[go: up one dir, main page]

Lompat ke isi

Kesultanan Lingga

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Kesultanan Riau-Lingga)

Kesultanan Riau-Lingga
(Melayu)
کسلطانن رياوليڠݢ (Jawi)
Sultanaat van Riau en Lingga (Belanda)

1824–1911
Bendera Kesultanan Riau Lingga
Bendera
{{{coat_alt}}}
Lambang
Kekuasaan Kesultanan Riau-Lingga berwarna merah, terdiri dari banyak pulau di perairan Laut Tiongkok Selatan dan kantong di Kateman, Sumatra.
Kekuasaan Kesultanan Riau-Lingga berwarna merah, terdiri dari banyak pulau di perairan Laut Tiongkok Selatan dan kantong di Kateman, Sumatra.
StatusProtektorat Hindia Belanda, protektorat kesultanan Utsmaniyah
Ibu kotaPenyengat Inderasakti
(Administratif 1824–1900)
(Kerajaan dan administratif 1900–1911)
Daik
(Kerajaan 1824–1900)
Bahasa yang umum digunakanMelayu
Agama
Islam Sunni
PemerintahanMonarki
Sultan 
• 1819–1832
Abdul Rahman
• 1832–1835
Muhammad II
• 1835–1857
Mahmud IV
• 1857–1883
Sulaiman II
• 1885–1911
Abdul Rahman II
Yang Dipertuan Muda 
• 1805–1831
Jaafar
• 1831–1844
Abdul
• 1844–1857
Ali II
• 1857–1858
Abdullah
• 1858–1899
Muhammad Yusuf
Era SejarahHindia Belanda
1824
• Dihapuskan oleh Belanda
1911
Didahului oleh
Digantikan oleh
kslKesultanan
Johor
Hindia Belanda
Sekarang bagian dari Indonesia
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Kesultanan Riau-Lingga adalah salah satu kerajaan Melayu yang didirikan di Pulau Lingga. Kesultanan ini dibentuk pada tahun 1824 dari pecahan wilayah Kesultanan Johor Riau atas perjanjian yang disetujui oleh Britania Raya dan Belanda. Pendirinya adalah Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah. Wilayah Kesultanan Riau Lingga terletak di provinsi Kepulauan Riau dan sebagian kecil Indragiri Hilir. Pusat pemerintahan Kesultanan Riau Lingga awalnya berada di Tanjung Pinang, tetapi kemudian dipindahkan ke Pulau Lingga. Kesultanan Riau berakhir pada tanggal 3 Februari 1911 dan dikuasai Hindia Belanda. Kesultanan ini berperan dalam pengembangan Bahasa Melayu Riau sebagai bahasa standar yang kemudian ditetapkan sebagai Bahasa Indonesia.[1]

Pendirian

[sunting | sunting sumber]

Pada awalnya, Kesultanan Riau adalah bagian dari Kerajaan Bintan dan kesultanan Melaka yang kemudian diteruskan oleh Kesultanan Johor Riau. Pada tahun 1811, Sultan Mahmud Syah III yang berkuasa di Kesultanan Johor Riau wafat sehingga terjadi perselisihan dalam penentuan pewaris. Akhirnya pihak Britania Raya dan Belanda ikut campur dalam menentukan pewaris Kesultanan Johor Riau. Pihak Britania Raya mendukung putra tertua dari Sultan Mahmud Syah III yaitu Tengku Hussain. Sebaliknya, Belanda mendukung adik tiri dari Tengku Hussain, yaitu Abdul Rahman. Penyelesaian pewaris Kesultanan ditentukan dalam Traktat London yang diadakan pada tahun 1824. Keputusannya adalah membagi Kesultanan Johor Riau menjadi dua Kesultanan, yaitu Kesultanan Johor dan Kesultanan Riau Lingga. Kesultanan Johor berada dalam pengaruh Britania Raya, sedangkan Kesultanan Riau berada dalam pengaruh Belanda. Abdul Rahman kemudian ditetapkan sebagai sultan pertama dari Kesultanan Lingga dengan gelar Muazzam Syah.[2]

Pemerintahan

[sunting | sunting sumber]

Pemerintahan di Kesultanan Lingga dibagi antara sultan, yang dipertuan muda, dan ulama. Sultan memerintah dalam bidang militer, politik, ekonomi, dan perdagangan. Pusat pemerintahannya berada di Pulau Lingga. Sultan yang dipilih berasal dari para bangsawan Melayu. Yang dipertuan muda bertugas sebagai penasehat sultan. Pusat pemerintahannya berada di Pulau Penyengat. Jabatan yang dipertuan muda diberikan kepada bangsawan Bugis. Peran ulama di Kesultanan Lingga adalah sebagai penasehat Yang Dipertuan Muda dalam bidang rihlah ilmiah.[3]

