Semakin canggih teknologi, semakin terbuka pula peluang melakukan tindak kejahatan. Termasuk di s... more Semakin canggih teknologi, semakin terbuka pula peluang melakukan tindak kejahatan. Termasuk di sektor keuangan dan perbankan. Bagi dunia perbankan, kasus pembobolan bank adalah bagian dari risiko operasional bank. Di dalam negeri, ada beberapa kasus kejahatan pembobolan bank yang cukup menarik perhatian dan menghebohkan. Berikut 5 (lima) kasus pembobolan terheboh di Indonesia: 1. Kasus BLBI Salah satu kasus kejahatan perbankan yang paling menghebohkan sepanjang sejarah bangsa ini adalah kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia atau yang lebih dikenal dengan BLBI. Meskipun kebijakan ini keluar sekitar tahun 1998, kasusnya kini mulai menarik perhatian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Satu per satu aktor yang berkaitan dengan kebijakan itu, mulai diperiksa KPK. BLBI sejatinya adalah skema bantuan (pinjaman) yang diberikan Bank Indonesia kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas saat terjadinya krisis moneter 1998. Setidaknya, telah terkucur bantuan likuiditas sebesar Rp 147,7 triliun kepada 48 bank. Namun, ternyata dana tersebut dibawa kabur oleh beberapa pemilik bank. Audit BPK terhadap penggunaan dana BLBI oleh ke-48 bank tersebut menyimpulkan telah terjadi indikasi penyimpangan sebesar Rp 138 triliun.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan audit investigasi terhadap PT Pelindo II. Audit bahkan s... more Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan audit investigasi terhadap PT Pelindo II. Audit bahkan sudah dilakukan sebelum adanya permintaan dari Panitia Khusus (Pansus) Pelindo II bentukan DPR. Menurut Wakil Ketua BPK, Achsanul Qosasi, audit investigasi atas BUMN pimpinan RJ Lino itu sudah dimulai sejak 22 Oktober lalu. Selanjutnya, BPK punya waktu selama 30 hari untuk menuntaskannya. "Jadi 22 November ini selesai," ujar Achsanul di kantornya, Senin (16/11) saat menerima pimpinan Pansus Pelindo II. Achsanul yang juga ketua tim audit investigatif Pelindo II itu menambahkan, sejauh ini ada 20 temuan. Di antaranya adalah persoalan hukum tentang keputusan RJ Lino memperpanjang konsesi untuk Huthison Port Holdings (HPH) sebagai pengelola Jakarta International Container Terminal (JICT) di Pelabuhan Tanjung Priok. Selain itu, BPK juga menemukan persoalan tentang kompensasi bagi HPH sebagai pengelola JICT. "BPK akan memberikan rekomendasi, ini bisa jadi pegangan Pansus," tuturnya. Achsanul menambahkan, proses audit investigasi terhadap Pelindo II telah berjalan 95 persen. Sisanya, kata mantan wakil ketua Komisi XI DPR itu, hanya menyangkut pembahasan dan finalisasi untuk rekomendasi hasil audit. "Insya Allah selesai minggu ini. Sesuai janji saya di pansus, 30 hari selesai," tegasnya. Karenanya setelah seminggu ke depan, kata Achsanul, BPK hanya tinggal menunggu undangan Pansus Pelindo II untuk menyerahlan hasil audit investigatif itu. BPK juga siap jika langsung memaparkan hasil audit investigasi atas BUMN pengelola pelabuhan itu di hadapan Pansus Pelindo II. "Kami tinggal nunggu undangan dari Bu Rieke (Ketua Pansus Pelindo II Rieke Diah Pitaloka, red), kapan kami diundang untuk paparkan hasil temuan ini yang akan menjawab tiga hal. Jadi, mudah-mudahan antara pansus dan BPK ada kesepakatan waktu untuk bicara lebih lanjut," tandas Qosasi. Review atas Audit Investigatif: Audit investigasi adalah bagian dari manajemen kontrol yang dilaksanakan dalam kegiatan internal audit, di samping audit lainnya, seperti audit keuangan dan audit kepatuhan atau complience audit. Audit investigasi lebih dikenal dengan fraud audit atau pemeriksaan kecurangan. Fraud audit adalah kombinasi aspek audit forensik atau investigasi forensik atau uji menyeluruh semua materi pemeriksaan dengan teknik internal kontrol dalam tata cara internal audit. Audit investigasi merupakan pekerjaan profesional atau expert works. Oleh karena itu, seorang fraud auditor harus mempunyai pengetahuan yang cukup, dan telah diakui
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama yang lebih dikenal dengan sebutan Ahok belum lama ini... more Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama yang lebih dikenal dengan sebutan Ahok belum lama ini secara terang-terangan menyudutkan salah satu lembaga negara, yakni Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dengan mengatakan bahwa hasil audit BPK mengenai pembelian Rumah Sakit (RS) Sumber Waras "ngaco". Menanggapi pernyataan Gubernur DKI seperti itu, BPK tentu melakukan pembelaan diri. Di sisi lain para praktisi yang berprofesi sebagai auditor serta praktisi bidang Good Corporate Governance (GCG) merasa kecewa terhadap pernyataan tersebut, karena auditor merupakan profesi yang memiliki standar khusus serta mempunyai organisasi profesi internal yang relatif solid. Auditor negara seperti BPK dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), auditor BUMN dan auditor swasta tergabung dalam berbagai asosiasi internal seperti Institut Internal Audit (IIA) Indonesia dan Asosiasi Auditor Perbankan, bahkan khusus untuk auditor inspektorat tergabung dalam Asosiasi Auditor Pemerintah Indonesia (AAPI). BPK itu sendiri adalah lembaga negara yang bertugas memeriksa pengelolaan dan keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Keuangan Negara Nomor 17 tahun 2003. BPK memiliki dasar hukum serta peraturan yang menjadi acuan utama dalam setiap proses audit yang dilakukannya, seperti Undang-undang No. 17 tentang Keuangan Negara, Undang-ndang No. 15 tentang BPK, Peraturan BPK No. 01 tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara serta dilengkapi dengan Peraturan BPK No. 2 tahun 2007 tentang Kode Etik BPK. Terkait proses audit, lembaga negara tersebut tidak melakukannya secara sembarangan. Proses audit harus sesuai dengan peraturan BPK mengenai Standar Pemeriksaan Keuangan Negara. Standar tersebut disusun pada 2007 ketika lembaga tersebut diketuai oleh Prof Dr Anwar Nasution. Ketika itu satu tim yang terdiri dari 20 auditor profesional menyusun Pedoman Pemeriksaaan Keuangan yang kemudian menjadi acuan BPK. Standar Pemeriksaan setebal 131 halaman tersebut berisi mengenai standar umum dan prinsip-prinsip pemeriksaan, pelaksanaan pemeriksaan kinerja, pelaksanaan pemeriksaan keuangan, pelaksanaan pemeriksaaan tujuan tertentu, dan standar pelaporan.
