dari
harta miliknya. Walter M. Post mengemukakan dalam bukunya bahwa, “Tuhan tidak
memerhatikan berapa banyak yang diberikan oleh seseorang, tetapi berapakah yang
disimpan untuk dirinya sendiri. Tuhan Yesus berkata bahwa orang kaya memberi banyak
karena ia mewah, sehingga pemberiannya hanya merupakan sebagian kecil dari hartanya.
Wanita miskin ini hanya memberi dua peser, tetapi uang yang sedikit itu merupakan seluruh
milikinya.”10
Rasul Paulus sebagai salah satu tokoh Alkitab menghayati persembahan bukan hanya
uang atau benda, tetapi seluruh hidup.11 Dikatakan dalam Roma 12:1 “Karena itu, saudarasaudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada
Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati.” Istilah “tubuh sama dengan seluruh hidup” artinya
menghayati dan mempraktekkan hidup untuk memusatkan perhatian kepada orang lain,
bukan lagi untuk dirinya sendiri. Bandingkan dengan Injil Yohanes 21: 18 “…tetapi jika
engkau sudah menjadi tua, engkau akan mengulurkan tanganmu dan orang lain akan
mengikat engkau dan membawa engkau ke tempat yang tidak kaukehendaki.” Bandingkan
juga dengan cerita tentang anak muda yang kaya. Ia sudah menjalankan semua ajaran di
Perjanjian Lama (tentunya termasuk persembahan persepuluhan dan jenis-jenis persembahan lainnya), tetapi di depan Tuhan Yesus anak muda itu dianggap belum melakukan
sesuatu yang berarti (Matius 19:21 Kata Yesus kepadanya: “Jikalau engkau hendak sempurna, pergilah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka
engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku.“ Dan,
ternyata, pemuda tadi masih lebih terikat pada hartanya daripada terikat pada Kristus.
10
11
Walter M. Post, Tafsiran Injil Markus, (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 1995), hal. 149
Dwiraharjo, “Persembahan Yang Hidup Sebagai Buah Dari Pembenaran Oleh Iman Menurut Roma
12:1-2.”
Copyright© 2020, GINOSKO: Jurnal Teologi Praktika| 111
Kajian Praktis Penerapan Arti Persembahan: Persfektif Perjanjian Baru (Yoel Benyamin)
Perhatikan 2 Timotius 4:6 “Mengenai diriku, darahku sudah mulai dicurahkan
sebagai persembahan dan saat kematianku sudah dekat.” Pada usia lanjut Rasul Paulus
menengok ke belakang, bagaimana ia telah mencurahkan segala yang ia miliki, secara
jasmani dan rohani, untuk dipersembahkan kepada Tuhan. Kata “darah” di dalam kalimat di
atas adalah juga melambangkan berbagai penderitaan dan kesusahan yang pernah
dialaminya sebagai pemberita injil, dan itu dihayati sebagai bagian dari persembahan yang
diberikan Paulus kepada Tuhan. Perhatikan Ibrani 10:8 “Di atas Ia berkata: “Korban
dan persembahan, korban bakaran dan korban penghapus dosa tidak Engkau kehendaki dan
Engkau tidak berkenan kepadanya” meskipun dipersembahkan menurut hukum Taurat.”
Pada ayat ini diperoleh gambaran tentang pemahaman yang baru tentang hubungan antara
manusia dengan Tuhan. Sementara di Perjanjian Lama hubungan itu antara lain ditandai
dengan persembahan sebagai simbol kesetiaan dan kepatuhan umat terhadap Tuhannya,
sedangkan di dalam Perjanjian Baru hubungan antara manusia dengan Tuhan ditandai
dengan pemberian anugerah keselamatan dari Yesus Kristus. Di Perjanjian Baru kesetiaan
dan kepatuhan orang percaya kepada Tuhan-nya tidak lagi ditandai oleh besar kecilnya
persembahan, tetapi oleh cara hidup yang menjunjung tinggi nilai-nilai kerajaan Allah,
yaitu: kasih, keadilan, kebenaran, sukacita, damai sejahtera.
