Interfaith marriage, in fact, is a contentious issue in the family law. The arrangement of interf... more Interfaith marriage, in fact, is a contentious issue in the family law. The arrangement of interfaith marriage in Indonesia is experiencing a change since before and after the establishment of the constitutional Law of R.I. No. 1 of 1974 regarding Marriage. Although there are changes in the regulations but some parties consider that arrangement of interfaith marriage is not firm, it is unclear / smuggling law in it. Regulation of interfaith marriage in Indonesia is considered to have reduced the freedom to choose a mate and find the happiness with a partner of different religions. This is considered by the applicant that Article 2, paragraph 1 does not comply with the principle of freedom of human rights. This paper focuses on studying the problems of the interfaith marriages after a Constitutional Court decision No. 68 / PUU-XII / 2014 in the perspective of human rights. Constitutional Court rejected entirely about judicial interfaith marriage, as it is considered unreasonable unde...
The purpose of this article is to explain the importance of psychology in the construction of fam... more The purpose of this article is to explain the importance of psychology in the construction of family law in Indonesia and knowing reconstruction of family law development in Indonesia with a psychological approach. This is motivated lack of family law studies using psychological approaches and is an effort to contribute the development of family law from a variety of perspectives, especially with the approach of psychology. This study included literature research using multiple sources related to research problems. The results of this study indicate the development of family law in Indonesia is still less of a concern with the psychological approach. Construction of family law development in Indonesia through the psychological approach can at least be associated with three things about family education, emotional maturity, and handling partner violence. [] Tujuan artikel ini adalah menjelaskan urgensi psikologi dalam kontruksi hukum keluarga di Indonesia dan mengetahui rekontruksi pembangunan hukum keluarga di Indonesia dengan pendekatan psikologi. Hal ini dilatarbelakangi minimnya kajian hukum keluarga yang menggunakan pendekatan psikologi dan merupakan upaya kontribusi pengembangan hukum keluarga dari berbagai perspektif terutama dengan pendekatan psikologi. Penelitian ini termasuk penelitian pustaka yang menggunakan beberapa sumber yang terkait dengan permasalahan penelitian. Hasil penelitian ini menunjukkan pembangunan hukum keluarga di Indonesia memang masih kurang dari perhatian dengan pendekatan psikologis. Kontruksi pembangunan hukum keluarga di Indonesia melalui pendekatan psikologi setidaknya dapat terkait dengan tiga hal, yaitu tentang pendidikan keluarga, kematangan emosi, dan penangangan kekerasan pasangan.
Perkawinan beda agama secara fakta merupakan persoalan yang menjadi perdebatan dalam
hukum keluar... more Perkawinan beda agama secara fakta merupakan persoalan yang menjadi perdebatan dalam hukum keluarga. Pengaturan perkawinan beda agama di Indonesia mengalami perubahan sejak sebelum dan setelah adanya UU R.I. Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Walaupun ada perubahan secara regulasi tetapi beberapa pihak menganggap bahwa pengaturan perkawinan beda agama tidak tegas, ada ketidakjelasan/penyelundupan hukum di dalamnya. Regulasi perkawinan beda agama di Indonesia dianggap telah mengurangi kebebasan untuk memilih jodoh dan menemukan kebahagiaan bersama pasangannya yang berbeda agama. Hal inilah yang dianggap oleh para pemohon bahwa Pasal 2 ayat 1 tidak sesuai dengan prinsip kebebasan dalam HAM. Tulisan ini difokuskan untuk mengkaji permasalahan perkawinan beda agama pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/ PUU-XII/2014 dalam perspektif HAM. Mahkamah Konstitusi menolak seluruhnya tentang uji materiil perkawinan beda agama, karena dinilai tidak beralasan menurut hukum dan perkawinan di Indonesia yang berdasarkan agama. Putusan MK mengandung nilai-nilai HAM yang bermakna partikular dengan kebebasan terbatas dan dibatasi oleh agama dalam Pancasila dan UUD 1945