Abstrak: Paper ini merupakan review historis dan komentar terhadap hubungan antara akuntansi fore... more Abstrak: Paper ini merupakan review historis dan komentar terhadap hubungan antara akuntansi forensik dan auditing. Pada tahun-tahun pertama munculnya profesi akuntansi, dimana temuan fraud diakui sebagai tujuan dasar dari audit keuangan, akuntansi forensik merupakan bagian integral di bidang akuntansi. Namun beberapa dekade selanjutnya dimana profesi akuntansi berupaya menjauhkan diri tanggungjawab temuan fraud, akuntansi forensik digolongkan sebagai bagian kurang penting dari profesi. Saat ini dengan terjadinya banyak kegagalan perusahaan dan terbitnya Sarbanes-Oxley Act, akuntansi forensik disatukan kembali dengan profesi. Temuan fraud diakui lagi sebagai salah satu tanggungjawab mendasar dari auditor dan instrumen bagi akuntan forensik sudah dikembangkan lagi. Review Paper ini menyampaikan sejarah tentang tanggung jawab atas deteksi fraud. Pada awal lahirnya profesi akuntansi di Amerika, akuntan (auditor) memiliki tanggungjawab untuk dapat mendeteksi fraud. Hal ini tercermin dari diakuinya fraud sebagai bagian integral dari akuntansi. Namun setelah beberapa dekade berlalu, sebagian besar akuntan Amerika menolak untuk bertanggungjawab atas deteksi fraud. Menurut para akuntan tersebut tuntutan kepada akuntan tidak berdasar serta menambah kerumitan pada saat dilakukannya pekerjaan audit terhadap laporan keuangan. Namun, para pemangku kepentingan, kreditor dan masyarakat yang berkepentingan tidak pernah setuju atas penolakan profesi akuntansi kaitannya dengan tanggungjawab deteksi fraud. Pada saat itu organisasi akuntan publik Amerika (AICPA) menghabiskan biaya jutaan dollar serta menyita banyak waktu hanya untuk memikirkan jalan terbaik atas permasalahan tanggungjawab deteksi fraud bagi akuntan publik. Publik berpegang teguh pada keyakinannya bahwa tanggung jawab utama dari auditor adalah menemukan fraud. Dalam perjalanan berikutnya publik menang karena profesi akuntansi tidak dapat mengelak dan menghindari tanggungjawab tersebut. Waktupun terus berlalu dan saat ini auditor dituntut untuk menjadi detektor fraud sehingga mereka harus menemukan kembali keahlian forensik yang hilang dan kembali menganut pemikiran lama dimana fraud merupakan bagian integral dari akuntansi. Saat ini, akuntansi forensik sedang booming dan akuntan forensik kembali bergelilat.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Und... more Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan tatacara Perpajakan Pasal 29 ayat 1 disebutkan bahwa Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Dari ketentuan tersebut seluruh lapisan masyarakat yang memenuhi persyaratan sebagai Wajib Pajak berpotensi sama untuk dilakukan pemeriksaan pajak. Sebagai Wajib Pajak (mungkin termasuk kita), alangkah lebih baik jika kita memahami metode apa saja yang dapat dilakukan oleh Petugas Pemeriksa Pajak. Dengan memahami metode yang digunakan petugas pemeriksa pajak, Wajib Pajak memiliki pegangan dan dapat memprediksi arah ketetapan yang akan ditetapkan sehingga memiliki persiapan yang baik untuk dapat mengambil langkah yang tepat. Metode pemeriksaan sendiri adalah teknik pemeriksaan dan prosedur pemeriksaan yang dilakukan terhadap buku, catatan, dan dokumen serta data, informasi, dan keterangan lain. Metode pemeriksaan sendiri terbagi menjadi dua jenis, yaitu Metode Pemeriksaan Langsung dan Metode Pemeriksaan Tidak Langsung. Metode Pemeriksaan Langsung merupakan teknik dan prosedur pemeriksaan dengan melakukan pengujian atas kebenaran angka-angka yang tercantum di dalam SPT, yang langsung dibandingkan dengan laporan keuangan dan buku catatan, serta dokumen pendukung. Pelaksanaan pemeriksaan dengan metode ini dilakukan sesuai dengan program pemeriksaan yang terinci atas setiap pos neraca dan laba rugi yang menjadi sumber utama atau berkaitan dengan angka-angka dalam SPT. Sedangkan Metode Pemeriksaan Tidak Langsung merupakan teknik dan prosedur pemeriksaan dengan melakukan pengujian atas kebenaran angka-angka yang tercantum di dalam SPT, yang dilakukan secara tidak langsung melalui suatu pendekatan perhitungan tertentu. Hasil penghitungan menggunakan metode tidak langsung merupakan petunjuk untuk mengambil kesimpulan tentang ketidakbenaran angka-angka dalam SPT sehingga masih diperlukan pembuktian yang valid dan absah untuk membuktikan ketidakbenaran tersebut. Metode Pemeriksaan Pajak Tidak Langsung digunakan dalam hal Metode Langsung tidak dapat diterapkan serta harus dikuatkan dengan bukti bahwa Metode Langsung benar-benar tidak dapat diterapkan. Berdasarkan Surat Edaran dari Direktur Jenderal Pajak nomor SE-65/PJ/2013 tentang Pedoman Penggunaan Metode dan Teknik Pemeriksaan, Metode Tidak Langsung yang dapat digunakan oleh Pemeriksa Pajak terdiri atas enam pendekatan yaitu:
Sistem perpajakan Indonesia menganut self assessment system dimana berdasarkan sistem tersebut Wa... more Sistem perpajakan Indonesia menganut self assessment system dimana berdasarkan sistem tersebut Wajib Pajak diberikan kepercayaan untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri kewajiban perpajakannya. Self assessment system berjalan dengan baik apabila Wajib Pajak melaksanakan seluruh kewajiban perpajakannya dengan tingkat kepatuhan yang tinggi dan disertai dengan mekanisme pengawasan dan penegakan hukum yang optimal oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Sebagai salah satu mekanisme pengawasan terhadap self assessment system, Direktur Jenderal Pajak diberikan kewenangan untuk melakukan pemeriksaan. Hal ini diatur dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Undang-Undang KUP) yang menyatakan bahwa Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Dalam rangka melaksanakan pemeriksaan yang efektif perlu ditetapkan rencana dan strategi pemeriksaan secara spesifik, dapat diukur, dapat dicapai, relevan, batasan waktu yang rasional, dan perbaikan terus menerus yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas pemeriksaan, kepatuhan wajib pajak, dan penerimaan pajak. Oleh karena itu, untuk meningkatkan efektivitas pemeriksaan diperlukan rumusan strategi pemeriksaan yang tepat dan sistematis. Dengan demikian sumber daya pemeriksaan yang dimiliki oleh DJP dapat dioptimalkan untuk mencapai rencana pemeriksaan yang telah ditetapkan. Bagi Wajib Pajak (termasuk kita), bukan tidak mungkin kelak akan menghadapi apa yang dinamakan Pemeriksaan Pajak. Semua Wajib Pajak berpotensi sama untuk dilakukan pemeriksaan pajak oleh DJP. Selama ini pemeriksaan pajak menjadi hal yang cukup menakutkan bagi para pelaku bisnis terutama untuk golongan menengah ke atas karena Wajib Pajak yang berpenghasilan tinggi akan menjadi perhatian tersendiri oleh jajaran DJP. Pemeriksaan pajak menjadi mimpi buruk momok menakutkan. Entah mengapa, dari sekian Banyak perusahaan yang saya kenal selama ini, nyaris semuanya merasa terbebani oleh pemeriksaan pajak. Tak jarang juga pemilik usaha yang menjadi khawatir lalu stress. Bukannya menunjukan sikap cerdas, malahan cenderung menunjukan sikap panik yang sama sekali kontra-produktif. Dari beberapa pengamatan yang sudah dilakukan penulis, sumber utama kekhawatiran sesungguhnya adalah ketidaktahuan terhadap ketentuan peraturan perpajakan beserta teknis pelaksanaannya. Hal ini merupakan sesutau yang wajar dan logis karena hampir tidak memungkinkan semua Wajib Pajak bisa tahu dan memahami peraturan pajak yang begitu banyak. Kebanyakan Wajib Pajak tidak memiliki cukup waktu untuk membaca dan mempelajari aturan perpajakan beserta ketentuan teknisnya. Mereka lebih memilih fokus untuk membuat strategi-strategi pengembangan usaha.