Peter Wongso mengemukakakan:
Persembahan dalam Perjanjian Baru, yaitu Kristus mempersembahkan tubuh-Nya
sebagai korban penebusan serta sebagai teladan mendirikan Perjanjian Baru, barang
siapa yang percaya kepada Kristus, juga mempersembahkan seluruhnya untuk
dipergunakan bagi kebenaran, ia baru dapat dibenarkan. Juga ada dibicarakan tentang
persembahan emas, perak dan lainnya, tetapi benda-benda tersebut hanya khusus
dipakai bagi keperluan pekabaran Injil atau dipakai untuk maksud yang mulia.12
Demikianlah secara konkrit, bagaimana persembahan dijalankan dalam jemaat Kristen
berkaitan dengan pengorbanan tunggal dan sekali untuk selamanya oleh Kristus.
Persembahan jadinya selalu terkait dengan Perjamuan Tuhan. Buah dari keterkaitan
persembahan dengan Perjamuan Tuhan ini adalah terkumpulnya pemberian jemaat untuk
kepentingan orang-orang miskin, atau dalam pengistilahan saat ini, untuk diakonia.
Sehingga Perjamuan Tuhan, Persembahan dan Diakonia menjadi satu kesatuan.
Tuhan Yesus mengajarkan untuk Memberi
Tuhan Yesus berfirman kepada kita supaya kumpulkan harta di surga (Mat. 6:19-21).
Tuhan Yesus memuji seorang janda sebab dia memberikan semua nafkanya dalam bentuk
uang dua peser (Luk. 21:1-4). Kevin J. Conner mengemukakan:
Tuhan Yesus menghargai kaum Farisi dalam segala persepuluhan yang telah mereka
berikan, tetapi mengutuk mereka atas kelalaian mereka perihal belas kasihan, keadilan
dan kesetiaan (Mat. 23:23). Lebih lanjut ia mengatakan, Orang kaya masih tetap
memiliki kelebihan dan tidak pernah merasa kehilangan seberapa pun banyaknya
mereka memberi. Janda itu sudah tidak memiliki apa pun yang tersisa, sebab dia
memberikan semua yang dimilikinya. Tuhan Yesus masih duduk mendekati peti
persembahan saat ini, dalam bentuk Roh Kudus. Dia memperhatikan siapa yang
memberi dan alasan mereka memberi (Mrk. 12:38-44).13
12
Peter Wongso, Doktrin Keselamatan (Malang: SAAT, 1993), 121
Kevin J. Conner, Jemaat Dalam Perjanjian Baru, 594
13
Copyright© 2020, GINOSKO: Jurnal Teologi Praktika| 112
GINOSKO: Jurnal Teologi Praktika; Vol 1, No 2 (Mei 2020)
Prinsip tabur-tuai dalam persembahan disampaikan oleh Paulus dalam suratnya 1Korintus
9:6-9, bahwa kerelaan dan keiklasan merupakan pendorong dalam hati orang percaya.
Pemikiran demikian tergambar juga dalam ungkapan Yesus: berilah dan kamu akan diberi,
menurut ukuran yang kamu pakai untuk mengukur (Luk. 6:38). Maria memberikan pengurapan dan hal ini mengeluarkan bau yang harum (Mrk. 14:1-11). Tuhan Yesus mengajarkan bahwa memberi akan lebih diberkati dari pada menerima (Kis. 20:35).
Yesus tidak pernah mengajarkan persepuluhan kepada murid-muridNya, demikian
juga para murid tidak mengajarkannya. Kitab Ibrani justru memberikan gambaran
yang jelas bahwa dalam Perjanjian Lama, manusia-manusia yang fana menerima
persepuluhan (untuk kehidupan mereka), tetapi Yesus (yang adalah domba Paskah dan
Imam Besar) tidak lagi membutuhkannya karena "Ia Hidup" dan lebih tinggi
derajatnya dari Abraham (Ibr.7:1-10), karena itu persembahan kepada Yesus adalah
persembahan kepada sesama manusia terutama mereka yang terlebih hina daripada kita
(Mat.25:31-46).14
Jadi, Persembahan umat Kristen berdasarkan prinsip Alkitab bukan lagi dalam bentuk persepuluhan yang diundangkan untuk dilakukan secara harafiah tetapi merupakan buah kasih
yang keluar dari hati yang dibenarkan Allah. Mereka yang telah beriman dan lahir baru akan
hidup dalam mengasihi Allah dan sesamanya dengan harta mereka (Kis. 2:44-45;4:34-35;
Mat.35:31-46; Luk.18:22) dan menyisihkan dengan teratur persembahan sesuai dengan yang
diperoleh (1Kor.16:1-2; Gal.6:6) untuk pelayan dan pekerjaan Tuhan dengan kasih.