The study in this paper is focused thinking Islamic law Imam Malik bin Anas approach to social hi... more The study in this paper is focused thinking Islamic law Imam Malik bin Anas approach to social history. This study is a study that is fairly new in the field of science of Islamic law, so it is still a bit of academics watched. Imam Malik himself was one of four priests schools are known by the nickname ahlu hadith. Imam Malik in his life has never been out of the city of Medina except during Hajj. This of course support his thought in solving the complexity of the problems largely solved by the hadith enough. In addition, the state of the environment in the Medina which is the place where the Prophet lived for several years, community issues are lightweight and simple. Although Imam Malik called a hadith expert, but he also remains unaffected by the use of ratios in berijtihad because the social conditions at the time. This is evidenced by the use of expert Amal Madinah (Medina community of practice), Fatwa Sahabah, Qiyas, Al-maşlahah mursalah, Aż-żari'ah, Al-Urf (custom) in making Islamic law. Imam Malik was also like other schools with the Qur'an and Hadith as the primary source of Islamic law. Abstrak Kajian dalam tulisan ini difokuskan pemikiran hukum Islam Imam Malik bin Anas dengan pendekatan sejarah sosial. Kajian ini merupakan kajian yang cukup baru di bidang keilmuan hukum Islam, sehingga masih sedikit dari kalangan akademisi yang memperhatikannya. Imam Malik sendiri adalah salah satu dari empat imam mazhab yang terkenal dengan julukan ahlu hadits. Dalam kehidupannya Imam Malik tidak pernah keluar dari kota Madinah kecuali saat haji. Hal ini tentu saja mendukung pemikirannya dalam menyelesaikan kompleksitas permasalahan yang sebagian besar cukup diselesaikan dengan hadits. Selain itu, keadaan lingkungan di Madinah yang merupakan tempat dimana Rasulullah hidup selama beberapa tahun, permasalahan masyarakat yang ringan dan sederhana. Walaupun Imam Malik disebut sebagai ahlu hadits namun dirinya juga tetap terpengaruh dengan penggunaan
Interfaith marriage, in fact, is a contentious issue in the family law. The arrangement of interf... more Interfaith marriage, in fact, is a contentious issue in the family law. The arrangement of interfaith marriage in Indonesia is experiencing a change since before and after the establishment of the constitutional Law of R.I. No. 1 of 1974 regarding Marriage. Although there are changes in the regulations but some parties consider that arrangement of interfaith marriage is not firm, it is unclear / smuggling law in it. Regulation of interfaith marriage in Indonesia is considered to have reduced the freedom to choose a mate and find the happiness with a partner of different religions. This is considered by the applicant that Article 2, paragraph 1 does not comply with the principle of freedom of human rights. This paper focuses on studying the problems of the interfaith marriages after a Constitutional Court decision No. 68 / PUU-XII / 2014 in the perspective of human rights. Constitutional Court rejected entirely about judicial interfaith marriage, as it is considered unreasonable unde...
The purpose of this article is to explain the importance of psychology in the construction of fam... more The purpose of this article is to explain the importance of psychology in the construction of family law in Indonesia and knowing reconstruction of family law development in Indonesia with a psychological approach. This is motivated lack of family law studies using psychological approaches and is an effort to contribute the development of family law from a variety of perspectives, especially with the approach of psychology. This study included literature research using multiple sources related to research problems. The results of this study indicate the development of family law in Indonesia is still less of a concern with the psychological approach. Construction of family law development in Indonesia through the psychological approach can at least be associated with three things about family education, emotional maturity, and handling partner violence. [] Tujuan artikel ini adalah menjelaskan urgensi psikologi dalam kontruksi hukum keluarga di Indonesia dan mengetahui rekontruksi pembangunan hukum keluarga di Indonesia dengan pendekatan psikologi. Hal ini dilatarbelakangi minimnya kajian hukum keluarga yang menggunakan pendekatan psikologi dan merupakan upaya kontribusi pengembangan hukum keluarga dari berbagai perspektif terutama dengan pendekatan psikologi. Penelitian ini termasuk penelitian pustaka yang menggunakan beberapa sumber yang terkait dengan permasalahan penelitian. Hasil penelitian ini menunjukkan pembangunan hukum keluarga di Indonesia memang masih kurang dari perhatian dengan pendekatan psikologis. Kontruksi pembangunan hukum keluarga di Indonesia melalui pendekatan psikologi setidaknya dapat terkait dengan tiga hal, yaitu tentang pendidikan keluarga, kematangan emosi, dan penangangan kekerasan pasangan.