Agency theory menyatakan bahwa perusahaan bisa dipandang sebagai nexus of contract, dimana organi... more Agency theory menyatakan bahwa perusahaan bisa dipandang sebagai nexus of contract, dimana organisasi secara garis besar merupakan berbagai set kontrak (Scott, 2000:285). Banyak kontrak yang dilakukan perusahaan yang melibatkan variabel akuntansi dalam laporan keuangan untuk memonitoring jalannya kontrak tersebut. Dengan adanya keleluasaan bagi manajer yang diperkenankan standar akuntansi untuk memilih kebijakan akuntansi yang tersedia, memungkinan timbulnya perilaku oportunistik manajemen berupa pemilihan kebijakan akuntansi oleh manajer hanya untuk memenuhi tujuan pribadinya. Motivasi manajer melakukan ini adalah sesuai dengan hipotesis bonus plan dalam teori akuntansi positif, yaitu untuk meningkatkan bonus, gaji, serta manfaat lain yang akan diterimanya. Untuk itu ada suatu pilihan prinsip akuntansi yang dapat mengurangi perilaku opportunistik manajemen ini, yang biasa disebut dengan prinsip konservatisme akuntansi. Konservatisme merupakan prinsip akuntansi yang jika diterapkan akan menghasilkan angka-angka laba dan aset cenderung rendah, serta angka-angka biaya dan utang cenderung tinggi. Kecenderungan seperti itu terjadi karena konservatisme menganut prinsip memperlambat pengakuan pendapatan serta mempercepat pengakuan biaya. Akibatnya, laba yang dilaporkan cenderung terlalu rendah (understatement). Di kalangan para peneliti, prinsip konservatisme akuntansi masih dianggap sebagai prinsip yang kontroversial. Di satu sisi, konservatisme akuntansi dianggap sebagai kendala yang akan mempengaruhi kualitas laporan keuangan, di sisi lain konservatisme akuntansi bermanfaat untuk menghindari perilaku oportunistik manajer berkaitan dengan kontrak-kontrak yang menggunakan laporan keuangan sebagai media kontrak (Watts, 2003). Perkembangan yang terjadi justru menunjukkan bahwa eksistensi praktik konservatisme akuntansi semakin meningkat. Eksistensi konservatisme yang dipraktikkan masing-masing perusahaan bisa berbeda karena adanya berbagai alternatif pilihan metode akuntansi. Disamping itu, disebabkan pula oleh adanya perbedaan kondisi masing-masing perusahaan. Apalagi dengan adanya resiko litigasi, maka dorongan untuk menerapkan konservatisme semakin kuat. Upaya manajer untuk menjalankan fungsinya sebagai agen tidak terlepas dari dorongan mereka yang dipengaruhi kondisi eksternal dan internal perusahaan. Kondisi eksternal yang mendorong manajer adalah risiko litigasi, sedangkan kondisi internal yang mendorong manajer adalah tipe strategi perusahaan. Risiko litigasi sebagai faktor kondisi eksternal, didasarkan pada pandangan bahwa investor dan kreditor adalah pihak yang memperoleh perlindungan secara hukum. Investor maupun kreditor dalam memperjuangkan hak dan kepentingannya dapat melakukan litigasi dan tuntutan hukum kepada perusahaan. Johnson et al. (2000) dan Qiang (2003) menyatakan bahwa risiko potensial terjadinya litigasi
Kesiapan aparatur pajak atas perubahan manajemen ataupun struktur organisasi pajak, membutuhkan k... more Kesiapan aparatur pajak atas perubahan manajemen ataupun struktur organisasi pajak, membutuhkan kompetensi dan profesionalitas yang handal. Kompetensi dan profesionalitas aparatur pajak dalam organisasi harus dapat dioptimalkan melalui pelatihan dan pengembangan yang berbasis kompetensi. Dalam istilah umum, organisasi pajak harus tepat dalam menempatkan " The Right Man on The Right Place. " Hal ini memberikan dampak yang positif ketika aparatur pajak yang kompeten mampu membawa keberhasilan pribadinya pada peningkatan kinerja organisasi. Pengembangan manusia dalam organisasi memberikan kualitas dan kemampuan kerja yang akan berdampak pada peningkatan kinerja organisasi pajak. Seperti telah diketahui masyarakat luas, pemerintah Indonesia berencana akan mengubah bentuk organisasi pajak dari Direktorat (Setara Eselon I) menjadi Badan yang langsung bertanggungjawab kepada Presiden. Perubahan manajemen ataupun struktur organisasi pajak, menuntut kesiapan aparatur pajak atas perubahan tersebut. Di dalam perubahan tersebut membutuhkan aparatur yang bukan hanya sebagai penonton yang pasif melainkan mereka sebagai penggerak perubahan perpajakan yang ada, yaitu menjadi aparatur yang profesional dan berkompeten sesuai tuntutan perubahan, termasuk di dalamnya sebagai aparatur pelayan masyarakat/ publik yang prima dan berkompeten. Namun, perubahan manajemen dan restrukturisasi tidak akan membawa hasil yang optimal tanpa disertai adanya budaya yang kondusif terhadap perubahan tersebut. Keberhasilan Direktorat Jenderal Pajak yang kelak akan menjadi Badan Penerimaan Pajak ditentukan dari kualitas orang-orang yang berada di dalamnya, yang selalu bekerja secara optimal, dimana kinerja aparatur dalam berkarya yang mempunyai prestasi tentunya mempunyai nilai lebih bila dibandingkan dengan aparatur yang lain. Nilai lebih tersebut adalah pengetahuan dalam memahami permasalahan kemudian mampu merumuskan dengan strategi yang tepat. Dengan pengembangan SDM berbasis kompetensilah yang akan mempertinggi produktivitas aparatur pajak, sehingga kualitas kerja pun lebih tinggi dan berujung pada keuntungan organisasi. Pengembangan berbasis kompetensi dilakukan agar dapat memberikan hasil sesuai dengan tujuan dan sasaran DJP, dengan standar kinerja yang telah ditetapkan. Oleh karena itu kinerja individu dalam organisasi merupakan jalan dalam meningkatkan poduktivitas organisasi itu sendiri. Sumber daya manusia merupakan aset dalam segala aspek pengelolaan terutama yang menyangkut eksistensi organisasi. Secara definisi, sumber daya manusia atau biasa disingkat menjadi SDM merupakan potensi yang terkandung dalam diri manusia untuk mewujudkan perannya sebagai makhluk sosial yang adaptif dan transformatif yang mampu mengelola dirinya sendiri serta seluruh potensi yang terkandung di alam menuju tercapainya kesejahteraan kehidupan dalam tatanan yang seimbang dan berkelanjutan. Dalam pengertian praktis sehari
Pajak merupakan sumber utama penerimaan negara. Hal ini tercermin dari struktur pengganggaran pem... more Pajak merupakan sumber utama penerimaan negara. Hal ini tercermin dari struktur pengganggaran pemerintah. Struktur penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Republik Indonesia terdiri dari sektor perpajakan dan penerimaan negara bukan pajak. Proporsi keduanya dari tahun ke tahun berkisar di satu untuk penerimaan negara bukan pajak dan tiga untuk penerimaan perpajakan. Sebagai sumber utama penerimaan, sektor perpajakan merupakan sektor yang dituntut untuk sejalan dengan kenaikan anggaran belanja. Untuk sebuah organisasi yang ingin dikenal memiliki kinerja yang memuaskan, peningkatan target merupakan sebuah pencitraan cita-cita organisasi kepada masyarakat. Data historis menyatakan bahwa target penerimaan pajak selalu meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini tentu tidak mengherankan mengingat untuk pajak adalah sebuah alat mengejar pertumbuhan ekonomi yang bermetamorfosis menjadi belanja negara yang meningkat. Sayangnya, peningkatan target tidak diikuti oleh realisasi yang meningkat. Sejak tahun 2009, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tidak pernah mencapai target penerimaan yang telah ditetapkan. Banyak faktor yang ditengarai sebagai penyebab ketidaktercapaian target penerimaan. Salah satunya adalah kurangnya sumber daya manusia di Direktorat Jenderal Pajak. Direktorat Jenderal Pajak mempunyai pegawai sebanyak 32.214 orang per 2013. Proporsi terdiri dari AR sebanyak 6.689 dan pemeriksa pajak sejumlah 4.231. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk yang memiliki NPWP maka rasio pegawai pajak terhadap jumlah wajib pajak terdaftar adalah 1:773. Rasio ini tentu saja bukan merupakan rasio yang ideal untuk menjalankan sebuah organisasi. Tidak hanya jumlah pegawai secara keseluruhan, pemeriksa pajak mungkin merupakan sumber daya yang paling terbatas saat ini. Padahal, pemeriksaan menjadi salah satu alternatif intensifikasi yang menjanjikan untuk meningkatkan penerimaan di sektor perpajakan. Jumlah seluruh pemeriksa di Indonesia hanya sebanyak 4.231 orang per 31 Desember 2013. Dengan jumlah sedemikian sedikit, rasio antara pemeriksa dan wajib pajak adalah 1:5.882. Salah satu langkah solutif yang dilakukan DJP terlihat ketika organisasi melakukan pengangkatan fungsional pemeriksa pada tahun 2013. Pengangkatan pemeriksaan secara besar-besaran dilakukan terhadap pegawai dengan usia yang masih relatif muda dengan syarat telah mengikuti pendidikan dan pelatihan pemeriksa pajak. Pengangkatan secara besar-besaran itu menjawab tantangan keterbatasan pemeriksa pajak secara kuantitas namun tidak secara kualitas. Kualitas pemeriksa merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas pemeriksaan. Untuk meningkatkan kinerja Direktorat Jenderal Pajak tidak hanya dibutuhkan pemeriksa yang banyak namun juga pemeriksa yang berkualitas. Direktorat Jenderal pajak sebaiknya merancang sistem asersi dan sertifikasi yang mampu menyaring sumber daya pemeriksa yang berkualitas.