Paulus mengajarkan untuk Memberi
1 Korintus 16:1-4. Berkenan dengan pengumpulan uang untuk menolong orang-orang
kudus, Paulus juga mengajarkan supaya hal ini dilakukan pada hari pertama tiap minggu,
sebagaimana Allah telah menjadikan mereka mapan. Paulus juga mengajarkan untuk
memberi tiap-tiap minggu, secara teratur, selayaknya, dan dengan sukacita. Kevin J. Conner
menulis dalam bukunya bahwa, “Paulus juga memperkuat prinsip persepuluhan dalam 1
Kor. 9:1-14. Dia menunjukkan bahwa pada masa Perjanjian Lama ada seseorang yang
melayani altar dan hidupnya didukung oleh apa yang ada di atas altar.”15
Di sini Paulus tidak menyimpang dari pokok pembahasan. Dia justru mengilustrasikan
prinsip-prinsip yang baru saja dikemukakan dengan mengacu kepada pengalamannya
sendiri. Selaku seorang rasul dan seorang yang juga memiliki kebebasan kristiani, dia dapat
meminta dukungan keuangan dari orang-orang kepada siapa dia memberitakan Injil (ay.
1Kor 9:1-14) bukan mengenai prinsip persepuluhan.
Bagaiamanapun Steven Teo mengutip dalam buku Christian Finances, Olney
mengatakan bahwa, “ayat dalam 1 Korintus itu tidak bisa dipandang sebagai ajaran tentang
persepuluhan.”16 Lebih lanjut ia mengatakan bahwa, Dalam pengajarannya tentang
keuangan, pelayanan, dan perihal memberi, Paulus tidak secara khusus menyebut tentang
persepuluhan (1 Korintus 9:3-10, 16:2; 2 Korintus 8-1-15 dan 9:1-15).”17
14
Herlianto, Teologi Sukses (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 1993), 171
Conner, 596
16
Teo, 21
17
Ibid.
15
Copyright© 2020, GINOSKO: Jurnal Teologi Praktika| 113
Kajian Praktis Penerapan Arti Persembahan: Persfektif Perjanjian Baru (Yoel Benyamin)
Dalam 2 Korintus 8-9, penulis mendapatkan pengajaran yang paling menonjol dari
Paulus perihal memberi. Jemaat Makedonia meskipun berada dalam kemiskinan, telah
memberi dengan penuh sukacita bahkan melampaui kekuatan mereka. Pertama-tama
memberikan diri kepada Tuhan, kemudian memberikan milik mereka.