Pemilihan Pulau Lingga sebagai pusat pemerintahan karena lokasinya yang strategis dalam bidang pertahanan. Pulau ini memiliki dataran yang luas di sekeliling Sungai Daik. Selain itu, sungainya dapat dilayari hingga ke bagian hulu, sehingga pasukan Hindia Belanda sulit menjangkaunya. Perairan sungai ini juga berubah-ubah sesuai dengan pasang surut air, sehingga sangat sulit dijangkau oleh kapal pada waktu tertentu.[4]

Politik dalam negeri Kesultanan Riau cukup stabil. Pembagian kekuasaan antara Suku Bugis dan Suku Melayu dapat terkendali.[5] Sebaliknya, Kesultanan Riau Lingga berada di wilayah dengan perpolitikan luar negeri yang rumit dan tidak stabil. Kerajaan-kerajaan yang ada di sekitarnya sering melakukan persaingan antarkekuasaan. Selain itu, pejabat pemerintahan dari Kesultanan Riau Lingga juga sering berselisih. Kondisi politik semakin rumit setelah kedatangan Portugal, Hindia Belanda, Britania Raya dan Jepang. Wilayah-wilayah di Kepulauan Riau, Semenanjung Melaka, dan pesisir timur Pulau Sumatra tidak dapat sepenuhnya dikendalikan.[6]

Keagamaan

[sunting | sunting sumber]

Kesultanan Riau Lingga menjadi salah satu pusat kegiatan pembelajaran Islam di kawasan Melayu. Para ulama berdatangan ke Pulau Penyengat untuk mengajarkan ilmu keislaman. Bersamaan dengan ini, di Kesultanan Riau Lingga juga mulai banyak penganut paham tasawuf.[7] Tarekat yang berkembang pesat adalah tarekat Naqsyabandiyah.[8] Pada masa Kesultanan Lingga, paham fikih dan tasawuf yang paling berpengaruh adalah pemikiran Abu Hamid Al-Ghazali. Pemikirannya diajarkan oleh Raja Ali Haji yang telah berguru kepada para ulama di Madinah dan Mekkah.[9]

Kebudayaan

[sunting | sunting sumber]

Kesultanan Riau Lingga telah mengembangkan tradisi tulis menulis untuk kepentingan ilmu pengetahuan dalam bidang sastra dan keagamaan. Naskah-naskah ditulis menggunakan Abjad Jawi / huruf pégon.[10] Kesultanan Riau Lingga membuat kamus Bahasa Melayu dan menjadikannya sebagai sebuah bahasa standar.[11]

Pada tahun 1850, Kesultanan Riau membangun sebuah percetakan surat kabar dengan tulisan dalam Abjad Jawi dan Abjad Latin. Jenis cetakannya adalah cetakan litograf. Selain itu, di Kesultanan Riau Lingga juga dibentuk perkumpulan para cendekiawan yang menulis karya-karya ilmiah dan menerjemahkan buku-buku berbahasa asing, terutama buku keagamaan yang menggunakan bahasa Arab.[12]

Kesultanan Riau Lingga juga mengembangkan Bahasa Melayu, terutama bahasa lisan di kalangan istana. Bahasa Melayu ini kemudian disebarkan untuk digunakan oleh masyarakat umum.[13] Bahasa Melayu kemudian disempurnakan menjadi bahasa baku di Pulau Penyengat.[14] Pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Muzafar Syah, Kerajaan Riau Lingga menetapkan Bahasa Melayu sebagai bahasa resmi. Bahasa ini kemudian ditetapkan sebagai bahasa persatuan pada Kongres Pemuda Indonesia yang diadakan pada tahun 1928 dengan sebutan baru yaitu Bahasa Indonesia.[15]

Sultan-Sultan

[sunting | sunting sumber]

Sultan Abdurrahman (1819-1832)

[sunting | sunting sumber]