Etika secara umum didefinisikan sebagai perangkat prinsip moral atau nilai. Etika merupakan kesel... more Etika secara umum didefinisikan sebagai perangkat prinsip moral atau nilai. Etika merupakan keseluruhan norma dan penilaian yang dipergunakan oleh masyarakat untuk mengetahui bagaimana manusia seharusnya menjalankan kehidupannya. Secara sempit etika didefinisikan seperangkat nilai atau prinsip moral yang berfungsi sebagai panduan untuk berbuat, bertindak atau berperilaku. Karena berfungsi sebagai panduan, prinsip-prinsip moral tersebut juga berfungsi sebagai kriteria untuk menilai benar/salahnya perbuatan/perilaku. Kode Etik Kode etik adalah nilai-nilai, norma-norma, atau kaidah-kaidah untuk mengatur perilaku moral dari suatu profesi melalui ketentuan-ketentuan tertulis yg harus dipenuhi dan ditaati setiap anggota profesi. Karena kode etik merupakan wujud dari komitmen moral organisasi, maka kode etik harus berisi: 1. mengenai apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh anggota profesi; 2. Apa yang harus didahulukan dan apa yang boleh dikorbankan oleh profesi ketika menghadapi situasi konflik atau dilematis; 3. Tujuan dan cita-cita luhur profesi; 4. Sanksi yang akan dikenakan kepada anggota profesi yang melanggar kode etik. Tujuan Utama Kode Etik Terdapat dua tujuan utama kode etik: 1. Kode etik bertujuan melindungi kepentingan masyarakat dari kemungkinan kelalaian, kesalahan atau pelecehan, baik disengaja maupun tidak disengaja oleh anggota profesi; 2. Kode etik bermaksud melindungi keluhuran profesi dari perilaku perilaku menyimpang oleh anggota profesi. Syarat Kode Etik yang Optimal Agar kode etik dapat berfungsi dengan optimal, minimal ada 2 (dua) syarat yang harus dipenuhi, yaitu: 1. Kode etik harus dibuat oleh profesinya sendiri. Kode etik tidak akan efektif apabila ditentukan oleh pemerintah atau instansi di luar profesi itu; 2. Pelaksanaan kode etik harus diawasi secara terus-menerus. Setiap pelanggaran akan dievaluasi dan diambil tindakan oleh suatu dewan yang khusus dibentuk. Kode Etik Auditor Etika Profesi auditor di Indonesia dikodifikasikan dalam bentuk kode etik, yang mana struktur kode etik ini meliputi prinsip etika, aturan etika, dan interpretasi aturan etika. Struktur yang demikian itu setidaknya memberikan gambaran akan kebutuhan minimal bagi profesi auditor untuk memberi jasa yang efektif kepada masyarakat. Terkait dengan hal tersebut Brooks (dikutip oleh Ludigdo, 2007) menyebutkan bahwa suatu pedoman auditor yang dibuat seharusnya berisi beberapa poin pokok. Beberapa poin pokok tersebut adalah:
Perkembangan akuntansi sangat dipengaruhi oleh kemajuan Teknologi Informasi (TI). Dengan adanya T... more Perkembangan akuntansi sangat dipengaruhi oleh kemajuan Teknologi Informasi (TI). Dengan adanya TI pekerjaan yang tadinya dilakukan secara manual, kini dapat dikerjakan lebih cepat dengan TI, termasuk juga Sistem Informasi Akuntansi (SIA). Pemanfaatan TI dalam SIA ini akan berpengaruh pada pemasukan data (entry) transaksi pada buku besar dan data dapat diolah sehingga laporan keuangan dapat dilaporkan lebih cepat bila dibandingkan pekerjaan manual. Terdapat tiga tahapan yang menandai perkembangan pemanfaatan komputer dalam bisnis : (1) jaman pengolahan data elektronik, (2) jaman teknologi informasi, dan (3) jaman jejaring. Awalnya, komputer hanya sebatas dimanfaatkan untuk mempermudah pengolahan data yang besar. Dalam perkembangannya, komputer dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan informasi untuk dasar pengambilan keputusan, bahkan saat ini dapat dimanfaatkan untuk membangun sebuah jaringan yang memungkinkan adanya transfer informasi global dalam waktu yang singkat. Perkembangan ini tentu saja akan mempengaruhi praktik pengauditan. Perubahan proses akuntansi akan mempengaruhi proses audit karena audit merupakan suatu bidang praktik yang menggunakan laporan keuangan, yang merupakan produk akuntansi. Artikel ini membahas mengenai peluang bagi akuntan akibat adanya perkembangan SIA dan auditing karena kemajuan teknologi informasi. 1. Computer Information System Auditor (CISA) Kompleksitas pemrosesan data berbasis komputer mendesak auditor untuk memenuhi kebutuhan akan suatu sistem yang memiliki kemampuan khusus, seperti pemahaman mengenai hardware, software, database, teknologi pengkomunikasian data, serta pengendalian yang b e r o r i e n t a s i p a d a k o m p u t e r (Computer Oriented Control) dan teknik pengauditan. CISA merupakan jawaban bagi auditor untuk mengatasi persoalan ini.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kesesuaian antara praktek penerapan pemotongan ... more Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kesesuaian antara praktek penerapan pemotongan dan pemungutan pajak yang dilakukan oleh Bendahara Desa di Kabupaten Gunungkidul dengan ketentuan perpajakan yang berlaku. Selanjutnya penelitian ini juga bertujuan untuk menemukan solusi terbaik apabila ditemukan penyimpangan dalam menerapkan ketentuan perpajakan yang berpotensi merugikan penerimaan negara maupun berpotensi merugikan Wajib Pajak yang dipotong atau dipungut pajaknya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi untuk mengetahui penerapan Withholding Tax System oleh Bendahara Desa di Kabupaten Gunungkidul. Pengambilan data dilakukan dengan melakukan wawancara dengan pihak yang terkait dengan pelaksanaan Withholding Tax System atas penggunaan dana APBDes. Partisipan penelitian dipilih dengan metode purposive sampling. Partisipan terdiri dari Bendahara Desa yang bertugas di Kabupaten Gunungkidul dan berstatus aktif pada masa penelitian dilakukan. Selain Bendahara Desa, partisipan yang turut diwawancarai adalah perwakilan dari Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD) Kabupaten Gunungkidul, perwakilan dari Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana, Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DP3KBPMD) Kabupaten Gunungkidul, serta perwakilan dari Kantor Pelayan Pajak Pratama Wonosari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat penyimpangan dalam pelaksanaan Withholding Tax System oleh Bendahara Desa di Kabupaten Gunungkidul yang dikarenakan tidak terpenuhinya syarat administrasi perpajakan dan keterbatasan jumlah rekanan yang memenuhi ketentuan perpajakan. KPP Pratama Wonosari sebagai lembaga yang bertugas sebagai pengawas jalannya administrasi perpajakan atas Withholding Tax System yang dipungut oleh Bendahara Desa, memberikan keringanan dalam pemenuhan ketentuan perpajakan ini. Hal ini dilakukan demi mengamankan potensi penerimaan pajak dari penggunaan APBDes dan sesuai dengan teori kebijakan. Lebih lanjut hal ini menunjukkan bahwa Bendahara Desa telah melaksanakan perannya sebagai steward mampu mempertanggungkan tugasnya kepada DJP (stewardship). Bendahara Desa memiliki niat baik walaupun ada penyimpangan dalam pelaksanaan pemungutan dan pemotongan pajak.