PEMBAHASAN
Prinsip pengorbanan dalam Memberi Persembahan
Tidak Mencari Pujian Atau Ingin Dikenal
Melihat pada motivasi seseorang dalam memberi sangat mudah, yaitu apakah seorang
pemberi ingin menonjolkan diri atau membuat diri dikenal orang banyak. Seorang yang
berkorban bagi Allah tidak akan menuntut supaya pemberiannya diketahui semua orang,
namun ia bahkan tidak menampilkan identitas dirinya sebagai si pemberi, dia tidak diketahui
orang Namanya. Charles R. Swindoll mengetengahkan bahwa “Inilah salah satu ciri dari
seorang pelayan yang sejati dalam memberi. Keterlibatan secara pribadi seperti itu akan
memperlihatkan kesungguhan dari kata-kata kita”.18 Jika seorang memberi tapi ingin
Namanya dikenal itu sama dengan mencari nama dan pujian yang sia-sia. Persembahan yang
demikian tidaklah berkenan kepada Allah. Erastus Sabdono mengritik orang-orang kaya
yang memberi persembahan dengan kepentingan pribadi, dan “tentu saja kepada orang yang
memberi perpuluhan atau persembahan uang dalam jumlah besar, mereka mendapat
perhatian dan keramahtamahan yang lebih dari yang lain. Biasanya orang-orang kaya
tersebut juga cepat mendapat tempat atau posisi dalam pelayanan, melebihi orang lain.”19
Camkanlah bahwa salah satu ciri khas dari seorang pelayan Tuhan yang mau
berkorban dalam memberi adalah kerendahan hati artinya dimana ia tidak sombong atau
tidak mementingkan diri sendiri. Namun seringkali dijumpai bahwa terkadang sifat
kerendahan hati bertentangan dengan sifat kebiasaan manusia lama yang suka menonjolkan
diri supaya dihormati orang lain. Sangat berbeda dengan apa yang telah di teladani oleh
Tuhan Yesus sendiri ketika Ia berada di dunia, Paulus menegaskan tentang kepribadian
Kristus di dalam surat (Filipi 2:5-8).
Bersifat personal (pribadi)
V.Z. Azariah mengatakan, “Mereka menyerahkan dirinya kepada Tuhan dan kepada
Paulus, Paulus menulis, bahwa hal itu ada diluar dugaannya, bukanlah maksud mereka untuk
memperlihatkan, betapa baik hati mereka atau supaya mereka termasuk dalam golongan
pemuka-pemuka. Mereka menyerahkan dirinya kepada Tuhan.”20 Orang-orang di
Makedonia itu ingin menolong saudara-saudaranya yang lain dan dengan demikian mereka
turut menderita seperti orang lain dan dengan demikian mereka juga turut dalam pekerjaan
tubuh Kristus. Mereka ingin turut menderita seperti orang-orang lain dan dengan demikian
mereka memperlihatkan bahwa mereka itu bersaudara (2 Kor. 5:4). Selanjutnya Dr. Peter
Wongso mencatat dalam bukunya mengenai jenis-jenis persembahan dalam memberi
persembahan dalam bentuk Benda yang dipersembahkan antara lain: “Diri sendiri (II
18
Charles R. Swindoll, 51
https://www.rehobot.org/beranda_renungan/ciri-ciri-gereja-yang-menyimpangkan-persembahan-uang/
20
V.S. Azariah, 23
19
Copyright© 2020, GINOSKO: Jurnal Teologi Praktika| 114
GINOSKO: Jurnal Teologi Praktika; Vol 1, No 2 (Mei 2020)
Kor.8:5, Rom.6:13); Tubuh (Rom.12:1, 6:13,19); Anak Sulung (Kel.13:1); Anak Tunggal
(Kej.22:2); Yang dikasihi; Hasil pertama dari bumi (Ul.26:10); Yang terbaik (Bil.18:12);
Yang disucikan (Kej.8:20); Harta benda (Ams.3:9) dan Segala sesuatu (Luk.21:4).”21
Mengadakan Evaluasi Diri yang Menyeluruh.
Rick Warren menulis dalam buku The Purpose Driven Life, bahwa, “Cara terbaik
untuk menemukan karunia-karunia dan kemampuan-kemampuan Anda adalah melakukan
percobaan dengan berbagai bidang pelayanan. Anda tidak akan pernah mengetahui dalam
bidang apa Anda bagus sebelum anda mencobanya.”22 Ini tidak dimaksudkan bahwa
memberi persembahan adalah dengan langkah coba-coba, tetapi haruslah koreksi diri dan
refleksi ke dalam batin untuk melihat apakah diri kita sudah menjadi pribadi yang benar.