Perkawinan beda agama secara fakta merupakan persoalan yang menjadi perdebatan dalam
hukum keluar... more Perkawinan beda agama secara fakta merupakan persoalan yang menjadi perdebatan dalam hukum keluarga. Pengaturan perkawinan beda agama di Indonesia mengalami perubahan sejak sebelum dan setelah adanya UU R.I. Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Walaupun ada perubahan secara regulasi tetapi beberapa pihak menganggap bahwa pengaturan perkawinan beda agama tidak tegas, ada ketidakjelasan/penyelundupan hukum di dalamnya. Regulasi perkawinan beda agama di Indonesia dianggap telah mengurangi kebebasan untuk memilih jodoh dan menemukan kebahagiaan bersama pasangannya yang berbeda agama. Hal inilah yang dianggap oleh para pemohon bahwa Pasal 2 ayat 1 tidak sesuai dengan prinsip kebebasan dalam HAM. Tulisan ini difokuskan untuk mengkaji permasalahan perkawinan beda agama pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/ PUU-XII/2014 dalam perspektif HAM. Mahkamah Konstitusi menolak seluruhnya tentang uji materiil perkawinan beda agama, karena dinilai tidak beralasan menurut hukum dan perkawinan di Indonesia yang berdasarkan agama. Putusan MK mengandung nilai-nilai HAM yang bermakna partikular dengan kebebasan terbatas dan dibatasi oleh agama dalam Pancasila dan UUD 1945
The study in this paper is focused thinking Islamic law Imam Malik bin Anas approach to social hi... more The study in this paper is focused thinking Islamic law Imam Malik bin Anas approach to social history. This study is a study that is fairly new in the field of science of Islamic law, so it is still a bit of academics watched. Imam Malik himself was one of four priests schools are known by the nickname ahlu hadith. Imam Malik in his life has never been out of the city of Medina except during Hajj. This of course support his thought in solving the complexity of the problems largely solved by the hadith enough. In addition, the state of the environment in the Medina which is the place where the Prophet lived for several years, community issues are lightweight and simple. Although Imam Malik called a hadith expert, but he also remains unaffected by the use of ratios in berijtihad because the social conditions at the time. This is evidenced by the use of expert Amal Madinah (Medina community of practice), Fatwa Sahabah, Qiyas, Al-maşlahah mursalah, Aż-żari'ah, Al-Urf (custom) in making Islamic law. Imam Malik was also like other schools with the Qur'an and Hadith as the primary source of Islamic law. Abstrak Kajian dalam tulisan ini difokuskan pemikiran hukum Islam Imam Malik bin Anas dengan pendekatan sejarah sosial. Kajian ini merupakan kajian yang cukup baru di bidang keilmuan hukum Islam, sehingga masih sedikit dari kalangan akademisi yang memperhatikannya. Imam Malik sendiri adalah salah satu dari empat imam mazhab yang terkenal dengan julukan ahlu hadits. Dalam kehidupannya Imam Malik tidak pernah keluar dari kota Madinah kecuali saat haji. Hal ini tentu saja mendukung pemikirannya dalam menyelesaikan kompleksitas permasalahan yang sebagian besar cukup diselesaikan dengan hadits. Selain itu, keadaan lingkungan di Madinah yang merupakan tempat dimana Rasulullah hidup selama beberapa tahun, permasalahan masyarakat yang ringan dan sederhana. Walaupun Imam Malik disebut sebagai ahlu hadits namun dirinya juga tetap terpengaruh dengan penggunaan
Uploads
Papers
hukum keluarga. Pengaturan perkawinan beda agama di Indonesia mengalami perubahan sejak
sebelum dan setelah adanya UU R.I. Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Walaupun ada
perubahan secara regulasi tetapi beberapa pihak menganggap bahwa pengaturan perkawinan
beda agama tidak tegas, ada ketidakjelasan/penyelundupan hukum di dalamnya. Regulasi
perkawinan beda agama di Indonesia dianggap telah mengurangi kebebasan untuk memilih jodoh
dan menemukan kebahagiaan bersama pasangannya yang berbeda agama. Hal inilah yang dianggap
oleh para pemohon bahwa Pasal 2 ayat 1 tidak sesuai dengan prinsip kebebasan dalam HAM.
Tulisan ini difokuskan untuk mengkaji permasalahan perkawinan beda agama pasca putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 68/ PUU-XII/2014 dalam perspektif HAM. Mahkamah Konstitusi
menolak seluruhnya tentang uji materiil perkawinan beda agama, karena dinilai tidak beralasan
menurut hukum dan perkawinan di Indonesia yang berdasarkan agama. Putusan MK mengandung
nilai-nilai HAM yang bermakna partikular dengan kebebasan terbatas dan dibatasi oleh agama
dalam Pancasila dan UUD 1945
Books
hukum keluarga. Pengaturan perkawinan beda agama di Indonesia mengalami perubahan sejak
sebelum dan setelah adanya UU R.I. Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Walaupun ada
perubahan secara regulasi tetapi beberapa pihak menganggap bahwa pengaturan perkawinan
beda agama tidak tegas, ada ketidakjelasan/penyelundupan hukum di dalamnya. Regulasi
perkawinan beda agama di Indonesia dianggap telah mengurangi kebebasan untuk memilih jodoh
dan menemukan kebahagiaan bersama pasangannya yang berbeda agama. Hal inilah yang dianggap
oleh para pemohon bahwa Pasal 2 ayat 1 tidak sesuai dengan prinsip kebebasan dalam HAM.
Tulisan ini difokuskan untuk mengkaji permasalahan perkawinan beda agama pasca putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 68/ PUU-XII/2014 dalam perspektif HAM. Mahkamah Konstitusi
menolak seluruhnya tentang uji materiil perkawinan beda agama, karena dinilai tidak beralasan
menurut hukum dan perkawinan di Indonesia yang berdasarkan agama. Putusan MK mengandung
nilai-nilai HAM yang bermakna partikular dengan kebebasan terbatas dan dibatasi oleh agama
dalam Pancasila dan UUD 1945