Sejak kapan terjadi?, baru kali ini aku berpikir. Memang agak sulit. Ups! Bukan,bukan. Aku yang m... more Sejak kapan terjadi?, baru kali ini aku berpikir. Memang agak sulit. Ups! Bukan,bukan. Aku yang mempersulit. Siapa suruh darah mengalir di tubuh ini. Pergi saja ke rumah sakit dan bayar di kasir. Mendung mungkin,aku juga tidak yakin. Tetap yakin menarik kiri dan kanan agar pagar kuning terlihat, meski tak sekuning madu. Siapa suruh menginjak yang bukan ranahmu?. Aku memerah aku. Hmm,,, terus saja begini, semua semu di telan entah. Tidak teratur memang, tapi tetap menata buku yang berserakan. Lantai tetap lantai dan tak akan berubah menjadi tumpukan kapuk yang sudah gugur. Mungin terus saja mungkin, karena hanya itu andalan putri di balik selimut. Menghela napas menjadi batu bacan yang berubah keputih-putihan. Aku berdiri di pucuk daun teh, seperti benda hidup berwarna hijau yang hendak merebutkan itu. Di telingaku masih teringat kekasaran yang menyebabkan gas motorku rusak, siapa yang bisa membenarkan? Entahlah , tanyakan pada gelas yang pecah. Gelembung yang membuat iri, hampir saja aku menabrak kambing yang lewat itu. Hmm,,,ini sudah ¾ jalan, kaki kanan yang mimisan harus diseret ke utara, biar tenang. Hei… kau di sana, tunggu aku, aku sedang merangkak mencari sandal jepit bertalikan rapiah. Sudah sampai itu harus, meski ada kejanggalan tentang keharusan. Berangan-angan di tepi kedai kopi itu yang membuat keharusan ingin merubah diri menjadi keong yang hendak melewati duri. Siapa yang akan menyalahkan? Tidak akan berani karena tidak memiliki hukum. Aku berlari walau anjing lari bertolak belakang, aku masih berlari meski kaki kananku masih ada di belakang kaki kiriku
Sejak kapan terjadi?, baru kali ini aku berpikir. Memang agak sulit. Ups! Bukan,bukan. Aku yang m... more Sejak kapan terjadi?, baru kali ini aku berpikir. Memang agak sulit. Ups! Bukan,bukan. Aku yang mempersulit. Siapa suruh darah mengalir di tubuh ini. Pergi saja ke rumah sakit dan bayar di kasir. Mendung mungkin,aku juga tidak yakin. Tetap yakin menarik kiri dan kanan agar pagar kuning terlihat, meski tak sekuning madu. Siapa suruh menginjak yang bukan ranahmu?. Aku memerah aku. Hmm,,, terus saja begini, semua semu di telan entah. Tidak teratur memang, tapi tetap menata buku yang berserakan. Lantai tetap lantai dan tak akan berubah menjadi tumpukan kapuk yang sudah gugur. Mungin terus saja mungkin, karena hanya itu andalan putri di balik selimut. Menghela napas menjadi batu bacan yang berubah keputih-putihan. Aku berdiri di pucuk daun teh, seperti benda hidup berwarna hijau yang hendak merebutkan itu. Di telingaku masih teringat kekasaran yang menyebabkan gas motorku rusak, siapa yang bisa membenarkan? Entahlah , tanyakan pada gelas yang pecah. Gelembung yang membuat iri, hampir saja aku menabrak kambing yang lewat itu. Hmm,,,ini sudah ¾ jalan, kaki kanan yang mimisan harus diseret ke utara, biar tenang. Hei… kau di sana, tunggu aku, aku sedang merangkak mencari sandal jepit bertalikan rapiah. Sudah sampai itu harus, meski ada kejanggalan tentang keharusan. Berangan-angan di tepi kedai kopi itu yang membuat keharusan ingin merubah diri menjadi keong yang hendak melewati duri. Siapa yang akan menyalahkan? Tidak akan berani karena tidak memiliki hukum. Aku berlari walau anjing lari bertolak belakang, aku masih berlari meski kaki kananku masih ada di belakang kaki kiriku
Uploads
Papers by Puspita Aza