Setelah Paulus selesai menggambarkan ketidakegoisan orang-orang percaya di
Makedonia (ay 1-5), ia beralih kepada jemaat Korintus dan memuji mereka: Maka sekarang,
sama seperti kamu kaya dalam segala sesuatu--dalam iman, dalam perkataan, dalam
pengetahuan, dalam kesungguhan untuk membantu, dan dalam kasihmu terhadap kami-demikianlah juga hendaknya kamu kaya dalam pelayanan kasih ini. Aku mengatakan hal itu
bukan sebagai perintah, melainkan, dengan menunjukkan usaha orang-orang lain untuk
membantu, aku mau menguji keikhlasan kasih kamu (2 Kor. 8:7-8). “Evaluasi diri yang
menyeluruh merupakan salah satu syarat untuk mengikuti Kristus dari dekat.”23 Jemaat
Korintus kaya dalam visi, karunia rohani, pengetahuan, semangat, dan bahkan cinta kasih.
Kemudian Paulus menganjurkan mereka agar mereka juga kaya dalam pelayanan kasih.
Jadilah orang yang memberi! Jadilah orang yang benar-benar tidak egois!
John Stott mengemukakan bahwa, “Betapa mudah budaya Barat kita yang nyaman
memadamkan kepekaan kita terhadap kebutuhan orang lain. Orang-orang Makedonia tidak
punya kenyamanan itu, dan tidak ada kemewahan dan kepuasan pribadi. Nilai hidup mereka
sepenuhnya berbeda. Mereka memberikan diri mereka pertama-tama kepada Tuhan, lalu
kepada Paulus, dan kepada rekan-rekan sekerja mereka. Sungguh suatu teladan bagi orangorang Korintus, dan bagi kita juga!”24
Berpegang Teguh pada Komitmen
Ada satu harga yang harus dibayar yang sama sulitnya. Sementara Paulus meneruskan
petunjuknya kepada jemaat Korintus, anggota jemaat akan dengan jelas dapat melihat dalam
(2 Kor. 8:9-11). Setahun penuh sebelum Paulus menulis surat itu, mereka telah memulai
proyek tersebut. tidak heran jika waktu itu mereka masih bersemangat, permulaan yang
menggairahkan. Tetapi bersamaan dengan berjalannya waktu, kegairahan tersebut sudah
mulai hilang. Motivasi spontan untuk memberi kini telah berubah menjadi seperti lari
maraton yang menyengsarakan dan berkepanjangan. Dr. Peter Wongso mengatakan bahwa,
Tekad Persembahan antara lain: Hidup bagi Tuhan (II Kor.5:14-15); Mati bagi Tuhan
(Rom.14:7-8) Menjadi korban hidup (dipakai Tuhan) (Rom.12:1); Melaksanakan kehendak
Tuhan (Rom.12:1-2); Agar diperkenankan Allah (Rom.12:1) Melakukan kebajikkan yang
21
Wongso, Doktrin Keselamatan, 120-123
Rick Warren, The Purpose Driven Life, (Malang: Gandum Mas, 2005), 260
23
Charles R. Swindoll, hal. 51
24
John Stott, hal.107
22
Copyright© 2020, GINOSKO: Jurnal Teologi Praktika| 115
Kajian Praktis Penerapan Arti Persembahan: Persfektif Perjanjian Baru (Yoel Benyamin)
Tuhan ingin kita lakukan (Efs.2:10) Memuliakan Tuhan (II Kor.6:20).”25 Paulus berkata
“Teruskan! Kalian telah membuat komitmen untuk ikut terlibat, untuk memberi dan untuk
membantu-sekarang berpegang teguhlah pada komitmen tersebut! selanjutnya Charles
Swindoll berkata bahwa, Berpegang teguh pada komitmen apa pun merupakan hal yang
mahal.”26 Demikian setiap pemberian kepada Allah haruslah dengan komitmen yang kuat
dan konsisten.