Semakin canggih teknologi, semakin terbuka pula peluang melakukan tindak kejahatan. Termasuk di s... more Semakin canggih teknologi, semakin terbuka pula peluang melakukan tindak kejahatan. Termasuk di sektor keuangan dan perbankan. Bagi dunia perbankan, kasus pembobolan bank adalah bagian dari risiko operasional bank. Di dalam negeri, ada beberapa kasus kejahatan pembobolan bank yang cukup menarik perhatian dan menghebohkan. Berikut 5 (lima) kasus pembobolan terheboh di Indonesia: 1. Kasus BLBI Salah satu kasus kejahatan perbankan yang paling menghebohkan sepanjang sejarah bangsa ini adalah kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia atau yang lebih dikenal dengan BLBI. Meskipun kebijakan ini keluar sekitar tahun 1998, kasusnya kini mulai menarik perhatian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Satu per satu aktor yang berkaitan dengan kebijakan itu, mulai diperiksa KPK. BLBI sejatinya adalah skema bantuan (pinjaman) yang diberikan Bank Indonesia kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas saat terjadinya krisis moneter 1998. Setidaknya, telah terkucur bantuan likuiditas sebesar Rp 147,7 triliun kepada 48 bank. Namun, ternyata dana tersebut dibawa kabur oleh beberapa pemilik bank. Audit BPK terhadap penggunaan dana BLBI oleh ke-48 bank tersebut menyimpulkan telah terjadi indikasi penyimpangan sebesar Rp 138 triliun.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan audit investigasi terhadap PT Pelindo II. Audit bahkan s... more Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan audit investigasi terhadap PT Pelindo II. Audit bahkan sudah dilakukan sebelum adanya permintaan dari Panitia Khusus (Pansus) Pelindo II bentukan DPR. Menurut Wakil Ketua BPK, Achsanul Qosasi, audit investigasi atas BUMN pimpinan RJ Lino itu sudah dimulai sejak 22 Oktober lalu. Selanjutnya, BPK punya waktu selama 30 hari untuk menuntaskannya. "Jadi 22 November ini selesai," ujar Achsanul di kantornya, Senin (16/11) saat menerima pimpinan Pansus Pelindo II. Achsanul yang juga ketua tim audit investigatif Pelindo II itu menambahkan, sejauh ini ada 20 temuan. Di antaranya adalah persoalan hukum tentang keputusan RJ Lino memperpanjang konsesi untuk Huthison Port Holdings (HPH) sebagai pengelola Jakarta International Container Terminal (JICT) di Pelabuhan Tanjung Priok. Selain itu, BPK juga menemukan persoalan tentang kompensasi bagi HPH sebagai pengelola JICT. "BPK akan memberikan rekomendasi, ini bisa jadi pegangan Pansus," tuturnya. Achsanul menambahkan, proses audit investigasi terhadap Pelindo II telah berjalan 95 persen. Sisanya, kata mantan wakil ketua Komisi XI DPR itu, hanya menyangkut pembahasan dan finalisasi untuk rekomendasi hasil audit. "Insya Allah selesai minggu ini. Sesuai janji saya di pansus, 30 hari selesai," tegasnya. Karenanya setelah seminggu ke depan, kata Achsanul, BPK hanya tinggal menunggu undangan Pansus Pelindo II untuk menyerahlan hasil audit investigatif itu. BPK juga siap jika langsung memaparkan hasil audit investigasi atas BUMN pengelola pelabuhan itu di hadapan Pansus Pelindo II. "Kami tinggal nunggu undangan dari Bu Rieke (Ketua Pansus Pelindo II Rieke Diah Pitaloka, red), kapan kami diundang untuk paparkan hasil temuan ini yang akan menjawab tiga hal. Jadi, mudah-mudahan antara pansus dan BPK ada kesepakatan waktu untuk bicara lebih lanjut," tandas Qosasi. Review atas Audit Investigatif: Audit investigasi adalah bagian dari manajemen kontrol yang dilaksanakan dalam kegiatan internal audit, di samping audit lainnya, seperti audit keuangan dan audit kepatuhan atau complience audit. Audit investigasi lebih dikenal dengan fraud audit atau pemeriksaan kecurangan. Fraud audit adalah kombinasi aspek audit forensik atau investigasi forensik atau uji menyeluruh semua materi pemeriksaan dengan teknik internal kontrol dalam tata cara internal audit. Audit investigasi merupakan pekerjaan profesional atau expert works. Oleh karena itu, seorang fraud auditor harus mempunyai pengetahuan yang cukup, dan telah diakui
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama yang lebih dikenal dengan sebutan Ahok belum lama ini... more Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama yang lebih dikenal dengan sebutan Ahok belum lama ini secara terang-terangan menyudutkan salah satu lembaga negara, yakni Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dengan mengatakan bahwa hasil audit BPK mengenai pembelian Rumah Sakit (RS) Sumber Waras "ngaco". Menanggapi pernyataan Gubernur DKI seperti itu, BPK tentu melakukan pembelaan diri. Di sisi lain para praktisi yang berprofesi sebagai auditor serta praktisi bidang Good Corporate Governance (GCG) merasa kecewa terhadap pernyataan tersebut, karena auditor merupakan profesi yang memiliki standar khusus serta mempunyai organisasi profesi internal yang relatif solid. Auditor negara seperti BPK dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), auditor BUMN dan auditor swasta tergabung dalam berbagai asosiasi internal seperti Institut Internal Audit (IIA) Indonesia dan Asosiasi Auditor Perbankan, bahkan khusus untuk auditor inspektorat tergabung dalam Asosiasi Auditor Pemerintah Indonesia (AAPI). BPK itu sendiri adalah lembaga negara yang bertugas memeriksa pengelolaan dan keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Keuangan Negara Nomor 17 tahun 2003. BPK memiliki dasar hukum serta peraturan yang menjadi acuan utama dalam setiap proses audit yang dilakukannya, seperti Undang-undang No. 17 tentang Keuangan Negara, Undang-ndang No. 15 tentang BPK, Peraturan BPK No. 01 tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara serta dilengkapi dengan Peraturan BPK No. 2 tahun 2007 tentang Kode Etik BPK. Terkait proses audit, lembaga negara tersebut tidak melakukannya secara sembarangan. Proses audit harus sesuai dengan peraturan BPK mengenai Standar Pemeriksaan Keuangan Negara. Standar tersebut disusun pada 2007 ketika lembaga tersebut diketuai oleh Prof Dr Anwar Nasution. Ketika itu satu tim yang terdiri dari 20 auditor profesional menyusun Pedoman Pemeriksaaan Keuangan yang kemudian menjadi acuan BPK. Standar Pemeriksaan setebal 131 halaman tersebut berisi mengenai standar umum dan prinsip-prinsip pemeriksaan, pelaksanaan pemeriksaan kinerja, pelaksanaan pemeriksaan keuangan, pelaksanaan pemeriksaaan tujuan tertentu, dan standar pelaporan.
Abstrak: Paper ini merupakan review historis dan komentar terhadap hubungan antara akuntansi fore... more Abstrak: Paper ini merupakan review historis dan komentar terhadap hubungan antara akuntansi forensik dan auditing. Pada tahun-tahun pertama munculnya profesi akuntansi, dimana temuan fraud diakui sebagai tujuan dasar dari audit keuangan, akuntansi forensik merupakan bagian integral di bidang akuntansi. Namun beberapa dekade selanjutnya dimana profesi akuntansi berupaya menjauhkan diri tanggungjawab temuan fraud, akuntansi forensik digolongkan sebagai bagian kurang penting dari profesi. Saat ini dengan terjadinya banyak kegagalan perusahaan dan terbitnya Sarbanes-Oxley Act, akuntansi forensik disatukan kembali dengan profesi. Temuan fraud diakui lagi sebagai salah satu tanggungjawab mendasar dari auditor dan instrumen bagi akuntan forensik sudah dikembangkan lagi. Review Paper ini menyampaikan sejarah tentang tanggung jawab atas deteksi fraud. Pada awal lahirnya profesi akuntansi di Amerika, akuntan (auditor) memiliki tanggungjawab untuk dapat mendeteksi fraud. Hal ini tercermin dari diakuinya fraud sebagai bagian integral dari akuntansi. Namun setelah beberapa dekade berlalu, sebagian besar akuntan Amerika menolak untuk bertanggungjawab atas deteksi fraud. Menurut para akuntan tersebut tuntutan kepada akuntan tidak berdasar serta menambah kerumitan pada saat dilakukannya pekerjaan audit terhadap laporan keuangan. Namun, para pemangku kepentingan, kreditor dan masyarakat yang berkepentingan tidak pernah setuju atas penolakan profesi akuntansi kaitannya dengan tanggungjawab deteksi fraud. Pada saat itu organisasi akuntan publik Amerika (AICPA) menghabiskan biaya jutaan dollar serta menyita banyak waktu hanya untuk memikirkan jalan terbaik atas permasalahan tanggungjawab deteksi fraud bagi akuntan publik. Publik berpegang teguh pada keyakinannya bahwa tanggung jawab utama dari auditor adalah menemukan fraud. Dalam perjalanan berikutnya publik menang karena profesi akuntansi tidak dapat mengelak dan menghindari tanggungjawab tersebut. Waktupun terus berlalu dan saat ini auditor dituntut untuk menjadi detektor fraud sehingga mereka harus menemukan kembali keahlian forensik yang hilang dan kembali menganut pemikiran lama dimana fraud merupakan bagian integral dari akuntansi. Saat ini, akuntansi forensik sedang booming dan akuntan forensik kembali bergelilat.