Sultan Abdurrahman adalah sultan pertama dari Kesultanan Riau Lingga. Ia adalah putra dari Sultan Mahmud Syah III yang berkuasa di Kesultanan Johor Riau. Setelah ayahnya wafat, kesultanannya dibagi menjadi dua, yaitu Kesultanan Johor Singapura dan Kesultanan Riau Lingga. Pembagian wilayahnya ditentukan oleh Britania Raya dan Hindia Belanda dalam Traktat London yang ditetapkan pada tahun 1824. Wilayah Kesultanan Johor Singapura mencakup Johor, Singapura, Pahang, dan Terengganu. Sedangkan wilayah Kesultanan Riau Lingga mencakup Pulau Lingga, Pulau Singkep, Batam dan Natuna.[16]

Sultan Muhammad Syah (1832-1841)

[sunting | sunting sumber]

Sultan Muhammad Syah menggantikan ayahnya yaitu Sultan Abdurrahman yang wafat pada 12 Rabiul Awal 1284 H (1832 M). Ayahnya dimakamkan di Bukit Cengkil Daik. Nama asli dari Sultan Muhammad Syah adalah Tengku Besar. Sultan Muhammad Syah wafat pada tahun 1841 dan dimakamkan di Bukit Cengkeh. Sebelum wafat, ia telah menunjuk putranya yang bernama Tengku Mahmud sebagai pewaris.[17]

Sultan Mahmud Muzafar Syah (1841-1857)

[sunting | sunting sumber]

Pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Muzafar Syah, Kesultanan Riau Lingga menjadi salah satu kerajaan yang memiliki pengaruh besar bagi Hindia Belanda. Kekuasaannya diberhentikan oleh Gubernur Jenderal Belanda pada tanggal 23 September 1857.[18]

Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah (1857-1883)

[sunting | sunting sumber]

Pengganti Sultan Mahmud Muzafar Syah adalah pamannya yang bernama Tengku Sulaiman. Gelarnya adalah Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah. Pelantikannya sebagai sultan diadakan pada tanggal 10 Oktober 1857. Ia memerintah hingga wafat pada tanggal 17 September 1883. Pemakamannya berada di Bukit Cengkeh.[18]

Sultan Abdurrahman Muazam Syah (1883-1913)

[sunting | sunting sumber]

Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah tidak mempunyai keturunan, sehingga penggantinya adalah putri Sultan Mahmud Muzafar Syah yang bernama Fatimah. Suami dari Fatimah adalah Yang Dipertuan Muda ke-10 bernama Raja Muhammad Yusuf, sehingga kekuasaannya diberikan kepada anaknya yang bernama Raja Abdurrahman. Setelah dilantik pada tahun 1883, Raja Abdurrahman diberi gelar Sultan Abdurrahman Muazam Syah. Pada 1903, ia memindahkan pusat pemerintahan ke Pulau Penyengat. Kesultanan Lingga mengalami perkembangan pesat selama masa pemerintahannya. Sultan Abdurrahman Muazam Syah mendirikan perkumpulan Rusydiah di Pulau Penyengat yang kemudian menjadi pusat perkembangan politik, budaya, dan kemasyarakatan. Ia menjadi sultan terakhir dari Kesultanan Lingga setelah Hindia Belanda memutuskan untuk membubarkan kerajaan ini pada tanggal 10 Februari 1911. Keputusan ini ditetapkan karena Sultan Abdurrahman Muazam Syah tidak patuh terhadap pemerintahan Hindia Belanda. Setelah diberhentikan sebagai sultan, ia bersama para bangsawan akhirnya pindah ke Singapura.[19]

Peninggalan

[sunting | sunting sumber]

Masjid Raya Pulau Penyengat

[sunting | sunting sumber]

Masjid Raya Sultan Riau didirikan di Pulau Penyengat. Pada masa Kesultanan Riau Lingga, masjid ini digunakan sebagai pusat administrasi kesultanan Riau. Di dalam masjid terdapat banyak naskah kuno berupa Al-Qur'an hasil tulisan tangan.[20]

Mushaf Al-Qur'an

[sunting | sunting sumber]

Mushaf Al-Qur'an Kesultanan Lingga ditemukan di Masjid Raya Pulau Penyengat dan di Museum Linggam Cahaya. Sebagian besar mushaf telah lapuk, tidak utuh dan penulisnya anonim. Mushaf-mushaf yang utuh dan tidak anonim yaitu mushaf Ali bin Abdullah al-Bugisi al-Syafi’i (1752 M) dan mushaf Abdul Rahman Stanbul (1867 M).[21]

Naskah keagamaan

[sunting | sunting sumber]