KESIMPULAN
Memberi persembahan adalah kewajiban rohani bagi orang Kristen terlepas dari
apapun denominasi gereja atau jenis persembahan yang diatur masing-masing. Semua jenis
persembahan ini bersumber dan berlandaskan secara teologis pada Alkitab dan disesuaikan
pada penerapannya pada setiap denominasi. Apa pun yang diajarkan Alkitab tentang
persembahan korban, prinsipnya adalah sama, bahwa pribadi yang memberi persembahan
secara iklas memberi dengan komitmen kepada Allah. Ada satu harga yang harus dibayar
yang sama sulitnya. Secara praktis orang percaya dapat menetapkan pemberian jenis
persembahan berdasarkan kebutuhan lokal. Dengan demikian gereja tubuh Kristus dapat
melihat bahwa persembahan-persembahan lain tidak disebut, walau pun tidak pernah
ditolak. Sebab Yesus Kristus tidak pernah menolak korban persembahan, tetapi mengembalikan pelaksanaan korban persembahan itu pada motivasi yang sebenarnya seperti dalam
Perjanjian Lama. Sementara Paulus meneruskan petunjuknya kepada jemaat Korintus,
anggota jemaat akan dengan jelas dapat melihat dalam (2 Kor. 8:9-11). Prinsip tabur-tuai
dalam persembahan disampaikan oleh Paulus dalam suratnya 1Korintus 9:6-9, bahwa
kerelaan dan keiklasan merupakan pendorong dalam hati orang percaya. Pemikiran
demikian tergambar juga dalam ungkapan Yesus: berilah dan kamu akan diberi, menurut
ukuran yang kamu pakai untuk mengukur (Luk. 6:38). Maria memberikan pengurapan dan
hal ini mengeluarkan bau yang harum (Mrk. 14:1-11). Tuhan Yesus mengajarkan bahwa
memberi akan lebih diberkati dari pada menerima (Kis. 20:35).
REFERENSI
Apriano, Alvian. “Tentukan Pilihan: Fungsi Implementatif Tawaran Pilihan Etis-Teologis
Kristen Di Dalam Konteks Dilema Moral.” EPIGRAPHE: Jurnal Teologi dan
Pelayanan Kristiani 3, no. 2 (2019): 67.
Baker, Charles F. Bible Truth. Jakarta: Pustaka Alkitab Anugerah, 2010.
Dwiraharjo, Susanto. “Persembahan Yang Hidup Sebagai Buah Dari Pembenaran Oleh Iman
Menurut Roma 12:1-2.” PRUDENTIA: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani 1, no.
1 (2018): 1–6.
Ensiklopedia Alkitab Masa Kini. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2004.
Herlianto. Teologi Sukses. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993.
Menggali Isi Alkitab. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 1999.
Post, Walter M. Tafsiran Injil Markus. Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 1995.
Rumekso, Ayub Widhi. “Evaluasi Terhadap Tata Ibadah Kontekstual Gereja Kristen Jawa.”
KURIOS (Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen) 5, no. 1 (2019): 74–93.
25
26
Dr. Peter Wongso, Doktrin Keselamatan, (Malang: SAAT, 1993), hal. 120-123
Charles R. Swindoll, hal. 56
Copyright© 2020, GINOSKO: Jurnal Teologi Praktika| 116
GINOSKO: Jurnal Teologi Praktika; Vol 1, No 2 (Mei 2020)
Siahaan, Harls Evan. “Karakteristik Pentakostalisme Menurut Kisah Para Rasul.” Dunamis:
Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani 2, no. 1 (2017): 12–28.
Sitanggang, Murni H. “Teologi Biblika Mengenai Perpuluhan.” Veritas : Jurnal Teologi dan
Pelayanan 12, no. 1 (2011): 19–37.
Wongso, Peter. Doktrin Keselamatan. Malang: SAAT, 1993.
Warren, Rick. The Purpose Driven Life. Malang: Gandum Mas, 2005.
Wuwungan, O.E. Ch. Bina Warga. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009
Zaluchu, Sonny Eli. “Eksegesis Kisah Para Rasul 2:42-47 Untuk Merumuskan Ciri
Kehidupan Rohani Jemaat Mula-Mula Di Yerusalem.” EPIGRAPHE: Jurnal Teologi
dan Pelayanan Kristiani 2, no. 2 (2018): 72–82. Accessed April 1, 2020.
http://www.stttorsina.ac.id/jurnal/index.php/epigraphe.
Copyright© 2020, GINOSKO: Jurnal Teologi Praktika| 117