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Und... more Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan tatacara Perpajakan Pasal 29 ayat 1 disebutkan bahwa Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Dari ketentuan tersebut seluruh lapisan masyarakat yang memenuhi persyaratan sebagai Wajib Pajak berpotensi sama untuk dilakukan pemeriksaan pajak. Sebagai Wajib Pajak (mungkin termasuk kita), alangkah lebih baik jika kita memahami metode apa saja yang dapat dilakukan oleh Petugas Pemeriksa Pajak. Dengan memahami metode yang digunakan petugas pemeriksa pajak, Wajib Pajak memiliki pegangan dan dapat memprediksi arah ketetapan yang akan ditetapkan sehingga memiliki persiapan yang baik untuk dapat mengambil langkah yang tepat. Metode pemeriksaan sendiri adalah teknik pemeriksaan dan prosedur pemeriksaan yang dilakukan terhadap buku, catatan, dan dokumen serta data, informasi, dan keterangan lain. Metode pemeriksaan sendiri terbagi menjadi dua jenis, yaitu Metode Pemeriksaan Langsung dan Metode Pemeriksaan Tidak Langsung. Metode Pemeriksaan Langsung merupakan teknik dan prosedur pemeriksaan dengan melakukan pengujian atas kebenaran angka-angka yang tercantum di dalam SPT, yang langsung dibandingkan dengan laporan keuangan dan buku catatan, serta dokumen pendukung. Pelaksanaan pemeriksaan dengan metode ini dilakukan sesuai dengan program pemeriksaan yang terinci atas setiap pos neraca dan laba rugi yang menjadi sumber utama atau berkaitan dengan angka-angka dalam SPT. Sedangkan Metode Pemeriksaan Tidak Langsung merupakan teknik dan prosedur pemeriksaan dengan melakukan pengujian atas kebenaran angka-angka yang tercantum di dalam SPT, yang dilakukan secara tidak langsung melalui suatu pendekatan perhitungan tertentu. Hasil penghitungan menggunakan metode tidak langsung merupakan petunjuk untuk mengambil kesimpulan tentang ketidakbenaran angka-angka dalam SPT sehingga masih diperlukan pembuktian yang valid dan absah untuk membuktikan ketidakbenaran tersebut. Metode Pemeriksaan Pajak Tidak Langsung digunakan dalam hal Metode Langsung tidak dapat diterapkan serta harus dikuatkan dengan bukti bahwa Metode Langsung benar-benar tidak dapat diterapkan. Berdasarkan Surat Edaran dari Direktur Jenderal Pajak nomor SE-65/PJ/2013 tentang Pedoman Penggunaan Metode dan Teknik Pemeriksaan, Metode Tidak Langsung yang dapat digunakan oleh Pemeriksa Pajak terdiri atas enam pendekatan yaitu:
Sistem perpajakan Indonesia menganut self assessment system dimana berdasarkan sistem tersebut Wa... more Sistem perpajakan Indonesia menganut self assessment system dimana berdasarkan sistem tersebut Wajib Pajak diberikan kepercayaan untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri kewajiban perpajakannya. Self assessment system berjalan dengan baik apabila Wajib Pajak melaksanakan seluruh kewajiban perpajakannya dengan tingkat kepatuhan yang tinggi dan disertai dengan mekanisme pengawasan dan penegakan hukum yang optimal oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Sebagai salah satu mekanisme pengawasan terhadap self assessment system, Direktur Jenderal Pajak diberikan kewenangan untuk melakukan pemeriksaan. Hal ini diatur dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Undang-Undang KUP) yang menyatakan bahwa Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Dalam rangka melaksanakan pemeriksaan yang efektif perlu ditetapkan rencana dan strategi pemeriksaan secara spesifik, dapat diukur, dapat dicapai, relevan, batasan waktu yang rasional, dan perbaikan terus menerus yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas pemeriksaan, kepatuhan wajib pajak, dan penerimaan pajak. Oleh karena itu, untuk meningkatkan efektivitas pemeriksaan diperlukan rumusan strategi pemeriksaan yang tepat dan sistematis. Dengan demikian sumber daya pemeriksaan yang dimiliki oleh DJP dapat dioptimalkan untuk mencapai rencana pemeriksaan yang telah ditetapkan. Bagi Wajib Pajak (termasuk kita), bukan tidak mungkin kelak akan menghadapi apa yang dinamakan Pemeriksaan Pajak. Semua Wajib Pajak berpotensi sama untuk dilakukan pemeriksaan pajak oleh DJP. Selama ini pemeriksaan pajak menjadi hal yang cukup menakutkan bagi para pelaku bisnis terutama untuk golongan menengah ke atas karena Wajib Pajak yang berpenghasilan tinggi akan menjadi perhatian tersendiri oleh jajaran DJP. Pemeriksaan pajak menjadi mimpi buruk momok menakutkan. Entah mengapa, dari sekian Banyak perusahaan yang saya kenal selama ini, nyaris semuanya merasa terbebani oleh pemeriksaan pajak. Tak jarang juga pemilik usaha yang menjadi khawatir lalu stress. Bukannya menunjukan sikap cerdas, malahan cenderung menunjukan sikap panik yang sama sekali kontra-produktif. Dari beberapa pengamatan yang sudah dilakukan penulis, sumber utama kekhawatiran sesungguhnya adalah ketidaktahuan terhadap ketentuan peraturan perpajakan beserta teknis pelaksanaannya. Hal ini merupakan sesutau yang wajar dan logis karena hampir tidak memungkinkan semua Wajib Pajak bisa tahu dan memahami peraturan pajak yang begitu banyak. Kebanyakan Wajib Pajak tidak memiliki cukup waktu untuk membaca dan mempelajari aturan perpajakan beserta ketentuan teknisnya. Mereka lebih memilih fokus untuk membuat strategi-strategi pengembangan usaha.
Agency theory menyatakan bahwa perusahaan bisa dipandang sebagai nexus of contract, dimana organi... more Agency theory menyatakan bahwa perusahaan bisa dipandang sebagai nexus of contract, dimana organisasi secara garis besar merupakan berbagai set kontrak (Scott, 2000:285). Banyak kontrak yang dilakukan perusahaan yang melibatkan variabel akuntansi dalam laporan keuangan untuk memonitoring jalannya kontrak tersebut. Dengan adanya keleluasaan bagi manajer yang diperkenankan standar akuntansi untuk memilih kebijakan akuntansi yang tersedia, memungkinan timbulnya perilaku oportunistik manajemen berupa pemilihan kebijakan akuntansi oleh manajer hanya untuk memenuhi tujuan pribadinya. Motivasi manajer melakukan ini adalah sesuai dengan hipotesis bonus plan dalam teori akuntansi positif, yaitu untuk meningkatkan bonus, gaji, serta manfaat lain yang akan diterimanya. Untuk itu ada suatu pilihan prinsip akuntansi yang dapat mengurangi perilaku opportunistik manajemen ini, yang biasa disebut dengan prinsip konservatisme akuntansi. Konservatisme merupakan prinsip akuntansi yang jika diterapkan akan menghasilkan angka-angka laba dan aset cenderung rendah, serta angka-angka biaya dan utang cenderung tinggi. Kecenderungan seperti itu terjadi karena konservatisme menganut prinsip memperlambat pengakuan pendapatan serta mempercepat pengakuan biaya. Akibatnya, laba yang