Naskah-naskah keagamaan dari Kesultanan Lingga ditemukan di Pulau Lingga. Bentuknya terbagi menjadi dua jenis, yaitu cetakan dan tulis tangan. Pembahasan dari naskah-naskah tersebut adalah tentang ilmu fikih, tauhid, hadis, dan tasawuf. Sebagian besar naskah tidak mencatumkan nama penulis dan tahun penulisannya. Naskah-nasah ini disimpan di Museum Daik Lingga dan di kediaman Tengku Husin yang merupakan salah satu keturunan dari penguasa Kesultanan Lingga.[22]

Naskah pengobatan

[sunting | sunting sumber]

Naskah-naskah pengobatan yang ditemukan menggunakan Abjad Jawi. Pemilik naskah bernama Raja Malik. Salah satu naskah berjudul Kitab Obat Sopak. Isinya membahas tentang penggunaan metode zikir asmaul husna dalam mengobati belang-belang berwarna putih yang muncul di tangan atau kaki. Selain itu, ditemukan sebuah naskah yang membahas tentang pengobatan yang dapat meningkatkan kualitas hubungan suami-istri dalam berumah tangga. Naskah ini ditulis dalam Bahasa Melayu.[23]

Naskah administrasi kesultanan

[sunting | sunting sumber]

Isi dari naskah-naskah administrasi yang ditemukan adalah mengenai keadaan pemerintahan pada masa keemasan dari Kesultanan. Naskah ditulis dengan Abjad Jawi dan disimpan di Museum Lingga Cahaya. Naskah penting yang penting di antaranya yaitu tentang pembukaan lahan perkebunan di Pulau Selayar (1327 H), keterangan kelahiran dan kematian penduduk (1307 H), keterangan penunjukan dan hasil kerja kapten kapal (1311 H), dan pengangkatan raja Riau yang bernama Raja Muhammad (1855 M).[24]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Sunandar 2015, hlm. 188.
  2. ^ Sunandar 2015, hlm. 190.
  3. ^ Syahid 2005, hlm. 301.
  4. ^ Rehayati dan Farihah 2017, hlm. 173.
  5. ^ Syahid 2005, hlm. 303.
  6. ^ Syahid 2005, hlm. 302.
  7. ^ Syahid 2005, hlm. 306.
  8. ^ Syahid 2005, hlm. 308.
  9. ^ Rehayati dan Farihah 2017, hlm. 173–174.
  10. ^ Jamal dan Harun 2014, hlm. 55.
  11. ^ Jamal dan Harun 2014, hlm. 59.
  12. ^ Jamal dan Harun 2014, hlm. 60.
  13. ^ Firdaus, Elmustian, dan Melay 2018, hlm. 15–16.
  14. ^ Firdaus, Elmustian, dan Melay 2018, hlm. 20.
  15. ^ Firdaus, Elmustian, dan Melay 2018, hlm. 24.
  16. ^ Firdaus, Elmustian, dan Melay 2018, hlm. 156.
  17. ^ Firdaus, Elmustian, dan Melay 2018, hlm. 156–157.
  18. ^ a b Firdaus, Elmustian, dan Melay 2018, hlm. 157.
  19. ^ Firdaus, Elmustian, dan Melay 2018, hlm. 158–159.
  20. ^ Jamal dan Harun 2014, hlm. 60–61.
  21. ^ Jamal dan Harun 2014, hlm. 63–64.
  22. ^ Jamal dan Harun 2014, hlm. 64–65.
  23. ^ Jamal dan Harun 2014, hlm. 66.
  24. ^ Jamal dan Harun 2014, hlm. 67.

Daftar Pustaka

[sunting | sunting sumber]

Firdaus, Elmustian, dan Melay, R., (Ed.) (2018). Tamadun Melayu Lingga (PDF). Lingga: Dinas Kebudayaan Kabupaten Lingga. ISBN 978-602-53286-0-2. 

Jamal, K., dan Harun, I. (2014). "Inventarisasi naskah Klasik Kerajaan Lingga". Sosial Budaya. 11 (1): 55–69. ISSN 2407-1684. 

Rehayati, R., dan Farihah, I. (2017). "Transmisi Islam Moderat oleh Raja Ali Haji di Kesultanan Riau-Lingga pada Abad Ke-19". Ushuluddin. 25 (2): 172–187. doi:10.24014/jush.v25i2.3890. ISSN 2407-8247. 

Sunandar, Heri (2015). "Aspek Sosio Politis Naskah dan Arkeologi". Al-Fikra. 14 (2): 186–212. 

Syahid, Achmad (Desember 2005). "Sufistikasi Kekuasaan pada Kesultanan Riau-Lingga Abad XVIII-XIX M". Ulumuna. IX (2): 295–312. ISSN 2355-7648.