dilaporkan cenderung terlalu rendah (understatement). Di kalangan para peneliti, prinsip konservatisme akuntansi masih dianggap sebagai prinsip yang kontroversial. Di satu sisi, konservatisme akuntansi dianggap sebagai kendala yang akan mempengaruhi kualitas laporan keuangan, di sisi lain konservatisme akuntansi bermanfaat untuk menghindari perilaku oportunistik manajer berkaitan dengan kontrak-kontrak yang menggunakan laporan keuangan sebagai media kontrak (Watts, 2003). Perkembangan yang terjadi justru menunjukkan bahwa eksistensi praktik konservatisme akuntansi semakin meningkat. Eksistensi konservatisme yang dipraktikkan masing-masing perusahaan bisa berbeda karena adanya berbagai alternatif pilihan metode akuntansi. Disamping itu, disebabkan pula oleh adanya perbedaan kondisi masing-masing perusahaan. Apalagi dengan adanya resiko litigasi, maka dorongan untuk menerapkan konservatisme semakin kuat. Upaya manajer untuk menjalankan fungsinya sebagai agen tidak terlepas dari dorongan mereka yang dipengaruhi kondisi eksternal dan internal perusahaan. Kondisi eksternal yang mendorong manajer adalah risiko litigasi, sedangkan kondisi internal yang mendorong manajer adalah tipe strategi perusahaan. Risiko litigasi sebagai faktor kondisi eksternal, didasarkan pada pandangan bahwa investor dan kreditor adalah pihak yang memperoleh perlindungan secara hukum. Investor maupun kreditor dalam memperjuangkan hak dan kepentingannya dapat melakukan litigasi dan tuntutan hukum kepada perusahaan. Johnson et al. (2000) dan Qiang (2003) menyatakan bahwa risiko potensial terjadinya litigasi
Kesiapan aparatur pajak atas perubahan manajemen ataupun struktur organisasi pajak, membutuhkan k... more Kesiapan aparatur pajak atas perubahan manajemen ataupun struktur organisasi pajak, membutuhkan kompetensi dan profesionalitas yang handal. Kompetensi dan profesionalitas aparatur pajak dalam organisasi harus dapat dioptimalkan melalui pelatihan dan pengembangan yang berbasis kompetensi. Dalam istilah umum, organisasi pajak harus tepat dalam menempatkan " The Right Man on The Right Place. " Hal ini memberikan dampak yang positif ketika aparatur pajak yang kompeten mampu membawa keberhasilan pribadinya pada peningkatan kinerja organisasi. Pengembangan manusia dalam organisasi memberikan kualitas dan kemampuan kerja yang akan berdampak pada peningkatan kinerja organisasi pajak. Seperti telah diketahui masyarakat luas, pemerintah Indonesia berencana akan mengubah bentuk organisasi pajak dari Direktorat (Setara Eselon I) menjadi Badan yang langsung bertanggungjawab kepada Presiden. Perubahan manajemen ataupun struktur organisasi pajak, menuntut kesiapan aparatur pajak atas perubahan tersebut. Di dalam perubahan tersebut membutuhkan aparatur yang bukan hanya sebagai penonton yang pasif melainkan mereka sebagai penggerak perubahan perpajakan yang ada, yaitu menjadi aparatur yang profesional dan berkompeten sesuai tuntutan perubahan, termasuk di dalamnya sebagai aparatur pelayan masyarakat/ publik yang prima dan berkompeten. Namun, perubahan manajemen dan restrukturisasi tidak akan membawa hasil yang optimal tanpa disertai adanya budaya yang kondusif terhadap perubahan tersebut. Keberhasilan Direktorat Jenderal Pajak yang kelak akan menjadi Badan Penerimaan Pajak ditentukan dari kualitas orang-orang yang berada di dalamnya, yang selalu bekerja secara optimal, dimana kinerja aparatur dalam berkarya yang mempunyai prestasi tentunya mempunyai nilai lebih bila dibandingkan dengan aparatur yang lain. Nilai lebih tersebut adalah pengetahuan dalam memahami permasalahan kemudian mampu merumuskan dengan strategi yang tepat. Dengan pengembangan SDM berbasis kompetensilah yang akan mempertinggi produktivitas aparatur pajak, sehingga kualitas kerja pun lebih tinggi dan berujung pada keuntungan organisasi. Pengembangan berbasis kompetensi dilakukan agar dapat memberikan hasil sesuai dengan tujuan dan sasaran DJP, dengan standar kinerja yang telah ditetapkan. Oleh karena itu kinerja individu dalam organisasi merupakan jalan dalam meningkatkan poduktivitas organisasi itu sendiri. Sumber daya manusia merupakan aset dalam segala aspek pengelolaan terutama yang menyangkut eksistensi organisasi. Secara definisi, sumber daya manusia atau biasa disingkat menjadi SDM merupakan potensi yang terkandung dalam diri manusia untuk mewujudkan perannya sebagai makhluk sosial yang adaptif dan transformatif yang mampu mengelola dirinya sendiri serta seluruh potensi yang terkandung di alam menuju tercapainya kesejahteraan kehidupan dalam tatanan yang seimbang dan berkelanjutan. Dalam pengertian praktis sehari
Pajak merupakan sumber utama penerimaan negara. Hal ini tercermin dari struktur pengganggaran pem... more Pajak merupakan sumber utama penerimaan negara. Hal ini tercermin dari struktur pengganggaran pemerintah. Struktur penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Republik Indonesia terdiri dari sektor perpajakan dan penerimaan negara bukan pajak. Proporsi keduanya dari tahun ke tahun berkisar di satu untuk penerimaan negara bukan pajak dan tiga untuk penerimaan perpajakan. Sebagai sumber utama penerimaan, sektor perpajakan merupakan sektor yang dituntut untuk sejalan dengan kenaikan anggaran belanja. Untuk sebuah organisasi yang ingin dikenal memiliki kinerja yang memuaskan, peningkatan target merupakan sebuah pencitraan cita-cita organisasi kepada masyarakat. Data historis menyatakan bahwa target penerimaan pajak selalu meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini tentu tidak mengherankan mengingat untuk pajak adalah sebuah alat mengejar pertumbuhan ekonomi yang bermetamorfosis menjadi belanja negara yang meningkat. Sayangnya, peningkatan target tidak diikuti oleh realisasi yang meningkat. Sejak tahun 2009, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tidak pernah mencapai target penerimaan yang telah ditetapkan. Banyak faktor yang ditengarai sebagai penyebab ketidaktercapaian target penerimaan. Salah satunya adalah kurangnya sumber daya manusia di Direktorat Jenderal Pajak. Direktorat Jenderal Pajak mempunyai pegawai sebanyak 32.214 orang per 2013. Proporsi terdiri dari AR sebanyak 6.689 dan pemeriksa pajak sejumlah 4.231. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk yang memiliki NPWP maka rasio pegawai pajak terhadap jumlah wajib pajak terdaftar adalah 1:773. Rasio ini tentu saja bukan merupakan rasio yang ideal untuk menjalankan sebuah organisasi. Tidak hanya jumlah pegawai secara keseluruhan, pemeriksa pajak mungkin merupakan sumber daya yang paling terbatas saat ini. Padahal, pemeriksaan menjadi salah satu alternatif intensifikasi yang menjanjikan untuk meningkatkan penerimaan di sektor perpajakan. Jumlah seluruh pemeriksa di Indonesia hanya sebanyak 4.231 orang per 31 Desember 2013. Dengan jumlah sedemikian sedikit, rasio antara pemeriksa dan wajib pajak adalah 1:5.882. Salah satu langkah solutif yang dilakukan DJP terlihat ketika organisasi melakukan pengangkatan fungsional pemeriksa pada tahun 2013. Pengangkatan pemeriksaan secara besar-besaran dilakukan terhadap pegawai dengan usia yang masih relatif muda dengan syarat telah mengikuti pendidikan dan pelatihan pemeriksa pajak. Pengangkatan secara besar-besaran itu menjawab tantangan keterbatasan pemeriksa pajak secara kuantitas namun tidak secara kualitas. Kualitas pemeriksa merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas pemeriksaan. Untuk meningkatkan kinerja Direktorat Jenderal Pajak tidak hanya dibutuhkan pemeriksa yang banyak namun juga pemeriksa yang berkualitas. Direktorat Jenderal pajak sebaiknya merancang sistem asersi dan sertifikasi yang mampu menyaring sumber daya pemeriksa yang berkualitas.
Etika secara umum didefinisikan sebagai perangkat prinsip moral atau nilai. Etika merupakan kesel... more Etika secara umum didefinisikan sebagai perangkat prinsip moral atau nilai. Etika merupakan keseluruhan norma dan penilaian yang dipergunakan oleh masyarakat untuk mengetahui bagaimana manusia seharusnya menjalankan kehidupannya. Secara sempit etika didefinisikan seperangkat nilai atau prinsip moral yang berfungsi sebagai panduan untuk berbuat, bertindak atau berperilaku. Karena berfungsi sebagai panduan, prinsip-prinsip moral tersebut juga berfungsi sebagai kriteria untuk menilai benar/salahnya perbuatan/perilaku. Kode Etik Kode etik adalah nilai-nilai, norma-norma, atau kaidah-kaidah untuk mengatur perilaku moral dari suatu profesi melalui ketentuan-ketentuan tertulis yg harus dipenuhi dan ditaati setiap anggota profesi. Karena kode etik merupakan wujud dari komitmen moral organisasi, maka kode etik harus berisi: 1. mengenai apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh anggota profesi; 2. Apa yang harus didahulukan dan apa yang boleh dikorbankan oleh profesi ketika menghadapi situasi konflik atau dilematis; 3. Tujuan dan cita-cita luhur profesi; 4. Sanksi yang akan dikenakan kepada anggota profesi yang melanggar kode etik. Tujuan Utama Kode Etik Terdapat dua tujuan utama kode etik: 1. Kode etik bertujuan melindungi kepentingan masyarakat dari kemungkinan kelalaian, kesalahan atau pelecehan, baik disengaja maupun tidak disengaja oleh anggota profesi; 2. Kode etik bermaksud melindungi keluhuran profesi dari perilaku perilaku menyimpang oleh anggota profesi. Syarat Kode Etik yang Optimal Agar kode etik dapat berfungsi dengan optimal, minimal ada 2 (dua) syarat yang harus dipenuhi, yaitu: 1. Kode etik harus dibuat oleh profesinya sendiri. Kode etik tidak akan efektif apabila ditentukan oleh pemerintah atau instansi di luar profesi itu; 2. Pelaksanaan kode etik harus diawasi secara terus-menerus. Setiap pelanggaran akan dievaluasi dan diambil tindakan oleh suatu dewan yang khusus dibentuk. Kode Etik Auditor Etika Profesi auditor di Indonesia dikodifikasikan dalam bentuk kode etik, yang mana struktur kode etik ini meliputi prinsip etika, aturan etika, dan interpretasi aturan etika. Struktur yang demikian itu setidaknya memberikan gambaran akan kebutuhan minimal bagi profesi auditor untuk memberi jasa yang efektif kepada masyarakat. Terkait dengan hal tersebut Brooks (dikutip oleh Ludigdo, 2007) menyebutkan bahwa suatu pedoman auditor yang dibuat seharusnya berisi beberapa poin pokok. Beberapa poin pokok tersebut adalah:
Perkembangan akuntansi sangat dipengaruhi oleh kemajuan Teknologi Informasi (TI). Dengan adanya T... more Perkembangan akuntansi sangat dipengaruhi oleh kemajuan Teknologi Informasi (TI). Dengan adanya TI pekerjaan yang tadinya dilakukan secara manual, kini dapat dikerjakan lebih cepat dengan TI, termasuk juga Sistem Informasi Akuntansi (SIA). Pemanfaatan TI dalam SIA ini akan berpengaruh pada pemasukan data (entry) transaksi pada buku besar dan data dapat diolah sehingga laporan keuangan dapat dilaporkan lebih cepat bila dibandingkan pekerjaan manual. Terdapat tiga tahapan yang menandai perkembangan pemanfaatan komputer dalam bisnis : (1) jaman pengolahan data elektronik, (2) jaman teknologi informasi, dan (3) jaman jejaring. Awalnya, komputer hanya sebatas dimanfaatkan untuk mempermudah pengolahan data yang besar. Dalam perkembangannya, komputer dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan informasi untuk dasar pengambilan keputusan, bahkan saat ini dapat dimanfaatkan untuk membangun sebuah jaringan yang memungkinkan adanya transfer informasi global dalam waktu yang singkat. Perkembangan ini tentu saja akan mempengaruhi praktik pengauditan. Perubahan proses akuntansi akan mempengaruhi proses audit karena audit merupakan suatu bidang praktik yang menggunakan laporan keuangan, yang merupakan produk akuntansi. Artikel ini membahas mengenai peluang bagi akuntan akibat adanya perkembangan SIA dan auditing karena kemajuan teknologi informasi. 1. Computer Information System Auditor (CISA) Kompleksitas pemrosesan data berbasis komputer mendesak auditor untuk memenuhi kebutuhan akan suatu sistem yang memiliki kemampuan khusus, seperti pemahaman mengenai hardware, software, database, teknologi pengkomunikasian data, serta pengendalian yang b e r o r i e n t a s i p a d a k o m p u t e r (Computer Oriented Control) dan teknik pengauditan. CISA merupakan jawaban bagi auditor untuk mengatasi persoalan ini.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kesesuaian antara praktek penerapan pemotongan ... more Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kesesuaian antara praktek penerapan pemotongan dan pemungutan pajak yang dilakukan oleh Bendahara Desa di Kabupaten Gunungkidul dengan ketentuan perpajakan yang berlaku. Selanjutnya penelitian ini juga bertujuan untuk menemukan solusi terbaik apabila ditemukan penyimpangan dalam menerapkan ketentuan perpajakan yang berpotensi merugikan penerimaan negara maupun berpotensi merugikan Wajib Pajak yang dipotong atau dipungut pajaknya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi untuk mengetahui penerapan Withholding Tax System oleh Bendahara Desa di Kabupaten Gunungkidul. Pengambilan data dilakukan dengan melakukan wawancara dengan pihak yang terkait dengan pelaksanaan Withholding Tax System atas penggunaan dana APBDes. Partisipan penelitian dipilih dengan metode purposive sampling. Partisipan terdiri dari Bendahara Desa yang bertugas di Kabupaten Gunungkidul dan berstatus aktif pada masa penelitian dilakukan. Selain Bendahara Desa, partisipan yang turut diwawancarai adalah perwakilan dari Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD) Kabupaten Gunungkidul, perwakilan dari Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana, Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DP3KBPMD) Kabupaten Gunungkidul, serta perwakilan dari Kantor Pelayan Pajak Pratama Wonosari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat penyimpangan dalam pelaksanaan Withholding Tax System oleh Bendahara Desa di Kabupaten Gunungkidul yang dikarenakan tidak terpenuhinya syarat administrasi perpajakan dan keterbatasan jumlah rekanan yang memenuhi ketentuan perpajakan. KPP Pratama Wonosari sebagai lembaga yang bertugas sebagai pengawas jalannya administrasi perpajakan atas Withholding Tax System yang dipungut oleh Bendahara Desa, memberikan keringanan dalam pemenuhan ketentuan perpajakan ini. Hal ini dilakukan demi mengamankan potensi penerimaan pajak dari penggunaan APBDes dan sesuai dengan teori kebijakan. Lebih lanjut hal ini menunjukkan bahwa Bendahara Desa telah melaksanakan perannya sebagai steward mampu mempertanggungkan tugasnya kepada DJP (stewardship). Bendahara Desa memiliki niat baik walaupun ada penyimpangan dalam pelaksanaan pemungutan dan pemotongan pajak.
Uploads
Papers
Thesis Chapters
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi untuk mengetahui penerapan Withholding Tax System oleh Bendahara Desa di Kabupaten Gunungkidul. Pengambilan data dilakukan dengan melakukan wawancara dengan pihak yang terkait dengan pelaksanaan Withholding Tax System atas penggunaan dana APBDes. Partisipan penelitian dipilih dengan metode purposive sampling. Partisipan terdiri dari Bendahara Desa yang bertugas di Kabupaten Gunungkidul dan berstatus aktif pada masa penelitian dilakukan. Selain Bendahara Desa, partisipan yang turut diwawancarai adalah perwakilan dari Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD) Kabupaten Gunungkidul, perwakilan dari Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana, Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DP3KBPMD) Kabupaten Gunungkidul, serta perwakilan dari Kantor Pelayan Pajak Pratama Wonosari.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat penyimpangan dalam pelaksanaan Withholding Tax System oleh Bendahara Desa di Kabupaten Gunungkidul yang dikarenakan tidak terpenuhinya syarat administrasi perpajakan dan keterbatasan jumlah rekanan yang memenuhi ketentuan perpajakan. KPP Pratama Wonosari sebagai lembaga yang bertugas sebagai pengawas jalannya administrasi perpajakan atas Withholding Tax System yang dipungut oleh Bendahara Desa, memberikan keringanan dalam pemenuhan ketentuan perpajakan ini. Hal ini dilakukan demi mengamankan potensi penerimaan pajak dari penggunaan APBDes dan sesuai dengan teori kebijakan. Lebih lanjut hal ini menunjukkan bahwa Bendahara Desa telah melaksanakan perannya sebagai steward mampu mempertanggungkan tugasnya kepada DJP (stewardship). Bendahara Desa memiliki niat baik walaupun ada penyimpangan dalam pelaksanaan pemungutan dan pemotongan pajak.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi untuk mengetahui penerapan Withholding Tax System oleh Bendahara Desa di Kabupaten Gunungkidul. Pengambilan data dilakukan dengan melakukan wawancara dengan pihak yang terkait dengan pelaksanaan Withholding Tax System atas penggunaan dana APBDes. Partisipan penelitian dipilih dengan metode purposive sampling. Partisipan terdiri dari Bendahara Desa yang bertugas di Kabupaten Gunungkidul dan berstatus aktif pada masa penelitian dilakukan. Selain Bendahara Desa, partisipan yang turut diwawancarai adalah perwakilan dari Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD) Kabupaten Gunungkidul, perwakilan dari Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana, Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DP3KBPMD) Kabupaten Gunungkidul, serta perwakilan dari Kantor Pelayan Pajak Pratama Wonosari.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat penyimpangan dalam pelaksanaan Withholding Tax System oleh Bendahara Desa di Kabupaten Gunungkidul yang dikarenakan tidak terpenuhinya syarat administrasi perpajakan dan keterbatasan jumlah rekanan yang memenuhi ketentuan perpajakan. KPP Pratama Wonosari sebagai lembaga yang bertugas sebagai pengawas jalannya administrasi perpajakan atas Withholding Tax System yang dipungut oleh Bendahara Desa, memberikan keringanan dalam pemenuhan ketentuan perpajakan ini. Hal ini dilakukan demi mengamankan potensi penerimaan pajak dari penggunaan APBDes dan sesuai dengan teori kebijakan. Lebih lanjut hal ini menunjukkan bahwa Bendahara Desa telah melaksanakan perannya sebagai steward mampu mempertanggungkan tugasnya kepada DJP (stewardship). Bendahara Desa memiliki niat baik walaupun ada penyimpangan dalam pelaksanaan pemungutan dan pemotongan pajak.